Racun Berantai Karya Huang Ying Bagian 1
tags: journal Bab 1. Balas dendam Malam sangat pekat. Cahaya redup menyinari bangunan sebuah kuil, menyisakan bayang bayang
yang remang. Rembulan yang tinggal setengah, muncul dari balik puing dinding dan
memantulkan cahaya yang redup.
Bangunan kuil ini sudah lama terbengkalai, dindingnya bobrok, sana sini
berserakan puing. Begitu redup cahaya rembulan yang memantul ke bumi, seredup cahaya
lentera yang memancar keluar dari balik dinding puing.
Patung Buddha merupakan sebuah patung antik, lentera pun sebuah lentera
antik, hanya minyak lampu yang baru saja dituang, sayang sumbu lilin
sudah terbakar tujuh delapan puluh persen.
Didepan lentera terdapat sebuah hiolo, dalam hiolo tertancap hio yang
harum..... dupa lendir naga.
Dupa lendir naga memang merupakan jenis dupa paling mahal diantara dupa
yang ada, tapi sekarang, dupa itu disulut orang diruang belakang sebuah
kul yang bobrok dan terbengkalai, benar-benar merupakan satu kejadian
yang sangat aneh. Asap dupa membentuk kabut tipis, membiaskan cahaya lentera yang makin
redup dan samar, tidak terkecuali menyelimuti patung Buddha diatas altar.
Ketika diamati lebih seksama, patung itu terlihat begitu samar dan kabur,
seakan dewa yang baru turun dari kahyangan atau nirwana.
Dewa atau Buddha dari manakah itu? Dewa apakah yang baru turun dari
kahyangan? Tidak jelas, tidak terlihat secara pasti karena dewa itu tak memiliki
wajah, tak memiliki raut muka.
Patung dewa itu duduk bersila diatas altar pemujaan, tinggi dan besarnya
tak jauh berbeda dengan perawakan manusia, lehernya bersih dan rapi,
sayang batok kepalanya sudah lenyap entah ke mana?
Luka bacokan itu rapi dan bersih, kelihatannya ditebas kutung oleh
bacokan golok yang tajam Tapi . . . . .. siapa yang telah memenggal kepala orang itu?
Berada dimanakah batok kepalanya sekarang?
Helaan napas panjang tiba-tiba berkumandang dari balik ruangan.
Helaan napas yang pedih penuh kedukaan itu seolah-olah berasal dari balik
patung dewa tanpa kepala itu.
Tak diragukan lagi, suara itu memang helaan napas.
Jangan jangan patung itu memang patung dewa beneran? Patung dewa dari
nirwana? Mungkinkah batok kepala yang tak terlihat, sebenarnya disembunyikan
didalam perut patung dewa itu?
Lalu dewa apakah dia? Dewa dari mana?
Helaan napas masih saja mendengung dalam ruangan, lalu terlihat sebutir
batok kepala muncul dari balik leher patung dewa yang terpapas kutung
itu. Masih tidak terlihat raut wajahnya.
Yang muncul hanya sebuah kepala dengan rambut yang sangat hitam.
Rambut itu panjang lagi indah, dibawah timpaan cahaya lentera, membiaskan
secerca sinar yang sangat aneh.
Rambut panjang berwarna hitam itu tampak begitu indah, begitu cantik,
mungkinkah wajah yang tersembunyi dibalik rambut hitam yang lebat itu pun
merupakan sebuah wajah yang cantik jelita?
Kembali helaan napas berkumandang, sepasang tangan perlahan-lahan muncul
dari belakang patung dewa.
Sepasang tangan yang telanjang, tidak terlihat perhiasan apun, namun
merupakan sepasang tangan yang jauh lebih menawan daripada mutu manikam
maupun intan berlian. Kulit tubuh seputih susu, jari tangan yang lentik lembut, berkilat dan
bersih, pada hakekatnya seperti patung kristal yang baru selesai diukir.
Kesemuanya itu tak mirip milik seseorang yang hidup di dunia ini.
Sepasang tangan itu berada dalam posisi membelakangi patung dewa,
bertolak belakang dengan sepasang tangan patung dewa itu, karena tangan
patung menghadap ke depan.
Tangan yang sebelah kiri perlahan diletakkan diatas kayu di belakang
patung, sedang tangan disebelah kanan perlahan-lahan diangkat ke atas.
Dalam genggaman tangan kanan yang terangkat itulah, terlihat sebutir
batok kepala manusia. Kepala dewa yang terpapas kutung sebatas leher, warna kepala dewa, bekas
bacokan, semuanya hampir sama dan serasi dengan tubuh patung dewa itu.
Mungkinkah kepala itu memang kepala patung dewa yang terpenggal?
Berapa banyak batok kepala yang sebenarnya dimiliki patung dewa itu?
Berapa banyak tangan yang dimiliki?
Biarpun cahaya lentera sangat redup, meski sinar rembulan hanya remangremang, namun wajah patung itu masih bisa terlihat dengan jelas kini.
Dia memiliki wajah yang ceria, senyuman lebar menghiasi bibirnya, itulah
patung dewa Siau-bin-hud (Buddha berwajah tertawa) A Yiduo.
Buddha ini disebut dewa yang merasa puas dengan keadaannya.
Orang yang tahu puas selalu akan tampil gembira, oleh karena itulah meski
batok kepalanya sudah dipenggal, namun senyuman masih menghiasi batok
kepalanya. Tiada angin. Biarpun kepala Siau-bin-hud masih bergetar, ini disebabkan sepasang
tangan yang memegang kepala itu sedang bergerak, tangan itu seolah hendak
kembalikan sang kepala ke atas tengkuk, tapi seakan juga dia hanya
mengangkatnya tanpa maksud.
Rambut hitam diatas tengkuk yang terpapas ikut bergetar, ikut bergerak.
Padahal kepala sang Buddha gundul licin, sebagai pendeta yang hidup jauh
dari keduniawian, seharusnya tak selembar rambut pun yang akan tumbuh
kembali di kepalanya. Tapi terlihat jelas kalau dia berambut, rambut panjang dan hitam, Dewa
Buddha berambut hitam? Pada hakekatnya seperti dongeng dibalik cerita
dongeng. "Ciitttm..!" seekor kelelawar tiba tiba terbang keluar dari atas wuwungan
rumah, melintasi rambut hitam itu, terbang lewat dari api lentera dan
siap terbang keluar melalui celah disisi dinding.
Mendadak saja sinar biru memancar keluar, menerangi empat penuru.
Cahaya biru itu melesat secepat sambaran petir, langsung menyambar
keatas, menembusi tubuh kelelawar tadi.
Sekali lagim "Ciiit!", gerak terbang kelelawar itu semakin cepat tapi
kini berubah arah, tidak lagi terbang menuju ke celah dinding, tapi
langsung menumbukkan diri keatas dinding bangunan.
Kemudian kelelawar itupun menempel diatas dinding, sama sekali tidak
bergerak lagi. Oo0oo Kelelawar dapat beterbangan ditengah kegelapan, dapat pula bergelantungan
diatas wuwungan rumah maupun dahan pepohonan, tapi mana mungkin bisa
seperti saat ini, menempel diatas dinding bangunan persis seperti seekor
cicak? Kelelawar jenis apakah itu?
Pada saat bersamaan, rambut hitam itu ikut melayang ke tengah udara.
Bersama dengan rambut itu, terlihat pula sepasang tangan dan sebuah
pakaian berwarna putih salju.
Pakaian putih itu membungkus sesosok tubuh wanita yang amat cantik.
Dia mempunyai sepasang payudara yang montok berisi, perut yang kecil,
pinggang yang ramping, sepasang kaki yang putih mulus serta sepasang
tangan yang lebih putih dan bersih daripada susu sapi.
Sudah jelas Buddha berwajah tertawa adalah seorang lelaki, mengapa bisa
memiliki tubuh seorang wanita cantik?
Mungkinkah tubuh itu penjelmaan dia? Disaat sedang gembira, dia mengubah
diri menjadi seorang wanita?
Biarpun sepanjang tahun Siau-bin-hud selalu tertawa, pun senang bergurau,
tapi sudah pasti dia tak akan bergurau semacam ini.
Karena bagaimana pun, dia tetap seorang dewa.
Padahal yang benar, ada seorang wanita sedang berbaring di belakang
patung dewa tertawa. Rambut hitam yang tampil di tengkuk dewa yang terpapaspun berasal dari
kepala wanita itu. Perempuan itu dengan memakai meja persembahan sebagai ranjang, kepala
dewa tertawa sebagai bantal, entah sudah berapa lama dia tertidur disana
dan baru saja terbangun dari mimpinya.
tags: journal Ketika terbangun dan duduk, kebetulan saja rambutnya berada ditengkuk
sang patung, sehingga ketika dipandang dari depan, tengkuk patung itu
seolah berambut. Segala sesuatunya hanya satu kejadian kebetulan, kebetulan yang aneh.
Perempuan itu selain memiliki perawakan tubuh yang menggairahkan,
memiliki pula selembar wajah yang cantik jelita bak bidadari dari
kahyangan. Setiap inci, setiap jengkal raut mukanya, dipenuhi daya pikat yang
merangsang, khususnya sepasang mata yang bening, jeli, pada hakekatnya
memiliki daya pengaruh yang mampu menggaet sukma.
Tentu, sukma yang bakal digaet adalah sukma kaum lelaki, yang terhipnotis
juga semangat kaum lelaki.
Walaupun raut wajahnya begitu cantik, begitu menawan hati, sayang sama
sekali tak berekspresi, tak menunjukkan perasaan apapun, terkecuali
senyuman dibalik sorot matanya.
Senyuman yang tanpa makna, senyuman yang sama sekali tak berarti apa apa.
Sinar kebiru-biruan tadi berasal dari tangannya, senyuman itu mengartikan
kekejian, ketelengasan. Disaat tubuhnya mulai melambung ditengah udara, tiada senyuman lagi
terpancar dari balik matanya, yang ada hanya kekejaman dan kebuasan.
Kejam bagaikan seekor ular berbisa.
Kini, tubuhnya yang merangsang telah berjumpalitan ditengah udara lalu
menggelinding ke bawah. Dalam sekali gelindingan, dia telah berada didepan dinding bangunan itu.
Dengan mata yang kejam, ditatapnya kelelawar itu, paras mukanya yang kaku
tanpa emosi, akhirnya muncul perubahan, berubah jadi begitu kejam dan
jahat. Dibalik kekejaman dan kebuasan, terselip kelicikan yang menakutkan.
Tiba-tiba dia mengulurkan tangan kanannya, bergerak kearah kelelawar yang
menempel diatas dinding ruangan.
Tangannya langsung disodok sambil diulapkan.
Saat itulah, pada japitan jari telunjuk dan ibu jarinya telah bertambah
dengan sebatang jarum biru sepanjang tiga inci yang memancarkan sinar
tajam. Sebatang jarum biru yang dicabut keluar dari tubuh kelelawar itu, setetes
cairan berwarna hitam ungu yang kemudian meleleh keluar dari lubang luka
ditubuh sang kelelawar. Cairan darah dari kelelawar itu.
Cairan darah yang semula berwarna merah, kini telah berubah jadi ungu
kehitam-hitaman. Ini membuktikan kalau jarum berwarna biru itu adalah sebatang jarum
beracun. Begitu jarum beracun itu dicabut, sang kelelawar pun segera rontok jatuh
ke bawah. Rupanya, kelelawar itu bisa menempel diatas dinding bagaikan seekor cecak
tak lain karena jarum berwarna biru itu.
Sang jarum telah menancap ditubuh kelelawar itu dan memanteknya diatas
dinding ruangan. Perlahan-lahan sorot mata perempuan itu dialihkan ke bangkai kelelawar
yang tergeletak dilantai, mimik mukanya tampak lebih kejam dan buas.
Sewaktu masih berbaring diatas altar kayu tadi, dia nampak begitu lemah
lembut, begitu lemah gemulai, siapa tahu begitu bergerak, tubuhnya begitu
ringan dan gesit, bahkan pandai sekali menggunakan senjata rahasia.
Senjata rahasia beracun! Segulung angin berhembus masuk melalui celah dinding, menerpa diatas
wajahnya. Saat itu juga mimik keji dan jahat yang semula menghiasi wajahnya, sirna
dan hilang tak berbekas, entah kekejiannya sudah hilang terbawa hembusan
angin ataukah pikiran jahat sudah hilang dari ingatan dan perasaan
hatinya. Dan pada saat bersamaan, senyuman kembali menghiasi sinar matanya yang
bening. Dalam senyuman kali ini, seakan sudah terselip sesuatu.....
Sesuatu apa? Tidak jelas.
Tangan kanannya mulai diluruskan ke bawah, dengan jarum biru yang masih
dijepit dengan ibu jari serta telunjuknya, dia tusuk mulut patung dewa
yang masih tergenggam ditangan kirinya.
Biar ditusuk seperti apapun, biar seganas apapun racun diujung jarum,
patung itu tetap tertawa, tertawa lebar.
Bagaimana pun, patung dewa itu hanya sebuah patung kayu, bukan Buddha
hidup. Dibalik senyuman, kini tersembunyi jarum! Jarum yang lebih mematikan
daripada golok. Ini dikarenakan jarum tersebut adalah sebatang jarum beracun.
Dengan membawa kepala patung dewa beracun itu, dia berjalan menuju kearah
pintu. Diluar pintu merupakan sebuah serambi jalan yang panjang.
Diujung serambi merupakan sebuah pintu, sebuah pintu gerbang.
Sayang papan pintu gerbang itu sudah tak utuh, banyak yang retak dan
berlubang. Meninggalkan pintu, terlihat sebuah bangunan aula yang besar, ruang utama
bangunan kuil. Kerusakan didalam ruang utama ini jauh lebih parah, sebagian besar
bangunan atap sudah roboh hingga tembus langit, tanpa berjalan keluar
dari ruangan pun dapat menyaksikan rembulan di angkasa dengan sangat
jelas. Padahal tak usah terpantul cahaya rembulan pun, suasana dalam gedung
utama itu sudah cukup terang benderang.
Hiolo tembaga yang berada di tengah ruangan, kini sudah dipenuhi kayu
bakar, bara api tampak menjilat dengan besarnya dari situ.
"Pleetaaak! Pleetak!" bunyi kayu yang terbakar bergema tiada hentinya.
Lidah api menjilat setinggi tiga, empat depa, menari dan terbang ditengah
hembusan angin malam. Mengikuti gerakan jilatan api, pemandangan disekeliling tempat itu ikut
bergerak dan berubah. Sisa bayang bayang patung dewa tak utuh yang sejak awal terlihat aneh dan
menyeramkan, kini tampak semakin menakutkan.
Yang paling mengerikan justru bayangan hitam yang menyinari wajah
seseorang, orang yang duduk didepan hiolo tembaga itu.
Mengikuti gerak kilatan cahaya api, bayangan diwajah orang itu paling
tidak ikut berubah sebanyak tujuh kali.
Mengikuti perubahan itu, otot diwajah orang itu ikut gemetar, ikut
mengejang..... Musim gugur semakin kelam.
Dibalik hembusan angin, hawa dingin yang membeku sangat terasa.
Tapi duduk disamping bara api yang begitu panas dan besar, biar dipenuhi
manusia pun, sulit rasanya untuk membuat seseorang mengucurkan keringat.
Tapi orang itu tampak kegerahan, keringat mengalir sangat deras,
membasahi wajahnya, meleleh melalui dagunya.
Dengus napaspun makin lama semakin memburu, semakin berat dan semakin
susah. Ini semua dikarenakan dia kelewat tegang, perasaan hatinya kelewat tak
tenang. Mungkin inilah alasan kenapa terjadi kekejangan pada otot tubuh dan
Racun Berantai Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wajahnya, bukan lantaran kedinginan.
Padahal, siapapun itu orangnya, biar setegang apapun perasaan hatinya,
tak mungkin otot wajah dan tubuhnya akan mengejang dan gemetar sehebat
ini. Sebab siapapun dia, tentu memiliki selembar wajah yang utuh, meski tidak
seratus persen sempurna, paling tidak, tak akan serusak, sehancur seperti
itu. Dia hanya memiliki separuh muka yang utuh.
Sementara separuh wajah lainnya bukan saja tak utuh, bahkan sedikitpun
tiada lekukan apapun, halus, mulus bagaikan sebongkah batu kumala.
