Pulang Karya Leila S. Chudori Bagian 7
tapi aku tak menyangka Alam bisa obsesif seperti ini dengan
kerapian. Laptop yang tertutup itu ditemani tiga pinsil 2B dan
tiga bolpen yang diletakkan berderet seperti tentara berbaris.
Beberapa buku dan alat tulis disusun bertumpuk dengan teliti
hingga aku tak berani memegangnya. Aku melirik ke tempat
tidur dan meja di samping tempat tidur. Jam Titoni milik Om
Hananto dan sebuah potret diletakkan saling berdekatan. Dari
dekat baru aku bisa melihat jelas, potret tua itu adalah foto Om
Hananto yang persis seperti dimiliki Ayah di albumnya. Tahun
1965, ketika dia masih muda.
Aku mencoba mencari bau-bau feminin di sekitar kamar.
Tak kutemukan barang satu dua foto perempuan, t-shirt
perempuan, atau bra yang tertinggal yang memberi indikasi
kegiatan ranjang. Aku sering sekali meninggalkan baju atau
barangku di apartemen Nara. Ah, kenapa pikiranku jadi
berputar-putar. Laptop kubuka. Alam masuk dengan dua mug berisi teh
pa??nas dan memberikan satu untukku. Aku meletakkannya jauh
dari laptop, khawatir terkena. Kamar ini sungguh terlalu rapi.
"Dengar Lintang, ini bukan teror pertama yang pernah aku
alami, juga bukan teror pertama bagi anak-anak Satu Bangsa.
Tentu kita selalu menggugat, protes resmi maupun membuat
konperensi pers yang tak selalu dimuat media di Indonesia
yang terlalu ngeri untuk mendukung LSM seperti kami."
"Maafkan tadi aku terlalu emosional. Aku sama sekali tidak
peka, hanya memikirkan tugas."
"Dengar dulu," Alam berlutut memegang tanganku,
"dengar. Maksudku, kita tak boleh kalah oleh teror. Tak boleh
kalah oleh kekejian. Jadi karena kami sudah biasa diteror
berkali-kali, kami sudah siap...."
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 406
407 LEILA S. CHU DO RI Aku diam. Melongo. Alam membuka pintu kecil. Apa itu?
Sebuah gudang? Panic room? Kloset untuk sepatu dan baju?
Apa? Aku melongok. Kamar kecil, atau kloset atau gudang kecil
itu terdiri dari rak yang penuh dengan folder dan kaset video.
"Apa ini?" "Kami selalu membuat copy dokumen milik Satu Bangsa.
Lokasi selalu berubah. Enam bulan di rumahku, enam bulan di
tempat Gilang, lalu nanti giliran Mita."
Astaga. Pantas mereka semua tenang. Terlalu tenang.
Tentu saja mereka mengalami kerugian karena barang-barang
elektronik yang sehari-hari mereka gunakan pecah atau rusak.
Tetapi mereka tetap memiliki salinan semua dokumen itu. "Ada
dokumen yang kami gandakan secara tradisional dalam bentuk
cetak; ada yang kami simpan dalam disket. Tapi semuanya ada.
Juga...rekaman video."
Jantungku hampir copot dari engsel. Aku berdebar-debar.
"Alam...." Alam tersenyum. Dia membungkuk mencari-cari deretan
kaset video dengan label: Lintang-Pram, Lintang-Ibu D,
Lintang-Surti, Lintang-Djoko. Lintang-Aji Suryo.
"Ah ini dia," Alam menyerahkan kopi kaset rekaman
itu. "Mita sudah terbiasa membuat salinan semua rekaman
kami." Aku tak tahu bagaimana menggambarkan perasaanku.
Aku yakin hatiku melesat keluar dari tubuhku saking girang?
nya. Aku melompat dan memeluk Alam begitu erat dan en?tah
bagaimana tiba-tiba aku sudah menciumnya, mencium bibir???
nya, mendorong tubuhnya agar melekat pada dinding kamar?
nya.Entah bagaimana dia segera membalas itu semua dengan
semangat yang sungguh menggebu, menciumku, merobek
blus hingga kancing-kancing itu bertaburan dan giliran dia
yang menekan tubuhku ke dinding. Kami tak sempat lagi
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 407
408 PU LANG saling melucuti seluruh baju, karena segala hasrat terlalu lama
ditahan dan dibungkus oleh rasa segan dan sopan. Dan seperti
yang sudah kubayangkan, atau melebihi imajinasiku setiap
malam, Alam memiliki daya ledak. Bagaimana dia bisa tahu
titik-titik peka tubuhku, aku tak pernah tahu. Pagi yang masih
hitam dan gelap itu tiba-tiba seperti langit Paris 14 Juli yang
penuh kembang api. *** Cahaya matahari menyelip melalui kisi jendela menimpa
wajah Alam yang tertidur di sisiku. Aku menatap hidung Alam
yang tinggi dan sepasang alis matanya yang hitam. Aku duduk
dan melihat beberapa kancing bajuku yang bertebaran karena
Alam terlalu bersemangat menelanjangiku. Kamar ini seperti
baru terkena angin badai. Atau memang terkena halilintar.
Un coup de foudre. Aku tak tahu apa langkah berikutnya yang
harus kulakukan dengan kesintingan ini. Nara. Alam. Nara.
Alam. Sebaiknya aku membuat langkah kecil. Pertama, aku harus
membereskan kamar yang berantakan ini, karena kelihatannya
Alam sangat rapi. Kedua, barulah aku berpakaian, pulang,
membereskan laptop, handycam lalu menyusun kembali selu?
ruh tugas akhirku. Itu lebih penting. Soal Nara dan Alam akan
kusimpan ke laci otakku dulu. Alam melenguh, menanyakan
waktu. "Setengah tujuh," aku menjawab sambil menutup dadaku
dengan seprai dan mencoba berdiri, "aku harus membereskan
kamarmu. Lantai kamarmu berantakan."
Alam menahan tanganku dan tersenyum, "Pagi-pagi mau
ke mana, Sayang?" Perlahan tangannya melepas seprai yang menutupiku dan
mengelus dadaku. "Aku ingin menatap kamu," dan dia me?
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 408
409 LEILA S. CHU DO RI narikku agar aku duduk di atas selangkangannya. Mungkin
ini le coup de foudre atau mungkin ini halilintar yang mampir
sejenak. Aku tak tahu. Yang aku tahu, pagi yang semula sunyi
itu kembali meledak membuat kamar Alam semakin porakporanda.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 409
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 410
MEI 1998 Jakarta, 13 Mei 1998 Ayah dan Maman yang saya cintai,
Saya tak akan bisa menjawab pertanyaan saya sendiri.
Apa yang bisa saya petik dari I.N.D.O.N.E.S.I.A.
Saya hanya sempat tidur beberapa jam karena kami baru
tiba di rumah pagi ini. Menurut Om Aji, saat kami sarapan pagi ini, Jakarta
bakal meledak setelah peristiwa penembakan mahasiswa
Trisakti kemarin. Om Aji dan Tante Retno sangat khawatir
mengetahui kami mengunjungi kampus Trisakti dan RS
Sumber Waras tadi malam. Tetapi saya tidak ingin Ayah dan
Maman khawatir dengan keadaan saya, maka saya menulis
surat elektronik ini sesegera mungkin.
Sejak dua hari yang lalu, Alam dan Bimo mengatakan,
mimbar bebas mahasiswa?yang sudah berlangsung sejak 1
Mei?pasti akan sangat panas pada puncaknya, tanggal 20
Mei. Informasi ini sudah beredar di kalangan mahasiswa,
baik yang tergabung dalam Forkot (kalau tak salah ini
singkatan dari Forum Kota, kelompok ekstra-kampus yang
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 411
412 PU LANG terdiri dari belasan perguruan tinggi) maupun mahasiswa,
aktivis, dan para wartawan. Saya yakin para lalat?maaf
saya sudah mulai tertular menggunakan istilah Alam?yang
mendengung juga sudah menyampaikan info ini kepada
keamanan, karena di kampus mana pun yang saya kunjungi
sejak tanggal 9 Mei lalu, penjagaan sangat ketat.
Meski ini adalah pekan kedua saya di Jakarta, saya me?
ma?suki era di mana masyarakat Indonesia sudah berani
te?rang-terangan meminta presidennya untuk mundur. Ini
menggairahkan. Ketika membaca surat elektronik Ayah
beberapa hari lalu, aku tak habis-habisnya tertawa: Om-om
bertaruh apakah Presiden akan mundur atau tidak? Om Nug
dan Om Risjaf akan potong kambing kalau Presiden turun?
Om Tjai dan Ayah masih pesimistik?
Sampaikan pada mereka, saya sangat berterima kasih
atas malam-malam di mana Om Nug, Om Risjaf, dan Om Tjai
secara bergiliran dan sporadik menjelaskan tentang sejarah
dan politik Indonesia, meski kisah mereka berakhir hingga
tahun 1965. Tolong sampaikan pada mereka, Indonesia masa
kini sudah mengalami banyak perubahan dibanding dalam
film dokumenter yang pernah saya tonton atau dari cerita
Empat Pilar Tanah Air. Tentu saja ada hal-hal yang tetap
sama sesuai dengan cerita Om Risjaf. Salah satunya yang
saya perhatikan, orang Indonesia sudah mengalami begitu
banyak tragedi yang luar biasa, tetapi mereka bertahan
dan cenderung melupakan (atau dipaksa melupakan, saya
kurang tahu). Mereka tak terlalu mementingkan (atau ingin
melupakan?) sejarah. Ada sesuatu yang agak aneh di sini:
anak-anak mudanya tak banyak yang mempelajari atau
tertarik pada sejarah. Saya mendapat kesan, orang-orang
muda seperti Alam dan Bimo bukanlah perwakilan generasi
muda Indonesia umumnya. Mereka adalah aktivis dan
intelektual yang terbentuk karena sejarah.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 412
413 LEILA S. CHU DO RI Ayah, Alam akan menjemput saya dan berjanji akan ber?
temu Bimo dan Gilang di kampus Trisakti. Siang ini, kami
akan memberi penghormatan terakhir pada para mahasiswa
yang tertembak kemarin. Suatu peristiwa yang semoga saja
tak dilupakan oleh generasi masa kini.
Jangan khawatir soal peralatan saya. Videocam saya yang
agak penyok dan lensa sudah diperbaiki. Untung saja lap?top
saya hanya cedera pada bagian luar belaka. Semua file saya
selamat, termasuk layar LCD yang mahal itu. Me?mang kini
laptop saya jadi buruk muka, tetapi isinya tetap cemerlang.
Kini setiap hari Alam menjemput saya untuk ikut ke kantor
Satu Bangsa agar saya bisa menyunting hasil wawan?cara
dari copy rekaman footage yang untung saja dimiliki Alam.
Sudah beberapa hari Rama bermalam di rumah Om Aji.
Dia diminta ?beristirahat di rumah? sehubungan dengan latar
belakangnya yang masih harus dicek dan ricek oleh kantornya
tempat bekerja. Alam mencoba ramah dan mengajak Rama
bergabung dengan kami. Tetapi dia tak menjawab. Matanya tampak kosong. Ke?
kasihnya Rininta memutuskan hubungan dengannya. Kami
sama sekali tak berduka, karena kalau aku mengutip kalimat
Andini, "tak terbayangkan memiliki ipar yang hanya gemar
berbicara sepatu atau tas yang dibeli dari uang yang layak
di?per?tanyakan sumbernya". Diam-diam Om Aji dan tante
Retno malah bersyukur dengan perkembangan tersebut. Te?
tapi kami tetap memperlihatkan simpati yang sangat dalam
kepada Rama. Aku tetap saja merasa bersalah. Putus cinta
bukanlah suatu proses yang mudah dilalui.
Hari itu, seperti hari-hari kemarin, saya bekerja kembali
menyunting dan menyusun wawancara para tapol. Saya
senang meski harus mengulang pekerjaan itu, yang penting
rekaman semua masih utuh. Saya kira, jika suatu hari saya
sudah mulai bekerja, cara kerja Satu Bangsa harus ditiru:
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 413
414 PU LANG memiliki arsip duplikat yang sangat rapi dan terorganisir.
Siang itu, Alam,Gilang, dan Agam sudah menghilang bertemu
dengan para aktivis Forkot. Pada sore hari, saya lupa jam
berapa, Mita melesat ke ruang editing dan dengan suara
dramatik (Biasanya, Mita sangat dingin dan datar. Adatnya
persis Om Tjai, tapi versi muda dan perempuan). Menurut
Mita, Gilang menelepon dan menyampaikan informasi terjadi
penembakan mahasiswa di Universitas Trisakti. Alam, Gilang,
dan Agam sudah menuju kampus di Grogol. Tanpa banyak
tanya, Mita dan aku menyambar barang-barang kami. Mita
memutuskan mengendarai motornya. Inilah kali pertama
aku mengendarai motor, Yah. Di Jakarta pula. Astaga! Mita
bukan mengendarai, dia membawanya terbang, belok kirikanan, berkelok-kelok menyiasati kemacetan.
Kami tiba di Grogol sekitar jam delapan malam. Kam?pus
Trisakti yang begitu besar dan begitu gelap, tegang, men?
cekam, dan penuh tangis serta jeritan amarah. Saat itu kami
belum tahu ada berapa mahasiswa yang tertembak. Masih
ada banyak mahasiswa yang menangis, tetapi menurut sa?
lah seorang mahasiswa yang kami tanya, sebagian besar
sudah berada di Rumah Sakit Sumber Waras. Mita dan aku
memutuskan pergi ke sana.
Di Rumah Sakit Sumber Waras, Mita bertemu dengan be?
be?rapa temannya. Saya mencoba, dengan cara yang sopan,
me?rekam ratusan mahasiswa yang berdiri di sepanjang kori?
dor. Mereka terisak-isak. Ada yang menjerit emosional. Ada
yang terlihat marah. Semua berduka. Semua tampak terkejut.
Saya tak mengenal mereka, tetapi saya tak bisa tak ikut
remuk, Ayah. It was very heartbreaking.
Dari beberapa mahasiswi, saya mendapat nama-nama
maha?siswa yang tewas: Elang Mulia Lesmana, Hendriawan
Sie, Heri Hartanto, Hafidin Royan. Saya belum tahu lagi na?
ma-nama lain, karena ada yang mengatakan masih ada dua
orang mahasiswa lagi yang tewas.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 414
415 LEILA S. CHU DO RI Ketika sudah pukul sembilan malam, barulah kami ber?
hasil bertemu dengan Alam dan Gilang. Saat itu pula salah
satu pimpinan militer?kata Alam seorang petinggi polisi
militer?datang berkunjung ke kamar jenazah. Terjadi adu
argu?men antara mahasiswa yang memenuhi koridor dan
polisi militer tersebut. Mereka tak ingin dia masuk. Dari
jarak yang aman, saya merekam peristiwa itu. Meski ini
bukan bagian tugas akhir saya, mungkin suatu hari aku akan
membuat dokumentasi lain.
Pulang Karya Leila S. Chudori di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ayah, meski saya sering menjadi bagian unjuk rasa di
kam?pus Sorbonne, saya kira Alam memang benar: peng?
alaman saya berdemonstrasi sangat santun. Saya tak me?
ngira akan menyaksikan peristiwa sebiadab ini.
Inilah sebagian dari Indonesia yang baru saya kenal.
Kami tetap menemani para mahasiswa di rumah sakit
hingga menjelang pagi. Beberapa kawan wartawan meng?
ajak kami menghadiri konferensi pers yang diadakan Pang?
lima Kodam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin. Tetapi kami
memilih untuk menemani para mahasiswa yang begitu
berduka. Kami ikut bersama mereka, serta keluarga korban
hingga akhirnya ada empat jenazah yang disemayamkan
di salah satu gedung di kampus Universitas Trisakti. Kami
tiba di rumah Om Aji sekitar jam lima pagi. Saya mencoba
memejamkan mata sebentar.
Ayah, saya harus berhenti dulu. Kami akan ke kampus
Trisakti siang ini. Jaga kesehatan Ayah. Di antara suhu panas ini, saya
tetap berdoa agar Ayah rajin berobat. Ciumku untuk Maman
dan Ayah. Selalu, Lintang Utara. Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 415
416 PU LANG *** Pagi itu, aku tak bisa lagi peduli punggung yang rontok atau
mata yang baru terpejam selama tiga jam. Aku yakin seluruh
Jakarta, atau Indonesia, semakin tegang dengan peristiwa
penembakan mahasiswa Trisakti kemarin. Atas paksaan Om
Aji, kami mengendarai mobil kijangnya. Dia meramalkan, ba?
nyak kampus akan menggelar aksi keprihatinan. Taksi akan
susah diperoleh. Kami tiba di kampus Trisakti sekitar pukul 10 lewat bebe?rapa
menit. Kampus dijaga sangat ketat oleh resimen mahasiswa,
sebuah terminologi baru untukku. Alam menggerutu melihatku
masih saja sempat menulis kata ?menwa? dalam agenda.
Sorbonne tak mengenal menwa, ini penting dicatat. Orang
yang boleh masuk diseleksi ketat. Aku tak tahu bagaimana
mereka mengenal Alam, tapi kami diperbolehkan masuk,
sementara banyak juga tamu yang ingin berkabung masuk
melalui kampus Universitas Tarumanegara yang terletak di
sebelah kampus ini. Lautan manusia mengenakan baju hitam memperlihatkan
gelombang suasana duka. Meski jenazah mahasiswa sudah
diberangkatkan ke rumah masing-masing untuk kemudian
dimakamkan, halaman depan Gedung Syarif Thayeb tetap
menjadi tempat pelayatan. Aku tak hanya merekam orangorang yang berkabung dan memberi penghormatan, tetapi
juga benda-benda yang berbicara: karangan bunga tanda duka,
darah kental Elang Mulia yang masih membekas di ubin, dan
kaca tebal yang berlubang akibat tembusan peluru. Mengapa
benda mati disebut sesuatu yang mati? Terkadang mereka
lebih ?hidup? dan lebih jujur memberikan saksi.
Kali ini kampus Trisakti bukan hanya penuh oleh maha?
siswa dan alumni, tetapi terlihat banyak tokoh yang datang
meng?hadiri aksi berkabung ini. Aku melihat Amien Rais,
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 416
417 LEILA S. CHU DO RI Megawati Sukarnoputri, Emil Salim, Ali Sadikin, dan Adnan
Buyung Nasution. Aku mencoba mendekat ke tengah untuk
merekam mereka berorasi secara bergantian.
Saat ini, ada yang berbeda. Jika kemarin para mahasiswa
masih dalam suasana duka dan terkejut, hari ini terasa ada
kemarahan dan perasaan terinjak. Ditambah lagi, seluruh
negeri menyorot kampus ini dan mengirim rasa simpati.
"Hidup Bang Ali, Hidup Bang Ali," demikian para maha?
siswa menyambut Ali Sadikin yang disodori pengeras sua?ra
untuk menyampaikan orasinya. Aku berdesak lebih dekat agar
bisa merekam dia. "Saya ikut serta mendirikan Orde Baru, tapi
kecewa!" katanya dengan suara lantang.
"Hidup Bang Ali!" sambut mahasiswa lagi.
Aku menyukai orasi Bang Ali hingga kameraku semakin
mendekat meski aku terdorong ke sana kemari.
"Hati-hati, Sayang...kelihatannya situasi di luar kampus se?
makin panas, mungkin kita sudah harus merencanakan pergi
dari sini," Alam memeluk bahuku.
"Itu Amien Rais kan, Lam?" tanyaku menyembunyikan
rasa senang karena cara dia memanggilku. Setan. Dalam kea?
daan begini, masih sempat memanjakan ego pubertas.
"Betul. Tapi aku harus mencari Mas Willy. Kata Gilang dia
sedang pertemuan dengan tokoh-tokoh lain. Aku ke lantai 12
dulu ya," Alam menengadah mencari-cari Gilang.
"Mas who?" "Rendra. Mas Willy. Penyair."
"Oh Rendra...kau mau bertemu Rendra? Kau kenal Rendra?
Aku ikut. Aku mau rekam!" aku jadi blingsatan.
"Jangan, Sayang, ini bukan pembacaan puisi atau diskusi
biasa. Saya harus bicara dengan dia," Alam berbisik ke telingaku
di antara yel-yel "reformasi" yang berkali-kali diucapkan. Aku
mengangguk merelakan Alam pergi meninggalkan aku untuk
mencari Rendra, sedangkan aku tetap merekam orasi Amien
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 417
418 PU LANG Rais. Kami berjanji, kalau terjadi apa-apa, Alam yang akan
mencariku di tempat yang sama. Amien Rais selesai, giliran
Adnan Buyung Nasution. Aku mengenal rambutnya yang seperti
salju karena dia sering betul diwawancara media asing. Begitu
Adnan Buyung mulai bicara, dia diberi ganjaran tepukan yang
begitu riuh. Tiba-tiba saja aku melihat wajah yang kukenal dari
jauh. Jantungku melesat keluar dari tubuhku.
"Rama!" Rama menoleh. Aku berjalan setengah berlari meng?ham?
pirinya, meski agak sulit di antara desakan para mahasiswa.
Rama tersenyum. "Aku tidak tahu kamu ke sini."
"Ya," dia menunduk. "Aku berangkat dari rumahku. Dini
telepon, dia juga ke sini dengan teman-temannya."
"Ya aku tahu, tapi sampai sekarang aku tak tahu dia di
mana." Rama melihat ke Adnan Buyung dan ikut bertepuk tangan
ketika dia mengucapkan bahwa apa pun yang terjadi, reformasi
harus dimulai. Aku memperhatikan wajah Rama. Ada sesuatu
yang telah mengguncangnya. Bukan hanya karena baru putus
dengan pacar; bukan pula kini dia dianggap sebagai bagian
dari ?keluarga tapol?, tetapi mungkin rasa kepemilikan dengan
kampus ini. Mungkin. Dia tampak...bangga menjadi bagian dari ini semua.
Benarkah apa yang kulihat ini?
Rama menatapku seperti ingin mengucapkan sesuatu, tapi
nampak ragu. "Lintang...." "Ya." "Terima kasih."
Ini sungguh mengejutkan. Aku meraba dan mengira-ngira
ucapan terima kasih itu. Rasanya aku tahu.
Aku mengangguk dan memegang lengannya, lalu pamit
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 418
419 LEILA S. CHU DO RI untuk mencari Alam. Tapi pada saat itu terdengar pengumuman
bahwa semua yang berada di halaman kampus diminta untuk
tidak keluar dari pagar. Di luar sudah penuh massa yang tak
jelas identitasnya sedang memanas-manasi mahasiswa untuk
berkelahi. Para mahasiswa simpang siur. Kegelisahan meruap
di udara. "Ada apa sih?" "Katanya ada yang bakar-bakar."
"Di mana? Di mana?"
"Nggak tahu. Di dekat jalan layang, katanya."
"Jangan keluar ...oi, oi, jangan ke arah pagar!"
Orasi tetap berlangsung, meski tak terlalu teratur seperti
tadi. Dari jauh terlihat keamanan kampus menghalau maha?
siswa agar menjauhi pagar. Aku mulai tak nyaman karena tak
tahu Alam ada di mana. Aku mencoba menelepon, tapi tak
kunjung diangkat. Aku menelepon Mita, puji Tuhan. Ternyata
dia ada di halaman kampus juga. Kami langsung berjanji
bertemu tepat di muka pintu Gedung Syarief Thayeb.
"Mit!! Aku memanggilnya dari jauh. Mita dengan ranselnya
berlari. Betapa girangnya aku menemui wajah yang kukenal.
"Mana Alam, Lintang?"
"Aku baru mau tanya kamu. Tadi kami berpisah karena dia
mau bertemu Rendra."
"Para tokoh baru saja pergi. Tadi mereka turun dari lantai
atas. Gilang dan Agam mana?" Mita menengok jamnya. Suara
yel-yel semakin keras. Bersamaan dengan itu aku tak bisa
mendengar apa-apa lagi, karena yel-yel itu tertutup oleh suara
berisik bunyi mesin. Semula aku mengira suara berisik itu
adalah buldozer di luar kampus. Ternyata suara itu datang dari
udara. Banyak orang mendongak ke atas. Astaga helikopter.
Satu, dua, tiga helikopter berwarna hijau dan abu-abu hitam.
Ada apa mereka terbang begitu rendah berputar-putar seperti
mau ada perang? Aku merinding dan berdebar. Apakah mereka
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 419
420 PU LANG membawa senjata? Atau hanya mau iseng berputar-putar?
Atau sekadar pamer dan menakut-nakuti? Baru kali ini aku
gentar. Kulihat Mita tercengang.
"Ada apa, Mit?" aku memegang lengan Mita.
"Kita harus mencari Alam dan Gilang."
Helikopter masih berputar-putar dan membuat mahasiswa
semakin jengkel. Aku sulit menelepon Alam dengan suara yang
mendengung keras seperti itu. Karena itu aku pikir lebih baik
merekam saja semua kejadian misterius ini. Ketika helikopter
akhirnya meninggalkan udara kampus, sebagian mahasiswa
meneriakkan "boooooo". Mumpung suara ribut helikopter
sudah mulai menghilang, aku masih merekam ekor helikopter
itu. Siapa tahu nanti bisa diidentifikasi (oh aku mulai berbahasa
seperti Bimo). Pada saat itulah terdengar tembakan! Satu
tembakan. Dua tembakan. Terdengar jeritan kaget. Terdengar
lengkingan. Mita spontan menarik bahuku untuk merunduk.
Semua tiarap dan merunduk. Sebagian berlari tak tentu arah.
Terdengar lagi beberapa tembakan. Dari arah luar ke dalam.
Para menwa yang tadi menjaga, berteriak agar semua masuk
ke dalam. Sebagian mahasiswa berlari sambil melempar batu
yang entah mereka peroleh dari mana. Aku merasa lebih takut
dengan batu-batu yang melayang diarahkan ke luar. Mita
masih memegangku agar aku tidak berdiri, karena aku masih
saja mengintip. "Monyet lu jangan berdiri!" Mita memegang kepalaku.
"Sudah berhenti kok, Mit. Aku penasaran."
Kami perlahan berdiri, dan aku segera mengambil video?
cam?-ku. Mita masih saja menggerutu bahwa aku bertingkah
se?perti wartawan perang. Kelihatannya tak ada korban yang
jatuh atau luka. Para mahasiswa menggerutu dan jengkel dan
ber?teriak-teriak. Untuk apa tembakan itu? Menakut-nakuti?
Imbecile!! "Lintang, yeee masih merekam pula. Ayo masuk!" Mita
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 420
421 LEILA S. CHU DO RI memanggilku. Tembakan berhenti. Tak ada bunyi apa-apa
kecuali orang-orang yang berlarian. Mita menarik tanganku
berlari ke dalam. Saat itulah aku melihat Gilang, Bimo, dan
Alam yang berjalan cepat ke arah kami. Alam langsung saja
menghampiriku dan memelukku seerat-eratnya. Tiba-tiba saja
aku merasa begitu aman dan tak ingin berpisah lagi darinya.
Kini kami mencoba memutuskan: Alam membawa mobil
Kijang Om Aji. Mita membawa motor dan sudah pasti dia tak
akan dibiarkan mengendarai motor itu sendirian.
"Kita konvoi," kata Agam.
"Halah repot amat. Alam bawa cewek-cewek dengan mobil.
Bimo dengan jipku. Agam dan Odi bawa motor Mita. Kita
semua ke kantor!" kata Gilang.
"Cewek-cewek?" Mita bertolak pinggang.
"O My God, sorry. Lintang dan Mita," Gilang menangkupkan
kedua tangannya seperti mau menyembah.
