Tapak Tangan Hantu Karya Batara Bagian 11
bayangan menyambar dari kanan kiri, mencegat dan sengaja memotong jalannya kalau dia lari. Tapi ketika
pemuda ini membalik dan semua lega, Teng Bu menahan marah maka pemuda itu menuding Cui Ling.
"Setan betina inilah yang menjadi gara-gara!" bentaknya.
"Kalau dia menurut nasihatku dan tidak sombong memaksakan kehendak tak mungkin semuanya ini
terjadi, suhu. Teecu tak mau disalahkan karena semuanya ini bersumber dari gadis ini. Cui Ling sombong
dan memaksakan kehendak!"
"Hm, apa kehendaknya, sombong bagaimana."
"Gadis itu ingin menemui Seng-ko, suhu, kucegah karena kakakku sakit!"
"Betul," Cui Ling tiba-tiba melengking "Tapi salahkah aku kalau ingin menemui kakaknya,Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
266 locianpwe. Bukankah kami sudah terikat pertunangan dan kenapa tak boleh menengok. Teng Bu
menunjukkan gejala-gejala mencurigakan dengan menyembunyikan kakaknya. Aku berhak tahu karena
sebulan sudah tak bertemu kekasihku!"
"Hm, benar," sang suhu mengangguk dan membela gadis itu. "Apa yang dikatakan Cui Ling jauh
lebih masuk akal daripada kata-katamu, Teng Bu. Jawablah kenapa gadis ini tak boleh menengok calon
suaminya sendiri."
"Seng-ko sakit....."
"Justeru itu memperkuat keinginannya!"
"Dia..... dia....."
"Hm, pinceng dengar kakakmu sakit karena sesuatu yang tidak wajar, Teng Bu, dan Cui Ling sebagai
orang yang dekat kakakmu tak seharusnya ditolak. Ia bukan orang lain, justeru sikapmu mencurigakan dan
ketahuilah bahwa gadis ini telah tahu hubunganmu yang tidak beres dengan Siluman Akherat itu. Sekarang
di mana sahabatmu itu dan kakakmu, ataukah pinceng juga tak boleh tahu dan hanya kau yang berhak!"
Teng Bu pucat. Dalam posisi seperti ini kedudukannya benar-benar runyam, ia pucat dan merah
berganti-ganti oleh berondongan pertanyaan itu. Dan ketika in menggigil dan gemetar tak dapat menjawab,
dengus dan kemarahan orang lain mulai mengancam tiba-tiba terdengar suara lirih dan semua orang menoleh
ke belakang ketika seorang pemuda terhuyung mendekap dada.
"Cui Ling...... suhu.....!"
Kagetlah Teng Bu melihat Teng Seng. Sang kakak muncul dan tiba-tiba disambut pekik haru Cui
Ling. Gadis Hoa-san itu meloncat dan menyambar pemuda ini. Lalu ketika Teng Seng terbatuk-batuk dan
memeluk Cui Ling, sejenak gadis itu tersedu dan girang bahwa kekasihnya memanggil maka Teng Seng
mendorong gadis ini tersuruk menjatuhkan diri berlutut.
"Suhu, teecu di sini. Apa yang terjadi dengan Bu-te dan kenapa kalian tampaknya marah-rnarah."
"Dia mernbunuh guruku, Seng-ko. Adikmu berhutang sebuah jiwa!"
"Apa?" Teng Seng terkejut, terbelalak dan pucat. "Gurumu? Maksudmu Bun Tek Tojin
locianpwe.....?"
"Benar, dan ia sekarang sombong dengan kepandaian yang diperoleh. Ah, adikmu ini bukan manusia
lagi, Seng-ko, dia iblis seperti si banci yang mempermainkanmu itu. Omonganmu betul, banci itu bukan
manusia baik-baik!"
Teng Seng mengeluh dan roboh. Pemuda ini mendengar ribut-ribut di kamarnya dan keluar, memang
belum sembuh betul dan sering mencari dinding untuk pegangan. Maka ketika tiba-tiba dilihatnya adiknya
dikepung banyak orang, satu di antaranya adalah gurunya sendiri maka pemuda itu bingung dan kaget lalu
muncul, melihat pula Cui Ling di situ namun belum tahu semua persoalan. Dan begitu Cui Ling berteriak
memberi tahu, apa yang didengar bagai petir di siang bolong, mendadak pemuda itu batuk-batuk dan roboh.
Cepat sekali guncangan batin pemuda ini terpukul, Teng Seng terguling dan menekan dadanya yang sakit.
Lalu ketika dia tersedak dan melontakkan darah, pantangan baginya untuk menerima berita berat maka
pemuda itu roboh dan Cui Ling serta Teng Bu berteriak berbareng.
"Seng-ko!"
Teng Bu lebih dulu menyambar. Gerak pemuda ini yang luar biasa cepatnya kembali membuat orangorang tua terkejut. Teng Bu sudah menangkap dan menahan tubuh kakanya itu. Tapi ketika Cui Ling
berkelebat dan merebut tubuh itu maka gadis ini memekik agar Teng seng jangan disentuh Teng Bu.
"Lepaskan, tanganmu hina memegang orang yang kucintai!"
Teng Bu tertegun. Ia tak mungkin mempertahankan kakaknya karena gadis itu melakukan tendangan.
Pinggangnya di sambar. Dan ketika ia mengelak dan membiarkan direbut, bangkit berdiri maka Cui Ling
tersedu-sedu menuding gusar.
"Lihat, apa katanya tadi, locianpwe. Bukankah Teng Bu mengatakan kakaknya tak di sini. Tapi apa
buktinya, dia bohong. Pemuda ini tak dapat dipercaya dan busuk serta jahat. Aku ingin membunuhnya!"
Namun dua tokoh Hoa-san menyambar lengan gadis itu. Cui Ling yang menjerit dan hendakKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
267 menerjang kalap ditahan, semua orang terbelalak dan merah padam. Teng Bu telah menipu.dan ketika Hak
Cin Hoasiang juga marah dan maju mengerotokkan jari maka kakek itu lantang berseru agar Teng Bu
menyerahkan diri.
"Omitohud, pembohong dan pendusta. Oh, pinceng tak dapat mengampunimu lagi, Teng Bu. Kau
telah menipu semua orang di sini. Menyerahlah, terima hukuman baik-baik!"
Sepasang tangan kakek itu menyambar dan cepat bagai kilat tahu-tahu mencengkeram pundak
muridnya. Teng Bu tertegun dan membelalakkan mata dan sejenak dia gugup. Apa yang dikata Cui Ling
menelanjangi mukanya. Tapi ketika sepasang tangan gurunya mencengkeram pundak dan jari-jari bagaikan
baja itu siap menghancurkan tulang, Teng Bu kaget dan sadar mendadak pemuda ini melawan dan
mengeluarkan Hek-be-kang.
"Suhu, tunggu dulu. Teecu tidak bohong!"
Luar biasa sekali, pundak Teng Bu tahu-tahu lolos. Licin bagai belut dan keras menandingi jari-jarinya
sekonyong-konyong pemuda itu berhasil membebaskan diri. Bentakan Teng Bu mengejutkan gurunya. Dan
ketika pemuda itu meloncat jauh namun semua bergerak dan membentak, lagi-lagi pemuda ini terkepung
maka pemuda itu mengangkat tangan berseru kuat-kuat.
"Suhu, cuwi-locianpwe, tahan! Teecu tidak bohong hanya kalianlah yang kurang cerdas. Aku tidak
menipu karena yang kukatakan adalah kakakku tak ada di kamar, ia di tempat lain. Dan kalian lihat bahwa ia
benar-benar muncul bukan dari kamarku!"
Semua tertegun. Hak Cin Hosiang melengak dan kakek ini terbelalak, kata-kata muridnya memang
benar. Tapi ketika seorang tosu Hoa-san melompat dan membentak nyaring maka tosu itu berseru,
"Bocah, kalau begitu kau menganggap orang-orang tua ini adalah anak-anak atau sebaya denganmu.
Kami bukan orang kemarin sore. Kalau kami tidak berpikir sejauh itu adalah karena kami menganggap kau
murid baik-baik dari Hak Cin lo-suhu. Tapi kau ternyata bocah jahat, pandai bermain lidah dan mengecoh
kami orang-orang tua. Cobalah kau kelit dan mampukah pinto menangkapmu untuk kulempar kepada
gurumu!"
Tubuh tosu itu menyambar. Ia menjadi marah dan orang-orang lainpun mengangguk. Kata-kata Teng
Bu memang benar namun anak muda itu termasuk kurang ajar karena telah mempermainkan mereka.
Sebagai murid Hak Cin Hosiang yang dianggap baik-baik sungguh tak mereka sangka kalau pemuda itu
memiliki akal licik bagai belut. Hal ini membuat Hak Cin Hosiang malu, orang bisa salah paham mengira dia
mendidik murid seperti itu, Suka bermain lidah! Maka ketika Teng Bu diserang dan tokoh Hoa-san itu
berkelebat ke depan, tangan kiri menampar sementara tangan kanan siap dengan totokan berbahaya maka
kakek ini mundur dan membiarkan muridnya dalam bahaya.
Akan tetapi Teng Bu sekarang benar-benar bukan Teng Bu beberapa waktu yang lalu. Pemuda ini
telah memiliki kelincahan gerak dan Hek-be-kang. Teng Bu telah mendapat kepercayaan diri yang besar pula
setelah mampu merobohkan Bun Tek Tojin, meskipun bukan maksud anak muda ini untuk membunuh.
Maka ketika gurunya bergerak mundur dan Teng Bu tentu saja tahu akan serangan susulan itu, matanya awas
dan tajam mengikuti semua gerak maka pemuda ini tidak mengelak melainkan menggerakkan tangan kirinya
menangkis.
"Dukk!"
Tosu itu tergetar. Ia kaget menerima tangkisan namun tangan yang lain bergerak secepat kilat,
menotok dan menyambar leher kiri pemuda itu. Dan ketika untuk ini Teng Bu tak mengelak dan membiarkan
totokan, mental dan meleset mengenai lehernya yang licin maka Teng Bu menggerakkan tangan yang lain
dan tahu-tahu telah balas menampar pundak tosu itu.
"Plak!" dan si tosupun terpelanting. Tosu ini kaget bukan main dan bergulingan meloncat bangun. Ia
adalah Tai Tee Cinjin tokoh nomor empat, sedikit di bawah Bun Tek Tojin dan tosu itu tampak pucat
memandang Teng Bu. Anak muda itu tertawa mengejek. Dan ketika Teng Bu semakin berani namun
dibentak gurunya maka Hak Cin Hosiang melangkah maju dan berseru, mukanya serasa ditampar.
"Teng Bu, kau membuat malu pinceng. Orang bisa menyangka bahwa didikan pinceng seperti ini,
mempunyai murid yang kurang ajar. Berlututlah dan menyerah baik-baik atau pinceng merobohkanmu!"
"Hm, teecu tak merasa salah. Kau jangan dipengaruhi orang-orang ini, suhu. Semua berawal dari gadis
siluman itu. Gadis itulah biang keladinya. Suhu jangan berat sebelah dan menghukum murid tanpa banyakKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
268 pertimbangan!"
"Omitohud, kau tak merasa salah? Kau menyalahkan gadis itu kalau ingin menengok kakakmu? Dan
kau bersilat lidah, bohong dan dusta dengan mengatakan kakakmu tak ada, padahal ia di tempat ini, di
gedung ini. Keparat, pinceng tak dapat mengampunimu lagi, Teng Bu, menyerahlah atau kau roboh!"
Kakek ini menyergap dan kedua tangan tahu-tahu mencengkeram ke depan. Tidak seperti Tai Tee
Cinjin yang menyembunyikan serangan adalah kakek ini bersikap terang-terangan. Kedua tangan langsung
melesat ke depan, angin pukulanpun sampai menderu. Dan ketika Teng Bu terbelalak dan terkejut, terhadap
gurunya ini tentu saja dia mengelak maka cengkeraman luput dan pemuda itu melompat mundur.
"Suhu, teecu tak ingin bertempur denganmu. Teecu tak ingin melawan. Jangan serang dan maafkanlah
teecu..... wut!" Luputnya pukulan ini membuat si kakek marah dan berang. Di hadapan sekian banyak mata
ternyata sang murid lolos begitu mudah, guru mana yang tidak panas. Maka ketika kakek itu membentak dan
bergerak lebih cepat lagi, kaki menjejak dan menyambar Teng Bu maka si pemuda tak mungkin berkelit dan
pundaknya dicengkeram jari-jari sekeras baja.
"Brett!"
Cengkeraman itu luput. Sama seperti tadi kakek ini merasakan gumpalan kulit daging yang licin,
bukan sekedar licin melainkan juga liat, atos. Dan ketika kakek itu berseru keras dan bergerak menyerang
lagi maka dua jarinya menusuk mata dan untuk ini terpaksa Teng Bu menangkis.
"Plak-dukk!"
Lengan gurupun terpental. Bukan main kaget dan marahnya kakek itu dan melengkinglah Hak Cin
Hosiang menerjang muridnya. Kakek yang semula bergerak biasa dan masih ragu-ragu itu tiba-tiba beringas
dan gusar. Peristiwa yang dilihat banyak mata itu membuatnya berang. Teng Bu dianggap mencari penyakit.
Maka ketika kakek itu melengking dan berkelebatan cepat, tangan dan kaki bergerak silih berganti maka
muridnya mengeluh namun Teng Bu melindungi diri dengan Hek-be-kang, ilmu Belut Hitam. Dan tiga kali
pukulan kakek itu melenceng atau mental bertemu tubuh muridnya. Teng Bu belum membalas dan masih
segan, betapapun sifat baiknya masih ada. Namun ketika gurunya membentak dan melengking berulangulang, jari berubah seperti pisau-pisau kuat dan tajam maka yang diarah adalah sepasang mata pemuda itu
dan Teng Bu kembali menangkis. Dan setiap tangkisan tentu membuat kakek itu terpental. Hal ini hampir tak
dipercaya si kakek namun kenyataan bicara seperti itu. Teng Bu muridnya memang benar-benar luar biasa,
bahkan lama-lama ia terhuyung dan selalu terdorong. Dan ketika kakek itu membentak berseru keras, tak ada
jalan lain kecuali mengeluarkan senjata maka siang-to atau sepasang golok putih berkilat ditimpa sinar
lampu. Dan tepat saat itu muncullah si banci di antara bayang-bayang kegelapan.
"Heh-heh, bagus dan tepat, Teng Bu. Gurupun kalau berbahaya harus dilawan. Awas, ia kebakaran
jenggot dan cabut sepasang golokmu pula. Kerahkan Hek-be-kang!"
Semua menoleh. Di balik bayang-bayang pohon itu muncul seorang pria berbedak dan bergincu tipis.
Telinganya memakai anting-anting, hidungnya mancung dengan cuping yang manis. Sepintas ia seperti
wanita apalagi ketika berkipas-kipas, gayanya santai dan tenang. Tapi ketika Cui Ling berteriak bahwa itulah
si banci, Siluman Akherat yang amat berbahaya maka kelompok tokoh-tokoh itu pecah menjadi dua,
sebagian memperhatikan Teng Bu sementara yang lain memandang pria aneh itu.
"Dia si banci. Itu orangnya!"
Serentak semua orang mencabut senjata. Mereka telah mendengar dari Cui Ling bahwa banci itu amat
hebat. Bukti bahwa Teng Bu sudah sedemikian pesat membuat orang terbelalak. Di bawah gemblengan Hak
Cin Hosiang sendiri barangkali tingkat yang sudah dicapai pemuda ini harus dilalui enam atau tujuh tahun.
Baru beberapa bulan saja dengan si banci sudah seperti itu, Teng Bu mengejutkan semua orang. Maka ketika
si banci muncul dan Teng Bu menjadi girang, berseru dan mundur menghadapi kilatan golok pemuda ini
meminta bantuannya.
"Kiem-twako, aku tak dapat menghadapi guruku. Tolonglah, hadapi dia!"
"Hi-hik, kalau begitu mampus. Baik, serahkan golok kepadaku, Teng Bu, dan lihat kupotong tubuhnya
menjadi dua!"
Teng Bu kaget. Ada serangan dari samping ketika ia bicara tadi, mengelak namun dikejar sepasang
golok. Gurunya benar-benar tak main-main. Dan ketika ia tak dapat mengelak namun untung Hek-bek-kang
melindungi tubuhnya maka golok itu mental bertemu kulit tubuhnya yang licin. Dan saat itu bayangan si
banci berkelebat amat cepatnya. Kepungan yang menjaga Teng Bu dilewati, seorang tosu dan seorangKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
269 hwesio disambar, menjerit dan terbanting. Dan ketika bayangan ini terus bergerak dan menyambar golok
Teng Bu maka terdengar teriakan ngeri ketika tubuh Hak Cin Hosiang terpotong dua.
"Crat-bluk!"
Begitu cepatnya kejadian ini. Darah menyembur dari potongan tubuh dan kakek itu langsung roboh.
Golok menyambar bagian pinggang dan langsung terpotong. Semuanya terjadi dalam sekejap dan Teng Bu
pucat pasi, yang lain berteriak dan mundur. Dan ketika pemuda itu mengeluh tertahan dan menutupi muka,
tewasnya gurunya benar-benar luar biasa maka tiba-tiba tokoh-tokoh Hoa-san dan Bu-tong berteriak, sadar.
"Siluman Akherat, kau keji dan kejam!"
Teng Bu jatuh terduduk. Di saat semua orang menerjang dan membentak kawannya ini maka pemuda
itu menutupi muka. Dia ngeri melihat kematian gurunya itu, juga kaget dan marah demikian ganasnya si
banci ini. Selama ini belum pernah ditunjukkan kekejaman seperti itu, apalagi yang dibunuh adalah gurunya.
Dan karena pemuda ini jelek-jelek masih memiliki watak baik, dia belumlah sehitam yang disangka orang
maka Teng Bu tiba-tiba menggeram dan meloncat bangun.
"Kiem-twako, serahkan golokku!"
Si banci terkekeh. Dia menyambut dan menggerakkan senjata Teng Bu untuk menangkis hujan
serangan. Tang-ting-tang-ting suara benturan disusul berteriaknya orang-orang itu. Baik tosu Hoa-san
maupun hwesio Bu-tong terpental mundur. Dan ketika Teng Bu meloncat dan berteriak meminta senjatanya,
si banci mengira pemuda itu akan membantunya maka dia terkekeh.
"Hi-hik, bagus. Sudah tiba saatnya untuk menghajar orang-orang ini, Teng Bu. Mari berpesta dan
terima kembali golokmu!"
Teng Bu menangkap dan menerima. Akan tetapi begitu membentak sekonyong-konyong yang
diserang adalah temannya itu.
"Jahanam keparat, kau membunuh guruku!"
Bukan hanya si banci yang terkejut, orang-orang lain, baik dari Bu-tong maupun Hoa-san terbelalak.
Sepasang golok di tangan pemuda itu menyambar si banci, langsung membabat leher dan menusuk perut.
Dan karena jarak demikian dekat sementara si banci juga tak menduga, serangan ini amat cepat maka si
banci tak sempat berkelit dan hanya mulutnya mengeluarkan seruan tertahan.
"Ehhh!"
Dan leher maupun perut itu tercoblos. Teng Bu merasa sepasang goloknya jelas mengenai sasaran,
golok di tangan kanan bahkan terus membabat kencang, leher itu putus dan terpisah dari tubuhnya, terangkat
naik. Tapi ketika leher itu turun lagi dan melekat di tempatnya seperti semula, utuh, maka pedang yang
mencoblos perutpun rasanya ringan karena tembus dan tak membawa hasil apa-apa. Dan Teng Bu yang
merasa langsung menjadi kaget bukan main, apalagi ketika kepala itu bergerak dan terkekeh.
"Hi-hik, kau mau membunuhku, Teng Bu? Kau tak ingat segala budi dan kebaikanku? Aih, sayang.
Kau berkhianat. Baiklah terima ini dan lihat pembalasanku!" tangan bergerak dan kipas berkelebat terbuka.
Kejadian itu membuat Teng Bu tertegun dan semua orangpun melotot. Mereka seakan melihat sulap atau
sihir, tak percaya. Tapi begitu kipas digerakkan ke kiri dan menyambar lengan Teng Bu maka pemuda itu
menjerit dan roboh dengan tangan putus.
"Crak!"
Kipas bagaikan mata pedang saja. Potongan lengan terlempar dan pemuda itu terguling, darah
memuncrat basah. Dan ketika pemuda ini bergulingan mengeluh sakit, si banci bergerak dan mengejar
tertawa maka kipas bergerak lagi dan lutut Teng Bu sebelah kiri putus.
"Aduh!"
Jeritan ini menyadarkan tokoh-tokoh tua. Mereka yang tadi membenci dan marah kepada Teng Bu
mendadak berobah. Pemuda itu telah memperlihatkan sikap balik dan memusuhi si banci, hal ini
menimbulkan simpati. Maka ketika mereka bergerak dan membentak maju maka dari kanan kiri tokoh-tokoh
Hoa-san dan Bu-tong melindungi pemuda itu.
"Siluman Akherat, kau benar-benar tak berbelas kasihan. Berhenti dan kubunuh kau!"Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
270 Hujan senjata menyambar si banci ini. Enam belas orang bergerak amat cepat dan senjata maupun
pukulan bertubi-tubi. Teng Bu mengeluh dan roboh di sana. Tapi ketika si banci terkekeh dan membalik, tak
mengelak atau menangkis serangan itu maka tokoh Bu-tong maupun Hoa-san merasa seperti yang dirasakan
Teng Bu, yakni senjata tepat mengenai tubuh namun bergerak ringan dan terus menyambar bagai membabat
sepotong asap.
"Cring-crangg!"
Senjata bahkan berbenturan sendiri. Baik tongkat Hoa-san maupun toya Bu-tong memercikkan bunga
api. Hal itu dikarenakan tenaga pemiliknya benar-benar dahsyat, menyambar dengan kekuatan penuh dan
mereka yang memegang pedang atau golok juga sama. Senjata masing-masing bahkan terpental, ada bagian
yang rusak. Dan ketika mereka terbelalak dan berseru keras maka saat itulah si banci membalas dan tubuh
yang seperti asap ini mendadak berputar dan kipas serta kuku jari menyambar tokoh-tokoh tua ini.
"Robohlah!"
Enam orang menjerit. Kipas dan kuku jari tak dapat dikelit, empat orang tosu berteriak dan roboh
dengan dada robek. Kuku jari itu ternyata menggurat demikian dalam hingga mirip pisau belati saja,
merobek dan memotong tulang dada mereka bagai orang membelek dada ayam. Dan ketika empat tosu ini
terbanting sementara dua yang lain dari Bu-tong, terjerembab tanpa suara karena kepala mereka pecah
disambar kipas maka yang lain menjadi panik dan gentar.
"Iblis, siluman ini benar-benar iblls!"
Namun si banci menjawab dengan kekeh ringan. Ia bergerak dan menyambar lagi dan dua orang
kembali roboh. Mereka menusuk dan menghantam tubuh itu namun si banci tak apa-apa, senjata atau
pukulan selalu tembus mengenai tubuhnya, persis bagaikan orang menusuk asap. Dan karena delapan dari
enam belas orang sudah tewas dengan begitu cepat, ditambah dengan Hak Cin Hosiang yang roboh lebih
dulu maka sisa delapan yang lain menjadi pucat dan tiba-tiba mundur melarikan diri.
"Hi-hik, pengecut. Mana kegagahan kalian kalau begini. Eh, nanti dulu, kerbau-kerbau dungu. Kalian
mencari aku dan sekarang bertemu. Tunggu dan terima ini sebagai oleh-oleh!"
Delapan jeritan terdengar. Benda-benda hitam seperti paku bernyawa menancap di tubuh tokoh-tokoh
Tapak Tangan Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu, semua terbanting dan roboh. Dan ketika si banci mebalik dan tertawa maka Teng Bu ditendangnya
mencelat.
"Hm, kau. Sekarangpun tiada guna, Teng Bu. Berani kau berkhianat. Rasakan hukumanmu dan lihat
kau menjerit kepada siapa!" tujuh goresan kuku menggurat tubuh pemuda ini, menggeliat dan sejenak Teng
Bu mengeluarkan keluhan namun diam lagi. Pemuda itu sebenarnya pingsan setelah dikutungi sebelah
tangan dan kakinya. Tapi begitu si banci lenyap dan berkelebat pergi maka pemuda ini sadar dan pertama
kali yang dilakukan adalah menjerit. Tubuhnya seperti dibakar dan dipanggang dari dalam.
"Aduh, panas tobat!"
Pemuda itu bergulingan. Teng Bu meloncat akan tetapi mengaduh. Satu kakinya yang buntung baru
disadari. Dan ketika pemuda itu berteriak-teriak dan pengawal berdatangan, taman di gedung Gubernur itu
segera ribut maka seseorang di sana juga mengeluh dan merangkak bangun.
"Cui Ling, kau di mana? Kau masih pingsan?"
Jawahan lain terdengar di kiri. Sesosok bayangan lagi merintih dan merangkak, itulah Cui Ling yang
tadi dipukul pingsan seorang paman gurunya. Gadis ini dirobohkan agar tak ikut campur, lupa atau dilupakan
si banci itu hingga selamat. Gadis inilah satu-satunya yang lolos dari kekejaman si banci. Maka ketika gadis
itu terhuyung berdiri goyang, mata dan ingatannya belum begitu baik maka seruan atau panggilan di
dekatnya itu didengar. Dan gadis inipun terkejut melihat paman gurunya itu, orang yang tadi memukulnya
roboh.
"Tai Tee susiok!"
Ternyata tosu itu adalah Tai Tee Cinjin. Tosu ini mengangguk dan menahan nyeri serta sakit yang
hebat. Paku beracun menancap di siku kanannya. Dan ketika Cui Ling berseru dan berlutut di dekatnya, tosu
ini menggigit bibir maka Tai Tee Cinjin bangkit duduk menuding gemetar.
"Jahanam itu telah pergi, aku selamat. Tapi paku ini menancap di sikuku, Cui Ling. Ambilkan golokKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
271 dan bacok lenganku!"
"Apa?" gadis itu terkejut. "Membacok lenganmu, susiok? Maksudmu dibikin cacad?"
"Benar, racun sudah mulai naik ke atas. Paku itu bakal menghentikan denyut jantungku. Cepat, ambil
dan bacok lenganku, Cui Ling, dan lihat pengawal Gubernur mulai berdatangan!"
"Tidak..... tidak, aku tak bisa. Ah, aku tak dapat melakukannya, susiok. Itu perbuatan kejam. Aku tak
dapat melakukannya!"
Bodoh, kalau begitu biar aku yang melakukannya sendiri. Cepat, pengawal mulai tiba!"
Gadis ini mengguguk. Cui Ling ngeri bahwa harus membacok lengan susioknya itu. Ia tak tahu bahwa
muka susioknya sudah berubah gelap. Racun mulai menjalar naik dan keadaan tosu ini berbahaya. Tak aneh
kalau Tai Tee Cinjin ingin memotong lengannya sendiri, itulah satu-satunya cara untuk tetap hidup dan suara
pengawal mulai berdatangan. Banjir darah dan pertempuran di situ akan segera diketahui. Dan ketika gadis
ini masih mengguguk dan bingung memenuhi permintaan susioknya, sang paman guru menggeliat maka Tai
Tee Cinjin membentak dengan suara berang.
"Cui Ling, kau mau menyelamatkan susiokmu atau tidak. Cepat lakukan atau ambil golok itu, pinto
melakukannya sendiri!"
Gadis ini tak tahan. Tiba-tiba ia mendengar jerit lain dan itulah teriakan Teng Bu. Pemuda yang
kutung sebelah kaki dan tangannya itu meraung. Tubuhnya tiba-tiba melepuh. Dan ketika Tai Tee Cinjin
juga terbelalak dan pengawal ikut terkejut, Teng Bu bergulingan maka pemuda itu mencengkeram dan
memukul-mukul dadanya sendiri.
"Aduh, keparat. Jahanam kau, orang she Mo. Jahanam kau. Oohh lebih baik mati daripada begini......
aduh!"
Cui Ling melotot. Teng Bu mencengkeram tubuhnya dan terdengar suara robek, bukan baju
melainkan kulit tubuh pemuda itu. Panas yang hebat membakar dari dalam, kulit pemuda ini melepuh dan
akhirnya menggelembung. Dan ketika bagian inilah yang pecah dan robek, Teng Bu menjerit dan masih
mencabik-cabik maka pemuda itu bergulingan dan akhirnya melolong-lolong. Rasa panas disusul rasa gatal,
begitu hebat hingga tak lega kalau tidak digaruk. Tapi karena setiap garukan membuat kulit pecah, rasa gatal
berada di dalam daging maka Teng Bu mencobloskan tangannya dan daging itu terkuak, disusul oleh jeritan
dan pekik para pengawal. Mereka ngeri melihat ini. Teng Bu seakan gila. Dan ketika pemuda itu terus
bergulingan sambil mencengkeram dan merobek, panas dan gatal benar-benar menyiksanya akhirnya orang
menutup mata ketika pemuda itu mencobloskan jarinya ke perut.
Kini bukan hanya lengan atau leher saja yang gatal, perut bagian dalampun juga demikian. Usus
pemuda ini seakan-akan digigiti semut api. Itulah racun amat ganas dari dari kuku si banci, Ang-su-giat atau
Racun Semut Api yang hanya terdapat di daerah utara. Semut ini besarnya seibu jari manusia biasa dan
sekali menggigit rasa panas dan gatal tak akan lenyap sebulan. Orang tak mungkin tahan digigit semut ini,
seekor saja sudah menyiksa berminggu-minggu. Dan karena racun yang terdapat di kuku di banci itu bukan
hanya dari seekor dua ekor Ang-su-giat melainkan beribu-ribu ekor, diambil sarinya dan dahsyatnya bukan
main maka pemuda sekuat Teng Bupun tak mungkin tahan. Rasa panas mula-mula membakar dari dalam,
lalu disusul rasa gatal yang membuatnya seperti gila. Dan ketika semua itu terus menjalar dan memenuhi
seluruh tubuhnya, paling dahsyat ketika berada di dalam daging atau bagian dalam tubuh maka ketika terasa
di usus pemuda ini berada dalam puncak kegilaannya. Teng Bu merobek dan mencoblos perutnya sendiri.
Pemuda ini seakan hendak mengambil inti dari rasa gatal itu. Tapi ketika ia mencoblos dan merobek
perutnya maka bersamaan dengan itu iapun roboh dan sebagian usus atau jerohannya terdapat di tangan,
berlimpah kotoran. Pemuda ini mandi darah dan keadaannya benar-benar mengerikan. Siapapun tak akan
tahan melihat keadaan murid Bu-tong ini. Teng Bu akhirnya tewas dan roboh dengan tubuh rusak. Racun
dari Semut Api itu masih menggigitinya. Biarpun tewas namun racun ini terus bekerja, kulit dan tubuh
pemuda itu terus melepuh. Dan ketika bengkak dan akhirnya pecah, ledakan kecil terdengar di sana-sini
maka tubuh pemuda itu mencair dan bau amat busuk membuat semua orang menutupi hidungnya.
Pengawal dan pembantu Gubernur telah datang. Tak kurang dari seratus orang menonton itu. Dan
ketika tulang maupun bagian lain dari pemuda itu juga hancur dan leleh, masuk ke tanah maka Cui Ling
muntah-muntah dan saat itulah semua orang menoleh dan baru sadar bahwa masih ada orang lain di situ.
"Heii, rupanya gadis ini yang membunuh. Tangkap!" Namun saat itu bergerak seorang pemuda. Teng
Seng, yang sadar dan telah berdiri tiba-tiba melihat Cui Ling. Kekasihnya pucat dan ngeri memandang
seonggok mayat, tak tahu bahwa itulah adiknya, yang hancur dan rusak oleh kekejaman si banci. Dan ketikaKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
272 Teng Seng terhuyung dan berseru kepada semua orang maka pemuda itu mencegah mengangkat tangannya
tinggi-tinggi.
"Tahan, jangan serang. Gadis itu orang sendiri. Mana adikku Teng Bu dan kalian mundurlah!"
Namun geraman terdengar di belakang Cui Ling. Tai Tee Cinjin, yang sadar dan pucat melihat
tewasnya Teng Bu tiba-tiba meloncat mengerahkan seluruh tenaga. Kebetulan di dekatnya ada seorang
pengawal, yang siap dan akan membacok dengan goloknya. Maka begitu ia menghantam dan menyerang
orang ini, yang tentu saja berteriak dan menggerakkan goloknya maka tepat sekali golok itu membabat atas
sikunya.
"Crakk!"
Tosu itu roboh dan Teng Seng berteriak marah. Lengan tosu itu putus dan pemuda ini berjalan
terhuyung, merampas dan menendang pengawal itu, meskipun diri sendiri terjungkal. Dan ketika Cui Ling
menjerit dan menubruk susioknya, semua telah terjadi maka gadis itu berseru kepada kekasihnya,
mengguguk.
"Seng-ko, jangan salahkan pembantumu. Semua ini disengaja. Tai Tee susiok memang ingin
memotong lengannya sendiri untuk menyelamatkan jiwa. Ia terkena paku beracun!"
Jilid XIX
TENG SENG terbelalak. Pemuda ini tak tahu apa yang terjadi pada susiok kekasihnya itu tapi Tai Tee
Cinjin tiba-tiba tersenyum. Tosu ini puas telah memotong lengannya sendiri. Maka ketika pemuda itu
terbelalak sementara Cui Ling mengguguk menutupi muka maka tosu ini terhuyung menotok pangkal
lengannya, gemetar membebat luka.
"Sudahlah, tak ada yang perlu ditangisi lagi. Ayo pergi dan kita tinggalkan tempat ini, Cui Ling. Bantu
aku menutup luka.
"Nanti dulu!" pemuda itu melompat. "Mana adikku Teng Bu, locianpwe, dan.... dan mana siluman
jahat itu!"
"Ia telah pergi," Cui Ling mendahului dan menubruk pemuda ini, tersedu-sedu. "Sedang adikmu....
adikmu.... ah, Teng Bu telah tewas, Seng-ko. Mayat itulah adikmu!"
"Apa?"
"Benar, jahanam itu mengutunginya. Teng Bu disiksa. Ia...... ia...... ahh!" Cui Ling terkejut ketika
kekasihnya tiba-tiba meronta, memekik dan melepaskan diri lalu menubruk mayat Teng Bu yang sudah tidak
keruan. Teng Seng tiba-tiba menjadi histeris sementara Cui Ling hampir terjengkang. Gadis itu didorong dan
dilempar kekasihnya. Dan ketika gadis ini terkejut dan menangis menutupi muka maka Teng Seng
menggerung-gerung dan memukul-mukul tanah di mana mayat adiknya mencair dan leleh memasuki bumi.
"Keparat, jahanam keparat. Ah, terkutuk kau, orang she Mo. Bedebah binatang kau. Jahanam, berani
kau membuat adikku seperti ini!"
Semua ngeri. Teng Seng bagai gila memaki-maki dan menjerit, kematian adiknya memang
mengerikan. Tapi ketika pemuda itu terbawa luapan emosinya dan menghantam atau memukul-mukul tanah,
semua terbelalak maka Tai Tee Cinjin melompat dan menyambar lengan Cui Ling.
"Tak ada gunanya di sini lagi, kita harus pergi. Bantu aku dan kita pulang Hoa-san."
Gadis itu tersedu. Kalau saja susioknya ini tidak terluka mungkin ia tak mau pergi. Teng Seng bagai
histeris dan kalap di sana. Tapi karena susioknya luka dan darah itu masih mengalir di balik siku maka Cui
Ling membiarkan dirinya diseret dan sementara orang memperhatikan pemuda itu maka iapun dibawa
menghilang dari taman itu.
Kejadian di gedung Gubernur ini memang menggemparkan. Sepak terjang si banci itu mengejutkan,
bukan saja para pengawal melainkan tokoh-tokoh Bu-tong dan Hoa-san. Dan ketika hari itu juga Tai Tee
Cinjin melapor pulang, Cui Ling tersedu-sedu membenarkan susioknya maka Bu-tong dan Hoa-san tentu
saja marah dan gusar.
Persiapan dilakukan. Baik Bu-tong maupun Hoa-san tak akan tinggal diam, Ketuanya sendiri siapKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
273 turun gunung. Dan ketika beberapa hari kemudian ketua dan wakil ketua berangkat, masih diperkuat oleh
belasan murid utama maka si banci atau Siluman Akherat itu siap dimintai tanggung jawabnya.
Tapi takutkah tokoh luar biasa itu? Apakah ia menyembunyikan diri dan bakal menghindar? Tidak.
Justeru dicari dan hendak dimintai tanggung jawabnya laki-laki aneh ini semakin menggila, karena setelah ia
menggemparkan tempat Gubernur justeru ia datang dan membuat onar di kota raja!
-0- Lima perwira tinggi di istana yang bertugas menjaga keamanan kota raja dibuat terkejut. Mula-mula
adalah si botak Jing-ji-mi-to (Buddha Gemuk Tangan Seribu), seorang tokoh kawakan yang disegani dan
ditakuti lawan. Dia ini adalah bekas suheng dari ketua Siauw-cing-pai yang tidak cocok dengan saudaranya,
suka bertindak sendiri dan karena suka makanan berjiwa maka tak diperkenankan tinggal di Siauw-cing-pai,
pergi dan akhirnya merantau dan kehebatan sepasang lengannya yang mampu berubah menjadi seribu tangan
membuat dia dijuluki Jing-ji-mi-to. Perawakannya gemuk pendek dan karena potongannya seperti hwesio
maka dipanggil seperti itu. Tokoh ini amat lihai dan karena suatu hari kebetulan dia menolong So-thaikam
dari keroyokan penjahat, waktu itu thaikam itu sedang mengadakan peninjauan keliling maka atas jasanya itu
tokoh gemuk pendek ini dibawa ke kota raja. Dan sejak itu hwesio botak ini mengalami kehidupan
menyenangkan.
So-thaikam adalah orang pandai yang pintar melihat orang kosen. Dengan kedudukan dan hartanya dia
mampu membeli orang-orang lihai macam apapun, tentu saja mereka yang termasuk seperti Jing-ji-mi-to ini,
yang haus kesenangan dan kenikmatan duniawi. Dan ketika tokoh itu mulai tinggal di istana khususnya di
gedung So-thaikam maka pria gemuk pendek ini dihormati orang sebagaimana orang menghormati Sothaikam.
Akan tetapi tidak semua orang hormati tokoh ini. Beberapa orang pangeran, yang mulai melihat sepak
terjang kakek ini termasuk kesukaannya menggoda para selir diam-diam tak senang kepada hwesio ini.
Kakek itu memang berpotongan hwesio akan tetapi batiniahnya kotor. Lahiriahnya saja mengenakan jubah
akan tetapi dalamnya busuk. Gara-gara inilah dia dimusuhi saudara-saudaranya sendiri di Siauw-cing-pai,
tempat di mana dia harusnya mendapat kedudukan tinggi. Akan tetapi karena kepandaiannya hebat dan
hanya dengan keroyokan saja dia dapat dikalahkan, ketua Siauw-cing-pai masih bukan tandingannya maka
dia diusir dan kesepakatan hwesio-hwesio Siauw-cing-pai membuatnya tak berdaya, pergi dan tak mungkin
tinggal di partai itu kalau banyak orang tak suka kepadanya. Dan ketika dia kebetulan menolong So-thaikam
dan kini diangkat sebagai pengawal tingkat atas, jajaran paling tinggi bersama empat orang lain yang ada di
istana maka hwesio ini hidup mewah dan jubahnya yang dulu dari kain sederhana kini terbuat dari sutera
halus yang mengkilap dan mahal!
Namun semua ini tidak cukup bagi Jing-ji-mi-to. Harta dan kedudukan saja tidak cukup. Maka ketika
dia sudah resmi di istana dan keluar masuk gedung bagai rumah sendiri maka pertemuannya dengan selirselir cantik di istana menggugah hatinya yang buruk untuk segera main mata. Dan hwesio itu segera tergilaglia pada selir bernama Liu Nio, wanita yang tinggal di gedung Uh-ongya (Pangeran Uh) di mana dengan
kepandaiannya yang tinggi tentu saja mudah baginya menyelinap. Hwesio itu masuk dan mengganggu selir
ini, menggosok kedua tangannya dan dibacalah mantra untuk merobohkan hati orang. Jing-ji-mi-to memiliki
ilmu semacam guna-guna pengasih yang dipergunakannya apabila wanita itu kira-kira tak mau kepadanya,
sukar ditundukkan karena dia seorang laki-laki botak yang usianya limapuluhan pula. Maka ketika suatu
malam dia berhasil menundukkah wanita ini, memiliki selir itu dan hari-hari berikut digunakannya untuk
memuaskan diri maka lama-kelamaan perbuatannya inipun diketahui. Dan betapa marahnya Uh-ongya.
So-thaikam, yang juga tak menyangka hwesio itu memiliki berahi dibuat terkejut dan terbelalak. Dia
tak mengira bahwa seorang berpakaian pendeta masih doyan paras cantik. Ini di luar dugaan! Akan tetapi
ketika dia cepat-cepat menemui Uh-ongya dan meminta maaf atas perbuatan hwesio itu, membujuk bahwa
selir yang lain masih banyak maka hwesio ini dibiarkan dan Liu Nio malah diberikan sebagai isterinya. Akan
tetapi Jing-ji-mi-to yang pada dasarnya memang hanya ingin melampiaskan berahi tertawa terbahak-bahak
mendengar kata-kata So-thaikam, majikannya.
"Apa, aku disuruh kawin? Mengambil isteri? Ha-ha, ditambah sekantung harta karunpun aku tak mau,
taijin. Perkawinan hanya mengikat. Tidak..... tidak, aku tak mau. Aku hanya ingin main-main saja dan jangan
suruh kawin!"
"Hm, kau melanggar wilayah rumah tangga orang lain. Uh-ongya memaafkannya sudah bagus, losuhu, apalagi malah memberikannya sebagai isterimu. Kau harus bertanggung jawab, selir itu harus kau
nikah!" So-thaikam mengerutkan kening.Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
274 "Tidak," hwesio ini menggeleng. Aku tak mau, taijin. Aku hanya sekedar ingin bersenang-senang.
Kalau kau memaksa aku akan pergi, atau boleh Uh-ongya itu menghukumku. Biar dia marah!"
Thaikam ini terkejut. Sikap dan kata-kata si hwesio menyadarkannya bahwa orang-orang kang-ouw
seperti ini tak dapat dipaksa. Sekali memaksa berarti musuh. Dan karena dia membutuhkan orang-orang
seperti ini dan teringat Eng-seng-thiong (Kutu Peniru Suara) maka pembesar ini mengangguk-angguk
tersenyum berkata,
"Baiklah, kau membuat aku repot. Hm, di sini ada seorang yang dimintai tolong Uh-ongya kalau dia
merasa marah, lo-suhu. Apakah sanggup kau menghadapinya kalau kau menolak ini. Perbuatanmu bisa
dianggapnya menghina."
"Ha-ha, kebetulan. Aku juga ingin kenal jago-jago istana dan mengukur kepandaian mereka. Tidakkah
hanya tong-tong kosong belaka yang makan gaji buta!"
Sang thaikam mengangguk-angguk. Sudah diketahuinya hwesio ini lihai, akan tetapi karena di istana
juga terdapat empat orang lain yang lihai dan masing-masing bersembunyi sebagai pengawal rahasia,
kebetulan dia juga ingin mencoba hwesio ini apakah mampu menghadapi itu maka dibiarkannya Jing-ji-mito menolak dan ingin dilihatnya bagaimana reaksi Uh-ongya.
Benar saja, pangeran itu marah bukan main. Dia terhina berat dan ditemuinya So-thaikam, bertanya
apakah pembesar itu tak mampu mendidik anak buah dan menghukum. Tapi ketika thaikam ini tersenyum
dan berkata tenang maka menjawab,
"Aku sudah lepas tangan. Ini tanggung jawab pribadi hwesio itu. Kalau kau mau menghukumnya
silakan hukum, ongya. Aku orang luar."
"Taijin cuci tangan?"
"Begitulah, ongya, aku sudah menasehatinya, gagal. Silakan kau melampiaskan marahmu dan aku tak
akan membela. Jing-ji-mi-to memang salah."
Uh-ongya kembali dengan muka merah padam. Kalau So-thaikam sudah bicara seperti itu maka dia
bebas bertindak. Akan dihajarnya hwesio itu, akan dicincang dan dibunuhnya. Dan ketika dia menghubungi
seorang kakek bermata kecil, kurus dan sering berkejap-kejap maka inilah Eng-seng-thiong si Kutu Peniru
Suara, tokoh bayangan istana yang tak akan muncul kalau tidak untuk sesuatu yang penting.
"Heh-heh, ongya ada urusan apa, Uh, aku masih mengantuk. Heh-heh, silakan bicara dan langsung
pada pokok persoalan, ongya. Aku masih ingin tidur!"
"Aku ingin kau menangkap seseorang. Bawa dan seret orang itu ke mari, Eng-seng-thiong.
Lumpuhkan dia dan aku akan menyayat-nyayat tubuhnya!"
"Heh-heh, siapa orang itu, di mana. Dan apakah imbalannya cukup."
"Ini untukmu!" si pangeran melempar sepundi-pundi uang, gemerincing. "Bawa dan tangkap orang
itu, Eng-seng-thiong. Dia di tempat So-thaikam!"
"So-thaikam?" si kurus terkejut, mata yang berkejap tiba-tiba berhenti. "Siapa orangnya?"
"Jing-ji-mi-to!"
"Ah!" si kakek terkejut dan mata membelalak lebar, berkejap-kejap lagi. "Ada apa dengan keledai
gundul itu? Diakah yang harus kutangkap? Hm, tidak cukup sekian, ongya. Sepundi uang masi kurang. Hehheh, ini pekerjaan berat!"
"Kau tak sanggup?"
"Bukan tak sanggup, tapi nanti dulu. Ongkos ini kurang dan tak cukup sekian saja. Heh-heh, Jing-jimi-to bukan lawan yang enteng, ongya. Ditambah sepuluh kalipun barangkali kurang. Ah, kau terlalu
menganggap enteng!"
Uh-ongya terkejut. Dia sering minta tolong kakek ini dan jarang ditolak. Kalau kini tiba-tiba ditolak
tentu hwesio itu benar-benar hebat. Akan tetapi karena dia sudah terlanjur marah dan apapun akan dilakukan
demi menghajar hwesio itu maka sepuluh pundi-pundi uang dilemparnya lagi.
"Baik, kutambah ini, Eng-seng-thiong, dan cepat laksanakan tugas. Kalau berhasil kutambah sepuluhKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
275 lagi!"
Mata yang berkejap dan seperti orang ngantuk itu mendadak terbuka lebar. Kakek ini tertawa dan
menyambut sepuluh pundi-pundi itu, meremas dan yakin isinya dan mengangguk-angguk. Itulah
pekerjaannya selain sebagai penjaga istana, menolong dan mendapat upah kalau ada pangeran atau pembesar
tinggi membutuhkan tenaganya. Eng-seng-thiong memang biasa nyambi! Dan ketika ia terkekeh dan
berkelebat lenyap maka kakek itupun berjanji akan membawa Jing-ji-mi-to ke situ.
"Baik, jangan khawatir, ongya. Kutangkap dan kuseret keledai gundul itu ke mari!"
Uh-ongya bersinar-sinar. Dia gembira membayangkan hwesio itu ditangkap. Akan dihajar dan
dibunuhnya nanti, oleh tangannya sendiri. Dan ketika dia puas dan menunggu di situ, berdebar maka Engseng-thiong menemui dan berhadapan dengan hwesio Siauw-cing-pai itu. Dan hwesio ini tentu saja terkejut.
"Heh-heh, selamat bertemu. Ada rejeki untuk kita berdua, Jing-ji-mi-to. Maukah kau berbagi dan
Tapak Tangan Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sedikit mengalah."
"Kau...?" hwesio ini terbelalak, tentu saja kenal. "Kau di sini, Kutu Busuk? Bikin apa?"
"Heh-heh, aku sudah lama di sini, dua tahun lebih dulu. Kedatanganmu kuketahui, Jing-ji-mi-to, tapi
kau tak tahu aku. Heh-heh, kita sama-sama pembantu di sini, tapi kau membuat repot aku!"
"Repot? Tentang apa?"
"Ha-ha, lihat ini dulu. Maukah berbagi..... cringg!" si kurus mengeluarkan sepuluh pundi-pundi uang,
mendencing dan membenturkannya satu sama lain dan Jing-ji-mi-to tentu saja terkejut. Wajah bulat itu
bersinar, mata seketika rakus lahap memandang. Tapi ketika lawan terkekeh-kekeh dan menyimpan kembali
uangnya itu, si hwesio menyeringai maka si kurus berkata lagi menyambung, "Aku dapat rejeki, tapi juga
sedikit repot. Sekarang maukah kau membantuku dan kita sama-sama mendapatkan lima pundi uang emas
ini agar kerepotanku terbuang."
"Hm, repot apa!" Jing-ji-mi-to menjadi tak sabar, sekaligus curiga. "Kalau kau menyuruh aku yang
macam-macam tentu saja aku tak sudi, Eng-seng-thiong. Orang macam kau biasanya licik dan kurang ajar.
Katakanlah, bantuan apa yang kau minta dan bagaimana demikian mudah kau berbagi rejeki. Apakah uang
itu hasil rampokan!"
"Ha-ha-heh-heh, terlalu sekali. Kau curiga dan tak pernah ramah, Jing-ji-mi-to. Kenapa harus
merampok kalau secara baik-baik saja aku dapat. Heh, tidak. Aku mendapatkan ini secara halal tapi efek
samping dari ini membuat aku repot."
"Tak usah banyak cakap. Bicara dan langsung saja pada sasaran, Kutu Busuk. Tak usah banyak mulut
dan melingkar-lingkar. Ayo apa maumu dan kenapa demikian mudah berbagi rejeki. Kau pasti memiliki akal
licik!"
Si Kutu Peniru Suara terbahak-bahak. Ia demikian geli oleh bentakan Jing-ji-mi-to hingga tubuhnya
bergoyang-goyang. Rambutnya yang lurus gimbal dan tampak dekil itu berkibas-kibas, tawanya lepas tapi
tiba-tiba dari atas kepalanya berhamburan ribuan binatang kecil menyambar Jing-ji-mi-to. Itulah kutu yang
bersarang di rambutnya, ribuan dan terbang seakan terkejut, atau mungkin disengaja agar hwesio ini roboh.
Kutu-kutu itu bukan kutu sembarang melainkan kutu beracun, sekali gigit akan meninggalkan bisanya
sampai orang berguling-guling oleh sakit dan gatal. Tapi ketika Jing-ji-mi-to membentak dan mengebutkan
ujung jubahnya maka ribuan kutu hitam itu terpental dan kembali lenyap ke kepala Eng-seng-thiong itu.
"Heh-heh-ha-ha! Kau membuatku terpingkal-pingkal dan mengejutkan anak-anakku, Jing-ji-mi-to.
Kenapa sewot dan tidak sabaran. Baiklah, blak-blakan saja aku ingin membawamu ke tempat Uh-ongya.
Biarkanlah pangeran itu menggebukimu dan lima pundi-pundi uang ini untukmu. Siap?"
Si hwesio terbelalak. "Apa?" serunya. "Kau..... kau suruhan Uh-ongya itu? Kau pembantunya?"
"Hm, bukan pembantu. melainkan sewaan. Heh-heh, aku di sini sebagai pengawal bayangan kaisar,
Jing-ji-mi-to, bukan pembantu Uh-ongya. Kalau dia menyuruhku sekarang maka ini karena ada imbalan.
Nah, maukah kau ke sana sebentar dan uang ini untuk kita berdua. Atau. kalau kau menolak maka ini
bagianku semua dan kau tak mendapatkan apa-apa. Pikir dan renungkan itu baik-baik dan apa artinya
gebukan pageran itu pada tubuhmu yang kuat!"
Jing-ji-mi-to bersinar-sinar. Tiba-tiba ia tersenyun dan mengangguk-angguk namun kedua tangannya
berkerotokan. Melihat uang sebanyak itu tentu saja dia menjadi bernafsu. Siapa tidak mengilar oleh sepuluhKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
276 kantung uang emas. Tapi karena lawan adalah tokoh setingkat dan empat kali mereka pernah bertanding, tak
ada kalah atau menang maka hwesio ini tertawa dan tiba-tiba berseru,
"Baiklah, aku menurut kehendakmu Kutu Busuk. Rasanya boleh juga dipijati pangeran itu dan aku
mendapatkan kantung uang emas. Ha-ha, ayo berangkat!"
Eng-seng-thiong terkekeh. Ia membalik dan melompat pergi begitu lawan berkata setuju. Demikian
gampangnya hwesio ini dijinakkan. Tapi ketika ia memberikan punggung dan saat itulah dua tangan si
hwesio berkelebat maka tahu-tahu sepuluh kantung uang itu berpindah tangan. Hwesio ini memang berjuluk
si Tangan Seribu!
"Ha-ha, rasanya pikiranku berubah, Eng-seng-thiong. Enggan rasanya bertemu pangeran itu. Biarlah
lain kali saja dan selamat berpisah!"
Si Kutu Peniru Suara terkejut. Mereka bergerak demikian cepat hingga tahu-tahu berada di halaman
gedung Uh-ongya. Di sini si hwesio membatalkan perjanjian dan melompat pergi, menghilang ke lain arah.
Dan ketika ia berhenti dan melihat hwesio itu lenyap melompati pagar tinggi maka kakek ini tersenyum dan
mengibas-ngibaskan rambutnya.
"Heh-heh, tolol dogol. Kalau begitu rejekiku kumakan sendirian, Jing-ji-mi-to, jangan salahkan kalau
kau gigit jari!" Hwesio itu terkejut. Ia telah melewati tembok pagar ketika tiba-tiba bunyi mendenging
menyambar belakangnya. Ribuan kutu itu, yang lagi-lagi dilepas tiba-tiba menyerangnya untuk kedua kali. Ia
membalik dan mendengus, mengebutkan ujung baju hingga ribuan hewan kecil itu terlempar kembali ke arah
tuannya. Dan ketika ia tertawa dan melanjutkan larinya lagi, mengejek maka kakek kurus itu terhuyung dan
menerima ribuan kutunya yang dikibas si hwesio.
Sejenak laki-laki ini kagum tapi dia tertawa menyeringai. Diam-diam ia menjentikkan seekor kutu
betinanya di lengan baju Jing-ji-mi-to. Kutu itu akan bertelur dan cepat sekali berkembang biak. Ini semacam
senjata biologi, senjata kuman! Maka ketika ia terkekeh dan kembali ke gedung Uh-ongya maka di sana
Jing-ji-mi-to gembira mencari tempat sepi dan langsung membuka sepuluh kantung uang emas itu.
Akan tetapi betapa kagetnya hwesio ini melihat betapa uang di dalam kantung berubah. Bukan lagi
uang emas melainkan potongan seng, jumlahnya ribuan dan kalau digerakkan juga gemerincing Dan ketika
ia melotot merasa tertipu maka saat itulah ia merasa gatal dan sekejap kemudian ribuan benda kecil merayap
di lengan bajunya itu. Kutu berbisa!
"Aih, keparat jahanam!" hwesio berteriak. "Bedebah kau, Eng-seng-thiong. Kutu Busuk dan jahat kau.
Terkutuk!" Jing-ji-mi-to kaget melepas jubahnya tiba-tiba membakarnya. Tak ada waktu lagi untuk
mengebut kutu-kutu itu jalan satu-satunya harus bergerak cepat. Ia melolos jubahnya dan tinggal bercelana
saja, perutnya yang gemuk berguncang-guncang. Dan ketika ia membentak menepukkan telapaknya pada
dinding, lelatu memuncrat dan menyambar jubah itu maka ribuan kutu terbang menyelamatkan diri.
Hwesio ini marah bukan main dan mencak-mencak. Ia tertipu, merasa dipermainkan. Dan ketika
dengan perut telanjang ia kembali ke gedung Uh-ongya, berkelebat dan menyambar datang maka dilihatnya
lawannya itu sedang di ruang dalam, duduk menimang kutu sambil terkekeh-kekeh.
"Eng-seng-thiong, kau jahanam keparat!" Kakek itu tak terkejut. Ia telah maklum bahwa hwesio ini
pasti kembali. Ia telah menukar sepuluh pundi-pundinya dengan kantung yang lain, yakni ketika ia membalik
dan memberikan punggungnya tadi. Eng-seng-thiong telah maklum akan gerakan Seribu Tangan dari hwesio
hebat itu . Maka ketika ia diam saja dan terkekeh dalam hati. maklum lawan akan kecele dan marah
kepadanya maka hantaman dua tangan itu dikelit dengan cara meloncat.
"Dess!" pukulan si hwesio menghantam dinding. Kutu Peniru Suara tertawa aneh dan melesat ke kiri,
Jing-ji-mi-to mengejarnya lagi. Dan ketika ia mengelak dan pura-pura bertanya kenapa hwesio itu seperti
kambing kebakaran jenggot, tak berbaju dan telanjang setengah badan maka hwesio itu berteriak-teriak
padanya.
"Bertanya lagi? Pura-pura tidak tahu? Keparat, kau menukar uang emasmu, Kutu Tengik. Kau menipu
dan mempermainkan aku. Rasakan, jangan kira aku tinggal diam...... dess!" lantai berlubang dan kakek ini
berjungkir balik tinggi. Ia diserang gencar dan si hwesio benar-benar marah. Tapi ketika ia terkekeh dan
menggerakkan kepalanya maka rambut meledak dan ribuan kutu berhamburan lagi.
"Jing-ji-mi-to, jangan sombong. Kaulah yang kurang ajar. Siapa menyuruhmu mencuri dan kenapa
tidak menepati janji Aku tahu akal busukmu, nah rasakan dan lihat akupun tak takut padamu.... crat! rambut
gimbal-gimbal itu meledak ke muka dan belakang, menghamburkan kutu-kutu beracun namun si hwesio
mendorong dengan pukulan tangannya. Tapi ketika kakek ini terkekeh dan menusukkan jari maka dari ujungKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
277 kukunya keluar seekor kutu betina yang siap melekat dan bersarang di tubuh hwesio itu. Sasarannya perut!
"Keparat!" Jing-ji-mi-to mengelak dan menangkis. "Kau benar-benar busuk seperti kutumu, Eng-sengthiong, tapi sekali ini kau tak dapat mempermainkan aku. Mampuslah!" kutu itu ditiup dan terhempas,
hancur tergencet dinding dan terbelalaklah kakek kurus itu. Ia marah melihat anaknya mati. Yang betina
adalah kutu pilihan. Maka ketika ia melengking dan terkekeh panjang, berkelebat dan membalas hwesio ini
maka di dalam ruangan Uh-ongya itu dua orang ini bertanding hebat.
Akan tetapi hwesio itu maupun si Kutu Peniru Suara sama-sama mendecak. Dulu, tiga empat tahun
yang lalu mereka juga sudah bertanding dan mengetahui kelebihan masing-masing. Hwesio gemuk itu
dengan sepasang lengannya yang mampu berubah seribu buah sementara si kakek kurus dengan kakinya
yang lincah dan ringan menari-nari. Demikian cepat dan ringan kaki ini bergerak hingga mirip kutu
meloncat-loncat, atau bahkan terbang! Dan ketika seribu tangan hwesio tak mampu mendarat di tubuh si
Kutu, demikian hebat si kakek mengelak dan berkelit maka kutu di kepala kakek itu yang juga berhamburan
dan menyerang si hwesio akhirnya tak dapat menggigit dan bahkan mati bertemu kulit tubuh Jing-ji-mi-to
yang atos.
"Heh-heh, luar biasa, mengagumkan. Kepandaianmu meningkat pesat, hwesio bau. Jing-jiumu
(Tangan Seribu) tambah kuat dan antep saja. Aih, tanganmu semakin cepat!"
"Tak usah memuji," sang hwesio membentak dan penasaran. "Kakimupun semakin lincah dan ringan
saja, Kutu Tengik. Kalau bukan kau tentu roboh!"
"Ha-ha, benar, kalau begitu kita imbang. Ah, sayang kau masih suka mencuri dan melepas omongan
bohong. Pendeta macam apa kau ini, heh-heh!"
Jing-ji-mi-to tak perduli. Dia telah mengeluarkan Jing-jiu-hoatnya atau Silat Tangan Seribu namun
kelincahan si Kutu Tengik demikian hebat. Gerakan kaki itulah yang membuat penasaran. Dan ketika
mereka bertanding semakin hebat sementara pukulan atau dorongan silih berganti, bayangan keduanya
lenyap terganti gulungan dua tubuh maka keduanya menyatu dan terpental kalau adu pukulan terjadi sama
kerasnya.
"Duk-plak!"
Dinding dan pintu ruangan sering tergetar. Nyata keduanya sama kuat namun masing-masing tak mau
mengalah, bahkan tampaknya semakin sengit saja. Tapi ketika masing-masing bergerak kian cepat hingga
tak dapat ditangkap mata lagi, si hwesio seperti bola melesat ke sana-sini sementara kakek tinggi kurus itu
bergerak seperti tonggak yang lincah meliak-liuk maka berkelebatlah tiga bayangan di ruangan itu,
membentak.
"Jing-ji-mi-to, Eng-seng-thiong, berhenti! Ada apa kalian ribut-ribut dan lihat siapa yang datang!"
Dua orang itu berseru keras. Tiga bayangan melesat di tengah mereka dan menghantam. Pukulan
mereka ditangkis .dan bertemu tiga pasang tangan bagai batangan baja, kuat hingga keduanya terlempar
berjungkir balik. Dan ketika Jing-ji-mi-to ataupun Eng-seng-thiong sama-sama membuang sisa tenaga, turun
dan mengeluarkan seruan tertahan maka di situ telah berdiri seorang nenek dan dua kakek kembar bermuka
hitam, hidungnya bulat dan besar.
"Ah, Siang-buang Thai-swe dan Siau-hun Mo-li kiranya!" Jing-ji-mi-to berseru dan kaget
membelalakkan mata. Ia telah turun dan memandang tiga orang ini namun lawan bersikap dingin. Di
belakang tiga orang ini muncul So-thaikam dan dua orang lagi, Uh-ongya dan seorang pemuda berpakaian
indah yang memegang kipas, tersenyum dan bersikap penuh wibawa dan Eng-seng-thiong tiba-tiba memberi
hormat. Jing-ji-mi-to tak tahu bahwa ia berhadapan dengan putera mahkota. Tapi ketika ia tertegun dan
terbeliak memandang majikannya, So-thaikam mengangkat tangan maka pembesar itu berseru,
"Jing-ji-mi-to, inilah putera mahkota" junjungan kami. Berilah hormat dan hentikan segala
pertikaian!"
Hwesio itu terkejut. Tanpa diulang lagi iapun membungkukkan tubuh dalam-dalam. Siau-hun Mo-li
dan Siang-buang Thai-swe juga begitu. Dan ketika ia tergetar bertemu putera mahkota, tak enak karena Sothaikam sendiri demikian hormat maka pemuda berpakaian indah yang ternyata ramah namun bersikap
penuh wibawa itu tertawa.
"Sudahlah, tak ada apa-apa. Aku mendengar dari Siau-hun Mo-li (Iblis Pembetot Sukma) bahwa
kalian bertanding. Urusannya tentu sepele. Aku telah mendengar dari So-taijin bahwa Jing-ji-mi-to adalah
orang sendiri. Hm, kau dapat melayani dan mengimbangi pengawal bayangan, Jing-ji-locianpwe. SebaiknyaKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
278 kaupun masuk dan menjadi satu di sini. Aku minta pada So-taijin agar kalian berlima sama-sama menjaga
istana."
"Hamba tak mungkin menolak," So-thaikam menunduk dan memberi hormat. "Jing-ji-mi-to telah
menunjukkan kemampuannya, paduka pangeran. Dan kita sama lihat kepandaiannya. Harap paduka melapor
ayahanda kaisar dan biarlah sekarang urusan di sini diselesaikan paduka."
Putera mahkota mengangguk-angguk. "Aku akan bicara pada kanda pangeran," katanya memandang
Uh-ongya. "Semuanya telah kudengar dan kuketahui, kanda. Tapi kanda tak perlu sakit hati karena Jing-jilocianpwe pasti akan memenuhi tanggung jawabnya. Hm, kau...." putera mahkota memandang lagi hwesio
itu. "Urusan di sini tak perlu diperpanjang, locianpwe. Kau pasti menerima Liu Nio sebagai isterimu.
Ketahuilah, kekasihmu itu telah hamil, kau akan memiliki keturunan."
"Apa?" hwesio ini terbelalak. "Hamil? Liu Nio hamil?"
Ya, dan selamat, locianpwe. Kau akan memiliki anak yang gagah dan cakap. Aku ingin mengadakan
jamuan di sini." Lalu ketika kakek itu terbelalak dan seakan tak percaya maka Liu Nio, selir itu muncul dan
terisak-isak. Rupanya dia telah disiapkan di dalam dan kini mendapat isyarat panggilan. "Nah, tanyalah dia,"
putera mahkota tertawa dan berkata lagi. "Kami semua merasa gembira bahwa kau mempunyai keturunan.
Selamat, locianpwe. Kini kuadakan pesta arak!"
Hwesio itu bengong dan tak dapat bicara apa-apa. Dia menjublak ketika semua orang tertawa, hanya
Uh-ongya tersenyum kecut. Tapi ketika dia sadar dan membalas putera mahkota, tersipu dan kaget menerima
cawan maka putera mahkota mengadakan jamuan kecil untuk kebahagiaan hwesio ini.
Jing-ji-mi-to tak menyangka semuanya itu. Ia masih saja bengong dan nyengir ketika semua
membenturkan cawan kepadanya, tanda selamat. Tapi ketika semua itu selesai dan ia menerima Liu Nio,
selir itu bakal melahirkan anaknya maka urusannya terhadap Uh-ongya tak berkepanjangan lagi dan iapun
menerima selir itu sebagai isterinya.
"Hm, bagai mimpi, ha-ha...! Ah, sungguh tak kubayangkan bakal punya anak, Liu Nio, kalau tahu
begini tentu tak kutolak sejak tadi. Ah, kenapa kau tak pernah memberi tahu!"
"Aku takut...." selir itu terisak dan menunduk. "Aku takut kau tak suka lagi kepadaku, locianpwe.
Orang hamil tak dapat melayani suaminya seperti biasa lagi......"
"Ha-ha, tak jadi masalah. Kau akan memberikan anak kepadaku. Wah, ini satu keberuntungan.
Tahukah kau betapa sesungguhnya aku lama mengharapkan ini. Eh, jangan panggil aku locianpwe lagi, Liu
Nio, aku calon ayah anakmu. Ha-ha, panggil namaku Tek Wang!"
"Wang-koko....!" selir itu malu-malu dan ditubruk hwesio ini. Jing-ji-mi-to ternyata berubah pikiran
dan girang luar biasa mendengar itu. Ia tak tahu betapa si selir tersenyum-senyum aneh, menunduk dan
menyembunyikan muka ketika dipeluk dan diguncang-guncang hwesio pendek gemuk itu. Dan ketika hari
itu hwesio ini diangkat sebagai barisan pengawal bayangan, bersatu dengan empat temannya yang lain maka
beberapa hari kemudian teringatlah dia akan sepuluh kantung uang emas itu, mencari si Kutu Peniru Suara.
Tapi apa kata kakek ini? Eng-seng-thiong terkekeh-kekeh.
"Lucu!" serunya. "Kau ini aneh dan ada-ada saja, Jing-ji-mi-to. Masa uang itu masih kusimpan juga.
Tidak, Uh-ongya telah memintanya kembali, tugasku dianggap gagal. Justeru aku hendak minta ganti rugi
kepadamu karena kau membatalkan rejekiku!"
"Apa, meminta ganti rugi?"
"Heh-heh, begitu sebenarnya, tapi kalau kau tak punya uang biarlah tak usah kutuntut. Bukankah kita
sekarang kawan."
Hwesio itu melotot. Tak disangkanya si Kutu ini akan balik meminta ganti rugi. Mana ia sudi. Dan
ketika ia tertegun dan gagal sia-sia maka kakek itu berkelebat dan Eng-seng-thiong menepuk pundaknya.
"Sudahlah, uang tak ada artinya bagi sebuah persahabatan. Kalau kau pandai mencari kesempatan
maka upah lain akan menanti, Jing-ji-mi-to. Marilah kita dekati kerabat-kerabat istana dan di situ akan
muncul tanda jasa!"
Hwesio ini gigit jari. Ia pergi dan benar saja ada rejeki-rejeki lain di istana itu. Para pembesar atau
menteri yang ingin bantuannya memberi upah tinggi. Mereka minta dikawal kalau melaksanakan tugasKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
279 keluar kota umpamanya, minta dilindungi dan dijaga keselamatannya. Dan ketika sebentar kemudian ia
sudah mempunyai langganan, empat rekannya juga begitu maka hwesio yang kerasan dan tinggal di istana
ini dikenal sebagai pengawal bayangan yang amat lihai.
Eng-seng-thiong dan lain-lain itu ternyata sudah mempunyai para pembesar atau pangeran yang sering
membutuhkan tenaganya. Mereka kerap diminta penjagaannya. Dan ketika sebentar kemudian Jing-ji-mi-to
juga mendapat bagiannya, tak kurang dari enam keluarga istana yang mempergunakan tenaganya maka suatu
hari hwesio ini bertemu dengan Te-gak Mo-ki. Dan ini berawal dari pangeran Hui, satu dari sekian kerabat
istana yang sering meminta bantuan hwe-sio itu!
Siang itu, sebagaimana biasanya pekerjaan para pangeran yang selalu ingin bersenang-senang dan
mereguk kenikmatan maka pangeran ini minta perlindungan Jing-ji-mi-to ke Telaga Biru, sebuah tempat di
luar kota raja.
Sebuah kereta dengan empat ekor kuda yang besar dan kuat disiapkan, kuda berbulu coklat dan putih.
Melihat ini saja orang segera tahu bahwa pemilik kereta tentu orang berpengaruh, belum lagi sebarisan
pengawal yang berjumlah sepuluh orang di belakang. Seorang sais duduk di depan kereta menghentak tali
kekang, menyendal dan melarikan kereta menyibak keramaian kota. Dan ketika kereta itu berderap
sementara empat dari sepuluh pengawal melarikan kuda di depan, mencari jalan maka detak jalanan kota raja
sejenak gemuruh oleh barisan ini. Hui-ongya atau pangeran Hui sendiri di dalam kereta ditemani dua wanita
cantik pendamping jalan.
"Ha-ha, mudah sekali mencari uang," Jing-ji-mi-to berkelebat dan mengawal diam-diam, bersinar.
"Kalau setahun aku seperti ini tentu tak lama kemudian akupun dapat menjadi raja kecil. Hm, pantas Engseng-thiong dan lain-lain betah, tak tahunya hasil sambilan lebih besar dari hasil pokok. Ha-ha!"
Hwesio itu bergerak dan mengawal dari belakang. Empat rekannya berada di istana dan menjaga di
sana, tak perlu dia khawatir. Dan ketika sekejap kemudian kereta menerobos pintu gerbang, penjaga
memberi hormat dan membungkuk dalam-dalam maka pangeran itu memulai perjalanannya menuju Telaga
Biru.
Hui-ongya atau Pangeran Hui ini adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh dua tahun, tampan dan
halus gerak-geriknya dan cukup berpengaruh. Dia adalah putera ketujuh dari kaisar, senang mengenakan
pakaian putih dan suka bersajak. Tinta dan pit hitam tak pernah lupa di meja. Dan ketika perjalanan mulai
melewati pematang yang hijau subur, tirai dibuka dan Hui-ongya ini tersenyum-senyum maka dua wanita
pendampingnya memuji dan satu di antaranya memijat kaki sang pangeran.
"Aduh, indah dan nikmat untuk bersajak, pangeran. Cobalah paduka mulai dan tuangkan keindahan
alam!"
"Benar, dan hamba akan membacanya di depan paduka. Aih, lihat sebarisan burung pipit itu,
pangeran. Mereka terbang searah dengan kereta!"
"Hi-hik, seakan ingin berlomba!"
"Atau mengintai pangeran yang tampan!"
Hui-ongya tertewa geli. Dia melihat apa yang dikata temannya itu mengangguk-angguk. Serombongan
burung pipit, tak kurang seratus jumlahnya bercicit riuh searah kereta. Ingin dia menangkap dan memperoleh
burung-burung itu, betapa jenakanya. Dan ketika dia tergerak dan menjadi gembira, perjalanan mulai
menyenangkan maka dia berseru,
"Ah, lucu dan senangnya mereka Ceng-hoa. Mereka seakan tak mengenal susah. Alangkah
gembiranya aku kalau dapat menangkap seekor dua."
"Mana mungkin? Mereka terbang jauh, pangeran. Hanya dengan anak panah kita mendapatkannya!"
"Benar, tapi aku ingin hidup-hidup. Sayang tak dapat menangkap....."
Belum habis kata-kata ini mendadak terdengar bunyi mencicit dua kali. Dua di antara sekelompok
Tapak Tangan Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
burung itu jatuh, seakan kena timpuk atau serangan jarak jauh. Dan ketika Hui-ongya terkejut karena dua
burung itu jatuh ke jendelanya, tepat ke pangkuan maka terdengar tawa bergelak dan bayangan Jing-ji-mi-to,
cepat luar biasa.
"Pangeran, tak usah paduka khawatir Matahari dan bulanpun hamba sanggup memberikannya asal
paduka mampu........ plok!" dua ekor burung itu jatuh di pangkuan Hui-ongya, menggelepar namun tak dapatKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
280 terbang karena sepasang kakinya terkena jerat. Mereka jatuh oleh timpukan segulung benang halus. Itulah
perbuatan Jing-ji-mi-to. Dan ketika hwesio itu lenyap dan berada di belakang kereta lagi, bersembunyi maka
Hui-ongya sadar sementara dua wanita cantik itu bertepuk tangan.
"Aduh, keinginan paduka terkabul, pangeran. Lihat mereka jatuh hidup-hidup!"
"Hm, ini perbuatan Jing-ji-mi-to locianpwe. Aih, pembicaraan kita didengar. Ceng-hoa. Luar biasa
sekali, terima kasih!"
Dua wanita cantik itu terkagum-kagum. Mereka juga mendengar nama hwesio itu namun tak tahu
orangnya. Sekilas tadi mereka melihat namun si hwesio lenyap lagi. Dan karena mereka hendak
menyenangkan pangeran bukannya hwesio itu maka merekapun berseru dan Ceng-hoa yang memijat kaki
pangeran buru-buru mengeluarkan saputangannya.
"Aduh, cantik dan menggemaskan, pangeran, simpan saja di saputangan ini. Awas, nanti lepas!"
"Tidak, di sini saja," yang satu melepaskan selendang dan berdiri, tertawa. lebih lebar, pangeran,
untuk dua sekaligus tak akan sempit. Aihhh.....!" kereta berguncang dan si cantik menjerit. Sebuah batu
diterjang dan keretapun meloncat, Hui-ongya dan dua temannya tak dapat menguasai diri, terguling. Dan
ketika dua burung itu lepas dan Ceng-hoa saling tumbuk dengan temannya, roboh dan jatuh di pangkuan
pangeran maka Hui-ongya menyesal dan mendorong dua wanita cantik itu. Lebih memperhatikan sepasang
pipit itu daripada dua gadis cantik di sebelahnya.
"Bodoh, apa kerja sais kereta ini. Hei perhatikan jalanan baik-baik, A-sam. Masa bebatuan kau
terjang!"
"Ampun...!" kusir kereta berseru dari depan. "Batu itu tiba-tiba jatuh di bawah kereta, pangeran, entah
dari mana datangnya. Hamba tak melihatnya tadi dan tahu-tahu tergilas...... heiii!"
Seruan kaget terdengar lagi dan Hui-ongya serta Ceng-hoa dan temannya terpekik. Kereta berdetak
dan terangkat naik dan empat ekor kuda penariknya meringkik. Mereka terganjal dan merasa berat. Tapi
karena lari sedang congklang dan kereta meluncur cepat maka akibatnya batu itu diterjang lagi dan kereta
terangkat naik dua puluh sentimeter. Hal ini mengakibatkan kereta miring dan tak ampun lagi Hui-ongya dan
dua temannya terguling. Di dalam kereta mereka saling bertumbukan. Dan ketika pangeran menjadi merah
sementara kusirnya ketakutan maka kusir itu menjeletarkan cambuk dan memaki-maki kudanya.
"Picak, tak punya mata. Heii, hati-hati kalian berjalan, kuda sialan. Atau nanti tak kuberi makan.
Herrr..... hyehhhh!"
Si kusir mendahului marah daripada kena marah. Pintar dia! Tapi ketika kereta meluncur lagi dan
ganti empat pengawal berteriak maka empat orang itu menjadi kaget karena kaki kuda mereka tergelincir
batu yang membuat mereka hampir terguling.
"Heii keparat!"
Pangeran melongok dan sudah mengebut-ngebutkan ujung bajunya. Dia tadi bertumbukan dengan dua
temannya yang cantik itu namun lagi-lagi mendorong dan menyingkirkan mereka. Teriakan ini membuatnya
tertegun. Dan ketika dia melihat empat pengawal itu hampir terjatuh, empat ekor kuda di depan kereta
meringkik dengan kaget maka delapan yang di belakang tiba-tiba berteriak dan ganti menjerit.
"Heiii!"
Ternyata delapan batu bulat menendang kaki kuda. Delapan ekor kuda ini juga meringkik dan
tergelincir, kalau tak pandai-pandai tuannya mengendalikan binatangnya tentu roboh. Dan ketika mereka
mengumpat caci sementara pangeran menjadi tertegun, kenapa sepuluh pengawalnya tiba-tiba berteriak satu
sama lain maka Jing-ji-mi-to muncul berkelebat dan menyuruh kereta berhenti. Hwesio ini mendengar ributribut dan tugasnyalah menjaga keselamatan.
"Berhenti, ada apa. Kenapa berteriak-teriak!"
"Ampun, kami, eh.... kuda kami ditendang batu, locianpwe. Eh, maksud kami menendang batu. Kami,
eh..... gugup dan hampir terjatuh!"
Hwesio itu terbelalak. Ia tak melihat apa-apa ketika tiba-tiba kereta dan sepuluh pengawal ini oleng.
Mereka hampir jatuh oleh kuda yang tak berjalan tetap. Entah kenapa tiba-tiba hal itu terjadi. Dan ketika dia
melotot dan memeriksa teliti, tak ada apa-apa yang patut dicurigai maka Hui-ongya bertanya melongok dariKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
281 tirai kereta.
"Ada apa berjalan seperti orang tidak waras. Heii, kau yang mulai dulu, A-sam. Bukankah keretamu
yang mula-mula begitu dan membuat aku terantuk-antuk!"
"Ampun, maaf, pangeran..... hamba..... hamba tak mengerti. Kuda tiba-tiba ditendang, eh.....
menendang batu di bawah kereta!"
"Hm, sudahlah," Jing-ji-mi-to membentak. "Tak ada apa-apa di sini, A-sam. Kalian dan yang lain ini
tolol. Berangkatlah dan aku di depan!" hwesio itu menghadap pangeran dan berseru, "Tak ada apa-apa,
pangeran. Mari berangkat lagi!"
Keretapun berderap dan meluncur hati-hati. Jing-ji-mi-to mendongkol dan berjalan di depan guna
melihat keadaan. Dia curiga tapi tak melihat apa-apa. Dan ketika sepuluh li kemudian tak ada gangguan
maka merekapun selamat di Telaga Biru. Hwesio ini lega.
"Nah, kita sampai. Harap pangeran bersenang-senang."
"Tunggu dulu!" pangeran meloncat dari kereta. "Burungku lepas, locianpwe. Apakah tak ada
pengganti!"
"Hm, itu? Baik, nanti hamba carikan. Silakan berkeliling telaga dan temukanlah yang menarik, nanti
hamba akan menangkapnya untuk paduka!"
"Kau berjanji?"
"Tentu saja, pangeran, kegembiraan paduka adalah kebahagiaan hamba!"
"Baik, kalau begitu nanti kucari. Jangan jauh dariku dan harap locianpwe selalu berjaga-jaga."
Jing-ji-mi-to mengangguk. Ceng-hoa dan temannya meniti turun dan sebuah perahu besarpun
menghampiri. Telaga berair biru membentang di depan mata, dan indah serta pepohonan di kiri kanan terasa
asri. Sedikit di sebelah sana adalah hutan cemara. Maka ketika Hui-ongya gembira dan dilayani penuh
hormat segera kepala pengawal memberi tahu bahwa perahu pesiar telah siap di pantai. Beberapa orang
tampak sibuk di perahu besar itu.
"Hm, baiklah. Adakah kail untuk memancing ikan."
"Ada pangeran, sudah kami siapkan. Dan setumpuk buku dapat paduka pergunakan untuk menulis
sajak!"
"Ha-ha, bagus, mari ke sana."
Hui-ongya berjalan dan menuju perahu besar itu. Kereta ditinggalkan sementara A-sam menutup dan
membetulkan tirai jendela. Kusir ini lega karena tak ada apa-apa. Dan ketika ia merawat kudanya sementara
pangeran sudah menaiki perahu besar itu, tetabuhan dan para penyanyi tiba-tiba menyambut maka
kegembiraan di perahu besar mulai.
Kiranya perahu inipun adalah milik pangeran itu. Ada pembantunya yang lain mendahului di situ,
menyiapkan dan mengatur segalanya agar pangeran senang. Dan ketika perahu bergerak dan mulai menuju
tengah telaga, pangeran duduk di atas menikmati arak dan wajah penyanyi maka Jing-ji-mi-to ikut di perahu
pula berjaga dari dekat.
Tak ada apa-apa yang mengganggu sampai Hui-ongya mulai menulis sajak. Puisi-puisi indah dibuat,
Ceng-hoa membacakannya dan ramailah keriangan orang-orang di perahu besar ini. Tapi ketika sebuah
perahu kecil meluncur dan menuju tengah telaga pula, seorang pemuda bernyanyi-nyanyi keras maka
pengawal dan Jing-ji-mi-to terkejut.
Biasanya kalau sudah begini siapapun tak diperkenankan masuk. Telaga sudah dikuasai pangeran dan
orang luar tak boleh datang. Maka ketika seorang pemuda tiba-tiba nyelonong dan bernyanyi-nyanyi keras,
tangan kirinya membawa arak dan tertawa-tawa sendirian kontan pengawal dan Jing-ji-mi-to kaget. Dan baru
mereka berseru marah mendadak perahu anak muda itu sudah menumbuk dan mengguncangkan semua
orang. Perahu terdorong keras.
"Dukk"
Penyanyi dan para wanita berteriak kaget. Mereka tak tahu apa yang terjadi di bawah namun paraKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
282 pengawal berjungkir balik melayang turun. Jing-ji-mi-to menyerahkan itu pada anak buahnya karena
dianggapnya pemuda itu biasa-biasa saja. Sekilas ia melihat semacam siucai (pelajar) bermabok-mabokan di
bawah, minum arak dan bernyanyi-nyanyi dan kini menumbuk perahu dengan amat kerasnya. Dari benturan
itu dapat diduga perahu si pemuda pasti pecah, paling tidak bocor! Tapi ketika pengawal membentak dan
turun di perahu pemuda itu, yang tak apa-apa dan justeru perahu besar yang pecah ujungnya maka pengawal
menjadi marah dan mencabut golok, berseru,
"Heii, siucai gila dari mana ini yang tak mengenal aturan. Tidakkah kau tahu bahwa telaga hanya
milik pangeran. Pergi, atau kami membunuhmu!"
Ribut--ribut di bawah hanya dilongok sekilas oleh Jing-ji-mi-to. Hwesio ini menyeringai dan
mengangguk-angguk. Bukan tugasnya untuk turun tangan, itulah bagian pengawal. Dan ketika siucai itu
tampak ketakutan dan manggut-manggut, segera diusir maka dia memutar perahunya dan pergi, minta maaf.
Hui-ongya bertanya sebentar. ia juga merasa terganggu ketika terjadi tumbukan tadi, mejanya
terdorong dan hampir saja jatuh. Dan ketika si pemuda meluncur dan pergi menjauhi perahu maka pangeran
melihat siucai baju biru itu. Pengawalnya berdatangan naik.
"Siapa itu, kenapa sampai masuk."
"Maaf, hamba tak tahu, pangeran. Tiba-tiba dia sudah di tengah dan menabrak perahu kita. Dia
seorang siucai tidak waras yang rupanya patah hati!"
"Patah hati?"
"Ya, seorang siucai sinting, bergincu dan mengenakan anting-anting. Masa tidak sinting kalau
begitu...... ha-ha!" yang lain tertawa dan Hui-ongya tersenyum. Dia tak bertanya lagi tapi berpesan agar
jangan ada yang mengganggu lagi. Kepala pengawal ditegur dan minta maaf atas keteledorannya. Rupanya
pemuda itu datang dari hutan. Tapi ketika mereka mundur dan turun ke bawah mendadak Ceng-hoa berseru
dan menuding.
"Heii, apa itu!"
Semua terkejut dan menoleh. Dan begitu melihat sekonyong-konyong merekapun berseru tertahan.
Apa yang dilihat? Perahu yang ditumpangi pemuda itu, perahu yang tiba-tiba terangkat dan terbang
mengelilingi telaga. Dan begitu semua memandang maka merekapun melongo, kaget, bagai melihat sihir
atau sulapan karena cepat dan luar biasa perahu yang ditumpangi pemuda itu sudah memutari telaga tiga kali.
Perahu itu terbang dan benar-benar mengelilingi perahu besar tiga kali, bunyi kecipak tak mengalihkan
perhatian mereka. Dan ketika Jing-ji-mi-to juga terbelalak dan melihat itu, betapa sesungguhnya sebatang
dayung memukul di sebelah kanan perahu dengan cepat hingga mengangkat dan membuat perahu terbang
maka sadarlah hwesio ini bahwa sesungguhnya siucai itu bukan sembarang pelajar. Seorang lihai yang hebat
sekali.
"Ah, berikan dayung dan semua turun ke bawah!" hwesio itu berkelebat dan berseru pada pengawal. Ia
kaget bukan main karena pemuda yang tadi diremehkannya ternyata bukan sembarang orang. Jing-ji-mi-to
kali ini terkecoh. Dan ketika semua orang terkagum-kagum dan bengong di atas, Hui-ongyapun tertarik dan
akhirnya bertepuk tangan maka hwesio gemuk pendek itu sudah berada di bawah dan menyambar dayung
besar. Sekali pukul dia membuat perahu terdorong dan melesat. Hebat hwesio ini, tenaganya besar sekali.
Dan ketika dia mengejar namun perahu terlalu besar, pengawal dibentak agar membantu maka perahu kecil
dikejar dan hwesio ini curiga apakah kawan atau lawan pemuda itu.
"Dayung sekuatnya, cepat. Kerahkan semua tenaga!"
Namun perahu kecil terlalu lincah. Perahu besar terasa lambat dan amat berat, meskipun sesungguhnya
tenaga hwesio ini membuat perahu bergerak tujuh delapan meter. Dan ketika pemuda di perahu itu berputar
untuk yang kelima kalinya, terbang dan terkekeh maka iapun mengeluarkan seruan keras dan...... perahu
terbang menuju tanah.
"Brakkk!"
Semua mata terbelalak memandang. Perahu itu pecah tapi si pemuda sudah meloncat turun, bergegas
dan menuju hutan dan Jing-ji-mi-topun berteriak penasaran. Sia-sia perahunya mengejar. Tapi ketika hwesio
itu berjungkir balik dan menuju daratan, meninggalkan perahunya ternyata si pemuda lenyap dan memasuki
hutan.Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
283 "Tunggu, keparat. Tunggu, anak muda. Siapa kau dan apa maksudmu memamerkan kepandaian!"
Akan tetapi pemuda itu lenyap. Ia hanya tertawa kecil ketika menoleh dan menengok hwesio itu,
menghilang dan sudah memasuki hutan dan Jing-ji-mi-to terkejut bukan main karena langkah kakinya kalah
cepat dengan pemuda itu. Ia sudah menambah kecepatan namun jarak yang jauh membuatnya gagal. Dan
ketika ia memasuki hutan namun lawan tak diketahui rimbanya, hwesio ini pucat maka ia kembali setelah
gagal mencari-cari. Khawatir dan kaget jangan-jangan perahu yang ditinggal diganggu teman pemuda itu.
Siapa tahu dia dipancing!
Akan tetapi tidak. Hui-ongya menunggunya dan pestapun bubar. Peristiwa itu mengejutkan sekaligus
menarik perhatian banyak orang. Tak ada yang tahu bahwa seberkas sinar merah memasuki wajah pangeran
ini, lenyap dan meninggalkan bekas kekaguman yang dalam. Pangeran tiba-tiba dapat melihat pemuda di
perahu kecil itu, jelas dan terpana dan itulah cahaya ilmu pengasih. Entah kenapa tiba-tiba Hui-ongya merasa
suka dan senang dengan pemuda itu, jatuh cinta! Maka ketika Jing-ji-rni-to gagal menemukan lawan dan
pangeran cemberut tak senang hwesio ini tertegun mendengar teguran dingin.
"Kau tak mendapatkan lawanmu itu? Demikian hebatkah dia?"
"Maaf," hwesio ini semburat. "Jarak terlalu jauh, pangeran, tak terkejar. Tapi nanti kalau bertemu lagi
tentu hamba tangkap. Dia lari ke hutan!"
"Seribu tail kalau kau dapat menemukannya," pangeran tiba-tiba berkata. "Cari dan tangkaplah
sekarang, Jing-ji-locianpwe. Atau kita pulang dan aku tak mau di sini lagi!"
Jing-ji-mi-to terkejut. Dia telah gagal dan tak menemukan lawannya itu ketika tiba-tiba sekarang Huiongya memerintah. Bukankah ia telah mencari dan memasuki hutan? Tapi mengangguk mangepal tinju
iapun berkelebat pergi.
"Baiklah, hamba cari lagi, pangeran. Akan tetapi maaf kalau gagal!"
Hui-ongya berseri. Tiba-tiba ia menyuruh semua pergi dan menyambar kail, buku dan pit dilempar.
Dan ketika ia memancing dan menunggu hwesio itu, sampai matahari condong ke barat tiba-tiba hwesio itu
muncul dan menyatakan gagal. Wajahnya kuyu, geram.
"Maaf, hamba gagal lagi, pangeran. Sepuluh kali mengitari hutan. Jahanam itu tak dapat hamba
temukan. Kalau paduka sabar biarlah dua tiga hari hamba menjanjikan!"
"Ah, gagal lagi? Percuma aku menunggu. Baiklah, kita pulang, Jing-ji-locianpwe, dan heran bahwa
kau sebagai tokoh berkepandaian tinggi tak mampu menangkap seorang pemuda!"
"Jarak terlalu jauh "
"Sudahlah, aku tak mau dengar lagi dan mari kita pulang!" Hui-ongya memotong dan wajah hwesio
inipun merah padam. Ia benar-benar tertampar oleh kejadian itu dan malu serta marah bukan main. Kalau
bukan pangeran ini tentu ditangkap dan dibantingnya. Sudah gagal masih diomeli lagi! Dan ketika perahu di
tinggalkan dan Hui-ongya minta pulang maka kereta disiapkan lagi dan A-sam buru-buru mencambuk
kudanya. Sepuluh pengawal di belakang tak berani banyak bicara karena hwesio itupun marah kepada
mereka, matanya berkilat-kilat!
Akan tetapi kejadian seperti semula datang lagi. Kereta menabrak batu sekepalan tangan hingga nyaris
terguling. Dan ketika pangeran serta yang lain terkejut maka empat pengawal juga berteriak dan kali ini
terpelanting roboh.
"Haiii...!"
Kuda meringkik dan melempar tuannya dari pelana. Entah kenapa tiba-tiba kaki tergelincir oleh
sebuah batu bulat hitam, empat ekor kuda itu tak sempat melihatnya. Dan ketika sebentar kemudian
pengawal yang lain juga terpekik menjerit, kuda roboh menyungkur tanah maka Jing-ji-mi-to maklum bahwa
ini bukan kebetulan saja, berkelebat membentak.
"Bocah keparat, jangan main-main di sini!"
Namun tak ada siapa-siapa. Kusir dan pengawal sama-sama mengeluh. A-sam ketakutan ketika
pangeran melongok keluar, membentak kenapa melarikan kereta seperti itu. Dan ketika sais ini menggigil
membela diri, berkata bahwa yang lainpun begitu maka Jing-ji-mi-to melempar sais itu berseru pada Huiongya.Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
284 "Ini gangguan orang lihai. Maaf, hamba menjalankan kereta, pangeran. Percuma memaki orang-orang
tolol ini. Mari berangkat!"
Hwesio itu mencemplak dan menjalankan keretanya. Ia tak perduli kepada sepuluh pengawal yang
berjatuhan itu, A-sam terbanting di dekat seorang pengawal yang merintih. Dan ketika hwesio itu buru-buru
menjalankan keretanya, hari hampir gelap dan dikhawatirkan musuh tak nampak di kegelapan malam maka
pengawal menyusul namun mereka tertinggal jauh.
Jing-ji-mi-to yakin bahwa inilah perbuatan pemuda baju biru itu. sudah mengerotkan gigi dan siap
menghajar. Dan ketika benar saja empat batu hitam menyambar dan tiba-tiba menghantam kaki kuda, inilah
yang membuat kuda meringkik dan berjalan tidak stabil maka hwesio itu menjeletarkan cambuknya dan
menghajar batu-batu hitam itu.
"Bocah tengik, jangan macam-macam di sini, keluarlah.... tar-tar-tar!" empat batu itu hancur dan Jingji-mi-to melihat berkelebatnya sebuah bayangan. Bau harum menyambar dan itulah si pemuda baju biru.
Tapi ketika hwesio ini memaki dan menghentikan kereta, pemuda itu lenyap maka Jing-ji-mi-to gusar
meloncat turun. Hui-ongya membuka tirai dan bertanya.
"Anak muda itu, jahanam itu, ah, di sini, pangeran. Dialah yang mengganggu!"
"Ia di sini? Kebetulan, kalau begitu aku ingin bertemu. Heii, cari dan suruh ia menghadap, Jing-jilocianpwe. Katakan aku ingin bicara baik-baik!"
"Baik-baik? Ah, ia bukan manusia baik-baik, pangeran. Ia pemuda yang patut dihajar. Biarlah paduka
tunggu di sini dan hamba akan mencarinya!"
Jing-ji-mi-to gusar bukan main. Ia melompat dan lenyap di sebelah kiri karena di situlah si pemuda
menghilang. Kali ini ia yakin ketemu. Akan ditangkap dan dibekuknya. Akan dipatah-patahkannya kaki dan
tangan pemuda itu. Akan tetapi ketika ia mencari pemuda itu maka justeru lawannya ini hadir, tahu-tahu di
pinggiran kereta dekat tirai yang dibuka.
"Paduka mencari hamba, pangeran? Hi-hik, hamba di sini, tolol benar Jing-ji-mi-to itu. Maaf hamba
mengganggu karena tak tahan oleh kesombongan kakek gemuk itu."
Hui-ongya terkejut. Bagai siluman saja pemuda ini muncul di dekatnya. Ceng-hoa dan temannya
sampai menjerit, kaget. Tapi ketika pangeran beradu pandang dengan sepasang mata pemuda ini, mata yang
lembut dan bercahaya namun mencorong maka jantung pangeran berdetak dan dag-dig-dug tak keruan.
Sejenak ia gelagapan.
"Eh, kau.... eh, pemuda di perahu kecil itu? Kau yang membuat perahu terbang dan mengelilingi telaga
lima kali?"
"Hi-hik, benar. Tapi semata hamba lakukan agar membunuh kesombongan Jing-ji-mi-to itu, pangeran.
Hamba tak suka kepadanya. Orang seperti itu tak layak tinggal di istana. Dia tiada ubahnya kucing malas!"
"Hm, kau. Siapa namamu, sobat? Dari mana? Kau tak takut kepada Jing-ji-mi-to yang lihai? Ia satu
dari lima pengawal bayangan, kepandaiannya tinggi!"
Tapak Tangan Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hi-hik, apanya yang tinggi. Sebelah tangan hamba saja sanggup merobohkannya, pangeran. Paduka
jangan tertipu seseorang. Dia itu pembual, cari keuntungan diri sendiri."
Hui-ongya terbelalak. Bicara dan berhadapan dengan pemuda ini iapun berdesir dan tergetar. Sorot
dan pandang mata itu aneh sekali, berputar dan seperti liar akan tetapi tiba-tiba berubah secara cerdik sekali.
Ia terpesona oleh wajah ini, wajah berbedak dan bergincu tipis tapi harus diakui amat tampan dan cantik
sekali. Seperti wajah wanita, akan tetapi bukan. Dan ketika ia tertegun dan jantung di dada berdegup
kencang, senyum manis pemuda ini menyambarnya maka tiba-tiba Ceng-hoa menggamit lengannya dan
berbisik apakah tidak berbahaya berdekatan dengan orang yang tidak dikenal. Namun pangeran malah
mendorong dan marah kepadanya.
"Apa kau ini, bicara yang tidak-tidak. Hm, tutup mulutmu, Ceng-hoa, kalau berbahaya tentu sudah
menyerangku. Sobat ini teman, bukan lawan. Lihat ia tak berbuat apa-apa dan baik kepadaku!"
"Hi-hik, benar. Tapi gadis itupun tak salah, pangeran, ia tak tahu siapa hamba. Ah, hwesio itu kembali
dan biar nanti berjumpa lagi!"
Hui-ongya terkejut. Pemuda aneh itu lenyap dan bersamaan dengan itu datanglah bayangan Jing-ji-mi-Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
285 to. Hwesio itu berkelebat. Dan ketika hwesio itu merah meliar sana-sini, bau harum bekas pemuda itu
diciumnya maka ia terbelalak mendengar Hui-ongya berkata,
"Ia datang sendiri padaku, tidak menyerang. Agaknya kau tak akan dapat mencarinya, locianpwe. Mari
pulang saja dan teruskan perjalanan!"
"Ia..... ia datang ke sini?"
"Benar, dan kau tolol. Ah, kendalikan kereta dan cepat pulang!"
Hwesio itu pucat. Kakek ini mengeluarkan seruan marah tapi tak bisa berbuat apa-apa. Ia kembali
karena tadi mendengar jeritan Ceng-hoa, yakni ketika pemuda muncul seperti iblis. Dan ketika ia tertegun
namun Hui-ongya menutup tirai, dingin maka hwesio ini tertampar untuk kedua kalinya dan apa boleh buat
di harus menjalankan keretanya lagi, meloncat ke bagian kusir.
"Bedebah, terkutuk!" hwesio ini menggigil menahan marah. "Kau benar-benar mempermainkan aku,
bocah siluman. Awas nanti!"
Keretapun berderap dan melaju kencang. Kali ini tak ada gangguan apa-apa dan karena tadi sejenak
berhenti maka sepuluh pengawal menyusul. Pintu gerbang kota raja dibuka dan masuklah mereka semua tak
memperdulikan hormat penjaga. Jing-ji-mi-to melotot. Dan ketika kereta melaju di tengah keramaian kota,
menyibak dan membuat orang berlarian ke kiri kanan maka hwesio ini tertegun mendengar percakapan dan
kekeh ditahan. Ceng-hoakah? Bukan. Atau Kim-ting? Juga bukan. Dan ketika hwesio itu memperlambat
larinya kereta dan memasang telinga di dinding maka tertangkaplah suara Hui-ongya dan seorang pemuda.
Lawannya si baju biru itu!
"Pangeran!" hwesio ini menghentikan kereta dan langsung meloncat ke samping. Ia kaget dan heran
serta marah bukan main karena lawannya itu tiba-tiba di situ, di dalam kereta. Dan ketika ia menendang
pintu dan membentak keras maka terlihatlah Hui-ongya asyik berpegangan tangan dengan pemuda baju biru
itu. Kekehnya tak dapat dilupakan hwesio ini.
"Hi-hik, ada apa. Aku telah menjadi sahabat Hui-ongya, Jing-ji-mi-to. Tugasmu mengembalikan ke
istana dan jangan melotot di situ. Ayo, tutup dan rapatkan pintunya."
"Benar, kau tak perlu mengganggu kami, lo-suhu. Jalankan kereta dan tutup pintunya!"
Hwesio ini terbelalak. Ia seakan tak percaya melihat pemuda itu duduk di sebelah kanan pangeran. Ia
tak dapat menjangkau pemuda ini tanpa melewati pangeran. Dan ketika semua melotot karena pemuda itu
tahu-tahu di situ, Ceng-hoa dan Kim-ting menggigil berhimpitan maka hwesio yang tak kuasa menahan
marah ini meloncat dan memutari kereta. Jing-ji-mi-to bukannya menjalankan kereta melainkan menuju
pintu samping kedua, tempat di mana dua wanita cantik itu berpelukan. Dan ketika ia membentak dan
membuka pintu ini, menarik dan melemparkan dua wanita itu maka disambarnya pemuda baju biru itu
dengan satu cengkeraman maut.
"Bocah tengik, tiga kali kau menghina aku. Mampuslah!"
Ceng-hoa dan Kim-ting menjerit. Mereka berhenti di tengah jalan dan belum sampai di istana. Tubuh
keduanya dilempar dan ditarik hwesio itu. Dan ketika mereka berteriak terlempar di luar, Hui-ongya juga
terkejut karena hwesio ini tiba-tiba beringas dan kesetanan maka pemuda baju biru justeru tertawa dan
bersikap luar biasa tenang.
"Hm, kau seperti kambing kebakaran jenggot, Jing-ji-mi-to. Memandang Hui-ongya biarlah kuampuni
sedikit..... plak! tangan hwesio itu ditangkis dan cengkeraman hwesio ini bertemu telapak yang licin namun
amat hebat. Hwesio itu terpekik dan terpental, lawan membalas dan mendorongnya. Dan ketika ia berjungkir
balik dan kereta ditutup lagi, pemuda itu meloncat keluar maka ia berdiri tertawa bertolak pinggang. Kini
orang melihat wajah dan bentuk tubuhnya, juga pakaiannya secara jelas. Pemuda pesolek dengan pakaian
serba biru tapi memiliki ban hitam di pinggiran bajunya, kipas dan ikat pinggang menjuntai panjang serta
anting-anting di sepasang telinganya yang berlekuk indah. Telinga dan gaya seorang wanita!
Akan tetapi Jing-ji-mi-to tidak memperhatikan semua ini. Dia terkejut bukan main ketika serangan
atau cengkeramannya pertama tadi gagal. Kulit yang licin bagai belut terlepas, sebuah tenaga menolak dan
iapun terjengkang ketika didorong. Betapa kuatnya dorongan itu! Tapi karena ia di dalam kereta dan tak
leluasa baginya melakukan serangan, juga ada Hui-ongya yang harus dijaga maka hwesio itu memekik
nyaring ketika di luar. Ia meloncat dan menerjang garang ketika pemuda itu bertolak pinggang, mata dan
wajahnya terbakar. Namun ketika pemuda itu berkelit dan tubrukan si hwesio luput, tontonan segera terjadi
maka Jing-ji-mi-to berteriak dan menubruk lagi mainkan Jing-jiunya atau ilmu Seribu Tangan itu, membalikKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
286 dan menerjang.
Jilid XX
"MAMPUS kau!"
Si pemuda berkelit dan tertawa. Untuk kesekian kalinya lagi ia mengelak dan membuat tubrukan atau
cengkeraman hwesio itu luput, Jing-ji-mi-to tentu saja kaget dan marah dan entah perasaan apa lagi yang ada
di hatinya. Ia berkelebat dan lenyap memutari lawan dan meluncurlah pukulan-pukulan tangannya yang
cepat dan luar biasa. Tapi ketika pemuda itu berkelebat dan lenyap pula menandinginya, bergerak dan semua
pukulan-pukulannya mengenai angin kosong belaka maka pemuda itu membentak dan tiba-tiba mengibaskan
ujung lengan bajunya.
"Keledai bau, cukuplah!"
Hwesio itu terbanting dan berteriak terlempar. Ujung kebutan lengan baju itu mengenai pundaknya
dan ia merasa bagai disambar petir, demikian kaget hingga ia menjerit. Dan ketika ia bergulingan meloncat
bangun dan pucat melihat baju pundaknya hangus, kulitnya melepuh dan hitam kebiruan maka sadarlah
hwesio ini bahwa lawan yang dihadapi bukanlah tandingan. Dan si banci itu terkekeh.
"Bagaimana, ingin lagi? Kau masih tak tahu diri dan berani maju? Hm, sekali ini tak ada ampun, Jingji-mi-to, pergi atau kau mampus!"
Kakek itu gentar. Dia telah diberi pelajaran cukup dan bahwa tamparan ujung baju tadi menembus
kekebalannya. Sebagai orang lihai ia tak mampu menahan pukulan itu, padahal lawan demikian mudah dan
gampang mengelak semua pukulan-pukulannya. Maka maklum bahwa ia tak boleh maju lagi, atau lawan
benar-benar membuktikan ancamannya maka hwesio ini mengeluh dan melompat pergi, berkelebat
meninggalkan kereta.
"Pangeran, hamba tak dapat menyertai paduka lagi. Harap hati-hati di jalan!
Hui-ongya tersenyum dan mengangguk-angguk. Ia tentu saja telah melihat hasil pertandingan itu dan
kagum bukan main kepada teman barunya ini. Tadi, di tengah jalan pemuda itu masuk dan tahu-tahu berada
di dalam, duduk dan entah bagaimana caranya menembus dinding kereta. Maka ketika Jing-ji-mi-to
dikalahkan dengan mudah dan kini hwesio gemuk itu ngeloyor pergi, pucat dan gentar maka pangeran ini
tertawa bertepuk tangan. "Kiem-hiante (saudara Kiem) sungguh hebat. Kau telah mengalahkan satu di antara
lima pengawal bayangan. Ha-ha, mari masuk dan kita lanjutkan perjalanan, hiante. Tak enak di luar menjadi
tontonan belaka!"
"Mari," pemuda itu bergerak dan tahu-tahu telah menyambar pangeran ini, duduk dan menutup pintu
kereta. "Hwesio menyebalkan itu telah kuhajar, ongya, kalau masih berani lagi sungguh mencari mati. Maaf
terpaksa kuhajar dia agar tahu diri."
"Ha-ha, tak apa, justeru aku gembira. Sudahlah tak perlu kita pikirkan lagi dan aku percaya
kepadamu!"
Kereta bergerak dan kini dikusiri. A-sam. Sais itu telah berada di tempatnya lagi setelah Jing-ji-mi-to
pergi. Ia tak berani meninggalkan junjungannya jauh-jauh. Dan ketika kereta akhirnya memasuki istana dan
berbelok ke barat menuju ke gedung pangeran ini maka kereta berhenti dan pangeran turun menggandeng
lengan tamunya itu. Sikap dan pandang matanya demikian hangat.
"Sampai di tempatku, marilah. Ha-ha, selamat datang di gedungku. Kiem-hiante. Mari kita ke dalam
dan bercakap-cakap di sana!"
Pengawal dan penjaga pintu terbelalak. Mereka cepat-cepat membungkuk ketika junjungan lewat,
mengangkat muka dan terheran-heran oleh datangnya tamu. aneh ini, pemuda yang kebanci-bancian namun
katanya lihai bukan main. Berita kekalahan Jing-ji-mi-to itu menyebar cepat sekali, tahu-tahu sudah sampai
di situ. Dan ketika pangeran membawa tamunya masuk ke dalam dan mereka bercakap-cakap di sana, entah
apa yang dipercakapkan karena pangeran tampaknya demikian gembira maka menjelang tengah malam dua
orang itu memadamkan lampu dan Hui-ongya membawa masuk si banci ini ke kamar pribadinya.
Orang hanya mendengar desah dan kekeh ditahan, pintu ditutup dan padamlah lampu kamar itu pula.
Lalu ketika semuanya menjadi gelap dan orang benar-benar tak tahu apa yang diperbuat dua orang ini maka
hari-hari berikut si banci ternyata menjadi sahabat istimewa Hui-ongya, bahkan katanya dijadikan saudaraKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
287 angkat!
-0- Empat hari sejak peristiwa itu adalah nasib buruk bagi Jing-ji-mi-to. Membawa penasaran dan sakit
hatinya oleh kekalahan di depan Hui-ongya ternyata diam-diam hwesio ini tak mau sudah. Memang benar ia
tak menyatroni lawannya itu lagi, apalagi setelah lawannya itu berada di tempat Hui-ongya, tinggal dan
tampaknya bersenang-senang di gedung pangeran ini. Tapi ketika kakek ini tak dapat menahan kekalahannya
dan malam itu ia bermaksud menebus malu maka dibawanya Eng-seng-thiong si Kutu Peniru Suara itu.
"Kau harus membantuku membunuh si keparat ini. Kita sesama rekan, Eng-seng-thiong, jangan
biarkan nama Pengawal Bayangan hancur. Ia sombong, dan terus terang kepandaiannya amat tinggi. Aku tak
berani mengeluarkan semua kepandaianku di waktu berhadapan dengan Hui-ongya itu. Nah, bantu aku dan
kita bunuh dia, ajak keluar kota raja!"
"Hm, nanti dulu, aku sudah mendengar kekalahanmu itu. Siapa dia sebenarnya, Mi-to. Bagaimana
sekarang berada di tempat Hui-ongya dan bahkan menjadi saudara angkat. Apakah tidak berbahaya
menghadapi orang ini, terutama bila ditanya pangeran itu."
Kita boleh sungkan terhadap Hui-ongya, tapi bukan kepada keparat sombong itu. Ia melakukan
sesuatu yang tidak wajar pada ongya, Seng-thiong, masa begitu kenal sudah diangkat saudara! Aku melihat
sesuatu yang tidak beres pada pemuda ini, banci yang menyebalkan itu!"
"Hm-hm, baiklah, aku juga tertarik. Tapi katakan bahwa semuanya tanggung jawabmu. Aku tak mau
mendapat marah Hui-ongya."
"Beres! Aku memikul semua tanggung jawab ini. Kau bawa dia keluar kota raja dan di sana kita
bunuh!"
Begitulah, malam itu Jing-ji-mi-to sudah mengambil ancang-ancang. Dia menunggu saat yang baik
dan ketika semuanya siap Eng-seng-thiongpun disuruhnya bergerak lebih dulu. Kutu Peniru Suara itu sudah
diberi tahu kamar tempat si banci ini, yakni di belakang kamar Hui-ongya tak begitu jauh dari ruang dalam.
Eng-seng-thiong geleng-geleng kepala melihat nasib bagus si banci ini, diam-diam juga iri. Namun karena ia
tak pernah disakiti dan tak ada dendam atau sakit hati seperti Jing-ji-mi-to maka ia tak begitu buru-buru atau
setegang kawannya.
Ia sendiri belum merasakan kelihaian si banci itu namun diam-diam juga penasaran. Kalau temannya
kalah maka dapat dibayangkan kepandaian si banci itu, padahal ia dan Mi-to setingkat. Dan ketika malam itu
ia berkelebat dan langsung mengintai dari luar jendela, kentongan sudah dipukul satu kali maka berserilah
kakek ini melihat betapa lawan yang diintai meringkuk di atas pembaringan. Eng-seng-thiong
menggantolkan sepasang kakinya seperti kelelawar.
"Heh-heh, tampaknya seperti pemuda pemalas. Hm, kau agaknya berlebihan memuji anak ini, Mi-to.
Lihat ia memeluk guling seperti anak kecil menyusu ibunya. Heh-heh, kutotok ia dari sini dan lihat apa
reaksinya!" Eng-seng-thiong tertawa dalam hati dan secepat itu menimpukkan sebutir batu hitam. Dari
lubang jendela ia dapat melakukan itu dengan mudah. Dan ketika pemuda itu mengeluh dan tersentak seperti
orang kaget, menggeliat dan telungkup maka ditendanglah jendela dan kakek itu meluncur masuk.
"Mi-to, kau tampaknya ketakutan sangat. Lihatlah, ia begitu mudah kurobohkan, heh-heh.....!"
Kakek ini gembira dan sudah menginjakkan kakinya di lantai kamar. Ia berseri dan tertawa dan
melihat betapa mudahnya merobohkan pemuda ini tentu saja ia terkekeh-kekeh. Rekannya itu dianggapnya
penakut, berlebihan. Maka ketika ia menyambar dan menarik lawannya itu, baru kali ini berhadapan dengan
si banci maka Eng-seng-thiong memuji kagum karena pemuda itu memiliki ketampanan sekaligus
kecantikan yang aneh. Sepasang anting-anting di kedua telinga itu gemerlap ditimpa cahaya lampu. Wajah
itu halus dan kewanita-wanitaan dengan yanci (pemerah pipi) sebagaimana layaknya para pesolek.
"Heh-heh, anak seperti ini membuat Jing-ji-mi-to terbirit-birit. Wah, kau membuat aku hampir tak
percaya, Mi-to. Kalau aku mau sekarang juga ia dapat kubunuh. Tapi, hm.... kita sudah berjanji. Baiklah ia
kubawa keluar dan di sana kuserahkan!" Eng-seng-thiong tak banyak cakap dan memondong si banci ini. Ia
telah cukup memandangi wajah itu dan yakin lawan tak bergerak lagi. Totokannya mengenai dengan jitu.
Maka ketika ia berkelebat keluar dan Jing-ji-mi-to tertegun di pagar tembok, hwesio itu menunggu di sana
maka kakek ini terkekeh dan langsung keluar kota raja.
"Mi-to, kau kodok gemuk yang penakut sekali. Lihat ia kubawa dan kurobohkan dengan mudah. Heh-Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
288 heh, mari keluar sana dan aku tertarik pada perhiasan yang dipakai di kaki dan tangannya ini!"
Hwesio itu berkelebat dan mengejar temannya. Di tubuh si banci ini ternyata bertambah perhiasan
lain, gelang-gelang emas yang tentu didapat dari Hui-ongya. Maka berseri dan girang bahwa lawan begitu
mudah dirobohkan, hwesio ini melesat ke depan maka Jing-ji-mi-to berseru agar tak usah keluar pintu
gerbang saja.
"Ia sudah roboh, bagus. Bawa saja ke kuil di sebelah barat itu dan biar aku membunuhnya!"
"Heh-heh, tak jadi keluar pintu gerbang?"
"Tak usah. Ia sudah di tangan kita, Seng-thiong. Kalau ia belum roboh tentu saja perlu dipancing
keluar kota. Tapi kau telah melumpuhkannya, berhenti di kuil tua itu dan kita habisi di situ saja!"
Eng-seng-thiong tertawa dan berkelebat memasuki kelenteng tua yang dimaksud temannya ini. Jing-jimi-to menyambar dan hwesio itu berada di sebelahnya. Lalu ketika dua orang ini berhenti dan tertawa-tawa,
tawanan tampak tetap pingsan maka hwesio itu bertanya bagaimana si Kutu ini begini mudah merobohkan
lawan.
"Ia tidur, kutimpuk batu hitam. Ha-ha kau terlampau penakut, Mi-to. Anak seperti ini tak pantas
menjadi orang lihai. Ia lebih tepat seperti anak pemalas putera hartawan!"
"Hm, berikan padaku. Aku ingin cepat-cepat membunuhnya!"
"Nanti dulu, kulepas dulu gelang-gelang perhiasannya ini. Wah, semua barang bagus, kwalitas utama.
Ha-ha, kau tak boleh mengambilnya, Mi-to, ini upahku!"
"Baiklah, baik. Ambil semua itu dan biarkan aku menikmati pembalasanku!" si hwesio tak sabar dan
melihat temannya melolosi semua barang-barang itu. Hanya sepasang anting-anting di telinga itu agak sukar,
Eng-seng-thiong akhirnya melepaskannya. Lalu ketika kakek. ini melompat mundur terkekeh menikmati
barang-barang rampasannya, mata terbelalak kagum maka Jing-ji-mi-to ganti menyambar tawanannya itu
melotot geram. Si banci masih pingsan.
"Heh, kau!" serunya penuh gemas. "Malam ini kau mampus, bencong sombong. Tapi aku akan
menyiksamu perlahan-lahan dan lihat betapa sakit hatiku terbalas sempurna!" Jing-ji-mi-to menotok dan
mengguratkan kukunya yang panjang ke leher lawan. Ia mengerahkan sinkang dan kuku jarinya menjadi
hitam, itulah pengerahan racun yang akan membuat lawan terbakar tubuhnya. Panas dan gatal akan
menggigit. Tapi ketika kuku jarinya tak mempan menggores kulit, leher itu tiba-tiba mengeras seperti baja
maka kakek ini terkejut dan tiba-tiba sebelah dari mata pemuda itu terbuka, mengedip. Bibir itu mengejek
namun mata itu segera menutup lagi.
"Eh!" si hwesio tersentak dan bergerak mundur. Jing-ji-mi-to terkejut dan membelalakkan mata,
apakah penglihatannya tadi benar atau tidak. Namun ketika tawanan benar-benar pingsan dan ia hilang
kagetnya maka hwesio ini maju lagi dan menganggap bahwa penglihatannya tadi kacau, terkekeh.
"Ha, kau membuat aku kaget, sialan. Kalau kau berani membuka matamu lagi maka kucoblos biar
buta. Hm, mana mungkin orang pingsan membuka sebelah matanya!" Hwesio ini geli dan menggerakkan
tangannya menggurat lagi. Ia penasaran kukunya tak mampu menggores, jangan-jangan kurang tenaga. Maka
ketika ia mengerahkan sinkangnya hingga kuku itu menjadi hitam pekat, sejenis racun ular welang siap
melukai kulit lawan maka ia tertegun dan heran serta tercengang bahwa lagi-lagi ia gagal. Leher itu liat dan
atos seperti lempengan baja!
"Eng-seng-thiong!" serunya gemas memanggil temannya itu. "Apa yang kau lakukan pada jahanam ini
hingga kukuku tak mampu menggurat!"
"Heh-heh, kenapa berteriak-teriak?" si Kutu menoleh. "Aku tak melakukan apa-apa kecuali
menotoknya pingsan, Mi-to. Jangan-jangan kau kehabisan tenaga setelah semalam bersenang-senang dengan
kekasihmu."
"Keparat, atau mungkin kekuatan jariku lembek. Biar kucoba!" Jing-ji-mi-to heran dan mengepretkan
jarinya ke dinding tembok, terdengar suara mendesis dan ternyata tembok itu retak, hangus dan hitam. Lalu
ketika dia terbelalak dan berseru penasaran maka iapun menghunjamkan kelima jarinya ke leher si banci itu.
"Plak!"
Si hwesio berteriak. Kali ini ada tenaga tolak besar yang membuat kelima kukunya mental. TenagaKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
289 tolak itu mengingatkannya pada peristiwa ketika ia ditangkis si banci ini, empat hari lalu. Dan ketika Engseng-thiong juga terkejut dan menyimpan gelang rampasannya, terbelalak melihat hwesio itu terhuyung
maka wut... pemuda itu bangkit duduk dan terkekeh, merdu dan nyaring. Persis wanita!
"Hi-hik, keledai gundul tak tahu diri. Hm, aku tak mau mengampunimu lagi, Jing-ji-mi-to, berani
benar kau hendak membunuhku. Majulah, tiga jurus kau roboh!"
Jing-ji-mi-to kaget bukan main. Sadarlah ia sekarang bahwa kejadian tadi bukanlah mimpi, yakni
ketika ia, melihat sebelah mata pemuda ini bergerak. Ia benar-benar melihat mata pemuda itu dibuka namun
ditutup lagi. Sesungguhnya ia dipermainkan! Dan kaget serta gentar juga ngeri, hwesio ini mundur dengan
muka pucat adalah Eng-seng-thiong justeru bergerak ke depan maju terkekeh, melihat rekannya itu demikian
ketakutan.
"Heh-heh, ada aku di sini, tak perlu takut. Eh, kita berdua telah berjanji untuk memberesi lawanmu ini,
Mi-to, jangan mundur. Ayo maju atau aku yang menangkapnya lagi. Kenapa ia lepas!" kakek itu
menjulurkan lengan dan tahu-tahu kelima jarinya mencengkeram pundak si banci ini. Eng-seng-thiong tak
tahu kelihaian lawan dan karena itu memandang rendah. Ia masih tak percaya omongan Mi-to. Maka ketika
ia terkejut tapi segera hilang kagetnya, bergerak dan menyambar pemuda itu kakek ini siap terkekeh
mentertawakan rekannya yang dianggapnya begitu penakut. Namun kejadian mengejutkan membuat Kutu
Peniru Suara ini terpekik, yakni ketika kelima jarinya sudah mengenai pundak lawan. Tepat sekali bahu atau
pundak itu dicengkeram tapi ketika pundak itu seakan bara api, ia tersentak dan melepaskan jarinya maka
kakek itu terhuyung dan membelalakkan mata.
"Aiihhhh!"
Tapak Tangan Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jing-ji-mi-to mengerti. Ia melihat telapak yang mengepulkan asap dan wajah kaget si Kutu Peniru
Suara itu. Ia tahu apa yang terjadi. Tapi ketika Eng-seng-thiong membentak dan maju menyerang lagi, kali
ini menusuk wajah lawan maka si banci mengelak dan tartawa dingin.
"Eng-seng-thiong, jangan ikut campur urusan ini. Biarkan babi gemuk itu maju."
Kakek tinggi kurus ini panasaran. Serangannya luput dan lawan mengejek dengan kata-kata dingin, ia
marah dan maju lagi. Dan ketika kakinya bergerak cepat dan ia bertubi-tubi menusuk dan mencengkeram,
bahkan kakinya melakukan tendangan mencuat dari bawah ke atas maka Kutu Peniru Suara ini terkejut
ketika lawan tiba-tiba berkelebat lenyap.
"Eng-seng-thiong, sekali lagi mundurlah. Atau aku melemparmu keluar!"
Kakek ini memekik. Ia kehilangan lawan namun segera melihat bayangan biru di atas. Ternyata
lawannya itu meloncat dan hinggap di belandar kayu, tinggi dari tempat itu. Namun karena ia bukan orang
sembarangan dan ilmu meringankan tubuhnya juga hebat maka Kutu ini menjejakkan kakinya dan
mengembangkan kedua tangan bagai burung menyambar, menghantam dari bawah.
"Turunlah, atau kau mampus!"
Lawan tertawa dingin. Si banci tak mengelak namun kali ini ujung kakinya menyambut, pukulan atau
hantaman Eng-seng-thiong dipapaknya dengan ujung kaki itu. Dan ketika Kutu Peniru Suara itu terbanting
dan mencelat ke bawah, bergulingan maka kakek itu pucat berteriak keras. Pukulannya membalik dan dari
ujung kaki itu meluncur dua paku hitam yang ditangkisnya buru-buru, gugup.
Salah Sambung Ii 2 Gembira Karya Oom Arthur Tiga Naga Sakti 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama