Ceritasilat Novel Online

Dalam Kegelapan 1

Fear Street Dalam Kegelapan Into The Dark Bagian 1


Prolog IA senang memata-matai gadis tunanetra itu.
Gadis itu tidak menyadari kalau tengah diawasi.
Ia sering mengawasi gadis tersebut. Saat berangkat ke sekolah, pulang ke rumah, di halaman rumahnya. Ia menikmati saat-saat mengawasi gadis itu.
Gadis itu cantik. Jangkung dan ramping, dengan rambut cokelat lurus yang panjang. Dengan sepasang mata hijau yang lebar. Kulitnya yang halus dan pucat, serta bibir merah mudanya yang lembut. Jenis gadis yang paling disukainya.
Gadis itu tidak mengetahuinya, tapi tidak lama lagi gadis itu akan menjadi miliknya.
Di masa lalu, segalanya tidak berjalan sesuai dengan
keinginannya. Tapi kali ini situasinya akan berbeda.
Kali ini ia akan mendapatkan apa yang diinginkannya.
BAB 1 "PELAN-PELAN!" Paulette Fox mencengkeram dasbor saat temannya, Jonathan Maddox, meliukkan mobil melewati tikungan.
"Kecepatan kita hanya empat puluh!" kata Jonathan memprotes.
"Empat puluh lima," jawab Paulette. "Di zona tiga puluh mil per jam," tambahnya.
"Mungkin empat puluh satu," kata Jonathan bersikeras.
"Kau pembohong!" jerit Paulette. "Aku bisa mendengar. Aku bisa merasakan embusan angin di jendela."
"Oke, oke." Jonathan mengendurkan injakannya pada pedal gas.
"Kau pasti satu-satunya sopir kursi belakang buta sepanjang sejarah,"
godanya. Paulette tersenyum. Ia senang Jonathan bisa bergurau tentang kekurangannya. Ia tidak senang orang-orang kasihan padanya.
"Hanya karena aku tidak bisa melihat..."
"Tidak berarti kau bodoh," Jonathan melengkapi kata-katanya.
"Kurasa aku sudah terlalu sering mengatakannya, hah?" kata Paulette.
"Hanya setiap dua puluh atau tiga puluh detik sekali," kata Jonathan. "Tapi jangan khawatir. Aku mulai mengerti."
Paulette menurunkan kaca jendela seluruhnya. Ia suka
merasakan embusan angin di wajahnya. "Kau mendaftar latihan apa di gedung olahraga?" tanya Paulette.
"Basket," kata Jonathan. "Kukira kalau bisa berlatih sedikit, mungkin aku boleh turun ke lapangan musim pertandingan kali ini."
"Gagasan bagus. Aku mendaftar bela diri," kata Paulette padanya.
"Apa?" seru Jonathan. "Tidak mungkin!"
"Kenapa tidak?" tuntut Paulette. "Kondisi fisikku bagus."
"Aku tahu," jawab Jonathan. "Tapi bela diri itu kan agak berbahaya?"
"Ada ada denganmu?" seru Paulette. "Kau kira aku tidak bisa mengatasinya?"
Jonathan tidak segera menjawabnya. "Mungkin kau bisa,"
katanya pada akhirnya. "Tapi bagaimana caramu merayu orangtuamu agar mereka mengizinkan? Aku tidak bisa membayangkan mereka akan menyukai gagasan itu."
"Mereka belum tahu," kata Paulette mengakui. Dan ia juga tidak terlalu bersemangat untuk memberitahu mereka.
"Mereka harus menandatangani sesuatu atau semacamnya, bukan?"
"Belum kuberikan," kata Paulette. "Kuharap sewaktu kuberikan, mereka tidak membacanya terlalu teliti. Mungkin akan kuberikan pada Dad sebelum dia meminum cangkir kopi pertamanya. Dia mirip zombie pada saat itu."
"Well, semoga berhasil," kata Jonathan.
Paulette tahu dari nada Jonathan kalau temannya itu
berpendapat dirinya tidak memiliki banyak kesempatan. Ia mendesah.
Ia sudah terbiasa dengan sikap orang-orang yang merendahkan kemampuannya.
Bahkan orangtuanya sendiri tidak menyadari seberapa mampu dirinya. Mereka tidak pernah memahami kalau ia tidak merasa cacat.
Paulette dilahirkan dalam keadaan buta. Ia tidak tahu kondisi yang lain lagi. Ia tidak pernah merasa kalau kehilangan sesuatu.
Ia bisa ke mana-mana dengan baik bersama tongkatnya. Dan tahun-tahun yang dilaluinya menyebabkan seluruh indranya yang lain terasa lebih tajam daripada sebagian besar orang.
Mobilnya berhenti. "Perhentian pertama, Akademi Musik Shadyside," kata Jonathan mengumumkan.
"Trims mau mengantarku," kata Paulette. "Tidak banyak yang bisa kaulakukan kalau menunggu di sini. Kau membawa pekerjaan rumahmu atau apa?"
"Aku lupa," jawab Jonathan. "Apa kau tidak keberatan kalau aku turut mendengarkan pelajaranmu?"
"Tentu saja, ayo ikut," kata Paulette. "Aku berlatih di ruang tiga."
"Aku cari tempat parkir dulu," jawab Jonathan.
Paulette membuka pintu. Dengan menggunakan tongkatnya, ia melangkah ke aspal. Ia mendengar mobil Jonathan melaju
meninggalkan tepi jalan. Paulette mulai mengetuk-ketukkan tongkatnya membuka jalan menuruni lereng landai yang merupakan jalur jalan utama Akademi. Ia mendengar suara piano dan instrumen angin menerobos jendela-jendela terbuka di udara musim gugur.
Ada yang berlatih karya Schubert yang sama denganku,
pikirnya.. Bau rempah-rempah dedaunan dan bunga-bunga liar musim
gugur mengepungnya. Dan ia bisa mencium bau asap kayu yang manis dan tajam dari perapian.
Ia mendengar sesuatu bergerak sepanjang aspal di belakangnya.
Sesuatu yang berat. "Awas!" teriak seseorang.
Paulette berputar ke asal teriakan. Sesuatu yang berat
menghantam dirinya. BAB 2 PAULETTE jatuh ke tanah. Kerikil-kerikil tajam melukai
tangan dan lututnya. Ia mendengar suara keras di belakangnya. Lalu suara orang-orang berteriak.
"Kau baik-baik saja?" tanya seorang cowok dekat dengan telinganya. "Benar-benar nyaris!"
"Apa---apa yang terjadi?" kata Paulette dengan napas tersentak.
Jantungnya berdetak kencang memukuli tulang rusuknya. Ia beranjak duduk. Pipinya sakit karena terhantam kerikil. Ia mengulurkan tangan, tidak yakin. Sebuah tangan yang kuat meraihnya.
"Ada mobil yang melaju tepat ke arahmu. Aku harus
menyingkirkanmu dari jalurnya!" kata cowok itu dengan tergesa-gesa.
"Kurang satu kaki saja kau pasti sudah tertabrak."
Paulette menghirup napas panjang.
"Kau baik-baik saja?" tanya cowok tersebut sekali lagi. "Maaf aku terpaksa membuatmu jatuh. Tidak ada waktu untuk mengambil tindakan yang lain lagi."
"Aku masih sulit untuk mempercayainya," jawab Paulette.
"Tapi aku tidak terluka atau apa. Siapa yang mengemudi? Mana orangnya?"
"Mobilnya kosong. Menabrak kotak pos," jawab cowok itu,
"Tapi apa... bagaimana?"
"Entahlah. Jed, apa yang terjadi?" kata cowok tersebut.
"Ada orang goblok yang lupa memasang rem tangannya," kata seseorang lainnya. "Orang yang tidak tahu bagaimana caranya memarkir mobil di lereng bukit."
"Ayo, kubantu kau berdiri," kata cowok yang memegangi tangannya. Dengan lembut ia menarik Paulette hingga berdiri. "Kau mau ke klinik?"
"Tidak," kata Paulette bersikeras. "Aku baik-baik saja." Ia membersihkan dirinya. Ia mendengar kerikil-kerikil kecil berjatuhan ke aspal. "Terima kasih," katanya. "Kurasa kau sudah menyelamatkan nyawaku."
"Aku senang bisa mendului mobilnya tepat pada waktunya, Paulette," jawab cowok tersebut.
"Dari mana kau tahu namaku?" tanya Paulette. Ia tidak merasa mengenali suara cowok itu. Ia merasa yakin kalau mereka belum pernah bertemu sebelumnya.
"Semua orang tahu siapa dirimu," jawab cowok tersebut.
"Semua orang di sekolah. Namaku Brad Jones. Aku senior di Shadyside."
"Aku tidak pernah mendengar tentangmu," sembur Paulette.
"Ini tahun pertamaku," kata Brad menjelaskan. "Aku pindah kemari akhir bulan September. Agak menyakitkan untuk memulai sekolah baru sebagai senior." Ia mengembalikan tongkat Paulette kepada gadis itu.
Paulette merasa jauh lebih baik setelah mendapatkan kembali tongkatnya. Merasa lebih memegang kendali.
"Berani taruhan begitu," jawabnya. "Aku juga tidak suka pindah sekolah. Kau juga mengambil pelajaran di Akademi?"
"Seandainya begitu," jawab Brad. "Aku suka musik. Aku sudah mempelajarinya seumur hidupku. Tapi tempat ini terlalu mahal. Aku bekerja paro waktu di sini membantu bagian kebersihan."
"Kau memainkan alat musik apa?" tanya Paulette.
"Sama seperti dirimu," jawab Brad. "Piano. Aku pernah mendengar permainanmu. Kau benar-benar hebat."
"Trims," kata Paulette. Ia menyukai suara Brad. Halus dan dalam. Suaranya mengingatkan dirinya pada saksofon bariton.
Katakan yang lain, perintahnya pada dirinya sendiri. "Ehm...
mungkin kapan-kapan aku bisa mendengar permainanmu juga."
"Kau kurang-lebih sejuta kali lebih baik dari diriku," kata Brad.
"Sempurna sekali!" kata Paulette bergurau. "Aku suka mendengarkan orang-orang yang permainannya lebih buruk dari diriku. Dengan begitu aku merasa lebih baik."
"Kalau begitu kau akan merasa luar biasa sesudah mendengar permainanku!" jawab Brad sambil tertawa.
"Paulette!" terdengar teriakan Jonathan. Paulette mengenali suaranya yang sumbang di mana pun. "Apa yang terjadi?" Jonathan menyambar bahunya. "Wajahmu berdarah."
Paulette mengelus wajahnya dengan jari. Pipi kanannya terasa basah dan lengket.
"Aku jatuh dan tergores-gores kerikil," kata Paulette menjelaskan. "Tapi aku baik-baik saja." Ia mencabut sehelai tisu Kleenex dari tas tangannya dan menghapus wajahnya.
Paulette menjejalkan tisu tersebut kembali ke dalam tas
tangannya. "Ada yang lupa memasang rem tangan dan mobilnya meluncur ke arahku," katanya melanjutkan. "Brad mendorongku ke samping agar tidak tertabrak. Apa kalian kenal satu sama lain?"
"Yeah," jawab Brad. "Kami sekelas dalam pelajaran Bahasa Inggris."
"Untung kau ada di dekat sini," kata Jonathan. "Kau mau kuantar pulang, Paulette?"
"Tidak, aku masih ingin mengikuti pelajaranku," jawabnya.
"Tidak lama lagi aku harus mengadakan resital. Aku harus bersiap-siap."
"Aku harus bekerja," kata Brad. "Kepala bagian kebersihan akan sinting kalau aku terlambat dua menit saja."
Paulette berharap bisa bercakap-cakap dengan Brad sedikit lebih lama. "Trims sekali lagi," katanya pada cowok tersebut.
"Bukan masalah," jawab Brad. "Mungkin nanti kita bertemu di sekolah atau apa."
"Sampai nanti," kata Jonathan.
Paulette mendengar Brad melangkah pergi, ke arah yang
berlawanan dari gedung tambahan.
"Ayo. Pelajaranku sudah separo selesai setibanya kita di kelas nanti," kata Paulette. Ia dan Jonathan bergegas menyusuri koridor utama dan masuk ke studio piano.
*********** "Aku kesulitan memusatkan perhatian pada musik tadi," kata Paulette kepada Jonathan sewaktu mereka tengah berjalan menuju ke mobil kembali. "Sulit dipercaya betapa banyak kesalahan yang kulakukan."
"Yeah, aku sempat mengira pianonya rusak," kata Jonathan, menggoda.
"Terima kasih banyak!" Paulette tertawa.
"Paulette!" Mendengar suara Brad, Paulette berhenti. Ia mendengar
langkah-langkah kaki cowok itu bergegas mendekati mereka.
"Untung aku sempat mengejarmu," kata Brad. "Boleh tahu nomor teleponmu? Kau tahu, agar kita bisa mengatur kapan kau bisa mendengar permainan pianoku yang buruk."
"Tentu saja," jawab Paulette. Ini hebat sekali, pikirnya. Brad ingin bertemu dengannya.
"Paulette..." kata Jonathan hendak bicara.
Tapi Paulette telah memberitahukan nomor teleponnya.
"Hebat," kata Brad. "Terima kasih banyak. Aku harus kembali bekerja sekarang. Kepala bagian kebersihan mengira aku sedang menginventarisir lemari persediaan. Nanti kutelepon. Sampai ketemu di kelas, Jonathan." Ia bergegas menjauh.
"Whoa!" Paulette mengembuskan napas. "Dia benar-benar menarik!" Mereka tiba di mobil dan Paulette naik. "Dia tidak memperlakukan diriku seperti orang sinting."
"Aku juga tidak," gumam Jonathan.
"Yeah, tapi kita sudah saling mengenal sejak masih taman kanak-kanak," kata Paulette. "Sebagian besar cowok bersikap seakan-akan aku begitu rapuh hingga bisa pecah atau apa. Brad tampaknya bahkan tidak peduli aku berbeda."
Jonathan memundurkan mobil dari tepi jalan.
"Bagaimana tampangnya?" tanya Paulette.
"Aku tidak pernah mengamati cowok-cowok lain," gumam Jonathan.
"Oh, ayolah," kata Paulette sambil mengerang.
"Kurasa rambutnya cokelat," kata Jonathan padanya.
"Kau tidak membantu. Nanti kutanyakan pada Cindy," kata Paulette.
Sahabat terbaik Paulette, Cindy Webb, bisa menjabarkan setiap cowok yang ada di sekolah. Ia memiliki sistem peringkat menyeluruh.
"Aku terkejut Cindy belum memberitahumu tentang dirinya.
Dia selalu mendengar semua gosip tentang setiap orang," kata Jonathan.
"Apa maksudmu yang sebenarnya?" tanya Paulette. "Gosip macam apa?"
"Mungkin hanya isu," jawab Jonathan.
"Apa yang mungkin hanya isu?" tanya Paulette. "Kau membuatku sinting. Katakan saja."
"Kau tidak akan menyukainya," kata Jonathan.
BAB 3 JONATHAN membelokkan mobilnya ke kanan memasuki
Canyon Drive. "Katakan saja!" seru Paulette.
"Gosipnya Brad mendapat masalah besar di Springfield," jawab Jonathan. "Kudengar dia ditangkap."
"Tidak mungkin!" kata Paulette tersentak. "Kenapa?"
"Katanya perampokan," kata Jonathan.
"Siapa yang memberitahumu?" tanya Paulette.
"Semua orang mengatakannya," jawab Jonathan. "Salah seorang teman sekelasku dalam pelajaran matematika yang memberitahuku.
Dia dulu tinggal di Springfield. Katanya Brad Jones merupakan berita buruk."
"Aku tidak percaya," kata Paulette berkeras. "Kau hanya mendengar gosip. Temanmu itu bisa saja mengada-ada."
"Kenapa tidak kautanyakan saja kepada Brad?" kata Jonathan.
Sejenak Paulette tidak menjawab. "Mungkin nanti," katanya pada akhirnya. "Sesudah mengenalnya dengan lebih baik. Sejauh ini, tampaknya dia cowok yang benar-benar menyenangkan."
"Kau belum mengenalnya sama sekali," jawab Jonathan. "Kau baru hari ini bertemu dengannya. Kau hanya bicara dengannya selama dua menit."
"Memangnya kenapa? Kau bisa merasakan sifat-sifat seseorang begitu bertemu. Dan jangan ngebut!"
"Aku tidak ngebut!" Mobilnya mencicit-cicit saat menikung.
"Kau tahu?" kata Paulette. "Kalau aku tidak lebih mengenalmu, aku akan mengira kau cemburu atau apa."
"Oh, yeah. Jelas," sergah Jonathan.
"Sungguh," kata Paulette bersikeras. "Kenapa kau menceritakan segala keburukan Brad kalau kau tidak cemburu?"
"Aku hanya mengira kau ingin tahu apa yang dikatakan orang-orang lain tentang cowok ini," jawab Jonathan. "Seolah kau pernah mau mendengar pendapat orang lain saja."
*********** "Mau kubantu bersiap-siap untuk sekolah besok?" tanya ibu Paulette.
"Tidak, trims," jawab Paulette tegas. "Aku sudah tidak membutuhkan bantuan sejak masih di sekolah dasar."
"Aku hanya senang kalau sekali-kali bisa membantumu," kata Mrs. Fox.
"Aku tahu," jawab Paulette. Ia berusaha untuk tidak terdengar jengkel. Ia berharap orangtuanya tidak terlalu mengkhawatirkan dirinya seperti itu. "Selamat malam, Mom."
"Tidur yang nyenyak," jawab Mrs. Fox.
Paulette menutup pintunya dan memulai rutinitas yang selalu dilakukannya setiap malam. Mula-mula ia harus memilih pakaian yang akan dikenakannya ke sekolah besok pagi.
Ibunya menyimpan pakaiannya pada gantungan yang dilengkapi tonjolan-tonjolan penanda warna. Paulette memutuskan untuk mengenakan celana jins hitam ketat dan T-shirt merah panjang.
Dengan hati-hati ia melipat pakaian tersebut, lalu meletakkannya di kursi dekat pintu.ebukulawas.blogspot.com
Kemudian, ia mengenakan gaun tidur dan menyikat giginya. Ia selalu menyimpan sikat giginya di tempat yang sama sehingga bisa menemukannya dengan mudah.
Tidak seperti sebagian besar teman-temannya, Paulette tergila-gila kerapian. Ia belajar bertahun-tahun yang lalu kalau satu-satunya cara bagi seorang buta untuk menemukan berbagai benda adalah dengan menyimpannya di tempat yang seharusnya. Perabotan di dalam rumahnya juga diletakkan di tempat yang sama.
Bahkan halaman belakangnya diatur sedemikian rupa sehingga ia bisa berkeliaran di sana. Ayahnya telah memasang pagar pemandu dekat serambi dan di sepanjang jalan setapak, dan perabotan taman selalu diletakkan di tempat yang sama.
Paulette berkeliaran dalam rumah dan halaman secepat orang yang mampu melihat. Pernah sekali, sewaktu ia masih kecil, ayahnya lupa untuk menutup pintu lemari. Dahi Paulette memar sebagai akibatnya.
Orangtuanya tidak pernah melupakan hal-hal kecil seperti itu lagi sekarang. Ia bahkan tidak memerlukan tongkat dalam rumahnya atau di halaman belakang karena segala sesuatunya berada di tempat yang seharusnya.
Setelah selesai bersiap-siap untuk tidur, Paulette menyelinap ke balik selimut dan menghidupkan CD player di samping ranjangnya.
Seperti pakaiannya, sampul CD-nya juga diberi tanda.
Sesaat kemudian telepon berdering. Ia menekan tombol pause pada CD player-nya.
"Hai, Paulette," kata seorang cewek dengan nada tinggi dan gembira.
"Hai, Cindy." Sahabat Paulette itu tinggal hanya beberapa rumah dari rumah Paulette, tapi biasanya mereka bercakap-cakap melalui telepon beberapa kali dalam sehari.
"Aku baru selesai bercakap-cakap dengan Jonathan," kata Cindy. "Katanya kau sedang terlibat asmara yang panas dengan Brad Jones."
Paulette terpaksa tertawa. Cindy menyukai gosip di atas
segalanya. "Aku tidak terlibat asmara yang panas dengan siapa pun,"
kata Paulette padanya. "Aku baru hari ini bertemu dengan Brad."
"Lalu? Aku pernah melihat Brad di ruang makan," kata Cindy.
"Ia benar-benar tampan. Rambut cokelatnya ikal dan matanya yang gelap juga memesona. Tampangnya mirip bintang film."
"Terima kasih," kata Paulette. "Kau seharusnya mendengar penjabaran Jonathan. Katanya ia mengira Brad berambut cokelat!"
Cindy tertawa. "Khas Jonathan," jawabnya.
"Aku suka suara Brad," kata Paulette.
"Apa yang dikatakannya padamu? Ceritakan semuanya," kata Cindy.
"Tidak banyak," kata Paulette mengakui. "Ia juga bermain piano. Dan bekerja paro waktu di Akademi. Rasanya dia benar-benar hebat."
"Kata Jonathan kau memberitahukan nomor teleponmu
padanya," kata Cindy.
"Jonathan benar-benar besar mulut!" seru Paulette.
"Kau mau berpacaran dengannya atau apa?"
"Duh!" seru Paulette. "Kalau dia memintaku, tentu saja aku mau."
"Aku juga," kata Cindy. "Tapi menurut Jonathan sebaiknya kau menjauhi Brad. Dia khawatir karena semua gosip tentang cowok itu."
"Menurutmu apa semua cerita-cerita tentang Brad itu benar?"
tanya Paulette. "Entahlah," jawab Cindy. "Gosip tidak mungkin ada kalau tidak ada sumbernya. Tapi bisa saja terlalu dibesar-besarkan."
"Well, bukannya aku merencanakan mau melarikan diri bersamanya atau apa," kata Paulette.
"Kau benar," kata Cindy, menyetujui sambil tertawa. "Jonathan terlalu khawatir tentang segalanya."
"Setuju," jawab Paulette. "Dia lebih buruk daripada orangtuaku.
Dia terkadang terlalu melindungiku. Aku jadi sinting rasanya."
"Uupss, aku harus berhenti," kata Cindy. "Dad perlu teleponnya untuk main internet."
"Sampai ketemu besok di sekolah." Paulette menutup telepon dan menyalakan CD-nya lagi. Tapi ia hampir-hampir tidak mendengar musiknya. Pikiran akan Brad memenuhi kepalanya.
Berulang-ulang, ia mendengar suara bariton cowok tersebut yang halus. Ia teringat akan sentuhan lembut tangannya sewaktu membantu dirinya bangkit berdiri.
Mungkin aku agak berlebihan, pikir Paulette, sambil tersenyum sendiri.
CD-nya berakhir, dan ia mematikannya. Ia baru saja mulai terlelap sewaktu telepon kembali berdering.
"Halo?" gumamnya sambil mengantuk.
"Paulette? Ini Paulette?" kata seseorang dengan suara berbisik.
"Ya," jawabnya, tiba-tiba terjaga kembali. "Siapa ini?"
"Ini Brad." "Brad!" Paulette merasa jantungnya berdebar kencang. "Aku tidak mengenali suaramu! Kenapa kau berbisik-bisik?"
"Aku ada di rumah teman," kata Brad. "Aku tidak ingin berbicara terlalu keras. Bagaimana kabarmu?"
"Baik juga," jawab Paulette. "Aku senang kau menelepon."
"Aku terus memikirkan dirimu," lanjut Brad. "Sejak bertemu denganmu siang tadi."
Sejenak Paulette tidak menjawab. Ia sendiri merasakan hal yang sama. Apa sebaiknya ia mengatakannya kepada Brad?
"Kau mendengarku?" tanya Brad. "Rasanya kaulah orang yang kucari selama ini."
"Aku... aku tidak tahu harus mengatakan apa," bisik Paulette.
"Kau juga memikirkan diriku, bukan? Benar, bukan, Paulette.
Aku tahu itu benar. Aku tidak mungkin merasa begini kalau kau juga tidak merasakannya."
"Aku---kita hampir-hampir tidak mengenal satu sama lain!"
protes Paulette. "Tidak penting, Paulette. Aku tahu semua yang perlu kuketahui.
Perasaanmu sama denganku. Pasti. Akuilah," kata Brad.
Paulette tidak menjawab. Brad terdengar begitu mendesak.
Apa yang harus kukatakan? pikirnya.
Ia bisa mendengar napas Brad di ujung seberang telepon. Keras, terengah-engah. Lalu, sesaat kemudian, ia mendengar bunyi klik saat Brad menutup teleponnya.
BAB 4 "TIDAK! Paulette!" seru Ms. Tillotson. "Jangan dilawan. Ikuti saja arah tenaga lawanmu!"
Paulette bangkit berdiri. Hari ini hari pertama kursus bela dirinya, dan ia telah terkapar di lantai tiga kali.
Ia kembali menghadapi gurunya. Lututnya agak dilipat.
Menunggu serangan Ms. Tillotson.
Ms. Tillotson mendekat. Ia menyambar lengan Paulette.
Paulette berjuang untuk membebaskan diri, dan kembali mendapatkan dirinya terkapar di lantai.
"Pusatkan perhatian!" desak Ms. Tillotson. "Kalau kau bisa merasakan aku akan bergerak ke kanan, bergeraklah ke kanan bersamaku. Jangan melawan musuhmu. Jangan bertahan. Sebaliknya, gunakan kekuatan musuhmu untuk menjatuhkannya."
"Ini sulit sekali," teriak Paulette.
"Kau benar," jawab Ms. Tillotson. "Tapi tidak ada alasan kau tidak bisa mempelajarinya. Tidak ada hubungannya dengan melihat.
Tapi dengan antisipasi dan konsentrasi."
Paulette menghela napas dalam-dalam. Jangan jadi pengecut!
katanya sendiri. Patuhi perintah Ms. Tillotson!
Paulette kembali bersiap sedia. Kali ini ia mencoba untuk mengikuti jalan pikiran Ms. Tillotson, membayangkan gerakan guru tersebut yang selanjutnya.


Fear Street Dalam Kegelapan Into The Dark di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ms. Tillotson mendekat dari samping. Ia kembali menyambar lengan Paulette.
Tapi kali ini Paulette telah siap. Ia tidak melawan. Ia bergerak ke arah yang sama dengan gurunya. Ia menggunakan momentum itu untuk menyentak lengan gurunya.
