Ceritasilat Novel Online

Sang Pengkhianat 5

Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu Bagian 5


320 Isi-Omen6.indd 320 membelaku habis-habisan di depan polwan dari neraka
tersebut, tetapi aku takut keceplosan dan menyindir
Rima yang berdiam diri sedari tadi.
Kenapa sih dia tidak membelaku meski hanya satu-dua
kata? "Sudahlah, nggak ada gunanya kita di sini," Putri ber?
decak. "Sebaiknya kami pergi dulu, Ay. Nanti kalo ada
kabar, pasti akan kami kabari."
"Kami juga, Ay," ucap OJ murung. "Sori, kami nggak
bisa nangkring bareng lo. Tapi pastinya kami akan
ngelakuin apa pun juga untuk bebasin lo."
Rasanya sepi saat ditinggal semua orang begitu. Yang
ada di sisiku hanyalah polwan yang tidak bersahabat.
Tapi ini juga memberiku kesempatan untuk memikirkan
beberapa pertanyaan yang terus-menerus menggema di
dalam hatiku. Pertama-tama, tentu saja soal Rima. Memangnya dia
sedang apa sih? Hari ini dia nyaris tak membelaku. Ke?
marin dia bahkan tidak sadar sama sekali bahwa Val
sedang babak belur dan baru memperhatikannya tadi
pagi. Lebih aneh lagi, kemarin sore aku memergokinya
sedang mengobrol dengan Damian. Memang aku tidak
berhasil mencuri dengar, gara-gara suara Rima mirip
hantu yang sedang berbisik-bisik. Tapi aku sempat men?
dengar beberapa kata dari Damian, "tadi pagi" dan
"kita". Ini berarti, kegiatan yang begitu dirahasiakan
Rima pagi kemarin adalah pertemuannya dengan
Damian? Kenapa dia merahasiakannya?
Apa dia dan Damian punya urusan yang tidak kami
ketahui? Tapi bukan hanya Rima yang punya rahasia. Menurut
321 Isi-Omen6.indd 321 Putri, Val juga menyembunyikan sesuatu mengenai
bentrok?annya dengan geng motor psikopat Rapid Fire.
Haishhh. Sejak kapan kami jadi main rahasia-rahasia?
an? Saat ini rasanya sedih banget memikirkan sesuatu yang
pernah dibicarakan oleh Val. Kami seharusnya bisa be?
kerja sama dengan tingkat sinkronisasi tinggi, dan tadi?
nya kami memang sanggup melakukan hal itu. Tapi kini,
semuanya jadi berantakan. Kemungkinan besar, se?telah
kasus ini beres, kami tidak akan ditugaskan ber?samasama lagi.
Memangnya apa yang salah ya? Apa kami kurang me?
mercayai satu sama lain? Pertanyaan kedua adalah mengenai penemuanku di
TKP dekat lapangan futsal. Berkat bantuan dua tuyul
yang ternyata sangat berguna itu, aku berhasil menemu?
kan jejak kaki yang masih cukup segar di sana. Ukuran?
nya kira-kira sama dengan ukuranku?yang menandakan
kemungkinan besar pelakunya adalah cewek?tetapi
bentuk bagian belakang jejak itu rada aneh.
"Kayaknya itu bagian belakang sepatu yang diinjak,"
duga Gil. "Coba kalo bagian belakang sepatu kita udah
biasa diinjek, biasanya jadi ada bagian tambahan pada
jejak kaki." "Dan orang di dekat kita yang sering nginjek bagian
belakang sepatu adalah...," ucap OJ tanpa menyelesaikan
ucapannya, lalu berpaling padaku, berharap aku menge?
tahui jawabannya. Dan aku memang tahu. Mungkin di seluruh sekolah
kami ada beberapa anak yang suka menginjak sepatunya,
tetapi kurasa cuma ada satu cewek yang melakukannya.
322 Isi-Omen6.indd 322 Cewek itu, tidak lain dan tidak bukan, adalah Erika
Guruh. Oke, aku tahu, sekarang kami bermusuhan de?ngan
Erika, tapi dulu, untuk waktu yang singkat bagi kami
dan untuk waktu yang lebih lama bagi Valeria, kami
pernah berteman. Memandang kepribadiannya saat itu,
rasanya tidak mungkin Erika ikut-ikutan dalam komplot?
an pelaku kasus kali ini. Masalahnya, kami tidak tahu
apakah belakangan ini dia sudah dicuci otak oleh Eliza
sehingga jadi jahat sungguhan, atau mungkin dia ter?
paksa membantu karena alasan tertentu.
Atau, dia tidak tahu apa-apa dan jejak itu dibuat
untuk menjebaknya. Tentu saja, pilihan terakhir ini lebih masuk akal. Meski
begitu, kami juga tidak yakin dia tidak tahu apa-apa.
Maksudku, ini kan Erika Guruh, si cewek preman legen?
daris peraih ranking satu yang nilai-nilainya jauh lebih
tinggi daripada si ranking dua alias Val. Masa dia tidak
menyadari ada yang ingin menjebaknya sih? Apalagi
dulu dia sudah pernah dijebak Eliza.
Yang menggiring kami pada hal ketiga yang harus ku?
pikirkan. Sebenarnya kami semua belum yakin Eliza
termasuk komplotan pelaku, meski tentu saja kami sudah
curiga berat lantaran karakternya tidak bisa dipercaya.
Tapi gara-gara tadi aku memergoki Eliza bicara dengan
Nikki secara diam-diam pada saat kemalangan sedang
menimpaku, kecurigaanku semakin menguat. Apa selama
ini mereka bekerja sama di saat kami semua mengira
mereka berdua sudah tidak berteman lagi? Lalu, apa tips
brengsek yang gosipnya bisa diandalkan itu berasal dari
323 Isi-Omen6.indd 323 mereka? Apa merekalah yang telah menjebakku ke dalam
situasi yang memilukan ini?
Shoot. Sampai botak pun aku tak bakalan menemukan
jawaban dari semua pertanyaan ini hanya dengan dudukduduk saja. Memangnya aku Sherlock Holmes? Yang
Sherlock Holmes itu kan Rima, atau barangkali Erika
Guruh yang punya daya ingat fotografis, yang mungkin
bisa mengorek-ngorek sesuatu dari ingatannya yang luar
biasa itu... Aku nyaris terjengkang dari tempat duduk saat tibatiba Erika Guruh mengempaskan pantat di se?belahku.
Yep, tak ada keraguan sedikit pun di hatiku bahwa cewek
ini bukanlah kembarannya yang jahat itu. Ku?rasa, akting
apa pun yang dilakoni Eliza, cewek itu tidak bakalan
sudi duduk dengan kedua kaki terbuka lebar bak cowok
macho. Aku juga tahu, Erika selalu me?ngenakan celana
pendek di balik roknya, tapi tetap saja, tidak banyak
cewek yang berani duduk dengan gaya begitu vulgar.
"Hai, cewek!" sapanya seolah-olah dia sendiri bukan
cewek. "Perlu ditemenin nggak?"
"Ha-ha, pilihan yang sulit," ucapku sarkastis. "Mau
pilih yang mana ya? Polwan seram, atau preman se?
kolah?" Si polwan hanya bergeming mendengar ucap?an?
ku. Mungkin dia memang tidak punya hati, atau setidak?
nya selera humor. "Ngapain lo ada di sini? Bukan?nya bel
masuk udah bunyi?" Erika mengibaskan tangannya dengan enteng. "Halah,
bel masuk! Sejak kapan gue bisa diatur-atur bel sekolah?
Gue masuk kalo gue kepingin masuk, gue nongkrong di
luar kalo gue lagi nggak mood lihat Pak Rufus."
Kadang kala aku iri melihat cara hidup Erika. Tapi
324 Isi-Omen6.indd 324 kami memang berbeda. Dia meraih ranking satu tanpa
perlu usaha sedikit pun, sementara aku harus belajar
mati-matian demi mempertahankan ranking tiga besarku
plus beasiswa yang menyertainya. Mana mungkin aku
bolos sekolah hanya demi kesenangan sesaat, lalu men?
derita selama setahun berikutnya dengan membayar
uang sekolah? Ya, aku tahu, Mr. Guntur yang membayar
uang sekolahku. Tapi, kalau aku mendapat beasiswa,
uang yang beliau berikan padaku bisa kutabung.
"Ya deh, lo memang jagoan. Jadi, dari semua tempat
menyenangkan yang bisa lo samperin, kenapa lo milih
ada di sini?" "Ay," Erika melirikku dengan kepongahan maksimum,
"lo percaya nggak sama gue?"
"Ya nggak lah, amit-amit."
"Jawabnya nggak usah sinis gitu," cetusnya jengkel.
"Sadar dong, di sekolah ini cuma gue satu-satunya yang
bisa nolong lo saat ini!"
Kini giliran aku yang meliriknya. "Ah, yang bener lo?"
Bukannya aku tidak memercayai ucapannya. Sudah
bukan rahasia lagi, Erika dan Inspektur Lukas berteman
dekat. Seandainya Erika mau membantuku, pasti
Inspektur Lukas bakalan bersikap lebih lunak padaku.
Tapi ini bukan Erika yang dulu lagi, melainkan Erika
yang akrab dengan Eliza. "Lo mau jebak gue, ya?" tanyaku tanpa menyembunyi?
kan kecurigaanku. "Capek deh," gerutu Erika. "Ya udah, terserah deh lo
mau percaya atau nggak. Tapi kalo lo mau bebas, lo
kudu follow my lead."
325 Isi-Omen6.indd 325 "Follow your lead?" Kali ini aku bertanya gara-gara
tidak mengerti. "Maksudnya?"
Erika mendecak tak sabar. "Pokoknya lo ikutin aja lah
rencana gue!" Aku hanya bisa melongo saat cewek itu langsung me?
ninggal?kanku. Cuma begitu saja yang dia sampaikan
padaku? Tidak ada penjelasan lebih lanjut? Lalu bagai?
mana dia mengharapkan aku mengikuti rencananya yang
misterius tersebut? Dasar cewek gila. Tapi kata-katanya memang ada benarnya sih. Kemung?
kin?an besar, dia satu-satunya orang di sekolah ini yang
bisa menolongku keluar dari situasi ini.
Gawat, aku jadi galau begini.
Aku melirik pada si polwan cewek, tapi yang ber?
sangkut?an bertingkah seolah-olah dia tidak mendengar
pembicaraan kami. Antara dia tidak peduli, atau pihak
kepolisian memang sedang bersekongkol dengan Erika
untuk memecahkan kasus ini.
Shoot, makin lama aku makin tertarik juga nih.
"Aria!" Aku menatap ngeri ke arah pemilik suara itu. Kepala
sekolah kami yang supergalak, Bu Rita, menderap ke
arahku dengan muka penuh angkara murka, sementara
Erika mengikuti di belakangnya.
"Apa betul kata-kata Erika?" tanya Bu Rita dengan
suara setajam pisau. "Katanya kamu sudah mengaku bah?
wa kamulah yang merencanakan semua kejahatan yang
terjadi kemarin itu?"
APA?! 326 Isi-Omen6.indd 326 Aku berpaling pada Erika, yang membalas pandangan?
ku dengan seringai penuh kemenangan di bibirnya.
Shoot. Seharusnya aku tidak pernah percaya pada ce?
wek itu! 327 Isi-Omen6.indd 327 Rima Hujan "RIM, kenapa lo tadi diem aja?"
Demi Hades dan dunia kegelapan yang dikuasainya!
Meski sudah menunggu-nunggu pertanyaan itu sedari
tadi, tetap saja aku langsung gemetar saat mendengarnya.
Pada titik ini, sudah terlalu banyak yang kutanggung.
Tuduhan sebagai pelaku atas kejadian yang tak kulaku?
kan, rahasia tentang sikap Inspektur Lukas, belum lagi
pertemuan diam-diam dengan Damian. Rasa-rasanya
belum pernah aku depresi begini menghadapi sebuah
kasus. Dari balik tirai rambutku aku memandangi kedua
teman?ku dengan gugup. Valeria tampak sabar menunggu
jawaban?ku, sementara Putri yang bersedekap memandangi?
ku dengan tajam seolah-olah ingin melubangi kepalaku
dengan sinar matanya. Alih-alih memuntahkan semua isi hatiku, aku hanya
berhasil mengeluarkan sepatah kata, "Maaf."
"Maaf?" dengus Putri. "Cuma itu yang bisa kamu bi?
lang? Waktu giliran kamu yang dituduh sebagai pelaku?
nya, Aya membelamu abis-abisan, tahu?"
328 Isi-Omen6.indd 328 Aduh. Aku tahu, aku memang salah banget tadi. Tapi,
bagaimana bisa aku mengatakan sesuatu di saat Nikki
sedang mengawasi kami? Bagaimana kalau dia bisa men?
dengar percakapan kami? Bagaimana kalau dia jadi curiga
dan membuat semua situasi ini makin runyam? Seakanakan posisi kami belum cukup genting saja.
Kurasakan pandangan Valeria menelusuriku. Sejujurnya,
dibandingkan tatapan galak Putri, aku lebih terintimidasi
oleh sikap lembut Valeria. Bayangkan saja, aku terlambat
menyadari bahwa dia babak-belur lantaran dikerjai oleh
geng motor Rapid Fire (bayangkan, aku baru sadar tadi
pagi!), tapi dia sama sekali tidak marah. Saat ini pun dia
kelihatan sabar. Padahal, dia?juga Putri dan Aya?punya
alasan kuat untuk bete denganku.
Meski aku sendiri juga punya alasan kuat untuk kelaku?
an?ku yang tak menyenangkan ini.
Tetap saja, Valeria berhak marah padaku. Tapi dia
malah bersikap baik sekali, dan ini membuatku tertekan.
Seharusnya dia marah saja padaku.
"Maaf," lagi-lagi aku tidak punya kata lain untuk di?
ucap?kan selain yang satu itu. Sejujurnya, memang itu
yang aku rasakan kok. Aku memang merasa bersalah
banget karena sudah melakukan semua ini.
"Rima," tegur Valeria. "Lo nyembunyiin sesuatu dari
kami, ya?" Aduh. Aku berusaha menyembunyikan perasaanku?dan


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wajahku?dengan menunduk dan membiarkan rambutku
menutupi wajahku, tetapi rupanya kedua temanku itu
sudah mengenalku banget. Tampang keduanya seolaholah meneriakkan, "Eureka!"
329 Isi-Omen6.indd 329 "Rima..." Sebelum Valeria mengatakan sesuatu, Putri sudah me?
langkah maju dengan tampang mengancam.
"Apa ini ada hubungannya dengan kemaren kamu
meng?hilang dua kali?" sergahnya bertubi-tubi. "Kamu
ketemu Damian diam-diam? Kalian ngapain aja?"
Demi Zelus sang dewa kecemburuan, aku tidak bisa
memercayai pendengaranku! Masa Putri cemburu pada?
ku? Masa dia bisa mengira aku ada sesuatu dengan
Damian yang seram banget itu? Cuma dia kali cewek
satu-satunya di dunia yang tetap menyukai Damian
meskipun sudah tahu betapa jahatnya cowok itu!
"Put, ini nggak seperti yang kamu sangka," sahut?ku
cepat-cepat. "Aku dan Damian nggak punya hubung?an
apa-apa kok, beneran..."
"Lalu kenapa kalian ketemu diam-diam begitu?"
Terdengar suara tawa tertahan dari arah Valeria. Saat
pandanganku dan Putri terarah padanya, dia berdeham
dan berkata, "Sori, silakan diteruskan."
Apanya yang "silakan diteruskan"? Dia juga meng?
anggap sikap Putri aneh banget, kan? Buktinya dia
ketawa-ketiwi begitu. Kenapa dia malah tidak mem?
belaku? Apa ini karmaku karena tidak membela Aya
tadi? Putri menatapku penuh permusuhan. Kalau dia sudah
begitu, rasanya seolah-olah ada hawa pem?bunuh me?
nguar dari tubuhnya. Oke, aku harus ralat per?nyataanku:
kebaikan Valeria dan kegalakan Putri me?miliki tingkat
kengerian yang sama tingginya, dan dua-duanya terlalu
dahsyat untuk ditanggung oleh manusia normal seperti
aku. 330 Isi-Omen6.indd 330 Pengakuanku sudah berada di ujung lidah ketika tibatiba Daniel muncul. Apa sih yang cowok itu lakukan di
sini? Tapi, sebelum aku bisa menebak-nebak jawaban dari
pertanyaan itu, cowok itu sudah menarikku dengan se?
demikian rupa hingga tahu-tahu saja aku sudah ber?
lindung di belakang punggungnya.
"Rima nggak ada hubungan apa pun dengan Damian,
Put." Ucapannya yang tegas membuatku tercengang.
"Kalo ada apa-apa, percaya deh sama gue, gue orang per?
tama yang bakalan menghajar Damian."
"Oh ya?" Putri tersenyum sinis. "Sepengetahuanku,
sejak drama beberapa waktu lalu, kamu dan Damian jadi
akrab. Mungkin kamu sekarang ingin melindungi sobat
dan pacarmu?" "Yang bener aja, Put," Daniel mendengus. "Lo kira gue
cowok macam apa? Siapa pun yang berani nyentuh
cewek gue, nggak bakalan gue ampuni deh! Jadi, kalo
gue bilang nggak ada apa-apa, ya nggak ada apa-apa!
