Ceritasilat Novel Online

Pentas Mirip Bintang 2

Girl Talk 17 Pentas Mirip Bintang Bagian 2


pura-pura tak acuh dan menunduk ke piring makan siangnya tanpa
mengacuhkan tatapanku. Aku tahu, Sam selalu mendukungku dari
belakang. Tapi tak pernah kuduga ia rela berbohong demi aku. Saat
seleksi yang sebenarnya diadakan Sam tak hadir, jadi dari mana dong
ia bisa nilai penampilan kami? Huh. Kadang aku nggak ngerti deh
jalan pikiran cowok. "Aku nggak bilang kalian menghebohkan!" protes Sam, "Cuma
bilang, penampilan kalian lumayan oke dan nggak malu-maluin."
Aku sama sekali nggak percaya dengan ucapan Sam. Tiba-tiba
saja, bagiku khabar dari Raymond Foy tak begitu penting lagi. Sabodo
teuing. Yang jelas keluarga dan sahabatku mendukung kami
sepenuhnya. Itulah yang utama.
"The Valentines sudah dihubungi produser," ujar Katie.
Cepat atau lambat, toh cowok-cowok ini akan tahu juga.
"Oh ya!?" seru Arizonna penuh semangat dan puas.
Kutatap wajahnya dengan tak percaya. Kok reaksinya seperti itu
sih! "Hanya begitu?!" tanyaku setengah kecewa.
"Iyya dong," sahut Arizonna, "mereka telah berlatih matimatian lho."
"Dari mana kau tahu?" tanya Randy sembari mengerutkan
kening. "Jangan-jangan kau melatih mereka ya?"
"Tul. Habis mereka terus-terusan memohon bantuanku sih. Lagi
pula kalian sudah cukup bagus dan kayaknya nggak butuh bantuan
lagi kan?" kilah Arizonna ringan.
"Kamu kok tega-teganya sih?" ujarku setengah merengek.
Heran deh. Kok, cowok sepertinya nggak bisa melihat kecurangan dan
kelicikan Stacy sih. "Habis gimana lagi dong, mereka mendesakku untuk
menolong," ceplos Arizonna apa adanya.
"Seharusnya bisa kau tolak Zone," ujar Billy yang tahu-tahu
sudah duduk di samping Allison. "Masa kau bantu saingan mereka
sih?" Nampaknya hanya Billy yang menyadari kelicikan di balik
wajah alim Stacy. Sebetulnya Sheck, sahabat Randy, juga menyadari
hal itu. Tapi karena ia tidak tinggal di Acorn Falls, ya...nggak masuk
hitungan. Lagi pula sikap Stacy memang agak angkuh terhadap Billy.
Baginya, Billy mungkin kurang menarik karena sikapnya yang dingin
dan acuh tak acuh terhadap cewek.
Arizonna sedikit bingung mendengar komentar Billy. Ia tak
menyadari adanya persaingan diam-diam antara kami dan Stacy.
"Sudahlah Zone," pinta Randy akhirnya, "kau nggak bisa
memastikan siapa yang akan lolos dalam seleksi ini, iya kan?"
"Jadi betul nih kalian nggak berhasil?!" tanya Nick dengan
terkejut. "Massaa sih?"
"Buktinya, Stacy sudah dihubungi," sahutku ketus, "dan kami
belum." Cowok-cowok itu kelihatan kecewa berat dan aku jadi geli
sendiri. Aneh. Seharusnya kami berempat yang merasa kecewa dan
sedih. Eee...eh kok malah cowok-cowok itu sih? Seketika perasaanku
jadi lebih lega. "Teman-teman," tukas Randy, "kita lupakan dulu deh
semuanya, oke?" "Benar," celetukku setuju, "ikut dalam seleksi itu saja sudah
merupakan pengalaman tersendiri bagi kita."
"Ya. Menang kalah bukan masalah," timpal Katie.
"Lagian nggak lama lagi kita pasti sibuk mengerjakan sesuatu
yang baru," sambungku berkilah. Aku sudah mengatur sejumlah
rencana. Sepulangnya sekolah nanti, aku langsung bolak-balik
majalah Young Chic. Siapa tahu ada lomba lain yang bisa diikuti agar
bisa melupakan Pentas Mirip Bintang.
Tak lama kemudian cowok-cowok itu pun kembali ceria.
Mungkin mereka tak ingin kami sedih melihat tampang-tampang
layunya. Sesudah makan siang, waktu sepertinya berlalu tanpa terasa.
Yang menyebalkan, setiap kali papasan dengan Stacy, ia selalu
menatapku dengan rasa penuh penyesalan sembari berkata, "Sayang
sekali ya Sabs. Lain waktu mungkin kalian bisa menang...."
Selama pelajaran musik, kemenangan Stacy sangat
mengganggu pikiranku. Kostumkah yang ikut mempengaruhi
penampilan dan penilaian? Maksudku, gaun mewah membuat mereka
tampak serius dan profesional dibanding kami. Memang, nyata benar
bedanya. Lama kelamaan bosan juga sih aku memikirkannya. Apa
gunanya? Cueklah. Yang jelas kami tidak dihubungi dan gagal. Titik.
Setibanya di rumah, sekali lagi kusempatkan memeriksa pesanpesan di meja telepon. Kali saja ada pesan yang terselip. Tapi
kubolak-balik nggak ada juga tuh. Aku ingin menelpon Katie, Randy
dan A1 untuk memastikannya namun segera kuurungkan. Jika mereka
terima pesan pasti akan memberitahukannya padaku. Karena itu, aku
langsung naik ke kamarku dan mengerjakan peer hingga makan
malam tiba. "Sudah ada khabar Sabs?" tanya Ayah saat kami kumpul di
meja makan. "Belum," sahutku agak kecewa, "tapi Stacy sudah dapat khabar
siang tadi. Mungkin kami gagal. Penampilannya kurang bagus."
Tiba-tiba saja Luke, kakakku, batuk-batuk. "Astaga
Sabs...Sabs," ujarnya setelah meneguk segelas air untuk melancarkan
tenggorokannya, "aku lupa menyampaikan pesan. Seseorang
menelponmu siang tadi. Namanya...Goy, Hoy atau...Joy? Aku lupa
tuh." "Maksudmu.... Foy?!" teriakku panik.
"Ya, kau benar. Foy namanya!" sahut Luke membenarkan,
"Aku catat nomer teleponnya, tapi...di mana ya?"
"Diana, Diana, kekasih...ku. Eh, di mana...di mana?" tanyaku
gembira sambil melonjak-lonjak di kursi dengan tak sabar. Raymond
Foy ternyata menghubungiku! Berarti kami lolos seleksi! Mudahmudahan belum terlambat untuk menelpon balik.
"Sebentar, kuingat dulu," kata Luke seraya menggaruk-garuk
kepalanya. "Jadi, kamu nggak mencatatnya di kertas yang tersedia di meja
telepon? tanya Ibu dengan menghela nafas. Ibu sih seringkali
mengingatkan kami untuk mencatat semua pesan telepon yang masuk
di kertas yang tersedia di meja telepon, tapi selalu saja lupa.
"Eng...nggak," sahut Luke perlahan, "hmmm... di mana ya?"
"Waktu kau terima telepon tadi siang, apa sih yang dilakukan?"
tanyaku menyelidik dan menyegarkan ingatannya.
"Latihan basket sama Mark,"jawab Luke. Mark adalah salah
satu kakakku. "Ouw...ya!" seru Mark seolah-olah teringat sesuatu, "Kau ambil
bolpoin dan...." "Dan, apa?" tanyaku mulai naik darah, "Di mana kau catat?"
Luke cengar-cengir persis kuda. Bagiku tak ada yanglucu.
"Kok senyam-senyum segala sih?" tukasku heran. Bagaimana
kalau Raymond Foy menghubungi grup lain untuk menggantikan
kami karena kami tak memberi jawaban?
Luke membungkuk ke bawah meja dan muncul lagi sambil
mengacungkan sepatu basketnya. "Kucatat di sepatuku," ujar Luke,
"soalnya nggak ada kertas sih."
Nggak ada kertas? Padahal di atas meja, tepat di samping
pesawat telepon, tersedia setumpuk kertas khusus untuk mencatat
semua pesan-pesan telepon.
Segera kusambar sepatu Luke. "Pak Foy kasih batas waktu
nggak untuk menjawab teleponnya?" tanyaku sembari melangkah ke
pesawat telepon yang tergantung di sudut dapur.
"Dia bilang paling lambat pukul 6 waktu LA," jawab Luke.
Waktu Los Angeles, pikirku agak lega. Kuharap belum
terlambat. Memang, antara Acorn Falls dengan Los Angeles terdapat
selisih waktu. Mudah-mudahan kami masih sempat untuk tampil
kembali. Kutarik nafas dalam-dalam dan segera memutar nomer
telepon. BAGIAN ENAM Sabrina menelpon Raymond Foy.
OPERATOR : Foy Productions, selamat sore.
SABRINA : Hai. Oh...maksudku, dapatkah saya berbicara
dengan Pak Foy? OPERATOR : Siapa yang mau bicara?
SABRINA : Sabrina Wells. Begini, tadi siang Pak Foy
menghubungi saya. OPERATOR : Baiklah. Tunggu sebentar ya.
Sabrina menunggu. RAYMOND : Hallo Sabrina, apa khabar?
SABRINA : Baik Pak. Maaf, saya baru bisa menghubungi anda
sekarang. Apakah kami akan tampil di teve?
Raymond tertawa. RAYMOND : Wah...langsung saja ya. Aku senang
mendengarnya. Kau benar Sabrina. Kami terpesona dengan grup
?CERIA?-mu dan mengundang kalian untuk menyemarakkan acara.
Ouw ya, panggil saja Ray. Oke?!
SABRINA : Sungguh? Yang benar?! Astaga! Jadi kami akan
tampil di teve? Asyikkk...terima kasih Pak Foy, eh...maksudku Ray.
RAYMOND : Aku senang mendengar kau begitu bersemangat.
Kurasa pertunjukan minggu depan akan semarak dngan hadirnya
kalian. SABRINA : Aduh...aku harus cepat-cepat memberitahukan
teman-temanku. Terima kasih Pak Foy, eh...Ray.
RAYMOND : Eitts...nanti dulu!Kamu aneh deh, kan belum
tahu jadual shooting-nya.