"Whoa!" jerit Ms. Tillotson.
Paulette merasakan gurunya kehilangan keseimbangan dan
jatuh. "Bagus, Paulette!" seru Mr. Tillotson. "Kau cepat belajar!"
"Trims." Paulette tersenyum.
"Omong-omong," tambah guru tersebut. "Kau masih belum menyerahkan surat izin orangtuamu. Kalau kau belum
menyerahkannya sampai hari Jumat, aku terpaksa mengeluarkanmu dari sini."
"Tidak masalah," jawab Paulette. Kuharap, tambahnya sendiri.
Ia bergegas menuju ke ruang loker.
Setelah mandi dan berganti pakaian, Paulette menuju ke
kafetaria. Hidangan hari ini stir-fry, pikirnya. Ia bisa mengenali setiap hidangan yang disajikan kafetaria berdasarkan baunya.
Sewaktu mereka masih anak-anak, ia dan Jonathan biasa
memainkan Permainan Hidung. Jonathan akan membawa setumpuk stoples dari dapur. Ia akan mencium baunya dan memberitahukan isinya. Ia hampir-hampir tidak pernah salah.
"Stir-fry kuletakkan di tengah," kata pramusaji kafetaria padanya. "Kentang tumbuk di bawahnya, dan salad di paling atas, pukul sebelas."
Paulette membawa bakinya ke mejanya yang biasa di samping jendela. Ia bisa mengetahui dari kesunyian di sudut ruangan ini kalau anak-anak yang lainnya belum datang. Ia mengambil garpunya, tapi tidak makan. Ia mulai memikirkan Brad lagi.
Sesaat kemudian ia mendengar langkah-langkah kaki yang
dikenalinya, berlari-lari mendekat, dan bau parfum kesukaan Cindy mengepungnya.
"Hai," kata Cindy sambil terengah-engah. "Maaf aku terlambat.
Aku tidak bisa membuka pintu lokerku."
"Bukan masalah," jawab Paulette.
"Kau mendengar tentang Anthony dan Sandy?" lanjut Cindy.
"Mereka akan datang ke acara Homecoming bersama-sama. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan pacar Sandy dari Waynesbridge."
"He-eh," kata Paulette.
"Juga, tebak siapa yang mengajak saudara perempuan Jeffrey Galway."
Paulette tidak menjawab. "Hei, Bumi memanggil Paulette," seru Cindy. "Kau tidak mendengar kata-kataku sepatah pun?"
"Maaf, Cindy," kata Paulette. "Kurasa aku agak melamun hari ini."
"Kurasa begitu," kata Cindy menyetujui. "Tadi pagi aku sempat bertemu dengan Brad sebelum pelajaran. Dia membawa sekitar seratus buku dari perpustakaan."
"Sungguh?" tanya Paulette.
"Kau belum berbicara dengannya hari ini?"
"Belum," kata Paulette mengakui. "Tapi dia menelepon semalam, sesudah kau dan aku bicara."
"Benar? Apa dia mengajakmu keluar?"
"Tidak," kata Paulette. Ia ragu-ragu, penasaran seberapa banyak yang bisa diceritakannya pada Cindy. "Dia... dia kedengarannya berbeda. Tidak seperti yang kuingat saat bertemu sorenya."
"Apa maksudmu, berbeda?" tanya Cindy. "Maksudmu suaranya berbeda, atau apa yang dikatakannya aneh, atau apa?"
"Well, kedua-duanya," kata Paulette.
"Hai, Paulette."
Suara bariton halus Brad. Kedengarannya sama persis seperti kemarin siang. Baunya yang hangat, mirip bau kulit terasa akrab.
"Hai," jawab Paulette.
"Aku berjanji dengan Arline untuk menghabiskan separo makan siangku dengannya. Dia ingin mendengar semuanya tentang saudara perempuan Jeffrey Galway," kata Cindy menjelaskan.
Paulette mendengar sahabatnya meraih bakinya dan bergegas pergi.
"Sampai nanti," panggil Paulette. Kuharap Brad tidak menyadari kalau Cindy hanya mengarang alasannya, pikirnya.
"Duduklah," kata Paulette.
"Trims," jawab Brad. Ia meletakkan bakinya.
Paulette merasakan kursinya bergerak saat Brad duduk di
sampingnya. "Aku juga memilih stir-fry. Kesalahan besar, hah?"
"Tidak buruk," jawab Paulette. Lalu ia menambahkan, "Kalau kau tidak menelannya!"
Mereka berdua tertawa. Apa aku harus membicarakan percakapan telepon kami
semalam? Paulette bertanya-tanya dalam hati.
Tidak, ia mengambil keputusan. Kalau Brad tidak mengatakan apa-apa, aku juga tidak akan menyinggungnya. Berani taruhan dia pasti merasa agak malu karenanya. Dia agak aneh!
Paulette mendengar garpu Brad menyapu piring. "Sejak sekolah dimulai aku selalu melihatmu makan dari sisi seberang ruang makan,"
kata Brad mengaku. "Senang rasanya bisa duduk di sebelahmu."
"Aku bahkan tidak tahu kalau kau ada di sana dulu," jawab Paulette.
"Sekarang kita akhirnya bisa saling mengenal satu sama lain,"
kata Brad. "Aku tidak bermaksud untuk mengusir temanmu Cindy."
"Tidak," kata Paulette berusaha meyakinkannya. "Cindy harus tahu segala sesuatu yang terjadi pada setiap orang. Dia mungkin akan melewatkan beberapa gosip yang penting kalau menghabiskan seluruh makan siangnya bersamaku."
"Aku tidak mendengar gosip. Siapa yang peduli siapa putus dengan siapa dan segala macamnya? Membosankan," kata Brad.
"Menurutku juga begitu," kata Paulette menyetujui.
"Kita pasti sudah terpisahkan sewaktu dilahirkan," kata Brad bergurau. "Kita berdua sama-sama memainkan piano, kita berdua sama-sama menganggap gosip membosankan."
Paulette tertawa. "Kita berdua berasal dari Planet Bumi,"
katanya menggoda. "Apa lagi yang mirip?"
"Well, kita berdua sangat cerdas dan menarik," jawab Brad.
"Oh, sungguh?" kata Paulette.
"Kau cerdas dan menarik," lanjut Brad. "Aku sebenarnya begitu buruk sampai biasanya mengerudungi kepalaku dengan tas."
"Kau bohong!" protes Paulette. "Kata Cindy kau seperti bintang film."
"Benar," kata Brad menyetujui. "Film King Kong. Ingin melihat sendiri?"
"Apa maksudmu?"
Cowok itu meraih tangan Paulette dan meletakkannya di
wajahnya. Perlahan-lahan, Paulette meraba pipi cowok itu dengan
jemarinya, merasakan tulang pipi Brad. Rambutnya yang bagai sutra menjuntai di keningnya. Hidungnya kuat dan mancung. Ada bekas luka mungil di dekat mata kirinya. Bibirnya halus dan penuh.
Sepotong demi sepotong, ia membangun bayangan Brad dalam benaknya.
"Terima kasih," kata Paulette sesaat kemudian. "Ada orang yang tidak suka kalau aku berbuat begitu."
"Kau boleh memandangku kapan pun kau mau," jawab Brad.
"Aku bisa membayangkan dirimu dengan tepat sekarang,"
lanjut Paulette. Ia mengulurkan tangan dan menyentuh bekas luka kecil di dekat mata Brad sekali lagi. "Bagaimana kau mendapatkannya?" tanyanya.
"Aku jatuh dari pohon waktu berusia tiga tahun," jawab Brad.
"Bekas lukanya tidak terlihat, sekali pun kau bisa merasakannya. Kau satu-satunya orang yang pernah memperhatikannya. Indramu yang lainnya pasti benar-benar tajam."
"Selama ini kupikir begitu," kata Paulette menyetujuinya. "Tapi tidak ada temanku yang pernah menyadarinya. Mereka selalu menganggapku memiliki kekurangan karena tidak bisa melihat."
"Berani taruhan kekuranganmu justru membantu permainan pianomu," lanjut Brad. "Kau mungkin bisa merasakan perbedaan-perbedaan tuts dan pedal piano lebih baik daripada orang-orang lainnya."
"Itu masuk akal," gumam Paulette. "Aku tidak pernah memikirkannya."
"Seandainya permainanku separo saja dari permainanmu,"
lanjut cowok itu. "Aku yakin permainanmu bagus," kata Paulette keberatan. "Aku senang kalau bisa mendengar permainanmu sekali waktu nanti."
"Aku sudah bermain piano seumur hidupku, tapi belum pernah mengikuti pelajaran secara khusus," kata Brad. "Keluargaku tidak mampu membeli piano. Aku hanya berlatih kalau ada piano gratis yang bisa kugunakan di sekolah."
"Kau bisa datang ke rumahku dan berlatih dengan piano keluargaku," kata Paulette sukarela.
Brad terdiam sejenak. "Aku tidak bisa," katanya. "Tapi terima kasih."
"Tapi permainanmu tidak akan pernah bagus kalau kau tidak berlatih secara teratur," kata Paulette berkeras.
"Aku berlatih teratur," kata Brad kepadanya. "Aku baru saja menemukan piano yang bisa kugunakan kapan saja aku mau."
"Di Akademi?" tebak Paulette.
"Tidak. Mereka mengenakan biaya terlalu mahal untuk berlatih," kata Brad. "Kau tidak akan pernah bisa menebak di mana pianoku berada."
"Sekarang kau membuatku penasaran!" Paulette tertawa. "Kau harus memberitahuku."
"Aku berlatih dengan piano tua yang sudah ditinggalkan pemiliknya di sebuah rumah kosong... di Fear Street!" kata Brad padanya.
************ Sorenya dalam perjalanan pulang dari sekolah, Paulette
memikirkan cerita Brad padanya. Ia tidak merasa yakin kalau cowok itu berlatih di sebuah rumah yang ditinggalkan. Tapi mungkin saja benar.
Paulette terus saja memikirkan telepon semalam. Brad bersikap begitu aneh. Begitu berbeda dengan sikapnya saat makan siang atau kemarin di Akademi. Begitu mendesak. Agak menakutkan.
Ia menaiki tiga anak tangga menuju ke pintu depannya,
membuka kuncinya, dan bergegas naik ke lantai atas untuk berganti pakaian. Gema langkahnya memberitahu kalau rumahnya kosong.
Ia teringat kalau kedua orangtuanya ada pertemuan malam ini.
Mereka tidak akan pulang sebelum larut.
Paulette masuk ke kamarnya. Tulang keringnya menghantam
sesuatu dan ia hampir-hampir terjatuh. Apa itu? Ia membungkuk dan meraba-raba lantai.
Keranjang sampahnya. Ia menabrak keranjang sampahnya.
Aneh. Ia teringat kalau tergesa-gesa sewaktu bersiap-siap ke sekolah tadi pagi. Aku pasti sudah lupa mengembalikannya sesudah membuang isinya, pikirnya.
Ia meletakkan tas dan buku-bukunya di atas meja,
mengembalikan keranjang sampah di tempat yang biasanya, dan berganti pakaian. Lalu ia kembali turun dan duduk di bangku piano untuk berlatih.
Ia mulai memainkan sonata untuk resital yang akan
dilakukannya. Mula-mula sulit untuk memusatkan perhatian. Pikiran tentang Brad selalu menghalangi.
Tapi tidak lama kemudian musiknya mengambil alih. Paulette tenggelam dalam perasaan jemarinya di atas tuts piano, kakinya pada pedal, dan suara nada-nada yang mengisi udara di sekitarnya.
Paulette terlonjak sewaktu bel pintu berdering. Ia memeriksa arloji Braille-nya. Pukul enam. Pasti Cindy, pikirnya. Mereka berjanji untuk mengerjakan proyek sejarah bersama-sama.
Paulette melompat bangkit dan membuka pintu untuk
temannya. "Kedengarannya bagus," kata Cindy. "Kurasa jatuh ciiintaa sekali pada musikmu."
"Hentikan," kata Paulette. Tapi ia tidak bisa menahan senyum.
"Ayo, kita ambil popcorn dan buku."
Paulette berjalan lebih dulu ke dapur. Ia dan Cindy
mengeluarkan kaleng-kaleng soda dari dalam lemari es, memasak semangkuk besar popcorn dengan microwave, dan naik ke lantai atas.
Paulette mendorong pintu kamarnya hingga terbuka dan
langsung berjalan ke ranjang, tempat belajar kesukaannya.
"Kubawakan CD baru," kata Cindy. "Aku..."
Ia berhenti dengan tiba-tiba. Paulette mendengar napas
temannya tersentak. "Tidak!" seru Cindy. "Tidak!"
BAB 5 "TIDAK!" Cindy kembali menjerit. "Aku tidak percaya!"
"Ada apa?" seru Paulette. Ia bergegas mendekati Cindy dan menyambar lengannya. "Apa yang terjadi?"
"Kau belum masuk ke kamarmu hari ini?" Cindy akhirnya berhasil mengeluarkan suaranya untuk bertanya. "Tapi tidak---tentu saja, kau tidak mungkin bisa melihatnya," lanjutnya.
"Melihat apa?" jerit Paulette. "Cindy, katakan! Ada apa? Apa yang kaulihat?"