Alis mata yang tebal, sinar mata yang jeli, batang hidung yang mancung,
bibir yang tidak terlalu tebal maupun tipis, boleh dibilang setiap inci,
setiap dim separuh wajahnya nyaris sempurna, boleh dibilang setiap orang
akan menganggapnya sebagai lelaki paling indah, paling tampan dan paling
sempurna. Bi-kongcu (lelaki tampan) Giok Bu-ha, dia memang seorang pemuda tampan
yang amat tersohor dalam dunia persilatan.
Peristiwa itu terjadi pada tiga tahun berselang.
Hidup dalam dunia persilatan, siapapun tak bisa lepas dari perselisihan
dan permusuhan, tidak terkecuali Giok Bu-ha.
Dia masih muda, ganteng lagi, ilmu silat yang dimiliki terhitung hebat
pula, tak aneh kalau dia sombong dan tekebur, tidak sedikit orang yang
disalahi hingga mengikat tali permusuhan dimana-mana.
Sebagian besar dari orang orang itu bukanlah tandingannya, terkecuali
satu orang. Satu orang pun sudah lebih dari cukup.
Orang ini adalah Tong Capsa! Tong Capsa adalah anggota keluarga Tong dari
Suchuan. tags: journal Dia menempati nomor urut ke tiga belas diantara delapan belas saudara
lainnya, namun kungfu yang dimiliki justru hanya dibawah Tong lotoa, Tong
Hui-uh, tak heran kalau orang persilatan akan berubah wajah bila
mendengar namanya. Jika Giok Bu-ha tahu kalau musuhnya adalah Tong Capsa, yakin dia pasti
akan mempertimbangkan lagi keputusannya.
Sayang dia telah menyalahi pihak lawan sebelum mengetahui nama musuhnya
itu. Hingga dia sadar kalau orang yang disalahi adalah Tong Capsa, senjata
amgi beracun milik Tong Capsa sudah menghajar di pipi sebelah kirinya.
Senjata amgi beracun dari keluarga Tong sangat mematikan, namun Tong
Capsa tidak merenggut nyawanya, dia hanya merusak separuh wajah
tampannya. Ini dikarenakan Tong Capsa pun tahu, bagi Giok Bu-ha, hukuman semacam ini
jauh lebih berat ketimbang merenggut selembar nyawanya.
Sejak peristiwa itu, dunia persilatan kehilangan manusia yang bernama
Bi-kongcu Giok Bu-ha. Banyak orang mengira Giok Bu-ha sudah mati bunuh diri.
Padahal meskipun hatinya remuk redam dan sedihnya bukan kepalang, dia
enggan memilih jalan pendek.
Hal ini membuktikan kalau orang ini meski amat menyayangi ketampanan
wajahnya, namun dia lebih menyayangi selembar jiwanya.
Apalagi selama ini Sui kwan-im selalu mendampinginya, ke mana pun dia
pergi. Sui Kwan-im berasal dari marga Sui, tapi siapa nama sesungguhnya, jangan
lagi orang lain, konon dia sendiripun sudah melupakannya.
Benarkah begitu? Tentu hanya dia seorang yang tahu.
Sebutan Kwan-im adalah pemberian dari teman teman dunia persilatan,
sebuah nama pujian. Tentu bukan hanya sebutan Kwan-im saja yang dia
peroleh. Kecuali Kwan-im, orang masih menambahi dengan tiga huruf, yaitu
Cap-it-bin, sebelas wajah.
Cap-it-bin kwan-im, Kwan-im berwajah sebelas termasuk juga sejenis dewi
Kwan-im Pousat. Menurut catatan dalam kitab suci, Cap-it-bin Kwan-im benar-benar memiliki
sebelas lembar wajah, tiga wajah dibagian depan disebut wajah welas asih,
tiga wajah sebelah kiri disebut wajah marah, tiga wajah sebelah kanan
disebut wajah gigi putih, satu wajah dibagian belakang disebut wajah
tertawa gusar. Dibagian ubun ubun kepala masih ada satu lagi, disebut wajah Buddha.
Dewi Pousat boleh saja berwajah sebelas, tidak demikian dengan manusia.
Sui Kwan-im tak lebih hanya seorang manusia, tentu saja diapun tidak
terkecuali. Biarpun dia hanya berwajah satu namun memiliki beribu macam perubahan,
bahkan hampir pada saat yang bersamaan, dia bisa berubah dengan beberapa
macam mimik muka secara bergantian.
Perubahan mimik muka yang dilakukan sedemikian cepatnya, hakekatnya tak
bisa ditandingi siapapun, tak ada pula yang bisa melihat dengan jelas
perubahan mimik mukanya itu, sama seperti tak seorangpun yang mengetahui
dengan jelas bagaimana perasaan hatinya saat itu.
Ketika sedang berbicara dan bergurau dengan dirimu, mungkin ketika sampai
separuh jalan, dia sudah melotot penuh amarah, bahkan dalam sekali
tebasan pisau, dia sudah merenggut nyawamu.
Manusia semacam ini pasti mempunyai banyak musuh dan masalah, tapi selama
ini dia selalu aman tenteram.
Karena perempuan inipun pandai sekali sedia payung sebelum hujan.
Biarpun dia bukan Buddha yang memberikan kehidupan puluhan laksa
keluarga, paling tidak dia masih pantas disebut Buddha pemberi kehidupanh
ribuan orang. Apalagi diapun seorang wanita yang amat cantik.
Tak dapat disangkal lagi, Sui Kwan-im dan Giok Bu-ha memang pasangan yang
serasi. Maka dari itu sejak mereka bertemu empat tahun berselang, kedua orang itu
tak pernah berpisah lagi, Giok Bu-ha tidak romantis lagi, Sui Kwan-im
juga menjadi kwan-im bagi Giok Bu-ha seorang.
Ditinjau dari suasana masa itu, kejadian semacam ini bukan termasuk
kejadian yang aneh. Tapi sekarang, Giok Bu-ha telah berubah jadi begini rupa, Sui Kwan-im
tetap mendampingi dengan setia, dalam jangka waktu tiga tahun, perempuan
itu selalu mengintil disampingnya, kejadian semacam ini mau tak mau
menimbulkan keheranan banyak orang.
Hembusan angin di ruang tengah terasa lebih kencang daripada angin di
ruang belakang. Hembusan angin menerbangkan gaun bawah Sui Kwan-im, membuat sepasang
kakinya sebentar terlihat sebentar menghilang, dibawah sinar api,
pemandangan semacam ini membangkitkan birahi siapapun yang melihatnya.
Dia tidak mengenakan sepatu, sepasang kakinya dibiarkan telanjang.
Apakah disebabkan hal ini maka sewaktu berjalan, dia memakai ujung
kakinya? Langkah kaki perempuan ini memang ringan dan indah, kini setiap
langkahnya semakin tak bersuara.
Begitu melangkah keluar dari gedung utama, perempuan itu langsung
mengerutkan hidungnya. Dalam seluruh gedung utama, selain bau kayu bakar, terendus pula bau
harumnya obat yang sangat kental.
Harum obat itu berasal dari sebuah gentong besar yang terletak antara
Giok Bu-ha dengan hiolo tembaga.
Sebuah gentong besar terbuat dari kristal yang cukup diduduki seorang
bocah, cahaya api yang membias diantara gentong itu, memantulkan tujuh
warna warni. Diantara kebulan asap putih yang tebal diatas gentong, lamat lamat
terlihat ada berapa benda yang sedang berenang ke sana kemari.
Makhluk bertubuh panjang, berkaki banyak. Ternyata kelabang!
Ada dua belas kelabang besar yang sedang berenang, kelabang berwarna
merah. Sedemikian merahnya ibarat jilatan api yang membara, ketika berenang di
dasar gentong, bentuknya persis seperti ada jilatan api yang sedang
mengalir didasar air. Biarpun ke dua belas kelabang itu memiliki satu warna yang sama, akan
tetapi ada yang merah tua, ada pula yang merah muda. Diantaranya enam
ekor berwarna merah tua dan enam ekor sisanya berwarna merah muda.
Bagian punggung kelabang berwarna merah tua terdapat sebuah garis
berwarna hijau tua yang muncul dari kepala hingga ekor, sementara
dipunggung ke enam ekor kelabang merah muda terdapat dua buah garis yang
terpisah disisi kiri dan kanan.
Biasanya, semua kelabang memiliki garis merah diantara tubuhnya yang
berwarna hitam, tapi ke dua belas ekor kelabang itu justru merupakan
kebalikannya, sama sekali terbalik.
Ditengah kebulan asap putih yang tebal, ke dua belas ekor kelabang itu
tiada hentinya berenang kian kemari dalam gentong kristal itu, setiap
ruas tubuhnya yang merah memancarkan sinar terang, merah membara bagaikan
jilatan api. Tidak jelas apakah tergesek oleh sisik kelabang ataukah cakar yang tajam,
dinding kristal itu tiada hentinya memancarkan suara gemerisik yang aneh
dan tak sedap didengar. Suara itu lebih mirip dengan suara serombongan zombi yang sedang
merangkak keluar dari dalam liang kubur.
Seperti juga ada beribu ekor tikus sedang mengerat tulang belulang mayat
manusia..... Didalam situasi dan suasana seperti ini, bukan saja suara itu menimbulkan
keseraman dan suasana horor, bahkan sangat tak sedap didengar.
Tentu saja Giok Bu-ha ikut mendengar suara itu dengan amat jelas, namun
mimik wajahnya sama sekali tidak menunjukkan reaksi apapun.
Baginya, suara semacam ini sudah merupakan suara rutin, sudah sangat
terbiasa. Dia duduk bersila dilantai tanpa bergerak sedikitpun, sepasang matanya
memancarkan cahaya merah yang tajam, tanpa berkedip barang sedikitpun
diawasinya ke dua belas ekor kelabang didalam gentong kristal itu.
Semua semangat, pikiran dan konsentrasinya terpusat pada kelabang
kelabang itu, dia seperti tidak merasa kalau Sui Kwan-im sudah berjalan
masuk dari belakangnya. Tapi begitu Sui Kwan-im berada tujuh depa di belakangnya, mendadak dia
berpaling, berpaling dengan cepat sekali.
Kini separuh wajah kirinya yang jelek dan menakutkan telah saling
berhadapan dengan Sui Kwan-im.
tags: journal Separuh muka sebelah kirinya memang begitu menakutkan, begitu mengerikan.
Disitu sudah tiada alis mata lagi, juga tiada batang hidung, tulang
belulangnya yang berwarna putih pucat, lamat lamat terlihat dari balik
kulit arinya yang tipis, bibirnya merekah, daging diujung mulut sama
persis dengan daging didalam mulutnya, merah merekah.
Kulit dan otot diwajahnya sama sekali tak beda dengan permukaan wajahnya,
semua berwarna semu merah, semerah buah tho, merah yang dikelilingi otot
otot hijau mirip cacing sedang merangkak, bahkan tiada hentinya mengejang
dan gemetar. Hanya mata kirinya yang sedikit sempurna, tapi bola matanya sudah membeku
kaku, kelopak matanya persis seperti mata kawanan kelabang, berkilat
memancarkan cahaya hijau, sama sekali tak ada kesan kehidupan, pun tiada
keindahan ataupun daya tarik.
Siapapun dia, dapat dipastikan mereka akan terperanjat dan ketakutan
setelah menyaksikan separuh wajah Giok Bu-ha.
Sui Kwan-im sedikitpun tidak kaget!
Menghadapi separuh wajah Giok Bu-ha yang rusak parah, dia seperti sudah
terbiasa. Paras mukanya sama sekali tak berubah, ayunan langkah pun tidak berhenti.
"Bukankah kau sedang tidur?" Giok Bu-ha menatap lekat wajahnya yang ayu.
Nada suaranya begitu lembut, ringan bahkan sangat menawan untuk didengar.
Tampaknya Sui Kwan?im seolah dibuat mabuk oleh suara itu, tiba tiba saja
sorot matanya berubah jadi sayu.
Sambil setengah picingkan matanya, dia mengerling Giok Bu-ha sekejap,
lalu bisiknya: "Selama banyak tahun, suara mu sama sekali tidak berubah."
"Kita berkenalan baru mencapai empat tahun, bukan empat puluh tahun,
empat tahun bukan terhitung kelewat lama." Jawab Giok Bu-ha hambar.
"Aku justru amat menyukai suaramu itu." Imbuh Sui Kwan?im.
"Jadi kau sudah bosan dengan raut wajahku!"
"Siapa bilang?"
"Aku, bicara mewakilimu."
Cepat Sui Kwan-im.meletakkan jari tangannya diatas bibir, katanya lembut:
"Rasa curigamu masih sangat kental, bila aku membencimu, buat apa masih
mengintilmu terus?" "Ini dikarenakan kau tak berani meninggalkan aku."
Kali ini Sui Kwan?im tidak bersuara.
Setelah berhenti sejenak, kembali Giok Bu-ha melanjutkan:
"Aku termasuk seorang manusia yang cukup memahami keadaan."
"Tapi sayang kau tak pernah memahami dirimu sendiri." Tiba tiba Sui
Kwan?im tertawa. "oYa?n Sambil tertawa kembali Sui Kwan-im.melanjutkan:
"Aku benar?benar ragu, tak habis mengerti, benarkah kau tidak tahu kalau
selain wajahmu itu, kau masih memiliki banyak bagian lain yang bisa
II memikat kaum.wanita, misalnya . . . . . . . ..
Tiba tiba perempuan itu tutup mulut.
"Misalnya apa?" desak Giok Bu-ha.
Tiba tiba saja paras muka Sui Kwan?im berubah jadi merah dadu, serunya
manja: "Aah, kamu jahat, sudah jelas tahu apa yang kumaksud, kau masih sengaja
bertanya." Kontan saja Giok Bu-ha tertawa terbahak-bahak.
Paras muka Sui Kwan-im terlihat semakin merah, semakin tersipu.
Mendadak Giok Bu-ha menghentikan gelak tertawanya, sambil menarik wajah
tanyanya serius: "Kau benar benar tidak takut dengan wajahku ini?"
"Sebetulnya rada takut," jawab Sui Kwan-im dengan wajah tetap memerah,
"tapi sekarang sudah terbiasa, sedikitpun tidak merasa takut lagi,
terlebih ketika melakukan perbuatan yang itu, aku toh sama sekali tak
perlu memandang wajahmu."
Sekali lagi senyuman menghiasi wajah Giok Bu-ha.
Perlahan Sui Kwan?im mengalihkan sinar matanya ke arah gentong kristal
dihadapannya, lalu menambahkan:
"Terlebih lagi kawanan kelabangmu sudah berubah makin memerah, selewat
berapa hari lagi, asal kau bubuhkan cairan darah mereka keatas wajahmu,
maka kau akan peroleh kembali raut wajah aslimu."
Kembali senyuman yang menghiasi wajah Giok Bu-ha hilang lenyap tak
berbekas. Menyusul kemudian dia menghela napas panjang, katanya:
"Kau pandai sekali bicara, selalu membuat hati orang gembira, sayang kau
sama sekali tak sadar, selama empat tahun kita berhubungan, tiada
hentinya aku selalu mengawasi perubahan mimik mukamu."
Dengan pandangan keheranan Sui Kwan?im menatap wajahnya, dia seolah tidak
mengerti apa arti dari perkataannya itu.
"Apakah kau sedang berbohong atau tidak, cukup melihat perubahan mimik
mukamu, aku segera akan mengerti." Giok Bu-ha kembali menerangkan.
"Ooh, jadi kau menganggap aku sedang berbohong?"
Giok Bu-ha mengangguk. "Benar, selama ini kau selalu berbohong." Katanya.
Lalu setelah berhenti sejenak, tambahnya:
"Tapi aku tidak menyalahkan dirimu, karena aku sendiripun pernah
Racun Berantai Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berbohong kepadamu."
Sui Kwan-im terbungkam, menutup mulutnya rapat-rapat.
Kembali Giok Bu-ha melanjutkan:
"Kaupun tentu saja tahu kalau darah dari kelabang kelabang itu
sesungguhnya tak mungkin boleh bersentuhan dengan tubuh manusia,
sesungguhnya separuh bagian wajahku tak mungkin bisa dipulihkan kembali."
"Tapi . . . . .. bukankah tiga tahun berselang kau bilang begitu." Kata Sui
Kwan?im tercengang. "Apa gunanya kau masih pura pura bodoh, berlagak pilon? Padahal semenjak
hari itu kau sudah tahu kalau tiada kemungkinan seperti ini."
Setelah tertawa pedih, dia gerakkan tangannya dan mencongkel ke mata kiri
sendiri. "Sreeet!" biji mata kirinya segera tercongkel keluar dari dalam kelopak
matanya. Tak ada darah yang meleleh, setetes pun tak ada.
Sambil memegang bola mata itu, katanya lagi:
"Daging, otot dan syaraf yang ada di separuh wajah sebelah kiriku sudah
nyaris kaku, mati rasa, sekeliling kelopak mata pun sudah mulai membatu,
tidak merasakan apa pun, begitu pula dengan bola mata ini, maka dari itu
dengan mudah sekali dapat kukorek keluar, mata semacam ini sudah tak
berfungsi lagi, aku yakin biar Hoa Tuo lahir kembali pun, tak nanti dia
dapat menyembuhkannya."
Setelah menghela napas, kembali lanjutnya:
"Obat obatan tak akan membuat aku mati karena sakit, tapi mataku yang ini
sudah mati semenjak dahulu!"
Perlahan Sui Kwan?im menundukkan kepalanya, menatap ujung kaki sendiri.
"Tapi dulu . . . . . .. kau sendiri yang berkata begitu . . . . . .." katanya.
"Itu tak lebih hanya memberi secerca harapan untukmu," tukas Giok Bu-ha,
"selama seseorang masih memiliki harapan, kehidupannya pasti akan jauh
lebih baik dan bahagia."
Sui Kwan?im tertawa hambar.
II "Akupun tahu, ujar Giok Bu-ha lagi, "kehidupanmu selama berapa waktu
terakhir sangat tak nyaman!"
Setelah berhenti sejenak, dia kembali melanjutkanz
"Ini dikarenakan pengharapan mu selama ini akhirnya musnah, punah tak
berbekas!" Sui Kwan?im gelengkan kepalanya berulang kali, belum sempat berbicara,
Giok Bu-ha telah menyambung kembali perkataannya:
"Kau tidak perlu menyangkal, padahal sejak dahulu kau sudah tahu kalau
separuh wajah kiriku sesungguhnya tak akan tertolong lagi, tak mungkin
bisa disembuhkan dengan obat."
"Kalau memang seperti apa yang kau tuduhkan, kenapa hingga sekarang aku
masih tetap berada disini? Tiga tahun bukanlah jangka waktu yang pendek,
bila ingin meninggalkan dirimu, bukankah aku memiliki banyak kesempatan?"
"Benar, kesempatan memang sangat banyak, padahal kau pun bukan hanya
sekali saja ingin tinggalkan tempat ini secara diam diam."
"Tapi aku tak pernah meninggalkan dirimu."
"Ini dikarenakan kau terlalu memahami tabiatku, karena kau sadar, sekali
kau tinggalkan tempat ini, aku pasti akan melakukan pengejaran untuk
balas dendam, tak akan berhenti sebelum berhasil membunuhmu!"
"Kau sepertinya lupa kalau dunia ini sangat luas."
"Tidak, aku tak pernah lupa, hanya saja . . . . .. biar seluas apapun, aku
yakin menemukan jejakmu bukanlah sesuatu yang menyulitkan, mungkin saja
tak sampai belasan hari, aku sudah berhasil menemukan dirimu!"
tags: journal "Atas dasar apa kau begitu yakin?" tanya Sui Kwan-im.sambil tertawa
hambr. "Tidak berdasarkan apa apa, aku hanya cukup mengandalkan perasaanku, aku
sudah kelewat memahami tabiat serta tingkah lakumu."
"oYa?? "Manusia macam kau, tak mungkin akan bersembunyi dipuncak gunung atau
desa terpencil untuk merasakan penderitaaan hidup, setelah meninggalkan
aku, kau pasti akan mencari tempat yang paling megah dan mewah, mencari
seorang hartawan yang paling kaya. karena hanya tempat yang
bergelimpangan kemewahan yang bisa memuaskan kebutuhanmu, hanya hartawan
kaya raya yang bisa mempersembahkan uang berlimpah untuk kau nikmati."
Sui Kwan-im hanya bisa menghela napas panjang.
Mau tak mau dia harus mengakui kalau Giok Bu-ha memang benar benar
memahami karakter serta jalan pikirannya.
Terdengar Giok Bu-ha bicara lebih jauh:
"Padahal kau pun tidak seberapa baik terhadapku."
Sui Kwan-im memandang sekejap sekeliling tempat itu, lalu tertawa getir.
Sinar mata Giok Bu-ha bergerak mengikuti sorot mata Sui Kwan-im yang
beralih, kembali katanya:
"Hingga sekarang, kita harus bertempat tinggal ditempat seperti ini, hal
tersebut dikarenakan agar aku lebih leluasa mengurusi kelabang kelabang
itu, dalam waktu singkat aku akan pindah ke suatu tempat yang dapat
membuat kau merasa sangat puas."
Sui Kwan-im tertawa getir, ujarnya:
"Menurut apa yang kuketahui, selama tiga tahun terakhir, uang yang kau
miliki telah digunakan hingga tersisa sedikit sekali."
"Asal kita meninggalkan tempat ini maka dalam waktu singkat akan menjadi
kaya raya.? "Aku rasa kau tak punya harta kekayaan diluar sana."
"Benar, aku memamg tak punya, tapi orang lain punya."
"Mau jadi pencoleng pun rasanya kemampuanku jauh lebih tinggi ketimbang
dirimu." "Itu mah kejadian masa lalu, sekarang sudah jauh berbeda."
"Apa bedanya?" Sekali lagi Giok Bu-ha mengalihkan sinar matanya ke dalam gentong
kristal, setelah mengamatinya berapa saat, jawabnya:
"Kini, aku sudah mempunyai dua belas ekor kelabang api!"
"Ke dua belas ekor kelabang api ini dapat membantumu untuk merampas harta
kekayaan milik orang lain?" tak tahan Sui Kwan-im bertanya.
"Pasti bisa." "Tapi mereka tak lebih hanya dua belas ekor kelabang, bukan dua belas
orang siluman maha sakti." Kata Sui Kwan-im dengan wajah sangsi, tidak
percaya. "Jangan dipandang mereka hanya dua belas ekor kelabang, kesaktian dan
kehebatannya justru melebihi siluman sakti, gabungan dua belas orang
siluman sakti paling pada saat bersamaan hanya bisa menghabisi dua belas
orang manusia hidup, tapi mereka . . . . .. pada saat yang sama sanggup
membunuh ratusan, bahkan ribuan manusia!"
"Betukah sedemikian hebatnya?" seru Sui Kwan?im terperanjat.
"Tahukah kau, apa sebabnya selama tiga tahun terakhir aku selalu
bertempat tinggal ditempat semacam ini?"
"Karena kau takut bertemu orang, sedang ditempat ini, kecuali kau dan
aku, tiada manusia ke tiga."
Cepat Giok Bu-ha menggeleng, kembali tanyanya:
"Tahukah kau, mengapa selama ini tiada seorang manusia pun yang muncul di
tempat ini?" "Karena tempat ini kelewat terpencil."
Sekali lagi Giok Bu-ha gelengkan kepalanya.
"Kau salah, dalam radius sepuluh li sekeliling tempat ini merupakan kota
dan dusun ramai, tempat ini merupakan titik persimpangan, mana mungkin
bisa terpencil dan sepi, apalagi pemandangan alam ditempat ini sangat
indah . . . . . .." "Lalu, kenapa bisa berubah jadi begini?"
"Ini dikarenakan disekeliling sini terdapat lima jenis makhluk yang luar
biasa." "Makhluk apa?" "Laba?laba emas, kalajengking biru, katak putih, ular merah dan kelabang
hitam!" Diam diam Sui Kwan?im bergidik, katanya:
"Aku pernah bertemu dengan semua makhluk itu, kecuali bentuknya yang
jelek dan menakutkan, rasanya tidak memiliki kelebihan lain."
"Coba saja kalau sudah tergigit, kau segera akan tahu kalau masalah yang
dihadapi amat serius."
"Maksudmu, makhluk makhluk itu beracun?"
"Sangat beracun?"
"Benarkah disekitar tempat ini banyak terdapat ke lima jenis makhluk
itu?" Giok Bu-ha kembali mengalihkan sorot matanya ke dalam gentong, sahutnya:
"Asal kau berputar satu lingkaran diluar kuil, mungkin makhluk yag bisa
kau lihat sudah cukup untuk memenuhi gentong kita ini."
Tanpa sadar Sui Kwan-im celingukan ke empat penjuru, tiba tiba dia
menghembuskan napas panjang.
"Kenapa di dalam gedung kuil ini jangan lagi melihat seekor ular, bahkan
seekor laba laba pun tak ada?"
"Ini dikarenakan aku telah menebarkan obat penangkal lima racun
disekeliling bangunan kuil."
"Ooh, rupanya begitu."
"Se1ain itu, dalam hidangan yang kita makan setiap hari, selalu kucampuri
dengan pelbagai jenis obat, dengan makan obat obatan itu, tubuh kita akan
mengeluarkan sejenis bau yang khas, bau yang berfungsi sebagai penangkal
lima racun." "Waah, tak heran kalau selama tiga tahun terakhir, aku selalu merasa bau
tubuhku beda sekali dengan dulu."
"Kau pasti sudah merasakan pula kalau didalam makanan yang kita makan
setiap hari, terkadang mengeluarkan bau khas, bau yang istimewa."
"Benar, aku pun pernah menyaksikan kau mencampurkan sejenis bubuk ke
dalam hidangan kita."
"Kau tentu menyangka bubuk itu adalah sejenis obat beracun, setelah makan
bubuk tadi, begitu kau meninggalkan tempat ini, tinggalkan diriku, besar
kemungkinan kau akan mati keracunan."
"Yaa, aku memang berpendapat begitu." Sui Kwan?im.mengangguk,
membenarkan. "Mungkin saja hal ini merupakan salah satu sebab mengapa kau tak berani
meninggalkan aku." Lanjut Giok Bu-ha.
Sui Kwan?im terbungkam, mengakui.
Menyaksikan hal ini, Giok Bu-ha tertawa dingin, katanya lagi:
"Sete1ah hilang satu beban kecurigaan, sekalipun kau sadar kalau aku tak
akan ambil diam, mungkin kau akan mencoba menyerempet bahaya untuk
meninggalkan tempat ini, karena itu aku selalu tak pernah menjelaskan
dugaanmu yang salah kaprah itu."
setelah berhenti, kembali terusnya:
"Dunia jagad luas tak bertepian, biarpun gampang untuk diucapkan,
menemukan jejak seseorang di daratan yang begitu luas bukanlah pekerjaaan
mudah, kau tentu memahami pula akan hal ini."
Sui Kwan-im tertunduk, tertunduk lemas.
Sedemikian teliti dan cermatnya Giok Bu-ha, kenyataan ini sama sekali
diluar dugaannya. Menghadapi manusia semacam ini, tentu jauh lebih baik tidak menyalahi
daripada harus mencari masalah.
Giok Bu-ha mengalihkan bahan pembicaraan, katanya:
"Berhubung disekeliling tanah perbukitan ini penuh betebaran lima jenis
makhluk bercun, seindah dan sebagus apapun tempat ini, sudah pasti tak
akan ada yang berani untuk menempati atau mengunjunginya."
Kini Sui Kwan?im baru angkat wajahnya.
"Jadi halaman kuil ini . . . . . . .."
"Biarpun sejarah kuil ini belum mencapai seratus tahun, paling tidak
sudah enam tujuh puluh tahunan, mungkin jumlah lima makhluk beracun saat
itu tidak sebanyak jaman itu."
"Jadi kau memilih tempat ini karena disini terdapat lima jenis makhluk
beracun?" "Benar." "jadi kau sering menangkap lima jenis makhluk itu keranjang demi
keranjang?" "Tentunya kaupun dapat melihat bagaimana kugunakan ular, katak, laba laba
dan kalajengking itu untuk memberi makan kelabang kelabangku."
?Berarti ke lima jenis makhluk beracun itu merupakan makanan pokok
kelabang kelabang itu?"
"Bukan, asal mereka memakan makhluk beracun itu, maka kawanan kelabang
itu akan berubah semakin beracun."
"Bukankah kelabang kelabang itu memang sudah beracun?"
Giok Bu-ha manggut-manggut.
"Hanya saja sifat racun yang dimiliki tidak terlalu keras, sekalipun
sudah mereka gunakan seluruh cairan racun yang ada dalam kantung racun
mereka, ke dua belas ekor kelabang itu paling banter hanya bisa membunuh
dua belas orang manusia."
tags: journal "oooh, ternyata demi menggunakan ular, laba laba, kalajengking dan katak
beracun untuk memelihara kelabang beracunmu, maka kau sengaja tinggal di
tempat ini." kelihatannya sekarang Sui Kwan?im baru mengerti.
"Ehmm, sekarang kau sudah paham bukan."
"Seingatku, bukankah kelabang kelabang itu dulunya bertubuh hitam dengan
garis merah ditengah?" tanya Sui Kwan-im lagi setelah mengingat sejenak.
"Daya ingatmu bagus sekali."
"Tapi sekarang, kawanan kelabang itu justru kebalikannya, berubah jadi
bertubuh merah dengan garis hitam, bakal berubah jadi warna apa lagi
selanjutnya?" "Tidak bakal berubah lagi, sifat racun yang bisa mereka bentuk hanya
sebatas itu, bila dilanjutkan, kemungkinan besar mereka pun akan ikut
mati keracunan." "Kenapa bisa begitu?"
"segala sesuatu kalau sudah mencapai puncaknya, maka yang terjadi
kemudian adalah kebalikannyal"
"Kira kira apa akibatnya kalau sekarang tergigit oleh kelabang kelabang
itu?" "Kau akan mati keracunan dengan sekujur tubuh berubah jadi ungu kehitamhitaman!" "Sedemikian beracunkah gigi mereka?"
"Cairan darahnya lebih beracun, paling tidak sepuluh kali lipat."
"Sungguh?" agak berubah wajah Sui Kwan-im.
"Masih ingat pada setengah tahun berselang, aku pernah mengajak kau
berkunjung ke dusun Thio?keh?cun?"
"Yaa, aku masih ingat, sebuah dusun kecil yang berada berapa li ke arah
selatan." "Ketika tiba di mulut dusun, tengah malam sudah tiba." Sambung Giok
Bu?ha. "Benar, ketika memasuki dusun itu, tak seorang penduduk desa yang
ditemukan masih hidup, mayat mereka bergelimpangan di mana-mana."
"Kau masih ingat bagaimana bentuk mayat mayat itu?" tanya Giok Bu-ha
kemudian. Paras muka Sui Kwan-im seketika berubah jadi pucat pasi, sahutnya
gemetar: "Seluruh tubuh mereka hitam keungu-ungu an..... aku masih ingat, malam
itu kau sempat pergi sendirian, apakah saat itu kau telah melepaskan
kawanan kelabang itu ke dalam dusun mereka dan menggigit mati seluruh
penduduknya?" "Aku hanya membedah perut salah satu dari kelabang kelabang itu lalu
kuceburkan ke dalam sumur mereka." Jawab Giok Bu-ha santai.
Lalu setelah berhenti sejenak, terusnya:
"Mustinya kau masih ingat bukan, pada awalnya aku memelihara tiga belas
ekor kelabang." Sui Kwan-im terbungkam, tak sepatah kata pun sanggup diucapkan.
Kembali Giok Bu-ha melanjutkan kata-katanya:
Racun Berantai Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Waktu itu, kelabang tersebut belum jadi, be1um.mencapai kesempurnaan,
selisih jauh bila dibandingkan dengan ke dua belas ekor kelabang yang
berada didalam gentong."
Tiba tiba Sui Kwan?im bertanya:
"Andaikata darah beracun kelabang kelabang itu dioleskan ke separuh
wajahmu sekarang, kira kira apa reaksinya?"
"Biarpun aku tak tahu, namun dapat memastikan, biar aku memiliki sepuluh
lembar nyawa pun pasti akan ludas semua."
"Lalu bagaimana cara mereka membantumu merebut harta kekayaan milik orang
lain?" Sui Kwan-im mengalihkan pembicaraan.
Dengan tangannya, Giok Bu-ha membelah wajah kirinya yang cacat, bukan
menjawab pertanyaan perempuan itu, dia malah balik bertanya:
"Kau seharusnya masih ingat bukan, siapa yang telah membuat separuh
wajahku menjadi begini?"
"Tong Capsa." "Betul sekali, Tong Capsa." Berkilat tajam sepasang mata Giok Bu?ha.
