Ceritasilat Novel Online

Sabuk Kencana 9

Sabuk Kencana Ikat Pinggang Kemala Karya Khu Lung Bagian 9


Menyaksikan bayangan tubuh lawan secara tiba2 lenyap tak berbekas, dia lantas menduga kalau musuhnya tentu sudah menyingkir kebelakang, maka secara tiba2 ia melangkah maju sambil putar badan, tanpa memandang untuk kedua kalinya batang ranting bunga To ditangannya menyapu keluar mengikuti geseran kaki kanannya dengan jurus "Toh-Ciang-Lie-Tay" atau Indah sentosa keturunan Lie, angin segera men-deru2 bagaikan gulungan taupan.
JILID 14 HAL. 35 S/D 40 HILANG
Lie Kie Hwie si ketua dari benteng Cian-Liong Poopun ikut diboyong kedalam markas mereka, sejak itu dalam dunia kangouw tidak pernah menjumpai lagi bayangan tubuh dari jago pedang ini.
Dalam pada itu Hoo Thian Heng si sastrawan berbaju biru, Gong Yu si pendekar tampan berbaju hijau serta Lie Wan Hiang dengan menunggang kuda jempolan telah berangkat kearah selatan dengan melalui jalan raya yang menghubungkan propinsi ouw-pak dengan ouwlam, kemudian mengikuti jejak yang didapatkan dari orang2 disekitar sana mereka berhasil membuntuti hingga tiba dilembah seribu bunga To.
Namun sayang seribu kali sayang, mereka temukan bangunan rumah ditengah be-ribu2 batang pohon To itu berada dalam keadaan kosong, keadaan ini membuat Lie Wan Hiang jadi sedih hingga mengucurkan air mata.
Gong Yu melakukan pemeriksaan yang seksama disekeliling sana, mendadak dari suatu sudut rumah ia temukan sebuah sarung pedang yang telah penuh dengan debu, dengan cepat benda itu dipungutnya.
Hoo Thian Heng yang ikut menyaksikan benda tadi segera berseru tertahan, ujarnya:
"Wan sumoay, ternyata sedikitpun tidak salah dugaan kita, ayahmu benar2 pernah dikurung disini, coba kau lihat bukankah sarung pedang yang berada ditangan Gong sute adalah sarung pedang milik pribadinya ?"
Sejak kecil Lie Wan Hiang telah kenali sarung pedang itu, bahkan sering kali pula digunakannya untuk bermain, sudah tentu ia segera kenali benda tersebut sebagai benda milik ayahnya.
Tapi...kemanakah Lie Kie Hwie telah pergi? apakah dia masih hidup atau sudah mati ?
Kembali ketiga orang itu dibikin kebingungan oleh masalah yang amat rumit ini.
Haruslah diketahui, lembah seribu bunga To yang terletak di atas gunung soat-Hong-san merupakan suatu tempat yang letaknya amat rahasia, dan sekarang siluman rase itu telah tinggalkan sarangnya untuk pindah ketempat lain, mungkinkah hal ini disebabkan oleh karena dia mempunyai sarang lain yang jauh lebih rahasia letaknya?
Dunia jagad demikian luas, setelah titik terang yang mereka peroleh dengan susah payah mendadak terputus ditengah jalan, ketiga orang ini jadi bingung setengah mati.
Dilakukannya pemeriksaan yang seksama di sekeliling tempat itu, namun tak ada sesuatu apapun yang berhasil ditemukan, akhirnya dikala sang surya telah condong keufuk barat, dengan hati berat mereka naik kembali keatas pelana kudanya masing2 dan menuruni gunung soat Hong-san tersebut. Malam ini mereka menginap dikota Ciang-Yang.
Karena menguatirkan keselamatan ayahnya wajah Lie Wan Hiang selalu tampak murung sedih dan tidak senang hati, sedangkan Hoo Thian Heng serta Gong Yu yang menjadi suhengnya tentu saja merasa kesal juga menjumpai adik seperguruan mereka bersedih hati, malam ini suasana diliputi kekesalan serta kegelisahan. Suatu ketika, mendadak terdengar Lie Wan Hiang bergumam seorang diri:
"Sudah begini lama ayahku lenyap tak berbekas, entah bagaimana sedih hati ibuku? Ai...... dimanakah ibuku sekarang berada? apakah dia-pun sedang mencari jejak ayahku?"
Selama ini Hoo Thian Heng paling takut kalau mendengar gadis tersebut menanyakan soal ibunya, maka sepanjang jalan dia selalu berusaha untuk menghindari pertanyaan ini. Dan sekarang secara tiba2 ia ungkap persoalan ini, dalam hati segera pikirnya:
"Aduuuh celaka... rupanya persoalan paling sulit yang kutakuti selama ini bakal kujumpai juga."
Untung Lie Wan Hiang cuma bergumam sendiri dan tidak tanyakan persoalan itu langsung dengan Hoo Thian Heng, maka sementara waktu pemuda itu boleh merasa lega hati. Mendadak.... Gong Yu yang selama ini berdiam diri telah menimbrung dari samping:
"Setelah empek Lie lenyap tak berbekas, entah bagaimanakah pendapat Pek Bo mengenai peristiwa ini ?"
Rupanya dia sedang mencari kabar sampingan yang lebih banyak sebagai bahan analisanya terhadap diri siluman rase berwajah bunga To.
Mendengar pertanyaan itu, kontan Hoo Thian Heng melototi sutenya dengan hati mendongkol.
"Keadaan burung hong hijau cianpwee juga seperti halnya kita," sahutnya cepat. "semua persoalan yang berhubungan dengan Toh Bi Yauw Hoe sama sekali tak diketahui olehnya."
"Hoo suheng, mungkinkah ibu juga munculkan diri kedalam dunia kangouw untuk mencari ayah ?" tanya Lie Wan Hiang lirih, air matanya jatuh berlinang membasahi pipi.
Terhadap pertanyaan ini Hoo Thian Heng sudah bikin persiapan matang2 sejak semula, maka begitu ditanya dengan lancar dan sama sekali tidak menunjukkan tanda2 berbohong jawabnya:
"Ibumu paling gelisah dan cemas diantara siapapun juga, ketika kami lakukan pencarian kearah selatan, seorang diri dia telah berangkat keutara untuk bikin pemeriksaan."
Jawaban ini segera membuat Lie Wan Hiang serta Gong Yu mempercayainya seratus persen, sebab mereka menyangka toa suhengnya ini tentu bicara jujur dengan mereka.
Dalam pada itu Hoo Thian Heng sendiri diam2 merasa jengah, merah padam selembar wajahnya, sepanjang hidupnya dikolong langit baru kali ini dia bicara bohong, maka tidak aneh kalau dia merasa malu pada dirinya sendiri.
"Dikolong langit tak akan ada rahasia yang bisa tersimpan rapat," hibur Gong Yu kemudian. "Asalkan kita mencari dengan seksama dan teliti, mungkin saja dari mulut kawanan Kangouw yang kita temui akan berhasil didapatkan kabar mengenai mereka."
"Benar," seru Hoo Thian Heng membenarkan. "Rumah makan adalah tempat yang paling sering disinggahi orang Kangouw. Sute sumoay, ayoh berangkat kita bersantap makan dahulu."
Habis bicara tanpa menantikan jawaban kedua orang muda mudi itu lagi, ia berlalu lewat dari kamar, diikuti oleh Gong Yu dan Lie Wan Hiang dari belakang. Baru saja mereka tiba di pintu depan, dari hadapan mereka muncul seorang tua berambut putih yang berdandan sebagai seorang nelayan, kakek itu berjalan dengan langkah ter-gesa2 dan lewat dihadapannya.
oooodzooooo Bab 21 DALAM sekilas pandang, Hoo Thian Heng segera kenali kakek tua berdandan nelayan itu sebagai Goan-Kang-Gie-Hu atau nelayan dari sungai Goan-kang Tong su Kiat adanya, ia segera percepat langkahnya mengejar kedepan, teriaknya: "Tong cianpwee, tunggu sebentar."
Mendengar suara teguran, si Nelayan dari sungai Goan-kang ini segera berhenti dan menoleh kebelakang, tatkala dijumpainya Hoo Thian Heng berdiri disitu dia jadi kegirangan segera sahutnya:
"Loote, sungguh tak nyana kita bisa berjumpa disini, ayoh berangkat mari kita naiki gunung Bu-tong san, jangan sampai terlambat."
Perkataannya ini diutarakan tanpa ada ujung ataupun pangkalnya, bukan saja membuat Lie Wan Hiang serta Gong Yu yang sedang menyusul tiba jadi kebingungan setengah mati, sekalipun Hoo Thian Heng sendiripun jadi bingung dan tak tahu apa yang harus dilakukan.
Tatkala dijumpainya tiga orang muda mudi itu memandang kearahnya dengan wajah tertegun, Tong soe Kiat melengak, namun dengan cepat dia sadar kembali apa yang sudah terjadi.
"Begini saja," katanya kemudian. "Mari kita mencari suatu tempat yang sepi untuk membicarakan persoalan ini."
Didepan mereka merupakan sebuah rumah makan, Hoo Thian Heng segera mengajak mereka bertiga menuju kesana, dan mencari tempat yang agak sepi didekat jendela, sebentar kemudian sayur dan arak telah dihidangkan.
Mungkin si Nelayan dari sungai Goan Kang ini sudah lama tak pernah minum arak, begitu arak dihidangkan dia segera menyambar poci itu dan diteguknya sampai puas, kemudian dia baru berpaling memandang sekejap kearah Gong Yu serta Lie Wan Hiang.
Terasalah sepasang muda-mudi itu bukan saja gagah dan cantik jelita, hawa murninya jelas berada diatas tingkatan Hoo Thian Heng sendiri, menyaksikan kejadian itu diam2 ia merasa tercengang dan tidak habis mengerti.
Dengan sepasang alis berkerut kencang Hoo Thian Heng segera perkenalkan kedua belah pihak, ujarnya:
"Cianpwee ini adalah si Kakek nelayan dari sungai Goan Kang yang bernama Tong soe-Kiat, ilmu jari penggetar nadi serta tujuh puluh dua jurus ilmu jaring ikannya telah menggetarkan seluruh dunia persilatan."
Pendekar tampan berbaju hijau Gong Yu serta Lie Wan Hiang masing2 mengangguk tanpa memberi hormat.
Kemudian sastrawan berbaju biru itu menuding kearah Lie Wan Hiang dan melanjutkan.
"Sedang nona itu adalah sumoayku Lie Wan Hiang, dia bukan lain adalah mutiara kesayangan dari Lie Kie Hwie cianpwee, poocu dari benteng Cian Liong Poo."
"Ooouw...." seru Tong soe Kiat, dia lantas tuding Gong Yu dan berkata:
"Kalau begitu dia pastilah sutemu yang bernama Gong Yu dengan julukan si pendekar tampan berbaju hijau haaa....haaa...bagus...bagus sekali dengan adanya kalian suheng-te bertiga, maka bencana yang bakal menimpa partai Bu tong pun bisa teratasi."
"Bukankah partai Bu-tong adalah partai yang paling besar, kuat dan paling berkuasa diantara sembilan partai lainnya, siapa yang berani mencabut kumis harimau? apakah sukma ganas serta roh2 bengis itu?"
"Dugaanmu tepat sekali, bahkan aku dengar katanya Yoe Leng sin Koen bakal hadir sendiri dalam penyerbuan tersebut. Selama dua hari belakangan ini partai Butong sudah diobrak-abrik sampai kacau dan tidak keruan, secara beruntun Boesu kenamaan dari kota Lok-yang yang bernama Poei Coh, si lengan baja monyet sakti dari kota sian Yang Ang Ceng Kian- si jari langit soen Pok Kauw dari Gie Pak serta si tabib sakti Yoe siok Peng dari ci Kang menemui ajalnya dalam keadaan yang mengenaskan."
Sepasang alis Hoo Thian Heng berkerut, sebelum dia sempat bertanya terdengar orang tua itu sudah berkata lebih jauh:
"Didalam sepuluh hari belakangan ini, partai Ciong-Lay keok, partai Cing shia musnah, partai Go-bie bubar dan partai Hong-san takluk. Diatas gunung2 kenamaan itu semuanya telah ditancapi panji berwarna abu2 bergambar tengkorak dari perkumpulan Yoe-Leng Kauw, dan kini mereka sedang kerahkan segenap tenaga yang dimilikinya untuk menyerbu partai Bu-tong. Aaai...hampir boleh dikata seluruh dunia persilatan telah ketimpa bencana seandainya partai Bu-tong rontok pula ditangan mereka, jelas tujuan mereka yang berikutnya adalah partai Siauw-lim. Asal Butong pay dan Siauw-limpay sudah goncang dan rontok, maka dalam kolong langit akan sulit untuk mendapatkan jago dunia yang bisa menandingi mereka."
Ucapan tersebut diutarakan dengan nada sedih dan murung, tercermin betapa risaunya hati kakek tua ini.
Lie Wan Hiang yang mendengar perkataan tersebut, alisnya segera berkerut, gerutunya:
"Hmm, kalau dari dulu2 tahu begini, sewaktu ada diatas bukit Ciat-Liong-Nia dikota Kioe-Li Kwan tak nanti kulepaskan malaikat2 ganas tersebut."
"Sudah...sudahlah, urusan telah lewat apa gunanya kau menggerutu dan sesalkan, persoalan paling penting yang harus kita kerjakan sekarang adalah bagaimana caranya menolong partai Bu-tong lepas dari kepungan musuh."
Hoo Thian Heng mengangguk tanda setuju, mendadak dengan alis berkerut tanyanya: "Tong cianpwee, darimana kau peroleh kabar berita ini?"
Si Nelayan dari sungai Goan-Kang menghela napas panjang.
"Kemarin, ketika aku sedang beristirahat di sebuah rumah penginapan dalam kota Ceng-Wan, tiba2 si kepalan sakti tanpa bayangan Tie Keng Cuan melayang masuk lewat jendela belakang, dia beritahu kepadaku katanya bencana besar telah mengancam dunia persilatan dewasa ini, Yoe-Leng Sin-Koen telah menetapkan pada bulan lima hari Toan-Yang hendak menyapu rata partai Bu-tong. Dia bertanya kepadaku apakah aku punya cara untuk menemukan ahli waris dari dua rasul atau lima manusia aneh guna membantu pihak Bu-tong Pay menghalau bencana tersebut, ketika ku-hitung2, waktunya ternyata hari Toan-Yang tinggal beberapa hari lagi sedang akupun tak tahu harus pergi ke mana untuk mencari kalian, terpaksa kusanggupi permintaannya dengan catatan bertindak mengikuti takdir. Waktu itu akupun bertanya kepadanya darimana dia peroleh kabar tersebut, disisi telingaku, bisiknya: "suteku si telapak Kian-Koan yang memberitahukan kepadaku," selesai berkata demikian ter-gesa2 ia berlalu dari sana, sikapnya amat hati2 se-olah2 takut kalau dia dikuntit orang dari belakang."
"Setelah mendapat kabar itu maka aku lantas berangkat dengan harapan bisa bertemu dengan loote didaerah sekitar propinsi ouw-lam serta ouw-pak. Haah.. haah...haah ternyata Thian telah mempertemukan kita di sini..."
Saking girangnya si nelayan dari sungai Goan-kang tak sanggup mempertahankan diri lagi, ia mendongak dan tertawa bergelak.
"Tie loocianpwee memang seorang yang baik hati," ujar Gong Yu dari samping, "sayang namanya telah rusak akibat tingkah laku serta perbuatan sutenya si setan gantung putih Khong It Hoe. Kalau memang kabar ini diperoleh dari mulutnya, aku rasa tak bakal salah lagi, mari kita segera berangkat dan lakukan perjalanan siang malam, aku rasa masih sempat bagi kita untuk tiba dipartai Bu-tong sebelum tiba saatnya. Tong loocianpwe apakah kau punya kuda...?"
"Hee... heee... heee... dengan adanya sam-wi siauw-hiap yang berangkat ke gunung Bu-tong untuk membantu mereka, loohu percaya bencana yang mengancam partai Bu-tong pasti berhasil dihalau, biarlah loohu menyusul dari belakang saja sambil menantikan arah kemenangan dari kalian bertiga."
Baru saja dia menyelesaikan kata2nya, mendadak terdengar desiran angin menyambar lewat, sesosok bayangan putih laksana kilat telah menyambar kearah dada orang tua itu.
Lie Wan Hiang membentak nyaring, sumpit ditangannya bekerja cepat... Trak tahu-tahu bayangan putih tadi telah dijapitnya dengan sumpit bambu itu.
Ketika diperiksa dengan seksama ternyata bayangan putih tadi bukan lain adalah secarik kertas.
Menanti mereka turun kebawah loteng untuk mencari si pelempar kertas tadi, bayangan tersebut telah lenyap tak berbekas dibalik tetamu lain yang sedang bersantap disitu.
Terpaksa mereka kembali kemejanya sendiri dan membuka kertas tadi, diatas kertas tersebut terteralah empat bait tulisan yang berbunyi demikian:
"Diluar memperbaiki jalan, diam2 menyeberangi sungai.. Pura2 menyerang Bu tong, yang sebenarnya menghancurkan Siauw lim...."
Dibelakang tulisan tadi terlukis sebuah kepalan, jelas orang yang memberikan peringatan itu bukan lain adalah si kepalan sakti tanpa bayangan Tie Keng Cuan adanya.
"Aaah.... Pastilah pihak Yoe leng Kauw telah mengubah rencananya ditengah jalan," seru Goan Kang cie Hu memberi komentar. "Kalau tidak begitu tak nanti Loo Tie jauh2 datang kemari untuk menghantar surat, sayang kita tak sempat menanyakan persoalan ini lebih jelas lagi."
"Aku pikir loocianpwee itu tentu mempunyai kesulitan sendiri yang tak bisa disampaikan kepada kita."
"Ditinjau dari nama Yoe Leng Kauw yang dipergunakan perkumpulan itu..." Hoo Thian Heng setelah memandang sekejap keadaan disekelilingnya. "Kemungkinan sekali kitab pusaka Yoe Leng pit Kip yang terdapat di tebing Pek Yan Gay telah berhasil didapatkan oleh Yoe Leng sin Koen dan dipelajarinya. Meskipun ilmu silat yang termuat dalam kitab pusaka itu merupakan ilmu silat yang maha ampuh dari kalangan sesat, namun selama waktu latihannya masih pendek, dia tak usah kita takuti. Cuma saja dia berani menantang sembilan partai besar untuk berduel, di-belakangnya tentu punya backing yang kuat, aku harap sute serta sumoay jangan punya perasaan pandang rendah musuh dikala menghadapi mereka nanti."
Gong Yu serta Lie Wan Hiang tidak berani membantah peringatan dari toa suhengnya, mereka tunduk dan percaya penuh atas setiap perkataan dari pemuda she Hoo ini.
Hoo Thian Heng sendiripun dapat merasakan hal itu dari sikap serta wajah kedua orang adik seperguruannya, maka dia berkata lebih jauh:
"Kalau kita tinjau dan bicarakan tindak tanduk serta perbuatan2 pihak Yoe-Leng Kauw yang bikin bencana dalam Bu-lim tiga bulan belakangan ini, serta tindakannya merubah rencana ditengah jalan, aku pikir kauwcu mereka Yoe Leng sin-Koen pastilah seorang manusia yang licik, lihay dan banyak akalnya. Aku percaya dengan kepandaian silat yang dimiliki sute serta sumoay masih sanggup menghadapi setiap pertarungan macam apapun, namun aku tetap berharap agar kalian berdua selalu tingkatkan kewaspadaan jika menghadapi mereka, agar supaya kalian jangan terjerumus kedalam perangkap mereka." Berbicara sampai disitu dia merandek sejenak, kemudian sambungnya kembali:
"Perjalanan dari kota Cian-Yang menuju kegunung siong-san hampir mencapai tiga ribu li jauhnya, aku percaya dengan kecepatan lari kuda Cau-Ya-Giok say-Cu kalian yang bisa lari seribu li dalam sehari masih sanggup tiba ditempat tujuan tepat pada saatnya. Demikian saja biarlah I-heng yang berangkat ke Bu-tong san untuk membantu mereka, sedangkan kalian boleh berangkat malam ini juga menuju kegunung siong san untuk membantu pihak siauw lim, baik partai Bu tong maupun partai Siauw lim merupakan tulang punggung dari dunia persilatan, perduli manapun diantara kedua tempat ini yang ketimpa bencana, kita wajib menolong serta membantu mereka."
Si pendekar tampan berbaju hijau Gong Yu serta Lie Wan Hiang mengerti betapa genting dan tegangnya persoalan yang mereka hadapi, maka detik itu juga mereka berpamitan kepada suhengnya Hoo Thian Heng serta Goan Kang Gie Hu untuk kembali kerumah penginapan guna berkemas-kemas, setelah itu dengan menunggang kuda jempolan mereka berangkat ke Utara.
Untuk sementara baiklah kita tinggalkan dulu perjalanan Gong Yu serta Lie Wan Hiang yang berangkat ke utara untuk menolong pihak sauw lim pay, dalam pada itu Hoo Thian Heng bersama Tong soe Kiat segera berangkat ke Bu tong san dengan menunggang keledai Hok jienya yang bisa berlari cepat.
Sedikitpun tidak salah, sepanjang jalan sering kali mereka bertemu dengan jago2 kangouw bersama-sama berangkat menuju kearah yang sama, bahkan mereka awasi kedua orang ini dengan sorot mata penuh rasa permusuhan.
Si Nelayan dari sungai Goan-kang takut Hoo Thian Heng tidak kuat menahan kesabarannya sehingga menerbitkan keonaran dan mengganggu perjalanan mereka, berulang kali dia menasehati pemuda tersebut agar bersabar dan tidak memperdulikan mereka.
Begitulah mereka berdua segera melewati daerah pegunungan Bu-Leng san berbelok ke utara menyebrangi sungai Tiang-kang, melewati Tong-Yang dan mengikuti lereng pegunungan Bu-tong san menuju kekota sak-Hoa-Kia.
Sak-Hoa-Kia merupakan satu2nya kota yang terletak dibawah gunung Bu-tong san, kearah Timur mereka bisa tiba dikota Kok-shia dan suasana dikota tersebut boleh dikata tak begitu ramai.
Ditempat ini mereka sering kali berpapasan dengan para toosu dari partai Bu-tong yang berlalu lalang kesana kemari.
Diam2 si nelayan dari sungai Goan-kang merasa bahwa mereka dapat tiba ditempat tujuan tepat pada saatnya, sedikit banyak iapun merasa lega hati, apalagi setelah menyaksikan sikap para toosu yang tenang jelas diatas gunung belum terjadi sesuatu peristiwa diluar dugaan.
Menanti Hoo Thian Heng telah menitipkan keledai "Hok Jie" nya disebuah rumah penginapan, segera ujarnya:
"Loote, bagaimana juga kita tiba disini lebih duluan dari mereka, bagaimana kalau mencari rumah makan dahulu untuk meneguk beberapa cawan arak sebelum naik keatas gunung?"
Belum sempat Hoo Thian Heng menjawab, mendadak dari ujung jalan ditempat kejauhan muncul seorang tootiang tua yang memakai jubah warna kuning dengan wajah bersih dan jenggot sepanjang dada.
Semua toosu berjubah biru, putih serta hitam yang berjumpa dengan tootiang tadi segera bongkokkan badan memberi hormat, hal ini menunjukkan bila kedudukan dalam partai Bu-tong sangat tinggi.
Gerakan badannya sepintas lalu tampak sangat lambat namun dalam kenyataan cepatnya luar biasa, dalam sekejap mata ia sudah tiba didepan mereka.
Sementara si nelayan dari sungai Goan Kang Tong Soe Kiat masih berdiri tertegun, toosu tua itu telah menjura dalam2 kearahnya sambil menegur:
"Tong sicu sudah banyak tahun kita tidak bertemu, tampaknya kau makin lama semakin gagah sungguh beruntung ini hari Hian Hok bisa berjumpa dengan diri tayhiap, bagaimana kalau mampir di istana Ci Yang Kiong kami untuk menginap beberapa hari?"
Sekarang Tong Soe Kiat si nelayan dari sungai Goan-kang ini baru teringat bahwasanya toosu tua yang berada dihadapan kini bukan lain adalah Hian Hok Toojien sute dari Hia Ciang itu ciangbunjien dari partai Bu-tong.
Bersama dengan Hian Siauw Tootiang, Hia Biauw Tootiang, Hian Go Tootiang, Hian Ke Tootiang serta Hian Gong Tootiang mereka disebut Bu-tong Chiet-kiam atau tujuh jago pedang dari partai Bu-tong.
Bukan saja ilmu pedangnya sangat lihay, imannya kuat dan punya nama yang cemerlang sebagai kaum pembela yang lemah, toosu inipun ramah dan berbudi luhur. Maka setelah teringat siapakah toosu itu Tong Soe Kiat segera tertawa ter-bahak2:
"Dari ribuan li jauhnya aku si tua bangka she Tong dengan mengajak Hoo Loo-tee datang kegunung Bu-tong bukan lain adalah karena ingin bertemu dengan ciangbunjien kalian, sungguh tak dinyana kita sudah berjumpa muka disini, haaah...haaah..... haaah bagus... bagus, sangat kebetulan sekali."
Hian Hok Too tiang tidak tahu apa sebabnya jago tua dari sungai Goan-kang ini jauh2 meluruk partainya, dalam hati segera pikirnya:
"Persoalan besar apakah yang sedang dia hadapi sehingga jauh2 dari ribuan li datang kemari ? jangan2 disebabkan anak murid partai kami yang telah berlaku kurang ajar terhadapnya."
Berpikir demikian tanpa terasa sepasang alisnya segera berkerut kencang.
Rupanya Tong Soe Kiat bisa menebak apa yang sedang dipikirkan toosu tua itu, kembali ia tertawa ter-bahak2.
"Hian Hok Too-tiang, kau tak usah menebak hal yang bukan2, nanti akan kujelaskan maksud tujuan kedatangan kami kesini." Berbicara sampai disitu dia lantas memperkenalkan:
"Dia adalah ahli waris dari Lam-hay, orang kangouw menyebutnya sebagai si sastrawan berbaju biru berseruling kumala berkipas emas Hoo Thian Heng, Hoo siauwhiap."
Mendengar disebutnya nama itu diam2 Hiat Hok Tootiang merasa terperanjat, namun buru2 ia memberi hormat sembari berkata:
"Sudah lama pinto mengenali nama besar siauwhiap, hanya sayang belum pernah saling berkenalan."
Belum sempat ia meneruskan kata2nya, sambil mengelus jenggot dan tertawa si nelayan dari sungai Goan-kang telah menyela:
"Kita semua adalah orang2 Bu-lim, apa gunanya segala macam tata cara yang tengik dan busuk itu."
Maka mereka bertiga pun masuk kedalam sebuah rumah makan, Hian Hok Tootiang memesan masakan berpantang dan menemani disamping.
-0000dw0000- Jilid : 15 SAMBIL minum arak dan bersantap mulailah Tong Soe Kiat si nelayan dari sungai Goan-kang ini membeberkan rencana perkumpulan Yoe Leng Kauw yang hendak menyerang partai Bu-tong serta partai siauw-lim pada saat yang bersamaan, disamping itu diapun menambahkan: "Karena takut partai kalian tidak bikin persiapan sama sekali sehingga jatuh ketangan musuh, maka sengaja aku datang kemari dengan membawa Hoo sauhiap untuk membantu kalian."
Mengenai keonaran serta kebrutalan yang dilakukan pihak Yoe Leng Kauw pada bulan belakangan ini, pihak partai Bu-tong telah mengetahuinya dengan jelas, bahkan tujuh jago pedang dari Bu-tong pernah mengusulkan kepada ciangbunjiennya Hian cing tootiang untuk bekerja sama dengan para jago dari partai lain guna menanggulangi bencana besar ini.
Namun disebabkan masalahnya terlalu besar dan mempengaruhi perbagai partai lainnya, hasil perundingan tersebut belum berhasil dilaksanakan.
Siapa sangka sekarang mendapat kabar yang mengatakan kawanan gembong iblis itu telah berkumpul disekitar gunung Bu-tong untuk menghancurkan partai tersebut, kendati Hian Hok Tootiang adalah toosu yang beriman tebal tak urung hatinya dibikin terkejut bercampur gusar juga.
"Demikianpun boleh juga.." teriaknya.
Saking mendongkol dan khekinya sampai ia tak sanggup bersantap lebih jauh.
Selesai berdahar, mereka bertigapun segera kerahkan ilmu meringankan tubuh untuk merangkak kegunung Bu-tong.
Rupanya toosu tua itu ada maksud menguji sampai dimanakah kemampuan yang dimiliki Hoo Thian Heng si sastrawan berbaju biru yang namanya telah menggetarkan sungai telaga, sepanjang perjalanan ia kerahkan ilmu ginkang Pot Poh Kan sannya hingga mencapai pada puncaknya, terlihatlah sang badan bagaikan kilat meluncur keatas dengan dahsyatnya.
Tetapi setelah ia menoleh kebelakang dan menyaksikan keadaan pemuda tersebut, hatinya jadi sangat kagum.
Karena selama ini Hoo Thian Heng selalu membuntut dibelakangnya dengan sikap yang tenang, bukan saja dia tak tampak lelah atau payah bahkan wajahnya biasa saja se-akan2 sedang berjalan lambat.
Dia tahu orang lain memiliki kepandaian silat yang lihay dan tidak ingin dipamerkan, kalau tidak mungkin dia sebagai sang tuan rumah sudah kehilangan pamor sejak tadi.
Dalam pada itu Tong Soe Kiat yang ketinggalan dibelakang segera berteriak keras:
"Hey...kenapa kalian lari begitu cepat? mau apa sih ter-buru2 naik kegunung ? rupanya kalian ada maksud hendak melelahkan aku si tua bangka she Tong agar cepat modar?"
Dalam kenyataan gerakan tubuh Goan-kang Gie-Hoe tidak bisa dikatakan lambat, tubuhnya selalu menguntil dibelakang Hoo Thian Heng dengan selisih yang tetap, hanya saja dia memang sengaja ber-teriak2 agar pertandingan secara diam2 itu bisa diurungkan.
Setelah lewati kolam pelepasan pedang mereka langsung menuju keruang tamu dalam istana Ci-Yang Kiong, setelah Hian Hok Tootiang memerintahkan seorang toojien berjubah biru untuk melayani tamunya, dia sendiri langsung menuju kedalam untuk menghadap ciangbunjiennya dan melaporkan apa yang didengarnya barusan.
Bisa dibayangkan betapa kagetnya Hian cing cinjien setelah mendengar laporan itu, dengan cepat dia undang tujuh jago pedangnya untuk berkumpul dan secara diam2 memerintahkan mereka untuk perketat penjagaan di sekitar gunung.
Malam itu bintang bertaburan diangkasa, rembulan muncul jauh di-awang2 memancarkan cahayanya yang redup, lampu disekeliling kuil diatas gunung Bu-tong telah padam dan suasana diliputi keheningan serta kesunyian.
Kentongan kedua dengan cepatnya berlalu dan kentongan ketiga hampir lewat, namun sama sekali tak terlihat adanya tanda2 mencurigakan yang membuktikan bahwa ada musuh hendak menyerbu partai mereka, semua orang mulai sangsi dan ragu2 dengan kabar yang dibawa Goan-kang Gie Hu, jangan2 berita orang tua itu keliru pikir mereka hampir serentak.
Mendadak.... tiga jalur anak panah berapi muncul ditengah udara diikuti suara ledakan keras bergema memecahkan kesunyian ditengah malam buta itu.
Genta banyak yang ada disegala penjurupun serentak berbunyi nyaring. Taang .... Taang .... ditengah dengungan suara tersebut jeritan ngeri yang menyayatkan hati muncul dari mana2.
Bayangan hitam berkelebat keluar dari empat penjuru, gunung Bu tong san seketika dipenuhi dengan manusia2 tak dikenal, sebagai kuda liar yang dicambuk mereka menerjang terus naik kepuncak.
Namun rintang2an ampuhpun muncul dari balik tempat persembunyian, menyaksikan pihak lawan sudah bersiap sedia tiga puluh enam orang manusia berkerudung hitam yang mendapat tugas untuk membasmi partai Bu tong ini jadi terperanjat, pikir mereka:
"Sungguh tidak malu partai Bu tong disebut sebagai suatu partai yang sangat besar, ternyata kewaspadaan serta penjagaan mereka begitu ketat dan kuat, kita tak boleh pandang terlalu enteng diri mereka."
Dalam penyerbuan keatas gunung Bu tong san kali ini, ketiga manusia Roh Bengis, tujuh sukma ganas serta dua puluh empat sukma gentayangan dipimpin oleh dua orang perempuan kerudung hitam.
Baru saja mereka tiba ditepi telaga pelepasan pedang, mendadak.... Sreeet Sreeet secara beruntun muncul tiga puluh enam orang too-tiang berjubah biru, sambil menghunus pedang mereka halangi jalan pergi tamu2 tak diundang itu.
Haruslah diketahui didalam partai Bu-tong, anak murid yang menggunakan hurup "Biauw" sebagai permulaan namanya merupakan anak murid angkatan kedua, bukan saja ilmu silatnya lihay terutama sekali ilmu pedangnya luar biasa sekali, dalam dunia persilatan boleh dibilang sebagai jagoan kelas wahid.
Terutama sekali ketiga puluh enam orang ini, mereka merupakan inti daripada anak murid angkatan kedua dan mahir menggunakan ilmu barisan pedang Sah-Cap-Lak-Thian Kang-Tin.
Barisan pedang Thian-Kang Kiam-Tin dari partai Bu-tong bisa disejajarkan dengan kelihayan barisan Loo-Han-Tin dari partai Siauw-lim, barisan tersebut jarang sekali digunakan bilamana tidak berjumpa dengan musuh yang sangat tangguh.
Begitu menyaksikan kemunculan tootiang-tootiang berjubah biru itu, para Roh Bengis sukma Ganas tahu akan kelihayan orang, sebelum mendapat perintah dari perempuan berkerudung hitam itu semua orang sama2 menghentikan langkahnya.
Dalam pada itu tujuh orang toojien berjubah kuning munculkan diri dari pelbagai arah yang berbeda disisi telaga pelepas pedang, dalam sekejap mata mereka telah berdiri didepan ketiga puluh enam orang toojien berjubah biru itu.
Pemimpin dari rombongan toojien itu sambil mencekal pedang segera menegur kearah Piauw Biauw Hujien yang memimpin rombongan tersebut:
"Partai kami tak pernah berbuat salah terhadap diri Hujien, mengapa ditengah malam buta kalian naik kegunung kami dan membinasakan anak murid kami yang tak berdosa? disamping itu, maapkan kalau pinto Hiansiuw berpengalaman cetek, tolong tanya Hujien berasal dari perguruan atau partai mana?" Perempuan berkerudung hitam itu tertawa nyaring.
"Aku rasa tootiang tentulah pimpinan dari tujuh jago pedang, aku yang rendah bukan lain adalah Piauw Biauw Hujien Mo Yoe Yauw dari perkumpulan Yoe Leng Kauw, adapun maksud dari kedatangan kami adalah untuk menyampaikan firman dari suamiku Yoe Leng-sin Koen untuk mengundang partai kalian masuk jadi anggota perkumpulan kami, sayang kedatangan kami dihalangi oleh anak murid partai kalian yang tidak tahu diri, maka apabila anak buah kami sudah turun tangan terlalu berat disini aku Mo Yoe Yauw minta maaf terlebih dulu."
Selesai berkata dia lantas menjura dalam2.
Diantara tujuh orang jagoan pedang dari Bu tong Pay tabiat Hian Thong Tootiang paling berangasan, mendengar ucapan tersebut dia lalu mendongak dan tertawa ter-bahak2.
"Haaa....haaa....partai kami adalah perguruan agama Too yang maha suci dan maha Agung, sejarahnya sudah hampir mencapai beberapa ratus ribu tahun lamanya. Hm, perkumpulan Yoe Leng Kauw itu perkumpulan apa? berani benar pentang bacot besar menginginkan yang bukan2. Kedatangan kalian ditengah malam buta apalagi membinasakan anak murid kami sudah merupakan dosa yang besar, apalagi sikap kalian yang diperlihatkan sekarang lebih2 tak boleh diampuni. Hoy perempuan siluman, pinto akan tangkap dirimu untuk diserahkan kepada ciangbunjien guna dijatuhi hukuman."
Habis berkata tampak bayangan kuning berkelebat lewat, tahu2 ia sudah berdiri dihadapan perempuan siluman itu.
"Piauw Biauw Hujien" Mo Yoe Yauw tertawa ter-kekeh2.
"Hoy toosu tua hidung kerbau, kau berani bicara gede apakah tidak takut ditertawakan orang sampai giginya pada rontok, apa yang nyonyamu katakan tadi tidak lebih cuma ucapan sopan santun saja. Hmm... jangan dianggapnya Bu-tong Chiet Kiam benar2 hebat dan tiada tandingannya dikolong langit sekarang, kalau memangnya kau ada maksud minta pelajaran, biarlah aku perintahkan "Lee-Pok" nomor tujuh untuk menemani dirimu bermain beberapa jurus."
Bersamaan dengan selesainya perkataan tadi dari antara rombongan orang2 berkerudung hitam itu muncul seorang manusia berkerudung yang mempunyai perawakan tinggi besar, dibalik kerudungnya tampak sepasang matanya bulat besar bagaikan kelereng, dengan langkah lebar dia langsung menghampiri Hian Thong Tootiang.
Perawakan Hian Thong Tootiang pun tinggi kekar, melihat musuhnya sudah hampir kedepan, dia segera loloskan pedangnya dari sarung. "Cabut keluar senjatamu !" teriaknya.
"Toosu tua hidung kerbau," jengek Lee-Pok nomor tujuh sambil tertawa dingin, sinar mata buas memancar keluar dari matanya. "Di tepi alam baka sudah ada dua orang menantikan kedatanganmu, kalau memang kau ingin ter-buru2 berangkat kesitu, baiklah aku si hweeshio akan menghantarkan dirimu untuk melakukan perjalanan jauh."
Dari punggungnya orang itu segera ambil keluar sebuah Bok Hie baja yang beratnya hampir mencapai seratus kati serta sebuah penangkalnya yang panjang.
Begitu senjata aneh itu dikeluarkan, tujuh jago pedang dari Bu-tong Pay sama2 terperanjat, terdengar Hian Hok Toojien yang berdiri disamping berseru memberi peringatan:
"Sute, hati2 gembong iblis itu adalah Ang Hoat Tauwto dari Ceng Hay."
Hian Thong Tootiang mendengus dingin, pedangnya segera digetarkan dan melancarkan satu serangan kilat ketubuh lawan.
Lee-Pok nomor tujuh tertawa seram, pemukul Bok Hienya dengan memancarkan sekilas cahaya hitam segera menyapu keluar mengunci datangnya serangan tersebut, kemudian dengan jurus "Tiang Poan Ku Hud" atau sampai tua bersemayam dikuil, dia hantam dada Hian Thong Toojien dengan Boks hie raksasanya, angin tajam laksana guntur membelah bumi seketika memenuhi angkasa.
Hian Thong Toojien tekuk pinggangnya kebelakang sambil bergeser kesamping, dengan suatu gerakan yang manis namun nyaris, ia berhasil lolos dari maut, ilmu pedang Tay Cing Kiam Hoat perguruannyapun segera dimainkan dengan hebat.
Sementara itu Hian Siuw Tootiang yang menyaksikan jalannya pertarungan dari sisi kalangan ia merasa amat terperanjat, ia sadar dengan kemampuan Ang Hoat Tauwto dari Ceng Hay yang demikian dahsyatnya. Hian Thong Toojien masih bukan tandingannya, dan dia pun sadar bahwa situasi yang berada didepan mata malam ini sangat gawat, sebagai orang yang teliti ia segera kirim tanda bahaya kepada ketua partainya.
Dalam pada itu Ciangbunjien dari partai Bu-tong, Hian cing cinjien telah mendapat kabar bahwa musuh tangguh telah menyerang gunung mereka, namun dia percaya dengan dihalangi oleh tiga puluh enam orang anak murid angkatan keduanya serta ketujuh orang sutenya pihak musuh untuk sementara bisa dihalaukan.
Sekalipun dibelakang gunung bersemayam pula dua orang susioknya yang lihay, sebelum keadaan memaksa ia tak ingin mengganggu ketenteraman mereka.
Dan kini secara tiba2 ia peroleh tanda bahaya yang dikirim sutenya, ketua partai Bu tong ini tak berani bertindak gegabah lagi, tanpa banyak bicara dia segera meloncat keluar dari pendopo dan langsung menuju kepuncak Thian coe Hong dibelakang gunung.
Melihat Hian cing cinjien telah berlalu, dengan alis berkerut si nelayan dari sungai Goan-kang Tong soe Kiat segera berkata:
"Hoo lote, bagaimana kalau kita berangkat ketelaga pelepas pedang untuk me-lihat2 berapa banyak gembong iblis yang menyerang Bu-tong Pay malam ini ?"
Sudah tentu Hoo Thian Heng si sastrawan berbaju biru tidak menolak, merekapun segera kerahkan ilmu meringankan tubuhnya berangkat kebawah gunung.
Sepanjang perjalanan mereka jumpai para toosu partai Bu-tong berkeliaran dimana mana menjaga keamanan, karena mereka sudah tahu bahwa kedua orang ini adalah tamu agung partai mereka, maka perjalanan mereka tak dihalangi oleh siapapun.
Waktu itu Hian Thong Toojien telah menderita kekalahan ditangan Ang Hoat Tauwto dari Ceng-hay, untung dia tidak sampai terluka.
Hian Siauw Tootiang sadar bahwa musuh yang menyerang gunung mereka malam ini sangat tangguh, dia segera memerintahkan ketiga puluh enam utusan orang toojien berjubah biru itu untuk mengatur barisan Thian-Kang Kiam-Tin, sedangkan tujuh jago lainnya dengan mengikuti kedudukan tujuh bintang masing2 berdiri ditengah barisan tersebut.
Barisan ini merupakan barisan chiet-Seng-Thian Kang Lian-Hoa-Tin ciptaan dari Ceng Yang Cinjien beberapa tahun berselang, barisan ini belum pernah dipergunakan untuk menghadapi musuh maka orang kangouw tak ada yang tahu akan kelihayan dari barisan tersebut.
Setelah barisan diatur, Hian siuw Tootiang segera menjura kearah Piauw Biauw Hujien dan berkata:
"Dari partai kami terdapat sebuah barisan pedang yang amat kecil, apabila hujien bisa membobol pertahanan barisan ini, pinto sekalian tentu tak akan menghalangi perjalanan kalian lebih jauh."
Piauw Biauw Hujien tidak langsung menjawab, kepada nenek bongkok berkerudung hitam yang berdiri disisinya ia bertanya:
"Loo Hoat-hoet, bagaimana pendapatmu mengenai barisan pedang ini.... apakah ada cara pemecahannya?"
Perempuan bongkok itu tertawa nyaring.
"Para hidung kerbau dari Bu-tong pay memang paling pandai menggunakan permainan setan ini untuk mengacau pikiran orang, hmm tidak akan lebih hebat dari apa yang kau bayangkan, paling banter barisan itu adalah barisan Thian Kang Kiam Tin yang mereka dengung2kan akan kelihayannya. Haah... haah... haaah... jangan kuatir...biar kubobol barisan cakar ayam ini."
Selesai berkata sambil putar tongkatnya dia segera menerjang masuk kedalam barisan. Dengan terjunnya perempuan bongkok itu, Piauw Biauw Hujien dengan memimpin tiga orang roh bengis, tujuh orang sukma ganas serta dua puluh empat orang sukma gentayangan segera menyusul dari belakang.
Mendadak Hiong Hoen nomor dua maju ke muka lalu membisikkan sesuatu kesisi telinga Piauw Biauw Hujien.
Mendengar bisikan tadi, Hujien itu tersenyum dan mengangguk, diikuti ketiga orang Hiong Hun itu segera ambil keluar puluhan butir pil berwarna merah dari sakunya dan dibagikan kepada semua orang.
Gerak-gerik serta tingkah laku mereka yang aneh dan misterius itu membuat para toosu jadi tercengang dan tidak habis mengerti.
Hoo Thian Heng yang sementara itu telah bersembunyi dibelakang sebuah pohon Pek ditepi telaga pelepas pedang dapat memperhatikan tingkah laku mereka, dalam hati segera pikirnya.
"Jangan2 bajingan itu hendak menggunakan senjata peledak yang maha dahsyat untuk menghadapi para toosu itu?"
Belum habis ia berpikir puluhan orang manusia berkerudung hitam itu telah menerjang masuk kedalam barisan, seketika bayangan golok cahaya pedang memenuhi angkasa.
Terutama sekali si perempuan bongkok yang berkerudung hitam itu, tongkatnya diputar sedemikian rupa sehingga menimbulkan suara desiran yang amat nyaring.
Senjata dari tiga manusia Roh bengis lebih aneh lagi, "Hiong Hun" nomor satu bersenjatakan sepasang laba2 berwajah manusia, Hiong-Hun nomor dua bersenjatakan seekor ular berantai besi sedangkan Hiong Hun nomor tiga bersenjatakan seekor ular bersisik emas yang berkepala segi tiga, lidahnya menjulur kesana kemari sambil perdengarkan teriakan-teriakan aneh, bentuknya mengerikan sekali.
Melihat musuhnya telah bertindak, Hian siuw Tootiang segera ayunkan pedangnya, barisan chiet seng Thian Kang Lian Hoan Tin pun segera mulai bergerak.
Tampak selapis cahaya tajam yang menyilaukan mata bagaikan gulungan ombak ditengah badai menggulung kearah puluhan orang berkerudung hitam yang menerjang masuk kedalam barisan itu.
Gelombang demi gelombang sambung bersambungan tiada hentinya, betul2 hebat desakan tersebut.
Merasakan adanya hadangan yang kuat, Piauw Biauw Hujien, perempuan bongkok serta sam Hiong chiet Lee Jie cap si Yoe Leng sama2 keluarkan segenap kepandaian yang dimilikinya untuk menerjang kedepan, namun usaha mereka selalu gagal, tak seorangpun di antara mereka yang berhasil menempuh tembok cahaya yang kuat dan dahsyat itu.
Keadaan mereka saat ini bagaikan lalat yang terkurung didalam botol, meskipun diterjang kesana kemari percuma saja.
Tujuh bayangan kuning serta tiga puluh enam orang toosu berjubah biru berkelebat kesana kemari bagaikan gangsingan, setiap kali ada peluang pedang mereka segera mengirim tusukan maut.
Tusukan2 itu semuanya mengancam pada arah yang tetap dan telak, meskipun mereka sendiri sama sekali tidak memandang barang sekejap matapun.
Hoo Thian Heng serta Tong soe Kiat si nelayan dari sungai Goan Kang yang bersembunyi dibelakang pohon, kian lama kian merasa kagum atas kelihayan serta ampuhnya barisan pedang ini.
Seperminum teh kemudian, ruang lingkup dari belasan manusia berkerudung hitam itu kian lama kian bertambah sempit dan kecil, gerak gerik mereka semakin terganggu dan tidak leluasa, namun tak seorangpun diantara mereka yang berhasil lolos dari barisan tersebut.
Perempuan bongkok itu mulai tidak sabar, ditengah kalangan ia ber-kaok2 kegusaran.
Pada saat itulah jeritan ngeri berkumandang dari empat penjuru, sukma gentayangan nomor tiga, nomor empat dan sebelas tertusuk pedang lawan dan roboh binasa.
Disamping itu terdapat pula banyak manusia yang berkerudung yang terluka dan mengucurkan darah, situasi yang mereka hadapi kian lama kian bertambah bahaya.
Melihat situasi yang mereka hadapi, Piauw Biauw Hujien mengerutkan dahinya, mendadak ia membentak nyaring: "Berhenti !"
Bersamaan dengan suara bentakkan tersebut tampak tiga sosok bayangan hitam meloncat ke tengah udara, bagaikan roda kereta tubuh mereka berputar kencang diangkasa, ber-puluh2 bubuk halus berwarna merah segera menyebar keempat penjuru.
Hoo Thian Heng yang menyaksikan peristiwa itu dari tempat persembunyiannya jadi kaget, tidak sempat berteriak lagi, segera ia kerahkan ilmu meringankan tubuhnya Menunggang angin membonceng mega meloncat keluar dari balik pohon dan mengirim dua buah pukulan udara kosong.
Bubuk berwarna merah itu sebagian besar telah menyebar keempat penjuru dan memenuhi kalangan.
Sekalipun reaksi dari Hoo Thian Heng cukup hebat dan sebat, namun sayang kedatangannya masih terlambat satu tindak. Para toosu Bu-tong pay yang mencium bau harum aneh itu seketika roboh menggeletak keatas tanah dan menemui ajalnya.
Dengan adanya peristiwa ini barisan chiet seng Thian Kang Lian Hoa Tin pun seketika hancur berantakan, para manusia berkerudung hitam tadipun ambil kesempatan ini menerjang keluar dari kalangan dan bagaikan harimau ganas mulai menjagal dan membunuh para toosu yang tidak keracunan.
Diantara tujuh jago pedang kini tinggal tiga orang saja yang masih hidup, sedangkan dari ketiga puluh enam orang toojien berjubah biru, hampir separuhnya telah mati binasa.
Hoo Thian Heng jadi amat gusar, seruling kumalanya segera dikeluarkan dan dicekal di tangan kiri sedangkan tangan kanannya ambil keluar kipas emas dan mulai melindungi para toosu itu untuk mengundurkan diri.
Tong soe Kiat si nelayan dari sungai Goan-kang pun tak ada kesempatan untuk mengeluarkan senjata jaring ikannya, dengan ilmu meringankan tubuh ia melayang kesana kemari membinasakan lawan2nya dengan ilmu penghancur nadi.
Hian Siauw Tootiang, Hian Hok Tootiang, Hiat Hiauw Tootiang serta sebelas orang toojien berjubah biru yang nyaris tak lolos dari bahaya kini jadi kalap, mata mereka berubah jadi merah ber-api2.
Meskipun punya niat untuk beradu jiwa namun disebabkan pikiran mereka tidak tenang, tenaga yang terpancar keluarpun mengalami kerugian yang besar.
Dalam sekejap mata kembali dua orang toojien berjubah biru menggeletak mati terhantam lawannya.
Bala bantuan yang datang dari atas gunung berupa anak murid angkatan kedua, ketiga dan keempat yang jumlahnya mencapai dua puluh orang tak bisa menolong banyak, bahkan keadaan mereka bagaikan anak kambing yang menghantarkan diri ke mulut harimau.
Seketika itu juga telaga pelepas pedang berubah jadi medan penjagalan manusia, darah manusia menggenangi seluruh permukaan, mayat para toosu Bu-tong Pay berserakan di-mana2, pemandangan waktu itu benar2 mengerikan sekali.
Dalam pada itu seluruh pakaian dari Hoo Thian Heng pun telah berubah jadi merah karena darah, seandainya pada malam ini ia tidak hadir disitu mungkin partai Bu-tong telah musnah saat itu juga.
Keadaan ini tentu saja dapat dimengerti oleh para manusia berkerudung hitam itu, segera terdengar orang2 itu ber-teriak2:
"Jangan lepaskan sastrawan berbaju biru itu, bunuh saja manusia she Hoo itu." Piauw Biauw Hujien pun berteriak:
"Barang siapa yang sanggup memenggal batok kepala sastrawan berbaju biru itu, segera kunaikkan pangkatnya jadi wakil Kauwcu disamping hadiah uang sebesar seribu kati emas."
Dalam sekejap mata Hoo Thian Heng jadi incaran para gembong iblis itu, semua orang sama2 berebut untuk memperoleh jasa dan pahala, maka pemuda itu jadi repot dan terdesak hebat.
Di-saat2 yang amat kritis itulah mendadak dari balik gunung muncul tiga sosok bayangan manusia, mereka adalah Ceng Yang cinjin serta Ci Yang cinjien dua orang paman guru dari Hian cing Tootiang ketua dari partai Bu-tong.
Begitu terjun kedalam kalangan, kedua orang jago tua ini segera unjukkan kelihaiannya, angin pukulan men-deru2 dan dalam sekejap mata beberapa orang musuhnya berhasil dirobohkan.
Namun bagaimanapun juga tangguhnya mereka, pihak lawan bukanlah manusia sembarangan yang bisa dirobohkan dengan gampang, kian lama desakan terhadap merekapun semakin hebat sehingga akhirnya kedua orang jago tua itu mulai keteter hebat.
Dalam keadaan seperti ini tak ada lain jalan lagi daripada mengundurkan diri, mendadak terdengar Hian cing Tootiang berseru:
"Semua anak murid partai Bu-tong segera mengundurkan diri kedalam istana Ci Yang Kiong."
Dengan diserukannya perintah ini, para toosu Bu-tong Pay yang sudah payah dan hampir musnah itu sama2 mengundurkan diri keatas gunung, sementara Hoo Thian Heng sekalian dengan segenap kekuatan bertahan dan menghalau pengejaran pihak musuh.
Menanti semua orang sudah mengundurkan diri, keempat orang itu baru loncat mundur dan berkelebat masuk kedalam pendopo, pintu besarpun dengan cepat ditutup rapat2.
Tebal pintu pendopo itu ada beberapa depa, semuanya berlapiskan baja murni yang kuat, maka untuk beberapa saat lamanya para gembong iblis itu tak sanggup menerjang masuk kedalam.
Sementara para toosu beristirahat sambil membalut luka yang mereka derita, Cing Yang cinjien, Ci Yang cinjien serta Hoo Thian Heng sama2 meronda diatas atap Ci Yang Kiong sambil ber-jaga2 terhadap serangan api dari pihak musuh.
Untuk sementara suasana jadi tenang kembali, "Piauw Biauw Hujlen" Mo Yoe Yauw segera perintahkan anak buahnya untuk mengepung istana Ci Yang Kiong rapat-rapat sedangkan tiga manusia "Hiong Hoen", Tujuh "Lee-pok" serta dua puluh satu orang sukma gentayangan ber-teriak2 diluar istana sambil mencaci maki dengan ucapan yang kotor.
"Hey, Hian cing tootiang dari Bu-tong Pay, dengarkan baik2 asal kau suka memimpin anak muridmu untuk bergabung dengan perkumpulan Yoe Leng Kauw perkumpulan kami, dari lawan segera akan berubah jadi kawan, dan kau akan kami beri kedudukan sebagai wakil Kauwcu."
Ada pula yang berteriak: "Hey, para tootiang dari Bu-tong Pay, dengar baik2 barang siapa diantara kalian yang sanggup memenggal batok kepala dari Sastrawan berbaju biru, perkumpulan kami segera akan membubarkan diri dari gunung Bu-tong san ini."
Teriak2an itu berkumandang saling susul menyusul membuat hati jadi jeri dan tak enak didengar.
Beberapa kali si nenek bongkok dari Hu-sang serta Jiak Kioe Kiam Khek loncat keatas wuwungan rumah untuk menyerang dari sana namun setiap kali pula mereka dipaksa untuk loncat turun kembali oleh serangan maut dari Cing Yang Cinjin, Ci Yang Cinjin serta Hoo Thian Heng.
Maka untuk sementara pengepungan diperketat dan mereka menghentikan segala kegiatannya.
Fajar mulai menyingsing dari ufuk sebelah Timur, melihat usaha penyerangan mereka belum juga mendatangkan hasil, akhirnya "Hiong Hun" nomor dua mendekati Piauw Biauw Hujien dan mengajukan siasatnya.
"Hujien, asal kita kumpulkan batang2 pohon serta kayu yang ada disekeliling istana Ci Yang Kiong kemudian ditumpukkan diluar istana dan menyerang mereka dengan api, maka tidak sampai satu hari satu malam istana Ci Yang Kiong beserta toosu-toosu hidung kerbau itu pasti akan musnah termakan api."
Mendengar siasat tersebut Piauw Biauw Hujien jadi sangat girang, segera pujinya:
"Kau benar2 tidak malu jadi penasehat perkumpulan kita, sekembalinya dari sini pasti akan kulaporkan keluar biasaanmu ini kepada sin Koen agar pangkatmu dinaikkan."
Buru2 "Hiong Hun" nomor dua mengucapkan terima kasih kepada perempuan itu, kemudian memerintahkan para iblis lainnya untuk kumpulkan daun ranting yang ada disekitar sana untuk ditumpukkan disekitar istana Ci Yang Kiong.
Siasat ini betul2 amat keji, seandainya istana Ci Yang Kiong benar2 mereka bakar, bukan saja para toosu yang sedang merawat lukanya dalam istana bakal musnah bahkan Hoo Thian Heng serta kedua orang imam tua itu pun bakal mati konyol disitu.
Kelihatannya peristiwa yang sangat mengerikan segera akan berlangsung diatas gunung itu.
Sang surya telah memancarkan cahayanya menyinari seluruh jagad, diluar istana Ci Yang Kiong batang2 pohon telah ditumpuki hingga setinggi enam tujuh depa, disekeliling kayu serta bangunan telah disiram pula dengan minyak tanah, dalam keadaan seperti ini asal seorang saja diantara gembong iblis itu menyulut api, maka semua nyawa Toosu Toosu Bu-tong Pay itu akan musnah ber-sama2 dengan hancurnya istana Ci Yang Kiong jadi puing yang berserakan.
ooodooowooo Bab 22 UNTUK sementara waktu baiklah kita tinggalkan dahulu partai Bu-tong yang sedang dirundung kemalangan.
Baiklah mari kita tengok suasana diatas gunung siong-san dimana berdiri dengan angkernya partai Siauw-lim yang telah berumur ribuan tahun lamanya.
Hari itu udara sangat bersih, karena tepat pada hari Tiong Yang maka suasana amat ramai, banyak penduduk yang berdiri berjejer ditepi sungai menonton perlombaan perahu naga yang saling kejar mengejar....
Be-ratus2 orang hwesio dari kuil Siauw-lim pada hari ini banyak yang turun kedesa disekitar gunung untuk menyaksikan keramaian tersebut, hingga suasana diatas gunung boleh dikata sunyi dan sepi.
Mendadak terdengar suara derap kaki kuda yang sangat ramai berkumandang memecah kesunyian, diiringi suara ringkikan panjang kuda itu berhenti tepat didepan kuil, diikuti munculnya dua orang pendekar muda dari atas pelana.
Kehadiran sepasang muda mudi yang amat misterius ini, dengan cepatnya pula sudah di dengar oleh Thian Hong siangjien ketua dari partai Siauw lim, hweshio tua itu dengan cepat munculkan diri untuk menyambut sendiri kedatangan mereka.
Diikuti suara genta dibunyikan ber-talu2, genta kuno yang didirikan pada tahun kedua puluh pada ahala Geoi ini dapat menyampaikan suaranya hingga sejauh ratusan li.
Satu jam kemudian para hwesio yang berpesiar dikota Kay Hong, Yan say serta su-swie telah berkumpul kedalam kuil mereka.


Sabuk Kencana Ikat Pinggang Kemala Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tatkala senja menjelang tiba, penjagaan disekeliliing kuil segera diperkuat.
Sedikitpun tidak salah, tatkala kentongan pertama baru saja lewat mendadak dari arah gunung sebelah depan berkumandang tanda bahaya, gunung siong-san telah kedatangan enam orang tamu tak diundang yang berkerudung kain hitam.
Manusia2 berkerudung itu meskipun memiliki ilmu silat yang sangat lihay, dan datang dengan membawa ambisi untuk menang, namun setelah menyaksikan penjagaan disekitar kuil tak urung hati mereka dibikin terkesiap juga.
Apalagi setiap tanda bahaya dibunyikan, semua lampu yang ada diatas puncak gunung jadi terang benderang bagaikan disiang hari bolong.
Kiranya malam itu dibawah pimpinan Beng Te Hujien Hoan soh soh berangkat "seng soe Poan" atau Hakim mati hidup shaw Goan Ciang, si setan gantung hitam su Koen serta si telapak Jagat Poei seng lima orang dengan tujuan menghancurkan partai sauw lim, kini setelah jejak mereka konangan, melalui jalan gunung yang sempit mereka langsung melayang kearah lapangan didepan kuil.
Tetapi setibanya dikalangan, kembali hati mereka bergidik sehingga bulu roma pada bangun berdiri.
Rupanya ditengah kalangan telah bersiap2 ratusan orang hweesio dengan senjata lengkap, setiap lima langkah berdiri satu penjaga, setiap sepuluh langkah satu pos pertahanan, suasana angker dan mengerikan.
Barisan Loo han Tin yang terdiri dari seratus delapan orang, dibawah pimpinan Thian sim siansu penanggung jawab dari Loo Han Tong beserta Thian Kin, Thian ing siansu kedua sutenya dan Boe Kak tiga empat orang murid angkatan kedua telah dipersiapkan disana. Kelima orang itu tertegun, dalam hati segera pikirnya.
"Partai Siauw lim benar2 tidak malu disebut sebagai pimpinan dari sembilan partai besar, cukup ditinjau dari keangkeran serta kewibawaan mereka saat ini sudah lebih dari cukup untuk menggetarkan seluruh sungai telaga." Terdengar Beng Te Hujien tertawa nyaring, lalu berseru:
"Aduuh .... aduuh .... rupanya kalian hweesio2 gede mempunyai kepandaian untuk mengetahui kejadian yang akan datang ? rupanya kabar berita cukup lihay dan tajam."
"Omitohud," Thian sim siansu merangkap tangannya memberi hormat. "Pinceng rasa hujien tentulah nyonya dari Yoe Leng sin koen bukan ? malam buta datang kekuil kami, entah ada keperluan apa yang hendak kau sampaikan kepada kami ?"
"Soal itu sih, ehmmm lebih baik suruh Thian Hong sangjien tampil sendiri kedepan, Pun hujien mau bicara langsung dengan dirinya ...."
Belum sempat Thian sim siansu menjawab Thian ing siansu yang ada disisi suhengnya telah menimbrung sambil tertawa lantang:
"Haaah... haaah.... haaa... hujien ada keperluan apa? katakan saja kepada suhengku juga sama saja, apa bedanya ciangbun suheng dengan suhengku ini ?"
Beng-Te Hujien tertawa merdu, suaranya tinggi melengking penuh dengan kegenitan dan kecabulan, sambil goyangkan pinggangnya yang ramping ia berseru: "Kalau begitu suhengmu ini bisa ambil keputusan?"
"Omintohud, orang beribadat pantang untuk bicara bohong, asalkan Hujien suka utarakan maksud kedatanganmu, selama loolap sanggup untuk mengambil keputusan tak nanti kuhiraukan permintaan itu, kalau tidak biarlah kulaporkan persoalan itu kepada Ciangbun suheng."
"Pun hujien mendapat firman dari Yoe-Leng sin-koen untuk mengundang Hong tiang kuil kalian Thian Hong siangjien untuk menjabat kedudukan wakil ketua dari perkumpulan kami, harap kau sampaikan firman ini kepadanya," ujar Hoan soh soh dengan sikap serius, selesai bicara dari sakunya dia ambil keluar sebuah sampul dan diletakkan diatas telapaknya lalu perlahan lahan didorong kemuka.
Bagaikan sekilas bayangan abu2, sampul surat tadi langsung melayang kehadapan Thian sim siansu.
Dengan cepat hweesio ini hendak menyambutnya dengan tangan, namun dia rasakan kekuatan lawan tidak lemah, maka segera pikirnya:
"Sungguh dahsyat dan sempurna tenaga lwekang yang dimiliki perempuan ini, aku tidak boleh bertindak gegabah." Tanpa sadar ia pertinggi kewaspadaannya.
Thian Kie siansu adalah seorang hweesio yang bertabiat berangasan, mendengar ucapan tersebut hawa gusarnya memuncak, apalagi menyaksikan siluman perempuan itu melemparkan surat tanda menyerah kepada pihaknya, dengan penuh kemarahan segera bentaknya:
"Hm, perkumpulan macam apa Yoe-Leng-kauw itu, berani benar berbicara besar. Hmmm surat ini lebih baik tak usah dilihat ..."
Dia sambar sampul tadi kemudian dirobeknya hingga hancur ber-keping2 dan terbang memenuhi angkasa.
Terhadap tingkah laku Thian Kie siansu yang kasar ini, Hoan soh soh sama sekali tidak gusar, sebaliknya dia malah tertawa nyaring dengan bangganya.
"Hiii ... hiii .. , hiiii... keledai gundul, rupanya kau memang cari mati buat diri sendiri, jangan salahkan kalau hujien turun tangan terlalu kejam."
Dengan selesainya ucapan tadi, tiba2 terdengar Thian Kie siansu menjerit ngeri, sekujur badannya dalam waktu singkat berubah jadi hitam pekat, setelah berkelejet dan meronta sekarat, hweesio tadi mendengus berat dan roboh binasa.
Thian sim siansu terkejut bercampur gusar menjumpai sutenya mati dalam keadaan mengenaskan dihadapan mukanya, meskipun ia gusar dan sedihnya bukan kepalang namun hweesio ini sadar bahwa musuh tangguh ada didepan mata, ia tak mau bertindak gegabah sehinga mengacau keadaan.
Kecuali perintah anak murid diluar barisan untuk menggotong pergi jenasah dari Thian Kie siansu, dengan cepat hwesio ini dilancarkan dua pukulan berantai yang maha dahsyat untuk menghalau robekan kertas yang tersebar diatas tanah hingga tergulung keluar dari kalangan.
Pada hari2 biasa, hubungan Thian Ing siansu dengan Thian Kie siansu paling akrab, menyaksikan rekannya mati binasa hawa gusar yang berkobar dalam dadanya sukar ditahan lagi, sambil menyeret tongkat bajanya seberat delapan puluh kati ia melangkah keluar dari barisan, dengan mata melotot dan alis berkerut teriaknya keras:
"Sungguh tak kunyana kau berhati kejam melebihi kalajengking, malam ini lolap akan cabut jiwamu untuk melenyapkan bibit bencana bagi umat manusia serahkan jiwa anjingmu."
Serangan yang dilancarkan dalam keadaan gusar ini, bisa dibayangkan betapa dahsyatnya.
Nyonya neraka hitam ini menyingkir satu langkah kesamping, jengeknya dengan nada genit:
"Eeeei hweesio tua, buat apa kau galak2 macam setan kelaparan."
Melihat kemplangannya mengenai sasaran kosong, Thian Ing siansu meraung gusar, diiringi desiran angin serangan yang maha dahsyat dia angkat tongkat bajanya dan menghantam kembali dari atas dengan jurus "Boesiong Ta Hauw" atau Boesiong memukul harimau.
Rupanya si nyonya neraka hitam Hoan soh soh mengerti lihay, dengan sebat badannya mengegos kesamping, bagaikan bayangan setan tahu2 dia sudah melayang keluar dari ruang lingkup tersebut, ejeknya lagi sambil tertawa merdu:
"Hweesio gede...coba kau lihat betapa panjang dan gemuknya senjatamu itu...aduuh.. aduuh, kalau sampai aku yang rendah kena "Ditusuk" aduuh mak, sakitnya... aku bisa tidak tahan lhoo..."
Benar2 kotor dan cabul ucapan perempuan itu apalagi dihadapan be-ratus2 orang hweesio, membuat para paderi itu sama2 kerutkan dahi dan membatin: "Cabul benar perempuan laknat ini, dia benar2 lonte busuk yang tak tahu malu..."
Dalam pada itu setelah dua buah kemplangan mautnya tidak mendatangkan hasil, Thian In siansu segera sadar bahwa perempuan ini tidak gampang untuk dilawan, diam2 serunya:
"Aduhhh celaka... rupanya perempuan lonte ini ada maksud menggusarkan hatiku hingga pikiranku jadi kacau, aku tak boleh bertindak menuruti napsu angkara murka ..."
Sebagai paderi yang beriman tebal, setelah sadar maka napsu angkara murkanya segera ditekan, pikiran dipusatkan jadi satu lalu tarik napas dalam2, dalam sekejap mata pikirannya jadi tenang dan pikiran yang kalut menjadi jernih kembali.
Dengan tajam ditatapnya wajah perempuan berkerudung hitam itu, mendadak tongkat bajanya disapu ketengah udara.
Hoan soh soh adalah siluman rase berwajah bunga To yang sudah tersohor dalam dunia persilatan pada masa yang silam, pengalamannya dalam menghadapi musuh boleh dibilang sudah matang sekali, dari gerakan lawannya tentu saja dia bisa menebak jurus ampuh apakah yang hendak digunakan.
Badannya segera meloncat ketengah udara dan melayang kemuka, sambil berputar dia songsong datangnya hantaman tongkat baja lawan.
Tindakannya ini benar2 mengerikan dan berbahaya sekali, membuat empat orang manusia berkerudung hitam yang ada disisi kalangan serentak menjerit kaget.
Sedikitpun tidak salah, jurus serangan yang digunakan Thian ing siansu barusan adalah jurus "Wie Ceng Pat Hong" atau Pengaruh Menggetarkan delapan penjuru, dalam kepungan bayangan tongkat yang sangat rapat kendati sang korban hendak menghindar kemanapun tak mungkin bisa meloloskan diri, kecuali kalau orang itu mengerti dimanakah letak keistimewaan dari jurus itu dan memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat sempurna.
Sungguh tak nyana bukan saja Hoan soh soh sudah berhasil menebak keistimewaan dari serangan itu bahkan sukar dilawan, diam2 Thian ing siansu sendiri pun mulai merasa kesal dan gelisah.
Hoan soh soh sendiri, meskipun secara nyaris dia berhasil meloloskan diri dari ancaman bahaya maut tak urung hatinya dibikin terkesiap juga sehingga keringat dingin mengucur keluar membasahi keseluruh tubuhnya, menggunakan kesempatan dikala badannya melayang turun kebawah dia segera cabut keluar senjata pedang bunga Tohnya.
Mengikuti bergetarnya sang bayangan segera terpancar keluar hingga memenuhi angkasa.
Begitu senjata aneh tersebut diloloskan keluar, secara tiba2 Thian ing siansu teringat akan seseorang, hatinya jadi bergidik dan segera bentaknya:
"Toh Bin Yauw Hoe, setelah kau melenyapkan diri selama delapan belas tahun, mengapa sekarang muncul kembali untuk bikin keonaran lagi dalam dunia persilatan ?"
Nyonya neraka hitam ini tidak takut jejaknya konangan dan diketahui orang, dia segera tertawa nyaring.
"Hey hweesio gede, ternyata kau masih belum melupakan diriku bagus .... bagus.... mumpung bulan masih bersinar terang dan bintang bertaburan diangkasa mari kita bermain beberapa jurus untuk menyemarakkan suasana yang indah ini."
Ucapan ini diutarakan ringan dan seenaknya se-olah2 perkataan orang kawan yang akrab.
Seketika membuat anak murid dari angkatan "Kak" sama2 pentangkan matanya bulat2 sambil mengawasi susiok-couw mereka, sedang dalam hati men-duga2 apa gerangan hubungan mereka berdua dimasa yang silam.
Thian Ing siansu semakin naik pitam, wajahnya merah padam dan matanya bersinar tajam, makinya.
"Siluman perempuan, kau benar2 perempuan lonte yang tak tahu malu dan berakhlak bejad."
Diiringi suara desiran tajam tongkat bajanya segera menyodok kearah perut bagian bawah perempuan itu dengan jurus "Ti Coe Tiong Liuw" atau Air mengalir dibatu pengasah.
"Hiiih... hiiih... hih.. hweesio gede rupanya kaupun ingin main menowel dengan senjatamu," goda Hoan soh soh sambil tertawa cabul. "Kalau mau menyerang janganlah mengancam bagian tubuh yang terlarang, kalau kau pingin menowel bawah pusarku pakai saja tanganmu yang kekar itu..."
Walaupun diluar dia bicara porno, namun tubuhnya sama sekali tidak berayal, bagaikan segumpal asap perempuan itu mengegos kesamping kalangan.
Thian Ing siansu gusarnya bukan kepalang, tujuh puluh dua jurus ilmu toya penakluk iblis dari partai Siauw-Lim segera dimainkan se-dahsyat2nya.
Namun nyonya neraka hitam tetap tertawa mengejek tiada hentinya, bahkan sering kali pedang bunga Toh nya dengan menciptakan diri jadi sekilas cahaya tajam membokong dari punggung hweesio itu.
Menyaksikan sutenya tak sanggup merebut kemenangan, Thian Sim siansu segera mengangkat tongkatnya tinggi2, bayangan manusia berkelebat lewat empat orang manusia berkerudung hitam yang dibawa perempuan cabul itu seketika terkurung didalam barisan Loo-Han-Tin.
Haruslah diketahui barisan Loo Han Tin dari partai Siauw-lim merupakan suatu kepandaian yang maha ampuh, barang siapa yang telah masuk kedalam barisan itu, tipis sekali harapannya bisa keluar dalam keadaan selamat.
Kelima orang manusia berkerudung itu semuanya merupakan jago pilihan dari dunia persilatan, pada hari2 biasa mereka selalu sombong dan mengunggulkan diri sendiri, meskipun dari mulut orang mereka pernah mendengar akan kelihayan barisan Loo Han Tin dari kuil Siauw-lim Sie, namun dalam hati mereka masih sangsi.
Kini setelah berada didalam barisan, terasalah setiap tongkat dari hweesio2 itu se-akan2 menyambar datang dari tiap jengkal tanah yang mereka pijak, kedudukan mereka tiada hentinya berputar terus hingga tak ada suatu tempat kedudukan yang pasti.
Sungguh rapat bayangan tongkat yang melanda datang, bukan begitu saja bahkan menghasilkan suatu tekanan yang aneh dan sangat kuat, kendati ilmu meringankan tubuh yang dimiliki bagaimana sempurnanya, setelah berada ditengah udara tubuh mereka seketika terhisap kembali oleh daya tekanan yang kuat.
Lama kelamaan kelima orang itu jadi gugup dan terkejut, mereka bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Sementara itu si telapak jagad Poei seng berpikir dalam hatinya:
"Kalau harus mengorbankan selembar jiwaku dengan percuma dan sama sekali tak berguna ini, bukankah kematianku sia2 belaka."
Hoan soh soh sendiri wajahnya pun sudah berobah jadi amat misterius, diapun sadar bahwa dengan andalkan kekuatan mereka berlima tak nanti sanggup menerjang keluar dari kepungan.
Begitulah dengan susah payah lima orang manusia berkerudung itu bertahan dan bertarung terus mati2an sambil ber-harap2 bala bantuan segera tiba.
Thian Ing siansu segera tertawa ter-gelak2 sesudah dilihatnya pihak lawan terkurung, serunya.
"Sekarang cuwi sekalian tak mau menyerah mau tunggu sampai kapan lagi? apakah kalian betul2 mau hantarkan nyawa bersama perempuan siluman ini."
"Ciiis....keledai gundul, tak usah kau pamerkan dahulu kehebatan kalian," teriak Hoan soh soh. "Pun Hujien masih punya kemampuan untuk menerjang keluar dari barisan Loo- Han Tin kalian yang tidak seberapa itu. Hmm kalau tidak percaya, saksikan saja nanti."
"Baiklah, akan kulihat kalian semut2 yang kepanasan dalam kuali masih sanggup bertahan sampai berapa lama ?"
Mendadak Thian Sim siansu menggerakkan tongkatnya menghantam permukaan tanah, mengikuti gerakan tersebut barisan Loo Han tin pun seketika ikut berubah, ditengah menyambarnya bayangan toya yang sangat rapat si setan gantung hitam menjerit kesakitan, lengan kiri mereka masing2 terhajar telak sehingga lumpuh dan terjulur kebawah.
Diikuti si Hakim mati-hidup Shaw Goan ciang serta si telapak jagad Poei Sengpun menderita luka.
Menyaksikan musuhnya masih berjuang terus mati2an, Thian sim siansu mengerutkan dahinya, tongkatnya digerakkan tanda perketatnya serangan dalam barisan.
Jeritan ngeri yang menyayatkan hati menggema diangkasa, si setan gantung hitam Su Koen menggeletak keatas tanah dan mati seketika itu juga termakan totokan toya lawan.
Melihat anak buahnya telah mati dan terluka Hoan Soh Soh semakin panik, keringat dingin mengucur keluar tiada hentinya membasahi badan, diam2 makinya didalam hati: "Kenapa sampai sekarang si setan tua itu belum juga memunculkan diri?"
Disaat yang amat kritis itulah mendadak dari bawah puncak gunung Siong san berkumandang datang suara suitan yang amat nyaring.
Sungguh cepat gerakan orang itu, baru saja suara suitan tadi sirap dari tengah udara telah melayang turun dua sosok manusia.
Orang itu berperawakan tinggi besar dengan kepala yang besar sekali, ia keren juga pakaian berwarna biru dan bersikap ketolol-tololan.
Sedang yang lain berdandan seorang siucay, memakai mantel berwarna abu2 dan memancarkan cahaya yang amat tajam.
Begitu tiba ditengah kalangan, sepasang tangannya segera diayunkan kedepan segulung angin pukulan yang maha dahsyat diiringi puluhan titik cahaya putih meluncur ketengah kalangan.
Seketika itu juga jeritan ngeri berkumandang saling susul menyusul dalam sekejap mata dua puluh orang padri Siauw lim Pay telah roboh binasa termakan jarum sakti Pek Kut Yoe Leng Ciam tersebut.
Menyaksikan kehadiran orang itu, empat orang manusia berkerudung hitam yang terkepung dalam barisan segera loncat keluar dan kalangan, teriak mereka hampir berbareng: "Sin Koen.."
"Bagaimana sikap hweesio2 itu?" tanya Yoe Leng sin Koen dengan wajah yang adem dan seram.
"Keledai2 gundul itu betul2 tak tahu diri," jawab Hoan soh soh sambil bergoyang pinggul. "sampai2 undangan yang kita berikan sebelum dibaca telah dikembalikan."
"Ban Tok cianpwee, coba lihat bukankah sudah kukatakan bahwa orang2 itu terlalu sombong dan tidak pandang sebelah maupun terhadap orang lain? coba lihat, bukankah perkataanku sangat tepat..." ujar Yoe Leng sin-koen sambil berpaling.
Si kakek tinggi besar yang mempunyai kepala raksasa itu segera goyang2kan badannya.
"Kalau begitu lakukanlah seperti apa yang kau inginkan."
Dalam pada itu wajah Yoe Leng sin Koen yang semula berwarna putih pucat mendadak berubah jadi hitam pekat, dari matanya memancar keluar sorot cahaya berwarna hijau, mukanya jadi buas dan menyeramkan.
Sreeeeet... pedangnya segera dicabut keluar dari sarungnya, kemudian dengan suara yang dingin dan menyeramkan serunya:
"Mari kita bunuh habis keledai2 gundul itu, jangan lepaskan barang seorang pun diantara mereka."
Bersama dengan selesainya ucapan itu pergelangannya segera digetarkan, diiringi berkelebatnya cahaya perak, batok kepala bergelindingan keatas tanah bagaikan buah semangka.
Para paderi Siauw-lim-pay yang melihat kesadisan orang jadi kalap, mereka meraung keras dan bagaikan harimau yang terluka segera menubruk kedepan.
Thian sim siansu serta Thian Ing siansu dengan menggunakan dua batang toya bajanya bertahan sekuat tenaga.
Namun sayang kepandaian silat yang dimiliki Yoe Leng sin Koen benar2 sangat lihay, ditambah pula senjata yang digunakan adalah sebilah pedang mustika, keadaannya boleh dibilang bagaikan harimau tumbuh sayap, mana mungkin kedua orang itu sanggup mempertahankan diri.
Dalam sekejap mata, dari jumlah ratusan orang padri yang berjaga didalam kalangan sudah ada separuh banyaknya mati binasa, suara jeritan ngeri yang menyayatkan hati bergema di-mana2 membuat bumi bergoncang dan udara jadi suram.
Tiing...tiiiing....tiiiing..., genta tanda bahaya dibunyikan ber-talu2, diikuti suara suitan nyaring menggema diangkasa, bayangan abu2 kuning, biru serta pelbagai warna lainnya sama2 menerobos masuk lewat depan kalangan dan bertempur sengit melawan orang2 berbaju hitam.
Kembali terdengar dua buah jeritan ngeri yang mendirikan bulu roma, Thian sim siansu serta Thian Ing siansu mati konyol tertebas badannya jadi empat bagian oleh senjata Yoe leng sin Koen.
Dengan matinya dua orang padri sakti itu, para padri lainnya jadi keder dan bergidik, Yoe Leng sin Koen tidak berhenti sampai disitu saja, dengan andalkan sebilah pedang mustika dia teruskan amukannya membabat kesana menusuk kemari, se-akan2 menebang bambu tak seorangpun diantara hweesio yang ada disitu sanggup menandingi kelihayannya.
Yang paling lihay lagi adalah pedang mustikanya yang sangat tajam itu, semua toya baja yang tebal dan besar itu begitu terbentur dengan senjatanya segera putus jadi dua bagian.
Ilmu silat dari kakek berkepala besar itu lebih2 lihay lagi, setiap kali telapak tangannya berkelebat, pihak lawan bagaikan layang2 yang putus benang segera mencelat ketengah udara dan mati binasa dengan isi perut hancur berantakan.
Dalam waktu yang singkat para padri dari partai Siauw-lim sudah hampir musnah ditangan beberapa orang gembong iblis itu.
Kehadiran Thian Hong siangjien, Gong Yu serta Lie Wan Hiang terlambat satu tindak, namun dengan keterlambatannya itulah mengakibatkan banyak korban berjatuhan.
Meskipun Thian Hong sianjien adalah orang paderi yang beriman tebal, namun setelah menyaksikan kebrutalan lawan hawa gusarnya sukar dibendung lagi, segera bentaknya keras:
"lblis terkutuk sungguh keji perbuatan kalian, dimanakah perikemanusiaan dalam hati manusia?"
Badannya segera menerjang masuk kedalam kalangan, toya kumala hijaunya dengan gunakan gerakan "Kim-Kong Hoek-Mo" atau Malaekat sakti menundukan iblis, dengan menciptakan selapis kipas cahaya ke-hijau2an dia sapu tubuh Yoe Leng sin Koen.
Sang ketua dari perkumpulan Yoe Leng-kauw ini tertawa seram, jengeknya dengan nada sinis:
"Thian Hong, apa gunanya kau bersikap untuk melawan kami, aku nasehati dirimu lebih baik takluk saja kepada perkumpulan kami, sebab perbuatanmu itu berarti menolong jiwa anak muridmu serta mendatangkan keberuntungan bagimu sendiri."
Meskipun dimulut dia mengoceh terus tapi Yoe Leng Kiamnya sama sekali tidak berhenti bergerak, dengan jurus "Kiong Hun Boe Kie" atau sukma ganas tiada kawan ia songsong datangnya hantaman toya kumala hijau tersebut.
"Traang.." ditengah suara bentrokan nyaring, kedua belah pihak sama2 merasakan pergelangan tangannya jadi kaku, masing2 segera loncat mundur beberapa tombak kebelakang, setelah dilihatnya senjata mereka tidak gumpil atau rusak kedua orang itu segera maju kembali untuk meneruskan pertarungan.
Kiranya toya kumala hijau yang digunakan Thian Hong sangjien saat ini merupakan pusaka dari partai Siauw-lim, meskipun pedang Yoe Leng Kiam adalah senjata mustika dan tajamnya luar biasa namun masih belum sanggup untuk membabatnya hingga putus.
Si pendekar ganteng berbaju hijau Gong Yu serta Lie Wan Hiang yang merupakan jago2 berhati welas, sesudah menyaksikan kekejaman serta kebrutalan musuh mereka tak dapat menahan diri lagi, sambil bersuit nyaring tubuh mereka segera berkelebat kemuka dan terjunkan diri kedalam kalangan pertempuran.
Lie Wan Hiang putar pedang Muni Kiamnya sehingga cahaya merah memancar keempat penjuru, cahaya pedang sepanjang empat depa itu menggulung, menyapu kian kemari, menggerakkan hati orang yang melihat, membuat nona neraka hitampun jadi terperanjat dan merasakan bulu roma pada bangun berdiri.
Menanti dia mendongak dan melihat siapakah gerangan gadis kosen itu, rasa kaget yang timbul dalam hatinya sukar dilukiskan lagi dengan kata2. "Giok-jie, kau sudah edan ?" bentaknya. Jelas dia sudah salah melihat orang.
Dalam kenyataannya paras muka dari Lie Wan Hiang memang sama sekali tak berbeda dari Hoan Pek Giok puteri kesayangannya.
Lie Wan Hiang menoleh, tatkala dilihatnya perempuan berkerudung hitam itu mencekal pedang bunga To yang memancarkan cahaya biru, segera bentaknya nyaring:
"Perempuan siluman, berani benar kau datangi gunung yang tersohor ini untuk menjagal para paderi suci. Hmmm aku Lie Wan Hiang tidak akan membiarkan kau berbuat brutal seenaknya !"
"Lie Wan Hiang.... Lie Wan Hiang," gumam Hoan soh soh sambil meloncat mundur beberapa tombak jauhnya. Tiba tiba dia teringat seseorang, segera tegurnya:
"Budak sialan, apakah kau adalah putri dari Lie Hong manusia rendah itu?"
Sembari berkata dari balik matanya memancar keluar serentetan cahaya buas yang mengerikan.
Meskipun Lie Wan Hiang merasakan bahwa perempuan yang berada dihadapannya bernama Lie Hong, dia segera mendengus sahutnya:
"Jangan banyak bicara, nonamu sama sekali tidak kenal dengan manusia yang bernama Lie Hong."
Badannya segera berkelebat kemuka, dengan gerakan tubuh "Chiet-Ciat Tay Na ie" dalam suatu gerakan yang manis dan sakti tahu2 dia sudah melayang dibelakang punggung perempuan berkerudung hitam itu.
Pedang Muni Kiamnya kembali berkelebat, dengan jurus "Hoei Tauw An" atau berpaling kebelakang adalah tepian, dengan kekerasan dia bendung jalan mundur dari nyonya neraka hitam itu.
Hoan soh soh terkesiap, dengan sekuat tenaga ia menyingkir dengan gunakan ilmu gerak sukma gentayangan, dia berharap bisa melepaskan diri dari musuh yang sangat menakutkan ini.
Siapa sangka gadis kosen yang berada dibelakangnya bagaikan bayangan saja tiada hentinya menempel dan mengejar terus dibelakang.
Sementara itu si pendekar tampan berbaju Hijau Gong Yu yang menyaksikan hantaman telapak tangan kakek berkepala besar itu dahsyat laksana gulungan ombak ditengah amukan badai, dimana para hweesio Siauw-lim pay yang tersapu segera mencelat dan mati dengan isi perut hancur lebur hatinya jadi sangat terperanjat. Dalam hati segera pikirnya:
"Entah dari manakah pihak perkumpulan Yoe-Leng Kauw berhasil mengundang manusia super sakti semacam ini, mungkin aku sendiri pun tidak punya keyakinan untuk menangkan dia."
Walaupun dalam hati berpikir begitu namun keberanian serta semangat bertempur sama sekali tidak kendor, selama hidup tak pernah ia merasa takut atau jeri terhadap siapapun.
Diiringi suitan nyaring yang membumbung tinggi keangkasa, tubuhnya mencelat keudara dan melayang ketengah kalangan.
Dengan kerahkan ilmu sakti Tay si Hian-Thian sinkang menyambut kehadiran angin pukulan dari si kakek berkepala besar tadi dihantamnya kemuka.
Baru saja kakek berkepala raksasa itu merasakan anehnya suara suitan yang menggema diangkasa, tahu2 hawa pukulan yang dia lancarkan se-olah2 tercebur didalam samudra yang amat luas lenyap tak berbekas, bukan begitu saja bahkan secara lapat2 terasa munculnya satu daya hisap yang maha kuat menarik badannya maju kedepan, kuda2nya seketika tergempur dan badannya tergetar keras.
Peristiwa ini tentu saja mengejutkan hatinya, dalam hati dia lantas berpikir:
"Siapakah jago kosen itu? jangan2 dua rasul sakti dari dunia persilatan telah muncul disini?"
Dengan cepat dia mendongak tampaklah dihadapan mereka berdiri seorang pemuda ganteng berbaju hijau, usianya baru delapan belas tahun, wajahnya putih bersih dengan alis yang hitam tajam dan mata yang bulat jernih, sementara itu pemuda tersebutpun sedang menatap wajahnya tajam2.
Kakek tua itu segera tertawa ter-bahak2 seraya goyangkan kepalanya yang besar itu serunya:
"Bocah keparat, apakah kau yang melancarkan serangan dahsyat barusan ini?"
"Sedikitpun tidak salah, memang cayhelah yang melancarkan serangan."
Mendadak sekilas cahaya buas memancar keluar dari sepasang mata kakek itu serunya.
"Oooouw aku rasa mungkin kaulah yang disebut orang kangouw sebagai si sastrawan berbaju biru berseruling kumala berkipas emas Hoo Thian Heng?"
"Loo-tiang, tolong dilihat lebih seksama lagi, pakaian yang kukenakan berwarna biru atau hijau?"
Kakek itu melengak, setelah goyangkan kepalanya berulang kali dia manggut2. "Aaaa, betul, kau memang memakai baju hijau bukan berwarna biru."
Gong Yu tidak tahu hubungan dendam atau sakit hati apakah yang sudah terikat antara toa suhengnya dengan kakek tua ini, dengan nada menyelidik segera tanyanya:
"Loo-tiang, ada persoalan apakah kau hendak mencari Hoo Thian Heng si sastrawan berbaju biru itu ?"
"Aku mau mencari balas dengan dirinya, dia sudah membinasakan cucu muridku si kakek kelabang racun Nao Hiong Hoei."
Mendengar perkataan itu Gong Yu segera teringat kembali akan peristiwa yang pernah terjadi tiga tahun berselang ditanah pekuburan gunung bong-san sebelah utara alisnya segera berkerut dan ujarnya:
"Mengenai peristiwa itu, dengan mata kepalaku sendiri aku turut menyaksikan jalannya kejadian tadi, cucu muridmu si Gia Kang Tok shu hendak merampas kadal kumala berusia seribu tahun yang telah di-nanti2kan sastrawan berbaju biru beberapa tahun lamanya, oleh sebab itu kedua belah pihak segera bertempur, alhasil cucu muridmu menemui ajalnya terkena ilmu jari Kian-Goan-Ci dari Hoo Thian Heng." Dia merandek sejenak, kemudian melanjutkan :
"Setiap persoalan ada sebabnya dan setiap sebab ada akibatnya, bilamana lootiang hendak menuntut balas terhadap Hoo Thian Heng disebabkan karena masalah ini, maka perlakuan loo-tiang merupakan satu tindakan yang tidak terpuji, lagipula kepalan dan kaki tak bermata, pada waktu itu seandainya cucu muridmu tidak mati terhajar ilmu jari Kian Goan ci dan sebaliknya Hoo Thian Henglah yang menemui ajalnya terhajar ilmu pukulan kelabang beracun, bagaimana kesudahannya ? dendam mendendam balas membalas bukankah akan berlangsung terus ?"
"Loo-tiang, kau sebagai seorang jago yang lihay dan punya pengalaman yang luas, semestinya bisa mempertimbangkan sendiri, mana yang benar dan mana yang salah, janganlah mendengarkan hasutan orang lain sehingga mencemarkan nama baik sendiri."
"Karena pikiran yang salah kalian telah mengakibatkan gunung suci ini berubah jadi tempat penjagalan yang sadis, brutal dan tidak berperi kemanusiaan, kalau sekarang kau tidak lepaskan golok penjagal untuk berpaling ketepian, mau tunggu sampai kapan lagi kalian baru mau bertobat ? Loo-tiang, cayhe ikut merasa sayang buat kegagahan serta nama besar Loo-tiang yang begitu mengagumkan."
Ucapan ini bukan saja membuat gembong iblis yang tersohor akan keganasannya ini jadi geleng kepala, untuk beberapa saatpun dia sampai tak sanggup untuk mengucapkan sepatah katapun.
Akhirnya sambil gelengkan kepalanya yang besar, kakek itu berkata:
"Bocah cilik aku kagum atas keberanianmu yang luar biasa, namun aku Ban Tok Ci Ong si raja diraja dari selaksa racun tidak akan tunduk, apa lagi digebah pergi hanya dengan dua tiga patah katamu saja."
"Rupanya kau tidak ingin mendengar nasehat dan mau berbuat keji lebih lanjut ?" tegur Gong Yu dengan alis berkerut.
"Heeh... heeeh... heeee... selamanya loohu berbuat dan bertindak sekehendak hatiku, siapa yang berani menghalangi atau mencegah perbuatanku ?"
"Lalu bagaimana menurut pendapatmu?"
"Mari kita beradu dengan tiga buah pukulan, apabila kau sibocah cilik menderita kalah lebih baik cepat2lah tinggalkan tempat ini, loohu akan membakar kuil Siauw-lim ini hingga hancur berantakan jadi abu..."
Diam2 Gong Yu merasa bergidik mendengar ucapan tersebut, dia tahu tak mungkin kakek tua itu bisa dinasehati atau dicegah perbuatannya hanya dengan andalkan ucapan belaka, namun sebagai pemuda yang berwatak keras kepala dan gagah, dia jadi tidak puas, segera teriaknya:
"Bagus sekali, sebaliknya kalau cayhelah yang berhasil menangkan pertandingan ini, lalu apa yang hendak kau lakukan ?"
"Bocah cilik," ujar Ban-Tok Ci-ong si Raja dari selaksa racun setelah termenung sebentar. "Aku tidak percaya kalau kau sanggup menerima hantaman dari loohu dengan kekuatan tenaga lweekang sebesar seratus delapan puluh tahun hasil latihan.." Meskipun dalam hati Gong Yu merasa bergidik, namun ujarnya pula dengan suara lantang:
"Cayhepun tidak sudi kena digertak hanya dengan beberapa patah kata saja, bisakah aku menyambut seranganmu atau tidak, itu urusan pribadiku sendiri silahkan Loo-tiang tetapkan syarat pertarungan diantara kita ini."
"Baiklah, kalau loohu yang menderita kalah sekarang juga aku angkat kaki dari sini dan sejak ini tak akan mencampuri urusan dunia kangouw lagi, bahkan hutang darahku terhadap si sastrawan berbaju biru yang telah membinasakan cucu muridkupun akan kuhapus sama sekali."
Sepasang biji mata Gong Yu berputar, pikirnya didalam hati:
"Tua bangka ini menyebut dirinya sebagai Ban-Tok Ci-ong atau Raja diraja dari selaksa Racun, kepandaiannya tentu tak akan terlepas daripada penggunaan racun, didalam ketiga buah serangannya tadi dia pasti akan selipkan tenaganya yang luar biasa, aku tak boleh menggusarkan hati orang ini apabila tidak ingin menemui kesulitan dalam menghadapinya nanti."
O0odwo0O Jilid : 16 DALAM waktu yang singkat dia telah berhasil mendapatkan cara untuk menghadapi musuh tangguh ini.
Pada saat itulah terdengar Ban Tok Ci-ong si Raja diraja dari selaksa racun tertawa ter-bahak2.
"Haaa...haaa... bocah cilik, ber-hati2lah seranganku yang pertama segera akan tiba."
Sreeet... bersama dengan selesainya ucapan tadi, dia telah melancarkan satu pukulan yang maha dahsyat.
Angin pukulannya men-deru2 laksana gulungan angin taupan, diiringi suara desiran yang tajam laksana kilat menumbuk kemuka.
Gong Yu tidak berani bertindak gegabah, buru2 ia kerahkan ilmu sakti "Tay-si-Hian-sinkang"nya untuk melawan.
Buum..! dua kekuatan saling bertemu ditengah udara hingga menimbulkan suara ledakan yang sangat keras, tak kuasa lagi badan Gong Yu goncang hebat.
Si Raja diraja dari selaksa Racun segera tertawa ter-bahak2, suaranya keras bagaikan geledek, jengeknya :
"Hey, bocah cilik seranganku yang cuma memakai tenaga lima bagianpun tidak sanggup kau hadapi, aku lihat kau pasti bakal menderita kalah total."
Sepasang telapaknya kembali berputar didepan dada membentuk gerakan setengah busur.
Sreeet.. diiringi desiran tajam tenaga serangan memancar keempat penjuru, bagaikan gulungan ombak yang sangat dahsyat menyapu kedepan.
Buru2 Gong Yu menghadapinya dengan ilmu "Menghisap" dari hawa sinkangnya, dalam satu sedotan yang dahsyat seketika itu juga semua tenaga pukulan yang dilancarkan Ban-Tok Ci-ong lenyap tak berbekas.
Si Raja diraja dari selaksa Racun ini jadi terperanjat tatkala dirasakan keadaan rada aneh, berbareng dengan lenyapnya tenaga serangan itu sang badanpun tanpa sadar ikut maju setengah langkah kedepan.
Kejadian ini membuat dia jadi tidak senang hati, dengan paras muka kurang puas serunya:
"Baiklah bocah cilik, anggap saja dalam pertarungan babak kedua ini loohu lah yang menderita kalah."
Diluar dia bicara demikian sementara dalam hati pikirnya:
"Rupanya bocah cilik ini telah berhasil melatih semacam tenaga sinkang aneh yang khusus digunakan untuk menghisap tenaga milik orang lain. Kenapa aku tidak tumpahkan tenaga dalamnya per-lahan2 dikala permulaan kemudian di tengah jalan mendorongnya dengan segenap tenaga? Haah.. haah... haah... saat itu dia pasti akan menderita kekalahan total."
Berpikir demikian tanpa terasa dia jadi bangga dan tertawa ter-bahak2.
"Keparat tua bangka, jangan keburu gembira dulu," bentak Gong Yu setelah menyaksikan keadaan lawan. "sampai waktunya kau bakal tahu sendiri siapakah sebenarnya yang jauh lebih lihay diantara kita berdua."
Sembari mengerahkan tenaga sinkangnya hingga mencapai dua belas bagian guna berjaga2 atas serangan lawan, dengan wajah penuh senyuman ujarnya lantang:
"Menang atau kalah bakal ditentukan oleh serangan yang terakhir ini, aku berharap agar too-tiang suka mengalah kepadaku."
Ban Tok ci ong melirik sekejap kearena pertarungan sewaktu dijumpainya para jago sedang saling bergebrak dengan serunya, dia lantas tertawa dan berkata: "Hey bocah cilik, terimalah seranganku ini."
Sedikitpun tidak salah, dalam melancarkan serangannya kali ini dia lakukan sangat lambat dan perlahan tenaga serangan yang digunakanpun cuma mencapai delapan bagian belaka.
Kesempatan baik tak boleh dibuang dengan percuma, laksana kilat Gong Yu mendorong sepasang telapaknya kemuka.... Duuusss.... hawa sakti segera meluncur kedepan.
Angin pukulan memencar keempat penjuru laksana ber-laksa2 ekor kuda yang lari berbareng diiringi desiran suara yang tajam menggetarkan jantung, segulung hawa sin-kang meluncur kemuka menghantam tubuh lawannya.
Tajam dan lengking desiran angin bukan saja membuat Ban-Tok Ci ong terperanjat bahkan para jago yang sedang bertarung pun sampai menghentikan pertempuran dan menengok kearah mereka dengan hati terkesiap.
Setelah menangkap suara desiran tajam tadi diam2 Raja diraja dari selaksa racun ini merasa menyesal karena dia hanya menggunakan tenaga delapan bagian belaka, namun waktu tidak mengijinkan dirinya untuk berpikir lebih jauh, secara otomatis sepasang lengannya bergerak keatas sembari menambahi dua bagian tenaga murninya. Namun sayang tindakannya ini telah terlambat satu tindak.
"Brrruuk...." ledakan dahsyat menimbulkan goncangan yang maha dahsyat diseluruh permukaan bumi, pasir dan debu beterbangan memenuhi angkasa, angin pusaran men-deru2 dikalangan oleh segulung tenaga tekanan yang maha dahsyat, tubuh Ban Tok Ci ong si raja diraja dari selaksa racun tergetar mundur kebelakang hingga sejauh tiga langkah.
Dadanya dirasakan bagaikan tergodam oleh sebuah martil besar, seketika itu juga darah panas dalam dadanya bergolak keras, untung tenaga lweekangnya sangat sempurna, dengan paksakan diri ia berhasil menekan golakan tersebut.
Sebaliknya Gong Yu cuma gontai sedikit saja untuk kemudian berdiri tegak kembali di tempat semula.
"Aaah, sudah...sudahlah !" teriak Ban-Tok Ci-ong dengan suara lantang. "Hoy bocah cilik kau boleh disebut sebagai lelaki yang pemberani dan berotak cerdas, loohu mengaku kalah ditanganmu, haah...haah...haah...sampai jumpa lain saat."
Diiringi gelak tertawa yang amat keras, laksana serentetan cahaya emas tubuhnya segera meluncur ke tengah udara dan berlalu dari situ.
Dengan perginya Ban-Tok Ci-ong karena malu, berarti "Yoe Leng sin-Koen" Ci Tiong Kian telah kehilangan sebuah lengannya yang paling kosen dan luar biasa.
Haruslah diketahui, didalam rencananya untuk menyapu bersih partai Siauw-lim dari muka bumi, dia terlalu mengandalkan semua kemampuan serta tenaganya pada si kakek tua berkepala besar ini, dan kini setelah Raja di-raja dari selaksa Racun ngeloyor pergi dari situ sambil menahan malu, impiannya untuk merebut kemenanganpun seketika buyar dan hilang lenyap dari ingatan.
Apabila dia tidak mengundurkan diri dengan menggunakan kesempatan yang sangat baik ini, kemungkinan besar akibatnya akan semakin runyam, ingatan tersebut laksana kilat berkelebat dalam benaknya. Dia segera bersuit nyaring tanda mengundurkan diri dari situ.
Diikuti.... sreet sreet... secara beruntung dan lancarkan tiga buah serangan mematikan dengan tiga jurus sakti yang termuat dalam kitab pusaka "Yoe Leng pit Kip" yaitu "Hoen Yoe Tay si" atau sukma Gentayangan didunia, "Hoen Koei Te Hoe" sukma bertulang ke alam baka serta "Hiong Hoen si Jion" atau sukma ganas menggigit orang, Lie Wan Hiang terdesak hebat, terpaksa ia mundur kebelakang untuk menghindar.
Menggunakan kesempatan itulah sepasang kakinya menjejak permukaan tanah, laksana seekor alap2 dia menerobos tengah udara dan meluncur kearah bawah gunung.
Mimpipun Yoe Leng sin Koen tidak menyangka kalau penyerbuannya malam ini bakal menderita kekalahan total, kalau tidak dia pasti akan kerahkan kekuatannya untuk menyapu rata seluruh partai Siauw-lim, maka bisa dibayangkan betapa benci dan dendamnya Ci Tiang Kian terhadap gadis berbaju hijau itu.
Disamping itu, keempat orang jago lihay yang dipimpin Nyonya Neraka Hitam Hoan so soh, kecuali si setan gantung putih Khong It Hoei yang telah ngeloyor pergi lebih dahulu, si setan gantung Ham soe Koen serta Hakim Mati hidup shaw Goan Cian saling susul menyusul telah menemui ajalnya.
Kini yang tertinggal hanya si telapak jagad Poei Seng seorang, namun dalam keadaan seperti ini dia tak sempat untuk memikirkan nasib anak buahnya lagi, dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh sukma gentayangan buru2 badannya berkelebat menyusul kekasih gelapnya untuk melarikan diri dari puncak Siauw lim sie.
Walaupun musuh tangguh akhirnya berhasil dipukul mundur, namun Thian Hong Siang-jien sang ketua dari partai Siauw-lim merasakan hatinya amat pilu, bagaimanapun juga kemenangan yang berhasil mereka peroleh saat ini harus ditebus dengan korban yang sangat banyak.
Dari perkumpulan Yo Leng Kauw, diantara tujuh orang yang dibawa hanya dua orang yang mati dan satu terluka, sebaliknya dipihak partai Siauw-lim dari murid angkatan keempat yang menggunakan tingkatan "Kak" telah mati empat puluh tujuh orang, sedang dari angkatan yang ketiga dengan tingkatan "Go" korban yang berjatuhan semakin parah, mereka yang mati mencapai enam puluh tiga orang.
Terutama sekali yang paling memilukan hatinya adalah kematian ketujuh orang murid partai Siauw-lim anggota dari Cap Pwee Loo-Han yang amat tersohor dalam dunia persilatan, sedang mereka semua adalah saudara seperguruannya.
Dia sendiri sebagai seorang ketua dari partai terbesar dalam Bu lim bukan saja harus menelan pil pahit ini, bahkan lengan kirinya pun telah terluka kena sambaran pedang Yoe Leng sin-Koen, seandainya Lie Wan Hiang tidak menolong tepat pada saatnya, entah bagaimana akibatnya ?
Sambil mencekal toya kumala hijaunya padri tinggi dari Siauw-lim Pay ini jadi berdiri termangu-mangu saja ditengah kalangan, air mata tanpa terasa jatuh berlinang membasahi wajahnya, memandang bayangan manusia yang hilir mudik dikalangan untuk menolong mereka yang terluka, ia pandang mayat yang bergelimpangan serta darah yang menggenangi permukaan Siauw lim-sie dengan wajah sayu.
Ia benar2 tak tega menyaksikan pemandangan yang mengenaskan itu, lama sekali akhirnya dia putar badan mempersilahkan si Pendekar tampan berbaju hijau serta Lie Wan Hiang untuk masuk kependopo tengah untuk minum air teh.
Mendadak Gong Yu teringat akan sesuatu, segera ujarnya kepada Thian Hong siang-jien.
"Aku yang rendah Gong Yu selalu merasa curiga dan tak habis mengerti, sebetulnya markas besar perkumpulan Yoe Leng Kauw terletak dimana ? mengapa kita tidak gusur tawanan yang berhasil ditangkap tadi untuk diperiksa ? asal alamat dari markas besar mereka ketahuan, tidak sulit bagi kita untuk menyusun siasat pembalasan dikemudian hari."
Thian Hong siang-jien membenarkan pendapat si anak muda itu, segera ia turunkan titah untuk menggusur tawanan tersebut kehadapannya.
Setelah tawanan itu digusur kedalam ruang pendopo, tiba2 Gong Yu merasa paras muka orang itu se-akan2 pernah dikenalnya disuatu tempat, tanpa terasa segera tanyanya: "Bukankah kau adalah si telapak jagad Poei seng dari ciong-Lay Pay?"
Kakek berbaju hitam itu mengangguk.
"Aaaah..." Gong Yu berseru tertahan, dia segera menceritakan pengalaman pahit yang dialami Poei seng si telapak jagad serta Tie Kong Cuan si kepalan sakti tanpa tandingan yang telah terseret kelembah kehancuran akibat tingkah laku serta perbuatan sutenya Khong It Hoei, disamping itu diapun menceritakan pula bagaimana mereka peroleh kabar berita tentang rencana penyerbuan orang2 Yoe- Leng Kauw terhadap partai Siauw Lim serta Bu-tong dari Poei cianpwee ini. Akhirnya dia, menambahkan:
"Hong-tiang, bagaimanapun juga Poei cian-pwee sama sekali tidak bersalah ataupun terlibat dalam rencana penyerbuan terhadap partai Siauw-lim pada malam ini, berkat kabar beritanya itulah kita bisa bersiap sedia. Menurut pandangan boanpwee tidak sepantasnya kalau kita anggap dia dan perlakukan dia sebagai seorang tawanan."
Thian Hong sang jien mengangguk tanda setuju bahkan dia turun tangan sendiri untuk membukakan belenggu ditubuh Poei seng, setelah itu mempersilahkan dirinya duduk sebagai tamu agung.
Demikianlah setelah Gong Yupun memperkenalkan dirinya serta sumoaynya Lie Wan Hiang, segera tanyanya.
"Poei cianpwee, menurut berita yang kalian kirim untuk kedua kalinya, dalam surat itu tertulis kata2 sebagai berikut:
"Pura2 menyerang Bu tong, sekuat tenaga menyerang Siauw-lim, apakah pihak Bu-tong sama sekali tidak diserbu olah kawanan perkumpulan Yoe Leng Kauw?"
"Aaai..., kemungkinan besar pada saat ini partai Bu-tong sedang berada dalam keadaan yang amat bahaya."
"Apakah Yoe Leng sin koen telah merubah rencananya di tengah jalan?"
"Sedikitpun tidak salah, mula2 dia hendak membawa tiga Roh Bengis, tujuh sukma ganas, dua puluh empat sukma gentayangan serta Piauw biauw Hujien dan Beng Te Hujien ditambah si nenek bongkok dari negeri Hoe sang serta Jiak Kioe Kiam Khek dari laut Tang Hay untuk menyerbu partai Siauw lim, siapa sangka sewaktu kami tiba dikota cia kan, secara kebetulan telah berjumpa dengan Ban Tok ci ong si raja diraja dari selaksa racun, gembong iblis ini memiliki tenaga lweekang sebesar tiga kali enam puluh tahun hasil latihan, kecuali dua rasul sakti dari kolong langit rasanya tak seorang manusiapun yang sanggup menandinginya."
Setelah diminta dan di-rengek2 oleh tiga manusia Hiong Hoen sambil menangis ter-isak2 akhirnya gembong iblis ini suka berangkat ke partai Siauw lim guna membantu usaha mereka, setelah peroleh bantuan ini Yoe Leng sin Koen lantas merasa bahwa kekuatannya jadi semakin besar, dia percaya dengan kekuatannya serta kekuatan Bu Tok Ci ong sudah lebih dari cukup untuk melenyapkan partai Siauw lim dari muka bumi karena itulah dia lantas membagi rombongan jadi dua bagian, sebagian menyerang partai Siauw lim sedangkan rombongan yang lain berangkat menuju kegunung Butong..."
Mendengar kabar ini Gong Yu lantas berpikir didalam hati:
"Meskipun suheng telah berangkat kegunung Bu tong san untuk membantu pihak mereka, namun ditinjau dari jago2 yang dikirim tentu aku rasa kekuatan pihak Yoe Leng-Kauw terlalu ampuh bagi dirinya seorang.
Seandainya partai Bu-tong bersikap gegabah dan pandang rendah musuhnya seperti halnya dengan partai Siauw-lim, bukankah keadaan akan bertambah runyam."
Hatinya jadi cemas bercampur gelisah, ingin sekali tubuhnya cepat2 berangkat menuju ke gunung Bu-tong-san.
Sementara itu terdengar suara Lie Wan Hiang bertanya:
"Poei cianpwee, sebenarnya markas besar perkumpulan Yoe Leng Kauw berada dimana?"
"Berada dipropinsi Koei chiu...."
Belum habis dia berkata tiba2 tambak cahaya putih berkelebat lewat dengan cepatnya.
Diikuti terdengar si telapak jagad Poei seng menjerit ngeri, tubuhnya seketika roboh binasa keatas tanah termakan oleh jarum iblis tulang putih dari Yoe Leng sin Koen.
Gong Yu sekalian jadi kaget, sebelum mereka sempat bertindak sesuatu terdengar sambaran angin tajam berkelebat, jelas sang pembunuh telah melarikan diri dari sana.
Peristiwa ini tentu saja semakin membuat Thian Hong siang-jien jadi bertambuh malu, untuk sesaat lamanya dia cuma bisa berdiri ter-mangu2 tanpa sanggup mengucapkan sepatah katapun.
Setelah mendengar kabar berita dari Poei seng tadi, Gong Yu serta Lie Wan Hiang jadi amat menguatirkan keselamatan suhengnya yang berada diatas gunung Bu-tong-san, akhirnya setelah berunding beberapa saat lamanya mereka ambil keputusan untuk mohon diri.
Terhadap bantuan serta kepandaian sakti yang dimiliki sepasang muda mudi ini baik Thian Hong siang-jien maupun anak muridnya merasa kagum bercampur terima kasih.
Melihat si anak muda itu mau berlalu, maka sang ketua dari partai Siauw-lim ini disertai seluruh anak muridnya yang masih hidup segera menghantar keberangkatan mereka dengan segala ucapan yang meriah, bukan mereka kagum terhadap mereka, terutama sekali bantuannya yang amat besar dimana telah menyelamatkan be-ratus2 orang padri dari kuil mereka.
Gong Yu serta Lie Wan Hiang tidak ambil pusing terhadap sikap mereka lagi, dalam keadaan seperti ini yang mereka pikirkan hanya satu, yaitu keselamatan suhengnya Hoo Thian Heng yang kemungkinan besar telah menjumpai mara bahaya dipuncak gunung Bu-tong.
Begitu meloncat naik keatas kudanya, mereka segera melarikan kedua ekor kuda jempolannya menuruti kegunung siong-san, dalam sekejap mata bayangan mereka berdua telah lenyap dari pandangan.
Memandang bayangan punggung kedua orang itu Thian Hong siangjien menghela napas tiada hentinya.
Demikianlah dia lantas titahkan anak muridnya untuk membereskan jenasah suheng-te serta anak muridnya yang binasa dalam pertarungan tersebut, kemudian ia menutup diri di dalam kamar semedhinya sambil merenungkan kejadian yang baru saja berlangsung.
ooodkzooo

Sabuk Kencana Ikat Pinggang Kemala Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bab 23 HARI itu cuaca sangat bersih, angin gunung bertiup sepoi2 membuat suasana terasa nyaman.
Diluar istana Ci Yang Kiong digunung Bu tong-san, kayu serta ranting telah ditumpuk hingga mencapai ketinggian enam tujuh depa, terkena sorot matahari yang menyengat kayu2 itu sebagian telah mengering, apa lagi di sekeliling sana telah disiram dengan minyak setiap saat kemungkinan kebakaran bisa terjadi.
Sang surya kembali sudah condong ke-Barat namun suara teriakan masih terdengar ber-sahut2an.
Teriakan2 itu semuanya mengandung nada mengejek, menghina dan tidak menguntungkan nama baik Hoo Thian Heng si sastrawan berbaju biru itu.
Se-akan2 semua bencana yang bakal menimpa partai Bu-tong adalah diakibatkan hadirnya pemuda tersebut.
Walaupun Hian cing Tootiang sendiri adalah seorang toosu yang berpikiran luas dan bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, namun tak urung banyak juga mereka2 yang takut mati mulai tergoyah hatinya mendengar hasutan serta teriakan2 itu.
Sering kali Hoo Thian Heng menemukan ber-puluh2 pasang mata yang aneh sedang melirik dan memandang kearahnya, hal ini membuat dia kian lama kian bertambah kaget dan bergidik.
Namun dalam hati kecilnya dia bisa memahami sikap orang2 itu, bagaimanapun juga seseorang jika berada dalam keadaan yang amat berbahaya, dia tentu akan ber-harap2 bisa mendapat kesempatan untuk hidup lebih jauh dan untuk mencapai keinginannya itu kadang kala orang tak akan memikirkan lagi pelbagai peraturan atau tata kesopanan, bahkan terhadap orang yang paling disayangipun kadang kala tak sayang2nya dijual demi kepentingan diri sendiri.
Sudah tentu dengan kepandaian silat yang dimilikinya, tidak susah baginya untuk meloloskan diri dari situ.
Namun mungkinkah Hoo Thian Heng si sastrawan berbaju biru yang tersohor akan kegagahannya akan berbuat demikian? Tidak, dengan budi pekertinya, nama besarnya, pendidikannya serta jiwanya, tak nanti dia sudi melakukan hal itu.
Maka keadaannya serta situasinya semakin terjepit, kian lama mara bahaya yang mengancam keselamatannya semakin besar.
Setelah berjaga selama seharian penuh di atas atap istana Ci-Yang-Kiong ber-sama2 Ci Yang cinjien serta Cing Yang cinjien dua orang tiang loo dari Bu-tong Pay, kini badannya terasa mulai jadi lelah dan kehabisan tenaga.
Dalam pada itu Hiong-Hoen nomor dua yang menyaksikan para toosu dari Bu-tong pay belum juga mau menyerah, dia segera mendekati atasannya "Piauw biauw Hujien" untuk mengajukan satu usul.
Perempuan itu mengangguk tanda setuju dan atas perintah Hiong Hun nomor dua inilah, dua puluh satu orang sukma gentayangan dengan membawa sebuah batang pohon yang besar mulai mendobrak pintu istana Ci Yang Kiong yang tebal.
Brukk....Brukk.... diiringi suara yang keras seluruh bangunan goncang dengan dahsyatnya.
Hian cing Tootiang jadi kuatir dengan perbuatan mereka, buru2 dia perintahkan tukang panahnya yang bersembunyi diloteng genta untuk melepaskan anak panah.
Seketika itu juga hujan anak panah berhamburan diseluruh permukaan tanah, dalam hujan panah yang amat dahsyat inilah dua puluh satu orang sukma gentayangan terpaksa harus menarik diri.
Mendadak....terdengar suara suitan yang amat nyaring berkumandang nyaring dari bawah gunung Bu-tong-san, diikuti berkelebatnya sesosok bayangan hitam muncul dari balik bukit.
Begitu bayangan manusia itu munculkan diri, segenap anggota perkumpulan Yoe Leng Kauw bersorak-sorai dengan gembiranya.
Ditengah tempik sorak yang ramai, menggemalah serentetan suara diangkasa:
"Hey Hian cing Tootiang dari Bu tong Pay, dengarkanlah baik2...... Pun Kauwcu Yoe Leng sin Koen baru saja pulang dari partai Siauw lim dengan membawa sembilan butir batok kepala dari Cap pwee Loo Han saat ini Thian Hong sang jien beserta segenap anak muridnya telah takluk dan menyerah, mereka telah menggabungkan diri dengan perkumpulan kami."
Kisah Si Rase Terbang 6 Pendekar Mabuk 010 Manusia Seribu Wajah Pusaka Hantu Jagal 3

Cari Blog Ini