"Maafkan aku, Paulette," jawab Cindy. Suaranya masih terguncang, tapi ia terdengar lebih tenang. "Aku... aku tidak tahu bagaimana cara mengatakannya. Dindingmu," kata Cindy menjelaskan. "Ada yang... yang menulisi dindingmu dengan cat merah."
"Menulisi dinding?" Paulette merasa bodoh. Kenapa ada yang menulisi dinding kamarnya? Bagaimana mungkin ada yang bisa masuk kemari?
"Mereka menggambar tengkorak dan tulang bersilang," lanjut Cindy. "Dan mereka menulis..." Ia kembali diam sejenak.
"Apa? Apa?" tanya Paulette. Ia masih merasa sulit untuk mempercayai apa yang tengah terjadi.
"Katanya, 'Kau akan mati, gadis buta'," kata Cindy dengan suara tercekik.
"Apa? Siapa yang tega berbuat seperti itu?" jerit Paulette.
"Maafkan aku, Paulette!" kata Cindy. "Maaf karena kau harus mendengarnya dariku. Sulit dipercaya ada yang begitu tega melakukan perbuatan yang menjijikkan ini!"
"Aku juga tidak percaya," jawab Paulette. Ia merasa tenggorokannya tercekat. "Di mana tulisannya?" tanyanya.
"Di dinding di belakang ranjangmu," jawab Cindy.
Paulette menyeberang ke ranjangnya dan dengan lembut
menyentuh dinding. Sekarang ia bisa merasakannya---garis-garis cat yang hampir kering dan masih lengket. Ia menyusuri kata-katanya dengan ujung jemarinya.
Kau akan mati, gadis buta.
Bau cat yang samar memenuhi cuping hidungnya. Ia berjuang untuk mengatasi perasaan mual.
"Apa ada tulisan lain?" tanyanya sesaat kemudian. "Apa ada yang pecah atau hilang?"
"Yang lainnya tampak tidak apa-apa," kata Cindy.
Paulette mendengarnya membuka dan menutup laci-laci.
"Semuanya ada di sini," kata Cindy.
Paulette mengempaskan diri ke ranjang. "Sulit dipercaya ada yang tega untuk berbuat begini," katanya.
Ia gemetar. "Sulit dipercaya ada yang menyelinap masuk ke dalam rumah, ke dalam kamar tidurku. Aku langsung kemari sepulang sekolah," lanjutnya. "Aku ada di kamarku, berganti pakaian, dan aku tidak pernah tahu... tidak pernah tahu kalau ada yang... ada yang..."
"Tunggu!" seru Cindy. "Bagaimana kalau mereka masih di sini?
Bagaimana kalau mereka masih ada di dalam rumah ini bersama kita?"
"Ayo," desak Paulette. "Kita harus memeriksanya."
"Kita panggil polisi saja!" kata Cindy memprotes.
"Jangan sekarang. Belum. Mereka pasti sudah pergi, tapi kita pastikan saja." Paulette menyambar penahan buku yang berat. Ia bisa menggunakannya sebagai senjata kalau perlu. Ia menyentak pintu lemari pakaian hingga terbuka.
"Kosong," gumam Cindy.
Kedua gadis tersebut memeriksa ruangan-ruangan lainnya.
Semuanya kosong. "Aku penasaran bagaimana caranya dia masuk," kata Paulette sewaktu mereka kembali ke kamarnya.
"Jendelamu terbuka," kata Cindy. "Biasanya kau selalu menutupnya di pagi hari, bukan?"
"Aku selalu menutupnya sebelum berangkat ke sekolah," jawab Paulette.
Paulette mendengar Cindy menyeberang ke jendela. "Atap serambi hanya beberapa kaki jauhnya. Mereka pasti memanjat lewat atap serambi lalu membuka jendela. Ayo, kita hubungi polisi sekarang."
"Tidak!" sergah Paulette.
"Tapi, Paulette..."
"Aku tidak ingin ada yang mengetahui tentang kejadian ini,"
katanya kepada Cindy. "Tidak polisi, dan tidak orangtuaku."
"Tapi kenapa?" kata Cindy memprotes. "Ada yang masuk ke dalam rumahmu tanpa izin! Ada yang mengancammu!"
"Tidak akan terjadi lagi," kata Paulette. "Akan kupastikan kalau jendelanya terkunci semua di pagi hari. Akan kuperiksa ulang semua jendela-jendela dan pintu depan maupun belakang sebelum berangkat ke sekolah."
"Tapi..." "Please," lanjut Paulette. "Kau tahu bagaimana orangtuaku, Cindy. Kalau mereka mengetahui tentang kejadian ini, mereka mungkin akan menyewa babysitter untukku. Mereka tidak akan pernah mengizinkan aku tinggal di rumah sendirian."
Paulette tidak tahan kalau orangtuanya bertindak lebih protektif lagi terhadap dirinya. Kalau mereka mengetahui kejadian ini, mereka akan terus membicarakannya selama berhari-hari. Mereka akan begitu khawatir dan kebingungan.
"Well, mungkin sebaiknya kau tidak tinggal seorang diri di rumah---paling tidak untuk sementara."
"Kenapa kau tega berkata begitu?" seru Paulette. "Cindy, kau teman terbaikku. Dan sekarang kau juga memperlakukan diriku seperti seorang bayi! Semua orang mengira aku tidak bisa menjaga diri hanya karena aku buta. Aku benci!"
"Itu tidak benar!" seru Cindy. "Kau menganggap semua ada hubungannya dengan kondisimu. Tapi tidak. Aku tidak ingin berada sendirian kalau aku yang mengalami kejadian ini. Ada yang menginginkan kematianmu, Paulette."
Paulette menghela napas dalam-dalam. "Maaf," gumamnya.
"Tapi aku masih tidak percaya kalau ada yang menginginkan kematianku. Aku yakin ini hanya pekerjaan bocah-bocah bodoh yang ingin melontarkan gurauan kejam padaku."
"Mereka masuk tanpa izin ke dalam rumahmu!" protes Cindy.
"Itu bukan lelucon!"
"Please, sebaiknya jangan memperdebatkannya. Aku merasa aman sekali sekarang. Dan aku akan lebih berhati-hati. Please, bantu saja aku membersihkan dinding ini sebelum orangtuaku pulang."
************* Sewaktu alarm Paulette berbunyi keesokan paginya, ia bangun dan menyusuri dinding di belakang ranjang dengan tangannya. Cat baru yang dipoleskannya bersama Cindy untuk menutupi tulisannya masih terasa agak lengket. Tapi menurut Cindy perbedaannya tidak menyolok sehingga tidak menarik perhatian.
Paulette gemetar, teringat betapa ketakutan dirinya semalam.
Bukan sesuatu yang serius, katanya sendiri dengan tegas. Hanya gurauan yang jahat.
Paulette berpakaian untuk berangkat ke sekolah. Lalu ia
memeriksa kunci jendelanya sekali lagi dan turun ke dapur. Mmm, Mom memanggang pancake cornmeal, pikirnya. Ia menyukai aroma manisnya.
"Well, lihat siapa yang akhirnya bangun," kata ayahnya.
"Selamat pagi, tukang tidur."
"Selamat pagi, Dad," jawab Paulette. Ia menyeberang ke kepala meja dan mencium pipi ayahnya. Ia mendengar gemerisik sewaktu ayahnya membalik halaman koran. "Mana Mom?"
"Di sini," jawab Mrs. Fox dari tangga ke ruang bawah tanah.
"Kita kehabisan sirop, jadi kupikir sebaiknya kuambil botol baru."
"Kalian pasti pulang larut semalam," kata Paulette.
"Hampir tengah malam," kata ibu Paulette menyetujui. "Kau sudah tidur nyenyak sewaktu kami tiba. Kau mau pancake berapa banyak?"
"Sekitar selusin," kata Paulette bergurau. "Tapi tiga saja sudah cukup."
"Makanan segera datang."
Ibu Paulette adalah koki juara. Ia bekerja di salah satu restoran terbaik di Shadyside. Selama bertahun-tahun ia telah mengajar Paulette untuk memasak, dengan menggunakan cangkir-cangkir dan sendok-sendok pengukur bertanda Braille.
"Maaf aku terlalu sering bekerja hingga larut," kata Mr. Fox.
"Bagaimana persiapan resitalmu?"
"Bagus," kata Paulette kepada ayahnya.
Mrs. Fox meletakkan sepiring pancake di hadapan Paulette.
Paulette menggigit sepotong besar salah satunya.
"Pancake-mu sangat terkenal, Mom."
"Aku senang kau menyukainya," jawab ibunya. "Tidak ada yang bisa mengalahkan sarapan yang baik untuk memulai satu hari."
"Yeah, dan aku perlu bantuan." Paulette tertawa. "Pelajaran pertamaku sangat berat."
"Kau mendapat teman baru semester ini?" tanya ayahnya.
Dad selalu mengajukan jutaan pertanyaan. Paulette tidak ingin memikirkan betapa resah ayahnya kalau mengetahui tentang pesan yang dicatkan ke dindingnya.
Paulette membuka mulut hendak menyebut nama Brad, lalu
menutupnya kembali. Akan kutunggu sampai mengenalnya lebih baik sebelum mengatakan apa-apa, pikirnya.
"Tidak, tidak juga," jawab Paulette. "Tapi semester ini baru mulai. Omong-omong tentang sekolah," tambahnya, "kalian harus menandatangani formulir untuk pelajaran olahraga."
"Tidak masalah," kata ibu Paulette.
Paulette meraih ranselnya. Jemarinya menemukan map berhuruf Braille untuk pelajaran olahraga. Ia mencabut formulirnya, lalu memberikannya kepada ibunya.
"Oke," kata Mrs. Fox. "Kita..." Ia berhenti. "Ini formulir izin untuk mengikuti latihan bela diri!"
"Eh, benar," jawab Paulette. "Memang begitu."
"Kau belajar bela diri?" ulang ibunya.
"Well, tentu saja," kata Paulette dengan nada biasa. "Kalian tidak ingin aku bisa membela diri?"
"Well, tentu saja," jawab ibunya. "Tapi, apa ini tidak... eh...
terlalu cepat untukmu?"
"Maksudmu menurutmu aku tidak bisa melakukannya karena tidak bisa melihat, bukan?"
"Tentu saja tidak!" jawab ibu Paulette. "Tapi aku tidak suka kau melakukan sesuatu yang tidak bisa kautangani."
"Aku bisa!" jerit Paulette. "Pelatihnya sangat terkesan dengan kemajuanku!"
"Entahlah," kata Mrs. Fox. "Apa pendapatmu, John?"
Ayah Paulette tidak segera menjawab. Lalu ia mendesah.
"Kalau Paulette yakin, berarti mungkin dia memang bisa."
"Tapi, Paulette," tambah Mr. Fox, "jangan sampai kau lalu merasa aman. Jangan mulai berpikir kalau kau bisa melakukan hal-hal yang tidak bisa kaulakukan."
"Tidak akan," kata Paulette berjanji. Ia menghabiskan sarapannya dan berangkat ke sekolah.
Untuk yang keseratus kalinya ia penasaran mengapa
orangtuanya begitu melindungi dirinya. Sebenarnya mereka baik juga.
Mereka membiarkan dirinya mengikuti sekolah biasa dan segala sesuatu lainnya. Tapi mereka tidak pernah berhenti memikirkan keterbatasannya.
Paulette berbelok memasuki Park Drive, mengetuk-ngetukkan tongkatnya sepanjang trotoar. Brad berbeda, pikirnya. Berani taruhan ia pasti sangat kagum karena aku berlatih bela diri.
Ia ingin memberitahu orangtuanya tentang Brad. Ia masih tidak yakin kenapa ia tidak memberitahu mereka. Ia merasa yakin kalau mereka akan menyukai Brad.
Pasti karena apa yang sudah dikatakan Jonathan, pikirnya. Ia tidak mempercayai isu tentang Brad. Tapi kalau orangtuanya mendengar kisah-kisah tentang Brad ditangkap, mereka tidak ingin ia berhubungan dengan cowok itu.
Angin lembut menyapu wajahnya, menebarkan bau karet dan
beton dari lokasi pembangunan di dekat tempat tersebut. Siulan burung pagi hampir lenyap tersapu lalu lintas jam sibuk yang melaju melewatinya di Park Drive.
Lalu ia mendengar suara lainnya---sepatu bersol keras yang berlari-lari di belakangnya. Pasti salah seorang temannya, berusaha untuk menyusulnya, pikirnya. "Siapa itu?" panggilnya.
Tidak ada jawaban. Langkah-langkah kaki tersebut terdengar mengurangi kecepatan. Orang itu semakin dekat.
Paulette mengurangi kecepatan langkahnya agar orang itu bisa mengejarnya.
"Hai?" panggilnya.
Tidak ada jawaban. Orang tersebut berada tepat di belakangnya sekarang. Tapi masih tetap tidak mengatakan apa-apa.
Paulette merasakan bulu kuduknya meremang. Apa ada yang
menakut-nakutinya? Orang inikah yang masuk ke dalam rumahnya tanpa izin?
Hentikan, Paulette! perintahnya sendiri. Mungkin hanya
seseorang yang tidak mengenalku. Mereka mungkin bahkan tidak menyadari kalau aku bercakap-cakdp dengan mereka.