SABRINA : O iya. Sampai lupa nih.
RAYMOND : Pengambilan gambar dilakukan di sebuah studio
di Minneapolis, Sound Around namanya. Seandainya kalian punya
masalah dengan transportasi, katakan saja. Kami bisa jemput kalian
kok. SABRINA : Ah...nggak. Nggak ada masalah kok. Trims ya!
Raymond tertawa. RAYMOND : Kamu juga nggak ingin tahu waktunya?
SABRINA : Oh iya.... Lupa lagi nih.
RAYMOND : Hari Sabtu jam satu tepat. Sebaiknya datang satu
jam sebelumnya supaya dapat bersiap-siap.
SABRINA : Baik. RAYMOND : Jadi, sampai nanti ya. Kalau masih ada
pertanyaan atau masalah, silakan hubungi saya di nomer telepon ini
antara jam 11 sampai 6 sore waktu Los Angeles.
SABRINA : Tunggu sebentar Ray! Boleh tahu kan, siapa juri
tamu kali ini? Penasaran nih. Nggak keberatan kan.
RAYMOND : Sebetulnya sih masih rahasia, tapi demi kamu
kuberitahu deh. Alek Carreon.
SABRINA : Alek Carreon!? Benar nih! Ya ampun...un! Si kece
itu!? Oh. Aku nggak sabaran lagi nih!
RAYMOND : Aku senang mendengar kau gembira. Alek
sahabatku. Ingat baik-baik, ini harus kau rahasiakan!
SABRINA : Terima kasih Ray. Aku betul-betul menghargai
semua ini. RAYMOND : Sampai hari Sabtu, Sabrina. Sukses ya!
SABRINA : Ya. Terima kasih. Beribu terima kasih Ray.
Daaah.... Sabrina menelpon Katie. KATIE : Rumah keluarga Campbell dan Beauvais, Katherine di
sini. SABRINA : Hei Katie. Kayaknya masih kagok ya bilang
keluarga Beauvais? KATIE : Oh. Hai Sabs! Kau benar, lidahku masih kaku. Ibuku
kan baru menikah dengan Jean-Paul. Lama kelamaan juga akan
terbiasa. Ada apa nih? SABRINA : Katie, ternyata Raymond telpon!
KATIE : Siapa?! SABRINA : Raymond! Raymond Foy!
KATIE : Yang benar? Apa katanya?
SABRINA : Kita lolos seleksi dan terpilih untuk tampil di teve!
Hari Sabtu di Minneapolis akan dilangsungkan pengambilan
gambarnya. Sebaiknya siapkan kostum dari sekarang deh!
KATIE : Wah, nggak disangka! Tadinya sudah putus harapanku
lho. Stacy bakalan jengkel mendengar ini.
SABRINA : Ya. Harus kita lihat reaksi dan raut wajahnya saat
mendengar berita ini. Lebih baik lagi kalau Randy bawa kamera
videonya untuk mengabadikan saat-saat bersejarah itu.
Katie tertawa. KATIE : Kadang-kadang kau keterlaluan Sabs.
SABRINA : Habis gimana lagi dong. Kan enak juga, sesekali
memutar video yang isinya wajah Stacy lagi naik pitam. He...he...he....
Eh, ada lagi nih. Sebetulnya top secret sih, tapi terpaksa kubocorkan
juga padamu. Aku sendiri hampir meledak. Bagiku, Rick Stevens
memang idola. Tapi masih ada lagi yang lebih dari Rick. Lebih kece,
lebih imut-imut, lebih.... Uh...terasa mau pingsan deh.
KATIE : Tenang dulu dong Sabs. Kok pakai pingsan segala.
Rahasia apa sih? Siapa yang lebih keren?
SABRINA : Aktor beken Alek Carreon!
KATIE : Wow! Aku sudah nonton filmnya yangberjudul Down
Under. Bagus deh dan aktingnya juga asyik punya tuh.
SABRINA : Ya. Ia bahkan keluar sebagai pemeran pembantu
terbaik dalam film itu. Aku suka dengar aksen Australia-nya saat ia
ngomong. Apalagi wajahnya.... Wow...imut-imutlah!
KATIE : Sabs, aku nggak bisa ngomong apa-apa lagi nih.
Semua serba mengejutkan dan menggembira kan! Kurasa, besok harus
ketemu dan bicarakan soal kostum ya.
SABRINA : Tepat. Aku akan hubungi A1 dan Randy. Tak ingin
kubiarkan mereka penasaran terlalu lama.
KATIE : Bagus. Aku akan cari sesuatu di rumahku yang bisa
digunakan untuk kostum kita. Sampai besok di sekolah ya!
SABRINA : Ocay. Eh...tunggu! Hampir lupa nih. Ray bilang,
kalau kita punya masalah dengan transportasi, ia bersedia
mengirimkan mobil jemputan untuk kita. Kira-kira mobilnya seperti
apa ya? Limosin? Seperti yang biasa digunakan aktor dan aktris beken
Hollywood? KATIE : Ray akan kirimkan limosin untuk jemput kita?
Wah...wah...wah.... Jadi pusing tujuh keliling nih Sabs.
SABRINA : Berani taruhan? Randy dan Allison pasti nggak
kalah terkejutnya sama kau dengar semua ini. Katie, sudah dulu ya.
Mudah-mudahan malam ini aku bisa tidur nyenyak.
Katie tertawa lagi. KATIE : Yakin deh, kau pasti bisa nyenyak. Selamat bobo adik
manis Sabrina.... Sabrina menelpon Randy. RANDY : Ada apa? Bikin kaget orang saja kau Sabs.
SABRINA : Randy?! RANDY : Sabs, apa sih yang terjadi? Sang produser telah
menghubungimu dan ngajak kita ikutan dalam pertunjukannya, ya?
SABRINA : Kok tahu sih? RANDY : Tebak saja. Kalau Stacy terpilih, seharusnya kita
juga lolos kan. Aku yakin kita lebih bagus dari grup-nya. Lagi pula
dari nada suaramu sudah bisa kuduga apa yang bakalan terjadi.
SABRINA : Ouw....ya? Ini benar-benar luar biasa. Hari Sabtu
ada pengambilan gambar di Minneapolis.
RANDY : Hah!? Wah...kita harus segera siapkan kostum dong.


Girl Talk 17 Pentas Mirip Bintang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Waktu kita kepepet nih. SABRINA : Aku tahu. Katie sudah cari-cari sesuatu di
rumahnya. Pokoknya yang bisa digunakan untuk kostum deh. Pulang
sekolah besok, kita harus rapat dan mulai kerja.
RANDY : Rencana bagus. Sebaiknya kumpul di rumahku saja?
Di sini kan banyak alat. Siapa tahu dibutuhkan untuk kostum.
SABRINA : Baik kalau begitu.
RANDY : Eh, omong-omong sudah dulu ya. Sheck sebentar
lagi telpon dari New York nih. Siang tadi, ia sudah telpon dan
meninggalkan pesan untukku. Kau tahu sendiri kan, kalau cowok
sudah telpon suka nggak ingat waktu. Seenak perutlah.
SABRINA : Aku jadi ingat sesuatu. Kau tahu, di mana Luke
mencatat nomer telepon dan pesan Raymond Foy? Di sepatu
basketnya! RANDY : Sepatu basket?! SABRINA : Iyya. Dan nggak perlu tanya-tanya alasannya.
RANDY : Secuek itu makhluk yang namanya cowok?
SABRINA : Masih ada yang lebih cuek lagi Rand.
RANDY : Bagus aku nggak punya saudara cowok, ya?
SABRINA : Ya. Salam buat Sheck.
RANDY : Pasti. Sampai ketemu besok nona manis....
SABRINA : Baik. Oh...hampir lupa. Mestinya sih, aku nggak
bocorin rahasia ini pada siapa pun. Tapi nggak ada salahnya kan jika
kau dan Allison tahu. Juri tamu dalam pertunjukan kita nanti Alek
Carreon! RANDY : Wah! Alek aktor muda berbakat. Lagian tampangnya
enak dilihat. SABRINA : Maksudmu keren, begitu?
RANDY : He-eh. Iya deh, Cukup kan Sabs. Ciao!
SABRINA : Daaah. Sabrina menelpon Allison.
BU CLOUD : Hallo. SABRINA : Bu Cloud? Sabs nih. Allison ada?
BU CLOUD : Oh, hai Sabs. Apa khabar?
SABRINA : Baik, terima kasih. Saya punya khabar gembira
untuk Allison, Bu. BU CLOUD : Tentang Pentas Mirip Bintang?
SABRINA : Betul. BU CLOUD : Apa kalian lolos seleksi?
SABRINA : Ya! Khabarnya baru diterima tadi.
BU CLOUD : Selamat ya! A1 pasti senang sekali jika
mendengarnya. Tunggu sebentar ya.
ALLISON : Hai Sabs. Ibuku bilang kau punya khabar gembira?
SABRINA : Yap! Raymond Foy menelponku dan kita lolos
seleksi! ALLISON : Sungguh!? Wah, Sabs.... Aku senang deh
mendengarnya. Tunggu sebentar. Kok baru terima khabarnya
sekarang sih? Padahal, Stacy sudah menerimanya sejak siang tadi?
SABRINA : Luke lupa menyampaikannya padaku.
ALLISON : Oh ya! SABRINA : Yang penting kita akan tampil di teve! Ray bilang,
pengambilan gambarnya di Minneapolis Sabtu depan.
ALLISON : Mereka akan melakukan pengambilan gambar?
Kukira pertunjukannya akan diudarakan langsung tanpa direkam lebih
dahulu. SABRINA : Wah...aku nggak tahu juga tuh. Tapi kalau direkam
dulu sih akan jauh lebih baik. Jadi saat ditayangkan kita bisa
merekamnya sebagai kenang-kenangan.
ALLISON : Benar. SABRINA : Kalau betul acara itu disiarkan langsung, aku
akan minta Ayahku merekamnya di rumah. Kaset video itu akan
kujadikan portfolio untuk melamar di Hollywood nanti! O ya,
shooting akan dilakukan Sabtu jam satu siang di salah satu studio di
Minneapolis. Kita harus tiba satu jam lebih awal agar punya waktu
untuk menyiapkar segalanya.