Yuk, Rim, kita masuk ke kelas aja, bel masuk udah bunyi
tuh!" Daniel menggiringku pergi. Namun, saat kami me?
lewati Putri, cewek itu menahan lenganku.
"Ini belum berakhir," katanya dengan suara penuh
ancaman. "Pokoknya kita nggak akan ke mana-mana
sampai kamu ceritain semuanya."
Seandainya saja Putri dijadikan interogator negara kita,
pasti tidak ada lagi negara yang sanggup menyem?bunyi?
kan rahasia dari negara kita.
"Sepertinya lo udah berada dalam banyak kesusahan,"
kata Daniel saat kami sudah jauh dari Putri dan
Valeria. 331 Isi-Omen6.indd 331 Aku mengangguk. "Thanks ya, buat tadi."
"No problem." Seraya berjalan, aku mendongak dan menatap cowok
yang jauh lebih tinggi dariku itu. "Tapi, kenapa kamu
belain aku seperti itu? Memangnya kamu tau soal apa
yang mereka bicarain tentang Damian tadi?"
"Nggak sih," geleng Daniel. "Tapi gue percaya sama
elo kok. Lagian," cowok itu menyeringai, "mana mung?
kin pesona Damian ngalahin gue?"
Aku menahan senyum. "Dan dia juga nggak sebaik
kamu. Dia culas banget."
"Bener," angguk Daniel. "Jadi, gimanapun juga, lo nggak
mungkin deh bisa berpindah hati. Hanya satu yang gue
kepingin tau. Dia nyakitin elo nggak?"
Aku menggeleng. "Nggak. Dia nggak kenapa-kenapa
kok." Daniel mengamatiku lekat-lekat. Tatapannya seolaholah bisa mengintip ke dasar hatiku, membuat jantungku
berdebar-debar tak keruan. Buru-buru aku memalingkan
kepala. Apa aku akan diinterogasi lagi? Tidak lucu kalau
aku lolos dari interogator yang satu dan beralih pada
interogator yang lain. Untunglah, sepertinya Daniel tidak ingin memaksaku
bercerita. Nada suaranya manis banget saat dia bertanya,
"Lo bener-bener nggak ingin cerita, ya?"
Aku menunduk dalam-dalam. "Maaf."
"Oke." Aku mendongak dan melihat cowok itu ter?
senyum padaku. Rasanya aku jadi ingin menangis me?
lihat wajah yang begitu baik hati dan penuh pengertian.
"Kalo lo butuh gue, gue sama Inspektur Lukas ya. Nah,
sekarang masuk kelas gih."
332 Isi-Omen6.indd 332 Aku melihat cowok itu beranjak pergi. "Daniel?"
Mendengar panggilanku, cowok itu menoleh.
"Kenapa sih belakangan ini kamu terus-terusan ber?
sama Inspektur Lukas?"
Cowok itu tampak ragu sejenak, lalu tersenyum lagi.
"Tentu saja karena gue nggak sudi lo dituduh sebagai
pelaku. Gue akan bantu Inspektur Lukas menangkap
pelaku sebenarnya. Jadi lo tenang aja ya!"
Oke, ini bukan hanya parno semata-mata. Aku yakin
Daniel juga menyembunyikan sesuatu dariku.
Sebelum memasuki kelas, hal pertama yang tertangkap
oleh mataku adalah kosongnya bangku Erika. Aneh ba?
nget. Memang sih, dulu anak itu hobi bolos, tapi ke?biasa?
an itu sudah berkurang cukup banyak sejak dia berteman
dengan Valeria. Namun, belakangan ini, demi menyesuai?
kan diri dengan Eliza, Erika tidak pernah bolos lagi.
Sama sekali. Kecuali untuk tugas dari guru dan sebagai?
nya, seperti kemarin ketika dia disuruh membungkus
goodie bag di kantor Bu Rita.
Oke, sebenarnya kerjaan itu aneh juga. Terus terang
saja, sangat mencurigakan. Dari sekian banyak murid
jujur dan rajin di sekolah kami, kenapa Erika Guruh si
murid paling bandel yang disuruh membungkus goodie
bag? Aku punya kecurigaan tersendiri, tetapi, sekali lagi,
aku harus bisa menemukan bukti-bukti dulu sebelum
memberitahukan teoriku kepada orang lain.
"Rima." Aku menoleh dan mendapati Valeria sudah me?nyusul?
ku. "Sori soal tadi ya," ucapnya perlahan.
Aku menggeleng, tapi tidak tahu harus menyahut apa.
333 Isi-Omen6.indd 333 "Gue tau kita semua berhak punya rahasia masingmasing."
Tunggu dulu. Apa ini hanya perasaanku ataukah... Ya
Tuhan, Valeria juga menyimpan rahasia dari kami! Ke?
lihat?an banget cewek itu mengalihkan tatapannya saat
meng?ucapkan kata-kata itu. Padahal dalam setiap per?
cakap?an, Valeria selalu memandangi lawan bicaranya.
Memangnya apa yang dia sembunyikan? Apakah kejadian
yang menyangkut geng motor Rapid Fire itu? Meski
sangat bersyukur Valeria selamat dari pengeroyokan itu,
aku menganggap kejadian itu lumayan janggal. Geng
motor itu sudah mendapatkan Valeria dalam genggaman
mereka, tapi mereka melepaskannya. Apa alasan yang
mem?buat mereka berbuat begitu? Hanya karena mereka
ingin memberi peringatan? Tapi, terus terang saja, untuk
geng motor dengan reputasi seburuk Rapid Fire, bisa
dibilang mereka benar-benar bermurah hati banget me?
lepas?kan Valeria begitu saja.
Jangan-jangan, situasi sebenarnya memang tidak se?
gampang itu, dan Valeria menutupinya dari kami se?
mua. "Tapi saat ini situasi kita bener-bener gawat. Kalo kita
nggak sanggup membongkar kasus ini, kita bakalan di?
bubarin sama bokap gue. Lo inget kan soal tingkat
sinkronisasi itu?" Meski aku bukan Erika yang punya daya ingat foto?
grafis, mana mungkin aku bisa lupa dengan hal yang
begitu penting? "Iya, aku inget."
"Kalo gitu, please, do something dong, Rim. Gue nggak
mau berpisah dari elo dan temen-temen lain. Tapi kalo
kayak gini terus, hal itu nggak akan terelakkan lagi."
334 Isi-Omen6.indd 334 Aku tahu. Aku juga tahu, semua ini akan menjadi
salah?ku, tapi saat ini aku benar-benar belum bisa me?
ngata?kan apa-apa. Salah sedikit saja, semuanya akan jadi
berantakan. "Maaf ya, Val."
Kali ini Valeria tidak menyahutiku, melainkan lang?
sung masuk ke dalam kelas. Tanpa perlu kata-kata, semua?
nya sudah jelas. Dia kecewa sekali padaku.
*** Sepanjang pelajaran pertama, aku tidak bisa berkon?sen?
trasi. Aku tahu teman-teman sekelas sudah mendengar
cerita Preti, dan saat ini mereka berbisik-bisik mengenai?
ku sembari sesekali mencuri-curi pandang. Tentu saja
mereka tidak berani mengatakan pendapat mereka ten?
tang diriku terang-terangan karena mereka takut pada
reputasiku sebagai sang Peramal. Mungkin mereka takut
dikutuk menjadi korban berikutnya. Tetap saja, aku bisa
merasakan tatapan mereka yang menyorot penuh
tuduhan, memancar dari segala arah, membuatku merasa
hina dan terkucil. Seperti biasa, aku menenggelamkan diri ke dalam
dunia kegelapan di sekelilingku, di mana aku dipagari
oleh tirai rambutku yang tebal, dan aku akan meng?
anggap dunia di luar tirai itu tidak ada. Tapi saat ini hal
itu tidak menolong sama sekali. Soalnya, meski aku bisa
menganggap semua orang itu tidak ada, aku tidak bisa
melakukannya pada teman-temanku sendiri. Aya, Putri,
dan juga Val. Dalam kesunyian ini aku bisa merasakan
ke?sedihan Aya saat aku tidak membelanya. Dalam ke?
335 Isi-Omen6.indd 335 sunyi?an ini aku juga bisa merasakan sakit hatiku sendiri.
Rasanya benar-benar menyedihkan saat mengetahui
temanmu yang paling sabar dan baik hati pun akhirnya
kecewa padamu. Apakah aku benar-benar begini payah?
Apakah keputusanku salah?
Bagaimana dengan tingkat sinkronisasi kami yang
sudah kukacaukan? Apakah setelah semua ini, kami akan
tetap dianggap cukup kompak untuk bekerja bersamasama? Ataukah kami akan dipisahkan?
Saat pelajaran pertama berakhir, aku sudah membuat
keputusan. Sayangnya, sebelum aku melakukan sesuatu, salah satu
teman sekelas kami yang tadinya pergi ke toilet me?
nyeruak ke dalam kelas dengan tampang penuh se?
mangat. "Eh, si Aya yang anak kelas XII IPS 1 tuh,
kalian tau nggak? Yang jadi bendahara OSIS itu lho!
Ternyata dia yang jadi otaknya Kasus Penjahit Manusia
lho!" APA?! "Yang bener?" Valeria menyergah ke depan. "Siapa
yang bilang gitu?" Aku bisa melihat raut wajah Fio, teman sekelasku itu,
tampak bangga lantaran diajak bicara oleh cewek paling
populer di sekolah. "Tadi gue kan ke toilet, terus gue
lihat ada kerumunan di dekat kantor kepala sekolah, jadi
gue tanya aja anak kelas sebelah yang sedang nonton
juga. Katanya, dia barusan dari bawah dan denger berita
soal Aya yang lagi disuruh tanda tanganin surat peng?
akuan di kantor kepala sekolah!"
Aku hanya bisa terpaku di tempat.
"Nggak mungkin!" geleng Valeria. "Aya nggak akan
336 Isi-Omen6.indd 336 mau nanda tanganin surat apa pun! Dia kan nggak
salah!" "Oh ya, dia temen deket lo ya?" tanya Fio penuh
simpati. "Pasti lo sedih banget ya. Nggak nyangka temen
deket sendiri ternyata kayak gitu..."
"Nggak, bukan begitu!"
Seluruh kelas melongo mendengar ucapan itu, ter?
masuk Valeria. Baru kusadari, ucapan itu keluar dari
mulutku. Tidak heran mereka semua shock, soalnya biasa?
nya aku tidak pernah bicara keras-keras, apalagi dengan
nada nyolot seperti yang barusan kulakukan. Tapi aku
tidak berniat berhenti begitu saja hanya karena seluruh
kelas mendadak hening dan seluruh kuping siap
mendengar setiap kata yang kuucapkan.
Oke, ralat sejenak. Sebenarnya aku gemetaran saat ini,
soalnya aku benci menjadi pusat perhatian?biarpun
sudah nyaris setahun menjabat sebagai ketua OSIS, aku
masih tetap demam panggung setiap kali bicara di depan
umum?tapi aku tidak bisa berhenti bicara. Aku tidak
ingin berhenti bicara. Bukan karena aku merasa bersalah


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena sebelumnya tidak membela Aya. Walau?pun me?
rasa bersalah, mungkin aku akan tetap melakukan hal
yang sama jika ditempatkan pada situasi yang sama
dengan tadi. Tapi sekarang berbeda. Meski berbeda kelas,
semua orang di sini adalah teman-teman satu angkatan
Aya. Aku tidak senang mendengar mereka bicara seolaholah Aya adalah penjahat bermuka dua yang selama ini
berpura-pura baik. Asal tahu saja, mereka salah orang.
"Aya nggak mungkin menjadi otak dari kejahatan
yang terjadi kemaren. Aya bahkan nggak mungkin men?
337 Isi-Omen6.indd 337 jadi otak dari kejahatan mana pun juga. Soalnya dia
bukan orang seperti itu. Dia sama sekali nggak jahat.
Saat ini dia cuma korban fitnahan. Aku tau kalian nggak
terlalu kenal Aya, tapi sebelum tau kejadian yang sebenar?
nya, seharusnya kalian jangan langsung nge-judge dia
yang nggak-nggak!" "Tapi dia udah ada di dalam kantor Kepala Sekolah!"
bantah Fio. "Harusnya itu udah pasti dong!"
"Kan kamu nggak lihat apa yang mereka lakukan di
dalam kantor Kepala Sekolah!" tukasku. "Kalo mereka
udah keluar dan semuanya udah final, belum telat kalo
kamu masih kepingin jadi orang pertama yang sebarsebarin berita ini!"
Wajah Fio merah padam mendengar sindiranku.
Mungkin karena rasa malu, dia pun mengatakan sesuatu
yang pastinya berada dalam pikiran semua orang namun
tidak berani diucapkan keras-keras. "Yah, gue kan me?mang
nggak tau apa-apa. Beda sama elo yang udah nye?laka?in
Tini! Lo yang lebih tau komplotan lo itu siapa aja!"
"Terserah, kalian mau berpikir apa tentang aku."
Dengan kata-kata ini, aku menegaskan kepada semua
orang bahwa aku tahu apa yang mereka pikirkan tentang
aku. Sepertinya teman-teman sekelasku juga menyadari
hal itu, karena beberapa terkesiap, beberapa lagi me?
maling?kan muka seolah-olah takut perasaan mereka ter?
baca olehku. Mendadak saja timbul niat jail yang sudah
lama tak kulakukan. "Yang jelas, kalian tau aku ini sang
Peramal. Aku nggak perlu bersusah payah melakukan ke?
jahatan kok. Kalau ada yang berani macem-macem sama
aku, aku hanya tinggal mengutuk, dan orang itu bakalan
hidup sial selamanya."
338 Isi-Omen6.indd 338 Lucu juga melihat wajah anak-anak, terutama Fio,
kompak memucat. Rasanya seperti ada seniman tak ter?
lihat yang mencipratkan warna-warna lucu ke wajah
anak-anak itu. "Mantap memang ketua OSIS kita," ucap satu-satunya
murid yang tidak berwajah pucat melainkan agak ke?
merah?an alias Valeria. Tampaknya cewek itu berusaha
setengah mati menahan tawa. "Memang bener kata-kata?
nya. Sebelum kalian mengecek kebenarannya, sebaiknya
jangan nyebar-nyebar berita yang belum tentu benernya.
Seandainya berita itu salah, kan kalian sendiri yang
malu." Segala perasaan yang tidak enak yang tadi sempat me?
menuhi rongga dadaku lenyap seketika saat Valeria
menggandeng tanganku. "Ayo, Rim, kita cari Aya."
Aku mengangguk seraya menahan rasa senang yang
membuatku kepingin menari-nari. Wibawaku bisa runtuh
kalau sampai ada yang melihat hantu sumur menari-nari
dengan gaya dangdut seraya mengikuti cewek paling
populer di sekolah. Kami berjalan keluar dari kelas di?
ikuti tatapan setiap anak di kelas kami. Entah apa yang
mereka pikirkan, aku tidak peduli lagi.
Di koridor kami bertemu Putri yang baru turun dari
kelasnya di lantai empat.
"Hei!" serunya. "Aku denger Aya sedang disidang di
kantor kepala sekolah!"
"Iya, justru karena itu kami keluar dari kelas," sahut
Valeria dengan nada cemas.
Putri melirikku. "Ikut juga toh? Atau cuma karena
kepo?" 339 Isi-Omen6.indd 339 Ouch. "Nggak," Valeria tersenyum. "Dia tadi belain Aya lho
di depan kelas. Kata Fio yang tadi sempet ngasih tau,
Aya disuruh tanda tanganin surat pengakuan..."
"Yang bener aja!" sergah Putri. "Siapa bilang? Aku de?
nger cuma disidang kok, dan yang bilang petugas ke?
bersihan!" "Kalo Fio sih bilang, anak kelas sebelah yang ngomong
gitu sama dia," ucapku perlahan lantaran takut disemprot
Putri. "Anak kelas sebelah yang mana?"
Saat itu juga jawaban itu terjawab. Tampak Nikki se?
dang menonton dari balkon yang menjorok keluar dari
koridor, yaitu satu-satunya tempat yang bisa digunakan
untuk mengintip kantor kepala sekolah yang notabene
ada di gedung yang sama dengan ruangan kelas kami.
Saat melihat kami muncul, cewek itu langsung me?nyung?
gingkan senyumnya yang sepertinya membelah mukanya
menjadi dua bagian. "Hai," sapanya dengan suara gembira yang terdengar
sangat tak menyenangkan. Sepertinya suara itu hanya
terdengar di saat orang-orang mengalami kemalangan.
"Temen kalian sepertinya lagi dalam kondisi gawat
tuh." "Dan lo bisa tau itu dari pandangan jarak jauh," sindir
Valeria. "Hebat bener ya! Atau lo punya alat penyadap
di kantor Bu Rita?" "Gue kan barusan dari bawah," sahut Nikki dengan
tam?pang polos. Harus kuakui, cewek itu memang pandai
ber?akting. Untuk orang yang tidak mengenal kepribadian?
nya yang culas, dia tampak seperti cewek manis dan
340 Isi-Omen6.indd 340 polos ala cewek-cewek girlband Korea: kulit putih, rambut
merah keriting, dan mata lebar dengan lensa kontak ber?
warna cokelat yang membuat matanya terlihat lebih
besar daripada ukuran seharusnya. Tidak ada yang me?
nyangka cewek dengan penampilan semanis itu memiliki
hati seculas ular. "Tadi gue sempet nanya sama polisipolisi yang menjaga kantor Bu Rita. Tapi sebenarnya,
nggak perlu turun ke bawah kita juga bisa tau. Dari gaya
mereka aja udah ketauan banget. Polisi-polisi itu jahat
banget sama Aya, dan Bu Rita juga garang banget. Dan
omong-omong, lo tau siapa yang ngaduin Aya dan bikin
dia terlibat semua kesulitan itu?"
"Kamu?" tebak Putri dengan nada sarkastis.
"Tentu bukan dong." Nikki tertawa kecil. "Mana mung?
kin gue melakukan hal sejahat itu! Kalian pasti nggak
menduganya. Tukang ngadu itu ternyata Erika, bekas
temen baik kalian!" Kata-kata itu menyambar kami bagaikan petir di te?
ngah siang bolong. "Lo bohong!" Baru pertama kali ini aku melihat Valeria kehilangan
kendali diri. Dalam sekejap dia sudah berdiri di depan
Nikki dengan satu tangan mencengkeram kerah baju
Nikki dan tangan lain siap menonjok mukanya.
"Hei, hei, Val!" Putri buru-buru menahan Valeria, demi?
kian juga aku. Kalau saja bukan karena kami menariknarik tangannya, aku yakin Valeria sudah menonjok
muka Nikki. Sejujurnya sih, aku kepingin juga melihat
Nikki ditonjok. Dulu Putri pernah menonjoknya, dan
pe?mandangan itu lumayan menyenangkan. Seandainya
saja bisa diulang kembali, tapi kali ini Valeria tidak pu?
341 Isi-Omen6.indd 341 nya alasan kuat, dan aku takut Valeria mendapat kesulit?
an karenanya. "Kali ini lo udah keterlaluan, Nikki!" teriak Valeria.
"Berani-beraninya lo mengadu domba kami! Asal lo tau
aja, gue udah lama banget bersabar sama elo. Tapi kali
ini gue nggak akan segan-segan lagi kalo lo ngejelekin
temen gue!" "Kenapa sih lo jadi marah-marah begini?" Aku bisa
melihat kilasan ketakutan di raut wajah Nikki, tapi lagilagi cewek itu sanggup menutupinya dengan ahli. "Gue
cuma ngomong apa adanya kok. Kalo lo nggak percaya,
coba deh lo lihat sendiri. Sayangnya, mereka udah
masuk ke kantor Bu Rita. Jadi kalo lo mau lihat, lo kudu
masuk ke kantor Bu Rita. Tapi gue rasa itu bukan sesuatu
yang sulit bagi kalian, kan?"
"Dia bener, Val," ucapku. "Daripada kita buang-buang
waktu dengan dengerin orang yang nggak bisa dipercaya
atau bikin keributan yang nggak ada gunanya, lebih baik
kita denger langsung dari sumbernya. Ayo, kita pergi
saja!" Dengan susah payah, akhirnya Valeria bisa mengontrol
emosinya. "Oke," sahut Val sambil melemparkan tatapan yang
amat sangat mengerikan pada Nikki. Lagi-lagi tatapan itu
mengingatkanku pada Mr. Guntur. Gila, ayah dan anak
ini benar-benar mirip dalam hal yang sangat tidak me?
nyenangkan. "Kalo sampe lo bohong, percaya deh, Nik,
lo bakalan butuh operasi plastik dalam jumlah besar!"
Seraya berkata begitu, cewek itu menghambur pergi.
Putri langsung berlari mengejarnya, namun Nikki ber?
hasil menahanku. 342 Isi-Omen6.indd 342 "Mana Daniel?" tanyanya dengan suara manis yang
ter?dengar berbahaya di telingaku.
Setahuku Daniel bersama Inspektur Lukas, tapi aku
tidak berniat mengatakan hal itu pada Nikki.
"Bukan urusanmu," ucapku dingin.
"Kalo ketemu, bilang Nikki titip salam ya."
Apa sih maksudnya? Aku memandangi cewek itu, dan mendadak me?m?per?
hati?kan, bibir cewek itu agak bengkak. "Kenapa bibirmu?
Luka?" "Ah." Cewek itu mengusap bibirnya dengan gaya ter?
heran-heran, seolah-olah lupa kenapa bisa ada luka di
situ. "Gara-gara tadi dicium Daniel, kayaknya."
APA?! Seumur hidupku, baru kali ini aku kepingin memukul
orang karena benci. Tapi aku tahu, kalau aku me?mukul?
nya, cewek itu akan tahu dia berhasil memengaruhiku.
Jadi aku hanya balas tersenyum dan berkata, "Jangan
mimpi. Lebih baik Daniel mencium Pak Rufus daripada
kamu, tau?" Seraya berkata begitu, aku menepiskan tangannya dan
pergi meninggalkannya. Demi Lucifer dan setiap bisikan?
nya yang jahat, hanya dengan sedikit kata-kata itu saja,
Nikki berhasil membuatku kacau! Kenapa tiba-tiba dia
menyinggung soal keberadaan Daniel? Apa benar dia tadi
bertemu Daniel? Apa dia sudah mencelakai Daniel?
Oke, jangan berpikir terlalu jauh. Sekarang susul
Valeria dan Putri, cari Aya, dan Daniel yang seharus?nya
juga ada di situ. Semoga Daniel ada di situ.
Ya Tuhan, Nikki benar-benar luar biasa! Kenapa dia
343 Isi-Omen6.indd 343 bisa membuat pikiranku jadi kacau dalam waktu sekejap
begini? Akhirnya aku berhasil mengejar kedua temanku.
"Val..." "...ini nggak mungkin terjadi," aku mendengarnya ber?
bisik panjang lebar bagai mengucapkan mantra untuk
menangkal sesuatu yang ditakutinya. "Nggak mungkin
Erika berubah seperti ini. Nggak mungkin dia berbalik
nge?lawan kita. Nggak mungkin Erika mengkhianati
gue!" "Dia nggak mengkhianati kamu, Val," ucapku. "Percaya
deh sama aku. Dia hanya..."
Tapi Val tidak mendengarku sama sekali. Malahan, dia
ber?jalan lebih cepat lagi. Padahal di antara kami dan kantor
Bu Rita terdapat beberapa polisi yang sedang ber?jaga-jaga,
termasuk polwan yang tadi pagi menjaga Aya.
Aku hanya bisa terpesona memandangi gerakan Val.
Dengan luwes cewek itu menerobos para polisi. Tanpa
mengindahkan hadangan dan protesan mereka, Val ber?
hasil berkelit dan menghindar dari mereka. Benar-benar
mirip adegan slow motion dalam film The Matrix ketika
Neo menghindar dari berondongan peluru yang hendak
menghabisinya. Pokoknya keren banget.
Namun, adegan ini tidak berakhir menyenangkan.
Saat kami akhirnya berhasil memasuki ruangan Bu
Rita?yep, jangan tanya, pokoknya aku dan Putri berhasil
mengekor Valeria dan selamat dari sergapan para polisi
yang tampak marah itu?kami menemukan Bu Rita dan
Inspektur Lukas yang tampak angker, Aya yang sedang
duduk dengan wajah tertunduk, serta Erika yang berdiri
seraya bersedekap dengan gaya pede prima ganda.
344 Isi-Omen6.indd 344 Wajah Aya terangkat saat kami masuk, dan hatiku se?
rasa remuk melihat air mata yang berlinang di pipinya
serta ingus yang membasahi hidungnya.
"Guys," bisiknya dengan tampang mengenaskan yang
belum pernah kulihat pada diri Aya yang selalu easy
going dan penuh percaya diri, "matilah gue sekarang."
345 Isi-Omen6.indd 345 Valeria Guntur OH God. Rasanya aku tidak bisa memercayai penglihat?
anku sendiri. Ternyata Nikki benar. Erika benar-benar mengadu pada


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bu Rita. Bisa kulihat sobatku?atau lebih tepatnya lagi,
mantan sobat?menyeringai senang seraya menonton
adegan penyiksaan yang dilakukan Bu Rita dan Inspektur
Lukas terhadap Aya. Baru kali ini aku me?nyadari betapa
menyebalkannya punya musuh seperti Erika. Pada saat
dia menyeringai seperti itu, kita tahu dia ber?ada di atas
angin dan kita tidak bakalan bisa me?ngalahkannya.
Lebih tepatnya lagi, seolah-olah dia ada?lah penguasa
langit dan bumi sementara kita hanyalah budak-budak
rendahan yang bisa disentil-sentil seenak jidat.
Enak saja! Aku tidak sudi diperlakukan seperti itu!
Kami kan tidak salah. Aya tidak salah, demikian juga
Rima dan Putri. Mana mungkin aku menyerah begitu
saja hanya karena lawan kami adalah Erika Guruh. Yah,
aku tahu dia punya daya ingat fotografis, selalu punya
akal-akal ajaib dan keren, serta tidak pernah kalah waktu
berantem, tapi bukannya aku bodoh-bodoh amat, kan?
346 Isi-Omen6.indd 346 "Inspektur Lukas! Bu Rita!" semburku tanpa bisa me?
nahan diri. "Apa-apaan ini? Apa yang kalian lakukan
pada Aya?" "Valeria!" balas Bu Rita tidak kalah galak. "Kamu yang
apa-apaan, masuk ke kantor saya tanpa diundang..."
Inspektur Lukas mengangkat sebelah tangannya, dan
Bu Rita terdiam. Wibawa polisi ganteng memang sulit
dilawan. "Maaf, Valeria," ucap sang inspektur dengan nada
tajam. "Ini bukan urusan kalian. Kalian tidak berhak
men?campuri penyelidikan kali ini."
"Penyelidikan?" salakku. "Ini bukan penyelidikan! Ini
maksa orang untuk mengakui sesuatu yang bukan ke?
salah?an mereka!" "Bukannya itu tanpa dasar, kan?"
Aku menoleh pada Erika yang mengucapkan kalimat
terakhir itu. Cewek itu tersenyum pongah, membuatku
terpana. Aku tahu Erika dan Eliza kembar, tapi selama
ini aku tidak pernah merasa mereka mirip, bahkan ketika
mereka berusaha menyama-nyamakan penampilan me?
reka. Namun saat ini, aku bisa melihat Erika mirip ba?
nget dengan Eliza. Oh God. Aku tidak ingin dia berubah jadi Eliza. Tapi
melihat apa yang sudah dia lakukan, sepertinya ini su?
dah tak terelakkan. Aku sedih banget. "Gue ngomongin semua ini bukannya tanpa bukti dan
saksi lho," kata Erika dengan kepedean tinggi seolah-olah
ucapannya adalah kebenaran yang mutlak dan tidak bisa
dibantah. "Gue udah nanya si Asep..."
347 Isi-Omen6.indd 347 "Asep?" "Tukang parkir di depan sekolah," Erika berdecak tak
sabar. "Katanya Aya masih tetep tinggal di sekolah
hingga sore." "Tapi soal Aya pulang telat itu kan Inspektur Lukas
juga tau!" seruku. "Dan Aya nggak sendirian. Ada juga
OJ dan Gil yang nempel terus sama dia bagaikan lintah.
Kalo memang Aya ngelakuin sesuatu, sudah pasti dua
anak itu ikutan. Tapi kenapa mereka nggak dipanggil?"
"Mereka nggak mungkin ikut-ikutan," tegas Inspektur
Lukas. "OJ anak Atase Julius, sementara Gil putra Mr.
Ezra yang merupakan produser musik terkenal. Nggak
mungkin mereka ngelakuin hal ini..."
"Jadi yang mungkin cuma anak-anak yang ortunya
manusia biasa seperti ortu saya dan ortu Aya?" Rima
memotong dengan suara perlahan namun jelas terdengar
oleh semua orang dalam ruangan itu.
"Bukan itu maksud kami..."
"Atau yang ortunya udah bangkrut seperti ortu saya?"
sambung Putri tanpa mengindahkan interupsi Inspektur
Lukas. "Dan omong-omong, yang nuduh kami ini ortu?
nya juga biasa-biasa aja."
"Hush, orang-orang yang punya anak seperti gue dan
Eliza nggak mungkin biasa-biasa aja," cibir Erika. "Bonyok gue kerbek banget, tau?"
"Iya, tau," cetusku kasar. "Keliatan banget kok. Sama
seperti orang-orang kerbek lain, anak-anaknya nggak
beres semua. Lebih tepatnya lagi, psikopat semua!"
Erika mendelik. "Lo berani ngatain gue psikopat?"
"Kenapa nggak?" balasku nyolot. "Cuma psikopat yang
nggak malu-malu nyalahin orang nggak berdosa. Kemung?
348 Isi-Omen6.indd 348 kin?an besar, yang ngelakuin semua ini justru elo dan elo
melimpahkan semua kesalahan lo sama kami!"
"Tega-teganya lo!" sergah Erika. "Sebagai temen deket
gue, lo tau gue trauma dikatain Omen, dan lo tetep
nggak malu-malu ngatain gue psikopat?"
"Temen deket?" Aku tertawa dengan nada menghina.
"Sekarang lo baru sebut gue temen deket. Memangnya
di mana elo beberapa bulan terakhir ini?"
"Di depan mata lo, dasar buta!"
"Elo yang buta!" bentakku berang. "Lo yang kagak bisa
melihat, yang mana yang bener dan yang mana orang
brengsek jahanam! Apa karena lo haus kasih sayang, lo
rela nukerin moral lo yang nggak seberapa itu dengan
kasih sayang palsu?"
"Dasar brengsek!" Erika balas membentak. "Kasih
sayang ortu gue nggak palsu!"
"Oh ya? Terus kenapa mereka membuang lo beberapa
waktu lalu?" Tangan Erika berkelebat dengan cepat, tinjunya meng?
incar wajahku. Tapi aku tidak kalah cepat. Aku berhasil
menangkap tangan yang siap menamparku itu dan me?
nahannya. Aku bisa mendengar suara kesiap di belakang?
ku. Sepertinya semua orang shock karena aku berhasil
menahan serangan Erika yang terkenal tidak pernah
gagal?semua orang termasuk Erika sendiri. Aku bisa me?
lihat wajah bekas sahabatku itu tampak terguncang.
Terus terang saja, aku sendiri juga terkejut. Tidak kuduga
aku ternyata selihai ini.
Erika menyentakkanku, dan aku buru-buru melangkah
mundur, hanya untuk berjaga-jaga jika Erika menyerang?
ku lagi. Tetapi cewek itu hanya memberengut.
349 Isi-Omen6.indd 349 "Lo hoki kali ini," katanya dengan suara mengancam.
"Lain kali, kalo lo berani ngebacot kayak bebek yang
nggak pernah diajar lagi, lo nggak akan gue ampuni!
Gue bakalan bikin lo nyesel umur hidup!"
"Ha-ha-ha, coba aja!" tantangku. "Gue kepingin liat,
yang nyesel gue atau elo! Dasar preman goblok! Cuma
ingetannya aja kuat, logikanya nggak jalan sama sekali!
Asal lo tau aja, zaman sekarang ingatan kuat kagak ada
gunanya sama sekali! Kalo kita lupain sesuatu, kita
tinggal googling aja!"
"Oh, gitu? Gitu?" sergah Erika. "Cih, lihat tampang lo
aja gue tau, lo ngomong gitu cuma karena lo iri! Lo tau
nggak, berapa orang di dunia ini yang punya daya ingat
fotografis, hah?" "Kagak tau!" balasku. "Memangnya lo tau?!"
"Kagak tau juga!" sahutnya nyolot. "Tapi pokoknya
dikit, dan lo nggak termasuk salah satu di antaranya!
Duh, kasian deh lo! Mendingan lo nyebur ke laut aja
terus tenggelem dan dimangsa ikan hiu!"
"Diam lo! Ikan hiu udah terancam punah, bego!"
"Lo pikir yang begituan aja gue nggak tau? Itu mah
cetek banget! Asal lo tau aja, justru karena udah langka,
makanya cuma orang-orang yang karmanya jelek aja
yang bisa dimangsa ikan hiu! Kayak elo tuh!"
"Eh, kampret! Yang karmanya jelek itu elo, bukan
gue!" "Cukup!" Mendadak Inspektur Lukas nongol di tengahtengah kami berdua. Kedua tangannya mendorong bahu
kami sehingga aku dan Erika terpaksa mundur beberapa
langkah. "Kalian berdua berisik sekali! Bikin kami se?mua
jadi pusing, tau?!" 350 Isi-Omen6.indd 350 Baru kusadari semua orang hanya terdiam mendengar
ocehan kami, termasuk beberapa polisi yang rupanya juga
sudah mengikuti kami masuk ke ruangan ini. Bah?kan Aya
yang tadinya menangis tak keruan kini sudah tenang
kembali. Dalam keheningan, yang terdengar hanyalah
bunyi napas Erika dan aku yang terengah-engah.
Lalu mendadak terdengar bunyi ingus yang dikeluar?
kan dengan suara keras. "Sori," ucap Aya malu-malu seraya membersit hidung.
"Ingus gue kentel banget."
Entah kenapa, aku merasa ingin tertawa keras-keras.
Ke?seluruhan situasi ini benar-benar lucu dan menggeli?
kan. Seandainya aku hanya penonton biasa, aku pasti
sudah ngakak. Tapi aku tahu aku tidak boleh melakukan
hal itu. Sama sekali tidak boleh. Soalnya, saat ini aku
berada di depan musuh besarku alias Erika Guruh. Aku
harus kelihatan sangar, keren, dan berdarah dingin.
"Nggak usah dijelasin kali, man," kudengar Erika meng?
gerutu perlahan. "Sekarang kalian semua diam, oke?" tegur Inspektur
Lukas dengan suara putus asa. Setelah berkata begitu,
polisi malang itu mulai memijit-mijit keningnya seakanakan dia barusan terkena migrain. "Saya tidak mau men?
dengar perdebatan apa pun lagi! Pokoknya, sekarang saya
mau kalian semua diam, dan hanya saya yang boleh
berbicara." "Juga saya," sela Bu Rita, dan lagi-lagi aku ingin ter?
tawa keras-keras. "Iya, juga Bu Rita," sahut Inspektur Lukas agak malu.
"Valeria, Putri, dan Rima, sebaiknya kalian keluar dari
ruangan ini sekarang juga. Campur tangan kalian tidak
351 Isi-Omen6.indd 351 diharapkan di sini. Erika, terima kasih atas bantuanmu.
Sekarang kamu boleh kembali ke kelas."
"Masa?" tanya Erika heran. "Kan saya udah bantuin
kalian semua menangkap biang masalah kali ini."
"Halah, nangkep orang yang salah juga," ejekku. "Malu
tuh!" "Eh, tutup bacot lo ya..."
"Erika, Val, tolong tenang dulu!" teriak Inspektur
Lukas dengan suara frustrasi. "Kalau kalian berdua mulai
teriak-teriak lagi, saya tidak akan malu-malu lagi men?
jebloskan kali?an ke dalam penjara dengan tuduhan me?
nyiksa aparat negara!"
"Cih, begitu saja nyiksa," cibir Erika. "Dasar polisi ber?
mental lemah!" "Memang," sambungku. "Gimana kalo kalian disiksa
sama Putri..." Lho, kenapa aku malah setuju dengan Erika? Seharus?
nya aku membantah semua kata-katanya, kan? Sial. Aku
jadi terbawa suasana. "Ada apa sama aku?" tanya Putri dengan suara rendah
dan seram saat namanya disinggung-singgung.
"Nggak kok, Put," sahutku cepat. "Cuma omongan
iseng." "Iya," tambah Erika dengan nada jail yang membuatku
terheran-heran. Cewek ini benar-benar aneh. Maksudku,
sebelumnya dia memperlakukan kami seolah-olah kami
adalah musuh bebuyutan yang harus dibasmi, tapi kini
mendadak saja dia lupa dengan semua permusuhan itu.
"Lagian belum tentu juga elo yang disebut-sebut si Val,
kan nama lo pasaran..." Suara Erika lenyap saat Putri
352 Isi-Omen6.indd 352 mem?berinya lirikan tajam penuh hawa pembunuh.
"Maksud gue, nama lo bagus, jadi banyak yang pake."
"Sudah, cukup!" Kami semua dihalau ke arah pintu
secara paksa oleh polwan cewek yang tadi pagi menjaga
Aya. Tanpa belas kasihan, kami berempat dijejalkan me?
lewati pintu kantor Bu Rita yang sempit. Kepalaku ber?
benturan dengan kepala Rima, tanganku terjepit di
antara tubuhku dan tubuh Putri, dan aku cukup yakin
siku Erika-lah yang barusan menyodok perutku. "Kalian
semua keluar dari sini. Biar kami saja yang meng?urus
sisanya!" "Eh, eh, tunggu!" teriakku. "Ada yang ketinggalan!"
"Apa?" tanya si polwan curiga.
"Itu, temen kami Aya!" Aku melambai-lambai pada
Aya. "Ayo, Ay, kita cabut..."
"Aya tetap tinggal," sahut si polwan dengan muka
killer. Bisa kubayangkan, nanti kalau sudah dewasa, tam?
pang Putri pasti mirip wanita ini. "Dia masih harus di?
periksa. Semoga saja nanti sebelum pulang sekolah, kasus
ini sudah ada titik terangnya. Tapi untuk sementara se?
baik?nya Aya tetap berada di sini."
"Apanya yang titik terang?" gerutu Putri. "Yang di?
tahan nggak bersalah, yang ada malah kasusnya tambah
rumit..." "Udah, nggak usah dibelain lagi," sela Erika. "Temen
kayak gitu mah direlain aja."
"Ngomong sesuai pengalaman ya?" ketusku. "Sayang?
nya lo sendiri kagak begitu. Udah punya sodara psikopat
pun masih aja dibela-belain."
"Eh, lo tolong ya, cukup deh!" Erika berbalik padaku
dan berkacak pinggang. "Sekarang kita udah di luar
353 Isi-Omen6.indd 353 kantor si Rita nih! Nggak ada yang halang-halangin gue
buat ngasih lo pelajaran barang satu-dua jurus! Kalo lo
nggak jaga bacot lo lagi, gue juga nggak akan segansegan lagi!"
"Silakan," balasku. "Lo kira gue takut cuma gara-gara
ditantang cewek preman yang, oh sekarang udah feminin


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kayak Eliza si murid teladan bermuka dua? Lo juga sama
muka duanya, jadi lumayan juga, sekali nonjok muka lo,
rasanya seperti nonjok muka dua orang sekaligus!"
"Oke kalo gitu," Erika menarik-narik lengan bajunya
ke atas. "Ayo kita selesaikan masalah ini dengan cara
jantan..." "Erika!" Serempak kami semua memandang ke arah suara itu.
Rupanya Eliza sedang menunggu di luar kantor guru
bersama Pak Rufus. Keduanya sama-sama tampak kha?
watir, meski aku curiga perasaan Pak Rufus jauh lebih
tulus daripada perasaan Eliza.
"Halo, kalian berdua!" Sial, Erika langsung lupa pada?
ku! Dia melambai-lambai lalu menghampiri Eliza dan
Pak Rufus dengan loncatan-loncatan centil yang bukan
gayanya banget. Pasti ini salah satu pengaruh buruk
Eliza! "Ngapain kalian di sini? Kangen ya!"
"Errrika!" tegur Pak Rufus. "Apa-apaan kamu? Kenapa
kamu menuduh Aya yang nggak-nggak?"
"Ih, Bapak yang sembarangan nuduh!" cela Erika.
"Saya nemuin bukti, Pak! Sebagai warga negara dan
warga sekolah yang baik, ya saya serahkan ke pihak ber?
wenang! Masa saya harus diem aja?"
"Tapi, Ka, ini kan bahaya," sahut Eliza seraya melirik
kami dengan tatapan menghina seolah-olah kami semua
354 Isi-Omen6.indd 354 penyebar kutu atau mungkin kutu itu sendiri. "Gue udah
pernah bilang kan, lo jangan libatin diri dengan anakanak ini!"
"Tenang aja, Za, lo nggak usah khawatir. Gue nggak akan
kenapa-kenapa. Kebenaran pasti akan selalu menang!"
Ha-ha, lucu. Dia pikir dia pihak yang benar? Mungkin
aku perlu menyodorkan kaca padanya.
"Pak." Dengan luwes Rima menyelip di antara Erika
dan Eliza?dan membuat pasangan kembar itu tampak
jengkel karenanya?lalu menghampiri Pak Rufus. "Bapak
tau di mana Daniel?"
"Daniel?" Pak Rufus mengerutkan alis. "Bukannya dia
kembali ke kelas?" "Begitu?" Rima menunduk untuk menyembunyikan
wajahnya. "Baiklah. Terima kasih ya, Pak."
"Kenapa, Rim?" tanyaku begitu cewek itu menghampiri
kami. "Nggak," Rima menggeleng, tapi aku bisa melihat
wajah?nya yang gelisah. "Cuma waktu tadi nganterin aku
ke kelas, Daniel bilang dia mau bantu Inspektur Lukas
nangkep pelakunya. Apalagi dengan kondisi kayak gini,
dia nggak mungkin kembali ke kelas deh. Tapi mungkin
ini hanya pemikiranku sendiri aja sih. Lagi pula..."
"Lagi pula?" tanyaku saat cewek itu tampak sulit me?
nyelesaikan kata-katanya.
"Tadi Nikki sempat ngomong sesuatu soal Daniel," ucap
Rima akhirnya setelah terdiam beberapa saat. "Dia cuma
nitip salam, tapi entahlah, cara ngomongnya nggak enak
banget." "Kalo gitu ngapain kamu masih ngomong panjang
lebar?" tukas Putri. "Telepon aja dia sekarang!"
355 Isi-Omen6.indd 355 Biarpun terkadang terkesan tidak peduli dengan perasa?
an kita, Putri sebenarnya peduli. Hanya saja, dia lebih
peduli lagi pada hal-hal yang menurutnya lebih penting
daripada sekadar mengurusi perasaan orang lain.
"Nggak bisa," geleng Rima. "Aku udah nyoba barusan
waktu Val dan Erika berdebat tadi. Teleponnya mati."
"Kalo gitu," saranku, "ayo kita samperin aja kelasnya
se?ka?rang." "Ide bagus," ucap Putri sambil berjalan mendahului
kami, lalu menerobos Erika, Eliza, dan Pak Rufus dengan
gaya superjutek. "Minggir!"
"Putri!" seru Pak Rufus terhina. "Apa-apaan kamu ini?
Kenapa kamu jadi kurang ajar begini?"
"Biasalah, Pak," ucap Erika dengan gaya pongah se?
olah-olah kesopanannya layak jadi teladan segenap
kalang?an masyarakat. "Anak-anak kalo udah jadi resi?
divis, ya begini deh kelakuannya..."
Suaranya lenyap saat melihat aku memelotot padanya.
Selama satu detik yang sangat lama, kami berdua ber?
tatap?an dengan penuh permusuhan. Bagaikan gerakan
lambat, aku bisa melihatnya membuka mulut, siap me?
nyerangku lagi dengan kata-kata tajam. Tapi, sebelum dia
melakukannya, aku sudah mendahuluinya.
"Dasar pengkhianat!" desisku.
Sekilas, hanya sekilas, aku melihat luka di matanya.
Seolah-olah dia sakit hati dan sedih sekali mendengar
ucap?anku itu. Tapi hanya sekilas, sehingga detik berikut?
nya aku sudah mengira itu hanyalah khayalanku. Kulihat
cewek itu menyeringai dan berkata, "Maaf ya, gue udah
tobat sekarang." 356 Isi-Omen6.indd 356 Aku masih ingin membalasnya, tetapi Rima sudah
meraih tanganku dan menyeretku. Cewek itu pasti sudah
khawatir sekali pada Daniel. Jadi kuputuskan aku tidak
akan meladeni ucapan Erika lagi. Tanpa menoleh lagi,
kami pun berjalan pergi. Kami bergegas ke kelas XII Bahasa 1. Dibanding kelaskelas lain, suasana kelas ini jauh lebih santai. Pada saatsaat seperti ini, guru yang seharusnya mengajar tidak
kelihatan, sementara anak-anak saling melempar kertas,
permen, dan sesuatu yang tampaknya seperti, oh God,
batu?! Oke, setelah diingat-ingat lagi, sepertinya kelas ini
memang tidak punya murid cewek. Tidak heran, suasana?
nya mirip banget dengan suasana sekolah khusus cowok.
"Demi setan-setan di neraka!" Aku mendengar Rima
berbisik. "Lebih tepatnya lagi setan-setan di SMA kita," ralat
Putri dengan dingin. "Sepertinya semua murid nakal ber?
kumpul di sini." Tiba-tiba seluruh kelas itu berubah senyap. Setiap pa?
sang mata menatap ke arah kami.
"Eh, ada cewek!"
"Cewek datengin kelas kita!"
"Akhirnya kelas kita nggak gersang lagi!"
"Mana ada yang cakep, lagi! Eh, gile, ada yang cakep,
bro! Horeee!" "Kalian semua jangan tertipu!"
Terdengar teriakan panik dari belakang yang segera
meng?hentikan sorak-sorai yang sudah nyaris pecah. De?
ngan geli aku mengenali cowok tinggi kurus itu sebagai
Welly, salah satu teman dekat Daniel.
357 Isi-Omen6.indd 357 "Memangnya kalian nggak sadar?" ucapnya keras-keras.
Tampangnya terlihat bangga saat perhatian seluruh kelas
tertuju padanya. "Itu kan Putri Badai! Kalo mulut kalian
nggak sengaja ngucapin satu kata yang nggak ber?kenan
di hatinya, muka kita semua bisa nggak berbentuk lagi,
tau?! Apa kalian mau itu terjadi, sementara muka kita
yang sekarang aja udah pas-pasan?!"
"Lebay bener cowok ini," gerutu Putri. Tapi aku bisa
melihat matanya berkilat-kilat senang.
"Betul, betul!" Cowok tinggi gemuk dengan wajah
welas asih di sebelahnya menyahut dengan penuh se?
mangat. Cowok itu juga tidak asing bagiku. Namanya
Amir, dan dia adalah soulmate Welly. "Dan yang satu lagi
itu, masa sih kalian semua nggak kenal? Dia kan pacar
si Daniel, alias ketua OSIS kita yang terkenal seram, sang
Peramal, Rima Hujan!" Waduh, cara bicaranya khidmat
banget, seolah-olah Rima adalah ibu negara! "Kalo kita
bikin dia nggak seneng, bukan saja Daniel yang bakalan
menghajar kita semua, bisa-bisa kita semua juga dikutuk
jadi korban yang dijahit-jahit terus dipajang di ruangan
Klub Kesenian!" Kedua pidato penuh ancaman itu tampaknya berhasil
membuat semuanya batal membuat huru-hara. Aku
melambai pada keduanya dengan penuh rasa terima
kasih, dan kedua cowok itu juga balas melambai. Tapi
mereka tidak kelihatan berniat menghampiri kami.
Mungkin pidato mereka berhasil menakut-nakuti diri
mereka sendiri. Sebuah sosok berani mati melangkah keluar dari kelas
itu dan menghampiri kami. Ternyata itu si OJ. Wajahnya
tampak cemas. "Hei, gimana kabar Aya?"
358 Isi-Omen6.indd 358 "Nggak bagus," gelengku. "Dia masih di kantor Bu
Rita." "Iya, barusan gue sempet ke sana," sahut OJ muram.
"Tapi lalu gue ditendang sama polwan yang serem ba?
nget itu. Lihat celana gue, masih ada bekas jejak kaki?
nya!" "Daniel mana, OJ?" tanya Rima tanpa basa-basi.
"Daniel?" ulang OJ heran. "Daniel bukannya juga ada
di situ?" "Kalo ada, ngapain kami capek-capek dateng ke kelas
di pojokan yang jorok ini?" ketus Putri seolah-olah OJ
adalah cowok paling bego di dunia.
"Ah, jangan gitu, Put. Mentang-mentang gue pernah
nggak naik kelas, lo nggak mau ngakuin gue sebagai
temen karib lo lagi..."
"Sejak kapan kita pernah karib?" bentak Putri.
"Nggak pernah sih," sahut OJ lalu mengalihkan topik
secepat mungkin. "Jadi, Daniel nggak ada di sana? Aneh.
Dari tadi dia juga nggak ada di kelas."
Kami semua berpandangan. Sesuai dugaanku, ternyata
Daniel memang tidak kembali ke kelas. Oke, semua ini
benar-benar aneh?atau mungkin tidak seaneh yang ku?
pikir?kan. Jangan-jangan, Daniel dicelakai Nikki dan menjadi
salah satu korban Kasus Penjahit Manusia.
Tidak, tidak mungkin. Daniel terlalu kuat untuk Nikki.
Tidak mungkin Daniel bisa dicelakai dengan cara seperti
itu. Pasti ada penjelasan lain.
Tapi kalau begitu, di mana Daniel saat ini?
359 Isi-Omen6.indd 359 Daniel Yusman SEJAK awal, aku punya perasaan kasus ini berkaitan
denganku. Oke, mungkin aku hanya kege-eran. Maklumlah, nama?
nya juga cowok ganteng, sudah tak terhingga ba?nyak?nya
cewek yang bikin onar demi menarik per?hati?an?ku. Jadi
terkadang aku salah tebak, keonaran biasa ku?duga se?
bagai keonaran yang dilakukan cewek-cewek yang caper
padaku. Jadi bisa saja feeling-ku saat ini salah to?tal.
Masalahnya, cewek yang naksir padaku saat ini adalah
Nikki. Demi Cupid yang salah panah (oke, cara bicaraku mu?
lai ketularan Rima nih), serius deh aku tidak tahu ke?
napa cewek itu bisa suka padaku. Maksudku, yah... aku
me?mang ganteng, baik hati, menyenangkan, pokoknya
cowok ideal banget deh, tapi aku tidak bisa mem?bayang?
kan cowok dengan tipe seperti aku bisa menarik per?hati?
an cewek psikopat gila seperti Nikki. Cowok yang se?
harus?nya disukainya kan yang sama jahatnya dengan
dirinya, seperti si Damian.
Jangan salah tangkap. Bukannya aku tidak suka pada
360 Isi-Omen6.indd 360 Damian. Sebaliknya, di luar dugaanku, aku lumayan me?
nyukainya. Beberapa waktu lalu aku pernah bermain
musik bareng dia dan Gil. Ternyata kami lumayan kom?
pak. Sedikit banget pemain musik di sekolah yang bisa
menyamai permainanku. Karena itulah, sedikit-banyak,
aku respek pada anak brutal itu?juga rekannya yang
tengil, tentu saja. Sayang, Damian rupanya lebih senang bersekutu de?
ngan Nikki. Sebenarnya aku heran juga, soalnya dia
tidak kelihatan seperti anak yang senang mencelakai
orang. Bahkan sepengetahuanku, Damian tidak suka men?
campuri urusan orang lain dan lebih suka mengurusi
musiknya saja. Tapi yah, kita kan tidak tahu isi hati
orang. Siapa tahu, meski jiwa musiknya oke banget, dia
juga punya jiwa psikopat.