Ia terus saja berjalan. Ia bisa mendengar suara kaki-kaki melangkah di belakangnya.
Sewaktu tiba di tikungan Mission dan Park, langkah-langkah kaki tersebut semakin cepat. Paulette mendengarnya menghantam aspal.
Klik. Lalu lintasnya berubah. Mobil-mobil mulai menyeberangi
perempatan. Langkah-langkah kaki di belakangnya hampir menjajari dirinya.
Langkah-langkah tersebut tidak terdengar mengurangi kecepatan.


Fear Street Dalam Kegelapan Into The Dark di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa itu?" jerit Paulette. "Kenapa kau tidak mau menjawab?"
Dua tangan menghantam punggungnya.
Paulette terbang ke jalan. Ia mendarat di aspal dengan keras.
Udara terempas keluar dari paru-parunya.
Ia menggigit bibir. Ia merasakan darah dalam mulutnya.
Klakson mobil meraung. Ban-ban berdecitan.
BAB 6 PAULETTE berguling-guling menjauhi mobil itu. Ia
menghantam tepi jalan. Bahunya terasa amat sakit.
Ia merasakan air selokan yang pahit di bibirnya. Ia tercekik.
Paulette mendengar pintu sebuah mobil dibanting menutup.
Lalu diikuti suara langkah-langkah kaki yang mendekatinya dengan tergesa-gesa.
"Kau tidak apa-apa?" seru seorang wanita. "Aku tidak melihatmu. Aku hampir tidak bisa berhenti tepat pada waktunya."
"Aku---aku baik-baik saja," jawab Paulette. Ia mendengar suaranya sendiri gemetar. Ia meraba-raba mencari tongkatnya. Ia memerlukan tongkatnya. Di mana benda itu?
"Ayo kuantar pulang," kata wanita tersebut. " Apa ibu atau ayahmu ada di rumah?"
Tangan-tangan yang kuat menyambar pergelangannya,
menariknya berdiri. "Kau kenal dengannya?" tanya wanita tersebut kepada orang lain.
"Ya. Paulette, ini aku, Brad," kata cowok itu. "Kau aman sekarang." Suaranya terdengar agak berbisik, seakan-akan ia terjangkit flu.
Terdengar bunyi klakson meraung. "Singkirkan mobilmu!"
teriak seseorang. "Aku harus memindahkan mobilku," kata wanita tersebut. "Ayo kuantar pulang. Biar aku merasa jauh lebih baik."
"Aku tidak apa-apa. Sungguh," kata Paulette berkeras. "Hanya agak gemetar."
"Akan kuajak dia ke klinik begitu kami tiba di sekolah. Tidak jauh dari sini," kata Brad.
Terdengar klakson mobil yang lain meraung.
"Silakan," kata Paulette kepada wanita tersebut.
"Oke, kalau begitu."
Paulette mendengar wanita tersebut bergegas kembali ke
mobilnya. "Apa yang terjadi?" tanya Brad. "Apa kau jatuh?"
"Ada yang mendorongku ke jalan!" seru Paulette. "Kau melihat ada orang? Mungkin mereka masih ada di sekitar sini."
"Mendorongmu? Tidak ada yang mendorongmu," jawabnya.
"Aku tidak jauh dari tempatmu. Kau sendirian."
"Tidak!" kata Paulette memprotes. "Aku mendengar ada orang di belakangku. Aku merasakan tangan seseorang..."
"Kau pasti jatuh sendiri," kata Brad. "Ada lubang di trotoar tepat di dekat tikungan."
"Tidak, aku tidak jatuh," jawab Paulette. "Aku yakin kalau ada yang mendorongku. Kurasa kau cuma tidak melihatnya..."
"Kau syok," kata Brad. Ia memeluk Paulette dan menariknya mendekat. Memeluknya begitu erat. Terlalu erat.
Paulette mencoba untuk menjauh. Brad memegang wajahnya
dengan kedua tangan. Memaksanya mendekat. "Aku di sini untukmu, Paulette," bisiknya.
"Brad," jawab Paulette. "Lepaskan..."
"Aku selalu memikirkanmu sepanjang waktu," sela Brad dengan bisikan serak. "Kau juga memikirkan diriku, bukan, Paulette?
Benar, kan?" "Tidak!" seru Paulette, sambil menyentakkan tubuhnya agar bebas. "Brad, ada apa denganmu?"
Cowok itu sangat aneh tingkahnya. Begitu menggebu-gebu.
"Ini tongkatmu," kata Brad. Ia memberikan tongkat tersebut ke tangan Paulette. "Sampai ketemu nanti!"
************* Jemari Paulette menyusuri halaman-halaman buku geografi
berbahasa Braille. Tapi ia tidak bisa memusatkan perhatiannya. Ia telah membaca paragraf tentang Sri Lanka tiga kali---dan tidak bisa mengingatnya sedikit pun. Belajar kali ini benar-benar sia-sia, pikirnya.
Ia tidak bisa berhenti memikirkan sikap Brad yang aneh pagi hari ini.
"Hei, Paulette," bisik Cindy dari seberang salah satu meja panjang perpustakaan. "Kau melamun saja. Kau tidak apa-apa?"
"Aku baik-baik saja," kata Paulette, balas berbisik.
"Aku tidak," kata Jonathan. Ia duduk di sebelah Paulette. "Aku terus memikirkan makan siang."
"Kau selalu memikirkan makan siang!" Cindy tertawa. "Tidak heran penampilanmu seperti paus terdampar!"
"Aku lebih baik tampak seperti paus terdampar daripada sakit karena kelaparan!" balas Jonathan.
"Hentikan!" kata Paulette. "Bisakah kalian berhenti saling menghina tiga detik saja?"
"Jangan melihat, tapi cowok barumu baru saja masuk kemari,"
kata Jonathan dengan sinis.
"Kalau maksudmu Brad, dia bukan cowokku," jawab Paulette.
Ia berharap Jonathan bisa melupakan masalahnya dengan Brad.
Aku senang aku tidak memberitahu Jonathan maupun Cindy
apa yang telah terjadi tadi pagi, pikir Paulette. Ia tidak ingin memberi mereka alasan lain untuk memperingatkan dirinya tentang Brad.
Melihatku hampir-hampir ditabrak mobil mungkin juga sudah membuat Brad ketakutan, pikirnya. Pasti itu sebabnya mengapa ia memelukku begitu erat. Mengapa sikapnya seaneh itu?
Paulette merasakan sentuhan lembut di bahunya, lalu embusan napas yang hangat di telinganya. "Kau bisa berhenti belajar sebentar?"
tanya Brad. "Tentu saja," jawab Paulette. Ia beranjak bangkit dan mengikuti cowok itu ke lorong di sela-sela rak buku.
"Aku kemari untuk mengambil buku sejarah," bisik Brad. "Aku senang bertemu denganmu. Aku ingin menanyakan apakah kau bisa mendengarku bermain piano malam ini."
"Entahlah..." jawab Paulette. Ia tidak yakin apakah ingin berdua saja dengan Brad atau tidak.
"Ayolah," kata Brad. "Katamu kau mau mendengar permainanku."
"Well, oke," kata Paulette menyetujui. Brad tampaknya sudah normal kembali sekarang.
"Kau tahu bagaimana terkadang kau memikirkan seseorang dan tiba-tiba saja kau melihat mereka atau mereka meneleponmu?" tanya Brad. "Itu yang terjadi padaku. Tadinya aku memang berharap akan bertemu denganmu."
"Tapi kau bertemu denganku tadi pagi," kata Paulette.
"Tadi pagi?" kata Brad. Ia terdengar bingung. "Petugas perpustakaan sedang mengawasi kita," katanya. "Aku harus kembali ke kelas. Nanti kita bicara."
*********** Brad menunggu Paulette di halte bus Fear Street. Ia memeluk Paulette sekilas. "Trims sudah mau datang," katanya.
"Aku tidak sabar ingin mendengar permainanmu," jawab Paulette.
"Siap?" tanya Brad. "Tempatnya tidak jauh dari sini."
Paulette menyelipkan lengannya ke lengan Brad.
"Hati-hati," kata Brad. "Ada lubang besar di trotoar di depan."
"Bisa kurasakan," jawab Paulette. Ia meraba-raba lubang tersebut dengan ujung tongkatnya.
Suasana di Fear Street memancarkan perasaan terasing. Paulette mengetahui kalau rumah-rumah yang berjajar di kedua tepi jalan ada penghuninya. Tapi ia tidak mendengar suara anak-anak bermain atau tetangga bercakap-cakap.
Udara berbau tanaman yang basah dan membusuk. Lingkungan rumah Paulette sendiri selalu menebarkan aroma makan malam yang tengah dimasak pada waktu seperti ini.
Paulette menggigil dan menempelkan tubuhnya lebih ketat
kepada Brad. "Sudah hampir tiba," kata Brad. "Awas langkahmu---trotoarnya sudah hilang semua di sini."
Paulette secara otomatis menghitung langkah kakinya sambil mengetuk-ngetukkan tongkatnya sepanjang tanah yang tidak rata.
Setelah tujuh belas langkah, tongkatnya menyentuh ujung sepotong kecil pecahan beton.
Brad berbalik, dan Paulette mengikutinya menyeberangi
halaman yang tertutup tanah. Rerumputan mati dan semak-semak liar hancur di bawah injakan kakinya. Dari trotoar ia berjalan dua puluh lima langkah untuk tiba di tangga kayu serambi yang berderak-derak.
"Ini salah satu rumah terakhir sebelum pemakaman," kata Brad padanya. "Pemakaman Fear Street tidak jauh dari sini." Ia menarik pintu depan rumah hingga terbuka. "Tidak ada listrik di sini. Tapi entah kenapa mereka membiarkan saluran gasnya masih tersambung, jadi paling tidak kita akan tetap hangat."
Paulette mendengar suara gemerisik, lalu suara logam beradu dengan logam. Gas mendesis. Lalu pemanasnya menyala dengan suara wuus.
"Kugunakan senter kecil jadi tetangga tidak akan penasaran siapa yang ada di dalam sini," lanjut Brad. "Pianonya ada di kamar duduk."
Ia mengajak Paulette menyusuri lantai papan yang tidak rata lagi. Setiap langkah menimbulkan kepulan debu. Paulette merasa bau rumah yang seakan-akan telah ditinggalkan bertahun-tahun yang lalu.
"Ini dia," kata Brad padanya. Ia membimbing tangan Paulette ke bangku piano. "Bagaimana kalau kau mencobanya?"
Paulette menyandarkan tongkatnya ke piano dan duduk di kursi.
Ia membuka instrumen tua tersebut dan menyusuri tuts-tutsnya dengan jemarinya. Tuts-tuts tersebut telah sangat aus, tapi bersih.
Ia memainkan beberapa akor, lalu pembukaan sonata yang
selama ini dilatihnya. Musik yang kaya nada mengalun memenuhi rumah tua tersebut.
"Hebat sekali!" seru Brad sewaktu ia berhenti.
"Bunyinya kurang tepat," kata Paulette berkomentar. "Tapi nadanya bagus sekali. Aku heran kenapa ada yang meninggalkannya di sini."
"Entahlah," kata Brad. "Kudengar rumah ini dulu milik seorang guru musik. Katanya dia tewas terbunuh bersama keluarganya di sini dalam satu malam. Kurasa tidak ada yang peduli apa yang terjadi dengan pianonya."
"Mengerikan sekali," gumam Paulette. Ia telah mendengar banyak kisah-kisah mengerikan yang terjadi di Fear Street.
Kata orang sekelompok pekerja konstruksi tewas sewaktu
membangun rumah nomor 99 di Fear Street. Dan ada anak-anak yang bersumpah telah melihat hantu di gedung tua Simon Fear.
Paulette berharap tidak satu pun kisah-kisah tersebut merupakan kenyataan. Tidak mungkin, katanya sendiri.
"Coba kau yang main, Brad," desaknya.
Brad menyelinap ke kursi di sebelahnya. "Permainanku tidak sebagus permainanmu," katanya pada Paulette. Tiba-tiba ia terdengar malu.
"Ayolah," desak Paulette. "Sudah kukatakan kalau aku suka mendengar permainan piano yang buruk."
Cowok itu memainkan lagu yang pernah populer beberapa
tahun yang lalu. Paulette menyukai cara cowok itu memasukkan perasaan ke dalam permainannya. Tapi ia menyadari kalau Brad melakukan beberapa kesalahan.
"Kau pernah latihan melemaskan jari?" tanyanya.
"Tidak juga," jawab Brad. "Apa perlu?"
"Bisa membantu memperhalus permainanmu," kata Paulette.
"Sini, kutunjukkan beberapa latihan yang kulakukan." Ia mulai memainkan serangkaian nada.
Brad meletakkan tangannya di tuts, dan memainkan nada-nada yang sama, satu oktaf lebih tinggi. Cincinnya yang berat mengetuk-ketuk tuts saat jemarinya bergerak.
Setiap kali Paulette menggerakkan tangan untuk meraih nada yang lebih tinggi, lengannya bergesekan dengan lengan Brad.
"Sekarang biar kutunjukkan sesuatu padamu," kata Brad. Ia memeluk Paulette dan menariknya mendekat.
Paulette merasakan embusan napas hangat di pipinya.
Ia mau menciumku, pikir Paulette.
