Medal Of Love Karya Thelapislazuli Bagian 4
"Siap sayangku? Konsentrasi yaa.. Aku bersamamu." Reno pun ikut memegang anak panah yang dipegang sang istri. Rara justru memejamkan mata dan mengonsetrasikan
pikirannya. Ia dan Reno menarik sejauh yang mereka bisa. Reno mengarahkan busur agar lebih tepat di depan papan targetnya.
"Kita lepasin, ya?" Tanya Reno dengan lembut dan Rara pun mengangguk.
Anak panah pun dilesatkan dan Rara berbalik badan memeluk sang suami. Tangan kiri Reno masih memegang busur sedangkan yang kanan memeluk Rara.
Taaaak! Anak panah menancap sempurna di tengah lingkaran kuning. Bahkan ini poin sempurna untuk seorang pemanah profesional.
"Aaaaaaa kita berhasil!!! Rara seneng, Maaaas!" Pekik Rara sambil memeluk dan mencium suaminya. Reno juga sangat senang melihat istrinya yang seperti ini.
"Wooooy! Panahan mesum! Mana ada panahan sambil peluk-peluk!" Suara Lendra mengganggu kesenangan Reno. Rara tampak malu dan wajahnya sudah memerah sempurna.
"Daripada basket mesum!" Reno membela diri.
"Sama aja kalian semua itu mesum!" Omel Lala sebagai yang paling senior di situ. Membuat semua suami cengar cengir sedangkan para istri cemberut-manja.
Di tempat lain, tiga pasang suami istri yang sedang menikmati suasana tenang dan sejuk kebun samping pun saling bernostalgia.
"Mba Lin.. Saya tuh masih inget dulu main ke sini pas Radith masih usia 7 tahun. Pas masih jadi sekertaris Mas Abi, saya sama Dipta dan pacarnya, Tari
sering ke sini." Ujar Pak Armando pada Bunda.
"Dipta? Dipta adikmu, Man? Siapa nama pacarnya?" Bunda tiba-tiba teringat dengan sosok adik dari mantan sekertaris suaminya itu. Di otaknya mulai menyusun
kemungkinan saat mendengar nama Dipta dan Tari.
"Pradipta, Mba... Nama pacarnya tuhhh..."
"Mentari Abadi bukan?" Tanya Bunda penuh semangat. Astaga akhirnya ia menemukan potongan memorinya akan Ibu dari Rara.
"Loh kok Mba tahu? Tapi Mentari hilang, Mba. Adik saya sampai tidak pernah menikah dengan siapa-siapa sampai sekarang. Sudah seperempat abad mencari tapi
ngga pernah ketemu. Untungnya Reno cuma 8 tahun ya mencari Raranya." Ujar Armando yang tidak mengetahui makna saling pandang yang dilakukan Herlina dan
Abimanyu di depannya itu.
"Yaah, kita menemukannya, Yah." Ucap Bunda yang mendapat anggukan mantap dari sang suami.
*** BAB 27 Satu kesalahan yang dilakukan Bunda, Reno dan Yudi saat mereka mencari bapak Rara selama ini. Mereka semua mencari nama Pradipta sebagai nama keluarga
bukan sebagai nama depan seseorang.
Iya, nama Bapak Rara adalah Pradipta Surya yang tak lain adalah adik dari Armando Ashwin yang kini sudah berubah menjadi Armando Ashwin Wilaga.
Setelah pembicaraan di gazebo, Rara pun diberi tahu oleh Bunda dan Pak Armando tentang sebuah fakta yang tentunya sangat mengagetkan dirinya.
Benarkah Pradipta Surya adalah Bapak yang selama ini ia cari? Benarkan selama ini Bapaknya juga mencarinya? Apa yang sebenarnya terjadi selama ini?
Pertanyaan itu Rara simpan baik-baik hingga pagi ini saat ia sudah berada di depan sebuah rumah sederhana yang tampak sepi.
"Sayang, Kita masuk ke dalam yuk." Suara Reno membuyarkan bayangan-bayangan di kepala Rara.
"Ayoo Sayangku. Semua tanyamu, jawabnya ada di dalam." Reno pun merangkul tubuh istrinya lantas membimbing Rara untuk masuk ke dalam rumah milik Pradipta
tersebut. "Mas... Aku.." "Mas di sini kok. Ayo sayangku." Potong Reno yang langsung tersenyum pada Rara.
Pak Armando, Bunda dan Ayah sudah berkunjung terlebih dahulu untuk menjelaskan duduk permasalahan yang terjadi. Saat ini giliran Rara lah yang menemui
pria yang diduga kuat adalah bapak kandungnya.
"Assalammu'alaikum..." Reno dan Rara mengucap salam bersamaan. Rara masih menggenggam tangan Reno dengan sangat erat.
"Wa'alaikumsalam.." Jawaban itu pun terdengar hingga tak berapa lama pemilik suara itu membuka pintu dan berdiri berhadapan dengan Rara.
Keduanya hanya mampu saling pandang dan terdiam tanpa kata. Membuat keberadaan Reno serba salah di sana. Reno pun mencoba menyudahi aksi saling pandang
ini dengan sapaannya. "Om Dipta, apa kabar? Sa..."
"Kamu benar-benar anak saya, Nak. Saya bahkan bisa melihat mata Mentari di matamu." Begitu ucap Pak Dipta yang langsung terduduk sambil menangis. Rara
pun kaget lantas ikut menangis.
"Maafkan saya menelantarkanmu, Nak. Maafkan saya yang tidak mencari kalian lebih gigih. Maafkan.. Maafkan." Hanya itu yang bisa diucapkan Pak Dipta pada
Rara. "Pak.. Ini Rara. Kata Bunda.."
"Iyaa.. Kamu anak saya, Nak. Kamu anak yang saya cari selama ini. Maafkan saya kalau baru kali ini kita bertemu. Bahkan di saat Ibumu sudah meninggal 8
tahun yang lalu." Pak Dipta kembali menangis setelah kemarin dirinya sudah merasakan sedih yang teramat sangat saat tahu istrinya sudah meninggal dari
cerita Bunda dan Pak Armando.
"Kita masuk dulu, Nak. Maaf Bapak belum menyiapkan apa-apa." Pak Dipta mengusap air matanya lantas berdiri dan menyilahkan Rara dan Reno untuk masuk ke
dalam. Saat masuk ke dalam rumah, Rara pun langsung memeluk Reno dengan sangat erat meski dari samping karena ukuran perut Rara yang sudah semakin membesar. Di
dalam ruang tamu itu, ada sebuah lukisan berukuran besar yang menampilkan wajah Ibu, Mentari Abadi.
"Pak, ini Bapak yang melukis?" Tanya Rara yang masih berlinang air mata meski sudah berkali-kali dihapus oleh sang suami.
"Iya, Nak. Ayo kita masuk ke dalam. Semua tentang Ibumu dan Bapak ada di dalam rumah ini." Ucap Pak Dipta yang mengajak Rara menuju ruang tengah yang lebih
mirip sebagai museum Ibunya.
Banyak foto-foto mesra keduanya saat masih sama-sama muda di ruangan ini. Mereka pun duduk di sebuah sofa dekat dengan foto yang ukurannya paling besar.
Di sana terdapat foto Ibu dan Pak Dipta sedang duduk di sebuah ayunan. Keduanya saling menatap dalam tatapan penuh cinta yang kuat. Bahkan hanya dengan melihat, Rara bisa merasakannya.
"Bapak yang salah karena tidak mencari Ibumu lebih keras. Ibumu pergi karena ia ingin Bapak sepakat dengan keinginan Ibunya Bapak yang memang menginginkan
anak-anaknya menikah dengan keluarga terpandang seperti yang sudah dilakukan Mas Arman." Pak Dipta mulai menceritakan apa yang tidak Rara tahu selama ini.
Rara mendengarkan dengan seksama sedangkan Reno sibuk menghapus air mata sang istri yang sejak tadi tidak bisa dihentikan.
"Kedua orang tua Ibumu sudah meninggal saat Bapak menikahi Ibumu secara agama. Hingga kami pun berkeputusan untuk merahasiakan pernikahan kami dari siapapun."
Pak Dipta kembali menjelaskan satu per satu.
"Kami berencana mendaftarkan pernikahan kami di pengadilan agama kalau restu dari Ibunya Bapak sudah kami dapatkan. Lalu setelahnya, Ibumu mengenalkan
Bapak pada keluarganya yang hanya tinggal kakaknya itu. Tapi akhirnya semua itu tinggal lah rencana. Ibumu yang saat itu sedang mengandungmu pergi dari
rumah ini hanya dengan meninggalkan sebuah surat. Bapak tahu itu pasti karena sebelumnya, Ibunya Bapak menemui Ibumu. Ibu mengatakan tidak akan merestui
pernikahan kami. Karena Ibu hanya mau jika Bapak menikah dengan keluarga yang sudah ditunjuk Ibu. Ibumu menceritakan hal itu pada Bapak dan Bapak sudah
meyakinkan Ibumu. Meski sepertinya peyakinan yang Bapak lakukan gagal. Ibumu pergi di saat Bapak belum mengenal siapa-siapa dari keluarga Ibumu." Pak Dipta
menuju sebuah meja berlaci lalu mengeluarkan sebuah buku. Dari dalam buku itu, ia pun mengeluarkan selembar kertas yang sudah menguning, lusuh dan sangat
rapuh. Itu surat dari Ibunya untuk Pak Dipta.
Mas Dipta yang sangat aku cintai.
Terima kasih untuk cinta yang Mas berikan padaku selama ini. Terima kasih karena telah berani menikahi Mentari dan mengucap janji di depan Tuhan.
Tapi maaf, Mas.. Maaf jika Mentari pergi. Mentari hanya ingin Mas menjadi anak yang berbakti dengan menuruti apa kata Ibunya Mas. Mentari tidak mau menjadi penghalang hubungan
baik antara ibu dan anak, Mas. Mentari mau mempertahankan hubungan kita, tapi Mentari tidak bisa dan tidak kuat menerima hinaan dari Ibu, Mas. Maafkan
Mentari ya.. Mas. Ibunya Mas benar jika Mentari dan Surya tidak mungkin bersama. Ibu bilang hanya boleh ada 1 matahari di dunia ini. Jadi sampai kapanpun Ibu bilang tidak
pernah mau menerima Mentari.
Jangan katakan Mentari egois, Mas. Mentari hanya melindungi diri dari sakit hati, konflik dan ketidak pemberian restu dari Ibunya Mas. Jangan pernah cari
Mentari, Mas. Karena itu adalah sebuah ke sia-siaan.
Selamat tinggal, Mas Dipta. Mentari pamit pergi dulu. Terima kasih untuk tahun-tahun indahnya.
Mentari sangat mencintaimu Mas,
Surya kehidupanku. Rara pun memegang dadanya karena terasa sangat sakit setelah membaca surat bertuliskan tangan sang ibu. Hatinya hancur karena ikut merasakan apa yang dirasakan
kedua orangnya. Reno hanya bisa mengatur nafas karena melihat Raranya menangis adalah siksaan bagi dirinya.
Pak Dipta pun menceritakan awal mula pertemuannya dengan Mentari.
29 Tahun yang lalu... "Cokelatnya manis kayak yang bikin." Ucap Dipta pada seorang gadis manis yang sudah mencuri hatinya. Hari ini sepulang dari sanggar lukis ia pergi ke toko
cokelat yang berada di dekat sanggarnya.
"Boleh kenalan ngga?" Tanya Dipta lagi tak mau nyerah. Ia tahu bahwa gadis di depannya ini pemalu dan sepertinya dari daerah karena terlihat lugu dan polos.
"Di sini toko cokelat ya, Mas. Bukan agensi jodoh. Tidak melayani pertanyaan nama!" Ucap gadis itu dengan ketus.
"Mentariiiiiii!!! Mba pergi dulu yaa mau belanja keperluan toko. Tolong titip toko." Ucap seorang ibu gemuk yang sepertinya bos dari gadis itu.
"Iyaa Mba Sri! Hati-hati di jalan!" Gadis itu pun melambaikan tangan dan tersenyum ke arah Mba Sri yang membuat Dipta semakin terpesona.
"Oh.. Namanya Mentari. Nama yang pas sama nama aku. Kenalin, nama aku Pradipta Surya. Mentari dan Surya itu artinya sama kan? Kayaknya kita jodoh deh..."
Ucap Dipta yang justru ditinggal Mentari ke dalam.
Mentari tak suka dengan pria kota yang biasanya terkenal playboy itu. Mentari sendiri merantau dari Jogja sejak ia mendapatkan beasiswa untuk belajar di
Cooking School milik Chef Baharudin di Jakarta. Setelah selesai, ia diajak seniornya untuk mengurus sebuah toko cokelat milikya. Iya, Mba Sri yang tadi
adalah senior sekaligus Bos Mentari di sini.
Setelah toko ditutup, Mentari pun pulang menuju kostan yang tidak jauh dari toko tersebut. Tiba-tiba sosok pria super percaya diri yang mengesalkan Mentari
di toko tadi pun menghadang jalannya.
"Hai manis! Mau pulang ya? Mau dianter tidak sama aku?" Dipta menggoda gadis manis yang wajahnya justru sudah sangat ketakutan.
"Mas itu tukang perkosa ya? Mau merkosa saya? Iya? Toloooong tolooong ada tukang perkosa! Dia mau perkosa saya! Saya dibuntutin daritadi tolooong!" Mentari
yang kaget dengan kedatangan Dipta yang mencurigakan itu pun berteriak tanpa ampun.
Cukup sekali teriak, Dipta sudah dikepung warga dengan wajah garang dan balok-balok kayu.
"Ampuun! Ampuun! Saya ngga mau merkosa kook. Ampuun!" Dipta memohon ampun pada para warga.
Mentari yang melihat darah segar keluar dari hidup Dipta pun menjadi tak tega.
'Astaga.. Kalau orang ini meninggal bagaimana?' Cemas Mentari di dalam hati.
"Pak... pak sudaah.. Jangan main hakim sendiri. Nanti orang ini meninggal. Makasih sudah menolong saya." Mentari jadi pasang badan melindungi Dipta. Membuat
beberapa warga menggerutu kesal. Beberapa ada yang mengajak Mentari melapor ke polisi namun ditolaknya. Lagipula belum tentu Dipta ini benar-benar mau
memperkosanya kan? "Aduuh sakit semua.. Aduuh." Dipta mengerang kesakitan hingga membuat Mentari tak tega dan merasa bersalah. Ia tak menyangka kalau warga akan bertindak
sejauh ini. Mentari pun meminta salah seorang warga tadi untuk membawa Dipta ke kostannya.
"Aaaaw! Sakiiit! Pelan-pelan!" Dipta marah-marah saat Mentari mengompres biru-biru di wajahnya.
"Maaf.." Mentari berkata lirih.
"Di kota besar tuh, jangan asal teriak. Kalau aku tuntut kamu bisa masuk penjara karena telah fitnah aku tanpa bukti!" Ujar Dipta yang membuat Mentari
menjadi takut. "Maaf Mas, jangan tuntut saya. Saya cuma kaget dan takut jadinya teriak. Maaf Mas." Mentari menunduk takut namun membuat Dipta mengulum senyum meski pipinya
terasa sakit. "Kalau ngga mau dituntut, ada syaratnya!" Ucap Dipta penuh maksud terselubung.
"Selama syaratnya ngga melanggar ajaran agama dan hukum, saya mau menjalaninya, Mas."Ujar Mentari yang ketakutan. Dipta pun tahu kalau Mentari adalah gadis
baik dan polos. "Kamu harus nemenin aku setiap akhir pekan di sanggar selama tiga bulan sekaligus buatin kue cokelat khusus buat aku. Bisa?" Inilah ide Dipta untuk dekat
dengan gadis yang sudah mencuri hatinya itu.
"Tiga bulan? Lama banget Mas?" Protes Mentari.
"Di penjara bisa tiga puluh tahun." Jawab Dipta menakut-nakuti gadis polos di depannya. Mentari pun tampak berpikir lantas mengangguk setuju.
"Nemenin doang kan? Kalau macam-macam saya teriakin lagi loh!" Ancam Mentari yang membuat Dipta gemas.
"Astagaaa.. Mana ada sih tukang perkosa ganteng kayak gini? Kamu pikirannya buruk banget sih sama aku!" Ujar Dipta yang justru mendapatkan pukulan di lengan
yang biru. "Sakiiit! Ini sudah biru dipukul warga." Teriak Dipta yang membuat beberapa penghuni kos keluar dari kamar. Mentari minta maaf pada penghuni kostan yang
terganggu lantas berbicara dengan Dipta.
"Jangan ke-pede-an! Setiap pria centil tetap harus dicurai kau dia itu BUAYA!" Mentari pun meninggalkan Dipta yang masih meringis kesakitan.
'Yang seperti ini yang aku cari.. Mentari, jangan panggil namaku Dipta. Kalau kita tak bisa saling mencintai.'
****** Setelah menyetujui syarat Dipta, Mentari pun kini berada di sanggar lukis bersama Dipta yang sudah senyum-senyum tanpa sebab.
"Saya nunggu di sini berapa lama? Terus saya ngapain?" Tanya Mentari dengan tatapan galak.
"Sampai saya selesai melukis. Kamu duduk diam saja." Ucap Dipta santai.
Katanya duduk diam, tapi nyatanya Dipta ini meminta ini itu pada Mentari dengan ancaman melaporkan Mentari kepada polisi jika tidak menurutinya.
"Mentari.. Suapin cokelatnya."
"Mentari tolong handuk aku, sekalian kamu lap dong keringet di dahi. Lagi nanggung nih ngelukisnya."
Mentari menurut meski hatinya mendumel. Selalu seperti itu hingga sebulan sudah mereka sering bersama. Dipta selalu ke toko cokelat begitu Mentari yang
selalu ke sanggar lukis. Dipta dengan ancamannya selalu berhasil meminta macam-macam pada Mentari. Mulai makan siang bersama, makan malam, ajakan jogging
dsb. Waktu ternyata berhasil menumbuhkan sebuah rasa di hati Mentari. Meski Dipta selalu mengesalkannya tapi pria itu selalu ada di hari-hari Mentari. Saat
Mentari sakit, Diptalah yang mengantarnya ke dokter dan mengawasi Mentari yang sering malas makan itu.
"Makan buburnya apa aku laporin ke polisi?" Begitu cara Dipta mengancam Mentari dan ternyata hal ini selalu berhasil. Sebenarnya Mentari sudah suka rela
melakukan yang dipinta Dipta tanpa takut ancaman itu. Toh tidak ada saksi dan barang bukti kan, kalau Dipta mau melapor.
Mentari memang sudah menjadi yatim piatu sejak ia SMP. Selama itu ia tinggal bersama kakaknya, Mba Martini yang sudah bekeluarga. Sejak lulus SMA, Mentari
memilih untuk hidup mandiri seperti saat ini.
Dipta sendiri sudah selesai kuliah jurusan seni dan kini mengelola sanggar lukis bersama teman-temannya. Ia tidak seperti kakaknya, Mas Arman yang memilih
kerja sebagai sekertaris pribadi Abimanyu Trisdiantoro.
"Mentari... Besok kan hari minggu terakhir kamu nemenin aku di sanggar. Sepulang dari sanggar kita jalan yuk." Ujar Dipta dengan santai. Mentari pun baru
sadar ternyata sudah tiga bulan keduanya dekat.
"Jalan ke mana?" Tanya Mentari
"Terserah kamu. Mau nonton ayo, makan juga ayo." Jawab Dipta yang sebenarnya ingin menyatakan cintanya pada gadis manis di depannya ini.
"Ya sudah makan saja." Pilih Mentari yang membuat Dipta bersorak bahagia.
Hari minggu pun tiba. Dipta sudah siap menyatakan cintanya pada Mentari. Hingga setelah mereka selesai makan, Dipta pun memandang Mentari dengan lekat.
"Mas kenapa lihatnya gitu sih?" Tanya Mentari resah. Hatinya sudah bergemuruh tak karuan ditatap pria seperti Dipta.
"Lagi ngeliat mata kamu yang indah. Aku mau tahu ada aku ngga di sana." Dipta sudah senyum-senyum dengan tetap memandang Mentari.
"Mentari, aku mau tanya. Kamu mau jadi kekasihku kan? Aku ini mendekatimu sejak awal karena sudah tertarik padamu. Penolakanmu yang membuatku babak belur
justru menaikan status tertarikku menjadi suka. Kebersamaan kita menaiki rasa suka itu menjadi nyaman. Saat kamu sakit, rasa nyaman ini berbubah menjadi
sayang. Rasa sayang yang selalu ingin menemani dan melindungimu apapun keadaannya. Kini aku ingin menaiki status rasaku menjadi cinta dengan menjadikanmu
kekasihku. Kamu mau kan?" Tanya Dipta yang kini membuat Mentari mengerjap cepat.
"Kamu ngga percaya ya sama aku? Kamu masih menilai aku buaya? Playboy?" Tebak Dipta yang digeleng keras oleh Mentari.
"Terus kenapa ngga bilang iya?" Tanya Dipta lagi.
"Ini ngga mimpikan? Mas Dipta ngga lagi bercanda atau taruhan sama orang kan?" Tanya Mentari ragu.
"Engga Mentariii.. Ini serius banget malahan. Jadi jawabannya?" Dipta tahu ada rasa yang sama di hati Mentari tapi sayangnya Mentari takut mengakuinya.
"Mentari? Jadi jawabannya apa?" Dipta masih menatap lekat Mentari hingga ia melihat anggukan pelan dari kepala Mentari.
"Ini anggukan apa maksudnya? Ngomong dong.. Ngga dengar nih!" Ujar Dipta menggoda Mentari.
"Iyaaa Mentari mau." Jawab Mentari sambil menutupi matanya.
"Mau apa? Mau makan? Sudah kan. Mau apa nih?" Tanya Dipta lagi.
"Ngeselin yaaa! Iya Mentari mau jadi kekasih Mas Dipta." Jawab Mentari dengan dengusan kesal.
"Karena apa mau jadi kekasihku?" Tanya Dipta lagi.
"Karena apa yang Mas rasain sama kayak yang Mentari rasain." Sudah merah padamlah wajah Mentari kali ini.
"Hohohoho yeeees!!!!!! Makasih Mentari! Kita resmi yaa!" Ujar Dipta dengan hati berbunga-bunga.
*** BAB 28 Setelah berubah status menjadi sepasang kekasih, Dipta dan Mentari menjalani hari-hari hingga bulan-bulan mereka penuh canda dan tawa. Dipta dengan kepercayaan
diri yang maksimal kadang membuat Mentari jengkel juga semakin sayang pada kekasihnya itu.
Dipta mengenalkan Mentari hanya pada Mas Arman. Kakaknya ini sudah menikah dengan wanita yang sesuai dengan cita-cita sang ibu. Ini yang membuat Dipta
belum berani mengenalkan Mentari pada Ibunya. Dipta takut ibunya menolak kehadiran Mentari. Dipta sangat tahu kalau ibunya berkeinginan kedua anaknya menikah
dengan wanita terpandang dari keluarga hartawan.
Meski Dipta takut pada sang Ibu, tapi dirinya berbeda dengan Mas Arman. Ia tidak mau menjadi boneka pewujud cita-cita Ibunya itu. Sebenarnya dulu Ibunya
tak begini. Namun sejak Bapak meninggal, Ibu berubah menjadi wanita matrealistis seperti ini.
"Wanita dari kalangan atas itu membuat hidupmu tak susah." Begitu yang selalu ibunya katakan.
"Mas Diptaa kok melamun? Lagi mikirin apa hayo?" Suara Mentari membuyarkan lamunan Dipta.
"Aku lagi mikirin tentang kita, Tar. Aku ingin menghalalkan hubungan kita. Tapi kondisinya masih begini." Jujur Dipta pada Mentari. Ini sudah setahun mereka
berpacaran. Meski selama ini tidak ada batas yang dilanggar tapi bagi dua manusia berbeda jenis kelamin dan normal, hal-hal seperti itu tetap menjadi ujian
bagi mereka. "Kalau Mas takut dan Ibunya Mas ngga akan pernah setuju, sebaiknya kita pisah saja Mas." Mentari berani mengatakan itu bukan tanpa sebab. Sebagai perempuan,
dirinya juga ingin hubungannya ini dihalalkan di depan Tuhan dan Negara.
Kesalahan Dipta adalah ia tidak berani mengambil resiko bersama. Sebagai pria, ia sadar bahwa tidak ada yang diingini seorang wanita kecuali hubungan yang
sah. Namun sepertinya Dipta terlalu mengedepankan ketakutannya.
"Aku ngga mau pisah sama kamu, Tar. Ngga akan. Kita akan menikah meski mungkin tanpa diketahui siapapun." Putusan Dipta memang terdengar aneh tapi jangan
salahkan Mentari yang saat itu menerima apa yang dipikirkan Dipta. Saat itu Mentari dan Dipta yang masih sama-sama muda tentu belum berpikir efek jangka
panjangnya. ***** Suatu hari, Mas Arman mengajak Dipta dan Mentari ke villa milik Bos nya, Pak Abi. Mas Arman ingin membicarakan kemungkinan pengunduran dirinya. Hal ini
terkait dengan Papa dari istrinya, yang sudah meminta Mas Arman mengurus kantor majalah dan stasiun televisi yang dimiliknya.
"Serius Mas, aku boleh ngajak Tari?" Tanya Dipta pada kakaknya.
"Seriuslah.. Ajak yaa!" Begitu jawab Mas Arman pada adiknya itu.
Maka kini Mas Arman, Dipta dan Tari sudah berada di villa yang sangat besar dan luas. Mentari melihat seorang anak kecil sedang berlari-lari menuju mereka
sambil membawa mobil kesayangannya.
"Om Arman mau ketemu Ayah dan Bunda ya? Sebentar ya Radith panggilin. Mereka sedang minum teh di taman belakang. Kita masuk dulu yuk Om, Oh ada Om dan
Tante. Selamat datang, ayo masuk." Ucap anak berusia 7 tahun kepada sekertaris Ayahnya. Dialah Bintang Radithya Trisdiantoro.
"Makasih Radith. Oh iya, kenalin ini adiknya Om sama pacarnya. Ini Om Dipta dan ini Tante Tari." Mas Arman mengenalkan Dipta dan Tari pada Radith.
"Salam kenal Om Dipta dan Tante Tari. Saya Radith." Ucap Radith yang langsung membuat Dipta dan Mentari tersenyum.
"Salam kenal juga Radith. Kamu anak yang baik dan tampan." Ucap Mentari.
Setelah perkenalan itu, Radith kembali melanjutkan kegiatan merakit mobil-mobilannya. Sedangkan Mas Arman, Dipta dan Mentari mengobrol dengan Pak Abi dan
Bu Herlina. "Mas, Mba, ini adik saya sama pacarnya. Dipta dan Mentari." Ucap Mas Arman pada Pak Abi dan istrinya.
"Waah salam kenal yaa.. Panggil aku Mba Lin saja." Ucap Bu Herlina pada Mentari yang menyapanya dengan sapaan 'Bu'.
Baru saja berkenalan, pembantu di villa itu berteriak karena Radith terpeleset di tangga. Membuat Bu Herlina kaget dan panik. Ia pun langsung meninggalkan
sekertaris suami beserta keluarganya itu. Bagi Bu Herlina yang terpenting adalah anak semata wayangnya saat itu.
Mentari tadinya ingin banyak berbincang dengan Bu Herlina yang terlihat sangat ramah dan baik itu. Namun keadaan tidak memungkinkan sehingga Mentari hanya
senang karena sudah diajak ke villa ini.
***** Hari berlalu dan bulan berganti hingga tiga tahun hubungan Dipta dan Mentari benar-benar diam di tempat. Dipta sudah mengenalkan Mentari pada Elisa, ibunya.
Namun seperti yang sudah diduga, Ibu Elisa menolak apapun alasan yang diucapkan Dipta.
"Bu, Mas Arman kan sudah menikah dengan Mba Lily dari keluarga terpandang. Dipta bebas dong Bu memilih siapa pendamping hidup Dipta."
"Tidak Dipta! Sekali tidak tetap tidak! Sampai matahari terbit di tenggara, Ibu tetap tidak akan merestui kamu!"
Keduanya kini memandang langit sore dengan wajah putus asa. Mentari juga tidak berani bercerita dengan kakaknya. Keinginannya untuk hidup mandiri membuat
dirinya menutupi semua ini dari Mba Martini.
"Tar, kita tetap nikah. Restu Ibu kita minta perlahan tapi hubungan ini tidak pisah dan justru halal di mata Tuhan. Jangan khawatir, kita hadapi bersama.
Kita rahasiakan dulu pernikahan kita. Bagaimana?"
Ide Dipta pun disetujui Mentari hingga akhirnya mereka dinyatakan sah secara agama. Meski Mentari ingin segera sah secara agama dan negara, namun ia sadar
dengan keadaannya mereka saat ini.
Hari-hari setelah menikah diam-diam itu pun dilalui penuh cinta. Dipta mencintai Mentari dengan amat sangat begitupun dengan Mentari pada Dipta.
Empat bulan setelah mereka menikah, Mentari dinyatakan hamil. Tentu saja ini berita bahagia untuk keduanya.
"Semoga anak kita ini jadi jembatan untuk menjemput restu Ibu ya, Tar." Ucap Dipta pada Mentari yang tampak sangat sedih.
"Kamu kenapa sayang? Kok malah sedih?" Dipta memeluk sang istri.
"Ibu sudah datang menemui Mentari, Mas. Ibu bilang kalau aku adalah penghalang bakti Mas padanya. Ibu mengharamkan surga bagi Mas kalau Mas masih dengan
Mentari." Mentari pun menangis keras.
"Kamu cukup percaya sama Mas, Tar. Sekeras-kerasnya karang, abrasi laut akan mengikisnya secara perlahan tapi pasti. Kita tetap berjuang ya." Dipta menghapus
air mata istrinya dan memeluk istrinya erat.
Keesokkan paginya, Dipta mencari sang istri yang semalam suntuk itu menangis karena kelakuan Ibunya. Dipta mencari ke tiga ruangan di kontrakan yang ia
sewa itu. Hasilnya nihil. Mentari hilang untuk selamanya dari hidupnya. Hanya sepucuk surat dan penyesalan yang ditinggalkan Mentari untuk Dipta.
Dipta mengatakan pada sang kakak yang juga bingung dan tidak bisa berbuat apa-apa. Dipta tidak tahu siapa keluarga Mentari meski mereka sudah bersama selama
4 tahun ini. Mentari sendiri kabur dari rumah itu lantas pergi jauh ke pinggiran kota Jakarta. Ia bersama kandungannya bertahan hidup dengan menempati sebuah rumah
yang dihuni seorang nenek penyapu jalan tol.
Setelah melahirkan Mentari bekerja hingga ia bisa pindah ke rumah kontrakan yang akhirnya menjadi tempat tinggalnya hingga bayi itu menjadi gadis remaja.
Nama bayi cantik itu adalah Clarissa Aurora Pradipta. Mentari memanggil malaikat kecilnya dengan sapaan Rara. Bagi Mentari, Rara adalah aurora indah bagi
hidupnya dari seseorang bernama Pradipta, pria yang sangat ia cintai. Itulah arti nama lengkap Rara.
Mba Martini yang akhirnya mengetahui keadaan Mentari yang hamil dan kabur dari sang suami itu pun mencoba memahami dan menerima dengan tangan terbuka.
Hidup Mentari jelas tidak mudah setelah ia pergi dari sisi Dipta. Masyarakat mencemooh keberadaannya. Semua mengatakan bahwa Mentari adalah wanita tak
bermoral dan anak yang dimilikinya adalah anak haram.
Belasan tahun Dipta mencari dan selama itu juga Mentari bersembunyi hingga ajal menjemputnya, Mentari tidak pernah bercerita pada Rara siapa nama Bapaknya.
Alasannya, Mentari tak mau Rara mendapat siksaan, hinaan dan penolakan dari Ibu Elisa, seperti yang ia alami. Maka itulah Rara tidak pernah tahu siapa
Bapak kandungnya hingga pembicaraan di gazebo siang itu.
Medal Of Love Karya Thelapislazuli di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
****** Setelah mendengarkan Pak Dipta bercerita seharian, Rara yang akhirnya menemukan Bapak kandungnya itu pun pamit pulang. Bagaimana pun kondisinya yang sedang
hamil membuat Rara tidak bisa terlalu lama beraktivitas di luar. Pak Dipta pun mengerti keadaan putrinya. Sebelum pulang Pak Dipta menyampaikan niatnya
untuk mengajak Rara bertemu dengan Ibu Elisa, Nenek Rara yang masih sehat hingga saat ini. Sejujurnya Rara sedikit takut dengan ajakan sang Bapak.
"Ngga usah takut, sayang. Ada Langit Moreno di samping kamu." Kalimat dari suaminya ini lah yang menguatkan Rara hingga ia mengangguk setuju. Akhir pekan
ini mereka akan pergi ke rumah Ibu Elisa.
***** Kini Rara dan Reno sudah berada di atas kasur. Reno sedang memijat kaki Rara yang tampak membengkak.
"Sa, kamu jangan nangis lagi ya..? Itu mata kamu besok pasti bengkak deh karena tadi nangis mulu. Lihat kamu nangis itu, cekit cekit di hati aku." Reno
dengan gaya tengilnya akhirnya kembali. Ia sudah gerah karena harus bermode kalem seperti Radith saat berada di depan Pak Dipta, sang bapak mertua.
"Iyaa.. Ngga nangis lagi, Mas Reno." Jawab Rara dengan senyum manis.
"Tuh kan adem hati Mas Lo'feli kalau lihat kamu senyum gitu. Sa, gara-gara dengerin Bapak cerita aku nemuin hal yang mirip loh antara orang tua kamu dengan
kisah kita." Ucap Reno yang kini sudah selesai memijat lantas meletakan kepalanya di paha Rara yang sedang duduk bersandar pada kepala ranjang.
"Aku sama Ibu sama-sama kabur tanpa pamit ya? Mungkin kalau Bunda kayak Nenek, kita ngga bakal kayak gini ya, Mas?" Tanya Rara sambil memainkan jarinya
di rambut halus suaminya.
"Iiih kamu langsung mikir ke yang beratnya deh. Padahal tadi maksudnya aku tuh, Bapak kamu tukang godain dan pede juga kayak aku. Terus Ibu kamu galak
kayak kamu." Ujar Reno sambil memejamkan mata. Usapan tangan Rara begitu terasa nyaman baginya.
"Pernikahan diam-diamnya juga sama ya, Mas. Meski beda situasi." Rara masih mengungkapkan kesamaan mereka yang lain. Reno pun jadi bangkit dari kenyamanannya
lantas duduk di depan sang istri.
"Tapi cinta dan cara mencintai kita beda, Sa. Kamu tahu ngga dalam hubungan itu bukan cuma cinta yang penting tapi cara mencintai juga penting. Cara mencintai
ini yang nantinya membimbing dua orang saling mencinta dalam bertindak." Ucap Reno yang kini meluk istrinya dari samping.
"Maksudnya Mas?" Tanya Rara pada Reno yang kini sudah mengusap-usap perut Rara.
"Cerita tentang cara mencintai Bapak dan Ibu kamu itu bisa jadi pelajaran bagi kita semua. Pelajaran pertama adalah tentang keterbukaan. Seandainya Bapak
mengenal Budhe Martini, mungkin saat Ibu pergi, dengan mudah Bapak bisa menemukan Ibu. Atau Budhe menemukan Bapak untukmu. Yang kedua adalah tentang melawan
ketakutan atas pemikiran sendiri. Itu paling sulit tapi harus dilakukan. Ibu sama Bapak punya ketakutannya masing-masing yang tidak bisa mereka atasi atau
bahkan mereka lawan. Pelajaran ketiga adalah tentang komitmen berjuang bersama. Inget kita dulu? Kalau kita ngga saling menggenggam kuat, tidak ada dedek
di sini." Reno mencium perut Rara yang membuat Rara merasa geli dan tertawa.
"Kita harus ambil semua pelajaran itu untuk kehidupan kita dan bahan ajar kita untuk anak-anak kita nanti." Ucap Reno yang kini kembali memeluk Rara.
"Eh, Sa. Aku baru sadar satu hal. Jadi orang tua kita sudah pernah ketemu bahkan di saat kita belum lahir ke dunia. Takdir semisteri itunya." Tiba-tiba
mengungkapkan apa yang mau ia utarakan sejak tadi.
"Iyaa juga ya.. Itu pas Mas Radith masih 7 tahun. Mas sama Mas Radith beda 11 tahun kan ya?" Tanya Rara pada suaminya yang selalu sadar akan hal-hal kecil
namun penting. "Iyaa 11 tahun. Jauh yaa.. Pantesan Mas Radith sudah kelihatan tua." Reno pun cekikikan yang membuat Rara menggelengkan kepala.
"Mas Reno, terima kasih karena sudah selalu berada di samping Rara ya, Mas. Terima kasih karena menjaga perjanjian hati kita. Menemani dan membimbingku
untuk melawan setiap ketakutan yang ada di dalam otakku ini." Rara mengatakan hal yang membuat Reno menghentikan cekikikannya. Setelahnya Rara pun mencium
pipi suaminya. "Aku yang terima kasih, sayang. Terima kasih karena kamu selalu menggengam tangan seorang Reno dengan erat. Kamu menemani Mas apapun kondisinya. Mas cinta
sama kamu, Sa." Reno pun mencium bibir istrinya dengan penuh kelembutan.
"Mas, Rara kangen Mas Reno." Rara tiba-tiba mengatakan hal yang membuat Reno mengerutkan dahi.
"Kangen? Biasanya kata itu kan kode buat...." Reno berpikir keras yang membuat Rara mencebik.
"Mas Reno lama ah mikirnya! Rara keburu ngantuk. Ngga jadi kangennya." Rara beringsut ke dalam selimut tebalnya meninggalkan Reno yang panik.
"Yaduuuh., jangan dibatalin dong Sa kangennya. Iya.. Iya Mas Lo'feli juga kangen mau jenguk dedek. Sa.. Ayo banguun.. Mati deh gue! Duuh Reno kenapa lemot
banget sih.. Astaga!! Ini rezeki bablas deh. Ya Tuhan.." Reno terus mengoceh sambil mencolek-colek sang istri yang sudah menahan tawanya.
"Mas Reno berisik banget siiih.. Rara mau tidur." Rara masih berakting biar suaminya makin kalang kabut. Reno pun tersenyum penuh ide.
"Yakin mau tidur kalau aku giniin?" Reno memeluk sang isrri dari belakang dan meletakan kepalanya di ceruk leher Rara. Mengganggu ketenangan jiwa Rara
di sana dengan segala bentuk upaya Reno.
"Maaaaaas!!!!!! Geli ih! Iyaaa ngga jadi batal!" Rara pun menyerah pasrah. Reno memang paling tahu bagaimana menaklukan his lovely rivalnya ini.
"Yeeees!!!!! Berhasil!!! Yuhuuu!" Reno pun bersorak layaknya anak kecil yang berhasil merengek minta mainan pada ibunya. Malam itu berakhir dengan aktivitas favorit Reno yang pastinya membuat ia semakin susah dibangunkan esok paginya.
*** BAB 29 Setelah membangunkan Reno dengan susah payah, menyiapkan sang calon Papa muda itu sarapan, kini Rara sedang berada di dapur bersama Bunda. Pagi ini Rara
sedang sibuk mengerjakan pesanan cokelat yang datang cukup banyak di toko on-linenya.
Rara menceritakan rencana akhir pekannya yang akan bertemu dengan sang nenek pada Bunda.
"Bunda ikut ya, Ra. Mau ketemu juga sama nenek kamu." Bunda meminta ikut karena entah bagaimana, Bunda merasa khawatir dengan perilaku sang nenek yang
terkenal keras hati itu. "Boleh, Bun. Rara malah baru mau ngajak Bunda." Rara tersenyum ke arah ibu mertua yang selalu tampak ceria dan bahagia ini.
"Bunda... Terima kasih sudah melahirkan suami Rara, terima kasih sudah menerima semua keadaan Rara, bahkan melindungi Rara dengan semua cara yang bisa
Bunda lakuin." Rara menghamburkan dirinya ke tubuh Bunda yang sangat ia cintai itu.
"Sama-sama sayang. Terima kasih sudah melengkapi keinginan Bunda untuk memiliki menantu idaman seperti Neona dan kamu. Bunda sayang kamu, sayang. Bahkan
kayaknya Bunda lebih sayang menantu-menantu Bunda deh daripada dua anak Bunda itu." Bunda balas memeluk Rara dengan sangat erat.
Bunda menangis saat mendengar kisah orang tua Rara langsung dari mulut Pak Dipta saat ia datang bersama Pak Armando dan suaminya. Bagi Bunda, sungguh sesuatu
yang menyedihkan dan miris kala mendengar kisah cinta yang menjadi tidak sempurna hanya karena urusan harta semata.
"Eeh Ra, ngomong-ngomong tentang melahirkan Reno. Dua hari lagi suami kamu itu bukannya ulang tahun?" Tanya Bunda yang kini sedang membantu Rara menuangkan
cokelat cair ke cetakan. "Memangnya dua hari lagi tanggal 15 Agustus? Astaga Bunda! Rara inget tanggal Mas Reno ulang tahun tapi engga engeh sama tanggal berapa sekarang. Rara
belum siapin apa-apa Bun. Gimana ya?" Rara memasang wajah bingung sedangkan Bunda tertawa.
"Kamu tuh ngingetin Bunda sama Neona. Dia dulu heboh banget pas pertama kali merayakan ulang tahunnya Radith. Coba deh kamu tanya sama Neona, siapa tahu
dapat inspirasi gimana ngerayain ulang tahun Reno." Kali ini Bunda cekikikan mirip Reno. Bunda sudah tahu apa yang akan dijawab Neona karena hal itu juga
ia lakukan saat suaminya berulang tahun. The Trisdisntoro memang punya satu selera untuk yang satu itu.
Setelah selesai membuat pesanan dan mengirimnya, Rara pun mengirim pesan ke grup The Nyonya buatan Mba Lala.
RaRen : Assalammu'alaikum Nyonya-nyonya
LaLen : Wa'alaikum salam Raraaa.. Ada apa nih?
Nadithya : Wa'alaikum salam Rara, Mba baru selesai ngajar ada apa nih?
RaRen : Mau tanya, kalau suami Mba-mba sekalian ulang tahun biasanya ngasih kado apa?
LaLen : Si tengil mau ultah?? Mba mau ngerjain aaah!
Nadithya : Kalau Mas Radith sukanya dibuatin makan malam, kado-kado handmade terus yaa begitu deh.
LaLen: Waelaaah Na! Masih aja malu-malu bilangnya. Kalau Mas Lendra mah ngga minta macem-macem. Mba dipitain juga dia sudah senang syekali.
Nadithya : Mba Lala ketularan mesumnya Mas Lendra ih!
LaLen: Mesumnya Lendra sama Reno kayaknya setara deh.
RaRen : Tapi aku lagi hamil besar, meski tetep sih hihihi
Nadhitya : Jangan Ra, nanti masalah kalau terlalu seru-seru. Mendingan kita rundingan yuk sore ini.
LaLen : Ide baguuus! Mba udh lama mau ngerjain Reno! Reno pulang ngantor jam berapa sih? Kan ngga asyik kalau lagi ngobrol ada orangnya. Dia kan kepo-an.
RaRen : Hari ini sih ada meeting sampai sore. Jadi aman Mba.
LaLen : Yoweees see you nyonyah-nyonyah seksi!
NaDhitya : Siip! See you RaRen : Ditunggu mba-mbaku!
Seusai mengontak para kakak iparnya, Rara masuk ke kamar Reno yang menjadi kamar mereka berdua selama ini. Rara melihat ke sekeliling. Tampaknya tidak
ada yang tidak dimiliki Reno. Apa coba yang harus Rara berikan pada pria yang sepertinya punya semuanya?
Rara pun beride dan mengambil sebuah kertas lalu menuliskan sesuatu sambil senyum-senyum. Setelahnya ia berjalan ke arah medali kebanggaan Moreno lantas
menemui Bunda. "Bundaa waktu Mas Reno menang OSN masih ada foto-fotonya ngga?" Rara bertanya Bunda yang memang sedang merapikan kembali semua album yang ia bongkar.
"Ada, sayang. Sini - sini. Pasti buat hadiahnya anak Bunda itu ya?" Bunda menunjukkan beberapa foto yang memang ia minta khusus pada panitia OSN. Ternyata
wajah Reno yang tampan memang mencuri perhatian tim dokumentasi. Foto Reno dalam berbagai gaya pun kini Rara dapatkan.
"Iya nih, Bunda. Semoga Mas Reno suka yaa." Rara pun pergi mengambil handphonenya dan menelepon sang Bapak. Rara meminta tolong sang Bapak untuk melukiskan
foto Reno dengan sedikit pengubahan. Sang Bapak sangat setuju. Meski waktu yang diberikan sangat singkat, bagi pelukis profesional seperti Pradipta Surya
tidaklah masalah. Setelah hadiah handmade itu selesai, Rara menunggu kedatangan dua kakak iparnya. Hanya tinggal menunggu pukul 4, kedua kakak ipar kesayangan Rara itu pun
sudah berada di sana. Rencana pun disiapkan dengan melibatkan Radith, Lendra dan Dave. Bunda dan Ayah juga masuk dalam skenario.
"Si bocah nambah tua ternyata, Dith. Perasaan kemarin masih pake celana abu-abu. Sudah mau jadi bapak-bapak dia." Lendra tertawa-tawa bersama Radith. Sepulang
dari kantor dan bengkel keduanya ke rumah Bunda.
"Dulu pas usia 26, gue belum kemana-mana. Ketemu Neona aja 28." Tanggap Radith.
"Lo cupu sih! Pas usia 26 sih gue sudah tahu hangatnya ranjang kayak apa, Dith." Lendra tiba-tiba mendapat jeweran dari Lala.
"Mulutnya selalu deh." Lala merengut galak.
"Kenapa mulutnya? Bikin mau dicium?" Lendra kini mendapatkan cubitan panas dari sang istri.
Tiba-tiba Reno sampai ke rumah dengan wajah bingung.
"Kok pada di sini? Ada apa nih?" Reno bertanya pada semua orang yang tampak mengacuhkan keberadaannya dan mencoba terlihat normal.
"Bunda yang undang kook, mau makan malam rame-rame aja." Jawab Bunda dari dalam.
"Mas Reno, ganti baju dan mandi dulu. Ayo sudah aku siapin." Rara pun membantu Bunda agar Reno tak curiga.
"Iih manja banget sih!! Calon Bapak kayak gtu.." Lendra meledek Reno.
"Mas Lendra juga yaa! Bahkan bajunya dipakein Mba Lala!" Balas Reno yang membuat Lendra mendapat cubitan dari Lala lagi.
"Makanya Len, jangan cerita-cerita sama Reno. Suatu hari jadi bumerang." Radith pun tertawa-tawa pada dua manusia vulgar dan mesum itu, Lendra dan Reno.
Di kamar, Reno menginterogasi Rara atas kedatangan semua orang yang tidak biasa itu.
"Ini hari selasa, terus kenapa semuanya di sini, Sa? Ada apa sih?" Reno bertanya sambil berharap. Dia sadar kalau dua hari lagi usianya menjadi 26 tahun.
"Kan tadi Bunda sudah jawab Mas. Kok ngga percaya sama Bunda?" Tanya Rara balik.
"Kalian ngga lagi merencanakan sesuatu gitu?" Pancing Reno.
"Sesuatu apa? Emang mau ada apa?" Rara memberanikan diri menatap Reno.
"Hmm.. Semacam pesta gitu?" Tanya Reno lagi.
"Ooh iya! Bunda mau bikin pengajian. Syukuran Rara ketemu sama Bapak katanya." Rara tidak bohong meski bukan itu yang utama dibicarakan.
"Hmmm.. Ya sudah. Aku mandi dulu." Reno terlihat lemas memasuki kamar mandi. Ia sedikit sedih dengan nasib ulang tahunnya. Padahal ulang tahunnya besok
adalah ulang tahun pertama Reno bersama Rara.
"Kok cemberut gitu. Sini deh biar ngga cemberut." Rara pun mencium bibir suaminya.
"Kamu mah tunggu aku cemberut dulu baru dicium. Tapi memang sih, ciuman kamu menghilangkan cemberut aku tapi juga bang..."
"Mas Renoooo mandi! Ngga ada macem-macem. Ayo masuk kamar mandi!" Rara dengan mode galaknya juga selalu berhasil membuat suaminya menurut.
Acara makan berlangsung biasa saja. Bunda dan semuanya pandai berakting. Reno semakin kesal karena tidak ada yang terpancing dengan pertanyaannya. Bahkan
Dave yang polos dan jujur itu pun tidak terpancing. Seperti memang tidak ada pesta apapun untuknya.
Keesokan harinya Rara mengecek lukisan sang Bapak yang ternyata sudah 80%. Rara sebenarnya tak tega melihat ekspresi sedih di wajah suaminya. Tapi semua
demi rencana ini berjalan mulus.
"Sa, besok hari apa?" Tanya Reno saat mereka sudah bersiap untuk tidur malam.
"Hari Kamis. Kenapa Mas?" Tanya Rara cuek.
"Oh ya sudah..." Reno memutar tubuhnya dan memunggungi Rara. Ternyata Reno dalam mode ngambek akan lebih menggemaskan dari mode tengil atau romantisnya.
Sebenarnya Reno tidak percaya Rara bisa cuek seperti ini. Terlalu mudah untuk Reno menebak pasti ada apa-apa. Tapi terlalu lihai juga semua orang menutupi
rencana itu. Akhirnya Reno pasrah dan menyerah. Membalik badannya lalu memeluk Rara. Mana bisa Reno tidur tanpa guling hidupnya itu?
***** Keesokan paginya semuanya tampak biasa saja. Tidak jadi dingin juga tidak gegap gempita. Seakan hari ini adalah hari Kamis yang biasa saja.
"Sa, aku pergi kerja dulu yaa.. Dek, Papa pergi kerja dulu ya." Reno mencium kening dan perut Rara.
"Hati-hati Masku.." Rara mencium kedua pipi suaminya yang menggembung karena Reno selalu cemberut sejak kemarin.
"Sa, kamu ngga mau bilang apa gitu sama aku?" Tanya Reno dengan wajah memelas. Bahkan Bunda yang biasanya ingat pun ini tidak.
"Ada dong. I? love you my lovely rival." Rara pun tersenyum manis pada Reno yang membalasnya dengan senyum dan ucapan cinta.
Setelah Reno pergi, Rara bersama Bunda menyiapkan semuanya. Untungnya Lala adalah ibu rumah tangga yang bisa diandalkan dalam urusan membantu ini itu,
termasuk mendekor ruangan. Rumah Bunda pun didekor seperti tema yang disukai Reno, langit.
Lukisan yang diminta Rara pun sudah terbungkus rapi oleh sang Bapak. Lukisan itu memang Pak Dipta buat sebagai hadiah pertama untuk anak dan menantunya.
Rara sedang membuat kue ulang tahun Reno lengkap dengan permen cokelat kesukaan semua orang. Lala sibuk mengurus dekorasi, Neona yang hari itu bisa pulang
cepat memilih membantu Bunda memasak. Orang tua Neona, Bapak Rara dan orang tua Lala pun diundang ikut malam bersama.
Sore hari, Reno pulang ke rumah dengan wajah datar. Tidak ada orang yang mengucapkan selamat ulang tahun padanya. Bahkan Ayah yang sudah pulang duluan
pun tidak mengucapkan apa-apa pada Reno.
Hingga saat Reno memasuki rumahnya, wajah datarnya pun berubah menjadi sumringah. Banyak mobil di rumahnya yang sudah pasti ini semua adalah tamu untuk
pesta ulang tahunnya. "Selamat ulang tahun Uncle Renooo!" Dave, Fakhri dan Zahra berteriak menyambut Reno yang sudah tersenyum bahagia. Sudah Reno duga bahwa tidak mungkin ulang
tahunnya diabaikan begitu saja.
"Makasih sayang-sayangnya Uncle, Dave, Fakhri dan Zahra. Semuanya ada dimana?" Tanya Reno yang justru kini ditahan oleh ketiganya.
"Hari Uncle tidak akan mudah ketemu Aunty Cantik di dalam. Uncle harus melewati beberapa pos. Ini kartu yang berisi letak pos yang harus dilewati Uncle.
Setiap pos ada tantangannya. Kalau gagal, Uncle ngga bisa ketemu Aunty cantik." Dave menerangkan dengan sangat cerdas. Fakhri dan Zahra pun memberikan
kartu berisi nama pos dan letaknya itu pada Reno.
"Ini harus Uncle lakuin? Baiklaaah... Terima kasih krucil
-krucil baik! Doakan Uncle yaa." Reno mengusap kepala tiga anak kecil di depanya itu lantas membaca kartu pertama.
POS Nadithya >>> Gazebo Belakang
Penjaga pos itu sudah pasti Radith dan Neona. Mereka berdua tampak sudah menuggu Reno dengan tidak sabar.
"Pos apa nih Mas? Mba? Haduuuh takut nih Reno." Reno duduk menghadap Neona dan Radith yang berwajah sama-sama dingin.
"Selamat datang di pos kami, Langit Moreno. Di sini kamu harus mengerjakan soal matematika buatan Neona dalam 10 menit." Radith mengeluarkan nada dinginnya
yang membuat bulu kuduk Reno berdiri.
"Lima soal 10 menit? Kok agak mudah ya?" Reno si jumawa membuat Neona menyunggingkan senyumnya.
"Tunggu dulu sombongnya. Kamu akan mengerjakan ini ditemani lagu dangdut. Kamu 'suka' kan?" Neona pun mengeluarkan mp3 player dan memasang lagu dangdut
paling berisik yang dibenci Reno.
"Demi apa???! Asli ini ngga berkeperiRenoan Mas, Mba! Mana bisa konsentrasi sih?" Reno protes dan membuat pasangan suami istri itu tertawa puas.
"Kita mulai.........!" Radith membuat Reno yang cemberut itu mulai mengerjakan soal. Sesekali Reno menutup telinga. Lirik dangdut pun meracuni Reno
memecah konsentrasinya. Awalnya Reno tidak bermasalah dengan aliran dangdut. Tapi sejak dangdut lebih mengumbar sisi yang lain, dia pun jadi geli sendiri.
"Tariiiik Mang tariik!! Mang Reno oh Mang Reno!" Suara Lendra sudah terdengar.
"Beriiiisiiiik!!!!! Kenapa gangguannya nambah sih? Ini pos jahanam!" Protes Reno.
"Pos Lalen lebih bikin lo ancur Ren! Udah aah gue tunggu yaa." Lendra berlaku meninggalkan Reno yang nyatanya tidak bisa mengerjakan apa-apa.
"Waktu habis!" Radith mengagetkan Reno yang baru selesai mengerjakan 2 soal.
"Yang benar 2 dan 3 belum dikerjain." Neona mengumumkan hasil yang membuat Radith tersenyum.
"Waktunya hukuman, my little brother. Ayo, Na!" Radith dan Neona pun menuangkan bedak tabur ke wajah tampan Reno tanpa ampun.
"Selamat ulang tahun Renooo!! Selamat bertambah tua dan selamat karena sebentar lagi jadi seorang Bapak." Neona mengucapkan kalimat yang dari tadi Reno
cari dari orang-orang sekitarnya.
"Selamat ulang tahun adiknya Mas! Semoga bisa ngurangin tengilnya, jahilnya dan emosinya." Radith memeluk sang adik kesayangannya itu.
Setelah mengucapkan terima kasih, Reno pergi ke pos kedua.
POS Lalen >>> Lapangan samping Gazebo
"Muka putih amat Neng? Mau godain Abang ya? Sini deeh.." Sambutan Lendra membuat Reno bergidik ngeri.0
"Ini pasti pos mesum deh. Apa nih tantangannya? Cepet Mas, Mba sudah mau magrib ini." Ucap Reno yang sudah menebak nebak kelakuan dua manusia usil di depannya.
"Wahahaha silahkan Lala sayangku, diberitahu Eneng Reno ini." Lendra menahan tawa melihat keganasan Radith dan Neona dalam menuangkan bedak pada wajah
Reno. "Lawan Mas Lendra main basket tapi kamu pakai rok pensil. Nih Mba sudah siapin." Mba Lala menunjukkan rok pensil bekasnya dulu yang sudah ia dibenarkan
resletingnya. "Nyiksanyaaa parah banget sih!" Reno protes namun sudah mengganti celana bahannya dengan rok pensil yang sangat menggangunya saat berjalan. Jangankan menang,
jalan saja susah. "Waktunya 5 menit ya! 3...... mulai!" Lala sudah tertawa-tawa melihat Reno bergulingan. Lendra dengan mudahnya memasukan bola ke ring basket. Dari awal
memang disetting bahwa Reno harus kalah.
"Cara jalan lo lucu banget Ren! Wahahahahah." Lendra sudah terbahak-bahak. Setelah 5 menit, ujian di pos gila ini pun selesai.
"Hukuman yaa Ren?" Tanya Lala basa-basi.
"Badan Reno besot-besot ini.... Duuh Sa, kamu tolongin aku dong." Reno bermonolog saat melihat tubuhnya.
"Uluuuh uluh manja banget sih! Sudah diam ini hukumannya." Lendra mengkucir rambut Reno kecil-kecil layaknya ia menguncir rambut Zahra, putrinya. Sedangkan
Lala sibuk membuat wajah Reno seperti badut. Lipstik merah dan perona pipi super tebal.
"Selamat ulang tahun Renooo!! Adik gue paling cerdas dan tampan. Langeng sama Rara, Ren. Jangan kasih kendor kalau di ranjang. Liburnya pas palang merah
aja, sisanyaa Awwww!" Lendra sudah dicubit Lala.
"Mulutnya Mas Lendra ngga pernah jauh dari situ deh! Renoo selamat ulang tahun! Jangan tambah mesum!" Lala justru berkontradiksi dengan sang suaminya membuat
Reno tertawa lantas mengucapkan terima kasih.
POS Herlabi >>> Dapur
"Ini Bunda Ayah kenapa bikin pos juga sih? Ngga mau kalah muda apa gimana?" Reno menuju dapur sambil bermonolog.
"Waah anak cantik kita sudah datang. Sini Rena. Pasti lelah kan?" Bunda mengganti panggilan Reno menjadi Rena. Pos ini meminta Reno memakan sayuran hijau
yang direbus dan dijus. Akhirnya ada juga pos yang membuat Reno punya harga diri. Bunda dan Ayah pun mengucapkan selamat ulang tahun pada putra bungsu
mereka. Reno membalas ucapan itu dengan pelukan yang sangat erat untuk Bunda dan Ayah. Setelahnya Reno pun melanjutkan perjuangannya ke pos terakhir.
POS Bapak Mertua >>> Tangga menuju kamar
Ini yang paling membuat Reno takut. Apa coba tantangan yang akan ia terima di pos yang dijaga bapak mertua? Reno pun mencoba meghapus bedak dan lipstik
di wajah dan bibirnya namun tak berhasil. Ia butuh cairan pembersih milik istrinya untuk membersihkan ini semua.
"Reno.. Kemari, Nak." Pak Dipta memanggil Reno dengan penuh wibawa.
"Bapak tidak akan memberikan tantangan apapun pada kamu. Hal ini dikarenakan saat kamu memutuskan untuk menikah dengan putri Bapak pun, itu sudah berisikan
tantangan hidup untuk kalian berdua. Bapak titip Rara sama kamu. Bapak percaya sama kamu, Ren. Selamat ulang tahun Reno. Semoga menjadi suami dan bapak
yang baik untuk Rara dan anak-anak kalian nanti." Pak Dipta pun memeluk Reno yang sudah menangis haru.
"Makasih untuk kepercayaannya, Pak. Sebelum berjanji pada Bapak, Reno sudah berjanji pada Tuhan terlebih dahulu untuk menjadikan kebahagiaan Rara adalah
yang utama dalam hidup Reno. Reno janji tidak akan mengecewakan Bapak karena Reno akan menjaga dan mencintai Rara dengan segenap hati Reno." Reno mengucap
janji pada sang bapak mertua. Membuat Pak Dipta tersenyum dan mengangguk.
"Ini kunci kamar kamu. Di dalam sudah ada Rara yang sejak sore menunggu kamu. Tapi jangan bablas dulu, Ren. Pesta ulang tahun + makan malam kamu dimulai
jam ya 8." Pak Dipta pun menggoda menantu yang nyatanya sefrekuensi tengilnya dengan dirinya. Reno tertawa lantas menuju kamarnya dengan berlari.
Reno memutar kunci kamarnya dengan tergesa hingga akhirnya pintu putih dua sisi itu pun terbuka lebar. Reno berlari menghamburkan diri ke arah tubuh Rara
yang sudah berdiri di tengah kamar.
"Sayaaaaang..." Reno memeluk Rara hingga melupakan bahwa perut Rara tidaklah rata.
"Maas.. Maas.." Rara mencoba mengingatkan Reno tentang perutnya yang mulai tertekan oleh tubuh Reno.
"Eeh.. Iyaa! Maaf maaf sayang. Aduuh Dedek, maafin Papa." Reno panik saat mengetahui Rara terhimpit dan sesak akibat pelukannya.
"Mas Renonya Rara... Lihat Rara sini." Rara meraup wajah suaminya yang sangat hancur hari ini. Ternyata kreasi pasangan LaLen-NaDithya sungguh membuat
Rara miris sekaligus menahan tawanya.
"Ngga mau... Muka aku buruk banget. Ini lihat rambut aku diikat-ikat sama Mas Lendra. Make up nya ngga bisa dihapus sama tangan aku." Reno bertingkah layaknya
anak kecil yang sedang mengadu pada ibunya.
"Siapa bilang muka Mas Reno buruk? Siapa bilang ngga bisa dihapus. Sini aku yang bersihin." Reno bergegas menutup pintu kamarnya lantas duduk di kursi
rias milik Rara. Rara melepaskan satu per satu karet yang mengikat rambut Reno lalu mengambil kapas. Reno mengulum senyum saat melihat istrinya yang begitu telaten menghapus
ulah dua pasangan sableng idolanya itu.
Cukup tiga menit, semuanya sudah bersih tanpa sisa. Wajah tampan Langit Moreno sudah kembali seperti sedia kala. Reno segera memutar tubuhnya ke arah cermin
dan memeriksa semuanya. "Tapi badan aku luka-luka karena ulah Mas Lendra." Reno masih mempertahankan mode manjanya pada Rara.
"Sekarang Mas Reno mandi dulu. Nanti lukanya aku obatin yaa." Rara masih dalam mode super lembut yang membuat hati Reno berbunga-bunga.
"Saa... Mau peluk kamu duluu.. Hari ini aku lelah karena emosi sejak pagi. Aku kesel ngga ada yang inget ulang tahun aku. Bahkan kamu cuek sama aku. Terus
pulang-pulang malah ketemu pos-pos jahanam. Meski akhirnya aku nemuin kamu, malaikatku." Reno pun mencium sang istri dengan lembut dan penuh perasaan.
"Mas Langit Moreno... Selamat ulang tahun, Masku sayang. Mas harus tahu, selama 8 tahun ini, aku selalu menitipkan ucapan ulang tahun untuk Mas Reno pada
angin. Berharap Mas tahu kalau ada ucapan dan doa yang aku panjatkan untuk Mas. Tapi hari ini, akhirnya aku bisa ngucapin langsung di depan Mas. Bahkan
dengan status sebagai istri Mas." Rara mengucapkannya dengan air mata yang mulai menetes dari ujung matanya. Hati Reno terenyuh dengan pengakuan Rara yang
super manis ini. "Kamu mau tahu apa yang selalu aku panjatkan pada Tuhan setiap aku ulang tahun? Aku selalu meminta pada Tuhan untuk mempertemukan aku dengan kamu di usia
baruku. Aku ingin mengatakan cinta, menjalin cinta kasih bersama dan hanya ingin menua denganmu bukan perempuan lainnya. Akhirnya Tuhan mengabulkan permintaanku.
Aku bahkan diizinkan memilikimu sebagai istri dan calon ibu untuk dedek dan anak-anak kita lainnya. Kamu adalah wanita yang sangat aku cintai, Clarissa
Aurora Pradipta." Reno mengusap air mata haru milik Rara dan kembali mencium istrinya. Hingga Rara yang menghentikan aktivitas itu karena ia ingat masih
ada pesta dan makan malam bersama keluarga besar.
"Mas Reno.. Sekarang mandi dulu yaa. Kita beribadah lalu turun untuk bergabung sama yang lain. Aku punya yang spesial buat Mas Reno." Rara pun menyuruh
suaminya untuk mandi dan untungnya Reno langsung menuruti apa kata istrinya itu.
Tok tok tok... "Oooy!! Oyyy! Jangan olahraga Ren! Turun ke bawah! Pestanya mau mulai... Gue MC niih!" Suara Lendra sudah mengganggu ketenangan Reno yang sedang bersiap-siap.
Ia menggunakan kemeja senada dengan dress milik Rara.
"Aaaah berisik!!!! Mas Lendra juga atlet olahraga gulat ranjang!" Ucap Reno sewot sambil membuka pintu kamarnya. Rara hanya tertawa mendengar dan melihat kelakuan Reno dan Lendra.
Mereka pun turun ke ruang keluarga yang sudah disulap layaknya ruangan mewah dengan dekorasi penuh benda-benda langit.
"Tema pesta ulang tahunnya Reno itu ngga pernah berubah dari dulu. Jadi tema ini sudah dipakai 26 kali." Bunda berkomentar dengan keheranan melihat selera
Medal Of Love Karya Thelapislazuli di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
putra bungsunya. Reno memang tipikal setia pada satu pilihannya. Tidak ada bosan dalam kamus hidup Reno.
"Tes tes.. Eheem. Selamat datang di acara ulang tahunnya Dedek Reno yang ke 26. Akhirnya pria bercelana abu-abu ini sudah bertambah usia. Sebelumnya perkenalkan
saya Sailendra Andrusha Bagaskara yang bertindak sebagai pemandu acara malam ini. Kepada yang ulang tahun, silahkan untuk bercuap-cuap ria." Lendra dengan
gaya semau-maunya membuat semua orang menggelengkan kepala.
"Lendra kok makin geser gitu sih, La?" Ibu Neona mempertanyakan kelakuan Lendra yang semakin aneh-aneh itu.
"Kayaknya lagi puber kedua, Bu. Makanya banyak ulah." Lala menanggapi ibu mertuanya lantas mereka tertawa bersama.
"Selamat malam semuanya.. Terima kasih karena sudah menyelenggarakan pesta ini dan juga ikut merayakannya. Hari ini saya, Langit Moreno Trisdiantoro diberi
kesempatan Tuhan untuk mengulang tahun kelahiran yang ke 26 kalinya. Untuk pertama kalinya dalam hidup, hari ini saya merayakan bersama wanita yang sangat
saya cintai yang akhirnya sudah resmi menjadi istri saya, Clarissa Aurora Pradipta."
"Ihiiiiiy!!!!!"
"Mas Lendraaaa.."? Suara Neona dan Lala kompak menegur sang MC abal-abal itu.
"Dia wanita yang telah mencuri hati saya sewindu yang lalu. Awalnya kita adalah saingan berat di sekolah hingga dia mengikat perjanjian hati dengan saya
dan akhirnya ia selalu berdiri dan menggenggam tangan saya dengan erat apapun keadaan. Terima kasih Rissaayangnya Mas Reno. I love you my lovely rival.
" Bunda mengusap air matanya begitupun dengan Ibu Neona dan Mama dari Lala. Neona memeluk lengan Radith sedangkan Lendra kesal karena ia sedang berdiri di
belakang? Reno dan Lala pun memeluk kedua anaknya. Dave dan Ayah tak mau kalah untuk ikut saling memeluk.
"Terima kasih pada Bunda dan Ayah yang membuat Reno lahir ke dunia ini. Maafkan Reno jika selama ini Reno selalu membuat kerusuhan di rumah ini. Tapi kalian
harus percaya bahwa Reno sayang kalian dengan sepenuh hati Reno."
"Terima kasih untuk Mas tersayang yang dapet jodoh karena Reno bodoh matematika. Kepada Mba Neona juga, Reno ucapkan banyak terima kasih. Reno bikin Mas
Radith ketemu Mba Neona dan Mba Neona melalui matematika membuat Reno bertemu Rissa."
"Terima kasih kepada Bapak dan almarhum Ibu mertua saya yang telah menghadirkan Rissa di dunia ini. Tanpa kalian saya tidak akan bertemu wanita sehebat
Rissa." Rara pun mengusap air matanya saat Reno menyebutkan kedua orang tuanya. Alangkah berharapnya Rara jika ibunya masih hidup dan kini berada di tengah-tengah
mereka. "Kepada keponakan kesayangan, Dave, Fakhri dan Zahra. Kalian krucil-krucil kesayangan Uncle. Terutama Dave, terima kasih karena kamu lah yang telah berhasil
menemukan Aunty cantik. Pasangan paling aduhay tapi idola Reno, Mas Lendra dan Mba Lala, terima kasih atas 'inspirasinya' you're the hottest couple in
this family." Reno mengubah bahasanya karena ada tiga anak kecil polos di sini.
"Orang tua Mba Neona dan Orang tua Mba Lala terima kasih sudah datang. Kalian juga berjasa bagi hidup Reno."
Reno pun mengakhiri pidatonya dan menyerahkan kembali mic kepada Lendra.
"Acara kita percepat yaa... Kita berdoa lalu potong kue ulang tahun. Silahkan kepada Ayah memimpin doa. Kalau saya yang mimpin pasti ngga ada yang percaya."
MC ini benar-benar gadungan namun menghibur. Bunda bahkan sudah tertawa-tawa dengan kelakuan Lendra.
Ayah pun memimpin doa dengan khitmad hingga proses potong kue pun dilakukan oleh Reno. Putra bungsu keluarga Trisdiantoro ini memberikan potongan kue pertama
pada Ibunda Ratu Trisdiantoro lalu baru kepada sang Nyonya Moreno.
"Baiklaah.. Acara kita lanjutkan ke makan malam bersama. Setelahnya baru pemberian kado dan ucapan sekata dua kata dari tamu yang hadir." Lendra tampaknya
sudah lapar hingga ia mempercepat acaranya.
"Yang milih Lendra jadi MC siapa sih?" Ibu dari Neona bertanya.
"Kalau Radith yang jadi MC bisa selesai besok subuh, Bu." Jawab Lendra pada ibunya. Radith pun memukul lengan Lendra tak terima.
Reno makan di samping Rara yang malam itu terlihat sangat cantik. Reno bahkan belum menyuap makanan yang disuguhkan malam itu.
"Kok ngga makan, Mas?" Tanya Rara pada sang suaminya yang justru senyum-senyum melihatnya.
"Maunya makan kamu aja boleh ngga?" Reno berbisik dan membuat Rara kaget hingga tak sadar memukul paha suaminya.
Plaaaak! "Wwwwow ada bunyi pukulan paha. Itu alarm sih." Lendra bersuara.
"Alarm apa Pakde?" Tanya Dave pada sang Pakde mesumnya. Semua mata melotot galak pada Lendra. Bagaimana pun ada tiga anak kecil di sini.
"Alarm nyamuk, Dave. Ini kan sudah malam." Lendra menjawab dengan wajah biasa agar Dave tidak curiga.
"Oh iya! Ini kakinya Dave digigitin." Untungnya memang ada nyamuk yang benar-benar mengganggu Dave lucu itu.
"Kok aku dipukul sih? Aku kan cuma bercanda.." Reno cemberut pada Rara.
"Kalau mau mesum tempatnya di kamar. Ini meja makan dan banyak orang." Ujar Rara dengan galak. Ini lah yang membuat Reno tidak akan pernah sevulgar Lendra
dalam berkata di depan umum.
Acara makan penuh canda tawa itu pun selesai dan agenda beralih pada bagian akhir. Pemberian kado dan ucapan selamat ulang tahun pada Reno.
"Papaa.. Aku, Zahra dan Dave boleh duluan? Kami mau tidur karena besok masih sekolah." Anak pertama Lendra meminta giliran pertama dalam memberikan kado
dan ucapan pada Uncle mereka.
"Oh tentu, sayang. Baiklaah pengucap pertama kita berikan kepada trio kwek kwek keluarga ini." Lendra mulai asal lagi.
"Selamat ulang tahun Uncle ganteng yang lebih ganteng dari Daddy. Semoga cepat lahir dedeknya jadi bisa main sama Dave."
"Uncle, semoga punya anak perempuan yang bisa temenin Zahra main yaa. Selamat ulang tahun Uncleee." Ini ucapan putri bungsu Lendra dan Lala.
"Uncle Reno, selamat bertambah usia. Semoga selalu sukses dan sehat selalu." Yang terakhir ini adalah dari Fakhri. Setelahnya mereka memberikan 3 kado
kecil-kecil. Reno menerimanya dengan senyum lebar dan menghadiahi peluk dan cium untuk krucil-krucil kesayangannya. Sebuah topi, jam duduk dan handuk kecil menjadi
hadiah dari mereka bertiga.
Setelah ketiga anak kecil itu pamit untuk beristirahat di kamar, Lendra memangil The Nyonya tanpa Rara untuk mengucapkan selamat ulang tahun pada Reno.
"Heem.. Selamat ulang tahun Renoooo!!! Jangan ikutan mesum kayak Mas Lendra ya.. Jangan centil kalau ngga mau kena hajar kami berdua." Lala menyerahkan
mic kepada Neona. "Reno muridnya Mba, pesan Mba adalah jangan sombong dengan apapun yang kamu lakukan dan punya. Selamat karena bertambah usia, semoga bisa dimanfaatkan
untuk membahagiakan istri, anak-anak dan keluarga besar." Neona dengan nada seriusnya membuat Reno bernostalgia dengan saat dimana Neona masih jadi gurunya.
Sebuah buku dengan judul Menjadi Suami dan Ayah yang Baik pun dihadiahi The Nyonya untuk Reno.
"Wahahahahaha hadiahnyaaaa!!! Keren banget sih idenya istriku." Lendra terbahak-bahak sambil memuji Lala.
"Diith giliran The Tuan nih. Oke gue duluan deh. Selamat ulang tahun Moreno! Adiknya Radith yang jadi adik gue juga. Selamat juga karena sebentar lagi
jadi seorang bapak. Jangan lupa buat latihan puasa. Sukses selalu, Ren. Maafkan Mas mu yang usil ini."
"Langit Moreno yang beda 11 tahun dari Mas, selamat ulang tahun. Kamu adik yang paling Mas sayangin. Makasih untuk hadiah jodoh yang kamu berikan kepada
hidup Mas. Apapun itu ngga akan bisa membalas apa yang kamu lakuin. Mas pesan untuk jaga emosi. Jadi seorang kepala rumah tangga itu tidak boleh gampang
meledak-ledak. Harus tenang dan sabar." Radith mengucapkan terima kasih sekaligus nasihatnya pada Reno.
Reno memeluk dua kakak kesayangannya ini. Meski kelakuannya sering kacau balau, tapi merekalah yang membantu dan menyayangi Reno selama ini. Sebuah gendongan
bayi didapatkan Reno dari Radith dan Lendra.
"Lo bakal jadi hot daddy kalau pakai itu, Ren. Percaya sama ketua clubnya." Begitu kata Lendra.
Kini giliran Orang tua Lala, Orang tua Neona dan Pak Dipta. Mereka mengucapkan selamat ulang tahun Reno secara bergantian.
Hingga giliran pada Bunda dan Ayah pun datang. Setelah Bunda mengucapkan selamat ulang tahunnya pada Reno kini giliran Ayah yang membawa sebuah map ke
depan Reno. "I think, it's your turn my little son." Ayah menyerahkan dokumen serah terima jabatan pemimpin DE pada Reno.
"Tapi, Yah?" Reno tampak kaget dengan apa yang ia lihat.
"Tidak langsung besok, Reno. Kita lakukan bertahap. Tapi harus bulan ini. Ayah juga mau bermesraan sama Bundamu." Ayah pun mengedipkan mata pada Bunda
yang kini tersipu dan membuat semua orang tertawa. Dasar The Trisdiantoro!
Setelah Reno memeluk Ayah dan Bunda kini giliran istrinya yang sudah tampak bersiap dengan sesuatu. Hati Reno pun berdebar tak karuan menanti hadiah apa
dari istrinya. "Rara punya dua hadiah untuk Mas Reno. Pertama, Rara punya puisi untuk Mas Reno." Rara mengambil kertas yang sudah berisi puisinya itu. Reno melolot tak
percaya karena istrinya bisa menulis puisi.
"Alamaaak puisiii melelehlah hati ini."
"Mas Lendraaa!" Neona dan Lala sama-sama memperingati MC berisik itu untuk diam dan Lendra pun menutup mulutnya rapat.
Tadinya hatiku adalah himpunan kosong
Hingga kamu datang membelah diagonal ruang hatiku.
Bahkan kamu menjadi kodomain dari fungsi hatiku8
Maaf aku pernah pergi hingga kamu harus mencariku dengan bergerak dalam vektor ruang dan waktu.
Aku tahu kamu sudah melewati barisan geomentri yang tidak hingga jumlahnya dan melewati barisan aritmatika yang tak terhitung3
Hingga akhirnya semesta mengizinkan kita bertemu di sebuah titik potong waktu dan tempat.
Dan di saat itulah aku sadar semua cinta masa remaja kita sudah terintegral dengan fungsi waktu.
Kalau kamu adalah sumbu X
Maka aku adalah sebuah kurva yang memotongmu di dua titik.
Di hati dan pikiranmu. Clarissa Aurora dan Langit Moreno itu seperti Sin 90 = 1
Sehingga hidup tanpa Langit Moreno itu seperti Cos 90 = 0
Karena cinta seorang Clarissa pada Moreno itu seperti Tan 90 = Tak Terhingga17
Rara menyelesaikan puisinya dengan sempurna. Membuat Reno memeluk Rara dengan erat. Radith dan Lendra pun heboh. Begitupun Lala dan Neona yang tertawa
sedangkan sisanya geleng-geleng kepala bingung.
"Naaa! Pernah bikinin Radith puisi yang bawa-bawa oli, karburator, piston gitu-gitu ngga? Oh Radithkuu kamu bagaikan bensin dalam hidupku. Gatel dong yak!"
Lendra membuat suasana romantis ala matematikawan itu hancur. Reno tak memedulikan keramaian di balik punggungnya. Ia menatap Rara dengan lekat.
"Puisi yang sempurna sayang. Aku mencintaimu." Reno membelakangi para tamu karena ia sedang mencium Rara. Sudah pasti kehebohan semakin terjadi dan membuat
wajah Rara merah padam. "Ada hadiah kedua. Coba Mas buka yaa." Rara mengalihkan suasana yang sangat riuh itu.
Reno pun membuka sebuah lukisan yang tertutup koran. Saat Reno berhasil membukanya, ia kembali memeluk Rara hingga sang istri mundur beberapa langkah.
"Reno! Rara lagi hamil!" Bunda memeringati kelakuan putranya itu. Namun Reno tetap memeluk Rara dan membiarkan semua orang melihat hasil lukisan Pradipta
Surya untuknya. Lendra mengambil lukisan itu lalu berdecak kagum. Para wanita yang berada di sana merasakan serangan baper tingkat wahid.
Sebuah lukisan rekayasa yang berisikan gambar Reno yang sedang mencium satu sisi medali dimana sisi lainnya terdapat Rara yang juga sedang mencium hal yang sama dengan Reno.
*** BAB 30 Setelah dua hari yang lalu semua orang merayakan ulang tahun Reno yang begitu heboh dan penuh kebahagiaan itu, hari ini Rara akan bertemu dengan Bu Elisa,
neneknya. "Sayaaang kita berangkat yuk." Reno memanggil istrinya yang masih duduk terpaku di kursi riasnya. Reno pun mendekat dan mengusap bahu Rara.
"Kamu kenapa, sayang? Aku ngomong kok dicuekin, hmm?" Tanya Reno dengan lembut.
"Eeh eeh.. Maaf Mas. Maaf tadi aku melamun." Sesal Rara yang mengabaikan panggilan suaminya.
"Melamun kenapa? Cerita dong sama suami gantengnya.." Reno menggoda Rara dengan senyum jahilnya yang membuat Rara mau tak mau tersenyum ke arah Reno.
"Aku takut Mas. Aku takut ngga bisa ngontrol emosi kalau ketemu nenek. Bagaimana pun beliau lah sumber dari semua kekacauan ini. Beliau yang bikin Bapak
sama Ibu berpisah, membuat aku ngga ketemu Bapak, aku dan Ibu dihina dan aku nanggung hinaan sebagai anak haram selama 25 tahun ini, Mas." Rara tidak bisa
memungkiri kalau dirinya kini sedang merasakan amarah yang bercampur dengan kesedihan. Semua masalah dalam hidupnya berporos pada satu sumber, neneknya.
"Sayang.. Marah itu tidak salah. Kamu boleh mengungkapkannya nanti. Asalkan kamu tetap dalam batas norma dan etika. Yang salah adalah ketika kamu tidak
mau memaafkan kesalahan nenekmu itu." Reno mengusap kepala istrinya dengan lembut.
"Aku ngga yakin bisa maafin kesalahan nenek." Ucap Rara meragu.
"Memaafkan itu memang tidak bisa dilakukan secepat ngebekuin cokelat, Sa. Yang terpenting adalah niat memaafkan di hati kamu. Biarkan waktu menyembuhkan
luka hati dengan demikian bibit maaf yang sudah kamu tanam di hati itu akan tumbuh subur hingga nantinya sempurna menjadi pohon hubungan yang baru." Reno
dan analoginya membuat Rara memeluk suaminya. Meski suaminya ini jahil, manja, selalu terburu-buru dan juga emosian. Tapi nyatanya Reno tetaplah sosok
yang dewasa dan bijaksana.
"Jadi Mas Reno yakin Rara bisa memaafkan nenek?" Tanya Rara yang membutuhkan dukungan.
"Aku malah ngga yakin kalau kamu bisa ngga maafin nenek. Winny sama Andre saja kamu maafin kok. Apalagi ini yang punya hubungan darah sama kamu, sayangku."
Reno mengecup pipi istrinya yang kini sudah tersenyum lagi.
"Jadi kita berangkat sekarang, sayang?" Reno bertanya dan Rara pun menyambutnya dengan anggukan mantap.
Mereka pun keluar dari kamar menuju garasi. Di sana sudah ada Ayah, Bunda dan Pak Dipta yang ikut bersama mereka.
Hari ini Reno tidak menyetir jadi mereka membawa supir keluarga Trisdiantoro. Reno ingin berada di samping Rara dengan terus menggenggam tangan istrinya
itu. Tak butuh waktu lama, akhirnya mereka sampai di sebuah rumah cukup besar. Kalau kata Pak Dipta ini rumah pemberian Pak Armando untuk sang ibu. Mereka semua
turun dan Pak Dipta memilih masuk duluan.
"Rara.. Jangan takut ya, Bunda pasang badan kalau nenek kamu macam-macam." Wajah Bunda sungguh lucu namun membuat Ayah menegurnya.
"Bunda bilang mau pasang badan itu tandanya Bunda sudah berpikir buruk. Jangan begitu, Sayang." Untuk pertama kalinya Rara mendengar seorang Abimanyu Trisdiantoro
mengumbar kata sayang di muka umum.
"Pasti kaget yaa denger Ayah begitu?" Tebak Reno saat melihat senyum di bibir Rara.
"Ayah itu gabungan dari Mas Radith sama aku. Bayangin ngga romantisnya kayak apa, Sa?" Ucap Reno sambil mengusap pipi Rara yang merona. Menghadapi Reno
saja dirinya sering meleleh apalagi jika Reno digabung dengan kakaknya yang super lembut dan posesif itu. Bunda wanita beruntung.
"Silahkan masuk Mas Abi, Mba Lin, Rara dan Reno." Pak Dipta tiba-tiba keluar dan menyilahkan semuanya untuk masuk. Sang ibu kini sudah duduk di sofa ruang
tamu. "Ren.. Koo jadi Bunda yang tegang ya?" Bunda berbisik pada Reno yang menggeleng-gelengkan kepala lalu tersenyum ke arah Bunda yang juga menggenggam tangan
Ayah. Sangat lucu. "Bu, ini Clarissa Aurora, anak Dipta dan Mentari. Kami memanggilnya Rara." Pak Dipta membuka pembicaraan itu dengan suara penuh penahanan emosi.
Ibu Elisa memandang ke arah Rara sambil memasang kacamata kecil di ujung hidup mancungnya. Jangankan Rara, Bunda saja semakin beringsut ke belakang tubuh
Ayah. "Kamu jangan nunduk, sayang." Reno berbisik pada Rara yang sejak tadi memilih memperhatikan ujung dressnya.
Rara pun menurut lalu menegakan pandangannya. Wajah sang nenek kita terlihat jelas di depannya. Kini mereka saling menatap dan menilai dalam diam. Entah
apa yang ada di dalam pikiran mereka masing-masing yang jelas suasana ini cukup membuat bulu kuduk meremang.
Di kepala Rara sudah tumbuh berbagai macam spekulasi atas kalimat pertama yang dikeluarkan sang nenek kepadanya. Sang nenek beralih memandang wajah Reno,
Bunda dan Ayah. "Yang di sampingnya itu suaminya. Langit Moreno dan di depan ibu persis itu adalah Mas Abimanyu dan Mba Herlina. Orang tua dari Langit Moreno." Seakan
tahu maksud tatapan sang ibu, Pak Dipta pun mengenalkan semua orang yang ada di sana.
Sang nenek kembali menatap Rara yang kali ini membuat Reno menjadi kesal dan tak sabar. Saat ia ingin membuka mulut, tiba-tiba nasihat Radith terngiang
di kepalanya. Bahwa menjadi kepala rumah tangga itu harus sabar dan tenang.
"Kamu Rara cucuku?" Inilah kalimat pertama dari mulut Ibu Elisa. Membuat semuanya menegakkan tubuh.
"I..iya Bu.. Eh.. Nek.." Rara bingung harus memanggil apa wanita tua di depannya. Bibirnya kelu saat harus memanggil Ibu Elisa dengan sapaan nenek.
"Kemari.. Nak." Ucap Ibu Elisa dengan nada yang susah ditebak. Bunda langsung memajukan tubuh seakan menahan tubuh Rara sehingga Ayah menahan Bunda sedangkan
Reno menganggukkan kepala pada Rara.
"Jangan takut sayang. Aku di sini." Reno membisikan kalimat penguatnya sehingga kini Rara duduk berdekatan dengan sang nenek.
Tiba-tiba sang nenek berdiri lalu berlutut dan memeluk Rara yang masih duduk di kursi. Bunda yang kaget pun terpekik cukup kencang. Di dalam otak Bunda,
sang nenek ini menampar Rara dan melakukan adegan sinetron lainnya.
"Maafkan Nenek.. Maafkan Nenek Rara...." Ibu Elisa terisak dalam pelukannya. Sudah dipastikan Rara ikut menangis melihat sang nenek begini. Ia memang kesal,
marah dan membenci perilaku nenek di masa lalu. Tapi bagaimana pun seperti kata Reno, Ibu Elisa adalah neneknya. Seseorang yang mempunyai hubungan darah
dengan Rara. "Maafkan semua kesalahan Nenek di masa lalu, Rara... Kamu adalah korban dari ketamakanku akan harta dunia dan pandangan orang. Aku keras hati hingga orang
tuamu tidak bisa menjalani kehidupan dengan bahagia. Aku sudah mendengar semuanya dari Dipta. Maafkan Nenek, Clarissa." Nenek masih terisak sedangkan Rara
hanya menangis merasakan sakit yang begitu dalam di hatinya. Ia teringat saat ibunya sakit lantas semua orang menghina mereka. Menuduh Ibunya adalah wanita
kotor juga Rara yang dinilai sebagai anak haram.
Karena tidak mendengar sepatah katapun dari mulut Rara, sang nenek mengambil posisi sujud di depan Rara yang membuat Rara teriak.
"Jangan Neek.. Jangan rendahin diri nenek seperti itu. Rara diam bukan tak mau memaafkan. Rara hanya.. Rara..." Rara tidak bisa melanjutkan kata-katanya.
Hatinya begitu sakit. Pak Dipta mengangkat sang ibu untuk kembali duduk di sofa begitupun Reno yang memeluk dan menenangkan Rara.
"Ssstss.. Keluarin tangisnya keluarin. Jangan ditahan. Aku di sini sayang. Aku di sini." Reno mengusap kepala dan punggung Rara. Membuat yang menangis
semakin menangis keras. Beban berat hidupnya selama ini rasanya ingin ia keluarkan bersamaan dengan air matanya ini.
Ibu Elisa kaget saat Pak Dipta mengatakan sudah menemukan anak yang selama ini ia cari. Bahkan Ibu Elisa menangis kencang saat tahu Mentari sudah tiada.
Ibu Elisa sudah menyadari kesalahannya sejak Dipta pergi dari rumah untuk mencari Mentari di tiga tahun pertama kepergiannya. Kini dirinya semakin merasa
berdosa saat melihat dan mendengar tangisan Rara yang begitu menyesakkan dan terdengar pilu. Ini sudah pasti sebuah tangisan atas rasa sakit yang begitu
dalam. Pak Dipta, Bunda dan Ayah pun terdiam dan ikut merasan sakit itu dari tangisan Rara. Mereka hanya mempercayakan Rara pada sang suami yang hatinya pedih
saat melihat Rara begini.
Sepuluh menit kemudian Rara sudah cukup tenang. Ia menarik kepalanya dari dada Reno yang sudah basah kuyup dengan air matanya.
"Ra..rasanya sakit, Mas. Kenapa se..sakit ini ra..sanya?" Rara bertanya itu pada Reno yang seakan melupakan ada pelaku pembuat sakit itu di sini.
"Itu wajar sayang. Itu luka tahunan yang ada di hati yang selalu kamu tutupi dari dunia. Luka yang belum pernah sembuh itu terbuka lagi hari ini. Sekarang
kamu minum dulu, Sa. Inget kamu lagi mengandung si dedek. Jangan stress." Reno memberikan segelas air putih yang memang disuguhkan pada mereka.
Rara menurut kata suaminya dan meminta pulang. Entah bagaimana pun dirinya mengkhawatirkan keadaan kandungannya. Emosi dan jiwa Rara tidak stabil hari
ini. Reno dan yang lain memahaminya. Ini bukan perkara mudah. Semua butuh waktu dan proses.
Ayah mewakili menantu dan anaknya berpamitan pada Pak Dipta dan Ibu Elisa. Semua tak menyalahkan Rara. Ini soal kejiwaan yang tidak mudah dipahami apalagi
jika tidak pernah berada di posisi Rara.
" tahun lalu ibu menghina Mentari dengan begitu keji hingga Rara yang menangung semuanya. Ibu memisahkan Dipta dengan istri dan anak Dipta. Membuat Dipta
tak bertanggung jawab dan menjadi pria bajingan karena membiarkan mereka berjuang melawan dunia sendiri. Ibu sudah menukar kebahagiaan Dipta dengan harta
yang tidak akan pernah bisa ibu bawa ke liang lahat. Kasih Rara waktu, Bu. Dia mau menemui Ibu saja Dipta sudah sujud syukur pada Tuhan. Ibu harus sadari
jika luka itu terlalu dalam, seperti kata suaminya tadi." Dipta berkata pada sang Ibu lantas pamit untuk pulang. Ia juga tak mau kesehatan janin Rara terganggu
karena ulah ibunya. ***** Setelah pertemuan dengan Ibu Elisa, Rara kehilangan senyumnya. Untungnya ada Dave dan suaminya yang selalu mencoba membuatnya tersenyum.
Bunda pun mengajak Rara berbelanja perlengkapan bayi yang belum diketahui jenis kelaminnya itu. Rara dan Reno memang tidak mau mengetahui jenis kelamin
anaknya sekarang. "Raaa.. Sepatu bayi ini lucu.. Ini juga bisa buat perempuan dan laki-laki." Bunda langsung meminta pelayan untuk membungkus sepatu itu. Nyonya Trisdiantoro
kali ini menggunakan kekuasaan nyonya besarya untuk membuat Rara kembali tersenyum.
"Bunda maafin Rara yaa.. Maaf kalau akhir-akhir ini Rara diam saja." Rara merasa tidak enak pada ibu mertua titisan malaikat ini. Tapi energinya habis
untuk menenangkan dirinya dari rasa sakit yang kembali muncul ke permukaan itu.
"Jangan minta maaf sayang. Bunda tahu kamu butuh waktu. Tapiii Bunda juga ngga membiarkan si dedek ini ngga punya baju, sepatu dll. Jadi mumpung kita di
mall, apapun yang kamu mau, yuk kita beli." Bunda tak mau membahas lagi masalah itu hingga ia mengalihkan pada hal yang disukai wanita, belanja.
Rara tampaknya terhibur dengan kegiatannya bersama Bunda kali ini. Semua memang terasa indah saat menjalani hubungan dengan penuh cinta dan kasih sayang
tulus seperti dirinya dan Bunda ini.
Di dalam hati Rara pun mulai tumbuh rasa ingin memaafkan sang nenek. Ia juga ingin merasakan punya nenek. Sesuatu yang tidak pernah ia punya sejak kecil.
Saat malam hari, Reno memeriksa belanjaan sang Bunda dan istrinya. Ia berniat membuat istrinya tertawa malam ini. Reno kangen dengan senyum dan tawa istrinya
yang akhir-akhir ini menghilang.
"Ini Bunda ngamuk di mall apa gimana, Sa? Masa setiap satu toko diborong begini?" Reno bertanya dengan wajah yang biasanya membuat istrinya tertawa.
"Tapi pilihan Bunda memang lucu-lucu, Mas." Jawab Rara yang mengangetkan Reno. Nada bicara yang Rara keluarkan itu nada riang gembira. Jadi Bunda berhasil
mengembalikan keceriaan Rara?
"Mana lucu?" Reno memancing Rara.
"Ini looh.. Lihat ini tuh lucu banget. Warnanya kuning ada kepala bebek di ujungnya. Baju hangat ini juga lucu. Teruuus.." Ucapan Rara penuh semangat itu
terpotong karena Reno sudah memeluk sang istri dengan erat.
"Aku bahagia lihat kamu yang semangat lagi, sayang. Aku seneng banget banget.." Reno mengecup berkali-kali wajah istrinya.
"Maafin Rara yang bikin Mas khawatir dan sedih. Maafin Rara yang bikin semua orang di rumah ini repot. Aku super egois." Sesal Rara dengan tulus.
"Kamu itukan istrinya Reno. Naah Reno itu paling rusuh di rumah ini. Jadi kalau kamu bikin repot semua orang, itu tandanya kamu bener-bener istri aku."
Reno tersenyum jahil pada Rara yang mendelik kesal.
"Mana ada begitu? Mas ih! Bikin rusuh kok bangga!" Rara berkata galak pada suami yang kadang-kadang pikirannya kebalik-balik kalau lagi konyol.
"Yees.. Clarissa sudah marah-marah lagi. Berarti Rissayangnya Reno sudah pulang." Reno mencubit pipi Rara yang semakin gembil karena kehamilannya.
"Mas.. Besok temenin Rara ke rumah nenek yuk. Mau ngga? Rara mau memaafkan nenek." Rara mengangetkan Reno dengan permintaannya.
"Heey.. Kamu yakin?" Reno menangkup wajah istrinya dan mencari keraguan di mata Rara.
"Yakin kok, Mas. Rara kan mau hidup dalam kebahagiaan dengan cara berdamai dengan masa lalu. Anterin Rara ya?" Rara meminta pada sang suami yang sudah
tersenyum lebar dan mengangguk mantap.
"Okeey pasti aku. Tap aku boleh tahu apa yang bikin kamu akhirnya mau ke rumah nenek dan memaafkan nenek?" Tanya Reno pada Rara.
"Karena Bunda menunjukkan indahnya kasih sayang seorang nenek pada cucu. Tadi Bunda yang sibuk memilih ini itu untuk dedek di saat aku sendiri yang jadi
calon ibu masih bingung. Melihat tindakan Bunda, aku merasa ada bagian kecil di hati ini yang terketuk untuk memaafkan nenek dan keinginan untuk merasakan
rasa kasih sayang seorang nenek juga." Ucap Rara yang membuat mata Reno berkaca-kaca. Bunda nyatanya selalu berhasil mengubah pola pikir dengan tindakannya.
"Aku bangga sama kamu, Sa. Kamu itu ngga cuma cerdas tapi juga punya hati yang luas. Bisa memaafkan setiap kesalahan orang meski membutuhkan waktu. Itu
wajar kok. Oh iya.. Hai, Dek, ini Papa. Kalau nanti kamu dewasa, jadilah manusia cerdas seperti kami. Baik dan tangguh seperti Mama dan terkenal lah seperti
Papa." Ucapan Reno yang terakhir membuat Rara memukul lengan sang suami.
"Jangan mukul-mukul. Lebih baik kita tidur sebelum preman yang namanya Bang Reno dateng minta jatah." Ucap Reno membimbing istrinya ke tempat tidur.
"Tapi aku kangen sama Bang Reno. Sudah lama ngga dateng minta jatah. Bahkan pas preman itu ulang tahun, dia ngga dateng. Katanya kecapean karena habis
masuk pos-pos satpam." Rara terpekik kaget saat suaminya sudah mengangkat tubuhnya dan meletakan dirinya di kasur.
"Kagen kan sama Bang Reno? Ini Bang Reno sudah datang minta jatah. Mana jatahnya?" Reno dengan wajah menggoda membuat Rara hanya tersenyum pasrah dengan hal yang selanjutnya akan terjadi. Toh Rara juga kangen Bang Reno, si preman tampannya itu.
***** Seperti janji Reno, sepulang kantor ia mengantarkan Rara menemui Ibu Elisa. Kali ini Rara hanya ingin ditemani oleh Reno. Meski berat, tapi akhirnya Bunda
menuruti permintaan Rara.
Kini Rara dan Reno sudah sampai di depan rumah bercat biru muda itu. Seorang asisten rumah tangga yang akhirnya diketahui bernama Mba Atin itu menyilahkan
Rara dan Reno menunggu majikannya.
Ibu Elisa tampak kaget saat melihat kehadiran Rara di ruang tamunya. Sosok Rara tersenyum manis ke arah dirinya. Wanita berusia kepala 7 itu pun duduk
dengan berlinang air mata. Belum sempat Ibu Elisa ini mengeluarkan kata-katanya, Rara sudah menghamburkan diri memeluk tubuh sang nenek. Membuat Ibu Elisa
terhenyak kaget lantas balas memeluk sang cucu dengan sangat erat.
"Maafin Rara yaa, Nek. Maaf karena tempo hari Rara pulang begitu saja tanpa menanggapi perkataan Nenek." Rara membuat Ibu Elisa merasakan sesak di hatinya.
Bagaimana bisa Rara yang meminta maaf padanya? Padahal wanita yang bersalah adalah dirinya.
Medal Of Love Karya Thelapislazuli di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bukan salah kamu, Rara. Ini salah Nenek. Maafkan Nenek. Maafkan maaf sayang." Hanya kalimat itu yang bisa diutarakan ibu dari Pradipta Surya.
Rara dan sang nenek tenggelam dalam peluk dan tangis hingga keduanya merasa semua beban hilang di hati mereka. Kini keduanya saling bertatapan saling tersenyum
dan kembali saling berpelukan. Dari tempat duduknya, Reno hanya bisa tersenyum bangga melihat istrinya yang begitu luar biasa.
"Nenek menyesal telah merenggut kebahagiaanmu. Ra, nenek ikhlas kalau harus masuk neraka karena nenek sudah begitu keji pada kalian. Iya.. Matamu adalah
mata Mentari. Wanita yang sudah aku hina-hina padahal dia adalah cinta anakku dan dia telah melahirkan wanita berhati mulia seperti kamu." Ibu Elisa mencium
pipi Rara dan menghapus air mata yang ada di sana.
"Nek, maafkan jika dulu mungkin cara Bapak dan Ibu salah dalam meminta restu nenek. Tapi izinkan dan restui hubungan mereka, Nek. Meski Ibu sudah tidak
ada, tapi pasti di sana Ibu tahu kalau nenek memberikan restu yang selama ini mereka cari, Nek." Rara meminta restu dan izin yang selama ini menjadi ujung
permasalahan orang tuanya. Ibu Elisa kembali menangis.
"Iya, Rara. Sudah nenek restui hubungan Ibu dan Bapakmu. Maaf jika selama ini nenek tidak mencari keberadaanmu. Maafkan nenekmu ini sayang." Ibu Elisa
menangis penuh sesal. Alangkah bodohnya ia dulu. Andai ia memberikan kata restu sudah tentu tidak ada masalah sebesar ini.
"Terima kasih sudah merestui Ibu dan Bapak, Nek. Nenek jangan nangis lagi. Rara sudah memaafkan semua yang terjadi di masa lampau." Rara mengusap air mata
di pipi neneknya. Hingga mereka saling tersenyum manis menatap satu sama lain.
Sang nenek yang sadar kalau cucunya ini datang dengan pria yang sedari tadi hanya memandang ke arah mereka pun memanggil Reno.
"Nak... Kamu suami cucuku?" Ibu Elisa memanggil Reno yang mengangguk lantas bergerak mendekat ke arah sang nenek dan Rara.
"Saya Langit Moreno tapi nenek cukup panggil saya Reno saja. Saya suami dan calon Papa dari anak yang dikandung cucu nenek." Reno mencium tangan Ibu Elisa
membuat wanita itu tersenyum pada cucu menantu tampannya itu.
"Sudah berapa bulan sayang?" Tanya Ibu Elisa pada Rara.
"Tinggal sepekan lagi jadi 8 bulan, Nek." Jawab Rara senang. Jadi begini rasanya memanggil wanita dengan sapaan nenek?
"Boleh tidak kalau nenek ikut membantu mengurus kamu saat lahiran nanti? Dulu harusnya nenek lakukan itu pada Ibumu. Tapi karena waktu tidak bisa diputar,
boleh nenek melakukan itu padamu, Ra?" Nenek bertanya dengan penuh harap. Ia harap ada kesempatan yang telah ia abaikan dulu dan sedikit menebus dosanya
pada Mentari. Rara menoleh ke arah Reno yang sudah mengangguk dan tersenyum memberikan izin. Sehingga Rara pun mengangguk mantap ke arah nenek.
"Terima kasih sayang... Terima kasih untuk maaf dan kesempatan kedua yang kamu berikan pada nenek. Boleh nenek peluk kamu lagi?" Selama 75 tahun hidup,
baru kali ini Ibu Elisa merasakan indahnya cinta kasih yang tulus.
"Reno sini, Nak. Terima kasih karena kamu sudah menjadi pria yang menjaga dan mencintai cucu nenek. Maaf karena neneklah yang membuat Rara pergi 8 tahun
dari hidup kamu." Ucap Ibu Elisa yang membuat Rara dan Reno kaget.
"Dipta yang menceritakan semua efek dari kesalahan nenek dulu. Baik yang langsung maupun yang tidak. Maka nenek berdoa pada Tuhan untuk dipanjangkan umurnya
hingga bisa mendapat maaf dan kesempatan menebus sedikit kesalahan nenek pada kamu, Ra. Akhirnya Tuhan mengabulkan doa nenek."
"Nek, percayalah Tuhan akan selalu memberikan kesempatan pada mereka yang serius untuk memperbaiki diri. Saya ikut bahagia saat istri saya menemukan bapak
kandungnya dan juga nenek. Dia wanita mulia yang memang pantas untuk mendapat seluruh cinta dari orang di sekelilingnya. Termasuk Bapak dan Nenek." Reno
memberikan senyum yang membuat Ibu Elisa memeluk Reno dan Rara bersamaan.
Setelah pembicaraan menguras air mata itu, Ibu Elisa mengajak Rara dan Reno untuk beribadah dan makan malam bersama dengannya sebelum pulang. Kedua pasangan
suami istri itu tentu tidak menolak.
"Mas.. Terima kasih untuk semuanya." Rara memajukan tubuhnya hingga mencium pipi Reno tiba-tiba.
"Astagaa, Sa! Ini aku lagi nyetir loh. Kaget aku dicium gitu, meski seneng hehehe.. Sama-sama sayangku. Apapun ujian Tuhan, kita ngerjainnya bareng kan?
Dulu ngerjain soal olimpiade sendiri-sendiri aja bisa, apalagi saat kita berdua." Reno tersenyum dan mengusap rambut Rara.
"Mentang-mentang menang! Sombong!!! Bener kata Mba Neona kalau Mas itu sombongnya minta ampun. Kesel deh." Sungut Rara sambil bercanda. Sebenarnya ia paham
maksud asli dari perkataan suaminya tadi.
"Jelas harus menang dong. Kalo ngga, gimana dapetin kamunya? Sudah bawa pulang medali aja aku ditinggal kamu sampai rasanya mau bakar diri gantiin Mas
Radith waktu itu. Eh tapi ya, Sa. Kalau misalkan aku gagal bawa medali. Terus kita ketemu lagi kayak kemarin. Kamu bakal tetep sama aku ngga?" Tanya Reno
tiba-tiba. "Selama namanya masih Langit Moreno sih aku cinta. Toh dulu kan aku suka sama Mas sejak Mas masih bodoh sama matematika." Jawab Rara dengan gelak tawa.
"Jahat yaa ngatain suami sendiri bodoh... Mirip Mas Radith deeh." Reno merengut kesal.
"Tapi itu namanya kebodohan membawa cinta Mas. Kalau Mas ngga bodoh, Mas ngga akan diajar Mba Neona. Kalau ngga gitu, Mas Radith ngga ketemu Mba Neona
terus Mas ngga ikut OSN dan ngga mungkin ketemu sama aku." Ucap Rara yang membuat Reno tertawa terbahak-bahak.
"Oooh terima kasih kebodohan... Baru kali ini jadi bodoh itu banyak untungnya." Pasangan suami istri itu pun tertawa bersama dalam mobil yang membelah keramaian ibu kota.
*** BAB 31 "Saa... Dulu waktu kamu ngedit artikel tentang aku ada debar-debar cinta gitu ngga?" Tanya Reno sedang meletakan kepalanya di paha Rara dengan tangan yang
sibuk membuka-buka majalah koleksi Bunda.
"Jangan ditanya." Jawab Rara sambil memalingkan wajah karena malu.
"Iiiih masih malu-malu aja jawabnya. Gemes deeh Papa." Ucap Reno yang membuat Rara mengusap pipi suaminya.
"Mas Reno, kita ganti panggilan jadi Mama Papa yaa kalau dedek lahir." Pinta Rara yang membuat Reno berpikir.
"Ngga aah, aku ngga bisa panggil kamu Saaaaaayang lagi dong." Reno mengungkapkan alasannya.
"Kan buat ngebiasain ke anak-anak kita, Mas." Rara mendebat Reno.
"Mas Lendra dan Mba Lala manggilnya tetap. Padahal anaknya sudah dua dan besar-besar." Reno menceritakan kelakuan junjungannya.
"Tapi Mas Radith dan Mba Neona berubah. Ayah dan Bunda juga." Rara tak mau kalah.
"Aku mau nya tetap manggil kamu dengan sapaan 'Sa'. Sudah pas dilidah aku. Kamu kalau mau manggil aku Papa boleh, Mas juga boleh." Putus Reno tanda tidak
mau didebat. "Mas ngga mau manggil aku Mama? Bukannya aku Mamanya anak-anak?" Tanya Rara dengan wajah yang ia buat bersedih. Reno bangkit dari tidurnya lalu menghadap
Rara. "Bukan begitu sayangku cintaku negeriku. Okee gini deh. Di depan anak-anak kita manggilnya Mama-Papa. Tapi kalau kamu cuma berdua sama aku, izinin aku
panggil kamu Sa dan kamu panggil aku Mas. Sepakat?" Reno dengan gaya pemimpin perusahaannya mengajak sang istri untuk bersepakat.
"Iya sepakat Masku. Sudah beda yaa kalau punya suami yang megang perusahaan. Padahal dulu Rara berdoa jadi istrinya Mas Reno bukan Tuan Muda Moreno.."
Rara akhir-akhir ini merasa kesepian karena Reno sangat sibuk dengan DE. Padahal HPL Rara tinggal dua pekan lagi, tapi Reno lebih sering rapat di luar.
"Aku kalau di kantor jadi Moreno tapi di rumah tetap Reno kook. Maafin aku yang kurang waktu buat kamu dan dedek ya,Sa. Aku janji ini hanya terjadi di
masa transisi ini. Dulu Ayah bisa bagi waktu, maka aku juga pasti bisa." Reno mengusap kepala istrinya lalu mencium pipi Rara.
"Mas Reno jangan lupa kalau hidup berumah tangga itu bukan cuma tentang mencari nafkah materi. Aku mau anak-anak kita ngga kehilangan sosok seorang Papa."
Rara mengingatkan Reno akan hal yang sering terlupakan oleh pasangan yang berumah tangga.
"Siap sayangku! Mas mu ini tidak akan mengecewakan. Meski amanah Ayah penting, tapi yang terpenting itu kamu dan anak-anak. Ingatkan aku kalau nanti lupa
sama janji ini ya, Sa." Pinta Reno yang diberikan anggukan oleh Rara.
Obrolan sore itu berlanjut dengan membahas apapun yang memang harus mereka persiapkan sebagai calon orang tua. Rumah kediaman Trisdiantoro sedang lengang.
Hal ini dikarenakan Bunda dan Ayah sedang berlibur ke Manado berdua. Duh romantisnya!3
"Sa, nanti kalau kamu melahirkan aku ngga mau dokternya pria yaa. Pokoknya harus perempuan." Ini pembahasan tentang kelahiran si dedek.
"Tapi selama ini aku konsultasinya sama Dokter Prasetyo, Mas. Lagian dia sudah menikah kok. Sudah begitu Rara baru tahu dari Bunda kalau Dokter Pras ini
adik iparnya Mba Nadine, desainer kita." Rara akhirnya merasakan keposesifan The Trisdiantoro yang diceritakan Neona dan Bunda.
"Engga sayang. Suamimu melarangnya. Jadi harus sama perempuan, oke?" Reno dengan keposesifannya berhasil membuat sang istri menurut padanya.
"The Trisdiantoro itu bener-bener posesif ya." Rara berkomentar.
"Ooh jelas! Karena untuk mendapatkan para nyonya kami itu bukan hal yang mudah." Reno menjawab dengan wajah tengil dan sombongnya itu.
"Terima kasih, Mas." Rara mengecup pipi Reno dengan cepat.
"Sa, besok kalau aku sudah mulai puasa, jangan siksa aku ya. Aku sudah tahu ini bakal menyiksa banget. Kamu dukung aku ya?" Reno mengutarakan kegundahannya.
"Iya Masku. Lagian kita kan puasa bareng-bareng. Bukan cuma Mas loh yang puasa, tapi aku juga. Aku percaya Mas adalah pria dengan pengendalian diri yang
baik. Yaaa.. Itu memang kebutuhan kita sebagai manusia normal. Tapi kita harus ingat kalau hubungan suami istri bukan hanya tentang itu." Rara juga mulai
khawatir dengan keadaannya. Ini masa pengujian kesetiaan suami pada istrinya, begitu kata Mba Lala.
"Iya sih.. Mas Lendra yang paling mesum aja sukses puasa, masa aku ngga? Baiklah, kita hadapi bersama ya, Sa." Ucap Reno dengan mantap yang dihadiahi senyuman
manis oleh Rara. ****** Sabtu pagi, Reno pergi ke bengkel milik kakaknya. Bunda dan Ayah sudah kembali ke rumah. Kini kedua orang tua Radith dan Reno itu beraura pengantin baru.
"Mas Satrioo! Apa kabar Mas?" Reno menyapa sahabat karib Radith yang juga pemilik modal di bengkel ini.
"Haaai calon Papa! Baik kok. Eh Ren, bukannya pekan ini HPLnya istri?" Tanya Satrio yang bingung dengan kedatangan Reno ke sini.
"Iyaa, katanya masih 4 hari lagi, Mas. Makanya ini mau service mobil dulu. Mas Radith kemana nih?" Tanya Reno yang belum melihat sang kakak.
"Kayak ngga tahu aja, Radith kalau sudah sabtu kan bisa ngga dateng ke bengkel. Service yang lain dia di rumah." Satrio dan Reno pun tertawa.
"Haaa Mas Radith, kalem-kalem ganas juga." Reno berkomentar lantas menjelaskan permasalahan mobilnya pada montir yang ada di sana.
Saat Reno sedang memperhatikan para montir. Handphonenya pun bergetar dan sebuah panggilan atas nama Bunda diterima nya.
"Hallo Bun?" "............" "Hah? Iya? Kook maju?! Iya iyaa.. Reno langsung ke sana. Eeh Bun Bun... Dokternya harus perempuan."
Reno pun menutup sambungannya lantas menghampiri Satrio.
"Mas pinjem motor dong! Haduuh Rissa melahirkan sekarang. Dokternya gimana sih...? Bilang HPLnya 4 hari lagi kok jadi sekarang." Reno yang panik pun masih
terus mengomel hingga seorang montir Radith meminjamkan motornya.
"Hati-hati Reen!! Nanti Mas sama Irish ke sana yaaa!" Satrio melambaikan tangannya pada adik sahabatnya itu.
Setelah berkali-kali hampir menabrak orang, gerobak dan kendaraan lain, Reno akhirnya sampai ke rumah sakit tempat Rara melahirkan.
"Ini dia pelakunya yang malah paling telat datang!" Bahkan yang berucap itu adalah Lendra.
"Mas Radith, Mba Neona kok di sini?" Reno mendapati kakak yang ia tuduh sedang di rumah justru sudah di sini.
"Yang nanya itu harusnya kita, Ren. Kamu ngapain benerin mobil di HPL- 4? Itu kan perkiraan manusia. Bisa maju dan mundur." Neona menegur dengan tegas
adik iparnya ini. "Yaa ampun, Mba... Tadi bahkan yang nyuruh Reno ke bengkel itu Rissa. Dia bilang biar mobilnya oke pas dia melahirkan. Eh malah duluan." Reno berkata jujur
namun tetap mendapat pelototan galak mantan gurunya itu.
"Sudaah jangan ribut anak-anakku. Rara sedang berjuang di dalam. Reno temani Rara di dalam." Bunda memeringati anak menantu dan menyuruh Reno ke dalam.
"Sayang... Maafin aku yang malah ke bengkel." Reno menggenggam tangan Rara dengan erat.
"Yg penting Mas sudah di sini. Temenin Rara ya, Mas." Rara tersenyum pada Reno yang lebih panik dari dirinya.
"Pokoknya kalau sakit, cakar aja tangan aku. Jangan ditahan. Aku ngga apa-apa sayang. Aku di sini." Reno mengusap keringat di dahi Rara.
Menit demi menit berlalu hingga jam berganti jam. Ekspresi kesakitan sangat jelas terlihat di wajah Rara. Reno baru mengerti alasan Radith yang tidak ingin
Neona hamil lagi. Ternyata melihat istri kesakitan seperti ini adalah ujian batin.
"Kalau aku bisa, aku mau gantiin kamu deh, Sa. Biar Papa ganteng ini yang melahirkan." Reno melucu yang justru dipukul Rara.
"Mas Reno jangan bercanda deeh.." Rara kesal-kesal senang dengan kelakuan suaminya.
Dasar Reno, ia terus mencoba membuat istrinya tertawa hingga Rara melupakan proses persalinan yang sangat menyakitkan itu.0 jam berlalu hingga akhirnya
dr. Ajeng menyatakan ini bukaan terakhir. Reno berdoa dan menggenggam tangan Rara hingga suara tangisan bayi terdengar memecah ketegangan.
"Tuan Moreno, putrinya lahir dengan selamat dan sempurna." Ucapan dokter senior itu membuat Reno mengecup dahi dan pipi Rara.
"Terima kasih karena telah mengandung dan melahirkan dedek ke dunia ini sayang. I love you, Rissayangku." Reno pun mengikuti suster untuk mengadzankan
bayi cantiknya. Semua supporter Rara dan Reno pun berucap syukur atas kelahiran anggota baru keluarga Trisdiantoro itu. Zahra ikut merasa senang karena akhirnya ia memiliki
sepupu perempuan. "Siapa namanya Ren?" Tanya Bunda yang sangat bersemangat melihat cucu keduanya itu.
"Namanya Varsha Rissano Trisdiantoro, Bun." Jawab Reno dengan bangga.
"Artinya?" Tanya Bunda dan Neona bersamaan.
"Varsha itu hujan dan Rissano gabungan nama Reno dan Rara. Hujan itu suatu anugerah yang kedatangannya pasti dinanti. Membawa kesejukan dan menghilangkan
kegersangan. Varsha ini anugerah untuk Rara dan Reno. Saat keadaan sedang mencekam akibat terror, Varsha hadir hingga semua berakhir dengan baik-baik saja."
Reno menjelaskan arti nama anaknya yang membuat Radith dan Ayah menepuk bahu Reno.
"Ciri The Trisdiantoro itu, memberi nama anak dengan sangat indah, penuh arti dan doa." Ucap Ayah yang diangguki oleh semua orang.
"Selamat menjadi Papa dedek Reno!!! Selamat berpuasa! Tanya-tanyalah sama gue.. Gimana caranya berpuasa yang baik dan benar." Lendra sudah mulai menggoda
Reno. "Ngga usah di bawa beban, Ren. Sejak mimpi basah sampai menikah sudah bisa menahan kan? Masa 2 bulan ngga bisa? Mencintai kan bukan hanya dengan yang begitu,
Ren." Ucap Radith sopan. Reno pun mengangguk setuju dengan ucapan Radith.
Reno pun menemani Rara yang baru saja menyusui anak mereka. Sungguh lengkap rasanya hidup Reno saat ini. Punya Rara sebagai istrinya juga punya Varsha
sebagai putri kecilnya. Pak Dipta dan Ibu Elisa datang mengunjungi Rara hingga wajah Mama baru itu sangat bahagia. Tak hanya mereka berdua, Lyra yang kini menjadi kakak sepupu
Rara juga hadir bersama Damar untuk memberikan hadiah yang sangat banyak.
"Setelah ini jangan lupa resepsi ya Mama. Biarkan hanya pasangan Langit Moreno dan Clarissa Aurora lah yang resepsinya digabung dengan first anniversary.
Kemarin Papa sudah menghubungi Mba Nadine untuk menyesuaikan ukuran gaunnya. Dia oke dan bahkan senang karena akhirnya kita akan resepsi." Reno justru
membahas soal resepsi. "Yaa ampun... Nikah sama Langit Moreno itu memang harus siap diajak buru-buru yaa.. Baiklah Papa, Mama menurut pada Papa." Rara tersenyum pada suaminya
yang mengecup keningnya dan Varsha yang terlelap dengan nyaman di pelukan lengan Rara.
***** Tanpa terasa Varsha sudah berusia dua pekan. Rara dan Reno pun mengadakan syukuran untuk kelahiran anak pertama mereka. Dave adalah anggota keluarga Trsidiantoro
yang paling excited mengajak Varsha bermain hingga meminta orang tuanya untuk punya anak lagi.
"Daddy... Dave kan sebentar lagi ulang tahun yang ke 8. Dave boleh pesan kadonya ngga?" Tanya Dave pada Radith.
"Memangnya Dave mau minta apa, sayang?" Tanya Radith pada anak pintar dan menggemaskan itu.
"Dave mau Mommy melahirkan bayi. Dave mau punya adik lagi. Perempuan seperti anaknya Uncle sama Aunty." Pinta Dave dengan wajah sangat lucu.
"Looh kenapa minta lagi? Kan sudah ada Dedek Varsha." Radith jelas menolak keras keinginan anak semata wayangnya.
"Dave sini sama Mommy." Neona memanggil sang anak yang tampak sudah menggembungkan pipinya.
"Punya adik itu ngga cuma sekedar punya loh Dave. Memangnya Dave sudah mau berbagi mainan? Dave sudah mau berbagi cokelat? Kalau Dave belum bisa begitu,
dedek bayinya tidak akan hadir." Neona tahu bahwa anaknya ini sudah terbiasa hidup menjadi anak tunggal yang akan susah berbagi pada beberapa hal. Mirip
sang Daddy yang posesif. "Hmm... Berbagi cokelat? Hmm.. Ngga jadi deh! Dave sudah cukup punya Mas Fakhri, Zahra dan Dedek Varsha." Ujar Dave yang kini sudah berlari saat Bunda
memanggil cucunya karena ia baru membuat puding cokelat.
"Dave minta apa, Mas?" Tanya Reno pada kakaknya yang sedang mengurut dahi.
"Dia minta adek. Ini pasti karena kamu, Ren. Untung Neona tahu apa yang jadi pemikiran Dave, kalau ngga pusinglah kepala ini." Ucap Radith yang membuat
Reno tersenyum. "Setelah Rara melahirkan, mau nambah Ren?" Tanya Radith pada sang adik.
"Rara dan Reno sudah sepakat untuk menambah anak lagi setelah Varsha, Mas. Kasian Varsha. Lagian kita harus punya penerus Trisdiantoro. The Trisdiantoro
tidak boleh punah. Jadi ngga kasih kendor kayaknya." Ucap Reno yang mendapatkan pukulan di lengan oleh Radith.
"Sudah jadi Papa, kosakata diperbaiki." Nasihat Radith pada adik kesayangannya.
*** BAB 32 Setelah bermonolog panjang lebar, Reno mencium kedua pipi gembil putri kecilnya lantas berbisik halus.
"Tidur yang nyenyak dedek cantik. Papa dan Mama sangat mencintaimu."
Reno pun berbalik badan dan melihat sang istri yang sedang membaca buku di atas ranjang. Reno mengembuskan nafas mencoba mengalihkan pikirannya. Pekan
depan resepsi sekaligus perayaan satu tahun pernikahannya akan di selenggarakan.
"Mas Reno..." Istri cantik yang semakin seksi itu pun memanggil Reno untuk mendekat ke arah tempat tidur.
"Kenapa sayangku?" Reno mendekat dan duduk di samping Rara.
"Mas, masa aku denger kalau Winny lagi sakit di lapas. Kita jenguk yuk. Aku kangen Winny Mas. Bagaimana pun, Winny itu orang pertama yang nemenin Rara
di Jakarta ini." Rara pun menahan air matanya.
Rara membayangkan bagaimana rasanya jadi Winny yang dibuang oleh keluarganya. Keluarga Mas Akbar menghujat Winny bahkan kabar terburuknya Winny dan Andre
baru saja kehilangan calon bayi mereka. Ya, Winny dan Andre sudah menikah di lapas dan menjalani hidup sebagai suami istri di sana.
"Hati kamu terbuat dari apa sih, Sa? Aku kagum sama kamu. Iya, Mas antar kamu ya besok. Tapi dedek jangan diajak." Reno mencium puncak kepala istri yang
sangat ia cintai itu. "Makasih ya Mas sudah mengizinkan aku. Makasih juga sudah mau nganterin aku. Iya, besok nenek mau main ke sini. Kemarin Bunda janjian sama nenek. Kata
mereka kalau akhir pekan, Varsha punya mereka." Rara tertawa karena ia teringat bagaimana Reno berebut Varsha dengan Bunda dan Nenek di akhir pekan.
"Iyaa biarin aja Varsha sama Bunda dan Nenek. Biar Mamanya dikuasai Papanya." Reno tersenyum jahil.
"Ini yang ngomong Mas Reno? Kok jadi kayak Mas Radith?" Rara memicingkan mata kearah Reno.
"Ini yang micingin mata Rissa? Kok jadi kayak Mba Neona?" Balas Reno yang membuat keduanya tertawa bersama.
"Mas Radith sama Mba Neona tuh pasangan favorit banget ya." Rara berpendapat.
"Ngga aah, Mas Lendra sama Mba Lala tuh lebih jadi favorit aku. Mereka tuh tetap mesra dan tambah hot sampai sekarang." Reno ikut berpendapat.
"Emangnya Mas Radith Mba Neona ngga? Itu sih karena Mas Radith ngga ngumbar-ngumbar kayak Mas Lendra." Rara dan Reno berdebat lagi soal pasangan favorit
mereka masing-masing. "Kita harus jadi pasangan favorit juga buat anak-anak kita, Sa. Kisah percintaan Rissa-Reno ini paling heboh dalam satu dekade loh. Nanti kalau kita second
anniversary itu tanda kita sudah satu dekade saling terikat janji hati." Reno mengalihkan perdebatan tiada akhir dengan hal yang lebih berarti.
"Iya juga ya, Mas. Tapi kalau hati aku sudah dimiliki sama yang namanya Langit Moreno selama satu dekade. Kan aku sukanya dari MOS. Setahun lebih cepet
dari Mas Reno." Rara mengenang masa-masa itu.
"Maaf karena telat menyadari kehadiran kamu, Sa." Reno memeluk sang istri yang nyatanya duluan menyukai sosoknya itu.
"Siapa yang suka duluan itu ngga penting, Mas. Yang penting adalah komitmen hatinya. Aku yakin di luar sana godaan pasti banyak. Meski aku di rumah pun
bukan berarti godaan itu ngga ada. Tapi aku percaya kita bisa menjaga perjanjian ini karena kita berjanji di depan Tuhan dan orang tua kita. Kita harus
ingat, bahwa semua orang pasang badan untuk melindungi kita berdua. Bahkan ada nyawa yang pernah berkorban untuk hubungan ini, Mas." Rara pun mengusap
pipi sang suami yang sudah tersenyum ke arahnya.
"Sa, aku mencintaimu dalam nama dan janjiku pada Tuhan. Aku manusia yang pasti tidak luput dari salah dan dosa. Tapi satu yang aku pastikan bahwa salah
dan lupaku tidak akan membuat air mata jatuh dari matamu yang indah ini. Delapan tahun aku sudah kehilangan kamu dan itu mengajarkan aku untuk menjaga
dan menggenggam tanganmu erat ketika kamu sudah di sampingku. Percaya padaku, kita akan menjadi pasangan favorit untuk anak-anak kita." Reno mencium pipi
dan bibir istrinya dengan lembut dan penuh perasaan.
"Mas, aku juga mencintaimu dan tidak pernah berubah sejak dulu. Entah apa yang telah Mas lakukan, yang jelas hatiku hanya mau menerima seorang Langit Moreno,
bukan yang lain. Orang bilang ini cinta gila, karena dulu aku berada di dasar tanah sedangkan Mas itu langit. Tapi aku percaya, jika Tuhan sudah menuliskan
takdirku bersama Mas, maka ini lah yang terjadi."
Mereka pun berpelukan lantas merebahkan tubuh untuk mengistirahatkan tubuh bersama. Di dalam hati, Reno mengakui kalau perkataan Radith benar. Bahwa tak
selamanya romantisme dan kemesraan harus berakhir pada aktivitas itu.
***** "Hari ini Varsha sama Nenek Uyut dan Oma yaa.. Bye bye Papa Mama.." Ibu Elisa menirukan suara anak kecil ke arah Reno dan Rara yang akan mengunjungi Winny
dan Andre. "Dedek Varshaaa, ayo dong kamu bangun! Kita main yuk. Heemm Mas Dave punya ikan, kura-kura... Oh iya pokoknya nanti kita main bareng yaa.." Ini adalah
monolog Dave sejak ia melihat Varsha pulang ke rumah ini. Selalu mengajak main adik sepupunya yang masih berusia hitungan pekan itu.
"Bunda, Nenek.. Rara titip yaa.. Kami sebentar saja kok." Rara sebenarnya khawatir kalau harus meninggalkan bayinya itu. Meski stock ASI sudah ia berikan
pada Bunda dan Nenek. "Iya sayang.. Hati-hati yaa.. Salam untuk mereka berdua." Bunda melambaikan tangannya pada Rara dan Reno yang sudah saling merangkul mesra.
Sesampainya di lapas, keduanya saling berpandangan dan berpegangan tangan. Andre dan Winny yang dibawa petugas lapas tertunduk malu melihat kedatangan
Rara dan Reno. "Winnyyyyyyy! Gue kangen." Rara memeluk erat Winny. Hingga Winny terkaget dan menangis terisak.
"Raraaaa gue juga kangen banget sama lo. Ra, gue malu sama lo. L masih mau maafin gue yang hina ini, Ra." Winny menangis di bahu Rara.
"Bagaimana pun lo sahabat gue. Gue sayang sama lo, Win." Ucap Rara tulus dan jujur.
"Makasih banyak yaa Ra, lo juga sahabat terbaik gue. Di sini gue yang jahat dan ngga pantes jadi sahabat lo, Ra. Maafin gue, Ra." Winny semakin menangis
Suling Emas 15 Pendekar Bodoh 6 Muslihat Sang Durjana Berita Ekslusif 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama