Ceritasilat Novel Online

Gara Gara Pesta 2

Girl Talk 16 Gara Gara Pesta Bagian 2


dan amburadul. Sepanjang perjalanan menuju pasar swalayan dan sepulangnya,
aku masih memikirkan pesta pernikahan Ibu. Sulit bagiku untuk
mengakui secara jujur bahwa diam-diam aku mulai merasa terlibat.
Pesta itu akan dilangsungkan besok! Berarti tinggal semalam! Harus
kuakui, gaun pengiring pengantin yang akan kukenakan nanti cantik
menarik. Warnanya biru muda dengan garis leher berbentuk hati.
Potongannya agak ketat di badan dan lengannya menggelembung
seperti balon. Bagian bawah gaun agak mengembang, bertumpuk-tumpuk
hingga mata kaki. Belum pernah kukenakan gaun seperti ini.
Begitu tiba di rumah, saudaraku sudah berkumpul. Rumah yang
biasanya rapih, kali ini berantakan. Tas dan mantel bertebaran di sanasini. Aku masuk ke dapur membawa roti pesanan Ibu, dan ternyata
semuanya tengah berkumpul menyantap makan siang.
"Nah ini Katie," sambut Bibi Elizabeth saat melihatku. Bibi
Elizabeth adalah Bibi kesayanganku. Wajahnya mirip dengan Ibu
meski tubuhnya sedikit lebih tinggi dan gemuk. Bibi menampani roti
dari tanganku dan berkata pada Ibu, "Eileen, aku ikut bahagia dan
nggak sabar lagi untuk kenalan dengan Jean-Paul dan Michel.
Kedengarannya sih mereka orang-orang yang menyenangkan ya?"
"Tentu saja," sahut Ibu dengan wajah berbinar ceria.
"Kau sendiri, apa khabarmu Katie?" tanya Paman Ted sambil
mengecup pipiku. "Baik-baik aja Paman," sahutku.
Ibu tersenyum padaku dan menambahkan, "Menurutku sih
Katie lebih dari sekedar baik-baik aja. Ia hebat lho. Baru saja terpilih
jadi kapten tim hoki sekolahnya. Iya kan Katie?"
Seluruh keluargaku lantas mengucapkan selamat untukku. Tapi
yang kelihatan paling gembira adalah Paman Ted. Soalnya, Paman
Ted dan Ayah pernah bergabung dalam tim hoki yang sama di sekolah
dulu. Sebetulnya aku ingin cerita tentang tim hokiku, tapi
kelihatannya Paman Ted mulai sibuk memperhatikan cincin
pertunangan Ibu. "Jean-Paul pasti pengusaha sukses ya?" komentar Paman Ted,
"Berlian di cincinmu itu cukup besar lho!"
"Ted!" protes Bibi Elizabeth mendengar ucapan suaminya yang
terdengar konyol itu. Aku tak dapat menahan tawa. Semua ikut
tertawa jadinya. Meskipun pesta pernikahan ini awalnya cukup
menyakitkan, toh aku masih bisa merasakan kebahagiaan saat
berkumpul bersama keluargaku seperti sekarang ini.
BAGIAN TUJUH "Kalian minum teh atau susu?" tanya Ibu ketika aku dan Emily
masuk dapur hari Jumat sore.
"Teh," sahut Emily sambil duduk di meja makan. Sore ini, meja
makan dikelilingi banyak orang. Ibu, Nenek, Bibi Elizabeth juga aku
dan Emily. Ibu sengaja mengumpulkan kami untuk membicarakan
jadwal acara besok. "Kalau aku susu aja Bu," ujarku sambil membuka kulkas dan
mengambil sekardus susu. Sebenarnya, membicarakan jadwal acara
tidaklah serumit yang kubayangkan. Aku memang senang mengaturatur jadwal, sehingga tak sulit bagiku untuk mengikuti aturan yang
telah disiapkan ini. Menurut Ibu, besok pagi-pagi sekali semua perempuan harus
pergi ke salon untuk menata rambut kemudian fotografer akan
mengambil beberapa gambar sebelum acara dimulai. Mobil pengantin
akan menjemput ke rumah jam setengah dua belas siang dan kami
harus sudah siap mengiringi Ibu.
Sesudah mendiskusikan beberapa detil penting, aku bertanya,
"Bu, bolehkah aku ke gudang sebentar untuk cari sesuatu?"
Sebetulnya sudah seminggu ini aku ingin ke gudang, tapi ada saja
halangan. Inilah hari terakhirku mencari pakaian untuk pesta dansa di
sekolah besok malam. Kalau tidak hari ini, kapan lagi dong?
"Cari apa?" tanya Ibu, "Katie, dua jam lagi latihan akan
dimulai." "Untuk pesta sixties di sekolah Bu," sahutku. Aku nggak
terkejut melihat Ibu melupakan pesta itu. Sejak Ibu dan Jean-Paul
mengumumkan pertunangannya, tak pernah kuusik soal pesta dansa
itu. Ibu sendiri mulai sibuk mengurus segala sesuatunya untuk pesta
pernikahan. "Oh ya," sahut Ibu, "kau bisa temukan koleksi pakaian Ibu di
kardus yang bertuliskan Baju-baju. Letaknya ada di dekat tangga
menuju gudang. Hati-hati ya dan jangan sampai tubuhmu kotor."
Kuanggukkan kepala dan langsung menuju gudang yang terletak di
bagian paling atas rumah, tepatnya di bawah atap. Perkiraanku,
koleksi pakaian Ibu takkan mencapai setengah koleksi Bu Wells. Aku
nggak dapat bayangkan Ibu mengenakan celana di bawah pusar atau
gaun beludru mini. Apalagi sepatu but go-go.
Kardusnya kutemukan di tempat yang disebutkan Ibu. Aku
segera duduk dan mulai membukanya. "Wow!" pekikku senang
melihat sebuah t-shirt yang letaknya di bagian atas.
Dugaanku meleset. Apakah Ibu pengikut flower generation?
Ah, nggak mungkin! Aku benar-benar tak dapat membayangkannya.
Tapi begitu dikorek lebih dalam lagi, kutemukan ikat kepala, sepatu
but dan tutup kepala, kacamata bundar, anting-anting dengan simbol
peace (perdamaian) dan jins belel yang sobek-sobek. Ini pasti bukan
milik Ibu deh. Aku semakin geli ketika membuka kardus berikutnya. Isinya
lebih aneh lagi. Di bagian bawah kardus kutemukan tempat sepatu.
Kuletakkan di pangkuanku lalu kubuka. Isinya ternyata foto, potongan
tiket dan asesoris yang agaknya menyimpan kenangan manis buat Ibu.
Kuperhatikan foto itu satu persatu. Ah, masa sih. Kulihat pemuda
berambut gondrong dan dikepang berdiri di depan VW station wagon
sambil merangkul mesra seorang cewek yang mengacungkan jari
telunjuk dan tengahnya sebagai simbol perdamaian. Kuperhatikan
lebih jeli lagi. Ternyata Ayah dan Ibu! Ibu mengenakan rok panjang
dan t-shirt bordiran berwarna-warni. Rambutnya sangat panjang
dengan belahan di tengah, lengkap dengan ikat kepala segala. Ibu
nggak mengenakan sepatu sama sekali. Sementara Ayah mengenakan
t-shirt lusuh, jins belel dan sandal jepit.
Nyentrik amat! Tak kusangka, orangtuaku pernah jadi hippies?
Kutatap foto itu agak lama sebelum beralih ke kardus berikutnya.
Kardus yang ketiga penuh dengan piringan hitam (PH) dari The
Doors, Janis Joplin, Jimi Hendrix, Jefferson Airplane.
Ph-ph ini pun cukup membuatku terkejut. Kukira selera
musiknya bukan rock. Perempuan seperti Ibu mestinya lebih cocok
mendengarkan Glen Campbell. Aku lalu turun sambil membawa
kardus sepatu. Ibu perlu kutanyakan. Dan melihatnya duduk sendirian,
aku kaget juga. Ke mana yang lainnya? Ibu tengah memasukkan
pakaian ke koper-koper di kamarnya. Oh ya... rencananya Ibu akan
pergi bulan madu besok. Aku kagum padanya karena langkahnya
selalu terencana dengan matang.
"Dapat sesuatu yang kau cari Katie?" tanyanya. Kemudian ia
melihat kardus sepatu yang tengah kupegang. Mulutnya pun
ternganga. "Ya Tuhan! Ibu sampai lupa foto-foto ini disimpan di
gudang!" Kuletakkan kardus itu di tempat tidurnya lalu duduk di
sampingnya. "Benarkah ini foto Ibu?" tanyaku sambil mengeluarkan
foto Ibu dan Ayah yang sedang mejeng di depan VW. Ibu
menghampiriku dan duduk di sebelahku.
"Nampaknya sih gitu," sahut Ibu setengah berkelakar dan
tersenyum, "rasanya sudah lamaaa sekali."
Ibu lantas melihat foto-foto lainnya. "Ibu masih ingat kencan
pertama. Ayahmu mengajak Ibu ke sebuah kampanye perdamaian,"
kenangnya sambil memperlihatkan foto Ayah yang mengenakan tshirt motif paisley dan kacamata hitam. Rambut Ayah panjang
tergerai. "Ia sungguh istimewa dan populer di kampusnya, juga di
kalangan mahasiswi. Seorang aktifis dan sering melakukan aksi
protes." "Aku nggak nyangka Ibu aktifis juga," ujarku heran. Aneh,
rasanya seperti berusaha mengenal sisi lain kehidupan Ibu. Selama ini,
ia tampil sebagai perempuan feminin dan disiplin.
"Oh Ibu sih jarang ikutan," kilahnya tersenyum. "Setidaknya
sampai kenal dengan Ayahmu. Ia pintar ngebujuk orang lho.
Semangatnya tinggi dan inisiatifnya cepat terutama untuk hal-hal yang
dianggapnya genting."