ALLISON : Astaga! Kita kan belum bicarain soal kostum!
SABRINA : Iya...ya. Aku juga panik nih. Besok kita akan
kumpul dan ngomongin di rumah Randy. Begini lho Al, aku nggak
bisa membicarakannya dengan Katie karena semua in idenya.
Sementara Randy nggak bisa diganggu karena sedang menunggu
telpon dari Sheck. Menurutmu, kostum bola karet warna-warni itu
nggak kelihatan konyol kan nantinya? Coba deh kau bandingkan
dengan kostun Stacy dan The Valentines-nya Sangat glamor dan
profesional Acara ini akan disiarkan secari nasional lho!
ALLISON : Gagasan Katie cukup unik juga. Malah kostum
Stacy dan gengnya nggak terlalu wah bagiku.
SABRINA : Tapi bagus kan.
ALLISON : Kalau kau nggak setuju, tentu harus dibicarakan
besok. SABRINA : Sorry ya, aku hanya ingin menyampaikan
pendapatku saja Bukan cari-cari masalah nih.
ALLISON : Aku mengerti. Yang jelas nggak boleh ada yang
kecewa, kan? SABRINA : Ya. Oh...lagi-lagi hampir lupa.
ALLISON : Apa? SABRINA : Juri tamu malam ini Alek Carreon!
ALLISON : Masa? Aku senang sekali lihat aktingnya di Down
Under. Ia aktor berbakat.
SABRINA : Dan, tentunya keren kan! Eh, ngomong-ngomong
aku harus ngerjain pe-er dulu nih. Satu soal matematika pun belum
berhasil kuselesaikan. ALLISON : Iya deh. Sampai besok ya!
SABRINA : Jangan lupa, besok kumpul di rumah Randy
bicarain kostum! ALLISON : Iyya, iyya. Selamat malam.
SABRINA : Daaahhh. BAGIAN TUJUH "Nah, kayaknya grup ?Ceria? harus melakukan banyak
pekerjaan nih," ujarku sambil bertepuk tangan seperti pelatih tari yang
biasa kulihat di film. "Jangan biarkan The Valentines melecehkan
kita." Kunyalakan stereo set Randy dan kuhampiri sahabat-sahabatku.
Kami kumpul di rumah Randy sesuai rencana semalam.
"Jelas dong," angguk Randy setuju, "kalian nggak dengar,
bagaimana kerasnya teriakan Stacy saat mendengar kita lolos
seleksi?" Usai pelajaran bahasa Inggris pagi tadi, akhirnya Stacy dengar
juga keberhasilan kami. Ia menjadi begitu berang hingga berteriak
lantang. Maklum, dia bukan lagi satu-satunya pusat perhatian kan?
"Sudah. Arizonna yang cerita padaku," sahutku sembari tertawa
geli, "pasti menyenangkan. Sayang, aku nggak sempat melihat."
"Iya ih. Aku juga rugi nggak melihatnya langsung," angguk
Randy kecewa. teenlitlawas.blogspot.com
"Ah, lebih baik kita mulai membicarakan kostum hingga tuntas,
baru melanjutkan latihan tari lagi, gimana?" usul Allison, "Lagi pula
kita cukup siap kan untuk tampil. Hanya soal kostum saja yang
sekarang jadi masalah."
"Ya," sahutku, "tapi kita nggak boleh malas lho. Grup-grup
lain sudah menghabiskan waktu seharian untuk latihan. Kita terlambat
satu hari, karena baru semalam kuterima beritanya."
"Lantas, soal kostum?" desak Katie, "Sudah kubicarakan
dengan Ibu dan pulang sekolah tadi ia letakkan kantong ini di tempat
tidurku." Diletakkannya kantong plastik berukuran besar dan tampak
penuh ke lantai. Sekonyong-konyong muncul beberapa bola karet
warna merah muda, menggelinding dan mental-mental di lantai. "Pas
sekali nggak," seru Katie penuh semangat. "Ibu bilang, kita bisa belah
tiap bola jadi dua lalu menjahitkannya di kostum masing-masing.
Meskipun terbuat dari karet, nggak susah kok jahitnya sebab karetnya
tipis." Kelihatannya sih, sudah terlambat untuk membicarakan
perubahan kostum. Maksudku Bu Campbell, eh Bu Beauvais, sudah
repot-repot menyiapkan bola-bola ini. Dengan terpaksa kuterima
kostum bola karet ini. Kekecewaanku kubuang jauh-jauh. Tapi,
sahabat-sahabatku agaknya begitu semangat menyambut ide Katie.
"Sekarang coba lihat ini!" seru Randy sekembalinya dari studio
Ibunya, "Semalam aku telah membicarakan soal kostum kita pada M
dan ia pun mulai bicara tentang patung-patung hidup buat ide kostum
kita." "Patung hidup?!" tanyaku sedikit cemas. Aku pernah melihat
beberapa patung karya Olivia. Memang cukup bagus. Tapi juga aneh
bentuknya. Ukurannya besar-besar. Sulit memakai patung itu untuk
kostum. Lagi pula, apa sih maksudnya dengan ?patung hidup??
Apakah kita mesti mengenakan patung itu? Lagi-lagi satu gagasan
yang sama sekali jauh dari kata ?mewah?.
"Tepat sekali," sahut Randy, "ia sendiri yang menjahitkan
pakaian ini. O ya, M bisa menjahit lho."
"Ibumu bisa menjahit?!" Katie terkejut mendengarnya. Olivia
sama sekali bukan tipe Ibu rumah tangga. Ia tak pandai memasak.
Untung Randy bisa karena hobinya memasak. Belanja kebutuhan
sehari-hari juga dilakukannya. Kalau sudah bekerja di studionya,
Olivia kadang lupa waktu, bahkan lupa makan. Randy sendiri
mengaku kalau ia senang mengeijakan tugas-tugas rumah. Dengan
begitu ia bebas menentukan makanan yang disukainya. Randy kurang
suka makanan yang biasa dipesan Olivia dari restoran. Bagiku,
kehidupan di New York sangat jauh bedanya dengan Acorn Falls.
Randy bilang, sebelum orang tuanya bercerai, mereka punya seorang
pembantu yang bertugas membersihkan apartemen mereka dan
memasak. Tapi setelah bercerai, M selalu membeli makanan dari
restoran setiap malam. Acorn Falls sendiri bukan metropolitan, jadi
pilihan makanan dan restoran nggak sebanyak di New York. Paling
banter yang terkenal cuma Chinese Place dan Pizza Place. Hanya itu.
Randy masih perlu menyesuaikan diri dengan suasana Acorn Falls.
"Yeah," ujar Randy, "sebelum aku lahir, M pernah belajar di
sekolah mode. Dari situlah, ia belajar cara merancang pakaiannya
sendiri. Bahkan M punya mesin jahit lho."
"Perancang busana?!" tanyaku seketika agak tertarik,
"Kedengarannya asyik juga ya." Merancang pakaian sendiri asyik kan.
Aku sendiri paling benci kalau beli pakaian tapi ukurannya ngepas
banget, terlalu besar atau warnanya nggak cocok. Kadang-kadang juga
terlalu mahal. Seandainya aku bisa merancang dan menjahit, pasti
akan kupakai seumur hidup. Kemungkinan aku harus pertimbangkan
profesi perancang busana sebagai karier sampingan di sampipg
sebagai aktris. "Sepertinya pekerjaan itu cukup melelahkan juga deh," tukas
Randy berat, "M bilang, pelajaran merancang busana merupakan salah
satu pelajaran tersulit untuknya. Nih hasilnya...."
Randy menyodorkan kami masing-masing sehelai kain
berukuran besar yang terlipat. Kayak taplak meja. Hitam untuknya,
biru untuk Al, kuning untuk Katie dan merah untukku.
"Kita akan kenakan kain ini?" tanyaku bingung. Dengan kain
seperti ini kami lebih mirip hantu daripada bola raksasa.
"M telah mencelupkan kain-kain ini sehingga warnanya lebih
menyala dan menyolok," jelas Randy, "dan jika kalian jeli, ada karet
elastis di bagian leher, sedang di bagian bawah ada lubang lengan di
kanan kirinya. Seharian M bergulat hanya untuk menyelesaikan ini."
Randy mengenakan kostumnya. Bagian atas di dekat dada dan ujung
bawah tampak ngepres, sebab dilingkari karet elastis sehingga bagian
tengahnya ada ruangan yang cukup luas. Untuk satu kostum saja perlu
kain banyak. "Kau sama sekali nggak seperti bola," komentar Katie heran.
"Yah...bola yang kempes kali," kelakarku agar Randy tak
tersinggung. "Oh, itu memang keistimewaan kostum ini," seru Randy.
Diambilnya beberapa bantal kursi lalu dimasukkan ke dalam
kostumnya. Kostum pun berubah menggelembung, bundar seperti
bola! "Pakaian ini bisa diisi sehingga tampak menggelembung. "
"Wah!" decak Katie kagum, "Hebat sekali M-mu. Bisa diisi apa
saja dong?" "Ibumu sungguh berbakat," puji Allison yang segera mencoba
pakaiannya. "Siapa dulu dong anaknya," angguk Randy bangga, "suka-suka
kitalah. Bisa bantalan kursi, kertas koran, atau cucian kotor."
"Iiih...ih." Aku, Al, dan Katie langsung bergidik jijik
mendengarnya. "He...he...he...aku cuma bercanda kok," kilah Randy, "yang
jelas, kita akan kelihatan seperti bola. Lagi pula pakaian kita
memudahkan untuk bergerak bebas. Kamu nggak mau coba
mengenakannya Sabs?"
Sambil menghela nafas, akhirnya aku pun bergerak untuk
mencobanya. "Rasanya seperti pakai taplak meja deh," gumamku
setelah memakai, "atau, seperti pakai seprei."
"Menurutku, kau jadi imut-imut deh," komentar Katie.
"Aku nggak mau kelihatan begitu ah," protesku, "maunya
mewah dan agak prof-lah." Akhirnya aku nggak tahan lagi. Ketiga
sahabatku begitu semangat sementara aku tidak. Aku sungkan tampil
sebagai bola. Kayaknya konyol.
"Kau ingin ubah kostum kita?" cetus Katie heran, "Kukira kau
senang dengan gagasanku tentang bola karet ini Sabs."
"Yah...sebenarnya sih...," kuurungkan ucapanku, mencari
kalimat yang pas agar tidak menyinggung perasaan sahabatku.
"Kukira, Sabs hanya membayangkan kostum yang berbeda
dengan kostum yang kita kenakan sekarang," timpal Allison mencoba
melerai. "Kupikir kita akan tampil dengan gaun panjang mengkilap
dengan manik-manik atau perhiasan," sahutku bersemangat, "kalian
pernah lihat kostum The Connection, kan? Nah, aku ingin yang seperti
itu." "Tapi, penampilan kita akan jadi biasa-biasa saja kalau pakai
kostum seperti itu," bantah Randy, "menurutku, kita harusberani
tampil beda dengan yang lain. Dan kostum bola ini benar-benar beda
kan?" "Itu sih aku setuju banget," anggukku pasrah.
"Nah, gimana nih jadinya?" tandas Katie tenang, "Harus ada
kata sepakat dalam menentukan kostum. Ada gagasan lain
barangkali?" "Sudah deh. Kalian sudah buang waktu dan tenaga untuk
menyiapkan semua ini," ujarku agak menyesal. Seharusnya nggak
perlu kutunjukkan kekecewaanku. Bisa kutahan kan. Sekarang, aku
merasa telah menimbulkan kesulitan dan mengecewakan sahabatku,
"M telah bersusah payah membuatkan kostum ini dan Ibu Katie telah
membelikan bola-bola karet untuk melengkapi penampilan kita."
Suasana menjadi hening dan dingin. Kuhela nafas panjang
karena merasa terjepit dan tak punya pilihan lain. Mereka sahabatsahabatku dan ketiganya setuju mengenakan kostum seperti bola. Dan
lagi, akulah yang mengajak mereka menemaniku mengikuti seleksi.
Kayaknya nggak adil jika mereka tak bisa mengenakan kostum pilihan
mereka dan memaksakan diri mengikuti kemauanku.
"Sudah ya," tegasku memelas, "lama-lama aku juga terbiasa
dengan kostum ini. Randy benar, kostum ini memang lain dari yang
lain. Kita memang harus tampil beda terutama dari The Valentines."
"Betul!" angguk Randy, "Kita akan raih angka tertinggi untuk
originalitas atau keaslian."


Girl Talk 17 Pentas Mirip Bintang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita pasti menang untuk kategori itu," tambah Katie. "Kita
usahakan tampil mengesankan."
Senang sekali melihat semangat sahabat-sahabatku, tapi tetap
saja benakku membayangkan kostum yang lebih serius, sedikit mewah
dengan manik-manik berkilau.
Waktu pun berputar dengan cepat. Akhirnya saat makan malam
tiba, kami memutuskan untuk berkumpul di rumahku usai sekolah
besok. Melangkah pulang, kujinjing kantong plastik berisi bola karet
dan kostum merah milikku. Aku berusaha keras untuk mengusir
bayang-bayang kemewahan The Valentines dari pikiranku.
********** "Lihat, itu si bola karet...," suara sinis terdengar dari arah
belakang saat aku tengah membuka pintu loker esok harinya, "lucu ya
kedengarannya?" "Appaa maksudmu?!" tanyaku sembari memutar tubuhku dan
kini berhadap-hadapan dengannya. Stacy mengenakan gaun berwarna
hijau muda lengkap dengan sepatu tumit tinggi, juga dengan warna
yang sama. Dugaanku, koleksi sepatu tumit tingginya meliputi semua
warna yang ada di bumi ini. Sedang aku belum diijinkan mengenakan
sepatu seperti itu sama Ibuku sampai usiaku mencapai 16 tahun. Ibuku
bilang, sepatu tumit tinggi kurang baik untuk kaki dan tulang
belakang. Aku sendiri kurang mengerti maksud Ibuku.
"Oh, dalam dunia hiburan, nggak ada yang namanya rahasiarahasia segala," ujar Stacy sambil, seperti biasa, mengibaskan
rambutnya, "dan kostum kalian bukanlah sesuatu yang patut
dirahasiakan. Tapi, hak kalian sih untuk merahasiakannya, soalnya
memalukan sih." Eva dan Laurel terbahak-bahak mendengarnya.
"Untuk keluar sebagai juara di Pentas Mirip Bintang nggak
perlu pakaian mewah kan!" tukasku dengan tersinggung, "Cukup
menyanyi dan menari dengan baik di panggung!"
"Menari? Maksudnya mental-mental seperti bola?" tuding Stacy
dengan gaya yang menyebalkan, "Aduh Sabs, masa kamu nggak
mengerti sih. Dunia hiburan itu identik dengan kemewahan. Dan,
kemewahan itu nggak tercermin dalam kostum kalian."
"Begitukah?!" bentakku sengit, "Dan menurutmu kalian sudah
cukup mewah? Ha...ha...ha...jangan buat aku tertawa deh."
"Jika kami menang nanti," lanjut Stacy tanpa peduli dengan
kata-kataku, "kau pasti kuundang ke pesta besar yang akan kami
selenggarakan. Dengan begitu, kau bisa bertemu dengan orang-orang
top dan tahu betul dunia hiburan."
"Maksudmu, kau akan bayar mereka supaya datang ke
pestamu? Tukang sogok! Culas," aku sekarang benar-benar naik
pitam. Stacy benar-benar keterlaluan kali ini.
"Sabrina," panggil Stacy dengan tenangnya, "kau agaknya
masih terlalu kecil untuk menghadapi semua ini. Seharusnya aku
menyadari hal itu sejak awal. Dari selera kalian memilih kostum saja
sudah mencerminkan betapa kanak-kanaknya kalian."
Stacy lantas berbalik dan melangkah menyusuri koridor diiringi
teman-temannya. Aku tak mau membiarkan ia pergi begitu saja.
"Lebih baik seperti anak kecil dengan kostum bola karet yang
unik daripada pura-pura jadi ratu seperti kalian!" teriakku mengiringi
kepergiannya. Saat membuka pintu lokerku, aku amat terkejut melihat
kehadiran Allison. "Oh, hai Al," seruku kaget, "sejak kapan kau di sini?"
"Lama juga sih," jawabnya dengan tersenyum, "jadi sekarang
kau sudah yakin dengan kostum kita dan nggak berpura-pura lagi jadi
ratu seperti The Valentines kan?"
"Tentu saja nggak!" ujarku mantap dan tegas, "Stacy boleh saja
mewah-mewah dengan kostum ala putri raja, tapi aku kayaknya lebih
suka jadi bola karet yang lincah!"
Sepanjang perjalanan pulang dari sekolah, aku berlari secepat
mungkin agar segera sampai di rumah. Nggak sabar rasanya untuk
mengerjakan kostumku. Ibunya Katie telah membelikan bola-bola
karet sebagai asesoris kostum dan telah dijahitkan M untuk kami
berempat. Aku yakin penampilan grup ?Ceria? akan lain dari yang
lain. "Hai Bu, aku pulang!" seruku seraya membuka pintu dapur.
Kuletakkan tas sekolahku di meja makan lantas langsung menuju
ruang tamu, di mana kuletakkan kantong besar berisi bola-bola karet.
Namun, astaga, kantong plastik itu sudah nggak ada lagi di tempatnya.
Aku mulai panik. Kuusahakan setenang mungkin. Siapa tahu Ibu
sengaja memindahkannya ke tempat lain saat membersihkan lantai
pagi tadi. Sambil mencari-cari, tiba-tiba mataku tertuju ke arah
Cinnamon, anjing kami, yang tengah menggigiti sebuah bola karet
warna merah muda di atas karpet. Di sekitar Cinnamon berserakan
beberapa bola lagi yang kelihatannya habis digigiti dan dikoyakkoyak.
"Waduh, celaka dua belas nih!" seruku panik. Aku segera
bersimpuh dan mengumpulkan bola-bola itu. Semakin banyak bola
yang berhasil kukumpulkan, makin berdebar jantungku. Cinnamon
telah menggigit dan merusak semuanya! Bahkan kostum buatan M
pun habis dikoyak-koyaknya, sehingga compang-camping tak karuan! "Cinnamon! Tega sekali kau!" bentakku gemas sambil melotot ke
arahnya. "Apa lagi yang dilakukannya kali ini?" tanya Sam yang
melangkah masuk ke ruang tamu. Pertanyaannya segera terjawab
tatkala dilihatnya aku duduk lemas di lantai dengan bola-bola karet
bertebaran di sekelilingku. Sam bersiul sembari menghela nafas,
"Wah, ulah Cinnamon kali ini nggak bisa ditolerir lagi...."
"Ini satu-satunya kostum yang kami miliki dan Cinnamon telah
merusaknya. Sekarang segalanya hancur berantakan," keluhku hampir
menangis, "jadi, apa dong tindakanku? Waktu tinggal sehari lagi nih!
Pengambilan gambarnya akan dilangsungkan besok!"
BAGIAN DELAPAN Akhirnya, Sabtu pun tiba. Tadinya, aku begitu semangat untuk
merekam jalannya Pentas Mirip Bintang, namun kini menjadi hambar
dan putus asa. Untuk apa direkam jika kami tak mungkin menang. Ya,
tanpa kostum, kami pasti nggak dapat mengalahkan peserta lainnya.
Dan semua itu karena kesalahanku. Aku yang teledor, membiarkan
kostum tergeletak begitu saja dan dirusak Cinnamon. Seharusnya
kuperlakukan kostum kami dengan hati-hati.
Kuperiksa isi lemariku dan kulihat kostumku masih tergantung
di dalamnya. Akhirnya, ibu kami masing-masing menjahitkan sebuah
gaun pendek sebagai pengganti kostum bola karet yang rusak. Kini
masalahnya, penampilan kami nggak jauh beda dengan The
Valentines. Cuma, kami tak mengenakan manik-manik yang
gemerlapan. Itu tok. Sekarang, kami nggak dapat mengumpulkan
angka untuk kategori penilaian pertama, keaslian. Bagaimanapun
kami tetap berlatih keras untuk menirukan lagu dan tarian setiap
malam. Kami sudah menghafal lirik lagu di luar kepala dan dapat
menghayatinya dalam gerakan tari
Bahkan, Allison telah menemukan gerakan penutup yang bagus
sekali. Setidaknya kami masih bisa mengumpulkan nilai tambahan
dalam penjurian nanti. Kukeluarkan stoking yang sengaja kusiapkan untuk kostum.
Setelah mengenakan stoking, aku pun mengenakan celana jeansku.
Kini, aku nggak perlu pusing-pusing lagi. Toh, semuanya telah
kurencanakan dengan matang. Dengan membungkus stoking di dalam
celana jeans, aku nggak perlu khawatir stokingku ini tergores-gores.
Aku kan nggak mau tampil di teve dengan stoking yang sobak-sobek.
Kuambil kostumku serta tas berisi sepatu yang ada di
bawahnya. Kami sengaja memilih stoking dan sepatu yang sama
dengan warna kostum masing-masing. Bagus ibu-ibu kami berbaik
hati dan ikhlas mengeluarkan uang untuk membiayai kostum. Mereka
mungkin iba melihat kejadian buruk yang menimpa kami. Dan yang
lebih menggembirakan, Ibuku mengijinkan aku membeli sepatu tumit
tinggi! Kata Ibu, dengan penampilan yang serasi, kami akan tampak
menarik. Tadinya sih, aku nggak diijinkan sampai umurku mencapai
16 tahun, toh buat Ibu dalam kesempatan khusus ini, boleh-boleh saja.
Ibuku memang bijaksana dan penuh pertimbangan.
Kupatut diriku di depan cermin sekali lagi sambil mengangkat
kostum dan menempelkannya ke tubuh. Gaun yang cantik. Tapi, aku
masih menganggap kostum kami sebelumnya jauh lebih menarik.
Dengan kostum seperti bola karet, aku yakin kami akan dapat menarik
perhatian penonton dan dewan juri.
"Kau sudah siap untuk berangkat?" tegur Ayah saat aku turun
dari tangga. "Sebaiknya segera berangkat kalau ingin tepat waktu."
"Aku sudah siap," sahutku.
"Nah, adik manis, ini hari yang bersejarah untukmu," ujar Sam
sok tua, "hari yang akan mengawali kariermu sebagai bintang. Bukan
begitu, non?" Hampir saja kulempar dengan gaun yang tengah
kujinjing, sebelum mendengar kalimat selanjutnya, "Semoga sukses
Sabs. Kau nggak perlu bola karet untuk menarik perhatian juri. Aku
yakin, dengan kostum apa pun kalian akan mengumpulkan nilai
tertinggi." "Oh. Trims Sam," ujarku dengan tersenyum lebar. Kadangkadang aku merasa aneh, Sam sepertinya dapat membaca pikiranku.
Dan batinku mengatakan, hari ini akan menjadi hari baik. Lalu, kami
masuk ke mobil dan berangkat menuju studio Sound Around di
Minneapolis. Saking semangatnya, aku seperti orang kepanasan,
nggak bisa duduk tenang selama perjalanan. Untunglah perjalanan
lancar tanpa kemacetan. Kalau terperangkap kemacetan lalu lintas,
mungkin aku terpaksa keluar dari mobil dan berlari menuju studio.
Hal itu tentu akan menguras energi.
Namun, yang membuatku semakin tegang yaitu membayangkan
pertemuanku dengan Rick Stevens dan Alek Carreon. Aku akan
berada di ruangan yang sama dengan mereka. Apa ya yang akan
kukatakan? Dan, bagaimana seandainya mereka mengajakku ngobrol?
Mungkin sebaiknya kukenakan celana jeans yang bagus daripada belel
seperti sekarang. Atau, make-up-ku lebih dipertebal. Soalnya, ini
debutku di dunia showbiz.
Tanpa terasa, kami pun tiba di studio. Keluargaku ikut
menyaksikan jalannya pengambilan gambar, kecuali Matthew, kakak
tertuaku yang tinggal di asrama mahasiswa. Semalam, ia sempatkan
diri menelponku cuma sekedar mengucapkan selamat bertanding. Ia
janji takkan melewatkan acara Pentas Mirip Bintang malam ini.
Bahkan, ia akan ajak teman-teman seasramanya untuk menyaksikan
penampilanku di layar kaca. Mudah-mudahan itu hanya bualannya.
Soalnya, aku sudah merencanakan untuk berkunjung ke asramanya
dalam waktu dekat ini. Kalau mereka sempat mengenal mukaku, wah
ciloko, sulit bagiku untuk mengelak dan meladeni teman-teman
Matthew. Lagi pula, apa jadinya jika malam ini aku gagal
memenangkan kontes Pentas Mirip Bintang? Malu kan.
Memasuki lobi, tak satu pun sahabatku kelihatan batang
hidungnya. Dengan mengikuti papan-papan petunjuk, aku yakin dapat
menemukan mereka. Para pengisi acara diharuskan berkumpul di
studio satu. Aku merasa menjadi seorang aktris sungguhan saat
memasuki studio. "Kayaknya...aku ditinggal saja deh," pintaku pada keluargaku,
"karena harus segera kumpul dengan peserta lain sih." Geli
mendengar suaraku sendiri. Mirip ucapan aktris beken ya? Aku pun
melambaikan tangan seperti gaya para bangsawan. Kugerakkan
tanganku sedikit ke arah keluargaku.
"Sikat semua ya!" seru kakakku mengiringi kepergianku.
Kulangkahkan kaki menuju studio. Koridor tampak adem-ayem
saja dan sepi sehingga membuatku terkejut. Kukira, selama ini, para
kru studio selalu sibuk dan suasananya ramai. Tetapi begitu masuk
studio satu, dugaanku ternyata tidak meleset. Mereka sibuk mondarmandir dan suasananya hiruk pikuk. Tentu saja kesibukan dan suarasuara itu tak terdengar dari luar sebab studio terbuat dari dinding yang
kedap suara. Panggung sudah siap sementara kursi penonton masih
kosong. Di salah satu sofa di bawah panggung kulihat Katie, Randy
dan Allison melambai-lambaikan tangannya ke arahku.
"Hai semua!" balasku sambil melambaikan tangan dan
menghampiri. Untunglah mereka sudah datang. Coba kalau sendirian,
bisa bengang-bengong dan bingung kan. Dan, lebih mudah
menghadapi Rick Stevens dan Alek Carreon bila sahabatku
mendampingi. "Ada sesuatu yang terjadi sebelum kedatanganku?"
"Nggak," geleng Randy, "kami juga baru datang dan lihat-lihat
studio," sambungnya. "Kami sudah lihat Stacy dan geng-nya, tapi
mereka tak acuh, seperti biasa, sok angkuh."
"Mataku melihat mereka tenang sih, tapi agak grogi juga tuh,"
komentar Allison. "Oh ya?!" aku terkejut mendengarnya. Menurutku, orang
seperti Stacy sepertinya tak punya rasa takut ataupun tegang.
"Sebaiknya kita ganti pakaian yuk?" tutur Katie beberapa saat
kemudian. "Kamar gantinya nggak jauh dari sini," tunjuk Katie ke
suatu pintu di deret sebelah kanan ruangan.
"Ayo," sahut Randy bangkit. Kami bertiga mengikutinya dari
belakang. Saat melangkah memasuki ruang ganti pakaian, tadinya
kuharap suatu ruangan yang terang benderang dengan cermin besar
yang dihiasi lampu berwarna-warni. Pokoknya seperti ruang ganti
aktris yang biasa kita lihat di film. Nyatanya di ruang itu hanya ada
empat kursi lipat, lemari besar dan cermin besar dekat pintu. Kami
letakkan tas masing-masing di atas kursi. Sejenak, tak seorang pun
mengucapkan kata-kata. Kurasa kami sedikit tegang dan deg-degan.
Setelah siap dengan kostum masing-masing, kutarik nafas
panjang dan berseru, "Nah, sekarang kita siap untuk Pentas Mirip
Bintang!" "Sebentar Sabs," cetus Randy sebelum aku sempat membuka
pintu dan keluar dari ruang ganti. Kuhentikan langkahku dan
kubalikkan tubuhku. Randy berdiri di antara Katie dan Allison. "Aku,
Katie dan A1 merasa sedih mendengar apa yang terjadi atas
kostummu," ujar Randy mengenaskan.
"Dan kami sepakat, hal itu tak terlalu penting buat kami,"
tambah Katie penuh simpati.
Allison mengangguk, "Menang atau kalah sama saja. Kami
takkan menyalahkan dan mempersoalkanmu. Yang jelas, kita akan
tampil di teve sekarang."
"Tanpa kamu, kami tak mungkin punya keberanian tampil dan
ikut seleksi. Semua ini gagasanmu, Sabs. Karena itu, kami setuju
untuk menghadiahkan sesuatu padamu," aku Randy seraya
mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya dan menyerahkannya
padaku. "Astaga!" seruku terkejut bercampur senang. Ia berikan jaket
berwarna keemasan yang cantik luar biasa! "Dari mana kau dapatkan
jaket sebagus ini?" "Di toko pakaian antik," sahut Randy cengar-cengir senang. Ia
memang gemar memburu pakaian-pakaian ?aneh?. "Warna emas
melambangkan keberuntungan. Ayo, dipakai dong sekarang!"
Segera kukenakan jaket dan kurapihkan penampilanku dengan
mematut di depan cermin. "Sempurna deh...," desisku puas
mengagumi jaket yang kukenakan. "Kalian memang sahabat
terbaikku," ucapku penuh rasa terima kasih.
"Kini, kami ingatkan kamu untuk segera keluar dan kumpul di
studio," perintah Katie berkelakar.
Kami pun segera keluar. Tepat pada saat itu terdengar suara
siulan yang mengajak setiap pengisi acara berkumpul di tengah studio.
Terlihat Raymond Foy, produser acara, berdiri di tengah kerumunan.
"Tenang! Tenang!" serunya, "Oke. Di jadwal acara kali ini ada
lima kelompok yang akan tampil. Pertama The Valentines, lalu Jimmy
Z, ketiga grup ?Ceria?. Disusul, After 6 dan terakhir Jack dan Jill.
Ingat baik-baik ya?"
Kami serempak menjawab ?Ya?. Aku tak percaya mendengar


Girl Talk 17 Pentas Mirip Bintang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

urutan yang disebutkan Raymond Foy tadi. Jadi, Stacy akan tampil
lebih dulu dan membuka acara? Berarti mereka dapat duduk dengan
tenang setelah tampil dan menonton jalannya kontes dengan santai.
Dewan juri pun masih segar bugar di awal acara dan belum
mempunyai pembanding saat melihat penampilan The Valentines.
Bagiku, tampil sebagai grup pertama atau terakhir merupakan
keberuntungan. Tapi harus kuenyahkan pikiran-pikiran itu dari
benakku. Tak perlu cemas dengan urutan nomer. Sebagai peserta
ketiga, kami bisa lihat penampilan dua grup sebelumnya. Mencoba
menebak selera juri dengan melihat nilai yang diperoleh kedua grup
sebelumnya, lalu tampil dengan sebaik mungkin.
"Baik," lanjut Raymond Foy. "Di tengah acara akan diselipkan
dua kali penayangan iklan. Pertama, setelah dua peserta tampil dan
satu lagi setelah peserta nomer empat tampil. Selama penayangan
iklan, kami akan bagikan makanan kecil serta minuman, dan kalian
bisa beristirahat sejenak. Baru setelah peserta kelima tampil, kami
akan segera umumkan pemenangnya dan acara berakhir. Paham?!"
"Di mana kami harus menunggu setelah turun dari pentas?"
tanya seorang gadis yang mengenakan jaket panjang. Kelihatannya
dari grup Jack dan Jill. Sebab di sampingnya kulihat seorang cowok
yang juga mengenakan jaket super panjang. Mereka berdua satusatunya peserta yang hanya terdiri dari dua orang.
"Kalian harus tunggu di belakang panggung," jelas Raymond
sembari menunjuk ke deretan kursi yang telah disediakan, "kami juga
telah siapkan pesawat teve sehingga kalian bisa tetap mengikuti
jalannya kontes." Jari Raymond mengarah pada pesawat televisi yang
terletak di sudut ruangan.
"Ck...ck...ck...," decak Randy kagum, "kita bisa tetap menonton
pertunjukan di ruangan yang bersebelahan dengan ruang pengambilan
gambar! Lucu ya." "Oke, sekarang saat yang kalian nanti-nantikan," ujar Ray,
"ijinkan saya memperkenalkan bintang di acara malam ini, Alek
Carreon, juri kita!"
Peserta pun sorak-sorai histeris menyambut munculnya aktor
keren yang populer itu ke ruangan.
"Penampilan aslinya jauh lebih keren daripada foto-fotonya di
majalah," seruku tanpa mengedipkan mata. Alek mengenakan pakain
serba hitam, celana baggy, kemeja hitam dan rompi warna-warni unik
dan artistik. Penampilannya tentu saja sangat mempesona.
"Terima kasih...terima kasih...," ujar Alek dengan aksen
Australia yang kental. "Saya rasa Pak Foy keliru memperkenalkan
saya," ujarnya. Kami agak bingung mendengarnya. "Tadi Pak Foy
memperkenalkan saya sebagai bintang di acara malam ini. Sebenarnya
kalianlah yang menjadi bintangnya. Saya mengucapkan selamat dan
semoga sukses untuk kalian semua, cheerio..."
Aku semakin hanyut dan jatuh cintrong pada suara dan katakatanya. Alek Carreon yang ngetop itu ternyata rendah hati dan tak
sombong. Kami bertepuk tangan mengelu-elukannya saat ia
meninggalkan ruangan. "Dia benar-benar aktor hebat!" pujiku penuh
kekaguman. Sekarang aku yakin, aku jatuh cinta setengah mati pada
Alek! "Ya," angguk Katie, "dengar suaranya saja hatiku deg-degan
nggak karu-karuan," ujar Katie sambil memegangi dadanya.
"Dan sekarang, kami tampilkan pembawa acara kita," ujar Ray
lagi, "Rick Stevens...."
Kami pun bersorak lagi menyambut kedatangannya. Ia
mengenakan celana panjang hitam dengan tekstur garis-garis kecil,
kaos warna hitam dan jas abu-abu. Seperti biasa, penampilannya
tampak sangat mengesankan. Di belakangnya, terlihat dua perempuan
mendampinginya. Yang satu memegang sebotol hair spray dan bedak,
sementara satunya lagi memegang cermin.
"Trims," ujarnya dengan suara ogah-ogahan, "ingat, kalian
harus tetap tenang dalam pengambilan gambar nanti dan perhatikan
petunjuk-petunjuk dari saya. Terus terang, saya bingung menghadapi
kalian dalam acara ini. Entah kenapa ya, Ray punya gagasan seperti
itu. Mudah-mudahan semua berjalan lancar. Kayaknya sih akan terjadi
sedikit kekacauan," gumamnya melecehkan.
"Wah...aku kecewa mendengarnya," bisik Allison ke telingaku.
Aku mengangguk setuju. "Aku tahu kalian pasti akan minta tanda tanganku seusai
pertunjukan," lanjut Rick tinggi, "asal tahu saja, aku takkan punya
waktu untuk melayani itu semua. Sudah kusiapkan setumpukan foto
lengkap berikut tanda tangannya di atas meja di belakang panggung,"
kemudian ia pun melangkah meninggalkan kami diikuti penata
riasnya. "Bah, sombong kali dia!" umpat Randy berat, "Kayak paling
keren ze dunia zaaaza!"
"Ya. Ge-er amat!" timpal Katie ketus, "Ngapain simpan
fotonya." "Aku juga. Sorry ya," tukasku jengkel dan kecewa, "Egois
sekali si Rick itu."
"Ke mana pun dia pergi, kedua wanita penata rias itu pasti
selalu mengikutinya ya?" tanyaku sambil membayangkannya.
"Mungkin juga nggak," sahut Randy sangsi, "bisa jadi mereka
menunggu di luar kamar mandi setiap pagi. Iya dong. Masa sih,
mereka ikutan mandi. Hi...hi...."
"Mungkin saja mereka ikut masuk ke kamar mandi," kelakarku
geli, "orang model Rick pasti nggak kelupaan pakai make-up di setiap
kesempatan, termasuk juga mandi."
Kami makin terbahak-bahak membayangkannya.
"Aku nggak bisa ngebayangin tuh kalau mereka mengikuti Rick
di tengah badai salju, sekedar untuk menjaga penampilan Rick agar
tetap dandy," tambahku.
Sekarang, aku merasa lebih ingin ngobrol hanya dengan Alek
Carreon. Kelihatannya ia cowok yang ramah dan nggak sombong
dengan popularitasnya. "Wah...ternyata grup ?Ceria? punya nyali untuk tampil juga.
Nekad nih ye...," ujar Stacy yang tiba-tiba menghampiri kami sambil
menjinjing sepatunya. Walaupun sehari-hari Stacy terbiasa
mengenakan sepatu tumit tinggi, kali ini ia pasti akan mengalami
kesulitan karena tumit sepatunya kelewat tinggi dan runcing! "Kalian
cuma buang-buang waktu dan energi saja. Begitu melihat penampilan
kami, aku yakin para juri pada malas untuk menilai penampilan grupgrup lainnya."
"He-eh, percaya deh, semoga sukses!" celetuk Randy
mengiringi kepergian Stacy. Aku sendiri heran, buat apa Stacy
menyempatkan diri menemuiku kalau hanya untuk mengucapkan
bualan seperti itu? Dan aku pun ingat akan perkataan Allison. A1
mungkin benar, untuk meredakan ketegangannya, Stacy sengaja
menyerangku dengan kata-kata ketus yang menyinggung perasaan
sekedar membuatku gentar. Atau, karena sedemikian cemasnya, ia
jadi bingung dan linglung nggak tahu apa yang harus diperbuat.
"Semoga sukses Stacy," desisku tulus. Tiba-tiba saja aku
merasa iba pada Stacy. Kita kan tampil secara nasional. Banyak orang
menyaksikan acara ini. Dan kurasa Stacy benar-benar tegang
menghadapi ini semua. "Baiklah hadirin sekalian, kita segera mulai kontes ini!" seru
Ray, "Grup The Valentines dan Jimmy Z silakan menunggu dan
melapor di belakang panggung untuk bersiap-siap. Sukses ya!" Ray
lantas bergegas menuju panggung.
Kuajak teman-temanku untuk mengambil tempat di depan
pesawat televisi agar dapat menyaksikan penampilan Stacy dan
teman-temannya. Mudah-mudahan ia nggak tersandung atau terpeleset
dengan sepatu tingginya itu.
Lagu pembuka berkumandang dan terdengar suara Raymond
Foy mengucapkan ?Selamat Datang? pada hadirin yang memenuhi
studio. Juga, mengumumkan rencana kedatangan mereka ke daerah
lain di Amerika buat mencari bakat-bakat terpendam untuk
ditampilkan di acaranya. "Daa...an, kita tampilkan dulu pembawa acara malam ini, Riiick
Stevens!" Terdengar tepuk tangan hadirin menyambut kemunculan Rick
di pentas. Jantungku berdebar-debar. Telapak tanganku berkeringat
dan perutku terasa mual. Tenggorokan menjadi kering. Ketegangan
mulai merasuk di tubuhku. Tapi, bagiku sih wajar-wajar saja. Sebab,
aku kan belum pernah tampil di televisi. Mendadak kurasakan Katie
menyentuh lenganku. "Kalem Sabs," ujarnya lirih, "ini saat-saat terpenting," lanjutnya
mengulangi kalimat yang tadi diucapkan Rick Stevens. Katie
menyandarkan punggungnya di kursi dan mencoba santai.
"Tentu Katie," sahutku sembari menghela nafas. Tiba-tiba saja
aku merasa legaan dan agak tenang setelah mendengar suara Katie
yang lembut. BAGIAN SEMBILAN "Itu dia mereka," ujar Allison sambil menunjuk ke layar teve.
Stacy, Eva, Laurel dan BZ melangkah ke atas panggung. Gaun mereka
cantik sekali tertimpa sinar lampu. Manik-manik di baju mereka
berkilau setiap kali tubuh bergerak-gerik. Stacy dan teman-temannya
menambahkan kaos tangan berwarna merah sepanjang siku, serta topi
merah untuk kostum mereka.
"Hmm, hmm, hmm...penampilan mereka mewah sekali?"
komentar Katie setengah bergumam.
"Ya. Tapi coba lihat gaya mereka di panggung," tukasku, "kita
kan nggak tahu apa yang bakalan terjadi."
"Terutama kalau melihat langkah Eva yang canggung dengan
sepatu tumit tinggi," timpal Randy, "aku yakin sebentar lagi ia pasti
terpeleset." Kami pun tertawa. "Grup pertama akan membawakan lagu Sweet Sixteen yang
berjudul Just A Heartbeat Away," ujar Rick Stevens, "kini...kami
tampilkan.... The... Valentines!"
Musik pun berkumandang dan cewek-cewek itu mulai bergaya.
Sejak awal, sudah kulihat beberapa kesalahan yang mereka lakukan.
Dalam gerakan pertama, kaki Stacy beradu dengan kaki Eva. Nggak
terlalu fatal sih, tapi cukup membuat Stacy panik hingga lupa bagian
yang harus dinyanyikannya. Harusnya kan, The Valentines
membiasakan diri dengan sepatu tumit tinggi itu sebelum naik pentas.
"Stacy lupa bagian yang harus dibawakannya," tukas Randy tak
percaya. The Valentines kemudian saling bergandengan tangan dan
mengayunkan pinggul masing-masing. Kali ini, Laurel melupakan
bagian yang harus dinyanyikannya. Ketika tiba gilirannya, lagu pun
berkumandang, sementara bibirnya tak bergerak. Stacy segera
mengambil alih bagian yang harus dinyanyikan Laurel. Gerakan
spontan itu cukup mengacaukan tarian, sebab pada saat yang sama BZ
dan Eva juga melompat untuk menggantikan posisi Laurel sehingga
ketiganya saling tubruk. Sebenarnya, lagunya sendiri bertempo
lambat, tapi gerakan mereka terlalu bersemangat, nggak klop kan.
Secara menyeluruh penampilan mereka berantakan dan nggak
kompak. "Rasanya nggak percaya deh lihat penampilan mereka kacaubicau," ujarku setelah mereka selesai, "di seleksi kemarin mereka jauh
lebih baik. Kalau begini sih, nggak mungkin menang." Kasihan juga
melihat si hebat Stacy. Di benaknya, ia dan teman-temannya berharap
keluar sebagai pemenang. Rick Stevens pun kembali ke pentas dan
menyalami mereka satu persatu.
"Baik, penampilan yang oke!" ujar Rick basa-basi. Mendadak
sontak, senyum yang tadinya amat kugandrungi itu kelihatan palsu di
mataku, "Sekarang kita lihat, berapa angka yang diberikan juri."
Angka-angka pun tampil di televisi. "5 untuk originalitas, 4 untuk
penampilan dan 5 untuk ketepatan gerak bibir. Total 14 nilainya! Para
pemirsa, tepuk tangan yang meriah untuk The Valentines!"
Penonton pun bersorak sementara Rick mengiringi mereka
turun dari pentas. "Mudah-mudahan grup berikut jauh lebih baik!" desis Rick
pada Ray di balik panggung, "Aku nggak sabar melihat penampilan
para amatiran ini." "Panas sekali ya di panggung tadi " seru BZ saat The
Valentines berjalan melewati kami. Stacy kelihatan murung dan
limbung. "Lagi lampu-lampunya menyilaukan," timpal Laurel.
"Iya tuh," dukung Eva setuju, "sampai-sampai mataku rabun."
"Jadi...itu sebabnya kalian saling tabrak-tubruk?" cetus Stacy
ketus. Laurel dan Eva saling bertukar pandang. Kukira, sebentar lagi
mereka akan ribut besar dan saling menyalahkan. Nyatanya, Stacy
segera cabut dan duduk menyendiri di deretan kursi paling belakang.
Teman-temannya langsung mengikutinya.
Oh...," keluh Randy setelah mereka berlalu dari hadapan
mereka, "kok, jelek banget sih."
"Benar," anggukku setuju.
"Kuharap kita nggak sekacau itu," tukas Katie, "aku jadi tegang
nih." "Weleh-weleh, kendurin dong," ujarku percaya diri, "kita siap
dan semua tahu itu."
Kami pun terkikih-kikih. Apa yang kukatakan tadi sebetulnya
meniru ucapan Rick Stevens. Grup berikut tampil ke atas panggung.
Seorang cowok berstelan jas dan dasi warna putih mulai berdansa.
Lagu The Girls Are Everywhere dari Ted McGwyn pun mengalun.
Satu lagu rock and roll tempo dulu yang nggak begitu kusukai. Tapi
gayanya lumayan oke sehingga aku jadi menikmati lagu itu. Di
belakangnya terlihat empat gadis bergaun putih sebagau penari latar.
"Doski boleh juga," gumamku, "pasti ia dapat nilai tertinggi."
"Lumayan," komentar Randy, "tapi tentunya sulit memperoleh
nilai yang tertinggi."
Ketika grup kedua selesai, Rick Stevens kembali naik pentas.
Penonton pun tepuk tangan menyambut usainya penampilan doi yang
berpakaian serba putih itu. Bahkan beberapa di antara mereka
berteriak keras. Kamera pun berpindah ke Alek Carreon yang senyamsenyum dan tepuk tangan. Menurutku, nggak ada kata-kata yang dapat
melukiskan betapa gantengnya si Alek.
"Hadirin sekalian, Jimmy...Z," tunjuk Rick memperkenalkan
grup tersebut, "bagus sekali Jim, sekarang kita lihat penilaian juri."
Angka-angka pun muncul. Kuhela nafas lega karena bukan angka
tertinggi yang tampil. Berarti, masih ada kesempatan bagi kami untuk
memenangkan acara ini. "7 untuk originalitas, 7 untuk penampilan
dan 10 untuk ketepatan menirukan gerak bibir! Total 24! Hebat sekali.
Kita akan kembali setelah pesan-pesan berikut...."
Aku dan teman-temanku saling bertukar pandang. Sesudah
penayangan iklan, tibalah giliran kami! Produser memasuki ruangan
belakang dan memanggil, "?Ceria? dan After 6 segera bersiap-siap!"
pinta Raymond Foy. Kami pun bangkit dan beranjak ke ruang ganti
pakaian untuk merapihkan diri. Kamera televisi dan lampu sorot yang
terang benderang membuat kita harus mempertebal make-up agar
nampak bagus. Akibat make-up, mukaku terasa mengenakan topeng!
"Wah!" seru Katie, "Kita seperti aktris beneran!"
"Oke, giliran kalian sekarang!" panggil produser setelah kami
kembali ke ruang tunggu di balik panggung. Kami pun beranjak ke
samping panggung dan bersiap-siap.
"Saatnya tiba," bisikku menenangkan sahabatku, "mari kita
lakukan yang terbaik dan kita gebrak panggung!"
"Nggak usah sampai menggebrak segala sih," ralat Randy
mengolok, "cukup menghentak hati para juri dan penonton juga sudah
okay." Kami pun naik ke pentas. Aku nggak percaya deh, ternyata apa
yang dikatakan Eva benar. Sorot lampu membuat silau mata, bahkan


Girl Talk 17 Pentas Mirip Bintang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rick sendiri tampak bersinar. Sementara kamera belum bergerak,
seorang wanita tengah memolas-moles wajahnya, Rick Stevens
memaki-maki penata riasnya. Kami bertukar pandang melihat ulah
Rick Stevens. Keterlaluan dan tidak simpatik. Kuperhatikan keadaan
sekitar panggung. Lampu-lampu bertebaran dan di salah satu sisi
terlihat meja juri. Alek Carreon sedang berbincang-bincang dengan
salah satu anggota juri. Tiba-tiba tatapan kami bertemu dan ia
tersenyum padaku. Kecut hatiku dibuatnya.
"Astaga...," seruku, "Alek Carreon tersenyum padaku!"
"Iya, kau manteng terus sih menatapnya," canda Katie,
"mungkin tatapanmu membuatnya gugup dan salting!"
Maka, kuputuskan untuk tidak lagi menatap Alek. Menunggu
memang pekerjaan yang menyebalkan. Lama juga kami menunggu
saatnya pengambilan gambar dimulai.
Kursi penonton terlihat penuh. Bahkan, beberapa lampu
diarahkan ke penonton. Namun aku nggak bisa melihat di bagian
mana keluarga dan teman-temanku yang lain duduk. Tiba-tiba
pengarah acara mengacungkan papan sebagai isyarat agar hadirin
bertepuk tangan. Sorak sorai pun berkumandang.
"Aneh juga ya...," ujarku, "untuk tepuk tangan saja penonton
harus tunggu komando." Rekaman teve ternyata lebih rumit dari
bayanganku semula. Rick Stevens melangkah ke atas pentas, "Baiklah, kita masuki
babak berikut," katanya, "grup ini akan membawakan lagu terkenal
dari The Connection berjudul ?Bounce Right Back?. Kita sambut grup
?Ceria?!" Kami berempat melangkah ke tengah panggung dan hadirin pun
bertepuk tangan menyambut. Terdengar beberapa teriakan histeris
yang kuduga berasal dari kakakku.
Lagu pun diputar. Begitu mengalun, aku pun mulai hanyut. Tak
ingat lagi di mana aku sekarang, atau berapa orang yang tengah
menyaksikan penampilanku lagi. Aku begitu hanyut dan menghayati
lagu serta gerakan tari yang kami lakukan. Demam panggung kali.
Akhirnya, waktu pun berputar tanpa terasa.
"Kami melambung, melambung, melambung ke arahmu...,"
bibirku bergerak menirukan lagu.
Randy menyambung pada saat yang tepat, "Ke mana pun kau
pergi, di mana pun kau berada kami melambung ke arahmu."
Allison melompat di antara Katie dan Randy, "Dan kau tak
mampu menghalangi kami," dendangnya.
Katie menyambung dengan sempurna, "Mari ikut serta, ikuti
irama, melambung bersama kami...." Kami pun melompat lincah
dengan kompak mengikuti lagu.
Pada bagian penutup, Katie, A1 dan Randy mengacungkan
tangan ke udara mengakhiri lagu secara serempak.Lagu pun berakhir.
Para penonton bersorak sorai menyambut akhir penampilan kami.
Kutatap lega pada sahabatku dan kulihat mereka tersenyum. Rick
Stevens tampil lagi, "Hadirin sekalian, grup ?Ceria?!" serunya, dan
penonton bersorak semakin riuh, "Kini kita lihat hasilnya!"
