Ceritasilat Novel Online

Omen 3

Omen Karya Lexie Xu Bagian 3


"Maksud Anda, pemimpin geng motornya?"
Sebelum si Ojek sempat menyahut, terdengar suara
pintu mengempas, membuat kami semua menoleh ke
arah pintu ruang operasi yang kini terbuka. Serombongan
perawat menyeruak ke luar sambil mendorong tempat
tidur beroda. Serta-merta aku dan kedua orangtuaku berlari menghampiri mereka.
Begitu tiba di sana, kakiku langsung serasa terpaku
di tanah. Kulihat Eliza berbaring di tempat tidur itu.
Wajahnya seputih kapas, sementara berbagai kabel menancap di tubuhnya yang dipenuhi balutan perban,
dan masih ada mesin yang terus terhubung di tubuhnya.
"Bagaimana kondisinya, Dok?"
Kudengar ayahku bertanya, dan aku berpaling ke belakang. Rupanya dokter yang mengoperasi Eliza tadi sedang berbicara dengan orangtuaku.
"Keadaannya tidak begitu baik," kata si dokter muram.
"Kami berhasil menyelamatkannya, tapi kesadarannya
belum pulih. Saat ini, semuanya tergantung pada semangat hidup anak ini. Apakah dia mau berjuang untuk
tetap hidup, ataukah dia memilih untuk menyerah."
Mendengar ucapan si dokter, ibuku menangis lagi.
Ayahku tidak mengatakan apa-apa, tapi tubuhnya terlihat
gemetar. Menyadari bahwa mereka sudah melupakanku?
162 Isi-Omen.indd 162 dan tidak pada tempatnya aku menunjukkan kemarahanku?aku menundukkan wajah.
"Kamu capek?" Kudengar suara si Ojek di belakangku.
"Mau kuantar pulang aja?"
Aku melirik orangtuaku. Dalam hati aku berharap mereka mendengar pertanyaan itu dan memikirkanku
barang sebentar saja. "Sebenarnya, lebih baik kalian semua pulang dan beristirahat," saran Ajun Inspektur Lukas sambil menepuk
bahu ayahku. "Keberadaan kalian di rumah sakit ini
tidak akan membantu kesembuhan Eliza, tetapi dia akan
sangat membutuhkan perawatan dan perhatian kalian
pada saat siuman nanti. Jadi, penting sekali bagi kalian
untuk menjaga kondisi tubuh. Setuju, kan?"
Tadinya orangtuaku tidak begitu memedulikan ucapan
Ajun Inspektur Lukas. Setelah mendengar nama Eliza disebut-sebut, barulah mereka menunjukkan reaksi. Menyadari kebenaran dalam kata-kata Ajun Inspektur Lukas,
ayahku mengangguk dengan berat hati.
"Baiklah, kita semua pulang."
Aku menunggu orangtuaku berjalan dulu, barulah berbicara pada si Ojek. "Sori ya, Jek. Gue nggak bisa pulang
bareng elo, dan gue nggak bisa bayar elo malam ini."
"Yang begituan nggak usah dipikirin, Ngil." Si Ojek
mengibaskan tangannya. "Malam ini aku datang sebagai
temen kok. Kamu nggak berutang apa-apa padaku."
"Lha, terus sepuluh juta yang lo jaminkan itu?" tanyaku dengan sangat tidak enak hati.
"Itu kita bicarain nanti aja. Yang penting adik kamu
sembuh dulu," jawabnya sambil tersenyum bijak.
Sikap si Ojek benar-benar membuatku merasa jauh
163 Isi-Omen.indd 163 lebih baik. "Oke deh, thanks banget ya, Jek. Nanti gue
kasih tau ortu gue buat gantiin duit lo."
Sepanjang perjalanan pulang, aku dan kedua orangtuaku sama sekali tidak berbicara. Boro-boro mau memberitahukan soal jaminan si Ojek tadi. Nanti sajalah, kalau
situasi sudah lebih kondusif.
Begitu tiba di rumah, aku langsung mengurung diri di
kamar. Meski begitu, aku tetap tidak bisa tidur, dan
seperti yang sering terjadi pada para insomnia malang,
aku mulai kebelet pipis. Terpaksa aku keluar dari
kamarku yang aman?dan mendengar percakapan yang
dilakukan ibuku secara bisik-bisik di telepon.
"Tidak, Dik, menurutku dia lebih mengerikan lagi dibanding dulu. Tega-teganya dia melakukan hal sekejam
ini pada adiknya sendiri! Ya, aku juga mengira kami
sudah berhasil mendidiknya dengan keras, tapi ternyata
kejahatannya sudah mendarah daging. Dia sudah tidak
bisa ditolong lagi. Kita hanya bisa pasrah. Mana mungkin aku bisa tidur malam ini? Memangnya kita bisa
menduga apa yang ada di balik pikiran si Omen itu?"
Aku kembali ke tempat tidurku, berusaha memejamkan
mata seraya mengusir suara-suara dari luar.
Semoga cepat tidur, semoga cepat tidur, semoga cepat tidur....
Jantungku serasa berhenti saat lampu kamarku mati.
Kucari sakelar lampu di dinding. Kutekan sakelar, lampu
tidak juga menyala. Pasti orangtuaku mematikan sekringnya. Aku lebih shock lagi saat mendengar bunyi klik
yang menggema keras. Aku langsung melesat ke arah
pintu kamar dan memutar hendelnya.
Terkunci. 164 Isi-Omen.indd 164 "Ma?" Tanpa bisa kutahan, suaraku terdengar gemetar. "Ma, buka pintu, Ma!"
Tidak adanya jawaban membuatku semakin panik. Aku
menggedor-gedor pintu dan berteriak-teriak.
"Pa, bukain pintu! Mama, jangan kunci aku, Ma!"
Namun seberapa kerasnya pun aku membuat keributan, tidak ada yang menanggapiku. Menyadari hal itu,
kuputuskan aku harus melakukan sesuatu. Aku merabaraba dan berhasil menemukan jendela kamar. Kaca jendelanya sengaja dibuat hanya bisa dibuka sedikit supaya
maling tidak bisa masuk?setidaknya, maling yang
bertubuh besar. Aku memang cukup tinggi, tapi aku
lebih kurus dibanding sebagian besar orang (termasuk
Eliza). Dengan meliuk-liukkan badan seperti ular, akhirnya aku bisa terbebas dari kegelapan total di dalam kamarku.
Dan sisa malam itu kuhabiskan dengan meringkuk di
bawah jendela kamar. *** Mungkin karena letih, mengantuk, atau campuran keduanya, malam itu pikiranku berkelebat ke sana kemari.
Kejadian nyata bercampur dengan adegan hitam-putih.
"... petunjuk yang kami telusuri mengarah padamu..."
"... dia lebih kejam lagi dibanding dulu..."
Muka mengerikan hitam-putih menyeringai menampakkan gigi-giginya yang besar.
Kaulah pelakunya. Kau membunuh Eliza.
Aku tersentak bangun, dan menyadari aku masih
165 Isi-Omen.indd 165 duduk di bawah jendela kamarku di pekarangan belakang. Matahari sudah muncul di ufuk timur. Maka aku
segera menyelinap masuk ke kamarku lagi, mengambil
barang-barang seperlunya, lalu menyelinap keluar dari
rumah. Yep, aku tahu Ajun Inspektur Lukas menyuruhku
untuk tidak melakukan hal-hal yang membuatku
dicurigai, tapi ayolah, kalian kira aku bisa menghadapi
orangtuaku setelah kejadian tadi malam? Tidak, lebih
baik aku pergi secepatnya dari rumah ini.
Aku bahkan tidak menghubungi si Ojek, melainkan
pergi ke sekolah dengan tukang ojek lain. Kalian kan
tahu si Ojek itu rada-rada suka berceramah. Aku tidak
mau dia menyuruhku kembali ke rumah dan memintaku
melakukan saran-saran Ajun Inspektur Lukas yang tolol.
Aku bukan penjahat, dan aku tidak takut dicurigai hanya
karena aku tidak punya alibi.
*** Saat menelusuri koridor sekolah, kusadari anak-anak yang
berpapasan di koridor menatapku secara sembunyisembunyi. Apa-apaan ini? Apa mereka sudah mendengar
tentang kejadian kemarin? Kalau iya, hanya ada satu
sumbernya. Dasar Anus keparat! Aku memasuki kelas?dan terpana melihat tulisan di
papan tulis. "OMEN TERKUTUK, KELUAR DARI KELAS KAMI!"
Tanpa sadar aku mengumpat. "What the f?"
"Errrika, kamu ngomong jorok lagi, ya?!" teriak si Rufus
dari belakangku. "Apa kamu tidak kapok"
166 Isi-Omen.indd 166 Kini giliran si Rufus yang terpana melihat tulisan
brengsek itu. "Setan bajingan keparat!"
Oke, guru ini ternyata lucu juga kalau lagi lupa diri.
"Siapa yang berani menulis beginian di papan tulis?!"
Keheningan yang terdengar begitu keras di telingaku
memenuhi kelas kami. Namun aku bisa merasakan tatapan mereka yang menghunjamku. Oke, ini hanya berarti
satu hal: semua orang sudah mendengar kejadian yang
menimpa Eliza dan meyakini bahwa akulah yang mencelakainya.
Pertanyaan sejuta dolar, siapa yang berhasil mengetahui semua itu dan menyebarkannya?
"Siapa?!" bentak si Rufus lagi. "Kamu, Daniel! Kamu
konconya Erika! Kamu pasti mau mengatakan siapa pelaku tindakan pengecut ini, kan?"
"Ehm, saya nggak tau, Pak," sahut Daniel sambil menatapku seraya mengangkat satu alisnya, menandakan
dia ingin bicara denganku secepatnya. "Bapak kan juga
tau kalo saya sering terlambat. Saat saya masuk kelas,
tulisan itu udah ada."
"Welly, Amir?" "Kami masuk sama-sama Daniel, Pak," sela Welly ketus.
Si Rufus mengedarkan pandangan lagi dengan tampang segarang yang bisa ditampakkannya, tapi setiap
murid membungkam bagaikan sekelompok anak-anak
bisu yang lagi bete padaku.
Kelas yang menyebalkan. Kapan-kapan akan kuberi
mereka semua pelajaran. "Baiklah, karena tidak ada yang mau mengaku, saya
terpaksa melakukan upaya terakhir yang dramatis." Dia
167 Isi-Omen.indd 167 menatap galak. "Saya akan menyuruh kalian semua
membersihkan WC." Tetap saja semua bergeming.
"Tidak ada yang protes?" komentar si Rufus sinis.
"Bagus!" "Ehm." Aku berdeham. "Saya nggak perlu ikut-ikutan
bersihin WC kan, Pak? Kan udah jelas bukan saya pelakunya."
"Betul, Errrika. Kali ini kamu bebas dari hukuman."
Luar biasa. Tidak dihukum ternyata bukan sesuatu yang menyenangkan. Kukira aku bisa makan nasi goreng dan
menyeruput teh botol dingin di kantin sekolah, ongkangongkang kaki sambil memandangi teman-teman yang
menyikat WC sambil menghapus peluh di kening
mereka. Nyatanya, aku terkurung di perpustakaan, membaca buku terkecil yang bisa kutemukan dan berjudul
aneh?The Secret, dan omong-omong, tak ada rahasia
menarik di dalamnya?serta dipelototi penjaga perpus,
Bu Marni, yang duduk di bangkunya seraya memegangi
gulungan kalender, siap memukuli kepalaku kalau aku
sampai melipat halaman buku kucel tersebut atau bersin
di atasnya. Sementara itu, aku bisa mendengar temantemanku membersihkan WC dengan riang gembira. Yang
cowok-cowok tertawa terbahak-bahak sementara yang
cewek menjerit-jerit. Aku bisa membayangkan mereka
bermain sembur-semburan air seperti dalam iklan konyol
mengenai sabun yang sanggup membasmi segala kotoran
yang bisa kita dapatkan waktu bermain di WC umum.
Lalu kudengar pembicaraan itu. Tidak terlalu keras,
tapi kebetulan aku memilih bangku yang dekat dengan
168 Isi-Omen.indd 168 dinding. Oke, ini bukan kebetulan. Aku memang sudah
berniat menguping kok. "Jadi, siapa sih yang nulis kata-kata di papan tulis
itu?" Wah, ternyata ilmu ngupingku bakalan membuahkan
hasil juga! "Hush, jangan sebut nama. Kan di sini ada pengkhianat."
Buset, ternyata aku terlalu cepat senang.
"Heh, siapa yang lo sebut pengkhianat?" Terdengar
suara jengkel Welly. "Belum pernah digebukin orang
keren, ya?" "Tapi meski kalian teman-temannya, kalian juga harus
mengakui kan, kalau semua ini aneh?"
"Semua apa?" Suara Daniel yang biasa santai kini terdengar ketus.
"Semua yang kita dengar. Ayolah, masa lo nggak
ngerasa semua itu masuk akal? Kan udah bukan rahasia
umum kalo Erika itu iri banget sama Eliza dan nggak
segan-segan melakukan kelicikan..."
"Kelicikan?" "Seperti waktu dia ngerebut Ferly dari Eliza."
"Hei, pake otak kalian dong!" Amir yang nilai rata-ratanya tak pernah lebih dari enam tahu-tahu menyinggung
soal otak. "Memangnya Erika keliatan seperti cewek yang
sanggup ngerebut cowok dari Eliza?"
Sialan. Tapi, hmm, masuk akal juga sih.
"Tapi kemarin itu dia kan memang ada di sana!" teriak
seseorang lagi. "Dia sendiri yang mengumumkan kedatangannya dengan bergaya-gaya sengak setelah mecahin kaca jendela rumah si Anus!"
169 Isi-Omen.indd 169 Kali ini ketiga koncoku membisu. Aneh sekali. Ya,
posisiku memang mencurigakan, tapi aku cukup yakin
mereka akan tetap membelaku. Hanya ada dua kesimpulan yang bisa kutarik dari hal ini.
Satu, mereka melihat sesuatu yang membuat mereka
turut mencurigaiku. Dua, mereka pelakunya. Tidak, kemungkinan kedua terlalu berlebihan. Ketiga
temanku ini memang nakal, tapi mereka tidak jahat. Oke
deh, memang aku baru mengenal mereka sejak masuk
SMA, tapi penilaianku biasanya cukup akurat, kebenarannya mendekati 97 persen.
"Nah, kalian yang biasa main dengannya pun nggak
membelanya. Terbukti dia memang bersalah, kan?"
"Kami nggak bilang dia salah," kilah Amir. "Cuma"
Cuma? "Sst." Oke, sekarang aku curiga banget. Kenapa sih ketiga
temanku ini? Aku harus bicara dengan mereka secepatnya.
"Mau ngebela dia atau nggak, itu bukan urusan kalian," tegas Daniel. "Sekarang, kalo kalian nggak keberatan, tolong selesaikan kerjaan yang menyebalkan ini.
Kami bertiga mau santai-santai di luar. Oh ya, kalo ada
guru yang tau kami pergi, awas ya!"
Terdengar bunyi pintu mengempas diikuti sumpah
serapah teman-teman yang ditinggalkan, membuatku
yakin ketiga temanku sudah berhasil kabur dari tanggung
jawab. Sekarang giliranku untuk meloloskan diri pula,
dan aku akan menggunakan trik lama yang tak mungkin
gagal. 170 Isi-Omen.indd 170 "Bu!" teriakku sambil berdiri dan memegangi perutku.
"Saya ke toilet dulu, ya. Mules banget nih!"
"Begitu?" Sayangnya, Bu Marni bukan guru sembarangan. "Kalau sudah selesai, kembali ke sini lagi, ya! Kebetulan saya punya obat yang sangat manjur buat sakit
perut." Caranya mengucapkan kata-kata itu pasti akan membuat murid-murid yang lebih lemah hati mengurungkan
niat mereka, tapi aku juga bukan orang baru dalam
permainan ini. Aku mengangguk dengan muka penuh
penderitaan, lalu ngacir tanpa niat untuk kembali lagi.
Sori-sori saja, aku kan tidak salah apa-apa. Kenapa juga
aku harus dikurung di dalam perpustakaan?
Seperti biasa, aku menemukan konco-koncoku sedang
makan?kali ini mereka nongkrong di warteg samping
warung bakmi. "Jadi," kataku dengan nada sesantai mungkin, "ada


Omen Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang bisa bilang ke gue, siapa yang bikin gue jadi
headline pagi ini?" "Siapa lagi kalau bukan si Anus?" sahut Daniel. "Biasalah, dia ngerasa jagoan banget karena diinterogasi sama
polisi. Dan omong-omong, dia bilang dia udah ngelaporin elo soal jendelanya juga."
"Oh, ya? Kalo gitu, kok tadi malam polisinya nggak
bilang sama gue?" "Halah, lo semua kan tau, si Anus cuma tukang gertak," cetus Welly. "Dia ngomong gitu supaya bukan
cuma dia yang ketakutan. Denger-denger orangtuanya
pulang hari ini. Hah, bakalan mati dia diomelin!"
Kami semua cengengesan membayangkan bagaimana
tampang si Anus sewaktu dijewer ayahnya dan dicubiti
171 Isi-Omen.indd 171 ibunya?ya, kami memang sadis?hingga kusadari bahwa
ketiga temanku itu sedang memandangiku dengan wajah
aneh. "Ada apa sih?" tanyaku mulai tak sabar. "Kenapa sih
dari tadi kalian menatapku seperti itu?"
"Mmm, begini, Ka." Daniel berdeham. "Kami liat
elo." Hah? Melihat tampangku yang kebingungan, Amir menjelaskan, "Tadi malam, Ka, setelah lo bilang lo mau pulang."
Oke, aku masih tetap tidak mengerti. Namun sepertinya reaksiku tidak diterima, karena Welly langsung mendecak tak sabar dan berteriak, "Nggak usah belagak
blo?on lagi, Ka. Kami tau elo pelakunya!"
"Welly!" Brengsek. Sekali mengoceh, si idiot ini mengeluarkan
dua penghinaan. "Eh, ngaca dulu lo, berani-beraninya ngatain gue
blo?on!" bentakku kesal. "Dan kenapa lo ikut-ikutan
orang-orang goblok lain nuduh-nuduh gue? Memangnya
apa yang lo liat, hah?! Apa???"
Ketiga cowok yang tadinya kukira adalah teman-temanku itu terdiam. Lalu Daniel merogoh-rogoh di bawah
bangku. Rupanya dia menyembunyikan sebuah kantong
di sana. Hmm, sebenarnya bukan sesuatu yang luar biasa
sih, karena kami biasa menitipkan tas kami di warungwarung makan di dekat sekolahan, dan para penjualnya
pun cukup mengenal kami untuk tidak mengutak-atik
barang-barang kami itu. "Kami ngeliat elo nyembunyiin ini."
172 Isi-Omen.indd 172 Dia meletakkan sebuah kantong plastik hitam yang
mirip benar dengan kantong sampah.
"Apa ini?" tanyaku curiga. Jangan-jangan aku dijebak
untuk memegang sesuatu yang jorok dan menjijikkan.
"Liat aja." Aku membuka kantong plastik itu, lalu mengguncangnya hingga isinya keluar.
Jaket hitam yang kukenakan malam itu.
Baru saja aku ingin menyemburkan sumpah serapah
karena ketiga cowok itu berani mencuri pakaianku seperti cowok-cowok mesum tidak jelas?pantas benda itu
menghilang begitu saja, sudah kusangka aku tidak salah
taruh?mendadak kulihat sesuatu yang membuat jantungku nyaris berhenti berdetak.
Di atas garis-garis putih yang menghiasi pinggiran jaket
itu, terlihat cipratan merah tua yang sangat banyak.
"Apa itu?" bisikku meski aku sudah tahu jawabannya.
"Darah," sahut Daniel rendah supaya hanya kami berempat yang mendengarnya. "Dan kalo sampai polisi memeriksanya, mereka pasti akan tau bahwa ini darah
Eliza." 173 Isi-Omen.indd 173 ADI, gimana penjelasan lo?"
Kutatap wajah-wajah yang dulunya adalah sahabatsahabatku, namun kini tampak penuh tuduhan. Rasanya
sulit sekali memercayai kenyataan ini, bahwa orangorang yang dulu pernah dekat denganku kini menuduhku melakukan sesuatu yang mustahil kulakukan.
"Kenapa juga gue harus ngejelasin?" sergahku. "Kalian
nggak percaya sama gue? Kalian juga nuduh gue yang
nyelakain Eliza?" "Kami bukannya nuduh elo, Ka," cetus Amir. "Makanya kami ngasih elo kesempatan buat ngejelasin. Mungkin aja elo dan dia ribut, lalu ada kejadian nggak terduga..."
"Dan berakhir dengan gue berusaha membunuh dia?"
sindirku. "Udah deh, Ka, nggak usah nyolot gitu," kata Daniel
tegas. "Mendingan lo jawab dulu pertanyaan gue. Jaket
ini lo taro di mana setelah elo pake kemaren?"
"Seinget gue, gue taro di kamar."
"Seingat lo?" ulang Daniel muram. "Jawaban yang
aneh dari orang yang punya ingatan fotografis."
174 Isi-Omen.indd 174 Yep, terus terang, aku juga heran dengan pemilihan
kata-kataku. Habis mau bagaimana? Aku yakin aku menaruh jaket itu di kamar, tapi aku juga yakin benda itu
sudah lenyap sebelum aku mencari Eliza.
Pada saat itu, memangnya jaket itu ada di mana?
"Ka, semua juga tau perasaan elo sama Eliza," tukas
Welly menyela pikiranku, "dan kami nggak nyalahin elo
kalo ada kejadian yang membuat elo sanggup melakukan
hal gila...." Oke, ada yang aneh dari pembicaraan ini.
"Kenapa sih dari tadi kalian sebut-sebut soal kejadian?
Memangnya ada kejadian apa yang bisa bikin gue jadi
psikopat?" Ketiga cowok itu berpandangan, lalu Daniel menjawab
mewakili mereka bertiga, "Hipnotis."
Apa? Seluruh tubuhku terasa dingin.
"Hipnotis?" "Ayolah, Ka." Welly berdecak. "Kami memang nggak
punya otak pinter kayak elo, tapi kami kenal elo. Kami
bisa liat elo jadi berubah sejak kena hipnotis si tukang
sulap itu." "Ilusionis," ralatku tanpa memperlihatkan perasaanku
yang semakin lama semakin dicekam ketakutan.
"Apa kata lo deh." Dia mengibaskan tangannya.
"Pokoknya gue?kami bertiga?yakin kalo otak lo udah
dipretelin sama dia."
"Kami semua juga liat, Ka, apa yang terjadi waktu
itu," kata Amir dengan muka prihatin. "Muka lo tegang
banget waktu dia lagi hipnotis elo, trus waktu lo bangun,
lo jerit-jerit. Abis itu, bukannya balik ke bangku, lo
175 Isi-Omen.indd 175 malah kabur. Apa lagi yang kami simpulkan selain waktu
dia hipnotis elo, lo ngebayangin sesuatu yang menakutkan?"
"Gue inget instruksinya," kata Daniel pelan. "Pertamatama, dia suruh elo bayangin orang yang paling deket di
hati elo. Gue tau, dia bermaksud supaya elo bayangin
cowok yang lo taksir, tapi gimana kalo lo malah ngebayangin sodara kembar lo?"
Kata-kata Daniel benar-benar tepat sasaran. Aku sama
sekali tidak sanggup mendebatnya.
"Dan saat dia suruh elo melakukan apa aja dengan
maksud bikin elo peluk atau cium cowok yang lo taksir,
gimana kalo elo ngebayangin apa yang ingin lo lakukan
pada Eliza? Melukai Eliza, misalnya?"
"Atau barangkali membunuhnya," sambung Amir perlahan.
Dan sesuatu yang sedari tadi mengintai dari jauh, langsung menyeruak masuk ke hatiku saat mendengar Amir
mengucapkan kata "membunuhnya". Sesuatu yang terasa
mengerikan sekali. Perasaan itu begitu kuat mencengkeram hatiku dan berusaha menguasai, membuatku
merasa seperti di ujung kewarasan. Buru-buru kutepiskan
semua itu sebelum aku benar-benar menjadi gila.
"Kalian ngawur banget!" teriakku seraya menyembunyikan semua ketakutanku. "Mana mungkin hanya gara-gara
itu gue sanggup membunuh adik gue sendiri?"
"Tapi bener kan, itu yang terjadi?" sela Welly ingin
tahu. "Dia bikin lo ngebayangin membunuh Eliza?"
Aku tidak mau menjawabnya. Aku tidak ingin mengakuinya.
"Dan nggak biasanya lho, lo lupa dengan sesuatu yang
176 Isi-Omen.indd 176 udah lo lakukan." Amir mengingatkan saat melihatku
diam saja. Sialan. "Ka," kata Daniel tegas. "Cuma itu penjelasan yang
ada. Cuma itu penjelasan yang harus ada. Karena kalo lo
melukai Eliza sampe seperti itu dengan kemauan lo
sendiri, sumpah, gue sendiri yang akan serahin elo ke
polisi. Kita memang anak-anak nakal, Ka, tapi kita bukan
pembunuh. Kita bukan monster."
Wajahku seperti ditampar saja.
"Jadi, sekarang gue monster?" ucapku lirih.
"Lo tau, bukan itu maksud gue, Ka," kata Daniel pelan.
Aku melirik jaket itu. "Jadi sekarang apa yang akan
kalian lakuin?" "Kami akan nyerahin jaket ini ke polisi sebagai bukti,"
kata Amir dengan nada penuh permintaan maaf?permintaan maaf yang saat ini sama sekali tidak berarti
bagiku. "Dan itu berarti nyerahin gue ke polisi," kataku sengit.
"Temen-temen macam apa kalian, hah?!"
"Justru karena kami temen-temen elo, Ka, makanya kami
masih memperlihatkan jaket ini sama elo dan minta
penjelasan elo," kata Welly. "Kalo kami bukan tementemen elo, lo udah ditangkap polisi dari kemarin malam."
Aku menatap ketiga wajah yang tampak penuh tekad
itu. Mereka akan menjadi musuh-musuhku dalam waktu
singkat, pikirku, dan yang bisa kulakukan hanyalah menunda hal itu selama mungkin.
"Oke, ada hal yang gue minta dari kalian untuk ter177
Isi-Omen.indd 177 akhir kalinya," kataku setenang mungkin sambil memasukkan jaket itu kembali ke kantong plastik lagi, "dan
gue harap kalian mau melakukannya sebagai tanda
bahwa kita pernah bersahabat."
Ketiga cowok itu saling melirik curiga.
"Tenang, gue nggak suruh kalian membunuh orang
kok. Bagian itu biar gue yang lakuin sendiri aja."
Ternyata aku baik-baik saja. Buktinya, aku sudah bisa
bercanda. Dan ketiga mantan temanku itu pun tersenyum mendengar ucapanku.
"Oke, lo mau kami bertiga ngapain?" tanya Daniel.
"Gue mau minta barang ini."
Sebelum ketiganya sempat bertindak, aku sudah meraih kantong plastik hitam itu. Welly yang paling cepat
di antaranya langsung mencengkeram tanganku yang
memegangi kantong itu, namun dengan tangan yang
lain kutinju hidungnya sampai berdarah. Amir mendekat,
lalu menjauh lagi sambil meraung-raung saat lututku
mengenai perutnya yang buncit. Dari ujung mataku aku
bisa melihat para penjaga warteg sudah bersembunyi,
jauh dari perkelahian kami.
Yang tersisa hanyalah Daniel yang kini menghalangi
pintu. "Lo tau, lo nggak mungkin menang ngelawan gue,
Ka," kata Daniel kalem.
"Memang," kataku, "dan itulah yang gue minta dari
elo bertiga. Biarin barang ini jadi punya gue, Niel. Elo
tau, kalo kalian nyerahin baju ini ke polisi, mereka pasti
bakalan nangkap gue, dan gue nggak sudi dipenjara."
"Kalo lo nggak bersalah, ngapain lo takut dipenjara?"
178 Isi-Omen.indd 178 "Hmm." Aku tersenyum sinis. "Seumur hidup gue, gue
selalu disalahin, nggak peduli tindakan yang gue lakuin
bener atau salah. Apalagi kejadian ini. Jelas-jelas semua
bukti mengarah ke gue. Pasti gue yang jadi kambing hitam
dan dipenjarakan. Gue nggak rela, Niel!"
"Kalo gue biarin lo pergi, kami bertiga bakalan dianggap bersekongkol sama elo."
"Nggak kalo gue berhasil melukai kalian bertiga dalam
satu gebrakan mendadak."
Daniel memikirkan kata-kataku selama beberapa detik.
"Oke." Dia melangkah menyingkir. Sebagai balasannya, aku
menghantamkan daun pintu padanya dan melihatnya
menyumpah-nyumpah sambil memegangi jari-jari kakinya yang terjepit.
Dan itulah kali terakhir aku melihat mereka hingga
semua urusan ini selesai.
*** Kalau teman-temanku saja tidak memercayaiku, siapa lagi
yang akan membantuku mengenyahkan benda terkutuk
yang ada di dalam tasku ini?
Bukannya aku ingin melenyapkannya. Aku hanya perlu menyembunyikannya untuk beberapa waktu hingga
aku mendapat bayangan siapa orang yang begitu dendamnya padaku sampai-sampai menciptakan barang
bukti yang bisa membuatku mendapat hukuman
tembak?kalau bukan dari pengadilan, ya dari keluargaku.
Yang jelas, aku tidak sudi difitnah begitu saja, dan untuk
menangkap pemfitnahku yang juga telah mencelakai
179 Isi-Omen.indd 179 adik kembarku, aku butuh bantuan?atau setidaknya
orang tolol yang bisa kusuruh-suruh mengerjakan pekerjaan kotor.
Orang pertama yang terlintas dalam pikiranku adalah
si Ojek. Tidak. Aku tidak akan datang kepadanya. Aku akan
kehilangan kewarasanku yang sisa secuil ini andai dia
mengatakan bahwa dia tidak memercayaiku juga. Situasinya tak akan lebih baik jika tanggapan dia ternyata kebalikan dari semua orang. Andai dia percaya aku tidak
bersalah dan memaksa untuk membantuku, aku akan
menyeretnya ke dalam masalah besar.
Tidak, aku tidak ingin menyebabkan si Ojek jatuh ke
dalam masalah besar dan mengerikan seperti ini. Hidupnya sudah cukup tak enak. Maksudku, jadi tukang ojek
pasti bukan pekerjaan idamannya, kan? Aku tidak boleh
membuatnya bertambah susah lagi.
Jadi, aku harus mencoret si Ojek dari daftar orang
yang bisa kuperalat?maksudku, orang yang bisa membantuku.
Tapi kalau bukan dia, siapa lagi yang ada di dalam
daftar sialan tersebut? Keluargaku? Yang benar saja.
Justru mereka berada di pihak yang berlawanan. Melihat
hukuman yang mereka berikan padaku, mungkin mereka
malah lebih yakin akulah pelakunya ketimbang para
polisi. Teman-temanku? Yah, berkat kepopuleranku yang
luar biasa, aku jadi tidak punya teman selain tiga cowok
yang sudah menyatakan diri bahwa mereka tidak memercayaiku. Si Rufus? Memangnya dia mau kusuruhsuruh melenyapkan barang bukti bernoda darah? Bisabisa dia langsung terkena serangan jantung.
180 Isi-Omen.indd 180 Oke, sekarang jangan berpikir macam-macam dulu.
Saat ini, yang lebih penting, aku harus menyingkir dari
sekolah dulu. Soalnya, dalam waktu dekat Daniel, Welly,
dan Amir akan melaporkanku kepada pihak sekolah supaya tidak disangka bersekongkol denganku, dan pihak
sekolah akan meneruskan laporan itu kepada pihak
kepolisian. Singkat kata, sekarang aku buronan yang paling dicari
di daerah sekitar sini. Yep, memang bukan buronan paling dicari di seluruh Indonesia, tapi segini saja juga
sudah cukup keren, kan? Dan kalau bisa, jangan lebih
dari ini. Bisa berabe nanti kalau aku jadi pelarian abadi.


Omen Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bisa-bisa aku tak punya kesempatan untuk tidur nyenyak
lagi, lalu lingkar mataku jadi gelap, emosiku jadi labil,
dan tahu-tahu saja aku mulai membunuhi setiap orang
yang berani menginjak kakiku. Orang-orang akan
menjulukiku "Si Penikam Berkaki Sensi".