Aku tahu itu. Masih kuingat, bagaimana berangnya Ayah saat
salah satu taman di Acorn Falls akan digusur dan di atasnya dibangun
sebuah pasar swalayan. Ia gerakkan orang mengadakan aksi protes ke
Balai Kota. Ia juga menulis surat ke beberapa koran lokal, dan masih
banyak lagi. Akhirnya, pembangunan pasar swalayan itu pun
dibatalkan berkat upaya Ayah dan teman-temannya.
"Waktu itu kami masih sangat muda," lanjut Ibu sambil beralih
ke foto lainnya, "coba lihat ini. Ia begitu energik. Ibu masih ingat,
Ayahmu sampai nggak bisa tidur waktu kita di Woodstock."
Aku hampir pingsan mendengarnya. "Jadi, kalian pergi ke
Woodstock?" Teenlitlawas.blogspot.com
Ibu tertawa. "Iya. Kau pasti nggak percaya kan," katanya
tersenyum lebar. "Dan sekarang Ibu bekerja di bank. Ayahmu sering
cerita, ia merasa aneh bahwa akhirnya tinggal di kota seperti Acorn
Falls dan rumah seperti ini."
"Kenapa?" tanyaku sambil memperhatikan kamar Ibu.
Menurutku sih, rumah kami cukup bagus. Tapi Ibu nggak segera
menjawab pertanyaanku. Diselesaikannya beberapa foto yang belum
dilihatnya kemudian dimasukkannya lagi ke kardus.
"Yah...," sahut Ibu akhirnya, "setelah lulus, kami bercita-cita
bergabung dengan kelompok pecinta perdamaian."
"Kelompok pecinta perdamaian?" tanyaku takjub. Aku nggak
mengerti kenapa Ibu ingin bergabung dengan kelompok itu.
"Ya," ia anggukkan kepalanya, "tapi kemudian kami putuskan
menikah dulu. Sebelum selesai kuliah, Ibu sudah mengandung anak
pertama." "Emily," tukasku. Kira-kira, Emily tahu nggak soal ini? Kalau
kuceritakan pasti pingsan deh. Kulihat Ibu mengangguk lagi.
"Benar. Karena itu Ibu dan Ayah memutuskan mencari tempat
tinggal. Kami pun pindah ke sini, sebab di sinilah Ayahmu
dibesarkan. Membeli rumah dan seterusnya menetap."
"Ibu menyesal nggak bergabung dengan kelompok pecinta
perdamaian?" tanyaku. Soalnya, hadirnya Emily dan aku setidaknya
jadi penghalang cita-cita Ayah dan Ibu kan?
"Oh sama sekali ndak," serunya sambil memelukku. "Kami
nggak pernah menyesali keputusan yang telah diambil. Malah bangga
memiliki kau dan Emily. Tinggal di Acorn Falls adalah keputusan
yang tepat. Kehadiran kalian membuat kehidupan Ibu dan Ayah begitu
lengkap dan bahagia."
Untuk beberapa saat, aku dan Ibu hanya duduk termenung.
Wajah Ayah terus saja mengusik pikiranku. Sampai saat ini, aku
kadang masih nggak percaya bahwa Ayah sudah meninggal dunia.
Kuharap suatu saat ia akan kembali dan membuat kejutan. Kemudian
Ayah mengangkat Ibu ke atas dan memeluknya sambil berputarputar.
"Sulit deh melupakan Ayah,"bisikku. Ibu menglus-elus
rambutku. "Ibu ngerti nak," ujarnya sedih, "setiap hari, Ibu pun begitu."
"Kalau gitu, kenapa Ibu mau menikah dengan Jean-Paul?"
desakku tanpa dapat menahan diri.
Yang mengherankan, Ibu nggak marah ataupun sedih
mendengar pertanyaanku yang lancang itu.
"Ibu mencintainya," jawabnya tenang. "Dia memang berbeda
jauh dibandingkan Ayahmu, tapi jika Ayahmu masih hidup ia pun
akan menyukainya." Aku merenung sebentar. "Kurasa Ibu benar," ujarku.
"Perasaanku juga mengatakan demikian."
Tiba-tiba saja kurasakan semuanya akan berakhir dengan
menyenangkan. Bagiku, kebahagiaan Ibu adalah segalanya. Ya, aku
pun ingin Ibuku bahagia. BAGIAN DELAPAN Di hari pernikahan, aku bangun saat suasana masih hening.
Aneh juga sih. Rumah yang kemarin ramai dan gaduh mendadak
sontak sunyi sepi. Kulihat arloji yang kuletakkan di lengan sofa di
ruang tengah. Sofa itu sudah kuubah jadi tempat tidur. Hari masih
pagi, baru pukul enam. Berarti masih punya waktu untuk berleha-leha.
Kuletakkan tangan di belakang kepala dan menikmati keheningan
sesaat. Sejak kedatangan sanak keluarga, rumahku telah berubah jadi
bising. Bukannya nggak senang mereka hadir, aku merasa gembira
dapat berkumpul bersama saudara. Tapi beberapa minggu terakhir
kurasakan banyak sekali gangguan. Kuharap pernikahan Ibu segera
berlalu sehingga aku dapat tidur nyenyak di kamarku dan menjalani
hidup seperti biasa. Namun melintas pikiran lain yang membuatku terlonjak duduk.
Nggak mungkin kembali seperti semula ah! Jean-Paul dan Michel
akan pindah ke rumahku begitu Ibu dan Jean-Paul pulang dari bulan
madu. Segala sesuatunya pasti berubah. Kami memang belum bicara
soal pembagian kamar, dan bisa jadi aku takkan memiliki kamar lagi.
Kuharap aku tetap menempati kamarku dan Michel menempati kamar
tamu. Yah, aku hanya berharap. Sejak kecil sudah kutempati kamarku
yang sekarang. Kuluruskan kaki ke ujung sofa. Pandanganku menerawang jauh
ke jendela. Matahari bersinar cerah dan langit berwarna biru. Hari
yang indah tentunya. Aku yakin Ibu gembira sekali hari ini.
Semalaman, Ibu terus memonitor perkembangan cuaca di radio untuk
memastikan pesta pernikahannya takkan terganggu cuaca buruk.
Sebelum orang lain bangun, kuputuskan bangun dan bergegas
mandi. Bisa-bisa rebutan kamar mandi. Aku bangkit, selimut kulipat
dan menyimpannya di lemari bawah tangga. Lantas kuambil piyama
handuk dan segera masuk ke kamar mandi atas. Harus segera mandi
kalau nggak mau susah-susah antri. Contohnya semalam, sesudah
gladi resik, orang adu dulu-duluan masuk kamar mandi. Enaknya sih,
setiap orang mengambil nomer seperti arisan supaya tertib masuknya.
Nggak perlu berebutan segala. Sehabis sarapan, kami akan pergi ke
salon. Rambutku dibiarkan nggak dikeramas. Kuhabiskan beberapa
menit untuk mandi serta memakai celana jins dan switer katun.
Gladi resik dan makan malamnya sih lancar semua. Ibu sendiri
yang memimpin kami mulai dari upacara gereja sampai makan di
Chez Pierre. Selesai gladi resik, dapat kubayangkan seperti apa bentuk pesta
pernikahan itu. Bahkan aku mulai bersemangat untuk segera
memulainya. Termasuk ingin bertemu keluarga besar Beauvais.
Mereka datang jauh-jauh dari Kanada khusus untuk menghadiri
pernikahan ini. Entahlah, berapa banyak saudara sepupu yang dimiliki
Michel. Lusinan? Saat makan bersama semalam, aku nggak bisa
menghafal namanya satu persatu. Mudah-mudahan sih nanti siang
mereka nggak macam-macam memintaku mengingat-ingat nama
masing-masing. Harus kutanyakan dulu pada Michel sebelum pesta
dimulai. Memang, tak pernah terlintas di benakku punya saudara seperti
Michel, sebenarnya sih nggak lama lagi resmi kakak beradik.
Maksudku, pernikahan Ibu dan Jean-Paul saja sudah aneh rasanya.
Apalagi bersaudara dengan Michel. Nggak kebayang tuh.
Kugelengkan kepala untuk mengusir lamunan. Lalu kurapihkan
barang-barang dan mulai beranjak keluar dari kamar mandi.


Girl Talk 16 Gara Gara Pesta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Wah...wah...kau bangun pagi sekali," sambut Nenek yang baru
keluar dari kamar Emily. "Nggak nyenyak ya tidurnya?"
"Oh, pagi Nek," sapaku, "hari ini terlalu cerah untuk dilewatkan
begitu aja." "Ya, untung cuacanya bagus," ujar Nenek sambil tersenyum,
"Ibumu pasti lega. Semalam, ia sudah stres mikirin cuaca. Padahal
sebagai orang-tua, Nenek masih percaya bahwa hujan yang
mengguyur hari pernikahan pertanda baik bagi mempelai. Kayaknya
jaman sekarang para pengantin lebih suka cuaca cerah ya."
Hujan berarti pertanda baik? Yang benar saja. Bagaimana kalau
sang pengantin basah kuyup.
"Acara ke salon gimana?" tanya Nenek mengalihkan
pembicaraan. "Jam sepuluh," sahutku tersenyum. Pergi menata rambut ke
salon adalah saat-saat yang kunantikan. Aku memang belum pernah
ke salon. Begitu Nenek ke kamar mandi, segera kusiapkan semangkuk
bubur untuk sarapan pagi.
Ketika orang-orang mulai bangun dan sibuk, aku sudah
selesaikan sarapanku. Suasana rumah hiruk pikuk. Ada yang
menunggu di depan kamar mandi, membuat kopi dan sarapan.
Macam-macam. Kelihatannya seperti losmen saja.
Aku tak tahu kapan Emily pulang. Tiba-tiba kulihat ia sudah
ada di rumah. Tak terasa, akhirnya tiba juga saatnya pergi ke salon.
Ibu mengingatkan kami. "Nenek, Bibi Elizabeth, Jessie dan Emily sudah menunggu di
mobil," seru Ibu padaku. "Sekalian menurunkan kopermu di rumah
Sabs. Kau jadi nginap di sana kan selama Ibu berbulan madu?
Kopernya sudah disiapkan?" Kuanggukkan kepala sambil menunjuk
koper kecil yang terletak di depan pintu. Aku telah siapkan semua
sehari sebelumnya. Dua puluh menit kemudian, barang-barangku telah
kutitipkan di rumah Sabs dan kami pun tiba di Betty Jean?s Cut and
Curl Beauty Salon. "Eileen!" sambut Betty Jean saat kami masuk. "Harinya tiba
juga! Silakan duduk. Kami siap mempercantik kalian mulai ujung
rambut sampai ujung kaki. Bukan begitu?"
Ibu mengangguk. Aku tersentak mendengarnya. Dari ujung
rambut sampai ujung kaki? Kusangka hanya akan menata rambut saja.
"Sebaiknya langsung dimulai aja," ujar Ibu sambil tersenyum.
Ibu, Emily, Bibi Elizabeth, Jessie dan Nenek segera duduk di kursi
yang tersedia. Mereka senang sekali dengar ?dari ujung rambut sampai
ujung kaki?. Dengan gugup aku duduk di sebelah Ibu. Kira-kira, apa
ya yang mereka lakukan padaku?
Di atas meja banyak sekali botol dan toples berwarna-warni.
Beberapa saja yang memiliki label. Repot juga buat Betty Jean dan
asistennya mengenali botol dan toples itu kalau nggak ada labelnya?
Dan bagaimana seandainya mereka gunakan cairan yang salah?
"Hai, namaku Donna," seru perempuan tinggi besar dan
bersepatu tumit tinggi sambil menyisir rambutku. "Kita mulai ya?"
"Mulai?!" ujarku resah. Donna melingkarkan kain ke leherku
hingga menutup pakaianku untuk melindunginya dari noda.
"Ya, kita mulai dari rambutmu," kata Donna, "yuk dicuci dulu."
Aku pun bangkit dan mengikuti Donna ke bagian cuci rambut di
belakang ruangan. Ini bagian yang paling menyenangkan setiap kali
memotong rambut. Duduk di kursi dengan santai sementara orang lain
sibuk mencuci rambut. Nyaman rasanya. Berikutnya kurasakan Donna
menepuk bahuku. "Sudah selesai non," ujarnya sambil melingkarkan handuk di
kepalaku yang basah. Aku pun kembali ke kursi. Kulihat Betty Jean memasang
gulungan ke rambut Ibu. Ibu kelihatannya santai. Ia ngobrol dengan
Betty Jean sambil memperhatikan pantulan dirinya di cermin. Aku sih
paling nggak suka sama cermin-cermin di salon. Memang sih, kita
perlu perhatiin ahli-ahli kecantikan itu saat mereka menata rambut,
tapi untukku sih nggak perlu. Nyatanya begitu duduk, kepalaku nggak
boleh menolah-noleh. Mukaku harus lurus ke depan dan terpaksa
kuperhatikan juga bayanganku di cermin.
"Rambutmu bagus sekali," puji Donna sambil menyisir
rambutku yang basah, "tulang pipimu juga." Pasti ia mengatakan hal
yang sama pada setiap orang yang datang ke salon ini. Kayaknya sih,
penampilanku cukup oke, tapi risih juga dengar pujiannya.
Memangnya barang, pakai dinilai segala. Lagipula Emily kan lebih
cantik dariku. Rambut dan tulang pipinya jauh lebih sempurna. Aku
sih...aku sih cuma si Katie, nggak ada yang istimewa.
"Aduuhh!" pekikku lepas. Donna tengah memasang gulungan
rambut karet berwarna merah muda ke rambutku. Kurasa ia nggak
sengaja menarik rambutku. Rasanya nyeri lho.
"Oh maaf," Donna minta maaf tanpa menghentikan
pekerjaannya. Setelah rambutku tergulung rapih, ia mengajakku ke
bagian pengeringan. Ia letakkan alat semacam helm ke atas kepalaku.
Telingaku dipasangi penutup telinga sehingga tak bisa dengar apa-apa
lagi. Tapi enak juga sih. Santai dan nyaman banget.
Kulihat Donna mendorong meja putih kecil berisi berbagai
peralatan ke arahku. Apa lagi nih? Pikirku panik. Pasti dia baca
kepanikanku. Ia cuma tersenyum lalu mengambil botol kutek. Kurasa
Ibu sudah pilihkan warna yang cocok, warnanya serasi sekali sih
dengan gaun yang kukenakan. Nyatanya banyak sekali hal-hal kecil
yang harus diperhatikan untuk sebuah pesta perkawinan.
Tak lama kemudian tanganku sudah terendam dalam mangkuk
plastik yang ada di meja kecil itu. Kok pakai direndam segala? Aku
pun melirik Emily yang juga tengah mengenakan helm.
"Itu untuk melembutkan kulit-kulit kering di sekitar kuku,"
sahut Emily. Agaknya ia sudah berusaha bicara sekeras mungkin, tapi
di tengah suara bising pengering rambut nyaris tak kudengar apa-apa.
Kuangguk-anggukkan saja kepalaku. Padahal ingin bertanya lagi.
Kenapa sih kalau mau pakai kutek harus melembutkan kulit di sekitar
kuku? Apa hubungannya? Tapi ya... sudahlah. Yang penting nyaman.
Rambutku telah mengering dan kukuku terpotong rapih, kutek lalu
dipoles dengan cantiknya.
Donna melarangku menggerakkan tangan selama 15 menit agar
kutekku tak rusak. Aku manut saja dan duduk mematung.
Emily mondar-mandir menunggu kuteknya kering seraya
mengibas-ngibaskan tangan.
"Wah...Ibu cantik lho!" seru Emily sambil menghampirinya,
"Jadi segar dan kelihatan muda lagi."
"Calon pengantin memang harus cantik," timpal Bibi Elizabeth,
"Eileen, kuakui kau kelihatan sangat cantik."
"Terima kasih," sahut Ibu tersipu-sipu. "Betty Jean memang
pandai merias orang."
"Apalagi kalau orangnya sudah cantik," sahut Betty Jean.
Ibu memang kelihatan cantik sekali. Aku nggak sabar
menantikannya selesai dirias dan mengenakan gaun merah muda.
Menurut Emily, warna gaun pengantin Ibu persis warna kulit kita
kalau sedang tersipu malu. Merah muda. Menurutku sih, beda banget
tuh. "Oke non," ujar Donna membuyarkan lamunanku, "yuk pindah
lagi. Masih banyak yang harus dilakukan."
Kuikuti Donna menuju kursi di muka cermin.
Begitu selesai melepaskan gulungan rambut, kulihat rambutku
menjadi ikal dan jatuh lembut menutupi sebagian wajah. Bagus sekali.
Rambut pirang ikal. Rasanya nggak percaya deh bisa sebagus ini.
"Gimana?" tukasnya tersenyum, "sudah kubilang, rambutmu
bagus kok. Coba bersandar lagi agar aku leluasa meriasmu."
Diambilnya sebuah toples besar berikut kuas. Kuperhatikan
semuanya dengan perasaan dag-dig-dug. Memang kuakui, Donna
menata rambutku dengan baik, tapi belum tentu begitu dengan
wajahku. Selama ini belum pernah kupakai makeup, dan bagiku terasa
aneh saja. Begitu selesai, segera kupandang cermin dan.... "Oohh...,"
seruku. Mataku kelihatan lebih besar dan biru muda keabu-abuan
karena disapu perona mata di kelopaknya. Dan dipoleskan pula
pemerah pipi serta lipstik yang agak berkilap ke bibir.
"Katie, kau cantik sekali!" komentar Ibu sambil menghampiriku
dan melingkarkan tangannya ke bahu.
"Bener nih Bu," desisku. Harus kuakui, kali ini aku tampil
istimewa dari biasanya. Lebih cantik. Rambutku ditata dengan
sempurna dan teman-temanku pasti pingsan melihat penampilanku.
Kayaknya makin bersemangat deh menghadapi pesta pernikahan ini.
Dan juga makin nggak sabaran ingin segera mengenakan gaun
pengiring pengantin! BAGIAN SEMBILAN Selesai berias di salon, sahabatku sudah berkumpul di rumah.
Mereka duduk di ruangan tamu, asyik berbincang-bincang dengan
Paman Ted dan Kakek. Mudah-mudahan saja Kakek nggak
memamerkan permainan sulapnya dan mengeluarkan sekeping uang
logam dari telinga. "Katie...buruan dong," sambut Sabs dengan melompat dari
kursi begitu melihatku masuk. "Ayo dong pakai baju...," tiba-tiba
kalimatnya terhenti dan Sabs menatapku dengan terbelalak kagum.
"Wah...wah...wah! Kau seperti fotomodel aja."
"Ya, aku suka dengan rambutmu," puji A1 yang
menghampiriku bersama Randy.
"Penata riasnya pasti ahli banget deh," timpal Randy, "kenapa
nggak dari dulu aja kau tampil seperti ini?"
Aku cuma tersenyum mendengar komentar sahabatku. "Trims
ya atas kedatangan kalian untuk membantuku."
Ibu pun memasuki ruangan. Setelah menyapa Ibu, Bibi, sepupu
dan Nenek, kami pun beranjak menuju kamarku.
"Kalian juga cantik-cantik lho," ujarku membalas pujian.
Kubuka pintu dan segera masuk kamar. Sabs memperhatikan gaun
birunya yang kehijau-hijauan dan kemilau dengan tali bahu tipis,
dikombinasikan dengan sarung tangan yang panjangnya mencapai
siku. "Yang bener? Menurut kalian pakaianku cukup oke nggak
untuk pesta kawin?" tanyanya minta komentar.
"Tentu dong," sahut Randy. Ia mengenakan blus hitam-putih
dengan kerah model angkatan laut yang agak mengetat di pinggang.
Roknya pendek dan bentuknya kayak genta gereja. Persis anggota
Kowal. Anggun. Gaun yang dikenakan Allison lain lagi. Blusnya terbuat dari
beludru hitam sedang roknya dari satin, yang dibuat tumpuk-tumpuk
dengan pita di sekitar pinggul. Bando dari beludru hitam menempel di
kepalanya hingga tampak serasi. Randy perhatikan isi kamarku lalu
bertanya, "Oke, kita mulai dari mana nih?"
"Eh. ..lihat gaun pengiring pengantinnya Katie!" pekik Sabs
sambil berlari menghampiri gaun yang kugantungkan di pintu lemari
pakaianku. "Segera kau pakai."
Sepuluh menit kemudian, aku benar-benar terkejut melihat
bayanganku di cermin. Sulit kupercaya, gadis cantik seperti bidadari
ini aku! Ya, aku! "Kau seperti Puteri Salju," puji A1 perlahan. Al, Randy dan
Sabs terpaku menatapku dari belakang. Dan tiba-tiba saja aku menjadi
resah. Satu jam lagi upacara pernikahan akan dimulai! Apa semuanya
akan berjalan lancar? "Katie, ada apa sih?" tanya Randy. Diletakkan tangannya di
bahuku. "Pernikahan ini masih mengganggu pikiranmu? Kau nggak
keberatan kan menceritakan perasaanmu."
Aku hanya tersenyum dan salah tingkah. "Nggak. Aku nggak
apa-apa kok. Kuharap semuanya mulus tanpa hambatan dan cela.
Hanya khawatir kalau kesandung saat melangkah di belakang Ibu.
Juga kalau rambutku tertiup angin dan berantakan? atau...."
"Ah...itu kan cuma fantasi liarmu KC. Nggak bakalan terjadi
deh," potong Sabs. "Percaya deh." Diambilnya sisir dari laci meja
riasku dan dilepaskan sepatunya. Sabs lalu duduk di atas tempat
tidurku. "Mari, kurapihkan sedikit rambutmu," pintanya. Rambutku
memang agak berantakan setelah berpakaian.
"Gimana kalau dengan bunga?" usul Randy, "Bukankah
seharusnya kau bawa bunga?"
Aku yakin, Ibu sudah menyiapkan bunga-bunga yang
kuperlukan di bawah, sehingga kuminta Randy mengambilnya.
Sementara itu, Allison sibuk menyikat gaunku. Juga
merapihkan lipitan-lipitan yang mulai kusut. Gaunku memang agak
bertumpuk-tumpuk di bawah, sehingga setiap lekukan harus jatuh di
tempat yang benar. "Sempurna sekali!" Al, Sabs dan Randy akhirnya puas. Saat
kami turun perasaanku sudah jauh lebih tenang. Aku bersyukur Ibu
mengijinkan sahabatku datang untuk menyaksikan persiapan pesta.
Tak lama kemudian, tiba waktunya untuk berangkat ke gereja.
Letaknya tak jauh dari rumah, sehingga Sabs, Randy dan Al cukup
berjalan kaki ke sana. Ketika tiba di gereja, Sabs membukakan pintu untukku agar
pakaianku tak tersangkut dan dapat melangkah mulus.
"Jangan cemas, pasti lancar," tukas Sabs.
"Sampai ketemu setelah upacara pemberkatan nanti ya," tambah
Randy seraya melambai, "kalau merasa panik lagi, panggil aja kami."
Kemudian Al menambahkan, "Ya. Kami usahakan agar kau
merasa tenang." Kubalas lambaian tangan sahabatku. Mereka adalah
sahabat terbaikku di bumi ini.
"Katie, kau nampak luar biasa sekali!" bisik Michel sambil
menghampiriku. "Merci," bisikku seraya tersenyum. Secara jujur kuakui, aku
pun merasa penampilanku fantastis hari ini. Michel pun menilai
penampilanku luar biasa. Biasanya sih, apa yang menurut kita bagus
belum tentu bagus di mata orang lain kan?
"Kau juga keren," balasku memuji. Michel kelihatannya tampan
dan gagah hari ini. Ia mengenakan stelan tuxedo hitam. Kalau Sabs
lihat bisa nguber-nguber. Tugasnya adalah menerima tamu dan
mengantarkannya ke tempat duduk masing-masing. Deretan sebelah
kiri disediakan khusus untuk keluarga dan teman-teman mempelai
wanita, sedang deret sebelah kanan untuk keluarga dan teman-teman
mempelai pria. Kalau kebetulan ada tamu dari kedua belah pihak,
pasti mereka bingung harus duduk di mana. Ha...ha... ha....
Michel mengantar Kakek dan Nenekku duduk di deretan kursi
terdepan. Nenek adalah orang terakhir yang masuk ruangan beberapa
saat sebelum upacara dimulai. Gereja terlihat sesak sekali.
Kulihat tamu-tamu nggak sabar lagi menunggu pengantin
masuk. Berkali-kali mereka menoleh ke pintu. Jadi deg-degan deh
rasanya, terutama karena aku dan Michel menjadi orang pertama yang
masuk untuk membuka jalan bagi pengantin. Lagu dari orgel gereja
pun berkumandang. Sesuai gladi resik kemarin, jika lagu sudah
berkumandang upacara segera dimulai.
Jean-Paul melangkah keluar dari pintu yang terletak di depan
altar, di samping orgel. Mark Mitterand, sahabatnya, mengiringinya
dari belakang sebagai wali mempelai pria. Mereka berdiri
bersebelahan di depan altar. Jean-Paul gagah sekali dengan tuxedonya. Tak pernah kuduga, Michel dan Ayahnya mirip sekali.
Michel menoleh dan berbisik padaku, "Saatnya tiba."
Digandengnya lenganku dan diremasnya sedikit. Agaknya, ia
membaca keresahanku. Diletakkannya telapak tanganku ke sikunya
seperti diajarkan Ibu semalam.


Girl Talk 16 Gara Gara Pesta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jalannya pelan-pelan dong," bisik Emily dari belakang yang
berpasangan dengan Philippe, sepupu Jean-Paul. "Santai aja KC,"
ulangnya. Aku mengangguk, dan kami pun melangkah menyusuri lantai
berlapis karpet merah di antara deretan tempat duduk undangan.
Ibu telah mengajarkan cara berjalan yang baik dengan hitungan.
Langkah kami terasa perlahan jadinya. Perlahan Michel menghitung
dalam bahasa Perancis, "Un, deux, trois..." begitu seterusnya setiap
melangkah. Semua tamu berpaling memperhatikan kami. Rasanya
aneh juga lho jadi pusat perhatian. Tapi tatkala kulihat Al, Randy dan
Sabs di tempatnya, aku jadi lega. Mereka tersenyum ke arahku
sementara Sabs melambai kecil. Kulihat mata Sabs berbinar begitu
menatap Michel. Akhirnya sampai juga ke altar tanpa sedikit pun melakukan
kesalahan. Michel harus menepi ke kanan dan aku ke kiri dekat tempat
duduk khusus yang disediakan untuk panitia pernikahan ini. Michel
kedipkan mata padaku dan meremas tanganku sekali lagi sebelum
kami berpencar. Aku berdiri di depan tempat dudukku menunggu
Emily, Philippe dan pasangan pengiring pengantin lainnya tiba di
altar. Bibi Elizabeth dan suaminya adalah pasangan terakhir yang
menutup iring-iringan. Jalannya amat perlahan dan kepalanya
ditegakkan seolah takut rambutnya berantakan. Sebab rambut Bibi
memang panjang dan Betty Jean telah menekuknya jadi sanggul yang
tinggi di atas kepalanya. Nampaknya sih unik dan cantik, tapi aku
khawatir akan rusak begitu dihembus angin. Kalau tiba-tiba angin
bertiup ke gereja, pasti rambut Bibi jadi amburadul nggak karuan.
Tamu-tamu lantas berdiri dan lampu-lampu kamera berpijaran
mengabadikan upacara ini. Ibuku pasti sudah masuk, pikirku. Tentu
saja nggak boleh menoleh ke belakang untuk memastikannya. Sampai
akhirnya Ibu tiba di altar, diantar Kakek. Cantiknya luar biasa. Model
gaun pengantin merah mudanya mirip dengan gaun yang kukenakan.
Hanya gaun Ibu dihiasi dengan selendang chifon halus yang
memanjang, berkibar-kibar menyapu lantai bila melangkah. Wajahnya
membersitkan suatu kebahagiaan.
Kusadari, pernikahan ini benar-benar penting artinya bagi Ibu.
Kakek lalu mengecup pipi Ibu dan menyerahkannya pada JeanPaul. Kudengar Jean-Paul mengucapkan ?Terima kasih? pada Kakek
dan mengajak Ibu melanjutkan langkah menuju altar. Sementara
Kakek duduk di sebelah Nenek.
Upacara berlangsung khidmat dan lancar diiringi alunan musik.
Kedua mempelai diminta mengucapkan ikrar pernikahan. Saatnya
tukar cincin pun tiba. Pendeta yang memimpin upacara menyebut kata
?Suami dan isteri? terdengar jelas sekali. Jean-Paul lantas mencium
Ibu, dan fotografer pun mengabadikannya.
Beberapa saat kemudian, para pengiring pengantin melangkah
meninggalkan altar dan keluar meninggalkan gereja. Ketika aku dan
Michel tiba di luar, kulihat Bibi, Mark Mitterand, Philippe dan Emily
sibuk menyalami Ibu dan Jean-Paul. Aku bergegas menghampiri dan
memeluk Ibu erat-erat. Setelah itu berjajar di antara Philippe dan
Michel. Kami harus berdiri berjajar sambil menyambut ucapan selamat
dari para tamu yang satu demi satu mulai meninggalkan gereja.
Rasanya lama sekali berdiri dan menyalami para tamu. Bahkan lebih
lama daripada waktu yang dihabiskan untuk upacara perkawinan.
"Katie!" pekik Sabs sambil memelukku, "Upacaranya benarbenar mengharukan ya. Ibumu cantik dan Jean-Paul pun gagah.
Mereka benar-benar serasi. Aku hampir menangis saking terharunya."
"Bukan hampir lagi Sabs. Kau tadi udah meneteskan air mata
kan," celetuk Randy menggoda. A1 mengikuti Randy dari belakang.
Keduanya lalu memelukku secara bergantian.