Setelah tarik napas, lanjutnya:
"Tong Capsa merupakan salah satu anggota delapan belas lebah dari
perguruan Tong, kemampuan amginya konon hanya dibawah kemampuan lotoa
mereka Tong Hui?uh."
"Sudah berulang kali kau singgung tentang orang ini dihadapanku."
"Tujuanku paling utama dalam memelihara kelabang beracun ini tak lain
adalah untuk menghadapi orang ini."
"Balas dendam?"
"Dendam yang tidak dibalas bukan perbuatan seorang kuncu!"
Sui Kwan-im menghela napas panjang.
"Aaai, aku tahu, tingkah lakumu selama ini kelewat mirip perbuatan
seorang kuncu." Giok Bu-ha tertawa dingin.
"Bagi seorang kuncu, tiga tahun kemudian baru balas dendam pun tidak
terhitung kelewat lambat."
"Rasanya sekarang sudah genap tiga tahun."
"Termasuk hari ini, sudah tiga tahun lewat lima puluh empat hari."
"sejelas itu kau mengingatnya?"
"Bagiku, masih ada persoalan apa lagi yang jauh lebih penting daripada
balas dendam? Mana mungkin aku bisa melupakan hari dengan begitu saja?"
"Bila Tong Capsa mengetahui kau adalah manusia semacam ini, dia pasti
sangat menyesal kenapa tidak membunuhmu diwaktu itu." Kata Sui Kwan-im.
Lalu setelah menepuk dada sendiri, kembali katanya:
"Sebenarnya aku memang merasa agak menyesal kenapa diriku tidak paham
cara untuk meninggalkan tempat ini lebih dini, tapi sekarang aku justru
merasa diriku beruntung."
"Benar, kau memang harus bersyukur atas keberuntunganmu itu."
"Kelihatannya kau telah selesai mempersiapkan segala sesuatunya untuk
melakukan pembalasan dendam?"
Giok Bu-ha manggut manggut.
"Lalu kapan rencanamu mulai bertindak?"
"Besok." "Pasti akan berhasil?" kembali Sui Kwan-im bertanya.
"Kecuali Tong Capsa tak ada ditempat ketika kulaksanakan rencanaku, kalau
tidak, dia pasti mati!"
Sesudah tertawa dingin, dia menambahkan:
"Tentu saja aku pasti baru akan bertindak setelah yakin kalau dia tidak
meninggalkan rumah!"
"Kalau kudengar dari perkataanmu itu, tampaknya sasaran balas dendamu
bukan hanya Tong Capsa seorang, melainkan seluruh anggota perguruan
keluarga Tong!" Kembali Giok Bu-ha tertawa dingin.
"Hmm, kalau hanya membunuh Tong Capsa seorang, mana mungkin dendam
kesumatku bisa terlampiaskan!"
Tanpa terasa Sui Kwan-im bergidik, bulu kuduknya bangun berdiri, tanyanya
keheranan: "Tong Capsa seorang pun sudah tak gampang untuk dihadapi, bagaimana
mungkin kau bisa menghadapi seluruh anggota keluarga Tong?"
"Jika harus bentrok secara berhadapan muka, tak seorang manusiapun,
bahkan tak satu partai atau perguruanpun yang sanggup menghadapi
perguruan keluarga Tong, seperti yang diketahui, seluruh anggota keluarga
Tong merupakan jago jago amgi, jenis amgi yang digunakan pihak perguruan
mereka pun beraneka macam, bahkan hampir semuanya sangat beracun!"
II "Jadi rencanamu . . . . . . ..
"Dengan racun melawan racun!"
"Kau hendak menggunakan kelabang kelabang itu?"
"Betul." Perasaaan sangsi, setengah percaya terlintas diwajah Sui Kwan-im.
Menyaksikan hal itu, Giok Bu-ha segera menjelaskan:
"Markas besar keluarga Tong berada dalam lembah racun di wilayah
Suchuan." "Aku pernah mendengar orang menyinggung tentang tempat itu."
"Keadaan didalam lembah racun amat gersang, tiada tumbuhan atau rumput
yang dapat tumbuh disitu," kembali Giok Bu-ha melanjutkan, "sepanjang
tahun hawa racun menyelimuti setiap jengkal tanah, padahal hawa beracun
itu merupakan reaksi yang dipancarkan senjata rahasia anak murid keluarga
Tong sewaktu berlatih ilmu sehingga akhirnya terwujudlah kabut beracun
yang bersifat kekal dalam lembah itu."
Setelah tertawa dingin, kembali ujarnya:
"Tentu saja anggota perguruan keluarga Tong tidak takut menghisap hawa
beracun itu, namun disebabkan pengaruh hawa racun semacam itu, setiap
hari, seluruh anggota keluarga Tong harus minum air da1am.jumlah yang
banyak, khususnya setiap pagi hari."
tags: journal "Memangnya kenapa?" tanya Sui Kwan-im.
"Didalam lembah racun tidak terdapat sumber air, air yang diminum orang
orang keluarga Tong berasal dari telaga alam diatas bukit yang disalurkan
ke dalam lembah mereka melalui saluran rahasia."
"Sudah pasti hal ini merupakan sebuah rahasia besar."
"Tentu saja." "Kalau memang sebuah rahasia, darimana kau bisa mengetahuinya?"
"Dalam setiap partai atau perguruan, pasti terdapat satu dua orang murid
murtad, tidak terkecuali dalam perguruan keluarga Tong."
"Masa begitu kebetulan, kau bisa bertemu dengan murid murtad dari
perguruan keluarga Tong?"
"Memang sangat kebetulan."
"Jadi kau akan manfaatkan saluran rahasia itu?"
"Hanya saluran air itu saja yang dapat kupergunakan."
"Melepaskan racun?"
"Betul, sama seperti apa yang kulakukan di dusun Thio-keh-cun tempo hari,
mencampurkan racun ke dalam air mereka."
"Aku rasa anggota perguruan keluarga Tong beda dengan penduduk dusun
II Thio?keh?cun, ujar Sui Kwan?im, "kalau dilihat kemampuan mereka untuk
hidup didalam lembah beracun, seharusnya tidak segampang itu untuk
keracunan." "Tentu saja racun biasa tak bisa berbuat apa apa terhadap mereka."
Sekali lagi dia alihkan sinar matanya ke dalam gentong kristal itu,
terusnya: "Ke dua belas ekor kelabang api ini telah menghimpun racun dari 1aba?laba
emas, katak putih, ular merah, kalajengking biru didalam tubuhnya, dengan
panca bisa menyatu, sudah pasti kehebatan racunnya menakutkan. Jika
cairan darah mereka dicampurkan ke dalam air, siapapun yang meminumnya
pasti akan mati seketika!"
Tanpa terasa Sekali lagi Sui Kwan?im.merasa bergidik, merasa ngeri sampai
bulu kuduknya pada berdiri.
Giok Bu?ha menyeringai seram, katanya lagi:
"Selain percobaan di dusun Thio?keh?cun, berulang kali kugunakan hewan
yang ada didalam hutan sebagai kelinci percobaan, makanya aku mempunyai
perhitungan yang tepat akan kehebatan racun dari kelabang api itu."
"Jadi kau benar benar berencana akan membunuh seluruh anggota perguruan
keluarga Tong?" tanya Sui Kwan-im dengan suara gemetar.
"Sekarang boleh saja kau tidak percaya."
"Masa keluarga Tong kaya raya?" tanya Sui Kwan-im lebih jauh.
"Selama ratusan tahun terakhir, keluarga Tong terhitung salah satu
keluarga paling kaya dari tiga keluarga terkaya dalam dunia persilatan,
menurut kabar yang kudapat, harta kekayaan yang dimiliki keluarga Tong
mempunyai nilai yang tak kalah dengan kekayaan istana kaisar."
Seketika sinar mata Sui Kwan?im berkilauan, teriaknya tak tahan:
"Tak heran bila kau ingin membantai seluruh anggota keluarga Tong!"
"Sekali pukul mendapat dua hasil, bukankah hal ini menyenangkan?" kata
Giok Bu?ha hambar. Kembali perasaan sangsi melintas diwajah Sui Kwan-im, tegasnya:
"Semua yang kau katakan itu benar?"
"Semua yang kukatakan pada malam ini adalah kata sejujurnya."
"Aneh, kenapa secara tiba tiba kau ajak aku bicara jujur pada malam ini?"
"Besok aku akan mulai bergerak, da1am.me1akukan rencanaku ini, aku butuh
seorang pembantu." "Tentu aku adalah pembantu yang paling ideal untukmu bukan."
"Yang aku butuhkan adalah kerja sama yang tulus dan ikhlas dari dirimu."
"Karena itu kau ingin berterus terang lebih dulu dengan menyampaikan
semua rahasia itu?" "Betul." "Tidak kuatir kubocorkan rahasiamu itu?"
"Masa kau akan bocorkan rahasia ini?" Giok Bu-ha balik bertanya.
Sui Kwan-im menghela napas panjang.
"Duit itu dibagi berdua pun rasanya sudah kebanyakan bagiku."
Tiba tiba ia bertanya lagi sesudah berhenti sejenak:
"Kau tidak kuatir setelah semua harta karun itu kita dapatkan, lalu
timbul niatku untuk menelannya seorang diri, mencari kesempatan untuk
membunuhmu?" "Harta kekayaan itu begitu banyak sehingga meski seseorang yang tahu
bagaimana cara menghaburnya pun, belum tentu harta itu akan habis dipakai
dalam tiga keturunan, memangnya kau bisa hidup selama tiga keturunan!"
"Aku rasa kemampuanmu menghambur uang masih belum setengahnya
kemampuanku." Ucap Sui Kwan-im sambil menggeleng.
"Maka dari itu kau tak perlu kuatir."
"Ada satu hal justru membuatku kuatir."
"Soa1 apa?" "Aku kuatir rahasiamu ini sudah bukan rahasia lagi." Kata Sui Kwan-im.
"Atas dasar apa kau berpikir demikian?"
"Kau benar benar tak pernah membicarakan soal rahasia ini dengan orang
lain?" "Kenapa aku harus membicarakannya dengan orang lain?" sahut Giok Bu-ha.
Lalu setelah tertawa, tanyanya lagi:
"Dalam tiga tahun terakhir, bukankah kau selalu berada disampingku?"
Sui Kwan?im manggut manggut membenarkan.
"Tapi berapa kali kau pun pernah pergi keluar seorang diri!" katanya.
Tiba tiba Giok Bu-ha mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak bahak.
"Hahaha, tampaknya kecurigaanmu jauh lebih besar ketimbang diriku."
"Mungkin saja ini dikarenakan hasil yang bakal diperoleh jika usaha ini
berhasil kelewat besar, maka rasa curiga ku pun ikut meningkat." Kata
perempuan itu sambil tertawa.
Giok Bu?ha tertawa terbahak bahak.
"Hahaha..... jangan kuatir, rahasia itu kusimpan selalu dalam hati, malam
ini baru kali pertama kukatakan."
Setelah menyapu sekejap sekeliling tempat itu, kembali ujarnya:
"Kecuali kau, hanya patung patung dewa itu yang mendengar rahasia ini!"
Segulung angin malam berhembus lewat.
Lidah api kayu bakar dibawah hiolo kembali menjilat setinggi satu depa,
"kreetekkk," "Kreeetek," menimbulkan suara yang nyaring.
Bayangan api pun menyelimuti empat penjuru, membuat suasana disana terasa
aneh dan menggidikkan. Patung patung dewa yang terbias cahaya pun, memantulkan bayang bayang
menyeramkan. Dengan tatapan mata yang tajam, Giok Bu?ha memandang sekejap kawanan
patung itu, gelak tertawanya semakin nyaring, terusnya:
"Memangnya patung patung dewa ini bisa membocorkan rahasiaku ini ke
luar?? Tapi secara tiba tiba dia menghentikan perkataannya, menghentikan gelak
tertawanya dengan begitu saja.
Semuanya berhenti secara mendadak dan sama Sekali tak terduga.
Kembali suara kayu bakar yang terlalap api bergema ditengah ruang kuil.
Lalu . . . . .. muncul lagi suara, tapi bukan suara api yang sedang melalap
kayu bakar. Suara aneh kali ini berasal dari belakang Giok Bu?ha.
Patung dewa di belakang meja altar yang menghadap ke pintu luar gedung
utama adalah sebuah patung Ji-lay?hud.
Cat kuning ditubuh patung itu sudah banyak yang mengelupas, tapi patung
Ji-lay-hud sendiri sama sekali tak ada yang rusak atau retak, dia
merupakan satu satunya patung persembahan yang paling utuh.
Suara aneh itu berasal dari belakang patung Ji-lay-hud, patung besar itu.
Giok Bu?ha segera berpaling, dengan sorot mata yang tajam.mengawasi
patung itu tanpa berkedip.
"Pletak!" suara nyaring kembali bergema, tiba tiba saja patung Ji-lay-hud
yang utuh dan besar itu merekah lalu pecah menjadi berapa bagian.
tags: journal Sorot mata Sui Kwan-im ikut dialihkan ke arah patung dewa itu, ujarnya
kemudian: "Ternyata patung Ji-lay ini memang terbuat dari tanah liat."
"Memang kau sangka terbuat dari apa?"
"Kalau terbuat dari emas murni, masa ditinggal disini?" kata Sui Kwan-im
sambil tertawa merdu, "semula kusangka terbuat dari besi atau tembaga."
"Terbuat dari besi pun sama saja, tak mungkin bisa utuh hingga sekarang."
"Aaah, betul," Sui Kwan?im manggut-manggut, "aku lupa kalau besi pun sama
saja, laku diloakkan."
Setelah memandang sekejap seputar tempat itu, kembali ujarnya:
"Tentu saja tanah liat tidak sekuat besi, Cepat atau lambat akhirnya
pasti akan ambruk juga, tapi anehnya, kenapa bukan dulu, bukan nanti,
patung itu justru ambruk dan hancur disaat kau sedang menyampaikan
perkataanmu itu, aneh sekali."
"Memang aneh sekali!" sambung Giok Bu-ha sambil tertawa dingin.
Perkataannya belum hilang, senyuman diwajahnya sudah lenyap tak berbekas,
sepasang matanya melotot makin besar, mengawasi patung Ji-lay-hud itu
tanpa berkedip, badannya kaku, seakan lebih kaku daripada sesosok mayat.
Sementara pembicaraan mereka masih berlangsung, patung Ji?lay-hud itu
sudah mulai runtuh. Yang lebih mengherankan, patung itu roboh dengan begitu lambat, kelewat
lambat. Patung dewa setinggi tujuh depa itu . . . . . .. "Pletak." "pletak." Segera
retak dan pecah menjadi berapa bagian.
Bila keretakan itu terjadi dalam waktu singkat, dapat dipastikan patung
dewa itu segera akan runtuh dan hancur berantakan.
Tidak demikian dengan patung dewa itu, keretakan terjadi Sebagian demi
sebagian. Sebagian patung retak, mengelupas lalu runtuh ke bawah dan hancur.
Khususnya dibagian wajah patung itu, keretakan terjadi sangat luar biasa,
merekah bagaikan jaring laba-laba, retak, pecah dan mengelupas.
Dalam waktu singkat, wajah yang angker dan saleh itu telah berubah
menjadi wajah setan yang menyeramkan.
Ketika wajah setan itu mengelupas dan lenyap, dibagian belakangnya masih
Racun Berantai Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
muncul lagi selembar wajah.
Kali ini bukan wajah Buddha, juga bukan wajah setan.
Wajah Buddha tidak seseram itu, wajah itupun tidak sejelek, tidak sejelek
wajah setan. Dia mempunyai alis mata yang kaku dengan hidung yang mancung dan bibir
yang sedikit tebal. Raut muka itu, nyaris setiap inci, setiap jengkal seolah terpahat oleh
sebilah pisau tajam. Pucat, putih bagaikan mayat.
Yang pasti lembaran wajah itu bukan selembar wajah orang mati.
Wajah orang mati kaku dan dingin, tapi wajah itu masih mampu
memperlihatkan perubahan.
Diantara kilatan sinar matahari, tiba tiba saja wajah itu menampilkan
sekulum senyuman. Senyuman yang dingin membeku, senyuman yang sadis menyeramkan.
Menyusul kemudian terdengar jeritan kaget menggema didalam ruang kuil.
"Tong Capsa!" teriak Giok Bu-ha.
Ditengah jeritan kaget, sepasang tangannya sudah menekan disisi gentong
kristal itu lalu bagaikan sebuah kincir angin, dia berjumpalitan melewati
gentong itu dan meluncur turun disisi lain gentong kristalnya.
"Braaak, kraaak . . . . . .!" ditengah suara hiruk pikuk yang menusuk
pendengaran, bagian tubuh patung dewa itu sudah roboh ke tanah.
Pasir dan debu segera beterbangan memenuhi angkasa.
Ternyata di belakang wajah patung Buddha itu masih ada wajah lain,
dibelakang tubuh patung dewa itu masih ada tubuh lain.
Seorang manusia berbaju hitam, bagaikan sebuah tombak kaku berdiri tegak
diatas meja persembahan. Dengan robohnya patung dewa, maka muncullah manusia berbaju hitam itu.
Sejak kapan dia bersembunyi di belakang patung Buddha Ji?1ay-hud? Giok
Bu-ha tidak tahu. orang ini tidak terlalu asing baginya, karena wajah orang ini sudah
terukir hingga ke lubuk hatinya.
Dialah manusia yang telah merusak separuh wajah tampannya, dialah Tong
Capsa yang membuat dia berubah jadi begini rupa.
Debu dan pasir yang beterbangan akhirnya mereda, pemandangan dalam ruang
kuil pun mulai terlihat jelas.
Tong Capsa masih berdiri diatas meja altar, berdiri tegak dengan wajah
dihiasi senyuman. Giok Bu-ha justru tak mampu tertawa lagi.
Paras muka Sui Kwan?im telah berubah menghijau, hijau kepucat pucatan.
Tiada gerakan, tiada suara pembicaraan, seluruh ruang kuil tercekam dalam
keheningan yang luar biasa, melebihi heningnya kuburan.
Akhirnya Sui Kwan?im yang memecahkan keheningan itu.
Dia tatap wajah Tong Capsa lekat lekat, lalu dengan perasaan sangsi
tanyanya: "Sebenarnya kau manusia atau setan?"
"Manusia!" jawab Tong Capsa tanpa berkedip.
Sui Kwan?im menghembuskan napas panjang.
Kembali Tong Capsa berkata:
"Konon setan tak punya bayangan sedang manusia punya, masa kau tidak
melihat bayangan tubuhku?"
Dia memang mempunyai bayang bayang.
Cahaya api memantulkan bayangan tubuhnya diatas dinding, dinding di
belakang meja altar. II "Sekarang aku telah melihatnya. Kata Sui Kwan?im.
Tong Capsa tidak menanggapi, kepada Giok Bu-ha ujarnya:
"Sete1ah berpisah tiga tahun, ternyata kau masih mengenaliku, bahkan
dalam pandangan pertama kau sudah dapat mengenaliku!"
"Hmm, biarpun kau sudah berubah jadi abu pun, aku tetap dapat
mengenalimul" jawab Giok Bu-ha ketus.
"Aku mengerti, kau pasti sudah mengingatku hingga merasuk ke tulang
sumsum." Tong Capsa manggut manggut.
"Kau memang seharusnya mengerti."
"Hingga sekarang aku baru tahu, ternyata kau adalah manusia semacam itu,
beruntung sekali belum terlambat." Lanjut Tong Capsa.
Giok Bu-ha terbungkam, tidak menanggapi.
Tong Capsa menyapu sekejap sekeliling tempat itu, lalu ujarnya lagi:
"Tak dapat disangkal, patung patung Buddha itu tak bakal membocorkan
rahasia besarmu itu, tapi sayang di belakang patung Buddha itu masih
tersembunyi aku, sehingga rahasia besarmu itu kini sudah tidak menjadi
rahasia lagi." "Belum tentu!" tukas Giok Bu-ha.
"Bila kau mampu membunuhku, sudah pasti belum tentu, hanya masalahnya
apakah kau memiliki kepandaian tersebut."
"Hmm, dalam waktu singkat kau akan mengerti sendiri." Jawab Giok Bu-ha
ketus. "Ooh, kusangka kau segera akan membuat aku mengerti."
"Kau sangka aku tak ingin selesaikan pertarungan ini secepatnya?"
"Lantas apa lagi yang kau tunggu?"
"Ingin menanyakan satu hal lebih dulu kepadamu."
"Tanyakan saja."
"Bagaimana mungkin kau bisa sampai di tempat ini?"
"Selama berapa tahun belakangan, aku selalu merasa senjata amgi yang
diramu perguruan keluarga Tong kami kurang beracun, jadi timbul hasrat
untuk merubahnya. Kebetulan pada bulan berselang ada teman beritahu
kepadaku, kalau disini berkumpul lima jenis makhluk berbisa, makhluk yang
mungkin sangat membantu usahaku meramu racun canggih, karena itulah aku
datang kemari." "Sejak kapan kau tiba disini?" desak Giok Bu-ha lebih lanjut.
"Dua hari berselang."
"Maksudmu kau sudah menemukan jejakku Sejak dua hari berselang?"
Cepat Tong Capsa menggeleng, katanya:
"Selama dua hari berselang, aku selalu berkeliaran di sebuah lembah
selatan tempat ini, baru hari ini aku iseng berjalan menuju ke utara dan
kutemukan kalau disini ada sebuah kuil kuno, bahkan pada saat yang
bersamaan akupun menjupai sebuah kejadian yang sangat aneh."
"Kejadian apa?"
"Ada begitu banyak lima makhluk beracun yang berkumpul diluar kuil, namun
tak seekor pun berani masuk kemari, pada awalnya kusangka dalam kuil ini
terdapat makhluk beracun yang jauh lebih lihay dari ke lima makhluk
tersebut, tapi ketika kudekati, segera terendus bau harum obat, dan pada
saat itulah kujumpai kau berjalan keluar dari dalam kuil."
tags: journal "Kenapa aku tidak melihat kehadiranmu?"
"Padahal sebelum kau menampakkan diri, aku sudah mendengar suara langkah
kakimu, maka akupun bertiarap menyembunyikan diri dibalik semak belukar."
Giok Bu-ha percaya apa yang dikatakan Tong Capsa memang benar, tidak
bohong. Karena dia tahu, anak murid perguruan Tong kebanyakan adalah jago jago
amgi, terlebih Tong Capsa, dia merupakan jago paling tangguh diantara
jago jago tangguh lainnya dari keluarga Tong.
Bila seseorang sudah disebut sebagai jago tangguh senjata rahasia, gerak
tangan dan kakinya pasti enteng dan cekatan, pendengaran serta
penglihatannya juga lebih sensitip daripada orang lain.
Maka setelah mendengus dingin, katanya:
"Sudah pasti kau segera kenali aku."
"Tentu saja." Jawab Tong Capsa, lalu setelah tertawa terbahak bahak,
tambahnya, "wajahmu sangat mudah dikenal, apalagi merupakan hasil
karyaku." Giok Bu-ha sama sekali tidak gusar, katanya:
"Waktu itu aku keluar ruangan karena harus menyiapkan makanan untuk ke
dua belas ekor kelabang api ku."
"Aku saksikan kau menangkapi kalajengking dan katak beracun lalu
dimasukkan ke dalam keranjang."
"Sudah pasti kau keheranan?"
"Tentu saja, oleh Sebab itulah begitu kau pergi jauh, secara diam diam
akupun menyelundup masuk ke dalam kuil."
"Coba kalau ular merah dan laba laba emas bukan hanya bisa ditangkap
didalam hutan sebelah sana, aku tak bakalan pergi terlalu jauh."
"Sekalipun kau tidak pergi terlalu jauh pun bukan masalah, dari luar kuil
pun aku sama saja dapat mencuri dengar semua pembicaraanmu, hanya saja
tidak senyaman berada di belakang patung Buddha itu."
Lalu dengan sorot mata yang dingin bagaikan es, dia tatap lawannya
sekejap, kemudian tambahnya:
"sama sekali tak kusangka kalau hatimu jauh lebih jahat, kejam dan buas
ketimbang aku." "Kini kau sudah mengetahui rahasiaku ini, lalu apa rencana mu?" tanya
Giok Bu-ha. "Buat apa musti ditanyakan lagi?"
Giok Bu-ha tertawa hambar, ucapnya:
"Malam ini, aku percaya kalau bukan kau yang mati, sudah pasti akulah
yang binasa!" Tong Capsa mengangguk membenarkan.
"Kali ini, aku tak akan membiarkan kau hidup terus." Janjinya.
Kemudian setelah mengerling sekejap kearah Sui Kwan-im sembari
mengulapkan tangannya, dia menambahkan:
"Nyonya kecil, lebih baik menyingkir lah ke samping."
Keadaan Sui Kwan-im saat itu tak ubahnya seperti seekor kelinci yang baru
saja lolos dari terkaman harimau, tanpa banyak bicara, cepat dia melompat
mundur dan menyembunyikan diri di sudut ruangan.
Menyaksikan hal ini, Tong Capsa segera tertawa lebar, katanya kepada Giok
Bu-ha: "Tak kusangka ternyata dia adalah seorang wanita cerdas."
"Memang begitulah pada dasarnya." Sahut Giok Bu-ha dengan wajah hijau
membesi. "Aku jamin dia tak akan turun tangan membantumu." Ejek Tong Capsa sambil
menyeringai. "Ini semua tergantung bagaimana hasil akhir duel kita berdua."
"Maksudmu, bila kau berhasil menghajarku hingga tinggal menunggu
kematian, dia tentu akan membantumu agar menghemat tenaga dengan
menghabisi nyawaku."
"Sudah pasti!" "Ehm, begitu pun ada baiknya."
"ooh_____u "Bisa mati dibawah bunga Botan, jadi setan pun tetap romantis."
Kini Giok Bu-ha baru mengerti apa yang dimaksud lawannya, kontan dia
tertawa dingin. "Hmm, ternyata kau pun ingin menjadi setan romantis."
"Bila mati ditanganmu, aku bakal menjadi setan penasaran, bukankah setan
romantis jauh lebih nyaman daripada mati penasaran?"
"Tampaknya bila kau berhasil menghajarku hingga aku tinggal menunggu
mati, kaupun akan mengundang dia untuk menghantar aku berangkat ke langit
barat?" "Hahahahha.... rupanya kau pun berharap bisa menjadi seorang setan
romantis?" Tong Capsa tertawa terbahak-bahak.
"Sejak dulu aku memang seseorang yang romantis."
Tong Capsa tertawa tiada hentinya.
"Hahahaha, jangan kuatir, aku pasti akan membuat keinginanmu
terkabulkan." Janjinya.
"Justru yang kukuatirkan, kau tak sanggup menghajarku hingga setengah
mati." "Masa kau sudah melupakan kejadian pada tiga tahun berselang?"
"Tiga hari berpisah pun bisa terjadi perubahan, apalagi tiga tahun?"
"Masa dalam tiga tahun ini kau berhasil mempelajari semacam ilmu silat
tangguh?" "Kenapa? Kau takut?"
"Paling tidak hampir dua jam lamanya aku bersembunyi di belakang patung
Buddha, tahukah kau, selama dua jam ini ada berapa banyak kesempatan
bagiku untuk melepaskan senjata rahasia?"
"Banyak kali!" "Benar, banyak kali, dalam dua jam penantian, setiap saat aku dapat
menyelinap keluar dari belakang patung Buddha dan menyergapmu dengan
menggunakan senjata rahasia!"
"Dengan kepandaianmu melepaskan senjata rahasia, bila sampai menyerangku
secara tiba tiba, bisa dipastikan aku tak akan mampu menghindarkan diri!"
"Tapi aku tidak berbuat begitu." Kata Tong Capsa.
"Masa kaupun seorang lelaki sejati?" ejek Giok Bu-ha sambil tertawa
dingin. Dengan cepat Tong Capsa menggeleng.
"Aaah. Aku hampir saja lupa," kembali Giok Bu-ha mengejek sambil tertawa
dingin, "sebagai seorang lelaki sejati, kau memang tak perlu menggunakan
senjata rahasia." Setelah berhenti sejenak, kembali tanyanya:
"Itukah alasannya?"
"Tidak perlu harus berbuat begitu!" jawab Tong Capsa sepatah demi sepatah
kata. Atau dengan perkataan lain, pada hakekatnya dia tidak pandang sebelah
matapun atas kehadiran Giok Bu-ha.
Kali ini Giok Bu-ha terbungkam, tidak bicara lagi.
"Masih ada yang ingin kau tanyakan?" tanya Tong Capsa kemudian.
"Tidak ada!" Sambil berkata, dia meloloskan sebilah pedang, sebilah pedang ditangan
kanannya. Pedang itu sepanjang tiga depa (satu meter), mata pedang jernih dan
berkilat bagai air sungai.
Kembali tangan kirinya menepuk ke wajah sendiri, bola mata yang sudah
membeku kaku dan sejak tadi dipegang dalam genggamannya itu, segera
dimasukkan kembali ke dalam kelopak matanya.
Menyaksikan tingkah laku lawannya, Tong Capsa segera berkata:
"Tak ada gunanya kau simpan terus bola mata itu, kenapa tidak dibuang
saja, daripada merepotkan?"
Giok Bu-ha tidak menjawab, bola mata kirinya yang dingin membeku itu
mendadak memancarkan Cahaya, secerca Cahaya api yang sangat aneh.
Cahaya kematian! Entah kenapa, menyaksikan hal tersebut, tiba tiba saja Tong Capsa merasa
hatinya bergidik. Kini, tangan kiri Giok Bu-ha sudah dimasukkan ke dalam gentong kristalnya
dan mulai meraba didasar gentong.
Ketika tangan kirinya dicabut keluar dari dalam gentong, kini sudah
bertambah dengan sebuah tameng bulat yang besarnya sekitar dua depa (enam
puluh senti). Tameng bulat itu hitam tapi berkilat, mirip terbuat dari besi baca,
ketebalannya tak seberapa, sudah pasti ditempa hingga cukup tipis.
Begitulah, dengan tangan kiri memegang tameng besi, tangan kanan
menggenggam pedang, perlahan-lahan Giok Bu-ha bangkit berdiri dari
belakang gentong. Tong Capsa memandang sekejap tameng besinya itu, kemudian menegur:
"Kalau tidak salah, dahulu kau tidak memakai tameng besi?"
"Belum sampai dua tahun tamengku ini selesai ditempa."
"Ooh, peralatan yang khusus dipersiapkan untuk menghadapi aku?"
"Betul." Sekali lagi Tong Capsa tertawa.
"Jadi kau sangka dengan membawa tameng besi ini, maka kau mampu
menghadang senjata rahasia ku?" ejeknya.
"Bisa atau tidak, segera kau akan tahu."
Dia segera bergeser selangkah ke samping kemudian selangkah lagi menjauhi
gentong kristalnya. Ditinjau dari sikapnya, dia sudah siap melancarkan serangan.
Racun Berantai Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tong Capsa mempersiapkan diri pula.
Ketika Giok Bu-ha mulai melangkah ke samping, senyuman diwajahnya
seketika hilang lenyap, ketika Giok Bu-ha melangkah untuk kedua kalinya,
sepasang tangannya sudah menempel diatas kantong kulit macan yang terikat
dipinggangnya. Sekalipun dalam setiap pembicaraan, dia seolah tidak pandang sebelah
matapun terhadap Giok Bu-ha, tapi menjelang tibanya serangan, dia justru
bersikap seolah sedang menghadapi musuh tangguh.
Menghadapi musuh macam apa pun, dia selalu bersikap demikian.
Sejak terjun ke dalam dunia persilatan, dia tak pernah pandang enteng
lawan lawannya, walau sekali pun.
Itulah sebabnya, walaupun sudah beratus babak pertarungan yang harus
dihadapi, dia masih dapat hidup segar bugar hingga kini.
Ketika langkah kaki kedua Giok Bu-ha baru bergeser, senjata rahasia Tong
Capsa sudah berada dalam genggamannya.
Tiba tiba saja dia menjerit lengking, jeritan lengking seperti kuntilanak
yang segera membelah keheningan malam dalam gedung kuil itu.
Belum selesai jeritan lengking itu, tubuh Tong Capsa sudah melambung di
tengah udara. Dia sudah melambung tinggi di angkasa bagaikan burung malam.
Begitu berada diketinggian satu tombak delapan depa, tiba tiba badannya
berjumpalitan ditengah udara. dari sekeliling tubuhnya segera terpancar
selapis cahaya tajam berwarna hijau.
Senjata rahasia beracun. Dia sudah melepaskan senjata rahasia beracun! Tiga belas macam senjata
rahasia! Dari ke tiga belas macam senjata rahasia itu, ada yang besar, ada yang
kecil, ada yang banyak, ada yang sedikit, ada yang sebesar jari tangan
dengan berat tiga kati, ada pula yang lembut bagaikan bulu kerbau, pada
hekekatnya beraneka ragam.
Tak bisa disangkal lagi, Tong Capsa memang seorang jagoan yang tangguh
dalam menggunakan senjata rahasia.
Kalau bukan jago diantara jago tangguh senjata rahasia, bagaimana mungkin
bisa melepaskan tiga belas jenis senjata rahasia pada saat yang
bersamaan. Ke tiga belas macam senjata rahasia itu tersebar di langit dan meluncur
ke bawah bagaikan hujan badai, seluruhnya tertuju ke tubuh Giok Bu-ha.
Sudah jelas hawa napsu membunuh telah menyelimuti pikiran Tong Capsa, dia
sudah bertekad akan mencabut nyawa Giok Bu-ha, karena itulah begitu turun
tangan, dia sudah menggunakan tiga belas jenis senjata rahasia.
Tiga tahun berselang, sewaktu menghadapi Giok Bu-ha, dia hanya
menggunakan lima macam senjata rahasia, tidak sampai separuhnya yang
digunakan kali ini. Semenjak awal, Giok Bu-ha sudah tahu kalau ke tiga belas jenis senjata
rahasia dari Tong Capsa sangat lihay, namun sama sekali tak tahu kalau
kelihayannya sampai taraf seperti itu.
Dari dulu hingga kini, diapun baru pertama kali ini menyaksikan ada
senjata rahasia selihay ini.
Coba berganti orang lain, tidak sampai senjata rahasia itu menerjang ke
tubuhnya, mereka sudah ketakutan setengah mati, tergeletak lemas diatas
tanah. Sekarang, biarpun dia tidak tergeletak lemas, namun selembar wajahnya
sudah berubah jadi hijau membesi.
Sekalipun begitu, dia sama sekali tidak menghindar, tidak berusaha untuk
berkelit. Sebab dia sadar, senjata rahasia dari Tong Capsa bukan hal yang gampang
baginya untuk menghindarkan diri.
Tentu, diapun tak ingin menunggu mati dengan hanya berdiri mematung
disitu. Ketika cahaya kehijauan memancar ke empat penjuru, tameng besi ditangan
kirinya sudah diputar kian kemari.
Tameng besi semacam ini, kecuali bisa diputar sedemikian rupa hingga
hujan angin sukar tembus dan seluruh tubuhnya terlindung, kalau tidak,
tak mungkin ke tiga belas jenis senjata rahasia dari Tong Capsa bisa
dihadapi. Sayang gerak tangan kirinya tidak terlalu lincah, tameng besi itu tidak
memberikan perlindungan maksimal kepadanya, hujan angin masih sanggup
menembusinya. Dalam waktu singkat senjata rahasia yang menyerang tiba bagaikan hujan
badai itu sudah berguguran ke tanah.
Ternyata Giok Bu-ha tidak roboh.
Ternyata ke tiga belas macam senjata rahasia dari Tong Capsa berhasil
dibendung semua oleh tameng besi miliknya.
Suara gemerincingan nyaring bergema di angkasa, menusuk pendengaran semua
orang. Ketika suara dentingan berhenti, tameng besi itu sudah penuh ditempeli
senjata rahasia beracun. Nyaris seluruh senjata rahasia sudah menempel ditamengnya, bahkan
menempel kuat kuat, tak satupun yang terlepas.
Betul betul sebuah tameng besi yang hebat.
selesai melepaskan ke tiga belas jenis senjata rahasia itu, Tong Capsa
segera menarik kembali serangannya.
Terlepas serangannya itu berhasil atau tidak, dia selalu akan mengambil
keputusan setelah tahu dengan jelas jawabannya.
Dalam melancarkan serangan kali ini, tujuan utamanya adalah mencoba
sampai dimana kehebatan tameng besi yang digunakan Giok Bu-ha.
Tentu saja lebih bagus lagi kalau bisa sekaligus membunuh lawannya itu.
Tubuhnya sama sekali tidak meluncur ke bawah, selesai menyerang, diapun
berjumpalitan naik ke penglari.
Segala sesuatunya kini sudah terlihat jelas.
tags: journal Bab 2. Jagad dibalik gentong.
Giok Bu-ha tahu, Tong Capsa berada diatas tiang penglari.
Selama ini, sinar matanya tak pernah lepas dari tubuh lawannya itu.
Dulu, gara gara dia kurang memperhatikan Tong Capsa, akhirnya senjata
rahasia lawan berhasil mampir dipipi kirinya.
Sekarang dia tak akan teledor, tak mau ceroboh.
Biarpun hujan senjata rahasia telah berhenti, Giok Bu-ha masih
mengayunkan tameng besinya beberapa kali sebelum ditarik kembali.
Begitu ditarik, tameng besi itu kembali melintang didepan dadanya.
Bagaimana pun, akhirnya dia tetap tak tahan untuk melirik sekejap kearah
tameng besi andalannya. Dengan cepat sekulum senyuman bangga menghiasi ujung bibirnya, kepada
Tong Capsa katanya sambil tertawa:
"Dapatkah tameng besi ini untuk menahan serangan senjata rahasiamu?
Tentunya sekarang kau sudah tahu bukan?"
"Ternyata untuk menghadapi aku, kau benar benar telah membuang banyak
tenaga dan pikiran." Ejek Tong Capsa sambil tertawa dingin.
"Asal bisa tercapai tujuanku, biar harus peras tenaga dan pikiran pun,
hal ini cukup berharga bagiku."
"Kelihatannya tamengmu itu terbuat dari besi semberani?"
"Tepat, terbuat dari besi semberani asal Lam-hay."
"Menurut apa yang kuketahui," kata Tong Capsa dengan kening berkerut,
"besi semberani dari Lam-hay memiliki kekuatan yang paling kuat, tak
heran ketika senjata rahasiaku baru mencapai tiga depa dari hadapanmu,
hampir semuanya beralih sasaran dan meluncur kearah tameng tersebut."
"Hanya sebanyak itu senjata rahasia yang kau bawa?"
Tong Capsa menggeleng. "Lalu masih ada berapa banyak?" tanya Giok Bu-ha.
"Masih ada ratusan kali lipat."
Diam diam Giok Bu-ha terkesiap, debaran jantungnya semakin kencang.
"Kenapa? Kau takut?" ejek Tong Capsa sambil menatap tajam wajahnya.
"Kenapa musti takut? Gembira pun tidak sempat."
"oya?n "Lebih baik lagi kalau gunakan seluruh senjata rahasia yang kau bawa,
agar aku tak usah repot repot lagi."
"Hmm, kau sangka tameng baja mu betul betul bisa dipakai untuk menyambut
seluruh senjata rahasiaku?" tanya Tong Capsa hambar.
"Karena kau bertanya kepadaku, tentu saja aku mengatakan bisa." Sahut
Giok Bu-ha sambil mengayun tamengnya.
"Sayang aku bilang tak bisa."
"Apa gunanya hanya bicara? Semestinya gunakan kenyataan sebagai bukti."
II "Kalau begitu hati hati saja . . . . . . ..
Mendadak ucapan terakhir Tong Capsa berubah jadi jeritan lengking.
Sewaktu jerit lengking bagai teriakan kuntilanak itu bergema sekali lagi,
seluruh tubuh Tong Capsa telah berputar meninggalkan tiang penglari dan
meluncur ke bawah bagaikan sebuah gangsingan.
Masih berada di udara, secara beruntun Tong Capsa bersalto tiga kali.
Setiap kali bersalto, dari tubuhnya segera terpancar segumpal cahaya
tajam berwarna hijau tua.
Senjata rahasia beracun yang tak terhitung jumlahnya, berubah menjadi
tiga gulung cahaya tajam, bersama?sama melesat ke arah Giok Bu-ha.
Walaupun ke tiga gumpal cahaya tajam itu ada yang meluncur duluan ada
yang belakangan, namun kecepatannya nyaris sama.
Gumpalan ke dua lebih lambat dari gumpalan ke tiga, kelompok satu yang
paling lambat. Ternyata pada saat bersamaan, ke tiga kelompok cahaya tajam itu
bersama?sama tiba di tengah udara, lebih kurang tujuh depa dari tubuh
Giok Bu-ha. Cahaya kelompok ke dua menghajar pada kelompok cahaya pertama, sementara
kelompok cahaya ke tiga persis menghantam dua kelompok cahaya yang lain.
Seketika itu juga ke tiga kelompok cahaya tajam itu bagaikan rentetan
mercon, bersama-sama meledak dan mengurung seluruh tubuh Giok Bu-ha dari
empat arah delapan penjuru.
Tong Capsa membentak nyaring, serunya:
"Hujan bunga memenuhi angkasa!"
Inilah ilmu melepaskan senjata rahasia "hujan bunga memenuhi angkasa"
dari perguruan keluarga Tong, dulu, jago pedang tersohor dari
Bu?tong?pay, Siok Tiong?giok tewas karena terhajar serangan senjata
rahasia ini. Biarpun Giok Bu-ha tidak mengetahui kejadian itu, namun dari gaya
serangan yang tiba, Dia tahu kalau ancaman tersebut sangat berbahaya dan
hebat. Belum lagi ke tiga kelompok cahaya terang itu meledak, tameng ditangannya
sudah diputar dan diayunkan kian kemari.
Tentu saja gerakan yang dilakukan tamengnya kali ini jauh lebih cepat dan
gencar. "Triiing, traang, trring, traaang . . . . . .." bunyi dentingan nyaring segera
bergema di seluruh angkasa.
Tatkala kelompok senjata rahasia itu mencapai tiga depa didepan tameng
baja, tiba tiba semuanya berbelok arah dan meluncur bersama menempel
diatas lapisan tameng. Ternyata seluruh amgi yang dilancarkan dengan gerakan hujan bunga
memenuhi angkasa telah berhamburan menempel lekat diatas lempengan
tameng. Pada saat inilah tubuh Tong Capsa meluncur dan mencapai permukaan tanah,
begitu kakinya menyentuh permukaan, tubuhnya segera bergelinding ke
samping. Dia gunakan bahu, sikut, pinggang dan lutut secara bersamaan untuk
bergerak menggelinding ke samping, gerakannya saat ini tak ubahnya
seperti roda kereta yang sedang berputar.
Gerakan yang dia gunakan adalah Tee-tong?to, golok bergerak ditanah,
hanya dalam genggamannya tiada golok.
Yang ada hanya senjata rahasia.
Senjata rahasia berwarna warni dan aneka bentuk, segera berhamburan
bagaikan belalang terbang menyusul gerakan menggelindingnya.
Cepat Giok Bu-ha menekukkan pinggang bagaikan sebuah busur, dengan lutut
kanan setengah berjongkok, tameng ditangan kirinya digunakan menahan
tubuh bagian depan, sementara pedang di tangan kanannya siap melancarkan
serangan. Ternyata besi semberani dari Lam-hay memang masih unggul satu tingkat,
begitu gerombolan senjata rahasia terbang mendekat, semua benda logam itu
terhisap oleh lapisan besi semberani itu.
Ketika kelompok pertama senjata rahasia itu menancap diatas lapisan
tameng, tubuh Tong Capsa hanya tinggal satu tombak dari tubuh Giok Bu-ha,
mendadak tubuhnya yang menggelinding bagaikan roda terhenti lalu melejit
bangun. Giok Bu-ha awasi semua gerak gerik lawan dengan seksama, tameng ditangan
kirinya hanya diangkat berapa inci ke atas.
Sekarang dia sudah mengetahui dengan jelas daya kekuatan dari besi tameng
itu, ia tahu, biarpun Tong Capsa sekali lagi melepaskan senjata rahasia,
dia hanya cukup sedikit menggeser tamengnya keatas untuk menghapainya.
oleh karena itu dia sama sekali tidak kuatir.
Betul saja, kembali Tong Capsa melejit ke udara sambil melepaskan senjata
rahasia. Baru saja badannya melejit, tangan kirinya sudah diayun melepaskan
segenggam senjata rahasia.
Begitu segenggam senjata rahasia dilepas, tubuhnya yang melejit segera
berputar bagaikan roda kereta di tengah udara kemudian berbalik lagi ke
lantai. Giok Bu-ha dapat mengikuti semua gerakan itu dengan jelas, dia tidak
menjadi gegabah karena sudah mengetahui dengan jelas daya kekuatan dari
tameng andalannya. Satu kali pelajaran sudah lebih dari cukup baginya.
Tameng ditangan kirinya diayun keatas, menyongsong datangnya genggaman
pertama senjata rahasia yang dilepas tangan kiri Tong Capsa, mengikuti
gerak tubuhnya yang meluncur ke bawah, lagi lagi dia sambut datangnya
sambitan senjata rahasia genggaman kedua yang dilancarkan lawan.
Biarpun senjata rahasia datang dengan menempel tanah, tamengnya tidak
berarti menyambut serangan tersebut dengan menempel lantai.
Waktu sudah tak sempat lagi!
Sekalipun masih ada waktu, diapun tak akan merendahkan tamengnya hingga
menempel tanah, sebab dia tahu, tak ada keharusan untuk berbuat begitu.
Kali ini dugaannya keliru besar.
Disaat senjata rahasia itu meluncur datang, separuh bagian segera berubah
arah, bagaikan kutu loncat berlompatan secara tiba tiba dan terhisap
diatas permnkaan lempengan baja.
Masih ada sebagian kecil yang ternyata sama sekali tidak terpengaruh daya
magnit lempengn itu, tetap melanjutkan gerak sambarannya, terbang lewat
dari bawah tameng dan masuk ke belakang lempengan baja.
sebagian kecil senjata amgi itu berjumlah tak lebih dari sepuluh butir.
Padahal termakan sebutir saja senjata amgi beracun dari perguruan
keluarga Tong, sudah lebih dari cukup untuk merenggut nyawanya.
tags: journal Begitu senjata rahasia itu menyusup masuk ke balik tameng, Giok Bu-ha
segera menjerit aneh, tubuhnya melambung ke tengah udara.
Dia menerobos sejauh tiga depa, menumbuk diatas hiolo tembaga itu.
Hioloo tersebut sama sekali tak roboh termakan tumbukan tadi, dia sendiri
yang justru roboh terjungkal.
"Praaang!" tameng baja ditangan kirinya seketika terlepas dari genggaman
dan terjatuh ke lantai. Padahal waktu itu hiolo tembaga tersebut sudah membara karena terbakar
api, sementara dia roboh jatuh kearah hiolo tembaga dengan punggung
menempel terlebih dahulu, seketika pakaiannya terbakar hangus, rambut di
bagian belakang pun tidak terkecuali, terbakar sebagian hingga
mengepulkan asap putih, bau busuk memenuhi seluruh ruangan.
Tapi dia seperti tidak merasakan akan hal ini, yang dilakukan sekarang
Racun Berantai Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hanya memegangi betis kanannya sekuat tenaga dengan tangan kiri.
Dibawah cahaya api, terlihat jelas kalau diatas betis kanannya telah
bertambah dengan lima, enam titik cahaya berwarna hijau.
Ternyata dia sudah terhajar senjata rahasia beracun milik Tong Capsa.
Pada saat itulah Tong Capsa sekali lagi melompat bangun dari atas tanah.
Kali ini dia tidak lagi melejit ke tengah udara, melainkan hanya bangkit
berdiri, sepasang tangannya sudah terkulai ke bawah, dengan sorot mata
menghina ditatapnya Giok Bu-ha, lalu ejeknya:
"Bagaimana?" Giok Bu-ha meronta bangun, dengan pedangnya dia menahan lantai, tidak
membiarkan tubuhnya sampai roboh, kemudian dengan napas tersengkal
tanyanya: "Senjata rahasia apakah itu?"
"Pasir beracun!"
Berubah paras muka Giok Bu-ha, tanpa sadar sorot matanya dialihkan
kembali kearah betis kanannya.
Darah mulai meleleh keluar dari mulut lukanya yang terhajar senjata
rahasia, darah berwarna hitam pekat.
Sekali lagi berubah paras mukanya, teriaknya tanpa sadar:
\\ . . . . . .. Lagi... lagi.... senjata rahasia beracun?"
"Senjata rahasia yang tiada duanya dikolong langit, amgi paling beracun
dari perguruan keluarga Tong!"
II "Kenapa tamengku . . . . . . . ..
Tampaknya Tong Capsa sudah tahu apa yang ingin dia tanyakan, tukasnya:
"Pasir beracun ini tak lebih hanya butiran batu yang dipilih paling keras
dan kuat kemudian direndam ke dalam racun, bukan termasuk benda logam,
sudah pasti tameng magnit mu sama sekali tak ada gunanya!"
II "Ternyata begitu . . . . . . . ..
Dia sudah tak memiliki tenaga lagi untuk berbicara, ketika selesai
mengucapkan perkataan itu, tubuhnya mulai gontai dan nyaris jatuh
tersungkur. Sambil tertawa kembali ujar Tong Capsa:
"Peduli terbuat dari bahan apa, yang pasti telah dilumuri obat beracun
yang tiada duanya dikolong langit, ketika racun itu mulai bekerja,
rasanya tak bakal jauh berbeda."
Giok Bu-ha sudah tak mampu berbicara lagi, ia terbungkam dalam seribu
bahasa. Senjata amgi yang menghajar betis kanannya sudah mengeluarkan darah,
biarpun tenaga dalamnya lebih baguspun, kini sudah saatnya merasa
tercekik tenggorokannya. Sesudah bertahan sekian lama, akhirnya tubuh berikut pedangnya roboh
terjungkal ke tanah. Tong Capsa menatap Giok Bu-ha yang terkapar, berapa saat kemudian ia
mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak bahak.
Baru saja suara gelak tertawa berkumandang, tubuh Giok Bu-ha yang
terkapar dilantai tiba tiba melompat bangun lagi, bahkan langsung
menerjang ke arah Tong Capsa.
Dibawah cahaya api, sinar pedang berkelebat dengan memancarkan cahaya
berkilauan. Serangan itu muncul secara tiba tiba dan sama sekali diluar dugaan,
padahal Giok Bu-ha telah menghimpun segenap tenaga dalam yang dimiliki ke
dalam serangan maut itu. Dalam keadaan lupa diri saking gembiranya, kelihatan sekali kalau tiada
kemungkinan bagi Tong Capsa untuk terhindar dari serangan maut itu.
Apa mau dibilang dia justru berhasil meloloskan diri.
Baru saja sinar pedang melambung dari atas tanah, tubuh Tong Capsa telah
melesat keluar melalui sisi tusukan.
Bersamaan waktu sepasang tangannya dibalik lalu dikebaskan kuat kuat.
Kembali dua genggam cahaya tajam berwarna hijau meluncur keluar dari
balik sepasang tangannya.
Lagi lagi serangan senjata rahasia beracun!
Padahal selama ini sepasang tangannya selalu terkulai ke bawah, ternyata
sebelum terkulai, dia sudah menggenggam penuh senjata rahasia beracunnya.
Atau mungkin sejak awal dia sudah menduga kalau Giok Bu-ha bakal
menggunakan taktik tersebut?
Begitu gagal dengan serangan bokongannya, belum sempat merasa
terperanjat, lengan kanan Giok Bu-ha sudah terasa sakit bagaikan digigit
nyamuk, seluruh lengan kanannya jadi kaku dan mati rasa.
Serta merta sorot matanya dialihkan kearah lengan kanannya yang sakit.
Masih mending tidak dilihat, begitu memandang, rasa kagetnya membuat
selembar sukmanya serasa melayang meninggalkan raga.
Ternyata lengan kanannya sudah dipenuhi jarum jarum berwarna hijau yang
panjangnya hanya berapa inci dengan bentuk lebih halus dari rambut.
Jarum beracun! Dia sudah merasakan hawa racun yang mulai merambat naik ke atas dan
menyebar ke seluruh tubuh.
"Traaang . . . . .!" pedangnya terlepas dari genggaman dan terjatuh ke lantai.
Kini dia sudah kehilangan kekuatan, tenaga untuk memegang pedangpun sudah
tak ada. Sekali lagi dia menjerit aneh, tubuhnya mulai mundur dengan sempoyongan,
mundur hingga menumbuk diatas gentong yang berisikan dua belas ekor
kelabang. Dia menjatuhkan diri ke tanah, lalu menyambar gentong itu dan dilempar ke
udara. Gentong itu segera terangkat tinggi dan meluncur ke depan, menyambar ke
arah Tong Capsa. Segenap tenaga dan kekuatan yang dimiliki telah terhimbun didalam
lemparan itu. Lemparan tersebut dilakukan secara tiba tiba dan diluar dugaan.
Dipihak lain Tong Capsa telah meluncur ke bawah, baru saja telapak
kakinya menyentuh tanah, gentong itu sudah menyambar datang dan
menghimpit kepalanya. Gentong itu sendiri sebenarnya tidak terlalu berat, tenaga lemparan dari
Giok Bu-ha juga tidak mungkin sedemikian hebatnya, oleh karena itu meski
terkena gencetan gentong, paling juga hanya menimbulkan rasa sakit.
Semestinya rasa sakit semacam itu masih sanggup dihadapi Tong Capsa.
oleh karena itu meski dia tidak menyangka kalau Giok Bu-ha bakal
melakukan tindakan tersebut dan tak sempat lagi untuk menghindar, meski
harus menyambut datangnya gentong, bagi dia bukanlah menjadi masalah.
Dia memang tidak menyambut datangnya gentong itu, dia tidak berani
menyambutnya. Ketika melihat gentong itu menindih dari atas kepala, paras mukanya
seketika berubah hebat. Gentong itu tidak menakutkan, yang mengerikan justru ke dua belas ekor
kelabang api yang berada dalam gentong itu.
Begitu gentong itu terlempar ke tengah udara, gentong pun terbalik ke
samping, lima dari ke dua belas kelabang api itu segera meluncur keluar
dari bibir gentong. Waktu itu gentong tersebut sudah berada diatas kepala Tong Capsa, mulut
gentong persis terarah ke tubuhnya.
Dia tak pernah meragukan setiap ucapan Giok Bu-ha.
Ke dua belas ekor kelabang api itu merupakan hasil peliharaan Giok Bu-ha
dengan susah payah, bahkan sudah dipelihara hampir tiga tahun lamanya,
sekalipun kelabang-kelabang api itu tidak sehebat seperti apa yang
dikatakan, sudah pasti sifat racunnya tak akan bisa dibandingkan dengan
bisa binatang beracun pada umumnya.
Bila sampai tergigit, sekalipun dalam sakunya masih menggembol sejumlah
obat pemunah racun yang berkasiat hebat, kemungkinan besar sulit untuk
mempertahankan keselamatan jiwanya.
Bisa saja dia tak sampai kehilangan nyawa, namun bagaimana pun, dia tak
akan menyerempet mara bahaya ini.
Dia memang tidak pernah melakukan pekerjaan yang sama sekali tak yakin
keberhasilannya. Untung saja ia segera mengambil keputusan cepat, tangan kiri dan kanannya
segera digerakkan, dengan tangan kanan menyapu gentong, tangan kirinya
membabat ke lima ekor kelabang api yang sedang meluncur kearahnya.
"Praaak!" gentong itu sudah terhajar telapak tangan kanannya, sementara
sapuan tangan kirinya membuat empat ekor kelabang api seketika tersapu
hingga rontok ke tanah. Bagaimana pun juga dia adalah jago hebat diantara para jago senjata
rahasia dari keluarga Tong, ketajaman matanya luar biasa, kelincahan
gerak serangannya luar biasa, walaupun ke empat ekor kelabang api itu
balas menggigit begitu tersapu pukulannya, namun tetap gagal untuk
menggigitnya. Dari lima ekor kelabang api yang meluncur keluar, hanya empat ekor yang
berhasil disapu rontok Tong Capsa, masih tersisa seekor lagi.
Kelabang itu sama sekali tidak berada dalam lingkaran pengaruh tenaga
pukulan Tong Capsa, tapi meluncur jatuh pada posisinya semula, langsung
jatuh keatas dadanya. "Kriiikkk . . . . .!" kelabang api itu mulai merangkak naik.
Tubuh bagian atas dada merupakan tenggorokan.
Untung saja tangan kanan Tong Capsa masih sempat membalik dan
mencengkeram kelabang tersebut, kemudian dengan sekuat tenaga ia tarik
binatang tadi hingga menjauh.
tags: journal Waktu itu selisih jarak kelabang itu dengan tenggorokannya sudah tidak
terlalu jauh, paling tinggal tiga inci saja.
Dalam waktu sekejap dia bersin berulang kali, mati matian tangan kanannya
mencengkeram ekor kelabang api itu.
Ternyata kelabang api itu tidak sampai tergencet mati, malah sebaliknya
membalikkan tubuh, melilit ditangan Tong Capsa dan menggigit tubuhnya.
Seluruh otot dan daging tubuh Tong Capsa mengejang keras, namun dia tidak
menjerit, pun tidak sampai roboh terjungkal.
Kelabang api itu bukannya tidak beracun, tubuhnya juga belum sampai
terlatih hingga kebal segala jenis racun.
Masih untung dia mengenakan sebuah sarung tangan kulit menjangan untuk
melindungi kulit badannya.
Coba kalau tidak mengenakan sarung tangan kulit menjangan, sewaktu
menggunakan senjata rahasia beracun tadi, mungkin selembar jiwanya sudah
terlanjur melayang. Ambil contoh dengan ke tiga belas jenis senjata rahasia yang pertama kali
digunakan tadi, diantaranya ada enam jenis yang dikelilingi duri tajam
diseluruh tubuhnya, tanpa mengenakan sarung tangan kulit menjangan, pada
hakekatnya dia sama sekali tak dapat menggunakan ke enam jenis senjata
rahasia itu. Kini, sarung tangan kulit menjangan itu telah selamatkan jiwanya.
Biarpun dia tahu, gigitan beracun kelabang api itu bukan menggigit
tangannya, tak urung untuk sesaat dia merasakan hatinya jadi ciut.
Sarung tangan kulit menjangan itu tipis lagi lentur, sekarang dia sudah
merasakan gigitan dari kelabang api beracun itu.
Serta merta dia kebaskan tangan kanannya sekuat tenaga, berusaha
membanting kelabang itu keatas lantai.
Sesungguhnya kebasan itu sangat lumrah, sebuah gaya refleks seperti jari
tangan yang segera ditarik ketika menyentuh besi membara.
Hampir semua orang akan melakukan hal yang sama.
Ternyata kelabang api itu berhasil dibantingnya hingga terlepas dari
sarung tangan kulit menjangan.
Kekuatan yang dia pergunakan benar-benar amat besar, ternyata bantingan
itu berhasil melempar kelabang api itu hingga ke ujung tembok.
Waktu itu Sui Kwan-im masih berdiri sambil bersandar pada dinding,
kelabang itu terlempar hanya tiga depa dari samping hidungnya.
Begitu melihat kelabang beracun, kontan saja gadis itu menjerit lengking.
Siapa pun orangnya, kecuali dia tidak mengetahui kehebatan dari kelabang
api, kalau tidak, pasti akan segera menarik badan dan jauh meninggalkan
dinding itu. Tidak terkecuali Sui Kwan-im, sayang separuh badannya mulai lemas,
sepasang kakinya ikut jadi lemas tak bertenaga.
Banyak perempuan, khususnya para gadis muda, begitu melihat makhluk
bangsa kelabang atau ulat panjang, seluruh kekuatan tubuhnya akan hilang
lenyap tak berbekas. Kebetulan Sui Kwan-im termasuk salah seorang gadis semacam ini.
Begitu sang kelabang api terjatuh dengan menempel diatas dinding,
badannya ikut menjadi lemas dan terjatuh ke bawah.
Ternyata kelabang itu memiliki kemampuan hidup yang sangat kuat, apalagi
kelabang api itu, tak mungkin dia akan mati hanya karena bantingan.
Begitu terjatuh ke lantai, tubuhnya yang menjijikkan mulai bergerak,
merangkak ke arah tubuh Sui Kwan-im yang masih tergeletak.
Sui Kwan-im hanya bisa duduk dengan mata terbelalak lebar, mengawasi
kelabang api itu merangkak menghampirinya dengan mata mendelik, dia
seolah tak tahu bagaimana harus selamatkan diri.
Melihat kelabang itu makin lama merangkak semakin dekat, tak kuasa lagi
Sui Kwan-im menjerit lengking.
Sembari menjerit lengking, pantatnya mulai bergerak buru buru bergeser
kearah samping. Tampaknya gerakan tubuh kelabang api itu jauh lebih cepat daripada
gerakan tubuhnya, makin lama makhluk menjijikkan itu semakin mendekat.
Pada saat inilah tiba tiba Sui Kwan-im menggerakkan tangan kirinya
menyambar kepala Buddha yang tergeletak disampingnya.
Baru saja dia akan menghantamkan kepala Buddha itu, tiba tiba secerca
cahaya hijau berkelebat lewat.
Seketika itu juga gerak tubuh kelabang api itu terhenti sontak, tubuhnya
mengejang semakin hebat. Cepat Sui Kwan-im berpaling.
Ternyata tubuh kelabang api itu sudah tertembus sebatang jarum sepanjang
empat, lima inci yang berwarna hijau pucat, tertancap diatas tanah dan
tak mampu bergerak lagi. Jangan jangan inikah darah kelabang yang amat beracun itu!
Lalu jarum hijau milik siapa yang memantek tubuh kelabang api itu?
- Tong Capsa? Tanpa terasa Sui Kwan-im berpaling, menoleh kearah Tong Capsa.
Sementara Tong Capsa berdiri disamping, sedang menengok pula kearahnya.
Diatas permukaan tanah, persis dihadapannya, meronta empat ekor kelabang
api, pada punggung setiap kelabang tertancap sebatang jarum hijau yang
ukurannya hampir sama. Padahal dalam ruang aula hanya ada mereka bertiga, diantara mereka
bertiga, hanya Tong Capsa yang paling mahir menggunakan senjata rahasia!
Kalau bukan dia yang melepaskan jarum hijau itu, lalu perbuatan siapa?
Begitu melihat Sui Kwan-im berpaling kearahnya, sambil tertawa ujar Tong
Capsa: "Kau tak usah kuatir, kelabang itu tak lagi bisa menggigit orang."
Senyumannya kelihatan begitu lembut dan hangat.
Sayang tampang wajahnya tidak terlalu bagus, karena itu sewaktu tertawa
pun dia tampak tidak menarik.
Sui Kwan-im sama sekali tak suka dengan orang ini.
Tapi bagaimanapun juga, dia telah membantu selamatkan jiwanya, otomatis
perempuan itupun merasa rikuh untuk tidak berpaling sambil melontarkan
satu senyuman. Kembali Tong Capsa buka suara, berbicara.
Sambil menuding kearah gentong itu, katanya:
"Biarpun ke tujuh ekor kelabang api yang ada didalam sana masih bisa
menggigit orang, sayang mereka tak berdaya untuk merangkak keluar sendiri
dari dalam gentong."
Gentong itu terjatuh berapa tombak disamping kirinya, mulut gentong pun
menghadap ke atas, meski sudah terjadi keretakan pada dasar gentong,
namun retakan itu sangat lembut, sehalus sarang laba laba.
Karena gentong tersebut masih utuh, maka ke tujuh ekor kelabang api itu
Racun Berantai Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hanya bisa berenang dan bergerak didasar gentong.
Ditambah lagi dinding dalam gentong itu licin, biarpun kelabang memiliki
kaki banyak, makhluk makhluk itu tetap tak sanggup merangkak keluar.
Tentu saja Sui Kwan-im.mengetahui akan hal ini, maka setelah mengetahui
posisi gentong tersebut, ia segera tahu kalau ke tujuh ekor kelabang api
yang tersisa sudah bukan merupakan ancaman lagi.
Sembari mengurut dada sendiri dan menghembuskan napas panjang, gumamnya:
"Sekarang aku bisa merasa lega."
"Sayang kongcu tampan itu bakal sakit hati." Sindir Tong Capsa sambil
melirik sekejap. Waktu itu tangan kanan kongcu berwajah tampan Giok Bu-ha sudah berubah
menjadi hitam ungu, paras mukanya pucat pias bagaikan mayat.
Dia berbaring dilantai bagaikan sesosok mayat, tentu saja belum benar
benar menjadi sesosok mayat.
Tapi kalau dibandingkan orang mati, rasanya selisih tidaklah seberapa.
Biji mata kanannya melotot besar bagaikan telur burung merpati, mengawasi
Tong Capsa dengan melotot, sorot matanya dipenuhi rasa benci yang
mendalam. Tong Capsa menatap langsung pandangan penuh kebencian dari Giok Bu-ha
itu, lalu sambil tersenyum ujarnya lagi:
"Kau tentu merasa sangat heran bukan, kenapa aku bisa menghindari
serangan pedangmu itu!"
Giok Bu-ha tidak menjawab, dia hanya mendengus.
Kembali Tong Capsa berkata:
"Padahal sama sekali tidak ada yang aneh, karena waktu itu aku sudah tahu
kalau kau bukan tergeletak karena racun itu mulai bekerja, melainkan
hanya berpura pura."
Kembali Giok Bu-ha mendengus, dengan dengusan itu, paras mukanya berubah
semakin pucat. Terdengar Tong Capsa berkata lebih lanjut:
"Bagi seseorang yang mengerti cara meramu obat obatan anti racun,
lagipula sering menelan obat semacam ini, kecuali bagian mematikan
ditubuhnya terkena hajaran amgi secara telak, kalau tidak, sama sekali
tak beralasan untuk roboh secepat itu, jadi sebenarnya kau roboh kelewat
cepat." Giok Bu-ha tidak mendengus lagi, kini dia hanya bisa mendesah.
Tong Capsa bicara lebih jauh:
"Terlebih racun yang kulumurkan pada pasir beracun itu adalah sejenis
racun yang bisa bikin orang gila, reaksi yang kau perlihatkan sama sekali
tidak sama dengan sifat racunku."
Tiba tiba Giok Bu-ha tertawa, katanya:
"Secara beruntun aku sudah terkena dua macam senjata rahasia beracunmu,
tapi masih bisa hidup hingga kini, bahkan masih sanggup berbicara, apakah
aku mirip orang yang sudah terkena serangan maut amgi beracun dari
keluarga Tong kalian?"
Memang benar dia masih bisa berbicara, tapi caranya berbicara sudah
sangat kepayahan. "Amgi beracun dari keluarga Tong tidak semuanya merupakan senjata
mematikan, senjata yang segera akan merenggut nyawa korbannya." Tong
Capsa menjelaskan. II "Lantas, kedua jenis amgi yang bersarang ditubuhku . . . . .. suara Giok
Bu-ha mulai parau. tags: journal "Kau sangka aku masih akan memberi peluang kepadamu untuk hidup lebih
lanjut?" "Sudah pasti tak mungkin."
Tong Capsa manggut-manggut.
"Kedua jenis amgi yang bersarang ditubuhmu pasti akan mencabut nyawamu,
hanya bukan termasuk yang seketika mematikan!" katanya.
Lalu sepatah demi sepatah kata ia melanjutkan:
"Mana mungkin aku akan membiarkan kau mati dengan begitu cepat, begitu
II nyaman . . . . .. Il "Kau . . . . . . . ..
"Racun yang kulumurkan pada jarum beracun yang bersarang dilenganmu bisa
menahan daya kerja racun dari pasir beracun yang bersarang di kakimu,
maka kau tak perlu kuatir, bukan saja kau tak akan segera jadi gila,
paling tidak masih ada waktu setengah jam untuk tetap waras."
"Sebenarnya apa yang kau inginkan . . . . .."
"Aku hanya ingin kau bisa melihat dengan jelas semua peristiwa yang akan
terjadi dalam setengah jam mendatang."
Sesudah tertawa, lanjutnya:
"Kujamin kau tak bakal suka menonton semua kejadian ini, tapi kau harus
menyaksikannya dengan mata kepala sendiri!"
Giok Bu-ha buka suara, namun tiada suara lagi yang bisa diucapkan.
Tiba tiba saja dia merasa seluruh badannya sudah kaku dan mati rasa.
Menyaksikan hal ini, kembali Tong Capsa berkata:
"Racun yang bersarang ditubuhmu seharusnya sudah mulai bekerja sekarang,
menggerakkan tangan dan kaki tentu sudah menjadi masalah, berbicara pun
menjadi masalah, karena lidah dan bibirmu sudah mulai kaku, mati rasa,
oleh sebab itu meski ingin menggigit putus lidah sendiri untuk bunuh
diripun, kau sudah tak sanggup melakukannya."
Giok Bu-ha dapat mendengar dengan jelas.
Mau tak mau dia harus mengakui bahwa apa yang dikatakan Tong Capsa memang
kenyataan, sayang keinginannya untuk mengangguk pun tak bisa.
Tong Capsa bicara lebih lanjut:
"Tentu saja kau masih bisa pejamkan mata, tapi tak mampu menutupi
pendengaranmu, apa yang bakal terjadi kemudian dalam setengah jam
mendatang, meski tak ingin kau saksikan dengan mata kepala sendiri, namun
semua suara masih bisa kau dengar dengan jelas sekali."
Perlahan-lahan dia berjalan mendekati gentong dihadapannya lalu berhenti.
"Didalam gentong ini masih terdapat tujuh ekor kelabang api yang masih
hidup, kau telah menghabiskan pikiran dan tenaga selama tiga tahun untuk
menciptakan kelabang-kelabang api itu, tentu saja aku tak akan menyianyiakan hasil karyamu itu dengan begitu saja."
Sepasang mata Giok Bu-ha berubah membara, seolah-olah memancarkan cahaya
api. Kembali Tong Capsa berkata:
"Bila masih ada sisa waktu setelah kuselesaikan pekerjaaanku nanti dan
kau masih hidup, aku pasti akan suruh kaupun merasakan kehebatan dari
racun darah kelabang api."
Bicara sampai disitu, sekali lagi dia beranjak.
Apa yang sebenarnya sedang dia persiapkan? Apa yang hendak dia lakukan?
Tong Capsa langsung berjalan menuju ke hadapan Sui Kwan-im.
Dengan terkejut perempuan itu menengok kearahnya, padahal mimik mukanya
sama sekali tak merasa takut atau ngeri, karena Tong Capsa berjalan
menghampiri dengan senyuman menghiasi wajahnya.
Dia perhatikan Sui Kwan-im berapa kejap, kemudian katanya sambil tertawa:
"Kau tak usah takut."
"Siapa bilang aku takut?" Sui Kwan-im balas tertawa.
"oya?n "Kalau kau berniat membunuhku, tadi, buat apa kau gunakan senjata rahasia
untuk membunuh kelabang api yang hendak menggigitku?" kata Sui Kwan-im
lagi sambil tertawa. "Ternyata kau memang sangat pandai." Puji Tong Capsa sambil tersenyum.
"Bukan hanya pintar, bahkan cantik jelita."
Tak disangka perempuan ini memuji diri sendiri cantik.
Tong Capsa tertawa dan manggut-manggut.
"Perempuan secantik kau rasanya tak banyak jumlahnya."
Sui Kwan-im tertawa. Tertawanya kali ini tentu kelihatan sangat menawan dan menggoda hati.
Tong Capsa menghela napas panjang, katanya:
"Benar-benar membuat perasaan orang gampang beriba, tak heran selama
berapa tahun terakhir, meski tak sedikit orang yang kau lukai hatinya,
namun kau masih tetap hidup segar bugar."
"Memang tak pernah ada lelaki yang tega untuk melukai diriku." sahut Sui
Kwan-im sambil tertawa manja.
Tiba tiba dia menarik kembali tertawanya sambil mendesah, katanya:
"Tapi sekarang, mungkin bakal ada."
"Sekarangpun tidak ada." Cepat Tong Capsa menggeleng.
Kini, senyuman baru menghiasi kembali wajah Sui Kwan-im, namun dia
seperti belum percaya. "Sungguhkah itu?"
"Sudah pasti benar."
Hampir saja Sui Kwan-im mencak-mencak saking gembiranya.
Kini, usianya sudah tidak terhitung muda, tapi tingkah lakunya masih
mirip dengan seorang bocah perempuan.
Jika Tong Capsa adalah seorang wanita, belum tentu dia bisa menerima
tingkah laku perempuan itu.
Tapi dia adalah seorang lelaki.
Pandangan seorang lelaki dibanding pandangan seorang wanita, sudah jelas
merupakan dua persoalan yang berbeda.
Dengan cepat dia merasa diri sendiri makin bertambah muda, senyuman
diwajahnya makin melebar dan berbunga.
Mendadak tanyanya sambil tertawa:
"Aku dengar kau pandai sekali dalam ilmu merayu lelaki?"
Merah padam selembar wajah Sui Kwan-im, merah jengah, namun dia
mengangguk. "Aku dengar selain ilmu merayu, kau masih memiliki kepandaian lain?"
kembali Tong Capsa bertanya sambil tertawa.
Bukan menjawab, Sui Kwan-im balik bertanya:
"Tahukah kau, kepandaian apakah itu?"
"Meramu arak." "Kakek ku memang seorang suhu meramu arak yang sangat tersohor di wilayah
utara dan selatan sungai besar."
"Apakah dia sempat mewariskan rahasia meramu arak itu kepadamu?"
"Kakek ku hanya mempunyai ayahku seorang putra, sedang ayahku tidak
mempunyai seorang putrapun, hanya memiliki aku seorang putri."
"Tak aneh kalau begitu."
"Kenapa secara tiba tiba kau menanyakan soal ini kepadaku?" tanya Sui
Kwan-im. "Karena aku menaruh minat yang sangat besar tentang pembuatan arak."
"Kau ingin aku meramukan arak untukmu?"
"Memangnya kau bersedia?"
"Kenapa tak bersedia." Sahut Sui Kwan-im sambil cepat menggeleng.
"Dengan ikut aku, kujamin kehidupanmu akan jauh lebih baik daripada
ll mengikuti Giok Bu-ha. Kata Tong Capsa sambil tertawa nakal.
Lalu sambil meraba jenggotnya, kembali dia menambahkan:
"Biarpun tampang wajahku sedikit kurang tampan, paling tidak masih mirip
dengan wajah seorang manusia, apalagi dibandingkan dia, aku pun masih
jauh lebih kaya." "Aku tahu." Sui Kwan-im tertawa.
"Aku dengar, diapun menaruh minat yang sangat besar dalam hal ilmu meramu
arak?" tanya Tong Capsa sambil memutar biji matanya.
Sui Kwan-im melirik Giok Bu-ha sekejap, lalu menjawab:
"Luar biasa besarnya."
"Sudah pasti dia tak akan memendam kepadaian istimewamu itu bukan?"
"Tentu," Sui Kwan-im mengangguk, "bahkan dimanfaatkan sebesar-besarnya."
"Atau dengan perkataan lain, kau pernah meramukan banyak arak untuk dia."
"Biar tak sampai seratus gentongpun, paling tidak sudah mencapai sembilan
puluh gentong." "Waah, besar amat takaran arak bajingan muda ini." Seru Tong Capsa
tercengang. Sui Kwan-im tertawa getir.
"Masih untung begitu," katanya, "kalau tidak, entah bagaimana caraku
melewatkan hari hari selama ini."
"Aku rasa arak yang kau buat belum habis diminum bukan?"
Sui Kwan-im mengangguk, membenarkan.
"Masih ada sisa berapa?" tanya Tong Capsa.
"Masih cukup untuk membuat sembilan puluh sembilan orang setan arak mabuk
berat." "Aku hanya satu orang."
"Kau ingin mencoba seorang diri?" tanya Sui Kwan-im sambil tertawa.
"Ingin sekali." Tong Capsa membenarkah, kemudian tanyanya lagi, "arak itu
kau simpan dimana?" "Di belakang meja altar Buddha."
"Cepat ambil dan bawa kemari."
"Kau butuh berapa botol?"
"sebotol saja."
"Kelihatannya takaran arakmu tidak seberapa bagus."
"Bukan tidak bagus, hanya saja saat ini aku belum ingin mabok sampai tak
sadarkan diri." "Memang kau masih takut dia bakal merangkak bangun dan menyergapmu?"
"Kalau dia masih mampu merangkak bangun, senjata rahasia yang kugunakan
pasti bukan senjata amgi dari keluarga Tong."
"Lantas karena apa kau berbuat begitu?" tanya Sui Kwan-im tercengang.
Tong Capsa tertawa, tertawanya sangat aneh.
"Untuk membangkitkan semangatku, agar bisa melakukan sesuatu dengan
dirimu." "Melakukan apa?"
"Masa kau benar benar tidak tahu?"
tags: journal Tiba tiba Sui Kwan-im merendahkan suaranya sambil menyahut:
"Bohong." Lagi lagi paras mukanya berubah jadi merah jengah.
"Bagaimana kalau kita berdua main yang asyik dihadapannya?" kata Tong
Capsa lagi sambil tertawa sesat.
Kini paras muka Sui Kwan?im baru betul betul berubah jadi merah padam,
merah karena malu. "Bagaimana kalau kita pindah ke tempat lain saja?"
\\ "Tidak bisa," tampik Tong Capsa sambil menggeleng dan tertawa, aku
memang sengaja berbuat begitu agar dia bisa ikut menonton."
"Apakah aku masih ada cara lain untuk mengubah keinginanmu itu?"
"Tidak ada." Sui Kwan?im menghela napas panjang.
"Sebelum ini, kau tak punya pengalaman berbuat begitu?" tanya Tong Capsa.
"Tidak ada." "Kalau begitu kau wajib untuk mencobanya."
Dalam keadaan begini, Sui Kwan?im hanya bisa menghela napas.
"Cepat ambilkan arak." Desak Tong Capsa.
Terpaksa Sui Kwan-im beranjak dari situ.
Mendadak Tong Capsa memanggilnya lagi sambil bertanya:
"Kenapa kau selalu membawa kesana kemari kepala Buddha kayu itu?"
Sambil mengayunkan kepala Buddha ditangannya, tiba tiba Sui Kwan-im
tertawa cekikikan. "Ini bukan kepala Buddha, tapi bantal."
"Oooh?" "Bantal model begini luar biasa nyamannya,"Sui Kwan-im.menjelaskan,
"sebagian besar patung Buddha yang dipuja disisi kiri kanan altar aula,
kebanyakan terbuat dari kayu, lebih baik pergilah mencari satu untuk
sendiri." Dia tahu, tak ada jalan lain untuk merubah keinginan Tong Capsa, karena
itu sikapnya jadi santai kembali.
Perempuan ini memang luar biasa.
Racun Berantai Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika selesai mengucapkan perkataan itu, diapun mulai tertawa cekikikan,
tertawa riang, seperti seekor ayam betina yang baru saja bertelur.
Sambil tertawa, sekali lagi dia beranjak pergi.
Tong Capsa malah dibuat terbodoh?bodoh, ditatapnya bayangan punggung Sui
Kwan-im dengan termangu, matanya mendelong, mulutnya melongo.
Sejak dilahirkan, baru pertama kali ini dia jumpai seorang wanita yang
begitu berani. Sui Kwan?im seolah mengetahui kalau Tong Capsa sedang menatap tubuhnya,
ia berjalan sangat lamban, pinggungnya bergoyang makin keras.
Setiap inci, Setiap jengkal tubuh perempuan ini memang pada dasarnya
dipenuhi daya pikat dan rangsang yang kuat, goyangan pinggulnya sekarang
membuat perempuan itu makin membangkitkan rangsangan napsu birahi.
Tong Capsa makin mendelong, makin terperangah.
Tiba tiba saja dia menjumpai kalau detak jantung sendiri berdebar sangat
keras. Berdetak dan berdebar begitu kuat dan kencang.
Akhirnya sambil menghembuskan napas panjang, gumamnya:
"Tampaknya, aku memang benar-benar membutuhkan sebuah bantal yang
nyaman." Sorot matanya berkilat, tiba tiba perempuan itu melambung ke udara,
meluncur keatas altar Buddha disisi kiri aula.
Baru saja badannya meluncur turun, segera terlihat ada sebuah mata sedang
melotot kearahnya. Bukan mata manusia, mata dewa.
Sepasang mata itu melotot sangat besar, sangat lebar.
Patung Buddha mana pun dari Su?toa-thian?ong, empat raja langit, hampir
semuanya memiliki mata yang besar dan melotot sangat lebar.
Karena matanya melotot besar, maka mereka baru tampak keren dan penuh
wibawa. Tapi mata yang sedang mendelik kearah Tong Capsa sekarang, walaupun sudah
melotot cukup besar dan lebar, namun tidak begitu menakutkan.
Sebab warna hitam diatas pupil matanya sudah terkelupas hingga tampak
Bayangan Maut 3 Pendekar Mata Keranjang 19 Misteri Hutan Larangan Anna Karenina Jilid 2 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama