Ceritasilat Novel Online

Aneh Tapi Nyata 2

Aneh Tapi Nyata Spooky Kids Karya Bruce Nash And Allan Bagian 2


Saat ia berjalan mengelilingi ruangan, Anthony mendengar
keluarganya berbicara.
"Hebat juga, ya?"
"Oh, lega sekali rasanya."
"Hampir tak bisa dipercaya."
"Ini hanya bisa terjadi pada Gino."
Semua orang menyayangi Gino, pikir Anthony. Kenapa reaksi
mereka atas kematiannya begini?
Sesaat sebelum fajar, Anthony terbangun dari tidurnya dengan
rasa sedih dan panik. Ia berlari ke kamar tidur orangtuanya dan
membangunkan mereka.
"Ibu! Ayah! Aku mimpi mengerikan lagi tentang kematian," ia
meratap.
"Ya, Tuhan," desah ibunya. "Siapa kali ini?"
"Gino, Bu. Saya mimpi sedang menunggui jenazahnya."
Ibunya menutupkan kedua tangannya ke matanya dan mulai
menangis.
"Tapi ada sesuatu yang aneh sekali," kata Anthony. "Semua
orang tertawa-tawa dan bersenang-senang. Ayah, juga. Apa artinya
itu?""Ayah tidak bisa menjelaskannya," sahut ayahnya. "Ayah tidak
mengerti mengapa kamu mendapat mimpi-mimpi ini. Tapi karena dua
yang sebelumnya ternyata benar, kita tak boleh mengabaikan yang ini.
Mungkin mimpi itu suatu peringatan, jadi kita bisa menelepon Gino
dan mengingatkannya agar dia berhati-hati hari ini."
Tetapi meskipun hari masih pukul 6.00 pagi, tak ada yang
mengangkat telepon di kamar asrama Gino. Anthony merasa serba
salah hari itu, menunggu kabar tentang meninggalnya sepupunya. Sore
itu baru ada berita. Ada kecelakaan mengerikan yang menimpa sebuah
kapal di Danau Michigan, demikian kabar yang diterima Manny dan
Sue, orangtua Gino, dari para petugas. Gino telah menyewa sebuah
perahu motor untuk memancing. Tetapi beberapa mil dari pantai,
perahu itu terbakar dan meledak. Gino tewas.
Seluruh anggota keluarga Russo sangat terkejut mendengar
kabar itu, terutama Anthony, yang merasa begitu tertekan karena sedih
hingga ia hampir tak dapat menangis lagi. Tragisnya, bagian pertama
mirnpinya ternyata benar. Tetapi ia masih belum mengerti bagian
keduanya ? saat yang menggembirakan waktu ia menunggui jenazah
? apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana semua orang bisa
bersuka-ria setelah kematian Gino yang begitu tragis? Jawabannya
datang malam hari itu.
"Gino masih hidup!" seru ayah Anthony. "Gino masih hidup!"
Anthony, ibunya, dan adiknya Michael berkumpul mengelilingi
telepon saat Leonard, ayah Anthony, melanjutkan pembicaraannya
dengan ayah Gino. Waktu ia meletakkan gagang telepon, Leonard
memeluk istri dan anak-anaknya, dan dengan gembira menceritakan
tentang kabar itu."Rupanya Gino mengalami kerusakan mesin sekitar sepuluh mil
dari pantai. Akhirnya mesin perahu itu mogok. Sebuah perahu lain
lewat dan memberi tumpangan pada Gino. Entah kenapa ? mungkin
terjadi hubungan arus pendek ? perahu yang disewa Gino meledak.
Untung dia sudah berada beberapa mil jauhnya dari situ, dan dia tidak
tahu tentang ledakan itu. Dasar sial, perahu yang menolongnya
kehilangan baling-balingnya.
"Waktu mereka mengirimkan berita meminta pertolongan, para
penjaga pantai sedang keluar mencari jenazah Gino. Terjadi
miskomunikasi, dan seseorang menelepon Manny dan Sue untuk
mengabarkan bahwa Gino tewas dalam kecelakaan perahu. Gino sama
sekali tidak mengetahuinya sampai dia kembali ke pantai kira-kira
lima jam kemudian. Itulah saatnya dia tahu bahwa dia telah
'meninggal.' Waktu Manny dan Sue melihatnya, mereka berpelukan
dan bertangis-tangisan! Sekarang giliran keluarga Leonard Russo
untuk melakukannya.
Seminggu kemudian, bagian kedua mimpi Anthony yang
mengerikan menjadi kenyataan ? dan semua itu memang masuk akal.
Gino pulang ke rumah dari asramanya untuk menghadiri pesta besar
yang diadakan orangtuanya, yang merasa begitu bersyukur bahwa
putra mereka selamat. Semua anggota keluarga Russo datang untuk
merayakan "kematian" Gino ? persis seperti dalam mimpi Anthony!MATI KEMBALI
Vanessa Simpson tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Ia
menatap seorang gadis yang tidak sadarkan diri dan terbujur di
jalanan, persis seperti tubuh boneka rusak yang jatuh terpelanting. Tak
seberapa jauh dari situ, sebuah sepeda ringsek tergeletak di kolong
sebuah truk pickup.
Yang membuat adegan itu begitu mencekam bagi Vanessa
adalah karena gadis yang terluka parah itu tak lain tak bukan adalah
Vanessa sendiri!
***********
Vanessa, seorang gadis cilik berusia sembilan tahun, bersama
kakak-kakaknya Latoya, sebelas tahun, dan Tamika, dua belas tahun,
sedang naik sepeda masing-masing menuju ke sebuah toko makanan
untuk membeli jajanan. Vanessa merasa sangat bangga hari itu. Dia
menaiki sepedanya sendiri dengan tiga gigi untuk pertama kalinya.
Dia tak peduli kalau ayahnya membeli sepeda itu pada lelang di
kantor polisi karena dinyatakan tak ada pemiliknya lagi. Masa bodoh
kalau sepeda berwarna biru itu dulu milik seseorang ? pokoknya,
sekarang sepeda itu miliknya ? sepeda betulan, persis seperti
kepunyaan kedua kakaknya.Tetapi gadis cilik bermata biru itu tidak bersepeda seperti kedua
kakaknya. Dengan kuncir rambutnya yang bergoyang-goyang,
Vanessa mengayuh sepedanya dengan terhuyung-huyung ke jalanan,
karena tangan dan kakinya yang kecil hampir tidak dapat mencekal
pegangan setang dan menginjak pedal sepedanya dengan mantap. Dia
masih belum terbiasa dengan pegangan setangnya yang terbalik, ban
sepeda yang tipis dan rem tangan. Sepedanya yang lama lebih kecil,
dengan setang tinggi, ban tebal dan rem kaki.
Pagi itu hujan turun hingga jalanan agak licin. Ketiga gadis
keluarga Simpson itu berusaha untuk hati-hati dan bersepeda satu-satu
di jalanan menuju ke toko itu. Mereka masing-masing membeli
permen loli, lalu bersepeda menuju ke taman, beberapa blok jauhnya
dari rumah mereka. Tamika paling depan, diikuti Latoya dan Vanessa.
Di tengah jalan, Vanessa mendengar cicit burung yang ramai
dari sebuah dahan pohon yang menjulur ke jalanan di depannya. Saat
dia bersepeda di bawah pohon itu, Vanessa melihat ke atas dan
melihat seekor induk burung ketilang berceloteh mengusir seekor
bajing yang berada terlalu dekat ke sarangnya. Vanessa terus
memperhatikan apa yang terjadi di atas dahan itu, tanpa menyadari
bahwa ia mengarahkan sepedanya terlalu ke tengah jalan.
Pada saat itu, sebuah truk pickup membelok dari jalan samping
dan langsung menuju ke arahnya. Pengemudinya membunyikan
klakson dan menginjak remnya. Vanessa sangat terkejut hingga dia
lupa bahwa dia sedang mengendarai sepedanya di jalan raya. Dalam
keadaan panik, Vanessa lupa untuk menggunakan rem tangannya. Dia
berusaha menghindar, tetapi dia membelok terlalu tajam hingga
keseimbangannya hilang."Vanessa!" teriak Tamika. "Awas!"
Pickup itu hanya sempat berhenti beberapa kaki sebelum
menghantam Vanessa yang terjatuh. Truk itu melindas anak itu dan
sepedanya sebelum akhirnya berhenti.
Untuk sesaat, Vanessa tidak merasakan apa pun kecuali
wajahnya menempel pada aspal yang keras. Kemudian dia merasakan
sakit di seluruh tubuhnya ? kepalanya, tangannya, dan kakinya.
Belum pernah dia merasa begitu sakit seperti pada waktu itu. Karena
tak mampu bergerak atau berbicara, Vanessa hanya mendengar jeritan
histeris kedua kakaknya dan teriakan orang-orang yang menyaksikan
kejadian itu.
"Telepon 911!" teriak si pengemudi truk yang ketakutan.
"Adikku! Adikku!" tangis Latoya saat dia menghampiri adiknya
dengan sangat terkejut.
Tamika melihat tubuh adiknya yang hampir tak bergerak dan
berlutut di sisinya. "Ini tak mungkin terjadi! Vanessa! Katakan
sesuatu, ayo, Vanessa!"
"Ada yang punya selimut?" teriak seorang bapak pada orangorang yang berkerumun di sekeliling gadis malang itu. Dari kejauhan
terdengar raungan sirene mobil polisi dan ambulan.
Kemudian Vanessa merasa semuanya menjadi gelap dan sepi.
Perlahan-lahan namun pasti, rasa sakit itu berkurang hingga tak
terasa lagi dan berganti dengan perasaan nyaman yang penuh
kedamaian. Vanessa merasa dirinya meninggalkan tubuhnya dan
melayang di udara. Dan ia bisa melihat lagi.
Tanpa kelihatan dan melayang-layang sekitar sepuluh kaki dari
tempat kejadian itu, Vanessa tak tahu apa yang terjadi. Pikirannyadipenuhi berbagai pertanyaan. Di manakah aku? Kenapa aku
melayang-layang seperti ini? Kenapa ambulan ada di sini? Siapa
orang-orang itu? Kenapa kakak-kakakku menangis? Siapa yang
terbaring di jalanan itu?
Vanessa melayang di atas orang-orang dan mengintip ke tubuh
yang terbujur di jalanan. Hei, itu kan aku! Apa yang terjadi? Aku tak
mengerti. Tiba-tiba semuanya tidak berarti lagi. Semua pertanyaan
dan rasa ingin tahunya lenyap seketika. Dia tidak peduli lagi akan apa
yang dilihatnya tadi, hanya ada kehangatan dan kedamaian seperti
kalau ia telah mengenakan piyamanya untuk duduk menonton acara
TV kesukaannya, tanpa peduli apa yang terjadi sekelilingnya.
Tidak demikian dengan para petugas kesehatan, yang berjuang
keras untuk menyelamatkan sang korban dengan rasa tegang, emosi
dan putus asa.
"Aku masih belum menemukan pulsanya!" teriak salah seorang
paramedik.
"Lakukan CPR terus! sahut rekannya.
"Selamatkan dia!" teriak Tamika. "Tolong selamatkan
nyawanya!"
Vanessa merasakan kekuatan aneh menariknya kembali ke
dalam tubuhnya. Saat dia bergerak mendekati tubuhnya, rasa sakit di
kepala, tangan kakinya semakin ngilu. Tak ada yang dapat menahan
kekuatan itu dan ia pun masuk kembali ke dalam tubuhnya. Sekali lagi
dia merasakan sakit yang luar biasa, dingin dan gelap.
"Pulsanya mulai teraba!" teriak paramedik itu.
"Hubungi rumah sakit," perintah rekannya pada si pengemudi
ambulan. "Laporkan, kita membawa seorang gadis kecil dengancedera berat di kepala, mungkin luka dalam, serta kemungkinan
tangan dan kaki yang patah!"
Vanessa langsung dilarikan ke kamar operasi, di mana
sekelompok dokter dan perawat bekerja dengan sigap untuk
menstabilkan keadaannya, namun mula-mula tanpa hasil.
"Ada masalah dengan pernapasannya, dokter!"
"Tekanan darahnya menurun!"
"Ada gangguan pada jantungnya!"
"Mulai CPR segera!"
Untuk kedua kalinya Vanessa merasa dia meninggalkan
tubuhnya dan melayang-layang, kali ini di atas meja operasi. Bebas
dari rasa sakit dan dipenuhi kehangatan, dia melihat ke bawah dan
melihat tubuhnya dihubungi dengan kabel-kabel dan tabung-tabung ke
berbagai mesin dan monitor. Dari tempatnya melayang, dia melihat
para dokter dan perawat yang berpakaian seragam hijau muda dan
mengenakan masker, berusaha mati-matian menyelamatkan nyawa
pasien mereka.
Karena tergesa-gesa, seorang perawat tanpa sengaja menabrak
sebuah nampan berisi peralatan operasi. "Duh, bego benar aku,"
gumam perawat itu. "Saya akan membawakan nampan yang lain,
dokter."
Sesaat kemudian, ahli bedah itu menjauh dari meja operasi.
"Saya harus berhenti sebentar," katanya. "Lensa kontak saya tergeser
ke ujung mata. Rasanya saya buta seperti kelelawar tanpa
memakainya." Seorang perawat menggunakan jarinya untuk
mengembalikan kontak itu ke posisinya.Perlahan-lahan, suatu kekuatan ajaib membawa Vanessa ke luar
ruang operasi memasuki sebuah lorong berkabut perak. Dia merasa
melayang-layang ringan seperti daun tertiup angin. Hal itu
mengingatkannya pada kisah Alice di Negeri Dongeng waktu Alice
terjatuh ke dalam lubang si kelinci, hanya ini terjadi secara perlahanlahan dan dia melayang menuju ke terowongan. Sampai di
terowongan, Vanessa bergerak dengan santai menuju ke sebuah
cahaya yang makin lama makin terang ? lebih terang dari matahari di
hari yang cerah. Namun cahaya itu tidak menyilaukan. Cahaya itu
terasa nyaman. Saat ia sampai di ujung terowongan, Vanessa merasa
sangat damai. Pada saat itu, ia tahu segalanya akan menjadi baik, apa
pun yang terjadi.
Kekuatan itu mulai menariknya kembali, mendorongnya dari
cahaya itu kembali ke dalam terowongan. Vanessa tak ingin
meninggalkan tempat yang hangat dan sangat damai itu, tetapi dia
membiarkan dirinya melayang kembali ke dalam terowongan berkabut
perak dan kembali ke meja operasi.
Namun Vanessa tidak masuk ke tubuhnya kembali. Dia
melayang-layang di atas meja operasi saat para dokter menyelesaikan
operasi. Lalu, menyadari bahwa dia bisa melayang menembus
tembok, dia mengikuti tubuhnya saat para perawat mendorongnya ke
ruang gawat darurat.
Dia melayang ke ruang tunggu di mana dia melihat kedua
orangtuanya dengan hati yang hancur dan kedua kakaknya yang
menangis bercakap-cakap dengan dokter ahli bedah, Dr. Gerald Stein.
"Vanesa cedera berat di kepala," kata dokter itu kepada mereka.
"Jantungnya berhenti berdenyut dua kali, sekali di tempat kecelakaandan sekali lagi di meja operasi. Untung kami berhasil mengembalikan
denyutnya. Keadaannya sangat parah dan sekarang dia masih dalam
keadaan koma. Saya akan jujur saja. Mungkin dia tidak akan berhasil
melewati malam ini. Kami sudah melakukan yang terbaik, dan
sekarang kita hanya bisa menunggu dan berharap."
"Anakku! Anakku!" ratap Ida, ibunya. "Jangan biarkan dia
meninggal, dokter. Dia masih begitu muda."
Vanessa ingin meraihnya dan mengatakan kepada keluarganya
agar jangan menangis, dan bahwa dia akan sembuh kembali. Tapi dia
tak mampu melakukan apa-apa, kecuali melayang-layang di udara,
tanpa seorang pun melihatnya, dan memperhatikan keadaan di situ.
"Coba aku tidak membelikannya sepeda itu," tangis ayahnya,
Henry. "Pasti dia tidak akan pergi jauh dari rumah dan belajar
bersepeda dulu sebelum ke jalan besar."
"Jangan salahkan dirimu," kata Ida. "Tak ada gunanya."
Tamika dan Latoya saling menatap dengan diam. "Kalau
seandainya dia sembuh kembali, apakah dia bisa main lompat tali
lagi?" tanya Tamika. "Maksudku, untuk usia dia, dialah yang terbaik.
Tak seorang pun bisa melakukan lompat tali ganda sebaik Vanessa."
Tamika mulai menangis. "Dan siapa nanti yang mengurus Bart?
Kucing itu tidak menyukai kita semua, kecuali Vanessa. Ingat tidak,
waktu Vanessa menemukan kucing itu di gang? Bart cuma tulang
terbungkus kulit, mana penuh kutu lagi. Ayah pun tak mau kucing itu
dibawa pulang. Vanessa memberinya makan dan membelainya di
tempat tidur, dan cepat-cepat bangun sebelum Ayah bangun untuk
membawanya ke luar.""Aku tak tahu apa yang harus kulakukan tanpa Vanessa," kata
Latoya, suaranya parau karena menangis. "Aku teringat malam-malam
di mana kami saling menakut-nakuti dengan cerita hantu. Aku tak bisa
membalasnya karena dia selalu membuatkan roti keju dan selai yang
lezat. Dan siapa lagi yang bisa kubuat cekikikan di gereja?
Dia selalu tertawa kalau aku mengatakan apa saja. Vanessa tak
boleh meninggal, tak boleh!" Latoya menutup mulut dengan kedua
tangannya. "Bagaimana kalau dia meninggal tanpa tahu kebenaran
tentang sweater-nya? Aku diam-diam meminjamnya, meskipun dia
bilang jangan, lalu terjadilah noda itu karena tertumpah sari anggur."


Aneh Tapi Nyata Spooky Kids Karya Bruce Nash And Allan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku juga harus mengakui satu kesalahan," kata Tamika.
"Akulah yang memecahkan kotak musiknya, bukan kucing itu, seperti
yang kukatakan pada dia."
Seorang perawat membawa sebuah amplop besar mendatangi
ibunya. "Nyonya Simpson, ini barang-barang Vanessa."
Di atas sofa ruang tunggu, Ida mengeluarkan isi amplop itu ?
dua buah jepitan rambut, sepasang anting-anting, kalung emas yang
diperoleh Vanessa dari neneknya pada hari ulang tahunnya yang ke
delapan, delapan puluh tujuh sen sebagai uang kembalian jajan,
sebuah gelang mainan pemberian temannya, dan sebuah arloji yang
mati pada pukul 10.38 ? tepat waktu terjadinya kecelakaan. "Henry,
apakah dia tidak akan pernah memakai barang-barang ini lagi?" Lalu
Ida roboh dalam pelukan suaminya sambil menangis tersedu-sedu.
Seandainya saja Vanessa bisa berkomunikasi dengan
keluarganya. Seandainya saja ia bisa memeluk mereka dan
mengatakan bahwa ia merasa tenang dan agar mereka tetap tabah.
Tapi dia tak berdaya. Vanessa berusaha sekuat tenaganya, namun diatak mampu menghubungi mereka. Namun dia berharap, bahwa
mungkin dengan keberadaannya di sana, mereka merasa lebih baik
daripada kalau dia tidak ada sama sekali.
Tiba-tiba semuanya terasa gelap bagi Vanessa. Dia tidak
melayang-layang lagi. Sebaliknya, kekuatan itu telah
mengembalikannya ke dalam tubuhnya yang fana. Akhirnya, Vanessa
mulai bermimpi tentang saat-saat terakhir sebelum terjadinya
kecelakaan: burung ketilang dan bajing... mobil pickup yang
membunyikan klakson... pedal sepeda yang diinjak ke belakang...
tabrakan itu... jeritan- jeritan... rasa sakit.
Semua rasa sakit itu bersatu ? menusuk, perih, dan nyeri ?
mendera tubuh Vanessa. Hanya kini semua itu bukan mimpi. Dia bisa
merasakan jarum infus di lengannya, tabung yang melalui
tenggorokannya, dan oksigen yang dialirkan melalui hidungnya. Dia
mengerang.
"Kau dengar itu, Henry?" tanya Ida terkejut. "Aku mendengar
dia mengerang. Coba dengar."
Vanessa mengerang kembali. "Sayangku, kau bisa mendengar
Ibu?" tanya ibunya, sambil meremas tangan putrinya. Vanessa
membalas remasan itu lemah dan mencoba mengeluh "uh-huh."
"Terima kasih Tuhan, dia sudah sadar dari komanya!" teriak
Ida. "Panggil dokter!"
Vanessa berada dalam keadaan koma hampir seharian. Tetapi
dengan proses penyembuhan yang sangat mengherankan para dokter,
Vanessa mulai bernapas dan minum sendiri dalam waktu empat hari
setelah terjadinya kecelakaan itu. Tak ada tanda-tanda cedera yang
menetap pada otaknya."Kamu gadis yang hebat sekali," kata Dr. Stein kepadanya.
"Semangat hidupmu besar sekali."
"Dokter kira saya tidak kuat, ya?" sahut Vanessa. "Saya
mendengar dokter mengatakan pada dokter yang lain itu, saya hanya
punya kemungkinan sepuluh persen untuk hidup."
"Kapan kamu mendengarnya?"
"Waktu dokter dan dia sedang berjalan ke ruang tunggu setelah
mengoperasi saya."
"Bagaimana kamu bisa tahu? Kamu kan masih di ruang
operasi?"
"Saya sedang melayang-layang di luar tubuh saya, Dr. Stein.
Saya bisa melihat dan mendengar segala sesuatu selama dan sesudah
operasi. Dokter sedang memompa jantungku dan berhasil
menghidupkannya lagi. Saya melihat dokter mengoperasi saya, dan
kelihatannya cukup mengerikan."
"Nak, kamu bicara apa, sih?" tanya ibu Vanessa. "Cedera di
kepalamu itu membuat kau bicara ngawur."
"Tidak, Bu Simpson, biarkan dia bicara," kata Dr. Stein.
"Vanessa bukanlah pasien pertama saya yang bicara tentang
pengalaman keluar dari tubuhnya. Apa saja yang kamu lihat,
Vanessa?"
"Yah, saya lihat seorang perawat menabrak nampan berisi
peralatan dan dia menyebut dirinya bego. Lalu dokter harus berhenti
di tengah operasi karena ada masalah dengan lensa kontak dokter."
"Kamu benar sekali," kata dokter itu.
"Mungkin dia mendengar nampan itu terjatuh dan mendengar
dokter bicara tentang lensa kontak itu," kata ayah Vanessa, yang tidakpercaya akan kisah putrinya yang luar biasa tentang pengalamannya
keluar dari tubuh dan melayang-layang di udara.
"Mungkin Anda benar, Pak Simpson," kata Dr. Stein. "Tapi
kenapa... Coba teruskan, Vanessa."
Anak itu menceritakan tentang lorong berkabut perak dan
cahaya terang di ujungnya, yang membuat kedua orangtuanya
menggeleng-gelengkan kepala karena bingung. "Pasti itu pengaruh
obat-obat," kata ayah Vanessa. "Mungkin dia memimpikan semua itu
selama koma."
"Memang betul, Yah," tegas Vanessa. "Saya melihat kalian di
ruang tunggu. Ayah menyesali diri karena membelikan sepeda itu
untukku, dan Ibu menangis keras setelah perawat memberikan amplop
berisi barang-barangku. Ibu juga bertanya-tanya apakah saya akan
bisa memakai semua barang-barang itu lagi."
Ketika Vanessa selesai menceritakan apa yang dilihat dan
didengarnya di ruang tunggu, orangtuanya menjadi tercengang.
"Dokter," kata Pak Simpson, "kalau semua ini benar, tolong berikan
obat untuk menenangkan sarafku."
"Terserah, apakah Anda percaya atau tidak, cerita anak ini
bukan sesuatu yang luar biasa," kata Dr. Stein. "Banyak orang yang
hampir meninggal sanggup menceritakan secara rinci mengenai
operasi mereka. Mereka menceritakan tentang hal-hal yang mereka
lihat dan dengar, meskipun mereka sedang tidak sadar pada saat itu,
kehilangan semua tanda-tanda hidup, dan secara klinis telah mati
seperti Vanessa."
"Tapi," kata Ida Simpson, "ini kelihatannya benar-benar...""Sulit dipercaya?" sambung Dr. Stein. "Saya memang tidak
akan menjelaskan pengalaman-pengalaman ini. Saya hanya akan
menerimanya saja. Bagaimanapun juga, ilmu pengetahuan akan cepat
kehilangan maknanya jika tidak ada jawaban yang tersedia."
Tak lama setelah dokter itu pergi, Latoya dan Tamika masuk ke
kamar Vanessa untuk menengoknya, sementara ayah dan ibu mereka
pergi makan. "Apa ada sesuatu yang bisa kami lakukan, Vanessa?"
tanya Tamika.
"Iya," sahut Vanessa sambil tersenyum. "Kamu bisa
membelikan kotak musik yang baru untukku. Dan Latoya, mulai
sekarang, aku boleh meminjam sweater-mu yang mana saja kalau aku
mau!"KERETA API MAUT
Suara beradunya besi... perasaan tercebur ke dalam air... dan di
mana-mana suara erangan, ratapan, dan isak tangis.
Selama dua malam berturut-turut, bayangan dan bunyi-bunyi
yang mengerikan itu menjadi mimpi buruk bagi Marco Martinez,
bocah lelaki berusia dua belas tahun. Ia tak mengerti apa artinya ?
sampai hampir saja terlambat.
**********
Biasanya, bocah lelaki periang berambut gelap yang duduk di
kelas lima itu sangat senang bila diajak pergi neneknya naik kereta api
ke negara bagian lain. Tetapi waktu dia menaiki kereta api di Los
Angeles pada hari Minggu malam untuk pergi ke New York City
selama tiga hari, Marco merasa sangat ketakutan. Entah mengapa.
Dia tak berani mengatakan apa pun pada Abuelita?begitulah
panggilannya pada neneknya ? karena neneknya itu menggunakan
sebagian uang asuransi kakeknya yang belum lama berselang
meninggal untuk mengongkosi perjalanan mereka. Wanita itu ingin
agar cucunya yang sulung melihat betapa indahnya pemandangan
benua Amerika yang selalu berganti-ganti alamnya dengan naik kereta
api. Dia juga ingin agar Marco berkenalan dengan keluarga mereka di
New York yang belum pernah ditemuinya.Tak banyak yang dapat mereka lihat di malam hari setelah
kereta api berangkat dari Los Angeles dan menyusuri jalan ke arah
timur. Jadi Marco dan neneknya memundurkan kursi mereka ke
belakang untuk tidur.
Lagi-lagi Marco mendapat mimpi mengerikan itu?bunyi
beradunya besi, suara tercebur, dan jeritan ketakutan. Namun kali ini,
mimpi yang menakutkan itu bertambah satu hal lagi ? orang-orang
yang tenggelam. Mimpi seram itu terasa begitu nyata, hingga Marco
berteriak sangat keras dan terbangun sendiri.
"Marco! Ada apa?" tanya neneknya yang terkejut.
"Abuelita, saya mimpi seram sekali. Sungguh mengerikan."
"Mungkin karena makanan buruk yang kita makan di stasiun
tadi," kata neneknya sambil meringis.
"Tidak, Abuelita, mimpi seram ini sudah ada sebelumnya.
Betul, saya sudah memimpikannya selama dua malam berturut-turut.
Dan saya merasa ngeri dalam perjalanan ini. Apa Nenek pikir ada
hubungannya?"
Wanita tua itu membelai rambut Marco yang tebal dan berkata,
"Tidak apa-apa. Kita semua sering bermimpi seram. Sudah, lupakan
saja. Eh, lihat. Kamu lihat bulan muncul dari balik pegunungan itu?
Bagus sekali, ya?"
Marco ingin menghilangkan semua bayangan mimpinya yang
seram dan menakutkan itu dari pikirannya. Tetapi sia-sia ? apalagi
sesudah apa yang didengarnya esok paginya di gerbong makan. Ia
melirik cepat ke cowok ceking yang berusia sekitar enam belas tahun,
dan duduk di belakangnya itu. Cowok itu berbicara dengan suaraparau tapi penuh semangat. Tangannya bergerak-gerak lincah saat ia
bicara dengan orangtuanya.
"Duh, mimpi itu rasanya seperti benar-benar terjadi. Maksudku,
banyak orang tewas dan sebagainya. Mereka terperangkap di dalam
gerbong kereta dan berusaha mencari jalan ke luar, sementara air naik
makin lama makin tinggi. Tak lama kemudian air sudah menggenangi
sampai ke leher orang-orang, lalu saya tidak melihat atau mendengar
apa-apa lagi. Ngeri nggak, sih?"
Dia mimpi sama seperti aku! pikir Marco. Aku harus bicara
dengan dia!
Tak lama sesudah sarapan, Marco mengikuti cowok itu ke
gerbong tempat orang-orang duduk dengan santai, di mana banyak
orang bermain kartu. "Saya suka, deh, T-shirt Metallica-mu," kata
Marco.
"Terima kasih," sahut cowok itu. "Mereka memang grup yang
hebat."
"Namaku Marco Martinez."
"Hai, aku Justin Thomas. Mau ke mana, kamu?"
"New York. Kamu?"
"Sama."
"Eh, Justin, aku tak tahu gimana mengatakannya, tapi aku tak
sengaja mendengar pembicaraanmu tadi pagi waktu sarapan. Kamu
bicara tentang mimpi. Apa benar, kamu mimpi tentang orang-orang
yang tenggelam?"
"Yeah, memangnya kenapa?" Kelihatannya Justin agak kesal
karena pembicaraan dengan orangtuanya didengar orang lain."Saya mimpi seram seperti itu juga ? tadi malam dan dua
malam sebelumnya."
"Masa, ya? Gila!" Justin mendorongnya ke samping dan
berbisik, "Pernah dengar tentang clairvoyance, nggak?"
"Belum," sahut Marco.
"Artinya, meramalkan masa depan. Apa kamu pernah mimpi
yang jadi kenyataan?"
"Aku mimpi Dodgers akan menang dalam Kompetisi Dunia
tahun 1988, dan mimpiku itu malahan sebelum pertandingan
seleksinya dimulai. Ternyata mereka memang menang."
"Bukan itu, tapi mimpi tentang kecelakaan mobil atau pesawat
sebelum benar-benar terjadi," kata Justin. "Aku hampir tak pernah
ingat akan mimpi-mimpiku, tapi kalau ada yang kuingat, pasti ada
malapetaka. Pernah aku mimpi, aku berada di dalam sebuah peti
besar, dan sebuah tangan besar mengguncangnya keras sekali.
Esoknya, terjadi gempa bumi."
Mata Marco menatapnya dan ia berkata, "Aku juga pernah
mimpi berjalan melalui rumah temanku Jose Cabrerra, tapi
pemandangannya hitam dan berasap, dan semua orang menangis.
Percaya nggak, rumahnya terbakar beberapa hari kemudian."
"Coba dengar yang ini," kata Justin, suaranya penuh semangat.
"Aku sedang naik mobil bersama teman-temanku dan duduk di kursi
belakang, waktu aku melihat ? seperti persis dalam pikiranku ?
sebuah mesin giling menderu dari atas bukit dan menghantam mobil
kami. Tak sampai dua menit kemudian, kami sampai di sebuah
belokan dan di situ ada sebuah mobil yang hancur ditabrak mesin
giling. Duh, ngeri nggak, sih?""Mimpi tentang kereta api tadi, apa berarti bahwa kita adalah
clair... clair..."
"Clairvoyant. Mungkin juga. Mungkin mimpi-mimpi ini
mencoba mengatakan sesuatu pada kita. Tapi entah apa. Hei, kalau
kamu mimpi seram lagi, bilang-bilang ya? Aku juga akan cerita sama
kamu."
**********
Waktu makan siang, Marco dan neneknya duduk semeja dengan
sepasang suami-istri tua, keluarga Lansing, yang akan kembali ke
rumah mereka di New York. Meskipun mereka sangat ramah dan
menyenangkan, namun Marco mula-mula tidak begitu memperhatikan
mereka. Dia hanya tersenyum dan menjawab pertanyaan mereka
dengan sopan, tetapi pikirannya melayang jauh, entah ke mana ? ke
mimpinya yang seram dan pembicaraannya dengan Justin. Tetapi
kemudian Marco mendapat suatu perasaan yang kuat terhadap
keluarga Lansing. Perasaan teror dan kematian. Rasanya seakan-akan
menggantung di atas mereka seperti awan yang tebal.
Setelah suami-istri Lansing itu pergi, Marco menggenggam
tangan neneknya kuat-kuat dan berkata, "Abuelita, saya merasa
sesuatu yang mengerikan akan terjadi pada mereka... pada kereta ini...
dan pada kita. Saya benar-benar merasa bingung dan tidak bisa
berpikir lagi." Lalu ia menceritakan tentang bayangan kematian yang
dirasakannya pada keluarga Lansing dan tentang mimpi seram Justin.
"Jadi, kamu sekarang mau apa?" tanya neneknya yang mulai
kesal. "Aku sudah menghabiskan banyak uang supaya kamu bisa ikut
denganku ke New York dan melihat negara bagian lain, dan kamu
terus saja ribut tentang mimpi seram. Kamu akan menyesal kalautidak bisa menikmati perjalanan ini. Nah, sekarang jangan bicarakan
itu lagi. Kamu merusak kesenangan kita saja."
Tengah malam, Marco mendapat mimpi yang mengerikan lagi.
Kali ini lebih detil, lebih nyata: para penumpang terpelanting dari
tempat duduk mereka... gerbong kereta jatuh dari atas jembatan ke
dalam air dan tenggelam... jeritan orang-orang yang cedera... teriakan
minta tolong. "Kita semua akan mati!"
"Tolong! Aku tenggelam!"
Sambil membalik-balik tubuhnya dengan gelisah, Marco
berteriak "Tidaaak!" begitu kerasnya, hingga ia membangunkan
beberapa penumpang lain, termasuk dirinya.
"Marco, apa kamu mimpi seram lagi?" tanya neneknya
khawatir.
"Oh, Abuelita, yang ini malah lebih seram lagi. Sudah pasti
kereta ini! Akan terjadi kecelakaan, dan orang-orang di gerbong ini
akan tewas! Aku yakin, aku yakin benar."
"Dari mana kamu mendapat ide gila itu? Dari anak lelaki yang
kamu temui kemarin itu? Jangan bergaul lagi dengan dia. Dia
mempengaruhi kamu dengan pikiran-pikiran yang gila. Kuminta,
jangan melalukannya lagi. Kamu membuatku jadi gila."
Esok paginya, waktu Marco berjalan menuju ke gerbong makan
dengan neneknya, Marco menyelipkan sebuah catatan kepada Justin,
yang baru terbangun. "Temui aku jam delapan di gerbong paling
belakang," bunyi catatan itu.


Aneh Tapi Nyata Spooky Kids Karya Bruce Nash And Allan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

***********
Saat Justin berjalan ke gerbong paling belakang, Marco dengan
bersemangat berkata, "Aku mimpi seram lagi tadi malam. Kereta apiitu jatuh dari jembatan, dan orang-orang tercebur ke air dan berteriakteriak meminta tolong."
"Eh, aku jadi benar-benar ngeri," kata Justin, matanya
membelalak. "Mimpiku juga hampir serupa! Aku menceritakannya
kepada orangtuaku dan mereka bilang aku terlalu berkhayal. Aneh
sekali rasanya. Apa kamu ada ide kapan atau di mana kecelakaan ini
bakal terjadi?"
"Suasananya gelap dalam mimpiku," sahut Marco. "Yang aku
ingat, ada banyak kapal-kapal besar di dekat situ."
"Mungkin suatu pelabuhan."
"Apa yang bisa kita lakukan?" tanya Marco.
"Konduktur pasti tidak akan berbuat apa-apa, jadi percuma kita
bicara padanya," jawab Justin. "Kalau kita tarik rem darurat juga tidak
baik. Apa yang akan kita lakukan pasti akan menyusahkan kita
sendiri. Lagi pula, kita tidak tahu kapan harus menarik rem
daruratnya. Sepuluh menit lagi? Atau sepuluh jam lagi? Kereta akan
berhenti, mereka akan tahu kita yang melakukannya, kita bakal jadi
susah, lalu kereta akan berjalan lagi." Justin mengangkat kedua
tangannya tanda menyerah lalu menambahkan, "Ada satu hal yang
perlu dipertimbangkan."
"Apa itu?"
"Mungkin kita keliru."
Tetapi Marco yakin akan sebaliknya. Setelah Justin pergi,
Marco memperhatikan peta rute kereta api itu dan berusaha
memperkirakan tempat yang paling mungkin terjadinya kecelakaan
berdasarkan mimpinya dan mimpi Justin. Satu-satunya pelabuhan
yang akan mereka lewati adalah antara Philadelphia dan New YorkCity. Jadi itu berarti kecelakaan akan terjadi nanti malam di suatu
tempat antara kedua kota itu! pikir Marco.
Ia berlari kembali ke gerbongnya dan membisikkan teorinya
kepada Justin, yang menatapnya dengan aneh. "Eh, kamu percaya
nggak," kata Justin, sambil melirik dengan gugup pada kedua
orangtuanya yang duduk di sebelahnya. "Aku cuma bercanda sama
kamu. Aku cuma ngarang tentang mimpi-mimpi itu. Asal tahu saja."
"Tapi aku dengar kamu bicara dengan orangtuamu."
"Aku cuma bercanda. Dan kamu ternyata percaya, jadi aku juga
cuma main-main sama kamu. Karena sudah terlanjur, aku teruskan
saja lelucon ini. Biar kamu tarik rem daruratnya sekalian. Eh,
ngomong-ngomong jadi nggak, mau tarik remnya?"
"Pengecut kamu!"
"Maaf, ya? Jangan marah, dong. Tak bakalan terjadi
kecelakaan, deh."
Marco pergi dengan rasa mendongkol. Satu-satunya orang yang
percaya akan mimpinya ternyata seorang pengecut. Bego! Dasar anak
bego dan pengecut, pikirnya. Sekarang tak ada seorang pun yang
percaya padaku.
**********
Setiap menit berarti kereta maju satu mil lebih dekat ke
Philadelphia. Marco menatap ke luar jendela dengan pandangan suram
saat kereta melewati Pittsburgh dan melalui perbukitan bagian barat
Philadelphia. Aku harus mencari akal, pikir Marco. Perhentian
berikutnya adalah Harrisburg, lalu Philadelphia. Kalau aku tak bisa
menyelamatkan orang-orang dari kereta ini, paling tidak aku bisa
menyelamatkan Abuelita dan diriku sendiri. Tapi bagaimana caranya?Aku bisa berpura-pura sakit. Yah, itu dia! Yeah, jadi dia akan
menurunkan aku dari kereta.
"Oh, Abuelita, rasanya aku tak enak badan."
"Ada apa, Marco?"
"Perutku. Perutku sakit sekali."
"Kamu sih, tidak makan siang tadi. Lagi pula sarapanmu sedikit
sekali. Makanya kamu jadi sakit perut."
"Bukan, sakitnya lebih dari itu. Ohhh," ia mengerang. Marco
menahan perutnya sebelah kiri. "Barangkali usus buntuku."
"Pasti bukan usus buntu."
"Bagaimana Abuelita tahu?"
"Karena usus buntu adanya di sebelah kanan. Marco Luis
Torres Martinez, saya kenal kamu sejak pertama kali kamu menarik
napas, dan aku belum pernah dengar kau berbohong padaku. Coba
katakan dengan jujur, apa kamu benar-benar sakit?"
Waktu Marco kebingungan, neneknya mendesis, "Jangan kamu
main-main lagi." Neneknya menggaruk mukanya dengan bingung dan
mendesah. "Kamu dan cowok di belakang itu," katanya sambil
menunjuk Justin yang berada di bagian belakang gerbong.
"Orangtuanya juga kesal padanya, tahu. Aku dengar mereka juga
menyuruhnya menghentikan ocehannya tentang kecelakaan kereta.
Marco, aku tak tahu apa yang mesti aku lakukan dengan kamu.
Mungkin kita akan turun di perhentian berikutnya supaya aku bisa
menyuruhmu kembali ke Los Angeles."
"Ya, ya, betul. Tapi hanya kalau Abuelita turun bersama-sama.
Tinggalkan kereta ini, karena akan terjadi kecelakaan nanti malam
menjelang Philadelphia.""Apa aku mesti dengar omongan seorang anak yang takut
diracuni tetangga dan berlari pulang dengan panik hanya sejauh empat
rumah pada malam Halloween?"
"Tapi kan umurku baru sembilan tahun waktu itu."
"Dan aku mesti percaya pada anak yang menelepon 911 untuk
melaporkan adanya UFO!"
"Orang-orang lain juga melihatnya."
"Kita tidak akan turun dari kereta ini sebelum sampai di New
York. Dengar?"
Tak lama kemudian, kereta api meninggalkan Harrisburg dan
menuju ke Philadelphia. Marco menggoyang-goyangkan kakinya
dengan gugup. Kepalanya berdenyut-denyut karena khawatir. Ia
meremas-remas tangannya, berusaha meredam rasa gugupnya yang
semakin memuncak. Ia tak tahan lagi. Ia berjalan mondar-mandir di
lorong kereta, merasakan getaran-getaran psikis kematian dan
penderitaan. Ia mulai membayangkan horor yang akan menimpa para
penumpang di dekatnya yang akan segera terjadi. Tak lama lagi.
"Perhentian berikutnya, Philadelphia, Kota Kasih
Persaudaraan!" terdengar konduktur mengumumkan dari pengeras
suara saat kereta memasuki stasiun dan berhenti. Ini dia, pikir Marco.
Ini kesempatan terakhir. Apa aku akan tinggal bersama Abuelita?
Bagaimana kalau aku keliru ? Bagaimana kalau tidak terjadi
kecelakaan? Bagaimana tentang mimpi-mimpi itu? Aku tak mau mati.
"Penumpang diharap naik semua!"
Apa akibat paling buruk kalau aku turun dari kereta sekarang?
Tapi Abuelita juga harus ikut ? dia harus turun ? dan ikut
denganku. Dia akan berteriak dan marah-marah, dan Ibu akanmelarang aku ke mana-mana lagi sampai tamat SMU. Apa yang akan
menimpaku kalau aku tinggal di atas kereta? Aku bisa mati!
"Abuelita, aku akan turun!" kata Marco. Lalu ia mengambil
tasnya dan kopor neneknya dari rak di atas dan berjalan ke pintu.
"Marco Luis! Cepat kembali!" perintah neneknya.
"Tidak!" Dengan membawa barang-barang mereka, Marco
berdiri di lorong. "Abuelita, ayo cepat, cepat!" Kemudian Marco
melompat dari kereta dan melemparkan barang-barang mereka ke
peron. Neneknya berlari ke pintu dengan terperanjat dan marah.
"Marco, apa yang kamu lakukan? Apa kamu main-main? Cepat,
kembali ke sini!"
"Aku tidak mau naik lagi. Abuelita yang harus turun." Peluit
kereta berbunyi, kereta mulai bergerak perlahan ke luar stasiun.
"Abuelita! Turun! Cepat!"
Dengan napas terengah-engah, neneknya yang kebingungan
melangkah ke tangga. Marco menangkapnya dan membawanya
dengan selamat ke atas peron. Waktu kereta berjalan perlahan
meninggalkan stasiun, Marco memperhatikannya dan melihat Justin
menatapnya sambil melambai dengan enggan.
Sekarang Marco harus menghadapi neneknya yang marahmarah dan sudah pasti akan memaki-makinya. "Kamu senang
sekarang? Kamu puas dengan kelakuanmu? Kamu sadar, apa yang
kamu lakukan? Kamu membuat perjalanan kita jadi kacau. Aku marah
sekali sama kamu. Tunggu sampai ibumu tahu. Aku tidak tahu apa
yang merasuki pikiranmu, tapi begitu kita sampai di rumah, sebaiknya
kamu ke psikiater."
Ya ampun, pikir Marco, apa yang telah kulakukan?**********
"Sejumlah orang yang belum diketahui pasti jumlahnya
dikabarkan tewas pagi ini setelah sebuah kereta penumpang terjungkal
dari jembatan yang melintas di atas sungai menuju Newark Bay dekat
Bayonne, New Jersey, tadi malam."
Berita di televisi yang didengar Abuelita pagi itu dari kamar
hotelnya di Philadelphia membuat wanita itu dan cucunya gemetar.
"Rentang jembatan gantung itu baru saja dibuka karena sebuah
kapal akan lewat di bawahnya. Karena sebab yang belum dapat
dijelaskan pihak yang berwenang, kereta melintas melewati tanda
peringatan untuk berhenti. Lokomotip dan tiga dari delapan gerbong
penumpang tercebur masuk ke sungai sedalam kira-kira empat puluh
kaki. Laporan sementara mengabarkan, lebih dari empat puluh
penumpang hilang dan diduga tenggelam. Regu penyelamat masih
terus berusaha mencari para korban."
Abuelita jatuh berlutut dan meratap. Ia memukul-mukul lantai
sambil berteriak, menangis dan berdoa.
Marco, yang masih berada di tempat tidurnya, langsung
terduduk dan tidak dapat berkata-kata. Lengan dan kakinya terasa
lemas seakan-akan lumpuh karena syok. Ini hanya mimpi, pikirnya.
Pasti aku mimpi buruk lagi. Pikirannya terlalu kebas karena takut
untuk memahami apa yang dilihat dan didengarnya di TV. Tubuhnya
gemetar karena emosi ? sedih merasakan penderitaan para korban
dan lega karena mimpinya telah menyelamatkan nyawa neneknya dan
dirinya sendiri. Kemudian tangisnya meledak.
"Kami akan menuju ke tempat lokasi di Dawn Farrell untuk
bicara dengan salah seorang penumpang yang selamat." Di TV,seorang reporter menyodorkan mikropon kepada seorang lelaki remaja
yang kelihatannya masih terguncang dengan pakaian basah kuyup dan
tanpa sepatu. "Siapa nama Anda?" tanya si reporter.
"Justin Thomas."
Cepat-cepat Marco menghapus air matanya agar ia bisa melihat
temannya lebih jelas.
"Bisa Anda ceritakan apa yang terjadi?" tanya reporter itu.
"Saya mendengar beradunya besi-besi. Lalu saya terpelanting
dari kursi, dan kereta tercebur ke dalam air. Di mana-mana terdengar
jeritan, lalu gerbong mulai terendam air. Orang-orang berteriak, 'Kita
akan mati semua!' dan hal-hal semacam itu. Orangtuaku dan aku
menolong beberapa penumpang keluar dari pintu darurat belakang.
Lalu kami melompat ke dalam air yang penuh minyak. Kami berenang
ke pinggir dan naik ke tanah yang becek. Aku berenang kembali ke
kereta dan mengambil taplak-taplak meja dari gerbong makan, yang
kami pakai untuk membalut luka-luka."
Sambil menggelengkan kepalanya tak percaya, Marco berkata,
"Semua yang kuimpikan menjadi kenyataan, Abuelita!"
Saat itu Abuelita telah bangun dari lantai. Marco melompat
bangun dari tempat tidurnya, meskipun kakinya masih terasa lemas
dan limbung karena emosi yang dirasakannya. "Bagaimana mungkin
aku bisa meragukan kamu, Marco?" kata neneknya, sambil bercucuran
air mata. "Kamu benar, kamu benar sekali. Kamu dan mimpimu telah
menyelamatkan kita!"MAUT DI BAWAH POHON MAPLE
Saat berjalan di bawah pohon Maple itu, Jodi merasakan suatu
bayangan kematian. Ia menghentikan langkahnya, meraih tangan
pacarnya dan berkata, "Di sini telah terjadi pembunuhan.
Pembunuhnya berdarah dingin!"
"Jangan-jangan bakat psikismu muncul lagi," gumam pacar Jodi
tak percaya.
"Terserah apa yang kau katakan, tapi aku merasa ada dua orang
yang telah dibunuh di sini, persis di bawah pohon ini."
Jodi menjadi andalan terakhir polisi setempat untuk
mengungkapkan sebuah misteri gelap yang belum terpecahkan selama
lebih dari dua puluh tahun.
*********
Gadis berusia lima belas tahun bermata cokelat besar dan
berambut hitam panjang itu pertama kali menunjukkan bakat
psikisnya waktu ia berusia sepuluh tahun. Ia menyadari, bahwa kalau
ia berkonsentrasi pada suatu benda yang dipegangnya, maka ia akan
melihat "bayangan gambar-gambar kecil seperti videotape yang
dipercepat." Penglihatan itu mengungkapkan hal-hal mengenai
pemilik barang itu.Mula-mula, keluarganya mengira penglihatan itu cuma suatu
khayalannya yang aktif saja. Tapi kemudian mereka mulai percaya
pada kemampuan psikis Jody waktu mereka menyadari bahwa hampir
semua hal yang dikatakannya ternyata benar. Sekali waktu, Jodi
membuat mereka tercengang waktu ia memegang cincin Bibi Emily di
tangannya dan berkata, "Bibi punya suatu rahasia yang belum
diketahui siapa pun. Apa Bibi mau aku mengatakannya?" Waktu
bibinya mengangguk, Jodi berkata, "Bibi akan punya bayi!" Emily
merona dan mengakui pada keluarganya bahwa dia sedang hamil.
Pada peristiwa lain, ketika Jodi sedang meminjam bolpen Jeff,
sepupunya yang lebih tua, Jodi berkata, "Kamu punya rencana untuk
lari dengan Becky dan menikah dengan dia tanpa sepengetahuan
siapa-siapa, benar kan?" Dia mengakui hal itu, meminta Jodi
bersumpah untuk merahasiakannya, lalu kabur seminggu kemudian.
Waktu Jodi masuk SMU di sebuah kota kecil di Missouri, ia
mulai mempraktekkan bakat psikisnya pada teman-teman sekelasnya.
Jodi akan memegang sebuah benda, misalnya cincin, gelang, atau
sweater dan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti, "Apa sebaiknya
aku berkencan dengan Steve?"
"Apakah Jenna menyukai aku?"
"Apakah Shannon dan aku akan putus?" Jodi menjadi semacam
'penasihat konsultasi' di sekolahnya.
Reputasinya makin menyebar ke luar sekolah, dan tak lama
kemudian orang-orang dewasa mulai menanyakannya macam-macam,
mulai dari binatang kesayangan mereka yang hilang, sampai ramalan
masa depan. Meskipun Jodi bisa meminta uang untuk itu, namun ia
tak pernah melakukannya. Ia hanya melakukan semua itu dengan sukarela. "Aku takut, kalau aku meminta uang untuk bakat yang
dikaruniakan padaku, aku akan kehilangan kemampuan itu," katanya
pada pacarnya, Ray Warren.
Hari Sabtu itu, Ray baru saja mendapat SIM-nya, dan mereka
berdua ke luar kota untuk menikmati makan siang bersama. Daundaun musim gugur yang berwarna keemasan, merah, kuning dan
oranye berjatuhan ke tanah saat mereka berhenti di sebuah perbukitan
yang terbuka.
"Indah sekali hari ini," kata Ray. "Matahari bersinar, daun-daun
berguguran... dan aku bersama kamu."
"Oh, Ray, kamu baik sekali," kata Jodi sambil meremas tangan
cowok itu. Sambil menunjuk ke puncak bukit yang hijau itu, ia
berkata, "Kupikir tempat itu bagus untuk tempat piknik kita."
Setelah berjalan beberapa puluh meter, mereka melewati sebuah
pohon maple yang teduh dan berdiri sendiri, jauh dari pohon-pohon
lainnya, waktu Jodi tiba-tiba berhenti dan terengah-engah. Dalam
bayangannya, ia melihat beberapa kilasan yang mengerikan: wajah
seorang remaja lelaki yang sangat ketakutan... jeritan seorang gadis
remaja... pandangan penuh kebencian seorang lelaki gila... bunyi
beberapa letusan senjata api.
"Ada apa, Jodi?"
Jodi gemetar. "Oh, Ray, aku melihat hal-hal yang begitu
mengerikan." Lalu ia menceritakan apa yang baru saja dilihatnya.
"Kasihan anak-anak itu," katanya dengan sedih. "Mereka dibunuh."


Aneh Tapi Nyata Spooky Kids Karya Bruce Nash And Allan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Wah, coba berhenti dulu sebentar, Jodi. Tidak ada
pembunuhan di sekitar sini, sebab kalau ada, kita pasti sudahmendengarnya. Lagi pula, tak ada tanda-tanda bekas penembakan di
sini."
"Aku merasa kejadian itu sudah berlangsung lama sekali. Ray,
bukankah pamanmu seorang detektif polisi? Mungkin dia tahu sesuatu
tentang pembunuhan itu."
"Mungkin juga," kata Ray. "Atau jangan-jangan kamu terlalu
berkhayal gara-gara habis nonton video Nightmare on Elm Street
malam Jum'at lalu.
"Kuharap apa yang kau katakan benar," sahut Jodi.
"Kita lihat saja nanti. Tapi sekarang, aku mau makan dulu.
Perutku lapar sekali."
***********
"Memang benar, Ray, pernah terjadi pembunuhan atas dua
remaja di daerah ini. Kejadiannya tahun 1970-an. Coba aku cari
arsipnya, kalau masih ada."
Ray menelan ludah dan menjatuhkan dirinya di kursi, sementara
pamannya Richard Riley yang bekerja sebagai detektif di kepolisian
daerah itu, membongkar arsip di bagian bawah lemari kabinetnya.
"Nah, ini dia," kata Riley, mengeluarkan sebuah map yang sudah
usang. "Satu-satunya perkara yang belum terungkap oleh polisi."
Riley membuka map itu. "Sandra Dahlgren dan pacarnya Duane
Peterson. Gadis itu berusia enam belas dan cowoknya delapan belas
tahun. Kejadiannya tanggal 15 Oktober 1972. Waktu itu aku masih
asisten. Suatu tragedi yang keji dan tak berperikemanusiaan.
Keduanya ditembak, dan tubuh mereka dilempar ke Simmons Creek,
di selatan kota. Mobil mereka tak pernah ditemukan."
"Apakah ada tersangka?""Tidak. Tak ada saksi mata, tidak ditemukan senjata, tidak ada
apa-apa. Tidak ada petunjuk apa pun. Kami sudah mewawancarai
orang-orang yang kira-kira tahu dan bisa dimintai tolong, dan
meminta bantuan agen-agen badan lain untuk ikut mengungkap
perkara ini. Tapi hasilnya nol besar. Tampaknya kami menghadapi
jalan buntu. Mereka anak-anak yang baik, tapi berada di tempat yang
salah dan di saat yang salah."
"Uh, Paman Dick, kedengarannya memang tak masuk akal, tapi
temanku, Jodi Armstrong ? Paman pernah bertemu dia waktu
pernikahan Stan dan Suzy ? tahu di mana mereka ditembak."
Sambil duduk di belakang meja tulisnya, Riley bersandar ke
depan, menatap keponakannya dan bertanya, "Bagaimana caranya dia
tahu?"
"Yah, saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi..." Lalu
Ray menceritakan tentang penglihatan Jodi di bawah pohon Maple itu.
"Paman bicara saja dengan Jodi. Banyak orang tahu, dia punya bakat
psikis..."
"... dan ada juga yang bilang dia sinting."
"Paman Dick, saya kenal Jodi sejak kelas satu, dan kami sudah
akrab selama enam bulan. Saya bisa mengatakan bahwa dia baik, jujur
dan perasa. Saya tidak mengerti tentang soal-soal psikis ini ?
memang, saya sering juga menggodanya soal itu ? tapi
kenyataannya, biasanya dia benar. Tak ada salahnya kalau Paman
bicara dengan dia, kan? Mungkin dengan salah satu cara, dia bisa
membantu. Paman tidak mempertaruhkan apa-apa, kan?"
"Cuma mungkin lencanaku ini," gerutu Riley.
*********"Saya mendapat perasaan yang sangat kuat tentang kejahatan
dan kematian," kata Jodi, saat ia berjalan perlahan mengelilingi pohon
maple itu. Tak seberapa jauh dari situ tampak Ray dan Riley, yang
mencatat semua perkataan Jodi dalam buku notes kecil.
"Energi itu benar-benar kuat," lanjutnya. "Saya melihat seorang
gadis yang ketakutan, berambut pirang pendek dan memakai mantel
biru. Dia bersandar ke pohon ini. Aku juga melihat seorang cowok
tinggi, kurus dan berkacamata, berambut panjang, berjaket merah,
dengan punggung bersandar pada pohon. Mereka berdua sangat
ketakutan."
Jodi menyentuh pohon itu hati-hati, lalu cepat-cepat menarik
tangannya kembali. "Ada sesuatu dalam pohon ini ?semacam bukti,"
katanya. Setelah berkonsentrasi sejenak, ia berteriak, "Peluru! Ya,
peluru!"
"Berapa jumlahnya?" tanya Riley.
"Tiga... tidak... empat kalau tak salah." Lalu ia berjongkok di
bawah pohon dan menggumam, "Saya tidak bisa melanjutkan lagi.
Rasanya saya lelah sekali."
Esok harinya, Riley menggunakan detektor metal, yang
mengungkapkan bahwa ada empat buah benda tertanam di dalam
batang pohon itu. Ia mencungkil sepotong kayu dari batangnya, dan
dengan terperanjat menemukan empat butir peluru! Menurut
pemeriksaan lab polisi, peluru itu berasal dari pistol kaliber .38,
senjata yang diduga polisi digunakan dalam pembunuhan itu.
Penyelidikan selanjutnya mengungkapkan bahwa peluru-peluru itu
masuk ke dalam batang pohon itu lebih dari dua puluh tahun yang
lalu. Dengan detektor metal itu, Riley kemudian menyisir daerahsekitar pohon itu dan menemukan sebuah pistol tua kaliber .38 yang
telah berkarat dan dikuburkan sekitar dua puluh kaki dari pohon itu.
"Saya mengakui bahwa saya memang ragu-ragu," kata Riley
kepada Sheriff Floyd Williams. "Tapi semua yang dikatakan Jodi
Armstrong ternyata benar. Dia menggambarkan para korban dan
pakaian mereka serta bagaimana mereka ditembak. Beberapa
informasi itu belum terungkap kepada wartawan waktu itu, jadi tak
mungkin dia tahu keadaan itu dari membaca koran-koran lama. Lalu
tentang peluru-peluru itu. Dia menemukan peluru itu di dalam pohon,
dan akhirnya membimbing kami untuk menemukan pistolnya.
Kemungkinan si pembunuh memembak korbannya di pohon maple,
menguburkan senjatanya, membuang jenazah mereka beberapa mil
jauhnya di Simmons Creek, lalu meninggalkan kota dengan mobil
mereka."
"Apa yang akan Anda lakukan selanjutnya?" tanya sang sheriff.
"Polisi memang sering memanfaatkan orang-orang yang
memiliki kekuatan psikis untuk membantu mengungkapkan suatu
kasus," kata Riley. "Saya kira tak ada salahnya kalau kita juga
melakukan hal ini. Saya ingin memperlihatkan beberapa barang bukti
kepada Jodi. Mungkin dia bisa mengantarkan kita kepada si
pembunuh."
"Tidak ada satu pun yang dikatakannya bisa digunakan sebagai
bukti di persidangan," sheriff mengingatkan Riley.
"Benar, tetapi dia bisa membantu kita mengungkapkan kasus
ini."
"Riley, mungkin waktu kita tidak akan cukup lagi.
Bagaimanapun juga, kalau aku pensiun tahun depan, aku ingin bahwadepartemen ini tidak meninggalkan hutang satu kasus pun semasa aku
menjabat sheriff. Oke, mari kita dengar apa yang akan dikatakan
Jodi."
Keesokan harinya, Jodi duduk dengan gugup di kursi di dekat
Riley. "Santai sajalah," kata Riley. "Aku akan memperlihatkan
padamu beberapa barang pribadi milik para korban. Siapa tahu kamu
bisa menangkap getaran psikisnya, oke?" Ia membentangkan pakaian
korban yang berlumuran darah yang dipakai Sandra dan Duane pada
hari mereka ditembak, dan beberapa barang lain milik mereka di atas
meja tulis.
Jodi memejamkan matanya, bernapas dalam-dalam, lalu
perlahan namun pasti menyentuh barang-barang para korban. Ia
langsung melihat penglihatan yang berkilas selama beberapa detik,
lalu menghilang. Ia berbicara terputus-putus, dan berhenti sebelum
mendapat penglihatan lain. "Sandra sangat mencintai Duane... mereka
duduk di bawah pohon maple... mereka berpegangan tangan dan
saling mencium. Mereka bicara tentang pernikahan, tapi menyadari
bahwa mereka masih terlalu muda... mereka bicara dan saling
mencium lagi... mereka sangat bahagia..."
Butir-butir keringat mulai bermunculan di dahi Jodi. Ia
bernapas dalam beberapa kali lagi dan melanjutkan.
"Duane senang membawa Sandra ke pohon maple itu. Di sana
mereka bisa bicara tentang masa depan... Duane sangat bangga dan
bahagia mendapat Sandra sebagai pacarnya. Dia baru menamatkan
sekolah menengah atasnya dan menunggu Sandra tamat juga... dia
menyukai mobil dan seorang mekanik yang handal, sangat cekatan...dia bercita-cita kelak memiliki pompa bensin dan mencari uang cukup
untuk menikahi gadisnya..."
Jodi mulai gemetaran dan wajahnya berkerut ketakutan. "Aku
merasakan sesuatu... seakan-akan mereka tahu bahwa mereka sedang
diawasi. Sandra merasa melihat sebuah wajah di antara semak-semak.
Mereka melihatnya. Tiba-tiba, terdengar teriakan! Ada seorang lelaki.
Dia merangkak menuju ke arah mereka dan mereka melihatnya
dengan jelas. Orang itu jahat dan dia membawa senjata. Sandra
berteriak kembali. Duane berusaha untuk berdiri, tapi orang itu
menyuruhnya tetap diam. Duh, mereka takut sekali."
"Bisakah kamu melihat bagaimana rupanya?"
"Tidak begitu jelas." Jodi memegang kacamata Duane yang
pecah di tangannya. "Lelaki yang membawa senjata itu kelihatannya
jahat sekali. Matanya liar dan licik, dengan alis yang menonjol. Dia
tidak setinggi Duane, tapi tubuhnya lebih kekar. Rambutnya berwarna
gelap dan berombak... wajahnya bundar dan kasar... dan dia
berjanggut seperti setan. Kelihatannya dia berusia sekitar dua puluhan.
Duane berusaha untuk tetap tenang, tapi aku rasa dalam hatinya dia
tahu bahwa dia pasti bakal mati. Dia mengatakan pada Sandra agar
jangan panik, tapi gadis itu terus saja berteriak-teriak. Lelaki itu
menyuruh mereka diam."
"Apakah mereka mengenal dia?" tanya sang detektif.
"Tidak, mereka belum pernah melihat dia sebelumnya."
"Kenapa dia melakukan ini?"
"Saya tidak tahu. Dia sama sekali tidak bisa dimengerti, dan
mereka tidak mengerti apa yang dikatakan orang itu. Dia memanggil
mereka dengan beberapa nama lain, seperti Sharon dan Bob. Merekamengatakan padanya, bahwa dia pasti keliru, dan agar dia tidak
melukai mereka..." Jodi menangis tersedu-sedu. Waktu akhirnya ia
bisa menguasai dirinya kembali, ia berkata kepada Riley, "Saya tidak
tahu apakah saya bisa melanjutkan kisah ini. Anda tahu apa yang
terjadi kemudian."
"Jodi, kamu benar-benar hebat," kata sang detektif. "Aku tahu
ini berat untukmu, tapi cobalah. Saya akan berikan pistol ini padamu,
dan ceritakanlah segala sesuatu yang kau tahu tentang benda ini."
Jodi gemetar saat ia menyentuh benda itu. "Ini pistol si
pembunuh," katanya. "Dia seorang yang tidak punya perasaan dan
gila. Dia baru saja keluar dari penjara. Dia seorang pemarah dan
mudah sekali berbuat nekad. Dia ada di sebuah kota besar... dekat
semacam gedung besar... St Louis mungkin. Dia bertengkar dengan
beberapa temannya. Dia mengeluarkan pistolnya ? yang ini ? dan
menembak salah seorang dari mereka. Tampaknya orang itu tewas.
Seorang lelaki dan perempuan lain yang ada bersama si korban
melarikan diri karena ketakutan. Si pembunuh harus lari ke luar kota.
Dia melompat ke kereta barang yang menuju ke barat. Dia merasa
gugup dan ketakutan. Pikirannya kacau. Dia takut masuk penjara lagi,
takut kalau kedua saksi itu akan melaporkannya. Dia turun dari kereta
api dekat kota ini. Dia ketakutan... dia merasa pasangan itu mengejar
dia... lalu dia melihat Sandra dan Duane... dia memanggil mereka
Sharon dan Bob. Pasti itulah nama para saksi itu. Dia katakan bahwa
dia akan membunuh mereka karena mereka pasti akan
mengadukannya ke polisi sehingga dia harus masuk penjara lagi...
Duane dan Sandra memohon-mohon untuk dibiarkan hidup, dan
mengatakan bahwa dia keliru mengira mereka sebagai orang lain.Lelaki itu menjadi marah dan mulai menembaki mereka sampai
pelurunya habis..." Muka Jodi menjadi merah, dan air mata mengalir
di kedua pipinya. "Saya tidak melihat apa-apa lagi."
"Satu pertanyaan lagi, Jodi," kata Detektif Riley. "Tahukah
kamu nama si pembunuh itu?"
Sambil menimang-nimang pistol itu di tangannya, Jodi berkata,
"Saya tidak bisa menggambarkannya. Rasanya seperti ada hurup 'M'nya." Ia mendesah. "Pak, ini terlalu berat... saya lelah sekali..." Lalu ia
meletakkan kepalanya di atas meja tulis, karena ia terlalu lemas untuk
bergerak....
Belum pernah Jodi menjalani pemeriksaan yang begitu
emosionalnya selama hidup. Dia sangat lelah sehingga begitu sampai
di rumah, dia langsung ambruk di tempat tidurnya, dan tidur pulas
selama enam jam.
*************
"Sheriff, Anda pasti takkan percaya ini," kata Riley dengan
penuh semangat. "Saya baru saja menelepon seorang teman di Kantor
Polisi St. Louis. Saya minta dia mengecek semua pembunuhan yang
terjadi sekitar 15 Oktober, 1972. Dia melaporkan sebuah pembunuhan
yang terjadi sehari sebelum pembunuhan di pohon Maple itu. Seorang
lelaki bernama Gary Phillips dilaporkan tewas karena ditembak dalam
sebuah pertengkaran. Pembunuh itu adalah temannya sendiri ? Mark
Murray, seorang bajingan dengan rekor kejahatan yang panjang.
Mereka menangkapnya beberapa tahun kemudian di Memphis setelah
percobaan perampokan dengan kekerasan. Mereka membawanya
kembali ke St. Louis dan mendakwanya dengan pembunuhan tingkat
dua. Dia sedang menjalani hukuman di penjara Missouri."Apakah dia buronan kita?" tanya Sheriff Williams.
"Mungkin juga. Kata Jodi, namanya dimulai dengan huruf 'M.'
Tapi akan lebih baik lagi. Ada dua orang saksi pada pembunuhan
Phillips ? Rob dan Sherry Lawrence. Ingat tidak, apa yang dikatakan
Jodi. Dia pikir nama mereka Bob dan Sharon. Nama itu kan hampir
mirip."
Sheriff itu bersiul tak percaya.
"Masih ada lagi. Coba lihat ini." Riley menyodorkan gambaran
kasar wajah Murray. "Rambut, alis, janggutnya ? semua cocok
dengan gambaran Jodi."
"Jadi, ke mana kita sekarang?"
"Sebaiknya saya akan mengunjungi Pak Murray di penjara dan
melihat apa yang akan dia katakan."
Beberapa hari kemudian, waktu Detektif Riley kembali dari
kunjungannya ke penjara, dia mempunyai kabar buruk untuk sheriff.
"Murray menyangkal keras mengetahui sesuatu tentang pembunuhan
di pohon Maple itu. Sangat tidak membantu. Bukan hanya itu, tapi dia
akan segera dibebaskan karena masa hukumannya hampir selesai. Kita
tidak mempunyai cukup bukti untuk menahan dia. Tak ada sidik jari di
pistol itu, dan tak ada saksi di tempat kejadian selain penglihatan Jodi,
yang tidak bisa kita gunakan di pengadilan. Dia akan lepas dari
pembunuhan ini, kecuali kita menemukan sesuatu yang bisa
menghubungkannya langsung dengan pembunuhan itu."
***********
"Jodi," kata Riley. "Kami perlu bantuanmu lagi.""Aduh, jangan lagi dong," sahutnya. "Rasanya saya belum siap
lagi. Pemeriksaan yang terakhir itu membuatku lelah sekali. Sampai
sekarang saya masih belum pulih rasanya."
"Ayolah, sekali saja. Mungkin ada satu tambahan kecil, yang
tadinya luput dari perhatianmu. Ini satu-satunya harapan kami."
Akhirnya, Jodi setuju. Keesokan harinya, sambil memegang
barang-barang korban, ia mendapat penglihatan lagi tentang
pembunuhan yang dilakukan Mark Murray. Ceritanya hampir sama
dengan cerita sebelumnya, kecuali ada satu hal baru.
"Setelah dia membunuh mereka, Murray mengambil uang dari
dompet Sandra dan Duane. Dia merenggut kalung dan gelang emas
Sandra. Lalu dia melihat cincin Duane. Cincin emas itu besar dengan
batu hitam berbentuk wajah seorang ksatria yang mengenakan helm.
Murray melepaskan cincin itu, mengaguminya, dan memasukkan
cincin itu di jarinya..."
**********
Riley berjalan mondar-mandir dengan gugup di luar penjara,
karena tahu dia hanya punya satu kesempatan ? kesempatan yang


Aneh Tapi Nyata Spooky Kids Karya Bruce Nash And Allan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sangat kecil ? untuk menangkap Mark Murray. Tak lama kemudian
pintu gerbang dibuka dan Murray berjalan keluar dengan gagahnya
sebagai orang yang bebas.
"Wah, wah, wah," kata. Murray dengan senyuman licik. "Kalau
tak salah Anda Detektif Riley. Aneh juga kita bertemu di sini."
Jantung Riley berdebar-debar. Ia melirik ke tangan kanan
Murray, tapi belum cukup untuk memergoki bekas tahanan itu. Apa
yang dilihat detektif itu membuatnya lebih cemas lagi."Bisa bicara sebentar?" tanya Riley.
"Kalau soal pembunuhan itu, aku sudah bilang pada Anda, aku
tidak tahu apa-apa," hardiknya. "Minggir!"
"Oh, kukira Anda tahu banyak tentang pembunuh anak-anak
itu," kata Riley. "Sebenarnya, aku yakin Andalah yang melakukannya.
Tapi aku tidak punya bukti." Sambil menyodorkan tangannya, ia
menambahkan, "Nah, marilah kita berjabatan tangan untuk melepas
kasus pembunuhan ini."
Sambil menyodorkan tangannya dengan curiga, Murray
menatap mata Riley dengan pandangan licik. Lalu dia meringis dan
menjabat tangan detektif itu. Riley meremas tangan Murray kuat-kuat,
cukup untuk melihat bahwa dia memakai cincin bermata hitam.
Detektif itu menjabat tangan Murray lebih keras lagi dan melihat
cincin itu lebih jelas. Batu itu terukir berbentuk kepala ksatria yang
mengenakan helm! "Cincinmu bagus, Murray."
Muka Murray menjadi pucat karena terkejut. Dia telah memakai
cincin Duane begitu lama, sampai dia hampir melupakannya. Murray
segera menyadari bahwa benda itu adalah satu-satunya bukti yang bisa
menghubungkannya dengan pembunuhan itu. Dia berjuang untuk
melepaskan diri dan berteriak, "Lepaskan saya!"
"Kamu tidak akan ke mana-mana ? kecuali kembali ke balik
jeruji besi," kata Riley. "Kamu ditahan karena pembunuhan atas
Sandra Dahlgren dan Duane Peterson."FIRASAT AMY
Amy Drake mempunyai firasat bahwa kunjungannya yang
pertama ke Meksiko akan sangat berkesan. Tapi tidak begitu
mengerikan seperti yang terjadi kemudian.
Sering sekali, kalau gadis cilik berusia dua belas tahun,
berwajah cantik dan berambut merah itu mendapat firasat, pasti akan
terjadi apa yang dikatakannya.
Sejak berusia lima tahun, Amy menunjukkan bahwa dia
mempunyai indera keenam yang membuat keluarganya sungguh
heran. Pertama kali ia menunjukkan bakatnya adalah saat dia pergi ke
mal dengan ayahnya, Sam, seorang pengusaha sukses yang sangat
kaya raya. Saat ayahnya merogoh saku belakangnya untuk mengambil
dompet dan membayar buku yang dibelikannya untuk Amy, Pak
Drake berteriak kaget. "Ya ampun, dompetku hilang!" Dia mencaricari di toko buku itu lalu memeriksa tempat barang-barang hilang siasia. "Ayah tahu apa yang terjadi," katanya pada putrinya. "Pasti
dompet Ayah diambil pencopet."
"Apa itu pencopet?" tanya Amy.
"Pencopet itu orang iseng yang suka mengambil dompet orang
lain dengan diam-diam dari dalam sakunya. Ingat tidak, orang yang
bertabrakan dengan Ayah di pintu masuk ke mal? Mungkin diamemang sengaja, supaya dia bisa mengambil dompet Ayah. Biar
Ayah melapor ke polisi mal dulu."
"Aku rasa dia tidak mengambilnya," kata Amy.
"Kenapa tidak?"
"Kayaknya dompet itu terjatuh."
"Kamu lihat waktu dompet itu jatuh?"
"Tidak. Tapi coba Ayah kembali ke mobil dan melihat apa
dompet Ayah ada di sana."
"Kalau terjatuh dari saku Ayah, pasti sudah diambil orang lain
sekarang. Kecuali orang itu benar-benar jujur, dan mengembalikannya
ke bagian barang-barang hilang. Tapi, oke, mari kita lihat."
Pak Drake mengira bahwa kecil sekali kemungkinannya dia
akan menemukan dompetnya kembali. Tapi sampai di mobil, dia
melihat ke kolong roda depan kanan dan melihat dompetnya masih
utuh berisi uang dan semua kartu kreditnya.
"Pasti terjatuh dari saku belakang waktu Ayah turun tadi,"
katanya pada Amy. "Ini perlu dirayakan ? sebuah es krim dobel
dengan taburan karena firasatmu benar, nona kecil."
"Apa itu firasat, Ayah?"
"Seperti tahu sesuatu yang sebenarnya kamu tidak tahu, tapi
entah bagaimana kamu tahu."
Amy tidak begitu mengerti penjelasan ayahnya, tapi dia hanya
senang, bahwa karena firasatnya ? entah apa tadi itu ? dompet
ayahnya telah ditemukan.
Setahun kemudian, sebuah firasat Amy kembali menjadi
penyelamat. Hal itu terjadi waktu dia bermain jamuan teh dengan
boneka-bonekanya di bawah sebuah pohon Oak besar yang tumbuh didepan rumah mereka. Bersama "teman-teman" kecil Amy yang duduk
di kursi-kursi mainan mengelilingi meja kecil, ibunya Linda, duduk di
atas rerumputan sambil minum sari buahnya. "Ibu, sebaiknya kita
cepat masuk."
"Tapi jamuan tehnya kan belum selesai, sayang."
"Ayo cepat, Bu, sekarang."
Ibunya memperhatikan bahwa Amy terus menatap ke awan
yang menebal di barat. "Kamu takut badai, ya?" tanyanya pada Amy.
Gadis itu mengangguk. "Jangan khawatir," kata Bu Drake. "Ibu rasa
hujan takkan turun sampai kira-kira satu jam lagi." Amy
menggelengkan kepalanya, meraih tangan ibunya dan menariknya.
"Ibu, kita harus masuk ke dalam! Cepat!"
Baru saja mereka sampai di pintu depan, tiba-tiba kilat
menyambar dari langit diikuti suara gelegar keras. Bu Drake berpaling
dan melihat dengan ketakutan bahwa kilat telah menyambar pohon
Oak itu. Dengan suara bra-a-a-ak keras, sebuah dahan besar patah
menjadi dua dan menimpa tempat di mana mereka baru saja dudukduduk dan meng-hancurkan meja kecil Amy.
Mulut Bu Drake sampai ternganga karena syok. "Sayangku,
bagaimana kamu bisa tahu?"
Amy mengangkat kedua bahunya. Aku cuma dapat ? apa
namanya itu? Oh itu lho, firasat."
Bu Drake berlutut dan memeluk Amy erat-erat. Dia takut untuk
mengatakan keras-keras apa yang dipikirkannya. Hampir saja kita
mati, kalau bukan karena firasat Amy.Kedua orangtua Amy tidak dapat menyangkal bahwa satusatunya putri mereka mempunyai bakat psikis yang istimewa ?
apalagi sesudah kejadian dua tahun kemudian.
Sam, yang pekerjaannya membeli dan menjual rumah-rumah
mewah di beberapa negara bagian maupun di luar negeri, sering
mengundang rekan-rekan bisnisnya ke rumah untuk makan malam.
Linda senang memasak berbagai macam hidangan untuk para tamunya
dengan bantuan pengurus rumahtangga mereka, Maria. Bersama Amy,
mereka akan menyiapkan peralatan makan China, perak dan kristal di
atas meja makan. Amy, yang selalu disertakan dalam acara makan itu,
selalu bersikap riang.
Setelah makan malam dengan dua rekan bisnis dari Texas
selesai, Sam dengan bangga melihat ke putrinya yang bermata hijau
dan wajahnya berbintik-bintik itu dan berkata, "Tamu-tamu Ayah
mengatakan, kamu seperti malaekat malam ini. Malaekat yang manis
sekali, kalau boleh Ayah tambahkan."
"Terima kasih, Ayah." Tetapi Amy sama sekali tidak
tersenyum.
"Ada apa, sayang?"
"Apa Ayah ada bisnis dengan kedua orang itu?"
"Yah, tentu. Kami akan membuat sebuah perjanjian senilai kirakira sejuta dollar."
Amy, yang selalu diajarkan orangtuanya untuk berkata jujur,
mengatakan, "Saya tidak percaya pada mereka. Saya kira mereka
jahat."Sam berlutut, menatap ke dalam mata Amy dan berkata,
"Sayangku, Ayah sudah memeriksanya. Mereka pengusaha baik-baik.
Kenapa kamu tidak percaya mereka?"
"Hanya firasat saja, Yah."
"Ayah tidak bisa menunda perjanjian senilai sejuta dollar,
hanya karena firasat kamu."
"Mereka bersikap baik waktu makan, tapi mereka jahat," Amy
berkeras.
"Apa yang akan kulakukan dengan kamu?" kata Pak Drake,
sambil menggelengkan kepalanya dan teringat bahwa firasat putrinya
biasanya benar. Setelah berpikir sebentar, ia berkata, "Nah, Ayah tahu.
Ayah akan meminta staf Ayah untuk mengecek lagi keadaan mereka.
Tidak ada salahnya."
Dua minggu kemudian, Sam pulang ke rumah membawa
boneka panda paling besar yang pernah dilihat Amy. Sungguh, boneka
itu hampir sebesar ayah Amy! "Ini, malaekat kecilku, hadiah
untukmu."
"Oh, Ayah, aku senang sekali!" kata Amy. "Terima kasih!"
"Tidak, Ayah yang berterima kasih. Ingat tidak, waktu kamu
katakan kamu punya firasat tentang dua orang rekan Ayah yang
makan malam di sini beberapa minggu yang lalu? Nah, staf Ayah
menyelidiki mereka secara teliti, dan tahu tidak, ternyata mereka
orang-orang yang tidak bisa dipercaya. Hampir saja Ayah tertipu satu
juta dollar!"
************
Waktu Amy berusia dua belas tahun, orangtuanya dan Maria
terbang ke Cancun, Meksiko, suatu daerah peristirahatan di tepi PantaiKaribia, untuk berlibur. "Bu, saya punya firasat bahwa ini akan jadi
perjalanan yang takkan pernah dapat kita lupakan," kata Amy saat ia
melongok ke luar dari jendela pesawat jetnya. "Sesuatu yang besar
akan terjadi pada kita."
"Oh, mudah-mudahan saja sesuatu yang baik," kata ibunya.
"Saya harap juga," tambah Amy. Tetapi dia sudah merasakan
bahwa yang akan terjadi malah sebaliknya.
Selama hari-hari pertama masa liburan, keluarga Amy
menghabiskan waktu dengan melihat-lihat piramid yang dibangun
berabad-abad lalu oleh bangsa Indian Maya. Mereka menyelam di laut
yang sangat jernih, mengagumi ikan-ikan berwarna-warni yang belum
pernah dilihat Amy. Sore hari, Maria, yang lahir dan besar di
Meksiko, membawa Amy berkeliling pasar rakyat, hingga Amy bisa
mempraktekkan bahasa Spanyolnya.
Waktu mereka telah menghabiskan separo waktu liburan,
orangtua Amy meninggalkan dia bersama Maria, karena mereka akan
ke Mexico City. Pak Drake harus menghadiri beberapa pertemuan
bisnis di sana. Suami istri Drake itu akan kembali beberapa hari
kemudian, pada hari Kamis.
Waktu Amy mengucapkan selamat jalan kepada orangtuanya,
dia merasa agak kurang nyaman. Entah mengapa. Selain itu dia sudah
terbiasa ditinggal pergi orangtuanya untuk mengurus bisnis.
Ke mana pun mereka pergi, suami-istri Drake itu selalu
menelepon Amy setiap hari untuk bercakap-cakap dengan dia. Tetapi
pada hari Rabu, malam sebelum orangtuanya merencanakan untuk
kembali ke Cancun dari Mexico City, mereka belum menelepon Amy."Maria, mengapa mereka belum menelepon?" tanya Amy saat
ia akan pergi tidur.
"Mungkin mereka sudah mencoba, tapi tidak ada sambungan,"
jawab Maria. "Kadang-kadang telepon di Meksiko sering mengalami
gangguan. Besok mereka pasti pulang."
Amy membalik-balik badannya dengan gelisah di tempat tidur,
sampai akhirnya ia jatuh tertidur. Pagi-pagi sekali hari Kamis, Amy
tiba-tiba terbangun dan duduk di tempat tidur. Jantungnya berdebar
begitu keras, sampai ia hampir bisa mendengar darah mengalir di
tubuhnya. Tiba-tiba, dalam pikirannya, dia melihat bayanganbayangan mengerikan sebuah pesawat yang terjatuh... pohon-pohon
tumbang... dan wajah kedua orangtuanya yang berlumuran darah.
Amy menjerit sejadi-jadinya, membuat Maria berlari tergopohgopoh keluar dari kamarnya di hotel mewah itu.
"Amy! Ada apa?"
"Aku bisa melihat Ibu dan Ayah," gagapnya, matanya tampak
ketakutan. "Mereka mengalami kecelakaan pesawat di hutan, dan
terluka parah. Oh Maria, ngeri sekali!"
"Pasti kau cuma mimpi buruk," hibur Maria, sambil memeluk
tubuh Amy yang gemetaran. "Sudahlah, sayang, ini cuma mimpi
buruk saja."
"Tidak, Maria, ini bukan mimpi buruk. Aku bangun, kok,
sumpah! Aku melihat suatu pemandangan yang sangat mengerikan.
Aku bisa melihat semuanya dengan sangat jelas. Aku tidak sedang
bermimpi."
Maria tahu benar kemampuan dan firasat Amy yang biasanya
benar. "Mungkin yang kau lihat adalah suatu peringatan, agar merekatidak menggunakan pesawat itu. Biar aku menelepon mereka dan
meminta agar mereka memakai pesawat lain saja."
"Sudah terlambat," kata Amy. "Pesawat itu tidak akan jatuh.
Pesawat itu sudah jatuh."
"Mana mungkin. Rencananya mereka kan baru akan naik
pesawat sore ini."
"Maria, kita harus cepat melakukan sesuatu. Sudah kukatakan,
pesawat mereka sudah jatuh! Mereka terluka parah. Kalau kita tidak
cepat mencari pertolongan, mereka akan meninggal!"
"Sebelum kita jadi lebih bingung, kita telepon dulu apakah
mereka masih ada di hotel, oke?"
Maria mencari-cari nomor telepon hotel di mana suami-istri
Drake menginap di Mexico City. Dengan bahasa Spanyol, Maria
menanyakan apakah mereka sudah check-oul dari hotel. Dengan rasa
lega, ia berpaling pada Amy dan berkata, "Benar kan? Mereka masih
ada di sana. Mereka belum check-out." Berbicara kembali di telepon,
Maria meminta untuk dihubungkan dengan kamar keluarga Drake.
Telepon berdering-dering, tapi tak ada yang mengangkat. "Aku tidak
mengerti," kata Maria pada Amy sambil meletakkan telepon. "Mereka
biasanya cepat terbangun. Mestinya mereka menjawab telepon itu,
kalau mereka masih ada di sana. Mungkin mereka harus bangun pagipagi sekali."
"Jam lima pagi?" Amy mulai menangis. "Mereka mengalami
kecelakaan pesawat dan mereka akan meninggal! Kita harus
menolong mereka!"
Maria menelepon perusahaan penerbangan untuk mengecek
apakah ada pesawat yang belum kembali, tetapi tak ada. "Apa yangbisa kulakukan lagi, Amy? Perusahaan penerbangan mengatakan
bahwa pesawat mereka semua sudah dipesan."
Amy berbaring di tempat tidur, menutup matanya dan
mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya. Lalu ia
berusaha mendapat penglihatan lain. "Aku melihat gunung berbentuk
kerucut... tebingnya curam sekali... sebuah pesawat tanpa sayap... Ibu
dan Ayah berdarah... dan pilotnya tewas."
"Bisakah kamu melihat pesawat apa itu?"
Amy berkonsentrasi keras sebelum ia berteriak, "Pesawat
kecil... pesawat pribadi... mesinnya dua."
Maria bergegas ke telepon dan menelepon salah satu rekan Pak
Drake di Mexico City. Ia menjerit panik waktu mendengar bahwa
suami-istri Drake telah mencarter sebuah pesawat bermesin dua hari
Rabu pagi. Menurut rencana penerbangannya, mereka terbang ke
Veracruz, sekitar 250 mil dari Mexico City untuk melihat sebidang
tanah di sana. Hari Rabu siang, mereka berangkat dari tempat itu
untuk kembali ke Mexico City. Sampai Maria menelepon hari Kamis
pagi, tak seorang pun menyadari bahwa pesawat itu belum kembali
dan hilang.
Para petugas segera melancarkan operasi pencarian dan
penyelamatan. Pesawat-pesawat militer Meksiko mengikuti jalur
penerbangan pesawat yang naas itu, namun mereka tak berhasil
menemukan bekasnya di daerah pegunungan yang lebat itu.
Sepanjang pagi itu, sambil menangis Amy berusaha mendapat


Aneh Tapi Nyata Spooky Kids Karya Bruce Nash And Allan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penglihatan kedua orangtuanya yang terluka parah. Tapi penglihatan
itu masih tetap sama, tanpa ada petunjuk mengenai lokasi jatuhnya
pesawat itu."Kalau saja aku bisa mengatakan di mana mereka berada," kata
Amy. Sesaat kemudian, ia menjentikkan jarinya. "Maria, kamu tahu
peta besar Meksiko yang tergantung di dinding lobi? Coba kamu
usahakan untuk membawanya kemari."
Sepuluh menit kemudian, Maria kembali membawa peta besar
yang digulung, yang lebarnya sama dengan panjang tempat tidur.
"Aku terpaksa menyogok petugas di sana untuk bisa meminjamnya,"
kata Maria. "Dia pikir aku sudah gila."
Setelah menggeser beberapa perabot, Amy menggelar peta itu
di lantai. Ia mengambil napas dalam dan perlahan mengikuti setiap
jengkal antara Veracruz dan Mexico City. Lalu ia menutup matanya
dan membiarkan tangannya bergerak dengan ringan di atas peta,
sampai dia merasakan suatu getaran di ujung jari telunjuknya. "Aku
mulai merasakan sesuatu," gumamnya. "Aku mendapat firasat, mereka
jatuh di sini." Jari telunjuknya mengarah ke suatu tempat sekitar lima
puluh mil sebelah barat Veracruz.
Maria membungkuk ke depan. "Kamu menunjuk ke sebelah
utara Gunung Citlaltepetl," katanya dengan penuh semangat.
"Beritahu tim penyelamat agar mereka mencari ke sana!" kata
Amy. Maria mengangkat telepon dan meletakkannya kembali. "Tak
seorang pun akan percaya padaku kalau aku mengatakan, 'Gadis kecil
ini punya bakat psikis dan dia mengatakan untuk mencari di daerah
ini.'"
"Kalau begitu, biar aku berdusta sedikit. Katakan pada mereka
bahwa aku bicara dengan Ibu dan Ayah sebelum mereka bertolak keVeracruz, dan aku baru ingat kalau mereka mengatakan akan terbang
ke sebelah utara gunung itu untuk... emm... memotret air terjun."
Dusta kecil itu berhasil. Meskipun daerah itu tidak berada
dalam jalur penerbangan pesawat itu ? harusnya mereka terbang
sepuluh mil sebelah selatan gunung itu ? namun regu penyelamat
menyisir daerah utara. Dalam waktu satu jam, pesawat-pesawat
helikopter angkatan perang Meksiko menemukan reruntukan sebuah
pesawat pribadi bermesin dua ? persis di tempat yang ditunjukkan
Amy! Semuanya tampak persis seperti dalam penglihatannya. Kedua
sayap pesawat itu patah karena menghantam pohon-pohon di daerah
pegunungan itu. Bagian depan pesawat hancur sama sekali dan badan
pesawat kelihatan seperti kaleng ringsek.
Daerah itu terlalu curam untuk didarati helikopter, hingga
mereka menurunkan beberapa paramedik ke lokasi jatuhnya pesawat.
Mereka menemukan Linda dan Sam Drake terluka parah, namun
masih hidup. Kepala Linda yang luka mengeluarkan banyak darah
hingga ia sebentar-sebentar pingsan, sedang kedua kaki Sam patah dan
tangan serta kepalanya memar-memar. Tragisnya, sang pilot telah
meninggal. Mereka memberi pertolongan pertama di tempat, lalu
diangkut dengan pesawat ke rumah sakit di Mexico City.
Sesaat sebelum Amy mendapat kabar tentang penyelamatan
kedua orangtuanya, kecemasan dan ketakutan yang melandanya mulai
mereda. Amy mengambil napas lega dan menghampiri Maria, yang
duduk di lantai dengan bergelung seperti bola, sambil menggoyanggoyangkan badannya maju-mundur karena cemas. "Maria, sudah
beres, kok. Aku merasa bahwa mereka sudah menemukan Ibu dan
Ayah dengan selamat."Setengah jam kemudian telepon berdering. Maria menjawabnya
dan meneruskan kabar itu kepada Amy. "Kabar baik!" teriaknya.
"Orangtuamu..."
"...mereka hidup!" kata Amy, menyelesaikan kalimat Maria.
"Aku tahu! Aku sudah tahu!" Amy bersorak gembira sambil memeluk
Maria.
Keesokan harinya, Amy bersama Maria terbang ke rumah sakit
di Mexico City untuk mengunjungi orangtuanya dalam sebuah
pertemuan yang sangat mengharukan. Suami-istri Drake mengatakan,
bahwa sesaat sebelum mereka bertolak dari Veracruz, pesawat itu
berusaha menghindari sebuah badai. Tetapi kilat menyambar pesawat
kecil itu, merusak peralatan navigasi dan komunikasinya. Angin
kencang menerbangkan pesawat itu jauh dari jalurnya, hingga
akhirnya terhempas di sisi gunung.
"Tak seorang pun tahu pesawat Anda mendapat kecelakaan,
kecuali Amy," kata Maria pada mereka. "Dia mendapat penglihatan
tentang pesawat itu, dan bahwa Anda terluka. Dia malahan tahu di
mana pesawat itu jatuh!"
Sam Drake berpaling pada Amy dan mengerdipkan matanya.
"Kamu mendapat firasat lagi, ya sayang?"
"Iya, Yah," kata Amy, sambil tersenyum manis. "Salah satu
firasat lagi."WARNA-WARNA MISTERIUS
Christopher Walker berusia enam tahun, waktu dia menyadari
bahwa tak seorang pun dari saudara atau teman-temannya bisa melihat
apa yang dilihatnya.
Ketika masih kecil, Chris mengira bahwa semua orang bisa
melihat warna-warna pelangi yang indah namun kabur yang
memancar dari tubuh mereka. Kalau ia berkonsentrasi dengan cara
yang sama, ia bisa menemukan seekor semut di rumput, dan melihat
semacam "tirai" cahaya yang beraneka warna, yang mengelilingi
tubuh setiap orang dengan lembut.
Warna-warna itu menjadi semakin terang di daerah kepala
seseorang. Di mata Chris, semua orang mempunyai cahaya tubuh
yang terang dan indah, yang bergerak perlahan di sekeliling tubuh
mereka, khususnya warna-warna kuning-keemasan, putih-kebiruan,
dan merah-oranye.
Chris tidak tahu bahwa cahaya aneh dan misterius itu
dinamakan aura. Ia tidak tahu bahwa hanya beberapa orang dengan
bakat psikis yang khusus saja bisa melihat aura. Dan dia pun tidak
tahu bahwa kemampuannya yang mengagumkan itu kelak bisa
menyelamatkan hidup seseorang.
***********Bagi bocah lelaki berambut kuning dan berwajah terotolan itu,
orang-orang yang baik mempunyai aura yang berwarna merah muda,
yang berganti menjadi ungu muda.
"Nenek," kata Chris suatu hari, waktu ia berusia enam tahun,
"Aku suka warna ungu Nenek."
"Tapi aku tidak memakai warna ungu, sayang," sahut neneknya.
"Bajuku warnanya merah dan putih."
"Aku tahu," kata Chris. "Aku suka warna ungu Nenek."
"Ungu yang mana? Coba tunjukkan."
Tangan Chris yang kecil meraba lengan neneknya yang pucat
dan berkeriput. Lalu ia mengibaskan tangannya di atas kepala
neneknya dan tersenyum. "Nah, lihat kan warna ungu sekeliling
Nenek? Bagus sekali."
Neneknya menggelengkan kepala dan menggumam. Dia tidak
mengerti apa yang dikatakan cucunya.
"Apa Nenek suka warnaku?" tanya Chris kepadanya.
Karena ingin mengajaknya bermain-main, neneknya menjawab,
"Yah, tentu saja Nenek suka. Warnamu bagus sekali ? merah cerah
dan hijau dan..."
"Bukan, Nek. Bukan itu." Sambil merentangkan tangannya,
Chris berkata, "Lihat, warnanya kan putih dan kebiruan."
"Oh, iya, sekarang Nenek lihat." Tetapi meskipun usianya baru
enam tahun, Chris tahu dari suaranya bahwa Nenek sebenarnya tidak
bisa melihat warna tubuhnya. Chris lalu masuk ke kamar kakaknya
Ann Marie, dan bertanya, "Apa kamu melihat warnaku?"
"Kamu memakai kemeja kuning dan celana merah," sahut
kakaknya."Bukan, bukan pakaianku, tapi warnaku," kata Chris, yang
mulai merasa kesal. "Tahu nggak, seperti..." ia berhenti sebentar untuk
memperhatikan aura kakaknya, "... seperti warna oranye sekeliling
kamu."
Ann Marie hanya menatapnya dengan pandangan seolah-olah
mengatakan, "Yeah, betul," lalu melihat ke dalam cermin. "Aku tidak
mengerti apa yang kau bicarakan," jawabnya. "Aku tidak melihat
warna apa pun di sekelilingku atau di sekelilingmu. Kamu sinting."
Chris berlari ke luar kamar dan pergi ke luar. Dia mengira
beberapa temannya bisa melihat warna-warna itu. Namun anak-anak
itu hanya menertawakannya dan mengatakan bahwa bicaranya
ngawur. Sekarang Chris benar-benar bingung. Aku melihat warnawarna itu, kenapa orang lain tidak? pikirnya.
Waktu Chris pulang, ibunya baru pulang dari kantor. Chris
memeluk dan menciumnya, lalu berkata, "Bu, Anne Marie bilang aku
sinting karena dia tidak bisa melihat warnaku. Nick, Dave dan Jayne
mengejek dan menggoda aku sebab kata mereka tidak ada yang seperti
itu. Malahan Nenek juga tidak bisa melihatnya."
"Sebentar, sayang. Warna-warna apa?"
"Itu lho, warna-warna yang bergerak di sekeliling Ibu dan aku."
Betty Walker berlutut di samping anaknya. "Sayangku, coba
ceritakan pada Ibu apa yang kamu lihat."
Chris berkonsentrasi sebentar lalu berkata, "Nah, Ibu punya
warna biru yang bercahaya di sekitar kepala. Dan warna putih cerah di
lengan Ibu. Apa Ibu tidak melihatnya?""Tidak, sayang." Ibunya tahu, Chris sangat kecewa mendengar
jawabannya. "Tapi Ibu percaya bahwa kamu bisa melihat warnawarna itu. Karena itu kamu adalah orang yang sangat istimewa."
Betapa gembiranya Chris. "Benar? Wah, gila!" Lalu ia pun
berlari. "Hei, Ann Marie! Kata Ibu, aku orang yang sangat istimewa!
Dengar nggak?"
Malam itu, saat Chris akan tidur, ia mendengar orangtuanya
bercakap-cakap dengan neneknya tentang dia. "Yang paling baik kita
lakukan," kata ibunya, "adalah mengikuti saja apa yang dikatakannya.
Anak itu punya daya khayal yang luar biasa. Aku yakin, semuanya
akan teratasi dengan berjalannya waktu."
"Benar," kata Frank, ayahnya. "Ingat tidak, tahun lalu dia punya
teman dinosaurus khayalan. Siapa namanya? Oh iya, Freddy. Nah,
kita sudah tidak mendengar apa-apa lagi tentang Freddy selama enam
bulan ini, kan?"
Sejak saat itu Chris memutuskan tidak akan mengatakan apaapa lagi tentang warna-warna yang dilihatnya kepada siapa pun juga.
Dia hanya menyimpannya dalam hati. Beberapa tahun kemudian,
kemampuannya untuk melihat aura orang lain ? khususnya orang
asing ? agak berkurang dengan bertambahnya usia. Dia harus
berkonsentrasi keras untuk melihat aura mereka. Lebih mudah
baginya untuk melihat aura orang-orang yang dikenalnya baik.
Akhirnya, waktu Chris berusia sepuluh tahun, ia menemukan
adanya hubungan antara aura dan masalah kesehatan. Meskipun
warna-warna aura seseorang seakan-akan "berganti" dari satu warna
ke warna lain, misalnya dari oranye ke kuning, biasanya Chris bisa
menemukan satu warna tunggal yang berbeda dari aura yang lain.Warna ini ? biasanya merah pudar dengan pinggiran gelap dan
bentuknya seperti telur ? akan melayang-layang di atas bagian tubuh
tertentu di mana orang itu merasa sakit.
Chris pertama kali menguji teori ini waktu ayahnya pulang dari
kantor. Ketika melihat adanya warna kemerahan di sekeliling kepala
ayahnya, anak itu bertanya, "Ayah, apa ayah baik-baik saja?"
"Yah, begitulah."
"Em, apa Ayah sakit kepala?"
"Sebenarnya memang. Kok, kamu tahu?"
"Cuma mengira saja."
Beberapa hari kemudian, saat menonton TV bersama neneknya,
Chris berpaling kepada neneknya waktu ia melihat lingkaran merah
dengan pinggiran gelap di sekitar siku kanan neneknya. "Nek, apa siku
Nenek yang kanan sakit?" ia bertanya.
Kalau menyangkut kesehatannya, Nenek hampir tak pernah
mengaku bila ada yang terasa sakit. "Aneh juga pertanyaanmu," sahut
neneknya. "Siku Nenek tidak apa-apa, kok. Kenapa kamu
menanyakannya?"
"Cuma ingin tahu saja." Saat itu Chris mengira bahwa
dugaannya keliru, dan bahwa dia salah. Benarkah?
Malam itu, Nenek sedang membersihkan dapur sendirian dan
tidak melihat Chris datang. Dia meringis kesakitan sambil memegangi
sikunya. Lalu ia merogoh sakunya dan mengambil beberapa pil. Baru
sesudah ia memakan pil itu, ia melihat Chris.
"Siku Nenek sakit, ya?" kata Chris.
"Tidak terlalu," sahut Nenek. "Cuma artritis, kok ? yah, salah
satu gejala kalau orang menjadi tua. Kamu mau es krim?" Saatmenyodorkan semangkuk es krim pada Chris, Nenek bertanya, "Kamu
menanyakan tentang siku Nenek tadi siang. Bagaimana kamu tahu
kalau itu sakit?"
"Saya melihat warna... em..." Chris tidak ingin neneknya atau
siapa pun juga tahu kalau dia masih bisa melihat aura. Maka Chris
agak berdusta sedikit.
"Saya melihat Nenek menggosoknya, sepertinya terasa sakit."
"Aneh juga. Nenek sudah bertekad tidak akan menyentuhnya di
depan siapa pun juga. Coba kamu dengar. Artritis ini tidak apa-apa,
jadi jangan kamu katakan pada siapa pun juga, mengerti?"
"Iya, Nek."
Di sekolah, Chris mulai mempelajari aura teman-teman
dekatnya. Dia bisa mengatakan kalau mereka sakit pilek, pusing, sakit
perut, radang tenggorokan, atau demam. Dia juga tahu mana anakanak yang suka berbohong dan berpura-pura sakit agar mereka diberi
ijin untuk tidak mengikuti pelajaran dan berobat ke klinik sekolah. Dia
tak tahu apa yang harus dilakukannya dengan kemampuannya yang
aneh ini untuk "melihat" orang yang sakit, karena itu dia hanya diam
saja.
Suatu hari, waktu Chris mengunjungi Toserba Hudson, di mana
ibunya menjual perabot rumah tangga, Chris bercakap-cakap dengan
Dotty Beamon, sahabat karib ibunya yang juga bekerja di situ. Bu
Beamon sudah agak berumur, berambut kelabu dan selalu tersenyum
lebar.
"Selamat ya Chris," serunya keras-keras, hingga orang-orang di
toko itu bisa mendengarnya semua. "Kudengar kamu memenangkanlomba membaca cepat di sekolah. Coba kamu eja 'sok-tahu' ? dari
belakang."
"U-H-A-T..." Chris berhenti mengeja di tengah-tengah waktu ia
melihat aura merah tua bercahaya persis di dekat jantung Bu Beamon.
Ia menjadi bingung.
Mungkin aku harus mengatakan sesuatu. Tapi apa yang akan
kukatakan padanya? "Eh, Bu Beamon, ada aura aneh deh, di sekitar
jantung Anda. Sebaiknya Anda memeriksakannya." Ah, lebih baik aku
diam saja. "...K-O-S."
Dua hari kemudian, ibunya Betty pulang terlambat dari
pekerjaannya dengan mata merah karena menangis.
"Ada apa, Bu?" tanya Chris cemas.
"Bu Beamon, Nak. Dia terkena serangan jantung. Dia sedang
bercakap-cakap dengan seorang pembeli, waktu dia tiba-tiba pingsan.
Kasihan sekali. Aku memberinya pernapasan buatan, dan paramedik
segera datang dan membawanya ke rumah sakit. Sungguh sulit untuk
dipercaya. Dia hampir tak pernah bolos kerja selama sepuluh tahun."
Chris tidak begitu memperhatikan lagi apa yang dikatakan
ibunya sesudah kata-kata "serangan jantung." Berita itu seakan-akan
menamparnya dan menimbulkan rasa bersalah yang sangat dalam di
hatinya. Coba waktu itu aku memperingatkan Bu Beamon, pikirnya.
Seandainya saja aku mengatakan apa yang kulihat, mungkin dia masih
bisa tertolong.
"Apa dia bisa sehat kembali?" tanya Chris.
"Dokter belum bisa memastikannya, sayang. Mudah-mudahan
saja."Sejak saat itu, Chris mulai memperhatikan aura orang-orang
yang dikasihinya dengan lebih teliti. Ia tak ingin sesuatu yang buruk
menimpa mereka.
Beberapa minggu kemudian, seluruh keluarga sedang makan


Aneh Tapi Nyata Spooky Kids Karya Bruce Nash And Allan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pagi. Chris sedang menyantap serealnya waktu ia tiba-tiba melihat
sesuatu hingga ia berhenti makan. Di bagian bawah dada ibunya,
Chris melihat suatu warna kabur dalam auranya yang belum pernah ia
lihat sebelumnya. Lingkaran merah itu sebesar uang logam.
"Apa Ibu merasa sehat-sehat saja?"
"Tentu, Nak. Kamu sendiri?"
"Uh, baik. Nah, aku berangkat dulu, ya Bu? Aku sayang Ibu."
Di sekolah, Chris pergi ke perpustakaan dan memperhatikan
gambar anatomi tubuh manusia. Dia ingin tahu, bagian mana tubuh
ibunya yang sakit. Namun ia tidak dapat memastikannya dari buku itu.
Mungkin otot di perutnya, usus besar, hati atau paru-parunya.
Chris berdoa semoga lingkaran merah itu akan hilang, tetapi
ternyata malah bertambah besar setiap hari. Ibunya merasa baik-baik
saja, kecuali hanya agak lelah dan kadang-kadang batuk-batuk.
Namun Chris merasa sangat cemas. Dia harus mengatakan sesuatu
sebelum terlambat.
"Bu, maukah Ibu melakukan sesuatu untukku?" pintanya.
"Kalau bisa, sayang. Ada apa?"
"Coba Ibu periksakan diri ke dokter."
"Ke dokter? Untuk apa?"
"Saya rasa ada sesuatu yang tidak beres dengan Ibu. Sesuatu di
bagian dada."
"Wah, Dr. Walker, bagaimana Anda tahu itu?"Chris tak mau mengatakan pada ibunya tentang lingkaran
merah dalam auranya. "Saya yakin."
"Masa, ya?" sahut ibunya sambil mengangkat alis. "Bagaimana
kamu bisa merasa yakin? Apa kamu diam-diam sudah lulus dari
sekolah kedokteran? Atau mungkin kamu mengambil kursus tertulis
untuk menjadi peramal?"
"Jangan begitu, Bu. Saya serius. Cobalah check-up ke dokter,
oke? Maukah Ibu melakukannya untukku?"
Setelah berpikir sebentar, Betty setuju. "Yah, Ibu memang
sudah beberapa tahun tidak periksa ke dokter, dan sesudah apa yang
terjadi pada Dotty, mungkin sekarang sudah waktunya. Kalau itu akan
membuatmu senang, baiklah, Ibu akan memeriksakan diri. Asal tahu
saja, Ibu merasa sehat-sehat saja, kok ? paling cuma perlu
mengambil cuti sebentar untuk istirahat."
Pada hari ibunya memeriksakan diri ke dokter, Chris berlari-lari
pulang sekolah untuk mengetahui apa yang terjadi pada ibunya.
"Bagaimana, Bu?" ia bertanya. Hatinya langsung ciut saat melihat
ibunya menggelengkan kepala dengan muram.
Lalu, melihat kecemasan yang membayang di wajah anaknya,
Betty memeluk Chris dan berkata, "Oh, mestinya Ibu tidak boleh
bersikap begitu padamu." Lalu sambil tersenyum ia berkata, "Menurut
dokter, kesehatan Ibu pada usia ini sebagai seorang ibu, istri dan
karyawati sangat baik. Puas, kan? Jadi kamu tak perlu khawatir lagi
mengenai Ibu."
"Wah, bagus Bu!" Chris merasa sangat lega ? untuk
sementara. Tetapi lingkaran merah dalam aura ibunya masih tetapkelihatan. Malahan, besarnya sekarang dua kali uang logam, dan
pinggirannya semakin gelap.
"Bu, apa dokter mengatakan sesuatu tentang paru-paru, hati
atau usus Ibu?" tanya Chris.
"Tidak, kenapa?"
"Rasanya ada yang tidak beres dengan Ibu."
"Duh, anak muda" ibunya tak pernah memanggilnya demikian,
keeuali dia sedang marah ? "hentikan omonganmu itu sekarang juga!
Ibu sudah ke dokter atas permintaanmu, dan Ibu sehat. Jangan omong
kosong lagi." Ebukulawas.blogspot.com
Chris mendesah panjang Karena yakin ini persoalan hidup dan
mati, dia tak punya pilihan lain daripada mengatakan yang sebenarnya
agar ibunya percaya. "Bu, dengar dulu. Saya tidak tahu bagaimana
atau mengapa, tapi saya bisa melihat hal-hal yang orang lain tidak
bisa. Ingat tidak, waktu saya masih kecil dan saya katakan bahwa saya
bisa melihat warna-warna yang memancar dari setiap orang. Saya
hanya tidak pernah mengatakannya. Saya membaca dalam buku
bahwa warna-warna itu disebut aura. Sekarang aku bisa tahu dengan
melihat aura kalau seseorang itu sakit atau merasa sakit. Saya bisa
melihat radang di tenggorokan teman-teman dan sakit kepala Ayah."
Mulut Betty Walker ternganga karena syok. Sekarang dia
percaya pada Chris, karena dia tahu bahwa anaknya tak pernah
berdusta.
"Bu, saya melihat aura Bu Beamon. Warnanya berbeda di
sekitar jantungnya beberapa hari sebelum dia terkena serangan
jantung. Saya melihat artritis Nenek di sikunya sebelum seorang puntahu. Saya juga memperhatikan aura Ibu, dan ada lingkaran merah
tua."
"Di mana, sayang?"
Chris dengan lembut menunjuk ke bawah iga kanannya. "Ada
sesuatu yang tidak beres di situ, Bu. Saya bisa melihatnya. Cobalah
Ibu periksa segera."
"Kamu menunjuk paru-paru Ibu. Tapi Ibu tidak merasa sakit
atau tidak nyaman di situ. Napas Ibu juga biasa-biasa saja."
"Coba Ibu minta difoto rontgen, atau apalah," pinta Chris.
"Baiklah, sayang."
Betty membuat perjanjian dengan seorang dokter spesialis paruparu untuk minggu berikutnya. Ketika hari itu tiba, ingin rasanya ia
membatalkannya karena ia merasa akan membuang waktu dan uang
saja. Tapi mengingat betapa cemasnya Chris, akhirnya ia menjalani
pemeriksaan itu dan dirontgen.
Sungguh aneh, ternyata Chris benar. Foto rontgen di bagian
bawah paru-paru kanannya dan hasil tes selanjutnya mengungkapkan
bahwa Betty mengidap kanker. Dia langsung dibawa ke kamar
operasi, di mana dokter menyingkirkan tumor yang berbahaya itu.
"Anda beruntung sekali," kata dokter kepada Betty setelah dia
dibawa ke ruang perawatan. Melihat suami dan anak-anaknya
menunggui di samping tempat tidurnya, Betty menghela napas lega.
"Kami menemukan kanker itu persis pada waktunya," kata dokter itu.
"Sekarang tinggalmenunggu penyembuhannya saja."
Air mata kebahagiaan mengalir di wajah Chris
"Seandainya saja kanker itu dibiarkan lebih lama lagi," tambah
dokter itu, "mungkin akan terlambat.""Terima kasih, dokter," kata Betty. Lalu ia meraih tangan Chris,
meremasnya dan berkata, "Terima kasih, sayang ? kamu telah
menyelamatkan Ibu "END
Lembah Selaksa Bunga 6 Sherlock Holmes - Klien Terkenal Datuk Sesat Bukit Kubur 2

Cari Blog Ini