Ceritasilat Novel Online

Pedang Amarah 8

Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An Bagian 8


dibalik setiap jurus serangannya terkandung kekuatan yang mematikan.
Ong Siau-sik terkendali, tak sanggup menjebol serangan musuh yang
ketat. Seandainya rangkaian serangan pedang yang dibangun pelajar berbaju
hijau itu sempurna tanpa cacat, dia malah bisa menggunakan keras
menyerang yang lemah, bahkan menggunakan keras menjebol keras.
Tapi kini, ke empat serangan pedang sama seperti ke enam serangan
pedangnya tadi, penuh dengan perangkap dan jebakan.
Dan semua jebakan itu mengarah bagian tubuh yang mematikan, bagian
yang susah dijebol, karena musuh terlebih dulu sudah menghancurkan
bidang permainannya. "Susah dijebol."
"Sampai disini, permainan buah caturnya sudah buntu, sudah menjumpai
jalan kematian." "Kalau sudah buntu, mending segera mengaku kalah."
"Dalam kehidupan manusia, ada bagian yang tak bisa dijebol."
"Daripada hidup terjepit, lebih baik mati saja."
"Tapi dalam kehidupan manusia didunia ini, ada bidang permainan yang
tak boleh jebol, ada permainan catur yang tak boleh kalah."
Tiba tiba Ong Siau-sik tersadar.
Pihak lawan menggunakan bait syair yang dilebur ke dalam ilmu pedang
untuk mengurung dirinya. Bila tak ingin terkurung, janganlah tergerak oleh pancingan lawan,
bila tak ingin terpancing, maka . . . . . . ..
Ong Siau-sik segera menyadari teori itu, mendadak dia lempar
goloknya. Golok itu meluncur ke atas, menembus angkasa.
Ketika pelajar berbaju hijau itu menengadah, dia saksikan sang golok
berubah jadi pedang, sementara pedang berubah jadi naga, terbang di
angkasa. Kalau pedang sudah berada di langit, ke mana perginya pedang yang
berada dalam genggamannya?
Dalam situasi yang begini kritis dan berbahaya, mengapa Ong Siau-sik
justru melempar pedangnya?
Buru buru dia periksa pedang yang berada dalam genggamannya.
Entah sejak kapan, pedang yang semula berada dalam genggamannya kini
telah berubah jadi golok.
Tak terlukiskan rasa kaget pelajar berbaju hijau itu, dia ingin
mengubah jurus, sayang sudah terlambat.
Tiba tiba lehernya terasa dingin, tahu tahu sebilah pedang telah
dipalangkan diatas tengkuknya.
Kini dia sudah merasakan dinginnya mata pedang yang tajam.
Pedang memang tak berperasaan.
Dia tidak takut. Rasa ngeri belum sempat menyusup ke dalam hatinya.
Tapi perasaan terkesiap sudah menggempur pikirannya lebih dulu.
Gempuran yang nyaris membuatnya runtuh.
Dia sudah tak sempat merasa takut, yang bisa dilakukan hanya
menghela napas, menghela napas dalam posisi terperangah.
"Jurus serangan apa itu?" gumam pelajar berbaju hijau itu sedih,
"kenapa bisa menjebol Si-ping-si dan Sin-sit-pian?"
"Tak bisa dijebol," Ong Siau-sik meraup tangannya, menyambut pedang
yang sedang meluncur turun, "ini bukan jurus pedang, juga bukan
jurus golok. Tentu kau pernah mendengar syair Li Pak yang
mengatakan: kau tidak melihat air sungai kuning berasal dari
langit....." Setelah berhenti sejenak, tambahnya:
"Kalimat yang beraturan itu terbatas, tak akan mampu mengendalikan
bakat dari alam...."
Peluh dingin membasahi jidat pelajar berbaju hijau itu.
Lelaki berkopiah tinggi itupun pasang telinga, mendengarkan dengan
seksama. Dia sama sekali tidak menyangka Ong Siau-sik dalam situasi berbahaya
ternyata mampu mengelabuhi rekannya sehingga mengganti pedang yang
ada ditangan rekannya itu dengan sebilah golok.
Bukan begitu saja, bahkan pedang yang dilempar ke tengah udara
berhasil mengecoh perhatian rekannya sehingga dengan satu tusukan
kilat berhasil menangkan pertarungan.
Sebenarnya waktu itu dia ingin memberi bantuan, apa mau dibilang
pandangan matanya ikut jadi kabur sehingga tak sempat memberikan
pertolongannya. Membayangkan kesemuanya itu, tanpa terasa telapak tangannya basah
oleh keringat dingin. Ong Siau-sik tertawa, menyimpan kembali pedangnya sambil tertawa.
"Kau..... kau tidak membunuhku?" tanya pelajar berbaju hijau itu
tergagap. "Mengapa aku harus membunuhmu?" jawab Ong Siau-sik sambil tertawa,
"hidup didunia ini, terkadang kita bisa emosi sehingga menggunakan
pedang dengan marah, pedang amarah, tapi yang terbaik adalah
menyimpan kembali pedangu sambil tertawa."
Lelaki berkopiah itu maju selangkah, katanya sambil soja:
"Kau tidak membunuh lak-te dan aku terima budi kebaikan ini, tapi
aku masih tetap ingin minta petunjuk darimu!"
Ong Siau-sik menghembuskan napas panjang, katanya:
"Kalian berdua tak usah mengelabuhi aku lagi . . . . . ..
ll Setelah menjura kepada kedua orang itu, lanjutnya:
"Bangau liar dari bukit sepi Yap Ki-ngo, saudara Yap, Bun-bu-tit-it
(bidang sastra nomor wahid) Ki Bun-lak, saudara Ki, silahkan terima
hormat dari aku orang she-Ong."
Pelajar berbaju hijau dan lelaki berkopiah itu saling bertukar
pandangan sekejap. Kemudian ujar Ki Bun-lak:
"Kami belum pernah mengelabuhi dirimu."
Yap Ki-ngo ikut berkata: "Oleh karena kau sudah mengetahui siapa kami, pertarungan ini
semakin harus dilakukan."
Dengan perasaan apa boleh buat kata Ong Siau-sik:
"Permainan catur dari Yap Ngo-ko sangat hebat, kemampuanku masih
jauh ketinggalan, rasanya kita tak perlu beradu kepandaian lagi."
Perkataan Ong Siau-sik yang merendah tidak bisa diterima Yap Ki-ngo
dengan begitu saja, tampiknya:
"Kau tidak perlu merendah ataupun menampik, hari ini kita tidak
beradu buah catur sebagai senjata rahasia."
"Lalu mau beradu apa?"
"Beradu catur."
"Mana ada papan catur disini?"
"Langit sebagai bidang catur, tanah sebagai garis, kitalah yang
menjadi buah catur."
Cepat Ong Siau-sik menggeleng, tampiknya:
"Main catur sangat menyita waktu, bila ingin beradu, lebih baik cari
hari lain, kita bisa main catur sambil minum teh dan sampai saatnya
aku pasti akan melayani."
Menyaksikan Ong Siau-sik berniat pergi, cepat Yap Ki-ngo membentak:
"Hei, papan catur sudah tersedia, kau tak bisa pergi begitu saja!"
Sambil membentak, dia mulai melancarkan serangan.
Dilihat dari gerak serangannya nampak biasa tak ada yang aneh, tapi
Ong Siau-sik mematahkan jurus demi jurus, serangan demi serangan,
belasan gebrakan kemudian tiba tiba ia jumpai langkah Yap Ki-ngo tak
jauh dari gerakan main catur.
seperti menteri jalan serong, raja hanya maju mundur selangkah,
benteng bisa melaju jauh sedang kuda hanya melompat tiga langkah.
Ada sebagian jurus yang tidak dia lancarkan tapi hanya memancing,
ada pula jurus yang dilancarkan namun hanya tipuan.
Sekalipun begitu, hanya didalam berapa puluh gebrakan yang singkat
dia sudah gunakan tehnik sabar, menanti dan menjebak untuk membentuk
posisi membunuh, kekuatan membunuh dan lapangan membunuh.
Kini Ong Siau-sik sudah didesak hingga berada dibidang catur yang
tersudut. Bab 41. Kalut. Ong Siau?sik sudah mengambil posisi.
Biarpun sudah berada dalam posisi, lalu apa yang bisa dia lakukan?
Sekalipun Ong Siau?sik telah mengerahkan semua kemampuannya untuk
memainkan golok dan pedangnya, namun terjangannya ke sana kemari
tidak pernah berhasil menjebol pertahanan yang dilakukan Yap Ki?ngo.
Dari kejauhan, berulang kali Yap Ki?ngo melepaskan pukulan tangan
kosong sebagai pengganti meriam, tendangan berantai sebagai kuda,
bahkan senjata rahasia dilancarkan berulang kali ibarat tentara yang
menyeberangi sungai pembatas dan mulai menyerbu benteng kota.
Ki Bun?1ak sudah menjadi sang kereta yang memimpin penyerbuan,
meluruk bagaikan gelombang laut ditengah amukan topan.
Tiba tiba Ong Siau?sik "lenyap dari pandangan:, dia sudah melambung
ke tengah udara, meninggalkan bidang catur yang dipertahankan.
Begitu melambung dan berada ditengah udara, seluruh bidang permainan
catur pun terlihat sangat jelas.
Tubuhnya berjupalitan berapa kali ditengah udara, kemudian melesat
tinggalkan kebun terbengkalai.
Dia berniat menjebol bidang permainan catur itu.
sebagai pemain dia bingung, tapi sebagai penonton semuanya terlihat
jelas. Dia tak ingin terjerumus dalam bidang permainan orang, yang
dikuatirkan adalah keselamatan Tong P0?gou dan Thio Tan,
menguatirkan Kwa Siau?ho, Pat?toa?thian-ong, menguatirkan pula orang
orang di gedung keluarga Hoa yang sudah keracunan.
Ini berarti dia tak bisa bertempur kelewat lama di tempat ini.
Melihat niat lawannya, buru buru Ki Bun-lak berseru dengan panik:
"Heei... mau tinggalkan bidang permainanmu? Kau sangka masih bisa
keluar dari tempat ini?"
Mana ada orang didunia ini yang bisa tinggalkan bidang permainannya
begitu berkeinginan untuk pergi?
Jangan lagi dia berada dalam bidang permainan orang, sekalipun hanya
sebuah permainan, terkadang kau tak bisa berhenti bermain ditengah
permainan, tak bisa menghentikan pekerjaanmu ditengah kerja, beda
dengan benda diluar badan, mau diletakkan, langsung bisa diletakkan.
Ada orang yang bisa mengambilnya namun tak bisa diletakkan kembali.
Ada orang yang tak mampu mengambil sehingga terpaksa harus
diletakkan kembali. Tapi ada pula orang yang bisa mengambil, bisa pula meletakkannya
kembali. Bagaimana dengan Ong Siau?sik?
00000 Tiba tiba dia menemukan satu hal, ada sementara kejadian di dunia
ini yang tak mungkin bisa dilepas ketika kau ingin melepaskannya,
seperti pedang dalam genggamanmu, ketika kau sanggup mengambilnya,
berarti dia pun berhasil menangkap dirimu, bila suatu hari ingin
meletakkannya kembali, pertama tama harus tanya dulu kepadanya,
apakah dia setuju. Ong Siau?sik merangkap golok dan pedangnya, bahkan pikiran pun telah
bersatu dengan senjata, tak diragukan sudah terjalin hubungan batin
antara dia dengan golok dan pedangnya.
Tapi persoalannya, apakah Yap Ki?ngo menyetujui.
Bidak caturnya tidak setuju, bidang permainannya pun tidak setuju.
Tidak setuju membiarkan Ong Siau?sik pergi, pun tidak setuju
membiarkan Ong Siau?sik hidup terus.
Sewaktu Ong Siau?sik bersiap meninggalkan kebun terbengkalai, tiba
tiba dia temukan diluar bidang permainannya masih ada bidang
permainan lain. Diluar dinding yang retak justru merupakan sebuah bidang permainan
yang jauh lebih besar. Bidang permainan catur, menggunakan manusia sebagai buah catur.
Semuanya berjulah tiga puluh dua orang.
Tentu saja ke tiga puluh dua orang itu merupakan jago jago berilmu
tinggi. Mereka saling berhadapan diperbatasan sungai pemisah, masing masing
menggelar barisan, suasana amat tegang, pesukan siap bertempur,
bukan saling berduel satu dengan lainnya, tapi menanti kedatangan
Ong Siau?sik. Menunggu Ong Siau?sik masuk sendiri ke dalam bidang permainan
mereka, kemudian segera melakukan pembantaian secara besar?besaran.
Ong Siau?sik ingin meninggalkan bidang permainan, tapi pada akhirnya
justru terjeruus ke dalam bidang permainan lain.
Bidang permainan diluar bidang permainan.
Kini Ong Siau?sik hanya punya dua pilihan, dua jalan saja.
Pertama adalah melewati pagar dinding dan terkurung oleh bidang
permainan diluar. Kedua adalah tetap tinggal dalam kebun terbengkalai dan terjebak
dalam bidang permainan dalam.
Baik luar maupun dalam, semuanya merupakan bidang permainan.
Begitu tersulut, dapat dipastikan bidang permainan itu akan berubah
jadi permainan yang mematikan.
Dan pada akhirnya hanya jalan kematian yang tersedia.
00000 Bila bukan terpaksa, orang tak akan memilih jalan buntu, jalan
kematian. Begitu pula dengan Ong Siau?sik.
Dia memilih jalan ke tiga.
Jalan ketiga adalah: tidak pergi.
Tiba tiba dia melayang turun diatas dinding pagar lalu berhenti,
tidak pergi lagi. Maka dia tidak kembali ke bidang permainan lama, pun tidak
terjerumus ke dalam bidang permainan baru.
Tapi dia dikelilingi oleh dua bidang permainan, dia berada diantara
kedua bidang permainan itu.
Sebab sekarang, diapun membentuk sebuah bidang permainan baru.
Bidang permainan diluar dinding pemisah mengira dia pasti akan
melayang turun, maka mereka sudah mulai bergerak.
Begitu bergerak, semuanya sudah tak dapat terselesaikan lagi.
Jika benar?benar ada musuh masuk ke dalam bidang permainan mereka,
perangkap segera akan bergerak dan pasti membuahkan hasil.
Tapi kini, musuh tidak masuk perangkap namun seluruh bidang
permainan sudah terpancing untuk bergerak, dengan begitu mereka
kehilangan kesempatan baik, posisi permainan jadi kalut, bidang
permainan mereka sudah berada dalam genggaman lawan. Karena bidang
permainan mereka kini sudah tak berbentuk bidang permainan lagi.
Kesemuanya itu hanya terjadi dalam sekejap mata.
Tapi sekarang Ong Siau?sik sudah menggenggam keseluruhannya.
Sebenarnya apa makna dari jago silat dunia persilatan?
Bagi orang persilatan yang berilmu tinggi, hal ini wajib ada dan
harus. Dia harus memiliki kedudukan dan status yang tinggi dan terhormat.
Inipun merupakan keharusan.
Tapi orang yang berilmu tinggi dan bersatus terhormat harus memiliki
sifat keistimewaan yang sama, yakni bisa memegang kesempatan,
memanfaatkan kesempatan dan menciptakan kesempatan.
Sekalipun kesempatan itu hanya sekilas lalu lenyap, dia tak boleh
melepaskannya dengan begitu saja.
Ong Siau?sik tidak mempunyai ambisi yang terlalu besar. tapi dia
adalah orang yang mempunyai kemampuan.
Punya kemampuan ditambah punya semangat, bila peluang yang dijumpai
bagus, cepat lambat dia akan berubah jadi tokoh yang bisa membedakan


Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mana penting mana tidak. Tak disangkal Ong Siau?sik adalah manusia semacam ini!
Begitu bidang permainan kacau, tapi dengan cepat sudah diatur
kembali, melakukan penyesuaian, dan begitu berhasil terbentuk
kembali maka segera muncullah bidang permainan baru.
Namun saat itulah Ong Siau?sik sudah mulai bergerak, melakukan
serangan balasan. Dengan satu tendangan dia merobohkan dinding pagar lalu melancarkan
serangkaian tendangan berantai.
Batu bata pun beterbangan silih berganti.
Karena dinding pagar roboh, Yap Ki?ngo serta Ki Bun?lak terpaksa
harus mundur menghindar. Ketika seluruh dinding tembok telah roboh, sewaktu hamburan debu
telah mereda, ke tiga puluh dua bidak catur pun ikut roboh terkapar
di tanah. Seorang terkena sebatang batu bata!
Batu bata itu selain besar, tampaknya khusus menghajar jalan darah
mereka. Sementara Ong Siau?sik sendiri sudah tak terlihat, hilang entah ke
mana. "Mari kita kejar!" bentak Ki Bun?lak.
Cepat Yap Ki-ngo menggeleng.
Tampaknya kemarahan Ki Bun?lak belum mereda, dengan jengkel
bercampur marah teriaknya:
"Bajingan itu kabur dari pertarungan, terhitung manusia macam apa
dia itu?" Dengan wajah dingin dan gelap sahut Yap Ki?ngo:
"Dia telah memenangkan pertempuran, hanya tak mau berbuat kelewat
batas tapi buru buru pergi menolong orang, sementara kita berdua pun
bukankah hanya ingin menjajal kepandaian silatnya."
"Sekarang kita telah menjajal kemampuannya." Agak getir dia berkata,
"bukankah tugas kita pun hanya menghalangi nya?"
Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya:
"Kita sudah berusaha sekuat tenaga untuk menghalangi kepergiannya."
Ki Bun?lak berpikir sebentar, kelihatan kalau dia sedang berusaha
menekan hawa amarah yang bergolak dihatinya.
"Apakah dia mampu menolong Cukat?"
I "Belum tentu,? sahut Yap Ki-ngo sambil membetulkan letak kopiahnya,
"hanya saja hari ini, belu tentu Ong Siau?sik bisa melewati dua
halangan." "Dua halangan?"
"Peduli dia bertemu dengan Thian?he-tit-jit atau Pek Jau?hui, siapa
hidup siapa mati masih merupakan sebuah pertanyaan besar." Kata Yap
Ki-ngo dengan mimik aneh.
"Jadi menurut Ngo?ko, kemungkinan besar mereka akan saling
bertarung?" "Berada dalam prinsip yang berbeda, garis pertempuran yang beda,
pemikiran yang beda tapi mempunyai sasaran yang sama, begitu
berjumpa muka, cepat atau lambat pasti akan terjadi bentrokan." Yap
Ki-ngo menerangkan, "biarpun kita gagal mengalahkan dia, namun
setelah melewati dua pertarungan, kekuatan tubuhnya pasti akan
mengalami kerugian besar, bila bertemu lagi dengan Pek Jau?hui dan
Thian?he?tit?jit, tenaga dalamnya sudah pasti akan sangat terpukul."
Ki Bun?lak tertawa, ujarnya:
"Bila bertemu musuh semacam.Thian?he?tit?jit atau Pek Jau?hui,
kehilangan sepuluh persen tenaga dalam sama artinya menghantar
kematian dengan percuma."
"Kalau hanya itu saja masih tidak terlalu penting," kata Yap Ki-ngo
dengan mimik misterius, "aku rasa pikiran Ong Siau?sik agak kalut."
"Kalut pikirannya?"
"Benar, bila pikirannya kalut, sudah pasti dia akan kalah. Oleh
karena itulah bagi Seorang pemimpin yang berambisi besar, paling
bagus bila dunia kacau, semakin kacau semakin gampang dimanfaatkan."
Ki Bun?lak berjalan menghampiri anak buahnya yang tergeletak ditanah
karena tertotok jalan darahnya, lalu dengan kecepatan tinggi dia
bebaskan pengaruh totokan itu.
Sewaktu mendengar perkataan dari Yap Ki-ngo, perasaan hatinya yang
semula gundah pun kini berubah jadi sedikit terang, katanya:
"Bagi pihak lawan, semakin kalut pikiran Ong Siau?sik akan semakin
baik." Yap Ki-ngo sendiripun merasa sangat tak puas karena bidang permainan
yang telah diatur ternyata gagal membelenggu Ong Siau?sik bahkan
hancur kena gempurannya, segera sumpahnya:
"Paling baik kalau dia mampus gara gara kalut."
Padahal dia sendiri merasakan pikirannya kalut.
Dia kalut karena bidang permainan caturnya yang penuh dengan hawa
pembunuhan, ternyata tak sanggup menahan gempuran dari Ong Siau?sik.
Maka dengan mengucapkan perkataan itu, pada hakekatnya dia sedang
menyumpainya. Dugaannya memang benar, saat itu bukan saja Ong Siau?sik kalut,
pikiran pun ikut kalut. Alasan kekalutan pikirannya bukan dikarenakan musuh, melainkan
karena teman, bahkan diantaranya termasuk Saudara angkatnya.
Pek Jau?hui! Sahabatnya sedang melaksanakan sebuah perencanaan busuk, sebuah
intrik yang sangat rendah.
Saudara angkat Ong Siau?sik sedang melakukan perbuatan yang sangat
merugikan orang lain tapi menguntungkan diri sendiri.
Haruskah dia mencegah? Atau haruskah dia membantu usahanya itu?
Serba salah. Oleh sebab itulah dia sangat kalut, pikiran maupun perasaan hatinya.
Ketika bertemu Thian?he?tit?jit, seluruh tubuh Ong Siau?sik kotor
oleh debu gara gara dia menendang jebol dinding pagar.
Bukan saja pakaiannya kusut, yang penting pikiran dan perasaannya
ikut kalut. Begitu ditegur, Thian?he-tit-jit seketika berherti.
"Kau?" "Kau?" Ong Siau?sik menarik napas panjang.
Dia tahu, orang yang berada dihadapannya sekarang merupakan jagoan
ampuh yang belum pernah dijumpai sebelumnya.
"Kau bermaksud menolong mereka?" tegur Thian?he-tit-jit lagi dengan
nada dingin. Ong Siau?sik memperhatikan sekejap keadaan di arena, ketika
menjumpai berapa orang Sahabatnya: Thio Tan, Tong Po?gou sekalian
tak kekurangan sesuatu apapun, diapun menghembuskan napas lega.
Buru buru katanya sambil menjura:
"Mohon anda sudi memberi kemudahan."
Sepasang biji mata Thian?he-tit-jit berputar beberapa kali.
Sebenarnya Ong Siau?sik sudah dua kali bertemu dia, biarpun belum
pernah bertarung secara resmi, namun dia selalu terhipnotis oleh
hawa pembunuhan yang terpancar dari tubuhnya.
Hawa semacam itu sudah bukan hawa pembunuhan lagi, melainkan hawa
kematian, semacam perasaan yang hampir mirip dengan kematian.
Tapi sekarang, Ong Siau?sik tidak tahan untuk tertawa, tertawa
tergelak. Karena dia telah melihat dengan jelas tampang dari manusia ke tujuh
dari kolong langit ini. Batang hidungnya masih dibalut kain putih, tangan kirinya pun
dibalut kain putih. Dari balik kain putih itu masih terlihat noda darah.
Kesemuanya ini membuat tampang Thian?he-tit-jit yang semula serius
menyeramkan, kini mengalami perubahan drastis.
Berubah jadi lucu, jadi menggelikan.
Biarpun Ong Siau?sik sedang kalut pikirannya, bingung harus berbuat
bagaimana, tapi setelah melihat tampang Thian?he?tit?jit, perasaan
hatinya kontan jadi cerah kembali.
Dia mulai tertawa, tertawa terbahak?bahak.
Bila seseorang yang menakutkan, menyeramkan tiba tiba wajahnya
mengalami sedikit perubahan, maka pandangan seseorang terhadap nya
pun ikut berubah. "Apa yang kau tertawakan?" tegur Thian?he-tit-jit tak senang hati.
"Mentertawakan dirimu."
Thian?he-tit-jit mendengus, dia tahu Ong Siau?sik bicara jujur.
"Padahal bertampang seperti inipun tambah bagus,"kata Ong Siau?sik
lagi, "paling tidak masih lebih mirip dengan Seorang manusia."
"omong kosong!"
"Baiklah, tolong lepaskan mereka."
Thian?he-tit-jit termenung berpikir sejenak, lalu katanya:
"Kau adalah orang yang akan digunakan majikanku, majikanku ada tugas
penting yang mengharuskan kau melaksanakan, karena itu aku tak bisa
membunuhmu." "Terima kasih."
"Bila aku bersikeras hendak membunuh habis mereka semua, apakah kau
akan turun tangan menolong mereka?"
"Sudah pasti." Jawab Ong Siau?sik sambil tertawa.
"Tapi bila aku turun tangan, kau pasti akan terbunuh."
"Majikanmu masih ada urusan penting yang minta aku lakukan," kata
Ong Siau?sik, "oleh karena itu kau tak boleh membunuhku."
"Baik, aku hanya akan membunuh dua orang," Thian?he-tit-jit menuding
Thio Tan dan Pui Heng?sau, lalu sambil melirik penjahit baju langit,
dia menambahkan: "Dia sudah sekarat, aku tak perlu membunuhnya."
Ong Siau?sik menggeleng, katanya:
"Mereka semua adalah sahabatku, kau tak bisa membunuh siapapun dari
mereka." Tiba tiba seluruh otot hijau diwajah Thian?he-tit-jit mengejang,
lagi lagi Ong Siau?sik merasakan hawa pembunuhan yang menyeramkan.
Dia masih ingin tertawa, namun sudah tak mampu tertawa lagi.
Kalau sampai Ong Siau?sik yang selalu tampil cerah pun tak sanggup
tertawa lagi, bisa dibayangkan bagaimana tekanan yang dirasakan
orang lain. "Kau sendiripun tidak lebih baik dari mereka," kata Thian?he-tit-jit
sambil menatap tajam, "kau baru selesai berkelahi bukan?"