Tapi derakan keras menyebabkan ia menjerit dan tersentak menjauhi Brad.
"Ada orang di atas!" serunya.
BAB 7 "TUNGGU di sini," bisik Brad. "Jangan bergerak. Akan kuperiksa."
"Tapi, Brad..."
"Jangan ke mana-mana!" katanya berkeras. "Aku akan segera kembali."
Paulette duduk tidak bergerak di bangku piano. Ia meraih tongkatnya. Ia ingin mampu bergerak cepat kalau terpaksa.
Ia mendengar langkah-langkah kaki Brad menaiki tangga.
"Siapa di sana?" panggilnya. "Ada orang di atas?"
Sunyi. Apa yang terjadi? Paulette penasaran.
Langit-langit berderak. Langkah-langkah kaki lembut melintas di atas kepala. Terdengar pintu dibanting menutup.
Paulette mendengar serangkaian debuman. Ada yang berlari?
Lalu ia mendengar teriakan teredam.
Paulette berusaha untuk menangkap kata-katanya. Tapi tidak bisa. Siapa yang ada di atas bersama Brad? Apa yang mereka teriakkan?
Ia mendengar langkah-langkah kaki lagi. Ia mendengar
seseorang berlari menuruni tangga. Lalu terdengar pintu kembali dibanting menutup.
"Brad!" panggilnya.
Tidak ada jawaban. Apa Brad yang tadi berlari menuruni tangga? pikir Paulette.
Apa dia sudah pergi? Tidak, katanya sendiri. Dia tidak akan meninggalkan diriku di sini.
Apa benar? "Brad! Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?"
Tidak ada jawaban. Paulette memeriksa arloji Braille-nya. Ia tidak tahu kapan Brad naik ke atas. Tapi ia yakin kalau sepuluh menit telah berlalu.
"Brad!" panggilnya. "Brad!"
Tidak ada jawaban. Aku mendengar teriakan-teriakan di atas sebelum ada orang yang berlari menuruni tangga, pikir Paulette. Siapa yang ada di atas bersama Brad?
Mungkin Brad terluka. Mungkin dia pingsan.
Paulette membayangkan cowok itu tergeletak di salah satu kamar di lantai atas. Berlumuran darah. Aku harus menemukannya.
Sekarang! Paulette menumpukan diri pada tongkatnya dan berdiri. Lalu dengan perlahan-lahan dan hati-hati ia menyeberangi lantai papan yang tidak rata itu. Kudengar Brad melangkah ke arah sini, pikirnya.
Aku bisa menemukan tangganya dalam beberapa detik.
"Brad?" teriaknya.
Tidak ada jawaban. Tongkatnya mengenai sesuatu yang keras. Ia menjulurkan
tangannya---dan menyentuh pagar tangga.
Bagus. Ia menemukan tangganya. "Brad, kau di sana?"
Tidak ada jawaban. Perut Paulette menegang. Brad pasti ada di sini entah di mana.
Dan ia satu-satunya orang yang bisa membantu cowok itu. Ia harus naik ke atas.
Paulette mencengkeram pagar tangga dengan satu tangan.
Dengan tangannya yang lain ia mengulurkan tongkatnya untuk mengetahui tinggi anak tangga yang setepat-tepatnya.
Dengan hati-hati ia melangkah naik. Kayunya berderak, tapi tangga tersebut mampu menopang berat tubuhnya. Ia meraba-raba mencari anak tangga berikutnya.
Ada yang bergemerisik di belakangnya.
Ada yang mendekatinya. Jantungnya mulai berdebar-debar. "Brad?" panggilnya, sambil berbalik ke arah asal suara. "Brad, itu kau?"
Tidak ada jawaban. Suara gemerisik tersebut kembali terdengar. Lebih keras.
Ia tidak sendirian di dalam rumah ini. Dan siapa pun itu tengah mendekatinya.
Paulette terhuyung-huyung menaiki tangga. Ia harus melarikan diri.
Tangan-tangan menyambar pinggang Paulette. Ia mencoba
untuk membebaskan diri. Ia mendengar pakaiannya robek.
Tangan-tangan tersebut sekarang memegangnya dengan lebih erat. Menancap ke dalam kulitnya.
"Lepaskan aku!" jeritnya.
Bab 8 "TIDAK!" jerit Paulette. Ia berjuang sekuat tenaga. Menggeliat-geliat dan menendang-nendang. "Lepaskan aku!"
Lengan-lengan yang kuat tersebut mencengkeramnya semakin erat. Bukan Brad. Bau tubuhnya tidak sama.
"Paulette! Paulette! Tenang!" seru seseorang, dengan suara sumbang yang dikenalinya.
"Jonathan!" serunya.
"Benar, ini aku," kata Jonathan. Ia mengendurkan cengkeramannya dan Paulette menjauhinya.
"Apa yang kaulakukan di sini?" tanyanya. "Dan kenapa kau memegangiku?"
"Anak tangga di depanmu sudah tidak ada," kata Jonathan menjelaskan. "Tangga ini sudah hampir roboh. Kau bisa saja mematahkan lehermu."
"Kenapa kau kemari?" tanya Paulette. Suaranya masih bernada tinggi dan gemetar. Tenang, katanya sendiri.
"Aku... aku mengikutimu," kata Jonathan mengakui. "Aku melihat senter melambai-lambai dari satu ruangan ke ruangan lainnya.
Lalu padam. Aku khawatir, jadi kuputuskan untuk mengetahui apa yang terjadi."
"Brad dan aku sedang bermain piano," kata Paulette menjelaskan. "Lalu kami mendengar suara dari lantai atas. Dia naik untuk memeriksanya---dan tidak pernah kembali."
Paulette menghela napas dalam-dalam. "Kurasa Brad
mengalami sesuatu. Aku mendengar ada yang berteriak. Kurasa dia berkelahi dengan seseorang. Aku mau naik ke atas untuk
menemukannya sewaktu kau menyambarku."
"Aku saja yang naik," kata Jonathan kepadanya. "Kau tunggu di sini. Kalau kau dengar ada yang aneh, jangan naik ke atas. Pergi saja dari sini mencari bantuan."
"Tapi..." "Kau tidak bisa membantuku di atas," sela Jonathan. "Kau tidak bisa melihat apa-apa. Lagi pula, tangganya terlalu berbahaya untuk kaunaiki."
Paulette tahu Jonathan benar. "Oke," katanya., "Tapi cepatlah."
Ia mendengar Jonathan perlahan-lahan menaiki tangga. Lalu ia mendengar temannya itu berpindah-pindah dari satu ruangan ke ruangan yang lain di atas. Memanggil-manggil nama Brad.
Brad tidak menjawab. "Apa yang kaulihat?" teriak Paulette.
"Belum," seru Jonathan. "Masih ada beberapa ruangan yang harus kuperiksa."
Paulette mendengar suara pintu dibuka. Lalu pintu lainnya.
Langkah-langkah kaki Jonathan terdengar kembali ke arah
semula. Lalu Paulette mendengarnya perlahan-lahan menuruni tangga.
"Dia tidak ada di atas," kata Jonathan melaporkan.
"Kukira aku tadi mendengar ada yang berlari menuruni tangga sebelum kau masuk," kata Paulette kepadanya. "Mungkin dia ada di tempat lain di dalam rumah ini."
"Biar kuperiksa," jawab Jonathan.
Paulette mendengar Jonathan menggeledah lantai dasar. Ia tidak suka menunggu. Ia ingin melakukan sesuatu.
Apa yang terjadi pada Brad? tanyanya sendiri berulang-ulang.
Di mana dia berada? Jonathan harus menemukannya. Harus.
Paulette mendengar langkah-langkah kaki bergegas
mendekatinya. "Aku sudah memeriksa ke mana-mana," kata Jonathan. "Tidak terlihat tanda-tanda kehadirannya. Brad sudah pergi."
Bab 9 "TIDAK mungkin dia sudah pergi!" seru Paulette. "Tidak mungkin dia meninggalkan diriku di sini begitu saja!"
"Dia tidak ada di dalam rumah ini, Paulette," kata Jonathan berkeras. "Aku sudah mencari ke mana-mana!"
"Pasti ada yang terjadi padanya," kata Paulette. "Dia tidak akan meninggalkan diriku begitu saja. Aku tahu dia tidak akan berbuat begitu." ebukulawas.blogspot.com
"Well, itu yang dilakukannya," jawab Jonathan. "Tidak ada yang bisa kaulakukan di sini. Sekarang, ayo kita pulang."
Paulette ragu-ragu. Jonathan benar, ia memutuskan. Ia meraih lengan Jonathan dan mengikutinya keluar dari rumah tua itu.
Ia tidak bisa tidak memikirkan Brad. Apa yang telah
menyebabkan dia pergi? Apa ada orang lain di dalam rumah? Apa Brad baik-baik saja?
"Ini mobilku," kata Jonathan padanya.
Cowok itu membuka pintu penumpang dan Paulette menyelinap masuk.
Jonathan naik ke belakang kemudi dan menghidupkan mesin.
"Untung saja aku kemari," gumamnya. Roda-roda mobil mencicit saat ia melajukan kendaraannya meninggalkan trotoar.
"Pelan-pelan!" perintah Paulette. "Memangnya apa yang kaulakukan di sini?"
"Aku khawatir denganmu," kata Jonathan.
"Apa maksudmu?" tanya Paulette. "Aku bisa menjaga diri, dan kau tahu itu."
Jonathan tidak menjawab. Sulit dipercaya, pikir Paulette. "Kau memata-mataiku. Akui saja, Jonathan."
"Aku tidak memata-matai!" kata cowok itu memprotes. Ia menghidupkan radio dan mengeraskan volumenya.
Paulette memadamkannya. "Oh, tentu saja," katanya. "Kau tidak mengikutiku atau apa. Kau hanya kebetulan berkeliaran melewati rumah kosong di Fear Street."
"Baik, baik." Jonathan mendesah. "Aku sedang dalam perjalanan untuk latihan basket sewaktu melihatmu naik bus Old Mill Road. Kupikir tindakanmu itu aneh. Aku tidak bisa memperkirakan untuk apa kau ke sana. Jadi kuputuskan untuk membuntutimu. Aku tidak percaya sewaktu melihatmu turun di Fear Street."
"Jadi kau pasti sudah melihatku menemui Brad di halte bus,"
kata Paulette. "Kau tahu aku tidak kemari seorang diri---tapi kau tetap saja mengikutiku."
"Sudah kukatakan apa yang kudengar tentang Brad," jawab Jonathan.
"Dan sudah kukatakan kalau aku tidak mempercayainya!" balas Paulette. "Aku berhak untuk bersama siapa pun yang kuinginkan! Aku tidak memerlukan persetujuanmu."
"Dan aku berhak untuk mengkhawatirkan teman-temanku," kata Jonathan menggerutu. "Kau akan terluka kalau tetap berteman dengan cowok itu."
"Kau melihat orang lain sewaktu di luar rumah tadi?" tanya Paulette. "Aku tahu ada orang lain di dalam rumah. Apa kau melihat orang lain keluar dari rumah itu?"
"Tidak. Tapi rumah itu ada pintu belakangnya. Aku tidak akan melihatnya kalau ada yang keluar melalui pintu itu," kata Jonathan padanya.
Mungkinkah Jonathan yang ada di lantai atas bersama Brad tadi? pikir Paulette dengan tiba-tiba. Mungkin Jonathan sudah mengikuti kami ke dalam rumah. Mungkin Jonathan yang tadi kudengar berteriak-teriak kepada Brad.
Paulette meremas ujung tongkatnya. Jonathan tidak akan
berbuat begitu, katanya sendiri.
Tapi dia memang mengikutiku. Benar-benar tindakan yang
aneh. Dan dia juga begitu mencurigai Brad.
Paulette menggerak-gerakkan kepalanya, mencoba untuk
mengendurkan otot-otot lehernya.
Aku membuat diriku sendiri gila, pikirnya. Jonathan temanku yang paling lama. Aku bisa mempercayainya.
Malamnya, Paulette tengah berbaring di ranjang---menunggui telepon. Berderinglah, perintahnya. Berderinglah!


Fear Street Dalam Kegelapan Into The Dark di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kenapa Brad tidak menelepon? Brad harus tahu kalau dirinya mengkhawatirkan cowok itu. Dan dia harus menjelaskan apa yang telah terjadi. Menjelaskan habis-habisan.
Ia memeriksa jam alarm Braille-nya. Pukul sebelas lewat.
Sudahlah, katanya sendiri. Brad tidak akan menelepon.
Paulette bergulir menyamping. Ia memejamkan mata. Dan
teleponnya berdering. Brad! Paulette duduk dan menyambar telepon. "Halo?" katanya tanpa bernapas.
Salah sambung. Mungkin sebaiknya kuhubungi polisi dan menceritakan tentang menghilangnya Brad, pikir Paulette.
Jangan malam ini, katanya memutuskan. Ia akan menunggu
kalau-kalau Brad muncul di sekolah besok.
************* Paulette bergegas menuju ke kafetaria. Mungkin Brad ada di sana.
"Hei, Paulette!" panggil Randy Harris. "Kurasa kau sudah mendengar kalau aku memimpin Shadyside Follies tahun ini."
"Hebat sekali," kata Paulette. Ia tersenyum kepada cowok itu dan terus berjalan.
"Kau sudah memutuskan mau memainkan lagu apa dalam
pertunjukan tahun ini?" lanjut Randy.
Paulette berhenti dan berbalik ke arahnya. Ia sama sekali telah melupakan kalau sudah berjanji untuk bermain piano dalam acara pengumpulan dana tahunan.
"Aku belum memikirkannya," katanya mengakui. Ia mencoba untuk melewati cowok itu agar bisa masuk ke ruang makan, tapi Randy menyambar lengannya.
"Aku benar-benar menyukai medley lagu-lagu tema TV yang kaumainkan tahun lalu," kata Randy. "Benar-benar lucu, caramu membuat lagu-lagu itu terdengar seperti musik klasik. Mungkin sebaiknya kau mainkan sesuatu yang seperti itu lagi."
"Akan kupertimbangkan," kata Paulette padanya, tidak sungguh-sungguh mendengarkan. "Bisa kau bantu aku? Tolong katakan apa Brad Jones ada di ruang makan?"
"Tentu saja," jawab Randy. "Dia duduk di sudut seberang di dekat pintu luar. Mau kuantar ke sana?"
"Boleh," jawab Paulette.
Paulette memutuskan untuk mengambil makan siangnya lebih dulu sebelum menemui Brad. Ia memerlukan waktu sesaat untuk memperkirakan apa yang ingin dikatakannya kepada cowok itu.
Ia mengikuti antrean makan siang, bahkan tidak menyadari sewaktu pramusaji meletakkan pesanannya di piring. Lalu ia menarik napas dalam dan menuju ke sudut seberang kafetaria.
"Paulette! Duduk di sini saja denganku," panggil Brad. Ia bangkit berdiri dan mengambil baki Paulette, lalu membimbingnya ke meja. "Tadinya aku sudah berharap akan bertemu denganmu hari ini."
Paulette menunggu. Ia ingin mendengar penjelasan cowok itu sebelum mengatakan apa-apa.
"Mengenai semalam," kata Brad. "Aku benar-benar menyesal sudah meninggalkan dirimu di rumah itu. Aku tidak bermaksud seperti itu."
Begitu saja? Penjelasan macam apa itu? Paulette penasaran.
"Aku benar-benar panik," kata Paulette. "Aku yakin kau terluka atau apa. Paling tidak, kau seharusnya bisa meneleponku dan memberitahu kalau kau baik-baik saja."
"Aku... maafkan aku," ulang cowok itu. "Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Ada masalah yang tidak terduga. Masalah yang harus kutangani."
"Alasanmu kurang kuat. Kau meninggalkan diriku sendirian di rumah kosong!" seru Paulette.
"Aku tahu," kata Brad dengan lembut. "Tidak ada alasan untuk membenarkan tindakanku semalam."
Brad meraih kedua tangan Paulette. "Kau hebat sekali, Paulette.
Aku senang bisa mengenalmu. Tapi... tapi aku tidak bisa bertemu denganmu lagi," katanya dengan nada tergesa-gesa. "Maaf."
"Bisa kaujelaskan dengan lebih masuk akal sedikit?" tanya Paulette. "Apa yang kaubicarakan? Brad, please, katakan yang sebenarnya. Katakan apa yang sedang terjadi!"
Brad tidak menjawab dalam waktu yang lama. Lalu ia menghela napas panjang. Akhirnya, pikir Paulette, aku akan mendapat jawaban.
Tapi Brad melepaskan tangannya dengan tiba-tiba. Paulette mendengar kursinya bergeser di lantai, menjauhi meja.
"Tidak!" kata Brad dengan suara tercekik, hampir-hampir kepada dirinya sendiri. "Tidak! Itu tidak bagus! Aku tidak bisa membiarkan kejadiannya terulang!"
Ia bangkit berdiri begitu cepat hingga menjatuhkan kursinya.
Paulette mendengar langkah-langkah kaki cowok itu bergegas menjauhi dirinya.
Bab 10 "KUHARAP kau siap untuk film paling menyeramkan yang ada di seluruh toko," seru Cindy. "Paling tidak, yang paling menyeramkan dari yang tersisa," tambahnya. "Hari Jumat malam, film-film bagus biasanya sudah disewa."
"Aku tidak peduli seram atau tidak," kata Paulette. "Aku tidak bisa melihatnya."
"Tapi kau bisa mendengar suara darahnya menyembur!" goda Cindy.
"Ini benar-benar film yang bagus," tambah Jonathan. "Aku sudah menontonnya dua kali."
"Kenapa kau tidak bilang?" tanya Cindy. "Aku pasti menyewa film lain kalau tahu."
Paulette mendengarnya memasukkan kaset video ke dalam
VCR. "Aku ingin melihat kau dan Paulette ketakutan," jawab Jonathan.
Paulette berusaha untuk memusatkan perhatian pada videonya, tapi pikirannya terus saja melayang-layang. Biasanya ia bisa menikmati film. Sekalipun tidak mampu melihat gambarnya, ia biasanya mampu memperkirakan apa yang tengah terjadi dari efek suara dan dialognya. Untuk adegan-adegan yang tenang, salah satu temannya pasti memberitahukan apa yang sedang terjadi.
Paulette mendengar Cindy memekik. Rasanya ada adegan
seram yang sudah kulewatkan, pikirnya.
Paulette tahu kalau filmnya bercerita tentang seorang pembunuh psikopat yang masih remaja. Tapi hanya itu.
Ia hanya bisa memikirkan Brad. Sudah dua hari berlalu sejak percakapan mereka di kafetaria. Brad belum menelepon. Ia juga tidak menemui cowok itu di sekolah.
Brad bisa saja duduk di meja sebelah di perpustakaan, pikirnya.
Aku bisa saja berpapasan dengannya di lorong. Tapi mudah sekali untuk menghindari gadis buta.
Brad mengaku senang berkenalan dengannya---tapi juga kalau dia tidak bisa menemui Paulette lagi. Memangnya kenapa?
"Oh, tidak!" jerit Cindy dengan tiba-tiba. "Kenapa dia berbuat begitu! Dari mana dia mendapat beliung?"
"See?" Jonathan tertawa. "Sudah kukatakan kalau ini film bagus!"
"Paulette, dia siap untuk mencincang kedua pembimbing itu!"
lanjut Cindy. "Sewaktu mereka tidur!"
"Sungguh?" kata Paulette, hampir-hampir tidak mendengarkan.
"Sayang sekali."
Beberapa menit kemudian musiknya memberitahu Paulette
kalau filmnya berakhir. "Film yang hebat!" kata Jonathan.
"Kalau kau menyukai kolam renang penuh darah," kata Cindy.
"Sulit dipercaya kau menyaksikan film ini hingga dua kali!"
"Tiga kali sekarang," jawab Jonathan. "Tapi siapa yang menghitung?"
"Paulette tampaknya tidak begitu menyukainya," kata Cindy.
"Kuharap kau lebih menyukai film yang satu lagi," tambahnya.
"Entahlah," kata Paulette. "Aku sedang tidak ingin menonton film malam ini. Mungkin akan kutelepon ayahku untuk menjemput."
"Tidak bisa!" seru Cindy. "Kau tidak bisa pulang sekarang.
Sekarang masih sore."
"Aku cuma tidak merasa terlalu gembira malam ini," lanjut Paulette.
"Ada apa?" tanya Jonathan. "Kau tampak agak lesu sepanjang minggu."
"Ada masalah dengan Brad?" tebak Cindy.
Siap-siap untuk mendengar mereka berdua mengatakan "Sudah kukatakan," pikir Paulette. "Brad berkata dia tidak ingin bertemu denganku lagi," katanya mengakui.
"Apa?" seru Cindy. "Apa yang terjadi?"
"Entahlah," jawab Paulette. "Segalanya tampak akan hebat..."
"Apa dia mengatakan alasannya?" tanya Cindy.
"Tidak." Paulette menelan ludah dengan susah payah. "Benar-benar aneh. Kami sedang bercakap-cakap, lalu tiba-tiba dia mengatakan, 'Aku tidak bisa membiarkan kejadiannya terulang lagi'.
Dia lari. Dan aku belum bertemu lagi dengannya sejak itu."
"Apa yang tidak bisa terjadi lagi?" tanya Jonathan.
"Entahlah. Dia tidak mengatakannya. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Mungkin dia hanya memutuskan kalau tidak ingin bersama seorang gadis yang... yang cacat." Paulette merasa air matanya menyengat. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya untuk mengusirnya.
"Atau mungkin dia tidak ingin berhubungan dengan siapa pun,"
kata Cindy lembut. "Mungkin dia menyadari kalau dirinya aneh!" tambah Jonathan.
"Jonathan, jangan," kata Paulette. "Aku tidak ingin mendengarnya!"
"Aku tidak mengerti mengapa kau menganggapnya begitu hebat. Terutama sesudah dia kabur dan meninggalkan dirimu seorang diri di rumah di Fear Street itu," kata Jonathan.
"Yeah. Kalau aku, aku pasti akan meledak kalau ada cowok yang memperlakukan diriku seperti itu," kata Cindy menyetujui.
"Terkadang Brad bisa menjadi teman yang menyenangkan,"
kata Paulette kepada mereka. "Mudah untuk diajak bicara. Tapi terkadang..."
"Terkadang apa?" tanya Cindy.
"Terkadang, entahlah, ada sesuatu yang berbeda dengan dirinya.
Aku sedang berjalan ke sekolah sewaktu ada yang mendorongku dari tepi jalan ke lalu lintas."
"Dia berbuat begitu? Kenapa kau tidak memberitahuku?" tanya Jonathan.
"Oh, tidak! Kau terluka?" jerit Cindy.
Paulette menggeleng. "Maksudku bukan Brad yang
mendorongku," jawabnya. "Dia mendekat sesudah kejadiannya.
Kutanyakan siapa yang mendorongku---dan katanya tidak ada yang mendorongku. Katanya dia bisa melihatku dari jarak sejauh satu blok, dan tidak ada yang berada di dekatku."
"Mungkin kau terjatuh karena sesuatu," kata Cindy menyarankan.
"Itu yang dikatakan Brad," jawab Paulette. "Tapi aku merasa ada tangan yang mendorong punggungku. Aku tahu kalau ada yang mendorongku. Aku cuma tidak bisa memperkirakan kenapa Brad berbohong tentang apa yang dilihatnya."
"Whoa!" seru Jonathan. "Kau jauh lebih baik tanpa cowok itu."
"Jonathan benar," kata Cindy dengan nada tegas. "Aku masih sulit untuk mempercayai dia meninggalkanmu begitu saja di rumah itu---dan bahkan memberi alasan yang baik pun tidak bisa. Kurasa Brad orang yang berbahaya."
"Tapi biasanya dia begitu menyenangkan," kata Paulette memprotes. "Aku benar-benar menyukainya."
************ "Apakah kau bersenang-senang, Sayang?" tanya ibu Paulette.
"Tentu saja," kata Paulette. Ia menanggalkan mantelnya dan menggantungkannya di dalam lemari pakaian di ruang depan. Lalu ia menggabungkan diri dengan kedua orangtuanya di ruang duduk.
"Kami menonton dua film."
Paulette sedang tidak ingin bercakap-cakap dengan orangtuanya mengenai Brad. Ia tahu kalau mereka pasti akan mengatakan hal yang sama seperti Cindy dan Jonathan---memintanya menjauhi cowok tersebut.
"Ada berita buruk malam ini," kata ibunya. "Nenekmu jatuh dan beberapa tulang rusuknya patah. Kami harus ke kota selama dua malam mendatang untuk membantunya."
"Apa dia baik-baik saja?" tanya Paulette.
"Dia kesakitan," jawab ayahnya. "Tapi nanti akan sembuh."
"Beritahu Nenek kalau aku akan berdoa supaya dia cepat sembuh," kata Paulette.
"Baik," jawab Mr. Fox. "Kata Bibi Jo kau bisa menginap di sana sementara kami pergi. Atau dia bisa menginap di sini."
"Tidak," jawab Paulette. "Aku baik-baik saja."
"Kami tahu," jawab ibunya. "Tapi... well, mungkin kami pulang benar-benar larut selama beberapa hari ini."
"Aku tidak keberatan seorang diri," kata Paulette. Ia berusaha agar suaranya tidak terdengar jengkel. Kenapa mereka selalu memperlakukannya seperti seorang bayi?
"Kau yakin?" kata ibunya.
"Yakin," jawab Paulette. "Hanya beberapa jam saja." Ia berbalik ke tangga. "Aku lelah. Aku mau tidur dulu."
Paulette menaiki tangga, lalu berhenti sejenak. "Omong-omong," katanya, berusaha agar terdengar biasa. "Apa ada yang meneleponku?"
"Tidak ada," jawab ibunya. "Malam ini sangat tenang." Ia ragu-ragu sejenak. "Apa ada yang ingin kaubicarakan, Paulette?"
Mereka tahu ada yang tidak beres, pikir Paulette. "Tidak,"
katanya. "Aku cuma kelelahan. Trims. Selamat malam."
Paulette bergegas naik ke kamarnya dan menutup pintu. Mereka hanya ingin membantuku, pikirnya sambil bersiap-siap untuk tidur.
Orangtuaku, Cindy, Jonathan. Tapi tidak ada yang bisa mereka lakukan. Tidak ada yang bisa dilakukan siapa pun.
Ia naik ke ranjang. Kapan aku akan berhenti memikirkan Brad?
Paulette penasaran. Mungkin beginilah rasanya sewaktu lenganku patah, pikirnya.
Memerlukan waktu berminggu-minggu---tapi akhirnya serpihan tulangnya tumbuh menyatu kembali. Sesekali ia masih merasa sakit di bekas patahannya. Tapi tidak terlalu mengganggu.
Paulette mulai terlelap. Lalu suara yang tajam
menyentakkannya kembali ke alam sadar. Kedengarannya seperti kayu yang menggeser kayu lainnya.
Lalu ia mendengarnya lagi, lebih keras. Dari dekat jendelanya.
Mungkin hanya angin yang meniup cabang hingga menghantam dinding samping rumah, pikirnya.
Tapi, ia menyadari, malam ini tidak ada angin.
Paulette kembali mendengar gesekan tersebut. Lalu diikuti debuman keras.
Mungkin bajing, pikirnya.
Atau mungkin sesuatu yang lain sama sekali.
Ada yang pernah masuk kemari tanpa izin, ia mengingatkan sendiri.
Ia bangkit berdiri dan menyeberang ke jendela yang terbuka. Ia berdiri di sana dengan diam-diam, mendengarkan. Ia tidak mendengar apa pun yang di luar kebiasaan.
Akan kututup jendelanya. Sekadar berjaga-jaga.
Ia mengulurkan tangan---dan sebuah tangan yang kuat
mencengkeram pergelangannya.
BAB 11 PAULETTE menjerit. Ia mencoba untuk menarik lengannya. Tapi penyusup tersebut justru mempererat cengkeramannya.
"Tidak!" jerit Paulette. "Jangan!"
Penyusup tersebut menyentaknya ke depan. Menariknya hingga tubuhnya separo keluar jendela.
Paulette menyambar kusen jendela dengan tangannya yang
masih bebas. Ia menancapkan jemarinya ke kayu.
Penyusup tersebut kembali menyentak pergelangan tangannya.
Paulette bertahan pada kusen jendela sekuat tenaga. Salah satu kuku jarinya tercabut, sakitnya menyengat hingga ke lengannya.
"Tolong!" jeritnya. "Mom! Dad!"
Penyusup tersebut mengendurkan cengkeramannya. Paulette
menyentakkan tangannya hingga terlepas. Ia mendorong tubuhnya kembali ke dalam kamar.
Ia bersandar ke dinding kamar tidur, mencoba untuk
menenangkan napasnya. Ia mendengar seseorang tergesa-gesa menyeberangi atap serambi, lalu melompat turun ke tanah. Ia mendengar langkah-langkah kaki berderap menyusuri trotoar saat penyusup tersebut melarikan diri.
Sesaat kemudian pintu kamar tidurnya terempas membuka.
"Ada apa?" seru ibu Paulette.
"Paulette---kau baik-baik saja?" tanya ayahnya.
Paulette membanting daun jendela hingga menutup. "Aku... aku baik-baik saja," katanya, suaranya gemetar.
Ia tahu ia seharusnya memberitahu orangtuanya tentang apa yang baru saja terjadi. Tapi kalau ia memberitahu mereka, mereka akan memaksanya untuk menginap di tempat Bibi Jo. Bagaimana kalau Brad menelepon sewaktu ia berada di sana?
"Aku mendapat mimpi buruk," kata Paulette menjelaskan dengan setenang mungkin. "Mimpi yang benar-benar mengerikan.
Tapi sekarang aku baik."
"Kau yakin hanya itu yang terjadi?" tanya ibunya. Ia bergegas mendekat dan menyentuh dahi Paulette dengan tangannya. "Kau bahkan tidak demam," katanya.
"Aku tidak sakit!" seru Paulette. "Sungguh, semuanya baik-baik saja."
"Kenapa kau ada di dekat jendela?" tanya ayahnya.
Paulette menyemburkan hal pertama yang melintas dalam
kepalanya. "Sewaktu mimpinya membangunkan diriku, aku kedinginan," katanya berbohong. "Aku pasti lupa menutup jendela.
Mungkin itu sebabnya aku mengalami mimpi buruk."
Ia mengunci jendela, lalu kembali ke ranjangnya. "Maaf sudah merepotkan kalian," katanya kepada orangtuanya. "Tapi sekarang semuanya baik-baik saja. Sungguh."
Ibu Paulette mengikutinya ke samping ranjang. "Kau mau kutemani di sini sampai kau tidur kembali?" tanyanya. "Aku tidak keberatan."
"Trims, Mom," jawab Paulette. "Kalian tidur saja lagi."
"Aku mau memeriksa jendela itu," gumam ayah Paulette.
Paulette mendengarnya membuka dan mengunci kembali
jendelanya. "Tampaknya baik-baik saja," katanya. "Tapi aku penasaran--Apa ini?" serunya. "Apa?" tanya Paulette.
"Biar kulihat, John," kata ibu Paulette. "Hei---ini cincin cowok.
Di mana kau menemukannya?"
"Ada di lantai dekat jendela," jawab Mr. Fox. "Entah bagaimana bisa ada di sana. Paulette, kau kenal cincin ini?"
Ayahnya meletakkan cincin tersebut ke dalam tangannya.
Cincin tersebut masih hangat karena baru terlepas dari jari pemiliknya. Paulette mulai mempelajari permukaan cincin tersebut dengan jemarinya.
Ia menyadari kalau cincin tersebut merupakan cincin stempel.
Paulette menelusuri inisial yang diukirkan ke sana.
B.J. Inisialnya B.J. B.J.---Brad Jones. Paulette merasa bulu kuduknya meremang. Ini cincin Brad.
Brad yang tadi ada di luar jendela kamarku.
Apa yang dilakukannya di luar sana? Kenapa dia tidak
memberitahuku siapa dirinya?
Apa yang terjadi padanya? Katanya dia tidak akan menemuiku lagi. Lalu dia muncul di sini dan boleh dikatakan menarikku keluar jendela.
Bagaimana kalau dia kembali? pikirnya. Apa yang akan
dilakukan cowok itu setelah ini?
BAB 12 "KAU kenal cincin ini?" tanya Mr. Fox sekali lagi.
Paulette hampir-hampir tidak mampu berpikir. "Itu... eh... itu milik temanku," katanya.
Paulette tahu ia seharusnya mengatakan yang sejujurnya kepada orangtuanya. Tapi ia tidak bisa. Mereka akan menghubungi polisi, dan Paulette tidak menginginkannya. Tidak sebelum ia mengetahui apa yang sedang terjadi pada Brad.
"Kami kenal orangnya?" tanya ibunya.
"Temanku Bobby," kata Paulette begitu saja. "Ia... ia menitipkannya padaku sewaktu berenang minggu yang lalu." Ia tidak suka membohongi orangtuanya, tapi tidak ada pilihan lain. "Aku lupa mengembalikannya. Kurasa pasti jatuh dari saku celana jins-ku."
"Kau yakin kau tidak diam-diam bertunangan dengan siapa pun, Nak?" kata ibunya bergurau.
"Tentu saja tidak, Mom," kata Paulette. Ia memaksa dirinya tertawa. "Aku berjanji akan memberi tahu kalian kalau aku bertunangan. Aku tahu kalian perlu waktu untuk merencanakan pernikahannya!"
Kedua orangtuanya mencondongkan tubuh dan menciumnya
sebagai ucapan selamat malam. Paulette berbalik. "Selamat malam,"
katanya, berusaha terdengar seperti sudah sangat mengantuk.
Setelah orangtuanya meninggalkan kamarnya, Paulette
mengelus-elus permukaan cincin dengan jemarinya berulang-ulang.
Mengingat-ingat ciri-cirinya.
Cincin Brad. Ini cincin Brad. Dan itu berarti...
Artinya orang di jendela tadi adalah Brad.
Kenapa dia kemari? pikirnya. Brad boleh dikatakan sudah
menyeretku keluar jendela.
Paulette sulit percaya kalau Brad ingin menyakitinya. Aku tahu dia menyukaiku, pikirnya. Bisa kulihat betapa jengkelnya dia sewaktu mengatakan tidak bisa menemuiku lagi.
Ini tidak masuk akal! Apa yang terjadi padanya? Tanya Paulette sendiri berulang-ulang.
Mungkin Jonathan dan Cindy benar, pikirnya. Mungkin Brad memang berbahaya.
************ "Bagaimana rapat pertama dewan murid?" tanya Jonathan keesokan harinya sepulang sekolah.
Ia dan Cindy telah menyeret Paulette ke Pete's Pizza. Mereka tahu kalau aku sedang kebingungan, pikir Paulette. Mereka mencoba untuk membuatku gembira. Tapi tidak berhasil.
"Cukup menyenangkan," jawab Cindy. "Kami akan mengadakan perubahan besar di sekolah. Kalian seharusnya ikut dalam pemilihan dewan murid."
"Nilai-nilaiku kurang bagus," kata Jonathan.
"Paulette bisa saja ikut," lanjut Cindy. "Nilainya boleh dikatakan A semua. Kau masih bisa mencobanya, Paulette,"
tambahnya. "Keluarga Jamie Martin akan pindah ke California. Ada lowongan."
"Aku tidak mau," kata Paulette.
"Kenapa tidak? Kau bisa membantu merencanakan banyak kegiatan-kegiatan yang mengasyikkan. Menyenangkan," jawab Cindy.
"Pizza datang," kata Jonathan mengumumkan.
Bau merica, jamur, dan saus tomat panas memenuhi udara.
Paulette menyukai pizza jamur. Tapi hari ini ia tidak berselera.
Paulette mendengar baki kue bergeser sewaktu Jonathan
memotong pizza. Cowok itu meletakkan sebuah piring di hadapannya dengan suara keras.
"Ini bagianmu," kata Jonathan padanya. "Dan ini bagianmu, Cindy. Sisanya bagianku."
"Ha-ha," kata Cindy. "Kau mungkin akan melahap habis seluruhnya kalau kami biarkan. Paulette, sebaiknya kita cepat-cepat makan."
"Auw! Lidahku terbakar!" keluh Jonathan.
"Kau tidak makan, Paulette?" tanya Cindy.
"Aku tidak lapar," jawab Paulette.
"Hei, kalau kau terus-menerus bersedih seperti ini, tampangmu bisa keriput," kata Jonathan. "Ayolah, bersemangat sedikit."
"Kau tidak bisa memerintahkan seseorang untuk bergembira begitu saja," kata Cindy padanya. "Itu seperti memerintahkan orang pendek untuk bertambah jangkung."
"Yeah, tapi Paulette sudah murung sepanjang minggu. Apa aku seharusnya berpura-pura untuk tidak mengetahuinya?" kata Jonathan mendebat.
"Jangan berbicara seakan-akan dia tidak ada di sini," kata Cindy memarahi. Ia mengulurkan tangannya dan menyentuh lengan Paulette.
"Kau mau membicarakannya?" tanya Cindy dengan lembut.
Paulette menggeleng. "Brad, bukan?" kata Cindy.
Paulette tidak menjawab. Ia sedang merasa tidak ingin
membicarakan Brad. "Sudah berapa lama sejak terakhir kali kau berbicara dengannya?" tanya Jonathan.
"Sejak di kafetaria yang kuceritakan pada kalian itu," kata Paulette.
"Kurasa kau belum mendengar kalau begitu," kata Jonathan.


Fear Street Dalam Kegelapan Into The Dark di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jonathan..." kata Cindy memperingatkan.
Hawa dingin mencengkeram perut Paulette. Apa lagi sekarang?
pikirnya. "Katakan, Jonathan!" katanya. "Kaurasa aku belum mendengar apa?"
"Dia keluar dari sekolah," kata Jonathan.
"Oh, tidak!" Paulette tersentak. "Kapan?"
"Aku baru mendengarnya hari ini," kata Jonathan padanya.
"Tidak apa," kata Cindy. "Aku tahu kalau kau benar-benar memperhatikannya. Tapi dia ternyata orang aneh. Paling baik kaulupakan saja dia."
"Kurasa begitu," jawab Paulette.
Tapi bagaimana aku bisa melupakannya? pikirnya. Cowok itu begitu sempurna bagiku. Dia menyukai musik sama seperti diriku.
Dan dia benar-benar memahami kebutaanku. Dia tahu kalau tidak perlu mengasihani diriku.
Pintu depan restoran terempas membuka. Jonathan menyambar tangan Paulette dan mencengkeramnya begitu kuat hingga kukunya yang pendek menancap ke dalam kulit temannya.
"Ada apa?" tanya Paulette.
"Semua orang jangan bergerak!" teriak seseorang dengan suara serak dan kasar dari bagian depan restoran. "Ini perampokan!"
BAB 13 "AKU serius!" seru si suara serak tersebut. "Jangan bergerak!
Kalian semuanya! Hentikan apa pun yang kalian lakukan dan dengarkan aku!"
Paulette mendengar dua buah kursi digeser. Ada yang berlari ke pintu.
"Jangan bergerak kataku!" ulang orang tersebut.
Langkah-langkah kaki tersebut berhenti dengan tiba-tiba.
Ruangan terasa mati. Paulette mendengar gadis di belakangnya merintih pelan.
Payung Sengkala 5 Can You See Me Karya Sonya Michibata Medali Wasiat 8

Cari Blog Ini