Ceritasilat Novel Online

Dewi Tombak 6

Dewi Tombak Karya Unknown Bagian 6


hanya mementingkan dirinya sendiri saja?"
"Syjur juga aku keburu mengetahui hal ini, hingga aku berhasi mendapat kesempatan untuk
menolong Siauw Ceng dari dalam tangan manusia keji itu!"
Yo Su Nio jadi terbengong mendengar penuturan si nenek itu hingga untuk sesaat lamanya ia
membisu tanpa berkata-kata barang sepatahpun.
"Sungguh tidak kunyana," katanya kemudian sambil menghela napas dan menggelengkan
kepalanya.
Masih banyak pertanyaan-pertanyaan hendak diajukannya tapi semua itu belum lagi terlaksana,
ketika dari arah pesanggerahan Hap Nouw Siu Bun terdengar suara ribut-ribut yang dibarengi
dengan munculnya sinar obor yang terang benderang, sedang suara beradunya berbagai macam
senjata membuat orang lantas menduga bahwa di arah sana tiba-tiba telah terjadi pertempuran
yang dahsyat sekali.
Su Nio melompat bangun sambil menghunus pedangnya.
"Para serdadu di sana rupanya baru mengetahui, bahwa orang tawanan mereka telah lenyap."
katanya
"Tapi pertempuran yang berlangsung di sana bukanlah dilakukan oleh beberapa orang saja," kata
Pek In sambil memasang telinga mendengarkan.
Dalam pada itu Su Nio segera panjat sebuah pohon yang tinggi, dari mana ia menyaksikan tentara
Kim sedang bertempur dengan serombongan orang-orang yang berbaju merah, yang seketika itu
juga dapat dikenalinya sebagai kawan-kawannya sendiri, yakni mereka yang oleh pemerintah Kim
dinamakan kaum pemberontak Jaket Merah itu.
Menyaksikan hal itu, karuan saja nona itu jadi sangat girang dan menganjurkan mereka untuk
berjuang dengan sekuat tenaga menggempur serdadu kaum penjajah itu.
Tapi karena pertempuran tengah berlangsung dengan amat seru dan hebatnya maka seruan Su
Nio telah tenggelam diantara orang banyak, hingga sia-sia saja ia menarik perhatian para kawan
seperjuangannya yang sedang bertempur dengan musu itu.
Sementara Su Nio yang kemudian insaf tentang tidak bergunanya ia menyerukan kawankawannya itu, lekas-lekas ia turun dari atas pohon dan memberitahukan hal ini kepada si nenek,
hingga Pek In jadi girang dan lalu menganjurkan Su Nio untuk menggabungkan diri dengan
mereka sendiri menantikannya di situ, untuk kemudian mengikut mereka naik gunung dengan
mengajak Siauw Ceng yang baru ditolongnya itu.
Su Nio menurut dan lalu kembali ke semak-semak dimana ia telah membuat kedua peronda tadi
tidak berdaya karena ditotok jalan darahnya, dimana lekas-lekas ia menukar pula pakaiannya,
kemudian turun menyerbu dengan kawan-kawannya untuk membasmi tentara kaum penjajah
yang ketika itu dipimpin oleh seorang pahlawan wakil Hap Nouw Siu Bun.Seperti apa kata Yo Su Nio tadi, memang benarlah rombongan orang-orang yang melakukan
penyerbuan itu bukan lain daripada kaum Jaket Merah yang dikepalai aleh Yo An Jie dan Ngo
Sian Tie, yang telah menerjang ke pesanggerahan Hap Nouw Siu Bun karena mendengar kabar
angin, bahwa Su Nio kena tertawan dan dipenjarakan oleh kaum penjajah dalam pesanggrahan
tengah. Tidak tahunya laporan yang diterima mereka agak kurang jelas berhubung orang yang
ditawan musuh itu bukan Yo Su Nio, tapi Siauw Ceng yang telah ditolong oleh Pek In itu.
Tapi mereka tak sempat membeda-bedakan berita mana yang benar atau tak benar, hingga Yo
An Jie dan Ngo Sian Tie segera mengerahkan tenaga para liauwio di bawah perintah mereka untuk
mengadakan penyerbuan kilat untuk menolong Yo Su Nio yang ditawan itu, yang sebenarnya
sama sekali tak pernah ditawan musuh-musuhnya, pertempuran berlangsung sehingga beberape
lamanya, segera tampak dengan jelas sekali, bahwa pasukan kaum penjajah tak sanggup melawan
apa yang mereka namakan kaum pemberontak, sehingga mereka lari tunggang langgang tanpa
memikirkan keselamatan kawan-kawan sendiri. Sedang rombonan Yo An Jie yang melihat
pasukan bangsa Kim lari simpang siur, segera dengan beramai-ramai mempergunakan api untuk
membakar pesanggerahan musuh, sehingga dengan sekejap saja api tampak berkobar di empat
penjuru, dengan para penghuninya segera kabur bagaikan sekawanan semut yang sarangnya
dibakar orang secara tiba-tiba.
Oleh sebab itu, tidaklah heran jika dalam sedikit waktu saja serdadu Kim telah dapat dihancurkan,
sedang pemimpinnya telah lenyap entah kemana perginya.
Yo Su Nio yang maju ke medan pertempuran setelah dapat merampas seekor kuda tunggang dan
sebatang tombak dari pihak lawan, dengan lantas dapat dikenali oleh anak buah dan rekanrekannya hingga mereka dengan serentak terdengar berseru, "Yo Siocia telah terbebas dari tangan
musuh! Yo Siocia telah terbebas dari tangan musuh!"
Sedang Yo An Jie dan Ngo Sian Tie segera kaburkan kuda masing-masing datang menghampiri
sambil bertanya dengan suara hampir berbareng, "Apakah adik tidak disiksa selama dalam tangan
musuh?"
Su Nio hanya mengganda, tersenyum dan menjawab, "Sungguh aneh sekali. Siapakah yang
mengatakan bahwa aku ditawan musuh? Orang yang ditawan musuh itu adalah seorang nona
bernama Siauw Ceng, yang semula kusangka Siauw Giok......"
"Apakan engkau telah memasuki pesanggerahan musuh secara diam-diam?" kata Yo An Jie tidak
sabaran.
"Tidak," sahut si nona, "Tapi aku justeru telah berpapasan dengan nenek Pek In, guru Siauw
Giok, yang kau juga pernah menjumpainya, diwaktu ia menolong aku dari kejaran Siu Leng
Siangjin dan Ciu Tek Seng tempo hari."
Kemudian lalu dituturkannya riwayat perjalanannya sejak ia berangkat dari atas gunung sehingga
berjumpa dengan mereka pada petang hari itu.
Sementara Yo An Jie yang mendengar adiknya menyebut-nyebut tentang si nenek yang semula
disangkanya buta sungguhan itu segera mengajak Su Nio dan kawan-kawan yang lainnya untuk
pergi menjumpainya serta mengajaknya untuk sama-sama naik ke atas gunung, sambil
mengangkut juga Siauw Ceng yang baru ditolong nenek itu dengan sebuah tandu.Sesampainya di atas gunung, An Jie segera memperkenalkan si nenek pada para rekan dan orangorang bawahannya, sambil tidak lupa mengatakan bahwa nenek Pek In ini adalah salah seorang
lie-hiap atau pendekar wanita yang disegani orang dalam kal angan Bu-lim di masa itu, hingga si
nenek merasa amat senang mendengar pujian Yo An Jie yang sangat muluk itu.
Tapi meski semua orang kini telah berkumpul di atas gunung hati Yo Su Nio masih tetap merasa
tidak senang, berhubung Thio Siauw Giok masih belum diketahuinya kemana perginya.
Apakah ia pergi mengikut Hap Nouw Siu Bun ke Kota raja? atau ditawan oleh pihak musuh yang
telah menahannya secara diam-diam?
Jika semua dugaannya itu meleset, kemanakah gerangan perginya sang adik itu?
Siang dan malam Su Nio selalu khawatir atas diri Siauw Giok dan merasa tidak tenang pikirannya
oleh karenanya, sehingga akhirnya ia jatuh sakit.
Syukur juga Pek In paham ilmu pengobatan, hingga selama ia di atas gunung, ia dapat merawat
Su Nio serta mengatakan bahwa pada suatu hari Siauw Giok pasti akan kembali dan berkumpul
pula dengan si nona seperti sediakala. Sedang ia sendiri jika dirasa perlu, akan turut juga pergi
mencari nona yang binal itu.
"Siauw Giok memang kerap timbul sifatnya yang otak-otakan." Kata si nenek itu, "Tapi
percayalah kepadaku, bahwa dia bukan seorang yang pendendam, maka lambat-laun ia pasti akan
kembali pula ke sini."
Su Nio hanya menganggukkan kepalanya dan mengganda tersenyum saja, walaupun rasa
khawatir tak pernah menjadi berkurang karena hiburan si nenek itu.
Pada suatu petang selagi Su Nio duduk termenung di dalam kamar, tiba tiba ia telah dikejutkan
oleh suara ribut-ribut para liauwlo yang lari naik ke atas gunung melaporkan sesuatu hal kepada
Yo An Jie dan Ngo Siang Tie, hingga Yo An Jie cepat memberi komando, "Segera bersiap-siap
sedang rombongan para liauwlo boleh dipecah menjadi empat jalan!"
Sementara Su Nio yang mendengar omongan itu, iapun segera keluar menanyakan, ada hal
apakah yang telah membuat suasana jadi gempar itu?
"Di suatu tempat yang agak jauh." kata Yo An Jie. "Tampak rombongan oang-orang berkuda
yang membawa obor dan menuju tepat ke jurusan gunung kita ini. Oleh sebab itu ada
kemungkinan mereka hendak menggempur markas kita di sini, berhubung pesanggerahan Hap
Nouw Siu Bun telah kita obrak-abrik dan musnahkan dengan api!"
Yo Su Nio menganggap bahwa omongan kakaknya itupun masuk masuk akal juga. Lalu iapun
segera bersiap-siap, menyoren pedangnya dan menjinjing tombak Lee-hoa-chio, di tangannya.
Tapi ketika baru saja ia hendak memerintahkan anak buahnya mengambil kudanya dari istal,
seorang liauwlo telah melapor kepada Yo An Jie di ruangan Ci-gi-thia, bahwa rombongan orang
berkuda yang sedang mendatangi itu bukanlah tentara musuh tapi tentara Kok An Yong yang
dipimpin oleh Sin-chio Lie Cwan.
Yo An Jie dan yang lain-lainnya jadi heran dan tak paham apa maksudnya mereka dari markas
gunung barat telah membawa tentara mereka datang ke situ. Tapi ketika Yo An Jie hendak turun
gunung untuk menyambut mereka, Su Nio cepat melarangnya ia berkata,"Koko, sabar dulu!Jangan sembarangan turun gunung sebelum menyelidiki terlebih dahulu, apakah tentara yang
yang mendatangi itu sesungguhnya tentara Kok Toako atau bukan? Karena dalam keadaan kalut
seperti sekarang ini, kita sukar membedakan antara kawan dan lawan. Lebih-lebih karena baru
saja kita menggempur pesanggerahan Hap Nouw Siu Bun, maka ada kemungkinan pihak musuh
hendak membokong markas kita dengan berpura-pura mengaku sebagai tentara Kok Toako.
Dengan demikian, mereka dapat melakukan serangan kilat selagi kita tidak siap sedia."
"Itu benar, itu benar," kata Ngo Sian Tie yang menyatakan mupakat atas pendapat si nona itu.
Yo An Jie turuti apa kata adiknya dan membatalkan maksudnya untuk menyambut kedatangan
tentara yang sedang mendatangi itu.
Tidak antara lama datang menghadap pula seorang liauwlo yang lainnya, ia melaporkan bahwa,
pasukan tentara yang sedang mendatangi itu memang sesungguhnya pasukan liauwlo Kok Toako
Kok An Yong dari markas gunung barat, dengan Kok Toako sendiri turut datang bersama-sama
Sin-chio Lie Cwan.
