Ceritasilat Novel Online

Pusaka Pedang Embun 4

Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong Bagian 4


hweeshio gundul berpakaian hitam. Haaaayaaa................ kini kuingat, di dekat-dekat
sini, bukankah terdapat satu kelenteng?" tanya
Liong Houw. "Ya, disebelah barat kota terdapat satu gereja,
nama gereja itu Liong-ong-bio, tapi sejak dua
tahun yang lalu gereja itu tutup, tidak pernah
dikunjungi orang lagi," menerangkan Ho Ho.
Liong Houw mengangguk, lalu katanya :
"Saudara Ho, sebaiknya kita berpencaran dulu,
aku akan menyelidiki gereja Liong-ong-bio, kau
237 boleh pergi ke kota, nanti sore kita bisa bertemu
ditempat ini, bagaimana?"
"Baiklah!" Ho Ho melesat masuk kedalam kota
Cee-lam-hu. Dengan langkah-langkah kaki cepat luar biasa,
Liong Houw melesat bagaikan asap mengepul,
menuju kearah kelenteng Liong-ong-bio. Ia masih
ingat peristiwa dua tahun yang lalu, dimana ia
pernah menolong Swat Louw Hosiang. Keadaan
kelenteng itu masih tetap seperti dulu, hanya
tampak sunyi senyap, di pekarangan kelenteng
bertumpuk daun-daun kering pohon Go-tong.
Setelah melompati tembok kelenteng Liong Houw
langsung menghampiri pintu, ternyata pintu itu
juga tidak terkunci, dengan dorongan ringan pintu
itu sudah terbuka. Memasuki ruangan tengah kelenteng di sana
tampak sunyi, tidak terdengar suara apapun.
Didalam ruangan itu masih terdapat beberapa
pintu kamar yang tertutup rapat.
Menyaksikan keadaan dalam kelenteng itu
begitu sunyi, tidak menemukan tanda-tanda yang
mencurigakan, Liong Houw melangkahkan kakinya
keluar, melompati tembok pekarangan.
Baru saja kedua kakinya sampai ditanah, diluar
pekarangan kelenteng Liong-ong bio berdesir
sesuatu yang mencurigakan, kupingnya yang tajam
mendengar suara isak tangis lemah sayup-sayup
dibawa angin. Liong Houw celingukan, mencari dari mana
datangnya suara isak tangis itu. Hatinya merasa
238 heran suara itu seperti keluar dari dalam
kelenteng, tapi mengapa tadi ia tidak mendengar
suara apa-apa. Tidak mau berpikir panjang lebar, Liong Houw
melesat kembali, melompat pagar tembok halaman
kelenteng, suara itu tampak terdengar jelas, keluar
dari ruangan dalam kelenteng itu.
Ternyata suara isak tangis itu keluar dari salah
satu kamar didalam ruangan tengah.
Segera Liong Houw menghampiri pintu kamar
itu. Ternyata pintu itu juga tidak terkunci.
Didalam kamar, terbaring diatas tempat tidur
kayu seorang gadis, dengan kaki tangan terikat.
Gadis itu menangis tersedu-sedu, matanya bendul
merah. Begitu menampak kehadiran Liong Houw, gadis
itu menghentikan isakannya, tubuhnya gemetaran.
Liong Houw cepat membukai ikatan-ikatan gadis
itu, lalu tanyanya : "Apakah kau Liu Ing?"
Gadis itu yang masih ketakutan, terhuyung
huyung mundur sampai mepet didinding.
"Kau jangan takut, aku datang hendak
menolongmu, apakah kau Liu Ing?" tanya lagi
Liong Houw. Mendengar orang didepannya bermaksud menolong dirinya dan juga sudah menyebut
namanya, gadis itu menganggukkan kepala.
239 Liong Houw cepat menyambar tubuh gadis itu,
melesat keluar meninggalkan kelenteng Liong-ongbio.
Dengan masih membopong Liu Ing, hati Liong
Houw kebat kebit, ternyata gadis ini juga memiliki
wajah ayu, bentuk potongan tubuhnya tidak kalah
dengan si Pedang Macan Betina yang pernah
dilalapnya, hanya usianya gadis ini lebih muda
beberapa tahun. Hai, didunia ini rupanya banyak sekali gadisgadis cantik. Otak Liong Houw yang selama
beberapa tahun sudah terjejal bayangan wajah si
nona jelita Pedang Macan Betina, berhasil
memukul mundur pikiran yang baru saja
berkelebat dibenaknya. Kembali kenangannya dipenuhi bayang-bayang
wajah Lie Eng Eng. Dengan pakaian dekil Ho Ho memasuki kota Cee
lam-hu, langkahnya diayun ke arah rumah makan
Sam-gie, disana sudah tampak banyak tamu-tamu
yang makan minum. Diantara para tamu yang sedang makan minum,
disebuah meja sebelah barat utara duduk dua
orang hweeshio gundul berpakaian hitam, makan
minum dengan sangat rakus.
Disudut ruangan sebelah timur, duduk seorang
gadis cantik jelita mengenakan pakaian sutra
putih. Di belakang gegernya tampak menonjol
gagang pedang berukiran kepalanya macan. Ho Ho
yang menampak gadis itu, segera berjalan
240 menghampirinya lalu tegurnya : "Kalau tidak salah
nona ini adalah Bo-tay-tiong-kiam."
Mendengar teguran itu, si gadis jelita menoleh,
tampak disampingnya seorang pengemis muda, Botay-tiong-kiam Lie Eng Eng, segera mengetahui
siapa adanya anak gembel ini, dengan tersenyum
manis, ia berkata : "Duduklah, suhumu pernah
bilang padaku, ia sudah mengangkat seorang
murid. Apakah kau yang disebut si pengemis cilik
Ho Ho?" Ho Ho menganggukkan kepala. "Nona, melihat
gagang pedang berukiran macan tersembul
digegermu, aku segera bisa menduga kaulah si
Pedang Macan Betina Lie Eng Eng."
"Hm, apakah kau sudah dengar, pembesar
anjing Pakkia akan melaksanakan hukuman mati
atas diri suhumu, pada tanggal sebelas bulan ini?"
tanya Lie Eng Eng. Ho Ho tercengang, ia belum pernah dengar berita
tentang keputusan hukuman mati atas diri
suhunya, ia hanya tahu, kalau sang suhu sedang
mendekam dalam penjara dikota Pakkia, bahkan
dirinya sendiri hampir saja binasa ditangan tentara
negeri. Ia bertanya kepada Lie Eng Eng : "Nona
betulkah ada keputusan begitu?"
"Wah.......bagaimana kau tidak tahu, keputusan
tentang hukuman mati itu sudah dikeluarkan,
bahkan jendral Cong sendiri yang akan memimpin
dilaksanakan hukuman mati itu."
"Tanggal sebelas masih kurang delapan hari,"
kata Ho Ho. "Bagaimana aku harus menolong suhu
241 ? Ah dasar adat suhu, sok politik segala, hampirhampir saja nyawakupun terbang kedunia baka,
kalau tidak muncul si gendeng Liong Houw,
menolong pada waktu yang tepat."
"Liong Houw ? Siapa dia?" tanya Lie Eng Eng.
"Aku belum pernah dengar nama Liong Houw.
Dimana sekarang orang itu?"
Bo-tay-tiong-kiam Pedang Macan Betina Lie Eng
Eng tidak menyadari bahwa Liong Houw adalah itu
si pemuda gondrong yang pernah melalap dirinya
dikelenteng rusak, selama dua tahun itu, ia
mengembara mencari si manusia laknat yang
sudah merusak kehormatannya, merusak mahligai
hidup rumah tangganya. Ia harus mendapatkan
orang yang telah mencuri kehormatannya guna
membuat perhitungan diatas tajamnya pedang
Ang-lo-po kiam. Si pengemis cilik Ho Ho sudah berkata lagi : "Si
gendeng itu seperti sedang gila asmara bicaranya
tidak keruan, ia kini sedang mencari gadis yang
hilang!" "Haaah, gila asmara ?" tanya Lie Eng Eng.
"Bicaramu juga seenaknya saja."
"Huh !" dengus Ho Ho, "Bagaimana ia tidak gila
asmara, kepandaiannya begitu hebat, gerakannya
seperti asap, lebih-lebih ilmu totokan jarak
jauhnya, memiliki kecepatan lebih cepat dari pada
cahaya. Cobalah kau pikir, ilmu sehebat itu,
katanya bisa dipelajari dalam tempo dua hari, juga
ia menamakan ilmu itu, Totokan Bunga-bunga
Berguguran?! Menilik dari kata-katanya itu,
apakah ia bukan sedang diamuk gila 242 asmara?......Hei dua ekor kepala gundul itu sejak
tadi memperhatikan dirimu ?"
"Aku tahu, mereka bekas pecundangku," kata
Lie Eng Eng. "Yang kanan Tiauw Jie Kun dan yang
duduk disebelah kiri Pang Liong Ma, kudengar
ilmu golok mereka Jie-sie-lauw, sudah mendapat
kemajuan pesat." 0)0o?d^w?o0(0 Jilid ke 06 "HEI PELAYAN !" tiba-tiba terdengar suara
bentakan Tiauw Jie Kun. "Kongcu ada perintah apa ?" menyahuti seorang
pelayan. "Lekas kau berikan sisa-sisa makanan pada
anak gembel itu, ruangan ini berbau busuk
melenyapkan selera makanku ! Cepat dan suruh ia
lekas keluar." Si pelayan melenggak, ia memperhatikan kearah
dimana Ho Ho bersama Lie Eng Eng duduk.
Langkahnya diayun menghampiri meja itu.
"Nona, apakah tidak lebih baik kawan pengemis
ini disuruh keluar saja." kata si pelayan kepada Lie
Eng Eng. Si pengemis cilik Ho Ho mendengar kata-kata
pelayan itu, darahnya meluap ke otak, ia menjadi
kalap. 243 Ho Ho menggeser kursi, tangannya bergerak,
membanting tubuh si pelayan.
Brukkkkkk..........Tubuh pelayan itu terpental
keluar. "Kau dua ekor kepala gundul juga sebaiknya
keluar menerima hajaran !" tantang Ho Ho sengit.
Tiauw Jie Kun dan Pang Liong Ma tertawa
berkakakan. "Kau anak gembel butut hua, haaa, didepan
sundelmu mau jual lagak, ha, ha, huaaa.......!"
tertawa Tiauw Jie Kun bergelak-gelak.
Clup, huuuk........ Dengan tiba-tiba, mulut Tiauw Jie Kun yang
sedang tertawa berkakakan, tersumbat sesuatu,
hingga ia menghentikan tertawanya, mukanya
menjadi merah padam, tubuhnya gemetar menahan sabar. "Hei, gundul ! Bagaimana rasanya lepeh-ku,
enak bukan ?" Tanya Ho Ho mengejek.
Tiauw Jie Kun yang masih meludah-ludah
matanya melotot hampir keluar semua, ternyata
barang yang menyumbat mulutnya tadi adalah
lepehan mulut Ho Ho yang disemburkan dengan
jurus Garuda memberi makan anaknya.
"Huek, huueeek . . . puih!" Tiauw Jie Kun beriak.
"Kalau aku tidak mampu memites batok kepalamu
gembel busuk, aku tak ingin lagi menjadi manusia
hidup . . . hueeek, koweek, puih."
244 Ho Ho yang sudah memamerkan ilmu
kepandaian semburan mulut, berjalan keluar
rumah makan diikuti Lie Eng Eng.
Tiauw Jie Kun dan Pang Liong Ma juga pada
bangkit, berjalan keluar.
Tamu-tamu yang sedang makan minum
menyaksikan keributan itu, juga pada bangun
berdiri, mereka serabutan keluar rumah makan
ingin menyaksikan keramaian apa yang akan
dipertontonkan oleh si gembel dekil.
"Nona, kau nyingkir saja, biar aku melayani dua
ekor keledai gundul ini !" kata Ho Ho sambil masih
mengunyah-ngunyah daging paha ayamnya.
"Kau harus hati-hati! Empatpuluh empat jurus


Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kow-kee-siang-liong-to-hoat Jie-sie-lauw si gundul
Tiauw Jie Kun sangat hebat, salah-salah lehermu
bisa menggelinding !" Lie Eng Eng memberi
peringatan. Dengan masih memegangi paha ayamnya, Ho Ho
berkata : "Jangan kuatir, apa itu Jie-sie-lauw ! Hei,
gundul, mana golokmu ? Cepat keluarkan ! Aku
sudah tidak banyak tempo lagi."
Sejak tadi Tiauw Jie Kun sudah mau mencabut
goloknya, tapi mendengar Lie Eng Eng menyebutkan ilmu golok yang dibanggakannya, ia
terkejut tidak kepalang, bagaimana rahasia ilmu
goloknya sudah bisa diketahui orang? Ketika
mendengar Ho Ho sudah pentang mulut,
kemarahannya tidak bisa ditahan lagi, sambil
menggereng, tubuhnya bergerak, tahu-tahu golok245
nya sudah menyambar kepala Ho Ho, entah sejak
kapan golok itu sudah keluar dari serangkanya.
Sambaran angin dingin menyerang muka si
pengemis cilik Ho Ho, dengan jurus si pengemis
minta makanan, tubuh Ho Ho melesat maju
memapaki datangnya serangan golok, Tiauw Jie
Kun yang menyaksikan si pengemis dekil berani
memapaki goloknya juga terkejut, ia heran tidak
kepalang, pikirnya si pengemis ini memang minta
mati, bibirnya tersungging senyum iblis.
Tampak gerakan si pengemis cilik Ho Ho ugalugalan, ia seakan tidak pandang mata pada
serangan golok Tiauw Jie Kun.
Tiauw Jie Kun yang sedang kegirangan bahwa
serangan goloknya akan memapas putus kepala si
pengemis cilik, tapi dengan mendadak bayangan si
pengemis cilik lenyap dari hadapannya.
"Aaaaaaa....." Tiba-tiba belakang tubuh Tiauw Jie Kun yang
baru kehilangan lawannya tersambar angin
pukulan hebat, tubuhnya miring kekiri sedang
goloknya diayun, menghajar datangnya serangan
bokongan tadi. Gerakan Tiauw Jie Kun tidak
sampai disitu, begitu berhasil mengelakkan
datangnya serangan bokongan dengan memainkan
jurus-jurus Kow-kee-siang-liong-to-hoat Jie-sielauw tubuhnya berbalik, menghujani si penyerang
gelap. Terdengar beberapa kali suara peletak peletok,
tulang-tulang terpapas golok, darah berhamburan
kesana kemari. 246 Tiauw Jie Kun belum tahu siapa yang menjadi
korban goloknya, dengan dada penuh rasa panas ia
memainkan keempat puluh empat jurus ilmu golok
Jie-sie-lauw, hingga tubuh orang yang menjadi
korban bacokan itu tercincang berkeping keping.
Setelah tulang dan daging-daging sang korban
berceceran ditanah, mendadak mata Tiauw Jie Kun
seperti mau melompat keluar, keringat dinginnya
mengucur deras, tubuhnya gemetaran hebat.
Tubuhnya mematung seakan patung yang akan
roboh tertiup angin. Apa yang disaksikannya ? Ternyata diantara kepingan-kepingan tulang dan
daging disana menggeletak satu kepala manusia.
Itulah kepala si Pang Liong Ma, saudara angkatnya
sendiri. Si pengemis cilik Ho Ho, yang menggunakan
jurus si pengemis minta makanan, ia berhasil
mengelakkan serangan golok Tiauw Jie Kun,
tampak gerakan Ho Ho seperti ugal-ugalan, tapi
gerakan itu begitu gesit, ia berhasil mengelakkan
serangan maut, dengan ugal-ugalan tubuhnya
sempoyongan kebelakang Tiauw Jie Kun.
Pang Liong Ma yang berada disamping Tiauw Jie
Kun, karena Tiauw Jie Kun maju merangsak
kedepan dengan serangan goloknya, Pang Liong Ma
masih berada ditempat semula, hingga kedudukannya berada dibelakang Tiauw Jie Kun.
Begitu Ho Ho membelakangi Tiauw Jie Kun
dengan cepat isi mulutnya disemburkan menghajar
muka Pang Liong Ma. 247 Pang Liong Ma yang masih tersenyum-senyum
menyaksikan kehebatan ilmu golok saudara
angkatnya, belum sadar kalau isi mulut Ho Ho
terdiri dari tulang-tulang paha ayam menyambar
mukanya, begitu ia sadar sudah terlambat, kedua
matanya disamber dua potong tulang ayam. Belum
lagi tahu benda apa yang menyambar matanya,
tiba-tiba tubuhnya melayang keudara. Membentur
belakang tubuh Tiauw Jie Kun.
Tiauw Jie Kun yang merasakan bagian belakang
tubuhnya dibokong orang, dengan kecepatan luar
biasa ia membalikkan tubuh, tanpa lihat lagi siapa
pembokongnya, ilmu golok Jie-sie-lauw bergerak.
Crees, pletak, pelutuk. Demikianlah jalan pertempuran dengan mengambil korban saudara angkatnya sendiri
dimakan ilmu golok kebanggaan Tiauw Jie Kun.
Pertempuran itu hanya terjadi dalam saat dua
kali kedipan mata saja. "Tiauw Jie Kun !" bentak Lie Eng Eng. "Kini
giliranku !" Mendengar suara bentakan Lie Eng Eng, Tiauw
Jie Kun dengan kalap menyerang si Pedang Macan
Betina, mulutnya memaki: "Sundel basi...........!"
goloknya berkelebat. Creet......pedang Ang-lo-po-kiam keluar dari
serangkanya, berkelebat sinar-sinar perak memenuhi medan pertempuran.
Tiauw Jie Kun yang sudah kalap, lupa bahwa
pedang si nona jelita adalah pedang pusaka.
248 Hingga ia tidak mencegah terjadinya benturan
senjata. Diantara berkeredepannya sinar-sinar perak
kemilauan, terdengar suara benturan dua senjata
golok dan pedang. Trang......tring .... Kedua tubuh orang yang bertempur mundur
satu tindak. Tubuh Lie Eng Eng tergetar, pedangnya hampir
saja terlepas dari cekalan, sedang keadaan Tiauw
Jie Kun lebih hebat lagi, mukanya merah padam,
golok ditangannya sudah kutung menjadi dua
potong. Tiauw Jie Kun melemparkan potongan pedang
yang masih digenggamnya kearah dada si nona
jelita, terdengar suara mendenting golok itu
terpental mundur dibentur pedang Ang-lo-po-kiam
menjadi dua potong lagi. Tubuh Tiauw Jie Kun melesat meninggalkan
arena pertandingan. "Hebat !" tanpa disadari Lie Eng Eng memuji
kehebatan ilmu golok Jie-sie-lauwnya Tiauw Jie
Kun. "Apa yang hebat?" dengus Ho Ho.
"Hei, kau juga keliwat pandang enteng ilmu
goloknya Tiauw Jie Kun, mmm, kalau aku tidak
menggunakan pedang pusaka Ang-lo-po-kiam ini,
sulit aku bisa merobohkan dirinya!" kata Lie Eng
Eng sambil memasukkan kembali pedangnya
kedalam serangka. 249 "Hei, ilmu apa yang kau gunakan tadi ?" tanya
Lie Eng Eng. "Huh, itu bukan ilmu apa-apa, hanya ilmu si
pengemis minta sedekah ?" kata Ho Ho.
"Hih hihh....." terdengar suara merdu tawa si
nona jelita, "Kau ada-ada saja masa ada jurus
pengemis minta sedekah? Tapi juga hebat luar
biasa hih hi......" Ditertawakan begitu Ho Ho tidak marah, malah
ia senang sekali menikmati tawa-tawa si gadis
jelita, suara tawa itu garing merdu, menambah
kecantikannya. "Apa yang hebat ! justru tidak ada gunanya, jika
aku tidak berhasil membuat orang itu kalap lebih
dahulu, mana bisa aku mengelabui matanya.
Untung saja sambaran lepehku, berhasil membuat
Tiauw Jie Kun kalap tidak keruan. Hingga dengan
mudah aku baru bisa menipunya dengan jurusjurus pengemis itu, kalau tidak, huh, mungkin
kepalaku sudah menggelinding."
Orang-orang yang berkerumun penonton pertandingan juga sudah pada bubar, mereka
kagum, ngeri bercampur aduk menyaksikan
pertandingan maut tadi. Lie Eng Eng dan si pengemis cilik Ho Ho kembali
memasuki rumah makan, mereka disambut
dengan ramah tamah oleh pemilik rumah makan.
"Nona, mengapa tidak sekalian membereskan
nyawa bajingan itu?" tanya Ho Ho.
250 "Hai, kejadian didunia ini memang lucu lucu,
bajingan itu menguntit aku selama dua tahun ini,
ia juga sudah merampas kelenteng Liong-ong-bio,
menyaru jadi padri, menyelidiki keadaan diriku.
Dengan diam-diam juga aku menguntit dirinya,
menyelidiki letak markas besar kepala berandal
Raja-raja Gunung." Selagi mereka bicara sambil makan minum,
berjalan masuk seorang pemuda, celingukan
sebentar, lalu pemuda itu menghampiri meja
dimana Lie Eng Eng dan si pengemis cilik Ho Ho
duduk. Lie Eng Eng mengenali siapa yang datang,
tegurnya, "Hallo! Apa kabar?"
Pemuda yang baru datang, setelah menganggukkan kepala kearah Si pengemis cilik
Ho Ho menyeret kursi lalu duduk, ia berkata,
"Nona, sudah lama tidak berjumpa apakah baikbaik saja?"
"Hei !" tegur si pengemis, "Rupanya kau juga lagi
gila asmara, orang bertanya apa kabar, kau belum
jawab, malah sudah kesusu menanyakan keadaan
orang, toch sicantik segar bugar dihadapanmu,
untuk apa tanya-tanya lagi, huah, haaa. . . . cilaka
banyak orang gila asmara !"
Selembar wajah si pemuda menjadi merah.
Lie Eng Eng sambil unjukkan senyum manisnya,
memperkenalkan ; "Ini si pengemis cilik Ho Ho
murid Pie tet Sin-kay." tangan mulus menunjuk ke
arah Ho Ho. 251 "Saudara ini Thio Thian Su murid Ceng it
Cinjin." Kedua pemuda itu saling angguk meskipun hati
Thio Thian Su masih merasa mendongkol atas
kata-kata si pengemis barusan.
"Saudara Thian Su, bagaimana tugasmu
menguntit Kun-see-mo-ong Teng Kie Lang?
Apakah." "Hai," memotong Thio Thian Su, "Aku kehilangan
jejaknya digunung Ong-san ! Hei, saudara Ho Ho,
apakah gurumu Pie-tet Sin-kay itu yang akan
menjalani hukuman matinya pada tanggal 11
bulan ini?" Si pengemis cilik Ho Ho mendelik, katanya :
"Kau kira ada berapa Pie-tet Sin-kay di dunia
pergembelan ini?! Huh, kau jangan samakan
guruku dengan orang-orang yang sedang gila
asmara, guruku hanya satu, dengan satu nama.
Sedang orang-orang gila asmara terlalu banyak,
seharian ini saja aku menemukan dua orang."
Thio Thian Su mendengar ucapan sindiran Ho
Ho jadi naik darah, dengan muka merah ia berdiri.
Tapi cepat tangan Lie Eng Eng yang halus
meraba pundak kanan si pemuda, keruan saja,
kemarahan Thio Thian Su mendadak lenyap,
berganti dengan hawa sejuk yang keluar dari
telapak tangan halus si nona manis menyelusupi
urat-urat sarafnya. "Sudahlah, duduk." kata Lie Eng Eng kemudian,


Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"kawan pengemis kita sedang pusing kepala,
mabok memikirkan suhunya !"
252 Thio Thian Su yang kemarahannya mendadak
lenyap tergusur oleh rabaan tangan halus si nona
manis, hatinya dug, deg-degan ia duduk dikursi
kembali. "Hei, pelayan, ambilkan lagi
minuman!" teriak Lie Eng Eng.
makanan dan Thio Thian Su dengan perasaan girang
bercampur bangga mendapat elusan tangan halus
si nona manis ia berkata: "Di Pakkia mungkin akan
ramai, kukira akan terjadi pertempuran hebat pada
tanggal sebelas nanti."
"Bagaimana kau tahu akan terjadi pertempuran
hebat ?" tanya Ho Ho.
"Suhuku sendiri akan datang !" jawab Thio Thian
Su. "Huah....... Ceng-it Cinjin akan hadir dikotaraja
?" tanya Lie Eng Eng.
Thio Thian Su berkata lagi : "Jendral Cong sudah
mengundang orang-orang kuat rimba persilatan
yang gila pangkat dan kedudukan, termasuk si Tay
ong, kepala berandal Raja Gunung berikut anakanak buahnya. Mereka semua akan meluruk turun
gunung berdiri dibelakang jendral Cong ! Juga dari
golongan ksatria meluruk datang untuk menolong
Pie-tet Sin-kay dari kematian. Hai! Disamping itu,
masih banyak lagi tokoh-tokoh hitam yang akan
hadir, mereka tidak memihak pembesar anjing
Cong atau para kesatria, kehadiran mereka sengaja
mengacau rimba persilatan. Mencari jejak peta
pusaka !" 253 "Peta pusaka?" dengan berbareng Ho Ho dan Lie
Eng Eng bertanya. "Ya, peta pusaka," berkata lagi Thio Thian Su,
"menurut keterangan guruku peta pusaka itu
menunjukkan tersimpannya satu benda pusaka
gaib. Pada tiga puluh tahun berselang suhuku
pernah berjumpa dengan Thian-lam-it-lo Kak Wan
Kie-su, tokoh sakti tanpa tandingan, ia menceritakan terpendamnya satu pedang pusaka
gaib bangsa Arab didataran Tionggoan !"
"Pusaka gaib bangsa Arab?" tanya Lie Eng Eng.
"Hei," si pengemis cilik Ho Ho nyeletuk. "Tadi
kau kata peta pusaka, sekarang pedang pusaka?
Ini bagaimana bisa terjadi petanya merupakan
barang pusaka, barang yang tersimpan dalam peta
itu juga merupakan barang pusaka ? Apakah
ucapanmu ini tidak ngelantur lagi ?"
Dengan bangga Thio Thian Su berkata: "Memang
! Petanya adalah merupakan satu barang pusaka,
entah bagaimana bentuknya ? Barang itu tidak
seorangpun yang tahu. Pedang pusakanya adalah
merupakan sebilah pedang gaib luar biasa dari
jaman nabi-nabi bangsa Arab."
"Apa kegunaannya pedang itu?" tanya lagi si
pengemis cilik Ho Ho. "Inilah yang mengherankan, bagaimana ada
pedang gaib, kalau pedang pusaka itu sudah
lumrah, tapi pedang gaib.......?"
"Mungkin semacam pedang siluman yang bisa
menjelma menjadi ular atau naga?" potong Lie Eng
Eng. 254 "Ai, hampir lupa!" berkata lagi Thio Thian Su,
"Kudengar gurumu Sin-kiong kiam Ong Pek Ciauw
locianpwe juga akan hadir dikotaraja ?"
"Apa ?!!!" menegasi Lie Eng Eng.
"Gurumu akan hadir dikotaraja !" mengulangi
Thio Thian Su. "Alaaaaa........suhuku juga akan datang ? Sudah
hampir sepuluh tahun aku tidak pernah
menemukan jejaknya. Kalau begitu, aku akan
segera pergi kekotaraja lebih siang menunggu
kehadiran suhuku." kata Lie Eng Eng girang.
"Begitu juga baik," kata Thio Thian Su. "Kita
berangkat bersama saja bagaimana?"
Si pengemis cilik Ho Ho mendengar ucapan Thio
Thian Su, ia nyengir, pikirnya; Orang ini sudah
betul-betul tergila-gila kecantikan si nona manis
Lie Eng Eng. Lie Eng Eng hanya tersenyum, ia panggil
pelayan, memberesi rekening makanan, baru
berkata ; "Saudara Ho, apa kau juga mau ikut
berangkat bersama aku ?"
"Ach, aku ada janji dengan pacarku? Kau
pergilah berdua. Nanti aku datang menyusul." kata
Ho Ho. "Huh, jadi kau juga gembel sudah punya pacar,
eh apa pacarmu juga gembel perempuan?" tanya
Lie Eng Eng guyon. "Haaa. . . hua..... haaaa. ......"
255 Terdengar suara riuh tertawa tiga orang dengan
masih tertawa-tawa Lie Eng Eng melesat
meninggalkan rumah makan diikuti Thio Thian Su
si pemuda mabok asmara. Sayang ! Untuk sementara waktu, pertemuan
Liong Houw dan Lie Eng Eng kita batalkan!
0)0o?d^w?o0(0 Ho Ho dengan gayanya si pengemis kawakan
berjalan meninggalkan rumah makan, langkah
kakinya diayun keluar kota, kembali kerumah si
nenek tua dikampung Ciu-kee-cun.
Dari jauh tampak Liong Houw berlarian
menyongsong kedatangan si pengemis cilik Ho Ho.
"Hei kawan, apakah kau sudah
menemukan gadis itu ?" tanya Ho Ho.
berhasil "Hayaa...... kepalaku pusing!" kata Liong Houw,
"nenek itu juga keliwatan, sesudah kudapatkan
gadisnya, ia suruh aku mengambil anak gadis itu
menjadi isteriku, kau pikir urusan ini gila apa
tidak?" "Gila apa?" sahut Ho Ho. "Kalau kau tidak mau
jadi suami gadis itu, asal ia cantik, oper saja
padaku apa susahnya?"
"Aih.... Kau bicara jangan asal nyerocos," kata
Liong Houw. "Urusan ini bukan soal main main,
harus dirundingkan masak-masak."
"Apa lagi yang musti dirundingkan, jika kau
mau, bilang saja sama si nenek, jangan malumalu, jika tidak boleh tolak saja ! Perlu apa pusingpusing," jawab Ho Ho dongkol.
256 "Kalau kutolak tawaran nenek itu, ia akan
bunuh diri," kata lagi Liong Houw.
"Hngg, hayo cepat kesana, ingin kulihat wajah
gadis itu, kalau ia cantik, boleh juga untuk kawan
perjalanan, tambah lumayan."
Berunding punya berunding, akhirnya Liong
Houw kewalahan menghadapi desakan si pengemis
cilik Ho Ho yang sudah menilai kecantikan gadis
itu, ternyata tidak kalah cantiknya dengan si jelita
Lie Eng Eng, maka mereka saling angkat saudara.
Si pengemis cilik Ho Ho dengan wajah riang
mendapatkan kakak dan adik angkat begitu cantik,
bertanya kepada Liong Houw.
"Hei, kau dapatkan dimana adik Liu Ing?"
"Dikelenteng Liong-ong-bio !" jawab Liong Houw.
Meskipun mereka sudah saling mengangkat
saudara, Liong Houw adalah yang tertua, sedang
Liu Ing si gadis cantik ayu adalah saudara angkat
yang termuda tapi panggilan mereka ternyata
seenak mulutnya saja, mereka tidak menggunakan
istilah panggilan antara adik dan kakak.
Mereka itulah calon-calon manusia aneh yang
akan menggemparkan rimba persilatan.
"Rupanya perbuatan si Tiauw Jie Kun ! Mungkin
kelak ia akan kembali kemari mencari gadis itu,
juga.....bisa-bisa si nenek dibunuhnya." kata Ho
Ho. "Apa kau kenal dengan orang itu ?" Tanya Liong
Houw. 257 "Bukan kenal lagi, dikota Cee-lam-hu, padri
palsu itu sudah dibuat ngacir oleh si Pedang
Macan Betina Lie Eng Eng !"
Liong Houw mendengar disebutnya nama si
Pedang Macan Betina Lie Eng Eng. Sikapnya
tenang-tenang, seakan tidak pernah terjadi apaapa atas dirinya dengan si Pedang Macan Betina
Lie Eng Eng. Karena Liong Houw tidak tahu nama
gadis yang dirindukan siang malam itu, ia hanya
mengenali raut wajah muka cantik manis si nona
jelita, serta mengenali pedangnya yang bisa
memancarkan cahaya terang kemilauan, tapi tidak
kenal nama sang gadis yang selama ini dirindu
dendamkan. Mendengar cerita Ho Ho, ia hanya merasa kagum
atas kehebatan si Pedang Macan Betina !
Si pengemis cilik Ho Ho sudah berkata lagi :
"Pada tanggal 11 bulan ini, suhuku akan
menjalankan hukuman mati. Aku harus segera
berangkat kekotaraja. Mungkin akan terjadi
pertempuran hebat !"
"Kalau begitu, biar kita pergi bersama, mungkin
aku bisa menyumbangkan tenaga?" kata Liong
Houw. "Itulah yang kuharapkan, tapi mengingat
perjalanan dari sini kekotaraja memakan waktu
empat hari perjalanan, apakah adik Liu Ing
sanggup melakukan perjalanan begitu jauh ?
Kukira adik Liu Ing juga tidak bisa menunggang
kuda." kata si pengemis cilik Ho Ho.
258 Liong Houw mengkerut-kerutkan keningnya, ia
berpikir keras, kalau meninggalkan adik Liu
Ingnya, pasti akan terjadi malapetaka kembali,
kalau ia diajak serta, menghambat perjalanan.
Berpikir bolak balik, tiba-tiba tangannya merogoh
saku baju, mengeluarkan satu kantong kecil. Dari
dalam kantong kecil itu, ia mengeluarkan sebutir
mutiara yang memancarkan sinar terang benderang. Si pengemis cilik Ho Ho menampak Liong Houw
mengeluarkan sebutir mutiara berkeredepan,
girangnya bukan kepalang, lalu katanya : "Hai.....
dengan sebutir mutiara itu, kita bisa membeli
sepuluh kereta kuda....."
Tiba-tiba ucapannya terhenti, ia merasa jengah
sendiri. Mukanya menjadi merah.
Liong Houw menyaksikan perobahan wajah Ho
Ho, ia bisa mengerti perasaan sang adik angkat,
segera berkata : "Ah, kau bawa saja mutiara ini
kekota, segala-galanya kuserahkan padamu, tapi
ingat jangan lupa ya, kau harus ganti pakaian!"
Mendengar ucapan itu, Ho Ho menjadi girang
lalu katanya : "Kalau begitu, baiknya kita kekota
saja menginap dirumah penginapan ?"
"Ya, tapi bagaimana dengan nenek ini ?" tanya
Liong Houw. "Berapa banyak kau miliki mutiara semacam
ini?" bertanya si pengemis cilik Ho Ho.
"Ada dua puluh butir," jawab Liong Houw.
259 "Eeeh.....banyak amat ? Dari mana
dapatkan mutiara berharga sebanyak itu?"
kau "Suhuku yang memberikan," jawab Liong Houw,
"Ketika aku keluar lembah Im-bu-kok, suhuku
membekali mutiara-mutiara ini untuk bekal hidup.
Memang kenapa ?" "Ah tidak apa-apa, sebutir mutiara ini bisa
dibelikan sepuluh kereta kuda, biar kupesan satu
kereta istimewa berkuda empat, sisa uangnya
dibelikan perlengkapan pakaian, lebihnya kukira
kita berikan pada tukang kereta, untuk menitipkan
nenek ini disana." "Ya, betul begitu juga baik." sahut Liong Houw.
0)0o?d^w?o0(0 TANGGAL LIMA bulan enam tahun Imlek.
Dalam rumah makan Sam-gie dikota Cee-lamhu, tampak disatu meja dekat jendela duduk dua
orang pemuda dan seorang gadis ayu jelita.
Si pemuda bukan lain dari pada Liong Houw,
duduk menghadap selatan, si pengemis cilik Ho Ho
duduk menghadap utara. Sedang Liu Ing si gadis
ayu jelita dengan mengenakan pakaian sutra
merah jambu berenda, duduk menghadap barat.
"Toako." kata Ho Ho perlahan. "Dalam
menjalankan rencana kita kemarin, didalam


Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perjalanan, kau tetap kusir kereta, sedang aku
dengan Liu Ing berperan sebagai putra puteri
bangsawan." "Aku sudah mengerti. Semua rencana kuserahkan padamu," kata Liong Houw berbisik.
260 Guna menolong Pie-tet Sin-kay, si pengemis cilik
Ho Ho merencanakan suatu penyamaran dalam
perjalanannya kekota-raja.
Liong Houw menyamar sebagai kusir kereta
dengan mengenakan tudung dan pakaian kupluk
sedang si pengemis cilik Ho Ho dan Liu Ing,
menyamar sebagai anak-anak orang hartawan
gede. Mereka mengenakan pakaian mewah luar
biasa mahalnya. Langkah itu diambil untuk menghindari
kecurigaan-kecurigaan dari para mata-mata pemerintah yang dengan ketat mengawasi setiap
gerak gerik orang-orang yang masuk kekotaraja.
Dalam rumah makan itu belum begitu banyak
orang. Kursi meja masih banyak yang kosong, hari
masih terlalu pagi. "Toako," berkata Ho Ho si putra hartawan
tetiron, "Didunia ini baru pertama kali aku
menemukan orang seperti kau, hanya makan
buah-buahan untuk tangsel perut, kedudukanmu
sebagai kusir memang cocok sekali."
Mendengar ocehan Ho Ho si putera hartawan
tetiron, Liong Houw hanya tersenyum saja.
"Ai.koko Liong, kereta sudah datang."
"Hmm, adik Liu Ing, mulai detik ini kau jangan
panggil aku koko dulu, panggil saja jabatanku si
kusir, jangan lupa," kata Liong Houw memperingati
adik angkatnya. Dimuka rumah makan berhenti satu kereta
mewah bercat biru laut, di ke empat pintu261
pintunya terdapat ukiran-ukiran bunga Bwee,
dengan ditarik oleh empat ekor kuda berbulu
putih. Seorang tua lompat turun, lalu berjalan
memasuki rumah makan. "Kongcu....kereta sudah siap?" berkata orang tua
yang tadi mengusiri kereta pada si kongcu tetiron
Ho Ho. "Eng.kau pergilah ! Eh, ya, apa uang yang
kuberikan juga cukup untuk merawat nenek yang
kutitipkan ?" tanya Ho Ho.
"Cukup kongcu, cukup untuk lima tahun,"
berkata si orang tua tukang kereta.
Ho Ho si kongcu tetiron berkata lagi: "Kau harus
perlakukan nenek itu baik-baik kalau kelak
kudengar kau sia-siakan, hem...."
"Ya, ya, aku mengerti kongcu," potong tukang
kereta. "Pergilah !" Setelah itu si kongcu tetiron Ho Ho, berkata
pada si kusir kereta tetiron alias Liong Houw,
dengan suara keras: "Hei, kusir, kau siapkan
kereta, kami akan segera berangkat!"
Setelah membereskan rekening makan, mereka
berjalan keluar menuju kereta.
Liong Houw selaku kusir, membukakan pintu
menyilahkan siputera puteri hartawan masuk
kedalam kereta. Penduduk kota Cee-Iam-hu, yang menyaksikan
didalam kotanya mendadak muncul dua orang
262 anak bangsawan mereka menjadi heran terlongong-longong, hati mereka bertanya tanya,
dari mana datangnya anak-anak orang gedean itu.
Mereka tidak tahu kalau si pemuda hartawan
itulah sebetulnya anak gembel yang kemarin
berkeliaran didalam kota.
Dengan mengenakan topi lebar, Liong Houw
menarik les kuda. Terdengar suara derap langkah kaki kuda,
diiringi suara keretekan roda-roda kereta meninggalkan kota Cee-lam-hu.
Didalam kereta Ho Ho duduk berhadap-hadapan
dengan Liu Ing. Terdengar suara Ho Ho memecah
kesunyian pagi itu. "Adik Lui Ing, menurut apa yang kudengar dari
nenek pengasuhmu, kedua orang tuamu dibunuh
mati orang, apakah kau tahu sebab-sebabnya?"
Liu Ing mengedip-mengedipkan bulu matanya
yang lentik, lalu berkata dengan suara garing
merdu. "Apa nenek Sian sudah menceritakan siapa
kedua orang tuaku pada toako?"
"Nenek itu hanya mengatakan majikan almarhum Cu Liang San dibunuh orang." kata Ho
Ho. Wajah Liu Ing bersemu pucat mendengar nama
ayahnya disebut-disebut Ho Ho, nama itu
membangkitkan kenangan semasa ia masih kanakanak. Kenangan indah penuh gairah cita-cita
harapan hidup muluk penuh kebahagiaan.
263 "Hei," tegur Ho Ho.
"Ah......." Liu Ing sadar dari lamunannya.
"Oya, tentang sebab musababnya aku sendiri
tidak tahu, sedang nenek Sian tidak pernah
menceritakan. Ia hanya berpesan, kelak aku juga
bisa membongkar rahasia itu."
Ho Ho sambil bercakap-cakap, otaknya bekerja
menilai bentuk potongan tubuh serta mimik gerak
bibir Liu Ing dalam mengucapkan kata-katanya,
sungguh indah kedua bibir gadis itu, hai, ia
menarik napas panjang. Selanjutnya Ho Ho tidak mau mengungkit lagi
soal keluarga Liu Ing, yang bisa membangkitkan
kenangan lama si gadis, ia memandang keluar
jendela sejenak lalu berkata perlahan; "Bagaimana
penilaianmu atas diri koko Liong?"
"Emmm," Liu Ing membisu seribu bahasa.
"Koko Liongmu," berkata lagi Ho Ho, "Sejak
pertemuanku yang pertama, ia seperti orang yang
sedang mabok asmara, entah gadis mana yang
digila-gilainya." Liu Ing tidak menggubris ocehan-ocehan Ho Ho,
matanya memandang keluar jendela, menikmati
pemandangan rumput-rumput menghijau, batangbatang pohon tampak seakan berlarian.
Sang Surya condong kebarat, hari mulai petang,
derap-derap langkah kaki kuda menuju arah
timur. 264 "Hei.!" teriak Liong Houw, tangannya menepuk-nepuk pintu kereta. "Hari sudah mulai
gelap, apakah kita meneruskan perjalanan?"
Ho Ho dalam kereta meneriaki si kusir,
"Beberapa lie didepan kita kota Kwie-yong-hu, kau
bedal kuda itu lebih cepat, sebelum matahari
terbenam kita bisa sampai disana."
Si kusir kereta alias Liong Houw mengayun
pecutnya diudara, terdengar suara-suara menggeletar-geletar, derap-derap langkah kaki
kuda semakin ramai, kereta berjalan tambah laju.
Abu-abu mengepul diudara, kereta berwarna biru
laut melesat memasuki pintu kota Kwie yong-hu.
Di muka rumah penginapan Ciam-kiok-louw
dikota Kwie-yong-hu, terdengar suara-suara rodaroda kereta terseret menciut-ciut, lalu berhenti
disana. Si kusir kereta lompat turun, membukakan
pintu kereta. Liu Ing siputri hartawan tetiron dengan dituntun
Ho Ho, memasuki rumah penginapan, diikuti oleh
si kusir kereta. Pemilik rumah penginapan, menampak masuk
dua orang muda dengan mengenakan pakaian
mewah, segera menghampiri, ia tidak pandang
mata pada Liong Houw yang berdandan sebagai
kusir kereta. "Kongcu !" kata si pemilik rumah penginapan
dengan sikap menghormat. 265 "Cepat sediakan tiga kamar," potong Ho Ho
cepat, "Suruh orang urus keretaku, besok pagi
harus sudah siap, kami akan berangkat
melakukan perjalanan lagi."
"Baik! Baik, Kongcu !" jawab si pemilik rumah
penginapan. Ia menyuruh seorang pelayan
membawa kereta masuk kekandang kuda.
Ho Ho, Liong Houw dan Liu Ing masing-masing
memasuki kamar diatas loteng yang telah ditunjuk
oleh si pemilik rumah penginapan. Mereka
memesan makanan malam menangsal perut. Lalu
pergi tidur. Malam itu dilalui dengan tenang.
Cuaca malam yang gelap, tampak sedikit demi
sedikit menjadi terang kembali, suara keruyukan
ayam jago terdengar saling sahut-sahutan, dunia
yang gelap pekat sunyi senyap kembali menjadi
ramai pula. Sang batara surya memancarkan sinar
yang gilang gemilang. Pagi itu cuaca cerah, udara sangat sejuk,
didalam rumah penginapan Ciam-kiok-louw,
dibawah loteng duduk menghadapi meja Ho Ho,
Liong Houw dan Liu Ing. Tak lama, seorang pelayan datang membawakan
makanan-makanan yang dipesan, bau harum
makanan membangkitkan selera makan.
Dihadapan Ho Ho dan Liu Ing, tampak dua porsi
nasi goreng, satu porsi telur-telur ayam mata sapi,
ayam goreng dan sepoci arak.
266 Sedang dihadapan Liong Houw, si kusir kereta,
hanya tampak beberapa macam buah-buahan dan
satu gelas air berwarna putih bening.
Para tamu yang juga pada sarapan pagi
menyaksikan perbedaan makanan yang menyolok,
antara si kongcu putra-putri hartawan dengan si
kusir kereta dalam hati mencemoohkan si kongcu
yang terlalu pelit. Rumah penginapan Ciam-kiok-louw yang juga
merupakan rumah makan kini sudah mulai ramai
dikunjungi orang yang makan minum.
Disatu meja dekat pintu, tampak duduk seorang
tua bertubuh kekar, berkumis tipis tidak
berjenggot, kedua matanya memancarkan sinar
terang. Sepasang sinar mata Ho Ho, beberapa kali
ditembakkan kearah orang tua itu, dengan suara
keras ia berkoar pada Liong Houw si kusir kereta.
"Hei, hari ini kau harus membedal kuda-kuda
itu dengan kecepatan maksimum, jangan sampai
terlambat tiba di Pakkia, aku perlu menonton
keramaian. Mungkin dalam sepuluh tahun ini baru
pertama kali ada pertunjukan sungguh menarik
hati, suatu kesempatan yang tidak boleh
dilewatkan....." "Kongcu ! Ada pertunjukan apakah di kota raja
?" terdengar suara orang yang duduk disebelah
meja Ho Ho, orang itu berusia kira-kira empat
puluh lima tahunan, berpakaian seperti saudagar.
Ho Ho memalingkan mukanya kearah datangnya
suara itu lalu katanya : 267 "Apakah tuan belum dengar kabar, bahwa pada
tanggal sebelas bulan ini, akan dijalankan
pelaksanaan hukuman mati terhadap seorang
pemberontak ?" Orang tua yang berpakaian mengangguk-angguk kepala, katanya :


Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saudagar "Oh, itu hukuman mati atas diri si gembel pie-tet
Sin-kay ! Kukira pertunjukan apa ? Oya,
sebetulnya kongcu orang daerah mana ?"
"Aku dengan adikku perempuan asal dari Kun
beng anak hartawan she Ong, apakah tuan kenal
dengan ayahku?" kata Ho Ho kebat kebit.
"Heng......!" dengus si saudagar. "Jauh-jauh
ratusan lie jiwie kongcu memerlukan datang
kekotaraja, hanya untuk menyaksikan dilaksanakannya hukuman mati atas diri seseorang. Sungguh buang-buang tempo percuma."
"Hei, lain padang, lain belalang, lain lubuk,
ikannya juga lain, rambut sama hitam tapi hidung
tidak sama mancung!" kata Ho Ho berkoar lagi,
matanya melirik kearah orang tua yang duduk
didekat pintu. "Pemberontak yang akan menjalankan hukuman matinya adalah si pengemis butut Pie-tet Sin-kay, ia pernah
mengganggu ketentraman keluargaku di Kun-beng,
maka pada kesempatan ini ingin sekali aku melihat
dengan mata kepala sendiri, kepala gembel itu
menggelinding ditanah."
Tiba-tiba orang tua yang duduk dimeja dekat
pintu menggebrak meja mendengar kata-kata si
Kongcu tetiron. 268 Gebrakan itu sungguh hebat akibatnya, keempat
kaki meja yang digebrak dengan telapak tangan si
orang tua amblas kedalam lantai sampai setengah
bagian, orang-orang yang sedang makan minum
dikejutkan oleh suara gebrakan itu pada menoleh,
mereka terkejut dan kagum, heran bercampur
aduk. Dengan sinar mata jelilatan orang tua itu
berjalan menghampiri meja dimana Ho Ho duduk,
ia berkata : "Hei, kukira yang akan kau saksikan
adalah menggelindingnya kepala-kepala pembesar
anjing Pak-kia !" Ho Ho yang sejak tadi memperhatikan orang tua
itu, sengaja membuat si orang tua naik darah,
karena sebenarnya ia telah kenal betul orang tua
itu adalah Si Rajawali Cakar emas, Rajawali kawan
baik Pie-tet Sin-kay, tapi si Rajawali cakar emas
sudah tidak mengenali kepada si pengemis cilik Ho
Ho, murid konconya sendiri yang sudah
berpakaian sebagai anak penggede.
Kini menyaksikan Si Rajawali cakar emas sudah
berada dihadapannya dengan mengucapkan katakata kemarahan, ia pura-pura terkejut.
"Aaaa.......... kiranya tuan si Rajawali Cakar
Emas yang gagah perkasa," kata Ho Ho.
Si Rajawali Cakar Emas, yang namanya disebut
si kongcu muda, kejutnya bukan kepalang, sampai
ia mundur dua langkah, matanya merah melotot
memperhatikan Ho Ho dari atas kepala sampai ke
kaki, lalu menatap kearah Liu Ing, akhirnya
menoleh sebentar pada Liong Houw si kusir kereta,
kembali menatap si kongcu tetiron Ho Ho.
269 Ternyata hati Si Rajawali Cakar Mas sudah
dibuat terkejut oleh ucapan si kongcu tetiron yang
sudah bisa mengenali dirinya, tapi ia sendiri
sebagai tokoh persilatan yang malang melintang
dirimba persilatan baru kali ini menyaksikan ada
kongcu muda seperti ini. Menyaksikan si Rajawali Cakar
bingungan, Ho Ho sudah berkata lagi:
Mas ke- "Kudengar konco-konconya si gembel juga pada
meluruk datang ke Pak kia untuk menolong
jiwanya si gembel butut, ayaa kelakuan mereka
persis seperti ular cari penggebuk. Mereka akan
menjadi umpan senjata tentara negeri yang gagah
perkasa. Haaa, huaaa......suatu tontonan yang
sangat menggembirakan untuk dilihat, tidak
percuma aku jalan jauh-jauh ratusan lie datang Ke
Pakkia . . . ." "Bocah kurang ajar, tutup mulutmu!" bentak si
Rajawali Cakar Mas, sudah tidak bisa menahan
kemarahannya mendengar kawan bulim dihina si
kongcu tetiron. Tangan kanan si Rajawali Cakar
Mas diangkat, jari-jari yang kuat terbentang diatas
kepala si kongcu tetiron menyambar ubun ubun
Ho Ho. Sambaran angin dingin menyambar kepala Ho
Ho, semua orang-orang yang menyaksikan
kejadian itu menahan napas, Liu Ing menggeser
kursinya kebelakang menghindari sambaran angin
yang membuat rambut-rambutnya riap-riapan
bergelumbang. Sedang si kongcu tetiron menghadapi ancaman maut, ia seakan tidak
menyadari adanya serangan itu, matanya melirik
270 kearah Liong Houw, Liong Houw yang mendapat
isyarat itu, segera menggunakan ilmu totokan
jarak jauhnya bunga berguguran menotok sikut si
Rajawali Cakar Mas. Tanpa terlihat gerakan
tangannya. Ketika serangan maut si Rajawali Cakar Mas
hampir mengenai batok kepala si kongcu tetiron,
tiba-tiba dirasakan sikut kanannya dibentur oleh
satu kekuatan halus, tangan itu menjadi keplek,
tidak bertenaga. Wajah si Rajawali Cakar Mas berubah-ubah dari
merah menjadi pucat, merah kembali semu biru,
akhirnya pucat pasi seakan tidak berdarah.
Matanya melirik ke arah Liu Ing yang duduk
disamping si kongcu tetiron, katanya : "Mmmm,
kepandaian nona hebat ! Lain kali aku si Rajawali
Cakar Mas ingin berkenalan denganmu, hari ini
aku masih banyak urusan, tidak sempat melayani
bocah-bocah ingusan."
Setelah berkata begitu, ia kembali kemejanya
meletakkan beberapa uang recehan lalu ngeloyor
pergi. "Hebat !" terdengar suara si saudagar memuji,
"Tidak kusangka nona juga memiliki kepandaian
yang begitu hebat, dengan ilmu apakah tadi nona
memunahkan serangan tangan cakar rajawali mas
itu hingga membuat si tua itu lari ngacir ?"
Akibat dari sandiwara yang diperankan oleh
ketiga muda mudi itu, ternyata telah membuat si
Rajawali Cakar Mas salah mata, disangkanya yang
menotok sikutnya tadi adalah perbuatan Liu Ing,
begitu pula si saudagar sudah menyangka hal yang
271 sama, mereka tidak menduga bahwa yang telah
membuat kabur si Rajawali Cakar Mas adalah si
kusir kereta yang tampak tidak berkepandaian.
Mendapat pertanyaan si saudagar tentu saja Liu
Ing tidak bisa menjawab, mukanya bersemu
merah. Menyaksikan itu cepat-cepat Ho Ho menalangi
menjawab pertanyaan si saudagar katanya : "Ah,
tuan terlalu memuji kepandaian adikku yang tidak
berarti, hanya membuat ia menjadi malu !" Ho Ho
menengguk minumannya lalu berkata lagi,
"Sebetulnya itulah ilmu totokan tunggal keluarga
kami." "Dengan kepandaian seperti itu, mana bisa
dikatakan tidak berarti?" kata lagi si saudagar.
"Bila jiwie kongcu bersedia membantu usaha
pemerintah, memperkuat barisan tentara negeri,
pasti jiwie kongcu mendapat kedudukan tinggi ?"
"Ucapan tuan terlalu berlebihan," berkata si
kongcu tetiron Ho Ho. "Mana bisa kami mendapat
kedudukan tinggi dikota-raja, lebih-lebih kami
hanyalah sebagai rakyat biasa yang tidak punya
koneksi dilingkungan penggede-penggede pemerintahan, mana bisa menjabat kedudukan
tinggi?" "Haaa, huah, huah,...........!" tertawa si saudagar.
"Urusan tidak terlalu susah, asal kongcu bersedia,
pasti diterima, aku bisa bantu usaha kongcu."
Mendengar ucapan si saudagar, hati Ho Ho
tercekat, ia kaget bukan kepalang, tidak disangka
orang yang berdandan seperti saudagar ini bisa
272 mengucapkan kata-kata seperti itu, pasti ia adalah
seorang tokoh silat yang punya hubungan dengan
para pembesar negeri, atau setidak-tidaknya
seorang mata-mata pemerintah.
Berbeda dengan keadaan Liu Ing dan Liong
Houw yang tidak mengerti soal-soal pergerakan
politik masa itu, juga tidak mengerti apa inti sari
yang diperbincangkan oleh kedua orang tadi,
mereka berdua hanya duduk diam menikmati
makanan yang tersedia dimeja.
Si kongcu tetiron Ho Ho berkata lagi: "Kalau
mendengar ucapan tuan tadi, rupanya tuan juga
salah seorang penting pemerintah, entah siapakah
nama besar tuan yang mulia?"
"Haaa, hua.haaah." tertawa bangga si
saudagar. "Aku sebenarnya adalah Tong-hong
Hong ketua golongan Sam-ie-hwee Pat-houw dari
Thian-ma koan!" Mendengar nama si saudagar adalah ketua dari
Sam-ie-hwee Pat-houw, hati Ho Ho tercekat,
suhunya Pie-tet Sin-kay pernah bercerita, Sam-iehwee Pat-houw adalah gerombolan dari tiga suku
bangsa liar, di tapal batas Burma, sifat-sifat
mereka kejam dan ganas tidak berprikemanusiaan,
hanya terdapat satu kelemahan mereka, sukusuku bangsa itu gila pangkat dan kedudukan. Kini
Ho Ho sedang berhadapan dengan ketua dari tiga
suku bangsa liar itu, hatinya agak goncang, tapi
segera ia dapat menguasai kegoncangan hatinya
lalu berkata: "Wah, rupanya rejekiku besar! Hari ini dengan
tidak diduga bisa bertemu dengan ketua dari tiga
273 suku bangsa Sam-ie yang terkenal gagah perkasa
dari daerah tapal batas Burma, sering ayahku
bercerita tentang kehebatan suku-suku bangsa
Sam-ie, lebih-lebih ilmu kepandaian ketuanya yang
begitu hebat luar biasa, entah apakah tuan juga
ingin menyaksikan pelaksanaan hukuman mati itu
?" "Kehadiranku ke kotaraja Pakkia adalah atas
undangan jendral Cong ! Oh, ya, apakah kongcu
juga pernah dengar tentang berita adanya peta
pusaka?" kata Tong-hong Hong.
Ho Ho menunjukkan sikap yang terkejut, ia
pura-pura tidak tahu persoalan tentang peta itu
yang mulai menggemparkan rimba persilatan, ia
hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Tonghong Hong menyaksikan Ho Ho hanya
menggeleng-gelengkan kepala, rasa bangganya naik
keawang-awang, disangkanya urusan ini hanya
dialah yang baru mengetahui, maka buru-buru ia
berkata lagi : "Apakah kongcu juga sudah pernah
dengar nama Ceng-it Cinjin ?"
Ho Ho pura-pura berpikir, baru katanya :
"Ayahku pernah bercerita tentang setan tua itu,
tapi entah bagaimanakah keadaan orang itu......"
"Ha, ha, ha, jendral Cong dalam undangannya
juga menuliskan sepucuk surat yang menerangkan
panji naga milik Ceng-it Cinjin sudah tertancap
dipintu gerbang istana Thian ong-thian, entah
dengan cara bagaimana, Ceng-it Cinjin bisa
menyelusup masuk, dan menancapkan panji
naganya, hai........"
274 "Oooh,...... begitukah?" tanya Ho Ho pura-pura
heran. "Kongcu," berkata lagi Tong-hong Hong, "karena
aku harus cepat melapor kekota-raja, terpaksa
sampai di sini saja dulu, oh ya, bagaimana apakah
kongcu bersedia untuk turut membantu usaha
pemerintah?"

Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Membantu? Tentu saja aku bersedia, tapi
kukira untuk sementara, biarlah aku melihat-lihat
dulu keadaan dikotaraja, maklumlah aku masih
senang keluyuran kesana kemari menikmati
tempat yang indah." jawab Ho Ho.
"Baiklah!" berkata Tong-hong Hong sambil
bangkit berdiri. "Kehadiran kongcu akan kulaporkan, agar tidak mendapat gangguangangguan diperjalanan sampai masuk ke dalam
kota." "Terima kasih, terima kasih," kata Ho Ho sambil
berdiri memberi hormat. Menampak Tong-hong
Hong memasukkan tangannya kedalarn saku,
buru-buru Ho Ho berkata. "Tuan, biarlah rekening makanan dihitung
sekaligus dengan rekeningku, hitung-hitung sebagai tanda perkenalan kita."
Tong-hong Hong melengak, tapi segera ia tertawa
berkakakan, berjalan keluar.
Setelah Tong-hong Hong berlalu, Ho Ho segera
memanggil pelayan untuk segera menyediakan
kereta yang tadi malam dititipkan. Lalu ia
memberesi rekening makanannya.
275 Terdengar suara derap langkah-langkah kaki
kuda diiringi suara keretekannya roda-roda kereta
menggelinding. Kereta biru laut meluncur meninggalkan kota Kwie-yang-hu.
Didalam kereta yang bergoyang-goyang, Ho Ho
berkata pada Liong Houw dengan suara keras :
"Koko Liong, tak kuduga penyamaran kita sangat
rapi, si Rajawali Cakar Emas tidak mengenali lagi
diriku, haaa.....orang tua itu sungguh lucu."
Liong Houw sambil memecuti kuda, berteriak:
"Siapa orang tua itu? Apakah adik Ho kenal
dengannya ?" "Bukan kenal lagi, dia adalah sobat kental
guruku, ilmu semburan mulut adalah hadiah
pemberiannya. Itulah jurus garuda memberi
makan anaknya." "Kau terlalu ! Orang tua kau permainkan seperti
itu?" kata Liong Houw.
"Sekali-kali tidak apa, aku ingin menunjukkan
pada mereka golongan tua, kalau kita generasi
muda juga bisa berbuat sesuatu diluar dugaan
mereka, hmmm demi menolong suhu, aku memaki
suhu, demi suksesnya rencana kita, si Rajawali
Cakar Mas uring-uringan, dengan bantuan si Tonghong Hong manusia gila jasa, kita akan mudah
memasuki kotaraja tanpa dicurigai." berkata Ho
Ho. Liu Ing didalam kereta, duduk bersandar
matanya memandang keluar jendela menikmati
pemandangan indah disepanjang jalan.
276 Kereta biru laut meluncur terus menuju
kotaraja, debu-debu mengepul dibelakang mereka.
Berjalan setengah harian, tiba-tiba Liong Houw
menghentikan keretanya. "Hei, mengapa berhenti
menongolkan kepalanya. ?" tanya Ho Ho Liong Houw berdiri diatas kereta memandang
kearah rimba-rimba ditepi jalan, lalu katanya :
"Barusan, sayup-sayup terbawa angin seperti
terdengar ada suara orang ribut-ribut !"
"Disebelah mana?" tanya Ho Ho, heran, ia
kagum atas ketajaman pendengaran telinga Liong
Houw. "Kalau tidak salah, dari sebelah kanan kita,"
jawab Liong Houw. "Kedengarannya seperti suara
seorang wanita dan tawa seorang laki-laki, mereka
seperti mempertengkarkan sesuatu!"
Ho Ho memasang kuping lebar-lebar, tapi ia
tidak mendengar suara apa-apa, lalu tanyanya.
"Apa kau masih mendengar suara itu?"
"Tidak !" jawab Liong Houw.
"Hmm......... !" dengus Ho Ho. "Hayo putar
kereta, kita lihat apa yang sedang terjadi dibalik
rimba itu." Liong Houw segera memecut kuda memutar
kereta kearah datangnya suara.
Sementara kita tinggalkan dulu perjalanan
rombongan Liong Houw, kita balik kembali
mengikuti perjalanan Lie Eng Eng dan Thio Thian
277 Su yang berpisahan dengan si pengemis cilik Ho Ho
dikota Cee-lam-hu. Dua ekor kuda berbulu hitam berlari cepat, si
penunggang adalah Lie Eng Eng dengan direndengi
Thio Thian Su. Baju mereka berkibar-kibar ditiup
angin, kuda-kuda mereka lari pesat menuju
Kotaraja. Pada hari kedua, mereka mencongklangkan
kudanya melalui jalan-jalan pegunungan.
Diatas kuda diiringi dengan suara seliweran
angin menderu-deru telinga Lie Eng Eng
mendengar suatu suara yang mencurigakan di
balik semak-semak belukar, dengan mengedut les
kudanya ia menoleh kebelakang kearah Thio Thian
Su dan berkata: "Apa kau mendengar suara itu ?"
"Ya, seperti suara orang menggali tanah." jawab
Thio Thian Su. "Kukira tidak jauh dari sini." Thio
Thian Su menarik les kudanya, kakinya dikeprakkeprak ke perut kuda merendengi kuda Lie Eng
Eng. "Hmm.......mari kita tengok !" kata Lie Eng Eng
sambil memutar kudanya menuju kearah datangnya suara tadi. Mereka mencongklangkan kudanya memasuki
semak-semak belukar. Tidak lama mereka tiba didalam rimba, tampak
seorang laki-laki bertubuh tinggi besar sedang
menggali tanah. Lie Eng Eng dan Thio Thian Su
menghentikan tunggangannya, lompat
segera turun 278 berjalan menghampiri orang yang sedang asyik
menggali tanah. Orang itu begitu mengetahui akan kehadiran Lie
Eng Eng dan Thio Thian Su ditempat itu, ia segera
menghentikan pekerjaannya, menatap kearah Lie
Eng Eng dan Thio Thian Su lalu berkata dengan
suara serak dan kaku: "Ha ... selamat siang tuan
dan nona." Mendengar kata-kata orang itu yang diucapkan
kaku dan bahasanya kasar, serta bentuk
tubuhnya, Lie Eng Eng dan Thio Thian Su
mengetahui bahwa orang itu bukan orang
Tionggoan. Tubuh orang itu tinggi hitam kekar berbulu
seperti monyet, rambutnya hitam jengat ikal
mengombak, bercambang tebal, berkumis tebal,
pakaian orang itu mengenakan jubah putih
panjang, dilehernya melingkar kalung tasbeh.
Tidak jauh dari tanah yang digali orang tadi,
menggeletak sesosok tubuh wanita muda, pakaian
wanita itu sudah koyak-koyak tidak keruan, dari
selangkangannya masih mengucurkan darah.
Wanita itu sudah tidak bernapas.
Menyaksikan pemandangan itu Thio Thian Su
dengan perasaan heran segera bertanya: "Tuan
siapakah, berada ditempat ini, kalau melihat
bentuk potongan tubuh tuan dan logat bahasa
tuan, tuan bukanlah orang Tionggoan juga
bagaimana wanita itu bisa mati disini? Siapakah
yang membunuhnya ?" tangan thio Thian Su
menunjuk kearah mayat wanita tadi.
279 Orang hitam berambut ikal mengombak,
mendengar pertanyaan Thio Thian Su, ia
tersenyum, lalu melirik kearah Lie Eng Eng baru
berkata ; "Karena kedatanganmu bersama si molek
ini," matanya melirik Lie Eng Eng, "biarlah aku
beritahukan siapa aku, dan bagaimana wanita ini
mati disini," ia menunjukkan jarinya kearah wanita
yang mati menggeletak diatas tanah, lalu
lanjutnya: "Aku adalah salah seorang dari lima jago
Hadramaut namaku Habib.....!"
"Hadramaut !" potong Lie Eng Eng, "Dimana
Hadramaut itu, dan mana keempat orang lainnya
?" Habib tersenyum lalu katanya : "Hai nona molek,
Hadramaut jauh dari sini, itulah benua Arabia !"
"Jadi tuan bangsa Arabia ? Apakah tujuan tuan
datang kedaerah Tionggoan ?" bertanya Thio Thian
Su. Habib berpikir-pikir sebentar memuntir-muntir
kumisnya baru berkata : "Kehadiran kami ke
Tionggoan mencari kembali pusaka gaib leluhur
kami yang dikabarkan terpendam didataran
Tionggoan untuk dibawa kembali kenegeri kami,
sedang keempat jago Hadramaut lainnya berpencaran kesetiap pelosok dataran Tionggoan
mencari jejak pusaka itu."
"Hm, apakah yang kau cari itu bukankah Pedang
Embun ?" tanya Lie Eng Eng.
Habib mendengar ucapan Lie Eng Eng tampak
wajahnya berubah, kakinya melangkah mundur, ia
bertanya heran : "Jadi kau juga sudah tahu
280 tentang adanya pusaka gaib itu. Sepuluh tahun
sudah, kami menyelidiki jejak pusaka yang lenyap
dengan hati-hati dan rahasia, tapi toch kalian juga
sudah dapat mengendusnya, hebat sekali."
"Hm, apa yang hebat!" kata Thio Thian Su,
"Dinegeri kami pun banyak barang-barang pusaka
yang tidak kalah hebatnya dengan pusaka
leluhurmu." "Hei, apakah wanita ini membunuhnya?" tanya Lie Eng Eng.
kau yang Habib menatap wajah Lie Eng Eng, ia tersenyum
katanya : "Kalau dikatakan aku yang bunuh, juga
tidak ! Tapi jika dikatakan tidak, juga ia mati
akibat........." "Akibat perbuatan terkutukmu bukan !" potong
Lie Eng Eng. "Ya, boleh dikata begitulah !" jawab Habib, terus
terang. "Heran wanita-wanita yang kutemukan,
setelah kucicipi.... selalu mati! Ha ha, hua, apakah
nona molek mungkin bisa tahan, ha, ha, hua.....!"
"Bedebah !" bentak Lie Eng Eng. "Selama
beberapa tahun ini, hilangnya gadis adalah
perbuatanmu ! Bagus ! Setelah kau bunuh
korbanmu lalu kau kuburkan hingga tak
meninggalkan jejak. Sungguh licin perbuatanmu !"
Berbarengan dengan ucapannya Lie Eng Eng
mencabut pedang Ang-lo-po-kiam, kilatan-kilatan
sinar pedang menyilaukan mata.
281 "Hah, hahahahaaa....." Habib tertawa berkakakan. "Sabar, nona molek! Sabar! Kau juga
akan merasai nikmatnya sorga dunia......!"
Menyaksikan tingkah laku orang itu, kemarahan
Lie Eng Eng dan Thio Thian Su sudah tak
tertahankan lagi, mereka segera menghujani tubuh
Habib dengan pedang Ang-lo-po-kiam ditangan Lie
Eng Eng, sedang Thio Thian Su menghujani pisaupisau terbangnya.
Sinar pedang berkelebat-kelebat mengurung
tubuh Habib, sedang pisau-pisau terbang Thio
Thian Su meluncur kearah jalan-jalan darah


Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penting ditubuh Habib. Mendapat serangan gencar itu, tubuh Habib
masih berdiri tegak, ia tidak bergeming sedikit pun,
membiarkan senjata-senjata itu membentur kulit
tubuhnya, dengan tertawa-tawa menyaksikan
pisau-pisau terbang Thio Thian Su mental
berjatuhan ditanah, sedang pedang pusaka Ang-lopo-kiam membal balik, kedua senjata itu tidak
berhasil menembus kulit hitam Habib jago
Hadramaut. Lie Eng Eng dan Thio Thian Su menyaksikan
serangan-serangannya tidak membawa hasil,
mereka terkejut terheran-heran, segera menghentikan serangan-serangannya mundur dua
langkah. "Haaaa, huaaa........!" terdengar Habib tertawa,
"Kau boleh keroyok, haaa, huaaa, rupanya jagojago Tionggoan pandai main keroyok, haaaa,
ha.....eh, pedang nona memang hebat luar biasa,
ha, ha......bisa mengeluarkan hawa dingin, haa,
282 ha.... tapi untuk jago Hadramaut
artinya......ha. hayo keroyok lagi...."
tidak ada Mendengar kata sindiran itu selembar wajah
kedua jago muda menjadi merah, mereka jengah
atas tindakannya tadi menyerang dengan berbareng. Sebenarnya Lie Eng Eng maupun Thio
Thian Su tidak bermaksud untuk turun tangan
berbareng mengeroyok si jago Hadramaut, tapi
demi mendengar ucapan dan melihat tingkah
tengik Habib, tanpa disadari mereka sudah
bergerak berbareng. Untuk memperbaiki kesalahannya maka cepat Lie Eng Eng membentak
: "Manusia bejat, meskipun kau memiliki ilmu
setan atau siluman pejajaran, nonamu juga tidak
gentar," menoleh kearah Thio Thian Su, dan
berkata : "Saudara Thio kau minggir ! Biar aku
yang ajar adat pada manusia berdarah binatang ini
!" Thio Thian Su mendengus, lalu mundur, ia
berdiri didekat lubang yang digali si jago
Hadramaut tadi. Disampingnya menggeletak tubuh
wanita yang mati. Habib tertawa lagi, lalu katanya : "Hai nonaku,
ha, haa.....cepat sedikit kalau kau masih ingin
main-main dengan pedangmu, haa, ha, ha......aku
sudah tidak sabar menunggu !"
Lie Eng Eng mendengus melintangkan pedangnya kearah leher, gerakan Lie Eng Eng
seperti orang yang hendak bunuh diri dengan
memapas tenggorokannya sendiri, kejadian itu
283 membuat Habib agak tertahan: "Haaaaa........"
terkejut, ia berteriak Tapi belum lagi teriakan Habib lenyap diudara
tiba-tiba pedang Ang-lo-po-kiam menyambar
bagian bawah pusar, begitu pedang menyambar
kearah benda yang sering melakukan perbuatan
terkutuk terhadap gadis-gadis sampai mati, Habib
terkejut tidak kepalang, ia tidak mau membiarkan
barangnya putus dipapas pedang, dengan mengeluarkan teriakan. "Masyaaalaaah......."
tubuhnya melejit keudara sedang kedua tangannya
dijulurkan menyerang kepala Lie Eng Eng.
Lie Eng Eng mengetahui serangannya gagal
bahkan sambaran angin kuat sudah menyerang
batok kepalanya, segera menarik kembali serangan
pedangnya, ia miringkan tubuh kekiri, serangan
angin kuat dari kedua tangan Habib lewat diatas
pundak kanannya. Buumm....... Terdengar suara tanah berhamburan daun-daun
kering yang rontok ditanah beterbangan kembali
sedang abu mengepul diudara.
Tubuh Habib meluncur turun, berdiri tegak lalu
berkata ; "Mmm......kalian sudah menyerangku dua
kali bukan ? Pertama keroyokan, kedua dengan
gagah-gagahan nona mainkan pedangnya," Mata
Habib melirik kearah Thio Thian Su yang berdiri di
pinggir lubang, lalu bentaknya : "Kau ! Cepat
kemari ! Kini giliran kalian menerima seranganku,
beranikah kau ?" 284 Thio Thian Su mendengus, ia berjalan kearah Lie
Eng Eng, disana berdiri berendengan sejarak dua
kaki. "Hayo...... !" berbareng Lie Eng Eng dan Thio
Thian Su membentak : "Ha, ha, haa......kalian
jangan kesusu, haa, ha......nah, siaplah, seranganku akan kumulai."
Lie Eng Eng melintangkan pedangnya di atas
tenggorokan dengan sikap seperti orang ingin
memotong lehernya sendiri, sedang Thio Thian Su
berdiri tegak, memasang kuda-kuda untuk
menerima datangnya serangan Habib.
Kedua mata muda mudi itu menatap kearah
Habib, lama mereka menatap wajah Habib, tapi
Habib tidak melakukan gerakan apa-apa, ia hanya
berdiri dengan menembakkan sinar matanya
kearah mata kedua jago muda kita.
Suasana menjadi hening. Keheningan suasana tiba-tiba disusul dengan
perobahan si tuasi, pedang Lie Eng Eng yang tadi
ditaroh didepan lehernya siap untuk menjaga
segala kemungkinan, kini tampak perlahan-lahan
pedang itu turun kebawah, tangan Lie Eng Eng
lemah, akhirnya terjuntai kebawah, pedang yang
dipegangnya jatuh menancap di tanah belukar.
Tubuh Thio Thian Su yang tadi bersikap kudakuda kekar dan kuat, kini berubah lemah perlahan
ia berdiri tegak disamping Lie Eng Eng, matanya
masih menatap sinar mata Habib.
285 Dengan tertawa maut, Habib berkata, suaranya
lemah-lembut berwibawa diucapkan perlahan satusatu ; "Kalian .... berdiri berjajar lebih dekat . . ."
Lie Eng Eng dan Thio Thian Su seakan-akan
tertarik oleh gaya magnit yang keluar dari katakata Habib, mereka segera bergerak berendeng
satu sama lain. Habib berkata lagi: "Kau .... dan kau . . . ." Ia
menunjukkan jarinya kearah kedua jago kita.
"Pandang mataku baik-baik .... mulai saat ini ....
kalian hanya mendengar perintahku ..... mendengar suaraku seperti mendengar firman
Tuhan.....kalian hanya dengar perintah dari suara
yang kalian dengar ini .... kalian hanya turut
perintah dari suara yang mendengung ditelinga
kalian,.....tidak kenal kepada siapapun. . . . kecuali
aku, Habib . . . ." Berkata sampai disitu Habib berhenti sejenak, ia
memperhatikan kedua korban yang sudah masuk
perangkap ilmu sihirnya, lalu berkata : "Apa kalian
sudah mengerti ?" "Mengerti !" jawab Lie Eng Eng dan Thio Thian
Su berbareng. Mereka sudah terpengaruh sugesti
ilmu sihir Habib dari Hadramaut.
"Kau !" Habib menunjuk kearah Thio Thian Su,
"siapa namamu ?"
"Thio Thian Su," jawab yang ditanya, singkat.
"Kubur mayat perempuan itu!" Perintah Habib
pada Thio Thian Su. 286 "Baik !" jawab Thio
menjalankan perintah. Thian Su, segera Setelah itu Habib menoleh kearah Lie Eng Eng,
tanyanya : "Namamu siapa ?"
"Lie Eng Eng," jawabnya cepat.
"Buka pakaianmu !" perintah Habib dengan
senyumnya. Mendengar perintah itu Lie Eng Eng menggerakkan kedua tangannya, ia merobek baju
bagian dadanya. Breeeeet ....... Terdengar suara kain tersobek.
Menampak pemandangan itu air liur Habib
meleleh keluar. Kaki Habib melangkah menghampiri tubuh Lie
Eng Eng yang sudah terbuka bagian atasnya,
tangan Habib dijulurkan hendak meraba dua
benda membusung kuning langsat di dada Lie Eng
Eng. Tiba-tiba ........ Terdengar derap-derap kaki kuda serta keretekan roda kereta, suara derap-derap kaki
kuda kereta itu menerobos memasuki semaksemak belukar kian lama kian dekat.
Habib membatalkan niatannya, kepalanya
celingukan, Lie Eng Eng masih berdiri mematung
dengan posisi yang sama, menunggu perintah lebih
lanjut dari jago Hadramaut.
287 Si kusir kereta yang bukan lain dari pada Liong
Houw, matanya yang tajam tertumbuk dengan
tubuh si nona jelita Pedang Macan Betina, berdiri
mematung dengan pakaian atasnya sudah terobek,
ia segera menghentikan keretanya lompat turun
lalu berjalan menghampiri Lie Eng Eng yang
selama ini ia rindu dendamkan. Ia tidak perduli si
nona dalam keadaan bagaimana yang perlu segera
menjumpainya dan menerangkan isi hatinya juga
ia tidak ambil pusing terhadap orang yang ada
ditempat itu. Ho Ho dan Liu Ing keluar dari dalam kereta,
menyaksikan pemandangan itu juga merasa heran
dan terkejut. Liu Ing hanya bisa berdiri dipintu kereta tanpa
berbuat apa-apa, sedang Ho Ho segera berjalan
menghampiri Thio Thian Su yang sedang duduk
bengong: "Saudara Thio.............. kalian sedang berbuat
apa?" Thio Thian Su yang sudah terpengaruh sugesti
ilmu sihirnya sijago Hadramaut, tetap duduk
bengong, seakan tidak mendengar suara pertanyaan Ho Ho. Ho Ho yang pertanyaannya tidak mendapat
jawaban merasa mendongkol tangan kirinya
menepuk kepala Thio Thian Su sambil berkata :
"He......apa yang terjadi ? Mengapa bengong saja?"
Thio Thian Su yang kepalanya ditepuk masih
tetap tidak bergerak. Ia mematung.
288 Saat itu Liong Houw yang menghampiri Lie Eng
Eng melihat jelas baju atas Lie Eng Eng robek dan
buah dadanya menonjol keluar, dengan perasaan
bingung dan heran ia bertanya: "No......."
Ucapan selanjutnya, "na" belum tercetus dari
mulutnya, tiba-tiba tubuh Liong Houw terbanting
ambruk ditanah.

Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ho Ho yang baru saja menepuk kepala Thio
Thian Su, mendengar suara gedabruk, ia menoleh
kearah suara itu, tiba tiba matanya beradu dengan
sinar mata Habib, tak lama keadaan Ho Ho juga
sama dengan keadaan Thio Thian Su, dia sudah
terkena pengaruh sihir Habib, si jago Hadramaut.
Habib segera menggapaikan tangan ke arah Liu
Ing, katanya : "Kau kemari !"
Liu Ing menghampiri dengan langkah lemah
tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Berdiri dekat dia !" kata lagi Habib sambil
menunjuk kearah Ho Ho. Liu Ing hanya menuruti apa yang dikehendaki
Habib, ia tidak memiliki kepandaian, hingga lebih
mudah terpengaruh oleh sugesti sihir sinar mata
jago Hadramaut. Habib kembali mengucapkan kata-kata yang
sama dengan yang ia ucapkan pada Lie Eng Eng
dan Thio Thian Su. "Ha, ha, huaaa . . . . !" Habib tertawa terbahakbahak, ia melangkah maju menghampiri Liu Ing.
"Kau.....kau lebih manis dari Lie Eng Eng, hei
289 wajahmu lebih bening bercahaya .... hai siapa
namamu, ayo sebutkan....."
"Liu Ing." jawab si gadis singkat.
0)0o?d^w?o0(0 LlONG HOUW yang terbanting ditanah, kepalanya terasa pusing, dunia seperti berputar
terbulak balik. Setelah ia bisa menenangkan pikirannya, segera
bangkit berdiri, memperhatikan sekeliling rimba
itu. Disana berdiri Liu Ing, bicara dengan Habib dan
Ho Ho yang sudah menjublek seperti patung,
hatinya merasa heran, ia tidak mengerti bagaimana
dengan tiba-tiba kelakuan kedua saudara angkat
itu berubah wajah dan sikapnya, tampak dingin
kaku dan tolol. Liong Houw menoleh kearah Lie Eng Eng
ternyata gadis itu masih seperti tadi berdiri dengan
mata mendelong, buah dadanya menonjol keluar,
menoleh kesebelah kirinya disana duduk Thio
Thian Su diatas gundukan tanah.
Mata Liong Houw menatap wajah Habib seorang
yang berkulit hitam tinggi besar berambut ikal
mengombak bercambang dan berkumis.
Tadi begitu Liong Houw lompat turun dari atas
kereta, pusat pikirannya hanya tertuju kepada Lie
Eng Eng seorang, hingga ia tidak memperhatikan
Habib yang berada disitu, sehingga Habib berhasil
menangkap dan membanting tubuhnya ambruk di
tanah. 290 Sepasang sinar mata Liong Houw menantang
kilatan sinar mata Habib, pandang memandang itu
berlangsung sekian saat, akhirnya si jago
Hadramaut buka suara : "Mulai detik ini, kau
harus menuruti segala perintahku."
"Kau siapa ?" tanya Liong Houw.
"Ajow............." Habib terkejut tidak kepalang, ia
melangkah mundur setindak.
Mengapa? Mengapa orang ini tidak terpengaruh
oleh daya sugesti sinar matanya ?
Itulah pertanyaan pertama dalam hati Habib,
apakah anak ini juga pandai ilmu sihir? Tapi
mengapa tadi ia dengan mudah terbanting
ditanganku? Bertubi-tubi pertanyaan dalam hati
Habib si jago dari Hadramaut.
Liong Houw yang melatih diri dengan mencontoh
gerakan-gerakan yang tertera dalam lukisanlukisan didinding batu dalam goa dilembah air
terjun, selama ini juga tidak pernah memakan
barang makanan bernyawa selain buah-buahan,
membuat darahnya menjadi bersih, kebal kekotoran dunia. Sedang cara melatih ilmu sihir Habib,
keadaannya hampir sama, selama ia melatih ilmu
sihirnya itu, ia dilarang memakan barang makanan
yang bernyawa. Hal inilah yang membuat keadaan
Liong Houw seimbang dengan keadaan Habib,
hingga ia tidak terpengaruh oleh sinar mata yang
mengandung kekuatan sihir dari Hadramaut.
Hal itu Liong Houw juga tidak menyadarinya
bahwa ilmu yang pernah dilatihnya didalam
291 lembah air terjun adalah ilmu yang sangat luar
biasa, hingga ia tidak terpengaruh oleh segala
macam ilmu sihir, ataupun ilmu uap beracun
pencabut nyawa Kun-see-mo-ong.
Ketika matanya ditatap oleh sinar mata Habib, ia
juga tidak mau kalah, ia balas menatap pandangan
mata itu dengan pandangan matanya yang
bercahaya kebiru-biruan. Dua sinar mata bentrok
satu sama lain. Habib mengetahui ilmu sihirnya tidak mempengaruhi jiwa Liong Houw, berkata dingin
dan serak : "Hai, bocah kau hebat ! Siapa gurumu?
Ilmu apa yang kau miliki ?"
0)0o?d^w?o0(0 Jilid ke 07 DENGAN kecerdikan otaknya Liong Houw sudah
menduga tepat bahwa kawan-kawannya sudah
terpengaruh oleh tatapan sinar mata Habib hingga
lupa diri, katanya : "Mmm......kau tak perlu banyak
tanya lekas normalkan kembali kawan-kawanku."
"Haa, huaa......" Habib tertawa, lalu katanya.
"Kau hebat, tidak terpengaruh ilmu sihirku...... tapi
ilmu silatmu masih belum apa-apa, ha, ha ...... kau
bukan tandinganku, dalam segebrakan kau pasti
bisa terjungkal mampus ditanganku."
Selesai ucapannya, Habib menggerakkan tangannya menyambar tubuh Liong Houw, dengan
292 jurus yang ia tadi gunakan untuk membanting si
pemuda. Tapi kali ini ia kecele, Liong Houw yang sudah
waspada, bukanlah lawan enteng yang bisa dibuat
jungkir balik dengan jurus tipu silat dari
Hadramaut. Begitu melihat tangan kanan Habib
yang hitam berbulu meluncur menyambar
pergelangan tangan kirinya, sedang tangan kiri
Habib nyelusup kebawah pahanya, berbarengan
pada saat tubuh dan serangan tangannya hampir
mengenai sasaran, tangan kanan Liong Houw
segera meluncur ke-arah iga kiri Habib.
Habib yang merasakan sambaran angin pukulan
kearah iganya, dibiarkan serangan tangan kanan
Liong Houw mengenai sasarannya, ia meneruskan
serangan tadi. Tapi mendadak serangan kepalan
tangan Liong Houw berubah, ia menarik kembali
serangannya, mengelakkan datangnya serangan
Habib, melejitkan tubuhnya keudara, ditengah
udara kepalan tangan kanannya menghantam
batok kepala Habib. Bletak.......... Terdengar suara kepalan tangan Liong Houw,
terbentur batok kepala Habib.
Kaki kiri Habib amblas ketanah sebatas dengkul,
tubuh Liong Houw mental keudara, ditengah udara
Liong Houw jumpalitan, ia berhasil turun ketanah
berdiri tegak, kembali berhadapan dengan si jago
dari Hadramaut. Habib segera mencabut kaki kirinya yang amblas
ketanah. 293 Masing-masing hati dari dua jago saling memuji
atas kehebatan ilmu yang dimiliki. Diam-diam
Liong Houw terkejut, pukulannya yang bisa
menghancurkan batu-batu gunung, bisa meremukkan kepala macan, tapi kali ini
membentur batok kepala orang ini tidak
menunjukkan hasil apa-apa, Habib hanya amblas
sebelah kakinya kedalam tanah, sedang tubuhnya
melayang mental keudara akibat benturan tadi.
"Aaaiiihyaaah......pukulanmu hebat," kata Habib
serak memecah kesunyian. "Tapi tidak ada
gunanya terhadapku, hai aku tidak ada tempo
untuk melayanimu," lalu ia menoleh menatap
kearah Lie Eng Eng, kemudian kearah Ho Ho dan
akhirnya kepada Thio Thian Su kemudian berkata
serak dan kaku : "Kalian bertiga, ambil senjata
masing-masing bunuh orang ini!"
Lie Eng Eng, Ho Ho dan Thio Thian Su yang
sudah terpengaruh pandangan sinar mata Habib,
segera bergerak mengurung Liong Houw. Lie Eng
Eng mencabut pedang Ang-lo po-kiam yang masih
menancap ditanah, lalu menyerang Liong Houw.
Thio Thian Su dengan pisau-pisau terbangnya
menghujani jalan darah ditubuh Liong Houw,
sedang Ho Ho dengan gerakan-gerakan jurus si
pengemis kelaparan minta derma, bergerak-gerak
kekiri kanan menyerang tubuh Liong Houw,
gerakan-gerakan itu sangat memusingkan kepala
Liong Houw. Mendapat serangan serentak dari tiga orang,
Liong Houw cepat melejitkan tubuhnya keudara, ia
294 tidak mau memapaki atau membalas serangan itu,
ditengah udara ia berteriak :
"Hei, hai! Ho Ho......kau gila? Tahan serangan
kalian !" Ho Ho dan kedua orang lainnya yang sudah
terpengaruh oleh sugesti ilmu sihir Habib tidak
menghiraukan peringatan Liong Houw, mereka
terus dengan gencar menghujani Liong Houw
dengan serangan-serangan maut.
Liong Houw dengan lincah berlompatan keudara,
melesat sana sini mengelakkan serangan-serangan
itu, tubuhnya melayang tinggi turun berdiri diatas
dahan pohon. Menengok kearah Habib, setelah memerintahkan
ketiga suyetnya membunuh Liong Houw, berjalan
menghampiri Liu Ing. Tangan kanannya yang kasar
berbulu mengelus-elus pipi licin Liu Ing, tangan
kirinya mengelus-elus rambut si gadis, setelah itu
tubuh gadis itu dipeluknya erat, nampak Habib
terbungkuk-bungkuk menciumi pipi, kening dan
leher Liu Ing. Mulut Habib berkemak kemik
ditelinganya Liu Ing membisiki sesuatu. Mata Liu
Ing mendadak berbinar jalang, menatap wajah
Habib tangannya segera bergerak merobek pakaian
bawahnya, ia singkirkan pakaian bawah itu,
tampak pahanya si gadis yang putih kekuningkuningan, setelah mana tangan Liu Ing bergerak
menyelusuri tubuh Habib yang penuh bulu dengan
mesranya. Habib mengangkat tinggi jubahnya, pahanya
yang penuh bulu digeser-geserkan kepaha Liu Ing,
nampak mata Liu Ing merem melek merasakan
295 pahanya disentuh-sentuh paha berbulu Habib,
tangan Liu Ing bergerak terus menyelusuri tubuh
Habib, napas si gadis tersengal, hawa birahinya
memuncak. Tangan Habib mengelus-elus tubuh Liu Ing terus
turun kebawah, menekan pinggul Liu Ing erat
sekali, membuat si gadis mendesis meminta
sesuatu. Liu Ing yang sudah terpengaruh oleh sugesti
sihir jago Hadramaut, nafsu birahinya memuncak
meluap-luap seperti air bah mendorong apa yang
menghalang, ia mengikuti serta melayani apa yang
dikehendaki Habib. Mendadak Habib membopong tubuh Liu Ing
dengan kedua tangannya, sedang tangan Liu Ing
merangkul leher Habib dengan mesranya. Tampak
jubah Habib bagian bawah dimana tubuh Liu Ing
dibopong, jubah itu mengembang sejauh dua
jengkal. Nafsu birahi Habib memuncak keras.
Langkah kaki Habib agak terburu

Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia menghampiri kereta, meletakkan tubuh Liu Ing
didalam kereta. Lalu diikuti oleh tubuhnya
menyusup masuk. Pintu kereta tertutup.
Liong Houw diatas dahan pohon menyaksikan
semua adegan itu, hatinya geram darahnya panas
menggelora, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa,
dirinya sibuk menghadapi serangan-serangan
ketiga kawan-kawannya yang kalap tidak keruan.
Tiba-tiba saja batang pohon dimana Liong Houw
berdiri, pohon itu bergerak tumbang dipapas
296 pedang Ang-lo-po-kiam Lie Eng Eng, batang pohon
itu rubuh menggedubrak. Kreeeekeeeek ...... .brukk.
Liong Houw melejit keudara, mencabut pisau
belatinya, sedang tangan kirinya mencopot satu
ranting pohon yang penuh anak-anak ranting
daunnya lebat menghijau. Tubuh pemuda kita
melorot turun. Selagi ia melorot turun dari udara dengan kepala
kebawah, serangan-serangan pisau terbang Thio
Thian Su menyambar tubuhnya, dengan ranting
pohon ditangan kiri Liong Houw menggeprak
pisau-pisau belati yang menyerang tubuhnya.
Baru saja berhasil memukul mundur pisaupisau belati tadi, pedang Ang lo-po-kiarn
menyerang datang mengincar batok kepalanya.
Ngguuuuungggggg.............
Terdengar suara mendengung akibat benturan
pedang Ang-lo-po-kiam dan pisau belati Liong
Houw. Tubuh Lie Eng Eng rubuh di tanah.
Si Pengemis cilik Ho Ho, terhuyung-huyung
mundur beberapa langkah. Habib yang baru saja hendak melampiaskan
nafsunya bersama Liu Ing ketika mendengar suara
dengungan panjang, seakan suara ribuan tawon, ia
menolehkan kepala kearah datangnya suara itu.
Begitu ia melihat ditangan Liong Houw
menggenggam pisau belati yang mengeluarkan
297 cahaya kilatan, segera meninggaIkan tubuh Liu
Ing, yang sudah siap sedia melayani melampiaskan
birahinya juga, lalu berjalan bergegas-gegas
menghampiri medan pertempuran, bentaknya,
"Berhenti!" Sebetulnya pertempuran sudah berhenti sejak
Lie Eng Eng rubuh ditanah, tapi Habib yang agak
terkejut bercampur girang, mulutnya sudah
berkata begitu tanpa ia sadari.
Liu Ing yang sudah memuncak nafsu birahinya
cepat ia mengejar keluar kereta tapi ketika
mendengar bentakan Habib, ia menghentikan
langkah masuk kembali kedalam kereta duduk
bersandar. Menoleh kearah Lie Eng Eng yang jatuh
numprah di tanah Habib segera berkata kepada Ho
Ho dan Thio Thian Su : "Kalian payang dirinya
kekereta!" Setelah berkata begitu, ia lalu memandang Liong
Houw lalu bertanya : "Hm.........bocah, dari mana
kau dapat pisau belati itu?"
Liong Houw dengan menggerak-gerakkan pisaunya berkata: "Mmm .... kau kenal benda ini,
ya ? Masih ada dua lagi yang serupa, bukan ?"
Mendengar ucapan Liong Houw, Habib menjadi
girang, sepuluh tahun ia mengembara didaratan
Tionggoan, mencari jejak pisau-pisau belati itu,
kini tanda-tanda sudah berada didepan matanya,
betapa tidak besar hatinya, pisau belati yang
selama ini dicarinya sebagai petunjuk dimana
tersimpannya barang pusaka gaib leluhur 298 negerinya kini sudah berada didepan matanya.
Ditangan Liong Houw. Dengan senyum kecut Habib berkata: "Hei, cepat
kau serahkan padaku !"
"Apa yang mesti diserahkan ?" tanya Liong
Houw pura-pura tidak mengerti.
"Pisau itu !" "Hmm, enak betul kau bicara ! Boleh kau ambil
sendiri bila kau mampu."
"Bocah !" bentak Habib, "Kau bukan tandinganku, sebaiknya serahkan saja barang itu,
jiwamu kuampuni, jika tidak.."
"Jika tidak kau sendiri yang mampus," potong
Liong Houw mengejek. Liong Houw sadar, bahwa orang yang berdiri
dihadapannya ini merupakan lawan yang sulit
ditundukkan, tapi ia masih merasa penasaran,
sebelum menjajal lebih jauh, sampai dimana
kelihayannya sijago dari Hadramaut. Ia berkata
lagi: "Hayo tunggu apa lagi ambillah!"
?Bocah! Jika aku tidak bisa memuntir
kepalamu, aku tak akan kembali kenegeri asalku,
biar aku mati berkalang tanah di negeri orang!"
kata Habib, berbarengan tangannya bergerak
secepat kilat menyerang tubuh Liong Houw.
Liong Houw melejit mengelakkan serangan itu,
lalu balik menyerang dengan ilmu totokan jarak
jauh Bunga-bunga Berguguran ke kesembilan jalan
darah ditubuh Habib. 299 Totokan Bunga-bunga Berguguran yang keluar
dari jari tangan Liong Houw tak menimbulkan
suara, tapi kecepatannya melebihi suara, menyamai kecepatan sinar, membentur kesembilan
jalan darah ditubuh Habib dengan telak.
Habib yang mendadak tertotok kesembilan
bagian jalan darah ditubuhnya, ia terhuyunghuyung mundur kebelakang sampai lima tindak,
baru bisa berdiri tegak kembali.
Habib yang berhasil dipukul mundur sampai
lima langkah oleh serangan totokan itu, matanya
memancarkan sinar kebuasan.
Liong Houw mengetahui totokan Bunga-bunga
Berguguran hanya berhasil membuat sang lawan
mundur sampai lima langkah, hatinya juga
berdebaran keras. Kini ia maklum benar bahwa ia
sedang berhadapan dengan lawan tangguh.
"Bocah !" bentak Habib sesudah menenangkan
gejolak hatinya, "Ternyata kau juga bisa mainkan
ilmu gaib, heh. . . ."
Habib terpukul mundur, tanpa mengetahui
dengan jurus apa si pemuda menyerang, juga tidak
terdengar suara angin serangannya, maka ia telah
menyangka Liong Houw memiliki ilmu gaib yang
juga dimiliki oleh jago-jago dinegerinya.
"Hai!" bentak Habib. "Siap-siap kau segera
menerima kematianmu !"
Tanpa banyak bicara Liong Houw berlompatan
dengan pisau belati menyerang tubuh Habib,
300 Terjadilah pertempuran sengit, kilatan sinar
pisau belati berkeredepan, kedua bayangan
berkutet berputaran, sulit untuk menentukan
siapa yang akan menang dan siapa yang segera
keok. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh, daun-daun
pohon berguguran, tubuh mereka terpental
mundur tiga tindak. Keduanya saling pandang.
Suasana hening kembali. Dada Liong Houw dirasakan bergolak napasnya
sengal-sengal, otaknya berpikir keras, ia heran
tubuh lawan begitu pedot tidak tertembus ilmu
totokan maupun pukulannya juga tidak mempan
senjata tajam. Tidak kalah terkejutnya Habib, pukulan gaib
yang bisa menghanguskan setiap korban ternyata
dengan mudah berhasil dipapaki telapak tangan
Liong Houw tanpa menimbulkan akibat yang
mengerikan. Dengan perasaan mendongkol Habib sudah siap
dengan pukulan Malaikat mautnya, ilmu simpanannya yang terampuh. Setiap machluk yang
terkena serangan angin pukulan itu pasti
tubuhnya akan hangus terbakar.
Liong Houw dengan menggunakan kecerdikan
otaknya berpikir, lawannya tidak mempan senjata
tajam, ia harus menggunakan kecerdikan menghadapi lawan tangguh ini.
Setelah mendapatkan jalan keluar, ia mendahului menyerang dengan melemparkan
pisau belatinya kearah mata kiri Habib, sedang
301 jari-jari tangan kirinya disiapkan untuk menyerang
dengan ilmu totokan bunga-bunga berguguran.
Begitu serangan pisau belati Liong Houw
meluncur kearah mata kiri Habib, si jago
Hadramaut dengan cepat miringkan kepalanya
kekanan, sedang telapak tangannya didorong
kemuka. Tampak dua kilatan sinar putih saling sambar,
satu kilatan sinar belati Liong Houw yang
menyambar mata kiri Habib, lain cahaya
keredepan kilat yang keluar dari pukulan tapak
tangan si jago Hadramaut.
Pertempuran ini tidak menimbulkan suara
sedikitpun, hanya tampak keredapan kedua sinar
serangan dari masing-masing jago. Serangan pisau
belati Liong Houw berhasil dielakkan, meluncur
kesamping kepala Habib, kemudian pisau itu
berputar kembali meluncur kearah Liong Houw
seakan-akan pisau itu dikendalikan, kembali
ketangan kanan si pelempar.
Berbarengan ketika pisau belati Liong Houw
menyambar mata kiri Habib, serangan kilat
Malaikat maut, membentur tubuh Liong Houw
bertepatan pada saat itu serangan totokan bungabunga berguguran berhasil membentur mata
kanan Habib. Saat itulah berbarengan terdengar dua suara
yang bernada berbeda. Huuuk...... Ceeet...... 302 Dada Liong Houw terhajar telapak tangan Habib
menimbulkan suara mendebuk, tubuhnya mundur
terhuyung beberapa langkah terbentur batang
pohon, ia jatuh duduk menyender pada batang
pohon itu, terasa dadanya bergolak panas, kepala
pusing dunia dirasakan berputar.
Serangan totokan bunga-bunga berguguran
Liong Houw berhasil membentur mata kanan
Habib, biji mata itu lompat keluar menggelinding
ditanah. Habib dengan menekapi mata kanannya
yang mengucurkan darah, ia melangkah mundur
dua tindak, tubuhnya masih berdiri tegak.
Dua jago dari dua benua sudah terluka.
Setelah mereka menenangkan gejolak hati serta
menahan rasa sakit pada luka masing-masing
kedua jago dari dua benua itu kembali berhadaphadapan.
Si jago Hadramaut mulai berkemak kemik,
sedang tangan kanannya masih menekap mata
kanan yang sudah buta mengucurkan darah.
Liong Houw dengan menahan rasa sakit dan
panas pada dadanya, perlahan-lahan ia berdiri
bersandar pada batang pohon. Kedua pasang sinar
mata saling bentrok keadaan tegang detik demi
detik. Setelah berkemak kemik, tangan kiri Habib
dikepalkan menutupi mata kirinya yang masih
utuh, sedang tangan kanan yang tadi menekapi
mata kanannya yang sudah buta, kini sudah


Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diputar-putarkannya keudara kaki kirinya menggebrak bumi tiga kali.
303 Liong Houw menyaksikan lawannya menutupi
mata kirinya, hatinya mencelos, harapan satusatunya kini sudah ditutup oleh kecerdikan si jago
Hadramaut, hingga sulit baginya untuk mencari
sasaran empuk lainnya. Dalam keadaan krisis demikian tangan kanan
Habib sudah bergerak cepat menyerang kearah
Liong Houw. Dengan nekad tanpa melihat
sasarannya lebih dahulu. Liong Houw yang berdiri bersandar di batang
pohon, hampir tidak bisa mengelakkan datangnya
serangan itu, dadanya dirasa sakit, tubuhnya
lemah. Begitu serangan angin tanpa suara
menyambar tubuh Liong Houw, cepat ia melorot
turun duduk numprah ditanah, saat itu tiba-tiba
terdengar suara lengkingan siulan yang menggema
diangkasa, suara lengking siulan mengakibatkan
getaran hebat, burung-burung berjelingsatan
terbang keangkasa, empat ekor kuda kereta
meringkik-ringkik berlompatan.
Tepat pada saat itu angin serangan tangan
Habib yang meluncur menyerang Liong Houw lewat
dikepalanya membentur pohon yang berada
dibelakang Liong Houw, pohon itu menjadi sasaran
pukulan Habib, roboh ambruk menimpa pohonpohon lainnya.
Tubuh Habib tergetar mundur setindak,
tubuhnya oleng, urat-urat sendinya dirasakan
lemas tak bertenaga, dadanya bergolak keras. Anak
telinganya dirasakan mau pecah. Suara siulan itu
menyusuri sendi-sendi tulangnya.
304 Lie Eng Eng, Ho Ho, Thio Thian Su dan Liu Ing
yang terpengaruh oleh sihirnya Habib, ketika
mendengar suara siulan itu, mendadak pengaruh
sihir itu lenyap, mereka sadar diri masing-masing.
Lie Eng Eng yang begitu sadar menampak baju
atasnya robek, segera ia menutupi bagian itu
dengan merapatkan dengan tangannya robekanrobekan baju itu menutupi dadanya dengan tangan
kirinya sedang tangan kanannya dengan pedang
Ang-lo-po-kiam berputar menyerang Habib.
Ho Ho menampak Liong Houw duduk numprah
ditanah segera lari menghampiri. Sedang Thio
Thian Su bergerak menyerang Habib.
Liu Ing juga sadar dari impiannya, tiba tiba
kereta bergoncang, akibat dari kuda-kuda pada
meringkik berjingkrakan hingga kepala si gadis
membentur pintu kereta, kepalanya dirasakan
sakit matanya berkunang-kunang, akhirnya ia
jatuh pingsan. Liong Houw yang menyaksikan Lie Eng Eng dan
Thio Thian Su sudah menyerang Habib, segera
berteriak, tapi teriakan itu terdengar lemah tidak
bertenaga, dadanya dirasakan sakit sekali.
"Nona ....! Hajar matanya !"
Tapi peringatan Liong Houw tidak sempat
didengar Lie Eng Eng, si nona dengan pedang Anglo-po kiamnya, menyambar ke arah bagian bawah
perut Habib, ia sangat penasaran sekali kalau
tidak bisa membuat urat besar yang menggelantung disitu terpapas putus oleh
pedangnya. 305 Habib berlompatan keudara mengelakkan serangan-serangan ganas Lie Eng Eng.
Thio Thian Su yang dengan tenang menghadapi
si tuasi itu, ia mendengar ucapan Liong Houw tadi,
lebih-lebih menyaksikan bahwa mata kanan Habib
sudah mengocorkan darah, ia maklum bahwa
itulah hasil dari pada serangan si pemuda yang
masih duduk numprah, maka ketika Habib
berlompatan keudara segera ia menyerang dengan
pisau-pisau terbangnya kearah mata kiri Habib
yang masih utuh. Habib tidak sempat lagi menggunakan pengaruh
sihirnya, lebih-lebih sebelah matanya sudah buta,
ia kelabakan mengelakkan serangan-serangan dua
lawan tangguh, meskipun tubuhnya kebal
terhadap segala macam senjata atau pukulan, tapi
bagian-bagian yang diincar oleh dua lawannya
adalah bagian yang sangat vital, bagian yang
lemah, bagian yang tidak terpengaruh oleh ilmu
kebalnya. Ia mengelakkan serangan-serangan itu
dengan berputaran, kadang kala melejit keudara
dan sekali-kali membalas serangan itu dengan
kedua telapak tangannya. Berusaha mendekati
Liong Houw untuk merebut pisau belatinya.
Si tuasi medan pertempuran sulit untuk
menentukan siapa yang berada diatas angin, sinarsinar perak pedang Ang-lo-po-kiam berkeredepan
mengurung tubuh Habib, sedang pisau-pisau
terbang Thio Thian Su, yang tidak mengenai
sasaran amblas di-batang-batang pohon, akhirnya
Thio Thian Su kehabisan persediaan senjata
rahasianya, ia tidak bisa berbuat lain daripada
306 berdiri menonton pertempuran antara Lie Eng Eng
dan Habib, kalau saja Thio Thian Su turut dalam
pertempuran itu, pasti tubuhnya akan terkena
sasaran serangan pedang yang nyasar.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikih:
"Hih, hih, nih, hih . . . ."
Itulah suara khas tawa iblis Kun-see-mo-ong
Teng Kie Leng. Begitu suaranya lenyap, tubuh iblis
itu sudah berdiri dimuka Liong Houw yang masih
duduk numprah ditanah. Begitu menyaksikan kehadiran lain orang disitu,
Habib lebih ketakutan, sangkanya yang datang
adalah kawan dari mereka, maka dengan
mengeluarkan suara. "Huaah......." tubuhnya
melesat keudara, bagaikan asap putih mengepul, ia
lenyap dari pandangan mata dibalik pohon-pohon
rimbun didalam rimba. Lie Eng Eng sudah kehilangan lawannya, begitu
pandangan matanya membentur tubuh Kun-seemo-ong Teng Kie Lang, serangan pedangnya
diteruskan kearah tubuh iblis itu.
Trangg........ Terdengar suara beradunya pedang Ang-lo-pokiam, dibentur serangan gelap.
"Nona...........tahan pedangmu !" teriak Thio
Thian Su. Ternyata pedang tadi telah terbentur
gagang panji naga yang dilemparkan oleh Thio
Thian Su. "Hm...." Lie maksudmu ?" Eng Eng mendengus. "Apa 307 Thio Thian Su mengambil panji naganya yang
mental menancap ditanah, lalu berjalan menghampiri Lie Eng Eng, katanya: "Kalau hendak
bertempur dengan iblis ini, sebaiknya kita mencari
tempat yang jauh dari sini, jangan sampai uap
beracun pelumer sukma Kun-see-mo-ong Teng Kie
Lang, mengambil korban pihak sendiri."
"Haaaah . . . . " Lie Eng Eng sadar atas
kecerobohannya. Kun-see-mo-ong Teng Kie Lang berdiri dihadapan Liong Houw, tidak memperdulikan
datangnya serangan pedang Lie Eng Eng tadi, ia
tetap menghadapi Liong Houw dengan mata
bersinar terang, ditatapnya tubuh Liong Houw dari
ujung rambut sampai tapak kaki, baru ia berkata ;
"Hih, hih, hih .... bocah! Dari mana kau dapatkan
pisau belati itu, cepat serahkan padaku, eh apa
pisau itu pada gagangnya berukir lukisan naga ?
Atau lukisan burung Hong ?"
"Ngg .... Naga .... kau mau apa?" jawab Liong
Houw lemah. "Bocah jawab pertanyaanku, dari mana kau
dapat pisau belati itu?" bentak Kun-see-mo-ong
Teng Kie Lang. "Hm, darimanapun apa hubungannya dengan
dirimu." jawab Liong Houw ketus lemah.
Tiba-tiba Thio Thian Su menyelak, ia berkata
pada Kun-see-mo-ong Teng Kie Lang : "Hai, apa
maksud kedatanganmu kemari ?"
Mendengar pertanyaan itu, Kun-see-mo-ong
Teng Kie Lang menoleh kearah Thio Thian Su, yang
308 masih memegang Panji Naga kemudian ia menatap
wajah Liong Houw berulang-ulang ditatapnya
kedua pemuda itu, tiba-tiba saja tubuh iblis itu
mundur dua tindak, mulutnya menganga, tubuhnya bergetar. Tapi wajahnya tidak menunjukkan perobahan. "Hai! Kau ada hubungan apa dengan bocah ini?"
tanya Kun-see mo-ong Teng Kie Lang pada Thio
Thian Su, jarinya menunjuk kearah Liong Houw.
Mendengar pertanyaan Kun-see-mo-ong, Lie Eng
Eng dan Ho Ho turut merasa heran, mereka
menatap wajah Thio Thian Su, kemudian menatap
kearah Liong Houw, ternyata tampang-tampang
mereka mirip satu sama lain, mereka juga melongo
saking herannya. Wajah Liong Houw adalah wajah jiplakan Thio
Thian Su !!! Dengan perasaan tidak mengerti Thio Thian Su
berkata : "Tidak ada hubungan apa-apa. Aku baru
saja bertemu dengan saudara ini, menang ada
apanya ?" "Hih.....hih. . . . hih...." Kun see-mo-ong Teng
Kie Lang tertawa lagi, "Bocah, kalau kau bersedia
menjawab pertanyaanku dengan jujur, aku akan
segera berangkat dari tempat ini ! Jika kau main
gila, hmmm........" Mendengar ucapan Kun-see-mo-ong, Thio Thian
Su segera berkata kepada Liong Houw.
"Hei, demi keselamatan kawan-kawan juga
keselamatan dirimu, lebih baik kau jawab
pertanyaannya !" 309 "Jawab apa ?" tanya Liong Houw, "pisau belati
ini tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya,
pisau ini sejak bayi sudah melekat pada
tubuhku......." Begitu Kun see-mo ong Teng Kie Lang
mendengar kata-kata Liong Houw itu ia mundur
lagi dua tindak, tapi wajahnya tidak menunjukkan
perobahan, hanya tampak tubuh iblis itu
gemetaran, lalu tertawa mengikih, kemudian ia
melesat lenyap dari pandangan mata.
Lie Eng Eng tidak mengenali si pengemis cilik Ho
Ho dalam penyamaran sebagai kongcu putra
hartawan, ia bertanya: "Saudara siapa?"
Hati kecil Ho Ho tertawa, ia segera menjawab
pertanyaan Lie Eng Eng dengan sikap lagaknya
seorang anak hartawan yang sombong : "Hm,
aku......kau siapa ? Gara-garamu itulah, kusirku
terluka." Mendengar jawaban yang sombong ketus, Lie
Eng Eng merasa muak, ia masukkan kembali
pedangnya kedalam serangka, membalikkan tubuh
berjalan pergi. "Nona....." tiba-tiba Liong Houw memanggil,
suaranya lemah tidak bertenaga.
Langkah Lie Eng Eng terhenti, hatinya tergetar
mendengar suara panggilan yang lemah tak
bertenaga, tapi penuh dengan rasa kasih mesra. Ia
membalikkan tubuh menatap wajah Liong Houw.
"Nona.... maafkan....." kata Liong Houw, "Aku
bersedia menerima segala hukumanmu atas
perbuatanku......"

Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

310 "Hei kusir !" bentak Ho Ho, "Apa kau sudah
gendeng, mendadak minta maaf segala. Hayo !
Cepat bangun." Ho Ho segera memayang bangun tubuh Liong
Houw yang lemah, lalu katanya lagi : "Nona,
sebaiknya lekas pergi, kita tidak kenal satu sama
lain, jangan mengganggu lagi, aku perlu memberi
pengobatan pada kusirku, huh dasar perempuan
biang penyakit." Lie Eng Eng hanya mendengus, lalu melesat
pergi dengan membawa perasaan heran dan tidak
mengerti atas ucapan Liong Houw tadi.
Thio Thian Su juga segera kabur dari tempat itu
dan mengikut arah larinya Lie Eng Eng.
Liong Houw dipayang oleh Ho Ho, merasakan
dadanya sakit, napasnya sesak, ia melangkahkan
kakinya lemah terseret-seret ditanah dibawah
payangan Ho Ho, otaknya bekerja keras, pukulan
itu mengakibatkan dadanya panas seperti terbakar,
hampir saja ia muntah darah, kejadian ini persis
seperti apa yang ia pernah alami didalam lembah
air terjun ketika ia sedang mempraktekkan latihanlatihan dari lukisan-lukisan yang terdapat pada
dinding goa, beberapa kali ia pernah terkena
hajaran si monyet merah, bahkan pernah sampai
ia pingsan dihajar tendangan monyet merah pada
bagian dadanya. Rasa sakit dan sesak pada dadanya dirasakan
sama seperti apa yang ia alami saat ini, tapi akibat
pukulan Habib dadanya terasa mengandung hawa
panas. 311 Mengingat pengalaman masa lampaunya didalam lembah air terjun bilamana ia mendapat
luka si monyet merah menyeret tubuhnya duduk
didalam air terjun, ia bersemedhi dibawah
kurungan air terjun, sungguh aneh, setelah sekian
saat, ternyata lukanya menjadi sembuh seperti
sedia kala. Mengingat itu maka cepat-cepat Liong
Houw bertanya lemah pada Ho Ho: "Saudara Ho,
dimana bisa mendapatkan air terjun didaerah
sekitar ini?" "Hah?" tanya Ho Ho heran.
"Cepat bawa aku kesana!" kata Liong Houw.
Dengan perasaan heran Ho Ho bertanya, "Untuk
apa air terjun? Lebih-lebih disekitar sini mana ada
air terjun, kalau anak sungai tidak jauh dari sini
bisa kita temukan. Tapi air terjun, ah, kau yang
bukan-bukan saja." Liong Houw berpikir, ia putar otaknya, ia tidak
boleh berlaku ayal, harus cepat bertindak
menyembuhkan luka didadanya, maka buru-buru
berkata; "Kalau begitu cepat kita ke anak sungai
itu !" "Apa ? Kau mau mandi, sedang tubuhmu masih
terluka ?" tanya Ho Ho.
"Tidak, satu-satunya jalan menyembuhkan luka
dalamku, aku harus bersemedi dalam air kalau
bisa dibawah air terjun, kalau tidak bisa dicoba
didalam sungai." Ho Ho mengangguk, baru pertama kali ini ia
mendengar ada orang bersemedi dibawah air terjun
atau didalam air, sungguh suatu keganjilan dunia
312 persilatan yang tidak habis dimengerti oleh akal Ho
Ho, demi menolong sang koko angkatnya, ia tidak
banyak tanya lagi segera memayang tubuh Liong
Houw masuk kedalam kereta.
Liu Ing baru saja sadar dari pingsannya, ia
masih duduk bersandar, mukanya agak pucat
akibat kejutan hatinya, mata gadis itu sayu.
Ho Ho dan Liong Houw memperhatikan keadaan
tubuh gadis itu, dari kepala sampai kakinya,
ternyata keadaan Liu lng masih utuh.
Dengan menahan rasa sakit didadanya yang
terpukul si jago Handramaut, lebih-lebih akibat
dari emposan tenaga dalamnya yang dikuras habishabisan dalam menciptakan siulannya, Liong
Houw duduk bersandar didalam kereta.
Setelah menutup pintu kereta Ho Ho segera
lompat keatas bangku kusir, ia membedal kuda
menerobos semak-semak belukar meninggalkan
tempat itu. Tak lama mereka tiba disatu anak sungai, ditepi
tebing gunung. Mereka meninggalkan kereta, Ho Ho memayang
tubuh Liong Houw menyusuri tepi sungai diikuti
oleh Liu Ing. Setelah mendapatkan tempat yang
baik, Liong Houw berkata : "Saudara Ho dan adik
Liu Ing, sebaiknya kalian menunggu dikereta saja.
Aku akan segera akan bersemedi berendam
didalam air sungai ini."
Ho Ho dan Liu Ing segera meninggalkan Liong
Houw. 313 Liong Houw membuka pakaian luar dan
dalamnya, setelah mana ia turun kesungai, ia
duduk didasar sungai hingga tak tampak lagi
tubuhnya, hanya gemercik air sungai mengalir
deras. Ho Ho bersama Liu Ing menunggu duduk
disemak belukar dekat kereta membelakangi
sungai, matahari sudah condong ke barat.
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara ketawa
yang mengikik : "Hih.....hih,....hih, nih, hih, hih........."
Itulah suara tertawanya si iblis Kun-see mo-ong
Teng Kie Lang. Mendengar suara tawa itu bulu tengkuk Ho Ho
menggerinding bangun, ia sadar kalau yang datang
itu adalah iblis laknat. Dalam keadaan masih bingung, tiba-tiba iblis
Kun-see-mo-ong menghampiri Liu Ing.
Belum lagi Ho Ho bisa berbuat apa-apa entah
dengan gerakan apa, Kun-see-mo-ong Teng Kie
Lang melejit lenyap dari tempat itu, tubuh Liu Ing
juga turut lenyap. Dengan membanting kaki Ho Ho berteriak teriak;
"Iblis pengecut, mari adu jiwa!"
Ho Ho yang berteriak-teriak lari sana sini seperti
orang gila, tiba-tiba mendengar suara teguran
Liong Houw, "Ada apa?"
"Hoa....adik.......Liu Ing. . . ." kata Ho Ho
terputus-putus, gemetar menahan marah.
314 "Apa? Mana adik Liu Ing?" tanya Liong Houw
kaget. "Kun-see-mo-ong telah menculiknya!" jawab Ho
Ho. Mendengar jawaban itu, tubuh Liong Houw
melesat, melompat keatas dahan-dahan pohon,
kelakuannya seperti kera yang berlompatan keatas
puncak pohon. Diatas puncak pohon tinggi, matanya jelilatan
mencari arah lenyapnya Kun-see-mo-ong yang
telah membawa kabur adik Liu Ingnya, tapi sekian
saat diperhatikannya, tak tampak tanda-tanda
gerakan dari si iblis, keadaan hutan rimba itu
tenang, dahan-dahan pohon yang bergoyang
berdesir-desir tertiup angin.
Dengan perasaan masgul Liong Houw lompat
turun dari atas pohon meluncur kebawah.
Brukk...... Tubuh Liong Houw jatuh ambruk di tanah tapi
membal keudara, baru turun kembali ditanah
berdiri tegak. Ho Ho menyaksikan kelakuan saudara angkatnya, tentu saja terkejut bercampur heran,
matanya terbelalak, ia melihat tubuh Liong Houw
yang meluncur jatuh dari atas pohon tampaknya
berat seperti orang tidak berkepandaian silat jatuh
dari atas pohon. Hati Ho Ho juga tercekat, ia tahu
bahwa sang kakak angkat putus asa, hingga tidak
memperdulikan keselamatan dirinya lagi. Tetapi
suatu keanehan telah terjadi, begitu tubuh Liong
Houw ambruk ditanah ia membal balik ke udara.
315 Keanehan itu bukan saja mengherankan Ho Ho,
bahkan Liong Houw sendiri terkejut heran,
bagaimana tubuhnya yang jatuh meluncur dari
atas pohon setinggi puluhan tombak bisa membal
keudara tanpa mencelakakan dirinya, sedang
ketika ia tadi meluncur turun, sudah tidak
memperhatikan lagi soal hidup atau mati, jiwanya
kosong melompong, ia ingin cepat mati.
Keanehan itu belum bisa kita pecahkan pada
bab ini, nanti pada bab-bab berikutnya bilamana
Liong Houw berhasil kembali kedalam lembah air
terjun, semua rahasia itu akan terpecahkan.
Hanya perlu diketahui, atas keterangan Thianlam-it-lo Kak Wan Kie-su didalam lembah Im-bukok, bahwa jalan darah yang menghubungkan
kekuatan negatif dan positif (im dan Yang)
ditubuhnya sebagian sudah terbuka.
Ketika dada Liong Houw menerima serangan
pukulan Habib, jalan darah didada Liong Houw
pecah dihajar kekuatan Yang hingga dada si
pemuda dirasakan sakit tidak kepalang, kalau saja
Liong Houw tidak memiliki kecerdikan otaknya
yang luar biasa, pasti pada saat matahari terbenam
jiwanya akan melayang keakherat.
Dengan menggunakan kecerdikan otaknya itulah
ia segera bersemedhi didalam dasar sungai
menyembuhkan luka-luka didadanya, jalan darah
yang pecah bisa disembuhkan bahkan membantu
menyempurnakan terbukanya satu bagian jalan
darah yang menghubungkan Im dan Yang.
Hingga tubuh Liong Houw yang meluncur turun
dengan gerak reflek yang peka pada tubuhnya,
316 berhasil membal disadarinya sendiri. ngapung keudara Ho Ho cepat-cepat berkata: Liong.........maafkan aku......"
tanpa "Saudara "Ah sudahlah, ayo cepat kita berangkat jangan
sampai terlambat menolong suhumu, urusan Kunsee-mo-ong nanti saja kita bereskan, kepandaian
iblis itu juga berada diatas kepandaianku, memang
ia bukan tandingan kita, hai dasar aku yang tidak
mau dengar petuah orang tua, akibatnya
menimbulkan bencana terhadap orang lain."
Liong Houw ngoceh begitu ia teringat kata-kata
Thian-lam-it-lo Kak Wan Kiesu, orang tua itu
pernah menyuruhnya kembali kedalam lembah air
terjun untuk memperdalam ilmunya, tapi ia tidak
pergi kesana, bahkan berkeliaran mencari perempuan yang dicintainya.
Liong Houw begitu bertemu dengan Lie Eng Eng
hatinya tergoncang keras, gadis itulah yang selama
ini dicari-carinya, tapi sampai saat itu ia belum
mengenal nama gadis pujaannya, maka segera ia
bertanya pada Ho Ho : "Hai, saudara Ho, apakah
kau kenal dengan nona yang memiliki pedang yang
memancarkan sinar putih kemilauan itu ?"
"Hm !" Ho Ho mendengus heran, "Ya, dialah si
Pedang Macan Betina Lie Eng Eng!"
"Dan yang pemuda ?"
"Thio Thian Su murid Ceng-it Cinjin," jawab Ho
Ho, "Ada apa ya ?"
317 "Ah, tidak, aku hanya ada sedikit urusan
dengan mereka." Liong Houw mengatakan dia mempunyai urusan,
tapi tidak dijelaskan pada siapa dari salah seorang,
entah si pemuda entah si gadis ia hanya
mengatakan mereka. "Oh........" Ho Ho agak heran atas sikap sang
kakak angkat yang rada aneh.
Liong Houw berkata : "Hari hampir gelap, lekas
naik kereta kita harus melaksanakan rencana
Kamar Gas 6 Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Birunya Skandal 3

Cari Blog Ini