Pokoknya, cowok seperti Damian lebih tepat jadi tipe
Nikki. Makanya aku tidak mengerti kenapa Nikki malah
mengejar-ngejarku. Bahkan, dia sudah menunjukkan dia
tertarik padaku sebelum aku mulai berpacaran dengan
Rima. Waktu itu kukira ketertarikannya hanyalah salah
satu akal liciknya untuk mencelakai Rima. Tidak di?
sangka, setelah kejadian itu, dia masih sering menerorku.
Terkadang dia meneleponku, terkadang pula dia me?
ngirim SMS (dia tak bakalan bisa menghubungiku de?
ngan cara lain karena aku sudah memblokirnya dari
Facebook, Twitter, BBM, Line, Whatsapp, dan segala
bentuk media sosial maupun aplikasi chatting lain). Aku
tidak pernah menjawab SMS-nya, namun sayangnya, be?
berapa kali aku tidak sengaja mengangkat teleponnya.
Terpaksalah aku berbasa-basi barang dua-tiga menit. Kan
361 Isi-Omen6.indd 361 tidak mungkin aku bilang, "Ups, sori, tadinya nggak mau
ngangkat." Gawatnya, dia selalu mengirim SMS atau meneleponku
malam-malam. Gara-gara itu aku jadi sering tidak bisa
tidur. Bayangkan kalau tahu-tahu dia nongol di depan
jendelaku. Kalau hal itu sampai terjadi, aku tidak bakalan
sungkan-sungkan menjerit histeris.
Pada saat kasus ini dimulai, dan mendadak saja Rima
jadi tertuduh utama, aku langsung curiga berat. Setelah


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

me?mohon-mohon dengan tampang paling memelas yang
bisa kutampilkan?bahkan aku sampai harus mengeluar?
kan jurus Mata Berkaca-kaca segala?Inspektur Lukas
akhir?nya luluh. Apa pun alasannya, aku tidak akan mem?
biarkan Rima menanggung kejahatan yang tidak dilaku?
kannya. Namun gara-gara Nikki, aku merasa apa pun
yang dialami Rima gara-gara jadi tertuduh, semua itu
ada?lah kesalahanku. Aku harus bertanggung jawab.
Tentu saja aku tidak akan mengatakan alasan sebenar?nya
kenapa aku bisa bergabung dengan aparat keamanan. Aku
tidak ingin membuat Rima khawatir. Dia sudah cu?kup
pusing memikirkan dirinya sendiri. Aku tidak ingin me??
nambah beban pikirannya dengan memikirkanku juga.
Kecurigaanku tidak berkurang meski Putri Badai juga
bergabung dalam deretan tertuduh, demikian juga waktu
Aya mulai dicurigai tadi pagi. Feeling-ku tetap saja?
Nikki-lah dalangnya. Mungkin bagi Nikki, sekali tembak,
tiga burung kena?atau empat kalau Val juga dapat gilir?
an. Namun aku mulai ragu, jangan-jangan pendekatanku
salah. Seharusnya aku tidak berusaha memecahkan kasus
ini bersama Inspektur Lukas. Selain polisi itu sangat
362 Isi-Omen6.indd 362 kompeten, Rima dan teman-temannya juga tak bakalan
berpangku tangan. Seharusnya yang kulakukan adalah mendekati Nikki.
Ide ini muncul saat tadi pagi, ketika Inspektur Lukas
sedang menakut-nakuti Aya. Asal tahu saja, Inspektur
Lukas tidak pernah percaya Rima, Putri, ataupun Aya
sanggup melakukan kejahatan itu. Beliau berpura-pura
percaya supaya pelaku yang sebenarnya merasa tujuannya
tercapai dan kehilangan kewaspadaannya. Sayangnya,
sejauh ini, rencana ini tidak terlalu membuahkan hasil,
malahan hanya membuat Rima, Putri, dan Aya menjadi
bingung serta ketakutan. Pada saat pagi-pagi itulah aku melihat Nikki sedang
ber?bicara dengan Eliza. Hmm, menarik sekali. Rima per?
nah bercerita padaku bahwa Erika membuat perjanjian
de?ngan Eliza, bahwa Erika tidak akan berteman lagi
dengan Val dan teman-temannya yang lain, asal Eliza
juga tidak akan berteman lagi dengan Nikki. Tapi dari
yang kulihat, keduanya tampak sangat akrab. Yang lebih
tidak menyenangkan lagi, tampang mereka berdua samasama culas dan penuh kemenangan. Oke, sepertinya aku
harus meralat ucapanku tadi. Kemungkinan rencana
Inspektur Lukas memang berhasil. Melihat penderitaan
Aya dan kebingungan teman-temannya, kedua anak ini
langsung menampakkan watak asli mereka. Memang sih,
mereka melakukannya secara sembunyi-sembunyi, tapi
se?tidaknya aku berhasil melihatnya.
Setelah selesai mengantar Rima ke kelasnya?dan sem?
pat berpapasan dengan Val?tadinya aku berniat kembali
pada Inspektur Lukas dulu. Tapi, saat menuruni tangga,
aku bertemu Nikki. 363 Isi-Omen6.indd 363 "Oppa!" panggilnya ceria.
Oke, selama ini aku senang-senang saja dianggap se?
bagai Rain-nya SMA Harapan Nusantara lantaran tam?
pang?ku sedikit-banyak memang mirip penyanyi dari
Korea itu. Tapi kalau sampai dipanggil oppa begitu?buat
yang belum tahu, oppa adalah panggilan cewek yang
lebih muda untuk cowok yang lebih tua dalam bahasa
Korea?sejujurnya, aku jadi merinding banget. Yah, aku
tidak keberatan waktu mendengar cewek-cewek menyebut
cowok-cowok boyband Korea idola mereka dengan
panggil?an oppa, tapi jangan panggil begitu padaku dong.
Amit-amit. Daripada terdengar sebagai panggilan untuk
abang, kedengarannya lebih mirip panggilan untuk
kakek-kakek. Yah, begini-begini kan aku orang Indonesia
tulen. Mendingan panggil saja aku "akang" atau "mas
bro" daripada oppa begitu.
Aku memelototinya. "Udah gue bilang, jangan panggil
gue begitu!" "Idih, Rain-oppa kalo lagi marah gitu jadi tambah
ganteng deh!" Omaygaaat, rasanya aku kepingin muntah mendengar
ocehan sok manja begitu. Kenapa sih dia tidak meniru
Rima yang lembut tapi dingin? Rima tidak bakalan me?
manggilku dengan nama aneh-aneh. Kurasa baginya
Daniel adalah nama terbagus di dunia, jadi dia tidak
bakal?an memanggilku dengan nama lain selain nama
asliku sendiri. Tapi sepertinya aku tak bakalan bisa menyuruh Nikki
me?manggilku dengan panggilan normal. Ah, sudahlah.
Toh nama panggilan tidak penting-penting amat, apalagi
nama panggilan dari Nikki.
364 Isi-Omen6.indd 364 Ah, iya. Aku kan berencana untuk mendekati dia! Oke,
mendingan aku batal ketemu Inspektur Lukas dan men?
coba mengorek-ngorek dari Nikki saja. "Lo ngapain be?
lum masuk kelas?" "Nungguin Oppa dong."
Halah. Kalau memang dia menungguku, kenapa dari
tadi dia ada di bawah? Dasar cewek gombal. "Buat apa
nungguin gue?" "Ngajakin bolos," jawab cewek itu dengan muka polos.
"Oppa kan seneng bolos. Jadi sekali-sekali boleh dong
bolos bareng sama gue! Gue orangnya fun lho!"
Omaygaaat! Aku kok jadi ketakutan sendiri begini?
"Gitu ya?" Aku memaksakan senyum. "Tapi nanti kalo
ketau?an guru, gue nggak enak sama elo, Nik."
"Nggak apa-apa, gue nggak keberatan kok!" Mendadak
saja cewek itu sudah berpindah ke sampingku dan
menggelayuti lenganku. "Ya? Ya? Kita bolos bareng hari
ini, oke?" "Ehm, oke deh."
"Horeee! Akhirnya bisa bolos bareng Oppa!"
Ingin rasanya aku menepis kepala yang disandarkan ke
bahuku itu. Apa cewek ini lupa aku sudah punya pacar?
Tapi kalau kutepiskan, aku takut dia marah dan rencana?
ku buyar semua?atau lebih parah lagi, bagaimana kalau
dia mencaplok kepalaku dengan mulutnya yang besarnya
tidak kira-kira itu? Serius deh, cewek ini seram banget.
Kita tak bakalan bisa menebak apa yang ada dalam pikir?
annya. Aku mengumpulkan seluruh keberanian dan men?
dorong kepalanya perlahan. "Eh, Nikki, jangan gitu ah.
Gue nggak enak sama Rima..."
365 Isi-Omen6.indd 365 "Emangnya kenapa?" Cewek itu mencibir. "Kan dia
nggak liat!" "Tapi gue tetep nggak enak," sahutku dengan suara
se?tegas mungkin. "Kita juga hanya temen kan, jadi
nggak perlu mesra-mesra gitu deh."
Nikki cemberut. "Gue denger, Rain-oppa dulunya
playboy yang suka ngegenitin semua cewek. Bohong
ya?" "Yah, orang-orang cuma membesar-besarkan aja,"
sahutku buru-buru. "Gini-gini gue selalu respek sama
cewek dan nggak pernah pegang-pegang sembarangan
kok." "Ah, sayang. Padahal gue nggak keberatan lho di?
pegang-pegang." Omaygaaat! Batalkan rencana! Gila, cewek itu benarbenar kedengaran seperti Black Widow, laba-laba betina
yang hobi menggoda laba-laba jantan lalu menggigit
putus kepala laba-laba gebetannya itu! Ya Tuhan, kembali?
kan aku ke kelasku yang ribut tapi damai!
"Tapi ya sudahlah, nanti kita masih banyak kesempat?
an kok!" Aduh, serius. Aku kepingin banget menangis
saat ini. Dari sekian banyak cewek, kenapa justru Nikki
yang begini agresif padaku? "Nah, sekarang kita mau ke
mana? Bukannya dari kemaren Oppa bareng Inspektur
Lukas melulu?" Nah lho! Rencana tidak jadi dibatalkan. Habis, ini
benar-benar mencurigakan. Jangan-jangan hari ini dia
men?dekatiku untuk keperluan ini? Maksudku, dia me?
mang sudah mendekatiku jauh sebelum hari ini, tapi
biasa?nya dia tidak pernah seagresif ini.
"Ehm, memang sih, tapi kayaknya gue nggak akan
366 Isi-Omen6.indd 366 dikasih ikut penyelidikan deh kalo bawa temen, Nik,"
sahutku berpura-pura murung. "Kan sifat penyelidikannya
untuk sementara ini masih rahasia. Yah, nggak apa-apa?
lah, gue rasa sebentar lagi masalahnya juga kelar." Aku
cepat-cepat mengalihkan topik. "Eh, gimana kalo kita
makan bareng aja? Lo udah sarapan?"
"Belum!" sahut Nikki girang. "Kita makan di mana?
Kantin?" "Nggak dong. Di situ mah gampang ketauan Pak
Rufus. Lebih baik kita makan di luar sekolah aja."
"Waah, keren!" seru Nikki senang. "Gue belum pernah
makan di luar waktu jam pelajaran sekolah begini!"
Aku memandangi Nikki. Bicara dengan cewek ini rasa?
nya betul-betul aneh. Habis, aku tidak tahu apakah
reaksi yang dia tampakkan itu benar-benar tulus ataukah
hanya dibuat-buat saja. Kemungkinan besar sih memang
dibuat-buat. Tapi, apa gunanya dia berpura-pura begitu?
Maksudku, andaikan tampangnya datar waktu kuajak
makan pun, aku tidak keberatan kok. Contohnya saja
dua sobatku itu, Amir dan Welly. Setiap kali aku meng?
ajak mereka ke suatu tempat, mereka pasti bakalan
langsung menjelek-jelekkan tempat yang kusebutkan dan
menghina-hinaku seolah-olah aku baru saja mengajukan
ide terburuk di dunia. Tapi buntut-buntutnya aku akan
tahu pendapat mereka yang sebenarnya. Kalau memang
mereka kepingin ikut, mereka akan ikut meski sambil
ngomel-ngomel. Kalau mereka betul-betul malas, mereka
akan mengusirku supaya aku pergi sendirian.
Tidak seperti cewek yang satu ini. Meski tampangnya
kelihatan senang betul, aku ragu apakah itu perasaan dia
yang sebenarnya. Aku bahkan masih tidak tahu dia
367 Isi-Omen6.indd 367 betul-betul naksir padaku atau hanya berakting demi
mendapatkan sesuatu dariku.
Tapi memangnya apa yang dia inginkan dariku? Dia
pikir aku bakalan membocorkan penyelidikan Inspektur
Lukas? Sayangnya, tidak ada yang bisa kubocorkan.
Selain beberapa jejak yang masih kabur, tidak ada ke?
maju?an yang berarti dalam kasus ini.
Kecuali satu hal. Tapi maaf-maaf saja, aku tidak akan
membocorkan yang satu itu. Asal tahu saja, meski dari
prestasi sekolahku maupun tampangku kalian mengiraku
blo?on, aku tidaklah seblo?on itu. Begini-begini aku sa?
ngat pandai menyimpan rahasia.
Ada satpam dan polisi berjaga di gerbang depan
sekolah, jadi kami harus keluar melalui tempat lain. Bisa
saja aku keluar melalui pintu di belakang kantin, tapi
aku tidak enak pada Ibu Kantin yang selalu mau tahu
segalanya dan pasti langsung menggosipi cewek yang
bolos bersamaku. Jadi kami menggunakan jalan keluar
lain, yaitu melalui pagar di samping tempat pembakaran
sampah. Jelas, ini bukan tempat ideal untuk keluarmasuk sekolah. Aku sendiri tidak suka menggunakannya
lantaran baunya rada aneh, tetapi saat ini aku tidak pu?
nya pilihan lain. Anehnya, Nikki sama sekali tidak tam?
pak terganggu dengan bau sampah yang memenuhi
daerah itu. Cewek ini memang sulit diduga.
Aku mengajak Nikki ke Kafe Siap Ambruk. Dari nama?
nya saja kalian sudah bisa menebak, kafe yang satu ini
bobrok banget. Daripada kafe, tempat ini lebih tepat di?
sebut gubuk. Meski begitu, menunya boleh juga. Mereka
bahkan menyajikan chicken cordon bleu yang tidak kalah
368 Isi-Omen6.indd 368 enak dengan yang kusantap di kafe sungguhan. Benar
juga kata pepatah, don?t judge the book by its cover.
Aku memesan croissant sandwich dan kopi sementara
Nikki memesan salad dan teh camomile.
"Salad aja?" tanyaku. "Pesan yang banyak juga nggak
apa-apa kok." "Iya, gue tau kok, Oppa kan tajir." Omaygaaat, Nikki
me?manggilku begitu di tempat sekecil ini! Reputasiku
langsung hancur dalam sekejap. Si pemilik kafe melirikku
dengan tampang jijik, sementara dua pelayannya terlihat
sedang menahan tawa. Sepertinya untuk satu-dua bulan
ke depan, aku bakalan menghindari tempat ini dulu.
Catatan penting: lain kali, kalau memang terpaksa ba?
nget harus mengajak Nikki makan lagi, jangan pergi ke
restoran favorit. "Tapi waktu kecil gue miskin banget,
jadi gue terbiasa makan sedikit."
"Oh." Aku tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Habis,
aku tidak tahu apakah ini salah satu kebohongan Nikki
atau bukan. "Kasihan ya."
"Memang!" Cewek itu memegangi tanganku dengan
kedua tangannya, dan aku buru-buru menepisnya. "Dulu
gue kasian banget. Cuma bisa makan sisa-sisa makan?an,
sementara anak majikan gue tiap hari makan kaviar,
steik Kobe, dan lobster. Ugh, pokoknya gue benci banget
sama cewek itu!" Nah, sekarang aku yakin infor?masi ini
asli. Kebencian yang begitu jelas menguar dari wajah
cewek itu. Namun, gara-gara tampangnya yang penuh
dendam, aku jadi tidak bisa bersimpati pada masa lalu?
nya yang seharusnya menyedihkan. "Tapi kita harus ber?
pikiran positif, ya nggak? Setidaknya, se?karang gue jadi
369 Isi-Omen6.indd 369 langsing, cantik, dan populer begini. Banyak lho cowok


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang naksir sama gue! Masa Oppa nggak tergoda sih?"
Aku tersenyum kecut. Bukannya aku tidak tahu apaapa soal yang satu ini. Memang Nikki pernah pacaran
beberapa kali, tapi tidak banyak, dan semuanya dengan
cowok-cowok bodoh yang hanya melihat kecantikan luar.
Cowok-cowok yang punya otak sedikit saja pasti sudah
langsung menyadari betapa berbahayanya cewek ini.
Bahkan Amir dan Welly yang dulu pernah bangga
lantaran diajak bergabung dengan geng Nikki, kini selalu
mengumpet setiap kali geng itu lewat.
Tapi sebagai cowok baik-baik yang menghargai cewek,
tentu saja aku tidak mungkin mengatakan hal itu di
depannya, tidak peduli cewek itu sejahat apa pun. Jadi
aku hanya berkata, "Nggak dong. Abisnya, cewek gue
kan cewek paling cantik di dunia. Mana mungkin gue
bisa tergoda?" Mendengar ucapanku, wajah Nikki langsung berubah.
Sepertinya cewek ini tidak suka banget dibantah. Apalagi
mungkin dia menyadari arti tersirat dari kata-kataku bah?
wa dia sama sekali tidak sebanding dengan Rima. Tapi
memangnya apa lagi yang harus kujawab? Aku hanya
berusaha jujur kok. Tidak seperti dirinya. Tapi aku bisa melihat dirinya bergulat dengan rasa
jengkelnya, lalu dia tersenyum. Untungnya, ini bukanlah
salah satu senyum lebarnya yang mengerikan itu. "Rima
nggak marah kalo tau Oppa nge-date sama aku?"
"Eh, ini bukan date!" koreksiku buru-buru. "Cuma
break?fast bareng kok. Lagian, ada yang ingin gue tanyain
ke elo." 370 Isi-Omen6.indd 370 "Mau nanya apa, Oppa?" tanya Nikki dengan nada
meng?goda yang manja dan lagi-lagi membuatku me?
rinding. "Apa ini soal Kasus Penjahit Manusia yang ter?
jadi kemaren?" Sial, rencanaku tercium olehnya! Berhubung aku tidak
begitu pandai berdebat, aku merasa tidak punya pilihan
lain selain menjawab dengan jujur, "Yah, begitu?lah."
"Jadi karena mau nanya soal ini, Oppa jadi ngajakin
aku makan bareng?" Jantungku serasa nyaris berhenti saat senyum lebar
Nikki merekah. Senyum itu terlalu lebar sampai-sampai
rasanya seperti merobek mulutnya. Benar-benar mengeri?
kan! Mendadak aku teringat sesuatu. Jangan sampai ada
sesuatu di dekat Nikki yang bisa dijadikannya senjata!
Aku melirik ke atas meja. Oh sial, ada garpu tergeletak
di depannya! Mendadak kusadari Nikki melirik ke arah yang sama.
Gawat! Tanpa berpikir panjang lagi, aku langsung meraih
garpu itu. Akan tetapi Nikki lebih cepat. Sebelum aku
sadar, tahu-tahu saja Nikki sudah menahan pergelangan
tanganku dengan tangan yang satu dan garpu yang di?
acungkan di tangan yang lain, tampak siap menghunjam
punggung telapak tanganku.
"Kurang cepat, Oppa!" Nada suara Nikki seolah-olah
kami masih sedang bicara santai. "Sebaiknya Rain-oppa
bersikap lebih baik sama gue. Kalo sampe bikin gue
marah, bisa-bisa garpu ini nancep di tangan Oppa, terus
Oppa nggak bisa main piano lagi selamanya!"
Oke, aku tidak pernah menyangka aku tega berantem
dengan seorang cewek (kecuali Erika tentu saja, tapi si?
371 Isi-Omen6.indd 371 apa pun yang menganggap remeh Erika adalah idiot
goblok yang layak digebuki). Tapi masalahnya, ucapan
Nikki memang benar. Kalau sampai dia melukai tangan?
ku, bisa-bisa masa depanku sebagai pianis hancur total.
Tidak heran kan setiap inci dari diriku langsung berusaha
sekuat tenaga menyelamatkan diri?
Jadi, tanpa berpikir panjang lagi, aku pun menendang
meja itu sekuat tenaga dan membuat Nikki terpental.
Rasa bersalah terbit di hatiku melihat cewek itu terjatuh
ke bawah kursinya. Nyaris saja aku mendekatinya untuk
membantunya bangun, tapi aku berusaha menegarkan
hati. Tidak lucu kan kalau dia berhasil menusukku lantar?
an aku sok baik. "Jadi, kedok pun terbongkar," ucapku seraya me?
nunggu cewek itu bangkit kembali. Apa pun kondisinya,
aku tidak mungkin menyerang seorang cewek di saat dia
sedang berada dalam kondisi lemah begitu. "Ternyata elo
memang deketin gue bukan karena naksir ya? Karena
apa? Karena kepingin tau informasi dari gue?"
"Sori ya, Oppa." Nikki terbangun dan mengusap bibir?
nya. Oke, rasa bersalahku makin parah gara-gara sudah
melukai cewek itu hingga bibirnya berdarah. "Gue nggak
punya pilihan lain. Ini misi gue yang paling penting
soal?nya." "Misi?" Aku bisa merasakan kupingku menegak seperti
kuping anjing yang mendengar sesuatu yang menarik.
"Misi apa? Apa yang lo maksud, Kasus Penjahit Manu?
sia?" "Idih, ya bukan dong, Oppa." Nikki tertawa. "Mana
mung?kin gue sekejam itu? Gue cuma manfaatin momen
372 Isi-Omen6.indd 372 aja kok. Soalnya, kalo bukan karena tertarik sama kasus
itu, Oppa nggak akan mau pergi sama gue, kan?"
Jadi dia bilang dia tidak ada hubungannya dengan
Kasus Penjahit Manusia? Kenapa aku tidak percaya ya?
"Lalu apa dong misi lo?"
Alih-alih mendengar jawaban Nikki, aku malah men?
dengar teriakan si pemilik kafe yang sepertinya sudah
bete berat. "Hei, Oppa! Jangan rusakin kafe ane dong!"
"Tenang kali, Bang!" balasku tidak kalah jengkel ka?
rena dipanggil oppa sama orang yang jauh lebih tua,
cowok pula. "Nanti gue ganti..."
Di saat-saat aku sedang hilang fokus begini, Nikki men?
curi kesempatan dan melemparkan garpunya ke arah
muka?ku. Omaygaaat, kalau sampai kena, bisa-bisa aku
tidak ganteng lagi! Itu kan modal penting juga untuk
masa depan! Untung saja aku berhasil mengelak sebelum
sesuatu yang mengerikan terjadi pada mukaku.
Namun tak urung, aku terheran-heran juga. Asal tahu
saja, di seluruh sekolah, aku paling jago berantem nomor
dua. Memang sih aku belum pernah bertanding melawan
Damian, tapi kurasa dia tidak mungkin bisa mengalahkan?
ku. Kemungkinan besar sih kami berimbang. Tapi yang
jelas di sini, Nikki tidak bakalan sanggup me?
ngalahkanku. Jadi, aneh sekali dia berani menantangku
begini. Seolah-olah bisa membaca pikiranku, Nikki berkata,
"Oppa, sebaiknya Oppa menyerah aja deh. Gue nggak
minta macam-macam kok. Gue cuma kepingin Oppa
manggil nyokap Oppa ke sini."
Hah? Nyokapku? "Apa hubungannya semua ini dengan
nyokap gue?" 373 Isi-Omen6.indd 373 "Belum tau ya?" Nikki menyeringai, dan senyumnya
se?makin bertambah mengerikan karena kini berhias da?
rah di bibirnya. "Katanya sih ini menyangkut utang
masa lalu." Utang masa lalu? "Oppa, coba lihat ke luar. Oppa nggak berpikir, hanya
karena lawannya gue, Oppa bisa keluar dari sini tanpa
perlawanan, kan?" Aku memandang ke luar kafe dan, omaygaaat, rasanya
seperti ada satu kampung menungguku di depan. Semua?
nya mengenakan jaket dan helm serta membawa senjata.
Oke, sejago-jagonya aku, aku harus mengakui, sepertinya
kali ini aku kalah telak.
"Telepon nyokap Oppa aja sekarang," senyum Nikki.
"Lebih baik beliau dateng untuk selamatin Oppa dan,
ehm, mungkin membahayakan dirinya sendiri, daripada
tau-tau beliau disuruh ke rumah sakit untuk me?ngenali
muka Oppa yang udah nggak berbentuk lagi."
Aku tertawa kering. "Lo pikir gue gila? Sampai mati
pun gue nggak akan nyuruh nyokap gue ke sini. Kalo
me?mang riwayat gue harus berakhir di sini, so be it."
Aku melangkah ke luar kafe, dan kerumunan di depan
kafe itu langsung mengelilingiku.
"Ayo," ucapku dengan suara dingin yang terdengar
asing bahkan di telingaku sendiri. "Siapa yang mau mati
duluan, maju sekarang!"
374 Isi-Omen6.indd 374 Putri Badai BERITA buruk nomor satu: Aya ditahan di kantor kepala
sekolah dan sepertinya tak bakalan dilepaskan hingga
kasus berakhir. Berita buruk nomor dua: Daniel menghilang.
Berita buruk nomor tiga: Nikki juga tidak ada di kelas?
nya. Berita buruk nomor empat: sepertinya rangkaian berita
buruk ini belum berakhir. Oke, ini mungkin parno-parno?
nya aku saja. Bisa saja di pengujung hari, Aya bakalan
pulang dengan wajah tengil seperti biasa, Daniel akan
merebut Rima dari kami dan membawanya pergi jalanjalan, dan semua pelaku kasus ini sudah berada di tem?
pat mereka yang sepantasnya yaitu di penjara atau
rumah sakit jiwa. Setidaknya, itulah harapanku. Ke?dengar?
annya terlalu indah, tapi bukannya tidak mungkin, kan?
Toh hal seperti itu terjadi setiap hari.
Tidak mungkin hari ini akan menjadi hari yang naas
banget buat kami. Tidak mungkin.
Oke, kami harus menghentikan semua pikiran buruk
ini. Tidak ada gunanya hanya berpikir macam-macam
375 Isi-Omen6.indd 375 tanpa tindakan lebih lanjut. Kami harus melakukan se?
suatu. Kami harus memecahkan kasus ini. Secepatnya.
Tapi bagaimana caranya? "Sori." Suara Rima yang nyaris berupa bisikan me?
mecah keheningan di antara kami. "Bukannya aku egois,
tapi satu-satunya yang bisa kita lakukan sekarang cuma
nyariin Daniel." Valeria mengangguk. "Rima bener. Kita harus dahulu?
kan yang penting dulu. Pada masa-masa kayak gini, rasa?
nya serem kalo ada temen yang nggak ketauan ada di
mana. Yah, tapi sebaiknya kita berpikiran positif. Daniel
nggak ikut Pekan Olahraga, kan? Seharusnya dia nggak
diincer dong." "Dia memang nggak ikut pertandingan di Pekan Olah?
raga," ucap Rima murung, "tapi dia ikut pawainya.
Malah dia kan pemain keyboard-nya. Aku takut, pelaku?
nya nggak cuma mengincar peserta Pekan Olahraga."
"Tapi kalo kita hubungkan dengan motif," kataku
sambil berpikir, "yaitu si pelaku mungkin mengincar
beasiswa untuk pertukaran pelajar, nggak ada gunanya
dia mengincar Daniel dong."
"Nggak ada gunanya berasumsi macem-macem," kata
Rima dengan ketegasan yang tidak biasa diperlihatkannya.
"Lebih baik kita cari Daniel sekarang. Ada kemung?kin?an
dia berada di ruang musik, entah yang lama mau?pun yang
baru. Atau kemungkinan juga dia bolos dan pergi ke
kantin. Aku akan periksa ke ruang musik lama."
"Gue yang akan ke ruang musik baru," Valeria meng?
angguk. "Oke, kalo gitu aku yang ke kantin," sahutku. "Abis
itu kita ketemu lagi di depan auditorium ya."
376 Isi-Omen6.indd 376 Oke, sebenarnya aku tidak suka pergi ke kantin di saat
pelajaran sedang berlangsung. Kalau dilihat orang, bisabisa aku dikira bolos pelajaran untuk makan-makan. Kan
wibawaku sebagai murid-yang-lebih-seram-daripadakepala-sekolah bisa hancur total.
Meski begitu, aku tidak suka mengalihkan pekerjaan
yang tak kusukai pada orang lain. Jadi, tanpa banyak
cincong, aku pun pergi ke kantin. Aku bisa melihat
beberapa anak badung yang bolos langsung mengumpet
di bawah meja saat melihatku. Sori-sori saja, aku sama
sekali tidak berniat jadi polisi moral dan menangkap
basah mereka. Di sekolah kan sudah ada guru piket alias
Pak Rufus. Lagian, aku sendiri juga bolos kok, meski de?
ngan tujuan yang lebih mulia daripada sekadar
nongkrong sambil menggosipi gebetan.
"Bu," aku menyapa Ibu Kantin. "Tadi Daniel ke
sini?" "Nggak, Neng," sahut Ibu Kantin yang, menurut kabar
angin, naksir berat pada Daniel. "Biasanya dia suka
mampir untuk sarapan, tapi hari ini nggak kelihatan.
Tapi udah beberapa lama ini dia nggak pernah bolos.
Katanya dia mau berubah jadi anak baik demi ceweknya
yang jadi ketua OSIS itu. Yang mana sih anaknya?"
"Yang kayak hantu, Bu."
"Nah, tuh kan!" Ibu Kantin menoleh pada karyawankaryawannya dengan muka galak. "Udah Ibu bilang,
memang ada murid yang kayak hantu di sini! Jadi yang
kalian layani itu bukan hantu beneran, jadi lain kali
ambil duitnya kalo dia bayar!"
Astaga, jadi itu sebabnya Rima sering dapat makanan
gratis! Kupikir itu karena dia ketua OSIS! Aku sudah
377 Isi-Omen6.indd 377 sempat tersinggung karena selama aku menjabat sebagai
ketus OSIS, tidak ada yang memberiku makanan gratis.
"Jadi Ibu nggak liat Daniel? Apa mungkin dia pergi ke
luar sekolah ya?" Ibu Kantin menggeleng. "Entahlah, Neng, tapi biasa?
nya kalau dia pergi ke luar sekolah, dia lewat belakang
kantin ini, dan pastinya akan ketahuan Ibu. Lagian, Ibu
sudah bilang berkali-kali padanya, makan di luar itu


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbahaya. Siapa yang tau air apa yang mereka gunakan
untuk masak dan nyuci piring? Bisa jadi air dari toilet
umum di depan, atau lebih parah lagi, dari parit depan
sekolah!" Oke deh, sepertinya aku tidak bakalan makan di
warung-warung depan sekolah lagi untuk selamanya. "Be?
gitu ya? Makasih, Bu. Kalo Ibu lihat dia, tolong bilang
saya cariin dia ya!"
"Iya, Neng." Huh, tugas yang benar-benar remeh dan sia-sia! Se?
karang, tanpa mendapatkan hasil yang berarti, aku ter?
paksa berjalan ke auditorium untuk menemui ke?dua
temanku. "Putri!" Aku berpaling dan terheran-heran mendapati King
berlari-lari kecil ke arahku. King adalah mantan teman
satu gengku. Bukan bersama Valeria, Rima, dan Aya,
tentu saja, melainkan dengan anak-anak lain se?angkatan
kami yang merupakan anggota-anggota The Judges tahun
lalu. Selain King, dalam geng kami juga terdapat mantan
pacarku, Dicky, dan mantan pacar King, Lindi. Dicky
dan Lindi akhirnya turun jabatan dari pacar menjadi
mantan lantaran keduanya berselingkuh satu sama lain.
378 Isi-Omen6.indd 378 Lebih parah lagi, dua teman segeng kami yang lain
mendukung perselingkuhan itu seolah-olah aku dan King
adalah orang yang terlalu buruk untuk dijadi?kan pacar.
Pengalaman itu lumayan menyakitkan bagi kami berdua.
Setelah semuanya terbongkar, geng kami pun bubar. Aku
juga hampir tidak pernah berbicara lagi dengan King,
meski kini hanya tinggal aku dan dia yang merupakan
anggota The Judges dari angkatan kami. Hanya sekalisekali, ketika situasi memaksa banget, barulah aku dan
King berbicara. Itulah sebabnya, sekarang aku terheran-heran melihat?
nya mendekatiku di luar kelas di tengah-tengah jam
pelajaran. "Ada apa, King?" tanyaku tanpa bisa menahan nada
ketus dalam suaraku. Aku tidak ingin bersikap kasar, ten?
tu saja, tapi sekarang aku grogi berat. "Bukannya kamu
seharusnya ada di kelas?"
"Ah iya, tadi gue dengar ada ribut-ribut, jadi gue ke?
luar buat nengokin. Katanya, Aya ditangkap polisi ya?"
Huh, baru muncul saja sudah bikin kesal. Dari dulu
King selalu begitu. Dia tidak pernah segan menanyakan
masalah kita tanpa menunjukkan keinginan untuk mem?
bantu sama sekali. Jelas banget hanya kepo saja.
"Hanya kesalahpahaman kok," sahutku tanpa berniat
cerita sama sekali. "Nanti juga dibebasin kalo kasusnya
beres." "Semoga cepet beres ya," ucap King dengan tampang
prihatin. Oke, aku tahu seharusnya aku berterima kasih
pada King karena tidak ikut-ikutan menuduh. Masalah?
nya, cowok ini sudah lama lepas tangan dari The Judges,
seolah-olah dengan perginya Lindi, dia tidak berniat
379 Isi-Omen6.indd 379 bekerja keras untuk The Judges lagi. Yang bisa dia laku?
kan hanyalah melontarkan kalimat-kalimat sejenis ini,
dengan tampang baik hati yang menyebalkan, tapi kalau?
pun kasusnya berubah jadi ruwet, dia tidak berniat mem?
bantu setitik pun. Menurut opiniku, tampang baik hati?
nya itu munafik banget. Kalau memang tidak peduli,
tidak perlu berpura-pura baik. "Lo sendiri lagi ngapain di
sini?" "Aku lagi nyariin Daniel," jawabku dengan suara
sejutek mungkin, berharap dia segera ngacir sebelum ku?
usir terang-terangan. Malas banget penyelidikanku di?
ganggu orang seperti ini, meski memang sih sudah tak
ada yang kulakukan. "Daniel? Tadi aku lihat dia kok!"
Aku berhenti berjalan dan menatap cowok itu. Akhir?
nya cowok itu berguna juga! "Masa?"
"Iya, bener!" King menyahut dengan penuh semangat.
"Tadi pagi, waktu gue baru mau naik ke lantai atas, gue
lihat dia lagi ngobrol sama Nikki."
"Nikki?" Oke, ini mulai kedengaran serius?dan gawat.
Ternyata benar dugaan Rima soal Nikki ada hubungannya
dengan Daniel yang menghilang. "Kok dia bisa ngobrol
sama Nikki?" "Mana gue tau?" King mengangkat bahu. "Gue berdiri
agak jauh soalnya, jadi nggak bisa denger pembicaraan
mereka. Tapi abis itu mereka pergi bareng."
Ini benar-benar tidak masuk akal! Untuk apa Daniel
pergi dengan Nikki? Mereka kan tidak berteman, meski
aku pernah lihat beberapa kali Nikki menggoda
Daniel... Tunggu dulu. Apa si Daniel mau bertingkah sok pintar
380 Isi-Omen6.indd 380 dengan berpura-pura baik pada Nikki lalu mengorekngorek informasi darinya tentang kasus ini? Dasar cowok
idiot! Mana mungkin Nikki mau membeberkan informasi
dengan sukarela, dan jelas Nikki bukan cewek yang
gampang ditipu. Jangan-jangan, pada akhirnya, dialah yang dijebak
Nikki. "Mereka pergi ke mana?" tanyaku pada King.
"Ehm," King tampak salah tingkah. "Sori, Put, bukan?
nya kenapa-kenapa, tapi gue harus kembali ke kelas..."
"Nggak usah sok alim deh!" bentakku. "Dari tadi kamu
juga berkeliaran di luar kelas gara-gara kepo! Begitu
disuruh bantuin, langsung mau kabur?"
"Bukannya begitu, Put," sahut King buru-buru seolaholah takut aku menghabisinya saat ini juga. Yah, sejujur?
nya, aku memang sudah kepingin banget menghabisi?
nya?atau minimal membuat mukanya yang penuh
kebaikan palsu itu babak-belur. "Tapi sebentar lagi kita
udah mau UN. Ini waktunya kita belajar, Put, demi masa
depan kita! Saran gue, mendingan kita jangan ikut-ikutan
dalam masalah yang nggak ada juntrungannya ini. Salahsalah malah kita ikut tertimpa masalah."
"Maksudmu, kamu yang takut tertimpa masalah," ucap?
ku sinis. "Aku nggak nyangka kamu sepengecut ini,
King! Memangnya kamu udah lupa sumpah kamu
sebagai anggota The Judges?"
"Bukannya gue lupa, Put." King mendesah seolah-olah
dia mendapat beban yang sangat berat. "Tapi gue beda
sama elo. Elo Hakim Tertinggi, hebat dalam segala hal,
nggak heran nanti lo bakalan bisa masuk ke universitas
mana pun yang lo suka. Sementara gue? Kecerdasan gue
381 Isi-Omen6.indd 381 pas-pasan. Kemampuan gue satu-satunya ya cuma bas?ket.
Kalo gue nggak kerja keras, bisa-bisa gue nggak lolos ke
universitas yang gue inginkan."
"Kamu salah," tukasku. "Kamu itu anggota The Judges.
Semua anggota The Judges pasti bisa masuk ke uni?versitas
pilihan mereka. Syaratnya cuma satu: setia sama The
Judges. Tapi dengan attitude-mu sekarang ini, sori-sori aja,
kamu nggak akan bisa menggunakan hak isti?mewa The
Judges untuk masuk ke universitas pilihanmu."
King memandangiku sejenak. "Kata-kata lo itu bisa
dipegang?" Dasar bajingan. "Kamu lupa aku siapa? Memangnya
aku pernah membual tentang sesuatu yang nggak bisa
kulakukan?" "Oke deh, kalo gitu. Ayo ikut gue!"
Akhirnya! Tapi, tunggu dulu. "Ke mana?" tanyaku he?
ran. "Pokoknya ikut aja!"
Oke, aku tidak mengerti kenapa dia tidak memberitahu?
ku saja alih-alih membawaku pergi ke tempatnya, tapi
mungkin saja semua ini memang rahasia. Mungkin Nikki
masih sedang melakukan sesuatu terhadap Daniel dan
kami akan memergokinya. Mungkin itulah sebabnya
awalnya King tidak ingin menberitahuku.
Mungkin kasus ini bisa terungkap sekarang juga!
Kami memasuki gedung gym yang sunyi senyap.
Sepertinya, berhubung banyak polisi yang sedang
berkeliaran hari ini, semua kegiatan olahraga ditiadakan.
Tanpa mengalami banyak kesulitan, kami naik ke lantai
dua. Perasaanku mulai tidak enak. Ada yang salah dengan
382 Isi-Omen6.indd 382 semua ini. Daniel seorang seniman musik. Alih-alih olah?
raga, dia jauh lebih suka menghabiskan waktu?nya de?
ngan bermain musik. Meski dengar-dengar dia juga jago
olahraga sih. Hanya saja, dari wataknya yang kukenal,
cowok itu hanya mau berolahraga saat dipaksa temantemannya.
Dan kesunyian ini jelas-jelas menandakan tidak ada
segerombolan cowok yang sedang main bola.
Mungkin Nikki memancingnya datang ke sini? Tidak
masuk akal. Daripada memancingnya ke gedung gym,
Nikki bakalan lebih sukses kalau mengajaknya ke ruang
musik. Aku tersentak saat melihat pintu ruang latihan pa?nah?
an di depanku. Bukan Daniel yang dipancing ke sini,
melainkan aku! Selama ini, semua atlet yang menjadi
korban dicelakai di tempat latihan mereka sendiri?dan
aku adalah atlet unggulan Klub Memanah! Dan bukan
Nikki, Eliza, Damian, atau siapa pun juga yang me?
mancingku ke sini, melainkan King, teman lamaku!
Aku berbalik, siap dengan rencanaku untuk me?
nendang King sekuat-kuatnya sebelum akhirnya me?lari?
kan diri. Akan tetapi terlambat. Cowok yang tampak le?
mah itu ternyata lebih kuat dari yang kuduga. Kedua
ta?ngannya menangkapku dari belakang, membuatku men?
jerit seraya meronta-ronta.
"Sori, Put, sori." Aku mendengarnya bicara sementara
cowok itu membenamkan kain penuh kloroform ke
mukaku. Dalam sekejap, seluruh tubuhku langsung terasa
kaku dan berat. "Semua ini salah lo, Put. Gara-gara lo
nggak bisa jadi pacar yang baik buat Dicky, cowok sialan
itu merebut Lindi. Sekarang Lindi udah nggak ada, dan
383 Isi-Omen6.indd 383 gue nelangsa seorang diri. Nilai-nilai gue makin turun,
dan masa depan gue sepertinya bakalan hancur. Semen?
tara lo, lo masih bersenang-senang jadi Hakim Tertinggi
dan ngedapetin semua yang lo mau. Tapi, kalo lo nggak
ada, Put, gue yang akan jadi Hakim Tertinggi. Semua
yang lo punya akan jadi punya gue. Sori, Put, gue nggak
punya pilihan lain. Gue harus melakukan ini demi diri
gue sendiri. Lagian, semuanya salah lo, Put. Semuanya
salah lo." Mataku mulai berkabut. Samar-samar, aku melihat sese?
orang keluar dari pintu ruang latihan panahan.
"Kenapa nggak dibawa masuk?" tanya suara yang se?
pertinya kukenali, hanya saja otakku sekarang sulit ber?
pikir. "Yah, mau gimana lagi? Dia keburu menyadari rencana
kita!" "Dasar tolol! Ngelakuin yang gampang kayak begini
aja lo kagak bisa!" Ah, aku ingat. Hanya satu cewek di
se?kolah ini yang bisa bersikap seolah-olah semua orang
tidak sebanding dengan kecerdasannya. "Cepet, bawa dia
masuk!" "Dia berat banget! Tolong bantuin gue dong!"
"Cih, dasar lemah!" Aku merasa tubuhku diseret de?
ngan kasar. "Cewek ini memang berat banget! Kayaknya
berat di dosa!" "Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang pada dia?"
"Lo balik ke kelas saja. Biar gue yang handle sisanya."
"Memangnya lo mau apain dia, Ka?" tanya King dengan
suara yang semakin lama semakin terdengar menjauh.
"Tentu saja," jawab Erika Guruh, "menjahitnya."
384 Isi-Omen6.indd 384 Rima Hujan "UDAH lima belas menit nih. Ke mana sih si Putri?"
Pikiranku terlalu kalut untuk menjawab pertanyaan
Valeria. Daniel tidak ada di mana-mana. Demi Amelia
Earhart dan setiap manusia yang pernah hilang di dunia
ini dan tidak pernah ditemukan lagi, aku tahu dia bukan
peserta Pekan Olahraga, dan seharusnya dia tidak cocok
menjadi salah satu korban Kasus Penjahit Manusia. Tapi
kalau memang begitu, kenapa dia tidak ada di manamana? Kenapa teleponnya bisa mati pada saat-saat
begini? Tidak mungkin ini hanya kebetulan. Lagi pula,
aku tidak pernah percaya pada kebetulan. Selalu ada
alasan untuk setiap kejadian.
"Menurutmu kita harus mencari di luar sekolah?" Aku
malah balas bertanya pada Valeria. "Tapi seingatku,
Daniel biasa pergi ke luar sekolah lewat belakang kantin.
Nanti kalau Putri ke sini, kita bakalan tau hasilnya."
"Masalahnya Putri udah kelamaan, Rim!" ucap Valeria
dengan nada tak sabar. "Nggak biasanya dia lelet kayak
gini! Apa menurut lo dia mungkin mendengar soal
Daniel ke luar sekolah, lalu dia pergi nyusul?"
385 Isi-Omen6.indd 385 "Kalo memang iya, seharusnya dia ngasih tau kita."
Aku dan Valeria langsung mengecek ponsel kami. "Nggak
ada kabar dari dia."
"Sama," sahut Valeria. "Tapi bisa saja dia lupa. Apa
kita perlu samperin ke kantin juga?"
"Lebih baik begitu," ucapku seraya menekan-nekan
ponselku. "Sementara itu, kita kabarin dulu saja rencana
kita ke Putri supaya dia tau kita ada di mana. Telepon
atau BBM?" "BBM aja," saran Valeria. "Siapa tau sekarang dia
sedang sibuk dan nggak sempet angkat telepon."


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku mengirim pesan pada Putri, lalu mengikuti Valeria
yang sudah berjalan duluan ke arah kantin. Sebelum
kami tiba di kantin, Ibu Kantin melihat kedatangan kami
dan keluar untuk menyambut kami. Wajahnya tampak
terheran-heran. "Eh, Neng Geulis!" seru Ibu Kantin. "Dan Neng
Hantu!" Oke, terkadang memang rasanya kebanting banget ber?
jalan bersama Valeria. Tapi aku tidak boleh tersinggung.
Bagaimanapun juga, dia memang cantik sekali, mana
putri satu-satunya keluarga Guntur. Sementara aku kan
memang bukan siapa-siapa?dan tidak bisa kumungkiri,
tampangku memang rada seram.
"Bu," sapa Valeria ramah. "Tadi temen kami ada yang
datang ke sini?" "Oh, iya! Neng Badai, ya?" Ternyata Ibu Kantin pu?nya
julukan unik untuk kami semua. "Tadi memang sempet
dateng nanyain pacarnya Neng Hantu yang handsome
itu, tapi abis itu pergi lagi."
"Oh, gitu," sahut Valeria seraya manggut-manggut,
386 Isi-Omen6.indd 386 sementara perasaanku jadi tak enak mendengar jawaban
itu. "Emang Ibu lihat pacarnya si Neng Hantu yang
handsome itu?" "Ah, nggak," geleng Ibu Kantin. "Ibu juga kecewa hari
ini dia nggak samperin Ibu. Padahal biasanya kan dia
langganan setia. Ibu juga ngefans lho sama dia! Nggak apaapa kan, Neng Hantu?" Aku berjengit saat Ibu Kantin mulai
menepuk-nepuk lenganku. "Jangan jeles ya sama Ibu! Ibu
cuma seneng lihat mukanya yang ganteng, mana sopan,
manis, dan boros lagi! Pokoknya andai dunia ini penuh
dengan cowok-cowok kayak dia, kita wanita-wanita pasti
hidup bahagia untuk selama-lamanya deh!"
"Iya, Bu, nggak apa-apa," sahutku perlahan seraya me?
nahan diri untuk tidak menepis tangan Ibu Kantin.
Bukan?nya aku sombong, tapi hingga kini aku tidak
pernah suka disentuh orang asing. Memang sih setiap
hari aku ketemu Ibu Kantin, tapi biasanya kami tidak
pernah ber?tegur sapa seperti sekarang ini. "Jadi dia nggak
pergi ke luar sekolah juga ya, Bu? Biasanya dia kan
sering keluar lewat pintu belakang kantin Ibu."
"Iya, nggak lewat sini kok," tegas Ibu Kantin. "Me?
mang?nya kenapa semua pada nyariin Daniel, Neng?"
Lalu dengan tampang bersekongkol, Ibu Kantin berbisik
pada kami, "Apa ini ada hubungannya dengan Kasus
Penjahit Manusia?" "Ah, nggak!" Aku dan Valeria serempak menjawab,
mem?buat Ibu Kantin menatap kami dengan curiga.
Cepat-cepat Valeria menjelaskan, "Kami nyariin dia
karena urusan OSIS. Biasalah, Bu, kan Pekan Olahraga
se?bentar lagi. Pokoknya kalo Ibu lihat Daniel, suruh dia
hubungi kami segera ya!"
387 Isi-Omen6.indd 387 "Iya, Neng." Kami berdua berjalan meninggalkan kantin.
"Ini nggak masuk akal," ucap Valeria gelisah. "Daniel
itu bukan anak yang gampang diumpetin, tapi kenapa
nggak ada orang yang melihat dia?" Cewek itu diam
sejenak, lalu menyuarakan pernyataan yang sedari tadi
terus menggema di dalam hatiku, "Nggak mungkin dia
jadi korban Kasus Penjahit Manusia, kan?"
"Nggak," gelengku. "Nggak mungkin! Dia kan kuat ba?
nget. Aku tau, kalo pelakunya menggunakan kloroform,
mungkin Daniel nggak akan berdaya. Tapi rasanya nggak
mungkin, Val. Belum lagi seandainya iya, ngapain Nikki
kasih tau aku? Seharusnya dia merahasiakannya kan,
supaya nggak ada yang bisa nyangkutin dia dengan
semua ini?" "Ah, kayak nggak tau Nikki aja," gerutu Valeria. "Udah
berapa kali dia kayak sengaja ngasih tau kita bahwa dia?
lah pe?laku?nya, tapi setelah itu kita nggak berhasil nge?
dapetin bukti yang bisa memberatkan dia. Lalu dia me?
lenggang pergi sambil ngetawain kita."
Itu benar juga sih. Sekarang aku jadi teringat bekas luka
di bibir Nikki. Apa itu luka akibat dijotos Daniel, misalnya?
Tidak. Apa pun yang terjadi, aku yakin Daniel tidak
bakalan tega menjotos muka seorang cewek.
Tapi tidak mungkin itu bekas ciuman Daniel juga,
kan? Aku mengecek ponselku, berharap ada kabar dari
Daniel. "Oh, sial."
"Kenapa?" tanya Val.
"BBM ke Putri nggak terkirim. Tau sendiri, sinyal di
sekolah kita agak susah."
388 Isi-Omen6.indd 388 "Coba lo telepon dia."
Aku hanya memandangi Valeria saat nada sambung
berbunyi tanpa henti di telingaku. Ketegangan di wajah
Valeria menandakan bahwa dia berhasil membaca pikir?
anku. "Oke, ini benar-benar nakutin," ucap Valeria saat aku
memutuskan sambungan yang tak terjawab itu. "Kenapa
semua orang jadi hilang? Oke, Aya bukan hilang, tapi
ditahan. Tapi Daniel dan Putri? Daniel hilang, lalu Putri
mencarinya, dan Putri juga hilang. Bagaimana kalo per?
lahan-lahan kita semua lenyap? Rima..."
"Tenang," hiburku, padahal aku sendiri juga ketakutan.
"Itu nggak akan terjadi. Kita harus tetap bersama, apa
pun yang terjadi. Sekarang, kita nggak punya pilihan
lain, Val. Kita harus pergi ke luar sekolah. Ada banyak
jalan menuju ke luar sekolah. Bisa jadi Daniel dan Putri
keluar tanpa ketauan Ibu Kantin."
"Benar juga kata-kata lo." Valeria mengangguk. "Oke,
ayo kita keluar sekolah. Lewat pintu belakang kantin
saja?" "Oke." Kami berdua kembali lagi ke kantin. "Bu, kami minta
izin buat lewat pintu belakang ini ya!"
"Kalian mau ke luar?" tanya Ibu Kantin dengan tam?pang
tidak senang. Sepertinya beliau mengira kami bakal?an jajan
di luar. "Hati-hati, Neng! Jangan jajan sembarang?an.
Makanan di luar itu nggak bersih..."
"Nggak, Bu, kami cuma mau nyari teman-teman
kami," sela Valeria.
"Oh iya, kalau itu sih nggak apa-apa. Jangan lama-lama
ya! Ibu nggak mau berbohong kalo ditanya Pak Rufus."
389 Isi-Omen6.indd 389 "Baik, Bu." Kami berdua segera menuju belakang kantin. Di sana
terdapat sebuah pintu seng yang dibuat di tengah-tengah
pagar yang cukup tinggi. Pintu itu tidak di?gembok, me?
lainkan hanya selotnya yang terpasang. Kami membuka
selotnya, lalu keluar dari sekolah...
Dan mendapati diri kami dikelilingi belasan preman
dengan helm terpasang di kepala mereka.
Seandainya saja aku bukan Rima Hujan, melainkan
Erika Guruh, mungkin aku tidak keder-keder amat. Soal?
nya, aku bisa melihat, preman-preman itu jelas-jelas
hanya preman murahan. Mereka semua kurus-kurus dan
letoi-letoi. Tampak jelas kesehatan mereka dirusak oleh
rokok, alkohol, dan kemungkinan besar juga narkoba.
Namun, aku hanyalah Rima Hujan, dan aku tidak bakal?
an sanggup mengalahkan cowok paling letoi sekalipun.
Soalnya aku sendiri juga lumayan letoi sih. Apalagi kini
mereka semua mengenakan helm dan mem?bawa senjata.
Pokoknya, keseluruhan situasi ini benar-benar gawat.
"Geng motor," bisik Valeria padaku, meski aku sudah
bisa menduga identitas preman-preman itu. Premanpreman yang juga bertanggung jawab atas luka-luka di
tubuh Valeria. "Rapid Fire."
"Kita masuk lagi aja ke dalam!" ucapku panik. "Ayo,
Val..." Brakkk! Aku dan Valeria meloncat menjauh dari pintu saat
belasan batang pipa dirobohkan ke arah depan pintu
dan nyaris menimpa kami. Untunglah kami berhasil
meng?hindar, namun kini kami tidak punya jalan untuk
masuk kembali. Pintu masih terbuka lebar, tapi pipa-pipa
390 Isi-Omen6.indd 390 itu memalangi pintu. Kami barangkali hanya bisa masuk
dengan cara merangkak-rangkak, tapi kurasa itu bukan
ide bagus. Tidak lucu kalau di saat kami sedang me?
rangkak masuk, kaki kami ditarik oleh gerombolan yang
kelihatannya haus darah ini.
"Kita ketemu lagi, Valeria Guntur."
Rasanya nyaliku langsung menciut saat seorang cowok
melangkah maju. Sumpah, cowok itu benar-benar me?
ngeri?kan. Tubuhnya lebih tinggi dan lebih besar daripada
semua cowok yang pernah kulihat. Lengannya saja, aku
percaya, sebesar bodiku. Memang sih, sepertinya tubuh
itu bukan terdiri atas otot semuanya, melainkan ke?
banyak?an lemak, tapi cowok itu tidak tampak lemah?
sama seperti Amir, teman Daniel yang kelebihan berat
badan dan bertampang baik hati itu, tidak pernah ke?
lihat?an lemah. Berani taruhan, dia bakalan bisa meremuk?
kanku yang letoi ini dengan gampang sekali.
"Sudah gue bilang, seharusnya lo lepas tangan dari
semua ini." "Dan sudah gue bilang," ketus Valeria tanpa rasa takut
sedikit pun. Ya Tuhan, seandainya saja aku seberani dia!
"Gue nggak bakalan sudi nurutin kata-kata lo!"
"Rupanya bikin lo babak-belur nggak cukup ya. Kalo
gitu, terpaksa gue melangkah lebih jauh sedikit."
Aku merasakan Valeria menarik kuat-kuat tanganku,
tapi tenaganya benar-benar tidak sebanding. Dengan mu?
dah aku direnggut dari Valeria, dan kini aku ber?ada di
tangan si cowok raksasa tersebut.
Aku menunduk dalam-dalam, berharap supaya aku
punya rambut dari besi atau apalah, supaya bisa menjadi
perisai yang sanggup melindungiku dari cowok mengeri?
391 Isi-Omen6.indd 391 kan ini. Tapi aku tahu itu hanyalah impian. Saat ini,
tamatlah riwayatku. "Gara-gara kesombongan lo, hari ini lo akan me?nyaksi?
kan gue permak temen kecil lo yang satu ini..."
"Nggak segampang itu, brengsek!"
Si cowok raksasa berteriak kesakitan saat Daniel men?
dadak muncul dan menghantamkan sebatang tongkat
pada lengannya yang memegangiku. Dalam sekejap, aku
ditarik Daniel hingga berlindung di belakangnya.
Dalam sekejap, aku selamat.
Tampang Daniel tampak menyeramkan, tapi oh, gan?
teng banget, lantaran dia muncul di saat-saat genting
begini untuk menyelamatkanku. Dengan cemas aku mem?
perhati?kan mukanya penuh lebam dan luka gores, demi?
kian juga seluruh tubuhnya, sampai-sampai baju se?ragam?
nya di?penuhi bercak-bercak darah yang mengerikan.
Tam?pak jelas dia baru saja mengalami pertempuran
sengit. "Mau nyentuh cewek ini," geram Daniel, "lo harus
langkahi mayat gue dulu, man!"
Oke, bukannya aku meremehkan Daniel, tapi cowok
ini hanya satu orang, sementara para preman ini begitu
banyak. Kalau satu lawan satu, aku berani bertaruh, tak
ada satu pun orang di sini, termasuk si cowok raksasa,
yang sanggup mengalahkan Daniel. Tapi kalau dikeroyok,
rasanya tidak mungkin menang. Apalagi kondisi Daniel
kelihatan tidak bagus. Sepertinya si cowok raksasa juga punya pikiran yang
sama denganku. "Banyak bacot!" teriaknya. "Lo cuma satu orang begini,
bisa apa?" 392 Isi-Omen6.indd 392 "Satu orang? Yang bener aja!"
Kami semua menoleh ke belakang, dan terdengar
teriakan-teriakan kesakitan. Di sana, sosok Viktor dan
Leslie menjulang tinggi, sementara beberapa preman
sudah terkapar di bawah kaki mereka. Berbeda dengan
Daniel yang tampak babak-belur, kedua cowok tampan
ini tampak cling dan segar bugar saat mengayun-ayunkan
tongkat di tangan mereka. Tapi menurutku sih, Daniel
jauh lebih keren daripada mereka berdua di?gabungkan
jadi satu. "Tiga orang, tepatnya," ujar Viktor ketus seraya me?
mentung kepala seseorang yang tadinya hendak bangun,
hingga orang itu jatuh tersungkur kembali. "Memang kami
cuma bertiga, tapi percayalah, berapa pun orang yang lo
punya, nggak akan menang deh lawan kami bertiga!"
"Leslie Gunawan," aku mendengar si cowok raksasa
menggerung, "dan kacungnya yang jelek!"
"Jelekan lo ke mana-mana, kali!" dengus Leslie dengan
muka dingin pada si cowok raksasa. Lalu pandangannya
terarah pada Val, dan air mukanya berubah ceria. "Hai,
Val! Duduk manis di sana dan jagain Rima, ya! Sisanya
serahkan pada kami aja. Biar kami yang urus kerocokeroco murahan ini!"
"Mundur ke belakang, Rim," perintah Daniel tanpa
menoleh padaku seraya mengangsurkan sebatang tongkat
ke belakang. "Bawa ini, dan pukuli siapa aja yang berani
deket-deket dengan sekuat tenaga lo. Bisa?"
Aku mengangguk, meski cowok itu tidak bakalan bisa
melihatnya. Berlebihankah kalau kubilang aku ingin menangis sa?
king leganya? 393 Isi-Omen6.indd 393

Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Viktor Yamada Setengah jam sebelumnya. "JADI sekarang lo udah bisa ceritain kenapa gue men?
dadak diseret ke sini?" tanya Les seraya menikmati mi
goreng berwarna merah penuh sambal di Warung
Tungku Neraka. "Kalo nggak mau, lo boleh pulang kok," sahutku se?raya
memandang jijik ke piringnya. "Memangnya lo kagak
mules, makan sambel sebanyak itu pagi-pagi begini?"
"Ah, udah biasa," sahut Les riang. "Lagian, nggak enak
kalo nggak pake sambel. Rasanya hambar. Dan, hoi,
bukannya gue nggak suka diseret ke sini! Lo tau sendiri
gue selalu hepi diajak ketemuan sama Val di sekolah.
Cuma kalo jam segini, dia ada di dalam, dan kita nggak
bisa masuk. Jadi apa gunanya?" Dia menatapku curiga.
"Ini bukan karena traktiran ulang tahun, kan? Karena
kalo ini traktiran ulang tahun, asal tau aja, pas gue
ulang tahun kita makan pecel lele!"
"Bukan lah!" balasku jengkel. "Nggak, ini bukan traktir?
an ulang tahun. Lo harus bayar sendiri ya, nanti!"
394 Isi-Omen6.indd 394 "Iya deh, iya! Dasar pelit!" Les bersungut-sungut. "Jadi,
buat apa kita nangkring di sini pagi-pagi?"
"Hanya untuk berjaga-jaga," ucapku. "Hari ini Erika
bakalan bikin ulah soalnya."
"Waduh, kedengerannya seru," komentar Les sambil
menenggak teh hangat gratisan dari si empunya warung.
"Apa ini menyangkut Kasus Penjahit Manusia itu?"
"Yep," anggukku. "Juga kembarannya yang culas."
"Oh ya?" Informasi ini pastinya baru banget untuk
Les, karena sobatku itu langsung membelalakkan mata?.
"Gue kira dia sama si kembarannya yang psikopat itu
udah berdamai." "Ah, itu cuma keinginan bodoh si Erika. Sebagai saksi
mata kejahatannya yang dulu, gue yakin banget Eliza
kagak berubah. Mana di kantor kerjanya pedekate sama
gue, entah apa maksudnya."
"Mungkin menurut anggapannya, karena lo suka sama
Erika yang mukanya mirip dia, berarti lo bisa suka juga
sama dia." "Mungkin." Aku mengangkat bahu. "Anehnya, gue
nggak pernah merasa dia naksir gue lho..."
"Sejak kapan lo pernah merasa ditaksir cewek?" tanya
Les sambil cengengesan. "Sebenarnya gue kasian sama
semua cewek yang naksir lo. Gaya mereka udah meng?
iba-iba pun, lo masih aja kagak nyadar. Benar-benar otak
bebal." Aku memelototi anak sialan itu. Meski kata-katanya
ada benarnya juga. Entah sudah berapa kali aku dituduh
tidak punya mata dan hati oleh cewek-cewek yang men?
dadak berang padaku. "Lo mau denger cerita gue
nggak?" 395 Isi-Omen6.indd 395 "Iya deh. Lanjut, lanjut!"
"Yah, pokoknya gue merasa si Eliza cuma seneng nge?
rebut semua barang yang Erika punya. Atau ngerusakin.
Contohnya saja semua temen deket Erika, semua sampe
jadi musuh gara-gara Eliza."
Les mengangkat alis. "Kalo lo tau, kenapa lo kagak
negur si Erika?" Aku menggeleng. "Dia harus tau sendiri. Dikasih tau
pun, cewek keras kepala gitu nggak akan sudi dengerin.
Selama ini dia terlalu dibutakan dengan ide untuk men?
jadi bagian dari keluarga bahagia sejahtera. Menurut
pemikirannya, Val aja udah berdamai dengan bokapnya,
masa dia tetep milih untuk dikucilkan keluarga?"
"Sekarang dia udah tau kembarannya memang jahat?"
Aku mengangguk. "Taunya dari mana?"
"Kemaren Eliza diem-diem ke sini. Dia nggak melaku?
kan kejahatan apa pun sih, tapi dia masukin peralatan
menjahit yang pastinya dipake oleh pelaku kasus itu ke
loker Aya di ruangan OSIS. Lebih parahnya lagi, dia
jatuhin dompet Erika di situ, seolah-olah Erika yang
masukin barang-barang itu ke loker Aya."
"Hebat!" Les menggeleng-geleng takjub. "Jadi, pada
akhir?nya, bukan Rima, Putri, atau Aya yang diincer
untuk dijadikan tertuduh, tapi Erika? Rencana yang luar
biasa rumit ya!" "Dan hanya bisa dilakukan oleh orang selicik Eliza,"
geramku. "Sayangnya, nggak ada bukti apa pun yang
bisa nyangkutin Eliza dengan kasus itu. Kami bah?kan
nggak tau apakah dia memang pelakunya atau dia hanya
menggunakan kesempatan ini untuk mengambing?
hitamkan Erika. Karena itu, Erika bilang hari ini dia akan
396 Isi-Omen6.indd 396 melakukan apa pun juga untuk membongkar kasus
itu." "Apa pun juga?" Les mengerutkan alis. "Kok kedenger?
an?nya bakalan heboh? Lo tau apa rencana dia?"
"Celakanya, nggak," sahutku frustrasi. "Kemaren, se?
belum pulang, dia bilang dia bakalan mikirin dulu apa
yang akan dia lakukan hari ini. Tapi setelah itu nggak
ada kabar lagi dari dia. Makanya gue jadi khawatir dan
dateng ke sini." "Sambil bawa-bawa gue." Les manggut-manggut.
"Padahal lo sama sekali nggak tau apa yang akan terjadi.
Lo kayak orang buta bawa orang buta, tau!"
"Beda, kali," bantahku jengkel. "Setidaknya kita berdua
pasti tau apa yang harus dilakukan kalo ada sesuatu
yang terjadi." "Maksud lo, kayak yang ada di luar itu?"
Les menunjuk ke luar melalui jendela kecil berkusen
kayu bobrok. Tampak di luar, segerombolan preman
mendekati sekolah dengan mengenakan helm, sementara
tangan mereka membawa tongkat. Kelihatan banget
mereka tidak datang untuk maksud damai. Kurasa me?
reka memarkir motor agak jauh dari sini, dan kini mun?
cul karena suatu aba-aba.
"Rapid Fire," aku mengenali stiker jelek yang tertempel
pada helm-helm itu. "Rupanya bener, mereka nongol
lagi." "Iya, kayaknya nggak kapok digebukin sama kita ter?
akhir kali itu," gerutu Les. "Ngapain mereka ke sini?
Mau mengepung sekolah?"
Tiba-tiba terdengar suara keras dari warung sebelah,
seperti meja terbalik atau sejenisnya.
397 Isi-Omen6.indd 397 "Apa itu?" tanyaku kaget.
"Ini, Bos." Aku menoleh ke arah pemilik warung, dan
agak kaget melihat si pemilik warung sedang me?manjat
ke atas kursi dan mengintip ke sebelah melalui lubang
ventilasi. "Di sebelah ada yang berantem! Cowok lawan
cewek!" APA?! Jangan-jangan itu Erika lawan cowok brengsek
entah siapa... Oh. Ternyata hanya Daniel dan Nikki.
"Seru juga." Ternyata Les juga sudah naik ke atas meja
seperti aku dan ikut mengintip. "Nggak gue sangka si
Daniel berani juga sama cewek itu."
"Ah, gue juga nggak akan segan-segan sama cewek se?
jahat itu," ketusku membela Daniel.
"Maksud gue, cewek itu lebih serem daripada Daniel.
Kalo gue yang disuruh ngadepin cewek itu, udah pasti
gue lari terbirit-birit."
"Elo? Lari terbirit-birit?" Aku nyaris tertawa. "Apa
nggak malu? Lo kan ketua geng motor!"
"Yah, seberani-beraninya gue, gue cuma bisa mukul.
Tapi cewek itu berani ngebunuh, man. Kita meleng se?
dikit aja, tau-tau kita udah ngadep Raja Neraka."
Itu sih benar juga. "Oppa," kami mendengar suara Nikki, "sebaiknya Opa
me?nyerah aja deh. Gue nggak minta macam-macam kok.
Gue cuma kepingin Oppa manggil nyokap Oppa ke
sini." Oppa? Astaga, cewek ini benar-benar menjijikkan!
"Oppa?" Rupanya bukan hanya aku yang merasa itu
menjijikkan. Les malah langsung meniru suara orang
muntah. 398 Isi-Omen6.indd 398 Kami mendengar suara Daniel bertanya heran, "Apa
hubungannya semua ini dengan nyokap gue?"
"Belum tau, ya? Katanya sih ini menyangkut utang
masa lalu." Utang masa lalu? Aku dan Les berpandangan.
"Lo tau sesuatu?" bisik Les padaku.
Aku menggeleng. "Gue kagak kenal nyokapnya."
"Sama," sahut Les. "Ya udah, kita nguping lagi."
Pada saat itu, Nikki berkata seraya menunjuk ke luar
pintu warung, "Oppa, coba lihat ke luar. Oppa nggak ber?
pikir, hanya karena lawannya gue, Oppa bisa keluar dari
Kisah Sepasang Bayangan Dewa 6 Pedang Dewa Naga Sastra Bun Liong Sian Kiam Karya Rajakelana Samurai Terakhir 2

Cari Blog Ini