Ceritasilat Novel Online

Dari Mulut Macan Ke Mulut 4

Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp Bagian 4


sini...." sahut Pang Se-bun sambil menarik
napas. Cu Tong-liang heran. Jambangan itu bukan
benda mahal, itu benda yang bisa dibeli di
sembarang toko barang keramik, apa yang
membuat Pang Se-bun sedih? Cu Tong-liang
tidak berani menanyakannya.
Namun tanpa ditanya Pang Se-bun
mengeluarkan isi hatinya, "A-kun anak yang
baik, jujur, sejak kecil belum pernah
Mulut Macan 6 34 membohongi aku atau isteriku. Kalau dia
berbuat kesalahan, dia selalu mengakuinya
meski dengan takut-takut, dan kalau dia sudah
mengaku maka kami suami isteri tidak
memukulnya...." "Anak yang baik." puji Cu Tong-liang. "Terus
terang, anakku saja tidak sebaik itu."
Pang Se-bun melanjutkan kata-katanya
dengan masygul, "Empat hari yang lalu, kulihat
jambangan ini yang biasa ada di tempatnya
ternyata tak ada lagi. Kutanyakan kepada siapasiapa di rumah ini, semuanya mengaku tidak
tahu. A-kun juga. Ketika pertanyaanku agak
mendesak, A-kun bahkan marah. Belum pernah
semarah itu. Ternyata sekarang kutemukan di
kotak barang-barangnya. Dia mematahkannya
dan menyembunyikannya. Anakku sudah
membohongi aku...." bicara sampai di sini, mata
Pang Se-bun berkaca-kaca. ".... dia membohongi
aku. Kenapa? Apa dia menganggap sikap
memaafkan dari kami orang tuanya tidak lebih
besar dari nilai jambangan ini? Apa dia lupa
bahwa yang dulu-dulu pun kami selalu
Mulut Macan 6 35 memaafkan dan akan terus memaafkan? Apa dia
sudah tidak percaya lagi kasih sayang orang
tuanya?" Cu Tong-liang menghibur. "Memang sedih
rasanya seorang ayah dibohongi anak, aku tahu
rasanya karena aku pun seorang ayah. Tetapi
mustahil menuntut anak kita begitu sempurna
memuaskan selera kita, memuaskan bayangan
indah seindah-indahnya orang-orang tua
tentang anak-anak mereka, Suatu hari nanti, Akun pasti akan menyadari betapa besarnya
kasih sayang Saudara Pang."
"Pasti ada yang mempengaruhi anakku,
entah siapa...." geram Pang Se-bun. "Mungkinkah.... A-hwe?"
"Ah, jangan macam-macam. A-hwe kan
hanya mahluk khayalan di alam berpikir kanakkanak?" Cu Tong-liang coba menepis gagasan
itu, tetapi nada suaranya sudah tidak semantap
kemarin-kemarin. Soalnya sudah terjadi
beberapa keanehan yang menggoyahkan logika
Cu Tong-liang. Mulut Macan 6 36 Hampir saja Pang Se-bun membantah,
bahwa "mahluk-mahluk suci" atau "dewa-dewa"
yang diajarkan Wong Lu-siok itu pun tak
terlihat, mula-mula hanya dikhayalkan, diucapkan di mulut, tahu-tahu orangnya
kerasukan dan mampu melakukan yang anehaneh. Darimana kemampuan untuk melakukan
yang aneh-aneh itu? Tetapi Pang Se-bun belum
berani mengatakannya kepada Cu Tong-liang.
Jangan sampai orang kota kecil Seng-tin ini
ditertawakan "orang kota" macam Cu Tongliang karena tahyul.
"Aku pamit, Saudara Pang...."
"Tunggu dulu! Kelompok pertahanan di kota
ini sedang menunggu-nunggu Saudara Cu untuk
diberi petunjuk tentang sedikit pengetahuan
militer." Cu Tong-liang ingat pengalamannya
kemarin. "Kemarin sudah kulihat pengawalpengawal kota ini jalan di atas api, menggoreng
tangan di minyak mendidih dan sebagainya,
rasanya mereka tidak perlu petunjukku, karena
Mulut Macan 6 37 aku tidak tahu-menahu soal kekuatan-kekuatan
gaib macam itu." "Tidak, kali ini mereka ingin belajar
pengetahuan militer murni agar dapat
mempertahankan kota ini lebih mantap. Tidak
ada orang yang bisa mengajari mereka penghoat kecuali Saudara Cu."
C.u Tong-liang merasa bangga, hingga
akhirnya dia pun berkata, "Kalau begitu,
ayolah...." * ** Sementara itu, Tabib Kian yang disertai Siau
Hiang-bwe telah tiba di rumah Giam Lok. Ibu
Giam Lok menyambut dengan fiangat, sambil
terheran-heran, kemarin lusa Tabib Kian
ditemani bekas perwira ibukota yang gagah,
sekarang ditemani seorang gadis cantik.
"Ini keponakanku yang dari jauh, namanya
A-kui." kata Tabib Kian menjawab pertanyaan
tanda tanya yang tersorot dari mata Janda Giam.
"Bagaimana dengan anakmu yang sakit?"
Mulut Macan 6 38 Dengan wajah murung Janda Giam
menyahut, "Tidak ada perbaikan. Ia makin
kurus dan kesadarannya makin kurang... aku
kuatir dia akan...."
"Biar kulihat."
Tabib Kian lalu melangkah masuk ke kamar
Giam Lok, Siau Hiang-bwe mengikutinya.
Dan mereka menghadapi seonggok tulang
dan kulit yang masih bernapas senin-kemis,
muka pucat dan mata terpejam. Orang yang
biasa melihat Giam Lok yang gagah dan tegap,
pasti sulit mempercayai kalau diberitahu bahwa
onggokan tulang dan kulit itu adalah Giam Lok.
Dengan ketelatenan seorang tabib kawakan, Tabib Kian meraba-raba tubuh itu,
seakan-akan mencari-cari setitik harapan untuk
keselamatan nyawa pemuda ini. Alis-aiis
putihnya berkerut prihatin, dan kalau dilihat
bagaimana ia berkali-kali menghela napas
sambil menggelengkan kepalanya, rasanya
memang tidak banyak harapannya.
Siau Hiang-bwe berdiri di belakang Tabib
Kian. Ia tidak kenal-mengenal dengan Giam Lok,
Mulut Macan 6 39 tapi melihat kondisi Giam Lok, belas-kasihnya
pun menggelegak dalam dadanya.
"Bagaimana, Tabib?" Janda Giam bertanya.
Tabib Kian menjawab hati-hati, "Kita harus
tetap mempunyai harapan, bagaimanapun
sulitnya keadaan...."
"Terus terang saja, tak ada harapan
menurut ilmu pengobatanmu bukan?"
Tabib Kian tidak menjawab, dan orang
sudah biasa mengartikan diam berarti "ya".
Ilmu pertabiban Tabib Kian sudah
menyerah, tetapi Janda Giam agaknya masih
mempunyai harapan lewat jalan lain. Katanya,
"Kalau begitu penyakit anakku ini memang
disebabkan oleh sesuatu yang tidak alamiah.
Mungkin seperti yang aku duga selama ini,
karena kemarahan para mahluk suci."
"Apa yang sudah dia alami?" tanya Tabib
Kian. "Anakku dianggap cukup besar jasanya
dalam mengusir orang-orang jahat dari Sengtin, itulah sebabnya Guru Wong menunjuknya
sebagai salah satu orang kepercayaannya, untuk
Mulut Macan 6 40 menyebarkan dan menegakkan ajaran suci di
kota ini. Tetapi anakku tidak mau, lalu Pang Likun mengutuknya sehingga sakit...."
"Siapa Pang Li-kun?" tak terasa Siau Hiangbwe ikut
bertanya karena terdorong
keheranannya. "Seorang penyihirkah, sehingga
kutukannya menimbulkan bencana?"
"Bukan penyihir, tetapi seorang anak
perempuan kecil yang umurnya belum sepuluh
tahun, tetapi banyak orang percaya bahwa dia
sudah menjadi 'anak dewa' sehingga apa yang
dikatakannya terjadi benar-benar."
Siau Hiang-bwe terheran-heran. "Di Sengtin ada anak seperti itu?"
"Ya. Dia juga pintar meramal nasib
mencarikan jodoh." Buru-buru Siau Hiang-bwe menggoyangkan
tangan dengan pipi memerah,
"Bukan itu maksudku. Aku cuma heran...'.'
Janda Giam kemudian berkata, "Untuk
kesembuhan anakku, tidak ada jalan lain kecuali
anakku memenuhi panggilan suci Ratu Langit,
mau menjadi kepercayaan Guru Wong...."
Mulut Macan 6 41 "Tidak...." tiba-tiba suara lirih terdengar dari
pembaringan, ketika bibir Giam Lok bergerak
sedikit. Suasana dalam kamar tiba-tiba jadi sunyisenyap, semua kuping diarahkan untuk
mendengarkan Giam Lok, sebab suaranya
memang begitu lemah. Terdengar suara Giam Lok amat lirih dari
sela-sela bibirnya yang pucat, namun bisa
didengar oleh semua orang di situ, "Aku tidak
mau diperalat mahluk gaib mana pun... yang
disebut mahluk suci sekalipun... atau bahkan
dewa.... aku tidak mau jadi orang yang dapat
berbuat hebat tetapi bukan kekuatanku
sendiri...." Tabib Kian tidak ikut berkomentar, karena
merasa pokok pembicaraan itu sudah di luar
bidang keahliannya. Ia ahli dalam menanam dan
meracik tumbuh-tumbuhan berkhasiat, tetapi
pembicaraan sudah sampai ke urusan mahlukmahluk gaib segala.
Janda Giam mendekat ke pembaringan
anaknya dan membujuk "A-lok, percayalah
Mulut Macan 6 42 bahwa Guru Wong itu benar-benar utusan para
dewa, manusia terpilih. Banyak orang sakit
setelah diberi jimat olehnya lalu sembuh. Dan si
kecil A-kun itu pun juga sudah dipilih jadi 'anak
dewa' sehingga...." "Tidak...." sahut Giam Lok lemah disertai
gelengan kepala yang lemah pula. "Pernah
kulihat... Kakek Un kesurupan yang katanya
mahluk suci... tetapi kelakuannya jadi begitu
kejam... tidak mirip manusia normal... aku tidak
mau begitu...." "Tetapi kau akan sakit terus?"
"Biarlah... mati juga tidak apa-apa... tetapi
aku tidak mau diperbudak mahluk-mahluk tak
terlihat." Siau Hiang-bwe begitu tersentuh melihat
tekad Giam Lok mempertahankan kemerdekaan
jiwa dan pikirannya dari mahluk-mahluk gaib,
suatu sikap yang ada , baiknya tetapi juga ada
salahnya. Namun selagi Giam Lok senin kemis
begitu, sudah tentu tidak mungkin bicara
panjang-lebar menjelaskan benarnya atau
salahnya sikap Giam Lok. Saat itu Siau HiangMulut Macan 6
43 bwe jadi ingat kata-kata dari buku yang
dipinjamnya dari Liu Yok. "Kalau anakmu atau
ternakmu terperosok ke dalam sumur, apakah
kamu tidak cepat-cepat menolongnya meskipun
melanggar hukum agama?"
Giam Lok ibarat mahluk malang yang
sedang terjeblos sumur kesusahan, harus diberi
harapan agar semangatnya bangkit, tidak
sempat diajar panjang lebar soal ajaran baik
buruk. Siau Hiang-bwe pun berlutut di tepi
pembaringan, menggenggam telapak tangan
Giam Lok yang sudah jadi kulit membalut tulang
dan terasa agak dingin itu. Hiburnya, "Saudara
Giam, kuatkan hatimu. Berharaplah untuk terus
sembuh, jangan padamkan harapanmu."
Giam Lok merasakan seolah ada aliran
hangat menaiki lengannya, aliran kasih sayang
dan perhatian sesama manusia, matanya yang
mengatup terbuka lagi, tanyanya lemah. "Siapa...
Nona?" "Aku Siau Hiang-bwe, teman Paman Tabib


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kian." Mulut Macan 6 44 "Terima kasih, Nona," ada gerakan kecil di
ujung-ujung jari tangan Giam Lok yang
digenggam Siau Hiang-bwe, seperti ingin
membalas menggenggam tangan Siau Hiangbwe namun tidak ada tenaga. "Harapanku tidak
padam, Nona... baru saja Nona menyalakannya
kembali." Namun Janda Giam yang amat mencemaskan nasib anaknya, malah kuatir
tekad Giam Lok menolak pertolonganpertolongan yang bersilat gaib akan makin kuat
gara-gara dorongan Siau Hiang-bwe. Entah
darimana datangnya, tiba-tiba saja dalam
hatinya muncul rasa kebencian dan permusuhan hebat terhadap Siau Hiang-bwe.
Danda Giam sampai heran sendiri, ketemu Siau
Hiang-bwe juga baru sekali ini, dan Siau Hiangbwe malah bersikap begitu simpatik kepada
anaknya, kenapa hatinya memusuhinya?
Tetapi rasa permusuhan dan kebencian itu
makin meluap dan tertumpah lewat mulutnya,
"Nona Siau, jangan memberi harapan semu
kepada anakku, sehingga dia makin tegar
Mulut Macan 6 45 menolak pertolongan para dewa. Tanpa
pertolongan para dewa, dia akan mati!"
"Tidak baik berkata begitu tentang anak
Nyonya sendiri." "Aku ibunya, aku menginginkan kesembuhannya." "Tetapi Saudara Giam ini menolak cara yang
Nyonya usulkan tadi."
"Itu satu-satunya cara yang masih ada!"
Tabib Kian merasakan situasi mulai tidak
enak. Ia berdiri, memanggul kembali kotak
obatnya, lalu menarik tangan Siau Hiang-bwe
sambil berkata, "A-kui, kita masih harus
menengok beberapa pasien."
Siau Hiang-bwe melepaskan genggaman
tangannya pada tangan Giam Lok. Lalu
berpamitan pada Janda Giam, namun Siau
Hiang-bwe terkesiap melihat sepasang mata
Janda Giam menyala mengerikan dalam tatapan
kemarahan, kebencian dan permusuhan yang
amat hebat. "Nyonya... aku... pamit...." kata Siau Hiangbwe terbata-bata lalu buru-buru melangkah
Mulut Macan 6 46 keluar mendahului Tabib Kian. Tatapan mata
Janda Giam terlihat begitu mengerikan.
Ternyata Janda Giam menyusul keluar
dengan langkah lebar, di luar ia berkata kepada
Siau Hiang-bwe, "Nona Siau, jangan beraniberani kemari lagi. Kalau sampai anakku mati
gara-gara mempercayai harapan kosong yang
kau berikan kepadanya, aku akan berkaul di
depan altar para panglima langit agar kau
dijatuhi tiga puluh enam macam kutukan!"
Bulu tengkuk Siau Hiang-bwe sampai tegak
mendengar itu, namun biarpun suaranya agak
terbata-bata ia tetap berani berkata, "Saudara
Giam akan sembuh, percayalah Nyonya, ini
bukan harapan kosong. Aku akan berdoa
untuknya." "Pergi!" Nyonya Giam makin kasar.
Tabib Kian dan Siau Hiang-bwe pun
ngeloyor pergi. . "Hampir lima puluh tahun aku jadi tabib di
Seng-tin, baru sekali ini diusir." gerutu Tabib
Kian. Mulut Macan 6 47 "Yang diusir adalah aku, Paman." hibur Siau
Hiang-bwe. "... bukan Paman. Paman hanya
terbawa-bawa oleh kelakuanku saja."
Sementara itu, sambil memandang punggung Tabib Kian dan Siau Hiang-bwe yang
menjauh, Janda Giam tiba-tiba heran akan
dirinya sendiri, tanyanya dalam hati, "He, apa
yang sudah kulakukan ini? Biasanya aku begitu
sabar...." Sambil melangkah masuk kembali ke dalam
rumah, dia merangkai jawaban sendiri untuk
sikapnya yang di luar kebiasaan tadi, "Mungkin
karena pikiranku sedang sangat tertekan garagara penyakit A-lok, maka tadi aku jadi lepas
kendali... kapan-kapan akan kuminta maaf
kepada Tabib Kian, tetapi bukan kepada anak
perempuan lancang itu...."
Sementara itu, Siau Hiang-bwe yang sedang
melangkah di sebelah Tabib Kian itu pun
bertanya, "Ke mana kita sekarang, Paman?"
"Ke seorang temanku yang beberapa hari
yang lalu kena batuk. Ia sudah kuberi obat, dan
sekarang akan kutengok dia."
Mulut Macan 6 48 Ketika itu mereka berdua sedang
melangkah di sebuah lorong yang agak lebar,
dengan pintu-pintu rumah penduduk di kiri
kanannya, kadang diselingi tanah-tanah kosong
berbelukar, tetapi ada juga yang ditanami. Kota
Seng-tin memang sebuah kota kecil yang tidak
terlalu padat, dan sebenarnya lebih layak kalau
disebut setengah kota setengah desa. Di satu
bagian suasananya mirip kota, di bagian lain
bersuasana pedesaan. Tengah mereka berdua berjalan, tiba-tiba
dari balik sebuah pintu rumah terdengar jeritan
seorang gadis. "Jangan, Kak! Jangan, Kakak
Beng!" Lalu dari sebuah pintu yang setengah
terbuka, seorang gadis berlari keluar sambil
menangis. Pakaiannya adalah pakaian yang
biasa digunakan dalam tarian, namun yang
dikenakan gadis itu warnanya serba putih. Di
tangan Si Gadis juga ada sebuah kipas sutera
putih yang biasa untuk tari-tarian. Yang "tidak
biasa untuk tarian" ialah sebelah mata Si Gadis
biru bengap karena habis dijotos, ujung
Mulut Macan 6 49 bibirnya juga sedikit berdarah, mungkin karena
ditampar, dan jalannya agak pincang. Mungkin
kakinya ditendang juga. Dari pintu yang sama menyusul keluar
seorang pemuda tampan berjubah putih. Sayang
wajahnya yang tampan itu jadi menakutkan
karena sedang marah. Si Pemuda memburu Si Gadis, dan tentu saja
langkahnya lebih lebar dan cepat, sehingga
tangannya berhasil meraih rambut Si Gadis dan
langsung menjambaknya. Si Gadis menjerit, ia
roboh ke tanah. Si Pemuda melampiaskan
kemarahannya dengan tendangan-tendangan
dan pukulan-pukulan tak terkendali.
Orang-orang di jalanan itu kaget melihat
keganasan Yao Kang-beng, pemuda itu,
terhadap adiknya sendiri. Orang-orang segera
berlarian mendekat untuk melerai, ada yang
memegangi tangan Yao Kang-beng, ada yang
menarik dari belakang untuk menjauhkannya
dari adiknya. Sementara Si Adik sudah
menangis sesenggukan dengan masih duduk di
atas debu jalanan, dipeluk oleh seorang
Mulut Macan 6 50 perempuan setengah baya yang masih
tergolong keluarga jauh. Tabib Kian yang sudah berada di dalam
kerumunan orang itu terlongong, menanti
penjelasan kenapa seorang kakak sampai
berbuat begitu kepada adiknya. Sementara itu
Siau Hiang-bwe tergerak oleh belas kasihnya
kepada gadis yang agaknya satu-dua tahun lebih
muda itu, dengan sapu tangannya sendiri dia
merp-bersihkan wajah Si Gadis yang babakbelur itu. Gadis itu terharu oleh perhatian Siau
Hiang-bwe yang belum pernah dikenalnya,
padahal kakak kandungnya sendiri telah
menghajarnya. "Tenang..., tenang... A-beng, kenapa sampai
kau hajar adikmu sendiri?" tanya seorang lelaki
bertubuh pendek yang kerjanya sebagai tukang
menyalakan api di rumah pemandian umum.
Yao Kang-beng tidak menjawab, wajahnya
nampak keruh. Berulang kali Si Lelaki Pendek
dan beberapa orang lainnya menanyai Yao
Kang-beng yang mereka panggil A-beng saja,
Mulut Macan 6 51 tetapi Yao Kang-beng tidak mempedulikan
pertanyaan mereka sedikit pun.
Sampai ada seorang perempuan muda
membisiki ke telinga Si Lelaki Pendek. Si Lelaki
Pendek mengangguk-angguk, lalu bertanya lagi
kepada Yao Kang-beng dengan sikap yang lebih
resmi, "Guru muda Yao, bagaimana ini bisa
sampai terjadi?" Mendengar itu, barulah semua orang sadar
bahwa panggilan "A-beng" tadi terlalu tidak
hormat, tidak sesuai dengan kedudukan Yao
Kang-beng sebagai salah satu dari pembantupembantu terpercaya Wong Lu - siok. Yao Kangbeng adalah salah seorang yang membantu
mengawasi dan menegakkan ajaran Wong Lu siok, kalau perlu menghukum pelanggaran.
Setelah dipanggil "guru muda" barulah Yao
Kang-beng sudi menjawab di sela engah napas
kemarahannya yang belum reda, "Anak tak
berguna itu tidak sungguh-sungguh dalam
berlatih tarian pemujaan dewa yang akan
dipentaskan beberapa hari lagi. Ketidaksungguhannya benar-benar tidak hormat
Mulut Macan 6 52 kepada mahluk-mahluk suci yang sudah
membebaskan kita dari gerombolan jahat dan
siluman-siluman jahat! Itu sebabnya aku
mendisiplinkan dia atas nama para mahluk
suci!" "Astaga...." keluh Siau Hiang-bwe dalam hati,
tak menyangka kalau hajaran seganas itu hanya
disebabkan urusan menari kurang sungguhsungguh.
Diam-diam Siau Hiang-bwe berharap agar Si
"Guru muda Yao" ini diprotes atau ditegur
orang-orang yang berkerumun. Tetapi ternyata
sebagian besar orang-orang itu menganggukangguk menyetujui kata-kata Yao Kang-beng.
Ada sebagian kecil yang tatapan matanya
kosong dan bingung, berkedip-kedip, tidak tahu
perubahan apa yang sedang terjadi di kotanya.
Terdengar orang mendukung kata-kata Yao
Kang-beng tadi. "Seluruh kota harus benarbenar sepenuh hati dalam hari pemujaan nanti.
Agar dewa-dewa tetap melindungi dan
memberkati kita... jangan sampai marah."
Mulut Macan 6 53 "Ya, tarian pemujaan adalah persembahan
kita untuk penolong-penolong kita di langit,
mana boleh sembarangan?"
"Siapa yang terpilih untuk menarikannya
harus merasakan sebagai kehormatan besar,
harus berlatih sungguh-sungguh sampai
mahluk-mahluk suci merasuki tubuh dan jiwa
mereka...." "Kalau kurang bersungguh-sungguh, penguasa-penguasa alam gaib bisa marah dan
gawat akibatnya." Yao Sin-lan, gadis yang dihajar tadi, cuma
mengangguk-angguk dan menangis sesenggukan sambil masih duduk di tanah.
Sementara Siau Hiang-bwe ketika mendengar perkataan orang-orang itu segera
paham. Masyarakat Seng-tin ini agaknya punya
kepercayaan

Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang mirip kepercayaan masyarakat kota asal Siau Hiang-bwe, yaitu
Lam-koan. Jadi Siau Hiang-bwe mudah
memahaminya, meski sudah meninggalkan
kepercayaan itu. Mulut Macan 6 54 Ketika itu, dari dalam rumah keluarga Yao
bermunculan gadis-gadis yang masih dalam
busana tari. Agaknya rumah itu sedang
digunakan untuk latihan menari menjelang hari
perayaan. Yao Kang-beng menunjuk penari-penari itu
sambil berkata kepada adiknya, "Lihat, karena
kekurang-sungguhanmu, teman-temanmu jadi
terbuang waktunya. Temanmu tadi sudah
begitu sungguh-sungguh hingga kerasukan, kau
malah seenaknya saja. Kau bersalah kepada
mereka!" Yao Sin-lan menjawab lirih sambil
menunduk, "Aku menyesal, aku akan mengikat
kaul dengan arwah penari-penari suci dari
jaman sebelum ini agar dapat menari lebih
baik." Yao Kang-beng puas mendengar janji
adiknya, namun mempertahankan wajahnya
agar tetap angker. "Kita mulai lagi latihannya!"
katanya dingin namun tegas, lalu berbalik
masuk kembali ke rumahnya, diikuti penaripenari itu.
Mulut Macan 6 55 Yao Sin-lan pun berusaha bangkit tanpa
berani berlambat-lambat, dibantu Siau Hiangbwe. Ketika ia mulai melangkah terpincangpincang, Siau Hiang-bwe bertanya dengan
kuatir, "Kalau kakimu masih sakit, apa kau bisa
menari dengan baik? Kalau kau menari kurang
baik, jangan-jangan akan dihajar lagi?"
Hati Yao Sin-lan tersentuh. Siau Hiang-bwe
belum dikenalnya, tapi begitu memperhatikannya. Desisnya, "Terima kasih
atas perhatian Kakak. Tapi kalau aku tidak
latihan sekarang, barangkali dewa-dewa akan
gusar kepadaku, aku bisa jadi seperti Kakak
Giam Lok...." "Cepat!" bentak Yao Kang-beng melihat
adiknya masih tertatih-tatih.
Yao Sin-lan tersentak kaget, lalu dengan
ketakutan mempercepat langkah, sambil
menahan sekuatnya rasa sakit di beberapa
bagian tubuhnya. Siau Hiang-bwe iba bercampur gusar
melihat itu, namun ia merasa bahwa saat itu ia
belum bisa berbuat apa-apa. Ia hanya seorang
Mulut Macan 6 56 gadis asing yang belum mengenal atau dikenal
orang-orang setempat. Setelah orang-orang itu bubar, dan Siau
Hiang-bwe melangkah di sebelah Tabib Kian,
kata-kata pertama yang terluncur dari bibirnya
ialah, "Aneh benar pemuda tadi. Ia begitu ingin
menyenangkan para penguasa di langit sampai
tega memukuli adiknya sendiri."
"Di mana-mana juga begitu, A-kui.
Penguasa-penguasa di langit dianggap menguasai nasib manusia, karena itu haruslah
dibuat senang dan jangan sampai dibuat gusar."
"Padahal manusia diciptakan sebagai
mahluk tertinggi oleh Yang Maha Kuasa, lebih
tinggi dari mahluk-mahluk yang disebut
penguasa-penguasa di langit itu."
Tabib Kian melambatkan langkah, lalu
menatap Siau Hiang-bwe dengan terhe-ranheran. "Manusia... lebih tinggi dari penguasapenguasa di kerajaan langit?"
"Bukan sembarang manusia, tetapi manusia
yang menyambut uluran anugrah Yang Maha
Kuasa untuk dipulihkan ke kedudukan asalnya.
Mulut Macan 6 57 Pulihnya manusia ke kedudukan asalnya itu
tidak diperoleh dengan usaha-usaha kebaikan,
melainkan hanya menyambut anugerah Yang
Maha Kuasa." "Belum pernah kudengar yang seperti ini...."
"Paman Kian lebih-lebih lagi tentu belum
pernah mendengar, bahwa manusia yang sudah
dipulihkan itu lebih berkuasa dari seluruh
penghuni dunia gaib, diberi tugas mengabarkan
isi hati Yang Maha Kuasa kepada seluruh dunia
gaib, diberi wewenang untuk membelenggu dan
membebaskan mahluk-mahluk gaib di langit,
melaksanakan hukuman Yang Maha Kuasa
terhadap mahluk-mahluk gaib yang melanggar
perintah." Saking bersemangatnya Siau Hiang-bwe
membeberkan ajaran yang diterimanya dari Liu
Yok itu, sampai Tabib Kian melongo. Melihat
Tabib itu melongo, Siau Hiang-bwe berhenti
bicara. Ia baru ingat bahwa ajaran itu belum
populer, masih bertentangan dengan ajaran
yang sudah mendarah daging di masyarakat
Mulut Macan 6 58 saking bersemangatnya Siau Hiang-bwe
membeberkan ajaran yang diterimanya dari Liu
Yok itu, sampai Tabib Kian melongo.
Mulut Macan 6 59 bahwa penguasa-penguasa gaiblah yang
menguasai manusia. "Belajar dari mana itu, A-kui?"
"Kakak Yok yang mengajariku."
"Tidak kuatir membuat gusar penguasapenguasa dunia gaib?"
"Penguasa-penguasa dunia gaib itulah yang
sesungguhnya patut kuatir kalau sampai
membuat marah Kakak Yok."
"Astaga, penjelmaan Yang Maha Kuasa Liu
Yok itu?" "Sudah kubilang tadi, dia hanya manusia
biasa yang menyambut dan memegang teguh
anugerah pemulihan dari Yang Maha Kuasa. Itu
saja." Ketika itu, mereka baru saja keluar dari
sebuah lorong dan masuk ke sebuah jalan yang
lebih besar. Mata Siau Hiang-bwe langsung
terpancang ke sebuah rumah besar yang di
depannya terpancang banyak bendera besarbesar bertuliskan huruf-huruf aneh yang tak
mudah dimengerti. Siau Hiang-bwe adalah
puteri bekas ketua cabang Pek-lian-hwe
Mulut Macan 6 60 (Serikat Teratai Putih) di Lam-koan, sebuah
organisasi bawah tanah penentang Kerajaan
Manchu yang akrab dengan ilmu-ilmu gaib. Dan
ia langsung tahu bahwa bendera-bendera itu
bukan sekedar pajangan, tapi dipercaya
mengandung pengaruh gaib tertentu, makanya
diberi macam-macam nama seperti "bendera
api", "bendera air", "bendera angin", "bendera
tanah", "awan" dan sebagainya. Ada yang
dimaksud untuk menangkal bencana alam,
untuk menangkal setan-setan jahat, bahkan
dalam peperangan dipercaya ada bendera yang
berpengaruh "menyedot semangat musuh"
hingga pasukan musuh kalah. Maka ada tradisi,
sebelum pasukan menuju ke medan laga maka
diadakan Pai-ki (upacara sembahyang bendera)
yang tak jarang dilengkapi korban manusia
yang diambilkan dari penghuni-penghuni
rumah penjara. "Paman Kian, rumah siapa itu yang banyak
benderanya?" "O, dulu rumah itu kediaman guru silat Ciu
Koan. Setelah guru silat Ciu Koan dibunuh
Mulut Macan 6 61 gerombolan penjahat, rumah itu ditutup terus.
Waktu Guru Wong datang membebaskan Sengtin dengan ilmu saktinya, rumah itu dibuka lagi,
bahkan diserahkan untuk tempat ibadah
menurut ajaran Guru Wong."
"Apakah guru silat itu tidak punya ahli
waris?" "Punya. Seorang puteri bernama Ciu Bian-li,
Ciu Bian-li itu merasa amat berhutang budi
kepada Guru Wong yang sudah mengalahkan
gerombolan pembunuh ayahnya, lalu Nona Ciu
menyerahkan rumahnya kepada Guru Wong.
Nona Ciu sendiri bersumpah tidak akan
menikah, tetapi akan mengabdi seperti pelayan
di rumahnya sendiri. Jadi tukang bersih-bersih
dan sebagainya." Memandang rumah itu, Siau Hiang-bwe
seakan memandang seluruh Seng-tin. Sekelompok manusia yang mula-mula dihadapkan ketidak-berdayaan menghadapi
gerombolan yang punya ilmu sihir jahat, lalu
muncul kekuatan lain yang mengalahkan si
penindas, sehingga si tertindas merasa
Mulut Macan 6 62 berhutang budi kepada pemenang baru ini dan
rnengabdi kepadanya. "Tetapi si pemenang belum tentu si
pembesar...." kata Siau Hiang-bwe dalam
hatinya. Tiba-tiba dari belakang mereka mendengar
suara seseorang, "Tabib Kian Tabib Kian!
Tolong!" Mereka menoleh dan melihat seorang lakilaki sederhana sedang berlari-lari mendekat
dengan wajah panik, sambil berteriak-teriak,
"Tabib Kian, tolong! Adikku minum racun,
mungkin masih bisa ditolong!"
"Kalau begitu kita harus cepat! Ayo, A-kui!"
Demikianlah ketiga orang itu lalu bergegas
menuju rumah orang yang minta tolong itu.
Orang itu namanya Ciok Yan-lim, dulu bekerja
sebagai pegawainya Ou Sing si juragan petimati, membuat peti mati. Sejak Ou Sing dibunuh
gerombolan, Ciok Yan-lim dengan modal
seadanya meneruskan pekerjaan lamanya.
Membuat dan menjual peti mati. Paling senang
ia mendengar berita ada orang mati, tetapi kali
Mulut Macan 6 63 ini panic karena yang minum racun adalah
adiknya sendiri. Mereka bertiga tiba di rumah itu, dan
melewati halaman sempit di depan rumah yang
penuh alat-alat pertukangan kayu serta peti
mati yang sudah jadi maupun setengah jadi.
Bersambung jilid VII Sumber Image : Koh Awie Dermawan
first share in Kolektor E-book
Pringsewu 21/08/2018 22 : 47 PM
Mulut Macan 6 64 Mulut Macan 7 1 JILID VII * Karya : STEVANUS S.P. pelukis : WIDODO Percetakan & Penerbit
CV "G E M A" Mertokusuman 761 RT 02 RW VII
Telp 35801 - SOLO 57122 Mulut Macan 7 2 Mulut Macan 7 1 Dari Mulut Macan ke Mulut Buaya
Karya : STEFANUS S.P. Jilid VII B IARPUN sudah terangah-engah karena
kondisi tuanya, Tabib Kian langsung
menerobos ke dalam kamar dan melihat
seorang pemuda gagah, terkapar dengan muka
biru dan mulut berdarah, napasnya kempaskempis. Itulah Ciok Yan-bok, adik Ciok Yan-lim,


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang dikabarkan minum racun. Sepasang
telapak kakinya juga nampak dibalut, entah
kenapa. "Ambil air bersih, cepat!" perintah Tabib
Kian, sambil ia sendiri menurunkan kotak rotan
dari gendongannya dan dengan sigap mencari
bahan-bahan yang diperlukan.
Ciok Yan-lim datang membawa semangkuk
air, Tabib Kian mencampurkan ramuannya ke
air dan diaduk dengan jari telunjuk saja saking
Mulut Macan 7 2 tergesa-gesanya, kemudian diminumkan kepada
Ciok Yan-bok meskipun dengan paksa, Ciok
Yan-liin dan Siau Hiang-bwe ikut membantu.
Siau Hiang-bwe juga sedang berdoa dalam
hatinya, memohonkan kesehatan dan akal sehat
bagi Ciok Yan-bok. Sebagian besar ramuan itu dapat
diminumkan, sebagian kecil tumpah di lehernya
dan dadanya. "Ramuan itu akan membuatnya muntahmuntah sebentar lagi, dan sebagian besar
racunnya mudah-mudahan ikut terkuras. Kalau
demikian, ada harapan."
Ciok Yan-lim mengangguk - angguk, biarpun
wajahnya masih menunjukkan rasa cemas.
"Eh, di mana isterimu dan anak-anakmu?
Kenapa rumahmu seperti ini?"
Ciok Yan-lim menjawab, "Tadi isteri-kulah
yang memergoki adikku minum racun tapi tak
sempat mencegah. L.alu ia kusuruh pergi ke
tempat Gurumuda Pang Se-bun, dia adalah
tokoh yang cukup berwibawa atas diri adikku.
Sedang anak-anak kutitipkan ke tetangga
Mulut Macan 7 3 sebelah, aku hanya kuatir anak-anak itu akan
melihat peristiwa menakutkan di depan mata
mereka dan akan membekas di jiwa anak-anak
itu sampai mereka dewasa."
Tabib Kian mengangguk-angguk. "Adik mu
adalah anak muda yang bersemangat tinggi, aku
sering bertemu dengannya, bahkan dia
termasuk anggota yang menonjol dari regu
keamanan kota. Kenapa anak rnuda sebersemangat ini tiba-tiba ingin mati?"
"Aku tidak tahu, Tabib Kian. Aku hanya
menduga-duga saja, mungkin karena dalam
beberapa hari ini dia sering ditegur oleh temantemannya sendiri, sesama anggota pengawal
kota." "Ditegur soal apa? Ditegur teman saja kok
sampai minum racun."
"Katanya ditegur soal kemampuannya yang
menurun sebagai pengawal kota. Dulu, ketika
pengawal kota baru saja di-bentuk, adikku
adalah orang yang pertama bisa berjalan di atas
api dengan kaki telanjang, menusuk lidah,
menggoreng tangan dan sebagainya. Mulut Macan 7 4 Mendahului teman-temannya. Tetapi belakangan ini, ia mengeluh kepadaku dan
mengaku bahwa kemampuannya itu tiba-tiba
menurun, sementara teman-temannya meningkat, ia jadi malu, apalagi temantemannya
sesama pengawal sering menegurnya. Suatu kali ia nekad berjalan di atas
api dan kakinya melepuh, padahal sebelumnya
belum pernah demikian." Ciok Yan-lim bertutur
sambil menunjuk sepasang telapak kaki yang
dibalut itu. Tak tahan Siau Hiang-bwe berkomentar,
"Memangnya kalau tidak jalan di api, lalu bukan
manusia?" Celetukan itu berdasarkan pikiran normal
Siau Hiang-bwe, tak terduga mengundang
tatapan aneh dari Ciok Yan-lim. Tabib Kian
merasa tidak enak kepada Ciok Yan-lim dan
buru-buru menjelaskan, "Maklum A-kui bukan
orang Seng-tin, dan belum paham soal
kepercayaan di Seng-tin ini. Jangan taruh di
hati." Mulut Macan 7 5 Ciok Yan-lim mengangguk, lanjutnya,
"Adikku merasa dirinya sudah tidak berharga
lagi. Berhari-hari dia memuja di depan patung
panglima langit, mohon kekuatan gaibnya
dipulihkan, tetapi makin lama malahan
keinginannya untuk bunuh diri makin kuat,
sampai tidak tertahan lagi. Dan beginilah
akibatnya." Hampir saja mulut Siau Hiang-bwe bergerak
untuk mengomentari lagi, tetapi tidak jadi.
Kuatir menyinggung perasaan orang Seng-tin.
Ketika itulah di perut Ciok Yan-bok
terdengar suara keruyukan keras seperti suara
lapar. Suara keruyukan itu naik ke dada, lalu ke
leher. Tabib Kian cepat berkata, "Telungkupkan
tubuhnya!" Ciok Yan-lim dan Siau Hiang-bwe bekerja
sama menelungkupkan tubuh Si Anak Muda
yang minum racun tadi, dengan bagian wajah
sengaja dijulurkan agak ke lantai. Mulut Si
Pemuda terbuka, dan keluarlah isi perutnya
lewat mulut. Tabib Kian memijit-mijit
Mulut Macan 7 6 punggungnya, mendorong agar muntah lebih
banyak lagi. Meskipun muntahan-muntahan
berikut tidak sebanyak yang semula, tetapi
masih ada beberapa kali lagi, dan memenuhi
lantai tanah dari keluarga sederhana itu.
Bau muntahan tentu saja tidak enak.
Ciok Yan-lim dan Siau Hiang-bwe sampni
menutup hidung. Tapi Tabib Kian justru
berjongkok sambil mencium-cium bau muntahan itu, lalu katanya dengan lagak lega,
"Racunnya keluar sebagian besar. Ada harapan
tertolong." Tubuh yang tertelungkup itu ditelentangkan
kembali dan diganjal bantal. Mukanya yang
semula kebiru-biruan nampak sudah agak
putih. Pucat tapi normal. Napasnya juga lebih
kuat. Tabib Kian kembali meramu obat, sambil
bicara, "Obat saja takkan berguna kalau kau
sebagai kakaknya tidak dapat mengubah
pikirannya yang ingin mati. Paham?"
Ciok Yan-lim mengangguk. "Akan kubujuk
terus dia." Mulut Macan 7 7 "Aneh-aneh saja orang ini. Ada yang seperti
Giam Lok, yang sakit sampai hampir mati,
katanya karena menolak untuk jadi seperti yang
lain, menjadi digdaya dengan kekuatan gaib,
dan kata ibunya itu karena kemarahan
penguasa-penguasa di langit. Yang ini malah
kebalikannya, begitu kecewa kehilangan
kekuatan gaib sampai ingin mati."
Sementara Siau Hiang-bwe tidak ikut bicara,
ia hanya memperhatikan kamar yang sederhana
itu. Di dinding kamar yang dari papan tertempel
gambar seorang yang seperti panglima perang
jaman purba, membawa trisula, sedang
menerjang lautan api dengan sikap gagah.
Lukisan itu tepat di atas bagian kepala tempat
tidur. Diam-diam Siau Hiang-bwe membatin,
"Mungkin inilah tokoh dunia gaib yang dipuja
oleh anak muda ini, yang memberinya kekuatan
untuk menginjak api tanpa terluka."
Di pojok ruangan tersandar sebatang
tombak trisula yang agaknya menjadi senjata
andalan Ciok Yan-lim sebagai pengawal kota.
Mulut Macan 7 8 Meniru tokoh pujaannya. Di sisi lain ada sebuah
meja kecil, di atas meja ada pedupaan yang
apinya padam, ada lilin, dan yang ditaruh di situ
hanya sehelai ikat kepala berwarna kuning yang
terlipat rapi. Tapi ikat kepala itu ada hurufhuruf anehnya, seperti yang tertera di benderabendera besar di depan rumah almarhum Ciu
Koan si guru silat tadi. Siau Hiang-bwe jadi ingat rumahnya di Lamkoan. Ayah Siau Hiang-bwe memuja belasan
mahluk gaib yang dibuat patung-patungnya.
Tetapi yang paling dipuja ayahnya ialah "dewa
cahaya" yang dari Persia, yang ditaruh di ruang
pemujaan bawah tanah. Dewa yang dipuja
semua orang Pek-lian-kau (Sekte Teratai Putih)
baik yang Pek-cong (Golongan Utara) maupun
yang Lam-cong (Golongan Selatan). Apakah
yang dipuja orang-orang Seng-tin ini "sama
orangnya" dengan yang dipuja-puja di Lamkoan?
Tidak lama kemudian, isteri Ciok Yan-lim
datang bersama-sama dengan Pang Se-bun, Cu
Tong-liang, dan Lui Kong-sim.
Mulut Macan 7 9 Cu Tong-liang heran melihat Siau Hiangbwe ada di situ pula. "A-kui, kau di sini?"
"Iya, Kakak Liang. Aku menemui Paman
Kian." Sementara Pang Se-bun tidak sempat
menggubris yang lain-lain lebih dulu, langsung
mendekati ke pembaringan Ciok Yan-bok
dengan wajah cemas, lalu tanyanya kepada Ciok
Yan-lim, "Saudara Ciok, bagaimana keadaannya?" "Membaik. Tabib berhasil mengeluarkan
sebagian besar racunnya."
Pang Se-bun menganggun-angguk. "Syukurlah. Dia masih muda, masih punya masa
depan yang panjang dan banyak kesempatan,
jangan putus asa hanya oleh kegagalankegagalan kecil."
"Adikku menyebutnya kegagalan besar yang
tak terpulihkan lagi."
"Bangkitkan semangatnya kembali, aku
akan sering mengunjunginya," kata Pang Sebun.
Mulut Macan 7 10 Ciok Yan-lim sekeluarga kegirangan
mendengarnya, merasa mendapat kehormatan
besar bahwa rumah mereka akan sering
dikunjungi Pang Se-bun sebagai tokoh
terkemuka di Seng-tin. Sementara isteri Ciok Yan-lim sudah
mengambil pasir untuk ditabur-taburkan di
muntahan Ciok Yan-bok tadi sebelum
disapunya. Terdenga Ciok Yan-bok merintih pelan,
tanda kesadarannya mulai pulih. Terdengar
rintihannya pelan, "Buat apa kalian halangi aku
mati? Aku sudah tidak berguna, bahkan
Panglima Api sudah memberi mimpi kepadaku
agar aku pergi dari dunia ini saja, katanya ada
kehidupan yang lebih baik di dunia sana."
Pang Se-bun dan lain-lainnya cepat-cepat
menghibur Ciok Yan-bok. Menumbuhkan
semangat dan harapan. Yang tidak ikut menghibur hanyalah Lui
Kong-sim. "Penanggung-jawab keamanan" yang
mengangkat dirinya sendiri itu cuma bersandar
dekat pintu kamar sambil memperhatikan
Mulut Macan 7 11 segala yang terjadi di kamar itu dengan sikap
dingin. Dalam hatinya ia berkata, "Kenapa tidak
dibiarkan mati saja, dan harus diberi harapan


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kosong. Kota Seng-tin tidak layak dihuni mahluk
lemah dan cengeng seperti Yan-bok."
Tabib Kian kemudian memberi ramuan
untuk menguatkan badan. Meskipun dengan
agak dipaksa dan dibantu orang-orang, obat itu
terminum juga olehnya. "Dia harus beristirahat," kata Tabib Kian.
"Semua harus keluar, agar udaranya segar.
Tetapi harus ada yang bergiliran mengawasinya." Tanpa dikatakan pun semuanya maklum
arah tujuan kata-kata Tabib Kian, yaitu agar
pemuda itu tidak mencoba bunuh diri lagi.
Orang-orang itu kemudian keluar dari
kamar, kecuali isteri Ciok Yan-Um.
Di ruang depan, setelah semuanya
mengambil tempat duduk, Cu Tong-liang lalu
memperkenalkan Siau Hiang-bwe dengan Pang
Se-bun. Mulut Macan 7 12 Habis diperkenalkan, Pang Se-bun dengan
simpatik berkata, "Nona Siau, berkunjunglah ke
rumahku. Isteriku dan puteriku pasti senang
menerimamu, Nona Siau."
Sikap Pang Se-bun itu sedikit banyak agak
mengobati kekecewaan Siau Hiang-bwe setelah
gadis itu mendapat sikap ketus Janda Giam
serta kegalakkan Yao Kang-beng terhadap
adiknya sendiri. Ingin Siau Hiang-bwe
memenuhi undangan itu, tetapi ia tidak mau
meninggalkan Tabib Kian begitu saja.
"Terima kasih. Tuan Pang."
"Tunggu! Aku sahabat Saudara Cu, tadi kau.
Nona Siu, rasanya lebih enak kalau
memanggilku Kakak Bun saja. Tidak usah pakai
tuan-tuanan segala."
Itulah adat kota-kota kecil yang serba
ceplas-ceplos, dan Siau Hiang-bwe memenanginya. "Baiklah, Kakak Bun, aku
berterima kasih untuk undanganmu dan suatu
hari akan kupenuhi undangan Kakak. Tetapi aku
harus menemani Paman Kian menjenguk
beberapa orang lagi."
Mulut Macan 7 13 Sementara itu, Lui Kong-sim agaknya tidak
betah dalam suasana ramah-tamah itu. Katanva
kepada semua orang, "Aku harus segera pergi,
masih banyak pekerjaan. Aku harus benarbenar mengawasi tingkah laku warga kota ini
agar tetap dalam ajaran suci Guru Wong. Jangan
sampai ada yang menyimpanginya dan
menimbulkan kemarahan penguasa-penguasa
di langit!" Lalu dengan dada membusung, Lui Kongsim meninggalkan rumah Ciok Yan-lim itu.
"Aku tidak pernah melihat dia ikut latihan
dalam kelompok penwamal kota."
Jawab Pang Se-bun, "la memang bukan
anggota pengawal, ia dan teman-temannya
membentuk kelompok sendiri, dan kelewat
rajin mengawasi tingkah laku orang-orang.
Tidak ada yang menugaskan tetapi ditugaskan
diri sendiri." Tabib Kian disertai Siau Hiang-bwe lalu
meninggalkan tempat itu. Disusul Pang Se-bun
dan Cu Tong-Liang. Mulut Macan 7 14 Tinggal keluarga Ciok yang harus tetap
waspada agar Ciok Yan-bok. tidak mengulangi
usaha bunuh dirinya. * ** "Kotanya tidak berbeda dengan kota-kota
lain, Kakak Yok," Siau Hiang-bwe menceritakannya kepada Liu YOk ketika makan
malam. "Penduduknya ada yang judes, ada yang
galak, tetapi juga ada yang ramah dan simpatik.
"A-kiu mendapat beberapa teman baru,
Saudara Liu," Cu Tong-liang menambahkan. Liu
Yok mengangguk-angguk sambil mengunyah
makanannya. Kemudian Siau Hiang-bwe berkata, "Hanya
saja, karena kota itu belum lama mengalami
penindasan oleh gerombolan penjahat yang
punya ilmu hitam, maka setelah mereka
dibebaskan oleh yang namanya Wong Lu-siok,
penduduk kota agak keranjingan menuruti
ajaran-ajaran Wong Lu-siok sebagai Mulut Macan 7 15 perlindungan terhadap sihir jahat, katanya.
Bahkan keranjingannya agak keterlaluan,
menurutku." Tetapi Cu Tong-liang coba membela warga
Seng-tin. "Itu wajar saja. Ibarat orang kelaparan
yang tiba-tiba ketemu makanan, tentu ia jadi
rakus dan tak terkendali, tetapi setelah kenyang
maka sikapnya pun akan normal kembali."
Kembali Liu Yok cuma mengangguk-angguk
karena mulutnya masih sibuk mengunyah.
Tabib Kian yang juga makan malam
bersama di sekitar meja itu, ikut bicara,
"Menurut penilaianku, banyak orang Seng-tin
berubah tabiatnya, tidak seperti dulu. Apakah
gara-gara ajaran guru baru itu, atau gara-gara
pengalaman pahitnya beberapa saat yang lalu,
aku kurang tahu. Sedikit-sedikit mereka omong
soal mahluk-mahluk suci, dewa dan entah apa
lagi." "Paman tidak percaya?"
"Sampai saat ini, aku hanya percaya khasiat
obat-obatan. Aku juga percaya ada alam gaib,
Mulut Macan 7 16 tetapi tidak ada sangkut-pautnya dengan dunia
kita." Cu Tong-liang dan Siau Hiang-bwe berharap
Liu Yok membantah kata-kata Tabib Kian itu,
namun Liu Yok malah menyibukkan diri dengan
makanan-makanan di meja. Makanan-makanan
buatan Siau Hiang-bwe itu memang lezat.
"Kakak Yok, boleh aku besok berkunjung
lagi ke sana?" tanya A-kui. "Entah kenapa, aku
merasa ada banyak yang harus kulakukan di
kota kecil itu. Sesuatu yang ada sangkutpautnya dengan mimpi-mimpi yang pernah
kuceritakan kepada Kakak Yok."
Liu Yok belum menjawab, malah Cu Tongliang yang sudah balas bertanya kepada Siau
Hiang-bwe, "A-kui, apa yang akan kau lakukan
di kota itu?" "Aku menemukan beberapa orang warga
Seng-tin yang perlu didekati, diberi semangat,
ditimbulkan harapannya, karena mereka
membutuhkan." "Misalnya siapa?"
Mulut Macan 7 17 "Giam Lok, dia sakit keras. Namun dia
kurang mendapat kata-kata pembangkit
semangat dari ibunya sendiri. Ibunya bahkan
terus menekan Giam Lok untuk mengikuti
tuntutan ajarannya Wong Lu-siok."
"Hati-hatilah, A-kui," Cu Tong-liang memperingatkan. "Jangan sampai kau memberi
semangat kepada Giam Lok tetapi dengan
menentang keyakinan Nyonya Giam, sebab
keyakinan Nyonya Giam itu adalah keyakinan
hampir seluruh orang Seng-tin."
"Tentu, aku tidak ingin ribut dengan siapa
pun. Selain Giam Lok juga ada Yao Sin-lan yang
dipukuli kakaknya sendiri, Ciok Yan-bok yang
putus asa dan ingin bunuh diri."
Cu Tong-liang berkata, "Kukira, asal kau
melakukan dengan baik, kau takkan bentrok
dengan pengikut-pengikut ajaran Wong Lu-siok.
Sedikit banyak kutahu ajaran Wong Lu-siok dari
Pang Se-bun ajarannya baik kok. Mengajari
orang-orang untuk menjalani ajaran suci agar
menyenangkan penguasa-penguasa di langit.
Biarpun berbeda dengan kita, tapi baik, kan?
Mulut Macan 7 18 Dan jangan lupa, A-kui, kau berjanjilah untuk
berkunjung ke rumah Pang Se-bun. Dia itu
tokoh terkemuka, dan baik sekali."
Siau Hiang-bwe berpaling kepada Liu Yok.
"Ijinnya saja belum diberikan oleh Kakak Yok."
Liu Yok menjawab, "Lho, memangnya aku
ini ayahmu dan kau masih bocah ingusan,
sehingga harus minta ijin kepadaku?
Lakukanlah apa yang kau pikir baik. Dan hatihati."
"Hati-hati terhadap apa, Saudara Liu?
Orang-orang Seng-tin ramah-tamah, kok." sahut
Cu Tong-liang. "Bukalah bukan hanya mata jasmani, tetapi
juga mata hati. Hati-hati terhadap apa yang tak
terlihat. Tidak ada perangkap yang terlihat
terang-terangan sebagai perangkap, pastilah
perangkap itu dipoles atau diselubungi sehingga
terlihat tidak berbahaya, bahkan menarik."
Cu Tong-liang tertawa sambil geleng-geleng
kepala, "Saudara Liu, kau ini terlalu banyak
curiga." Mulut Macan 7 19 "Kakak Liang, kalau kuanjurkan kau hatihati, apakah itu kau sebut terlalu curiga? Kalau
aku curiga, mungkin aku akan menganjurkan
kalian tidak ke Seng-tin."
"Suatu kali Saudara Liu perlu pergi sendiri
ke Seng-tin, dan Saudara akan melihat baiknya
orang-orang Seng-tin."
"Apakah dalam kata-kataku tadi ada yang
menuduh orang-orang Seng-tin jelek, jahat,
buruk?" Cu Tong-liang bungkam, namun sebenarnya
ia sedang heran kepada diri sendiri, bahwa
dalam dirinya tiba-tiba ada perasaan ingin
menentang Liu Yok, bahkan mirip perasaan
benci. Cu Tong-liang heran, dari mana perasaan
yang belum lernah dimilikinya itu?
Ketika pagi tiba, dan Tabib Kian serta tamutamunya sudah sarapan pagi, Cu Tong-liang dan
Siau Hiang-bwe siap menuju ke Seng-tin
kembali. Mereka akan ke rumah keluarga Pang
Se-bun. Kali ini Tabib Kian tidak ikut. Ia hanya
menitipkan beberapa bungkus obat, ada yang
Mulut Macan 7 20 untuk Giam Lok, ada yang untuk Ciok Yan-bok,
dan beberapa pasien lagi. Siau Hiang-bwe tidak
keberatan dititipi, sebab dengan mengantar
obat-obat itu ia jadi punya alasan untuk
mengunjungi orang-orang itu.
Siau Hiang-bwe sebetulnya juga ingin
mengunjungi Yao Sin-lan, tapi tidak ada titipan
obat dari Tabib Kian untuk gadis itu. Lalu Siau
Hiang-bwe mengambil dan membungkus
sendiri obat untuk Yao Sin-lan dari rak bahan
obat-obatan milik Tabib Kian. Sebagai puteri
seorang tabib di Lam-koan, Siau Hiang-bwe
dapat mengenali bahan-bahan obat yang
diperlukan untuk memar-memar karena
dipukuli. Berbekal bungkusan-bungkusan obat ke
berbagai alamat, Siau Hiang-bwe dan Cu Tongliang melangkah menuju Seng-tin melewati
padang ilalang yang bermandi cahaya matahari
pagi itu. Sambil melangkah, Cu Tong-liang berkata,
"A-kui, tindakanmu kali ini benar. Kau harus
berani melakukan sesuatu yang kau sendiri
Mulut Macan 7 21 anggap benar. Bukan selalu didikte oleh


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saudara Liu Yok." Siau Hiang-bwe kaget mendengar kata-kata
macam itu. "Kakak Liang, seingatku, sejak dulu
Kakak Yok tidak pernah memaksakan kehendak
atasku. Kuakui pengaruhnya atas diriku, cara
berpikirku, tetapi apa pun selalu kami
bicarakan dengan bebas. Aku pun sering
berdebat dengannya. Begitu juga kali ini, aku
dibebaskan. Nasihatnya tidak mengikat, hanya
bersifat anjuran dan bukan larangan atau
perintah." "Kalau kau sudah melihat kehebatan orangorang Seng-tin dan ajaran yang mereka anut,
kau akan tahu bahwa Saudara Liu Yok belum
apa-apa dibandingkan Wong Lu-siok."
"Kakak Liang, rasanya aku menangkap rasa
ketidak-senanganmu terhadap Kakak Yok.
Kenapa? Kakak Yok menyakitimu?"
Kata-kata Siau Hiang-bwe seolah air dingin
yang mengguyur kepala Cu Tong-liang, dan
kembali ia heran terhadap diri sendiri. Ya, aneh,
kenapa dalam dirinya ada ketidak-senangan
Mulut Macan 7 22 terhadap Liu Yok? Apakah ketidak-senangan itu
dari dirinya sendiri, atau dari "yang lain"?
Ia bungkam terhadap pertanyaan Siau
Hiang-bwe, sehingga Siau Hiang-bwe bertanya
lagi, "Atau Kakak Liang begitu kagum terhadap
orang-orang Seng-tin, lalu Kakak Yok kelihatan
tidak ada artinya?" Cu Tong-liang benar-benar ngeri mengiyakan kata-kata Siau Hiang-bwe itu.
Seperti takut melihat cermin karena sadar
wajahnya coreng-moreng. Kalau benar katakata Siau Hiang-bwe, alangkah buruk sikapnya.
Liu Yok sudah menolongnya dari kelumpuhan
total dan sekarang ia tiba-tiba tidak menyenangi
Liu Yok tanpa alasan. Tetapi, apa sebabnya? Apa
alasan terjadinya perubahan dalam dirinya itu?
Semakin mengherankan lagi, Cu Tong-liang
tidak berani mengakui itu terang-terangan di
depan Siau Hiang-bwe. Dulu, masalah sebesar
apa pun berani ia beberkan kepada Liu Yok dan
Siau Hiang-bwe. Kemana gerangan semangat
keterbukaannya dan lapang dadanya? Apakah
sudah terkikis hanya dalam waktu beberapa
Mulut Macan 7 23 "Atau Kakak Liang begitu kagum terhadap
orang-orang Seng-tin, lalu Kakak Yok kelihatan
tidak ada artinya?" Mulut Macan 7 24 hari sejak menikmati penghormatan orangorang Seng-tin?
Bukan hanya Cu Tong-iiang heran kepada
diri sendiri yang berubah, Siau Hiang-bwe pun
heran oleh perubahan itu. Siau Hiang-bwe
rasakan seolah yang berjalan di sampingnya ini
bukan Cu Tong-liang yang biasa ia kenal, tetapi
Cu Tong-liang yang agak berbeda.
Beberapa waktu kemudian, mereka sudah
memasuki Seng-tin dan langsung menuju ke
rumah Pang Se-bun. Di salan-jalan, Siau Hiangbwe heran melihat orang-orang amat
menghormati Cu Tong liang.
"Mereka amat menghormatimu, Kak."
"Ya, karena aku membantu melatih para
pengawal kota. Melatih dalam Peng-oat (teori
kemiliteran)." Lalu mereka tiba di rumah Pang Se-bun, dan
dengan sikap akarab Cu Tong-liang memasuki
rumah itu tanpa banyak basa-basi. Seorang
pelayan keluarga Pang yang sedang menyapu
halaman depan pun member hormat kepada Cu
Tong-liang. Mulut Macan 7 25 Pang Se-bun dan isterinya menyambut
mereka dengan ramah. Kata Pang Se-bun,
"Sungguh tepat kata-kata A-kun Pagi ini ia
mendesak ibunya untuk menyediakan hidangan
enak menyambut tamu, padahal aku sendiri
belum tahu kapan Nona Siau akan kemari. Kata
A-kun, A-hwe yang memberitahunya semalam."
Cepat-cepat Cu Tong-liang menjelaskannya
kepada Siau Hiang-bwe, kuatir Siau Hiang-bwe
keburu berpikiran bahwa kemampuan gaib Akun itu adalah kemampuan yang jahat, "Puteri
dari Saudara Pang ini punya semacam... firasat
yang tajam sekali, Mudah mengetahui segala
sesuatu sebelum terjadi."
Siau Hiang-bwe mengangguk-angguk.
Mereka lalu beramah-tamah, tak lama
kemudian A-kun sudah muncul dengar wajah
yang bulat segar, tak ketinggalan boneka
porselen "A-hwe" di tangannya.
Dengan gaya kanak-kanaknya, tanpa
disuruh, A-kun memperkenalkan diri pada Siau
Hiang-bwe, "Kakak Bwe, namaku A-kun."
Mulut Macan 7 26 Melihat anak kecil manis ini, Siau Hiang-bwe
jadi senang, dan ia menyahut, "Dari mana kau
tahu nama Kakak, anak manis?"
"A-hwe yang memberi tahu. A-hwe ini
sahabatku," jawab A-kun sambil menunjukkan
boneka porselennya. "Aku tidak bisa hidup
tanpa A-hwe." Siau Hiang-bwe agak merasa kurang enak
hatinya mendengar kata-kata itu. Pikirnya,
"Apakah karena terlalu sering bermain dengan
bonekanya, lalu pelan-pelan terbentuk rasa
keterkaitan yang makin kuat dengan
bonekanya?" Sementara Cu Tong-liang melihat perubahan wajah Siau Hiang-bwe lalu
membisikinya, "Hanya khayalan anak-anak."
Tetapi Cu Tong-liang merasa sendiri bahwa
ia tidak percaya dengan kata-katanya sendiri. Ia
teringat peristiwa "sepatu A-hwe" dulu, yang
sampai kini tak memperoleh jawaban
memuaskan. Yang ada hanya dugaan-dugaan
yang agak dipaksakan untuk masuk akal tetapi
tidak ada bukti yang kuat.
Mulut Macan 7 27 A-kun kemudian menggerak-gerakkan bonekanya, dan berbicara, "A-hwe yang
memberi salam kepada Kakak Bwe. A-hwe
bilang, Kakak Bwe cantik seperti bidadari."
Siau Hiang-bwe pun menyesuaikan diri
dengan alam kanak - kanaknya A-kun. "Terima
kasih, A-hwe. A-hwe juga cantik."
Beberapa detik Siau Hiang-bwe merasa ada
angin dingin yang meraba punggungnya. Tetapi
ia tidak ambil pusing, ia anggap itu sekedar
angin karena kebetulan Siau Hiang-bwe duduk
membelakangi jendela ruangan tengah yang
terbuka. "Kakak Bwe, A-hwe bilang dia ingin
bersahabat dengan Kakak dan ingin tolongmenolong dengan Kakak, boleh?"
Kali ini jauh di dasar hati Siau Hiang bwe
sayup-sayup seperti ada semacam "tanda
bahaya" atau "alarm" yang memperingatkan
Siau Hiang-bwe agar menolak tawaran "A-hwe"
itu. Namun Siau Hiang-bwe merasa sulit
melakukannya, bagaimana tega berkata "tidak"
kepada anak kecil berwajah semanis A-kun.
Mulut Macan 7 28 Akhirnya Siau Hiang-bwe menjawab samarsamar, "Kakak senang bersahabat dengan anakanak manis."
Pang Se-bun dan isterinya nampak lega
melihat terjalinnya keakraban antara Siau
Hiang-bwe dan puteri mereka. Biasanya, setiap
kali A-kun berbincang dengan orang, suami
isteri itu sudah waswas jangan-jangan A - hwe
akan dibuat marah dan mengutuk lawan
bicaranya. Soalnya di Seng-tin sudah beredar
semacam kepercayaan, katanya kalau A-kun
mengutuk, pasti akan benar-benar terjadi.
Orang-orang Seng-tin percaya bahwa sakit
kerasnya Giam Lok adalah karena "kutukan
dewa" melalui mulut A-kun. Anggapan orang
Seng-tin itu membuat Pang Se-bun suami isteri
sering tertekan sendiri, biarpun tak ada orang
Seng-tin yang berani menudingnya terangterangan karena hormat kepada Pang Se-bun.
"Kakak Bwe, kalau Kakak ingin berjalanjalan, aku akan mengantarkan."
Mulut Macan 7 29 "Terima kasih, A-kun. Kakak memang harus
mengantarkan obat dari Tabib Kian kepada
beberapa orang di Seng-tin ini."
Nyonya Pang kemudian menukas, "Tetapi
Nona Siu harus sarapan pagi dulu di sini."
Di depan Siau Hiang-bwe, A-kun benarbenar menunjukkan dirinya sebagai anak yang
sangat manis dan penurut. Dengan wajah
berseri-seri ia berkata kepada ibunya, "Ya, Ibu.
Aku dan A-hwe akan menunggu di depan."
Lalu melangkah pergilah anak itu dengan
setengah berlompatan. Suami isteri she Pang heran. Tidak biasanya
A-kun bersikap begitu. Hari-hari belakangan, Akun malah sering membuat sedih kedua orang
tuanya karena terbukti beberapa kali
berbohong, namun bila ditegur maka akan
marah, dan kemarahan "anak dewa" itu
membuat gentar seisi rumah sehingga tidak
berani menegur lagi. Sekarang, punya "ilmu"
apakah Siau Hiang-bwe sehingga A-kun begitu
manis? Mulut Macan 7 30 "Nona Siau, kudengar kota kelahiranmu,
Lam-koan adalah sebuah kota bandar sungai
yang ramai dan masakannya enak-enak, betul?"
tanya Nyonya Pang. "Betul, ada apa?"
"Hidangan yang akan kami suguhkan pasti
jauh tidak dapat menandingi masakan-masakan
Lam-koan, tetapi kami mempersilakan Nona
untuk mencicipinya."
"Ah, Nyonya jangan begitu. Hidangan
apapun, yang dihidangkan dengan tulus,
pastilah itu lezat. Lezatnya bukan hanya di
lidah, tapi sampai di hati."
Semuanya tersenyum mendengar ungkapan
Siau Hiang-bwe itu. Lalu mereka semua
beranjak ke ruangan lain dan di mana hidanganhidangan sudah terhidang.
Sebelum makan, Siau Hiang-bwe minta ijin
kepada tuan dan nyonya rumah untuk
menjalankan keyakinannya, yaitu bersyukur
kepada Sang Pemberi Agung. Beberapa detik
Siau Hiang-bwe menunduk khidmat, sementara
Mulut Macan 7 31 Cu Tong-liang sedikit malu dengan ulah Siau
Hiang-bwe itu, tetapi diam saja.
Selesai itu, Pang Se-bun memuji, "Suatu
tindakan yang baik, Nona Siau. Keyakinan Nona
mirip dengan keyakinan sebagian besar warga
Seng-tin ini. Kita sebagai mahluk-mahluk yang
lemah tak berdaya, harus belajar berterima
kasih kepada penguasa-penguasa yang menumbuhkan bahan-bahan makanan bagi
kita." Siau Hiang-bwe kurang sependapat, namun
tidak mau merusak suasana akrab yang mulai
terbentuk itu. Kemudian mereka berempat menikmati
sarapan pagi dalam suasana hangat kekeluargaan. Habis sarapan pagi, Siau Hiang-bwe merasa
perutnya kekenyangan. Soalnya dari tempat
Tabib Kian ia sudah makan pagi dulu, sekarang
ditambah "sarapan siang" lagi. Hanya demi
menghormati keluarga Pang maka ia menerima
sarapan di situ. Mulut Macan 7 32

Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kata Siau Hiang-bwe kemudian, "Tuan dan
Nyonya Pang, sebelum kesiangan, aku harus
mengantar-antarkan obat untuk beberapa
pasien Tabib Kian." "O, silakan. Dan seandainya berjalan
bersama-sama A-kun, aku sebelumnya minta
maaf kalau ada kata-kata atau perbuatan A-kun
yang kurang berkenan. Mungkin Nona bisa
membantu kami dengan memberinya beberapa
nasihat baik." kata Pang Se-bun yang kuatir Akun akan kambuh sifat jeleknya.
Nyonya Pang menambahkan, "Kalau dilihat
bahwa A-kun agaknya menyayangi Nona Siau
tadi, agaknya ia akan menerima nasihat-nasihat
Nona." "Dengan senang hati, Tuan dan Nyonya...."
sahut Siau Hiang-bwe. Ketika itulah A-kun muncul kembali dengan
berlompatan dan wajah berseri-seri.
"Kakak Bwe, kapan berangkatnya?"
"Sekarang." Siau Hiang-bwe pun berangkat bersama Akun.
Mulut Macan 7 33 Mula-mula Siau Hiang-bwe merasa, bahwa
perkara biasa ia berjalan bersama puteri Pang
Se-bun yang berwajah manis ini. Tetapi ketika
dia memperhatikan orang-orang yang berpapasan dengannya, maka Siau Hiang-bwe
segera menanggapi sesuatu yang tidak biasa.
Siau Hiang-bwe melihat orang-orang yang
berpapasan dengan A-kun itu semuanya
bersikap sedapat-dapatnya menyenangkan Akun, meskipun beberapa orang terasa sikapnya
dibuat-buat atau dipaksakan. Atau, kalau masih
sempat menghindar, orang akan menyimpang
daripada berpapasan dengan A-kun. Mula-mula
Siau Hiang-bwe mengira, sikap orang-orang
yang begitu baik kepada A-kun adalah karena Akun puteri Pang Se-bun, orang terkemuka di
kota itu. Tetapi kemudian Siau Hiang-bwe dapat
merasakan bahwa orang-orang itu menyenangkan A-kun karena... takut!
"Mungkin A-kun agak nakal, tetapi patutkah
orang-orang setakut ini?" Siau Hiang-bwe
bertanya-tanya dalam hatinya.
Mulut Macan 7 34 Siau Hiang-bwe belum memperoleh
jawabnya. Mereka berdua melewati sekelompok anakanak yang sedang bermain dengan riang
gembira di sebidang tanah kosong. Tetapi
begitu melihat A-kun, anak-anak bubar
berlarian menjauh dengan sikap ketakutan,
kegembiraan mereka lenyap. A-kun nampak
kecewa dan sedih. Siau Hiang-bwe merasa perlu berhenti
sebentar, lalu ia berdiri di atas lututnya agar
dapat sama rendah dengan A-kun, ketika A-kun
mengeluh dengan sedih, "Teman-temanku tidak
mau lagi bermain-main denganku. Tidak seperti
dulu lagi." "Kau tidak nakal kepada mereka, bukan?"
A-kun menggeleng sehingga sepasang
kuncirnya bergoyang lucu. "Merekalah yang
nakal kepadaku." "Nakalnya bagaimana?"
"Suatu hari, dalam permainan petak-umpet,
setengah hari kami bermain dan aku terus jadi
Mulut Macan 7 35 orang yang mencari...." sahut A-kun sambil
memberengut. Siau Hiang-bwe tersenyum ingat masa
kecilnya di Lam-koan. Masa sebelum ayahnya
keranjingan kejayaan dalam ilmu pengobatan
sehingga tidak segan-segan menggunakan ilmu
gaib, dan membuat masa remaja Siau Hiangbwe terbuang bertahun-tahun, terkurung di
ruang bawah tanah sebagai gadis yang hilang
ingatan. Sebelum masa kelam itu, masa kanakkanak Siau Hiang-bwe pun seperti masa kanakkanak orang lain.
Katanya kepada A-kun, "Dulu waktu Kakak
kecil, Kakak juga bermain petak-umpet dengan
teman-teman. Dan ketahuilah, pernah Kakak
dari pagi sampai sore tak dapat menemukan
persembunyian seorang pun."
"Dari pagi sampai sore? Sungguh pintar
persembunyian teman-teman Kakak itu."
"Ya." "Kakak tidak marah?"
Mulut Macan 7 36 "Tidak, karena hanya permainan. Kalau
Kakak marah, Kakak tidak akan punya teman,
dan itu rugi." A-kun memeluk bonekanya dan menggoyang-goyang tubuhnya seperti ibu
sedang menimang-nimang anaknya. Katanya,
"Aku tidak peduli mereka semua tidak mau jadi
temanku, tetapi A-hwe tetap jadi temanku.
Mereka jahat...." "Kakak rasa, mereka tidak jahat. Mereka
hanya...." "A-hwe bilang mereka jahat, dan mereka
pasti jahat. A-hwe tidak pernah membohongiku!" "A-hwe hanya boneka, A-kun. Temantemanmu yang sesungguhnya...."
Adalah di luar dugaan Siau Hiang-bwe,
bahwa A-kun tiba-tiba meledak kemarahannya.
"A-hwe bukan boneka. Dia sering datang
kepadaku dan mengajakku ke sebuah taman
yang indah dengan hewan-hewan suci yang
elok!" Mulut Macan 7 37 Siau Hiang-bwe tertegun, ketika ia
memperhatikan boneka porselen itu, ia merasa
mata boneka yang terbuat dari akik hitam itu
seolah hidup dan balas menatapnya, dan Siau
Hiang-bwe merasa tubuhnya dingin. Cepatcepat diusirnya perasaan itu dengan bantahan
dari akal sehatnya. Lalu sambil tersenyum ia
berkata, "A-hwe jadi temanmu juga tidak apaapa...." ketika mengucapkan ini, Siau Hiang-bwe
merasa di hati kecilnya, bahwa ucapan ini salah.
".... tetapi bukankah lebih baik kalau punya lebih
banyak teman?" "Bukan aku tak mau berteman dengan
mereka, mereka yang tidak mau berteman
denganku. Mereka lari kalau aku datang,
katanya aku ini 'pembawa bencana'."
"Kalau Kakak bicara pada teman-temanmu,
sampai mereka mau berteman lagi denganmu,
kau mau?" A-kun mengangguk mantap. Siau Hiang-bwe tertawa lega sambii
menowel pipi montok A-kun, lalu berdiri sambil
Mulut Macan 7 38 berkata, "Kakak sudah menduga bahwa kau
anak yang penurut dan manis."
Lalu keduanya bergandeng tangan melanjutkan perjalanan. Dalam pikirannya, Siau
Hiang-bwe yang timbul rasa sayangnya kepada
A-kun itu mencari akal bagaimana "menormalkan" A-kun sebagai kanak-kanak
yang wajar. Ia juga merasa bahwa A-hwe itu
"bukan sekedar boneka" tetapi kalau disuruh
menjelaskan lebih jauh, Siau Hiang-bwe takkan
bisa. "Mungkin pelan-pelan A-kun harus dipisahkan dari boneka porselennya, yang
mengakibatkan teman khayalannya."
Mereka tiba di depan rumah Giam Lok,
sebagai tujuan pertama. Ketika mengetuk pintu
depan yang tertutup, Siau Hiang-bwe agak
berdebar juga membayangkan Janda Giam yang
kemarin bersikap membencinya. Pintu dibuka
oleh Giam Lik, adik perempuan Giam Lok.
Melihat Siau Hiang-bwe, gadis kecil kurus
berumur tiga belas tahun itu masih belum apaapa, tetapi begitu melihat A-kun bersama Siau
Mulut Macan 7 39 Hiang-bwe, wajahnya nampak kaget dan
ketakutan. "Kakak mencari siapa?" tanya Giam Lik.
"Aku mengantarkan obat dari Tabib Kian
untuk kakakmu...." jawab Siau Hiang-bwe
sambil menunjukkan bungkusan obatnya untuk
meyakinkan. "Baik-baikkah keadaan kakakmu?"
Giam Lik tidak membuka pintu seluruhnya,
hanya setengah terbuka, dan sekarang ia
menjulurkan tangannya ke luar pintu untuk
menerima obat itu. Sikapnya jelas tidak
menginginkan Siau Hiang-bwe masuk ke
rumahnya. Tetapi Siau Hiang-bwe pantang menyerah,
ia ingin menjenguk Giam Lok dan membangkitkan semangatnya lagi seperti
kemarin. "Kalau di ijinkan, aku ingin melihat
kakakmu sebentar." Hampir saja Giam Lik menggeleng,
seandainya A-kun tidak nimbrung bicara,
"Kakak Bwe bermaksud baik, masa hendak kau
tolak, Kakak Lik?" Mulut Macan 7 40 Terhadap A-kun, Giam Lik tidak berani
membantah, takut membuat gusar "anak dewa"
itu. la mengangguk-angguk ketakutan, lalu
membuka pintu lebar-lebar.
Sembari melangkah menyeberangi halaman
sempit yang penuh daun kering dan ikatanikatan kayu bakar itu, Siau Hiang - bwe merasa
bahwa sebenarnya Giam Lik tidak ikhlas
menyambutnya, melainkan hanya takut kepada
A-kun. "Entah apa yang ditakuti orang-orang
dari anak kecil berwajah semanis A-kun?" Siau
Hiang-bwe bertanya-tanya dalam hati.
Lalu Siau Hiang-bwe mencoba bersikap
ramah kepada Giam Lik. "Ibumu ada di rumah?"
"Ke pasar," jawab Giam Lik takut-takut.
Siau Hiang-bwe lega, la sudah siap
seandainya harus bertemu Janda Giam, tetapi
merasa lebih baik kalau tidak bertemu.
Tiba di kamar tidur Giam Lok, Siau Hiangbwe melihat kondisi Si Sakit masih seperti
kemarin, belum ada kemajuan yang nampak
sedikit pun. Siau Hiang-bwe berlutut di samping
Mulut Macan 7 41 pembaringan dan mencoba memanggil dengan
lembut, "Saudara Giam."
Agaknya, biarpun matanya terpejam, Giam
Lok tidak sedang tidur, ia sadar dan mendengar
suara Siau Hiang-bwe. Bibirnya yang pucat dan
pecah-pecah itu bergerak sedikit seperti hendak
membentuk senyuman, lalu berdesislah katakata lirihnya, "Aku dengar, Nona...."
"Jangan kehilangan harapan, Saudara Giam.
Kubawakan obat dari Tabib Kian. Adikmu akan
membantumu meminumkannya di waktuwaktu tertentu. Bukankah begitu, Nona Giam?"
Giam Lik, mengangguk-angguk. Sementara
A-kun berdiri di belakang Siau Hiang-bwe
dengan berdiam diri saja, sambil memeluk
boneka porselennya. Siau Hiang-bwe tidak bicara banyak-banyak
kepada Giam Lok, sadar bahwa orang yang
sedang sakit berat ingatannya juga tidak bisa
mengingat banyak. Ia bicara sedikit asalkan
semangat Giam Lok tidak padam karena tahu
banyak yang memperhatikan.
Mulut Macan 7 42

Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siau Hiang-bwe menggenggam telapak
tangan Giam Lok yang kurus, katanya, "Aku
pergi dulu, Saudara Giam. Aku atau Tabib Kian
akan bergantian menjenguk mu. Kau pasti
sembuh." Lalu Siau Hiang-bwe melangkah ke luar
kamar sambil menarik tangan Gian Lik. Di luar
kamar, dengan ramah Siau Hiang-bwe bertanya,
"A-lik, bukankah namamu Giam Lik dan boleh
kupanggil A-lik? Kau tidak bermain-main ke
mana mana? Anak-anak seusiamu biasanya
banyak teman." "Aku harus menjaga Kakak. Nanti setelah
Ibu kembali dari pasar, baru aku boleh keluar
rumah sebentar. Tetapi tidak lama-lama, sebab
harus membantu Ibu."
"Anak baik, anak rajin." Siau Hiang-bwe
coba mengambil hati sambil memegang kepala
Giam Lik. "Kalau kau bermain-main, maukah
mengajak A-kun?" Giam Lik nampak kaget. "Aku... terlalu tua
untuk bermain-main dengannya."
Mulut Macan 7 43 "Ah, banyak kulihat kelompok anak-anak
yang selisih umurnya melebihi kau dan A-kun,
dan mereka bisa bermain. Malah yang lebih tua
dapat mengajari yang lebih kecil tentang hal-hal
yang berguna." Wajah Giam Lik menampakkan keengganan,
bahkan ketakutan. Cuma tidak berani
mengucapkannya, takut oieh Siau Hiang-bwe
dilaporkan kepada A-kun lalu A-kun mengutuknya. Melihat wajah Giam Lik begitu ketakutan,
Siau Hiang-bwe merasa kasihan dan tidak
memaksa lagi. Katanya sambil menepuk-nepuk
pundak Giam Lik dengan ramah, "Kalau tidak
mau ya tidak apa-apa, kok."
Sementara itu, setelah Siau Hiang-bwe dan
Giam Lik keluar kamar, A-kun diam-diam
membisiki Giam Lok, "A-hwe bilang, kalau kau
tetap bandel, kutukannya akan merambat
kepada seluruh keluargamu. Adikmu dan Ibumu
juga." Mulut Macan 7 44 Ketika tubuh Giam Lok menggeletar, A-kun
buru-buru berlari keluar dan tersenyum kepada
Siau Hiang-bwe. Siau Hiang-bwe pun berpamitan lalu pergi
bersama A-kun. "Kakak Bwe sungguh orang baik, menghibur
orang-orang sakit," puji A-kun kepada Siau
Hiang-bwe setelah mereka di jalanan.
Siau Hiang-bwe tersenyum, memeluk kepala
A-kun, sambil berkata, "Kau juga pasti kelak jadi
orang baik. Suka menolong orang susah,
membangkitkan semangat orang, banyak
teman." Ada suatu kilat mata yang asing sekilas di
sepasang mata A-kun, yang tak terlihat oleh
Siau Hiang-bwe. "Ke mana kita sekarang?"
"Ke rumah keluarga Yao. Kakak hendak
menemui teman baru bernama Yao Sin-lan."
Di rumah Yao Sin-lan, penyambutan oleh
seorang pelayan cilik di rumah itu lebih kurang
sama dengan penyambutan Giam Lik tadi.
Pelayan mula-mula nampak enggan sekali
Mulut Macan 7 45 menerima kedua tamu itu, tetapi takut kepada
A-kun dan akhirnya memperbolehkan Siau
Hiang-bwe masuk. "Keberuntungan" Siau Hiang-bwe yang ke
dua ialah, Yao Kang-beng, kakak Yao Sin-lan
yang galak dan menghajar adiknya itu
kebetulan juga sedang pergi. Siau Hiang-bwe
sudah siap seandainya ketemu Yao Kang-beng,
namun lebih enak rasanya kalau tidak usah
ketemu saja. Berbeda dengan rumah keluarga Giam Lok
yang sederhana, rumah keluarga Yao ini terdiri
dari ruangan-ruangan yang luas, bersih, dengan
perabotan-perabotan mahal, dan ada halamanhalaman luas yang teduh dengan pohon-pohon
besar dan tanaman-tanaman hiasnya.
Ketika melangkah di antara ruanganruangan itu, Siau Hiang-bwe teringat akan
rumahnya sendiri di Lam-koan.
Ketika mereka tiba di kamar tidur Yao Sinlan, nampak gadis itu terbaring di atas ranjang,
ditunggui ibunya. Mulut Macan 7 46 Nyonya Yao kaget melihat munculnya A-kun
dan Siau Hiang-bwe. Sendainya tidak ada A-kun,
tentu ia sudah menampakkan ketidaksenangannya akan kunjungan itu. Tetapi A-kun
membuatnya gentar, dan terpaksa ia harus
besikap ramah. Lebih dulu ia bersikap amat ramah kepada
A-kun, jangan sampai "anak dewa" ini marah
lalu mengeluarkan perkataan jelek yang
dipercayai sebagian besar orang Seng-tin
sebagai perkataan bertuah yang bisa benarbenar terjadi.
Terpaksa, dengan lagak dibuat-buat Nyonya
Yao menyambut A-kun, "Aduuh... anak paling
manis di Seng-tin ini kok tumben main-main
kemari? Bibi senang sekali, kebetulan Bibi juga
punya kueh-kueh manis untukmu."
Lalu Nyonya Yao menyuruh pelayannya itu
mengambilkan kueh-kueh yang dikatakannya
tadi. Dengan sikap yang amat menyenangkan, Akun memberi hormat kepada perempuan
setengah baya yang penuh hiasan di tubuhnya
Mulut Macan 7 47 itu. "Aku menyampaikan salam dari ayah ibuku
kepada Bibi." "Aduh... anak manis, anak pintar...."
"A-hwe juga menyampaikan salam," sambil
menggerakkan boneka porselennya seolah-olah
membungkuk hormat. Nyonya Yao sudah mendengar kabar angin
dari sesama warga Seng-tin agar tidak mainmain dengan "A-hwe" ini. Maka Nyonya Yao
menjawab, "Salam A-hwe kuterima."
"A-hwe ingin sering bermain-main ke sini,
boleh?" Sebenarnya Nyonya Yao kuatir kalau A-kun
dan "A-hwe" terlalu sering ke rumahnya, berarti
akan semakin besar resikonya perlakuan
anggota keluarganya yang membuat tidak
senang A-kun, berarti makin besar resikonya
"kena kutuk" oleh A-kun. Namun mana berani
Nyonya Yao menolak terang-terangan? Nyonya
Yao cuma menyeringai terpaksa sambil
mengangguk-angguk. Mulut Macan 7 48 Setelah menggubris A-kun, barulah kini
perhatian diperlihatkan kepada Siau Hiangbwe. "Nona ini... siapa?"
Siau Hiang-bwe menjawab dengan hormat,
"Aku suruhan Tabib Kian untuk mengantarkan
obat ke sini." "Obat? Untuk apa?" sambil pura-pura heran,
Nyonya Yao menggeser tubuhnya untuk
menghalaingi pandangan Siau Hiang-bwe ke
arah Yao Sin-lan puterinya.
Siau Hiang-bwe yang jujur itu menjawab,
"Tabib Kian merasa simpati atas apa yang
dialami Nona Yao kemarin. Tanpa ingin turut
campur urusan dalam keluarga ini, Tabib Kian
mengirim obat-obatan untuk luka-luka karena
pukulan atau benturan, untuk Nona Yao."
Nona Yao tetap berlagak tidak tahu. "Lukaluka pukulan atau benturan? Siapa yang kena
pukul atau kena benturan? Barangkali Nona
salah alamat." Siau Hiang-bwe pun mulai bingung
menghadapi "tembok kepura-puraan" ini. Tadi,
biarpun hanya sekilas dan belum mendekati
Mulut Macan 7 49 tempat tidur, ia sempat melihat wajah Yao Sinlan yang memar karena dipukuli, tetapi ibu Yao
Sin-lan berlagak tidak tahu apa-apa.
Tiba-tiba Siau Hiang-bwe sadar bahwa
agaknya keluarga Yao ini ingin orang-orang
Seng-tin tidak mengingat lagi peristiwa Yao
Kang-beng menghajar adiknya itu, agaknya
peristiwa itu dianggap memalukan keluarga,
sehingga sikap Nyonya Yao sedemikian
menutupi. Terpaksa Siau Hiang-bwe pun menyesuaikan diri dengan situasi, agar obat
yang dibawanya bisa bermanfaat bagi Yao Sinlan. Katanya, "O, mungkin Tabib Kian salah
dengar. Kalau tidak terjadi apa-apa ya
syukurlah. Tetapi obatnya sudah terlanjur
kubawa, dan nanti kutinggal saja, mungkin
untuk berjaga-jaga kalau ada pelayan-pelayan
rumah ini yang terpeleset di sumur atau jatuh
dan memar." Sikap Siau Hiang-bwe yang putar haluan itu
agak melegakan Nyonya Yao. Tetapi sebenarnya
Siau Hiang-bwe berkata dalam hatinya, "Coba,
Mulut Macan 7 50 ingin kulihat bagaimana kau coba menutupnutupi atau bahkan coba-coba menghapus dari
ingatan orang atas suatu peristiwa yang terjadi
di depan mata banyak orang."
Kata Nyonya Yao, kali ini nampak lebih
ramah, "Nona, kau adalah seorang yang bijak,
keluarga kami berterima kasih kepadamu.
Tunggulah di sini sebentar, akan kubuat surat
untuk Tabib Kian." Lalu Nyonya Yao meninggalkan ruangan itu,
ia tidak lagi menutup-nutupi Yao Sin-lan dari
pandangan Siau Hiang-bwe.
Sementara Nyonya Yao pergi, kesempatan
itu dipergunakan oleh Siau Hiang-bwe untuk
mendekat ke tepi ranjang Yao Sin-lan. Siau
Hiang-bwe terharu melihat-bekas-bekas pukulan di wajah Yao Sin-lan, ia yakin di bagian
tubuh yang lain pasti ada juga cidera-cidera
macam itu, hanya saja tidak tampak karena
tertutup selimut. "Nona Yao...." hanya itu yang dapat
diucapkan Siau Hiang-bwe karena tenggorokannya tersekat keharuan. Tangan
Mulut Macan 7 51 Siau Hiang-bwe mencari tangan Yao Sin-lan di
bawah selimut untuk digenggam, seolah ingin
menyalurkan kekuatan batin untuk memikul
kepedihan itu. Yao Sin-lan mengenali Siau Hiang-bwe
sebagai gadis yang kemarin ikut memapahnya
sehabis ia dihajar kakaknya. Gadis yang belum
dikenalnya sama sekali, tetapi telah begitu
memperhatikannya. Jiwa Yao Sin-lan tersentuh,
ia balas menggenggam tangan Siau Hiang-bwe
dan matanya jadi basah. A-kun berdiri di belakang Siau Hiang-bwe
dengan sikap acuh tak acuh, sibuk sendiri
dengan bonekanya. "Kakak yang berbudi, siapa namamu?" tanya
Yao Sin-lan lirih. "Namaku Siau Hiang-bwe."
"Logat bicara Kakak tidak sama dengan
logat di Seng-tin. Kakak bukan orang sini?"
"Kakak berasal dari Lam-koan, sebuah kota
bandar sungai kecil di tepi Sungai Se-ho."
"Terima kasih atas pertolonganmu kemarin,
Kak. Kita belum pernah saling kenal
Mulut Macan 7 52 sebelumnya, tetapi Kakak sudah menolongku.
Dan hari ini menjengukku. Terima kasih."
Dengan menyebut-nyebut "pertolongan
kemarin" berarti Yao Sin-lan secara tidak
langsung mengatakan bahwa kemarin memang
ia mengalami suatu. Yaitu peristiwa ketika ia


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dihajar kakaknya. Untung Nyonya Yao tidak ikut
mendengar kata-katanya itu.
"Tidak apa-apa, Adik Sin-lan. Kita memang
harus saling menolong, kenal atau tidak kenal."
"Kakak tinggal di mana selama di Seng-tin
ini?" "Aku diam di pondoknya Tabib Kian."
"Aku pasti cepat sembuh kalau Kakak sering
berkunjung kemari." Siau Hiang-bwe tersenyum. "Kuusahakan.
Yang penting, kau tidak boleh patah semangat."
Baru saja Siau Hiang-bwe berkata demikian,
wajah Yao Sin-lan malah jadi murung.
Desahnya, "Sejujurnya saja, aku memang sudah
patah semangat, merasa tak sanggup memenuhi
tuntutan berat yang dibebankan atas diriku."
Mulut Macan 7 53 "Siapa yang membebani tuntutan itu?
Tuntutannya macam apa?"
"Kakakkulah yang menuntut aku bias
menari sebaik-baiknya dalam tarian suci."
"Seberat-beratnya tuntutan kakakmu, pastilah masih bisa dibicarakan baik-baik,
namanya saja kakak beradik kandung. Aku kira,
kakakmu pasti menyesali tindakannya kemarin,
dalam hatinya pastilah dia sebenarnya sayang
kepadamu." Di atas bantalnya, kepala Yao Sin-lan
menggeleng lemah, wajahnya nampak sedih.
"Dulu Kakak Beng menyayangi aku, tetapi
belakangan ini sifat-sifatnya itu tak kulihat lagi.
Dia menuntut aku agar menari dengan baik,
karena dia pun dibebani tuntutan dari
masyarakat Seng-tin agar penari-penari
menarikan tarian suci dengan sempurna, tanpa
kesalahan sedikit pun. Dan masyarakat Seng-tin
dibebani tuntutan entah dari siapa, pokoknya
ketakutan kalau tarian suci itu gagal tampil
sempurna dalam perayaan nanti, katanya
seluruh Seng-tin akan tertimpa bencana."
Mulut Macan 7 54 "Kalau begitu, cepatlah sembuh dan
menarilah sebaik-baiknya agar Kakakmu puas,
dan orang-orang Seng-tin juga puas." waktu
mengucapkan ini, kembali "alarm batin" dalam
hati kecil Siau Hiang-bwe mengisyaratkan
sesuatu yang tidak beres. Namun akal Siau
Hiang-bwe membantah sendiri bahwa katakatanya itu cukup tepat untuk membangkitkan
semangat Yo Sin-lan. Jawab Yo Sin-lan, "Seandainya tubuhku
tidak sakit pun, aku takkan dapat memenuhi
tuntutan untuk menari dengar sempurna."
"Kenapa?" "Karena untuk menari dengan sempurna,
aku harus kemasukan... penari langit. Tanpa
mengalami itu, penari paling ulung pun takkan
bisa menarikan itu."
Tanpa dijelaskan pun Siau Hiang-bwe tahu
yang disebut "penari langit" itu pastilah sejenis
mahluk gaib yang dipercaya masyarakat Sengtin, khususnya para penari.
Urusan "kemasukan penari langit" ini
terpaksa Siau Hiang-bwe tidak ingin mendorong
Mulut Macan 7 55 Yao Sin-lan, sebab bertentangan dengan
keyakinan yang diajarkan Liu Yok.
Akhirnya kata-kata pembangkit semangat
dari Siau Hiang-bwe terdengar tidak mantap.
"Kalau begitu... apakah tidak lebih baik kalau
kau mengundurkan diri saja dari kelompok
penari? Agar terbebas dari tuntutan berat itu?"
Hampir saja Yao Sin-lan menyatakan
persetujuannya, karena hatinya sendiri menyetujui usul Siau Hiang-bwe itu. Tetapi
melihat A-kun juga ada di ruangan itu, Yao Sinlan jadi gentar. Terpaksa ia harus menyimpan
saja isi hatinya, dan yang dipintanya malahan
sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan
Siau Hiang-bwe. "Kakak Bwe, doakan suatu kali
aku kemasukan 'penari langit' itu, ya?"
Jawaban Siau Hiang-bwe menghindar, "Asal
kau menari sungguh-sungguh, apa bedanya
antara tarianmu dengan tarian teman-temanmu
yang kemasukan... apa itu, penari langit?"
"Teman-temanku sudah mengalami kenasukan penari langit semua, tinggal aku yang
belum. Tadinya, waktu sudah kemasukan ialah
Mulut Macan 7 56 pandangan kita berubah. Misalnya, kami
berlatih menari di salah satu ruangan di rumah
ini. Tetapi penari-penari yang kemasukan itu
melihat bahwa mereka tidak lagi di ruangan ini,
melainkan seperti di sebuah istana di langit
yang amat megah. Penonton-penontonnya
adalah orang-orang berpakaian indah-indah
seperti para pangeran dan puteri bangsawan,
panglima-panglima, bahkan ada mahluk-mahluk
aneh." Siau Hiang-bwe menarik napas, kalau sudah
begini memang urusan sudah tidak sekedar di
alam kasar tetapi sudah bersangkut-paut
dengan alam lain yang tak terpantau inderaindera.
Dalam hati Siau Hiang-bwe terjadi
pertentangan. Di satu pihak ia pegang teguh
keyakinan yang diajarkan Liu Yok bahwa
manusia sebagai mitra terkasih Sang Maha
Pencipta tidaklah layak kalau sampai diperalat
oleh mahluk-mahluk lain, tak peduli mahluk
yang "dari langit" sekalipun. Tetapi menghadapi
urusan seperti urusannya Yao Sin-lan ini,
Mulut Macan 7 57 bagaimana ia bisa menolongnya? Kalau
mencegah Yao Sin-lan dirasuki mahluk-mahluk
gaib berarti Yao Sin-lan takkan dapat menari
dengan sempurna dan terancam untuk dipukuli
kakaknya. Tetapi kalau membiarkan gadis ini
dirasuki mah-luk gaib, berarti membiarkan
mahluk Tuhan yang tertinggi ini dihuni sesuatu
yang asing, yang tidak semestinya berada di
situ. Sementara Siau Hiang-bwe terombangambing, Nyonya Yao sudah kembali. Dengan
wajah seramah-ramahnya, ia memberikan
sepucuk surat tertutup kepada Siau Hiang-bwe
diserta pesan, "Tolong sampaikan ini kepada
Tabib Kian." Lalu sebuah kantong kecil yang isinya
gemerincing, mungkin uang, sambil dipesan,
"Dan ini juga."
Ternyata bukan hanya untuk Tabib Kian,
melainkan untuk Siau Hiang-bwe juga ada
beberapa keping uang perak. "Ini untuk Nona,
kupesan agar peristiwa yang kemarin itu jangan
dibicarakan lagi." Mulut Macan 7 58 Sekarang tahulah Siau Hiang-bwe dengan
cara apa yang Nyonya terhormat ini hendak
mencoba menghapus peristiwa kemarin.
Dengan uang. Entah berhasil entah tidak, belum
diketahui hasilnya. Siau Hiang-bwe dengan sikap hormat
mengembalikan uang yang menjadi bagiannya,
sambil berkata, "Yang untukku tidak usah saja,
Nyonya. Tanpa uang ini pun aku akan tutup
mulut serapat-rapatnya tentang kejadian
kemarin, kalau Nyonya menghendaki."
"Apakah Nona merasa... terlalu sedikit?"
"Tidak, Nyonya. Tetapi karena tidak pantas
menerima upah dari keluarga seorang sahabat.
Aku sudah bersahabat dengan Adik Sin-lan."
"Kau sungguh berbudi luhur, Nona," kata
Nyonya Yao. la jadi ingat beberapa orang yang
menggunakan sekempatan itu justru untuk
memeras, meminta tambahan "uang tutup
mulut" sambil mengancam kalau permintaannya tidak dipenuhi maka akan
menyebar-luaskan kejadian kemarin.
Mulut Macan 7 59 Kemudian soal uang yang untuk Tabib Kian,
Siau Hiang-bwe berkata, "Yang ini akan
kusampaikan untuk Paman Kian. Tetapi melihat
sifat Paman Kian, biarpun aku belum lama
mengenalnya, dia pun pasti akan mengembalikannya juga kalau permintaan
Nyonya hanya soal tutup mulut akan peristiwa
kemarin. Paling-paling Tabib Kian hanya
mengambil harga obatnya."
"Terserahlah mau diapakan uang itu.
Pokoknya kami berterima kasih kalau kejadian
kemarin dianggap tidak pernah ada."
Siau Hiang-bwe kemudian merasa bahwa ia
tidak perlu berada lebih lama di situ. Ia masih
harus mengunjungi Ciok Yan-bok yang kemarin
mencoba bunuh diri dengan minum racun.
Siau Hiang-bwe pun berpamitan, kepada
Yao Sin-lan dan kepada Nyonya Yao.
Yao Sin-lan memiringkan kepalanya di atas
bantal untuk mengantar pergi Siau Hiang-bwe
biarpun hanya dengan pandangan mata. Ia
melihat Siau Hiang-bwe berdampingan Mulut Macan 7 60 melangkah bersama ibunya, dan A-kun
melangkah ke belakang mereka.
Sebelum melangkahi ke ambang pintu, Akun menoleh sambil menyeringai ke arah Yao
Sin-lan. Mengangkat boneka porselennya untuk
dihadapkan ke arah Yao Sin-lan tanpa
mengucapkan sepatah kata pun. Tetapi Yao Sinlan tiba-tiba merasa ada hawa yang
menakutkan di ruangan itu, meskipun di saat itu
di luar jendela terlihat matahari terangbenderang.
Sementara itu, Siau Hiang-bwe dan A-kun
tidak lama kemudian sudah bergandengan
tangan di jalanan. Nampak seperti kakak
beradik yang serasi, sama-sama cantik dan
manis. "Kita sekarang ke mana, Kak?"
"Ke tempat Pak Ciok Yan-lim, tukang
membuat peti mati." "Ooo, Paman Ciok? Aku kenal. Anaknya yang
bernama A-koan dulu adalah temanku. Dulu
sering pinjam mainanku, ketika belum punya
Mulut Macan 7 61 mainan sendiri. Sekarang sudah punya mainan
sendiri, dia bermainnya dengan orang lain."
Siau Hiang-bwe masih menganggap sikap Akun sekedar perasaan kekanak-kanakan belaka.
Ia pun menghibur, "Kalian harus berbaikan
kembali. Lebih banyak teman, lebih baik. Kalau
banyak teman kau banyak yang menolong."
"Kalau A-koan mau berbaikan denganku, ia
boleh masuk taman bunga di mana aku dan Abwe sering bermain-main."
Entah kenapa, kembali perasaan Siau Hiangbwe merasa tidak enak mendengarnya.
Waktu mereka tiba di tempat Ciok Yan-lim,
nampak Si Pembuat Peti Mati itu sedang bekerja
dengan alat-alatnya di halaman rumahnya yang
sempit. Ia menyambut kedatangan Siau Hiangbwee dengan ramah, tetapi agak heran bahwa
A-kun datang juga. Datangnya A-kun itu membuat Ciok Yan-lim
tidak berani berlambat-lambat menyambut
tamunya, takut A-kun keburu tidak senang dan
mengurapkan sesuatu yang bisa berakibat
gawat. Mulut Macan 7 62 "Nona Pang, Nona Siau, kedatangan kalian
amat menggembirakan kami sekeluarga!"
sambut Ciok Yan-lim sambil meletakkan alatalatnya.
"Saudara Ciok, kami hendak menengok
adikmu...." sahut Siau Hiang-bwe. "Kubawakan
obat dari Tabib Kian. Bagaimana keadaannya?"
"Terus membaik sedikit demi sedikit."
jawab Ciok Yan-lim.

Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saat itulah dari samping rumah terdengar
derap kaki seorang anak berlari-lari, lalu
muncullah seorang anak perempuan yang
sebaya dengan A-kun, hanya saja pakaiannya
tidak sebagus A-kun. Tangannya juga
memegang boneka, tetapi boneka kayu yang
kasar buatannya dan tidak dicat.
Melihat A-kun, anak perempuan Ciok Yanlim yang bernama A-koan ini kelihatan sedikit
takut. Hampir ia berbalik untuk lari, tetapi Siau
Hiang-bwe yang ingin mencarikan teman buat
A-kun itu cepat-cepat berjongkok dan berkata
seramah-ramahnya, "He, siapa anak manis ini?"
Mulut Macan 7 63 Keramahan Siau Hiang-bwe mengurangi
ketakutan A-koan, tetapi ia belum dapat
menjawab sehingga Ciok Yan-lim-lah yang
menjawabnya, "Dia anakku yang paling besar,
Nona Siau. Panggil saja A-koan."
"Aduh, A-koan, bagus benar bonekamu.
Boleh Kakak lihat?" A-koan mengangguk sambil mendekati Siau
Hiang-bwe, lalu dengan kedua tangannya ia
sodorkan boneka kayunya. Rasa takutnya mulai
hilang. Setelah mengucapkan lagi beberapa kata
yang menambah keberanian dan kepercayaan
A-koan, Siau Hiang-bwe berkata, "A-koan,
Kakak bawakan teman lamamu, A-kun. Mau
kalian bermain bersama, sementara Kakak
menjenguk Pamanmu yang sakit?"
A-koan ragu, sementara Ciok Yan-lim juga
agak kuatir. Saat itu tak seorang tua pun di
Seng-tin yang tidak kuatir kalau anak mereka
bermain-main dengan A-kun.
Tetapi A-kun sudah ikut bicara dengan gaya
yang manis, baik kepada A-koan maupun
Mulut Macan 7 64 kepada Ciok Yan-lim, "A-koan, kita main
bersama-sama, yuk. Kau boleh pinjam
bonekaku, bonekaku bisa omong lho! Paman
Ciok, bolehkah besok A-koan kuajak bermainmain di taman indahku?"
Dasar anak-anak, lenyap sudah keraguan Akoan mendengar tawaran menarik itu. Tanpa
ijin ayahnya, sambil tertawa girang, dia
mendekati A-kun dan menggandeng tangannya.
"Aku sedang main masak-masakan di bawah
pohon, yuk kita ke sana."
Bersambung jilid VIII Sumber Image : Koh Awie Dermawan
first share in Kolektor E-book
Pringsewu 22/08/2018 19 : 35 PM
Mulut Macan 7 65 Mulut Macan 8 1 JILID VIII * Karya : STEVANUS S.P. pelukis : WIDODO Percetakan & Penerbit
CV "G E M A" Mertokusuman 761 RT 02 RW VII
Telp 35801 - SOLO 57122 Mulut Macan 8 2 Mulut Macan 8 1 Dari Mulut Macan ke Mulut Buaya
Karya : STEFANUS S.P. Jilid VIII D ENGAN sukacita dan langkah setengah
berlompatan, kedua anak perempuan
sebaya itu menuju ke arena permainan mereka
di halaman samping. Ciok Yan-lim masih kuatir, tetapi sebuah
pikiran lain melintas di benaknya, "Kenapa aku
harus menerima pendapat buruk orang-orang
tentang diri A-kun saja? Bukankah sebenarnya
A-kun juga membawa pengaruh baik? Kudengar
Ni Hoa-seng si pedagang kain itu berliasil
menyenangkan hati A-kun sehingga tokonya
sekarang kebanjiran rejeki. Begitu juga si
tukang keramik Ban Ke-hong yang memberi
boneka porselen kesayangan itu, sekarang
bertambah kaya saja. Siapa tahu sekarang
Mulut Macan 8 2 giliranku menyenangkan A-kun dan aku bakal
kebanjiran rejeki pula?"
Sementara Siau Hiang-bwe dengar rasa lega
melihat kedua anak itu menghilang ke halaman
samping sambil bergandengan tangan. Lalu
katanya, "Saudara Ciok, sekarang bolehkah aku
melihat adikmu?" "O, tentu boleh. Aku bahkan berterima kasih
sekali atas perhatian Nona dan juga Tabib Kian
yang menyuruh Nona. Mari...."
Siau Hiang-bwe pun melangkah ke dalam
mengikuti Ciok Yan-lim. Mereka lewat dapur
dan melihat isteri Ciok Yan-lim sedang di dapur
sambil menggendong anaknya yang kecil di
punggung. Isteri Ciok Yan-lim pun bersikap ramah
kepada Siau Hiang-bwe. Di ruangan tidur Ciok Yan-bok, nampak
pemuda yang kemarin gagal bunuh diri itu
terbaring murung dengan tatapan mata kosong
ke luar jendela, sedikit pun tidak menggubris
kedatangan kakaknya dan tamunya.
Ciok Yan-lim menyapa, "A-bok, ada tamu."
Mulut Macan 8 3 Ciok Yan-bok terus mematung tak
menggubris. Ciok Yan-lim menoleh sungkan ke arah Siau
Hiang-bwe, senyumnya mewakili perkataan
untuk memohonkan maaf dari Siau Hiang-bwe
atas kelakuan adiknya. Siau Hiang-bwe
mengangguk. Ciok Yan-lim melangkah mendekati
pembaringan adiknya sambil berkata, "A-bok,
yang datang adalah Nona Siau yang kemarin
membantu menyelamatkanmu dari maut, dan
sekarang membawakan obat dari Tabib Kian
untukmu." Kata-kata ini mampu membuat Ciok Yanbok menolehkan kepalanya kepada Siau Hiangbwe, tetapi bukan untuk berterima kasih,
melainkan meluapkan kegusarannya, "Jadi
inikah gadis lancang yang sudah mencampuri
urusanku? Aku ingin mati adalah kemauanku
sendiri, kenapa kau mencegahku, Nona? Kau
ingin melihat hidupku yang sudah tidak
berguna ini berlarut-larut untuk menderita rasa
malu yang tak tertahan?"
Mulut Macan 8 4 Saudara Ciok, kenapa kauanggap dirimu
tidak berguna?" "Apa gunanya hidupku? Tidak ada. Sebab
aku sudah bukan anggota pasukan pengawal
kota lagi, aku tidak bisa menginjak api tanpa
terluka lagi, aku tidak kebal lagi, aku tidak lagi
seperkasa ketika panglima langit menghuni
diriku." Diam-diam Siau Hiang-bwe setuju dengan
omongan Tabib Kian kemarin, orang-orang
Seng-tin memang macam-macam saja. Di satu
pihak ada orang yang seperti Giam Lok yang
begitu gigih emoh kemasukan "mahluk-mahluk
suci" sampai sakit berat, di lain pihak ada orang
semacam Ciok Yan-bok yang begitu murung dan
kecewa karena kehilangan kemampuan
gaibnya. Siau Hiang-bwe melihat satu ciri dari
"mahluk-mahluk gaib" yang menguasai Sengtin, yaitu bahwa mahluk-mahluk itu senang
menyiksa manusia, baik tubuh manusia maupun
pikirannya. Dengan penyakit, penganiayaan
lewat sesama anggota keluarga, kekecewaan,
kemurungan, bahkan penyiksaan lewat Mulut Macan 8 5 "tuntutan suci dari langit" yang biasanya tidak
disadari oleh manusia. "Saudara Ciok, kalau orang tidak bisa
berjalan di atas api, apakah lalu jadi orang tidak
berguna sama sekali? Banyak orang tidak
sehebat pasukan pengawal kota ini, tetapi
mereka tetap berguna besar bagi orang lain
dengan rajin bekerja, memberi pekerjaan pada
orang lain, atau berkarya nyata."
Kata-kata Siau Hiang-bwe terhenti oleh
gelegar bentakan Ciok Yan-bok, "Tutup
mulutmu! Enyah dari sini!"
Siau Hiang-bwe berdegup jantungnya,
namun dia masih mencoba. "Kuharap kau tidak
berputus asa, Saudara Ciok. Orang yang paling
tidak berguna ialah orang yang berpikir bahwa
dirinya memang tidak berguna. Ranyak orang
yang cacat berat, orang lain anggap ia sudah
tidak berguna, tetapi si cacat ini tidak berpikir
menurut anggapan orang lain melainkan teguh
berkeyakinan bahwa dirinya masih berguna,
dan dia pun benar-benar berhasil melakukan
sesuatu yang sangat berguna."
Mulut Macan 8 6 Kata-kata Siauw Hiang-bwe terhenti oleh gelegar
getaran bentakan Ciok Yan-bok, "Tutup mulutmul
Enyah dari sini!" Mulut Macan 8 7 Kali ini mangkuk bubur di samping tempat
tidur Ciok Yan-bok melayang deras hampir
mengenai jidat Siau Hiang-bwe, disusul hujan
dampratan. "Kubilang enyah dari sini, siluman
betina! Kaulah siluman rase yang hendak
melemahkan semangat pengawal kota! Kau
hendak menjauhkan kami dari dewa-dewa
pemberi kekuatan kami! Enyah kau, siluman
betina!" Daripada diamuk Ciok Yan-bok, terpaksa
Siau Hiang-bwe mempersingkat kunjungan di
tempat keluarga Ciok itu. Cepat-cepat ia keluar
kamar itu sebelum Ciok Yan-bok mengamuk
lebih hebat. Di luar kamar, Ciok Yan-lim berkata dengan
sungkan, "Maafkan Adikku, Nona Siau. Benarbenar dia tidak tahu kebaikan orang. Diberi
perhatian malah bersikap sekasar itu."
"Tidak, dia tidak bersalah. Dia sedang
dikuasai suatu...." tiba-tiba Siau Hiang-bwe
menghentikan kata-katanya, karena sadar
bahwa Ciok Yan-lim takkan bisa memahaminya.
Lalu diganti dengan kata-kata yang bisa
Mulut Macan 8 8 dipahami Ciok Yan-lim. "Adikmu sedang kecewa
sekali, Saudara Ciok. Jangan ditambahi tekanan
pikirannya dengan kaumarahi. Jangan. Hibur dia
terus, suatu kali dia akan menemukan semangat
hidupnya kembali." "Sungguh beruntung dia mendapat perhatian dari orang sebijaksuna Nona. Tetapi
dia tidak tahu diri, tidak menyadari
keberuntungannya." "Karena pikirannya sedang kusut. Kalau
pikirannya sudah jernih, dia akan mendengar
nasehat-nasehatmu, Saudara Ciok. Ini obat
titipan Tabib Kian. Minumkan menurut aturan."
"Sampaikan terima kasihku kepada Tabib
Kian. Berapa harus kubayar untuk obat-obat
ini?" "Urusan pembayaran, silakan berurusan
sendiri dengan Tabib Kian kalau ketemu sendiri
kelak. Sekarang aku berpamit dulu."
Siau Hiang-bwe melangkah ke halaman
depan, lalu dari situ memanggil A-kun yang
masih asyik bermain masak-masakan dengan Akoan di halaman samping. Baik Siau Hiang-bwe
Mulut Macan 8 9 maupun Ciok Yan-lim sama-sama senang
melihat betapa rukunnya kedua anak itu
bermain bersama. Siau Hiang-bwe senang kalau
A-kun mendapat teman bermain anak
sebayanya, daripada dengan "teman khayal nya,


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yaitu "A-hwe", yang sering membikin merinding
itu. Sedang kegirangan Ciok Yan-lim ialah
karena mengharapkan berkah dari si "Anak
Dewa" yang lagi senang hatinya.
"Nona Siau, tidakkah lebih baik di biarkan
A-kun bermain-main lebih lama dengan Akoan? Sebab mereka sedang asyik. Nanti biar
aku yang antarkan A-kun pulang."
"Aku juga senang melihat mereka rukun,
tetapi tadi aku yang pergi dari rumahnya
bersamanya. Kalau aku pulang sendirian,
bagaimana aku bisa menjelaskan kepada orang
tuanya?" Akhirnya Ciok Yan-lim mengalah.
Mendengar panggilan Siau, Hiang bwe, Akun menunjukkan dirinya sebagai anak yang
patuh dan menyenangkan, la langsung berpisah
dengan temannya sambil berkata, "Kakak Bwe
Mulut Macan 8 10 sudah memanggilku. Sudah ya, A-koan. Besok
kita bermain lagi." Dengan berat hati A-koan melepas A-kun.
"A-kun, jadi tidak kauajak aku ke tamanmu yang
indah, yang kaucerita-kan tadi?"
"Ya, kapan-kapan."
Kemudian A-kun menggandeng tangan Siau
Hiang-bwe sambil berkata kepada Ciok Yan-lim.
"Pulang dulu ya, Paman Ciok! Semoga dagangan
Paman laris!" Ciok Yan-lim dengan berseri-seri "menyambut berkat" itu, tak peduli bahwa
dagangannya peti mati. Dagangannya laris,
berarti banyak orang mati.
Ketika itu ada seorang penduduk Seng-tin
yang kebetulan sedang lewat di depan rumah
Ciok Yan-lim, dan kebetulan pula mendengar
ucapan A-kun. Orang itu menjadi pucat
mukanya lalu terbirit-birit pulang ke rumahnya
untuk memuja dewanya memohon perlindungan. Sementara Siau Hiang-bwe masih menganggap ucapan A-kun sekedar omongan
Mulut Macan 8 11 anak-anak yang tak berpengaruh sedikit pun,
maka ketika ia menggandeng A-kun di
perjalanan pulang, dia hanya memberi nasihat
ringan saja, agar lain kali jangan mendoakan
dagangan Paman Ciok laris.
"....sebab dagangan Paman Ciok itu makin
tidak laku makin baik."
Seperti tadi-tadi, A-kun menunjukkan
kepatuhannya menerima nasihat, membuat Siau
Hiang-bwe semakin terpikat kepada anak ini.
Setelah mengembalikan A-kun ke rumahnya, Siau Hiang-bwe kembali ke pondok
Tabib Kian tanpa menunggu hari menjadi sore.
Kalau matahari sudah terbenam, akan banyak
serigala di padang ilalang yang harus
dilewatinya. Siau Hiang-bwe melangkah dengan rasa
senang, bahwa hari ini ia telah menjadi orang
baik dengan membangkitkan semangat orangorang yang sedang menderita.
Cu Tong-liang seharian berada di Seng-tin.
Melatih para pengawal, menikmati rasanya
dihormati kembali seperti waktu ia masih
Mulut Macan 8 12 berada di ibu kota kerajaan sebagai perwira
istana dulu, dan hari itu ia berkesempatan
bertemu empat mata dengan orang yang paling
dipuja di Seng-tin, yaitu Wong Lu-siok. Hampir
dua jam Cu Tong-liang berbicara dengan Wong
Lu - siok dan ia mendapat kesan amat baik
tentang guru kerohanian orang-orang Se:ng-tin
itu. Bahkan, tak terhindari, Cu Tong-liang
membandingkan Wong Lu - siok dengan Liu
Yok. Lalu Cu Tong-liang menilai bahwa Wong Lu
- siok jauh lebih bijaksana, jauh lebih segalagalanya dibandingkan Liu Yok. Dalam anggapan
Cu Tong-liang, Liu Yok nampak picik dan
fanatik, dan dalam hal kemampuan gaib Liu Yok
belum pernah menunjukkan yang hebat-hebat
seperti Wong Lu-siok. Apalagi Wong Lu-siok,
sedang orang-orang Seng-tin yang diberi
sebagian kecil saja dari ilmu gaib Wong Lu-siok
saja sudah hebat-hebat begitu, kadang-kadang
Cu Tong-liang merasa rendah diri, sekalipun ia
perwira istana. Kemudian Wong Lu-siok
menawari Cu Tong-liang sekedar kemampuan
Mulut Macan 8 13 gaib "sekedar untuk jaga-jaga" sambil dijelaskan
bahwa ilmunya ilmu "putih" dan bukan hitam.
Cu Tong-liang sudah tertarik dan hampir
menerima, tetapi mengingat pengalaman
pahitnya di Lam-koan, Cu Tong-liang tidak
buru-buru menerima tawaran Wong Lu-siok.
Meskipun menganggap Liu Yok "banyak
kekurangan" dibanding Wong Lu-siok, tetapi Cu
Tong-liang masih ingin mendengar dulu
pendapat-pendapatnya juga.
Ketika hal itu dikemukakannya kepada
Wong Lu-siok, ternyata guru kerohanian itu
tidak melarangnya, malah memuji Cu Tongliang sebagai "kacang yang tidak melupakan
kulitnya". Keruan saja Cu Tong-liang menjadi
makin mengaguminya, sekaligus semakin
mengkritik Liu Yok biarpun hanya dalam hati.
Ketika matahari mulai tenggelam, Cu Tongliang juga mulai melangkah sendirian di padang
ilalang itu. Ia ingin bertemu Liu Yok untuk
membicarakan tawaran Wong Lu-siok, namun
rasanya dalam hati tekadnya kian bulat bahwa
bagaimanapun pendapat Wong Lu-siok, ia tetap
Mulut Macan 8 14 akan menerima tawaran Wong Lu-siok yang
nampak amat tulus itu. "Sekedar untuk jagajaga".
"... dan Liu Yok tidak berhak mengatur
sampai segi sekecil-kecilnya dari hidupku."
Ketika itu suasana sudah remang-remang,
dan Cu Tong-liang sudah jauh di tengah-tengah
padang ilalang, tiba-tiba ia mendengar ada
gemerisik ilalang di sekitarnya.
Kuping Cu Tong-liang yang tajam langsung
menangkap suara itu, tangannya sudah masuk
kantong baju, siap mengambil bubuk yang
baunya dibenci serigala untuk ditaburkan ke
badannya, karena mengira bahwa yang
mendekatinya itu adalah seriga-serigala.
Kemudian ternyata bahwa bubuk itu takkan
berguna, sebab yang muncul adalah manusiamanusia berwajah garang dan bersenjata. Ada
enam orang, dan yang memegang senjata hanya
lima orang. Yang seorang tidak bersenjata,
namun terasa sikap dan perbawanya
menunjukkan bahwa dialah pemimpinnya, la
seorang lelaki berusia empat puluhan, berwajah
Mulut Macan 8 15 pucat, bercukur bersih, selalu tersenyum.
Pakaiannya serba hitam, dan ada mantel hitam
di punggungnya. Rasanya Cu Tong-liang sudah bisa menebak
siapa orang ini. Orang bermantel hitam itu tertawa dingin
dan berkata, "Jadi beginikah tampang pelatih
militer di Seng-tin itu?"
"Kau pasti Beng Hek-hou, kepala gerombolan itu." "Haha, ternyata kita sudah saling
mengetahui meskipun belum pernah bertemu
sebelum ini." "Apa maumu dengan menghadangku di
sini?" "Sederhana. Dengan melatih orang-orang
Seng-tin, berarti kau merintangi rencanaku
untuk mengambil-alih Seng-tin kembali. Maka
kuberi dua pilihan., kepadamu, menyingkirlah
secara baik-baik dan anggap Seng-tin tak ada
lagi sangkut-pautnya denganmu. Atau, kau
membandel dan aku harus membunuhmu. Bila
orang-orang Seng-tin menemukan mayatmu,
Mulut Macan 8 16 mereka akan tahu bahwa aku belum kalah dan
siap menguasai mereka kembali."
Darah Cu Tong-liang menggelegar gusar,
sebagian besar orang Seng-tin sudah dikenalnya
dan sebagian kecil bahkan sudah menjadi
kawan-kawan baiknya. Sahutnya, "Aku memilih
yang ke tiga. Menangkapmu dan menunjukkan
ke orang orang Seng-tin agar mereka merasa
tenteram. Atau yang ke empat, kalau kamu tidak
mau kutangkap maka mayatmu lah yang akan
kutunjukkan kepada orang orang Seng-tin."
Cu Tong-liang sebenarnya merasa sendiri
kalau kata-katanya itu terlalu garang, tidak
sesuai dengan keadaanny sendiri. Sebab ia
pernah mendengar dan orang-orang Seng-tin
bahwa Beng Hek hou ini pintar ilmu gaib,
bahkan bisa mengubah dirinya menjadi seekor
harimau hitam yang besar. Cu Tong-liang tidak
tahu-menahu soal ilmu gaib, tapi di ingin
menggertak Beng Hek-hou. "Boleh juga gertakmu, tetapi belum kah
orang-orang Seng-tin menceritakan tentang
aku? Bahwa aku dapat membunuh orang dari
Mulut Macan 8 17 jarak jauh hanya dengan membuat sebuah
boneka, yang kutempeli nama orang itu, lalu
kutusuk boneka dengan jarum dan orangnya di
mana pun berada akan mampus."
Jantung Cu Tong-liang berdegup, namun
sebagai bekas perwira rahasia yang ratusan kali
bertugas menyamar, ia punya keahlian
menutupi perasaan sendiri. Ia berlagak tenang
dan tetap senyum-senyum, katanya setenang
mungkin, "Pernah dengar Pek lian-hwe?"
"Pernah. Buat apa kau sebut-sebut itu?"
"Pernah dengar kemampuan ilmu gaib
tokoh-tokoh Pek-lian-hwe, terutama yang di
kota Lam-koan?" tanya Cu Tong-liang pula.
"Hem... mereka hebat, aku pun menghindari
bentrokan dengan mereka," sahut Beng Hekhou terang-terangan. "Tetapi buat apa kau
sebut-sebut peristiwa yang tidak ada sangkutpautnya dengan urusan kita?"
"Dengar bagaimana tokoh-tokoh Pek lianhwe di Lam-koan itu akhirnya semua
tertangkap, tidak peduli betapa lihainya mereka
dalam Ilmu gaib? Pasti kau dengar. Dan siapa
Mulut Macan 8 18 yang telah mengalahkan mereka dan
melumpuhkan Ilmu gaib mereka? Tak lain tak
bukan adalah enam orang petugas rahasia
kerajaan, dan aku adalah salah satu dari enam
orang itu, kalau kau ingin tahu."
Ada sesuatu dalam diri Cu Tong-liang yang
sengaja mengabaikan Liu Yok dalam peristiwa
di Lam-koan dulu. Sesuatu yang tidak ingin
menonjolkan Liu Yok, bahkan ingin menghapuskan sama sekali.
Tetapi gertakan Cu Tong-liang itu membuat
Beng Hek-hou agak percaya juga. Namun tidak
berarti bahwa Beng Hek-hou membatalkan
niatnya. Katanya, "Anjing Kaisar, kalau kau
sampai dipercayai orang Seng-tin untuk melatih
mereka, aku yakin kau tentu punya pegangan.
Tetapi senja ini akan kujajal ilmumu. Bukan
ilmu gaibmu, tetapi ilmu silatmu. Aku akan
menghadapimu satu lawan satu, tanpa senjata,
tanpa dibantu orang-orangku!"
Cu Tong-liang gembira dalam hati. merasa
gertakannya berhasil. Ia menganggap Beng Hekhou menyangka ia benar-benar punya "ilmu
Mulut Macan 8 19

Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gaib yang sudah mengalahkan ilmu gaib Pekllan-hwe" sehingga Beng Hek-hou menghindari
ilmu gaibnya dengan memilih pertarungan ilmu
silat. Untuk memantapkan gertakannya, Cu Tongliang pura-pura berkata, "Beng Hek-hou... Beng
Hek-hou... kusangka kau akan menantang adu
ilmu gaib denganku, jadi bisa kutunjukkan
kepadamu bagaimana kami menaklukkan Lamkoan dulu. Kau benar-benar mengecewakan
aku." Beng Hek-hou tidak ingin banyak bicara
lagi. Sambil menggeram seperti macan, tangan
kanannya mencakar ke wajah Cu Tong-liang
dibarengi kaki kanan yang menendang ke
selangkangan, geraknya ganas dan tidak peduli
soal keindahan dalam silat.
Cu Tong-liang bersemangat meladeninya, ia
melangkah mundur sambil merunduk, menghindari cakaran, dan tangan kirinya
menyambar tumit kaki Beng Hek-hou yang
menendang itu untuk dilempar ke samping.
Mulut Macan 8 20 Beng Hek-hou melompat sambil memutar
tubuhnya, mantel hitam di punggungnya
berkibar mengembang dan mengaburkan
pandangan mata Cu Tong-liang. Di bawah
kibaran mantel hitam yang mengacaukan
pandangan itulah kaki Beng Hek-hou meluncur
dengan tendangan putar ke perut Cu Tong-liang.
Cu Tong-liang mundur lagi selangkah untuk
meluaskan pandangannya, begitu serangan
lewat, ganti dia yang menubruk maju sambil
memberondongkan serangkaian pukulan dan
tendangan yang kuat. Dibarengi bentakan,
"Kaupikir dalam ilmu silat pun aku tidak dapat
mengalahkan-mu?" Begitulah kedua orang itu bertempur,
ditonton anak buah Beng Hek-hou yang benarbenar tidak ikut campur.
Keduanya bergerak makin cepat, makin
kuat, jurus demi jurus membanjir keluar. Cara
berkelahi Beng Hek-hou memang kasar dan liar,
mencakar dan menerkam, tidak jarang
melompat sambil mengaum seperti harimau.
Cu Tong-liang lebih teguh dan tenang, didorong
Mulut Macan 8 21 tekad untuk merebut kemenangan dalam adu
silat sebab itulah satu-satunya kesempatan
untuk menang, sebab dalam soal ilmu gaib Cu
Tong-liang tidak tahu apa-apa bahkan pernah
menjadi korbannya. Cu Tong-liang tidak banyak
melompat seperti Reng Hek-hou, langkahlangkahnya mantap dalam kuda-kuda yang kuat
tapi tidak kaku, tonjokan dan sabetan tangan
kakinya tidak kelihatan garang, tetapi bila kena
tubuh lawan pasti bisa menimbulkan cidera
berat. Sebetulnya sudah beberapa bulan Cu Tongliang tidak berlatih silat, sebab Liu Yok pernah
mengatakan bahwa ilmu silat "membina dan
memperkuat sesuatu yang seharusnya dihancurkan" yaitu harga diri, rasa unggul diri,
mengandalkan diri dan sebagainya. Hal-hal
yang bersangkut-paut dengan "diriku" itulah
Yang menurut Liu Yok harus dimusnahkan
supaya diri ini tidak menyumbat "mata air ilahi"
yang ada dalam hati manusia yang dipulihkan.
Ketika Liu Yok menawari Cu Tong-liang untuk
"mencopot" semua ilmu silatnya, Cu Tong-liang
Mulut Macan 8 22 menolak, meskipun sejak itu ia memang tidak
berlatih. Kini menghadapi Beng Hek-hou, apa
yang sudah mendarah daging itu muncul
kembali. Ternyata, biarpun sudah berbulan-bulan
tidak berlatih, dalam urusan silat ini memang
Cu Tong-liang mengungguli Beng Hek-hou.
Biarpun Beng Hek-hou bertempur dengan
ganas, namun mata Cu Tong-liang yang tajam
dan terlatih makin melihat adanya celah-celah
pertahanan yang dapat diterobos. Dan tidak
lama kemudian, beberapa serangan Cu Tongliang benar-benar dapat mendarat telak di
tubuh Beng Hek-hou. Suatu saat, ketika Beng Hek-hou menubruk
dengan sepasang cakar naik turun hendak
mengincar muka dan dada Cu Tong-liang, Cu
Tong-liang melejit kesamping dan sebuah
tonjokan keras mengenai rusuk lawan.
Pukulan itu telak, membuat Beng Hek-hou
sempoyongan kesakitan. Sebelum Beng Hekhou memantapkan posisinya, tendangan Cu
Mulut Macan 8 23 Cu Tong-liang melejit kesamping dan sebuah
sodokan (tonjokan) keras mengenai
rusuk lawan. Mulut Macan 8 24 Tong-liang sudah mengena pinggangnya
dan membuatnya terlempar beberapa langkah.
Sambil membentak Cu Tong-liang memburu lawannya. Tetapi saat itu terjadi suatu dalam diri Beng
Hek-hou. Ketika kemarahan menguasai jiwanya,
suatu pribadi lain yang "tidur" dalam relung
jiwa terdalamnya mulai terusik bangun. Suatu
pribadi yang tak bertubuh tetapi sudah lama
"mondok" di dalam pribadi Beng Hek-hou,
pribadi dengan sifat dan tabiat seekor harimau.
Ketika pribadi ini terusik bangun, ia langsung
mengambil alih pikiran, kehendak dan perasaan
Beng Hek-houw, bahkan tubuh Beng Hek-hou
dipaksa mengadakan perubahan yang sesuai
Kisah Membunuh Naga 33 Lolita Karya Vladimir Nabokov Kembalinya Raja Tengkorak 3

Cari Blog Ini