Hah, aku mulai ngelantur lagi, padahal seharusnya aku
kabur dari sekolah sebelum ditangkap satpam. Dengan
muka setenang mungkin, aku berjalan secepat mungkin
menuju toilet cewek yang menjadi akses pribadiku untuk
keluar-masuk sekolah tanpa terdeteksi. Pintu toilet tampak seperti pintu impian menuju kebebasan, tapi selangkah sebelum aku berhasil mencapainya, aku menabrak seseorang.
"Lo kira lo mau ke mana?"
Aku tidak terkejut saat melihat sejumlah anak mendekatiku?atau lebih tepat lagi, segerombolan massa. Ada
sejumlah cowok, tapi ada lebih banyak cewek di antara
mereka. Sebenarnya aku sudah menunggu semua ini
sedari tadi. Ayolah, teman-temanku sendiri saja sudah
181 Isi-Omen.indd 181 siap memenggalku. Jelas anak-anak lain?yang kebanyakan membenciku?bakalan melakukan sesuatu yang lebih
parah. Seperti mengeroyokku. Aku memiringkan kepalaku dan berkata santai, "Nggak
berani one-and-one?"
"Menghadapi cewek kotor seperti elo nggak perlu fairfair amat."
Seorang cewek bertampang congkak maju sambil melipat tangan di depan dada. Gara-gara daya ingat fotografisku yang menyebalkan, aku ingat cewek itu adalah
cewek yang biasa mulai mengompori Eliza setiap kali aku
membuat ulah di sekolah?termasuk masalah dengan
Ferly?dan sialnya aku juga ingat nama cewek itu,
Willyana. "Lo bener-bener udah keterlaluan kali ini. Menyabot
Liza dalam pergaulan sosialnya yang gemilang, ngerebut
cowok yang seharusnya menjadi pacarnya, dan kini
berusaha membunuhnya? Cewek kayak elo nggak layak
berada di antara kami."
Aku tertawa singkat. "Memangnya siapa yang bilang
lo boleh bicara atas nama semua orang?"
"Semua orang ini." Dia mengedikkan dagunya. "Hajar
dia!" Aku kaget saat merasakan ada yang melempar punggungku dengan sesuatu yang keras, lalu terasa cairan
dingin menembus seragamku.
Brengsek. Ada yang melempariku dengan telur mentah.
Aku berbalik sambil melotot, namun beberapa orang
langsung menyambutku dan melempariku pada waktu
182 Isi-Omen.indd 182 yang sama. Dalam sekejap aku sudah berlepotan telur
mentah dan tomat. Menjijikkan. Tanpa berpikir lagi, aku berbalik menghadap Willyana
dan merenggut dasinya. Sebelum dia sempat bereaksi?
bukan salahnya, gerakanku memang terlalu cepat untuk
kebanyakan cewek?aku meninju hidungnya.
Mereka terus melempariku dengan berbagai benda
menjijikkan, tapi aku tidak memedulikannya. Aku meraih
siapa saja yang berada dalam jangkauanku dan memukuli
mereka. Sekali waktu sebutir telur bersarang di dahiku,
tapi aku hanya menghapusnya, lalu kupastikan pelemparnya mendapat tendangan di selangkangan.
Pada akhirnya, semua orang lari kalang kabut, takut
menghadapiku, kecuali satu yang berdiri jauh dariku.
Ferly. Sesaat kami berpandangan. Aku tahu sedari tadi dia
berdiri di situ. Dia tidak membantu orang-orang melempariku, tapi dia juga tidak membelaku.
"Mau ngasih lemparan terakhir?" tanyaku sinis. "Gue
harap lo nggak bersikap seperti pengecut kayak yang lainnya dan mau pakai tinju."
Ferly tetap diam menatapku, lalu berbalik pergi, meninggalkanku yang hanya bisa menatap kepergiannya
dengan muka kampret-gue-dicuekin, dengan mulut ternganga dan mata melotot seperti ikan mas koki bertemu
idolanya, sementara sekujur tubuhku dipenuhi campuran
cairan-cairan yang menjijikkan.
Oke, satu hal yang pasti: Ferly juga menganggapku
tega mencelakai Eliza. 183 Isi-Omen.indd 183 Tangan dan kakiku gemetar saat aku menekan hendel
pintu toilet, dan aku harus menenangkan diri sejenak
supaya tidak kolaps di tempat. Yah, begini-begini kan
aku masih memikirkan harga diriku. Tidak keren banget
kalau aku sampai tidur-tiduran di depan toilet laksana
gelandangan yang baru saja berenang di comberan. Kuseret diriku memasuki toilet, mengecek semua bilik dan
meyakinkan toilet itu kosong melompong.
Kemudian aku menutup salah satu bilik, mulai melepaskan pakaianku dan membersihkan semua kotoran
yang menempel. Dan menangis meraung-raung.
Entah berapa lama aku menangis dan membersihkan
diri sebelum tiba-tiba terdengar bunyi pintu terbuka
perlahan. Buru-buru kukenakan baju bersih yang ada?
tidak bersih juga sih, karena sudah bekas pakai dan
ileran pula?a.k.a. kaus dan celana pendek yang belum
kukeluarkan dari tas sejak beberapa hari lalu. Ternyata
kemalasanku ada gunanya juga di saat kepepet begini.
Kubasuh wajahku yang berlepotan dengan air. Meski
begitu, tanpa menggunakan cermin pun, aku menyadari
aku tetap terlihat seperti orang yang baru saja kehilangan
segalanya dan siap bunuh diri (bukannya aku tidak
memikirkan kemungkinan itu).
Namun, setelah menunggu beberapa saat, yang ada
hanyalah keheningan yang membuatku mulai waswas.
Mungkin bakal ada serangan berikutnya.
Dan orang bilang, pembalasan dendam selalu lebih
kejam daripada apa yang telah kita lakukan.
Dengan gerakan hati-hati dan tanpa menimbulkan
suara, aku bangkit berdiri dan mendekati pintu. Bisa ku184
Isi-Omen.indd 184 lihat sebuah sosok mendekatiku dengan gerakan yang
tak kalah hati-hatinya denganku. Aku bisa mendengar
napasnya tersentak tatkala melihatku di balik pintu,
namun aku tidak membiarkan orang itu lolos begitu saja.
Kuempaskan pintu sekuat tenaga ke arah orang yang
langsung menghindar dengan kecepatan tak terduga. Aku
melayangkan tinjuku, dan membelokkannya ke dinding
saat melihat wajah si penyusup itu.
Ternyata Valeria si cewek cupu. Rupanya dia tidak
cupu-cupu amat, kalau melihat kecepatan gerakannya
waktu menghindari hantaman pintu yang kutujukan
padanya. Sesaat kami berpandangan?mataku yang menyipit menentang matanya yang besar dan menatap
polos. "Elo lagi!" ketusku. "Ngapain elo di sini?"
"Gue..." Dia menatapku dengan muka mirip anak anjing kehilangan induk. Agak idiot, maksudku. Mungkin dia
shock melihat tampang nelangsaku yang super mengerikan ini?atau mungkin hanya kaget karena barusan
nyaris ditonjok. "Gue tadi ngeliat elo masuk ke toilet dan nggak
keluar-keluar, Ka, jadi gue masuk untuk meriksa."
"Lalu? Apa anehnya dengan semua itu?" hardikku dengan suara segahar mungkin. "Apa lo nggak bisa nebak
kalo gue lagi asyik memenuhi panggilan alam? Memangnya dunia udah mau kiamat apa, sampai-sampai gue
harus udahan sekarang juga?"
"Bukan begitu, Ka. Sebenarnya... sebenarnya gue liat lo
ngomong sama Kak Ferly, dan sepertinya... Jadi gue kira...
Yah, kalo lo mau gue keluar, ya udah gue keluar."
185 Isi-Omen.indd 185 Buset, aku jadi merasa bersalah sudah membentakbentak cewek yang sebenarnya punya niat baik terhadapku ini. Lebih tepatnya lagi, manusia satu-satunya di
dunia ini yang masih punya niat baik terhadapku.
Kupandangi cewek yang nemplok di dinding itu.
Gayanya mirip orang yang siap kabur, tapi toh dia tidak
bergerak. Aku harus mengagumi nyalinya. "Lo nggak
takut sama gue? Gue ini orang yang udah bikin sodara
kembar gue sendiri masuk rumah sakit lho."
"Gue percaya, lo bukan orang seperti itu, Ka."
"Lo tau apa soal gue?" tanyaku sengit.
"Gue emang nggak tau apa-apa soal elo, tapi gue tau
elo orang yang rela nyerahin diri untuk dihukum saat
orang yang nggak elo kenal diancam orang."
Rupanya dia masih ingat insiden saat aku merampas
sepatunya dan ketahuan si Rufus. Buset. Aku makin merasa bersalah saja.
"Ka, gue tau, gue nggak punya banyak kemampuan,
tapi kalo ada yang bisa gue lakuin buat elo, jangan
sungkan-sungkan untuk minta sama gue, ya."
Tanpa menunggu jawabanku lagi, dia berbalik dan
keluar dari toilet dengan langkah anggun. Sementara aku
hanya bisa melongo menatap kepergiannya.
Gila, cewek ini manis bener. Kenapa selama ini aku
tidak berteman dengannya, ya? Di masa yang akan datang, kalau semua ini bisa berakhir bahagia, aku pasti
akan memperbaiki kesalahanku yang satu ini.
Oke, mungkin tak semua orang menyebalkan seperti
yang kusangka. Dan untuk membuktikannya, aku mengeluarkan ponselku dan menekan nomor telepon si Ojek.
Suara yang kudengar ternyata sama sekali tidak ramah.
186 Isi-Omen.indd 186 "Ke mana aja kamu pagi ini? Aku nungguin kamu
sampai jenggotan, tau nggak?"
Meski tidak ramah, suara itu langsung membuat perasaanku jauh lebih baik. Dia masih menungguku, berarti
dia masih mau menjadi tukang ojekku. Yay!
"Sori, Jek. Gue udah cabut dari pagi-pagi buta. Kan
tadi malem lo pulang lebih malem daripada gue, jadi
gue pikir lo pasti belum bangun."
"Halah, banyak alasan!"
Bisa kubayangkan si Ojek berteriak-teriak ke arah
ponsel dengan muka masam yang selalu membuatku kepingin ketawa.
"Mulai sekarang, nggak peduli pagi, siang, malam, tengah malam, subuh, kalo kamu mau pergi, telepon aku.
Ngerti?" "Lo posesif banget sih sama gue, Jek. Gue jadi tersipusipu di sebelah sini. Tapi sori, Jek, gue takut gue nggak
bisa ngerepotin elo lagi."
"Lho, kenapa?" "Gue udah jadi buronan, Jek."
"Hah, kok cepet banget?!" Teriakan si Ojek yang sumbang membahana di kupingku. "Memangnya pagi-pagi
begini kamu udah bikin ulah apa?"
Aku cemberut. "Nggak usah ngaco gitu, Jek. Lo kan
juga tau gue anak manis gini. Gue nggak bikin ulah apaapa kok. Cuma ada kejadian nggak terduga. Sepertinya
gue difitnah, Jek, dan sekarang gue terjebak dalam kesulitan besar." Sulit sekali bagiku untuk mengakui semua
ini, tapi kuputuskan untuk berjujur-ria pada si Ojek.
"Gue takut, Jek."
"Kamu sekarang ada di mana?"
187 Isi-Omen.indd 187 "Di sekolah. Tapi gue ngumpet di toilet, Jek. Gue
nggak berani keluar, soalnya gue nggak tau kondisi di
luaran. Mungkin aja pihak sekolah udah ngelaporin gue,
Jek." "Toilet?" Sepertinya yang didengar kuping aneh si
Ojek hanyalah kata yang tidak senonoh. "Toilet tempat
kamu mangkal kalo lagi telat itu?"
"Gue tau reputasi gue udah cukup rusak, tapi lo jangan nambahin dengan pernyataan yang aneh-aneh gitu
dong." "Aku jemput kamu sekarang, ya."
Aku diam sejenak. "Lo bisa dituduh sebagai konco
kriminal lho." Si Ojek mendengus. "Lalu kenapa? Kamu nggak bersalah, dan kita akan membuktikannya. Setelah itu, nggak
ada yang bisa ngebacot lagi. Beres, kan?"
Mendadak rasanya hatiku menjadi ringan. "Ya udah,
buruan jemput gue di toilet, Jek."
Begitu memutuskan sambungan telepon, aku langsung
becermin. Ya ampun! Dengan eye liner tercoreng-moreng,
mukaku jadi mirip Joker, musuh Batman. Tidak heran
orang-orang menuduhku sebagai penjahat (meski selain
Valeria si cewek cupu yang baik hati, tak ada yang
pernah melihat sisi seramku ini). Buru-buru aku membersihkan wajahku lagi. Lalu, alih-alih berdandan lagi,
aku membiarkan wajahku polos adanya. Selain karena
aku sudah kehilangan mood buat berdandan, siapa tahu
dengan begini tak ada yang mengenaliku sebagai Erika
si cewek dengan riasan gothic. Orang-orang bilang, wajah
tanpa riasan adalah kecantikan yang sebenarnya. Nah,
kecantikanku yang sebenarnya berarti muka yang pucat
188 Isi-Omen.indd 188 banget, mata tanpa riasan, dan bibir pink pucat yang
mirip orang sekarat. Intinya, tak sedap dipandang mata?
dan itu adalah penyamaran terbaik saat ini.
Lima menit kemudian, aku mengintip dari atas pagar,
dan melihat si Ojek sudah bertengger di atas motornya
dengan gaya tukang ojek sejati. Kedua tangannya terlipat
di depan dada, postur badannya santai, namun matanya
tampak awas bagaikan elang pemangsa yang siap
menerkam korbannya yang malang. Mungkin saja dia
sedang mengawasi keadaan, siapa tahu ada polisi atau
orang-orang mencurigakan di sekitar?atau mungkin saja
dia sedang "browsing" siapa pelanggan potensial yang
lain kali bisa digaetnya.
Aku memanjat ke atas pagar, lalu meloncat turun.
Dalam waktu sekejap, aku sudah nemplok di belakang si
Ojek. Kukenakan helm yang biasa dibawa Ojek sembari
berteriak, "Kabur, Jek, sekarang juga!"
Tanpa menanyakan tujuanku, si Ojek langsung menancap gas.
"Tumben nggak pake make-up."
Buset, kenapa dia bisa memperhatikan? Kukira gerakanku sudah cukup cepat.
"Memangnya kenapa?" salakku galak. "Lo mau ngatain
gue jelek?" "Sebaliknya. Kayak begini, kamu cakep bener, Ngil."
Ucapannya yang tak terduga itu langsung membungkam mulut tajamku.
"Dan kalo kamu diem dengan manis begini waktu diledekin, kamu jauh lebih cakep lagi, Ngil."
Aku membuka mulutku, siap mendebatnya, tapi lagi-lagi
tak ada kata yang bisa kukeluarkan. Buset, hanya gara-gara
189 Isi-Omen.indd 189 secuil pujian kosong, hatiku jadi lemah. Ternyata, jauh di
dalam hatiku, aku masih seorang cewek juga.
Sesaat kukira kami bakalan berputar-putar tanpa tujuan, namun ternyata si Ojek sudah punya rencana sendiri.
Tanpa keraguan sedikit pun, dia membawa kami keluar
dari kompleks perumahan menuju pinggiran kota yang
dipenuhi rumah-rumah sederhana. Lalu, dia menghentikan motornya di depan sebuah rumah kecil yang tampak
sederhana namun bersih. "Ini... rumah lo?" tanyaku ragu-ragu.


Omen Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukan, tapi punya seorang sahabat yang paling kupercaya. Ayo, kita masuk."
Si Ojek mendorong motornya memasuki pintu pekarangan yang sempit, memarkir motornya di pekarangan yang cuma sepetak itu, dan membuka pintu
rumah. Pintu itu sama sekali tidak terkunci dan terbuka
tanpa suara sama sekali, tanda rumah itu benar-benar
dirawat dengan baik. Sepertinya rumah itu terbuat dari tripleks?atau setidaknya dinding-dindingnya?namun tidak terlalu kelihatan
karena dicat dengan warna biru yang menenangkan. Sebagian lantainya yang dari kayu ditutupi permadani
yang serasi dengan dindingnya. Bagian dalam rumah itu
bersih dan cukup nyaman, sekalipun tempatnya sangat
sempit dan hanya dipenuhi sedikit perabot. Di ruang
depan terdapat sebuah sofa untuk dua orang, menghadap
ke sebuah meja dengan televisi di atasnya. Aku bisa melihat ruangan di sebelahnya, sebuah dapur sempit dan
bersih yang juga berfungsi sebagai ruang makan. Ada
dua pintu menembus ke dua ruangan lain yang bisa kuduga sebagai kamar tidur dan kamar mandi. Keluargaku
190 Isi-Omen.indd 190 bukanlah keluarga yang kaya sekali, namun belum
pernah aku memasuki rumah sekecil dan sesederhana
ini. Di sana-sini terlihat kepribadian sang pemilik rumah.
Buku-buku novel detektif, DVD serial televisi CSI, CD
lagu Michael Buble, barbel, sandsack yang tergantung di
luar pintu dapur yang menuju ke area pekarangan belakang. Sebuah foto di atas rak memberiku ide siapakah
pemilik rumah sederhana ini: seorang cowok berambut
cepak dan dicat warna merah, dengan tubuh mirip
pemain basket dan pakaian dekil mirip montir.
"Dia teman masa kecilku," kata si Ojek dengan muka
lembut yang jarang kulihat. "Namanya Les. Dia montir
yang hebat dan mentor yang luar biasa."
Bisa kudeteksi nada bangga dalam suara si Ojek.
"Montir dan tukang ojek. Pasangan yang serasi, ya?"
Si Ojek mendenguskan tawa. "Begitulah. Dia ngakak
berat waktu kubilang aku mulai jadi tukang ojek."
"Memangnya lo belum lama jadi tukang ojek?" tanyaku ingin tahu. "Jadi sebelum ini, lo kerja jadi apa?"
"Bukan apa-apa," sahut si Ojek membelokkan arah
pembicaraan dengan halus. "Pokoknya, kamu akan aman
di sini. Aku akan bilang pada Les kalau kamu akan
tinggal di sini selama beberapa hari, jadi lebih baik dia
menginap di bengkel untuk sementara waktu."
"Nggak apa-apa gitu?" tanyaku ragu. "Gue nggak mau
ngerepotin orang." "Tenang aja. Pria sejati nggak meributkan pengorbananpengorbanan kecil begitu."
Ceile, si Ojek bicara seperti gentleman saja.
"Nah, sekarang aku akan membuatkan teh untuk kita
191 Isi-Omen.indd 191 berdua, lalu kamu akan menceritakan apa yang terjadi
padamu. Kenapa kamu bilang kamu difitnah dan kenapa
sekarang kamu jadi buronan."
Kami duduk di dapur. Sementara si Ojek main masakmasakan, aku duduk dengan manis di depan meja dapur.
Tak lama kemudian, si Ojek membanting gelas mug
bergambar Spider-Man ke depanku. Aku mendongak, dan
melihatnya mengangkat sebelah alisnya.
"Kenapa? Saking takutnya, kamu jadi bisu?"
Dasar cowok kurang ajar. Aku merogoh ke dalam tasku dan mengeluarkan seonggokan kain hitam.
"Ini jaket yang gue pake malam itu."
"Malam itu?" "Sebelum kita mencari Eliza ke rumah si Anus," jelasku sabar.
Si Ojek tertawa kecil. "Sudah kuduga kamu ada hubungannya dengan jendela-jendela pecah itu, Ngil."
"Berisik, ah. Liat dulu jaket ini dengan teliti. Jangan
alihkan pandangan lo biarpun gue cakep bener."
Kedua kata terakhir kuucapkan dengan nada dibuatbuat untuk menyindir pujian si Ojek sebelumnya, tapi
dia tidak tampak tersindir.
"Ah, kamu masih inget aja, Ngil. Segitu berkesannya
ucapanku, ya?" Tapi lalu wajahnya berubah melihat
noda-noda merah tua yang memenuhi pinggiran putih
jaket itu. "Ini... darah?"
"Yep, dan katanya ini darah Eliza."
"Kata siapa?" "Daniel, Amir, dan Welly." Aku menatap si Ojek lekat192
Isi-Omen.indd 192 lekat. "Mereka bilang, mereka ngeliat gue ngumpetin
baju ini." "Itu omong kosong." Si Ojek memelototi jaket itu dengan sorot mata setajam sinar laser, seolah-olah dengan
demikian jaket itu bakalan mengakui segalanya padanya
atau mungkin akan ada benda tak kasatmata?atau
kutu?yang meloncat keluar dan memberi kami petunjuk
yang luar biasa. Setelah beberapa saat, si Ojek mengarahkan sorot mata sinar laser itu padaku dan berkata,
"Antara mereka bohong, atau mereka salah liat."
"Ngapain juga mereka bohong sama gue, Jek?" tanyaku tak mengerti.
"Karena," si Ojek terdiam sebentar, "mereka ada
hubungannya dengan kejadian yang menimpa Eliza."
"Maksud lo, mereka yang nyelakain Eliza, gitu?" Mataku terbelalak. "Nggak mungkin. Mereka nggak mungkin
sekeji itu." "Bisa aja itu hanya kecelakaan. Seingatku, kamu pernah bilang kalo ketiga temanmu itu punya feeling sama
Eliza, kan?" "Semua cowok di sekolahku pasti punya feeling sama
Eliza, Jek," kataku masam.
"Cowok-cowok yang tolol."
Aku tahu ini tidak pada tempatnya, tapi celaan si Ojek
benar-benar membuat perasaanku membaik.
"Coba kamu bayangkan. Seandainya mereka bertiga
ketemu Eliza malam itu. Mereka menggodanya, Eliza menolak. Keadaan mulai memanas, Eliza mengata-ngatai
mereka..." "Lalu mereka memaku Eliza di lantai dengan pisau?"
tanyaku sambil mengangkat sebelah alisku.
193 Isi-Omen.indd 193 Si Ojek mengangkat bahu. "Tergantung seberapa dalam
Eliza menyinggung hati mereka."
"Eliza nggak mungkin menyinggung hati seseorang secara terang-terangan," tukasku. "Menurut gue, kemungkinan yang lebih tepat adalah mereka salah liat."
"Dengan kata lain, melihat seseorang yang mirip kamu."
Si Ojek merenungi kata-katanya yang terdengar dalam
banget di kupingku. "Berhubung sosokmu agak-agak unik,
itu berarti ada yang sengaja menjebak kamu."
Agak-agak unik. Apa dia nggak tahu bahwa di seantero
planet ini, tidak ada yang sama persis denganku? Bahkan
adik kembarku pun tidak kelihatan sama denganku.
"Kalau begitu, daftar tersangkanya akan lebih panjang,
Ngil." "Betul," anggukku. "Kita bisa mulai dari si Anus, berhubung rumahnya udah gue hancurin dan dia cinta
setengah mati pada Eliza. Tapi malam itu dia kan sibuk
dengan party-nya. Memangnya dia sempet bikin ulah
sama Eliza?" "Meski party-nya ada di rumahnya, belum tentu dia
ada di sana sepanjang waktu, kan? Bisa jadi dia menyelinap di tengah keramaian dan nggak ada yang menyadarinya."
Hmm, masuk akal. Ternyata otak si Ojek boleh juga.
"Selain dia, ada yang kamu curigai lagi?"
"Terus terang, si Anus tersangka satu-satunya," akuku.
"Gue emang cukup ngeselin, tapi nggak banyak orang
yang cukup sering jadi korban ulah gue sampai-sampai
tega bikin gue jadi most wanted begitu." Aku terdiam
sejenak. "Dan Eliza."
"Ya, tapi kecelakaan Eliza bukan karena kesalahanmu.
194 Isi-Omen.indd 194 Kalau bukan kamu yang melakukan itu, ya kamu nggak
bersalah. Nggak peduli seberapa sering kamu menjaili
Eliza, nggak peduli seberapa sering kamu bikin kesal dia,
nggak peduli seberapa sering kamu membuatnya kepingin bunuh diri..."
"Apa sih maksud lo?" ketusku. "Lo bermaksud menghibur atau ngejelekin gue?"
"Apa aja asal bisa bikin kamu kembali ke akal sehat,"
sahut si Ojek sambil nyengir, lalu mukanya berubah
serius kembali. "Untuk mengembalikan kehidupanmu
lagi, kita harus memecahkan kasus ini, dan kita nggak
bisa membiarkan pikiran-pikiran tak beralasan menghalangi penyelidikan kita. Ngerti?"
Aku mengangguk, salut pada ketegasan si Ojek.
"Oke, sekarang kita kehabisan tersangka. Gimana kalau
kita kembali memikirkan motif lagi?" Si Ojek mengetukngetuk jidatnya dengan satu jari. "Kita lupakan soal
siapa yang berminat menjebakmu. Bisa jadi kamu jadi
tersangka hanya karena kamu orang yang paling gampang untuk dijadikan kambing hitam. Nah, kita pikirkan,
siapa orang yang punya dendam pada Eliza dan tega
mencelakainya dengan sedemikian rupa, sampai-sampai
nyaris membunuh Eliza?"
Mendadak sesuatu menyeruak lagi di dalam hatiku.
Sesuatu yang mengerikan, terbetik akibat kata "membunuh
Eliza". Sama seperti ketika pagi itu Amir mengatakan
ucapan yang serupa, hanya saja alih-alih mengucapkan
nama Eliza, dia menggunakan kata -"nya". Seandainya
aku tidak punya ingatan fotografis, aku tak akan mengaitkan kejadian tadi pagi dengan kejadian sekarang
ini. Namun kini, di saat sesuatu itu menyerangku, lebih
195 Isi-Omen.indd 195 ganas dan kejam dibanding tadi pagi, mau tak mau aku
membandingkan kedua kejadian itu.
"Erika, ada apa?"
Aku ingin menyembunyikan semua ini dari si Ojek.
Aku tidak ingin dia tahu sisi diriku yang kotor dan jahat. Tapi aku tidak sanggup membohonginya. Tidak
untuk urusan sepenting ini. Lagi pula, kalau di dunia ini
ada orang yang sanggup menolongku, dialah orangnya.
"Ada satu kemungkinan lagi," sahutku nyaris berbisik.
Si Ojek mengangkat sebelah alisnya dengan gaya yang
sangat kusukai, membuatku semakin takut untuk mengatakan kenyataan padanya. "Ya?"
"Memang gue yang nyelakain Eliza!"
Si Ojek mendengus. "Lucu banget."
"Elo belum tau gue yang sebenarnya!" teriakku, frustrasi karena dianggap bercanda di saat-saat aku sedang
tegang-tegangnya. "Mungkin anggapan lo soal gue itu
udah jelek banget, tapi asal tau aja, gue jauh lebih jelek
lagi dari anggapan lo! Gue ini orangnya busuk luardalem! Lo tau nggak, waktu gue dihipnotis..."
"Tunggu dulu." Aku menatap si Ojek dengan jengkel. Berani-beraninya
dia menyela repetanku! Namun saat mataku bertemu dengan mata si Ojek,
kusadari dia kini terlihat tegang.
"Hipnotis?" tanyanya. "Hipnotis apa?"
196 Isi-Omen.indd 196 ELAMA aku bercerita, si Ojek sama sekali tidak menyela sepatah kata pun dan hanya mendengarkan ceritaku. Meski begitu, aku bisa melihat wajahnya yang semakin lama semakin kaku. Saat aku menyelesaikan
ceritaku, kami berdua sama-sama terdiam.
Lalu aku mengutarakan pertanyaan yang sudah lama
menghantuiku. "Elo percaya hipnotis, Jek?"
Si Ojek tidak menyahut selama beberapa saat. Lalu,
dengan berat hati dia mengangguk.
Dan aku langsung merasa lemas.
"Aku nggak akan bohong sama kamu, Ngil, meski aku
tahu kebohonganku mungkin akan membuatmu merasa
lebih baik. Tapi buatku, lebih baik aku mengutarakan
kenyataan yang kejam daripada kebohongan lembut
yang menyesatkan." Aku mengangguk tanda mengerti.
"Aku nggak pernah benar-benar mendalami hipnotis,
tapi aku tahu satu-dua hal mengenainya. Hipnotis sanggup membuat seseorang melakukan sesuatu di luar kehendaknya, bahkan di luar kemampuannya, selama itu
tidak mendapat tentangan dari hati nurani."
197 Isi-Omen.indd 197 Hati nuraniku tak akan mencegahku membunuh Eliza.
Dasar hati nurani brengsek.
"Ada rumor-rumor yang beredar yang mengatakan para
kriminal menggunakan hipnotis untuk meminta para
korban mentransfer uang untuk mereka dalam jumlah
besar. Hal itu bisa saja terjadi, seandainya para kriminal itu
menggunakan alasan yang akan melemahkan hati si
korban. Seperti, ?uang itu akan digunakan untuk membantu para yatim-piatu? atau ?uang itu diperlukan ayah
Anda yang saat ini sedang berada di rumah sakit?" Si
Ojek terdiam lagi. "Tapi untuk perbuatan yang jauh lebih
ekstrem, aku nggak tahu, Ngil. Seandainya aku ada bersamamu waktu itu, aku akan melarangmu menjadi korban
hipnotis, untuk berjaga-jaga dari segala akibat buruk yang
mungkin terjadi. Tapi semuanya sudah telanjur. Sekarang,
yang bisa kita lakukan adalah menemukan si ilusionis itu
dan mencari tahu seberapa kuatnya dia."
"Memangnya bisa?" tanyaku ingin tahu.
"Tenang aja." Si Ojek tersenyum pongah. "Aku punya
jaringan informasi yang cukup luas dan bisa dipercaya.
Aku yakin, dalam waktu satu-dua hari ini, kita bisa melacak keberadaan ilusionis brengsek itu. Sementara itu,
lebih baik kamu tinggal di sini dulu."
Aku mengangguk patuh. Memangnya aku bisa ke
mana lagi? "Lalu ini gimana?" tanyaku sambil melirik ke arah kantong plastik berisi jaket keramat.
"Biar aku yang simpan aja. Atau lebih tepatnya lagi,
aku akan menyerahkannya kepada orang-orang yang lebih ahli. Siapa tahu mereka bisa menemukan sesuatu
yang nggak bisa kita liat."
198 Isi-Omen.indd 198 Aku mengangguk. Lega juga rasanya bisa berpisah
dengan pakaian bernoda darah itu. Asal tahu saja, seandainya jaket itu direndam tiga hari tiga malam, dicuci
dengan cara dry clean, lalu disucihamakan sebanyak tiga
kali, aku tetap tak bakalan sudi mengenakannya lagi.
Jijik banget, soalnya. "Nah, sekarang aku akan memperkenalkan rumah ini
padamu." Tingkah si Ojek benar-benar mirip makelar
yang ingin menjual rumah mewah padaku. Dengan
bangga dia memperlihatkan kamar tidur dan kamar
mandi yang, omong-omong, sederhana namun bersih,
seperti bagian-bagian lain dari rumah itu. "Kami nggak
punya mesin cuci, jadi kamu terpaksa harus mencuci pakaian dengan tangan. Tapi nggak apa-apa, Ngil, itungitung kamu belajar mandiri. Dan berhubung si empunya
rumah ini sangat cerewet, kamu juga harus membersihkannya setiap hari selama kamu tinggal di sini. Ini peralatan bersih-bersihnya. Oh ya, kalau kamu mau mencari
makan, di ujung jalan ada rumah makan padang yang
sambel ijonya uenak bangeeet, dan kalo kamu udah
bosen, di sampingnya ada warteg yang murah meriah.
Lalu ada juga warung pecel lele...."
Mendadak terdengar irama tak menyenangkan yang
kukenali sebagai nada dering ponselku.
"Sebentar ya, Jek." Aku menatap layar ponselku.
Rumah. Pasti ibuku yang menelepon. "Halo?"
"Erika?" Betul dugaanku. Memang ibuku yang menelepon. "Kamu ada di mana?"
"Aku..." "Katanya kamu bolos sekolah, ya?" Oh, sial. Ketahuan
begitu cepat. Tapi... tunggu dulu. Kenapa suara ibuku
199

Omen Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Isi-Omen.indd 199 tidak ada bete-betenya sama sekali? Biasanya dia sudah
mengamuk hebat. "Nggak apa-apa. Mama nggak marah
kok. Tapi lebih baik kamu pulang sekarang. Ada yang
ingin ketemu denganmu."
Kecurigaanku makin kuat. "Siapa yang mau ketemu
sama aku, Ma?" "Ehm.... Tamu."
Dengan kata lain, polisi.
Oke, ini benar-benar hantaman yang luar biasa. Semua
yang kutakutkan menjadi nyata. Orang-orang yang dulu
kuanggap teman akrabku melaporkanku, dan ibuku
sendiri tega menyerahkanku pada polisi. Bahkan dia rela
berbohong supaya aku mau pulang, dan di sana, pasti
para polisi sudah siap untuk menangkapku.
Aku sudah siap untuk memutuskan telepon begitu
saja, lalu kurasakan tanganku diremas perlahan. Aku menengadah dan melihat si Ojek, tersenyum padaku dengan muka penuh keyakinan.
Di dunia yang dipenuhi begitu banyak orang yang
membenciku, ada satu yang seperti si Ojek, dan itu sudah cukup untukku.
Aku menguatkan hatiku. "Ma, di situ ada polisi, ya?"
"Polisi apa? Nggak kok, cuma ada Mama dan, ehm,
tamu dari jauh. Keluarga jauh kita, Ka."
"Oh, begitu." Tanpa sadar aku menyunggingkan
senyum sinis. "Bilang aja pada keluarga jauh kita itu,
Ma, saat ini aku lagi sibuk. Ada orang-orang brengsek
yang memfitnahku. Tapi sori-sori aja, aku bukan orang
yang mau jadi kambing hitam dengan sukarela. Akan
200 Isi-Omen.indd 200 kubuktikan bahwa aku nggak seperti yang orang-orang
kira. Kalian tunggu aja."
Kuputuskan sambungan ponsel, lalu kulempar benda
itu ke sofa (yah, tak mungkin aku membantingnya begitu saja. Benda yang harganya lumayan itu kubeli
dengan tabunganku sendiri, tahu?).
"Sini." Si Ojek menarik tanganku, lalu memelukku
erat-erat. "Kamu nggak usah khawatir. Aku yakin, kita
pasti akan bisa membuktikan semuanya pada mereka.
Lalu kita liat, siapa yang akan ketawa terakhir."
Aku mengangguk sambil menyandarkan kepalaku ke
dada si Ojek yang sekeras papan. Rasanya begitu aman.
Dan meski hatiku jauh lebih sakit daripada yang kurasakan waktu di toilet tadi, setidaknya saat ini aku tidak
merasa kesepian. Ada yang selalu menemaniku, ada yang
bersedia mengambil risiko untukku, ada yang memercayaiku kendati begitu banyak bukti mengatakan sebaliknya.
Untuk semua perasaan yang menenangkan itu, aku
berutang pada si Ojek. Selamanya. *** Malam itu, kilasan-kilasan kejadian nyata menghantui
mimpiku. Eliza terbujur di lantai dengan darah berlumuran dan empat pisau menancap di tubuhnya. Si Anus
menatapku dengan tampang ketakutan saat aku mengancamnya. Daniel yang menyumpah-nyumpah saat kujepit kakinya dengan pintu. Wajah anak-anak di sekolah
yang menyeringai lebar seraya melempariku dengan telur.
Ferly menatapku dengan tatapan menuduh. Ibuku me201
Isi-Omen.indd 201 ngataiku Omen. Si ilusionis tertawa saat tidak berhasil
menghipnotisku. Dan tentunya wajah badut hitam-putih
dengan seringai lebar yang jelek itu.
Aku tidak tahan lagi, lalu kubuka mataku.
Dan kulihat wajahku sendiri yang berlumuran darah.
Tidak, itu bukan wajahku. Itu Eliza. Rambutnya tidak
keruan lantaran nyaris terpotong habis, matanya tidak
dipulas eye liner tebal yang biasa kugunakan tapi tetap
terlihat indah, bibirnya pucat nyaris kebiruan. Saat aku
melirik ke bawah, aku melihat gaun terakhir yang dia
gunakan malam itu, tercabik-cabik dan penuh darah seperti wajahnya.
Dan wajah yang biasanya tenang dan angkuh itu kini
terlihat dingin. "Elo mau cari orang yang mencelakai gue, Ka?!" geramnya dengan gigi-gigi menyeringai, dan baru kusadari
kedua tangannya sedang mencengkeram leherku. "Jangan
munafik. Elo tau bener siapa yang berniat membunuh
gue. Dan sekarang, gue akan balas dendam!"
Aku tidak bisa bernapas. Aku harus bisa membebaskan
diri. Aku mendorong-dorong muka Eliza, tapi dia tetap
mencekikku. Aku tidak tahan lagi. Aku balas mencekiknya. Mata Eliza melotot, tapi bukannya melepaskanku,
dia malah mengencangkan cengkeramannya di leherku.
Tidak, aku tidak ingin mati. Aku harus...
bangun! Aku membuka kedua mataku. Napasku terengah-engah,
jantungku berdebar-debar, dan tubuhku gemetaran.
Apa yang barusan terjadi? Mimpikah itu? Tapi, kenapa
202 Isi-Omen.indd 202 rasanya begitu nyata, seolah-olah... aku nyaris mati kehabisan napas?
Setelah perasaanku mulai tenang, kulayangkan pandangan ke sekelilingku. Kamar itu gelap dan asing. Sesaat aku
tidak bisa mengingat aku ada di mana. Lalu, ingatanku
mulai mengalir saat mataku mulai membiasakan diri untuk
melihat dalam kegelapan. Kamar teman si Ojek. Napasku yang mulai teratur tercekat lagi saat menangkap pemandangan yang aneh.
Pintu kamar terbuka sedikit.
Padahal aku yakin, tadi aku sudah menguncinya.
Ketakutan mencekamku, dan satu-satunya yang kuinginkan saat ini hanyalah bergelung di tempat tidur
dan berharap semua ini masih merupakan bagian dari
mimpi. Tapi aku harus realistis. Perlahan kuraih dongkrak
yang sengaja kuletakkan di dekat tempat tidur sebelum
aku tidur. Kujejakkan kakiku yang telanjang ke atas
lantai, lalu berjingkat-jingkat aku mendekati pintu. Dari
celah pintu yang sempit, aku mengintip ke luar.
Ruangan depan terlihat gelap karena lampu sudah
dimatikan, belum lagi hari memang sudah malam. Di
lingkungan yang begini sederhana, nyaris tak ada lampu
jalanan yang menerangi bagian luar rumah. Di kompleks
perumahan yang kutinggali, kondisi tak pernah segelap
dan sehening ini kecuali pada saat mati lampu. Dan di
rumah yang hanya ada aku seorang diri ini, keheningan
dan kegelapan itu terasa sangat tak menyenangkan.
Apalagi pada saat kusadari, ternyata aku tidak seorang
diri seperti yang kusangka.
Di dapur, seseorang sedang melakukan sesuatu tanpa
203 Isi-Omen.indd 203 suara. Aku melebarkan daun pintu dengan sehati-hati
mungkin, lalu mulai mengendap-endap menuju dapur
dengan dongkrak terangkat di atas kepala. Aku sudah
siap mengayunkan dongkrak itu tatkala orang itu membalikkan badan dengan senter menyorot ke wajahnya
sendiri. Wajah menyeramkan itu ternyata wajah si Ojek.
"Sial!" teriakku. "Lo bikin gue ketakutan aja, Jek!"
"Kamu kira aku nggak takut?" balas si Ojek dengan
nada mangkel seraya menyalakan lampu. "Padahal aku
sudah berbaik hati, nyiapin makanan dalam kegelapan,
supaya kamu nggak terbangun karena merasa ada yang
masuk." "Mendingan nyalain lampu daripada nyiapin makanan
dalam kegelapan. Kayak orang berniat jahat, tau!" Aku
melongokkan kepala dari balik bahu si Ojek. "Memangnya ada makanan apa?"
"Aku beli gule kambing, dengan kuah yang kental, daging kambing yang empuk, tulang iga yang besar-besar,
dengan sumsum yang sudah dimasak hingga lembut...."
Perutku langsung berkerucuk riang, dan perasaanku
makin terharu saja saat melihat dua mangkuk berisi gulai
yang dimaksud. Ternyata si Ojek perhatian betul, membelikanku makanan melimpah-ruah begini. "Duh, Jek,
nggak perlu repot-repot gini..."
Ucapanku terhenti saat melihat si Ojek meletakkan
kedua mangkuk itu di depan dua mangkuk nasi dan dua
set peralatan makan. "Nah, aku juga udah laper," kata si Ojek sambil menggosok-gosok kedua tangannya. "Ayo, kita makan. Oh ya,
kamu tadi mau bilang apa?"
204 Isi-Omen.indd 204 "Nggak apa-apa," sahutku mangkel. Ternyata si Ojek
tidak sebaik yang kusangka. Yah, kuakui dia memang
baik, tapi bisa-bisanya dia ikut makan di saat-saat aku
sedang lapar begini. Dan aku sudah telanjur mengharapkan dua porsi gulai.
"Kalo gitu, ayo buruan makan sebelum gulenya jadi
dingin. Kalo nggak cukup, masih ada dua bungkus gule
di kantong plastik dan banyak nasi di rice cooker." Si
Ojek menyeringai. "Tenang aja, Ngil, aku nggak akan
biarin kamu kelaperan di sini deh."
Oke, aku tahu ini cuma masalah sepele, masalah gulai,
tapi buatku yang belum pernah dimanjakan, perhatian
seperti ini benar-benar mengharukan. Karena memeluk
si Ojek terasa berlebihan, aku memeluk sebelah lengannya.
"Thanks, Jek," kataku dengan suara yang terdengar
tolol. "Kalo nggak ada elo, gue nggak tau apa yang bisa
gue lakuin." "Ini kan cuma gule, Ngil." Si Ojek menatapku dengan
muka aneh. "Atau kamu memang gampang banget melemah kalo disogok makanan?"
"Apa kata lo deh, Jek. Sekarang gue mau makan dulu.
Udah keroncongan nih."
"Jelas lah. Aku juga tau kalo bunyi kerucuk perut tadi
itu bukan punyaku. Oh, ya," katanya sambil menyodorkan sebuah bungkusan hitam padaku, "baju ganti.
Cuma kaus dan celana pendek murahan dari supermarket, tapi kurasa muat untukmu. Minimal itu kata
produsennya, dengan menuliskan all-size gede-gede di
labelnya." Si Ojek tidak bersikap rendah hati. Dua pasang kaus
205 Isi-Omen.indd 205 dan celana pendek yang terdapat di dalam kantong
plastik itu memang kelihatan murahan banget. Tapi
sekali lagi aku bersyukur banget karena si Ojek begitu
memikirkan kebutuhan-kebutuhanku. Tadi sebelum tidur,
aku sempat mandi sekalian mencuci seragamku yang tak
berbentuk akibat pecahan telur, tomat, dan entah apa
lagi itu. Meski sudah cukup bersih, pakaian itu masih
basah banget. Akibatnya, kini aku masih mengenakan
kaus gambar sapi dan celana pendek yang kukenakan
sejak berada di toilet sekolahan tadi (dan omong-omong,
belum dicuci juga sejak tiga hari lalu).
Kuusir rasa haru yang mulai menyengat mataku dan
kutinju pelan lengan si Ojek. "Jek, Jek. Serius, kalo lo
mau ngelamar jadi orangtua gue, gue pasti akan langsung terima!"
"Idih, yang bener aja!" cetus si Ojek kaget bercampur
jengkel. "Aku terlalu muda untuk punya anak yang udah
ABG, kali!" "Tapi lo kan udah berumur juga, Jek." Mendadak aku
jadi penasaran banget. "Memangnya umur lo berapa
sih?" "Belum kepala tiga, pokoknya."
"Masa? Kok gue liat, kepala lo ada empat?"
"Kalo gitu, besok aku harus beliin kamu kacamata."
Aku tertawa dan duduk di kursi makan. Lalu, tanpa
ba-bi-bu lagi, aku langsung menyerbu makananku.
"Astaga, gule ini enak banget!"
"Siapa dulu yang beli."
Sebenarnya aku tidak bermaksud tidak mengacuhkan
si Ojek yang tampak bangga, tapi saking lapar dan bernafsunya, aku hanya bisa berkonsentrasi pada makanan206
Isi-Omen.indd 206 ku. Si Ojek tidak kalah rakusnya dibandingkan denganku.
Kami sama sekali tidak berbicara, hanya sesekali terdengar bentakan, "Jangan comot makananku dong!" atau
"Ngil, aku serius, jangan buang tulangnya ke piringku!"
dari si Ojek. Aku sih tidak banyak komen, prioritasku
saat ini hanyalah mengisi perutku hingga penuh.
Saat mangkuk-mangkuk kami licin tandas, aku bersandar pada kursi dengan perasaan kenyang dan bahagia.
"Mukamu mirip kucing yang baru aja menelan seekor
tikus bulat-bulat, Ngil."
"Mau gue muntahin semua makanan ini ke pangkuan
lo, ya?" Si Ojek tertawa, lalu mencondongkan badan ke arahku. "Aku serius. Aku senang, sekarang kamu nggak mirip
pesakitan lagi." Kurang ajar. "Memangnya tadi gue mirip pesakitan?"
"Nggak sempet ngaca?"
Aku menggeleng. "Baguslah. Kalo kamu sempet ngaca, mungkin kamu
bakalan trauma." Sekali lagi, kurang ajar.
"Nggak usah banyak bacot. Udah ada kabar terbaru
belum?" "Tentu saja udah," sahut si Ojek pongah. "Nama ilusionis itu Alvin, bukan?"
Aku mengangguk. "Nah, menurut sumberku, ilusionis itu memang punya
reputasi sebagai ahli hipnotis yang lihai. Sehari-harinya
dia berprofesi sebagai hipnoterapis, terapis yang me207
Isi-Omen.indd 207 nangani masalah-masalah kejiwaan dengan menggunakan
hipnotis. Kebanyakan pasiennya adalah orang-orang yang
mengalami trauma setelah mengalami musibah-musibah
mengerikan, atau istilah medisnya PTSD, Post Traumatic
Stress Disorder." Terlintas dalam pikiranku, cara si Ojek mengucapkan
istilah bahasa Inggris itu begitu luwes, seolah-olah dia
akrab dengan bahasa itu?hal yang tentunya sangat aneh
untuk seorang tukang ojek. Tapi aku tidak memikirkannya lebih lanjut lagi, lantaran pikiranku sibuk mencerna
informasi yang sedang disemburkan si Ojek.
"Di kalangan terapis dan ilusionis, dia termasuk tokoh
yang cukup dihormati, sementara dari pasien-pasiennya,
tidak pernah ada keluhan yang berarti." Si Ojek menatapku dengan serius. "Singkatnya, dia nggak mungkin melakukan kesalahan hipnotis sama kamu, Ngil."
"Tunggu dulu." Aku mengangkat tanganku untuk
menyela. "Kalo dia memang sehebat itu, kenapa dia
ngundang sekolah kami untuk nonton pertunjukan itu?
Penonton yang lain kan nggak ada yang anak sekolahan.
Sekolah kami juga bukan sekolah yang bagus-bagus amat.
Mana duit karyawisata yang ditarik pun nggak terlalu
gede." "Aku juga sempat menanyakan soal itu."
Buset, si Ojek ternyata teliti juga.
"Sayangnya, sumberku belum sempat menyelidiki
sampai sedetail ini. Yang dia tahu, ilusionis itu memang
alumnus sekolah kalian. Selain itu, dia punya hubungan


Omen Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang cukup erat dengan sekolah kalian. Katanya, ada
kerabatnya yang sekolah di sekolah kalian. Itu aja yang
aku tau. Aku sudah meminta tolong sumberku itu supaya
208 Isi-Omen.indd 208 masalah ini diselidiki lebih lanjut, tapi sekarang hanya
ini yang kita punya dan," nyengir si Ojek sambil memberikan secarik kertas, "ini alamat rumah sekaligus
tempat praktik si ilusionis."
"Bener?" seruku girang. "Kita bisa labrak dia sekarang?"
"Tau sopan santun dikit dong, Ngil," cela si Ojek.
"Tenang aja, aku udah membuat janji temu dengannya
besok pagi di rumah-kantornya itu. Kamu boleh ikut,
kalo kamu janji akan bersikap manis."
Aku merengut. "Licik bener."
"Untuk bertahan di dunia ini, kita nggak bisa menang
dengan menjadi orang lugu, Ngil."
"Ajaran sesat tuh," cibirku.
Si Ojek tertawa. "Orang kayak kamu berani protes?
Kamu lebih licik daripada aku, tau?"
"Tau dong." Terasa getaran di sakuku. Aku merogohnya dan mengeluarkan ponselku. Nama Ferly terpampang di sana.
Hmm, untuk apa dia meneleponku? Untuk meminta
maaf atas sikapnya tadi, atau untuk mengata-ngataiku?
Apa pun maksudnya, aku tak ingin tahu.
Aku mematikan panggilan itu.
"Siapa, Ngil?" "Bukan siapa-siapa," sahutku ringan. "Nah, sekarang
kita mau ngapain?" "Mau nonton DVD? Aku sewa film bagus."
"Judulnya apa?"
"Gladiator-nya Russell Crowe."
Mantap. 209 Isi-Omen.indd 209 UKANG ojek sialan. Berani-beraninya dia menjebakku menonton film tentang jenderal malang yang difitnah dan dikejar-kejar seluruh pasukan, istri dan anak-anaknya dibakar, sementara
dia bertarung melawan kematian di arena gladiator! Saking merasa senasib sepenanggungan, air mataku bercucuran tanpa bisa ditahan lagi. Aku meratap sepanjang
malam bersama Russell Crowe dan, tahu-tahu saja, pagi
ini aku terbangun dengan mata bengkak! Sial. Kalau
begini sih aku tidak perlu lagi menyamar seperti rencanaku semula. Kelopak mataku yang membengkak sebesar
bola tenis membuatku tidak mirip Erika Guruh, melainkan mirip Garfield si kucing oranye yang jail banget,
hanya saja tidak lucu dan tidak terkenal.
Eh, salah, sekarang aku terkenal. Meski sebagai buronan.
Pokoknya, tampangku sekarang amburadul banget.
Ditambah lagi aku tetap saja dihantui mimpi buruk,
padahal waktu tidurku sangat singkat. Bisa dibilang saat
ini tampangku sangat tidak enak dilihat.
210 Isi-Omen.indd 210 "Eh!" seru si Ojek saat melihatku muncul. "Sepertinya
mukamu hari ini beda dari biasanya, Ngil."
"Nggak usah banyak bacot," gerutuku sambil mengoleskan odol pada sikat gigi yang baru saja kubuka tadi
malam. "Mood gue lagi jelek hari ini, tau?"
"Memangnya mood-ku bagus?" tanya si Ojek balik,
sambil memukul-mukul punggungnya sendiri. "Sofa ini
keras banget. Aku bakalan komplen pada Les secepatnya."
Yep, tadi malam si Ojek tidur di sofa. Katanya, dia
tidak mau meninggalkanku seorang diri di sini. Cukup
manis sebetulnya, kalau saja dia tidak ngorok dengan
ribut sepanjang malam. Aku jadi tidak bisa tidur dengan
nyenyak. Yah, mungkin itu hal yang bagus, mengingat
kerjaanku mimpi buruk melulu.
Mungkin seharusnya aku berterima kasih pada si Ojek,
bukannya mengeluh soal dia seperti sekarang ini.
"Omong-omong, aku jadi ingat, kamu harus menyamar
nanti saat kita ketemu si ilusionis," kata si Ojek sambil
mengucek-ucek mata. "Kita nggak bisa ambil risiko dia
tau kamu ini buronan. Bisa-bisa dia langsung melaporkanmu."
"Nggak usah khawatir," kataku masam. "Dengan mata
Garfield seperti ini, bahkan orangtua gue pun nggak
bakalan ngenalin gue kalo ketemu di tengah jalan."
"Tapi kalo nanti tau-tau kempes kan gawat."
"Lo kira gue apaan, bisa kempes dengan gampang?"
"Maksudku matamu, Ngil," sahut si Ojek sabar. "Mata
bengkak begitu kan gampang kempesnya."
"Ooh. Nggak tau. Gue jarang nangis, jadi jarang
bengkak. Nggak kayak elo. Hobi nangis, ya?"
211 Isi-Omen.indd 211 "Iya. Terutama waktu lihat Russell Crowe disorakin
penonton. Aduh, mengharukan sekali."
Si Ojek mengerjap-ngerjapkan mata sambil berlagak
mengusap air mata dengan ujung jarinya dengan gaya
feminin, yang sudah pasti bukan gayaku tadi malam.
Tapi intinya dia meledekku, dan bukannya marah, aku
malah ketawa. Sepertinya kepribadianku berubah jadi
buronan sinting. "Jadi menurut lo gue harus menyamar?"
"Iya." Muka si Ojek berubah cerah. "Tadi malam setelah kamu pingsan di tempat tidur, aku ngubek-ngubek
rumah ini dan... tadaaa!"
Dia mengambil sejumlah benda dari bawah sofa. Topi,
kacamata berbingkai tanduk yang lumayan keren, dan...
apakah itu wig? "Sepertinya sohibku sering menyamar jadi wanita
kalau sudah malam," kata si Ojek dengan muka serius.
"Mungkin dengan cara itu dia memodali bengkelnya."
Tawaku menyembur. "Gue aduin baru tau rasa lo!"
"Astaga, cewek ini benar-benar nggak tau balas budi."
Si Ojek memutar bola matanya. "Aku nggak aduin dia
ke pihak berwajib, sebaliknya malah bantu dia buron,
eeeh..., cuma gara-gara omongan ngelanturku dia langsung mau ngaduin aku ke orang yang bahkan belum dia
kenal." "Iya deh, gue nggak akan ngadu," kataku sambil merebut wig dari tangannya. "Sini, biar gue tutupin muka
bengep ini." Aku lega wig itu bukan wig rambut panjang, karena
tentunya itu akan membuatku mirip dengan Eliza?
maksudku, Eliza yang dulu, sebelum rambutnya di212
Isi-Omen.indd 212 pangkas habis oleh psikopat. Wig ini bermodel bob, dengan bagian depan lebih panjang, model yang dikenal
dengan nama "bob model BCL". Dengan wig, topi, dan
kacamata berbingkai tanduk, kini mukaku jadi sulit
dikenali. Aku berani taruhan, Daniel dan dua konco
sialannya itu pasti bisa kukibuli dengan tampang seperti
ini. "Bagus!" seru si Ojek senang saat melihatku. "Sekarang
kurang masker..." "Nggak usah lebay lo, Jek!" aku balas teriak. "Kalo gue
pake masker, bisa-bisa gue disangka TBC."
"Kamu memang nggak tau adat, Ngil. Zaman sekarang,
batuk biasa atau flu ringan aja kita harus pake masker,
supaya kita nggak menulari orang sekitar."
Aku menatapnya curiga. "Masa sih?"
"Iya, pokoknya kamu percaya aja. Dan oh ya, udah
tanggung, kamu sekalian belagak pincang dan harus
pakai tongkat." Oke, sekarang aku berasa dikerjain banget.
"Memangnya gue nenek-nenek?"
"Serius, Ngil. Ini penting. Kita nggak tau seperti apa si
ilusionis itu. Kalo dia berbahaya, setidaknya kita bawa
senjata ke dalam kantornya."
Aku manggut-manggut. Hebat juga si Ojek. Menyamar
sekaligus membawa senjata tepat di depan hidung lawan.
Ide yang keren banget. "Nah, kalo kamu nggak mau kelihatan seperti
nenek-nenek, sebaiknya kakimu dibalut, supaya terlihat
seperti luka keseleo atau sejenisnya. Kita bisa bilang
kamu baru saja mengalami luka kecil akibat pertandingan futsal."
213 Isi-Omen.indd 213 "Wah, lo tau dari mana gue jago main futsal, Jek?"
tanyaku heran. "Bisa ditebak dari kelakuanmu yang minta dikasih
kartu merah melulu."
Dasar kurang ajar. "Ayo, kemarikan kakimu, biar kubalut."
Sementara si Ojek sibuk membungkus kakiku dengan
perban, aku menatap puncak kepalanya dengan bingung. Cowok ini benar-benar aneh. Hanya seorang
tukang ojek, tapi saat ini dia adalah orang yang paling
kuandalkan di dunia ini. Cara pikirnya tajam, ide-idenya selalu menarik, selalu membantu tanpa diminta.
Namun yang paling berkesan bagiku adalah perhatiannya padaku yang tanpa saingan. Di dunia ini, hanya
dia yang benar-benar memprioritaskanku dan kebutuhanku di atas segalanya.
Aku tidak tahu kenapa ada orang yang begini baik
padaku. Apakah dia manusia langka, mukjizat kehidupan,
ataukah dia punya maksud tersembunyi?
Oke, terlalu sering dikhianati orang membuatku jadi
sinis. Aku tidak boleh berpikiran negatif soal si Ojek, terutama karena dialah satu-satunya orang yang ada di
pihakku saat ini. Kenapa dia mau berada di pihakku? Apa untungnya
bagi dia? Lagi-lagi kami menuju Jakarta?kali ini ke daerah
Tebet. Seperti tempat praktik dokter-dokter jenis lain,
rumah-kantor si ilusionis terletak di daerah perumahan
yang sepi dan tenang. Rumah yang menjadi tujuan kami
itu berukuran cukup besar, dengan pekarangan yang dipenuhi tanaman bunga dan dipangkas rapi. Garasinya
214 Isi-Omen.indd 214 yang terbuka menampakkan sebuah sedan Nissan
perak. Sekilas rumah itu tampak biasa-biasa saja. Namun kalau diperhatikan lebih lanjut, rumah itu dipenuhi detaildetail yang membuat perasaan kita menjadi tidak enak.
Tiang dengan muka manusia tercetak samar-samar, mulutnya menganga seolah-olah sedang menjerit. Ketukan
pintu berhias gargoyle, makhluk mistis bersayap dengan
taring-taring besar dan muka keriput jelek. Hiasan dinding berupa tangan dengan kuku-kuku tajam dan bengkok, gayanya seolah-olah ingin mencekik leher orang di
depannya. Kurasakan bulu kudukku merinding. Kalau
siang saja perasaanku seperti ini, apalagi kalau malam.
Kalau punya pilihan, tentunya aku tak bakalan mau
berkeliaran di sekitar sini malam-malam.
Si Ojek menekan bel yang berada di tengah-tengah
mulut manusia dengan taring-taring kecil dan tajam?
mulut vampir. Beberapa saat kemudian, muncullah seorang cewek berambut panjang yang mengenakan gaun
panjang serbahitam dengan dandanan ala gothic yang
menyeramkan. Ya, aku tahu, aku juga selalu merias diri
ala gothic, tapi tidak ada yang menyeramkan pada diriku
kok. Selain kemungkinan bahwa aku adalah psikopat yang
mencelakai adik kembarku.
"Halo." Aku terpaku pada si Ojek, yang mendadak tampak cool dan berwibawa. "Kami ingin ketemu dengan Pak
Alvin." Si cewek mengamati si Ojek dengan waswas tanpa menutupi rasa kagumnya, tapi pandangan itu langsung berubah curiga dan tak senang saat melihat penampilanku
215 Isi-Omen.indd 215 yang ajaib banget. Seandainya dia resepsionis atau sekretaris, dia sama sekali tidak ramah sebagaimana harusnya.
Kalau reputasi si ilusionis memang sehebat yang dikabarkan, seharusnya dia sanggup menyewa penerima tamu
yang lebih menyenangkan. Atau mungkin tugas cewek ini bukanlah menerima
tamu, melainkan menolak mereka.
"Sudah ada janji?"
"Ya," angguk si Ojek. "Katakan padanya, kami dikirim
oleh Viktor Yamada. Anda bisa konfirmasikan kedatangan
kami dengan menelepon ke kantor Mr. Viktor."
Aku bukan pengamat dunia perekonomian nasional,
tapi nama Yamada, meski sangat umum di Jepang, merupakan nama yang sangat langka di Indonesia. Minus
para turis, 99 persen penyandang namanya memiliki
kekerabatan dengan keluarga besar Yamada dari Ocean
Corporation, perusahaan konglomerasi terbesar nomor
dua di Indonesia. Melihat gelagat si cewek sombong
yang langsung berubah ramah, aku yakin si Ojek sudah
menyalahgunakan salah satu nama penting dari keluarga
tersebut. "Oh, itu tidak perlu. Maafkan ketidaksopanan saya."
Mengancam dengan nama konglomerat memang manjur.
Si cewek jutek langsung membukakan pintu bagi kami
dan mempersilakan kami masuk sambil terbungkukbungkuk. "Harap maklum, jadwal Bapak Alvin sangat
ketat sehingga saya tidak bisa mengizinkan setiap orang
datang mengganggunya. Apalagi nona ini penampilannya
agak..." Dia ragu-ragu sejenak untuk meneruskan ucapannya,
tapi si Ojek menyambung dengan ringan, "Tidak biasa?
216 Isi-Omen.indd 216 Maklumlah, adik saya ini tergila-gila olahraga, padahal
kesehatannya tidak memungkinkan. Sudah gampang
sakit batuk, masih saja maksa ikut pertandingan futsal.
Tidak heran kan, kalau saya minta bantuan Bapak
Alvin?" "Anda datang ke tempat yang tepat," sahut si cewek
jutek dengan ceria. "Silakan duduk dan mohon tunggu
sebentar. Bapak Alvin akan segera menemui Anda berdua.
Mau minum apa, ya?" Saking isengnya, aku sudah kepingin meminta sampanye. Yang paling mahal, kalau perlu. Yep, aku tahu aku
masih kecil dan tidak boleh minum minuman beralkohol, tapi saat ini aku harus bergaya-gaya sok demi
menegaskan kedudukan kami sebagai orang kepercayaan
konglomerat. Namun si Ojek sudah mendahuluiku.
"Kopi saja sudah cukup," katanya singkat.
"Yang paling mahal ya," sambungku pongah. "Kopi
luwak, gitu." Si Ojek menatapku dengan muka aneh. "Memangnya
kamu tau nggak kopi luwak terbuat dari apa?"
Orang ini benar-benar kampungan.
"Ya dari biji luwak lah."
Tawa si Ojek menyembur. "Hei, luwak itu kan binatang! Kasihan benar kalau bijinya dipakai untuk membuat kopi. Asal tau aja, kopi luwak dibikin dari kotoran
luwak." Euw. Jijik banget sih. "Kalo gitu Nescafe aja. Pakai susu yang banyak, ya!"
"Dasar anak kecil. Saya kopi hitam saja."
Selesai menerima pesanan kami, si cewek jutek pun
meninggalkan ruangan. Kugunakan kesempatan itu
217 Isi-Omen.indd 217 untuk memperhatikan ruangan tempat kami berada.
Suasana ruangan itu sangat temaram, nyaris tak ada


Omen Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sinar matahari yang menyeruak masuk kecuali melalui
celah-celah tirai yang tebal dan tertutup rapat. Beberapa
tiang lampu diletakkan di sekitar ruangan, memancarkan
cahaya kuning yang lembut. Perabotan, hiasan-hiasan,
dan lukisannya bergaya etnik, dan lagi-lagi semua itu
membuat perasaanku merinding. Kuelus kepala singa
yang ada di pegangan sofa yang kutempati, lalu tiba-tiba
kusadari bahwa singa itu tengah menatapku.
Sial. Tak lama kemudian, sepeninggal si cewek jutek, orang
yang kami tunggu-tunggu pun muncul. Si ilusionis ternyata tidak semengesankan seperti yang terlihat waktu
di panggung dulu. Tingginya yang biasa-biasa membuatnya tampak kurang berwibawa di depan cowok jangkung
seperti si Ojek. Namun sinar matanya yang tajam dan
dingin tetap sama, dengan senyum kaku yang tidak mencapai matanya. Tebersit dalam hatiku, beginilah tampang
orang yang tidak punya perasaan.
"Selamat pagi," sapanya sambil menyalami aku dan si
Ojek. "Katanya kalian dikirim oleh Mr. Viktor. Ada yang
bisa saya bantu?" "Ya," sahut si Ojek. "Kami ingin berkonsultasi dengan
Anda mengenai hipnoterapis."
Si ilusionis mengamati si Ojek. "Konsultasi seperti apa
yang Anda inginkan?"
"Pertama-tama, saya ingin tahu bagaimana prinsipnya
hipnoterapis itu." "Sejujurnya, saya tidak bisa memberikan terlalu banyak
informasi tanpa mengungkapkan rahasia kemampuan
218 Isi-Omen.indd 218 saya." Si ilusionis tersenyum simpul. "Namun pada dasarnya, yang saya lakukan hanyalah mengeluarkan kemampuan manusia yang tersembunyi. Kemampuan
untuk bertahan hidup, memerangi penyakit, mengalahkan penderitaan."
"Bagaimana dengan hipnotis yang Anda lakukan di
panggung?" selaku. Si ilusionis melipat tangannya di depan dada dan bersandar di sofa. "Itu agak berbeda dengan hipnoterapis,
meski secara prinsip tidak terlalu jauh berbeda. Saya hanya
memerintahkan apa yang mereka bisa dan ingin lakukan.
Seseorang yang tidak pernah belajar balet sanggup menari
balet bukan karena hipnotis, tapi karena di dalam dasar
hati mereka, itu tidak sulit untuk dilakukan. Yang saya
lakukan hanyalah menekan tombol yang tepat."
Kalimat terakhir yang diucapkannya itu membuatku
merinding. "Anda pernah menghipnotis teman saya," kata si Ojek.
"Menurut keterangan orang-orang, Anda menghipnotisnya
supaya memperlihatkan perasaan cintanya yang terpendam, namun kata-kata yang Anda ucapkan salah diinterpretasikan oleh teman saya. Kini teman saya takut
kalau-kalau sesi hipnotis yang Anda lakukan padanya itu
membuatnya sanggup melakukan hal-hal yang berbahaya.
Apa itu mungkin terjadi?"
"Tentu saja bisa," angguk si ilusionis, membuatku langsung merasa lemas. "Akan tetapi, hal-hal berbahaya semacam apa yang kita bicarakan di sini? Balap mobil?
Bungee jumping? Bunuh diri?"
"Membunuh adiknya sendiri," sahut si Ojek singkat
tanpa melirik padaku. 219 Isi-Omen.indd 219 "Itu mungkin saja," sahut si ilusionis kalem, tidak
tahu bahwa ucapannya sudah menohok perasaanku. "Seandainya hubungan antarsaudara yang disebutkan di sini
sangat langgeng, tentunya hipnotis semacam itu tidak
akan berhasil. Akan tetapi, perasaan antarsaudara memang rumit. Sering kali ada persaingan, dendam, dan
kebencian yang terpendam selama bertahun-tahun. Apalagi kalau salah satu saudara didukung dan dianakemaskan oleh orangtua. Dalam sejarah, banyak sekali peperangan yang terjadi antara dua saudara kandung. Namun,
sekali lagi saya tandaskan, tanpa keinginan kuat dari si
pasien sendiri, hipnotis untuk melakukan perbuatan yang
begini besar tidak mungkin bisa berhasil."
"Jadi maksud Bapak apa, hah?!"
Tanpa bisa menahan diri lagi, aku meloncat berdiri.
Serta-merta si Ojek dan si ilusionis ikutan berdiri. Muka
mereka kelihatan kaget, tapi kata-kata terus berhamburan
dari mulutku yang hilang kendali.
"Jadi menurut Bapak, saya memang punya keinginan
kuat untuk membunuh adik saya sendiri? Begitu?!" teriakku. "Bukan hanya sekadar keinginan, tapi keinginan kuat?
Jadi saya memang punya keinginan terpendam untuk
menjadi seorang pembunuh?!"
"Kamu...?" "Benar." Aku mencampakkan topi, wig, dan kacamataku. Si ilusionis makin kaget saja. Mungkin masih wajar
kalau aku hanya mencampakkan topi dan kacamata, tapi
tentunya dia tidak mengira aku bahkan mencopot
rambutku sendiri. "Ini aku, murid yang Bapak hipnotis
beberapa hari lalu. Bapak bilang Bapak gagal melakukan220
Isi-Omen.indd 220 nya, tapi sekarang Bapak malah bilang begitu! Ucapan
Bapak memang nggak bisa dipercaya!"
Aku tidak tahu apa yang kuharapkan dari si ilusionis.
Permintaan maaf, atau mungkin tawaran untuk menyembuhkan. Yang jelas, aku tidak mengharapkan dia mengangkat telepon dan berkata, "Kamu anak yang jadi
buronan itu. Saya akan menelepon polisi."
"Nggak segampang itu."
Tangannya yang sedang mengangkat telepon ditahan
oleh si Ojek yang menatap si ilusionis dengan tatapan
mengerikan yang jarang-jarang terlihat. Tampang si
ilusionis kelihatan keder, tapi dia tetap berkata, "Ayolah,
kalian pikir saya mau berkonspirasi dengan buronan?"
"Bisa saja. Atau kalau Anda tidak mau, terpaksa saya
harus melakukan ini."
Aku bengong saat melihat si Ojek melayangkan tinjunya pada si ilusionis yang langsung mental ke belakang.
Aku nyaris menjerit saat melihat si ilusionis meraih tiang
lampu di dekatnya, lalu menghantamkannya pada si
Ojek. Namun dengan mudah si Ojek menahan serangan
itu. Dengan gerakan cepat dan kuat dia menarik tiang
lampu itu, membuat si ilusionis terlempar ke arahnya.
Lalu dicengkeramnya kerah si ilusionis dan dibenturkannya badan lawannya itu kuat-kuat ke dinding.
"Tuan!" Dari belakang aku mendengar bunyi pecahan gelas.
Aku menoleh dan melihat si cewek jutek berdiri di belakangku. Awalnya dia terperangah melihat perubahan
situasi yang terjadi, tapi dalam sekejap dia langsung bertindak. Dia meraih jambangan dan melemparkannya
padaku. Dengan gerakan refleks aku menghindar sekali221
Isi-Omen.indd 221 gus meraih tongkatku, lalu kupukulkan ke bahunya kuatkuat. Cewek itu pingsan dalam sekejap.
"Nice," puji si Ojek sambil nyengir. Tangannya masih
mencengkeram leher si ilusionis. "Sekarang kita lewati
acara basa-basi dan langsung menuju topik yang sesungguhnya. Nah, Vin," Rupanya si Ojek serius, dia
tidak bersopan-sopan-ria lagi pada si ilusionis, "seandainya temanku ini memang terkena hipnotismu, apa
kamu bisa menyembuhkannya?"
"Dalam kasus normal, biasanya pada saat menghipnotis, kita memberikan persyaratan untuk keluar dari kondisi hipnotis itu. Tapi untuk kasus yang tidak sengaja
seperti ini...," si ilusionis menggeleng, "mungkin dibutuhkan sesi terapi intensif."
"Kamu lagi yang menghipnotis?" Aku mengerutkan
muka tanda jijik. "Sori-sori aja, ya. Aku nggak percaya
padamu, sama sekali. Mana tau kamu menghipnotisku
melakukan hal-hal gila lain, seperti menyerahkan diri
pada polisi, gitu." "Menurut saya, lebih baik kamu menyerah," saran si
ilusionis dengan muka sok alim yang membuatku kepingin menonjoknya. "Kamu sangat berbahaya bagi diri
kamu sendiri dan lingkungan sekitar. Lebih baik kamu
berada di bawah penjagaan ketat."
"Nggak ada yang minta saranmu!" ketus si Ojek sambil
menjotos muka si ilusionis.
Yes! Mendadak terasa getaran di sakuku. Aku mengeluarkan
ponselku dan lagi-lagi melihat nama Ferly di sana.
"Siapa yang menelepon?" tanya si Ojek ingin tahu.
"Orang yang kemarin juga?"
222 Isi-Omen.indd 222 Ternyata dia masih ingat.
"Iya, si Ferly."
"Si cowok bermuka idiot?" tanya si Ojek dengan nada
tak senang. "Ngapain dia telepon-telepon?"
"Hei, muka Ferly nggak kayak idiot, kali!"
Pikir-pikir, sebenarnya muka Ferly agak-agak idiot. Tapi
mana mungkin aku mengakui hal itu pada si Ojek?
"Kenapa ya, dia sampai nelepon berkali-kali gitu?
Mendingan gue telepon balik. Siapa tau ada yang penting."
"Halah, ngaku aja, kamu seneng ditelepon cowok idiot,"
cetus si Ojek bete. "Nggak usah jealous gitu dong, Jek."
Aku berjalan keluar dari ruangan supaya menjauh dari
jarak pendengaran si ilusionis.
"Halo? Fer? Lo telepon gue?"
"Erika! Kamu sekarang ada di mana?"
"Gue... Ah, panjang ceritanya. Ada urusan apa lo telepon gue?"
Ferly terdiam lama. "Aku tahu siapa yang mencelakai
Eliza." Aku terperanjat. "Masa? Siapa?"
"Aku akan memberitahumu besok, tapi kamu harus
menemuiku sendirian. Sebelum masuk sekolah ya, di
lapangan dekat sekolahan."
"Sebelum masuk sekolah? Jam enam gitu?"
"Ya." Gila, yang benar saja. Memangnya aku tolol?
"Sori, Fer. Sekarang ini gue buronan. Gue nggak bisa
ketemu orang seenak jidat lagi seperti dulu. Kenapa lo
223 Isi-Omen.indd 223 nggak ngasih tau gue sekarang aja dan harus ketemu
face-to-face?" "Iya, soalnya ada yang ingin kutunjukkan ke kamu.
Ini penting banget, Ka. Kamu harus menemuiku besok.
Kutunggu, ya!" Sebelum aku sempat menyahut, Ferly sudah memutuskan sambungan telepon. Dasar, ternyata dia tukang paksa juga. Padahal kukira dia cowok yang suka mengalah.
Aku kembali ke ruangan tempat si Ojek main pelototpelototan dengan si ilusionis.
"Ayo, kita pergi saja sekarang," ajakku. "Sepertinya kita
udah buang-buang waktu dengan datang kemari."
"Oke," angguk si Ojek, lalu memukul si ilusionis
lagi?kali ini di bawah leher belakangnya sehingga dia
langsung pingsan seketika. Sambil berjalan ke luar, si
Ojek bertanya sambil lalu, "Jadi kenapa si cowok idiot
meneleponmu?" "Dia ingin ketemu denganku. Kami janjian ketemu di
lapangan dekat sekolah besok, jam enam. Dia bilang dia
tau siapa pelakunya."
Si Ojek tertawa tak percaya. "Kamu gila? Ini pasti
cuma jebakan. Mereka mau menangkapmu, Ngil."
"Yah, sebenarnya gue juga nggak mau, Jek. Tapi dia
maksa. Katanya ada yang ingin dia tunjukin ke gue.
Jujur aja, gue penasaran juga, Jek."
"Kamu ini benar-benar tolol." Si Ojek bersungutsungut. "Ya udah, besok aku anterin. Kalo ada apa-apa,
biar aku bawa kamu kabur, dan sepanjang jalan aku
bakalan ngatain kamu tolol, tolol, tolol, tolol..."
"Iya, iya. Kata Ferly, dia mau gue datang sendirian,
tapi gue juga nggak mau menyerahkan diri segitu gam224
Isi-Omen.indd 224 pangnya. Kalo nggak di-backup sama elo, gue nggak akan
dateng, Jek." "Baguslah kalo kamu masih punya akal sehat."
Si Ojek terdiam dan menatapku dengan cara sedemikian rupa sehingga membuatku merasa risi.
"Apa-apaan sih?"
"Kamu udah mulai merasa nyaman dengan penyamaranmu?"
"Lumayan. Kenapa?"
"Mau jalan-jalan aja?"
225 Isi-Omen.indd 225 ERNYATA, jadi buronan seru juga.
Alih-alih ke sekolah dan belajar, aku menghabiskan
seharian itu dengan main bareng si Ojek di Dunia
Fantasi. Yah, aku tahu kedengarannya agak-agak kampungan, tapi rasanya senang bisa berada di bawah sinar
matahari, menertawakan wajah pucat si Ojek setelah
naik Kora-Kora, dan makan es krim yang menetes sampai
ke dagu. Kami makan bakso dengan kuah panas dan
saus pedas, ditemani bergelas-gelas es jeruk superdingin,
lalu memesan satu porsi ekstra untuk kongsian.
Si Ojek membuktikan diri sebagai seorang teman yang
sangat perhatian. Dia tidak membiarkanku kelaparan
atau kehausan, rela menemaniku naik berbagai wahana?
dan tidak mengeluh saat aku ingin mengulang naik
wahana yang membuatnya keder?bahkan tersenyum
sabar saat aku bilang aku mau pipis untuk yang keseribu
kalinya gara-gara kebanyakan minum. Dia langsung main
lempar kaleng dan memenangkan topi untukku di saat
aku mengeluh kepanasan, mengelap es krim yang berlepotan di pipiku, dan membelikanku baju ganti di saat
226 Isi-Omen.indd 226 kami berdua kebasahan setelah meluncur menuruni
Niagara dan terguncang-guncang dalam perahu di Riam
Jeram. Aku tersenyum sampai pipiku terasa pegal, tertawa
sampai perutku sakit (aku yakin, tanpa perlu nge-gym
segala, perutku bakalan six-pack dalam waktu dekat), berlari atau loncat-loncat sebagai ganti jalan biasa saking
semangatnya. Singkatnya, belum pernah aku merasa begitu bahagia.
Malam datang terlalu cepat. Setelah mengisi perut
kami dengan beberapa ekor lele goreng, kami keluar dari
Jakarta dan kembali ke rumah kami di Sentul. Maksudku
rumah teman si Ojek. (Gila, apa sih yang membuatku
mengatakan rumah ini adalah rumah kami?) Kami mandi
dan membebaskan diri kami dari kaus jelek dan kemahalan yang kami beli di Dufan, lalu aku tidur di
kamar tidur sementara si Ojek tepar di sofa.
Malam itu, untuk pertama kalinya setelah waktu yang
terasa seperti berabad-abad, aku tidak bermimpi buruk
lagi. Aku terbangun dengan perasaan segar yang sudah
lama tak pernah kurasakan. Setelah meregangkan otot
sebentar, aku meloncat turun dari ranjang dan menerjang
ke arah dapur untuk sikat gigi. Aku sempat melihat si
Ojek masih tergeletak di sofa, kedua kakinya berjuntai
melewati lengan sofa saking panjangnya. Karena iseng,
aku mendekatkan kakiku pada mukanya. Muka si Ojek
yang tadinya damai mulai terusik. Kelopak sebelah matanya terangkat.
"Apa-apaan kamu?" gerutunya dengan suara mengantuk.
227 Isi-Omen.indd 227 "Nggak, cuma kepingin tau seberapa dahsyatnya bau
kakiku," sahutku sambil menggerak-gerakkan jari-jari
kakiku. "Ternyata masih boleh juga, sampai-sampai bisa
ngebangunin mayat, hehehe."


Omen Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yah, sebenarnya aku bangun karena jari-jari kakimu
nyaris masuk ke lubang hidungku sih. Semalas apa pun
aku, aku nggak akan mau diupilin!"
"Idih, siapa juga yang mau ngupilin elo, Jek?"
Aku mulai menyikat gigi di atas tempat cuci piring.
"Oh ya, tadi pagi kamu pergi ke mana?"
Aku menatap si Ojek dengan sikat gigi di dalam mulutku. "Tadi pagi?"
"Iya, sepertinya pintu depan dibuka, cuma karena masih pagi banget dan aku masih kepingin tidur, aku
cuekin aja." "Hmm, kalo gitu, mungkin itu cuma mimpi elo, soalnya gue juga barusan bangun."
"Atau mungkin kamu kebelet dan mengira pintu
depan itu pintu kamar mandi?"
"Mau gue sembur dengan busa odol ini?"
"Eugh, kamu pasti cocok menyandang gelar cewek
paling jorok sedunia, Ngil."
"Kasihan. Elo pasti belum ketemu banyak cewek, Jek,
soalnya masih banyak yang lebih jorok daripada gue."
"Kalo gitu sih, aku seneng-seneng aja dengan jumlah
cewek yang kukenal saat ini."
Kata-kata itu membuatku penasaran. "Sebenernya
berapa sih cewek yang elo kenal saat ini?"
"Mana mungkin aku ngitungin, Ngil? Yang jelas, nggak
banyak-banyak amat. Aku nggak terlalu suka direpotin
cewek." 228 Isi-Omen.indd 228 Kenyataannya, belakangan ini dia sering banget direpotkan olehku. Pikiran itu membuatku nyengir lebar
saking senangnya?dan nyaris tersedak busa odol. Buruburu aku berkumur sebelum semua busa itu kutelan (iya
deh, aku memang jorok). Selesai mencuci muka, aku mengambil handuk, sementara si Ojek menggantikanku di tempat cuci piring dan
mulai menyikat giginya dengan ganas. Terbetik dalam
pikiranku, situasi ini sangat aneh?aku dan si Ojek serumah, gitu. Sekali pun aku tak pernah membayangkan
semua ini akan terjadi, tapi sekarang, rasanya wajar-wajar
saja tuh. "Jangan mengagumiku terus. Sana, mandi!"
Dasar cowok kurang ajar. Tak lama kemudian, kami sudah meluncur ke lapangan
tempat aku dan Ferly janjian. Tiba di sana, lapangan itu
masih sepi. Rupanya Ferly terlambat.
"Kamu tunggu dia di sini," kata si Ojek saat aku turun
dari motor. "Aku akan mengecek kondisi di sekitar sini."
"Kenapa?" ledekku. "Lo takut tau-tau di balik semaksemak banyak polisi yang lagi ngumpet?"
"Siapa tau," sahut si Ojek dengan muka serius yang
membuatku makin kepingin menjailinya. "Pokoknya,
nggak ada salahnya berjaga-jaga, kan?"
"Ya deh, ya deh. Dasar bodyguard."
"Nggak usah senang dulu. Setelah semua ini selesai,
aku akan beri kamu tagihan yang bakalan bikin kamu
bokek bertahun-tahun."
"Kalo gitu, andai di kemudian hari gue nggak tajirtajir, gue salahin lo aja ya, Jek!"
Si Ojek memelototiku, tapi tidak mendebatku lagi,
229 Isi-Omen.indd 229 melainkan meninggalkan motornya yang sudah terkunci
dan berjalan pergi. Kutatap kepergiannya sambil tersenyum lebar, hatiku yang kemarin begitu berat dan sedih kini terasa ringan.
Si Ojek memang baik banget.
Aku berjalan ke tengah-tengah lapangan, mempelajari
situasi di sekitarku. Lapangan itu berbentuk persegi panjang, biasa digunakan sebagai lapangan basket?meski
ukurannya tidak sebesar lapangan basket yang seharusnya?untuk kompleks perumahan di sekitar sekolahan,
atau oleh anak-anak sekolah kami saat lapangan sekolah
sudah ditutup. Di sekelilingnya ada banyak pohon tinggi
dan rindang yang umurnya mungkin sudah belasan
tahun. Di salah satu ujung lapangan terdapat sebuah
pondok kecil yang digunakan sebagai kantin, kamar
kecil, dan gudang. Saat ini kantin belum buka dan gudang masih dikunci dengan rantai, tapi aku yakin toiletnya sudah bisa digunakan.
Ke mana sih si Ferly? Sudah memaksaku ke sini, dia
sendiri yang telat datang. Dasar kurang ajar.
Saat aku sedang bengong seorang diri, mendadak aku
dengar si Ojek berteriak, "Erika!"
Aku langsung berlari menuju asal suaranya, dan menemukan si Ojek sedang berdiri dengan bahu tegang.
Saat dia menoleh padaku, wajahnya tanpa ekspresi, tapi
aku mengenali tatapannya. Tatapan yang sama yang kulihat padanya waktu malam itu, pada waktu kami menemukan Eliza. Tatapan horor penuh kengerian.
"Ada apa...?" Ucapanku terhenti saat mataku menangkap pemandangan di hadapan kami. Rasanya aku seperti melihat pe230
Isi-Omen.indd 230 mandangan yang sama dengan malam itu. Eliza terbujur
di lantai dengan empat bilah pisau menancap di tubuhnya. Dan darah?banyak sekali darah, sampai-sampai
membuatku mual rasanya. Perbedaannya adalah, kali ini, alih-alih Eliza, yang ada
di sana adalah seorang cowok, dan alih-alih terbaring,
cowok itu terduduk di bawah pohon, seolah-olah dia
sengaja diletakkan di sana.
Dan meski wajah itu tertunduk dengan darah mengalir
di sekujur wajahnya?tanda jidatnya sempat dihantam?
aku bisa mengenalinya. Dia adalah Ferly.
Sebelum teriakan lolos dari mulutku, si Ojek sudah
membungkamku dengan tangannya yang besar.
"Dengar aku, Erika," bisik si Ojek di telingaku. "Kamu
liat dadanya masih bergerak-gerak?"
Aku mengangguk. "Itu berarti dia masih hidup. Tapi kita harus meninggalkannya dan pergi dari sini sekarang juga."
Aku membelalak padanya, berusaha mengisyaratkan
penolakan. "Kamu mau ditangkap? Karena setelah ini aku akan
menelepon ambulans. Kalo nggak, anak malang ini bakalan lewat."
Oh, sial. Aku mengangguk. "Anak baik." Si Ojek melepaskanku. Saat aku ingin melangkah maju,
dia menahan lenganku. "Jangan mendekatinya. Aku nggak
mau kita meninggalkan bukti-bukti keberadaan kita."
Aku tidak menyahuti si Ojek, tapi kupatuhi juga katakatanya. Perasaanku kacau-balau, terbagi antara kepingin
231 Isi-Omen.indd 231 lari keliling lapangan sambil teriak-teriak histeris dan
menggali lubang untuk mengubur diri sendiri.
Rasanya aku mulai gila. Setelah si Ojek menelepon, dia meraih tanganku dan
menarikku pergi. "Ayo, kita pergi dari sini."
Motor kami melesat dengan kecepatan tinggi, meninggalkan lapangan dalam sekejap dan menuju ke arah
luar kota. Di tengah jalan kami melihat ambulans dan
mobil polisi dengan sirene mereka yang meraung-raung
keras. Buru-buru aku menyembunyikan wajahku.
Dalam waktu singkat, kami tiba di rumah persembunyian kami. Setelah memarkir motornya, si Ojek mengikutiku masuk ke dalam rumah. Aku duduk di sofa dengan
siku bertumpu pada lututku, sementara si Ojek bersandar
pada dinding?dan kami sama-sama berdiam diri. Bisa
kurasakan tatapan tajam si Ojek mengawasiku, memaksaku untuk mengeluarkan uneg-unegku.
Jadi aku melakukannya. "Gimana kalo dia mati?"
Karena tak terdengar jawaban dari si Ojek, aku mendongak?dan melihatnya hanya mengangkat sebelah
alisnya. "Kita ninggalin dia gitu aja di sana, Jek, padahal dia
udah sekarat!" "Jadi maumu apa?" tanya si Ojek dengan nada sinis.
"Memberinya CPR? Itu nggak ada manfaatnya. Memberinya darahmu? Kalaupun kalian punya golongan darah
yang cocok, darahmu nggak akan cukup untuk itu.
Mungkin jadinya kamu yang bakalan sekarat. Intinya,
nggak ada gunanya kita tetap berada di situ. Kamu udah
liat sendiri, mobil ambulans dan polisi udah pergi ke
232 Isi-Omen.indd 232 sana. Kalo kita tetap tinggal, bisa-bisa kita hanya akan
mati konyol." Si Ojek menyipitkan matanya. "Jangan
bilang kamu masih cinta sama cowok tolol itu."
Dulu, ada saatnya aku menganggap diriku jatuh cinta
pada Ferly. Namun saat ini aku sulit mengingat masamasa itu. Tentu saja, itu tidak berarti aku tidak peduli
pada Ferly lagi. Begini-begini kan aku masih punya belas
kasihan. "Ini bukan waktunya main jealous-jealous-an, Jek." Aku
balas menyindir. "Apa lo nggak punya kerjaan laen selaen ngurusin masalah percintaan gue?"
"Aku malah berharap aku nggak punya kerjaan laen
selaen ngurusin masalah percintaanmu, Ngil." Si Ojek
diam sebentar. "Oke, begini. Ada tiga kemungkinan di
sini. Yang pertama, ada pembunuh berantai gagal di sini.
Dia sudah melukai dua orang, namun nggak berhasil
menewaskan mereka. Tapi intinya, orang ini mencelakai
dua orang ini karena dia punya alasan sendiri. Mungkin
dua orang ini merepotkannya atau apalah."
"Ferly bilang, dia tau siapa pelakunya," selaku.
Si Ojek mengangguk. "Nah, bisa jadi dia jadi korban
karenanya. Meski cukup membingungkan, kenapa si pelaku membiarkannya hidup. Ferly pasti bakalan membuka mulut begitu dia sembuh, kan?"
Benar juga kata si Ojek. Kalau memang si pelaku ingin
membungkam Ferly, kenapa dia tidak membunuhnya
saja? "Kedua, ada yang berniat memfitnahmu, melukai dua
orang yang dekat denganmu, tapi sengaja nggak membunuh mereka, karena maksud utamanya adalah mem233
Isi-Omen.indd 233 buatmu menjadi tertuduh. Ketiga, gabungan dari kedua
kemungkinan itu." "Ada juga kemungkinan keempat." Aku bisa merasakan wajahku memanas saat mengucapkan semua ini.
"Memang gue pelakunya, Jek."
"Jangan berpikir ke sana, Ngil," cetus si Ojek. "Itu
mustahil, kamu dengar? Itu mustahil banget!"
"Mustahil ya mustahil, kenapa harus pake kata ?banget??" sergahku. "Lo berusaha meyakinkan diri sendiri?
Jek, lo tau sendiri apa yang lo denger pagi ini. Lo kira
gue keluar dari rumah. Lo meragukan pendengaran lo
sendiri?" Karena si Ojek tetap diam, aku bertanya lagi, kali ini
dengan nada yang lebih lembut, "Jek, coba deh lo pikir
baik-baik. Seandainya lo diinterogasi polisi, lo bisa jawab
dengan yakin kalo gue nggak keluar dari rumah ini
semaleman?" Si Ojek menghela napas. "Tapi itu nggak berarti kamu
pelakunya, Ngil. Aku mencoba berpikir realistis di sini.
Pada dasarnya, kamu bukan pembunuh. Hipnotis pun
nggak akan mengubahmu jadi pembunuh."
"Kalo gitu, apa penjelasan lo soal tadi pagi? Memangnya ada orang tolol yang mau ngambil risiko masuk ke
penjara gara-gara nyolong sesuatu di rumah ini, Jek,
sementara mereka bisa dapetin target yang lebih mantep
di perumahan mewah?"
"Nggak usah menghina rumah yang udah berjasa ini
dong." "Gue nggak menghina. Gue cuma berusaha berpikir
logis. Lo juga harus berpikir logis, Jek. Dan omongomong, nggak ada barang yang dicuri dari rumah ini
234 Isi-Omen.indd 234 kan? Jadi kalo ada orang yang masuk ke dalam sini, apa
yang dia lakukan? Nebeng tidur?"
Si Ojek terdiam. "Lo tau apa yang orang-orang bilang tentang gue dan
Eliza, Jek. Gue sirik sama dia. Gue nggak bisa memungkiri hal itu, meski gue berkali-kali menandaskan di
dalam hati bahwa gue juga nggak suka betapa palsunya
dia. Apa yang menjamin gue nggak akan membunuhnya,
sementara dalam hipnotis gue memikirkan untuk membunuhnya?"
"Kamu tau ungkapan bahasa Inggris, Don?t put the
words in my mouth?" Aku menggeleng. "Itu artinya, ada
yang mencoba memanipulasimu, mengucapkan kata-kata
yang sebenarnya nggak terpikir olehmu, lalu menyuruhmu mengatakannya agar kamu berpikir seperti yang dia
katakan. Ini sama aja, Ngil. Si ilusionis bedebah itu membuatmu membayangkan hal-hal yang sebenarnya nggak
akan kamu lakukan, tapi karena kamu memikirkannya,
kamu merasa kamu bakal melakukannya. Itu salah, Ngil,
dan aku akan membuktikan semua itu."
Melihat sorot tajam mata si Ojek yang penuh kepercayaan diri, mau tak mau aku merasakan keinginan kuat
untuk memercayainya. Jadi aku berkata, "Jadi apa rencana lo selanjutnya untuk membuktikan semua itu?"
"Aku belum tau, Ngil. Jujur aja, aku butuh bantuanmu.
Aku nggak bisa melakukan semua ini kalo kamu tetep
berpikir sebaliknya, bahwa kamulah yang bersalah. Kamu
harus yakin kamu nggak bersalah, Ngil. Setelah itu, aku
yakin kamu akan melihat hal-hal yang nggak terpikir
olehmu sebelumnya." Si Ojek benar. Entah sejak kapan, aku mulai meng235
Isi-Omen.indd 235 anggap diriku orang yang telah mencelakai Eliza?dan
kini Ferly juga. Karena itu, aku tidak mencari petunjukpetunjuk yang ditinggalkan oleh si pelaku lagi. Yang
kulakukan hanyalah menyalahkan diri dan menyalahkan
diri. Aku harus mengganti pola pikirku dan memikirkan
bagaimana kalau semua ini bukan perbuatanku.
Mendadak sebuah pertanyaan muncul dari alam
bawah sadarku, pertanyaan yang mungkin sudah menggema entah sejak kapan tapi tak benar-benar kupedulikan. Andai Ferly mengetahui sebuah rahasia, seperti
soal siapa orang yang telah mencelakai Eliza, atau
mungkin ada hal lain lagi yang lebih kompleks, kenapa si pelaku?yang dalam hal ini, bukan diriku?tidak membunuh Ferly? Apakah ada sesuatu yang tidak
sempat kami lihat? Lalu, sebuah fakta mengerikan melintas dalam pikiranku.
Si pelaku masih belum sempat menuntaskan pekerjaannya saat kami tiba.
Dengan kata lain, dia masih ada di sana saat kami
menemukan Ferly. Napasku terhenti sejenak saat jawaban itu muncul.
Saat aku ingin mengatakannya pada si Ojek, ponselku
berbunyi. Di monitor tertera nama si Anus.
Gila, dasar pengganggu. Berani-beraninya menyelaku
di saat seperti ini. Jiwa kriminalku pun muncul. Kuangkat telepon itu, berniat untuk menakut-nakuti si
Anus supaya dia tidak berani dekat-dekat denganku lagi
untuk selamanya. 236 Isi-Omen.indd 236 Namun si Anus bicara lebih dulu.
"Gue tadi liat lo kabur setelah mencelakai Ferly, Ka.
Gue akan lapor polisi sekarang juga!"
237 Isi-Omen.indd 237 AMU yakin dia ada di sekolah, seperti yang dibilang pengurus rumahnya?"
"Pasti," sahutku yakin. "Anus itu orangnya pengecut
banget. Dia berkoar-koar sok hebat, tapi setelah itu takut
dipukuli. Karena itu, dia pasti sedang ngumpet di sekolah. Di sana guru-guru bisa jadi bekingnya kalo dia
sampe diserang. Tapi kita akan menunggunya di sini, di
depan sekolahan, karena setau gue?si penguasa sekolahan?dia nggak tau jalan keluar yang lain lagi."
"Jadi apa rencana kita? Menyergapnya di depan umum
lalu menyiksanya habis-habisan seraya menginterogasi


Omen Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kenapa dia bisa berada di lapangan pagi-pagi buta?"
"Nggak. Kita akan langsung mengapitnya supaya dia
nggak bisa lari. Gue akan merangkulnya dengan penuh
persahabatan untuk menipu yang lain, kalo-kalo ada
yang memperhatikan kita. Kita akan bilang kalo kita
mau bicara sama dia di tempat yang lebih sepi. Dia
nggak akan menolak, karena dia takut sama gue."
"Hmm, apa yang membuatmu yakin dia mengenalimu
sekarang? Kumismu?" 238 Isi-Omen.indd 238 Yep, sekarang ini aku mengenakan samaran yang
berbeda lagi. Aku kan harus berjaga-jaga, kalau-kalau si
Manusia Harimau Marah 3 Seruling Haus Darah Hiat Tiok Sian Jin Karya Chin Yung Sepak Terjang Hui Sing 1

Cari Blog Ini