"Yah...emang sih, aku sempat nangis," ujar Sabs tersipu, "tapi
cuma sebentar kok. Soalnya, semuanya begitu khidmat dan indah. Kau
kok bisa nggak terharu sih Ran?"
Randy tertawa mendengarnya. "Aku nggak cengeng kan,"
sahutnya, "tapi, aku juga terharu kok. Suasananya begitu...begitu apa
ya?" Randy kebingungan sendiri melukiskan perasaannya, "Kau
sendiri gimana KC?" tanyanya.
Aku hanya tersenyum. Perasaanku sih baik-baik saja. Malahan
merasa berbahagia karena semuanya berjalan lancar. Ibu tak hentihentinya tersenyum dan tertawa dalam pelukan Jean-Paul. Susah
mengekspresikan perasaanku yang sebenarnya, maka kupilih diam dan
menikmati kebahagiaan ini. Kurasa sahabatku akan mengerti tanpa
perlu kujelaskan dengan kata-kata.
"Kau juga tenang sekali saat menuju altar," sambung Al.
"Michel....tuxedo-mu bagus sekali deh," puji Sabs untuk
menarik perhatiannya. "Merci," sahutnya gemas sambil mencubit pipi Sabs. Tentu saja
Sabs tersipu-sipu diperlakukan seperti itu.
"Kalau gitu, sampai ketemu di resepsi pernikahan nanti," ujar
Randy melirik arlojinya, "kalian harus foto bersama keluarga dulu
kan?" Aku mengangguk. "Nggak lama kok," ujarku, "mudahmudahan sebentar, soalnya aku mulai keroncongan nih."
Sabs menggandeng lengan Randy dan Allison.
"Yuk, kita jalan duluan. Mungkin Ayahku sudah menunggu di
mobil. Ia siap mengantar kita ke tempat resepsi. Oh...aku sudah nggak
sabaran ingin segera ke Country Club."
Kulambaikan tanganku dengan ceria ke arah sahabatku yang
mulai beranjak menuruni tangga gereja. Matahari bersinar cerah,
secerah suasana hatiku. BAGIAN SEPULUH Begitu sampai Acorn Falls Country Club, sang fotografer
langsung mengarahkan rombongan ke belakang ruang resepsi yang
penuh dengan bunga-bunga. Banyak sekali gambar yang
diabadikannya. Kira-kira enam rol film habis.
Kemudian kami harus mengatur barisan lagi seperti di gereja
untuk membuka jalan bagi pengantin masuk ruangan. Kudengar suara
musik mengalun. Ibu telah atur dan siapkan segalanya dengan
sempurna! Mula-mula terdengar suara drum dan kata sambutan dari
pimpinan Country Club menyambut tamu dan mengucapkan selamat
pada pengantin. "Hadirin sekalian," kata pimpinan Country Club membuka
acara, "selamat datang di resepsi pernikahan Eileen dan Jean-Paul
Beauvais." Semua tamu yang tadinya asyik mengobrol satu sama lain
mendadak hening seketika. Michel meraih tanganku dan
menggandengku. "Siap KC?" tanyanya.
"Oui," sahutku seraya menganggukkan kepala.
"Pengiring pengantin siap memasuki ruangan, Katherine
Campbell dan Michel Beauvais," lanjutnya menyambut kehadiran
kami. Aku dan Michel melangkah menuju pelaminan.
Kami disambut dengan tepuk tangan dan suit-suitan yang saling
silang. Langkahnya sekalipun cepat tapi santai. Nggak terlalu diatur
seperti di gereja tadi. Pusat perhatian pun tertuju padaku dan Michel.
Sementara pengiring pengantin lainnya diperkenalkan, kuperhatikan
suasana sekitar ruang resepsi yang luas ini. Ada lantai dansa, lampu
gantung kristal dan jendela kaca besar yang menawarkan
pemandangan lapangan golf yang hijau. Setiap meja tertata rapih
dengan taplak putih, lilin, bunga-bunga dan gelas. Cantik dan
menarik. Setelah Bibi Elizabeth dan Paman Mitterand masuk ruangan,
para tamu kembali hening, dan dengan suara berat dan dalam,
pimpinan Country Club menyambut pengantin. "Ucapan selamat dan
bahagia kepada Tuan dan Nyonya Beauvais!"
Ibu dan Jean-Paul pun memasuki ruangan. Para tamu langsung
bertepuk tangan, lebih meriah dari sebelumnya. Suasananya semarak.
Ibu kelihatan amat bahagia dan terharu. Kami pun berjajar di depan
pelaminan lalu duduk, kecuali Paman Mitterand tentunya. Sebagai
wali pengantin pria, ia harus menyulang minuman untuk kedua
pengantin. Untunglah, semuanya sudah dijelaskan oleh Ibu sewaktu gladi
resik. Kalau tidak tentu bingung menyaksikan semua ini. Soalnya,
baru kali ini kusaksikan upacara perkawinan. Mark mengulangi dan
mengucapkan selamat dalam dua bahasa, Perancis dan Inggris. Setelah
itu para tamu bertepuk tangan dan mulai mengetuk-ngetukkan gelas
masing-masing dengan garpu menambah semaraknya pesta. Aku
berbisik pada Emily, "Kok pakai mengetuk-ngetukkan garpu segala
sih?" tanyaku heran, "Kalau pecah gimana?"
Emily tertawa. "Itu artinya, mereka minta Ibu untuk mencium
Jean-Paul," jawab Emily.
"Harus begitu?" kataku bingung.
"Mana kutahu?" balas Emily, "Dari sononya kali."
Menurutku, mengetuk garpu ke gelas adalah cara yang aneh
untuk memaksa pengantin saling berciuman. Terns terang, aku buta
sekali soal pesta perkawinan, sehingga ikutan saja mengetukngetukkan garpu ke gelas. Akhirnya, Ibu pun terpaksa mencium JeanPaul karena suara ketukan itu tak kunjung berhenti, malah semakin
gaduh kedengarannya. Bagiku, berciuman di depan umum kurang sopan rasanya, tapi
tak demikian halnya bagi Ibu dan Jean-Paul. Mereka melakukannya
dengan mesra sekali. Setelah makan malam selesai, para pelayan segera
membereskan piring dan gelas. Jean-Paul berdiri dan mengajak Ibu
berdansa. "Apalagi nih sekarang?" tanyaku pada Emily.
"Pengantin pria dan wanita harus membuka acara dansa."
"Para pengiring pun harus berdansa," tambah Bibi Elizabeth.
Aku mulai panik, "Termasuk aku?" tanyaku. Tak seorang pun
memberitahu hal ini sebelumnya. Dansa sih bisa tapi bukan dengan
irama waltz seperti ini. "Jangan cemas KC," bisik Michel, "sejak kelas empat, Ayah
sudah mengajarku berbagai macam dansa. Nggak usah khawatir, akan
kubimbing deh. Kau tinggal ikutin aja iramanya. Gimana, oke?"
Aku pun mengangguk tapi mataku tetap tertuju pada Ibu dan
Jean-Paul yang tengah melantai dengan asyiknya. Gerakan mereka
agak rumit di mataku. Kucoba untuk mempelajarinya, tapi justru
semakin bingung. Lagu pun bergulir habis dan para pemusik
mengajak kami menemani pengantin berdansa. "Pengiring pengantin
diharap sudi menemani kedua mempelai berdansa."
Kutarik nafas panjang dan kubiarkan Michel membimbingku di
arena. Semula, aku hanya terpaku di hadapannya, entahlah apa yang
harus kuperbuat. Michel lalu menarik tanganku dan meletakkannya di
bahu kirinya sementara tangan kanannya merangkul pinggul. Tangan
kananku dan Michel saling menggenggam dan diangkat sedikit ke
atas. "Ca va?" tanya Michel. Kuanggukkan kepala tanda siap meski
sebetulnya perasaanku berdebar nggak karuan. Aku belum yakin dapat
melakukannya atau tidak meskipun Michel membimbingku.
"Sekarang kita hitung satu sampai empat," ujar Michel
memulai, "kita bentuk segi empat dan kau harus mengikuti gerakanku,
paham?" Agaknya Michel serius dengan dansanya, tapi aku justru nggak
tahan menahan senyum melihat tingkahnya.
"Kok pakai mesem segala sih?" tanya Michel heran.
"Ini pertama kali kupatuhi perintahmu," ujarku di sela tawa.
"Oh ya...kau benar," sahut Michel tertawa, "mudah-mudahan
aja lagunya panjang. Jadi kau lebih lama mengikuti perintah dan abaabaku. Biasanya kau bandel sih."
Musik pun mulai mengalun. Michel melangkah membuat
persegi panjang dengan kakinya sesuai irama musik. Kuikuti
gerakannya tanpa harus menginjak kakinya. Kepalaku terpaksa
kutundukkan ke bawah terus-menerus untuk menjaga dan mengawasi
kakiku agar nggak salah langkah. Ternyata dibutuhkan konsentrasi
penuh untuk melakukan dansa seperti ini. Pokoknya, benar-benar
suatu kerja keras deh. Setelah lagu berakhir, tamu-tamu pun mulai berdansa. Aku
gonta-ganti pasangan sampai beberapa kali mulai dari Kakek, JeanPaul, Paman Mitterand, Philippe dan akhirnya berpasangan dengan
Michel lagi. O ya, aku juga sempat dansa bersama beberapa keluarga
Michel dari Kanada. Sementara Ibu lebih banyak lagi ganti-ganti pasangan.
Sepertinya hampir semua pria ingin dansa dengannya. Tak pernah
kubayangkan sebelumnya, aku dansa dengan irama waltz seperti ini.
Awalnya aneh juga sih, tapi lambat laun mulai menikmatinya.
Para musisi lalu beristirahat sejenak sehingga aku punya
kesempatan untuk mencari sahabatku. Kularikan langkah menuju meja
mereka. "Hallo!" sapaku sambil duduk di sebelah Allison, "Kakiku
pegal-pegal nih." "Jelas aja, kau tancap terus sih," sambut Sabs. "Aku sih nggak
bisa dansa dengan irama kayak gitu."
"Sama," aku tersenyum geli, "yang penting kita bisa ngikutin
pasangan dansa kita kan. Itu aja. Kuharap mereka mainkan irama yang
lebih cocok buat kita."
Randy mengangguk setuju. "Maunya sih gitu. Tapi toh nanti
malam kita bisa jojing sampai pagi!"
"O ya! Astaganaga! Aku sampai lupa nanti malam pesta dansa
di sekolah!" pekikku terkejut.
"Jelas aja lupa. Kau sibuk sih dengan urusan perkawinan,"
timpal Allison seraya meneguk minumannya.
"Eh, kalau mau pinjam pakaian Ibuku ada tuh," kata Sabs
menawarkan diri. Aku hanya menggelengkan kepala. "Koleksi Ibuku juga
lumayan banyak kok," sahutku tak mau kalah, "dan ternyata ia selalu
ngikutin mode juga."
Bola mata Sabs yang coklat kehijau-hijauan membelalak tak
percaya. "Masa?! Ibumu?!" kemudian ia tersenyum dan meneruskan
kalimatnya, "Tapi terus terang, aku sempat kaget lihat model dan
pakaian warna-warni koleksi Ibuku. Nggak sangka ya, orangtua kita
pernah mengenakan pakaian-pakaian nyentrik macam itu."
"Lantas, apa yang kau kenakan nanti?" tanya Randy.
Sebetulnya sih telah kupilihkan pakaian yang oke, tapi nggak
perlu kuceritakan dulu ah. Biar kujadikan kejutan! "Lihat aja nanti,"
sahutku, "kalian pasti kaget ngelihatnya!"
Sabs nampaknya siap mengomentari, tapi pandangan matanya
justru tertuju ke arahku.
"Hei...kayaknya Ibumu akan potong kue pengantin tuh!"
serunya. Kami lantas berdiri dan ikut berkumpul mengelilingi kue
pengantin bertingkat tiga dengan hiasan pengantin dari gula-gula di
puncaknya. Ibu dan Jean-Paul memegang sebuah pisau besar bersamasama. Randy tersenyum geli melihat keduanya. Ia pasti
membayangkan adegan pembunuhan di film-film horor. Ibu dan JeanPaul pun lantas memotong kue pengantinnya. Keduanya lalu saling
menyuapkan potongan kue ke mulut masing-masing.
"Di pesta perkawinan Simon, sepupuku, terjadi adegan konyol
saat pemotongan kue. Secara tak sengaja, ia mengotori wajah Angie,
pengantin wanita, dengan gula-gula kue. Hi...hi...," bisik Sabs.
"Konyol kan." Untunglah Ibu dan Jean-Paul melakukan segalanya dengan baik
sehingga tak terjadi adegan-adegan konyol. Para pelayan pun
melanjutkan pemotongan kue yang selanjutnya dibagi-bagikan ke
seluruh undangan. "Harus kuambil bagianku," ujarku, "nanti kususul kalian ke
meja deh!" Kulihat Michel tengah duduk di kursi, dan dengan terburu-buru
kuambil kue. "Hei KC. Mau ke mana buru-buru amat?" tanyanya.
"Oh, aku mau duduk bersama Randy, Sabs dan Al," sahutku.


Girl Talk 16 Gara Gara Pesta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Michel mengatupkan bibirnya dan sedikit mengerutkan kening
dengan serius. Tatapan bola matanya yang coklat gelap itu
menghujamku, "Menurutmu, boleh nggak kuajak Sabs dansa?"
tanyanya. Baru kuingat, Michel memang sempat naksir Sabs. Meskipun
mereka belum pernah kencan, pokoknya sempat naksirlah. "Bolehboleh aja," sahutku senang.
Tak lama kemudian musik pun mengalun. Kali ini dengan irama
yang lebih menghentak. Meski bukan rock ?n roll seperti yang
kuharapkan, yang jelas kami bisa melantai bebas.
Sabs begitu gembira menerima ajakan Michel. Tamu-tamu dari
Kanada satu persatu mengajak sahabatku berjojing ria. Aku sih belum
hafal betul nama mereka Satu persatu, tapi sudah mulai akrab dengan
wajahnya. Sepanjang pesta, rasanya aku nggak sempat duduk sama
sekali. Sibuk menerima setiap ajakan dansa.
Pesta hanya berlangsung beberapa jam, tapi kayaknya
terlampau singkat. Para undangan tahu-tahu sudah beranjak pulang.
Ibu dan Jean-Paul menghampiriku lalu memeluk serta menciumku.
Mereka sudah siap-siap berangkat ke bandara untuk bulan madu.
"Baik-baik di rumah Wells ya Katie," pesan Ibu dengan mata
berkaca-kaca. Aku ikut terharu dan akhirnya tak tahan membendung
air mata. "Nggak usah khawatir Bu," sahutku, "bersenang-senanglah di
sana, jangan pikirkan kami di sini. Ibu kan perlu rekreasi setelah kerja
keras." Ibu hanya tersenyum dan bergantian menatapku dan Jean-Paul.
"Ibu pasti bisa senang-senang Katie," ujarnya mantap, "tapi juga
merindukan kalian kan."
"Moi aussi," Jean-Paul mengangguk setuju, "aku kangen juga
kan padamu Katie." "Besok Ibu akan telpon dan beritahu keadaan kami di Perancis,"
katanya sambil memelukku. sekali lagi.
"Baik Bu," kataku, "sampai ketemu ya! "
"Ibu sayang padamu Katie," bisik Ibu parau.
Ibu dan Jean-Paul segera berangkat. Kuperhatikan mereka
bergandengan meninggalkan ruangan pesta. Saat itu kusadari,
segalanya telah berubah, tak mungkin sama seperti dulu lagi. Ah,
nggak soal. Kulihat Emily, Michel dan Reed tengah asyik ngobrol
sambil cekikikan. Kurasa semuanya akan lancar meski banyak
perubahan di sana-sini. Bisa jadi lebih baik dari sebelumnya.
Perubahan tak selalu berarti negatif kan? Kami akan jadi sebuah
keluarga baru yang utuh! Janggal juga sih, tapi toh demi kebaikan
semuanya. Saat berpaling pada sahabatku, aku sudah bisa tersenyum lagi.
Kami harus segera bersiap-siap untuk pesta berikutnya. Pesta dansa
ala sixties di sekolah. Waaah...mesti buru-buru nih! Bisa-bisa bakalan
terlambat! BAGIAN SEBELAS "Randy, astaga! Cantik betul kau!" seruku melihat
penampilannya. Aku sedang membaca edisi terbaru majalah Young
Chic di tempat tidur Sabs. Ia memang langganan majalah remaja top
itu. Randy mengenakan baju lengan panjang dan celana terusan warna
hitam yang melekat ketat di tubuh, lengkap dengan ikat pinggang
logam berkilau yang dipinjamnya dari Sabs. Rambutnya disisir licin
ke belakang dan diikat dengan ikat kepala hitam. Sebetulnya yang
paling keren dari penampilannya adalah kacamata hitam model kucing
yang di sekelilingnya dihiasi manik-manik berwarna-warni.
"Kalian udah siap belum?" tanya Randy memperhatikanku yang
masih mengenakan baju handuk.
"Sabrina aja masih mandi," sahutku tersenyum. Ada satu
persamaan antara Sabs dan Emily, kakakku, yaitu tahan menghabiskan
waktu di kamar mandi. Sebetulnya apa saja sih yang mereka kerjakan?
Kalau aku sih mengguyur lalu membersihkannya dengan sabun lantas
membilasnya. Sesudah kering langsung keluar. Singkat kan?
"Oh...Al baru aja telpon. Ia dalam perjalanan kemari," Randy
duduk di tempat tidur Sabs, di sebelahku. "Ibumu sudah berangkat
ya?" tanyanya. "Asyik dong bulan madu ke Riviera di Perancis."
"Iya. Sebetulnya aku ngebet juga pingin ikut sih," ujarku
memelas, "kau tahu, ini untuk pertama kalinya aku pisah dengan
Ibuku." Begitu selesai mengucapkan kalimat itu, aku malu sendiri.
Soalnya, Randy tipe anak yang mandiri dan nggak menggantungkan
diri pada orang lain, sekalipun orangtuanya sendiri. Aku sepertinya
jadi anak manja ya? "Kau pasti mengiraku anak mami deh," gumamku sambil
menundukkan kepala. "Nggak juga," sahut Randy, "kau kan tinggal bersama Sabs
selama Ibumu pergi. Bagus tuh."
"Maksudmu?" desakku. Memang aku senang bisa tinggal
sementara bersama Sabs, tapi apa hubungannya dengan kepergian
Ibu? "Sebab tinggal bersama Sabs dapat membunuh waktumu. Kau
kan sibuk sehingga nggak sempat lagi memikirkan Ibumu.
Kepergiannya jadi nggak terasa. Begitu lho maksudku," jelas Randy
sambil tertawa, "kau tahu kan, Sabs nggak pernah bisa diam. Ada aja
yang dilakukan atau diomongin."
"Kau benar," kataku mendukung Randy.
Terdengar ketukan di pintu kamar Sabs, Randy berteriak,
"Silakan masuk!"
Kepala A1 menyembul dari balik pintu. Ia sedikit ragu masuk
ke kamar. "Al! Aduuuh sampai nggak ngenalin kamu deh," seru Randy.
Gaun terusan mini warna kuning keemasan itu sempurna sekali di
tubuhnya. Apalagi kakinya yang panjang itu mengenakan sepatu but
ala penari go-go yang memberi kesan langsing dan panjang.
Rambutnya dibiarkan tergerai dan berkibas-kibas indah setiap kali
bergerak. Al persis seperti gadis tahun 60-an.
"Trims," jawab Al malu-malu, "kau juga cantik kok Ran."
Randy berdiri dan berputar-putar seperti peragawati. "Ini kan
punya Ibuku lho," ujarnya menjelaskan, "oke banget nggak?"
Pintu terbuka lagi. Kali ini Sabs yang muncul. Ternyata ia
sudah siap dengan pakaian pestanya. "Celana ini kayaknya aneh deh
di tubuhku," gerutunya, "nggak kepikiran deh orang-orang jaman dulu
pakai celana ini." "Aku bisa ngerti jalan pikiranmu," angguk Al sambil menatap
sepatu butnya, "dengan sepatu ini sulit sekali melangkah."
Sabs terperangah melihatku masih mengenakan baju handuk.
"Aduh Katie! Aku lupa kau belum mandi! Sorry banget, aku kelamaan
di kamar mandi nih."
"Nggak apa-apa kok," sahutku tenang, "aku akan mandi
secepatnya." Aku bungkukkan tubuhku dan kuambil tas berisi pakaian
yang akan kukenakan ke pesta dansa. "Lima menit deh."
Aku pun berlari menuruni anak tangga dan menyelinap masuk
kamar mandi. Pesta pernikahan dan acara dansa di resepsi membuatku
berkeringat. Sebetulnya enggan sekali menghapus make-up. Tapi
harus kusegarkan tubuh, jadi nggak punya pilihan lain. Segar rasanya
saat air mengguyur sekujur tubuhku. Segera kuambil sabun, kemudian
membilas dan mengeringkannya. Setelah itu kukenakan pakaian
sixties milik Ibu. Geli rasanya saat mematut diri ke muka cermin.
Teman-temanku pasti teler melihat penampilanku yang nyentrik ini.
Hi...hi...hi.... "Waduh Katie!" pekik Sabs menyambut kedatanganku ke
kamarnya. "Dari mana kau dapatkan semua itu?"
Aku mengenakan tudung kepala dari kain berwarna-warni yang
ditata seperti tambal-tambalan, t-shirt belel dengan simbol perdamaian
di bagian depan, celana jins belel dengan sobekan di lututnya. Juga
kukenakan sepatu but kulit berumbai-rumbai dan setinggi lutut. Di
kepala kulingkarkan ikat kepala. Anting-anting panjang di telinga dan
beberapa kalung aneka warna dan model melingkar di leherku.
"Semua ini milik Ibu," ujarku tersenyum.
"Yang bener?" Randy melompat dari tempat tidur. "Aku nggak
percaya. Memangnya Ibumu anggota flower generation! Kalau gitu
Hippies dong?" Aku mengangguk sambil terbahak-bahak melihat reaksi
sahabatku bengong mendengar jawabanku. Ibuku seorang hippies di
masa mudanya. "Aku pun kaget sewaktu ia cerita soal masa
remajanya. Tahu nggak, Ibu dan almarhum Ayahku pergi ke
kampanye dan protes perdamaian di kencan pertamanya! Mereka
sering pergi ke Woodstock dan rencananya akan gabung dengan
kelompok pencinta perdamaian. Sayang, akhirnya mreka keburu
menikah." "Sulit dipercaya!" kilah Randy lagi, "Mereka pergi ke
Woodstock?" kubenarkan ucapannya.
"Aku lebih menyukai pakaianmu daripada yang kukenakan ini,"
komentar Allison sambil menunjuk sepatu butku. Maksudnya dapat
kupahami. Sepatu but dari kulit imitasi yang dipakai Allison memiliki
tumit yang agak tinggi, sehingga kalau melangkah terdengar suara
gesekan aneh dan mengganggu. A1 nampaknya tersiksa sekali
mengenakan sepatunya itu, apalagi lebih dari 30 detik.
"Maksudmu, kau nggak suka sepatu itu?" kelakar Randy.
Saat itulah terdengar panggilan dari Luke, kakak tertua Sabs.
Katanya, kalau kami tak segera berangkat ia tidak mau mengantarkan
ke pesta dansa dengan mobilnya. Luke memang sok disiplin, maklum
dia kan satu-satunya anak di keluarga Wells yang diijinkan
mengendarai mobil. "Kalian sudah siap ber-rock ?n roll?" tanya Sabs seraya
menyambar jaketnya. "Sam dan Michel sudah berangkat sejak tadi
lho." Sekolah kami kelihatan terang-benderang dan semarak saat
mobil yang dikendarai Luke menepi di depan gelanggang olahraga
sepuluh menit kemudian. "Selamat hura-hura nak," lambai Luke. Anak-anak?
Ck...ck...ck...sok tua banget sih cowok satu ini. Usianya kan baru 16
tahun, masa kami disebutnya anak-anak sih. Usia kami selang tiga
tahun lebih muda darinya. Dan ketika Sabs minta dijemput sekitar jam
sepuluh malam, Luke sedikit jual mahal dan ogah-ogahan. Setelah
mobil Luke berlalu, kami melangkah memasuki gelanggang olahraga
yang telah dihias menjadi arena pesta. Kami dapat dengar musik yang
dimainkan oleh sebuah band.
"Oke punya nih," komentar Randy semangat, "aku suka lho
lagu-lagu dari Creedence Clearwater Revival"
"Samaan dong," sambung Sabs. Aku dan A1 bertukar pandang
sambil menggelengkan kepala. Kami berdua bukan maniak musik
seperti Randy dan Sabs, sehingga nama grup-grup musik beserta judul
lagunya nggak begitu hafal. Sambil mengangkat bahu, aku dan A1
mengikuti Randy dan Sabs yang melangkah cepat memasuki ruangan.
Ternyata gelanggang olahraga telah diubah sedemikian rupa sehingga
suasananya seperti diskotik. Panitia dekorasi yang dipimpin Winslow
menghiasi ruangan dengan lampu sorot berwarna-warni yang menyala
mengikuti hentakan musik. Benar-benar membangkitkan semangat
untuk bergoyang. Di sekeliling ruangan dihiasi gambar bunga
matahari dan simbol perdamaian.
Kuperhatikan suasana di sekitarku sambil mencari Michel.
Sejak resepsi perkawinan tadi, aku belum lagi bertemu dengannya.
Aneh ya, aku mendadak jadi memperhatikannya. Padahal sebelumnya
nggak pernah peduli bahkan memikirkannya. Kurasa hal ini pengaruh
ikatan keluarga yang mulai tertanam di hatiku dan Michel.
"KC!" kudengar seorang memanggilku. Ketika menoleh,
kulihat Scottie menghampiriku. Ia mengenakan t-shirt dan jins belel
yang sobek-sobek. Menurutku, ia imut-imut banget deh.
"Wah pakaian kalian kok mirip sih? Serasi deh," bisik Sabs.
"Dasar jodoh barangkali."
Aku sih sama sekali tak percaya pada hal-hal seperti itu.
Menurutku semua ini serba kebetulan. Sabs sendiri tipe orang yang
amat percaya pada hal-hal yang berbau mistis. Yang jelas, aku senang
Scottie datang. "Katie, kuambil minuman dulu ya," ujar A1 padaku, "kau
nyusul ya." "Oke," sahutku. Mereka lalu meninggalkanku berduaan dengan
Scottie. Ia hanya berdiri menatapku dengan kedua tangan dimasukkan
ke saku celananya. "Apa khabar KC?" tanyanya, "Bagaimana pesta pernikahan
Ibumu?" "Lancar," sahutku singkat, "aku senang deh melihat t-shirt yang
kau kenakan Scot." Scottie tersenyum mendengar pujianku, "Aku juga suka melihat
gaun yang kau kenakan," balasnya.
Lagu Wild Horses milik Rolling Stones terdengar mengalun dan
anak-anak langsung berhamburan ke arena dansa, bergoyang
mengikuti irama. Lagunya sendiri slow lho. Aneh, kok bisa-bisanya
tertarik melantai dengar lagu yang mendayu-dayu begitu? Kami cuma
berdiri memperhatikan arena dansa.
"Kau mau dansa denganku?" ajak Scottie tiba-tiba.
"Boleh." Scottie menarik lenganku dan menuntunku ke tengah
gelanggang. Rasanya seperti mimpi saja. Aku berdansa dengan Scottie
diiringi musik lembut seperti ini. Wow!
Sabs pasti histeris jika melihat. Baginya, dansa dengan lagu
lembut seperti ini sangat romantis. Tak pernah kulakukan sebelumnya.
Entahlah. Kurasa baru sekarang kutemukan cowok yang memberiku
rasa nyaman untuk melakukannya. Susah payah aku menahan diri
untuk tidak tertawa. Bayangkan, aku, Katie Campbell, berpelukan
mesra dengan Scottie Silver di lantai dansa diiringi lagu romantis lagi.
Hari ini kerjaku hanya dansa melulu. Untunglah, Scottie urung
mengajakku dansa dengan gaya waltz seperti di pesta perkawinan tadi.
Ia hanya meletakkan tangannya di pinggangku sementara tanganku
melingkar di lehernya. Kami bergerak perlahan mengikuti lagu. Aku
tak mengerti, apakah ini yang namanya romantis? Yang jelas, senang
juga sih melakukannya bersama Scottie.
Tiba-tiba kulihat Michel berdiri di belakang Scottie. Dari
lirikannya, dapat kuterka isi hatinya. Nampaknya ia tak suka
melihatku dansa dengan Scottie.
"Permisi, boleh gantian?" tanya Michel agak sinis.
"Hei Beauvais!" sahut Scottie sambil tersenyum pada Michel,
"Apa khabar? Bagaimana jalannya pesta perkawinan Ayahmu? Kau
pasti sudah dansa dengan KC kan di resepsi perkawinan, nah sekarang
giliranku dong." "Tapi aku masih ingin dansa dengannya," desak Michel sambil
melirik tajam ke arah Scottie.
Perasaanku sungguh nggak enak dibuatnya, maka kulangkahkan
kaki untuk menjauhkan diri dari Scottie. Wajahku panas menahan
malu. Ada apa sih dengan Michel? Nggak suka melihat orang senang?
Sungguh, saat ini aku lebih suka dansa dengan Scottie daripada
Michel. "Gantian dong, boleh kan," lanjut Michel. Scottie mundur.
"Oke, silakan," tukasnya sambil mengangkat alisnya tinggi-tinggi,
"nggak usah ngotot gitu dong." Michel menatap tajam Scottie yang
meninggalkan lantai dansa. Ia menolehku lalu mengangkat tangan
kanannya mengajakku dansa. Aku tak percaya. Kok Michel bisa
sekasar ini sih terhadap Scottie? Lagipula ia nggak peduli dan cuek
saja dengan perasaanku. Aku benar-benar jengkel dibuatnya. Sambil berkacak pinggang


Girl Talk 16 Gara Gara Pesta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kupelototkan mataku, "Usil amat sih?" kataku marah, "Ngusik
kesenangan orang aja? Nggak senang ya aku dan Scottie dansa?"
"Tenang," sahut Michel, "justru itu yang membuatku khawatir.
Scottie itu playboy, pacarnya banyak dan bosanan. Minggu lalu,
kulihat ia kencan dengan Jeanne Keller di Fitzie?s."
"Lalu kenapa?" tukasku tak mengerti maksudnya. Aku
menyukai Scottie dan kelihatannya ia pun begitu. Memang teman
ceweknya banyak, aku sudah tahu itu. Nggak ada salahnya kan punya
banyak teman? "Lagian kalau itu jadi beban pikiranmu, kenapa selama
ini kau nggak pernah komentar apa-apa? Kenapa baru sekarang?!"
desakku sengit. Sebagai sesama anggota tim hoki, Michel pasti tahu bahwa aku
sudah beberapa kali kencan dengan Scottie. Maklum, anak-anak
cowok kan juga suka ngerumpi.
"Waktu itu sebatas teman. Sekarang, kau saudaraku," jelas
Michel serius, "kini tanggung jawabku untuk menjagamu," lanjutnya.
Aku terkejut mendengarnya dan sama sekali nggak menyangka
Michel mengucapkan kata-kata seperti itu.
"Nggak usah, aku bisa sendiri. Terima kasih atas perhatianmu!"
jawabku merasa tersinggung, "Kau nggak perlu repot-repot
menjagaku." Teenlitlawas.blogspot.com
"Tapi KC...," desis Michel.
"Ibuku dan Ayahmu baru menikah beberapa jam lalu kan,"
kupotong kalimat Michel, "dan sekarang kau mulai mengaturku. Apa
sih yang kau cari?" lanjutku marah, "Tinggalkan aku! Jangan peduli
padaku! Kalau begini caranya, nggak sudi jadi saudaramu!"
Aku pun lantas berlari menemui sahabatku di dekat meja
minuman. Michel benar-benar sulit dipercaya. Aku sih nggak
keberatan punya saudara tapi jangan bersikap sebagai pengawal dong.
"Ada apa KC?" tanya Allison begitu melihatku bergabung.
"Aku sedang dansa dengan Scottie. Eh, tiba-tiba Michel
memaksanya pergi. Katanya, itu dilakukan karena ia
memperhatikanku dan harus menjagaku," gerutuku, "dikiranya siapa
sih dia? Apa haknya melarangku?"
Sabs tertawa. "Apanya yang lucu?" tanyaku jengkel.
"Kau harus membiasakan diri Katie," sahut Sabs, "sekarang kau
punya kakak laki-laki lho."
"Lalu?" tanyaku heran.
"Yah gitulah mereka," jelas Sabs. "Percaya deh, aku sudah
pengalaman dalam hal ini. Bayangkan, empat kakakku cowok semua!
Mereka merasa wajib menjaga, melindungi dan memperhatikanku."
Aku terperangah mendengar pengakuan Sabs. "Tapi dia bukan
kakakku. Maksudku, usia Michel kan sebaya jadi nggak berhak
bersikap sebagai kakak," protesku.
"Itu sih nggak ada bedanya," kilah Sabs, "sama halnya dengan
Sam. Usianya hanya empat menit lebih tua dariku, tapi gayanya persis
orangtua. Aku juga nggak ngerti, mengapa kakak cowok cenderung
bersikap seperti itu, yang jelas kau harus mulai membiasakan diri."
Kutarik nafas beberapa kali untuk menenangkan diri. "Entahlah.
Apakah aku tahan menghadapi saudara laki-laki," desahku.
"Punya saudara cowok ada enaknya lho," hibur Sabs, "mereka
memiliki sisi positif juga."
"Maksudmu?" tanyaku makin bingung. Sejauh ini yang kulihat
sih baru sisi negatifnya saja.
"Yah...kadang-kadang senang juga kan ada yang
memperhatikan dan melindungi kita," ujar Sabs. Kulihat Randy
menganggukkan kepala. "Apa yang dikatakan Sabs memang ada benarnya," Randy
setuju, "kadang aku pun berharap demikian."
"O ya?!" ujarku terkesima dengar ucapan Randy.
"Tapi yang paling menyenangkan dari saudara cowok
adalah...," Sabs tiba-tiba menghentikan ucapannya. Ditatapnya mataku
sambil cengar-cengir penuh arti.
"Apa sih?" tanyaku kesal.
"...kita bisa numpang kenalan dengan sahabat-sahabat mereka
yang tentunya keren-keren lho ," lanjut Sabs. Aku jadi geli
mendengarnya. Ya tentu saja menyenangkan bisa kenalan sama
cowok-cowok keren. Kenapa hal ini nggak nyangkut di benakku ya.
"Kira-kira Michel lagi ngapain tuh sekarang?" tanya Randy
seraya menunjuk suatu arah. Scottie dan Michel terlihat sedang asyik
berdansa sambil bercanda. Aneh, cowok sama cowok dansa? Nggak
percaya deh. Padahal Scottie tersinggung banget waktu Michel
menyela dansanya. Kok, mereka akrab lagi sih sekarang. "Yuk kita
temui," ajak Sabs bersemangat.
Si hebat Stacy Hansen dan sahabat-sahabatnya sedang asyik
berdansa di samping Scottie, Michel dan cowok-cowok lainnya dari
tim hoki sekolah. Stacy adalah putri tunggal kepala sekolah kami, dan kebetulan
sikapnya rada angkuh dan ingin menonjol. Kelihatannya, Stacy dan
gank-nya berusaha mencuri perhatian Scottie dan Michel.
Goyangannya genit dan centil sekali.
"Michel imut-imut ya?" desis Eva keras. Bahkan kami sempat
mendengarnya. "Kamu kok suka sih sama cowok macam anak-anak begitu?"
ujar Stacy pongah seraya menyibakkan rambut pirangnya yang
panjang, "Aku sih lebih suka cowok yang dewasa." Seminggu
sebelumnya, beredar gosip bahwa Stacy kencan dengan seorang
cowok dari kelas sembilan. Tapi kadang-kadang Stacy sendiri yang
menyebarkan gosip tentang dirinya. Kalau dipikir-pikir, pandai juga
dia mempromosikan dirinya. Ge-erlah. Ia senang menjadi topik
pembicaraan dan pusat perhatian orang.
Kulihat Randy melangkah mendekati Stacy. Pasti ada yang
ingin disampaikan deh. Ia memang sulit menahan diri jika sudah
berhadapan dengan Stacy. Di sekolah ini hanya Randy yang berani
debat dan menantang Stacy. Bahkan ia sering mempermalukan Stacy
di depan teman-temannya. "Kenapa bilang begitu?" ujar Randy.
Stacy menatap Randy dengan sinis kemudian menjawab, "Itu
bukan urusanmu! Tapi cowok yang dansa sama cowok menunjukkan
sikap yang kekanak-kanakan. Mengerti?!"
"Hei...kau jangan ngejek kakakku," celetukku marah. Dan tanpa
dapat menahan emosi lagi, aku pun berkacak pinggang di hadapan
Stacy. Aneh memang, tapi itulah yang kulakukan sekarang. Tiba-tiba
saja perasaanku tersinggung mendengar dia melecehkan Michel.
Padahal, Stacy tergila-gila lho padanya. Lagaknya saja acuh-acuh
butuh. Munafik. Aku tahu sejak lama ia menyukai aksen bicara
Michel yang lucu. "Kalian ini kenapa sih?" tanya Stacy jengkel.
"Hei ada apa?" potong Michel melihat keributan di antara kami.
"Aku nggak suka kau melecehkan kakakku," kataku tegas.
"Kakakmu?!" tanyanya sambil menyeringai, "Yang benar aja
KC. Emang sih Ibumu menikah dengan Ayahnya. Tapi itu bukan
berarti kalian kakak beradik kan?"
Kepongahan Stacy langsung sirna saat Michel melangkah
menghampirinya dan menatap tajam dengan mata berkilat menahan
amarah. "Satu hal yang harus kau ingat baik-baik," tegas Michel sambil
menudingkan jari ke depan wajah Stacy, "KC adalah adikku! Paham!"
"Ya," tukasku sambil tersenyum ke arah Michel, "dan aku
adalah adiknya." Sabs benar. Aku mulai menganggap Michel kakakku dan mulai
terbiasa memiliki saudara cowok. Saudara yang melindungi dan
menjagaku setiap saat. Kejadian ini merupakan suatu awal yang baik.
Stacy bungkam seribu kata. Mulutnya ternganga hendak
membantah tapi tak sepatah kata pun keluar. Ia hanya mengatupkan
rahang menahan marah dan segera berbalik cepat meninggalkan kami.
Langkahnya segera diikuti sahabat-sahabatnya.
Kugandeng lengan Michel dan kuajak bergabung bersama Al,
Sabs dan Randy. Sabs memeluk kami berdua.
"Kalian berdua berani deh. Biar tahu rasa dia," serunya
gembira. "Pertunjukan yang menarik untuk ditonton," sergah Randy
puas. Allison tersenyum dan berkata, "Tak ada ikatan yang melebihi
persaudaraan, dan kini di antara kalian berdua telah terjalin rasa
persaudaraan yang erat agaknya."
"Al, kau memang pintar baca pikiran teman," pujiku takjub.
Apakah aku mengada-ada? Rasanya tidak. Kali ini, perasaanku benarbenar bahagia dan bangga punya saudara cowok. Ini akan kukenang
dan kucatat dalam buku harianku. Hari ini adalah hari terindah dalam
hidupku!END Dalam Derai Hujan 4 Naga Pembunuh Lanjutan Golok Maut Karya Batara Akhir Sebuah Pengkhianatan 2

Cari Blog Ini