Ceritasilat Novel Online

Bayangan Bidadari 2

Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


dengan... suamiku? Dimana pula In Hong anakku?" Cui Hwa hanya sebentar saja menatap wajah laki-laki
itu, karena pandang mata yang penuh kekaguman dan kasih sayang yang ditujukan kepadanya itu
membuat ia tidak berani memandang dan bertemu pandang terlalu lama. Laki-laki itu yang bukan lain
adalah Ong Tiang Houw, menarik sebuah bangku di dekat meja, lalu duduk. Ia menarik napas panjang
berkali-kali, agaknya hendak menenteramkan hatinya yang berguncang, kemudian berkata lambatlambat,
"Biarlah kita bicara dengan hati terbuka dan biarpun yang akan kita bicarakan ini tidak patut
didengarkan oleh seorang anak-anak, akan tetapi kurasa lebih baik Teng San biar tinggal disini agar kau
tidak merasa kikuk dan pula lebih pantas kalau dia mengawanimu disini." Hati Cui Hwa lega mendengar
kata-kata ini, ia merasa setuju dan terhibur mendengar kata-kata yang mencerminkan sikap sopan dan
jujur ini, maka ia mengangguk menyetujui.
"Aku bernama Ong Tiang Houw, seorang... duda yang hidup berdua dengan puteraku ini, Ong Teng
San..." Kembali Cui Hwa mengangguk tanda bahwa ia sudah mengerti akan hal ini, karena memang ia
sudah mendengar dari Teng San bahwa Ibunya meninggal dunia setahun lebih yang lalu. Nama Ong
Tiang Houw tidak pernah dikenalnya, maka tidak mendatangkan sesuatu yang aneh. Padahal bagi dunia
kangouw, nama ini tentu akan dikenal baik sebagai nama seorang pendekar muda yang lihai sekali!
"Dua pekan yang lalu, pada suatu malam, lewat tengah malam, aku mendapatkan kau menggeletak di
dalam hutan dalam keadaan pingsan dan..."
"Dua pekan yang lalu?" Cui Hwa mengulang dan ia memandang wajah Tiang Houw untuk sejenak. Tiang
Houw mengangguk.
"Ya, dua pekan yang lalu. Kau telah menderita sakit demam yang cukup hebat selama hampir dua
pekan."
"Aahhh... teruskanlah.":: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 35
:: CerSil KhoPingHoo :
"Selain kau, aku melihat pula... seorang laki-laki rebah di atas tanah dalam keadaan sudah... tewas." Cui
Hwa tak dapat menahan air matanya yang mengucur keluar. Ia mengangguk-angguk dan berkata
terputus-putus,
"Aku tahu, aku tahu... aku melihat dia... suamiku... menggeletak dengan kepala penuh darah. Sudah
kuduga... dia tentu sudah... meninggal dunia..." Tiang Houw membiarkan Nyonya muda itu terisak-isak
sebentar dan Teng San memeluk Cui Hwa,
"Tenanglah, Ibu, harap suka menguatkan hati..."
"Teruskanlah..." minta Cui Hwa dengan suara sayu.
"Karena di dalam keributan itu aku tidak dapat melakukan sesuatu untuk menolongmu, maka terpaksa
aku lalu membawamu pergi dari tempat berbahaya itu dan membawamu pulang ke rumahku ini. Kau
berada dalam keadaan pingsan dan ketika kau kubawa kesini, kau terserang demam hebat. Nah, hanya
itulah yang dapat kuceritakan." Cui Hwa kembali mengangkat muka, memandang kepada Tiang Houw
dengan sinar mata penuh selidik.
"Siapakah yang membunuh suamiku?" Ketika ia melakukan pertanyaan ini, kedua matanya demikian
tajam menatap wajah Tiang Houw sehingga yang dipandang terpaksa mengalihkan pandang matanya
kekanan, tidak berani menghadapi sinar mata Cui Hwa secara langsung. Tiang Houw adalah seorang lakilaki gagah perkasa yang takkan merasa gentar menghadapi keroyokan musuh yang bagaimana kuatpun,
akan tetapi kini menghadapi Cui Hwa dengan sinar matanya yang bening tertutup air mata itu dan
mendengar pertanyaan yang diucapkan oleh bibir yang gemetar, hatinya berdebar keras! Dan baru
pertama kali ini selama hidupnya, Tiang Houw merasa takut dan tidak merasa malu untuk membohong!
"Malam hari itu terjadi keributan besar, orang-orang miskin membalas dendam kepada orang-orang
yang menindas mereka, aku hanya mendapatkan kau dan... suamimu dalam keadaan seperti yang
kututurkan tadi, bagaimana aku bisa tahu?" jawab Tiang Houw secara menyimpang.
"Ibu, kalau Ayah tahu orang yang membunuh, tentu pembunuh itu takkan dapat melarikan diri. Ayah
adalah seorang gagah yang berkepandaian tinggi..."
"Teng San, jangan menyombong!" tegur Tiang Houw.
"Tidak, Ayah, terhadap orang lain tentu saja anak tidak akan mau menyombongkan diri atau
menyombongkan Ayah, akan tetapi di depan Ibu..." Akan tetapi, ia segera menghentikan kata-katanya
ketika melihat pandang mata Ayahnya melarangnya bicara terus. Cui Hwa termenung sejenak.
Kemudian ia bertanya,
"Dan tahukah kau dimana adanya puteriku, In Hong?"
"Sayang sekali aku tidak tahu, dan ketika aku mendapatkan kau di dalam hutan itu, aku tidak melihat
lain orang, tidak melihat seorang anak-anak disana." Kembali Cui Hwa termenung. Memang ia tahu
bahwa Tiang Houw tak mungkin bertemu dengan In Hong. Anaknya itu telah melarikan diri dengan Can
Mama, dan ia tidak tahu bagaimana nasib mereka. Mengingat betapa ia telah ditinggal mati suaminya
dan kini kehilangan anaknya yang belum diketahui bagaimana nasibnya, kembali air matanya seperti:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 36
:: CerSil KhoPingHoo :
membanjir keluar. Perlahan ia berdiri dan kata-kata yang keluar lambat-lambat dari bibirnya yang telah
memerah kembali, terdengar jelas,
"Aku harus membalas dendam kepada orang yang menyebabkan kematian suamiku dan kehilangan
anakku!" Kata-kata ini lambat-lambat dan perlahan, namun terdengar bagaikan suara guntur
menggelegar bagi telinga Tiang Houw sehingga mukanya berubah pucat. Adapun bagi telinga Teng San,
suara itu terdengar amat mengharukan, maka sambil memeluk pinggang Nyonya muda itu, ia berkata
keras,
"Jangan khawatir, Ibu, anakmu Teng San kelak akan mencari dan membalas dendam kepada keparat
itu!!"
"Diamlah kalian!" Tiang Houw membentak, membikin kaget kepada Cui Hwa dan Teng San. Ketika
mereka menengok, mereka melihat Tiang Houw sudah duduk sambil menutup muka dengan kedua
tangannya. Teng San melompat dan memegang pundak Ayahnya.
"Kenapakah, Ayah?"
Cui Hwa juga memandang heran dan sampai lama Tiang Houw tidak mengeluarkan sedikitpun suara.
Terjadi pertentangan di dalam dada pendekar itu. Ia ingin berterus terang sebagai seorang gagah, bahwa
dialah yang membunuh Kwee Seng, membunuh bukan karena dendam perseorang, ingin berterusterang bahwa dia sebagai laki-laki gagah berani bertanggung-jawab atas semua perbuatannya. Akan
tetapi dilain pihak, ia takut kalau-kalau Nyonya ini akan membencinya. Makin lama, makin dalamlah
perasaan cinta kasihnya kepada Cui Hwa sehingga ia memberitahu kepada Teng San yang selalu
bertanya bahwa wanita ini adalah pengganti Ibu Teng San. Dan lebih berat lagi baginya, tidak saja dia
telah jatuh hati betul-betul kepada Cui Hwa, bahkan Teng San sendiri sudah menyinta Cui Hwa sebagai
seorang anak terhadap Ibunya. Akhirnya, cinta kasih lebih kuat daripada kegagahan.
"Untuk apa ribut-ribut tentang kematian? Mati atau hidup bukanlah urusan manusia, melainkan
keputusan dari Thian Yang Mahakuasa. Siapa pula yang mengira bahwa Ibumu dapat meninggal dunia,
Teng San?" Kembali Tiang Houw menutup mukanya, bukan saja karena merasa malu kepada diri sendiri
karena kebohongannya, akan tetapi juga karena ia merasa berduka kalau mengingat isterinya yang
membunuh diri gara-gara perbuatan laknat dari seorang hartawan jahanam. Cui Hwa memandang
kepada Ayah dan anak ini. Hatinya mulai tertarik dan terharu.
"Kalian ini orang-orang yang berbudi mulia," katanya dan ia kini menentang pandang mata Tiang Houw
yang telah menurunkan tangannya dari depan muka, "aku berterima kasih sekali kepadamu, saudara
Ong. Kau juga seorang anak yang amat berbakti dan baik, Teng San, aku benar-benar suka sekali
kepadamu. Akan tetapi, sekarang aku harus pergi, tidak selayaknya aku lebih lama tinggal di rumah
kalian ini." Tiang Houw terkejut dan mukanya berubah. Apalagi Teng San, anak ini segera menubruk Cui
Hwa dan menangis.
"Ibu, jangan pergi meninggalkan kami! Bukankah aku anakmu dan kau sudah menjadi Ibuku...? Ayah,
jangan perbolehkan Ibu yang ini pergi lagi seperti Ibu yang dulu...!" Tiang Houw merasa terharu dan ia
hanya memandang dengan muka sedih. Dengan suara yang parau ia menjawab,
"Teng San, bagaimana Ayahmu bisa menahan? Ayah pun tidak berdaya, anakku, hanya dapat berduka
dan kecewa." Cui Hwa bingung. Ia benar-benar merasa kasihan kepada dua orang ini.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 37
:: CerSil KhoPingHoo :
"Tidak bisa, aku pergi. Aku harus mencari In Hong, anakku. Aku tidak boleh tinggal disini, apa akan kata
orang lain?"
"Orang lain sudah mengetahui bahwa kau tinggal bersama kami selama dua pekan, bahkan Teng San
sudah membanggakan bahwa kau adalah Ibunya, hal ini diceritakannya kepada siapapun juga yang mau
mendengarnya." Merahlah wajah Cui Hwa dan ia memandang kepada Teng San dengan marah. Akan
tetapi kemarahannya lenyap ketika ia memandang kepada anak itu. Bagaimana ia bisa merasa marah
kepada anak yang memandangnya dengan sinar mata demikian menyinta? Bahkan sinar mata In Hong
tidak sehalus anak ini kalau memandangnya.
"Bagaimana ini? Mengapa kau diamkan saja anakmu bicara seperti itu?" Tiang Houw kini merah
mukanya dan dengan lambat perlahan ia menjawab,
"Memang aku tidak melarangnya, karena aku... akupun mempunyai pikiran yang sama. Aku... aku mau
kau... yakni kalau kau sudi... kau menjadi pengganti Ibu anakku..." Sukar sekali kata-kata ini keluar dari
mulut pendekar yang tidak pernah gentar menghadapi penjahat besar itu. Wajah Cui Hwa menjadi
makin merah. Ia bingung sekali karena anak dan Ayah ini benar-benar aneh.
"Bagaimana kau dan anakmu bisa berpikiran begitu? Aku kehilangan anakku..."
"Dan aku kehilangan Ibuku!" Teng San menjawab cepat.
"Dan Teng San dapat menjadi anakmu yang berbakti dan baik," Tiang Houw membantu anaknya.
"Akan tetapi... aku baru saja kematian suamiku...," kata pula Cui Hwa.
"Dan aku kematian isteriku!" kata pula Tiang Houw cepat-cepat untuk mengimbangi keadaan Cui Hwa.
"Dan tentang pemikahan kita, tak perlu terburu-buru, terserah kepadamu memilih waktu setelah kau
melepas perkabunganmu."
"Dan Ayah adalah seorang Ayah dan suami yang baik sekali!" Teng San yang cerdik membantu Ayahnya.
"Aku berani tanggung bahwa dia akan menjadi seorang suami yang tiada bandingnya di dunia ini!"
Wajah Cui Hwa makin merah dan ia menjadi makin bingung, tidak tahu harus mengambil keputusan
bagaimana.
"Aku harus mencari In Hong, harus tahu bagaimana nasibnya. Bagaimana aku dapat memikirkan nasib
sendiri kalau keadaannya belum kuketahui?" Kata-kata ini merupakan keluhan.
"Hujin (Nyonya)..." kata Tiang Houw, akan tetapi sebelum ia melanjutkan kata-katanya, Teng San
menegurnya,
"Ayah, alangkah lucunya panggilan itu. Mengapa Ayah menyebut Nyonya kepada Ibuku?" Tiang Houw
menjadi gugup, demikianpun Cui Hwa. Akan tetapi Tiang Houw dapat mengatasi keadaan yang lucu dan
ganjil ini, maka katanya sambil tersenyum,
"Betul juga, sampai demikian lama, aku belum mendapat tahu namamu, bolehkah kami
mengetahuinya?":: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 38
:: CerSil KhoPingHoo :
"Aku adalah Nyonya Kwee..."
"Ibu, mengapa masih memakai nama itu? Ibu tentu mempunyai nama sendiri, bukan?" tanya Teng San
sebelum Ayahnya dapat mencegahnya. Namun Cui Hwa tidak menjadi marah karena ia maklum bahwa
anak itu belum tahu apa-apa dan tidak bermaksud menyinggung hatinya.
"Teng San, dahulu aku bernama Yo Cui Hwa."
"Nama yang bagus! Ibu, bagus sekali namamu. Yo Cui Hwa, ah, benar-benar indah. Bukan begitu, Ayah?"
Tiang Houw hanya mengangguk-angguk.
"Memang bagus, nah sekarang dengarlah usulku, adik Cui Hwa. Tentang puterimu yang masih belum
diketahui tempat tinggalnya dan nasibnya itu, biarlah kau serahkan kepadaku untuk mencarinya. Kalau
memang dia masih ada, tentu aku akan dapat membawanya kesini dan biar dia tinggal bersama kita
disini. Bukankah hal itu akan baik sekali?"
"Bagus, aku akan mendapatkan seorang adik! Aku senang sekali!" Teng San berteriak-teriak. Tentu saja
Cui Hwa setuju. Memang baginya sendiri, amat berat untuk mencari In Hong. Dia seorang wanita lemah,
bagaimana ia dapat mencari In Hong? Kalau Tiang Houw mau mencari, itulah hal yang paling baik.
"Terima kasih, saudara Ong. Kau lagi-lagi memperlihatkan budimu yang amat baik. Ketika terjadi
penyerbuan, anakku itu dibawa pergi oleh Can Mama, inang pengasuhnya. Kalau aku tidak salah kira,
tentu oleh Can Mama, anakku itu dibawa lari ke See-Ciu, dimana tinggal seorang Pamanku yang
bernama Yo Tang. Harap kau suka mencarinya disana."
"Baik, adik Cui Hwa. Hari ini juga aku akan berangkat. Harap kau baik-baik tinggal di rumah bersama
anak kita." Merah pipi Cui Hwa mendengar ini, akan tetapi ia tidak marah dan hanya mengelus-elus
kepala Teng San. Ia harus akui bahwa Tiang Houw benar-benar merupakan seorang laki-laki yang tidak
saja tampan dan gagah, akan tetapi juga bersikap halus dan berbudi mulia dan sopan. Suaminya telah
meninggal dunia, dan agaknya di dalam dunia ini tidak mungkin ia mendapatkan seorang calon suami
seperti Ong Tiang Houw. Demikianlah, Tiang Houw pada hari itu juga meninggalkan rumahnya dan mulai
dengan perjalanannya mencari puteri dari keluarga Kwee yang dibasminya bersama anak buahnya!
Sesuai dengan keterangan Cui Hwa, ia mencari ke See-Ciu dan benar saja, di kota ini ia mendengar
tentang adanya seorang hartawan bernama Yo Tang. Ia mulai menyelidiki karena untuk langsung
mendatangi hartawan ini, ia merasa tidak enak. Dari keterangan yang ia kumpulkan, ia mendengar
bahwa memang betul rumah hartawan Yo itu kedatangan seorang Nenek tua bernama Can Mama dan
orang-orang mengabarkan pula bahwa Can Mama adalah pelayan dari seorang keponakan Yo-Wangwe
di dusun Tiang-On yang sudah dibasmi oleh para penyerbu, yakni pasukan Kai-Sin-Tin. Akan tetapi ketika
ditanya tentang seorang nona kecil bernama In Hong, tak seorang pun mengetahuinya. Oleh karena itu,
Tiang Houw lalu mengambil jalan pendek. Pada malam harinya, ia mendatangi rumah gedung hartawan
Yo dan di luar tahunya siapapun juga, ia menangkap dan membawa pergi Can Mama!
Setelah mendapat keterangan dari Can Mama bahwa nona In Hong dibawa pergi oleh seorang Nenek
seperti siluman, Tiang Houw menjadi bingung. Ia dapat menduga bahwa yang membawa pergi In Hong
tentulah seorang kangouw yang berkepandaian tinggi, yang suka melihat nona kecil itu dan hendak
mengambilnya menjadi murid. Maka tiada lain jalan baginya kecuali membawa Can Mama pulang ke:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 39
:: CerSil KhoPingHoo :
dusunnya sendiri. Pertemuan antara Cui Hwa dan Can Mama amat mengharukan. Setelah bertangistangisan mereka saling menuturkan pengalamannya dan Cui Hwa menangis sedih ketika mendengar
bahwa In Hong dibawa pergi oleh seorang Nenek seperti siluman. Ia mengira bahwa Nenek itu tentu
sebangsa siluman yang akan mengganggu puterinya. Akan tetapi Tiang Houw menghiburnya.
"Nenek itu tentu seorang kangouw yang berkepandaian tinggi. Aku berani memastikan bahwa anakmu
itu akan selamat, adik Cui Hwa. Jangan kau khawatir, aku akan bertanya-tanya kepada kawan-kawan di
dunia kangouw kalau-kalau ada yang melihat anakmu. Kalau yang membawanya itu seorang kangouw,
percayalah kepadaku, kalau aku yang minta tentu ia akan memberikan In Hong kepadaku."
Akhirnya, berkat hiburan Tiang Houw, Teng San, dan dibantu pula oleh Can Mama, akhirnya hati Cui
Hwa terhibur juga. Terutama sekali, dengan adanya Can Mama disitu, ia merasa lebih suka tinggal disitu.
Akhirnya iapun tidak me-nolak menjadi isteri Tiang Houw yang diketahui benar-benar memang amat
baik budinya. Can Mama juga membantu Tiang Houw dengan bujukan-bujukannya, karena orang tua ini
juga tidak melihat jalan lain yang lebih baik bagi Nyonya majikannya. Memang betul mereka dapat pergi
ke See-Ciu, akan tetapi apa akan kata orang kalau mengetahui bahwa Nyonya janda muda itu sudah
lama tinggal di rumah seorang duda yang hidup berdua dengan puteranya?
Kalau Pamannya, yakni Yo-Wangwe mendengar pula, tentu akan marah sekali dan mungkin akan
mengusirnya, karena akan menganggap bahwa Cui Hwa hanya akan mencemarkan nama baik keluarga
Yo! Memang pada waktu itu, peraturan di Tiongkok bagi pihak wanita amat keras dan bengis. Semenjak
menikah dengan Cui Hwa, Tiang Houw tidak lagi mau memimpin orang-orang untuk menyerbu dusun
dan kota. Tidak lagi ia menaruh hati dendam kepada hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan. Ini
adalah jasa dari Cui Hwa. Didalam percakapan mereka, ketika Tiang Houw menyatakan pembelaannya
terhadap para jembel yang menyerbu kota dan dusun, yang membalas dendam kepada orang-orang
hartawan dan pembesar yang dianggap orang-orang yang mencekik kehidupan mereka, Cui Hwa
menjawab penuh semangat,
"Alangkah picik dan rendahnya pendirian macam itu! Memang tak dapat disangkal kebenarannya bahwa
ada orang-orang hartawan dan bangsawan yang jahat dan keji, yang tidak segan-segan memeras
keringat dan darah rakyat kecil. Akan tetapi harus diingat pula bahwa ada juga orang miskin yang pada
dasarnya berwatak rendah dan jahat! Tak dapat disangkal pula bahwa ada di antara bangsawan dan
hartawan yang berhati mulia, seperti juga halnya petani miskin ada pula yang berhati baik. Bagaimana
manusia bisa disama ratakan? Bukan semua orang hartawan mendapatkan harta bendanya dengan jalan
memeras keringat orang miskin! Apa sih jahatnya seseorang yang rezekinya kebetulan banyak dan baik?
Suamiku, memang aku tahu akan rasa sakit hatimu karena keluargamu musnah akibat perbuatan busuk
seorang hartawan keji, akan tetapi sungguh merupakan penasaran besar kalau kau lalu menganggap
semua hartawan jahat belaka. Coba bayangkan, andaikata kau bekerja keras kemudian berhasil
mengumpulkan harta benda dengan halal, kemudian datang para jembel itu yang membalas dendam
kepada para hartawan sehingga kau dan anak isterimu menjadi korban pula, bagaimana perasaan
hatimu?" Tiang Houw diam saja, mendengarkan penuh perhatian.
"Seorang hartawan berlaku jahat lalu semua hartawan dibasmi, benar-benar merupakan penasaran
besar! Andaikata ada seorang jembel melakukan kejahatan, apakah semua orang jembel di dunia inipun
harus dibasmi habis? Menilai watak orang tak dapat dipandang dari sudut kaya miskinnya, melainkan
dari perbuatannya. Memang, kekayaan bisa membikin orang menjadi jahat, akan tetapi sebaliknya harus
diingat bahwa kemiskinan pun bisa membikin orang menjadi mata gelap dan jahat. Semua tergantung:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 40
:: CerSil KhoPingHoo :
dari si orang itu sendiri." Diam-diam Tiang Houw memuji kebijaksanaan isterinya dan diam-diam ia harus
akui bahwa tadinya dia terlampau menurutkan nafsu dan dendam.
Memang, pembalasan dendam yang ditujukan kepada semua orang hartawan dan bangsawan, benarbenar tidak adil sama sekali. Ia merasa malu kepada diri sendiri dan tanpa diketahui oleh isterinya, ia
lalu mendatangi kawan-kawannya dan membubarkan Kai-Sin-Tin, bahkan mengancam agar mereka
jangan sekali-kali melakukan penyerbuan yang membabi buta itu! Setahun setelah mereka menikah, Cui
Hwa melahirkan seorang anak perempuan. Bukan main girangnya keluarga itu dan terutama sekali Cui
Hwa dan Can Mama. Kedua orang wanita ini terhibur kedukaan hati mereka karena kini ada seorang
anak perempuan yang menggantikan In Hong yang telah lenyap tiada kabar ceritanya. Sia-sia saja Tiang
Houw mencari kemana-mana, karena ia tidak tahu bahwa In Hong dibawa oleh Hek Moli ke puncak
Ciung-lai-san dan semenjak itu tak pernah turun-gunung.
Cui Hwa hidup dengan aman dan tenteram dan kelihatannya berbahagia. Suaminya benar-benar
seorang yang amat cinta kepadanya. Teng San lebih-lebih lagi merupakan seorang putera yang amat
berbakti, bahkan sikap anak ini demikian baik kepadanya sehingga Cui Hwa merasa bahwa anak itu
seperti anaknya sendiri. Adapun anak perempuan yang menjadi adik Teng San itu bernama Ong Lian
Hong, makin besar makin nampak kecantikannya, serupa benar dengan Ibunya sehingga tentu saja
serupa pula dengan In Hong! Teng San amat sayang kepada adik tirinya ini, demikianpun Lian Hong amat
kasih kepadanya. Memang tidak ada sesuatu nampaknya yang akan dapat mengurangi kebahagiaan Cui
Hwa. Akan tetapi, tetap saja ada sesuatu yang menusuk hati dan merupakan ganjalan di dalam
kebahagiaan Cui Hwa.
Seringkali ia minta kepada suaminya, yang diketahuinya seorang pendekar perkasa, untuk mencari tahu
dan menyelidiki siapakah sebenarnya pembunuh dari Kwee Seng! Tiada apapun jua di dalam dunia ini
yang kekal. Segala sesuatu berubah pada saatnya, dan tidak ada kekuasaan di dunia yang dapat
mencegah terjadinya perubahan ini. Anak-anak berubah menjadi dewasa, orang dewasa menjadi tua,
yang tua meninggal dunia, dilain pihak manusia-manusia baru terlahir dan muncul di dunia
menggantikan mereka yang pergi ke tempat asal. Tepatlah kata-kata orang bijaksana dijaman dahulu
bahwa Langit dan Bumi serta segala isinya berasal dari ADA, sedangkan ADA berasal dari TIADA!
Bukankah segala sesuatu yang kita lihat di depan mata kita ini tadinya memang TIDAK ADA? Dan
bukankah semua ini kelak juga kembali menjadi TIDAK ADA?
Demikian pula dengan kebahagiaan hidup manusia. Dimana ada kebahagiaan kekal di dunia ini? Kalau
orang mengira bahwa ia mengenal kebahagiaan, itu berarti bahwa iapun akan mengenal kesengsaraan!


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalau orang bisa bersenang, pasti ia bisa berduka. Inilah hukum IM-YANG dari pada alam yang meliputi
kehidupan seluruh alam, hukum yang tak dapat disangkal pula kebenarannya. Kalau ada siang pasti ada
malam, kalau ada kanan pasti ada kiri, ada senang pasti ada susah dan ada bahagia pasti ada sengsara.
Sebaliknya, tanpa siang takkan ada malam, tanpa kanan takkan ada kiri dan sebagainya. Kalau kita tidak
mengenal senang, bagaimana dapat mengenal susah? Manusia selalu menjadi hamba daripada
perasaannya sendiri dan karena inilah maka ia terombang ambing dalam permainan perasaan yang
seluruhnya dikuasai oleh tenaga IM-YANG.
Karena kelemahan manusia inilah maka Guru besar Khong Hu Cu mengajar manusia tentang Tiong-yong,
tentang menguasai hati dan perasaan sendiri agar selalu "Tiong" atau lurus tegak, tidak condong ke
kanan atau ke kiri, tidak con-dong kepada IM maupun kepada YANG. Tidak terseret oleh suka maupun
duka, sehingga orang akan menerima segala apa dengan tenang. Penghidupan keluarga Ong Tiang Houw
memang tadinya nampak seakan-akan mereka itu selalu berbahagia dan tidak pernah mengenal duka.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 41
:: CerSil KhoPingHoo :
Ong Tiang Houw dan isterinya yang baru, yakni Yo Cui Hwa, saling menyinta dan hidup rukun sekali.
Putera dan puteri mereka, Ong Teng San dan Ong Lian Hong, juga amat penurut serta berbakti kepada
orang tua. Teng San merupakan seorang pemuda yang benar-benar patut disayang. Biarpun Cui Hwa
adalah Ibu tirinya, akan tetapi ia Ibu tirinya seperti Ibu sendiri.
Juga ia sayang kepada adik tirinya, Lian Hong. Boleh dibilang dialah yang mengasuh adiknya ini selalu,
sungguhpun sudah ada pelayan atau inang pengasuh. Disamping kebaikan-kebaikan ini, Teng San juga
merupakan seorang pemuda yang amat gagah, tubuhnya tinggi besar dan tegap, mukanya kemerahan
dan alisnya tebal. Ilmu silatnya lihai karena semenjak kecil ia digembleng oleh Ayahnya. Juga Lian Hong
setelah berusia enam tahun, mulai menerima latihan dari kakaknya. Adapun Lian Hong, serupa benar
mukanya dengan Ibunya, cantik manis dan lucu. Anak ini amat disayang oleh Ayah-Bunda serta
kakaknya, maka ia menjadi manja sekali. Apa saja yang dimintanya, pasti dipenuhi oleh Ayah-Bundanya.
Memang, dipandang begitu saja orang akan mengira bahwa kehidupan keluarga ini sudah amat
berbahagia, tiada kekurangan dan tiada sesuatu yang dapat menyusahkan hati mereka.
Akan tetapi, pada hakekatnya tidaklah demikian. Cui Hwa memang sudah dapat merasa puas menjadi
isteri Tiang Houw, namun Nyonya ini selalu merasa penasaran dan sakit hati atas kematian suaminya
yang pertama, yakni Kwee Seng. Tiap kali ia teringat akan suaminya yang terbunuh secara menyedihkan
dan teringat kepada putrinya, In Hong yang belum juga diketahui bagaimana nasibnya, ia lalu mendesak
kepada suaminya untuk menyelidiki. Tiang Houw sudah bertahun-tahun berperang di dalam dadanya
sendiri. Dia adalah seorang gagah yang menjunjung tinggi kegagahan, menjunjung tinggi kejujuran dan
karenanya ia merasa amat sengsara bahwa selama ini ia membohongi isterinya yang dicintainya.
Sebagaimana diketahui, yang membunuh Kwee Seng suami pertama dari Cui Hwa adalah Ong Tiang
Houw sendiri,
Akan tetapi sudah se puluh tahun mereka menjadi suami-isteri, Tiang Houw masih belum berani
mengakui perbuatannya. Pada suatu senja, keluarga itu duduk bercakap-cakap di ruang depan setelah
makan sore yang selalu dilakukan berbareng. Tidak seperti biasanya, Cui Hwa nampak termenung dan
berduka, agaknya ada sesuatu yang mengganjal di dalam dadanya. Suaminya maklum bahwa lagi-lagi
isterinya ini memikirkan tentang sakit hati yang belum juga terbalas, dan sudah dalam beberapa hari ini,
seringkali mereka berbantahan kalau membicarakan hal itu di dalam kamar mereka. Tiang Houw juga
mulai mendongkol, karena ia mulai dihinggapi racun cemburu dan iri hati. Dianggapnya bahwa isterinya
itu, setelah menjadi isterinya selama se puluh tahun, tetap masih menyinta suami pertama.
"Apa kau merasa tidak bahagia menjadi isteriku?" demikian Tiang Houw bertanya pada beberapa hari
yang lalu di dalam kamarnya. "Mengapa kau selalu masih ingat kepada suamimu yang dulu? Ingat, Cui
Hwa, kau sudah menjadi isteriku selama se puluh tahun dan kita sudah mempunyai Lian Hong maka
seharusnya kau merasa puas dan melupakan hal yang sudah-sudah."
"Sudah kucoba, namun sia-sia. Hampir setiap malam aku bermimpi melihat Kwee Seng yang
membujukku agar supaya aku berusaha mencari pembunuhnya. Suamiku, kau adalah seorang gagah
perkasa yang berkepandaian tinggi, di dunia kangouw namamu amat terkenal. Masa kau tidak bisa
mencari pembunuh keji itu?" Demikianlah percakapan itu, percakapan yang membuat Tiang Houw
menjadi tak senang, cemburu dan iri hati, dan yang membuat Cui Hwa selalu murung.
Mulailah timbul suasana yang tegang di antara mereka. Cui Hwa menganggap bahwa suaminya itu
sengaja tidak mencari sungguh-sungguh untuk membalaskan sakit hati mendiang Kwee Seng, adapun
Tiang Houw menganggap bahwa isterinya tidak menyintanya dan masih menyinta kepada suami:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 42
:: CerSil KhoPingHoo :
pertama yang sudah meninggal dunia. Ong Teng San pada waktu itu sudah dewasa, sudah berusia
enambelas tahun, maka ia dapat merasakan suasana yang tidak menyenangkan ini. Akan tetapi tentu
saja ia tidak berani bertanya, hanya menghibur suasana itu dengan mengajak Lian Hong bermain-main.
Kedua orang tua itu hanya memandang saja dan mereka tiada nafsu untuk bercakap-cakap. Keadaan
benar-benar tidak menyenangkan. Teng San merasa sekali akan adanya hal yang tidak menyenangkan
ini, maka ia lalu mengajak Lian Hong masuk.
"Adik Hong, kau tidurlah, besok bangun pagi-pagi dan kita berlatih silat. Kau masih kaku dalam mainkan
jurus keenam, kakimu masih belum benar gerakannya," kata Teng San. Lian Hong cemberut.
"Kau selalu mencela saja, San-ko. Ayah, kau lihatlah, masa gerakan begini masih terus disebut kurang
sempurna oleh San-ko?" Gadis cilik ini lalu bersilat di depan Ayahnya, melakukan jurus keenam yang
dimaksudkan oleh Teng San. Gerakannya lincah dan cepat dan Ayahnya memandang dengan wajah
gembira. Setelah Lian Hong berhenti bersilat, Ayahnya berkata,
"Lian Hong, kau harus selalu menurut dan taat akan petunjuk kakakmu, kulihat memang gerakan kakimu
kurang sempurna. Sekarang tidurlah, besok boleh dilatih lagi dan aku sendiri akan memberi petunjuk
padamu." Lian Hong cemberut. Sebagai seorang anak manja, tentu saja ia tidak senang mendengar
Ayahnya juga mencela kepandaiannya. Maka ia menengok kepada Ibunya.
"Ibu! bukankah gerakanku tadi sudah baik sekali?" Semenjak kecil, kalau Lian Hong bertanya sesuatu
kepada Ibunya, selalu Ibunya memujinya, apalagi dalam ilmu silat memang Cui Hwa tidak tahu apa-apa.
Untuk menyenangkan hati puterinya, dan untuk menambah semangatnya, ia selalu memuji begitu saja.
Akan tetapi kali ini, jawabannya tidak saja mengejutkan Lian Hong, juga amat mengejutkan hati Teng
San. "Apa sih baiknya segala gerakan silat itu? Ilmu yang kasar tiada gunanya, hanya bisa dipakai untuk main
sombong-sombongan! Lian Hong, lebih baik kau belajar menulis dan menyulam, tidak mempelajari ilmu
silat yang tidak ada gu-nanya sama sekali itu!" kata-kata ini terdengar keras dan ketus dan biarpun Cui
Hwa bicara kepada Lian Hong, namun ia mengerling ke arah suaminya, penuh celaan. Mendengar
jawaban ini, Lian Hong yang amat manja lalu menangis. Teng San maklum bahwa ada sesuatu yang tidak
baik telah terjadi antara Ayah dan Ibu tirinya, dan tidak baik kalau Lian Hong yang masih kecil tahu akan
hal ini. Maka Teng San lalu menggandeng tangan adiknya dan diajak pergi ke kamarnya.
"Ibu sedang tak senang pikirannya, jangan kita mengganggunya," kata Teng San sambil mengusap air
mata dari pipi adik tirinya. "Kau tidurlah dan besok Ibu tentu akan bicara manis lagi kepadamu."
Setelah menghibur hati Lian Hong dan melihat adiknya itu akhirnya tertidur, Teng San lalu berjalan
keluar. Ia telah cukup dewasa dan berhak mengetahui apakah yang diributkan oleh kedua orang-tua itu.
Ia ingin menghampiri mereka, ingin menghibur Ibu tirinya dan ingin bertanya kepada mereka tentang
kesusahan mereka agar ia dapat ikut memikirkan dan bantu memecahkan persoalannya. Akan tetapi
ketika ia tiba di belakang pintu yang menembus ke ruang depan, ia mendengar Ayah dan Ibu tirinya
bicara dengan perlahan akan tetapi nadanya menyatakan bahwa mereka sedang marah dan bercekcok.
Hal ini belum pernah terdengar oleh Teng San sebelumnya, maka ia menahan kakinya dan mendengar
dengan wajah berobah.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 43
:: CerSil KhoPingHoo :
"Cui Hwa, kau selalu menyinggung-nyinggung soal itu. Apakah kau masih menyinta suamimu yang sudah
tewas itu dan apakah kau masih belum dapat menghilangkan rasa penasaranmu atas kematiannya?"
terdengar Tiang Houw berkata tak senang.
"Tentu saja aku masih menyintanya! Sebelum aku bertemu dengan kau, Kwee Seng adalah suamiku,
bagaimana aku tidak menyinta suamiku sendiri? Dia seorang yang berbudi baik, suka menolong orangorang miskin, kemudian ia menjadi korban pembunuhan secara keji, bagaimana aku tidak penasaran?
Sekarang, kau suamiku yang memiliki kepandaian silat tinggi, yang katanya sudah menjagoi di dunia
kangouw, melihat kau berpeluk tangan saja, sama sekali tidak mau berusaha untuk mencari pembunuh
mendiang Kwee Seng, bukankah hal ini menambah rasa penasaranku?"
Suara Cui Hwa makin keras dan terdengar ia tergesa-gesa menahan amarah yang meluap-luap.
Mendengar kata-kata kedua orang-tua itu, maklumlah Teng San akan pokok persoalan yang mereka
ributkan. lbu tirinya menghendaki agar supaya pembunuh suaminya yang dahulu dicari agar sakit hati
suaminya itu dapat dibalas, sedangkan Ayahnya agaknya tidak menyetujui akan hal itu. Maka untuk
menghilangkan suasana yang buruk itu, Teng San lalu membuka pintu dan maju memeluk pundak Ibu
tirinya yang kini sudah menangis terisak-isak.
"Ibu, senangkanlah hatimu, Ibu. Jangan Ibu khawatir, anakmu Teng San yang akan berusaha mencari
pembunuh mendiang suamimu yang pertama. Percayalah, anakmu Teng San yang akan menyeret
jahanam itu di depan kaki Ibu..."
"Teng San..., kau gila...!!" Tiang Houw membentak dengan muka pucat. Teng San berpaling kepada
Ayahnya.
"Mengapa gila, Ayah? Ibu sedang menderita dan penasaran bukankah sudah menjadi kewajibanku untuk
berbakti, untuk mencari orang yang menyakiti hatinya?" Tiang Houw merasa kedua kakinya gemetar,
maka ia menjatuhkan diri duduk di atas kursi sambil menghela napas panjang berkali-kali.
"Semua salahku... semua salahku sendiri..." ia berbisik lemah.
"Cui Hwa, ketahuilah, orang yang membunuh Kwee Seng suamimu itu..., dia adalah seorang yang sudah
disakitkan hatinya oleh kaum bangsawan dan hartawan, seperti halku pula. Dalam dendamnya, dia ikut
dalam pasukan yang membasmi dua golongan itu..."
"Jadi kau sudah tahu siapa dia?" tanya Cui Hwa dengan mata terbuka lebar.
"Dia membunuh Kwee Seng bukan berdasarkan kebencian perseorangan, Cui Hwa, akan tetapi dia akan
membunuh siapa saja asal ia hartawan atau bangsawan. Ketika ia membunuh Kwee Seng, ia tidak tahu
siapa itu yang dibunuhnya, kecuali bahwa yang dibunuhnya itu seorang hartawan."
"Kalau kau sudah tahu siapa dia, mengapa tidak lekas-lekas menyeretnya ke sini?" Cui Hwa menuntut,
penuh dengan rasa penasaran. Tiang Houw menarik napas panjang.
"Cui Hwa, orang itu sekarang sudah amat menyesal atas semua perbuatannya yang sudah lalu. Apakah
kau tidak bisa mengampuni orang yang melakukan sesuatu tidak berdasarkan kebencian terhadap
suamimu itu, dan yang sekarang sudah merasa menyesal?":: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 44
:: CerSil KhoPingHoo :
"Seret dia dulu kesini, biar aku bicara sendiri dengan dia, baru aku akan mengambil keputusan," jawab
Cui Hwa.
"Dia... dia malu untuk bertemu denganmu, malu untuk mengakui semua perbuatannya kepadamu..."
"Kalau begitu dia pengecut, pengecut yang harus dibikin mampus!" Dada Cui Hwa berombak. Tiba-tiba
Tiang Houw berdiri dari kursinya. Orang boleh memaki pendekar ini dengan sebutan apapun juga, akan
tetapi jangan sekali-kali ia disebut pengecut. Semenjak kecilnya, Tiang Houw paling benci kepada
pengecut, maka makian pengecut baginya lebih merendahkan daripada makian apapun juga.
"Cui Hwa, aku bukan pengecut!" Cui Hwa menjadi pucat sekali mukanya, sedangkan Teng San sekarang
juga sudah berdiri memandang Ayahnya dengan mata terbelalak kaget. Melihat ini, Tiang Houw
mengangguk-angguk, menghela napas dan berkata dengan tenang,
"Ya, akulah orang itu, Cui Hwa. Akulah pemimpin dari pasukan Kai-Sin-Tin, akulah yang menggerakkan
penumpasan para bangsawan dan hartawan, dan aku pulalah yang telah membunuh suamimu, Kwee
Seng. Kau boleh berbuat apa saja kepadaku, hanya jangan memaki aku pengecut..." Sampai beberapa
detik Cui Hwa berdiri seperti patung, hanya dadanya yang naik turun bergelombang, mulutnya beberapa
kali terbuka akan tetapi tidak mengeluarkan suara apa-apa. Kemudian terdengar ia menjerit nyaring dan
tubuhnya limbung. Ia roboh pingsan dan tentu akan terjatuh kalau tidak cepat-cepat dipeluk oleh Teng
San. Melihat halnya Ibu tirinya, Teng San tak dapat menahan keluarnya dua titik air mata yang
membasahi pipinya. Sambil memondong tubuh Ibunya, Teng San berdiri dan memandang kepada
Ayahnya melalui linangan air mata.
"Ayah, kau membunuh suaminya lalu... lalu mengambilnya sebagai isterimu...?" suaranya sayu dan
mengandung nada benci. Tiang Houw menjadi pucat.
"Tidak... tidak begitu, Teng San.... dengarlah dulu keteranganku..." Akan tetapi dengan isak tertahan,
pemuda itu telah membawa lari Ibu tirinya yang dipondong, menuju ke kamar Ibu tirinya. Dengan hatihati ia membaringkan tubuh Cui Hwa dan mempergunakan air dingin untuk membasahi jidat Ibu tirinya.
Cui Hwa tersadar dan mengeluh, menyebut-nyebut nama In Hong dan Kwee Seng. Ia merasa berdosa
besar, merasa malu kepada diri sendiri. Suaminya mati terbunuh, anaknya entah bagaimana nasibnya
dan dia... dia telah diperisteri oleh pembunuh suaminya itu, hidup dengan penuh kesenangan seakan ia
tidak perduli akan nasib Kwee Seng dan In Hong! Inilah yang amat menyakitkan hatinya.
"Ibu, tenanglah, Ibu... akulah yang akan menanggung semua dosa Ayah...," kata Teng San terharu. Cui
Hwa memandang kepada pemuda itu.
"Pergilah kau...! Pergi dan jangan dekat dengan aku!" Wajah Teng San memang serupa benar dengan
Tiang Houw, dan persamaan ini membuat Cui Hwa tiba-tiba marah terhadap Teng San.
Teng San terisak dan mundur, lalu masuk ke dalam kamarnya sendiri. Tak lama kemudian ia mendengar
Ayahnya memanggil-manggil namanya dan mengetuk-ngetuk pintu, akan tetapi Teng San diam saja,
tidak menjawab. Di luar pintu, dengan wajah pucat Tiang Houw memanggil-manggil nama Teng San.
Ingin ia memukul pecah daun pintu itu, ingin ia menjelaskan semua itu kepada puteranya, akan tetapi ia
menekan perasaannya dan kemudian berjalan pergi ke kamarnya sendiri sambil menarik napas panjang
berulang-ulang. Dan pada keesokan harinya, suami-isteri ini kembali mengalami hal yang lebih hebat,
yakni dengan lenyapnya Teng San bersama Lian Hong! Pemuda yang hancur hatinya itu ternyata telah:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 45
:: CerSil KhoPingHoo :
lari minggat sambil membawa adik tirinya, entah kemana. Cui Hwa menangis menggerung-gerung ketika
melihat Lian Hong lenyap. Ia menudingkan jarinya kepada Tiang Houw, sambil menangis ia memaki,
"Kau lah yang mengakibatkan semua ini, kau... kau pembunuh... kau pengecut...!" Tiang Houw lari
maksud mengejar Teng San dan Lian Hong, namun sia-sia belaka karena kepandaian Teng San sudah
tinggi, ilmunya berlari cepat sudah menyamai Ayahnya dan selain telah tertinggal jauh, juga Tiang Houw
tidak tahu kemana arah tujuan puteranya itu. Semenjak itu, kehidupan Cui Hwa dan Tiang Houw penuh
kegetiran, seakan-akan mereka hidup di dalam neraka. Cui Hwa setiap hari termenung, kadang-kadang
menangis sedih, sama sekali tidak mau bicara kepada Tiang Houw. Sebaliknya, Tiang Houw yang tidak
dikenal lagi oleh isterinya, merasa begitu perih hatinya, apalagi kalau ia mengingat betapa pandangan
Teng San terhadapnya amat rendah.
Ia mendapat pukulan batin yang berat sekali kalau ia mengingat bahwa Teng San menganggapnya
berbatin amat rendah, seorang yang membunuh suami dan merampas isteri! Demikianlah menjadi
kenyataan bahwa penghidupan manusia selalu berobah, kebahagiaan tidak kekal adanya dan siapa yang
tidak kuat menerima rezeki atau ujian yang jatuh kepada diri dan keluarganya, ia akan rusak binasa.
Tiang Houw juga demikian, pendekar yang gagah perkasa ini lalu meninggalkan rumahnya, merantau ke
sana ke mari seperti seorang berobah ingatan. Merantau kemana saja untuk mencari tiga orang, yakni In
Hong, Teng San, dan Lian Hong! Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan dari cerita ini, di dalam
perantauannya itu Tiang Houw bertemu dengan Wi Tek Tosu tokoh Go-Bi-Pai dan dia berhasil mencegah
Tosu yang sakit hati terhadap Hek Moli ini merusak jenazah Hek Moli.
Bahkan pendekar ini lalu mengurus dan mengubur jenazah Hek Moli baik-baik. Hal ini terjadi tiga tahun
semenjak Teng San dan Lian Hong pergi meninggalkan rumah. Kwee In Hong yang diusir oleh Gurunya
untuk turun-gunung dan mencari orang tuanya, tentu saja tidak tahu akan malapetaka yang menimpa
diri Gurunya. Gadis ini turun gunung dengan cepat, menuju ke kota See-Ciu sebagaimana pesan
Gurunya. Kalau orang melihat gadis itu berjalan, dia pasti takkan mengira bahwa gadis ini adalah murid
tunggal dari Hek Moli dan telah memiliki ilmu kepandaian yang setingkat dengan Gurunya sendiri!
Bahkan mungkin sekali In Hong lebih tangguh daripada Hek Moli, karena selain ia lebih muda dan kuat,
juga ia mempunyai gerakan yang lebih ringan. Tentu saja ia masih kalah jauh dalam pengalaman.
Siapa yang akan mengira bahwa gadis yang cantik manis, yang berkulit putih halus, dan yang
mempunyai lenggang demikian halus gemulai, yang gerak geriknya lemah lembut, adalah seorang ahli
silat tniggi? In Hong adalah anak dari Ayah-Bunda yang terpelajar dan yang mempunyai watak halus,
maka sifat ini menurun kepadanya. Akan tetapi, selama belasan tahun dibawah asuhan Hek Moli,
kekerasan hati Iblis Wanita Hitam ini juga menurun kepadanya. Di balik gerak geriknya yang lemah
lembut, tersembunyi hati yang keras seperti baja dan keberanian yang hebat. Bahkan, sifat-sifat Hek
Moli yang ganas menurun pula kepadanya. Seperti juga Gurunya, In Hong melakukan perjalanan dengan
membawa sebatang tongkat hitam, akan tetapi tongkatnya ini kecil saja, sebesar Ibu jari kaki,
panjangnya sama dengan pedangnya yang diikat di belakang punggung.
Di dalam sebuah kantong yang tergantung di ikat pinggangnya, tersembunyi senjata rahasia yang
mengerikan orang-orang kangouw, yakni pasir hitam yang kalau dipergunakan disebut Toat-Beng HekKong (sinar hitam pencabut nyawa)! Pedang Liong-Gan-Kiam pemberi Gurunya hanya kelihatan ronceronce merahnya saja yang melambai-lambai tertiup angin di atas pundaknya. Setelah turun dari puncak
Ciung-lai-san dan menyaksikan pemandangan yang indah, lenyaplah kesedihan In Hong karena harus
berpisah dari Gurunya. Ia berhenti dan dari atas lereng bukit ia memandang ke bawah. Dunia seakan-:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 46
:: CerSil KhoPingHoo :
akan sehelai lukisan indah yang dibuka dihadapan kakinya. Nampak dusun-dusun dengan genteng
rumah yang kemerahan, nampak sungai-sungai yang airnya kelihatan membiru dan berlika liku.
Sawah-sawah menghijau amat indahnya. Semua ini seakan-akan melambai-lambai kepada In Hong,
menyuruh gadis itu segera turun menemui semua itu. In Hong menjadi gembira dan ia lalu berlari turun
dari lereng dengan kecepatan seperti burung terbang. Kedua kakinya ringan sekali dan orang akan
menyangkanya semacam peri penjaga gunung kalau melihat dia melayang-layang seperti itu. Tentu saja
gadis ini bukannya melayang, melainkan berlari cepat, akan tetapi gerakannya demikian ringan dan
cepat sehingga ia kellhatan seperti tidak menginjak bumi. Ia mengeluarkan ilmu lari cepat yang disebut
Teng-in-hui (Terbang menginjak awan)! Akan tetapi bagi mata seorang ahli silat tinggi, tentu akan dapat
melihat gerakan seorang wanita cantik jelita yang berlari cepat dengan gerakan indah gemulai,
Sehingga ia tentu akan mengira bahwa yang berlari turun gunung itu adalah seorang bidadari atau
utusan dari Koan Im Pouwsat! Akan tetapi, gunung Ciung-lai-san amat sunyi dan tidak ada orang yang
melihat gadis ini berlari. Setelah turun gunung dan lalu masuk dusun-dusun kecil, barulah In Hong
berjalan biasa agar jangan menarik perhatian orang lain. Namun tetap saja hampir semua orang, apalagi
laki-laki, menoleh dan memandang kepadanya. Bukan hanya karena pakaiannya yang indah dan berbeda
dengan wanita-wanita dusun, akan tetapi juga jarang sekali orang melihat seorang gadis muda yang
demikian cantik jelita, apalagi yang melakukan perjalanan seorang diri. Hanya karena orang melihat
ronce-ronce gagang pedang Liong-Gan-Kiam maka orang tidak berani bersikap sembarangan
terhadapnya.
Mereka dapat menduga bahwa seorang gadis muda yang berani melakukan perjalanan seorang diri, apalagi yang membawa-bawa pedang, tentulah seorang ahli silat yang sudah tinggi kepandaiannya. Dengan
kepandaiannya yang tinggi, sikapnya yang halus dan uang bekal yang banyak dari Gurunya, In Hong
dapat melakukan perjalanan tanpa banyak rintangan. Bahkan ia telah membeli seekor kuda dari seorang
pedagang kuda, dan melanjutkan perjalanannya ke See-Ciu dengan berkuda. Memang harus diakui
bahwa In Hong tidak biasa naik kuda, namun dengan kepandaian silatnya yang sudah tinggi, sebentar
saja dapat menyesuaikan diri dan dapat duduk di atas punggung kuda dengan enak dan tegak. Beberapa
bulan kemudian, setelah melakukan perjalanan yang amat jauh, sampailah ia di kota See-Ciu. Hatinya
berdebar penuh ketegangan dan pertanyaan.
Apakah ia akan dapat bertemu kembali dengan Ayah-Bundanya di kota ini? Ia hanya masih ingat wajah
Ibunya, seorang wanita yang cantik sekali, akan tetapi wajah Ayahnya ia sudah lupa lagi. Yang masih
teringat betul olehnya malah wajah inang pengasuhnya yakni Can Mama dan In Hong suka tertawa
seorang diri kalau ia ingat kepada inang pengasuh ini. Masih terbayang olehnya betapa Can Ma suka
mendongeng sambil memangkunya, dan boleh dibilang ia lebih dekat dengan Can Ma daripada de-ngan
Ayahnya. Mudah saja baginya untuk mendapatkan rumah Yo-Wangwe. Semua orang di kota See-Ciu
mengenal nama Yo Tang atau Yo-Wangwe yang tinggal di sebuah gedung besar dan indah, berdagang


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hasil bumi dan bahan obat-obatan. Karena perdagangannya ini maka di bagian depan dari rumah
gedungnya terdapat gudang-gudang dengan pekarangan amat lebar.
Banyak orang sibuk bekerja di depan gudang-gudang itu, mengeluar masukkan barang dan keadaan
disitu berdebu dan kotor. Semua pekerja tiba-tiba menghentikan pekerjaan mereka ketika mereka
melihat seorang gadis cantik berpakaian biru memasuki pekarangan itu dan mereka memandang dengan
kagum, juga agak terheran-heran. Memang merupakan penglihatan yang jarang sekali adanya seorang
gadis cantik jelita muncul di tempat itu seorang diri. Ketika baru bertemu dengan orang-orang yang
memandangnya seperti itu, mula-mula memang In Hong merasa jengah dan malu-malu, juga agak:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 47
:: CerSil KhoPingHoo :
marah. Akan tetapi sekarang ia sudah merasa biasa, bahkan bibirnya tersenyum mengejek kalau ia
melihat mata laki-laki seakan-akan hendak menelannya. Kini ia menghampiri mereka yang bekerja itu,
lalu bertanya,
"Sahabat-sahabat, apakah disini tempat tinggal Yo Tang?" Seorang di antara para pekerja itu, yakni
mandornya, cepat melangkah maju dan menjawab,
"Betul dugaanmu, nona. Kau siapakah dan darimana?" Semua orang memperhatikan In Hong dan ingin
sekali mendengar siapa adanya gadis ini, namun In Hong mengecewakan mereka dengan jawaban
sembarangan,
"Kalau betul di sini rumah Yo-Wangwe, tolong beritahukan bahwa aku datang membawa keperluan
amat penting."
"Akan tetapi, kau siapakah, nona? Dan dari mana? Bagaimana kalau dia tanya tentang hal ini
kepadaku?"
"Minta saja dia keluar, aku mau bicara sendiri dengan dia," jawab In Hong singkat. Ia memang merasa
segan untuk memperkenalkan diri kepada orang-orang yang memandangnya seperti itu.
"Akan tetapi, nona, aku harus ketahui siapa kau..." kata mandor itu dan kini ia memandang dengan
curiga ke arah gagang pedang yang tersembul dari balik punggung gadis itu.
"Dia adalah Paman dari Ibuku, cukupkah ini?" kata In Hong yang merasa gemas juga melihat desakan
orang itu. Mendengar ini, mandor itu tidak berani mendesak lagi. Kalau nona ini masih terhitung sanak
dari Yo-Wangwe, ia tidak boleh keterlaluan. Berobahlah sikapnya dan ia membungkuk sambil berkata,
"Ah, mengapa tidak dari tadi kau memberitahu bahwa kau masih cucu dari Yo-loya? Mari, silakan ikut
dengan aku, nona. Yo-loya tinggalnya di rumah gedung sebelah belakang. Di depan ini hanya gudanggudang tempat orang bekerja." Dengan diikuti oleh pandang mata semua orang yang bekerja disitu, In
Hong berjalan bersama mandor itu, melewati samping gudang menuju ke sebuah rumah besar yang
berdiri di belakang gudang-gudang itu. Para pekerja itu sibuk kembali, akan tetapi kini mulut mereka
tiada hentinya bicara memuji kecantikan gadis yang baru tiba itu.
"Cantik jelita benar-benar gadis tadi," kata seorang.
"Dan pedang itu, ia kelihatan gagah. Apakah benar-benar ia pandai main pedang?" kata orang kedua.
"Ah, gadis sehalus dan secantik itu mana bisa main pedang? Senjata hanya untuk hiasan belaka, atau
paling-paling untuk menakut-nakuti penjahat agar tidak berani mengganggunya," kata orang ketiga yang
terkenal pandai silat di antara para pekerja itu. In Hong memiliki pendengaran yang amat tajam terlatih.
Kalau mandor yang mengantarkannya tidak dapat menangkap kata-kata itu, adalah gadis ini mendengar
dengan jelas sekali. Namun ia tidak ambil perduli, hanya tersenyum kecil sambil memperhatikan rumah
gedung yang ia hadapi. Rumah ini benar-benar besar dan mewah, pintu-pintunya dicat kuning dan
temboknya tebal, dikapur putih bersih.
"Kau duduklah dulu, nona, biar aku yang melaporkan ke dalam," kata mandor itu. In Hong mengangguk
dan mengambil tempat duduk di atas sebuah bangku yang banyak terdapat di ruang depan itu. Mandor:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 48
:: CerSil KhoPingHoo :
itu lalu menghampiri pintu dan hendak masuk, akan tetapi tiba-tiba dari dalam keluarlah seorang
pemuda yang ganteng dan berpakaian sebagai jago silat. Gayanya memang gagah dan sikapnya
menunjukkan bahwa ia memiliki tenaga besar.
"Ah, kebetulan sekali kau keluar, Kongcu. Aku hendak menghadap lo-ya..."
"Kwa-lopek, ada apakah dan...?" Pemuda itu menoleh ke arah In Hong dan matanya terbuka lebar,
mulutnya ternganga. "Siapa... eh..." Ia gagap dan mukanya menjadi merah, malu karena kebingungan
dan kegugupannya sendiri. In Hong sudah berdiri dan menjura. Adapun mandor itu laiu
memperkenalkan,
"Kongcu, nona ini adalah seorang tamu yang ingin berjumpa dengan Yo-loya. Katanya dia adalah masih
sanak keluarga. Eh, nona, ini adalah Yo-Kongcu, cucu dari Yo-loya." In Hong memberi hormat, lalu
berkata,
"Harap maafkan kalau aku mengganggu. Kedatanganku ini hanya untuk menanyakan sesuatu kepada YoWangwe, tentang Ayah-Bundaku." Pemuda itu melangkah maju.
"Kau siapakah, nona? Kalau masih keluarga Kongkong (kakek), mengapa aku tidak kenal padamu?" In
Hong tersenyum dan jantung pemuda itu melompat-lompat di dalam rongga dadanya.
"Memang kita belum pernah saling bertemu. Ketahuilah bahwa Ibuku adalah keponakan Kongkongmu
itu, dan Ibuku bernama Yo Cui Hwa. Mendengar disebutnya nama ini, wajah pemuda itu berseri dan ia
berkata kepada mandor tadi,
"Kwa-lopek, dia adalah saudara sendiri dengan aku, kau kembalilah ke tempat kerjamu." Mandor itu
membungkuk lalu pergi keluar.
"Kau... benar-benarkah kau puteri dari bibi Cui Hwa dan kau kah anak yang dulu hilang bersama Can
Mama itu?" tanya pemuda ini, masih ragu-ragu dan memandang kepada wajah yang jelita itu. In Hong
menjadi terharu. Kalau pemuda ini mengenal Can Mama dan tahu akan semua nasib yang diwaktu kecil
ia alami, ia tidak ragu-ragu lagi bahwa ia datang di tempat yang betul.
"Benar," katanya girang, "Namaku adalah In Hong, Kwee In Hong. Dimana Ayah-Bundaku? Apakah
mereka berada disini?"
"Marilah ikut aku masuk ke dalam, moy-moy. Kau adalah adik misanku sendiri. Namaku Yo Kang, aku
sudah banyak mendengar dari Ayah tentang Ibu dan Ayahmu dan kau juga. Aku lebih tua dua tahun
darimu dan aku mendengar kau dibawa pergi oleh seorang Iblis Wanita bernama Hek Moli..." Ia melihat
ke arah gagang pedang yang tersembul dari balik punggung gadis itu. "Ah, siauw-moy, alangkah akan
terkejut dan girangnya hati Kongkong dan Ayah-Ibuku melihat kau datang dalam keadaan selamat," Yo
Kang, pemuda itu, bicara dengan cepat sekali sehingga In Hong menjadi bingung mendengarkannya.
"Dimana Ayah-Bundaku?" tanyanya dan hatinya berdebar gelisah.
"Marilah kita masuk dulu, banyak yang harus kau dengar." Masuklah mereka ke dalam gedung yang
ternyata indah dan penuh dengan perabot rumah yang mahal dan bagus. Mula-mula yang menyambut
In Hong adalah Yo Hang Tek, Ayah Yo Kang, seorang laki-laki berusia empat puluh lebih yang sudah putih:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 49
:: CerSil KhoPingHoo :
semua rambutnya dan nampak tua, tubuhnya tinggi besar seperti Yo Kang, namun sikapnya lemah
lembut. Yo Hang Tek keluar menyambut bersama isterinya, Ibu Yo Kang, yang kurus sekali tubuhnya,
akan tetapi wajahnya masih kelihatan cantik. Yo Hang Tek memandang kepada In Hong dengan mata
terbelalak, kemudian ia memegang pundak gadis itu dan dua matanya basah.
"In Hong, kau... kau seperti Ibumu benar! Aduh, nak, sudah belasan tahun kami putus asa dan mengira
bahwa kau sudah tewas." Melihat sikap Pamannya ini dan mendengar kata-katanya, tak terasa pula
sepasang mata In Hong yang bening itu berlinang. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Pamannya.
"Yo-pekhu, anak In Hong mohon penjelasan mengenai nasib Ayah dan Ibu."
"Nanti dulu, In Hong, marilah kau menghadap kepada Kakekmu, dan disana nanti kita bercakap-cakap,"
kata Yo Hang Tek dan mereka lalu masuk ke dalam ruang belakang dimana Kakek Yo Tang sudah
menanti di atas korsinya yang besar dan empuk. Kakek ini sudah tua, duduk dengan enaknya sambil
mengisap pipa tembakau yang panjang. Seluruh ruangan itu berbau asap tembakau. In Hong lalu
melangkah maju dan berlutut menghaturkan hormat, sedangkan Kakek itu mengangguk-angguk sambil
meniup asap dari mulutnya.
"Hm, kau benar-benar serupa dengan Cui Hwa. Duduklah dan ceritakan semua pengalamanmu. Siapa
namamu? Aku sudah lupa lagi."
"Namaku Kwee In Hong...," kata In Hong lirih.
"Siapa?" Kakek itu majukan kepalanya dan miringkan muka untuk mendengarkan lebih jelas.
"In Hong, bicaralah agak keras, Kongkong sudah kurang pendengarannya," kata Yo Kang kepada In Hong.
Terpaksa In Hong bicara dengan keras, akan tetapi gadis ini hanya mengerahkan khikangnya dan
sungguhpun suaranya bagi orang lain biasa saja, namun karena ditujukan kepada Kakek itu, Yo Tang
dapat mendengar dengan baik. Melihat In Hong bicara masih biasa saja, Yo Hang Tek dan semua orang
takut kalau-kalau Kakek itu tidak mendengar, akan tetapi aneh, Kakek itu ternyata mengangguk-angguk
senang.
"Hm, bagus sekali, aku sekarang ingat, namamu In Hong. Nah, kau ceritakanlah semua pengalamanmu,
In Hong." Hati In Hong kecewa sekali. Ia tidak melihat Ayah-Ibunya disitu, bahkan tidak melihat Can
Mama, padahal ia ingat betul bahwa dulu ketika ia dibawa pergi oleh Hek Moli, Can Mama hendak pergi
ke See-Ciu dan mereka dahulu sudah berada di luar kota. Apakah Can Mama sudah mati? Akan tetapi, ia
merasa tidak pantas kalau ia tidak menurut kehendak Kakek itu, maka dengan ringkas ia bercerita
bahwa ia memang dibawa oleh Hek Moli yang suka kepadanya dan mengambilnya sebagai murid selama
empatbelas tahun. Ia tidak menuturkan panjang lebar tentang ilmu-ilmu silat yang ia pelajari, hanya
menyatakan bahwa Nenek itu amat baik kepadanya.
"Aah, disukai oleh seorang iblis wanita seganas Hek Moli, benar-benar bukan hal yang baik. Biarpun aku
belum pernah bertemu dengan dia, namun namanya yang busuk sudah sampai di mana-mana dan
siapakah yang tidak takut mendengar namanya?" kata Kakek itu. In Hong tidak senang sekali mendengar
ini dan tanpa disengaja ia memandang ke arah Kakeknya dengan mata bersinar. Yo Kang yang sejak tadi
memandang kepada gadis itu dengan penuh perhatian, dapat menangkap pandang mata yang penuh
kedongkolan ini, maka ia bicara, tidak cukup keras sehingga Kakeknya tidak mendengarnya,:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 50
:: CerSil KhoPingHoo :
"Hek Moli adalah seorang tokoh kangouw yang namanya amat disegani dan sepanjang pendengaranku,
biarpun lihai sekali ilmunya, namun ia tidak pernah melakukan kejahatan." Mendengar ini, In Hong
melirik ke arah Yo Kang dengan pandangan mata terima kasih, akan tetapi diam-diam gadis ini juga
heran. Bagaimana kakak misan ini tahu tentang dunia kangouw? Ia tidak mau pusingkan hal itu, dan
dengan tergesa-gesa ia lalu bertanya kepada Yo Hang Tek,
"Pek-hu, dimana adanya Ayah-Ibuku, dan mana pula Can Mama? Apakah mereka tidak berada disini?"
Yo Hang Tek menarik napas panjang, lalu ia bicara dengan suaranya yang halus,
"In Hong, Ayahmu dan Ibumu tidak pernah sampai kesini. Tadinya kami sendiri tidak tahu kemanakah
perginya mereka itu. Akan tetapi setelah kakakmu Yo Kang ini pergi menyelidiki, kami mendengar dari
seorang perwira yang dulu menolong dusun Tiang-On yang diserang oleh para penjahat itu, katanya
mereka telah menemukan Ayahmu yang telah tewas oleh penjahat di hutan." Pucat wajah In Hong dan
kalau saja ia tidak sudah matang latihannya dalam ilmu lweekang dan samadhi, mungkin ia akan
menjerit atau jatuh pingsan. Namun ia menguatkan hatinya dan bahkan masih dapat bertanya, suaranya
tetap tenang,
"Yo-pekhu, siapakah yang menewaskan Ayah dan dimana beliau dimakamkan?" Yo Hang Tek saling
pandang dengan isterinya, agaknya mereka heran melihat ketenangan gadis ini, akan tetapi Yo Kang
memandang penuh kekaguman. Pemuda ini pernah belajar ilmu silat dan ia menghargai kegagahan,
maka melihat sikap In Hong ia suka dan kagum sekali. Ia benci melihat wanita lemah yang mudah
menangis dan mudah jatuh pingsan.
"Hong-moi, aku yang menyelidiki urusan itu, dan aku hanya mendengar bahwa Ayahmu tewas dalam
keributan, tidak tahu siapa yang melakukan pembunuhan itu, dan jenazahnya dirawat oleh pasukan
pemerintah, kini dimakamkan di luar dusun Tiang-On. Aku sudah mengurus kuburannya dan memasang
bong-pay (batu nisannya). Kelak kuantar kau mengunjungi makamnya." In Hong memandang kepada
pemuda itu dan kembali ada sinar terima kasih dalam matanya.
"Dan bagaimana dengan... Ibuku...?" Setelah mengajukan pertanyaan ini, hati In Hong berdebar.
Sungguhpun sekuat tenaga ia menekan perasaannya, namun ia takut bahwa kali ini kalau mendengar
berita buruk tentang Ibunya, ia takkan dapat menahan tangisnya lagi. Ia merasa amat gelisah dan takut.
"Itulah yang membingungkan kami, Hong-moi. Aku sudah mencari kemana-mana, sudah menyebar
kawan-kawan untuk menyelidiki, akan tetapi Ibumu hilang lenyap tak meninggalkan jejak. Benar-benar
aneh sekali. Tak seorangpun tahu kemana perginya Ibumu." Mendengar keterangan ini, hati In Hong
tidak karuan rasanya. Ada perasaan lega bahwa ia tidak mendengar Ibunya telah tewas, akan tetapi juga
ia menjadi bingung, karena kemanakah ia harus mencari Ibunya? Ketika ia memandang kepada pekhunya, Yo Hang Tek berkata
"Yang aneh sekali adalah urusan Can Ma. Pelayan tua itu sudah sampai disini, dan dialah yang bercerita
bahwa kau dibawa pergi oleh Hek Moli. Akan tetapi, baru kurang lebih setengah bulan setelah ia berada
disini, pada malam harinya tahu-tahu ia lenyap dari kamarnya! Tadinya kami mengira bahwa dia diculik
pula oleh Hek Moli..."
"Tidak, Guruku tidak pernah menculik Can Ma!" kata In Hong.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 51
:: CerSil KhoPingHoo :
"Hm, memang aneh sekali hal ini, Hong-moi. Sayang ketika hal itu terjadi, aku masih kecil. Kalau
sekarang, agaknya penjahat yang menculik Can Ma itu akan dapat kutangkap!" In Hong memandang
kepada pemuda ini yang berdiri tegak sambil mengangkat dada, kelihatannya memang gagah sekali.
Kembali hati In Hong bingung dan menduga-duga. Siapakah yang telah menculik Can Ma? Ia mendugaduga dan otaknya yang cerdik bekerja keras. Tentu ada hubungannya dengan Ibunya yang hilang,
pikirnya, kalau tidak, siapakah yang mau menculik pelayan tua itu?
"Apakah Can Ma tidak diam-diam pergi dari rumah ini?" tanyanya.
"Tidak mungkin. Mengapa ia harus pergi minggat? Dan pula, ada tanda-tanda jendela dibongkar orang
dari luar. Pasti ada yang menculiknya,'' kata Yo Hang Tek. Setelah semua orang berhenti bicara. Kakek Yo
batuk-batuk dan ia sudah merasa amat gemas karena ia tidak dapat mendengar percakapan itu dengan
jelas. Suara batuk-batuk ini sudah dikenal baik oleh semua keluarga disitu. yakni bahwa si tua itu
menghendaki supaya semua orang berhenti bercakap-cakap dan bubar.
"In Hong, sekarang kau sudah datang, itu bagus sekali. Kau harus tinggal disini dan tidak boleh keluar
dari rumah. Tidak patut seorang gadis yang sudah remaja keluar dari rumah, terlihat oleh orang-orang
lelaki yang bukan keluarganya! Biarpun kau sudah menjadi murid Hek Moli, aku tidak suka melihat kau
berkeliaran di dunia luar rumah keluarga. Kau tinggal disini, belajar menyulam dan kerajinan tangan lain
dari bibimu, dan kelak aku akan mencarikan calon jodoh yang baik untukmu."
Sambil berkata demikian, Kakek ini menyedot huncwenya (pipa tembakaunya) dan melambaikan tangan
menyuruh semua orang keluar dari situ. Bukan main mendongkolnya hati In Hong. Ingin ia mendamprat
Kakek itu yang menghina Gurunya, ingin ia berlari keluar dari rumah besar ini, karena untuk apakah ia
tinggal lebih lama disitu kalau Ayah-Bundanya, juga Can Ma tidak berada disitu? Akan tetapi, isteri Yo
Hang Tek sudah menggandeng tangannya dan pek-hunya telah memberi isyarat dengan mata sehingga
ia menurut saja ketika digandeng keluar oleh isteri pekhunya. Setelah tiba di luar ruangan dimana Kakek
itu masih duduk mengisap huncwenya, In Hong berkata kepada Yo Hang Tek,
"Yo-pekhu, maafkan bahwa aku tidak bisa lama disini. Aku harus pergi sekarang juga untuk mencari Ibu
dan Can Ma." Yo Hang Tek nampak terkejut, demikianpun Yo Kang.
"Mengapa begitu, Hong-moi? Kau berada di antara keluarga sendiri, jangan kau berlaku sungkan. Soal
Kongkong, jangan kau pikirkan, orang-tua itu sudah pikun dan tuli..."
"Kang-ji!" Ibunya membentaknya. Yo Kang mengangkat pundak.
"Hong-moi, jangan kau khawatir tentang Ibumu. Akulah yang akan membantumu mencarinya lagi.
Ketahuilah, aku seringkali keluar kota untuk mengurus perdagangan, dan di dunia kangouw aku
mempunyai banyak sekali kenalan. Dengan bantuanku, lebih mudah bagimu untuk mencari Ibumu."
"Benar kata-kata Kakekmu, In Hong. Tidak baik kalau kau keluar lagi. Kalau keluar, kau hendak
kemanakah? Betapapun juga, harus kau akui bahwa tidak selayaknya seorang gadis seperti engkau
merantau mencari Ibumu sendiri, se-dangkan kau tidak tahu dimana adanya Ibumu itu. Tinggallah disini,
dan perlahan-lahan kita berdaya mencari Ibumu." Tidak enak hati In Hong untuk berkeras. Di antara
semua orang yang menjadi sanaknya ini, hanya Yo Hang Tek dan terutama sekali Yo Kang yang baik
sikapnya dan menyenangkan hati, akan tetapi Ibu Yo Kang sikapnya dingin saja, apalagi Kakek
berhuncwe itu! Ketika ia memandang kepada pekbo-nya (isteri uaknya), Nyonya Yo ini berkata,:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 52
:: CerSil KhoPingHoo :
"In Hong, kau mendapat kamar di sebelah kiri kamarku," kemudian ia berkata kepada Yo Kang, "Kang-ji,
hayo kau suruh pelayan membersihkan kamar itu untuk In Hong." Yo Kang cepat pergi dan wajahnya
gembira sekali. Terpaksa In Hong menurut dan malam hari itu ia rebah di atas pembaringan dalam
kamarnya. Ia hanya makan sedikit saja karena hatinya diam-diam amat berduka. Ayahnya tewas
dibunuh orang tanpa ia tahu siapa pembunuhnya. Ibunya lenyap tanpa ada orang tahu dimana tempat
tinggalnya dan apakah ia masih hidup ataukah sudah mati. Juga Can Mama lenyap diculik orang.
"Alangkah buruk nasib Ayah-Ibu..." Dan dengan amat terharu ketika mengenangkan Ayahnya, ia
berbaring menelungkup dan menyembunyikan mukanya di atas bantal.
Ia menangis sedih dan dengan seorang diri di dalam kamar, kini ia memuaskan hatinya dan membiarkan
airmatanya membanjiri bantal. Ia mendengar suara pekhu dan pekbonya bercakap-cakap di kamar
sebelah. Pendengaran In Hong memang luar biasa tajamnya karena ia memang menerima latihan
khusus dari Gurunya untuk kepandaian ini. Akan tetapi ia tidak mau memperhatikan percakapan mereka
yang hanya terdengar lapat-lapat karena terhalang oleh tembok tebal. Tiba-tiba ia mendengar nama "In
Hong" disebut-sebut dan suara mereka mengandung nada marah. Tertariklah hati In Hong. Kalau
mereka tidak membicarakaan dia, iapun tidak nanti suka mendengarkan orang, akan tetapi setelah
namanya disebut-sebut, ia lalu bangkit, duduk dan menempelkan telinganya pada tembok yang
memisahkan kamarnya dengan kamar pekbonya.
"Menurut pandanganku, dia berjodoh dengan putera kita," terdengar pekhunya bicara.
"Aah, tidak pantas, tidak pantas!" jawab pekbonya. "Dia menjadi murid iblis wanita, sudah belasan
tahun tidak karuan tempat tinggalnya, kemana-mana membawa-bawa pedang. Aku tidak suka
mempunyai mantu seorang wanita kasar, lagi pula dia tidak ada keluarga, boleh dibilang seorang anak
yang terlantar."
"Akan tetapi, amat sopan, sikapnya baik seperti orang terpelajar. Tentang ilmu silat, apa salahnya? Anak
kita juga mempelajari ilmu silat, jadi lebih cocok. Laginya, In Hong harus diakui amat cantik jelita, dan
Kang-ji kelihatannya tertarik dan suka kepadanya. Memang dia cantik sekali."
"Apa artinya kecantikan bagi seorang mantu? Aku tetap tidak suka, laginya dia masih sanak dekat.
Apakah kurang puteri-puteri bangsawan dan hartawan yang lebih cantik dari In Hong? Aku tidak suka."
"Hm, kau tahu apa tentang hati laki-laki?" kata Yo Hang Tek sambil tertawa. "Kecantikan amat penting.
Kalau kau tidak cantik, apakah dulu aku mau dijodohkan dengan kau?"
"Ngacau...!" Sampai disini, In Hong melepaskan telinganya dari tembok, dan ia menjatuhkan diri di atas
pembaringan, menangis makin sedih. Ia menutupi kedua telinga dengan bantal agar tidak mendengar
percakapan mereka lagi. Akhirnya, karena lelah dan sedih, ia dapat tertidur juga, bahkan di dalam
tidurnya ia masih terisak-isak beberapa kali. Dengan memaksakan hati, In Hong tinggal di rumah gedung
itu sampai beberapa hari.
Ia sudah tidak betah sekali dan di dalam hati ia mengambil keputusan untuk segera meninggalkan
tempat itu. Apalagi ketika terjadi hal yang amat menyebalkan hatinya, yang terjadi sepekan sesudah ia
tinggal disitu. Pada hari itu, ia melihat mandor she Kwa itu menyeret-nyeret seorang laki-laki berusia
hampir lima puluh tahun. Laki-laki ini terang adalah seorang kuli kasar, karena ia tidak memakai baju,:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 53
:: CerSil KhoPingHoo :
hanya bercelana panjang yang sudah butut. Tulang-tulangnya menonjol keluar dan urat-uratnya
menandakan bahwa dia biasa bekerja berat. Garis-garis pada mukanya menimbulkan kisut yang jelas
sekali, tanda dari derita hidup yang pahit. In Hong tengah duduk di ruang luar bersama Yo Kang,
bercakap-cakap tentang rencana menyelidiki Ibunya. Melihat mandor Kwa menyeret orang tua itu, Yo
Kang kelihatan tidak senang dan terganggu.
"Ada apa lagi dengan Kakek Lui itu, Kwa-lopek?" tanyanya tidak senang.
"Ia mencuri lagi, Yo-Kongcu, sekarang ia mencuri gandum sebanyak lima kati!"
"Dasar sudah tak dapat diperbaiki lagi akhlaknya," Yo Kang mengomel. "Sekarang dia harus dihadapkan
kepada Kongkong."
"Yo-Kongcu, ampunkanlah hamba kali ini, jangan hadapkan pada Yo-loya..." Kakek yang disebut Kakek


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lui itu meratap. Akan tetapi Yo Kang tidak perduli dan memberi isyarat kepada mandor Kwa untuk
menyeret pencuri itu ke belakang, di ruang belakang yang biasa dijadikan tempat-duduk Yo Tang.
"Ada apakah dia?" tanya In Hong tertarik sekali.
"Ah, biasa saja. Mengurus orang banyak memang lebih sukar daripada mengurus sekumpulan kerbau.
Mencuri dan mencuri saja kerjanya. Biar Kongkong yang membereskannya, aku sudah lelah mengurus
soal pencurian-pencurian itu. Hanya terhadap Kongkong mereka itu mati kutu dan tunduk betul."
"Apa yang akan dilakukan terhadap Kakek Lui itu?" tanya In Hong mengeraskan hati sehingga suaranya
terdengar biasa saja.
"Tentu saja dihukum. Kau mau melihat cara Kongkong membikin kapok para pencuri? Mari kita lihat!"
Mereka berdiri dan menuju ke belakang. "Aku seringkali merasa heran bagaimana Kongkong seorang
lemah itu ternyata pandai sekali mengurus orang-orang jahat." Ketika mereka tiba di ruang belakang,
ternyata orang she Lui yang dituduh mencuri itu telah dihadapkan di depan Kakek Yo yang mengisap
huncwenya seperti biasa.
"Sudah tiga kali kau mencuri, ja?" Yo Tang membentak marah. "Tahukah kau apa yang kau akan alami
kalau aku menyerahkan kau kepada pengadilan? Kau akan dihukum se puluh tahun, dan melihat usiamu,
kau akan mampus di dalam penjara!" Pekerja she Lui itu lalu mengeluarkan suara rintihan dan sambil
berlutut ia memohon,
"Yo-loya yang budiman, mohon kau sudi mengampuni seorang miskin seperti hamba. Hamba
bersumpah bahwa hamba takkan melakukan pencurian lagi, biar kelak tangan hamba keduanya
dipotong kalau hamba membohong."
"Hah, seharusnya kedua tanganmu dipotong sekarang juga! Kau sudah mencuri sampai tiga kali!"
"Ampun, loya..., ampunkan hamba..." Kakek Lui itu menjadi pucat sekali dan airmatanya bercucuran.
"Sudah berulangkali kau mencuri, mana bisa ada ampun lagi? Kwa Liong, buntungkan kedua
tangannya!" Mandor she Kwa itu sambil menyeringai lalu mencabut golok yang tergantung di
pinggangnya, lalu menghampiri Kakek she Lui yang menjadi pucat sekali.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 54
:: CerSil KhoPingHoo :
"Ampun, Yo-loya... hamba bersumpah akan bertobat... hamba... hamba harus memelihara keluarga
hamba... jangan buntungkan kedua tangan hamba, bagaimana hamba dapat bekerja mencari sesuap
nasi untuk keluarga hamba...?" Ia menangis seperti anak kecil. Yo Tang mengebulkan asap huncwenya
dan berkata bengis,
"Kau benar-benar sudah bertobat? Nah, kali ini aku masih ampunkan kau dan aku hanya ingin
mengambil jari kelingkingmu sebelah kiri sebagai hukuman dan peringatan. Ingat, lain kali aku takkan
menghukummu, akan tetapi akan menyerahkan kau kepengadilan! Kwa Liong, buntungkan jari
kelingkingnya sebelah kiri!" Golok diangkat, berkelebat dan putuslah kelingking kiri dari Kakek itu. Kakek
Lui meringis kesakitan, memegangi tangan yang terluka itu, akan tetapi wajahnya kelihatan lega dan
girang. Ia berlutut dan menghaturkan terima kasih kepada Yo Tang. Melihat ini, In Hong menjadi marah
bukan-main. Kalau saja ia tidak ingat bahwa ia masih keluarga dari Yo Tang, tentu ia sudah menghajar
mandor itu bersama Kakek she Yo. Namun ia tidak dapat berpeluk tangan saja, maka ia lalu melompat
ke dekat Kakek Lui dan bertanya,
"Kakek Lui, kau bekerja sebagai apakah?" Kakek itu sudah tahu bahwa gadis ini adalah cucu dari Yo Tang,
maka ia lalu menjawab penuh hormat,
"Siocia, hamba adalah kuli pengangkut gandum."
"Apa yang kau curi?"
"Lima kati gandum."
"Mengapa kau melakukan kejahatan itu?" Kakek itu nampak takut-takut dan melirik ke arah gagang
pedang yang masih menghias belakang pundak In Hong.
"Hamba... hamba harus memelihara isteri dan seorang anak yang sudah janda bersama tiga orang cucu.
Gaji hamba tidak cukup, mereka kelaparan dan terpaksa hamba... mengambil gandum itu untuk
menyambung nyawa cucu-cucu hamba..." Berobah wajah In Hong. Ia memandang kepada Kakek Yo
dengan mata penuh kebencian, kemudian ia memandang kepada mandor Kwa dengan gemas. Ketika ia
mengerling ke arah Yo Kang, pemuda ini mengejap-ngejapkan matanya, minta agar ia jangan
memperlihatkan kemarahannya di depan Kakek Yo. Maka sambil menarik napas panjang, In Hong
mengeluarkan sepotong uang emas dari sakunya, memberikan itu kepada Kakek Lui sambil berkata,
"Terimalah ini dan obati tanganmu sampai baik. Lain kali jangan mencuri lagi, akan tetapi usahakanlah
agar kau dapat mencari pekerjaan yang lebih mencukupi hasilnya." Kakek Lui bengong dan dengan
tangan gemetar ia menerima pemberian itu, lalu menangis terisak-isak, mengucapkan terima kasih
dengan bibir gemetar sehingga tidak jelas kata-katanya, kemudian ia membungkuk-bungkuk keluar dari
ruangan itu, diikuti oleh mandor Kwa. Yo Tang melihat perbuatan In Hong dengan mata terbelalak dan ia
sampai lupa untuk menyedot huncwenya. Beberapa kali ia menggunakan tangan menepuk-nepuk
tangan korsinya sebagai tanda kemarahannya dan saking marahnya ia sampai tidak bisa mengeluarkan
kata-kata. Ia menyedot pipanya, akan tetapi apinya padam. Ketika ia bisa membuka mulut, ia berteriakteriak,
"Hidupkan huncweku...! Bedebah, nyalakan huncweku!" Yo Tang melangkah maju dan pemuda ini
mencetuskan pembuat api untuk menyalakan ujung huncwe Kakeknya.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 55
:: CerSil KhoPingHoo : :: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 56
:: CerSil KhoPingHoo :
"Kurangajar, In Hong apa yang kau lakukan tadi? Darimana kau mendapatkan uang emas yang kau
hambur-hamburkan seperti pasir? Hayo jawab!" In Hong mendongkol bukan main sehingga mukanya
menjadi merah padam.
"Uang itu uangku sendiri, kudapat dari Subo, kuberikan kepada siapapun juga adalah hakku," jawabnya
menahan marah. Yo Tang membanting-banting kakinya.
"Celaka! Uang dihambur-hamburkan, diberikan kepada kuli hina, kepada pencuri pula! Aha, bocah
perempuan, kau belum tahu bagaimana sukarnya mencari uang, ya? Kalau kita semua mempunyai
watak buruk seperti engkau, uang yang kukumpulkan sekian puluh tahun ini dalam sekejap mata akan
musnah! Hei, Yo Kang, awaslah kau, jangan kau tiru watak bocah ini!" Yo Kang berkata keras agar
Kongkongnya mendengar, akan tetapi nadanya penuh hormat,
"Kongkong, adik In Hong memberi hadiah itu karena merasa kasihan kepada Kakek Lui. Hong-moi belum
tahu akan urusan dan keadaan disini, harap Kongkong sudi memaafkannya."
"Keluar! Keluar kalian dari sini dan jangan mengganggu aku lagi! Kalau tidak kupanggil, bocah ini jangan
boleh masuk ke ruangan ini!" teriak Kakek itu marah-marah. Yo Kang lalu mengajak In Hong keluar.
Setibanya di luar ruangan itu, In Hong tak dapat mencegah lagi mengalirnya airmatanya.
"Hong-moi, kau tentu tersinggung. Maafkanlah, memang sudah kuberitahu kau bahwa Kongkong amat
pemarah dan pikun. Maklumlah ia sudah amat tua."
"Tidak apa soal itu, Twako. Akan tetapi... semua kejadian ini... benar-benar tidak cocok dengan isi
hatinya. Mengapa kamu sekalian agaknya menggencet penghidupan para pekerja kasar yang miskin?
Mengapa kalian begitu kejam?" Yo Kang tersenyum dan menggeleng-geleng kepalanya.
"Kau salah sangka, adikku. Kalau kami berlaku murah hati seperti yang kau lakukan, sebentar saja semua
barang disini sudah habis digondol pergi oleh mereka. Sekarang ini tidak ada orang yang boleh
dipercaya, semua pekerja adalah maling-maling yang selalu mengintai kesempatan. Kalau kami tidak
bertindak dengan tangan besi, mereka akan makin berani. Ingatkah kau betapa di tempat tinggal orang
tuamu, orang-orang miskin itu memberontak dan menyebar maut, merampok dan mengganas seperti
binatang-binatang liar? Nah, itulah kalau mereka terlalu diberi hati."
"Akan tetapi, pekerja-pekerja itupun manusia. Kakek Lui itu patut dikasihani, sungguhpun ia mencuri,
namun lima kati gandum yang dicurinya itu untuk makan anak cucunya." In Hong membantah.
"Itulah alasan mereka selalu. Kau tidak tahu, semua pekerja selalu mencari kesempatan untuk
berkorupsi dan mencuri. Kalau orang-orang berpenghasilan rendah seperti Kakek Lui masih dapat
dimengerti, akan tetapi seperti mereka yang sudah mendapat penghasilan besar, tetap saja mereka
mencari kesempatan itu. Yang berpenghasilan kecil mencuri untuk makan, katanya, akan tetapi yang
berpenghasilan besar? Tak lain untuk memenuhi nafsu mereka yang tak pernah merasa puas dengan
keadaan mereka. Marilah kau ikut aku, melihat-lihat tempat orang bekerja, dan kau akan melihat sendiri
keadaan mereka, Hong-moi."
Karena ia sedang mengalami kemendongkolan hati, maka In Hong pikir ada baiknya kalau ia melihatlihat di luar agar hatinya terhibur. Berangkatlah kedua orang muda ini keluar dari gedung. Dengan
gembira Yo Kang memperlihatkan perdagangan keluarganya, yang memang amat besar. Banyak sekali:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 57
:: CerSil KhoPingHoo :
kuli bekerja di gudang-gudang itu, dan Yo Kang memperkenalkan orang-orangnya yang menjadi orang
kepercayaan. Di setiap gudang terdapat seorang kepercayaan dan orang ini kelihatan pandai ilmu silat
dan bertubuh kokoh kuat.
"Disetiap tempat pasti ada seorang pembantu kami yang boleh dipercaya dan memiliki kepandaian silat
sehingga tidak ada pekerja yang berani main gila," kata Yo Kang kepada gadis itu. In Hong melihat
betapa kuli-kuli itu bekerja berat sekali dan mengingat betapa mereka ini bekerja sekadar untuk mencari
makan, itupun tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga keluarganya, In Hong merasa kasihan dan
terharu sekali.
Kemudian Yo Kang mengajaknya ke tempat pengiriman barang yang dilakukan dengan dua jalan, yakni
dengan jalan darat dan ada pula yang jalan air, mempergunakan perahu-perahu besar di sepanjang
sungai yang akhirnya turun di sungai Yang-ce-kiang untuk dikirim ke pelbagai kota. Yo Kang ternyata ahli
betul dan mengerti sedalamnya tentang perdagangan keluarganya, tidak mengherankan apabila
Kongkong dan Ayahnya menyerahkan semua urusan kepadanya, sedetail-detailnya pemuda ini
menjelaskan kepada In Hong tentang perdagangan itu, dan setelah ia selesai menuturkan semua ini,
tahulah In Hong bahwa yang mendapat keuntungan besar bukan lain adalah keluarga Yo. Para pekerja,
dari kuli-kuli angkut, sampai tukang-tukang perahu dan tukang-tukang mengirim barang melalui jalan
darat, hanya mendapatkan upah sekadar cukup mereka makan saja.
"Kau mendapatkan untung begitu besar, kadang-kadang sampai lipat duakali dari modal. Mengapa kau
dan Kongkongmu itu begitu pelit dan tidak menjamin kehidupan para pekerja kasar?" In Hong bertanya
dengan berani. Yo Kang mengangkat pundak.
"In Hong moy-moy, sudah sepatutnya kalau kami yang mendapatkan keuntungan besar, karena
bukankah kami sudah mengeluarkan modal besar, sudah membanting tulang memeras keringat dan
menjalankan otak? Para pekerja itu hanya mengeluarkan tenaga kasar dan mereka tidak tahu apa-apa.
Mereka sudah tertolong oleh perusahaan kami, karena tanpa ada perusahaan kami, bukankah berarti
ratusan orang pekerja itu menganggur dan tidak bisa makan?"
"Hm, Twako, agaknya kau lupa bahwa tanpa mereka, kiranya keluarga Yo dan modalnya juga akan beku.
Harus diakui bahwa tenaga para pekerja itulah yang memutar jalannya roda perusahaan sehingga
lancar, dan tenaga mereka pulalah yang mengalirkan keuntungan ke dalam kantong keluargamu." Yo
Kang tertawa.
"Ah, Hong-moi, itu sudah selayaknya dalam perdagangan. Siapa bermodal dia memegang kendali, siapa
bodoh tentu hanya mendapat sedikit saja dari perasan keringatnya. Pula, harus kau ingat bahwa tidak
selamanya kami mendapat untung. Kadang-kadang kami menderita rugi kalau harga barang-barang
turun ketika sampai di tempat tujuan, belum lagi kalau ada gangguan orang-orang jahat di tengah
perjalanan. Dewasa ini, banyak sekali muncul rampok-rampok yang suka mencegat dan mengganggu
barang kiriman. Oleh karena itu, kami sengaja memelihara beberapa orang jagoan untuk mengawal
setiap pengiriman, dan aku sendiri yang mengepalai dan memimpin mereka." Pemuda itu
membusungkan dadanya.
"Kau? Ah, Twako, aku lupa lagi. Tentu kau pandai sekali ilmu silat, dan agaknya kau sudah banyak
merantau di dunia kangouw.":: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 58
:: CerSil KhoPingHoo :
"Tidak berani aku mengaku sudah pandai, akan tetapi sedikit-sedikit ilmu silat pernah kupelajari. Dan
biarpun aku belum merantau sampai ke seluruh penjuru dunia, akan tetapi nama Bu-tong-sin-to Yo Kang
(Golok sakti dari Bu-tong), bagi semua tokoh sungai telaga (bangsa bajak) di sepanjang Yang-ce-kiang,
tidak ada yang tidak mengenal dan tidak ada yang berani mengganggu barang kirimanku."
"Jadi kau anak murid Bu-Tong-Pai, Twako?"
"Benar, ketika aku berusia se puluh tahun, kebetulan sekali barang kiriman Ayah ada yang mengganggu,
dan perampok-rampok itu dihajar habis-habisan oleh Guruku, yakni Hoat Gi Thaisu dari Kelenteng di Butong-san. Karena Ayah amat berterima kasih dan berpikir bahwa dalam keluarga Yo harus ada orang
kuat untuk menjaga kalau-kalau barang-barang kiriman diganggu penjahat, maka aku lalu dikirim ke BuTong-Pai untuk belajar ilmu silat disana. Selama delapan tahun aku belajar disana sampai tamat, dan
kiranya Bu-Tong-Pai tidak merasa kecewa mempunyai anak murid seperti aku. Dan kau sendiri, Hongmoi, kulihat kau mempunyai sebatang pedang yang gagangnya indah sekali, tentu kau juga pandai
mainkan pedang, apalagi kalau diingat bahwa kau adalah murid dari Hek Moli yang amat terkenal di
dunia kangouw." In Hong tersenyum dingin.
"Orang lemah seperti aku bisa memiliki kepandaian apakah?" Ia teringat akan ucapan-ucapan para
pekeja di gudang, maka ia menyambung, "Guruku hanya menaruh kasihan kepadaku maka ia
membawaku, akan tetapi aku hanya belajar sedikit sekali. Tentang pedang ini, boleh disebut hanya
untuk hiasan saja atau boleh juga dianggap untuk menakut-nakuti para penjahat agar ia jangan
menggangguku." Yo Kang tertawa
"Kau memang gagah sekali memakai pedang itu, Hong-moi. Akan tetapi jangan khawatir, kalau kau
melakukan perjalanan bersamaku, aku tanggung tidak akan ada orang berani mengganggumu. Orang
yang berani mengganggumu berarti sudah bosan hidup dan darahnya pasti akan diminum oleh golokku."
Ia menepuk-nepuk golok yang tergantung di pinggangnya. Pada saat itu, serombongan orang datang
tergopoh-gopoh menghampiri mereka. Mereka ini adalah tujuh orang yang berpakaian seperti jago-jago
silat dan melihat dari sepatu dan pakaian mereka yang berdebu, dapat diduga bahwa mereka baru
datang dari tempat jauh.
"Celaka, Yo-Kongcu, celaka kali ini..." seorang di antara mereka, yang tertua dan bermuka panjang,
berkata sambil terengah-engah. Orang-orang lain juga nampak kusut dan lelah sekali, mata mereka ratarata memperlihatkan ketakutan dan kegelisahan.
"Cong-piauwsu, apakah yang terjadi?" tanya Yo Kang sambil mengerutkan alisnya. Orang yang disebut
Cong-piauwsu itu menarik napas panjang, menghapus peluhnya, kemudian berkata,
"Tujuh kereta gandum dan bahan obat yang kami kawal itu telah dirampas oleh seorang Tosu dari Go-BiPai."
Yo Kang terkejut sekali. "Mengapa seorang Tosu melakukan hal itu? Lekas ceritakan dengan jelas." Congpiauwsu lalu menuturkan pengalamannya seperti berikut. Cong-piauwsu, seorang ahli silat yang menjadi
pembantu Yo Kang, yang dianggap memiliki ilmu silat paling pandai, bersama enam orang pembantunya
yang memiliki kepandaian tinggi pula, mengawal kereta-kereta itu menuju ke kota Hang-ciu. Ketika
rombongan ini tiba diperbatasan propinsi Honan, di sebuah dusun yang baru menderita bencana
kelaparan karena musim kering, mereka dihadang oleh sekumpulan orang dusun yang kurus-kurus dan
kelaparan.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 59
:: CerSil KhoPingHoo :
"Cuwi-enghiong, tolonglah kami dan berilah kami sedikit makanan untuk anak-anak kami yang
kelaparan," kata mereka. Cong-piauwsu hendak menyumbangkan uangnya, akan tetapi para petani yang
sudah kelaparan itu tidak mau menerima uang, apalagi setelah mereka mendapatkan kenyataan bahwa
yang diangkut dalam kereta adalah gandum dan bahan obat, mereka kembali memohon agar supaya
rombongan itu sudi menolong mereka dan meninggalkan sekereta gandum untuk menolong mereka
dari bahaya kelaparan. Tentu saja Cong-piauwsu tidak mau mengabulkan permintaan ini dan terjadilah
keributan ketika orang-orang kelaparan itu nekad hendak mengambil gandum.
Akan tetapi tentu saja orang-orang yang tidak mempunyai kepandaian silat dan pula sudah lemah akibat
beberapa hari tidak makan ini bukan lawan yang tangguh dari para piauwsu. Dengan mudah para
piauwsu itu mengamuk dan merobohkan mereka, lalu kereta-kereta itu dijalankan cepat-cepat
meninggalkan daerah itu. Akan tetapi, baru setengah hari mereka berjalan, tiba-tiba mereka disusul oleh
seorang Tosu yang bertubuh tinggi kurus, usianya paling sedikit enam puluh tahun dan jenggotnya
panjang sampai ke dada. Tosu itu mendahului rombongan, lalu berdiri di tengah jalan sambil
mengangkat tangan kanan ke atas, memberi isyarat supaya rombongan itu berhenti. Cong-piauwsu dan
kawan-kawannya segera majukan kuda menghadapinya, maklum bahwa Tosu itu tentu bukan orang
sembarangan karena larinya tadi demikian cepat sehingga dapat mendahului larinya kuda.
"Totiang, ada keperluan apakah maka Totiang mengejar kami dan menghadang perjalanan rombongan
kami?" tanya Cong-piauwsu setelah memberi hormat kepada Pendeta itu. Tosu itu tertawa perlahan
sambil mengelus-elus jenggotnya.
"Melihat orang kelaparan tanpa mengulurkan tangan menolong padahal membawa makanan begini
banyak, benar-benar hati kalian terbuat daripada batu!" katanya, suaranya halus akan tetapi
berpengaruh.
"Totiang, harap maafkan kami dan harap suka mempertimbangkan keadaan kami. Kami hanya
mengawal barang-barang ini, dan sama sekali kami tidak berhak memberikan kepada siapapun juga,"
jawab Cong-piauwsu.
"Begitukah? Kalau begitu, tinggalkan semua kereta ini dan kalian kembalilah ke tempat tinggalmu,
beritahukan kepada pemilik barang-barang ini bahwa Pinto Wu Wi Thaisu dari Go-Bi-Pai minta pinjam
bahan makanan dan obat ini untuk menolong daerah yang sedang diancam bahaya kelaparan dan
penyakit." Cong-piauwsu menjadi cemas sekali, akan tetapi juga mendongkol. Terang sekali bahwa Tosu
itu tidak memandang sebelah mata kepada mereka, dapat mengeluarkan kata-kata dan perintah
demikian enaknya.
"Totiang, barang-barang ini adalah milik dari Bu-tong-sin-to Yo Kang, pendekar muda dari Bu-Tong-Pai,
yang mengirimkan barang-barang ini sebagai barang dagangan. Harap Totiang sudi memandang
mukanya dan jangan mengganggu pekerjaan kami. Sepulangnya dari Hang-ciu, tentu kami akan mampir
disini dan kami akan membantu usaha Totiang menolong penduduk dengan jalan mendermakan
sejumlah uang."
"Hm, jadi barang-barang ini milik murid Bu-Tong-Pai? Kebetulan sekali, Pinto kenal baik dengan tokohtokoh Bu-Tong-Pai yang dalam hal ini pasti setujuan dengan Pinto. Sampaikan terima kasihku kepada Yosicu atas sumbangannya berupa tujuh kereta makanan dan obat ini untuk mereka yang menderita."
Tentu saja Cong-piauwsu tidak mau sudah begitu saja dan ia menjawab,:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 60
:: CerSil KhoPingHoo :
"Terpaksa kami tidak bisa meninggalkan kereta-kereta ini, Totiang. Kalau sekiranya Totiang
membutuhkan bahan makanan, harap Totiang suka datang sendiri ke See-Ciu dan minta sumbangan dari
Yo-Kongcu. Kami harus melaksanakan tugas kami sampai beres, dan barang-barang ini harus kami
antarkan sampai di Hang-ciu."
"Urusan dengan Yo-sicu boleh menanti, akan tetapi perut orang-orang yang sudah kelaparan mana bisa
menanti lagi? Pulanglah kalian ke See-Ciu dan bagaimanapun juga, barang-barang makanan ini harus
ditinggalkan disini!"
"Terpaksa kami menggunakan kekerasan, Totiang." Akan tetapi, baru saja ucapan Cong piauwsu ini
dikeluarkan, Tosu itu menggerakkan kedua lengan bajunya dan tujuh orang piauwsu itu terlempar jatuh
dari atas kuda! Dari sepasang lengan baju itu menyambar angin yang mendorong mereka.
"Demikianlah, Yo-Kongcu," Cong-piauwsu melanjutkan ceritanya kepada Yo Kang yang mendengarkan
bersama In Hong, "kami bertujuh tentu saja tidak mau mengalah sampai disitu. Kami mencabut senjata
dan maju menyerang Tosu itu, akan tetapi Wu Wi Thaisu dari Go-Bi-Pai itu benar-benar lihai sekali.
Tanpa senjata, hanya dengan ujung lengan baju, ia menghadapi kami dan tahu-tahu senjata kami telah
dapat dirampas dengan gulungan ujung lengan baju itu! Terpaksa kami melarikan diri dan pulang untuk
melaporkan hal ini kepada Kongcu." Yo Kang mengerutkan keningnya dan ia kelihatan marah sekali.
"Hm, Wu Wi Thaisu dari Go-Bi-Pai benar-benar memandang terlalu rendah kepadaku, berarti ia tidak
memandang kepada Bu-Tong-Pai. Panggil Ngo-losuhu (Lima orang Guru tua) untuk berkumpul di
rumahku, aku mau berunding dengan mereka. Kemudian kalian mengasohlah karena kalian segera akan
be-rangkat lagi mengantar kami ke tempat itu." Setelah memberi perintah ini, Yo Kang mengajak In
Hong pulang.
"Memang Tosu itu memandang terlalu rendah kepadamu, toako, akan tetapi kalau memang betul ia
merampas bahan makanan dan obat itu untuk menolong penduduk daerah yang kelaparan, aku harus


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyatakan bahwa perbuatannya itu tidak bisa dibilang jahat."
"Memang demikian, akupun berpikir begitu. Akan tetapi, tidak seharusnya ia terlalu lancang dan
merampas barang kiriman. Siapa tahu kalau di Hang-ciu, bahan makanan itu juga dibutuhkan oleh orang
banyak? Sepantasnya, meng-ingat akan hubungan antara orang-orang kangouw di dunia persilatan, ia
boleh datang kesini dan kalau dia minta secara terus terang untuk menolong orang-orang sengsara,
apakah aku begitu pelit untuk menolak permintaannya?" Ketika Kakek Yo mendengar tentang
perampasan tujuh kereta gandum dan bahan obat ini, ia mencak-mencak di atas kursinya. Saking
marahnya ia memukul-mukulkan huncwenya hingga pecah.
"Penjahat besar, Tosu siluman, bedebah! Dia bikin aku rudin dan bangkrut! Yo Kang, kerahkan semua
orang, panggil barisan penjaga keamanan kota, tangkap dia. Tosu siluman itu harus dijebloskan di dalam
penjara, harus dipenggal lehernya!" Ia menyumpah-nyumpah dan memaki-maki dengan suara keras dan
menjadi begitu marah dan sedih seakan-akan seluruh harta bendanya benar-benar ludas dan habis
dengan adanya kejadian ini. Diam-diam In Hong menjadi sebal sekali. Ia tahu benar bahwa dibandingkan
dengan jumlah kekayaan Kakek ini, tujuh kereta barang itu hanya merupakan jumlah kecil saja, setitik air
dalam air seguci, dan toh Kakek itu seakan-akan kehilangan seluruh hartanya.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 61
:: CerSil KhoPingHoo :
"Apakah begini watak semua hartawan?" pikir gadis ini dengan hati sebal. Ia mulai merasa kecewa dan
tidak puas, bahkan ia mulai mengingat-ingat bagaimanakah watak kedua orang-tuanya yang dahulunya
juga disebut-sebut orang kaya. Sore hari itu, di ruang depan dari rumah gedung keluarga Yo, diadakan
perundingan. Yo Kang dan Ayahnya mengundang Ngo-losuhu yang ternyata adalah lima orang berusia
antara empat puluh sampai lima puluh tahun, dan mereka ini adalah pembantu-pembantu Yo Kang yang
memiliki kepandaian tinggi.
Mereka tadi adalah kauwsu-kauwsu (guru-guru silat) dan kini dipekerjakan sebagai pelatih-pelatih
kepada para pembantu Yo Kang yang mengawal barang-barang kiriman. Juga mereka ini berkewajiban
membereskan kalau terjadi rintangan dan gangguan pada barang-barang kiriman. Akan tetapi oleh
karena sekarang ini terjadi perampasan yang luar biasa dan besar, Yo Kang hendak mengurusnya sendiri
dengan bantuan mereka. Karena desakan Yo Kang, maka In Hong diperkenankan hadir dalam pertemuan
ini. Ketika diperkenalkan kepada para kauwsu tua itu, In Hong memberi hormat selayaknya, akan tetapi
lima orang kauwsu itu hanya membalas penghormatan In Hong dengan dingin saja. Mereka adalah
orang-orang berkepandaian, sudah tentu tidak begitu memandang kepada In Hong yang dianggapnya
hanya seorang gadis muda cantik yang manja dan yang berlagak seorang pendekar wanita!
In Hong diam-diam memperhatikan mereka. Menurut penglihatannya, di antara lima orang kauwsu itu,
hanya seorang saja yang kelihatannya "Berisi," yakni yang bernama Pouw Cun. Mata kauwsu tua ini
setengah terkatup seperti orang mengantuk, akan tetapi dari balik bulu matanya yang jarang itu,
memancar sepasang sinar mata yang tajam dan bergerak-gerak cepat. Juga hanya dia seorang di antara
lima kauwsu itu yang tidak memegang senjata. Empat kauwsu yang lain semua membawa senjata. The
Sun dan The Kwan dua saudara yang diperkenalkan sebagai Guru-guru silat asal dari selatan, membawa
pedang di pinggang mereka, sedangkan dua orang lagi adalah Tan Koay Kok yang membawa rantai atau
pian lemas dan Lay Kiat yang bersenjata golok besar.
"Ngo-wi losuhu, sebetulnya, mengingat bahwa yang melakukan perampasan adalah Wu Wi Thaisu dari
Go-Bi-Pai, sebetulnya aku tidak akan menarik panjang urusan ini. Biarpun aku belum pernah berjumpa
dengan Wu Wi Thaisu, namun namanya sebagai tokoh Go-Bi sudah cukup terkenal, dan pula harus
diingat bahwa ia melakukan perampasan untuk menolong orang-orang yang menderita kelaparan. Akan
tetapi, kalau diingat lagi, perjalanan antara See-Ciu amat penting artinya bagi kita. Sedikitnya tiga kali
sebulan kita mengirim dan mengambil barang antara See-Ciu dan Han-ciu. Kalau gangguan sekali ini
dibiarkan saja, tentu para hek-to akan mengira kita lemah dan mereka akan mendapatkan contoh yang
buruk," kata Yo Kang.
"Wu Wi Thaisu adalah seorang tokoh besar dari Go-Bi-Pai, kalau aku tidak salah, dia adalah tokoh kedua
atau murid dari ketua Go-Bi-Pai, Pek Eng Thaisu. Heran sekali mengapa seorang tokoh besar seperti dia
mau melakukan atau mengurus hal semacam itu," kata Lay Kiat dengan kening berkerut. Memang,
ketika mendengar bahwa yang melakukan perampasan adalah tokoh Go-Bi-Pai itu, Lay Kiat dan juga
kawan-kawannya merasa gentar dan gelisah. Mereka sudah mendengar akan kelihaian Tosu itu, dan
pula kedudukan Wu Wi Thaisu amat tinggi di kalangan kangouw.
"Apakah yang akan kau lakukan selanjutnya, Yo-Kongcu?" tanya Pouw Cun, suaranya perlahan akan
tetapi jelas. "Harus kau ingat bahwa Wu Wi Thaisu kepadaiannya amat tinggi, bukan aku hendak berkata
bahwa kau takut kepada-nya tetapi menanam permusuhan dengan pihak Go-Bi-Pai bukanlah hal yang
cerdik." Yo Kang mengangguk.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 62
:: CerSil KhoPingHoo :
"Memang betul kata-katamu, Pauw-suhu. Aku sendiri juga ingin mencoba kepandaiannya, dan aku tidak
takut. Akan tetapi aku ragu-ragu untuk bermusuhan dengan partai persilatan Go-Bi yang demikian besar
dan ternama. Tidak, aku tidak akan memusuhi Go-Bi-Pai, aku hanya ingin mengajak cuwi sekalian pergi
menjumpainya dan hanya perlu untuk mencuci muka kita sekalian agar para penjahat tidak mengira
kami takut. Terhadap Wu Wi Thaisu, aku hanya ingin minta penjelasan tentang pertolongan kepada
mereka yang kelaparan itu, dan minta ia berjanji agar lain kali apabila ada keperluan, agar suka datang
saja disini dan minta secara terus terang daripada mengganggu barang kiriman."
"Baik, aku setuju dengan pikiran itu," kata The Sun mengangguk-angguk. "Kapan kita akan berangkat?"
"Besok pagi-pagi, dan yang menjadi penunjuk jalan cukup Cong-piauwsu seorang saja. Tak perlu ramairamai, banyak orang menarik perhatian saja, seakan-akan kita hendak mengerahkan semua tenaga
hanya untuk menghadapi seorang Tosu," kata Yo Kang. Semua Guru silat itu mengangguk setuju.
"Yo-Twako, akupun hendak ikut," tiba-tiba In Hong berkata. Gadis ini sebenarnya tidak tertarik dengan
urusan yang dihadapi oleh Yo Kang, akan tetapi ia memang tidak kerasan di rumah itu.
Apalagi kalau Yo Kang pergi, ia takkan betah tinggal disitu. Selain ini, iapun tertarik mendengar bahwa
yang melakukan perampasan itu adalah seorang tokoh Go-Bi-Pai, karena bukankah Gurunya ketika ia
pergi juga sedang menghadapi tantangan pihak Go-Bi-Pai? Ia ingin sekalian bertemu dengan Wu Wi
Thaisu itu, untuk bertanya tentang Gurunya dan tentang pertandingan yang dilakukan oleh Gurunya
untuk menghadapi tantangan pihak Go-Bi-Pai. Mendengar gadis itu hendak ikut, Yo Kang berseri
wajahnya, akan tetapi lima orang Guru silat itu memandang heran dan nampaknya tidak setuju. Hanya
Pouw Cun saja yang tak berobah air mukanya, namun dari balik bulu matanya, ia menatap wajah In
Hong dengan tajam.
"Kwee-siocia, perjalanan ini bukan main-main. Kami menghadapi orang yang telah mengganggu
pekerjaan kami, siapa tahu akan terjadi pertempuran!" kata The Sun.
"The-kauwsu, kalau ada pertempuran, yang bertempur adalah kau dan kawan-kawanmu, itu tugasmu.
Aku hanya ingin ikut saja untuk menambah pengalaman," jawab In Hong ramah.
"Akan tetapi perjalanan ini tidak dekat dan melelahkan, dan bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa?
Kami bahkan harus melindungimu, Kwee-siocia," kata The Kwan yang juga tidak setuju.
"Belum kalau muncul orang jahat," kata Tan Koay Kok, "Maafkan siocia, akan tetapi mata orang-orang
jahat akan menjadi gelap kalau melihat seorang gadis muda yang ehh... cantik di tengah jalan. Tentu
hanya akan menimbulkan keributan belaka." In Hong tersenyum dan memandang kepada Tan-kauwsu
dengan mata berseri. Ia maklum akan maksud kata-kata ini dan tahu pula bahwa kauwsu tua ini bicara
dengan sejujurnya, maka ia tidak marah.
"Tan-kauwsu, terima kasih atas pujianmu. Akan tetapi, tentang perjalanan jauh, agaknya tidak mengapa
bagiku karena akupun biasa menunggang kuda. Bahkan kudaku masih terpelihara baik-baik di kandang
Yo-Twako. Adapun tentang orang-orang kurangajar, ada ngo-wi lo-kauwsu dan Yo-Twako di-sampingku,
aku takut apa sih?" Akhirnya semua kauwsu itu menyerahkan keputusannya kepada Yo Kang dan semua
mata memandang kepada pemuda ini.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 63
:: CerSil KhoPingHoo :
"Hong-moi, soal kuda, aku mempunyai yang lebih baik daripada kudamu. Memang, dengan adanya ngolosuhu bersama kita, kau tak usah khawatir terganggu orang dijalan. Akan tetapi, terus terang saja,
perjalanan ini bukan tidak berbahaya. Agaknya akan lebih amanlah hatiku kalau kau tinggal saja di
rumah. Urusan ini dikata kecil juga kecil, akan tetapi kalau dianggap besar juga amat besar." Walaupun
mulutnya berkata demikian, namun di dalam hatinya, Yo Kang merasa amat gembira kalau nona yang
mencuri hatinya ini ikut serta dalam perjalanan itu. Ia ingin sekali memamerkan keberanian dan
kegagahannya kepada In Hong dan inilah kesempatannya.
"Yo-Twako, memang aku tidak ada gunanya dalam menghadapi urusanmu yang besar ini, akan tetapi
ingatlah, aku sekalian hendak mendengar-dengar tentang Ibuku, hendak menyelidiki tentang Can Mama.
Sekarang ada kesempatan baik sekali, mau tunggu kapan lagi?"
"Baiklah, Hong-moi. Memang kalau tidak ada peristiwa gangguan ini, akupun tentu akan mengantarmu
melakukan penyelidikan itu," akhirnya Yo Kang berkata dan demikianlah, mereka semua bersiap-siap
untuk melakukan perjalanan itu pada keesokan harinya.
Pagi-pagi sekali, berangkatlah rombongan terdiri dari delapan orang itu. Mereka adalah Yo Kang, In
Hong, Cong-piauwsu, dan kelima Ngo-lokauwsu. Mereka menunggang kuda dan para Guru silat itu
merasa lega melihat bahwa In Hong benar-benar tidak kikuk ketika melompat naik ke punggung kuda.
Tadinya mereka sudah merasa khawatir kalau-kalau nona itu akan merupakan penghalang dan
penghambat perjalanan mereka. Setelah melompat di atas punggung kudanya yang disediakan oleh Yo
Kang, In Hong berpaling dan tersenyum memandang mereka. Ia maklum bahwa gerakannya tadi
diperhatikan, maka ja tidak memperlihatkan kepandaian, hanya melompat biasa saja seperti orang yang
sudah pandai menunggang kuda namun tidak mempunyai ginkang yang luar biasa.
"Mari kita berangkat!" Yo Kang mengomando. Yang terdepan adalah Cong-piauwsu sebagai penunjuk
jalan, kemudian menyusul lima orang kawsu. Yo Kang menjalankan kudanya berendeng dengan In Hong,
mengikuti dari belakang. Entah mengapa dia sendiri tidak mengerti, Yo Kang merasa luar biasa
gembiranya melakukan perjalanan ini. Jauh sekali bedanya dengan yang biasa ia lakukan, padahal kali ini
menghadapi urusan besar yang menjengkelkan. Semua ini tentu saja karena In Hong berada
disampingnya! Memang, semenjak pertemuan pertama, hati Yo Kang sudah terampas oleh In Hong dan
pemuda ini jatuh hati kepadanya.
"Jangan khawatir, Hong-moi, apapun yang terjadi, dengan adanya aku disampingmu, kau akan selamat.
Aku menyediakan nyawa dan raga untuk melindungimu," kata Yo Kang lirih. In Hong berdebar hatinya
mendengar kata-kata yang penuh arti ini dan ketika ia memandang, wajahnya menjadi merah. Sinar
mata pemuda itu membuka semua rahasia hati dan diam-diam In Hong menghela napas gelisah. Hatinya
risau ketika ia membaca rahasia hati pemuda ini. Ia akui bahwa Yo Kang amat baik terhadapnya, akan
tetapi ia tidak mengira bahwa sejauh itu perasaan hati pemuda ini terhadapnya. Karena ia maklum
bahwa ia tidak mungkin membalas perasaan ini, dan karena ia teringat akan percakapan yang ia dengar
antara Ayah-Bunda pemuda ini tentang dia, maka ia menjadi risau dan kasihan kepada Yo Kang.
"Yo Kang, kau seorang pemuda yang baik, kuharap saja tidak kau lanjutkan perasaanmu terhadapku, aku
tidak ingin melihat kau menderita," demikian pikir In Hong sambil mencambuk kudanya untuk
menghindari pernyataan Yo Kang tadi.
Betul saja, para penjahat tidak ada yang bernyali begitu besar untuk mengganggu rombongan ini.
Mereka kenal baik kepada Yo Kang, apalagi disitu pemuda ini dikawani oleh lima orang kauwsu yang:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 64
:: CerSil KhoPingHoo :
berkepandaian tinggi. Sungguhpun banyak orang yang mengincar kecantikan In Hong dan mengincar
pula perhiasan burung Hong dirambutnya, namun siapakah yang begitu berani mati untuk mengganggu
gadis yang berada dirombongan orang-orang kuat itu? Apalagi, gagang pedang dipundak In Hong juga
merupakan peringatan kepada mereka bahwa gadis yang berada di tengah-tengah rombongan sekuat
itu tentulah bukan seorang gadis lemah yang mudah dijadikan mangsa. Beberapa hari kemudian,
sampailah mereka di perbatasan propinsi Honan yang sedang terancam bahaya kelaparan.
Sudah terlalu lama musim kering mengganggu daerah ini sehingga bagian yang jauh dari sungai tidak
kebagian air dan para petani tidak berdaya. Tanam-tanaman pada mati dan kering dan persediaan
bahan makanan sebentar saja habis dan tidak mencukupi. Orang-orang kaya tentu saja dengan mudah
dapat membeli dari daerah lain dan menyimpan persediaan yang cukup di dalam gudang mereka, akan
tetapi bagaimana dengan kaum tani yang mengandalkan pengisi perut dari tanah sen-diri? Banyak orang
yang sudah mati kelaparan, dan banyak pula yang meninggalkan kampung halaman untuk hidup menjadi
pengemis di daerah lain, sekadar untuk mengelak daripada terkaman maut yang merajalela di daerah
sendiri. Lebih hebat lagi, penyakit bermacam-macam, terutama penyakit panas, berjangkit di daerah ini
sehingga penderitaan rakyat kecil makin menghebat.
"Masih jauhkah tempat itu?" tanya Yo Kang kepada Cong-piauwsu. Pemuda ini sekarang bersama In
Hong mendahului para kauwsu dan menjalankan kuda di dekat Cong-piauwsu.
"Ini memang daerahnya, akan tetapi dusun itu masih kira-kira se puluh lie dari sini," kata Cong-piauwsu.
Berdebar juga hati Yo Kang setelah dekat dengan tempat yang dituju. Para kauwsu juga sudah bersiapsiap, menjaga segala kemungkinan. Ketika mereka memasuki dusun pertama, kuranglebih enam lie dari
tempat yang mereka tuju, mereka melihat orang-orang dusun yang kurus kering sedang berkerumun.
Jumlah mereka ada tiga puluh orang lebih dan mereka sedang mengelilingi seorang laki-laki tinggi besar
yang berpakaian compang-camping akan tetapi bertubuh tegap dan gagah. Laki-laki ini sedang
membagi-bagikan beras kepada mereka dan wajah laki-laki yang tampan dan gagah ini nampak berseri.
"Sabar dan tenang, saudara-saudara! Tak perlu berebut dan tak perlu tergesa-gesa. Kalian sudah cukup
mengalami penderitaan dengan sabar, masa untuk menanti giliran pembagian saja tak dapat bersabar?"
Melihat hal ini, para kauwsu dan juga Yo Kang menjadi merah mukanya. Mereka berenam, juga Congpiauwsu mengira bahwa beras itu tentulah beras mereka yang telah dirampas. Melihat barangnya
dibagi-bagikan kepada orang banyak seperti itu, tentu saja mereka merasa mendongkol. Adapun laki-laki
gagah itu ketika melihat serombongan kauwsu ini, menghentikan pekerjaannya membagi beras,
kemndian ia tertawa bergelak. Suaranya dan suara ketawanya keras dan nyaring, sikapnya terbuka
sekali.
"Ha, ha, kalau tidak salah mereka inilah pemilik-pemilik gandum yang tempo hari dibagi-bagikan oleh
Wu Wi Thaisu yang baik hati. Eh, apakah kalian datang untuk menambah sumbanganmu? Mana keretakereta terisi gandum? Kami amat membutuhkan!"
"Sungguh tak tahu malu! Merampas barang orang dan membagi-bagikan kepada orang lain tanpa seijin
pemiliknya, sungguh tak tahu malu!" kata The Sun marah. Laki-laki gagah itu lalu memberikan tugasnya
membagi beras kepada seorang dusun, dan ia sendiri sekali melompat telah berhadapan dengan The
Sun dan kawan-kawannya. Laki-laki ini tadi terhalang oleh banyak orang maka In Hong tak dapat
melihatnya dengan jelas, sekarang ia dapat melihat seorang laki-laki berusia paling banyak empat puluh
tahun, berpakaian compang camping dan bertubuh tegap. Sikapnya gagah sekali, mukanya tampan dan:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 65
:: CerSil KhoPingHoo :
membayangkan kegagahan yang jarang dimiliki oleh laki-laki lain. Alisnya tebal dan giginya putih bersih
serta kuat, wajahnya bersifat jantan dan cara ia bergerak menunjukkan bahwa ilmu silatnya tinggi sekali.
"Jadi kalian merasa penasaran dan datang untuk merampas kembali barang-barangmu? Ha, ha, ha,
kalian ini seperti sekumpulan babi yang terlalu gemuk, yang kebingungan karena kehilangan sedikit
makanan. He, babi-babi gemuk, ketahuilah bahwa makananmu itu telah menghidupkan banyak sekali
orang dusun. Masih penasarankah kau?" Tentu saja lima orang kauwsu itu marah sekali dimaki babi
gemuk. Tan Koay Kok yang wataknya paling keras, segera majukan kudanya dan membentak,
"Kau enak saja membuka mulut. Kau memaki kami babi, kalau begitu kau lah anjing kelaparan yang
bermata buta, menyerang siapa saja untuk mendapat tulang kering guna mengisi perutmu yang tiada
dasarnya!" Orang itu tersenyum dan menggeleng kepalanya. Aneh sekali ketika ia tersenyum, In Hong
melihat seperti ada bayangan kedukaan besar sekali dibalik senyum itu. Diam-diam ia tertarik sekali
kepada orang ini dan memperhatikan.
"Sayang sekali bukan demikian, sahabat. Aku juga seorang yang kebetulan lewat di daerah sengsara ini.
Melihat orang-orang kelaparan, aku lalu mencari beras untuk menolong mereka."
"Tentu beras kami yang kau bagi-bagikan. Kau tentu kaki tangan dari Wu Wi Thaisu!" Laki-laki itu
menggeleng kepalanya.
"Sungguhpun aku kagum kepada Wu Wi Thaisu, aku belum ada kehormatan bertemu dengan dia yang
kini sedang sibuk mengobati orang-orang sakit di bagian lain, mempergunakan obat dari keretakeretamu itu. Beras ini kudapatkan dari orang-orang hartawan yang mau tidak mau menyumbangkan
persediaannya."
"Dimana Wu Wi Thaisu? Kami hendak bertemu dengan dia!" kata The Kwan.
"Kalian hendak menagih utang? Tak perlu mencari Wu Wi Thaisu, kalau kalian datang bukan untuk
membawa gandum guna menolong orang-orang banyak, lebih baik kalian pulang saja, jangan
mengganggu pemandangan mata disini."
"Jahanam busuk, kau kurangajar sekali. Tidak tahukah dengan siapa kau berhadapan?" membentak Tan
Koay Kok sambil majukan kudanya. Laki-laki itu tadinya sudah hendak kembali ke tempat orang banyak,
mendengar bentakan ini ia membalikkan tubuhnya lagi dan matanya menyapu rombongan itu. Ia hanya
memandang sekilas saja kepada In Hong dan agaknya menganggap tidak ada gunanya memandang gadis
itu. "Dengan siapa? Tadinya kusangka akan berhadapan dengan orang Bu-Tong-Pai yang berjiwa gagah,
tidak tahunya hanya sekumpulan babi gemuk yang banyak lagak. Kalian mencari Wu Wi Thaisu mau
apa? Kalau hendak mencari ribut, cukup dengan aku saja. Biar aku mewakili Wu Wi Thaisu menghajar
kalian!" Sebelum Tan Koay Kok turun tangan, Yo Kang sudah mendahuluinya. Pemuda ini melompat
turun dan menjura kepada orang gagah itu.
"Maafkan kami, saudara yang gagah. Sesungguhnya kami merasa kagum melihat kau menolong orangorang ini, akan tetapi sikapmu benar-benar terlalu kasar."
"Siapa kau?" laki-laki itu membentak.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 66
:: CerSil KhoPingHoo :
"Siauwte yang bodoh bernama Yo Kang, dan sesungguhnya siauwte pemilik barang-barang dalam kereta
yang dirampas oleh Wu Wi Thaisu."
"Jadi kau yang berjuluk Bu-tong Sin-to, anak murid Bu-Tong-Pai itu? Hm, seharusnya kau dapat menahan
lidah orang-orangmu."
"Maaf, dengan siapakah kami berhadapan? Saudara tentu seorang tokoh kangouw, dari golongan
manakah gerangan?" tanya Yo Kang dan diam-diam In Hong memuji pemuda ini yang sikapnya jauh
lebih baik daripada Guru-guru silat tua itu.
"Aku? Ha, ha, aku akulah Bu Jin Ai, tidak ternama sama sekali. Yo Kang, kau mau apakah datang ke
tempat ini?" In Hong merasa geli dan juga terharu mendengar orang itu menyebutkan namanya. Mana
ada orang yang bernama Bu Jin Ai (Tidak ada orang yang menyinta)? Tentu orang itu memakai nama
palsu, pikirnya. Dan pikiran ini membuat ia diam-diam tersenyum. Cara orang itu memilih nama baik
Macan Tutul Di Salju 11 Sampul Maut Karya Wen Wu Cewek Cetar Dua 2

Cari Blog Ini