Kami berputar untuk melihat angkanya. Karena silau cahaya,
aku tak mampu melihat angka yang diacungkan. Beruntung Rick
membacakannya, "10 untuk originalitas, 7 untuk penampilan dan 10
untuk ketepatan gerak bibir! Selamat untuk kalian. Angka yang cukup
tinggi, 27!" Rick lantas menggiring kami turun dari panggung.
Kami pun kembali ke bagian belakang untuk menonton
penampilan grup selanjutnya. Segera kuhembuskan nafas lega begitu
menghempaskan diri di kursi.
"Akhirnya sukses juga!" pekik Katie.
"Sempurna sekali!" seru Randy sambil toast tangan dengan
tanganku. Aku pun melonjak-lonjak kegirangan. Sekarang aku merasa
bersemangat dan percaya diri harus menyalurkan bakatku. Kayaknya
ingin deh kembali ke panggung dan mengulanginya sekali lagi. Aku
yakin, panggung adalah duniaku! Aku dilahirkan untuk tampil!
"Kalian dengar sambutan penonton tadi?" tanya Allison setelah
kami agak tenang. "Mereka begitu antusias!" komentar Randy.
"Bahkan Alek juga tepuk tangan lho," tambah Katie.
"Ouw ya?!" tanyaku terkejut. "Kok, aku nggak lihat ya?"
Memang aku nggak perhatikan lagi reaksi Alek karena begitu hanyut
dalam gerak dan laguku tadi.
"Batinku bilang, tepukannya lebih keras dari yang lain," ujar
Katie menambahkan. Grup selanjutnya kembali di layar televisi.
"Oh itu dia, grup yang penampilannya paling oke saat seleksi
kemarin!" seruku. Rick Stevens tengah memperkenalkan empat
cowok dengan celana gombrong warna ungu bergaris keemasan, serta
kemeja hitam yang dikancing rapat hingga ke leher. Pemimpinnya
mengenakan kacamata hitam.
"After 6, akan segera menunjukkan kebolehannya!" seru Rick,
"Mereka akan bawakan lagu B.B Browne yaitu Rock The Block."
Cowok-cowok itu pun mulai melakukan gerakan tari yang sekilas
mirip akrobatik. Tak berapa lama, penonton pun histeris dan hanyut
dengan alunan rap yang mereka bawakan.
"Doski memang benar-benar hebat...," desis Randy sambil ikut
bergoyang mengikuti irama.
"Bagaimana ya caranya mereka menghafal lagu dengan gerakan
tari yang begitu rumit?" tanya Allison kagum. Benar. Dengan gerakan
yang sedemikian rumit, aku pun heran melihat kemampuan mereka
menghafal bait lagu yang harus ditirukan itu. Penampilannya begitu
sempurna! "Kayak-kayaknya kita akan menghadapi kesulitan nih," gumam
Randy ketika grup tersebut menyelesaikan kebolehannya, dan tepuk
tangan pun kembali menggelegar.
"Dahsyat banget!" pekik Rick, "Kita lihat apa penilaian juri. 9
untuk originalitas, 10 untuk penampilan," kami semua menahan nafas
menanti angka berikut yang sangat menentukan, "dan 10 untuk
ketepatan gerak bibir. Total 29! Angka tertinggi untuk malam ini!"
Kusandarkan tubuhku dengan malas di kursi. Kami dikalahkan
After 6, hanya dengan selisih dua angka. Masih ada satu grup lagi
yang akan tampil, tapi bagiku nggak ada artinya lagi. Yang jelas,
sudah kalah. "Sudahlah Sabs," ujar Allison memelas, "yang penting
penampilan kita cukup bagus kan?"
"Iyya Sabs. Penonton suka kok dengan penampilan kita," hibur
Randy. After 6 masuk ke ruang duduk di belakang panggung.
Pemimpinnya lalu menghampiri kami, "Hai, namaku Tyler," sapanya
memperkenalkan diri, "kami hanya ingin memuji penampilan kalian
tadi," ia tersenyum ke arahku sembari mengacungkan ibu jarinya.
"Kalian hebat sekali lho," pujiku balik. Aku menghargai sikap
mereka yang jujur dan mau memuji penampilan kami secara sportif.
"Meskipun kami mengumpulkan angka lebih tinggi, yang jelas
akan dipilih dua pemenang malam ini," ujar Tyler lagi, "jadi nggak
perlu kecewa. Oke ya?"
"Oke," kulambaikan tangan mengiringi kepergiannya. Tiba-tiba
saja perasaanku jadi lebih tenang. Meskipun kami tidak keluar sebagai
juara, tapi kami telah melakukan yang terbaik dan semua orang
menghargainya. Bahkan saingan berat kami, After 6. Lantas, kami pun
duduk dan menyaksikan Jack dan Jill tampil di panggung. Mereka
membawakan lagu Enough Said dari The Mix. Sebetulnya cukup oke,
tapi kalau dibandingkan dengan After 6 nggak ada apa-apanya. Aku
pun yakin bahwa tempat kedua tak akan direbut Jack dan Jill.
"Penampilan terakhir yang mengagumkan," ujar Rick setelah
Jack dan Jill menyelesaikan pertunjukan, "apa pendapat kalian para
juri?" Alek Carreon mengacungkan nilai untuk terakhir kalinya, "6
untuk originalitas," Aku, Randy, Katie dan A1 saling berpegangan
tangan dan berpelukan gembira. Kami pasti keluar sebagai juara
kedua! Meskipun Jack dan Jill memperoleh angka 10 untuk penilaian
selanjutnya, angka keseluruhan masih di bawah nilai kami. "7 untuk
penampilan dan 10 untuk ketepatan gerak bibir. 23 totalnya. Cukup
tinggi! Sekarang kita lihat siapa pemenang malam ini."
Kami berempat berdansa dan melonjak-lonjak girang. Produser
acara masuk ke balik panggung dan memanggil kami, "Ayo, grup
?Ceria? kalian harus naik ke pentas!"
Kami pun segera menyelinap ke samping panggung dan
bersiap-siap. teenlitlawas.blogspot.com
"Juara kedua malam ini," ujar Rick, "untuk penampilan dan
originalitas yang sempurna, dengan total nilai 27, kami panggilkan
grup ?Ceria?!" Kami pun naik ke pentas diiringi tepuk tangan meriah
dari penonton. "Empat cewek imut-imut yang luar biasa. Sabrina
Wells, Randy Zak, Katie Campbell dan Allison Cloud. Para hadirin,
tepuk tangan yang meriah sekali lagi untuk ?Ceria?!" Tepuk tangan
semakin gemuruh. "Sebagai pemenang kedua kalian masing-masing
akan memperoleh tas berlogo acara ini, make-up dan perawatan
rambut gratis di salon kecantikan terdekat serta kupon belanja sebesar
50 dollar untuk toko-toko kaset terdekat di tempat kalian. Selamat!"
Kami pun turun dan Rick memanggil juara malam ini, "Dan
kini...kami tampilkan...pemenang pertama yang meraih angka...29,
Afterrr. ..6!" teriak Rick. Sambutan penonton begitu riuh. Hampir tuli
telingaku dibuatnya. After 6 memang pantas keluar sebagai jawara.
Mereka memperoleh uang tunai sebesar 5000 dollar sebagai hadiah
utama. Ketika kami akan kembali ke balik panggung, tiba-tiba Alek
Carreon menghampiri kami, "Hallo nona-nona," panggilnya sambil
tersenyum hangat. Rasanya aku hampir kepincut melihat senyumnya.
"Aku hanya ingin mengucapkan selamat pada kalian. Menurutku,
masa depan kalian di dunia hiburan cukup cerah dengan bakat
secemerlang itu." Aku ingin mengucapkan sesuatu, namun lidahku terasa kelu dan
tenggorokanku tersumbat. Akhirnya Allison yang menjawabnya,
"Trims Carreon. Kami senang bisa tampil di panggung dan di acara
ini. O ya, kita juga senang sekali menonton filmmu."
"O ya? Trims juga deh kalau begitu," sahutnya senang, "oke,
kelihatannya aku harus pergi. Foy menungguku." Ia tertawa dan
melanjutkan kalimatnya, "Bisa-bisa dia marah kalau aku molor.
Ha...ha...ha.... Semoga kalian sukses dan sampai ketemu lagi!" Ia
putar tubuhnya dan kembali ke studio.
"Aku nggak percaya deh!" pekikku, "Alek Carreon secara
khusus menyempatkan diri menyelamati kita! Ia menyukai
penampilan kita! Dia bilang kita berbakat di bidang showbiz!"
"Hebat sekali kan?" tanya Randy, "Mari kita rayakan
keberhasilan kita ini."
Aku tertawa gembira. Randy benar. Aku merasa benar-benar
berbakat dan tengah menapak di anak tangga menuju puncak
ketenaran. Pasti cita- citaku tercapai sebagai aktris ternama.
"Coba kita keluar sebagai juara pertama," gumam Katie ketika
kami rapihkan perlengkapan dan siap-siap pulang, "hadiah untuk juara
kedua kelihatannya kurang menarik dibanding juara pertama."
"Memang. Tas berlogo acara ini kurang norak tukas Randy,
"tapi kita bisa memilih kaset kesukaan kita kan? Kita bisa dapatkan
sekarung dengan uang sebanyak 50 dollar. Bagus kalau ada
diskonnya." "Menurutku hadiah make-up dan menata rambut di salon
kecantikan lebih menyenangkan tuh," timpalku.
"Aku sendiri masih merasa seperti bola karet," gumam Allison
sambil menahan senyum saat kami melangkah menuju tempat parkir.
"Aku mengerti maksudmu," sahutku datar, "jantungku masih
juga berdebar-sebar dan melonjak-lonjak seperti bola."
Randy mengerang mendengarnya, "Kalian ini apa-apaan sih.
Sudah dong. Semuanya kan sudah berakhir...."
"Kita harus lebih sering latihan," seruku sambil menarik lengan
A1 dan Katie. Randy pun tak mau ketinggalan dan segera
menggandeng lengan Allison. Kami berempat lalu mulai berdendang
sambil melenggang seperti di atas panggung tadi.
"Kami akan melambung, melambung, melambung ke
arahmu...." END Keturunan Datuk Persilatan 1 Shugyosa Samurai Pengembara 4 Han Bu Kong 3

Cari Blog Ini