"Heran, heran," kata Su Nio, "Aku sungguh tak mengerti apa maksudnya mereka datang kesini."
Kemudian ia panggil liauwlo yang membawa kabar itu sambil ditanya, "Apakah pasukan Kok
Toako itu masih dalam keadaan utuh?"
"Semua utuh dan teratur rapi,"
Oleh sebab itu, Yo Su Nio lalu mengajak Yo An Jie segera turun gunung untuk menyambut kawan
seperjuangan mereka.
Kok An Yong dan Lie Cwan serta kawan-kawan kelihatan gembira sekali melihat Yo Su Nio dan
yang lain-lainnya sehat wal afiat dan tidak kurang suatu apapun.
Tatkala para tamu itu dipersilakan naik gunung dan berkumpul di ruangan Ci-gi-thia, Su Nio
sengaja mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang agak samar mengenai maksud kedatangan
mereka ke markas di situ. Karena jika ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung, ia
khawatir Kok An Yong dan kawan-kawan akan merasa tersinggung oleh karenanya.
"Maksud kedatangan kami ke sini." menerangkan Kok An Yong kemudian "Bukanlah sematamata atas maksud sendiri, itulah karena undanganmu juga di sini, bukan?"
Su Nio dan yang lain-lainnya jadi heran dan ternganga mendengar jawaban itu.
"Aku harap terlebih dahulu Kok Toako dan saudara-saudara jangan menjadi kecil hati karena
pertanyaan-pertanyadnku itu tadi," kata nona itu, "Begitupun kalian jangan merasa kecewa jika
saudara-saudara mendengar jawaban kami. Kami di sini selama ini belum pernah mengirim
utusan untuk mengundang Kok Toako dan saudara-saudara sekalian datang ke markas kami ini.
Oleh sebab itu, aku mohon tanya, melalui siapakah Toako sekalian telah menerima undangan
kami di sini?"
Seperti juga pihaknya Yo Su Nio, Kok An Yong dan kawan-kawanpun jadi saling lihat-lihatan
ketika mendengar pertanyaan itu. Tapi akhirnya si orang she Kok lalu merogoh sakunya dan
memperlihatkan sepucuk surat undangan kepada nona itu sambil berkata, "Kami sekalian datang
berkunjung ke sini karena menerima surat undanganmu ini."
"Surat undanganku?" kata Yo Su Nio sambil membuka matanya lebar-lebar.Surat undangan itu antara lain berbunyi sebagai berikut,
Saudara Kok An Yong dan Kawan-kawan Seperjuangan Yang Terhormat, Dalam keadaan dunia kalut
serupa ini, segala peristiwa bisa terjadi secara tiba-tiba dan diluar dugaan. Pada beberapa waktu ini, kami
mendengar pihak kaum penjajah hendak menggempur markas-markas kita di sana sini secara besar-besaran.
Hal mana, memang telah kuduga dari di muka, bahwa peristiwa seperti itu lambat laun akan kita alami
juga. Tapi berhubung kini sudah tampak semakin jelas dan sukar dihindarkan pula.
Maka sebelum kita digempur dengan tiba-tiba hendaknya kita bersiap-siap dari awal, dengan segala
kesempata dan cara yang masih dapat kita lakukan. Dan salah satu cara yang dianggap paling baik untuk
kita lakukan sebagai tindakan pertama adalah mempersatukan pasukan kita dan memusatkannya di suatu
tempat.
Dengan demikian kita dapat bekerja sama dengan erat dan melawan musuh kita dengan serentak dan semua
tenaga yang kita miliki.
Ol eh sebab itu, seterimanya surai ini, kami mengharap supaya saudara sekalian sudi mengunjungi markas
kami di gunung timur untuk membicarakan serta merembukkan soal persatuan pasukaan tersebut secara
seksama dan sesempurna-sempurnanya.
Sekian.
Menantikan kedatangan saudara-saudara sekalian.
Hormat kami.
A.n. pimpinan markas gunung timur.
YO SU NIO.
Su Nio jadi sangat terkejut membaca surat atas nama dirinya tersebut.
"Aku tak pernah mengirim surat undangan serupa ini." Kata Su Nio akhirnya, "Dari siapakah
Kok Toako menerima surat ini."
"Surat ini telah kami terima dari seorang liauwlo yang menurutnya telah diperintah olehmu di
sini," Sahut Kok An Yong. "Sesudah itu ia lekas-lekas, ia meminta diri dan berlalu, berhubung
masih tugas lain yang belum diselesaikannya. Demikianlah kata liauwlo itu."
"Celaka!" kata Yo Su Nio. "Inilah pasti siasat busuk musuh yang sengaja hendak mengumpulkan
kita di suatu tempat untuk kemudian menggempur dan memusnahkan kita sekalian dengan
sekaligus!"
Dan tatkala Kok An Yong, Lie Cwan dan yang lain-lainnya mendengar keteranganYo Su Nio,
sudah barang tentu merekapuun jadi sangat terkejut. Tapi, siapakah gerangan yang telah mengatur
siasat itu?
Mereka sekalian agak bingung memikirkannya, tapi Su Nio segera teringat akan siasat Hap Nouw
Siu Bun yang didengarnya dengan melalui percakapan dengan Thio Siauw Giok!
Apakah Siauw Giok rela diperalat oleh pihak musuh untuk mencelakai kawan-kawan sendiri?Jika bukan Siauw Giok yang membantu pihak musuh untuk mengatur siasat ini, cara bagaimana
surat itu dapat disusun begitu rapi, sehingga itu seolah-olah disusun oleh orang dalam yang
mengerti sangat baik tentang seluk-beluk keadaan di kedua markas yang terletak di kedua gunung
serta nama-nama tokoh yang berkuasa situ?
Oleh sebab itu sedikit banyak Su Nio mempunyai dugaan yang tidak baik juga terhadap diri Siauw
Giok, lebih-lebih Su Nio pernah menentangnya dengan keras, ketika Siauw Giok menyarankan
agar markas-markas di kedua gunung itu dipersatukan serta di suatu tempat yang tertentu, jika
surat itu bukan disusun oleh Siauw Giok dengan cara bagaimana, dapat ditelurkannya saran-saran
seperti apa yang pernah dibicarakan itu tempo hari? Su Nio merasakan kepalanya pening
memikirkan persoalan yang satu ini.
"Jika ternyata diantara kalangan kita ada pengkhianat atau musuh dalam selimut." kata Yo An
Jie dengan suara keras. "Niscaya akan kupenggal kepalanya seketika ini juga!"
Tapi Ngo Sian Tie segera menyabarkan hati si pemarah itu, agar jalannya perundingan tidak
sampai terganggu oleh karenanya.
Oleh sebab itu, An Jie pun terpaksa menutup mulut, meskipun ia merasa curiga, kalau-kalau hal
ini telah terjadi karena Pengkhianatan Siauw Giok secara diam-diam. Tapi syukurlah dia tak
langsung menyebutkan nama Siauw Giok, hingga keributan lebih jauh masih dapat dicegah.
Demikianlah sesudah berembuk beberapa jam lamanya, mereka beramai telah mengambil suatu
keputusan yang bulat, bahwa urusan markas-markas kaum Jaket Merah, takkan diubah, malah
hubungan mereka dipererat dengan suatu pertemuan setiap Ce-it dan Cap-go, atau tanggal 1 dan
15 pada tiap-tiap bulan, dimana kedua pihak boleh mengajukan saran-saran sesuatu serta
memberikan laporan-laporan tentang pekerjaan masing-masing, apa-apa yang perlu diperbaiki,
diubah atau ditambah, untuk melancarkan pekerjaan revolusi terhadap kaum penjajah yang
tengah ditempuh mereka itu. Sedang semboyan PANTANG MUNDUR dibagi-bagikan diantara
para anggota dan liauwlo kedua pihak, kemudian perembukan tersebut ditutup dengan suatu
perjamuan yang meriah.
Pada keesokan harinya ketika Kok An Yong dan rombongannya hendak kembali ke gunung barat,
tiba-tiba para pengawal pribadi An Jie masuk melaporkan, bahwa mereka telah melihat Kwee
bersaudara. Setelah keadaan telah menjadi gawat begini rupa." Kata Yo An Jie, maka berdua
saudara dengan mengajak beberapa orang untuk segera mendatangi ke bawah gunung dengan
wajah yang merasa heran.
Semua orang jadi terkejut, terutama Kok An Yong dan Sin-chio-Lie Cwan.
"Ada kemungkinan di sana telah terjadi sesuatu peristiwa yang tidak diinginkan." kata Yo Su
Nio dengan perasaan hati tidak enak.
"Akupun merasa cocok dengan pendapatmu," kata Kok An Yong.
"Segeralah engkau persilahkan supaya saudara Kwee dan yang lain-lainnya naik ke atas gunung,"
Yo An Jie dan Ngo Sian Tie memerintahkan si pengawal itu dengan suara yang hampir berbareng.
Si pengawal menyahut. "Baik!" dan segera mengajak beberapa orang kawannya untuk pergi
menyambut mereka.
Sedang Yo Su Nio dan kawan-kawan lalu mengikuti di belakang para pengawal itu.Begitu Kwee Liat dan Kwee Kin saling bertemu muka dengan Yo Su Nio, Kok An Yong dan yang
lain-lainnya, dengan lantas mereka memberi hormat sambil berkata, "Celaka! Markas kita telah
diserbu tentara kaum penjajah dan dimusnahkan dengan api, maka kami sekalian terpaksa
membuka jalan darah dan mundur ke sini untuk berlindung dari bencana besar yang telah
menimpa pada markas kami dan saudara-saudara di sana!"
"Aiii, gerakan ini sungguh tepat sekali dengan apa kata adik Su Nio tadi!" kata Lie Cwan sambil
menghela napas.
"Ya, benar," sahut si nona. "Itulah suatu siasat yang dikenal orang dengan nama sebutan Tiauwhauw-li-san, atau memancing-harimau keluar dari gunung tempat persembunyian. Suatu balasan
tunai atas penyerbuan kilat yang telah kita lakukan terhadap pesanggerahan Hap Nouw Siu Bun
yang orangnya justeru tengah berkunjung ke kota raja!"
Kwee Liat dengan suara lesu, "Apakah yang kiranya baik akan kita lakukan selanjutnya? Markas
kita di gunung barat telah diduduki musuh hingga kedudukan kita sekarang menjadi terkatungkatung......."
"Adik Kwee tak usah khawatir atau berkecil hati karena kejadian ini," kata Kok An Yong dengan
maksud menghibur. "Karena, ingatlah bahwa kalah atau musnah dalam peperangan sudah
menjadi soal yang lumrah dan jamak. Jika kita masih hidup, sudah barang tentu kita masih
mempunyai kesempatan merebut kembali markas kita di gunung barat itu. Kita pasti akan menang
dalam perjuangan kita untuk menumpas kaum penjajah. Jika toh usaha kita sampai kejadian
gagal, keturunan kita pasti akan dapat melanjutkan usaha itu, asalkan semangat PANTANG
MUNDUR dipupuk dengan sebaik-baik dari sekarang agar dapat menghasilkan bunga-bunga
bangsa yang lebih unggul dan bersatu hati dalam hal menolak bahaya yang datang mengepung
negeri kita dari daerah lain di luar Tembok Besar!"
"Kami mupakat dengan omongan Kok Toako itu!" kata orang banyak sambil menyambut katakata yang bersemangat itu dengan tepukan tangan riuh.
"Dengan berpegang kepada semboyan PANTANG MUNDUR dan TAK MUDAH PUTUS


Dewi Tombak Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ASA." kata Sin-chio Lie Cwan sebagai sambutan atas seruan Kok An Yong tadi, "Pasti kita akan
menang dalam perjuangan kita ini!"
Dengan demikian, kembali orang banyak telah menyambutnya dengan tampik sorak yang tidak
kalah ramainya daripada tadi.
Oleh karena mendengar omongan kedua orang pemimpin mereka yang penuh semangat itu, maka
Kwee Liat berdua saudara yang semula tampak agak lesu, segera bangkit dari tempat duduk
masing-masing sambil berkata. "Bagaimana pendapat saudara-saudara sekalian, jika seumpama
kita melakukan penyerbuan kilat untuk merebut kembali markas kita di gunung barat pada waktu
sekarang ini juga? Kami berdua saudara bersedia akan tampil dimuka dan menyerbu sebagai
orang-orang pertama yang akan mengorbankan jiwa untuk bertempur dengan musuh-musuh yang
bercokol di sana!"
"Apakah Ji-wi Hian-tee telah ketahui," kata Kok An Yong, "Siapa pemimpin tentara yang
menduduki markas kita itu?"
Seorang biarawan tua yang bernama Siu Leng Siangjin." Sahut Kwee Kin, "Yang dibantu oleh
seorang penjilat bangsa asing yang telah lama kita kenal, yakni si bangsat Ciu Tek Seng itu!""Ah-ha. tidak tahunya si babi alas itu belum juga mampus?" kata Ngo Sian Tie dengan rupa
gemas. "Jika Ji-wi Heng-tee hendak menyerbu ke sana, akupun bersedia untuk mengikut kalian
berdua!"
Sambil mengucapkan kata-kata itu, dalam pikiran si orang she Ngo tiba-tiba teringat akan
keganasan Ciu Tek Seng yang pernah menganiaya iparnya Lauw Yu sehingga menemui ajalnya.
Oleh sebab itu ia telah mengatakan pikirannya untuk mengikut kedua saudara Kwee itu untuk
melakukan serbuan kilat ke gunung barat bersama untuk membantu kawan-kawan
seperjuangannya merampas kembali markas itu, sedang keduanya hendak menuntut balas kepada
Ciu Tek Seng. Karena jika musuh besar iparnya itu belum dapat dibinasakan, belumlah puas
perasaan hatinya.
Maka atas permupakatan semua orang, penyerbuan ke gunung barat itu hendak dilakukan mereka
dalam tiga rombongan. Yaitu jika rombongan yang pertama sampai kejadian dikalahkan musuh,
maka rombongan yang kedua dan ketiga akan segera datang membantu. Tapi jika rombongan
yang pertama mendapat kemenangan yang baik, maka rombongan-rombongan yang kedua dan
ketiga itu akan maju mengepung musuh dari dua jurusan.
Pada waktu sebelum ketiga rombongan para hohan itu berangkat, Su Nio telah memerintahkan
beberapa orang kepercayaannya ikut serta dalam rombongan ketiga itu, dengan masing-masing
membawa beberapa ekor burung merpati pembawa surat. Agar kalau nanti pasukan-pasukan yang
maju di muka mengalami kegagalan atau dikepung musuh, maka burung-burung merpati itu boleh
dilepaskan pulang ke gunung timur, untuk selekas mungkin meminta bala bantuan. Tapi kalau
ketiga rombongan itu berhasil dalam penyerbuannya, burung-burung itupun boleh juga
dilepaskan, asalkan pada kaki-kakinya, sengaja diikatkan kertas kosong untuk membingungkan
hati pihak musuh, jika nanti burung-burung itu sampai terjatuh ke dalam tangan mereka.
Kok An Yong jadi agak heran mendengar petunjuk Yo Su Nio, tapi tidak berani menanyakan
keterangan sesuatu cara pengiriman burung-burung merpati membawa surat yang caranya agak
aneh itu.
Tatkala semua persiapan selesai diatur maka ketika rombongan para pendekar kemerdekaan itu
telah berangkat diwaktu senja itu dengan menyamar sebagai para pedagang keliling, orang-orang
yang menyewakan kuda atau keledai, para pengantar kereta-kereta pio dan lain-lain. Sedang
senjata-senjata yang diperlukan untuk bertempur dengan musuh, selain disembunyikan di bawah
pakaian, juga dititipkan di atas pikulan-pikulan atau di atas kereta-kereta dalam rombonganrombongan tersebut.
Kemudian, sebagaimana layaknya para pedagang keliling dan para pengawal kereta-kereta pio
jika sampai kejadian kemalaman di jalan, mereka segera membuat tenda-tenda atau tempat
pemondokan darurat di tepi-tepi jalan, dengan kelompok yang kecilan mengikut pada kelompokkelompok besaran yang terdiri dari beberapa atau sehingga puluhan orang banyaknya. Dengan
demikian, mereka dapat saling tolong-menolong diwaktu menghadapi bahaya atau serbuan dari
kawanan berandal. Demikianlah siasat Kwee Liat dan kawan-kawan, yang hendak melakukan
serbuan kilat terhadap musuh yang menduduki markas mereka di gunung barat itu.
Sementara Siu Leng Siangjin dan Ciu Tek Seng yang sama sekali tak menduga bahwa pihak kaum
Jaket Merah melakukan penyerbuan begitu cepat sejak markas di atas pegunungan barat itu telah
didudukinya, pada petang hari itu mereka justeru sedang berpesta pora dengan dilayani oleh
beberapa orang perempuan yang masih muda dan berparas cantik-cantik, ketika seorang pembawakabar telah melaporkan kepada mereka, bahwa dari bawah gunung tampak beberapa orang yang
mendaki gunung dengan membawa obor. Tapi belum diketahui apakah mereka itu orang-orang
sendiri atau mata-mata kaum pemberontak.
"Dasar goblok!" mendamprat Ciu Tek Seng yang merasa kesenangannya diganggu dengan
kedatangan si pelapor itu. "Pergilah engkau perhatikan dahulu, apakah mereka itu kawan atau
lawan. Jika mereka ternyata kawan-kawan kita, segeralah persilahkan mereka datang kesini untuk
diberi makan minum dengan sepuas-puasnya. Jika mereka itu musuh-musuh kita barulah engkau
oleh datang melaporkan kesini. Kau mengerti?"
Si pelapor nenjawab, "Menurut perintah tuanku", sambil berlalu dengan perasaan jengah.
Begitulah makanan dan minuman segera ditambah, sedang Siu Leng Siangjin yang sudah mulai
sinting karena terlampau banyak minum susu tiap malam, lalu memanggil dua orang wanita muda
untuk duduk-duduk di atas pangkuannya sambil tertawa hahahihi dan berkata dengan suara
memerintah, "Cobalah engkau menyanyikan sebuah lagu yang merdu untuk menghibur hatiku
yang bimbang!"
"Bimbang? Hihihi." kata salah seorang perempuan muda dengan laku yang genit. "Mana boleh
jadi Taysu, eh, Kok-su, mesti merasa bimbang hati? Suatu peri bahasa pernah mengatakan, Kin
ciauw yu ciu. kin ciauw cui. Hari ini ada arak, biarlah hari ini juga kita mabuk, masa Kok-su
lupa dengan peribahasa yang terkenal itu? ............"
Siu Leng Siangjin bukan main gembiranya mendengar omongan nona itu, ia memeluk si
perempuan muda itu sambil menciumi kedua pipinya serta memuji, "Sungguh pintar sekali
engkau ini, Ayoh sekarang kau boleh menyanyikan sebuah lagu gembira, satu lagu apa saja yang
kau pandai .........."
"Lagu itu tu, ya?" kata si nona dengan aleman, sambil kemudian berbisik di telinga si hweeshio
tua bangka itu.
Siu Leng Siangjin membuka matanya lebar-lebar. Mulutnya bergerak-gerak melongo kemudian
terdengarlah gelak tawanya yang nyaring dan bergema.
Ciu Tek Seng yang berkaliber setali tiga uang dengannya, diapun turut menjenggak sambil tertawa
mengakak. "Ya, yu, segeralah nyanyikan lagu pilihanmu itu!" katanya, sedang tangannya merabaraba tubuh seorang perempuan lain yang juga duduk di pangkuannya. "Engkau juga boleh turut
juga menyanyikannya!" Sambungnya sambil menepuk-nepuk pipi perempuan itu dengan
berulang-ulang.
Kemudian orang-orang perempuan yang duduk di pangkuan kedua orang susiok dan su-tit itu
terdengar menyanyikan lagu yang merdu dengan arti yang menggairahkan dan mendebarkan hati
orang.
Setelah selesai menyanyi, orang-orang perempuan itu lalu menuangkan arak pula ke dalam cawan
kedua orana itu.
"Dengan ini kami memberi selamat panjang umur kepada Kok-su-ya dan Ciu Toa-ya," kata
mereka dengan lagak lagu yang sudah terlatih, "Semoga Kok-su-ya dan Toa-ya hidup sehingga
1000 tahun lamanya"Siu Leng Siangjin dan Ciu Tek Seng tertawa girang, kemudian menciumi pipi orang-orang
perempuan itu secara asyik dan tak tahu malu, hingga para serdadu di situ merasa sangat jengah
dan hampir separuh antaranya terpaksa meninggalkan ruangan itu dengan diam-diam. Kecuali
mereka yang sudah mabuk, atau tidur menggeletak di atas lantai tidak sadar akan diri masingmasing.
Sementara Siu Leng Siangjin sendiri yang rupa-rupanya masih bisa mempertahankan dirinya pula,
sambil saban-saban membentak menyuruh paera serdadu itu akan meninggalkan ruangan itu
kemudian memerintahkan orang-orang perempuan itu untuk menemaninya masuk ke dalam
kamar. Tapi sungguh tidak dinyana, begitu ia hendak melangkahkan kakinya di ambang pintu,
tiba-tiba beberapa orang serdadu telah muncul dengan tersipu-sipu sambil berkata, "Kok-su-ya,
celaka! Pasukan kaum pembrontak telah kembali dan mengepung benteng gunung ini dari segala
jurusan!"
Siu Leng Siangjin dan Ciu Tek Seng kaget bukan buatan mendengar laporan itu.
"Kalian boleh segera bersiap-siap dan membagi pasukan kita menjadi beberapa rombongan!" kata
biarawan tua itu. Kemudian ia menyuruh Ciu Tek Seng untuk keluar memimpin tentara guna
menghambat serbuan musuh itu.
Dalam keadaan demikian, suasana yang tenang dengan sekonyong-konyong telah berubah
menjadi gawat dan kacau. Sedang orang-orang perempuan yang barusan berlomba mengunjukkan
kegenitan untuk mengambil hati orang, sekarang telah berubah menjadi pucat dan ketakutan
setengah mati, sehingga antaranya ada juga yang mewek sambil wara-wiri tak tahu kemana yang
lebih baik untuk bersembunyi.
Ciu Tek Seng yang menerima perintah susioknya untuk keluar melawan musuh terpaksa
mengambil senjatanya dari atas rak, meskipun ia sendiri merasa segan untuk bertempur dalam
keadaan tubuh letih seperti itu.
Begitulah dengan terhuyung-huyung ia segera mengumpulkan anak buahnya kemudian
menggiringnya turun gunung untuk mencegat musuh.
Kwee Liat dan Kwee Kin yang berjalan di muka dengan Ngo Sian Tie mengikuti di belakang
mereka, tidak antara lama telah berpapasan dengan Ciu Tek Seng, hingga kedua pihak jadi saling
mendamperat dengan amat sengitnya, kemudian dilanjutkan dengan pertempuran yang ramai
sekali.
Kwee Liat menerjang sambil menyabetkan goloknya, yang lalu disambut oleh Ciu Tek Seng
dengan cambuk Sam-ciat-tiok-pian di tangannya
"Petang hari ini adalah hari yang terakhir untuk kau melihat dunia!" hardik Kwee Kin sambil
hendak membantu kakaknya mengepung musuh itu. Tapi tiga orang pengawal pribadi si orang
she Ciu segera-menghambatnya dan mengepungnya dari tiga jurusan.
"Aku mendatangi!" bentak Ngo Sian Tie sambil memebantu Kwee Liat mengepung Clu Tek Seng.
XII. SUASANA disaat itu telah menjadi semakin ramai dan tegang, sebagian kabur ke atas gunung
dan melaporkan kepada Siu Leng Siangjin, tatkala beberapa orang serdadu yang menderita luka-luka ringan melaporkan bahwa rombongan kaum pemberontak telah menerjang naik dari
beberapa jurusan.
Biarawan tua itu jadi terkejut bukan main dan terpaksa meninggalkan nona-nona manis itu di
dalam kamar, sedang ia sendiri segera membawa tongkat besinya dan pergi menghadang musuh
dengan diiringi oleh sepasukan pengawal pribadinya.
Begitu ia melangkahkan kakinya keluar ruangan Ci-gi-thia, Siu Leng Siangjin telah menyaksikan
seorang pemuda tampan yang bersenjatakan sebatang tombak tengah mendesak maju dan dalam
sekejapan saja telah membunuh beberapa orang anak buahnya yang terkenal tangguh dan
berkepandaian tinggi. Oleh sebab itu, sambil membelalakkan matanya ia segera membentak,
"Segera beritahukan siapa namamu! Karena tongkat besiku ini tak sudi memukul mampus seorang
musuh yang tiada bernama!"
Si pemuda menyambut ejekan Siu Leng Siangjin dengan senyuman dingin, "Ah-ha!" katanya.
"Tidak kunyana bahwa sekarang si pecundang ini masih juga berani membual dan menganggap
dirinya sangat lihay dan tak terkalahkan? Masih ingatkah dengan nenek buta itu yang telah
membuatmu susiok dan sutitnya jungkir balik dan kabur dengan berlari sambil ..........."
Siu Leng Siangjin jadi merah wajahnya karena malu. Dia tak menyangka bahwa kekalahannya
dalam tangan Pek In akhirnya telah diketahui juga oleh orang di luaran! Hal mana, telah
membuatnya dari rasa malu menjadi gusar dan membentak, "Beritahukan namamu, agar mudah
aku mengambil jiwamu!"
"Aku inilah Lie Cwan!" sahut si pemuda. "Sekarang mari kita mulai bertempur!!"
"Apa bukan Sin-chio Lie Cwan?" balik tanya biarawan tua itu.
"Sin-chio atau bukan, itulah sama sekali tidak menjadi halangan untuk kita bertarung sehingga
400 atau 500 jurus lamanya?" ejek pemuda tompan itu.
Siu Leng Siangjin jadi semakin mendongkol dan segera menyerang si pemuda dengan tongkat
besinya. Sedang Lie Cwan yang juga telah mendengar tentang kelihayan biarawan tua itu, diamdiam iapun tidak berlaku lengah untuk melakukan penangkisan dengan tombak di tangannya.
Demikianlah selanjutnya mereka sudah serang-menyerang dengan sama gagah dan beraninya,
walaupun usia masing-masing mempunyai selisih yang agak mengejutkan, yaitu Lie Cwan baru
usia dua puluhan, sedang si biarawan tua berusia limapuluhan lebih.
Bersamaan dengan itu, anak buah kedua pihak-pun segera saling mengadu senjata menuruti
teladan para majikan masing-masing. Menurut perbandingan taraf kepandaian Lie Cwan dan Siu
Leng Siangjin, sebenarnya si pemuda bukan lawan si biarawan tua itu tapi karena hweeshio tua
itu tengah dicengkeram oleh pengaruh alkohol, maka tidaklah heran jika perlawanannya sangat
ngawur, ia memukul dan menyapu musuh dengan seenaknya saja, sehingga banyak kesempatan
baik untuk merobohkan musuh itu telah dilewatkannya dengan sia-sia saja.
Tapi Sin-chio Lie Cwan yang menyadari hai ini, sebaliknya berlaku lebih waspada dan hati-hati
sekali dalam perlawanannya, sehingga pertempuran itu tampak berimbang dan sama kuatnya.
Dilain pihak Kwee Kin yang menghadapi tiga orang serdadu bangsa Kim, dalam waktu sekejapan
saja telah melukai satu seorang antaranya, sedang yang dua orang pula yang kepandaiannyaternyata lebih rendah daripada dirinya sendiri dengan lantas tampak jeri dan hancur nyalinya,
sehingga mereka lebih banyak mundur daripada mendesak maju untuk mengepung musuh mereka
itu. Sedang Ciu Tek Seng yang dikepung oleh Kwee Liat dan Ngo Sian Tie lambat-laun hanya mampu
menjaga diri, tapi sama sekali tak dapat balas menyerang kepada musuh-musuhnya itu.
Maka Ngo Sian Tie yang melihat kesempatan yang terbaik itu segera mendesak dengan terlebih
hebat lagi sambil berseru, "Kwee Hongtee biarkanlah aku habiskan jiwa manusia busuk ini!"
Tapi Kwee Liat sendiri yang mempunyai dendam kesumat terhadap si orang she Ciu itu
dimanalah mau mengalah untuk mundur, hingga seketika itu juga terjangan-terjangan mereka
berdua jadi semakin hebat da nganas, yang kesudahannya telah membuat Ciu Tek Seng jadi
kewalahan dan terdesak di suatu sudut tak mampu mundur, juga tak mampu maju. Ia membela
diri secara nekat, sehingga cambuk yang dicekalnya berkelebatan di sekitar badannya bagaikan
baling-baling yang ditempuh angin tofan. Tapi meski bagaimanapun dahsyatnya ia membela diri
tidak urung penjagaannya itu akhirnya telah dobrak juga diserang secara serentak oleh Kwee Liat
dan Ngo kedua orang pemimpin dari kaum Jaket Merah itu
Begitulah selagi pertempuran-pertempuran berlangsung dengat sangat dahsyatnya, tiba-tiba para
serdadu lari pontang panting sambil berteriak-teriak, "Kaum pemberontak telah mengpung dari
segala jurusan dan membakar habis gudang-gudang ransum perbekalan kita!" Sedang dijurusan
lain terdengar orang-orang menyerukan, "Lekas kabur, selagi kesempatan masih ada bagi kita
sekalian!" oleh karena timbulnya kekacauan di sana-sini, maka Siu Leng Siangjin yang sedang
bertempur dengan Sin-cnio Lie Cwan jadi gelisan dan akhirnya kena dilukai bahunya oleh tombak
si pemuda, sehingga dengan mengucurkan banyak darah ia terpaksa kabur untuk menyelamatkan
dirinya sendiri. Sedang Lie Cwan yang belum mau sudah sampai di situ saja, segera mengejarnya
dari belakang sambil membentak, "Tinggalkan dahulu kepalamu, barulah aku suka
melepaskanmu!"
Tapi biarawan tua itu tidak menghiraukannya dan kabur terus selama kakinya masih mampu
membawa dirinya.
"Meski engkau terbang ke langit atau menoblos ke dalam tanah, tak urung akan kususul juga!"
bentak Lie Cwan dengan bernapsu.
Sementara Ciu Tek Seng yang sudah terdesak di suatu sudut, yang hampir tak mampu lagi untuk
menolong dirinya. Karena setelah menyabet musuh-musuhnya beberapa kali dengan selalu
mengalami kegagalan, akhirnya dia sendirilah yang dilabrak habis-habisan dan kena dilukai
lengan kirinya oleh bacokan golok Kwee Liat. Sedang golok Ngo Sian Tie telah berhasil dapat
menabas kaki Ciu Tek Seng sehingga kutung dan terpisah dari tubuh pemiliknya bagaikan dahan
pohon yang tumbang dari pangkalnya. Kemudian ia hanya bisa menyerah di bawah golok kedua
orang musuh besarnya itu dalam keadaan tidak bernyawa. Karena selain kepalanya,
lengannyapun jatuh ke tanah dengan dibarengi oleh cairan merah yang muncrat keluar berceceran
di muka bumi!
"Akhirnya mampuslah, kamu! Ha, ha, ha! Hiduplah kaum jaket merah kita!"Ngo Sian Tie tertawa mengakak sambil mengangkat tangan dan mengacungkan goloknya yang
berlumuran darah, kemudian dengan sekonyong-konyong ia jatuh mengusruk tidak ingat akan
diri pula!
Kwee Liat yang menyaksikan demikian, karuan saja jadi amat terkejut dan lekas-lekas
menolongnya. Tapi setelah diperhatikan wajahnya sejenak, ternyata hembusan napas Ngo Sian
Tie telah terhenti. Ia telah meninggal karena saking girangnya menyaksikan usaha mereka telah
berhasil dan berbareng membalas dendam kepada Ciu Tek Seng yang menjadi musuh besar
iparnya itu.
Maka setelah memerintahkan anak buahnya untuk mengangkut jenazah Ngo Sian Tie ke tempat
lain yang lebih aman, Kwee Liat segera mengajak adiknya Kwee Kin yang telah berhasil dapat
mengalahkan kedua musuhnya tadi untuk membantu Sin-chio Lie Cwan mengepung Siu Leng
Siangjin.
Tapi dasar biarawan tua itu belum sampai pada ajalnya. Ketika keadaan sudah terlampau
sempitnya untuk ia dapat meloloskan diri, tiba-tiba dari balik semak-semak melompat keluar
seorang muda yang bersenjatakan sebuah pedang panjang mencegat Lie Cwan sambil membentak,
"Kok-su-ya, jangan khawatir! Aku ada di sini untuk menolongmu!"
Siu Leng Siangjin segera menyelinap kesamping di bawah perlindungan pahlawan muda tersebut.
Sin-chio Lie Cwan yang sedang mengejar biarawan tua itu jadi agak terkejut dan merandek sejenak
di tengah jalan. Karena yang yang baru datang itu ternyata bukan lain daripada Hap Nouw Siu
Bun adanya!
"Sangkaku kau sudah mampus!" kata si Tombak Sakti sambil menuding pahlawan bangsa Kim
itu dengan senjata.
Hap Nouw Siu Bun menyambut ejekan itu dengan siulan yang nyaring, hingga seketika itu juga
dari balik semak-semak di sana muncul beberapa banyak serdadu musuh yang segera
mengepungnya dari segala jurusan.
Tapi Lie Cwan yang terkenal sebagai seorang pendekar muda pantang mundur dalam
pertempuran, segera putar tombaknya meladeni bertempur Hap Nouw Siu Bun dan anak
buahnya. Kini Lie Cwan yang semula berada dalam kedudukan sebagai pengejar, kini telah
berbalik menjadi orang yang dikepung musuh. Syukur juga pengepungan ini tidak berlangsung
terlampau lama. Karena ketika pertempuran baru saja bergebrak belum berapa jurus, tiba-tiba
Kwee Liat dan Kwee Kin serta kawan-kawan pun telah tiba juga, pertempuran menjadi semakin
ramai dan dahsyat. Tapi karena pihak anak buah Hap Nouw Siu Bun berjumlah lebih sedikit,
maka akhirnya mereka telah dipukul mundur dan terus kabur bersama-sama Siu Leng Siangjin
yang telah dilukai bahunya oleh si Tombak Sakti itu.
Dengan demikian, markas kaum Jaket Merah di atas gunung barat itu telah dapat direbut kembali
oleh Lie Cwan dan kawan-kawan.
Semua orang jadi sangat gembira dan lalu memperkuat penjagaan di sekitar tanah pegunungan itu
dengan jalan memperbanyak pos-pos penjagaan daripada jumlah sebelumnya.Tapi, berbareng dengan rasa girang itu, merekapun turut berduka cita atas meninggalnya Ngo Sian
Tie yang sangat mendadak. Maka sebagai tanda bela sungkawa mereka sekalian, seluruh anggota
Jaket Merah telah berkabung sehingga 49 hari lamanya.
Barulah suasana tegang yang dirasakan oleh kedua markas kaum revolusioner di gunung timur
dan barat dapat pulih kembali seperti sediakala, walaupun suasana yang sudah tenteram itu belum


Dewi Tombak Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi suatu jaminan bahwa kedua markas itu terbebas dari pada serbuan pasukan balatentara
bangsa Kim yang berkuasa dimasa itu.
* * *
SEBAGAlMANA di bagian muka telah diketahui, Hap Nouw Siu Bun telah melakukan
perjalanan ke Kota-raja yang terletak bukan dekat dari daerah kewedanaan Ceng-hiang-tien, tapi
mengapakah dengan sekonyong-konyong ia berada di gunung barat dan tepat pada waktunya ia
menolong Siu Leng Siangjin dari pengejaran Sin-chio Lie Cwan dan kawan-kawannya?
Berita tentang keberangkatan pahlawan bangsa Kim itu ke kota raja itu hanyalah merupakan suatu
siasat belaka. Karena Hap Nouw Siu Bun yang ternyata bukan orang bodoh, terlebih siang telah
mendengar kabar angin, bahwa kaum pemberontak Jaket Merah sewaktu-waktu bisa menyerang
pesanggerahannya di perbatasan kewedanaan Ceng hiang-tien, maka dengan diam-diam ia
meninggatkan pesanggerahan tersebut dengan membawa sebagian tentaranya untuk membokong
musuh selagi mereka tidak bersiap-sedia. . ....
Justeru itu ia mendapat suatu akal untuk memancing Kok An Yong dan kawan-kawan
meninggalkan markas mereka di gunung barat dengan mempergunakan sepucuk surat undangan
palsu yang telah sengaja dibubuhi tandatangan YO SU NIO. Karena sebagai seorang pahlawan
yang cerdik, ia telah berhasil memancing Siauw Giok untuk memberikan segala keterangan
penting yang bersangkut-paut dengan keadaan dan seluk beluk kedua markas timur dan barat itu.
Oleh karena pancingan surat undangan palsu itu, benar saja Kok An Yong lantas percaya dan
segera mengajak Sin-chio Lie Cwan dan anak buahnya untuk berkunjung ke markas timur. Tapi.
apa mau dikata seorang pesuruh Hap Nouw Siu Bun yang membawa surat perintah kepada
pembantunya telah keliru ditawan oleh serdadu Siu Leng Siangjin, yang kemudian mengetahui
juga, bahwa Hau Nouw Siu Bun hendak menyerbu markas barat yang hanya dijaga kedua saudara
Kwee dan sepasukan pengawal yang tidak seberapa banyak jumlahnya.
Oleh karena itu, maka timbullah perasaan dengki hati dari si biarawan tua itu, yang segera
mengajak Ciu Tek Seng dan pasukan tentaranya untuk melakukan serbuan kilat ke gunung barat
hingga Kwee Liat dan adiknya jadi kelabakan dan terpaksa kabur untuk melaporkan peristiwa
tersebut pada Kok An Yong dan kawan-kawan yang sedang bertamu di markas timur.
Sementara Hap Nouw Siu Bun yang semula memang sengaja memberi kesempatan untuk
pesanggerahannya diserbu musuh sama sekali tidak menduga, bahwa siasatnya itu telah diketahui
oleh Siu Leng Siangjin, yang telah mendahuluinya menduduki markas tersebut, seolah-olah orang
yang mengambil padi dari bakul orang lain. Hal mana, sudah barang tentu, telah membuat si
pahlawan muda itu gusar bukan kepalang.
Tapi karena mengingat bahwa si biarawan tua itu memiliki ilmu silat yang lebih tinggi
daripadanya, maka dia tak dapat berbuat lain daripada cuma mengeluh, meski di dalam hati ia
merasa sangat tidak enak.Demikian juga ketika ia datang menolong Siu Leng Siangjin dari kejaran Sin-chio Lie Cwan dan
anak buahnya, itupun tak lain tak bukan karena terpaksa belaka.
Sedang maksudnya semula dalam mempergunakan siasat antara lain, mengumpulkan musuh di
satu tempat yang tertentu, adalah agar mudah melakukan pembasmian dan penangkapan dengan
sekaligus. Hal mana, bertepatan dengan anjurannya kepada Thio Siauw Giok tempo hari, tapi
ternyata telah ditentang oleh Yo Su Nio.
Oleh karena itu, dalam hati Thio Siauw Giok segera timbul rata kurang senang, yang akhirnya
telah menyebabkan nona itu meninggalkan markas timur untuk menyusul Hap Nouw Siu Bun
yang dicintainya itu.
Tapi, apakah yang telah terjadi tatkala Siauw Giok mendengar bahwa pahlawan muda idamidamannya itu telah berangkat ke kota raja?
Siauw Giok jadi kecewa tapi untuk kembali ke atas gunungpun merasa malu, hingga hatinya jadi
bingung dan semula tidak mengetahui apa yang harus diperbuatnya selanjutnya.
Syukur juga di sebuah rumah penginapan ia bertemu dengan Siauw Ceng yang semula
disangkanya seorang pemuda tapi lambat laun telah diketahuinya juga, bahwa Siauw Ceng-pun
adalah seorang anak dara yang menyamar sebagai kaum pria.
Tatkala mereka berdua telah dapat bergaul secara intim danmembuka rahasia hati masing-masing
pada satu sama lain, Siauw Ceng sangat menyesalkan atas kepergian Siauw Giok dari atas gunung
yang secara diam-diam itu, tanpa mengabarkan sesuatu atau memberitahukan sebab musabab ia
meninggalkan markas di sana. Oleh karena itu, Siauw Giok pun akhirnya membenarkan juga atas
kecaman nona kenalannya yang baru itu, hingga dengan diam-diam ia naik gunung dan mengirim
sepucuk surat yang diikatkan pada sebatang anakpanah.
Pada suatu petang mereka digrebek oleh sepasukan tentara bangsa Kim, hingga Siauw Giok dan
Siauw Ceng jadi terbangun dengan hati terkesiap. Dalam penggerebekan itu, Siauw Ceng telah
ditawan dan dibawa pergi oleh para serdadu itu, yang kemudian telah menahannya di
pesanggerahan tengah, berhubung pemilik rumah penginapan itu telah mengadukan kepada
pembantu Hap Nouw Siu Bun, bahwa nona itu adalah salah seorang mata-mata dari kaum
pemberontak.
Nona Siauw Giok yang telah berhasil dapat meloloskan diri semula berniat untuk menolong
Siauw Ceng. Tapi ketika mendengar kabar bahwa pesanggerahan bangsa Kim itu telah diserbu
dan dibakar oleh kaum pemberontak Jaket Merah, iapun puaslah di dalam hati. Katena jika
kawan-kawannya datang menyerbu ke sana, sudah barang tentu mereka tak kan membiarkan
Siauw Ceng ditawan musuh.
Kemudian ia mendengar kabar bahwa markas di pegunungan barat telah diduduki oleh Siu Leng
Siangjin, hingga ini membuat hatinya mendongkol bukan main, tapi tak sanggup untuk pergi
menyerang dengan hanya seorang diri saja.
Dalam keadaan demikian, Siauw Giok jadi menyesal atas segala perbuatannya yang telah
dilakukannya dengan semberono dan tanpa pikir panjang lagi. Oleh sebab itu, ia kini jadi merasa
terjepit dan tak mengetahui apa yang harus diperbuatnya disaat itu.
Mau kembali ke atas gunung, ia malu, mau merantau terus, ia juga sudah merasa agak canggung.Dalam perjalanannya yang tidak tentu kemana tujuannya itu, pada suatu hari Siauw Giok telah
tiba di sebuah desa kecil yang para penghuninya kebanyakan terdiri dari kaum tani.
Kepala desa itu seorang tua she Lo yang baik hati, yang ketika melihat si nona duduk beristirahat
di tepi jalan di muka rumahnya lalu mengundang Siauw Giok untuk mampir ke rumahnya, tanpa
menyaadari bahwa si nona itu hanya seorang wanita yang menyamar sebagai kaum pria saja.
Siauw Giok yang merasa tidak enak untuk menampik orang segera menuntun kudanya dan
tambatkan binatang itu di bawah sebatang pohon yang rindang dan berumput hijau di bawahnya.
Sebagai seorang yang melakukan perjalanan dengan tak tentu kemana tujuannya, Siauw Giok pun
terpaksa menyembunyikan juga namanya yang asli. Dan ketika ditanyakan siapa she dan
namanya, Siauw Giok lalu menjawab, bahwa ia she Lie bernama Kim, dahulu pernah berumah
tinggal di Pek-hoa-tien, tapi kemudian pindah ke utara. Demikianlah antara lain ia menerangkan
dengan seenaknya saja.
Orang tua she Lo itu kelihatan tertarik sekali dengan omongan si pemuda tetiron itu.
"Jika saudara juga orang she Lie," kata empe Lo, "Tentu engkau kenal pada Lie Tay Pin, seorang
pedagang kelontong yang biasa berdagang keliling. Dia inipun orang Pek-hoa-tien juga."
Siauw Giok yang menganggap sepi si empe itu, kontan lantas menjawab, "Kenal, kenal. Dia
memang biasa berdagang keliling!"
Walaupun dia samasekali tak kenal orang yang dimaksudkan itu. Tapi ia menganggap petani tua
itu seorang bodoh dan mudah didustai, sedang diapun tak kan lewat dua kali ke desa itu.
"Bagus, bagus!" kata empe Lo yang tampak semakin mengharap mendengar jawaban si nona itu.
"Tolong saudara sampaikan salamku kepadanya, jika nanti engkau bertemu dengannya." Siauw
Giok berjanji untuk berbuat demikian.
Omong punya omong, hujan justeru turun rintik-rintik, hingga Siauw Giok jadi terkejut dan lalu
bangkit dari kursinya, hendak membawa kudanya ke tempat yang kering. Tapi empe Lo segera
mencegahnya, kemudian memanggil anak gadisnya untuk menolong Lie Kongcu membawa
kuda itu ke belakang rumah.
"Apakah nona ini anak perempuan Lo-tiang?" bertanya Siauw Giok sebagai percakapan isengiseng.
Si empe mengangguk. "Ya, benar," jawabnya. "Itu Lie Tay Pin yang telah kukatakan tadi, ia
pernah datang ke sini untuk meminang puteriku yang barusan itu. Ia mengatakan untuk isteri
puteranya, tapi sebenarnya menurut kisikan beberapa orang kawan dari Pek-hoa-tien yang kenal
baik perangai orang itu, untuk DIRINYA SENDIRI. Mendengar keterangan demikian, hatiku
timbul prasangka, bahwa dia ini bukan seorang baik!"
"Aiii, kurang ajar benar orang itu!" kata Siauw Giok mendongkol.
"Bukan begitu," kata si empe tenang. "Ini hanya berdasarkan prasangka belaka. Dia sebenarnya
seorang baik ............"
"Oh," kata Siauw Giok agak menyesat dengan apa yang diucapkannya tadi."Sebenarnya dia bukan orang jahat," kata empe Lo pula. "Dunia memang kerap membenci pada
seseorang yang dapat dianggap lebih senang atau lebih beruntung dalam suatu usaha, dimana
seseorang yang lainnya selalu berusaha untuk menjatuhkannya."
"Benar, benar," Siauw Giok mengiakan. "Memang demikian, tabiat dunia pada umumnya."
"Tapi aku sungguh tidak mengerti. Sejak ia meminang puteriku sehingga terjadi heboh itu, dia tak
pernah mengirim kabar apa-apa kepadaku di sini, apakah perjodohan ini hendak dilangsungkan
atau dibatalkan. Oleh karena itu, lagi sekali aku mohon, kalau nanti engkau berjumpa dengannya,
sudilah kiranya saudara sampaikan salamku kepadanya dan katakanlah dari empe Lo, dia pasti
paham apa maksudku."
Siauw Gio, manggut-manggut dan diam-diam tertawa geli mendengar peristiwa lucu dari si-empe
itu. "Berapa usia puterimu itu?"
"Sampai nanti akhir bulan cukup delapanbelas," sahut empe Lo.
"Puterimu itu. sesungguhnya manis sekali wajahnya." memuji pemuda tetiron, selagi berkata
demikian, Siauw Giok melirik ke ruangan dalam itu, hingga secara tak disengaja sinar matanya
bentrok dengan sepasang mata yang juga tengah menatap ke arahnya. Ia tersenyum dengan tidak
disengaja, hingga si empe seakan-akan melihat juga perubahan wajah tamunya yang tampan itu,
iapun lekas menoleh ke sebelah dalam dan memanggil, "Jie, mari keluar memberi hormat kepada
tamu kita ini." sesaat lamanya tidak tampak gerak gerik sesuatu, si empe kembali menoleh ke
dalam tapi tak mengucap barang sepatah katapun.
Setelah menunggu pula sesaat lamanya, barulah dari dalam rumah itu muncul seorang gadis
cantik yang membawa sebuah baki dengan di atasnya terletak sepasang cangkir dan poci teh.
Nona itu memberi hormat kepada Siauw Giok dan ayahnya, kemudian meletakkan cangkircangkir yang terisi air teh di hadapan kedua orang itu.
"Inilah putriku satu-satunya Giok Jie." kata empek Lo. Siauw Giok bangkit dari tempat
duduknya, membalas pemberian hormat nona itu.
"Ini tamu kita, saudara Lie, Lie Kim nama lengkapnya." Kemudian nona itu masuk kembali ke
dalam rumah, setelah lebih dahulu meminta diri dan melirik pada pemuda tetiron.
Selagi pertemuan antara Giok Jie dan Lie Kim tetiron berlangsung, tiba-tiba kilat yang
bergemerlapan di luar rumah menarik perhatian Siauw Giok akan sesuatu yang bergerak-gerak di
bawah pohon tempat ia menambatkan kudanya tadi. Dan tatkala ia memandang sesaat lamanya
dengan sorot mata yang hampir tidak berkedip barulah diketahuinya, bahwa di balik pohon itu
ada seorang laki-laki sedang mengintai kejurusannya, hingga Siauw Giok jadi curiga dan berlaku
waspada, agar dia tak sampai diserang orang secara konyol, sedang di dalam hatinya ia bertanya.
Siapakah gerangan orang itu? Apakah dia tengah mengintai diriku atau empe Lo yang menjadi
tuan rumah itu?
Dalam keadaan demikian, pikiran Siauw Giok yang semula girang dengan mendadak berubah
kalut. Dia tak tahu, apakah perlu memberitahukan hal ini kepada empe Lo atau diamkan saja.
Sehingga dugaannya terbukti dalam kenyataan?Tapi kesudahannya telah diambilnya suatu keputusan, untuk menanggung sendiri segala akibat
yang akan terjadi itu, agar si empe dan puterinya jangan sampai menjadi gelisah oleh karenanya.
Hujan di luar rumah kian lama kian bertambah lebat, tapi orang itu tetap bersembunyi di bawah
pohon bagaikan sebuah patung layaknya dan juga tidak menghiraukan air hujan yang menimpa
demikian derasnya.
Dalam keadaan demikian, tiba-tiba pikiran Siauw Giok telah tergerak dan segera berkata dengan
suara perlahan, "Lo-tiang, aku ada yang hendak dibicarakan denganmu."
Si empe tampak jadi girang dan menjawab dengar suara yang sama perlahannya pula, "Aku
bersedia untuk mendengarkannya!" Karena bersamaan dengan itu, suatu bayangan optimistis
telah terpikir di dalam hatinya. Yakni, menurut sangkaannya, 9 atau 10 bagian, pembicaraan ini
pasti akan berkisar pada persoalan antara si pemuda tetiron dan anak gadisnya itu!
"Di sekitar rumah ini," kata Siauw Giok, "Tepat di balik pohon ditambatkan kudaku tadi, aku
melihat ada seseorang yang mengintai. Mungkin juga dia bukan orang baik-baik. Tapi Lo-tiang
tak usah khawatir, aku sanggup menghadapinya atau kalau perlu meladeninya juga untuk
bertempur ............"
Si empe jadi terkejut dan menolehkan mukanya ke arah pohon yang dimaksudkan oleh Siauw
Giok itu dengan rupa cemas. "Habis bagaimana aku mesti berbuat?" ia balik bertanya kepada
pemuda tetiron itu.
"Sekali lagi aku mengatakan supaya Lo tiang tak usah khawatir!" kata si nona pula, "Aku di sini
ada suatu cara untuk mengatasi persoalan ini. Sekarang Lo-tiang boleh berpura-pura memandang
dan pergi mengundang orang itu untuk mampir kesini. Aku ingin mengetahui bagaimana raut
muka orang itu di sini, di bawah sinar api lampu."
Si empek merasa ragu-ragu, tapi kemudian terpaksa berpura-pura seperti tidak terjadi apa-apa dan
memanggil dengan suara yang agak gemetaran, "Hei orang di balik pohon itu, aku undang untuk
mampir ke rumahku ini!"
Seperti dugaan si empe itu, benar saja orang itu semula bersembunyi tapi setelah melihat sikap
empe Lo yang manis itu maka akhirnya ia datang juga menghampiri dan memberi hormat kepada
orang itu dan mengucap terima kasih sambil berkata, "Barusan karena tertimpa hujan, maka aku
terpaksa memasuki pekarangan di sini dengan tiada seijinmu. Harap supaya empe sudi
memaafkan kepadaku."
Empe Lo ketika melihat sikap orang itu yang sopan santun, iapun menjadi lega hatinya dan segera
mempersilahkannya untuk masuk ruang tengah dimana Siauw Giok tampak duduk-duduk dengan
wajah yang tenang tapi diam-diam ia telah bersiap-sedia untuk menghadapi segala kemungkinan.
Tapi begitu melihat wajah orang itu, tiba-tiba Siauw Giok jadi melompat bangun sambil berseru,
"Jiko!"
Orang itu jadi melompat mundur sambil menatap wajah si nona dengan sorot mata yang hampir
tidak berkedip. Tapi sesaat kemudian, diapun turut juga berseru. "Giok-moy! Aiiii, tidak kunyana
bahwa aku dapat menjumpaimu di sini!"Sementara empe Lo yang menyaksikan pertemuan kedua orang itu, sudah barang tentu jadi
tertegun dan membuka matanya besar-besar bagaikan seorang yang terkesima. Lebih-lebih ketika
mendengar orang laki-laki yang baru datang itu membahasakan si pemuda tetiron itu "Giok moy"
atau "adik perempuan Giok", maka terbukalah rahasia si gadis nakal itu, bahwa dia bukan
seorang pemuda tampan. tapi seorang gadis jelita yang menyamar sebagai kaum pria!
Bersamaan dengan itu, di sebelah dalam rumah itu tiba-tiba terdengar suara berkomprangan dari
barang pecah belah yang jatuh ke tanah, hingga empe Lo jadi sangat terkejut dan lalu masuk ke
dalam untuk melihatnya.
Apakah gerangan yang telah terjadi di sana? Ternyata Giok Jie yang sedang sibuk menyajikan
hidangan, jadi begitu terkejut tatkala mendengar bahwa si pemuda tampan itu adalah seorang
wanita juga seperti dirinya hingga lamunannya yang romantis kontan jadi meletus bagaikan
gelembung busa sabun yang tertimpa sinar matahari terik! Ia jadi lemas dan piring mangkok yang
hendak diangkatnya tiba-tiba terlepas dari tangannya dan ......... jatuh hancur ke atas ubin.
Kemudian ia berlari masuk ke dalam kamarnya dengan perasaan putus asa dan ......... menangis
terisak-isak!
Siapakah gerangan orang laki-laki yang datang itu, yang ternyata kenal dan berbareng dikenali
juga oleh nona Siauw Giok?
Dialah bukan lain daripada Kwee Kin, adik Kwee Liat, yang tatkala itu tengah bertugas untuk
mencari Siauw Giok.
Si nona yang kini merasa tak mungkin pula untuk mengelabui mata empe Lo, dengan lantas ia
perkenalkan siapa dirinya yang sebenarnya dan siapa itu Kwee Kin, dengan suatu pengecualian
bahwa mereka berdua adalah para anggota kaum Jaket Merah.
Sesudah beromong-omong sejenak secara intim, akhirnya Siauw Giok telah bertindak sebagai
perantara untuk melangsungkan perjodohan Kwee Kin dengan nona Giok Jie yang ternyata
disetujui oleh si empe dan si nona pribadi, berhubung Kwee Kin pun bukan seorang jahat. Ia
berwajah keren bersifat ramah dan sopan-santun. Itulah, antara lain yang telah membuatnya
disenangi oleh si empe dan puterinya.
Dengan demikian, maka bebaslah tanggung jawab nona Siauw Giok atas diri Giok Jie, yang
untungnya baru mengalami "cinta selayang pandang" atau Love at first sight sebagaimana apa
yang dikenal oleh bangsa barat.
Menurut cerita yang disampaikan oleh Kwee Kin kepada Thio Siauw Giok, nona Su Nio telah
jatuh sakit karena sangat memikirkan si nona Siauw Giok yang telah meninggalkan markas timur
secara diam diam. Oleh sebab itu, setelah markas di gunung barat yang diduduki oleh musuh
tersebut dapat direbut kembali, maka ia telah diutus untuk pergi mencari nona itu yang sama sekali
tidak disangkanya akan dapat diketemukan di situ.
Tatkala Siauw Giok menanyakan mengapa Kwee Kin telah sampai masuk ke pekarangan orang
tanpa mengetok pintu, tapi sebaliknya berlindung di bawah pohon di waktu hujan turun dengan
lebatnya. Kwee Kin lalu menerangkan selagi ia beristirahat di suatu tempat yang sunyi di luar desa
itu ia menampak seorang pemuda yang ketika dilihatnya dari belakang dari arah punggung tampak
mirip dengan seorang pahlawan Kim yang pernah dijumpainya dalam peperangan tapi tidak
mengetahui siapa namanya. Oleh karena itu, ia terpaksa bersembunyi serta menantikan begitu iaberlalu jauh, barulah ia keluar dari tempat persembunyiannya. Tapi siapa nyana ketika hujan
turun dengan amat hebatnya, ia melihat ada seorang anak dara yang menuntun masuk seekor
kuda ke belakang rumah, hingga ia jadi curiga dan coba mengintainya dari balik pohon, untuk
kemudian turun tangan jika dirasa perlu.
Tidak tahunya itulah bukan kuda tunggang pahlawan Kim yang dilihatnya tadi, tapi ternyata
kuda Siauw Giok yang tidak diketahuinya telah berada di situ sebelum ia masuk ke pekarangan
rumah empe Lo itu.
Hal mana telah membuat semua orang jadi tertawa bergelak-gelak, karena menganggap semua itu
telah terjadi dengan sangat kebetulan dan menguntungkan pada semua pihak, Siauw Giok telah
berhasil dapat diketemukan, si empe mendapat menantu, nona Giok Jie memperoleh jodoh yang
tidak mengecewakan, sedang Kwee Kin kena lotere nomor satu yang hadiahnya berupa seorang
jelita!
Sekarang apa pula yang hendak dikatakan?
Empe Lo ayah dan puteri jadi sangat berterima kasih kepada Siauw Giok, yang seolah-olah
kedatangannya kesitu bagaikan Dewi Perjodohan yang dikirim oleh Thian Yang Maha Kuasa
untuk mendatangkan kebahagiaan kepada rumah tangga kepala desa itu.
Maka sesudah berjanji akan balik kembali ke situ sesudah persoalan mereka selesai diurus, Siauw
Giok dan Kwee Kin segera pergi ke gunung timur, dimana ia telah disambut dengan senang hati
oleh Yo Su Nio dan An Jie, sambil tidak lupa menyesalkan kesemberonoan sang adik yang sangat
dicintainya itu, sehingga Su Nio jatuh sakit memikirkannya selama Siauw Giok berkelana dengan
tidak tentu tujuannya. Oleh karena itu, Siauw Giok pun menyatakan penyesalan sebesar-besarnya
dan berjanji bahwa selanjutnya tak kan berani berbuat semberono pula serupa itu.
Dengan demikian, maka selesailah, persoalan yang telah membuat Su Nio sangat cemas sehingga
jatuh sakit itu. Tapi persoalan yang besar belum menjadi selesai hingga di situ saja.
Siu Leng Siangjin yang telah ditolong oleh Hap Nouw Siu Bun dalam bahaya dan kehilangan
sutitnya yang telah terbinasa dalam tangan musuh, kini jadi merasa terpencil dan kesepian, karena


Dewi Tombak Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang-orang yang sekaliber dengannya adalah sangat langka, sedangkan Hap Nouw Siu Bun
lebih mengutamakan kepangkatan daripada perempuan-perempuan cantik yang menjadi
kegemarannya terutama disamping minuman yang baik dan lezat rasanya. Oleh karena itu, dia
hanya berterima kasih kepada Hap Nouw Siu Bun, tapi tidak dapat berhubungan erat seperti apa
yang pernah dialaminya dengan sutitnya Ciu Tek Seng yang telah binasa dalam tangan musuh itu.
Pada suatu petang karena merasa kesepian, biarawan tua itu secara diam-diam telah pergi
berjalan-jalan di luaran dengan hanya dikawal oleh dua orang serdadu kepercayaannya. Tapi
berbeda daripada biasanya, kali ini ia keluar dengan menyamar sebagai seorang biasa saja, yang
keluar pesiar dengan dua orang serdadu yang juga menyamar sebagai orang-orang preman.
"Hendak pergi kemana kita sekarang?" bertanya salah seorang serdadu itu kepada majikannya.
Siu Leng Siangjin melirik kepadanya sambil tersenyum. "Pakai bertanya lagi hendak pergi
kemana," katanya. "Aku kan telah katakan kepadamu, bahwa kalian boleh ajak aku kemana
saja, asal di sana ada kedai arak yang mempunyai pelayanan istimewa dan spesial?"Serdadu itu paham akan maksud omongan majikannya maka sambil menyengir ia menjawab,
"Paham, paham! Hamba mengerti apa kehendak Kok-su-ya."
"Kalau begitu, perlu apa engkau bertanya-tanya lagi?" kata biararawan tua itu, yang juga turut
menyengir melihat si serdadu yang berlagak bodoh itu.
Lalu berangkatlah ketiga-tiganya itu ke sebuah rumah kuning yang cukup dikenal oleh orangorang yang gemar dengan pipi licin dan paras cantik di tempat itu.
Kedatangan mereka disambut dengan hormat dan manis oleh para Hengsiu, seorang "pelesir dua
sejinjang" yang namanya tidak asing lagi bagi orang-orang yang kerap berkunjung ke rumah
palacuran tersebut, lebih-lebih bagi mereka yang sudah menjadi langganan-langganan tetap.
Tapi, siapa nyana, selagi mereka asyik makan-minum dan pelesir di situ sehingga hari menjelang
tengah malam, tiba-tiba ada beberpa orang yang mencari mereka bertiga dengan yang tergesagesa.
Syukur juga kedua serdadu pengawal si biarawan telah memberitahukan tentang kepergian
mereka kepada beberapa orang kawannya, sehingga kawan-kawan yang mencari mereka tidak
sempat kejadian keliru datang ke alamat jauh keliru.
Maka sebab itu lekas mereka datang menghadap. dengan perasaan kurang senang Siu Leng
Siangjin lalu bertanya, "Ada urusan apa kalian dalang kesini dengan cara yang begitu tergesagesa? "
"Hamba mohon beribu ampun ke hadapan Kok-su-ya," kata pemimpin antara serdadu-serdadu
yang baru datang itu. "Di pesanggerahan kita tiba-tiba terjadi kerusuhan besar karena kedatangan
kaum pemberontak! Mohon supaya Kok-su-ya lekas pulang untuk menindas kerusuhan tersebut!"
"Apa katamu?" Siu Leng Siangjin jadi terkejut bukan main, sehingga dengan tersipu-sipu ia
membayar harga maakanan dan minuman, rremberi persenan kepada para pelacur yang
melayaninya, kemudian kabur pulang ke pesanggerahannya dengan diiringi para serdadu itu.
Sesampainya di pesanggerahannya, benar saja di sana telah kekacauan besar, tapi bukan karena
kedatangan kaum pemberontak tetapi bukan lain daripada Hap Nouw Siu Bun dan anak buahnya
yang telah menyerbu ke situ dengan menyamar sebagai kaum pemberontak!
Ternyata Hap Nouw Siu Bun yang merasa mendongkol dengan perbuatan Siu Leng Siangjin yang
telah menyerobot dan merebut jasanya untuk menduduki markas kaum pemberontak di gunung
barat, segera melaporkan perbuatan si biarawan tua yang tidak baik itu kepada atasannya,
sehingga dari sana telah dikirim seorang utusan yang bawa surat pemecatan secara tidak hormat
atas diri Siu Leng Siangjin, yang selain dituduh telah banyak main gila di luaran dan
mengindahkan disiplin ketentaraan, juga telah berlaku curang dan menyerobot jasa rekan sendiri,
sehingga akhirnya dari kemenangan telah berbalik menjadi kekalahan yang sangat memalukan
serta merugikan bagi prestise negara. Tapi, karena selama itu dianggap telah banyak berjasa pada
negara, maka dia tak dijatuhi hukuman mati, selain dilepas dari jabatannya dan diperintahkan
untuk meninggalkan pesanggerahannya di saat itu juga!
Maka setelah mendengar surat pemecatan itu dibacakan oleh utusan besar yang tertinggi itu di
hadapannya, Siu Leng Siangjin merasa dirinya sangat lemas, sehingga akhirnya dengan perasaan
sangat menyesal ia telah kembali ke atas gunung tempat kediamannya petang hari itu juga.Oleh karena dilepasnya biarawan tua itu, maka pimpinan tertinggi yang semula berada dalam
tangan Siu Leng Siangjin, kini semuanya telah terjatuh ke dalam Hap Nouw Siu Bun, sehingga
pahlawan bangsa Kim itu dapat bergerak secara leluasa tanpa ada orang yang berani
merintanginya pula, seperti apa yang kerap terjadi diwaktu Siu Leng Siangjin masih memegang
tampuk pimpinan ketentaraan pemerintah Kim dalam daerah propinsi Shoatang.
Selagi pergantian pimpinan dalam ketentaraan itu berlangsung, di dalam markas besar di
pegunungan timur Yo Su Nio tengah berembuk dengan Yo An Jie dan Thio Siauw Giok serta
para liauwlo sekalian, cara bagaimana mereka harus melakukan serangan pembalasan terhadap
pasukan tentara kaum penjajah, sejak mereka dibokong oleh Siu Leng Siangjin dan Ciu Tek Seng
tanpa mengetahui bahwa siasat itu semula telah ditelurkan oleh Hap No Hiu Bun, yang
sebenarnya merupakan pahlawan jinak-jinak merpati terhadap biarawan tua yang menjadi
atasannya itu.
"Dengan meninggalnya saudara Ngo," kata Yo Su Nio, "Kita sekarang seolan-olah telah
kehilangan salah satu penunjang yang kuat dan boleh diandalkan dalam usaha perjuangan kita
ini. Tapi selama kita masih hidup, memang sudah selayaknya untuk kita berjuang dengan sekuat
tenaga. Maju terus dan pantang mundur untuk mencapai ciia-cita suci yang kita kandung untuk
menyukseskan revolusi kita ini. Usir segera kaum imperialis dan hancurkan segala usaha kaum
penjajah yang hendak mengadu domba antara kita sama kita, dengan mereka sendiri mengeduk
nasinya yang sebesar besarnya dari tetesan peluh dan darah yang telah kita kucurkan. Dengan
segala kelicinan mereka telah memperbudak kita secara halus dan usap-usapan yang lemah lembut
tapi mengandung bisa yang tiada taranya. Oleh sebab itu, janganlah kita lekas putus asa atau segan
berjuang karena melihat hanya sedikit harapan untuk dapat mengecap sendiri kenikmatan usaha
yang tengah diperjuangkannya itu. Tapi, ingatlah bahwa bangsa yang besar, adalah bangsa yang
tak pernah mengeluh, tak pernah mundur karena segala rintangan yang melintang ditengah
perjalanannya. Orang boleh menangis, tapi tak dapat dibenarkan jika ia lekas putus asa. Aku telah
perhatikan bahwa inilah titik kelemahan kita yang pertama. Oleh sebab itu, sekali lagi kita harus
menanamkan semangat "MAJU TERUS" sehingga cita-cita kita dapat lekas tercapai. Tapi
janganlah saudara-saudara merasa kecewa jika maksud kita setelah diperjuangkan dengan sekuatkuatnya, akhirnya telah mengalami kegagalan. Karena jika usaha kita sampai kejadian gagal, anak
cucu kita pasti akan melanjutkannya dengan semangat yang lebih menggelora daripada kita yang
kemudian tergolong sebagai pelopor kaum tua!"
Pidato si Dewi Tombak yang berapi-api itu, sudah barang tentu mendapat sambutan yang meriah
sekali dari para kawan seperjuangannya, hingga dengan spontan beberapa orang tampil kemuka
menawarkan diri, bahwa jika penyerbuan terharap pasukan tentara kaum penjajah itu dilakukan,
mereka bersedia untuk maju di muka dan tak segan-segan mengorbankan jiwa dan raga mereka
untuk mencapai tujuan revolusi yang suci itu.
Su Nio dan kawan-kawan jadi sangat terharu berbareng bangga mendengar kata sepakat dan
kepatuhan serta sifat setia kawan para, kan mereka itu, sehingga si nona mendapat gambaran yang
jelas sekali, bahwa lambat laun revolusi mereka itu akan mendapat dukungan dari seluruh para
pendekar pencinta bangsa, yang hingga pada saat itu masih menyembunyikan diri masing-masing
dikalangan bulim.
"Kini permusyawaratan yang kita adakan ini telah mendapat persetujuan bulat dari para saudara
sekalian," kata si nona pula. "Tapi untuk memperkokoh serta mempererat cara kerja kita ini,rasanya belum lengkap jika tidak diikut sertakan rombongan Kok Toako dari markas pegunungan
barat."
"Untuk pergi kesana dalam keadaan cuaca yang begini buruk," terdengar suara yang hampir
berbareng.
"Kalau begitu, siapakah yang bersedia untuk diutus untuk pergi kesana?" Su Nio menoleh kepada
para saudaranya di kiri kanan.
"Itu benar, itu benar!" menyetujui An Jie dan Siauw Giok dengan cepat, "Sesungguhnya bukan
suatu pekerjaan yang mudah bagi orang yang menjadi utusan itu. Oleh sebab itu, apakah tidak
baik dipergunakan merpati pembawa surat dari pegunungan barat itu saja yang selain dapat
sampai kesana terlebih cepat juga lebih selamat dan terjamin sampainya kesana?" Siauw Giok
yang biasa mengirim burung-burung merpati tersebut, iapun membenarkan atas pikiran kakak
angkatnya itu. Oleh sebab itu Su Niopun menuruti saran kedua saudaranya dan menulis sepucuk
surat undangan kepada Kok An Yong, Sin chio Lie Cwan dan kedua saudara Kwee di markas
pegunungan barat untuk membicarakan lebih jauh tentang maksud melakukan penyerbuan secara
besar-besaran terhadap pesanggerahan pucuk pimpinan ketentaraan kaum penjajah yang kini
dikepalai oleh Hap Nouww Siu Bun.
Demikianlah bunyi surat undangan Yo Su Nio, yang singkat tapi cukup jelas untuk dimengerti
oleh pihak penerimanya.
Saudara Kok An Yong dan Saudara-saudara Sekalian Yang Terhormat
Kini atas persetujuan sekalian saudara-saudara-, kami bertekad untuk melakukan serangan kilat terhadap
pesanggerahan musuh kita, sebagai pembalasan atas serangan hebat yang telah dilancarkan terhadap markas
kita di pegunungan barat.
Tapi untuk mendapat persetujuan dengan suara bulat, kami mengundang saudara-saudara untuk disuatu
waktu saling bertukar pikiran, bila mana serangan itu hendak dilakukan, dan cara bagaimana seranganserangan itu hendak diatur.
Menantikan jawaban saudara-saudara sekalian,
Tertinggal hormat kami,
YO SU NIO dan Kawan-kawan.
Dengan menggunakan tenaga seekor burung merpati yang sebelumnya dikirim dari pegunungan
barat untuk membawa surat-surat penting, Su Nio lalu menyuruh Siauw Giok mengikatkan surat
itu pada kaki burung tersebut, yang kemudian lalu diterbangkan untuk membawa pulang surat itu
ke pegunungan barat.
Tapi, dasar Thian belum menginginkan pemerintahan bangsa Kim ambruk dalam tangan Yo Su
Nio dan kawan-kawan. Karena selagi burung merpati itu diterbangkan ke udara, justeru Hap
Nouw Siu Bun tengah berburu dengan membawa dua ekor burung alap-alap peliharaannya, yang
selain jinak, juga terlebih sangat dan seolah-olah mengerti sesuatu perintah yang diucapkan oleh
majikannya.Begitulah selagi kedua alap-alap itu diterbangkan untuk menangkap kelinci dan burung-burung
hutan yang lainnya, tiba-tiba di angkasa raya tampak seekor burung merpati yang terbang
bagaikan sebatang anak panah cepatnya.
Hal mana, sangat menarik perhatian kedua ekor alap-alap yang sedang mencari mangsa itu.
Demi dilihatnya burung merpati yang sedang terbang itu dan tiba-tiba menimbulkan rasa curiga
di dalam hati pahlawan bangsa Kim itu, lalu bersiullah ia untuk memberi isyarat kepada alap-alap
peliharaannya itu, yang segera berlomba-lomba mengejar burung merpati itu dengan amat hebat
hingga dalam waktu sekejap saja burung merpati itu telah kena diterkam oleh salah seekor burung
liar itu, yang segera memhawanya turun serta dipersembahkan kepada majikannya.
Tatkala Hap Nouw Siu Bun melihat surat yang diikatkan pada kaki burung merpati itu, lekas-lekas
ia mengambilnya serta membaca bunyinya, yang ternyata bahwa Yu Nio dan kawan-kawan
bermaksud hendak di suatu waktu melakukan penyerbuan kilat secara besar-besaran terhadap
pesanggerahan besar yang kini tengah dipimpinnya. Oleh sebab itu, apakah salahnya jika ia
mendahului melakukan penyerbuan tersebut dengan mempergunakan seluruh pasukan tentara
negeri yang kini berada dalam kekuasaannya?
Maka setelah berpikir demikian. Hap Nouw Siu Bun segera memerintahkan supaya para serdadu
segera kembali ke pesanggerahan mereka selekas mungkin, kemudian mengatur lima pasukan
tentara yang terdiri dari belasan ribu orang serdadu-serdadu pilihan yang dipesan untuk
berpencaran dan setengah diantaranya membentuk barisan yang bersembunyi di empat penjuru,
agar pihak musuh yang terpukul mundur tiada seorangpun yang akan dapat meloloskan diri dari
dalam tangan mereka.
Dan jika ini semua telah selesai diatur, barulah pahlawan Kim itu melepaskan burung merpati tadi
yang lalu pulang ke pegunungan barat dengan membawa surat yang telah diketahui bunyinya oleh
pihak musuh itu.
Pada suatu malam, selagi udara tampak mendung dan gelap gulita, Hap Nouw Siu Bun lalu
memerintahkan lima orang pahlawan bawahannya untuk melakukan pencegatan di beberapa
jalan penting yang menghubungkan jalan-jalan ke daerah pegunungan timur dan barat, sedang ia
sendiri dengan terlebih dahulu memerintahkan supaya iring-giring kuda masing-masing
ditanggalkan, lalu membawa sepasukan tentara untuk melakukan penyerbuan kilat ke peguningan
barat.
Kok An Yong dan kawan-kawan yang baru saja menerima surat dari Yo Su Nio yang dibawa
pulang oleh seekor burung merpati dan samasekali belum bersiap-siap, sudah barang tentu jadi
kelabakan, ketika secara tiba-tiba mereka diserbu oleh tentara Hap Nouw Siu Bun yang menerjang
naik ke atas gunug sambil bersorak-sorak.
Oleh karena kegelapan sang malam, maka tidak diketahui berapa banyak serdadu musuh yang
mengepung markas Kok An Yong dan kawan-kawan di atas gunung itu, sehingga keadaan
menjadi kacau dan tidak sedikit para liauwlo yang binasa terjerumus ke dalam jurang, terinjak
kuda atau keliru membunuh kawan sendiri.
Karenanya dengan tak banyak susah lagi markas kaum Jaket Merah di gunung itu telah dapat
diduduki oleh tentara Hap Nouw Siu Bun. Sedang pahlawan muda itu sendiri yang maju di mukadan menerjang masuk dan bertempur dengan Sin-chio Lie Cwan, yang ketika itu hendak buron
sambil mengiring Kok An Yong dan kawan-kawan yang lainnya.
Hap Nouw Siu Bun yang cukup kenal betapa dahsyatnya kepandaian si Tombak Sakti itu, lebihlebih dalam keadaan senekat itu, bukan saja tidak berani berhadapan untuk keluar bertempur
sendiri, malah sebaliknya segera menyerukan anak buahnya untuk mengeroyok dari segala
jurusan, hingga meski Lie Cwan sangat lihay dan gagahnya sekalipun, akhirnya ia telah didesak
ke suatu sudut. Dengan demikian, bukan saja dia tak dapat melindungi Kok An Yong dan kawankawan yang lainnya, sedang sendiripun belum tentu dapat keluar dari dalam kepungan dengan
badan utuh.
Selagi kerusuhan berlangsung dan pertempuran-pertempuran terjadi di sana sini, tiba-tiba
terdengar beberapa orang yang berteriak, "Saudara-saudara, lekas kabur! Pasukan tentara kaum
penjajah telah mengepung dan mengurung semua jalan keluar di seluruh kaki gunung ini!
Lekaslah kalian turut kami untuk kabur ke bawah gunung!"
Oleh sebab itu, Kok An Yong dan kawan-kawan yang sama sekali tidak mengetahui bahwa semua
itu adalah siasat Hap Nouw Siu Bun belaka, begitu kabur kejurusan orang-orang yang
menganjurkan untuk mereka kabur itu tahu-tahu mereka berpapasan dengan Hap Nouw Siu Bun
sendiri, hingga secara nekat mereka menerjang dengan serentak. Tapi Hap Nouw Siu Bun yang
telah menyediakan perangkap untuk menangkap mereka segera memberi isycrat dengan suatu
siulan panjang, hingga ketika itu juga Kok An Yong dan kawan-kawan diserbu dari segala jurusan
dan hampir saja kena dibekuk, tatkala Kwee Kin secepat kilat maju menerjang sambil membentak,
"Kami mendatangi!"
Kemudian mereka mengepung Hap Nouw Siu Bun bagaikan 2 harimau yang haus darah.
Hap Nouw Siu Bun terpaksa turun tangan sendiri melawan bertempur kedua orang kakak-beradik
itu. "Saudara Kwee, lekas kabur!" Kok An Yong terdengar berseru kepada du orang itu, "Markas kita
telah diduduki musuh!"
Selanjutuja karena tidak mendapat kesempatan untuk meloloskan diri dari dalam tangan musuh.
Kok An Yong terpaksa mengambil jalan nekat dengan jalan menggorok lehernya sendiri,
perbuatannya itupun dituruti juga oleh para pendekar kaum Jaket Merah yang tak sudi menekuk
lutut kepada kaum penjajah!
Demikianlah mereka semua telah gugur sebagai pahlawan-pahlawan bunga bangsa yang namanya
harum sepanjang masa!
Sementara Kwee Liat dan Kwee Kin yang masih melihat ada kesempatan untuk menggabungkan
diri dengan Yo Su Nio di gunung timur, segera melarikan diri di antara para liauwlo yang lainnya.
Dalam upaya melarikan diri itu mereka telah membunuh banyak musuh yang menghadang di
sepanjang jalan, tapi akhirnya berhasil juga mereka menghadap kepada Yo Su Nio dan kawankawan di gunung timur, yang menjadi sangat terperanjat ketika menerima laporan bahwa markas
di gunung barat telah diduduki musuh, sedang Kok An Yong dan kawan-kawan telah membunuh
diri karena tak sudi menjadi tawanan musuh!Yo An Jie gusar bukan kepalang, sehingga ia memukul hancur sebuah meja sambil berseru, "Jika
aku tak dapat menumpas kaum penjajah bangsat itu, aku bersumpah tak akan hidup di muka bumi
ini!"
Sambil berkata demikian, lekas-lekas ia panggil Siauw Giok untuk bersiap-siap. Tapi, meski ia
memanggil sampai tenggorokannya dirasakan hampir pecah, nona itu tidak juga tampak bayangbayangannya!
"Kemanakah gerangan perginya nona Giok itu?" akhirnya ia bertanya kepada anak buahnya. Tapi
tiada seorangpun ketahui kemana perginya si nona itu.
Malah seorang liauwlo yang justeru masuk dengan tergesa-gesa dan menjura di hadapan Yo An
Jie sambil melaporkan, "Barusan nona Siauw Giok menunggang kuda dan turun gunung entah
kemana perginya?"
An Jie jadi semakin gusar dan berseru, "Sungguh keterlaluan kelakuan budak yang kurang
penerima itu! Selagi kita sibuk, bukannya dia datang membantu kita, malah sebaiiknya dia
meninggalkan kita! Memelihara anjing ternyata masih lebih baik daripada memelihara bocah sial
itu! Akan kubunuh dia jika menjumpainya.
Sambil berkata demikian, ia mengambil golok dan berlari-lari bagaikan seorang kalap.
Su Nio jadi terkejut dan lekas mencegahnya, tapi ternyata tidak sempat lagi. Karena begitu sampai
di luar, lekas-lekas ia cemplak seekor kuda dan dikaburkannya ke lereng gunung. Dan tatkala Su
Nio pergi menyusul, ternyata An Jie sudah tak tampak mata hidungnya. Mula-mula si nona
hendak menyusul terus, tapi dicegah oleh dua saudara Kwee itu. "Berbahaya, berbahaya." kata
mereka, "Lebih baik kita menjaga musuh di sini saja!"
Oleh karena itu, Su Nio terpaksa menurut juga, walaupun hatinya merasa tidak enak.
Pada waktu hari menjelang tengah malam, seorang penunggang kuda yang pakaiannya berlepotan
darah telah naik ke atas gunung jatuh pingsan sesampainya di ruangan Ci-gi-thia.
"Aiiii!" Seruan kaget bercampur girang itu tiba-tiba diucapkan oleh Su Nio dan anak buahnya.
Karena waktu penunggang kuda itu diperiksa dengan teliti, ternyata dialah ......... Thio Siauw
Giok yang menyamar sebagai seorang pahlawan bangsa Kim sedang di dekatnya tergeletak sebuah
bungkusan berlumuran darah yang ketika dibuka dan diperiksa isinya, bukan lain daripada kepala
Hap Nouw Siu Bun yang ternyata baru sekali dipenggal oleh si nona itu!
Kemudian menyusul Yo An Jie, yang membawa Sin chio Lie Cwan yang menderita luka-luka.
Tampaknya ia sangat lelah sekali, tapi masih dapat melaporkan kepada Su Nio, bahwa Siauw
Giok telah berhasil menolongnya dari tangan pahlawan bangsa Kim itu yang kemudian berhasil
juga telah dibinasakan nyawanya ..............
"Kita sekarang harus mundur dahulu." katanya lemah, "Sebelum melanjutkan terus perjuangan
kita ini. Tanah air kita tidak boleh dijajah musuh dari luar! Aku kepingin hidup 100 tahun lagi
untuk melihat negeri kita jaya dan makmur, tapi ....tak dapat ........ Oleh karena itu, aku serukan
supaya para putera dan puteri bangsa Han tawakkalkan dan lanjutkanlah cita-cita kita yang gagal
ini dalam perjuangan yang tak kunjung padam ........... Su-moay, di dunia kita tak dapat
berkumpul sebagai suami isteri, semoga Thian menggabungkan kita di liang kubur............"Dengan berakhirnya kata-kata itu, maka berakhir pula riwayat hidup si Tombak Sakti yang pernah
mencintai si Dewi Tombak dengan setulus hati, tapi ternyata tak berjodoh untuk terangkap sebagai
kawan sehidup-semati ...........
Su Nio mencekal erat-erat kedua tangan pemuda tampan itu, sedang air matanya mengucur deras
bagaikan air hujan yang turun dari langit si saat itu............
TAMAT


Dewi Tombak Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapak Tangan Hantu 9 Ugly Phobia Karya Queen Soraya Dewi Olympia Terakhir 3

Cari Blog Ini