Ceritasilat Novel Online

Tamu Yang Mengerikan 1

Seri Horor Tamu Yg Mengerikan Dan Kisah Lainnya Bagian 1


TAMU YANG MENGERIKAN
"KAU mendorongku!" Susan menjerit.
"Tidak!" teriak Kenny, kakak laki-lakinya. "Aku tidak sengaja
menabrakmu."
Pada saat yang sama Peggy Rawlins, ibu mereka, masuk
melalui pintu teras belakang rumah yang terletak di Boston itu.
"Ada apa?" tanyanya. "Kalian baru saja berlibur selama dua hari
tapi sudah menunjukkan tingkah laku yang aneh-aneh."
"Teman-teman kami semua pergi ke luar kota selama liburan
musim panas ini. Kenapa kita harus tinggal terus di rumah ?" tanya
Kenny. Ebukulawas.blogspot.com
"Ayahmu harus tetap dekat dengan pekerjaannya, dan ia sangat
sibuk sekarang," kata Bu Rawlins. "Ayah sedang mendesain suatu
program komputer baru... atau sesuatu yang Ibu sendiri kurang
mengerti. Tapi jangan khawatir, kita dapat pergi ke taman, ke kolam
renang dan...."
"Tapi Bu, itu kan berbeda," ujar Kenny bernada protes.
"Aku akan tetap di rumah," kata Susan. "Aku senang tinggal di
rumah dan aku tidak mau pergi ke mana-mana."
"Kau persis ayahmu, Susan." kata Ibu Rawlins.
"Tinggal di rumah! Tinggal di rumah!" Kenny mencibir sambil
meletakkan jari di hidung ke arah adiknya.
"Ayo anak-anak, tenang," kata Bu Rawlins seraya melingkarkan
lengannya di pundak Kenny. "Kita cari jalan keluarnya." ujarnya
memberikan harapan.
"Peggy!" sebuah suara memanggil dari ruang depan.
"Ayah pulang, jangan ribut lagi." kata Bu Rawlins waktu
kembali memasuki ruang belakang.
"Peg, aku mendapat jalan keluar untuk mengatasi masalah
liburan kita melalui benda ini." Pak Rawlins berkata sambil berjalan
menuju dapur, dengan sebuah kotak terkepit di bawah lengannya.
"Benda di dalam kotak itu?" tanya Bu Rawlins.
"Benar, ini adalah sebuah komputer portabel atau disebut juga
lap-top Computer."
"Wah; sekarang rumah betul-betul berantakan. Ada enam
komputer di kamar kerja Ayah, dan...."
"Yang ini berbeda. Ini benar-benar sebuah komputer, tetapi bisa
dibawa ke mana pun aku pergi. Disebut lap-top karena ia dapat
diletakkan di atas pangkuanmu," kata Pak Rawlins sambil
mengeluarkan benda tersebut dari kotaknya.
"Apakah ini berarti bahwa kita bisa bepergian?" tanya Bu
Rawlins. "Memang itulah artinya."
"Ayah pasti bercanda. Apakah sekarang akan merupakan libur
yang sesungguhnya dan bukan libur yang ditunda pada saat akhir
menjelang keberangkatan?"
"Lihat peralatan yang lebih kecil ini," kata Pak Rawlins
mengabaikan pertanyaan isterinya. "Ini disebut modem. Modem ini
dapat menghubungkan komputer lap-top dengan semua telepon di
mana pun."
"Mengapa aku merasa bahwa dunia teknologi begitu asing
buatku?" kata Bu Rawlins.
"Dengan modem ini, aku dapat menghubungkan komputer ini
dengan komputerku di kantor."
"Pasti kita akan menikmati liburan yang hebat," kata Bu
Rawlins dengan matanya yang berbinar-binar.
"Aku bisa bekerja beberapa jam sehari, lalu mengirimkan
hasilnya melalui telepon dan kemudian menikmati liburan denganmu
dan anak-anak. Kita hanya perlu memikirkan ke mana kita akan pergi
nanti. Aku berpikir mengenai pantai di Maine."
"Di sana lautnya sangat dingin."
"Tapi pantainya indah. Anak-anak bisa bermain di pantai dan
memanjat tebing."
"Baiklah," kata Bu Rawlins. "Asalkan kita tidak menginap di
motel seperti terakhir kali kita berlibur."
"Kita dapat tinggal di mana saja kita suka. Mungkin kita bisa
menyewa rumah," kata Pak Rawlins.
"Minggu lalu, waktu aku membantu Kenny dengan laporannya
tentang mercu suar, aku melihat sebuah iklan di majalah tentang
sebuah mercu suar yang tidak dipakai, tapi tetap terurus untuk
disewakan selama musim panas. Di iklan itu ada nomor teleponnya."
"Mercu suar? Wah-wah, Ayah selalu ingin bekerja di atas
menara gading," kata Bu Rawlins sambil tertawa. "Mercu suar kan
mirip dengan menara, di mana Ayah bisa bekerja di puncaknya sambil
melihat lautan di sekelilingnya."
"Kedengarannya mengasyikan, asalkan ada teleponnya."
"Mudah-mudahan belum disewakan," kata Bu Rawlins sambil
memeriksa tumpukan majalah dan mengambil yang ada iklannya.
Beberapa saat kemudian, Bu Rawlins sudah berbicara dengan
seseorang melalui telepon. "Bagus sekali," katanya kepada lawan
bicaranya di telepon. "Kami akan tiba tanggal lima belas... ya...
terimakasih."
"Ibu bilang kita akan menyewanya?" tanya Pak Rawlins.
"Betul," kata Bu Rawlins. "Aku tak sabar lagi untuk memberi
tahu anak-anak."
Bu Rawlins berjalan ke belakang lalu memanggil Kenny dan
Susan. "Kami punya kejutan besar untuk kalian berdua. Kita akan
pergi ke Maine dan tinggal di sebuah mercu suar."
"Betul, Bu?" jerit Kenny. "Mercu suar yang sebenarnya?
Wow!"
"Apa itu mercu suar?" tanya Susan.
"Mercu suar adalah sejenis menara yang dibangun di tepi laut,
menghadap ke lautan dengan lampu di puncaknya, untuk
memperingati kapal agar tidak menabrak batu karang," kata Kenny.
"Dan... kita akan tinggal di dalamnya?" tanya Susan. "Buatku
agak mengerikan."
"Yang akan kita tempati bukan lagi sebuah mercu suar yang
masih dipakai," kata Bu Rawlins. "Nah, sekarang pergilah ke kamar
kalian masing-masing dan mulailah mempersiapkan barang yang akan
dibawa. Kita akan berangkat beberapa hari lagi."
***********
Pagi hari menjelang keberangkatan, Pak Rawlins mulai
mengatur barang-barang di mobilnya. Dengan hati-hati ia
mengikatkan koper-koper besar di rak yang terletak di atas mobilnya.
Dia meletakkan kotak berisi komputer portabel di tempat yang paling
aman yaitu di dalam koper yang berisi pakaian dan meletakkannya di
bagasi mobil.
Setelah sarapan pagi yang cepat, mereka memeriksa sekali lagi
seisi rumah, mematikan api, air dan listrik. Kemudian semuanya ke
mobil dan berangkat.
"Keluarga Kays, tetangga kita, akan melihat-lihat rumah selama
kita pergi," kata Bu Rawlins. "Aku tinggalkan kunci pada Olive."
"Berapa lama waktu yang kita perlukan untuk sampai ke mercu
suar itu?" tanya Kenny.
"Hanya beberapa jam," kata ayahnya. "Kita bisa sampai di sana
lebih cepat dengan menggunakan jalan yang penuh kelokan, tetapi aku
akan menggunakan jalan raya lama yang menyusuri pantai. Dengan
melewati jalan itu kita akan dapat menyaksikan pemandangan yang
indah."
"Dan berhenti untuk makan?" tanya Susan.
"Tentu saja," kata Pak Rawlins sambil tertawa.
Setelah beberapa kali berhenti di rumah makan fast-food,
mereka meninggalkan jalan raya lama US Route 1 dan menuju
pelabuhan Cranberry, tempat mercu suar yang mereka tuju.
"Kita hampir sampai," kata Pak Rawlins.
"Aku ingin berenang sekarang," kata Kenny.
"Aku rasa jangan berenang, Kenny," sahut Ibunya. "Mungkin
basah-basahan saja. Airnya pasti sangat dingin."
"Tapi, Bu...."
"Lihat," kata Pak Rawlins, "di depan sana pasti mercu suar itu."
"Ya, aku bisa melihatnya!" kata Kenny setengah menjerit.
Beberapa menit kemudian, mereka telah berada di depan mercu
suar itu. Bangunan itu terletak di atas karang yang menjorok ke laut.
Di bawahnya, ombak memecah di lekukan batu karang dan
meninggalkan buih serta butiran pasir. Di tepi jalan raya di sebelah
kiri, terhampar pantai yang panjang dan luas.
Mercu suar itu terdiri dari sebuah menara kira-kira setinggi
gedung empat tingkat, dengan ruangan tertutup kaca di puncaknya
tempat lampu suar berada. Di dasar mercu suar itu terdapat rumah dua
tingkat. Pintu rumah terbuka, seorang laki-laki tua berjenggot putih dan
mengenakan topi pelaut keluar menemui mereka
"Anda semua pasti keluarga Rawlins," katanya. "Namaku
Yoshua. Aku telah mempersiapkan segalanya buat Anda sekalian."
Dia berjalan sambil mengajak Pak Rawlins sekeluarga untuk
mengikutinya masuk ke dalam.
"Rumah ini senantiasa dibersihkan dengan baik," katanya.
"Beberapa orang menginap sebentar di sini di musim panas
tahun lalu, sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada seorang pun
yang pernah tinggal di sini sejak aku pensiun dan lampu suar di atas
ini diganti dengan lampu suar baru yang diletakkan di ujung karang
sana. Ini adalah ruang tamu, dapur ada di belakang sana. Kamarkamar tidur ada di lantai atas. Pintu yang di samping itu menuju ke
ruang bawah tanah. Di sana ada sebuah generator listrik cadangan
untuk keadaan darurat. Pintu dan tangga menuju puncak menara ada
di dapur."
"Apakah di sini ada... hantu?" tanya Susan.
"Jangan pikirkan tentang itu," kata ibunya sebelum Pak Joshua
menjawab. "Kenny, kau dan adikmu dapat membantu Ayah mengeluarkan
barang-barang dari mobil," kata Pak Rawlins.
"Bila Anda membutuhkan sesuatu, aku ada di pondokku di tepi
jalan," kata Pak Joshua. "Agen penyewaan akan datang besok dan
meminta Anda untuk menandatangani sewanya."
Pak Joshua pergi menuju kelompok pondok-pondok yang
terletak di ujung pantai.
"Aku mau bermain di luar," kata Susan. "Boleh 'kan?"
"Boleh saja asalkan semua barang sudah dikeluarkan dan
dibereskan di tempat semestinya," kata ibunya.
"Ayah ada gagasan lain," kata Pak Rawlins. "Ayah dan Ibu akan
membereskan barang-barang, dan karena Ayah harus menuliskan
beberapa catatan untuk dikirim ke kantor, kenapa kalian berdua tidak
pergi bersama-sama? Hati-hati ya, dan jangan masuk ke air."
"Apakah mereka aman hanya pergi berdua?" tanya Bu Rawlins.
"Oh tentu, dari sini kita bisa lihat ada banyak orang di pantai."
"Kami akan hati-hati, Ayah," kata Kenny.
"Haruskah aku pergi dengan Kenny?" tanya Susan merengek
kepada ibunya.
"Ya, sudah waktunya bagi kalian untuk saling akur."
"Ayo Sue, kita balapan ke pantai," kata Kenny.
"Oke, tapi jangan lari terlalu cepat dong."
Kenny dan Susan berlari ke arah pantai. Kenny berhati-hati
untuk tidak bermain terlalu jauh. Meskipun kadangkala dia bertengkar
dengan Susan, tetapi pada dasarnya dia amat sayang pada adiknya itu.
"Asyik sekali," kata Susan ketika mereka sampai.
"Hai lihat, di sana banyak anak-anak sedang bermain bola voli,"
kata Kenny.
Kenny dan Susan berjalan ke arah kerumunan anak-anak itu dan
duduk sambil menonton. Empat anak laki-laki dan dua anak
perempuan saling memukul bola di lapangan voli yang dibatasi oleh
net. Masing-masing regu beranggotakan tiga orang.
"Mau ikut main?" salah seorang bertanya.
"Tentu," kata Kenny.
Susan dan Kenny melompat ke lapangan permainan. Selama
kira-kira satu jam mereka merasa amat senang ikut memukul bola
bertubi-tubi. Skor tidak dihitung, mereka hanya main untuk
bersenang-senang.
Akhirnya, mereka semua duduk di gundukan pasir.
"Namaku Tom," kata salah seorang anak laki-laki. "Yang lain
adalah Peggy, Jan, Ross, Joe dan Gil."
"Nama Ibu kami juga Peggy," kata Susan.
Peggy terkikik dan bertanya, "Apakah kalian dari kota?"
"Ya, dan kami baru saja tiba," kata Kenny. "Kami tinggal di
mercu suar di sebelah sana." Ebukulawas.blogspot.com
"Benarkah begitu?" tanya Gil. "Oh, tempat itu angker. Setiap
orang di sekitar ini tahu tentang hal itu."
"Mudah-mudahan kalian bisa tinggal di sana lebih lama dari
orang yang pernah menginap di musim panas tahun lalu," kata Jan.
"Apa yang terjadi pada mereka?" tanya Susan, dengan wajah
yang pucat meskipun di bawah sinar matahari.
Ross mulai tertawa. "Aku belum pernah melihat orang pergi
secepat itu. Aku berada di sana pagi-pagi mencari kerang, waktu
mereka menghambur keluar dari mercu suar itu. Mereka melemparkan
barang-barang mereka begitu saja ke belakang mobil mereka dan
tancap gas sekencang-kencangnya."
"Apakah hantu yang membuat mereka takut?" tanya Kenny.
"Aku rasa ya," kata Tom.
"Aku sudah merasa," kata Susan, dan ia mulai menangis.
"Kalian tidak akan menjadi takut gara-gara adanya hantu tua
'kan?" kata Jan. "Di kota kecil ini banyak sekali hantu seperti itu.
Mereka hanya merupakan bayang-bayang yang mengambang di
udara."
Susan bertambah keras menangis.
"Aku... aku rasa kami lebih baik kembali," kata Kenny.
"Kalian nanti bisa keluar lagi, 'kan?" Jan bertanya.
"Tentu," kata Kenny.
Dia bangkit dan menggandeng Susan menuju mercu suar.
Mereka mendaki gundukan pasir dan waktu sampai di jalanan mereka
berpapasan dengan Pak Joshua.
"Kenapa menangis, gadis kecil?" tanyanya.
"Dia menangis karena hantu," kata Kenny.
"Kalian sudah melihat hantu?"
"Tidak, tapi anak-anak di pantai bercerita tentang hantu-hantu
itu."
"Ah, memang. Di sekitar sini mereka semua tahu tentang itu,"
kata Pak Joshua. "Tetapi aku dapat memberikan saran pada kalian
bagaimana caranya menghindari hantu. Kalian tahu, mercu suar itu
angker karena aku."
"Anda yang bersalah, Pak?" tanya Susan sambil menghapus air
matanya. "Ceritanya panjang," kata Pak Joshua sambil menarik napas
panjang. "Tapi akan kusingkat. Pada suatu malam - tanggal dua puluh
Agustus bertahun-tahun yang lalu, aku menderita sakit. Aku demam
tinggi dan kupikir aku akan meninggal saat itu. Pada malam itu juga
angin topan sedang melanda. Listrik padam dan aku terlalu lemah
untuk bangun dan turun ke ruang bawah tanah untuk menghidupkan
generator. Malang tak dapat ditolak, sebuah kapal layar terhempas di
batu karang tepat di bawah mercu suar itu, tak ada yang selamat. Jiwa
mereka yang meninggal menyalahkan aku atas kejadian tersebut.
Hantu-hantu pelaut yang meninggal berjanji akan datang dan


Seri Horor Tamu Yg Mengerikan Dan Kisah Lainnya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melemparku ke batu karang bila setiap tanggal dua puluh Agustus
lampu di puncak mercu suar itu padam. Jadi, penting sekali untuk
menyalakan lampu suar tiap tanggal itu, tak peduli apakah di mercu
suar ada orangnya atau tidak. Bila lampu suar dinyalakan, kalian tidak
akan pernah diganggu oleh hantu-hantu itu."
"Dan... hantu yang lain?" tanya Susan.
"Seringkali orang salah mendengar suara angin di malam hari
sebagai tangisan hantu, terutama pada tengah malam," kata Pak
Joshua. "Aku pergi sekarang. Ingat, meskipun waktunya masih lama,
tetapi jangan lupa tanggal dua puluh Agustus."
Kenny dan Susan berlari cepat ke mercu suar untuk
menceritakan pada orang tua mereka tentang apa yang dikatakan
Joshua. "Ibu, kita harus berhati-hati pada hantu-hantu jahat pada tanggal
dua puluh Agustus," ujar Kenny pada ibunya.
"Itu kan masih lama. Untuk amannya, mungkin kita perlu
mengetahui bagaimana cara menghidupkan lampu suar tersebut
khusus untuk malam itu," kata Pak Rawlins dengan tersenyum.
"Aku mau pulang saja. Aku takut," kata Susan.
"Ah, jangan dengarkan segala cerita aneh itu," kata ibunya.
Setelah makan malam, mereka semua berjalan-jalan di pantai
sambil mengamati matahari tenggelam. Susan merasa lebih enak,
tetapi ia masih tetap khawatir akan cerita Pak Joshua.
Beberapa minggu setelah itu, keluarga Pak Rawlins menikmati
liburan, bersantai dan bermain-main di pantai. Bahkan Pak Rawlins
yang biasanya bekerja sepanjang hari dengan komputernya, mulai
bekerja hanya pada pagi hari. Kenny dan Susan menghabiskan lebih
banyak waktu mereka bermain bersama anak-anak lainnya.
Pada suatu malam, mereka melihat bulan purnama di langit dan
dengan perlahan menghilang di balik awan hitam di cakrawala. Angin
yang kuat berhembus dari arah tenggara, lidah ombak tampak tinggi.
"Perhatian semua awak kapal, kelihatannya akan ada badai,"
kata Pak Rawlins. "Lebih baik kita menutup palka malam ini."
"Kurasa, Ayah mulai menikmati kehidupan di laut," kata
istrinya sambil tertawa.
Ketika mereka tiba kembali di mercu suar, Kenny bertanya,
"Apa kita perlu menyalakan lampu suar malam ini, Yah? Mungkin
saja ada kapal yang lewat dan terjebak dalam badai sehingga perlu
dituntun dengan lampu."
"Tidak. Orang di sekitar ini mengatakan bahwa mercu suar ini
sudah diganti dengan lampu suar yang kekuatannya jauh lebih besar,
dan letaknya beberapa mil dari sini," ujar Pak Rawlins. "Lagipula,
kapal-kapal sekarang mempunyai radar, yang dapat menunjukkan
posisi mereka dari daratan."
Angin bertiup kencang di luar dan jendela berderit-derit waktu
mereka pergi tidur malam itu.
Tiba-tiba Kenny tersentak bangun. Di tengah deru angin, ia
mendengar sebuah suara seperti kapal yang menabrak batu karang
tepat di bawah jendela kamarnya. Kenny berlari dan membuka
jendela. Di bawah sana, dalam kegelapan, ia dapat melihat sebuah
kapal layar. Ia mendengar teriakan dan tangisan para pelaut yang
berusaha menyelamatkan diri.
Susan pun terbangun dan mendengar suara yang sama. Tetapi ia
malah makin membenamkan tubuhnya ke balik selimut dan tangannya
menutupi kedua telinganya agar tidak mendengar suara-suara tersebut.
Kenny menghambur ke kamar orangtuanya. "Ayah! Ibu! Ada
kapal menabrak karang di luar. Para pelautnya berusaha
menyelamatkan diri. Kita harus menolong mereka."
"Apa!" Pak Rawlins berseru sambil duduk di tepi ranjang.
Bapak dan Ibu Rawlins bangun dan berpakaian secepatnya.
"Bu, telepon penjaga pantai. Aku akan mengambil senter dan
turun ke celah batu karang untuk melihat apa yang dapat kulakukan."
"Hati-hati Yah," kata Bu Rawlins.
Pak Rawlins mendorong pintu melawan angin, dan keluar
menuju ke kegelapan. Ia menuruni celah karang yang licin karena
deburan ombak laut. Dalam kegelapan malam, Pak Rawlins dapat
melihat bentuk sebuah kapal layar di bawah sana dan ia pun
mendengar jeritan dan tangisan para pelautnya. Ia belum cukup dekat
ke air untuk bisa melihat segalanya dengan jelas.
Tiba-tiba, bulan muncul dari balik awan yang hitam untuk
beberapa saat. Tak ada apa pun di pinggir batu karang itu. Kapal layar
itu lenyap! Tak ada tanda-tanda awak kapal di air. Pak Rawlins
menajamkan pandangannya untuk dapat melihat kalau-kalau ada sisa
reruntuhan kapal. Apa yang dialami tadi tentu hanya khayalannya
semata! Pak Rawlins kembali mendaki celah batu karang menuju ke
mercu suar. Bulan kembali menyembunyikan diri di balik awan dan
malam kembali gelap gulita, kecuali nyala lampu senter yang
dibawanya. Pak Rawlins baru sadar bahwa listrik di rumah mereka
padam. Dengan menentang angin, Bu Rawlins membuka pintu agar
Pak Rawlins dapat masuk ke rumah.
"Cepat masuk, sebelum lilin-lilin ikut mati," katanya. "Listrik
padam begitu Ayah ke luar rumah. Telepon pun mati. Aku belum bisa
menghubungi penjaga pantai."
"Apa Ayah melihat kapal itu?" tanya Kenny penuh rasa ingin
tahu. "Tidak ada apa pun di bawah sana. Aneh sekali!" kata Ayahnya
dengan napas masih terengah-engah.
"Maksud Ayah, peristiwa tadi hanya khayalan saja?" tanya Bu
Rawlins. "Aku rasa ya, karena aku tak dapat menemukan apa pun di
sana."
"Apakah itu kapal hantu?" tanya Kenny.
"Itu hanya angin," kata Bu Rawlins.
"Pak Joshua menceritakan pada kami," kata Susan. "Aku ingat."
"Aku harus memperbaiki listrik," kata Pak Rawlins.
"Jangan khawatir mengenai hal itu," kata isterinya. "Kita toh tak
membutuhkan listrik sampai pagi. Yang pasti, aku adalah orang
pertama yang akan segera kembali ke tempat tidur. Listrik akan
diperbaiki besok pagi."
"Aku rasa, aku tak bisa tidur lagi. Kalau melihat jam sekarang,
hari hampir pagi," kata Pak Rawlins. "Begitu aku selesai ganti
pakaian, aku akan ke ruang bawah tanah untuk mencoba
menghidupkan generator cadangan."
"Aku tidak mau ke bawah," kata Susan.
"Kau tidak perlu ke bawah, sayang," kata ibunya. "Ayo kita
tidur."
"Aku boleh ikut ke bawah, Ayah?" tanya Kenny.
"Boleh. Ayo kita lihat apa yang bisa kita lakukan."
Kenny dan ayahnya menuruni tangga ke ruang bawah tanah.
Tangga itu menempel pada dinding batu fondasi.
"Hati-hati," kata Pak Rawlins memperingati. "Tangga ini licin
dan tak ada pegangannya. Tetaplah menempel pada dinding."
Ketika mereka sampai di lantai bawah tanah itu, Pak Rawlins
menggunakan lampu senternya untuk menemukan generator. Rupanya
generator itu diletakkan di ujung ruang bawah tanah itu.
"Kelihatannya mudah. Untuk menghidupkannya persis seperti
menghidupkan mesin pada motor tempel. Yang harus kita kerjakan
hanya menyentakkan tali ini," kata Pak Rawlins.
"Boleh aku mencoba?" tanya Kenny.
"Tentu saja, cobalah."
Kenny menarik tali itu, tetapi mesin tidak mau hidup.
"Wah, permulaan yang baik Kenny," komentar Pak Rawlins.
"Tapi Ayah rasa kau harus menariknya lebih keras, seperti ini."
Pak Rawlins menarik tali itu sekeras-kerasnya. Motornya mulai
berbunyi, kemudian batuk-batuk tetapi belum mau hidup.
"Hampir berhasil," kata Pak Rawlins. Ia mencoba sekali lagi,
kali ini lebih keras. Motor mulai berbunyi teratur. Bola lampu di ujung
tangga tampak berkedip-kedip sebentar dan kemudian menyala.
"Kita berhasil, kamu senang 'kan?"
Kenny dan ayahnya kembali menuju dapur. Bu Rawlins ada di
sana. "Ayah benar," katanya sambil tertawa. "Aku tidak bisa tidur. Di
luar mulai terang dan tampaknya cuaca akan cerah."
Kenny berjalan ke jendela dan melihat ke arah batu karang di
bawahnya. "Ayah benar, tak ada apa pun di bawah sana."
Susan muncul di pintu dapur sambil mengusap matanya. "Kita
pulang sekarang?" tanyanya.
"Kau tak akan membiarkan hantu-hantu itu berhasil
menakutimu 'kan?" jawab Pak Rawlins.
"Pak Joshua bilang bahwa itulah yang terjadi dengan orang
terakhir yang menginap di sini," kata Kenny.
"Kita harus bisa mengendalikan khayalan kita, ya nggak?" kata
Bu Rawlins.
Satu jam kemudian listrik dari pusat mulai menyala.
***********
Beberapa minggu kemudian berlalu dengan tenteram. Kadangkadang, biasanya tengah malam, angin bertiup kencang dan mereka
kembali mendengar suara-suara hantu kapal di luar. Kadangkala
mereka seakan mendengar sesuatu di dalam mercu suar itu - bunyi di
ruang bawah tanah atau di puncak menara. Tapi keluarga Rawlins
hanya mengabaikan saja. Mereka hanya menarik selimut lebih tinggi
sampai menutupi kepala mereka. Bapak dan Ibu Rawlins sudah
berkenalan dengan mereka yang tinggal di sekitar situ. Kenny dan
Susan menghabiskan hari-hari liburan mereka dengan bermain di
pantai, dan kadang-kadang ngobrol dengan Pak Joshua.
Pada suatu hari, teman-teman Kenny memberitahu bahwa Pak
Joshua sakit parah. "Oh!" seru Susan terkejut. "Kita harus menjenguk
Beliau."
Susan dan Kenny diantar ke rumah Pak Joshua, yaitu sebuah
gubuk tua para nelayan dekat pantai. Gubuk itu dibuat dari kayu
gelondongan berwarna abu-abu mengkilap. Di dalamnya tergantung
jala dan pelampung, di dindingnya terdapat rak berisikan aneka kulit
kerang dan buku-buku tentang pelayaran dan navigasi. Sebuah globe
besar terdapat di sudut ruangan. Perabotan lain yang ada di situ:
sebuah meja tulis kecil, sebuah kursi dan sebuah koper. Sebuah
ranjang kecil tempat Joshua terbaring terletak di sudut. Wajahnya
yang biasanya gelap dan segar sekarang terlihat pucat dan sangat
lemah. Seorang suster sedang mengukur denyut nadinya.
"Bapak tua yang bandel. Bertahan menolak perawatan di rumah
sakit. Tetapi satu hal yang pasti," kata perawat itu sambil melihat
kepada Kenny dan Susan. "Kalian membuat denyut nadinya normal.
Aku hampir-hampir tak dapat merasakan denyutnya beberapa menit
yang lalu."
Pak Joshua memalingkan wajahnya ke arah mereka berdua, dan
berkata dengan suara terbata, "Jangan lupa... tanggal dua puluh...
Agustus... nanti."
"Kami tidak akan lupa, sungguh," kata Susan. Air matanya yang
bening bergulir di pipinya. "Tapi jangan tinggalkan kami."
"Biarkan Beliau istirahat sekarang," kata perawat itu. "Aku akan
memberikan antibiotik dan obat untuk menghilangkan rasa sakit."
Susan mencium pipi Pak Joshua sebelum pergi.
Beberapa jam kemudian, waktu Kenny dan Susan sampai di
mercu suar, mereka bercerita pada orangtua mereka tentang sakitnya
Pak Joshua.
"Kami sudah tahu," kata Bu Rawlins dengan sedih. "Orang dari
agen penyewaan baru saja menelepon dan memberitahu kalau Pak
Joshua meninggal satu jam yang lalu."
Susan mulai menangis.
***********
Seminggu kemudian semua sudah merasa lebih baik setelah
terpukul atas kematian Pak Joshua.
Hari Jumat sore, waktu Kenny dan Susan pulang dari pantai
untuk makan malam, orangtua mereka mengatakan bahwa mereka
akan pergi ke pesta malam itu.
"Betul kan Pak dan Bu Jones mengadakan pestanya tanggal dua
puluh?" Pak Rawlins bertanya pada isterinya.
"Tanggal dua puluh? Maksud Ayah hari ini tanggal dua puluh?"
tanya Kenny.
"Kurasa begitu. Kenapa?" tanya Pak Rawlins.
"Kita harus memasang lampu suar dan sirene kabut," kata
Kenny. "Kami telah berjanji pada Pak Joshua untuk melakukannya."
"Hantu yang jahat akan datang kalau kita tidak melakukannya,"
Susan menambahkan.
"Itu semua kan hanya takhayul," kata Pak Rawlins.
"Jalan di luar sana mulai berkabut," kata Bu Rawlins. "Kurasa
kita harus pergi sekarang."
"Kita bisa pergi sebentar lagi," kata Pak Rawlins pada isterinya.
"Tolong hidupkan lampu suar di atas menara, Yah," kata Susan
memohon. "Ya, kurasa itu bisa kita lakukan," kata Pak Rawlins. "Ayo kita
ke atas untuk memeriksa bagaimana cara menyalakannya. Kenny,
Sue, kalian mau ikut?"
"Aku di sini saja Ayah," kata Susan.
Kenny dan ayahnya menaiki tangga yang tinggi dan berputarputar sampai ke puncak menara.
"Pasti ini tuas untuk menyalakannya," kata Pak Rawlins sambil
menurunkan tuas yang terletak di sebelah lampu yang berada tepat di
tengah ruang kaca yang kecil itu.
Lampu suar mulai menyala, sinarnya yang terang mencorong ke
luar jendela kaca dan seolah-olah membelah kabut yang tebal sekitar
lima belas meter dan kemudian seolah-olah tertelan oleh kabut. Disaat
yang sama suara lengkingan sirene mulai terdengar dari bawah.
"Cahaya ini begitu padat di tengah kabut, seolah-olah kita dapat
berjalan di dalamnya," kata Pak Rawlins. "Tetapi aku tak yakin
apakah cahaya ini akan ada gunanya di tengah kabut seperti ini."
"Sirene kabut dapat memperingatkan kapal," kata Kenny. "Aku
ingat pernah menulis tentang itu dalam laporan sekolah."
"Ayo kita turun," kata Pak Rawlins. "Aku tak mau datang
terlambat ke pesta itu."
"Nah anak-anak, bergembiralah sambil menonton televisi. Kami
akan segera pulang," kata Bu Rawlins pada saat ia dan suaminya akan
berangkat ke pesta.
Kenny dan Susan duduk di sofa lebar di ruang tamu sambil
menonton televisi. "Mudah-mudahan Ayah dan Ibu tidak pergi terlalu
lama," kata Susan agak gelisah.
"Jangan khawatir Sue, aku akan menjagamu."
Menjelang acara televisi berakhir, tiba-tiba listrik padam, dan
seluruh ruangan menjadi gelap gulita. Mendadak suasana menjadi
senyap. "Kita tidak apa-apa, Sue," kata Kenny membesarkan hati
adiknya. "Kamu kan ingat waktu listrik padam beberapa hari yang
lalu, tak lama menyala lagi. Aku jamin deh."
"Tetapi, sirene kabutnya juga mati," pekik Susan. "Hantu-hantu
itu akan mendatangi kita. Kau ingat apa yang dikatakan Pak Joshua
'kan?"
Pada saat itu pula jendela mulai berderit dan terhempas seperti
ada yang berusaha memecahkannya untuk masuk ke dalam.
"Itu hanya angin," kata Kenny. "Kurasa...."
Tiba-tiba, gumpalan cahaya masuk menembus dinding.
Gumpalan cahaya itu membentuk bayangan wajah yang sedang
menjerit dan mengerang. Suara yang mengerikan itu memenuhi


Seri Horor Tamu Yg Mengerikan Dan Kisah Lainnya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seluruh ruangan mercu suar itu.
Susan begitu ketakutannya, sampai menjerit pun tak sanggup. Ia
terjatuh ke lantai, gemetar ketakutan, dan kedua tangannya menutupi
telinganya.
Semuanya - dinding dan semua perabotan rumah - menjadi
bercahaya dengan lingkaran sinar biru berkelip-kelip. Kenny berdiri
kaku karena ketakutan. Ia harus berbuat sesuatu. Tapi apa?
"Aku harus ke bawah dan menghidupkan generator cadangan!"
katanya, sambil berlari ke pintu menuju ruang bawah tanah. Dia
membuka pintu, tetapi terhempas oleh angin dingin yang amat kuat
yang bertiup dari bawah. Dia memaksakan dirinya untuk maju dan
menuruni tangga sambil memeluk dinding, dan berusaha untuk tidak
berpikir bahwa ia bisa jatuh ke lantai yang berjarak sekitar sepuluh
meter. Kenny menuruni anak tangga satu per satu, sekali ia terpeleset
dan hampir terjungkal ke pinggir.
Akhirnya ia sampai ke lantai dan langsung menuju ke sudut di
mana generator itu terletak. Tangannya gemetar ketika dirasakannya
disekelilingnya lingkaran cahaya berkelip-kelip ketika akan menarik
tali starter generator. Dia menarik tali, tetapi kurang kuat. Generator
itu hanya mendesis. Ketika itu seluruh tubuhnya gemetar dan dia
merasa lemah saking takutnya. Kemudian dia mencoba lagi dengan
mengerahkan seluruh sisa tenaganya.
Tiba-tiba, tali itu putus dan dia terlempar ke belakang,
tergelincir di atas lantai yang licin. Dia terlentang sambil memegangi
ujung tali yang putus, dan... gemetar.
Tetapi kemudian dia sadar bahwa generator itu hidup. Bola
lampu di atas tangga berkedip sejenak kemudian menyala.
Kenny berdiri dan mulai menaiki tangga. Dalam perjalanan ke
atas, ia mendengar adiknya menjerit di tengah deru angin.
Ia berlari menaiki tangga secepat-cepatnya, terpeleset tapi terus
berusaha dan akhirnya tiba di ruang tamu.
Susan tepat di hadapannya, di tengah lingkaran sinar yang
berputar. Ia berteriak dan berjuang untuk dapat keluar. Tetapi tenaga
yang menahannya tetap di situ tampak begitu kuat.
Kenny melihat dengan penuh kengerian ketika Susan terangkat
dari lantai dan dibawa oleh kekuatan tak terlihat itu ke arah jendela sebuah jendela terhempas angin dan terbuka. Kenny masuk ke dalam
lingkaran cahaya itu, tetapi sebelum ia bisa berbuat sesuatu, ia telah
terseret arus dan kemudian tercampak ke dinding.
Dia terdiam sejenak. Susan sudah hampir sampai ke jendela.
Kenny sadar bahwa kekuatan apa pun yang membawa adiknya ke luar
jendela pasti akan membawanya pergi selama-lamanya. Kepala Susan
hampir melewati jendela.
Dengan rasa putus asa, Kenny berdiri dan kembali menerjang
ke arah lingkaran cahaya itu. Kali ini ia dapat mengusahakan untuk
mencengkeram kaki adiknya dan menarik ke arah dirinya.
Disaat itu, ia melihat ke atas, ke arah lampu suar di puncak
menara. Lampu suar itu mati, meskipun generator darurat telah
dihidupkan. Mengapa bisa terjadi?
Susan telah berhenti menjerit ketika ia ditarik Kenny ke sudut
ruangan, namun terus mengeluh penuh rasa takut. Lingkaran sinar itu
telah menciut menjadi sebuah bola yang terang dan terus melambung
ke langit-langit, lalu mengeluarkan bunga api. Kenny melihat dengan
penuh rasa takut. Tiap saat bola api itu dapat berubah menjadi
lingkaran cahaya dan menuju kepada mereka.
Kemudian suatu bentuk lain muncul di tengah ruangan.
Langsung Kenny dapat mengenalinya. Itu adalah Pak Joshua - atau
arwah Pak Joshua. Kenny dapat melihat tubuhnya yang seperti
bayangan tembus pandang. Arwah Pak Joshua yang melayang di atas
lantai mendekati mereka, dan tampak bibirnya bergerak. Kenny
hampir tidak dapat mendengar apa yang dikatakannya di tengah
gemuruh ombak dan deru angin. "Hidupkan lampu suar... harus
dihidupkan di puncak menara... cepat... tak banyak waktu lagi...."
Suara itu menghilang ditelan angin, dan Pak Joshua pun menghilang.
Tuas lampu di puncak menara, pikir Kenny. Pasti ketika listrik padam,
tuas itu mati secara otomatis. Dia harus ke sana untuk memasangnya
kembali. Kenny takut meninggalkan adiknya sendiri. Digenggamnya
tangan Susan sambil ditarik menuju dapur dan tangga yang menuju ke
puncak menara. "Kita harus ke puncak menara," katanya berteriak.
Mereka lari melalui pintu menara dan mendaki tangga. Kali ini
angin bertiup ke bawah dengan suara mengaum - dan terasa panas,
hampir menghanguskan. Kenny berharap bahwa menara itu tidak
terbakar. Sambil tetap menarik Susan, ia berjuang untuk terus ke atas.
Kemudian ia tidak lagi merasa takut, namun penuh tekad. Susan
pun tidak lagi mengeluh, tangannya menggenggam tangan Kenny
dengan kuat. Angin bertiup makin kencang dan udara bertambah
dingin. Separuh jalan menuju ke atas, tiba-tiba cairan merah - mereka
tidak tahu apakah darah atau bukan - mengalir ke bawah melalui anak
tangga mengakibatkan anak tangga menjadi licin dan sulit untuk
didaki. Bila tidak ada pegangan pada sisi lainnya, mereka pasti sudah
terpeleset dan terguling ke bawah. Susan memegang erat-erat ikat
pinggang Kenny, sementara Kenny menarik tubuh mereka agar lebih
ke atas sambil terus berpegangan pada sisi tangga.
Akhirnya mereka tiba di ruang kecil di puncak mercu suar itu.
Sangat gelap di sana, namun semua peralatan tampak diberi bahan
bercahaya agar mudah dijangkau. Kenny menemukan tuas di sebelah
lampu dan menghidupkannya. Lampu menyala dengan terangnya
membuat Kenny dan Susan silau, dan sinarnya membelah kegelapan
malam. Segala bentuk bayangan hantu tiba-tiba lenyap. Suara-suara
yang mengerikan berubah menjadi siulan angin di luar. Tetapi dari
tempat yang entah di mana, Kenny dapat mendengar suara Pak
Joshua, "Kamu berhasil, Nak. Sekarang aku dapat beristirahat dalam
damai."
"Sekarang semuanya beres Susan," kata Kenny sambil
membimbing adiknya menuruni tangga yang sekarang tanpa darah.
Listrik hidup kembali tak lama sebelum Bapak dan Ibu Rawlins
tiba di rumah.
Hantu Lompat Dari Taman Menlo
OLIVER Balcom duduk di ruang tamu, memperhatikan
orangtuanya bersiap-siap untuk pergi ke pesta. Ia selalu benci pada
saat orangtuanya pergi seperti ini. Bukan karena akan ditinggal
sendirian, melainkan tidak akan ditinggal sendirian.
Oliver adalah murid es-em-pe. Teman-teman seusianya banyak
yang bekerja sebagai babysitter atau penjaga bayi. Tetapi orangtuanya
justru masih membayar orang untuk menjaganya!
Kalau ada temannya yang tahu, ia pasti akan ditertawakan di
sekolah. Penyebabnya adalah aku anak tunggal, pikir Oliver. Dan
orangtuaku adalah orangtua yang paling berlebihan menjagaku di
seluruh dunia! Mereka mungkin tetap membayar baby sitter kalau aku
nanti berusia delapan belas tahun dan mulai kuliah.
"Kami hampir selesai, sayang," kata ibu Oliver sambil berjalan
menuju ke dapur untuk mencari sesuatu. "Ada yang akan
menemanimu."
Ibunya tidak pernah menyebut mereka sebagai baby sitter,
tetapi Oliver selalu menyebutnya begitu.
"Apa Ibu tetap berpikir pada usiaku ini aku membutuhkan baby
sitter?" tanya Oliver. "Kurasa yang akan menemaniku si Lester lagi."
"Oh, Oliver. Lester kan bukan baby sitter. Baby sitter itu khusus
menjaga bayi. Sedangkan kau... kau sudah besar sekarang."
"Itu kan yang Ibu katakan, tetapi...."
"Sudah jam delapan dan dia belum juga datang?" kata ayah
Oliver yang bergegas ke ruang tamu. "Aku sudah siap berangkat."
"Aku yakin ia akan datang sebentar lagi," kata Bu Balcom.
"Mudah-mudahan begitu, kalau tidak kita akan terlambat ke
pesta."
**********
Lester Flintlock melihat jam tangannya waktu ia bergegas
keluar dari laboratorium psikologi.
Sialan! pikirnya. Aku pasti terlambat.
Lester adalah mahasiswa Fakultas Psikologi dan ia masih
bekerja sebagai baby sitter. Yah; segalanya untuk mendapatkan uang.
Ia membutuhkannya untuk membayar uang kuliahnya.
Lester berlari menyeberangi Center Street dan kemudian
menuruni Broad-view. Dua menit kemudian, ia sudah melewati dua
blok perumahan dan sampai di depan rumah tua bergaya Victoria
milik keluarga Balcom.
Ia mengetuk, dan pintu segera terbuka. Bapak dan Ibu Balcom
keluar setengah berlari.
"Oliver ada di dalam," kata Bu Balcom waktu melewatinya.
"Kami akan pulang dalam beberapa jam. Anggap saja rumah sendiri
dan makanan ada di dapur."
Mereka bergegas ke mobil dan tak lama mobil melaju ke luar
pekarangan.
"Hai, Oliver," sapa Lester waktu memasuki rumah. "Apa
kabar?"
"Baik saja. Aku sedang duduk memikirkan kenapa harus ada
baby sitter untuk menjagaku, padahal aku bisa menjaga diri sendiri."
"Mudah 'kan, segala sesuatu akan terasa membosankan kalau
kita sendirian di rumah."
"Yah, aku mendapat teman yang hebat, yang cuma nonton
televisi dan menghabiskan isi kulkas."
"Aku punya ide yang menarik," usul Lester.
"Ide apa?"
"Aku sedang melakukan eksperimen di fakultas. Yaitu
penelitian tentang reaksi manusia yang dipenjara."
"Wah, betul-betul menegangkan, ya?" ledek Oliver seenaknya.
"Jalannya eksperimen adalah sebagai berikut," lanjut Lester.
"Aku mendapat tenaga sukarela yang mau kukunci di dalam suatu
ruangan. Mereka pura-pura berada dalam penjara. Setelah
kukeluarkan mereka beberapa saat kemudian, mereka akan
menceritakan bagaimana perasaan mereka."
"Lupakan saja, aku tak mau dikunci di mana pun."
"Ayo dong, pasti akan menyenangkan. Atau begini saja, kau
pura-pura berada di pulau hantu atau penjara tua Sing-sing yang
menyeramkan itu. Setelah itu kau boleh mengunciku dan nanti akan
kuceritakan apa yang kurasakan."
"Tapi kamarku tak ada kuncinya," kata Oliver.
"Kalau ruang bawah tanah?"
"Tak ada kuncinya juga."
"Bagaimana kalau ruangan di loteng?"
"Mungkin ada kuncinya, tapi aku tidak ingat."
"Ayo, kita melihat ke atas."
Lester dan Oliver naik ke loteng. Rumah besar itu diwariskan
oleh kakek Pak Balcom yaitu Smedley Balcom. Pak Smedley adalah
seorang apoteker dan juga aktor amatir yang terkenal pada zamannya.
Karya puncaknya yang terbesar dalam bidang teater adalah sebuah
melodrama di zaman Victoria berjudul Hantu Lompat dari Taman
Menlo. Sebuah gang yang lebar memisahkan ruang di loteng menjadi
dua ruangan besar, keduanya dipenuhi oleh benda-benda peninggalan
keluarga Balcom yang diwariskan secara turun-temurun. Hanya ada
satu jendela di tiap mangan. Kedua jendela itu menghadap ke arah
atap ruangan tambahan yang tidak bertingkat.
"Ruangan ini ada kuncinya dan ada sebuah lampu gantung di
dalam," kata Lester sambil memainkan kenop lampu yang terletak di
luar pintu mangan itu. "Apa di dalam ada yang menarik?"
Banyak sekali barang-barang - tempat tidur tua dan mebel
kusam - yang memang kelihatan menarik. Oliver iseng memasuki
ruangan itu untuk melihat-lihat.
Lester cepat-cepat membanting pintu dan menguncinya dari
luar. "Ingat Oliver, kau harus pura-pura jadi penjahat yang
dipenjara," kata Lester dari balik pintu.
"Lester, jelek! Keluarkan aku!"
"Tunggu dong sebentar. Ini adalah bagian terpenting dari
penelitian yang kukatakan itu." Lester berkata sambil mematikan
lampu dan turun meninggalkan Oliver sendirian di dalam kegelapan.
Tunggu sampai Ayah dan Ibu tahu tentang ini, umpat Oliver.
Lester akan menerima balasannya!
Oliver meraba-raba berkeliling dan menemukan sebuah kursi
goyang yang sudah patah. Ia duduk sambil memikirkan harus berbuat
apa. Hanya ada sedikit cahaya masuk melalui jendela dan perlahanlahan mata Oliver mulai terbiasa. Berbagai bentuk di ruangan itu
mulai dikenalinya. Dia bisa mengenal beberapa kursi patah di samping
kanannya, dan sebuah meja rendah di sebelah kiri. Di depannya ada
beberapa peti tempat penyimpanan barang. Oliver membuka tutup dari
salah satu peti yang terdekat dan meraba-raba ke dalamnya. Peti itu
penuh dengan pakaian yang berdebu tapi sangat menarik
perhatiannya. Di atas pakaian-pakaian tadi terdapat sesuatu yang
bentuknya seperti topeng. Tepat di bawah benda itu terdapat pakaian
yang semula disangkanya celana panjang, tetapi mengapa ada
jubahnya? Mungkin ini sebuah kostum.
Ia memasukkan tangannya lebih dalam lagi dan menemukan
sepasang sepatu bots yang ada per di bawahnya dan alasnya berbentuk
"telapak kaki". Oliver mengeluarkan temuannya itu dan membawanya
ke dekat jendela. Sekarang ia dapat memastikan bahwa apa yang
diperolehnya itu benar-benar kostum. Oliver ingat bahwa ayahnya
pemah bercerita tentang Buyut Smedley dan sandiwara Hantu Lompat
dari Taman Menlo. Ini bisa jadi kostum yang dahulu dipakainya!
Oliver merasa tak ada yang dapat dikerjakannya, maka ia pun
memutuskan untuk mencoba kostum itu. Ia mengira kostum itu pasti
kebesaran dan ia terkejut karena ternyata kostum itu sangat pas di
badannya. Baik di kostum maupun di topengnya terdapat kancing di
belakangnya. Waktu Oliver memasangnya terdengar bunyi "klik"
yang cukup keras.
Setelah memakai kostum, Oliver berdiri di dalam cahaya yang
samar-samar dan menggapai-gapgikan tangannya seperti hantu dalam
bayangannya. Kemudian Oliver mencoba sepatu bots yang berper itu.
Tidak cukup ruang baginya untuk melompat tinggi-tinggi, tetapi ia
mencoba juga. Wow! Pikirnya, waktu ia melambung ke udara dan
kepalanya mengenai langit-langit. Aku menjadi hantu sekarang. Aku
bisa berbuat apa saja - melompat ke gedung tinggi... yah, mungkin
bukan gedung yang terlalu tinggi, tetapi pokoknya melambung ke
atas. Untuk beberapa saat Oliver membiarkan lamunannya
berkeliaran semaunya. Kemudian ia memutuskan untuk membuka
kostumnya dan mencoba untuk menemukan jalan keluar dari loteng
itu. Ia meraih kancing tekan di punggungnya, tetapi ia tidak bisa
membuka. Ia berusaha keras tetapi tetap tidak berhasil! Bahkan ia pun
tidak bisa membuka topeng hantunya itu.
Kalau aku bisa ke dapur, aku akan mengambil pisau dan
memotong kostum ini agar bisa lepas, pikirnya. Lagipula, ia sudah
bosan dikurung terus di loteng itu.
Oliver melihat ke luar jendela pada tingkap atap tepat di
bawahnya. Ia memutuskan untuk keluar dan menemukan jalan turun
ke bawah. Ia mengeluarkan kepalanya terlebih dahulu. Topeng itu
membuatnya agak sulit untuk melihat jalan yang akan diambilnya, dan


Seri Horor Tamu Yg Mengerikan Dan Kisah Lainnya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia masih memakai sepatu bots berper.
Untungnya, jarak antara bibir jendela dengan atap tidak begitu
tinggi. Tetapi sayangnya, waktu keluar ia langsung berguling,
mendarat dengan punggungnya dan meluncur ke bawah. Ia terguling
dan berusaha meraih sekelilingnya, agar tidak terus meluncur ke tepi
atap. Oliver tidak berhasil menghentikan luncuran tubuhnya, tetapi
pada akhirnya ia dapat menangkap pinggiran talang air.
Sekarang Oliver bergantung pada talang air dengan jari-jarinya
menahan tubuhnya, dua lantai dari tanah, tepat di atas jendela kamar
tamu. Ia mau berteriak meminta tolong, tetapi ia berpikir lagi
memalukan sekali rasanya apabila Lester menolongnya dan ia masih
memakai kostum hantu.
Oliver mencoba lagi untuk membayangkan dirinya sebagai
hantu. Ia demikian terhanyut oleh khayalannya bahwa ia bisa terbang.
Tetapi kemudian ia mempunyai ide yang lebih baik. Tak jauh dari
tempatnya bergantung, tampak pipa pembuangan air dari talang.
Kalau ia dapat meraih pipa itu, tentu ia bisa menggunakannya sebagai
tempat meluncur ke bawah. Oliver bergantung sejenak dengan sebelah
tangan, sementara tangan yang lain berusaha untuk berpegangan pada
bagian lain pada talang air itu.
Oliver memeluk erat-erat pipa saluran air itu tanpa bergerak,
untuk mengambil napas. Kemudian ia mulai meluncur turun. Baru
mencapai setengah perjalanan turun waktu saluran air itu patah dan
lepas dari tembok rumah.
***********
Setelah mengunci Oliver di loteng, Lester menuruni tangga. Ia
merasa senang sekali. Eksperimen yang canggih, pikirnya. Aku akan
kembali ke atas sebentar lagi dan mengeluarkannya. Saat itu pasti
omelan begonya sudah banyak berkurang. Ia akan mengerjakan semua
yang kukatakan. Ah... inilah kekuasaan! Suatu hari, pikirnya, ia akan
bekerja sebagai agen rahasia dan... tentu saja semua dimulai dengan
belajar dan latihan, meskipun permulaannya hanya dengan seorang
anak bandel yang sedang kita jaga.
Lester menuju kulkas dan mengambil beberapa tangkup roti,
sekaleng krim keju, satu stoples jelly anggur. Ia juga menemukan
sebotol soda. Makanan untuk menguruskan badan, pikirnya, tetapi
lumayan untuk melewati malam di rumah ini. Lester meletakkan
semuanya ke atas baki dan membawanya ke ruang tamu, di mana ia
langsung menghidupkan televisi. Film yang baru mulai main ialah
Serangan Manusia Perantara Hantu.
Lester menikmati empat tangkup roti berisi krim keju dan jelly
serta hampir sebotol penuh soda, sambil menonton film di mana sang
hantu masuk ke tubuh manusia perantaranya. Saat itu ia mendengar
suara berderak di atap luar, tetapi ia tidak peduli.
Beberapa menit kemudian ia mendengar suara berdebam di luar
dan suara jeritan yang mengerikan. Ia mengalihkan pandangan dari
televisi, tepat saat ia melihat mahluk berjubah sedang melambung di
balik jendela. Mahluk itu berwajah mengerikan dan tampaknya ia
memegang sesuatu di tangannya.
Lester melompat dari sofa, tetapi terjerembab karena tersandung
kakinya sendiri. Ketika ia berhasil berdiri, dilihatnya mahluk berjubah
di kejauhan, meloncat dengan lompatan yang jauh dan mendarat di
pusat BroadView.
Kemudian ia ingat Oliver di loteng. Terlintas dalam pikirannya
sesuatu yang mengerikan. Bagaimana kalau mahluk itu...? Lester
berlari secepat-cepatnya ke tangga menuju loteng, memasang lampu
dan membuka kunci pintu.
"Oke Oliver, kau boleh keluar sekarang. Oliver, di mana kau?
Kalau kau bersembunyi, aku akan...."
Kemudian Lester sadar bahwa jendela terbuka. Ia lari ke jendela
dan menemukan sedikit robekan pakaian di ambang jendela.
Mahluk yang dilihatnya tadi pasti menculik Oliver. Lester
menghambur ke bawah dan langsung mengangkat telepon. Tangannya
gemetar waktu ia memutar nomor telepon darurat kepolisian. "Hallo,
saya Lester Flintlock. Saya berada di jalan raya Broadview nomor dua
kosong enam satu. Ada anak yang diculik monster. Tidak, ini bukan
main-main. Saya pasti akan mendapat kesulitan kalau...."
Beberapa menit kemudian mobil patroli yang pertama datang
sambil membunyikan sirene dan berhenti tepat di depan rumah
keluarga Balcom. Dua orang polisi berlari menuju teras, di mana
Lester telah menunggu. Lester menceritakan segala sesuatu yang
dilihatnya. Dua mobil polisi datang lagi pada saat Oliver selesai
bercerita.
Keenam polisi itu memeriksa sekeliling rumah dan kemudian ke
loteng di mana Lester menunjukkan jendela yang terbuka dan robekan
kain di ujung jendela. Di ruang tamu, beberapa orang polisi berdiri di
kejauhan, di mana Lester tidak dapat mendengar mereka bicara.
"Aku yakin anak ini mengkhayal," kata salah seorang polisi.
"Mahluk mengerikan melayang di udara. Aku rasa ia terlalu banyak
membaca komik."
"Kau benar," kata yang lainnya. "Ia sedang menonton film
horor dan tiba-tiba"
"Sersan, kami mendapatkan sesuatu!" seru seorang polisi.
"Beberapa orang tetangga juga melaporkan bahwa mereka melihat
mahluk itu. Kata mereka mahluk itu melompat puluhan meter di
udara. Mereka tidak yakin apakah ia membawa sesuatu, tapi menurut
mereka mungkin saja."
"Baik, semua menyebar dan periksa juga lingkungan tetangga.
Hati-hati. Saya rasa mahluk ini, apa pun namanya, mungkin saja buas.
Dan segera cari orangtua dari anak yang diculik itu."
***********
Setelah saluran air yang membantunya untuk turun lepas dari
dinding rumah, Oliver jatuh tepat di bawah jendela kamar tamu sambil
berteriak. Sekelebat ia dapat melihat ekspresi wajah Lester. Oliver
menginjak tanah dengan bagian sepatu berper yang dapat meredam
lompatannya, sehingga ia tidak mengalami kecelakaan. Oliver
mengharapkan agar Lester segera ke luar rumah untuk menemuinya.
Tak ada waktu lagi untuk berjalan memutar ke arah dapur untuk
mengambil pisau dan membuka pakaian. Oliver justru melompat
dengan kostumnya ke tengah jalan raya Broadview. Ia tampak seperti
kangguru. Beberapa ekor anjing menyalak histeris sambil mengikuti
lompatan Oliver. Beberapa orang tetangga membuka pintu rumah
mereka untuk melihat apa yang terjadi di luar.
Oliver membelok di ujung blok, melewati tiga rumah,
melompati pagar rumah temannya, Virginia Miller, hanya dengan satu
lompatan dan meninggalkan gerombolan anjing yang mengikutinya
sambil menggonggong itu.
Oliver duduk di bawah pohon besar di halaman. Hanya ada
sebuah lampu yang menyala di dalam rumah Virginia. Ia melihat ke
atas dan baru sadar bahwa ia duduk tepat di bawah rumah pohon milik
Virginia, tempat ia dan Virginia sering bermain bersama.
Oliver melepaskan sepatu botsnya dan memanjat pohon. Sesaat
kemudian ia melihat sebuah mobil polisi melaju ke arah rumahnya.
Oliver bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Ia ingin berlari di
belakang mobil polisi dan melihat apa yang sedang terjadi. Pertama ia
harus melepaskan kostum hantu. Rumah pohon itu terasa sangat
sempit. Oliver dapat melepaskan topengnya, tetapi kostum itu masih
juga belum dapat dilepaskannya.
Beberapa menit kemudian, dua mobil polisi melintas lagi.
Sialan! pikir Oliver. Coba aku bisa tahu apa yang sedang terjadi di
sana. ************
Sementara itu polisi sedang menyelidiki seputar rumah.
Beberapa orang bergero-bol di depan rumah keluarga Balcom. Lester
melebih-lebihkan cerita tentang apa yang terjadi dan mengatakan
monster yang besar dan mengerikan itu melesat ke udara sambil
membawa Oliver entah ke mana. "Kapten, cepat kemari!" teriak
seorang polisi. Lester dan komandan polisi itu berlari ke depan taman
rumput. "Kami menemukan ini di tanah," kata seorang polisi sambil
membuat cetakan pada beberapa bekas tapak kaki besar di tanah.
"Lihatlah, betapa dalamnya bekas tapak kaki ini. Apa pun namanya,
tapi pasti mahluk itu memiliki berat badan sekitar satu ton."
"Ya 'kan, aku bilang mahluk itu sangat besar," kata Lester.
"Rasanya kita harus memanggil Kopassus," kata Kapten itu.
"Saya tidak yakin apakah kita bisa menangani mahluk semacam ini.
Saya akan ke dalam dan menelepon gubernur. Sementara itu kalian
gunakan radio dan minta markas besar agar mengirimkan pasukan
khusus itu kemari."
************
Oliver turun dari rumah pohon dan melihat berkeliling dengan
hati-hati. Lester pasti sedang mencariku, pikirnya. Ia heran mengapa
begitu banyak orang di jalanan dan mengapa mereka semua menuju ke
rumahnya. Oliver menyeberangi taman rumput di rumah Virginia dan
mengambil jalan pintas menuju halaman belakang rumahnya. Kalau ia
berhasil menyelinap ke dapur tanpa diketahui Lester, tentu ia dapat
melepaskan kostum itu.
Waktu ia keluar dari semak-semak dekat garasi, Oliver dapat
mendengar suara orang bercakap-cakap di depan rumahnya. Secara
mengendap-endap dan amat pelan ia menuju teras belakang rumah
dan masuk ke dalam dapur. Ia menemukan sebuah pisau dan langsung
memotong sabuk tempat kancing di punggungnya. Dia menarik napas
panjang waktu bisa terbebas dari kostum itu, yang sudah mulai terasa
seperti jaket.
Oliver mengambil kostum itu dan pergi ke loteng. Untungnya
tangga yang menuju ke atas terletak di antara dapur dan ruang tamu.
Oliver berjalan sambil berjingkat. Lester pasti masih menonton film,
pikirnya. Ia ingat film yang sedang diputar malam itu adalah Serangan
Manusia Perantara Hantu. Oliver mendengar suara berat yang
diduganya berasal dari televisi. "Baik Pak Gubernur, kami akan terus
melaporkan perkembangannya pada Bapak. Bila situasi bertambah
buruk, kami membutuhkan bantuan tentara...."
Oliver sudah beberapa kali menonton film itu dan berusaha
untuk mengenali kembali adegan yang sedang berlangsung. Tapi ia
tidak berhasil. Ia cepat ke atas untuk menyimpan kostum itu dan ingin
segera turun kembali untuk mengetahui bagaimana akhir cerita film
itu. **********
Beberapa saat setelah kapten polisi masuk ke rumah untuk
menelepon gubernur, orangtua Oliver tiba dan memarkir mobilnya di
belakang deretan lima belas mobil pasukan kepolisian, yang
merupakan seluruh kekuatan polisi di kota itu.
"Apa yang terjadi?" teriak Bu Balcom sambil berlari menuju
teras. "Apakah Anda berdua orangtua anak yang diculik oleh
monster?" tanya seorang polisi.
"Diculik... oleh monster...?" jerit Bu Balcom dengan wajah
yang pucat pasi.
"Oh, Oliver! Oh, Oliver sayang!" Bu Balcom mulai menjerit
sambil menangis.
"Saya sudah berusaha sebisanya," kata Lester. "Ia diculik dari
loteng waktu...."
"Loteng? Apakah kau yakin ia tak ada lagi di sana? Banyak
sekali tempat persembunyian di atas sana," kata Pak Balcom berusaha
untuk tetap tenang.
"Saya telah memerintahkan beberapa orang untuk mencarinya,"
kata seorang sersan polisi. "Tapi mereka tak menemukan apa pun,
kecuali robekan pakaian di jendela."
"Aku akan melihatnya sendiri," kata Pak Balcom, berlari
menaiki tangga. Saat itu Oliver sedang menuruni tangga.
"Halo, Ayah," kata Oliver. "Senang sekali Ayah pulang. Si
Lester itu sangat membosankan."
Oliver mendengar tangisan ibunya dan tampak ibunya berdiri di
kaki tangga.
"Oh, anakku sayang!" jeritnya sambil menghambur ke tangga
dan memeluk Oliver.
"Bu, aku kan sudah bilang kalau aku bukan bayi lagi," kata
Oliver sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan ibunya.
Polisi kemudian memberitahukan tentang semua yang terjadi
pada orang yang bergerombol di depan rumah dan disambut dengan
seruan lega. Waktu Oliver mengetahui apa yang terjadi, ia
memutuskan untuk menutup mulut. Lester tidak dipakai lagi sebagai
penjaga Oliver. Bahkan Bapak dan Ibu Balcom akhirnya memutuskan
bahwa Oliver tidak perlu lagi ditemani bila mereka keluar pada malam
hari. Beberapa hari kemudian, Kapten polisi datang lagi untuk
bertanya pada keluarga Balcom untuk membuat laporan akhir.
"Satu hal yang saya tidak mengerti," katanya, "Yaitu telapak
kaki siapa yang demikian besar di halaman." Ia menunjukkan hasil
cetakan telapak kaki besar yang berasal dari halaman di depan rumah.
"Itu seperti... bentuk tapak kaki dari kostum hantu Kakek
Smedley. Oliver!" seru Pak Balcom memanggil. "Apakah kau bermain
dengan kostum dari loteng?"
"Kostum...?" Oliver balik bertanya dengan wajah tak berdosa.
"Kostum apa?"
CAHAYA YANG MISTERIUS
CANDY Dodd berdiri di tepi pagar haluan ferry yang tengah
melaju, membelah ombak menuju salah satu pulau dekat Cape Cod.
Angin dingin bertiup keras ke wajahnya. Terasa menyenangkan,
apalagi dengan hangatnya cahaya mentari musim panas.
Kemudian, perbukitan yang rendah dan berwarna hijau seolaholah muncul secara tiba-tiba di horison. Garis tipis pasir putih
bagaikan memisahkan daratan dengan birunya lautan.
Aku dan Ibu akan tinggal di sini selama dua minggu, pikirnya.
Mudah-mudahan aku akan mendapat teman seusia.
Hanya untuk berjaga-jaga bila tidak ada kegiatan, Candy
membawa sebuah tas penuh berisi buku, terutama buku-buku misteri,
dan sedikit buku romansa. Kalau keadaannya sangat buruk, paling
tidak aku bisa duduk-duduk di pantai sambil membaca, pikirnya.
Candy meninggalkan haluan kapal dan menaiki tangga besi
menuju dek atas. Ibunya tengah berbaring di kursi malas dan sebuah
topi lebar menaungi wajahnya dari sengatan matahari.
"Bu, pulau yang kita tuju ada di depan. Aku dapat melihatnya."
"Oh, syukurlah, kita akan segera sampai di sana. Mudahmudahan sudah ada mobil dari hotel yang menjemput kita."
"Maksud Ibu, hotelnya jauh dari pantai?" Tanya Candy.
"Brosur yang Ibu baca mengatakan bahwa hotel itu terletak di
puncak bukit dengan pemandangan alam yang memukau. Dan
biayanya bisa terjangkau oleh kita."
Beberapa saat kemudian ferry itu telah memasuki tepian pulau,
di mana ombaknya tenang dan langsung merapat pada pelabuhan kecil
yang menjorok ke tengah dari pantai yang luas itu.
Candy dan ibunya membawa barang-barang mereka turun
menuju pelabuhan. Candy melihat penuh rasa ingin tahu ke sekeliling
pantai itu. Dia agak kecewa melihat banyak anak-anak berlari-larian di
pantai, tapi agaknya tak ada seorang pun yang seusia dengannya.
Candy dan ibunya menjatuhkan koper-koper mereka di atas
pasir. Tak jauh dari situ tampak sederetan hotel-hotel bertingkat tiga
dan empat di mana jalan di depannya membatasi pantai yang
terbentang. Candy sangat ingin tinggal di salah satu hotel itu.
"Tunggu di sini dan awasi barang-barang kita. Ibu akan mencari


Seri Horor Tamu Yg Mengerikan Dan Kisah Lainnya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mobil hotel itu," kata ibunya.
Candy menumpuk keempat koper dan tasnya kemudian duduk
di pasir, memandang lautan. Banyak perahu layar yang menghiasi
pelabuhan kecil, sementara di sebelah kanannya tampak ferry tengah
mengisi muatan untuk kembali berlayar ke pelabuhan utama.
Sejenak kemudian ia membalikkan tubuhnya ke arah jalan raya,
memayungi matanya dari silaunya sang mentari dengan telapak
tangan. Ia heran mengapa ibunya pergi begitu lama. Kemudian ia
melihat seorang anak laki-laki ganteng dengan rambut pirang dipotong
pendek berjalan ke arahnya.
"Apakah kau, Candy?" tanyanya setelah dekat.
"Y... ya," kata Candy, yang tiba-tiba merasa lidahnya kelu.
"Mobil untuk ke hotel ada di atas," katanya sambil langsung
mengambil masing-masing dua koper di tiap tangannya.
"Bi... biar aku sa..," kata Candy tergagap.
"Ah, aku bisa kok," kata anak laki-laki itu sambil berjalan.
Candy mengikuti saja dari belakang. Di atas sana dilihatnya
ibunya tengah berbincang dengan seorang lelaki tua berjanggut kelabu
di sebelah mobil biru. Kemudian pak tua itulah yang mengendarai
mobil itu.
Candy menjatuhkan dirinya ke tempat duduk belakang, diikuti
oleh ibunya. Anak lelaki itu memasukkan semua barang ke dalam
bagasi dan kemudian duduk di depan di sebelah pak supir. Dia
memalingkan kepalanya ke belakang dan melihat Candy.
"Aku Jeff, keluargaku adalah pemilik hotel," katanya sambil
tersenyum. "Aku kadang-kadang ikut Pak Bill kemari untuk
membantu para tamu."
Mobil mulai meninggalkan jalan utama di pelabuhan tua,
kemudian membelok ke arah perbukitan di luar kota. Candy sadar
bahwa mereka tengah menuju ke daerah paling tinggi di pulau itu.
"Agaknya kita berada cukup jauh dari pantai," kata Candy.
"Bukit-bukit ini tidak sejelek seperti yang terlihat," kata Jeff.
"Hanya lima belas menit berjalan kaki ke pantai dan kurang lebih dua
puluh menit untuk kembali."
Mobil kembali menanjak dan berhenti di depan gedung empat
tingkat yang besar dengan teras yang luas mengelilingi seluruh
bangunan. Persis seperti hotel-hotel yang berada di pantai.
"Kita berada di tempat tertinggi di pulau ini," kata Jeff.
"Lihatlah, kita bisa melihat laut dari sudut mana pun."
Jeff turun dari mobil, menuju bagasi dan menurunkan koper dan
tas. "Yang ini berat sekali," katanya sambil tertawa.
"Memang," kata Candy, "isinya buku."
"Buku apa yang kausenangi?"
"Terutama buku-buku misteri."
"Bacaan favoritku adalah buku fiksi ilmiah," kata Jeff, sambil
meletakkan koper di depan pintu hotel. "Pak Charlie, manajer hotel,
akan melayani kalian. Sampai ketemu lagi."
Setelah membereskan segala sesuatunya di kamar, Candy dan
ibunya kembali ke teras depan. Ibunya duduk di kursi goyang dan
melihat pemandangan yang indah.
"Oh betapa asyiknya tidak harus mengerjakan apapun," kata
ibunya. "Ibu rasa, Ibu bisa duduk di sini berhari-hari tanpa bergerak."
"Aku akan berjalan ke pantai dan berjemur di sana," kata
Candy. "Aku akan membawa sebuah buku."
"Baik sayang, asalkan kau sudah pulang sebelum waktu makan
malam, yang menurut manajer tadi jam enam."
"Baik, Bu."
Candy sangat menikmati perjalanan menuruni bukit. Tiap
beberapa saat ia melalui pondok-pondok liburan musim panas.
Pondok-pondok itu kelihatan bagaikan rumah-rumah boneka yang
besar. Beberapa di antaranya memiliki kolam di depannya, dengan
bunga-bunga teratai. Dan semuanya berakhir dengan pemandangan
indah pantai yang membentang dikejauhan.
Ketika ia sampai di pantai, Candy melebarkan handuknya di
atas pasir dan meletakkan buku di sebelahnya. Candy memakai baju
renang di dalam pakaiannya. Ia membuka bajunya dan duduk sambil
mendengar suara debur ombak.
Setelah berjemur kira-kira setengah jam, satu bayangan jatuh
tepat di atas tubuhnya dari belakang. Candy memalingkan kepalanya
dan melihat Jeff berdiri di sana, dalam pakaian renang.
"Wah, rupanya berhasil juga sampai ke pantai."
"Ya, asyik sekali berjalan kaki."
"Kau sedang baca buku apa?"
"Judulnya Burung Elang dari Malta. Nama detektifnya Sam
Spade. Aku ingin menjadi seperti dia."
"Tetapi, kurang cocok rasanya bila namamu menjadi Sam
Spade."
"Bagaimana kalau Candy Dodd, Detektif Partikelir. Apakah kau
pikir aku akan dapat memecahkan berbagai masalah misteri yang
pelik dengan nama seperti itu?"
"Sayangnya tidak banyak misteri di pulau ini," kata Jeff.
"Kecuali kau menganggap rumah tua berhantu yang kira-kira terletak
dua mil dari pantai sebagai salah satu misterimu."
"Aha!" kata Candy setengah berteriak dan tertawa. "Mana
mungkin ada pulau tanpa rumah berhantu! Coba ceritakan."
"Yah, sebetulnya itu adalah sebuah rumah tua yang tak
terpelihara... belum pernah ditinggali lagi selama bertahun-tahun.
Pada waktu malam di dalamnya ada sinar yang aneh dan...."
"Bagaimana waktu siang hari?"
"Tidak seseram waktu malam hari."
"Mari kita ke sana melihatnya," kata Candy.
"Kita tidak akan pergi sebelum rambutmu basah, ayo!" teriak
Jeff sambil melompat ke air menyambut ombak.
Jeff membelah ombak dengan badannya dan berenang ke
tengah. Candy tepat di belakangnya dan ombak yang sama
menghantam badannya sampai terjatuh dengan posisi duduk. Ombak
selanjutnya kembali menghantamnya ketika Candy berusaha berdiri.
Tiba-tiba Jeff sudah ada di depannya memegang tangannya dan
menariknya untuk menghindari ombak yang berikutnya dan
membawanya ke tepi yang tak berombak. Ada gundukan pasir di sana
yang memisahkan pantai dari lautan yang berombak dan airnya hanya
setinggi mata kaki.
"Kamu nggak apa-apa Candy?" tanya Jeff.
"Tentu saja nggak apa-apa," Candy menjawab. "Apakah
rambutku cukup basah sekarang?"
"Hampir," kata Jeff sambil mencipratkan air ke arah Candy.
Candy membalas mencipratkan air ke arah Jeff dan mereka pun
melompat berkeliling sambil menciprat-cipratkan air dengan sangat
gembira. Kemudian mereka berdua duduk di pantai yang berpasir
putih itu.
"Aku siap ke rumah yang berhantu itu sekarang," kata Candy.
"Oke, ikut aku," kata Jeff melompat dan berlari meninggalkan
pantai. "Ayo kita balapan lari ke arah batu karang di atas itu," tantang
Candy sambil berlari melewati Jeff.
Candy tiba di batu karang terlebih dahulu. Ia merupakan pelari
yang lumayan, tapi ia tidak mengalahkan Jeff terlalu jauh.
Dari sana perjalanan mulai bertambah sulit. Pantai berpasir
telah ditinggalkan dan mereka harus mendaki batu karang yang cukup
licin di dasar tebing yang tinggi.
"Tidak begitu jauh lagi," kata Jeff. "Letaknya di atas karang
yang terjal itu."
"Bagaimana mungkin kita bisa sampai ke sana?" tanya Candy
melihat ke atas.
"Gampang," kata Jeff. "Aku tahu jalan pintas di mana kita dapat
menanjak tebing itu. Sangat curam, jadi... berhati-hatilah."
Jeff memimpin perjalanan ke arah lekukan sempit di antara dua
batu karang yang langsung menanjak ke tebing.
"Kau duluan Candy," kata Jeff. "Kalau kau tergelincir, aku ada
tepat di belakangmu."
Candy mulai mendaki lereng di lekukan sempit itu dengan
kedua tangan dan kakinya. Ia hampir tiba di puncak ketika tonjolan
tanah yang diinjaknya lepas sehingga ia mulai tergelincir turun. Jeff
menempatkan dirinya di lereng itu dengan mantap dan kemudian
menyambar Candy ketika ia terpeleset.
Jeff memegangi Candy sebentar. "Mari kita coba lagi," katanya.
Akhirnya Candy berhasil mencapai puncak. Ia melihat ke
belakang, ke arah jalan yang ditanjaknya tadi, ke arah batu karang
yang sekarang tampak amat jauh di bawah sana. Ia merasa gemetar...
dan bahkan sedikit rasa takut, justru setelah tiba di atas.
"Itu rumahnya di sebelah sana," kata Jeff menunjuk ke seberang
lapangan rumput ilalang yang luas, ke arah sebuah rumah dua tingkat
yang bobrok. Bagian luarnya berwarna abu-abu kusam. Atapnya
melengkung turun di bagian tengah. Daun jendelanya telah hilang,
sehingga jendela yang bolong hitam mengesankan mata yang hitam
dan mengerikan.
"Ada jalan setapak menembus ilalang di sebelah sana," kata Jeff
menunjukkan jalan.
Candy tidak dapat menahan diri lagi untuk bisa masuk dan
melihat berkeliling rumah itu. Begitu mereka tiba di sana Candy
menghambur masuk.
"Hati-hati dengan lantai kayunya, karena sudah...." Kata Jeff
memberitahu.
Tetapi tiba-tiba ucapannya terpotong oleh jeritan Candy, ketika
lantai papan runtuh dengan suara yang berderak keras. Dengan gerak
kilat, Jeff meraih Candy dan menariknya menjauhi tempat itu.
"Lebih aman di sini," kata Jeff. "Tengah-tengah lantai tempat
kau berjalan tadi, sudah lapuk."
"Wow!" Candy berseru. "Sudah dua kali kau
menyelamatkanku."
"Mari kita melihat berkeliling, tapi ingat, tetaplah di dekat
dinding."
Tak banyak yang dapat dilihat di dalam rumah itu. Ada
beberapa perabot yang sudah patah, dan di dapur sebuah cermin yang
sudah pecah tergantung miring dan bergoyang pada seutas kawat di
atas meja tempat cuci piring. Beberapa garpu dan sendok berkarat
tersebar di atas meja yang sudah patah. Sayangnya, tangga ke lantai
atas sudah sangat lapuk.
"Kurasa hanya itu semua yang bisa kita lihat," kata Jeff.
"Pasti ada sesuatu," kata Candy. "Yang bisa dijadikan bukti."
"Bukti mengenai apa?"
"Yah... bukti adanya hantu."
"Oh itu," kata Jeff. "Kurasa mereka hanya keluar waktu malam
saja."
"Kalau begitu kita harus kembali malam ini dan melihat-lihat,"
kata Candy.
"Entahlah," kata Jeff. "Siang hari saja tempat ini sudah cukup
berbahaya. Kau hampir saja jatuh ke ruang bawah tanah atau entah
ruang apa yang ada di bawah sana."
"Kau benar akan hal itu," kata Candy sambil berpikir. "Kalau
kita kembali kemari dan hanya melihat dari luar... mungkin kita bisa
melihat sinar yang kau ceritakan itu."
"Baiklah. Kita akan kembali kemari setelah makan malam. Ada
jalan tak jauh dari tempat kita berada. Jalan itu lebih dekat dan lebih
aman."
"Mari kita pulang sekarang. Aku harus sudah ada di hotel
sebelum Ibu khawatir."
Kira-kira setengah jalan untuk sampai ke jalan raya, Jeff tibatiba berhenti.
"Aku tak pemah menyadari sebelumnya," katanya sambil
melihat ke satu tempat di dekat jalan tembus itu.
"Menyadari apa?"
"Ada lingkaran besar yang ditandai oleh rumput terbakar di
sebelah sana," katanya sambil meninggalkan jalan tembus ke arah
tempat yang ditunjukkannya. Candy mengikuti dari belakang.
Mereka berdiri di tengah lingkaran itu. Jeff melihat dengan raut
muka yang terkejut.
"Aku tak mengerti, apanya yang hebat...." Candy berkomentar.
"Tidakkah kau sadar? Ini adalah lingkaran yang sempurna dan
ukurannya sangat tepat!"
"Ukurannya sangat tepat untuk apa?"
"Untuk piring terbang," kata Jeff. "Mereka meninggalkan
lingkaran bekas rumput terbakar seperti ini bila mereka mendarat."
"Oh tentu," kata Candy. "Piring terbang."
"Dengar Candy, kalau kau percaya pada hantu, aku boleh dong
percaya pada piring terbang."
"Aku tak pernah bilang bahwa aku percaya...."
"Dan lihat di sebelah sana!" kata Jeff memotong. "Kau lihat
legokan tanah di ujung sana? Itu adalah bekas tekanan dari salah satu
di antara tiga kaki piring terbang tersebut."
"Aku lupa kalau kau adalah penggemar fiksi ilmiah yang
hebat," kata Candy.
"Mungkin saja ini merupakan suatu fakta ilmiah dan bukan
fiksi," kata Jeff penuh semangat. "Sekarang aku yakin bahwa kita
harus kembali kemari malam ini."
**************
"Senang di pantai, Candy?" tanya ibunya waktu Candy tiba di
hotel. "Ya, Bu," kata Candy. "Jeff, anak laki-laki yang membawakan
barang kita, mengajakku berkeliling."
"Asyik dong," kata ibunya.
Candy dan ibunya makan malam di hotel, dan kemudian Candy
meninggalkan ibunya yang tengah menonton televisi di ruang tamu
hotel. Matahari musim panas masih bersinar. Candy bergegas menuju
tepi jalan, tempat ia berjanji untuk bertemu Jeff. Jeff muncul tepat
pada waktunya.
"Kita perhatikan rumah itu dari sini sebentar. Mungkin ada
sesuatu yang bisa kita peroleh."
Mereka duduk dan memperhatikan rumah itu. Ada cahaya
bersinar di sana, menghilang, bersinar lagi... dan kembali menghilang.
"Nah," kata Candy. "Mari kita pergi, aku ingin tahu penyebab
misteri ini sampai ke dasar."
"Kalau kau jatuh melalui lantai rumah tua itu sekali lagi," kata
Jeff. "Barulah kau akan sampai ke dasarnya."
"Oh, lelucon yang jahat!" kata Candy sambil tertawa. "Kita
tidak perlu memasuki rumah itu. Mungkin kita cukup mengintip dari
jendelanya."
Mereka mulai menyeberangi padang rumput dan ilalang ke arah
rumah tua itu. Saat itu pula kabut mulai bergerak melintasi mereka.
"Lihat ke atas," kata Candy. "Seluruh bintang menghilang."
"Aku rasa kita sebentar lagi akan dikepung kabut yang tebal.
Hal itu biasa terjadi di daerah ini. Lebih baik kita balik saja ke arah
jalan raya, di mana kita masih bisa melihat ke mana kita akan pergi."
"Wah, gawat!" kata Candy meniru apa yang sering diucapkan
ibunya. "Pulang tepat pada waktu kita akan memecahkan misteri
rumah tua itu!"
Mereka mendaki bukit. Tiba-tiba kabut mengepung mereka, dan
malam berubah menjadi gelap gulita.
"Pegang tanganku," kata Jeff. "Jalanan ada di depan."


Seri Horor Tamu Yg Mengerikan Dan Kisah Lainnya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka hampir tiba di sana ketika tiba-tiba suatu cahaya merah
terang berusaha membelah kabut.
"Apa itu?" jerit Candy.
"Itu adalah tempat di mana piring terbang itu mendarat," kata
Jeff. "Itu mungkin saja mereka."
Candy merapatkan tubuhnya pada Jeff ketika dua bentuk tubuh
yang amat besar muncul, berbentuk bayangan di depan cahaya.
Keduanya tampak bertambah besar dan kian mendekat.
"Ya, Tuhan!" bisik Candy dengan suara bergetar. "Mahluk
angkasa luar itu akan menangkap kita!"
"Hai, siapa di sana?" sebuah suara kasar berteriak melalui
kabut. Jeff merasa mengenal suara itu.
"Ya," kata Jeff. "Siapa itu?"
Suatu bentuk tubuh yang amat besar muncul sejenak di depan
Jeff dan Candy, kemudian menciut lagi ke dalam bentuk normal.
Ukuran raksasa itu rupanya bayangan pada kabut.
"Sersan Spinelli!" Teriak Jeff waktu mengenal siapa yang
datang melalui cahaya senter polisi itu.
"Apakah kalian baik-baik saja?" tanya Sersan Spinelli. "Aku
mendengar suara waktu kabut turun. Aku pikir lebih baik kuperiksa
kalau ada yang memerlukan bantuan. Amat mudah tersesat dalam
cuaca seperti ini."
"Kami sedang melihat... ehm bintang, waktu kabut turun," kata
Jeff. "Kalian lebih beruntung," kata Sersan Spinelli. "Kami baru saja
mau berpatroli di jalanan ini waktu tiba-tiba ban mobil kami kempes."
Mereka mengikuti polisi itu ke jalanan. Lampu merah masih
terus bergetar membelah kabut. Itu adalah lampu putar di atas mobil
polisi. "Sudah beres, Sersan!" seorang polisi di sana berkata. Mereka
diantar pulang ke hotel oleh pak polisi.
"Besok siang kita akan kembali ke sana," kata Candy. "Aku
sudah menemukan jawaban terhadap cahaya di dalam rumah tua itu."
"Sudah terpecahkan?" tanya Jeff.
"Aku akan menjelaskannya besok."
**********
Hari berikutnya, Candy dan Jeff kembali lagi ke rumah tua itu.
Candy sangat berhati-hati dengan lantai papan. Ia pergi ke dapur dan
menunjuk cermin pecah yang tergantung miring di atas tempat cuci
piring. "Lihatlah bahwa... Oh tidak, tunggu sebentar, biar kutunjukkan
kepadamu gambar yang kubuat pagi ini di hotel, mengenai rumah ini
dan lingkungan sekitarnya."
Candy membuka gambarnya di atas meja yang patah itu. Jeff
memperhatikan dari belakang Candy.
"Lihatlah," kata Candy menunjukkan sebuah titik dalam
gambarnya. "Ini adalah tempat di mana kita memperhatikan rumah ini
kemarin malam. Anak panah ini menunjukkan cahaya bulan yang
masuk melalui jendela. Sinar bulan terpantul kembali pada cermin
dan...."
"Tetapi cahaya itu kan muncul dan pergi," komentar Jeff.
"Aku tahu," kata Candy. "Angin laut membuat cermin itu
bergerak, membuat sinar bulan kadang terpantul, kadang tidak."
"Benar sekali," seru Jeff. "Sekarang aku ingat bahwa tiap kali
aku merasa ada angin dari laut, pasti cahaya itu muncul."
"Hanya ada satu hal," kata Candy.
"Apa?"
"Maunya aku tidak memecahkan misteri ini begitu cepat.
Maksudku, sekarang kita tidak punya misteri lagi untuk diselidiki."
"Kita masih punya lingkaran terbakar di luar."
"Benar, Jeff!" kata Candy. "Tapi kita jangan pecahkan misteri
itu terlalu cepat...ya?" Ebukulawas.blogspot.com
ORANG ASING
SUATU hari, ketika Alicia masih kecil, dia bermain sendirian
di ruang depan rumahnya. Di ruang itu terdapat lemari buku keluarga.
Sambil lalu, Alicia mengambil beberapa buku dari lemari itu, ternyata
salah satunya adalah sebuah album foto. Sebuah foto terjatuh dari
album dan meluncur ke lantai. Itu adalah foto seorang laki-laki. Orang
itu kelihatan aneh, sehingga Alicia tertawa dan sambil duduk
memperhatikannya. Tetapi kemudian terasa ada sesuatu yang
menakutkannya dari foto itu, dan dia berusaha untuk
mengembalikannya ke album. Alicia tidak tahu caranya, jadi dia
menyembunyikan saja foto itu di kamarnya dan berusaha melupakan
foto itu. *************
"Kau betul tidak mau diantar dengan mobil ke sekolah?
Tampaknya akan hujan lagi," kata ibu Alicia.
"Ibu gimana sih, kan hanya delapan blok. Aku senang jalan
kaki, meskipun hari hujan."
"Tapi hati-hati menyeberangi jalan."
"Ibu, aku kan bukan bayi lagi! Aku sudah bisa menyeberangi
jalan." Alicia mengempit buku-bukunya di bawah lengannya dan
keluar dari pintu depan.
Alicia berlari-lari kecil di bawah langit mendung berwarna
keperakan, setelah agak dekat ke sekolah ia berjalan cepat. Saat itu
adalah awal musim semi. Kuncup bunga telah bermunculan di ranting
pepohonan. Burung-burung bernyanyi di dahan. Beberapa minggu
lagi, semuanya akan berubah menjadi hijau pikirnya.
Alicia berhenti sejenak di jalan Linden, memastikan tidak ada
kendaraan yang lewat sebelum ia menyeberangi jalan. Seorang lakilaki yang terlihat asing tertangkap oleh mata Alicia, berada tak jauh
dari tempatnya berdiri. Ia bertubuh tinggi dan sangat kurus. Ia
memakai setelah jas biru tua sehingga penampilannya bagaikan orangorangan di sawah yang menakutkan. Dan ia memakai dasi kupu-kupu!
Itu adalah pertama kali Alicia melihat orang memakai dasi seperti itu.
Topi tingginya seperti sebuah pot bunga di atas kepalanya.
Ia belum pemah melihat pria itu sebelumnya, tetapi ada sesuatu
yang membuatnya merasa... kenal. Alicia hampir tersandung saat ia
menyeberangi jalan.
Dua blok kemudian, ia dapat melihat sekolahnya di depan. Ia
menoleh ke belakang, dan melihat laki-laki itu mengikutinya satu blok
di belakangnya. Tiba-tiba ia merasa ada sesuatu yang membuatnya
menggigil ketakutan. Sesuatu yang tak dapat dijelaskannya.
Ia berlari secepatnya pada blok terakhir menuju ke sekolah.
**********
Sepanjang hari di sekolah, bayangan tentang laki-laki asing
tersebut terus ada di kepalanya. Rasanya ia pernah melihat foto orang
itu. Apakah di album keluarga? Ia ingat bahwa ia pernah melihat
sebuah foto... sudah lama sekali, ketika ia masih kecil. Ataukah... itu
hanya merupakan khayalannya belaka?
Ketika pelajaran hampir berakhir, Alicia merasa bahwa ia tidak
mau pulang sendirian. Ia mendatangi Bobby Carpenter yang
rumahnya tak begitu jauh dari rumah Alicia.
"Kau pulang jalan kaki?" tanya Alicia.
"Biasanya ya; kecuali kalau ada latihan basket."
"Hari ini latihan?"
"Nggak, nggak hari ini."
"Aku ingin pulang bersama."
"Baik, kita bertemu di pintu gerbang setelah bel pulang."
"Trims, Bobby," katanya tersenyum.
************
"Apakah ada sesuatu yang sedang kau cari?" tanya Bobby
ketika Alicia terlihat menoleh ke kiri dan ke kanan juga ke belakang
untuk kesekian puluh kalinya. "Apa kita sedang diikuti?"
"Nggak, tadi pagi aku melihat seorang berpenampilan aneh
dalam perjalanan ke sekolah. Aku ingin kau melihatnya."
"Orang-orang yang baru kita lewati tidak ada yang kelihatannya
lucu. Kalau kau mau melihat orang yang lucu, kau harus melihat
tetangga di belakang rumahku."
Alicia berhenti sejenak dan bertanya penuh rasa khawatir.
"Bagaimana bentuk tetanggamu itu?"
"Bulatnya pasti sempurna bila mereka itu tinggi, tetapi
kenyataannya, ia lebih pendek dariku."
"Bukan, pasti bukan itu... yang ini bertubuh kurus dan tinggi."
"Bisa jadi hantu."
"Jangan bego," kata Alicia. "Yang ini hanya orang biasa, cuma
saja kelihatannya aneh!"
"Wah, kita sudah sampai di rumahmu," kata Bobby.
"Terima kasih, kau mau menemani."
"Sampai bertemu lagi."
"Bagaimana kalau besok? Sepulang sekolah?"
"Oke."
***********
Untuk beberapa minggu kemudian Alicia membiarkan ibunya
mengantarkannya ke sekolah. Ibunya tidak bertanya apa-apa. Beliau
tahu bahwa Alicia khawatir terhadap sesuatu. Beberapa pagi memang
hujan, mungkin itu yang dikhawatirkan Alicia. Bobby juga tiap hari
pulang bersamanya.
Alicia mulai melupakan orang asing itu. Bila ia berpikir tentang
orang itu, ia sendiri heran, mengapa ia merasa takut terhadap orang
itu? Suatu sore pada akhir pekan, cuaca amat buruk. Hujan sangat
deras menghantam jendela kamar Alicia. Ia berjalan ke jendela untuk
melihat keluar. Di seberang jalan, di bawah lampu jalanan, ada si
orang asing itu!
Ia menghapus embun di kaca jendela dengan telapak tangannya
dan kembali memperhatikan ke seberang jalan. Laki-laki itu sudah
tidak ada. Tetapi, dia ada di sana semenit yang lalu. Alicia yakin
sekali akan hal itu. Ia lalu turun ke ruang makan.
"Bu, apakah Ibu pernah melihat seorang laki-laki yang tinggi
dan kurus di sekitar rumah kita? Pakaiannya kebesaran dan ia
memakai dasi kupu-kupu."
"Anak muda?"
"Nggak, tapi tidak terlalu tua."
"Tinggi, kurus dan... berdasi kupu-kupu?" tanya ibunya.
"Kedengarannya persis seperti Paman Harry, kakak Ayah. Aku pernah
bertemu dengannya waktu kami akan menikah. Tentu saja waktu itu
kau belum lahir.
"Di mana ia tinggal?" tanya Alicia.
"Pertanyaan yang baik," kata ayahnya yang baru datang dan
duduk di kursi makan. "Beliau menghilang sewaktu kami akan
menikah. Ia keluar suatu malam untuk membeli koran dan tak pernah
kembali lagi. Beliau meninggalkan isteri dan seorang anak
perempuan."
"Eileen menikah lagi setelah beberapa tahun 'kan?" tanya Ibu
Alicia kepada ayahnya.
"Benar. Semua masih tetap misteri. Ayah dan pamanmu itu
tidak pernah terlalu dekat - mungkin karena terlalu jauh perbedaan
usia kami."
"Apakah Ayah punya fotonya?" tanya Alicia.
"Tentu saja," kata ayahnya. "Kenapa kok tiba-tiba kau jadi
tertarik pada Paman Harry?"
"Alicia melihat seseorang di dekat rumah kita yang dari
uraiannya mengingatkanku pada Harry," kata ibunya. "Apakah
mungkin beliau sudah kembali?"
"Kalau ia kembali tentu usianya sekitar lima puluhan."
"Laki-laki yang kulihat jauh lebih muda." kata Alicia.
"Mana album keluarga itu?" tanya ayah Alicia pada ibunya.
"Kurasa ada di lemari buku di ruang depan. Biar kuambil."
Ibu kembali ke ruang makan dengan sebuah album dan
langsung membukanya di atas meja. "Hei, aneh sekali, di sini
seharusnya foto Harry terletak, sekarang kosong. Apakah Ayah atau
Alicia mengambilnya?"
"Tidak," kata Ayah.
"Rasanya... aku tidak," kata Alicia.
"Apakah Ayah masih menyimpan fotonya yang lain?" tanya ibu
Alicia pada ayahnya.
"Foto Harry? Ia adalah seorang yang amat pemalu untuk
dipotret, memang keterlaluan. Kurasa tak mungkin ia datang khusus
untuk mengambil fotonya dari album kita. Ayah bercanda lho...."
*************
Keesokan paginya, Alicia berangkat sekolah sendiri, memakai
pakaian hujannya dan terus berlari-lari kecil. Ia tidak melihat orang
asing itu.
Aman, pikirnya. Siapa pun ia, pasti telah pergi.
Di kelasnya, Alicia merasa ada rasa hangat yang menjalar di
lehernya bagian belakang. Pasti si Charlie Witherspoon menggodaku
lagi, pikirnya. Ia pasti meniup leherku atau....
Alicia menoleh ke belakang untuk melihat. Charlie tengah
duduk menekuni buku di hadapannya. Tetapi, di belakang ruang kelas
ada si orang asing itu!
Ia hanya berdiri di depan pintu, masih memakai setelan biru tua
itu. Pakaiannya basah dan menempel ketat pada tubuhnya yang kurus.
Matanya hitam, sama dengan warna dasi kupu-kupunya dan topi
tingginya itu. Sebuah senyum sayu terlukis di wajahnya.
"Alicia! Apa yang kau lihat?" Ibu Sisley, guru bahasa Inggris
bertanya. "Papan tulis ada di depan sini."
Alicia kembali melihat ke depan dan berdiri dari kursinya.
"Siapa orang laki-laki di belakang itu?" tanyanya.
Seluruh teman sekelasnya melihat ke belakang.
"Laki-laki? Laki-laki yang mana?" tanya Bu Sisley.
Alicia melihat ke belakang lagi. Tak ada seorang pun di sana.
Seisi kelas tertawa bergemuruh.
"Baiklah Alicia, tidak ada laki-laki di belakang kelas, baik tadi
maupun sekarang. Kalau kau tetap melihat ke papan tulis, kau tidak
akan terganggu oleh laki-laki mana pun yang ada di belakang kelas."
Gemuruh tawa seluruh kelas terdengar lagi.
Memalukan sekali, pikir Alicia. Rasanya ia ingin berlari
meninggalkan kelas dan menangis. Namun semua agaknya cepat
melupakan peristiwa itu.
***********
Bobby mengantarkannya pulang. Mereka berdua berjalan di
bawah satu payung ketika hujan tiba-tiba turun dengan derasnya.
Mereka harus melompati genangan-genangan air, dan beberapa kali
gagal. "Lihat, di sebelah sana!" seru Alicia. "Apa kau lihat laki-laki di
sebelah sana itu? Itulah dia."
Alicia mengabaikan naungan payung dan menarik tangan
Bobby ke arah orang asing itu.
"Dia ada di sebelah sana. Memang sulit melihat orang dalam
jarak satu blok dan pada hari hujan lagi. Siapa pun dia, pasti agak gila.
Lihat saja caranya menciprat-cipratkan air di sekitar genangan itu."
"Ayo, cepat! Aku ingin kau juga melihatnya..." kata Alicia.
Mereka berdua berlari dan tiba dengan terengah-engah di
tempat laki-laki tadi terlihat.
"Ke mana perginya dia?" tanya Bobby.
"Sialan!" kata Alicia, menyibakkan rambutnya yang panjang
dan basah dari wajahnya.
"Aku melihatnya tadi, betul Alicia," kata Bobby.
"Maaf, Bob," kata Alicia. "Aku mengajakmu hujan-hujanan
seperti ini."


Seri Horor Tamu Yg Mengerikan Dan Kisah Lainnya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nggak apa-apa kok, malah menyenangkan, seperti dalam film
Bernyanyi di bawah Rintik Hujan. Aku dulu sering melompat ke
sungai kecil di belakang Thompson Plaza dengan tetap berpakaian,
sekedar untuk senang-senang."
"Yah, terima kasih banyak untuk segalanya."
"Nah, itu rumahmu di seberang jalan. Sampai besok."
Alicia berdiri sejenak di sana melihat Bobby berjalan menjauhi.
Tiba-tiba orang asing itu muncul dari balik pohon.
"Aku sudah lama menunggumu pulang sekolah," kata laki-laki
itu. Alicia ingin berlari. Rumahnya terletak di seberang jalan. Tetapi
kakinya serasa tertanam, ia tak bisa bergerak.
"Jangan takut," kata laki-laki itu. "Aku hanya ingin
menyapamu. Aku sangat senang melihatmu telah tumbuh menjadi
seorang gadis cantik."
Alicia berusaha untuk bicara. Ia ingin bertanya apakah laki-laki
itu Paman Harry, tetapi tak ada yang dapat keluar dari mulutnya.
Kemudian tanpa melihat lagi, Alicia menghambur, berlari menuju
rumahnya. Suara derit rem mobil yang berusaha menghindari Alicia tidak
membuatnya berhenti sampai ia tiba di pintu depan. Alicia masuk ke
rumah, langsung membanting pintu dan menjatuhkan diri sambil
menangis di lantai. Ibunya berlari ke ruang depan.
"Ada apa?" tanyanya sambil berlutut di sebelah Alicia.
"Laki-laki itu... dia ada di luar," kata Alicia di tengah tangisnya.
Ibunya berlari ke pintu depan dan melihat keluar ke arah hujan.
"Ibu tidak melihat siapapun. Apakah kau yakin...?"
"Aku yakin. Dia ada di sana!"
**********
Alicia sudah merasa lebih baik waktu ayahnya tiba di rumah.
"Tidakkah semua ini hanya ada dalam pikiranmu?" ibunya
bertanya waktu makan malam.
"Tentu tidak, apakah Ibu pikir aku gila?"
"Mungkin kau belajar terlalu keras," komentar ayahnya. "Itu
bisa saja merupakan penyebab."
"Tidak, Yah. Aku tidak belajar terlalu keras."
"Maukah kau berbincang-bincang dengan seseorang?" tanya
ibunya. "Teman Ibu, Laura, pernah cerita tentang seorang psikolog
yang dikenalnya. Mungkin...."
"Ia ahli nujum?"
"Bukan, tapi hanya seorang untuk teman berbincang."
"Ya, itu suatu gagasan yang baik," kata ayahnya.
***********
Alicia tidak bersekolah untuk beberapa hari. Ia berhati-hati
untuk tidak melihat ke jendela. Ibunya membuat perjanjian dengan Dr.
Bernard dan pergi bersama Alicia ke kantornya.
Psikolog itu mendengarkan segala cerita Alicia dengan
saksama. "Kita bisa saja menciptakan hal seperti ini dari rasa takut dan
imajinasi kita sendiri," kata psikolog itu. "Tahun depan kau akan
memasuki masa remaja. Ini adalah masa yang amat sulit untuk
dilewati. Bagian dari pertumbuhan adalah berkembangnya pula rasa
takut."
"Tapi laki-laki itu tidak hanya ada dalam pikiranku," katanya.
"Temanku Bobby juga melihatnya."
"Kan tadi kau katakan bahwa kalian melihatnya dari kejauhan.
Jadi kau telah meyakinkan Bobby bahwa itu adalah orang asing
tersebut."
"Tapi aku tidak mau melihat orang asing itu lagi."
"Aku tahu," kata Psikolog itu. "Mungkin pada pertemuan kita
selanjutnya kita dapat membawamu kembali pada ingatan saat
dilahirkan."
*************
Setibanya di rumah, Alicia berkata pada ibunya, "Aku tidak
mau bicara lagi dengan dokter itu."
Meskipun demikian, pembicaraan dengan psikolog itu ada
baiknya juga. Alicia kini tidak lagi setakut sebelumnya. Bahkan rasa
ingin tahunya menjadi bertambah besar menggantikan rasa takut.
Setiap kali ke luar rumah, ia berusaha mencari laki-laki jangkung dan
kurus. Ia bahkan berjalan sendirian dengan harapan dapat menemui
orang asing itu. Ketika musim berubah menjadi musim panas,
matahari bersinar tiap hari dan daun-daun muncul di pepohonan,
Alicia hampir melupakan orang asing itu... tetapi sebenarnya tidak.
Suatu malam, menjelang libur musim panas, Alicia sedang
duduk di depan jendela kamar tidurnya melihat cahaya terakhir sang
mentari. Tiba-tiba ia merasakan bulu kuduknya berdiri. Ia membalik,
dan di sana, di dekat pintu kamar, berdiri si laki-laki asing itu.
"Aku belum melupakanmu," katanya.
"A... apa maumu?"
"Aku hanya ingin menemuimu,"
"Nah, lebih baik mulai sekarang berhenti menemuiku lagi. Aku
akan menghitung sampai lima dan kemudian berteriak. Ayah dan
ibuku ada di bawah. Bila kau tidak juga pergi...."
"Aku sangat berharap kita dapat berteman," katanya sambil
berjalan ke arah rak dekat dinding. Dari belakang rak itu dia
mengambil sehelai foto kecil yang berdebu. "Aku akan membawa ini
pergi. Dan sekarang, selamat tinggal...."
Kemudian dia pergi menembus dinding dan menghilang. Alicia
berteriak.
"Dia ada di sini... di kamar ini," teriaknya waktu orang tuanya
berlari masuk.
Pada mulanya ayahnya mau menelepon polisi, tetapi kemudian
mengurungkan niatnya itu. Beliau mencari di seluruh rumah, dari atas
sampai ke bawah, tetap tak menemukan orang asing itu.
Sejam kemudian, Alicia sudah agak tenang, dan mereka akan
segera makan malam. Tiba-tiba terdengar derit rem mobil di depan
rumah mereka dan diakhiri oleh suara tubrukan.
Mereka semua berlari ke depan. Seorang laki-laki tertabrak
mobil. Ayah Alicia segera menelepon polisi lalu lintas melalui nomor
gawat darurat.
"Ya, segera kirim sebuah ambulans, seseorang telah tertabrak
mobil di depan rumah nomor tiga enam dua di jalan raya Fernwood."
Beberapa saat kemudian mereka telah mendengar suara sirene
ambulans itu.
Alicia berdiri di tepi jalan, dalam keadaan shok. Tak diragukan
lagi... itu adalah si laki-laki asing yang terlentang di tengah jalan raya.
Pengemudi mobil masih mengemukakan bahwa ia tidak bersalah.
"Laki-laki ini tiba-tiba saja muncul di depanku, tak tahu datang dari
mana."
"Apakah kau yakin bahwa dialah laki-laki yang kau sebutkan
itu?" tanya ibu Alicia sambil berdiri di sebelahnya.
"Yakin? Tentu saja aku sangat yakin!"
"Dia betul-betul persis dengan kakak Ayah waktu beliau
menghilang," kata Ayah Alicia. "Tetapi tentu dia sudah bertambah tua
sekarang."
Ketika ambulans tiba, para perawat datang dan mengangkat
tubuh itu ke atas brankar. Ketika mereka memasukkannya ke dalam
ambulans, Alicia yakin bahwa ia melihat orang asing itu tersenyum
padanya. Alicia tak pernah sekali pun melihat orang asing itu lagi, tetapi
ia juga tak pernah dapat melupakannya. END
Filosofi Kopi 2 Girl Talk 16 Gara Gara Pesta The Diversion 3

Cari Blog Ini