"Tapi kau pun menderita luka." Jawab Ong Siau?sik santai.
"Jadi kau sudah tak sabar?"
"Aku bisa menghadapi kau terlebih dulu ditempat ini, sementara
mereka pergi ke gedung keluarga Hoa untuk menolong orang."
"Kau bersikeras ingin menolong mereka?"
"Dan kau bersikeras ingin mencelakai mereka?"
Baru saja Thian?he-tit-jit ingin mengucapkan sesuatu lagi, tiba tiba
terdengar bentakan nyaring, lalu terlihat sekilas Cahaya golok
melintas lewat. Cahaya golok itu sangat indah, seperti alis mata wanita cantik dalam
lukisan. Warna golok bening dan bersih, sebening perbukitan dikejauhan,
sebersih Cahaya matahari senja.
Cahaya golok semacam ini seharusnya mirip sinar rembulan.
Bukan hawa pembunuhan, melainkan membawa nada seni dan syair.
Tak disangka ada orang yang menggunakan golok dengan pancaran seni
indah. Tapi sayang Cahaya seni ini tidak membawa keberuntungan, justru
memancing datangnya hawa pembunuhan dari empat penjuru.
Begitu serangan golok itu muncul, Ong Siau?sik yang belum berniat
turun tangan dan Thian?he-tit-jit yang belum berencana menyerang pun
dipaksa untuk segera turun tangan.
Sabab posisi mereka sekarang ibarat berada dipunggung harimau, mau
tak mau harus bertindak cepat.
Bab 42. Keadilan di pengadilan, kesedihan pada orang tua.
Ternyata orang yang secara tiba tiba meluncur turun dari atas pohon
dan melancarkan bacokan ke arah Thian?he-tit?jit tak lain adalah
Un?ji. Selama ini Un?ji selalu berada diatas pohon.
Dia berada diatas pohon karena si penjahit baju langit.
Semenjak ditolong Penjahit baju langit dari pesta ulang tahun,
dibujuk seperti apapun Un?ji tetap enggan pergi dari situ.
"Kau minta apa agar mau pulang bersamaku?" tanya penjahit baju
langit, "Aku hanya seorang diri."
"Jadi kau takut?"
"Selamatkan mereka semua?"
"Kenapa? Takut?"
"Apa yang sedang berlangsung sesungguhnya merupakan satu intrik.
Dibelakang mereka masih ada jago jago tangguh yang masih tersembunyi,
jika kita paksakan diri menggunakan kekerasan, mungkin untuk
melindungi diri sendiripun jadi sulit."
"Mengapa kau tidak menolong mereka?" Un?ji balik bertanya, "paling
tidak kau harus selamatkan mereka secara jantan."
Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya:
"Baiklah, kalau kau enggan pergi, biar aku yang pergi....
Belum sempat Un?ji melangkah pergi, tiba tiba penjahit baju langit
menotok jalan darahnya kemudian menggendong gadis itu dan melompat
naik keatas pohon yang rindang.
Setelah membaringkan tubuh sang noda, dia baru berkata lembut"
"Kau suruh aku pergi, baiklah, aku akan pergi, sebenarnya aku berniat
menolong mereka semua, tapi aku kuatir kau menjumpai bahaya. Totokan
jalan darahku sangat ringan, tak lama lagi kau akan bebas dengan
sendirinya. Seandainya nanti aku tak kembali lagi, itu berarti aku
sudah terluka ditangan mereka. Ingat, bila aku tak bisa kembali, kau
tak usah mempedulikan diriku lagi, jangan mencoba untuk masuk lagi ke
dalam gedung keluarga Hoa!"
Setelah melompat turun dari atas pohon, penjahit baju langit
memeriksa sekali lagi tempat dimana dia sembunyikan Un?ji, sesudah
yakin aman, dia baru balik ke dalam gedung keluarga Hoa.
Kemudian penjahit baju langit kena bokongan Thian?he-tit?jit,
akibatnya Pui Heng?sau harus membopongnya untuk melarikan diri.
Dalam keadaan terluka parah, sebetulnya penjahit baju langit ingin
memberitahukan kepada Pui Heng?sau dimana ia sembunyikan Un?ji, tapi
saat itulah secara kebetulan dia saksikan Pek Jau?hui sedang membekuk
Tong Po?gou sekalian. Kontan saja dia urungkan niatnya, malah bersyukur karena sudah keburu
menotok jalan darah Un?ji, kalau tidak, dengan watak gadis itu, dia
pasti akan bertindak secara gegabah, begitu ketahuan musuh, yang
terjadi hanyalah mengorbankan jiwa dengan percuma.
Tentu, dihati kecil pun dia merasa sangat gelisah.
Sebab begitu lewat satu jam, totokan jalan darahnya akan bebas dengan
sendirinya, bila sampai saatnya Un?ji tak dapat menahan diri, dia
pasti akan turun tangan. Begitu dia turun tangan, jejaknya akan ketahuan, peduli Pek Jau?hui
atau Thian?he?tit-jit, semuanya merupakan tokoh hebat yang tak
mungkin bisa ditandingi Un?ji.
Benar saja, kini Un?ji benar-benar telah turun tangan.
Sebelum melepaskan bacokan, dia membentak terlebih dahulu, karena dia
memang tidak suka membokong.
Sekalipun musuh yang dihadapi lebih tangguh pun, dia tak akan
melakukan tindakan pembokongan.
Itulah sebabnya dia bersuara lebih dulu sebe1um.melancarkan
bacokannya. Membentak karena dia akan melepaskan serangan, golok yang lembut,
golok milik Un?ji. Bagi Ong Siau-sik, inilah untuk kedua kalinya dia saksikan golok itu


Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meluncur datang dari tengah udara.
Golok yang begitu indah, berasal dari gadis yang cantik jelita.
Dari Un?ji yang selamanya tak pernah lembut, tak pernah halus.
Ketika dia melancarkan bacokan tempo hari, Ong Siau-sik sempat dibuat
kalang kabut. Dia harus bekerja keras bersama Pek Jau?hui untuk menolong gadis itu
lolos dari kepungan orang?orang Lak?hun?poan?tong.
Dan kali ini, bacokan gadis itu lebih merepotkan Ong Siau-sik.
Merepotkan pemuda itu untuk selamatkan Un?ji.
Ada semacam orang, semenjak dilahirkan, dia sudah ditakdirkan
menolong orang. Terlepas dia sendiri senang atau tidak, yang pasti dia seringkali
harus menolong orang. Manusia semacam inilah Ong Siau-sik.
Ada pula semacam orang yang sejak dilahirkan harus membunuh orang.
Terlepas dia ingin membunuhnya atau tidak, namun dia tetap harus
melakukan pembunuhan itu.
Sekalipun tidak melakukan pembunuhan, tak ada salahnya mencelakai
orang tersebut. Thian?he-tit?jit hanya tahu membunuh, membunuh boleh dibilang
merupakan salah satu cara langsung untuk mencelakai orang lain.
Ada sejenis manusia lagi yang sejak lahir butuh pertolongan dari
orang lain. Sekalipun dia sendiri tidak berharap bakal ditolong orang, melainkan
suka menolong orang lain, akhirnya ketika dia berusaha menolong
orang, dia sendirilah yang ditolong orang lain.
Tak disangkal Un?ji adalah manusia semacam ini.
sekarang dia harus ditolong karena ingin menolong orang lain.
Persoalannya: mampukah orang yang ingin membunuh dirinya mampu
melakukan pembunuhan itu? Sanggupkah orang yang ingin menolong
dirinya berhasil selamatkan jiwanya?
Begitu bacokan itu dilancarkan, Thian?he-tit?jit seketika melakukan
serangan balik, tak seorangpun yang tahu sebetulnya dia punya rencana
untuk turun tangan atau tidak, tapi disaat Un?ji melancarkan bacokan
maut ke arahnya, mau tak mau dia harus turun tangan sekuat tenaga,
karena musuh tangguh berada didepan mata.
Dapat dipastikan Ong Siau-sik adalah seorang musuh yang amat tangguh.
Serangan balik dari Thian?he-tit?jit dilakukan karena dia harus
waspada dan bersiaga menghadapi segala sesuatu yang tidak diinginkan.
Terlebih lagi bagi Ong Siau-sik, mau atau tidak, dia harus
melancarkan serangan. Karena dia tahu akan kemampuan yang dimiliki Un?ji, tak mungkin bagi
gadis itu untuk menghadang gempuran dari Thian?he-tit?jit.
Demi selamatkan nyawa Un?ji, terpaksa dia harus menyerang dengan
menggunakan golok dan pedangnya, serentak menyergap Thian?he-tit?jit.
Dengan cepat Thian-he?tit-jit mengetahui kalau Ong Siau-sik sangat
perhatian terhadap Un?ji.
Perhatian itu sejenis perhatian yang berlebihan, menganggap gadis itu
jauh lebih penting daripada nyawa sendiri.
semacam perhatian yang menganggap keselamatan sendiri tidak penting
ketimbang nyawa orang lain.
Dengan cepat Thian?he-tit?jit memahami akan kelemahan lawan, dia
sudah berhasil memegang titik kelemahan yang bisa dipakai untuk
menghadapi lawan. Maka sasarannya segera dialihkan ke tubuh Un?ji, menyerang dari
seluruh penjuru. Dalam waktu singkat situasi pun berubah jadi sangat aneh, Un?ji
terjepit diantara gencetan dua kekuatan besar, untuk sesaat dia jadi
bingung untuk membedakan mana Ong Siau-sik dan mana Thian?he-tit?jit.
Yang dia rasakan sekarang adalah dirinya berada ditengah bukit golok
dan pedang, ditengah gelombang kekuatan yang maha dahsyat, seolah
terdapat dua ekor naga dua ekor harimau yang sedang bertarung mati
matian disekeliling tubuhnya.
Namun dia tak dapat melihat, tak tahu dengan jelas apa yang sedang
berlangsung, yang terdengar olehnya hanya suara benturan tangan dan
bentrokan senjata tajam. Ditengah perseteruan dua jago yang luar biasa ini, si nona malah
merasa menganggur, tak ada pekerjaan, yang terasa saat ini hanya
tekanan besar yang menghimpit dadanya, yang membuat dia jadi mual dan
ingin muntah, namun tak sanggup memuntahkan isi perutnya.
Nona itu tidak tahu kalau hal ini dikarenakan dia berada ditengah
himpitan dua orang, selama pertarungan berlangsung, demi dia, Ong
Siau-sik sudah merasakan banyak siksaan, sudah mewakilinya membendung
banyak ancaman maut, bahkan nyaris kehilangan nyawa ditangan Thianhe-tit?jit. Bagi Thian?he?tit-jit, pada hakekatnya dia tak perlu melancarkan
serangan langsung kearah Ong Siau-sik.
Asal Un?ji yang diserang maka itu sudah lebih dari cukup.
Sampai detik terakhir Un-ji masih belu.menyadari akan hal itu, dia
masih belum sadar kalau gara gara harus melindungi keselamatan
jiwanya, Ong Siau-sik harus berjuang kesana kemari.
Masih untung ilmu pedang yang dipelajari Ong Siau-sik adalah pedang
kebajikan. Tujuan dari pedang kebajikan adalah menolong orang, bukan melukai.
Begitu pula dengan golok kebajikan.
Seandainya dikolong langit benar-benar terdapat golok pembunuh, maka
menjadi kewajiban golok kebajikan untuk membawa orang itu "melepaskan
golok pembunuh"nya. Dengan mengandalkan golok dan pedangnya, Ong Siau-sik konsentrasi
melindungi dan selamatkan nyawa Un-ji, hal ini sangat serasi dengan
jurus golok kebajikan serta pedang kebajikan yang sedang dimainkan.
Oleh karena itu Ong Siau-sik masih dapat menghadapinya, walau dengan
susah payah. Namun Ong Siau-sik sadar, tak mungkin baginya untuk menghadapi lebih
jauh, sebab dia tahu hingga detik itu Thian-he-tit-jit masih belum
benar benar turun tangan.
Ilmu pukulan yang digunakan Thian-he-tit-jit adalah Jiu-kek-ciang,
ilmu pukulan pendendam. Ong Siau-sik pernah mendengar tentang ilmu pukulan tersebut, diapun
pernah mendengar gurunya, Thian-ih Kisu menyinggung tentang ilmu
pukulan ini. Itulah salah satu ilmu silat pamungkas dari susioknya, Goan
Cap-sah-han. Lantas kenapa ilmu pukulan pendendam ini bisa jatuh ke tangan Thianhe-tit-jit dan dipergunakan olehnya?
Ong Siau-sik ragu, bimbang dan curiga, tapi rasa kagetnya jauh
melebihi rasa curiganya, karena kelewat ganas dan berbahaya.
Setiap pukulan ilmu pendendam yang dilontarkan Thian-he-tit-jit saat
ini seolah mengandung rasa dendam yang luar biasa, memaksa Ong
Siau-sik harus menghadapi dengan golok dan pedang secara bersamaan,
biarpun pemuda ini belum pernah mempelajarinya, ia pernah mendengar
tentang kehebatan ilmu tersebut, dia tahu, apa yang dicapai Thianhe-tit-jit sekarang masih belum terhitung matang.
Biarpun begitu, berapa kali Ong Siau-sik harus menghadapi ancaman
bahaya maut, bukan saja nyaris gagal selamatkan Un-ji, untuk
melindungi keselamatan sendiripun masih menjadi tanda tanya.
Ilmu silat pamungkas yang benar benar diandalkan Thian-he-tit-jit
masih berada didalam buntalannya.
"Senjata" didalam buntalan yang dibawa Thian-he-tit-jit masih belum
dikeluarkan. Ong Siau-sik mulai cemas, cemas sekali.
Pada saat inilah Un-ji telah melakukan sesuatu, sebuah perbuatan yang
tidak diketahui benar atau salahnya, tapi sudah cukup untuk
menentukan menang kalah pertarungan antara Thian-he-tit-jit dengan
Ong Siau-sik, menentukan mati hidup mereka.
Bagaimana pun, gadis itu merasa tidak paham dengan kejadian
disekelilingnya, oleh sebab itu dia putuskan untuk pergi dari situ.
Dia langsung beranjak pergi.
Un-ji segera mengeluarkan ilmu meringankan tubuhnya, ilmu "seribu li
dalam sekejap" dari aliran Siau-thian-san.
Inilah ilmu meringankan tubuh paling tangguh diantara ilmu
meringankan tubuh lainnya, kecuali ilmu "kuda putih menyeberangi
celah" milik Pui Heng-sau, bagi semua yang hadir dalam arena,
termasuk Ong Siau-sik dan Thian-he-tit-jit pun masih kalah setingkat
dibandingkan dengan dirinya, tak mungkin bisa terkejar.
Oleh karena itu, kecuali Thian-he-tit-jit memang berniat melepaskan
Un-ji, kalau tidak, apapun yang dilakukan, dia pasti akan menggunakan
Un-ji untuk mengendalikan Ong Siau-sik, daripada membebaskan dia,
lebih baik habisi nyawanya.
Thian-he-tit-jit sadar, bila sekarang dia tidak menyerang dengan
sepenuh tenaga, begitu Un-ji mengeluarkan ilmu meringankan tubuhnya,
mustahil dia bisa membekuk gadis itu lagi.
Apalagi sekarang dia harus berhadapan dengan seorang lawan tangguh,
kecuali dia berhasil membunuh Ong Siau-sik, kalau tidak, yang lain
tak mungkin bisa dia lakukan.
Thian-he-tit-jit tahu dengan jelas, bila ingin bertindak, dia harus
melakukannya pada kesempatan yang serba minim ini.
Ong Siau-sik sendiripun tahu kalau gelagat tidak menguntungkan, namun
diapun tak berdaya. Mustahil baginya untuk mencegah ulah Un-ji, karena bentakannya malah
bisa menimbulkan keraguan gadis itu yang pada akhirnya malah kena
dicelakai Thian-he-tit-jit.
Pertarungan macam apapun pasti ada akhir. Jika dia melanjutkan
pertarungan maut ini, Un-ji yang terkurung ditengah mereka berdua,
cepat atau lambat bakal kena musibah.
Apalagi dia harus secepatnya menuju ke gedung keluarga Hoa untuk
mencegah berlangsungnya intrik jahat, dia tak bisa menunda waktu
lagi. Begitu Un-ji berniat pergi, gadis itu langsung pergi.
Terpaksa Thian-he-tit-jit harus bertindak, melancarkan serangan
mematikan. Ong Siau-sik pun terpaksa harus bergerak, menyongsong datangnya
serangan. Tiba tiba dia melempar goloknya, senjata itu bagaikan seekor naga
sakti menerobos ke tengah angkasa.
Dalam waktu singkat Thian-he-tit-jit merasa diatas kepalanya terdapat
sebilah golok yang berputar, menggulung, melonjak dan meliuk liuk
bagaikan seekor naga sakti, dengan membawa beribu cahaya silau,
membacok keatas batok kepalanya.
Bersamaan waktu dia jumpai pedang Ong Siau-sik sudah merangsek maju,
mengancam ulu hatinya. Pedang itu bergerak tanpa menimbulkan suara, tanpa meninggalkan
warna, pedang yang tak berperasaan dan tak kenal nyawa.
Yang dia gunakan sekarang sudah bukan pedang kebajikan lagi.
Thian-he-tit-jit pernah mendengar tentang ilmu pedang ini.
"Tidak menjumpai keadilan di pengadilan, yang ada hanya kesedihan
orang tua yang telah beruban . . . . . . .."
Golok yang terbang ditengah angkasa bagaikan seekor naga sakti, mirip
sekali dengan cermin keadilan di pengadilan, tapi terakhir yang sedih
tetap orang tua yang telah beruban, karena tusukan pedang itu sangat
mematikan . . . . . .."
Dia sendiri pernah mendengar tentang ilmu pedang ini dari cerita Goan
Cap-sah-han, walaupun Thian-ih Kisu mampu menciptakan namun dia
sendiri tak sanggup menggunakannya..... tapi sekarang Ong Siau-sik
justru dapat menggunakannya: bajingan cilik ini tak boleh dibiarkan
hidup. Satu keinginan yang besar, satu niat membunuh yang luar biasa kuatnya
seketika muncul dihatinya.
Thian-he-tit-jit mulai membuka buntalan kainnya.
Kini seribu buah matahari sudah berada ditangannya.
Dalam genggaman tangannya sudah tersedia seribu matahari.
Dalam menghadapi mati dan hidup ini, Ong Siau-sik lebih banyak
dicekam rasa curiga dan tak habis mengerti daripada perasaan kaget.
Kini, Thian-he-tit-jit telah mengeluarkan senjata pamungkasnya,
senjata pembunuh. Tapi sayang dia turun tangan sedikit lebih lambat, sedikit tertunda.
Kelambanan dan saat tunda itu sebenarnya lebih pendek daripada
sesaat, akan tetapi Un-ji telah mengeluarkan ilmu ginkang "ribuan li
dalam sekejap" andalannya.
Thian-he-tit-jit sudah tak sempat lagi melukai gadis itu, sementara
Ong Siau-sik pada saatnya telah menyambut seluruh serangan yang
dilancarkan lawan. Yang benar serangan Thian-he-tit-jit terlalu lambat? Ataukah ilmu
meringankan tubuh Un-ji terlalu cepat?
Ong Siau-sik tidak tahu, dia tak bisa menjawab pertanyaan itu.
Dia hanya tahu satu hal, Thian-he-tit-jit tak akan melepaskan dengan
begitu saja kesempatan emas yang segera akan lewat dan hilang.
Kecuali dia benar-benar tak ingin membunuh Un-ji.
Mana mungkin . . . . . . . . ..? Ong Siau-sik sudah tak bisa berpikir lebih
jauh. Dia tak bisa memikirkan apapun, bahkan dikemudian haripun mungkin tak
bisa memikirkan apa apa lagi. Seseorang yang sudah kehilangan nyawa,
apa lagi yang bisa dia pikirkan?
Ong Siau-sik tidak ingin mati.
Masih terlalu banyak pekerjaan yang harus dia lakukan, dia kerjakan.
Begitu senjata pamungkas dari Thian-he-tit-jit dikeluarkan, begitu
buntalannya dibuka, golok dan pedang andalan Ong Siau-sik tak bisa
berkembang lagi, langsung terkendali.
Bila dia berebut menyarangkan serangannya lebih dulu, kemungkinan
besar serangan itu akan melukai Un-ji. Kini setelah Un-ji pergi,
ribuan matahari dari Thian-he-tit-jit pun langsung bermunculan
didepan mata Ong Siau-sik.
Kehilangan posisi yang menguntungkan, terpaksa Ong Siau-sik harus
bertarung mati matian, atau mungkin juga menghindarkan diri, namun
bisa mundur, hasilnya tetap sama saja, gagal melepaskan diri.
Siapa yang mampu mengejar matahari? Siapa yang bisa menghindari
matahari? Kalau memang tak bisa terhindar, kenapa bukan dilawan
dengan kekerasan? Namun pada saat itulah Ong Siau-sik berhasil menemukan sesuatu, dia
memang belum sempat melihat jelas benda apakah yang berada dalam
buntalan Thian-he-tit-jit, tapi dapat memastikan kalau benda tersebut
asal bergabung dengan tenaga dalam milik Thian-he-tit-jit, maka
kekuatan itu bisa meningkatkan kemampuan dari senjata itu hingga
seratus kali lipat. Lalu benda apakah itu? Ong Siau-sik sudah tidak memiliki pilihan lain, dia hanya bisa
menghindar, dia lari masuk ke dalam hutan kurma.
Thian-he-tit-jit tak ingin musuhnya kabur, dia ikut mengejar ke dalam
hutan, cahaya tajam yang kuat ikut pula mengejar ke dalam hutan.
Persis seperti sinar matahari yang menerpa hutan kurma, seluruh hutan
jadi terang benderang, begitu terang bagaikan terbakar oleh bara api.
Sekarang Thian-he-tit-jit dapat memastikan satu hal, sekalipun Ong
Siau-sik berhasil menghindar ke dalam hutan, dia tetap tak bisa lolos
dari ancamanya. Ong Siau-sik tidak mungkin bisa menghindari kekuatan sang "matahari"
Begitu menyusup masuk ke dalam hutan kurma, Ong Siau-sik segera
melakukan satu hal. Dimana tubuhnya bergerak lewat, sepasang tangannya diayun berulang
kali, buah kurma pun seketika berguguran bagaikan hujan deras.
Panah hujan! Karena buah kurma itu telah berubah menjadi senjata


Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rahasia. "Batu kerikil" Ong Siau-sik dalam waktu sekejap telah berubah jadi
"buah kurma" Bila Thian-he-tit-jit ingin merobohkan Ong Siau-sik, dia sendiripun
akan bertambah dengan ribuan lubang karena terhajar buah kurma.
Untuk mencelakai seseorang, yang terpenting diri sendiri harus siap
membayar kerugian, namun ketika nilai yang harus dibayar adalah
kematian, bersediakah kau untuk melakukannya?
Sewaktu Ong Siau-sik muncul kembali dari dalam.hutan kurma, Un-ji
maupun Thio Tan sama sama tertegun, terperangah.
Ternyata anak muda itu belum mati, dia masih hidup. Tapi sudah
kehabisan tenaga, kelelahan setengah mati, hidup tapi kelelahan.
Asalkan seseorang masih hidup, jelas ini sebuah kabar gembira, tapi
manusia di dunia ini selalu lupa untuk merayakan kejadian baik yang
mereka alami hampir setiap hari.
Tak heran kalau orang selalu berkata: manusia memang tak pernah
menghargai benda yang telah berhasil diraih, tapi menyukai benda yang
masih dalam pengharapan. Ong Siau-sik berdiri dengan hati berdebar, dia belum bisa
mengendalikan rasa kagetnya.
Berbicara sejujurnya, dia hanya bertarung satu gebrakan melawan
Thian-he-tit-jit. Yaitu ketika Un-ji mengeluarkan ilmu meringankan
tubuh dan dia menyerang dengan senjatanya.
Hingga kemudian, Thian-he-tit-jit tak sudi terhajar ratusan biji buah
kurma hanya gara gara dingin membunuhnya, maka pukulan "kekuatan
pedang" yang dilancarkan segera digunakan untuk menyapu seluruh
hutan. Dalam sekejap mata, hutan kurma jadi hutan gundul, tapi justru telah
selamatkan nyawa Ong Siau-sik.
Begitu serangannya gagal, Thian-he-tit-jit memutuskan untuk mundur.
Dia memang tidak punya rencana untuk membunuh Ong Siau-sik pada saat
ini. Bahkan sekarang diapun tahu, meski ingin membunuhmu belum tentu
dia sanggup melakukannya, karena itu dia angkat kaki.
Oo0oo Pertarungan ini merupakan pertarungan yang pertama antara Ong
Siau-sik melawan Thian-he-tit-jit. Karena kedua belah pihak sama-sama
gagal meraih keuntungan, maka merekapun sama-sama mengundurkan diri.
Dengan kepergian Thian-he-tit-jit, Ong Siau-sik pun segera teringat
dengan pekerjaan yang harus dia lakukan.
Kini, di arena hanya tersisa Un-ji dan Thio Tan.
Thio Tan memang tetap tinggal disitu karena harus melindungi rekannya
dari sisi arena, sementara Un-ji baru saja lolos dari mara bahaya.
Ternyata sewaktu Ong Siau-sik bertarung melawan Thian-he-tit-jit,
tiba tiba paras muka Pat-toa-thian-ong berubah jadi pucat, sambil
meraung keras dia langsung menerjang ke arah markas besar keluarga
Hoa. Pek Jau-hui sempat turun tangan berat terhadapnya, turun tangan keji,
telengas. Untuk membalas dendam sakit hati ini serta membongkar kedok Pek
Jau-hui, tanpa pedulikan luka dalam yang dideritanya, Pat-toathian-ong ingin secepatnya tiba di markas keluarga Hoa.
Sikap nekat Pat-toa-thian-ong ini membuat kawanan jago tak mampu
menghalangi. Dalam waktu singkat Kwa Siau-ho telah menyusulnya.
Melihat itu buru buru Thio Tan berseru:
"Biarlah aku yang berjaga disini, cepat kalian masuk ke dalam."
Dia memang sengaja bicara begitu karena dia tahu, bila Ong Siau-sik
tak mampu menandingi Thian-he-tit-jit, kehadiran beberapa orang itu
disana pun tak akan membantu apa apa, malah mungkin akan menghantar
nyawa dengan sia sia. Daripada mati konyol, memang lebih baik kalau menuju dulu ke gedung
keluarga Hoa untuk mengungkap kedok intrik jahat itu.
Tetap tinggal disitu, sama artinya akan mati hidup bersama Ong
Siau-sik. Sahabat sejati memang seharusnya senang bersama susah bersama, mati
hidup selalu bersatu. Ketika Pat-toa-thian-ong tiba dalam gedung utama, Pek Jau-hui telah
selesai memerankan sandiwaranya dan siap membuat para jago hutang
budi kepadanya. Melihat rencana busuk itu nyaris terwujud, Pat-toa-thian-ong tak bisa
menahan diri lagi, sambil menerjang masuk ke dalam dia langsung
berteriak. "Jangan termakan tipu muslihat bajingan tengik itu!" teriak Pat-toathian-ong, "dia lah dalang dari semua peristiwa ini."
Belum.selesai dia berkata, "sreeeet!" Pat-toa-thian-ong merasa
tenggorokannya sangat dingin.
Kemudian dia menyaksikan darah segar meleleh keluar, mengucur dari
bawah dagunya, menyembur keluar dari tenggorokannya.
Dengan mata merah darah karena gusar, dia menuding Pek Jau-hui sambil
jeritnya: "Kau _ _ _ _ _ _ _ __"
Pek Jau-hui telah melancarkan serangan mematikan kearahnya.
Kebetulan saat itu Kwa Siau-ho menerjang masuk ke dalam ruangan,
melihat peristiwa tragis itu, dia menjerit sedih.
Dipihak lain, saat itu Ong Siau-sik sudah mendengar berapa patah kata
dari Thio Tan, dia segera mengerahkan segenap kemampuannya untuk
secepat mungkin tiba di gedung keluarga Hoa.
Sepanjang jalan dia selalu terganjal oleh satu masalah, satu
keraguan. Seandainya Pek jiko nya benar benar telah melakukan perbuatan bejad
ini, apa yang harus kulakukan?
Memusuhinya? Ataukah tetap bersahabat?
Harus dihadapi sebagai saudara angkat? Ataukah sebagai musuh?
Apakah aku harus ikut campur dalam masalah ini?
Dalam perjalanan hidup manusia, seringkali akan timbul persoalan
semacam ini, sama seperti dalam surga ada burung suci; bagaimana pun
tetap akan muncul manusia yang bakal mengurusi persoalan semacam itu,
tapi ada juga orang yang akan melakukan perbuatan yang tidak
seharusnya dilakukan. Persis seperti dimana ada sinar, disitu pasti akan muncul bayangan.
Bab 43. Mati karena luka.
Luka yang diderita si penjahit baju langit sangat parah. Sebelum
pertarungan antara Ong Siau-sik melawan Thian-he-tit-jit menghasilkan
siapa menang siapa kalah, dia meminta Pui Heng-sau membopongnya
maasuk ke dalam hutan kurma.
Sewaktu berbicara, dia sudah tak dapat mengendalikan volume suaranya
lagi, dalam kondisi terluka semacam ini, masih bisa berbicarapun
sudah merupakan satu mukjijat.
"Janji kepadaku," dengan susah payah dia genggam tangan Pui Heng-sau,
"kau harus melindungi Un-ji, membujuknya agar mau pulang ke
Lok-yang." Pui Heng-sau tahu, penjahit baju langit sudah tak dapat hidup lebih
lanjut, dia pun sadar, justru gara gara dirinya, si penjahit baju
langit baru menderita luka parah, tak ada orang kedua yang lebih
mengetahui hal ini ketimbang dirinya.
"Pasti," jawab Pui Heng-sau dengan air mata bercucuran, "aku akan
melakukannya, kau tak usah kuatir."
"Kau harus berusaha menggiring Ong Siau-sik agar menghabisi nyawa
Thian-he-tit-jit, balaskan dendam bagi kematianku, "sorot mata
penjahit baju langit mulai pudar, tapi kesadarannya masih ada, "hanya
Ong Siau-sik yang mampu mengendalikan orang ini . . . . ..;."
"Baik, aku pasti akan membunuh makhluk aneh itu, balaskan dendamu,"
janji Pui Heng-sau penuh dendam.
"Tidak boleh." Penjahit baju langit segera menggenggam tangan Pui
Heng-sau kencang kencang, karena terburu buru, untuk sesaat dia malah
tak mampu mengucapkan sepatah katapun.
"Bicaralah perlahan-lahan, bicaralah perlahan-lahan, tak usah terburu
napsu." Pui Heng-sau merasa amat sedih," apapun yang kau katakan, aku
pasti akan turuti, kau tak usah terburu buru."
Setelah istirahat sejenak, penjahit baju langit baru melanjutkan
perkataannya: \\ . . . . . . . . .. kau bukan...... bukan tandingannya, hanya Ong Siau-sik
. . . . . . .. hanya dia yang bisa.........."
"Baik, baik, aku pasti akan berupaya agar Ong Siau-sik balaskan
dendammu," Pui Heng-sau balas menggenggam.tangannya, "kau harus
menjaga tubuhmu baik baik, dengan begitu baru bisa menyaksikan
bagaimana kami balaskan sakit hatimu."
"Aku..... rasanya aku sudah tidak kuat....." penjahit baju langit
tertawa getir, "andaikata Ong Siau-sik tidak dapat membuat
pengorbanan demi negara dan bangsa, diapun tak bisa menunjukkan
kesetia kawanan, maka masih ada satu orang lagi yang bisa meringkus
II Thian-he-tit-jit, kau harus membantu usahanya . . . . . . ..
"Siapa?" "Ayah angkatku . . . . . .." lagi lagi penjahit baju langit muntah darah,
"Un Ko-yang." "Un Wan?" Pui Heng-sau menggerutu, "ilmu silat Un thayjin begitu
tinggi, kedudukannya sangat terhormat, aku . . . . .. aku hanya rakyat
kecil, apa bisa membantu dirinya?"
"Sebelum sampai di Kay-hong, sebelum kau bertemu Thian-he-tit-jit,
semua kejadian pertarungan antara aku melawan Thian-he-tit-jit harus
diberitahukan kepadanya....." dengan susah payah dan suara terbata
penjahit baju langit melanjutkan, "kau harus menceritakan
pertarunganku melawan Thian-he-tit-jit kepadanya sebelum dia
bertarung melawan Thian-he-tit-jit . . . . . . . . .. beritahu kepadanya
II dengan cermat . . . . . . ..
Berbicara sampai disini, dia tampak sangat lelah hingga tak sanggup
berkata kata lagi. Menyaksikan seseorang berjuang melawan sekarat, perasaan itu
terkadang jauh lebih menyedihkan ketimbang menyaksikan sebuah
kematian. Ketika dirinya tak mampu membantu apa apa, kadangkala akan muncul
pikiran, daripada terus menderita, lebih baik biarkan dia mati lebih
cepat. Pui Heng-sau tahu kalau tugas yang sedang diemban penjahit baju
langit adalah tugas pahit, darimana dia bisa tahu kapan Un Wan akan
tiba? Darimana dia bisa tahu kapan Un Wan akan bertemu dengan Thianhe-tit-jit? Tapi saat ini dia tak punya pilihan lain.
Dia tak bisa membuat pilihan apapun didepan seseorang yang hampir
meninggal. Yang bisa dia lakukan hanya menyanggupinya.
"Aku pasti akan melakukannya."
Paling banter dia akan berkunjung ke Lok-yang untuk menemui Un Wan.
Tapi Pui Heng-sau segera teringat akan satu hal, tak tahan tanyanya:
"Nona Un adalah putri Un thayjin, mengapa kau tidak minta Un-ji yang
menyampaikan?" " . . . . .. sewaktu aku bertarung melawan Thian-he-tit-jit dalam gedung
keluarga Hoa, hanya kau seorang yang hadir di sana . . . . . . .." penjahit
baju langit pejamkan matanya, "apalagi selama Pek Jau-hui dan Ong
Siau-sik masih berada di kotaraja, aku yakin Un-ji pun..... dia....
II dia tak akan bersedia kembali ke Lok-yang . . . . . ..
Ketika berbicara sampai disini, nada suaranya dipenuhi perasaan apa
boleh buat, letih dan sedih.
Sudah cukup lama dia datang ke kota Kay-hong, sudah lama tinggal
disitu, namun tak pernah berhasil membujuk Un-ji.
Selama ini, Un-ji memang sama sekali tidak menaruh perasaan dan
perhatian terhadapnya, persis seperti luka yang dideritanya sekarang,
membuatnya tersiksa dan menderita.
Tiba tiba air mata jatuh berlinang membasahi wajahnya.
Pui Heng-sau takut sekali kalau dia pejamkan mata untuk pergi
selamanya, buru buru teriaknya:
"Aku bisa, aku pasti bisa, kau tak usah kuatir, aku pasti akan
menyampaikan semuanya kepada Un thayjin, aku akan minta Ong Siau-sik
menghadapi Thian-he-tit-jit dan balaskan dendam untukmu."
Takut penjahit baju langit masih merasa kuatir, segera tambahnya
dengan lantang: "Aku pasti akan membujuk Un-ji untuk pulang. Kalau dia tak mau pulang
bersama, aku akan menangkapnya dan memaksa dia pulang, mengusirnya
pulang . . . . . .."
Mendadak terdengar seseorang berseru dengan nada yang pilu:
"Kau sudah tahu kalau aku tak akan senang bila pulang, mengapa selalu
paksa aku untuk pulang?"
Yang berbicara adalah Un-ji.
Untuk pertama kalinya Un-ji bicara dengan begitu lembut, begitu
halus. Dia berjongkok, melihat keadaan luka yang diderita penjahit baju
langit, bukan perasaan saja yang sakit, hatinya pun ikut sakit.
Membayangkan penderitaan yang sedang dialami rekannya, gadis itu
mulai gemetar karena sedih.
Namun bagaimana pun juga, dia tak ingin pulang.
Melihat kehadiran Un-ji, kembali napas penjahit baju langit
tersengkal, katanya: "Gihu sangat menyayangimu, kalau kau tak mau pulang, dia akan sedih
sekali . . . . . .."
"suruh aku pulang? Suruh aku setiap hari berhadapan dengan kawanan
manusia itu, orang yang minta aku kawin dengan si anu, suruh aku
belajar Sam-siu-su-tek tiap waktu?" setengah merengek Un-ji memohon,
"engkoh Thian-ih, aku tahu, apa yang kau lakukan semuanya demi
kebaikanku, tapi benarkah kau demi kebaikanku? Kenapa kau masih
membujuk aku untuk pulang?"
Kembali penjahit baju langit terbatuk batuk.
Darah segar segera meleleh keluar dari lubang hidungnya, dari
mulutnya . . . . . .. Un-ji mulai gugup menyaksikan hal ini, Pui Heng-sau jauh lebih kalut.
"Bagaimana pun toh aku sudah hampir mati, kalau kau enggan pulang,
akupun tak bisa apa apa, tapi selama tinggal di kotaraja, kau harus
berhati hati, aku . . . . . .. aku sudah tak bisa menjagamu lagi . . . . . .."
Un-ji mulai menangis, menangis tersedu.
"Kau begitu baik kepadaku . . . . . . .." seru Un-ji dengan air mata
bercucuran, "tapi aku . . . . . .. aku selalu berusaha
menghindarimu . . . . . . . . .."
Penjahit baju langit mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Un-ji.
Un-ji balas menggenggam tangan penjahit baju langit, dia seperti
memegangi tangan orang yang lemah, seperti tangan lemah yang berusaha
menggapai sebatang kayu ditengah banjir bah.
Perasaan lega terlintas diwajah penjahit baju langit.
"Masih ada satu hal lagi . . . . .." penjahit baju langit berusaha
mempertahankan kesadarannya, "tolong bantu aku selidiki masalah nona
Lui . . . . . .. siapa yang telah melakukan perbuatan yang memalukan
itu . . . . .." II "Hah, jangan jangan makhluk aneh ini . . . . . .. jerit Un-ji tertahan.
Dengan susah payah penjahit baju langit menggeleng, katanya:
"Hingga hari ini aku masih gagal melacaknya . . . . .. tapi, dipunggung
Thian-he-tit-jit memang terdapat bekas luka....."


Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau begitu sudah pasti dia!" jerit Un-ji.
Waktu itu, dia bersama Lui Tun bertemu seorang manusia sesat
dibelakang gang, nyaris dia diperkosa oleh siluman itu, tapi Lui Tun
telah menyerahkan badannya untuk selamatkan dirinya.
Dalam sedih dan pedihnya, dia bersumpah akan balaskan dendam bagi Lui
Tun. Dia pernah minta tolong penjahit baju langit untuk menyelidiki siapa
pelakunya, bahkan sempat menyampaikan syarat "bila kau berhasil
membunuh bajingan itu, akupun bersedia ikut kau pulang", hal ini
membuat penjahit baju langit mengerahkan segenap kemampuannya untuk
melakukan pelacakan. Maka dari itu penjahit baju langit selalu menguntit Thian-he-tit-jit,
dia pun mengintil Un-ji, kecuali ingin melindungi keselamatan
jiwanya, diapun yakin penjahat pemetik bunga itu pasti tak akan rela
karena gagal merogol Un-ji waktu itu dan pasti akan mengulangi
perbuatannya. Dia ingin menggunakan kesempatan ini untuk melenyapkan bibit bencana
itu, dan akhirnya penguntitan yang dia lakukan justru membulatkan
tekad Thian-he-tit-jit untuk menghabisi nyawanya.
Walaupun sang perogol berhasil menodai Lui Tun, akan tetapi diapun
termakan bacokan golok Un-ji yang persis melukai punggungnya.
Kini, terbukti punggung Thian-he-tit-jit ada bekas luka bacokan,
berarti tak salah lagi kalau dialah pelakunya.
"Tapi..... luka dipunggungnya tidak Cua satu....." kuatir Un-ji
bertindak gegabah, kembali penjahit baju langit berseru, "sebelum
II urusan jadi jelas, kau..... jangan sekali kali kau . . . . ..
"Tapi punggung Thian-he-tit-jit ada bekas luka," seru Un-ji penuh
kebencian, "cukup berdasarkan hal ini, dia pantas mampus . . . . ..
Mendadak penjahit baju langit menggenggam tangannya, memegangnya erat
erat. Un-ji nyaris menjerit karena kesakitan, teriaknya lagi:
"Kau bukan tandingannya . . . . . .. kau tidak boleh balaskan
dendamku . . . . . .. ingat, jangan mengganggu iblis itu . . . . . .."
Luapan emosi membuat mulut lukanya makin merekah, sakitnya bukan
kepalang, sekujur tubuh orang itu gemetar keras.
Melihat betapa menderita dan tersiksanya dia, Un-ji tak berani
menampik maksud baiknya, buru buru dia berkata:
"Baik, baik, aku akan menuruti perkataanmu."
Perlahan penjahit baju langit baru melepaskan genggamannya dan
menjadi tenang kembali. Tiba tiba Pui Heng-sau teringat akan satu masalah, tanyanya:
"Tadi kau telah berkata kepada Thian-he-tit-jit..... bahkan dia
terlibat dalam.sebuah kasus, sebenarnya kasus apa yang dimaksud?"
"Benar, waktu itu dia terlibat dalam kasus berdarah yang menyangkut
seorang tongcu dari perkumpulan Tiang-khong-pang yang bernama Bwee
Sing-hui serta sau-pangcu nya Kam Yok-ji .... H." Napas penjahit baju
langit kembali melemah, "asal kau sampaikan perkataan itu kepada
gihu, dia pasti dapat selesaikan persoalan ini dengan baik."
"Ooh .... u" Pui Heng-sau manggut-manggut.
Sebaliknya Un Ji segera bertanya dengan rasa ingin tahu:
"Kasus berdarah? Kasus berdarah apa? Perkumpulan Tiang-khong-pang?
Perkumpulan nomor wahid dikolong langitm.."
Buku yang dibaca Pui Heng-sau mungkin tidak terlalu banyak, tapi
pengetahuan dan pengalamannya sangat luas.
Tiang-khong-pang merupakan perkumpulan nomor wahid dikolong langit,
ketuanya adalah Tiang-khong-sin-ci jari sakti Siang Siu-hun.
Sejak Siang Siu-hun meninggal dunia, putri tunggalnya Siang Siau-go
bersama jago kenamaan Pui Ko-ling mengasingkan diri dari keramaian
dunia dan tidak mencampuri urusan keduniawian lagi.
Maka ketua baru dari perkupulan Tiang-khong-pang pun jatuh ke tangan
seorang pemuda yang pernah ditunjuk Siang Siu-hun sebelum ajalnya,
pemuda itu bernama Kam Yok-ji.
Sementara Bwe Sing-hui adalah seorang Tongcu dari perkumpulan itu,
dia cerdas, banyak akal dan berilmu silat tinggi, sudah banyak jasa
yang telah dia tegakkan untuk perkumpulannya.
Sampai ketua perkumpulan Tiang-khong-pang, Siang Siu-hun wafat, usia
Bwee Sing-hui belum terlalu besar, dia kekar, gagah dan pandai
bekerja, nyaris semua pekerjaan perkumpulan diselesaikan olehnya.
Tapi kemudian ia ditemukan tewas secara misterius, Kam Yok-ji yang
ikut bersamanya waktu itu belum pandai bersilat, dia berhasil lolos
dari pembunuhan itu. Menurut keterangannya, dia berkata begini:
"Oleh karena pembunuh Bwee ji-siok melihat aku tak mengerti ilmu
silat, maka dia tidak membunuhku."
Menurut kesaksian Kam Yok-ji, waktu itu Bwee Sing-hui merasa tak tega
melihat seorang jago berbakat nyaris mati, maka dengan sekuat tenaga
dia pukul mundur musuh musuh tangguh itu serta selamatkan orang itu
dari dalam rawa rawa berlupur.
Siapa sangka setelah lolos dari perangkap, orang itu justru membokong
Bwee Sing-hui dan membunuhnya.
Tapi sejak peristiwa itu pamor perkupulan Tiang-khong-pang semakin
merosot, bahkan pada akhirnya nyaris tak bisa bangkit kembali.
Pui Heng-sau yang mendengar penjahit baju langit masih sempat
menyinggung kasus perkumpulan Tiang-khong-pang menjelang ajalnya,
dalam hati kecil ia merasa amat sedih.
Namun penjahit baju langit tidak menjawab pertanyaan Un Ji, karena
dia tak ingin gadis itu mencampuri urusan tersebut.
"Kau .... nn" Perlahan penjahit baju langit membuka matanya, menatap Un
Ji. Dengan air mata bercucuran kata Un Ji:
"Kalau ingin mengatakan sesuatu, katakan saja, akulah yang telah
mencelakaimu, aku yang menyebabkan kau mati. Makilah akum.. pukullah
aku .... u" Pui Heng-sau mencoba menghibur, namun Un Ji yang tergoncang hatinya
sulit untuk ditenangkan. Pui Heng-sau mencoba memeriksa keadaan penjahit baju langit, dia
saksikan raut mukanya dengan cepat berubah jadi layu, bahkan berapa
kali ingin bicara namun tak punya tenaga.
Buru buru serunya kepada Un Ji:
"Dia belum mati, dengarkan dulu perkataannya."
Un Ji segera menghentikan isak tangisnya sambil berpaling, dengan
mata berlinang air mata, ditatapnya wajah penjahit baju langit dengan
pandangan kosong. "Kau .... u kau harus berjanji untukmmmemenuhi satu permintaankumm.."
pinta penjahit baju langit lemah.
"Katakan, cepat katakana, aku berjanji akan menyanggupi." Air mata Un
Ji tak terbendung lagi, bercucuran membasahi bajunya, "apapun yang
kau pinta pasti kusanggupimm.."
Penjahit baju langit tidak menjawab.
".m.. kau minta aku berjanji apa?" kembali Un Ji mendesak.
Penjahit baju langit tetap tidak menjawab.
"Kaumm.?" Un Ji menjerit kaget, "kau ....... n"
"Dia sudah meninggal." Jawab Pui Heng-sau dengan suara lirih.
Kemudian setelah merapatkan kelopak mata penjahit baju langit,
tambahnya lirih: "Kau tak usah kuatir."
Kemudian ia bangkit berdiri, menghela napas panjang.
00000 Helaan napas bagai hembusan angin yang merontokkan dedaunan.
Setelah berpesan kepada Un Ji agar segera menemukan Pui Heng-sau dan
penjahit baju langit yang terluka parah, Ong Siau-sik segera
berangkat mencari Pat-toa-thian-ong.
Sewaktu tiba ditempat tujuan, dia jupai Pat-toa-thian-ong sudah
mati. Melihat kemunculan pemuda itu, dengan tenang Pek Jau-hui menegur:
"Kau sudah datang."
Dengan wajah tidak percaya, Ong Siau-sik gelengkan kepalanya berulang
kali, katanya: "Jiko, jangan ....... u"
"Aku sedang berusaha menolong mereka, masa beginipun salah?" sela Pek
Jau-hui sambil tertawa. "Kau telah membunuhnya .... u jerit Kwa Siau-ho amat sedih.
"Dia menghalangi aku menolong orang, terpaksa aku harus membunuhnya."
Kembali sela Pek Jau-hui.
"Dia menghalangi kau mencelakai orang!" teriak Tong Po-gou dengan
suara keras, "kau adalah dalang yang merencanakan semua peristiwa
II busuk pada hari ini!"
Semua orang kaget, jadi gempar.
Berkilat hawa napsu membunuh dari mata Pek Jau-hui.
Ong Siau-sik segera maju ke depan, menghadang didepan Tong Po-gou,
kemudian katanya: "Jiko, kami semua sudah tahumm.."
"Kau tahu apa?" paras muka Pek Jau-hui sama sekali tak berubah,
"siapapun tahu kalau sekarang aku sedang menolong orang."
"Kau sedang berbohong, kau sedang mencelakai orang, sedang menguasahi
orang, bukan untuk menolong orang." Thio Tan berseru sambil berjalan
mendekat, "obat pemunah yang asli berada disini!"
Dia angkat tangannya, memperlihatkan sebuah botol kecil sebesar
telapak tangan. Pek Jau-hui menengadah, memperhatikan lalu tertegun, melongo.
"Obat ini berhasil kuperoleh sewaktu menerima sebuah sodokan jarimu
tadi, karena obat dalam botol inilah merupakan obat pemunah Ko-ki-cun
yang asli, kau sangka begitu mudah aku orang she-Thio mau menerima
sebuah sodokan jari mu? Semua itu ada nilainya!" seru Thio Tan dengan
suara lantang, "kalian harus percaya kepadaku, aku bisa membedakan
mana obat yang asli dan mana yang palsu. Obat yang berada ditangannya
hanya bisa membebaskan sementara racun itu, tapi tak lama kemudian
kalian bakal mencari dia, memohon kepadanya, dan saat itulah dia akan
menguasahi kalian, mengendalikan kamu semua."
Baru berbicara sampai disini, sahabat karibnya, Tong Po-gou sudah
menimpali: "Kalian harus percaya dengan perkataannya, karena dialah Thio Tan."
Setelah berhenti sejenak, kembali dia berpropaganda:
"Dia pandai ilmu copet, ilmu mencuri, dialah Ngo-tangke perkampungan
Tho-hoa-ceng, saudara angkat Un Loan, ketua perkumpulan Thian-ki,
sedang aku adalah pendekar raksasa Tong Po-gou, saudara angkatnya."
Bab 44. Daun yang mengejutkan musim gugur.
Paras muka Pek Jau-hui sama sekali tidak berubah. walau tetap
memperlihatkan sedikit perubahan.
Ketika sorot matanya berkilat, tangan kirinya ikut bergerak. Namun
orang tidak menyaksikan dia melakukan sesuatu, tubuhnya masih tetap
tegak tak berubah. Orang lain boleh tidak melihat, tapi Ong Siau-sik telah melihatnya.
Dia kelewat memahami karakter Pek Jau-hui, begitu sinar matanya
berkilat, hawa napsu membunuh telah menyelimuti pikirannya.
Ketika tangan kirinya bergerak, dia seperti akan memasukkan tangan
itu ke sakunya, ingin periksa apakah benda miliknya sudah terjatuh ke
tangan orang lain. Dua macam gerakan yang begitu halus dan lembut tapi bagi orang lain
tidak melihat dia melakukan gerakan apapun ini sesungguhnya telah
membuktikan satu hal: Pek Jau-hui memang benar benar pernah melakukan
perbuatan rendah yang memuakkan itu.
Ong Siau-sik membuka matanya, dengan suara yang nyaris mendekati
merintih dia berseru: "Jiko . . . . . . . .."
Pek Jau-hui tidak menanggapi, sembari menjulurkan tangan kearah Thio
Tan, bentaknya: "Kembalikan!" Tong Po-gou segera mewakili Thio Tan menjawab:
"Sesungguhnya orang yang mengatakan hal ini kepadamu adalah adiknya
Li Thay-pek." "Li Toa-hek?" tanya Thio Tan keheranan.
"Bukan," jawan Tong Po-gou serius, "kaulah yang kelewat bodoh."
"Bukan kau kelewat bodoh." Tiba tiba Pek Jau-hui menyela dengan nada
sungguh-sungguh. "Lantas kenapa?" tanya Tong Po-gou keheranan.
"Yang benar adalah kalian kelewat bodoh," ucap Pek Jau-hui, "surga
ada jalan kalian tak mau, neraka tak ada jalan kalian justru
mendatangi." Begitu selesai bicara, dia langsung turun tangan, serangan yang
dilancarkan adalah serangan mematikan. Dua jari tangan kirinya
melepaskan "salju kecil" sementara dua jari tangan kanannya
menyentilkan "awal cerah".
"Salju kecil" menyergap Thio Tan, sedangkan "awal cerah" menyerang
Tong Po-gou. Dua jari tangan yang mematikan.
Kedua serangan maut itu bukannya gagal mengenai sasaran, tapi sudah
dibendung oleh seseorang.
Meskipun jagoan yang hadir di arena mencapai ratusan orang, namun
hanya satu orang yang benar-benar sanggup menerima serangan "salju
kecil awal cerah" yang dilancarkan Pek Jau-hui.
Bukan hanya Hoa Ku-hoat yang mengetahui akan hal ini, nyaris hampir
setiap orang yang berada disana telah menaruh harapan pada Ong
Siau-sik. Karena hanya pemuda ini yang bisa mengatasi semua
persoalan. "Bila aku gagal membunuh habis semua orang pada hari ini, dikemudian
hari mereka pasti akan berusaha untuk membunuhku!" Pek Jau-hui sangat
memahami akan hal tersebut.
"Asal kau bebaskan mereka semua pada hari ini," pinta Ong Siau-sik
dengan wajah serius, "jika dikemudian hari mereka datang
menyatronimu, maka akulah yang akan hadapi mereka terlebih dulu!"
"Buat apa kau mati matian melindungi mereka?"
"Orang orang itu tak punya dendam maupun ikatan sakit hati denganmu,
kenapa kau harus sandera mereka, ingin menguasahi mereka semua?"
"Soal ini . . . . . . .." Pek Jau-hui termenung dan berpikir sebentar,"kita
tak perlu perbincangkan masalah ini disini."
"Jadi maksud jiko . . . . . . .." Ong Siau-sik merasa kegirangan.
"Mari kita masuk ke ruang belakang," ajak Pek Jau-hui,"kita berdua
adalah saudara, tidak perlu bentrok dan saling bermusuhan didepan
orang luar." "Baik." Ong Siau-sik merasa kegirangan setengah mati, asal dia sanggup
membujuk Pek Jau-hui agar tidak melakukan tindakan keji terhadap para
jago yang tak bersalah itu, apa pun dia bersedia untuk melakukannya.
Setibanya di ruang dalam, jendela bangunan yang tinggi ditambah waktu
itu senja telah menjelang, membuat suasana dalam gedung itu remang
remang tak jelas. Tiba ditempat kegelapan, Pek Jau-hui mulai bergendong tangan sambil
termenung, tiba tiba dia menghentikan langkahnya dan melongok keluar
jendela. Dikejauhan sana, diantara kegelapan malam yang mulai mencekam,
terbias cahaya bintang yang redup.
"Mengapa kau harus bersikap begitu terhadapku?" ujar Pek Jau-hui
sambil merendahkan nadanya, "bagaimanapun kita adalah bersaudara,
mengapa kau justru membela orang luar dan memusuhi aku?"
Ungkapan "saudara" membuat darah panas ditubuh Ong Siau-sik mendidih,
bergolak. "Tadi, aku bertindak karena keadaan yang mendesak, bila sudah
melakukan kesalahan, mohon jiko bersedia memaafkan kecerobohanku
ini," ujar Ong Siau-sik dengan penuh hormat, "hanya saja, tolong


Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lepaskan orang-orang itu, menyandera dan mengancam mereka secara
begini, gampang menimbulkan kesalahan paham yang menumbuhkan dendam,
bagi siapa pun hal tersebut tidak menguntungkan."
Paras muka Pek Jau-hui berubah jadi gelap, jauh lebih gelap dari
cuaca saat itu, tiba tiba semprotnya:
"Kau keterlaluan, terlalu suka mencampuri urusan orang lain!"
Ong Siau-sik terkesiap. Tapi dengan cepat nada suara Pek Jau-hui berubah jadi lembut kembali,
katanya lebih lanjut: "Tapi kau memang tak malu menjadi saudaraku yang terbaik, karena
belum terlambat mencegah aku untuk melakukan perbuatan yang lebih
berdosa." Ong Siau-sik kegirangan setengah mati, katanya:
"Jiko, perkataanku tadi kelewat kasar, terlalu emosi dan amat
menyinggung perasaanmu, mohon jiko sudi memaafkan, kesemuanya ini tak
lain karena aku panik. Selama ini pengetahuan jiko jauh diatasku,
oleh karena persoalan ini sangat penting dan menyangkut hal yang
lebih besar, aku kuatir jiko kelewat percaya dengan omongan para
pejabat itu hingga menimbulkan bencana besar. Sahabat dunia
persilatan berasal dari batang dan tanah yang sama dengan kita, bila
gara gara kaum pejabat kerajaan sampai kita harus bermusuhan dengan
sahabat dunia persilatan, kejadian ini betul betul merupakan satu
kerugian besar." Berkilat sorot mata Pek Jau-hui, tegurnya:
"Kau selalu memaki pejabat kerajaan, kenapa kaupun bekerja untuk
mereka?" "Aaai, karena aku punya kesulitan yang tak bisa dibicarakan." sahut
Ong Siau-sik sambil menghela napas panjang.
Kontan Pek Jau-hui tertawa lebar, katanya:
"Kita berdua sama sama berbuat karena terpaksa."
Kemudian dengan serius tambahnya:
"Aku telah melakukan banyak pekerjaan, samte, dapatkah kau memaafkan
aku?" "Perkataan apa itu, II tukas Ong Siau-sik, "jiko, bagaimana pun kita
'II C adalah saudara II "Kalau toh kita memang saudara, tangan Pek Jau-hui yang semula
memegang pundak kanan Ong Siau-sik, tiba tiba bergerak cepat, menotok
dua belas jalan darah penting disekitar pinggang dan iganya,"kalau
begitu tolong maafkan aku sekali lagi!"
"Kau . . . . . . . .." Ong Siau-sik ingin melawan, sayang sudah terlambat.
"Kalau toh kita bersaudara," ujar Pek Jau-hui lagi sambil tertawa
dingin,"tidak seharusnya kau berperan jadi orang baik didepan orang
banyak untuk merusak perananku!"
Begitu dia bersuit nyaring, Liam Wan segera menyelinap masuk. Tahu
kalau Ong Siau-sik sudah roboh, sekulu senyuman segera menghiasi
bibirnya, senyuman kejam, senyuman buas.
"Mengapa kau harus berbuat begini?" dengan amat sedih Ong Siau-sik
berpekik. "Berada dalam situasi dan keadaan seperti ini, sanggupkah aku tidak
berbuat begitu?" Pek Jau-hui balik bertanya,"kau telah membongkar
kepalsuanku, jadi aku pun tak akan membiarkan kau menjadi orang
baik." Kemudian kepada Liam Wan katanya:
"Aku telah menotok jalan darahnya, dan akupun tahu kalau kau memiliki
sejenis ilmu yang istimewa, sudah tahu bukan apa yang harus
diperbuat?" "Kau ingin dia mengucapkan kata kata yang dia sendiri tak ingin
katakan bukan." Sahut Liam Wan.
"Betul sekali!"
"Jiko!" teriak Ong Siau-sik dengan hati pedih, "perbuatanmu sungguh
membuat aku . . . . .. berpalinglah jiko, sekarang belum terlambat."
"Benarkah?" Pek Jau-hui berpaling kearah Ong Siau-sik dan melemparkan
satu senyuman, "sayang kau sendiri yang sudah terlambat."
Begitu Pek Jau-hui mengangguk, Liam Wan segera mengempit tubuh Ong
Siau-sik dan berlalu dari situ.
Telapak tangan Liam Wan masih menempel dipunggung Ong Siau-sik.
Sekalipun Ong Siau-sik memiliki kungfu yang hebat, dia segera merasa
munculnya aliran tenaga yang sangat aneh, menggumpal dan menyusup ke
dalam tubuhnya, seakan ada sebilah pisau tajam yang mengiris dan
memotong isi perutnya, menggesek dan menyayat.....
"Tak usah kuatir, sebelu kau selesaikan tugas yang dibebankan thaysu
kepadamu, aku tak bakal membunuhmu," kembali Pek Jau-hui menepuk
bahunya, "hingga sekarang kita masih bersaudara, bukan begitu? Aku
hanya minta kau berdiri satu garis denganku."
Ketika pertama kali bahunya ditepuk, Ong Siau-sik merasa tepukan itu
begitu hangat, tapi ketika Pek Jau-hui menepuk bahunya untuk kedua
kali, dia mulai merasa ngeri dan takut.
Perasaan itu seperti lidah seekor serigala sedang menjilat pipi dan
wajahnya. Liam.Wan tidak berdiri terlalu dekat dengannya, tapi dia sembunyikan
tangannya dibalik baju, diam.diam mencekal urat nadi Ong Siau-sik.
Kalau bukan mata tajam seorang jago kawakan, mustahil dapat melihat
kalau Liam Wan sesungguhnya sedang menyandera Ong Siau-sik.
Secara diam-diam Liam Wan mengerahkan tenaganya, memaksa Ong Siau-sik
ikut berjalan menuju ke aula bagian depan, sedang Pek Jau-hui
mengintil dari belakang, berjalan sambil tertawa dan berkata:
"Hehehehe, benar benar ibarat air bah menerjang kuil raja naga,
ternyata kami semua adalah orang sendiri. Rupanya kejadian disini
berasal dari perintah majikan yang sama, bahkan kau adalah atasan
kami." Diam diam Liam Wan mengerahkan tenaga dalam.
Ong Siau-sik merasa ada segulung tenaga aneh menerjang masuk,
tenggorokannya terasa seperti disayat pisau, otot mukanya mengejang
kencang, dia tak mampu membuka mulut atau menggerakkan bibir, sepatah
suarapun tak sanggup diutarakan.
Perkataan yang kemudian diucapkan justru disampaikan Liam Wan dengan
menggunakan ilmu perut, katanya:
"Jiko . . . . . .. jiko, sepak terjangmu tadi kelewat ceroboh dan gegabah
. . . . . . .. padahal masalah meracuni orang orang itu.... siapapun yang
turun tangan toh sama saja!"
"Ooh tidak sama, tidak sama, seru Pek Jau-hui cepat, "kau adalah
atasan sedang aku tak lebih hanya seorang pelaksana."
Kembali "Ong Siau-sik" berkata:
"Bagaimana pun target kita sama. Kalau toh semua yang hadir dalam
gedung sudah mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, lebih baik
Il kita habisi mereka semua agar tak ada bukti."
Begitu perkataan itu diucapkan, suasana jadi gempar, para jago mulai
berteriak kalap. Mereka sangat marah, mereka juga putus asa.
Rupanya semua orang mengira Ong Siau-sik si "bintang penolong" satu
komplotan dengan orang orang itu.
"Tapi . . . . . .." seru Pek Jau-hui pura pura mencegah, "aku rasa kurang
baik kita berbuat begitu, bagaimana pun mereka adalah tokoh kenamaan
di kotaraja, aku merasa kurang tega bila harus menghabisi mereka
semua . . . . . . .. tapi bila mereka tahu diri dan bersedia mendukung kita,
mungkin kita masih bisa pertimbangkan untuk ampuni selembar jiwanya."
Ong Siau-sik merasa jengkel bercampur panik, sayang dia tak sanggup
menyampaikan perkataan yang ingin dia sampaikan.
Ketika seseorang tak sanggup membela diri, tak mampu menyampaikan apa
yang dia ingin sampaikan, sebaliknya apa yang diucapkan justru
perkataan yang memutar balikkan fakta, karakter serta status nya
ingin dirubah dan dirusak orang lain, bisa dibayangkan bagaimana
perasaan hatinya waktu itu?
Hoa Ku-hoat benci setengah mati, diam.diam.dia sudah siapkan senjata
rahasia andalannya. Karena menganggap dia tak bisa hidup melewati malam ini, bahkan sudah
menyeret para jago persilatan terjerumus dalam situasi pelik ini, dia
bertekad untuk adu nyawa, membunuh lebih dulu dalang dari kesemuanya
itu. Maka diapun mulai mengincar sasaran, sasarannya tak lain adalah Ong
Siau-sik. Dalam kehidupan manusia, seringkali akan berhadapan dengan saat
penentuan. Saat ini seharusnya merupakan saat penentuan bagi Ong Siau-sik, saat
penentuan mati hidupnya. Mati hidup, berhasil gagal, seringkali ditentukan oleh nasib dan
saat, jadi sesungguhnya manusia itu sendiri tak mampu menentukan apa
apa. Hanya saja nasib Ong Siau-sik masih termasuk beruntung, keberuntungan
Ong Siau-sik boleh dibilang keberuntungan juga bagi seluruh umat
persilatan yang hadir disana.
Karena mati hidupnya Ong Siau-sik mempengaruhi mati hidup dari
sebagian besar manusia yang sesungguhnya hampir tak dikenal olehnyaa.
Begitulah manusia, yang satu mempengaruhi yang lain, sampai diri
sendiripun tak bisa meramalkan apa yang bakal terjadi dan sama sekali
tak punya pegangan. Pada saat itulah tiba tiba terlihat seseorang melayang turun dari
tengah udara, muncul dari balik tiang penyangga gedung, dia adalah
seorang gadis cantik. Selain cantik rupawan, dia pun memiliki sinar golok seindah kerdipan
bintang. Un-ji! Un-ji mengayunkan goloknya, langsung membacok tubuh Pek Jau-hui.
Gadis ini tidak berniat membunuhnya, melainkan hanya ingin paksa dia
mundur. Tentu saja dengan andalkan ilmu golok yang dimiliki, mustahil gadis
itu sanggup membunuh Pek Jau-hui kendatipun dia menginginkan.
Namun bila ingin mendekati Pek Jau-hui sekalian tanpa diketahui oleh
lawannya, dengan andalkan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pui
Heng-sau dan dirinya, hal ini bukanlah sesuatu yang sulit.
Mereka sudah menyaksikan dengan jelas apa yang terjadi antara Ong
Siau-sik dan Pek Jau-hui di ruang belakang tadi.
Kini, orang yang menyelinap keluar dari balik tiang penyangga ruangan
tak lain adalah Pui Heng-sau.
Begitu muncul, dia langsung menyerang dengan gerakan cing-hong-hao
(langit baru cerah). Kipasnya sebentar dibuka sebentar dirapatkan, dengan satu gebrakan
dia berhasil paksa mundur Liam Wan.
Lalu dengan suara lantang teriaknya:
"Ong Siau-sik telah disandera mereka, yang berbicara barusan bukan
dia!" Sambil berseru, kembali kipasnya bergerak cepat menotok bebas jalan
darah Ong Siau-sik yang tertotok.
Akan tetapi ilmu totok Keng-sin-ci dari Pek Jau-hui tak mungkin bisa
dibebaskan dengan andalkan tenaga dalam yang dimiliki Pui Heng-sau,
situasi jadi sangat gawat.
Liam Wan yang terdesak mundur, kini merangsek maju lagi.
Pada saat itulah serangan It-yap-keng-ciu yang dipersiapkan Hoa
Ku-hoat telah dilontarkan.
Pada mulanya, target serangan mautnya ditujukan kepada Ong Siau-sik,
namun setelah mendengar teriakan dari Un-ji dan Pui Heng-sau, diapun
jadi teringat kembali akan nasib yang dideritanya tadi.
Bukankah tadi diapun pernah disandera Liam Wan serta mengucapkan
perkataan yang tidak ingin dia ucapkan?
Sudah pasti kesemuanya itu hasil permainan busuk siluman berdarah
dingin itu, maka senjata rahasianya tetap dilontarkan kearah Liam
Wan. Senjata rahasia itu merupakan senjata rahasia andalan Hoa Ku-hoat,
Liam Wan tak berani gegabah, terpaksa dia buyarkan tenaga serangan
dan menghadapi ancaman amgi itu dengan sepenuh tenaga.
Setelah mengatur pernapasan sejenak, kembali Pui Heng-sau berusaha
membebaskan totokan jalan darah Ong Siau-sik dengan sepenuh tenaga.
Dengan tenaga dalam yang dimiliki Pek Jau-hui, dia tidak butuh tiga
jurus untuk merobohkan Un-ji, satu jurus pun sudah berlebihan.
Ketika bacokan Un-ji mengenai sasaran kosong, jari tangan Pek Jau-hui
sudah menotok jidat gadis itu, namun dia sama sekali tidak
menggunakan tenaga. Sewaktu melihat kalau orang yang membacoknya ternyata Un-ji, Pek
Jau-hui tertegun. Dia tidak tega membunuh gadis itu, diapun tak ingin
membunuhnya, apalagi dengan membunuh Un-ji, sama artinya dia akan
bermusuhan dengan keluarga Un dari Lokyang, keadaan semacam ini sudah
tentu tak ingin dilakukan Pek Jau-hui yang berambisi melakukan
gebrakan besar. Boleh saja dia tidak membunuh Un-ji, tapi sabetan golok gadis itu
berulang kali mengancam sekujur tubuhnya.
Disisi lain, pat-toa-thian-ong sudah bergerak, dengan gerakan paling
cepat mereka berusaha menghalangi usaha Pui Heng-sau yang ingin
menolong Ong Siau-sik. Dengan suara menggeledek, Tong Po-gou segera membentak nyaring:
"Disini masih ada aku A-gou, jangan harap kalian bisa memancing diair
keruh!" Thio Tan ikut menghardik:
"Lewati dulu diriku sebelu melangkah lebih lanjut!"
Kedua orang itu segera bekerja sama menghadang jalan maju delapan
orang raja golok itu. Disisi lain masih ada Liam Lau yang menganggur, tanpa menimbulkan
suara apapun dia menyelinap ke belakang Pui Heng-sau, maksudnya ingin
melepaskan satu bokongan yang mematikan.
Siapa sangka belum sempat dia lepaskan bokongan, mendadak terllihat
sebatang anak panah melesat kearah dadanya.
Kaget bercampur ngeri, tergopoh gopoh dia gunakan gerakan jembatan
papan baja untuk buang badannya ke belakang dan menghindari ancaman.
Siapa sangka anak panah itu berhenti ditengah udara, lalu dari bagian
ekor mengeluarkan suara dentingan nyaring.
"Triinggg!" kembali sebatang panah kecil terlontar keluar dan melesat
kebawah dengan kecepatan tinggi.
Seandainya sebelum itu Liam Lau tak pernah menjumpai anak panah yang
sama sekali tak terduga ini, dapat dipastikan dia akan menderita
kerugian. Tapi dia sudah berjaga diri, reaksinya sangat cepat, dengan kedua
jari tangan dia jepit panah kecil itu.
Orang yang melancarkan serangan kearahnya tak lain adalah Kwa
Siau-ho. Ouyang Ih-ih serta Siang ko-ji ikut turun tangan, tapi serbuan mereka
segera terhadang oleh anak murid perguruan Hoa yang berhasil makan
obat penawar racun. Ditengah hiruk pikuknya suasana, tiba tiba terdengar suara bentakan
nyaring yang menggetarkan kendang telinga semua orang, tanpa terasa
serentak semua orang menghentikan pertarungan.
Sesudah berteriak keras tadi, Ong Siau-sik muntahkan darah segar,
ternyata dia telah berhasil menjebol jalan darahnya yang tertotok.
Sejak awal hingga akhir, Pui Heng-sau tak pernah berhasil membuka
totokan jalan darah Keng-sin-ci dari Pek Jau-hui, tapi Ong Siau-sik
segera manfaatkan tenaga dalamnya untuk menjebol sendiri jalan darah


Pedang Amarah Serial Pendekar Sejati Karya Wen Rue An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditubuhnya. Tapi gara gara terburu napsu melepaskan diri dari pengaruh totokan,
Ong Siau-sik harus menderita luka dalam yang cukup parah. Akan tetapi
bagaimana pun, jalan darahnya sudah bebas.
Pek Jau-hui segera mengebaskan ujung bajunya, meninggalkan Un-ji.
Kini Ong Siau-sik sudah berhadapan dengannya, pedang telah diloloskan
dan wajahnya diliputi amarah.
Oo0oo Pedang telah diloloskan, pedang penuh amarah, pedang amarah!
Ong Siau-sik selalu menggabungkan golok dengan pedang. Dengan
dicabutnya pedang, sama artinya dia telah meloloskan goloknya.
Menyaksikan hal itu Pek Jau-hui tertawa keras, kemudian ujarnya
sambil menghela napas panjang:
"Akhirnya datang juga hari ini. Sudah lama aku ingin bertarung
melawanmu, menggunakan kesepuluh jari tanganku menjumpai golok dan
pedangmu." "Aku tak ingin bertarung melawanmu,
jangan paksa aku." "Aku memang ingin menantangmu berduel, tapi bukan sekarang . . . . . ..
II ujar Ong Siau-sik pedih, "tolong
II seru Pek Jau-hui penuh sesal.
Ketika selesai mengucapkan perkataan itu, dia segera membawa Liam
Lau, Liam Wan, delapan raja golok, Ouyang Ih-ih dan Siang Ko-ji
berlalu dari situ. Teriaknya lagi: "Menunggu kau menyelesaikan tugas besar, saat itulah saat kita untuk
berduel." Dengan kepergian Pek Jau-hui sekalian, ancaman maut yang menimpa para
jago di gedung keluarga Hoa pun jadi sirna.
Kawanan jago kotaraja ini merasa berterima kasih sekali kepada Ong
Siau-sik, Thio Tan, Tong Po-gou, Un-ji, Pui Heng-sau dan Kwa Siau-ho
sekalian. Tapi ada pula sementara orang yang menaruh curiga dan sangsi terhadap
sepak terjang Ong Siau-sik sekalian.
Kini Ong Siau-sik termenung, apa yang sedang dia pikirkan?
Dia sedang berpikir: haruskah dia membantu Coa King membunuh Cukat
sianseng demi keutuhan perkumpulan Kimrhong-si-yu-lou?
Diapun membayangkan ketika bersama Pek Jau-hui datang ke kotaraja,
mereka pernah bertarung bahu membahu, mati hidup bersama untuk
menjebol kekuasaan Lak-hun-poan-tong, siapa sangka saat ini mereka
dua bersaudara telah saling berhadapan sebagai musuh?
Pada saat bersamaan, dalam.gedung thaysu, Coa King mendapat selembar
surat laporan: "Yap Ki-ngo serta Ki Bun-liok telah bertarung melawan Ong Siau-sik."
"Kalah?" tanya Coa King terperanjat.
"Yaa kalah." Jawab Lu Siu-it sambil tundukkan kepala.
"Mereka belum.mati karena Ong Siau-sik tidak ingin membunuh mereka,
dia selama ini selalu menyembunyikan kekuatan sebenarnya." Kata Coa
King hambar. Tak lama kemudian datang lagi laporan lain:
"Ong Siau-sik berhasil membongkar rencana Pek Jau-hui untuk
mengendalikan perkumpulan Hoa dan perkumpulan Bong!"
Membaca laporan terakhir, Coa King tertawa terbahak-bahak:
"Hahaha, ternyata mereka belum saling bertarung?"
"Hubungan persaudaraan mereka sudah putus, tapi sebelum mendapat
perintah dari thaysu, Pek hu-loucu tidak berani turun tangan, dia
menghindari bentrokan dan segera mengundurkan diri."
"Cepat atau lambat mereka bakal bertarung satu dengan lainnya." Bisik
Coa King sambil meninggalkan tempat duduknya, berjalan menuju ke
depan kebun nan indah. "Semenjak aku bertemu Ong Siau-sik dan secara tidak sengaja dia
menulis cita citanya yang tinggi, aku sudah tahu kalau manusia
II semacam ini tak boleh dianggap enteng . . . . . . . ..
Lalu setelah termenung lama, kembali Coa King bergumam:
\\ . . . . . . .. manusia semacam ini tentu saja tak boleh tak dimanfaatkan,
tapi akupun tak boleh percaya dengan begitu saja . . . . . .."
Padahal dia sebagai seorang Kok-thaysu yang memegang kekuasaan besar
dalam kerajaan, memiliki banyak orang kepercayaan yang bisa
dimanfaatkan. Sayang sepanjang hidup dia hanya terjerumus dalam kesenangan
mengumpulkan lukisan dan tulisan indah, darimana ada waktu untuk
mengatur negara? Dan kini, hanya gara gara seorang Ong Siau-sik pun dia harus peras
otak untuk menghadapinya, bagaimana mungkin manusia semacam ini bisa
atur kerajaan, bisa mensejahterakan rakyat?
T A.M A T - Apakah misi Ong Siau-sik membunuh Cukat sianseng, guru dari empat
opas berhasil dilaksanakan?
- Bagaimana perseteruan antara Pek Jau-hui melawan Ong Siau-sik?
- Siapa yang memenangkan duel antara Pek Jau-hui melawan Ong
Siau-sik? Temukan jawabannya di: TOMBAK KECANTIKAN. Cerita ke-3 dalam serial Pendekar sejati.
Backstreet 3 Antara Budi Dan Cinta Hu Die Jian Karya Gu Long Alap Alap Laut Kidul 7

Cari Blog Ini