Ceritasilat Novel Online

Melanie 4

Melanie Karya V. Lestari Bagian 4


aku tetap ayahnya, bukan? Ya, aku ingin sekali bisa
berbincang-bincang dengannya. Aku ingin mendengar
nya memanggilku Papa. Aku...," Darmaji bicara
dengan pandang melamun.
Tapi kata-kata itu terlalu banyak untuk Diah. Dia
ternganga untuk sesaat. Lalu emosinya melonjak.
Bagaimana mungkin dari hanya permintaan maaf bisa
berkembang menjadi begitu banyak? Terlalu banyak!
"Itu tidak mungkin!" serunya.
Darmaji kaget. "Tidak mungkin? Kenapa? Bukankah
kau sudah memaafkan aku?"
"Memaafkan itu tidak sama dengan melupakan!"
"Kalau begitu, maafmu itu tidak ikhlas. Kau tidak
benar-benar memaafkan aku."
Diah berdiri. Wajahnya dipalingkan. Dia tak ingin
memandang Darmaji karena khawatir penampilan
Darmaji yang memelas bisa meruntuhkan tekadnya.
Jangan biarkan rasa iba mengambil alih.
"Sudahlah, Darma. Dulu kita sudah mengambil jalan
sendiri-sendiri. Biarlah sekarang tetap demikian."
284 / 460 "Aku sungguh menyesali perbuatanku dulu. Lihatlah
diriku. Bukankah sudah jelas bahwa aku terus-menerus
digerogoti rasa bersalah? Aku tak ingin membawanya
ke liang kubur, Diah!"
"Bukankah aku sudah memaafkanmu?"
"Maaf seperti itu tidak cukup. Itu cuma kata-kata!"
"Kau menuntut terlalu banyak!"
"Aku tidak menuntut. Aku ingin memperbaiki
kesalahanku. Aku ingin benar-benar merasakan bahwa
kesalahanku telah diampuni dan aku diberi
kesempatan."
"Kau menginginkan itu karena kau sekarang sendirian!
Kalau perempuan itu masih ada di sisimu, pasti kau
takkan ingat pada kami. Dalam kesenangan kau lupa.
Tapi dalam kesedihan baru kau ingat!"
Tanpa menunggu sahutan Darmaji, Diah menyambar
tasnya lalu bergegas pergi. Dia tak ingat lagi untuk
pamitan kepada tuan rumah yang tak muncul-muncul.
Tapi Darmaji memang sudah tak bersemangat untuk
menyahut. Dia terenyak saja di kursinya. Diam
termangu dengan wajah kuyu.
Arman keluar dan menepuk pundak Darmaji lalu
menarik kursi ke sebelahnya. "Sabar sajalah, Pak. Saya
pikir, persoalan itu membutuhkan waktu," hiburnya.
285 / 460 "Kau mendengarkan?"
"Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud mendengarkan, tapi
terdengar juga."
Darmaji menghela napas dalam-dalam.
"Tentu saja. Saya tidak menyalahkanmu. Justru saya
berterima kasih karena kau sangat membantu. Ya, kau
tentu sudah memahami semuanya. Tadi waktu baru
datang, saya sempat memperhatikan betapa akrab
kalian berdua berbicara. Saya menjadi iri. Semestinya
sayalah yang berada di tempatmu. Saya beranganangan terlalu muluk rupanya. Sakit hati Diah terlalu
besar. Memang, hanya maaf saja tak mungkin bisa
menyembuhkan. Saya juga tidak menyalahkan dia.
Saya menyalahkan diri sendiri. Oh, lucu bukan? Dulu
mana mungkin saya berpikir akan kemungkinan seperti
ini. Ketika itu saya sangat rakus melahap
keberuntunganku. Egois. Keji. Diah benar. Kalau
sekarang keberuntungan itu masih kumiliki, mungkin
saya tak akan memohon-mohon kepadanya. Serendah
itukah diriku? Sebejat itu? Kalau memang begitu,
pantaslah saya dihukum. Pantas! Pantaaaaaas!"
teriaknya emosi.
Arman merangkul pundak Darmaji.
"Tenang, Pak. Tenang. Sabarlah, ya?"
286 / 460 Dia mencoba menenangkan walaupun merasa bingung
dan ngeri. Untuk kesekian kalinya ia berjanji pada
dirinya sendiri, tidak akan mengikuti jejak Darmaji.
Baik keberuntungannya. Apalagi kesialannya.
Darmaji menutup muka dengan kedua tangannya lalu
menangis terisak-isak. Arman cuma bisa merangkul
lebih erat. Dia ngeri kalau-kalau tubuh kurus Darmaji
tak bisa menahan guncangan emosi hingga lepas
berentakan.
Akhirnya emosi Darmaji mereda.
"Maaf, Man. Saya kehilangan kendali," katanya
tersipu. "Nggak apa-apa, Pak. Saya mengerti."
Darmaji menggelengkan kepala. "Ah, kau terlalu muda
untuk mengerti. Kau belum berpengalaman. Ada
saatnya orang menghadapi godaan yang sulit diatasi."
"Bila saat itu tiba, saya akan selalu mengingatkan diri
saya, Pak."
"Caranya?" tanya Darmaji seakan ikrar Arman itu
terlalu gampang diucapkan.
"Pengalaman Bapak ini saya jadikan pelajaran."
Darmaji tampak kurang senang. Tapi kemudian dia
menarik napas panjang. "Yah, kau memang sudah
287 / 460 telanjur tahu banyak. Kuharap kau tidak menceritakan
nya ke mana-mana. Terutama pada rekan-rekan di
kantor."
"Tentu saja tidak, Pak. Saya bukan tipe orang seperti
itu."
"Siapa tahu. Pada suatu saat ada kemungkinan kau
kurang senang padaku, lalu kau berniat membalas."
Kini giliran Arman merasa kurang senang. Apakah
pribadi Darmaji memang seperti itu atau kepahitan
hidup membuatnya demikian?
"Tidak mungkin, Pak. Bapak adalah ayah Melanie.
Dan bercerita tentang Bapak akan sama dengan
bercerita tentang Melanie. Itu tidak akan saya
lakukan," kata Arman tegas.
Darmaji kaget dan menyesali kata-katanya sendiri.
"Maaf, Man. Jangan marah. Saya sedang pusing. Stres
sekali. Harap kau memaklumi."
"Tentu, Pak. Tentu."
"Saya memang orang yang menjengkelkan, bukan?
Saya seperti lelaki nyinyir saja. Padahal semestinya
saya merasa beruntung karena masih ada orang yang
mau membantuku. Ya, kau. Terima kasih ya, Man."
Darmaji berdiri tapi Arman menarik tangannya.
"Jangan pulang dulu, Pak. Kita makan bersama saja."
288 / 460 Tawaran itu tidak ditolak Darmaji. Dia justru merasa
senang. "Tadi kau sudah berjanji kepada Diah, akan jadi teman
Melanie. Bukan pacar. Saya hargai sekali dan juga
berterima kasih. Tapi sebagai sesama lelaki, saya tahu
itu akan sulit sekali."
"Saya tahu, Pak."
Darmaji menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ah, saya
rindu sekali kepada Melanie. Saya ingin sekali
bertemu, tapi saya takut. Dan karena kau temannya,
maukah kau selalu menceritakan perkembangannya
padaku?"
Arman mengangguk. "Tentu, Pak."
Dan setelah terlibat pembicaraan lebih banyak ia
berpendapat, Darmaji tidaklah seburuk persangkaan
nya semula. Bukankah baik buruknya seseorang juga
dipengaruhi situasi dan kondisinya?
289 / 460 XVII Tony tak bosan-bosannya mengagumi Monika. "Kau
cantik sekali," pujinya untuk kesekian kali.
Monika tertawa. "Dan Bapak tampan sekali."
"Ha ha! Kita pasangan serasi bukan? Bagaimana kalau
kau membuang sebutan Bapak itu? Rasanya kurang
enak. Kurang intim, gitu."
Monika menggelengkan kepala sambil tersenyum.
"Sebaiknya jangan, Pak. Kalau saya jadi bekerja di
perusahaan Bapak bisa dianggap kurang ajar."
"Oh, kau mau? Kapan mau mulai?"
"Sebenarnya saya belum pasti, Pak. Saya tidak tahu apa
saja yang bisa saya kerjakan."
"Sudah berapa lama kau kursus komputer?"
"Hampir setahun."
"Lumayan. Nanti kita lihat apa yang bisa kaukerjakan.
Eh, bagaimana kalau kau jadi asisten sekretarisku? Dia
pintar dan cekatan. Kau bisa belajar banyak darinya."
"Saya pikir dulu, Pak. Terima kasih."
290 / 460 Ya, urusan itu memang bisa belakangan, pikir Tony.
Ada hal lain yang lebih penting untuknya dan tentu saja
lebih mendesak untuk didahulukan. Dengan
memandangi Monika seperu itu dia merasakan
darahnya berdesir-desir.
Pertanda gairahnya meningkat. Dia benar-benar menginginkan perempuan
itu. Ya, perempuan!
Dalam keadaan seperti itu, susahlah bagi Tony untuk
melihat Monika sebagai pribadi. Dia melihat dan
menilainya melulu sebagai manusia berdarah dan
berdaging perempuan. Terlalu besar kegembiraan
bahwa dia telah menemukan seleranya kembali. Tapi
bagaimanapun, kegembiraan itu belumlah lengkap. Dia
masih harus membuktikannya dulu. Dan dia ingin
melakukannya secepat mungkin. Tapi dia juga
menyadari, terhadap Monika dia harus melakukan
pendekatan lebih dulu kalau tak ingin dicurigai apalagi
sampai ditolak.
Tapi Monika masih merupakan tanda tanya untuknya.
Sebenarnya, cukup bebaskah Monika untuk didekati
dan diajak? Dia susah memastikan. Suatu saat dia
merasa yakin, lain kali dia kembali ragu-ragu. Entah
apa karena Monika susah ditebak atau dia yang kuper
dengan perempuan.
"Kalau kau sekarang indekos, tentunya kau harus
punya penghasilan untuk membiayai hidupmu, Mon.
291 / 460 Bagaimana kau bisa melakukan hal itu kalau tidak
bekerja?"
"Saya masih punya simpanan, Pak."
"Berapa pun besarnya simpanan, kalau dimakan terus
pasti habis," kata Tony sambil berpikir, dari mana
simpanan itu berasal kalau si pemilik tidak punya
penghasilan. Tapi pertanyaan itu memang tidak patut
dikemukakan sekarang.
"Ya. Memang benar, Pak. Itu pula sebabnya saya
cenderung menerima tawaran kerja Bapak. Karena
itulah saya mencari tempat kos di situ. Supaya dekat.
Tapi sebenarnya saya masih ragu-ragu apakah tawaran
Bapak itu sungguh serius. Maksud saya, apakah besokbesok Bapak tidak menyesal. Sekarang dan besok itu
bisa lain. Pak. Bagaimana kalau sekarang saya diterima
bekerja, tapi besok didepak lagi?"
Tony menggelengkan kepala. "Bagaimana mungkin
kau bisa punya pikiran sekejam itu? Kelewatan
banget."
"Maaf, Pak. Siapa tahu. Soalnya, yang menentukan itu
kan Bapak. Saya cuma menerima. Kalau Bapak
membatalkan saya tak bisa menggugat. Bukan apa-apa.
Saya cuma harus tahu diri, Pak. Bukankah sangat
jarang orang ditawari pekerjaan padahal sudah jelas
sulit mencari sendiri?"
292 / 460 Kata-kata itu cuma membuat Tony penasaran. Tapi dia
mulai merasa respek kepada Monika. Dan juga
semakin tertarik!
"Tawaran itu sudah pasti, Mon. Tak akan kutarik
kembali. Kau bisa mencoba dulu, urusan belakangan.
Kalau nanti ternyata pekerjaannya tidak menarik
untukmu, atau kau gobloknya setengah mati..., ha ha,
bercanda ya? Maka pantaslah kau mundur. Tapi
kupikir, kalau kau memang goblok mustahil bisa bicara
seperti itu. Nah, mulai saja bulan depan. Soal gaji,
kujamin bisa dipakai hidup sebulan. Sederhana
tentunya. Oke?"
Monika sebenarnya menyukai ketegasan seperti itu.
Tapi masalahnya memang bukan soal pekerjaan atau
gaji, karena sudah jelas dia membutuhkan itu. Cuma
dia terlalu sadar akan citra dirinya. Begitu Tony
mengetahui bahwa dia seorang pelacur atau bekas
pelacur, dia pasti akan segera didepak. Dia pun masih
ingat, betapa jijiknya Nyonya X kepadanya. Padahal
kemungkinan besar Nyonya X itu adalah ibu Tony.
Bagaimana bila suatu waktu Nyonya X datang ke
kantor lalu melihatnya di sana sebagai karyawati?
Wah, bisa geger.
Tapi dia harus memutuskan sekarang. Seperti kata
Tony, segala urusan bisa belakangan. Apalagi dia
293 / 460 sudah mendapat tempat kos yang berdekatan. Yah, itu
cuma rencana jangka pendek.
"Baiklah. Terima kasih, Pak."
"Nah, begitu dong. Rupanya kau ini orang yang susah
percaya."
Monika hanya tersenyum.
Mereka makan malam di restoran pilihan Tony. Sambil
makan mereka mengobrol dan bergurau. Keduanya
sungguh menikmati saat itu. Bagi Tony, dia seperti
belajar kembali bagaimana bergaul dengan perempuan.
Dan dia menyadari benar bagaimana besar daya


Melanie Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tariknya terhadap mereka lalu memanfaatkannya
semaksimal mungkin. Sementara itu, Monika pun
demikian. Sudah lama dia tak menikmati kencan
bersama pria yang menarik hatinya. Biasanya dia selalu
mengukur hubungan demikian dengan uang. Dia akan
terus teringat berapa uang yang bisa dibawanya pulang.
Memang ada unsur uang yang mengaitkan hubungan
nya dengan Tony. Tapi jelas Tony berbeda. Tony tidak
memandangnya seakan barang yang bisa dibeli.
Lalu Monika terkejut. Dia melihat seorang pria di salah
satu meja berdekatan menatap kepadanya. Tatap
mengenali. Buru-buru dia melengos. Lelaki itu seorang
pelanggan! Atau bekas pelanggan? Sekali atau dua
294 / 460 kalikah dia pernah membelinya? Ser. Ser. Darah naik
ke muka Monika.
"Kenapa?" tanya Tony heran.
"Kepedasan."
"Jangan banyak-banyak sambalnya, dong."
Monika meraih gelas minumnya. Sekalian
menenangkan diri. Dia berusaha tidak memandang ke
sana. Tapi lelaki di sana pun tampaknya tidak berbuat
apa-apa untuk mengingatkan hubungan mereka.
Mungkin karena di sampingnya ada seorang
perempuan. Entah pacarnya. Entah istrinya. Tapi
Monika merasa bersyukur. Akan lain halnya bila lelaki
itu bersama lelaki lain. Keduanya pasti akan kasakkusuk membicarakannya. Atau menertawakannya. Dan
merendahkannya dengan tatap dan tawa mereka. Tapi
walaupun bersyukur, dia tetap merasa kurang enak.
Rasa senangnya sudah menguap sebagian.
Tak lama kemudian giliran Tony merasa kaget. Dua
orang pria yang baru masuk terus saja berjalan menuju
mejanya lalu menepuk pundaknya.
"Hai, Tony! Apa kabar?" tanya salah seorang.
Tony hampir saja tersedak. Lebih-lebih setelah dia
mengenali mereka. Andre bersama temannya.