Kami segera naik mobil masing-masing. Tapi ada satu hal.
Alam mengatakan, salah satu menwa mendengar bahwa ribuan
massa sudah memenuhi Kyai Tapa di berbagai titik. Mereka
mulai membakar mobil-mobil dan menghampiri toko-toko di
Tomang Plaza. "Kita mau tunggu saja atau nekat menembus?" tanya Bimo
bimbang. Semua terdiam karena tak tahu bagaimana membaca
situasi seperti ini. Tak ada yang tahu.
Alam menyuruh kami berdiam di tempat sementara. Dia
ingin "melihat situasi" dan akan kembali lagi dalam waktu
lima menit, katanya. Aduh, aku tak ingin terpisah lagi seperti
tadi dan berlari menyusulnya, mengabaikan jeritan Mita yang
menyuruhku kembali. "Kok kamu ikut...nanti aku kembali. Aku hanya mau tanya
keadaan pada menwa dan melihat situasi di luar," kata Alam
sambil berjalan dengan cepat.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 421
422 PU LANG "No, I am coming with you!" aku menjawab dengan keras
kepala sembari menyandang ranselku.
Alam mengambil tanganku dan mengajak berlari. Kami bisa
melihat massa di luar pagar perlahan meninggalkan kampus.
Alam bertanya pada dua orang menwa yang memberi informasi
mirip dengan menwa sebelumnya: terjadi pembakaran mobilmobil dan ada massa yang tak dikenal mengendarai truk dan
metromini. Menwa itu menunjuk asap yang entah dari mana.
Ini seperti sebuah situasi chaotic. Aku meremas tangan Alam
sekuat-kuatnya, seolah ingin kujahit saja tangannya dengan
tanganku. "Oke, thank?s ya," Alam memeluk bahu menwa yang men?
Pulang Karya Leila S. Chudori di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jaga tanpa rasa takut itu.
Alam memandangku dengan sedikit tersenyum karena aku
meremas tangannya begitu keras, "Jangan pernah takut!"
"Bagaimana tidak takut, kau menghilang begitu saja."
Kini Alam tersenyum, "Aku tidak menghilang. Tadi hanya
sempat ngobrol dengan Mas Willy sebentar."
Kami berjalan menuju tempat Gilang, Mita, Agam, Bimo,
dan Odi menanti. Bimo tersenyum-senyum melihat kami
berpegangan tangan. Dengan refleks, aku melepas genggaman
itu. Ini memalukan. Di Paris hal seperti ini ditanggapi biasa
saja. Tapi di sini, aku mulai menjadi ikut sungkan dan malu.
"Oke, kita coba ya. Massa di luar pagar sudah mulai me?
ninggalkan kampus. Kita terpaksa melalui lautan massa. Kalau
jumlah mereka terlalu banyak, kita hadapi baik-baik. Kalau
jalan sedikit kosong, tancap gas. Paham?" Alam memberi
petunjuk sebelum kami masuk ke mobil. Agam dan Odi yang
menggunakan motor Mita mungkin yang akan paling cepat
melalui kegilaan ini. Tinggal dua mobil ini yang harus melalui
lautan massa. Benar saja. Kami melalui Tomang Plaza yang sudah ditu?
tup dan dikerubung massa. Aku tak tahan untuk tak merekam
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 422
423 LEILA S. CHU DO RI kejadian aneh ini dan mencoba merekam dari balik jendela
mobil. Astaga, ada gerombolan orang-orang yang mencoba
menggedor ATM. "Mereka mau merampok?" tanyaku heran.
"Lam, hati-hati,"Mita melihat segerombolan lelaki gon?
drong yang membawa sebatang kayu menepuk-nepuk kap
mobil. "Lintang masukkan videocam kamu!" Mita menyentak.
Aku langsung mematuhi dan melotot melihat para lelaki me?
nge?lilingi kami. Alam membuka kaca jendela dan berlagak
tenang. "Mau ke mana, Bang?"
"Pulang...kasihan isteri saya lagi hamil muda. Harus isti?
rahat," Alam mengelus-elus pipiku. Ha?
Tiga lelaki itu mengacungkan jempolnya. Di seberang
sempat kulihat beberapa tentara berlaras panjang dudukduduk tak melakukan apa-apa. Alam perlahan menjalankan
mobil setelah melihat gerombolan itu nyengir dan memberi
jalan. "Lam, hati-hati!!" teriak Mita
Kami melihat rombongan lelaki berjumlah enam atau tu?
juh orang dari arah yang berlawanan beramai-ramai berlari.
Tetapi target mereka adalah mobil di belakang kami. Entah
kenapa, mereka menyetopnya.
"Lam, kasihan, itu yang di mobil Mercedez mau diapakan
oleh mereka?" tanyaku dengan tolol. Alam malah membuka
pintu dan turun. Astaga. Dia berteriak-teriak memanggil me?
reka. Dua orang berhenti dan menghampiri Alam. Aku tak
tahu apa yang dikatakan Alam, tetapi dua raksasa itu terlihat
mengangguk-angguk. Mereka memanggil rombongan yang
sudah telanjur merubung mobil Mercedez di belakang kami.
Alam masuk menggeleng-gelengkan kepala.
"Kenapa, Lam?" Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 423
424 PU LANG "Aku bilang itu pamanku yang di mobil. Mereka percaya.
Aku hanya sempat melihat isinya seorang supir dan laki-laki
seusia Om Aji," dia menggeleng setengah putus asa. Dari jauh
Mercedez terlihat diberi jalan oleh rombongan preman.
Mita menepuk bahu Alam agar segera tancap gas. Alam
menggumam bahwa kita tak bisa menyelamatkan semua orang
dan kelihatannya keamanan juga tak bisa diharapkan.
Kami sudah merasa lebih lega setelah menjauhi gerombolan
massa di Kiai Tapa dan Alam melarikan mobil seperti tak ada
hari esok. "Hamil...?" "Ya habis mau bilang apa? Buru-buru mau mengedit
rekaman kejadian penembakan?" Alam melirikku tersenyum.
"Mereka siapa, Lam? Sudah jelas mereka bukan maha?
siswa. Dan juga bukan penduduk sekitar kan?"
Alam menggeleng kepala, "Tidak tahu. Aneh saja. Semua
laki-laki yang usianya sama. Ada yang cepak, ada yang
gondrong. Yang jelas tubuh tegap dan tampak terlatih. Mereka
tidak seperti penduduk sekitar. Dan tentara di seberang dudukduduk saja. Padahal mereka menyetop beberapa mobil secara
selektif." "Jadi mereka siapa?"
Alam menggelengkan kepala. Dia belum tahu. Tapi kalau?
pun Alam sudah menduga siapa orang-orang itu, dia belum
mau menyimpulkannya. Mita yang baru saja berteleponan dengan ibunya nampak
khawatir. Mita yang biasanya paling dingin dan rasional bisa
khawatir? "Kata Ibu, ada serombongan orang naik metromini datang
menyerbu Bintaro Plaza pagi ini. Ibu kebetulan baru mau masuk
Hero. Untung berhasil keluar dari Plaza sebelum mereka mulai
beraksi. Tapi Ibu terdengar panik suaranya."
O Mon Dieu. Mita mencengkeram bahu Alam. Mita sudah
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 424
425 LEILA S. CHU DO RI lama menyewa sebuah rumah kecil di Setiabudi, tetapi pada
akhir pekan?seperti Alam?dia biasa menjenguk ibu dan
ayahnya di Bintaro Jaya. "Sekarang Ibu sudah di rumah?" tanya Alam.
"Sudah, lagi panik. Bapak dan seluruh warga Pisok sedang
koordinasi bagaimana caranya memalang jalan."
"Nanti kamu bermalam di Bintaro saja. Minta Agam antar
kamu dengan motormu."
"Tak usah." "Ini bukan tawaran. Ini perintah. Pegangan, aku mau
melarikan mobil!" Alam mendadak seperti diktator.
Alam membawa kijang Om Aji nyaris seperti mener?bang?
kannya. Aku tak ingin membuka mataku karena khawatir kami
akan menabrak tiang listrik atau trotoar. Akhirnya kami tiba di
kantor Satu Bangsa ketika hari sudah malam. Jip Gilang dan
Bimo belum tiba, tapi menurut Alam mereka aman. Aku lupa
perutku belum terisi sama sekali dan langsung rebah di kursi
panjang. Aku tak menyadari berapa lama aku memejamkan
mata, tiba-tiba saja aku terbangun oleh usapan tangan Alam
ke pipiku. Dia duduk di sampingku. Sendirian.
"Kita harus pergi, Lintang."
"Ke mana semua orang?"
"Masing-masing pulang ke rumah keluarganya karena
khawatir massa memasuki permukiman."
Aku langsung duduk. "Selama kau tidur tadi, entah sudah berapa mobil dibakar,
toko-toko dijarah. Mita sudah diantar Agam ke Bintaro. Kalau
sudah begini, biasanya warga permukiman akan saling koor?
dinasi mencari cara pencegahan agar jangan sampai terjadi
apa-apa dengan rumah dan keluarga mereka."
Aku tercengang. "Massa memasuki permukiman? Lalu apa yang akan
mereka lakukan?" Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 425
426 PU LANG "Apa saja. Menjarah, merampok, apa saja yang dilakukan
orang-orang keji yang blingsatan terutama jika sudah bergerak
sebagai bagian dari gerombolan. Tapi mudah-mudahan itu tak
terjadi," kata Alam mencoba menenangkan aku, meski aku
merasa dia menenangkan dirinya sendiri. "Tapi ada sesuatu
yang khas tentang psikologi kelompok di negeri ini. Begitu
bergerombol, tinggal teriak "maling" atau "komunis", tanpa
tedeng aling-aling, orang atau keluarga yang sedang jadi target
itu akan kena hajar."
Ini betul-betul di luar akal sehatku atau di luar akal sehat
siapa pun.Tak bisa lagi mempertanyakan Indonesia bagian
manakah yang sedang kuhadapi ini. Aku datang ke sini untuk
menggali sejarah dan mendengarkan kisah korban tragedi
1965, ternyata aku menyaksikan kerusuhan lain lagi.
"Ibumu bagaimana?"
"Ibu bermalam di Bogor. Sejak Eyang Sastrowijoyo
meninggal, rumah Jalan Papandayan ditempati adik Ibu dan
keluarganya." "Syukurlah. Kita di sini saja atau ke rumah Om Aji?" tanya?
ku bingung. "Kita ke Pondok Pinang saja ya. Ke rumahku. Tadi aku
sudah telepon tetanggaku, sejauh ini Pondok Indah dan Pondok
Pinang masih aman." Aku mengangguk tanpa debat apa-apa lagi. Di dalam mobil
aku menelepon Om Aji dan Tante Retno yang sudah tenang
karena mereka tahu aku bersama Alam dan Andini sekarang
bersama Bimo. Lo? Bagaimana bisa? Kapan mereka bertemu?
"Bimo dan Gilang akhirnya tidak mampir ke kantor.
Mereka menjemput Andini dan beberapa kawannya di tempat
kos teman Andini untuk ngungsi di rumah Gilang."
Aku tak tahu rute mana yang dipilih oleh Alam karena ia
sibuk menelepon kawan-kawannya mencari informasi jalan
terbaik. Rupanya berbagai jalan protokol ditutup atau sudah
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 426
427 LEILA S. CHU DO RI tidak aman untuk dilalui mobil. Alam melalui jalan-jalan kecil
yang dia sebut jalan tikus, dan seperti biasa, aku menyerahkan
segalanya di tangan Alam. Aku bahkan tak berani bertanya
mengapa jalan-jalan kecil justru jauh lebih aman daripada
jalan protokol. Untuk sementara, segala yang logis kini harus
dibuang ke sungai. Atau lebih tepatnya, segala yang logis bagi
"anak Sorbonne"?demikian mereka menyebutku sebagai
identifikasi makhluk asing yang terlalu banyak tanya?harus
dilupakan dulu. Jalan Pondok Pinang, tempat kediaman Alam tampak
sunyi dan gelap gulita. Aku menjenguk arloji di tanganku, baru
sekitar pukul 11 malam. Aku menurunkan ransel dengan rasa
waswas. "Apa listrik sengaja dimatikan, Lam?"
Alam tak menjawab dan menggiringku, mengunci gembok
pagar dan memintaku masuk sendiri, sementara Alam meme?
riksa semua pintu dan jendela rumahnya. Semakin dia bersikap
waspada semakin kencang pula jantungku berdebur. Aku tak
tahu di mana harus kusembunyikan videocam dan laptopku.
Aku tak ingin kedua benda kesayanganku itu tercederai
lagi. Ah, Sainte Vierge...mengapa aku memikirkan harta
bendaku lagi. Ini sudah tak penting. Bagaimana kalau yang
dikatakan Alam itu terjadi: mereka memasuki permukiman
dan merampok serta melukai keluarga pemilik rumah? Lebih
gila lagi , bagaimana kalau mereka mencederai penghuninya?
Apakah Mita dan keluarganya aman-aman saja? Aku harus
meneleponnya. "Sudah kukunci semua. Kau mau makan? Mandi?"
Alam menutup tirai blind kayu serapat-rapatnya. Aku
meng?angguk dan menunggu Mita mengangkat ponselnya.
"Mit...?a Va?" "Semua tegang," suara Mita agak berbisik, aku tak tahu
mengapa dia harus berbicara begitu perlahan, "tidak ada yang
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 427
428 PU LANG mau tidur. Kami harus mematikan lampu. Ada siskamling.
Kau di mana?" "Di rumah Alam. Di sini juga gelap. Sis...apa tadi, Mit?"
"Siskamling. Tanya Alam artinya. Suruh Alam letakkan
sajadah di pagar rumahnya."
"Ha?" "Sudahlah, nanti dia paham. Menurut Bimo dan Gilang ada
gerombolan massa yang sudah merangsek masuk ke Jakarta
Utara dan Timur, permukiman keturunan...."
"Keturunan? Keturunan apa?"
Mita terdengar menahan sabar dengan kebodohanku,
"Keturunan Tionghoa selalu jadi sasaran pertama, Madame
Sorbonne. Rumah-rumah diserang, dijarah. Aku belum
tahu info selanjutnya. Diskusi dengan Alam saja, aku harus
menemani ibuku, dia masih linglung."
Aku menutup ponsel dan mendongak melihat Alam yang
masih menelepon kawan-kawannya. Aku bahkan tak ada tenaga
untuk mencatat kata ?linglung? dan ?siskamling? di agendaku.
"Lam, katanya harus pasang..."
"Sajadah, ya aku tahu. Sebentar."
"Lam, katanya mereka menyerbu permukiman rumah
warga keturunan...."
"Ya,ya, ini aku juga sedang diberi informasi," katanya
menunjuk ponselnya. "Kau mandi saja dulu ya Sayang.?
Aku tidak membawa baju ganti. Alam menunjuk ke arah
lemarinya agar aku mengambil handuk, kemeja, atau t-shirt
miliknya. Aku berjalan tanpa tenaga ke kamar mandi Alam. Tak
sempat mengagumi betapa kecil, sederhana, dan rapinya kamar
mandi ini. Aku menatap pancuran mandi itu dengan rasa takut
dan lelah. Mengapa aku seperti merasa dikhianati? Mengapa
saat aku sudah mulai mencintai negeri ini, lantas perasaan itu
ditebas semena-mena? Ketika keran itu kupasang, aku tak bisa
lagi membuka bajuku. Begitu saja aku melangkah di bawah
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 428
429 LEILA S. CHU DO RI pancuran dan duduk di pojok, berharap air itu bisa mengusir
rasa takut dan kesedihanku. Aku sudah mulai mencintai
tempat ini, tempat yang bernama Jakarta ini. Mungkin aku
belum bisa mengatakan aku mencintai Indonesia, karena aku
belum mengenal seluruhnya. Tapi dari hari ke hari, entah
bagaimana aku merasa ada keterikatan yang sukar kulukiskan.
Ada satu kekuatan dari para narasumber yang kuwawancarai
yang membuat aku terpana sekaligus terpesona. Bagaimana
orang Indonesia bisa sekuat ini? Terbuat dari apakah tubuh
dan jiwa mereka? Lalu mengapa harus ada peristiwa kekerasan persis di
depan mataku pada saat aku mulai mencintai tempat ini, juga
Pulang Karya Leila S. Chudori di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang-orangnya? Menyerang dan menghajar rumah-rumah
orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa? Tahun berapakah
ini? 1998? Apakah kita mundur dua abad sembari mengadopsi
kedunguan rasialisme? Atau setelah 33 tahun, tak ada yang
berubah? Aku harus mengoreksi ucapanku pada Ayah.
Terdengar ketukan sayup-sayup. Aku tak tahu berapa lama
aku sudah duduk di lantai kamar mandi ini.
"Lintang...." Aku tak tahu apakah itu suara Alam atau suara malaikat. Air
hangat ini terasa lebih aman dan menenteramkan. Aku semakin
meringkuk. Perlahan kulihat bayang-bayang Alam masuk.
Dia segera saja memburuku dan menarikku dan mengambil
handuk. Seperti sebatang kangkung layu aku merebahkan
tubuhku ke bahunya. Dia membimbingku ke tempat tidur dan
membantuku untuk duduk. Air mataku masih terus turun.
Alam memelukku, mencium ubun-ubunku, dan memintaku
berhenti menangis. Aku mencoba sebisanya berhenti me?
nangis. Aku bukan perempuan yang gemar meratap. Semua
yang mengenalku akan tahu itu. Hanya sedikit film yang bisa
membuat mataku berkaca-kaca dan membuatku tak bisa tidur
memikirkan nasib tokohnya, seperti film Sophie?s Choice atau
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 429
430 PU LANG The Music Box atau hampir semua karya Akira Kurosawa. Tapi
aku tak mengerti mengapa air mataku masih saja merembes
begitu saja seperti bendungan yang jebol.
Baru aku menyadari tubuh Alam ikut basah.Dia mengambil
t-shirt putih yang astaga besarnya dan celana pendeknya
untukku. Alam sendiri mengganti kemejanya yang basah
dengan t-shirt hitam yang tampak sudah tua, dower, dan enak
dikenakan. "Mungkin agak terlalu besar, tapi bajumu basah kuyup,"
katanya memberikan handuk yang baru dan membantu
mengelap wajahku yang basah.
"Aku mau t-shirt yang kau pakai," kataku agak parau.
Dia terkejut tapi tanpa banyak tanya dia melepasnya lagi dan
memberikannya padaku. Dia mengambil t-shirt putih yang
semula dia berikan padaku.
"Aku mau membuat teh. Mau makan? Aku ada mi instan."
Aku menggeleng. "Teh saja, Lam."
Alam keluar dari kamar dan memasak air. Aku mengenakan
bajunya yang pasti muat untuk dua orang. Tapi aku selalu
senang t-shirt yang sudah butut, dower, dan enak untuk
tidur. Dan aku suka bau tubuh Alam. Tubuh ini sudah tak ada
energi, bukan hanya karena aku belum makan sejak di kampus
Trisakti tadi, tapi karena didera peristiwa gila yang tak akan
kulupakan seumur hidupku. Informasi dari Mita tadi yang
paling menggangguku. Apa yang tengah terjadi sekarang di
permukiman warga Indonesia keturunan Tionghoa? Astaga,
bagaimana dengan keluarga Om Tjai? Apakah dia masih ada
kerabat di Jakarta? Lalu, apa yang dilakukan massa?entah
siapa massa itu, tidak jelas identitasnya?ke rumah-rumah
itu? Apakah mereka menggeledah seperti apa yang dilakukan
tentara saat menyatroni rumah-rumah keluarga anggota dan
simpastisan PKI? Ah, ini lain lagi. Tadi Alam mengatakan
massa itu (atau mungkin lebih tepat disebut preman)
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 430
431 LEILA S. CHU DO RI kelihatannya beringas seperti yang tadi kita saksikan di jalanjalan membakar mobil. Mereka merampok, menjarah....
Aku memejamkan mata yang dengan bandel terus-menerus
mengeluarkan air mata. Terdengar suara pintu dibuka. Alam
datang membawa teh panas, tapi aku sudah terlalu lelah untuk
duduk dan bangun. Dia mengelus kepalaku dan menghilang ke
kamar mandi. Aku tak tahu berapa lama aku tertidur. Aku baru
tersadar ketika merasa Alam berbaring celentang di sebelahku.
Aku membalikkan tubuh dan memasukkan kepalaku ke
ketiaknya. Alam merentangkan lengan kirinya dan memelukku
seerat-eratnya. "I?ve got you," dia mencium ubun-ubunku.
"You know I can take care of myself."
"Ya tentu," Alam memutar tubuhnya dan menatap mataku,
"tapi kamu tak boleh lagi lepas dari aku. I mean it."
Dan aku kembali terlelap.
*** Rasanya aku baru tertidur lima menit, tiba-tiba saja
sudah terang tanah. Kulirik jam Titoni yang tergeletak di meja
kecil. Jam 10 pagi. Alam sudah bangun sejak tadi rupanya.
Di mana?kah dia? Kepalaku terasa berputar. Ah, ada apa ini.
Aku tetap mencoba berdiri dengan kepalaku semakin terasa
digedor-gedor. Ruang tengah kosong. Tirai sudah dibuka. Aku
membuka pintu depan perlahan, jalan di depan rumah masih
sepi. Ternyata Alam sedang menerima telpon di ponselnya.
Dia melambaikan tangan melihatku dan meneruskan
pembicaraanya. Kulirik, mobil Kijang Om Aji masih selamat di
parkir di jalan. Ah, aku harus menelepon Om Aji, juga Maman
dan Ayah sebelum mereka blingsatan menyaksikan berita apa
pun dari CNN dan BBC. Om Aji dan tante Retno ternyata baik-baik saja. Andini
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 431
432 PU LANG sedang diantar pulang oleh Bimo (aku akan menginterogasi
Dini soal ini kalau situasi sudah reda dan patut), Maman
me???ne?lepon semalam, tapi sudah ditenangkan oleh Om Aji,
jadi paling tidak aku bisa menelepon Prancis nanti saja jika
segalanya sudah reda. Alam masuk dan langsung menarikku ke pangkuannya.
Dia menciumku begitu lama, seperti tak ingin aku terlepas
darinya. "Aku belum mandi, belum sikat gigi."
"Aku juga belum. Mau mandi sama-sama?"
Aku tertawa kecil, "Pantas saja Bimo berkali-kali meng?
ingat?kan aku agar was-was. Dalam situasi apa pun, bicaramu
didorong oleh hormon."
Alam tersenyum tapi matanya masih terus menatapku
dengan intens. "Justru saat seperti ini hormonku berontak."
"Tadi Bimo atau Gilang? Apa katanya?"
Alam menghela nafas. Nafsunya redup. "Kata Bimo, ada
berita di SCTV, dalam sebuah acara temu muka dengan ma?
sya?rakat Indonesia di Kairo, Presiden mengatakan bahwa dia
bersedia mundur jika rakyat tidak menghendaki," dia tampak
berpikir. "Aku merasa dia akan terus mencoba bertahan."
Kepalaku makin berdenyut, "Jalanan bagaimana Lam?"
"Kerusuhan masih berlangsung, Lintang. Masih di manamana. Bahkan di dekat kantor kita. Tapi kita bicarakan ini
nanti, kamu harus makan dulu...kamu pusing ya?"
Aku mengangguk, "Sedikit."
"Pasti kurang tidur dan stres. Sudah telepon Om Aji?"
"Sudah, semua baik. Hari ini aku harus pulang agar mereka
tidak khawatir. Aku perlu istirahat," aku memegang dagunya
yang sudah mulai tumbuh bulu yang pendek dan kasar.
"Jangan keluar rumah dulu, Sayang, kita tunggu kalau
jalan sudah lebih aman ya," tangan Alam menyelip ke dalam
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 432
433 LEILA S. CHU DO RI t-shirt yang gombrong yang sedang kukenakan itu. Dia terlalu
tahu tubuhku, dia terlalu tahu aku akan melejit begitu putingku
tersentuh jarinya. Itu tidak boleh. Ini adalah masa berduka.
Kita harus berkabung, karena negeri ini tengah kocar-kacir.
Aku berdiri dari pangkuannya, tetapi Alam menarikku
kembali. Tegas dan yakin. Dan cilakanya gerakan seperti itulah
yang membuat aku bergairah. Tangannya berhasil meraih
dadaku. Hanya dengan satu sentuhan telunjuknya, aku nyaris
menyerah. "Alam...kita sedang berkabung."
Dia tak menjawab, hanya membuka celanaku dan cela?na?
nya,"Dan bercinta hanya boleh saat kita makmur dan bahagia?"
Alam tersenyum, "Populasi Indonesia bakal merosot drastis
kalau begitu peraturannya." Dia mendudukkan aku tepat
di atas pangkuannya. "Jangan bergerak," katanya berbisik,
"nikmati saja. Jangan bergerak."
"Tapi aku ingin bergerak...."
"Jangan Sayang...tunggu."
Pagi itu, segala keburukan diusir perlahan dengan percin?
taan yang lembut dan tak berkesudahan. Pagi itu, segala mala
dan bencana terusir oleh percintaan yang panjang.
*** Jakarta 16 Mei, 1998 Ketika terdengar kabar Presiden Soeharto sudah mendarat
di Jakarta kemarin, Alam dan kawan-kawannya tampak keran?
jingan. Bukan karena kehadirannya akan menyelesaikan per?
soalan, tetapi karena "saatnya Indonesia membuat perhitungan
dengannya." Gaya Gilang dan Alam seperti dua jenderal yang siap
mengangkat senjata meski ?senjata? mereka cuma sikat gigi
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 433
434 PU LANG yang dibawa ke mana-mana. Tetapi memang banyak harapan
yang agak mengawang. Menurut Gilang, sejak kemarin dia
mendengar banyak tokoh yang bertemu di beberapa tempat
secara terpisah. Salah satunya dia mendengar dari berbagai
sumber bahwa Nurcholis Madjid?yang dipanggil dengan
nama Cak Nur oleh Gilang, dan aku lupa bertanya apa arti
?cak??bertemu dengan beberapa tokoh atas undangan salah
se?orang petinggi militer di Markas Besar ABRI. Katanya,
Nurcholis membuat semacam coret-coretan konsep yang perlu
disampaikan kepada Presiden Sohearto. Isinya ada beberapa
poin, tapi yang paling menarik dan membuat Gilang dan
Alam seperti menang perang adalah Presiden diminta untuk
tidak bersedia dipilih lagi dalam pemilihan umum yang akan
diselenggarakan dalam waktu secepatnya.
"Tapi para mahasiswa, semua mahasiswa, maunya dia
turun sekarang juga. Tidak pakai pemilu, tidak pakai apa pun.
Turun!" kata Bimo tegas dan percaya diri. Hm, sejak lekat
dengan Dini, Bimo tampak lebih bercahaya.
"Aku setuju dengan para mahasiswa," kata Alam. "He is
buying some time," katanya lagi.
Sementara Alam, Gilang, dan Bimo berdebat dan meramal
de?ngan suara keras dan bersemangat, aku menyaksikan footage
milikku dan Mita yang kami rekam sejak tanggal 12 Mei malam
hingga pagi ini. Aku tak tahu bagaimana merumuskan pera?
saanku melihat kumpulan serangkaian gambar rekaman itu.
Bahkan pemandangan di jalan?sejak kemarin hingga pagi
ini?menuju Jalan Diponegoro menunjukkan aku tengah
mengunjungi sebuah kota yang baru saja dibunuh dan sukar
bangkit kembali. Seperti sebuah preview untuk hari kiamat.
Sepanjang jalan yang kusaksikan adalah mal-mal kecil mau?
pun besar yang hangus tinggal tulang belulang, trotoar dan
pagar yang luluh lantak, tanda dan rambu jalanan yang lepas
atau meleleh terbakar, gedung-gedung yang biasanya terlihat
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 434
435 LEILA S. CHU DO RI megah tinggal kerangka hitam yang sia-sia. ATM hancur
lebur. Supermarket, bank-bank, dan pertokoan apalagi.
Denyut ekonomi dan bisnis negara ini betul-betul disembelih.
Kesimpulannya, hingga pagi hari ini, Jakarta di pagi hari betulbetul seperti neraka yang sudah lelah menyiksa.
Melalui siaran televisi, dengan tega mereka menyiarkan
korban yang terbakar. Bertumpuk dan dimasukkan begitu saja
ke dalam kantong hitam. Dan aku tak bisa lagi menyebutkan
kisah-kisah tentang penyerangan dan perkosaan terhadap pe?
rempuan keturunan Tionghoa. Ceritanya begitu simpang siur
dan terlalu grotesque sehingga kepalaku terasa digedor-gedor.
Alam bolak-balik gelisah menanti kabar dari kawan-kawan
Iluni. Menurut dia, Senat Guru Besar UI yang dipimpin oleh
Rektor pagi itu menemui Presiden Soeharto di Cendana untuk
menyampaikan hasil simposium UI tentang reformasi. Isinya
meminta Presiden mundur. "Aku ingin tahu apa jawaban
Presiden," kata Alam mondar mandir, menelepon dan meng?
gerutu karena belum ada jawaban.
"Sabarlah, Lam. Nanti kau juga dikabari," kata Bimo, "men?
ding pesan makan siang, Jang."
Selagi Ujang mencatat satu persatu pesan kami, bunyi
ponsel berdering membentak. Alam hampir meloncat meng?
ambil ponselnya di atas meja. Mukanya berkerut kecewa,
"Bukan punyaku. Deringnya sama."
"Oh," aku baru ingat dering ponsel Andini itu sudah ku?
ganti. Cilakanya deringnya sama dengan bunyi ponsel Alam.
Aku melihat layar, tak ada nomor. Siapa? Maman? Ayah?
"Salut...." "Oh, Nara...salut!" aku melirik Alam yang bertolak ping?
gang. Aku tak tahu apakah dia jengkel karena telepon yang dia
tunggu belum datang, atau karena dering ponsel kami sama,
atau karena mendengar nama Nara.
"Kamu baik saja, ma ch?rie?"
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 435
436 PU LANG "Ya, kamu?" jawabku dengan nada yang kaku. Meski
Alam membalikkan tubuhnya dan mendadak sibuk dengan
lap?top di mejanya, aku tahu dia dan semua orang di ruangan
ini mendadak melebarkan telinga, termasuk Ujang yang
seharusnya pergi membeli pesanan kami. Kudengar Mita
menghalau Ujang untuk segera membeli makan siang kami.
"Aku kesepian. Di sini lelaki melulu."
"Ah...di sini juga," betapa tololnya jawaban itu. Di sini juga?
Dalam keadaan biasa, pasti aku akan menyentak kalimat seksis
seperti itu. Tapi aku sedang dungu. Dalam keadaan darurat,
paling aman adalah mengulang apa pun yang dikatakan lawan
bicara, meski itu terdengar tolol.
"Bagaimana wawancaramu? Sudah lengkap?
"Hampir semua wawancaraku sudah aku lakukan. Mungkin
masih ada satu dua orang lagi. Tapi kau pasti tahu apa yang
sedang terjadi di sini kan?"
"Ya. Tentu saja, ada di Le Figaro dan Le Monde, meski di
halaman dalam. Sebaiknya kamu segera pulang ma ch?rie.
Pulang Karya Leila S. Chudori di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Begitu selesai wawancaramu, pulanglah. Aku khawatir."
"Tenggatku masih agak jauh. Monsieur Dupont sudah
kuberi laporan perkembangan tentang apa yang kukerjakan
melalui surat elektronik," jawabku agak panik. "Lagi pula,
bandara belum beroperasi sepenuhnya, baru sebagian. Para
ekspatriat dan sebagian orang-orang kedutaan sudah mulai
berkemas." "Aah....kalau begitu, aku saja yang datang ke sana. "
"Oh." Hening. "Kau tak ingin aku datang?" terdengar nada kecewa Nara.
"Tentu saja Nara," aku merasa semua mata tengah meman?
dangku. Alam malah melangkah menjauhi mejanya, tetapi
tidak keluar dari ruangan. "Tapi, situasi sungguh buruk di
sini. Orang justru ingin keluar dari neraka ini, kau malah mau
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 436
437 LEILA S. CHU DO RI datang." "Kau lupa aku juga orang Indonesia!" suara Nara terdengar
tersinggung. "D?accord...tentu saja. Bukan begitu maksudku," aku me?
rasa serba salah. "Begini Lintang," suara Nara seperti ingin mengalihkan
topik, "sebetulnya aku meneleponmu, selain ingin menanyakan
kabarmu, aku juga ingin memberitahu, aku sudah mendapat
jawaban dari Cambridge. Akhir Agustus aku sudah harus ke
Inggris karena program dimulai bulan September."
"Ah, felicitation Nara!" kali ini aku mengucapkan dengan
tulus. Aku gembira dia bisa menempuh pendidikan lanjut ke
Universitas Cambridge. Sudah lama sekali dia ingin belajar di
sana. "Merci....selain itu, aku ingin tahu apakah Maman sudah
menyampaikan padamu tentang penyakit ayahmu?"
"Ya. Problem infeksi liver. Kenapa?"
"Oh," Nara terdengar seperti menahan sesuatu, "oke.
Segeralah selesaikan tugasmu dan pulanglah. Kami semua
rindu. Bukan hanya aku, tapi juga Maman dan ayahmu."
Aku terdiam, "D?accord...."
"Salut, Lintang...."
"Salut." Ketika aku mematikan ponsel, mendadak saja mata dan
telinga yang terbuka begitu lebar mengalihkan perhatian dan
kembali pada apa pun yang tengah mereka kerjakan. Alam
mengambil kunci mobil dan berteriak pada Gilang bahwa dia
mau meminjam jip-nya. "Lo Bang Alam, ini soto bogornya," Ujang menghampiri
kami dengan nampan penuh dengan pesanan makan siang.
Dia tercengang melihat si Abang melesat keluar membawa
kunci mobil. Gilang mengejar si Abang hingga ke teras dan kembali ke
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 437
438 PU LANG dalam ruangan dengan wajah bingung, "Tadi katanya mau ke
Salemba sama gua, kenapa dia?"
Mita, Bimo, dan Odi memandangku, seolah wajahku akan
menyediakan jawabannya. Aku kembali menyibukkan diri de?
ngan footage rekamanku. Aku berharap dia hanya akan mutung
beberapa jam saja. *** 18 Mei 1998 Sudah dua hari Alam tidak berbicara padaku. Tidak me?
ne??lepon, tidak menghampiri, apalagi menyentuhku. Setelah
?insiden? dua hari lalu, Alam terlihat luar biasa sibuk hingga
aku jarang melihatnya di kantor Satu Bangsa. Begitu banyak
informasi tentang pertemuan berbagai kelompok, tetapi
semua intinya sama: meminta Presiden Soeharto mundur.
Aku yakin Alam menghindariku. Akhirnya aku me?mutuskan
mewawancarai kedua narasumberku yang ter?akhir. Tetapi
pembicaraan soal kesengsaraan tahun 1965 bersama nara?
sumberku dengan mudah membelok jadi persoalan keru?suhan
dan demonstrasi mahasiswa. Pada saat itu, aku teringat pesan
Monsieur Dupont: fokus. Jangan terbuai dengan berita masa
kini. Boleh saja aku merekam peristiwa bersejarah ini karena
minat pribadi, tetapi aku harus bisa memisahkan emosiku
dengan tema tugas akhirku.
Tiba-tiba saja, setelah selesai semua tugas wawancara,
aku merasa lega. Untuk pertama kali, aku ingin sekali pulang
ke Paris untuk menyunting dan menyelesaikan tugas ini, lalu
menyerahkannya kepada Monsieur Dupont. Lebih penting
lagi, aku ingin pulang menemui Ayah dan Maman. Sebentar.
Barusan aku menyebut Paris sebagai tempat aku ?pulang?.
Benarkah Paris rumahku? Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 438
439 LEILA S. CHU DO RI Ponselku berbunyi. Mita. Dia menyuruhku menyusul me?
reka semua ke gedung DPR. Semua mahasiswa sedang menuju
ke sana dan menduduki gedung parlemen itu. Sementara aku
meminta supir taksi untuk melarikan kendaraannya selekas
mungkin, aku bertanya-tanya mengapa lama sekali Alam
berpuasa bicara hanya karena Nara menelepon aku. Tiba di
gedung DPR , di sana sudah penuh dengan mahasiswa dan
tokoh-tokoh yang sama seperti di kampus Trisakti beberapa
hari lalu. Mereka berorasi dengan isi yang sama: reformasi
dan Presiden Soeharto turun. Aku berjalan dengan perasaan
enteng. Aneh sekali, suasana di DPR siang itu terasa agak
festive. Rasanya aku tak percaya baru beberapa hari yang lalu
telah terjadi kerusuhan dan kekejian di negeri ini.
Makanan dibagikan, minuman berkardus-kardus dise?
barkan. Ibu-ibu entah dari mana datangnya mengatur mobil
makanan dan minuman untuk mahasiswa yang berorasi, ber?
tepuk tangan, sambil bernyanyi entah lagu apa (yang kudengar
hanya kata "Bongkar") dan hei...ada yang berpacaran. Barang?
kali seperti ini pula suasana revolusi Mei 1968 di Paris. Ada
cam?puran politik, seni, sekaligus merayakan kebebasan
dorongan hormon. Kulihat Mita melambai-lambaikan tangan dari jauh. Ber?
sama Alam, Gilang, Andini, dan Bimo, mereka berdiri di atas
tangga menuju pintu utama. Aku tersenyum melihat Dini.
"Hai...." "Hai Lintang, apa kabar, menghilang berhari-hari," Bimo
me?melukku. "Ada yang kangen," Bimo melirik Alam. Alam
tersenyum sedikit, tidak menyapa, apalagi memelukku. Kemu?
dian dia mengalihkan pandangan ke arah panggung orasi.
"Kau utang cerita padaku," aku berbisik pada Dini. Dini
cekikikan seperti biasa. Lalu mencuil lengan Alam.
"Ini Lintang. Sejak tadi kau bolak-balik memerintah Mita
untuk menghubungi Lintang, sekarang orangnya di sini, kau
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 439
440 PU LANG diam." Alam mengangkat alis dan kembali menatap mahasiswa
yang semakin blingsatan bertepuk riuh meneriakkan kata
?refor?masi" berkali-kali.
Hatiku seperti disulut api. Darahku naik ke ubun-ubun. Ini
sinting. Aku bukan anak remaja yang suasana hatinya sangat
tergantung oleh temperatur hubungan cinta. Tapi nyatanya
aku begitu mudah kecewa setiap kali Alam menjaga jarak.
"Mit, aku mau cari minum dulu ya...haus," aku mening?
galkan mereka. "Eh aku ada banyak gelas aqua. Mau?"
Aku menggeleng dan segera meninggalkan mereka dengan
terburu-buru karena aku tak ingin mereka mendengar debur
jantungku atau air mataku yang mulai mengambang. Merde.
Di Jakarta aku menjadi cengeng seperti anak remaja. Aku
bersumpah serapah dalam tiga bahasa. Prancis, Inggris, Indo?
nesia, Prancis, Inggris, Indonesia. Semua kosakata terburuk
kucampuraduk seenaknya sembari mencari satu pojok di teras
gedung besar itu yang tak terlalu penuh mahasiswa. Aku harus
menata hati dan energi. Pekerjaanku sudah selesai. Unjuk rasa pendudukan gedung
parlemen ini entah berapa lama akan berlangsung. Dan aku
tak tahu kabar Ayah yang sesungguhnya. Nara terdengar aneh
ketika mengangkat topik penyakit Ayah. Dan Maman selalu
melapor dengan singkat soal diagnosa dokter.
Bagaimana caranya aku pamit dengan Alam? Apakah aku
sanggup menghadapi kalau dia dingin-dingin saja waktu aku
pamit? Bagaimana kalau dia sok tengil seperti tadi dan hanya
tersenyum kecil. Cih! Sebuah tangan memegang bahuku. Aku mengenali tangan
ini. Aroma ini. "Hei, katanya mau beli minum?" Alam bertanya. Dari bela?
kangku. Dengan nada ramah. Aku malah menjadi naik darah.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 440
441 LEILA S. CHU DO RI "Memang apa urusanmu? Kenapa kau harus menyu?sulku?"
Alam memandangku seperti tak bersalah. Merde! Laki-laki
selalu pura-pura dungu kalau sudah melukai hati perempuan.
Aku meninggalkannya dan duduk di tangga. Seperti yang
kuduga, dia menyusulku. "Apa kabarmu?" tanyanya sopan.
"Biasa. Baik." Kami diam. Sunyi yang penuh tanda tanya dan rindu.
"Kamu ke mana saja, dua hari ini sama sekali tak ada bu?
nyi," akhirnya aku bertanya dengan nada yang terdengar datar
dan seolah tak peduli. "Aku sibuk, sejak tanggal 14 banyak sekali tokoh dan kelom?
pok yang menemui Presiden, dan aku ingin mengetahui isi
pertemuan itu. Aku bertanya pada orang-orang yang bertemu
langsung dan mendokumentasikan ucapan mereka. Banyak
sekali yang ingin kuceritakan padamu."
Sebetulnya cerita Alam menarik untuk didengarkan. Tetapi
aku tetap bertanya-tanya, apakah dia tahu yang tersirat dari
ucapanku. "Aku dengar dari Mita kamu sudah selesai mewawancarai
narasumbermu." Aku mengangguk. Merasa sedikit hangat karena ternyata
dia mencari tahu tentangku. Tiba-tiba, begitu saja, pecahlah
tangisku. Alam terkejut dan memeluk bahuku.
"Aku harus pulang...," kataku dengan goblog.
"Pulang ke...Paris?"
"Ya. Ke mana lagi?"
Dia terdiam agak lama. "Coba," dia mengambil tanganku dan meletakkannya di
atas dadaku, "apa rasanya setiap kali mereka meneriakkan
?reformasi??" Degup jantung yang lebih cepat dan darahku berdesir.
"Aku selalu merasa kau adalah bagian rumah ini, Lintang."
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 441
442 PU LANG Ada rasa hangat yang mengalir ke dadaku. "Do you think
so?" "Sangat. Kau berakar di sini."
Aku masih terdiam. "Kenapa kamu sama sekali tidak mencariku?" tiba-tiba
aku me?nyentaknya. Mataku panas dan air mataku cepat sekali
turun. "Kenapa dalam dua hari kamu menguap begitu saja?
Aku tahu kamu sibuk, tapi kamu tidak memberi kabar."
Alam memandangku. Kilatan matanya redup, "Lintang,
kau baru saja ditelepon Nara. Aku tahu betul dia ingin bertemu
denganmu. Dia ingin datang ke sini, dan dia sebetulnya sudah
merasa ada sesuatu yang berbeda dari nada suaramu."
Aku merasa ada nada sedih dalam rentetan kalimat itu.
Tangisku berhenti seketika. Aku memandang wajah Alam.
Apakah dia baru saja bercukur pagi ini?
"Aku ingin memberi ruang untuk kamu, Lintang. Aku ingin,
kamu memutuskan hidupmu tanpa desakan siapa pun."
Aku masih belum bisa menjawab penjelasan Alam. Mengapa
hal yang sederhana sering menjadi rumit atau dibikin rumit?
"Aku sudah mengatakan, aku tidak ingin kamu berpisah
dariku," kata Alam, "terlepas reputasiku yang buruk yang dise?
barkan Bimo," dia tersenyum. Suara yel-yel ?hidup reformasi?
terdengar begitu keras memekakkan telinga, padahal kami du?
duk jauh sekali dari arena mimbar bebas. Teriakan ?reformasi?
itu menonjok gendang telinga, sementara dari arah lain
terdengar sayup-sayup rombongan mahasiswa menyanyikan
sebuah lagu balada yang liriknya kukenal betul: "...aku
mendengar suara/jerit makhluk terluka/...orang memanah
rembulan...." Aku tersentak. Jantungku berdebar.
"Ya itu lirik puisi Mas Willy, dinyanyikan Iwan Fals," Alam
langsung memahami mengapa aku mengenali sebait puisi itu.
Suara para mahasiswa yang keluar-nada itu terdengar begitu
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 442
443 LEILA S. CHU DO RI indah, jauh lebih dahsyat daripada komposisi Ravel.
Kini, aku rasa aku tahu di mana rumahku.
Aku memeluk Alam begitu erat dan tak ingin melepasnya
lagi. "Alam, jangan pernah lagi bertingkah memberi ruang
untukku. Aku tak ingin ada ruang kosong yang isinya cuma
aku sendiri! Aku tak ingin punya jarak denganmu. Tidak satu
sentimeter. Tidak satu milimeter."
Alam menarik wajahku dan menciumku meski wajahku
penuh ingus dan air mata.
*** Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 443
EPILOG JAKARTA, 10 JUNI 1998 Dengarkanlah bait-bait ini:
Kalau aku mampus, tangisku/ yang menyeruak dari hati/
akan terdengar abadi dalam sajakku/ yang tak pernah mati
Lintang sayang, Keakraban Subagio Sastrowardoyo dengan kematian
ter?pancar dalam "Sajak yang Tak Pernah Mati". Bagiku puisi
Pulang Karya Leila S. Chudori di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini memperlihatkan sebuah kewajaran. Karena itu, anggap
saja kematianku yang sudah sangat dekat ini sebagai sesuatu
yang biasa. Yang casual. Tak perlu diratapi.
Tetapi aku minta maaf jika aku memaksa Maman untuk
me?ra?hasiakan hasil kesehatan Ayah. Mendengar nama
cirrhosis saja Ayah sudah tak tertarik. Tidak ada daya
estetika dan tidak meng?gairahkan untuk didiskusikan. Dokter
dan suster me?mang diciptakan untuk membantu memetakan
situasi organ tubuh kita. Celakanya, gaya mereka selalu
lebih sering seperti penguasa. Akibatnya, emosi kita sering
tergantung pada apa yang mereka ungkapkan. Dan aku
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 444
445 LEILA S. CHU DO RI keberatan jika kau (dan aku) menggantungkan hidup-mati
kita pada dokter. Setelah berjibaku melawan ibumu yang memaksa Ayah
ke dokter untuk menanyakan hasil tes terakhir, aku memberi
per?syaratan: apa pun hasilnya, kau tak boleh tahu sampai
kun?jung?anmu di Indonesia selesai. Apalagi mendengar
penembakan mahasiswa Trisakti dan kerusuhan yang
mengerikan sesudah itu, aku sudah membayangkan tak
mungkin kami mencerabut kamu dari kegilaan kerusuhan
di Indonesia. Kami sudah mencari tahu bahwa bandara
sempat tutup. Para ekspatriat per?gi meninggalkan Jakarta,
paling tidak untuk sementara. Sua??sana di Restoran juga ikut
tegang, hingga kami semua was-was menyaksikan televisi
menit demi menit, jam demi jam. Meskipun itu siaran tunda,
tetap lumayanlah. CNN me?rasa, banyak berita lain yang lebih
penting se??hingga berita tentang Indonesia disajikan hanya
beberapa kali dalam sehari. Tanggal 21 Mei, ketika Presiden
Soeharto mengucapkan pidato pengunduran dirinya, kami
se?mua menjerit. Restoran Tanah Air hampir meledak karena
teriakan kami terlalu keras. Om Nug dan Om Risjaf yang
tengil itu berteriak mau mencari kambing untuk disembelih.
Jangan tanya di mana dia akan mendapatkan kambing di
tengah kota Paris. Dengan sok tahu mereka ingin memesan
tiket ke Jakarta untuk kita semua. Kata Om Nug, Orde Baru
sudah jatuh, kita bisa pulang dan menginjak tanah air kita.
Ibumu mengatakan sudah waktunya kau kembali ke
Paris menemuiku, tetapi aku melarangnya. Saat itu Ayah
masih bisa bertahan dengan obat-obatan dan kau masih
sibuk menye?lesaikan tugasmu.
Tapi sekarang Ayah dikelilingi empat tembok putih yang
membosankan dan wajah suster yang makin mempercepat
kematianku. Mereka sulit tersenyum dan terlalu girang saat
menancapkan jarum untuk mengambil darah.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 445
446 PU LANG Lintang sayang, Memang ada ironi bahwa setelah Orde Baru jatuh, saat
ada kemungkinan besar bagi kami untuk pulang ke Indonesia,
Ayah tampaknya akan pulang dalam keranda (atau peti
mati? Entahlah). Tapi tak mengapa. Bukankah sudah
kukatakan, aku ingin pulang ke rumahku di Karet? Jangan
pilih pemakaman mewah P?re Lachaise di Paris, jangan pula
memilih pemakaman Tanah Kusir atau Jeruk Purut. Pilihlah
tanah Karet. Itu tanah yang Ayah kenal baunya, teksturnya,
yang nanti akan mudah menjadi satu dengan tubuhku.
Janganlah kamu menangis. Jangan.
Sebarkan saja cengkih dan bunga melati di atas pusara
agar aromanya bisa menembus ke tubuh Ayah yang sudah
sendiri dan sunyi. Aku yakin, aku dapat menangkap bebauan
itu melalu rongga tanah yang bermurah hati memberi jalan
bagi bau-bau yang begitu akrab denganku.
Aku bisa membayangkan siapa yang akan datang
menghadiri pemakamanku selain engkau yang selama ini
adalah bintang dalam hidupku dan ibumu, perempuan
tercantik yang paling kuat menyangga kesengsaraan hidup
bersamaku. Aku bisa melihat keluarga Om Aji, keluarga
Tante Surti, dan ketiga pilar Tanah Air (Tolong hibur Om
Risjaf yang pasti tak kuat menahan kepedihan. Dari keempat
pilar, dia yang paling peka dan kami anggap ?adik bungsu?.
Tolong temani dia, Nak). Aku juga bisa membayangkan Nara
dan Alam serta kawan-kawan Alam akan hadir di antara
pelayat. Mungkin kalian akan berdoa untuk ayah. Mungkin
juga Om Aji akan memimpin doa. Atau siapa tahu, kalian
cukup gila untuk memutarkan lagu Led Zeppelin "Stairway
to Heaven". Atau jika kalian ingin menghibur Om Risjaf,
biarkan dia memainkan harmonika, asal jangan main?kan
lagu "Anggrek Moelai Timboel", karena untukku anggrek
itu sudah lama mati. Sampaikan dia, bawakan lagu John
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 446
447 LEILA S. CHU DO RI Denver, "Take Me Home, Country Road" untukku. Kalau itu
terjadi, jangan terkejut kalau Ayah ikut menggumam dari
tempat peristirahatanku. Ada beberapa pesan penting yang ingin kusampaikan
segera karena suster berwajah judes sebentar lagi akan datang
dengan jarum sialan itu.Tahukah kamu, Ayah sudah pernah
berhasil membuat suster galak itu pening. Misalnya dua hari
yang lalu, aku mengepak dan memasukkan semua pakaian
ke dalam tas dan membereskan tempat tidur, sehingga ketika
suster judes itu datang, dia panik menyangka Ayah kabur. Dia
memencet tombol biru. Semua suster dan pihak keamanan
blingsatan, dan terjadilah perburuan. Sebagai seorang eksil
politik yang sudah berkelana ke berbagai negara mencari
tanah suaka, tentu mengelabui suster rumah sakit adalah
pekerjaan mudah untuk Ayah. Aku duduk-duduk di tempat
penyimpanan seprai dan selimut. Hangat dan empuk. Ayah
sampai tertidur di situ. Akhirnya Ayah ditemukan si suster
dan kepala keamanan yang bertolak pinggang dan langsung
menggiring Ayah seolah aku seorang buronan.
Ongkos yang Ayah bayar sangat mahal. Om Nug dan
Om Risjaf bergantian menemani Ayah siang malam seperti
menjaga seorang narapidana kelas berat. Maman datang
pagi dan sore setelah mengajar kuliah dengan wajah penuh
kemenangan karena merasa Ayah tak bisa lagi bertingkah.
Nanti Ayah akan cari akal lain untuk membuat onar. Lihat
saja. Baiklah. Ini pesan penting Ayah untukmu. Pertama, soal
Alam dan Narayana. Meski kau tak pernah berterus-terang
melalui surat elektronikmu, tentu saja aku tahu telah terjadi
sesuatu yang istimewa antara engkau dan Alam. Mudah
sekali menangkap kelincahan dan kegairahan kalimat setiap
kali kau menyebut nama Alam atau mengutip apa pun yang
dikatakannya. Kau baru saja diserang halilintar. Dan itu
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 447
448 PU LANG juga wajar. Meski aku tak mengenal Alam, aku sudah pernah
melihat beberapa potretnya yang memperlihatkan gabungan
terbaik dari Om Hananto dan Tante Surti. Tetapi pasti kau
bukan tertarik tubuhnya yang menjulang tinggi dan berotot
itu, karena yang begituan berserakan di seluruh penjuru
Eropa.Pasti ada sesuatu dalam diri Alam yang membuatmu
betah di Jakarta. Sudah pasti, yang membuat betah bukan
hanya karena tugas film dokumentermu.
Di lain pihak, ada Narayana yang tampan seperti seorang
aktor Prancis. Tentu saja bukan faktor itu yang menyebabkan
kau bertahan berhubungan dengannya hingga bertahuntahun. Ayah tak akan banyak berkomentar dan tak akan
inter?vensi. Yang aku ingin utarakan adalah: kau tak boleh
menyeret-nyeret nasib dan perasaan orang hingga hati orang
itu tercecer kemana-mana. Kau harus berani memilih dengan
segala risikonya. Ayah tahu kau masih muda. Memilih tak
berarti harus menikah besok. Tidak memilih Nara atau Alam
juga berarti memilih. Memilih untuk sendiri dan sunyi.
Ayah tak ingin kau menjadi seseorang yang tak bisa me?
milih sepertiku. Ayah terpesona oleh banyak hal, mengelana
ke berbagai macam pemikiran tanpa punya keyakinan yang
tetap. Aku hanya yakin pada diri sendiri, bahwa keinginanku
hanya terus-menerus berlayar. Atau menggunakan bahasa
Maman, aku terbang seperti burung camar tanpa ingin hing?
gap. Akibatnya, nasib yang memilihku. Bukan aku yang
menen?tukan nasib. Maman berani memilih. Dia memilih untuk menikah de?
ngan pengelana sinting seperti Ayah, dan kini dia memilih
tidak menikah lagi. Demikian pula Tante Surti adalah
perempuan yang berani memilih. Percayalah, bahkan sosok
seperti Om Hananto atau Rama adalah orang-orang yang
memilih dalam hidup, meski pilihannya belum tentu kita
sukai. Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 448
449 LEILA S. CHU DO RI Hal kedua, apa yang akhirnya kau petik dari
I.N.D.O.N.E.S.I.A, Lintang? Apa yang kau temui dalam
waktu lebih dari sebulan di Jakarta tak cukup menjelaskan
seluruh faktor yang membentuk sebuah Indonesia. Tugas
akhirmu telah menjelaskan sebagian kecil, sebagian suara
dari Indonesia. Meski ?kecil?, Ayah yakin itu menjadi besar
dan vokal karena dokumentermu adalah sebuah suara yang
lain, the voices from the other side, yang selama 32 tahun tak
boleh bersuara. Sesudah pemakaman Ayah nanti, cobalah
pikirkan apakah setelah wisuda, kau akan kembali ke Jakarta
atau menetap di Paris. Aku tak akan memaksakan pilihanmu.
Paris dan Jakarta adalah rumahmu yang kini punya arti
tersendiri bagimu. Di mana pun kamu memilih, kamu akan
dekat dengan sebagian dari dirimu. Maman di Paris dan
Ayah di Karet, Jakarta. Sudah kudengar bunyi denting bel, yang berarti Ayah
harus merancang siasat untuk mengelabui suster galak.
Can death is sleep, when life is but a dream.
John Keats akan menutup surat ini dengan sempurna.
Mungkinkah mati itu tidur bila hidup itu mimpi. Kematian
ini, Lintang, adalah tidur sejenak bagiku, karena pada saat
aku bangun, aku bertemu denganmu.
Lintang, kau menghidupi hidupku. Dan kalaupun aku
sudah mati, kau tetap hidup di dalam diriku.
Ayahmu, Dimas Suryo *** di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru
dingin Akhirnya Ayah pulang ke Karet.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 449
450 PU LANG Akhirnya dia bersatu dengan tanah yang menurut dia
"memiliki aroma yang berbeda" dengan tanah Cimitiere du
P?re Lachaise. Tanah Karet. Tanah tujuan dia untuk pulang.
Di atas pusara yang dibebani rangkaian krans dukacita,
nisan kayu itu ditulis dengan tulisan tangan sederhana Om
Nug: "Untuk kehidupan yang penuh pesona
Untuk perginya sang pengelana
Dimas Suryo, 1930-1998"
Begitu persis dengan bayang-bayang yang mengejarku
pada malam sebelum aku meninggalkan Paris. Bayang-bayang
kematian Ayah yang selama ini dia sembunyikan dariku.
Tante Surti, bersama Kenanga dan Bulan, seperti dugaan
Ayah, menyebarkan bunga melati. Maman menguraikan ceng?
kih. Om Aji memimpin doa yang terdengar begitu merdu di
telingaku. Tante Retno, Andini, dan Rama ikut menyebarkan
bunya melati dan kupasan kelopak mawar. Kulihat pula orang
yang disebut sebagai Bang Amir dan isterinya. Bang Amir me?
ngeluarkan air mata tanpa bersuara. Dia berdoa dan menutup
wajahnya. Om Nug dan Om Tjai mewakili keluarga besar eksil
di Paris memberikan pidato dan kesaksian tentang Ayah. Om
Risjaf terlalu sedih untuk bicara; dia berdiri di samping kiriku
sembari memegang sebuah harmonika. Air matanya terusmenerus mengalir hingga aku harus menggenggam tangannya
dan berbisik, "Om, tenang, lihatlah, Ayah duduk di sana me?
ner?tawakan kita," sambil menunjuk ke arah pemakaman nun
di ujung sana. Om Risjaf tampak belum bisa menangkap hu?
mor?ku yang kelabu. Dia semakin tak bisa menahan isaknya.
Ah, ramalan Ayah selalu benar.
Tetapi di kejauhan itu aku malah melihat Alam yang du?duk
sendirian di bawah pohon kamboja. Dia menatapku terus-me?
nerus, terpusat padaku dan mengikat aku. Sedangkan di bela?
kangku ada Narayana. Ayah, kau benar. Lebih mudah untuk
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 450
451 LEILA S. CHU DO RI tidak memilih, seolah tak ada konsekuensi. Tetapi seperti
katamu, memilih adalah jalan hidup yang berani.
Ketika akhirnya para pelayat mulai permisi meninggalkan
Karet, kami masih duduk mendengarkan Om Risjaf memain?
kan "Take Me Home, Country Road" dengan tempo perlahan
dan mengiris-iris senja yang merah. Dia bermain sambil me?
me?jam?kan mata, sementara air matanya tetap merembes, dan
tak ingin didekati siapa pun. Aku bisa mendengar Ayah meng?
gumam menemani Maman yang juga perlahan menyanyi.
Lalu dari kejauhan aku melihat seorang lelaki berusia 50-an
berjalan dengan seorang anak perempuan berusia tujuh tahun.
Mereka berdua berjalan berpegangan tangan. Samar-sama
kudengar sang Ayah men?jelaskan tentang salah satu lakon
Mahabharata. Ada nama Bima, ada nama Ekalaya, lalu sayupsayup kudengar si kecil ber?tanya dengan cerewet. Sesekali
dalam bahasa Prancis, lalu dalam bahasa Indonesia.
Senja kemudian turun perlahan-lahan, seolah memberikan
sisa waktu agar kami bisa menemani Ayah sebelum gelap
tiba. Aku tak tahu apakah aku sedang berada di P?re Lachaise
atau di Karet. Yang aku tahu Ayah tersenyum dari jauh. Dia
begitu bahagia karena sudah pulang dan kami semua berada
di dekatnya. TAMAT Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 451
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 452
BEBERAPA CATATAN AKHIR
Pulang Karya Leila S. Chudori di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beberapa istilah, peristiwa, dan nama yang perlu di?ke?tahui:
? Dalam bab "Paris, Mei 1968".
Bab ini menggunakan latar belakang Gerakan Mei 1968 di Prancis,
yaitu serangkaian gerakan mahasiswa dari berbagai uni?versitas di
Paris?di antaranya Universitas Sorbonne dan Paris University at
Nanterre. Pada bulan Maret 1968, sekelompok penyair, musisi, dan ra?tus?
an mahasiswa mengadakan pertemuan di Paris University at
Nanterre yang mendiskusikan diskriminasi kelas di Prancis dan
juga mempersoalkan anggaran universitas. Manajemen uni?versitas
memanggil polisi dan mengepung kampus. Peris?tiwa ini kemudian
disebut Gerakan 22 Maret, di mana kampus ditu?tup sementara
dan para pimpinan mahasiswa dipanggil ser?ta dikenakan sanksi
oleh universitas dan terancam dike?luarkan.
Mahasiswa Universitas Sorbonne atas nama solidaritas dan ke?
adilan memprotes penutupan kampus dan ancaman ter??hadap para
mahasiswa tersebut. Polisi kemudian juga me?nge?pung Uni?versitas
Sorbonne. Situasi semakin panas. Seki?tar 20 ribu maha?siswa dan
dosen, serta para pendukung ikut ber?demonstrasi ber?jalan menuju
Universitas Sorbonne yang saat itu ditutup. Si?tuasi bertambah
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 453
454 PU LANG panas setelah terjadi bentrokan yang diwarnai dengan pelemparan
batu, gas air matam dan penahanan ratusan mahasiswa.
Situasi panas itu berlangsung cukup lama. Buruh kemudian ikut
bergabung. ? Dalam bab "Narayana", Lintang berulang kali memperta?nya?kan
bagaimana memetik Indonesia dari I.N.D.O.N.E.S.I.A. Ini ter?inspi?
rasi syair Jalaludin Rumi: "Pernahkah kau tahu sebuah nama tanpa
hakikat? Ataukah kau dapat petik mawar dari M-A-W-A-R?" dalam
Masnawi Kisah-Kisah Fantastis dari Persia oleh Jalaludin Rumi,
penerjemah Muh. Abd. Salam Kafafi (Yogyakarta: Belukar, 2004).
? Dalam bab "Narayana" pula dan bab-bab lain, ada istilah ?Ber?sih
Diri? dan ?Bersih Lingkungan". Istilah yang pertama, Ber?sih Diri,
adalah kebijakan di tahun 1980-an yang dikenakan kepada sese?
orang yang dianggap terlibat dalam Gerakan 30 Sep?tember, ang?
gota PKI atau anggota organisasi sejenisnya. Istilah kedua, Bersih
Lingkungan, dikenakan kepada anggota keluarga seseorang yang
telah dicap komunis. Peraturan ini dikeluarkan oleh Departemen Dalam Ne?ge?ri yang
melarang orang-orang yang tidak Bersih Diri atau tidak Bersih
Lingkungan menjadi anggota TNI/POLRI, guru, pen??deta atau
profesi yang dianggap bisa mempengaruhi masya?ra?kat. Karena
peraturan ini, maka diskriminasi ini tak hanya ter??tuju pada mantan
tahanan politik tragedi 1965 tetapi juga anak cucu mereka. Untuk
memastikan sistem ini ber?lang?sung, para mantan tapol diberi cap
ET (Eks Tapol) pada Kartu Tan?da Pen?duduk mereka, dan untuk
mengecek Bersih Ling?kung?an, se?orang calon pegawai harus melalui
litsus (Penelitian Khusus).
Beberapa bait puisi dalam novel dan sumbernya:
? Dalam bab "Hananto Prawiro", novel A Portrait of the Artist as a
Young Man oleh James Joyce menjadi perdebatan antara Hananto
dan Dimas (Dover Publications, 1994).
? Dalam bab "Surti Anandari", ada selarik sajak Lord Byron, "She
Walks in Beauty", diambil dari Lord Byron, an Anthology oleh
George Gordon Byron (Jarod Publishing, 1993).
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 454
455 LEILA S. CHU DO RI ? Dalam bab yang sama, terdapat kutipan syair "Elegi" dari Rivai
Apin dalam Tiga Menguak Takdir, Chairil Anwar, Asrul Sani, dan
Rivai Apin (Balai Pustaka, 1958) yang salinannya saya peroleh dari
perpustakaan dahsyat PDS HB Jassin.
? Dalam bab yang sama, terdapat kutipan yang diambil dari sajak
berjudul "Bright Star, Would I were Stedfast as Thou Art", dalam
John Keats, Selected Poems (New Jersey, Gramercy Books, 1993).
? Dalam bab "Paris, April 1998" ada kutipan puisi "The Burial of the
Dead", The Wasteland, dari T.S. Eliot, The Complete Poems and
Plays (Faber and Faber, 1969).
? Dalam bab yang sama ada deskripsi tentang puisi "Si Anak Hilang"
karya Sitor Situmorang, diambil dari Sitor Situmorang, Kumpulan
Sajak 1980-2005 (Komunitas Bambu, 2006).
? Dalam "Empat Pilar Tanah Air", terdapat kutipan puisi W.H.
Auden, "On Installing an American Kitchen in Lower Austria", yang
diambil dari Adam Gopnik, The Table Comes First (Knopf, 2011).
? Larik puisi dalam bab "L?irr?parable" diambil dari puisi "Fore?word"
karya Goenawan Mohamad dalam Goenawan Mohamad, Selected
Poems, ed. Laksmi Pamuntjak (Jakarta, Yayasan Lontar, 2004).
? Larik puisi dalam bab "L?rr?parable" mengutip sajak "Dan Kematian
Makin Akrab" karya Subagio Sastrowardoyo dalam kumpulan sajak
berjudul sama (Grasindo, 1995).
? Kisah Ekalaya dalam bab "Ekalaya" diambil dari tafsir Ramesh
Menon, The Mahabharata, a Modern Rendering (New Delhi,
Rupa & Co, 2004). ? Pada bab "Ekalaya" dan bab "Fl?neur", ada kutipan dari buku Le
Petit Prince karya Antoine de Saint-Exup?ry (Harcourt Inc, 1971)
? Bab "Narayana" menyebut sajak "Dan Kematian Makin Akrab"
dan bab "Epilog" juga mencuplik larik sajak karya Subagio
Sastrowardoyo yang berjudul "Sajak yang Tak Pernah Mati".
Kedua?nya diambil dari kumpulan sajak Dan Kematian Makin
Akrab (Grasindo, 1995) ? Pada bab "Epilog" terdapat sajak Chairil Anwar "Yang Teram?pas
dan yang Putus" dalam Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan
Yang Putus (Dian Rakyat, 2000).
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 455
456 PU LANG Saya sangat dibantu dan diberi konteks kesejarah?an dan situasi di
masanya oleh buku-buku berikut:
John Roosa. Dalih Pembunuhan Massal yang Terlupakan: Gerakan
30 September dan Kudeta Suharto. Jakarta:Institut Sejarah Sosial
Indonesia dan Hasta Mitra, 2008.
JJ Kusni. Membela Martabata Diri dan Indonesia, Ko?pe?rasi Restoran
Indonesia di Paris. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2005
Ibrahim Isa. Bui Tanpa Jerajak Besi. Jakarta: Klik Books, 2011.
Sobron Aidit. Melawan dengan Restoran. Jakarta: Media Kita dan
Penerbit Kukusan, 2007. Ester Jusuf, Hotma Sitompul, Olisias Gultom, Sondang Frishka.
Kerusuhan Mei 1998, Fakta, Data dan Analisa. Jakarta: Solidaritas
Nusa Bangsa, 2008. James Luhulima. Hari-hari Terpanjang: Menjelang Mun?dur?nya
Presiden Soeharto. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001.
Sebagian besar edisi khusus atau laporan panjang majalah Tempo
sejak tahun 1980-an hingga 2009.
Untuk membangun suasana Paris (dan Cina) di akhir tahun 1960an, saya dibantu untuk memahami keadaan sosial dan politik saat itu
oleh: Ernest Hemingway. A Moveable Feast-The Restored Edition. London:
Arrow Books, 2011. Roger-Viollet, Janine Casevecchie. Mai 68, en photos. Chen?, 2008.
Ibarruri Putri Alam. Jakarta, Hasta Mitra, 2006.
Ruth Reichl, ed. Remembrance of Things Paris. New York: Cond?
Nast Publications, 2004. A. Kohar Ibrahim dan John McGlynn, ed. Menagerie 6. Jakarta:
Yayasan Lontar, 2004. Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 456
UCAPAN TERIMA KASIH Novel Pulang dimulai pada 2006 dan selesai tahun 2012, di?selingi
tugas sehari-hari sebagai orangtua Rain Chudori, seba?gai wartawan
Tempo, dan di antara itu melahirkan kum?pulan cerita 9 dari
Nadira. Novel ini tak akan pernah lahir tanpa banyak kawan, nara?sumber,
buku, musik yang menjadi sumber ilham maupun pe?nyangga proses
penulisan. Terima kasih sedalam-dalamnya kepada:
Para eksil politik yang menjadi inspirasi novel ini dan ber?sedia
menjawab pertanyaan saya selama pertemuan di Paris dan di Jakarta:
Bapak Umar Said (alm.), Bapak Sobron Aidit (alm.), Kusni Sulang:
yang bersedia meluangkan waktu dan bercerita tentang perjalanan
hidup mereka, yang rute dan hidup sesungguhnya jauh lebih rumit
dan lebih keras daripada yang saya kisahkan dalam novel ini.
Restoran Indonesia di Rue de Vaugirard, Paris, yang ber?usia 40
tahun pada 14 Desember tahun ini dan kampus Univer?sitas Sorbonne
yang memberi inspirasi besar bagi novel ini.
Amarzan Loebis yang menjadi ensiklopedi ?hidup? kami di
Tempo dan bermurah hati menceritakan pengalaman priba?dinya dan
bersedia membaca draf awal novel ini.
Leo Sutanto, yang memberi dorongan moral sejak awal dan
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 457
458 PU LANG percaya pada saya tanpa ragu, beserta keluarga SinemArt: Novi,
Mitzy, dan Cindy Christina Sutanto.
Mariana Renata Dantec yang membantu saya mengh?id
? up?kan sosok Lintang Utara dengan mengisahkan latar belakang kehidupan
mahasiswa Universitas Sorbonne, Paris.
Mereka yang di Eropa: Ibarruri Sudharsono dan Johana Lederer
yang akomodatif setiap kali saya berkunjung ke Paris; Ibrahim Isa
dan Joss Wibisono di Amsterdam.
Mereka yang berbagi cerita di Jakarta tentang masa-masa kelam:
Dayani Svetlana dan Djoko Sri Muljono.
Pendiri majalah Tempo Goenawan Mohamad yang perta?ma kali
mengajukan ide pada kami untuk menyorot kehidupan keluarga tapol
untuk edisi 30 September 2005. Sebuah ide yang dilanjutkan menjadi
tradisi tahunan edisi khusus Tempo 30 September sebagai upaya
mendengarkan suara yang 32 tahun dibungkam.
Keluarga besar Tempo, dari perpustakaan Danni Muha?dian?syah,
hingga redaksi yang setiap tahun dengan se?tia me?nulis edisi khusus
atau laporan panjang 30 September 1965: Arif Zulkifli, Bina Bektiati,
Seno Joko Suyono, Kurniawan, Nurdin Kalim, Hermien Y.Kleden, L.R
Baskoro, Toriq Hadad, Bambang Harymurti.
Untuk mereka yang berbicara melalui jari-jarinya: Daniel Timbul
yang meniupkan roh ke dalam novel ini dalam ben?tuk ilustrasi dan
sampul muka yang penuh tenaga; Wendie Artswenda yang mem?beri?
kan desain dan tata letak yang sejiwa; S.Malela Mahargasarie yang
memberikan saran lisan untuk perwajahan.
Keluarga Kepustakaan Populer Gramedia: Pax Benedanto,
Christina M. Udiani, Candra Gautama: terimakasih atas kebebasan
dan keluasan yang diberikan kepada saya.
Kawan-kawan yang ikut membaca bab-bab awal novel ini dan
yang selalu menemani: Kurnia Effendi, Iksaka Banu, Endah Sulwesi,
Joko Anwar, dan Sulung Landung.
Sahabat-sahabat yang mendampingi dan membantu sepe?
nuh?nya sejak lahirnya serial TV Dunia tanpa Koma, film pen?dek
Drupadi, kumpulan cerita 9 dari Nadira, dan kini novel Pulang: Dian
Sastrowardoyo, Wisnu Darmawan, Arifaldi Dasril, Prita Indriatini,
Renny Fernandez. Terima kasih yang tak akan cukup diucapkan.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 458
459 LEILA S. CHU DO RI Kawan-kawan yang membantu ungkapan bahasa Prancis da?
lam novel ini: Gracia Asriningish, Winda Fitriastuti, dan Noorca
Massardi. Para sejarawan yang percaya pada pelurusan sejarah: Bonnie
Triyana dan Asvi Warman Adam.
Sahabat dari dunia film yang ikut memberi masukan dan meng?
awali proses penulisan novel ini: Mira Lesmana, Riri Riza, Joko
Anwar, Farishad Latjuba. Kawan yang membantu riset bahan Ulin Ni?Am Yusron; kawan
yang membantu menjelaskan peta gerakan mahasiswa Mei 1998
Robertus Robet; kawan yang membantu melengkapi buku-buku yang
saya butuhkan untuk penulisan: Siti Gretiani, Paramita Mohamad,
Sheila Timothy, Bonnie Triyana.
Amang Suramang dan kawan-kawan Goodreads Indonesia yang
mengem?balikan kepercayaan saya bahwa masyarakat Indonesia
masih mencintai sastra. Kawan yang setia memberikan referensi: Rocky Gerung.
Selama penulisan, saya ditemani sepenuhnya oleh musik dari
Led Zeppelin, Pink Floyd, The Doors, Aerosmith, Iwan Fals, Louis
Armstrong, Marsalis Brothers, Joe Dassin dan ZAZ.
Orangtua saya, Willy dan Muhammad Chudori, dan kedua kakak
saya Zuly Chudori dan Rizal Bukhari Chudori yang meng?ajarkan saya
tentang pentingnya buku sastra sebagai bagian dari hidup, seperti
halnya ilmu pengetahuan, kuliner, dan doa.
Rain Chudori-Soerjoatmodjo, matahari yang menyinari h?idup
saya. Karena dialah saya menulis kembali.
Terima?kasih dan terimakasih untuk segalanya.
Leila S.Chudori Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 459
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 460
LEILA S. CHUDORI Lahir di Jakarta 12 Desember 1962. Karyakarya awal Leila dipublikasikan saat ia ber??usia
12 tahun di majalah Si Kuncung, Kawanku,
dan Hai. Pada usia dini, ia meng??hasilkan buku
kumpulan cerpen ber?ju?dul Sebuah Kejutan,
Empat Pemuda Kecil, dan Seputih Hati Andra.
Leila menempuh pendidikan di Lester B.
Pearson College of the Pacific (United World
Colleges) di Victoria, Kanada, dan di?lanjutkan studi Political Science
dan Comparative Deve?lop?ment Studies dari Universitas Trent, Kanada.
Selama itu ia me?nulis di majalah Zaman, Horison, Matra, jurnal
sastra Soli?darity (Filipina), Menagerie (Indonesia), dan Tenggara
(Malay?sia). Buku kumpulan cerita pendeknya Malam Terakhir
(Pustaka Utama Grafiti, 1989; Kepustakaan Populer Gramedia, 2009,
2012) telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman Die Letzte Nacht
(Horlemman Verlag). Sejak tahun 1989 hingga kini bekerja sebagai wartawan majalah
berita Tempo. Leila adalah penggagas dan penulis skenario drama televisi Drama
TV berjudul Dunia Tanpa Koma (produksi SinemArt, sutradara
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 461
462 PU LANG Maruli Ara) yang menampilkan Dian Sastrowardoyo dan ditayangkan
RCTI pada 2006. Drama televisi ini mendapat penghargaan Sinetron
Terpuji Festival Film Bandung 2007 dan Leila menerima penghargaan
sebagai Penulis Skenario Drama Televisi Terpuji pada festival dan
tahun yang sama. Terakhir, Leila menulis skenario film pendek Drupadi (pro??duksi
SinemArt dan Miles Films, sutradara Riri Riza), se?buah tafsir kisah
Pulang Karya Leila S. Chudori di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mahabharata; dan film Kata Maaf Terakhir (Maruli Ara, 2009) yang
diproduksi SinemArt. Pada tahun 2009, Leila S. Chudori meluncurkan buku kumpulan
cerpen terbarunya "9 dari Nadira" dan penerbitan ulang buku
"Malam Terakhir" oleh Kepustakaan Populer Gra?me?dia (KPG) yang
dilangsir oleh Agus Noor dalam harian Kompas sebagai "kembalinya
anak emas sastra Indonesia". Kedua buku nya Malam Terakhir dan 9
dari Nadira kini da?lam proses penerjemahan ke dalam bahasa Inggris
dan akan diterbitkan oleh Yayasan Lontar.
Leila kini sedang menggarap lanjutan 9 dari Nadira dan kum?
pulan cerita seorang pembunuh bayaran, Lembayung Senja.
Leila berdomisili di Jakarta bersama puteri tunggalnya, Rain
Chudori-Soerjoatmodjo yang juga menulis cerita pendek dan resensi
film. Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 462
Daniel Timbul ? Daniel Cahya Krisna ? Klaten, 15 Agustus 1983
? Minggiran MJ II/ No 1386 RT 63 RW 17 Yogyakarta.
55141 ? +62 81226 800 656 ? cukilmaut@yahoo.com; portalwaktulalu@gmail.com
? http://www.facebook.com/DrawingWithPakDTimbul?ref=hl
? http://www.matakayuh.blogspot.com
? http://www.danieltimbul.blogspot.com
Education: ? 1987-1993 Elementary School I Klaten City central java, Indonesia
? 1993-1996 City junior High School 2 Klaten central java, Indonesia
? 1996-1999 High School Bopkri I Yogyakarta Indonesia
? 1999-2000 Modern School of Design Yogyakarta Indonesia
? 2000-2001 High School Foreign Language LIA Yogyakarta,
Indonesia ? 2001-2008 Indonesian Institute of The Art Yogyakrata Indonesia
graduated as a Bachelor of Arts with a Major Printmaking
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 463
464 PU LANG Awards: 2008 ? "Academic Art Award # 2" Achievement for young artist whose
main interest in printmaker category from Indonesian Institute of
the Art and Jogja gallery
ACTIVITIES: SOLO EXHIBITION 2010 ? "Timbul?s Deli" at Edwin Gallery , Jakarta, Indonesia
GROUP EXHIBITION 2012 ? Printmaking Exhibition ? "Here and There, Now and Then" at
Langgeng art foundation 2011 ? Art Exhibition - "Survey #2.10" at Edwin?s Gallery, Jakarta
? Art Exhibiton - "Cropcycle" at Canna Gallery, Jakarta
2010 ? Art Exhibition ? "Comical Brother" at National Gallery, Jakarta
? Printmaking Exhibiton ? "Long Ago and Far Away" at Dahlia
Gallery, Singapore 2009 ? Art Exhibition - "Guru Oemar Bakrie" (literally: Teacher whose
name : Oemar Bakri) at Jogja Gallery, Yogyakarta
? Art Exhibition - "Bohemian Carnival" at National Gallery, Jakarta
? Art Exhibition - "Survey #2" at Edwin?s Gallery, Jakarta
? Art Exhibition - "Fresh 4 U" at Jogja Gallery , Yogyakarta
? Art Exhibition - "Senang ? senang" at Tujuh Bintang Gallery,
Yogyakarta Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 464
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 460
pulang pulang s e b u a h n o v e l NOVEL s e b u a h Pulang adalah sebuah drama keluarga, persahabatan, cinta, dan pengkhia?
nat?an berlatar belakang tiga peristiwa bersejarah: Indonesia 30 September
1965, Prancis Mei 1968, dan Indonesia Mei 1998.
Leila S. Chudori Jakarta, Mei 1998. Lintang Utara, puteri Dimas dari perkawinan dengan Vivienne Deveraux, akhir?
nya berhasil memperoleh visa masuk Indonesia untuk merekam pengalaman
keluarga korban tragedi 30 September sebagai tugas akhir kuliahnya. Apa
yang terkuak oleh Lintang bukan sekadar masa lalu ayahnya dengan Surti
Anandari, tetapi juga bagaimana sejarah paling berdarah di negerinya
mempunyai kaitan dengan Ayah dan kawan-kawan ayahnya. Bersama Segara
Alam, putera Hananto, Lintang menjadi saksi mata apa yang kemudian
menjadi kerusuhan terbesar dalam sejarah Indonesia: kerusuhan Mei 1998
dan jatuhnya Presiden Indonesia yang sudah berkuasa selama 32 tahun.?
pulang Paris, Mei 1968. Ketika gerakan mahasiswa berkecamuk di Paris, Dimas Suryo, seorang eksil
politik Indonesia, bertemu Vivienne Deveraux, mahasiswa yang ikut de?
monstrasi melawan pemerintah Prancis. Pada saat yang sama, Dimas me?
ne?rima kabar dari Jakarta: Hananto Prawiro, sahabatnya, ditangkap tentara
dan dinyatakan tewas. Di tengah kesibukan mengelola Restoran Tanah Air di Paris, Dimas ber?
sama tiga kawannya?Nugroho, Tjai, dan Risjaf?terus-menerus dikejar rasa
ber?salah karena kawan-kawannya di Indonesia dikejar, ditembak, atau meng?
hilang begitu saja dalam perburuan peristiwa 30 September. Apalagi dia tak
bisa melupakan Surti Anandari?isteri Hananto?yang bersama ketiga anaknya
berbulan-bulan diinterogasi tentara.
n o v e l ISBN: 978-979-91-0515-8 KPG (KEPUSTAKAAN POPULER GRAMEDIA)
Gedung Kompas Gramedia, Blok 1 Lt. 3
Jl. Palmerah Barat 29-37, Jakarta 10270
Telp. 021-53650110, 53650111 ext. 3362-3364
Fax. 53698044, www.penerbitkpg.com
Facebook: Penerbit KPG; Twitter: @penerbitkpg
Cover Pulang FINAL.indd 1
9 789799 105158 KPG: 901 12 0609 Leila S. Chudori Kilas Balik Merah Salju 4 Pendekar Naga Putih 22 Tragedi Gunung Langkeng Pertempuran Bawah Air 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama