Ceritasilat Novel Online

Misteri Organisasi Rahasia 3

Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu Bagian 3


kan, apalagi oleh oknum yang terlalu dekat denganku
seperti si Ojek, aku masih saja sakit hati. "Gue nggak butuh
bapak-bapak sok tau nyampurin urusan gue."
"Maaf-maaf aja," sahut si Ojek datar. "Kamu boleh nggak
butuh, tapi aku sendiri yang mau ada di sini. Kamu nggak
berhak ngusir aku." "Dasar..." Sebelum aku sempat menyemburkan ke?
marah?anku, tiba-tiba aku mendengar lolongan panjang
yang menyiratkan kesakitan yang amat sangat. Oh, sial!
"Itu suara Ricardo!"
"Arahnya dari auditorium!" teriak Val sambil berlari
menuju auditorium. 159 Isi-Omen3.indd 159 Kami berdua menyerbu masuk ke dalam auditorium
yang gelap. Begitu masuk, kami langsung bersiaga, siap
kalau-kalau ada penjahat bersenjata yang menerkam
kami. Tapi tidak ada apa-apa. Kami berdua memandangi
panggung yang kosong. "Belakang panggung," bisik Val padaku.
Aku mengangguk. Kami berdua segera memasuki kori?
dor gelap dan sempit di belakang panggung. Keheningan
yang memenuhi udara hampir-hampir terasa mengerikan,
mengingat baru beberapa menit lalu kami mendengarkan
lolongan keras penuh kesakitan itu. Akan tetapi, alih-alih
merasa takut, aku malah merasa penuh semangat, nyaris
gembira. Dan bagiku, semua ini lebih menakutkan, ka?
rena manusia seperti apa yang merasa girang karena
akan menemukan temannya menjadi korban berdarahdarah akibat keganasan seorang psikopat?
Kami tiba di ujung koridor?tepatnya di depan pintu
gudang kecil yang ada di belakang panggung. Berhubung
tak ada jalan lain lagi, aku mengulurkan tangan untuk
memutar hendel pintu. "Ka." Tiba-tiba Val menghentikan tanganku seraya ber?
bisik. "Kita datang terlalu cepat. Pelakunya nggak mung?
kin bisa kabur tanpa melewati kita. Nggak ada pintu
belakang di auditorium, Ka."
Aku menyeringai. "Baguslah, karena gue juga lagi haus
darah." Val mengangguk padaku, jadi aku pun memutar hendel
pintu itu dengan penuh semangat.
Sial, terkunci. Aku berpaling pada Val. "Dobrak, yuk!"
"Tunggu dulu." Si Ojek nongol dari belakang. Dasar
160 Isi-Omen3.indd 160 pahlawan kesiangan. "Kalian mundur aja. Biar kami yang
dobrak." "Nggak usah!" Oke, entah kenapa aku selalu melaku?
kan kesalahan ini. Nada suaraku lagi-lagi terdengar lebih
kasar daripada yang kumaksud. "Lo tadi bilang gue harus
lebih dewasa. Kalo gitu, jangan perlakukan gue seperti
anak kecil. Yang beginian, gue bisa handle sendiri kok!"
Oke, kalimat terakhir ini rada tolol karena bukannya
meng-handle urusan ini sendiri, aku malah menoleh pada
Val. "Bantu gue dobrak pintunya, Val!"
Untungnya tak seorang pun tertawa mendengar ucap?
anku yang memalukan itu. Bahkan Val pun tidak berce?
letuk yang aneh-aneh, melainkan hanya mengangguk
dan mulai mengambil jarak dari pintu.
"Satu, dua, tiga!"
Aku mendobrak pintu dengan bahuku, sementara Val,
seperti biasa, menggunakan kekuatan kakinya (asal tahu
saja, cewek kalem ini jagoan kickboxing). Pintu itu lang?
sung hancur berantakan. Tanpa banyak cincong kami
lang?sung menerjang masuk ke dalam gudang itu.
Dan kami menemukan para anggota The Judges
sedang berkumpul! Di balik tubuh-tubuh mereka, samar-samar, aku bisa
melihat sosok yang sudah pasti adalah Ricardo yang
tadinya adalah bintang tim basket yang tengah bersinar,
terkapar di lantai bersimbah darah, yang sepertinya mem?
bentuk simbol perisai yang dibuat secara terburu-buru.
Dalam keremangan ini, mungkin aku hanya salah
lihat, tapi sepertinya dua benda yang mirip landak itu
adalah kedua telapak tangannya.
Sial, lagi-lagi kami terlambat!
161 Isi-Omen3.indd 161 Valeria Guntur, X-A OKE, seharusnya semuanya sudah jelas.
Ricardo terbujur di lantai dengan tubuh berlumuran
darah yang mengalir dari beberapa tempat di tubuhnya,
namun kurasa semua luka itu tidak ada apa-apanya
dibanding tangan Ricardo yang hancur oleh, tidak hanya
satu, melainkan banyak sekali paku. Sebuah simbol
organisasi The Judges dibuat dengan sangat terburu-buru
dan hasilnya jelek banget. Kami berhasil tiba di TKP
dalam waktu yang begitu cepat sampai-sampai si pelaku
tidak mungkin kabur. Jadi siapa pun yang kami temukan
di TKP kemungkinan besar adalah pelakunya.
Yang tak kusangka, kami menemukan enam anggota
The Judges di sini, mengelilingi Ricardo tanpa berbuat
apa-apa. Asumsi apa lagi yang bisa kubuat selain bahwa mereka?
lah pelakunya? Akan tetapi, entah kenapa firasatku mengatakan semua
ini tidak benar. Semua ini terlalu gampang. Meski organi?
sasi itu mengakui diri mereka sebagai organisasi paling
berkuasa di sekolah kami, menganiaya seorang siswa
162 Isi-Omen3.indd 162 adalah perbuatan kriminal yang cukup berat. Apa mereka
sebegitu mengerikannya, sampai-sampai tidak segan-segan
melakukan hal itu dengan terang-terangan, dan percaya
bahwa mereka adalah anak-anak kebal hukum?
Tidak. Aku tidak percaya. Lagi pula, aku bisa mencium
rasa takut dari anak-anak itu. Oke, mungkin bukan bau
sungguhan. Maksudku, aku bisa melihat wibawa dan
sikap sok misterius menguap dari anggota The Judges.
Beberapa tampak gemetaran, satu menangis, satu men?
copot topi dan alat pengubah suaranya, dan sisanya ber?
usaha menghadapi kami sambil mengumpulkan sisa-sisa
ketenangan mereka. Jelas sikap tenang mereka tadi
malam juga hanya topeng belaka.
Aku berjalan maju, ingin memeriksa Ricardo, tapi
salah satu anggota The Judges menahanku.
"Maaf, kalian harus pulang sekarang."
Kata-kata itu tidak hanya ditujukan pada kami.
Soalnya, tanpa perlu menoleh pun, aku tahu kerumunan
di belakang semakin ramai. Tidak hanya ada Vik dan Les
yang menyusul kami, melainkan juga Rima dan Daniel,
OJ dan cewek tinggi yang sering bersamanya, beserta
Helen dan Dedi yang muncul paling terakhir.
"Enak aja!" tukas Erika yang berdiri paling depan dari
kerumunan itu bersamaku. "Mau ngusir kami dan
menutupi kesalahan kalian? Not a chance, Lady!"
Si anggota The Judges diam sejenak. "Kamu nggak
tahu pasti aku cewek atau cowok."
"Hahaha lo jangan kira gue bodoh," ucap Erika de?
ngan tawa dibuat-buat. "Buat seorang pemilik daya ingat
fotografis seperti gue, gampang bener nebak lo cowok
atau cewek. Dan itu sebabnya kalian ngundang gue, kan?
163 Isi-Omen3.indd 163 Karena kalian tertarik dengan daya ingat fotografis yang
keren ini? Tapi, sori-sori aja, gue nggak berminat ber?
gabung dengan organisasi jahat. Dari awal gue udah
curiga sama kalian, dan sekarang semuanya udah jelas.
Bukannya ngeluarin mereka dari sekolah, kalian malah
melenyap?kan calon anggota yang nggak kalian inginkan
dengan cara yang begitu keji. Nah, sekarang setelah tau
posisi kalian ada di mana, waktunya gue unjuk kekuatan
se?bagai penguasa sekolah ini!"
Berani taruhan, anggota The Judges itu tersenyum di
balik topengnya. "Sudah lama kami mendengar namamu,
Erika Guruh. Tapi maaf-maaf saja, selama ini kamu
hanya pion kami untuk menjaga kedamaian sekolah ini.
Kamu kira kenapa kamu belum dikeluarkan meski sudah
berulah banyak?" "Karena gue juga murid paling genius di sekolah
ini!" Aku berusaha mencegah Erika menyerang anggota The
Judges yang, menurut Erika, adalah cewek itu. Aku tidak
membesar-besarkan, tapi tak banyak cewek di dunia ini
yang mampu menandingi Erika dalam soal kemampuan
fisik?apalagi mengalahkannya. Cewek yang berusaha
mencari perkara dengan Erika berarti cewek yang teramat
sangat bodoh dan membahayakan keselamatan diri
sendiri. Erika terkadang berusaha me?redam emosinya dan
bertindak lunak pada lawan cewek, tapi kali ini ucapan
anggota The Judges itu sudah ke?terlalu?an. Bisa-bisanya
dia menghina Erika dengan mengatakan dia adalah pion
mereka. Tidak heran, meski aku sudah berusaha mencegah,
Erika berhasil melewatiku dan menyerang anggota The
164 Isi-Omen3.indd 164 Judges itu. Dari tangannya yang mencengkeram, kusadari
dia hanya berusaha merenggut topeng anggota The
Judges itu. Akan tetapi, di luar dugaanku, si anggota The
Judges berhasil merunduk dengan gerakan cepat yang tak
kuduga. Sebelum kami semua sadar, orang itu melempar
sesuatu pada Erika dan mengenai lututnya.
"Erika!" Vik langsung merangsek ke depan seolah-olah
pacarnya yang rapuh dan lemah lembut terluka parah.
"Kamu nggak apa-apa?"
"Nggak!" bentak Erika yang semakin berang saja lantar?an
kakinya yang dilempar batu rada terpincang-pincang. "Ini
bukan apa-apa!" Cewek itu menyeka dagunya yang sama
sekali tidak berkeringat. Itu hanyalah sedikit dari gaya khas
Erika yang menandakan cewek itu mulai serius. "Ternyata
lo boleh juga ya, eh, Hakim Ter?tinggi?"
Eh? Tunggu dulu. Gerakan gesit? Melempar batu?
Hakim Tertinggi? Jangan-jangan...
Erika melancarkan tinjunya, kali ini dengan begitu
cepat sampai-sampai si Hakim Tertinggi tidak bisa meng?
elak. Tapi di samping si Hakim Tertinggi, salah satu
anggota The Judges segera menahan tinju Erika, semen?
tara tangannya yang lain berusaha meninju wajah Erika.
Aku tahu Erika pasti sanggup mengelak, tapi saat ini ke?
marahanku begitu meluap-luap sampai aku lupa diri.
Spontan kutendang tangan sialan yang berani-beraninya
mengincar muka seorang cewek, bertepatan dengan Vik
yang juga langsung menjotos muka si pemilik tangan,
membuat orang yang kami serang itu terpental ke bela?
kang. Si Hakim Tertinggi maju dengan marah, demikian juga
anggota-anggota The Judges yang lain, sementara di
165 Isi-Omen3.indd 165 sekitarku aku bisa merasakan Erika, Vik, Les, dan lainnya
siap menerjang pula. Tapi aku menghentikan gerakan
semua orang dengan mengulurkan tangan tepat ke
depan wajah si Hakim Tertinggi.
"Stop!" teriakku keras-keras. "Semuanya berhenti!"
Mung?kin karena kaget, semua orang mematuhiku dan
meng?hentikan gerakan mereka. Aku membuka topengku,
mencampakkannya ke atas lantai papan, dan langsung
menyesal berat. Habis, topeng itu cantik banget sih.
"Udah waktunya kalian berhenti mengenakan topeng
segala. Kalo kalian emang nggak salah, nggak seharusnya
kalian menyembunyikan identitas kalian. Bener nggak,
Kak Putri, Kak Dicky?"
Yep, aku cukup yakin, Hakim Tertinggi adalah Putri
Badai, si ketua Klub Drama sekaligus ketua Klub Me?
manah. Hanya dia di sekolah ini yang sanggup mem?
bidik setepat itu dengan batu kecil sekaligus bisa bergerak
begitu gesit. Karena pada dasarnya dialah yang me?
ngendali?kan OSIS, tak heran dia pula yang menjadi
Hakim Tertinggi. Dan tentu saja, cowok yang selalu ber?
ada di sampingnya adalah Dicky Dermawan, sang
pangeran tajir. "Kalian salah..."
"Tunggu. Mereka benar."
Si Hakim Tertinggi membuka topengnya, dan tampak?
lah wajah bule Putri Badai yang cantik namun dingin.
Rambutnya rada acak-acakan lantaran terkena topeng,
tetapi dengan sekali usap, mendadak rambut itu rapi
kembali bagai baru saja di-blow. Dasar tuan putri yang
sempurna. Sesuai dugaanku, di sebelahnya, anggota yang
membuka topeng dengan wajah terpaksa adalah Dicky
166 Isi-Omen3.indd 166 Dermawan yang bibirnya bengkak penuh darah lantaran
dijotos Vik. "Eh, Putri!" seru OJ girang seraya ikut membuka to?
peng?, sementara yang disapa tampak dingin-dingin saja.
Di sekitar kami, semua peserta ujian seleksi mem?buka
topeng mereka juga. "Halo, lama nggak saling sapa,
mantan teman sebangku!"
Eh? OJ dan Putri dulu teman sebangku?
"Eh, gue nggak naik kelas deh, men," OJ buru-buru
menjelaskan saat semua orang menghujaninya dengan
tatapan curiga. "Gue sempet sekolah ke luar selama se?
tahun. Pas gue balik, eh disuruh ngulang. Yah, nasib
deh. Tapi yang penting, gue nggak satu jenis dengan
Daniel." Terdengar makian Daniel dari belakang bahuku.


Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sialan lo, Jul."
Jul? Memangnya nama si OJ ini siapa? Julio? Kayak
nama kucing saja. "Eh, kalo pemimpinnya Putri dan Dicky, yang lainlainnya pasti Lindi, Suzy, Jason, dan King!"
Topeng-topeng lain terbuka seiring dengan nama-nama
yang disebutkan Daniel, menampakkan wajah-wajah
yang tadinya hanya kukenali sebagai para pengikut
Dicky. Namun nama-nama itu juga langsung membangkit?
kan informasi-informasi dalam ingatanku. Lindi atau
Lindiana adalah ketua Klub Memasak, sementara Suzy
adalah sahabatnya, si Bendahara I OSIS. Jason adalah
pacar Suzy sekaligus ketua Klub Aikido, sementara King,
pacar Lindi, adalah ketua Klub Basket (yang berarti se?
karang dia pasti shock berat melihat anggota baru
harapan?nya kini terbujur di dekat kakinya). Yep, orang167
Isi-Omen3.indd 167 orang ini adalah sahabat-sahabat dekat, dengan bekingan
keluarga-keluarga yang solid dan terhormat. Meski di
antara mereka yang benar-benar tajir hanyalah Dicky,
yang lain-lain juga berasal dari keluarga yang terpandang
dan sudah lama berhubungan dengan sekolah ini, serta
memiliki pengaruh yang tidak sedikit di yayasan se?
kolah. Semua orang ini satu geng, orang-orang yang selalu
jalan bareng ke mana-mana, orang-orang yang selalu
menempati meja di dekat meja kami di kantin. Orangorang yang tertawa keras-keras pagi tadi dan membuat
Erika bete! Astaga, bisa-bisanya orang-orang ini membuat lelucon
dan tertawa riang di saat acara mereka menelan korban!
Kemungkinannya, mereka hanya berusaha me?masang
tampang senang padahal di dalam hati mereka ke?
takutan, atau mereka memang bajingan tak berperasa?
an. Atau, yang lebih mungkin lagi, merekalah orang-orang
yang mencelakai Hadi dan Ricardo.
"Bukan kami yang mencelakai Ricardo maupun Hadi,"
kata Putri mewakili teman-temannya menjelaskan.
"Hanya saja, kebetulan kami berkumpul di sini dan
mungkin memergoki si pelaku."
"Kebetulan yang aneh, ya," sindir Erika sambil melipat
tangan di depan dada. "Lalu si pelaku yang barusan
dipergoki itu lari ke mana?"
"Kami juga nggak tau," geleng Dicky seraya mengusap
bibirnya yang berdarah. "Gue tiba di sini paling awal
bersamaan dengan Lindi, dan saat itu pelakunya udah
nggak ada." 168 Isi-Omen3.indd 168 "Gudang ini nggak punya pintu belakang," tegasku.
"Hanya ada satu pintu yang mengarah ke koridor, dan
gue cukup yakin dia nggak mungkin melewati koridor
itu." "Berarti," kata Erika sambil berkacak pinggang, "pelaku?
nya ada di antara kalian. Mungkin elo, Dicky, yang
meng?aku nongol duluan padahal..."
"Jangan nuduh sembarangan!" ketus Putri pada Erika,
dan keduanya saling memelototi dengan muka yang
sama juteknya. Ya ampun, dalam kondisi lain pasti
semua ini terlihat lucu. Habis, mereka berdua sama-sama
tampak menakutkan. Bedanya, yang satu tampak ber?apiapi, sementara yang satu lagi sedingin es. Sayang?nya,
dengan adanya Ricardo yang berlumuran darah di sini,
rasanya tidak pantas kalau aku cekikikan. "Ini bukan
waktunya kita berdebat. Kita harus menolong
Ricardo..." "Nggak usah repot-repot," sela Vik datar. "Aku udah
menelepon Ajun Inspektur Lukas sekaligus ambulans.
Mereka dalam perjalanan ke sini."
"Hahaha, rasain lo!" teriak Erika dengan tampang
penuh kemenangan. "Begitu Ajun Inspektur Lukas no?
ngol, udah pasti lo semua bakalan dijeblosin ke penjara!
Nggak ada guna?nya tekan-tekan ponsel buat minta duit
sogokan sama ortu lo! Si Ajun Inspektur nggak mempan
di?suguhin senampan emas!"
Ucapan Erika langsung membuat pucat para anggota
The Judges. Sikap penuh kendali yang mereka tampakkan
beberapa hari ini lenyap seketika, berganti dengan ke?
takut?an dan kekhawatiran. Rupanya, tak peduli seberapa
pun hebat orang-orang ini terlihat, mereka tetap hanya?
169 Isi-Omen3.indd 169 lah manusia biasa yang bisa ditakut-takuti?kalau kita
tahu celahnya. "Apa boleh kita biarin Ricardo begitu aja?" Mendadak
cewek yang bernama Lindi bertanya dengan nada cemas.
"Seharusnya kita hentikan perdarahannya, kan?"
"Kalian yang ngelarang kami mendekati Ricardo, kan?"
tanya Erika sebal. "Emang kita nggak boleh menyentuh dia kok." Ter?
dengar suara Dedi dari belakang kami, jelas-jelas mem?
bela para anggota The Judges demi mengambil hati me?
reka. "Ini kan tempat kejadian perkara. Kita nggak boleh
nyentuh apa-apa..." "Itu kalo orangnya mati, goblok!" sergah Erika bete.
"Kalo cuma terluka, masa dibiarin berdarah-darah sampe
mati beneran?" Sesuai harapan, Dedi langsung membungkam.
"Ya, kita memang nggak boleh membiarkannya, tapi
bukan kalian yang berhak menyentuhnya, melainkan
kami," kata Dicky sambil berlutut di samping Ricardo.
"Sebaiknya kalian jauh-jauh supaya nggak mengacaukan
tempat kejadian perkara."
Dasar menyebalkan. Orang-orang ini hanya ingin
menang sendiri. Aku berusaha menahan kemarahanku,
tetapi Erika tidak punya kesabaran itu.
"Eh, lo kira kalian nggak mengacaukan TKP?" bentak?
nya. "Minimal cuma satu yang deket-deket, yang lain
menjauh! Dan lo," dia memelototi Dicky, "ber?hubung lo
orang pertama yang nyampe di TKP, lo se?benar?nya ter?
tuduh. Jadi nggak seharusnya lo ada di situ. Kami pihak
netral yang lebih bisa dipercaya, tau?"
170 Isi-Omen3.indd 170 "Gue aja!" seru OJ penuh semangat. "Gue anggota
PMR!" Di bawah cahaya kuning yang temaram dari koridor, aku
memandangi wajah OJ yang tengil. Orang ini benar-benar
tak terduga. Tapi aku juga ingat bahwa dia orang per?tama
yang mendatangi Hadi pada saat insiden per?tama dan
berusaha menghentikan perdarahan di lutut?nya.
"Oke, biar kamu aja yang periksa Ricardo, OJ," angguk
Putri menyetujui. Dicky berusaha mengemukakan keberatan. "Tapi..."
"Udah, lo nggak usah protes," ketus Erika. "Dari tadi
banyak bacot, padahal omongan lo kagak ada guna. Biar
si suster cowok ini aja yang ngurusin orang sekarat!"
"Suster cowok?" protes OJ. "Enak aja! Gue cowok tu?
len ngesot, tauuu!" "Berisik ah! Sana, urus tuh si Ricardo. Udah mau dead
tuh dia!" "Hush." Meski mendesis, aku tidak bisa menahan se?
nyum. "Dia nggak akan mati kok. Meski sepertinya dia
nggak akan bisa main basket lagi."
"Sudah dua orang," ucap Putri muram. "Dan cukup
dua orang saja. Semua ini harus dihentikan di sini."
"Nggak usah hipokrit," cibir Erika. "Kalo lo segitu sedih?
nya, kenapa lo malah ngelanjutin acara seleksi nggak guna
gini waktu baru Hadi yang terluka kemarin?"
"Karena..." Ucapan Putri terhenti. "Ini keputusan ber?
sama kami yang nggak bisa diganggu gugat."
Hmm. Dari nadanya, jelas-jelas cewek dingin ini se?
benar?nya tidak setuju dengan dilanjutkannya acara
seleksi. Siapa dari para anggota itu yang menginginkan
acara ini tetap berjalan seperti biasa?
171 Isi-Omen3.indd 171 Dicky si pangeran tajir? "Sebagian besar luka-lukanya nggak parah, bisa diobati
pake Betadine sama ludah." Oke, dia belajar ilmu peng?
obatan dari mana sih? "Tapi kedua tangannya benerbener nggak bisa gue sentuh. Paku-pakunya sampe tem?
bus, bo, dari sisi punggung tangan ke telapak." Oh, God,
kedengarannya mengerikan sekali. "Sepertinya luka-luka
ini cuma bisa dibuat oleh nail gun."
"Nail gun?" "Pistol paku," sahut Les, yang tak kuduga ternyata te?
pat ada di belakangku. "Pelakunya menggunakan senjata
pistol paku." "Berarti," kata Erika sambil melayangkan pandangan
tajam ke setiap orang di dalam ruangan, "siapa pun yang
membawa pistol paku adalah pelakunya. Gimana kalo
untuk mempermudah kerjaan polisi, kita main geledahgeledahan sebentar?"
Aku tahu Erika hanya menggertak saat dia melangkah
maju, tapi Dicky langsung berdiri di depan anak-anak
The Judges. "Tolong ya, sopan sedikit! Ini anak-anak The
Judges, tau?" "Anak-anak The Judges kek, anak-anak Prisoners of
Azkaban kek, emang gue pikirin?" balas Erika nyolot.
"Pokoknya, kalo mencurigakan, ya harus diperiksa! Dan
sesuai buku pedoman kepolisian, tersangka yang mau
bekerja sama biasanya nggak bersalah. Tapi yang defensif
kayak kalian gini, udah jelas-jelas nyembunyiin se?
suatu!" Oke, aku tidak tahu apakah ada buku pedoman
kepolisian atau tidak, dan aku cukup yakin Erika juga
tidak tahu. Tapi apa yang dikatakannya memang masuk
172 Isi-Omen3.indd 172 akal. Anak-anak ini sedari tadi bersikap defensif dan
mencurigakan. Aku tidak heran kalau mereka memang
menyembunyikan sesuatu seperti yang dituduhkan
Erika. Aku memandangi Putri dan Dicky. Pasangan ini sudah
jelas memiliki sifat arogan dan bossy yang sudah men?
darah-daging. Meski begitu, aku menyadari sifat kontra?
diksi yang dimiliki mereka. Putri, meski jutek dan di?
ngin, memiliki kompas moral yang tinggi di dalam
hati?nya, terbukti dari ketidaksetujuannya untuk melanjut?
kan acara seleksi. Sementara Dicky, meski terlihat baik,
periang, dan menyenangkan, lebih seenaknya dan meng?
anggap dirinya berada di kelas yang jauh lebih tinggi
ketimbang orang-orang di sekelilingnya.
Aku mengalihkan pandangan pada anggota-anggota
lain. Lindi tidak terlalu cantik, tetapi memiliki wajah
yang bisa dikategorikan sebagai cewek imut, polos, dan
manis. Tubuhnya yang pendek dan berisi, dengan ram?
but hitam panjang terurai, menegaskan hal itu. Tipe
yang sangat bertentangan dengan Putri, tetapi entah ke?
napa mereka bisa klop. Pacar Putri, yaitu King, tampak cupu dengan kulit
putih, tubuh tinggi besar, dan muka blo?on, tapi dia
ketua tim basket yang sudah membawa tim sekolah kami
memenangkan berbagai kejuaraan.
Suzy adalah tipikal cewek populer, bermata kucing de?
ngan mulut kecil dan rambut panjang bergelombang,
sangat jutek pada cewek-cewek dan luar biasa manis
pada cowok-cowok. Cewek menyebalkan yang, lagi-lagi,
anehnya klop dengan Putri dan Lindi yang tidak me?
miliki persamaan dengannya.
173 Isi-Omen3.indd 173 Jason, pacar terbaru Suzy, tidak kalah menyebalkan.
Cowok itu bertubuh besar dan kuat, serta senang
menindas anak-anak yang lemah. Jason amat sangat sok
pintar, padahal kabarnya dulu dia ditempatkan di kelas
X-D (kelas A untuk yang terpandai, kelas E untuk kelas
anak-anak buangan. Meski begitu, murid peraih juara
umum alias rangking satu dari kelima kelas berasal dari
kelas X-E, yaitu Erika Guruh, sohibku sekaligus si
pembuat onar nomor satu).
Aku tidak punya daya ingat fotografis seperti Erika,
tapi tidak sulit bagiku membayangkan kembali kejadian
pagi tadi, saat anak-anak ini menertawakan le?lucon yang
dibuat Dicky. Aku ingat, wajah-wajah mereka tampak
ceria dan gembira, seolah-olah tak punya masalah apaapa, seolah-olah tidak tahu apa yang terjadi pada Hadi,
sehingga tak tebersit sedikit kecurigaan pun dalam pikir?
anku bahwa merekalah anggota The Judges.
Tidak salah lagi, setiap anggota The Judges ini sanggup
melakukan sesuatu yang sadis dan mengerikan. Ditambah
dengan sikap defensif yang mereka tampakkan malam
ini, bisa dibilang mereka adalah tertuduh potensial.
"Erika, kamu harus tahu posisimu," tegas Putri. "Se?dang?
kan kami adalah anggota The Judges, murid-murid
istimewa yang nggak tersentuh oleh murid-murid biasa
sepertimu. Aku nggak keberatan digeledah atau diintero?
gasi, tapi bukan olehmu, melainkan oleh pihak ber?
wenang..." "Baguslah kalau begitu, karena kami memang akan
melakukannya." Kami semua menoleh ke belakang dan melihat Ajun
Inspektur Lukas muncul dengan langkah lebar dan cepat.
174 Isi-Omen3.indd 174 Tanpa dikomando, kami semua segera mem?berinya akses
menuju korban. Ajun Inspektur Lukas meng?hampiri
Ricardo, memeriksanya dengan tangan berlapis sarung
tangan. "Siapa yang menyentuhnya sejauh ini?" tanyanya tan?
pa menoleh. "Ehm, saya," ucap OJ yang masih berada di dekat
Ricardo, "soalnya saya kepingin mastiin dia nggak luka
parah, dan sepertinya nggak ada yang luka selain kedua


Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangan?nya." "Oke, thank you. Lalu, siapa lagi yang menyen?tuh anak
ini?" "Saya," sahut Dicky tergagap. "Saya yang pertama me?
nemu?kannya, dan saya pikir dia sudah mmm te?was."
"Saya juga menyentuhnya sedikit," kata Lindi takuttakut.
"Saya juga," tambah King.
"Oke." Ajun Inspektur Lukas berdiri dan memberi
isyarat kepada paramedis yang sedang menunggu di luar
gudang. "Kalian boleh masuk. Anak-anak, kita keluar su?
paya tidak mengganggu kerja para petugas."
Berbondong-bondong, kami semua keluar dari area
belakang auditorium. Semakin kami keluar, semakin ku?
sadari di luar ternyata ribut banget. Para polisi dan
petugas paramedis hilir-mudik, beberapa saling meneriaki,
dan setiap mobil yang tiba selalu meraungkan sirene.
Namun area di belakang auditorium tidak menangkap
semua suara-suara ini, sehingga kami bahkan tidak me?
nyadari kedatangan Ajun Inspektur Lukas. Mungkin, se?
baliknya juga, suara-suara dalam gudang tak bakalan bisa
terdengar oleh orang-orang di luar gudang.
175 Isi-Omen3.indd 175 Itulah sebabnya kami tidak bisa mendengar aksi si
pelaku yang menembakkan paku pada Ricardo.
Selama perjalanan ke luar, aku menyadari bahwa Ajun
Inspektur Lukas menerima keterangan dari Erika. Begitu
tiba di auditorium, dia langsung mengumpulkan para
anggota The Judges dan bicara dengan mereka secara
terpisah. "Val..." Aku menoleh dan tersenyum pada Les. "Hai."
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Les tampak khawatir,
se?mentara Vik, seperti biasa, kelihatan masam.
Aku menggeleng. "Aku nggak terluka kok."
"Bukan itu maksudku," kata Les seraya memandangiku
dengan penuh perhatian. "Tadi kamu tampak marah se?
kali." "Jelas aja marah," ucapku datar. "Orang-orang itu benerbener nggak punya perasaan. Bukan aja mereka pagi tadi
masih hepi-hepi meski malam kemarin ada orang yang
celaka dalam acara seleksi yang mereka adakan, tapi tadi
bisa-bisanya mereka ngincar wajah Erika..."
"Cuma satu orang," sela Vik dengan suara tak kalah
datar dibandingkan suaraku. "Orang yang namanya
Dicky itu. Siapa sih dia?"
"Dia ketua Klub Judo yang lumayan populer," sahutku.
"Tapi dibandingkan posisinya itu, dia lebih beken karena
dia mmm tajir banget."
"Pantas gayanya kayak bajingan tengik," ketus Vik.
"Nggak puas rasanya tadi cuma nonjok mukanya. Mana
kamu ikut campur lagi, Val. Lain kali kalo ada acara
hajar-menghajar orang yang berani nyentuh Erika, serah?
kan semuanya padaku."
176 Isi-Omen3.indd 176 Oke, pernahkah aku bilang, aku tidak suka cowok ini?
Sudah pernah? Kalau begitu, akan kutegaskan sekali lagi.
Aku tidak suka BANGET dengan cowok ini. Selamanya.
Tak peduli apa pun yang terjadi.
Belum lagi aku memikirkan kata-kata pedas untuk
membalas Vik, tahu-tahu saja terdengar perdebatan di
dekat kami. "...pokoknya gue mau pulang!" Helen menyentakkan
tangannya yang dipegang Dedi. "Gue nggak mau ikut
lagi dalam ujian ini!"
"Tapi lo kan tau sendiri taruhannya," kata Dedi de?
ngan suara panik. "Kalo kita nggak jadi anggota, kita
akan dikeluarin dari sekolah!"
"Gue nggak peduli!" balas Helen histeris. "Lo lihat apa
yang terjadi pada Hadi dan Ricardo! Bisa lo bayangin
kalo gue yang jadi korban berikutnya?"
Mau tak mau aku membayangkan bagaimana kalau
Helen yang menjadi korban berikutnya. Kemampuannya
yang terbaik adalah sebagai penyanyi solo dalam paduan
suara. Ini berarti, pada saat dia menjadi korban nanti,
tenggorokannyalah yang akan diincar oleh nail gun
tersebut. "Mengerikan, bukan?" ucap Helen sinis. "Jadi lo ngerti
dong, mendingan gue keluar dari sekolah!"
"Hei, tunggu..."
Aku tidak sempat mencegahnya lagi karena Helen
keburu berlari keluar dari pekarangan sekolah, jadi aku
pun berpaling pada Dedi. Yang membuatku kaget dan
heran, cowok itu pucat banget seperti baru saja jadi
korban keganasan Damon Salvatore.
"Ada apa?" tanyaku.
177 Isi-Omen3.indd 177 "Nggak," sahutnya tergagap. "Gue... gue juga mau pu?
lang." "Tunggu dulu," tegurku. "Mungkin Pak Ajun Inspektur
Lukas mau minta keterangan dari kita."
"Gue nggak punya keterangan apa-apa," sahut Dedi
panik. "Gue sama sekali nggak terlibat dalam urusan
ini..." "Kalo kamu pulang, kamu akan tampak bersalah," kata
Les yang muncul tiba-tiba di sampingku. "Lebih baik
kamu tetap di sini dan memberikan pernyataanmu."
"Nggak bisa," sahut Dedi gelisah. "Masalahnya..."
"Masalahnya?" tanya Vik yang ikut-ikutan nongol.
"Nggak," sahut Dedi cepat, terlalu cepat. "Pokoknya
gue nggak bisa tinggal di sini. Gue nggak mau terlibat.
Gue pulang dulu." "Sepertinya dia ketakutan sekali," kata Les seraya me?
mandangi kepergian Dedi. "Ada alasan khusus kenapa
dia bisa pucat begitu?"
"Aku nggak tau," gelengku. "Mungkin seharusnya aku
mencari hubungan antara Ricardo, Hadi, dan Dedi."
"Tambahkan cewek yang tadi pergi juga," cetus Vik.
"Berani taruhan, dia juga punya alasan kuat untuk begitu
yakin dia bakalan jadi korban berikutnya."
Bagus. Sekarang dia mulai menyuruh-nyuruhku. Dasar
tukang ojek sialan. "Val, nanti mau pulang bareng?"
Uh-oh. Daniel muncul bersama Rima. Yang satu
tampan cemerlang seperti cowok yang baru saja keluar
dari mesin cuci, yang satu lagi mirip hantu yang me?
rangkak keluar dari dalam televisi. Pasangan yang super?
aneh, tapi entah kenapa terlihat cocok.
178 Isi-Omen3.indd 178 Sayangnya, mereka bukan pasangan. Daniel terlihat
sa?ngat tidak senang melihat kemunculan Les dan Vik?
atau mungkin cuma Les, karena tatapannya yang me?
nantang terarah pada Les.
"Val malam ini pulang sama gue," kata Les dengan
suara santai, seolah-olah sama sekali tidak terganggu
dengan sikap Daniel, padahal tangannya yang memegang
bahuku mendadak berubah kaku. Sepertinya dia juga
sangat tidak senang pada Daniel.
"Naik motor?" Nada suara Daniel terdengar menghina.
"Itu kan nggak aman. Kalo dia jatuh, lo mau tanggung
jawab? Lagi pula, angin malam nggak baik untuk kesehat?
an. Kalo lo perhatian sama Val, seharusnya lo jangan
nawarin diri buat anterin dia pulang."
"Nggak seperti sejumlah orang sok jago, gue nyetirnya
hati-hati kok," sahut Les dengan nada yang sama dengan
yang digunakan Daniel. "Lagi pula, Val bukan cewek
rapuh yang gampang kena penyakit. Kalo lo kenal dekat
sama dia, lo seharusnya tau itu."
Oh, God, pembicaraan ini benar-benar memalukan. Mana
suasana mulai terasa panas dan tidak menyenang?kan.
Terutama karena Daniel mendekati Les sampai jarak antara
ujung hidung mereka hanya sekitar dua atau tiga senti?
meter. Oke, semoga mereka berdua rajin sikat gigi, karena
kalau tidak, hawa-hawanya pasti terasa tidak enak banget.
"Jaga omongan lo!" geram Daniel. "Lo kira lo sedang
ada di mana? Ini daerah kekuasaan gue, tau? Dan singkir?
in deh tangan busuk lo dari Val, dasar bapak-bapak!"
Alis Les naik sebelah. "Lo punya daerah kekuasaan?
Gue kira lo cuma keroco rendahan, soalnya kebetul?an
gue kenal bos lo. Dan gue bapak-bapak? Apa lo nggak
179 Isi-Omen3.indd 179 salah? Tampang lo nggak keliatan lebih muda daripada
gue kok." Sesaat Daniel tidak bisa berkata-kata. "Yang jelas, Val ke?
bagusan buat elo," dengusnya akhirnya. "Dan lo sendiri
juga tau itu." "Ya," angguk Les. "Dan dia juga kebagusan buat elo.
Jadi posisi kita sama... huaaa!"
Bukan cuma Les yang kaget, melainkan juga Daniel,
saat sesosok hantu menyelinap di tengah-tengah mereka.
Hantu itu, tentu saja, adalah Rima.
"Cukup, kalian berdua," ucapnya dengan suara rendah
dan wajah pucat yang menyala dalam kegelapan.
"Tingkah kalian benar-benar memalukan. Di dalam sana
ada mayat teman kami yang belum selesai diurus, dan
kalian malah memperebutkan seorang cewek yang tam?
pak sangat tidak terkesan dengan ulah kalian."
Oke, teknisnya, Ricardo belum mati, dan aku cukup
yakin anak itu akan tetap hidup untuk jangka waktu yang
cukup lama. Tetapi, saat ini tidak ada yang berani mem?
bantah Rima saking seramnya. Apalagi cewek itu benarbenar tampak dingin dan kejam saat ini. Lirik?annya pada
setiap orang seolah-olah sanggup mem?bunuh orang itu.
Wow. "Hei, what?s up?"
Mendadak Erika muncul, tampangnya heran melihat
ketegangan di antara kami. Tetapi keheranan itu berubah
jadi bete saat tatapannya jatuh pada Vik.
"Kata si Ajun Inspektur, kita semua bisa pulang," kata
Erika datar. "Ayo, Val, Chuck nungguin kita."
"Erika, kamu pulang sama aku," sela Vik. "Kita harus
bicara." 180 Isi-Omen3.indd 180 "Emangnya apa lagi perlu kita bicarain?" ketus Erika.
"Yang lo lakuin cuma maksain kehendak lo ke gue,
nggak peduli gue merasa terhina dan murahan atau
nggak. Sebelum lo benahi sikap lo, jangan ketemu gue
dulu!" Merasa terhina dan murahan? Oh, God. Jangan-jangan
Vik memaksa Erika untuk... Tapi, tidak mungkin! Vik
bukan cowok semacam itu! Eh, tunggu dulu. Kenapa aku membelanya? Aku kan
tidak suka padanya! Ah, sial. Bagaimanapun, aku tidak bisa membantah.
Vik cowok yang baik dan lurus. Dia tidak akan melaku?
kan apa pun yang tidak terhormat. Tapi, kalau begitu,
kenapa Erika berkata seperti itu?
Sepertinya apa yang ada dalam pikiranku juga terlintas
di benak semua orang, karena wajah semuanya tampak
shock dan pucat. Hanya Les yang tampak bingung.
"Oi, Vik, kata lo, lo cuma ngelakuin..."
"Apa pun yang gue lakuin, itu urusan pribadi gue,"
tukas Vik seraya membungkam Les. "Erika..."
Vik berusaha menahan bahu Erika, tapi Erika malah
langsung menjotos muka cowok itu. Untung saja Vik
keburu menahannya. Kalau tidak, bisa-bisa kami harus
menyaksikan pertengkaran berdarah pasangan barbar
ini. "Val, cepat!" Berhubung aku tidak mau jadi sasaran amukan Erika,
aku pun terbirit-birit mengikutinya. Lagian, sejujurnya,
aku lega bisa melarikan diri dari situasi memalukan yang
membuatku terjepit antara Les dan Daniel. Namun aku
juga penasaran banget, apa yang dilakukan Vik sampai181
Isi-Omen3.indd 181 sampai hubungan mereka yang tadinya begitu akrab dan
dekat?hampir-hampir mesra, tapi kalian tahu cewek
seperti Erika tidak mengerti arti kata "mesra"?mendadak
rusak sampai sedemikian parah?
Jadi, sebelum kami tiba di tempat tongkrongan Chuck,
aku menyambar tangan Erika.
"Erika, sebenarnya apa sih yang terjadi antara lo dan
Vik?" Erika menoleh, dan aku shock luar biasa melihat mata
yang biasanya bersinar-sinar dengan sorot mata me?
nantang, kini dipenuhi air mata bak cewek-cewek dalam
sinetron yang kena tindas. Lebih tepatnya, mirip cowokcowok dalam sinetron yang kena tindas.
"Jangan tanya, oke?" ucapnya dengan suara tersendatsendat. "Belum pernah gue diperlakukan begini rendah.
Seumur hidup gue nggak akan ngelupain semua peng?
hinaan ini. Tukang ojek sialan, berani-beraninya dia
ngelakuin semua ini terhadap gue!"
Aku hanya bisa ternganga saat Erika menderap pergi
dan meninggalkanku. Oke, sebenarnya, apa sih yang terjadi?
182 Isi-Omen3.indd 182 Rima Hujan, X-B "RIMA, tunggu!"
Aku tidak menoleh. Untuk apa? Sudah jelas, satu-satu?
nya cowok yang punya nyali untuk mengejar cewek
bertampang seram seperti aku hanyalah Daniel. Lebih
baik aku fokus membuka kunci roda sepedaku. Tunggu
dulu, aku lupa nomornya gara-gara cowok yang kerjanya
bikin jantungku kalang kabut ini... Ah, ya, 4747.
"Mau pulang sama gue nggak, Rim?"
Lagi-lagi aku tidak menyahut. Habis, dia menawarkan
hal itu hanya karena dia ditolak oleh Erika dan Valeria,


Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

teman-teman cewek yang betul-betul disukai dan di?
hormatinya. Sementara, seperti cewek-cewek normal lain,
aku tidak berniat dijadikan pengganti. Rasanya ter?hina
banget. Dan menyakitkan. "Hei!" Napasku tersentak saat Daniel memutar bahuku
dan memaksaku berhadapan dengannya. "Lo kenapa,
Rim? Marah sama gue?"
Jawabannya, tentu saja, adalah iya. Tetapi, aku bukan
pendendam. Daripada memberinya jawaban yang mem?
buatnya sakit hati, aku memilih bungkam dan hanya
183 Isi-Omen3.indd 183 menatapnya. Biasanya, orang-orang sering meng?alih?kan
pandangan saat kupandangi, soalnya mereka meng?
anggap tampangku mengerikan banget. Tapi Daniel
membalas tatapanku lekat-lekat. Pada akhirnya, akulah
yang harus mengalihkan tatapan lantaran jantungku
berdebam-debam tak terkendalikan lagi.
Sialnya, dengan menusukkan ujung telunjuknya ke
pipiku, Daniel memaksaku untuk membalas pandangan?
nya lagi. Demi kuburan-kuburan telantar dan semua
hantu?nya, cowok ini berani banget!
"Kalo lo emang marah sama gue, ini berarti kita harus
bicara," ucapnya sambil menyunggingkan senyum lebar
tanpa dosa yang membuatku kepingin meleleh di
tempat. "Pulang sama gue, ya."
Kali ini aku siap dengan jawabanku. "Aku nggak bisa
ninggalin sepedaku. Kalo kutinggalin, besok aku nggak
bisa ke sekolah." "Benar juga." Daniel menggaruk-garuk kepalanya. "Gue
sebenarnya mau-mau aja jemput elo, tapi gue sendiri
sering telat, dan gue nggak mau nyeret-nyeret elo ikutan
telat." Cowok itu tampak berpikir keras. "Gini aja. Gue
ikut lo naik sepeda."
Gampang betul dia ngomong. "Aku nggak sanggup
ngebonceng kamu, Niel."
Tawa Daniel menyembur. Sesaat aku terpana, takjub
menikmati kemampuanku untuk membuat cowok itu
ter?bahak-bahak. Akhirnya, cowok itu menyeka ujung
mata?nya yang sipit dan sedikit berair.
"Aih, Rim, lo lucu banget!" ucapnya. "Yah, pasti gue
nggak akan tega nyuruh elo nyeret-nyeret cowok seberat
184 Isi-Omen3.indd 184 enam puluh kilo deh. Tentunya gue yang akan ngebonceng
elo dong." Aku menatap muka yang rada pongah itu. "Ini sepeda
mini, Niel." "No problemo," ucapnya dengan kepercayaan diri yang
tidak berkurang setitik pun. "Ayo, serahin sepeda lo ke
gue!" Setengah geli aku menyerahkan sepeda miniku pada
Daniel. Meski sepeda itu berwarna hitam, selama ini aku
selalu menganggap modelnya cukup girly. Yah, biarpun
aku Rima, si cewek hantu menyeramkan, seleraku se?
benar?nya cukup girly kok?atau lebih tepatnya, creepy and
girly. Namun sepedaku yang biasa terlihat girly kini di?
duduki oleh Daniel yang tampak punya pede superprima,
dan mendadak saja sepeda itu terlihat tidak girly lagi,
melainkan jadi macho. Meski keranjang yang tertempel
di bagian depan sepeda itu rada mengurangi kadar
kemachoannya. "Ayo," kata Daniel penuh semangat, "cepet duduk di
belakang gue, Lady Sherlock!"
Gaya Daniel betul-betul kekanak-kanakan, mirip anak
kecil yang mengajak temannya main sepeda bareng. Mau
tak mau aku jadi tersenyum, dan memutuskan untuk
mem?biarkan cowok itu memboncengkanku. Aku duduk
di belakang dengan gaya menyamping, dan selama be?
berapa waktu, aku termangu-mangu. Apa aku harus me?
meluk pinggang Daniel, ataukah lebih baik aku me?
megangi sadel belakang dengan sekuat tenaga? Kalau aku
me?meluk?nya, akankah aku dianggap cewek murahan?
Tahu-tahu Daniel mulai menggenjot dengan kecepatan
tinggi, dan spontan aku langsung memeluknya.
185 Isi-Omen3.indd 185 "Kita kebut ya, Lady Sherlock! Yihaaa!"
Cowok ini benar-benar kayak anak kecil?dalam arti
yang baik. "Gimana kamu pulang nanti?" ucapku agak keras su?
paya Daniel bisa mendengarku.
"Ah, gue kan cowok, naik apa pun oke," sahutnya
enteng tanpa menoleh. "Kalo nggak ada yang bisa dijadi?
in tumpangan, ya gue bisa aja keluarin tenaga super gue
dan terbang." "Maksudmu, kamu dan Superman masih punya
hubung?an darah?" "Iya. Dia itu abang gue."
Mungkin karena sudah mengantuk, pikiranku jadi me?
lantur. Aku mulai membayangkan Daniel mengenakan
kostum ketat serbabiru dengan celana dalam warna
merah di luar. Meski tidak ingin, aku jadi tertawa juga.
Dan sebut saja aku gila, dari punggung Daniel, aku bisa
merasakan dia sedang tertawa juga.
"Pasti lagi ngebayangin celana dalam merah."
"Emang." "Rima Hujan ternyata suka ngebayangin yang anehaneh juga, ya!" Daniel diam sejenak. "Jadi, kenapa tadi
marah sama gue?" Aku menghela napas. Sepertinya topik ini memang
tidak bisa dihindari. "Aku bukan pengganti, Niel."
"Pengganti? Pengganti apa?" Suaranya terdengar bi?
ngung, seolah-olah dia tidak menyadari tindakannya itu.
"Pengganti Erika dan Valeria." Lagi-lagi aku menghela
napas. Orang bilang, jatuh cinta itu indah, tapi bagiku
jatuh cinta hanya bikin aku merasa bertambah tua.
"Kamu hanya mencariku di saat mereka nggak ada. Ka?
186 Isi-Omen3.indd 186 lau mereka ada, kamu bahkan nggak menyadari kehadir?
an?ku." "Itu nggak bener!"
Saking kagetnya, cowok itu mengerem sepeda, mem?
buat?ku terlempar ke arah punggungnya. Aduh. Malu ba?
nget kalau sampai disangka aku sengaja menyandarkan
diriku padanya. Saat aku masih sedang tersipu-sipu,
Daniel berpaling ke belakang dan menatapku dengan
tam?pang shock. "Masa lo bisa mikir gitu, setelah se?
malam?an ini kita jalan bareng?"
Oke, ucapannya itu membuatku makin merona saja,
tapi, "Kamu kan hanya ingin memanfaatkan kemampuan?
ku." "Rima Hujan!" Terdengar kecaman dalam suara Daniel.
"Andai lo bukan cewek, gue udah lempar lo ke selokan
ter?dekat. Bisa-bisanya lo berpikir gue sedangkal itu! Lo
tau sendiri, gue udah lama sebangku dengan Erika si ce?
wek rangking satu. Kalo gue emang hobi manfaatin ke?
mampuan temen, lo kira rangking gue bakalan serendah
ini?" "Emangnya kamu rangking berapa?"
"Tiga puluh dua. Dari tiga puluh empat anak di kelas
X-E." Muka berang itu mendadak nyengir. "Rangking
tiga puluh tiga itu Amir dan tiga puluh empat Welly.
Yah, mana mungkin gue lebih bodoh ketimbang mereka
berdua? Hehehe." Entah untuk keberapa kalinya aku tertawa malam ini.
Astaga, padahal biasanya dalam sebulan belum tentu aku
tertawa barang sekali saja! Cowok ini benar-benar kocak
dan menyenangkan?atau barangkali aku saja yang
tergila-gila padanya? 187 Isi-Omen3.indd 187 "Rima, menurut gue, lo pribadi yang sangat menarik,"
ucap Daniel sungguh-sungguh?atau setidaknya, begitu?
lah yang terlihat. "Lo cantik, tapi lo menyembunyikan
kecantikan lo hanya karena bekas luka yang sebenarnya
nggak jelek. Lo pinter, tapi lo juga menyembunyikan
kepinteran lo." Aku hendak membantah, tapi Daniel mengangkat
tangannya untuk mencegahku.
"Percaya deh, sebagai teman sebangku Erika, gue udah
ter?biasa sama anak-anak pinter. Nggak ada yang bisa bi?
kin gue terkesan selain Erika dan, yah, Val?yang meski
nggak sepinter Erika, tapi bisa sebanding lantaran dia
berusaha keras. Sedangkan elo, tanpa berusaha pun,
mung?kin lo nggak kalah dibanding Erika. Tapi anehnya
selama ini lo lebih dikenal dengan kemampuan melukis
lo." Ucapan Daniel membuatku tercekat. Ya, dia benar. Aku
selalu berusaha menahan diri supaya tidak terlihat
pintar-pintar amat. Bukan karena aku rendah hati atau
sok menyembunyikan kemampuan, melainkan karena
semua kemampuan ini membuatku sakit kepala. Baik
setiap soal yang diberikan guru ataupun setiap situasi
yang kuhadapi, yang pertama dilakukan oleh otak?ku
adalah menganalisisnya dengan cepat dan tepat, dan itu
sangat melelahkanku. Itulah sebabnya aku memfokus?kan
diri dengan melukis. Hanya dengan melukis, aku bisa
melupakan semuanya. Terkadang aku menumpahkan
semua pikiranku pada lukisanku. Setelah itu, barulah aku
bisa mengosongkan pikiranku. Mungkin, melukis bagiku
adalah meditasi bagi kebanyakan orang.
Tapi seharusnya tak ada yang tahu soal ini. Selama ini,
188 Isi-Omen3.indd 188 aku berhasil menutupinya dengan baik. Akan tetapi,
kenapa cowok yang baru pertama kalinya menyapaku
satu malam yang lalu bisa mengetahui semua ini? Semua
ini hanya menegaskan, di balik rangkingnya yang rendah
banget, Daniel Yusman adalah cowok cerdas.
"Ya, gue tau." Ucapan mendadak Daniel membuatku
mendongak padanya. "Pasti lo sekarang sedang mikir,
wah, Daniel perfect banget! Selain ganteng, juga pinter,
ya! Selama ini dia pura-pura nggak naik kelas aja."
Oke, mana ada yang berpura-pura tidak naik kelas?
Ucapan itu lagi-lagi membuatku tertawa kecil dan Daniel
nyengir lagi. "Tapi sama seperti lo, ini rahasia gue. Jadi sekarang lo
tau rahasia gue, dan gue tau rahasia lo." Dia meng?
ulurkan jari kelingkingnya. "Kita sama-sama menjaga
rahasia satu sama lain, oke?"
Ini rahasia yang konyol dan tidak perlu dijaga, tapi
aku senang menanggapi leluconnya. Aku mengulurkan
jari kelingkingku dan mengaitkannya pada jari kelingking?
nya. Jantungku berdebar saat setelah kelingking kami
saling terkait, tangannya menangkap tanganku.
Tapi rupanya Daniel tidak bermaksud apa-apa.
"Dengan ini, perjanjian ini tersegel," katanya khidmat.
"Perjanjian rahasia ini akan mengikat kita untuk selamalamanya."
Oke, selama-lamanya? Kata itu membuatku makin ber?
debar. "Sekarang lo percaya kan, kalo gue bener-bener tulus
kepingin temenan sama elo?" tanya Daniel. "Gue akui, gue
seneng lo bantu gue saat ujian seleksi malam ke?marin
maupun tadi. Tapi, kalopun lo nggak mau nge?bantu gue,
189 Isi-Omen3.indd 189 it?s okay. Gue tetep seneng kok berteman sama elo. Tapi, di
sisi lain, menghabiskan waktu sama elo sangat me?nyenang?
kan. Asal tau aja, gue suka cewek pen?diam." Cowok itu
nyengir seraya memainkan alisnya. "Gue kan orangnya
bawel, jadi gue seneng pu?nya cewek yang mau dengerin
ocehan gue yang meaningless. Dan omong-omong, gue juga
suka cewek pinter." Sekarang logikaku jadi kacau. Apa maksud cowok ini?
Apa dia ingin mengatakan bahwa aku tipe cewek impian?
nya? Aku, Rima Hujan, si cewek yang sering di?sama?kan de??
ngan Sadako, adalah tipe cewek impian Daniel Yusman, si
cowok populer yang bahkan punya fans club di sekolah?
Seandainya ini lelucon, ini lelucon yang sangat tidak
lucu. Soalnya, jujur saja, aku ngarep banget. Aku sa?ngat
berharap bahwa ucapan itu sungguh-sungguh. Tapi ini
tidak mungkin... Tunggu dulu. Oke, aku benar-benar tolol. Tentu saja, yang dimaksud
Daniel bukanlah aku, melainkan Valeria. Ya, tentu saja!
Cewek pendiam dan cerdas yang selalu mendengarkan
omongannya, siapa lagi kalau bukan Valeria yang selalu
berada di sisinya? Aku benar-benar tolol, meski hanya
sekejap, mengira bahwa yang dia maksud adalah aku.
Ini benar-benar sangat memalukan. Jatuh cinta itu
memalukan. Sekali lagi, siapa bilang jatuh cinta itu
indah? Orang yang berani bilang begitu akan kulindas
de?ngan sepeda, lalu kumasukkan ke dalam peti mayat
Iron Maiden-ku. Biar tahu rasa, sudah membohongi
cewek-cewek lugu sepertiku.
Eh, bukannya aku benar-benar lugu sih, karena cewek
lugu tidak bakalan bermain-main dengan Iron Maiden.
190 Isi-Omen3.indd 190 "Ayo, kita jalan lagi."
Daniel mulai mengayuh sepeda lagi. Tanpa menanya?
kan jalan padaku, dia mengayuh menuju arah yang
benar. Tidak mengherankan, sebenarnya. Meski tidak se?
ring, dia pernah mengantar Valeria pulang. Seperti ma?
lam kemarin, misalnya. Aku sempat mengintip dari
jendela saat mendengar deru mobil di depan rumah.
Maklumlah, tidak ada orang gila yang rela mengorbankan
mobil mereka yang tercinta melewati jalanan rusak
berbatu yang ada di sekitar rumahku.


Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Asal tahu saja, kompleks yang kami diami adalah kom?
pleks yang sudah mati, alias tidak dihuni lagi. Kabarnya,
beberapa puluh tahun lalu, ada orang yang mengidap
penyakit aneh yang membuatnya menyerang semua orang
yang dikenalinya dan memakan mereka. Gosip me?
ngatakan, berkat penyakit aneh yang dideritanya, orang itu
malah jadi panjang umur dan masih berkeliar?an di
kompleks di sekitar rumahku. Gosip yang sama sekali tidak
benar, tentu saja, karena kalau itu benar, tentu aku sudah
bertemu dengannya. Meski begitu, tak ada yang mau
mengambil risiko untuk tinggal di sana. Itulah sebabnya
jalanan di sini tidak terurus, sementara rumah-rumah
mewah dan taman-taman besar ditelantarkan begitu saja.
"Eh, Rim, lo beneran tinggal di luar kompleks selama
ini?" "Ya." "Sendirian aja?"
"Ya." "Aman gitu?" Aku tersenyum. Sebenarnya, rumahku jauh lebih ber?
bahaya dibanding dengan siapa pun yang berani mati
191 Isi-Omen3.indd 191 ma?suk tanpa izin. "Tentu aja. Buktinya selama ini aku
baik-baik aja, kan?"
"Nggak baik-baik." Suaranya terdengar khawatir. "Bukti?
nya lo sampe punya bekas luka gitu."
"Itu sebelum aku tinggal di sana kok."
"Oh." Dia terdiam sejenak. "Sepertinya masa kecil lo
nggak terlalu menyenangkan."
"Begitulah." "Kok lo santai banget mengakui itu?"
Sebenarnya sih aku tidak santai. Mengingat hal itu
ma?sih membuatku ngeri dan traumatis. "Suaraku emang
begini kok." "Lo selalu tenang ya, Rim. Gue kepingin tau apa yang
bisa bikin lo jadi kalap."
Kamu. Jawabannya: kamu! Masa sih kamu nggak bisa
me?lihat?nya? Padahal semuanya begitu jelas. Aku sama sekali
nggak sanggup menutupinya dari semua orang. Tapi cuma
kamu satu-satunya yang buta dan nggak bisa melihatnya.
Cowok memang makhluk yang bodoh.
Tiba-tiba cowok itu bernyanyi-nyanyi kecil.
As we go on, we remember All the times we had together
But as our lives change Come whatever We will still be friends forever
Meski tidak mirip, lagu yang dinyanyikan itu meng?
ingat?ku pada lagu yang selalu dimainkan Daniel di ruang
piano lama. "Lagu apa itu?"
192 Isi-Omen3.indd 192 "Friends Forever. Lagu yang dibuat berdasarkan musik
Canon-nya Johann Pachelbel."
Aku tidak mengerti satu kata pun yang dia ucapkan,
tapi aku menyadari itulah judul lagu yang di?main?kannya
di ruang musik itu. "Kamu suka lagu-lagu kla?sik?"
"Seorang pianis emang harus tau banyak soal lagu-lagu
klasik, tapi," aku bisa membayangkan cengiran Daniel,
"gue lebih suka lagu-lagu modern dong. Meski begitu,
harus gue akui, banyak lagu klasik yang tetep keren
sepanjang masa. Contohnya ya Canon. Sesekali lo harus
dengerin gue mainin itu pake keyboard."
Aku ingin mendengarnya juga suatu hari. Masalahnya,
berbeda dengan lagu yang barusan dinyanyikan Daniel dan
perjanjian konyol yang mengikat kami, aku tak yakin akan
bisa berteman dengan cowok itu selama-lamanya.
Sebab, meski tidak ingin mengakuinya, aku tahu.
Suatu hari Daniel akan lupa padaku.
Kami memasuki gerbang kompleks yang sudah ter?
bengkalai bertahun-tahun. Pepohonan rimbun dan semak
belukar nyaris menutupi papan nama kompleks yang
separuh miring, seolah-olah siap ambruk sewaktu-waktu,
dengan sebagian besar huruf yang sudah menghilang.
Sisa?nya adalah "TA__N HU___ ABADI".
"Tau nggak, apa yang terlintas di kepala gue saat gue
baca nama kompleks ini?" kata Daniel saat melewati pa?
pan itu. Aku bisa menduganya. "Nggak."
"Hantu Abadi." "Bukan Hutan Abadi?"
"Yah, itu sama seramnya sih. Menurut lo, apa nama
se?benarnya?" 193 Isi-Omen3.indd 193 "Taman Hujan Abadi."
"Yang bener lo?" Daniel tertawa. "Rima Hujan tinggal
di Taman Hujan Abadi. Keren banget!"
Aku tersenyum. Memang seperti itulah pikiranku.
Senyumku memudar saat melihat sebuah becak sudah
berhenti tak jauh dari kami. Tukang becak Erika langsung
menyadari kedatangan kami, dan wajahnya memucat
tatkala melihatku. Apalagi saat Daniel menghentikan
sepedanya. "Non, ayo kita pergi!"
"Berisik ah lo, Chuck!" ketus Erika. "Itu kan cuma si
Rima!" "Non, jangan kurang ajar sama roh halus. Bisa-bisa
kita digentayangin sepanjang malam!"
"Chuck, lama-lama gue tabok, ya! Itu manusia biasa,
tau? Manusia biasa! Temen sekolah gue!" Erika berpaling
padaku. "Rim, lo bisa bantu nyadarin tukang becak yang
per?caya takhayul ini nggak?"
Aku turun dari sepeda dan menghampiri tukang becak
yang sepertinya sudah siap ngibrit itu. "Halo, Chuck. Nama
saya Rima." Bukannya menyahutiku, si tukang becak malah ngum?
pet di belakang punggung Erika. "Non, kalo kita nggak
pergi sekarang juga, lain kali saya nggak mau anterin
Non ke sini lagi!" "Cih, dasar pengecut!" Erika menyeret si tukang becak
ke sadelnya. "Ya udah, lain kali gue kasih jimat bikinan
sendiri deh! Asal lo tempelin di tengah-tengah jidat lo,
dia nggak akan berani mendekat."
"Wah, dia takut sama jimat bikinan Non?"
194 Isi-Omen3.indd 194 "Bukan, dia takut sama elo, soalnya disangka gila."
Erika mendecak seraya meloncat masuk ke dalam becak.
"Susah banget berurusan sama orang yang lebih takut
sama hantu ketimbang psikopat! Gue cabut dulu ya,
teman-teman! Niel, pastiin dua cewek ini tiba di rumah
dengan selamat!" "Beres, Bos!" Sepeninggal Erika yang pergi dengan gaya bagaikan
ratu yang pergi dengan tandunya, yang tertinggal adalah
Daniel dan Valeria. Dan aku. Oke, ini benar-benar canggung. Bagiku, maksudnya.
Soal?nya, mendadak saja Daniel lupa dengan keberadaan?
ku. "Hei, Val," katanya sambil mendekati Valeria. "Sori ya,
buat keributan tadi. Gue bener-bener nggak enak sama
elo." Dia menggaruk-garuk kepalanya. "Gue nggak tau
ke?napa, tapi setiap kali ngeliat si brengsek itu, rasanya
jadi kepingin marah."
"Oh, begitu," senyum Valeria. "Tapi si brengsek itu
pa?car gue, jadi kalo lo nggak mau dia ngelarang kita
temenan, lo harus baik-baik sama dia."
Wajah Daniel memucat. "Lo udah pacaran sama dia?
Sejak kapan?" "Mmm." Valeria berpikir sejenak. "Entah, ya. Hubung?
an gue sama dia emang sulit dijelaskan dengan katakata."
Daniel terdiam lama. "Lo tau kan, kalo gue sungguhsungguh dengan kata-kata gue tadi? Elo terlalu bagus
untuk dia, Val." "Nggak kok," geleng Valeria. "Sebaliknya, dia yang ter?
195 Isi-Omen3.indd 195 lalu bagus buat gue, Niel. Berkat dia, gue belajar untuk
jadi cewek yang lebih mandiri dan nggak tergantung
sama orangtua." "Dan gue belajar dari elo." Daniel tersenyum. "Oke,
gue akan berusaha nggak ganggu dia lagi. Tapi gue nggak
akan putus asa lho! Gue akan nungguin elo, sampe elo
sadar kalo elo emang terlalu bagus untuk dia. Nah,
sekarang gue akan menuruti perintah bos gue. Akan gue
kawal lo pulang." Jantungku langsung terasa perih. Yang dia maksud
cuma Valeria. Bukan aku. Saat Valeria ada, dia langsung
lupa padaku. Oke, aku tahu aku bukan siapa-siapa bagi
Daniel, tapi kenapa saat ini aku merasa dikhianati?
*** Malam ujian seleksi lagi.
Dan kali ini aku sendirian.
Aku memandangi gedung-gedung sekolah yang men?
julang di depanku. Seperti biasa, hanya ada sedikit
lampu yang menyala, namun cukup untuk memberi
penerangan bagiku untuk melihat sekelilingku.
Demi lukisan The Scream-nya Edvard Munch, aku
benar-benar sendirian di sekolah ini!
Aku tidak mengerti. Aku tidak tahu misi apa yang
mereka berikan malam ini. Bahkan, aku tidak tahu kapan
mereka membagikan misinya! Sekarang aku tidak tahu
apa yang harus kulakukan, dan aku tidak tahu sudah
berapa lama aku luntang-lantung sendirian....
Oh, sial. Jangan-jangan... semua orang sudah selesai
me?lakukan misi, dan aku satu-satunya yang tertinggal?
196 Isi-Omen3.indd 196 Ini berarti, malam ini, akulah orang terakhir yang
tertinggal. Oh, tidak. Sesosok bayangan menyelinap di belakangku. Aku me?
noleh, tetapi aku tidak melihat siapa-siapa. Saat aku
menoleh, bayangan lain melintas di depanku, tetapi saat
aku berpaling lagi, tidak ada orang di sana.
Apa ini permainan pikiranku saja? Aku tidak jago olah?
raga, tetapi biasanya gerakanku sangat cepat (mungkin
karena aku kurus). Aku tidak gampang dibodohi dengan
adegan menyelinap seperti ini. Sebaliknya, biasanya aku?
lah yang membodohi orang. Kali ini, kalau bukan hanya
imajinasiku, berarti lawanku jauh lebih cepat di?banding
aku. Dan kalau itu benar, berarti aku berada dalam kesulit?
an besar. Mendadak seutas tali muncul dari belakang bahuku
dan menjerat leherku kuat-kuat. Aku meronta-ronta, tapi
percuma, aku bukan cewek atletis. Sambil megap-megap
menggapai napas, perlahan-lahan tali itu menutup
rongga pernapasanku. Mataku yang dipenuhi air mata
berkunang-kunang, menyadari ini adalah detik-detik ter?
akhir kehidupanku. Seperti dugaanku, malam ini korbannya adalah aku.
Nyawaku tinggal secuil, siap meninggalkan ragaku, tapi
aku masih sempat mendengar teriakan seseorang yang
suaranya seperti kaset rusak.
"Dia masih hidup. Tembak matanya dengan nail gun
itu!" Oh, tidak. Jangan! "Kata orang, dia punya penglihatan. Itu kemampuan?
197 Isi-Omen3.indd 197 nya yang terbesar! Lenyapkan kemampuan itu, supaya
kita nggak punya alasan untuk menerimanya menjadi
anggota!" Tidak. Aku tidak punya penglihatan. Semua ini hanyalah
gosip. Jangan tembak mataku dengan pistol paku itu, ku?
mohon! Tolong aku! Siapa saja tolong, tolong,
tolooong...! Dan aku terbangun. Aku hanya bermimpi. Mataku terasa kabur, dan kusadari, dari sekian banyak
detail dalam mimpiku, air mata itu sungguhan. Mimpi
yang benar-benar mengerikan. Meski aku sudah tahu itu
hanyalah mimpi, tubuhku tetap gemetaran tanpa
henti. Dan dari sekian banyak detail lainnya, ada satu lagi
yang sungguhan. Tidak salah lagi, pelakunya adalah anggota The
Judges! Dan aku akan menghentikannya melanjutkan semua
ini, sebelum aku sendiri yang menjadi korban.
Aku berusaha menenangkan diri. Aku tidak boleh
kelihat?an rapuh. Perlahan-lahan, aku turun dari ranjang?
ku. Dalam kegelapan, kukenakan sandalku.
Lalu aku mulai berjalan. Meski gelap gulita, rumah itu sudah kukenali dengan
baik. Aku tahu bagaimana alur lorong-lorongnya, tidak
peduli lorong-lorong itu sering kuubah?dengan tuas
otomatis yang menutup lorong satu dengan dinding dan
membuka dinding lain. Aku tahu pasti di mana jebakanjebakan itu kupasang. Dan aku tahu lukisan mana yang
harus kudorong untuk menuju tempat yang tepat.
198 Isi-Omen3.indd 198 Dan tempat yang tepat malam ini adalah kamar
Valeria. Aku tiba di kamar itu. Kamar yang amat sangat me?
wah, yang sangat bertolak belakang dengan kamarku


Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang bersahaja. Tentu saja, aku sudah berusaha keras
tidak mengecewakan putri keluarga Guntur itu. Aku
berhasil mendapatkan desain kamarnya di rumah yang
dulu ditinggalinya bersama ayahnya, dan aku mengubah
kamar yang tadinya kosong melompong itu hingga se?
indah sekarang. Tapi itu tidak penting. Yang lebih penting adalah apa
yang kudapat dari mimpiku. Mimpi itu bukan penglihat?
an. Mimpi itu adalah kenangan, kenangan tentang
sebuah detail yang tadinya tak kuperhatikan.
"Bangun, Valeria."
Hanya dengan satu bisikan itu, Valeria terbangun dan
meloncat ke seberang ranjang, jauh dariku. Dengan satu
gerakan cepat dia menyalakan lampu.
"Rima!" serunya lega. "Ternyata cuma elo. Gue kira
ada penyusup! Ada apa?"
Pastilah mukaku pucat dan ketakutan akibat pengaruh
mimpi tadi, tapi aku tidak peduli.
"Aku tahu bagaimana cara menjebak pelaku semua
kejadian ini." 199 Isi-Omen3.indd 199 Erika Guruh, X-E HARI ini mood-ku tidak oke banget.
Bukannya mood-ku biasanya bagus sih. Sebagai Omen,
si anak terbuang dan tak diinginkan, sudah menjadi
takdirku untuk hidup dalam kemarahan terhadap dunia
yang tidak adil dan dipenuhi orang-orang munafik.
Namun, pada dasarnya aku sudah belajar untuk hidup
damai dengan kemarahan itu. Maksudku, aku tahu ke?
marahan itu ada, tapi aku berusaha melupakannya. Val
menjadi bagian penting dari proses itu?dia membuatku
sibuk dengan berbagai kegiatan tidak penting yang me?
nurutnya berguna untuk membantu orang-orang lain,
se?perti tugas-tugas detektif yang menurutku kepo ba?
nget. Berbeda dengan biasanya, hari ini mood-ku benar-benar
jelek. Aku nyaris tidak tidur, dan setiap detik saat mata?
ku nyalang, aku memikirkan si Ojek dan tuntutannya
yang tak masuk akal. Celakanya, si brengsek itu meng?
anggap dirinya benar! Berani-beraninya dia membuat
keributan di depan semua orang... Tunggu dulu. Apa aku
yang memulainya? Yah, itu semua tidak penting. Yang
200 Isi-Omen3.indd 200 lebih penting adalah, sekarang semua orang pasti sudah
bisa menduga-duga apa yang terjadi di antara kami.
Jujur saja, aku bakalan menghajar siapa saja yang be?
rani berpihak padanya. Lebih parah lagi, tadi malam aku diomeli habis-habis?
an oleh si ajun sok ganteng. Katanya, seharus?nya aku
melaporkan masalah undangan itu padanya. Cih, sudah
sekian lama kami saling kenal, memangnya dia belum
tahu sifatku seperti apa? Dasar om-om tidak pengertian.
Pantas saja sampai sekarang pangkatnya belum naik-naik
lagi. Tak heran aku memulai hari dengan emosi meledakledak. Celakanya, ada yang tidak tahu-menahu soal ini.
Siapa lagi kalau bukan makhluk kedua terkepo di dunia
(makh?luk kepo pertama tentunya Val) alias si kribo
Rufus? Tahu-tahu saja dia mencela tampangku yang
kusut. Katanya aku melanggar peraturan sekolah yang
menyatakan bahwa setiap siswa harus melewati gerbang
sekolah dengan muka penuh senyum dan hati gembira.
Kontan saja kudamprat dia. Sedetik kemudian, kudapati
diriku sudah digiring ke ruang detensi.
Tak apa. Ruang detensi ini bagaikan rumah kedua
bagiku. Kalau si Rufus sedang keluar ruangan, aku bisa
tidur-tiduran di sana, memesan makanan dari kantin,
menyelinap ke toilet untuk buang air kecil mau?pun
besar, bahkan nonton televisi kecil yang diam-diam
disembunyikan si Rufus di bawah mejanya. Singkatnya,
tempat ini homey banget. Terkadang aku bahkan sengaja
membuat keonaran hanya supaya bisa bersantai-santai di
ruangan ini. Sialnya, kalau si pemilik ruangan sedang
ada, aku harus berpura-pura mengerjakan tugas bodoh
201 Isi-Omen3.indd 201 dan tak berguna yang sengaja disuruhnya hanya untuk
mem?buatku sibuk tanpa juntrungan. Tak apa-apa, aku
pandai mengarang kok. Siapa tahu suatu saat nanti aku
bisa jadi penulis terkenal.
Yang akhirnya membuat mood-ku mulai membaik ada?
lah selembar surat undangan berwarna hitam dengan
logo perisai di depannya, yang diletakkan begitu saja di
laci bangku kesayanganku di Ruang Detensi. Jadi anakanak The Judges itu masih saja ingin meneruskan ujian
seleksinya, setelah kedok mereka semua terbongkar?
Benar-benar muka badak. Oke, aku ingin lihat lagak
mereka seperti apa malam nanti. Tentu saja, ini berarti
tidak ada acara lapor-melapor pada polisi.
Tapi, sekarang aku jadi penasaran juga. Kenapa sih
anak-anak The Judges itu begitu nekat meneruskan ujian
seleksi yang sebenarnya tak seberapa penting ini? Apakah
me?reka tidak takut bakalan disangka sebagai pelaku?
nya? Ataukah, mereka memang pelakunya?
"Hei, Ka." Aku menoleh ke jendela. Senyumku mengembang saat
melihat kepala Val nongol dari bawah jendela, dan
senyum?ku langsung lenyap saat melihat kepala Rima
ikutan nongol. Bukannya aku sentimen sama si cewek
hantu. Masalahnya, seram, bo!
Tapi cewek itu sudah berbaik hati datang ke sini, jadi
aku tidak boleh menumpahkan kekesalanku padanya.
"Eh, ngejenguk napi nih ceritanya?" seringaiku. "Bawa
oleh-oleh, nggak? Mumpung bel istirahat udah berbunyi,
kalian pasti sempet dong mampir ke kantin."
"Iya dong," seringai Val. "Masa kami datang dengan
202 Isi-Omen3.indd 202 tangan kosong? Bisa-bisa kami diamukin juga sama elo,
seperti yang terjadi pada Pak Rufus yang malang."
Wah, rupanya pertengkaranku dengan Pak Rufus tadi
pagi bikin heboh. Maklum, selebriti.
Dengan girang kusambut mi goreng yang disodorkan
Val padaku. Bungkusannya yang tanpa label menandakan
mi ini adalah mi terkenal buatan Bu Kantin. Terkenal
karena murah, bukan karena enak. Tetap saja, untuk
cewek-cewek bokek seperti aku dan Val, mi ini sarapan
favorit kami. Jadi, seperti napi-napi kelaparan sungguhan,
aku langsung merebut bungkusan itu, mem?bukanya, dan
mulai makan dengan lahap.
"Jadi," ucapku dengan mulut penuh mi, "kenapa lo
dateng ngejenguk gue bawa roh halus? Apa lo tau, garagara anak ini, gue terpaksa harus ngeluarin kemampuan
supernatural gue dan bikin beberapa jimat yang harus
gue jampi-jampi di depan tukang becak? Nggak keren
banget deh!" Aneh. Dua cewek itu malah sepertinya geli mendengar
ceritaku. Apa mereka senang aku dibikin repot oleh
tukang becakku yang pengecut itu?
"Ada yang lucu?" tanyaku tak senang.
"Nggak," sahut Val cepat-cepat. "Ka, kata Rima, dia
pu?nya rencana buat ngejebak orang yang udah nyelakain
Hadi dan Ricardo." "Oh, ya?" Aku menatap Rima dengan penuh minat.
Ter?nyata cewek ini tidak cuma bisa menakut-nakuti
orang. "Rencana apa?"
"Rencananya sebenarnya sederhana aja," sahut cewek
itu dengan suaranya yang rendah dan masih saja mem?
buat bulu kudukku berdiri. "Rencana ini dibuat ber?
203 Isi-Omen3.indd 203 dasarkan asumsiku yang, mungkin hanya berdasarkan
bukti tipis, tapi kurasa cukup akurat. Orang yang men?
celakai Hadi dan Ricardo pasti salah satu di antara anakanak The Judges."
"Kalo itu sih, nenek-nenek juga tau."
"Ada dua orang yang kucurigai, tapi aku nggak tau
siapa di antara mereka yang menjadi pelaku sebenarnya,"
Rima meneruskan tanpa mengindahkan selaanku. "Tugas
kita adalah mencari tahu siapa di antara mereka yang
mencelakai Hadi dan Ricardo. Caranya, kita akan tetap
datang ke acara seleksi itu. Tapi, berbeda dengan biasa?
nya, kali ini kita yang akan bikin peraturannya."
Wow, gahar juga. "Maksud lo? Kita yang nguji me?
reka?" "Kira-kira begitu," senyum Rima. "Biasanya merekalah
yang bikin kita harus menemui mereka, sendiri-sendiri.
Tapi kali ini kita nggak akan melakukan hal itu. Kali ini,
merekalah yang harus mendatangi kita. Dan kita nggak
akan sendirian. Kita akan mendatangi mereka beramairamai."
Meski rencananya kedengaran seru, ada banyak ke?
lemah?an di dalamnya. "Ngomong sih gampang. Gimana
caranya beramai-ramai? Anak-anak The Judges itu pasti
akan nyuruh kita sendiri-sendiri."
"Kalo mereka sedang bersama," kata Rima. "Kita bisa
me?ninggalkan lapangan basket seolah-olah kita misahin
diri. Tapi, lalu kita berkumpul di suatu tempat, mungkin
toilet tempat kalian sering ngumpul itu. Lalu dari situ
kita jalan rame-rame nemuin mereka. Saat mereka me?
nyadari siasat kita, mereka hanya sendirian. Jadi bisa apa
mereka?" 204 Isi-Omen3.indd 204 Benar juga. "Lalu? Kita pukuli mereka?"
"Ya nggak. Tapi," ujung bibir Rima menaik, "kita culik
mereka." Ah, gila. Rencana ini benar-benar gila. Dan seru ba?
nget! "Interesting. Cuma, emangnya gampang, ngajakin
delapan anak kompakan gitu?"
"Sebenarnya nggak terlalu sulit." Lagi-lagi Rima ter?
senyum. "Kita bisa berbagi tugas. Kalian temui Daniel
dan jelasin rencana kita. Aku akan temui Aya..."
"Aya?" "Maksudku Aria, cewek yang berkucir itu. Dia akan
ngasih tau OJ. Aku rasa OJ bisa disuruh ngasih tau ren?
cana ini pada Helen dan Dedi."
Aku menatap Rima, yang meski masih membungkuk
dengan tirai rambut menutupi wajah, kini tampak sa?
ngat berwibawa. Mendadak kusadari, cewek ini?di luar
kemampuan melukisnya yang di atas rata-rata?me?
mang memiliki jiwa pemimpin. Itulah sebabnya dia
terpilih menjadi ketua Klub Kesenian meski baru kelas
sepuluh. "Boleh juga, kan?" kata Val gembira. "Rencana ini
bagus banget. Seperti kata para ahli strategi, pertahanan
terbaik adalah menyerang duluan."
"Bener banget." Aku meloncat ke luar jendela. "Kalo
gitu, jangan buang-buang waktu lagi. Ayo, kita cari si
goblok Daniel." *** "Ini siasat Rima?" Mata Daniel terbelalak semampu yang
bisa dilakukan mata sipitnya. "Buset, udah gue duga, ce?
205 Isi-Omen3.indd 205 wek itu emang bukan cewek sembarangan. Dia itu sip
banget!" "Kalo gitu, lo seharusnya lebih sering perhatiin dia,"
tukas Val. "Eh?" Daniel menatap Val tanpa kedip. "Kenapa?"
Dasar cowok goblok. "Lain kali, lo kalo menang poker lagi, pake duitnya
buat operasi mata, biar lebih gede dan bisa ngeliat de?
ngan baik!" teriakku.
Giliran aku yang dipandangi Daniel dengan muka
tolol. Sial, aku benci orang-orang bermuka bodoh.
"Lo kan sipit juga, Ka."
Oh, itu sebabnya dia memandangiku dengan muka
blo?on begitu. "Beda dong. Gue sipit dan tajam, kalo elo
sipit dan buta. Pokoknya lo nggak usah banyak bacot.
Turutin saran gue aja..."
"Tapi," lagi-lagi Daniel memprotes dengan tampang
keberatan banget, "nanti kalo mata gue nggak sipit lagi,
gue nggak mirip Rain lagi dong. Gimana kalo fans gue
pada kecewa?" "Mendingan ngecewain fans daripada buta, Bang."
"Bang?" Daniel tampak ge-er. "Abang?"
"Bangke," cengirku. "Udah, bukan waktunya kita
ngomong?in tampang lo yang perlu dipermak itu. Sekarang
kita harus fokus dengan rencana kita..."
Ledakan tawa menyela ceramahku yang superpenting.
Sialan, padahal aku sedang berusaha mengajari Daniel,
si anak bolot! Aku menoleh, dan lagi-lagi mendapatkan
kerumunan anak-anak yang siang harinya adalah anakanak geng populer, malamnya berprofesi sebagai The
Judges. Benar-benar bikin emosi. Mereka kira mereka
206 Isi-Omen3.indd 206 Bruce Wayne? Cih. Mereka belum pernah berhadapan
dengan orang seperti aku?siang hari bos preman brutal
dan barbar, malam hari penculik berdarah dingin dan
tanpa belas kasihan. Dengan berang aku berdiri.
"Erika," suara Val terdengar cemas, "lebih baik kita
jangan cari masalah dulu dengan mereka. Ingat, kita
nggak boleh nunjukin sikap membangkang, atau mereka
akan mulai mencurigai kita."
"Maksud lo," ketusku, "kita harus bersikap seolah-olah
takut sama mereka?" "Bagusnya sih begitu," sahut Val jujur. "Tapi kalo
nggak bisa, minimal anggap mereka nggak ada."
Oke, ini pilihan yang cukup sulit bagiku. Kan tadi su?
dah kubilang, mood-ku sebenarnya lagi bete-betenya hari


Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini. Sulit bagiku menganggap orang-orang berisik itu
tidak ada. Tapi aku juga tidak ingin mengacaukan ren?
cana kami malam ini. Aku sudah gatal-gatal ingin mem?
bekuk penjahat. Mendadak kusadari suasana kantin yang terlalu he?
ning. Aku memandangi sekelilingku. Astaga, seluruh murid
di kantin memandangiku dengan tampang ketakutan,
seolah-olah siap lari saat aku menunjukkan tanda-tanda
ingin memukuli setiap anak yang berani berebutan
oksigen denganku. Dasar anak-anak brengsek. Mereka kira aku psikopat
gila? "Ka," bisik Val. "Duduk lagi dong. Ingat rencana kita."
Aku melirik ke arah anak-anak The Judges?secara
tidak mencolok tentunya. Si Hakim Tertinggi alias Putri
207 Isi-Omen3.indd 207 Badai duduk membelakangiku, duduk dengan postur
tubuh yang agak terlalu tegak, menandakan dia
sebenarnya tegang (mungkin ada yang membisikinya soal
ulahku). Si pangeran tajir sialan memandangiku dengan
penuh permusuhan, demikian pula konco-konconya yang
tidak penting itu. Sambil memberengut aku membanting pantat ke bang?
ku kantin yang keras. Menyebalkan. Dunia benar-benar
semakin krisis. Masa mau melampiaskan kekesalan pun
tidak bisa? Tidak heran zaman sekarang semua orang
minum obat depresi. "Udahlah." Val menepuk punggung tanganku dengan
penuh pengertian. "Nanti malam lo bisa balas dendam
dengan nyiksa mereka habis-habisan."
Cewek ini benar-benar pantas kujadikan sobat. Habis,
ucapannya benar-benar menghibur. "Beneran?"
"Iya," angguknya dengan mata bersinar-sinar jail. "Lo
kira kita cuma bakalan nyulik mereka? Udah jelas kita
akan nyulik mereka satu per satu, kita interogasi, dan
kita bikin supaya mereka mengakui semua kesalahan
mereka, mulai dari kesalahan sepele seperti siapa yang
diam-diam suka ngupil di kelas sampe siapa yang men?
celakai Hadi dan Ricardo!"
Belum sempat aku menyatakan kegiranganku, sesosok
hantu nongol di depanku. "Kita punya masalah," kata Rima dengan suara rendah
dan tenang, tapi sorot matanya tampak cemas. "Helen
dan Dedi nggak masuk sekolah. Sepertinya karena me?
reka ketakutan akan jadi sasaran berikutnya."
"Lalu?" Aku mengangkat alis. Habis, memangnya aku
peduli dengan dua anak tidak jelas itu?
208 Isi-Omen3.indd 208 "Kurasa mereka nggak akan datang juga malam ini.
Kalo emang benar, ini berarti," Rima menggigit bibir,
"me?rekalah orang-orang yang akan gagal ujian seleksi."
"Dengan kata lain," sambung Val dengan wajah
memucat, "merekalah korban terakhir."
*** Meski menyadari bahwa rencana kami terancam batal,
kami tetap nongol malamnya di lapangan basket. Bisa
ku?rasa?kan ketegangan memenuhi lapangan itu, ketegang?
an yang semakin menguat saat para anggota The Judges
me?masuki lapangan dengan seragam dan topeng serba?
hitam mereka. Sementara kami, para calon anggota, sudah tidak
malu-malu lagi menampakkan muka kami yang cakepcakep.
"Hei," tegurku pada si Hakim Tertinggi yang bisa ku?
kenali dari cara jalannya yang tegak dan lebih berwibawa
ketimbang yang lain. "Apa kalian nggak ngerasa pake
topeng saat ini terlalu lebay? Toh kami udah kenal
tampang dan nama kalian semua. Ngapain juga masih
main tutup-tutupan?"
"Kami melindungi identitas kami bukan hanya dari
kalian," sahut si Hakim Tertinggi datar, "melainkan juga
dari dunia luar. The Judges adalah organisasi rahasia.
Kalau bukan karena insiden yang menimpa Hadi dan
Ricardo, kalian tak akan berhasil membongkar identitas
kami." Cih, dasar sombong. Sekali-sekali akan kukitik-kitik
cewek sok dingin ini. Biar kulihat dia akan menggelepar209
Isi-Omen3.indd 209 gelepar seperti manusia biasa ataukah tetap beku seperti
rumah orang Eskimo. Tapi tunggu dulu, dari ucapannya, aku punya kesan
bahwa cewek ini tidak bersalah. Dia mengatakan "kalau
bukan karena insiden yang menimpa Hadi dan Ricardo",
seakan-akan itu kejadian yang juga tak terduga olehnya.
Apakah cewek ini hanya bersandiwara, ataukah kami
yang salah tuduh? "Hanya enam orang?" tanyanya sambil melayangkan
pandangan ke arah kami para calon anggota. "Berarti
se?cara otomatis, dua orang yang tidak hadir akan dinyata?
kan gagal ujian, dan kalian..."
"Tunggu, tunggu!" Dedi muncul dengan napas ter?
sengal-sengal dan bau keringat menguar dari tubuhnya.
Yes! "Saya belum telat, kan? Ini masih belum jam
sembilan." "Hmm." Si Hakim Tertinggi melirik jam kantin. "Baik?
lah. Kalau begitu, hanya ada satu yang didiskualifikasi,
yaitu Helen. Aku tahu, kalian semua merasa ketakutan
dan bingung dengan semua yang terjadi pada Hadi dan
Ricardo. Tapi tradisi uji seleksi The Judges sudah ber?
langsung puluhan tahun, dan aku nggak akan membiar?
kan tradisi ini gagal dilaksanakan oleh generasiku. Sebab,
ini juga akan menjadi contoh bagi kalian, para anggota
The Judges yang akan datang. Kita semua harus meng?
hormati tradisi yang sudah diwariskan oleh para pen?
dahulu kita yang sudah sukses membawa The Judges
menjadi organisasi kuat dan ditakuti oleh orang-orang
paling berkuasa di sekolah kita. Kepala sekolah, guruguru, anggota yayasan, semua orang itu harus tunduk
pada kita, dan tidak ada cara lain untuk melakukannya
210 Isi-Omen3.indd 210 selain melakukan apa yang sudah dilakukan oleh para
pendahulu kita." Cara membela diri yang menarik. Yah, harus kuakui
aku bakalan tertipu, kalau saja aku tidak bete banget
pada mereka. "Nah, misi kalian malam ini adalah memenuhi tan?
tang?an fisik dari setiap anggota The Judges. Seperti biasa,
para anggota kami akan bersembunyi di sekitar kompleks
sekolah, dan tugas kalian adalah mencari mereka, lalu
melakukan tantangan yang mereka berikan pada kalian.
Mengerti?" "Mengertiii!" sahut kami semua serempak.
Dan kalian semua, hei anak-anak The Judges, juga
harus mengerti. Malam ini kalian akan merasakan pem?
balasan kami! Omong-omong, malam ini kira-kira si Ojek datang lagi
tidak, ya? 211 Isi-Omen3.indd 211 Valeria Guntur, X-A RENCANA kami kacau-balau.
Bukan salah Rima, tentu saja. Rencana yang dibuatnya
benar-benar hebat. Masalahnya, terlalu banyak orang
yang terlibat di dalamnya, dan setiap orang turut me?
nyumbang sedikit kesalahan yang semakin lama semakin
menggunung. Dimulai dengan Dedi yang tidak nongol
di sekolah dan terlambat datang dalam ujian seleksi,
sehingga kami tidak punya kesempatan untuk mengajak?
nya bersekongkol. Begitu ujian dimulai, Erika menugas?
kan Daniel mengikutinya. Lima menit kemudian, Daniel
tiba di tempat rendezvous kami semua dan melapor, "Sori,
anak itu jalannya cepet banget kayak dikejar hantu. Tautau gue udah kehilangan dia." Laporan itu, tentu saja,
diterima Erika dengan menghadiahkan sebuah jotos?an
keras di rahang Daniel. Kami juga terpaksa mengganti tempat rendezvous kami.
Anak-anak cowok mengeluh soal panggilan alam yang
tidak bisa mereka penuhi di lokasi awal. Meski cuma ada
dua cowok di antara kami, mereka cukup pandai me?
repet, membuat kami para cewek kalah vote dan terpaksa
212 Isi-Omen3.indd 212 pindah ke tempat yang bisa mencukupi kebutuhan anakanak itu. Yep, di mana lagi kalau bukan toilet cowok
yang kotor dan bau itu? Hanya Tuhan dan anak-anak itu
yang tahu apa yang mereka lakukan di dalam sana
selama lima belas menit. Aku sendiri sih tidak ingin tahu
dan tidak ingin membayangkan, terima kasih banyak.
Sudah cukup banyak hal-hal mengerikan dan traumatis
yang kulihat dalam hidupku, dan aku tidak ingin me?
nambahnya dengan adegan-adegan gaje di toilet
cowok. Ditambah dengan perjalanan ke sana kemari, kami
sudah menghabiskan waktu sia-sia selama tiga puluh
menit. Untunglah para anak-anak The Judges itu tidak
curiga dan mulai mencari-cari kami. Ini salah satu bukti
bahwa anak-anak yang sok hebat dan berkuasa itu juga
memiliki kekurangan: mereka tidak sepintar yang mereka
duga. Kesombongan mereka menyebabkan mereka men?
jadi lengah, dan inilah kesalahan terbesar yang sering
di?buat oleh kebanyakan penjahat. Orang baik selalu
menang, bukan karena mereka orang-orang yang me?
miliki kemampuan hebat, tetapi karena lawan-lawan me?
reka sendiri yang menyebabkan diri mereka me?menang??
kan pertarungan. Memang benar kata orang bijak. Kesombongan adalah
awal kehancuran. Meski begitu, kami semua rada panik saat menyadari
bahwa kami sudah membuang-buang banyak waktu.
Untunglah, berkat Rima, dalam waktu kurang dari tiga
menit, kami menemukan anggota The Judges pertama,
sedang nangkring di lapangan parkir yang gelap gulita
(menurut Rima, kegelapan itu sangat mencurigakan ber?
213 Isi-Omen3.indd 213 hubung biasanya, demi keamanan, lapangan parkir selalu
dibiarkan terang benderang). Meski mengenakan topeng
dan menggunakan alat pengubah suara, Erika berhasil
me?ngetahui bahwa anggota itu adalah King yang ber?
tubuh paling atletis di antara semua anggota The
Judges. Oke, di sini aku harus menyela dulu. Jujur saja, aku
salut banget dengan perpaduan Erika dan Rima.
Hubungan keduanya memang kaku, tapi tampak jelas
keduanya akan bersahabat akrab suatu saat nanti. Erika
dan Rima sama-sama cerdas, meski dalam bidang yang
berbeda. Erika memiliki daya ingat fotografis yang mem?
buatnya tidak bisa melupakan apa pun yang pernah
dilihat (atau didengar) olehnya, sementara Rima, me?
nurut observasiku, pandai dalam hal logika dan mate?
matika. Aku belum tahu apakah kelebihan Rima ada
hubungannya dengan "penglihatan" yang katanya di?
miliki olehnya dan kemampuan melukisnya yang berada
di atas rata-rata manusia biasa, tapi jelas dia memiliki
berbagai talenta yang tidak sering dipamerkan olehnya.
Kini, melihat keduanya bekerja sama dengan sangat baik,
diam-diam aku merasa rendah diri dan berkecil hati. Aku
tidak punya banyak bakat dan kemampuan. Kemampuan?
ku kudapatkan dari hasil kerja kerasku yang melebihi
anak-anak lain. Tanpa berusaha keras, aku bukan?lah apaapa.
Saat ini, lagi-lagi aku terpana oleh kehebatan Rima.
Sesuai kegemarannya berolahraga, King menguji kecepat?
an lari kami dalam nomor jarak pendek, dan Rima
men??dapat giliran pertama. Meski biasanya tidak pandai
da?lam bidang olahraga dan sangat lemah dalam hal
214 Isi-Omen3.indd 214 bela diri, Rima ternyata bisa berlari dengan sangat
cepat. Dia ber?hasil menempuh jarak 60 meter dalam
waktu 7,74 detik, sementara kecepat?an rata-rataku se?
jauh ini adalah 8,47 detik. Cewek ini memang selalu
mem??buat kejutan. Secara keseluruhan, kami semua lulus tes. King mem?
beri aturan bahwa hanya anak-anak yang berhasil me?
nempuh waktu kurang dari lima belas detik yang akan
mendapat poin, namun kami semua berhasil mencapai
jarak itu dalam waktu kurang dari dua belas detik. Aku
dan Erika sama-sama berhasil menempuhnya dalam wak?
tu sekitar sembilan detik (sepertinya staminaku malam
ini kurang bagus, tapi tidak heran karena sudah beberapa
hari jam tidurku tersita oleh ujian seleksi yang entah
kenapa harus berlangsung malam-malam ini).
"Bagus sekali," puji King sambil memandangi catatan
waktu di tangannya. "Ini benar-benar impressive. Kalian
semua memang layak menjadi anggota The Judges. Good
work, everybody!" Aku memandangi King yang tertutup topeng dan
berusaha membayangkan wajah King yang sebenarnya.
Cowok itu sebenarnya tidak terlalu buruk. Dia tidak
berisik seperti teman-temannya dan punya sikap yang
lebih tenang dibanding yang lain. Wajahnya pun kalem,
agak-agak blo?on, dan tampak innocent. Harus kuakui, dia
tidak punya tampang penjahat. Apalagi sikapnya malam
ini cukup bersahabat. Awalnya dia agak keberatan me?
lihat kami muncul beramai-ramai, tapi itu hanya karena
menurutnya itu "melanggar peraturan". Belakangan, ter?
pana oleh kecepatan yang ditunjukkan Rima si peserta
pertama, dia pun lupa dengan segala macam peraturan.
215 Isi-Omen3.indd 215

Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ditambah lagi dengan ucapannya yang tulus barusan
(meski dengan suara kaset rusak), sulit bagiku mem?
bayangkan dia tega melukai Hadi dan, terutama Ricardo,
anggota tim basketnya sendiri.
Tapi bersalah atau tidak, rencana harus dijalankan.
Kami tidak bisa mengambil risiko King akan dijadikan
alat untuk mencelakai korban berikutnya atau, lebih
buruk lagi, kambing hitam. Jadi, sebagai balasan atas
kata-kata manisnya, Daniel menghantam tengkuknya dan
anggota The Judges itu langsung roboh bagaikan karung
beras dilempar dari atas truk.
"Gimana, Rim?" tanya Erika pada Rima, jelas-jelas
menanyakan soal kecurigaannya pada King. Andai Rima
mengangguk, menandakan King mencurigakan, ini ber?
arti kami akan melanjutkan sesi ini dengan acara inte?
rogasi bahkan mungkin juga penyiksaan (yang terakhir
ini pastinya dilakukan oleh Erika). Namun Rima meng?
geleng. Ini berarti, bukan hanya kami yang lulus dalam
ujian yang diberikan King, melainkan King juga lulus
dalam ujian yang kami berikan padanya. Wajah Erika
langsung berubah kecewa, sepertinya lantaran tidak ada
adegan siksa-menyiksa yang sudah diharap?kannya.
"Lalu sekarang apa yang harus kita lakukan?" Giliran
Daniel yang bertanya pada Rima.
Aku rada kaget karena Rima menyahut dengan datar,
nyaris dingin, "King harus diamankan. Setelah itu, kita
akan lanjut ke gedung lab."
"Biar gue aja!" seru OJ sambil menyeruak kerumunan.
"Gue bisa ngikat dia! Gue kan anggota Pramuka!"
Astaga. Selain menjadi anggota PMR, cowok ini juga
anggota Pramuka. Mungkin sebentar lagi kami akan men?
216 Isi-Omen3.indd 216 dapatkan dia juga salah satu anggota tim SAR dan sering
menolong korban bencana alam.
Sesuai pengakuannya, OJ bisa mengikat dengan bagus.
Aku tahu betul karena aku sendiri pandai dalam soal
ikat-mengikat. Setelah yakin King sudah tak berkutik
lagi, kami menjebloskannya ke toilet cowok yang men?
jadi tempat rendezvous kami, lalu beriring-iringan menuju
gedung lab. Dalam perjalanan, mendadak Erika menyenggolnyenggol?ku dengan muka kepo yang jarang di?tunjuk?
kannya. "Eh, si Rima sama Daniel kenapa tuh?"
"Nggak tau." Aku mengangkat bahu. Sejujurnya, aku
pe?nasaran juga. "Kayak musuhan, ya?"
"Banget, padahal kita tau sebelum ini mereka berdua
rada mesra." Erika menatapku dengan sorot mata penuh
tuduhan. "Emangnya apa yang terjadi malam kemarin,
setelah gue cabut?" "Apa yang terjadi?" Aku berusaha mengingat-ingat.
"Nggak ada apa-apa. Tapi gue sempet ngasih tau Daniel
kalo gue udah jadian sama Les, jadi kalo dia..."
"Jadian?" Wajah Erika berubah jail. "Kalian jadian?"
"Yah." Wajahku memerah. "Kalo bukan, apa lagi
nama?nya?" "Gue kira lo berdua HTS-an doang." Sejujurnya, tadi?
nya aku juga mengira begitu. "Menurut lo, malam ini si
Ojek dan temen eks-HTS lo bakal datang lagi?"
"Entahlah," jawabku jujur. "Les nggak bilang apa-apa."
Selama beberapa saat Erika diam saja. Sebut saja aku
gila, tapi sepertinya tampangnya rada kecewa. Yah, se?
benar?nya sih, dari tadi aku juga berusaha mencari tahu
apa?kah Les datang ke sini. Namun berbeda dengan
217 Isi-Omen3.indd 217 malam kemarin, malam ini sama sekali tidak ada tandatanda keberadaan Les maupun Vik. Rasanya memang
agak-agak kehilangan, tapi dengan semua rencana ini,
sulit bagiku memikirkan keinginan diri sendiri.
"Lalu?" Mendadak Erika menyela lamunanku. "Apa
lagi yang terjadi tadi malam?"
"Yah, intinya gue bilang, kalo dia ngajakin Les ribut
lagi kayak kemarin, bisa-bisa Les ngelarang gue main lagi
sama dia, dan gue akan menuruti Les karena alasannya
masuk akal. Emang Daniel yang nyari gara-gara, kan?"
"Emang sih. Gue juga nggak tau apa yang merasuki
Daniel. Ngebet kok sama cewek yang naksir berat sama
cowok lain? Jadi, malam kemarin hanya itu yang terjadi?
Nggak ada adegan sok romantis yang bikin Rima
kepingin ngebacok kalian berdua?"
"Lo kira gue apaan?" tukasku tersinggung. "Suka main
gila, gitu? Yang bener aja. Meski gue nggak sama Les, gue
nggak akan rebutan cowok sama temen gue sen?diri."
"Iya juga sih," sahut Erika dengan tampang malu-malu.
"Cowok di dunia ini banyak, sementara orang yang bisa
jadi teman kita hanya sedikit."
Benar banget. Tapi, kalau begitu, apa yang membuat
Rima mendadak bersikap begitu dingin pada Daniel?
Di gedung lab, Rima mengajak kami memasuki labo?
ratorium biologi. Di sana anggota The Judges yang dike?
nali Erika sebagai Suzy sudah menunggu kami. Seperti
King, Suzy tidak suka dengan kemunculan kami yang
be?ramai-ramai. Bedanya, King mengalah dengan cepat,
sementara Suzy yang biasanya tampil sebagai cewek
centil dan sok imut, berusaha menunjukkan otoritasnya
dengan bergaya-gaya sebagai ibu guru yang killer abis.
218 Isi-Omen3.indd 218 "Jangan kira kalian bisa seenaknya di acara The
Judges," katanya jutek dengan menggunakan alat peng?
ubah suara, sehingga sulit bagi kami membayangkan ada
cewek bermata kucing yang pandai menggoda di balik
topeng itu. "Ini bukan acara main-main. Ini jauh lebih
serius daripada acara belajar-mengajar di sekolah. Pe?
langgaran peraturan bisa mengakibatkan hak kalian
untuk menjadi anggota dicabut, bahkan kalian akan dike?
luarkan dari sekolah..."
"Ibu Guru Suzy yang terhormat," sela Erika, Nemesisnya guru-guru di sekolah, dengan sapaan tajam dan sinis
yang biasanya membuat guru-guru berang sekaligus
gentar. Tanpa perlu mencopot topeng pun, aku sudah
tahu wajah Suzy kini sedang pucat lantaran iden?titasnya
diketahui. Belum lagi, kini dia kalah jumlah. Jadi
seandainya kami semua tidak menurutinya pun, dia tak
akan bisa berbuat apa-apa. "Kalo mau bicara, Ibu Guru
Suzy harus pake otak dulu. Yang benar aja! Kalo kami
semua didiskualifikasi, itu berarti Ibu Guru dan temanteman Ibu harus nyari calon anggota baru dong. Padahal
selama ini semua lancar-lancar aja, dan kini semua jadi
repot lantaran Ibu Guru Suzy seorang. Bisa gawat kalau
teman-teman Ibu marah dan memusuhi Ibu Guru Suzy.
Jangan-jangan, Ibu Guru Suzy yang harus dikeluarin dari
The Judges dengan tidak hormat."
Nah, lho. Kini cewek itu benar-benar ketakutan.
Tanda-tanda panik mulai terlihat dari tubuh yang geme?
taran, jubah yang tersibak, dan bunyi "ngiiing" dari alat
pengubah suara. Meski tak suka kuakui, sepertinya cewek
ini tidak bersalah. Dia tidak punya nyali untuk melaku?
kan sesuatu yang drastis. Aku bertukar pandang dengan
219 Isi-Omen3.indd 219 Erika, yang membalas pandanganku sambil mengernyit,
menandakan dia juga sependapat denganku.
"Daniel!" perintah Erika.
"Hei," protes Daniel. "Gue nggak pernah mukul ce?
wek." "Halah, lo kan biasa berantem sama gue, sekarang
men?dadak sok jaim!"
"Apa-apaan ini?" hardik Suzy dengan suara ketakutan
yang tak bisa disembunyikan alat pengubah suara. "Apa
yang akan kalian lakukan terhadapku?"
"Lo kan udah separuh cowok, Ka," protes Daniel tanpa
mengindahkan selaan Suzy yang panik. "Udah bagus lo
nggak ngalah sama gue. Tapi cewek ini kan nggak bisa
apa-apa!" "Ish, bikin emosi!" dengus Erika, lalu mendekati Suzy
yang langsung mundur. "Apa maumu?" Erika tidak menyahut, melainkan langsung memukul
Suzy yang langsung terkapar bak cicak mati.
"Dua beres," katanya sambil menepuk-nepuk kedua
punggung tangannya seolah sedang membersihkan diri
dari debu-debu tak kasatmata. "Sisa empat. Malam yang
menyenangkan." Orang berikutnya yang kami temui adalah Jason yang
mengumpet di dojo?tempat latihan?Klub Judo, Klub
Aikido, dan Klub Karate sekolah kami. Berbeda dengan
kedua rekannya, Jason sama sekali tidak keberatan kami
menyerbu posnya beramai-ramai. Malah dengan riang
dia langsung menantang kami melawannya?tentu saja
satu lawan satu. Hanya orang gila yang berani melawan
Erika dan Daniel sekaligus (aku juga lumayan dalam soal
220 Isi-Omen3.indd 220 bela diri, tapi sedikit sekali orang yang menyadari hal
itu). "Biar gue yang duluan aja!" Kini kami sudah mulai
ter?biasa, yang beginian pastilah ucapan si OJ. "Gue per?
nah ikut Kejuaraan Tinju Nasional beberapa tahun lalu,
dan menang di kategori kelas balon."
"Kelas bulu, maksud lo," ucap cewek berkucir yang
menurut Rima bernama Aria itu dengan suara datar.
"Bulu, balon, sama sajalah," sahut OJ ceria. "Pokoknya
gue duluan, ya!" Jason membentangkan kedua kakinya lebar-lebar untuk
me?masang kamae, kuda-kuda ala aikido, sementara OJ
mulai meloncat-loncat kecil dengan dua tinju siap di
depan dada. Sesaat mereka berdua hanya berpandangan
dan saling menilai. Lalu, pada waktu yang bersamaan,
mereka langsung saling menyerang.
Sekarang aku mulai salut pada cowok yang di?panggil
OJ ini. Rupanya dia memiliki kemampuan tinju yang
lumayan juga. Jason, menurut informasi yang ku?dapa?t?
kan, merupakan salah satu jago aikido yang sering
menang dalam kejuaraan daerah. Namun bukan saja OJ
sanggup mengimbanginya?malahan, dalam sekejap, OJ
sudah berada di atas angin. Jason mulai mental-mental
ke belakang akibat mendapat jab bertubi-tubi.
"Eh, boleh juga si OJ ini," komentar Erika di samping?
ku. "Eh, Niel, OJ itu singkatan apa sih? Om Jul?"
"Octavian Julius," sahut Daniel.
Erika diam sejenak. "Nama gabungan dari Octavianus
Caesar dan Julius Caesar?"
"Kata OJ sih emang gitu."
"Namanya kebagusan, ya?"
221 Isi-Omen3.indd 221 "Banget." Saat Jason sedang lengah?dan separuh kelenger?
lantar?an berbagai pukulan yang diterimanya, OJ me?
lancar?kan satu jab penghabisan yang membuat Jason
akhirnya KO dan tidak bisa bangkit lagi. Namun bukan?
nya bersorak-sorai penuh kemenangan, OJ malah me?
lompat-lompat sambil memegangi kedua tangannya yang
dipenuhi luka-luka. "Auuu! Sakit, sakit!" teriaknya. "Gile! Ini sebabnya gue
nggak suka menggunakan kekerasan. Kita cuma akan
menyakiti diri sendiri!"
Oke, meski jago, cowok ini keterlaluan konyolnya.
Setelah mengumpulkan Jason dengan pacar dan sobat?
nya di toilet cowok?masing-masing di bilik toilet yang
berbeda, tentunya?kami menuju tempat berikutnya.
Perpustakaan, tempat kerja sampinganku.
Tak kusangka, di tempat inilah si Hakim Tertinggi,
alias Putri Badai, menunggu kami. Gayanya yang angkuh
sekaligus anggun bisa kukenali bahkan dari caranya me?
munggungi kami saat kami memasuki ruangan itu.
"Ramai-ramai, ya?" Dia membalikkan badan, suaranya
yang sudah diubah tidak bisa menyembunyikan senyum
sinisnya. "Tidak kusangka kalian takut berhadapan satusatu denganku."
"Ya, dong," sahut Erika tidak kalah sinis. "Kami kan
takut diserang dengan nail gun."
Erika memang lihai. Dia sanggup bikin berang siapa
pun, termasuk cewek dingin yang tampaknya tak ber?
perasaan itu. "Sudah kubilang, bukan kami pelakunya!
Untuk apa kami mencelakakan kalian? Toh kalau kami
222 Isi-Omen3.indd 222 tidak suka dengan muka kalian, mudah saja bagi kami
untuk mengeluarkan kalian dari sekolah."
"Dan mudah saja bagi kami untuk ngirim kalian ke
rumah sakit kalo kalian berani ngeluarin kami dari
sekolah!" balas Erika. "Mau coba-coba?"
Entah untuk keberapa kalinya, dua cewek ini saling
adu pelototan. "Kamu ini cewek paling menyebalkan yang pernah
kutemui, Erika Guruh," ucap Putri Badai.
"Thank you, sama-sama," seringai Erika.
"Aku nggak memujimu."
"Gue juga nggak."
Lucu banget melihat Putri Badai yang biasanya dingin
dan terkendali kini tampak naik darah. "Sebaiknya kita
su?dahi basa-basi yang tidak menyenangkan ini dan lang?
sung fokus pada misi. Misi kalian malam ini adalah..."
Terdengar lolongan mengerikan di luar. Dalam sekejap,
kami semua berlari ke arah pintu, siap keluar dan men?
cari asal lolongan itu. Tapi sebelum kami melakukannya,
pintu perpustakaan sudah terempas terbuka, dan Dedi
berlari masuk ke dalam dengan mata nyalang, wajah
berlumuran darah, dan tiga batang paku menancap di
atas sepasang alisnya yang mirip ulat bulu.
"Tolong!" jeritnya histeris. "Tolong aku! Mereka mau
membunuhku!"

Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

223 Isi-Omen3.indd 223 Rima Hujan, X-B RASANYA seperti terjebak dalam salah satu mimpi buruk?
ku. Dedi tersungkur tepat di depan kakiku, dan anehnya
tubuh sebelah kirinya kejang-kejang tak keruan. Hanya
tubuh sebelah kiri. "Gile, kenapa dia?" seru OJ shock.
"Pasti paku itu menembus otak besar sebelah kanan,"
kata Erika datar. "Kalian semua pasti tau, otak be?sar
sebelah kanan mengendalikan gerakan tubuh bagian kiri
dan, sebaliknya, otak besar sebelah kiri mengendali?kan
gerakan tubuh bagian kanan."
Aku pernah mendengar informasi itu diucapkan oleh
guru biologi, tapi aku tak pernah benar-benar meresapi?
nya hingga saat ini. Rasanya mengerikan sekali melihat
Dedi yang menggelepar-gelepar itu. Cowok itu lebih
mirip kesurupan daripada terluka.
"Bajingan yang melakukan ini kemungkinannya hanya
ada dua orang," sambung Erika geram sambil berlari ke
depan pintu, sementara Valeria sudah mencabut ponsel?
nya dan menelepon polisi. (Omong-omong, kami di?
224 Isi-Omen3.indd 224 larang membawa ponsel, tapi saat ini Putri tidak protes.)
"Dicky dan Lindi."
"Jangan memfitnah sembarangan!" potong Putri seraya
maju sambil membuka topeng, memperlihatkan wa?jah?
nya yang sedingin es. "Kenapa kemungkinannya bisa
hanya mereka berdua? Memangnya apa alasan Dicky be?
kerja sama dengan Lindi mencelakai Hadi dan Ricardo,
meng?ganggu acara tahunan The Judges, bahkan kemung?
kin?an besar menghancurkan organisasi yang sudah
menjadikan kami orang-orang paling berkuasa di sekolah
ini?" "Putri benar." Kami semua menoleh ke arah pintu dan melihat se?
sosok anggota The Judges berjalan masuk dengan
angkuh. Sosok itu melepas topengnya, dan tampaklah
wajah Dicky yang ramah. Aku ingat, tadi malam dia
tampak sengit dan marah, jelas-jelas merupakan kandidat
yang ba?gus sebagai tertuduh. Tapi malam ini dia tampak
be?gitu menyenangkan, sehingga sulit sekali mem?
bayangkan cowok itu sudah mencelakai Hadi, Ricardo,
dan kini Dedi, dengan cara yang sangat keji.
Lebih sulit lagi, membayangkan Lindi yang imut dan
feminin membantunya melakukan perbuatan mengerikan
itu. "Kami anak-anak The Judges," kata Dicky sambil
melayangkan pandangannya pada kami semua. "Apakah
kalian tau artinya? Benar-benar tau artinya? Kami ini
anak-anak remaja, yang tadinya hanya bisa ber?main dan
bersenang-senang," oke, aku memperhatikan dia tidak
me?nyinggung-nyinggung soal belajar, "dan kini men?
dadak mendapat kehormatan untuk mengendalikan se?
225 Isi-Omen3.indd 225 luruh sekolah yang besar ini, mulai dari pekerja-pekerja
kecil hingga anggota yayasan. Kami mengendalikan
masalah ekonomi yang berarti ratusan juta sebulan, bisa
meminta fasilitas apa saja, bisa memecat siapa saja, dan
bisa mengeluarkan murid yang mana saja."
Ucapan terakhir ini terdengar mengancam, tapi diucap?
kan oleh wajah yang dipenuhi senyum lebar, sehingga
rasanya seperti salah dengar.
"Buat apa aku, atau Lindi, mengacaukan kedudukan
kami yang begini bagus?" tanya Dicky sambil meng?
angkat bahu. "Benar-benar nggak mungkin! Nggak mung?
kin juga ini dilakukan oleh King, Jason, atau Suzy yang
juga nggak ada di ruangan ini. Yang lebih mungkin ada?
lah," matanya yang tadinya berbinar-binar kini berubah
tajam, "ada yang menyamar menjadi anggota The Judges
dan mengambinghitamkan kami! Erika, Valeria, coba beri?
tahu semua orang yang ada di sini, siapa cowok-cowok
liar yang muncul malam kemarin?"
Erika langsung naik darah saat mendengar pacarnya
disebut cowok liar, tapi Valeria menahannya dengan satu
tangan. Dengan wajah yang tidak kalah dingin dengan
Putri, namun lebih berbahaya, Valeria berkata, "Cowokcowok liar itu adalah Viktor Yamada dan sahabatnya,
Leslie Gunawan." Tidak banyak murid baik-baik yang mengenal Leslie
Gunawan, bos geng motor Streetwolf yang ditakuti oleh
geng-geng motor lainnya, tetapi semua orang pasti me?
ngenal Viktor Yamada dari keluarga Yamada yang ter?
kenal. Legenda tentang cowok pinter yang sengaja keluar
dari Harvard University demi menjalankan usaha ke?
luarga di negara sendiri sudah menyebar di mana-mana.
226 Isi-Omen3.indd 226 Viktor Yamada adalah putra impian semua keluarga me?
nengah ke atas dan saingan tak terkalahkan anak-anak
keluarga tersebut. Jelas, mendengar nama itu serasa me?
nampar wajah Dicky yang langsung memerah.
"Oh, begitu, ya?" gumamnya. "Yah, itu hanya sekadar
ke?mungkinan. Bisa jadi ada orang-orang lain yang tau
soal ujian seleksi ini dan berniat mengacaukannya. Mung?
kin anak-anak angkatan kita tahun lalu yang dikeluarkan,
Put." "Mungkin," sahut Putri rendah. "Omong-omong, mana
yang lainnya?" "Aku nggak tau," geleng Dicky. "Tadi aku lagi di dekat
gedung lab dan melihat Dedi lari-lari histeris ke sini, jadi
langsung kukejar. Tapi tadinya aku nggak tau dia berada
dalam kondisi mengerikan begini. Orang yang melukai
anak ini pasti sangat jahat. Ini nggak bisa dibiarkan lagi,
Put. Anak-anak The Judges harus mulai bertindak. Kita
bersihkan nama kita, atau kita akan difitnah terusmenerus."
"Aku tahu," sahut Putri muram. "Akan kupikirkan ma?
lam ini." "Nah, nah. Kalian ini benar-benar keterlaluan!"
Aku terkejut melihat kemunculan para polisi plus dua
cowok yang baru disebut-sebut beberapa detik lalu. Ber?
hubung Valeria baru saja menelepon mereka, tak mung?
kin mereka tiba dalam waktu sesingkat ini. Kecuali...
"Kami dari tadi bersembunyi di sekitar sini," jelas
Leslie Gunawan sambil melemparkan senyumnya?yang,
jujur saja, manis banget?pada Valeria.
"Setelah dua malam kecele," si kepala polisi yang ber?
nama Ajun Inspektur Lukas berdeham, "kami curiga akan
227 Isi-Omen3.indd 227 ada kejadian ketiga. Jadi, malam ini kami membentuk
tim yang diam-diam mengawasi seluruh sekolah ini. Tim
yang cukup kecil untuk tidak menarik perhatian, sekali?
gus cukup kompeten untuk mengawasi semua orang. Itu
sebabnya kami menggunakan dua orang sipil yang
sepertinya cukup kenal dengan sekolah ini."
"Tapi tetap saja ada kejadian tuh," kata Erika datar
seraya melemparkan tatapan tak senang pada pacarnya.
Rupa?nya mereka masih belum berbaikan setelah keribut?
an semalam. "Itu karena ada anak-anak yang histeris di toilet,"
tukas Viktor Yamada. "Anak-anak yang kalian sekap di
toilet udah sadarkan diri dan mereka teriak-teriak minta
tolong. Berhubung nggak mungkin kami cuekin, kami
segera menolong mereka. Hanya sekejap, tapi..."
"Anak-anak yang disekap di toilet?" sela Putri.
Selama satu detik yang sangat lama, terdengar ke?
heningan yang canggung. "Belum tau, ya?" Akhirnya Erika angkat bicara. "Anakanak The Judges yang sempat nguji kami tadi, kami
hajar, kami bikin pingsan, lalu kami sekap di toilet
cowok." "Kalian apa???" teriak Dicky kaget bercampur marah.
"Dasar anak-anak kurang ajar! Apa kalian nggak tau..."
"Ya, ya, kami tau kalian berkuasa dan sebagainya,"
kata Erika sambil mengibaskan tangan. "Tapi kami juga
tau ada satu di antara kalian yang bersalah. Jadi kami
melakukan apa yang harus dilakukan. Gampang-gampang
banget sebenarnya, soalnya kami semua kuat-kuat dan
kalian rada-rada letoy."
"Kamu ketakutan," kata Valeria sambil tersenyum pada
228 Isi-Omen3.indd 228 Dicky. Cewek kuper dan pendiam sudah lenyap, berganti
dengan cewek dingin, anggun, dan blakblakan. "Itu su?
dah sewajarnya. Berhubung King, Suzy, dan Jason ada di
dalam toilet, sementara Kak Putri ada bersama kami se?
dari tadi, yang bisa menyerang Dedi hanya ada dua
orang. Yaitu kamu?Dicky?atau Lindi. Salah satu dari
kalian adalah pelakunya."
Betul sekali. Dua orang itulah orang-orang yang ku?
curigai dari awal. Mereka adalah orang-orang yang paling
pertama tiba di TKP tadi malam. Tidak sanggup melari?
kan diri, aku menduga si pelaku menyembunyikan pistol
pakunya di langit-langit ruangan. Menegaskan pradugaku,
tadi pagi aku pun datang ke TKP untuk memeriksa.
Tidak ada pistol paku, tentu saja, tapi jelas tingkap
langit-langit pernah dibuka belum lama ini. Ada bagi?an
yang tertutup kurang rapat, dan bagian itu sama sekali
tidak menebarkan debu waktu kubuka. Aku juga me?
nemukan bercak darah di bagian atas, menandakan
mereka juga menyembunyikan kuas atau apa pun yang
mereka gunakan untuk mengambil darah Ricardo dan
membuat simbol organisasi.
Hanya saja, hingga saat ini, aku tidak tahu siapa
pelaku?nya?Dicky ataukah Lindi, atau mereka bekerja
sama. Itulah sebabnya aku membuat rencana malam ini.
Sayangnya, sepertinya rencana itu hancur berantakan
dengan munculnya Ajun Inspektur Lukas, Viktor Yamada,
dan Leslie Gunawan. Tapi aku tidak bisa menyalahkan
mereka. Aku yakin mereka juga sangat ingin menangkap
penjahat itu. Itu sebabnya mereka berjaga-jaga malam
ini. Sayangnya, mereka tidak tahu bahwa mereka sudah
mengacaukan rencanaku. 229 Isi-Omen3.indd 229 "Kalian masih berani menuduh setelah apa yang kali?
an lakukan?" bentak Dicky. "Pak Polisi, saya menuntut
anak-anak ini dipenjarakan selama beberapa hari!"
"Tenang dulu," kata Ajun Inspektur Lukas. "Mereka
ha?nya anak-anak..."
"Hanya anak-anak?" bentak Dicky. "Tindakan yang me?
reka lakukan sudah menjurus pada kriminalitas, Pak!
Kalau tidak ditindak, bisa-bisa dalam waktu singkat me?
reka akan menjadi sampah masyarakat!"
"Elo kali yang sampah masyarakat!" teriak Erika, Viktor
Yamada, dan OJ serempak. Lalu, sementara Erika dan Viktor Yamada ber?pandang?
an dengan tampang sama-sama risi yang me?nurutku
sangat manis, OJ cengar-cengir sendirian bagai orang
yang tidak diajak kompakan.
"Cukup semuanya!"
Kami semua langsung terdiam melihat Ajun Inspektur
Lukas yang tampak berang. Sadar bahwa dia sudah ke?
lepasan membentak anak-anak, Ajun Inspektur Lukas
berdeham. "Sekali lagi, semuanya harap tenang. Kami dari
pihak kepolisian juga mengakui bahwa semua kejadi?an ini
tidak terlepas dari keteledoran kami. Seharus?nya, setelah
dua insiden yang sama terjadi, kami meng?henti?kan ujian
seleksi ini?atau setidaknya mengetatkan ke?amanan.
Tetapi, kami malah menuruti tekanan pihak tertentu."
Menuruti tekanan pihak tertentu? Apa ini berarti The
Judges juga memiliki kontak di kepolisian yang membuat
para polisi tidak bisa menghentikan mereka?
"Tidak ada bukti kuat, tidak boleh menyentuh anggota
The Judges," kata si ajun. Ditatapnya Dedi yang terbujur
di lantai dengan dahi tertancap paku. "Akibatnya, akhir?
230 Isi-Omen3.indd 230 nya ada korban ketiga. Sayangnya kami tidak membawa
paramedis malam ini. Anak yang terluka terpaksa harus
menunggu kedatangan mereka. Sementara kalian semua
yang lain, dengar baik-baik." Ajun Inspek?tur Lukas me?
layangkan tatapannya pada kami dengan sorot mata
tajam dan menakutkan. "Sekarang semua su?dah jelas.
Kami sudah mengawasi sekolah ini dengan saksama.
Tidak ada orang luar yang masuk ke sini, se?men?tara tiga
anggota The Judges yang lain sedang bersama kami saat
kejadian berlangsung. Hanya salah satu di antara kalian
yang bisa menjadi pelakunya..."
"Eh, masih ada satu lagi, Pak," celetuk OJ. "Namanya
Lindi, dan dia masih ada di luar sana!"
Ajun Inspektur Lukas menatap kami dengan mata me?
nyipit. "Benar juga. Hanya ada dua anggota The Judges
yang bisa dicurigai di sini. Ada yang tau Lindi di mana?"
"Lindi ada bersama kami, Pak."
Kami semua menoleh ke arah pintu yang kini dipadati
oleh anak-anak The Judges yang tadinya kami sekap di
toilet. Wajah mereka semua tampak tak senang, tapi itu
wajar-wajar saja mengingat perlakuan buruk yang sudah
mereka terima dari kami: dikepung, dipukul tiba-tiba, dan
disekap di toilet. Kalau dipikir-pikir lagi, tindakan kami, alias
rencanaku itu, memang agak-agak barbar. Tapi apa daya, aku
tidak bisa memikirkan rencana yang lebih baik lagi.
"Dasar kalian semua anak-anak sialan..."
Jason merangsek ke arah kami, tapi langsung dihadang
oleh Viktor Yamada dan Leslie Gunawan yang tampak
tinggi, gelap, dan mengerikan bagaikan dua malaikat
kematian pencabut nyawa.

Omen 3 Misteri Organisasi Rahasia The Judges Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan berani-berani," geram Viktor Yamada.
231 Isi-Omen3.indd 231 "Kalo nggak ingin terluka," sahut Leslie Gunawan
dengan nada yang lebih ringan namun tak kalah seram,
"sebaiknya kalian tetap diam di tempat."
Ada saat-saat aku iri sekali pada Erika dan Valeria, dan
momen ini adalah salah satunya. Sungguh, rasanya pasti
menyenangkan sekali punya cowok yang selalu me?
lindungi kita?baik diminta maupun tidak. Aku melirik
ke arah Daniel yang tampak masam sejak ke?datang?an
ke?dua cowok itu. Yah, cowok yang itu sih tak bakalan
bisa kuharapkan untuk melindungiku.
"Pak Ajun Inspektur," ucap King keras demi mengatasi
suara-suara di sekitarnya. "Setelah kami ditinggal Pak
Ajun, kami ketemu Lindi yang sedang mencari-cari saya.
Jadi sudah pasti dia nggak ada sangkut-pautnya dengan
ke?jadian ini." "Begitu." Ajun Inspektur Lukas berpaling pada kami
lagi. "Bagaimana dengan kalian?"
"Emangnya kami punya tampang pemborong? Punya
paku segitu banyak?" tukas Erika sambil cemberut. "Pe?
gang pistol paku aja saya be?lum pernah!"
"Kami sedari tadi bersama-sama semuanya, Pak," ucap
Valeria. "Tadinya kami mau ngajakin Dedi juga, tapi tadi
dia nggak sekolah. Waktu kejadian berlangsung, kami
sedang bersama Putri."
"Jadi satu-satunya tertuduh adalah kamu, Dicky," ucap?
ku. Si pangeran tajir menatap balik kami dengan senyum
angkuh. "Aku, Dicky Dermawan, pelaku semua insiden
ini? Pak Polisi, kalau Bapak sampai menangkap saya..."
Wajahnya benar-benar shock saat Ajun Inspektur Lukas
maju dan berkata padanya, "Dicky Dermawan, ayo ikut
232 Isi-Omen3.indd 232 kami ke kantor polisi untuk memberikan pernyataan me?
ngenai kasus percobaan pembunuhan terhadap tiga siswa
SMA Harapan Nusantara yang..."
"Pak!" selanya panik. "Yang benar saja! Bapak benarbenar sudah salah tangkap! Memangnya apa motif saya
me?lakukan semua ini, Pak?"
"Pak Polisi," Putri ikut memprotes, "jangan sembarang?
an menangkap, Pak. Bapak tidak punya bukti apa-apa!"
"Soal bukti dan motif, semuanya akan kita perjelas
saat kita lakukan tanya-jawab nanti," sahut Ajun Inspek?
tur Lukas datar. "Kamu bisa ikut dengan sukarela, Dicky,
atau kamu bisa menolak dan kami terpaksa harus me?
nahan?mu secara paksa. Pilihanmu sendiri."
Dicky terdiam, tampak bergulat antara rasa tersinggung
dan rasa takut. "Putri, telepon ayahku, ya."
Putri mengangguk. "Oke."
Sirene berbunyi di kejauhan, menandakan paramedis
sudah tiba. Ajun Inspektur Lukas menggiring Dicky ke luar,
diiringi pandangan kami semua. Sang tertuduh sudah
tertangkap, korban akan mendapatkan perawatan, se?men?
tara kami semua berhasil lolos tanpa ada luka yang berarti.
Semuanya tampak seperti akhir yang rapi dan bagus.
Tapi, entah kenapa, aku punya firasat buruk untuk se?
mua ini. *** Tidak ada bukti dan motif.
Kata-kata itu terus menggema di dalam hatiku, sampaisampai aku tidak bisa tidur selama sisa malam yang singkat
ini. Benar sekali argumen Dicky. Tanpa adanya bukti dan
233 Isi-Omen3.indd 233 motif, penyelesaian itu tidak lengkap. Kita tidak menge?
tahui apakah memang benar Dicky yang sudah mencelakai
anak-anak calon anggota The Judges itu, dan kenapa dia
melakukannya. Apa pun yang Ajun Inspek?tur Lukas
lakukan pada Dicky, itu bukan pe?nangkap?an yang
sebenarnya. Itu hanyalah penahanan sementara.
Tepat seperti dugaanku, pagi harinya, saat sedang me?
ngunci sepeda, aku melihat BMW Dicky memasuki pe?
lataran parkir mobil. Ya, sudah pasti Dicky akan me?
manggil ayahnya, yang akan memanggil sepasukan peng?
acara, dan tahu-tahu saja anak itu sudah bebas merdeka.
Se?andainya ada bukti dan motif pun, anak itu kemung?
kin?an besar masih bisa lolos.
Aku memandangi mobil berwarna hitam mengilap itu,
melihat Dicky dan Putri turun dari mobil. Mereka me?
mang pasangan yang serasi?Dicky tampan dan tajir,
Putri cantik dan anggun. Seperti itulah seharusnya
pasang?an. Seimbang dan tidak timpang.
Tidak seperti aku dan Daniel.
Malam kemarin aku berusaha keras menghindari
Daniel. Aku berusaha tidak memandangnya, apalagi
bicara dengannya. Yah, tentu saja, dengan adanya Valeria
di sana, mana mungkin dia akan bela-belain ngobrol
denganku? Tapi tidak apa-apa. Lebih baik begini. Lebih
baik aku tidak diacuhkan dan tidak dipedulikan daripada
dimanfaatkan lalu dicampakkan begitu saja.
Oke, lebih baik aku tidak memikirkan masalah pribadi
dalam situasi seperti ini. Ya, aku tahu, dalam banyak
film, kita disuruh lebih menuruti hati dan perasaan dari?
pada logika. Tapi menurutku tidak begitu. Hati dan
perasaan hanya akan mengacaukan penilaian kita. Untuk
234 Isi-Omen3.indd 234 ber?tahan hidup, lebih baik kita menggunakan logika. Se?
tidak?nya, itulah yang kulakukan hingga sekarang. Ma?
salah?ku dengan Daniel tidak akan mengacaukan hidup?
ku?atau persahabatanku dengan Valeria. Dengan atau
tanpa Daniel, aku pasti bisa bertahan hidup.
Meski dengan menanggung rasa sakit dan kesepian.
Tunggu dulu. Ada yang aneh dengan sikap Putri dan
Dicky. Saking memikirkan diri sendiri, aku nyaris me?
lewatkan beberapa detail kecil. Dicky tidak membantu
Putri turun dari mobil, padahal cowok itu gosipnya luma?
yan gallant. Setelah itu, keduanya pun tidak berjalan
berdampingan. Dicky berjalan di depan, sementara Putri
mengikuti di belakang. Dan, kalau aku tidak salah, se?
pertinya mata Putri rada sembap.
Sepertinya ada pertengkaran kecil di dunia yang sem?
purna nih. Aku kepingin tahu lebih banyak, tapi bisa-bisa aku
telat kalau menguntit mereka. Lagi pula, bisa-bisa aku
disangka stalker. Mendingan aku mengerjakan urusanku
sendiri yang masih banyak. Aku mengambil tas dari
keranjang sepedaku dan menyandangnya, lalu berjalan
meninggalkan gang kecil tempat parkir sepeda. Koridor
menuju sekolah sudah dipenuhi anak-anak. Maklum deh,
dengan semua pekerjaan rumah dan alat transportasiku
yang superlambat, aku tidak mungkin bisa tiba di seko?
lah sepagi yang kuinginkan. Yah, dilihat dari sisi positif,
setidaknya aku tidak pernah terlambat.
Aku memasuki gedung ekskul dan menaiki tangga, lalu
menghampiri pintu Ruang Kesenian. Aku merogoh kan?
tong, mengeluarkan kunci, dan membukanya. Setelah
meletakkan tasku, aku mengambil sapu dan mulai me?
235 Isi-Omen3.indd 235 nyapu ruangan. Yah, inilah rutinitasku setiap pagi. Aku
tahu, sebagai ketua klub, aku bisa memerintahkan siapa
saja untuk melakukannya, termasuk petugas ke?bersih?an
sekolah. Tapi aku senang melakukannya sendiri. Ruang?an
ini tanggung jawabku, dan aku berniat menjaganya
dengan sebaik-baiknya. Saat selesai membersihkan ruangan, aku membuka laci
untuk mengeluarkan buku daftar kegiatan. Itu adalah buku
Badai Awan Angin 20 Lupus Kecil Tumpahan Darah Di Supit 3

Cari Blog Ini