Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu Bagian 2
nggak, bantuin gue satu kali iniii aja?"
Demi mayat-mayat yang bergelantungan di pohon!
Daniel Yusman meminta bantuanku! Keren banget nggak
sih? Tapi aku hanya bisa menatapnya seraya membisu.
Habis, seperti yang pernah kubilang, aku tidak pernah
punya kemampuan melihat masa depan. Yang bisa ku?
laku?kan hanyalah melihat semua fakta dan menyimpul?
kan apa yang akan terjadi. Tapi aku tidak ingin menge?
cewa?kan muka penuh harap itu.
Dia memperalatmu, Rim. Dia hanya ingin menggunakan
kemampuanmu. Setelah kau melakukan apa yang diinginkan?
nya, dia akan meninggalkanmu dan melupakanmu. Sampai
saat dia memerlukanmu lagi.
"Bagaimana dengan Valeria?" tanyaku perlahan.
"Gue bisa nyari sendiri kok." Valeria ikut menghampiri
kami dan tersenyum padaku. "Selamat ya, Rim. Lo lolos
seleksi pertama. Gue masih harus berusaha nih. Wish me
luck!" Isi-Omen3.indd 83 Dengan kata-kata itu, dia pun meninggalkan aku dan
Daniel. Kini kami hanya berduaan. Uh-oh.
"Jadi?" Aku menoleh kembali pada Daniel, yang masih saja
memandangiku dengan muka memelas yang sepertinya
lebih meluluhkan ketimbang tampang imut anak anjing
yang minta tulang. Aku balas menatap Daniel lekat-lekat. "Dengan satu
syarat." "Syarat apa?" Kencan denganku, yuk. Eh, sebenernya aku lebih senang
pacar?an sih. Atau lebih baik kamu jadi tahananku saja.
Akan kuborgol kamu dan kusekap di ruang bawah tanah,
terlindung selamanya dari cewek-cewek rakus yang selama ini
mengincarmu. "Nanti akan kupikirkan. Tapi ini sebuah janji, bahwa
kamu akan menepatinya apa pun permintaanku nanti."
Daniel berpikir lagi. "Oke."
Aku tidak bisa menahan senyum. "Oke. Kalo begitu,
ayo kita cari." Rasanya aneh melihat tubuh menjulang cowok itu ber?
jalan di sampingku. Lebih aneh lagi, cowok itu menoleh
padaku dan bertanya sungguh-sungguh, "Sekarang kita
akan ke mana, Rim?" Rasanya seperti mimpi yang menjelma menjadi k?e?
nyata?an. Sayangnya, di mimpi aku akan menyahut,
"Jalan-jalan di taman lalu makan di restoran Jepang," se?
mentara dalam kenyataan aku harus bilang, "Gedung lab
akan menjadi tempat yang baik untuk memulai."
Isi-Omen3.indd 84 "Tapi," kata Daniel ragu, "ruangan-ruangannya kan
terkunci semua." Aku tersenyum lagi. "Tepat sekali."
Kami pun berjalan menuju gedung laboratorium yang
gelap gulita. Koridor lantai satu memang masih cukup
terang, soalnya penjaga sekolah terkadang berpatroli me?
lewatinya (bicara soal penjaga sekolah, aku heran tidak
melihat pria bermuka mirip tikus itu sedari tadi). Tanpa
memeriksa ruangan-ruangan lantai bawah, aku langsung
berjalan menaiki tangga, sementara Daniel menyejajarkan
langkahnya di sampingku. "Jadi, gimana ceritanya lo bisa dapetin kemampuan
meramal?" tanya Daniel, entah karena penasaran ataukah
ha?nya ingin mengisi keheningan yang ada. Yah, aku ti?
dak keberatan sih berdiam-diaman dengan Daniel, ber?
samanya saja aku sudah senang, tapi mungkin dia lebih
suka cewek bawel. Berhubung aku tidak benar-benar punya kemampuan
meramal, aku memikirkan kemampuanku yang lain,
yaitu menarik kesimpulan dari semua fakta yang ada.
Kalau dipikir-pikir, sejak kecil aku sudah bisa melakukan
hal itu. Tidak secanggih sekarang, tentu saja, tapi bakat
genius pun membutuhkan latihan. Kalau tidak, bakat itu
akan layu dan mati. "Sejak lahir, kurasa," sahutku singkat.
"Hebat, ya." Apakah aku hanya kege-eran, atau suaranya memang
menyiratkan kekaguman? "Gue juga kepingin punya kemampuan seperti itu."
"Orang-orang akan menganggapmu aneh."
Isi-Omen3.indd 85 "Ah, semua cewek yang gue anggap hebat biasanya
aneh." Tentu saja, yang dia maksud adalah Erika Guruh, si
ce?wek preman dengan daya ingat fotografis dan Valeria
Guntur, si cewek alim yang tidak tahunya jago kick?
boxing. Yang jelas, cewek yang dia maksud bukan aku.
Aku sih hanya aneh, sama sekali tidak ada hebat-hebat?
nya, apalagi di mata cowok sekeren Daniel.
Kami melewati ruangan Klub Kesenian. Kalian mung?
kin sudah tahu, aku ketua Klub Kesenian. Meski klub itu
membawahi semua cabang kesenian yang ada, kebanyak?
an dari kami jauh lebih suka melukis. Bagiku, melukis
adalah semacam meditasi, pengosongan pikiran, sesuatu
yang amat kubutuhkan untuk menenangkan otak yang
selalu bekerja dan menarik kesimpulan ini. Sayangnya,
terkadang tanpa sadar aku menuangkan isi pikiranku
pada lukisanku. "Nggak mampir dulu?"
Aku cukup terkesan Daniel ingat aku ketua Klub
Kesenian. Maksudku, kan banyak sekali cewek yang di?
kenalnya. Memang, Welly, sobatnya, adalah salah satu
anggota klubku, tapi Welly jarang datang ke klub dan
hanya nongol di saat-saat ada keuntungan yang bisa di?
raih?nya. Intinya, tak ada alasan kenapa dia harus meng?
ingat informasi tak berharga itu.
"Untuk apa? Nggak ada hal menarik yang bisa mem?
bantu kita di dalamnya."
"Tapi itu kan ruangan lo. Mungkin aja mereka naro
kisi-kisi atau apa...."
Aku menggeleng. "Nggak mungkin. Justru karena ruang?
Isi-Omen3.indd 86 an ini berhubungan denganku, mereka nggak akan meng?
utak-atiknya. Itu terlalu gampang."
Kami mendekati ruang Klub Komputer. Sesaat aku ragu
sejenak, pikiranku melayang pada para calon anggota
organisasi. Tidak ada yang berasal dari Klub Komputer.
Jadi aku pun memutar hendel pintu ruangan itu.
Pintu itu langsung terbuka.
"Yes!" seru Daniel penuh semangat. "Lo hebat banget,
Rim!" Aku tidak menyahut dan hanya berdiri di pintu, diamdiam senang melihat keantusiasannya saat mencari-cari
di seluruh ruangan yang dipenuhi berbagai perangkat
ke??ras komputer dan rakitan mesin. Dalam waktu sing?kat
dia berhasil menemukan benda itu, rupanya ter?geletak di
antara tumpukan perangkat keras yang tampak tak
dibutuhkan lagi. "Ini!" seru Daniel dengan kegirangan yang mirip anak
kecil. "Eishh, berat, bo! Mungkin kita harus jual aja
benda ini, Rim, lalu pergi makan sesuatu yang enak dan
ngaku kita belum dapetin lencananya. Hehehe."
"Boleh aja." "Eh, tunggu. Sayang juga sih kalo kita nolak jadi
anggota organisasi rahasia yang berkuasa. Lebih baik abis
jadi anggota organisasi, kita korupsi aja."
"Oke." Daniel menatapku geli. "Kok lo pasrah aja diajak ber?
komplot jadi kriminal?"
"Menurutku, semua ide yang kamu bilang itu bagus
kok." "Astaga!" Sambil tertawa, cowok itu menggelenggeleng. "Di luar dugaan, Rima ternyata kocak, ya!"
Isi-Omen3.indd 87 Kocak? Baru kali ini ada yang mengomentariku be?
gitu. Kali ini, akulah yang mengikuti Daniel kembali ke
lapangan basket. Aku tidak tahu kenapa, tapi daripada
berjalan sejajar, aku merasa lebih nyaman mengikutinya
dari belakang. Aku menyadari banyak orang ngeri saat
aku mengikuti mereka, gara-gara mereka merasa seperti
dikuntit hantu, tapi setidaknya aku tidak berbahaya sama
sekali. Saat menuruni tangga, mendadak saja muncul dua
cowok di depan kaki tangga. Aku tidak mengenali me?
reka, tapi sepertinya Daniel kenal, karena dia langsung
mendekatkan wajahnya padaku dan berbisik, "Hadi dan
Ricardo." Oke, aku tidak kenal dua nama itu, tapi aku senang
Daniel dekat-dekat denganku. Aku berusaha me?nunduk?
kan wajahku, supaya kedua orang itu tidak mengenaliku.
Tadi aku melepaskan topeng karena merasa rambutku
su?dah cukup untuk menutupi mukaku. Lagian, dengan
ram?but tersibak gara-gara topeng, aku malah merasa te?
lanjang dan gampang dikenali.
"Kalian nemu nggak?" kata salah satunya.
"Nggak," sahut Daniel dengan muka bete yang aneh?
nya terlihat polos. "Kita semua ditipu. Nggak ada apaapa di sini. Mendingan cari di tempat lain aja."
Kedua cowok di depan kami itu tidak bergerak, seolaholah mereka tidak memercayai ucapan kami. Benar duga?
anku, meski Daniel berkata begitu, mereka tetap berjalan
naik. "Kami ngecek lagi deh."
Saat mereka berjalan melewatiku, salah satunya me?
Isi-Omen3.indd 88 nyenggolku keras-keras, membuatku tersungkur. Kese?
imbang?anku sebenarnya sangat baik, dan aku tidak mu?
dah jatuh, tapi kali ini tenaga mereka yang terlalu kuat
membuatku tidak bisa menahan tubuhku (soal tenaga,
tidak seperti Erika dan Valeria, aku tidak terlalu bisa
diandalkan). Napasku tersentak saat tubuhku ter?gelincir
turun... namun sebuah tangan besar dan kuat menahanku
seolah-olah aku ringan seperti peri.
Tatapanku bertabrakan dengan tatapan Daniel. Mata?
nya yang biasanya sipit melebar. Sinar lampu dari lantai
satu membuatku sanggup melihat pupil matanya yang
mengecil, menandakan kekagetan yang dirasakannya
tidak dibuat-buat. "Astaga!" Sesaat dia tergagap. "Lo... cantik banget,
Rima!" Eh? Ucapan Daniel membuat langkah dua cowok yang
tadinya menuju lantai atas terhenti, tapi aku tidak bisa
fokus dengan lingkungan sekitar akibat Daniel dan ucap?
annya yang membuat seluruh tubuhku yang biasa?nya
dingin dan adem jadi merona panas. Lebih parah lagi,
Daniel mengulurkan tangannya dan menyibak rambutku
untuk melihat wajahku lebih jelas.
Lalu dia tersentak melihat bekas luka di pelipisku.
Aduh, kenapa aku membiarkannya menyibakkan
rambut?ku? Serta-merta aku menarik diri. "Thank you, udah nolong?
in aku. Tapi lain kali jangan sentuh-sentuh wajahku
lagi." Isi-Omen3.indd 89 Arghhh. Aku tidak bermaksud jutek, tetapi kenapa
ucapanku kedengaran kasar banget?
Aku berjalan cepat-cepat, berusaha meloloskan diri dari
situasi memalukan ini. Aduh, kenapa aku tidak berhatihati? Kenapa aku membiarkannya melihat wajahku? Ke?
napa dari semua orang, Daniel-lah orang pertama yang
me?lihat bekas lukaku yang besar dan mengerikan? Se?
karang dia akan jijik padaku. Dia akan menjauhiku,
meng?ejekku di belakang, dan...
"Rima!" Rasanya jantungku jatuh ke lantai saat cowok itu me?
raih pergelangan tanganku dari belakang. Lagi-lagi aku
ti?dak berbalik?kali ini karena aku tidak sanggup meng?
hadapi wajahnya. Kurasa dia tahu soal itu juga, karena
dia tidak berusaha membalikkan badanku. Ada keheranan
tersirat dalam hatiku, heran kenapa cowok itu masih
mau menyentuhku setelah melihat bekas luka yang be?
gitu mengerikan, tapi otakku tidak sanggup bekerja saa?t
ini. "Sori," ucap cowok itu rendah dan pelan. "Sori, gue
nggak bermaksud ngeliat. Gue nggak bermaksud me?
langgar privasi elo. Gue cuma... bener-bener ngerasa lo
cantik, Rim, dan gue merasa sayang lo nyembunyiin
wajah lo dari semua orang. Gue nggak tau lo punya alas?
an untuk melakukan itu."
Aduh. Apa dia betul-betul menganggapku cantik?
Kali ini Daniel membalikkan tubuhku, dan seperti
orang idiot aku membiarkannya. Tatapan lembutnya
jatuh pada diriku, membuatku lagi-lagi merona dan tak
sanggup membalas tatapannya itu. Ya ampun, kenapa
aku bertingkah begini memalukan di hadapannya?
Isi-Omen3.indd 90 "Tapi lo nggak perlu nyembunyiin luka itu, Rim,"
ucap?nya baik hati. "Luka itu nggak bikin wajah lo jadi
jelek. Jadi sangar iya sih, sedikit."
Aku menaikkan pandanganku, dan melihat cowok itu
sedang nyengir jail. "Tapi cuma dikiiit... dan sama sekali nggak bikin elo
jelek. Vas yang retak nggak akan berkurang ke?cantik?
annya." "Tapi harganya jadi nggak sama lagi," sahutku pelan.
"Wah, ternyata selain cantik, Rima juga cerdas." Sekali
lagi Daniel nyengir, dan kali ini aku tidak bisa menahan
diri?ku untuk ikut tersenyum. "Lain kali akan gue ingetinget untuk nggak berdebat sama elo, Rim. Tapi," dia
me?mandangku dengan bersungguh-sungguh, "biarpun
harga lo nggak sama lagi, itu nggak berarti berkurang
lho. Malah menurut gue, ini semacam trofi untuk ke?
Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tabah?an lo, karena udah melewati sebuah kecelakaan
dengan baik." Kecelakaan. Aku ingat saat tangan kasar dan mengeri?
kan itu dilayangkan ke mukaku, dan aku yang saat itu
masih kecil terpental menabrak meja kaca. Pecahan kaca
pada meja itulah yang menggoreskan luka permanen di
mukaku. Trofi, ya? Apa bukan sebagai pengingat betapa aku
tidak diinginkan? "Nah," Daniel meremas tanganku lembut sebelum
akhir?nya melepaskannya dan membuatku kecewa, "kita
kembali ke lapangan?"
Aku mengangguk, lalu kembali mengikuti Daniel me?
nuju lapangan basket. Kukeluarkan to?peng?ku dan ku?
kenakan. Aku tidak tahu tentang peraturan organisasi
Isi-Omen3.indd 91 mengenai keharusan mengenakan topeng, tapi tak lucu
kalau aku didiskualifikasi karena tidak mengena?kan
topeng. Di lapangan, aku mengenali Erika dan Valeria yang
sedang duduk-duduk di tepi lapangan. Dari sikap santai
mereka, kusimpulkan mereka sudah mendapatkan len?
cana. Yang tak kuduga, OJ juga sudah nang?kring di meja
di tepi kantin bersama Aya, satu-satunya cewek yang
kukenali dari para calon anggota selain Erika dan Valeria.
Meski wajahnya tertutup topeng, dari wajah?nya yang
terarah padaku, aku tahu dia sedang tersenyum pada?
ku. Aku membalas senyumnya dan memilih duduk ber?
sama Erika dan Valeria. Jadi aku berjalan ke arah mereka
berdua. Aku tahu, itulah yang Aya inginkan. Dulu sekali,
kami lengket seperti Erika dan Valeria. Tapi lalu sesuatu
mengubahnya?sesuatu yang adalah salahku?dan kini
persahabatan kami tak akan sama lagi.
Mendadak kami dicegat oleh satu-satunya anggota
organisasi yang sedang berjaga-jaga di situ. Entah ke?
napa, meski posturnya tak berbeda jauh dengan anggota
organisasi yang lain, aku punya keyakinan orang ini
bukan?lah pemimpin yang dalam organisasi ini disebut
sebagai Hakim Tertinggi. Mungkin karena fakta bah?wa
pemimpin biasanya tidak disuruh menjaga pos sendiri?
an. "Sudah dapat lencananya?" tanyanya dengan suara
kaset rusak yang rada jutek.
"Sudah dong," sahut Daniel sambil menyerahkan
lencana yang ditemukannya.
Tanpa bicara, aku ikut menyerahkan lencana itu. Saat
Isi-Omen3.indd 92 aku berbalik, jantungku serasa ditikam melihat Daniel
sudah langsung di samping Valeria. Tindakan itu seperti?
nya juga tidak direstui Erika yang protektif banget
terhadap Valeria, soalnya cewek itu menggerakkan jari di
bawah dagu, seolah-olah ingin menggorok leher Daniel,
lalu membuang muka. Yah, aku mengerti?saat ini aku
juga sedih sekali. Tak peduli cowok itu baru saja me?
mujiku, itu hanya ucapan kosong. Hatinya tetap milik
Valeria. Meski rada segan, berhubung aku tidak tahu harus
duduk di mana, akhirnya aku duduk di samping Erika.
Cewek itu tidak memandang ke arahku dan tampak
tidak peduli denganku, membuatku merasa canggung
dan tidak diharapkan. Tapi lalu, tanpa disangka-sangka,
kudengar suaranya yang rendah dan pelan.
"Katanya lo berhasil nemuin lencana itu dalam waktu
kurang dari lima menit?"
"Ya," gumamku. "Hebat." Ucapan singkat itu membuatku ingin tersenyum lebar,
tapi aku tahu, dari gaya Erika, dia tidak ingin orang tahu
kami bercakap-cakap. Jadi aku menyahut dengan gerakan
bibir seminim mungkin, "Thank you." Lalu, tanpa bisa
me?nahan rasa penasaranku, aku bertanya, "Kamu nemu?
in lencananya di mana?"
"Ruang detensi, kelas favorit gue."
Lagi-lagi aku harus menahan senyum. Meski merupa?
kan murid paling cerdas?bahkan genius?di sekolah ini,
Erika juga menjabat anak yang paling sering dihukum
guru, terutama guru piket. Sudah bukan rahasia lagi dia
jadi murid paling merepotkan sekaligus kesayangan guru
Isi-Omen3.indd 93 piket. Bisa kubayangkan Pak Rufus, guru piket kami,
bakalan merasa hampa dan tak berguna jika tak ada
murid senakal Erika untuk diurus.
Kami tidak berbicara lagi dan lebih memusatkan per?
hati?an pada sekeliling kami. Kusadari anak-anak yang
se?dang berkumpul saat ini adalah anak-anak yang ber?
hasil menyelesaikan misi dalam waktu kurang dari lima
belas menit. Mungkinkah hal ini dianggap prestasi oleh
para anggota organisasi? Bagaimanapun, anggota yang
akan terpilih nanti hanyalah enam orang, dan kebetulan,
saat ini sudah ada enam orang yang berkumpul di sini.
Penantian yang lama membuat kami mulai bosan.
Erika sudah menguap berkali-kali, demikian pula Daniel
dan OJ. Biasanya aku belum mengantuk pada jam-jam
segini, tetapi kegiatan menunggu ini benar-benar mem?
buatku suntuk. Kurang-lebih setengah jam setelah aku
dan Daniel tiba, cowok kurus jangkung yang tadinya
sempat memprotes kehadiran OJ muncul dengan gaya
pongah, menyerahkan lencana yang didapatkannya, lalu
berdiri di dekat-dekat si anggota organisasi seolah-olah
ingin mencari kesempatan untuk PDKT. Beberapa lama
kemudian seorang calon anggota cewek muncul. Lalu
pada akhirnya, salah satu cowok antara Hadi atau
Ricardo muncul sendiri. Aku tidak tahu yang mana?
nama mereka pun kuketahui dari Daniel?tapi yang
pasti, cowok ini lebih pendek daripada rekannya.
Aneh, kenapa dia muncul sendirian?
Teng-teng-teng-teng-teng!
Entah dari mana, para anggota organisasi yang tadinya
tak kelihatan?kecuali si anggota jutek yang tadi men?
cegat-cegati kami untuk memalaki lencana?muncul kem?
Isi-Omen3.indd 94 bali. Si Hakim Tertinggi memeriksa lencana yang sudah
dikumpulkan, lalu berpaling pada kami.
"Waktu sudah habis," katanya. "Kita akan menunggu
peserta yang tersisa untuk pengumuman seleksi malam
ini." Kami yang tadinya sudah berdiri dengan penuh se?
mangat langsung menjatuhkan diri ke tempat semula. OJ
malah tak segan-segan berteriak, "Yaaa, kirain udah
boleh pulang!" Jadilah kami semua berdiam diri dan
menunggu si anggota terakhir, namun setelah lima belas
menit berlalu, cowok yang seingatku tinggi te?gap itu
tetap tidak muncul-muncul juga.
"Oke, kita sudah terlalu lama menunggu," kata si
Hakim Tertinggi seraya berdecak tak sabar. "Benar-benar
membuang waktu saja! Siapa yang tadi terakhir melihat
peserta terakhir?" Setelah beberapa detik yang terasa bagaikan setengah
jam, rekannya yang bergabung bersama kami meng?
angkat tangan. "Tadi saya berpisah dengannya di gedung
ekskul. Katanya, dia akan mencari di gedung audi?to?
rium." "Kalau begitu coba kamu cari dia sekarang," perintah
si Hakim Tertinggi dengan penuh wibawa, sehingga
orang yang diperintah sama sekali tidak sanggup me?
nolak. Lalu dia berpaling pada salah satu anggota organi?
sasi. "Kamu, temani dia."
Keduanya segera melesat menuju gedung auditorium.
Dari kejauhan, kami melihat mereka menaiki tangga
depan pintu gedung auditorium. Saat pintunya terbuka,
kulihat lampu menyala di dalamnya.
Mendadak saja perasaanku tak enak.
Isi-Omen3.indd 95 Ada sesuatu yang tak beres di sini.
Lalu mendadak, teriakan penuh kengerian memecahkan
keheningan malam. Saat itu, seluruh situasi bagaikan berubah menjadi ade?
gan film lambat. Aku bisa melihat dengan jelas, Erika
dan Valeria berdiri lebih cepat daripada orang-orang lain,
di?ikuti oleh Daniel, OJ, si Hakim Tertinggi, dan Aya. Me?
reka berlari dengan sangat cepat menuju asal suara itu.
Aku, tentu saja, menyusul di deretan paling belakang.
Yah, seperti yang sudah sering kusinggung secara tersirat,
kemampuan fisikku benar-benar di bawah rata-rata.
Lambat tapi selamat (dan tidak ngos-ngosan), aku tiba
juga di depan gedung auditorium. Saat memasuki pintu
raksasa itu, kulihat semua orang hanya berdiri terpana
di depan pintu. Aku menyelinap di belakang punggung
orang-orang lain dan tiba di pinggiran kerumunan.
Dan aku ikut terpana melihat apa yang membuat
mereka shock. Di tengah-tengah auditorium, lantai yang dilapisi
granit berwarna krem digambari dengan cairan berwarna
merah yang tercium amis. Gambarnya tidak lain adalah
se?buah perisai dengan pedang dan topeng di tengah-te?
ngahnya?simbol The Judges. Sementara itu di atas pang?
gung, duduklah cowok pendek kekar?yang tadi bertemu
kami?dengan kaki berlumuran darah.
Dan tak salah lagi, tempurung lututnya dipaku sampai
hancur. Isi-Omen3.indd 96 Erika Guruh, X-E OKE, ini sudah teramat sangat keterlaluan.
Maksudku, yang benar saja. Baru setahun aku ber?
sekolah di SMA Harapan Nusantara dan tahu-tahu aku
sudah terlibat urusan tak menyenangkan se?banyak TIGA
KALI? Berani taruhan, tak banyak orang di dunia ini
yang punya nasib nahas seperti ini. Dan, be?rani taruhan,
orang-orang itulah yang pantas diwawan?cara oleh Oprah
atau minimal masuk rubrik "Oh Mama, Oh Papa" di
majalah ibu-ibu (mungkin sebaiknya aku menuliskan
semua ini dan mengirimkannya ke koran sekalian me?
minta sumbangan). Ya, aku tahu gosip itu. Gosip bahwa sekolah kami ada?
lah sekolah terkutuk. Entah orang sakti mana yang tegateganya mengutuk sekolah baik hati yang selalu
menerima setiap murid dengan tangan terbuka ini (yah,
ada syaratnya juga sih: semakin bodoh anaknya, semakin
besar uang pangkalnya). Yang jelas, gosipnya, setiap ta?
hun selalu ada saja peristiwa berdarah yang mewarnai
kehidupan di sekolah ini?dan bukan cuma sekali lho,
tapi beberapa kali. Isi-Omen3.indd 97 Padahal aku juga berasal dari SMP Harapan Nusantara.
Anehnya, SMP-nya normal-normal saja tuh. Memang sih
gedungnya berbeda dengan gedung SMA. Bahkan alamat?
nya juga beda. Aku ingat, setiap anak SMP Harapan
Nusantara mengira gosip yang menimpa SMA mereka
keren banget dan tidak sabar untuk segera menjadi
anggota sekolah terkutuk ini. Mana sangka, setelah tiba
di sini, semua gosip itu ternyata betulan dan kami se?
mua adalah calon-calon korban yang dengan tololnya
melenggang ceria ke dalam jebakan.
Tapi biasanya anak-anak itu hanya mengalami satu
kejadian menyeramkan. Beda denganku yang entah ke?
napa selalu jadi pemeran dalam kejadian-kejadian itu?
entah pemeran utama ataupun pemeran pembantu. Aku
punya perasaan tak enak. Seolah-olah di dunia ini ada
kekuatan yang lebih besar yang selalu berusaha mem?
bawaku ke dalam berbagai masalah tak jelas. Padahal
bukannya aku mencari-cari masalah. Yah, aku tidak
bilang aku murid sempurna dan tak berdosa sih, aku
juga banyak salah kok. Tapi biasanya masalah-masa?lah
itu tidak berefek jelek-jelek amat. Paling-paling aku harus
berurusan dengan si guru piket keriting atau se?jumlah
murid kehilangan duit nonton mereka (seingat?ku aku
tidak pernah memalak murid miskin).
Se?karang aku harus terlibat dalam banyak peristiwa
me?ngerikan yang sama sekali bukan keinginanku. Mak?
sud???ku, seperti sekarang, aku kan tidak minta dijadi?kan
anggota kehormatan organisasi gelap yang mungkin saja
hobi sebar-sebar narkoba di sekolah (bukan berarti me?
reka sudah memintaku jadi anggota kehormatan, tapi itu
pasti tak terelakkan lagi). Kenapa aku malah berakhir
Isi-Omen3.indd 98 sebagai saksi mata ritual seram dengan simbol organisasi
digambar dengan darah segar, sementara korbannya ada?
lah salah satu calon anggota organisasi?
"Kenapa ya, setiap kali saya dipanggil tengah malam,
selalu saja harus bertemu kamu."
Aku memelototi orang yang baru nongol itu. Om-om
ber?tampang sok ganteng dengan seragam polisi, yang
me?maksa kami semua memanggilnya dengan panggilan
yang teramat sangat panjang: Ajun Inspektur Lukas. Se?
tiap kali kupanggil dia "Jun" saja, tampangnya langsung
tak sedap dilihat. "Maksud lo?" Si polisi melirikku tajam. Ah, sial. Meski sudah ber?
usaha tidak memanggilnya "Jun", aku lupa dia sudah
om-om dan tidak layak diajak ngomong "gue-elo".
"Maksud Pak Ajun Inspektur apa?"
"Yah, saya tidak bermaksud apa-apa," sahut Ajun Ins?
pektur Lukas santai. "Hanya saja, saya tidak pernah ber?
temu orang yang lebih berjodoh dengan kasus-kasus
misterius sekolah selain kamu."
"Ah, Pak Ajun Inspektur kayak nggak tau aja," celaku.
"Ini seko?lah ada kutukannya, tau?"
"Tentu saja tahu," sahut Ajun Inspektur Lukas dengan
enteng. "Sebelum ini saya kan sudah berkali-kali
dipanggil kemari maupun ke TKP di luar sekolah ini
Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gara-gara ada ke?celaka?an, penculikan, percobaan pem?
bunuhan, dan masih banyak lagi. Dan selama kasusnya
menyangkut sekolah ini, saya selalu berurusan dengan
murid yang itu-itu saja, yaitu kamu. Setiap kali saya
datang ke sini, muka?mu terus yang saya lihat."
Isi-Omen3.indd 99 "Ya kalo gitu jangan liat muka saya, Pak. Liat muka
lain yang lebih jelek aja."
"Maksud saya, Erika," kata si Ajun dengan nada di?
sabar-sabar?kan, "karena kamu begini berjodoh dengan
kasus-ka?sus misterius, mungkin ada baiknya kamu mem?
per?timbang?kan karier di bidang penegak hukum."
HAH??? "Lo yang bener aja, Jun!" teriakku kaget sampai-sampai
lupa dengan segala sopan santun. "Gue kan murid ber?
masalah!" "Tolong ya, bahasa kamu!" Ajun Inspektur Lukas balas
ber?teriak. "Kuping saya panas nih jadinya!"
"Eh, sori, Pak," ucapku. "Tapi... gue eh, saya jadi
penegak hukum? Mana mungkin?" Lalu se?buah pemikir?
an aneh terlintas dalam benakku: aku se?dang memukuli
para napi dengan cemeti dan kursi. Se?perti yang biasa
dilakukan pawang singa, gitu. "Mak?sud?n?ya sipir penjara,
gitu?" "Jangan keenakan," cibir Ajun Inspektur Lukas. "Tentu
saja kamu yang menjebloskan orang-orang itu ke pen?
jara." "Emangnya Pak Ajun Inspektur pernah ketemu polisi
yang dulu?nya anak bermasalah?" tanyaku masih ter?
heran-heran sekaligus takjub dengan ide tersebut.
"Saya sendiri dulunya murid bermasalah." Polisi itu
nyengir, menampakkan seringai jail yang tak pernah
kulihat sebelumnya. Ah, ya, dia memang punya tampang
anak nakal. "Tapi tidak sebandel kamu, tentu saja. Kamu
sih tidak ada tandingannya, Erika. Omen, gitu lho."
Aku cemberut mendengar julukan menyebalkan itu
di?guna?kan olehnya. Tapi di dalam hati, sebenarnya aku
100 Isi-Omen3.indd 100 tidak sebal-sebal amat. Yah, mana mungkin aku sebal
setelah dibilang tidak ada tandingannya? Hohoho. Aku
memang pendekar sakti tiada tanding, coy!
Eh, maksudnya, anak bandel tiada tanding. Ah, beda?
nya cuma sedikit, jadi tidak usah diributkan.
"Tapi kasus kali ini benar-benar bukan main." Ajun
Inspektur Lukas menggeleng-geleng. "Menghancurkan
lutut seorang pemain sepak bola berbakat adalah per?buat?
an yang teramat kejam. Ini bukan hanya menghancurkan
tubuh seseorang, melainkan juga masa depannya. Sudah
pasti anak itu tak bakalan pulih dalam waktu dekat."
Mendadak kusadari aku sedang mengepalkan tangan.
Ada sebuah kemarahan tepercik di dalam hatiku. Ke?
marahan yang, aku tahu, semakin lama akan semakin
ber?kobar kalau tak kuhentikan. Habis, enak saja ada
orang yang berani bertingkah di depanku, tanpa se?
pengetahuanku pula! Hei, tidak peduli ada organisasi
rahasia atau komersial, di sekolah ini akulah yang ber?
kuasa. Aku yang bertanggung jawab atas keselamatan
anak-anak di sini. Yang boleh menyakiti mereka cuma
aku, tahu? Dasar bajingan. Kalau sampai kutemukan siapa yang
berani melanggar batas kekuasaanku ini, akan kupermak
mukanya sampai dia tak berani muncul di depan umum
lagi! "Kamu bisa ceritakan apa yang kamu lihat tadi?"
"Lha, Pak," protesku tak senang. "Saya tadi udah ngasih
pernyataan ke polisi rendahan sewaktu Bapak meng?urus
para anggota organisasi elite itu."
"Maksud kamu apa?" tanya Ajun Inspektur Lukas de?
ngan nada geli. "Apa salahnya dengan polisi rendahan?
101 Isi-Omen3.indd 101 Lagi pula, mereka bukan sekadar polisi rendahan. Me?reka
itu bawahan-bawahan saya yang sangat saya percaya."
"Kalo begitu Pak Ajun tanya mereka aja. Saya kan
udah ngasih pernyataan panjang lebar."
"Ya, tapi saya ingin mendengar dari mulutmu sendiri.
Kamu kan punya daya ingat fotografis, pasti banyak
sekali yang kamu ingat tapi tidak kamu ceritakan."
Yah, soal itu benar juga sih. Aku kan malas cuap-cuap
semua detail-detail tak penting. "Nggak ada yang isti?
mewa. Kami datang bersepuluh, mereka datang ber?
enam." "Mereka?maksudnya para anggota The Judges?"
"Yep," anggukku. "Kami datang duluan. Lalu kami di?
kasih tugas untuk mencari lencana, jadi kami semua
me?nyebar. Saya pergi mengorek-ngorek ke ruang detensi,
dan ternyata di bawah kursi yang biasa menopang
pantat si guru piket kribo, ada lencana culun bersem?
bunyi di situ. Pas saya balik, yaitu lima menit setelah
misi dimulai, nggak ada siapa-siapa selain satu anggota
organisasi yang sepertinya anggota rendahan. Tiga menit
kemudian, Val nongol. Dua menit kemudian, cewek
tinggi itu nongol." "Cewek tinggi yang maksudmu sepantaran denganmu
itu?" "Yang jelas, dia lebih tinggi daripada Helen si cewek
paduan suara, jadi saya sebut cewek tinggi," sahutku
jeng?kel karena disela dan dikoreksi pula. "Semenit
kemudian, OJ nongol dan duduk bareng dia. Lalu tiga
menit kemudian, Rima muncul bersama Daniel. Kata
Rima, saat itu dia masih melihat Hadi jalan bareng
Ricardo ke ruang lab."
102 Isi-Omen3.indd 102 "Oke. Jadi sejauh ini, sudah lima belas menit berlalu
dan Hadi masih baik-baik saja. Berarti kalian semua lolos
dari tuduhan tersangka." Aku menatap Ajun Inspektur
Lukas dengan pandangan mencela, dan si Ajun buruburu membela diri. "Saya kan hanya menegaskan apa
yang perlu ditegas?kan. Lalu, apa lagi yang terjadi?"
"Setelah itu semuanya jadi boring. Setengah jam
setelah kedatangan Rima dan Daniel, baru muncul orang
baru. Si Dedi yang punya alis lebat yang memenuhi
jidatnya itu. Lima menit kemudian, Helen. Tujuh menit
kemudian, baru deh datang si Ricardo yang nyaris di?
diskualifikasi." "Ricardo anak terakhir yang bersama Hadi. Dia patut
dicurigai?" Aku mengangkat bahu. "Saya nggak tau motifnya. Se?
pert?inya mereka cukup akrab dan nggak berkompetisi
pada bidang yang sama."
"Kecuali dalam soal memperebutkan tempat di organi?
sasi rahasia." Aku menatap Ajun Inspektur Lukas dengan penuh rasa
ingin tahu. "Emangnya, menurut Pak Ajun, tempat di
organisasi rahasia ini sebegitu berharganya sampai-sampai
lutut orang harus dihancurin?"
Wajah Ajun Inspektur Lukas mengeras. "Saya tidak
tahu. Tapi, dari wawancara saya dengan anak-anak itu,
saya tahu mereka memang organisasi yang memiliki
pengaruh amat besar di sekolah ini. Sudah banyak orang
yang melakukan kejahatan demi alasan yang lebih
sepele." "Pak Ajun tau identitas anak-anak itu?" tanyaku de?
ngan muka sepolos mungkin untuk menutupi rasa ter?
103 Isi-Omen3.indd 103 tarik?ku yang lumayan besar (atau tepatnya, amat sangat
besar). "Tentu saja. Saya kan sudah menginterogasi anak-anak
bertopeng itu." "Siapa aja sih mereka?"
"Saya tidak akan kasih tahu kamu, Erika."
Aku langsung cemberut. "Hei, saya sudah janji, dan janji seorang penegak hu?
kum harus selalu ditepati."
"Halah, zaman sekarang kan orang-orang suka meng?
umbar janji kosong."
"Yah, tapi saya tidak akan melakukannya," senyum
Ajun Inspektur Lukas. "Kalau saya berjanji sama kamu,
Erika, kamu pasti ingin saya menepatinya sebaik mung?
kin, kan?" Ah, ajun inspektur ini memang pandai membuat orang
mati kutu. Dasar penegak hukum pembasmi kutu.
"Kamu sudah melakukan tugasmu dengan baik malam
ini." Aku cemberut lagi saat Ajun Inspektur Lukas meng?
acak-acak rambutku seakan-akan usiaku baru tiga
tahun. "Sekarang sudah waktunya kamu pulang. Tidak baik
anak kecil kelayapan malam-malam begini. Ada yang
akan mengantarmu pulang?"
Daniel pasti membawa mobil. "Yep. Nggak usah kha?
watir. Lagi pula, tetangga-tetangga saya mungkin histeris
kalau melihat saya diantar pulang oleh polisi. Bisa-bisa
reputasi saya makin hancur."
Ajun Inspektur Lukas membuka mulut, lalu mengatup?
kan??nya lagi seolah-olah dia mengurungkan pertanyaan?
104 Isi-Omen3.indd 104 nya. Aku punya perasaan buruk bahwa dia ingin me?
nanya?kan soal orangtuaku, dan aku merasa lega dia
mem?batalkan niatnya itu.
"Kalau begitu, selamat malam, Erika. Semoga kita ber?
temu lagi dalam situasi yang lebih baik."
*** Seperti yang kuharapkan, Daniel mengantar aku dan Val
pulang. Belakangan ini aku makin jengkel saja dengan sobatku
itu. Daniel, maksudku, bukan Val. Kelihatan jelas dia
tergila-gila pada Val. Padahal, dia bukannya tidak tahu Val
punya hubungan spesial dengan cowok bernama Les. Yah,
me?mang Val dan Les tidak berpacaran?atau setidaknya
belum ada kata-kata semacam itu yang terucap?tapi orang
goblok pun tahu Val dan cowok itu lebih dari sekadar
teman biasa. Kenapa sih Daniel tetap berkeras men?dekati
Val? Memangnya ikan di dunia ini kurang banyak?
Duduk di jok belakang, aku tidak memedulikan per?
cakap?an sok penuh perhatian antara Daniel dan Val
(sebenarnya Daniel yang lebih banyak mengoceh se?
mentara Val hanya menyahut demi sopan santun). Aku
lebih memilih berpura-pura tidur. Posisiku agak tegak,
karena hanya Tuhan yang tahu siapa saja yang pernah
menaruh pantatnya di sini, dan aku tidak sudi menaruh
kepalaku yang berharga di tempat-tempat bekas pantat
orang-orang tak jelas itu.
Akhirnya kami tiba di rumahku yang gelap gulita.
Seperti biasa, orangtuaku sudah tidur. Aku mengucapkan
salam perpisahan yang rada letoy pada kedua sahabatku
105 Isi-Omen3.indd 105 (kan ceritanya aku berpura-pura mengantuk) lalu masuk
ke rumah. Aku membuka kunci pintu depan, masuk, dan
menguncinya kembali. Sama sekali tidak ada niatku
untuk diam-diam menyelinap masuk, tetapi tidak ada
orangtua yang muncul dan menegurku karena sudah
pulang tengah malam. Yep, selamat datang di rumah keluarga Guruh.
Buat kalian yang belum tahu, orangtuaku sangat mem?
benciku. Sejak kecil, aku punya julukan "Omen", yang
diberikan oleh mereka lantaran mereka menganggapku
anak aneh dan jahat yang mirip dengan anak kecil
dalam film horor klasik The Omen. Kasih sayang mereka
ter?tumpah seutuhnya pada adik kembarku, Eliza. Namun
tahun lalu, sesuatu terjadi pada Eliza?sesuatu yang me?
mutarbalikkan semua yang kupercayai. Gara-gara kejadi?
an itulah orangtuaku menganggapku sudah mencelakai
adikku demi keselamatan diriku sendiri.
Rasa tidak senang mereka padaku berkembang menjadi
kebencian, dan sejak saat itu hidupku berubah total.
Dulu aku masih dianggap anak (meski posisinya mirip
anak tiri), kini aku dianggap tak kasatmata. Mereka
masih membayari uang sekolahku, tetapi hanya itu. Aku
harus mengurus kehidupanku sendiri. Aku makan di luar,
mencuci pakaian sendiri, membayar Chuck dengan uang?
ku sendiri. Aku tidak terlalu pandai bekerja di bawah orang lain,
jadi pekerjaan yang bersedia dilakoni Valeria saat ini
tidak tepat untukku. Aku lebih suka bekerja sendiri, dan
satu-satunya pekerjaan yang saat ini bisa kukerjakan
Baca Omen karya Lexie Xu, terbitan Gramedia Pustaka Utama.
106 Isi-Omen3.indd 106 adalah meneruskan pekerjaan sampinganku sebagai
hacker. Aku suka menjebol pertahanan server perusahaan
besar atau lembaga penting, tapi itu bukan pekerjaan?
itu semacam obsesi. Pekerjaanku lebih sepele?membuat
peranti pengubah kode palsu untuk peranti-peranti lunak
berharga mahal (biasanya adalah game-game online keren
yang butuh asupan voucher terus-menerus untuk dimain?
kan). Tentunya, karena orang-orang ini justru meng?
hindari biaya mahal, aku tidak bisa meminta bayaran
yang besar-besar amat. Jadilah aku rada matre, hobi me?
malak serta minta ditraktir.
Aku memasuki kamarku yang gelap dan menyalakan
lampu. Meski tidak takut kegelapan, ada rasa ngeri yang
amat sangat ketika menyadari aku terkurung dalam kamar
yang gelap total. Ini gara-gara trauma masa kecil, ketika
orangtuaku sering mengurungku dalam toilet gelap untuk
menghentikan kenakalanku. Jadi, alih-alih di ruang?an
Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gelap, aku lebih suka tidur dalam kondisi te?rang.
Kulepaskan pakaian seragam konyol yang kukenakan
malam ini. Seragam itu milik Val, jadi setelah melepas?
kan?nya, aku melipatnya baik-baik. Val sudah berbaik hati
meminjamkannya padaku, dan aku tahu sekarang dia
menyetrika pakaiannya sendiri?jadi aku tidak boleh
membuatnya lecek. Lalu kukenakan piama bergambar
sapiku yang dekil, jelek, dan saat ini rada bau.
Meski sudah mengalami sangat banyak malam ini, saat
menatap langit-langit kamar, ingatanku langsung melayang
pada si Ojek. Dia tidak menelepon malam ini. Biasanya dia selalu
meneleponku meski terkadang hanya untuk bentakbentak sejenak. Ya, aku tahu, kedengarannya dia me?
107 Isi-Omen3.indd 107 nyebal?kan banget. Tapi di seluruh dunia ini, hanya ada
dua orang yang benar-benar peduli padaku?dia dan Val.
Val memang baik sekali padaku, tapi dia juga punya
masalah sendiri saat ini. Hanya si Ojek yang benar-benar
mencurahkan perhatiannya padaku.
Dan jujur saja, terkadang aku memang patut diomeli.
Maksudku, semua orang tahu makan mi instan setiap hari
itu tidak baik, tapi aku masih saja sering melaku?kannya.
Habis, uangku kan tidak banyak, masa aku mem?boros?
kannya untuk makan steik? Ya, ya, aku juga tahu, seharus?
nya aku makan di warteg atau apalah. Masalah?nya, saat ini
makan di warteg pun masih terlalu mewah bagiku.
Tapi si Ojek juga rada aneh. Kenapa dia selalu men?
desak?ku? Kenapa dia selalu ingin melakukan hal-hal
aneh yang menurutku tidak pantas banget dilaku?kan
olehnya? Dan meski dalam banyak hal lain dia cukup
toleran, dalam hal ini dia sangat tidak pengertian. Dia
terus mendesakku supaya aku mengizinkannya, pada?hal
sudah jelas-jelas kubilang aku tidak mau. Akibatnya aku
jadi jutek, dan dia jadi tersinggung.
Dan kami tidak saling bicara lagi.
Aku tidak ingin kedengaran cengeng, tapi aku sedih
sekali. Dia satu-satunya orang di dunia ini yang tadinya
kukira menyayangiku dengan sepenuh hati. Kenapa
karena hal itu dia jadi marah besar padaku? Apa hal itu
memang penting bagiku? Apa harga diriku tidak penting baginya?
Sial, kurasa malam ini aku tidak bakalan bisa tidur.
108 Isi-Omen3.indd 108 Valeria Guntur, X-A AKU tercengang saat menemukan undangan berwarna
hitam itu dari dalam laci mejaku.
SELAMAT! Anda lolos ke babak kedua seleksi anggota The Judges,
organisasi rahasia yang menguasai Sekolah Harapan Nusan?
tara! Satu saingan telah gugur, dan masih ada tiga lagi yang
akan dieliminasi. Untuk mengikuti babak kedua, datanglah ke sekolah malam
ini pukul 9 dengan mengenakan seragam sekolah dan topeng.
Jangan beritahu siapa-siapa.
Tertanda, Hakim Tertinggi The Judges
PS: Dilarang membawa ponsel dan alat komunikasi lain?
nya dalam ujian. Perasaan tak enak mengaliri hatiku. Ada sesuatu yang
tidak wajar dalam surat undangan ini. Setelah terjadi se?
suatu yang begini mengerikan, mereka masih saja tetap
109 Isi-Omen3.indd 109 meneruskan acara ini. Seolah-olah apa yang menimpa
Hadi sama sekali tidak penting. Lebih parahnya lagi, ada
kata-kata "Satu saingan telah gugur, dan masih ada tiga
lagi yang akan dieliminasi."
Seolah-olah masih ada tiga yang akan menerima nasib
seperti Hadi. Mendadak kusadari sesuatu. Perasaan dingin dan tidak
berbelas kasih?ya, perasaan itulah yang tecermin dalam
setiap kata dalam undangan itu. Perasaan itulah yang
sangat menggangguku dan membuat perasaanku tak
enak. Perasaan itu juga yang terasa olehku melihat sikap
para anggota The Judges menghadapi kejadian Hadi tadi
malam. Semuanya tenang, dingin, sama sekali tidak ada
rasa panik atau tegang. Jangan-jangan, mereka sudah
memprediksikan hal ini. Atau lebih parah lagi, merekalah pelakunya.
Aku menggeleng-gelengkan kepala. Dugaanku ini
benar-benar tak berdasar. Aku sama sekali tak punya
bukti dan sembarangan berprasangka hanya berdasarkan
kelakuan mereka yang tidak mirip manusia-manusia lain
yang sudah pasti panik dan ngeri melihat kejadian yang
dialami Hadi. "Valerrria!" Aku menghentikan langkah dan berpaling pada sosok
hitam tinggi berambut keriting yang berjalan meng?
hampiriku. Pak Rufus, si guru PKN sekaligus guru piket
yang juga menjabat sebagai wakil kepala sekolah tak
resmi (yep, bisa dibilang dia guru paling sibuk di sekolah
ini). Kami punya banyak guru yang bagus-bagus, tapi
Pak Rufus favoritku. Cara mengajarnya lucu dan me?
nyenangkan, dengan sedikit sentuhan kedisiplinan yang
110 Isi-Omen3.indd 110 terkadang dilupakannya sendiri karena beliau memang
guru yang rada pemaaf. Namun saat ini aku sedang tidak berminat meng?
hadapi?nya. Pasalnya, di antara buku-buku yang kudekap,
terdapat lembaran hitam yang bakalan menarik perhatian
guru kepo ini. Kalau aku sampai tertangkap basah, sudah
pasti guru ini bakalan menginterogasiku habis-habisan?
dan jujur saja, aku tidak suka membohongi guru polos
ini. Aku menyunggingkan senyumku yang paling manis
dan kalem, lalu bertanya, "Ada apa, Pak?"
Pak Rufus mengamatiku dengan matanya yang setajam
elang. "Kalian dengar sesuatu tentang anak kelas X-C
yang bernama Hadi?" "Nggak," sahutku dengan muka sebodoh mungkin.
"Siapa dia, Pak?"
"Masa kamu tidak kenal? Dia itu pemain sepak bola
terhebat di angkatanmu, Val!" Wajah Pak Rufus tampak
frustrasi. "Katanya dia terkena kecelakaan lalu lintas.
Kamu tidak dengar kabar soal itu?"
Kecelakaan lalu lintas. Itukah alasan yang dibuat untuk
menutupi kejadian tadi malam? Aku mengamati wajah
Pak Rufus. Apa dia memang tidak tahu soal itu, ataukah
dia termasuk salah satu orang yang dibungkamkan? "Be?
lum, Pak. Memangnya kejadiannya kapan?"
"Tadi malam. Kasihan sekali, lututnya hancur total.
Katanya dia tidak akan bisa main sepak bola lagi untuk
selamanya. Benar-benar kecelakaan yang nahas."
Kejam, mungkin itu kata yang lebih tepat. Mendengar
ucapan Pak Rufus membuatku bergidik. Setelah kejadian
ini, sudah pasti masa depan Hadi sebagai atlet hancur
111 Isi-Omen3.indd 111 be?rantakan. Tadinya dia remaja yang di?penuhi impianimpian besar. Kini semua itu musnah, entah karena ke?
salahannya atau bukan. Aku yakin, perasa?an Hadi tidak
kalah hancurnya dibandingkan dengan lututnya.
Siapa pun yang sudah mencelakai Hadi pastilah orang
yang teramat sangat sadis.
"Kabarnya banyak teman yang mau menengoknya,
tapi orangtuanya melarang. Sayang sekali."
Aku memandangi Pak Rufus lagi, heran karena dia
mengucapkan kata-kata itu. Seolah-olah dia sengaja
melarangku?atau siapa saja?untuk menjenguk Hadi.
Jangan-jangan... Pak Rufus dan guru-guru lain memang
tahu kejadian yang sebenarnya?
Lalu kenapa semua sepakat untuk membungkamkan
kejadian ini? "Tapi, Vallerria, kalau kamu sempat, coba kamu selidiki
masalah ini. Kamu masih suka main detektif-detektifan,
kan?" Ya, beberapa waktu lalu, aku mencoba mendirikan biro
detektif sekolah yang kuberi nama Duo Detektif G&G.
Tentu saja, G&G yang dimaksud adalah Guruh dan
Guntur, nama belakang Erika dan aku. Ya, aku tahu,
namanya cupu banget, tapi aku tidak pandai dalam hal
beginian. Kami sempat menyelesaikan sebuah kasus
besar, tetapi setelah itu kami kembali sibuk dengan
kegiatan sekolah kami, dan biro itu pun terlupakan. Aku
tidak menyangka Pak Rufus masih mengingatnya.
"Ya," sahutku. "Kalau ada waktu, saya akan menye?
lidiki?nya, Pak." "Bagus," angguk Pak Rufus. "Kalau ada informasi, to?
long beritahu saya."
112 Isi-Omen3.indd 112 Kupandangi kepergian Pak Rufus sementara otakku
berputar keras. Bukannya aku tak mau mengatakan apaapa pada Pak Rufus. Kenyataannya, kasus ini benar-benar
pelik. Belum ada jejak yang berarti, begitulah yang dikata?
kan Pak Ajun Inspektur Lukas padaku. Aku tidak tahu
itu kebenarannya ataukah Pak Ajun Inspektur Lukas ha?
nya tak ingin mengungkapkan detail-detail penyelidikan?
nya. Namun aku tahu, tersangkanya tidak banyak. Tidak
ada yang tahu keberadaan kami di sekolah malam itu.
Bahkan penjaga sekolah, Pak Jono, sudah diungsikan
secara diam-diam dengan sogokan berupa hadiah liburan
lima hari di Pangandaran?hadiah yang diterimanya de?
ngan senang hati dan tanpa banyak tanya. Para guru
pun tidak tahu-menahu soal ujian seleksi yang kami
ikuti, meski mereka tahu soal undangan yang kami dapat?
kan (seperti yang diisyaratkan oleh Pak Rufus dan Bu
Mirna). Aku yakin, pelakunya adalah salah satu di antara orangorang yang hadir semalam. Dan untuk menemukan jejak
lebih banyak lagi, malam ini aku harus datang.
"Lo juga dapet undangan lagi, kan?" erang Erika saat
aku duduk di sampingnya di meja kami di kantin. "Psi?
kopat bener sih! Apa satu kejadian aja nggak cukup buat
mereka?" "Yah," timpal Daniel, yang entah sejak kapan jadi se?
ring bergabung dengan kami. "Siapa tau, malam ini se?
mua?nya bakalan baik-baik aja. Siapa tau, Hadi emang
udah bikin seseorang marah, dan orang itu balas dendam
dengan menggunakan kesempatan tadi malam."
"Berani taruhan, bukan itu yang terjadi," kata Erika
muram. "Bukannya gue ngata-ngatain orang yang lagi
113 Isi-Omen3.indd 113 nahas, tapi lo liat tampang Hadi, kan? Mukanya cupu
abis gitu, kayak orang yang nggak sanggup jahatin orang
lain. Paling-paling kejahatan yang dia lakukan adalah
nyodok orang di tengah pertandingan, dan berani taruh?
an juga, pasti dia bilang sori setelah ngelakuin hal itu.
Nggak, menurut gue pelakunya ngincar sesuatu yang
lain, dan itu berarti nanti malam akan ada kejadian
lagi." "Tempat kosong untuk menjadi anggota organisasi?"
ucapku sang?si. "Tapi rasanya itu alasan yang terlalu
dangkal. Habis, kejadian yang menimpa Hadi itu
melibatkan kebencian yang mendalam. Maksud gue,
karier dan masa depannya dirusak begitu lho..."
Ucapanku terhenti oleh gelak tawa dari meja di se?
belah kami. Tanpa perlu menoleh, aku sudah tahu meja
itu milik siapa?Dicky Dermawan, si penguasa sekolah.
Seperti biasa, mejanya dipenuhi para pengikut Dicky
yang berusaha mengambil perhatian sang pangeran tajir.
Rupanya dia sedang membuat lelucon dan semua
berusaha menyajikan tawa paling keras.
"Siapa tuh?" tanya Erika dengan nada jijik yang tidak
ditutup-tutupi. "Lo nggak kenal?" tanya Daniel heran. "Itu Dicky, temen
geng poker gue. Orangnya tajir abis, tapi bodohnya juga
nggak kira-kira. Kalo gue sih lumayan suka sama dia."
"Karena dia sering lo porotin waktu main poker?" ta?
nya?ku geli. "Tentu dong," sahut Daniel sambil cengar-cengir. "Gue
paling seneng korban-korban yang menyerahkan diri
begitu. Meski harus gue akui, gue rada waswas sama
ceweknya." Dia mengedikkan dagunya pada Putri yang
114 Isi-Omen3.indd 114 duduk di sebelah Dicky. "Cewek sombong dan galak,
dengan mata tajam seperti elang. Berani taruhan, kalo
dia ikut malam poker gue, gue pasti kalah sampe luluh
lantak." Ya, salah satu kebanggaan Daniel adalah acara malam
pokernya yang terkenal. Acara superelite itu hanya bisa
diikuti oleh cowok-cowok tajir di sekolah kami. Daniel
selalu sesumbar bahwa dia tak terkalahkan dalam per?
mainan poker, sesumbar yang menantang setiap cowok
di sekolah kami untuk mengalahkannya. Aneh?nya, dia
memang benar-benar tak terkalahkan. Sejauh ini kerjanya
adalah memoroti cowok-cowok berkantong tebal yang
bodoh dan malang. Lucunya, cowok-cowok itu selalu
kem?bali dengan tekad untuk membalas kekalahan me?
reka?dan mereka tetap kalah.
"Halah, cewek mana pun, kalo ikut malam poker lo,
lo pasti kalah," cibir Erika. "Lo kan emang gampang di?
gertak sama cewek. Makanya lo nggak pernah mau
ngajak cewek main poker, kan?"
"Siapa bilang?" tanya Daniel defensif. "Gue kan nggak
ngajak cewek main poker karena kami biasa main pas
malam-malam gitu. Nggak sopan kan, ngajak cewek ke
Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rumah sampe tengah malam?"
"Eh, lo kalo ngomong tuh hati-hati!" tegur Erika tibatiba. "Lihat, gara-gara lo mengisyaratkan lo nggak ber?
minat ngajak-ngajak kami main poker, Val sampe nangis
tuh!" Sial, kenapa dia mendadak bikin adegan gaje begitu?
Mana Daniel langsung menoleh padaku. Untung aku
pandai berakting. Dalam waktu dua detik aku berhasil
mengeluarkan air mata dan mengusapnya dengan gaya
115 Isi-Omen3.indd 115 cewek cantik di film-film, yaitu dengan menggunakan
ujung jari telunjuk. Daniel langsung pucat.
"Aduh, sori, Val, bukan maksud gue bilang begitu.
Kalo lo mau gue ajak ke malam poker gue, gue pasti
ngajak lo kok. Sumpah!"
Berhubung tawa Erika sudah menyembur (bersama se?
jumlah ludah yang tampak jelas), aku pun melupakan
akting?ku dan ikut terbahak-bahak. Daniel, bahan tertawa?
an kami, hanya melongo tak mengerti.
"Inilah sebabnya gue bilang lo gampang digertak
cewek, bro," kata Erika seraya menepuk-nepuk punggung
Daniel. "Disuguhi sedikit air mata aja lo langsung kalang
kabut. Nggak mungkin deeeh, lo bisa menang ngelawan
cewek!" Menyadari dia sudah dikerjai oleh kami berdua, Daniel
pun memberengut. "Ya deh, kalian menang. Dasar
licik." "Bagus kalo lo sadar. Nah, sekarang back to topic," kata
Erika, wajahnya berubah serius. "Val, lo tadi bilang soal
kebencian. Maksud lo, kebencian pada Hadi, atau pada
organisasi?" Aku mengangkat bahu. "Kebencian pada organisasi,
tapi apesnya, Hadi yang kena."
"Cih, harus gue akui, organisasi itu emang rada
ngeselin. Lo bayangin, kejadian ini kan bukan mainmain. Pemain sepak bola andalan sekolah kita nyaris
tewas, men. Tapi kenyataannya, hari ini semua kegiatan
belajar-mengajar berjalan seperti biasa. Nggak ada gosip
beredar, nggak ada ketakutan menjalar di sekolah. Se?
olah-olah peristiwa yang menimpa Hadi emang nggak
penting." 116 Isi-Omen3.indd 116 Ya, kata-kata Erika memang benar. Meski sudah terjadi
sesuatu yang begitu besar dan mengerikan, tak ada yang
menggunjingkan kasus ini. TKP disidik dengan sangat
cepat kemarin malam, sehingga hari ini auditorium
sudah terbuka lagi seperti biasa. Tidak ada orang yang
menyadari bahwa semalam telah terjadi kecelakaan yang
mengerikan di tempat itu.
Sekali lagi, ada sesuatu yang dingin dan tidak berbelas
kasih dalam peristiwa ini.
"Tadi Pak Rufus sempat bilang ke gue," ucapku per?
lahan, "Hadi terkena kecelakaan lalu lintas. Teman-teman?
nya berniat menjenguk, tapi katanya orangtua Hadi lebih
suka anak mereka nggak diganggu. Sepertinya, itu alasan
yang digunakan supaya nggak ada yang nyari tau soal
kejadian ini." "Ngapain lo tiba-tiba ngobrol sama Rufus?" tanya Erika
heran. "Dia tau kita ada di sana semalam?"
"Nggak," gelengku. "Dia hanya kepingin kita nyelidiki
hal ini, Ka. Tapi gue yakin, Pak Rufus dan guru-guru
lainnya tau soal kejadian semalam."
"Udah pasti, dan udah pasti juga mereka bantu nutupnutupin kasus ini!" kata Erika tajam. "Anak-anak The
Judges itu boleh juga. Mereka memetieskan kejadian ini
dengan sangat profesional. Kalo kita mau nyelidiki kasus
ini, jelas kita harus lakukan dengan diam-diam dan
nggak mencolok. Kalo nggak, bisa-bisa kita dihentikan
dengan cara yang sangat nggak menyenangkan."
"Gue bisa bantu nyari info rahasia sih," kata Daniel
yang memang punya banyak koneksi di mana-mana.
"Tapi..." "Tapi?" Erika menyipitkan mata, dan aku mulai was?
117 Isi-Omen3.indd 117 was. Jangan-jangan Daniel minta imbalan atau sejenis?
nya. "Tapi dua sumber info gue lagi ngambek sama gue."
Daniel meringis. Rupanya dia menyadari juga bahwa be?
lakangan ini dia sering memperlakukan kedua konconya,
Welly dan Amir, dengan buruk. "Kayaknya gue harus
baik-baikin mereka dulu. Jadi, gue cabut dulu, ya!"
Sebelum dia melesat pergi, dia kembali duduk lagi. "Oh
iya, nanti kita pulang bareng, kan?"
"Nggak!" seru aku dan Erika berbarengan tanpa benarbenar peduli kepada siapa Daniel melontarkan pertanya?
an itu. "Yah, nggak ada salahnya nyoba," seringai Daniel.
"Tapi sedih juga ya ditolak dua cewek berbarengan terusmenerus. Kayaknya daya tarik gue mulai memudar..."
"Lo mau ngebacot atau ngumpulin info?" sela Erika
tak sabar. "Iya, iya. Dasar si bos, gampang emosi."
Kupandangi kepergian Daniel dengan perasaan yang be?
lakang?an kukenali sebagai rasa lega. Aneh, Daniel bukan??lah
cowok yang menyebalkan. Dia baik, penuh per?hati?an, dan
menyenangkan. Aku amat sangat me?nyukai?nya. Namun
entah kenapa, keberadaannya mem?buatku merasa... sesak.
Dan bukannya aku tidak memperhatikan bagaimana
Rima memandangi Daniel. Yah, bukannya itu sesuatu
yang jelas bagi orang-orang lain. Aku cukup yakin Daniel
sendiri tidak tahu. Tapi aku adalah tukang observasi
yang baik. Aku tahu Rima menyukai Daniel. Aku hanya
tidak tahu seberapa dia menyukainya?apakah hanya
sekadar suka, ataukah diam-diam ingin membunuhku
karena Daniel terus-terusan SKSD denganku.
118 Isi-Omen3.indd 118 "Muka lo kayak orang susah aje."
Oh, God. Padahal selama ini kukira aku sangat pandai
menjaga perasaan supaya tak ada yang tahu isi hatiku
yang sebenarnya. "Keliatan, ya?"
"Nggak juga." Erika mengangkat bahu. "Tapi gue mulai
hafal gelagat lo kalo lagi nggak enak hati. Soal Daniel,
ya?" Rupanya bukan cuma aku tukang observasi yang baik
di sekitar sini. "Yah, begitulah."
"Lo suka sama dia?"
"Ya nggak lah!" bantahku cepat. Melihat cengiran jail
Erika, aku buru-buru memperbaiki ucapanku. "Maksud?nya,
gue suka dia, tapi nggak lebih dari sekadar temen."
"Oh, gitu." Erika manggut-manggut. "Kalo gitu, se?
harus?nya lo tegaskan dong."
Aku menghela napas. "Udah sering kok. Tapi, dia
bilang dia cuma kepingin berteman."
"Berteman kok kayak lintah gitu?" cela Erika. "Lo kena
tipu, Val. Lo tau sendiri playboy-playboy gitu hobinya
nipu. Lo masih aja percaya kata-katanya. Dia bilang mau
ber?teman, padahal diam-diam dia melancarkan jurusjurus untuk memikat lo. Lalu, di saat lo lengah...
bammm! Tau-tau lo udah ada dalam genggamannya!"
"Nggak mungkin." Meski berkata begitu, entah kenapa
aku jadi ngeri juga. Harus kuakui, aku sangat menyukai
Daniel. Apakah mungkin aku sudah menyukainya lebih
dari yang seharusnya? "Lo tau sendiri yang bener-bener
gue suka adalah si Les."
"Omong-omong soal si Obeng, gimana kabar kalian?"
Oke, ini pertanyaan yang tak terduga. Soalnya, biasa?nya
Erika tidak pernah ikut campur soal hubungan kami.
119 Isi-Omen3.indd 119 "Baik," sahutku ragu. "Nanti pulang dia akan jemput
gue." "Jadi, lo biarin gue dan Chuck berduaan aja?"
"Kayaknya sih begitu," ucapku geli, sementara Erika
menyeringai. "Gue percaya kok sama Chuck. Lagian,
andai dia berlaku kurang pantas sama elo, gue percaya
lo bisa patahin semua jarinya."
"Plus gue gundulin, tentu aja," tambah Erika dengan
muka keji. "Yah, kalau dipikir-pikir lagi, sebenernya si
Chuck yang berada dalam bahaya kalo disuruh berduaan
sama gue." "Bagus kalo lo tau," sahutku sambil menahan tawa.
"Kira-kira lo bisa nahan diri untuk nggak gangguin
Chuck hari ini?" "Gue bisa coba, tapi gue nggak yakin. Lo tau sendiri
betapa enaknya gangguin anak itu."
Aku ingin terus meledeknya, tapi Erika sudah berpaling
ke arah lain. Tunggu dulu, apa aku salah lihat, atau so?
bat?ku yang biasanya cuek itu kini sedang sedih sekali?
*** Oke, sekarang aku merasa malu.
Apa gunanya aku menganggap diriku punya daya
observasi yang tinggi kalau bahkan aku tidak menyadari
sahabatku tengah kesusahan? Erika bukan cewek yang
gampang curhat, jadi untuk mengetahui isi hatinya, kita
harus jauh lebih sensitif dan perhatian ketimbang ter?
hadap orang-orang lain. Dan setelah kupikir-pikir, sudah
dua puluh empat jam dia tidak berkoar-koar tentang
Ojek ini dan Ojek itu. 120 Isi-Omen3.indd 120 Apa ada masalah antara dia dan Viktor Yamada?
Oke, mungkin kalian merasa bingung. "Ojek" adalah
julukan Erika?kira-kira sejenis panggilan sayang, sebenar?
nya?pada pacarnya, Viktor Yamada alias Vik. Terus
terang saja, aku tidak begitu menyukai Vik. Bukan karena
dia cowok yang kurang pantas untuk Erika. Sebaliknya,
mungkin di dunia ini, hanya dia satu-satunya cowok
yang mengerti sifat Erika. Sayangnya, cowok sialan itu
juga teman keluarga sekaligus anak kesayangan ayahku.
Sementara selama ini ayahku selalu meremehkanku, ter?
masuk me?remeh?kan pilihanku untuk menyukai Leslie
Gunawan, sahabat Vik yang putus sekolah dan kini
punya profesi sebagai montir bengkel. Aku cukup yakin
ayahku yang sepertinya tahu segalanya itu juga me?
nyadari hubungan antara Vik dan Les serta tidak peduli
dengan hal itu. Soal?nya, bukan karakter yang dipedulikan
ayahku?ka?rena kalau ya, Les bakalan lulus dengan
mudah?melain?kan materi dan asal-usul keluarga.
Yang sayangnya tak dimiliki Les.
Itulah sebabnya aku kabur dari rumah. Eh, ralat. Aku
tidak kabur dari rumah, karena ayahku tahu betul aku
keluar dari rumah untuk pindah. Aku tidak tahu dia
peduli soal itu atau tidak, yang jelas beliau tidak pernah
meng?gangguku lagi. Ada rasa kehilangan dan hampa saat
menyadari aku tidak dipedulikan orangtuaku sendiri,
tetapi aku tidak akan membiarkan diriku menginginkan
sesuatu yang tak akan pernah bisa kudapatkan. Ayahku
pria dingin, materialistis, dan workaholic?itu hal yang
sudah pasti. Menginginkan perhatiannya sama saja de?
ngan pungguk merindukan bulan.
"Ngelamunin apa?"
121 Isi-Omen3.indd 121 Aku mendongak dan mataku bertabrakan dengan sinar
mata Les yang lembut. Dalam sekejap, segala kesusahan
dalam hatiku langsung lenyap, berganti dengan rasa
girang dan bahagia yang membuat seluruh dunia terasa
indah. Oke, bukannya aku lebay, tapi Les benar-benar cowok
terbaik di dunia. Yah, kuakui, tampangnya juga keren
banget. Tubuhnya tinggi, berbalut pakaian serbahitam
lengkap dengan jaket dan sarung tangan kulit, dan aku
tahu di balik pakaian itu terdapat otot-otot yang bikin
cewek-cewek histeris dan cowok-cowok iri. Rambutnya
yang merah dipotong shaggy, jatuh menutupi sebagian
wajahnya. Matanya yang sipit sering mengerling jail,
namun sanggup pula mencorong dingin penuh bahaya.
Hidungnya besar dan mancung, dengan bibir merah
yang terkadang membuatku iri. Cowok ini "cantik"
banget, lebih cantik daripada wajahku barang?kali, tapi
juga maskulin, kuat, dan berbahaya. Perpaduan yang
bikin semua cewek tidak sanggup berpaling dari?nya?
termasuk juga saat ini. Sial, semua cewek di sekitar?ku
sedang memandanginya! Tapi bukan itu yang membuatku naksir berat pada Les,
melainkan gara-gara efek yang ditimbulkannya padaku.
Setiap kali dia menatapku, matanya selalu berbinar-binar
sementara senyumnya mengembang lebar, dan aku lang?
sung merasa seperti cewek tercantik di dunia. Padahal
aku juga sadar diri, aku bahkan bukan cewek tercantik
di rumah kontrakanku yang hanya berisi aku dan Rima.
Jadi perasaan itu sebenarnya konyol banget. Tapi aku
bahagia, bahagia dianggap sebagai cewek tercantik di
dunia, oleh cowok paling hebat yang pernah kukenal.
122 Isi-Omen3.indd 122 Dan perasaan itu tiada duanya.
Aku tersenyum cerah pada Les dan menyahuti
pertanya?annya tadi, "Ngelamunin cowok lain."
Les langsung mencengkeram dadanya dan berkata,
"Ouch. Baru datang, udah dibikin patah hati."
Entah kenapa, aku gampang sekali tertawa di depan
cowok ini, padahal aku bukan orang yang senang ter?
tawa. "Sebenarnya, aku mikirin sobatmu yang rese,
Viktor Yamada." "Oh, kalau dia nggak apa-apa, karena aku tau kamu
nggak suka sama dia."
Sekali lagi aku tertawa. "Emangnya kenapa kamu mikirin sobatku yang rese?"
"Mmm." Aku melirik ke pintu gerbang, dan melihat
Erika sedang main tonjok-tonjokan dengan Daniel. Ups.
Dua orang yang seharusnya tak kutemui saat ini.
Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mending?an kita ngobrol di tempat lain deh."
Tapi Les bukan cowok bodoh. Dia juga mengerling ke
arah pintu gerbang dan tersenyum lebar. "Ah, sainganku
nongol juga tuh." Aku bisa melihat wajah Daniel berubah saat melihat
kedatangan Les. Oh, God, jangan sampai terjadi adegan
drama murahan di sini. "Les, kita jalan sekarang aja,
yuk." "Bentar, Val. Bentar. Hei, Niel...!"
Spontan aku langsung membekap mulut Les. Matanya
yang terbelalak menandakan dia takjub banget melihat
ulahku yang memang rada-rada memalukan. Selama ini,
aku belum pernah menyentuh seorang cowok secara ber?
lebihan. Pernah sih dua kali. Pertama, waktu aku men?
darat di balik tembok rumahku diam-diam dan aku
123 Isi-Omen3.indd 123 spontan menutup mulut Les agar tidak ketahuan satpam
rumahku?rada persis seperti kali ini, tapi karena waktu
itu tanganku kotor karena habis menyentuh tanah dan
dalam suasana tegang pula, adegan itu tak ada romantisromantisnya, malah sedikit lucu karena mulut cowok
ganteng itu jadi berlepotan tanah. Yang kedua, waktu
aku dan Les harus berakting pacaran untuk menyusup ke
sarang musuh. Tapi saat itu pun Les yang memelukku
dan bukan sebaliknya. Jadi kini, saat merasakan tanganku
menyentuh wajah?dan oh, God, bibir?Les, rasanya
wajah?ku langsung merona panas. Dan kurasa tampangku
sekarang memalukan banget, karena sinar mata Les yang
tadinya takjub kini terlihat geli.
"Kita pergi aja ya, sekarang," pintaku.
Berhubung mulutnya masih dibekap olehku, Les hanya
bisa mengangguk saja sambil mengacungkan ibu jarinya.
"Bagus." Aku melepaskan tanganku dari mulutnya dan
dengan kecepatan yang mengagumkan aku mengenakan
helm yang Les sodorkan padaku?ya, aku tahu, tidak ada
gunanya membanggakan kecepatan mengenakan helm,
tapi baru beberapa lama ini lho aku belajar mengenakan
helm?dan aku langsung meloncat ke sadel belakang
motor Les. "Ayo, kita jalan!"
Tanpa banyak bicara, Les segera memacu motornya
meninggalkan sekolah, bahkan sebelum Erika yang sudah
melihat kami menyapa?atau lebih tepatnya, meneriaki?
kami. Maaf ya, Ka. Gue yakin lo pasti ngerti alasan gue nggak
mau mempertemukan Les dan Daniel.
Baca Tujuh Lukisan Horor karya Lexie Xu, terbitan Gramedia Pustaka Utama
124 Isi-Omen3.indd 124 "Kita mau ke mana?"
"Ke suatu tempat di mana kita bisa ngobrol dengan
enak." "Oke." Salah satu hal yang paling kusukai dari Les adalah, dia
selalu tahu tempat-tempat lucu untuk didatangi. Lucu
dalam arti unik dan tidak terduga. Seperti saat ini, dia
mem?bawaku ke minimarket untuk membeli sejumlah
bekal minuman dingin dan makanan kecil (aku selalu
terharu kalau Les mentraktirku, soalnya aku tahu itu
hasil kerja keras yang tidak sedikit), lalu kami meluncur
ke luar kota. Dan berhenti di pinggiran jalan tol.
Motor dihentikan di tepi jalan kecil berbatu-batu, lalu
Les mengulurkan tangan untuk membantuku ber?jalan.
Serius deh, dalam tahap ini dia seharusnya tahu aku
bukan cewek yang perlu dilindungi atau dimanjakan.
Namun tindakan kecil itu membuatku merasa dihargai,
dan pegangan tangan yang lembut membuat jantung?ku
meloncat-loncat dengan tidak tahu malunya (kurasa
jantung memang tidak punya rasa malu, malah bereaksi
dengan amat sangat jujur).
Kami berhenti di bawah pohon besar yang rindang.
Les membuka jaket kulitnya, dan napasku tertahan me?
lihat dia hanya mengenakan kaus lengan buntung, me?
mamerkan ototnya yang menonjol. Oh, God, cowok ini
benar-benar maskulin! Untung saja dia tidak mem?perhati?
kan reaksiku, melainkan sibuk menebarkan jaket di atas
rerumputan. Lalu dia duduk di samping hamparan jaket
itu dan menepuknya. "Ayo, Val, duduk sini."
125 Isi-Omen3.indd 125 Sambil menahan rasa senang, aku segera duduk di atas
jaket kulit itu, yang melindungi rok seragam dan kakiku
dari tanah yang kotor, menikmati angin yang bertiup
sepoi-sepoi. Di depan kami, mobil-mobil melesat di jalan
tol dengan kecepatan tinggi, susul-menyusul, de?ngan
pinggiran rerumputan berwarna hijau, dinaungi langit
biru yang terbentang luas. Sungguh, inilah yang orangorang bilang: "Sederhana itu indah."
"Jadi, kenapa kamu mikirin cowok lain?"
Tawaku nyaris menyembur. "Kamu masih mikirin soal
itu?" "Iya, dong." Les melirikku sambil menahan senyum.
Gawat, ganteng banget sih cowok ini! "Cowok mana
yang senang kalo ceweknya mikirin cowok lain?"
Ceweknya. Aku disebut ceweknya. Kyaaa!
"Ah, mmm, aku hanya bertanya-tanya apakah ada
masa?lah antara Vik dan Erika."
"Masa?" Les mengangkat alis. "Kukira mereka baru aja
akan menginjak level baru dalam hubungan me?reka...."
Aku menatap Les tak mengerti, dan cowok itu lang?
sung ber?deham. "Nggak, lupain aja. Itu cuma dugaanku kok. Jadi me?
nurutmu mereka sedang berantem?"
"Ya. Level baru apa? Vik cerita sama kamu?"
"Ups." Les tertawa canggung. "Ehm, iya, tapi mending?an
kamu tanya Erika sendiri aja. Temanmu itu kan rada-rada
menyeramkan. Kalo aku membocorkan masalah pri?
badinya, bisa-bisa besok aku udah kembali ada di ICU."
Aku cemberut, tapi kata-kata Les memang benar. Lebih
baik aku bertanya pada Erika sendiri daripada mengorekngoreknya dari Les.
126 Isi-Omen3.indd 126 "Oke," sahutku akhirnya. "Omong-omong, tadi malam
ada kejadian yang nggak enak."
Aku menceritakan soal The Judges pada Les, yang
tentu saja berakhir pada kecelakaan yang menimpa Hadi.
Les menyimak dengan saksama tanpa menyela sedikit
pun. Meski begitu, wajahnya yang tadinya tampak
lembut semakin mengeras, matanya yang berbinar-binar
berubah mencorong. Setelah aku menyelesaikan ceritaku,
dia ber?komentar, "Sepertinya malam ini akan jadi malam
yang berbahaya." Aku mengangguk. "Begitulah."
"Tapi sepertinya, aku nggak akan bisa melarangmu per?
gi." "Ya." "Kalo udah ketemu penjahat, kamu emang nggak akan
mau dihentikan," kata Les seraya tersenyum dan me?
nyelip?kan rambutku ke balik telingaku. "Sejujurnya, itu
salah satu yang aku sukai dari kamu, Val. Kamu pem?
berani dan nggak pernah segan membela orang-orang
yang berada dalam bahaya, nggak peduli itu teman atau?
pun orang asing." Aku tidak tahu harus menyahut apa. Aku ge-er banget
dibilang begitu. Sebenarnya aku kan tidak sehebat itu.
Aku hanya merasa, kalau tidak dibekuk, penjahatnya
akan merasa menang dan meneruskan kejahatannya.
Dan siapa tahu orang itu kemudian mengincar orangorang yang kusayangi. Prinsipku, pertahanan terbaik ada?
lah menyerang. "Kalo begitu, aku ikut, ya."
Eh? Aku menatapnya kaget. Habis, alih-alih pertanya?
an, ucapan itu lebih mirip pernyataan.
127 Isi-Omen3.indd 127 "Kamu boleh menentang bahaya, Val, dan aku nggak
akan melarangmu soal itu," kata Les, lagi-lagi dengan
lembut, tapi dengan nada yang tidak mau dibantah,
"tapi aku nggak akan membiarkanmu menghadapi semua
bahaya itu sendirian. Dan maaf, kamu nggak akan bisa
melarangku untuk yang satu ini juga."
Aku memandangi cowok itu, antara jengkel dan geli.
"Kamu keras kepala banget sih."
Cowok itu menyeringai. "Sama kok denganmu."
"Oke," sahutku akhirnya berpikir sejenak. "Tapi sebisa?
nya, jangan sampai ketauan yang lain, ya!"
"Jangan khawatir. Aku akan bergerak tanpa terlihat se?
perti ninja. Dan satu lagi, Val."
"Hmm?" "Aku ajak Vik, ya."
Aku memelototinya. Habis, kali ini dia sudah keterlalu?
an. "Hei, aku kan nggak mungkin menjaga rahasia ini dari
sahabatku sendiri," ucap Les membela diri. "Dan kamu
kira dia mau diam-diam aja sementara Erika terancam
bahaya?" "Ya, aku tau," balasku. "Tapi aku juga nggak mungkin
nggak bilang soal ini pada Erika."
"Kamu nggak perlu merahasiakan ini dari Erika. Tapi,
lebih baik jangan cerita soal ini kalo dia nggak nanya."
"Mana mungkin Erika mendadak nanya, malam ini si
Ojek kesayangannya dateng atau nggak?" semburku bete.
"Nggak, aku akan ngasih tau Erika..."
Ucapanku terhenti karena Les tiba-tiba saja menunduk?
kan wajahnya mendekati wajahku dan mencium pipiku!
128 Isi-Omen3.indd 128 Oh, God. Ini pertama kalinya aku dicium cowok. Rasa?
nya..., oh, God. Rasanya aku mau pingsan!
"Maaf," ucap Les dengan wajah tak menyesal saat akhir?
nya menjauhkan wajahnya dariku. "Tapi kamu cantik
banget kalo lagi sewot gitu. Aku jadi nggak tahan."
"Tapi...," ucapku terbata-bata, "kita kan belum pacaran.
Ngapain kamu cium-cium aku segala?"
"Kita belum pacaran?" Alis Les terangkat. "Jadi selama
ini kita apa, ya?" Aduh, hatiku jadi berbunga-bunga. "Tapi dulu kamu
pernah bilang, kita akan pacaran setelah ayahku bilang
oke." "Yah, idealnya sih begitu, tapi masalahnya aku nggak
bisa jauh-jauh darimu, dan aku terlalu menghargaimu
untuk ber-HTS-ria." Mendadak dia mengerutkan alis.
"Emangnya kamu nggak merasa jadi cewekku selama
ini?" "Nggak," sahutku, nanar dengan semua kebahagiaan
yang terlalu tiba-tiba ini. "Kukira kita cuma berteman
baik." "Aku nggak akan bela-belain bolos kerja dua hari se?
minggu hanya demi ketemu teman, Val, nggak peduli itu
teman baik atau teman biasa-biasa aja. Bahkan aku
nggak pernah bolos demi Vik. Amit-amit."
Aku tertawa. "Yah, siapa tau, kan?"
"Nggak, aku cuma bela-belain begini buat kamu se?
orang kok," sahut Les seraya tersenyum dan menatapku
dalam-dalam. "Jadi, kamu mau kan pacaran denganku,
meski ayahmu nggak suka sama aku?"
"Ya." Aku mengangguk sambil membalas senyumnya.
"Suatu saat beliau pasti akan mengerti."
129 Isi-Omen3.indd 129 Ya, itulah keyakinanku. Ayahku mungkin tak peduli
dengan kebahagiaanku. Tapi satu hal yang pasti, suatu
saat beliau akan menyadari bahwa Leslie Gunawan tidak
kalah dengan Viktor Yamada si anak kesayangan. Dan
pada saat itu, aku yakin beliau akan menyetujui hubung?
an kami berdua. Kami hanya perlu bertahan hingga saat itu tiba.
*** Les mengantarkanku hingga ke depan rumah kontrakan
yang kutempati bersama Rima. Seperti kali-kali sebelum?
nya, dia memandanginya dengan tampang penasaran.
"Kali ini aku juga nggak boleh mampir?"
Aku tersenyum dan menggeleng. "Sori, Rima punya
per?aturan ketat." "Cewek itu sepertinya unik banget, ya." Les merapikan
rambutku yang pastinya acak-acakan lantaran tadi me?
ngena?kan helm. "Seperti kamu dan Erika."
"Iya." Aku mengangguk setuju. "Mungkin dia sedikit
lebih istimewa." "Kadang-kadang aku kepingin ngobrol dengannya," kata
Les sambil menyeringai. "Tapi setiap kali dia me?mandangi?
ku, rasanya aku kepingin kabur. Habis, sepertinya dia bisa
membaca pikiranku. Dan nggak lucu kalau yang dibacanya
adalah, ?Aduh, cewek ini serem ba?nget!?"
Memang Rima sering menimbulkan efek-efek seperti
itu pada lawan bicaranya. "Aku masuk dulu ya, Les.
Pulangnya hati-hati."
"Oke." Bibir Les menyapu pipiku. "Sampai ketemu
nanti malam." 130 Isi-Omen3.indd 130 "Sampai nanti malam, Les."
"Masuk dulu gih." Les mendorongku lembut ke depan
pintu. "Aku akan pergi setelah kamu masuk."
Cowok itu selalu begitu. Seolah-olah, kalau dia tidak
me?lihat sedikit, bakalan ada sekawanan penyamun men?
culikku dan menjualku ke negeri antah-berantah. Padahal
dia juga tahu, andai benar-benar ada kawanan penyamun
yang menghampiriku, aku pasti sanggup menghajar me?
reka semua sampai babak belur.
Aku melambai sekali lagi sebelum akhirnya masuk ke
Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rumah?dan nyawaku nyaris terbang saat melihat Rima
berdiri di depan pintu. "Halo," sapanya dengan senyum di balik rambut tirai?
nya. "Acaranya menyenangkan tadi?"
"Iya." Awalnya aku selalu depresi dengan kemunculan
Rima yang selalu tiba-tiba dan mengagetkan, tapi kini
aku mulai terbiasa dan bisa tersenyum, meski jan?tung?ku
masih saja minta ditepuk-tepuk. "Thank you."
"Oh iya, ada yang harus kuberitahu." Tentu saja. Rima
tidak nongol di sini hanya untuk membuatku kaget.
"Aku baru saja mengganti arah koridor. Ini peta barunya.
Tolong beritahukan juga pada Erika."
Ya, rumah ini adalah rumah yang ajaib banget. Bukan
permintaanku saat ingin menyewa rumah, tentu saja.
Saat meminta rumah kontrakan kepada si makelar?
broker misterius yang kerjanya mencarikan tempat
tinggal untuk orang lain, dan anehnya tidak pernah mau
ber?temu muka dengan kliennya (mungkin karena dia
juga punya pekerjaan sampingan sebagai pengedar
narkoba atau semacamnya)?persyaratanku hanya dua:
sulit di?temu?kan ayahku dan nomor rumahnya 47. Yep,
131 Isi-Omen3.indd 131 kami se?keluarga cukup fanatik terhadap angka 47 (jangan
tanya kenapa, aku sendiri juga tidak tahu). Aku tidak
me?nyangka akan dirujuk ke rumah Rima yang begitu
unik. Meski dari luar rumah itu kelihatan bagaikan gudang
raksasa, bagian dalamnya jauh lebih besar lagi karena
terdiri atas labirin yang naik-turun hingga membentuk
beberapa tingkat ruangan. Setiap pagi, sepagi apa pun
aku bangun, aku selalu menemukan Rima sedang me?
nyapu labirin dengan gaya yang agak-agak membuat
jantungan kalau kita belum terbiasa dengan penampilan?
nya. Melihatnya masih saja menyapu setelah beberapa
jam berlalu, barulah kusadari betapa besarnya upaya
yang dikerahkan Rima untuk menjaga tempat ini tetap
bersih (meski dengan sengaja dia membiarkan laba-laba
mem?buat sarang di pojokan. Menurutnya, laba-laba ada?
lah binatang pembawa keberuntungan).
Pada saat aku memutuskan untuk tinggal di sana,
Rima memberiku peta labirin supaya aku tidak nyasar di
sana. Ternyata, peta itu bagaikan peta harta karun yang
biasa kita mainkan waktu kita masih anak-anak?hanya
saja lebih kompleks. Dengan peta itu, aku mengetahui
bahwa di gedung ini terdapat beberapa ruangan yang
sangat menarik. Contohnya, ada sebuah ruangan yang
dipenuhi alat-alat hukuman zaman dulu, seperti guillotine
(alat pemancung kepala) dan Iron Maiden (peti mati
yang berisi banyak paku di dalamnya). Ada lagi ruangan
yang memang berisi banyak peti mati (dan sebidang
tanah berisi sejumlah gundukan lengkap dengan nisan?
nya). Dan ada pula sebuah ruangan yang lantainya di?
penuhi perangkap tikus. 132 Isi-Omen3.indd 132 Rumah yang luar biasa keren, bukan?
Misteri yang tidak kalah aneh dengan rumah itu ada?
lah kondisi kehidupan pribadi Rima. Cewek itu kelihatan?
nya hidup sendirian, tanpa campur tangan orangtua,
kakak-adik, ataupun sanak saudara lainnya. Biasanya
yang seperti itu hanya terjadi pada anak-anak yang
tinggal di kos, tapi itu pun pastilah ada tanda-tanda per?
hatian dari orangtua atau keluarga. Seperti telepon,
misalnya, atau kunjungan, atau kiriman ransum. Tetapi
Rima datar-datar saja tuh. Jelas ini bukan sesuatu yang
normal bagi anak-anak remaja seperti kami.
Berhubung aku punya sifat kepo berkaitan dengan
segala hal yang misterius, aku segera menanyakannya
suatu pagi saat sedang sarapan. Seperti biasa, kami
sarapan di ruang makan yang merupakan salah satu dari
sedikit ruangan-ruangan normal yang ada. Menurut peta,
ruangan itu terletak di tengah-tengah tingkat tepat di
bawah atap, yang menjelaskan kenapa ruangan ini me?
miliki jendela di langit-langit yang disebut skylight. De?
ngan adanya jendela itu, sinar matahari bisa menembus
masuk, memberikan penerangan alami yang menyenang?
kan di pagi hari, sementara di siang hari, saat matahari
mulai bersikap keji menyiksa kulit kita dengan ultraviolet?
nya yang mematikan, kerai yang menyelubungi skylight
akan ditutup setengah?cukup untuk memberikan pe?
nerangan sementara kulit kita akan tetap terlindung de?
ngan baik. "Hei, Rim," tegurku pada Rima yang duduk di se?
berang?ku, menekuni telur rebusnya dengan cermat. "Lo
tinggal sendirian di sini?"
"Iya," sahutnya singkat.
133 Isi-Omen3.indd 133 "Emangnya ortu lo ke mana?"
Cewek itu tersenyum sambil menatapku dari balik tirai
rambutnya. "Aku nggak punya orangtua."
Berhubung gayanya tidak beda jauh dengan saat men?
jawab pertanyaanku soal jumlah selai yang dimilikinya,
kukira jawabannya rada tersirat. "Maksud lo?"
"Aku yatim piatu."
Aku tak pernah sebolot ini seumur hidupku, tapi aku
terlalu terkesima mendengar jawaban tenang Rima, jadi
sekali lagi aku mengeluarkan pertanyaan supertolol,
"Hah?" "Orangtuaku meninggal karena kecelakaan saat aku
masih kecil," katanya lagi, sama sekali tidak terganggu
oleh kebolotanku. "Setelah itu, aku dilempar-lempar di
antara sanak saudara. Lalu salah satu paman yang baik
hati mengangkatku jadi anak, memberiku rumah untuk
tinggal, dan membiayai pendidikanku. Tapi pamanku
tidak pernah menampakkan diri di hadapanku."
Rasanya cerita itu agak-agak familier. "Kok kayak cerita
komik Candy-Candy?" "Begitukah?" Sambil melemparkan pertanyaan balik itu, Rima
berlalu dengan senyum misterius di bibirnya, senyum
yang sampai hari ini membuatku bertanya-tanya.
Apakah kisah yang diceritakannya padaku itu sungguh?
an, atau dia hanya tak ingin menceritakan kejadian yang
sebenarnya? Demi kedamaian "rumah tangga" kami, kuputuskan
untuk tidak menanyakan hal itu lagi, meski pertanyaan
itu selalu menggema di dasar hatiku.
Kenapa Rima hidup sendirian?
134 Isi-Omen3.indd 134 Rima Hujan, X-B AKU punya firasat buruk tentang malam ini.
Sebenarnya, firasat buruk itu sudah ada sejak aku me?
lihat kondisi Hadi yang mengenaskan. Kondisi yang
dibikin seolah-olah Hadi adalah ritual sesat organisasi.
Aku tidak tahu apa hubungan The Judges dengan kejadi?
an ini, dan aku tidak tahu kenapa Hadi menjadi korban
ritual itu. Namun ada satu hal yang pasti, ritual berarti
upacara yang berulang. Ini berarti, akan ada korban lagi malam ini.
Aku tidak ingin pergi. Aku tidak seperti Erika atau
Valeria yang pemberani. Aku tidak jago berantem seperti
mereka, dan aku tidak tertarik dengan urusan menciduk
penjahat atau semacamnya. Aku cuma cewek biasa yang
senang menjalani hidup normal. Meski dalam hidupku
jarang ada hal-hal yang normal. Tapi yang jelas, aku
akan berusaha keras untuk tidak membuat hidupku se?
makin aneh. Aku tidak akan mencari masalah, apalagi
mengejar-ngejar bahaya. Masalahnya, aku penyuka teka-teki. Kalian tahu perasa?
an penasaran saat membaca buku misteri? Perasaan itu
135 Isi-Omen3.indd 135 tak akan hilang sampai kita menyelesaikan buku itu
sampai halaman terakhir, kan? Nah, inilah perasaan yang
sedang menderaku saat ini. Seandainya aku tidak datang
malam ini, aku akan melewatkan bab penting dalam
misteri tentang ritual yang melibatkan organisasi rahasia
ini. Dan satu lagi, seharusnya aku pergi ke mana pun
Valeria Guntur pergi. Jangan tanya kenapa. Memang
begitulah seharusnya. Biasanya, di saat aku sedang pusing, ada dua hal yang
kulakukan. Yang pertama adalah melukis dengan cepat
dan ganas sampai-sampai seluruh tubuhku berlepotan
cat, dan yang kedua pergi ke ruang musik. Di sekolah
kami ada dua ruang musik. Yang satu adalah ruang
musik baru yang lengkap dan modern, sedangkan yang
satu lagi ruang musik yang sudah tua, tak terpakai lagi,
dan gosipnya ada hantu di situ. Di sana sudah tidak ada
apa-apa lagi, hanya sebuah piano yang sudah lama tak
pernah disetem. Atau begitulah perkiraan orang.
Aku pergi ke ruang musik lama yang berlokasi di
bangunan tua di belakang sekolah. Tapi aku tidak berani
memasuki bangunan itu. Bukan karena ngeri pada hantuhantu yang konon menghuni di situ. Kalau cuma hantu,
aku tak bakalan takut (kata orang, aku tidak takut
dengan makhluk-makhluk spiritual karena kami sejenis).
Yang lebih menakutkan adalah makhluk hidup yang
menghuni di dalamnya. Dari dalamnya, terdengar alunan lembut piano. Aku
tidak mengenali judul lagu yang dimainkan (tapi aku
me?mang rada kuper, jadi hal itu tidak mengherankan),
136 Isi-Omen3.indd 136 namun lagu bernada lembut tapi ceria itu berhasil
membuat perasaanku tenang. Perlahan, aku meng?intip
masuk melalui jendela yang daunnya tidak betul-betul
tertutup. Ruangan itu kotor berdebu, dengan sarang laba-laba
tebal di mana-mana. Sebuah piano yang sudah tua ber?
ada di tengah-tengah ruangan, dan pemainnya adalah
se??orang cowok bertubuh tinggi tegap dengan rambut
cokelat yang panjang sampai ke bawah kuping. Jari-jari?
nya yang panjang dan kuat kini menari-nari ringan di
atas tuts-tuts piano, sementara matanya yang indah ter?
pejam, menikmati keindahan musik yang memenuhi
udara. Demi segala guillotine dan Iron Maiden, Daniel Yusman
memang ciptaan Tuhan yang paling sempurna!
Musik itu mendadak terhenti. Daniel berdeham, dan
aku buru-buru menyembunyikan diri.
"Biasanya orang harus bayar untuk mendengarkan per?
mainan brilian seorang maestro lho!" Mendadak cowok
itu berbicara keras-keras. "Mencuri dengar secara diamdiam bisa dianggap perbuatan kriminal, apalagi kalau
sampai dilakukan berkali-kali."
Astaga, aku tertangkap basah! Dan rupanya dia sudah
tahu aku sering mencuri dengar permainannya!
Oke, sekarang aku terjebak dalam dilema. Haruskah
aku kabur terbirit-birit bagaikan pencuri yang tidak sudi
barang curiannya diambil kembali, ataukah aku harus
menyerahkan diri bagaikan penjahat yang bertobat?
Ah, aku pilih pilihan nomor satu sajalah. Kabur...!
BRAKKK. "Huaaaa!" 137 Isi-Omen3.indd 137 Jeritan kaget itu tidak berasal dari mulutku?aku tidak
biasa menjerit-jerit, tidak peduli seberapa kagetnya aku?
melainkan dari cowok yang membuka jendela itu secara
tiba-tiba. Seperti orang-orang lain, rupanya Daniel shock
juga melihat tampangku yang kabarnya mengerikan ini
tersembunyi di balik jendela.
"Maaf," ucapku sambil menatapnya dari balik tirai
rambutku. "Bukan maksudku untuk mengintipmu."
"Oh, ehm, Rima toh rupanya." Daniel tertawa kecut.
"Gue kira siapa tadi. Nggak apa-apa kok. Jadi selama ini
elo yang sering ke sini?"
"Ya," anggukku sambil menahan rasa malu. "Permain?
an pianomu menenangkanku."
"Whoa, jadi tersanjung!" Daniel menyeringai. "Kalo
gitu, kenapa nggak masuk aja?"
Aku ragu sejenak. "Karena kita belum saling mengenal
sebelum ini." Tepatnya, sebelum kejadian tadi malam.
"Ah, nggak juga. Siapa sih nggak kenal Rima Hujan si
ketua Klub Kesenian yang genius melukis?" Sebelum aku
sempat membantah pernyataan itu, Daniel menambahkan
lagi, "Dan tentu elo udah kenal gue, Daniel Yusman, co?
wok paling ganteng di SMA Harapan Nusantara, cowok
yang jadi pujaan banyak cewek, cowok yang jadi suri
teladan para cowok, penguasa segala penguasa..." Tibatiba dia memutuskan kalimatnya dan celingukan. "Eh,
nggak ada Erika di sini, kan?"
"Ya," anggukku seraya menahan tawa. "Kamu aman
kok." "Baguslah, cewek itu sensi soalnya kalo ngomongin soal
kekuasaan," kata Daniel serius. "Kalo ada yang ngakungaku bos sekolah ini di depan dia, bisa-bisa langsung jadi
138 Isi-Omen3.indd 138 babak belur. Oh iya, Rima." Mendadak cowok itu melompat
keluar dari jendela, lalu bersandar di ambangnya dengan
sikap santai, seolah-olah dia menikmati pembicaraan
denganku. Betul?kah itu, atau aku saja yang kege-eran?
"Nanti malem lo dateng?"
"Entahlah," sahutku jujur. "Urusan seleksi ini seperti?
nya jadi berbahaya. Akan ada korban lagi, Niel."
"Gue setuju." Daniel mengangguk tegas. "Menurut lo,
apa yang bikin orang mau mencelakai Hadi dengan
begitu sadisnya?"
Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku nggak tau."
"Lo nggak tau?" tanya Daniel heran. "Tapi, lo kan bisa
meramal, Rim." "Kamu percaya aku bisa meramal?" aku balas bertanya
pada Daniel. "Jelas bisa. Kalo nggak, dari mana lo tau lencana itu
di?sem?bunyikan di ruang Klub Komputer?"
Aku berusaha menahan senyum, tapi gagal. Dan Daniel
menyadarinya. "Tunggu dulu. Maksud lo, itu bukan ramalan? Lo emang
tau?" "Itu hanya logika sederhana."
"Tapi," Daniel mengerutkan kening, "nggak mungkin,
Rim! Sebelum itu, lo berhasil menemukan lencana bah?
kan sebelum lima menit!"
"Sekali lagi, hanya logika sederhana."
"Kalo itu bener, berarti logika lo dahsyat banget!" kata
Daniel sambil menatapku dengan shock. "Pasti otak lo
genius, Rim." "Nggak juga. Buktinya rangkingku jauh lebih rendah
daripada Erika dan Valeria." Sebenarnya, nilai mate?
139 Isi-Omen3.indd 139 matika, fisika, dan kimiaku sempurna, tapi aku sangat
lemah dalam ilmu hafalan. Jeblok banget, malahan. "Aku
hanya membuat kesimpulan dari semua fakta yang ada.
Contohnya tadi malam. Orang yang memberi kita misi
me?ngatakan sesuatu soal ruangan yang nggak terkunci.
Padahal, dia nggak menyinggung soal itu pun sudah
pasti kita akan mencari ke mana-mana. Tapi dia sengaja
mengucapkan kata-kata itu, dengan maksud memberi
kita kisi-kisi supaya mengecek ruangan yang tadinya juga
terkunci." "Hmm, masuk akal sih." Daniel manggut-manggut. "Tapi
tetep aja, nggak banyak yang menyadari hal itu, Rim."
Itu tidak benar. Aku yakin Erika menyadari hal itu, demi?
kian juga Valeria. Mungkin saja mereka tidak me?nyadari?
nya secepat aku, tapi beda waktunya tidak banyak.
"Eh, kalo gitu, coba bikin kesimpulan tentang gue,
Rim." Aku menatap Daniel yang langsung melipat kedua
tangan di depan dada. Sikap defensif. "Kamu berasal dari
keluarga kaya. Jam tangan, sepatu, ikat pinggang, se?
muanya merek terkenal. Tapi kamu sangat pembangkang.
Rambut gondrong, baju dikeluarin, nggak pake kaus kaki,
belum lagi nilai-nilai jelek yang bikin kamu nggak naik
kelas. Pembangkang adalah sifat terbaik untuk mencari
per?hati?an. Di sekolah kamu punya banyak teman, jadi
masalah?nya pasti di rumah. Ini berarti, hubunganmu
dengan orangtuamu sangat jelek. Mungkin mereka sibuk
bekerja, mungkin mereka sering berantem, kamu jadi
ditelantar?kan. Meski sering nggak naik kelas, kamu se?
benar?nya pinter banget. Buktinya, kamu bisa bikin se?
buah sistem permainan poker yang kamu nggak pernah
140 Isi-Omen3.indd 140 kalah meski udah banyak orang yang berusaha ngalahin
kamu. Dan meski keliatan playboy, sebenarnya yang
kamu inginkan adalah seorang cewek baik-baik yang bisa
dengerin kamu. Itu sebabnya kamu suka pada Valeria
Guntur." Daniel menatapku seolah-olah aku barusan meramal?
kan bumi kiamat. "Jangan-jangan, lo reinkarnasi Sherlock
Holmes, ya?" Aku tertawa. "Aku nggak sehebat itu, ah."
Tawaku hilang saat menyadari Daniel terus menatapku
tanpa bicara. "Apa?" tanyaku mendadak salah tingkah.
"Serius, lo cakep banget, Rim." Aduh, sekarang wajah?
ku merona panas lagi. "Apalagi kalo lo ketawa gitu.
Kenapa lo harus nyembunyiin muka lo sih?"
"Kamu kan udah ngeliat alasannya."
"Karena luka kecil itu?" Daniel mengerutkan alisnya.
"Udah gue bilang, itu nggak bikin lo jadi jelek kok. Pede
aja lagi, Rim." Gampang bagi Daniel untuk berkata begitu. Dia ter?lahir
sebagai cowok ganteng dan tajir, punya segudang teman,
disukai cowok maupun cewek. Tidak heran dia punya
kepercayaan diri setinggi langit. Sedangkan aku?
Memikirkan perbedaan yang begitu jauh di antara
kami membuatku sesak. Jadi, tanpa menyahut lagi, aku
berjalan pergi. "Rima, tunggu!"
Mendadak saja cowok itu sudah berdiri di hadapanku,
menghalangi jalanku. Aku bergeser ke kiri, dia ikut ber?
geser ke kiri. Aku bergeser ke kanan, lagi-lagi dia ikut
ber?geser ke kanan. 141 Isi-Omen3.indd 141 Aku menatapnya tajam. "Sebenarnya apa sih mau?
mu?" Seandainya orang lain yang kupelototi begitu, orang
itu pasti sudah ngacir sejauh-jauhnya (dan kemungkinan
besar mimpi buruk di malam harinya) tapi Daniel ber?
geming, malahan membalas tatapanku lurus-lurus, me?
nampakkan keberanian yang sepertinya sudah mendarahdaging dalam dirinya. "Gue nggak mau lo pergi begitu
aja dan bikin hubungan kita jadi nggak enak."
Memangnya kami punya hubungan apa? "Jadi kamu
mau apa?" "Gue nggak mau lo marah lagi sama gue."
"Aku nggak marah sama kamu."
"Begini masa nggak marah?" Daniel menyeringai. "Gue
bukan anak kemarin sore, Rim. Gue tau persis sikap
cewek yang lagi marah. Kan gue udah biasa liat. Tapi
biasa?nya yang bikin marah cewek sih bukan gue, me?
lainkan si Welly. Makanya, lo kasus unik dan langka nih,
bikin ketek gue jadi keringet dingin gini."
Mau tak mau aku tersenyum. Memang susah bete ber?
lama-lama dengan cowok ini. Lagi pula, daripada bete,
lebih tepat aku dibilang sedang sedih saat ini. Yah, siapa
yang tidak sedih menyadari betapa jauhnya perbedaan
antara diri sendiri dan cowok yang ditaksir? Tapi sudah?
lah, bukannya aku tidak menyadari hal itu sejak awal.
Bersedih-sedih tak akan membuat semuanya lebih baik.
Jadi, lebih baik lupakan saja segala emosi yang tak me?
nyenangkan itu dan nikmati pembicaraan dengan cowok
yang dulunya hanya bisa kulihat dari jauh ini.
"Nah, begitu kan lebih baik," kata Daniel menyadari
per?ubahan suasana hatiku. "Jadi, Lady Sherlock," aduh,
142 Isi-Omen3.indd 142 aku suka sekali julukannya padaku (daripada Sadako,
tentu saja), "kita kembali ke topik. Jadi lo nggak ada ba?
yang?an kenapa ada orang yang benci pada Hadi?"
Aku menggeleng. "Gimana kalo The Judges?"
"Aku nggak tau," jawabku jujur. "Aku nggak pandai
menebak-nebak. Aku hanya bisa ngambil kesimpulan
kalo ada fakta-fakta."
"Sifat yang bagus." Aih, lagi-lagi aku jadi ge-er. "Jadi
dari kejadian ini, kira-kira kesimpulan apa aja yang elo
dapetin?" "Bahwa nanti malam akan ada korban lagi."
"Itu juga yang gue duga," Daniel mengangguk-angguk.
"Berarti ini bukan soal Hadi, melainkan soal The Judges,
kan?" "Kurasa begitu."
Daniel menyipitkan mata. "Gue udah selidikin sih.
Selama ini, The Judges banyak ngelakuin hal-hal yang
se?mena-mena. Contohnya aja, anak-anak berprestasi yang
mereka pilih untuk jadi calon anggota tapi nggak lolos
seleksi, biasanya mereka keluarin dari sekolah."
"Kenapa?" tanyaku kaget. "Kan mereka aset yang
bagus untuk sekolah kita."
"Justru itulah. Soalnya ada beberapa kejadian nggak
mengenakkan soal calon-calon yang gagal ujian seleksi
ini. Ada yang membocorkan soal The Judges, ada juga
yang mencoba melawan The Judges. Akhirnya kepenting?
an The Judges didahulukan daripada kepentingan se?
kolah. Orang-orang itu dikeluarin. Sejak saat itu, setiap
calon anggota yang gagal dikeluarin dari sekolah."
Oh, gawat. Aku tidak boleh dikeluarkan dari sekolah
143 Isi-Omen3.indd 143 ini. Bisa-bisa aku tidak disekolahkan lagi. Ini berarti aku
harus lulus ujian seleksi. "Ini berarti nanti malam, mau
nggak mau, kita harus datang."
"Betul." Daniel bisa melihat kegalauanku, karena dia
menyunggingkan senyum pahit. "Mendadak kita jadi
dihadapkan pada kesulitan besar begini ya, Rim. Lulus
atau dikeluarin. Buset dah. Bahkan ujian pun nggak se?
susah ini. Kalo gue sampe dikeluarin, bisa-bisa ortu gue
nggak ngasih gue sekolah lagi. Jadi, nanti malam kita
harus berusaha keras ya, Rim!"
Berusaha keras untuk lulus sekaligus tidak menjadi
korban ritual. "Oke."
"Oh ya, satu lagi, Rim."
"Ya?" "Nanti malam, tolongin gue lagi, ya."
*** Ada rasa senang menyadari malam ini Daniel menantinantikan kedatanganku, tapi rasa curiga lebih men?domi?
nasi pikiranku. Aku bukan cewek bodoh. Perasaan Daniel
padaku sama sekali bukanlah rasa suka pada seorang
teman. Dia mendekatiku hanya karena semata-mata
ingin memperalat kemampuanku untuk mendapatkan
keinginannya. Menyakitkan, tapi entah kenapa, aku tidak sanggup
me?nolak keinginannya. Mungkin berbeda dengan anggap?
an?ku sendiri, aku memang bodoh. Aku tidak keberatan
diperalat. Toh aku sendiri juga menggunakan kemampu?
an?ku untuk mendekati Daniel. Itu sebabnya aku me?
mamerkan lencanaku pada mereka semalam, kan?
144 Isi-Omen3.indd 144 Oke, aku ralat lagi: aku amat sangat bodoh.
Malam ini aku tidak bertemu dengan Erika dan Valeria.
Sayang sekali. Padahal lucu juga menakut-nakuti tukang
becak mereka yang bertampang preman dan berbodi kuli
tapi ternyata penakut luar biasa itu. Yah, memang harus
kuakui, tidak banyak orang yang berani menghadapi cewek
bertampang mirip Sadako, terutama di malam hari, tidak
peduli seberapa banyak otot yang mereka miliki. Bisa
dibilang, tanpa pertarungan, aku menang telak.
Berhubung tidak ada Erika dan Valeria, aku tidak bisa
meng?akses pintu belakang sekolah seperti malam sebelum?
nya. Jadi, sambil menggunakan topeng dan mengayuh
sepeda, aku memasuki gerbang sekolah yang terbuka
lebar. Dan aku langsung menyadari bahwa empat belas pa?
sang mata di balik topeng sedang memandangi kedatang?
an?ku. Oke, rupanya aku nongol paling telat. Yah, aku me?
mang punya konsep waktu yang tidak terlalu tepat.
Terkadang aku nongol kepagian, dan ada kalanya aku
telat banget. Biasanya sih tak ada yang memedulikan ke?
datangan dan kepergianku?mungkin karena aku terlalu
rendah diri sehingga sering disangka tak kasatmata.
Tahu-tahu saja mereka menyadari aku ada di tengahtengah mereka, dan penampilanku yang tidak biasa
membuat mereka kaget setengah mati. Padahal serius
deh, aku tidak punya niatan menakut-nakuti orang.
Tapi malam ini berbeda. Mungkin karena setiap calon
dianggap lawan kuat oleh calon lainnya, kedatanganku
menjadi kekecewaan bagi orang-orang yang mengharap?
kanku gugur. 145 Isi-Omen3.indd 145 Kalau dipikir-pikir, ujian seleksi ini benar-benar contoh
per?saing?an yang mengerikan.
"Nah, sekarang karena semua peserta sudah lengkap,
kita akan mulai ujian seleksi ronde kedua," kata anggota
ber?jubah hitam yang, dari cara bicaranya yang kaku, ku?
kenali sebagai si Hakim Tertinggi. "Misi kalian malam ini
adalah mendatangi enam pos yang masing-masing dijaga
oleh para anggota The Judges dan menjawab pertanyaan
seputar sekolah kita. Setiap jawaban yang benar akan
mendapat satu poin. Peserta dengan poin terendah oto?
matis akan gugur. Bila poin terendah ditempati lebih
dari tiga orang, maka kita akan mengulangi proses yang
hanya diikuti oleh orang-orang dengan poin terendah."
"Lalu di mana para anggota The Judges yang harus
kami datangi?" tanya OJ yang kini sudah sangat gam?
pang dikenali karena dialah yang paling banyak bicara
dibanding para anggota lain.
Meski wajahnya tidak terlihat, aku bisa merasakan
senyum dalam ucapan si Hakim Tertinggi. "Kalian harus
mencarinya sendiri. Nah, sekarang kami para anggota
The Judges akan pergi ke pos kami masing-masing.
Kalian akan menyusul saat lonceng berbunyi tiga kali."
Semua orang memandangi para anggota The Judges
yang berpencar. Sepertinya mereka memasuki gedunggedung sekolah dari belakang, sebab mereka memutari
jalan menuju pekarangan belakang.
"Apa kita langsung kuntit saja mereka?" tanya OJ yang
tampak sudah tidak sabar lagi.
"Nggak boleh," cegah cewek berambut panjang yang
tak kukenal, dengan suara merdu namun jutek. "Kita ha?
rus menuruti peraturan."
146 Isi-Omen3.indd 146 "Emang benar." Sepertinya kurang afdol kalau Dedi
tidak ikut-ikutan bersuara, dengan keras pula. "Kita harus
Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menuruti peraturan The Judges. Mereka penguasa yang
selama ini menjaga kestabilan sekolah kita, tau!"
"Penjilat," cibir Erika di sebelahku. "Nggak ada yang
denger deh, Om Alis Sinchan."
Teng-teng-teng! Semua orang langsung berlari dengan kecepatan tinggi
dan mantap seolah-olah sudah tahu ke mana mereka
harus pergi. Aku jadi merasa tolol sendiri, karena aku
ha?nya berdiri di tempat sambil memikirkan ucapan si
Hakim Tertinggi. Enam pos yang masing-masing dijaga oleh satu anggo?
ta The Judges. Ada empat bangunan gedung sekolah:
ge?dung kelas, gedung ekskul, gedung lab, dan
auditorium. Setiap gedung pasti ada minimal satu pos.
Berhubung waktu yang mereka gunakan untuk
bersembunyi sangat sempit, mereka tak bakalan bisa
sembunyi jauh-jauh. Pos-pos itu pasti terletak di lantai
satu atau lantai dua. Berhubung gedung sekolah dan
auditorium tidak punya banyak tempat untuk sembunyi,
kemungkinan besar hanya ada satu pos di kedua gedung
itu. Tapi, aku cukup yakin aku bisa menemukan satu pos
dengan mudah di auditorium...
"Halo, Lady Sherlock."
Aku tersentak. Rupanya bukan cuma aku yang masih
berada di lapangan. Daniel juga masih di situ bersamaku.
Jujur saja, aku tidak tahu apa perasaanku saat ini?girang
karena cowok yang kutaksir ingin beraksi ber?samaku,
ataukah sedih karena dia mendekatiku hanya karena
ingin memperalat kemampuanku.
147 Isi-Omen3.indd 147 Sudahlah, lebih baik aku lupakan semua perasaan gaje
ini. Aku tidak perlu girang ataupun sedih. Dalam kondisi
seperti ini, saat calon-calon anggota organisasi?atau
mung?kin anggota organisasi juga?diincar oleh penjahat
sadis dan brutal, lebih baik kami jalan berdua-dua. Aku
kan tidak ingin jadi sasaran berikut dari psikopat mana
pun yang sudah tega-teganya menghancurkan lutut
Hadi. "Kita ke auditorium," akhirnya aku berkata pada
Daniel. Seperti tadi malam, Daniel berusaha menyejajarkan
lang?kah?nya di sampingku. Rasanya aneh sekaligus me?
nyenang?kan melihat sosok yang menjulang tinggi,
tampan, dan memesona itu mendampingiku jalan-jalan
di malam hari. Semoga saja dia tidak mendengar bunyi detak jantung?
ku yang sudah berdebam-debam ribut seperti lagu-lagu
Afrika. Kami memasuki gedung auditorium yang gelap gulita.
Aku berhenti di depan TKP tadi malam dan memandangi
panggung auditorium yang kini sudah bersih kinclong
seperti biasa. Mungkin orang-orang menganggapku seram
dan tidak berperikemanusiaan karena sudah kelayapan
seenaknya di TKP tempat salah satu dari kami baru saja
dicelakai dengan sadis, tapi menurutku, siapa pun yang
sudah menyembunyikan kasus ini dari umum lebih sadis
lagi. Hadi berhak mendapatkan perhatian dan simpati
lebih dari ini, tapi tidak ada yang memberikannya hanya
karena sebuah organisasi berkuasa menutup mulut semua
orang. Tidak heran Erika dan Valeria kembali lagi ke sini.
148 Isi-Omen3.indd 148 Tidak heran mereka marah dan ingin membekuk si pen?
jahat. Aku yang pengecut pun ingin sekali membekuknya,
setidaknya demi Hadi yang malang. Yah, mungkin aku
tak bakalan bisa membekuknya sendiri, tapi setidaknya
aku bisa membantu Erika dan Valeria, kan?
"Rima." Mendadak kudengar suara Daniel yang ber?
nada cemas. "Kalo lo nggak sanggup masuk ke sini, kita
bisa mulai di tempat lain aja...."
Aku menggeleng. "Aku nggak apa-apa."
Dan aku memang tidak apa-apa. Aku tidak akan ber?
sikap penakut, lemah, atau cengeng. Aku akan meme?
nang?kan ujian seleksi ini, menjadi anggota The Judges
dan tidak perlu keluar dari sekolah, sekaligus mem?
bongkar pelaku tindak kejahatan ini. Tapi sebelum semua
itu terjadi, aku harus mencari pos-pos itu.
Pandanganku akhirnya jatuh pada koridor yang me?
nuju belakang panggung auditorium. Di belakang pang?
gung terdapat gudang kecil yang tak terpakai lagi?atau
begitulah yang diduga orang-orang. Kenyata?annya,
gudang itu pernah menjadi TKP tempat seorang siswi
dilukai dan diculik. Tidak banyak yang tahu soal ini,
karena waktu itu sang pelaku menuntut semua orang
yang terlibat merahasiakan kejadian itu dari mata publik
dan polisi. Hingga sekarang, gudang itu tetap dinyatakan
sebagai gudang yang terkucil dan tak digunakan lagi.
Aku berjalan menuju koridor itu.
Bukannya aku tak sadar, suasana malam ini memang
menyeramkan banget. Auditorium ini adalah tempat
terjadinya berbagai kejadian tragis dan mengerikan, dan
aku berjalan dari satu TKP ke TKP lain. Akan tetapi, aku
mengingatkan diri sendiri, salah satu anggota The Judges
149 Isi-Omen3.indd 149 punya keberanian untuk datang ke sini dan menempati
posnya. Lagi pula, aku tidak sendirian. Ada Daniel, salah
satu tukang berantem paling lihai di sekolah kami, yang
me?nemaniku. Penjahat mana pun bakalan pikir-pikir
dulu un?tuk mencelakai Sadako yang ditemani Arnold
Schwarzenegger. Pintu gudang itu tertutup rapat, seolah-olah sudah
tidak dibuka selama beberapa lama. Kalau memang ada
anggota The Judges yang bersembunyi di dalamnya, pasti?
lah orang itu hebat banget. Selain berani, orang itu juga
teliti dan bertindak cepat. Tapi kalau dipikir-pikir lagi,
dengan segala ujian seleksi ini, mungkin setiap anggota
The Judges memang punya kemampuan di atas rata-rata
siswa-siswi normal. Aku mengulurkan tangan, siap memutar hendel pintu,
tapi sebuah tangan besar mencegahku.
"Biar gue aja," kata Daniel.
Aku menahan napas, antara tegang menghadapi apa
yang ada di balik pintu dan terpesona dengan sikap
Daniel yang melindungiku. Aku tidak biasa dilindungi?
aku terbiasa tak diacuhkan. Sikap cowok ini membuatku
tidak tahu harus bagaimana. Jadilah aku merasa seperti
orang idiot, hanya pasrah sementara cowok itu melaku?
kan segalanya. Daniel membuka pintu. Terdengar suara derit mengeri?
kan. Di balik pintu itu, yang ada hanyalah kegelapan
yang menyambut kami. Ragu-ragu, aku melangkah maju,
tapi tangan Daniel terangkat menghalangiku.
"Jangan," gelengnya. "Ingat Hadi. Bisa aja ini jebakan
dari penjahat." Jantungku berdebar semakin cepat. Benar juga. Aku
150 Isi-Omen3.indd 150 nyaris lupa bahwa aku bisa saja menjadi korban. Tapi
kalau aku tidak maju dan mengambil risiko, bisa-bisa
aku tidak mendapat poin dan gagal menjadi anggota The
Judges. Dan aku akan dikeluarkan dari sekolah.
"Tapi..." "Lo jalan di belakang gue aja." Ada ketegasan dalam
bisikan Daniel, yang mengingatkanku bahwa cowok yang
biasanya jail dan tidak pernah serius ini juga petarung
yang hebat. "Jangan khawatir. Kalo ada orang yang
berani nyerang kita, gue yang akan gebukin orang itu
sampe hancur. Tapi, kalo ternyata di sana ada hantu, lo
yang hadapin, ya!" Cowok ini memang tidak pernah serius. "Oke."
Bertameng tubuh Daniel yang tinggi besar dan berotot,
aku pun memasuki ruangan itu. Karena gelap, nyaris tak
ada yang bisa kulihat dalam ruangan itu.
Selain sepasang mata yang membalas tatapanku dari
ujung ruangan. Sesaat aku tidak tahu apa yang kulihat. Lalu kusadari
itulah anggota The Judges. Yang kami lihat hanyalah
matanya karena dia mengenakan seragam serbahitam
yang membuatnya menyatu dengan kegelapan di sekitar?
nya. "Ini pos ujian seleksi The Judges." Suara kaset rusak
yang mulai terdengar familier berkata datar seolah-olah
pemiliknya tak punya perasaan. "Hanya ada satu orang
yang boleh masuk." "Enak aja," tukas Daniel. "Dari mana kami tau ini bu?kan
jebakan yang sama dengan yang mencelakai Hadi?"
Selama beberapa saat, yang ada hanya keheningan.
151 Isi-Omen3.indd 151 "Oke. Kalian boleh maju berdua."
Sekarang aku yakin, orang yang kami hadapi ini ada?
lah si Hakim Tertinggi. Aku mulai mengenali suaranya
yang menyiratkan wibawa sekaligus keangkuhan. Kombi?
nasi yang menarik. Pastinya orang ini juga salah satu
ketua dalam organisasi murid. Mungkin OSIS, mungkin
juga ketua salah satu klub ekskul. Atau ketua kelas.
"Pertanyaan untukmu, Rima Hujan." Wah, dia juga me?
ngenaliku, meski hari ini aku mengenakan topeng. "Siapa
orang yang mencelakai Hadi?"
152 Isi-Omen3.indd 152 Erika Guruh, X-E "LO tau kan gue nggak berminat ikut tes konyol itu?"
Suara kalem Val menggema dari balik topeng wayang
jelek yang dikenakannya. "Yep."
"Lo tau kan tujuan utama gue malam ini adalah
membekuk bajingan yang berani mengacau di daerah
kekuasaan gue?" "Yep." "Lalu kenapa poin gue tau-tau udah enam?"
Kali ini suara Val terdengar geli. "Mungkin karena dari
tadi jawaban lo bener terus."
Yang benar saja. Tidak ada jawabanku yang benar.
Pertanyaan-pertanyaan itu benar-benar konyol, seperti
apa pendapatku soal kepala sekolah kami, bagaimana
cara kami meningkatkan mutu sekolah (tanpa biaya), apa
yang harus kami lakukan bila ada murid yang bikin
skandal di sekolah (jawabanku untuk ketiga pertanyaan
itu adalah "gaya rambutnya harus diubah", "tingkatkan
kebersihan toilet", dan "sori ya, gue nggak kepo"). Aku
tidak tahu apa yang merasuki anggota-anggota The
Judges yang meladeniku, tapi aku terus-terusan diberi
153 Isi-Omen3.indd 153 poin. Mung?kin mereka takut kugebuki lantaran
membuatku marah (yang mungkin akan kulakukan
karena malam ini aku senewen banget), atau mungkin
saja yang lebih penting bukanlah jawaban kami,
melainkan kemampuan kami menemukan pos-pos itu.
Sepanjang malam ini, aku berkeliling bersama Val.
Setiap kali kami menemukan pos, kami disuruh men?
jawab pertanyaan secara bergilir, dan masing-masing ti?
dak boleh mendengarkan pertanyaan calon anggota yang
lain. Anehnya, meski kami sudah menemukan enam pos,
aku cukup yakin kami hanya berhadapan dengan empat
anggota The Judges. Dengan kata lain, dua dari pos itu
ditempati oleh orang yang sama. Yah, kalian tahu aku
punya daya ingat fotografis, jadi mudah bagiku untuk
mengingat logat yang digunakan oleh para anggota The
Judges, tak peduli mereka mengenakan alat pengubah
suara. Jangan-jangan setiap kali mereka ditemukan, me?
reka akan memindahkan posnya ke tempat lain. Itu lang?
kah yang cerdas, karena kan bisa saja kami memberitahu?
kan lokasi pos mereka pada calon anggota lain.
Bukan berarti aku bersedia memberitahukan lokasi pos
pada calon anggota lain secara sukarela. Enak saja. Gosip?
nya, calon yang tak terpilih jadi anggota bakalan dike?
luarkan dari sekolah, dan aku tidak berniat bergabung
de?ngan gerombolan malang ini. Kalau sampai aku di?
keluar?kan dari sekolah, bisa dipastikan aku bakalan diusir
dari rumah dan menjadi gelandangan. Mungkin aku
bakal?an join dengan Chuck dan tidur di becak (atau ber?
hubung aku tak punya duit untuk membeli becak, mung?
kin aku akan tidur di gerobak saja. Sepertinya tidak
terlalu sulit bikin gerobak sendiri).
154 Isi-Omen3.indd 154 Dan sementara itu si keparat Ojek belum menelepon?
ku. Ah, sudahlah. Tidak ada gunanya memikirkan orang
yang tidak peduli padaku?ataupun perasaanku. Aku
tahu si Ojek bukannya tidak peduli padaku. Dia hanya
terlalu sering memaksakan kehendaknya padaku, seolaholah aku tidak mampu mengurus diriku sendiri. Padahal,
yang benar saja, aku bisa bertahan selama enam belas
tahun tanpa dirinya. Meski sekarang kehidupanku jauh
lebih buruk ketimbang dulu, aku tetap bertahan dan
pasti bisa melewati semua ini dengan baik. Kenapa sih
dia bisa tidak mengerti soal itu? Kenapa dia harus selalu
campur tangan dalam kehidupanku?
Dan sekarang lagi-lagi dia memaksakan kehendaknya
padaku. Itu jelas banget. Dia tak akan menghubungiku
sampai aku yang mengalah dan menyerah pada keingin?
annya. Maaf-maaf saja. Aku bukan cewek gampangan.
Sampai mati pun aku tak bakalan mengalah dalam soal
ini. "Tenang aja, Ka." Suara Val yang tenang membuyarkan
Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lamunanku soal Ojek. "Semuanya akan baik-baik aja."
Aku meliriknya dengan curiga. "Maksud lo?"
"Emangnya apa lagi? Tentu aja yang gue maksud, kita
pasti akan membekuk penjahat itu."
Oh, kukira dia bisa membaca pikiranku soal si Ojek.
Gila, aku memang senewen banget, sampai-sampai oceh?
an Val pun terdengar punya makna ganda. Padahal,
mana mungkin Val menyembunyikan sesuatu dariku?
"Betewe, lo liat Rima dan Daniel tadi?"
Dari suaranya, aku tahu Val sedang nyengir, dan aku
ikut nyengir pula. Habis, tadi kami melihat Rima dan
155 Isi-Omen3.indd 155 Daniel jalan berbarengan, dan saat di depan pintu
gedung auditorium, Daniel langsung maju memegang
hendel pintu untuk melindungi Rima, seolah-olah takut
Rima di?sakiti oleh anggota-anggota The Judges itu.
Padahal, ke?mungkinan anggota-anggota itu terkena
serangan jantung lantaran disamperin Rima jauh lebih
besar. "Yep. Kayaknya mereka berdua ada sesuatu. Daniel
naksir elo, jadi nggak mungkin dia yang naksir Rima."
Mendadak sebuah pemikiran janggal timbul dalam
kepalaku. "Jangan-jangan, Rima yang naksir Daniel?!"
"Sepertinya sih begitu."
Holy crap! Serius deh, aku sama sekali tidak bisa mem?
bayang?kan cewek dengan tampang sedatar Rima bisa
naksir cowok. Rasanya aneh banget. Mana pilihannya
Daniel pula, cowok paling tengil yang pernah kutemui.
Ini seperti Profesor McGonagall, guru cewek pa?ling
sangar dalam cerita Harry Potter, yang naksir berat pada
Profesor Lockhart si guru narsis. "Daniel hoki banget,
ya?" "Begitulah. Gue harap dia nggak akan menyia-nyiakan
perasaan Rima." Aku menyeringai pada Valeria. "Nggak sedih bakalan
kehilangan penggemar?"
"Ah, aku lebih suka Daniel naksir cewek lain kok."
Yah, beginilah sobatku, Valeria Guntur. Dia sama sekali
tidak membantah kenyataan bahwa Daniel suka padanya.
Kalau orang-orang lain yang bersikap begitu, mereka
pasti akan terdengar narsis dan kege-eran, tetapi Val ma?
lah kedengaran kalem dan anggun. Mirip tuan putri
yang sudah sewajarnya menerima penghormatan dari
rakyat jelata. 156 Isi-Omen3.indd 156 Terkadang aku heran, kenapa Val bisa begitu setia pada
si Obeng a.k.a. montir miskin dan jorok, serta sedikit
pun tidak tergerak oleh rayuan Daniel yang konon
dahsyat banget. Padahal Daniel kan bukannya jelek dan
menyebalkan. Yah, bukannya aku menganggap Daniel
ganteng dan menyenangkan sih. Masalahnya, dia kan
anak buahku, koncoku yang setia, sohib cowokku yang
senantiasa bersimpuh di bawah kakiku setiap kali aku
bete. Aku tidak bakalan menjelek-jelekkannya deh. Aku
cukup objektif untuk mengakui hampir setiap cewek di
sekolah kami pasti akan menanggapi Daniel dengan hati
girang dan tangan terbuka selebar-lebarnya. Lagi pula,
dengan latar belakang Daniel sebagai anak keluarga
terpandang, ayah Val pasti merestui hubungan mereka.
Jadi, kenapa Val malah bersiteguh memilih si Obeng
yang cuma bakalan menyeretnya ke dalam seribu masa?
lah? Tunggu dulu. Ada bunyi lagi di belakang kami.
Yep, bukannya aku tidak sadar. Dari tadi ada yang
membuntuti kami, dan aku belum tahu siapa orangnya.
Bisa saja anggota The Judges yang bertugas mematamatai para calon, salah satu calon anggota yang tidak
punya kemampuan untuk mencari pos sendiri, anggota
geng Rima alias hantu-hantu penasaran yang tak punya
kerja?an, atau... pihak ketiga yang mencoba mengacaukan
uji?an seleksi ini? "Val, lo denger itu?"
"Yep. Dari tadi ada yang membuntuti kita."
"Apa perlu kita tangkap mereka basah-basah?"
"Maksud lo disemprot pake slang?" tanya Val geli.
"Biarin deh, Ka. Kita nggak tau maksud mereka baik atau
157 Isi-Omen3.indd 157 jahat. Kasian kalo ternyata mereka nggak bermaksud apaapa. Di sisi lain, kalo maksud mereka jahat, udah pasti
kita bisa menghentikan mereka, kan?"
Aneh. Val biasanya tidak begini. Biasanya dia selalu
me?nanggapi rencanaku dengan semangat berapi-api. Ke?
napa tahu-tahu dia jadi sok manis dan penuh belas
kasihan begini? Jangan-jangan... "Siapa pun mereka, gue nggak seneng dikuntit-kuntit!"
tukas?ku tajam. "Gue nggak seneng orang melakukan se?gala
sesuatu dengan diam-diam. Kalo mau ya terang-terang?an.
Setidaknya, itu lebih terhormat daripada nyelinap-nyelinap
kayak pencuri..." "Hei, siapa yang nyelinap-nyelinap kayak pencuri?"
Oke, semua seperti dugaanku, tapi tetap saja jantungku
serasa berhenti berdetak saat melihat si Ojek keluar dari
semak-semak dengan daun-daun di sekujur tubuhnya,
diikuti si Obeng alias pacar Val yang tampak tersipusipu?sepertinya rada malu karena ucapanku tadi. Tentu
saja, tak ada urat malu sedikit pun pada si Ojek, karena
alih-alih memasang tampang bersalah mirip sobatnya, si
Ojek malah tampak lebih masam daripada biasanya.
Serius, acar yang dicelupkan ke dalam cuka selama seribu
tahun sampai berubah menjadi siluman acar saja kalah
asem dibanding tampangnya.
"Ngapain lo ke sini?" Alih-alih menjawab pertanyaan?
nya, aku malah balas bertanya seraya berkacak pinggang
dengan gaya menantang. "Ini daerah kekuasaan gue.
Orang luar dilarang masuk."
"Daerah kekuasaan?" si Ojek mendengus. "Orang luar?
Ngawur banget!" 158 Isi-Omen3.indd 158 Brengsek. Rasanya aku jadi panas. "Apa maksud lo?"
"Udah waktunya kamu dewasa sedikit. Kamu kira
kamu bisa nyari makan dari bergaya-gaya bos preman
begitu?" Gila, aku makin naik darah saja. Tanpa memedulikan
pe?nampilanku yang cupu karena mengenakan topeng
wayang, aku menyemprotnya. "Heh, lo bukan bapak gue,
juga bukan emak gue. Ngapain juga lo ngurusin gue
kayak induk ayam kurang kerjaan?"
"Karena..." Ucapan si Ojek terputus, tapi tatapannya yang tajam
tetap terarah padaku, membuatku menyadari bahwa dia
tengah menahan kata-kata kasar yang nyaris terlontar.
Ya, memang betul. Orangtuaku sendiri tidak berminat
mengurusku. Tapi itu tidak berarti aku butuh diurusin
orang lain, sialan! "Lo pulang aja," ucapku akhirnya. Ah, brengsek, suara?ku
ternyata rada pecah. Sudah lama aku menyadari kondisi?ku
yang memang rada-rada telantar, tapi setiap kali diingat?
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 10 Cowok Rasa Apel Karya Noel Solitude Seruling Perak Sepasang Walet 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama