Rinduku Pada Rimba Papua Karya Sabine Kuegler Bagian 1
Jungle Child Rinduku pada Rimba Papua Sabine Kuegler Text Copyright ? 2006 by Droemersche Verlagsanstalt
Th. Knaur Nachf. GmbH & Co. KG, Munchen
Penerjemah: Dian Pertiwi Editor: Daniel P. Purba, S. Sos.
Marina A. Sofyan, S.S. Theresia Vini S. S E. Edisi ini diterjemahkan dengan izin dari Droemersche Verlagsanstalt
Th. Knaur Nachf. Gmbh & Co. KG, MUnchen,
tanggal 7 Agustus 2006 oleh ESENSI,
divisi dari Penerbit Erlangga, untuk diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia
Published by Droemersche Verlagsanstalt Th. Knaur Nachf. GmbH & Co. KG,
Hilblestr. 54, 80636 Munchen, Germany
Indonesian Translation Copyright 2006 by Penerbit Erlangga
All rights reserved ESENSI Setting dan layout: Bagian Produksi Penerbit Erlangga
Dicetak: PT Gelora Aksara Pratama
10 09 08 6 5 4 3 2 Dilarang keras mengutip, menjiplak, memfotokopi, atau memperbanyak dalam bentuk apa pun, baik sebagian atau keseluruhan isi buku ini, serta memperjualbelikannya tanpa izin tertulis dari Penerbit Erlangga.
? HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG
Dipersembahkan untuk mengenang Ohri, kakakku dari suku Fayu.
Juga kepada anak-anakku, Sophia, Lawrence, Julian, dan Vanessa,
sumber kebanggaan serta kebahagiaan hidupku.
PENDAHULUAN Beberapa tahun yang lalu, aku pernah ditanya, apakah aku berminat untuk menulis sebuah buku tentang kehidupanku. Saat itu aku bertanya-tanya, apa yang menarik dari ceritaku sehingga orang mau meluangkan waktu untuk membacanya.
Aku jarang membicarakan masa kecil atau asalku. Sebaliknya, aku menyembunyikan kenangan itu, berjuang untuk menyesuaikan diri dengan kebudayaan dan cara hidup yang asing bagiku. Dari luar, mungkin aku terlihat dapat mengatasinya dengan baik. Namun, aku ddak dapat menemukan rasa memiliki serta kedamaian hati yang kudamba.
Aku tidak bahagia. Aku hidup seperu pengembara, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, merasa kesepian dan tersesat. Harapku selalu, di tempat yang baru, akhirnya akan kutemukan kebahagiaan. Namun, tiap kali aku kecewa.
Tahun demi tahun kehidupanku berlalu; aku bertambah tua. Setelah lima belas tahun hidup di dunia modern, bukankah seharusnya aku sudah bisa beradaptasi? Semakin bertambah usia, masa laluku justru seakan semakin lantang berteriak, semakin keras seiring tahun yang berlalu. Pertanyaan di mana seharusnya aku berada, semakin kuat, dan pikiranku lebih sering melayang kembali ke masa kecil.
Aku merasa tidak hidup, hanya sekadar ada. Aku mencari nafkah, memenuhi segala kewajiban, namun tetap saja merasa hidupku telah berhenti bertahun-tahun yang lalu. Kelihatannya tidak ada kemajuan. Hanya suatu keinginan yang membara, kerinduan akan kampung halaman karena sesuatu yang hilang.
Aku udak ingin terus begini. Aku ingin merasa hidup kembali, bangun pagi dengan hidup yang bermakna.
Karena itulah aku memutuskan untuk menceritakan kisahku napak tilas ke masa silam. Sebuah perjalanan yang kuharap akan membantuku memandang hidup secara lebih utuh, menghubungkan titik-titik dalam hidupku menjadi sebuah pola yang menunjukkan siapa aku dan di mana aku seharusnya berada. Yang terpenting, aku berharap dapat menenangkan kegelisahan dalam pikiranku dan menemukan kedamaian batin yang begitu kudamba.
Aku ingin menceritakan sebuah kisah, tentang seorang gadis kecil di dunia yang amat terpencil. Seperti sebuah dongeng, kisah ini melibatkan cinta dan benci, maaf dan kekejaman, dan pada akhirnya, indahnya kehidupan. Namun, ini bukan dongeng. Ini adalah kisah nyata. Kisahku.
BAGIAN 1 Bab 1 KISAHKU Awal Oktober 1989. Usiaku tujuh belas tahun. Pakaian yang kukenakan adalah pemberian orang?celana kedodoran berwarna gelap, baju hangat bergaris, dan sepatu berleher tinggi yang menjepit kaki. Aku hampir tidak pernah mengenakan sepatu sebelumnya, jadi rasa sakit ini asing bagiku. Jaket yang melingkar di tubuhku terkesan sangat ketinggalan zaman, biru tua dengan penutup kepala yang selalu jatuh menutupi mataku.
Aku menggigil kedinginan. Angin yang dingin membuat telinga dan hidungku terasa ngilu. Tanganku kebas. Karena nyaris tak kenal musim dingin, aku tak tahu bagaimana berpakaian yang sesuai. Aku tidak memakai sarung tangan, rompi, atau bahkan topi.
Saat itu aku berada di stasiun kereta api pusat di Hamburg. Angin dingin berhembus di sepanjang peron. Sudah pukul 09.00 lebih sedikit atau mungkin pukul 10.00?aku tidak tahu. Seseorang menurunkanku di stasiun, membekaliku petunjuk untuk naik kereta yang benar. Sangat membingungkan karena ada begitu banyak angka. Setelah beberapa saat, kutemukan juga peron yang tepat?nomor 14. Sambil mendekap tas kecilku erat-erat, kuletakkan koper berisi beberapa barang yang dapat kubawa.
Foto 1 : Sabine Kuegler 2004
Kuperhatikan tiket di tanganku untuk kesekian kalinya, mencoba menghafal nomor gerbong. Aku sangat gelisah, dan segenap panca inderaku seakan kelebihan beban. Kuperhatikan dengan cermat penumpang yang simpang siur, siap membela diri jika ada yang menyerang. Namun, tampaknya tak seorang pun memerhatikanku.
Semua terasa begitu asing, aneh, gelap, dan mengancam. Sebuah pengumuman terdengar keras melalui pengeras suara. Belum sempat aku mengerti, pesan tersebut sudah tertelan oleh kebisingan di sekelilingku. Aku membuka mata lebar-lebar, memandang ke depan.
Lalu, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku berhadap-hadapan dengan kereta api sungguhan. Kereta api itu melaju ke arahku. Begitu cepat hingga aku melangkah mundur karena takut. Kereta api ini sangat berbeda dari yang pernah kulihat di gambar-gambar, bahkan tidak memiliki cerobong asap. Sebaliknya, kereta itu besar dan menakutkan, bagai ular putih yang melata keluar dari sebuah lubang hitam.
Ketika kereta berhenti, para penumpang mulai saling dorong untuk naik. Aku terpana sejenak, tak bergerak, dan lupa akan udara dingin saat menatap adegan di depanku dengan rasa ingin tahu bercampur takut. Lalu mataku menangkap nomor yang tertera di sisi gerbong. Aku mencocokkannya dengan nomor yang tertera di tiketku, dan sadar ternyata keduanya berbeda. Aku menengok ke kiri, lalu ke kanan. Kereta itu panjang sekali, seakan tak berujung. Kebingungan, aku berbalik dan berjalan terburu-buru sampai ke gerbong yang terakhir.
Tiba-tiba terdengar bunyi peluit. Aku tertegun dan memandang ke sekeliling dengan panik. Seorang pria berseragam mengacungkan sebuah tongkat yang aneh. Aku mulai panik ketika sadar kereta akan segera berangkat. Aku pun melompat masuk melalui pintu terdekat, dan berhasil naik tepat pada waktunya. Kereta sudah mulai bergerak.
Sejenak aku berdiam diri, tak yakin apa yang harus kulakukan selanjutnya. Jantungku berdetak sangat cepat. Melihat pintu-pintu yang menghubungkan gerbong, aku mulai bergerak menuju bagian depan kereta, sambil menghindari kontak mata dengan penumpang lain yang kulewati. Gerbong-gerbong itu begitu panjang seakan tak berujung. Keringatku bercucuran.
Tiba-tiba, aku berada di sebuah gerbong yang tampak lebih bagus dari gerbong-gerbong yang telah kulewati; inilah gerbong kelas satu. Tak ada lagi gerbong setelah ini. Aku telah sampai di bagian depan kereta dan belum juga menemukan nomor yang dimaksud! Aku mulai menangis.
Seketika itu juga seseorang keluar dari sebuah kompartemen dan memerhaukanku. Aku cepat-cepat berbalik, tapi ia tetap mendekat dan bertanya apakah ia bisa membantu. Aku menatapnya sekilas; ia kira-kira berumur 30-an dan mengenakan setelan warna gelap. Rambutnya cokelat dan matanya biru cemerlang. Aku menunjukkan tiketku dan bertanya apakah ia tahu letak gerbong dengan nomor tersebut.
Seorang pria berseragam menghampiri kami, melirik tiketku, dan spontan berkata bahwa aku salah kereta. Jantungku berhenti, dan mukaku pucat pasi. Melihat aku ketakutan, kondektur cepat-cepat berusaha menenangkanku dengan menjelaskan bahwa ada dua kereta dengan tujuan yang sama. Masih dalam kepanikan, aku bertanya apa yang harus kuperbuat. Ia menyarankan agar aku turun di pemberhentian selanjutnya dan naik kereta berikutnya di peron yang sama.
Setelah memeriksa tiket pria bermata biru di sebelahku, sang kondektur pun berlalu. Ketakutanku makin membuncah ketika menyaksikannya pergi. Sendirian bersama orang tak dikenal dalam kereta yang gelap di negeri asing, membuatku merasa tak berdaya dan rapuh. Bayangan menakutkan tentang perkosaan dan pembunuhan berkelebat di benakku.
Semua kisah mengerikan tentang bahaya di dunia modern yang pernah kudengar tiba-tiba terasa begitu nyata. Bagaimana aku harus melindungi diri? Aku tak membawa busur dan anak panah, atau bahkan sebilah pisau.
Pria itu tersenyum hangat dan menawariku untuk duduk di kompartemennya sampai stasiun berikutnya. Aku menggeleng. Kukatakan aku lebih suka berdiri di koridor. Ia menawarkan lagi. Di kompartemen lebih nyaman, katanya. Aku makin-yakin dia berbahaya dan punya niat buruk. Aku menolak, mengangkat koperku, lalu berlindung di koridor kecil di antara dua gerbong. Ia mengekor, menanyakan asalku. "Hamburg," jawabku dengan suara bergetar, sambil berdoa dalam hati agar ia menjauh.
Yang membuatku lega, kereta mulai melambat. Aku berdiri di pintu keluar gerbong. Namun, ketika kereta berhenti, aku tak tahu cara membuka pintu. Aku pun panik. Apa yang harus kulakukan, dorong atau tarik? Kugoyang-goyangkan pegangan pintu lebih keras, tapi tetap bergeming. Orang asing itu mendekatiku, menarik sebuah tuas merah, dan pintu pun terbuka. Angin menerpa wajahku. Leganya hatiku melihat peron terbentang di hadapanku! Selangkah lagi aku bebas dari bahaya. Cepat-cepat aku mengucapkan terima kasih dan melangkah ke luar. Saat pintu tertutup, aku memandang sekilas orang asing tadi di jendela kereta yang akan berangkat.
Tak ada seorang pun di peron itu. Aku sendirian. Gelap. Hanya ada beberapa lampu yang bersinar redup di atas kepalaku. Dingin menyerang, membuatku menggigil lagi. Dapat kudengar gigiku bergemeretak. Tiba-tiba aku merindukan panas hutan hujan yang menyengat. Entah di kota mana aku berada sekarang, dan aku tak tahu apa yang akan kuperbuat jika kereta berikutnya tidak datang. Akankah aku mati kedinginan di sini?
Setelah menunggu sangat lama, kereta akhirnya datang juga. Kali ini aku lega menemukan gerbong yang benar. Aku pun naik dan melihat rak penuh koper di koridor. Kuletakkan koperku di sana karena kukira itu memang tempatnya. Aku takut seseorang akan mencurinya karena aku tak dapat mengawasinya dari tempat dudukku. Namun sekarang aku sudah tak peduli lagi. Tungkaiku terasa lemah, kakiku sakit, dan aku lelah serta kehilangan semangat.
Saat duduk, aku mencari-cari sabuk pengaman, tapi tak menemukannya. Aku menoleh ke bangku di sebelahku. Tidak ada juga. Baru aku sadar tidak seorang pun mengenakannya. Menurutku ini berbahaya, tetapi mungkin begitulah kebiasaan di sini. Biar bagaimanapun? ini adalah negara asing bagiku meskipun pasporku menyatakan aku berasal dari sini.
Gerakan kereta yang perlahan mulai membuatku tenang. Kulepaskan sepatu dan kulipat kedua kaki di atas tempat duduk agar terasa hangat, sambil merapatkan jaketku. Kupandangi bulan dari jendela. Begitu kecil dan redup, seperti bunga layu. Air mata membasahi pipiku yang dingin. Bahkan bulan pun asing bagiku di sini, tak seperti yang biasa kulihat. Bulan yang kukenal adalah bulan yang agung, begitu kuat dan hidup, sampai sinarnya pun memantulkan bayanganku di bumi seperti layaknya matahari.
Kusandarkan kepala dan menutup mata. Kereta bergerak semakin cepat, begitu pula pikiranku. Dalam angan, kutinggalkan tempat yang dingin dan gelap ini dan terbang pulang ke tempat yang akrab. Semburat biru, putih, dan hijau terbayang silih berganti. Aku kembali ke dalam kehangatan. Mentari bersinar, dan sinarnya ikut terbang bersamaku, menari-nari di sekelilingku, membungkus tubuhku dengan kehangatannya. Padang hijau terhampar dalam ingatanku, diikuti kota warna-warni yang sarat penduduk, serta lembah gelap yang dilalui sungai-sungai kecil. Kulihat rimba yang lebat memenuhi daratan.
Lalu lautan, luas dan berkilauan, membentang di cakrawala. Dan akhirnya, hutanku tercinta, dengan pepohonan yang menjulang, terhampar bak permadani bertatahkan permata sejauh mata memandang. Inilah pemandangan yang telah begitu sering kulihat, namun tetap membuatku takjub. Hutan rimba Papua. Lembah yang Hilang. Rumahku.
Bab 2 LEMBAH YANG HILANG Ketika masih kanak-kanak, aku bermimpi dapat terbang seperti burung, membubung tinggi mengatasi pepohonan, terbawa oleh angin. Lalu pada suatu hari, aku benar-benar terbang. Saat itu, bulan Januari 1980, kami mengawali suatu perjalanan yang akan mengubah hidupku selamanya.
Keluargaku telah hidup selama setahun di sebuah hutan kecil di Papua Barat, Indonesia, bagian barat dari Papua Nugini. Ibukotanya, Jayapura, terletak di pesisir. Beberapa keluarga mendirikan pemukiman kecil di tengah hutan, karena untuk mencapai pusat pulau dibutuhkan waktu lama dan biaya penerbangan yang mahal. Pemukiman kecil itu mereka namai Danau Bira.
Penghuni Danau Bira adalah para ahli bahasa, antropolog, penerbang, misionaris, dan staf penunjang yang berasal dari berbagai negara. Bagi mereka, Danau Bira adalah tempat berkumpul untuk mengerjakan proyek di hutan. Kami, anak-anak, tak terlalu peduli akan hal itu. Bagi kami, Danau Bira adalah surga. Menghadap ke danau, berjajar bangunan-bangunan yang membujur sepanjang 2 mil, yaitu beberapa rumah tinggal, sebuah landasan mini pesawat terbang, sebuah kantor pos kecil, sebuah rumah pertemuan, sebuah penginapan, dan sebuah sekolah yang sangat sederhana. Kami bahkan mempunyai sebuah generator yang menghasilkan listrik beberapa jam sehari. Jalan setapak sempit yang dilapisi bebatuan menghubungkan seluruh pemukiman itu.
Rumah kami yang terbuat dari kayu, terletak di atas bukit kecil dengan pemandangan Danau Bira yang indah. Di sanalah kami tinggal, terasing dari peradaban, di dunia yang rasanya nyaris sempurna. Saat itu aku baru berusia 7 tahun. Rambutku pendek dan pirang, mataku biru, dan tubuhku sangat kurus. Sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, aku dikenal sebagai anak yang paling aktif, tidak bisa diam, dan diberkahi imajinasi yang cemerlang.
Kakak perempuanku, Judith, dua tahun lebih tua dariku, adalah tipe anak pendiam yang punya bakat seni. Ia lebih suka duduk di atas pohon dan menggambar. Adikku, Christian, dua tahun lebih muda, adalah pengikut setia yang selalu ikut dalam semua kenakalanku dan alat yang sangat berguna untuk menyalurkan semua gagasanku. Ia diberkahi ingatan yang sangat tajam, yang sayangnya sering meru-gikanku. Tiap kali terjadi perdebatan, Mama selalu lebih percaya padanya ketimbang padaku. Orang tuaku memilih meninggalkan Jerman dan menjalani kehidupan yang unik ini untuk bekerja sebagai ahli bahasa dan misionaris di sebuah suku pedalaman yang baru ditemukan.
Dua suku hidup di sekitar Danau Bira, yaitu suku Dani dan suku Bauzi. Waktu kami tiba, mereka memang telah beberapa lama berhubungan dengan dunia luar. Namun, tahun sebelumnya, Papa berhasil berhubungan dengan suku Fayu, suku yang hanya dikenal dunia luar melalui mitos dan desas-desus. Kisah penemuan dan hubungan pertama dengan suku Fayu seru layaknya film. Nanti akan kuceritakan secara lebih mendetail. Sejak pertemuan pertama, Papa telah berkali-kali mengunjungi suku Fayu yang tinggal di sebuah daerah yang sangat pas disebut "Lembah yang Hilang". Dan sekarang, di pagi bulan Januari 1980, waktu yang dinanti tiba juga. Mama dan kami, anak-anak, akan berkenalan dengan suku ini.
Ketika aku bangun pagi itu, udara sangat panas dan lembap. Matahari memanggang kami tanpa belas kasihan. Tak ada awan, hanya kanvas biru yang tampak membentang di cakrawala. Burung-burung menyelusup ke dalam semak untuk menghindari panasnya cuaca. Hanya bunyi serangga yang terdengar dari persembunyiannya di semak yang rimbun.
Aku sangat bersemangat, dan telah memasukkan barang-barang pribadiku ke dalam ransel. Malam sebelumnya, Mama memberi kami dua buah daftar rinci. Satu berjudul "Untuk Dibawa" dan satu lagi berjudul "Tidak Boleh Dibawa". Sampai detik ini, belum pernah kutemukan pengatur barang bawaan sepandai Mama.
Mama memeriksa barang bawaan kami sekali lagi. "Sabine," tanyanya, "sudahkah kamu mengepak barangmu seperti yang mama suruh?
Aku memandangnya dengan mata membelalak, seakan udak bersalah. ?Tentu saja, Mama.
"Baik, coba mama periksa," katanya, dan aku tahu aku pasti akan kena marah. Sambil menghela napas, aku membuka ranselku. Mama mengeluarkan dua stoples kaca berisi laba-laba kesayanganku sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Tapi Mama," kataku setengah putus asa, "mereka memerlukanku. Aku kati ibu mereka."
Apa boleh buat, mereka terpaksa cari ibu baru, katanya dingin.
Aku menggumam kesal, "Tapi Judith juga membawa barang-barang yang tidak boleh dibawa!" Judith memandangku kaget, merasa dikhianad. Setelah digeledah, di dalam ranselnya ditemukan buku gambar dan sehelai baju baru miliknya dari Jerman.
Minius, seorang anak yatim piatu dari suku Dani yang tinggal bersama keluarga kami, menolong Mama membawakan barang-barang ke luar. Di luar, beberapa pria suku Dani siap memasukkannya ke dalam perahu yang akan membawa kami ke landasan helikopter. Jalan menuju ke sana terlalu sukar untuk ditempuh dengan jalan kaki. Aku mengenakan celana panjang, kaus, dan jaket sesuai perintah Mama, meski tidak tahu alasannya. Padahal di luar sangat panas. Tak terbayangkan kedinginan di tempat ini.
"Mau naik perahu pertama atau kedua?" tanya Mama. Aku memutuskan untuk naik perahu pertama dan keluar menemui Ghristian yang sedang menunggu. Judith ingin bersama Mama di perahu kedua.
Kami menyusuri jalan setapak berbatu hingga kami tiba di sebuah jembatan kayu kecil. Aku melihat seekor kadal berwarna cerah bersembunyi di bawahnya. Segera kulepas ransel dan pergi menangkapnya. Christian yang sudah ada di depan, lari mendekat dan berkata, "Sabine, cepat! Nanti kita ketinggalan perahu. Lagipula kau takkan boleh membawanya." Aku menoleh ke arah rumah dan melihat tatapan tajam Mama. Sampai kini aku tak mengerti, bagaimana dia selalu tahu niatku. Kecewa karena gagal mendapatkan pengganti laba-labaku, akhirnya aku kembali naik ke jembatan. Kuambil kembali ranselku dan berlari menyusul Christian.
Beberapa yard kemudian, jalan setapak yang kami susuri tiba di sebuah anjungan kapal kecil yang terbuat dari papan yang dipasang berjejer di atas air. Kami naik ke perahu dan duduk di atas palang yang berfungsi sebagai kursi. Seorang pria dari suku Dani menyalakan mesin dan kami meluncur menyusuri danau. Hembusan angin terasa begitu menyenangkan. Kucelupkan tanganku ke air dan memerciki wajah dan rambutku.
Perahu melewati beberapa rumah dan anjungan, lalu menuju hutan yang seakan tak dapat ditembus. Akhirnya kami sampai di sebuah tempat terbuka, yang tampak seperti jalan yang panjang dan lebar yang ditumbuhi rumput. Itulah landasan helikopter yang membentang dari bukit sampai ke danau. Jika pilot tidak berhasil menerbangkan pesawat ke udara tepat pada waktunya, pesawat pasti tercebur ke danau.
Setelah perahu ditambatkan, kami keluar dari perahu dengan membawa semua barang yang bisa kami bawa ke helikopter. Ketika kami tiba di sana, persiapan penerbangan dilakukan dengan sangat cepat. Sang pilot mengelilingi helikopter, melakukan pengecekan sebelum terbang. Orang-orang suku Dani terus mengawasi babi hutan dan ayam yang berkeliaran bebas di situ, agar tidak mengganggu proses lepas landas.
Barang-barang kami ditumpuk di atas rerumputan dan adikku duduk di atas sebuah kotak sambil menjaganya. Dengan takjub aku memandangi helikopter itu, nyaris tak percaya bahwa sebentar lagi kami akan menaikinya. Helikopter model Bell 47 dengan kaca depan berbentuk bulat yang menutupi seluruh bagian mukanya. Di kedua sisinya, ada bidang kecil tempat mengikatkan barang. Helikopter itu seperti capung yang keberatan beban. Sang pilot bertanya kepadaku dalam bahasa Inggris, Sabine, apakah kamu sudah siap menuju rumah barumu? Aku tersenyum dan menjawab bahwa aku sangat siap.
Sudah bawa jaket? Lagi-lagi jaket! Aku mengiakan, sambil bertanya apa perlunya. Ia menerangkan bahwa ketika terbang nanti, udara akan sangat dingin saat mencapai ketinggian tertentu.
Tiba-tiba aku mendengar Christian menjerit. Aku berlari ke arahnya. Tapi ketika melihatnya, aku malah tertawa. Rupanya ia tergelincir dan jatuh di atas kotoran babi saat membantu orang Dani mengusir seekor babi hutan dari landasan pacu. "Tolong, aku ceroboh!" teriaknya.
"Tidak, Christian. Kau bau!" kataku sambil tertawa terbahak-bahak.
"Tidak, aku tidak bau!" sergahnya.
"Ya, dan karena kau bau, kau harus diikat di bawah helikopter agar tetap bisa ikut."
"Tidak!" jeritnya makin kencang, ?ltu tidak mungkin!" Ia mengambil segenggam kotoran babi dan melemparkannya ke arahku. Aku menjerit dan menubruknya. Kami berdua bergelut di atas kotoran di tengah-tengah landasan pacu, dikelilingi orang-orang Dani yang tersenyum geli. Karena mendengar jeritan kami dari jauh, Mama dan Judith berlari menghampiri. Sang pilot tersenyum lebar pada Mama. Ia paham, hanya Mama-lah yang dapat mengendalikan situasi.
Judith memandang kami berdua dengan iba dan berkata dengan nada yang dibuat-buat, "Dari dulu aku tahu, aku memang bukan bagian dari keluarga ini!"
Kami berdua berdiri, berlumur kotoran babi dari kepala hingga kaki, dan lalat-lalat mulai berdatangan. Mama membawa kami ke danau. Ia mengawasi dengan ketat saat kami melepas baju dan membersihkan badan. Ia memasukkan baju-baju kotor ke dalam plastik dan Minius memberi kami baju bersih. Judith berdiri di dekat sang pilot, menjelaskan bagaimana ia terdampar di keluarga ini, padahal sebenarnya ia seorang putri raja.
Akhirnya tibalah waktu untuk berangkat. Sang pilot mempersilakan kami untuk naik. Tempat duduk di dalam pesawat adalah sebuah bangku panjang. Christian diizinkan duduk di sebelah pilot yang tengah mengecek ulang peralatan sekali lagi. Di sebelahnya lagi, duduk Judith, kemudian Mama. Aku duduk di bagian luar. Aku memohon kepada Mama agar diizinkan duduk di bagian luar. Setelah berdiskusi panjang dengan pilot, akhirnya ia memberi izin. Situasinya begini: untuk mengurangi beban, pintu helikopter sengaja dilepas. Jadi aku duduk di sebelah ruang kosong dengan pandangan bebas ke bawah.
Seorang mekanik berkebangsaan Amerika mengikatkan sabuk pengaman pada kami, dan mengeceknya sekali lagi. Selama di sini aku belum pernah memakai jaket, jadi aku harus berjuang melawan rasa pengap yang menghimpit. Sang mekanik menjauh dan memberi tanda kepada pilot bahwa semua beres. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh dan baling-baling besar itu mulai berputar. Putaran baling" baling menyebabkan segala sesuatu seakan tersedot dan beterbangan. Kegembiraanku semakin memuncak, ketika kurasakan perlahan-perlahan kami mulai meninggalkan daratan.
Ketika kami semakin meninggi, kepala helikopter menukik. Kami terbang di atas danau hingga mencapai tepi hutan. Lalu pilot menaikkan ketinggian sehingga kami terbang di atas pohon-pohon yang sangat besar. Pemandangan yang menakjubkan! Sejauh mata memandang, salah satu hutan hujan terluas di dunia terbentang di bawah kami.
Aku terbang! Adrenalin mengalir deras di tubuhku, bersama rasa bahagia tak terkira. Pepohonan di bawah kami tampak begitu dekat, seakan bisa digapai dengan tangan. Hijau, cokelat, dan oranye, membaur bagaikan palet yang indah.
Aku menahan napas dan memejamkan mata ketika kurasakan udara dingin menerpa tubuh. Aku tak menyangka perbedaan suhu begitu besar. Angin bertiup begitu kencang. Kucengkeram sabuk pengaman erat-erat, khawatir aku akan terbawa angin jika pegangan kulepaskan.
Ketika kubuka mata kembali, kulihat burung-burung putih sedang terbang di bawah kami. Mereka sama sekali tidak terganggu oleh suara helikopter. Betapa indah jika kita bisa membentangkan tangan dan terbang seperti burung.
Penerbangan berlangsung sekitar satu jam, tetapi bagiku terasa seperti hanya beberapa menit. Lalu di bawah kami terlihat desa Kordesi. Ketika kami terbang di atas desa kecil itu, orang-orang suku Dou berdiri dan melambaikan tangan pada kami. Helikopter mengarah ke kiri, menyusuri aliran sungai yang airnya berwarna biru muda campur cokelat lumpur. Kami menyusurinya sekitar setengah jam hingga sungai berbelok tajam dan sebuah tempat yang agak lapang terlihat.
Foto 3 : Helikopter mendarat di Foida
Tempat pendaratan kami hanyalah jalan kecil berumput. Di sebelah kiri, tampak gubuk-gubuk beratap rumbia di antara naungan pohon. Di sebelah kanannya terdapat sebuah rumah kayu baru beratap seng yang dikelilingi beberapa pohon besar.
Aku melihat bayangan orang-orang berkulit gelap berlarian untuk berlindung di hutan. Hanya satu orang yang tak beranjak. Papa berdiri di ujung lapangan itu sambil melambai ketika helikopter bergerak turun.
Aku merasa amat bersemangat. Kami sudah mendarat!
Bab 3 PERJUMPAAN PERTAMA Pilot mematikan mesin. Perlu waktu beberapa saat hingga baling-baling melambat dan berhenti berputar. Lalu tiba-tiba suasana menjadi benar-benar senyap. Tak ada kicau burung, tak ada suara orang, tak ada suara mesin. Beberapa saat kemudian, gelombang panas menyengat kami. Kekuatan nyata, yang terasa seperti hantaman palu godam, membuatku tak bisa bernapas sejenak. Buru-buru kulepas sabuk pengaman dan jaket. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku memandang ke sekeliling tempat itu. Tak tampak manusia atau seekor binatang pun. Bagaikan tanah tak bertuan.
Papa mendekat ke helikopter, membopongku keluar, dan menciumku. Ia menyuruhku menunggu di pinggir lapangan. Kedua kakiku terasa lemah. Lalu Mama keluar dari helikopter. Judith, dengan gayanya yang anggun, mengulurkan tangan ke Papa. Papa mencium dan menolongnya turun.
"Papa, Papa bau! Papa harus mandi!" protes Judith. Papa hanya tertawa dan mengangkat Christian.
"Tidak kok, Pa," kata Christian. "Papa wangi dan aku senang kita sudah berkumpul bersama Papa di sini.
"Syukurlah," jawab Papa. "Akhirnya ada juga yang senang bertemu denganku." Mama menimpali dengan diplomatis. Katanya, ia juga senang bertemu Papa, tapi mandi tidak ada salahnya. Penampilan Papa memang tak seperti biasanya. Belum pernah kulihat Papa dengan berewok dan rambut panjang yang kusut masai. Sebuah bandana yang basah kuyup karena keringat melingkar di lehernya, dan ia juga memakai topi lebar. Bahkan pada hari pertama, kami sudah bisa melihat bahwa ia kerasan di hutan. Ia benar-benar menemukan dirinya di sini.
Aku mengikuti Judith ke ujung lapangan. Christian mengekor di belakang kami. Kami berdiri dan menunggu, tak tahu harus berbuat apa. Lalu Papa berseru dengan bahasa yang aneh ke arah pepohonan. Kami memerhatikan dengan penasaran, siapa yang akan menjawab.
Tak lama kemudian, beberapa pria perlahan keluar dari balik pepohonan. Mereka mendekati kami, berjalan hampir tanpa suara. Aku dan saudara-saudaraku saling merapat karena ketakutan. Belum pernah kami melihat orang-orang berpenampilan begitu buas. Mereka lebih tinggi dari suku Dani dan suku Bauzi, berkulit gelap dengan rambut hitam keriting dan telanjang bulat. Bulu burung Emu menutup sebagian kepala mereka, dan tulang yang panjang dan tipis menembus jaringan lembut di pangkal hidung mereka?dua mengarah ke ams dan satu mendatar. Ada tulang pipih di atas tiap alis, ditahan dengan ikat kepala tipis yang terbuat dari kulit pohon. Tiap pria membawa busur dan anak panah di satu tangan serta kapak batu di tangan lainnya. Orang-orang asing itu mengelilingi kami dan menatap tanpa ekspresi. Wajah mereka tampak sinis dan garang. Judith memegang tanganku erat, sedangkan Christian bersembunyi di belakang kami. Kakakku mulai panik. Napasnya menjadi cepat dan pendek. Dengan rambut pirangnya yang panjang, Judith menarik perhatian para prajurit suku primitif ini. Ia melompat mundur ketika salah satu dari mereka mencoba menyentuh rambutnya.
Aku berteriak memanggil Papa. Mendengar suaraku, para penduduk asli tersebut melompat mundur karena terkejut. Penyelamat kami segera datang. Papa kembali berbicara dengan mereka dalam bahasa aneh yang belum pernah kudengar. Lalu Papa menengok ke arah kami dan menerangkan bahwa mereka adalah orang Fayu dari kelompok Iyarike. Jadi kami tak perlu takut kepada mereka. Mereka hanya ingin tahu karena belum pernah melihat anak-anak kulit putih. Papa menggenggam tanganku dan menuntunku mendekati seorang prajurit yang sudah tua. Ia meletakkan tanganku di atas tangan orang Fayu tersebut dan berkata, "Ini adalah Ketua Baou, yang telah mengizinkan kita tinggal di sini."
Ketua Baou tiba-tiba membungkuk sejajar denganku, memegang wajahku dengan kedua tangannya, dan menariknya dekat ke wajahnya. Aku terkejut karena kupikir dia akan menciumku. Ternyata ia menempelkan keningnya ke keningku, dan menggosok-gosoknya. Papa tertawa melihatku terkejut.
Foto 4 : Fayu dari kelompok Iyarike sedang mengunjungi kami
Ia menjelaskan bahwa orang Fayu saling menggosokkan kening sebagai ucapan salam, sama dengan jabat tangan orang Barat. Seluruh anggota suku Fayu kemudian menggosokkan kening mereka dengan kening kakak dan adikku. Akibatnya, seharian kening kami kotor dan berkeringat.
Lalu, orang-orang Fayu tersebut mulai menyentuh rambut kami dan meraba kulit lengan dan wajah kami. Mereka mulai berbicara satu sama lain dengan suara yang semakin keras karena gembira. Kegembiraan tersebut seakan menjalar dan kami tak lagi takut kepada mereka. Rasa ingin tahu kami berbaur dengan rasa ingin tahu mereka.
Beberapa menit kemudian, kami berusaha keluar dari kerumunan tersebut dan kembali ke helikopter. Sesampainya di sana, aku melihat sekelompok perempuan telanjang berdiri di tepi hutan. Beberapa dari mereka menggendong anak kecil. Mereka tak tampak berbahaya, jadi perlahan kudekati mereka.
Namun, saat aku mendekat, anak-anak kecil mulai menangis dan perempuan-perempuan itu kembali berlari masuk hutan. Aku mengamati mereka sejenak, kemudian kembali ke helikopter. Papa sedang mengangkut barang bawaan kami. Para prajurit suku membantunya membawa semua barang ke rumah.
Rumah baru kami terletak di sebuah lapangan kecil, dibatasi oleh hutan di satu sisi dan sungai di sisi lain. Karena sungai sering kali meluap, rumah ini dibangun berbentuk rumah panggung. Seluruh bangunan dilapisi kawat nyamuk untuk melindungi kami dari serangga dan "tamu" tak diundang lainnya. Ini ide yang cemerlang seandainya berhasil. Kenyataannya, walaupun ada kawat nyamuk, kami terus kedatangan tamu malam yang tak diundang. Selama bertahun-tahun kami tinggal di sana, Mama selalu bangun setiap malam untuk berburu tikus dan serangga. Pihak yang paling diuntungkan karena kerja keras Mama adalah orang-orang Fayu. Mereka memakan apa pun hasil tangkapan Mama untuk sarapan keesokan harinya.
Rumah dibagi menjadi dua ruangan yang luas. Satu ruangan untuk tidur, dan satu lagi untuk masak, makan, dan ruang keluarga. Di sebelah kamar tidur, terdapat kamar mandi kecil.
Foto 5 : Prajurit Fayu dengan aksesori wajah
Kamar mandi itu tak berpintu. Sebagai gantinya, tirai kain digantung di langit-langit dan menutupi kamar mandi. Jika tirai terbuka, berarti kami boleh masuk. Jika tirai tertutup, berarti kamar mandi sedang dipakai.
Di antara barang "mewah" yang dibawa Papa, ada dua buah baskom plastik?satu untuk kamar mandi dan satu lagi untuk dapur. Air hujan ditampung di beberapa drum, lalu dialirkan ke dalam rumah untuk minum dan memasak. Cara ini cukup berhasil kecuali di musim kemarau. Kami harus mengambil air dari sungai dan menjerangnya.
Ada sebuah kompor minyak tanah kecil dan dua tungku di dapur. Di seberangnya, Papa membuat beberapa lemari papan sederhana untuk tempat menyimpan panci, wajan, piring, cangkir, dan lain-lain. Ada juga beberapa rak tempat menyimpan makanan.
Sebuah radio gelombang pendek tergeletak di meja di salah satu sudut ruang keluarga. Setiap pukul delapan pagi, kami harus melapor ke pangkalan di danau Bira untuk tujuan keamanan. Jika tak ada kontak dari kami hingga tiga hari, sebuah helikopter akan dikirim. Penentuan jam ini lebih karena alasan praktis semata. Kami dan orang-orang di pangkalan harus menghemat baterai. Jadi, radio tidak bisa menyala sepanjang hari.
Ruang tidur terbagi menjadi dua bagian?satu untuk kakakku dan aku, dan satu lagi untuk adikku dan orang tuaku. Tempat tidur kami terbuat dari papan panjang beralas busa tipis. Kelambu yang digantung ke langit-langit melindungi kami pada malam hari.
Papa meletakkan tempat ddur kami di dekat jendela. Mungkin ia berharap kami akan merasa lebih sejuk, sebab jendelanya tidak berkaca. Memang sejuk, terlebih bila hujan turun. Di daerah tropis, hujan turun sangat lebat! Kadang kala kami terbangun dengan tubuh basah kuyup. Di saat seperti itu, terpaksa kami bangun, ganti baju, dan menyelinap ke ranjang Papa dan Mama. Paginya, mereka terbangun dan mendapati tiga anak di tempat tidurnya, bukan satu.
Di dalam kamar mandi, ada sebuah bejana, sebuah tempat cuci kaki dari semen, dan toilet. Karena air minum sangat berharga, air hujan tidak digunakan untuk membersihkan toilet. Papa menyediakan seember air sungai di samping toilet.
Pada hari pertama, ketika kami mengelilingi rumah, Christian melihat sesuatu yang mengejutkan di dinding: laba-laba hitam sebesar piring. Kami memandangnya dengan rasa takjub khas anak-anak. Melihat laba-laba itu, Papa memerintahkan kami agar tidak bergerak. Lalu ia berlari mengambil parang. Dengan parang di tangan, ia mendekati laba-laba itu. "Jangan, Papa! Aku ingin memeliharanya," jeritku. Sudah terlambat. Papa mengayunkan parangnya dan laba-laba itu terhempas ke dinding.
"Keren," kata Christian. "Lihat, kaki-kakinya masih bergerak!"
Pemandangan itu mungkin membuat orang lain jijik, tapi aku justru menangis karena gagal mengoleksi makhluk yang begitu indah. Mama mengajak kami keluar untuk melihat helikopter berangkat. Papa tetap di rumah untuk membersihkan bekas laba-laba di dinding.
Insiden laba-laba itu cepat terlupakan karena begitu banyak hal baru yang dapat kutemukan di dunia yang penuh petualangan ini. Inilah tempat tinggalku kini. Setelah suara helikopter tak lagi terdengar, aku memandang ke sekelilingku. Terlihat sungai yang jernih dan sejuk mengalir deras, gubuk-gubuk suku Fayu bertebaran di mana-mana, hutan yang rindang, dan akhirnya, rumah baru kami. Orang Fayu masih memandangku dengan rasa ingin tahu yang sama kuatnya dengan perasaanku ketika memandang mereka.
Sekarang aku sudah tak ingat lagi apa yang ada di benakku saat berdiri di sana. Pasti sesuatu yang sangat indah, karena sesuatu yang buruk tak mungkin hadir di tempat yang begitu memesona. Sejak awal aku sudah merasa seperti di rumah sendiri. Perasaan itu tersimpan hingga bertahun-tahun kemudian, bahkan di saat aku berjuang melawan maut. Aku memang terlahir untuk menjalani kehidupan ini, kehidupan yang sangat sesuai untukku?tanpa struktur dan tekanan. Sesuatu yang aku impikan hingga kini.
Foto 6 : Kantor Papa (kanan) dan pondok tamu (kiri)
Hidup di antara orang-orang Fayu, sebuah suku dari Zaman Batu yang dikenal sebagai kanibal dan sangat brutal, telah mengubah diriku untuk selamanya. Saat mereka belajar mencintai ketimbang membenci, memaafkan ketimbang membunuh, aku menjadi bagian dari mereka seperti mereka menjadi bagian dariku. Aku bukan lagi gadis kulit putih dari Eropa. Aku menjadi penduduk asli Fayu, dari kelompok Iyarike.
Malam pertama ketika aku dan saudara-saudaraku berbaring di tempat tidur, Papa mengajak kami berdoa. Ini tradisi kami setiap malam. Sampai saat ini aku tetap membaca doa ini bersama anak-anakku. Doa ini telah menemaniku selama bertahun-tahun, dan masih tetap memberiku rasa aman yang luar biasa.
Orang yang duduk dalam lindungan Yang Mahatinggi dan bermalam dalam naungan Yang Mahakuasa akan berkata kepada TUHAN: "Tempat perlindunganku dan kubu pertahananku, Aliahku yang kupercayai." Sungguh, Dialah yang akan melepaskan engkau dari jerat penangkap burung, dari penyakit sampar yang busuk. Dengan kepakNya Ia akan menudungi engkau, di bawah sayapNya engkau akan berlindung, kesetiaanNya ialah perisai dan pagar tembok. Engkau tak usah takut terhadap kedahsyatan malam, terhadap panah yang terbang di waktu siang, terhadap penyakit sampar yang bergerak di dalam gelap, terhadap penyakit menular yang mengamuk di waktu petang. Walau seribu orang rebah di sisimu, dan sepuluh ribu di sebelah kananmu, tetapi itu tidak akan menimpamu ... malapetaka tidak akan menimpa kamu, dan tulah tidak akan mendekat kepada kemahmu; sebab malaikat-malaikatNya akan diperintahkanNya kepadamu untuk menjaga engkau di segala jalanmu.
(Mazmur 91: 1-7, 10-11) Bab 4 SUKU FAYU Malam pertama berlalu dengan tenang. Keesokan paginya, aku bangun dan dapat melihat pepohonan di tepi hutan dari jendela di atas tempat tidur kami. Pohon-pohon itu sangat besar dan menjulang tinggi melebihi rumah kami. Kudengar kicau burung-burung menyambut pagi. Begitu misterius, membuat imajinasiku melayang jauh.
Judith masih tidur. Suasana rumah begitu sepi. Aku merasa bosan dan beranjak dari tempat tidur untuk melihat apakah Papa dan Mama sudah bangun. Aku merasa begitu bersemangat untuk keluar dan menjelajahi tempat tinggal baru kami. Namun orang tuaku masih tidur. Jadi aku keluar ke teras kecil di antara pintu depan dan anak tangga yang menuju ke tanah. Aku berdiri di sana dan menarik napas panjang.
Di sebelah kiri, sungai Klihi terbentang, membangkitkan keinginan yang begitu besar dalam diriku untuk berenang. Udara mulai terasa gerah, dan tak lama lagi matahari pasti akan bersinar penuh, memaksa siapa pun untuk berlindung. Tepat di depanku, pepohonan tumbuh tak beraturan di tanah berpasir. Sekitar sembilan yard di sebelah kananku, berdiri rumah panggung kedua yang ternyata diperuntukkan bagi tamu. Namun, karena kami tidak pernah kedatangan tamu, rumah itu selalu kosong, kecuali bila Minius datang.
Foto 7 : Perempuan-perempuan Fayu
Beberapa yard dari tempat itu, berdiri sebuah gubuk kecil yang digunakan Papa sebagai kantor. Di tahun-tahun selanjutnya, ia banyak menghabiskan waktu di sana untuk mempelajari dan meneliti bahasa Fayu.
Selagi aku menikmati sekelilingku, dusun Fayu mulai menggeliat. Orang-orang Fayu memerhatikanku dengan penuh ketertarikan. Demikian pula aku memerhatikan mereka. Mereka mendekat dan mengamati semua yang aku lakukan. Untuk pertama kalinya, perempuan dan anak-anak keluar serta berkumpul dalam kelompok Anak-anak tidak berpakaian, dan beberapa dari mereka berperut buncit. Belakangan baru aku mengerti bahwa penyebabnya adalah cacing parasit di usus besar. Sejumlah anak berambut kemerahan. Kondisi ini terjadi karena kekurangan vitamin.
Namun, yang paling menarik perhatianku adalah para perempuan. Tubuh mereka lebih kecil daripada laki-laki, namun terlihat agak maskulin. Mereka juga nyaris tanpa busana, kecuali jalinan kulit kayu yang menutupi alat vital mereka. Penutup itu sangat mirip dengan bikini bertali di dunia modern. Bagiku, hal yang paling mencengangkan dari perempuan Fayu adalah payudaranya yang menjuntai, terkadang sampai ke pusar. Aku belum pernah melihat hal seperti itu. Bila aku dewasa nanti, kuharap buah dadaku tidak seperti itu! Saat aku ceritakan ketakutanku pada Mama, ia menenangkanku dengan menjelaskan bahwa hal itu terjadi karena mereka tidak memakai bra.
Walaupun aku tidak mengerti apa yang dikatakan orang-orang Fayu itu, satu hal yang pasti: akulah topik pembicaraan mereka. Bahasa mereka terdengar sangat aneh di telingaku, sama sekali tak ada persamaannya dengan bahasa-bahasa di negara Barat. Bahasa mereka lebih mirip senandung misterius. Aku suka suara mereka karena belum pernah kudengar sebelumnya.
Aku berdiri dan memerhatikan sambil tersenyum, tetapi tak ada yang membalas senyumku. Jadi, tak lama kemudian aku pun pulang.
Keluargaku akhirnya terbangun oleh suara gaduh percakapan seru orang-orang Fayu. Mama sibuk membuatkan kopi, sementara Papa sedang frustrasi mengutak-atik radio. Papa memang tak begitu terampil memperbaiki barang-barang. Hari ini ia mencoba keberuntungan dengan mengetuk-ngetuk radio tersebut dengan palu. Tiba-tiba radio itu menyala kembali. Papa menoleh pada kami dan dengan bangga berkata, "Aku berhasil memperbaikinya." Seraya tersenyum, Mama memberinya sebuah piring dan berkata, "Setelah bersusah payah, kamu pasti lapar." Sarapan pertama kami di rumah yang baru pun dimulai.
Aku tak begitu ingat bagaimana kami mengisi hari itu selanjutnya. Hanya ada serpihan-serpihan kenangan. Satu hal yang masih segar dalam ingatanku adalah ketika kami bermain di sungai. Kami tak habis mengerti mengapa anak-anak Fayu tidak bergabung bersama kami. Mereka malah duduk bersandar di pohon atau menempel ke ibu mereka, dan tak pernah tertawa.
Kelihatannya mereka takut, tapi kami tidak tahu pada siapa atau apa. Segalanya terasa begitu damai di sini. Dengan isyarat tangan, kami mencoba meyakinkan mereka agar mau bermain bersama kami. Tapi mereka malah lari saat kami mendekat. Akhirnya kami bermain sendiri-sendiri.