295 / 460 "Oh, baik-baik saja," sahut Tony sedikit gugup. Di
depan Monika, dia tidak siap dengan perjumpaan itu.
Dia tak ingin Monika menyangka sesuatu tentang masa
lalunya di awal hubungan mereka. Karena itu sengaja
dia tak memperkenalkan Monika kepada Andre dan
temannya. Tapi keduanya tak segera berlalu.
"Sudah lama kau tak muncul di Ramona, Ton. Ke mana
saja sih?" tanya teman Andre sambil mengerling
kepada Monika.
"Sibuk," jawab Tony jengkel.
Andre tersenyum sinis. Lalu senyumnya melebar
ketika beradu pandang dengan Monika. Lumayan
cakep, pikirnya. Tapi yang dipandang cepat melengos.
"Ngomong-ngomong, Ton, aku sudah bertemu dengan
Melanie," kata Andre, walaupun temannya sudah
menarik lengannya.
Tony kaget. Wajahnya tak bisa menyembunyikan
perasaannya. Dia menatap Andre dengan pandang
bertanya. Dan untuk sesaat dia tak mempedulikan tatap
ingin tahu Monika. Andre tertawa. Dia senang melihat
efek ucapannya atas diri Tony.
"Aku mengobrol dengannya. Cukup lama. Ternyata dia
baik, ya," lanjut Andre dengan nada bangga. "Dan dia
begini," katanya sambil mengacungkan ibu jarinya dan
melirik Monika. Seakan membandingkan.
296 / 460 Tony mengangkat bahunya seolah tak peduli. Dia
sadar, bahwa komentar cuma memancing pembicaraan
lebih panjang.
Teman Andre menarik lengan Andre lebih keras.
"Ayolah kita ke sana," bisiknya. Dia merasa tidak enak
melihat wajah Tony yang keruh.
Tapi Andre belum puas. "Mungkin kau perlu tahu, Ton.
Aku dan Melanie berteman. Dia mau kok. Kalau nggak
percaya, tanyalah kepadanya," katanya sebelum dia
berhasil diseret pergi oleh temannya.
Tony menggeleng-gelengkan kepalanya seakan
gangguan itu sungguh keterlaluan. Lalu dia
memandang Monika yang tengah menekuri piringnya.
"Maaf, Mon. Dia memang brengsek," katanya
menyesali.
Monika tersenyum manis.
"Nggak apa-apa, Pak. Memang di mana-mana ada saja
orang iseng," katanya penuh pengertian. Dia memang
tak ingin bertanya. Itu cuma memperkeruh suasana. Di
samping itu perasaannya mengatakan, Tony tak ingin
ditanyai. Biarpun demikian, dia sudah cukup bisa
mengira-ngira. Dia tahu tentang kelab Ramona dan
karenanya bisa memperkirakan siapa kedua orang tadi.
Mestinya Tony merupakan salah satu dari mereka di
masa yang sudah lewat. Ataukah masih? Ataukah Tony
297 / 460 seorang biseks? Tapi Nyonya X bicara tentang
perubahan selera. Setidaknya dia menyinggung soal
itu. Sejauh manakah perubahan Tony itu? Memang
sampai saat itu belum bisa dibuktikan apa-apa. Untuk
itulah dia dibayar. Segera saja semangatnya meningkat.
Masalahnya sekarang bukan cuma keinginan
membuktikan atau secepatnya meraih honor yang
dijanjikan. Tapi ada yang lain. Sesuatu yang terasa
menantang dan membuat penasaran. Sepertinya dia
mewakili kaumnya, perempuan, yang berhadapan
dengan golongan kedua lelaki tadi, kaum gay. Dua
pihak yang berperang memperebutkan Tony yang
mewakili kaumnya, yaitu lelaki yang bimbang ke mana
akan menggabungkan dirinya. Dia harus membuat
Tony yakin dan tidak berpaling ke sana lagi. Tadi dia
memang punya perasaan kuat bahwa kedua lelaki itu
memandangnya sebagai saingan, bukan seperti
sewajarnya lelaki memandang perempuan. Dan
bukankah sudah sepatutnya dan sesuai pula dengan
hukum alam, bahwa lelaki itu berpasangan dengan
perempuan? Jelas bukan dengan sesama jenisnya!
Tony merasa bersyukur bahwa Monika tidak bertanya
macam-macam.
"Ayolah kita pergi," ajaknya.
Setibanya di mobil, Tony bertanya, "Ke mana lagi,
Mon?"
298 / 460 "Pulang saja, yuk? Sudah malam."
"Ah, masa sudah malam? Kan sekarang tak ada yang
menunggu dengan palang pintu."
"Saya tidak enak dengan Tante Kos."
"Baiklah, anak manis. Tapi bagaimana dengan besok?
Punya rencana?"
Pertanyaan itu memang diharapkan Monika. "Belum
tuh, Pak."
"Aduh, sebutan Bapak itu sungguh terasa menggelikan.
Tidak bisakah kaubuang sekarang dan nanti dipakai
lagi? Ayolah."
"Baiklah, Tony." Monika tersenyum geli. Lucu tapi
ironis. Kalau Tony tahu semua tentang dirinya, pastilah
dia akan menyesal. Dia akan muak. Jijik. Sama seperti
sikap Nyonya X kepadanya. Tapi Tony pasti belum
akan tahu dalam waktu dekat. Setidaknya hari esok
masih bisa terlewatkan dengan aman. Kalau sudah
begitu, betapa singkatnya waktu dan hari yang dilalui.
Betapa singkatnya saat-saat yang menyenangkan.
Tony tertawa senang. "Itu bagus," katanya sambil
mengulurkan tangan. Dia membelai lengan Monika.
Halus. Lalu tangannya pindah ke leher. Mengelus-elus.
Dia seperti tengah bereksperimen dengan perasaannya
sebagai reaksi dari sentuhan itu. Dan untuk sesaat dia
299 / 460 merasa takjub. Getaran yang terasa membuat dia
merinding. Penuh sensasi. Hangat, lalu panas
mendesak-desak. Seperti itukah yang terasa ketika
untuk pertama kalinya dia menyentuh perempuan?
Lama berselang? Ketika dia remaja? Bersama
Melanie? Tidak! Melanie bukanlah perempuan
pertama yang disentuhnya.
Lalu Tony menatap mata Monika. Di sana dia melihat
pandang yang sukar diterka. Matanya indah. Wajahnya
cantik. Menggemaskan. Sepertinya ada harapan yang
sama. Keinginan yang sama. Pikiran ini membuat
gairahnya melonjak cepat. Tapi Monika meletakkan
jarinya di bibir Tony dan mendorongnya pelan.
"Kita masih di tempat parkir, Ton," katanya mengingat
kan. Tony tersipu.
"Sori, Moni," katanya sebelum bergegas menjalankan
mobilnya. Sempat dia berpikir betapa mirip nama
mereka berdua. Dan betapa indahnya bila dia
mengaitkannya dengan pengalamannya sekarang.
Tony dan Moni. Sepertinya sudah ditakdirkan untuk
bertemu. Dan sepertinya sudah ditakdirkan bahwa
inilah perempuan yang pertama untuknya setelah
sekian tahun melakukan penyimpangan.
Mendekati tempat kos Monika, Tony meminggirkan
kendaraannya. Jalanan sepi dan agak gelap.
300 / 460 "Lho, di sana, Ton! Belum sampai kok," Monika
mengingatkan.
"Iya, saya tahu. Tapi di sana agak ramai. Saya perlu
bicara sebentar. Rasanya tadi ada yang belum selesai.
Bukankah besok kau tak punya rencana? Ke Puncak,
yuk? Kujemput jam delapan. Oke?"
Monika tak perlu berpikir lama. "Oke," jawabnya. Lalu
dia kaget karena Tony menyergapnya, memeluknya
erat-erat, dan menciumnya seakan besok dunia mau
kiamat. Pada mulanya dia merasa aneh dan sedikit
ngeri. Rasanya perlakuan seperti itu belum pernah
dialaminya. Tak ada di antara para pelanggannya yang
berperilaku seperti itu. Tapi saat berikutnya dia
terhanyut. Dan hampir tanpa sadar dia membalas
dengan gaya yang kurang lebih sama! Liar dan tak
terkendali!
Tapi kemudian Monika lebih dulu menyadari situasi.
Dia mendorong Tony. "Yuk ah, kita jalan lagi. Entar
ada orang datang. Malu."
Tony tidak membantah. Dia sudah cukup puas untuk
hari itu. "Terima kasih, Moni," katanya dengan penuh perasaan
hingga Monika menoleh heran. Tapi Monika tidak
bertanya. Dia hanya tersenyum.
301 / 460 "Saya suka padamu, Moni," Tony mengakui. Dan itu
pasti lebih jujur ketimbang kata "cinta". Baginya, kata
itu adalah gombal semata.
Sesudah menurunkan Monika di muka rumah kosnya,
Tony segera pulang. Dia ingin cepat tidur supaya bisa
bangun pagi keesokan harinya. Janji dengan Monika
membuat semangatnya tinggi. Dia akan mimpi indah.
Tapi kemudian dia teringat akan perjumpaannya
dengan Andre dan ceritanya tentang Melanie. Mimpi indah jadi
terganggu. Dalam mimpinya, Monika dan Melanie
serasa susah dibedakan. Siapa sebenarnya yang berada
dalam pelukannya? Melanie atau Monika?
*** Begitu mobil Tony lenyap dari pandangan matanya,
Monika segera berlari ke boks telepon umum beberapa
belas meter dari tempatnya. Memang di rumah kosnya
tersedia pesawat telepon, tapi dia tak ingin berbicara
dengan didengarkan banyak telinga apalagi oleh ibu
kosnya. Orang yang belum mengenal cenderung suka
berprasangka. Sedang dia ingin mengejar waktu,
mumpung Tony masih dalam perjalanan.
Untunglah boks telepon kosong dan berfungsi dengan
baik. Tapi ketika hubungan sudah tersambung dengan
rumah Nyonya X, dia bingung sebentar karena dia
302 / 460 tidak tahu siapa nama Nyonya X itu. Tapi kebingungan
itu cuma sebentar. Sudah tentu Nyonya X yang
sikapnya otoriter itu adalah bos di rumahnya. Jadi pasti
satu-satunya "ibu" di situ.
"Boleh bicara dengan Ibu? Ini dari Ninik."
Monika menunggu sebentar dan siap dengan uang
logamnya kalau-kalau perlu waktu lama untuk
memanggilkan sang ibu.
"Ya, Ninik?" tegur suara yang kembali diingatnya.
Angkuh. "Tante, ada kabar baik. Saya sudah punya janji dengan
Pak Tony Utomo besok pagi jam delapan. Kami akan
ke Puncak. Sesudah hari itu saya dapat memberikan
cerita lengkap dan tentunya disertai bukti yang Tante
minta itu. Tapi saya ingin minta kepastian dulu.
Apakah perjanjian kita tempo hari tetap berjalan?"
"Oh, sudah tentu. Kaupikir aku tukang bohong?"
"Bukan begitu, Tante. Saya kan perlu kepastian. Siapa
tahu Tante lupa padahal saya sudah capek-capek."
"Aku belum pikun, Nik!"
Monika tersenyum. "Lantas kapan kita bertemu,
Tante?"
303 / 460 Di sana diam sebentar. Rupanya sedang berpikir. Lalu
Nyonya X menyebut nama dan alamat sebuah restoran
ayam goreng. "Pukul satu siang, hari Senin. Bisa?"
"Bisa, Tante. Dan honornya bisa saya terima saat itu?"
"Tentu saja!" Suaranya tinggi.
"Terima kasih, Tante."
Monika pulang dengan senang. Keangkuhan Nyonya X
itu tentu merupakan jaminan bahwa dia tidak akan
ingkar janji. Kalaupun keyakinannya ternyata meleset


Melanie Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia masih memiliki cara lain. Dan kenyataan bahwa
Nyonya X memilih hari Senin menandakan dia sudah
tak sabar menunggu.
*** Dahlia meletakkan pesawat telepon dengan perasaan
mengambang. Sepertinya dia tidak berpijak di lantai.
Tiba-tiba saja dia merasa tidak enak. Sangat tidak
nyaman. Apakah itu gejala sakit? Tapi tidak mungkin.
Sebelum menerima telepon itu dia sehat-sehat saja.
Jadi pasti bukan masalah fisik. Lantas apa? Sesuatu di
kepalanya? Atau firasat buruk?
Pikiran itu membuatnya berkeringat dingin. Dan dia
menjadi bingung. Apakah hanya karena perasaan itu
dia lantas berupaya membatalkan janjinya dengan
Monika? Tapi jelas tidak mungkin. Bagaimana dia
304 / 460 menjelaskannya kepada Tony? Ya, terutama kepada
Tony. Lalu Dahlia mendengar suara Tony memasuki rumah.
Tak lama kemudian muncul orangnya. Tawanya lebar
begitu melihat ibunya. Wah, betapa cerahnya dia, pikir
Dahlia dengan perasaan murung. Pasti Tony habis
berkencan dengan Monika. Ah, mestinya dia tak
murung kalau memang demikian halnya. Justru
seharusnya dia malah senang. Itu berarti sesuai dengan
harapannya semula. Tony normal. Tony lelaki sejati.
Ya, mestinya begitu. Ada yang tak beres dengan
dirinya sendiri.
"Belum tidur, Ma?" tanya Tony ramah.
Tapi kedengarannya terlalu ramah di telinga Dahlia.
"Kalau sudah tidur, tentunya Mama nggak berdiri di
sini," sahutnya, disambut tawa Tony. "Ah, Mama lucu,
ya." "Kamu kelihatan gembira amat. Ton."
"Iya dong."
"Boleh tahu sebabnya?"
"Ah, nggak. Rahasia. Mama sendiri punya rahasia yang
nggak mau dibagi," kata Tony tertawa.
305 / 460 Dahlia jadi berdebar mendengar kata-kata itu. Tapi
tidak mungkin. Tony tentu cuma bergurau saja. "Mau
ke mana lagi, Ton?" tanyanya mengalihkan.
"Ke mana? Tentu saja ke pulau kapuk, Ma. Mau
bobok."
"Tumben tidur siang-siang."
"Besok saya mau pergi pagi-pagi. Sebelum jam
delapan."
"Oh ya? Ke mana?"
Tony cuma tertawa. Dia melangkah menaiki tangga.
Lincah setengah melompat.
Dahlia merasa penasaran. Tapi dia tak mungkin bisa
bertanya langsung. Dengan cepat akalnya berjalan.
"Oh, Ton! Mungkin besok pagi Mama mau mengajak
Papa ke Puncak. Vila nggak dipakai, kan?" dia
memancing.
Langkah Tony terhenti di pertengahan tangga. Dia
memandang ke bawah dan menatap wajah ibunya
dengan kening berkerut.
"Justru saya mau pakai, Ma! Ke tempat lain saja, kan
masih banyak. Iya, Ma?"
Dahlia mengangkat bahu.
306 / 460 "Baiklah. Sama siapa kau mau pergi?"
Tony membalik tubuhnya lalu melangkah lagi. "Ala,
mau tahu saja," gerutunya.
Dahlia berdiri diam memperhatikan sampai Tony
lenyap di balik pintu kamarnya. Tiba-tiba dia merasa
sedih. Jadi Monika benar. Bagaimana mungkin seorang
pelacur bisa membuat Tony begitu gembira? Begitu
bahagia? Padahal dia sebagai ibunya tak bisa
membuatnya seperti itu. Jadi, irikah dia? Atau
menyesal? *** Jadi Tony sudah punya cewek, pikir Andre. Dan
ceweknya itu jelas bukan Melanie. Rupanya
perkiraannya tempo hari memang salah. Tony bukan
jatuh cinta kepada Melanie. Tapi kalau bukan cinta,
benarkah itu benci?
Menurut logika Andre, hanya dorongan-dorongan
ekstrem yang bisa membuat orang berubah secara
drastis. Seperti apa yang terjadi atas diri Tony.
Baginya, adalah mustahil bila seseorang begitu saja
bisa meninggalkan ke-homo-annya untuk berpindah ke
"jalur" lain. Padahal dia tahu betul bagaimana Tony.
Seorang pencinta yang hebat bukan cuma secara
biologis tapi juga emosional. Dari Tony dia mendapat
curahan perasaan yang mendalam. Kepuasannya lahir
307 / 460 dan batin. Jadi baginya, yang demikian itu adalah cinta.
Perasaan yang ekstrem mampu menimbulkan
dorongan yang ekstrem pula hingga terjadilah tindakan
atau perubahan yang tak masuk akal bila berlangsung
dalam keadaan yang biasa-biasa saja. Lantas kalau
bukan cinta, sebenci itukah Tony kepada Melanie?
Padahal di mata Andre, Melanie adalah anak yang
manis. Tidak banyak lagak. Jauh lebih manis dibanding
perempuan yang sekarang mendampingi Tony itu.
Huh, sombong. Begitu beradu pandang pun sepertinya
cewek itu sudah tahu siapa dirinya. Cuma sebentar
mereka beradu pandang tapi dia melihat permusuhan di
mata si cewek. Pergi jauh-jauh. Jangan ganggu Tony.
Pikiran itu memanaskan hati Andre.
Tapi kemudian dia ingat sikap Tony. Taruhlah si cewek
itu memang berlagak, seharusnya Tony tidak begitu.
Mustahil Tony membuang begitu saja kesan-kesan
manis dari hubungan mereka selama ini? Lihat saja
sikapnya yang sombong itu. Kentara kesal didekati.
Pura-pura tidak kenal. Andre merasa sebagai orang
yang dicampakkan. Habis manis sepah dibuang. Dia
sedih dan marah. Padahal dia sendiri tidak mudah
melupakan Tony. Temannya yang baru itu bukan apaapa dibanding Tony. Dia cuma pelipur lara.
Kalau saja saingannya itu bukan cewek melainkan
sesamanya juga, mungkin tak akan begitu sakit
308 / 460 rasanya, pikir Andre. Ya, sakitnya terasa menikam
jantung. Apalagi kalau dia membayangkan Tony
bermesraan dengan si cewek. Aduh, sebalnya tak
kepalang! Lalu dia menjadi sedih ketika terpikir bahwa Tony
sekarang sudah bukan golongannya lagi.
Tony sudah masuk golongan mayoritas. Diterima
dengan baik dan diakui sebagai normal. Pantasnya
enak. Senang. Rasa irinya menggelegak. Marah. Benci.
Kepada cewek tadi. Kepada Tony. Dan kepada
masyarakat.
309 / 460 XVIII Bagi Monika, vila-vila di Puncak sudah tidak asing
lagi. Sudah beberapa kali dia menghibur pelanggan di
tempat itu. Hampir selalu tempat-tempat rekreasi juga
merupakan tempat nyaman untuk bisnis seks. Tentu
karena untuk mereka yang berduit, seks juga termasuk
rekreasi. Mahal bukan masalah. Tapi bagi Monika itu
bukanlah rekreasi meskipun dilakukan di suatu tempat
rekreasi, senyaman apa pun. Baginya berarti kerja.
Tapi saat itu bersama Tony dia sungguh-sungguh
menikmati apa yang namanya rekreasi. Dengan
berjalan-jalan di sekitar vila sambil berpegangan
tangan dia merasa jadi orang paling bahagia di dunia.
Dan pada saat itu dia tak mau berpikir tentang hari
esok. Hanya satu-satunya yang dikhawatirkannya
adalah kalau-kalau secara tak terduga bertemu dengan
bekas pelanggan. Tentu dia masih ingat
pengalamannya di restoran kemarin malamnya. Jangan
sampai kejadian semacam itu merusak harinya bersama
Tony. Karena itu sengaja dia memakai kacamata
hitamnya yang besar. Tapi Tony memuji
penampilannya dan mengatakan dia cantik. Pujian
yang menyenangkan dan sama sekali tidak kedengaran
gombal di telinga Monika. Sangat berbeda halnya bila
310 / 460 diutarakan oleh lelaki lain, terutama pelanggan. Bagi
Monika, mereka mengatakan demikian karena tak
punya kata-kata lain untuk diucapkan.
Setelah acara jalan-jalan selesai mereka kembali ke
vila. Capek.
"Vilamu indah sekali," Monika mengagumi. Tentu
bukan baru sekali ini dia berkunjung ke vila yang
indah. Bahkan lebih indah sekalipun. Tapi yang satu ini
lain. "Ini punya orangtuaku."
"Sama saja. Punyamu juga. Kau anak tunggal, kan?"
"Biarpun demikian, masih tetap punya mereka. Nggak
tahu apa nanti akan jadi punyaku atau tidak. Cuma
memang enak jadi anak orang kaya. Ha ha ha!
Payahnya si anak jadi brengsek. Kayak aku."
"Ah, masa."
"Iya, aku sadar kok."
"Mungkin brengseknya dulu waktu masih kecil. Tapi
sekarang kan nggak lagi. Biasanya begitu. Semakin tua
orang semakin sadar."
"Nggak sangka kamu bijak, ya."
Monika tertawa. "Aku cuma nyontek omongan orang."
311 / 460 "Eh, ngomong-ngomong tentang orangtua, ada
kejadian lucu kemarin malam. Sewaktu aku baru
pulang mengantarkanmu, aku berpapasan dengan
ibuku di rumah. Dia bilang mau mengajak ayahku ke
sini pagi ini. Tentu saja aku kaget. Kok kebetulan
bersamaan rencananya. Padahal kalau dia mau ke sini
biasanya pada hari Sabtu atau hari libur dua-tiga hari."
Monika tersenyum. Ya, pastilah Nyonya X itu ibu
Tony. Dia mau mengecek kebenaran laporannya. Itu
bukan kebetulan.
"Lantas apa yang kaukatakan kepadanya?"
"Aku bilang, vila mau kupakai."
"Ibumu baik ya. Mau mengalah. Apa dia tidak
menanyakan dengan siapa kau mau pergi?"
'Tentu saja dia nanya. Bukan ibuku kalau tidak
bertanya. Tapi aku tak mau memberitahu dia."
"Rahasia?" tanya Monika sambil tertawa.
"Bukan begitu. Kalau dikasih tahu nanti dia bertanya
terus. Tapi aku pikir, kalau suatu waktu dia tahu pasti
dia akan senang. Cuma aku tak mau memberitahu
sekarang."
"Oh ya? Dia akan senang?"
312 / 460 Tony hanya tersenyum. Dia sadar telah bicara terlalu
banyak. "Kau mau nginap, Moni? Pulangnya besok pagi-pagi
sekali," tanyanya mencoba menjajaki reaksi Monika.
"Nggak ah. Aku nggak bilang sama Tante Kos. Entar
dia ngomel. Cerewet juga orangnya tuh."
"Kalau begitu pulangnya sore-sore saja."
"Oke."
"Yuk, kita berenang? Kau nggak lupa bawa baju
renangmu, kan?"
"Nggak dong," sahut Monika dengan senyum yang
berarti bagi dirinya sendiri. Berenang dan baju renang
itu penting bagi mata dan hati Tony. Itu merupakan
salah satu cara untuk membangkitkan gairah Tony
tanpa terlalu berkesan menawarkan diri.
Perkiraan Monika benar. Ketika dia muncul di hadapan
Tony dengan bikininya, Tony memandangnya seakan
mau menelannya bulat-bulat. Atau sepertinya dia
adalah makanan lezat. Ya, makanan yang sudah lama
tak dicicipinya, pikir Monika. Pikiran ini membuatnya
tegang tapi juga sedikit ngeri.
"Wow! Kau hebat!" seru Tony setelah sadar dari
pesonanya.
313 / 460 "Ah, biasa saja," Monika merendah.
"Biasa apaan? Luar biasa!"
"Kau suka?"'
"Tentu! Tentu!" seru Tony. Tapi kemudian dia
tertegun. Apa makna pertanyaan itu? Seperti anak kecil
kegirangan dia melompat lalu lari mengejar Monika
yang sudah lebih dulu berlari menuju kolam renang.
Mereka berenang sepuasnya sambil bercanda ria.
Beberapa kali Tony berhasil menangkap Monika lalu
memeluk dan menciumnya. Monika membalas tak
kurang panasnya tapi beberapa saat kemudian dia
melepaskan diri pelan-pelan lalu berenang menjauh.
Permainan yang menyenangkan, pikirnya. Dan itu bisa
dianggap sebagai "pemanasan".
Akhirnya Tony tidak tahan lagi. Dia sudah yakin,
Monika tidak akan menolak. Tapi ternyata masih ada
kekhawatiran. Bagaimana kalau Monika cuma
bersikap jinak-jinak merpati? Kata orang, perempuan
susah diduga. Disangka mau ternyata ogah. Padahal dia
ingin, pengalaman "pertamanya" ini akan berjalan
mulus. Penting untuk langkah selanjutnya. Penting
sebagai pembuktian dirinya.
"Kau tidak keberatan, Moni?" tanyanya harap-harap
cemas. Pada saat itu rasanya dia akan mau memberi apa
saja asal Monika tidak menolak.
314 / 460 Monika hanya menggelengkan
tersenyum manis.
kepala

Melanie Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil Isyarat itu cukup bagi Tony. Dia berseru girang lalu
menarik tangan Monika dan menyeretnya keluar
kolam, terus menuju kamar.
"Pelan-pelan, Ton! Aku mau mandi dulu!" seru
Monika. Tony tersipu. Dia sadar telah bertingkah aneh.
Tony tak bisa lagi mengatasi reaksi-reaksi dirinya yang
timbul saat dia menatap tubuh mulus Monika. Dia
membiarkan mulutnya setengah terbuka dan matanya
membelalak. Sebenarnya itu bukan disebabkan karena
dia kelewat terpesona atau mabuk kepayang, bagaikan
lelaki dewasa yang baru pertama kalinya melihat
perempuan telanjang. Dia toh sudah kenyang melihat
ketelanjangan di majalah maupun kaset video porno.
Dan juga bukan disebabkan karena tubuh Monika amat
sempurna. Memang bukan itu masalahnya. Tapi
Melanie! Dia ingat kepada Melanie berikut segala pengalaman
buruknya yang berhubungan dengan gadis itu.
Memang Melanie bukan perempuan pertama yang
digaulinya, tapi Melanie adalah perempuan terakhir
sebelum dia melangkah ke arena seksualitas yang lain.
Walaupun di masa penyimpangan itu dia sempat
315 / 460 merasakan kenikmatan yang lain, baik fisik maupun
emosional, tapi sesungguhnya dia menyimpan rasa
penyesalan yang mendalam. Dia merasa terseret dan
tak bisa kembali lagi. Jauh di lubuk hati dia
merindukan kehidupan yang normal tapi apa daya dia
tak kuat menggapai dan mencapainya. Dan sekarang
setelah kenormalan itu mendekatinya lagi, tinggal
mengulurkan tangan untuk meraihnya, maka dia
menyesali hari-hari lewat yang bukan cuma tersia-sia
tapi juga memalukan untuk dikenang!
Amarahnya meletus tak terkendali.
"Melaniiiiiiiie...!"
teriaknya dengan suara menggelegar. Lalu dia menerkam Monika yang
membeku oleh rasa ngeri. Ketika akhirnya Monika bisa
menjerit dan berteriak-teriak dia cuma bisa
menggelepar-gelepar tak berdaya. Tenaganya habis,
luruh oleh keperkasaan Tony yang jadi semakin
perkasa karena kemarahannya. Terpaksa Monika
menyerah, membiarkan tubuhnya diperlakukan sesuka
hati oleh Tony. Berkali-kali dia menjerit kesakitan,
merintih dan mengeluh, meratap dan menangis, tapi tak
bisa lagi berontak. Sepertinya sebagian tubuhnya,
sebatas leher ke bawah, sudah terpisah dari kepalanya.
Yang masih menyatukan hanyalah rasa sakit dan nyeri.
Karena itu Monika jadi setengah sadar untuk bisa
memahami apa yang tengah dialaminya. Dia mengira
316 / 460 akan segera mati lalu bebas dari segala rasa sakit. Tapi
ternyata tidak. Dengan kesadaran yang penuh dia
mendapati dirinya tergolek di tempat tidur. Masih
hidup dan bernapas. Tapi sakit! Dia memerlukan waktu
untuk bisa menggerakkan anggota rubuhnya yang
lemas. Dia juga memerlukan tenaga lebih banyak untuk
menghirup udara. Dadanya sesak. Untuk mengatasi hal
itu terpaksa dia memejamkan matanya dan
mengistirahatkan pikirannya supaya dapat mengatasi
rasa sakit itu. Sesudah beberapa saat lamanya baru dia
membuka mata dan mencoba memahami apa
sesungguhnya yang telah dialaminya. Rasa sakit itu
masih menggerogoti dan tubuhnya masih lemas tapi
pikirannya lebih jernih.
Pelan-pelan dia mengangkat tubuhnya, mencoba
duduk. Sekali dua kali dia tak berhasil. Tubuhnya
serasa tak mau mengikuti perintah, kaku dan beku.
Tapi dengan upaya lebih keras dia berhasil juga lalu
menggeser ke belakang supaya bisa bersandar.
Pertama-tama dia meneliti tubuhnya. Lalu dia
memekik dengan kejutan ngeri. Lengan, dada, perut,
dan pahanya dihiasi dengan memar-memar dan tetes
darah di sana sini! Ketika dia mengamati lebih jelas
ternyata darah berasal dari luka gigitan! Ada beberapa
luka seperti itu di kedua payudara dan perutnya. Dan
terakhir rasa nyeri di tempat-tempat tertentu
317 / 460 menyadarkan dirinya bahwa dia telah diperkosa!
Dengan terkejut dia teringat kepada Tony. Apakah dia
telah ditinggalkan sendirian?
Ketakutannya tak beralasan. Lelaki itu masih di
sampingnya, telentang kepayahan. Matanya terpejam
dan wajahnya menampakkan kepuasan. Dia seperti
orang yang berhasil mendaki gunung yang tinggi
hingga mencapai puncaknya, lalu terkulai kelelahan
tapi sangat puas. Kepuasan yang menghasilkan
kenikmatan tak terhingga.
Monika serasa tak percaya akan penglihatannya. Tubuh
mulus Tony, sikapnya yang rileks dan kepuasan yang
tergambar di wajahnya amatlah kontras dengan situasi
dan kondisi dirinya. Pelan-pelan kemarahan
menggumpal dan menggunung mengalahkan rasa
ngerinya. Matanya memancarkan dendam.
Tiba-tiba Tony membuka matanya dan memandang
Monika. Tampak kejutan di matanya. Ngeri.
Sepertinya dia baru kembali dari alam khayal lalu kaget
melihat kenyataan.
Tony beringsut mendekat. "Moni..., Moooon..., oh
Mon, maafkan aku," rintihnya dengan tatap penuh
belas. Tapi bagi Monika kata-kata itu cuma angin lalu.
Kemarahannya
membubung,
membutuhkan
318 / 460 penyaluran. Dia berteriak keras dan dengan sisa
tenaganya dia menerkam Tony yang kaget tak
menyangka.
Situasi jadi terbalik dibanding semula. Dengan ganas
Monika memukul, menggigit, dan mencakari tubuh
Tony! Mulutnya pun ikut menyuarakan keganasan.
"Lelaki sialan! Binatang busuk! Drakula! Babi!
Anjing! Serigala! Bangsat!" makinya, menyebutkan
sederetan nama binatang apa saja yang terlintas dalam
benaknya. Tony menjerit-jerit kesakitan, mengaduh, dan merintih,
tak ubahnya seperti Monika di saat sebelumnya. Tapi
Monika tak mempedulikan. Dia meneruskan deraannya
tanpa belas kasihan.
Akhirnya Monika capek sendiri. Amarahnya sudah
terlampiaskan. Dendamnya terbalas. Dia puas tapi juga
sakit. Tambah menyiksa rasa sakit itu setelah dia
menguras tenaganya untuk menyerang Tony. Tapi
masih ada kenyataan lain yang mengejutkannya. Dia
baru sadar, bahwa Tony sama sekali tidak memberikan
perlawanan atau membela diri. Tony membiarkan
tubuhnya sendiri didera habis-habisan!
Setelah Monika berhenti mendera baru dia bisa
mendengar lebih jelas gumam Tony di sela rintihannya.
"Teruslah, Anie... ya... terus saja. Hajar teruuuuuus...,
319 / 460 Anie..., kita sudah impas, bukan? Suuuudah... aduh...,
suuuudah im... paaaas, ya Anie?"
Ketakutan lain mencekam diri Monika. Bagaimana
kalau Tony mati? Pasti dialah pembunuhnya.
"Tooooon! Tooooon...!" serunya sambil menubruk dan
memeluk Tony. Dia terisak-isak dengan tangan
mengusap-usap luka-luka di tubuh Tony. Lalu
tenaganya habis. Dia menjatuhkan dirinya mengimpit
tubuh Tony. Tak punya kekuatan untuk menggeser
sedikit. Mereka berdua diam tak bergerak. Hanya sedu sedan
dan erangan tak menentu yang keluar dari mulut
mereka. Tony pun tak mengoceh lagi.
Menit demi menit berlalu. Di luar cuaca tak terang lagi.
Matahari mulai turun. Di dalam kamar belum ada
gerakan berarti. Keduanya setengah sadar, setengah
tidur. Sepi. Hiruk pikuk yang tadi sudah lenyap. Tapi
dari luar kamar tak ada bedanya. Ruang itu kedap
suara. Tony sadar lebih dulu. Pelan-pelan dia menggeser
tubuh Monika yang mengimpit sebagian tubuhnya.
Lalu dia turun dari tempat tidur dan berjalan tertatihtatih ke sudut kamar. Dia mengambil kapas dan obat
merah, lalu kembali ke tempat tidur.
320 / 460 Monika membuka matanya dan memperhatikan.
Ketika Tony mendekatinya secara refleks dia
melompat dan menarik selimut untuk menutupi
tubuhnya. Wajahnya ketakutan.
"Mon, aku cuma mau mengobatimu," kata Tony sambil
menunjukkan barang yang ada di tangannya.
Barulah Monika rileks kembali. Dia membuka
selimutnya dan membiarkan Tony mengobatinya. Tapi
matanya tetap memperlihatkan kewaspadaan. Sesudah
selesai, Tony mengobati luka-lukanya sendiri.
Pada saat itulah Monika buru-buru turun dari tempat
tidur. Tapi tak mudah pada awalnya. Tubuhnya terasa
nyeri pada setiap gerakan yang dibuatnya. Dia harus
memaksa diri supaya berhasil. Padahal alangkah
enaknya bila dia bisa tetap berbaring dan terus tidur.
"Ke mana, Mon? Tiduran sajalah. Mau minum? Biar
kuambilkan," kata Tony penuh perhatian.
"Tidak! Aku mau pulang!" sahut Monika ketus. Lalu
dia mengambil pakaiannya dan berjalan dengan gaya
seperti Tony tadi menuju kamar mandi.
Tony tak berkata-kata lagi. Dia cuma memperhatikan
sambil termangu-mangu bagai orang kehilangan akal.
Lalu dia pun mengenakan pakaiannya dengan hati-hati.
Aduh, bagaimana dia harus memakai celananya? Pas di
bagian pinggangnya ada luka gigitan cukup dalam.
321 / 460 Terpaksalah dia tak bisa mengancingkan celananya.
Dan untuk menutupinya dia memakai T-shirt longgar.
Setelah selesai dia terduduk di tepi tempat tidur dengan
lesu. Memang luka-luka gigitan dan cakaran itu
memberi rasa nyeri yang sangat. Tapi bukan itu yang
jadi masalah utama baginya sekarang walaupun
tubuhnya merasa sangat lesu. Aneh. Sepertinya dia
akan berubah jadi burung. Ringan. Ah, bukan begitu.
Sepertinya dia telah kehilangan sebagian berat
badannya. Ah, bukan juga. Lantas apa? Tapi kuat
perasaan itu bahwa ada sebagian dari dirinya yang
hilang. Menguap. Entah ke mana. Ah, pasti bukan ke
mana-mana. Itu cuma perasaan semu saja. Dia sungguh
bingung. Tapi tak ingin memikirkannya sekarang. Dia
takut memikirkannya. Apakah dia sudah menjadi
sinting? Di kamar mandi, yang pertama-tama dilakukan Monika
adalah mengamati wajah di cermin. Apakah wajahnya
pun terkena amukan Tony? Tapi sesuai dengan
perasaannya, karena tak ada yang sakit di situ,
wajahnya mulus saja. Setidaknya dia bisa merasa lega.
Pada saat itu dia tak ingin memikirkan dulu apakah
bekas-bekas luka di tubuhnya akan meninggalkan
bekas atau tidak. Yang penting dia harus selamat
meninggalkan tempat itu. Bayangkan betapa
mengerikan. Selama ini belum pernah ada pelanggan
322 / 460 yang menyakitinya. Tak pernah ditemukannya
pelanggan yang sadis. Kenapa justru sekarang?
Monika keluar dari kamar mandi. Lalu tertegun melihat
Tony. Dia tak berani mendekat.
"Maafkan aku, Mon. Kau tak perlu takut padaku seperti
itu," kata Tony.
"Kau sakit! Kau gila!"
"Tidak! Aku cuma lupa. Aku hilang kendali."
"Mana mungkin. Bukan itu istilahnya. Kau sadis! Kau
sakit!"
"Hei, bukankah kau juga
memperlakukan aku serupa."
sadis? Kau pun "Tapi kau duluan. Aku cuma membalas."
"Kalau aku sakit mustahil kubiarkan? Itu karena aku
menyesal, jadi kubiarkan kau membalas. Sudah impas,
bukan?"
Monika mengerutkan kening. Tentu dia belum
melupakan kata-kata Tony. "Impas apaan? Kau
menyebut nama orang lain! Melanie! Anie! Itu yang
kausebut sejak permulaan. Nah, apa itu kalau bukan
sakit?"
Tony diam sebentar. Bukankah dia sendiri
mempertanyakan hal itu? Tapi disebutnya nama
323 / 460 Melanie membuat pikirannya melayang sejenak.
Sebentar saja. Dia membayangkan Melanie. Yang
muncul adalah gambaran Melanie seperti terakhir
dilihatnya. Gadis manis sederhana di tengah kebun.
Bukan Melanie yang dulu. Dulu sekali.
Lalu Tony menggelengkan kepalanya. "Kau tidak
mengerti, Moni. Memang ada sesuatu yang
mengganggu. Tapi..."
"Sudahlah! Lebih baik kita pulang saja."
"Kau marah, Mon?" tanya Tony dengan wajah


Melanie Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memelas. Monika memandang Tony. Wajah Tony yang kuyu
dengan rambutnya yang kusut malah membuatnya
semakin tampan. Dia seperti anak kecil tak berdosa
yang melakukan kesalahan tanpa sadar. Ketampanan
yang membuat orang rela memaafkan. Tapi rasa sakit
itu belum hilang. Malah semakin berdenyut-denyut.
Dan membuatnya ingin menangis. Padahal ketika dulu
digigit anjing dia menangis meraung-raung karena
rasanya sakit luar biasa. Tapi kali ini jauh lebih sakit
karena luka gigitannya lebih dari satu. Mungkin
sekarang dia bisa menahan karena dia melihat Tony
pun meringis-ringis menahan sakit. Atau dia terhibur
oleh kepuasan bisa membalas. Bayangkan. Dia sudah
digigit dan menggigit orang!
324 / 460 "Jangan marah, Moni. Maafkan aku," rengek Tony.
"Sudahlah." Suara Monika tak lagi seketus tadi.
Tony mendapat hati lalu mendekat. Tapi Monika
segera berdiri dari duduknya dengan wajah takut. Tony
tak jadi mendekat. Dia kembali duduk di tempat
semula. "Ah, kau masih takut kepadaku," keluhnya.
"Tentu saja. Sakitnya kayak gini."
"Percayalah, Mon. Nggak akan terulang."
Monika diam. Tentu saja tak akan ada pengulangan,
karena dia tak akan mengulanginya lagi, begitu kata
hatinya. Ya, dia sudah kapok!
"Kita pulang saja, yuk?" kata Monika lembut. Nadanya
membujuk. Yang penting baginya adalah keluar dari
tempat itu secepatnya.
"Mestinya kita istirahat dulu barang sejam dua jam.
Masih sakit, Mon. Kan aku harus mengemudi."
Monika berpikir sejenak. Kata-kata Tony itu ada
benarnya. Bila sampai terjadi kecelakaan di tengah
jalan maka rasa aman yang diperolehnya pun akan
percuma saja.
325 / 460 "Baiklah. Tapi kau jangan dekat-dekat. Dan
istirahatnya tidak di sini. Kalau aku menjerit tak
kedengaran orang."
Dengan mengeluh dan menggerutu Tony terpaksa
memenuhi keinginan Monika. Pada saat itu yang
penting adalah istirahat untuk memenuhi tuntutan
tubuhnya. Tapi rasanya, yang menuntut itu bukan cuma
rubuhnya melainkan juga jiwanya. Dan pikirannya.
Semuanya. Ada yang hilang dari dirinya walau tak jelas
apa. Mungkin cuma abstrak. Tapi terasa. Dia sangat
capek. Lalu dia tidur pulas seperti bayi.
Ketika belakangan Monika membangunkannya dengan
menggoyang tubuhnya, dia menjerit kesakitan. Dan
Monika segera melompat mundur, siap lari. Tapi Tony
juga kaget. Dia lupa akan kejadian sebelumnya.
"Kenapa badanku pada sakit begini? Apa yang
kaulakukan padaku, Mon?" tanyanya curiga.
Tapi Monika menatapnya dengan cemberut.
"Ayo pulang!" bentaknya.
Tony perlu waktu untuk mengingat kembali semuanya.
Lalu dia terheran-heran. Bagaimana mungkin dia bisa
melakukan hal itu?
Hari Senin, Monika tiba lebih dulu di tempat yang
sudah dijanjikannya bersama Dahlia atau Nyonya X
326 / 460 baginya. Sengaja dia memilih tempat yang jelas terlihat
dari pintu masuk. Lalu dia membeli minuman dan
kentang goreng saja untuk dimakan perlahan-lahan
sambil menunggu. Pada potongan kentang yang ketiga
dia melihat Nyonya X. Perempuan itu tak segera
menemukannya. Dan tampaknya dia tak begitu ingat
lagi akan penampilannya.
"Tante! Di sini Ninik!" panggilnya.
Barulah Nyonya X menatap lurus kepadanya lalu
bergegas mendekatinya.
"Wah, saya tidak mengenalimu. Kayaknya lain, ya? Ah
ya, orang seperti kamu tentunya pintar berdandan
macam-macam," katanya sambil duduk berhadapan
dengan Monika.
"Nggak pesan makanan, Tante?"
Dahlia memandang gelas dan piring di depan Monika
lalu berdiri. Dia hanya membeli minuman. Pada saat itu
makanan hanya merepotkan. Dia ingin cepat
memperoleh apa yang dicarinya.
"Nah, bagaimana ceritanya? Sudah berhasil?"
"Sudah, Tante. Beres. Dia memang lelaki kok."
Nyonya Dahlia cemberut. "Tentu saja dia lelaki. Kau
tahu betul apa yang kumaksud."
327 / 460 "Ya. Kan saya sudah bilang tadi. Beres!"
"Beresnya gimana?"
"Dia lelaki normal. Seleranya normal. Tak ada
masalah."
Nyonya Dahlia tidak puas. "Buktinya? Bukankah dulu
saya pernah minta sesuatu sebagai bukti bahwa kamu
nggak cerita bohong?"
"Oh ya, tentu saja. Hampir saya lupa. Tante
menanyakan tanda lahir pada rubuhnya, bukan? Tidak
ada! Tubuhnya mulus dari atas ke bawah," kata Monika
tegas. Nyonya Dahlia diam sebentar. Lalu dia mengangguk.
"Baiklah. Cuma itu?"
"Ya. Lantas, apa yang Tante inginkan? Sebuah cerita
mendetail tentang permainan cinta? Saya bisa
menceritakan, tapi Tante mungkin tidak suka."
Nyonya Dahlia merasa jengkel. Tapi dia merasakan
kebenaran kata-kata Monika itu. Sesungguhnya bukan
cerita seperti itu yang dia harapkan. Toh dia sadar tak
bisa menyalahkan Monika. Perempuan ini tentunya
tidak tahu. Bila didesak bisa jadi dia malah merasa
curiga. "Ceritakan saja,
dengannya?"
bagaimana caramu berkenalan
328 / 460 Monika menceritakan apa adanya. Dan Nyonya Dahlia
mempercayainya karena gaya ceritanya yang polos dan
wajar. Tapi dia juga penasaran. Sebegitu mudahnya
kah? Daya tarik apa yang dimiliki perempuan ini
(pelacur lagi!) hingga Tony begitu cepat menggilai
nya? Tiba-tiba saja Nyonya Dahlia menyimpulkan
bahwa honor yang dijanjikannya dulu terlalu besar
jumlahnya!
"Jadi dia tidak tahu bahwa kamu pelacur?"
Wajah Monika memerah. Sebutan itu memang benar
adanya, tapi saat itu membuatnya malu.
"Tidak. Bukankah itu yang dikehendaki Tante sendiri?
Saya cuma menjalankan."
"Ya, ya. Tentu saja. Kau sudah berhasil. Tapi... benar
dia tidak punya kelainan?" tanya Nyonya Dahlia. Dia
tambah penasaran mengingat sampai saat itu dia belum
melihat Tony. Semalam dia tidak sanggup menunggui
Tony pulang karena sudah sangat mengantuk. Memang
Tony tidak perlu dibukakan pintu karena selalu
membawa kunci sendiri. Tapi Nyonya Dahlia ingin
melihat wajah dan sikapnya. Gembira atau sebaliknya?
Lalu paginya Tony sudah pergi sebelum dia sempat
melihatnya. Ternyata Tony pergi saat dia sedang
mandi. Tentu dia tidak menyangka hal itu sebagai
kesengajaan karena Tony sudah biasa berbuat begitu.
329 / 460 Tapi semakin jauh waktu berjalan semakin lenyap pula
kesan yang bisa diperolehnya. Apa pun bentuknya,
kegembiraan atau kekecewaan, tak akan terus menetap.
Monika meneliti wajah Nyonya Dahlia. Rasa sakit di
tubuhnya sudah jauh berkurang. Tapi ingatan yang
mengerikan di hari kemarin itu belum pupus. Gara-gara
perempuan di depannya inilah maka dia sampai
mengalami hal itu. Tapi dia tak ingin menceritakan
semuanya. Atau belum mau. Sepertinya terlalu enak
bagi perempuan ini. Dan kenapa tak segera dibukanya
tasnya untuk membayar?
"Tante sepertinya sudah tahu atau sudah memastikan
bahwa dia harus punya kelainan. Apakah Tante mau
menjadikan saya sekadar sebagai eksperimen?" tanya
Monika dengan nada tajam.
Nyonya Dahlia menjadi gugup. "Oh, tentu saja tidak.
Bukankah sudah kukatakan bahwa saya cuma ingin
mengetahui tentang perubahan seleranya?"
"Dan saya sudah mengatakan bahwa dia normal. Tante
belum puas rupanya."
Nyonya Dahlia menjadi tenang kembali. Ya, mestinya
memang begitu. Tony sudah kembali normal. Dia harus
merasa gembira. Tapi dengan demikian semakin
jelaslah bahwa tugas itu memang terlalu ringan bagi
Monika. Dengan kata lain, tak sesuai dengan honornya.
330 / 460 "Baiklah. Saya bayar dengan cek? Kau tentu maklum,
membawa-bawa uang tunai dalam jumlah besar sangat
merepotkan."
"Boleh saja."
Nyonya Dahlia membuka tasnya dan mengeluarkan
selembar cek yang sudah diisinya. Sebenarnya dia
mengisi dua helai cek yang bila digabung akan
merupakan jumlah uang yang dijanjikannya. Tapi dia
memecahnya menjadi dua bagian sebagai persiapan
kalau-kalau ada perubahan situasi. Ternyata persiapan
itu ada baiknya, pikirnya.
Tapi Monika segera menyodorkan kembali cek itu. "Ini
cuma setengah dari honor yang Tante janjikan. Saya
belum lupa. Atau Tante yang lupa? Ketika itu kita
cuma mengandalkan kejujuran masing-masing. Saya
tidak berbohong kepada Tante. Kenapa Tante mencoba
ingkar?" kata Monika dingin.
Nyonya Dahlia tidak bermaksud menyerah dengan
gampang. "Tugasmu itu terlalu mudah. Nyatanya dalam waktu
singkat kamu berhasil, bukan? Jumlah sebegini pun
sudah sepadan."
"Mudah, kata Tante?" tanya Monika geram. "Pikir,
dong. Mungkinkah Tony akan begitu saja suka sama
331 / 460 saya kalau saya tersenyum dan melenggang genit di
depannya?"
Dahlia segera mengerutkan kening. Dia tidak suka
Monika menyebut Tony dengan namanya. Mestinya
"Bapak".
"Jumlah pembayaran itu harus sesuai dengan beratringannya tugas," katanya bertahan.
"Janji adalah janji."
"Zaman sekarang janji yang tak tertulis dan tanpa saksi
bukanlah janji. Siapa tahu kamu juga berbohong.
Misalnya kamu tidak berbuat apa-apa dengan dia. Dan
tentang tanda lahir itu kamu cuma melihat tubuhnya
saja. Bisa saja, kan? Kamu pun tak punya bukti yang
kongkret."
Monika sangat marah. Tapi dia belum kehilangan akal.
"Tony ingin ketemu saya lagi. Dia tak merasa cukup
dengan pertemuan yang hanya sekali itu saja. Saya
akan mengatakan padanya, bahwa saya disewa ibunya
untuk mengetes kejantanannya. Pasti dia akan marah
sekali, Tante."
Dahlia sangat terkejut. Ternyata kuntilanak ini sudah
tahu bahwa dia adalah ibu Tony.
"Kalau kamu cerita begitu, dia akan tahu bahwa kamu
adalah pelacur," balasnya marah.
332 / 460 "Biar saja. Saya memang pelacur. Tapi bahwa ibunya
sendiri..."
"Stop!"
Cepat-cepat Dahlia membuka lagi tasnya. Lalu dia
mengeluarkan cek sisanya, dan menyerahkannya
bersama lembar semula yang ditolak Monika. Kali ini
Monika menerimanya lalu memasukkannya ke dalam
tasnya. Kemudian dia berdiri, tapi dengan tiba-tiba dia
duduk kembali sambil menepuk dahinya.
"Aduh, bagaimana mungkin saya bisa melupakannya?
Yah, ini tentu gara-gara ulah Tony hingga saya jadi
setengah pikun. Padahal apa yang telah saya alami itu
penting sekali. Sangat penting." Dan dia menggelenggelengkan kepalanya seakan perbuatannya melupakan
hal itu sangat keterlaluan.
Dahlia melotot memandang Monika. Dia menunggu
cerita berikut dengan mata bergantung kepada mulut
Monika. Tapi mulut yang diincarnya itu tetap rapat.
Monika diam saja dengan tatapan entah ke mana.
"Ayo, apa yang kamu lupakan itu?" desak Dahlia kesal.
Monika menatap Dahlia dengan sorot mata benci
hingga Dahlia terkejut. Tatapan itu membuatnya ngeri
tapi juga heran. Keingintahuannya memuncak. Tapi
betapa jengkelnya dia ketika Monika berdiri lagi.
333 / 460 "Sudahlah, Tante. Sebaiknya saya pergi saja sebelum
kenangan itu kembali lagi. Kalau saya ingat sesungguh
nya honor yang Tante berikan sama sekali tak berarti.
Celakanya, malah Tante anggap kebanyakan."
Dahlia menarik tangan Monika hingga dia terduduk
kembali. "Ceritakanlah, Nik. Cerita tentang
pengalamanmu itu, kayak apa pun bentuknya, sudah
kubayar."
Monika tertawa sinis. "Honor itu sama sekali tidak
memadai untuk kengerian yang saya alami. Tidak


Melanie Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cukup, Tante."
Dahlia mengerti dan marah sekali. Tapi tidak mungkin
melampiaskan kemarahan di tempat seperti itu.
"Jadi kamu minta tambahan, ya?" tanyanya dengan
napas sesak.
"Begitulah, Tante," sahut Monika dingin.
"Berapa?"
Dengan tenang dan yakin Monika menyebut suatu
jumlah. Dahlia melotot.
"Itu berarti honormu jadi satu setengah kali dari
perjanjian semula!"
"Benar. Itu masih lebih kecil daripada dua kali,
bukan?"
334 / 460 "Serakah!"
"Tidak. Itu sudah selayaknya. Anggap saja sebagai
ganti rugi karena anak Tante itu telah membuat saya
tidak bisa bekerja untuk sementara."
"Kenapa?" tanya Dahlia dengan bernafsu.
Monika tersenyum. "Ceknya dulu, Tante."
Dahlia cemberut. Lalu menimbang-nimbang. Dia sadar
tak ada gunanya menawar karena sikap Monika
demikian mantap dan tegar. Tapi dia juga tahu dia tak
akan merasa puas tanpa mendengar cerita Monika.
Bagaimana kalau dia dibohongi? Diam-diam dia
menyesali dirinya. Rupanya dialah yang kalah dalam
"pertarungan" dengan Monika. Dia salah perkiraan.
Monika tidak bodoh. Padahal kata orang, perempuan
cantik biasanya berotak kosong. Apalagi kalau sampai
jadi pelacur. Lalu Dahlia teringat akan perasaan tak
enaknya Sabtu malam. Bisakah itu disebut sebagai
firasat buruk yang jadi kenyataan? Inilah kenyataan itu!
Dia sudah diperas!
Tapi Dahlia cepat memutuskan. Menyesal tak ada
gunanya. Sekali ini dia memang kalah. Tapi kali
berikutnya tidak akan. Pendeknya, dia tidak akan
berhubungan lagi dengan Monika. Atau perempuan
seperti Monika. Jadi dengan mantap dia membuka
335 / 460 tasnya lalu mengeluarkan buku ceknya beserta bolpen.
Pelan-pelan dia mengisi.
"Nih, kau boleh periksa dulu. Bandingkan dengan
lembaran yang lain kalau-kalau tanda tangannya
berbeda. Kalau sampai ditolak bisa jadi kau
menyangka aku sengaja curang."
Monika memenuhi anjuran itu. Dengan hati-hati dia
memeriksa. Kewaspadaan yang menjengkelkan hati
Dahlia. Ternyata Monika memang tidak mempercayai
nya. Dengan puas Monika memasukkan ceknya ke
dalam tas. Lalu dia tersenyum manis.
"Baiklah, sekarang giliran saya bercerita. Apakah
Tante ingin saya bercerita di sini atau di tempat lain?
Rasanya kita sudah cukup lama dan tempat ini mulai
ramai."
Dahlia memandang sekeliling.
membenarkan keraguan Monika.
Terpaksa dia "Apa sebaiknya di mobil saja, Tante?" usul Monika.
Dahlia terkejut. Dia teringat akan kuman-kuman.
"Apakah ceritanya panjang?" dia bertanya.
"Tidak."
"Kalau begitu, di sini saja. Tanggung."
Monika mengangkat bahunya.
336 / 460 "Baiklah. Saya langsung saja. Anak Tante itu sadis. Dia
tidak memperlakukan saya dengan mesra, lembut, dan
penuh cinta seperti layaknya orang bercinta. Tapi dia
menyiksa saya lebih dulu sebelum kemudian
memperkosa. Ya, dia memperkosa! Dia seperti
binatang! Seperti drakula!"
Dahlia kaget dan marah. Dia ingat akan seseorang lain
yang pernah mengatainya sebagai drakula. Siapa itu?
Oh ya, si Andre. Tapi kali ini julukan itu untuk Tony.
Kurang ajar sekali karena ucapan itu keluar dari mulut
seorang pelacur.
"Bohong! Itu tidak mungkin!"
Pelan-pelan dan tak mencolok Monika melepas
kancing blusnya. Satu dua bagian atas lalu
menguakkannya sedikit. Sepertinya dia tengah
kepanasan.
"Tante, lihatlah dada saya. Lihat yang jelas. Sekarang
sudah agak mengering, tapi masih kentara sebagai luka
baru. Ini luka gigitan. Dia menggigit saya. Dan ini
bukan satu-satunya. Masih ada di tempat-tempat lain.
Dia juga memukuli dan mencekik saya. Untung
kukunya pendek. Kalau tidak mungkin dia sudah
mencabik-cabik daging saya. Tante mau lihat? Siapa
tahu Tante akan mengatakan saya berbohong. Karena
itu saya mengajak Tante ke mobil supaya di sana bisa
337 / 460 lebih leluasa. Tante perlu lihat supaya cerita saya
menjadi komplet."
Dahlia membelalakkan matanya menatap dada
Monika. Sesaat tubuhnya gemetar dan bulu romanya
berdiri. Tidak! Dia tidak ingin melihat lebih banyak
lagi. Cepat dia menggelengkan kepalanya. "Cukup!"
katanya dengan suara tak begitu jelas.
"Nanti Tante tidak percaya. Kalau di mobil Tante bisa
melihat lebih dekat. Bisa meraba juga. Tante akan lebih
yakin bahwa luka-luka itu saya peroleh baru kemarin
siang. Bukan dari seorang pelanggan, karena saya tak
sempat menerima pelanggan. Dan ada baiknya Tante
tahu juga, bahwa belum pernah ada pelanggan yang
memperlakukan saya seperti itu. Memang mereka
merendahkan saya, menganggap saya cuma komoditi.
Tapi mereka tidak menyiksa! Nah, mau ke mobil.
Tante?"
"Tidak! Tidak!"
"Tante percaya?"
"Ya, ya! Sudah cukup!"
Dahlia hampir berseru hingga menarik perhatian orang
sekitarnya. Terpaksa dia berdiam sejenak supaya
perhatian orang-orang itu teralih lagi.
338 / 460 "Baiklah. Terserah Tante. Tapi saya cuma ingin
menyempurnakan cerita saya, karena untuk itulah saya
dibayar."
Dahlia mengangguk lesu. Semangatnya anjlok. Tak
bernafsu untuk marah padahal terpikir bahwa. Monika
sengaja menyembunyikan bagian cerita yang penting
itu untuk mendapatkan bayaran lebih banyak.
"Oh ya. Masih ada satu cara untuk membuktikan
kebenaran cerita saya itu. Sebaiknya Tante cepat-cepat
memeriksa tubuh Tony. Kalau bisa hari ini juga.
Padanya Tante akan mendapatkan luka-luka sejenis ini.
Saya membalas perlakuannya."
"Kamu apa?" tanya Dahlia dengan suara meninggi. Dia
lupa lagi lalu terkejut akan reaksi sekitarnya. Cepat dia
berpura-pura menghirup minumannya. Setelah merasa
lebih tenang dia oertanya lagi, "Lantas, apakah dia
membiarkan kelakuanmu itu?"
"Ya. Dia menjerit-jerit kesakitan. Kami berdua
kesakitan. Katanya, dia merelakan karena menyesal.
Dan supaya impas."
Aduh, kejutan macam apa itu, keluh Dahlia dalam hati.
Bukan cerita macam itulah yang ingin didengarnya.
Untuk sesaat dia sempat membayangkan Tony sebagai
makhluk aneh yang tak dipahaminya.
339 / 460 "Tapi untuk kejantanannya Tante tak perlu ragu-ragu.
Bukankah itu yang ingin Tante buktikan?"
Pandang Dahlia menerawang sejenak. Dia sudah
membayar mahal. Karena itu dia tidak boleh ragu-ragu
bertanya. Tak perlu lagi menyembunyikan.
"Dulu dia homo. Tak suka cewek," katanya berat.
"Tapi sekarang, menurut kamu apakah ke-homo-annya
itu masih ada? Maksudku, seleranya itu lho. Apakah
sikapnya padamu itu cuma dipaksa-paksakan atau
terasa wajar?"
"Oh, wajar sekali. Tante. Saya yakin, bukan pura-pura.
Oh ya, ketika kami di restoran waktu malam Minggu,
dia didekati dua orang lelaki dan ditegur akrab sekali.
Salah satu bertanya kenapa dia sudah lama tak
berkunjung ke Ramona. Saya tahu tempat apa Ramona
itu, tapi saya diam saja. Sambutan Tony pada kedua
lelaki itu sama sekali tidak ramah. Malah seperti
bermusuhan. Saya pikir, dia tidak akan berbuat seperti
itu kalau memang tidak sungguh-sungguh ingin
meninggalkan dunia homo."
Kata-kata itu membuat Dahlia lebih tenang dan
terhibur. "Mungkin sikapnya itu disebabkan karena kamu adalah
perempuan pertama yang digaulinya setelah berubah.
340 / 460 Dia masih... masih kagok. Ya, pasti begitu," katanya,
lebih ditujukan kepada diri sendiri.
"Tapi masih ada lainnya lagi, Tante. Beberapa kali dia
menyebut saya Melanie. Lebih-lebih di puncak
kegilaan dan lupa dirinya. Melanie! Anie! Anie!"
Dahlia kembali terenyak di kursinya. Kata-kata
Monika itu rasanya seperti pukulan terakhir yang
membuat KO. Dia tidak tahu kapan Monika
meninggalkannya.
Seseorang dari masa lalu yang pernah sangat
dibencinya kini kembali lagi untuk mengisi hariharinya, dan mengusik ketenangannya. Ternyata
rangkaian kata-kata maaf disertai bunga tidak bisa
menghapus dengan tuntas. Inikah kenyataan
sesungguhnya dari firasat buruk itu?
341 / 460 XIX Melanie sedang asyik di sudut kebun miliknya pribadi.
Di situ dia memelihara tanaman kesayangannya. Tidak
untuk dijual tentu saja. Dan keistimewaannya adalah
semuanya merupakan tanaman pakis. Beraneka jenis
ada di situ. Dari yang umum dan banyak terdapat
sampai yang langka dan unik. Untuk menata
kesemuanya dia membentuk sudut kebun itu dengan
dinding batu-batuan yang terus-menerus dibasahi oleh
gemerciknya air dari pancuran yang dasarnya berupa
kolam ikan. Pada dinding itu terdapat ceruk-ceruk
tempat berjenis-jenis pakis itu tumbuh. Ada yang
tumbuh tegak, melebar, atau berjuntai membentuk
setengah lingkaran. Warnanya aneka hijau, dari muda
sampai tua.
Bila tak ada lagi yang perlu dikerjakannya, dia duduk
di atas batu besar di sisi kolam lalu memandangi
semuanya. Tanamannya, ikan masnya. Dia betah di
situ. Dan bisa menghabiskan waktu lama.
Arman menemukannya di situ setelah diberi-tahu
tempatnya oleh Diah. Baru sekali itu dia melihatnya
karena sebelumnya Melanie tidak pernah mengajaknya
ke situ. Saking luasnya kebun sedang tempat itu
terpencil di sudut, maka dari luar sama sekali tidak
342 / 460 terlihat Di samping itu memang ada pagar pembatas
yang memisahkan bagian yang bersifat pribadi dengan
bagian yang terbuka untuk umum.
Melanie tidak melihat kedatangan Arman. Dia duduk
membelakangi. Cuma punggungnya yang tampak oleh
Arman. Tapi dengan demikian Arman jadi lebih leluasa
memandangi sekitarnya.
Segera mulut Arman terbuka. Dia sangat kagum.
Betapa alamiahnya tempat itu. Alamiah yang indah.
Apalagi ditambah oleh kehadiran Melanie, gadis yang
sama alamiahnya. Cocok dan padu. Sebuah firdaus
mini di mata Arman.
Tiba-tiba melonjak keinginan yang amat sangat dalam
diri Arman. Dia ingin menyatu dengan Melanie di sana.
Ingin bergabung dan ingin ikut menikmati. Tidakkah
masih cukup tempat di batu besar yang diduduki
Melanie itu? Kalau tidak, masih ada batu-batu lain di
dekatnya. Tapi Melanie kelihatan begitu diam. Dan suasananya
pun hening. Sepertinya Melanie tidak ingin diganggu.
Tetap ingin sendiri. Marahkah dia kalau didekati,
apalagi kalau ditemani?
Arman menumpas keinginannya. Sebaiknya tidak
menempuh risiko. Selama pergaulannya dengan
Melanie dia belum pernah diajak melihat tempat itu.
343 / 460 Tentu ada alasannya. Mungkin tempat itu sangat
pribadi bagi Melanie. Tak boleh diinjak orang luar.
Lantas kenapa Diah menyuruhnya ke sana? Apakah
memang tak apa-apa? Siapa tahu Diah melakukan
kesalahan dan kurang peka akan keinginan Melanie.
Akhirnya dia memutuskan untuk berlalu dan
menunggu Melanie di tempat biasa. Itu lebih aman.
Tapi baru saja dia berbalik dan mulai melangkah dia
mendengar panggilan Melanie.
"Hai, Man! Ngapain?"
Dengan cepat Arman berbalik lagi. Dia melihat wajah
cerah Melanie yang menggapai ke arahnya. Tanpa
menunggu dipanggil lagi dia segera berlari mendekat.
Girang sekali.
"Kenapa kau mau pergi?" tanya Melanie.
"Aku takut mengganggu. Siapa tahu kau sedang ingin
sendiri," kata Arman sambil mencari tempat duduk.
Dia memilih sebuah batu yang bersebelahan dengan
batu tempat duduk Melanie. Dia tak berani duduk di


Melanie Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

batu yang sama meskipun tampaknya cukup tempat di
situ. Bukankah menurut pengakuan Melanie kepada
ibunya, sentuhan pria membuatnya jijik? Dia takut
akan melihat kejijikan Melanie kepadanya.
344 / 460 "Aku sudah lama di sana memandangimu dan tempat
ini. Indah sekali. Dan kau begitu asyik. Begitu enak
menikmati. Mana berani aku mengganggu."
Melanie tersenyum.
"Ya, asyik memang. Tapi sudah cukup. Ada saatnya
sendiri. Ada pula saatnya berteman."
Arman memperhatikan Melanie sejenak. Bila dia tidak
mendengar cerita Diah, pasti dia tidak pernah akan
menyangka bahwa Melanie memiliki kecenderungan
yang menyimpang. Rasanya memang sulit bagi
Melanie untuk berterus terang tentang soal itu
kepadanya tanpa merasa malu dan risi.
"Kau benar, An. Dan aku pun sempat memikirkan
pembicaraan kita tempo hari. Bagaimana kalau kita
tetap berteman, An?"
Kegembiraan tampak di wajah Melanie.
"Trims," katanya.
Dan sikapnya itu membuat Arman merasa mendapat
imbalan yang luar biasa besarnya.
"Tahukah kau, An? Begitu melihat tempat ini, aku
segera memutuskan untuk memilikinya juga di sudut
kebunku sendiri."
345 / 460 "Oh, ya? Aku akan membantu, Man!" seru Melanie
spontan. Tawaran itu tentu saja memperbesar kegembiraan
Arman. "Wah, terima kasih, An! Terus terang kebunku
masih liar. Aku belum punya waktu untuk
mengurusnya. Tapi aku berniat mengambil cuti
minggu depan. Pada saat itulah aku akan mulai
menggarapnya," katanya bersemangat. Dia jadi
menyesal kenapa tidak mulai besok saja cutinya.
Alangkah lamanya satu minggu!
"Nanti tanamannya biar aku saja, Man. Kamu nggak
usah beli. Aku punya banyak kok."
"Wah, trims. Kau yang ngatur, ya. Eh, tidakkah aku
meminta terlalu banyak?"
"Tidak. Tapi kalau kau mau berkebun pisang, jangan
tanya aku."
Arman tertawa. "Ya. Untuk itu sudah ada pakarnya."
"Mau ke tempat Kakek sekarang?"
"Oh, tidak. Aku belum mau tanya-tanya sekarang
tentang soal itu. Nanti saja kalau aku sudah siap."
Lalu Melanie bercerita tentang tanaman yang
disukainya. Dan Arman mendengarkan dengan
perhatian. Sebenarnya dia bukan menyukai materi yang
dibicarakan melainkan gaya si pembicara sendiri.
346 / 460 "Oh, kau tentu bosan. Datang ke sini dikasih kuliah."
"Mana mungkin aku bisa bosan, An? Kuliahmu itu kan
penting sekali. Bukankah aku mau menjadikan
tanaman sebagai sumber penghasilanku kelak? Ya, bila
kebunku sudah menghasilkan aku mau berhenti kerja
di bank. Pusing dan bosan mengurusi duit melulu.
Lama-lama kita jadi menilai orang melulu dari duitnya.
Seberapa dalamnya kita membungkukkan badan
tergantung dari duit. Aku tak mau begitu. Tapi
kayaknya lingkungan kerja memaksa begitu. Lamalama bisa mempengaruhi kepribadian."
"Kupikir, tergantung orangnya juga apakah mudah
dipengaruhi atau tidak."
"Benar. Yang penting, aku sudah jenuh."
"Kalau begitu, sebaiknya memang kauganti haluan.
Kata orang, lama-lama bisa stres tuh."
"Ya. Kau sudah berpengalaman dalam hal itu."
Sesudah bicara Arman kaget. Dia sudah kelepasan
mengusik masa lalu Melanie. Mungkin Melanie tidak
suka hal itu. Tapi Melanie bersikap biasa saja.
"Kau benar. Aku sudah berpengalaman," sahutnya
tenang. 347 / 460 Arman merasa lega. Dia berharap Melanie akan
bercerita banyak mengungkapkan hal-hal terpendam
dalam dirinya. Tapi harapannya tak terkabul.
"Kau mau memelihara ikan apa, Man?" tanya Melanie
mengalihkan persoalan.
"Yang seperti itu saja," sahut Arman sambil menunjuk
kolam. "Ikan mas?"
"Ya."
"Kamu suka makan ikan mas?"
"Nggak."
"Syukurlah. Soalnya, aku takut kamu akan memakan
nya suatu saat."
Arman tertawa. Tapi Melanie serius.
"Sori. Aku kira, kamu bergurau," kata Arman
menyesal. "Nggak apa-apa."
"Ngomong-ngomong, kau berbakat untuk jadi penata
taman, An. Kenapa tidak menjadikannya sebagai
profesi?" tanya Arman kemudian.
Sekarang Melanie yang tertawa. "Aku memang pernah
berpikir begitu. Tapi siapa yang mau pakai aku?"
348 / 460 "Bagaimana kalau aku bantu mencarikan order? Di
kota ini mulai banyak bermunculan daerah elite baru.
Sepatutnyalah rumah mewah juga disertai dengan
taman yang indah. Tentu akan janggal sekali kalau
rumah yang megah punya halaman atau kebun yang
berantakan. Pasti akan mengurangi kemegahannya.
Nah, di situlah orang seperti kau harus berperan."
"Kaupikir, aku bisa?"
"Lihat saja buktinya," kata Arman sambil menunjuk.
"Tapi hasilku baru satu ini."
"Ya. Kau memang harus mencari pengalaman lebih
banyak. Tapi untuk itu kau tentu harus mulai. Kalau
tidak, pengalaman tidak datang sendiri. Nanti kubantu
mencarikan majalah dan buku tentang hal itu. Dan
jangan lupa. Kau juga akan mengerjakan kebunku.
Nah, kapan kau punya waktu untuk melihatnya?"
Melanie berpikir sebentar.
"Bagaimana kalau sekarang?" tanyanya bersemangat.
Arman kaget tak menyangka. Tapi dia juga girang
sekali. "Tapi sekarang hari Minggu. Kau tentunya sibuk di
sini," katanya ragu-ragu. Barangkali Melanie
melupakan tugasnya sendiri.
349 / 460 "Kalau sibuk aku tentu tidak merenung di sini. Tadi
selesai makan kebetulan sepi, jadi aku kemari. Tahutahu kelamaan. Rupanya Mama membiarkan. Eh,
begini saja. Kita lihat situasi di depan dulu. Kalau aku
tak dibutuhkan kita bisa pergi."
"Tapi ada satu hal yang ingin kusampaikan, An.
Bagaimana kalau pekerjaan itu kautangani secara
profesional?"
Melanie mengerutkan kening. "Maksudmu?"
"Tenagamu itu harus kubayar."
"Ah, kenapa? Kan aku melakukannya untuk teman.
Apalagi kau sudah berjanji mau mencarikan order.
Bagaimana kalau ini sebagai upahnya atau komisi?"
"Nggak mau. Aku bukan calo," kata Arman tertawa.
"Dan jangan lupa. Pekerjaanmu akan menyita waktu
dan tenaga. Itu mesti dibayar. Aku akan merasa malu
pada ibu dan kakekmu kalau dianggap memanfaatkan
kamu saja."
Melanie mengangkat bahu.
"Baiklah. Tapi, berapa yang harus kuminta darimu?"
"Asal jangan mahal-mahal."
Keduanya tertawa.
350 / 460 "Baiklah. Soal bayaran itu urusan belakangan saja.
Yang penting, kerja dulu," kata Melanie sambil berdiri.
Arman mengikutinya sambil menjaga jarak. Jangan
sampai terlalu dekat hingga menyentuh. Padahal
sepertinya tak akan ada masalah bila dia mengulurkan
tangan untuk menggandeng lengan Melanie. Bahkan
bila dia merangkul bahu Melanie sekalipun. Bukankah
Melanie sudah memperlihatkan keakraban dan
keramahan padanya? Tapi ketika diam-diam dia
mengamati, tampaknya Melanie merasa bersyukur atas
sikapnya menjaga jarak itu. Hal itu memang
menguatkan keyakinannya akan cerita Diah, tapi juga
membangkitkan penasaran. Apa salahnya memegang
sebagai tanda keakraban? Dan apakah setiap sentuhan
selalu menjurus ke seks?
Di bagian penjualan, beberapa calon pembeli sedang
dilayani oleh Diah dibantu Mang Ateng. Tapi melihat
Melanie bersama Arman, Diah segera mendekati
mereka. "Kau nggak usah bantu Mama, An. Pergilah
mengobrol. Sesekali libur itu perlu," katanya sebelum
Melanie sempat membuka mulut.
Melanie yang sedang bersemangat segera menjelaskan
rencananya bersama Arman. Wajah Diah menjadi
cerah. "Pergi sajalah sekarang," katanya tak kurang
351 / 460 bersemangat. "Itu ide yang bagus sekali. Mama
mendukung, An!"
Melanie memandang ibunya dengan heran. Secepat itu
ibunya setuju. Begitu percayakah ibunya kepada
Arman? "An, aku bawa skuter," kata Arman ragu-ragu.
"Kenapa? Kau bisa bonceng aku, kan?"
"Nggak keberatan, An?"
"Tentu saja nggak."
Arman tertegun sebentar. Bukankah dengan
berboncengan itu mereka jadi berdekatan? Tidakkah
Melanie merasa segan?
"Hei, kenapa sih? Segan memboncengku? Kita bisa
naik Angkot, kan?" tanya Melanie heran.
"Bukan begitu. Aku... aku nggak bawa helm
cadangan," Arman terpaksa berbohong.
"Oh, soal itu. Gampang. Aku pinjam kepunyaan Mang
Ateng."
Akhirnya mereka berangkat. Arman sedikit tegang dan
juga berharap. Apakah Melanie akan memegang
pinggangnya? Ternyata tidak. Ah, tentu saja. Lalu dia
menertawakan dirinya sendiri. Rupanya, bagaimana
352 / 460 pun tulus janji yang diberikannya, dia tetaplah seorang
lelaki. *** "Nah, inilah kebun dan gubukku," kata Arman dengan
perasaan agak minder.
Tapi Melanie memandang sekitarnya dengan mata
membelalak. "Wah, ini tantangan buatmu, Man!"
serunya. Tangannya terasa gatal melihat kekacauan di
situ. Dia lupa, bahwa kebun itu bukan miliknya.
Sikap Melanie itu tiba-tiba membuat Arman menjadi
sendu. Kalau saja Melanie adalah kekasihnya, calon
istrinya, pastilah tempat itu menjadi firdaus untuk
mereka berdua. Buruk tapi menjanjikan. Diolah
berdua, dinikmati berdua pula. Tapi sayang...
"Di mana akan kaubangun taman itu, Man?" tanya
Melanie, tanpa memandang Arman dan tentu saja tanpa
memahami apa yang tengah dirasakan Arman.
Pikirannya seperti bekerja otomatis melulu terhadap
rangsang dari alam sekitarnya. Hampir saja Arman
terlupakan.
"Aku pikir, di belakang saja supaya tidak terlihat dari
depan. Ya, seperti kepunyaanmu, An."
Jawaban itu membuat Melanie terus saja berjalan ke
belakang tanpa minta diperlihatkan dulu tempatnya.
353 / 460 Arman bergegas mengiringi. "Hati-hati, An. Masih
kotor dan banyak belukarnya. Aku belum sempat
membersihkan semuanya. Aku takut ada ular
bersembunyi."
Tapi peringatan itu tidak membuat. Melanie takut. Dia
terus saja berjalan dengan tertawa. Lalu bercerita
tentang ular yang pernah ditemukan kakeknya di kebun
pisang, tanpa menyadari bahwa ceritanya itu membuat
Arman merasa ngeri.
"Nah, di sudut itu, An! Bagaimana menurut
pendapatmu?" kata Arman sambil menunjuk sudut
kebun belakangnya. Sudut itu juga merupakan batas
kebun yang ditandai dengan dinding tembok. Di balik
tembok itu terdapat kebun milik orang lain.
Melanie berdiri mematung sebentar. Dia asyik menilai
dengan kritis dan di kepalanya muncul rancanganrancangan. "Aku pikir, sebaiknya jangan dibuat persis
dengan punyaku," katanya.
"Ya. Aku serahkan padamu. Tapi kupikir itu baik
sekali. Jadinya ada variasi."
Lalu Melanie berbicara dengan tangan menunjuk sanasini, membeberkan rancangannya sambil sesekali
menanyakan pendapat Arman. Yang ditanya cuma
mengiyakan saja. Dia lebih banyak mengagumi
antusiasme Melanie. Tapi kemudian dia menjadi capek
354 / 460 dan bosan, juga pegal berdiri terus. Sesekali matanya
tajam mengamati sekitar kakinya, kalau-kalau ada ular
merayap tanpa disadarinya.
Akhirnya Melanie mengibas-ngibaskan tangan dan
kakinya. "Idih, banyak nyamuk, ya. Lihat tuh sampai
pada merah tangan dan kakiku," gerutunya. "Yuk ah,
kita masuk saja."
Arman menyembunyikan senyumnya. Diam-diam dia


Melanie Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berterima kasih pada nyamuk-nyamuk itu.
"Kau mesti segera membersihkan tempat ini, Man.
Nggak sehat tuh."
"Ya. Secepatnya, An."
"Kalau kau perlu tenaga, pakai saja orang di kebunku.
Nanti kutanyakan pada Mang Ateng, siapa yang bisa
dipercaya."
"Trims, An."
Arman mengajak Melanie duduk di ruang tamunya
yang sederhana, tempat dulu dia berbincang-bincang
dengan Diah. Lalu dia pergi ke dapur mencari-cari apa
yang bisa disuguhkannya kepada Melanie. Tapi dengan
menyesal sekali dia hanya menemukan sekantong kue
kering yang tinggal separo dan di kulkas cuma ada air
putih dingin. Kalau saja dia tahu sebelumnya, pasti dia
355 / 460 akan menyediakan makanan dan minuman yang
istimewa. "Aku pikir sebaiknya kebun ini dibersihkan dulu, Man.
Kalau sudah bersih jadi lebih gampang buat aku.
Bagaimana kalau besok kukirim orang ke sini? Tentang
honornya kau bisa berunding dengan dia."
"Setuju," kata Arman senang. Cerita tentang ular itu
masih mengerikan untuknya.
"Kau tidak takut tinggal sendirian, Man?"
"Takut? Paling-paling takut ular setelah mendengar
ceritamu tadi," kata Arman tertawa.
"Ah, kamu pemberani, ya. Tidakkah sebaiknya kau
memelihara anjing supaya bisa menemani dan juga
menjaga rumah?"
"Tapi anjing itu harus dirawat dan dipelihara. Aku tak
punya cukup waktu untuk itu. Kasihan. Nanti malah
telantar."
"Ya, kau benar. Mungkin nanti kalau kau punya
pembantu."
"Aku tak memerlukan pembantu. Yah, belum perlu
maksudku. Entahlah nanti. Dan aku juga tidak khawatir
akan maling sebab aku yakin maling tidak tertarik
masuk ke sini."
356 / 460 Melanie tertawa. Dan sikapnya yang bebas tanpa
prasangka membuat Arman senang. Pada saat itu
harapannya mencuat. Kalau dia bisa bersabar, bukan
tak mungkin Melanie akan berubah juga. Melanie akan
mau menerimanya, bukan saja sebagai teman karib tapi
lebih dari itu. Sebagai kekasih yang tentu saja tak
punya rasa jijik kepadanya! Tapi dia juga menyadari
susahnya. Sekarang saja sudah terasa, apalagi untuk
jangka waktu yang panjang. Sedang jangka waktu itu
bisa saja terentang tanpa punya batas yang pasti. Tapi
dia sudah berjanji dan janji itu tak ingin dilanggarnya.
Lalu Melanie mulai bicara lagi soal kebun. Terpaksalah
Arman berkonsentrasi ke sana. Padahal betapa idealnya
bila suasana berduaan tanpa gangguan itu digunakan
untuk soal lain. Setidaknya materi pembicaraan bukan
soal kebun, tapi yang bersifat pribadi. Dia berharap
Melanie mau mendiskusikan masalahnya. Bukankah
tentang persoalan seks dia pun memiliki penilaian
sendiri sebagai lelaki, meskipun tidak bisa mewakili
golongannya? Lelaki satu dengan lelaki lain bisa
berbeda banyak. Kalau Melanie mau adil, mestinya dia
juga bersedia mendengarkan tanggapannya sebagai
lelaki. Bukankah selama ini Melanie cuma
mendiskusikan masalahnya hanya dengan ibunya, yang
juga perempuan? Perempuan satu dengan perempuan
lain memang bisa berbeda juga, tapi jelas lain daripada
357 / 460 lelaki! Apalagi bila biang kerok dari penderitaan
Melanie adalah lelaki.
Arman mengeluh dalam hati. Dia memang harus
bersabar. Tidak mungkin dia mengemukakan masalah
Melanie lebih dulu, karena dia sudah berjanji kepada
Diah. Tapi dia juga tahu, reaksi Melanie akan tak
terduga bila dia sampai lancang mengemukakan hal itu.
Risiko itu tak boleh diambil. Dia harus menunggu
sampai kepercayaan Melanie tumbuh membesar
kepadanya hingga tanpa ragu bersedia mengungkapkan
semuanya. Barangkali nanti bila proyek kebunnya itu
telah selesai. Sesungguhnya, memang cuma soal itulah
yang menyebabkan Melanie mau datang ke rumahnya.
Antusiasme yang timbul juga menumbuhkan
kepercayaan Melanie kepadanya. Dia tak boleh
menyalahgunakannya. Jadi satu-satunya cara untuk
mengatasi kesulitannya adalah dengan cara tidak
membiarkan dirinya hanyut oleh perasaannya. Jangan
berpikir tentang cinta, kemesraan, dan semacamnya.
Pikirkan saja tentang rumah yang masih banyak
menuntut perbaikan dan kebun yang masih berantakan.
Dan bukankah dia masih pula berutang kepada bank
tempatnya bekerja? Untuk membebaskan diri dari
utang itu tak cukup waktu setahun. Jadi selama waktu
itu pula dia masih harus terus bekerja di sana,
betapapun jenuh dan kesalnya. Ternyata pikiran itu
mampu meredakan penasaran. Sebaiknya dia memang
358 / 460 berkonsentrasi pada yang tengah dihadapinya
sekarang. Dan bukan hal-hal muluk yang belum tentu
bisa terjangkau.
Walaupun demikian, betapa menyenangkan kalau saja
Melanie mau bicara soal lain daripada kebun, tanaman,
batu-batuan, apalagi ular!
Harapan Arman yang amat sangat itu segera menjadi
kenyataan ketika Melanie tiba-tiba bercerita tentang
pertemuannya dengan Andre.
Tentu saja Arman jadi gembira sekali. Dia menjadi
segar kembali seperti baru mendapat tambahan energi.
'Ternyata si Andre itu lucu, ya. Orangnya cakep tapi
lucu. Sayang juga kenapa dia jadi homo."
"Eh, kamu merasa sayang?" tanya Arman, setengah
bergurau. "Bukan begitu maksudku. Tapi aku cuma kasihan.
Bukankah homo itu suatu kelainan? Dan aku juga tak
habis pikir, bagaimana mungkin si Rifai bisa jadi homo
padahal dulu dia...," Melanie tertegun sebentar,
membuat Arman jadi berdebar. Apakah Melanie akan
mengubah lagi topik pembicaraan ke soal kebun?
"Tapi menurut cerita si Andre, seperti katamu tadi,
Rifai sudah berubah lagi," cepat-cepat Arman
menyambung supaya Melanie tidak pindah "jalur".
359 / 460 "Ya. Dan anehnya, si Andre itu berpikir akulah
penyebabnya
karena perubahan seperti itu
sesungguhnya sulit terjadi. Jadi mestinya ada sesuatu
yang ekstrem. Bagi Andre, yang ekstrem itu adalah
cinta. Bayangkan. Dia menyimpulkan, bahwa Rifai
pastilah jatuh cinta padaku. Pura-pura jadi sungguhan!
Aduh, aku jadi ternganga mendengar kata-katanya itu.
Sesudah itu jadi geli. Aku terbahak-bahak. Untung saja
dia tidak tersinggung. Setelah kujelaskan akan
kemustahilan kesimpulannya itu, dia kelihatan lega
sekali. Senang begitu. Yah, nggak heran. Pasti
sebelumnya dia adalah pacar Rifai. Setelah Rifai mulai
tertarik pada cewek lagi, dia pun ditinggalkan. Kasihan
juga."
"Ya. Kasihan memang. Tidak inginkah dia berubah
juga seperti Rifai?"
"Kelihatannya sih ingin juga, tapi dia bilang susah. Dan
karena susah jadi malas. Ah, ngomongnya lucu tuh."
Melanie tersenyum mengenang pembicaraannya
dengan Andre. "Dan kalau kupikir lagi sekarang,
rasanya aku juga lucu." Melanie menggelenggelengkan kepalanya seakan tak habis pikir.
"Oh ya? Kenapa?" tanya Arman tertarik.
"Bayangkan. Aku memberinya nasihat. Kok bisabisanya, ya?"
360 / 460 "Nasihat apa yang kauberikan?"
"Aku bilang padanya, dunia bukan sedaun kelor. Oh,
tentu saja itu ucapan klise. Semua orang basa bilang
begitu. Tapi waktu itu aku ngomong serius. Sungguhsungguh keluar dari hati, karena aku mengharapkan
yang baik darinya. Mungkin karena aku simpati atau
karena orang yang memperlakukannya seperti itu
adalah Rifai. Belakangan kalau kupikir, rasanya aku ini
munafik ngomong begitu."
"Kenapa?"
"Hal-hal yang baik bisa kuanjurkan pada orang lain,
tapi pada diri sendiri tidak bisa."
"Aku kira bisa saja, An. Tapi yang penting kan bukan
cuma ngomong atau niat saja, melainkan usaha yang
sungguh-sungguh."
"Entahlah. Aku tidak tahu."
"Ah, masa kau tidak tahu? Apa kau tidak kenal dirimu
sendiri?"
Untuk sesaat Arman mengira Melanie tersinggung oleh
kata-katanya itu. Wajahnya berubah murung. Entah
sedih, entah marah. Tapi Arman berpura-pura tidak
menyadari. Dia berdebar menunggu komentar.
361 / 460 Tapi komentar Melanie tak sempat keluar karena
mereka mendengar suara-suara di luar rumah.
Seseorang memanggil.
"Arman! Arman!"
Arman mengeluh dalam hati. Kedatangan Darmaji
pada saat itu sungguh tidak diharapkannya. Bahkan
belum pernah dia merasa sejengkel itu kepada
atasannya itu. Kenapa justru pada saat itu Darmaji
datang? Memang Darmaji agak sering datang
belakangan ini, sejak pertemuannya dengan Diah.
Biasanya Arman tidak merasa terganggu. Bahkan
sebaliknya dia merasa simpati dan juga kasihan.
Mungkin Darmaji tak punya orang lain untuk tempat
mengadu. Dan bagaimanapun, lelaki itu adalah ayah
kandung Melanie.
Arman menyambut Darmaji. "Silakan masuk, Pak."
Darmaji kaget. "Oh, ada tamu. Wah, saya
mengganggu, ya," katanya tersipu tanpa mengenali
siapa sebenarnya Melanie.
Melanie sendiri tidak pula mengenali ayahnya. Baru
kali itu terjadi pertemuan antara keduanya sejak lebih
dari tujuh tahun. Darmaji sudah banyak berubah.
Demikian pula Melanie. Sementara Darmaji sudah
kehilangan gambaran mengenai rupa putrinya itu.
Sosok yang tampak tertekan dan penuh kesedihan
362 / 460 seperti yang pernah dilihatnya dulu di ruang pengadilan
tentu tak sama dengan sosok yang dilihatnya sekacang.
Arman sengaja tak segera mengenalkan. Setelah yakin
kedua orang itu memang tak saling mengenal, baru dia
mengatakan, "Ini Melanie, Pak. Dan ini Pak Darmaji,
An." Selanjurnya Arman menjadi "saksi" atas reaksi yang
diperlihatkan keduanya. Dan sesungguhnya dia sudah
mempersiapkan diri untuk itu walaupun dalam waktu
yang demikian singkat. Pendeknya dia tahu, akan ada
kejutan. Tapi apa yang disaksikannya lebih dari
sekadar kejutan.
Di wajah Darmaji dan Melanie sama-sama ada kejutan.
Tapi maknanya jelas berbeda. Setelah kaget masingmasing lenyap, tampak dengan nyata pandangan dan
perasaan keduanya satu terhadap yang lain. Suatu
spontanitas yang jelas dan terbuka. Darmaji tampak
terpesona, mengagumi, dan juga merindukan dengan
tatapan yang membuat perasaan Arman menjadi ngilu.
Tapi Melanie...
Darmaji cuma menyita perhatian Arman sebentar saja
karena dia segera terpaku pada Melanie. Dia melihat
lalu memperoleh kesan yang baginya terasa amat
mengerikan. Sesuatu yang di luar persangkaannya yang
paling buruk.
363 / 460 Pada mulanya Melanie mengangguk hormat pada
Darmaji karena mengira lelaki itu seseorang yang lain.
Tapi setelah tahu, sikap basa-basi itu lenyap seketika.
Senyumnya yang manis, hormat di matanya dan gerak
luwes tubuhnya berubah drastis. Bukan saja tak ada
lagi senyum dan hormat disertai tubuh yang tegang
kaku, dia pun nyata-nyata memperlihatkan kebencian
dan... kejijikan. Bagaikan melihat setumpuk najis yang
busuk dan baunya tidak alang-kepalang!
Apakah aku bermimpi, pikir Arman hampir tak
mempercayai mata dan kesimpulannya sendiri.
Ternyata reaksi yang diperlihatkan Melanie lebih hebat
daripada sikap Diah tempo hari.
Darmaji juga merasakan hal itu. Tanpa sadar dia undur
selangkah dan cepat-cepat menjatuhkan kembali
tangannya yang sudah terulur.
"Melanie..., apa kabar?" katanya lirih. Dia setengah
memaksa diri untuk mengeluarkan kata-kata itu. Takuttakut tapi ingin bicara.
Untuk beberapa saat lamanya Mekanie tak menjawab.
Dia memalingkan mukanya yang keruh. Sepertinya dia
ingin lari menghindar, tapi tahu itu tak mungkin. Tak
pantas juga.
364 / 460 Sementara itu Arman diam saja, mematung sambil
menahan napasnya. Dia merasa tegang dan dadanya
tertekan berat.
Akhirnya Melanie bersuara juga, "Baik!" katanya
singkat. Pelan tapi agak ketus.
Darmaji mengerjapkan matanya. Hatinya sakit tapi
juga bingung. Saat seperti ini sudah dinantinantikannya sejak lama, tapi jelas bukan yang begini


Melanie Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang diharapkannya. Paling tidak dia berharap reaksi
Melanie lebih ringan daripada apa yang diperlihatkan
Diah. "Papa... boleh... boleh berbincang sebentar denganmu,
An?" tanya Darmaji ragu-ragu, berharap dan
memohon. Melanie memutar kepalanya lalu menatap ayahnya.
Tatapannya tajam dan lurus, menyatakan segala hal
yang terpendam dalam dirinya. Sedang kedua lelaki di
ruang yang sama memperhatikan dengan terpesona.
Arman merasa dingin dan ngeri. Hampir dia bersyukur
karena tatapan Melanie itu tidak tertuju kepadanya.
Tapi dia sungguh tidak senang karena dirinya
terlupakan. Memang, apa yang terjadi antara Darmaji
dan Melanie di masa lalu maupun sekarang tidak punya
sangkut paut dengan dirinya. Tapi ada sesuatu yang
365 / 460 membuatnya tersangkut tak bisa lepas. Sesuatu yang
menyebabkan pedih.
Darmaji terpaku. Mulutnya ternganga dan lidahnya
kelu. Tiba-tiba dia bergidik. Tubuhnya yang kurus itu
seperti mau oleng.
Lalu kata-kata menyembur dari mulut Melanie. Panas
dan membara, bagaikan semburan lahar panas dari
kawah gunung berapi yang tengah mengamuk.
"Apa yang mau dibicarakan? Tidak ada! Tidak perlu!"
Darmaji memaksa dirinya lagi untuk bicara. Dia harus
bicara. Besok mungkin tak ada lagi kesempatan yang
sama. Besok bisa terlambat.
"Papa... Papa... mau min... minta maaf, An!" katanva
pelan tapi cukup jelas. Lalu dia berbalik dan tanpa
mengatakan apa-apa kepada Arman, bahkan
memandang kepadanya pun tidak, dia segera pergi
dengan langkah setengah berlari. Sebenarnya dia takut
melihat reaksi Melanie yang lain lagi. Dia takut dirinya
akan patah berkeping-keping. Dan kalaupun patah
jangan sampai terjadi di situ.
Kebencian masih terpancar dari mata Melanie ketika
dia hanya bisa menatap ruang kosong di mana tadi
ayahnya berada. Bunyi desah napas Arman di
sebelahnya menyadarkan dirinya bahwa dia tidaklah
sendirian. Cepat dia menoleh. Lalu dia terkejut.
366 / 460 Mulurnya yang sudah terbuka mau mengatakan sesuatu
segera mengatup lagi. Pandangnya beradu dengan tatap
dingin Arman. Sangat dingin. Paduan dari kesedihan
dan kekecewaan yang teramat sangat. Suatu tantangan
terhadap sikapnya barusan. Tiba-tiba dia merasakan
suatu kekosongan yang tak pernah dirasakannya
sebelumnya. Dia akan sendirian walaupun tidak
sendiri! "Kau sudah tahu bagaimana perasaanku kepadanya,
bukan?" katanya emosional. "Bagaimana aku bisa
pura-pura suka kalau aku memang tidak suka?"
Arman menundukkan kepala, memandang ke bawah.
"Man, kenapa kau diam saja?" tanya Melanie
penasaran. "Ayo, berikanlah penilaianmu yang sejujur
nya! Ya, kau tidak suka akan sikapku tadi, bukan?
Terus teranglah, Man! Bukankah kau temanku?"
Arman masih diam mencari kata-kata. Sementara
Melanie menatapnya tak sabar, bahkan ingin sekali
menggoyang-goyang tubuh Arman untuk memaksanya
menjawab dengan segera. Entah kenapa, baginya itu
terasa penting sekali.
Akhirnya Arman mengangkat kepalanya.
"Ya, aku memang tidak suka," katanya tanpa
memandang Melanie.
367 / 460 "Kenapa?"
"Masih perlukah itu ditanyakan?"
"Tentu saja. Perlu sekali, karena jawabanmu bisa saja
sama sekali di luar dugaanku."
"Baiklah. Aku tidak suka, karena sikapmu tadi itu
merupakan reaksi terhadap ayahmu dari masa lalu.
Bukan dari masa sekarang. Itu tidak adil, An. Dia yang
sekarang dengan dia yang dulu kan tidak sama lagi."
"Lho, mana mungkin aku bisa tahu akan hal itu? Dari
mana aku tahu kalau dia yang dulu dengan yang
sekarang tidak sama lagi? Aku baru saja bertemu lagi
dengannya. Bertahun-tahun aku menyimpan kebencian
ku padanya. Salahkah jika itu kutumpahkan sekarang
setelah aku melihatnya? Kau tahu apa yang segera
kurasakan dan kuingat begitu aku tahu siapa dia?
Semua pengalaman buruk di masa lalu, baik dariku
maupun dari ibuku!"
"Dia sudah menyesal, An. Dia ingin memperbaiki
kalau bisa."
"Tidak bisa! Semua sudah terjadi. Dan tentu saja dia
menyesal karena sekarang dia tidak bahagia. Dia
sendirian setelah ditinggalkan istrinya yang bernama
Anita itu. Coba kalau tidak begitu, mana mungkin dia
menyesal? Enak saja kalau segala penderitaan yang
telah ditimpakannya kepada kami sekeluarga bisa
368 / 460 dihapuskan hanya dengan satu kata maaf," kata
Melanie dengan berapi-api.
Arman tertegun. Untuk pertama kalinya dia menyadari
betapa miripnya sikap dan pendapat Melanie dengan
ibunya. Atau memang sejalan?
"Apakah kau dipengaruhi ibumu?" tanya Arman ingin
tahu. Melanie mengerutkan kening. "Kenapa kau bertanya
begitu?" tanyanya heran.
"Oh, tidak. Tidak apa-apa. Soalnya, kalian akrab
betul," sahut Arman setelah ingat bahwa dia harus
merahasiakan pertemuan Diah dengan Darmaji.
"Ah, aku mengerti. Kau tentu mengira bahwa aku
disuruh Mama memusuhi Papa, bukan? Sama sekali
tidak! Aku punya pikiran dan pendapat sendiri."
"Kupikir, tidak seharusnya kita merasa superior
terhadap seseorang karena orang itu telah melakukan
kesalahan pada kita."
Melanie membelalakkan matanya. "Apa yang dia
lakukan itu bukan sekadar kesalahan, Man! Dia telah
merusak kehidupan kami. Ibuku dan aku. Ya, dia telah
menghancurkan diriku hingga jadi seperti sekarang ini.
Sosok yang berbeda luar dan dalamnya. Sosok yang
kata orang kurang beres. Tidak normal. Padahal aku
369 / 460 juga punya harapan-harapan dan keinginan-keinginan.
Untuk itu semua, dengan enak saja dia cuma minta
maaf!"
Arman menganggap ucapan itu sama sekali tidak logis.
"Jangan melampaui batas, An. Ingatlah. Bukan ayah
mu yang telah memperkosamu," dia mengingatkan
dengan terpaksa.
"Tentu saja bukan dia! Apa kaupikir aku sudah
sinting?" seru Melanie lantang. "Coba pikirkan. Kalau
saja dia tidak memalingkan muka pada saat aku
membutuhkan dukungannya. Dia cuma bisa
menyalahkan ibuku. Dia bilang, Mama kurang bisa
menjaga dan mendidikku. Dan dia memandangku
seolah aku brengsek dan terlalu bebas bergaul. Ya, dia
cuma bisa melihat kesalahan orang lain. Tapi dia tidak
melihat dirinya sendiri. Dia tidak melakukan apa-apa.
Dia membiarkan kami berjuang sendirian. Dia lepas
tangan. Dia bersikap seolah aku bukan anaknya. Dia...,
oh..., aku benci dia!"
"Dia mengatakan padaku, bahwa dia sudah berusaha
untuk ikut menolongmu tapi ibumu bilang bisa
menanggulangi sendiri. Dan dia juga tidak tahu mesti
berbuat apa karena ibumu sudah melakukan segala
sesuatu."
370 / 460 "Ala, tentu saja dia bilang begitu supaya dapat menarik
simpatimu. Kau percaya padanya, Man? Padahal aku
mengalaminya sendiri. Oh, kalau saja aku punya ayah
pada siapa aku menaruh hormat. Tapi mana?" Melanie
hampir terisak ketika mengucapkan kalimat terakhir
nya. Tapi dia tetap berusaha untuk bersikap tegar.
Arman tak mengerti. "Bukankah kau punya ayah?"
Melanie menggelengkan kepalanya. 'Tapi bukan yang
seperti itu."
"Sering kali kita harus menerima apa yang ada. Kita
tidak bisa memilih orangtua, bukan? Dulu pun aku
sering menyesal dan berangan-angan kalau saja aku
punya ayah atau ibu yang berbeda. Yah, sosok yang
ideal begitu. Tapi itu tentu saja mustahil."
"Ah, kau memang tak mengerti. Aku bicara tentang
respek. Tak mungkin respek itu datang sendiri hanya
karena seseorang itu ayah atau ibu kita, atau siapa saja
yang lain. Mungkin kita cuma bisa berpura-pura. Tapi
bukan itu yang kumaksud."
Arman menggaruk kepalanya. "Sulit juga. Ukurannya
bisa relatif sih. Misalnya dalam keluarga miskin,
seorang anak mungkin akan merasa lebih respek
kepada ayahnya kalau si ayah lebih pintar mencari duit.
Tapi dalam keluarga berkecukupan di mana si ayah
terlalu sibuk, anaknya akan merasa lebih respek bila
371 / 460 ayahnya lebih banyak memberinya perhatian. Nah,
mana ada yang sempurna?"
Melanie membanting kakinya karena jengkel.
"Bukan itu yang kumaksud! Harapanku tidak muluk
kok. Aku cuma ingin punya ayah yang baik. Tapi dia?
Yah, sudahlah. Lebih baik aku pulang saja."
Arman tak menahan. Bukan saja dia tahu usaha itu
akan sia-sia, tapi dia pun merasa tertekan oleh
kebingungan. Pada suatu saat dia merasa lebih mampu
memahami Melanie karena mengira telah menemukan
sesuatu yang penting. Sesuatu yang punya hubungan
dengan perilaku Melanie sekarang. Tapi di saat lain dia
tidak yakin akan hal itu dan karenanya jadi merasa
lebih jauh dari Melanie dan lebih asing. Lalu dia
menjadi ragu-ragu akan hubungan mereka. Apa
sebenarnya yang mau diperolehnya dari situ?
Setibanya di rumah, Melanie segera masuk ke
kamarnya dan tidak keluar lagi sampai sore. Tentu saja
ibunya jadi bertanya-tanya. Tapi Melanie menjawab
tidak ada apa-apa. Lalu dia berusaha supaya tampak
sewajar mungkin.
Diah tidak percaya tapi juga tidak berdaya untuk
memaksa Melanie bercerita. Prasangka saja tidak
cukup untuk mereka-reka apa yang telah terjadi. Diah
merasa penasaran tapi juga
372 / 460 jengkel. Kenapa Melanie mulai bersikap tertutup kepadanya?
373 / 460 XX Seminggu sejak peristiwa Puncak, Monika belum
mendapat berita apa-apa lagi dari Tony. Dia memang
tidak terlalu mengharapkan. Kekecewaannya terlalu
besar akibat pengalamannya itu. Rasanya dia patah
hati. Mungkin dia telah berharap terlalu banyak. Dia
tidak tahu diri. Dan itulah akibat yang harus
ditanggungnya.
Karena itu dia juga yakin, janji pekerjaan di PT
Anugerah seperti yang dikatakan Tony itu cuma
gombal belaka. Sekadar melicinkan jalan untuk
memperoleh apa yang diinginkan, yaitu menjadikan
nya sebagai objek pelampiasan nafsu sadisme saja.
Sesudah tercapai, ya sudah. Pahit betul rasanya
menyimpulkan hal itu. Padahal dia sudah hampir yakin,
bahwa ketertarikan Tony kepadanya mempunyai nilai
yang jauh lebih besar daripada sekadar seks. Jadi
tentunya Tony sangat mahir berpura-pura. Jauh lebih
mahir daripadanya. Si penipu telah tertipu.
Hanya sedikit kepuasan yang dapat menghibur, yaitu
"kemenangannya" atas Nyonya X. Tapi dalam
kekecewaan, apalah artinya uang sejumlah itu? Apalagi
kalau dia memikirkan kelanjutan hidupnya. Dia tidak
punya nafkah untuk sementara waktu itu. Kembali
374 / 460 kepada Tante Nani? Pasti perempuan itu akan
menerimanya dengan tangan terbuka. Selama berada di
sana, dia adalah primadonanya. Jelas Tante Nani telah
memperoleh banyak keuntungan darinya. Tapi dia
tidak ingin kembali ke sana. Bukan saja di sana ada
Dudung yang membuatnya ngeri, tapi sekarang dia
mulai melihat profesinya itu dari sisi yang lain. Dia
membandingkan. Alangkah bebasnya dia sekarang!
Bukan cuma gerak langkah, tapi lebih-lebih pikiran dan
batinnya. Dan itu pun ternyata memberi kenikmatan
yang rasanya lebih besar daripada pero-lehan uang
banyak sebagai hasil kerjanya. Karena itu dia
memutuskan untuk tidak memusingkan soal nafkah.
Memang dia tetap mengikuti kursus dan belajar seperti
biasa. Amerika pun masih tetap merupakan negara
impiannya. Tapi itu Cuma cita-cita yang masih di
awang-awang. Tak terlalu yakin. Tak terlalu optimis.
Tapi setiap orang sebaiknya punya cita-cita, bukan?
Dengan demikian dia menikmati harinya bermalasmalasan sepulang kursus. Luka-luka di tubuhnya juga
sudah pulih sama sekali dengan hanya meninggalkan
sedikit bekas. Dan setiap kali dia melihatnya yang
terasa cuma kejengkelan saja. Kengeriannya sudah
lewat. Tiba-tiba saja Tony muncul lagi di depannya
375 / 460 ketika dia keluar dari gedung kursus. Monika kaget tak


Melanie Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyangka. Akibatnya dia terpaku saja di tempatnya
berdiri, dan menatap dengan mata membelalak.
Barangkali orang lain yang cuma mirip Tony.
Tony tersenyum. "Moni, apa kabar?" dia menyapa
dengan ramah.
Monika segera sadar. Dia menjawab angkuh, "Baik."
Lalu dia cepat-cepat berjalan sambil menyesali kenapa
dia menjual motornya. Padahal ketika itu dia
menganggap motornya cuma memusingkan karena di
tempat kosnya yang baru silih berganti orang
meminjam. Sekarang dia menyesal karena dengan
motor itu dia bisa melarikan diri lebih cepat. Di
matanya saat itu, ketampanan Tony tampak begitu
memukau tapi juga membuatnya merinding!
Tony tidak membiarkan Monika begitu saja. Dia
mengiringi sambil menyesuaikan langkahnya.
"Mau pulang, Moni? Nggak pakai motor?" tanyanya.
"Nggak!"
"Kalau begitu, yuk aku antarkan?"
Monika menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba
hingga Tony yang sudah telanjur melangkah harus
mundur lagi.
"Aku nggak mau!" bentak Monika ketus.
376 / 460 "Kenapa?"
"Lho, kok kenapa? Tentu saja, karena aku takut
padamu! Bagaimana kalau kau melarikan aku lalu...
Api Di Bukit Menoreh 25 Dewi Ular Puncak Kematian Cinta Naga Beracun 16

Cari Blog Ini