Si Angin Puyuh Si Tangan Kilat Hong In Lui Tian Karya Gan Kh Bagian 3
"Menurut hematku, diantara angkatan muda umumnya, mungkin hanya kau seorang yang dapat melawannya, Lwekangnya jelas lebih dalam dan kokoh dari kau, sayang dia belum dapat mengkombinasikan tenaga keras dan lunak otaknya tumpul kurang cerdik lagi. Kalau baru kelana dan belum punya pengalaman, mungkin dia hanya berkelahi hantam keromo saja, dengan adanya kelemahan ini kalau In-tiong-yan cerdik, mungkin dapat mengalahkan dia!"
Karena ilmu pukulan Ling Tiat-wi yang menakjupkan serta suara suara bentakan seperti geledek itulah sehingga Hek-swan-hong teringat akan cerita Liok Kun lun, dugaannya benar yang dihadapi bukan lain adalah Hong-thian-lui.
Dalam pada itu, setelah mendengar penjelasan Hek swan hong tentang nama Liok Kun lun baru Ling Tiat-wi mau percaya bahwa pemuda yang dihadapi ini benar adalah Hek-swan-hong. Namun kejap lain ia merasa curiga, tanyanya : "Kalau benar Hek-swan hong, kenapa kau bergaul dengan In-tiong yan ?"
Hek swan hong berkata dengan tertawa : "Aku sendiri juga ingin tanya padamu, siapa dan macam apa In tiong yan sebenarnya ? Kenapa aku tidak boleh bersama dia ?"
Berkerut alis Hong thian-lui, katanya : "Apa, jadi kau belum jelas orang macam apa dia sebenarnya ? Lalu kenapa kalian jalan bersama ?"
"Aku hanya tahu bahwa dia tuan penolongku yang pernah membantu aku dua kali !"
"Dia bantu kamu apa ?" tanya Hong-thian lui heran.
Setelah mendengar penuturan Hek-swan-hong, Hong thian lui bertambah heran, ujarnya : "Benar-benar aneh. Siluman perempuan itu mau membantu kau mencuri konsep militer Wanyen Tiang ci ! Huh, kalau aku percaya bahwa kau adalah Hek-swan hong, aku tak berani percaya penjelasanmu ini !"
"Saudara Ling," kata Hek-swan-hong, "agaknya kau sudah tahu asal usulnya. Orang macam apakah dia sebenarnya?"
Hong thian lui garuk kepalanya yang tidak gatal, jawabnya : "Kau tanya aku, aku tanya siapa?''
Jawaban ini membuat Hek-swan hong melengak, gemas dan dongkol lagi, batinnya : "Ribut sekian lama, ternyata kau sendiri bingung." segera ia berkata : "Kalau kau tak tahu, kenapa kau memakinya sebagai siluman ?"
"Aku tak tahu asal usulnya, juga tidak tahu dia she apa nama apa," demikian tutur Hong-thian-lui, "Tapi aku tahu dia pasti bukan orang Han. Dia bukan orang Han, kenapa meluruk ke Liang San mencuri Ping-hoat karya Go Yong, jelas gamblang untuk melawan bangsa Han kita. Dia bertentangan dengan kita, bukankah siluman perempuan ?"
Hek-swan hong menahan geli, katanya, "Memang benar ucapanmu. Tapi kau tidak jelaskan, bagaimana kau tahu bahwa dia bukan orang Han ? Lagi pula dari mana kau tahu bahwa kedatangannya kemari hendak mencuri Ping hoat karya Go Yong ?"
Baru sekarang Hong thian lui sadar dirinya belum memberi penjelasan, bahwa ln tiong yan benar sebagai 'Siluman perempuan' seperti dimakinya itu ? Katanya tertawa geli : "Harap maaf akan kecerobohanku. Watakku memang kasar dan berangasan. Kawatir kau tidak percaya bahwa dia 'Siluman perempuan', maka kutegaskan lebih dulu. Baiklah sekarang kau sudah percaya, biar kuterangkan kenapa aku tahu bahwa dia mau ke Liang-san untuk mencuri Ping hoat itu!" sebetulnya Hek swan-hong belum pernah mengatakan bahwa dia percaya akan keterangannya, dia hanya berkata bahwa analisanya cukup beralasan saja.
Kata Hong thian lui berduduk : "Tahukah kau diantara pahlawan gagah Liang-san, ada seorang yang bernama Sip Can ?"
"Sip Can pencuri sakti, siapa yang tidak tahu?" sahut Hek-swan hong tertawa. "Kisah Sip Can mencuri ayam, adalah cerita Ki dalang yang sangat dibanggakan !"
"Aku punya seorang paman Sip, namanya lengkap Sip It-sian (sekali muncul)." demikian Hong thian-lui menutur, "Sip It-sian adalah keturunan Sip Can itu. Tapi selamanya dia belum pernah mencuri ayam, kalau mau curi ya barang berharga macam mas perak atau jamrut dan lain lain yang bernilai tinggi."
"Namanya saja Sip It-sian (sekali muncul), sudah tentu merupakan pencuri sakti yang sukar diikuti jejaknya. Sebagai pencuri sakti yang diagungkan sudah tentu tak sudi nyolong ayam."
"Kurasa tidak mesti, kalau perut lapar terdesak oleh keadaan, betapapun harus nyolong makanan juga. Bukankah Sip Can sendiri juga pernah nyolong ? Soalnya selamanya dia belum pernah kelaparan, maka belum pernah mencuri ayam.''
Sedapat mungkin Hek-swan-hong tahan rasa gelinya, katanya tertawa : "Ya, ya. Cobalah ceritakan kisah tentang dia mencuri barang orang."
"Pada suatu hari, paman Sip ini mengincar tiga ekor gembel (kambing) gemuk, kau tahu arti gembel gemuk?"
O^~dwkz^hendra~^O Jilid 05 "Kata rahasia di kalangan Kangouw, sedikit banyak dapat kuketahui, bukankah maksudnya para pedagang yang royal ?"
"Bukan pedagang. Tapi tiga orang bangsa Tartar, kelihatannya mereka adalah pejabat pemerintah, namun menyamar sebagai rakyat jelata. Jelas sekali mereka adalah makanan empuk yang besar artinya, sekali pandang paman Sip lantas tahu bahwa mereka menggembol banyak harta benda berharga."
"Akhirnya bagaimana ?"
"Secara diam-diam paman Sip menguntit mereka, setelah malam tiba dengan kepandaiannya ia menyelinap ke hotel dimana mereka menginap, secara diluar dugaan, dia memberi dengar sebuah berita rahasia !"
"Apakah berita rahasia mengenai Ping-hoat ?"
"Benar, kenapa sekali tebak lantas tepat ?"
"Tadi kau menerangkan akan bercerita bagaimana In-tiong-yan meluruk ke Liangsan untuk mencuri Ping-hoat itu ? Kejadian ada sangkut pautnya dengan kejadian ini."
Hong thian-lui meneruskan : "Baru saja paman Sip meniup asap bius kedalam kamar mereka, saat itu juga ia mendengar berita rahasia ini."
Salah seorang diantaranya berkata : "Percaya lebih menguntungkan dari pada tidak percaya. Kalau Ping-hoat itu benar dapat ditemukan, boleh dikata besar manfaatnya bagi kita semua."
Seorang lagi menyahut : "Agaknya kurang leluasa kalau seorang diri ke Liang-san. Sekali pandang orang akan tahu bahwa kita bukan orang Han. Apalagi daerah Liang san di Soatan merupakan pusat kaum gagah dari Bulim, diantara mereka tidak sedikit tokoh tokoh yang berkepandaian tinggi. Umpamanya Li Su-lam dari Long-sia san. Ci In hong dan Kok Ham-si, kebentur ditangan salah seorang diantara mereka, mungkin kita bertiga bukan tandingannya!"
Seorang yang lain juga bicara : "Rasa kawatir ini memang beralasan, jarak Long-sia-san dan Liang san hanya beberapa ratus li, namun konon anak buah mereka satu sama lain sering beroperasi didaerah Liang-san."
Orang yang bicara duluan tadi berkata lagi : "Kesempatan baik untuk mendapat pahala, masa harus kita abaikan demikian saja ?"
Agaknya orang ketiga itu paling punya akal, dia berkata : "Ada, ada akal. Kita undang In-tiong-yan saja kesana. Dia persis orang Han, Ginkangnya baik pula, seumpama terjadi sesuatu diluar dugaan, kupercaya dia pasti dapat melarikan diri !"
Usul ini mendapat tanggapan hangat dari kedua temannya yang lain. Sampai disitu paman Sip tidak mendengarkan lebih lanjut. Urusan ini besar sangkut pautnya, supaya tidak memukul rumput menggebah ular barang-barang berharga yang bakal menjadi curiannya akhirnya batal digerayangi."
"Kalau begitu, In-tiong-yan adalah orang Kim. Aneh, kenapa dia membantu aku mencuri konsep militer milik Wanyen tiang-ci?"
"Tidak, hakikatnya In-tiong-yan apakah benar orang Kim, paman Sip sendiri juga belum berani pastikan."
"Bukankah kau sendiri tadi mengatakan ketiga gembel gemuk tadi adalah orang bangsa Kim?"
"Belakangan paman Sip menemukan sebuah rahasia lain."
"Rahasia apa lagi ?"
"Semula paman Sip menyangka tiga gembel gemuk bakal mangsanya itu adalah orang bangsa Kim, belakangan baru dia tahu bahwa anggapannya itu salah."
"Bagaimana dia tahu ?"
"Mereka mengobrol dengan bahasa Kim yang dicampur dengan bahasa Han. Tapi paman Sip dapat membedakan dialok mereka masing masing berlainan. Oh, ya, aku lupa beritahu pada kau, bukan saja paman Sip ahli mencuri, diapun ahli bahasa, dia paham bahasa daerah dari berbagai suku bangsa Bahasa Mongol, bahasa Kin, bahasa Cirdan dan banyak lagi bahasa lainnya.''
"Jadi dari perbedaan logat bahasa mereka dia dapat membedakan kewarganegaraan ketiga orang itu ?"
"Tepat sekali. Menurut katanya seorang memang benar orang Kim, seorang lagi bangsa Mongol, seorang lagi bangsa Cirdan. Jelas sekali logat orang Kim itu dari Tay-toh (ibu kota), sedang orang Mongol itu berlogat Ho-lim, tak peduli mereka bicara menggunakan bahasa Kim atau bahasa Han, logat semula dari daerah masing-masing betapapun tak bisa diubah. Cuma seorang yang lain itu tak dapat diraba asal usulnya, tapi pasti dia adalah bangsa Cirdan."
Hek-swan-hong terpekur, sesaat ia bicara : "Holin adalah ibu kota Mongol, satu diantaranya orang berasal dari Holim ! Kemungkinan besar adalah spion yang diutus Khan besar mereka kesini !"
"Tapi seorang yang lain berasal dari Tay toh adalah ibu kota kerajaan Kim. Apakah mungkin orang ini juga utusan raja Kim? Meski Mongol dan kerajaan Kim penah menanda tangani sebuah perjanjian, bagaimana juga mereka adalah musuh."
"Itu hanya rekaanku saja. Eh, urusan ini benar benar janggal dan aneh."
"Ketiga orang itu sepakat untuk memberi tahu rahasia ini kepada In-tiong-yan supaya dia yang ke Liang-san mencuri Ping-hoat itu, jelas bukan kalau In-tiong-yan sepihak dengan mereka. Maka kemungkinan In-tiong-yan adalah orang Kim, mungkin dari suku Cirdan juga mungkin dari bangsa Mongol. Tapi pendek kata dia bukan orang Han."
Hek-swan hong terbungkam, sesaat kemudian baru dia manggut-manggut, ujarnya: "Memang benar, aku anggap dia orang Han, agaknya aku salah nilai."
"Sebetulnya, apakah dia berhasil mencuri Ping-hoat itu?"
"Akupun tak tahu." sahut Hek-swan-hong hambar, "tapi dia bilang sudah berhasil mendapatkannya."
"Siluman perempuan ini mana mau terus terang. Mungkin dia sengaja menipu kau, supaya kau putus asa dan mengubah niatmu."
"Semoga begitu." kata Hek-swan hong tertawa getir, "Tapi setelah dia pergi, dalam radius puluhan li sekitar puncak sana aku sudah ubek-ubekan mencarinya tanpa hasil. Kalau kau punya niat dan cukup sabar, silakan kau cari sendiri!"
"Masa aku punya sabar untuk menggagap jarum didalam lautan. Aka hanya ingin mengambil keuntungan saja, biar In-tiong-yan berhasil dulu baru akan kurebut Ping-hoat itu itu dari tangannya. Siapa tahu aku hanya berhasil merebut kotak kosong belaka. Sebetulnya benar tidak ia berhasil merupakan tanda tanya besar."
Berhenti sejenak lantas Hong-thian-lui melanjutkan ceritanya: "Paman Sip menyampaikan berita rahasia itu kepada guru dan ayahku. Kedua orang tua itu berunding, kalau mereka yang muncul di Liang san untuk mencuri Ping-hoat, jelas kurang leluasa, sebab mereka dengan paman Sip adalah tokoh kenamaan dari Bulim, mereka kuatir diantara pejabat bangsa Kim ada yang tahu bahwa mereka adalah keturunan para pahlawan gagah gunung Liang-san. Sekali mereka muncul pasti akan membuat perhatian khalayak ramai."
"Akhirnya diputuskan, kaulah yang diutus kemari," kata Hek-swan-hong.
Merah jengah muka Hong-thian-lui, katanya: "Sebetulnya Cin-sute jauh lebih cerdik dan pintar dari aku, tapi Suhu justru tidak setuju kalau Cin-sute yang diutus kemari. Pit-le-ciang yang kulatih masih ada dua jurus yang belum matang dan sempurna. Tapi Suhu malah suruh aku mengembara."
Hek-swan-hong tidak tahu orang macam apa Cin sutenya itu, katanya tertawa : "Untung kedua jurus Pit-Ie ciang itu kurang sempurna, kalau tidak mungkin aku sudah kecundang ditanganmu. Gurumu suruh kau kelana tentu beliau percaya kau dapat menunaikan tugas berat ini."
Hong-thian-lui tertawa getir, ujarnya, ''Jelas tugas ini gagal dan hasilnya nihil dipermainkan oleh siluman perempuan lagi, sungguh penasaran, tiada muka aku pulang menemui ayah dan guruku."
''Perihal kedatanganmu ke Liang-san mencari Ping hoat, apakah Liok pangcu mengetahuinya ?"
"Selama aku mengembara belum pernah jumpa dengan Liok-pangcu."
"Aku ingin kembali ke Tay toh mencari Liok-pangcu, memberi tahu kejadian disini kepada beliau. Kuharap beliau bisa membantu menyirapi."
"Apa kau masih menyangka In-tiong yan itu orang baik ?'' goda Hong-thian-lui tertawa.
"Sudah tentu dia bukan orang golongan kita. Tapi bagaimana juga harus tahu asal-usulnya, aku harus memberi tahu berita baru ini kepada Liok-pangcu, anak murid Kaypang tersebar diseluruh pelosok dunia, mungkin dengan tuntunan sumber berita ini dapat membuat penyelidikan yang diharapkan. Saudara Ling, kau mau kemana selanjutnya?"
"Liok-pangcu juga terhitung paman kentalku, seharusnya aku menghadap kepada beliau. Tapi ayahku menyuruh aku ke Ceng-di-an di Ciat kang timur untuk suatu keperluan lain, terpaksa tak bisa mengiringkan."
"Cin-dian ada seorang Busu kenamaan Lu Tang-wan, kabarnya tahun ini genap ulang tahunnya ke 60. Apakah saudara Ling hendak kesana menyampaikan selamat ulang tahun?''
''Benar, beliaupun seorang sahabat kental ayahku, tapi aku hanya pernah melihatnya sekali waktu kecil, kira-kira puluhan tahun yang lalu."
''Kalau begitu, disini saja berpisah.''
"Setelah bertemu dengan Liok-pangcu, tolong sampaikan salam hormatku."
"Baik. Lebih baik lagi setelah menyampaikan bingkisan ulang tahun, kau bisa segera menyusul kesana, kita bisa bertemu di Tay-toh."
''Kuharap demikian,'' sahut Hong-thian-lui, berjalan berapa langkah, tiba-tiba teringat sesuatu, cepat ia menoleh dan berteriak, "Sungguh aku ceroboh, aku belum mengenal nama besarmu? Kau panggil aku saudara Ling, masa aku harus selalu panggil kau Hek-swan-hong ?''
Hek swan-hong menahan geli, sahutnya: "Aku she Hong bernama Thian-yang, tapi jangan kau beritahu nama asliku kepada orang."
"Aku paham, saudara Hong, selamat bertemu."
Sebetulnya dia kurang paham, kenapa Hek-swan-hong berpesan supaya nama aslinya tidak diberitahukan kepada orang lain. Yang dia pikir hanyalah Hek-swan-hong adalah benggolan yang mencari setori dengan kalangan pemerintah negeri Kim, berapa banyak pembesar jahat kerajaan Kim yang telah dibunuhnya, kalau nama aslinya diketahui orang, banyak bakal mempengaruhi sepak terjang selanjutnya. Memang ini hanya salah satu alasan belaka, yang penting masih ada alasan lain yang untuk sementara sengaja Hek-swan-hong tidak ingin memberitahu kepadanya.
Baru pertama kali mengembara Hong-thian-lui lantas berkenalan dengan seorang sahabat yang sudah menggetarkan dunia persilatan, apalagi seorang sahabat yang mempercayai dirinya, memberitahu nama aslinya yang tidak ingin diketahui orang lain, sungguh perasaan hatinya menjadi hangat dan berkobar darah mudanya. Terasa olehnya betapa berharga persahabatan kekal itu.
Hek-swan hong sudah tidak kelihatan, sesekali Hong-thian-lui masih berpaling kebelakang, memandang kemana Hek-swan-hong menghilang.
Dalam hati ia berpikir : "Kalau ayah tidak menyuruh aku ke Ciat-kang untuk menyampaikan bingkisan ulang tahun, bersama Hek-swan-hong aku pergi ke Tay-toh, alangkah menyenangkan !" sekonyong-konyong tergetar hatinya, batinnya : "Kenapa begitu tegas menyuruh aku ke Cing-dian menyampaikan bingkisan ulang tahun kepada paman Lu Tang- wan ?"
Watak Hong-thian-lui memang polos dan jujur, lugu lagi, namun dia bukan seorang muda yang goblok, malah dikata cukup cermat dan teliti meski terkadang pikirannya rada kekanak-kanakan.
Menurut aturan, betapa penting Ping-hoat karya Go Yong itu seumpama Hong-thian-lui berhasil merebut Ping-hoat itu, pantasnya ayahnya menyuruh segera pulang. Kalau telah mencuri In-tiong yan, dia harus kembali memberi laporan. Tapi ayahnya justru menyuruhnya dia pergi ke rumah Lu Tang wan di Ciat-kang timur untuk menyampaikan bingkisan ulang tahun, ini berarti ia harus menempuh jalan lebih jauh dan menghadapi berbagai bahaya pula. Mengapa?
Memang Lu Tang-wan itu adalah sahabat karib ayahnya, sahabat karib merayakan ulang tahun ke 60, bila ayahnya tak sempat bertandang sendiri lalu menyuruh anaknya mewakili adalah lumrah, perayaan ulang tahun boleh dianggap perkara kecil, mana bisa dibanding dengan Ping-hoat karya Go Yong itu?
Sepanjang jalan Hong-thian-lui menyelusuri berbagai pertanyaan ini, tanpa merasa ia terkenang akan keadaan malam itu.
Malam itu ayahnya dan gurunya berunding lalu menyuruh dirinya siap mencegat In tiong-yan merebut Ping-hoat itu, dia bersama Sutenya Cin Liong-hwi berdiri disamping siap menerima tugas.
Cin Liong-hwi ingin ikut berulang kali mohon kepada ayahnya. Diapun ikut menyokong Sutenya, sebab dia merasa sang Sute lebih cerdik, lebih meyakinkan untuk menunaikan tugas ini.
Tapi gurunya memilih dia, bermula ayahnya rasa sangsi namun beliau tidak mengukuhi pendapatnya, setelah dengar gurunya mengatakan bahwa anak Wi lebih dapat dipercaya, maka ayahnyapun tidak bersuara lagi.
Tiat-wi tahu akan sifat Sutenya, pikirnya keputusan ini pasti akan menimbulkan rasa sirik dan dengki Cin Liong-hwi. Betul juga setelah mereka keluar Sutenya menyindir dan mengolok dengan kata kata yang menyakitkan perasaan. Dia bilang dirinya bakal angkat nama dan menonjolkan diri, dia bilang ayahnya terlalu pandang rendah dirinya, tak sangka juga begitu rendah menilai diriku.
"Ayah mengatakan aku kurang dapat dipercaya, tapi ayahmu tidak membujuk atau menyampaikan kata-kata yang memberi muka kepadaku."
Dengan menahan rasa dongkol dan gegetun malam itu juga Hong-thian lui pulang kerumah sendiri, langsung ia bertanya kepada ayahnya, kenapa tidak bantu bicara atas kepentingan sang Sute.
Ayahnya menghela napas, ujarnya: "Justeru karena Sutemu selalu pintar, maka kita kawatir dan tidak rela menyuruhnya pergi."
Hong-thian-lui semakin heran,tanyanya : "Apa maksud ayah ?"
"Beberapa tahun terakhir ini, kalian tidak banyak membuat keributan, tapi waktu kecil, siapa yang lebih banyak membuat perkara ?" demikian tanya ayahnya.
"Boleh dikata semua gara-gara perbuatannya. Tapi akulah yang menerima getahnya."
"Benar, coba kau pikir, waktu masih kecil perkara sepele saja dia tidak berani bertanggung jawab atas perbuatan sendiri, mana bisa diharapkan menunaikan tugas berat dan penting ini?"
Hong-thian-lui terlongong sesaat baru berkata : "Tidak salah. Sute suka mempermainkan orang. Tapi tugas kali ini adalah untuk mengadu kecerdikan dan menguji keuletan dengan In-tiong-yan itu, kepintarannya bukankah sangat tepat untuk tugas ini ?"
Ayahnya menggeleng kepala, katanya : "Yang dikawatirkan hanyalah kepintaran kampungan belaka. Bocah kampung memang tidak terpelajar dan gampang dipermainkan olehnya. Tapi di Kota, kalau berhadapan dengan orang yang jauh lebih pintar, lebih cerdik dari dia, pasti gampang terjebak oleh tipu muslihatnya. Jauh lebih menguntungkan bila seseorang yang jujur polos dan kurang paham kelicikan memikul tugas ini. Dia harus punya keteguhan hati yang tidak gampang putar haluan, dengan bekal pembawaan ini, dia tidak mudah ditipu orang." melihat anaknya masih kurang paham segera ia menambahkan: "Umpamanya kau, kalau kau kebentur sesuatu kejadian yang kau anggap salah, betapa pun kau tidak akan mau mengalah bukan ?"
Hong-thian-lui mengiakan, berpikir sebentar lalu berkata : "Tapi, kadang kala terhadap Sute aku ada kekecualian juga."
Ayahnya tertawa, ujarnya: "Sudah tentu kau punya kekuranganmu sendiri, namun kau dapat membedakan benar atau salah, pilih kebijaksanaan dan membuang perbuatan jahat, sifat-sifat inilah kau jauh lebih dapat dipercaya dari Sutemu. Hanya pintar dan tidak punya pegangan menjadi manusia, kadang kala mendapat tekanan ancaman dan pancingan orang lain, sehingga mudah tertipu, untuk hal ini aku jauh mempercayai. Semula aku rada sungkan menghadapi sahabat lama, gurumu tidak mengijinkan anaknya pergi, kalau aku menyokong Sutemu, sebetulnya tindakanku kurang bijaksana. Demi suksesnya tugas penting ini maka selanjutnya aku tidak sungkan lagi. Maka kau harus paham, tugas dan bijaksana janganlah diabaikan. Nah, sekarang keputusan sudah ditentukan, tak perlu bicara lagi tentang Sutemu, mari aku ingin bicara urusan penting dengan kau.''
Setelah mendengar uraian panjang lebar ayahnya Hong thian-lui masih bingung dan kurang mengerti, tapi ia merasa masuk diakal dan dapat diterima, maka ia berkata : "Untuk pertama kali aku harus kelana, ada persoalan apa yang harus kuperhatikan, harap ayah suka memberitahu."
"Pengalaman Kangouw tidak bisa dipelajari secara teori, hanya secara praktek baru dapat kau selami. Untuk mencari Ping-hoat hanya mengadu untung dan nasib saja. Aku sendiri tidak berani menaruh harapan, yang hendak kukatakan adalah persoalan lain."
"Urusan apa ?" "Paman Lu Tang-wan, apakah kau masih ingat ? Waktu kecil kau pernah melihatnya bukan?"
Agak lama Hong-thian lui berpikir baru teringat, katanya : "Bukankah paman Lu yang pakai pipa cangklong untuk menutuk jalan darah itu?"
"Benar, paman Lu inilah yang hendak kupersoalkan. Dia adalah sahabat kental ayahmu, tapi sudah sepuluh tahun tak pernah jumpa. Paman Lu itu tidak punya putra, hanya seorang putri, beberapa tahun yang lalu Paman Sip It-sian pernah melihatnya, katanya wajahnya jelita ilmu silatnya juga lumayan, mungkin kau sendiri bukan tandingannya."
Hong thian-lui menjadi bingung, katanya : "Ayah, kau bicarakan paman Lu dan putrinya, sebetulnya punya sangkut paut apa dengan tugas yang harus kukerjakan itu?"
"Tanggal sembilan belas bulan delapan tahun ini adalah hari ulang tahun ke 60 paman Lu itu. Hari ini baru tanggal lima bulan tujuh, masih ada satu bulan, setelah usai tugas ini di Liang san, cepat kau pergi kesana. Ai, soal Ping hoat karya Go Yong itu, kita hanya patut berusaha."
"Bila secara kebetulan dapat kutemukan bagaimana?"
"Tak peduli kau berhasil tidak menemukan Ping-hoat itu, kau harus langsung ke Ciat kang menyampaikan selamat ulang tahun kepada paman Lu."
Lalu ia keluarkan sepucuk surat diserahkan kepada putranya, katanya : "Inilah sepucuk surat pribadi yang kutulis untuk paman Lu Tang-wan, simpanlah dalam baju, hati-hati jangan sampai hilang. Jikalau benar kau berhasil menemukan Ping-hoat itu, setelah jumpa dengan Lu Tang-wan, terlebih dulu kau serahkan suratku ini supaya dia baca. Setelah membaca surat ini, bila sikapnya manis dan ramah tamah, anggap kau sebagai keponakan sendiri, boleh kau beritahu persoalan ini kepada beliau. Sebaliknya bila sikapnya sungkan dan anggap kau sebagai tamu umumnya, jangan kau katakan kepadanya. Setelah perjamuan bubar segera kau harus pulang."
"Yah, bukankah kau tadi mengatakan paman Lu adalah sahabat karibmu ? Kenapa kau bisa beranggapan mungkin sikapnya dingin terhadap aku ?"
"Memang waktu muda dulu dia adalah kenalan paling erat dengan aku, tapi setelah puluhan tahun tak bertemu, apakah dia masih seperti dulu kala ?"
Sampai disini seperti ada sesuatu yang dipertimbangkan, rada lama kemudian baru bicara lagi: "Masih ada sebuah pesan yang harus kau ingat. Setelah sampai di rumah keluarga Lu, kecuali Lu Tang-wan, terhadap orang lain jangan kau katakan sebagai putraku. Demikian juga surat ini kecuali berhadapan langsung dengan paman Lu Tang-wan baru boleh kau serahkan kepada beliau."
"Kenapa begitu ?"
"Apa kau lupa bahwa moyangmu adalah pahlawan gagah Liang-san pek ? Sekarang belum cukup seratus tahun, pemerintah Kim masih mengawasi setiap keturunan orang orang gagah gunung Liang san. Banyak orang Kangouw yang tahu perihal diriku, lain dengan kau, orang she Ling dikolong langit entah berapa banyak, orang lain tidak menyangka bahwa Ling Tiatwi adalah keturunan Hong-thian lui Ling Tin dari pahlawan gagah Liang-san pek. Mana boleh kau sebutkan nama aslimu?"
"Ya, pesan ayah pasti kuperhatikan."
Lebih lanjut ayahnya berkata : "Selama puluhan tahun, aku tak berdaya untuk menyirapi keadaan paman Lu itu, karena situasi tidak mengijinkan. Kabarnya dia sudah punya seorang putri remaja yang ayu jelita."
Untuk kesekian kali ayahnya menyinggung putri Lu Tang-wan, Hong-thian-lui sulit ikut bicara, setelah berpikir ia bertanya : "Bukankah paman Sip It-sian juga keturunan orang Liang-san, kenapa dia tidak takut membawa bencana bagi keluarga paman Lu Tang wan, berani pula kerumah kita ?"
"Paman Sip adalah seorang pencuri sakti yang tiada bandingannya di dunia ini. Tidak pernah masuk ke rumah orang lewat pintu besar. Untuk bertemu dengan para sahabat lama juga selalu di tengah malam, selamanya tidak pernah mengejutkan para tetangga."
O^~dwkz^hendra~^O Teringat akan pembicaraan dengan ayahnya malam itu, tanpa merasa Hong thian-lui merasa pucuk surat yang disimpan dalam bajunya, batinnya: "Entah apa yang ditulis ayah dalam surat ini ?" adalah jamak bagi seorang muda yang ketarik akan sesuatu, bila hal ini terjadi pada Sutenya, tentu dia sudah membuka dan mencuri baca surat itu.
Hong thian-lui berpikir : "Syukur aku tidak memperoleh Ping hoat itu, di jalan tak usah kawatir menghadapi bahaya. Apa yang ditulis dalam surat ayah, setelah jumpa dengan paman Lu tentu dapat kuketahui." selanjutnya ia tidak banyak pikir lagi, dengan langkah lebar ia menuju ke Ciat-kang timur untuk menyampaikan sembah sujud kepada ulang tahun Lu Tang wan.
Sepanjang jalan ini tak pernah terjadi suatu apa, suatu hari tibalah dia dikampung halaman Lu Tang wan yang terletak di keresidenan Cing dian di Ciat kang timur pagi adalah itu perayaan hari ulang tahunnya.
Lu Tang-wan adalah seorang Busu kenamaan di Ciat-kang timur, begitu tiba di kampung halamannya, di jalan Hong thian lui mencari tahu pada penduduk yang ramah serta menunjukkan tempatnya.
Tapi waktu dia sampai di depan pintu besar gedung keluarga Lu, sesaat ia berdiri melongo.
Menurut anggapannya Lu Tang adalah Busu kampungan. Busu kampungan mesti tenar umumnya hidup sederhana tidak tinggal di gedung semewah ini. Di luar dugaan, tempat tinggal Lu Tang-wan persis rumah pejabat pemerintah atau hartawan besar, gedung yang megah dikelilingi tembok tinggi dengan berbagai cat warna warni, pintu besarnya dicat merah mengkilap, di luar pintu kanan kiri terdapat sepasang batu singa yang tinggi besar. Disebelah belakang sana kelihatan taman bunga dengan berbagai tanaman yang beraneka ragam.
Saat mana tamu-tamu undangan banyak yang sudah datang, didepan tinggal dua orang lagi, lalu gilirannya masuk. Baru saja kakinya menginjak undakan, salah seorang penyambut tamu maju menghadang.
Baju yang dipakai Hong-thian lui kasar warnanya luntur lagi, setelah menempuh perjalanan ribuan li jauhnya, maka pakaiannya kotor dan berdebu, dalam pandangan penyambut tamu itu, dianggap sebagai pengemis keliling.
"Hai, untuk apa kau kemari ? Minta arak atau sisa hidangan? Tunggu saja diluar," demikian bentak penyambut tamu itu.
Hong-thian lui tertegun, sesaat baru ia sadar maksud teguran orang, seketika merah wajahnya, jawabnya : "Aku bukan pengemis kedatanganku untuk menyampaikan selamat ulang tahun kepada paman Lu."
Penyambut tamu itu tertawa lebar, katanya kepada temannya : "Dari mana Lu cengcu punya keponakan rudin begini, apa kau pernah lihat ?"
Temannya itu segera menjawab : "Kau pamili atau kenalan Lu cengcu ? Coba sebutkan namamu."
"Aku bernama Ling Tiat-wi, mohon dilaporkan akan kedatanganku kepada Lu-locianpwe." dia takut dianggap mencari sedekah, maka ia mengubah sebutan 'paman Lu' menjadi 'Lu locianpwe'.
Kedua penyambut tamu saling pandang dan menyengir tawa, yang bicara duluan tadi berkata : "Tidak sukar memberi lapor, kau punya kartu nama tidak ?" bagi seseorang yang punya kartu nama, biasanya ditaruh dalam sebuah kotak kayu penyambut tamu, ini sudah tahu dan sengaja tanya, jelas hendak mempersulit dan mencari gara-gara.
Serta merta Hong-thian-lui melengak lagi : "Kartu nama apa?" tanyanya.
Penyambut tamu itu tertawa dingin, jengeknya : "Kartu nama yang tercantum nama besarmu. Kartu nama saja tidak tahu, kau mau mengacau ya ?"
Sebetulnya apakah kartu nama itu Hong-thian lui tahu. Tapi dia tidak pernah berpikir untuk menyiapkan kartu namanya. Ayahnya juga tidak menyangka dia bakal menghadapi kesulitan seperti sekarang. Lu Tang wan adalah sahabat karibnya, dengan sepucuk surat pribadi yang dibawa anaknya, ia kira sudah jauh dari cukup.
"Aku punya sepucuk surat untuk disampaikan kepada Lu locianpwe, setelah bertemu tentu dia tahu siapa aku ini." terdesak oleh keadaan terpaksa Hong-thian-lui memberikan alasannya.
"Surat siapa itu ?"
"Dari ayahku!" "O, tokoh kenamaan macam apakah itu, harap perkenalkan." dengan nada menghina dan cengar cengir penyambut tamu itu bertanya.
Wanti-wanti sang ayah pernah berpesan, namun kedua penyambut tamu ini bersikap tengik dan kurang ajar sungguh membuat jengkel dan dongkol, seumpama Hong thian-lui seorang batu juga berkobar amarahnya.
"Aku minta kalian masuk memberi laporan, bukan untuk diperiksa indentitasku?"
"Hah, bocah busuk macam kau unjuk tampang garang apa ? Kutanya bapakmu berarti memberi muka padamu, kecuali kau anak haram, kalau tidak masa tidak mau sebut nama ayah sendiri?"
Menurut lazimnya, penyambut tamu tanya nama ayahnya adalah suatu kehormatan. Tapi nada bicara dan sikap kedua penyambut tamu ini amat tengik dan menghina tak heran kalau dia berang.
Hong thian Lui seorang pemuda yang patuh dan bakti terhadap orang tua, mana terima orang menghina ayahnya ? Apalagi mendengar 'anak haram' segala, keruan ia naik pitam, kedua biji mata merah membara bentaknya : "Keparat, apa kau bilang?" kedua tinju berkeretekan.
Kedua penyambut tamu ini mahir silat juga, tapi melihat sikap garang Hong thian-lui yang bengis, mereka menjadi gentar, kata salah seorang : "Bocah kampung, ajak berkelahi ?" seorang yang lain berteriak ; "Kunyuk, berani bertingkah di sini, bosan hidup ya ?" mulut menggertak kaki menyurut mundur.
Kedua orang penyambut tamu ini berkepandaian lumayan didaerah Ciat-kang timur, pergaulan luas dan banyak pengalaman, namun tidak punya kepandaian sejati. Karena mereka pandai bicara dan mengerti tata tertib, maka Lu Tang Wan minta mereka membantu sebagai penyambut tamu. Meski rendah kepandaian, namun mereka punya pandangan tajam, melihat Hong thian-lui siap berkelahi, jari jarinya berkuretan, maka bocah ini tentu sukar dilayani, pihak sendiri belum tentu mampu melawan.
Ingin rasanya Hong-thian lui menghajar mereka, mendadak teringat olehnya akan nasehat gurunya, sabar dan jangan mengumbar adat, serta ia berpikir : "Pukul anjing juga harus pandang muka majikannya, kalau kuhajar, maka malu rasanya bertemu dengan paman Lu nanti."
Mengingat segi-segi yang merikuhkan, Hong-thian-lui tidak hiraukan mereka, langsung menerobos masuk saja.
"Hai, apa kerjamu di sini ?" ingat akan tugasnya, meski insyaf bocah ini sukar dilayani, kedua penyambut tamu itu menjadi nekad, terpaksa mereka merintangi.
"Kalau kalian tidak mau memberi lapor, biar aku masuk sendiri." demikian kata Hong-thian-lui.
"Tidak boleh !" teriak kedua penyambut tamu itu, setelah saling memberi lirikan mata serempak mereka mengerahkan tenaga lantas mendorong kearah Hong thian-lui.
Dalam hati mereka berpikir: "Tokoh-tokoh silat dalam keluarga Lu sekarang banyak sekali, jangan sampai bocah ini mengambil keuntungan. Kalau benar-benar dia menerobos masuk, betapa malu kami dibuatnya!"
Siapa tahu, bila mereka tidak mengerahkan tenaga masih mending, karena didera tenaga gabungan mereka, serta merta timbul reaksi dari tubuh Hong-thian lui, kontan kedua penyambut tamu itu terpental jungkir balik ditanah.
Waktu merangkak bangun, hidung berdarah dahi benjot, untung tidak kena batu, kalau tidak akibatnya pasti lebih runyam, setelah berdiri mereka berkaok-kaok: "Hai, kawan-kawan lekas datang. Ada orang berani bertingkah di sini!"
Sebetulnya tanpa dipanggil beberapa orang sudah memburu keluar, yang berjalan paling depan adalah seorang pemuda berjubah mewah dan baru.
Kedua penyambut tamu itu segera berteriak lagi: "Bagus, Piau-siauya telah datang! Piau siauya, bocah ini berani bertingkah disini !"
Piau siauya yang dimaksud adalah pemuda bersikap halus dan sopan santun, tahu tata krama, tanyanya: "Siapa kau, kenapa memukul orang?"
Hong-thian-lui tidak mengira kedua penyambut tamu itu jatuh tergulung, tanpa merasa ia jadi melongo, sahutnya tercekat: "Aku tidak memukul, mereka sendiri yang jatuh bangun."
Piau siauya inipun seorang ahli silat, sekali pandang lantas tahu bahwa ucapan Hong-thian-lui tidak bohong. Dalam hati ia berpikir: "Meskipun kedua orang ini tidak punya kepandaian sejati, tapi bocah ini hanya mengandal tenaga tolak dalam-dalam melontar mereka jatuh, kepandaiannya cukup lumayan juga. Siapa tahu dia murid seorang tokoh Kang-ouw, coba kutanyakan dulu."
Tanpa menanti orang bertanya Hong-thian lui berkata lebih dulu: "Aku datang untuk menyampaikan selamat ulang tahun kepada Lu-locianpwe."
Kedua penyambut tamu segera menimbrung, "Dia tidak punya kartu nama, mau menerjang masuk saja, bukan salah kami kalau merintangi dia. Dia bilang ada sepucuk surat tulisan ayahnya yang disampaikan kepada Lu-loya, kutanya siapa nama ayahnya kan jamak dan menjadi kewajiban kami, entah punya penyakit sinting atau kesurupan setan gentayangan, bocah ini memukul orang. Piau siauya, harap kau memberi keadilan."
Piau-sauya tersenyum, katanya: "Mungkin hanya salah paham saja. Hari ini adalah ulang tahun Ih-tio, ada orang ingin menyampaikan 'Selamat? tak peduli siapa dia, betapapun jangan kita membuat kecewa orang. Namun tamu terlalu banyak, Ih-tio tiada waktu melayani para tamunya. Kau punya surat dari ayahmu, apa boleh serahkan pada aku untuk kusampaikan?" Jelas maksudnya, nanti setelah Lu Tang wan melihat suratnya baru bisa memberi putusan apakah akan menemui dia tidak.
Melihat orang bicara sopan, punya aturan lagi, Hong-thian-lui merasa simpatik, tapi sang ayah berpesan untuk menyampaikan suratnya langsung kepada Lu Tang wan, maka segera ia berkata: "Aku yang rendah ingin menyerahkan langsung kepada Lu-locianpwe sendiri. Aku hanya mohon bertemu sebentar, kukira tidak akan mengganggu Ih-tiomu."
Piau-siauya rada kurang senang, ia tertawa lebar, katanya: "Urusan besar kecil dalam keluarga ini, biasanya aku yang urus. Tuan tak percaya padaku, silakan masuk saja. Oh, ya, aku belum tanya nama besar saudara, boleh bukan?" sambil bicara ia uIur tangan berjabatan dengan Hong-thian-lui.
Tiga diantara beberapa orang yang ikut keluar adalah murid Lu Tang-wan, sembari ketawa dingin mereka berkata bersama: "Bocah ini tidak tahu adat, saudara Khu, kenapa kau sungkan terhadapnya?"
Berjabatan adalah tata kehormatan yang layak Hong-thian-lui sedikitpun tidak curiga dengan wajar ia ulur tangannya untuk jabatan, tak nyana begitu saling genggam segelombang tenaga menggetar sehingga pergelangan tangannya sakit kesemutan. Berbareng kelima jari Piau siauya laksana jepitan besi mencengkeram urat nadinya.
Karena Hong-thian-lui terperanjat, baru sekarang ia insaf bahwa orang sengaja menjajal kepandaiannya.
Dikata ?Jajal? sebenarnya kurang tepat. Untuk jajal seharusnya cukup saling raba atau tutul saja, tapi dalam keadaan tanpa siap siaga lawan mendadak melancarkan sergapan licik dengan kekuatan tenaga dalamnya, malah mencengkeram nadi pergelangan tangannya lagi tujuannya jelas untuk mendesak posisinya menjadi pihak yang digempur tanpa balas atau melawan, hakikatnya tidak mungkin dikatakan ?jajal? atau adu kepandaian segalanya.
Bagi ahli silat yang punya landasan kuat begitu diserang secara reflek lantas timbul reaksi. Begitu mencengkeram urat nadi Piau-siauya lantas membentak: "Bocah goblok menggelinding keluar !" ia lancarkan jurus Tay-cui ui jiu hendak melemparnya keluar pintu, mendadak terasa lengan Hong thian-lui berubah sekeras baja, kelima jarinya yang mencengkeram dengan tenaga penuh tergetar lepas oleh daya perlawanan musuh.
Hong-thian lui menggentakkan kedua lengannya, ia pun membentak: "Kau usir aku, aku malah tak mau pergi !" meski lwekang Piau-siauya cukup tinggi mana kuat menandingi tenaga pembawaan Hong thian-lui, seketika ia terhuyung beberapa langkah lekas lekas ia kerahkan tenaga daya berat untuk mengendalikan badan.
Kedua penyambut tamu itu berteriak: "Wah kurang ajar, berani pukul Piau-siauya lagi !"
Tiga murid Lu Tang-wan yang ikut keluar bersama Piau-siauya tadi memburu maju, sambil menggerung besar serempak mereka merangsek.
Dari malu Piau-siauya menjadi gusar, hardiknya: "Kalian mundur, biar kuhajar bocah keparat ini !"
Hong thian lui juga naik pitam, gertaknya: "Jelas kau mencari gara-gara, kenapa hendak memberi pengajaran pada aku? Baik, mari maju, layani kepelanku!"
Dikata lambat kenyataan sangat cepat, sementara itu Piau-siauya sudah menerjang maju, sekaligus dua tinjunya menghantam. Hong-thian-lui kenal pukulan lihay orang, adalah Hun-kin-joh-kut (mengedot urat menyeleo tulang) keruan hatinya makin berang, pikirnya: "Kalau dia tidak kuhajar, ia anggap aku gampang dihina dan dipermainkan. Tapi paman Lu adalah Ih tionya jangan aku melukai dia."
Dengan gaya Toh bau-ciat ka, Hong thian lui menekuk dengkul menurunkan tubuh, begitu pundaknya turun secepat kilat badannya berputar seperti ulur tangan balas mencengkeram. Namun kepandaian Piau-siauya tidak lemah, setelah kecundang, ia insyaf bahwa Lwekang Hong-thian lui lebih unggul, mana dia berani mengadu kekerasan lagi? selicin belut ia berputar kesamping, sebat sekali tangannya mencengkeram Joan-yau-hiat Hong-thian lui, jalan darah pelemas tubuh. Dengan loncatan harimau menerkam, Hong thian lui loncat tinggi, beruntun kedua kakinya menendang berantai mengarah kepala orang. Terdengar suara "Bret!" baju kasar Hong-thian lui dicengkeram sobek, sebaliknya tendangan Hong-thian lui mengenai tempat kosong.
Ketiga murid Lu Tang-wan bersorak gembira: "Bagus, hajar saja kunyuk kurang ajar ini !" belum hilang suara mereka, Hong thian-lui menghardik, dua telapak tangan didorong bersama, untung tidak sampai mengenai Piau-siauya, namun sempoyongan mundur terus mundur tanpa dapat menguasai tubuh lagi.
Jelas ia bakal jatuh terjengkang. Hong-thian-lui jadi menyesal, batinnya : "Tenaga Bit-le-ciangku terlalu besar, semoga tidak sampai membuatnya cidera." baru saja hendak maju menolong, tiba-tiba seseorang berlari bagai terbang dari dalam, sebelah tangannya menekan punggung Piau-siauya, sehingga tubuhnya yang terhuyung mundur terus itu terhenti. Padahal dorongan Piau-siauya yang sempoyongan mundur itu sangat besar, namun dengan sebelah tangan orang itu dapat menahan daya tekanan yang begitu besar, sementara dia berdiri tegak tanpa bergeming.
Mengangkat seberat itu bagai seenteng asap, betapa matang dan tinggi kepandaian orang ini, sungguh Hong-thian-lui kagum dan memuji dalam hati. Waktu ia angkat kepala, dilihatnya seorang tua dengan jenggot kambing tiga baris menjuntai turun dari dagunya. Lapat-lapat Hong-thian-lui masih kenal paman Lu yang pernah dilihatnya waktu kecil dulu, kelihatannya seperti yang dilihatnya sekarang, tidak banyak berobah.
Setelah mengatur napas, Piau-siauya berkata : "Ih-tio, bocah ini bertingkah disini! Kuminta dia pergi sebaliknya malah memukul aku."
"Apakah paman Lu ?" seru Hong-thian-lui, "aku tidak pukul mereka, justeru mereka yang memukul aku !"
"Siapa kau ?" suara Lu Tang-wan serak berat.
Hong-thian-lui baru sadar bahwa dia belum memperkenalkan diri, setelah berapa tahun, jelas Lu Tang-wan tidak mengenalnya lagi. Cepat ia berkata : "Aku Ling Tiat-wi, ayah ada kirim surat untuk paman. Sengaja aku diutus kemari menyampaikan selamat ulang tahun kepada kau orang tua."
Lu Tang-wan tertegun sebentar sambil mengerut alis, tiba-tiba ia berkakakan katanya : "O, kiranya kau adalah Tiat-wi. Ini betul-betul salah paham belaka. Mari bicara dalam saja."
Piau-siauya menjadi kaget, serunya : "Orang ini . . siapakah dia ?" sebetulnya dia hendak bilang 'gendeng', melihat gelagat merubah haluan, karena Ih-tio sudah kenal bocah goblok itu, terpaksa ia pun ganti sebutan.
Kedua penyambut tamu itu menjadi kikuk dan malu-malu, katanya : "Dia tak sudi menyebut nama ayahnya, tak mau serahkan suratnya kepada kami, kami sebelum bertemu dengan kau orang tua, betapapun kami tak berani beri ijin kepadanya masuk kedalam.''
Lu Tang-wan maklum duduk perkara sebenarnya, iapun tertawa-tawa, katanya : "Dia putra seorang sahabat kentalku, agaknya baru pertama kali ini keluar pintu, tidak mengenal adat istiadat kaum Bulim, pandanglah mukaku, jangan salahkan dia." lalu ia berkata lagi sembari tersenyum riang : "Tiat-wi, watakmu masih seperti kecil, tapi cukup ceroboh juga."
Akhirnya Hong-thian-lui berhasil bertemu dengan Lu Tang wan. Lu Tang-wan begitu ramah pula terhadapnya, rasa marahnyapun lantas hilang. Kalau dipikir pikir memang bukan salah penyambut tamu itu, maka ia merasa menyesal dan risi malah, beruntun ia mengiakan dan minta maaf kepada kedua penyambut tamu itu.
Kata Lu Tang-wan tertawa: "Tanpa berkelahi kalian takkan berkenalan, mari berjabatan. Dia adalah keponakanku, bernama Khu Tay-seng."
Khu Tay-seng berkata: "Saudara Ling, pepatah mengatakan yang tidak tahu tak bersalah. Tadi aku ceroboh dan kurang hormat, maafkan jangan kau berkecil hati, ilmu silatmu cukup tinggi, sungguh aku sangat kagum. Kalau ada senggang harap suka memberi petunjuk !" sikapnya ramah beda jauh dengan sikap kasarnya tadi.
Jantung Hong-thian-lui masih kebat-kebit kawatir Khu Tay-seng menjajalnya lagi, dia ulur tangan untuk berjabatan. Kali ini Khu Tay-seng berlaku simpatik dan cukup hormat sedikitpun tidak kerahkan tenaga dalam. Justru sikap Hong-thian-lui yang tegang dapat dilihat Lu Tang-wan, terasa bahwa waktu Hong-thian-lui cepat dan kurang wajar, dalam hati ia membatin: "Maklum bocah kampung, baru keluar lantas membuat onar dan lucu."
Selanjutnya Hong-thian-lui unjuk hormat kepada Lu Tang-wan, Lu Tang-wan berkata; "Tak usah sungkan !" enteng saja ia jinjing dan membangunkan Hong-thian-lui. Namun demikian Hong thian lui masih berhasil menekuk dengkul dan membungkuk tubuh setengah hormat. Diam-diam Lu Tang-wan sudah menjajal Lwekangnya, ternyata memang lihay, hati rada terhibur dan senang, katanya; "Mari ikut aku !"
Khu Tay-sengpun ikut masuk.
"Tay-seng !" kata Lu Tang-wan, "keluarlah bantu menyambut tamu. Kalau ada tamu agung datang, mintakan maafku kepada mereka, aku perlu sedikit tempo baru bisa keluar lagi."
Khu Tay-seng jadi uring-uringan, batinnya: "Entah bocah dari mana dia, Ih-tio bersikap begitu ramah kepadanya, nanti biar kucari tahu kepada bibi, tentu beliau memberi tahu kepadaku." terpaksa ia mengiakan, lalu keruang tamu.
Lu Tang-wan membawa Hong-thian-lui ke sebuah kamar rahasia, tanyanya: "Apakah ayah dan gurumu baik-baik?"
"Baik, banyak terima kasih akan perhatian paman. Inilah surat ayah untuk disampaikan kepada kau orang tua." demikian kata Hong-thian-lui menyerahkan surat ayahnya.
Lu Tang-wan terima surat itu, sebelum dibuka ia berkata: "Aku bersama ayah dan gurumu adalah sahabat lama, setelah ada disini, anggap seperti orang sendiri. Tapi jangan sekali kali kau mengatakan bahwa kau adalah putra Ling Ho, demikian juga nama gurumu jangan kau sebut."
"Paman jangan kawatir. Siautit paham!" Setelah memberi pesan Lu Tang-wan membuka sampul surat serta membacanya sekali. Dari mula sampai akhir Hong thian lui memperhatikan wajah, tampak orang hanya sedikit mengerut alis, tanpa bicara apapun juga.
Hong-thian lui berpikir: "Entah apa yang ditulis dalam surat itu. Kelihatannya paman Lu kurang senang. Sesuai pesan ayah, tak usah kuceritakan tugasku ke Liang san mencari Ping-hoat itu. Setelah perayaan ulang tahunnya usai segera aku harus pulang."
Seperti mempertimbangkan sesuatu, pelan-pelan Lu Tang wan melepit surat itu, lalu disimpan dalam bajunya, katanya: "Surat ayahmu ini apakah pernah kau baca?"
"Tidak. Entah apa yang dikatakan ayah?" tanya Hong-thian-lui.
Pertanyaan ini sengaja hendak mengartikan bahwa bukan saja dia belum pernah baca, ayahnyapun tidak menyinggung isi surat itu.
Lu Tang-wan tersenyum, ujarnya: "Bukan soal penting, dia minta aku menyapa dan meniliki kau. Sebenarnya antara kawan lama masa perlu basa basi dan sungkan segala !" Sikapnya berubah ramah dan dekat lagi, meski tidak seramah waktu bertemu tadi, betapa pun tidak dingin.
Lu Tang-wan membuka pintu memanggil seorang pelayan, katanya tertawa: "Tiat-wi, sepanjang jalan ini tentu kau amat lelah. Pergilah kekamar belakang, istirahatlah dan ganti pakaian yang bersih. Para tamu yang datang hari ini tokoh-tokoh kosen yang kenamaan dalam kalangan persilatan, setelah ganti pakaian, nanti ikut aku keluar. Yah, kuanggap kau sebagai keponakan sendiri, jangan kau salah paham."
Lalu ia berpesan kepada pelayan: "Tong-bwe ambilkan jubah baruku untuk ganti Ling-sauya, perawakanku hampir sama dengan kau, mungkin bajuku bisa kau pakai."
Baju yang dipakai Hong-thian Iui sudah butut dan sobek lagi, waktu berkelahi dengan Khu Thay seng dicengkeram dilengannya, dalam hati ia membatin: "Paman Lu kuatir aku bikin malu, tapi bajuku ini memang juga harus kuganti, baru enak bertemu dengan tamu, tapi seorang pelayan harus meladeni aku ganti pakaian, ah, sungguh berabe dan malu !"
Selama hidup belum pernah Hong thian-lui diladeni oleh pelayan, tanpa merasa mukanya menjadi merah jengah.
Lu Tang wan tahu dan tertawa geli dalam hati, pikirnya: "Maklum orang desa!" segera ia berkata pula: "Tiong bwe, bawa Ling Siauya kekamar tulisku, keluarkan beberapa stel pakaianku supaya dipilih, lalu kau panggil Siocia, suruh segera menemui aku."
Tahu tak diladeni, Hong thian lui merasa lega.
Dalam pada itu Khu Tay seng melayani para tamu dengan hati kurang tenteram. Ih-tio dengan bocah goblok itu sedang bicara dikamar rahasia, sehingga semangatnya kendor. Kebetulan datang dua tokoh persilatan yang kenamaan dan punya kedudukan tinggi dengan alasan ini segera ia masuk kedalam hendak mencari tahu. Sebetulnya Lu Tang-wan tak perlu menyambut kedua tamu ini.
Khu Tayseng berhubungan dekat dengan keluarga Lu, sudah bisa keluar masuk seperti rumah sendiri. Tapi dia tahu hari ini luar biasa, sikap yang diutarakan Lu Tang-wan jelas tidak suka ada orang ketiga hadir ditengah mereka, mendengarkan percakapannya dengan bocah goblok itu. Takut membuat marah Ih thionya, Khu Tay seng tak berani masuk kedalam kamar rahasia itu, sesuai rencana semula ia menemui bibinya lebih dulu, supaya bibinya yang memanggil sang suami. Sekaligus mencari tahu asal usul bocah she Ling itu.
Diluar kamar suami isteri Lu Tang-wan adalah sebuah taman kembang, dalam taman ini dibangun sebuah gunung palsu dikelilingi pepohonan yang cukup rimbun. Setelah melewati pintu bulan sabit, tiba-tiba terdengar percakapan lirih Lu Tang wan dan istrinya didalam kamar.
Walau percakapan mereka lirih, sejak kecil Khu Tay-seng sudah berlatih senjata rahasia semacam Bwe hwa ciam dan lain-lain, pendengarannya amat peka, ia dengar percakapan itu dengan jelas.
Terdengar bibinya sedang bertanya : "O, sungguh aku tidak menyangka akan hal ini. Bagaimana keadaan keluarga pemuda she Ling itu, bagaimana pula martabatnya ?"
Khu Tay seng tertegun, batinnya, "Kenapa bibi menanyakan asal usul keluarga bocah she Ling itu?" diam-diam lantas ia sembunyi dibelakang gunung palsu mencari dengar percakapan mereka. Bila jejaknya konangan baru ia menggunakan alasannya tadi.
Terdengar Lu Tang-wan menghela napas, ujarnya : "Tentang keluarga bocah she Ling ini, aku agak sulit untuk menerangkan."
"Kenapa?" tanya Lu-hujin.
"Ayahnya bernama Ling Ho yang pernah kusinggung padamu dulu."
Lu-hujin terperanjat, katanya : "Bukankah Ling Ho keturunan pahlawan gagah Liang-san yang bernama Hong-thian-lui Ling Tin ?"
"Benar sebagai golongan pendekar dalam kaum Bulim, keluarga Ling adalah keturunan orang gagah. Merupakan keluarga kelas tinggi yang patut dihargai. Tapi bagi orang biasa tentu tidak berpandangan demikian."
"Beberapa tahun terakhir ini terhitung kita berhasil membangun rumah tangga yang sejahtera, betapapun kau harus hati-hati, jangan mengundang bencana."
"Waktu aku kelana di Kangouw pernah mendapat budi kebaikan Ling Ho. Terhadap anak seorang sahabat memangnya aku tidak pantas terima dan asuh dia ? Tapi kaupun tak perlu kawatir, aku sudah suruh dia tutup mulut !"
"Hidup manusia harus mengutamakan budi pekerti, sudah tentu kita harus sambut dan ladeni dia supaya jangan dianggap kita tidak berbudi dan tidak tahu tatakrama. Tapi meladeni dan soal nikah adalah berlainan, jangan dicampur adukkan."
Mendengar sampai disini mencelos perasaan Khu Tay-seng. Batinnya, "Soal nikah ? Jadi bocah busuk itu hendak melamar Piau-moay? Huh, katak buduk merindukan bulan !" Dugaan Khu-tay seng memang tidak salah. Dalam surat ayah Hong thian-lui memang melamar putri Lu Tang wan untuk dijodohkan dengan Hong-thian lui. Namun Hong thian-lui tidak tahu. Khu Tay seng anggap dia katak busuk merindukan bulan, ini terlalu dan fitnah belaka.
Jantung Khu Tayseng berdebar debar sembunyi dibelakang gunung, kupingnya dipasang lebih cermat.
Lu Tang-wan termenung sesaat lamanya baru bicara : "Ilmu silat tiat-wi memang lumayan, tadi aku menjajalnya sendiri. Soal martabatnya kelihatan polos dan jujur, sederhana lagi."
"Jadi kau sudah setujui dia ?" tanya Lu hujin dengan sikap dingin.
"Sayang bocah ini belum punya pengalaman, sikapnya kekanak-kanakan dasar bocah kampung."
"Kanak-kanak atau watak kampungan bisa dirobah, dia menetap disini, pelan-pelan dapat kau ajar dan bimbing dia, apa kawatir dia bakal tidak pintar ?"
"Lalu bagaimana maksudmu ?"
Tiba tiba Lu hujin tertawa dingin, ujarnya : "Tapi, kau lupa satu hal, putri kita itu sejak kecil bergaul intim dengan anak Seng, kulihat hubungan mereka sangat cocok dan setimpal. Beberapa waktu yang lalu, Toaci (ibu Tay-seng) pernah menyinggung soal perjodohan ini, kukatakan Giok-ji masih terlalu muda. Ai, hmm kalau tahu, tatkala itu seharusnya aku segera menerima lamarannya."
Kata-kata Lu-hujin laksana pil penenang urat syaraf, setelah mendengar ucapan bibinya Khu Tay seng merasa tentram, pikirnya, "Kiranya bibi penujui aku, ucapannya tadi hanya sindiran belaka."
Cepat Lu Tang wan menyanggah : "Aku kan tidak mengatakan harus menerima lamaran keluarga Ling, kenapa kau uring-uringan? Tapi ...."
"Tapi apa ?" "Ini soal masa depan Giok ji, menurut hematku biarlah dia sendiri yang menentukan pilihannya."
"Apa kau hendak beritahu soal ini kepadanya ?"
"Tidak. Aku hanya memberitahu kedatangan seorang putra sahabatku lama, supaya dia anggap Tiat wi sebagai abang sendiri. Soal selanjutnya, terserah kepada mereka kelak."
"Berapa lama kau hendak tahan dia disini ?"
"Terserah berapa lama dia suka tinggal di sini, masa enak aku mengusir pergi ?"
"Apa benar dia tidak tahu isi surat ini ?"
"Bocah itu bukan pembual, menurut nada kata-katanya bukan saja dia tidak berani membuka surat ini, ayahnya juga tidak menyinggung soal lamaran itu kepadanya.''
Lu-hujin lega, sekarang ia bisa unjuk seri tawa, katanya: "Begitupun baik, biar Giok-ji yang pilih calon suaminya. Sebagai ibunya aku dapat menyelami sanubarinya, Giok ji takkan memilih bocah gendeng itu !"
Sementara itu, Khu Tay-seng tengah membatin : "Piau-moay sejak kecil bergaul dengan aku, selama ini suka kepadaku. Bocah busuk itu merindukan bulan, Hah, biar dia mimpi di siang hari bolong. Tapi aku harus mencari akal untuk mengusir dia secepat mungkin."
Tengah ia menerawang cara bagaimana mengatur rencananya, mendadak terdengar derap langkah mendatangi, diujung taman muncul seorang gadis, sambil berjalan gadis itu berloncatan sambil memetik bunga dan daun-daun kembang.
Gadis ini adalah Piau-moaynya yang bernama Lu Giok-yau. Dari pintu bulan sabit jauh-jauh Khu Tay seng sudah melihat kedatangan sang Piau-moay, cepat-cepat ia mengkeret lalu melompat keluar dari atas tembok supaya tidak konangan jejaknya, setelah itu pura pura seperti baru datang dan muncul dari luar pintu, teriaknya : "Piau-moay !"
"Lho, kenapa kau tidak menyambut tamu diluar ?" tanya Lu Giok yau.
Si Angin Puyuh Si Tangan Kilat Hong In Lui Tian Karya Gan Kh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Datang dua tamu, aku harus memberi lapor kepada Ih-tio."
"Ayah juga sedang menanti aku. Entah ada urusan apa dia panggil aku."
Mendengar percakapan mereka, segera Lu Tang wan berseru ; "Sungguh kebetulan kedatangan kalian, mari masuk!''
Setelah mereka didalam kamar, pertama-tama Lu Tang-wan tanya kepada Khu Tay-seng: "Orang macam apa yang datang?"
Khu Tay-seng menyebut nama dua orang tamu itu. Berkerut alis Lu Tang wan, ujarnya, "Kedua orang ini cukup ternama, tapi kau saja yang layani mereka."
"Mereka datang dari jauh, ingin sekali menyampaikan selamat pada Ih-tio, karena begitu besar keinginan mereka terpaksa aku masuk memberi laporan, harap Ih-tio maklum," demikian Khu Tay-seng mengada-ada.
"Kalau begitu boleh kau keluar dulu layani mereka." demikian sela Lu hujin.
Lu Tang wan juga tak memperpanjang persoalan, katanya : "Giok-ji, apakah Piauko sudah memberi tahu tadi datang seorang tamu. Tamu ini bukan tamu biasa, dia adalah putra seorang sahabat lamaku."
"O ya ? Piauko belum beritahu padaku. Anak sahabat lama yang manakah ?"
"Kau belum pernah melihatnya."
Tengah ia menimang nimang apakah perlu memberi tahu asal usul Hong-thian-lui di-hadapan Khu Tay-seng, tiba-tiba seorang pelayan berjalan masuk, yaitu Tong-bwe yang melayani Hong thian-lui.
Tanya Lu Tang-wan: "Ling-siauya sudah ganti pakaian belum?" dia sangka setelah memanggil si nona, pelayan ini melayani Hong-thian lui di kamar buku, baru sekarang balik kesini.
"Entahlah." sahut Tong-bwe, "Loya bukankah tadi kau suruh aku tidak usah melayani dia?"
"Lalu untuk apa kau kemari?"
"Aku baru saja keluar dari kamar Siocia dan ketemu Ting-taysiok yang sedang mencari Loya, dia suruh menyampaikan sepucuk kartu nama kepada kau. Menurut katanya kedua tamu ini tidak dikenal oleh penyambut tamu, katanya berwibawa dan angker, jadi mereka tidak berani menghalangi, mereka sudah disilahkan masuk."
Ting-taysiok adalah pengurus rumah tangga keluarga Lu. Setelah menjelaskan Tong-bwe menyodorkan sebuah kotak kepada majikannya.
"Dua tamu kenapa hanya sebuah kartu nama, siapakah nama mereka?"
"Menurut Ting-taysiok, seorang tua dan seorang muda, yang tua she Lian, yang muda adalah muridnya."
Begitu mendengar she Tian, berubah air muka Lu Tang-wan, lekas ia buka kotak kayu itu serta mengeluarkan sebuah kartu nama.
Dari samping Khu Tay-seng ikut melihat, tampak kartu nama itu bergambar dua bendera silang warna hitam, sebelah atas bendera hitam itu terdapat seekor elang hitam sedang terbang. Kartu nama itu tidak tertera nama terang, kecuali gambar itu terdapat satu huruf 'Lian' yang cukup besar.
"Ih-tio." kata Khu Tayseng, "Siapakah orang ini tidak tahu sopan santun?"
Lu Tang wan seperti tidak dengar pertanyaannya, gumamnya: "Sudah kuduga dia bakal datang mencari onar, tak nyana begitu besar nyalinya tidak pada hari-hari biasa justru dia pilih hari ini."
Lu Giok-yau ketarik, tanyanya: "Yah, Piauko sedang tanya kau. Macam apakah orang she Lian ini?"
Lu Tang-wan menghela napas, ujarnya: "Kalian tak usah turut campur soal ini. Tay seng coba kau kekamar buku, apakah Ling Tiat-wi sudah ganti pakaian, kau temani dia ngobrol saja."
"Bukankah kau hendak perkenalkan dengan para sanak dan sahabat?" tanya Tay seng.
"Semula ingin kuperkenalkan dengan para sahabat, dengan adanya soal ini tunda dulu kalau segala urusan sudah beres."
Diam diam girang hati Khu Tay-seng katanya dalam hati; "Kepandaian bocah itu lebih tinggi dari aku, kalau Ih tio ajak dia bercengkerama dihadapan sekian banyak orang-orang gagah mungkin aku asor dibanding dia. Nah, dengan kesempatan ini akan mengorek sedikit keterangannya.'' segera ia mengiakan lalu mengundurkan diri.
Walaupun Lu Tang-wan tidak memberi tahu siapa sebenarnya tamu she Lian itu, namun Khu Tay seng sudah maklum, tentu seorang musuh besar Ih-tionya yang mencari perkara. Kalau Khu Tay-seng paham, sudah tentu Lu Giok-yau juga mengerti.
Tak kuasa mengendalikan ingin tahunya Lu Giok-yau bertanya; "Yah, mari keluar bersama, hadapi tamu tak diundang ini."
"Untuk apa kau keluar?"
"Bantu kau kan ! Yah, betapa tenar dan tinggi kedudukanmu di Bulim, mana boleh berkelahi dengan orang? Biar aku saja yang layani dia !"
Lu Tang-wan tersenyum getir, ujarnya: "Memang kau benar, orang biasa aku takkan sudi turun tangan. Tapi untuk tamu ini mau tidak mau harus kulayani sendiri."
Terperanjat Lu Giok-yau, tanyanya: "Tokoh macam apakah dia? Yah, begitu penting sampai kau harus turun tangan?"
Lu Tang-wan menarik muka, katanya, "Sudah kuberitahu, jangan kau ikut campur. Ibumu ingin bicara dengan kau. Kau harus patuh tinggal didalam kamar saja!"
Lu Giok-yau merengut, hatinya uring-uringan; "Kau larang aku keluar, nanti sebentar aku akan lolos kesana." di saat ia jengkel inilah Lu Tang-wan sudah melangkah keluar.
Para tamu dalam ruang perjamuanpun heran-heran, hati mereka dirundung pertanyaan seperti Lu Giok-yau. "Orang macam apakah sebetulnya she Lian ini?"
O^~dwkz^hendra~^O Jilid 06 Orang ini mengenakan mantel kulit serigala, seperti muridnya itu pakaian mereka serba parlente bagai hartawan besar.
Begitu masuk keruang perjamuan, kedua orang ini lantas duduk dengan tingkah laku sombong dan takabur, diajak bicara malah mendongak acuh tak acuh, menjawab pertanyaan orangpun hanya mendehem saja tanpa buka mulut.
Tamu tamu yang hadir adalah tokoh-tokoh silat yang punya nama dan kedudukan, begitu sombong dan tak punya sopan santun lagi kedua guru murid ini sehingga para tamu menjadi sebal dan gemas.
Semula mereka sangka kedua guru murid ini adalah sahabat karib Lu Tang-wan, menggebuk anjing juga harus pandang muka sang majikan, maka menghadapi sikap sombong dan tidak mengenal aturan ini mereka hanya dongkol dan gemes saja tanpa berani menegur.
Tengah para tamu mereka-reka, tampak Lu Tang-wan sudah melangkah lebar dari dalam.
Tampak alis Lu Tang-wan bertaut, katanya dingin : "Tak nyana Hek-ing yang kenamaan sudi bertandang kegubukku ini !"
Semua hadirin menjadi kaget mendengar ucapan tuan rumah, "Jadi orang ini adalah Hek-ing (elang hitam) Lian Tin-san ?"
Ternyata Lian Tin-san adalah begal tunggal yang paling kenamaan pada masa ini. Tapi meski namanya tenar menggetar Kangouw namun jarang orang kenal dia. Soalnya dia malang melintang seorang diri, selamanya belum pernah kerja sama dengan orang lain. Setiap kali melakukan kerja besar selalu dengan caranya sendiri, sehingga si korban tak berani lapor atau menyiarkan kejahatannya.
Orang-orang Kangouw tahu wataknya kejam dan bertangan gapeh, ilmu silatnya tinggi, namun betapa tinggi kepandaiannya tiada seorangpun yang tahu.
Setelah ditegur, pelan pelan Lian Tin-san bangkit, katanya : "Kau merayakan ulang tahunmu yang ke 60, mana boleh aku ketinggalan ikut merayakan ?"
"Banyak terima kasih," jengek Lu Tang-wan. "Silakan bicara terus terang saja! Apa maksud kedatanganmu."
Lian Tin san bergelak tawa, serunya : "Baiklah, mari bicara secara gamblang saja, pertama kedatanganku ini memang menyampaikan selamat ulang tahun kepada kau, tujuan yang lain ..."
"Tujuan lain adalah membuat perhitungan lama bukan ?" bentak Lu Tang wan dengan bengis.
Lian Tin-san menyeringai dingin, katanya kalem: "Kata katamu terlalu berat didengarkan. Memang, dulu kita pernah berselisih, tapi tak perlu diperhitungkan. Bicara terus terang, aku orang she Lian bawa muridku yang tak becus ini, tak lain hanya untuk meramaikan perayaan ulang tahunmu, bertanding silat dihadapan para sahabat saja !"
"Bertanding silat atau membuat perhitungan sama saja akan tetap kulayani. Coba jelaskan cara bagaimana bertanding !"
"Bagus, cukup tegas ucapanmu, kalau begitu marilah buat sebuah perjanjian dulu !" demikian tantang Lian Tin-san.
"Menentukan janji apa? Katakan?"
"Kalau aku kalah, aku menyembah dan menyampaikan selamat ulang tahun kepada kau. Sebaliknya bila kau kalah, maaf, maka kaupun harus berlutut dan menyembah tiga kali kepadaku. Tiga ganti tiga cukup adil bukan."
Dengan nama dan kedudukan Lu Tang-wan mana sudi berlutut dan menyembah pada orang? Kalau sudah berlutut nyembah sekali atau tiga kali sama saja. Jelas Lian Tin san hendak menghina dia dihadapan sekian banyak orang.
Diam diam Lu Tang wan menerka dalam hati: "Dia mengasingkan diri selama sepuluh tahun baru datang menantang perang, tentu punya ilmu yang cukup lihay, jangan aku terjebak oleh muslihatnya." maka dengan menahan gusar ia tenangkan pikiran dan kerahkan tenaga murni katanya: "Baik akan kulayani setiap tantangan." Karena ruang perjamuan itu penuh sesak maka Lu Tang-wan ajak ia bertanding diluar pekarangan.
Tapi Lian Tin san tidak bergerak, "Nanti dulu !" katanya sembari tertawa sinis.
"Apa apa lagi, lekas katakan!"
"Teng ngo, kemarilah !" Lian Tin san menunjuk pemuda yang datang bersamanya serta berkata lagi: "Inilah Teng ngo. Teng ngo waktu datang tadi apa yang pernah kukatakan padamu."
Pemuda itu menjawab dengan sikap hormat : "Kau orang tua suruh aku belajar kepadanya menambah pengalaman."
"Tidak salah. Lekas kau minta pengajaran kepada Lu-loenghiong !"
Betapapun sabar Lu Tang-wan sekarang menjadi berkobar amarahnya, desisnya : "Lian Tin- san, berani kau menghina kepada aku."
Lian Tin san terbahak-bahak, ujarnya : "Saudara tua, jangan kau salah paham. Aku minta kau memberi petunjuk padanya, bukan minta kau beri pengajaran. Sudah tentu lebih baik kalau kau sendiri sudi terjun kegelanggang, buat dia sungguh sulit diharap malah."
Lu Tang-wan sudah bicara, cara apapun yang diajukan pasti dilayani, terpaksa ia tahan sabar, katanya: "Tak perlu banyak bacot, bagaimana aku harus memberi petunjuk kepadanya ?"
Lian Tin-san berkata pelan-pelan, "Kudengar kau punya empat murid dan seorang keponakan laki-laki yang sudah kelana di Kangouw, diapun terhitung setengah muridmu, tadi pernah kukatakan, kami hanya ingin bertanding mencari persahabatan di-hadapan sekian banyak orang. Kalau hanya aku bertanding melawan kau saja, bukankah terlalu mengenyampingkan mereka para angkatan muda. Merekapun perlu belajar kenal kau !"
"O, jadi maksudmu, murid lawan murid, guru lawan guru ?" Lu Tang-wan menegaskan. Diam diam ia berpikir : "Walau pemuda ini kelihatan penyakitan, bermuka kuning dan kurus kering, tapi Thay-yang hiatnya menonjol keluar, jelas Lwekangnya sudah cukup matang dan kuat. Keempat muridku itu mungkin bukan tandingannya, hanya Tay-seng yang mungkin dapat mengimbangi !"
Terdengar Lian Tin-san berkata : "Angkatan muda dari para sahabat atau sanak kandangmu, bila ingin memberi petunjuk pada muridku, kami sambut dengan senang hati."
Sementara itu Ko Teng-ngo sudah berada di pekarangan, dengan bertolak pinggang ia berseru : "Angkatan muda dari perguruan Lu-loenghiong sangat banyak, untuk menyingkat waktu, kuharap mereka bisa maju bersama."
Lian Tin-san lantas menanggapi, "Benar, satu persatu terlalu makan waktu, lebih baik maju bersama saja. Tujuan muridku dengan adu silat mencari persahabatan. Seumpama beruntung dia menang, betapapun kepandaiannya masih kurang sempurna, selanjutnya masih diharap saudara Lu tidak kikir memberi petunjuk padanya."
Keruan ocehannya menimbulkan reaksi pada empat murid Lu Tang-wan, serempak mereka tampil kedepan dengan marah marah.
"Baik, keparat ini berani membual, biar aku hajar dia." murid nomer tiga bernama Lu Kang yang paling berangasan memburu keluar, diapun salah seorang keponakan Lu Tang-wan.
"Hai, biar aku dulu yang maju!" murid terbesar Tio Gak berteriak.
Murid kedua Hoa Tai dan murid keempat Ciu Im hampir bersama juga memburu keluar, satu berteriak, "Potong ayam masa perlu golok kerbau, Toa suheng, biar aku dulu!" yang lain membentak: "bocah keropos, belum bertanding sudah bicara besar! Akulah murid yang paling rendah kepandaiannya, belum tentu kau dapat merobohkan aku !"
Keempat murid ini belum punya pengalaman Kangouw, mereka merubung bersama, Lu Tang wan mengerutkan kening, baru saja ia hendak mencegah, namun sudah terlambat.
Sebelum murid keempat Ciu Im habis bicara, mendadak terasa pandangannya kabur. Murid Lian Tin-san yang bemuka kuning berpenyakitan bertubuh kurus kering itu tahu-tahu sudah menubruk kehadapannya.
Meski pucat kuning muka Ko Teng-ngo, namun gerak geriknya ternyata sebat dan mengagumkan. Terdengar ia mengejek dingin, belum hadirin melihat jelas gerakan apa yang dia lancarkan "Blang!" tahu-tahu Ciu Im sudah terlempar setombak lebih.
Sejak tadi Lu Tang-wan sudah melihat kepandaian pemuda kurus ini cukup tinggi, tapi tidak nyana begitu lihay, keruan ia kaget, batinnya: "ltu kan gerak tipu Hun-kin joh kut yang bersumber dari Tay-kim-na jiui Hun-kin-joh kut masih mending, jelas iapun menggunakan kekuatan Siau-thian-sing-ciang lat. Agaknya Khu Tay-seng juga belum tentu menandingi dia. Keempat muridku ini jelas bakal bikin malu saja!"
Hampir dalam waktu yang sama keempat muridnya itu merangsak maju, begitu Ciu Im kecundang, murid terbesar Tio Gak dan murid kedua Hoa Tai juga sudah menerjang tiba. Betapapun Lu Tang-wan harus jaga gengsi dan nama baiknya, dalam keadaan begini tak bisa dia suruh muridnya mengundurkan diri.
Ko Teng-ngo terbahak-bahak, serunya: "Nah, kan begitu, kalian maju bersama saja !" seiring dengan gelak tawanya, ia turun tangan secepat kilat, dengan tipu Im-yang-siang- ciang, tinjunya menjotos muka Tio Gak. Sebagai murid terbesar, Tio Gak boleh dibanggakan, sigap sekali dia gunakan Hong-tiam-thiau untuk menghindar, berbareng kedua lengannya bersilang terus lancarkan Heng ka-kim liang, serangan yang mengandung pembelaan diri. Dalam waktu yang sama tinju murid kedua Hoa Tai juga mengenjot tiba, juga diarah adalah punggung Ko Teng ngo.
Punggung Ko teng ngo seperti tumbuh mata begitu genjotan kemuka Tio Gak luput, gesit sekali ia merobah gerakan tangannya, mencengkeram kebelakang, jengeknya dingin: "Harap maaf, aku tidak bisa terima petunjukmu, coba rasakan!"
"Krak !" pergelangan tangan Hoa Tai dipuntirnya keseleo, murid ketiga Lu Kang menjadi murka, bentaknya : "Berani kau melukai orang?'' menubruk maju tinju kanan menggenjot sedang tangan kiri memayang Hoa Im.
"Apa boleh buat, kepelan kan tidak punya mata. Terima kasih akan peringatanmu, kali ini aku cukup hati hati !" tinju Lu Kang mengarah lambung, tapi ia tidak berkelit atau menangkis, dengan tipu Sun jiu jian-yo ia tangkap pergelangan tangan Lu Kang terus digentak keluar.
Sebelah tangan Lu Kang memeluk Ji-suhengnya, karena gentakan keras ini kontan ia terbanting jatuh, Hoa Tai yang dipeluknya itupun ikut berguling-guling. Namun sesuai janjinya tadi, kali ini Teng-ngo tidak membuatnya cidera.
Sebagai murid tertua, meski tahu bukan tandingan, terpaksa Tio Gak mengeraskan kepala melawan dengan nekad.
"Saudara Tio," olok Teng-ngo, "Kau adalah golok kerbau, kau sudi memberi petunjuk, wah suatu kehormatan bagi aku," sengaja dia menyindir ucapan sutenya yang mengatakan mengggorok ayam tak perlu pakai golok kerbau. Sembari bicara, secepat kilat ia sudah lancarkan tujuh jurus serangan, jurus demi jurus Hun-kin-joh-kut sangat lihay dan cukup ganas. Tio Gak sudah kerahkan segala kemampuannya, susah payah ia berhasil melawan tujuh jurus, untuk gebrak selanjutnya jelas tak mampu membela diri lagi. Tiba-tiba mulutnya terbentang ia menghamburkan darah segar, badannya terhuyung mundur kebelakang. Muntah darahnya, bukan karena kena pukulan tapi karena tergetar oleh Siau thian sing ciang-lat yang hebat itu.
Teng-ngo menghentikan langkahnya, katanya tawar : "Singa menerkam kelinci, golok kerbau menggorok ayam, kiranya juga hanya begitu saja, cukup sampai di sini saja !"
Empat muridnya dikalahkan secara konyol saking marah muka Lu Tang-wan sampai membesi hijau.
"Entah siapa lagi diantara anak murid Lu-loenghiong yang ingin memberi petunjuk ?" Teng ngo menantang dengan suara tawar, meski tidak menunjuk sikap congkak, rasa senang dan takaburnya terdengar dari kata-katanya.
Mendadak terlihat pakaian melambai, dari belakang pintu angin berkelebat keluar seorang, serunya : "Biar aku mewakili ayah minta petunjuk padamu."
Ternyata sejak tadi Lu Giok-yau sudah sembunyi di belakang pintu angin melihat keempat Suhengnya dikalahkan, tak tahan segera ia tampil kedepan.
Lu Tang-wan terkejut, serunya : "Giok-ji, kau, kau ..." yang hendak dikatakan adalah : 'kau tidak dengar peringatanku, berani keluar !? sampai diujung bibir tiba-tiba ia urung bicara, kalau mencegah putrinya maju bukankah menambah lawan lebih takabur ?
Sebelum sang ayah habis bicara, Lu Giok-yau sudah membantah : "Yah, aku terhitung muridmu bukan, orang ingin mengukur kepandaian muridmu, masa kau sendiri yang turun gelanggang ?"
"Benar, Lu-siocia memperoleh pelajaran keluarga, tepat sekali untuk mengembalikan muka ayahmu." Lian Tin san menyindir dengan sinis.
Lu Tang-wan bungkam oleh olok-olok Lian Tin san, lebih runyam kalau ia perintahkan puterinya mundur.
"Huh, kau sengaja membuat malu para muridku, mereka konyol dan menjadi bulan bulanan belaka. Tapi kepandaian Giok ji lebih unggul dari pada Suhengnya, apa boleh buat biarlah iapun mencoba coba kemampuannya. Kalau bocah busuk ini berani melukai puteriku, terpaksa aku tak sungkan lagi padanya,'' diam-diam Lu Tang-wan bersiap siaga bila puterinya terancam bahaya, dia akan pukul mampus Ko Teng ngo.
Kelihatannya Lian Tin-san meraba pikiran Lu Tang-wan, sambil tertawa tawa ia menggeremet kesampingnya, katanya: "Nona Lu tadi tidak hadir mungkin tidak mendengar pertanyaanku, biarlah kutandaskan sekali lagi, muridku hanya berkelahi untuk mencari persahabatan berarti kedua belah pihak cukup saling tutul saja. Tapi kepelan atau senjata tajam umumnya tidak bermata umpama sampai terluka atau cidera kita harus pasrah nasib."
Ko Teng-ngo lantas melanjutkan: "Harap Lu eng-hiong berlega hati, puterimu suka beri petunjuk betapapun aku rela dilukai olehnya tapi pasti takkan membuatnya cidera."
Berdiri alis Lu Giok yau, semprotnya gusar: "Tidak usah mengalah! Jangan cerewet, keluarkan senjatamu !" ia tahu bahwa tenaga sendiri bukan tandingan lawan, ilmu pukulan terang tidak unggul lawan Ko Teng-ngo, alasan lain dia tak sudi saling gebuk dan hantam, supaya tidak sentuhan badan.
Ko Teng ngo bergelak tertawa: "Senjataku adalah kedua kepelanku ini. Nona Lu tak usah kawatir, silakan serang saja!"
"Sret!" Lu Giok-yau melolos pedang, jengeknya: "Baik kau yang menantang, kalau terluka jangan salahkan aku. Sambut serangan ini !"
"Ilmu pedang bagus !" teriak Ko Teng-ngo memuji, belum lenyap suaranya, tiba-tiba selicin belut ia menyelundup, berputar ke hadapan Lu Giok-yau, mengembangkan Khong jiu-jip-pek-to, dengan kekerasan dia berusaha merampas senjata Lu Giok-yau.
Lu Giok-yau terkejut karena tusukannya mengenai tempat kosong, pikirnya: "Tak heran para Suheng dirobohkan semua olehnya." seiring dengan gerak putaran tubuhnya, pedang ditangannya segera berubah memapas lengan kanan lawan.
Perubahan serangan pedang inipun cukup sebat dan ganas, tak urung Ko Teng-ngo juga terkejut dibuatnya, sedikit ayal pasti lengannya tertabas kutung.
Sekaligus Lu Giok-yau lancarkan tujuh rangkai serangan pedang, Ko Teng-ngo mundur tujuh tindak. Baru sekarang hadirin menghirup napas segar, beramai mereka bersorak memberi semangat padanya. Hanya Lu Tang-wan sendiri yang mengerutkan alisnya malah.
Diantara hadirin yang melihat tenaga pembawaan Lu Giok-yau lebih lemah dari lawannya, dalam hati mereka berpikir; "Entah ada permusuhan apa antara Lian Tin-san dengan Lu Tang-wan, jelas ia sengaja mengalah untuk memberi muka pada Lu Tang-wan."
Sebetulnya bukan Ko Teng ngo hendak memberi muka pada Lu Tang wan, tapi anak muda sudah logis kalau kepincut paras ayu diam-diam ia menaruh hati pada pandangan pertama. Sejak kecil ia digembleng dengan tekun oleh Lian Tin-san. Nona remaja yang cukup cantik jarang dilihat olehnya apalagi cantik jelita seperti Lu Giok-yau. Wajah Teng-ngo sendiri, boleh dikata jelek kalau tidak mau dikatakan terlalu buruk, gadis yang cukup rupawan sudah tentu tidak ketarik padanya.
Dalam hati Ko Teng ngo membatin, "Genduk ini amat cantik, kalau aku membuatnya cidera kan sayang? Lebih baik aku mengalahkan dia dengan cara yang mengagumkan supaya dia merasa hutang budi padaku."
Namun meski kepandaian sejati Lu Giok-yau tidak sebanding dengan dia, ilmu pedangnya tidak lemah, dengan bertangan kosong Teng ngo harus melawan pedang pusaka, berulang kali ia lancarkan Khong-jiu jip-pek-to hendak merampas pedang lawan, namun selalu gagal, pernah dua kali hampir saja dia terluka oleh sambaran lawan.
Kalau Lu Tang-wan mengerut alis, Lian Tin-san pun makin bertaut. Akhirnya ia berseru: "Teng ngo, kau hendak minta petunjuk Lu loenghiong, maka keluarkan kepandaianmu."
Ko Teng-ngo tersentak sadar, pikirnya: "Suhu berjerih payah mendidik aku, betapa besar harapannya terhadap aku. Kali ini dia ingin aku menegakkan gengsi dan mentenarkan namanya dihadapan sekian banyak orang orang gagah. Aku sendiri ternama atau tidak bukan menjadi soal, betapapan aku tidak bisa meruntuhkan nama baik perguruan."
Sayang Lu Giok-yau seorang gadis pingitan yang belum punya pengalaman, apalagi melawan musuh tangguh, sedikit berada diatas ingin lantas anggap kepandaian musuh hanya begitu saja, kewaspadaan dan kesigapannya menjadi kendor. Ilmu pedang yang dimainkan begitu lincah dan banyak perubahan yang menakjupkan itu lambat laun diselami oleh Ko Teng-ngo, titik kelemahannya sudah diincar oleh lawan.
Pertempuran makin sengit, tampak Ko Teng-ngo bergerak selincah kera menari, loncat kekiri hindar kekanan, setiap gerak geriknya serasi, hingga pedang Lu Giok-yau tak pernah menyentuh badannya mendadak ia menyentuh sekali, "Creng!" tepat ia selentik batang pedang lawan. Kontan Ceng-kong kiam ditangan Lu Giok-yau terlepas dan jatuh berkerontang diatas tanah, namun sebelum pedang jatuh ujungnya berhasil memapas sobek ujung lengan baju Ko Teng ngo.
Selentikan jari Ko Teng ngo itu mengerahkan tenaga murninya telapak tangan Lu Giok yau tergetar kesemutan, tubuhnya sempoyongan hampir roboh.
Sigap sekali Ko Teng ngo memburu maju seraya berteriak : "Maaf, aku kesalahan tangan !"
Betapa kejut Lu Tang-wan, serta merta ia bergerak hendak menolong. Lian Tin-san terbahak-bahak mengadang di depannya, ujarnya : "Lu-liok, belum saatnya kita turun gelanggang bukan?"
Pada saat itulah mendadak menerobos keluar seorang serta membentak gusar. "Bajingan kau berani melukai Piau-moayku !" seiring suaranya, kedua tangannya mendorong sehingga Ko Teng ngo terpental mundur.
Sebetulnya Khu Tay seng tengah bicara dengan Ling Tiat wi dikamar buku, sebagai Piau siauya yang berkuasa dalam keluarga Lu, dia mendapat laporan kejadian di depan oleh mereka yang bermuka-muka padanya.
Ternyata murid si elang hitam sudah mengalahkan keempat murid Ih tionya, sekarang sedang bertanding dengan Piaumoynya, bergegas dia memburu keluar.
Sebetulnya Ko Teng ngo kawatir Lu Giok-yau jatuh terjengkang, ia maju ingin memapahnya. Khu Tay-seng punya prasangka yang sama dengan sang Ih tio menyangka Ko Teng-ngo hendak berbuat tidak senonoh terhadap sang Piaumoay.
Karena terpelanting keruan Ko Teng-ngo menjadi gusar, serunya: "Aku bertanding dengan Lu, siapa bilang aku aniaya dia ?"
Khu Tay-seng tak hiraukan dia, tersipu-sipu dia payang Piaumoay, katanya, "Piau-moay, bagaimana kau ?"
"Aku tidak terluka," sahut Lu Giok yau. "Piauko, tepat kedatanganmu, kau balaskan sakit hatiku !"
"Nona Lu, pertarungan kita anggap saja seri, aku terlalu berat menggunakan tenaga, jangan kau marah lho !" demikian ujar Teng-ngo cengar cengir.
Merah jengah muka Lu Giok-yau, semprotnya; "Siapa sudi kau alem !" meronta dari pegangan Khu Tay-seng ia jemput Ceng-kong kiamnya yang jatuh oleh selentikan Ko Teng ngo tadi.
Melihat putrinya tidak terluka Lu Tang wan menyesal akan tindakannya yang terburu nafsu tadi, segera mundur kembali ketempatnya semula.
Lian Tin-san tertawa dingin, oloknya, "Muridku tidak melukai seujung rambut putrimu, sudah lega hatimu !"
Lu Tang-wan mendengus katanya: "Baik, nanti aku yang minta petunjuk ilmu silatmu !" Waktu mendorong Ko Teng-ngo tadi, kedua tangan Khu Tay-seng kesemutan, sebetulnya hatinya agak gentar, mendengar sang Piaumoay minta dia menuntut balas timbul semangatnya, segera ia membentak, "Baik, sekarang giliran kubelajar kenal dengan ilmu silatmu."
Melihat hubungan Tay-seng begitu mesra dengan Lu Giok yau, jelus hati Ko Teng ngo jengeknya; "Kaupun termasuk murid Lu-loenghiong, kabarnya diantara muridnya kepandaianmu paling tinggi, kau ingin kenal ilmu silatku. Hahahaha sangat kebetulan malah."
Tanpa banyak bicara mereka lantas bergebrak, Ko teng-ngo ingin menghajarnya, maka ia kembangkan Hun kin-joh kut, setiap jurus menggunakan tenaga penuh, yang diincar tempat berbahaya yang mematikan.
Khu Tay seng menebalkan nyali sekuat tenaga dengan segala kemampuannya ia melawan. Sayang secara kenyataan kepandaian setingkat dibawah lawan, meski ia sudah kerahkan setaker tenaganya, namun terdesak dibawah angin.
Dalam pertempuran seru itu dengan serangan Im-yang siang-jong ciang, Khu Tay-seng balas merangsak dengan sengit, berusaha mencapai kemenangan dan posisinya kepepet itu, umpama semua murid kalah betapapun harus gugur bersama, biar kalah asal menyenangkan sang Piaumoay, rasa sakit atau terluka tidak dihiraukan lagi.
Terdengar Ko Teng ngo terkekeh-kekeh, serunya lantang : "Para hadirin harap perhatikan dia yang menumbuk, bukan aku sengaja melukainya." belum habis suaranya kedua telapak tangan sudah terangkap dan tepat menggencet pergelangan tangan Khu Tay seng, bila kerahkan tenaga dan dipelihara pasti tangannya putus.
Dalam keadaan gawat itulah tiba tiba gelombang tenaga dahsyat menerpa datang. Mencelos hati Ko Teng ngo, kagetnya bukan kepalang, cepat ia lepas tangan dan mundur serta berteriak : "Lu loenghiong, kau... kau....." setelah melihat orang yang berada didepannya, seketika merah jengah selebar mukanya, kata-kata selanjutnya juga ditelan kembali.
Ternyata yang menolong Khu Tay-seng bukan Lu Tang wan, tapi seorang pemuda yang lebih mudah usianya sendiri. Dia tak lain tak bukan adalah Hong thian-lui Ling Tiat wi.
Sudah tentu bukan maksud Hong-thian-lui membokong, yang jelas tujuannya hendak memisah saja. Soalnya sebelum ia memburu tiba tenaga pukulannya sudah memberondong lebih dulu. Ko Teng-ngo tidak melihat jelas, ia anggap murid murid Lu Tang-wan tiada yang punya tenaga dalam sekuat ini, maka ia kira Lu Tang-wan sendiri yang turun gelanggang. Takut pukulan Lu Tang-wan bakal menghabisi jiwanya, tersipu-sipu ia lepas tangan dan tak sempat melintir putus tangan Khu Thay seng. Terpaksa dia kerahkan hawa murni bersiaga, sebelum Hong-thian-lui menerjang tiba, dia sudah lepas tangan melompat kesamping.
"Akupun termasuk angkat muda Lu loeng-hiong," demikian ujar Hong-thian-lui, "Hari ini aku menyampaikan selamat ulang tahun beliau. Tadi kau mengatakan, siapapun asal angkatan muda Lu-loenghiong akan kau beri ajaran !"
Kejut dan girang hati Lu Tang-wan, pikirnya : "Sudah kebacut dia keluar, biarlah diapun coba-coba." maka ia bicara : "Aku masih disini lho, Ko lote, kenapa kau panggil aku? Hehehe, belum saatnya aku turun gelanggang. Kau tak usah gembar gembor!" lalu ia berpaling dan berkata pada Hong thian-lui : "Tiat wi Hiantit, teguhkan hatimu menghadapi petunjuk saudara Ko !"
Usia Hong-thian-lui lebih muda dari Ko Teng-ngo, waktu masuk gelanggang tadi Ko Teng-ngo sudah obral omongan secara takabur, terpaksa ia harus mengeraskan kepala, sahutnya: "Benar, memang tadi kukatakan demikian, maju bersama atau giliran satu persatupun tetap kulayani." dalam hati ia berpikir : "Lwekang bocah ini kelihatan lebih unggul dari aku satu tingkat, namun belum tentu dapat menandingi tujuh puluh dua jalan Toa-kim-na-jiuku yang lihay ?" dasar licik ia mengatur jalan mundurnya lebih dulu, umpama kalah, betapapun tidak sampai malu.
"Jangan kawatir," ujar Hong thian lui dingin. "Aku Ling Tiat-wi takkan ambil keuntungan. Kau bilang aku bertempur giliran? Baik, aku batasi pertempuran ini sepuluh jurus saja, kalau dalam sepuluh jurus aku tak mampu merobohkan kau anggap aku yang kalah."
Diam diam girang hati Ko Teng ngo, namun lahirnya pura pura gusar makinya: "Bedebah! Kau pandang rendah diriku ?"
"Kau sudah tempur tiga babak tenagamu banyak terkuras, kalau tidak kubatasi bukankah aku beruntung ? Kalau kau tidak mau diremehkan aku orang she Ling juga tak mau dicela oleh para Enghiong yang hadir."
Memang Ko Teng-ngo memancing pernyataan terbuka ini, segera ia menanggapi; "Baik, kau sendiri yang bilang, bukan aku yang membatasi sepuluh jurus !"
Harus diketahui, untuk menang dalam perkelahian tidaklah sulit, yang sulit adalah merobohkan lawan, paling sedikit bekal kemampuan sendiri harus lebih tinggi satu atau dua tingkat dari musuh. Sudah tentu Ko-Teng-ngo tidak percaya bocah yang jauh lebih muda dari dirinya ini punya kepandaian begitu tinggi ?
"Nih, boleh kau mulai dulu, kau sebagai tamu aku mengalah tiga jurus!" demikian bentak Hong thian lui. Batas yang dia tentukan adalah sepuluh jurus, sengaja ia mengalah lagi tiga jurus tanpa balas menyerang, berarti tinggal tujuh jurus. Dalam tiga jurus ia harus waspada supaya tidak dirobohkan lawan.
Murid murid Lu Tang wan beruntun kecundang, tamu tamu undangan keluarga Lu ikut uring uringan dan jengkel. Sekarang melihat sikapnya gagah dan perbawa angker Hong thian lui, meskipun menang kalah belum dapat diramalkan para hadirin sudah bersorak dan bertepuk memberi semangat padanya.
"Keparat!" bentak Ko Teng ngo, "kau sendiri yang ingin mampus."
Bersama dengan bentakannya ia lancarkan serangan pertama. Tangan Hong-thian-lui masih terselubung didalam lengan bajunya yang panjang kedodoran, sedikit jongkok kebawah terus menerjang maju. Jurus serangan Ko Teng-ngo adalah menjojoh mukanya, tadi dia sudah berkenalan dengan Lwekang Hong-thian-lui, melihat orang menerjang dengan kekerasan, dia harus hati hati memperhitungkan untung ruginya, seumpama dirinya berhasil mencengkeram pecah urat nadinya, dirinya akan terluka oleh terjangan dahsyat bagai banteng ketaton ini. Memang dia sudah gentar, maka bergegas ia mengegos sambil ganti serangan.
Dari samping Lu Giok-yau bertepuk serta bersorak : "Bagus jurus pertama sudah dimulai !"
Menurut peraturan pertandingan, Hong-thian-lui tidak angkat kaki tidak ulur tangan sudah tentu tidak bisa dianggap balas menyerang. Meski ia menerjang dengan kekerasan, boleh dikata sengaja memberikan mukanya untuk digenjot lawan. Ko Teng-ngo tidak berani memukul umpan baik adalah kesalahan Kong Teng ngo sendiri. Yang terang dia sudah memberi keuntungan kepada Ko Teng-ngo.
Mendapat pengalaman pertama, Ko Teng-ngo mengubah permainannya, dengan gerak tangan yang cepat luar biasa dari samping ia memukul kemuka lawan, di tengah jalan pukulan tangan dirobah menjadi cengkeraman ke urat nadi Hong-thian-lui, walaupun kedua tangan Hong-thian-lui terbungkus di-dalam lengan bajunya, namun Ko Teng ngo mahir mengincar sasarannya dengan tepat, ia membatin : "Kali ini kulihat kau berani menumbuk tidak. Kalau kau melawan berarti sudah kukalahkan !"
"Bret !" tampak lengan baju Hong thian-lui robek besar, tapi Ko Teng-ngo malah terpental mundur tiga langkah. Para hadirin menyaksikan dengan jelas, kedua tangan Hong-thian lui masih disembunyikan didalam lengan bajunya.
Ternyata Hong-thian-lui menggunakan Tiat-siu kang (Ilmu Lengan Baja Besi), dengan dilandasi tenaga murninya, lengan baju yang dicengkeram Ko Teng-ngo menjadi keras seperti pentung kayu. Kalau Ko Teng-ngo dapat merobek lengan bajunya, terhitung kepandaiannya memang lumayan. Tapi jari jemarinya juga kesemutan dan kesakitan, tanpa kuasa ia tergetar mundur tiga langkah.
Jurus kedua ini, walau Hong-thian-lui menggunakan Tiat-siu-kang, namun jelas tidak turun tangan, jadi tidak bisa dianggap balas menyerang.
Lu Giok-yau acungkan jarinya sambil menghitung: "Jurus kedua!" suaranya sudah tidak selantang tadi.
Belum lenyap suara Lu Giok-yau, sigap sekali Ko Teng-ngo melejit kebelakang Hong-thian-lui, dengan tipu Yu-gong-tam-jiau ia mencengkeram tulang pundak Hong-thian-lui.
Pi-pe-kut atau tulang pundak merupakan bagian terlemah ditubuh manusia, bila dicengkeram, betapapun tinggi kepandaian silatnya pasti cacat seumur hidup. Ko Teng ngo berpikir: "Betapa tinggi Lwakangnya, apa mampu dia melindungi tulang pundaknya?"
Melihat serangan yang begitu keji dan telengas, hadirin bersorak mengumpat caci. Ditengah sorak sorai itu terdengar suara "Bret!" Baju dipunggung Hong-thian-lui tercengkeram hingga robek besar dan panjang, tampak jari jemari Ko Teng ngo berlepotan darah.
Ternyata waktu tangan lawan mencengkeram tiba, Hong thian lui menekuk pinggang, dengan punggung ia sambut Tay-kim-na jiu musuh.
Sejak kecil Hong-thian Iui melatih Lwekang dan Gwakang berbareng. Lwekangnya memang belum sempurna, tapi Gwakang sudah dilatih dengan baik, kulit badannya keras seperti besi, dibacok golok orang biasa juga takkan terluka. Ko Teng ngo luput mencengkeram tulang pundaknya, maka kelima jarinya lecet tergesek kulit kasar di punggung Hong-thian-lui, namun punggung Hong-thian-lui juga lecet keluar darah. Noktah darah dijari Ko Teng ngo sebagian adalah darahnya sendiri sebagian adalah darah Hong-thian lui.
Orang lain tak tahu adanya luka di jari Ko Teng-ngo, kenyataan punggung Hong-thian lui berdarah. Keruan hadirin kaget dan kebat-kebit, yang bernyali kecil malah menutup mata.
Hong-thian-lui sudah mengalah tiga jurus, yang diderita hanya luka lecet dikulitnya saja, terang belum dipukul roboh maka tidak bisa terhitung kalah.
"Tiga jurus sudah selesai," terdengar Lu Giok-yau berteriak, suaranya rada gemetar.
"Tiatwi Hiantit!" seru Lu Tang-wan, "kau tidak perlu sungkan terhadapnya !"
"Diberi tidak membalas adalah kurang hormat ! Sambut seranganku !" tiba-tiba Hong-thian-lui berteriak, suaranya mengguntur bagai geledek, sehingga suaranya bergema dalam ruang perjamuan. Dikata lambat kejadian begitu cepat. Seiring dengan ancamannya, tangan kiri berputar setengah lingkar sedang telapak tangan kanan seperti golok membelah miring kedada Ko Teng-ngo.
Ko Teng-ngo tidak berani menyambut, dengan gerak Ih-sing-haan-wi, ia menggeser kedudukan, dari samping ia menyergap ketiak kiri Hong-thian-lui. Sigap sekali Hong-thian-lui membalik tangan, Ko Teng-ngo terpental gentayangan seperti kertas melayang terhembus angin. Gerak geriknya memang indah untuk menghindar kedua rangsekan Hong-thian-lui. Gerak tubuh Hong-thian-lui sebaliknya kurang begitu lincah, kedua jurus serangan itu hanya terpaut beberapa inci saja, lambaian bajunya saja tidak tersentuh olehnya.
"Jurus kelima," terdengar Lian Tin-san mewakili muridnya menghitung. Diantara hadirin ada yang tertawa dingin dan mencemooh, meski tidak dilontarkan dengan kata-kata, Lian Tin san maklum orang mencela dan menyindir karena tiga jurus Hong-thian-lui tadi ia masukkan kedalam hitungannya. Walau Hong thian lui sudah bicara dimuka, namun sebagai seorang guru, sebagai angkatan tua yang punya kedudukan dan gengsi tidak pantas ia masukkan tiga jurus kedalam hitungannya.
Merah muka Lian Tin-san, batinnya : "Entah dari mana bocah ini, Teng-ngo kelihatan bukan tandingannya. Semoga ia mampu bertahan sampai sepuluh jurus." belum pikirannya hilang, tampak Ko Teng-ngo bergaya Lam lu-ta-gun, menghindar dari pukulan Hong-thian-lui, gerak geriknya kelihatan runyam dan gopoh, untung dapat terhindar dan selamat. Perasaan Lian Tin san enteng dan lega, pikirnya : "Tinggal empat jurus lagi, naga-naganya Teng ngo bisa bertahan!" tanpa hiraukan cemooh dan sindiran orang lain, ia menghitung lantang : "Jurus keenam !"
Diluar tahunya, bahwa muridnya dalam keadaan menderita, ada kesulitan tak bisa diutarakan.
Setiap melancarkan pukulannya Hong-thian-lui menyertai bentakan dahsyat, meski tidak mengenai sasarannya, namun tenaga pukulan yang menerpa bergulung bagai gugur gunung, laksana topan melandai, membuat Ko Teng-ngo sesak napas, bentakan laksana geledek mengguntur itu menggetarkan konsentrasinya sehingga kuping terasa hampir pecah.
Susah payah Ko Teng-ngo berhasil memunahkan tiga jurus serangan lawan pinggang terasa linu, dengkul terasa lemas, gerak geriknya menjadi lamban dan gentayangan. Terdengar Hong-thian-lui menggertak lagi, kedua telapak tangannya didorong kearah dirinya.
Kali ini Ko Teng-ngo tidak mampu meluputkan diri dari pukulan hebat ini terpaksa ia nekad menyambut dengan balas mencengkeram urat nadi Hong thian lui.
Tay kim na-jiu yang dilancarkan Ko Teng-ngo dilandasi tenaga Siau thian sing-ciang, gerak perubahan yang dilakukan merupakan langkah nekad dan besar resikonya, bukan saja telak dan tepat, juga mengandung perubahan yang mendadak, bisa meminjam tenaga, menggunakan tenaga. Didalam situasi yang gawat seperti yang dihadapinya sekarang, hakikatnya memang tiada cara lain yang lebih sempurna untuk menghadapi rangsakan musuh.
Sesaat suasana menjadi sunyi senyap, hadirin menahan napas, seumpama jarum jatuh kelantai juga terdengar. Diantara mereka tidak sedikit tokoh-tokoh persilatan. Tapi mereka berpikir: "Umpama aku, mungkin tak mampu memunahkan dengan cara begitu gemilang!"
Belum mereka selesai berpikir, terdengar Hong-thian-lui membentak lagi: "Pergi!" Para hadirin sudah melihat jelas Ko Teng-ngo berhasil mencengkeram urat nadinya, entah mengapa, mendadak orangnya sudah diangkat tinggi terus diputar-putar kencang lalu dilempar jauh.
Sepihak merangsak dengan kekerasan, pihak lain melawan selembut jarum terselip dalam kapas. Didalam pelajaran silat ada istilah lemah dapat mengatasi keras, namun bagaimana juga harus mempertimbangkan kondisi dan kemampuan masing-masing. Memang Ko Teng ngo mampu mengombinasikan keras dan lemas, namun ia tak kuat melawan tenaga raksasa pembawaan Hong-thian lui. Begitu jari jemarinya mencengkeram urat nadi lawan, belum sempat mengerahkan tenaga, tahu-tahu jarinya sudah tergetar lepas, tahu-tahu dirinya sudah dijinjing tinggi terus dilemparkan.
Sebenarnya perlawanan Ko Teng-ngo cukup mempesonakan penonton, siapa tahu dalam kejap lain dirinya dilempar Hong-thian-lui malah. Dari posisi yang menguntungkan menjadi pihak yang kecundang, perubahan yang mendadak ini benar diluar dugaan para hadirin! Keruan semua menjadi melongo dan menjublek ditempatnya, lupa memberi sorakan.
Jelas Ko Teng-ngo bakal terbanting keras dengan pantat atau punggung menyentuh lantai lebih dulu. Lian Tin-san melompat dengan terkaman harimau, kebetulan dapat menyanggah tubuh muridnya, lalu dorong perlahan punggungnya, tampak Ko Teng-ngo jumpalitan tiga kali lalu mendaratkan kakinya dilantai, berputar lagi tiga kali baru bisa berdiri tegak. Dengan dorongan Lian Tin-san bantu muridnya memunahkan daya lempar yang kuat dan keras itu, kalau tidak, umpama dia menyambut tubuh muridnya dan menurunkan kebawah, pasti dirinya bakal terluka dalam yang cukup parah.
Melihat cara Lian Tin-san menolong muridnya, seumpama menjinjing kapas saja.
"Harapan satu-satunya hanyalah mengadu jiwa dan gugur bersama seperti dulu."
Tiba-tiba terdengar tampik sorak yang gemuruh, entah menyoraki Lian Tin-san atau menyoraki Hong-thian lui, atau mungkin menyoraki kedua-duanya. Ditengah tampik sorak itu terdengar seruan nyaring Lu Giok-yau : "Jurus kedelapan !" batas pertandingan adalah sepuluh jurus, masih kurang dua jurus lagi, Hong-thian-lui sudah berhasil merobohkan Ko teng-ngo. Walaupun tidak roboh menyentuh tanah, tapi dia ditolong gurunya, jadi terhitung kalah.
Terdengar Lian Tin-san berkata pelan-pelan : "Teng-ngo, beruntun kau sudah gebrak empat babak, sudah saatnya kau istirahat. Sungguh hebat kepandaian Ling-siauhiap ini, sungguh kagum dan harus dipuji. Beberapa tahun mendatang biarlah muridku minta belajar lagi pada kau."
Lu Giok-yau mencemooh tertawa : "Memang muridmu beruntun melawan empat babak. Tapi orangpun hanya menggunakan delapan jurus saja !"
Maksud Lian Tin-san adalah supaya Hong-thian-lui mengundurkan diri keluar gelanggang, kini gilirannya melawan Lu Tang wan, entah karena tidak tahu arti kata-kata orang, entah sengaja, Hong-thian-lui tetap berdiri ditempatnya tanpa bergerak.
Lu Giok-yau menjadi geli: "Bocah gendeng ini menjadi linglung dimabuk kemenangan ?" katanya tertawa: "Ling-suheng, kaupun perlu istirahat. Mari sini kuberi obat luka-lukamu !"
Jelus hati Khu Tay-seng melihat sang Piaumoay akrab dan prihatin terhadap Hong-thian-lui. Ia benci pada diri sendiri yang tidak becus, hingga dikalahkan murid orang, Hong thian-lui dapat angkat dada mengagulkan nama malah.
Hong-thian lui manggut-manggut kearah Lu Giok-yau, menyatakan rasa terima kasihnya. Tapi tetap berdiri ditempatnya tanpa berkisar.
"Ling-sutit,'' ujar Lu Tang-wan, "Kau sudah capek, mundurlah istirahat. Lian Tin san, sekarang giliran kita menentukan perhitungan lama!''
"Bagus !'' seru Lian Tin-san menyeringai dingin, "Biar kubelajar kenal betapa tinggi kepandaianmu!"
Mereka siap turun gelanggang, tak duga tiba tiba Hong-thian-lui berseru lantang: "Paman Lu, orang tua ada urusan, kaum muda yang memikul. Harap diijinkan biar Wanpwe minta petunjuk kepada Lian sian-sing ini."
Keruan Lu Tang-wan dan hadirin terperanjat. Kata Lu Tang-wan : "Apa ? Kau masih mau bertempur lagi?"
Lian Tin san juga merasa diluar dugaan, ia mendengus hidung, matanya mendelik, jengeknya : "Apa, kau mau bertanding dengan aku ?"
"Apa yang diherankan?" tanya Hong-thian-lui dingin, ''Muridmu sudah tempur empat babak, dalam delapan jurus aku mengalahkan dia, meski tidak perlu dibanggakan, kepandaian silat kalian yang hebat itu, ingin aku belajar kenal lebih lanjut ! Setelah muridnya keok dan mundur, menurut aturan aku boleh minta petunjuk kepada gurunya, kalau kau robohkan aku, tentu aku akan keluar gelanggang !"
Lian Tin-san menyeringai dingin, katanya : "Aku kawatir kau takkan mampu keluar gelanggang sendiri nanti!" ucapannya jelas maksudnya, bila turun tangan dia tidak belas kasihan. Kalau Hong-thian-lui terluka parah tentu akan digotong kedalam.
Berdiri alis tebal Hong-thian-lui, katanya berani: "Tinju memang tiada punya mata, kau bunuh akupun takkan menyesal. Kalau kau kena jotosanku, kaupun jangan salahkan aku."
Agaknya Lian Tin-san turun gelanggang melawannya. Lian Tin-san tertawa dingin, katanya : "Baik, kau memang pemberani, aku orang she Lian sungguh sangat kagum padamu, marilah dimulai!"
Terdengar Lu Giok-yau berseru seperti menggumam : "Tadi orang hanya membatasi sepuluh jurus !"
Meski ia menggumam sendiri namun suaranya cukup keras, semua hadirin mendengar dengan jelas.
Ada tamu yang iseng segera menanggapi : "Bukan saja terbatas sepuluh jurus juga mengalah tiga jurus lagi untuk diserang tanpa balas! Pertandingan seangkatan berani memberi rente, apalagi melawan angkatan lebih tua, kuat dan lemah sudah jelas, sebagai orang yang menjadi Cianpwe kalau mau menjaga gengsi dan kedudukan mungkin , . . . hehehe, betapapun tidak bisa meniru-niru saja bukan !"
Seorang tamu lain juga ikut menyela : "Betul seekor cempe yang baru lahir tak takut harimau. Menang atau kalah tidak peduli. Jiwa kesatria saudara Ling sungguh harus dipuji. Sudah kita tak perlu banyak mulut, biarlah mereka bertanding sama rata dan sama kedudukan saja. Harap dimaklumi, meski Ling-lote dikalahkan, harus dihargai juga."
Mendengar olok-olok dan sindiran pedas ini, merah padam muka Lian Tin-san. Diam-diam ia membantin: "Bocah ini Lwekang-nya tidak lemah, untuk menang, paling tidak aku harus menyerangnya sebanyak tiga lima puluh jurus."
Dalam delapan jurus Hong-thian lui mampu mengalahkan muridnya, sudah tentu ia tidak berani memberi batas pertarungan kepada Hong-thian-lui. Apa boleh buat ia anggap tuli atau tidak dengar olok-olok dan sindiran para hadirin.
Lu Tang-wan tertawa, sindirannya lebih tajam : "Sebetulnya tidak perlu dibatasi. Keponakanku ini hanya mohon pengajaran beberapa gebrak untuk menambah pengalaman. Sulit memperoleh petunjuk dari Hek-ing (elang hitam) yang menggetarkan Kangouw ini, sudah tentu semakin banyak semakin baik !"
"Jangan cerewet !" bentak Lian Tin-san seram, "bocah keparat ayo serang!" mulut bicara takabur, dalam hati ia membatin: "Biar akupun beri kelonggaran tiga lima jurus untuk ambil muka muridku !"
Hong-thian lui melangkah ketengah gelanggang, tiba tiba ia menggertak keras kedua telapak targannya memukul dada Lian-Tin-san. Lian Tin san membusungkan dada menyedot perut, kakinya tegak tidak bergeser tiba tiba badannya doyong kebelakang beberapa inci, pukulan Hong-thian-lui menyerempet tidak mengenai sasarannya.
Pertarungan jago kosen, setiap jurus permainannya menentukan langkah langkah selanjutnya. Begitu gampang dan sepele Lian Tin san menghindar dari pukulan Hong-thian-lui yang dahsyat, dari sini dapat dinilai berapa dalam dan matang latihan silatnya. Lu Tang wan musuh kebuyutan diam diam juga memuji !
Padahal dipandang lahirnya saja memang sepele dan gampang menghindar bahwasanya waktu kedua pukulan Hong-thian lui menerpa tiba, diam-diam bercekat sanubari Lian Tin san.
Meski pukulan orang hanya terpaut setengah inci dari sasarannya, namun betapa kuat dan dahsyat tenaga pukulan Hong-thian lui itu, hingga terasa dada dan perutnya tergetar kesemutan.
Terdengar Hong thian-lui membentak: "Jangan anggap mukamu bengkak dikira gemuk. Kalau tidak balas menyerang memangnya kau ingin menderita !" telapak tangan kiri menyelonong kekanan, sebaliknya telapak tangan kanan bergerak setengah lingkar menerjang kekanan, beruntun ia lancarkan serangan berantai, sayup sayup terdengar gemuruh suara geledek.
Jago kosen seperti Lian Tin san, setelah mendengar olok olok Hong thian-lui seharusnya ia memberi kelonggaran satu jurus lagi. Tapi setelah mengalah satu jurus tadi dadanya tertekan sakit, kalau mengalah lagi sejurus bukan mustahil ia bakal terluka dalam celaka kalau terpukul mati.
Sudah tentu Hong-thian lui tidak tahu bahwa lawan hendak memberi kelonggaran padanya, waktu melancarkan jurus kedua, pertama ia tidak sudi diberi kelonggaran, kedua kawatir kalau benar benar melukai orang, meski menang tidak gemilang. Hong thian lui berjiwa polos dan lapang dada, sebelum serangan dilancarkan ia membentak lebih dulu. Apalagi kedua telapak tangannya bergantian membundar, dengan cara ini meski kekuatan pukulannya bertambah tapi daya serangannya bisa diperlambat. Memang sengaja ia memberi peluang kepada lawan supaya ada waktu melayani serangan ini.
Terdengar Lian Tin-san membentak gusar: "Bagus, kau sudah bosan hidup, biar kuhajar kau!" setelah menggertak, baru lancarkan serangan balasan, telapak tangan kiri menekan lengan kanan Hong thian-lui, berbareng kepelan kanan mengenjot muka orang.
Hong thian-lui tidak mengira lawan bergerak sebat, lekas ia gentakan lengan mengibas tangan orang berbareng mengangkatnya keatas dan menangkis. "Blang!" dadanya kena genjotan pukulan Lian Tin-san.
Karuan hadirin berjingkrak kaget dan pucat mukanya. Terdengar Lu Giok yau berseru mencemoohkan: "Tidak tahu malu, sebagai angkatan tua membokong anak muda!"
Lian Tin san berkata tawar: "Kubiarkan dia menyerang, waktu membalas aku sudah memberi peringatan lebih dulu, mana bisa dianggap membokong? Bocah ini tidak becus! Menyambut sejurus serangan saja tidak mampu apa harus salahkan aku?"
Lian Tin-san kira begitu kena jotosannya Hong thian-lui bakal terjungkal roboh. Siapa tahu orang hanya terhuyung mundur dua langkah saja. Kejap lain tubuhnya sudah tegak kembali dan maju menyerang lagi. Bentaknya: "Aku kan belum kalah, jangan kau membual. Sambut serangan ini!" menurut aturan pertandingan, menjotos lawan hanya dianggap menang sejurus, kalau lawan tidak roboh dan mampu bangun lagi, masih boleh melanjutkan pertandingan.
Rupanya Hong-thian-lui sudah digembleng dari sejak kecil hingga kulit tubuhnya alot dan keras seperti besi. Walaupun Lwe-kangnya belum terlatih sempurna, namun sudah cukup tinggi dan kokoh dasarnya. Jotosan Lian Tin san itu hanya menggetar sakit dadanya, namun tidak terluka dalam.
Kalau Lian Tin san menambahi sekali jotos lagi sebelum ia dapat berdiri tegak, pasti Hong thian-lui dipukulnya roboh terjungkal. Tapi Lian Tin-san terlalu takabur, ia percaya pada kekuatan sendiri, demi menjaga nama dan gengsi sembari menjawab olok olok Lu Giok yau ia menanti Hong thian-lui terjungkal sendiri. Tapi perhitungannya meleset, Hong thian lui ada peluang ganti napas malah.
Hong thian lui mengerahkan hawa murni dari pusar, lalu digelandang tiga kali putaran dalam tubuh, hanya sekejap mata rasa sakit dadanya lantas lenyap. Sigap ia menerjang sembari menghardik, telapak tangan berbareng memberondong kedepan.
Melihat orang bergerak cepat menyerang lagi, suara bentakannya lantang penuh tenaga tanpa cidera sedikitpun jelas tidak terluka dalam oleh pukulannya. Bukan kepalang kejut hatinya, ia membatin: "Tak heran Teng-ngo dikalahkan dalam delapan jurus saja. Bocah ini betul-betul ajaib. Usianya tidak lebih dua puluh tahun, bagaimana mungkin membekal lwekang sehebat ini?" Untuk gebrak selanjutnya ia tidak berani pandang ringan lawannya, ia tumplek perhatiannya dengan jurus Hun in-jiu, kedua tangannya dirangkap lalu dikiblatkan kesamping untuk memunahkan daya tekanan Bit-le ciang Hong thian-lui yang dahsyat itu.
Baru sekarang hadirin bernapas lega, serta merta mereka bersorak lagi. Memberi applus kepada Hong thian lui. Ciang Tiong-ping, Lo-enghiong yang bicara duluan tadi sekarang mengejek pula: "Elang hitam yang kenamaan, ternyata hanya mampu memberi sejurus kelonggaran pada Wanpwe saja."
Lu Giok-yau segera ikut menanggapi dengan tertawa: "Ngalah sejurus saja kho diagulkan. Hehehe, bukan saja terlalu takabur, kulit mukanya juga cukup tebal !"
"Hus, jangan kau mentertawakannya !" demikian goda Ciang Tiong-ping, "Sejurus mengalah tadipun sudah cukup berharga lho!" sengaja ia perpanjang kata-kata 'lho' dengan nada menghina.
Seorang diri Khu Tay-seng berdiri di pinggir membalut luka lukanya, mendengar puji sang Piaumoy terhadap Hong thian lui, hatinya makin mendelu dan jelus, cemburu dan malu lagi.
Dalam pada itu, Hong thian lui juga terkejut melihat lawan begitu gampang memunahkan serangannya, ia berpikir : "Jelas aku takkan menang main pukulan, tapi menang atau kalah tetap kulabrak !"
Untung Hong-thian lui punya pengalaman bertempur melawan In-tiong yan dan Hek-swan hong menghadapi seorang lawan lebih tangguh, ia insyaf bertempur tidak boleh dengan membabi buta, maka untuk gebrak selanjutnya ia menggunakan perhitungan, kedua kepelannya menjaga rapat badan sendiri, serangan dan pertahanan dikontrol dengan rapi, tak perlu menang asal dirinya selamat dan kuat bertahan.
Bit le-ciang yang dimainkan Hong-thian-lui adalah warisan Bit ie hwe Cin Ping salah seorang pahlawan gagah Liang-san pek, daya kekuatan pukulannya hebat luar biasa, rasanya tidak lebih asor dari Kim-kong ciang yang dibanggakan Siau lim si, Lian Tin-san seorang bangkotan silat yang kenamaan di kalangan Kangouw, dia harus menang dan tidak boleh kalah menghadapi pukulan dahsyat Hong thian-lui, ia menjadi kelabakan dan susah ambil keputusan.
Pemberontakan Di Kertaloka 2 Fear Street - Sahabat Karib The Best Friend Tembang Tantangan 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama