Ceritasilat Novel Online

Bayangan Bidadari 7

Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Bagian 7


dimintai bantuan oleh Jenderal?" kata Lam Sian sambil tertawa sehingga perutnya yang kini semakin
gendut karena diisi banyak masakan daging terguncang-guncang.
"Bukan dimintai bantuan, melainkan diajak kerja sama, Lam Sian!" kata Jenderal Ouw. "Kita bekerja
sama dan kedua pihak mendapat keuntungan."
"Jenderal Ouw, sebaiknya kalau Anda jelaskan, kerja sama yang bagaimana itu? Apa yang harus
kulakukan untuk Anda, dan imbalan keuntungan apa yang akan kami dapat?" tanya Pak Kui.
"Anda berempat mengetahui bahwa banyak muncul pemberontak-pemberontak yang mengganggu
keamanan. Mereka terdiri dari orang-orang kang-ouw yang memiliki ilmu silat tinggi. Untuk membasmi
mereka, tidak cukup mengandalkan pasukan saja, maka kami mendatangkan banyak orang kang-ouw
yang berkepandaian tinggi untuk menghadapi mereka. Terutama sekali, perguruan-perguruan silat dari
berbagai aliran merupakan bahaya bagi pemerintahan kerajaan kami. Walaupun mereka itu tidak secara
berbareng berani melakukan pemberontakan, namun kita harus selalu mengikuti gerak-gerik mereka
dan menyelidiki dengan seksama agar sebelum mereka dapat melakukan pemberontakan, dapat lebih
dulu kita gagalkan. Nah, tugas kalian adalah membantu kami menghadapi mereka. Kalau Anda berempat
menyetujui, katakan saja imbalan jasa apa yang kalian minta, akan kami usahakan untuk memenuhinya.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 202
:: CerSil KhoPingHoo :
"Hemm, sudah banyak saya mendengar akan kemurahan hati Jenderal Ouw dari Ouw-Taijin (Pembesar
Ouw) yang menjadi jaksa di kota Hak-Ciu. Karena itu, begitu mendengar akan undangan paduka, saya
langsung saja datang menghadap ke sini."
"Nah, sebagai contohnya, baru saja terjadi perbuatan jahat menimpa adik kami sendiri, yaitu Jaksa Ouw
di Hak-Cciu. Dia dan puteranya didatangi penjahat wanita yang mengacau. Tentu penjahat wanita itu
merupakan seorang di antara mereka yang menentang dan memberontak terhadap kerajaan kami.
Menurut laporan dari Hak-Ciu, penjahat wanita itu berjuluk Sian-Li Eng-Cu (Bayangan Bidadari). Pak Kui,
sekarang katakan, kalau engkau membantu kami menghadapi para pemberontak itu, imbalan jasa apa
yang engkau harapkan dari pemerintah kerajaan?"
"Hemm, saya adalah seorang pengembara yang tidak memiliki tempat tinggal tetap. Berpindah dari sana
ke sini, mondok sana-sini, karena itu sudah sepatutnya kalau saya menghendaki sebuah rumah sendiri,
lengkap dengan prabotan dan... tentu saja, saya akan senang sekali kalau di rumah itu terdapat dua atau
tiga orang... pelayan wanita yang muda dan cantik seperti yang saya lihat tadi. Ha-ha-ha!" Jenderal Ouw
mengangguk-angguk dan tersenyum.
"Ha-ha, itu mudah saja, Pak Kui. Keinginanmu pasti akan kami penuhi asalkan engkau benar-benar mau
membantu kami dan membuat jasa. Nah, sekarang kami ingin mendengar pendapat Tung Ong (Raja
Timur, singkatan dari Giam-Lo-Ong atau Raja Maut Timur). Apa yang engkau inginkan sebagai imbalan
jasa, Tung Ong?" Dengan wajah masih keruh dan mulut tengkorak itu cemberut, Tung Giam-Lo berkata.
"Jenderal Ouw, saya adalah seorang Tong-Cu (Majikan Pulau) dari Pulau Ular di Laut Timur. Saya tidak
kekurangan apa pun, hidup sebagai penguasa dengan anak buah yang berjumlah lima puluh kepala
keluarga. Akan tetapi karena keluarga para anak buah saja semakin membesar sehingga kami
memerlukan biaya yang besar, maka saya hanya mohon agar pemerintah dapat memberi hak istimewa
kepada saya untuk menguasai Pulau Ular secara sah, berdaulat dengan wilayah dari pulau sampai ke
darat."
Jenderal Ouw diam memutar otak. Permintaan Raja Timur ini memang amat berat karena itu berarti
menyerahkan sebuah pulau kepada datuk itu. Dan kalau datuk itu diberi kekuasaan atas pulau dengan
wilayah sampai ke daratan, maka tentu datuk itu akan menggunakan kekuasaannya untuk memungut
pajak sesukanya, mengganggu keamanan lalu-lintas dan pesisir. Akan tetapi kalau ditolak, berarti
pemerintah menambah jumlah pihak yang menentang. Biarlah untuk sementara ini dia menyetujui,
pikirnya. Yang menyetujuikan dia, bukan pemerintah! Mudah saja kelak persetujuan secara pribadi ini
dinyatakan tidak berlaku bagi pemerintah.
"Baiklah, Tung Ong, permintaanmu kami setujui. Sekarang, bagaimana dengan engkau, Lam Sian?"
Sebelum menjawab, Lam Sian tertawa terkekeh-kekeh.
"He-he-he-he! Jenderal Ouw menjanjikan hadiah besar dan kami boleh pilih sendiri? Jenderal Ouw, terus
terang saja, saya tidak mementingkan harta benda dan kedudukan. Saya siap membantu menghadapi
para pemberontak dan pengacau, dan saya akan merasa bahagia kalau saya bisa diberi kekuasaan untuk
mengurus dan memiliki sebuah Kelenteng (Kuil) yang besar."
"Ha-hal permintaan Lam Sian sesuai dengan nama julukanmu. Engkau dijuluki Dewa Selatan, sudah
sepantasnya kalau engkau memimpin sebuah Kuil yang besar." kata Jenderal Ouw. "Tentu saja kami:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 203
:: CerSil KhoPingHoo :
akan memilihkan sebuah Kelenteng yang tepat untukmu." Kini Jenderal Ouw memandang kepada See
Tok. "Nah, sekarang tinggal engkau, See Tok. Coba katakan, apakah pilihanmu?"
"Saya ingin diberi pangkat yang sesuai dengan kepandaian dan kemampuan saya, Jenderal Ouw."
Jenderal Ouw mengamati wajah dan bentuk tubuh See Tok, mengangguk-angguk.
"Tepat sekali, See Tok. Engkau pantas menjadi seorang perwira tinggi." Empat Datuk Besar itu merasa
gembira bahwa permintaan mereka disetujui oleh Jenderal Ouw. Mereka sudah membayangan betapa
senangnya kalau kelak permintaan mereka telah dipenuhi. Mereka menyatakan siap siaga melaksanakan
apa yang diperintahkan Jenderal Ouw. Kemudian Jenderal Ouw secara terpisah memberi tugas rahasia
kepada mereka. Masing-masing mendapat tugas yang harus mereka rahasiakan dari siapa pun, bahkan
di antara Empat Datuk itu sendiri tidak saling mengetahui, tugas apa yang rnasing-masing harus
laksanakan. Mereka berempat mendapat masing-masing sebuah kamar besar di dalam kompleks gedung
Jenderal Ouw Gu Cin yang besar dan luas, hidup sebagai tamu-tamu yang dihormati.
In Hong melakukan perjalanan seorang diri. Tujuannya adalah Pegunungan Beng-San di mana Hek I
Kaipang pusat berada. Hek I Kaipang memiliki banyak cabang di kota-kota besar dan yang berada di
Beng-San adalah pusatnya dan sanalah para pemimpin perkumpulan itu berada. Perpisahannya dari Yo
Kang yang baru saja terjadi, pengalamannya bersama pemuda itu, membuat ia melamun dan terkenang
kepada pemuda itu. Terutama sekali ia selalu terkenang akan sikap dan ucapan Yo Kang yang
menyatakan cinta kepadanya! Yo Kang mencintanya sejak pertemuan pertama dahulu. Ia lalu
membayangkan pemuda yang masih saudara misan dengannya itu.
Harus ia akui bahwa Yo Kang yang usianya hanya dua tahun lebih tua darinya adalah seorang pemuda
yang berwajah tampan ganteng, tubuhnya tinggi besar. Dengan pakaiannya yang biasanya berwarna
biru itu dia tampak gagah perkasa. Dan memang pemuda itu gagah perkasa. Seorang murid Bu-Tong-Pai
yang lihai, jauh lebih lihai daripada ketika ia temukan sekitar dua tahun yang lalu karena itu telah
memperdalam ilmu dari ketua Bu-Tong-Pai. Juga Yo Kang berwatak jujur, pembela kebenaran dan
keadilan, sopan dan terbuka. Dan pemuda itu mencintainya, ingin berjodoh dengannya. Kalau ia
mendapatkan suami seperti Yo Kang, apalagi yang kurang? Dia benar-benar seorang pemuda pilihan.
Kaya-raya, lihai ilmu silatnya, wataknya sebagai pendekar yang gagah perkasa, tampan dan gagah. Mau
apa lagi?
"Entahlah, tapi rasanya aku hanya kagum dan suka kepadanya, sebagai saudara misan, sebagai sahabat,
tidak ada urusan rasa cinta dalam hati ini." katanya seorang diri sambil menghela napas panjang. Selain
itu, ada beberapa hal yang membuat In Hong merasa kecewa terhadap Yo Kang, yaitu sikap pemuda itu
terhadap Kakeknya, Kakek mereka berdua yaitu Kakek Yo Tang yang berwatak keras, pemarah, pikun
dan pelit, juga kejam! Yo Kang agaknya tidak menentang watak Kakek mereka itu, Kakek luar baginya
dan Kakek dalam bagi Yo Kang. Selain Kakek Yo Tang yang membuat In Hong kecewa terhadap Yo Kang
juga dulu ia mendengar percakapan antara Yo Hang Tek dan isterinya, orang tua Yo Kang. Yo Hang Tek
yang ingin menjodohkan Yo Kang dengannya, akan tetapi Ibu muda itu tidak setuju karena ia dianggap
seorang gadis liar dan ganas!
"Sudahlah, aku tidak berjodoh dengan Yo-Twako." akhirnya ia mengambil kesimpulan dan pikirannya
melayang-Iayang, membayangkan wajah seorang pemuda lain. Wajah Tan Siong, putera Hartawan Tan
Yu Seng di Lam-Keng. Seorang pemuda berusia sekitar dua puluh dua tahun, wajah dan sikapnya tidak
dapat disebut gagah, namun harus diakui bahwa pemuda itu tampan sekali. Tampan dan lembut,
ditambah dengan watak yang manis budi dan bijaksana, seorang sastrawan yang pandai dan:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 204
:: CerSil KhoPingHoo :
berpemandangan luas! Seperti juga Yo Kang, Tan Siong merupakan seorang pemuda pilihan! Bahkan
hidupnya tentu akan berbahagia menjadi isteri seorang pria lembut bijaksana seperti Tan Siong, apalagi
karena Ayah-Ibu pemuda itu juga suka kepadanya.
"Tidak," ia menghela napas panjang. "Ia dan mereka belum saling mengenal dengan baik. Bahkan
mereka tidak mengetahui namanya yang sebenarnya, hanya mengenalnya sebagai Put Hauw Li, Si Gadis
Tidak Berbakti!" In Hong melangkah sambil terus melamun. Harus ia akui bahwa ia pun kagum dan suka
kepada Tan Siong, seperti ia kagum dan suka kepada Yo Kang, namun dalam hatinya tidak ada perasaan
cinta terhadap dua orang pemuda itu. Tidak ada perasaan cinta seperti yang pernah ia rasakan terhadap
Bu Jin Ai, atau nama aselinya Ong Tiang Houw! Ia merasa heran dan juga terpukul setiap kali ia teringat
kepada Ong Tiang Houw. Baru pertama kali itu dalam hidupnya ia tertarik, kagum, dan juga jatuh cinta
kepada seorang pria.
Padahal, mendiang Ong Tiang Houw adalah seorang laki-laki yang sudah berusia empat puluh tahun
lebih ketika bertemu dengannya. Dua kali lebih tua darinya. Pantas menjadi Ayahnya! Lebih aneh dan
menghancurkan hatinya lagi ketika ia ketahui bahwa laki-laki pertama dalam hidupnya yang ia cinta itu
ternyata adalah Ayah tirinya sendiri, suami Ibu kandungnya! Ini masih belum hebat. Pukulan yang
membuat ia hampir gila adalah kenyataan yang kemudian ia dengar bahwa Ong Tiang Houw itu adalah
orang yang telah membunuh Ayah kandungnya! Musuh besarnya! Lebih menghancurkan hatinya lagi,
ketika musuh besar itu dibunuh oleh putera kandungnya sendiri, Ong Teng San, karena pemuda itu
melihat perbuatan Ayahnya yang keji, ia lalu membela Ong Tiang Houw dan membunuh Ong Teng San!
Padahal, pemuda itu adalah seorang pendekar gagah perkasa dan budiman yang juga mencintanya!
In Hong merasa betapa batinnya tertekan sekali oleh perasaan berdosa. Ia berdosa kepada Ayahnya
karena ia tidak membalaskan keMatian Ayahnya yang dibunuh orang tanpa dosa, sebaliknya ia malah
mencinta laki-laki yang membunuh Ayahnya itu! Dan ia berdosa kepada Ong Teng San karena ia bahkan
membunuh pemuda itu yang membunuh Ayah kandung sendiri karena melihat perbuatan jahat Ayah
kandungnya itu. la menyesal sekali dan merasa betapa dirinya sungguh berdosa, kotor dan tidak pantas
menjadi jodoh para pemuda yang baik seperti Yo Kang dan Tan Siong! Mereka berdua adalah pemudapemuda pilihan, sungguh tidak pantas memiliki isteri seperti ia yang berlumur dosa! Tiba-tiba In Hong
merasa pahit dan marah sekali kepada dirinya sendiri. Air matanya menetes-netes di pipi dan ia lalu
mengerahkan tenaga dan berlari cepat seperti terbang melanjutkan perjalanannya menuju Beng-San.
Pada sore harinya, perjalanan In Hong terhalang sebuah sungai yang cukup lebar. Gunung Beng-San
sudah tampak di kejauhan. Perjalanan masih panjang dan ia terhalang sungai. In Hong mencari-cari
dengan pandang matanya. Tidak tampak pedusunan di sekitar tempat itu. Juga tidak ada perahu yang
akan dapat menyeberangkannya. Tiba-tiba ia mendengar suara orang bernyanyi. Suara seorang laki-laki,
cukup merdu dan lantang, namun nada-nadanya aneh. Setelah mendengarkan dengan perhatian, In
Hong teringat bahwa nyanyian itu seperti lagu dari barat, dari daerah Tibet atau Bhutan. la lalu melihat
sebuah perahu kecil didayung perlahan oleh seorang pemuda. Pemuda itulah yang bernyanyi sambil
mendayung perahunya. Hati In Hong menjadi girang sekali. Perahu itu dapat menyeberangkannya ke
seberang sana, pikirnya.
"Heei, sobat yang berada di perahu!" ia berseru nyaring. Pemuda itu menoleh kepadanya dan In Hong
melihat betapa pemuda itu berwajah tampan gagah, kulit wajahnya putih sehingga sepasang alisnya
tampak tebal dan hitam. Pemuda itu tersenyum kepadanya. Wajah yang menarik dan ganteng! "Sobat,
tolong seberangkan aku ke sana!" In Hong berkata sambil menunjuk ke seberang sana. Pemuda itu tidak:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 205
:: CerSil KhoPingHoo :
menjawab, akan tetapi dia kini mendayung perahunya ke tepi sungai di mana In Hong berdiri. Setelah
perahu menempel di pantai, pemuda itu bertanya.
"Engkau hendak Nona?"
"Aku hendak pergi ke sana, ke gunung itu." In Hong menunjuk.
"Ke Beng-San? Hemm, masih amat jauh, Nona. Sedikitnya akan makan waktu tiga sampai empat hari."
kata pemuda itu. Di dalam hatinya, In Hong mentertawakannya. Bagi orang lain tiga empat hari, akan
tetapi kalau ia menggunakan ilmu berlari cepat, paling lama sehari tentu akan sampai di tempat tujuan.
"Tidak mengapa. Jauh juga kalau dijalani, akan sampai juga."
"Ha-ha, engkau benar sekali, Nona. Dan sungguh mengagumkan seorang gadis muda seperti Nona
memiliki semangat besar. Mari, masuklah ke perahuku, akan kuseberangkan ke sana."
"Terima kasih, sobat." In Hong lalu memasuki perahu kecil dan duduk berhadapan dengan pemuda itu.
la mulai memperhatikan pemuda bertubuh tinggi tegap itu. Wajahnya yang berkulit putih memang
menarik sekali, senyumnya juga ramah dan manis, dan sepasang matanya bersinar-sinar penuh
semangat, terkadang mencorong tajam. Pemuda itu mendayung perahunya ke tengah. In Hong baru
melihat bahwa dayung pemuda itu terbuat dari baja, bukan dari kayu seperti dayung-dayung biasa. Hal
ini membuat ia menduga bahwa pemuda ini agaknya seorang yang pandai ilmu silat.
"Sobat, mengapa dayungmu bukan dayung kayu? Bukankah dayung baja seperti itu berat untuk dipakai
mendayung?" Pertanyaan In Hong ini memancing.
"Memang benar, Nona. Akan tetapi dayungku ini bukan hanya untuk mendayung perahu, melainkan
untuk menjaga diri terhadap serangan binatang liar seperti buaya dan ular yang terdapat banyak di tepi
sungai ini." Tiba-tiba dari tikungan sebelah depan muncul dua buah perahu besar bercat hitam yang
masing-masing ditumpangi dua belas orang laki-laki yang rata-rata bertubuh tinggi besar dan berwajah
bengis! Karena ketika mendayung perahunya menyeberang, perahu kecil itu terbawa arus yang kuat di
tengah sungai, maka perahu kecil yang ditumpangi In Hong itu tiba di tikungan dan ia melihat munculnya
dua buah perahu hitam itu.
"Bahaya mengancam, Nona!" kata tukang perahu.
"Siapa mereka?" tanya In Hong.
"Mereka itu perampok dan bajak sungai yang suka mengganggu di sekitar daerah ini."
"Hernm, jangan takut, sobat. Aku yang akan menghajar mereka kalau mereka berani mengganggu kita!"
kata In Hong tenang. Kini dua buah perahu hitam besar itu sudah datang dekat. Seorang laki-laki tinggi
besar yang rnukanya penuh brewok, berdiri di kepala sebuah di antara dua perahu itu, mengacungkan
goloknya ke atas dan berseru dengan lantang.
"Hee, tukang perahu busuk! Cepat engkau tinggalkan perahu, terjun ke air karena perahu dan Nona
cantik itu menjadi milik kami sekarang!":: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 206
:: CerSil KhoPingHoo :
"Penjahat-penjahat busuk! Kuperingatkan kalian, pergilah dan jangan ganggu kami kalau kalian masih
ingin hidup!" teriak In Hong marah sambil mencabut Gan-Liong-Kiam dari punggungnya. Mendengar
ucapan In Hong dan melihat gadis cantik jelita itu berdiri di perahu kecil memegang sebatang pedang,
kepala bajak sungai itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, lucu sekali gadis itu! Ia seperti kuda betina liar dan pantas untuk menjadi isteriku yang
kelima! Bukankah begitu kawan-kawan?" Anak buahnya sebelas orang yang berada di perahunya itu
tertawa-tawa, bahkan mereka yang berada di perahu ke dua dan mendengar ucapan ini juga tertawa.
"Cocok sekali, sudah pantas sekali, Twako (Kakak)!" terdengar seruan-seruan mereka.
"Jahanam busuk!" In Hong mernbentak dan tiba-tiba tubuhnya meloncat dari perahu kecil, bagaikan
seekor burung garuda tubuh gadis itu melayang ke arah perahu besar di mana pemimpin bajak sungai
yang brewokan itu berada. Semua bajak terkejut, dan kepala bajak laut itu maklum bahwa gadis itu lihai
melihat cara ia melompat, maka dia pun siap siaga. In Hong sengaja melayang ke arah kepala bajak laut
dan dari udara ia sudah menyerang dengan pedangnya, diayun membacok leher kepala bajak laut.
Kepala bajak laut itu cepat menggerakkan golok besarnya menangkis sambil mengerahkan semua
tenaga dalamnya.
"Singg... trangggg...!" Bunga api berpijar dan golok itu patah menjadi dua, sedangkan pedang yang
dibacokkan In Hong itu terus meluncur dan tak dapat dihindarkan lagi membacok ke arah leher kepala
bajak.
"Crakkk...!" Leher yang kokoh itu terbabat putus, darah muncrat dan kepala itu menggelinding ke atas
Iantai perahu, tubuhnya terlempar ketika terkena tendangan In Hong dari udara! Para anak buah bajak
menjadi geger.
Sebelas orang itu bangkit dan dengan membabi-buta menyerang In Hong dengan golok mereka. Akan
tetapi, In Hong dengan gerakan yang amat cepat, hanya tampak bagaikan sesosok bayangan
berkelebatan di antara mereka dan pedangnya bergerak seperti membabati batang gandum saja. Dalam
waktu singkat, tubuh sebelas orang anak buah berandal itu sudah roboh mandi darah dan tewas,
sebagian ditendang keluar dari perahu oleh In Hong! Karena tidak ada lagi yang mendayung dan
mengemudi, perahu besar itu oleng dan berputar. In Hong melihat ke arah tukang perahu yang tadi
membawanya menyeberang dan ia terbelalak. Pemuda pemilik perahu kecil itu sudah meluncurkan
perahunya ke arah perahu besar ke dua dan dengan dayung bajanya dia menghantarn ke arah tubuh
perahu besar.
"Blaarrr...!" Perahu besar itu pecah berantakan dan tentu saja dua belas orang yang berada di perahu
terlempar ke air. Bukan main! In Hong terkejut, heran dan kagum. Tentu saja dibutuhkan tenaga sakti
yang amat kuat untuk dapat membuat perahu besar itu pecah berantakan hanya dengan sekali pukul
dengan sebatang dayung kecil, walaupun dayung itu terbuat dari baja sekalipun! Pemuda tukang perahu
itu ternyata seorang yang lihai! Pada saat itu ia mendengar teriakan-teriakan dari para bajak sungai yang
berusaha berenang menyelamatkan diri ke tepi sungai.
"Pek-Bin-Houw... dia Pek-Bin-Houw...!"
"Thian-Te Pangcu (Ketua Thian-Te-Pang)...!!" Agaknya pemuda itu setelah memukul pecah perahu besar,
tidak mempedulikan para bajak yang tercebur di sungai itu lagi. Dia mendayung perahunya mendekati:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 207
:: CerSil KhoPingHoo : :: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 208
:: CerSil KhoPingHoo :
perahu besar di mana In Hong berada, setelah dekat dia berseru.
"Loncatlah ke sini, Nona!" Karena perahu besar itu berputar-putar, In Hong lalu melompat ke arah
perahu kecil dan hinggap di atas perahu kecil itu tanpa membuat perahu itu terguncang! Ini
membuktikan bahwa In Hong memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang amat tinggi. Pemuda itu
mendayung perahunya menuju ke seberang tanpa bicara. Setelah tiba di tepi sungai seberang sana, dia
melompat ke darat dan menarik perahunya ke darat. In Hong juga melompat ke darat. Tidak tampak ada
ular atau buaya seperti yang tadi dikatakan pemuda itu, maka In Hong lalu berkata.
"Hemm, kiranya yang kau sebut buaya dan ular adalah para bajak itu?" Pemuda itu tersenyum dan
senyumnya sungguh menawan.
"Masih untung bahwa penumpangku adalah seorang pendekar wanita yang amat lihai. Agaknya engkau
yang disebut orang Sian-Li Eng-Cu (Si Bayangan Bidadari)!"
"Ehh? Bagaimana engkau bisa tahu?"
"Namamu sudah terbawa angin sampai ke daerah sini, Nona." katanya.
"Dan melihat gerakanmu yang cepat tadi, aku lalu menduga bahwa tentu engkau yang berjuluk Sian-Li
Eng-Cu."
"Dan engkau berjuluk Pek-Bin-Houw (Harimau Muka Putih) seperti yang kudengar dikatakan mereka
tadi? Juga engkau adalah Thian-Te Pangcu (Ketua Thian-Te-Pang)?" In Hong menatap wajah putih itu.
Pemuda itu menghela napas panjang.
"Apa boleh buat, biarpun tadinya aku ingin menyembunyikan nama, kini tidak ada gunanya lagi karena
engkau sudah mendengar orang-orang menyebutku demikian. Memang benar, Nona. Aku dijuluki orang
Pek-Bin-Houw dan aku memang ketua Thian-Te-Pang (Perkumpulan Langit Bumi) yang berada di dusun
Kiok-Lim di kaki Gunung Beng-San. Baru beberapa bulan aku menjadi ketua Thian-Te-Pang dan
mendengar bahwa di daerah ini terdapat gerombolan perampok dan bajak sungai, maka aku sengaja
berperahu untuk menyelidiki. Beruntung sekali aku bertemu dengan Sian-Li Eng-Cu yang namanya
terkenal dan menyaksikan kelihaianmu ketika engkau membasrni bajak-bajak dalam perahu itu, Nona."
Pemuda itu lalu memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dada dengan sikap
hormat, ramah dan sopan. "Bolehkah aku mengetahui nama Nona yang terhormat?" In Hong
tersenyum.
"Engkau sudah tahu bahwa aku disebut Sian-Li Eng-Cu..."
"Maksudku, aku ingin mengenal nama dan she (rnarga) Nona yang terhormat." In Hong tersenyum.
"Sobat, engkau sendiri belum memperkenalkan nama dan she-mu." Pemuda itu tertawa dan menepuk


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dahinya.
"Aih, aku sampai lupa! Perkenalkan, Nona. Namaku Gan Bouw."
"Namaku Put Hauw Li." Gan Bouw mengangkat muka, memandang wajah jelita itu dengan alis berkerut.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 209
:: CerSil KhoPingHoo :
"Ah, seorang seperti Nona yang gagah perkasa, seorang pendekar yang julukannya saja Sian-Li Eng-Cu,
bagaimana mungkin menggunakan nama Put Hauw Li (Gadis Tidak Berbakti)? Mengapa engkau
menggunakan nama palsu, Nona?"
"Sudahlah, jangan bertanya lebih Ianjut. Anggap saja namaku Put Hauw Li atau Sian-Li Eng-Cu, terserah."
Gan Bouw menghela napas panjang.
"Baiklah, kalau begitu yang kau kehendaki. Biarlah aku akan memanggilmu Nona Sian-Li (Bidadari) saja.
Nona tadi mengatakan hendak pergi ke Beng-San? Ada urusan apakah Nona hendak berkunjung ke sana,
yaitu kalau aku boleh mengetahui?" Setelah melihat sepak-terjang Gan Bouw ketika menghadapi para
bajak sungai tadi, In Hong sudah percaya benar bahwa pemuda itu adalah seorang pendekar yang gagah
perkasa. Apalagi dia adalah ketua Thian-Te-Pang yang melihat namanya Perkumpulan Langit Bumi tentulah perkumpulan orang-orang gagah. Maka, mendengar pertanyaan itu, ia pun menjawab dengan terus
terang.
"Aku hendak pergi ke pusat Hek I Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam), bertemu dengan para
pemimpinnya. Engkau yang menjadi ketua Thian-Te-Pang dan berpusat di kaki Gunung Beng-San itu,
tentu mengenalnya." Gan Bouw tersenyum dan mengangguk-angguk. Manis dan menyenangkan wajah
pemuda itu kalau tersenyum!
"Tentu saja aku mengenal Hek I Kaipang dengan baik sekali, Nona Sian-Li. Kami tetangga dan hubungan
antara Thian-Te-Pang dan Hek I Kaipang sejak dulu memang erat. Kami satu tujuan, yaitu menegakkan
kebenaran dan keadilan. Biarpun baru sekitar tiga empat bulan aku menjadi ketua Thian-Te-Pang,
namun aku mengenal baik ketuanya, yaitu Pat-Jiu Sin-Kai (Pengemis Sakti Delapan Lengan)."
"Pangcu (Ketua)..."
"Eiit, nanti dulu, Nona. Jangan sebut aku Pangcu, pertama karena engkau bukan anak buah
perkumpulanku, kedua kita sudah berkenalan dan menjadi sahabat, bukan?"
"Hemm, engkau pun bersungkan-sungkan menyebutku Nona, lalu aku harus menyebut engkau apa?" In
Hong tersenyum, merasa betapa pemuda ini selain halus tutur sapanya, juga ramah dan gembira.
"Baiklah, mulai sekarang, kalau engkau tidak berkeberatan, aku akan menyebutmu Sian-Li yang
kuanggap nama aselimu atau cukup kusebut Siauw-moi (Adik Perempuan) saja dan engkau boleh
memanggil aku Twako (Kakak Laki-laki). Bagaimana, setujukah engkau?" In Hong tersenyum. Tentu saja
tidak ada salahnya bersahabat dengan seorang seperti Gan Bouw ini, seorang ketua perkumpulan bersih
yang terhormat.
"Baiklah, Gan-Twako (Kakak Gan)."
"Bagus, Siauw-moi! Sekarang, lanjutkanlah. Apa yang hendak kau katakan tadi?"
"Begini, Twako. Aku merasa heran sekali bagaimana engkau yang masih begini muda dapat menjadi
ketua sebuah perkumpulan seperti Thian-Te-Pang itu? Apakah engkau merupakan murid pertama yang
menggantikan gurumu yang menjadi ketua dan telah meninggal?" Gan Bouw tersenyum, lalu menghela
napas panjang.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 210
:: CerSil KhoPingHoo :
"Ceritanya panjang, Siauw-moi. Mari kita duduk dulu dan akan kuceritakan padamu." Dia duduk di atas
sebuah batu besar di tepi sungai dan In Hong juga duduk di depannya. Cuaca sore itu sejuk. Matahari
mulai condong berat ke barat. Sinarnya tidak menyengat lagi, melainkan hangat menyamankan. Silir
angin menyejukkan dan gemercik air amat mengasyikkan di tempat yang sunyi itu.
"Aku seorang yatim piatu. Ayahku bernama Gan Cong meninggal dunia sejak aku berusia tiga tahun dan
beberapa bulan kemudian Ibuku menyusul Ayahku. Aku tidak ingat lagi bagaimana wajah kedua orang
tuaku itu. Sejak berusia tiga tahun aku dipelihara orang lain. Sejak kecil aku suka sekali belajar silat. Hal
ini tidak disetujui orang-orang yang memeliharaku, maka setelah berusia belasan tahun aku pergi
merantau untuk memperdalam ilmu silatku. Aku mempelajari banyak macam ilmu silat dan yang
terakhir aku belajar ilmu-ilmu dari para Pendeta Lama di daerah Tibet."
"Ah, pantas saja tadi aku mendengar engkau bernyanyi lagu Tibet!" kata In Hong.
"Wah, engkau mengenal lagu Tibet? Banyak orang yang mendengar tapi tidak mengenalnya. Aku senang
engkau mengenalnya, Sian-Li! Setelah aku tamat belajar, aku lalu keluar dari Tibet, kembali ke timur dan
menjadi perantau. Beberapa bulan yang lalu, ketika aku lewat di dusun Kiok-Lim di kaki Gunung BengSan aku melihat ada keributan di dusun itu. Ketika aku mendatangi tempat keributan terjadi, ternyata
Perkurnpulan Thian-Te-Pang yang mernpunyai anak buah sebanyak seratus orang lebih itu sedang
diamuk oleh belasan orang gerombolan perampok yang amat lihai. Belasan orang anak buah Thian-TePang sudah roboh, bahkan ketuanya, yaitu Li Bu Kok atau yang biasa disebut Li Pangcu (Ketua Li) sudah
roboh dan tewas. Ketua itu memang sudah lanjut usianya, hampir delapan puluh tahun. Aku segera
membantu Thian-Te-Pang dan berhasil merobohkan dan membunuh tiga belas orang perampok yang
biasa dikenal sebagai gerombolan Tiga Belas Srigala Gila yang amat kejam tapi juga amat lihai. Nah,
setelah peristiwa itu, karena Thian-Te-Pang kehilangan pimpinan dan karena mereka berterima kasih
kepadaku dan menganggap aku pantas menjadi pemimpin mereka, mereka lalu mohon dengan sangat
agar aku suka memimpin mereka. Aku merasa kasihan dan tidak tega menolaknya, maka mulai hari itu
aku menjadi ketua Thian-Te-Pang."
"Wah engkau hebat sekali, Gan-Twako! Dan bagaimana engkau mendapat julukan Pek-Bin-Houw
(Harimau Muka Putih) itu? Kalau julukan Muka Putih, aku mengerti, memang kulit wajahmu amat putih,
Twako. Akan tetapi mengapa harimau?"
"Ha-ha-ha, mereka memang lucu. Julukan itu pun kudapat dari para anggauta Thian-Te-Pang dan para
penduduk dusun Kiok-Lim yang menonton perkelahianku dikeroyok tiga belas orang perampok. Kata
mereka perkelahian itu mengingatkan mereka akan perkelahian antara seekor harimau dikeroyok tiga
belas ekor srigala. Karena para perampok itu memang disebut Tiga Belas Srigala Gila maka aku
diumpamakan sebagai seekor harirnau dan... begitulah, mereka memberiku julukan Harimau Muka
Putih kepadaku."
"Hebat, Twako. Engkau memang lebih dari pantas mendapat julukan itu. Dari cararnu menghancurkan
perahu besar dengan dayungmu itu saja sudah dapat kuketahui betapa hebat tenaga dalammu!"
"Wah, jangan terlalu memujiku, Siauw-moi! Apa kau kira aku tidak melihat betapa hebat ginkangmu
(ilmu meringankan tubuhmu) tadi? Gerakanmu seperti berkelebatnya kilat, engkau seperti berubah
menjadi bayangan, maka tidak heran engkau disebut Si Bayangan Bidadari! Nah, setelah aku
menceritakan riwayatku, kiranya sudah sepatutnya kalau engkau pun suka menceritakan riwayatmu
kepadaku, kan?":: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 211
:: CerSil KhoPingHoo :
"Ah, Twako. Tidak ada yang menarik untuk kuceritakan tentang diriku, dan maaf, agaknya sudah tiba
saatnya aku harus melanjutkan perjalananku ke Beng-San." kata In Hong sambil bangkit berdiri.
"Siauw-moi, harap jangan tergesa-ge-sa. Percayalah kepadaku, aku mengenal baik daerah ini. Tempat ini
jauh dari pedusunan dan perjalanan menuju Beng-San melalui hutan dan rawa yang sepi dan berbahaya.
Engkau tentu akan kemalaman di dalam perjalanan dan terpaksa berhenti di dalam hutan atau di daerah
rawa. Hari telah mulai senja dan sebentar lagi gelap. Tempat yang paling balk untuk berhenti
melewatkan malam adalah di tepi sungai ini. Selain tempat ini bersih, juga kita dekat dengan air dan di
sungai ini terdapat banyak ikan yang dapat kita jadikan santapan malam. Nah, bagaimana kalau kita
tinggal di sini melewatkan malam ini? Besok pagi-pagi kita dapat melanjutkan perjalanan." In Hong
rnemandang tajam wajah itu.
"Kita? Apakah engkau tidak melanjutkan naik perahumu?" Pemuda itu menggelengkan kepalanya.
"Aku juga akan pulang ke dusun Kiok-Lim. Para anggauta Thian-Te-Pang tentu sudah menunggu-nunggu
karena sudah belasan hari aku rneninggalkan Kiok-Lim. Kebetulan aku bertemu denganmu, maka aku
selain mendapatkan teman berjalan, juga dapat menjadi penunjuk jalan bagimu. Tentu saja kalau
engkau tidak berkeberatan melakukan perjalanan bersama aku, Sian-Li."
"Tentu saja aku tidak keberatan, malah senang sekali, Twako. Kalau begitu, sebelum gelap benar, aku
hendak mandi, bertukar pakaian sekalian mencuci pakaian yang kotor."
"Sebaiknya begitu, Sian-Li. Di sana terdapat batu-batu besar di sebelah pinggir sungai, engkau dapat
mandi dan mencuci pakaian di situ dan aku akan mencoba untuk mendapatkan beberapa ekor ikan
untuk santapan kita."
Pemuda itu menuding ke kiri, kemudian dia mengambil sebatang pedang yang tadinya dia sembunyikan
di dasar perahu, di bawah tempat duduk, lalu memotong sebatang bambu yang ujungnya diruncingkan,
lalu pergi ke arah kanan. In Hong melihat bahwa di sebelah kiri memang terdapat beberapa buah batu
besar di mana ia dapat mandi dengan terlindung atau teralingi batu besar dan ia dapat pula duduk di
atas batu mencuci pakaian dengan leluasa. Ke sanalah ia pergi membawa pengganti pakaian. Sebelum
menanggalkan pakaian untuk mandi, ia lebih dulu meneliti keadaan sekeliling. Tempat itu memang sepi
sekali tidak ada orang lain dan ketika ia mengintai dan memandang ke kanan, ia melihat agak jauh di
sana pemuda itu sedang mengintai dan menombaki ikan-ikan yang berenang-renang di bawah
permukaan air.
Pemuda itu sama sekali tidak melihat atau memperhatikan ke arah tempat ia mandi. Hatinya merasa
lega dan ia teringat kepada Yo Kang. Pemuda bernama Gan Bouw ini ternyata juga seorang pemuda
yang tampan dan jujur seperti Yo Kang dan melihat cara dia memecahkan perahu bajak sungai tadi, ia
menimbang-nimbang siapakah kiranya yang lebih lihai antara dua orang pemuda itu. Setelah mandi,
bertukar pakaian bersih dan mencuci pakaian kotor, In Hong kembali ke tempat semula. Cuaca sudah
mulai remang-remang dan ia melihat Gan Bouw sudah membuat api unggun. Ia mencium bau sedap
gurih dan pemuda itu kiranya sedang memanggang empat ekor ikan yang lumayan besarnya, sebesar
lengan.
"Aih, sedapnya!" kata In Hong gembira, bukan karena ikan itu, melainkan terutama sekali karena ia
merasa semakin percaya dan suka kepada pemuda kenalan barunya ini. Setelah ia menghampiri pemuda:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 212
:: CerSil KhoPingHoo :
yang duduk dekat api unggun sambil memanggang daging ikan, ia mulai melihat pemuda itu sudah
berganti pakaian pula dan rambutnya masih basah.
"Hei, engkau juga sudah mandi, Twako?"
"Sudah, setelah mendapatkan ikan-ikan ini, aku langsung berenang lalu berganti pakaian."
"Hemm, sedap dan gurih baunya! Twako, ikan ini tentu diberi bumbu, aku mencium bau bawang. Dari
mana engkau memperoleh bumbu masak?" Gan Bouw tersenyum.
"Seorang yang suka merantau harus membawa perlengkapan bumbu, Sian-Li. Setidaknya, bawang,
mrica, dan garam harus punya." Setelah ikan-ikan itu matang, mereka lalu makan ikan sambil duduk di
dekat api unggun. Bukan main lezatnya makan ikan panggang seperti itu. Hati senang, badan segar
setelah mandi, udara sejuk di tempat terbuka, perut lapar, semua ini merupakan syarat utama untuk
dapat menikmati makanan yang betapa sederhana sekalipun. Setelah selesai makan, membuang sisa
makanan dan mencuci tangan dan mulut, kedua orang muda itu duduk di dekat api unggun dan
bercakap-cakap.
"Siauw-moi, aku tidak berani mendesakmu untuk menceritakan riwayatmu kaIau engkau memang tidak
suka menceritakannya, bahkan nama aselimu pun tidak kau beritahukan kepadaku. Mungkin hal itu
karena engkau belum percaya benar kepadaku. Aku tidak rnerasa kecewa, dan aku menghormati
pendirianmu itu. Akan tetap setidaknya mungkin engkau mau menceritakan kepadaku apa hubunganmu
dengan Hek I Kaipang dan mengapa engkau hendak berkunjung ke sana." In Hong menatap tajam wajah
itu dan ia merasa diri sendiri agak keterlaluan karena tidak percaya kepada pemuda yang jujur, sopan
dan bersikap baik itu.
"Maaf, Twako. Sebetulnya, terus terang saja aku sendiri merasa tidak senang mendengar riwayatku yang
hanya akan menggali kenangan-kenangan yang pahit tidak menyenangkan, apalagi harus menceritakan
kepada orang lain. Mengenai pertanyaanmu tentang Hek I Kaipang, aku tidak keberatan untuk
menjawab, Twako. Begini, dalam perjalananku, aku bertemu seorang murid Bu-Tong-Pai yang diserang
oleh orang-orang Hek I Kaipang, dengan tuduhan bahwa ada orang Bu-Tong-Pai yang membunuhi tiga
puluh orang Hek I Kaipang dengan pukulan Tong-Sim-Ciang, ilmu pukulan khas dari Bu-Tong-Pai
sehingga Hek I Kaipang kini memusuhi semua orang Bu-Tong-Pai. Aku melerai mereka dan
mengingatkan pihak Hek I Kaipang bahwa cara membalas dendam kepada semua orang Bu-Tong-Pai itu
tidak benar. Seharusnya mereka melaporkan kepada para pimpinan Bu-Tong-Pai agar diselidiki siapa
pembunuh itu dan bertanggung jawab kalau benar pembunuhnya murid Bu-Tong-Pai. Mereka
menyetujuil maka murid Bu-Tong-Pai itu berjanji akan melaporkan peristiwa pembunuhan itu kepada
para guru di Bu-Tong-Pai, sedangkan aku sendiri akan menemui pimpinan tertinggi Hek I Kaipang untuk
membujuk dan menasehatinya agar jangan melanjutkan permusuhannya terhadap Bu-Tong-Pai,
melainkan menyelidiki dan mencari pembunuh itu." Gan Bouw mengangguk-angguk dan mengerutkan
alisnya.
"Hemm, begitukah? Kalau begitu, persoalannya amat gawat, Sian-Li. Aku pun sudah mendengar bahwa
ilmu Tong-Sim-Ciang merupakan ilmu pukulan andalan Bu-Tong-Pai. Siapa lagi yang mampu
menggunakan ilmu itu untuk membunuh orang kecuali murid Bu-Tong-Pai tingkat tinggi? Kabarnya,
murid menengah saja belum dapat menguasai ilmu itu. Kiranya tidak dapat disalahkan begitu saja kalau
pihak Hek I Kaipang merasa yakin bahwa pembunuhnya adalah murid Bu-Tong-Pai sehingga mereka
memusuhi Bu-Tong-Pai." In Hong menggelengkan kepalanya.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 213
:: CerSil KhoPingHoo :
"Memang kalau dipikirkan sepintas lalu memang demikian. Akan tetapi tentu saja ada kemungkinan lain,
Twako. Misalnya, ada saja orang lain, bukan murid Bu-Tong-Pai yang melakukan itu dengan
menggunakan ilmu dan memakai nama Bu-Tong-Pai yang melakukan itu untuk mengadu domba antara
Bu-Tong-Pai dan Hek I Kaipang! Karena itulah, maka Yo-Twako, eh, Yo Kang murid Bu-Tong-Pai itu dan
aku membagi tugas. Dia melapor kepada para pemimpin Bu-Tong-Pai dan aku melapor kepada Hek I
Kaipang." Gan Bouw mengangguk-angguk.
"Hemm, begitukah? Mungkin pendapat dan dugaanmu itu benar, Sian-Li. Namun aku tetap sangsi
apakah ada orang di luar Bu-Tong-Pai yang menguasai Tong-Sim-Ciang itu."
"Jangan heran, Twako. Hal itu belum aneh benar, akan tetapi apa yang dialami oleh Yo-Twako dan aku
malam itu lebih aneh lagi. Ada orang secara menggelap menyerang Yo-Twako, dan orang itu menyerang
dengan pukulan Pek-Kong-Ciang (Tangan Sinar Putih) yang menjadi ilmu simpanan ampuh dari Kun-LunPai! Nah, ada murid Kun-Lun-Pai menyerang murid Bu-Tong-Pai dan melihat hebatnya serangan itu, jelas
bahwa murid Kun-Lun-Pai itu hendak membunuh Yo Kang murid Bu-Tong-Pai! Untung aku dapat
menggagalkan pembunuhan itu!"
"Ehh? Mana mungkin? Kun-Lun-Pai adalah perguruan aliran putih, seperti juga Bu-Tong-Pai. Bagaimana
mungkin ada murid Kun-Lun-Pai tingkat tinggi yang sudah rnemiliki Pek-Kong-Ciang menyerang murid
Bu-Tong-Pai? Apakah engkau dan Yo Kang itu berhasil menangkapnya, Siauw-moi?"
"Tidak, Twako. Dia keburu melarikan diri dan menghilang dalam kegelapan."
"Dan engkau tidak dapat mengenal siapa dia?"
"Malam itu gelap dan dia menyerang secara menggelap. Kami berdua tidak dapat melihat mukanya dan
kami tidak tahu siapa dia. Akan tetapi, terjadinya beberapa peristiwa aneh ini membuat aku berpikir,
Twako. Agaknya ada orang luar yang sengaja hendak mengadu domba, pertama antara Bu-Tong-Pai dan
Hek I Kaipang, kemudian antara Bu-Tong-Pai dan Kun-Lun-Pai! Dan orang atau orang-orang itu sengaja
menggunakan pukulan rahasia dari Bu-Tong-Pai dan Kun-Lun-Pai. Mereka tentu terdiri dari orang-orang
Iihai dan kalau aku tidak salah sangka, amat boleh jadi mereka itu adaIah orang-orang kang-ouw yang
diperbudak oleh bangsa Mongol untuk mengadu domba dan melemahkan para pendekar dari berbagai
aliran persilatan yang pada umumnya tidak menyukai pemerintah penjajah Mongol."
"Hemm, memang mungkin benar dugaanmu itu, Siauw-moi. Akan tetapi mungkin juga ada murid BuTong-Pai yang secara pribadi mendendam kepada tiga puluh murid Hek I Kaipang itu, dan mungkin juga
ada murid Kun-Lun-Pai yang mendendam kepada murid Bu-Tong-Pai yang bernama Yo Kang itu. Tentu
saja kita tidak dapat yakin menjamin bahwa tidak ada murid perguruan-perguruan silat terkenal itu yang
jahat, bukan? Karena itu, seyogianya kita berhati-hati mengambil kesimpulan."
"Engkau benar, Twako. Karena itu, aku berniat ikut pula melakukan penyelidikan dan kalau mungkin
menangkap mereka yang melakukan pembunuhan terhadap orang-orang Hek I Kaipang dan menangkap
pula orang yang malam itu menyerang Yo-Twako."
"Memang sebaiknya begitu dan aku siap membantumu, Sian-Li. Akan kukerahkan anak buah Thian-TePang untuk melakukan penyelidikan pula.":: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 214
:: CerSil KhoPingHoo :
"Terima kasih, Gan-Twako. Akan tetapi aku sudah terbiasa bekerja seorang diri." Mereka melewatkan
malam itu dengan melakukan penjagaan secara bergantian.
Dari malam itu sampai tengah malam, In Hong yang melakukan penjagaan sedangkan Gan Bouw tidur di
atas batu lebar, kemudian dari tengah malam sampai pagi, In Hong yang mengaso dan pemuda itu
menggantikannya berjaga. Melihat sikap Gan Bouw yang ramah, sopan dan jujur, hati In Hong tertarik
dan ia merasa senang dapat berkenalan dengan ketua Thian-Te-Pang itu. Pada keesokan harinya, setelah
membersihkan badan di tepi sungai, mereka melanjutkan perjalanan. Gan Bouw menjadi penunjuk jalan.
Mereka berangkat pagi-pagi sekali setelah sarapan pagi dengan daging kelenci yang dapat ditangkap
Gan Bouw. Melakukan perjalanan bersama Gan Bouw, In Hong merasa cocok dan senang sekali. Bahkan
ia harus akui dalam hatinya bahwa dibandingkan dengan Yo Kang, pemuda ini lebih menyenangkan
sebagai teman seperjalanan.
Yo Kang baik dan jujur, namun agak kaku, tidak seperti Gan Bouw yang selain baik dan jujur, juga ramah
sopan dan pandai bicara. Juga pengalamannya amat banyak. Mengasyikkan sekali mendengar pemuda
itu bercerita tentang hal-hal aneh dan lucu yang dia alami ketika merantau jauh ke barat sampai di
daerah Tibet, bahkan sampai ke Pegunungan Himalaya dan Kerajaan Bhutan. Lewat tengah hari Gan
Bouw dan In Hong tiba di sebuah hutan keciI di daerah perbukitan. Mereka siang tadi melewati sebuah
dusun di mana mereka makan siang di sebuah warung makan. Siang hari itu panasnya bukan main. Sinar
matahari tidak terhalang apa pun sehingga langsung memanggang permukaan bumi. Untung bagi
mereka bahwa mereka berjalan di dalam hutan, terlindung oleh pohon-pohon besar yang menangkap
sebagian sinar matahari yang panas. Beberapa kali In Hong mengusap keringat dari muka dan lehernya.
Beberapa kali Gan Bouw melirik dan memandang wajah gadis itu dengan sinar mata mencorong penuh
kagum. Alangkah cantik jelitanya wajah yang kemerahan terusik panas itu. Dan betapa halus kulit wajah
dan leher yang berkeringat itu. Dia beberapa kali seolah terpesona. Secara kebetulan In Hong beberapa
kali bertemu pandang dengan pemuda itu dan perasaan wanitanya dapat menangkap apa yang
tersembunyi di dalam sinar mata itu. Jantungnya berdegup tegang. Tanpa kata, tanpa pernyataan apa
pun, perasaan wanitanya dapat menangkap isyarat cinta yang disinarkan melalui pandang mata itu. la
dapat merasakan bahwa Gan Bouw jatuh cinta, atau setidaknya amat tertarik kepadanya dan pengertian
ini membuat hatinya tegang. Kembali ada seorang pemuda yang pilihan, pemuda yang tampan gagah,
berilmu tinggi, ketua Thian-Te-Pang, seorang pendekar yang jujur dan sopan, jatuh cinta kepadanya!
la mulai membanding-bandingkan dengan dua orang pemuda lain yang juga mencintanya, yaitu Tan
Siong dan Yo Kang! Lalu muncul bayangan Bu Jin Ai, pembunuh Ayah kandungnya yang telah
menjatuhkan hatinya. Harus ia akui bahwa di antara tiga orang pemuda yang sekarang mencintanya,
tidak ada seorang pun yang dapat menjatuhkan hatinya seperti mendiang Bu Jin Ai atau Ong Tiang
Houw! Belum pernah ia jatuh cinta seperti cinta pertamanya yang ia berikan kepada Ong Tiang Houw,
musuh besarnya itu. In Hong segera mengusir semua bayangan itu. Hal ini dapat ia lakukan dengan
mudah karena ia melihat dari depan seorang laki-laki setengah tua datang berjalan cepat, pakaiannya
seperti seorang Tosu (Pendeta Agama To) namun robek di sana-sini, rambutnya kusut dan wajahnya
pucat sikapnya tegang.
"Eng Gi Totiang! Apa yang terjadi? Engkau tampak gelisah." Gan Bouw segera menghadang dan
mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan.
"Ah, sukur dapat bertemu denganmu di sini, Gan Pangcu (Ketua Gan). Puluhan orang anak buahmu
menyerbu kami dengan tusuhan yang bukan-bukan!":: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 215
:: CerSil KhoPingHoo :
"Celaka! Mari kita cepat ke sana!" seru Gan Bouw dan dia segera melompat dan berlari menuju ke
Gunung Beng-San yang sudah tampak dekat. Maklum ada terjadi peristiwa gawat, In Hong tanpa banyak
bertanya segera mengikutinya. Juga Pendeta Agama To itu mengerahkan ilmu berlari cepat mengejar.
Diam-diam In Hong harus mengagumi kecepatan larinya Gan Bouw. Pemuda itu ternyata memiliki


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang agaknya tidak banyak selisihnya dengan tingkatnya sendiri!
Pemuda itu mampu berlari cepat. la masih dapat mengimbangi, akan tetapi Tosu itu segera tertinggal.
"Siapakah Tosu itu, Gan-Twako?" tanya In Hong yang berlari di dekat Gan Bouw. Pemuda ini pun
terkejut dan kagum. Tak disangkanya gadis itu mampu berlari cepat mengimbanginya, bahkan masih
sempat pula bicara!
"Dia peminipin tingkat tiga dari Beng-San-Pai!" jawabnya sambil mempercepat larinya. Tak lama
kemudian mereka tiba di depan perkampungan Perkumpulan Beng-San-Pai yang merupakan sebuah
perumahan terdiri dari puluhan rumah dan di depan berdiri sebuah Kuil yang cukup besar. Mereka
melihat puluhan orang saling berkelahi dan walaupun rnereka tidak menggunakan senjata, hanya
berkelahi dengan tangan dan kaki,
Namun seru sekali karena kedua pihak adalah orang-orang yang ahli dalam persilatan. Ada sekitar tiga
puluh orang laki-laki berpakaian ringkas seperti pada umumnya dipakai ahli silat sedang mengamuk
melakukan serbuan, dilawan puluhan orang berpakaian longgar dengan jubah lebar dan mereka itu
melihat pakaiannya jelas merupakan para anggauta Beng-San-Pai yang beragama To. Biarpun tidak ada
yang menggunakan senjata, namun ada beberapa orang yang sudah tidak mampu berkelahi lagi karena
telah terluka dan mengerang kesakitan sambil duduk di luar arena perkelahian. In Hong mengira bahwa
tentu Can Bouw akan menjadi marah dan tentu saja membela dan membantu anak buahnya. Akan
tetapi sungguh aneh.
Pemuda itu menerjang ke dalam perkelahian itu dan mulai menendangi dan menampari para penyerbu,
yaitu anak buahnya sendiri! Sepak terjangnya hebat, setiap tendangan atau tamparan pasti merobohkan
seorang anak buah, membuat para penyerbu kocar-kacir. Walaupun agaknya dia menyerang tanpa
mengerahkan tenaga sakti, namun mereka yang terkena serangannya terlempar dan terguling-guling.
Mereka terkejut, apalagi melihat bahwa yang mengamuk itu adalah ketua mereka sendiri yang baru!
Anak buah Thian-Te-Pang yang belum terkena serangan menarik diri mundur dan mereka semua kini
menjatuhkan diri berlutut menghadap Gan Bouw yang berdiri dengan alis berkerut. Sedangkan
beberapa orang Tosu pimpinan Beng-San-Pai juga memerintahkan para Tosu muda untuk mundur dan
menghentikan perkelahian.
"Pangcu (ketua)...!" kata para anggauta Thian-Te-Pang dengan takut, akan tetapi suara mereka
mengandung penasaran melihat ketua mereka marah kepada mereka, bukan membantu. Mata Gan
Bouw mencorong tajam ketika dia melayangkan pandangannya ke arah sekitar tiga puluh orang laki-laki
yang berusia dari dua puluh sampai empat puluh tahun itu, yang kini semua berlutut menghadap dia.
"Apa yang kalian lakukan ini? Selagi aku pergi, berani sekali kalian membuat ulah dan mengacau di sini?"
Dia membentak dan suaranya nyaring sekali.
"Maaf, Pangcu. Terpaksa kami melakukan penyerbuan terhadap Beng-San-Pai karena mereka tidak mau
menyerahkan seorang anggautanya yang telah melakukan perbuatan keji terhadap seorang gadis puteri
anggauta perkumpulan kami." jawab seorang di antara para anggauta Thian-Te-Pang yang paling tua.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 216
:: CerSil KhoPingHoo : :: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 217
:: CerSil KhoPingHoo :
"Hemm, perbuatan keji bagaimana maksudmu?"
"Gadis puteri kami telah diperkosa seorang anggauta Beng-San-Pai!" kata orang itu yang menjadi Ayah
dari gadis yang diceritakannya itu.
"Siancai... (damai)...! Itu adalah fitnah belaka! Tidak ada anggauta kami yang berani melakukan
kejahatan seperti itu. Kami adalah orang-orang beragama, mana mungkin melakukan perkosaan keji?"
Tiba-tiba seorang Tosu berusia sekitar enam puluh tahun berkata. Dia Baru muncul dari dalam Kuil dan
tadi tidak mau ikut berkelahi karena yang menyerbu hanyalah para murid atau anggauta Thian-Te-Pang.
Baru setelah ketua Thian-Te-Pang muncul, dia juga keluar dari Kuil. Tosu ini adalah Pang Hok Tosu, Tosu
tingkat dua atau wakil ketua Beng-San-Pai. Melihat munculnya wakil ketua itu, Gan Bouw lalu
menghadapinya, memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada dan berkata dengan
sikap hormat.
"Harap Pang Hok Totiang suka memaafkan. Saya sedang tidak berada di sini, maka saya sama sekali tidak
tahu akan adanya perkara ini dan tidak dapat mencegah tindakan yang diambil para anggauta saya. Saya
kira urusan ini dapat kita bicarakan sebaiknya dan kita usahakan agar yang bersalah dapat ditangkap."
"Siancai..., ini barulah omongan yang benar dan dapat diterima. Pinto (saya) setuju sekali, Pangcu." kata
Pang Hok Tosu, wakil ketua Beng-San-Pai itu. Gan Bouw lalu menoleh kepada anak buahnya dan
berkata,
"Sekarang kalian semua pulanglah, rawat yang terluka. nanti kalau aku pulang, siapa biang keladinya
yang menggerakkan penyerbuan ini harus bertanggung jawab. Nah, pergilah kalian!" Para anak buah
Thian-Te-Pang itu lalu bangkit dan meninggalkan tempat itu, memapah mereka yang terluka dalam
pertempuran tadi. Pang Hok Totiang lalu berkata kepada Gan Bouw.
"Silakan, Pangcu, silakan masuk ke dalam dan kita bicarakan urusan ini. Akan tetapi... siapakah Nona
ini?" Dia memandang kepada In Hong yang berada di sebelah Gan Bouw. In Hong menghadapi Gan
Bouw dan berkata,
"Gan-Twako, aku tidak mempunyai urusan apa pun di sini, maka biarlah aku melanjutkan perjalananku
ke pusat Hek I Kaipang."
"Ah, nanti dulu, Siauw-moi. Engkau bukan orang luar bagiku. Biarlah engkau temani aku sebentar
membicarakan urusan kami ini, kemudian engkau harus singgah di tempat kami dan nanti akan kuantar
engkau ke Hek I Kaipang."
"Siancai...! Nona ini masih berhubungan dekat dengan Hek I Kaipang? Nona, apakah engkau murid PanJiu Sin-Kai Gu Liat, ketua Hek I Kaipang?" tanya Pang Hok Tosu. In Hong menggeleng kepalanya.
"Bukan, Totiang (Pak Pendeta). Aku tidak mempunyai hubungan dengan Hek I Kaipang, melainkan ada
sedikit urusan dengan mereka."
"Pang Hok Totiang, Nona ini adalah seorang sahabat baikku, ia biasa disebut Sian-Li Eng-Cu, seorang
pendekar wanita yang gagah perkasa dan baik budi. Tentu Totiang tidak keberatan kalau ia menemani
aku mengadakan perundingan dengan pihak Beng-San-Pai, bukan?":: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 218
:: CerSil KhoPingHoo :
"Tentu saja kami setuju. Silakan, Pangcu, silakan, Nona." In Hong tidak dapat membantah lagi karena
sesungguhnya ia pun tertarik dan ingin mengetahui siapa yang bersalah dalam urusan itu. Benarkah ada
murid Thian-Te-Pang diperkosa seorang Tosu Beng-San-Pai? Kalau benar, sungguh aneh sekali.
Bagaimana seorang Pendeta To begitu keji memperkosa wanita?
Mereka lalu memasuki Kuil yang besar itu dan diajak masuk ke ruangan sebelah dalam. Di dalam
ruangan yang ditata bersih dan rapi, ruangan yang cukup luas, terdapat almari-almari besar berderetderet di dinding, penuh dengan buku-buku yang tampaknya sudah tua. Dan di tengah ruangan itu
terdapat sebuah dipan kecil di mana duduk bersila seorang Tosu (Pendeta Agama To) yang usianya
sekitar enam puluh lima tahun, tubuhnya tinggi kurus, wajahnya berseri cerah, matanya bening dan
mulutnya tersenyum. Jenggot dan kumisnya yang panjang sudah berwarna putih, pakaiannya jubah
longgar serba putih pula. Usia Pendeta ini sedikitnya enam puluh lima tahun. Dia sedang membaca kitab
dan di atas dipan, di sampingnya tergeletak sepotong tongkat bambu sederhana. Pang Hok Tosu berkata
sambil memberi hormat dengan menyembah sampai di dada.
"Suheng, saya membawa dua orang tamu datang menghadap Suheng. Dia adalah Gan Bouw Sicu (orang
gagah Gan Bouw) ketua Thian-Te-Pang dan Nona ini adalah Sian-Li Eng-Cu." Pendeta itu memandang
kepada dua orang muda itu sambil tersenyum ramah.
"Silakan duduk, Pangcu dan engkau, Nona." katanya sambil menunjuk ke arah kursi-kursi yang berada di
depannya.
"Terima kasih, Totiang dan maafkan kalau saya datang mengganggu ketenangan di sini." kata Gan Bouw
hormat. Dia baru satu kali pernah bertemu dengan ketua Beng-Sang-Pai ini sejak diangkat menjadi ketua
Thian-Te-Pang. In Hong juga duduk di atas kursi sebelah Gan Bouw setelah merangkap kedua tangan
depan dada sebagai penghormatan. Pang Hok Tosu duduk di atas kursi sebelah dipan, menghadapi dua
orang tamu muda itu. Sejenak sepasang mata bening itu mengamati Gan Bouw dan In Hong, lalu U Gi
Tojin, ketua Beng-San-Pai itu menghela napas panjang dan berkata lirih seperti kepada diri sendiri.
"Siancai.... di jaman sekarang orang-orang muda memiliki kemajuan yang pesat sekali. Masih begini
muda sudah memiliki tingkat kepandaian tinggi." Dia menoleh kepada Tosu yang duduk di sebelah
kanannya.
"Pang Sute (Adik Seperguruan Pang), ada kepentingan apakah kedua orang pemuda yang gagah ini
engkau ajak datang menemui Pinto?"
"Saya harap Suheng suka memaafkan saya. Tadi telah terjadi keributan di depan perkampungan kita.
Sekitar tiga puluh orang anggauta Thian-Te-Pang datang dan menuduh bahwa seorang anggauta BengSan-Pai kita telah memperkosa seorang gadis murid Thian-Te-Pang semalam. Mereka menuntut agar
pemerkosa itu kami serahkan kepada mereka. Tentu saja kami menolak dan menyangkal. Tak mungkin
seorang anggauta kami, seorang Tosu, melakukan perbuatan sejahat itu. Mereka menganggap kami
membela dan menyembunyikan pemerkosa itu, lalu mereka menyerang kami."
"Siancai...! Mengapa engkau tidak memberitahu kepada Pinto?"
"Saya tidak ingin mengganggu Suheng yang sedang samadhi. Saya lalu cepat menyuruh Sute Eng Gi Tosu
untuk berlari mencari dan memberitahukan hal itu kepada Pangcu Gan Bouw ini. Beruntung dia dapat
bertemu dan datang bersama Gan Pangcu sehingga perkelahian dapat dihentikan.":: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 219
:: CerSil KhoPingHoo :
"Semoga Thian mengampuni kita semua!" U Gi Tojin berdoa.
"Apakah banyak yang tewas dalam perkelahian itu, Sute?"
"Untung tidak ada, Suheng. Yang jatuh hanya menderita luka yang dapat disembuhkan. Ketika mereka
menyerbu, dan Sute Eng Gi Tosu pergi mencari Gan Pangcu, saya memimpin murid melakukan
perlawanan bela diri dan melarang para murid menggunakan senjata atau membunuh lawan. Hal ini
agaknya juga membuat pihak Thian-Te-Pang sungkan untuk menggunakan senjata sehingga yang roboh
hanya terluka, tidak sampai tewas."
"Siancai! Itu baik sekali. Nah, sekarang bagaimana, Gan Pangcu? Menurut pendapatmu, bagaimanakah
akan diselesaikannya urusan ini? Pinto dan para pembantu Pinto sejak dahulu selalu mengajarkan budi
kebaikan kepada para murid agar mereka selalu menjauhkan perbuatan jahat. Akan tetapi ini bukan
berarti bahwa Pinto menjamin kebersihan dan kesucian murid-murid kami. Pelajaran agama hanya
merupakan ilmu pengetahuan dan ilmu seringkali tidak mampu memberi kekuatan cukup untuk
mengekang nafsu diri sendiri." Diam-diam In Hong kagum terhadap ucapan dua orang Tosu itu. Mereka
adalah orang-orang jujur dan yang tidak mau membenarkan diri sendiri dan jelas bukan orang-orang
jahat yang suka mencari permusuhan dan suka berbuat sewenang-wenang.
"Totiang yang budiman, seperti yang saya dengar dari pelaporan anggauta Thian-Te-Pang tadi, ada
seorang gadis murid Thian-Te-Pang telah diperkosa oleh seorang murid dad Beng-San-Pai. Saya kira
sudah sepatutnya kalau Ayah dan rekan-rekan gadis itu menjadi marah dan menuntut agar pelakunya
mendapat hukuman. Akan tetapi saya tidak setuju dengan terjadinya keroyokan tadi. Saya hanya
mengharapkan kebajikan para pimpinan Beng-San-Pai agar pelaku itu dihukum sesuai dengan
perbuatannya yang keji sehingga murid kami yang menderita penghinaan akan mereda sakit hatinya.
Saya kira permintaan ini sudah adil dan pantas, demikian menurut pendapat saya." kata Gan Bouw
dengan suara tegas namun hormat.
"Siancai...! Pendapatmu memang sudah pantas, Gan Pangcu. Sute, menurut tuduhan mereka itu,
bagaimana mereka bisa mengetahui bahwa pelaku perkosaan itu adalah seorang murid kita?"
"Menurut tuduhan mereka, peristiwa terkutuk itu terjadi malam tadi di kamar yang gelap. Gadis itu
tidak dapat melihat wajah pemerkosanya dengan jelas, hanya mengatakan bahwa orangnya masih
muda, berkumis berjenggot, pakaiannya seperti yang kita pakai dan pemerkosa itu mengaku bahwa dia
adalah murid Beng-San-Pai. Itu saja keterangan yang disampaikan kepada saya, Suheng." kata Pang Hok
Tosu.
"Siancai...! Gan Pangcu, kalau gadis itu tidak melihat wajahnya dengan jelas, bagaimana kita dapat
memastikan bahwa pemerkosa itu adalah seorang murid kami? Tentang pakaiannya sebagai Tosu dan
pengakuannya sebagai murid Beng-San-Pai, Pinto kira semua orang juga dapat memakai dan
mengatakannya."
"Sesungguhnya, Totiang, karena itulah maka tadi aku menegur para anggauta Thian-Te-Pang dan
menyuruh mereka pergi. Akan tetapi, saya kira kedudukan sebagai seorang Tosu tidak menjamin
seorang menjadi suci dan tidak dapat melakukan perbuatan sesat!"
"Siancai..., ha-ha-ha..., engkau..., engkau lucu, Gan Pangcu!" kata U Gi Tojin sambil tertawa.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 220
:: CerSil KhoPingHoo :
"Tentu saja agama tidak menjamin seseorang menjadi suci. Agama hanya merupakan suatu ilmu, suatu
pelajaran. Sudah tentu bukan tergantung kepada pelajarannya, melainkan kepada orangnya. Apa artinya
pelajaran bertumpuk dan berjejalan dalam kepala kalau tidak dilaksanakan dalam kehidupan seharihari? Seperti pakaian indah bersih yang dipakai menutupi tubuh yang kotor! Kebaikan bukan terletak di
dalam pikiran, melainkan keluar dari jiwa yang bersatu dan selalu dibimbing oleh To (Tao atau
Kekuasaan TUHAN)."
"Terima kasih, Totiang. Saya telah mendapatkan pelajaran yang amat baik dan berharga dari ucapan
Totiang tadi. Dengan demikian kita semua mengetahui bahwa bukan tidak mungkin seorang murid
Totiang benar-benar melakukan perbuatan keji dan sesat terhadap rnurid perkumpulan kami itu. Karena
perbuatan jahat itu, baik dilakukan orang yang menggunakan nama Beng-San-Pai ataupun oleh murid
Beng-San-Pai sendiri, jelas mencemarkan nama baik Beng-San-Pai, maka saya minta dengan hormat
sukalah kiranya para pimpinan Beng-San-Pai menyelidiki dan mencari pelaku itu. Dengan demikian
keadilan telah dilakukan dan hubungan antara perkumpulan kita menjadi baik dan bersih kembali." kata
Gan Bouw. U Gi Tojin mengangguk-angguk.
"Siancai... siancai... permintaanmu itu cukup adil dan beralasan, Gan Pangcu. Akan tetapi sebagai pihak
yang dirugikan, kami percaya bahwa Thian-Te-Pang juga tidak akan tinggal diam dan ikut pula berusaha
menyelidiki dan menangkap pelaku yang sesungguhnya. Juga Pinto percaya bahwa Pangcu akan
mencegah para anggauta Thian-Te-Pang memusuhi kami, karena peristiwa yang terjadi itu bukan
merupakan tindakan permusuhan Beng-San-Pai terhadap Thian-Te-Pang, melainkan kejahatan yang
dilakukan seseorang."
"Tentu saja, Totiang. Sekarang saya mohon pamit." Gan Bouw dan In Hong lalu keluar dari Kuil, diantar
oleh Pang Hok Tosu sampai keluar pintu gerbang perkampungan. Peristiwa dan sikap Gan Bouw itu
membuat in Hong semakin kagum kepada pemuda kenalan barunya itu. Ternyata pemuda yang tampan
gagah itu bersikap sebagai seorang ketua Thian-Te-Pang yang bijaksana!
Oleh karena merasa kagum dan suka kepada pemuda itu, ia tidak menolak ketika Gan Bouw
mempersilakan ia mampir ke perkampungan Thian-Te-Pang yang berada di kaki Gunung Beng-San.
Dusun Kiok-Lim di kaki Gunung Beng-San merupakan dusun yang cukup besar, dengan penduduk sekitar
lima ratus orang yang terdiri dari para petani. Karena tanah di situ subur, maka hasil sawah ladang
mereka melimpah dan mernbuat kehidupan para petani di situ cukup makmur. Juga kehidupan rakyat
pedusunan aman dengan adanya perkumpulan Thian-Te-Pang karena jarang ada penjahat berani
mengganggu dusun itu.
Bahkan beberapa bulan yang lalu, gerombolan penjahat Tiga Belas Srigala Gila yang merupakan
gerombolan perampok amat ganas dan terkenal di daerah Beng-San, mencoba untuk mengganggu
dusun Kiok-Lim, akhirnya mereka semua tewas di tangan Gan Bouw yang kemudian diangkat menjadi
ketua Thian-Te-Pang. Perkumpulan Thian-Te-Pang terdiri dari puluhan rumah yang dikelilingi pagan
tembok, terletak di ujung selatan dusun Kiok-Lim. Kurang lebih seratus orang anggautanya tinggal di
perkampungan itu bersama keluarga mereka. Yang terbanyak dari mereka adalah pemuda-pemuda yang
belum berumah tangga, akan tetapi ada pula sekitar tiga puluh orang anggauta yang sudah mempunyai
anak isteri dan anak-anak mereka yang sudah remaja juga menjadi anggauta perkumpulan itu.
Mereka juga hidup sebagai petani dan pemburu binatang di hutan-hutan yang banyak terdapat di
Pegunungan Beng-San. Setiap hari hanya bekerja dan berlatih silat. Hidup mereka selama bertahun-:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 221
:: CerSil KhoPingHoo :
tahun tenang saja. Kegemparan karena serangan Tiga Belas Srigala Gila juga sudah terlupakan setelah
Gan Bouw membunuh mereka dan menjadi ketua baru. Maka, dapat dibayangkan betapa geger mereka
ketika pada suatu pagi, seorang gadis berusia enam belas tahun, puteri dari Thio Sun murid tertua ThianTe-Pang, menangis dan menceritakan bahwa semalam ia telah diperkosa seorang penjahat yang
memakai pakaian para Tosu Beng-San-Pai dan yang mengaku sebagai murid Beng-San-Pai! Thio Sun yang
berusia empat puluh tahun lebih itu tentu saja marah melihat Thio Ci Nio, puterinya yang remaja itu
diperkosa orang yang menurut keterangan puterinya adalah seorang murid Beng-San-Pai.
Dan dia lalu bersama saudara-saudara seperguruannya mendatangi Beng-San-Pai sehingga timbul
percekcokan yang mengakibatkan perkelahian. Ketika Can Bouw dan In Hong memasuki perkampungan
Thian-Te-Pang para anggauta menyambut dengan sikap hormat dan mata mereka menunjukkan
kekhawatiran. Tentu saja para anggauta yang pulang dari Beng-San-Pai tadi sudah bercerita kepada para
anggauta lain tentang peristiwa yang terjadi di perkampungan Beng-San-Pai dan mereka semua takut
kalau-kalau ketua mereka akan memarahi mereka. Akan tetapi ternyata Can Bouw tidak marah. Ketika
beberapa orang anggauta tertua, termasuk Thio Sun, dia hanya mengangguk dan berkata kepada Thio
Sun. "Suruh siapkan hidangan untuk menyambut Nona tamu kita dan setelah kami selesai makan, engkau
bawalah anakmu Ci Nio datang menghadapku. Aku ingin bicara." Thio Sun memberi hormat dan
mengangguk.
"Baik, Pangcu." Gan Bouw mengajak In Hong masuk ke dalarn sebuah rumah yang terbesar di antara
rumah-rumah di situ.
"Ini tempat tinggalku, Siauw-moi. Mari masuklah." In Hong ikut masuk. Setelah mereka duduk di
ruangan tengah yang terhias cukup rapi, ia berkata.
"Gan-twako, tidak perlu engkau repot-repot. Sebetulnya aku hanya singgah sebentar dan akan
melanjutkan perjalananku mengunjungi Hek I Kaipang."
"Aih, bagaimana aku dapat membiarkan engkau pergi begini saja, Sian-Li? Bukankah kita sudah menjadi
sahabat? Hari sudah larut, menuju ke Hek I Kaipang harus mendaki gunung. Sebelum tiba di sana engkau
akan kemalaman dan malam ini gelap tiada bulan. Sian-Li, engkau harus bermalam di sini dan
melanjutkan perjalanan besok pagi. Pula, engkau harus menerima penghormatanku, menjadi tamu dan
rnenerima hidangan kami sekadarnya. Besok aku akan mengantarmu naik ke Hek I Kaipang karena
ketuanya rnerupakan kenalan baikku." In Hong tak dapat menolak. Jarang dapat ditemukan seorang
pemuda seperti Gan Bouw yang mengingatkan ia akan mendiang Ong Teng San dan Yo Kang.
Bahkan Gan Bouw lebih menarik daripada Yo Kang, karena kalau Yo Kang yang tinggi besar itu jujur dan
agak kaku, bicaranya terbuka sehingga terkadang kasar, sebaliknya Gan Bouw lernbut dan manis tutur
sapanya. la tahu bahwa kini Yo Kang telah memperoleh kemajuan pesat dan ilmu silatnya telah
meningkat sehingga menjadi seorang yang lihai sekali. Biarpun ia belum pernah menguji tingkat
kepandaian Gan Bouw, namun ia yakin bahwa tingkat kepandaian ketua Thian-Te-Pang ini pun amat
tinggi, tenaga saktinya sudah terbukti dahsyat ketika dia sekali pukul dengan dayungnya membuat
sebuah perahu besar pecah berantakan. Juga gerakan ilmu silatnya ketika dia menghajar anak buahnya
sendiri yang rnenyerbu Beng-San-Pai, tampak aneh namun gesit bukan main, kokoh seperti ilmu silat
aliran Siauw-Lim-Pai.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 222
:: CerSil KhoPingHoo :
"Baiklah, Gan-Twako. Aku akan dibilang tidak mengenal budi kalau menolak permintaan menginap di
sini semalam."
"Ah, Siauw-moi, engkau ini ada-ada saja! Budi apa yang dapat kuberikan kepadamu! Engkau tidak
menerima budi apa pun dariku. Kita hanya bertemu, berkenalan dan bersahabat!"
"Benar, akan tetapi engkau telah menyeberangkan aku, kemudian membantuku menghadapi para bajak
sungai dan engkau mau menjadi penunjuk jalan bagiku. Bukankah semua itu merupakan budi kebaikan
yang telah kau berikan padaku, Twako?"
"Sama sekali bukan apa-apa, Sian-Li. Engkau yang demikian lihai, tanpa kubantu juga tentu akan dapat
membasmi para bajak sungai itu dengan mudah! Kita ini bersahabat, maka harap jangan bicara tentang
melepas budi. Nah, sekarang silakan engkau mandi dan menukar pakaian sambil menanti disiapkannya
hidangan. Aku akan menyuruh pelayan membersihkan sebuah kamar untukmu." Dengan ramah Gan
Bouw lalu menunjukkan di mana adanya kamar mandi dan dia menyuruh pelayan untuk membersihkan
sebuah kamar yang terdapat banyak di situ sebagai persiapan untuk para tamu.


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Malam itu mereka berdua makan minum dengan gembira. Hanya mereka berdua, karena ternyata
memang benar pemuda itu hidup sebatang kara dan dalam rumah yang cukup besar itu dia hanya
ditemani empat orang pelayan wanita setengah tua dan dua orang pelayan pria yang kesemuanya
merupakan anggauta Thian-Te-Pang. Padahal tadi sore In Hong melihat bahwa di dalam perkampungan
para anggauta itu terdapat pula wanita-wanita muda yang cukup cantik. Agaknya Gan Bouw ini memang
benar seorang pendekar muda yang gagah perkasa dan bijaksana! Setelah selesai makan dan meja
dibersihkan, mereka berdua duduk bercakap-cakap dengan santai, dan In Hong merasa seolah ia
berhadapan dengan seorang sahabat lama yang sudah dikenalnya baik-baik karena pemuda itu bersikap
terbuka dan ramah sekali.
"Siauw-moi, aku menghormati sikapmu yang merahasiakan riwayat dirimu dan tidak mau mendesakmu,
akan tetapi kiranya engkau tidak keberatan untuk mengatakan siapa Gurumu. Sejak remaja aku
merantau ke daerah Himalaya dan Tibet sehingga tidak mengenal ilmu silat di Tionggoan (daratan
Cina)." Sebetulnya In Hong yang ingin merahasiakan segala sesuatu tentang dirinya tidak ingin
menceritakan, akan tetapi melihat sikap yang terbuka, jujur dan demikian ramahnya, merasa sungkan
juga.
"Gan-twako, ceritakan dulu dengan jelas tentang Guru-Gurumu dan aliran silat apa yang kau pelajari,
baru aku akan menceritakan tentang Guru-Guruku."
"Baiklah, Sian-Ii. Dulu, sebelum aku merantau ke daerah Barat, aku mempelajari ilmu silat dari para Guru
silat yang berada di daerah Lam-Keng. Setiap mendengar ada Guru silat yang pandai, aku lalu datangi
dan belajar padanya. Akan tetapi setelah aku remaja, berusia sekitar lima belas tahun, aku merasa tidak
puas dengan ilmu-ilmu silat yang kupelajari. Kuanggap ilmu-ilmu mereka itu kasar dan hanya kulitnya
saja. Maka aku lalu merantau, di sepanjang jalan aku memperdalam ilmu silatku sarnpai akhirnya aku
berada di Tibet. Di Tibet inilah baru aku benar-benar mempelajari ilmu-ilmu yang memuaskan hatiku
dari para Pendeta Lama. Di antara mereka, yang kuakui sebagai Guruku adalah seorang Lama jubah
Merah, pemimpin utama bagian ilmu silat dari para Pendeta Lama di bawah Dalai Lama. Dia adalah
Dong Hai Lama dan selama tujuh tahun aku menerima gemblengan dari Suhu Dong Hai Lama. Baru
setahun yang lalu aku meninggalkan Tibet. Nah, demikianlah riwayatku, Sian-Li.":: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 223
:: CerSil KhoPingHoo :
"Hemm, pantas sekali engkau Iihai, Twako. Aku pernah mendengar bahwa para Pendeta Lama adalah
ahli-ahli ilmu silat dan ilmu sihir yang amat tinggi ilmunya. Aku sendiri pernah mempunyai dua orang
Guru yang keduanya sudah meninggal dunia. Guruku yang pertama adalah Subo (Ibu Guru) Hek Moli. la
baik sekali kepadaku dan sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri. Kemudian aku bertemu dengan Guruku
yang kedua. Guruku ini bahkan merupakan suami dari Guruku yang pertama, namanya..."
"Aku tahu, namanya Bhutan Koai-Jin!" Gan Bouw berseru. In Hong terkejut dan memandang heran.
"Bagaimana engkau dapat mengetahuinya, Gan-Twako?"
"Tentu saja aku tahu, Sian-Li. Para Pendeta Lama di Tibet mengenal siapa suami-isteri yang amat lihai
itu. Mereka berasal dari Sek-Kim (Bhutan), bukan? Mereka dulu terkenal sebagai suami-isteri yang sakti,
akan tetapi setelah mereka meninggalkan Bhutan dan merantau ke Tionggoan, lalu tidak ada beritanya
lagi. Kiranya mereka berdua menjadi Gurumu. Wah, tentu ilmu kepandaiannnu hebat bukan main! Akan
tetapi, tadi engkau mengatakan bahwa mereka berdua sudah meninggal? Hemm, aneh sekali. Mereka
tidaklah begitu tua sekali, mengapa mereka sudah meninggal dunia?" Ditanya demikian, wajah cantik itu
berubah agak kemerahan karena timbul amarah teringat akan kematian Guru-Gurunya.
"Hemm, kalau mereka tidak dikeroyok para pengecut yang menamakan diri mereka sendiri pendekarpendekar golongan bersih, mana mungkin kedua orang Guruku itu tewas?"
"Ehh? Apa yang telah terjadi, Sian-Li? Ceritakanlah padaku. Kalau ada penasaran, aku selalu siap untuk
membantumu mernbalaskan sakit hatimu. Bagaimanapun juga, mendiang Hek Moli dan mendiang
Bhutan Koai-Jin adalah sahabat-sahabat baik para Pendeta Lama di Tibet." In Hong merasa telah
kelepasan bicara maka ia pun tidak ingin merahasiakan lagi urusan yang telah lama terjadi itu.
"Ketika kedua orang Guruku, suami-isteri itu, tiba di Tionggoan, mereka menantang para pimpinan
partai-partai persilatan besar seperti Siauw-Lim-Pai, Kun-Lun-Pai, Bu-Tong-Pai, Go-Bi-Pai, dan lain-lain.
Dan semua tokoh pimpinan itu dikalahkan! Tentu saja dalam pibu (mengadu ilmu silat) itu, banyak tokoh
partai persilatan yang terluka dan tewas. Hal ini membuat mereka sakit hati. Mereka lalu bersekutu dan
kedua orang Guruku itu dikeroyok banyak orang! Bhutan Koai-Jin yang dikeroyok banyak orang itu
dibuntungi kedua kaki tangannya sebatas lutut dan siku sehingga dia merasa malu kepada isterinya dan
menyembunyikan diri sambil diam-diam memperdalam ilmunya walaupun kedua pasang kaki tangannya
sudah tidak ada.
Hek Moli juga memperdalam ilmunya dan akhirnya ia mengambil aku sebagai murid. Akan tetapi,
akhirnya Hek Moli tewas dikeroyok tiga orang San Lojin tokoh-tokoh Kun-Lun-Pai dan Wi Tek Tosu tokoh
Go-Bi-Pai. Mereka itu membalas dendam kematian beberapa orang saudara seperguruan mereka yang
tewas ketika pibu rnelawan mendiang Subo (Ibu Guru). Aku mencoba untuk membalas kematian Hek
Moli, namun aku kalah. Akhirnya aku bertemu dengan Bhutan Koai-Jin dan digembleng selama setengah
tahun. Guruku yang kedua itu meninggal karena tua dan kehabisan tenaga. Aku lalu membuat
pembalasan dan berhasil membunuh ketiga San Lojin dari Kun-Lun-Pai. Wi Tek Tosu dari Go-Bi-Pai sudah
dihukum selama lima tahun oleh ketua Go-Bi-Pai. Nah, begitulah, Gan-Twako." Gan Bouw menghela
napas panjang.
"Hemm, aku sendiri belum ada kesempatan untuk bertemu para tokoh besar, pimpinan partai-partai
persilatan itu, Sian-Li. Akan tetapi aku juga sudah mendengar bahwa mereka itu adalah orang-orang
sakti yang sombong dan merasa paling pandai, paling gagah, dan paling suci. Sungguh mengherankan.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 224
:: CerSil KhoPingHoo :
Bukankah mereka itu katanya Pendeta-Pendeta yang menyebarkan pelajaran tentang kebaikan?
Mengapa mereka malah menjadi orang-orang sombong, merasa suci sendiri dan memandang rendah
orang lain, menganggap bahwa orang-orang lain itu jahat kotor belaka dan hanya mereka yang suci dan
bersih? Sungguh aku tidak mengerti, Sian-Li." In Hong menghela napas panjang.
"Sejak kecil aku dididik dan dirawat Subo Hek Moli. Guruku itu selalu bicara tentang kepalsuan para
pimpinan partai-partai persilatan besar. Kata Subo, para pimpinan itu menghimpun kekuatan hanya
untuk membuat dirinya sendiri menjadi terkenal dan dihormati, dan mereka itu merasa paling lihai,
paling pandai, dan itu tadi, paling suci dan bersih. Sejak dulu aku menjadi tidak suka kepada mereka,
akan tetapi..."
"Akan tetapi mengapa, Siauw-moi?" Beberapa saat lamanya In Hong tidak menjawab. la termenung dan
teringat akan beberapa orang murid dan tokoh para partai persilatan besar yang sama sekali tidak dapat
dibilang sombong atau curang. Pertama tentu saja adalah Ong Tiang Houw yang menjadi murid Bu Sek
Tianglo, Suheng dari Bu Kek Tianglo ketua Siauw-Lim-Pai, berarti Ong Tiang Houw juga seorang tokoh
aliran Siauw-Lim-Pai. Kemudian Ong Teng San juga seorang murid Siauw-Lim-Pai, dia seorang pendekar
gagah perkasa yang rendah hati dan baik. Keduanya sudah meninggal. Lalu adik tirinya sendiri, Ong Lian
Hong, juga seorang murid Siauw-Lim-Pai. Kemudian ia teringat akan Siang-Te Lokai, tokoh besar dari
Kun-Lun-Pai, yang ternyata amat bijaksana. Ketika ia dulu menyerbu ke Siauw-Lim-Pai untuk mencuri
kitab, lalu menyerbu Kun-Lun-Pai untuk membalas dendam, demikian pula menyerbu Go-Bi-Pai untuk
membalas dendam kematian Hek Moli, ia bertemu dengan tokoh-tokoh besar para partai persilatan itu
yang sama sekali tidak sombong. Memang ada beberapa orang yang tinggi hati, namun ia tidak dapat
mengatakan bahwa mereka semua sombong.
"Apa yang kau pikirkan, Sian-Li?" Gan Bouw menegur karena lama gadis itu tidak melanjutkan bicaranya
yang terputus tadi.
"Aku hanya teringat bahwa ada beberapa orang tokoh dan murid perguruan-perguruan besar itu yang
tidak sombong dan baik."
"Aku percaya itu, Sian-Li, akan tetapi sebagian dari mereka itu tinggi hati dan memandang rendah
golongan lain. Ingat saja murid Bu-Tong-Pai yang membunuh tiga puluh orang murid Hek I Kaipang itu,
dan baru saja murid Beng-San-Pai yang beragama To, melakukan perkosaan."
"Akan tetapi semua itu belum dapat dibuktikan, Twako, masih merupakan rahasia, apakah benar murid
Bu-Tong-Pai yang membunuhi para murid Hek I Kaipang seperti juga belum tentu murid Beng-San-Pai
yang melakukan perbuatan keji terhadap gadis anggauta perkumpulanmu."
"Aku membutuhkan bantuanmu, Sian-Li."
"Bantuan? Bantuan apa?"
"Bantulah aku menyelidiki peristiwa ini, Siauw-moi. Kau bantu aku menangkap penjahat yang telah
memperkosa Thio Ci Nio, puteri anggauta tertua kami, kemudian aku akan mengantarmu ke Hek I
Kaipang dan kita bersama menyelidiki tentang pembunuhan terhadap tiga puluh orang anak buah Hek I
Kaipang itu." In Hong menggeleng kepalanya.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 225
:: CerSil KhoPingHoo :
"Maaf, Twako. Kau selidikilah sendiri, aku percaya dan yakin engkau akan mampu menangkap
pelakunya. Besok pagi-pagi aku harus pergi mengunjungi Hek I Kaipang dan aku ingin pergi sendiri saja."
Dalam suara gadis itu terkandung nada yang tegas dan pasti, bahkan agak keras karena kalau ia
memutuskan sesuatu, biasanya keputusannya itu tidak boleh diubah siapa pun. Wajah yang tampan itu
tampak kecewa dan bersedih.
"Aih, Sian-Li, engkau membuat aku merasa bersedih sekali. Terus terang saja, Adik Sian-Li, aku... aku
rasanya berat sekali kalau harus kau tinggalkan, harus berpisah darimu. Aku akan kehilangan sekali,
kesepian dan hidup ini akan kehilangan sinarnya. Kehadiranmu bagaikan cahaya yang menerangi hatiku,
bagaikan panasnya matahari yang membakar semangat hidupku, bagaikan embun yang membasahi dan
menyegarkan dan menyejukkan perasaanku. Siauw-moi... janganlah tergesa-gesa meninggalkan aku..."
In Hong mengerutkan alisnya mendengar pemuda itu kini merengek-rengek, akan tetapi ucapannya itu
jelas menyatakan bahwa pemuda itu jatuh cinta padanya! Begitu cepatnya jatuh cinta! Rasa kagumnya
terhadap Gan Bouw menjadi berkurang karena ia menganggap pemuda ini cengeng dan Iemah!
Bagaimana mungkin pemuda yang demikian gagah perkasa, sopan santun dan baik budi bahasanya bisa
begini cengeng? Merengek-rengek minta agar jangan ditinggalkan? la menjadi tak senang dan cepat
bangkit berdiri.
"Maaf, Twako, aku ingin mengaso." Melihat sikap gadis itu, Gan Bouw cepat rnengubah sikapnya. Dia
tersenyum ramah lagi dan berkata dengan lembut.
"Tentu saja, Sian-Li, silakan mengaso Iebih dulu, engkau tentu lelah" In Hong memasuki kamar yang
telah dipersiapkan untuknya. Sebuah kamar yang bersih dan cukup indah. In Hong duduk di tepi
pembaringannya dan termenung. Masih terbayang sikap Gan Bouw tadi, dan masih terngiang di
telinganya semua ucapannya yang begitu penuh perasaan dan seperti orang mohon dikasihani. Sebelum
merebahkan diri untuk tidur, In Hong memeriksa jendela dan pintu kamar itu. Jendela itu cukup kuat
dan dapat dipalang dari dalam, demikian pula daun pintunya.
Daun jendela atau daun pintu itu tidak mungkin dapat dibuka orang tanpa rnemaksanya dan kalau ini
dilakukan, tentu akan mengeluarkan bunyi gaduh. Juga langit-langit kamar itu cukup kuat dan akan
mengeluarkan bunyi keras kalau dibuka dengan paksa. Setelah itu ia merebahkan diri, akan tetapi agak
gelisah. la heran mengapa ia memeriksa jendela dan pintu. Padahal, berada di rumah Gan Bouw ia tidak
perlu khawatir apa-apa. Siapa yang akan berani mengganggunya dalam rumah ketua Thian-Te-Pang?
Akhirnya ia tertidur juga dengan pulas. Malam itu tidak terjadi sesuatu sehingga pada keesokan harinya
In Hong terbangun pagi-pagi sekali dengan tubuh terasa segar. la membuka daun jendela dan ternyata
cuaca masih remang-remang karena fajar baru menyingsing. Tak lama kemudian daun pintunya diketuk
dan luar.
"Siapa?" tanya In Hong tanpa membuka daun pintu karena kalau yang mengetuk pintu itu Gan Bouw, ia
tidak mau diganggu sepagi itu dan ia belum juga membersihkan badan mencuci muka.
"Ini saya, Siocia (Nona). Saya melihat jendela kamar Nona sudah dibuka dan saya ingin bertanya apakah
Nona memerlukan air hangat untuk mencuci muka? Kalau Nona menghendaki, akan saya antar satu
baskom air hangat ke dalam kamar Nona." Senang hati In Hong mendengar ini.
"Ah, engkau baik sekali, Bibi," katanya sambil membuka daun pintu.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 226
:: CerSil KhoPingHoo :
"Tolong ambilkan air hangat dan bawa ke sini."
"Baik, Nona." Pelayan setengah tua itu pergi dan tidak lama kemudian ia membawa sebuah panci atau
baskorn besar dan seceret besar air hangat. Setelah meletakkan baskom itu ke atas meja ia lalu
menuangkan air hangat yang masih mengepulkan uap ke dalam baskom. Setelah itu ia keluar dari kamar
dan menutupkan kembali daun pintu. In Hong lalu mulai mencuci mukanya dengan air hangat itu.
Nyaman sekali rasanya. Udara sejuk agak dingin, maka ketika muka dan lehernya terkena air hangat,
rasanya amat menyenangkan. la pun mencium bau harum air itu, diam-diam merasa betapa ia dimanja.
Air pencuci muka saja diberi air kembang agaknya, demikian harum baunya. la menyedot bau harum itu
dan tiba-tiba ia merasa kepalanya pening, pandang matanya terputar-putar.
"Celaka...!" serunya, akan tetapi ketika ia menghampiri pembaringan untuk mencari pegangan,
tubuhnya terguling dan ia roboh pingsan, tubuh bagian atas di pembaringan. Sesosok tubuh berkelebat
masuk ke dalam kamar melalui jendela yang masih terbuka. Dia adalah seorang laki-laki berusia sekitar
tiga puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan mukanya brewok, matanya besar dan wajahnya bengis
menyeramkan. Sinar matanya yang mencorong tajam membayangkan kekejaman, dan mulutnya
menyeringai seperti mengejek. Dengan ringan dia memondong tubuh In Hong yang terkulai pingsan lalu
membawanya keluar melalui jendela. Pagi itu masih gelap dan agaknya para penghuni rumah itu baru
pelayan wanita tadi yang sudah bangun. Ketika melihat keadaan yang sunyi, orang itu lalu melompat
dan dengan menyusup-nyusup akhirnya dapat melarikan diri keluar dari perkampungan Thian-Te-Pang
tanpa ada yang melihatnya. Setelah membawa lari In Hong sampai ke dalam sebuah hutan yang banyak
terdapat di kaki pegunungan itu, In Hong sadar dari pingsannya. Kepalanya terasa pening sekali akan
tetapi ia segera dapat merasakan dan rnelihat bahwa ia berada dalam pondongan kedua lengan seorang
laki-laki! Tentu saja ia terkejut dan marah bukan main. ia segera menggerakkan tangan kanannya untuk
memukul muka orang itu sambil meronta. Akan tetapi ia mengeluh. Tubuhnya lemas dan ia tidak
mampu mengerahkan tenaga dalamnya sehingga tamparannya tadi hanya mengenai pipi
pemondongnya dengan tenaga biasa yang lemah pula.
"Plak...!" Akan tetapi rontaannya sempat membuat orang itu terkejut dan ia pun terlepas dari
pondongannya, jatuh terguling di atas tanah.
"Ha-ha-ha! Engkau sudah sadar? Bagus, aku tidak suka mendapatkan korban yang tidak mampu
bergerak seperti mayat!" Setelah berkata demikian, orang itu menyeringai menyeramkan dan menubruk
seperti seekor singa menerkam domba. In Hong rebah telentang tidak mampu mengelak atau melawan
karena seluruh tubuhnya terasa lemah seolah semua tangannya telah lenyap.
"Desss...!" Sebelum tubuh laki-laki itu dapat menerkam tubuh In Hong, sebuah tendangan kilat
membuat tubuh itu terlempar dan terguling-guling!
"Jahanam keparat!!" Gan Bouw yang tadi menendang orang itu kini melompat menghampiri dengan
gerakan cepat sekali. In Hong tadinya terkejut dan ngeri mendapat kenyataan betapa tenaganya hilang
dan ia sama sekali tidak berdaya, kini menjadi lega dan ia mengikuti gerakan Gan Bouw dengan pandang
mata kagum. Laki-laki tinggi besar itu terbelalak ketakutan.
"... Pek... Bin-Houw... a... aku..."
"Prakkk!" Kaki Gan Bouw menendang dan orang itu terpental, tewas dengan kepala pecah! Gan Bouw
tidak mempedulikannya lagi. Dia cepat menghampiri In Hong yang sudah bangkit duduk.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 227
:: CerSil KhoPingHoo : :: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 228
:: CerSil KhoPingHoo :
"Siauw-moi... engkau tidak apa-apa...?" tanyanya khawatir. Dengan lemas dan sukar In Hong mencoba
berdiri. Melihat ini, Gan Bouw segera membantunya berdiri dengan memegang kedua lengannya.
"Aku keracunan, Gan-Twako...!" kata In Hong dan ketika ia mencoba untuk melangkah, ia terguling dan
tentu roboh kalau saja Gan Bouw tidak cepat menangkapnya.
"Maaf, Siauw-moi. Jangan bergerak dulu, maafkan kalau terpaksa aku memondongmu. Nanti di rumah
saja kita bicara." Pemuda itu lalu memondong tubuh In Hong dan membawanya lari cepat sekali kembali
ke dusun Kiok-Lim. Para anggauta Thian-Te-Pang memandang heran melihat ketua mereka datang
memondong tubuh gadis yang semalam menjadi tamu mereka itu.
"Cepat kalian pergi ke hutan sebelah selatan itu. Lihat siapa mayat yang berada di sana" perintahnya
kepada beberapa orang anggauta Thian-Te-Pang, lalu dia rnembawa In Hong masuk ke dalam rumahnya.
Pelayan wanita setengah tua menyambutnya dengan tangis.
"Pangcu... celaka... A Him dibunuh orang..." katanya sambil memandang In Hong yang sudah direbahkan
telentang di atas sebuah pembaringan. In Hong mengenal wanita itu sebagai wanita setengah tua yang
menyediakan air hangat pencuci muka pagi tadi.
"Hemm, keparat Ini tentu ada hubungannya dengan peristiwa yang menimpamu, Sian-Li. Biar aku lihat
dulu sebentar." Gan Bouw lalu pergi ke belakang, diikuti pelayan wanita. Tak lama kemudian dia sudah
kembali dan duduk di atas dekat pembaringan di mana In Hong rebah.
"Yang tewas itu pelayan pria yang biasa bekerja pagi-pagi. Agaknya dia tewas ketika sedang menjerang
air. Agaknya penjahat yang menculikmu tadi yang membunuhnya, akan tetapi aku tidak tahu mengapa
dia membunuh pelayan itu?"
"Aku tahu sebabnya, Twako. Tentu dia membunuh pelayan itu agar dia dapat menuangkan racun ke
dalam air sehingga ketika Bibi pelayan membawakan air pencuci muka untukku, aku keracunan dan
pingsan. Selanjutnya, ketika siuman, aku sudah berada di hutan itu. Untung engkau datang, Twako,
kalau tidak... ah, aku berterima kasih sekali padamu, Twako."
"Sudahlah, tidak perlu berterima kasih. Sebaiknya sekarang kuperiksa, apa yang menyebabkan engkau
kehilangan tenaga seperti ini!" Gan Bouw lalu memeriksa denyut nadi In Hong, lalu mendekatkan
hidungnya pada dahi gadis itu dan dapat mencium bau harum yang tadi membuat In Hong pingsan.
"Hemm, aku tahu sekarang! Ini adalah keharumah Bunga Pelangi yang hanya terdapat langka di daerah
Gurun Gobi! Aku pernah melihatnya dan sari keharuman bunga ini memang dapat melumpuhkan kalau
memasuki paru-paru. Akan tetapi jangan khawatir, Siauw-moi. Racun ini tidak berbahaya dan mari
kubantu engkau mengusir hawa beracun dari tubuhmu. Silakan duduk dan bersila, Sian-Li." In Hong
segera duduk bersila dan Gan Bouw duduk bersila di belakangnya. Kemudian pemuda itu menempelkan
kedua telapak tangannya di punggung Sian-Li Eng-Cu.
In Hong yang tidak mampu mengerahkan tenaga saktinya, hanya menerima saja. la merasa betapa
getaran kuat muncul dari kedua telapak tangan itu, dan hawa menjalar ke seluruh tubuhnya, berputaran
lalu berkumpul di dalam dadanya. Tak lama kemudian, bau yang harum menerobos keluar dari dadanya,
melalui hidung, membuat ia pening. Akan tetapi lambat laun bau harum itu melemah dan lenyap. la
merasa betapa kedua telapak tangan di punggungnya itu menggetar dan hangat dan tiba-tiba ia:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 229
:: CerSil KhoPingHoo :
menggelinjang karena kulit telapak kedua tangan itu seperti hidup, seolah membelai-belai
punggungnya! Setelah rasa pening dan lemas menghilang, ia mencoba mengerahkan tenaga dalamnya
dan ia berhasil! Segera ia mengerahkan sinkang (tenaga sakti) untuk membantu, membersihkan semua
sisa hawa beracun itu keluar dari tubuhnya.
"Ah, sukurlah. Engkau sudah sembuh, Siauw-moi!" kata Gan Bouw girang dan dia melepaskan kedua
tangannya lalu turun dari pembaringan dan duduk di atas kursi. Tiba-tiba beberapa orang anggauta
Thian-Te-Pang memasuki ruangan itu. Thio Sun, anggauta tertua, Ayah dari Thio Ci Nio yang menjadi
korban perkosaan melapor.
"Pangcu, mayat itu adalah penjahat yang terkenal di bagian timur pegunungan dengan julukan Tok-Coa
Mo-Ko (Iblis Ular Beracun). Tidak salah lagi, Pangcu. Tentu jahanam itu yang telah melakukan perbuatan
keji terhadap Ci Nio tempo hari. Kami sudah melemparkan mayatnya ke jurang, biar menjadi makanan
binatang buas!" Gan Bouw mengangguk-angguk.
"Sangat boleh jadi. Sekarang, beberapa orang dari kalian pergilah menghadap pimpinan Beng-San-Pai,
kabarkan bahwa pelaku perkosaan itu telah ditemukan dan dihukum mati, dan sampaikan maafku
kepada mereka atas kesalahan-dugaan kalian tempo hari." Setelah semua anggauta itu keluar dari
ruangan, In Hong berkata, suaranya mengandung keharuan.
"Gan Twako, aku sungguh berhutang budi besar padamu. Aku berterima kasih, Twako, dan budimu ini
tidak akan kulupakan. Sekarang aku minta diri, aku akan melanjutkan perjalananku mengunjungi Hek I
Kaipang." Can Bouw tampak terkejut seolah dia baru ingat bahwa gadis itu akan meninggalkannya.
"Engkau... hendak pergi, Sian-Li? Ah, benar, engkau akan mengunjungi Hek I Kaipang. Biar kuantar
engkau, Sian-Li."
"Terima kasih, Twako, tidak perlu. Aku akan pergi sendiri."


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi... tapi..." Can Bouw melihat pandang mata yang tajam itu lalu cepat disambungnya. "Ah, tentu
saja. Engkau pergi sendiri. Baiklah, Sian-Li, aku tidak berhak menahanmu..."
"Aku hendak mengambil pakaian dan pedangku, Twako." In Hong lalu memasuki kamarnya, mengambil
buntalan pakaian dan Gan-Liong-Kiam, pedang pusakanya. Ia pun berganti pakaian bersih. Ketika ia
keluar lagi, Can Bouw sudah menunggunya. Wajah pemuda itu tampak kecewa sekali.
"Sian-Li... benar-benar... tegakah engkau meninggalkan aku kesepian di sini seorang diri...?" In Hong
menghela napas panjang. Pemuda ini tampan, gagah perkasa, baik budi, menjadi ketua perkumpulan
lagi, akan tetapi terkadang bersikap demikian lemah dan cengeng. Ataukah hal ini terjadi karena
pengaruh cinta?
"Gan-Twako, ada waktunya bertemu, ada pula waktunya berpisah. Dan perpisahan bukanlah selamanya
kalau orangnya belum mati. Di lain waktu kita dapat saja saling berjumpa kembali. Nah, sekali lagi terima
kasih atas segala budi dan kebaikanmu, Twako, maafkan kalau aku mengecewakanmu dan selamat
tinggal!"
"Selamat jalan, Sian-Li. Kalau engkau pergi, aku pun tidak betah lagi berdiarn di sini, aku pun akan pergi
merantau!" In Hong sudah memberi hormat dan pergi meninggalkan rumah itu, terus meninggalkan:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 230
:: CerSil KhoPingHoo :
perkampungan Thian-Te-Pang. Kalau ia tidak tegas dan berlama-lama di situ, mungkin saja ia akan
memenuhi permintaan Gan Bouw untuk tinggal lebih lama lagi. Semua sikap, pandang mata, kata-kata
dan terutama rabaan kedua telapak tangan pemuda itu ketika mengobatinya tadi, jelas sudah
mengutarakan perasaan hati pemuda itu kepadanya. Gan Bouw jatuh cinta padanya dan mungkin amat
mencintanya, lebih dari pada para pemuda lain!
Pada waktu itu, Bu-Tong-Pai yang berpusat di pegunungan Bu-Tong-San, merupakan sebuah perguruan
silat yang besar dan terkenal, yang kedudukannya sejajar dengan perguruan-perguruan Siauw-Lim-Pai,
Kun-Lun-Pai dan Go-Bi-Pai. Yang menjadi ketua Bu-Tong-Pai adalah Tiong Li Seng-jin, seorang Tosu
(Pendeta Agama To) yang berusia tujuh puluh tahun lebih. Tosu tua ini bertubuh tinggi kurus, rambut,
kumis dan jenggot panjangnya sudah putih semua seperti benang perak. Rambutnya digelung ke atas.
Wajahnya yang kurus masih membekaskan ketampanan, dan wajah yang penuh senyum itu memiliki
sepasang mata yang penuh wibawa. Gerak-geriknya lembut seperti seorang sastrawan dan memang
sesungguhnya, ketua Bu-Tong-Pai ini seorang sastrawan yang memiliki ilmu silat tinggi.
Karena sudah merasa tua, maka semua urusan perguruan dia serahkan kepada wakilnya, yaitu beberapa
orang Tosu yang menjadi adik-adik seperguruannya. Tiong Li Seng-jin sendiri lebih suka bersamadhi di
dalam ruangan samadhinya. Yang menjadi wakil ketua Bu-Tong-Pai adalah Tiong Hak Tosu, Sute (adik
seperguruan) dari Tiong Li Seng-jin. Tiong Hak Tosu ini bertubuh tinggi besar, mukanya penuh brewok
dan berkulit hitam seperti Thio Hwi, tokoh dalam cerita Sam Kok yang terkenal. Sepasang matanya
bundar dan mengandung kejujuran namun juga tajam menembus seperti dapat menjenguk isi hati
orang. Tosu ini berusia sekitar enam puluh tahun dan dia terkenal sebagai seorang ahli ilmu golok BuTong To-Hwat yang lihai.
Inilah Guru dari Yo Kang, putera Yo Hang Tek yang tinggal di See-Ciu, pendekar yang terkenal dengan
julukan But-Tong Kiam-Hoat (Golok Emas dari Bu-Tong) itu. Masih ada tiga orang pembantu utama lagi
di Bu-Tong-Pai yang menangani semua urusan, membantu pekerjaan Tiong Hak Tosu, yaitu tiga orang
Tosu yang merupakan adik-adik seperguruan termuda dari ketua dan wakil ketua itu. Mereka bertiga ini
di dunia persilatan dikenal sebagai Bu-Tong Sam-Lo (Tiga Orang Tua Bu-Tong). Mereka adalah Tiong Gi
Tosu yang bertubuh sedang, Tiong Jin Tosu yang bertubuh gendut, dan Tiong Sim Tosu yang bertubuh
tinggi. Usia mereka kurang lebih lima puluh lima tahun. Mereka bertiga selain menangani urusan luar
dan dalam, juga mereka melatih para murid yang tingkatnya masih permulaan dan pertengahan.
Murid yang tingkatnya sudah tinggi seperti Yo Kang dilatih oleh Tiong Hak Tosu. Tiong Li Seng-jin hanya
kadang-kadang saja melihat sampai di mana kemajuan para murid dan memberi petunjuk-petunjuk. Ada
belasan orang murid yang menjadi Tosu dan mereka ini adalah murid-murid golongan tua yang sudah
menetap di perumahan Bu-Tong-Pai dan bertugas sebagai pembantu-pembantu Bu-Tong Sam-Lo. Akan
tetapi para murid Bu-Tong-Pai tidak diharuskan menjadi Tosu, walaupun tentu saja mereka mendapat
pelajaran kerohanian menurut Agama To. Pada waktu itu, jumlah murid yang belajar di Bu-Tong-Pai
terdapat sekitar seratus orang, belasan orang di antaranya adalah murid-murid wanita yang belajar dan
tinggal di perumahan Bu-Tong-Pai di bawah pengawasan seorang Tokauw (Pendeta wanita).
Bu-Tong-Pai terkenal sebagai perguruan silat besar yang menghasilkan banyak pendekar-pendekar
gagah perkasa yang juga berjiwa patriot. Memang, setelah tanah air dikuasai penjajah Mongol yang
memiliki bala-tentara kuat, seperti perguruan silat aliran lain, Bu-Tong-Pai tidak berani menentang
Kerajaan Goan (Mongol) secara berterang. Kalau mereka terang-terangan menentang, tentu laksaan
pasukan Mongol akan menghancurkan mereka dan tentu saja mereka bukan lawan pasukan yang besar
itu. Akan tetapi sudah jelas, sikap mereka tidak mau tunduk, tidak mau membantu pemerintah penjajah.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 231
:: CerSil KhoPingHoo :
Seperti perkumpulan para pendekar lain, mereka semua menanti datangnya saat yang tepat di mana
rakyat mendapat pimpinan seorang yang tangguh untuk memberontak.
Kalau rakyat sudah memberontak, pasti Bu-Tong-Pai akan membantu sepenuhnya. Hanya dengan
adanya pasukan rakyat yang besar jumlahnya mereka akan dapat dan berani menentang Kerajaan
Mongol secara terang-terangan. Kini, para pimpinan Bu-Tong-Pai hanya menganjurkan para murid untuk
berlatih dengan tekun. Malam itu cuaca gelap. Langit tertutup mendung hitam tebal sehingga bulan
yang mestinya muncul sepotong dan beberapa buah bintang sama sekali tidak tampak dan tidak dapat
memberi penerangan karena sinar mereka yang lemah tidak mampu menembus mendung tebal.
Sesosok bayangan berkelebat cepat sekali, melompati dinding tembok yang mengelilingi markas BuTong-Pai itu bagaikan seekor burung terbang saja. Pakaian orang itu serba hitam sehingga kalau dia
tidak bergerak, sukar untuk dapat melihatnya.
Tubuhnya sedang saja, tampak agak besar dalam pakaian yang longgar itu, pakaian yang bentuknya
seperti jubah Pendeta, sederhana sekali. Sukar untuk dapat melihat wajahnya di kegelapan itu, hanya
dapat diduga bahwa kepalanya gundul. Agaknya dia mengenal betul daerah itu karena tanpa ragu dia
berkelebat dan menyelinap di antara pohon-pohon dan semak dalam kebun, lalu menghampiri
bangunan induk yang juga menjadi Kuil. Di Kuil atau bangunan induk ini selain terdapat ruang
sembahyang, juga menjadi tempat tinggal para pimpinan Bu-Tong-Pai, yaitu Tiong Li Seng-jin yang
malam itu sudah bersarnadhi dalam kamarnya, Tiong Hak Tosu yang rebah di atas pembaringan dalam
kamarnya, dan Bu-Tong Sam-Lo, tiga orang Tosu itu yang masih duduk bercakap-cakap dalam kamar
bersama mereka yang besar.
"Jin-Sute dan Sim-Sute, malam ini aku ingin sekali mempelajari dan membahas tentang pelajaran dari
Guru Agung kita Lo-Cu (Lao Ce) yang tersusun dalam Kitab Suci kita To-Tik-Keng (Tao-Te-Cing)." kata
Tiong Gi Tosu kepada dua orang adik seperguruannya, yaitu Tiong Jin Tosu dan Tiong Sim Tosu. Mereka
bertiga duduk mengelilingi sebuah meja bundar dan masing-masing memegang sebuah kitab To-TikKeng.
"Gi-Suheng, puluhan tahun kita sudah membaca kitab suci kita ini, dan dahulu mendiang Suhu sudah
menjelaskan. Memang ayat-ayat dalam kitab suci kita ini amat sukar dipahami, namun bukankah kita
pernah mendapat bimbingan mendiang Suhu untuk mengerti akan isinya dan artinya?" kata Tiong Jin
Tosu.
"Benar, Jin-Sute, akan tetapi ayat-ayat itu tidak tepat kalau hanya ditafsirkan menurut pendapat seorang
dua orang saja. Maknanya terlalu dalam dan perlu bagi kita untuk sering membacanya dan mencoba
untuk menelaah arti isinya." kata pula Tiong Gi Tosu.
"Jin-Suheng, kurasa Gi-Suheng benar. Nah, marilah kita mulai menelaahnya, setiap kali cukup satu ayat
saja. Gi-Suheng, ayat manakah yang ingin kau bahas dan bicarakan dengan kami?" kata Tiong Sim Tosu.
"Malam ini aku ingin agar kita bertiga membahas dan menafsirkan bunyi ayat ke tujuh. Mari kita baca,
begini bunyinya :
"Langit dan Bumi itu abadi, karena mereka tidak hidup untuk diri sendiri maka Langit dan Bumi itu
abadi. Inilah sebabnya orang budiman meniadakan keakuannya oleh karena itu dirinya penuh
manfaat. Karena dia tidak diperbudak keinginan-keinginannya maka pribadinya dapat
disempurnakan.":: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 232
:: CerSil KhoPingHoo :
"Wah, ayat ini mengandung makna yang amat dalam, Gin-Suheng. Coba Suheng katakan bagaimana
menurut perkiraan Suheng." kata Tiong Jin Tosu.
"Siancai...!" Tiong Gi Tosu berdoa sambil merangkap kedua tangan depan dada, lalu memandang kedua
orang adik seperguruannya sambil tersenyum. "Kalau menurut perkiraanku yang masih bodoh, Langit
dan Bumi serta sekalian isinya, mereka semua itu ada manfaatnya. Hanya manusia yang selalu
mementingkan diri sendiri banyak yang tidak ada manfaatnya, tidak ada gunanya bahkan merusak
lingkungannya, merusak sesama manusia, merusak alam. Lihat saja segala macam binatang, bahkan
segala macam tumbuh-tumbuhan, segala mahluk yang bergerak maupun yang tidak bergerak, mereka
semua itu ada manfaatnya bagi orang atau mahluk lain. Setiap batang pohon yang tidak bergerak, tidak
mempunyai keinginan demi diri sendiri sehingga seluruh keadaan dirinya berguna sekali bagi mahluk
lain. Pertumbuhannya memberi kesejukan, kesegaran dan kesuburan tanah, daun-daunnya memberi
makanan kepada binatang, bunga-bunganya memberi keindahan kepada pandang mata manusia, buahbuahnya juga memberi makanan kepada manusia, bahkan setelah tua dan mati sekalipun, kayunya
masih dapat dimanfaatkan manusia. Bahkan rumput saja keadaan hidupnya bermanfaat bagi mahluk
lain. Apalagi binatang-binatang yang memberi makanan penahan hidup bagi manusia. Apapun juga yang
berada di alam mayapada ini, semua tanpa mementingkan diri sendiri bermanfaat bagi mahluk lain.
Inilah pelajaran yang terkandung dalam ayat ini agar manusia merasa malu melihat diri sendiri yang
selalu hanya mengejar untuk memenuhi keinginan sendiri sehingga bukan saja tidak ada manfaatnya
bagi orang atau mahluk lain, bahkan sepak-terjangnya menimbulkan kerusakan dan kebinasaan.
Berbahagialah orang yang tidak mementingkan dirinya sendiri karena dengan demikian dia pun menjadi
seorang manusia, seorang mahluk yang keadaan hidupnya bermanfaat bagi Langit dan Bumi serta
sekalian isinya."
"Siancai!" kata Tiong Jin Tosu. "Alangkah indahnya apa yang engkau katakan tadi, Suheng. Aku makin
menyadari bahwa meniadakan keakuan, tidak mementingkan diri sendiri berarti hidup yang wajar sesuai
dengan Hukum Alam yang ditentukan oleh TUHAN Maha Pencipta. Bahkan daun-daun yang membusuk
saja masih bermanfaat untuk menjadi pupuk menyuburkan tanah."
"Siancai!" kata Tiong Sim Tosu.
"Setiap bintang di langit mempunyai kegunaan, setiap tetes air mengandung penyegaran, setiap
hembusan udara memberi kehidupan. Apapun juga, yang tampak maupun yang tidak tampak, hidup
sesuai dengan To (Kekuasaan TUHAN), kosong dari keinginan nafsu daya rendah, maka bermanfaat
keadaan hidupnya! Akan tetapi manusia? Hidup tidak menurut To, melainkan menuruti keinginan nafsu
daya rendah mengejar kesenangan jasmani, karena itu seringkali berlawanan dengan To dan
meninggalkan kerusakan dan kesengsaraan di dunia."
Tiba-tiba tiga orang Tosu itu terkejut mendengar suara gaduh dari arah belakang. Sebagal ahli-ahli silat,
mereka dapat menangkap suara tak wajar dan tanpa dikomando mereka bertiga seperti berlumba
berlompatan keluar dari kamar mereka menuju ke belakang ke arah ruangan perpustakaan karena dari
sanalah datangnya suara ribut yang mereka dengar sebagai suara orang-orang berkelahi.
Ketika mereka tiba di ruangan perpustakaan yang luas dan remang-remang itu, mereka melihat lima
orang murid Bu-Tong-Pai sudah menggeletak di atas lantai dan ada lima orang murid lain sedang
mengeroyok seorang laki-laki berkepala gundul dan berjubah hitam yang amat lihai. Biarpun lima orang
murid itu semua menggunakan pedang atau golok, dan laki-laki itu bertangan kosong, namun mereka:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 233
:: CerSil KhoPingHoo : :: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 234
:: CerSil KhoPingHoo :
berlima malah terdesak. Gerakan laki-laki itu seperti seekor burung garuda menyambar-nyambar dan
dua orang murid lagi terpelanting roboh. Melihat ini, Tiong Gi Tosu yang maklum bahwa kalau
dilanjutkan, murid yang lain pasti akan roboh juga, berteriak.
"Kalian mundurlah, biar kami yang menghadapinya!" Tiga orang murid Bu-Tong-Pai yang mendengar
teriakan ini, segera mundur. Akan tetapi laki-laki gundul yang hanya tampak bayangannya saja karena
cuaca di situ hanya remang-remang, tiba-tiba melompat keluar dari jendela dan menghilang.
"Manusia jahat, hendak bari ke mana kau?" Bu-Tong Sam-Lo cepat melompat mengejarnya. Mendengar
ribut-ribut itu, belasan orang murid memasuki ruangan itu dan ada yang menyalakan lampu. Mereka
terkejut melihat enam orang murid telah menggeletak tewas dan seorang lagi luka berat.
Mereka segera menolong dan sebagian lagi ikut melakukan pengejaran. Bayangan hitam berkepala
gundul itu bagaikan seekor burung saja ringan dan cepatnya, telah melompat ke atas genteng. Bu-Tong
Sam-Lo mengejar. Ketika mereka tiba di genteng, bayangan hitam itu telah berdiri di wuwungan sambil
bertolak pinggang. Di atas wuwungan masih dapat dicapai sinar lampu-lampu penerangan dari bawah
sehingga biarpun Bu-Tong Sam-Lo tidak dapat melihat wajah orang itu, namun mereka dapat melihat
bayangan hitam itu. Karena tadi ketika mengejar keluar dari kamar mereka, Bu-Tong Sam-Lo tergesagesa, maka mereka tidak membawa senjata mereka. Juga tiga orang tokoh Bu-Tong-Pai ini bukanlah
orang-orang yang mudah di pengaruhi perasaan, sehingga biarpun tadi mereka melihat tujuh orang
murid mereka dirobohkan bayangan ini, mereka masih dapat bersikap sabar.
"Hei! Siapakah engkau dan mengapa engkau begitu kejam membunuh murid-murid Bu-Tong-Pai?" Tiong
Gi Tosu membentak setelah mereka bertiga berhadapan dengan bayangan itu, dalam jarak tiga tombak.
Bayangan hitam berkepala gundul itu tertawa. Suara tawanya tidak wajar, dan ketika dia bicara,
suaranya juga seperti suara orang yang mulutnya terganjal sesuatu.
"He-he-he, Bu-Tong Sam-Lo. Kalian mengejar, berarti kalian mencari kematian!" Setelah berkata
demikian, bayangan itu terkekeh lagi. Tiong Sim Tosu, yang termuda di antara Bu-Tong Sam-Lo, tak
mampu menahan kesabarannya lagi.
"Jahanam, engkau harus mempertanggung-jawabkan kekejamanmu!" Langsung dia menerjang ke arah
bayangan itu sambil menyerang dengan pukulan dahsyat ke arah dada orang itu.
"Omitohud...!" Bayangan hitam i tu menangkis dengan memutar lengannya dari samping.
"Wuuuttt... dukkkk!!" Tubuh Tiong Tosu terpelanting, dan sebelum dia dapat mengembalikan
keseimbangannya, bayangan hitam itu sudah menyerangnya dengan tendangan yang menyambar tinggi
ke arah muka Tiong Sim Tosu. Hebat sekali tendangan itu dan sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi, BuTong Sam-Lo mengenal tendangan gaya ini. Tendangan ini hanya dapat dilakukan seorang tokoh SiauwLim-Pai aliran Utara! Tiong Gi Tosu melompat dan dialah yang menolong Sutenya dengan menangkis
tendangan itu.
"Bresss...!" Lengan Tiong Gi Tosu terasa nyeri dan dia pun terdorong ke belakang.
"Engkau... dari Siauw-Lim-Pai...?" tanya Tiong Gi Tosu dengan terkejut dan juga terheran-heran. Sulit
untuk dipercaya bahwa Siauw-Lim-Pai memusuhi Bu-Tong-Pai yang masih merupakan satu sumber.
Memang, bayangan gundul ini agaknya seorang Hwesio (Pendeta Buddha), akan tetapi bukan semua:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 235
:: CerSil KhoPingHoo :
Hwesio orang Siauw-Lim-Pai. Akan tetapi tendangan tadi itu! Jelas merupakan ilmu tendang Siauw-CuTwi dari Siauw-Lim-Pai! Bu-Tong Sam-Lo yang maklum mereka menghadapi seorang yang amat lihai
yang menggunakan ilmu-ilmu Siauw-Lim-Pai dengan serangan maut untuk membunuh, segera maju
mengeroyok sarnbil mengerahkan seluruh sinkang (tenaga sakti) mereka. Pertempuran itu seru bukan
main.
Tingkat kepandaian Bu-Tong Sam-Lo sudah rnencapai tingkat tiga dalam jajaran para pimpinan Bu-TongPai, apalagi mereka maju bertiga, maka tentu saja mereka itu amat kuat. Namun, lawan mereka itu
ternyata sakti bukan main, mampu mengimbangi kecepatah gerakan mereka, bahkan jelas bahwa dia
memiliki tenaga sakti yang lebih kuat daripada tiga tokoh Bu-Tong-Pai itu! Berkelahi di tempat gelap dan
di atas wuwungan yang tidak rata dan licin, membutuhkan kepandaian tinggi. Mereka harus memiliki
kepekaan yang istimewa, baik pada mata, telinga dan perasaan mereka. Sedikit saja terpeleset atau
tersandung, tentu akan berakibat gawat. Belasan orang murid Bu-Tong-Pai yang sudah naik pula ke
wuwungan, hanya menonton karena mereka maklum bahwa kalau mereka membantu, sama dengan
membunuh diri.
Juga bantuan mereka itu mungkin bahkan akan mengacaukan gerakan tiga orang Guru mereka yang
mengeroyok Si Bayangan Hitam. Ditambah lagi, mereka bukan hanya menerima gemblengan ilmu silat,
akan tetapi terutama sekali gemblengan batin sehingga mereka memiliki watak pendekar yang merasa
malu untuk mengandalkan jumlah banyak mengeroyok lawan. Kini, Bu-Tong Sam-Lo mulai memainkan
Thai-Kek-Sin-Kun dan ilmu silat yang tampaknya lemah dan lentur ini sesungguhnya mengandung tenaga
dalam yang dahsyat. Menggunakan kelenturan melawan kekerasan, mengandalkan kelemahan
meminjam tenaga kuat melawan, itulah inti ilmu silat ini. Mereka bertiga menggunakan ilmu silat ini
dapat saling menunjang, saling melindungi dan menghadapi tiga tokoh Bu-Tong-Pai yang menggunakan
ilmu silat istimewa ini, bayangan hitam itu menjadi kewalahan juga.
Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluarkan pekik yang melengking, tubuhnya bergerak secepat kilat. Pekik
melengking itu seolah mengguncang jantung Bu-Tong Sam-Lo karena pekik itu mengandung sinkang
yang amat kuat, menggetar dan penuh wibawa, membuat mereka agak terhuyung. Dalam keadaan ini, Si
Bayangan Hitam bergerak cepat sudah menyerang dengan ilmu menotok yang khas dari aliran SiauwLim-Pai, yaitu Toat-Beng Tiam-Hiat-Hoat (Totok Jalan Darah Pencabut Nyawa). Terdengar tiga orang
tokoh Bu-Tong-Pai itu mengeluh dan mereka pun roboh dari atas wuwungan, menggelinding di atas
genteng menuju ke bawah. Para murid Bu-Tong-Pai yang berada di situ cepat berlari dan menangkap
tubuh tiga orang Guru mereka yang terancam jatuh ke bawah.
"He-he-he, begini saja kepandaian orang Bu-Tong-Pai!" Si Bayangan Hitam itu berkelebat dan lenyap
ditelan kegelapan. Akan tetapi tiba-tiba dia berhadapan dengan seorang Tosu tinggi besar yang mukanya
penuh brewok. Tiong Hak Tosu, wakil ketua Bu-Tong-Pai telah menghadangnya dengan golok besar di
tangan. Senjata ini adalah andalan Tiong Hak Tosu dan telah mengangkat namanya selama puluhan
tahun.
"Berhenti! Menyerah atau mati!" bentak Tiong Hak Tosu sambil melintangkan pedangnya. Akan tetapi
bayangan hitam itu malah menerjangnya dengan totokan yang amat lihai dan yang telah merobohkan
Bu-Tong Sam-Lo tadi. Melihat serangan dahsyat ini, Tiong Hak Tosu cepat mengelebatkan golok
menangkis.
"Trikkk!" Tiong Hak Tosu terkejut karena goloknya yang bertemu dengan jari tangan orang itu terpental
dan tangannya yang memegang gagang goloknya tergetar hebat dan ada hawa dingin yang menjalar ke:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 236
:: CerSil KhoPingHoo :
tangannya itu. Cepat dia mengerahkan lweekang (tenaga dalam) untuk menolak desakan hawa dingin
itu. "Toat-Beng Tiam-Hiat-Hoat!" serunya kaget dan heran, lalu dia cepat siap siaga untuk melawan Si
Bayangan Hitam yang amat lihai itu. Akan tetapi bayangan hitam itu agaknya juga maklum bahwa kini
dia menghadapi seorang lawan yang amat tangguh, maka dia melompat dan lenyap dalam kegelapan.
Tiong Hak Tosu di dalam cuaca yang demikian gelapnya, tidak berani melakukan pengejaran dan dia
Perang Bubat 1 Satria Gendeng 10 Nisan Batu Mayit Senja Jatuh Di Pajajaran 12

Cari Blog Ini