Beberapa hari pertama berjalan datar. Kami bangun seiring terbitnya mentari dan terlelap saat malam tiba. Pagi hari, kami sarapan bersama. Menunya biasanya gandum campur air dan susu bubuk, atau kue dadar. Sesekali kami menemukan serangga kecil dalam makanan, yang entah bagaimana berhasil masuk ke dalam kotak. Lama-kelamaan kami tak lagi memedulikannya. Lagipula memang tak banyak pilihan makanan lain. Mama menyebutnya "tambahan protein" dan kami setuju.
Di suatu pagi, tak lama setelah kedatangan kami, orang-orang Fayu membawakan beberapa butir telur yang sangat besar. Telur-telur itu adalah telur merpati raja (kami menyebutnya ayam hutan). Papa telah membuat perjanjian dagang dengan orang-orang Fayu: jika mereka membawakan kami makanan atau benda-benda menarik, kami akan menukarnya dengan pisau atau alat pancing. Begitulah, hari itu Papa telah melakukan barter atas enam butir telur besar. Kami senang akan pertukaran ini. Kue dadar dan bubur gandum mulai membosankan.
Kami semua duduk mengelilingi meja, menonton Mama memanaskan minyak. Ia mengambil satu telur dengan kedua tangan karena ukurannya begitu besar. Dipecahkannya telur itu di atas wajan. Namun, yang keluar bukan cairan putih kuning yang kami tunggu-tunggu. Justru sesuatu yang hampir berbentuk ayam yang jatuh ke dalam minyak panas. Kami langsung merasa mual melihatnya. Rasa lapar lenyap seketika. Hatiku terenyuh melihat ayam kecil itu. Betapa bahagia melihatnya menetas dan menjadi tambahan koleksi binatang peliharaanku.
Sejak hari itu, Mama memecahkan telur di luar rumah. Jika ternyata sudah ada embrio di dalamnya, ia memberikannya kepada orang-orang Fayu, yang akan memakannya dengan senang hati. Mereka sangat geli melihat kejijikan kami. Setelah pengalaman pertama yang buruk itu, kami butuh waktu agak lama untuk bisa merasakan nikmatnya telur.
Beberapa hari kemudian, ketika sedang bermain dengan Christian, aku melihat seorang anak laki-laki. Ia telah mengamati kami dari jauh selama beberapa hari dan tampaknya sangat tertarik dengan apa saja yang kami lakukan. Anak yang kira-kira seusia denganku itu tidak sepenakut anak-anak lain.
Yang paling menarik perhatianku hari itu adalah benda yang dipegangnya?sebuah busur kecil dan beberapa anak panah. Kudekati dia perlahan. Yang membuatku heran, dia tidak lari atau menangis seperti anak lain. Ketika sampai di depannya, aku menjulurkan tangan untuk menyentuh busurnya. Aku sangat terkejut keuka ia memberikannya kepadaku.
Christian melihat kami dan bergabung. Bersama-sama kami mengamari hasil kerajinan tangan yang dibuat dengan keahlian tinggi ini. Setelah beberapa saat, aku mengembalikan busur itu kepadanya, tapi ia menggelengkan kepala dan menyodorkannya kembali ke tanganku. Christian langsung mengerti bahwa anak itu memberikannya kepadaku. Aku senang sekali! Dengan isyarat tangan kukatakan padanya agar menunggu di situ, sementara aku berlari ke dalam rumah. Kukeluarkan isi ranselku di atas tempat tidur. Aku harus menemukan benda yang sama indahnya untuk diberikan. Di antara harta karunku, ada sebuah cermin kecil berwarna merah yang aku dapatkan di pantai Jayapura. Puas dengan pilihanku, aku berlari ke luar dan memberikan kaca itu kepada anak laki-laki tadi.
Reaksinya sangat mengejutkan. Ketika melihat dirinya di cermin, ia menjerit dan melemparkannya. Kami tertawa. Christian memungut cermin itu dan memperlihatkan bayangannya kepada si anak Fayu. Lalu Christian menyodorkannya kembali kepada anak itu. Beberapa orang Fayu berdatangan untuk mengetahui apa yang terjadi.
Anak itu mengambil kembali cermin tadi dan dengan sangat hati-hati mulai melihat ke cermin. Matanya makin membelalak. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, mengubah-ubah mimik muka, lalu meraba bayangannya dengan jemari. Dalam sekejap, orang-orang yang menonton pun menjadi heboh. Semua ingin melihat bayangan dirinya di cermin. Christian dan aku sangat geli menyaksikan adegan ini. Kami tidak bisa membayangkan perasaan ketika pertama kali melihat wajah kami sendiri di cermin. Tapi hal sudah cerita usang buat kami. Perhatian kami segera beralih ke hal yang lebih menarik, yaitu bermain dengan busur dan anak panah baru.
Selang beberapa saat, anak Fayu tadi mendekat lagi, sambil menggenggam cermin dengan bangga seperti menggenggam piala. Ia menunjuk dirinya sendiri dan berkata, "Tuare." Aku menunjuk diriku dan berkata, "Sabine". Ia mengulang kembali namaku dengan lancar. Christian memperkenalkan diri dengan cara yang sama, tetapi Tuare tidak dapat mengucapkan namanya. Belakangan baru kami tahu bahwa kata-kata dalam bahasa Fayu selalu berakhir dengan huruf vokal.
Foto 8 : Seorang Fayu sedang mengagumi dirinya dalam cermin
Adikku menunjuk dirinya lagi dan berkata, "Babu." Ini adalah nama yang diberikan kepadanya saat tinggal di Nepal, tempat kelahiran kami. Tuare mengulang nama itu dengan mudah. Sejak hari itu, adikku dipanggil Babu.
Tuare menjadi sahabat terdekatku. Hingga hari ini, ia memanggilku kakak. Hubungan Tuare dengan kami membuat anak-anak yang lain mulai tidak takut. Lama-kelamaan mereka ikut bergabung: Bebe, Abusai, Ohri, Ailakokeri, Dihida, Isori, dan masih banyak lagi.
Ternyata anak-anak Fayu tidak mengenal permainan. Kami tidak tahu mengapa; yang jelas, kami langsung mengajari mereka permainan kami. Setiap hari, kami berenang bersama mereka dan bermain "berburu buaya". Kami juga mengajari mereka bermain petak-umpet, sepak bola, dan permainan apa pun yang kami tahu. Sebaliknya, mereka mengajari kami cara memakai busur dan anak panah. Mereka memperlihatkan binatang yang bisa dimakan dan tidak, tanaman yang beracun dan yang bisa dimakan. "Pelajaran" kami juga mencakup cara menyalakan api tanpa korek api dan membuat pisau dari bambu. Keahlian ini membuat kami sangat bangga. Tuare dan teman-temannya juga mengajari kami cara membangun tempat berteduh dari hujan yang sering turun.
Namun, benda kesayangan kami tetap busur dan anak panah. Kami berpura-pura tersesat di hutan dan harus bertahan hidup sendiri, yang sesungguhnya tidak mungkin. Dalam permainan "bertahan hidup" ini, kami harus berburu binatang, lalu menyalakan api untuk memasaknya. Jika Mama yang adalah seorang perawat sampai tahu apa saja yang kami makan saat itu, dia pasti kena serangan jantung. Kami makan semuanya, mulai dari laba-laba, serangga, cacing, hingga ikan kecil.
Aku belajar cara bertahan hidup di hutan, mengetahui bahaya maupun kekayaan di dalamnya. Aku belajar menghargai hutan dan menguasainya. Kecintaan pada keindahan dan kekuatan alam mulai tumbuh dalam diriku. Dalam hitungan bulan setelah kedatangan kami, aku menjadi seperti Tuare?anak rimba.
Bab 5 KEHIDUPAN YANG BERBEDA Begitulah, lama-kelamaan kami terbiasa dengan kehidupan baru kami, atau lebih tepatnya, perjuangan untuk bertahan hidup. Kami juga menjadi terbiasa dengan cara hidup di hutan yang sama sekali berbeda dengan kehidupan di Eropa. Kini aku sadar bahwa keduanya adalah dua dunia yang terpisah, dua planet yang berbeda?bahkan sesungguhnya dua galaksi yang berbeda.
Memang kita hidup layaknya semua manusia: butuh makan, minum, dan tidur. Kita semua melihat, membaui, merasa, mengecap, mencintai dan membenci, berkeluarga, dan mati. Namun, di sinilah kesamaan-kesamaan itu berakhir. Mudah-mudahan melalui buku ini, aku berhasil menghadirkan pengalaman hidupku secara nyata kepada Anda. Pengalaman inilah yang telah membentuk diriku dari dua dunia yang amat berbeda.
Kehidupan di dunia Barat bagaikan angin topan. Sebuah kekuatan mahadahsyat yang menghisapku masuk ke pusarannya dan memutarku dengan amat cepat hingga aku merasa waktu seakan berjalan jauh lebih cepat dariku. Selalu ada orang di sekelilingku yang tak bisa kuhindari. Ingar-bingar kesibukan lalu lintas atau proyek pembangunan terus mengganggu. Orang bertengkar dengan keluarga sendiri karena masalah uang, kesetiaan, atau patah hati. Ada pertengkaran antartetangga karena ketidakcocokan. Waktunya rasanya tak pernah cukup.
Aku sadar pengamatanku bukan sesuatu yang baru atau mengejutkan. Hanya saja, aku semakin merasa bahwa orang di dunia Barat hidup hanya untuk kebahagiaan dirinya sendiri. Namun, tampaknya mereka tidak pernah bahagia. Tak terkecuali aku. Di pagi hari aku bekerja, dan sore hari pulang dengan kelelahan. Tagihan-tagihan yang harus dibayar menanti di akhir bulan. Hanya sedikit yang tersisa untuk ditabung. Dari tabungan itulah aku membiayai liburan, lari dari tekanan hidup sehari-hari. Begitulah, pola yang sama terus berulang.
Supaya hidup lebih bisa dinikmati, kita mengejar kemewahan. Kita berhutang untuk membeli mobil yang lebih bagus, rumah yang lebih besar, atau pakaian rancangan desainer terkemuka yang kita lihat di majalah mode atau butik. Akhirnya, sekalipun mobil baru sudah terparkir di rumah, dan uang di bank mungkin berlimpah, perasaan tidak puas tetap menghantui. Lalu kita memulai proses sia-sia itu lagi. Tampaknya aku tak bisa melepaskan diri dari putaran kehidupan yang terus menurun ini.
Aku tak ingin menyalahkan masyarakat yang berbudaya nyaman. Namun, aku tetap merasa ada sesuatu yang tidak benar, sesuatu yang hilang. Memandang ke sekelilingku, aku mendapat kesan bahwa orang lain juga merasakan hal yang sama.
Tentu saja tak semuanya buruk. Dunia Barat menawarkan kenyamanan dan kemewahan: air panas yang tak ada habisnya, toko swalayan dengan begitu banyak pilihan barang, listrik, telepon, televisi, internet, e-mail, jaminan kesehatan dan banyak lagi.
Sekalipun semua ini kumiliki, saat malam aku sering berbaring sambil merindukan hutan?keheningan dan kedamaiannya. Aku rindu lari bertelanjang kaki, pergi tanpa make-up, bebas dari deadline atau janji pertemuan yang harus ditepati. Aku ingin bangun pagi dan menghirup segarnya udara hutan, merasakan matahari yang selalu bersinar. Aku rindu pepohonan yang selalu berbaris dalam nuansa hijau musim semi, dan awan putih yang bergerak di langit biru.
Tiba-tiba suara alarm radio membangunkanku dari mimpi. Pukul enam. Aku merayap turun menuju dapur dan menyalakan mesin pembuat kopi. Untuk keseratus kalinya aku berpikir untuk membeli mesin pembuat kopi otomatis jika nanti punya uang. Mesin itu dapat diprogram sehingga kopi akan siap begitu aku bangun. Begitu banyak hal yang memanjakan kita?seakan-akan mesin kopi otomatis adalah kebutuhan penting!
Aku naik lagi, mandi, dan berpakaian. Lalu aku membangunkan anak-anak, menyiapkan mereka untuk sekolah. Seperti biasa, kami harus tergesa-gesa karena bus sekolah akan segera tiba. Cepat! Siapkan tas, pakai sepatu. Bel pintu berbunyi. Huh!
Setelah itu, suasana kembali tenang; anak-anak sudah berangkat, hari baru telah dimulai. Aku masuk ke ruang kerjaku dan duduk di depan komputer. Memeriksa e-mail, membaca berita. Kekacauan masih terjadi di Timur Tengah, berita-berita mengenai konflik politik. Aku menyalakan rokok dan menghisapnya dalam-dalam, merasakan nikodn menyebar ke seluruh tubuh. Karena rasa bersalah, aku ingat pada nicotine patch yang tak pernah tersentuh di laci. Aku benci kebiasaan merokokku.
Seiring bergulirnya hari, aku bergegas dari satu pertemuan ke pertemuan lain, dari satu kemacetan ke kemacetan lainnya, dan bertanya pada diri sendiri, "Apa yang kulakukan di sini?" Saat kembali ke kantor, ketika menghempaskan tubuh ke kursi, tatapanku tertuju pada busur dan anak panah di sudut ruangan. Aku berdiri dan menghampirinya. Tanganku meraba, mengikuti lekukan kayu yang terasa sangat halus itu. Anak-anak panah terletak tegak di sebelah busur. Ujungnya dibentuk dengan cita rasa seni dalam berbagai bentuk. Ujung yang agak lebar digunakan untuk berburu babi hutan dan burung unta, jenis yang lain untuk binatang kecil dan burung. Busur dan anak panah itu dihias sangat indah; pembuatnya mengukirkan tanda khasnya pada kayu tersebut, mengabadikan diri melalui hasil karyanya.
Aku merasakan kerinduan yang tiba-tiba akan rumah. Namun, layar komputer yang menyilaukan di depanku, seakan memanggil: Ayo, teruslah bekerja! Menulislah! Aku pun duduk kembali di kursi merahku sambil menghela napas.
Ya, kehidupan di hutan memang berbeda dengan kehidupan di sini. Aku tidak mau mengatakan bahwa aku tumbuh di dunia yang lebih sempurna, hanya dunia yang berbeda. Namun, jika mau jujur, aku memang merasa kehidupan di hutan lebih baik dalam beberapa segi. Apakah aku mendambakan masa kecilku? Saat itu, kami merasa bahagia, bebas, dan belajar berpikir dengan cara yang berbeda. Inilah faktor penentunya.
Baru-baru ini, aku ditanya, bukankah orang tuaku tidak bertanggung jawab dengan menghadapkan kami pada berbagai bahaya yang ada di hutan. Aku tercengang mendengar pertanyaan itu sehingga tak tahu cara menjawabnya. Tidak bertanggung jawab? Bahaya apa maksudnya? Bahaya tidak ada di hutan, bahaya justru ada di sini. Aku bisa saja ditabrak bus besok, atau mad karena kecelakaan mobil. Anak-anakku bisa saja diculik, dianiaya, atau dibunuh. Aku bisa saja kehilangan pekerjaan, atau rumah, atau kendaraan. Bukankah semua itu bahaya?
Menurutku, hidup di Barat lebih berisiko dibandingkan di hutan. Di dunia Barat, orang dihadapkan pada begitu banyak tekanan. Pasar kerja, tingkat pendapatan, dan persiapan pensiun, hanyalah beberapa contoh. Tekanan-tekanan ini begitu menyatu dengan hidup, sehingga orang tidak menyadarinya.
Sebaliknya, di hutan, segalanya hitam atau putih. Wilayah abu-abu yang dijumpai dalam "peradaban" tidak ada di sana. Yang ada hanyalah kawan atau lawan. Cuaca bisa hujan atau terang-benderang, tidak di antaranya.
Kawan dan keluarga dilindungi dengan taruhan nyawa. Segalanya kelihatan lebih sederhana serta lebih jelas, dan orang selalu tahu apa yang menanti.
Dalam kebudayaan Fayu, setiap orang mempunyai tempat masing-masing. Setiap orang mengetahui perannya. Keluargaku dan anggota suku selalu ada untukku, sebagaimana aku selalu ada untuk mereka. Segala hal dibagi. Contohnya, jika aku punya dua kail, aku berikan satu kepada orang yang tidak punya. Bila suamiku meninggal, kakaknya akan menikahiku, merawatku dan anak-anakku, mendirikan rumah untukku, berburu untukku. Jika seorang anak menjadi yatim piatu, keluarga lain dalam suku itu akan memungutnya.
Kerja sama amat penting untuk bertahan hidup. Karenanya, persahabatan terjalin sampai mati. Mereka saling melindungi dan menolong. Para lelaki berburu bersama, perempuan mengambil sagu atau memancing bersama. Makan pun bekerja sama: setelah menggigit makanan beberapa kerat, kita mengoperkannya ke orang di sebelah kita. Dia pun melakukan hal yang sama. Dengan cara ini, semua orang mendapat jumlah makanan yang sama.
Jika semua sudah kenyang, para lelakinya duduk mengelilingi api unggun dan bertukar kisah tentang perburuan. Misalnya, bagaimana seseorang membunuh seekor babi hutan yang besarnya melebihi rumah atau seekor buaya yang panjangnya selebar sungai. Semua orang tentu tahu cerita itu dibesar-besarkan, tetapi yang penting cerita itu sangat menghibur. Di waktu lain, kami hanya duduk-duduk selama berjam-jam tanpa melakukan apa-apa kecuali menikmati kudapan dan memandang burung-burung beterbangan.
Kembali ke pokok pembicaraan, perbedaan antara kedua duniaku adalah sebagai berikut: kehidupan di hutan lebih sukar secara fisik, tetapi lebih ringan secara psikologis. Sebaliknya, kehidupan di negara Barat mudah secara fisik, tetapi beban kejiwaannya lebih berat. Butuh waktu lama untuk menyadari hal ini. Baru beberapa tahun terakhir ini aku bisa memahaminya dengan jelas.
Setelah tiba di Eropa, aku menderita gegar budaya parah yang awalnya membuatku tercengang, lalu tertekan, dan akhirnya panik. Tiba-tiba jiwaku dipaksa berlari, padahal aku baru berjalan beberapa langkah. Walau tak tampak berbeda dari orang Eropa lainnya, aku harus belajar segalanya dari awal. Aku datang dari planet yang berbeda; hanya mengenal hitam dan putih. Aku dibesarkan dalam suatu kebudayaan yang masih hidup di zaman yang sudah ditinggalkan orang. Aku menyatu dalam suatu kelompok yang telah dilupakan oleh waktu, yang kebudayaannya terus dilestarikan sejak Zaman Batu. Mereka terlupakan dan terputus dari dunia luar. Aku bahagia di Lembah yang Hilang. Di dunia lain, aku seperti jiwa yang tersesat.
Bab 6 AWAL DARI SEGALANYA Mungkin Anda heran bagaimana seorang gadis cilik Jerman bisa hidup dengan orang-orang yang sama sekali tak dikenal di bagian dunia yang terasing. Untuk menjawabnya, aku harus kembali ke waktu dan tempat cerita ini berawal.
Masa depan Mama, Doris, telah ditentukan saat ia berusia 12 tahun. Kala itu ia mendengarkan ceramah yang disampaikan teman, Albert Schweitzer, seorang misionaris dan dokter terkemuka. Di sanalah Mama mendengar tentang apa yang ia kerjakan di Afrika. Selama ceramah, Doris muda tiba-tiba sadar hal itu juga akan menjadi tujuan hidupnya: bermisi di negara-negara berkembang.
Enam belas tahun kemudian, ia bertemu dengan papaku, Klaus Peter Kuegler. Walaupun ketika itu Papa sudah bekerja di Lufthansa, sebuah perusahaan penerbangan Jerman, ia mempunyai cita-cita yang sama dengan Mama. Setelah ia keluar dari Lufthansa, mereka menikah dan bersama-sama menyelesaikan studi di bidang linguistik. Setahun setelah kelahiran kakakku, Judith, mereka pun mulai bermisi.
Foto 9 : Sabine dan teman-temannya dari suku Danuwar Rai (Nepal)
Penempatan pertama mereka adalah di Nepal. Di sana mereka hidup dengan suku Danuwar Rai untuk mempelajari bahasa mereka dan membantu mereka berkembang. Orang tuaku meninggalkan desa tersebut setelah kelahiranku (1972) dan adik laki-lakiku (1974). Kami berdua lahir di Patan, daerah pinggiran Kathmandu.
Kami sekeluarga tinggal di sebuah rumah dari tanah lempung yang berwarna kuning. Letaknya di pinggir desa. Bahkan lantai rumah pun terbuat dari lumpur yang dipadatkan. Rumah itu hanya mempunyai jendela-jendela kecil. Jadi kami lebih sering tidur di balkon kayu untuk menghindari udara panas di dalam rumah. Iklim di Nepal adalah subtropis; daratannya adalah perpaduan antara hutan dan dataran berbatu yang kering. Di dekat desa, ada sungai yang lebar, tempat kami mandi setiap sore.
Tidak ada kamar mandi acau perabot di rumah kami. Makanan dimasak dengan kompor minyak tanah. Waktu makan, kami duduk di atas tikar jerami yang melapisi lantai. Kami tidur di atas kasur angin. Sebagian besar waktuku kuhabiskan bersama kakakku, Judith, dengan menggembalakan kambing?pekerjaan yang lazim dilakukan anak perempuan seusianya. Karena tidak punya mainan, kami dan anak-anak lainnya bermain dengan apa pun yang ada di alam.
Aku tak punya banyak kenangan tentang masa ini. Tapi aku ingat saat berbaring bersama kakakku di atas kasur angin dan berbagi selimut. Aku ingat saat menatap langit malam dengan bintang-bintang yang tak terhingga banyaknya. Bintang-bintang itu tampak sangat dekat, seolah-olah dapat kugapai. Saat kulambaikan tangan ke langit, bintang-bintang itu berkelap-kelip di antara jemariku. Lalu kami tertidur dengan perasaan puas di tengah alam bebas yang belum terjamah.
Baru-baru ini, Mama menceritakan kisah tentang hari-hari kami di Nepal. Di suatu sore, aku berlari mendatanginya dan berseru terengah-engah, "Mama, Mama! Aku telah melihat Tuhan!" Mama terkejut dan ingin tahu. Aku menarik tangannya dan mengajaknya ikut ke balkon. Aku menunjuk pegunungan Himalaya yang begitu anggun membingkai cakrawala. Mama tersenyum saat memahami maksudku. Sebuah pemandangan indah terhampar di depan mata kami. Matahari baru saja terbenam. Sinarnya menari di. antara puncak-puncak gunung yang tertutup salju, menghasilkan warna keemasan. Itu adalah salah satu pertunjukan alam paling menakjubkan di dunia. Kami berdiri bersama, mengagumi pemandangan agung itu. Saat sinar yang penghabisan pudar, aku berkata kecewa, "Sekarang Tuhan telah pergi."
Beberapa tahun berlalu hingga suatu hari kami menerima kabar bahwa kami tidak bisa lagi tinggal di Nepal. Karena alasan politik yang tidak jelas, semua organisasi asing harus meninggalkan negara itu dalam tiga bulan. Hal ini sungguh mengejutkan orang tuaku karena mereka sudah menyiapkan diri untuk tinggal di Nepal selamanya. Kini tiba-tiba mereka harus kembali ke negara yang telah mereka tinggalkan beberapa tahun lalu suatu?negara yang belum pernah kami lihat. Dengan berat hati mereka berkemas-kemas, dan dengan perasaan sedih kami mengucapkan selamat dnggal kepada penduduk Danuwar Rai yang telah menjadi keluarga kami. Belakangan, Mama bercerita padaku bahwa dalam seminggu rambutnya mulai memudh karena sedih.
Perjalanan panjang untuk kembali ke Jerman membawa kami melewati Kathmandu, ibukota Nepal yang sangat sibuk dan meriah. Baru sampai di situ saja aku sudah tahu ini bukan lagi duniaku. Aku menangis karena ingin kembali ke pondok tanah liat kami, kepada kawan-kawanku, kepada kawanan kambing serta bintang-bintang. Aku sama sekali tidak mengerti mengapa kami tidak bisa kembali. Saat itu usiaku dga tahun.
Begitulah, perjalanan berlanjut ke Jerman, ke suatu kebudayaan yang tak ada hubungannya dengan kami. Belakangan Mama bercerita pula kepadaku, ketika kami sampai di bandara Frankfurt, aku bertanya bingung, "Jadi, mana Jerman?"
"Sabine," jawab Mama, "kita sudah berada di Jerman!"
Kekecewaanku begitu dalam sehingga air mataku bercucuran. Sebabnya? Kami kadang-kadang menerima paket dari Jerman, dan aku sangat berharap untuk bertemu dengan orang baik bernama Jerman yang telah mengirimi kami barang-barang yang indah. Orang tuaku tidak pernah menjelaskan siapa, atau lebih tepatnya, apa Jerman itu.
Selama kami tinggal di "tanah air" asing ini, orang tuaku mempersiapkan diri untuk tugas baru. Setelah melalui diskusi panjang, mereka memilih Indonesia sebagai tujuan misi mereka yang baru, dan menunggu visa kerja mereka siap. Pada tanggal 23 April 1978, akhirnya tiba saat untuk memulai perjalanan menuju kehidupan kami yang baru. Bukannya menuju ke daerah tertinggi di dunia, kami justru pergi ke daerah terendah. Perjalanan itu membawa kami dari pegunungan Himalaya yang menjulang tinggi ke daerah rawa-rawa Irian Jaya, Indonesia?kini dikenal.
BAB 7 PENEMUAN SUKU FAYU Entah suatu kebetulan atau memang rencana Ilahi, tepat pada hari keberangkatan kami ke Indonesia, seorang kontraktor berkebangsaan Amerika bernama John menemukan sesuatu yang mengejutkan di hutan pedalaman Irian Jaya. Ketika itu, ia tengah menangani pembangunan sebuah landasan pesawat di daerah yang didiami suku Dou. Ia telah mengunjungi tempat itu beberapa kali sebelumnya untuk memetakan lokasi. Pemilihan lokasi membutuhkan pertimbangan yang matang karena area tersebut berawa. Akhirnya, ia memilih daerah di luar desa Kordesi, dan menandai batas-batas landasan yang akan dibangun.
Secara tak terduga, empat orang berwajah beringas muncul dari balik pepohonan yang lebat dengan busur serta anak panah di tangan. Mereka telanjang. Ornamen tulang terpasang di hidung dan kening. Bulu-bulu hitam menghiasi kepala. Tengkorak binatang dan tulang belulang bergantungan di tubuh mereka. Walaupun penampilan mereka menakutkan, mata mereka menunjukkan ketakutan dan seluruh tubuh mereka gemetar. Ini adalah kali pertama mereka melihat orang kulit putih.
Penduduk desa Dou menjadi khawatir. Beberapa orang menerangkan kepada John bahwa orang-orang itu berasal dari suku yang pernah terlibat perang brutal dengan suku Dou selama beberapa tahun. Setelah situasi agak tenang, kontraktor Amerika itu dapat mendengar beberapa kata yang diucapkan orang-orang asing itu dan menuliskannya. Ternyata keempat prajurit perang itu sedang dalam ekspedisi untuk mencari tahu apa saja yang ada di luar batas daerah kekuasaan mereka. Aku masih yakin pertemuan itu bukan suatu kebetulan, mengingat kunjungan John ke hutan itu sangat jarang.
Sekembalinya John ke Jayapura, ia menyerahkan catatan itu kepada seorang ahli bahasa yang khusus mendokumentasikan bahasa-bahasa di pulau itu. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa bahasa tersebut benar-benar baru. Penggunanya diduga sebuah suku yang tak dikenal.
Beberapa bulan kemudian, penemuan ini didiskusikan dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh Papa. Ia ditanya apakah berminat memimpin ekspedisi untuk menjalin kontak dengan suku tersebut. Papa meminta segala informasi tentang suku asing itu. Ia hanya diberi secarik kertas berisi beberapa kata dari para prajurit perang yang dicatat John, dan kalimat "Dua sampai tiga hari perjalanan ke arah barat dari pemukiman suku Dou". Hanya itu yang diketahui. Jelas bukan "modal" yang cukup. Setelah bicara dengan Mama, Papa memutuskan untuk memimpin ekspedisi ini. Jiwa petualang dalam dirinya bangkit.
Foto 10 : Rumah pertama kami di Foida
Foto 11 Foto 12 Foto 13 : aku duduk dengan Faisa (kanan) dan Klausu Bosa di pangkuan
Foto 14 : Mama dan aku sedang bermain dengan anak dingo
Foto 15 : Christian dan aku dalam permai "bertahan hidup
Foto 16 : Papa dengan prajurit Fayu
Foto 17 : Mama belajar bahasa Fayu
Foto 18: Mama dengan para muridnya.
Foto 19 : Kloru membawakan kami bayi kanguru pohon yang dibarter dengan kail
Papa segera memulai persiapan. Ia membentuk sebuah tim beranggotakan Herb, seorang peneliti berkebangsaan Amerika, serta seseorang dari suku Dani yang bisa berbahasa Indonesia sekaligus bahasa Dou. Kemampuan bahasanya akan memainkan peran penting kelak.
Mereka terbang dengan helikopter ke Polita di desa Dou, yang tidak jauh dari Kordesi (lihat peta pada halaman 70). Dari sana, mereka menyusuri sungai dengan perahu menuju barat, sesuai dengan arah yang ditunjukkan John. Setelah mencari beberapa hari, mereka kembali dengan tangan kosong. Mereka sama sekali tidak menemukan tanda-tanda keberadaan suku Fayu. Penduduk Dou dan Kirikiri, yang wilayahnya mereka lewati, tidak dapat membantu mereka dalam pencarian ini. Mereka tidak tahu secara spesifik lokasi pemukiman suku Fayu.
Perlu dicatat, suku-suku di sana jarang keluar dari daerah kekuasaan mereka sendiri. Karena perang antarsuku umum terjadi, risiko keluar dari wilayah sendiri adalah mati. Apalagi suku Fayu dikenal akan kebrutalan dan keahlian perangnya yang melegenda. Bicara tentang mereka pun orang sungkan. Mereka sangat ditakuti.
Di tengah kegagalan itu, Papa dan timnya menerima sebuah kabar baik yang tak disangka-sangka. Seorang anggota suku Dou menceritakan kepadanya tentang seorang perempuan dari suku Fayu yang menikah dengan seorang pria dari suku Kirikiri. Hal ini sangat unik, karena biasanya mereka hanya berinteraksi dalam peperangan. Berbekal harapan baru, tim ekspedisi melaju ke daerah kekuasaan Kirikiri untuk mencari perempuan tersebut Mereka menemukannya di tepi sungai. Ia memang telah mendengar ada yang mencari suku Fayu. Ia heran ada orang yang begitu gila dan berani mad untuk melakukan itu.
Perempuan Fayu itu cukup ramah dan bersedia membantu. Papa mengeluarkan peta untuk memperlihatkan daerah yang telah ia jelajahi. Setelah lama mempelajari, perempuan itu menerangkan bahwa Papa telah melalui sungai yang salah. Ia mengarahkan Papa ke sungai Rouffaer, lalu ke arah barat menuju sungai Klihi. Tim tidak siap untuk ekspedisi panjang sehingga memutuskan untuk kembali ke Jayapura untuk melakukan persiapan yang lebih baik.
Seperti sering terjadi, keadaan tidak berjalan sesuai rencana. Belum lagi sampai di kota, Papa terserang malaria untuk pertama kalinya. Begitu parah, sampai dokter tidak tahu apakah ia akan bertahan hidup. Papa sekarat selama beberapa hari di rumah sakit. Setelah beberapa bulan, akhirnya ia pulih. Ekspedisi kedua pun dimulai pada bulan Februari 1979.
Foto 20 : Papa dalam ekspedisi kedua
Kali ini ia mencoba menyiapkan diri untuk segala kemungkinan. Tim membawa bekal lengkap, termasuk mesin perahu, radio gelombang pendek, tempat tidur gantung (lengkap dengan kelambu), dan persediaan makanan untuk seminggu.
Rombongan dan peralatan mereka diangkut dengan helikopter ke Polita. Kali ini seorang anggota suku Dani ikut; namun, masih ada kendala bahasa. Apabila mereka berhasil menemukan suku Fayu, tak ada seorang pun dalam rombongan yang dapat berkomunikasi dengan mereka. Papa berbahasa Inggris, Herb dapat menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia, dan orang Dani dapat menerjemahkan bahasa Indonesia ke bahasa Dou. Namun, mereka membutuhkan orang untuk menerjemahkan bahasa Dou ke bahasa Fayu.
Rombongan meminta saran kepada suku Dou. Ternyata ada seorang ibu dan anak laki-laki dari suku Fayu yang mereka tawan dalam suatu peperangan. Anak laki-laki itu tumbuh dewasa di lingkungan suku Dou. Ketika ia sudah mencapai usia menikah, orang Dou tidak mengizinkannya menikahi perempuan Dou karena ia adalah keturunan suku musuh. Pemuda itu pun meninggalkan suku Dou dan tak pernah kembali. Menurut kabar burung, ia kini tinggal di daerah perbatasan dekat Kirikiri. Namanya Nakire.
Foto 21 : Wanita Fayu (dengan suami Kiri kiri-nya),
Penunjuk jalan Papa dalam ekpedisi pertama
Rombongan membeli kano untuk diberi mesin. Mereka mengemasi perlengkapan dan berangkat untuk mencari Nakire. Perjalanan diarahkan ke Kirikiri dan daerah tempat Nakire diperkirakan tinggal. Ternyata ia bisa ditemukan dengan mudah. Selama bertahun-tahun, kami berulang kali takjub mendapati informasi bisa begitu cepat menyebar di hutan belantara. Nakire sudah tahu seseorang sedang mencarinya.
Ia menyapa dengan hangat dan menawarkan tempat beristirahat karena hari sudah mulai gelap. Gubuk Nakire hanya muat untuk satu orang. Keadaannya sangat kotor dan agak rusak, tetapi paling tidak ada atap daun palem yang menaungi mereka. Ketika mereka duduk mengelilingi api unggun malam itu, Papa meminta kesediaan Nakire untuk menjadi pemandu dan penerjemah bagi tim. Dengan sigap ia menyatakan bersedia. Maka lengkaplah sudah rantai bahasa yang berbelit-belit ini. Sangat rumit?dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia, kemudian ke bahasa Dou dan ke bahasa Fayu?tetapi paling tidak komunikasi sudah bisa berjalan. Keesokan harinya, rombongan yang beranggotakan lima orang, berangkat menyusuri sungai ke arah hulu.
Sebelum berangkat, Papa menggambar sebuah peta, termasuk informasi dari perjalanan pertamanya dan semua informasi yang disampaikan penduduk setempat tentang daerah itu. Berpusat di Polita, peta terbagi atas kuadran-kuadran yang diberi nomor. Untuk berjaga-jaga, Papa juga meninggalkan salinan peta di pangkalan Danau Bira. Dengan begitu, ia dapat melaporkan perkiraan lokasinya saat menghubungi pangkalan via radio setiap hari. Helikopter selalu siap untuk menjemput apabila terjadi keadaan darurat. Pilot juga dapat menggunakan peta tersebut untuk membantu pencarian. Peta pertama mirip dengan peta yang diperlihatkan di halaman sebelah.
Setelah beberapa jam menyusuri sungai, Nakire semakin gelisah. Ia mengamati barisan pepohonan dengan saksama ketika sungai makin menyempit. Hutan tampak menjulang tinggi dan tanaman yang lebat memadati tepi sungai. Tiba-tiba Nakire menunjuk sesuatu. Namun, Papa hanya melihat beberapa batang pohon yang tumbang. "Ada apa?" Papa bertanya dan menunggu, karena-bertanyaan harus diterjemahkan beberapa kali.
Penemuan Suku Fayu "Tanda peringatan bahwa sekarang kita sedang memasuki wilayah Fayu," jawab Nakire. Suasana dalam perahu mendadak hening. Hanya deru mesin dan gemercik air yang terdengar. Nakire tiba-tiba tegang dan berbisik ketakutan, "Di sana! Apakah kau lihat?" Papa mengamati tepi sungai dengan saksama, tetapi tidak menemukan apa-apa. Nakire mengaku telah melihat mata. Mata dan sosok yang hitam. Mereka telah dibuntuti.
Rinduku Pada Rimba Papua Karya Sabine Kuegler di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Foto 22 : DAERAH FAYU Papa kemudian diberi tahu bahwa tempat itu adalah tempat penyergapan. Siapa saja yang melewatinya akan ditembak. Namun, rupanya prajurit penjaga pos itu begitu terkejut melihat orang kulit putih, sampai-sampai tidak jadi memanah.
Mereka terus bergerak, tetapi tidak menemukan siapa-siapa. Beberapa gubuk yang mereka lihat kosong. Lalu mereka menjumpai beberapa perahu tertambat di tepi sungai. Bila ada perahu, pasti ada orang, pikir Papa. Ia memutuskan untuk mendarat.
Salah satu orang Dani melompat ke darat dan menambatkan perahu ke sebatang pohon. Selanjutnya, Papa menyuruh Nakire untuk keluar dari perahu.
"Tidak!" katanya. "Kau keluar lebih dulu!"
Papa kebingungan. Katanya, lebih masuk akal bila Nakire yang turun lebih dulu. Paling tidak, sebagai orang Fayu, ia bisa menjelaskan bahwa mereka datang dengan tujuan damai.
"Aku takut," hanya itu jawab Nakire sambil mematung.
Papa tidak tahu bahwa suku Fayu terbagi atas empat kelompok. Saat itu perahu bersandar di daerah perbatasan antara kelompok Iyarike?tempat asal Nakire?dan kelompok Tigre.
Akhirnya Papa keluar, diikuti oleh Herb dan orang Dani lainnya. Belum lagi kaki menyentuh tanah, terdengar suara di belakang mereka. Mereka berbalik cepat dan tertegun. Di hadapan mereka berdiri sosok paling menakutkan yang pernah Papa lihat. Wajah orang itu memancarkan permusuhan. Ia menyandang busur dan anak panah berhiaskan tulang dan bulu-bulu. Sekujur tubuhnya dilumuri sesuatu, entah apa. Baunya yang sangat menyengat membuat Papa mual.
Satu orang lagi muncul dari semak belukar dengan panah terarah ke Nakire. Ujung anak panahnya dirancang khusus untuk membunuh manusia. Secepat kilat Nakire mengambil busurnya dan mengarahkannya ke orang tersebut. Waktu seakan berjalan sangat lama. Tak seorang pun bergerak atau bicara. Permusuhan sangat terasa hingga napas seperti tersekat.
Papa sadar ia harus cepat-cepat meredakan ketegangan.
Ia pun melompat di antara keduanya dan membentangkan kedua tangan. "Hentikan! Hentikan!" ujarnya menengahi. "Kami datang dengan damai. Tolong letakkan senjata kalian." Secepat mungkin kalimat diterjemahkan secara berantai. Sementara itu, Papa terlihat amat ketakutan dan tak berani bergerak. Akhirnya Nakire mengatakan sesuatu dan menurunkan busurnya. Ketegangan mengendur ketika orang-orang Fayu juga menurunkan busur mereka.
Prajurit pertama, Ziau, adalah ketua kelompok dari daerah tempat tim mendarat. Papa mulai bicara kepadanya, menjelaskan bahwa ia datang dengan damai dan ingin menjalin hubungan dengan orang Fayu. Ketua kelompok memberi isyarat kepada Papa untuk mengikutinya dan berjalan masuk hutan. Nakire berada di dekat Papa, menggenggam busur dan anak panah. Ketika Papa akan melangkahi sebuah gelondongan kayu, Nakire menariknya. Ia menunjuk ke tanah di balik gelondongan kayu itu. Tulang belulang berujung runcing tertancam samar di tanah. Papa melangkahi jebakan itu dengan hati-hati dan terus berjalan.
Akhirnya mereka sampai di tempat yang agak lapang. Di tengah-tengahnya, terdapat sebuah bangunan beratap daun palem. Tercium bau aneh yang nyaris membuat orang tak bisa bernapas. Rombongan berjalan terus dan sampai ke bangunan tersebut. Papa tak percaya apa yang dilihatnya. Di depannya terhampar mayat yang sebagian telah membusuk, sudah menggelembung dan dikerumuni ribuan lalat. Herb maju ke sebelah Papa. Ia mematung karena terkejut.
Foto 23 : Nakire Ziau memberi tahu bahwa prajurit dari kelompok Nakire telah membunuh orang itu. Walaupun tradisi Fayu mengharuskan aksi balas dendam, ia berjanji tidak akan membunuh Nakire selama ia ada dalam perlindungan Papa. Ziau menawari tim untuk menginap karena sudah sore.
Sesopan mungkin Papa mengucapkan terima kasih dan meminta izin untuk melanjutkan perjalanan. Rombongan kembali ke perahu sambil menarik napas lega (terbebas dari bau busuk). Mereka kembali naik perahu dan bersiap untuk berangkat ketika tiba-tiba Ziau kembali muncul.
Ia memanggil Papa dan menyampaikan sesuatu yang mungkin telah menyelamatkan hidup mereka. "Orang kulit putih, jangan teruskan perjalanan. Mereka sedang menunggu di hulu untuk membunuh kalian." Tubuh Papa mendadak dingin mendengarnya. Ia menyampaikan terima kasih yang tulus dan kembali ke perahu. Mereka berbalik arah menuju hilir untuk mencari tempat berkemah. Malam semakin gelap dan ribuan nyamuk mulai keluar. Seakan melengkapi, awan mendung pun bergumpal di langit.
Tim berhenti di sebuah gubuk kosong yang mereka lewati sebelumnya, dan mulai mendirikan kemah. Sementara itu, Papa melaporkan posisinya lewat radio. Mereka semua takut, cemas jika mereka masih dibuntuti. Papa terus membayangkan sosok yang dilihat Nakire sebelumnya di daerah itu.
Gubuk itu rusak. Jadi orang-orang Dani berusaha semaksimal mungkin membuatnya bisa menahan hujan. Untuk mengantisipasi bahaya, mereka meninggalkan sebagian besar peralatan di perahu. Dengan begitu, melarikan diri akan lebih mudah. Tim membongkar barang yang diperlukan untuk malam itu dan membuat api unggun. Suasana agak murung. Tak seorang pun bicara. Mereka menentukan giliran jaga malam. Lalu Papa mengumpulkan mereka di sekeliling api unggun. Ratusan nyamuk mendengung.
Papa diselimuti banyak pertanyaan, terutama tentang mayat di dalam gubuk. Nakire menjawab, "Kami menyimpan orang mati di dalam gubuk. Kami tidur, makan, dan tinggal di sampingnya. Ketika mayat membusuk, kami mengoleskan cairannya ke tubuh kami. Bila sudah tinggal tulang, kami mengambil tengkorak dan rahangnya untuk digantung di gubuk kami. Ke mana pun kami pergi, kami membawa mereka."
Ketika Papa menanyakan lagi alasannya, Nabire menjawab sederhana, "Kami orang Fayu tidak punya harapan lagi untuk melihat orang yang kami cintai. Karena itu, kami menahan mereka selama mungkin dan menyimpan tulang-belulangnya untuk mengenang mereka." Papa belum bisa memahami arti kata-kata itu sepenuhnya.
Malam gelap gulita. Bulan atau bintang tak tampak di langit, sehingga segala sesuatu yang tidak terkena cahaya api menjadi hitam pekat. Guntur bergelegar tiba-tiba, mengawali hujan. Tak lama kemudian, hujan deras mengguyur. Semua orang berlarian ke gubuk yang ternyata tetap tidak bisa menahan hujan, sekalipun telah susah payah diperbaiki. Hampir tak ada seorang pun yang tidur malam itu karena rasa takut dan tidak nyaman. Papa sangat lelah, patah arang, dan tak tahu lagi harus berbuat apa. Haruskah ia menghentikan ekspedisi ini? Atau, haruskah ia melanjutkannya? Saking lelahnya, ia pun terddur dengan perasaan berkecamuk.
Nuansa baru pagi membantu memulihkan semangat Papa. Matahari bersinar kembali dan menjanjikan hari yang lebih lancar. Namun, kenyataan tak semanis harapan. Herb menghampiri Papa dengan ekspresi ketakutan dan menariknya ke tepi sungai. Papa pun melihat sendiri "musibah" itu. Perahu telah terendam air. Peralatan mereka lenyap disapu badai. Sialnya, cadangan bahan bakar pun ikut hanyut.
Hati Papa ciut Kecelakaan ini menandakan bahwa mereka harus mempersingkat ekspedisi dan gagal untuk kedua kalinya. Syukurlah, paling tidak radio sempat dibawa.
Ketika mereka duduk mengelilingi api unggun sambil membicarakan rencana, salah seorang pria Dani menceritakan mimpi aneh yang ia alami semalam. Ia melihat sepuluh malaikat mengitari seluruh tempat itu sambil membentangkan tangan. Cahaya terang menyelimuti mereka, menerangi daerah itu, dan melindungi perkemahan.
Papaku selalu percaya bahwa Tuhan berbicara melalui tanda dan mimpi. Setelah mendengar mimpi tersebut, ia kembali merasa percaya diri. Iman dan keberaniannya muncul kembali. Ia membuka Alkitab secara acak dan mulai membaca. Perasaan takjub memenuhinya karena mazmur yang dibacanya ternyata berhubungan langsung dengan situasi saat itu. Jaminan dari ayat Alkitab itulah yang membuat Papa memilihnya sebagai doa harian kami. Ayat itu adalah Mazmur 91.
Papa memejamkan mata dan memanjatkan doa syukur. Ketika kembali membuka mata, ia dapati anggota tim memandangnya dengan penuh harap. "Kita lanjutkan," katanya.
Lewat radio, mereka meminta pilot helikopter untuk mengirim bahan bakar dan makanan. Setelah memberikan gambaran lokasi, mereka mulai menyiapkan area pendaratan. Pengerjaannya memakan waktu sepanjang hari. Sore harinya, mereka sudah mengosongkan cukup tempat untuk mendarat. Mereka menyalakan api unggun sebagai isyarat bagi pilot.
Hari makin sore, tetapi helikopter belum juga tampak. Matahari mulai terbenam. Tiba-tiba Nakire berdiri dan melihat ke langit. Sayup-sayup, yang lain pun dapat mendengar deru helikopter yang mendekat. Asap itu akhirnya terlihat oleh pilot. Ia mendarat dan barang-barang kiriman segera diturunkan. Penurunan barang harus dilakukan dengan cepat, karena pilot harus kembali ke Danau Bira sebelum malam tiba. Penerbangan di hutan tidak bisa hanya mengandalkan peralatan pesawat.
Suasana malam ini sangat berbeda dengan malam sebelumnya. Orang-orang terlihat santai dan kembali punya harapan akan kelanjutan ekspedisi. Mereka menghabiskan malam dengan bernyanyi dan berdiskusi tentang kelanjutan ekspedisi. Petugas jaga malam tetap ditentukan, tetapi malam berlalu tanpa gangguan. Paginya, mereka telah mendapat istirahat yang cukup dan bangun dengan penuh semangat.
Rombongan kembali menuju hulu sungai setelah menguras air dalam perahu. Mereka melewati tempat di mana mereka bertemu Ziau. Setelah perjalanan berlangsung beberapa jam, Nakire tiba-tiba merasa ragu untuk melanjutkannya. Kali ini Papa melihat barisan pohon tumbang, tanda bahwa mereka akan melalui daerah kekuasaan kelompok lain. Nakire mulai panik sehingga rombongan menepi.
Selagi yang lain menyiapkan makanan, Nakire berjaga-jaga dan dengan saksama memerhatikan pepohonan. Papa tidak dapat memahami kegelisahannya, karena Ziau telah menjamin tak akan terjadi apa-apa dengannya selama ia bersama rombongan. Ketika mereka membahasnya, Nakire menerangkan bahwa kekhawatirannya kali ini bukan soal Ziau. Papa tahu suku Fayu terpecah menjadi beberapa kelompok. Sampai saat itu, ia baru mengetahui tiga kelompok: Iyarike, Tigre, dan Tearue. Papa terkejut saat mendengar dari Nakire bahwa ada kelompok keempat.
"Ada kelompok lain," bisik Nakire. "Mereka disebut kelompok Sefoidi, dan kita akan memasuki daerah mereka. Kita berbalik saja. Mereka berbahaya. Mereka bukan hanya membunuh siapa pun yang memasuki daerahnya, melainkan juga memakannya. Tolong jangan diteruskan."
Kanibal, batin Papa, dengan sebentuk perasaan dingin menyergap perutnya. Jadi, apa yang harus kita lakukan? Lalu ia ingat pada mimpi orang Dani dan ayat Alkitab yang ia baca tadi pagi. Setelah berdiskusi, mereka memutuskan untuk meneruskan perjalanan dan bersama-sama meyakinkan Nakire untuk tetap bergabung. Mereka kembali naik perahu dan melanjutkan perjalanan. Waktu berlalu, dan mereka tidak menangkap aktivitas manusia sama sekali.
Lalu perahu berjalan mengikuti sebuah belokan di sungai. Tiba-tiba seorang laki-laki berlari dengan sangat cepat menyusuri tepi sungai untuk menghindar dari mereka. Belum lagi ia berhasil mencapai celah di antara semak, perahu telah sampai di sebelahnya. Orang itu pun berdiri mematung karena ketakutan. Sekujur tubuhnya gemetar ketika rombongan turun dari perahu dan menghampirinya. Ia mencoba memasang anak panah, tapi tangannya terlalu gemetar. Pasti ia belum pernah melihat orang kulit putih.
Papa berusaha menjalin komunikasi melalui penerjemah, tapi tidak berhasil. Rasa takut membuat tenggorokannya tersekat sehingga tak ada sepatah kata pun yang keluar. Papa memintanya untuk menyampaikan pesan kepada kelompoknya bahwa tim ini datang dengan damai, dan akan menunggu di tempat ini untuk bertemu dengan mereka. Lelaki itu mengangguk cepat sebelum berlari ke dalam semak. Hari berlalu, tetapi tak ada orang Sefoidi yang datang.
Apa yang harus dilakukan sekarang? Upaya untuk menjalin hubungan jelas-jelas gagal. Papa tahu orang-orang Sefoidi ada di sekitar tempat itu dan mengamati mereka, tetapi tak ada yang mau menampakkan diri. Tim memutuskan untuk berkemah di suatu dataran di hilir sungai, yang terletak di perbatasan antara wilayah Fayu dan suku lainnya (Kirikiri, Dou, dan Doa). Sebelum berangkat menuju dataran tersebut, mereka meninggalkan beberapa hadiah dengan harapan dapat lebih membuktikan bahwa mereka datang dengan damai.
Sebuah kejutan menanti mereka di dataran yang mereka tuju. Sekumpulan besar orang berkumpul untuk menyambut mereka bak pahlawan. Mereka adalah gabungan dari suku Dou dan Kirikiri. Mata Nakirc terbelalak heran karena belum pernah melihat orang yang begitu banyak. Papa tak bisa memahami kehebohan yang terjadi, sampai salah satu dari orang Dani dengan bangga menjelaskan bahwa tidak seorang pun yang menyangka mereka akan pulang dengan selamat. Tim turun dari perahu dan dielu-elukan oleh orang banyak. Semua orang ingin menyentuh mereka, seakan-akan ingin memastikan bahwa kembalinya mereka bukan mimpi.
Ketika tim mendirikan kemah, Papa memutuskan bahwa mereka harus mendekati sasaran dengan cara lain. Jika mereka tidak ingin dicari, kita akan menunggu di sini sampai mereka mendatangi kita.
Lalu ia pun bersabar.... Bab 8 UNDANGAN KE ZAMAN BATU Mereka menunggu selama tiga hari sebelum akhirnya kesabaran itu membuahkan hasil. Ketika mereka sedang sarapan pagi pada hari ketiga, sepuluh prajurit keluar dari hutan. Mereka bersenjata lengkap dan memakai pernak-pernik khas suku Fayu. Prajurit itu dipimpin oleh Teau, salah satu pemimpin perang yang paling berbahaya dari kelompok Iyarike. Ia memancarkan aura ketidakpercayaan dan permusuhan, dan langsung saja menggeledah peralatan dm. Secara serentak, anak buahnya mengepung perkemahan.
Selama tiga hari, prajurit-prajurit itu memeriksa sedap kotak, daun, dan saku?semua dilakukan tanpa sepatah kata pun. Papa kemudian bercerita kepadaku bahwa ia merasa seperti sedang dalam pemeriksaan imigrasi di bandara. Namun, ia tahu sesuatu yang pendng sedang terjadi, sesuatu yang akan memengaruhi segalanya. Jadi ia membiarkan mereka menggeledah tanpa protes.
Pada hari ketiga, penggeledahan dihendkan. Papa mengumpulkan para penerjemah dan bertanya kepada Teau, apa yang ia cari. Ia menjawab bahwa dua minggu yang lalu, pemburu buaya Indonesia masuk ke daerah Iyarike. Mereka menembak dua anggota kelompok Teau dan sekarang ia ingin membalas dendam. Karena perahu ekspedisi bermotor tempel, sama seperti perahu pemburu buaya itu, ia mengira Papa salah satu dari mereka. Dugaan itu membuat Teau ingin membunuh Papa. Andai saja mereka menemukan senjata atau kulit buaya, seluruh tim pasti sudah mereka habisi. Namun, karena tidak menemukan apa pun, Teau mempertimbangkan kembali dugaannya tentang hubungan Papa dengan pemburu itu.
"Apa yang kau inginkan, orang kulit pudh? Kenapa kau datang kemari?"
Papa menjawab, "Aku ingin tinggal di sini dengan keluargaku. Aku ingin hidup di antara kalian dan mempelajari bahasa kalian, karena aku membawa pesan penting untuk kalian. Pesan kasih dan perdamaian."
Teau duduk tenang tak bergerak, kemudian memandang Papa dan berkata, "Orang kulit putih, karena kau telah datang, harapan telah merasuk ke hatiku. Aku bosan berperang dan membunuh. Silakan datang kembali." Jawaban yang mengherankan ini membuat Papa terharu dan hampir meneteskan air mata. Ia bertanya kapan ia bisa kembali. Teau menjawab bahwa Papa bisa kembali ke dataran ini tiga bulan lagi. "Dengan begini, aku punya waktu untuk memberi tahu orang-orangku supaya tidak membunuhmu karena kau datang dalam damai.
Foto 24 : Papa bersama Teau (kiri) dan seorang pria dari suku Dani (paling kiri)
yang ikut dalam ekspedisinya
Kedua rombongan saling mengucapkan salam perpisahan. Para prajurit menghilang kembali ke hutan, sedangkan tim bersiap untuk kembali ke Polita. Nakire memutuskan untuk bergabung kembali dengan suku asalnya, jadi ia ikut dengan para prajurit. Papa kembali ke Danau Bira dengan perasaan bahagia. Ia begitu tidak sabar menunggu tiga bulan berlalu.
Sementara itu di dalam hutan, serentetan kejadian yang baru kami ketahui belakangan, terus berlangsung. Teau mungkin memang telah memutuskan untuk berhenti berperang untuk membuka pintu bagi kedamaian. Namun, sebagian besar orang Iyarike tidak setuju. Dua kelompok pun terbentuk. Kelompok yang kecil, termasuk Nakire dan Teau, percaya bahwa orang kulit putih itu akan kembali. Kelompok besar tidak percaya dan berpendapat bahwa orang kulit putih itu pasti berbohong mengenai pesan kasih dan perdamaian yang dibawanya. Toh selama ini tak seorang pun peduli pada suku Fayu. Mengapa sekarang mereka harus percaya?
Pembicaraan kelompok ini mengungkapkan betapa terasingnya suku Fayu. "Mari kita terus berperang dan hidup seperu biasa. Bukankah kita selalu percaya bahwa tidak ada manusia lain di luar hutan ini? Tak seorang pun dari mereka yang peduli dan menjalin hubungan dengan kita. Lupakan saja orang kulit putih itu. Kita tidak memerlukannya."
Namun, Teau cukup berpengaruh sehingga ia dan Nakire dapat meyakinkan kelompok yang tidak sependapat untuk tetap menand selama dga bulan. Dengan begitu, mereka akan tahu apakah orang kulit pudh itu menepati janjinya.
Tepat dga bulan kemudian, wakil-wakil dari kelompok Fayu berkumpul di dataran yang nandnya akan dinamai Foida. Mereka tak perlu menunggu lama. Awalnya sayup-sayup, namun makin lama makin keras mereka mendengar suara mesin mendekat. Lalu, setelah mengitari kelokan, muncullah perahu dm?mesin ada di bagian belakang, orang kulit putih duduk di depan. Belakangan Nakire memberi tahu Papa bahwa ia menangis terharu melihat Papa. Orang kulit putih itu menepati janjinya.
Ketika Papa dan tim keluar dari perahu, mereka disambut dengan pandangan ramah dan ingin tahu yang bercampur kagum. Ini adalah peristiwa yang penting karena dua alasan. Pertama, peristiwa ini mengukuhkan kredibilitas Papa. Kedua dan tak kalah pentingnya, peristiwa ini menyatukan kelompok-kelompok Fayu, sekalipun hanya sebentar. Keinginan untuk menyaksikan sendiri orang kulit putih yang sering disebut dalam dongeng, mengesampingkan perang saudara yang berlangsung di antara mereka.
Orang kulit putih pernah menginjakkan kaki di tanah Fayu sebelumnya, tetapi tidak seorang pun anggota suku mengetahuinya. Mereka bahkan tidak tahu bahwa orang kulit putih itu ada. Kami sendiri baru mengetahui hal ini beberapa tahun lalu, ketika seorang wartawan menelepon Papa. Wartawan itu pernah membaca bahwa sebuah ekspedisi Belanda di Irian Jaya pada tahun 1940-an telah menjalin kontak dengan suku Fayu. Informasi ini ternyata tidak diteruskan turun-temurun, sehingga terlupakan oleh suku itu. Kecenderungan memprihatinkan ini kerap ditemui pada kebudayaan yang hampir punah.
Tak lama setelah kedatangannya ke Foida, Papa dikunjungi oleh Ketua Baou. Baou berasal dari kelompok Tigre. Ia adalah ketua kelompok Fayu tertua, dan dikenal sebagai yang paling berbahaya serta berdarah dingin di antara semua prajurit Fayu. Fisiknya tidak terlalu mengesankan, tetapi orang-orang, dengan rasa hormat, mundur dan memberi jalan untuknya. Nakire berbisik kepada Papa bahwa ia adalah orang yang paling dihormati di antara semua ketua kelompok, dan kata-katanya sangat berpengaruh bagi seluruh kelompok.
Ketua Baou adalah seorang pria pendiam yang tak pernah tersenyum. Kami, anak-anak, selalu berusaha menjauh dan menghindar darinya. Sesungguhnya bukan karena takut, tetapi karena semua orang melakukan hal yang sama. Ia memancarkan wibawa yang nyaris dapat dilihat secara fisik.
Papa memberi salam dengan penuh hormat kepada sang ketua dan menawarkan hidangan saat mereka duduk mengelilingi api unggun. Melalui penerjemah,
Papa memulai pembicaraan dengan mengatakan bahwa ia bukan datang untuk mengatur, melainkan untuk melayani. Ia tidak bermaksud menyaingi kekuasaan Ketua Baou. Ia justru bersedia tunduk kepadanya. Lalu Papa menyampaikan keinginannya untuk membawa keluarganya hidup di antara suku Fayu. Tentu bila Ketua Baou mengizinkan. Agar sampai ke titik permasalahan, Papa bertanya langsung, "Ketua Baou, apakah Anda mengizinkan saya untuk pindah ke sini beserta keluarga saya?"
Ketua Baou. menundukkan kepala dan diam. Suasana hening ketika orang-orang menunggu keputusan ketua. Beberapa menit berlalu, dan akhirnya ia mengangkat kepala. "Ya, orang kulit putih, kau mendapat izinku. Aku mengizinkanmu dan keluarga datang dan tinggal dengan kami."
Orang-orang yang hadir serempak menghela napas lega. Nakire tersenyum lebar. (Papa, kemudian menceritakan kepadaku bahwa saat itu adalah salah satu saat paling berkesan dalam hidupnya. "Walaupun tidak dapat dibandingkan dengan saat kamu lahir," tambahnya sambil mengedipkan mata.)
Papa bertanya kepada Ketua Baou di mana ia harus mendirikan rumah. "Di sini," ketua menjawab sambil menunjuk suatu tempat. Papa pun mendirikan rumah pertama kami tepat di sana.
Bukan tanpa alasan Ketua Baou dikenal sebagai orang yang bijaksana. Ia mempertimbangkan masalah dari segala segi. Walaupun saat itu kami tidak mengetahuinya, ternyata dataran yang ia pilih untuk rumah kami adalah daerah netral untuk semua kelompok. Keputusan Ketua Baou ini menjamin tak akan ada kelompok yang dapat mengakui Papa sebagai milik. Dengan begini, konflik untuk memperebutkan kami dijamin tidak akan terjadi.
Pada bulan-bulan berikutnya, Papa melewatkan banyak waktu bersama orang Fayu: untuk semakin menguatkan kepercayaan mereka kepadanya, untuk mempelajari kebudayaan dan bahasa mereka, serta untuk membangun rumah kami. Ia mempekerjakan beberapa orang Dani untuk membantu pembangunannya.
Ketika seorang pekerja Dani sedang bersiap-siap berangkat ke Danau Bira untuk mengisi kembali persediaan, salah satu dari mereka meninggalkan parangnya tergeletak di tanah. Seorang prajurit Fayu mengambilnya dan menghunusnya ke sana kemari sambil membusungkan dada. Papa sudah mendengar suara helikopter dari kejauhan, ketika orang Dani mengeluhkan orang Fayu yang menolak mengembalikan parangnya. Papa mendatangi orang Fayu itu, tapi mendapat jawaban yang sama, liau ("tidak" dalam bahasa Fayu). Dengan frustrasi,
Papa mencoba menerangkan bahwa parang itu milik orang Dani yang hendak pergi. Orang Fayu itu menolak sambil tertawa. Katanya, jika Papa sangat menginginkannya,
Papa harus merebutnya darinya. Dengan marah, Papa memaksanya untuk mengembalikan parang itu.
Begitu helikopter berangkat, orang Fayu langsung mendatangi Papa dan menuntutnya untuk mengganti parangnya. Papa merasa bingung. Ia sadar ada sesuatu yang tidak ia pahami. Ia memanggil Nakire yang telah menjadi penasihatnya dalam bidang budaya dan bahasa.
"Apakah benar aku harus memberi orang ini sebilah parang yang baru?"
Nakire memandang Papa dengan ekspresi terkejut. "Apa? Kau belum memberikannya?"
"Tentu saja belum!" sergah Papa. "Parang tadi kan bukan miliknya. Kenapa aku harus memberi dia yang baru?"
Nakire kemudian menjelaskan hukum kepemilikan orang Fayu. Jika seseorang meninggalkan barangnya di sembarang tempat, berarti ia tidak menghargai barang itu. Jadi, siapa pun yang menemukannya, menjadi pemiliknya yang baru. Karena Papa telah memaksa orang Fayu itu untuk menyerahkan barang yang baru dimilikinya, ia wajib menggantinya.
Peraturan yang sangat aneh, paling tidak dari sudut pandang kami. Namun, Papa menyerah dan menghadiahi orang itu sebilah parang baru. Ini adalah awal dari proses belajar yang panjang. Kami akan menemui banyak kesempatan belajar semacam ini ketika beradaptasi dengan kebudayaan mereka.
Papa berusaha terus dan akhirnya rumah kami selesai dibangun. Pada bulan Januari 1980, tibalah waktunya bagi kami untuk berkumpul dengannya.
BAGIAN 2 Bab 9 SEHARI DI HUTAN Walaupun mungkin kelihatan mustahil, kehidupan di hutan segera kami jalani dengan wajar. Seperti keluarga lain, kami juga punya rutinitas. Aku bangun sedap kali matahari telah terbit. Aku cepat-cepat berpakaian, lalu kami sekeluarga sarapan pagi bersama, dan sekolah pun dimulai. Hal ini terasa seperti siksaan untukku karena di luar jendela beragam kejadian menarik berlangsung. Burung-burung dan matahari menyapaku, seakan mengajakku keluar dan bermain. Aku dapat mendengar suara sungai mengalir melewati rumah kami dan suara nyanyian orang-orang Fayu.
Sesekali teman-teman Fayu-ku melongok melalui jendela dan memberi isyarat bahwa mereka siap bermain. Namun, Mama sangat tegas dalam hal ini. Aku harus tinggal di dalam sampai semua tugas sekolah diselesaikan. Aku sering mencoba memengaruhinya. "Lihatlah Bebe di luar sana, la kelihatan sedih. Ia pasti membutuhkanku!"
"Pelajaran bahasa Inggrismu juga membutuhkanmu," jawab Mama tanpa basa basi. "Bebe akan baik-baik saja tanpamu,"
Tugas-tugas sekolah kami adalah bagian dari kurikulum Amerika yang dirancang untuk anak-anak di luar sistem sekolah. Secara berkala, pelajaran kami akan diperiksa oleh seorang guru di Danau Bira. Bila tidak ada guru yang memenuhi syarat, salah satu misionaris menggantikannya. Dibandingkan dengan sekolah di negara Barat, kurikulum itu agak terbatas. Kami diajari matematika, ilmu pengetahuan alam, bahasa Inggris, dan sejarah.
Ketika aku berusia sembilan tahun, untuk pertama kalinya guru yang sesungguhnya datang dari Amerika Serikat. Mereka tinggal di Danau Bira selama dua tahun untuk mengajar ?anak-anak hutan" dengan lebih baik.
Kini aku mengagumi keberanian dan kedisiplinan mereka. Khususnya di saat-saat awal, mereka menjalani masa-masa sulit menangani kelompok anak "setengah liar". Namun, akhirnya mereka berhasil mengembangkan program pendidikan yang berfungsi dengan baik dan sukses. Setiap kali kami, anak-anak, berada di Danau Bira (untuk mengambil perbekalan makanan, bahan bakar, dan sabun), kami masuk sekolah kecil di sana. Guru memeriksa tugas-tugas yang telah kami kerjakan di hutan dan memberikan tugas baru untuk dibawa pulang.
Sebagai anak kecil, aku tak pernah mengerti apa gunanya pergi ke sekolah. Hal ini membuatku semakin frustrasi menghadapi pelajaran yang sulit. Yang paling aku benci adalah matematika. "Aku memang tidak bisa mengerjakan ini," gumamku kesal untuk kesekian kalinya.
Christian yang waktu itu berumur lima tahun menyembulkan kepalanya dari bawah meja, tempat ia asyik bermain dengan seekor laba-laba. "Sabine," celotehnya, "kita kan beraga. Jika Mama memberi sedap anak dga buur permen, itu artinya tiga kali dga, sama dengan sembilan." Kepalanya kembali menghilang di bawah meja.
"Memangnya dari mana Mama dapat begitu banyak permen?" jawabku kesal.
Mama mendengar semuanya dari ruang sebelah dan sangat senang dengan kemampuan matematika Christian. Jadi ia bertanya, "Chrisdan, kalau ada lima ekor burung di dahan, dan seorang pemburu menembak satu ekor, berapa sisanya?"
Christian muncul kembali dari bawah meja. "Tidak ada," jawabnya cepat.
"Kenapa begitu?" tanya Mama heran.
Chrisdan menjawab sambil menghela napas, "Pasti semua terbang karena sang pemburu membuat gaduh dengan bunyi senjatanya." Kepalanya kembali menghilang. Mama tertawa terbahak-bahak.
Christian memang bisa menjawab dengan cerdik, pikirku sedikit iri. Masuk akal sekaligus prakds.
Sebaliknya, aku tak pernah berhasil menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan sukar. Pernah Mama bertanya, apa ibukota Inggris. Dengan meyakinkan, tiba-tiba aku langsung berlagak pingsan dan jatuh dari kursi. Mama yang sama sekali tidak terkesan dengan sandiwaraku, menuang segelas air ke atas kepalaku.
Foto 25 : Sabine sedang mengerjakan tugas sekolah di Foida
"Kalau kamu tidak berusaha berkonsentrasi, Sabine. kamu terpaksa harus mengulang kelas dua," katanya kesal sambil memberikan sehelai handuk.
Ucapan. Mama justru membuka begitu banyak kemungkinan. "Ide yang bagus!" kataku. "Berarti aku tak perlu rajin belajar tahun depan!" Kali ini giliranku membuat Mama terdiam.
Memangnya apa sih manfaat sekolah bagiku? Aku bisa memanjat dan memanah lebih baik daripada anak-anak lain, tentu saja di luar teman-teman Fayu-ku. Aku mengerti cara bertahan hidup di hutan, tahu binatang dan tanaman mana yang dapat dimakan dan yang beracun. Mengapa aku harus betsusah payah mempelajari jenderal mana yang berperang dalam perang apa, dan berapa hasil 12x6? Toh teman-teman Fayu-ku hanya bisa menghitung sampai tiga. Dalam bahasa Fayu, hanya tersedia kata-kata untuk menyebut "satu", "dua", dan "tiga". Nilai yang lebih besar dari itu hanya disebut "segenggam". Dua genggam berarti sepuluh, tambahkan satu kaki berarti lima belas, dua kaki berarti dua puluh. Pasti tak diperlukan apa-apa lagi selain itu.
Bila aku harus menulis esai, tapi sedang tidak ingin menulis, aku tinggal menggabungkan huruf secara acak. Tadinya guruku dari Amerika mengira aku menulis dalam bahasa Jerman, dan dengan halus mendorongku untuk menulis dalam bahasa Inggris. Suatu hari, karena frustrasi, ia meminta bantuan kepada Mama. Mama langsung meluruskan bahwa yang aku tulis tidak sedikit pun menyerupai bahasa Jerman. Selama beberapa waktu sejak kejadian itu, aku benar-benar tidak bisa tertawa.
Aku merasa telah membuat orang tuaku risau selama beberapa tahun itu. "Sabine bukannya kurang cerdas," tulis guruku. "Ia hanya malas dan tidak mau berkonsentrasi." Kalimat inilah yang berulang kali menghiasi raporku. Akibatnya, aku diawasi lebih ketat dan harus mengerjakan tugas sekolah seorang diri di meja, sementara Mama menyiapkan makan siang. Dengan begitu, ia bisa terus mengawasiku.
Hal ini tenyata tidak banyak membantu. Sekalipun aku kelihatan sibuk dengan tugas sekolah, pikiranku melayang-layang, melamun tentang menyalakan api atau berenang di sungai yang dingin. Begitu selesai dengan tugas harian, aku bergegas keluar dengan busur dan panahku. Teman-teman yang telah sabar menunggu, menyapaku dengan senyum gembira. Kami pun berlarian, membebaskan diri dalam imajinasi masa kanak-kanak. Sisa hari kami lewati dengan bermain dan menjelajah. Kami sampai lupa ada dunia lain di luar dunia kami sendiri.
Unsur-unsur alam amat penting di antara teman-temanku: matahari yang sinarnya menembus pepohonan, sungai yang mengalir begitu riang, dan tanah sejuk nan menakjubkan di bawah jemari kakiku. Sukar bagiku untuk menceritakan keajaiban saat ini tanpa terkesan membesar-besarkan atau terlalu puitis. Kenyataannya, bagiku hutan seakan hidup seperti manusia. Hujan yang hangat adalah teman bermainku, angin yang sejuk adalah sahabatku. Matahari terbenam setiap sore, seakan mewarnai langit seperti pertunjukan kembang api yang agung: merah, kuning, biru, ungu, dan serangkaian warna yang tak terlukiskan. Aku tidak perlu sepatu, jaket, dan jas hujan. Alam bukan untuk dihindari, melainkan dinikmati.
Di malam hari, keluarga kami duduk mengelilingi meja di bawah sinar lampu minyak yang menenangkan. Ribuan mil dari peradaban, kami bermain Scrabble, Uno, atau Headache. Lalu Papa biasanya bercerita tentang seekor kelinci bernama ZigZag. Karena kenakalannya, ZigZag mengalami beragam pengalaman pahit, termasuk diburu oleh seekor elang jahat. Gerita ini memang sarat pesan moral, namun kami tetap sangat menyukainya.
Di penghujung hari, aku naik ke tempat tidur. Busur dan panah ada di sebelahku. Papa mengucapkan doa malam bersama kami. Lalu, ditemani ribuan serangga dan burung, aku tertidur di dalam kelambu. Kenangan manis hari itu membangkitkan mimpi-mimpi akan petualangan yang menantiku.
Bab 10 TAMU-TAMU MALAM HARI Baru beberapa bulan berlalu, tapi kami merasa seakan sudah sejak dulu tinggal di hutan. Waktu berlalu begitu cepat, dan aku lupa akan hari atau bulan. Kegiatanku ditentukan oleh aktivitas matahari. Aku bangun pukul enam pagi, ketika matahari terbit; saat matahari berada di atas ubun-ubun, aku makan siang; dan ketika matahari terbenam pada pukul enam sore, tiba waktunya bagiku untuk tidur.
Malam hari, anak-anak biasa tidur tanpa gangguan, tapi tidak demikian dengan Mama. Seperti telah kuceritakan sebelumnya, Mama harus berburu serangga dan nyamuk. Kadang-kadang ia membangunkan Christian yang sudah cukup mahir memanah. Sebaliknya, Mama memastikan jangan sampai aku terbangun, karena aku (seperti yang selalu dikeluhkan Judith) adalah panti asuhan berjalan bagi binatang. Aku mengoleksi segala sesuatu yang berenang, merayap, atau terbang.
Pada suatu malam, sebuah keributan akhirnya membuatku terbangun. Tikus terbesar yang pernah aku lihat telah menggerogoti makanan kami. Sorot matanya begitu buas menantang sinar senter. Bahkan aku yang sangat mencintai semua makhluk saja tidak ingin mengoleksinya. Saat Christian siap memanahnya, tikus itu melompat ke arah panah itu. Karena sangat terkejut, kami menjerit dan berhamburan ke segala arah.
Suara itu membangunkan Papa yang langsung mengendalikan situasi. Meski tikus itu begitu buas, aku memohon agar Papa membiarkannya hidup. Dengan bersungut-sungut, akhirnya Papa setuju. Pertama-tama, ia mencoba mengusirnya ke luar rumah saja. Hal ini tidak berhasil. Namun, malam itu menjadi malam panjang yang ceria, dan kami merayakan kemenangan dengan minum teh dan makan kue. Keesokan harinya, anak Ketua Kologwoi menikmati sarapan pagi yang lezat.
Namun, tikus bukan satu-satunya tamu kami. Kecoa, laba-laba, dan segala jenis binatang kecil pengganggu ikut menikmad rumah kami berikut makanan di dalamnya. Mama bingung melihat jumlah mereka yang semakin banyak, padahal ia sudah berusaha menjauhkan makanan dari jangkauan binatang-binatang itu. Salah satunya dengan mewajibkan kami menyapu tiga kali sehari. Lalu, pada suatu hari, ia menemukan akar masalahnya.
Saat itu adalah giliranku menyapu. Aku teringat teknik Papa menyapu remah-remah dan serpihan kotoran. Alih-alih membuangnya ke luar rumah, ia membuangnya melalui celah-celah di lantai. Bagiku cara ini-sangat praktis. Jadi, kusapu kotoran hingga menumpuk. Kupilih celah yang paling lebar dan dengan gembira kubuang seluruh kotoran melaluinya.
Dengan suara terkejut, Mama berkata, "Sabine! Apa yang kamu lakukan? Pantas saja banyak sekali serangga dalam rumah. Seharusnya kamu sudah cukup besar untuk tahu mana yang benar. Dari mana kamu dapatkan Ide semacam ini?" katanya marah sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Aku seharusnya sudah tahu. Di bawah lantai terpasang jaring. Tentu saja segala macam kotoran berkumpul di situ dan menjadikannya ruang makan bagi serangga dan tikus. Namun aku punya alasan pamungkas. "Tapi, Mama," jawabku, "Papa juga berbuat begitu!"
"Sabine betul," tambah Christian, "Papa selalu berbuat begitu kalau Mama tidak ada." Dari ruang belakang, Papa mulai bersiul, seakan tidak bersalah.
"Yang benar saja, Klaus Peter. Apa yang kamu pikirkan..." Mama mulai marah.
"Oh, Doris," Papa mencoba menenangkannya, "apa sih artinya tambahan beberapa binatang lagi? Mereka kan satu-satunya tamu kita." Ia mengedipkan mata kepada kami dan kami mulai tertawa. Mama hanya menatapnya. Aku rasa pembicaraan mereka tidak berakhir hari itu, sebab sejak saat itu, kami menyapu dengan cara yang benar.
Beberapa hari kemudian, Papa terbangun di tengah malam karena merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia bangkit dari tempat tidur dengan senter di tangan, dan memeriksa apakah anak-anak dalam keadaan aman. Sesaat ia berdiri dekat tempat tidur kami, mencoba mengingat kembali apa yang menyebabkannya terbangun. Ia sadar keadaan begitu hening. Tak ada bunyi serangga atau kodok. Lalu ia mendengar gemericik air.
Diterangi sinar bulan, Papa melihat bahwa air sungai meluap sampai ke tepian walaupun tidak hujan. Belakangan kami tahu telah terjadi badai di pegunungan di hulu sungai.
Kekhawatiran terbesar Papa adalah perahu yang ditambatkan pada tonggak kayu di tepi sungai. Tonggak tidak lagi berdiri tegak, tetapi bergoyang-goyang karena kuatnya arus sungai. Inilah suara kecipak air yang Papa dengar tadi. Perahu itu adalah satu-satunya alat transportasi kami, satu-satunya penyelamat hidup kami. Perahu itu harus diselamatkan, apa pun yang terjadi, karena baru-baru ini kami diberi tahu bahwa helikopter untuk sementara tidak bisa digunakan. Kini perahu itu adalah satu-satunya jalan keluar bagi kami dalam keadaan darurat.
Papa bergegas menuju pintu depan dengan membawa lampu senter, tetapi seekor ular besar menghalangi jalannya. Papa mematung. Ular itu mendesis dan siap menyerang. Papa melihat ke sekeliling dengan putus asa. Apa yang harus ia lakukan? Parangnya terletak di belakang ular, di rak dekat pintu.
Papa berpikir sejenak dan memutuskan untuk merangkak di atas meja. Dari sana ia bisa menggapai parang tersebut. Tanpa melepaskan pandangan dari ular itu, perlahan-lahan ia menaiki meja dan merayap maju. Ular itu mengawasi setiap gerak Papa. Akhirnya, Papa berhasil mencapai rak dan menyambar parang. Sekarang, bagaimana cara ia mendekati ular itu untuk membunuhnya? Papa mematikan senter dan menunggu sebentar. Lalu, senter kembali ia nyalakan sambil diarahkan ke ular tadi, sementara sebelah tangannya memegang parang. Sinar senter menyilaukan ular itu beberapa detik, dan kesempatan ini digunakan Papa untuk menyabet kepalanya. Ular itu tidak mati, sehingga mereka sempat bergumul. Saat ular sudah benar-benar mati, Papa mengambilnya dengan parang dan melemparkannya ke sungai. Saat itu juga, tonggak tempat kapal tertambat lepas, dan perahu mulai hanyut ke hilir sungai. Karena putus asa, Papa terjun ke air. Beruntung ia berhasil meraih tali perahu dan menariknya kembali ke tepi.
Menuntut Balas 29 Wanita Lain Ayah Karya Frida Rahmita Gultom Raja Pedang 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama