Ceritasilat Novel Online

Perserikatan Naga Api 3

Perserikatan Naga Api Karya Stevanus Sp Bagian 3


Dua orang prajurit jaga kebetulan melihatnya, dan kedua prajurit itu mengiranya sesosok arwah penasaran yang sedang bergentayangan. Kalau manu?sia biasa, mana mungkin bergerak seringan dan secepat itu sehingga seolah-o?lah tidak menginjak tanah? Cepat-cepat kedua prajurit itu membaca mantera-mantera pengusir setan dengan bibir geme?tar.
-o0^DwKz-Hendra^0o- PERLAHAN tetapi pasti, malam berlalulah. Kerudung langit biru tua itu mulai tersingkap perlahan dari arah timur, dan cahaya keemasan yang hangatpun muncul kembali menghidupkan jagad raya yang beku dan gelap itu. Ko?non segala macam hantu, setan dan siluman gentar terhadap cahaya fajar ini, sebab cahaya yang hangat dan me?nyehatkan ini adalah perwujudan dari kasih sayang dan pemeliharaan dari Sang Pencipta Agung kepada umat manusia.
Agak jauh di sebelah barat kota Pak-khia, ada sebuah kuil rusak yang sudah lama tidak dipakai untuk bersembahyang lagi, terletak di lereng se?buah bukit kecil. Di lantai di dalam kuil itulah Wi-hong dan adiknya masih tertidur pulas. Benarkah kakak beradik itu telah dibawa oleh hantu ke tempat yang terpencil itu?
Tapi ternyata ada orang ketiga di tempat itu. Begitu Wi-hong membuka ke?lopak matanya dan mulai siuman, pan?dangannya segera menangkap adanya seorang rahib Buddha yang berjubah kumal dan sedang duduk santai sambil mengu?nyah daging bakar. Kelihatannya rahib ini bukan seorang rahib yang taat kepa?da ajaran agamanya, terbukti ia melang?gar pantangan makan barang berjiwa. Bahkan di sebelah tempat duduknya ada buli-buli arak pula. Masih ada lagi dua gumpal daging bakar yang belum sem?pat dimakannya, masih terpanggang di atas sebuah perapian kecil.
Tong Wi-hong segera bangkit dan berkata, "He, kaukah yang telah men?culik kami dari rumah paman Ting?"
Rahib itu hanya menyeringai dan ti?dak menyahut, karena mulutnya masih pe?nuh dengan makanan. Tapi kepala gundul?nya terangguk sedikit, membenarkan tu?duhan Tong Wi-hong itu. Setelah itu dengan santainya ia kembali menggerogo?ti daging bakarnya.
"Siapa kau sebenarnya? Apa maksud tindakanmu itu?" tanya Wi-lian yang te?lah siuman pula dari pengaruh totokan si bayangan hitam, yang bukan lain ada?lah rahib Buddha ini.
Rahib itu membuang tulang menjang?an yang baru saja digerogoti dagingnya, mengusap bibirnya dan menenggak araknya lebih dulu, setelah itu baru me?nyahut dengan gaya kemalas-malasan. "Nama agamaku adalah Hong-koan. Tapi kawan-kawan di dunia persilatan memang?gilku dengan sebutan Siau-lim-hong-ceng (Rahib gila dari kuil Siau-lim)."
Terkesiaplah Wi-hong dan adiknya setelah mendengar nama rahib itu, itu?lah sebuah nama yang cukup menggeta?rkan dunia persilatan. Sejenak wi-hong bertukar pandangan dengan adiknya. Ta?nya Wi-hong dengan nada berhati-hati tetapi lebih menghormat, "Jadi... jadi ... Tay-su (bapak pendeta ini) adalah saudara angkat yang tertua dari mendi?ang ayah kami?"
"Betul. Kami bertiga, yaitu aku sendiri, ayah kalian dan Ting Ciau-kun memang pernah bersumpah untuk mengang?kat saudara. Musibah yang menimpa ke?luarga kalian di An-yang-shia itupun aku sudah mendengarnya dari si dewa ga?dungan yang kurus itu."
Wi-hong dan adiknya paham, bahwa yang disebut "dewa gadungan" oleh ra?hib itu tentu susiok-co mereka, Oh Yu-thian yang berjulukkan "Soat-san-kiam-sian" (Dewa Pedang dari Soat-san) itu. Baik Siau-lim-hong-ceng Hong-koan mau?pun Soat-san-kiam-sian Oh Yu-thian ada?lah tokoh-tokoh yang merupakan anggauta dari "Sepuluh Tokoh Sakti" yang diakui dunia persilatan di jaman itu. Selain itu, keduanya juga merupakan sepasang sahabat karib.
Wi-hong telah bertanya pula, "Maaf, barangkali pertanyaan kami ini akan agak menyinggung taysu. Jika taysu be?nar-benar Hong-koan Hweshio, kenapa ha?rus keluar masuk rumah paman Ting seca?ra sembunyi-sembunyi ? Bukankah paman Ting itu merupakan saudara angkat taysu pula?"
Rahib dekil itu membelalakkan mata?nya sejenak, lalu katanya, "Baiklah aku terangkan, kalau tidak tentu kau ang?gap aku ini tukang memalsu orang lain. Ketahuilah, Ting Ciau-kun memang sauda?ra angkatku, namun aku kini sangat me?nyesal telah mengangkat saudara dengan seekor serigala berbulu domba semacam dia itu. Hanya dengan mengingat hubungan lama maka aku masih belum tega mem?bunuhnya."
Tapi jawaban itupun masih belum meyakinkan hati Wi-hong dan adiknya. Kenapa rahib ini menyebut paman Ting sebagai serigala berbulu domba? Bukan?kah selama beberapa hari ini sang pa?man telah menampung mereka dan melindungi mereka, dan bersikap sangat baik? Bahkan berjanji akan menurunkan ilmu Ngo-heng-ciang dan Eng-jiau-kang untuk membalas sakit hati ayah mereka?
"Tetapi... tetapi paman Ting sela?ma ini sangat baik kepada kami," ban?tah Wi-hong dengan ragu-ragu. Hatinya setengah percaya setengah tidak.
"Baik? Hem, baik gundulmu itu," sa?hut Hong-koan Hweshio dengan suara men?dongkol. "Ketahuilah, kalian masuk ke dalam rumahnya itu ibarat dua ekor kam?bing gemuk masuk ke mulut serigala, aku tidak akan menerangkannya panjang lebar, kalian boleh percaya dan boleh tidak. Jika kalian tidak percaya ucap?anku dan ingin kembali lagi ke rumah paman Tingmu itu, silahkan."
Baik Tong Wi-hong maupun adiknya menjadi serba salah menghadapi sikap rahib yang agak kaku dan pemberang itu. Meskipun demikian merekapun dapat merasakan bahwa rahib itu tidak berniat bu?ruk. Tetapi Wi-lian masih bertanya juga, "Dapatkah taysu mengatakan kepada kami, kejahatan apa saja yang telah di?perbuatnya atas diri kami?"
"Jika harus kujelaskan semua, mung?kin tiga hari tiga malam kalian tidak akan habis mendengarkannya. Tapi kuse?but saja beberapa perbuatan liciknya dia. Misalnya dia tidak segan-segan me?nyewa tenaga bandit-bandit semacam Thay san-sam-long (Tiga Serigala Gunung Thay-san) untuk mencegat dan berusaha merampas kitab milik saudara angkatnya sendiri, yaitu mendiang ayah kalian. Diapun pernah tertangkap basah olehku ketika sedang menggeledah kamar kalian, mencari buku ilmu pedang Soat-san-pay yang diincarnya dari dulu itu. Kalian harus percaya kepadaku, sebab aku ber?maksud baik," kata rahib itu.
Nada yang meyakinkan dari ucapan rahib itu mau tidak mau menggoyahkan juga kepercayaan Wi-hong dan adiknya akan "keluhuran budi" paman Ting mereka. Apa lagi ketika mereka teringat ba?gaimana Ting-ciau-kun tetap ngotot ingin mengetahui di mana beradanya kitab ilmu pedang itu, meskipun kakak beradik itu sudah berkali-kali menjawab tidak tahu. Nampaknya ucapan rahib Hong-koan itu bukannya tidak beralasan sama sekali.
Dan untuk lebih meyakinkan lagi, Hong-koan lalu menyodorkan sebatang tongkat bambu, sambil berkata, "Mung?kin kalian masih juga mencurigai bahwa aku adalah Hong-koan gadungan. Baiklah, orangnya bisa dipalsukan, masakan tong?kat bambu pusaka inipun bisa dipal?sukan? Kalian boleh memeriksanya dan mengujinya kalau kurang percaya."
Tongkat bambu yang disodorkan oleh rahib itu sekilas pintas memang tidak ada keistimewaannya, seperti bambu-bam?bu lainnya. Namun Tong Wi-hong kemudi?an teringat cerita ayahnya tentang ri?wayat tongkat bambu itu. Beberapa ta?hun yang lalu senjata andalan Hong-koan Hweshio sebenarnya bukan tongkat bambu semacam itu melainkan sepasang gelang baja yang beratnya hampir 70 kati. Ka?rena Hong-koan Hweshio adalah seorang yang gemar berkelana, pada suatu hari sampailah dia di lereng pegunungan Himalaya, di perbatasan antara Tibet dan india. Di sinilah Hong Koan Hweshio berjumpa dan bahkan bertempur dengan seorang pengembara fakir dari India yang tidak kalah lihainya dengan dia sendiri. Keduanya bertempur sama kuat dan sama-sama ambruk kehabisan tenaga, namun sekaligus juga timbul rasa sa?ling mengagumi dan permusuhanpun lenyap diganti dengan persahabatan. Sebagai tanda mata untuk mengenang perjumpaan mereka yang aneh itu, keduanya lalu se?pakat untuk saling bertukar senjata. Padahal biasanya senjata-senjata itu merupakan "nyawa kedua" bagi kedua tokoh sakti itu, namun kini mereka sa?ling menukarnya dengan rela, menandakan persahabatan yang tulus. Tongkat bambu milik fakir India itu ternyata terbukti merupakan sebuah pusaka berni?lai tinggi, meskipun ujudnya sama se?kali tidak menarik. Tongkat itu pernah diadu dengan pedang pusaka milik ketua Kun-lun-pay dan ternyata tidak rusak sedikitpun.
Diam-diam Tong Wi-hong menjadi ter?tarik juga untuk coba-coba menguji ke?hebatan tongkat butut itu. Katanya sam?bil menerima tongkat itu, "Ba... bagai?mana kalau kuuji tongkat ini?"
Rahib itu tertawa masam sambil me?nyahut, "Jika dengan demikian baru bi?sa membuat kalian percaya, ujilah."
Tong Wi-hong tidak sungkan-sungkan lagi. Ia segera melangkah menuju ke arah sebuah pohon sebesar paha orang de?wasa, yang tumbuh di halaman kuil ko?song itu. Tanpa ragu-ragu lagi ia ayun?kan tongkat itu untuk menghajar pohon itu.
Terdengar suara berderak keras, dan hasil gebukannya itu membuat Tong Wi-hong jadi takjub sendiri. Bukan tongkat bambu itu yang patah, melain?kan justru batang pohon itulah yang membekas tongkat dalamnya hampir sele?bar telapak tangan. Padahal tongkat besipun tidak akan meninggalkan bekas sedalam itu. Masih belum puas dengan per?cobaan pertamanya, Wi-hong meletakkan tongkat itu di tanah lalu ditimpanya dengan sebuah batu padas sebesar kepa?la kerbau. Terdengar suara berdebuk ke?ras dan debu mengepul. Tongkat bambu itu tetap utuh tanpa retak sedikitpun, sebaliknya batu padas itulah yang terbelah menjadi tiga bagian.
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 05 Mau tidak mau Wi-hong dan adiknya jadi geleng-geleng kepala melihat keam?puhan tongkat bambu itu. Menurut cerita ayah mereka, memang tongkat bambu Hong-koan Hweshio itu mengandung semacam ke?kuatan gaib yang sulit dicerna dengan akal. Perkembangan ilmu silat di India tidak sepesat di Tiongkok, tetapi orang orang India adalah orang-orang yang terkenal menyukai ilmu-ilmu sihir dan hal-hal yang bersifat gaib lainnya, se?hingga di bidang ini mereka dapat dika?takan bangsa yang paling unggul di du?nia. Tidak mengherankan pula kalau tong?kat bambu butut milik Hong-koan Hweshio itupun mengandung kekuatan-kekuatan de?mikian. Jika digabungkan dengan ilmu silatnya yang tinggi, maka jadilah Hong koan Hwesio "Harimau Yang Tumbuh Sayapnya".
Kini Tong Wi-hong dan adiknya ti?dak ragu-ragu lagi. Cepat mereka berlutut di depan rahib itu sambil memanggil "pek-hu" (uwa).
"Nah, sekarang kalian percaya bukan?" kata Hong-koan hweshio.
Tiba-tiba rahib itu mengebaskan lengan jubahnya yang kedodoran itu ke arah Wi-hong berdua yang berjarak be?berapa langkah dari padanya. Ternyata kebasan yang nampak sederhana itu te?lah menunjukkan ketinggian ilmu rahib kumal itu, sebab dalam satu gerakan se?kaligus mengandung dua macam tenaga yang berbeda. Wi-hong dan Wi-lian ter?dorong oleh angin kebasan itu sehingga jatuh bergulingan di lantai yang berde?bu itu, sebaliknya tongkat bambu yang mereka pegang itu justru "tersedot" dan melayang ke arah pemiliknya.
Rahib itu tertawa terbahak-bahak melihat kakak beradik itu menjadi tidak keruan macamnya karena tubuh dan muka mereka penuh debu.
Biarpun dalam keadaan serba runyam, Wi-hong dan adiknya tidak marah namun justru ikut-ikutan tertawa. Julukan "rahib gila" yang diberikan oleh orang-orang dunia persilatan kepada Hong-koan Hwesio memang bukan nama kosong belaka dan cocok dengan sifat-sifatnya.
Sementara itu Hong-koan Hwesio te?lah melemparkan dua potong daging menjangan panggang itu kepada kakak beradik itu, sambil berkata, "Isilah perut kalian, jangan sampai masuk angin dan menjadi sakit."
Sekarang Wi-hong dan Wi-lian meng?erti bahwa rahib kumal ini tidak menyu?kai segala macam hal yang bertele-tele, termasuk segala macam basa-basi. Maka tanpa disuruh untuk kedua kalinya, ka?kak beradik itu segera menyambar da?ging yang dilemparkan itu dan langsung melahapnya, meskipun daging itu agak?nya hangus sedikit.
Sedangkan Hong-koan Hweshio lalu bangkit sambil mengebas-ebaskan jubah?nya. "Aku merasa lega sekali bahwa kalian mempercayai aku. Kini kalian tunggu dulu di tempat ini. Aku akan pergi sebentar untuk mencarikan bekal serta dua ekor kuda buat kalian, sebab kalian harus segera meninggalkan tempat ini. Semakin jauh meninggalkan paman Ting kalian itu, semakin baik buat kalian," katanya.
Sahut Tong Wi-hong, "Mana berani kami membikin repot pek-hu? Meskipun kami harus meninggalkan Pak-khia teta?pi tidak perlu pek-hu yang bersusah pa?yah mencarikan keperluan kami."
Rahib kumal itu tertawa, "Maksudmu kalian akan mencari sendiri kuda dan bekal itu? Hemm, dengan kepandaianmu yang serendah itu mungkin kau akan ter?tangkap oleh kuku garuda atau oleh begundal-begundalnya paman Tingmu itu. Dengan demikian kalian justru akan se?makin merepotkan aku untuk membebaskan kalian kembali."
Keruan muka Tong Wi-hong menjadi merah mendengar sentilan tajam itu. Ta?pi ia tidak marah, karena hal itu memang kenyataan. Di kota kecil An-yang-shia, ia memang termasuk anak muda yang menonjol dalam hal ilmu silat. Tapi se?telah melihat di dunia yang lebih luas, ternyata bahwa kepandaiannya itu belum berarti apa-apa dibandingkan dengan tokoh-tokoh dunia persilatan saat itu.
Dengan beberapa kali lompatan sa?ja, Hong-koan Hweshio sudah pergi jauh. Meskipun tubuhnya tinggi besar, namun kelincahannya ternyata cukup mengagum?kan. Bahkan Wi-hong dan adiknya menak?sir bahwa kepandaian rahib kumal itu tentu tidak di sebelah bawah dari su-siok-co mereka, yaitu Soat-san-kiam sian Oh Yu-thian.
Sementara rahib itu pergi, kakak beradik itu mulai merenungkan apa yang telah diucapkan oleh Hong-koan Hweshio mengenai diri Ting Ciau-kun itu. Benar?kah Ting Ciau-kun berjiwa sebejat itu? Diam-diam timbul perasaan masgul yang sangat dalam di hati kakak beradik itu. Jika itu benar maka rasanya dunia ini tidak sehangat yang mereka duga.
Di balik muka yang manis belum tentu terdapat hati yang manis pula, bahkan mungkin terdapat ancaman yang keji.
Meskipun hati sedang gundah, tak urung gumpalan besar daging kijang itu lenyap juga ke dalam mulut mereka. Mak?lumlah, mereka belum sempat mengisi pe?rut sejak kemarin sore, dan hari itu sudah cukup siang.
Tidak lama kemudian, dari kejauhan terdengar derap kaki kuda menuju ke arah kuil rusak tempat mereka berada itu. Didengarkan dari suara derapnya yang cepat dan mantap, nampaknya kuda yang sedang mendatangi itu merupakan kuda-kuda pilihan.
Tong Wi-hong tetap santai saja men?dengar suara itu, sebaliknya adiknya yang bersifat lebih cermat dari kakak?nya segera menjadi tegang mukanya. Ka?tanya, "A-hong, kau dengar derap kaki kuda itu?"
"Aku dengar. Memangnya ada apa?"
"kau benar-benar ceroboh dan malas menggunakan otak," demikian Wi-lian menggerutui kakaknya. "Coba kau dengar lebih cermat lagi. Derapnya cepat dan mantap, jelas merupakan kuda-kuda padang rumput yang terpilih. Orang yang menunggang kuda macam itu biasanya ada?lah kaum kuku garuda, lagi pula tempat inipun belum jauh dari Pak-khia. Kau harus ingat, bahwa kita ini adalah res?mi sebagai buronan pemerintah kerajaan."
Mendengar itu Tong Wi-hong lalu me?lompat bangkit dengan beringas. Seru?nya, "Bagus, kebetulan sekali kalau yang datang ini adalah anjing-anjing Kaisar, biarlah kita hajar mereka un?tuk melampiaskan sakit hati keluarga kita. A-lian bersiap!"
Namun adiknya kelihatannya tidak begitu bersemangat untuk berkelahi saat itu. Serunya, "Kakakku, kau harus ingat bahwa pada umumnya para perwira kerajaan itu berilmu cukup tinggi. Mam?pukah kita yang hanya berdua ini meng?hadapi mereka? Masih ingatkah kau akan kejadian di rumah kita pada waktu diserbu orang-orangnya Thio Ban-kiat? Waktu itu, bahkan dengan bantuan seorang tokoh selihai Su-siok-cu Oh Yu-thian saja kita masih kewalahan mengha?dapi kerubutan mereka. Itu baru perwira perwira daerah Kiang-se, dan perwira-perwira di Ibukota Kerajaan ini tentu memiliki kemampuan yang lebih baik dari pada perwira-perwira daerah. Nah, apa?kah kita akan nekad berkelahi sehingga mampus dan tidak dapat lagi membalas?kan sakit hati keluarga kita?"
Tong Wi-hong tidak menyahut, tapi uraian adiknya itu cukup masuk akal. Agaknya setelah peristiwa pemukulan Cia Bok di An-yang-shia itu, Tong Wi-lian berubah menjadi lebih sabar dan lebih cermat. Memang bukan mustahil bahwa Thio Ban-kiat atau Cia To-bun telah melaporkan tentang "pemberontakan" kelua?rga Tong itu ke pemerintah pusat, se?hingga orang-orang keluarga Tong itu bukan saja akan menjadi buronanan di daerah Kiang-se, tapi juga di seluruh wilayah Kerajaan Beng yang luas itu.
"Kalau begitu, marilah kita hinda?ri mereka," kata Wi-hong.
Tetapi derap kaki kuda itu terlalu cepat datangnya, dan dalam sekejap sa?ja sudah tiba di depan kuil kosong itu. Namun yang datang ternyata bukanlah kaum kuku garuda seperti yang diduga oleh Tong Wi-hong dan adiknya, melain?kan rahib Hong-koan. Ia melangkah masuk ke dalam kuil dengan membawa dua buah bungkusan kain.
Sambil menarik napas lega, Tong Wi-hong dan adiknya batal untuk bersem?bunyi. Kata Wi-lian, "Kiranya pek-hu yang datang. Tadinya kami kira kawanan kuku garuda yang hendak menangkap kami."
Rahib itu berkata, "Pakaian dan bekal uang sekadarnya ini aku ambil dari seorang tuan tanah kejam yang tinggal di dekat Pak-khia. Sedangkan kedua ekor kuda yang cukup bagus itu aku ram?pas dari serombongan anjing Kaisar yang tengah mengganas terhadap rakyat. Keponakanku berdua, kukira kalian ti?dak boleh membuang waktu lagi. Berangkatlah sekarang juga, makin cepat dan makin jauh makin baik, sebab di daerah ini Ting Ciau-kun punya pengaruh kuat dan baginya bukan urusan sulit untuk menemukan kalian kembali. Kuanjurkan kalian kalian menuju ke arah selatan saja."
Tong Wi-hong dan adiknya menjadi tercengang mendengar anjuran itu. "Ke selatan?"
Bukankah mereka meninggalkan da?erah selatan lari ke utara justru un?tuk menghindari pengejaran Cia To-bun dan Thio Ban-kiat? Kenapa sekarang me?reka harus ke selatan lagi dan seolah-olah kembali masuk ke mulut harimau?
"Ya, ke selatan," Hong-koan Hwe?shio menegaskannya dengan wajah ber?sungguh-sungguh. Katanya lebih lanjut, "Di utara sini, jelas kalian tidak aman karena ada Ting Ciau-kun yang gila pangkat dan pujian, yang tidak akan se?gan-segan menyerahkan kalian kepada pi?hak pemerintah. Sedang daerah barat dan timur merupakan daerah-daerah yang ganas dan tempat bersembunyinya banyak tokoh-tokoh golongan hitam. Ke selatan-pun cukup berbahaya, tapi bahaya itu tidak sebesar jika berada di tempat lain. Di selatan, nama besar ayah kali?an masih punya cukup pengaruh untuk menggerakkan hati sahabat-sahabatnya dalam melindungi kalian."
Penjelasan Hong-koan Hwesio itu se?benarnya cukup jelas, tapi kedua kakak beradik she Tong itu bahkan terlongong seperti orang kehilangan pegangan. Mak?lumlah, mereka baru saja terlempar da?ri sebuah dunia yang dirasa indah dan tenteram ke sebuah dunia lain yang pe?nuh kekerasan di mana bahaya mengancam dari segala sudut. Mereka masih belum percaya sepenuhnya bahwa paman Ting yang baik hati itu ternyata hanya seo?rang munafik seperti yang dikatakan oleh Siau-lim-hong-ceng itu. Tapi semua kenyataan di depan mata memaksa mereka mau tidak mau harus berwaspada.
Kini mereka akan menuju ke selatan kembali. Tapi ke mana? Mereka sudah tidak punya sanak keluarga atau kenalan seorangpun di daerah itu. Harus?kah mereka menjadi gelandangan? Sesaat Tong Wi-hong dan adiknya menjadi ke?bingungan menghadapi perkembangan kea?daan yang berkembang terlalu cepat itu.
Meskipun digelari si rahib sinting, sebenarnya Hong-koan Hweshio berhati baik, jalan pikirannyapun tidak sesin?ting tingkah lakunya, bahkan tidak ja?rang ia berpikiran lebih cermat dari orang-orang yang mengaku waras. Ia men?jadi iba ketika melihat kakak beradik itu menjadi kebingungan. Tapi ia sendiripun belum dapat memberikan arah yang pasti, yang dia tahu hanyalah menjauh?kan kedua anak yang masih polos itu se?jauh-jauhnya dari Ting Ciau-kun, serigala berbulu domba itu.
Sementara itu, di dalam kebingungannya tiba-tiba Tong Wi-hong menemukan akal yang dianggapnya bagus. Katanya, "Pek-hu, bagaimana kalau kami berdua mengikuti pek-hu berkelana saja? Se?lain untuk belajar ilmu silat pek-hu yang tinggi, juga untuk menambah penga?laman dalam dunia persilatan."
Dan sebelum Siau-lim-hong-ceng me?nyahut, Tong Wi-lian telah lebih dulu menyambutnya dengan sorakan gembira.
Namun kakak beradik itu menjadi ke?cewa bukan main setelah melihat Hong-koan Hweshio menggeleng-gelengkan kepa?lanya sambil berkata, "Tidak bisa jadi. Haruslah kalian ketahui bahwa musuh-mu?suhku sangat banyak, boleh dikatakan bahwa di segenap sudut negeri ini ter?dapat musuh-musuhku sebab sifatku yang gemar berkelahi. Jika kalian berdua mengikuti aku, maka keselamatan kalian-pun ikut terancam, dan aku tidak akan membiarkan kalian ikut menyerempet-nyerempet bahaya bersama aku."
Sebenarnya Hong-koan Hwesio sangat kasihan melihat kakak beradik yang ke?cewa itu, namun apa yang telah dikata?kan itu memang sebenarnya. Akhirnya ra?hib kumal itu menghiburnya, "Aku paham sekali akan hasrat hati kalian yang ingin mencari guru yang pandai dan mem?pelajari ilmu silat yang tinggi. Kare?na itu kuanjurkan kalian mencari guru di daerah selatan saja, sebab kebanyakan tokoh-tokoh lihai di daerah utara ini sudah menjadi kaki tangan Kaisar."
"Dapatkah pek-hu menyebutkan ke ma?na kami harus menuju dan kepada siapa kami harus berguru?"
Sahut Hong-koan Hweshio, "Banyak sekali tokoh-tokoh di selatan yang pantas menjadi guru kalian. Pertama-ta?ma kalian dapat mencari kakak sepergu?ruanku, Hong-pek atau Hong-tay Hwe?shio, yang berdiam di kuil Siau-lim-si di Siong-san. Masih ada lagi Ketua ku?il Giok-hi-koan di Bu-tong-san, yaitu Kim-hian Tojin, Liu Tay-liong di Kay-hong yang terkenal sebagai ahli menotok jalan darah nomor satu di dunia, atau Tiam-jong-lo-sia (si sesat tua dari Tiam-jong-san) di Hun-lam. Tetapi kepada Tiam-jong-lo-sia ini kalian ha?rus agak hati-hati, jangan sampai jika kalian berguru kepadanya lalu ketula?ran sifat-sifat gilanya."
Tong Wi-hong dan adiknya mengangguk anggukkan kepalanya dan mencatat nama nama itu di dalam hati mereka. Sedangkan Hong-koan Hweshio bukan saja membe?rikan daftar nama-nama tokoh terkenal, tapi juga menyebutkan beberapa nama yang lebih baik dihindari dari pada di?dekati. Antara lain adalah Lam-gak-su-koay (Empat Siluman dari Gunung Selatan) yang bersimaharajalela di Ou-lam, lalu Co-siang-hui-mo (Iblis Terbang di Padang Rumput) si dedengkot penjahat di Su-coan, Thi-jiau-tho-wan (Monyet Bungkuk Berkuku Besi) di Ho-lam dan sebagainya. Tokoh yang disebut terakhir ini, menurut Hong-koan Hweshio, bukan tokoh yang terlalu jahat tetapi juga bu?kan orang baik-baik.
Setelah memberikan pesan-pesan se?perlunya, rahib pengembara itupun lalu pergi meninggalkan kedua orang kepo?nakan angkatnya itu. Sayup-sayup masih terdengar suara nyanyiannya yang sum?bang itu makin lama makin jauh sampai akhirnya tidak terdengar lagi. Sikap dan gerak-geriknya melambangkan kebebas?an hidupnya, sebebas seekor burung yang terbang di udara. Tapi di balik sikap bebasnya itu ia masih merasa dibebani sikap bertanggung-jawab untuk mengamankan dunia dari segala perbua?tan busuk dan ketidak-adilan.
Tong Wi-hong dan adiknyapun merasa tidak ada lagi yang mereka tunggu di kuil kosong itu. Setelah membenahi diri, merekapun menaiki kuda mereka dan membawa bekal mereka untuk mening?galkan tempat itu menuju ke selatan. Mereka bagaikan dua ekor domba gemuk yang tersesat di padang luas dunia per?silatan, di mana kelompok-kelompok se?rigala bertebaran di mana-mana. Tetapi kedua ekor domba gemuk itu punya tekad kuat dalam hati masing-masing bahwa me?reka akan menjadikan diri mereka ha?rimau, sehingga tidak lagi menjadi se?kedar mangsa serigala.
-o0^DwKz-Hendra^0o- "A-LIAN, kau kelihatannya lesu dan kurang bersemangat dalam melan?jutkan perjalanan ini," Tong Wi-hong menegur adiknya yang berkuda di sebe?lahnya. "Apakah kau merasa kurang enak badan?"
Gadis itu tidak menyahut. Hanya mu?kanya yang tertunduk seakan-akan se?dang menghitung langkah-langkah kaki kuda tungganggannya.
Sikap itu membuat kakaknya jadi menduga-duga, apa gerangan yang telah terjadi atas diri adiknya? Tiba-tiba Tong Wi-hong berkata sambil tertawa le?bar, "Ah, alangkah bodohnya aku. Tapi sekarang aku tahu yang membuat kau ti?dak bersemangat meninqgalkan Pak-khia!"
Kali ini Wi-lian mengangkat wajah?nya memandang kakaknya. Dan terdengarlah sang kakak meneruskan ucapannya ta?di, "A-lian, mengaku terus teranglah kepadaku, kau berat meninggalkan Ting Bun bukan?"
Seketika merah padamlah wajah si gadis she Tong itu, sebab isi hatinya dapat ditebak dengan tepat oleh kakak?nya. Tinjunya yang kecil itu segera terayun hendak memukul pundak kakaknya, namun Wi-hong sempat mengelakkannya sambil tertawa semakin keras.
''Nampaknya tebakanku tidak meleset," kata Tong Wi-hong sambil mengendorkan lari kudanya.
Akhirnya Tong Wi-lian cuma bisa me?narik napas panjang sambil menunduk?kan kepalanya. Jauh di dasar hatinya, gadis itu memang sangat mengagumi Ting Bun. Dalam usia yang masih muda, Ting Bun telah menampakkan kepribadian yang begitu kuat mempesona, berwibawa, bertanggung-jawab, jujur dan tidak muna?fik. Tadinya Wi-lian menganggap perasa?annya sendiri itu tidak lebih dari perasaan kagum dan hormat saja. Tetapi setelah ia dan kakaknya berjarak puluh?an li dari Pak-khia, mulai terasa bah?wa perasaan yang berkembang di dalam hati mudanya itu bukan sekedar perasa?an kagum dan hormat saja, tetapi jauh lebih indah dari pada itu. Tubuhnya me?ninggalkan Pak-khia, tetapi sebenarnya hati gadis itu telah tertambat di kota itu. Perasaan yang tengah dialaminya adalah perasaan yang paling indah, yang harus dialami oleh semua manusia.
Sedang Tong Wi-hong agaknya masih saja berniat mengganggu adiknya itu, "Aku lupa bahwa kau bukan anak kecil lagi, bahkan tahun ini usiamu sudah de?lapan belas tahun lebih. Lagi pula Ting Bun itu nampaknya juga... memper?hatikan kepadamu...."
Wi-lian menjadi semakin tersipu, dengan gemas ia mengangkat cambuk kuda di tangannya untuk dipukulkan ke pung?gung kakaknya, tapi dapat dihindari oleh kakaknya. Wi-lian jadi semakin jengkel dan berseru, "A-hong, sudahlah, kenapa kau selalu mengolok aku? Bila ada kesempatan ingin kuhajar babak-belur pantatmu itu!"
Wi-hong tertawa keras, "Aduh galaknya menantu keluarga Ting ini!"
Gadis itu menjadi semakin gemas kepada kakaknya, tetapi sebenarnya jauh di dasar hatinya terselip juga seper?cik rasa bahagia yang hangat. Ucapan kakaknya yang menyatakan bahwa sebenarnya Ting Bun juga menaruh perhatian ke?padanya itu memang bukan ucapan ngawur, tapi kenyataan. Wi-lian sendiri juga merasakan hal itu. Hanya saja dia ada?lah seorang gadis, sehingga merasa ma?lu untuk menampakkan perasaannya seca?ra terbuka namun alangkah pahitnya bah?wa kini ia harus berpisah sebelum sem?pat saling mengutarakan isi hati.
Merasa telah cukup menggoda adik?nya, Wi-hong segera mendekatkan kem?bali kudanya dan berkata, "Baiklah, aku tidak akan mengolokmu lagi. Aku minta ampun kepadamu."
Mau tidak mau Wi-lian tertawa me?lihat sikap kakaknya itu. Omelnya, "Da?sar kau memang jahil, agaknya mulutmu gatal jika tidak menggodaku? Sedangkan di pundak kita masih terbeban beberapa kewajiban berat. Sakit hati ayah belum terbalas, lagi pula Ibu dan A-siang ma?sih harus kita cari entah ke mana. Bagaimana aku berani mendahulukan kepentingan pribadi dan menyampingkan kewa?jiban keluarga?"
Diingatkan akan kewajiban-kewaji?ban keluarga yang masih membebaninya, Tong Wi-hong tidak berani bergurau lagi. Demikianlah kakak beradik itu me?lanjutkan perjalanannya ke arah sela?tan.
Karena mereka tidak pernah mela?rikan kudanya dengan cepat maka sete?lah menempuh perjalanan tiga hari, me?reka baru mencapai kurang lebih 200 li dari Ibukota Kerajaan. Bahkan di tempat tempat di mana ada pemandangan yang indah, kakak beradik itu sering berhen?ti untuk menikmati pemandangan atau un?tuk melatih ilmu silat mereka.
Hari keempat, mereka memasuki sebuah jalan yang sunyi dan yang terle?tak di pinggir sebuah hutan yang tidak begitu lebat.
Tengah kedua kakak beradik itu berkuda dengan santai sambil bercakap-cakap, tiba-tiba dari arah belakang mere?ka terdengar derap seekor kuda yang dilarikan dengan kencangnya. Cepat Tong Wi-hong dan adiknya meminggirkan kuda mereka agar tidak tertabrak penunggang kuda itu.
Penunggang kuda itu ternyata ada?lah seorang lelaki yang bertubuh te?gap dan bertampang kasar, di punggung?nya tergendonglah sebatang golok besar. Ketika ia mendahului kedua kakak bera?dik she Tong itu, ia sengaja melambat?kan kudanya dan matanya sempat melirik serta memperhatikan wajah kedua kakak beradik itu dengan seksama. Setelah merasa yakin, ia mempercepat kembali lari kudanya, dan sebentar saja sudah tidak terlihat bayangannya lagi.
Wi-hong dan Wi-lian adalah anak-a?nak muda yang hijau dalam pengalaman. Tingkah laku si lelaki penunggang kuda itu sama sekali tidak menimbulkan rasa curiga mereka, dianggapnya hal biasa sebab wajah Wi-lian memang cukup can?tik untuk menarik perhatian kaum le?laki. Mereka tetap tenang saja dan me?lanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap.
Tetapi alangkah terkejutnya, ke?tika kuda mereka tiba-tiba meringkik dan roboh ke tanah, karena kaki bina?tang-binatang itu terjerat oleh seutas tali yang dipasang melintang di atas tanah. Rupanya tali itu memang sengaja dipasang di situ untuk menjerat kuda yang lewat.
Untunglah, biarpun Tong wi-hong berdua tidak mengira akan kejadian itu, namun sebagai pemuda-pemudi yang ter?didik ilmu silat sejak kecil, mereka dapat dengan tangkas melompat dari ku?danya tanpa jatuh terbanting. Namun mu?ka mereka nampak agak pucat karena terkejutnya.
Belum lagi tenang debaran jantung mereka, telah terdengar suara daun-daunan tersibak dan rerumputan terin?jak, lalu muncullah belasan lelaki ber?tubuh kekar dan bermuka garang yang langsung bersikap mengurung Tong wi-hong dan adiknya. Di antara mereka, nampaklah si penunggang kuda yang tadi hampir menabrak Wi-hong dan adiknya itu.
Jumlah para penghadang itu ada limabelas orang, semuanya nampak tangkas disimpulkan bahwa mereka adalah ka?wanan manusia yang mencari nafkah de?ngan senjata. Ada pula yang bertangan kosong, namun agaknya tidak kalah ber?bahayanya dengan kawan-kawannya yang bersenjata.
Melihat itu, diam-diam Tong Wi-hong dan adiknya mengeluh di dalam hati. Ke?tika mereka dibawa dari rumah Ting Ciau kun oleh Hong-koan Hweshio, pedang me?reka telah tertinggal di rumah paman Ting itu, dan sampai sekarang mereka belum sempat mendapat gantinya! Mengha?dapi limabelas orang berandal tangguh itu tanpa pedang adalah pekerjaan yang cukup berat buat orang-orang yang ber?kepandaian setaraf dengan Wi-hong dan Wi-lian.
Salah seorang dari berandal-beran?dal itu segera bertanya kepada Tong Wi-hong dengan suaranya yang berat, "He, kau tentu yang bernama Tong Wi-hong? Dan gadis itu tentu yang ber?nama Wi-lian bukan?"
Wi-hong dan adiknya saling bertukar pandangan dengan herannya karena ter?nyata orang-orang ini dapat mengenali nama-nama mereka. Diam-diam mereka mu?lai merasakan adanya gelagat kurang baik.
Kemudian Wi-hong memberi hormat sambil balas bertanya, "Siapakah tu?an-tuan ini? Ada keperluan apa dengan diri kami?"
Lelaki tadi tertawa pendek sambil memegang-megang kumisnya, "He-he, ditanya belum menjawab tapi malah balas bertanya. He, bocah dungu, jawab dulu pertanyaanku tadi!"
Tong Wi-hong mengerutkan keningnya, dan hatinya mulai menjadi tidak senang melihat sikap orang yang sok jagoan itu. Tapi mengingat kekuatan mereka sendiri yang terbatas, terpaksa ia me?nyabarkan diri dan menekan kemarahannya. Katanya, "Kami memang benar Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian dari An-yang-shia. Ada urusan apakah kalian mencari kami?"
Seorang berandal lainnya yang ber?senjata kampak bertangkai panjang, se?gera mendengus, "Hah, benar-benar ber?nyali besar, begitu ditanya langsung mengaku. Tidak mengecewakan kalian se?bagai putera-puteri Kiang-se-tay-hiap yang tersohor itu. He, anak muda yang berani, ketahuilah, bahwa kami sudah menyetorkan delapanbelas batok kepala ke hadapan si gemuk Cia To-bun itu, te?tapi tidak sebutir batok kepalapun yang cocok sehingga upah yang dia janjikanpun belum kami terima. Tapi berdasarkan pengakuanmu tadi, agaknya kini kami tidak akan salah penggal la?gi. Jadi terima kasih atas pengakuanmu."
Hati Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian bergejolak hebat mendengar ucapan be?randal itu. Ternyata para berandal itu bekerja demi upah yang dijanjikan oleh Cia To-bun untuk memburu dan membunuh sisa-sisa keluarga Tong. Agaknya Cia To-bun benar-benar menjalankan pedoman membabat rumput seakar-akarnya.
Sementara berandal berkumis itu telah berkata lagi, "Benar, kali ini orang she Cia itu pasti akan membayar upah kita, seratus tahil perak untuk ti?ap batok kepala. Setelah itu tinggal?lah kita mencari di mana isteri Tong tian dan anak tertuanya yang bernama Tong Wi-siang itu, dan setelah itu ki?ta punya cukup banyak uang untuk ber?foya-foya."
Kemarahan telah meluap dalam diri Wi-hong dan adiknya setelah tahu bahwa berandal-berandal itu bekerja untuk Cia To-bun. Bentak Wi-lian, "Bagus! Jadi kalian ini adalah anjing-anjingnya si keparat itu?"
Berandal berkumis itu masih saja tertawa-tawa sambil memegang-megang kumisnya, sahutnya, "Begitulah. Berhu?bung kantong kami sedang kosong, ter?paksa akan kami pinjam kepala kalian antuk ditukarkan dengan uang si gendut she Cia itu. Kami berjanji jika ada uang akan menyelenggarakan sembahyang sederhana untuk menghormati arwah kalian."
Kawanan berandal itu serempak tertawa ketika mendengar kelakar kawannya yang berkumis itu. Bahkan ada seorang berandal muda yang menimbrung kurang ajar, "Gadis anak Tong Tian ini boleh juga. Sebelum kita jual kepalanya, baik?lah kita kerjakan dulu, sebab kurang enak kalau harus bermesraan dengan gadis tanpa kepala."
Sekali lagi hutan itu bagaikan tergetar oleh suara tertawa para berandal itu.
Sedang Wi-hong dan Wi-lian menjadi merah mukanya karena marahnya. Mereka pun sudah menyadari bahwa sulit untuk meloloskan diri dari kepunqan ke limabelas orang berandal bersenjata ini, na?mun mereka lebih suka bertempur mati matian dari pada menodai nama keluarga Tong.
Mendadak Tong Wi-hong melompat ke arah si berandal muda yang berdiri tiga langkah dari tempatnya itu, dengan sebuah pukulan dan tendangan kilat ia membuat si berandal muda roboh terkapar sambil memuntahkan darah. Rupanya Wi-hong ingin membuat kawanan berandal yang sedang mabuk kegirangan itu untuk mengurangi jumlahnya, dan ternyata ia berhasil.
Wi-lian cukup cerdas untuk menang?kap maksud kakaknya, diapun segera menirunya dengan menyerang berandal terdekat secara mendadak. Tapi gebrakan pertama dari kakaknya tadi telah mem?buat para berandal bersiaga, sehingga serangan mendadak Wi-lian itu kurang berhasil.
Berandal yang bersenjata kampak bertangkai panjang itu agaknya meru?pakan pimpinan dari kelompok berandal itu. Melihat kakak beradik itu mulai bergerak, ia segera memerintahkan kepa?da anak buahnya, "Bunuh yang lelaki! Usahakan tangkap hidup-hidup yang perem?puan!"
Tetapi kedua putera-puteri Kiang-se-tai-hiap itu justru lebih dahulu menyer?ang lawan-lawan mereka dengan kemarahan meluap. Dalam waktu sekejap saja terjadilah perkelahian sengit dua la?wan empatbelas di tempat yang sunyi itu.
Para penjahat itu ternyata bukan manusia-manusia lemah, mereka cukup pu?nya bekal dalam menjalankan kejahatan-kejahatan mereka. Mereka juga sudah me?nang pengalaman dan mampu bekerjasama dengan rapi dalam menghadapi kakak beradik she Tong yang mengamuk seperti harimau luka itu.
Sebentar saja Wi-hong dan Wi-lian mulai merasakan tekanan berat dari la?wan-lawan mereka, apa lagi mereka ber?dua cuma bersenjata cambuk kuda, se?dang lawan-lawan mereka bersenjata tombak panjang, toya, golok dan sebagainya. Apa lagi si pemimpin berandal yang bersenjata kampak bergagang pan?jang itu benar-benar tidak dapat dipandang ringan, dialah yang ilmu silat?nya paling tangguh.
Dalam keadaan semakin gawat buat dirinya dan adiknya itu, sekonyong-konyong Tong Wi-hong ingat ajaran ayah?nya bahwa "membekuk ular harus menang?kap kepalanya lebih dulu". Maka diam-diam Tong Wi-hong mulai berusaha bergeser mendekati si pemimpin berandal itu, dan mempersiapkan tindakan-tindakan kilat untuk menjalankan rencananya.
Suatu ketika Tong Wi-hong merasa sudah tiba waktunya. Dengan disertai sebuah bentakan menggeledek ia berha?sil merobohkan salah seorang berandal dengan tendangan ke bawah perutnya, se?hingga si berandal roboh dengan perut mulas. Setelah itu, sambil memutar cam?buk kudanya secepat angin puyuh, Tong Wi-hong menerjang ke arah si pemimpin berandal itu.
Si pemimpin berandal itupun bukan manusia keroco yang tak berguna, dengan kampaknya ke kepala Wi-hong. Wi-hong terpaksa menjatuhkan diri dan ber?gulingan untuk menghindarkan diri dari sambaran maut itu. Dengan demikian gagal?lah maksud Tong Wi-hong untuk menjalankan tipu "membekuk ular menangkap kepalanya dulu" itu. Bahkan kini si pe?mimpin berandal yang cukup berpenga?laman itu sudah dapat menebak maksud?nya.
Baru saja Tong Wi-hong melompat bangun, dua orang berandal yang masing-masing bersenjata golok dan tombak pan?jang telah menyergap serempak. Dengan sabetan cambuknya ke samping, Tong Wi-hong berhasil melibat dan membelokkan arah bacokan golok lawan. Sedang kaki kirinya melakukan gerakan kaki Pay-lian-ka (Tendangan Teratai Terhembus Angin) dan berhasil pula menendang tombak la?wan sehingga melesat jauh dari sasaran?nya. Untuk sementara dia masih dapat membela diri, tetapi Wi-hong sadar bah?wa keadaannya yang seperti itu tidak dapat dipertahankan terus. Kekalahan baginya hanyalah soal waktu. Dia dan adiknya ibarat dua ekor binatang buru?an yang sudah masuk dalam perangkap, biarpun sudah meronta bagaimanapun pas?ti akan mati di ujung senjata lawan-la?wan mereka, kecuali datangnya suatu ke?ajaiban.
Keadaan Wi-lian juga tidak kalah payahnya dari kakaknya. Sebenarnya gadis itu punya niat untuk mencapai kuda?nya dan naik ke atas punggung kuda. Dia berharap akan lebih mendapat keun?tungan jika berkelahi di atas kuda, dan dia memang pernah berhasil hampir menduduki punggung kuda, tapi seorang lawan berhasil menarik kakinya sehing?ga terpaksa ia berkelahi di atas tanah kembali.
Satu-satunya keuntungan Tong Wi-li?an dibandingkan dengan kakaknya hanya?lah bahwa berandal-berandal itu agaknya tidak ingin melukai kulit gadis itu. Mereka ingin menjadikan gadis itu sebagai pelampiasan hawa nafsu lebih dulu, sebelum memotong batok kepala gadis itu dan membawanya kepada Cia To-bun. Merka menggunakan tipu hanya mengurung untuk menghabiskan tenaga Wi-lian, dan jika sudah kelelahan barulah akan ditangkap hidup-hidup.
Tiba-tiba si pemimpin berandal yang bersenjata kampak panjang itu ber?teriak kepada anak buahnya yang tengah mengurung Wi-lian, "He, pusatkan kekua?tan kalian untuk menghabisi si bocah lelaki yang bandel itu. Anak gadis yang mulus ini biarlah kutangani sendiri !"
Sebenarnya berandal-berandal itu lebih senang berkelahi melawan Tong Wi-lian yang cantik, tapi merekapun tidak berani menentang perintah pemimpin?nya. Beberapa orang berandal yang meng?epung Wi-lian itu segera berlompatan meninggalkan lawannya dan beralih mengurung ke arah Tong Wi-hong yang se?makin kepayahan. Meskipun dalam hati kawanan berandal itu memaki pemimpin mereka yang mau enaknya sendiri itu.
Kawanan berandal itu memang hanya menguasai ilmu silat kasaran saja, na?mun kekuatan tubuh mereka rata-rata justru cukup tangguh, begitu pula keka?saran dan kelicikan mereka. Mereka ada?lah petualang-petualang yang kenyang dengan pengalaman tempur, dan sanggup berkelahi sehari suntuk tanpa beristirahat. Sebaliknya, meskipun Tong Wi-hong memiliki ilmu silat yang lebih baik, tapi dalam masalah ketahanan tubuh dan pengalaman justru tidak dapat menan?dingi berandal-berandal itu.
Sementara itu si pemimpin berandal itu telah melemparkan kampak bertang?kai panjang dan menempur Wi-lian de?ngan tangan kosong. Gerakannya mantap dan kuat, dan nampaknya dia cukup ma?hir dalam ilmu gulat Mongol. Tingkat kepandaiannyapun mengungguli Wi-lian.
Bukan itu saja, pemimpin berandal itu ternyata cukup kuat kulitnya, se?hingga cambuk Wi-lian yang ber?kali-kali menghantam tubuhnya itu sea?kan-akan dianggapnya hanya gigitan-gigitan nyamuk yang tidak berarti. Ma?lahan beberapa kali gadis itu hampir saja terpegang oleh tangan yang kekar dan berbulu lebat itu. Makin lama ma?kin terdesaklah Wi-lian.
Dalam keadaan genting itu, sadar?lah Tong Wi-lian bahwa dia harus memi?lih sasaran dalam mencambuk lawan, se?bab kulit lawan ternyata cukup tebal dan liat. Maka selanjutnya gadis itu mulai mengarahkan ayunan-ayunan cambuk?nya ke bagian-bagian lemah seperti ma?ta, tenggorokan dan bahkan ke bagian terlarang seorang lelaki. Meskipun hal itu dilakukannya dengan muka merah ka?rena malu sendiri, tapi akhirnya gadis itu menekan jauh-jauh semua perasaan?nya. Demi kehormatan yang dipertahan?kannya, ia tidak segan-segan berbuat apa saja.
Siasatnya itu ternyata cukup ampuh juga, sebab kini si pemimpin berandal tidak berani lagi mengabaikan cambukan-cambukan gadis itu, dan desakannyapun berkurang tidak segarang tadinya. Na?mun kemarahannya justru semakin mening?kat, geramnya, "Bagus, gadis binal, se?karang kau boleh melihat kelihaianku !"
Begitu selesai dengan kalimatnya, ia merapat maju dan kedua tangannya secara bergantian menangkap dan menceng?keram secara gencar dengan ilmu gulat Mongolnya. Didesak semacam itu, cambuk Wi-lian jadi agak kehilangan daya guna?nya. Setiap kali Wi-lian mencoba menga?tur jarak dengan lawannya, tapi lawannya yang lebih berpengalaman itu malah berhasil mendesaknya bagaikan bayang?annya. Meskipun bertubuh besar, ternya?ta pemimpin berandal itu lebih tangkas dari Wi-lian.
Napas Tong Wi-lian mulai tersengal-sengal. Bukan hanya karena kelelahan, tapi juga karena perasaan ngeri mulai merayap di hatinya, membayangkan peng?hinaan yang bakal diterimanya apa bila ia jatuh ke tangan para berandal itu. Tiba-tiba matanya mulai berkunang-ku?nang dan tenaganyapun semakin lemah.
Di saat itulah kedua belah tangan si pemimpin berandal itu bergerak se?rempak, dan kali ini tidak memberi ke?sempatan kepada korbannya untuk meng?hindarinya lagi. Dengan mudah Tong Wi-lian segera dapat diringkusnya dan langsung diseret masuk ke dalam hutan. Bahkan tidak dipedulikannya anak buah?nya yang masih bekerja keras untuk me?nundukkan Tong Wi-hong.
Malahan si pemimpin berandal itu sempat berteriak sambil tertawa, "Kali?an bereskan dulu bocah lelaki itu. Nan?ti kalianpun akan kebagian!"
Karena Tong Wi-lian masih juga me?ronta mencoba melepaskan dirinya, maka dengan jengkel si pemimpin berandal lalu memanggul tubuh gadis itu secara paksa dan dibawa menghilang ke dalam hutan.
Tong Wi-hong melihat semua kejadian itu tapi tidak dapat berbuat apa-apa, darahnya mendidih hebat. Ia berteriak-teriak kalap dan mengamuk hendak menje?bol kepungan untuk merebut kembali adiknya, tapi kepungan para berandal itu sangat ketat. Biarpun ada beberapa orang berandal ada yang roboh, tapi ha?nya dengan sehelai cambuk kuda di tangannya, mustahillah bagi Tong Wi-hong untuk bisa lolos dari kawanan berandal yang bersenjata itu.
Karena ia semakin gugup, maka tu?buh Wi-hong kembali terkena senjata la?wan, menimbulkan beberapa luka baru.
Akhirnya pemuda yang biasanya le?mah lembut itu menjadi nekad dan menjadi sangat kasar, teriaknya dengan ama?rah meluap, "Kawanan bajingan tengik! Hari ini biarpun aku mati di tangan kalian, tapi beberapa orang di antara kalianpun harus ikut mampus menemani aku!"
Oleh semangatnya itu maka kekua?tannya yang hampir habis itu seolah bertambah kembali. Dengan menggeram se?perti macan luka dan menyerang membabi-buta, kembali dua orang berandal berha?sil ditendangnya roboh. Tapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa akhirnya tenaganyapun mulai susut dengan cepat, dan melulu semangat yang berko?bar saja tidak banyak menolongnya. Langkahnya mulai terhuyung-huyung dan sabatan cambuknya tidak terarah lagi.
Kawanan berandal itu menjadi kegir?angan, mereka berteriak-teriak, "Ke?pung terus tikus ini! Tenaganya sudah hampir habis dan setelah itu barulah kita sembelih!" Seorang berandal yang bersenjata ce-bi-kun secara telak ber?hasil menghantam punggung Tong Wi-hong, sehingga anak muda yanq gagah perkasa itu kini tersungkur jatuh ke depan sam?bil menyemburkan darah segar dari mulutnya. Ia mendapat luka dalam yang tidak ringan.
Tapi putera Kiang-se-tay-hiap itu telah digembleng dengan watak ksatria sejak kecil, ia pantang menyerah sebe?lum ajal tiba. Dengan bergulingan ke sana ke mari dia masih dapat menghindari senjata-senjata lawan-lawannya yang bertubi-tubi menghujani tubuhnya. Bahkan suatu kesempatan ia berhasil me?lompat berdiri, meskipun dengan tubuh lemas dan mata berkunang-kunang.
Sambil mengayun-ayunkan cambuk ku?danya ia berteriak parau, "Kawanan an?jing gila, hayo maju ke sini dan menga?du jiwa dengan aku kalau berani!"
Seorang berandal yang bersenjata pedang, segera menyambut seruan itu dengan menyeringai dingin dan mengejek, "Tikus kecil ini sudah dekat ajal tetapi masih berani membuka mulut besar. Biar pedangku mencicipi darahnya!"
Begitu mulutnya tertutup begitu pula pedangnya berkelebat ke arah leher Tong Wi-hong dengan derasnya. Wi-hong sudah berusaha mati-matian mengelakkan pedang itu, tapi seluruh tubuhnya su?dah begitu lemah dan tidak dapat dige?rakkan sedikitpun juga. Akhirnya ia cu?ma bisa mengertak gigi dan pasrah na?sib, sementara matanya terpejam menung?gu batang lehernya terrpenggal. Bahkan sebelum mata pedang menyentuh lehernya, Wi-hong sudah tak sadarkan diri, bukan karena ketakutan tapi karena benar-be?nar telah kehabisan tenaganya.
Dalam pada itu, Tong Wi-lian yang sedang dibawa oleh si pemimpin berandal ke dalam hutan itu masih saja berusaha keras untuk melepaskan diri. Gadis itu terus meronta-ronta, menendang dan memukul, bahkan tidak segan-segan un?tuk menggigit pula. Tetapi sepasang tangan yang menawannya itu tetap kokoh kuat bagaikan terbuat dari besi. Si pemimpin berandal bahkan tertawa-tawa kesenangan karena merasakan gesekan-ge?sekan tubuh dengan gadis rampasannya ketika gadis itu meronta-ronta, sementara langkahnya tidak pernah berhenti.
"Sabarlah, sebentar lagi kita akan di tempat yang aman dan kita akan ber?sama-sama menikmati sorga dunia," ejek?nya sambil tertawa terkekeh.
Semakin ngerilah gadis itu mende?ngar ucapan pemimpin berandal itu. Di pelupuk matanya sudah terbayang suatu penghinaan yang sangat keji, lebih ke?ji dari kematian buat seorang perempu?an terhormat. Diam-diam timbul tekad wi lian untuk menggigit putus lidahnya sendiri agar mati saja dari pada menga?lami aib seumur hidupnya.
Namun di saat nasib buruk itu sudah hampir pasti dialami oleh gadis itu, dan si pemimpin berandalpun sudah ham?pir pasti pula akan mengalami "kemenangan"nya, datanglah seorang dewa pe?nolong.
Saat itu si pemimpin berandal sudah tiba di tengah hutan, di suatu tem?pat yang dianggapnya cukup nyaman un?tuk melampiaskan nafsunya sebelum me?menggal kepala gadis itu dan kemudian ditukarnya dengan uang seratus tahil perak, sekonyong-konyong di tempat itu berkumandanglah suara pujian merdu ke?pada Sang Buddha, "Omitohud !"
Suara itu tidak terlalu keras, na?mun jelas mengandung suatu kekuatan yang menggetarkan hati siapapun. Kete?nangannya seperti ketenangan sebuah te?naga yang dalam, kewibawaannya seberat Gunung Tay-san. Si pemimpin berandal yang sudah siap untuk melucuti pakaian korbannya itu jadi terkejut bukan main dan menyapukan pandangan matanya ke sekelilingnya.
Tiba-tiba dilihatnya sesosok ba?yangan putih berkelebat dengan kecepatan yang mengaburkan mata. Lalu muncullah di tempat itu seorang rahib tua berjubah putih, berwajah ramah penuh kedamaian dengan sinar mata yang lem?but. Jubah dan jenggotnya yang juga berwarna putih itu melambai-lambai, menambah perbawanya sehingga mirip seorang dewa dalam dongeng kuno saja.
Pemimpin berandal yang merasa keinginannya terganggu itu menjadi murka bukan main. Bentaknya kasar, "Bangsat gundul! Rupanya kau bosan hidup sehing?ga berani mengganggu kesenanganku? Se?butkan namamu !"
Si rahib itu ternyata tenang-te?nang saja menghadapi sikap kasar si pe?mimpin berandal itu, dengan suara te?tap lembut ia memperkenalkan dirinya, "Aku adalah Hong-tay Hweshio, dari Siong-san."
Buat kaum persilatan yang berpengetahuan luas dan sering bergaul anta?ra sesama kaum persilatan, nama itu tentu akan mengejutkan, sebab Hong-tay Hweshio adalah tokoh sakti dari kuil Siau-lim-si yang menduduki urutan kedua dalam deretan nama "Sepuluh Tokoh Maha Sakti di Jaman Itu". Tapi si Pemim?pin berandal itu justru ibarat katak di dalam sumur, pengetahuannya tentang dunia persilatan sangat terbatas se?hingga nama Hong-tay Hweshio justru tidak menimbulkan kesan apapun.
Sikapnyapun tetap kasar dan takabur, geramnya, "He, keledai gundul Hong-tay, tempatmu bukan di sini teta?pi di kelenteng, bersembahyang serta membaca kitab suci, buat apa kau berke?liaran di tempat ini dan mengganggu ke?senangan orang lain?"
Rahib itu menyahut dengan tetap ra?mah, "Jika saat ini aku berada di ke?lenteng, lalu siapa yang mencegah per?buatan jahatmu? Apa artinya aku dapat memahami seluruh isi kitab suci tetapi seorang sesamaku aku biarkan saja meng?alami penghinaan dan dihancurkan selu?ruh masa depannya?"
"Kurang ajar! Jadi dengan hadirnya kau sekarang ini kau pikir kau mampu menyelamatkan gadis ini dari tangan?ku?" teriak pemimpin berandal itu de?ngan amarah meluap. Lalu dengan sekuat tenaga ia ayunkan kakinya untuk menen?dang ulu hati si rahib tua itu.
Dengan tenang si rahib tua itu mengangkat tangannya ke depan dada se?perti orang memberi hormat, sambil menggumamkan pujian, "Omitohud."
Dan si pemimpin berandal tiba-tiba merasakan bahwa ada segulung tenaga tidak terlihat yang mendampar ke arahnya dengan kuatnya. Bukan saja ten?dangannya meleset dari sasarannya, bah?kan tubuhnyapun terdorong beberapa langkah ke belakang dan jatuh terkapar.
Baru kini tertampil perasaan kaget pada wajah si pemimpin berandal. Di?am-diam dia mulai merasa keder melihat rahib tua itu demikian lihai. Tetapi dia masih belum jera, kini ia menghu?nus sebatang pisau belati yang disem?bunyikan di bajunya dan bangkit kem?bali. Bentaknya, "Kau memang hebat, keledai gundul, tetapi kini jangan sa?lahkan aku kalau kukirim nyawa bangkotanmu itu ke neraka!"
Pemimpin berandal itu memang cukup tangkas, gerakannya cepat seperti see?kor harimau menerjang mangsanya, dan pisau belati di tangannya itu bagaikan kuku-kuku harimau yang siap merobek-ro?bek tubuh lawan.
Namun rahib tua itu tetap berdiri di tempatnya dengan tenang dan santai, wajahnya tetap penuh welas-asih. Meski?pun pemimpin berandal itu telah melaku?kan serangan yang berusaha menghabisi nyawanya tapi si rahib tidak kelihatan marah atau dendam. Seenaknya saja ia mengebaskan lengan jubahnya dan dengan tepat berhasil membelit pisau lawan lalu dengan sebuah kebasan ringan ia berhasil membuat lawannya jungkir-balik. Pemimpin berandal yang begitu garang itu ternyata tidak lebih hebat dari se?orang anak kecil umur tiga tahun jika dihadapkan dengan tokoh nomor dua di Tiong-goan itu.
Kini habislah nyali si pemimpin be?randal itu. Jatuhnya kali ini cukup keras dan pinggangnya menimpa sepotong akar yanq menonjol dari tanah. Ia ti?dak dapat segera bangkit kembali karena sakitnya. Dengan tertatih-tatih akhir?nya ia dapat berpegangan kepada pepohonan di sekitarnya dan berdiri perlahan-lahan.
Di dalam hatinya ia merasa malu marah dan penasaran, tetapi dia insyaf bahwa berlatih sepuluh tahun lagipun belum tentu dapat menandingi rahib itu. Akhirnya ia menerima kenyataan itu, dan dengan terbungkuk-bungkuk sambil memegangi pinggangnya yang sakit ia me?langkah pergi dari tempat itu.
Sebelum ia melangkah terlalu jauh, masih terdengar suara rahib Hong-tay yang bernada menasihati sekaligus meng?ancam, "Aku berharap agar anda bersedia memikirkan kembali ke jalan yang be?nar. Jika anda masih saja melakukan kejahatan dan mengganggu ketenteraman sesama manusia, maka apa boleh buat, terpaksa anda akan merepotkan murid-mu?rid Siau-lim-pay kami yang tersebar di mana-mana."
Pemimpin penjahat itu nampak agak memucat mukanya ketika mendengar perka?taan Rahib Hong-tay itu. Meskipun mu?lutnya tidak menyahut, tapi ia menger?ti bahwa ancaman itu bukan main-main. Dengan terpincang-pincang ia menerus?kan langkahnya dan sesaat kemudian ia sudah tidak terlihat lagi di tempat itu.
Tong Wi-lian menarik napas lega se?telah melihat perginya pemimpin berandal itu, tidak lupa ia mengucapkan te?rima kasih kepada rahib tua yang telah menyelamatkannya dari aib hebat itu.
Rahib tua itu menjawab ucapan te?rima kasihnya dengan suaranya yang ber?wibawa tapi lembut, "Sudahlah, nona, berterimakasihlah kepada Thian yang se?lalu melindungi orang baik."
Sementara itu, mendadak Tong Wi-li?an teringat kepada kakaknya yang saat itu tentu masih menyabung nyawa di luar hutan sana. Katanya kepada Rahib Hong-tay, "Tay-su (bapak pendeta), aku te?lah menerima pertolonganmu yang maha besar, tetapi dapatkah aku minta tolong sekali lagi kepada Tay-su?"
"Katakan saja. Jika aku mempunyai kemampuan untuk melakukannya tentu aku tidak akan menolaknya," sahut rahib itu.
Dengan singkat segera Tong Wi-lian mengatakan tentang kakaknya yang masih terancam jiwanya oleh sekawanan berandal di luar hutan itu. Mendengar hal itu, Rahib Hong-tay langsung berkata, "Kalau begitu kita tidak boleh terlambat menolongnya. Nona, marilah tunjukkan di mana kakakmu sedang terancam ba?haya !"
Lalu rahib itu mengulurkan tangannya dan berkata, "Kita harus cepat, ka?rena itu peganglah tanganku supaya aku dapat menggunakan ilmu meringankan tu?buhku."
Tong Wi-lian tahu bahwa rahib itu berhati suci bersih dan bukan seorang munafik, lagi pula usianya cukup pantas untuk menjadi kakeknya, maka tanpa ma?lu-malu lagi ia memegang tangan rahib itu. Dan begitu kedua telapak tangan itu saling genggam, tiba-tiba Wi-lian merasa kakinya terangkat dari tanah dan tubuhnya melayang ke depan secepat kilat. Ternyata rahib tua itu telah menariknya dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh supaya cepat sampai di tujuan.
Gadis itu merasa betapa pepohonan di kiri kanannya seolah-olah terhanyut ke belakang dengan cepatnya. Dan ke?tika ia melirik ke arah sepasang kaki rahib tua itu, semakin hebatlah keka?guman gadis itu. Ternyata sepasang kaki Hong-tay Hweshio bagaikan tidak mengin?jak tanah karena gerakannya yang ter?lalu cepat. Bahkan berlari di tengah hutan yang tidak rata dan penuh pepohonan itu ternyata si rahib dapat mem?bawa Wi-lian dengan leluasa seperti me?lalui tanah lapang saja. Gin-kang (Ilmu Meringankan Tubuh) sehebat itu ternyata Wi-lian belum pernah menyak?sikannya. Bahkan Wi-lian menaksir bah?wa kepandaian Hong-tay Hweshio ini be?berapa tingkat di atas Siauw-lim-hong ceng (Rahib Gila Dari Siauw-lim) atau?pun Soat-san-kiam-sian (Dewa Pedang da?ri Soat-san) yang juga tergolong tokoh-tokoh sakti jaman itu.
Sambil membiarkan tubuhnya diseret oleh rahib itu, diam-diam Tong Wi-lian berpikir, "Pantas sekali orang-orang dunia persilatan di Tiong-goan menju?luki kuil Siau-lim-si di Siong-san itu sebagai persembunyiannya naga dan ha?rimau. Cukup Hong-tay Hweshio dan Hong-koan Hweshio saja sudah merupakan dua buah tiang yang maha kokoh untuk menunjang keangkeran Siau-lim-pay. Apa lagi di dalam kuil itu tentu masih ada tokoh sakti lainnya yang seangkatan dengan mereka. Belum terhitung puluhan tokoh tokoh angkatan muda mereka yang tentu merupakan pendekar-pendekar tangguh pu?la."
Lalu gadis itu mencoba membuat per?bandingan antara Siau-lim-pay dan Soat-san-pay. Maka secara jujur ia harus mengakui bahwa pengaruh Soat-san-pay masih tidak sehebat Siau-lim-pay, mes?kipun Soat-san-pay juga merupakan per?guruan besar di daerah barat. Ini disebabkan oleh karena Siau-lim-pay meru?pakan aliran silat yang ratusan tahun lebih tua dibandingkan Soat-san-pay. Selain itu, tokoh-tokoh Soat-san-pay kebanyakan berdiam jauh di wilayah ba?rat dan jarang menampakkan diri di dunia persilatan Tiong-goan sehingga nama mereka kurang dikenal orang. Ini berbeda dengan tokoh-tokoh Siau-lim-pay yang banyak berkecimpung dalam dunia persilatan dalam menegakkan kebenaran.
Dalam pada itu, tak terasa tibalah mereka di pinggir hutan di tempat ter?jadinya pertempuran tadi. Tetapi per?tempuran telah selesai dan tempat itu telah menjadi sunyi kembali seperti semula. Yang ada hanyalah mayat para ber?andal yang bergelimpangan di sana-sini, sedang mayat Tong Wi-hong ternyata ti?dak ada di antara mayat-mayat itu! Hal itu membuat hati Wi-lian sedikit lega, tapi timbul kegelisahan baru kalau me?mikirkan entah bagaimana nasib kakak?nya. Ketika Wi-lian mencoba menghitung jumlah mayat-mayat itu, semuanya ber?jumlah empatbelas. Jadi gerombolan be?randal yang menghadangnya itu telah tertumpas habis kecuali si pemimpin be?randal yang diampuni oleh Hong-tay Hwe?shio tadi.
Sedangkan Rahib Hong-tay justru me?nampakkan wajah sedih melihat mayat bergelimpangan sebanyak itu. Ia mena?rik napas beberapa kali dan bergumam dengan suara rendah, "Rupanya di sini?lah tadi kakakmu bertempur. Meskipun aku datang terlambat tapi agaknya kakak?mu yang gagah perkasa itu telah me?nolong dirinya sendiri dengan menumpas semua musuh-musuhnya tanpa ampun. Omi-tohud ! Benar-benar ganas."
Dalam suara rahib tua itu terkandung nada penyesalan dan kesedihan, ru?panya paderi itu bersedih kenapa manu?sia masih saja demikian buas dan saling membunuh tanpa kenal ampun? Bah?kan ada nada menyalahkan Tong Wi-lian yang memiliki kakak sekejam itu.
Cepat Tong Wi-lian menggelengkan kepala sambil membantah, "Pasti bukan kakakku yang membunuh mereka. Aku berani bersumpah disambar petir pasti ini bukan perbuatan kakakku. Kepandaian ka?kakku tidak sehebat ini, ia hanya ung?gul sedikit dari padaku, dan dengan da?sar kepandaiannya itu mustahil ia mam?pu membunuh empatbelas orang pembunuh bayaran yang rata-rata berkepandaian cukup tangguh itu. Bahkan ketika aku dibawa oleh pemimpin berandal tadi masuk ke dalam hutan, kakakku sudah da?lam keadaan terluka dan kelelahan, ham?pir tidak bisa melawan sama sekali, se?dang musuh-musuhnya masih dalam keada?an utuh. Kakakku tidak mampu membunuh seorang lawanpun sebab ia cuma bersen?jata sehelai cambuk kuda."
Kemudian Rahib Hong-tay berjongkok untuk memeriksa mayat-mayat itu, alis?nya yang putih seperti kapas itu nam?pak berkerut-kerut. Dia kemudian bergu?mam, "Aku mempercayai ucapan nona. Me?mang bukan kakakmu yang membunuh berandal-berandal ini. Agaknya aku dapat menebak siapa orang itu. Rupanya sete?lah membunuh orang-orang ini, ia lalu membawa pergi kakakmu."
Tong Wi-lian menjadi sangat lega karena ucapannya dipercaya oleh rahib sakti itu. Tak terasa ia berdiri di be?lakang rahib itu dan ikut memperha?tikan cara rahib itu memeriksa mayat-mayat itu.
Sementara Rahib Hong-tay berkata lagi, "Memang ada beberapa luka-luka kena cambukan, tetapi luka-luka itu ha?nya luka-luka kulit dan sama sekali tidak mematikan. Yang mematikan adalah luka yang membelah dada mereka. Luka itu bukan disebabkan oleh pedang atau golok, melainkan oleh jenis senjata yang lebih ganas lagi disebut Hau-thau-kau (Kaitan Kepala Harimau). Pedang dan golok hanya membelah kulit dan da?ging, tapi Hau-thau-kau orang itu da?pat merobek-robek sampai ke bagian da?lam tubuh lawan. Itulah yang mematikan berandal-berandal ini."
Terdorong oleh rasa keinginan tahu?nya, Tong Wi-lian lalu bertanya kepada rahib tua itu, "Tadi tay-su pernah mengatakan bahwa tay-su mengetahui sia?pa orangnya yang membunuh penjahat-pen?jahat ini. Dapatkah tay-su memberitahu?kannya kepadaku supaya aku dapat menca?rinya dan menanyakannya tentang kakakku?"
Teringat kepada orang yang bersen?jata Hau-thau-kau itu, berkerutlah alis Hong-tay Hweshio menandakan ketidak-senangan hatinya. Orang itu sebena?rnya adalah tergolong tokoh golongan lurus, bahkan dia adalah pemimpin dari sebuah piau-hang (Perusahaan Pengawalan) yang cukup terkenal. Namun yang menimbulkan ketidak-senangan Hong-tay Hweshio adalah sikapnya yang terlalu keras dalam menghadapi golongan hitam. Orang itu tidak pernah mengampuni penjahat-penjahat yang menjadi lawannya, meskipun lawannya sudah tunduk dan me?nyatakan bertobat. Ia bersemboyan "Seka?li penjahat tetap penjahat", biar diam?puni juga kelak akan berbuat jahat la?gi. Maka kaum penjahat yang kepergok orang ini hanya ada dua jalan, yaitu membunuh atau terbunuh. Karena rahib Hong-tay berwatak welas asih dan peng?ampun, maka ia merasa tidak cocok de?ngan sifat-sifat ganas orang ini, dan karena itu pulalah ia segan menyebut?kan namanya di hadapan Tong Wi-lian.
Sedangkan Wi-lian terus mende?saknya, "Luka-luka di tubuh berandal-berandal ini cukup dalam namun lurus dan panjang. Jelas pembunuhnya adalah orang yang mampu menggerakkan Hau-thau-kaunya dengan kekuatan besar dan kecepatan yang tinggi. Orang berkepandaian yang setaraf ini tentu tidak banyak di dunia persilatan, tentu tay-su mengenalnya pula."
Keengganan Rahib Hong-tay menyebut?kan orang itu adalah karena menguatirkan Wi-lian yang masih lugu itu akan menemui orang itu, berguru kepada orang itu dan kemudian ketularan sifat-sifat keras dari orang itu. Hal itu tidak dikehendaki oleh rahib yang welas asih itu. Karena itu terpaksa ia agak ber?bohong dalam menjawab desakan Wi-lian itu, "Omitohud, setiap kali aku tering?at kepada orang itu, yang terbayang di benakku hanyalah muncratnya darah dan jerit kematian. Aku memang mengenal or?ang itu dan pernah bertemu dengannya, tetapi aku tidak tahu siapa nama aslinya dan di mana tempat tinggalnya. Jadi maaf, aku tidak bisa memberi kete?rangan yang jelas kepada nona."
Sambil mengucapkan kata-kata itu, diam-diam Hong-tay Hweshio mohon ampun kepada Sang Buddha sebab telah melanggar larangan berbohong. Tetapi Rahib Hong-tay berpendapat bahwa "kebohongan yang menyelamatkan adalah lebih baik dari pada kejujuran yang menjerumuskan".
Tong Wi-lian menjadi sangat ke?cewa karena tidak berhasil mendapatkan keterangan yang diinginkan. Namun ha?tinya tidak begitu cemas lagi memikir?kan kakaknya, sebab agaknya kakaknya telah diselamatkan oleh seseorang yang berkepandaian tinggi. Bahkan ada kemungkinan besar sang kakak akan bergu?ru kepada orang ini.
Begitu pikirannya melayang ke per?soalan "berguru" tiba-tiba terbukalah pikiran gadis ini. Kini di hadapannya tengah hadir seorang rahib yang kesak?tiannya seperti dewa, bahkan terhitung kakak seperguruan dari uwak angkatnya Hong-koan Hweshio, kenapa kesempatan ini tidak dimanfaatkan untuk mohon menjadi muridnya?
Karena itu alangkah kagetnya Rahib Hong-tay ketika tiba-tiba gadis she Tong itu tiba2 berlutut menyembah kepa?danya, dan berkata dengan nada mengibakan hati, "Tay-su, kini setelah berpi?sah dengan kakakku maka aku benar-benar sendirian di dunia ini. Ayahku telah tiada, sedangkan ibuku dan kedua orang kakakku tidak kuketahui di mana bera?danya. Aku seorang gadis lemah, maka mohon belas kasihan tay-su untuk mene?rima aku sebagai murid dan mengajarkan ilmu silat kepadaku."
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 06 UNTUK sesaat Rahib Hong-tay tercengang oleh permintaan yang mendadak itu. Kemudian ia tertawa dan berkata, "Kenapa nona begitu percaya bahwa aku dapat mendidikmu dalam ilmu silat?"
"Te-cu (murid) percaya bahwa dalam bimbingan Suhu (guru) te-cu akan dapat mempelajari ilmu silat Siau-lim-pay yang terkenal sejak dahulu. Murid su?dah melihat sendiri kesaktian dan keba?jikan Suhu," sahut Tong Wi-lian dengan tegas.
Upacara penerimaan murid saja be?lum terjadi, tetapi gadis itu sudah me?manggil "guru" kepada rahib sakti itu, mau tidak mau Hong-tay Hweshio geli da?lam hati melihat sikap yang masih agak kekanak-kanakan itu. Namun sekaligus mata batin Hong-tay Hweshio yang tajam itupun dapat melihat semangat dan kekerasan hati yang membaja dari gadis itu. Jauh di hati kecil rahib itu memang sudah timbul rasa sayang kepada gadis yang lugu itu dan ingin mendidik?nya sebagai murid.
Tetapi rahib tua itu tidak langsung menyatakan menerima Wi-lian melainkan ia masih bertanya lagi, "Setelah kau menjadi seorang yang berilmu tinggi lalu kau mau apa?"
Tong Wi-lian agak bingung menjawab pertanyaan itu. Di dalam hatinya bergejolaklah dendam kesumatnya kepada Cia To-bun dan Thio Ban-kiat yang telah menghancurkan ketenteraman hidupnya dan membuat keluarganya jadi tercerai-berai. Tapi hal gejolak hatinya itu tidak diutarakannya kepada rahib sakti itu.
Tak terduga bahwa mata batin Hong-tay Hweshio ternyata dapat menembus dan menjenguk isi hatinya. Kata Hong-tay Hweshio dengan suara tetap lembut. "Aku melihat hawa dendam menyelubungi air mukamu, pikiranmupun hanya tertuju ?kepada pembunuhan dan pembalasan. Ka?lau benar demikian maka aku tidak dapat menerimamu sebagai muridku. Menurunkan ilmu silat sama dengan memberikan sen?jata. Aku tidak ingin melihat seorang yang haus darah dan mabuk dendam seper?ti nona menguasai suatu ilmu silat tinggi. Itu akan sangat membahayakan keselamatan orang banyak."
Merah padamlah wajah Tong Wi-lian mendengar kecaman rahib itu, namun ga?dis itu tetap tidak bangkit dari berlututnya dan wajahnya tertunduk dalam-da?lam. Akhirnya ia menyahut juga, "Te?tapi, bagaimana kalau ada seseorang yang telah membuat keluargaku menjadi porak poranda? Kami sekeluarga yang ta?dinya hidup tenteram, berkumpul di ba?wah satu atap, kini telah tercerai-be?rai dan tidak saling mengetahui berada?nya satu sama lain?"
Sahut Rahib Hong-tay, "Dalam meng?hadapi sesuatu persoalan, kita harus tetap berpikiran jernih dan jangan mem?biarkan hawa napsu menguasai pikiran kita. Yang bersalah harus dihukum, biarpun dia merupakan orang yang kita cinta. Dasar penghukuman itu bukan karena kebencian dan pembalasan, namun mencegah agar kepentingan orang banyak tetap terlindungi !"
Hati Tong Wi-lian bergejolak penuh dengan pertentangan batin. Sementara itu Rahib Hong-tay masih terus berkata dengan suaranya yang lembut itu, "Nona, jika orang yang nona benci itu sudah bertaubat dan tidak lagi merugikan ma?syarakat, bahkan menjadi orang yang berguna, apakah kau tetap akan mem?bunuhnya?"
Wi-lian tidak dapat langsung menja?wab. Ia bertanya kepada diri sendiri, kenapa begitu berhasrat untuk membunuh Cia To-bun? Jawabnya adalah karena Ciat To-bun telah menyusahkan keluarganya. Bagaimana kalau kemudian Cia To-bun te?lah berubah menjadi seorang yang sa?ngat diperlukan dalam masyarakat? Apa?kah dia akan tetap membunuhnya meskipun orang banyak akan merasa kehilangan? Apakah dendam keluarganya lebih utama dari kepentingan masyarakat luas?
Namun gadis itu membantah di da?lam hatinya sendiri. "Bangsat Cia To-bun itu tidak mungkin berubah menja?di orang baik-baik. Pembunuh-pembunuh bayaran yang baru saja hampir mence?lakai aku dan kakakku ini adalah bukti bahwa bangsat itu masih terus memburu kami dan belum puas sebelum keluarga Tong tertumpas habis. Bila tidak ada orang-orang yang menolong kami berdua, mungkin saat inipun kami berdua sudah tidak ada lagi di dunia ini."
Tengah gadis itu terombang-ambing menemukan jawaban atas masalah yang berkecamuk di dalam hatinya, rahib tua itu telah berkata pula, "Dendam hanya mengotori hati dan pikiran. Pikiran ki?ta yang harusnya jernih, menjadi keruh dan tidak dapat lagi menikmati kehanga?tan hidup ini. Kita terpencil dari se?sama manusia, seperti sebuah pulau di tengah laut. Memang sebagai ahli-ahli silat yang harus mengamalkan ilmunya untuk kepentingan umum, kadang-kadang kami dipaksa untuk melakukan pembunuh?an, tetapi hal itu merupakan jalan yang terakhir dan terburuk. Mungkin ki?ta harus membunuh, tapi hal itu karena tidak ada jalan lain, kita terpaksa membunuh seorang atau beberapa orang supaya puluhan atau ratusan orang lain?nya tidak menjadi korban. Kau paham asas ini?"
"Te-cu berjanji akan selalu menjun?jung tinggi amanat Suhu."
"Ajaran dari aliran Siau-lim kami mengutamakan welas-asih kepada segala mahluk hidup, bukan hanya manusia te?tapi bahkan mahluk yang berwujud hewan sekalipun. Mengalahkan diri sendiri se?belum menundukkan orang lain. Membunuh atau melukai bukanlah tujuan, tapi ha?nya cara untuk mencegah jatuhnya kor?ban yang lebih banyak, itupun meru?pakan cara yang terakhir dan terburuk. Paham?"
Dengan jujur Tong Wi-lian menyahut, "Ajaran seluhur itu, terus terang saja masih jauh dari diri Te-cu. Namun Te-cu berjanji akan berusaha sekuat tena?ga dan pikiran untuk menjalankan apa yang telah Suhu wejangkan ini."
Kepala rahib tua yang gundul itu terangguk-angguk sambil tersenyum, ke?tika mendengar ucapan yang terus te?rang dari Tong Wi-lian. Rahib Hong-tay berkesan bahwa calon muridnya ini seo?rang yang jujur. Biasanya jika seseo?rang ditanya kesanggupannya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban pergu?ruannya, maka tanpa pikir panjang dia akan menyatakan kesanggupannya, bahkan dengan kata-kata yang muluk-muluk dan dilengkapi dengan sumpah setia segala, tujuannya tidak lain hanyalah agar ce?pat diterima dalam perguruan itu. Na?mun tidak sedikit di antara yang melu?pakan sumpahnya begitu telah lulus de?ngan bekal ilmu yang tinggi.
Tetapi Rahib Hong-tay yakin akan kejujuran dan ketulusan gadis she Tong itu, maka keluarlah jawaban yang diha?rapkan Tong Wi-lian sejak tadi, "Baik?lah, kau menjadi muridku, meskipun agak janggal nampaknya karena aku seo?rang rahib dan kau seorang gadis. Asal hati kita bersih dari pikiran busuk, persetan dengan gunjingan orang lain."
Tak terperikan girangnya gadis itu. Cepat dia menjalankan upacara penghor?matan pengangkatan guru, yaitu dengan jalan berlutut dan menyembah sembilan kali di hadapan gurunya.
Rahib Hong-tay tersenyum. Perlahan-lahan ia melangkah ke sebuah pohon yang teduh dan duduk bersila di bawah?nya. Katanya, "Sekarang kau tentu tahu apa yang harus kau lakukan, sekaligus aku ingin melihat apakah kau sanggup menunaikan ajaran perguruan atau tidak."
Tanpa menunggu jawaban muridnya la?gi, sang rahib lalu memejamkan matanya dan mulai bersemedi.
Tong Wi-lian menjadi heran melihat sikap dan mendengar ucapan gurunya itu. Tanyanya, "apa yang harus tecu perbuat?" Tetapi pertanyaan itu tidak mendapat jawaban, gurunya telah tengge?lam dalam semedinya.
Gadis itu menjadi kebingungan dan menebak-nebak apa yang dimaui oleh gu?runya. Dan ketika matanya menyambar sosok-sosok mayat yang bergelimpangan di tempat itu, tiba-tiba terbukalah pi?kiran Wi-lian. Ia ingat ajaran welas asih yang baru saja diucapkan gurunya dan telah disanggupinya, dan kini ia ha?rus mewujudkannya dalam perbuatan. Betapa-pun jahatnya para berandal suruhan Cia To-bun itu di masa hidupnya, tapi tidak sepatutnya merendahkan hakekat ke?manusiaan mereka dengan membiarkan tu?buh-tubuh mereka tetap bergelimpangan tidak terurus, dan akhirnya akan menja?di santapan binatang-binatang liar. Bahkan dalam perang antara dua negara-pun ada peraturan-peraturan yang menco?ba mempertahankan martabat manusia, meskipun peraturan itu sering dilanggar oleh kedua pihak.
Lalu Wi-lian mengambil sebatang golok yang tergeletak di antara mayat-mayat itu dan mulai menggali tanah, membuat sebuah lubang besar untuk meng?uburkan empatbelas sosok mayat. Peker?jaan itu tentu saja cukup berat buat seorang gadis, meskipun Wi-lian bertu?buh kuat dan sudah terdidik ilmu silat sejak kecil, apa lagi tanah di pinggir hutan itu ternyata cukup keras pula. Tetapi gadis yang keras hati itu beker?ja terus dengan bersemangat dan tanpa mengeluh, bahkan ketika telapak tangan?nya mulai lecet dan lengannya menjadi pegal ia tidak berhenti. Kekuatan cinta kasih kepada sesama manusiakah yang memberikan kekuatan kepadanya? Atau se?kedar ingin mengambil hati calon gu?runya supaya mendapat ilmu yang tinggi untuk membalas dendam? Ia sendiri ti?dak dapat menjawabnya, namun ketika ma?tahari telah tenggelam di sebelah barat maka gadis itu berhasil menguburkan ke empatbelas sosok mayat itu secara se?derhana tapi layak.
Ketika Tong Wi-lian menoleh ke ba?wah pohon di mana suhunya duduk, terli?hat Rahib Hong-tay telah membuka mata?nya dan berkata sambil tersenyum, "Omi-tohud, muridku yang hebat."
Sambil mengusap keringatnya, Wi-li?an menyahut sambil tersenyum pula, "Sayang, te-cu agaknya masih belum dapat melakukannya dengan sepenuhnya dilanda?si cinta kasih. Tapi lebih banyak dido?rong maksud untuk menyenangkan hati Suhu saja. Mohon petunjuk Suhu lebih lanjut."
"Kau cukup jujur dan berani melihat keadaan dirimu secara jujur pula, mu?ridku. Orang yang menyadari bahwa dirinya sedang berjalan di pinggir ju?rang akan menjadi berhati-hati sehing?ga tidak terjerumus, sebaliknya orang yang tidak menyadarinya akan merasa di?rinya aman dan dia dengan mudahnya akan terjerumus ke jurang. Tapi jangan buru-buru senang dengan pujianku ini, kau harus berusaha lebih keras lagi un?tuk membersihkan batinmu."
Guru dan murid itu kemudian ber?jalan bersama-sama meninggalkan tempat itu menuju ke arah selatan. Tujuan me?reka adalah Gunung Siong-san, tempat letaknya kuil Siau-lim-si yang terke?nal itu.
Tiba-tiba Wi-lian bertanya kepada gurunya, "suhu, aku pernah mendengar berita bahwa kuil Siau-lim punya pera?turan keras yang sudah dijalankan sela?ma beratus-ratus tahun, yaitu melarang seorang wanita untuk masuk ke dalam kuil. Benarkah itu, Suhu?"
Rahib Hong-tay menganggukkan ke?palanya, "Betul, memang ada peraturan semacam itu. Kaum wanita yang hendak bersembahyang kepada Sang Buddha paling paling hanya diijinkan masuk sampai ke ruangan sembahyang di bagian depan sa?ja. Sedang bagian dalam kuil merupakan bagian yang tidak dapat dimasuki oleh sembarangan orang, bahkan andaikata dia seorang pria."
"Kalau tidak dapat masuk ke dalam kuil, bagaimana Te-cu bisa belajar il?mu silat?"
Sahut Rahib Hong-tay, "Belajar silat tidak harus di dalam kuil, di udara terbuka malahan lebih segar dan sehat. Di sekitar kuil banyak tempat tempat sepi yang berpemandangan bagus dan cocok untuk tempat berlatih silat. Nanti aku akan memintakan ijin kepada Hong-thio (ketua kuil) supaya kau di?ijinkan tinggal di sekitar kuil. Ter?gantung kepadamu, apakah kau betah tinggal di tempat sesepi itu sendirian?"
Tanpa pikir panjang lagi Tong Wi-lian menyatakan sanggup hidup dalam kesunyian demi mempelajari ilmu yang tinggi dari rahib sakti itu.
-o0^DwKz-Hendra^0o- RAHIB HONG-TAY sebenarnya cukup mengerti bahwa gadis muridnya itu masih memerlukan usaha yang panjang un?tuk membersihkan batinnya dari sisa-si?sa dendamnya. Maka dalam perjalanannya ke selatan, sengaja diajaknya muridnya itu mengambil jalan memutar, tidak me?lewati An-yang-shia, supaya muridnya itu tidak teringat akan dendamnya apabila melewati kota kelahirannya.
Rahib itu justru mengajak muridnya untuk menyelusuri daerah pantai timur. Sepanjang jalan, bila ada kesempatan, tidak henti-hentinya Hong-tay Hweshio memberi wejangan tentang ajaran-ajaran Buddha kepada muridnya ini. Dan ternya?ta rahib tua ini bukan cuma pandai mengoceh, melainkan juga memberi con?toh dalam perbuatan-perbuatan nyata sepanjang perjalanan. Dan selama perja?lanan itu perlahan-lahan mata batin Tong Wi-lianpun mulai terbuka dan ha?tinya semakin tenteram. Sejurus ilmu silatpun ia belum diajari, namun kema?juan batin dan ketenangan yang dicapai?nya akan sangat berarti dalam melanda?si pelajaran ilmu silatnya kelak.
Setelah berjalan beberapa hari, pada suatu hari guru dan murid itu me?masuki sebuah kota kecil bernama Bun-seng, yang letaknya di perbatasan pro?pinsi Ciat-kang. Kota itu bukan kota besar, luasnya hanya seluas kota An-yang-shia, kota kelahiran Tong Wi-lian. Hanya suasananya agak berbeda, di kota Bun-seng ini terasa benar suasana kehi?dupan kaum nelayan.
Tetapi tepat ketika Rahib Hong-tay dan Tong Wi-lian memasuki kota nelayan yang kecil itu, kota itu baru saja ter?guncang hebat oleh suatu peristiwa yang sangat mengganggu ketenteraman hidup di kota itu. Selama beberapa malam itu kota Bun-seng berturut-turut telah digemparkan oleh rangkaian pembunuhan yang nekad. Disebut nekad, karena yang dijadikan korban adalah para per?wira Tentara Kerajaan Beng yang bertu?gas di kota itu! Dalam tiga malam ber?turut-turut, tiga orang perwira telah mati terbunuh, dan mayat mereka dalam keadaan luka telah seng?aja "dipamerkan" oleh pembunuh-pembunuhnya dengan diletakkan di tempat-tempat yang ramai!
Kejadian itu merupakan tamparan he?bat bagi perwira pemimpin keamanan di kota Bun-seng. Segera keluarlah perin?tahnya untuk menggeledah seluruh kota untuk menemukan pembunuhnya, dan mala?petaka buat rakyat kecilpun mulai dari sini. Dalam melakukan penggeledahan itu para tentara kerajaan telah menggu?nakan kesempatan untuk mengisi kantong dengan memeras rakyat, selain itu penggeledahanpun dilakukan secara membabi-buta, sehingga mereka bukan lagi tent?ara kerajaan tapi lebih tepat disebut perampok-perampok berseragam. Siapa yang dicurigai langsung diseret keluar dari rumahnya, kecuali yang bisa menyu?ap prajurit-prajurit itu. Dan celaka?lah yang tidak bisa menyuap, sebab mereka akan langsung digiring menuju ke penjara kota. Jika sudah begini, maka hanya ada dua kemungkinan buat si kor?ban. Dijebloskan seterusnya dengan tu?duhan bersekutu dengan pembunuh sete?lah melalui sebuah "pengadilan kilat", dan kemungkinan kedua adalah dibebas?kan kembali karena tuduhannya tidak terbukti, namun sudah terlanjur kehi?langan sebelah mata atau beberapa buah gigi atau cacad lainnya. Dan rakyat tidak bisa menuntut kepada siapapun. Demikianlah gambaran kebobrokan masya?rakat di masa pemerintahan Kaisar Cong-ceng. Rakyat tidak punya perlindungan sama sekali, ibarat domba gemuk yang dikelilingi serigala-serigala kelapar?an.
Pada saat Rahib Hong-tay hendak me?masuki kota Bun-seng bersama muridnya, merekapun sempat mengalami pemeriksaan oleh beberapa orang tentara kerajaan, untung rahib itu masih punya sisa be?berapa tahil perak untuk menyuap ten?tara kerajaan-kerajaan itu, sehingga be?baslah ia dan muridnya dari segala ke?repotan. Tong Wi-lianpun menyamar sebagai laki-laki, sehingga tidak diganggu oleh prajurit-prajurit itu.
Waktu itu adalah tengah hari, di mana matahari sedang bertahta di pun?cak langit dan panasnya terasa menyengat kulit. Begitu Rahib Hong-tay masuk ke dalam kota, maka langsung saja mereka menemukan sebuah pemandangan yang me?nyayat hati.
Di tengah jalan raya, ada enam orang lelaki yang tengah diseret-seret oleh sepasukan tentara kerajaan. Mere?ka diseret seperti kambing atau lembu saja layaknya, dan setiap kali cemeti atau gagang tombak melanda punggung orang-orang celaka itu.
Di belakang rombongan pesakitan itu ada rombongan lain. Mereka adalah sekelompok wanita dan anak-anak yang mengikuti rombongan itu sambil meratap tangis. Rupanya mereka adalah anggauta keluarga dari orang-orang pesakitan itu. Tapi mereka tidak pernah berhasil mendekati rombongan pesakitan itu, se?bab prajurit-prajurit itu selalu me?rintangi dengan senjata-senjata mereka, atau dengan kaki-kaki yang ditendang?kan.
Sedangkan orang-orang pesakitan itu nampak begitu menderita. Pakaian mereka sudah hancur sehingga terlihat?lah punggung mereka yang "dihiasi" ja?lur-jalur matang biru yang berlumuran darah. Tetapi cambukan-cambukan dan gebukan-gebukan gagang tombak itu tidak pernah mereda, bahkan semakin gencar mendera punggung orang-orang kecil itu. Dan para prajuritpun tertawa-tawa senang, puas, karena berhasil menun?jukkan "kegagahan" mereka.
Rahib Hong-tay mengajak muridnya untuk membaurkan diri di antara pendu?duk kota Bun-seng yang bergerombol di pinggir jalan. Hati Rahib Hong-tay yang penuh dengan welas-asih itu seke?tika bergetar hebat waktu melihat sesa?manya manusia diperlakukan seperti bi?natang oleh sesama manusia pula. Di da?lam hatinya dia berdoa memohon petun?juk Sang Buddha.
Tetapi karena rahib itu tidak ingin bertindak sembarangan tanpa mengetahui persoalannya lebih dahulu, maka ia lalu mendekati seorang kakek bongkok di pinggir jalan. Tanyanya, "Tuan, apakah yang telah terjadi?"
Kakek bongkok itu menarik napas panjang lalu menyahut, "Apakah tay-su (bapak pendeta) belum tahu? Selama be?berapa malam berturut-turut ini telah ada tiga orang perwira kerajaan yang dibunuh orang, dan mayat yang dirusak oleh pembunuh-pembunuh itu sengaja diletakkan di tempat-tempat ramai, agaknya memang hendak menentang penguasa. Nah, keenam orang yang sedang dise?ret oleh prajurit-prajurit itulah yang dituduh sebagai pembunuhnya. Mereka ba?ru saja diadili secara kilat, dan su?dah diputuskan hukuman penggal kepala buat mereka. Mereka sedang digiring ke lapangan dekat Tong-mui (gerbang timur) untuk menjalani hukumannya."
Seorang nenek-nenek yang agaknya merupakan isteri dari kakek bongkok itu, ikut menimbrung dalam percakapan, "Yang kasihan adalah si Ah Beng. Ia ba?ru setahun beristeri dan anaknyapun ma?sih kecil, tetapi sebentar lagi ia akan menjadi setan tanpa kepala. Padahal je?las dia tidak bersalah, tapi sialnya prajurit yang menggeledah rumahnya itu adalah bekas saingan asmaranya yang dulu. Rupanya prajurit itu masih den?dam karena tidak berhasil menggaet pe?rempuan yang sekarang menjadi isteri Ah Beng itu, sehingga kesempatan ini digu?nakannya untuk menjerumuskan Ah Beng ke dalam kesulitan."
"Di antara keenam orang itu, yang manakah yang bernama Ah Beng?" Tanya rahib Hong-tay.
Nenek-nenek itu agaknya seorang yang suka mengobrol. Dengan bersemangat ia segera menunjukkan jarinya ke arah salah seorang pesakitan, sambil berka?ta, "Yang diseret paling depan itulah. Kemarin dia menyembelih ayam dan lupa membersihkan pisau yang digunakan untuk menyembelih. Tak terduga tadi malam terjadi lagi pembunuhan itu. Pisaunya yang berlumuran darah itu ditemukan oleh prajurit yang menggeledahnya dan segera dijadikan barang bukti. Dasar hakimnya juga malas untuk memeriksa perkara itu secara teliti, maka enak saja diputuskannya hukuman mati buat Ah Beng."
Mendengar cerita nenek-nenek itu Rahib Hong-tay jadi menarik napas. Se?murah itukah nyawa manusia, sehingga dengan seenaknya saja orang dapat dija?tuhi hukuman mati tanpa bukti yang ku?at? Inikah hukum Kerajaan Beng?
Ketika Hong-tay Hwesio menengok ke arah para pesakitan, nampak bahwa Ah Beng itulah yang paling payah keadaan?nya. Tubuhnya yang selama ini kurus ka?rena hidup dalam kemiskinan, kini babak-belur dihujani deraan para praju?rit, mukanya yang sudah pucat itu kini menyeringai menahan kesakitan yang luar biasa.
"Ampunilah aku, tuan-tuan," ra?tapnya dengan suara lemah. "Aku hanya?lah seorang yang lemah dan tidak meng?erti ilmu silat, bagaimana aku berani melakukan pembunuhan terhadap para tay-jin? Ampun tuan...."
Seorang tentara kerajaan yang ber?kumis kaku seperti ijuk segera menggam?par muka Ah Beng sehingga kepala Ah Beng bagaikan disentakkan ke belakang dengan mulut berlumuran darah. Masih belum puas, ia menginjak dada Ah Beng yang kurus kering itu sambil membentak dengan bengisnya, "Kau kira kau dapat menipu kami? Jelas di rumahmu ada bukti kuat berupa pisau yang berlumur?an darah. Lebih baik kau mengaku saja di mana tempat sembunyinya kawan-kawan?mu, supaya hukuman matimu dapat dija?lankan dengan cepat tanpa siksaan ma?cam-macam."
Seorang perempuan yang masih cukup muda dan menggendong seorang bayi ber?umur beberapa bulan segera menerjang maju dan berlutut di depan prajurit yang berkumis kaku itu dan meratap, "Ciu Toako, harap sudilah kau mengingat persahabatan kita di masa lalu. Ah Beng Toako benar-benar tidak melakukan pembunuhan itu, semalam dia berada di dalam rumah terus dan tidak melangkah keluar pintu setapakpun. Aku berani bersumpah tentang hal ini, ampunilah dia."
Begitu perempuan itu mengingatkan akan "persahabatan masa lalu" segala, seketika prajurit berkumis kaku itu justru sangat tersinggung. Sejenak pra?jurit itu memandang isteri Ah Beng itu dengan liarnya, tioa-tiba ia menyeri?ngai, lalu tangannya mengusap dagu pe?rempuan muda itu sambil berkata, "A? giok, ternyata kau masih cantik juga meskipun si bangsat buduk Ah Beng ini tidak mampu membelikan pakaian bagus untukmu. Kau harus mengerti bahwa mes?kipun kini kita telah sama-sama berke?luarga tetapi aku masih sering teringat kepadamu. Andaikata dulu kau terima lamaranku, sekarang tentu kau akan menga?lami hidup senang dan tidak tersangkut perkara ini. Tapi nanti setelah pelak?sanaan hukuman mati ini kau masih boleh tinggal di rumahku sebagai iste?ri kedua. Setuju?"
Dan tingkah prajurit yang dipang?gil Ciu Toako itu kemudian benar-benar tidak perduli bahwa ia sedang berada di tengah jalan raya, dan ada ratusan pasang mata sedang memandangnya. Dengan seenaknya saja ia memegang tubuh iste?ri Ah Beng, bahkan kemudian memeluk dan menciumi mukanya. Perempuan itu be?rusaha meronta dan melepaskan dirinya, sedangkan bayi di dalam gendongannya lalu menangis keras karena terhimpit oleh tubuh prajurit yang besar dan berbau keringat itu.
Prajurit she Ciu itu agaknya mera?sa sangat terganggu oleh tangisan bayi itu. Dengan kasar ia merenggut bayi itu dari pelukan ibunya, lalu diban?tingnya ke tanah.
Bayi tak berdosa itu jatuh terban?ting dengan kepalanya mengenai tanah lebih dulu, tak ampun lagi tangisnya-pun berhenti untuk selama-lamanya. Sang ibu jadi kaget sekali. Ia menu?bruk mayat bayinya sambil berteriak-te?riak dengan kalapnya, bagaikan gila ia memanggil-manggil nama bayinya, tapi bayinya yang lucu itu sudah tidak dapat menjawabnya lagi.
Penduduk kota Bun-seng yang melihat kejadian itu, segera membuang muka de?ngan perasaan sangat muak dan pedih. Tetapi tidak seorangpun ingin memperta?ruhkan nyawanya dengan menentang ting?kah laku prajurit-prajurit kesetanan itu.


Perserikatan Naga Api Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tong Wi-lian yang ikut berjubel-jubel dalam kerumunan orang itupun telah mengertakkan giginya dan mukanyapun menjadi merah padam karena marah me?lihat kesewenang-wenangan alat-alat ne?gara itu. Ketika gadis itu menoleh ke arah gurunya, nampaklah wajah sang gu?ru tidak ada kemarahannya sedikitpun, hanya memejamkan matanya dengan se?titik air bening tergantung di sudut matanya.
"Suhu, kita harus bertindak, tin?dakan prajurit-prajurit ini benar-benar telah keterlaluan," desis Tong Wi-lian sambil menarik tangan gurunya.
Namun Rahib Hong-tay masih juga ra?gu-ragu untuk turun tangan sebab masih dibebani berbagai pertimbangan. Ia me?nyadari bahwa daerah itu sudah cukup dekat dengan Gunung Siong-san, tempat berdirinya pusat perguruan siau-lim-pay yang terkenal. Jika dia memunculkan dirinya di tempat itu dengan ju?bah paderinya yang menyolok, maka orang akan langsung menghubungkannya dengan Siau-lim-pay, dan itu berarti dia meli?batkan seluruh anggauta Siau-lim-pay dengan permusuhan melawan pemerintah Kerajaan beng. Pertimbangan lainnya adalah bahwa andaikata ia berhasil me?nyelamatkan sebuah nyawa, tapi tentara kerajaan yang marah itu tentu akan me?nimbulkan malapetaka yang lebih hebat lagi bagi rakyat banyak. Meskipun ha?tinya sudah sangat muak melihat keke?jaman itu, namun dia masih sanggup ber?pikir panjang dengan memikirkan keselamatan orang banyak. Sedangkan per?timbangan semacam itu tidak ada pada diri muridnya yang hanya sekedar menu?ruti perasaan marahnya yang bergejolak.
Dalam pada itu, pesakitan yang ber?nama Ah Beng itu timbul keberaniannya setelah melihat keluarganya diper?lakukan sewenang-wenang oleh prajurit-prajurit kerajaan itu. Teriaknya dengan marah, "Anjing-anjing keparat! Kenapa kau bunuh bayi yang sama sekali belum tahu apa-apa itu?! Kalian benar-benar berhati binatang dan berjantung anjing...aaaah!"
Ah Beng sama sekali tidak sempat menyelesaikan kalimat makiannya, sebab prajurit she Ciu itupun telah menjadi ?marah dan tanpa kenal belas kasihan te?lah menusukkan tombaknya ke perut bekas saingan asmaranya itu. Ah Beng berte?riak kesakitan dan roboh di samping tubuh bayinya. Setelah berkelejot seben?tar, diapun terdiam untuk selama-lama?nya.
Betapapun sabarnya Rahib Hong-tay, dan betapapun macamnya pertimbangan yang ada dalam hatinya, akhirnya men?didih juga darah ksatrianya ketika me?lihat kebiadaban yang berlangsung di depan matanya. Tangannya segera me?rogoh dalam kantungnya dan menggenggam segenggam uang logam yang siap untuk ditaburkan ke arah prajurit-prajurit tidak berperikemanusiaan itu. Sementa?ra itu Tong Wi-lianpun sudah gatal tangan, dan tangannyapun sudah menge?pal kencang.
Tetapi sebelum guru dan murid itu bertindak, ternyata sudah ada pihak la?in yang mendahului memberi hajaran ke?pada prajurit-prajurit itu. Entah dari mana datangnya, dan hanya terdengar su?ara berdesing, tahu-tahu sebatang anak-panah telah menancap di tenggorokan prajurit she Ciu itu. Waktu itu prajurit itu sedang tertawa-tawa kesenangan, namun mendadak ia nampak melotot kaget dan kesakitan, tangannya menggapai-ga?pai kian kemari seolah-olah orang yang hendak tenggelam sedang mencari pegang?an. Ketika roboh ke tanah ia masih sem?pat mengeluarkan suara-suara sekarat dari tenggorokannya, lalu nyawanyapun amblas.
Semua orang menjadi terkejut dan panik melihat perkembangan yang tidak diduga-duga itu. Tidak terkecuali Ra?hib Hong-tay dan muridnya, meskipun me?reka tidak sepanik orang lain.
Belum lagi kekagetan orang banyak menjadi reda, sekali lagi seorang tent?ara kerajaan menjerit keras sambil me?megangi dadanya yang tertancap anak panah. Sebelum roboh ia sempat berteri?ak ketakutan, "A... ada pem... bu... bunuh gelap....!!"
Penduduk kota kecil yang sedang berjejal-jejal di pinggir jalan itupun segera bubar ketawuran seperti gabah ditampi. Mereka harus cepat-cepat me?ninggalkan tempat itu sebelum ditang?kap dan dituduh membunuh prajurit kera?jaan, dan kemudian mengalami nasib se?buruk Ah Beng.
Sedangkan prajurit-prajurit keraja?an itu telah berpencar sambil berteriak teriak, "Tangkap pembunuh!"
Dalam keadaan sekacau itu, Rahib Hong-tay sempat menyambitkan segenggam uang logam yang telah dipersiapkannya sejak tadi. Namun kini tidak diarah?kan kepada para prajurit, melainkan ke?pada belenggu yang membelenggu para pe?sakitan. Di sini terlihatlah kepandaian Rahib Hong-tay, sebab uang-uang logam itu dengan tepat dapat memutus?kan tali-tali yang mengikat para pe?sakitan tanpa melukai kulit mereka. Dan dalam keadaan hiruk-pikuk seperti itu, ternyata incarannya tidak meleset sedikitpun. Para pesakitan itupun ti?dak melewatkan kesempatan baik dan se?gera melarikan diri semuanya.
Setelah membebaskan para pesakitan itu dari jarak jauh, rahib itu segera mengajak muridnya untuk membaurkan di?ri dengan orang-orang yang sedang pa?nik itu. Mereka berdua mencari persem?bunyian yang baik untuk menonton keja?dian selanjutnya.
"Bagaimana sekarang sikap kita, Suhu?" tanya Tong Wi-lian sambil berla?ri-lari mengikuti gurunya.
"Kita tidak perlu menonjolkan diri," kata gurunya. "Agaknya sudah ada pihak lain yang berniat untuk mencegah kebia?daban prajurit-prajurit itu. Kita ha?nya akan melihatnya dari kejauhan dan kemudian menentukan langkah kita be?rikutnya."
"Bagaimana kalau kita langsung mem?bantu saja pemanah-pemanah tersembunyi itu?" usul Wi-lian dengan penuh sema?ngat.
"Jangan gegabah, kita belum tahu apakah pemanah-pemanah gelap itu dari pihak yang bermaksud baik atau justru sebaliknya."
Sebentar saja jalan raya yang ter?letak membujur di tengah-tengah kota Bun-seng itu telah menjadi sepi. Di tengah jalan kini hanya ada mayat Ah Beng beserta mayat bayinya, serta mayat orang prajurit yang konyol oleh pema?nah gelap itu. Isteri Ah Beng sudah diselamatkan oleh salah seorang penduduk yang baik hati.
Para prajurit lain-lainnyapun tidak nampak lagi di tengah jalan raya, se?bab mereka tidak ingin menjadi sasaran empuk para pemanah tersembunyi itu. Prajurit-prajurit itu telah menyusup ke dalam lorong-lorong di sekitar tem?pat kejadian dan berusaha menangkap pemanah gelap itu.
Rahib Hong-tay dan muridnya bersem?bunyi di balik setumpuk anyaman bambu, dan dengan cermat memperhatikan suasa?na. Pada jaman itu memang sudah timbul rasa ketidak-puasan terhadap pemerintahan Kaisar Cong-ceng yang lemah dan tidak adil itu. Aliran Siau-lim-pay sebagai perguruan yang terbesar di Tiongkok, mau tidak mau pasti akan terlibat setiap perkembangan yang menyang?kut rakyat banyak, sebab sudah sejak lama murid-murid Siau-lim-pay dikenal sebagai pendekar-pendekar pembela rak?yat yang tertindas. Kini Rahib Hong-tay ingin tahu pihak manakah yang telah be?rani menentang pihak tentara kerajaan secara terang-terangan itu.
Tengah ketegangan mencekam di se?mua sudut, tiba-tiba dari atas genteng sebuah rumah di pinggir jalan terlempar?lah sebuah benda besar ke tengah-tengah jalan. Setelah jatuh ternyata "benda" itu adalah mayat berseragam prajurit Kerajaan Beng dengan leher yang telah tergorok hampir putus. Ketika Wi-lian memperhatikan lebih seksama, ternyata prajurit itu termasuk kelompok yang me?nyiksa kaum pesakitan tadi. Rupanya dia mencoba menyelidiki ke atas gen?teng, tapi di balik wuwungan itu ia di?bantai oleh pembunuh gelap yang bersem?bunyi itu.
"Celakalah pemilik rumah itu," de?sis Wi-lian perlahan. "Pasti besok pa?gi ia akan dituduh berkomplot dengan penjahat, dan nasibnyapun akan menjadi sangat buruk."
Sementara itu, prajurit-prajurit lain agaknya masih bersembunyi belum jauh dari tempat itu, dan mereka masih dapat melihat mayat kawan mereka yang dilemparkan dari atas genteng itu. Di?am-diam nyali para prajurit itu mulai menciut. Mereka garang dan galak terha?dap rakyat lemah yang tidak bersenjata, namun terhadap pembunuh-pembunuh yang masih belum menampakkan diri itu mere?ka mulai merasa agak gentar.
Seorang prajurit yang bernyali agak kecil, berlindung di belakang sebu?ah tempayan air. Ia sedang memandang mayat kawannya itu dengan lutut gemetar. Dan ia bertambah gemetar ketika melihat sesosok bayangan hitam telah berdiri di belakangnya, sesosok tubuh yang ber?pakaian serba hitam dan mukanya tertu?tup kedok kain hitam pula. Hanya sepa?sang matanya yang tajam pisau itu te?ngah menatap prajurit itu.
"Sss... sia... pa... kkk... kau?" tanya prajurit itu dengan tergagap sam?bil mencoba mencabut pedang yang ter?gantung di pinggangnya. Aneh, biasanya ia cukup tangkas mencabut pedang un?tuk menggertak dan menakut-nakuti rak?yat, namun kini tangannya terasa lemas sehingga sekian lama dia belum juga berhasil mencabut pedangnya.
Orang berkedok itu sama sekali ti?dak menjawab. Jawabannya adalah meng?gerakkan pedang pendek yang dipegang?nya, dan sekali tusuk saja amblaslah pedangnya di jantung prajurit sial itu. Ketika ia menarik kembali pedangnya, prajurit itu rubuh dengan sebuah luka menganga di dadanya. Lelaki berkedok itu mencengkeram mayat prajurit itu dan melemparkannya ke tengah jalan. Kemudi?an ia sendiri dengan tenangnya melang?kah ke tengah jalan dan berdiri tegak di sana, matanya menyapu ke empat pen?juru dengan garangnya.
Melihat pembunuhnya telah keluar dari persembunyiannya, para prajurit-pun segera berlompatan keluar dari tem?pat perlindungan masing-masing dan langsung mengurung orang berkedok itu.
Orang berkedok itu nampak tenang tenang saja menghadapi kepungan praju?rit-prajurit itu. Tiba-tiba ia mengger?akkan pedang pendeknya dengan gerakan seperti orang memberi aba-aba.
Begitu gerakan itu selesai, bermunculanlah belasan orang lelaki berke?dok dari persembunyiannya masing-ma?sing. Mereka muncul dari loteng-loteng di pinggir jalan, lorong-lorong sempit di pinggir jalan, dari dalam parit sa?luran air kotor dan bahkan ada yang muncul dari dalam tumpukan sampah. Me?reka muncul bagaikan hantu-hantu di si?ang hari dan langsung menyergap ke arah para prajurit. Karena sergapan men?dadak ini para prajurit menjadi panik dan beberapa orang prajurit langsung menjadi korban sia-sia.
Untunglah bahwa prajurit-prajurit kerajaan itupun merupakan orang-orang yang cukup terlatih pula. Salah seorang yang berpangkat paling tinggi se?gera mengambil pimpinan dan berseru agar kawan-kawan jangan bingung dan me?lawan dengan tenang. Teriaknya, "Semuanya tetap di sini untuk menghadapi pengacau-pengacau ini. Salah seorang pergilah ke tangsi untuk memanggil ba?la bantuan! Cepat!"
Prajurit yang ditunjuk untuk me?manggil bala bantuan itu segera berla?ri meninggalkan tempat itu. Tetapi ia hanya sempat berjalan belasan langkah, sebab seorang berkedok telah muncul da?ri balik genteng di pinggir jalan dan langsung menembakkan panahnya. Praju?rit itu langsung roboh terjungkal de?ngan punggung tertancap anak panah.
Dalam pada itu gerombolan orang berkedok itu telah bertempur sengit dengan pasukan kecil prajurit kerajaan itu. Setelah para tentara kerajaan itu dapat bertempur dengan tenang dan ti?dak gugup lagi, tampaklah bahwa mereka lebih terlatih dan lebih berpengalaman dibandingkan lawan-lawan mereka yang berkedok itu. Jumlah tentara-tentara kerajaan itupun hampir tiga kali lipat dari lawan-lawannya, sehingga keadaan pun kini berbalik, kini orang-orang berkedok itulah yang terkepung terje?pit.
Kalau pada permulaannya serangan orang-orang berkedok itu berhasil mengurangi beberapa orang tentara ke?rajaan, hal itu hanyalah disebabkan oleh serangan mereka yang mendadak dan tidak terduga. Tetapi sekarang setelah kedua belah pihak berhadapan dalam kea?daan sama-sama siap, terlihatlah bahwa orang-orang berkedok itu tidak terlalu tangguh sehingga mereka mulai terdesak.
Sebagian prajurit-prajurit itu me?makai senjata-senjata pedang dan peri?sai, sebaliknya orang-orang berkedok itu rata-rata hanya bersenjata belati atau pedang pendek, yaitu jenis-jenis senjata yang mudah disembunyikan dalam baju. Meskipun demikian orang-orang berkedok itu melawan dengan gigihnya. Beberapa prajurit telah roboh tewas atau luka-luka, namun di antara orang-o?rang berkedok itupun ada yang roboh dan tewas.
Namun ada seorang berkedok yang pa?ling menonjol kepandaiannya, yaitu orang berkedok yang tadi muncul pertama kali ke tengah jalan itu. la bertubuh tinggi semampai dan berpundak cukup te?gap, meskipun tidak terlalu besar. Il?mu silatnyapun nampak paling lihai, terbukti dengan permainan pedangnya yang lincah dan mantap. Untuk memben?dung amukan orang ini, pihak tentara kerajaan harus menggabungkan tenaga li?ma orang prajurit, barulah dapat melawannya secara seimbang. Tetapi orang inipun melawan dengan garang seperti harimau terluka.
Dari tempat persembunyiannya, Ra?hib Hong-tay dan muridnya mengawasi ja?lannya pertempuran dengan cermat. Tong Wi-lian semakin lama semakin tertarik melihat permainan pedang orang bertu?buh tinggi semampai itu. Ia merasa su?dah sangat mengenal bentuk tubuh dan gerak-gerik orang itu. Ya, bahkan ia mengenalnya sejak kecil.
Karena tidak dapat menahan diri la?gi, ia lalu berbisik kepada gurunya, "Suhu, orang yang tinggi semampai itu memainkan ilmu pedang Soat-san-pay!"
Rahib Hong-tay mengiakan, "Ya, aku-pun melihatnya. Tetapi itu bukan hal yang aneh. Soat-san-pay adalah sebuah perguruan yang cukup besar dan mem?punyai banyak murid, meskipun letak perguruan itu jauh di perbatasan barat, tapi apa sukarnya jika salah seorang muridnya hendak berkeliaran di daerah Tiong-goan ini?"
"Tetapi te-cu seakan-akan sangat mengenal orang itu," sahut Tong Wi-li?an dengan agak ragu-ragu.
Suara gemerincing senjata beradu bercampur aduk dengan dengus kesakitan atau teriakan perang penuh dendam ter?dengar makin riuh di tempat itu, se?makin lama semakin ribut. Pemanah yang bersembunyi di atas genteng rumah di pinggir jalan itupun kembali telah "menjemput" beberapa nyawa prajurit kerajaan. Biasanya yang diincarnya ada?lah prajurit yang mencoba meninggalkan tempat pertempuran untuk memanggil bantuan. Incarannya ternyata selalu jitu dan tak pernah meleset.
Tetapi pemanah di atas genteng itu kemudian semakin berani memunculkan dirinya dan datanglah nasib sialnya. Ketika pemanah itu sedang berjongkok di atas genteng untuk menunggu kor?bannya, seorang prajurit berhasil me?lemparkan lembing yang tepat menancap di dada orang itu. Sambil menjerit ke?sakitan si pemanah itupun roboh dari atas genteng dan terbanting di tanah. Namun prajurit yang melemparnya dengan lembing itupun ternyata juga mengalami nasib buruk, sebab seorang lawannya berhasil membenamkan sepasang belati ke lambungnya dan merobeknya. Prajurit itupun ambruk ke tanah, menambah jum?lah deretan korban yang sudah cukup ba?nyak itu.
Rahib Hong-tay yang berhati lembut itu hampir-hampir menangis melihat se?samanya manusia saling berbunuhan se?perti binatang-binatang buas di padang liar saja. Bahkan lebih kejam dari bi?natang, sebab binatang hanya membunuh untuk membela diri atau untuk mengisi perut, namun manusia membunuh hanya un?tuk kepuasan diri sendiri semata-mata.
Korban-korban yang terluka atau te?was terus bertambah di kedua belah pihak, tetapi hal itu tidak mematahkan kebuasan orang itu, justru telah menambah buas dan kalapnya orang-orang yang mengadu jiwa itu. Kawanan orang-orang berkedok yang tadinya ber?jumlah belasan orang itu, kini telah hampir habis. Kini mereka tinggal empat orang, termasuk orang berkedok yang me?mainkan ilmu silat Soat-san-pay itu, merekalah yang masih bertahan dengan gigihnya melawan tekanan tentara-tenta?ra kerajaan.
Sementara itu Rahib Hong-tay mulai mempertimbangkan untuk turun tangan. Tapi ia masih berpikir apakah turut campurnya dirinya itu akan membawa ke?baikan bagi kedua belah pihak? Atau justru akan menambah jumlah korban? Se?bagai manusia biasa, rahib itupun mem?punyai perasaan berpihak. Di dalam ha?tinya ia sudah berpihak kepada orang-o?rang berkedok itu, sebab dengan mata kepalanya sendiri ia telah menyaksikan kekejaman yang memuakkan dari tentara tentara kerajaan itu.
Dalam pada itu, orang berkedok yang bertubuh tinggi semampai itu te?lah mulai melihat kesulitan yang memba?yang bagi pihaknya. Ia segera mengeluar?kan suitan nyaring, mengisyaratkan ka?wan-kawannya agar mengundurkan diri dari gelanggang.
Namun prajurit-prajurit yang sudah dirasuk dendam karena telah kehilangan beberapa orang kawan itu tentu saja tidak membiarkan begitu saja orang-orang berkedok itu kabur. Seorang praju?rit yang berpangkat paling tinggi sege?ra mengejek dengan suara dingin, "Hemm, saat ini tidak ada selubang jarumpun yang dapat kalian gunakan untuk menyelamatkan diri. Kalau ingin ke ne?raka memang bisa, dan pedangku ini sanggup untuk mengantarkan kalian."
Tong Wi-lian yang juga punya pera?saan berpihak kepada orang-orang berkedok itu, terutama kepada orang yang me?mainkan ilmu pedang Soat-san-pay itu, segera membisiki gurunya, "Suhu, cepat?lah bertindak sebelum orang-orang ber?kedok itu tertumpas habis. Mereka ber?tindak demikian untuk menentang kezaliman."
Rahib Hong-tay memang sudah memu?tuskan untuk membantu orang-orang ber?kedok itu secara diam-diam, karena dianggapnya orang-orang berkedok itu sebagai orang-orang gagah berani yang berani menentang tindakan kejam ten?tara kerajaan itu. Tapi rahib itu ma?sih belum berniat untuk membunuh ten?tara-tentara kerajaan itu tapi hanya hendak melumpuhkannya, dengan demikian akam memberi kesempatan kepada orang-orang berkedok itu untuk melarikan diri.
Dewi Penyebar Maut X I I 2 Fear Street - Bayangan Maut Sunburn Api Di Bukit Menoreh 26

Cari Blog Ini