Ceritasilat Novel Online

Temukan Aku Dalam 2

Temukan Aku Dalam Istikharahmu Karya E Sabila El Raihany Bagian 2


"Bah... siapa pun dan bagaimana Abah, Ummi gak peduli. yang Ummi pikirkan waktu itu, adalah punya suami yang agamanya kuat dan itulah yang membuat Ummi yakin, bersama Abahlah Ummi akan bangun keluarga sakinah, mawaddah, warohmah dan itu terbukti kan."
"Abah bahagia mendengarnya, makasih ya... Mi. Ummi telah buat Abah menjadi orang yang beruntung di dunia dan mudah-mudahan di akhirat juga."
"Amien Bah." "Tapi Mi, bagaimana dengan Alfi dan Azki?"
"Bah, dari kisah hidup kita. Ummi ingin Abah bertafakur lagi."
"Maksud Ummi?" "Ummi gak mau Abah salah pilih. Pesan Ummi, jangan pernah Abah bandingkan orang yang satu dengan yang lain. Jangan tanyakan siapa dia, punya apa, dan keluarga seperti apa."
"Terus Abah harus gimana mi?"
"Abah cukup tanya, bagaimana hatinya?"
"Tapi bagaimana bisa Abah tahu hatinya Mi, kalo orangnya saja belum kenal."
"Itu rahasia Allah Bah. Cuma putri-putri kita yang bisa menjawabnya. Sebagai orang tua cuma satu yang kita cari."
"Apa Mi?" "Laki-laki yang mencintai Allah dan rasulnya, laki-laki yang kuat agamanya."
Abah tampak merenungi kata-kata Ummi.
"Di zaman sekarang sulit ya Mi cari menantu yang baik." Keluh Abah.
"Namanya juga kiamat sudah dekat Bah. Kadang penampilan biasa. Tapi hatinya subhanallah. Ada lagi yang penampilannya alim, tapi hatinya masya allah. Bahkan sebaliknya."
"Abah takut kejadian keluarga Ahmad terjadi pada kita Mi, aku pernah mendengar hal yang paling misteri di dunia ini ada 4 perkara,
1. lahir 2. mati 3. jodoh 4. amal, Dan yang terjadi pada keluarga Ahmad adalah jodoh. Vina adalah temanku, telah lama berpacaran dengan seorang laki-laki bernama Haikal. Saat gerbang pernikahan ada di ujung mata, saat 2 keluarga telah saling mengenal satu sama lain. Tiba-tiba Vina memutuskannya begitu saja. Keluarga tak bisa menolak, tak lama peristiwa itu terjadi, Vina berkenalan dengan Muslim. Tanpa sengaja, tanpa rencana dan tanpa diduga. Entah karena jalan takdir Allah yang berkata, mereka menikah."
Kita harus banyak memohon petunjuk Allah Bah, semoga saja Alfi dan Azki mencintai orang yang mulia
Hatinya." "Iya Mi..." Siang hari, di MEDIA KOMPUTER.
"Assalamualaikum..."
"Wa 'alaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh..." jawab Naya. Penjaga komputer.
"Eh... Alfi... tumben baru kesini."
"Iya Na... jadwal pesantren padat."
Aku merasa ada hal baru di tempat ini. 1 bulan tak kunjungi, membuat ku canggung. Kok perasaanku gak enak. Sesekali mataku memandang satu persatu komputer. Semenjak kedatanganku ke kota pelajar, aku memang sering datang ke tempat ini.
"Kamu kenapa Fi?" Naya melihatku termenung. Aku cepat tersadar.
"Na, kamu ingat gak. Aku pernah menyimpan naskah ku di salah satu komputer kamu."
"Masya Allah Fi," wajah Naya berubah jadi sedih.
"Kenapa Na?" tanyaku takut. "Komputerku kena virus..."
"Jadi...," aku lemas tak berdaya. Naskah yang kubuat satu tahun hilang begitu saja. Aku benar-benar menyesal tak terkira. Karena asyiknya menulis. Aku tak ingat membeli disket dan memasukannya.
Aku tak ingat, bahwa secanggih apapun teknologi, masih ada Allah yang Maha Pintar.
"Fi..." Naya tahu keadaanku yang lemah.
Dituntunnya aku untuk duduk.
"Maaf, ini semua salahku Fi. Semenjak kamu sibuk dengan Al-Quran kamu. Aku yang meneruskan tulisan kamu. Aku pikir kamu gak akan mungkin menyelesaikan dalam jangka waktu 1 tahun."
Memang, aku akui telah lama kutitipkan naskahku untuk ku ketik. Tapi keadaan berkata lain. Kesibukanku di pesantren, membuatku jarang mengetik, bahkan aku lupa kalau aku pernah menyimpan naskah di komputer.
"Sebelum kena virus, sebenarnya naskah kamu sudah hampir selesai. Aku juga udah beli disket untuk nyimpan. Tapi..."
"Tapi apa Na?" aku benar-benar ingin tahu."
Naya pun menceritakan, kalo malam itu, dirumahnya mati lampu. Naya menyalakan lilin untuk penerangan. Karena lelah, Naya tertidur. Saat terjaga dari tidurnya. Naya terkejut setengah mati, naskah Alfi sudah menjadi debu. Buku-buku Naya sebagian ikut terbakar. Untunglah Naya cepat bertindak. Rumahnya pun terselamatkan dari mara bahaya. Kebakaran.
"Ini kecerobohan Fi. Bukan kamu. Kalo malam itu aku gak nyalain lilin pasti..."
"Cukup Na." Potongku buru-buru. Aku gak mau Naya menyalahkan dirinya dan keadaan.
Aku berusaha menahan tangisku. Ku mencoba tersenyum.
"Ketika Allah berkata "kun" sesuatu yang tak mungkin bisa terjadi. Kamu, aku dan keadaan itu gak salah. Allah sudah mengaturnya dengan baik. Kita harus menerima dan ambil hikmahnya.
"Maafkan aku ya Fi." Naya menggemggam tanganku, aku mengangguk. Karena tak kuat menahan isak tangis di dada dengan langkah gontai aku keluar dari Media Komputer.
"Aku ada urusan Na, pamit dulu. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh."
Ku percepat langkahku untuk menyamarkan tangisanku. Ketika Naya tak terlihat olehku, aku berlari, berlari dan terus berlari. Tak ku perdulikan orang-orang disekitarku. Aku menangis sambil berlari. Kuturuti langkahku. Untuk menelusuri sebuah tempat. Tempat dimana, aku bisa bertafakur. Mengingat Allah dan memuji kebesaran-Nya. Air terjun... aku suku tempat ini. Butiran bening seakan ikut merasakan penderitaanku. Tak ingin berhenti, terus mengalir dan mengalir. Aku tak sanggup menghadapi hari esok. Aku tak sanggup bertemu Ana. Dari mana aku membantu Ana, jika bukan dari naskah. Oh Robbi, sampai engkau Engkau mencoba batinku dengan cara seperti ini.
Ku mencoba mengendalikan amarah dan emosiku. Aku ingin seperti Robiah Adawiyah. Tatkala cobaan Allah menyapanya, hanya ketakwaanlah dan kepasrahan yang menemaninya. Aku hanya manusia bodoh yang tak tahu apa-apa. Aku benar-benar terpuruk dalam kehampaan. Hampa karena merasa kehilangan semangat hidup, hampa karena merasa kehilangan cinta Allah.
Aku harus kuat, Aku harus tegar, Aku harus terima. Di setiap kesulitan pasti ada kemudahan, kalau aku putus asa, itu berarti aku menyerah. Dan akhirnya aku kalah. Aku termenung. Ku seka air mata ku dan ku tatap langit biru. Subhanallah, kenapa aku secengeng ini. Bukankah Allah telah berikan langit untuk dinikmati indahnya burung, indahnya bintang. Dan Allah berikan air terjun, untuk dilihat, betapa kuasanya Allah. Kenapa aku tidak bersyukur, bukankah aku punya keluarga, sahabat dan cinta. Sekalipun cinta yang kumiliki hanya untuk Allah semata. Lama kupandang langit. Aku tertunduk. Kuhela napas dalam-dalam dan kukeluarkan pelan. Semoga cinta ini semakin bersemi di hatiku. Cinta yang jika Allah mencoba dengan ujian. Maka semakin tumbuh. Aku tidak bisa menceritakan hal ini pada siapapun, kecuali Robb-ku. Karena aku yakin Allah lah yang akan menunjukkan jalan kemudahan dan penyelesaiannya.
"Fi...," Ana menepuk bahuku.
Aku gugup ku palingkan wajah untuk menyapu air mataku.
"Ada apa An?" "Dapat telepon dari Azki."
Kulepaskan mukena ku dan ku menuju kamar pengurus.
"Assalamualaikum..."
"Wa`alaikumsalam warohmatullahhi wabarokatuh."
"Ada apa Az?" "Maaf kalo aku lancang Mbak, Mbak udah dapat calon?"
Hatiku berdetak tak karuan. Pertanyaan Azki membuatku seperti tertimpa beban yang berat di tubuhku.
"Mbak, jawab aku?" di ujung suara seberang tak sabar menungguku mengatakan sesuatu. Tak bisa kubayangkan betapa sulitnya mencari tambatan hati dalam waktu yang singkat."
"Mbak sakit ya?"
Lagi-lagi pandanganku kosong. Aku bisa mendengar namun sulit ku berbicara.
"Mbak... mbak pasrah Az." Jawabku asal. Aku tak tahu kenapa kata-kata itu yang keluar dari mulutku.
"Apa? aku gak akan biarin mbak. Aku gak mau punya kakak ipar seperti Syaiful atau Idris." Ceplos Azki.
"Syaiful? Idris? siapa mereka Az? apa maksud kamu?"
Dengan berat hati, Azki menceritakan bahwa laki-laki yang disebutkan di atas adalah orang yang ingin melamarku. Memang tak ada kepastian tentang hubungan. Tapi paling tidak, Itu menjadi dasar pandangan keluargaku di masa depan. Baik Syaiful maupun Idris. Mereka sama-sama baik, penampilan tidak diragukan. Fisik standar dan agama cukup baik. Hanya saja, dari bicara mereka, Terlalu bangga dengan nama orangtua mereka. Kesombongan melekat diri mereka. Merasa paling pintar, merasa benar. Merasa tidak butuh siapa pun. Merasa uang adalah segala-galanya. Oh Robbi, aku tidak sanggup berjodoh dengan orang yang berhati demikian. Daripada harus memilih mereka, lebih baik Dimas. Ah... kenapa aku ingat dia. Mungkin, karena aku mengenal Dimas dengan baik.
"Mbak harus menemukan cinta mbak. Cari orang yang lebih dari Dimas ataupun kedua laki-laki itu."
"Mbak, gak bisa Az. Jangan paksa Mbak. Mbak gak sanggup"
"Lakukanlah sesuatu mbak, Jangan biarkan mereka mengikat jari mbak. Mereka gak pantas. Abah Ummi menyerahkan semua pada mbak."
Aku benar-benar menjadi perempuan paling malang di dunia. Kenapa hidup harus memilih. Ingin sekali kumenutup mata dalam hal ini.
"Aku ingin mbak bahagia, kalo aku tahu tipe apa yang mbak cari, aku pasti akan berusaha bantu. Tapi aku sadar, cuma mbak dan Allah yang berhak tahu."
"Makasih Az. Kamu udah ngerti mbak, mbak akan coba istikharah."
"Sebelum semuanya terlambat dan kata sesal terucap, temukan permadani jiwa dalam istikharah mbak."
"Insya Allah Az." Kututup pembicaraan kAmi dengan uluk salam.
Lagi-lagi aku menjadi gadis lemah. Menangis sekeras-kerasnya dan sepuas-puasnya. Aku menangis di hadapan Allah. Dirumah Allah. Masjid Al Mubarok.
Di atas sajadah, aku bersungkur. Mengharap Allah membantuku. Tanpa kusadari, mukena ku telah basah dengan air mataku.
"Kenapa harus seperti ini Ya Allah? kenapa cobaan ini bertubi-tubi? kenapa harus aku? kenapa harus sekarang? kenapa Ya Allah?"
Aku benar-benar putus asa, ingin tak kulewati masa-masa kritisku. Tapi aku sadar, hidup adalah perjuangan.
Perjuangan melawan hawa nafsu, perjuangan melawan asa dan perjuangan melawan derita. Kutatap tulisan lafadz Allah yang berada di dinding masjid.
"Kaulah yang menciptakanku hanya Engkaulah yang tahu isi hatiku:"
"Sajada wajhi lilladzi khalaqahu wassaqahu sam'ahu wa bashorohu waquwwatuhu walhamdulillahi rabbil 'alAmien." Aku menghadap Allah dengan bersujud. Sujud dalam syukur, sekalipun yang kujalani amat menyesakkan dada dan beruraian air mata. Aku masih bersyukur, karena Allah memberikan satu nikmat. Apa itu? keistiqomahan..., seburuk apapun keadaanku, aku ingin bisa beristiqomah, karena kunci dari segala kehidupan adalah sabar dan istiqomah."
Malam hari di kamar Azki "Ammah Salma? kok tumben kesini?" "Kangen sama kamu."
"Ami Syaiful mana?"
"Di ruang tamu."
Azki bergegas menuju ruang tamu. Dirangkulnya Ami Syaiful dengan penuh kasih sayang. Ami Syaiful adalah adik Ummi Syarifah. Karena aku dan Azki ingin sekali punya kakak laki-laki, jadi... kAmi menganggap Ami Syaiful adalah saudara kAmi. Untuk itu panggilan Ami Syaiful amat melekat bagi kAmi. Karena Ami adalah paman. Azki lebih terbuka kepada Ami Syaiful, sedangkan aku... dengan ammah Salma, istrinya. Malam ini, Azki akan ditemani dengan mereka. Karena Abah dan Ummi sedang ke Bogor untuk menjenguk saudara yang sedang sakit.
"Az, kamu udah liat calon mbak kamu?" Ami membuka pembicaraan dengan topik yang Azki benci. "Emang kenapa Ami?"
"Gimana menurut kamu? pilihan Ami cocokkan?"
Azki yang tengah minum tersedak. Airnya berhambur keluar. Uhuk... uhuk... uhuk..., Azki batuk. "Masya Allah Az. Pelan-pelan kalo minum!" Azki berusaha mengatur jalan pernapasan. Tak lama kemudian Azki tenang.
"Jadi... Ami yang ngirim mereka?" "Iya...
"Kenapa?" "Setahu Ami, mbak kamu gak punya calon. Lagian bukankah sebentar lagi khatam?"
"Khatam bukan berarti selesai. Bukan seperti sekolah Ami." Ketus Azki.
"Iya sih. Tapi kan..., wajar kali Ami ikut membantu. Ami sayang sama Alfi, gimana menurut kamu?" "Azki 'gak suka. Ami kan gak tahu tipe mbak Alfi. Udah deh Mi, putusin aja perjodohan ini, kasihan mbak Alfi."
"Gak bisa Az. Mereka itu keluarga baik baik. Ami pastiin, gak akan nyesel milih mereka. Ami kenal baik baik siapa mereka."
"Kenapa sih Ami keras kepala. Ami gak percaya sama mbak Alfi, yang ngejalanin mbak Alfi, yang tiap hari liat pasti aku, jadi kalo gak suka. Tetep gak."
"Itukan pendapat kamu Az, bukan mbak Alfi."
"Sama aja Ami, kalo aku gak mbak Alfi juga gak. Kenapa sih buru-buru Ami cari calon untuk mbak Alfi, mbak Alfi itu belum siap, masih kayak aku."
"Gadis seperti mbak Alfi itu banyak yang ngincar Az. Bahkan kalo hatinya sholehah, bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat."
"Azki tahu itu Ami. Zaman edan kayak gini, siapa sih yang gak pengin punya perempuan sholehah. Tapi kembali pada diri mbak Alfi. Bukankah gak mudah mencari jodoh untuk seorang Alfi."
"Ami cuma gak mau mbak kamu memilih Dimas." Jujur Ami geram.
"Ami tahu soal itu?"
"Ummi yang ngasih tahu."
"Tapi kenapa harus dua laki-laki itu Ami?"
"Emang kenapa sih Az? apa yang kurang dari mereka?"
"gak ada sih...," ragu Azki. "Terus...," potong Ami ingin tahu.
"Mereka sombong. Mbak Alfi gak cocok dengan orang yang tinggi hati seperti mereka. Percuma Ami, punya suAmi berkecukupan tapi selalu iri hati, dengki dan sombong. Allah membenci sifat-sifat seperti itu. Bikin TBC tahu Mi." Jelas Azki dengan emosi yang membuncah.
"TBC? apaan Az?"
"Tekanan Batin Cieee...," mimik wajah Azki membuat Ami Syaiful tertawa.
Pagi hari pukul 09:00 di Aula
"Fi... kamu dipanggil Ummi," kata Nisa.
Semua santri melirikku, aku gugup, tak kuhiraukan mereka yang menatapku. Bergegas ku pergi ke ndalem Ummi Saodah. Bu Nyaiku.
Sesampainya di ndalem... "Ummi manggil Alfi?"
"Iya Fi. Ummi senang dengan apa yang kamu dan Ana dapatkan?"
"Maksud Ummi apa? Alfi gak ngerti."
"Kamu lupa ya Fi. Beberapa waktu yang lalu kamu ikut perlombaan MHQ (Musabaqaoh Hifdzil Quran) di tingkat kabupaten.
"Astaghfirullah, kenapa aku lupa gini." Aku jadi ingat, waktu itu aku dan Ana memang ikut untuk menguji mental kami. Dari pesantren Al-Huda, memang hanya aku dan Ana yang diikutsertakan, padahal waktu itu, aku dan Ana tidak ada persiapan penuh. Tepatnya, kAmi baru kembali dari kaliwungu, itupun dengan amat mendadak.
"Lalu..." hati-hati bercampur bingung aku bicara. "Alhamdulillah Fi, kamu dan Ana keluar sebagai pemenang. Juara II dan III"
"Subhanallah wal hamdulillah wa lailahaillallah wallahu akbar, Maha Suci Allah yang menjadikan peristiwa sebagai kejutan."
"Saya Mi...," tunjukku dengan bibir bergetar.
"Terima kasih Allah, kau gantikan kesedihanku dengan sebuah kegembiraan." Syukurku dalam hati "Iya Fi, nih terima hadiahnya."
Ummi Saodah menyerahkan 2 buah amplop dan 2 buah tropy padaku.
Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang kupegang. Aku kehilangan naskah. Namun Allah menggantikan dengan sebuah amplop yang aku sendiri tak tahu isinya. Tak ingin Ummi Saodah tahu perasaanku saat ini. Aku bergegas pamit.
"Assalamualaikum...," kataku pelan.
"Wa 'alaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh." Ummi Saodah tersenyum melihat tingkahku. Aku langsung berlari ke kamar Ana. Aku ingin memeluk dia. Aku ingin dia merasakan kebahagiaanku bukan tangisku. Aku tak kuat menahan kegembiraanku. Melihat Ana ada dihadapanku. Aku keluarkan air mataku. Kini aku bebas menangis biarkan Ana melihatnya, karena yang kutangisi bukan penderitaanku. Tapi kesenanganku.
Di kamar Ana... "Fi..., kamu menangis?"
Napasku terengah-engah. Tak kujawab pertanyaan Ana. Aku berhambur ke pelukannya.
"Maha Suci Allah yang merencanakan ini semua An, Begitu besar kuasanya."
Dalam keadaan itu, aku teringat Ummi Syarifah, ibuku. Saat menjelang hari H. kutelepon Ummi. "Mi, aku minta doa ya?" itulah kebiasaanku sejak kecil. Setiap kali ada hal yang istimewa, tak lupa menelepon Ummi dan Abah, meminta doa dan ridho mereka. Hingga beranjak remaja, kebiasaan itu terus menjadi bagian sisi hidupku.
"Doa Ummi dan Abah selalu bersama kamu sayang..." Ummi mencoba menenangkanku. Ummi tahu apa yang kurasakan.
"Aku gak ada persiapan apa-apa Mi. Aku gak akan menang, aku benar-benar pesimis, karena pikiranku tak bisa konsentrasi."
"Sayang, menang dan kalah itu tak masalah, yang penting kamu berusaha. Jadilah diri kamu, Ummi yakin kamu bisa. Allah telah beri kamu kepercayaan mengikutinya. Jangan kecewakan kepercayaan-Nya."
"Makasih Ummi."
"Ummi yakin, kamu pasti menang. Percaya sama Ummi."
"Kenapa Mi"...," baru kali ini aku melihat keyakinan yang terpancar dari suara Ummi.
"Ummi meridhoi kamu. Ummi mendoakan kamu dan satu lagi..." Ummi terdiam.
"Apa Mi"..."
"Ummi puasa untuk kamu. Doa seorang ibu pasti terkabul sayang. Surga di telapak kaki Ummi." Aku benar-benar terharu. Ummi begitu menyayangiku. Kalau saja Ummi ada di sini. Ingin sekali aku mencium tangan dan bersujud di telapak kakinya.
"Semoga Ummi dan Abah bahagia dunia dan akhirat. Dan Allah memberi umur panjang untuk Ummi dan Abah." Hanya ucapan itulah yang kulontarkan dalam setiap doaku.
"Allah benar-benar mengabulkan doa Ummi An." Aku benar-benar bahagia. Semangatku untuk terus maju berkobar kembali.
"Kamu kenapa sih Fi? meluk aku kenceng banget. Aku kan bukan suAmi kamu." Ledek Ana membuatku tersenyum malu.
Kuhapus air mataku dan kulepaskan dekapanku.
"ANA? KAM...???"
"Ada apa sih Fi?" "Kita menang An..."
"Fi... jangan akting deh. Saingan kita berat."
"Ini buktinya An. Tropy dan amplop." Kusuruh Ana untuk memegang keduanya.
Tangan Ana bergetar, perlahan Ana menyentuhnya.
"Kita gak mimpi kan Fi?"
"Dengan hadiah ini, kamu akan jalankan amanah Abah simpan ya An..." kuserahkan amplop milikku pada Ana.
"Tapi Fi, ini milik kamu, kamu juga butuh ini." Elak Ana.
"Gak An. Kamu lebih butuh daripada aku. Mulai sekarang rezeki aku, rezeki kamu juga." Kini..., giliran Ana yang memelukku.
"Makasih Fi...."
"Terima kasih kembali." Balasku. Ana mengangguk.
"Tapi Fi." "Apalagi?" "Calon suAmi kamu, bukan calon suamiku juga kan?" goda Ana.
"Apaan sih An?" kucubit pipi Ana dan kami kembali tersenyum.
"Kamu tahu gak Fi, aku juga punya pengalaman kayak kamu." Cerita Ana malam itu. Kami tidak bisa tidur. Akhirnya kAmi berbagi cerita.
"Oh ya... gimana An?"
Kenangan kecil Ana terukir kembali...
"Mi... hari ini Ana ujian. Tadi malam aku gak sempat belajar karena nungguin Ummi." Rengek Ana pagi itu. Ana bingung, karena ia tak sempat membuka mata pelajaran sedikitpun. Apa yang harus Ana jawab di kertas ujiannya nanti. Ana takut nilainya jelek. Apalagi gak lulus. Malam itu, Ummi Zulaikha mendadak panas. Tubuhnya lemas. Sebagai anak tertua, Ana bertugas mengurusnya. Ummi Zulaikha tidak terbiasa minum obat. Untuk itu... Ana hanya melakukan apa yang Ana tahu. Dikompres air dingin dan memijatnya, sekitar jam 4 pagi, Ummi mengigau dan terbangun. "An..." panggil Ummi.
Ana mengucek matanya. "Ummi? ada apa Mi? Ummi mau
Ana buatin bubur atau teh?"
Semalaman Ummi Zulaikha tak makan. Ana sangat cemas.
"Gak usah An. Ummi lemes banget."
"Ummi minta apa?"
"Beliin Ummi pocari sweat An."
Ana terkejut. "Pagi-pagi buta begini Mi? mana ada warung atau toko yang buka?"
"Dicoba ya An..."
"Ana akan cari." Ana gak tahu harus kemana. Berkali-kali Ana mengetuk pintu. Gak ada yang buka.
Sampai akhirnya, usaha Ana membuahkan hasil. Ana dapat apa yang Ummi minta.
"Kamu jangan khawatir An, doa Ummi selalu bersama kamu."
"Ana takut mengecewakan Ummi dan Abah."
"Ummi akan selalu berdoa supaya nilai kamu seratus. Sekarang kamu berangkat."
Ana mengangguk. Diciumnya tangan Ummi dan Ummi Zulaikha membalas dengan mencium kening Ana. Subhanallah... janji Allah memang selalu benar. Ana bisa menjawab semua soal ujian dengan baik. Dan tak hanya itu... nilai Ana benar-benar seratus.
"Masa kecil emang indah ya An. Aku ingin hal itu terulang lagi."
"Iya Fi. Kapan ya... kita jadi anak kecil lagi."
"Nanti An." "Kapan?" "Wallahu alam. Hanya Allah yang tahu."
"Eh iya An... kita lupa sesuatu." "Apa"
Kudekatkan mulutku pada telinga Ana.
"Sujud syukur An..."
Aku dan Ana bersujud di atas sajadah. Setelah itu, kAmi dirikan qiyamul lail.
*** 7. YA ALLAH, AKU JATUH CINTA
Ketika Allah memberi anugerah terindah
Siapapun tak dapat menolaknya Tatkala mata menatap wajahnya Hati akan berkumandang Subhanallah
Tatkala telinga mendengar suaranya Hati akan bergemuruh Masya Allah Tatkala tangan berusaha meraihnya Hati akan berdesir Astaghftrullah Tatkala bibir akan menyebut namanya
Hati akan berdesah Allahu Akbar Tatkala kaki melangkah kearahnya Hati akan bergumam Alhamdulillah
Dan ketika semua itu terjadi pada setiap insan...
Barulah disadari bahwa saat hati mengenal cinta,
Saat itu pula lembaran baru dibuka
Pukul 06:30 WIB, di rumahku...
Tin... tin... tin... tin... Suara klakson mobil membuat Azki kaget. "Mi... siapa sih pagi-pagi begini yang parkir mobil di depan rumah. Ganggu kenikmatan aja."
Ummi tersenyum. Dilihatnya di balik tirai jendela. Kayaknya mas Idris Az..."
Azki terbelalak. "Apa? mau ngapain sih? bukannya Abah gak nerima lamaran mas Idris?" Emang salah kalo mas Idris, mau menyambung tali sillatuahmi dengan kita? walaupun tanpa adanya lamaran Az?"
"Ya... gak pa-pa sih. Tapi kan risih Mi, nanti dikirain ngaih harapan lagi."
"Assalamualaikum..."
"Wa 'alaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh."
Ummi bergegas membuka pintu, "eh nak Idris, mari masuk." "Gak usah repot-repot Mi. aku kesini mau ngajak Azki berangkat bareng. Kebetulan kerjaan aku lewat sekolah Azki."
"Oh... tunggu ya Nak!" Ummi masuk ke dalam kamar Azki. Dilihatnya Azki dengan wajah jutek.
"Kamu kenapa sih Az? kok wajahnya kusut gitu?"
"Azki gak mau berangkat sama mas Idris."
"Kamu gak suka ya?"
Azki bingung mau bilang apa. Tak tahu apa alasannya. Azki benci dengan sosok Idris dan Syaiful.
"Jangan terlalu gak suka sama seseorang. Bisa-bisa nanti kamu jatuh cinta," gurau Ummi.
"Ummi? kok ngomong gitu? doain Azki ya?!" Dengus Azki kesal.
Ummi tertawa. "Udah siang Az, berangkat sana."
Azki bolak-balik gak karuan. Tampaknya tengah berfikir sesuatu.
"Abah mana Mi?" tanya Azki kemudian.
"Di belakang rumah!" Azki langsung berlari menemui Abah.
"Abahhh..." "Kenapa belum berangkat Az?" Abah yang tengah menikmati secangkir kopi heran.
"Bah, kalo Azki udah gede jangan jodohin Azki sama siapa pun."
"Azki, Azki. Lagian siapa juga yang mau jodohin kamu. Abah gak kepikiran kesana Nak." Jawab Abah masih dengan rasa penasaran.
Kadang-kadang sifat manja Azki sering keluar juga. Hal itulah yang membuat Ummi dan Abah merasa terhibur.
Dalam perjalanan bersama Idris...
"Az, kalo nanti kamu mau jenguk mbak kamu, mas ikut ya?" tawar Idris dengan PD nya. Azki memasang muka cemberut, kalo bukan Ummi yang maksa Azki gak akan mau berangkat bareng.
"Akhir-akhir ini aku ada Try Out. Jadi gak bisa."
"Kalo gitu biar mas ngajak Ummi dan Abah kamu deh."
"Apa??" Azki makin gak tahan dengan tingkahnya yang kelewat batas, gak bisa dapatin hati aku malah pindah ke Ummi dan Abah. Licik banget nih orang.
"Kalo mas benar benar laki-laki jantan, mas harus bisa merebut hati mbak Alfi bukan Abah dan Ummi. Jangan menikam dari belakang." Ketus Azki. Idris hanya tersenyum.
"Azki, Azki sepertinya kamu benci ya... sama mas?"
"Udah tahu nanya." Jawab Azki asal.
Karena mobil berhenti, Azki pun langsung keluar. Tanpa pamit tanpa salam apalagi senyum. Idris cuma geleng-geleng kepala. Mobilnya melaju kencang jauh dan makin jauh.
Di ruang kelas XII Che. "Braak..." suara tas Azki yang dibanting di atas meja. "Astaghfirullah, nyebut Az." Tutur tiara sambil mengelus dada.
Emang gak biasanya, Azki bersikap kasar kayak gini. Biasanya sebelum masuk kelas, pasti uluk salam, cium pipi kanan kiri ma tiara dan desty sahabatnya.
"Kesambet apa Loe Az? datang-datang tuh muka ditekuk gitu. Pake acara bikin jantung gue copot. Untung gak sampai pingsan." Timpal desty.
"Sorry, sorry... gue lagi emosi."
"Emosi sih emosi, tapi pikirin dong nyawa kita. Kalo mati gimana?" lanjut Desty.
"Gampang kok, kuburan umum udah disiapin, malaikat juga udah jaga, tinggal masuk aja." Canda Azki meredakan kemarahan Desty.
"Masuk-masuk, emang gue manusia gak punya dosa apa, tinggal masuk."
"Ember..." sambung Tiara.
"Ke kantin yuk, lapar nih." Ajak Azki
"Tumben.... gak puasa loe?" Tiara mengernyitkan kening.
"Lagi kedatangan bulan."
"Pantes..." timpal Desty.


Temukan Aku Dalam Istikharahmu Karya E Sabila El Raihany di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa?" "Amarah loe memuncak. Mungkin bulan yang datang bulan sabit kali."
"Sialan loe!" "Jadi loe gak setuju dengan perjodohan kakak loe?" tebak Tiara setelah Azki menumpahkan unek-uneknya.
"Ya iyalah Ra. Liat muka mas Idris atau Syaiful aja, gue gak mau."
"Kayak zaman Siti Nurbaya aja deh." Komentar Desty.
"Gue jadi penasaran, siapa ya... laki-laki yang bisa dapetin hati kakak loe." Tiara menatap Azki. "Itu yang gue pengin tahu. Gue selalu berdoa supaya Allah memberikan yang terbaik."
"Laki-laki yang gantengnya lahir batin. Iya kan Az?"
"Iya... siapa pun dia. Gue akan terima jadi kakak ipar gue."
"Walaupun tukang-tukang Az?" sambung Desty ingin tahu.
"Kalo emang jodoh, kenapa gak? yang pantes buat kita, bukan berarti pantes buat Allah. Itu yang selalu diucapin
Mbak Alfi. Apapun dia korbanin cuma untuk Allah. Cuma untuk menggapai setetes cinta Allah." Jelas Azki sedih.
"Ngomong-ngomong soal Siti Nurbaya, gue mau tanya sama loe Az."
"Silakan..." "Menurut loe cinta itu apa Az?" "Cinta adalah laut..."
"Tenggelam dong." Sambung desty asal.
"Gak usah dengerin Desty Az, terus..."
"Kalo kita dapat menyelam dengan baik, kita pasti akan tahu... di dalamnya ada banyak misteri. Ada mutiara, ada ikan, ada batu karang, ada rumput laut, banyak hal disana... kita akan menikmati indahnya pemandangan laut karena Allah. Begitupun cinta, kalo kita jaga dengan segenap hati dengan ikhlas, maka banyak hal yang akan kita temukan. Kerinduan, kasih sayang, ikatan batin yang kuat. Bahkan, kita bisa tahu, bahwa Allah adalah Maha Cemburu."
"Kalo di laut terjadi tsunAmi dan gelombang gimana?"
"Inilah buruknya laut. Jika kita membiarkan laut diobrak-abrik dengan cara yang salah. Ya itu... bukannya memberi manfaat, tapi malah membunuh kita."
"Maksudnya diobrak-abrik apa?" "Ya... kita tahu Des, pencemaran laut gara-gara kecerobohan manusia itu sendiri."
"Alasannya?" "Manusia dulu menangkap ikan pake jala, sekarang... bahan peledak. Itukan bisa menghancurkan keindahan laut dan mematikan makhluk hidup di laut."
"Terus hubungannya sama cinta itu?" Desty gak sabar.
"ya..., sama aja. Kalo cinta gak dipupuk dengan kejujuran, kesetiaan dan ketaqwaan. Serta yang paling penting adalah keikhlasan, gue rasa... kalo gak ada semua itu, cinta itu cepat luntur, cemburu buta dan gak akan bertahan lama."
"Gue tambah bingung." Desty menatap Tiara.
"Gue..." tunjuk Azki pada dirinya.
Tadinya Azki sempet bingung dan salting. Tapi..." hanya Allah yang tahu kapan gue jatuh cinta."
"Kamu emang aneh ya... Fi." Ucap Dori dengan nada tinggi.
"Maksud kamu apa sih Dor? aku gak ngerti."
"Ini..." Dori menunjukkan sebuah surat.
Yah... aku dan Dori memang saling mengenal. Dia... teman main. Kami akrab, karena rumah kAmi berdekatan. Aku sendiri, tak tahu. Apa yang dirasakan Dori saat kAmi saling menyapa dan bicara. Suatu pagi, dia menyerahkan sebuah surat untuk ku. Selama ini, aku menganggap dia, sebagai kakakku. Karena aku, ingin sekali punya kakak laki-laki. Lagi-lagi Allah menguji hatiku. Dalam surat, dia mengatakan cinta. Dengan tegas, aku menolaknya. Bukan karena aku telah memiliki anugerah itu. Tapi... perasaanku padanya... hanya sebatas kakak. Tak lebih, tadinya aku pikir, dia akan menerima alasanku dengan tangan terbuka. Tapi... aku salah. Dia datang ke rumahku dengan wajah penuh amarah.
"Itu... suratku kan?" yakinku amat.
"Nih..." Dori melemparnya ke arahku. Betapa hancur perasaanku, ketika peristiwa itu terjadi. Air mataku menetes. Kamu itu, jangan sok cantik Fi. Sok alim, sok kaya dan jual mahal. Kamu pikir, kamu perempuan sempurna yang kecantikan kamu, didambakan kaum laki-laki. Gak sedikttpun...! masih banyak gadis, yang lebih dari kamu. Kamu... hanya gadis yang gak tahu diri dan gak tahu terima kasih.
Kemarahan tengah menyelimuti Dori.
Aku hanya tertunduk. Kata-kata yang tak patut aku dengar menggema di telingaku tak ada kata, yang bisa kuungkapkan pada Dori. Hanya rasa perih, mendera hatiku. Perlakuan Dori, membuatku sakit hati.
"Kamu adalah perempuan yang gak pantas untuk dicintai." Rasa kecewa Dori tentang penolakan ku, membuatnya berbicara sesuka hatinya. Mencaci makiku tanpa memperdulikan tangisanku terlebih perasaanku.
"Kamu gak pantas bicara seperti itu, cuma Allah yang boleh menilai seseorang." Aku benar-benar tak bisa menerima hinaannya.
"Jangan bawa-bawa nama Allah Fi. Kamu itu munafik."
"Prakk." sebuah tamparan mendarat di pipi Dori. Harga diriku seakan diinjak-injak. Tangan yang seharusnya ku angkat untuk berdoa pada Allah. Kini... kuangkat untuk menampar Dori. Dori diam seribu bahasa.
"Hiks... hiks... hiks...," aku benar-benar terpukul dengan peristiwa siang itu.
Kutumpahkan segala rasa, hanya dengan membaca surat Yaasiin. Yah... surat Yaasiin adalah jantung al-Quran. Dengan membacanya hati akan tenteram. Kuhayati setiap maknanya tanpa kusadari sudah 70 kali aku membacanya. Manakala, mataku melihat surat balasan menyakitkan, air mataku mengalir deras. Karena tak tahan, kumasukkan surat Dori ke dalam gelas berisi air.
Subhanallah, Maha Suci Allah yang telah membolak-balikkan hati manusia. Aku tercengang hebat. Ahmad Fudori... orang yang membuatku hampir membenci kaum Adam. Meminta maaf padaku. Entah apa yang ia rasakan. Kata MAAF terucap dari mulutnya. Aku tak tahu, ini kebetulan atau tidak. Yang jelas, aku berterima kasih kepada Allah, karena telah menolongku dengan barokah surat Yaasiin.
"Allah cinta keindahan, untuk itu... rencana Allah lebih indah, dari apa yang dibayangkan. Terima kasih Allah..."
"Fi... kamu nangis ?" Ana menutup kalam Allah ku yang sejak tadi terbuka, namun tak kubaca. Kenangan tentang "surat Yaasiin" terbesit kembali. Aku sendiri tak sadar kalau aku menjatuhkan butiran bening.
"Aku menangis An?" tanyaku kembali. Aku jadi bingung dengan keadaanku. Bukankah sejak selesai setoran. Aku nderes? dan kenapa... aku jadi linglung dengan sikapku sendiri. Lama kuberpikir... Masya Allah, rupanya aku tidak salah. Memang sejak satu jam yang lalu. aku duduk dan kulantunkan ayat-ayat Allah. Namun saat, tanganku membuka lembaran al-Quran berikutnya. Aku terperanjat, karena yang akan kulantunkan adalah surat Yaasiin. Dan saat mataku melihat ayat pertama adalah Yaa sin... dari situlah, aku mengingat memori pahit yang menggores hatiku. Jari-jariku meraba lembar yang satu dan melihat lembar berikutnya. Kuhapus butiranku dan kutaruh al-Quranku dalam meja.
"Surah Yaasiin ini pasti berarti banget buat kamu Fi?"
"Enggak kok An. Biasa aja, sama seperti surah Maryam, Al waqiah, As sajadah. Hanya saja hatiku bergetar kalo membaca surah Yaasiin."
"Pasti ada peristiwa dibalik itu?"
"Mungkin, tapi yang jelas satu. Jika ingin doa kita dikabulkan oleh Allah. Banyak-banyaklah membaca surah Yaasin."
"Kenapa ya Fi? aku merasa kamu sembunyiin sesuatu dari aku." Wajah Ana yang tersenyum, berubah. Ia menatapku. Dengan cara apapun, aku tak ingin Ana tahu masalahku. Tak ingin kutambah beban Ana.
Kugenggam tangan Ana dan kukatakan, "selagi Allah masih mengulurkan tangan-Nya untuk membantuku. Insya Allah An, aku bisa kok."
"Ketika nama Allah kamu sebut. Aku gak bisa berbuat apa-apa Fi." Pasrah Ana. Ia tak ingin memaksa.
"Terima kasih An." Mataku berbinar. Aku bahagia.
"Terima kasih kembali Fi." Balas Ana.
"Mendingan kita keluar An..." ajakku cepat.
"Ngapain?" "Cari informasi tentang permata zamrud."
"Tapi Fi..." elak ana.
"Ummi Saodah lagi sema'an. Kita gak punya banyak waktu."
Sesampainya dirumah... "Mi..." teriak Azki seusai ganti baju.
"Ada apa Az?" Ummi dan Abah bersiap-siap pergi.
"Ini parcel untuk siapa? kok banyak banget buahnya."
"Untuk kamu sayang?" kalem Ummi dengan senyum.
"Aku??" tunjuk Azki tak percaya. "Dari siapa Mi?"
"Dari mas Syaiful."
"Apa?" Azki terperangah. "Sebenernya yang mau nikah aku atau mbak Alfi sih Mi? kok jadi Azki yang pusing!?" sengit Azki dengan tampang jeleknya.
"Pusing kenapa sih Az? kan enak dapat rezeki makanan dan antar jemput." Ummi membelai Azki. "Rezeki sih rezeki, tapi kalau menderita dan tertekan itu sih musibah Mi." protes Azki menggerutu.
"Terus mau kamu gimana? mereka kan melakukan semua ini dengan ikhlas."
"Ummi kok malah mendukung mereka sih? Ummi mau punya menantu kayak mereka?" Ummi tersenyum, "udah ah Az. Ummi berangkat dulu, Yuk bah. Assalamualaikum."
"Wa `alaikumsalam warohmatullahi wabarokatu.
Hiasilah bibirmu dengan basahnya berdzikir.
Tajamkanlah pikiranmu dengan bertafakur kepadanya.
Hiasilah hidupmu dengan keridhoan dari Nya.
Bibir yang kugunakan untuk meraih ayat-ayat Allah, kini selalu berkumandang tentang cinta yang pernah kau ucapkan padaku.
Tangan yang kugunakan untuk meraba kalimat Allah, kini selalu menulis puisi tentang cinta sebagai balasan suratmu.
Mata yang kugunakan untuk memandang kalam Ilahi, kini hanya dapat melihat rangkaian tentang cinta dari wajahmu.
Telinga yang selalu mendengar bacaan-bacaan suci, kini hanya mendengar ungkapan arti dari sebuah cinta yang kudengar hanya dirimu. Hati, perasaan dan pikiran...
Yang selalu merasakan keagungan Robbi, kini seperti merasakan indahnya cinta yang bersemi antara 2 hati.
Hamba Allah yang merindukan cinta
Dari seorang permata hati.
Muhammad Faisal Aku terus tersenyum. Puisi yang kubaca... sangat menyentuh relung hatiku, kututup lembaran kertas itu dan kupandang, kuperhatikan orang-orang di sekelilingku, tak ada tanda-tanda mereka kehilangan sesuatu. Mereka sibuk mencari buku-buku. Hari ini, aku benar-benar tak karuan. Untuk itu, kuputuskan membaca dan membeli buku di Gramedia.
Pukul 10 pagi aku berangkat, dan pukul 2 siang aku pulang. Terus terang, aku kalang kabut, ingin sekali ku temukan siapa pemilik puisi ini.
Sesekali mataku memincing ke segala arah, ke setiap sudut ruangan, antara hati dan pikiran... tengah bergolak dalam jiwaku. Hati berkata untuk menaruhnya kembali di tempat semula. Pikiran akan bicara untuk menyimpannya, Karena sama-sama kuat.
Aku terdiam, "ya Allah, aku harus gimana?"
Lama ku berpikir, akhirnya kuputuskan untuk menaruhnya. Namun sebelum kutaruh, aku mencatatnya dalam Diary kecilku,
"ini bukan hakku, aku gak boleh mengambilnya," bisik hatiku seraya berjalan menuju tempat asalku menemukannya.
Tanganku bergetar, hatiku berdetak tak karuan. Takkala aku menaruh kertas itu, ku coba memenangkan diriku." "Bismillahrirrahmanirrahim." Entah mengapa, aku merasa sedih. Aku tak tega meninggalkan kertas itu. Namun apalah arti sebuah kertas, jika tak tahu siapa pemiliknya. Mau tidak mau, ku melangkah menjauh dan tempat itu.
tersamaan dengan itu... "Duh kertasnya mana ya?" suara laki-laki terdengar tak jauh dariku.
"Jangan-jangan..." prasangkaku dalam hati.
Aku menggeleng, ku mantapkan kaki untuk pergi. Namun ...
"Mbak..." panggil seorang laki-laki mengagetkanku. Aku berhenti melangkah. Tak tahu kenapa, jantungku berdetak naik turun, aku tak berani untuk menengok ke arah suara itu berasal. Dalam keadaan itu... aku mendengar, suara langkah kaki mendekatiku. Ingin sekali ku berlari, karena aku tak berdaya.
"Ya ada apa?" " Maaf, apakah mbak liat selembar kertas di sekitar sini?" Tadinya aku ragu, namun kini aku yakin, laki-laki inilah pemilik kertas yang berisikan puisi, aku tak berani membalikan tubuh. Tak bisa kubayangkan, bagaimana jika mataku melihat wajahnya.
"Kalau tak salah, di rak buku-buku dengan tema Islam."
"Terima kasih mbak."
"Sama-sama... permisi!" pamitku buru-buru. Mungkin... begitu berharganya puisi itu bagi laki-laki asing, yang tak kulihat wajahnya. Dia langsung menuju ke tempat yang kukatakan. Rasa kecewa menyelubungiku. Perasaan ingin mengenal menghampiriku. Aku ingin melangkah untuk mencarinya. Namun... percuma. Aku tak akan melakukannya. Tak ingin larut dalam bayangan semu. Kubuang jauh jauh perasaan yang tak jelas ini. Aku pun kembali pada tujuan awalku, yakni membaca dan membeli buku.
Saat tengah membaca ... "Aku Muhammad Faisal." suara laki-laki yang samar kukenal tengah mengulurkan tangannya. Karena penasaran, aku dongakan wajahku untuk melihatnya, subhanallah wal hamdulillah walailahaillah wallahu akbar. Tampan sekali wajahnya, setampan Nabi Yusuf as, hatiku berdecak kagum. Pangeran yang turun dari surgakah ya Allah yang kini ada di hadapanku?.
Aku benar-benar terpaku. Tak ada yang bisa kukatakan. Hanya sebuah kekagumanlah yang terpancar dari wajahku.
"Begitu sempurnanya Allah menciptakan laki-laki ini." Hanya pujianlah yang kulontarkan.
"Panggil aja aku Faiz." lanjutnya dengan senyum. Aku masih terkesima.
Mataku tak berkedip memandangnya. Ingin sekali kuraih tangannya, ku genggam tangannya bahkan ku cium telapak tangannya. Ah... itu cuma mimpi. Kukatupkan kedua tanganku dan kukatakan,
"Maaf, kita bukan muhrim. Haram hukumnya laki-laki dan perempuan bersentuhan."
Tangan laki-laki yang amat kukagumi. Di raihnya kembali. Dia pun mengatupkan tangan kedua tangannya. Sama seperti aku. Kami pun sama-sama membungkuk dan mengangguk. Itulah cara orang-orang muslim untuk saling menyapa. "Aku... Alfiaturrahman. Panggil saja Alfi." Tuturku terbata-bata. Begitu sulitnya kuberbicara. Aku merasa canggung. Kulirik Faiz. Sesekali... mata kami bertemu dan beradu pandang.
Dan saat kami sadar dari tatapan itu...,
"Astaghfirullah...," kami pun kembali ditemani sepi dan senyap.
Lama kami terdiam "Gimana kalo kita duduk di sana?" ajak Faiz seraya menunjuk sudut ruangan yang kosong.
"Maaf, bukan aku menolak. Aku hanya takut terjadi fitnah." Jelasku hati-hati.
Sebenarnya aku senang dengan tawarannya. Bahkan aku ingin selalu menatapnya. Dengan memandangnya. aku benar-benar mengagumi kebesaran Allah.
"Maaf, lagipula kita belum saling mengenal."
"Gak papa kok aku ngerti." Matanya yang tajam, senyum yang manis, hidung yang mancung, dan alis yang tebal. Aku benar-benar ingin pingsan. Kulirik jam, dan waktunya aku pulang.
"Maaf, aku harus pulang." Pamitku sedih. Kutaruh buku yang kubaca dengan gugup.
"Kapan kita bisa ketemu lagi ya Fi? dan bagaimana caranya kita bisa saling mengenal?"
"Aku gak tahu pasti. Tapi jika Allah menghendaki tali, silaturahmi diantara kita, maka Allah lah yang akan memberikan jalannya." Aku pasrah. Memang sulit bagiku untuk bisa mengenal kaum adam. Walau berat, aku tak kuasa berlama-lama dihadapannya. Kutinggalkan Faiz dengan rasa kehilangan.
"Assalamu alaikum."
"Wa'alaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh."
Saat kami telah jauh... kubalikkan tubuhku untuk menatapnya kembali. Dan ternyata, dia pun menatapku. Lagi-lagi... mata kAmi bertemu. Ada rasa lain yang menembus jiwaku.
"Ya Allah... apakah aku jatuh cinta?" mataku masih saja memandangnya. Tak kuhiraukan orang-orang disekitarku. Aku tak peduli tentang mereka dan pendapat mereka. Biarlah mereka memandangku sebelah mata.
Lama kAmi bertatap muka...
Aku sadar, bahwa orang yang kutatap bukanlah orang yang akan hidup bersamaku. Kupalingkan wajahku dan bergegas melangkah pergi.
Kini, aku tengah berada dalam metro mini. Sebelum melaju, aku turun sebentar. Untuk memastikan apakah Faiz telah pergi atau masih berdiri mematung. Hati-hati mataku mencari sosoknya. Aku takut Faiz tahu. Aku memandang ke segala penjuru arah. Namun tak kutemukan, sampai akhirnya, aku melihat sosoknya tak jauh dari metro mini. Tingkahnya hampir sama denganku, lagi-lagi... mata kami berpapasan. Aku tersenyum. Diapun membalas senyumanku.
Semenjak pertemuanku dengan Faiz, aku seringkali melamun. Tanganku hanya memegang diary kecil yang berisi puisi Faiz. Mataku selalu terbayang wajahnya. Aku benar-benar telah jatuh cinta. Awalnya hanya selembar kertas. Namun setelah kulihat pemilik kertas itu, Aku jatuh hati padanya.
Ya Allah sang penggenggam kalbu,
Jika cinta yang kau anugerahkan padaku... mendekati kasih-Mu
Maka tambahkan rasa cinta ini jangan pupus dan sirna
Dalam rentang waktu yang cukup lama namun jika cinta ini makin menjauhiku dari rahmat-Mu hilangkan dan musnahkan sampai aku tak mengingat kalau aku pernah jatuh cinta kalau aku pernah bersujud di hadapanmu untuk meminta dirinya menjadi milikku
Itulah doaku yang tak hentinya terucap dari bibirku. Selalu ku panjatkan setiap malam. Setelah kulakukan istikharah. Ya... sholat istikharah. Hanya itulah yang bisa kulakukan. Aku memang tak mungkin berjodoh dengan Faiz. Karena aku yakin... laki-laki yang ketampanannya seperti nabi Yusuf as. Tentu telah memiliki cinta di hatinya. Terlebih setelah kuhayati puisi cinta itu. Pastinya ditujukan pada seseorang yang dicintainya. Namun aku masih berharap semoga Allah memberikan yang lebih baik darinya. Aku ingin yang terbaik. Kalau memang kami berjodoh, semoga Allah mempertemukan kembali menurut skenario-Nya. Entah kapan, bagaimana dan dengan cara apa. Hanya Allah yang tahu.
Malam yang pekat... Kubuka kalam Ilahi. Kulantunkan surat Yusuf. Sesekali sosok Faiz hadir di pelupuk mataku.
"Semoga Allah mempertemukan kita lagi Faiz." Harapku.
"Duh yang lagi kasmaran, bagi-bagi dong." Usil Mita setelah ber-qiyamul lail.
"Aku tersenyum." Apaan sih Mit? kayak anak kecil aja.
"Udah deh Fi, jangan bohong, kami tahu kok. Kalau kamu itu lagi jatuh cinta. Dari mata dan sikap kamu yang akhir-akhir ini selalu aja diam tanpa sebab. Menangis tanpa sebab dan tersenyum tanpa sebab." Jelas Mita.
Aku tertunduk. Kadang kusesali, kenapa anugerah ini datang bersamaan dengan khataman al-Quranku. Lalu bagaimana caranya aku menghadapi kemelut cinta ini. Apakah memang sudah waktunya? Mita menepuk bahuku..., "tuh kan mulai lagi." "Astaghfirullah..." aku jadi salah tingkah. Mita tertawa melihat sikapku yang grogi.
Dia pun menyerahkan al-Quranku, "ini kan yang kamu cari?"
Aku malu untuk mengakuinya.
"Aku tahu kok Fi. Dalam al-Quran ini, ada hati kamu yang berdetak dan kuharap... detakan itu karena Allah."
"Makasih ya Mit." Kupeluk Mita. "Aku tahu gimana rasanya jatuh cinta Fi. Aku dan teman-teman cuma gak mau kisah cinta kami menimpa kamu. Kami tahu betul, kamu bisa mengendalikan. Satu pesan aku Fi. Sebelum cinta itu memilikimu, lakukanlah istikharah."
Aku tersentuh. Dalam ketidakberdayaanku menghadapi goresan cinta. Mita datang sebagai penasihat. Butiran bening jatuh di pipiku.
"Perempuan baik seperti kamu, tidak ada tempat untuk pacaran. Tapi pendamping hidup," kata Mita. Tangisanku semakin tak kuasa, aku jadi teringat laki- laki yang datang melamarku. Syaiful dan Idris. Bagaimana caranya menghadapi mereka? ditambah Dimas. Tak ada yang dapat kulakukan, hanya berharap agar Allah memberikan jawaban dari istikharahku.
*** 8. SURAT CINTA FAIZ Ketika ucapan adalah doa Maka kata-kata adalah pancaran dalam jiwa
Dan tatkala sebuah kata berubah Menjadi bait
Dan bait berubah Menjadi sebuah syair Maka hadirlah Sebuah surat sebagai ungkapan hati yang di lontarkan dalam doa
Dan menjadi pancaran dalam diri seseorang.
Di masjid Al-Mubarok "Aku gak mau An!"
Tolakku keras. Ana menceritakan semua hal tentang perjodohanku dengan orang yang tak kukenal. Ummi sengaja menceritakan alasan kedatangan beliau ke pesantrenku, pada Ana. Karena Ummi tahu, aku hanya akan mendengarkan kata-kata Ana. Abah pun tahu, kalau aku paling tidak suka diajak pulang ke rumah. Setiap kali, aku di tawari untuk pulang. Aku menolak. Dan jawabanku tetap sama. Aku lebih betah di pesantren.
"Fi... kamu jangan keras kepala. Kepulangan kamu hanya untuk melihat, bukan untuk menyetujui." Nasihat Ana lembut.
"Apa ini, jawaban istikharahku ya Allah?" desahku pilu jika ditanya dengan satu hal ini, aku memang selalu menghindar. Berbagai alasan kulontarkan. Setiap kali dibahas melalui surat atau telepon. Selalu kualihkan pembicaraan. Tapi sekarang... ada di depanku. Menunggu keputusanku.
"Fi... Allah gak akan mencoba hambanya, dengan ketidakberdayaannya, kamu pasti bisa." Dorong Ana membuatku tak kuasa.
"Aku takut keputusanku mengecewakan keluargaku An."
"Aku tahu ini sulit Fi. Karena jodoh adalah rahasia Allah. Kamu harus yakin, kalau kamu bisa menyelesaikannya." Aku benar-benar tak tahu, apa yang harus ku katakan. Keputusan ini terlalu cepat. Saat hatiku telah menemukan sosok permadani jiwaku. Aku terdesak dalam banyak pilihan. "Gimana Fi? kamu mau pulangkan?" desak Ana. Kali ini bukan hanya mataku yang menangis. Namun, hatiku pun demikian. Kupandang Ana dengan lekat. Tak kusadari, air mataku jatuh tak terkira. Terlebih ketika melihat Abah, Ummi dan Azki. Tangisku sesenggukan. Aku benar-benar tak sanggup menghadapinya. Aku menangis dalam pelukan Ana.
"Aku takut An, aku gak bisa." Ana melepaskan dekapannya, dihapusnya air mataku.
"Kita gak akan tahu rahasia Allah, kalo kita gak mencoba." Ana benar, gak seharusnya aku menyerah.
"Kamu akan pulang kan Fi?"
Sudah 3 kalinya, Ana melontarkan pertanyaan yang sama.
"Fi..." tak sabar Ana menanti jawabanku.
"Aku..." rasa ragu menderaku." Aku... Aku mau An." Ana bahagia, wajahnya kembali cerah. "Sebenarnya hatiku perih, bicara ini An."
Setelah aku berpAmitan pada Ummi saodah dan teman-teman. Aku segera menyusul Ummi dan Abah. Tak kusangka, aku pulang untuk yang kedua kalinya. Setelah peristiwa 3 tahun yang lalu. Dalam perjalanan pulang selalu dan selalu kusebut asma Allah. Tak urung, puisi Faiz ada bersamaku.
"Kalau saja kita saling mengenal, tentu aku lebih memilih kamu Faiz."
Assalamualaikum wr4wb. To: Muhammad Faisal (Pemuda yang punya ketampanan seperti nabi Yusuf as.)
Maaf, kalau aku telah lancang menyita waktumu. Ada hal yang harus kukatakan, yang jika tidak kuungkap. Demi Allah aku tak mampu menjalaninya.
Sejak berjumpa denganmu, entah mengapa aku teringat dirimu, dalam sholat dan ibadahku hanya kau yang hadir Aku takut cintaku pada Allah berkurang karena kehadiranmu. Aku takut dalam ibadahku, yang kulihat adalah dirimu. Aku takut jauh dari Allah, karena perasaanku ini.
Jika anugerah itu harus kumiliki, maka semoga kehadiranmu adalah pembawa cahaya bagiku dan bisa membuatku semakin mencintai Allah dan rasulnya.
Semoga Allah, meridhoi tali silaturahmi ini.
Alfiaturrahmah Wassalamu'alaikum wrr wb.
Aku terpaksa menulis surat ini, karena sosok Faiz, bukan hanya hadir dalam pikiranku, tapi juga dalam relung mimpiku. Aku pasrah, memang tidak sepantasnya aku melakukan kebodohan ini. Namun, aku tak kuasa menahan
Gejolak cinta yang semakin hari, semakin bersemi. Aku sadar, tidak mungkin Faiz punya anugerah itu untuk aku.
Aku sudah slap, dengan risiko yang akan aku hadapi. Yakni sakit hati dan rasa kecewa. Telah kuputuskan... jika Faiz memiliki cinta untukku, aku akan memilihnya. Kenapa? karena Allah tidak akan memberi rasa cinta, jika tidak untuk dijaga. Hanya dengan mengikatnyalah aku bisa menjaga "Hanya engkaulah yang bisa menyatukan kAmi ya Allah."
Ya... Allah... Jika Faiz adalah jodohku Dekatkan ia padaku namun jika bukan
Pilihkan seorang yang melebihi dia sebagai imamku
Amien... Kusujudkan wajahku setelah berdoa. Aku benar-benar pasrah dengan keadaanku. Di luar kamar terdengar ribut, sepertinya akan ada tamu. Apakah itu Idris atau Syaiful? Baru 3 hari aku berada di rumah. Banyak yang datang hanya untuk menanyakan. Siapa calon kamu Fi?. Aku tak menjawab, hanya sebuah senyumanlah yang bisa kuperlihatkan.
Mungkin... karena itulah aku tak berani keluar rumah. Bahkan aku hanya berdiam diri di kamar. Aku tak berani keluar kamar.
"Maafkan Ummi ya Fi. Ummi juga gak ingin kayak gini." Tutur Ummi sedih.
"Gak pa-pa kok Mi. mungkin udah waktunya."
Ingin sekali... aku menangis dalam pelukan Ummi. Namun... aku tak mau Ummi dan Abah merasa bersalah.
"Mi...!" teriak Azki dari luar. Ummi menyusul Azki,
"ada apa Az?" "Kok gugup gitu."
"Dua keluarga datang Mi, mereka datang untuk melamar mbak Alfi."
Ummi terkejut. Hari ini memang akan ada tamu. Namun bukan acara lamaran.
Mendengar itu, tasbih yang ku pegang jatuh, ketakutan ku muncul, bagaimana tidak. Dua keluarga datang dalam waktu, tempat, hari dan jam yang sama. Itu pun pada orang yang sama. Masya Allah, secepat itukah aku memilih.
"Abah sengaja mempertemukan 2 keluarga sekaligus?" Tanyaku gugup.
"Di luar dugaan Fi. Tadinya Abah hanya ingin mereka melihat kamu. Tanpa harus ada lamaran." Aku tahu betul, kepulanganku hari ini adalah untuk menentukan siapa yang menjadi imamku. Aku juga sudah mempersiapkan jawaban dari jauh hari. Namun aku ragu untuk mengatakannya. Tak ada persiapan apapun. Tak ada waktu untuk meminta saran dan pertimbangan. Surat Faiz pun tak kunjung sampai. Tak mungkin aku katakan kalau aku sudah punya calon. Karena belum tentu Faiz merasakan anugerah itu.
Memang tak seharusnya, aku mengandalkan Faiz. Biar bagaimana pun... kami tak saling mengenal. Mana mungkin, rasa cinta itu hadir hanya 1 kali pertemuan.
Tak jauh dari itu, semua keluarga tengah berkumpul di ruang tamu. Tanya jawab berlangsung sedemikian sopannya, ramahnya dan akrabnya. Dengan langkah keraguan yang menyelimuti, aku menghadap mereka, Syaiful dan Idris. Kutarik napas dalam-dalam. Sesekali mataku melihat ke arah mereka.
"Kalau saja, kamu hadir dalam perjodohan ini Faiz," bisikku dalam hati.
Butiran bening jatuh menetes. Setiap saat setiap waktu dan setiap detakan hatiku, hanya Muhammad Faisal lah yang bernapas dalam jiwaku. Perasaan cinta ini semakin bertambah.
"Jika saja Faiz, tidak hadir sebagai anugerah terindah itu,
Tentu kupilih salah satu diantara mereka," bisikku dalam hati lagi.
Entah kenapa, aku hanya berharap pada Faiz. Mungkin... Faiz lah laki-laki pertama yang mengetuk mata hatiku untuk selalu mendekatkan diriku pada Rabb-ku Allah SWT.
"Saya amat menghargai kedatangan mas Idris dan mas Syaiful, guna menyambung tali sillaturahmi diantara 2 keluarga yang berbeda. Namun..." kataku menggantung. Aku melirik Ummi dan Abah. Tak urung juga ayah dan ibu kedua belah pihak. Bapak dan ibu Rusli, serta bapak dan ibu Thamrin. Lamaran berlangsung sederhana. Syukurlah hanya pihak keluarga yang hadir. "Saya tidak akan menjawab saya setuju atau tidak setuju."
"Maksud kamu apa Fi?" Syaiful buka suara.
"Boleh saya jujur..." tawarku ragu.
"Kejujuran itu perlu Fi. Apalagi bagi calon istri."
"Terima kasih..." aku tersenyum, "jodoh adalah misteri bagi kita semua. Saya gak ingin mas Syaiful atau mas Idris salah dalam memilih. Untuk itu... ada baiknya mas Idris atau mas Syaiful melaksanakan sholat istikharah guna memilih yang terbaik.
"Kamu tidak percaya. Kalau saya bisa mencukupi ke..." ketus Syaiful.
"Cukup mas! saya tidak menuntut itu." Buru-buru kupotong pembicaraan Syaiful.
Idris tersenyum kecut, tatapannya amat sinis.
"Syarat saya cuma satu, lakukan istikharah."
"Cuma itu..." tantang Idris sombong.
"Tidak, temukan saya dalam istikharah mas Idris atau
Mas Syaiful. Jika saya menemukan mas Idris atau mas Syaiful dalam istikharah saya, Insya Allah diantara kita ada yang berjodoh, Permisi." Aku bangkit dari duduk dan langsung menuju ke kamar. Kuhamburkan diriku... di kasur. Aku menangis, hatiku amat kecewa, Faiz yang kuharapkan, tak kunjung menemuiku.
"Desir pasir di padang tandus segersang pemikiran hati terkisah ku diantara... cinta yang rumit..."
Syair lagu Rossa "Ayat-Ayat Cinta" membuatku semakin menangis. Aku takut jika diantara mereka menemukanku dalam istikharah mereka. Aku takut yang kutemukan bukanlah Faiz namun mereka. Aku sengaja menyuruh mas Idris dan mas Syaiful melakukan istikharah, tak lain adalah untuk mundur. Agar mereka tak melamarku. Aku salah, terdengar samar-samar, mereka menyetujui syaratku. Apa yang harus kuperbuat ya Allah? apakah aku harus menerima takdirku... dengan mengubur anugerah-Mu?
2 Minggu Kemudian "Alfiturrahmah..." panggil seorang laki-laki. Aku kenal suara itu. Kubalikkan tubuhku dan...
"Dimas !!!" aku terperanjat. Kini dia memakai baju koko, sarung, dan peci.
Dimas membuktikan ucapannya, kini dia telah menjadi seorang muslim.
"Aku udah berubah Fi, dan semua itu berkat kamu." Aku tertunduk, "sama-sama mas." Bersamaan dengan itu...
"Alfi...," seorang laki-laki menghampiriku.
"Mas Syaiful...," ingin rasanya aku pergi. Dua laki-laki tengah bersamaku.
"Mas, aku permisi, assalamualaikum."
"Tapi Fi, ada yang ingin..."
Tak kuhiraukan ucapan Dimas, aku melangkah guna menghindari pertemuanku dengan Syaiful, tak kusangka Syaiful mengejarku.
"Fi... sudah 2 minggu ini aku beristikharah kamu dan hasilnya kamu yang keluar. Itu berarti kita..." mendengar itu tubuhku lemas. Napasku naik turun. Rasanya... aku diantara hidup dan mati.
"Tidak mungkin." Sergah hatiku. Butiran bening jatuh menetes, kutatap Syaiful terlihat senyum kemenangan. 2 minggu belum cukup. Masih 2 minggu lagi, jangan anggap kamu itu berhasil. Permisi. Assalamu alaikum."
Aku langsung pergi dari hadapan Syaiful.
Toko Buku Gramedia... "Subhanallah.... ganteng banget An."
Puji Mita saat melihat Muhammad Faisal. Aku titipkan surat untuk Faiz kepada Ana.
"Titip surat ini untuk Alfi," Faiz memberikan suratnya.
"Pantes Alfi gak mau kehilangan kamu. Ternyata... gak salah." Cerocos Ana.
Faiz tersenyum lalu... beranjak pergi, "assaluma alaikum..."
"Wa'alaikumsalam warohmatullahi wabaookatuh." Mita tak berkedip.
"Gadis mana sih yang gak mau sama Faiz. Kalo aja Faiz bukan milik Alfi. Aku pasti udah ngejar dia."
"Mita, Mita..., ada-ada aja kamu. Rezeki itu udah ada Yang ngatur. Mungkin Faiz adalah rezeki Alfi. "An, kapan-kapan kita kesini lagi ya!"
"Ngapain?" "Liat pengikutnya Nabi Yusuf as."
"Siapa?" "Muhammad Faisal. He... he... he..."
Ana menggeleng, mereka pun langsung menuju ke kantor pos, untuk mengirim surat Faiz kepada Alfi.
Assalum alaikum To: Alfiaturrahmah

Temukan Aku Dalam Istikharahmu Karya E Sabila El Raihany di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

(Gadis yang memiliki kejujuran tentang cinta)
Demi rasa cintamu pada Allah,
Baik... akan kukatakan apa yang kurasakan.
Alangkah indahnya, apabila kita jalani apa yang ada.
Percayalah bahwa dalam kehidupan ini, telah ada zat yang mengatur.
Kalau memang di tulis dalam langit ke-7 sebagai jodoh, bagaimanapun caranya, Allah akan menyatukan kita.
Tapi sebaliknya, sekuat apapun anugerah itu di bangun dan
Di langit ke-7 tak tertulis adanya ikatan,
Pasti dengan mudah akan hancur dengan cara apapun.
Semoga Allah, berkenan menjaga komunikasi kita.
Wassalamualaikum. Muhammad Faisal Subhanallah wal hamdulillah wa lailah waalhu akbar
Ku bersyukur di hadapan Allah Betap bahagianya aku.
Ketika mendapat surat balasan dari Faiz. Surat Faiz telah basah dengan air mataku. Aku tersenyum bahagia. Antara percaya dan tidak... aku mengulang-ulang membaca surat Faiz. Inilah yang kuharapkan. Mencintai karena Allah.
"Bila keyakinanku datang
Kasih bukan sekedar cinta
Pengorbanan yang agung Kupertaruhkan..." Aku menangis sekuat-kuatnya. Aku tak menyangka. Kalau Faiz juga merasakan anugerah itu. Maha Suci Allah yang telah mempertemukan aku dan Faiz dengan ketidak sengajaan. Tak bisa kuungkapkan rasa gembiraku. Kini... aku sudah siap menghadapi apapun, karena Faiz bersamaku. Hanya dialah orang yang bisa menghapus air mataku. Dialah orang yang bisa menjadikanku sebagai perempuan
Tegar dan kuat. Begitu dahsyat rasa cinta ini...
Membuatku tak ingin berhenti menangis dan menangis.
Ya Allah... ya Robbi Satukanlah kAmi Dengan Ridho-Mu Pertemukanlah kAmi Dengan kasih-Mu Dan jagalah hati kAmi Dengan karunia-Mu Serta kuatkanlah ikatan kAmi dengan cinta-Mu
*** 9. TEMUKAN AKU DALAM ISTIKHARAHMU
Ketika mimpi adalah bunga tidur
Maka ia menjadikan nyenyak pemiliknya
Namun ketika mimpi adalah petunjuk Maka itulah nikmat baginya
Di kamarku... pagi hari "Maafkan bila ku tak sempurna cinta ini tak mungkin ku jaga ayat-ayat cinta bercerita cintaku padamu..."
Samar kudengar lagu itu, dengan penuh penghayatan. Ketika aku akan pergi ke kantor pos, Idris tengah berada di depan rumahku. Ummi dan Abah pergi memenuhi undangan pernikahan. Sedangkan Azki... ia berangkat ke sekolah.
Dengan perasaan tak karuan, aku membuka pintu.
"Maaf, mas Idris cari siapa? Abah tidak dirumah."
"Bukan mereka yang aku cari, tapi kamu."
Mendengar itu... rasa takut menghantuiku. Aku berpikir yang tidak-tidak.
"Ada apa Mas?" aku terbata-bata
"Aku cuma mau bilang kalau akhir-akhir ini Aku bermimpi terus tentang kamu. Doakan aku ya Fi." "Maaf Mas, aku tidak memihak siapa pun. Tidak mas tidak juga mas Syaiful. Jangan terlalu berharap Mas. Mungkin itu cuma perasaan Mas."
Assalamu alaikum." Aku langsung menutup pintu dan menguncinya. Rasa cemas menghampiriku.
"Aku harus melakukan sesuatu. Jangan sampai Faiz terlambat."
Buru-buru kuambil surat untuk Faiz. Aku menyimpannya dan menggantinya dengan yang baru.
Assalamualaikum. To: Muhammad Faisal (Pemuda yang memiliki cinta di hatinya) Dalam waktu 2 minggu, Aku harus menentukan siapa imamku.
Jika kau berkenan menjadi penerang cahayaku dalam serpihan cinta Nya.
Tolong... temukan aku dalam istikharahmu
Salam cintaku untukmu. Alfiaturrahmah Toko buku Gramedia. "Kamu kenapa Iz? kok ngelamun gitu? mikirin Alfi ya?" tanya Salsa, sobat Faiz.
Faiz mengangguk. Surat balasanku telah ada di tangannya.
"Alfi minta aku istikharah Sa," curhat Faiz sedih.
"Terus..." Salsa penasaran.
"Orang seperti aku, apa bisa beristikharah?" rendah Faiz. "Faiz, Faiz... Allah Maha Pemurah dan Maha Adil. Allah gak akan membedakan hambanya. Perempuan mana sih, yang gak kecanthol sama kamu."
"Itu dia masalahnya Sa. Apa Alfi sanggup nerima aku dalam keadan seperti ini."
"Yang dikagumi dan di puja banyak orang karena ketampanan." Sahut Salsa mantap. Faiz tertunduk. Salsa pun memberikan nomer telepon Alfi pada Faiz.
"Apa ini Sa?" "Telepon Alfi sekarang juga. Katakan bahwa kamu pasti akan temukan dia dalam istikharah kamu."
Faiz tampak ragu, nomer itu terus ditatapnya. Sesekali HP nya dipegang, sesekali pula di letakkan.
"Jika Alfi tidak mencintai kamu dengan hatinya, tentu dia lebih memilih perjodohan itu." Salsa tahu apa yang telintas di benak Faiz.
"Apa aku pantas mendapatkan semua ini Sa?"
"Hanya Allah lah yang berhak menilai Iz." Faiz terdiam
"Hanya untuk Alfi, kamu rela menyakiti hati seorang gadis, Apa kamu tidak sadar, bahwa kamu mencintainya?" Mata Faiz berbinar. Apa yang dikatakan Salsa memang benar, sebelum Faiz bertemu denganku. Faiz telah bertemu dengan Lala. Aku sendiri tak tahu pasti hubungan Faiz dan Lala. Aku tak peduli dengan semua itu. Aku hanya ingin, agar Faiz berhasil menemukanku dalam istikharahnya. Faiz menyerahkan... HP-NYA pada Salsa.
"Bantu aku bicara Sa..."
Salsa mengangguk, dimasukannya nomerku dan dihubungi...
Faiz tegang, kebingungan terpancar di wajah tampannya. Lama menunggu...
"Halo... Assalamu alaikum..."
"Wa 'alaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh." Suara gadis remaja tampak riang di seberang sana. "Maaf... Alifaturrahmahnya ada?" "Tunggu ya... mbak. Ini siapa?" Azki penasaran.
"Saya Salsa temannya."
Azki langsung meletakkan gagang telepon dan memanggilku.
"Mbak Alfi..." Aku yang saat itu tengah nderes, menutup al-Quranku.
"Ada apa Az?" "Telepon dari Salsa..."
Keningku berkerut karena penasaran... kuangkat telpon dari Salsa.
"Halo... aku Alfi. Salsa siapa ya?" kataku hati-hati.
Memori ku berputar. Mengingat apa ada temanku yang bernama Salsa
"Ada yang ingin bicara sama kamu." Salsa membuyarkan lamunanku.
"Siapa?" Salsa memberikan HP-NYA pada Faiz, "aku..."
Bagai disambar petir, aku mendengar suara itu. Aku kenal
Suara itu. "Fa... Fa... Faiz..." butiran bening jatuh mengalir.
I... i... iya Fi..."
"Gimana kabar kamu?" aku tak dapat menggambarkan rasa gembiraku.
"Baik Fi. Alhamdulillah."
Kami terdiam... Ingin sekali kulihat wajahnya, aku merindukannya.
"Fi..." panggil Faiz dengan gugup.
"Ada apa Iz?" "Gak seharusnya kamu mengharapkan aku."
"Kenapa?" "Syaiful atau Idris... mereka mencintaimu kamu karena Allah," aku menahan isak tangisku, aku tak ingin Faiz mendengar kesedihanku.
"Aku juga mencintai kamu karena Allah, kita sama-sama mencintai karena Allah."
Faiz membisu, aku bisa merasakan... dia memikirkan sesuatu, entah apa, aku tak tahu. Sekuat-kuatnya aku, namun untuk hal ini... aku tak berdaya. Suara tangisku terdengar oleh Faiz.
"Kamu nangis Fi...?" lirih Faiz.
"Jangan biarkan mereka menemukanku Iz, demi Allah... aku tidak bisa mencintai orang lain selain kamu."
Faiz tertegun. Begitu sulit... untuk mendapatkan cinta sejatinya.
"Apa yang bisa aku lakukan untuk menemukan kamu?" Kuhapus air mataku dan kuatur suaraku agar aku bisa tampak tegar.
"Keikhlasan Iz..., hanya sebuah keikhlasan. Jika kamu bisa menerimaku apa adanya dengan ikhlas. Kamu akan temukan aku."
"Tapi Fi.... bukankah hanya Allah yang bisa menilai ikhlas
Atau tidaknya seseorang."
"Aku tahu Iz, Hanya Allah yang berkuasa atas hati manusia. Namun... ketika kita berada di posisi sulit dan kita mampu qona'ah (apa adanya) maka dari situlah keikhlasan hadir tanpa dikatakan."
"Doakan aku Fi..., Doakan aku agar aku bisa menemukan kamu."
"Doaku selalu bersama kamu, setiap saat dan setiap waktu."
"Bersabarlah Fi, bersabarlah untuk menanti jawaban Allah, kuatkanlah hati kamu untuk menghadapi cobaan cinta ini. Hanya kamu yang akan hidup di hati aku." "Jangan biarkan aku menjadi Laila... yang menanti kamu."
"Gak akan Fi. Aku gak akan biarkan kamu menjadi Laila, dan gak akan aku biarkan diriku menjadi Majnun." Entah mengapa aku bicara itu, aku takut kehilangan Faiz.
Mutiara bening jatuh setetes demi setetes. Baru kali ini dalam hidupku, aku merasa amat takut kehilangan seseorang. Muhammad Faizal. Aku takut Allah mengambil Faiz dari sisiku.
"Tolong Iz... temukan aku dalam istikharahmu. Jadikan aku permata di hati kamu. Hanya kamu yang aku inginkan. Bukan orang lain."
"Semoga Allah mempertemukan kita sebagai jodoh Fi."
"Bukan hanya mempertemukan, tapi juga... menyatukan. Jangan biarkan aku menjadi milik orang lain Iz." "Hapus air mata kamu Fi. Kita sama-sama akan beristikharah."
"Semoga Allah mengikat kita dengan tali yang suci." Kerinduanku pada Faiz. Membuatku tak ingin menutup telepon. Ingin ku berlari untuk melihat sosoknya. Rasa tak puas membuatku ingin berlama-lama bicara dengannya. Aku ingin selalu mendengar suaranya. Suara yang membuatku tegar dalam kelemahan dan membuatku bangkit dalam kehampaan dan membuatku kuat dalam kerapuhan.
"Kapan kita ketemu Iz."
"Setelah kita berhasil menemukan jawaban istikharah."
"Jaga diri kamu Iz. Assalamu alaikum..."
"Kuatkan diri kamu Fi. Wa'alaikumsalam warohmatullahi
Wa barokatuh." Aku langsung berlari ke kamar. Aku menangis dan menangis. Sedangkan Faiz... dia terduduk lemas.
"Gimana Iz?" Salsa penasaran.
"Apa aku sanggup melakukan itu Sa?"
"Kalo jodoh, kena enggak?" sahut salsa dengan senyum. Hari itu, Faiz pulang cepat. Ia terus terus membaca surat dariku.
"Sebenarnya aku ragu untuk melakukan ini Fi, tapi aku telah jatuh cinta. Surat kamu telah membuatku jatuh cinta."
Tengah malam, 2 minggu kemudian...
"Faiz... aku titip Alfi sama kamu! jaga dia dengan baik."
"Tapi...," elak Faiz.
Entah mengapa... aku bersama dengan seorang laki-laki yang tak kukenal. Beliau menyerahkan aku pada Faiz. Saat Faiz hendak bertanya, kenapa harus dititipkan. Laki-laki yang tak ia kenal, malah pergi menghilang begitu saja. Dan akhirnya aku duduk disamping Faiz.
"Alfi...!!!!!" jerit Faiz dengan keras.
Napasnya terengah-engah. Keringatnya bercucuran.
"Astaghfirullah, aku mimpi. Ya Allah... kenapa mimpi itu datang saat hari ke-7?" keluh Faiz.
Faiz bangkit dari tidurnya.
Ia tak bisa memejamkan mata. Tak ada yang dapat ia lakukan kecuali beristikharah.
Di rumah Alf, "Alfi..." panggil Umi Syarifah.
"Ya Mi kenapa?"
"Kayaknya mau hujan. Jemuran di belakang diangkat ya sayang.
Aku menurut..., kuangkat semua pakaian yang dijemur. Namun ketika... hendak kuangkat satu pakaian. Tiba-tiba aku ragu...
"Pakaian siapa ini ya? kok aku pernah lihat dan gak asing." Ku putar memoriku dan kuingat-ingat. Aku terhenyak. Pakaian yang kulihat adalah... "FAIZ!!!" Ya... itu pakaian yang dipakai Faiz saat pertemuan kAmi yang pertama. Kenapa disini? kenapa menggantung dengan pakaianku?
"Fa... Fa... Faizzzzz..." teriak Alfi.
Malaam itu. Keringat dingin bercucuran dari tubuh Alfi.
Butiran bening jatuh tak terkira. Napasnya naik turun.
"Ya Allah... firasat baikkah ini?"
Aku benar-benar bersyukur. Kusujudkan wajahku kepada
Allah. Di malam yang pekat, kucurahkan isi hatiku ke
Pada Allah. Ya Allah Sang pemberi mimpi... mudahkanlah hambamu ini dalam mengarungi ikatan cinta bersama seseorang yang aku cintai Muhammad Faisal, jadikan dia imamku baik di dunia maupun di akhirat.
Aku tidak tahu, apa yang terjadi esok. Aku berharap Faiz datang lebih awal dari Idris atau Syaiful. Karena esok adalah penentuan.... siapa imamku?"
Entah mengapa tubuhku mendadak panas, lemas dan kepalaku pening. Mungkinkah karena aku bahagia telah menemukan Faiz dalam mimpiku? saat aku akan menelepon Faiz. Aku terkulai lemas tak berdaya. Mendadak tubuhku ambruk. Dan "Alfi...," jerit Ummi histeris.... Abah dan Ummi serta Azki membawaku ke tempat tidur. Karena khawatir. Abah langsung memanggil dokter. Setelah diperiksa....
"Alfi thypes... dia harus banyak istirahat. Kondisinya memang tidak stabil." Nasihat dokter sambil menyerahkan resep obat pada Abah.
"Kalo begitu... saya permisi...," pAmit dokter diantar Azki adikku.
"Faiz... Faiz...," rintihku mengigau.
Ummi mencium keningku seraya menangis.
"Bangun Fi, ini Ummi."
Sedikit demi sedikit aku membuka mata.
"Dengan butiran air mata aku katakan, "Mi... telepon Faiz. Suruh dia datang ke sini."
"Untuk apa Fi? bagaimana dengan Syaiful atau Idris? Mereka akan datang sayang."
"Aku sudah memilih Faiz, biarkan dia hadir dalam perjodohan ini. Aku mohon Mi..."
Ummi memelukku. Beliau tak tega melihatku dalam keadaan pucat pasi dan sembab karena seringnya menangis.
"Ummi dan Abah harus lihat Faiz. Setelah itu... keputusan ada di tangan Ummi dan Abah. Aku mohon Mi...
Satu kali ini, izinkan aku melihat Faiz untuk terakhir kalinya.
"Kenapa harus terakhir kalinya Fi?" Abah datang dengan wajah sumringah.
"Maksud Abah?" Abah mendekatiku, beliau mencium keningku.
"Abah ikhlas menyerahkan kamu sama nak Faiz."
Aku terharu, becampur bingung. Entah kenapa Abah langsung setuju. Padahal Abah belum lihat seperti apa Muhammad Faizal...
"Nak Faiz... silakan masuk!"
"Kya??? Faiz? ada di sini? di rumahku? kenapa? seribu pertanyaan mengalir di otakku."
Subhanallah wal hamdulillah astaghfirullah wallahu akbar. Butiranku bertambah deras. Tatkala kulihat laki-laki tengah tersenyum padaku. Dialah Muhammad Faisal... orang yang kuanggap setampan nabi Yusuf as. Dialah orang yang ku ingin cium telapak tangannya.
"Fa... Fa... Faiz..." Faiz terlihat bahagia.
"Aku ke sini untuk mengatakan kalau aku..." kata-kata Faiz menggantung.
Aku menatapnya lekat. Mata kami pun bertemu. Rasa tak sabar menemaniku.
"Maha Suci Allah yang telah menemukan kamu dalam relung mimpiku Fi."
Aku terperangah, Faiz berhasil. Aku tersenyum penuh dengan kemenangan. Wajahku yang pucat. Kini terlihat lebih segar.
"Maha Suci Allah pula, yang telah menemukan kamu dalam mimpiku Iz...."
Semua yang mendengar dan melihat peristiwa penting dalam hidupku. Bahagia bercampur tangis. Sayang..., aku dan Faiz hanya bisa menatap. Kami bukan muhrim. Padahal, aku ingin sekali... ada dalam pelukannya. Tapi... walau demikian, Faiz boleh duduk di sampingku. Untuk menanyakan kesehatanku. Tak hentinya... aku memandang wajahnya. Sesekali kAmi tersenyum malu.
Bersamaan dengan itu... "Mbak... Syaiful dan Idris datang."
Mendadak aku panik. Aku bingung bagaimana menghadapi mereka.
"Aku bersama kamu Fi, kita akan sama-sama hadapi mereka."
Aku dibantu Ummi bersiap-siap menyambut kedatangan mereka. Aku tak ingin berdiam di kamar. Untuk itu aku kuatkan diriku untuk bangkit dan berjalan. Saat mereka ada dihadapanku...
"Demi Allah, aku tidak menemukan kalian dalam istikharahku. Itu berarti..."
Syaiful menatap sinis, "jadi... laki-laki ini calon kamu."
"Apa alasan kamu memilih dia? sepertinya dia biasa saja." Sambung Idris dengan nada tak suka.
"Satu hal yang harus kalian ingat. Di dunia ini... tidak ada yang lebih berharga kecuali ikhlas. Dengan keikhlasan semua akan terwujud...."
Syaiful mendekati Faiz, "persetan dengan ikhlas, permisi!" ingin sekali kutampar wajah Syaiful. Namun ia keburu pergi.
"Maafkan dia Iz..."
Faiz hanya tersenyum. Dan tak lama Idris pun menghampiri kAmi, "keikhlasan hanya akan membawa kehancuran. Ingat itu Fi."
Aku tertunduk. Untunglah aku tak berjodoh dengan mereka. Kupikir mereka baik. Ternyata... mereka manis jika ada maunya. Untunglah Allah membuka keburukan mereka. "Nikmat manakah yang kamu dustakan?"
Aku bersujud syukur, ku sujudkan wajahku di lantai. Tak hanya aku... Faiz pun demikian.
"Bila bahagia mulai menyentuh seakan ku bisa hidup lama namun harus kutinggalkan cinta ketika ku bersujud..."
Bait lagu itu... membuatku semakin mengagumi Allah. Memang benar... aku pernah mendengar sebuah hadits yang dikatakan oleh Zahazan Mohamed yang bunyinya
Tiada sebarang keterangan yang menunjukkan seseorang yang bersholat sunnah ini, akan memperoleh pertanda tertentu melalui mimpi atau sebagainya. Namun begitu, jika berlaku petunjuk seperti itu ia melupakan nikmat Allah.
Abah dan Ummi memelukku erat. Tangisan mereka adalah kebahagiaanku. Namun demikian... aku tak ingin terlalu cepat untuk melanjutkan hubungan kAmi lebih jauh. Hari itu juga... Faiz datang melamarku dan dengan wajah malu aku mengangguk.
Dan kAmi pun bertukar cincin.
"Besok aku harus kembali ke pesantren," kataku setelah cincin pertunangan melingkar di jariku dan Faiz.
"Aku tahu Fi. Teruskan perjuanganmu untuk menegakkan agama Allah."
"Jadi... kamu mengizinkan???"
Faiz tersenyum, "cuma satu pintaku Fi?" "Apa?"
"Jaga senyum kamu. Jangan sampai senyum kamu menjadi fitnah."
"Senyumlah untuk semua orang. Tapi hatimu... jangan." Suara Azki menirukan Ikke Nurjanah Kami tertawa
"Faiz... kertas yang aku temukan aku bingung untuk menanyakan soal puisi itu.
Faiz seperti tahu yang tersirat di pikiranku "Jadi..."
"Itu untuk kamu... calon bidadari di hatiku," bisik Faiz. Aku menulis itu cuma karena aku ingin cepat menemukan siapa penghuni hatiku. Aku gembira... rupanya cuma aku yang ada dihatinya.
Habibi... Ya habibi ya... thobibi Habibi anta qoshdi ya muradhi... Obatnya hati adalah
Dengan datangnya seorang kekasih
Tamat Seruling Sakti 11 Balada Si Roy 09 Traveller Karya Gola Gong Warisan Jenderal Gak Hui 6

Cari Blog Ini