Misteri Alam Gaib Karya Abdullah Harahap Bagian 1
Misteri Alam Gaib
Karya Abdullah Harahap
Sumber Image : Awie Dermawan
Pembuat Djvu : Ozan
Edit teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
Selesai di edit : 19 September 2018
Selamat Membaca ya!!!!
***** ABDULLAH HARAHAP
MISTERI ALAM GAIB
ABDULLAH HARAHAP
MISTERI ALAM GAIB
Novel Karya : Abduth Harahap
Diterbitkan pertama kali oleh : Penerbit " BINTANG USAHA JAYA "
SURABAYA Cetakan Pertama : 1998
Lukisan Cover : Fan Sardy
Dilarang mengutip tanpa seijin penulis
Hak Cipta dilindungi undang-undang
ALL RIGHTS RESERVED
===OOO=== 1 Sebuah topeng.
Untuk upacara ritual!
Kali ini Sri 'Nyai' Lestari benar-benar dibuat kewalahan. Dari semua tempat yang ia datangi. tak satupun topeng yang disodorkan kepadanya begitu disentuh langsung menimbulkan getaran bathin.
Padahal para pembuat topeng langganannya itu bukanlah orang orang sembarangan.
Mereka juga sudah pada tahu siapa terutama apa maunya Sri?
Nyai' Lestari.
'Tidak heran apabila Ki Tapa'yang sudah mendekati usia seratus tahun itu misalnya sampai berkata masygul.
" Jangan-jangan. Nyai. Yang kau butuhkan bukanlah topeng gaib buatan kami. Tetapi topeng _yang di buat oleh alam gaib itu sendiri......!"
Topeng buatan alam gaib.
Maksudnya jelas : Topeng itu harus murni berasal dan alam gaib.
Bagaimana mungkin?
Beberapa pakar
kehidupan alam gaib yang ditanyai oleh Sri rata-rata berkomentar sama.
" Topeng buatan alam gaib? Yang benar saja!"
Lebih mengejutkan lagi adalah komentar dari guru Sri __yang sudah lama menyepi di lereng gunung Dieng. Selain tidak bisa memberi petunjuk apa-apa melalui kontak bathin ,gurunya itu malah memberikan sebuah nasihat pendek.
"Batalkan saja maksudmu itu. Aku mencium bahaya...."
Mundur? Mustahil! Sri sudah keburu memberi janji.
Baik kepada pelanggannya, maupun ke alam gaib yang nantinya akan dihubungi.
Hari, tempat serta waktu,sudah cocok.
Para pelanggannya yang sudah sepakat bergabung dalam satu upacara, mempunyai keinginan yang kebetulan sama pula.
Yakni berkomunikasi dengan roh anggota keluarga mereka yang sudah meninggal. Dengan pertimbangan pertimbangan itulah maka Sri berani memberi janji.
Lalu......melanggar!
Para pelanggan mungkin masih bersedia memaafkan.
Namun pelanggan yang kecewa,mungkin saja buka mulut di luaran lalu terdengar oleh asosiasi.
Asosiasi memang cuma bisa menegur.
Tetapi nama baik Sri ' Nyai" Lestari selamanya akan cacat.
Itu sih tidak seberapa.
Bahaya terbesar justru akan datang dari alam gaib. Karena perjanjian dengan alam gaib sifatnya berlaku mutlak.
Tak dapat ditawar-tawar.
Sekali janji dilanggar, maka........
Sri Lestari menarik nafas panjang.
Nafas lesu,bercampur kuatir.
Matanya kembali dipusatkan ke arah perempatan jalan yang sunyi lengang tidak berapa jauh di hadapannya.
Lampu lalulintas di perempatan jalan Sukajadi yang salah satu simpangannya mengerah ke pemandian Karangsetra itu, tampak menyala hijau.
Lalu merah,kuning,hijau lagi.
Entah sudah yang keberapa puluh kali semenjak Sri duduk menunggu di dalam mobil. Berselimut kegelapan malam yang dingin berkabut.
Terkadang,pergantian nyala lampu lalulintas itu tampak seperti mengejek.
Dan menyuruh Sri Lestari suapaya pulang saja.
"Bodoh!" suatu saat lampu lalulintas itu seakan berkata.
Sinis. "Percaya kepada buku fiksi!"
Tangan Sri Lestari pun terulur ke arah kunci kontak.
Tetapi segera ditarik mundur kembali.
"Sebentar lagi saja", ia bergumam memutuskan.
"Sudah kepalang basah ini.......!"
Lalu tangan yang sama teralih ke tas tangan.
Membuka dan mengeluarkan kotak sigaret.
Disulut sebatang. sambil matanya tak lepas mengawasi perempatan jalan di hadapannya. Mata yang mau tidak mau akhirnya menerawang juga.
Ragu-ragu.
Buku fiksi!
Itulah akhirnya yang ia jadikan patokan. saking putus harap.
Di dalam buku berjudul Misteri Lembah Jayagiri tersebut diceritakan tentang teror yang menghantui beberapa orang pelaku homoseksual kalangan atas.
Biarpun Sri 'Nyai' Lestari adalah seorang medium dan sudah terbiasa dengan kehidupan
alam gaib. Toh beberapa bagian dari kisah yang ia baca membuatnya seram juga.
Padahal ia yakin betul sebagian terbesar isi buku itu tak lebih dari lampiasan imajinasi si pengarang.
Yang menurut gambaran Sri Lestari pastilah seorang lelaki tua nyentrik dengan daya tinggi.
Tetapi ada sisi tertentu dalam Misteri Lembah Jayagiri itu yang kemudian menggugah sel-sel otak Sri lestari yang sudah sempat mampet.
Sebagaimana dengan sejumlah buku dari pengarang sama yang juga telah dibaca. dalam Misteri Lembah Jayagiri pun si pengarang telah menulis tentang kehidupan alam gaib secara jelas dan terbuka.
Sedemikian jelas dan terbukanya, sehingga apa yang ditulis oleh si pengarang terasa seperti nyata.
Malah ada bagian-bagian tertentu yang kebenarannya harus diakui oleh Sri Lestari.
Dan pernah pula ia alami sendiri.
Baik pada langkah awal Sri Lestari menempuh kehidupan alam gaib sampai ia kemudian berkarir tetap sebagai medium.
Sedcamikian pas serta kena apa yang ditulis oleh si pengarang dengan apa yang dirasa serta pernah dialami oleh Sri Lestari.
Sehingga ia lantas sukar membedakan mana bagian cerita yang memang nyata. Dan mana yang semata-mata tercipta dari imajinasi.
Lalu di sinilah Sri Lestari sekarang!
Menunggu di dekat perempatan jalan Sukajadi.
Bersunyi-sunyi sendiri di tengah malam buta.
Mengikuti petunjuk yang ia baca dalam buku Misteri Lembah Jayagiri. Tentang seorang penjual topeng yang berbisnis di tempat serta waktu yang tidak lazim.
Yakni di perempatan jalan Sukajadi yang sunyi sepi menjelang dinihari pula!
Menjual topeng!
Mengapa tidak!
Baru membaca bukunya saja bathin Sri Lestari sudah langsung tergetar.
Konon lagi seandainya ia dapat bertemu dan bisa melakukan transaksi dengan orangnya sendiri.
Seorang pendatang dari alam gaib yang menjual topeng kepada siapapun yang ingin membeli. Termasuk topeng yang dipakainya sendiri.
Topeng dari alam gaib.
Topeng yang sangat dibutuhkan Sri Lestari!
Sebatang lagi sigaret habis sudah.
Sri Lestari menekan puntung sigaretnya sampai mati di asbak pada dashboard mobil. Sembari menggerutu tak sabar.
"Setan terkutuk. Jika kau benar-benar ada, mengapa belum juga kau perlihatkan dirimu. eh?!"
Maka dia pun muncullah!
Di ujung gerutuan Sri Lestari kabut tipis' pada sisi kiri perempatan jalan mendadak terkuak perlahan-lahan.
Bersama mengaburnya kabut tampaklah di sana sesosok tubuh tinggi besar.
Berpakaian warna gelap seperti mantel panjang yang bagian atasnya menutupi kepala. Tegak diam bagai patung penunggu jalan mengawasi ke arah Sri Lestari yang duduk menunggu di belakang kemudi mobil.
Getaran itu!
Getaran bathin yang seketika dialami oleh Sri Lestari terasa begitu kuat. Mengalahkan perasaan terkejut serta takut yang muncul pada waktu bersamaan.
Dengan jantung berdebar ia balik mengawsi.
Sosok gelap tidak berapa jauh di hadapannya tampak semakin misterius.
Malah terkesan angker. Karena sosok itu terlihat menyerap pergantian nyala lampu lalulintas di atasnya. Sosok gelap tersebut tampak kemerah-merahan
saat lampu menyala merah. Kuning kekuningan. Hijau. menjadi kehijau-hijauan. Lalu kemerah-merahan lagi. Dan akhirnya kembali menggelap pada saat sosok itu berjalan meninggalkan tempatnya berdiri.
Langkahnya lurus ke arah Sri Lestari menunggu.
Langkah-langkah yang tampak ringan.
Tenang dan teratur.
Dan di setiap langkah sosoknya tetap saja gelap. Tidak terpantau oleh bias lampu-lampu rumah demi rumah pada sisi yang dilewatinya.
Jelas sudah sosok itu kini lebih suka menyerap kegelapan malam di sekitar.
Malam yang hitam dan berkabut.
Menyadari kenyataan tersebut.
Sri Lestari berusaha keras menahan diri agar tidak menyalakan lampu dengan mobil. Biarlah wajah si pendatang tidak terlihat olehnya,itu lebih baik. Ketimbang bila lampu dinyalakan.
Si pendatang terkejut lantas menghilang dengan marah.
Apa yang kemudian dilakukan Sri Lestari adalah menurunkan kaca jendela mobil di sebelah kanannya dengan jari jemari bergemetar.
Lalu menunggu dengan jantung yang kian berdebar-debar. Karena sebagaimana tertulis dalam cerita Misteri Lembah Jayagiri, di tangan si pendatang yang semakin mendekat itu terlihat samar samar sejumlah topeng berbagai bentuk serta rupa mengerikan.
Diam-diam dan dengan sangat hati-hati.
Sri Lestari menyalakan lampu dashboard mobil. Ia merasa lega setelah nyala redup lampu dimaksud ternyata tidak mengganggu lengkah si pendatang. Malah setiba di sebelah kanan mobil, sosok gelap itu terus saja membungkuk dengan sikap tenang.
Lalu bergumam. sama tenangnya.
"Ini aku datang.. Nyai. Memenuhi panggilanmu.........!"
Sri Lestari dibuat tersentak.
Bukan karena nama sebutannya diketahui.
Melainkan karena mendengar kata-kata terakhir si pendatang
" Memenuhi panggilanmu!
Berarti si pendatang adalah.....
"Kutukanmu kumaafkan!". sosok gelap itu bergumam lagi.
Seakan menyelami jalan pikiran Sri Lestari.
Suaranya berat tetapi lembut.
" Karena kita memang saling membutuhkan, bukan? Aku menjual. kau membeli!"
Berkata demikian, sang sosokpun lebih mendekatkan wajahnya ke bagian luar jendela mobil yang terbuka.
Seolah disengaja.
Supaya dengan bantuan sinar redup lampu dashboard mobil. Sri Lestari dapat melihat sebuah topeng lain.
Yang menempel di wajahnya!
Dan topeng di wajah pendatang itu benar-benar menimbulkan getaran teramat kuat di dalam bathin Sri Lestari.
Sekaligus juga mengejutkan.
Karena wujud topeng pada wajah di luar jendela mobil itu sukar dijelaskan wajah apa!
Di bagian bawah mantel yang menutupi kepala sampai batas dahi. terlihatlah sepasang mata besar-besar dan hitam pekat.
Setengah menonjol keluar.
Tanpa alis atau kelopak.
Di bawah sepasang mata itu cuma ada bidang kosong yang setengah mencuat.
Tetapi bukan hidung.
Disusul kemudian seraut bibir tipis dan lebar. Yang mengatup rapat mengguratkan seringai tipis.
Seringai misterius dan terkesan licik.
"Kok diam saja. Nyai?"
Teguran itu menyadarkan Sri Lestari.
Berjuang keras menguasai diri sebentar kemudian bibir mungilnya membuka juga. Takut-takut,
"Aku memang sangat membutuhkan topng. Tetapi"
Di dalam buku Misteri Lembah Jayagiri. si pelaku cerita menuntut dengan paksa. Aku mau yang di wajahmu! itu pulalah yang juga diharapkan Sri Lestari.
Tetapi dengan bijaksana, ia sengaja menggantung kata.
Bukan menuntut.
Hasilnya ternyata menggembirakan.
Sosok gelap di luar Jendela langsung menunjuk dari balik lengan mantelnya.
Langsung ke wajah sendiri.
Sambil menawarkan dengan suaranya yang berat tetapi lembut itu.
"Apakah kau mau yang ini?"
Sri Lestari manggut-manggut' cepat.
Lalu bertanya, harap-harap cemas.
" Boleh?"
Bibir tipis di topeng tanpa hidung itu mengguratkan seringai lebih lebar.
Dan juga, lebih licik.
"Mengapa tidak?"
Lalu sosok tinggi besar bermental panjang warna gelap tersebut meluruskan tegaknya. Lengan kiri yang tidak memegangi topeng-topeng tampak terangkat perlahan.
Untuk membuka apa yang melekat pada wajahnya.
Pada saat itulah naluri Sri Lestari tergerak untuk melihat.
Jika di dalam buku Misteri Lembah Jayagiri si pelaku cerita tidak sempat melihat apa-apa, maka Sri 'Nyai" Lestari tidak suka melakukan transaksi tanpa mengetahui apa-apa.
Paling sedikit ya wajah si penjual.
Sri Lestari pun menjulurkan leher keluar jendela mobil.
Serempak pula ia mendongak.
Untuk kemudian dibuat kecewa.
Karena begitu topeng dilepas maka apa yang terlihat di bawah mantel yang menutupi kepala si penjual topeng ternyata persis sebagaimana tertulis dalam buku yang telah ia baca.
Yang tampak semata mata hanyalah wajah gelap serta hitam pekat.
Wajah tanpa bentuk!
Maka selain kecewa Sri Lestari pun dibuat terkesima,
Sementara itu di luar jendela mobil.
Sang sosok berwajah gelap tampak bagai menegun dengan tiba-tiba. Didahului desahan nafas berat dari wajah tanpa bentuk ini terdengarlah suara makian kasar.
" Haram jadah sialan.....!"
"Apa?"
Sri Lestari mendesah tersentak.
"Gara-gara pendangan matamu!". jawab sosok di luar jendela.
"Lenyaplah sudah!"
"Apanya yang lenyap?", tanya Sri Lestari.
Seraya menatap tak mengerti.
Dari wajah gelap itu terdengar jawaban dingin serta parau.
" Apakah kau lihat aku memegangnya? Tidak. bukan?"
Sri lestari memperhatikan tangan yang tadinya memegangi topeng dimaksud, tangan berjari-jari panjang tebal serta hitam.
Dan tidak memegangi apapun juga!
Pasti sulap!
Sempat terbetik di kepala Sri Lemari untuk mengutarakannya. Tetapi keburu didahului oleh sang sosok yang berbisik tajam.
Serta, mengandung kemarahan.
" Enyah kau, pencuri!"
Dalam keterkejutannya mendengar tudingan itu.
Sri Lestari masih mampu menahan diri.
Lembut disertai pertanyaan menyesal, ia membuka mulut hati-hati.
" Maaf. Tetapi aku......"
Sang sosok surut menjauhi mobil.
Lalu berhenti Setelah tiga langkah.
Sambil dari wajah gelapnya
terdengar ucapan bernada mengancam.
"Enyah kubilang!
Atau aku akan mengambil wajahmu sebagai pengganti wajahku yang kau curi!"
Dan itulah yang dilakukan oleh Sri Lestari.
Sadar akan bahaya yang mengamcam, ia langsung memutar kunci kontak. Begitu mesin serta lampu-lampu mobil menyala hidup. Sri Lestari terus saja tancap gas. Mobilnya terlonjak ke depan, keras serta mengejutkan.
Dalam kejap berikutnya mobil tersebut sudah melunCur lewat di perempatan jalan. Tanpa memperdulikan lampu lalu lintas yang saat itu sedang menyala merah.
Sebuah mobil lain yang mendekati perempatan dari arah Karangsetra, dibuat terkejut oleh tindakan sembrono Sri Lestari.
Namun pengemudinya sempat menginjak rem kuat-kuat. Meski oleng, mobil toh akhirnya tersentak diam, didahului oleh jeritan ban yang melengking menyakitkan telinga.
Si pengemudi melihat sekilas ke arah mobil Sri lestari yang tadi nyaris tertabrak.
Namun yang dilihat sudah lenyap dikejauhan. Hanya tampak lampu-lampu belakangnya saja. Itupun juga kemudian lenyap pula, ditelan kegelapan malam yang hitam berkabut.
Ada dorongan untuk mengejar,tetapi si pengemudi sedang ada urusan penting.
Dan ia harus memburu waktu.
Maka seraya menggeleng-geleng kepala, si pengemudi menghidupkan mesin mobilnya yang sempat mati terpaksa. Setelah itu ia membelokkan mobil ke arah kanan, menuju pusat kota Bandung.
Sewaktu melaju, si pengemudi tidak melihat apa apa di depannya. Padahal sosok tinggi besar bermantel gelap itu masih tegak berdiri di tengah jalan,tabrakan pun seketika terjadi.
Namun si pengemudi tidak
merasakan adanya benturan pada bagian depan mobil. Sementara sang sosok,begitu tertabrak langsung pula melenyap dalam seketika.
Sambil tertawa keras membahana.
Tawa yang nadanya tidak cuma licik.
Tetapi juga mengandung kedengkian yang sangat!
Suara tawanya yang mengerikan itu bergema sampai ke telinga si pengemudi yang tadi menabrak. Pengemudi tersebut sampai mendongak terperanjat seperkian detik cuma. Lalu di persekian detik berikutnya, ia pun langsung memacu mobil dengn kecepatn tinggi.
Minggat ketakutan, sambil berpikir mungkin tawa mengerikan itulah yang tadi membuat mobil satunya lagi ngebut melanggar lampu merah.......!
Dan di sekitar lampu merah dimaksud, malam semakin menggelap.
Disertai tebaran kabut.
Yang semakin menebal.
Sri Lestari tiba di rumah dengan selamat.
Masih terpengaruh oleh kejadian yang tadi dialami, ia kemudian bergegas turun dari mobil. Dan melangkah cepat ke pintu depan rumah. Dengan satu keinginan kuat: Mengunci diri di kamar tidur, berselimut rapat rapat.
Ia kemudian membuka tas tangan untuk mengambil kunci rumah. Selagi merogokan tangan ke dalam tas.
Sri Lestari tertegun mendadak.
Jari-jemarinya menyentuh sesuatu yang terasa kaku namun kenyal. Jari jemari Sri Lestari kemudian keluar bersama benda dimaksud. Diterangi lampu beranda,tampaklah apa yang terjinjing
keluar diantara jemarinya.
Itulah dia, sang topeng tanpa hidung.
Dengan bibir lebarnya yang tipis, tampak mengguratkan seringai.
Seringai mengejek!
===OOO=== Masih ada waktu.
Tetapi ternyata, itu pun berlalu dengan sia sia.
Tidak jadi masuk ke rumah.
Sri Lestari bergegas kembali ke mobilnya. Lantas terbang ke jalan Sukajadi. Tetapi setelah menunggu sampai menjelang subuh yang didapatkan Sri Lestari hanyalah kegelapan yang hitam berkabut semata.
Begitu pula pada malam beriketnya.
Bahkan siang hari pun dipergunakannya mundar mandir sambil sesekali berhenti menunggu di sekitar tempat yang sama, juga tidak memberikan hasil apa-apa.
Yang muncul malah polisi lalu lintas.
Dengan sebuah pertanyaan curiga.
" Siapa yang ditunggu. Nyonya?"
Misteri Alam Gaib Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nyonya! Saking putus harap, sempat timbul pikiran untuk memberitahu poliSi dimaksud bahwa dirinya seorang
janda. Tersenyum kecut, yang akhirnya keluar dari mulut Sri Lestari adalah keluhan masygul.
"Seorang teman dekat". ujarnya.
" Namun tampaknya bukan teman yang patut dipercaya......!" '
Sejenak si polisi mengawasi sekaligus tampak menikmati kecantikan wajah Sri Lestari.
Lalu kemudian menawarkan jasa baik.
"Jika ada yang perlu kami bantu......"
"Tidak. Terimakasih!" desah Sri Lestari.
Tetap dengan wajah masygulnya, yang kemudian ia bawa pulang ke rumah.
Di malam kedua.
Sri Lestari bukan cuma memberanikan diri saja.
Ia malah nekad.
Teringat pada gerutuannya yang kemudian mendatangkan si penjual topeng.
Sri Lestari pun menggeram.
" Oke, setan terkutuk. Aku datang untuk mengembalikan topeng sialanmu. Maka marilah kita berbicara!"
Tak terdengar sahutan apa-apa.
Kecuali desahan nafas serta deburan jantung Sri Lestari sendiri. Selebihnya. desisan angin malam semata. Dan satu dua kendaraan lain, yang lewat tanpa perduli.
Juga tidak terlihat apa-apa.
Kecuali kedap-kedip lampu lalulintas yang kembali mengejek.
" Bodoh. Pulang dan pergilah tidur!"
Kali ini Sari Lestari menurut patuh.
Tetapi tidak untuk tidur.
Waktu yang masih tersisa ia pergunakan untuk berkomunikasi dengan gurunya di lereng gunung Dieng. Entah karena ulah si penjual topeng atau karena gurunya tengah menyepi dan tidak bisa diganggu, kontak bathin tersebut juga tidak menghasilkan apa-apa.
Tiada jalan lain.
Seorang teman dekat yang dihubungi Sri Lestari berkomentar heran.
" Masa kau tidak tahu ia tinggal sekota dengan kita!"
Sri Lestari ternyata cukup membuka buku telepon saja.
Dan ia dapatkanlah apa yang tadinya ia sangka susah dicari : alamat si pengarang favoritnya.
Penulis buku Misteri Lembah Jayagiri!
Bersama dengan semakin mendapat waktu pelaksanaan upacara ritual yang tak dapat dihindari itu. pada sore hari ke tiga Sri Lestari memijit bel sebuah rumah kelas menengah di kawasan Gotot subroto.
Pintu pun dibuka.
Langsung oleh si pengarang sendiri.
===OOO=== Orangnya memang tidak muda lagi.
Namun juga tidak setua yang dibayangkan oleh Sri'Lestari.
Berpostur sedang dan sedikit gemuk, tampang si pengarang pun tak biasa-biasa saja. tampang yang umum kita temui di mana-mana.
Penampilan juga tidak nyentrik.
Malah berkesan guru sekolah lanjutan, dengan rambut dipotong sedikit pendek.
Selebihnya tidak jauh dari dugaan Sri Lestari. Si pengarang senang berbicara dan lekas menjadi akrab. Setelah saling berkenalan dan berbasa-basi sambil mencicipi minuman yang dengan segera sudah dihidangkan oleh pelayan, tuan rumah kemudian bertanya apa kiranya yang dapat ia bantu.
"Aku seorang medium...!",
Sri Lestari memberitahu dengan tenang.
"Ah!", tuan rumah bergumam terkejut.
Malah nyaris tak percaya .
"Tadinya kukira Anda itu seorang sales.Dari perusahaan asuransi. mungkin .Pantaslah Anda minta dipanggil dengan sebutan Nyai. Seorang medium!"
Si pengarang kembali menggeleng-geleng.
Takjub! lantas menambahkan dengan sopan.
" Maaf Tetapi. apakah Nyai tidak salah mengetuk pintu?"
"Salah bagaimana?"
" Terus terang saja, aku suka dan senang pada kunjungan Nyai sekarang ini." . jawab tuan rumah. tulus.
'Namun untuk sekarang ini, aku merasa belum dan mungkin tidak punya kepentingan yang ada kaitannya dengan bidang pekerjaan yang Nyai tekuni. Kecuali ingin bertanya tentang ini itu. tentu saja!"
"Mau bertanya apa saja. silahkan".
Sri Lestari menjawab dengan senyuman manis di bibir.
"Nanti akan kujawab sebatas yang bisa dijawab. Tetapi sebelumnya. perkenankanlah aku menanyakan sesuatu!"
"Oke!"
"Ini menyangkut isi cerita dalam buku Anda yang berjudul Misteri Lembah Jayagiri!"
"Oh ya?". tuan rumah menatap tertarik.
"apakah kiranya ada salah tulis dalam buku tersebut?"
"Tidak".
"Lantas?"
"Yang ingin kutanyakan. adalah mengenai salah seorang tokoh di dalamnya........."
"Yang mana?"
Sri Lestari menahan nafas.
Kemudian memberitahu dengan hati-hati.
"Si penjual topeng!"
"Ada apa dengan si penjual topeng?". tanya tuan rumah.
Semakin tertarik.
Semula Sri Lestari berniat menceritakan kesulitan apa _ yang sudah ia alami. Bahwa saking putus harap. Ia
kemudian mengikuti petunjuk yang di baca dalam buku Misteri lembah Jayagiri.
Tetapi niat tersebut cepat dibatalkan.
Selain bersifat sangat pribadi,juga Sri Lestari tidak sudi jadi bahan tertawaan.
Maka setelah menimbang-nimbang sejenak.
Sri Lestari......tetap dengan hati-hati. kemudian menjawab. Lirih.
"Untuk alasan-alasan tertentu, aku berani memastikan bahwa si Penjual Topeng dalam buku Anda,keberadaannya memang nyata. Bukan mengada-ada!"
""Oh ya?" .
Kembali. oh ya. Tanpa ada komentar tambahan yang sangat diharapkan Sri Lestari.
Setelah sia-sia menunggu beberapa saat lamanya Sri lestari lebih dulu kembali menahan nafas.
Baru setelahnya memberanikan diri membuka mulut.
"Sudilah kiranya memberitahu. Bagaimana caranya aku dapat berhubungan dengan dia. Kapan. serta di mana!"
"Si penjual topeng?", tuan rumah bertanya terkejut.
Kemudian tertawa ber-gelak.
Di ujung tawanya,ia kemudian nyeletuk.
Dengan nada protes.
"Ya ampun. Nyai ! Janganlah memperolok-olokkan diriku yang awam dan bodoh ini..."
"Aku serius!"
Si pengarang terdiam.
Sejenak, ia mempelajari wajah Sri Lestari. Setelah menangkap kesungguhan di wajah tamunya,ia kemudian berujar. bingung.
" Bagaimana harus menjelaskannya. ya?"
Sri Lestari diam.
Menunggu. Tuan rumah kemudian menghela nafas panjang.
Dua tiga kali .
Agaknya berberat hati untuk memberitahu.
Namun terpaksa.
Dan tercetus jugalah akhirnya
pengakuannya. Yang sungguh sangat tidak diharapkan oleh Sri Lestari.
"Si penjual topeng tak pernah ada!", katanya.
"Dia hanya ada dalam imajinasinya saja. Semata-mata imajinasi......".
Diam sesaat, ia kemudian menguatkan pernyataannya dengan dua kata tambahan.
"Sungguh mati!"
Ganti Sri Lestari yang mempelajari wajah tuan rumah.
Apa yang dia temukan, adalah kebenaran.
Atas pengakuan si pengarang.
Tidak ada yang ditutup-tutupi.
Kesimpulannya, si pengarang memang cuma sekedar berimajinasi dengan tokoh maupun karya ciptanya.
Tetapi bagaimana mungkin?
Sri Lestari sudah bertemu dan berbicara sendiri dengan sang tokoh imajiner.
Sempat bimbang.
Sri Lestari sampai membuka tas tangannya.
Pura-pura mengeluarkan kotak sigaret.
Yang segera disimpan kembali tanpa bernafsu mengeluarkan isinya. Karena di dalam tas tangannya,terlihat sekilas bukti keberadaan sang tokoh misterius serta angker itu.
Sebuah topeng tanpa hidung.
Yang masih menyeringai. Mengejek!
Tuan rumah lantas menyodorkan sigaretnya sendiri.
Tetapi ditolak oleh Sri lestari.
Dengan dalih. sedang tidak ingin merokok.
Meski kecewa berat.
Sri Lestari masih mampu memaksakan senyum di bibir.
Lantas berujar. lirih.
" tak apalah kalau begitu.....!"
Melihat tuan rumah mengisap rokoknya dengan pandangan gelisah. Sri Lestari cepat mengalihkan percakapan pada hal-hal rutin menyangkut isi buku-buku si pengarang yang telah ia lalap habis. Sambil tentunya tidak lupa memberi kritik serta pujian di sana sini.
keritiknya memperoleh tanggapan serius. Tetapi pujian. kembali Sri lestari dibuat kecewa. Jangankan hidung mengembang.
Berkomentar pun si pengarang. tidak!
Malah dengan lihay tuan nrmah balik bertanya mengenai bidang pekerjaan yang ditekuni Sri Lestari.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan si pengarang serba dalam, serba menjurus.
Sampai Sri Lestari diam-diam merasa diinterogasi. Namun ia tetap menjawab apa adanya. Bahwa misalnya, ia tidak berpraktek dengan mempergunakan kartu-kartu.
Juga bukan lampu kristal.
Bahwa ia berpraktek dengan menggunakan topeng sebagai alat bantu.
Topeng yang dari upacara ke upacara, harus selalu diganti.
"Seperti halnya alat suntik. Atau kemasan plastik berisi minuman". begitu Sri Lestari memberi contoh.
"Hanya bisa sekali pakai. Terus dibuang ke tong sampah!"
Meski jawaban-jawaban yang ia berikan jujur dan terbuka.
Sri Lestari toh membatasi seperlunya saja. hal hal yang bersifat sangat pribadi. konon pula pantang diungkapkan oleh seorang medium. tegas-tegas ia tolak menjawab. Kecuali mengajukan penawaran.
"Untuk enaknya, datanglah sesekali ke tempatku berpraktek. Dengan melihat sendiri. keingin tahuan Anda mungkin akan lebih terpenuhi.......!"
"Setuju!", jawab si pengarang. antusias.
Sambil menyimak bergairah ke kartu nama yang diberikan oleh Sri lestari.
" Aku pasti datang. Tunggu sajalah!"
Sedikit basa-basi lainnya.
Sri lestari tergoda untuk mengakhiri dengan memperlihatkan kebolehannya.
"Sekedar intermezzo sebelum aku pamit. Bolehkan aku mengutarakan sesuatu tentang diri Anda?"
"Silahkan!" jawab tuan rumah.
Santai, "Sepanjang tidak menyangkut ramalan mengenai masa depanku saja!"
"Memang tidak!". sahut Sri lestari tersenyum.
"Tetapi ada apa dengan nasib di masa depan Anda?"
"Tidak apa-apa!". jawab tuan rumah. tertawa.
Lantas menambahkan dengan serius.
"Menyangkut nasib, aku cuma meyakini dua hal saja. Pertama. diri sendiri. Yang kedua...... itu bila kepercayaan diriku melemah. maka kuletakkan keyakinanku pada kebesaran Tuhan!"
"Pengakuan yang jujur!" Sri Lestari menanggapi.
Sambil diam-diam melihat adanya kekuatan tersembunyi dibalik wajah tuan rumah.
Kekuatan atas apa yang katanya diyakininya.
" Tetapi. sungguh bertolak belakang dengan apa yang tertulis dalam buku-buku Anda!"
"Segi-segi kehidupan di sekitar kita". jawab tuan rumah.
Acuh tak acuh.
"Itulah yang kutulis. Titik sampai di situ!"
Mau tidak mau Sri Lestari dibuat tersenyum juga.
"Baiklah......", ia berkata dengan sungguh-sungguh.
"Justru memang salah satu segi kehidupan Anda yang mau kuutarakan!"
"Boleh. Boleh!"
Sri Lestari pun berujar tenang.
"tanpa harus mempelajari garis-garis tangan, dibalik wajah Anda aku melihat kenyataan bahwa Anda sering tertipu!"
"Oh?"
"Maksudku, oleh penerbit buku-buku Anda!",
Sri Lestari cepat menambahkan.
"Sementara mereka semakin kaya saja dari tulisan-tulisan Anda, kondisi yang mereka berikan pada Anda masih tetap begitu
begitu saja...... dari tahun ke tahun. Nah. Apakah aku salah?"
Tuan rumah menatap heran.
" Kok Nyai tahu?"
Tetapi sebentar kemudian menambahkan acuh tak acuh.
"tetapi ya. itulah kehidupan. Di negeri tercinta ini.
maksudku!"
Pertemuan pun berakhir
Tuan rumah mengantarkan Sri Lestari sampai masuk ke mobil. Dan pada saat itu pulalah si pengarang memperlihatkan serangan balik.
Ia bertanya.
"tak apa jika aku memberitahu sebuah rahasia kehidupan?"
"Dengan senang hati".
Sri Lestari tersenyum.
"Silahkan..."
Si pengarang pun berkata.
Lembut dan tentang.
"Bila tidak ingin didatangi. janganlah takabur memanggil syeitan!"
Sri Lestari terdiam, benar-benar terdiam.
===OOO=== 3 Dan waktu untuk kelangsungan upacara pun. menunggu sudah!
Beruntung, pada saat-saat terakhir sebelum meninggalkan rumah, dalam semadhinya Sri lestari mendapat kontak bathin dari sang guru.
Tanpa kata pendahuluan, guru Sri Lestari langsung menegur.
Dengan nada tak suka.
"Aku lihat kau sudah akan pergi........"
Lewat suara bathin.
Sri Lestari menjawab. lesu.
" Terpaksa. Embah. Aku sudah kadung berjanji!"
"Hem!." terdengar gumam pendek.
Mungkin disertai manggut-manggutnya kepala tua renta sang guru.
" Jika demikian halnya. memang tak bisa dihindari. Tetapi perlu kuberitahu. Bahaya itu tampak mendekat. Itu maka aku buru-buru mengontak dirimu".
"Aku tahu. Embah. Malah getarannya sudah
kurasakan!" bisik bathin Sri Lestari. bergetar.
Takut. "Apa masalahnya. Cucu?"
Sri Lestari lantas menceritakan dengan ringkas bahwa topeng gaib yang ia butuhkan sudah ia peroleh. Tanpa menceritakan asal muasal serta bagaimana cara mendapatkan topeng dimaksud.
Sri lestari kemudian memberitahu.
"Sepanjang yang kuketahui, topeng gaib tersebut mampu menyerapkan diri ke tubuh si pemakai. Dengan akibat, si pemakai kemungkinan besar akan berlaku kejam pada siapapun yang dia kehendaki!"
"Sekejam apa?"
"Maut. Embah. Maut berdarah". jawab Sri lestari.
Gemetar. "Korbannya bisa mati secara mengerikan. Kemungkinan besar......dengan organ tubuh yang terenggut hilang!"
Demikianlah yang dibaca oleh Sri Lestari dalam buku Misteri Lembah Jayagiri. Korban si pemakai topeng selelu ditemukan mati dengan lambung robek menganga, dan jantungnya kemudian diketahui terenggut lenyap.
Agak mengada-ada memang, tetapi Sri lestari tidak boleh gegabah.
Ia sudah bertemu dengan si Penjual Topeng.
Bukan mustahil, iamajinasi lainnya dari si pengarang buku, akan menjadi kenyataan pula!
"'Aneh!". terdengar bisikan bathin sang guru.
Keheranan.
"Itulah yang kupantau dari alam gaib. Heran. kau juga bisa mengetahuinya......."
"Dari membaca!". dalam semadhinya Sri Lestari bergumam.
Tanpa sadar.
"Ah. membaca. Apa yang sudah kau baca. cucu?". sang guru bertanya Curiga.
"Sebuah buku. Embah". jawab Sri lestari.
Seperlunya.
Tanpa harus bercusta.
"Sebuah buku petunjuk!"
"Oh. oh. Aku jadi tertarik. Nanti-nanti akan kesempatkan membaca buku petunjukmu itu!" sang guru berujar.
Dengan nada ingin tahu.
"Tetapi perlu kuperingatkan. Cucu. Buku petunjuk yang tidak umum untuk kita. isinya boleh jadi bisa menyesatkan. lantas tidak terjadi apa-apa. Jadi aku tidak perlu setakut sekarang ini!"
Sepi sejenak.
Sri Lestari sempat menyangka kontak bathin mereka sudah berakhir.
Ia sudah akan melepas samadhi, manakala terdengar bisikan sang guru.
Bisikan lembut. menghibur.
"Akan kulihat. Apakah mungkin aku bisa datang untuk membantumu!" '
"Usahakanlah. Embah!".
Sri Lestari langsung menanggapi.
Bersemangat.
Sekaligus memelas.
"Kumohon dengan sangat!"
""Pasti!". sang guru menjanjikan.
Tetapi segera menambahkan.
"sayang waktumu sudah sangat sempit. Sementara aku masih harus memantau lebih banyak getaran-getaran dari alam gaib. Tanpa gambaran yang jelas mengenai lawan yang akan kita hadapi. aku tidak boleh begitu saja melanggar keharusan waktu untuk menyepi!"
"Aku mengerti......",
Sri Lestari berkomentar.
Getir. "Untuk sementara. Cucu". sang guru meneruskan.
"Aku hanya bisa memberi petunjuk bagaimana kau harus menangkal bahaya yang kita kuatirkan........"
Sang guru kemudian memberitahu apa serta bagaimana menggunakan penangkal dimaksud.
Yang harus dilaksanakan sebelum upacara ritual dimulai.
"Khusus untuk dirimu. kuanjurkan untuk meminum
langsung sari penangkal tersebut. Memang baunya akan tidak enak. Juga kemudian pada bau keringatmu. Tetapi paling tidak. dengan diminum. bau serta khasiatnya bukan cuma meresap lewat pori-pori. Akan tetapi juga mengalir langsung ke seluruh pembuluh darah!"
"Mengapa aku harus dibedakan dengan mereka. Embah?"
Sri lestari bertanya.
Ingin tahu.
Karena teringat pada ajaran sang guru. Bahwa pada saat melangsungkan upacara selalu ada bahaya mendatangi, seorang medium tidak boleh mendahulukan keselamatan dirinya sendiri. Karena pada waktu tersebut...... menurut ketentuan alam gaib, posisi seorang medium dengan para pengikut ataupun pelanggannya, adalah sama.
Misteri Alam Gaib Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanpa ada prioritas.
"Karena. Cucu..........". terdengar suara sang guru.
Setengah mengingatkan.
"yang akan memakai topeng bukanlah mereka. Tetapi. kau!"
"Bukan karena prioritas?". tanya Sri Lestari.
Untuk meyakinkan.
"Anak bodoh!". sang guru terdengar mengeluh.
"Aku cuma sekedar bermaksud untuk memberimu kekuatan tambahan. Itu saja!"
"Terimakasih. Embah......"
"Lupakan saja ucapan terimakasihmu. Sudah waktunya kau menepati janji. Pergilah......"
Toh Sri Lestari mengulangi juga.
" Terimakasih. Embah. Permisi.......!"
Tak ada sahutan.
Juga tidak getaran bathin.
Yakin kontak bathin sudah berakhir.
Sri Lestari perlahan-lahan melepas semadhi. Merenungkan sejenak pembicaraan dengan gurunya.
Sri Lestari langsung tidur.
Tiba di dalam, ia langsung melangkah ke arah
sebuah potret berbingkai antik yang tersimpan pada meja kecil di samping tempat tidur. Sri Lestari memandang berlama-lama pada wajah pria tampan di potret tersebut.
Itu adalah potret terakhir sang suami, yang meninggal di usia 35 tahun. Pada saat itu, Sri Lestari masih berusia 25 tahun. Tanpa terasa waktu terus saja berlalu.
Dan diingat ingat, Sri Lestari sudah menjanda selama sepuluh tahun. Berarti, usia mereka kini sama 35 tahun.
Mendadak Sri Lestari merasa dirinya sudah semakin tua.
Semakin lemah.
Lemah pula, ia kemudian berbisik pada potret sang suami.
"Sebagaimana yang sudah kujanjikan, kekasih..........". bisik Sri Lestari.
Lembut, bergetar.
"Seusai upacara nanti, aku siap menerima kehadiranmu!"
Saat berbicara, bayangan api obor berkelebat di bola mata Sri Lestari. Sementara telinganya menangkap suara jeritan sendiri.
" Matilah kau mahluk terkutuk!"
Dan si suami tampan pun jatuh tergeletak.
Mati. Dengan lambung melepuh.
Hangus. ===OOO=== 4 Sampai saat ini,peristiwa itu adalah drama paling mengerikan yang pernah dialami Sri lestari. Baik sebagai seorang wanita, maupun sebagai medium.
Ketika itu, ia dan suaminya melaksanakan upacara ritual untuk menyempurnakan ilmu Sri Lestari sebagai seorang medium, Bukan lagi sekedar asisten sang suami yang pada waktu itu memang sudah punya nama besar di bidang yang sama.
"Ini adalah malam yang ke seribu bulan leluhur dari guruku yang kelak juga akan menjadi gurumu. konon rahib di puncak gunung Dieng!". suaminya sudah lebih dulu memberitahu.
"Dan menurut wangsit yang kuterima, malam yang ke seribu bulan itu adalah malam yang paling bagus untuk melengkapi kemampuanmu untuk sepenuhnya menjadi medium.....!"
Upacaranya berlangsung di sebuah lubuk terpencil
yang dikeramatkan oleh penduduk setempat. Di tengah malam buta itu. Sri Lestari rebah menelantang di permukaan rerumputan tebal yang dingin serta lembab .Tanpa tubuhnya dilapisi sehelai benang pun juga. Sebagaimana dengan'sang suami yang akan meminta sesuatu untuk kau laksanakan!"
"Bagaimana jika aku tidak sanggup memenuhi permintaan itu nantinya?". tanya Sri lestari.
Kuatir. "Tidak ada istilah tak sanggup". jawab sang suami.
Tegas. "Karena sepanjang yang kualami maupun kuketahui selama ini, apa yang diminta biasanya adalah sebatas yang mampu kita beri atau lakukan. Di situlah letak keuntungannya, mengapa upacara ini harus dilaksanakan pada malam yang ke seribu bulan tadi!"
"Oke. kalau begitu!"
"Tetapi sebelumnya aku akan mengingatkan kembali dua hal yang tadi siang sudah kujelaskan padamu......."
"Apa. Mas?"
"Pertama. tidak ada kepastian roh siapa atau roh apa yang nanti bakal datang memenuhi panggilanku selagi aku bermeditasi. Dia bisa saja roh seseorang yang pernah kita kenal atau pernah akrab dengan kita. Tetapi juga bisa terjadi yang datang adalah roh dari dunia terasing. yang meski keinginannya nanti tetap sebatas kemampuanmu wujutnya kemungkinan besar berada di luar nalar kita sebagai manusia!"
Seperti waktu diberitahu siang harinya, malam itu pun Sri Lestari dibuat merinding oleh penjelasan sang suami.
Menyadari kegelisahan sang isteri. suaminya lantas cepat memberi semangat
" tak usah cemas Selalulah ingat. bahwa aku berada di dekatmu. Dan siap
melindungi dirimu bila kulihat kau tak bakal sanggup menghadapinya!"
Sri Lestari manggut-manggut. Lega.
"Yang kedua?"
Si suami menunjuk pada sejumlah obor menyala yang dipasang melingkari bidang tanah terbuka di tengah mana mereka berdua akan menjalankan upacara.
"Apapun yang terjadi, jangan sekali kali bergerak ke luar dari lingkaran obor. Jika itu kuperbuat. salah satu dari kita terpaksa harus menanggung akibatnya!"
"Oh. Oh!". lagi Sri Lestari dibuat merinding.
Dan lagi, suaminya berkata menghibur.
" Aku percaya, kau mampu bertahan untuk tidak sampai keluar dari lingkaran obor!"
"Hem......"_ Sri Lestari sempat tercenung.
"Ini semisal aku tak mampu bertahan, Hanya semisal. Apa gerangan akibat yang bakal kita hadapi?"
"Andai saja aku tahu.......'". jawab sang suami.
Sederhana disertai senyuman misterius. Ia kemudian mendongak ke langit di atas mereka.
" Nah. Rembulan sudah mendekati puncak singgasananya. Waktunya kita mulai. Siap?"
Sri Lestari mendongak.
Melihat ke rembulan empat belas yang bersinar lembut dan sedikit pucat.
Atau barangkali. wajahkulah yang pucat, pikir Sri Lestari. Ia juga sempat memikirkan senyuman sang suami barusan. Senyuman yang tidak cuma mendorong semangat Sri Lestari. Tetapi tampak seperti menyimpan sesuatu. entah apa. tetapi nantilah itu ia tanyakan seusai upacara yang diam-diam membuat Sri Lestari sempat takut juga.
Ia kemudian meluruskan posisi rebahnya di
rerumputan. Hawa malam yang dingin menusuk di kulit tubuhnya yang telanjang. ia imbangi dengan menyalurkan hawa panas tubuh yang sedikit demi sedikit mampu juga ia kerahkan keluar.
Disebelahnya sang suami mulai bermeditasi.
Duduk telanjang.
Tanpa bergeming.
Dengan bibir serta kelopak mata mengatup rapat.
Sri Lestari pun kumat-kamit merapal mentera mantera yang sebelumnya sudah diajarkan oleh sang suami.
" Durgandini. Durgandani. Wahai yang mendekati atau menuruni lembah. Yang menyelami lubuk atau yang menyeberangi sungai. Aku siap menunggu kehadiranmu. Durgandini-durgandani......!"
Suara gumaman Sri lestari kian melemah.
Dan kelopak matanya dengan cepat pula terasa kian memberat.
Lalu kegelapan pun datang.
Kegelapan yang teramat hitam.
Legam. Disertai kesunyian yang menekan.
Sunyi yang juga teramat panjang.
Seakan tak bertepi.
Sri Lestari merasa tubuhnya bagai mengambang. Terangkat dan melayang-layang, dalam lingkaran kegelapan, dalam tekanan kesunyian yang belum pernah ia rasakan.
Entah berapa lama waktu berlalu sudah.
Sri lestari tidak tahu.
Dan ia tengah berpikir-pikir apakah dirinya sudah tertidur atau lagi berhalusinasi dalam keadaan terjaga.
Ketika suatu saat, ia dengar suara itu datang mendekat. Suara desahan-desahan nafas berat yang dengan cepat sudah disusul oleh sentuhan tangan lembut serta hangat. Tangan yang meraba-raba dengan teratur pada tubuh telanjang Sri lestari. Baik sentuhan maupun rabaan tangan itu terasa seperti sentuhan dan rabaan tangan suaminya tiap kali mereka memulai senggama.
Sri lestari pun lantas terangsang.
Jika memang itulah cobaan yang dimaksud suaminya.
Mengapa pula Sri lestari harus menolak?
Dan karena ia tidak diperbolehkan bertanya atau pun mengajukan protes.
Sri Lestari lantas segera menjalani.
Dengan birahi yang melonjak dan terus melonjak sampai suatu ketika ia merasakan adanya sesuatu yang berbeda.
Tubuh yang memasuki dirinya. tidak cuma bergerak sangat liar, tubuh itu juga terasa lebih besar ketimbang suaminya.
Masih ada lagi.
Lambat laun Sri Lestari juga menyadari.
Bahwa tubuh telanjang yang ia rangkul,kulitnya tidak lembut halus.
Kulit tubuh itu terasa kasar,seperti berisik!
Diam tersentak sesaat dua.
Sri Lestari kemudian membuka kelopak matanya dengan gerakan cepat. serempat. Dan diterangi lampu obor menyala di sekiling tempatnya rebah.
Sri Lestari pun melihat siapa atau tepatnya. apa yang tengah menggeluti dirinya!
Tampaklah seraut wajah hitam legam dengan multitekstra lebar serta tebal di bawah sepasang lubang hidung berukuran sempit. Dan di atasnya lagi. sepasang mata merah saga. Mata yang menyala-nyala. dan berputar putar liar. Sambil tubuh besarnya yang berisik hitam keabu-abuan terus saja bergerak turun naik di atas tubuh Sri lestari. Dengan kekuatan serta keliaran yang kian lama terasa kian kejam dan buas.
Terperanjat ngeri dan sekaligus juga tidak kuat menanggung azab.
Sri lestari menjerit lengking.
Sambil menjerit ia meronta-ronta sekuat daya.
Menendang memukul. mencakar secara membabi buta. Sosok di atas tubuhnya dibuat terkejut lantas lengah.
Seketika itu juga dengan segenap tenaga yang ada Sri lestari menggeliat keras.
Dan begitu tekanan tubuh di atasnya terasa melonggar, Sri Lestari cepat berguling-guling menjauh,
Terdengar geraman dahsyat. menggetarkan.
Dan sang mahluk berisik hitam keabu-abuan itu merayap bangkit. Lalu dengan langkah-langkah berat yang berdebuk-debuk di tanah, mahluk itu bergerak cepat mendatangi Sri Lestari. Sambil moncong lebarnya menyeringai buas. Dan mata merah saganya bersinar sinar tajam.
Sinar yang mengisyaratkan birahi yang belum terlampiaskan dengan tuntas.
Shock menghadapi kejutan luar biasa itu.
Sri Lestari beringsut mundur.
Dan manakala dalam gerakan mundur itu tubuhnya mendorong jatuh salah satu obor menyala yang gagangnya tertanam di tanah, Sri lestari yang kehilangan kendali diri karena dilanda teror, langsung saja nekad main sambar.
Kemudian Sri lestari melompat berdiri.
Dengan gagang obor tergenggam kuat di kedua telapak tangan. Yang ada dalam pikirannya saat itu adalah siap bertarung.
Untuk membela diri, terutama kehormatannya sebagai seorang isteri!
Berarti ia punya suami, dan...
Sri Lestari melirik cepat.
Dan sadarlah ia seketika, bahwa dirinya sudah berada diluar lingkaran lampu lampu obor. Sementara sang suami tampak masih tetap di dalam lingkaran. Tetap pula dalam posisinya semula.
Duduk telanjang.
Bermeditasi. tanpa bergeming sedikit pun juga. Seolah tidak mengetahui bahkan tidak
mendengar apa yang tengah berlangsung di sekitarnya .
sebuah meditasi total!
Dan Sri Lestari berada di luarnya.
Tidak hanya diluar jangkauan meditasi sang suami.
Tetapi dan juga terutama. sudah berada di luar lingkaran obor.
"Salah satu dari kita, terpaksa harus menanggung akibatnya....!". terngiang sesaat peringatan sang suami. manakala Sri Lestari mengawasi sosok besar sang mahluk juga sudah bergerak ke luar lingkaran.
Dan terus saja menandatangi.
Tanpa mengeluarkan suara, terkecuali desahan nafas beratnya yang terdengar kian menggebu-gebu.
Tetapi Sri Lestari tidak gentar, meski masih tetap takut: Ia sadar telah melanggar lingkaran gaib dan sejak semula ia sudah siap untuk menanggung resiko apapun yang terjadi dalam upacara ritual yang mereka kuatirkan itu.
Tidak apa.
Toh ia sendiri yang berbuat kesalahan.
Dan yang lebih penting lagi, suaminya masih tetap dalam lingkaran. Suami yang ia cintai dan juga sangat hormati, tetap selamat. itu lebih penting dari segala segalanya. Termasuk dari keinginan Sri Lestari untuk menjadi seorang medium yang seutuhnya.
Sri Lestari diam menunggu.
Sambil mendorong keberaniannya : apapun yang harus terjadi.
terjadilah!
Sang mahluk tiba di hadapannya.
Dengan kedua tangan hitamnya yang berisik. terentang ke depan. Siap untuk merangkul lalu melumatkan Sri lestari dalam lampiasan birahinya yang sempat tertunda.
Untuk sesaat, sepasang mata merah saga sang mahluk. terasa bagai melumpuhkan otak maupun keberanian Sri lestari. Namun begitu hendusan nafas
sang mahluk terasa menyapu wajahnya.
Sri lestari seketika tersadar.
Pada saat sang mahluk bergerak untuk merangkul. gagang obor yang tergenggam kuat di tangan dengan cepat didorongkan Sri lestari ke depan. sambil Sri Lestari menjerit dalam kemarahan.
"Matilah kau, mahluk terkutuk!"
Ujung obor yang bernyala-nyala seketika menghunjam di lambung sang mahluk.
Galak. Sri Lestari terus saja mendekam dan semakin kuat menekan gagang obor di tangannya. Mendorong dan mendorong. Tanpa memperdulikan keselamatan dirinya sendiri.
Tak ada perlawanan.
Juga tidak suara terkejut, apalagi kesakitan.
Yang ada. hanyalah melesaknya ujung obor menyala ke dalam lambung sang mahluk.
Melesak dan terus melesak.
Tanpa ada yang menahan.
Kaget. Sri Lestari kemudian menyadari.
Bahwa begitu nyala obor menyentuh lambungnya. sosok sang mahluk seketika mengabur. Lantas sirna dengan cepat. tanpa meninggalkan bekas.
Barulah'saat itu telinga Sri Lestari mendengar suara meraung. Raungan sengsara seorang manusia. Sewaktu Sri lestari berpaling. terlihatlah sang suami yang tadinya dalam posisi bermeditasi. duduk terbungkuk-bungkuk.
Meraung kesakitan,sambil memegangi lambung sendiri. Yang lebih mengejutkan lagi. dari celah-celah jari jemari yang memegangi lambung itu. tampak adanya lidah api di jari jemari serta lambung suaminya pun tampak berhenti menjilat-jilat. Untuk kemudian padam. bersama dengan lambungnya sang suami.
Tersungkur jatuh di tanah.
Tak ayal lagi.
Sri Lestari menghambur lari
mendatangi suaminya.
Tubuh sang suami yang menggelepur segera disambar dan dirangkul sambil menjeritkan tanya.
" Ya ampun. Mas. Apa yang......"
Tak perlu diteruskan karena Sri Lestari sudah melihatnya. Melihat lambung sang suami tampak melepuh hebat. Dengan daging di sebelah dalam kulit yang terkelupas. tampak menghitam.
gosong! Sri lestari Terkesiap. pucat.
"Mengapa. Mas?".
Sri Lestari merintih dalam tangis.
" mengapa jadi begini?!"
Sang suami membuka matanya perlahan-lahan.
Dan ketika mulutnya juga dibuka untuk berbicara, ada tetesan darah segar merembes ke luar dan membuat Sri lestari merinding ngeri. Karena sudah dapat membayangkan luka dalam macam apa yang dialami oleh suaminya.
"Terpaksa. Jeng Sri......". sang suami menjawab terbata-bata.
" Aku terpaksa mengambil alih penderitaan mahluk gaib itu. Akibat hunjaman obormu yang tepat mengenai......jantungnya!"
"Tetapi. Mas. mengapa?!". tanya Sri lestari, setengah menjerit.
Putus asa.
"Karena, Jeng Sri. Hanya dengan cara itulah aku dapat menahan kemarahannya........untuk tidak membunuhmu. dan rohmu kelak.....tidak diperbudak olehnya.......!" '
Tanpa memeprdulikan penjelasan suaminya, Sri lestari memprotes marah.
" Kau tidak seharusnya mencelakakan dirimu sendiri. Untuk kesalahan yang aku perbuat. Sekarang, beginilah akibatnya! Kan...."
Sang suami terbatuk-batuk, bersama batukanya darah kembali merembes keluar. Sri Lestari akan menyeka, tetapi sang suami keburu berkata dengan nada tajam.
" Ayo, ciumlah aku sekarang. Mumpung masih sempat......!"
"Apa........"
"Cepatlah. Aku tak mau mati sia-sia!"
meskipun bingung, tanpa bertanya lagi Sri Lestari langsung mencium mulut suaminya yang dibasahi darah.
Bibir sang suami terasa memagut keras. dan bersama pagutan bibir berdarah itu. Sri Lestari merasakan adanya hawa dingin yang aneh menyeruak keluar dari sebelah dalam mulut sang suami. Dan sebelum Sri Lestari menyadari sesuatu, hawa dingin itu telah menembus masuk ke dalam tubuhnya.
Menusuk-nusuk dengan kejam. bagai tusukan beribu-ribu jarum yang menghunjam dari kepala sampai ke ujung jari kaki. Sekujur tubuh Sri Lestari sampai bergetar hebat ke ujung jari kaki. Sekujur tubuh Sri Lestari sampai bergetar hebat untuk menahan siksaan nyeri yang alang kepalang. Namun ciumannya di bibir sang suami tidak juga dilepaskan. Karena sadar, ilmu gaib yang masih tersisa di dalam tubuh sang suami tengah dialirkan dengan cepat ke dalam tubuhnya sendiri.
Sampai suatu saat, hawa dingin itu digantikan oleh hawa panas yang menyenangkan.
Siksaan nyeri melenyap seketika.
Dan sang suami perlahan-lahan melonggarkan sendiri ciuman bibir mereka. Lantas kembali tetbatuk-batuk. memuntahkan lebih banyak lagi darah segar.
'Kini........". bisiknya tersenyum.
Senyum yang dipaksakan.
" kau sudah sempurna sebagai medium!"
"Ya ampun. Mas!" air mata Sri lestari semakin merembes ke luar.
Mengapa semua ini
"Demi cintaku padamu. Jeng Sri" jawab sang suami.
Tersengal.
" Yang sampai kapan pun.... tak akan pernah mati!"
"Tetapi.."
"Sudah! Jangan bicara apapun lagi. Biarkan aku berbicara sejenak dengan guruku. Guru kita. Dan"
Dan kelopak mata si suami mengatup perlahan.
Hanya bibirnya saja yang tampak berkemak-kemik. tanpa mengeluarkan suara.
Itupun cuma sebentar.
Karena kemudian, bibir itu ikut pula mengatup.
Diam dan tampak kaku.
Bersama dengan kakunya sekujur tubuh. Yang dalam pelukan Sri lestari. perlahan-lahan mulai terasa dingin.
Lantas tahu-tahu sudah membeku.
Mati. Sebelum Sri lestari sempat menjeritkan tangis,terdengarlah bisikan tajam yang menyentak di telinga.
" Bodoh!" ' '
Terkejut. Sri Lestari menatap berkeliling .
Namun tidak melihat apa-apa,kecuali kegelapan yang menghitam dalam jilatan lampu-lampu obor yang satu persatu mulai padam.
"Aku sudah memperingatkannya!", bisikan itu terdengar lagi.
Setengah marah.
" tetapi dia tetap nekad. Dan beginilah jadinya..!"
Seketika, Sri Lestari menahan tangisnya yang nyaris keluar.
Lalu bertanya, takut-takut.
" Si siapa........itu?"
Bisikan itu terdengar melembut.
"Aku Jayengrono........."
Sang guru.
Yang sudah lama raib di gunung Dieng
Itulah pertama kalinya terjadi kontak antara Sri Lestari dengan sang guru tanpa melalui sang suami sebagai perantara.
Yang berarti.
Sri Lestari telah diterima seutuhnya sebagai murid. Akan tetapi marah dan putus asa oleh kematian suaminya. Sri Lestari bukannya bersujud menghaturkan sembah. ia justru langsung mengajukan protes.
Yang kasar pula.
" Sungguh terlalu! Kau biarkan semua kekejaman ini terjadi. Tanpa berbuat apa-apa untuk mencegahnya! Guru macam apa kiranya Embah ini. eh?!"
Terdengar desahan nafas getir.
Disusul jawaban, yang sama getirnya.
" Sebagaimana dengan guru lain kapan dan di manapun juga. aku tentu saja tak kuasa mencegah profesi dari sebuah firasat.......!"
"Firasat apa?"
"Mendekatnya maut. Yang belakangan ini. kehadirannya sudah dirasakan semakin kuat oleh suamimu!"
Sri Lestari terkesiap.
" Tetapi dia."
"Dia teramat sangat mencintai serta mendambakan dirimu. Sehingga tidak sampai hati memberitahukanuya secara langsung. Sekarang kau sudah tahu. Dan kuharap. kau juga dapat memahami. Mengapa aku tak mampu berbuat apa-apa. Agaknya. sang maut sudah semakin menampakkan diri. Itu maka suamimu memaksa untuk melakukan upacara malam ini juga. Dan."
Sekujur tubuh Sri Lestari pun bergetar.
Lantas mengakui dengan suara menggigil.
" Aku yang salah Aku......!"
"Berhentilah mempersalahkan dirimu sendiri!" suara tanpa wujud pembicara itu menghardik keras.
"Semua itu adalah bagian dari prosesi yang dirancang oleh sang maut. Siapapun tidak mampu mengindarinya. Tidak kau, Bahkan juga tidak. aku sendiri!"
"Tetapi, Embah...."
"Sudahlah. Dan dengarkan ini baik-baik!". suara itu terdengar melembut kembali.
" Barusan tadi sebelum suamimu pergi ke tempat kediamannya yang abadi......dia menitipkan pesan. yang tidak keburu dia utarakan padamu......!"
Sri Lestari diam.
Menunggu.
Misteri Alam Gaib Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia bilang........". suara bisikan lembut itu mendesah di telinga Sri Lestari.
"Terdorong oleh cinta serta keinginannya untuk tetap memiliki dirimu. sewaktu-waktu dia akan datang. Dan kau dia minta untuk selalu menerima kehadirannya!"
Sri Lestari menatap wajah pucat membiru di haribaannya.
Lalu antara sadar dan tidak, ia berjanji.
" Kapan pun Mas ingin......"
"Satu hal harus kau ingat!". sang guru menukas cepat.
Dengan bisikan tajam.
Menyentak.
" Saat dia mendatangimu kelak. penampilannya tidaklah sebagaimana yang kau lihat selama ini. Dia."
Terharu biru oleh luapan perasaan yang bergejolak hangat. Sri Lestari tidak begitu mendengar lanjutan katakata sang guru.
Dan ketika waktu yang dijanjikan akhirnya tiba......
===OOO=== 5 BRUK...! Mobil sedikit terbanting karena salah satu sayap depannya membentur tonjolan batu yang mencuat di tengah jalan.
Namun terus meluncur mulus tanpa gangguan apa-apa, kecuali tentu saja. lamunan Sri Lestari yang langsung buyar seketika. Sedikit cemas. ia kini lebih memusatkan konsentrasi pada jalanan yang diterangi lampu-lampu mobilnya. Sebuah jalan sempit dan diperkeras dengan batu pecah yang di sana-sini sudah rusak berat.
Siap mengancam pengemudi yang kurang berhati-hati.
Sebenarnya, Sri Lestari sudah menempuh jalanan yang sama beberapa hari sebelumnya. Tetapi waktunya di siang hari. Dengan mobil lain pula, yang pengemudinya sudah hapal betul jalanan yang mereka lalui. Yakni ketika Handoko.........si
pengemudi. mengajak Sri Lestari melihat-lihat rumah peristirahatan yang menurut Handoko sangat cocok dipakai untuk upacara ritual.
"Kapan saja Nyai membutuhkan....!"
Seperti sebelumnya.
Sri Lestari rencananya juga akan dijemput oleh Handoko. Akan tetapi karena ia perlu waktu menyepi di kamar semadhinya, jemputan itu ditolak Sri Lestari.
" Aku akan datang ke sana tepat pada waktunya nanti!",
Sri Lestari menjanjikan.
Dengan demikian Handoko dapat menjemput para anggota kelompok lainnya yang memang belum tahu jalan supaya tidak terjadi saling tunggu.
Dan itulah di depan sana !
Sebuah rumah tua yang tampak angker dalam kegelapan malam, berlokasi menyendiri pada salah satu lereng dari tiga perbukitan teh yang konon belum lama dibeli oleh Handoko.
Dengan latar belakang dinding gunung dikejauhan yang tampak hitam kebiru-biruan dalam jilatan rembulan.
Kesan angker itu diperkuat oleh suramnya lembah-lembah teh di sekitar lokasi. Sementara rumahnya sendiri seakan dibentengi oleh pepohonan pinus yang pucuk-pucaknya terlihat menggapai ke langit lepas.
Melewati jalanan berbatu koral yang dikawal oleh batang pepohonan pinus, Sri Lestari kemudian tiba di halaman luas rumah dimaksud. Lalu menghentikan kendaraannya di samping mobil Handoko yang sudah tiba lebih dahulu. Tuan rumah tampak menuruni teras untuk menyongsong kedatangan Sri Lestari.
"Sepuluh menit terlambat dari waktu yang kita janjikan.......", sambut Handoko dengan senyuman lembut sambil membukakan pintu depan mobil.
"kami
sudah sempat menyangka Nyai sesat jalan!"
"Maaf""
Sri Lestari balas tersenyum.
"Dari jalan raya tadi aku banyak menghabiskan waktu untuk menemukan belokan yang benar menuju ke sini!"
Handoko cepat menggandeng lengan Sri Lestari.
" Itu maka tadi aku ingin menjemput. Tetapi ya sudahlah. Ayo kita masuk ke dalam. Mereka sudah pada menunggu di meja makan!"
"Apakah juga kalian telah memasang penangkal yang tadi kusebut di telepon?"
"Sudah!", jawab Handoko seraya membimbing Sri Lestari menaiki tangga teras.
" Cuma saja. kasihan Sumiati....salah seorang pelanggan barumu. Begitu diolesi bawang putih. dia bilang kulit lambungnya langsung memerah dan terasa gatal-gatal!"
"Pasti alergi!". tembal Sri Lestari. SambiL diam diam bersyukur. Karena semenjak ia tadi meminum sari bawang putih yang ia tumbuk sendiri. isi lambungnya tidak mengalami gangguan apa-apa. Kecuali adanya perasaan dingin yang cepat mengalir ke sekujur tubuh. Pertanda tenaga bathinnya telah menyerap dan dapat menerima ramuan penangkal yang disarankan oleh gurunya itu.
" Sebaiknya, selesai upacara nanti. berilah dia antibiotik!"
"Oke!"
Sri Lestari langsung diajak tuan rumah memasuki ruang makan dimana para anggota kelompok lainnya telah menunggu.
Saling memperkenalkan diri sebentar. terus disusul acara makan malam yang dimanfaatkan oleh Sri lestari untuk diam-diam mempelajari satu persatu sosok maupun karakter para
peserta upacara di mana nanti ia akan bertindak sebagai medium.
Handoko si pengusaha yang WNI keturunan untuknya sudah tidak asing. ia pelanggan tetap Sri Lestari selama lima tahun terakhir. Ulet dalam memperjuangkan sesuatu tanpa memikirkan berapa biaya yang harus dikeluarkan. Juga cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan. pemilik lama perkebunan teh serta rumah peristirahatan ini misalnya. Oleh Handoko terus diberi pinjaman modal tanpa batas sampai akhirnya si pemilik yang uasahanya semakin merosot, menyerah sendiri.
" Aku sudah tak sanggup lagi. Ambillah perkebunanku itu. untuk membayar sebagian dari pinjamanku. Pinjaman selebihnya......"
Semua itu berani dilakoni Handoko berkat petunjuk dari roh Engkongnya di alam baka.
Seperti juga malam ini. handoko akan membuka usaha lain, dan yang ingin ditanyakan pada roh sang engkong malalui Sri lestari adalah meminta petunjuk yang sederhana saja : hari apa dan siang atau malamkah transaksi pertama harus dimulai!
Sementara Handoko makan sambil bercerita dengan riang tentang bagaimana ia sempat dibuat bingung karena terpaksa memakai tenaga pengusaha yang lama untuk mengelola perkebunan teh yang kini jadi miliknya. Sri Lestari memusatkan perhatiannya pada perempuan cantik yang duduk di seberang meja makan.
Tanpa harus memakai perhiasan serta dandanan yang begitu menyolok. Sumiati sesungguhnya sudah punya daya tarik yang kuat pada tarikan sinar mata serta gurat bibirnya yang sensual. Tetapi Sumiati'memiliki dagu yang tampak lemah. Pertanda kurang percaya diri. dan
suka bertindak tanpa perhitungan yang terkadang dapat membahayakan dirinya sendiri.
Menurut informasi yang diperoleh Sri lestari dari Handoko.
Sumiati tengah menghadapi problem sulit yang menyangkut mimpi-mimpi buruk selama beberapa minggu terakhir.
Mimpi yang nyaris selalu sama dengan akhir yang sama pula : penuh teka-teki.
Ibu Sumiati yang sudah almarhum tahu-tahu muncul begitu saja dari balik kegelapan atau dari balik kabut tebal di dalam mana Sumiati merasa dirinya tahu-tahu terperangkap begitu saja.
Sang Ibu menangis dan hanya menangis, lantas menghilang tanpa berkata apa-apa. Juga tanpa Sumiati sempat untuk bertanya apa yang ditangiskan oleh sang ibu.
Pertanyaan itulah yang nantinya akan diteruskan Sumiati pada almarhum ibunya, melalui Sri Lestari.
Kemudian, Suhandinata yang menyantap hidangan makan malamnya nyaris tanpa memperlihatkan selera. Juga kurang perhatian pada obrolan Handoko. Sehingga Suhandinata sesekali terkejut sendiri manakala tuan rumah mengatakan atau menanyakan sesuatu pada dirinya. Yang ia jawab atau komentari tanpa semangat. Entah apa yang dipikirkan oleh pria yang usianya pasti sudah memasuki kepala empat.
Sedikit lebih tua dari sumiati. isterinya. Menurut Handoko. Suhandinata memegang jabatan kunci pada sebuah perusahaan BMUN di mana salah satu jenis usaha yang dikelola Handoko tercatat sebagai rekanan tetap.
Orangnya tampan, mendekati lembut.
Tetapi juga memiliki dagu yang sama lemah dengan isterinya.
Ciri yang kemungkinan besar mendekatkan mereka satu sama lain: Yang entah mereka sadari atau tidak, persamaan ciri
tersebut dalam kondisi tertentu dapat membahayakan diri mereka berdua!
Suhandinata tidak punya keinginan apa-apa malam ini.
"Cuma sekedar untuk mendampingi sang isteril", begitu diinformasikan oleh handoko.
Kini orang terakhir, Barita Pialang dibursa saham dan teman akrab Handoko di lapangan golf.
Pria kelahiran seberang dan belum juga menikah setelah lebih dari sepuluh tahun ditinggal mati oleh isterinya.
Kontras dengan dua yang lain.
Barita justru memiliki dagu yang kekar kokoh.
Ditambah dengan sorot mata yang kuat namun tampak berwarna gelap.
Sosok penuh msiteri.
Seperti juga keikut sertaannya malam ini.
Ingin berhubungan dengan roh isteinya.
Tetapi apa yang ditanya. bagaimana nanti. Atau sewaktu berkenalan tadi, pada Sri Lestari ia berkata lebih misterius lagi.
" Anggap saja kehadiranku malam ini. sebagai pelengkap lingkaran!"
Maksudnya lingkaran lima.
Dihitung dari jumlah peserta, termasuk Sri Lestari.
"Dia menyembunyikan sesuatu!",
Sri Lestari membathin sambil menyelesaikan makan malamnya.
" Tetapi apa?"
Apapun itu kiranya, tidak ada lagi waktu untuk Sri Lestari memikirkan. Selain bukan urusannya, juga karena waktu untuk menjalankan upacara ritual telah tiba. Dan upacara ritual malam ini, juga punya arti tersendiri buat Sri Lestari Yang membuat Sri Lestari diam-diam merasa takut.
Inilah untuk pertama kali ia memperoleh dan akan mempergunakan sebuah topeng yang termasuk amat
langka. Yakni, topeng dari alam gaib!
===OOO=== 6 Tempat upacara. masih di meja makan yang sama.
Tetapi sudah dikosongkan.
Taplaknya pun sudah diganti dengan taplak beludru bernama hitam. Pinggiran taplak bersulam benang kuning emas membentuk sebuah lingkaran besar yang seusai dengan bundaran meja makan. Juga dengan benang kuning emas, di dalam lingkaran tersebut disulam sebuah bintang menunjuk ke kursi yang ditempati oleh ke lima orang peserta upacara.
Termasuk Sri Lestari sebagai medium.
"Sebelum upacara kita mulai". ia sedang berbicara.
" Saya akan memberitahu beberapa syarat yang' harus sama-sama kita patuhi. Walau saya yakin Pak Handoko sudah lebih dulu memberitahukannya pada Anda yang lain. saya merasa perlu untuk mengulangi dan menegaskan kembali aturan permainan yang berlaku mutlak sampai upacara ini selesai......!"
Sri Lestari mengawasi sejenak keempat orang di sekeliling meja makan. yang sama memperhatikan dengan seksama. Baru setelahnya ia mengutarakan aturan main yang ia maksud.
Pertama. Apabila nanti Sri Lestari dalam keadaan trans apalagi sudah dimasuki roh yang dipanggil, tak seorangpun diperkenankan berbicara atau berkomentar yang dapat mengganggu konsentrasi Sri Lestari. terkecuali tentunya, orang yang bersangkut-paut atau punya kepentingan langsung dengan roh dimaksud.
"Sekali konsentrasi saya buyar berantakan",
Sri Lestari memberitahu dengan wajah serius.
" Upacara harus diulang kembali. Tetapi harus pada waktu yang lain. Karena seorang medium terpantang memanggil roh yang sama pada waktu yang sama pula, lebih dari satu kali!"
Aturan main yang ke dua.
Selama dan sampai upcara selesai, mereka berlima harus saling berpegangan tangan satu sama lain. Dengan begitu mereka akan memiliki satu kekuatan terpadu menghadapi pengaruh yang datang dari alam gaib.
Juga dimaksudkan,apabila ada peserta yang hati atau mentalnya tiba-tiba melemah, akan memperoleh dorongan semangat dari peserta lain yang berhati atau bermental lebih kuat.
"Apapun nanti yang terjadi, atau kalian lihat atau dengar.....".
Sri Lestari berujar tegas.
" tak seorangpun boleh melepas pegangan tangan. Lebih-lebih lagi. kuperingatkan. Jangan sampai meninggalkan tempat duduk kalian. siapa pun dia adanya!"
Diawasi dengan pandangan terpana oleh keempat orang lainnya. Sri Lestari kemudian memberitahu akibat
apa yang mungkin timbul jika aturan main itu sampai dilanggar. Selain kekuatan mereka akan terpecah-belah. kemungkinan besar sang roh yang sudah datang atas panggilan Sri Lestari akan minggat seketika itu juga.
"Kalau cuma minggat doang. tak apalah!"
Sri Lestari berkata dengan senyuman hambar.
'Tetapi jika minggatnya sambil marah karena merasa kehadirannya tidak dihormati. itu bisa berbahaya!"
Mendengar peringatan Sri Lestari, Sumiati diamdiam menggaruk lambungnya yang mendadak terasa gatal kembali.-Lalu bertanya, kecut.
" Bahayanya, Nyai?"
Tenang namun tanpa kompromi,
Sri Lestari memberitahu.
"sang roh dapat saja bertindak yang bukan-bukan pada salah seorang dari kita di sini. Terutama saya. sebagai medium!"
"Tindakan macam apa?"
"Namanya juga penghuni alam gaib. Maka tentu saja tindakanya sulit diketahui. Namun yang pasti. apapun juga itu. akibat yang timbul umumnya berupa penyakit yang berkepanjangan. Dan khususnya terhadap saya sebagai medium pemanggil. ia bisa saja memberi tuntutan-tuntutan gaib. Yang bila tak saya penuhi. bukan cuma penyakit. Bahkan nyawa saya juga akan terancam!"
"Oh!".
Sumiati mengeluh.
Dan menggaruk lebih keras lambungnya yang terasa semakin gatal.
Di sebelahnya. sang suami mengawasi dengan ragu-ragu.
Tetapi kemudian angkat bahu. Lantas mengambil sikap acuh tak acuh.
Di kursi lain, Handoko menelan ludah. Meski sudah terbiasa, ia toh tetap saja merasa gelisah. Ia yakin dirinya akan mengikuti aturan. tak perduli apapun nanti
yang akan terjadi.
Tetapi mereka yang lain?
Hanya Barita seorang yang tetap tenang. tidak terpengaruh. Duduk diam tanpa ekspresi apapun di wajahnya. ia cuma mengawasi Sri Lestari dengan sorot matanya yang berwarna gelap itu. Yang membuat Sri Lestari kembali bertanya-tanya dalam hati.
" Apa sih sesungguhnya yang di maui orang yang satu ini?!"
Menghela nafas panjang sesaat,
Sri Lestari mengalihkan perhatiannya pada yang lain. Lantas bertanya serius.
" Untuk yang ingin mengundurkan diri, kesempatan masih terbuka!"
Handoko batuk-batuk kecil seraya mengawasi Sumiati, yang diawasi berpikir sejenak dan ganti mengawasi suaminya. Suhandinata cuma diam, tak berkomentar apa-apa. Sikap tak acuhnya tampak membuat Sumiati tersinggung. Dan sambil menahan marah, ia berpaling pada Sri Lestari. Dan berkata. jengkel.
" Mimpi burukku harus Segera diakhiri. Dan kukira. sekaranglah saatnya untuk itu!"
Handoko menarik nafas lega.
" Oke kalau begitu. Nyai. Kita teruskan saja!"
"Sebentar!",
Barita tahu-tahu angkat bicara.
Yang lain serempak menoleh,terutama Sri Lestari. Sambil
tersenyum samar. Barita melanjutkan.
" Saya dengar. nanti Anda bakal mengenakan topeng. Sesuatu yang tidak umum dilakukan oleh seorang medium dalam upacara sejenis. Boleh saya tahu, Nyai. Mengapa?"
"Aduh, Bar!".
Handoko mengeluh.
" Bukankah sudah aku jelaskan bahwa....."
""Tak apa!"
Sri Lestari cepat menyela.
" Barangkali lebih afdol bila aku sendiri Vang menjelaskan!"
Barita kembali tersenyum.
Lantas diam. menunggu.
Handoko menatap tak sabar.
Sementara Suhandinata dan isterinya Sumiati sama berpaling pada sang medium.
Dengan pandangan ingin tahu.
Di tempatnya duduk, Sri lestari antara sadar dan tidak memegang erat erat tas tangan di pangkuannya. Seakan kuatir tas tangan tersebut,terutama apa yang ada di dalamnya. sewaktu-waktu dapat lenyap atau bahkan meledak. Namun yang pasti. begitu diingatkan pada topeng, tangan Sri lestari yang memegang tas. entah bagaimana mendadak terasa bergetar.
Atau isi tasnyakah yang bergetar?
"Ini memang tidak umum........".
Sri Lestari kemudian menjawab.
" Karena saya memang termasuk anggota kelompok medium tertentu. yang mengharuskan anggotanya memakai topeng sebagai pelengkap upacara. Ada banyak alasan untuk itu. Tetapi akan saya beritahukan satu hal saja. yang bebas untuk dibeberkan: pada orang luar.......".
"Pada waktu trans."
Sri Lestari menerangkan.
"Seorang medium berada dalam posisi rentan terhadap serangan dari alam gaib yang mungkin saja bersikap memusuhi. Untuk menghadapi kemungkinan itu. diperlukan topeng khusus yang dibuat oleh perajin yang sekaligus juga ahli kebathinan. Yang nantinya saat dipakai. topeng yang sudah diisi ilmu gaib si ahli kebathinan diperkuat lagi pengaruhnya oleh ilmu gaib sang medium pemakai. Melalui topeng itulah sang medium .menyalurkan kekuatan spiritualnya untuk membuka pintu alam gaib lalu malakukan kontak langsung dengan para penghuninya."
"Semisal memanipulasi lawan yang bersikap memusuhi".
Sri Lestari menjelaskan.
"lawan hanya
mengenal rupa atau sosok topeng yang dilihat. Bukan rupa atau sosok nyata si pemakai. Dengan begitu. bila terjadi serangan maka yang terkena serang cuma topengnya saja. Tidak sang medium di dunia nyata. Termasuk juga orang-orang yang meminta sang medium untuk berhubungan dengan alam roh!"
Selesai dengan penjelasannya, Sri Lestari diam menunggu, Dan apa yang ia peroleh, hanya sebuah komentar biasa-biasa.
"Menarik!",
Barita bergumam.
Pendek. Itu saja! Semakin misterius saja dia ini, pikir Sri Lestari. Lantas sambil membuka tas dipangkuannya, di mulut ia berujar tenang dan datar.
" Siap semuanya."
Terdengar helaan nafas gelisah di sekeliling meja .Lalu tangan demi tangan saling menggapai untuk kemudian berpegangan erat satu sama lain. Kecuali Sri Lestari, yang masih harus mengeluarkan lalu memakai topeng ke wajahnya.
Dan begitu topeng dikeluarkan lalu didekatkan ke wajah Sri Lestari. seketika telinganya menangkap gumaman-gumaman terkejut dari keempat orang lain di dekatnya. '
Tetapi Sri Lestari tidak memperhatikan gumaman gumaman terkejut itu. Perhatiannya lebih tercurah pada topeng di depan mata. Topeng tanpa tali-tali pengikat ke telinga atau karet gigitan untuk merapatkan ke wajah. Sementara bagian luar topeng berwarna kehijau-hijauan dengan rupa yang mengerikan. maka bagian dalamnya ternyata hitam legam kosong melompong, mirip sebuah lubang yang menganga hitam.
Bingung campur gelisah sejenak.
Sri Lestari teringat pada isi buku Misteri Lembah Jayagiri. Lantas
tanpa berpikir panjang lagi. petunjuk yang ia baca dalam buku tersebut ia ikuti sebagaimana yang tertulis.
Topeng langsung ditempelkan ke wajah.
Dan benar saja. Begitu menempel. topeng langsung melekat rapat. Dan rasanya seperti menyatu padu dengan wajah Sri Lestari sendiri.
Sampai Sri Lestari sempat dibuat terkejut.
Bahkan mulai tegang.
Konon lagi peserta upacara di sekeliling meja. Semua menatap tegang dengan wajah-wajah pucat ke arah sang medium. Karena wajah menawan Sri Lestari tahu-tahu sudah berubah rupa menjadi seraut wajah angkara murka yang membuat jantung mereka sama berdebar.
Wajah dengan sepasang mata besar dan hitam.
Wajah tanpa hidung, dengan moncong menonjol yang tampak mengguratkan seringai.
Seringai mengejek!
Jangan kata Sumiati yang memang bermental paspasan.
Bahkan Handoko yang sudah terbiasa dengan topeng-topeng aneh Sri Lestari, kini bukan cuma gelisah saja.
Bulu romanya seketika pada berdiri tegak.
Dan sekali lagi.
Hanya Barita seorang yang tampak tetap tenang.
Tampak seperti tidak terpengaruh. Namun jauh di sanubari. diam-diam ia mulai merasakan betapa jantungnya perlahan-lahan mulai menciut.
Takut. Di kursinya. Sri Lestari secara naluriah menggapaikan tangan kirinya ke arah tangan kanan Handoko yang langsung menyambut lantas menggenggam. tangan Handoko terasa dingin. Tetapi tangan kiri Sumiati yang menyambut uluran tangan kanan Sri Lestari. terasa lebih dingin lagi.
Malah juga. gemetar.
Sri Lestari menahan nafas.
Dan mulai berkonsentrasi. Namun belum juga ia sempat merapal mantera-mantera yang sudah menyatu dengan lidah. semuanya tahu-tahu sudah terjadi.
Secara mengejutkan pula.
Karena terjadinya bukan cuma di luar dugaan.
Tetapi juga berada di luar jangkauan kekuatan gaib Sri lestari sendiri!
===OOO=== 7 DIDAHULUI sengatan panas yang mengalir keluar dari topeng ke kulit wajahnya. Sri Lestari tiba tiba merasakan adanya jilatan api yang menyambar nyambar di sebelah dalam tubuhnya.
Tidak mau melepas konsentrasi, secara naluriah Sri Lestari dengan cepat merapal mantera-mantera penangkal atas serangan tak terduga itu.
Siksaan panas seketika mengendor.
Tetapi belum juga Sri Lestari sempat menarik nafas lega. serangan berikut Sudah menyusul.
Lidahnya tahu tahu saja bergerak di luar kendali. Rapalan mantera yang berkemak-kemik telah menimbulkan reaksi pada bagian luar topeng yang melekat pada wajahnya.
Sepasang mata menonjol besar di topeng tersebut,perlahan-lahan memancarkan sinar semerah darah.
Disusul gerakan moncong yang tahu-tahu menggeliat
hidup. keempat orang lain yang berada di sekeliling meja upacara. mau tidak mau dibuat tersentak kaget.
Tidak terkecuali Barita, yang wajahnya seketika memucat.
Sumiati bahkan sempat terpekik ngeri.
Dan sudah bersiap-siap untuk melepas'pegangan tangan dan melompat dari tempat duduknya. Namun secepat itu pula dia sudah diam terpaku, manakala dari moncong topeng itu terdengar sentakan tajam.
" Diam di tempatmu!"
Sumiati duduk membeku.
Begitu pula dengan ketiga orang lainnya.
Sama membeku.
Bagai tersihir.
Sepasang mata merah sang topeng menatap liar ke sekeliling meja. Moncongnya tampak mengeliatkan seringai.
Seringai mengejek.
"Sungguh menggelikan". moncong itu bergumam berat.
" Seperti jailangkung saja. Sebuah permainan anak-anak!".
Tak ada yang membuka mulut.
Malah menarik nafas saja pun, tak berani. Hanya tubuh mereka saja yang bergemetar. Disertai keringat dingin yang membanjir keluar.
"Akan kuperlihatkan pada kalian permainan yang sesungguhnya. Dan pasti akan mengasyikkan!". moncong itu menggeliat lagi.
Disusul suara tertawa pendek.
Tawa bergetar.
" Tetapi sebelum itu, biarlah kujawab dulu keinginan kalian!"
Di luar sadarnya, leher Sri Lestari bergerak.
Sedikit memutar kekiri.
Sehingga wajah topengnya tahu-tahu sudah menghadap lurus ke wajah Handoko.
"Kau!" sang topeng mendengus.
Berat bergetar.
"Roh engkongmu tidak bersedia bangkit dari kuburnya. Bukan karena tak sayang padamu. Melainkan karena dia sudah tahu. Bahwa kau......tidak akan pernah lagi melakukan transaksi!"
Dalam ketakutannya, alam bawah sadar Handoko masih mampu bekerja dengan baik.
Handoko memang sudah terbiasa.
Tetapi tidak dengan apa yang dialaminya sekarang ini. Itu membuat alam bawah sadarnya curiga. Lantas karena pembicaraan ditujukan kepadanya dan aturan main memberi hak jawab, Handoko pun bergumam.
Gemetar. " Apa maksudmu dengan......."
Tak'ada gunanya meneruskan protes.
Karena Sri Lestari kembali sudah memutar leher. Menghadapkan topengnya ke wajah Sumiati, suara berat itu langsung menyentak.
Kasar. " Dan, kau ...!"
Sumiati ingin minggat seketika.
Namun anggota tubuhnya tidak mau bekerja sama.
Tubuhnya sudah keburu lumpuh.
Tak berdaya.
"Roh ibumu menangis......", suara berat itu menggeram sama. Tubuhnya sudah keburu lumpuh. Tak berdaya.
"Roh ibumu menangis......", suara berat itu menggeram.
"Karena kau telah mengabaikan amanatnya!"
"Amanat.........", Sumiati menggagap.
Misteri Alam Gaib Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sambil heran. bahwa mulutnya masih sanggup terbuka.
"........amanat apa?!"
Sang topeng menyeringai.
Sinis. " Berpura-pura lupa. eh'?". desisnya.
Tajam menusuk.
" Di saat ajalnya datang menjelang, ibumu sudah bernasehat. Supaya kau merubah kelakuan serta sifat rakusmu pada kehidupan duniawi! Masih ingat apa yang dia bilang waktu itu. ?"
Sumiati mengangguk.
Kaku. "Jawab dengan kata-kata!". sang topeng menghnrdik.
" Bukan dengan anggukan!"
"Dia hilang.....".
Sumiati menggagap.
Gemetar. "Dia takut sifat buruk akan menjerumus-kan......diriku sendiri.. .!"
"Dan akhirnya. kau memang terjerumus!". sang topeng menanggapi dengan seringai mencemooh.
"Kau bersedia ditiduri oleh atasan suamimu yang terancam dimutasi dari jabatan!"
Sumiati diam membisu.
Dengan wajah semakin memucat.
Duduk di sebelahnya. wajah Suhandinata tampak memerah untuk sesaat. Lantas kembali memucat. saat wajah itu merunduk diam.
Handoko mengawasi dengan cemas.
Sementara Barita, diam-diam mulai tegang.
Masih kepada Sumiati. sang topeng melanjutkan tudingannya.
" Andai kau tahu. Betapa roh ibumu semakin resah di alam kubur. Karena dia lihat kau lantas ketagihan! Jabatan dan uang menjadi nomor dua. Peringkat pertama dalam pikiranmu kemudian adalah : nikmat berselingkuh. Bukan saja dengan atasan suamimu. Diam-diam. kau juga mulai berselingkuh dengan Handoko!"
Handoko mengangkat muka. terkejut.
Lantas menggeram marah pada Sri Lestari.
" Sialan! Aku tidak memberi hak kepadamu untuk......"
Sekali lagi. handoko disepelekan.
Karena leher Sri Lestari tampak sudah bergeser sedikit. Lalu mengalihkan tudingannya pada Suhandinata.
" Angkat mukamu. suami hina dina!"
Suhandinata mengangkat muka.
Tersentak.
Dan tudingan itu pun datanglah.
Menerpa tanpa ampun.
"Kau biarkan 'perbuatan nista itu terus berlangsung. tanpa punya keberanian untuk mencegah. Bukan hanya karena sadar. bahwa semua itu berpangkal dari Sifat tamak serta ketakutamnu pada ancaman dimutasi. Tetapi lebih-lebih dikarenakan. isterimulah kepala keluarga di rumah. Bukan kau!"
Suhandinata cuma diam.
Terpukau. Sang topeng menyeringai.
Galak. " Apa kau pikir aku tidak tahu isi kepalamu akhir-akhir ini. eh?"
Diam sesaat dan tanpa menunggu jawaban. suara berat dan parau itu menggeram kasar.
" Perceraian! Itulah satusatunya jalan keluar yang terus menerus merasuk pikiranmu. Maka, itulah yang akan kau dapatkan!"
Kalimat terakhir itu menggugah Suhandinata dari kebekuan 'serta ketakutannya.
Lantas mendesah. ingin tahu.
" mendapatkan apa?"
"Perceraian!", jawan sang topeng.
Dingin dan hambar.
" tetapi bukan seenak yang kau bayangkan. Melainkan......cerai mati!"
Suhandinata sudah akan membuka mulut.
Tetapi keburu leher Sri Lestari lebih dulu bergeser arah.
Menghadapkan topeng di mukanya ke arah Barita.
"Dan kau!". sang topeng langsung menyemprot sebelum Barita sempat menguasai diri.
"Urusan dengan roh almarhum isterimu. cuma dalih semata!"
Barita mcngatupkan mulut rapat-rapat.
Mencoba untuk tetap bersikap tenang.
Acuh tak acuh.
Sang topeng menyeringai lebar.
Sama tenangnya. ia berkata.
" Alasan kehadiranmu di tempat ini adalah untuk urusan lain. Berulangkali gagal mendapatkan jodoh pengganti yang sesuai dengan
harapanmu. kau tertarik pada gambaran Handoko tentang orang yang raganya kini berada dalam kekuasaanku. Sri Nyai Lestari!"
Mendengar dakwaan langsung itu.
Barita tersenyum.
Samar. Sambil di dalam hati, diam-diam memaki.
" Haram jadah sialan. Siapa gerangan yang memberitahu? Handoko? Tetapi dia sudah bersumpah untuk tidak......"
Sang topeng tertawa mengekeh.
Kekeh bergetar.
"Tak perlu heran!" ia mendengus, gembira.
"Itulah jadinya jika kau berurusan dengan alam roh. Di alam roh tidak ada rahasia. Semuanya serba terbuka. Gamblang!"
Seketika. Barita duduk terbungkam.
Sambil diam-diam. mulai cemas.
"Kau salah perhitungan, ya?". sang topeng menggeliatkan seringai.
" Selain untuk mengenali orangnya secara langsung, kedatanganmu ke sini adalah juga untuk melihat-lihat apakah bidang pekerjaan yang dia geluti cuma pemaianan sulap belaka. Atau. tipuan murah!" _
Barita semakin terbungkam.
"Tetapi, sudahlah!", sang topeng menambahkan.
" Sekarang kau sudah tahu dan buktikan sendiri. Yang belum kau tahu, Nyai tidak akan pernah menikah kembali dengan lelaki lain. Dia sudah terikat untuk selamanya. Dengan roh suaminya tercinta!" '
Barita menatap.
Tercengang.
" Dengan roh......."
Sri Lestari tiba-tiba meluruskan punggung di tempat duduknya. Seringai di moncong sang topeng melenyap. Tinggal sorot matanya saja yang tetap bersinar-sinar semerah darah. Berputar-putar liar
mengawasi satu persatu wajah orang-orang ang masih tetap duduk sambil berpegangan tangan di sekeliling meja upacara.
Mereka yang ditatap, sama diam
Menunggu. Dengan jantung berdebar.
Jika suara lembut Sri Lestaiilah yang ingin mereka dengar, maka silahkan mereka kecewa. Karena yang kemudian terdengar, masih tetap suara yang sama. Suara bernada berat dan parau.
Dari balik moncong sang topeng.
Yang menggeliat-geliat.
Kaku. "Sidang pengadilan selesai!" suara berat serta parau itu berkata.
Datar, bergetar.
" Sekarang tiba sudah giliran untuk_apa yang tadi kujanjikan ......... !"
Dan, plop!
Lampu ruangan dan juga di seantero rumah. tahu tahu padam begitu saja. Seakan dialiri arus listrik yang sama. sinar merah darah di mata sang topeng ikut-ikutan menghilang.
Padam. Bersama kegelapan yang datang dengan serempak.
Sumiati kembali terpekik ngeri. Yang lain, menahan nafas.
Tegang. Kemudian sunyi.
Mencekam. Dan di tengah kesunyian mencekam itu, terdengarlah si suara berat mengumumkan dengan irama bergetar.
"Kuucapkan selamat datang ........... " ia berkata.
" Dalam permaianan yang sesungguhnya!"
*** Ada suara geseran kaki-kaki kursi.
Disusul suara Suhandinata yang sudah bangkit dari kursinya.
"Persetan dengan semua ini!". ia mendengus.
Tak senang.
"Aku mengundurkan diri"
Seketika itu juga, dari tempat duduk Sri Lestari tampak adanya sinar merah menyala. Akan tetapi itu bukanlah sinar sepasang mata. Melainkan sinar merah yang meliuk-liuk liar. seperti ular yang marah karena tidurnya diusik.
Sebelum Suhandinata sempat menyadari apa-apa, liukan sinar merah darah tersebut sudah melesat dengan cepat dan langsung menerpa wajah suhandinata.
Suhandinata menjerit.
Jeritan sengsara.
Lantas jatuh terhumbalang bersama kursi yang belum sepenuhnya ia tinggalkan.
Dan terdengarlah bunyi berdetuk yang mendirikan bulu kuduk.
Bukan bunyi jatuhnya kursi. Melainkan bunyi berdetuknya kepala seseorang yang terhempas di lantai jubin yang keras.
Jerit sengsara Suhandinatapun melenyap seketika!
******* 8 Selama beberapa saat, tidak seorang pun yang berani bergerak untuk mengetahui apa yang sudah terjadi. Perasaan takut dan ngeri diam-diam menjalar dari kursi ke kursi.
Sampai suatu saat, kesunyian yang mencekam itu dipecahkan oleh desah nafas tertahan Sumiati. disusul bisikan kuatir.
" Kang Nata? Bicaralah. Katakanlah sesuatu......!"
Diam. Tak ada sahutan.
Juga tidak helaan nafas.
"Sialan!".
Barita akhirnya menggeram.
Marah. " Entah permainan terkutuk apa yang kita hadapi ini. Tetapi aku tak bisa berpangku tangan begitu saja!"
Dengan satu sentakan kasar, kursinya didorong ke belakang. Kemudian ia melangkah lalu berjongkok di tempat jatuhnya Suhandinata.
Dalam kegelapan. tangannya meraba-raba sebentar. Lalu berhenti dengan
mengejut. Yang lain menunggu.
Tegang. "Ada yang punya korek api?" terdengar suara pertanyaan Barita.
Dengan nada bergetar.
"Senter.....",
Handoko menanggapi.
Gelisah. "Di laci lemari makan ada lampu senter Sebentar_ kuambilkan!"
Lagi. bunyi dorongan kursi.
Tetapi Handoko baru dalam posisi setengah bangkit sewaktu byar. ruang makan tiba-tiba kembali terang benderang.
Sempat terkejut oleh lampu yang tadi padam dan kini menyala sendiri itu, Handoko tidak lantas tegak terbingung-bingung. Dengan cepat ia sudah memutari meja dan bergegas mendatangi tempat di mana Suhandinata terjatuh.
Sumiati ikut bergerak di kursinya.
Ia memutar tubuh, takut-takut.
Tetapi jangkauan pandangnya terhalang oleh sosok tubuh Handoko yang mendadak terhenti. menegun.
Penasaran.
Sumiati bangkit dari kursinya.
Berjalan mendekat, ia dorong tubuh Handoko ke samping. Handoko bergeser tanpa kata. Dan Sumiati pun dengan segera dapat melihat apa penyebab tuan rumah mereka itu mendadak diam seperti orang terpukau.
Suaminyalah penyebabnya!
Rebah telentang di lantai, tubuh Suhandinata tampak diam membeku.
Tanpa memperlihatkan adanya tanda-tanda kehidupan.
Terutama pada wajahnya, jika itu dapat dikatakan sebuah wajah. Karena di bagian atas leher Suhandinata yang tetap utuh tak terganggu. memang masih ada kepala. Lengkap dengan rambut serta telinga. Tetapi selebihnya adalah tulang semata.
Tulang tanpa kulit maupun daging.
Wajah sebuah tengkorak!
Membelalak seram. kedua belah lutut Sumiati menekuk dengan cepat.
Lantas tubuhnya pun ambruk ke lantai.
Jatuh tak sadarkan diri.
Ambruknya Sumiati menyadarkan Barita dari pesona mengerikan yang menguasai dirinya semenjak ia tadi berhenti meraba-raba.
Pelan dan kaku.
Ia meluruskan tubuhnya.
Berdiri tegak.
Sekaligus memutar leher.
Dan menatap ke arah meja upacara.
Secara naluriah.
Handoko ikut melakukan hal yang sama. Melihat ke satu-satunja orang yang masih tetap duduk di kursi.
Yakni Sri Lestari.
Yang duduk dengan kedua belah lengan terkulai kaku di samping tubuhnya yang duduk tegak. membeku. Topeng di wajahnya, juga tampak seperti ikut membeku. Sepasang mata menonjol di wajah topeng itu. sudah kembali pada warnanya semula.
Hitam pekat. seperti mati.
Tetapi tidak dengan moncong lebarnya.
Moncong itu perlahan-lahan tampak menggeliat geliat.
Hidup. Lalu terdengarlah kembali Suaranya yang khas. Suara bernada berat dan parau.
"Kalian lihat. bukan?", suara itu berkata.
" Penangkal di lambung kalian tiada berguna sama sekali!".
Diam sesaat, ia kemudian meneruskan dalam tanya.
" Tahu. mengapa?"
Barita diam mematung.
Lebih-lebih lagi Handoko, yang kedua lututnya mulai goyah.
"Karena." sang topeng menjawab sendiri pertanyaannya.
"...yang kuperlukan sekarang ini bukanlah isi lambung. Melainkan.....Wajah! Sebagai pengganti wajah lamaku yang telah dicuri lalu kalian kotori dengan upacara kalian yang menggelikan itu!"
Barita berjuang keras menguasai diri. Menelan ludah dua tiga kali untuk membasahi kerongkongan-nya ia kemudian memberanikan diri angkat bicara.
" entah apa atau siapa kau ini...". ia bergumam.
Serak. " Tetapi kami sedikit pun tidak tahu menahu apalagi terlibat atas apa yang kau tuduhkan itu!"
"Secara tidak langsung. mungkin betul!" _ sang topeng menyeringai.
Buas. " Pencurinya memang orang yang kalian sebut si Nyai ini. Tetapi dia hanyalah Sekedar pelaksana. Untuk mencapai apa yang kalian kehendaki. Dengan sendirinya, kalian pun ikut bertanggung jawab. bukan?"
"Baiklah!".
Barita semakin berani.
Melirik sekilas ke wajah tengkorak di dekat kakinya, ia kemudian coba coba berkompromi.
" Katakanlah tuduhanmu benar. Dan. agaknya kau sudah memperoleh apa yang kau kehendaki. Dari wajah orang malang yang tergeletak mati di dekatku ini. Maka kumohon dengan sangat. Sudilah meninggalkan kami sekarang juga!"
"Belum"; sang topeng kembali menggeliatkan seringai.
" Belum waktunya aku pergi!"
"Apalagi yang kau kehendaki?"
"Aku menuntut lebih banyak wajah!". jawab sang topeng dengan seringai lebar.
" Sebagai bonus. tentunya!"
Tanpa sadar.
Handoko menggagap.
" Apa........?!"
Leher Sri Lestari bergerak.
Dan menghadapkan sang topeng lurus ke arah Handoko.
Disusul gumaman berat.
"Hem. Aku kira. aku akan memulainya dari..........wajahmu!"
Mendengar itu, Handoko seketika menjerit.
"Tidak. Tidaaak.........!"
Lantas tanpa membuang waktu, sambil menjerit begitu. Handoko dengan cepat sudah melompat dan minggat seketika dari tempatnya berdiri. Dalam sekejap, ia sudah menghilang dari ruang makan. lari menyelamatkan diri.
Sambil terus menjerit-jerit ketakutan.
"Tidak! Jangan ganggu aku! Aku belum mau mati! Aku tidak mau kehilangan wajahku! Aku tidak mau...!"
Di tempat yang ia tinggalkan,mata besar sang topeng tampak menyala merah. Lalu topeng itu pun bergetar dan terus bergetar. Dengan mata merahnya tampak berputar-putar liar dan marah. Kepala maupun sekujur tubuh Sri Lestari sampai ikut bergetar, bahkan kemudian mulai terguncang-guncang,.
Keras. Lalu tiba-tiba terdengar suara desisan panjang.
Dan sang topeng tahu-tahu melenyap hilang. Meninggalkan wajah Sri Lestari yang sepucat kertas dan tampak banjir keringat. Kelopak matanya yang mengatup perlahan lahan membuka.
Lantas mengerjap kerjap.
Lalu seperti orang yang baru terjaga dari mimpi buruk.
Sri lestari mendesah gugup.
" Apa...yang terjadi?"
Barita pun bisa menatap.
Terpana. Handoko tiba di halaman rumah.
Berlari masuk ke dalam mobil, kunci kontak langsung ia jejalkan ke lubangnya. Berbeda dengan adegan sejumlah film yang pernah ditontonnya. kunci kontak langsung terpasang dengan benar walau tangan
Handoko yang memegangnya. bergemetar hebat. Dengan sekali sentak. mesin mobil juga langsung bereaksi. Disertai menyalanya lampu-lampu depan yang bersinar terang benderang.
Lega tapi masih ketakutan.
Handoko pun menggeram.
" Selamat! Aku selamat! Mau mengambil wajahku. dia bilang! Silahkan coba!"
Mobil dimundurkan dengan posisi siap mengarah ke arah jalan ke luar.
Jalan menuju kebebasan.
Kemudian rem diinjak.
Dan tangan Handoko sudah bersiap-siap memindahkan posisi tongkat persnelling,ketika tiba-tiba ia melihat sesuatu tak berapa jauh di depan mobilnya.
Diterangi lampu-lampu depan,tampaklah sang topeng menggantung di udara lepas.
Menggantung diam, sejejar pandang Handoko. Dengan pasang matanya yang memerah saga bersinar-sinar penuh kemarahan.
"Oh. oh. Tidak.!".
Handoko mengeluh.
Lantas bereaksi seketika.
Handoko yang malang!
Ia bereaksi tanpa berpikir. Reaksi yang timbul pada saat otak tersentak mengejut. Lupa posisi tongkat persnelling belum dipindahkan. kaki Handoko yang menginjak rem langsung diangkat naik. Dikarenakan kaki satunya lagi masih menginjak pedal gas sedalam dalamnya. mobil pun terlompat mundur dengan cepat. Dan di persekian detik berikutnya. bagian belakang kendaraan tersebut tahu-tahu sudah membentur batang pohon pinus terdekat. Dengan hantaman keras dan hingar bingar. Tubuh Handoko di belakang kemudi sampai terangkat dari jok. Kaki yang menginjak pedal secara reflek ikut terangkat pula.
Terdengar bunyi bergemerataknya gigi mesin. Dan ,setelah terlonjak sesaat mobil pun tiba-tiba terhempas diam. Mesin ikut diam.
Membisu Dengan lampu dengan tetap saja menyala.
Terang benderang.
Handoko yang kembali duduk terhempas bersama hempasan mobilnya. sempat berseru.
Kaget setengah mati.
Menatap ke depan, tampaklah sang topeng menyeringai. lebar.
Panik, tangan Handoko menggapai ke kunci kontak. Lalu diputar dengan gugup. Dan pada saat itulah baru terjadi adegan yang sering ia lihat dalam film. Walaupun kunci kontak ia putar beberapa kali dan sekeras-kerasnya pula, mesin mobil tetap_diam membisu. Tidak terdengar suara apapun juga.
Meski hanya desisan-desisan yang paling lemah sekalipun!
Putus asa, Handoko melompat keluar dari dalam mobil. Begitu kaki menginjak tanah. ia cepat memutar tubuh. Siap untuk lari menyelamatkan diri. Sayang. kesempatannya cuma sampai di situ saja.
Karena sang topeng tahu-tahu sudah menggantung diam beberapa langkah di hadapannya!
Handoko pun tertegak.
Membeku. Di depannya, sang topeng menyeringai. Lalu perlahan-lahan bergoyang.
Misteri Alam Gaib Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seperti menari.
Disaksikan Handoko yang menatap tak berdaya, sang topeng terus menari dan menari semakin cepat. Disertai tarian ritualnya. wujud sang topeng tampak serta mengabur dan terus mengabur. Lantas dengan tiba-tiba dan secara mengejutkan wujud itu muncul kembali. hanya saja, kali ini bukan dalam wujud topeng.
Melainkan sebuah wujud yang sama sekali sangat jauh berbeda.
Entah bagaimana terjadinya di hadapan Handoko
sudah berdiri tegak sesosok tubuh tinggi besar. Sosok yang dari kepala sampai ke ujung kaki terlindung oleh mantel panjang berwarna gelap. Lebih mengejutkan lagi pada bagian depan mantel yang menutupi kepala, Handoko tidak melihat gambaran apapun juga. Atau persisnya. ia tidak melihat adanya wajah.
Yang terlihat hanyalah kegelapan semata.
Kegelapan yang menghitam pekat!
lalu dari kegelapan itu. terdengarlah suara berat dan parau.
" Sudah kubilang. Aku menghendaki wajahmu!"
Bersamaan dengan terdengarnya suara itu. salah satu lengan bermantel di depan Handoko terangkat ke atas. Dan dengan cepat sudah terjulur ke arah wajah Handoko.
Handoko menjerit.
Jerit yang terdengar berkepanjangan.
Jeritan sengsara.
Dan mendirikan bulu roma.
******* 9 Di dalam rumah, gema dari jeritan itu terdengar sangat jelas dan nyata.
Barita terdongak.
Pucat dan ngeri.
Di tempatnya duduk, Sri Lestari yang hanya dengan sekilas pandang melihat pada dua sosok tubuh yang tergeletak di lantai sudah menyadari apa kiranya yang terjadi, seketika bereaksi secara naluriah.
"Angkat dan dudukkan dia kembali di kursinya!", ia memerintah dengan suara menyantak.
Tajam. Barita menoleh, terkejut.
" ...apa?"
"Sumiati! Cepat dudukkan dia di kursinya!". ulang Sri Lestari.
Tegang dan sama pucatnya dengan Barita.
" kau juga, duduklah di sebelahku. Atau semuanya akan terlambat!"
Menangkap adanya ancaman bahaya besar dalam nada suara maupun sikap sang medium. Barita tidak lagi bertanya-tanya. Tangkas dan sigap ia dengan segera
mematuhi perintah Sri Lestari .Tubuh Sumiati masih pingsan diangkat setengah diSeret, lama didudukkan pada kursinya semula Karena belum sadarkan diri. tubuh Sumiati tak bisa didudukkan dengan benar.
Malah terus oleng.
"Biarkan saja dia!" Sri Lestari berkata.
"Kau cepatlah duduk. Pegang tanganku!"
Saat Barita berlari memutari meja lantas duduk di kursi yang semula ditempati Handoko. tubuh Sumiati tersungkur ke depan. Kepalanya seketika membentur meja. walau benturan itu lumayan keras. Sumiati toh tetap saja tidak sadarkan diri. Hanya terdengar keluhan lemah dan pendek. Tubuh Sumiati duduk setengah menelungkup. Dengan wajah tengkurap ke satu sisi di permukaan taplak yang menutupi meja upacara.
Tanpa memperlihatkan belas kasihan di wajahnya. Sri Lestari cepat menggenggam tangan kiri Sumiati yang diangkat dan disandarkan di permukaan meja. hal yang sama ia lakukan pada tangan kanan Barita.
Barita diam menurut.
Dan tanpa menunggu perintah, tangan kirinya yang bebas ia ulurkan ke depan untuk menggapai tangan kanan Sumiati. Yang cepat digenggam dan ditautkan di atas meja.
"Ingat!".
Sri Lestari berujar cepat.
" Apapun yang terjadi atau kau lihat atau kau dengar..."!
Sambil manggut-manggut.
Barita menyela dengan suara tegang.
" Aku tak boleh bereaksi atau berkomentar apa-apa!"
"Bagus! Sekarang. bersiap-siaplah!"
Barita menganggukkan kepala.
Dan sementara Sri Lestari merapatkan sepasang kelopak mata dan mulai komat-kamit merapal mantera.
Gema jeritan dari luar rumah terdengar melemah lalu menghilang.
Dan diantara kesunyian yang datang menerpa,dari celah-celah bibir Sri Lestari terdengar suara bisikan memohon.
" Embah Jayenggrono. guru! Tolong dengarkanlah aku........!"
Sebetulnya yang berbicara itu adalah suara bathin Sri Lestari. Namun saking tegang, suara bathin tersebut mengalir ke luar tanpa disadari oleh Sri Lestari. Baru setelah terasa adanya getaran pada sel-sel otak maupun kendang'telinganya, Sri Lestari sedikit lebih tenang.
Bibirnya memang tampak berkemak-kemik untuk kemudian mengatup rapat sebagaimana dengan sepasang kelopak matanya.
Barita tidak mendengar apapun lagi.
Getaran bathin Sri Lestari sudah bekerja normal kembali.
Bathin yang buru-buru berdialog. Dengan tali bathin sang guru yang menyepi nun jauh di sana.
Di lereng gunung Dieng!
Kontak bathin itu berlangsung singkat saja. Tanpa bertanya lebih dulu, sang guru langsung mendenguskan bisikan kuatir.
" Aku tak bisa turun tangan, Cucu. Karena wangsit yang kuterima mengatakan. Bahwa yang kau hadapi sekarang ini, bukanlah pendatang dari alam gaib yang lazim kita kenal!"
"Apa yang harus kuperbuat, Embah?".
Sri Lestari bertanya.
Cemas. "Buku petunjuk yang kau sebut-sebut itu!" jawab sang guru.
Tegas. "Semua buku petunjuk --kapan dan dimana pun, selain memberitahu bagimana harus memulai, pasti juga memberitahu bagaimana harus mengakhiri!"
"Buku petunjuk yang satu ini berbeda Embah ! Isinya bisa dianggap ada. Bisa juga tiada"
"Apa?" sang guru mendengus terkejut.
Sri Lestari terpaksa mengaku.
"yang kubaca Embah. Adalah sebuah buku yang tak akan pernah Embah baca. Sebuah novel! Yang isinya tak lebih dari cerita fiksi!" _ _
"Astaga......!". desis sang guru.
Diam sejenak, ia kemudian melanjutkan.
" Pantas! Karena dari apa yang kulihat. sosok jahat yang kau hadapi agaknya hanya berasal dari alam pikiranmu sendiri. Maka. hanya dengan alam pikiranmu pulalah dia dapat kau kalahkan!"
"Telah kucoba. Embah!"
"Dan. gagal!", sang guru mendengus.
Kesal. " Anak bodoh! Bukankah kau tahu sendiri. Bahwa sebuah cerita fiksi terlahir dari imajinasi?
"Maksud Embah?"
"Imajinasi. cucu!". bentak sang guru.
Tak sabar.
" Jangan hadapi dia dengan kekuatan gaib yang biasa kita miliki. Tetapi hadapilah. hanya dengan imajinasi. Semata-mata imajinasi. Dan bukan imajinasi seorang medium. Tetapi imajinasi seorang manusia awam. Yang kecanduan cerita fiksi!"
"Astaga!". ganti Sri Lestari yang mendengus terkejut.
" Begitu sederhana......!"
"Mengapa pula tidak?". desis sang guru.
Barangkali sembari menyeringai.
Seringai mengejek.
Lantas sepi.
Kontak bathin berakhir sudah,
Tetapi begitu kontak bathin berakhir. getaran lain dengan segera sudah datang menggantikan .Getaran yang terasa mendekat dan terus mendekat.
Disertai serbuan hawa panas yang menyengat.
Sang mahluk terkutuk sudah kembali!
****** Yang pertama-tama melihat kedatangan sang mahluk adalah Barita.
Selagi Sri Lestari mengatupkan kelopak mata lantas tenggelam dalam semadhi, Barita merasa lebih aman membiarkan matanya tetap terbuka.
Nyalang. Dengan begitu ia dapat mengawasi sekitarnya. Dan siap membela diri jika tiba-tiba ada serangan yang datang.
Namun toh sewaktu mendengar jeritan sengsara Handoko di luar rumah. jantung Barita menciut. semacam kabut tebal yang merambat masuk ke ruang makan. Tetapi itu bukanlah kabut dingin sejuk. Melainkan kabut hitam tebal yang berhawa panas membara. Lalu dari balik kabut tebal itu muncullah sesosok tubuh misterius.
Tubuh tinggi besar yang keseluruhan sosoknya termasuk kepala, tertutup oleh mantel panjang berwarna gelap.
Seketika, Barita mengangkat muka.
Menatap terpana.
Dengan jantung bergetar keras.
Bagaimana tidak.
Salah satu lengan bermantel itu tampak menjinjing dua buah topeng yang mengeriut saking tipisnya. Topeng setipis kulit dan tampak masih segar dan basah. Dari tepi bawah masing-masing topeng itu terlihat adanya darah yang menetes-netes. Darah yang kemudian jatuh membercik, memerahi lantai. Sewaktu Barita memperhatikan lebih seksama. ia pun menyadari dengan terkejut. Bahwa yang dilihatnya
bukanlah topeng. Melainkan sepasang Kulit wajane.
Wajah-wajah yang menyeringai.
Sengsara. Wajah Handoko dan wajah Suhandinata!
Sambil menahan jeritan seram yang nyaris keluar dari mulutnya, gemetar Barita mengalihkan pandang ke wajah si pendatang.
Lantas diam terpukau.
Karena apa yang dilihatnya 'dibawah tudung-kepala itu. bukanlah seraut wajah. Melainkan kegelapan yang menghitam pekat.
Bak sebuah lorong gelap yang panjang tak bertepi!
Lorong gelap itu mengawasi Barita sejenak. Lalu ganti mengawasi Sri Lestari, yang entah mengapa wajahnya mendadak tampak berubah tenang dan datar. Terakhir sang sosok mengawasi wajah Sumiati yang setengah tengkurap di meja. Lalu terdengarlah gumamannya yang berat serta parau itu.
" Akan kumulai dengan wajah yang satu ini. Wajah lembut. tapi binal. Wajah bergelimang nafsu. Hehe-he........!"
Seraya mengekeh. sosok bermantel gelap itu berjalan mendekati meja. Lalu tangannya yang bebas terulur dari balik lengan mantel.
Tangan hitam kesat namun berlendir.
Seperti juga jari jemarinya yang serba berkuku panjang, runcing mencuat. Jari jemari yang mengerikan itu terlihat mengambang siap untuk merenggut lepas kulit wajah Sumiati.
"Tidak!", Barita menjerit.
" Tidak akan kubiarkan itu terjadi!"
Malang, cuma jeritan bathin semata. Karena sekujur tubuh Barita sudah keburu lumpuh dilanda teror.
Ia hanya mampu menatap seram.
Tanpa daya.
Dan.........
Dan jari jemari sang sosok sudah meraba-raba. Lantas perlahan-lahan mencengkeramkan kukunya ke
kulit wajah Sumiati. kemudian.
hap! Jemari berkuku itu menembus masuk lantas melayang lewat sampai keluar lagi ke belakang punduk Sumiati.
Sang sosok tampak meluruskan tegaknya dengan tiba-tiba.
Sambil bergumam.
Terkejut. " Eh. mengapa jadi begini? Bahkan sentuhan pun. tidak kurasakan!"
Pada saat itulah.
Sri Lestari membuka kelopak matanya.
Lantas tersenyum samar-samar.
Sambil berujar datar.
" Tak usah heran!"
Sang sosok berpaling seketika.
Demikian pula Barita.
Senyuman di bibir Sri Lestari tampak mengembang. Katanya,
" Aku yang menghendaki tangan terkutukmu lewat begitu saja!"
"Apa?". sang sosok bertanya. menyentak.
Kalem, Sri Lestari memberitahu.
" Permainan sudah selesai!"
"Selesai?". sang sosok bergumam.
Bingung. "Tetapi........."
"Aku." lagi Sri Lestari memotong sambil menunjuk diri sendiri. Ganti menunjuk Sumiati lalu Barita, ia menambahkan dengan cepat.
" Dia dan dia. Kami bertiga adalah nyata. Sementara kau ini, tidak. Kau tak nyata. Bahkan..tak pernah ada!"
"Hei.....!"
Sri lestari langsung nyerocos.
Tidak memberi kesempatan.
" Kini aku tahu sudah!". katanya.
" Mengapa setelah kita berpisah malam itu di lampu merah jalan Sukajadi. tiba dirumah kutemukan wajahmu tahu-tahu sudah ada di dalam tas tanganku. Aku telah berusaha bulak-balik mencarimu untuk mengembalikannya. Tetapi tak pernah ketemu. Rupanya wajahmu adalah sekaligus sosokmu sendiri. Dan kau mendekam nyaman di tempat kediamanmu. Yang juga ada di dalam tas tanganku!"
Sementara Barita menatap terbingung-bingung. sang sosok bermantel gelap tampak mulai goyah di tempatnya berdiri. Apalagi setelah Sri Lestari dengan cepat sudah menyambar tas tangannya dari lantai di dekat kaki kursi yang ia duduki. Secepat disambar, secepat itu pula dibuka dan tangan Sri Lestari merogo ke dalam. Waktu keluar lagi. di tangannya sudah tergenggam sejilid buku yang sampul depannya bertuliskan judul dengan huruf huruf balok.
MISTERI LEMBAH JAYAGIRI
"Di sinilah kau mendekam!".
Sri Lestari berkata menggeram.
" Atau lebih jelas lagi. Kau ini tak lebih dari sebuah imajinasi. Keseluruhan sosok maupun jiwamu. sesungguhnya hanya bisa hidup di dalam buku ini saja!"
Mendadak sang sosok meluruskan tegaknya. Bersamaan dengan itu. sekujur tubuhnya yang tertutup oleh mantel. tampak bergetar dan bergetar.
" Karena kau sudah tahu. maka.......!". ia menggeram.
Berat serta parau.
Lalu pada lorong gelap pekat di bawah tudung kepalanya.
Seketika tampak nyala sepasang sinar merah darah.
Tajam mengancam. Membuat Barita yang sedang kebingungan, kembali dilanda ketakutan.
Tidak dengan Sri Lestari.
Begitu lawan memperlihatkan tanda-tanda akan menyerang.
Sri lestari dengan cepat sudah menghardik.
Marah. " Musnah! Musnahlah kau, terkutuk!"
Menghardik demikian bagai orang kesurupan Sri Lestari dengan kasar merobek-robek buku yang ada di
tangannya. Di mulai dengan robekan kecil. lantas lembar demi lembar. Dirobek dan terus dirobek.
Semakin kasar
Dan semakin kejam.
Akibatnya. sungguh mengejutkan.
Saat buku mulai dirohek getaran tubuh sang mahluk bermantel gelap itu langsung berhenti menyentak. lantas diiringi jeritan panjang dan membahana. tubuh bermantel itu tampak terbelah di sana-sini.
The Feels Fat 1 Badminton Freak Karya Stephanie Zen Hijaunya Lembah Hijaunya 36
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama