Ceritasilat Novel Online

Dibelai Kasih Sayangmu 1

Dibelai Kasih Sayangmu Karya Abdullah Harahap Bagian 1


Kolektor E-Book
Awie Dermawan
DJVU Ozan
PDF D.A.S
Hal. 3
Abdullah Harahap
DIBELAI KASIH SAYANGMU
Jakarta,
Apabila ada nama, tempat kejadian ataupun cerita
yang bersamaan, itu hanyalah suatu kebetulan
belaka. Cerita ini adalah fiktif.Hal. 4
DIBELAI KASIH SAYANGMU
Karya :
Abdullah Harahap
Diterbitkan oleh :
Nur Agency, Jakarta
Cetakan pertama :
198X Hak penerbitan ada pada Nur Agency Dilarang
mengutip. memproduksi dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit.
***Hal. 5
1 AKU TIDAK HABIS MENGERTI mengapa aku
sampai berada dalam posisi yang demikian terjepit.
Tiba-tiba saja aku telah melayang-layang di udara.
Awan kelabu bergumpal-gumpal mengepung diriku.
Langit kelam. Tidak ada pesawat. Tidak ada
prachute yang terikat di kedua pundak. Aku terumbang-ambing kian kemari. Ringan, seperti kapas.
Tetapi udara hampa tanpa angin dengan kejam
menghempaskan tubuhku jatuh kian ke bawah,
keper-mukaan bumi yang tampak berlubanglubang. Tidak ada laut untuk terjun. Tidak ada
lapangan untuk mendarat. Dengan mata terbelalak,
aku hanya bisa menyadari kalau tiga buah jurang
terjal menganga menanti tubuhku.
"Ya Allah!" do'aku dengan mata terpejam
dan jantung yang menciut ngeri. "Tolonglah
hambaMu yang malang ini!"
Dan tiba-tiba aku pun terhembus.Hal. 6
Tiada rasa sakit sama sekali. Hanya pegalpegal membuat sekujur tubuhku ngilu dan kebas.
Tubuhku masih utuh. Tidak hancur berkepingkeping. Tidak berlumur darah merah, melainkan
basah oleh keringat dingin yang memancar keluar
dari seluruh pori-pori kulit.
Ta'jub, mata kubuka dengan perasaan
bimbang.
Aku tertelentang bukan di atas batu-batu
cadas yang membatasi ketiga jurang-jurang
menganga itu. Tubuhku yang lesu dan lelah,
terbaring diam di atas tempat tidur lebar, dalam
ruangan kamar yang samar-samar diterangi oleh
sebuah lampu violet bervoltase kecil dekat toilet di
pojok.
"Alhamdulillah!" aku mengucap puji dan
syukur setelah sadar dari impian buruk yang
mencemaskanj itu. Selintas terbayang apa yang
kulihat tadi siang di lapangan sempit Diponegoro,
hanya beberapa belas meter di depan Gedung Sate.
Sembilan orang calon mahasiswa Angkatan Udara
sedang melakukan demonstrasi terjun disaksikan
ribuan mata penonton. Penerjun kesepuluh, sang
instruktur, baru membuka prachute hanya kira-kiraHal. 7
tiga ratus meter sebelum mencapai lapangan
berumput sehingga mengundang jerit dan nafas
tertahan semua penonton. Seseorang
mencengkeram lenganku kuat sekali waktu itu.
Meskipun sang instruktur selamat dan berjalan
tenang-tenang diiringi tepuk tangan yang riuh
rendah ke arah punggung, namun desis halus di
sampingku masih diliputi rasa takut:
"Hendra terlalu! Bersalto di udara, okeylah.
Tetapi baru membuka parachute setelah hampir...,"
ia geleng-geleng kepala, sehingga rambutnya yang
panjang bergerai ditiup angin. "Sudah berapa kali
kubilang agar ia senantiasa ingat pada anaknya yang
sudah setengah losin. Dasar laki-laki, keluar dari
rumah sudah tak perduli anak isteri. Hem!"
Aku tersenyum.
Menoleh ke samping. Kosong. Sprei dingin
waktu kuraba. Dahiku mengernyit. Seraya
menghela nafas, aku meluncur turun dari tempat
tidur. Letak piama kubetulkan. Lalu berjalan ke
pintu. Ku buka pelan-pelan. Dan aku melihatnya.
Anggun seperti patung. Neneng duduk di atas sofa.
Membelakangi kamar tidur darimana aku kemudian
berjingkat-jingkat keluar. Neneng tidak menoleh.Hal. 8
Tubuhnya tidak bergerak-gerak sama sekali. Kukira
ia tidur dalam posisi duduk sedemikian rupa. Seraya
geleng-geleng kepala, pundaknya hampir kutepuk.
Tetapi tidak jadi. Aku justru tertegun sendiri melihat
bagaimana wajah Neneng terpaut lurus ke layar
televisi, sebentar-sebentar hilang, disertai suara
keresak-keresek. Jam antik di tembok menunjuk
angka dua belas. Tepat. Jadi siaran telah berakhir
semenjak hampir satu jam yang lalu.
Hati-hati, aku bergerak ke arah televisi.
Kemudian memutar stop kontak. Mati.
Hati-hati pula, aku memutar tubuh.
Menghadap neneng yang masih duduk mematung
di atas sofa. Wajahnya pucat.
Dan matanya berkaca-kaca.
Aku bersimpuh dengan hati yang luluh di
depan sofa, mengelus lututnya.
"Neng ... sayangku," aku berbisik.
Mata itu terpejam. Dan bibir yang indah itu,
merapat tergigit. Cepat tubuhnya kupeluk. Wajah
kubenamkan di dadanya. Gelembung payudara
yang penuh itu terguncang-guncang keras.
Kemudian telingaku menangkap suara isak tangis.Hal. 9
Tersedu-sedu. la balas memelukku. Erat. Bagai tak
akan ia lepaskan biar apapun jua yang akan terjadi.
Terharu, aku berbisik:
..." sudah waktunya tidur, sayangku."
la menggeleng.
"Aku tak bisa. Aku tak bisa. Bonar-ku!"
"Tetapi Neng ..."
"O, Bonarku terkasih!" kedua telapak
tangannya yang hangat, menekap wajahku,
mengangkatnya sedikit sehingga aku tertengadah.
Di balik kebeningan air yang mengabuti matanya,
tampak ketakutan yang teramat sangat. "Kau
menyukai aku, bukan? Bonar, kau masih tetap
menyukai aku, bukan?"
Kucoba tersenyum. Jawabku:
"Suka? Justru aku teramat mencintaimu!"
"Jangan! Jangan ucapkan kata-kata cinta.
Perkataan itu terlalu agung. Terlalu indah. Terlalu
suci. Dan orang tidak bisa selamanya bersikap
agung, berhati dan berpikiran suci. Katakanlah,
Bonar. Kau menyukai aku seperti aku
menyukaimu."Hal. 10
"Aku menyukai engkau, Nenengku sayang.
Seperti kau menyukai diriku."
"Dan ... dan kau akan pergi besok!"
"Ya," aku menelan ludah. "Besok, aku akan pergi."
..." meninggalkan aku, Bonar. Meninggalkanku!"
"Aku toh segera akan kembali, sayangku"
"Aku tahu. Aku tahu," ia memelukku semakin
rapat, sehingga wajah terbenam rapat di dadanya,
dan sejenak membuatku sesak nafas. "Aku tahu kau
akan kembali, suamiku, kekasihku, pujaanku. Aku
tahu itu. Tetapi aku juga tahu, bila nanti kau
kembali, kau bukanlah lagi Bonar yang besok
kulepas pergi ...!"
"Neng, kau ..."
"Naluriku mengatakannya, Bonar!"
"Naluri, Bah. Perempuan terlalu berpegang
pada naluri, bukan pada akal sehatnya," aku bangkit
tanpa melepaskan pelukannya. Tertatih-tatih kami
berdiri kemudian melangkah berdampingan ke
kamar tidur. "Percayalah, Nenengku. Bila Aku
kembali nanti, maka yang kembali itu adalah akuHal. 11
yang sekarang. Jangan lagi mengada-ada. Larut
sudah, kasihku. Kau harus tidur..."
Dan setelah berbaring di atas ranjang, aku
tertawa kecil.
"Masih ingat apa yang kita saksikan tadi siang
di Lapangan Diponegoro, Neng?" ia manggutmanggut. Lesu.
"Kau cemas memandang kelakuan kakakmu,
Hendra. O, Nenengku," aku tersenyum seraya
memandangi wajahnya yang mulai kemerahmerahan kembali. "Aku juga pernah terjun. Tanpa
parachute. Neng. Dan aku ternyata lebih hebat dari
instruktur jagoanmu itu!"
Pelan-pelan, bibirnyapun tersenyum katanya, lirih:
"Masa iya!"
"Sungguh mati," dan kutekankan: "Berani
sumpah!"
"Oh. Kapan?"
"Tadi!"
"Tadi?"
"Ya. Dalam mimpi!"Hal. 12
la tertawa tersendat-sendat. Tawa yang tidak
ikhlas, namun bagaimanapun pelukan hangat yang
ia berikan seraya tertawa itu, teramat ikhlas,
teramat menggairahkan, sehingga mau tak mau
bibirku bergerak-gerak liar mencari bibirnya. Waktu
bertemu, pagutan dua pasang bibir itu seperti
perpaduan bensin dengan api. Membakar. Panas.
Meledak-ledak. Selimut sampai terlontar dari
tempat tidur. Menggelimpang malang di atas lantai.
Namun baik aku maupun Neneng tidak berminat
sama sekali untuk memungut nya. Karena, tidak
saja selimut, piyama di tubuhku dan kimono di
tubuh Neneng, di saat saat berikutnya ikut
melayang-layang untuk kemudian terhampar diam
di kaki tempat tidur.
Lukisan kereta kuda yang melekat di tembok
kamar, seperti hidup tiba-tiba. Roda-roda kereta
terlonjak-lonjak, dan kuda-kuda itu lari, berpacu,
dengan nafas menggebu-gebu. Demikian cepatnya,
sehingga tiba di sebuah tikungan kereta itu tidak
tertahan lagi. Terlontar ke awang-awang dengan
roda-roda yang masih berputar-putar, lemah. Dan
sang kuda, terhempas di tanah. Terbaring diam,
dengan nafas yang tersengal-sengal. Letih ...Hal. 13
2 BEGITU taxi 4848 yang kami carter
meninggalkan pintu gerbang Bandung di
Cibeureum, Neneng jatuh tertidur di sampingku.
Pada sopir taxi di depan aku nyeletuk dengan suara
perlahan:
"Slow saja. Bung. Masih banyak waktu"
Sopir melirik ke kaca spion. Kukira ia
mengerti, karena perlahan-lahan ia mengangguk.
Lari mobil ia kurangi, namun tidak terlalu banyak.
Meskipun begitu, professinya sebagai seorang sopir
berpengalaman ternyata tidak mengecewakan, la
memanfaatkan rem dan versnelling secara halus
tiap kali berganti gigi, menyiap kendaraankendaraan lain di depan kami tanpa tergesa-gesa
dan mengambil tikungan-tikungan tajam sepanjang
Citatah dengan manis sekali. Tidur Neneng yang
lelap dalam pelukanku, sama sekali tidak terusikHal. 14
oleh kendaraan yang toh oleh sopir dikebut juga
akhirnya.
Lewat Cianjur. Neneng tampah gelisah dalam
tidurnya.
Beberapa kali ia seperti mengerang. Halus.
Kemudian bibirnya menggerimit, mengucapkan
kata-kata yang tidak begitu jelas kudengar. Kukira ia
tengah bermimpi, biarpun udara pagi yang cerah
bersinap terang membuat sawah di kiri kanan
berwarna hijaur gemerlapan. Kubiarkan Neneng
dalam keadaan serupa itu, karena ingat tadi malam
ia sama sekali tidak bisa tertidur.
Baru setelah tiba di Cipanas, Neneng
kubangunkan.
la menggosok-gosok matanya, seperti
terheran-heran. Kemudian menatapku. Tajam. Dan
lama. Matanya memandangiku seperti memandang
seseorang yang asing dan waktu ia tiba-tiba
memelukku dengar wajah didekapkan ke dadaku,
aku menarik nafas panjang. Berat. Dan terharu. Aku
menyuruh sopir singgah di Rumah Makan "Roda."
Kuharap udara pegunungan yang sejuk di antaraHal. 15
gigitan matahari yang lembut bisa menggugah
Neneng untuk bersikap sedikit gembira.
Tetapi, nyatanya sia-sia.
la makan tak bernafsu. Aku sendiri, hanya
menghabiskan nasi setengah piring, sekerat ayam
panggang, sedikit sup panas dan secangkir kopi
susu. Biasanya aku makan tiga kali lipat dari jumlah
itu tiap kali kami berkesempatan singgah untuk
makan di tempat ini dalam perjalanan pulang pergi


Dibelai Kasih Sayangmu Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bandung-Jakarta. Aku masih tetap siraja makan
seperti yang sering disindirkan saudara-saudaraku
waktu aku masih di Medan, bahkan kukira setelah
beberapa tahun aku terbiasa hidup sederhana di
Bandung. Tetapi tidak hari ini!
Masuk kembali ke taxi, Neneng hanya berdiam diri.
Aku tahu apa yang ia pikirkan, dan ingin
memprotes bahwa pikirannya terlalu jauh, dan
bayangannya hanya yang bukan-bukan. Tetapi
kekakuan yang sangat terasa menggantung bagai
tabir di antara kami, membuat aku hanya bisa ikut
berdiam diri, Kualihkan perhatianku pada
panorama indah di kiri kanan jalan. Suasana alam
Puncak berlereng-lereng hijau di selang-seling villaHal. 16
serta bungalow-bungalow megah menjepit rumahrumah penduduk yang miskin dan terlantar. Kabut
baru saja pergi, dan jalan aspal di depan roda-roda
mobil tampak hitam legam. Tak ubahnya ular ganas
yang tanpa suatu sebab sekonyong-konyong
terbaring diam, pasrah tetapi gelisah.
" ... Bonar?"
"Ngg?" aku terjengah, menoleh ke samping.
Neneng menatap lurus ke depan, tetapi aku tahu
sinar matanya teramat kosong.
..." aku tertidur barusan."
"He-eh. Syukurlah. Tadi malam kau kan tak tidur."
"Dan aku bermimpi."
"Wah. Itu biasa!"
"Tetapi mimpiku, Bonar "
"Hanya bunga-bunga tidur, sayangku," aku
cepat-cepat menukas, melihat kulit wajahnya yang
berubah kepucat-pucatan serta sinar matanya yang
ketakutan.
"Apakah impianmu tadi malam, cuma
sekedar bunga-bunga juga Bonar?"Hal. 17
"He-eh. Karena aku masih berada di bawah
Pengaruh tontonan yang kita saksikan siang
harinya."
"Ya. Ya. Mudah-mudahan begitu."
"Kenapa rupanya. Neng?" aku jadi berminat.
"Tadi... tadi juga aku bermimpi."
"Terjun?" aku tertawa. "Tanpa parachute?"
la tertawa. Malah terbungkam. Lama
Kemudian:
..." aku tidak terjun, tetapi seperti kau, aku
juga melihat jurang. Bukan tiga. Melainkan satu.
Aku Bonar." suaranya tersenggap, seperti suara
orang yang hampir terbenam dalam air yang dalam,
" aku berada di tengah-tengah jurang itu, Bonar.
Sendirian. Kesepian. Dan nun jauh di atas aku
lihat bayangan samar-samar seorang berdiri
menghadap ke bawah. Melihatiku. Kutajamkan
pandangan mataku. Dan kulihat, kaulah orang itu.
Terpaku di bibir jurang. Diam, terpanggang
matahari. Matahari yang garang, Bonar, dan kau
kulihat terhuyung-huyung. Kukira kau akan jatuh ...
tetapi kau justru terhuyung menjauhi jurang itu.
Mengertikah kau maknanya, Bonar?"Hal. 18
"Aku bukan seorang ahli nujum," keluhku,
agak gugup.
"Bukan makna mimpi itu, Bonar. Tetapi
makna kau menjauhi jurang itu."
"Tidakkah itu tindakan yang tepat?" kucoba
tersenyum. "Aku terhuyung, tetapi tidak jatuh
jurang, melainkan menjauhi ..."
"Artinya, kau menjauhi diriku juga, Bonar!
Kau meninggalkan aku sendirian terperangkap
dalam jurang yang mengerikan itu!"
Reflex, aku menoleh.
Mataku yang gugup, beradu dengan mata
Neneng yang hampa. Lama kami saling bertatapan,
sampa kemudian aku merasa sesak nafas lantas
mengeluh:
..." kau sudah dikuasai naluri
keperempuananmu kembali, Neneng. Sudah
berapa kali kubilang, aku hanya pulang untuk
menjenguk ibu yang sakit payah. O, bukankah
sudah pernah kuceritakan? Mereka di Medan,
terlalu memikirkan studi dan keselamatanku
sampai ketika suatu waktu aku akan menempuh uji
Sarjana Muda, kuterima surat yang mengatakanHal. 19
mereka semua baik-baik dan mereka semua berdoa
untuk kesuksesanku. Aku sukses, pulang ke Medan
dengan kebahagiaan yang meluap, dan
menemukan ayahku yang sudah terbaring di liang
lahat. la meninggal satu hari sebelum aku ujian, dan
telah menderita sakit payah sewaktu mereka
menulis surat yang mengatakan mereka semua
sehat wal'afiat...," aku menarik nafas berulangulang. Lelah, dan sakit. Lalu. "Beberapa hari yang
lalu kita terima surat mengatakan ibu sakit payah.
Mereka tak lagi berdusta, dan mereka pasti tengah
menantiku. Kuharap, ibu sembuh dan baik-baik saja
setelah aku nanti di Medan, sehingga aku bisa
kembali keharibaanmu. Sederhana bukan,
Neneng?"
la menggelengkan kepala.
"Tidak," bisiknya, tajam. "Tak sedikit
kudengar kisah-kisah usang yang sama. Seorang
anak dipanggil pulang dengan dalih orangtua sakit.
Tiba di kampung, sang orangtua ternyata segar
bugar. Tetapi, seorang calon isteri telah siap sedia
menanti si anak pulang. Bonar!" ia mencengkeram
lenganku kuat-kuat. "Akan kawinkah kau di Medan,
Bonar? Akan menikahkah kau di sana?"Hal. 20
"Neneng!" protesku. Keras.
Sopir Taxi menoleh ke belakang. Sekilas.
Tetapi kemudian tak acuh.
Kuturunkan Volume suaraku:
"Dengarkan, Neneng. Ibu sakit payah. Aku
harus mendampinginya, dan kau telah setuju itu
kulakukan. Jadi, diamlah sekarang. Demi Tuhan,
buang pikiran buruk jauh-jauh dari kepalamu.
Pikirkanlah hanya tentang dirimu dan diriku saja.
Do'akanlah ibuku cepat sembuh, sehingga aku
segera pulang. Itu saja!"
"Aku tak tahu, apakah aku mampu berbuat
begitu. Tetapi Bonar, setidak-tidaknya jawablah
pertanyaanku yang ini secara jujur: akankah kau
tetap setia?"
"Apaan ini?" rungutku. Marah.
"Maafkan aku sayangku," ujarnya, lirih seraya
merebahkan wajah di lenganku. "Aku percaya kau
tetap setia dan akan kembali pada gadismu yang
malang ini. Maafkan aku Bonar. Maafkan aku,
kekasih ...!"Hal. 21
Air mata Neneng menitik waktu taxi
meluncur memasuki pelataran airport Kemayoran.
Udara Jakarta yang panas gersang yang membuat
air mata itu bercampur dengan keringat yang
membercik di pori-pori kulit wajah Neneng yang
pucat, la berjalan seperti mengambang waktu
memasuki airport. Lengannya memagut lenganku
tanpa lepas-lepas sementara aku melapor kebagian
cheking tiket penumpang, mengurus bawaanku
yang cuma sebuah koper kecil berisi pakaian,
menerima carik bagasi kemudian berjalan ke ruang
tunggu. Di pintu, kami bertengkar sedikit dengan
penjaga karena selain penumpang tidak boleh
masuk ke dalam. Setelah menyelipkan selembar
uang kertas lima ratusan di tangan penjaga itu
waktu kami berjabatan, barulah Neneng
diperbolehkan ikut masuk ke dalam.
Kami tak berkata-kata sepatah pun juga
selama penungguan yang lima menit lebih sebelum
penumpang dipersilahkan masuk ke pesawat yang
sudah siap untuk take-off. Baru ketika kami berdua
berada di pinggir landasan, Neneng sekonyongkonyong memelukku seraya menangis. Riuh
rendahnya mesin pesawat yang naik turun serta
menyemutnya manusia di sekeliling kami menelanHal. 22
suara isak tangis Neneng yang tersendat-sendat.
Aku setengah berteriak di telinganya ketika kami
berjabat tangan dibatasi oleh pagar:
"Jaga dirimu baik-baik, sayangku"
"Cepat kembali, kekasih," balasnya.
"Aku akan ..."
"Pergilah! Pergilah! Pergilah ...!" lantas ia
membalikkan tubuh membelakangiku seraya
menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.
Beberapa saat aku termangu-mangu, sampai
seorang crew menjentik bahuku seraya menunjuk
ke arah tangga pesawat yang sedang dinaiki
penumpang terakhir sebelum diriku. Seorang
stewardess menatap ke pinggir landasan, dan
dengan perasaan terpaksa aku memutar tubuh,
kemudian bergegas menuju pesawat. Diundak
tangga terakhir, aku masih sempat menoleh dan
melihat Neneng tengah berdiri seraya berpegangan
pada pagar dengan wajah yang pucat memandang
ke arahku. Aku ingin melambai, tetapi tanganku
bagai lumpuh. Dan, Neneng juga tidak melambaikan
tangan.
"Silahkan, saudara ...," kata stewardess.Hal. 23
Aku cepat masuk, setelah mana tangga
dinaikkan. Kebetulan nomor kursi yang kemudian
kududuki berada di samping jendela kaca kecil,
darimana aku bisa memandang ke arah ruang
tunggu. Aku tidak tertarik pada seorang pramugari
yang membacakan pengumuman lewat pengeras
suara yang halus tentang tata tertib dan
keterangan-keterangan tentang penggunaan
pelampung udara bila pesawat dalam keadaan
darurat. Perhatianku tercurah sepenuhnya ke
manusia yang menyemut di pinggir landasan, ke
arah Neneng yang berdiri paling pinggir dengan
tangan masih berpegangan pada bibir pagar, dan
aku merasa pasti dengan wajah pucat basah oleh air
mata.
Baru ketika lampu di pinggir pintu cockpit
menyala merah dan penumpang-penumpang
dipersilahkan mengenakan tali pinggang kursi, aku
menarik nafas kemudian dengan perlahan-lahan
memerintah itu. Tanganku gemetar, dan jari
jemariku seperti kaku rasanya. Uap dingin bagai
menyelinap masuk ke ulu hati waktu pesawat mulai
take-off.
Sekali lagi aku mengintai lewat jendela kaca.Hal. 24
Di sana, kulihat Neneng, melambai. Ya, ia
melambai!
Aku membalas lambaian itu, masih dengan
tangan gemetar, menahan perasaan sedih yang
menggugah hati dengan tiba-tiba. Aku tidak tahu
apakah ia juga melihat lambaianku, tetapi aku
yakin, mata hatinya, cintanya dan jiwanya melihat
diriku sepenuhnya. Neneng tampak kecil di antara
manusia-manusia yang menyemut, dan semakin
kecil lenyap sama sekali setelah pesawat
mengapung tinggi dii udara.
Namun di antara awan putih perak yang tak
lama kemudian seperti menggantung di sayap
pesawat, titik-titik halus dari balik awan itu seperti
muncul menerawangi langit yang biru jernih. Titiktitik yang kian membesar, di antara titik-titik lain
yang menyemut dan juga kian membesar. Di antara
rasa kehilangan sewaktu berpisah dengan Neneng,
terselip sebuah bayangan di antara banyak
bayangan-bayangan lain yang bermunculan seperti
tak mau ketinggalan. Orang-orang memang tidak
menyemut, tetapi jumlahnya cukup banyak juga
waktu berkumpul di depan fakultas. Di sana-sini
terdengar teriakan-teriakan memerintah, suara-Hal. 25
suara mencemooh, tertawa yang berkakakan, suit
menyuit dan bisik yang riuh rendah.
Gerombolan itu kemudian terlihat berjalan di
jalan setapak, di tengah-tengah sawah,
berpancaran di kaki-kaki bukit, beriring-iringan
mendaki. Langit tengah bersenang hati, dan
matahari tengah bergembira ria. Banyak rekanrekan yang menyanyi-nyanyi selama cross country
yang diadakan oleh fakultas itu berjalan tertib,
lantas lama kelamaan mulai tidak teratur. Di
tengah-tengah sebuah hutan, gerombolan itu
berpecah-pecah dalam kelompok-kelompok yang
susul-menyusul. Kelompok-kelompok itu semakin
jauh semakin kecil semakin berpencar-pencar.
Teriakan marah panitia lewat speaker sia-sia saja.
Kemudian lenyap ditelan kesepian hutan yang
mencengkeram bukit landai yang tengah didaki.
Terengah-engah, aku berjalan menyusul
seorang gadis yang berlari-lari jauh di depan. Sekali
ia terbanting jatuh ke atas tanah berumput,
terpekik halus, bangkit kembali dan aku telah
berhasil menyusulnya. Namun begitu aku coba
menjangkau, ia cepat-cepat menghindar kemudian
lari lagi.Hal. 26
"Neneng!" teriakku parau. "Kita makin jauh
meninggalkan kawan-kawan lain."
"Biar!" sahutnya. Lantas menghilang di
sebuah kelokan yang ditumbuhi semak belukar.


Dibelai Kasih Sayangmu Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah memang dari sini jalannya ke
Cisarua," tanyaku seraya mata mencari-cari.
Dari dalam semak belukar, terdengar sahutan:
"Entahlah. Aku tak tahu!"
"Nanti kita tersesat, Neng."
"Biarin!"
"Neng, aku sudah capek. Marilah berhenti
dulu barang sejenak dan ...," dan aku tidak melihat
jalan menurun di bawah lindungan semak. Seketika
tubuhku terguIing-guIing, kemudian terhempas di
dekat sebatang pohon tumbang yang telah mulai
lapuk.
Mataku berkunang-kunang sesaat.
Lalu aku melihatnya. Neneng, terbaring diam
di sampingku, dengan mulut yang melepas tawa
renyai.Hal. 27
"Seingatku," aku berujar dengan suara
terputus-putus, menatap kilau matahari yang
mengintip dari sela rimbunan dedaunan. Pohonpohon yang menjulang tinggi, bagai membentuk
kerucut dengan lingkaram lembut di tengahtengahnya. Ada burung bernyai dan beberapa ekor
tupai berloncatan dari dahan ki dahan. Seekor kera
menyeringai ke arah kami, kemudian lari waktu
kulempar dengan sebuah batu kecil.
"Untung tak kena. Kalau tidak..." sungut
Neneng.
"Kalau tidak, mengapa rupanya?"
"Bisa celaka."
"Eh, kok?"
"Kau dianggap melempar nenek moyangmu
sendiri!" ia tertawa.
"Apa? nenek moyangku kau bilang kera?"
"Darwin yang bilang!"
"Hih, kau!" aku mencubitnya, la mengelak
sedikit, sehingga arah tanganku melenceng ke arah
dadanya. Aku terjengah. Neneng terjengah. Tangan
tak juga kutarik dari tempatnya hinggap, lembut,Hal. 28
hangat dan bergetar. Neneng tidak pula
menolakkannya. Matanya memandang sayu ke
mataku. Bibirnya setengah terbuka. Basah.
Menantang. Ketika aku menciumnya, tubuh
Neneng terguncang-guncang, la memagut bibirku
dengan keras, menggigitnya. Tetapi tiada rasa sakit.
Tiada, sama sekali. Yang ada ham lah
Seekor cerpelai, rupanya jatuh dari ranting
sebua pohon, kemudian berlari terburu-buru,
menyelinap antara semak belukar. Matahari telah
condong ke barat. Langit masih membiru, tetapi
dari kerucut puncak pohon-pohon berdaun rimbun
seperti lentera yang sudah kehabisan minyak.
Bersinar lemah, kelam dan gelepar beberapa ekor
burung berpindah tempat terdengar ribut waktu
Neneng bangkit seraya mengenakan pakaiannya
kembali. Ketika kemudian ia duduk bersimpuh di
hadapanku, bibirnya tersenyum. Manis sekali.
"Aku kira tadinya kau tak lagi seorang gadis,"
bisikku, bergetar.
"Dan kau, menurutku, bukan lagi seorang
perjaka!" balasnya, bergetar.Hal. 29
"Kau ... kau tidak menyesal. Bahkan kau ...
kau tidak menangis!"
"Menangis?" ia tersenyum. Lembut. "Apa
yang harus kutangisi? Suatu saat, seorang
perempuan toh akan kehilangan kegadisannya. Aku
baru menangis bila kau menjawab tidak atas
pertanyaanku ini...," ia genggam kedua belah
pipiku, lalu:
"Kau suka padaku, Bonar?"
Aku mengangguk.
"Itu sudah cukup," katanya, menarikku
berdiri. "Marilah kita pulang!"
"Pulang? Dan kawan-kawan?"
"Kalau mau pilih mereka, pergilah. Kalau mau
pilih aku"
"Aku memilih Neneng. Dan itulah
permulaannya!"
* * *Hal. 30
"TALI pinggangnya, saudara?"
Aku tersentak dari lamunan yang membisu
itu. Seorang pramugari berdiri di sebelah tempat
dudukku, setengah membungkuk seraya tersenyum
manis.
"Ya?"
"Tali pinggangnya. Kita akan segera turun...!"
ulangnya tanpa melepaskan senyuman manis
dibibir.
Tidak ada yang menyambutku di airport.
Memang aku pulang tanpa memberitahu keluarga.
Karena begitu surat mereka kuterima, begitu aku
mem-booking tiket pesawat. Kalau kukirim surat,
pastilah kehadiranku akan mendahului tibanya
surat itu di alamat yang dituju. Orang setengah baya
yang gagah tadi mengajakku ikut naik Merzedez
yang menantinya di luar airport. Aku menolak
dengan halus. Tak ingin berhutang budi pada orang
yang tidak kukenali meskipun sekarang aku berada
di kampung halamanku sendiri. Aku kemudian
mencarter sebuah Foat 1100 yang sudah agak
rongsokan.Hal. 31
"Jalan Pimpinan," kataku pada sopir. "Cepat
sedikit!" lanjutku, ingat pengalaman dua tahun
yang lampau waktu aku pulang untuk pertama kali
ke kota ini. Waktu itu, aku tiba di rumah yang suram
oleb suasana berkabung dan ribut oleh isak tangis.
Kata mereka, ayah masih menanyakan aku sesaat
sebelum menghembuskan nafas terakhir. Kini, aku
tidak ingin ibu menanyakan diriku bahkan aku sama
sekali tidak berharap ibu dalam keadaan sakit payah
sehingga mereka begitu merasa penting untuk
menyuruhku pulang. Kerinduan pada keluarga
terasa menyentuh-nyentuh di ulu hati, menekan
dalam perasaan was-was kalau aku sampai
mengalami hal buruk yang sama sampai dua kali.
Dan, ternyata ibuku sehat wal'afiat. Tidak
kurangi suatu apa!
la duduk di kursi malas, agak gemetar setelah
mengetahui siapa yang bersimpuh kemudian
mencium punggung tangannya yang keriputan dan
tergeletak lemah di atas kedua lututnya yang kurus,
la tertawa kecil matanya yang sudah agak rabun
berusaha meneliti wajahku yang kemudian ia
pertegas dengan-meraba wajahku mempergunakan
tangan-tangannya yang tinggal kulit berbalutHal. 32
tulang. Tangan-tangan itu gemetar dan suara yang
keluar dari mulutnya juga gemetar:
" kau tak bilang-bilang mau pulang,"
katanya terharu.
Rumah yang sepi itu mendadak ramai pada
sore harinya. Semua anak dan cucu-cucu ibunda
berkumpul setelah saling hubung menghubungi.
Kedua orang saudara-saudaraku, kakak perempuan
dan abang lelaki, bergantian memeluk seraya
tertawa riang gembira. Tidak ada suasana duka
yang kubayangkan, tidak ada kekhawatiran yang
kucemaskan.
"Kalian membohongiku," aku agak menuntut
pada Tigor. "Dalam suratmu, abang berkata kalau
ibu sakit."
Rosmala kakak perempuanku, menukas:
"Memang ibu sakit-sakitan belakangan ini.
Tak ada salahnya kita kumpul-kumpul sebelum
terjadi apa yang tidak kita sama-sama kehendaki,
bukan?"
"Ah, kalian berdua! Rupanya ingin ibu cepatcepat mati ya?"Hal. 33
"Husy, apa yang kau percakapkan?" bentak Tigor.
Dan suasana riang gembira itu, atas
kehendak Tuhan, malam harinya berubah jadi
suasana kaku yang mencekam. Ruang tengah sepi
menyentak. Kemanakan-kemanakanku sudah pada
tidur. Yang tinggal hanya aku, ibu yang duduk di
kursi malas yang sama seperti tadi siang, Tigor
beserta istrinya dan Rosmala bersama suaminya.
Setelah berbasa-basi ke sana kemari, hampirhampir tanpa tujuan sehingga membuat aku curiga,
akhirnya ibu berkata dengan suara memalas:
"Kami tahu waktumu di kota ini tak banyak,"
katanya, disusul oleh suara batuk-batuk yang
kering. Setelah batuknya reda, ia kemudian
melanjutkan:
"itulah sebabnya, kuminta kalian semua
berkumpul malam ini. Tadinya kita tak yakin Bonar
akan pulang. Tetapi ibu sudah bilang, ia anak baik.
Si bungsu yang tahu menjaga hati orang tua ...
sekarang ia telah berada di tengah-tengah kita.
Sudah waktunya kita beritahu pada si bungsu, la kita
panggil pulang, karena keluarga calon isterinya
sudah tak sabar menunggu!"Hal. 34
Selama beberapa detik, suara yang meluncur
deras dari sela-sela bibir ibu, tak ubahnya ribuan
tawon yang keluar berbondong-bondong dari
dalam sarangnya. Terbang di udara dengan suara
berdengung-dengung. Lama berlalu sampai suara
berdengung itu menghilang dan aku tersadar
dengan rasa sakit yang ditinggalkan oleh sengatan
tawon yang tidak mengenal belas kasihan itu.
Rosmala mendehem halus. Suaminya menarik
nafas. Tigor memandang tajam ke mataku. Dan
isterinya mengalihkan muka ke arah lain. Kawin!
Tersirap darah di sekujur tubuhku.
Kawin!
Dan Neneng di Bandung! Neneng-ku sayang!
"... bagaimana?" ibu bertanya tiba-tiba
memecah kesepian yang menganga dalam ruangan
itu. Ruang tengah yang tadinya sejuk dan kini terasa
gersang menyesakkan.
Aku terdiam. Yang lain-lain terdiam. Ruang
tengah ikut terdiam.
Ibu terbatuk-batuk. Kering, la urut dadanya.
Perlahan. Dan hatiku terenyuh. Tigor di sampingku
mengeluh.Hal. 35
"Jawablah!" bisiknya, parau.
"Bonar?" desak ibu.
Aku memandang Tigor. Matanya mengutara
kan permintaan yang sama. Aku alihkan
pandanganku ke wajah kak Rosmala, suaminya, dan
isteri Tigor yang juga kini tengah memperhatikan
wajahku, menanti kata apa yang terucap dari
mulutku.
"Tetapi..."
Suaraku yang tersendat hampir-hampir tak
terdengar itu, dihentikan oleh sodokan yang keras
dari tangan Tigor di punggungku.
"Jangan berkata tidak," bisiknya, tajam.
"Tetapi, bang"
"Tak ada tetapi-tetapi!"
"Bang Tigor!"
Suara ibu yang serak bergaung di antara kami:
"Apa yang kalian pertengkarkan, anak-anakku?"
Rosmala membasahi bibirnya yang pucat, lalu
berkata dengan suara yang diramah-ramahkan:Hal. 36
"Bonar masih malu-malu, ibu"
Ibu tertawa. Halus. Matanya yang rabun,
bersinar-sinar. Sinar yang tinggal sisa-sisa. Seakan
ingin menerangi dunianya yang semenjak ditinggal
mati oleh ayah telah berubah kelam dan gelap
gulita.
Dengan rasa sayang seorang ibu, ia berujar:
"Ah, si bungsu yang nakal. Masa sudah
seumur begini"
"Bukan itu soalnya, bu," cepat aku menukas.
"Ya?"
"Bukan"
"Bonar!" Tigor menyodok punggungku lagi.
"Jangan berbelit-belit...," dan waktu ia lihat apa
yang tersirat dibenakku, cepat-cepat ia lanjutkan:
"Dan jangan berkata tidak!"
"Ini paksaan!" aku menjerit, dalam hati tapi.
Dan di mulut: "Bu berilah anakmu ini waktu untuk
berpikir."
Ibu manggut-manggut.Hal. 37
"Sebenarnya itu tak perlu, anakku. Tetapi ...
ah, aku tahu perasaan hatimu. Ayahmu juga. dulu
begitu waktu ditanya oleh kakek kalian. Ayahmu
minta waktu, padahal ia sudah tak sabar untuk
menjawab menyatakan rasa senang hatinya, la
pemalu seperti kau. Baiklah, Bonar. Asal kau rasa
cukupi waktumu. Bagaimana. Boleh aku tahu kapan
kau nyatakan persetujuanmu?"
Nada pertanyaan ibu begitu pasti. Persetujuan yang
ia harapkan begitu ia yakini.
Aku bagai terlandai, terkapar diamuk badai.
Sebelum aku menjawab, ibu sudah memutuskan:
"Sudahlah. Besok malam kita berkumpulkumpul lagi, dan ibu harap kita sudah bisa
memberikan jawaban pada keluarga calon istrimu,
kapan waktunya yang tepat pernikahan kita
langsungkan. Ah, kudengar kau mengeluh, Bonar.


Dibelai Kasih Sayangmu Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apa yang kau keluhkan? Menyesal mengulur waktu,
padahal kau sudah setuju?" ibu tersenyum-senyum.
"Sabar, anakku. Sabar... kata sudah diucapkan,
jangan ditarik kembali. Lagipula, kau belum lihat
bagaimana keadaan Marianna sekarang... oh! la
bukan lagi anak kecil seperti waktu kau tinggalkan,Hal. 38
la sudah berubah benar, nak. Baik perilakunya,
cantik rupanya dan ..."
Dan aku terhuyung-huyung keluar dari ruangan
yang semakin pengap itu!
Di terras, aku duduk di sebuah kursi rotan
yang sudah retas-retas. Dadaku bergemuruh.
Bergoncang. Dahsyat. Dan belakang kepalaku
berdenyut-denyut. Menyakitkan. Aku tertengadah.
Langit kelabu. Dari bulan tampak teramat pucat,
mengintai dari sela-sela gumpalan awan yang
berarak seperti sebaris pasukan yang sudah siap
untuk bertempur. Bulan mundur teratur, dan aku
tenggelam dalam kegelapan yang mengerikan, tak
kuasa untuk melarikan diri. Aku duduk di situ, tak
ubahnya seorang pengemis hina yang terluntalunta, tiada yang memandang walau sebelah mata
pun jua. Udara malam kota Medan yang gersang,
menyesakkan nafasku. Keringat jatuh membanjir.
Tubuhku tenggelam dalam genangan keringat itu,
tersobek-sobek jadi gumpalan-gumpalan daging
yang siap untuk dijagal.
"Neneng, Nenengku yang malang. Nenengku
sayang...," tak sabar, aku merintih seraya menekap
dada yang menyempit. Luka.Hal. 39
Seorang menepuk pundakku.
Aku menoleh. Kaget.
Seperti langit, wajah Tigor yang tau-tau telah
berdiri di sampingku, tampak kelabu. Juga wajah
Rosmala yang ikut mendampinginya.
"Jadi itulah sebabnya," cetus Tigor seraya
duduk di bibir terras. la menatap ke pekarangan
yang ditumbuhi bunga-bunga yang terawat apik di
antara kerikil-kerikil yang tersusun rapih. "Apakah
Neneng nama gadis yang kau tinggalkan di
Bandung?"
Aku terpekur.
Menyahut pelan, dengan suara yang runtuh: "Ya"
"la tentunya gadis yang beruntung."
Terdorong oleh nada sympathi yang
tersembunyi dibalik kata-katanya, semangatku
yang sempat hilang perlahan-lahan kembali
menyelinap dalam dada.
"Akulah sebenarnya yang beruntung, bang.
Neneng bukan saja seorang gadis yang baik. la juga
seorang yang sangat pengasih, dilimpahi rasa
sayang yang seperti tak akan pernah habis, la takHal. 40
pernah berpikir panjang untuk berkorban bila saja
aku menghendaki sesuatu. Dan ia ..."
"Bonar..."
"Ya, Bang?"
"Kau lihat pekarangan ini? Rapih, bukan?"
Aku mengangguk.
"Kau sudah lihat suasana perabotan di
rumah. Manis. Dapur senantiasa tampak bersih. Tak
setitik debu pun boleh menjejakkan kaki di rumah
kita. Tidak secerah warna muram boleh bertingkah
di dekat ibu. Kau pikir, siapa yang melakukan semua
itu, Bonar? Siapa kau kira?"
Aku angkat bahu. Acuh tak acuh.
Tigor tertawa kecut. Katanya:
"Marianna, Bonar. Anna-lah satu-satunya
orang yang masih memperhatikan rumah ini seperti
ia memperhatikan rumahnya sendiri. Anna jualah
orangnya yang mengurus ibu kita, seperti ia
mengurus ibunya sendiri. Adakah kau kira gadis lain
yang lebih baik, lebih pengasih dan lebih sudi
berkorban selain dari pada Marianna?"Hal. 41
Mengertilah aku tujuan kata-katanya.
Maklumlah aku, sympathinya hanya pura-pura.
Darahku seketika naik kepala. Gemetar, aku
berkata:
"Kalian seperti menuntutku. Memojokkan
aku ke sudut, seorang diri. Kalian tonjol-tonjolkan
perilaku Anna. Tetapi sadarkah kalian, bahwa tugastugas itu sebaiknya kalian sendirilah yang
melakukan? Kalian memperbabu Anna, kalian
memperbudaknya. Dan kini, kalian mau
menjejalkan budak yang kalian perbabu itu ke
dalam diriku. Aku jadi berpikir. Saudara-saudaraku
yang penuh kasih sayangkah kalian ini? Atau hanya
sekedar robot-robot yang tidak tahu harga dirinya
sendiri karena terlalu memikirkan untuk menekan
harga diri orang lain, eh?"
* * *Hal. 42
3 WAJAH Tigor jadi merah dadu. Rosmala
tersadar ke tembok, dengan wajah yang pucat dan
mulut ternganga.
Aku tertawa. Pahit.
"Bagus benar," rungutku. Marah. "Bagus
benar perbuatan kalian. Selama ini aku
menganggap, kalian adalah saudara-saudaraku
yang baik hati, saudara-saudaraku yang pengabdi.
Tak taunya, kalian hanya memikirkan diri sendiri.
Ditambah isteri atau suami, dan sesusun anak-anak.
Bah!"
"Bonar. Jangan berkata begitu," desah
Rosmala. Kelu.
"Lantas, apa yang harus kukatakan? Bahwa
kalian adalah anak-anak yang benar-benar
bertanggung jawab terhadap orangtua?"Hal. 43
Tigor tertawa tiba-tiba. Tertawa kering.
"Hebat kau ini," dengusnya. Tajam. "Itulah
hasil didikan yang kau peroleh di Bandung, eh?
Merendahkan martabat abang dan kakakmu. Dan ...
he, kau si bungsu yang kata ibu bisa menjaga hati
orang tua. Apa sajakah yang telah kau lakukan
untuk ibu kita yang malang dan sakit-sakitan itu.
Apa saja, he bungsu yang sangat tinggi harga diri?
Apa?"
Tanganku bergumpal-gumpal. Kebas.
Kuhantamkan ke jidat. Lalu ke paha. Keras.
Berulang-ulang. Rosmala memekik tertahan,
memburu ke depan lalu mencengkeram kedua
pergelangan tanganku, yang ia bawa ke dadanya,
yang ia ciumi dengan penuh kasih, yang ia basahi
dengan cucuran air mata.
"Sudahlah dik, sudahlah," isaknya.
"Diam kau, Ros. Kau tahu apa! Menangis.
Bah! Biar keluar air matamu satu ember-pun, tak
akan kau bisa menyadarkan anak yang tak berguna
ini."
"Abang!" jerit Rosmala lirih.Hal. 44
"Kubilang, diam. Lalu masuklah kau ke dalam.
Tidur bersama suami pilihan hatimu itu. Pilihan hati.
Puih," Tigor meludah. "Nyatanya, hanya karena ada
anak-anak yang mengikat kalian untuk tidak sampai
berpisah. Kau terlalu cengeng. Suamimu keras
kepala. Kau terlalu memikirkan anak-anak. Suami
mu, hanya memikirkan pekerjaan. Memikirkan
mencari uang sebanyak-banyaknya. Pilihan hati
Bah! Seperti itukah contoh yang telah kau berikan,
sehingga Bonar kini berani menghinaku? Menghina
kau? Begitukah, Ros?"
Dada Rosmala tergoncang-goncang.
"Berkacalah, Tigor," desisnya, tajam.
"Berkacalah, sehingga kau akan sadar bahwa kau
hanya si dungu yang melihat kutu di seberang
lautan tetapi tak melihat gajah nempel di kelopak
mata! Berkacalah, Tigor. Bahwa kau menerima
begitu saja pilihan ayah almarhum. Bukan karena
kau tak punya kekasih. Semata-mata karena kau tak
tahu apa artinya cinta. Kau memang tidak pernah
jatuh cinta. Tidak pernah. Baik pada isterimu.
Apalagi pada anak-anakmu. Kau sebenarnya
seorang suami yang berhati keji. Seorang ayah yang
berjantung kotor. Kau tega mendamprat isterimu.Hal. 45
Tega memukuli anak-anakmu. Hanya karena
isterimu mencium kebiasaanmu suka main
perempuan di luaran!"
Lantas, dengan nafas tersengal-sengal
Rosmala memandangku.
"Itulah antara lain sebab mengapa ayah
menderita, la menyesal telah memaksakan
kemauannya pada abangmu, la merasa
menterlantarkan abangmu. Menterlantarkan anak
dan isteri abangmu. Lalu ia mati. Tetapi Bonar,
adikku. Sebelum ayah meninggal, ia sempat
berpesan. Kawinlah kau dengan siapa saja yang kau
anggap bisa membahagiakan dirimu. Tetapi
ingatlah. Perempuan yang kau kawini, haruslah pula
bisa membahagiakan orang tua dan keluargamu!"
Setelah berkata demikian, ia mengusap matanya.
Mengucap istigfar.
Lantas, berlari masuk ke dalam rumah.
Tubuhku tegang membatu. Tigor, terpaku di
tempatnya duduk. Wajahnya jatuh. Tangannya
yang mencengkeram bibir terras, tampak sangat
lemah, la sangat terpukul. Benar-benar terpukul.
Namun seorang laki-laki yang merasa dirinya adalahHal. 46
lelaki, tidak akan sudi dipukul begitu saja. Tidak, la
tak mau. Aku tahu siapa Tigor. Aku masih ingat,
bagaimana dulu ayah memarahi Tigor padahal
kesalahan bukan terletak di tangan abangku itu,
melainkan di tangan adik-adiknya. Ayah
mengumpat caci Tigor. Mengatakannya pencuri.
Mengatakannya anak haram jadah. Anak tak tau
diri.
Tigor bukannya memukul aku dan Rosmala
yang jelas-jelas bersalah. Tetapi, ia, anak yang
tertua itu, langsung memukul ayah! Sehabis
memukul, ia memeluk ayah, menangis dan
memohon maaf. Ayah memaafkannya, dan mereka
tidak pernah lagi saling menghina. Mereka telah
sama-sama tahu, bahwa mereka adalah sama-sama
lelaki. Perasaan kelelakian yang lambat laun
mengenyampingkan perasaan ayah dengan anak,
antara anak dengan ayah. Aku juga masih ingat,
bagaimana Tigor mula pertama tertarik pada
seorang perempuan, la mengirim surat kepada si
gadis. Sayang, tulisan tangannya seperti cakar
ayam, dan kalimat yang ia susun tak jauh berbeda.
Juga seperti ayam, berkotek tanpa irama, mencakar
hampir-hampir tanpa tujuan.Hal. 47
Si perempuaan tidak membalas surat itu.
Dan sekali waktu mereka berpapasan di jalan.
Aku bersama bang Tigor. Si perempuan bersama
kekasihnya. Si perempuan tertawa melecehkan.
Dan si laki-laki meludah ke tanah. Abang
melepaskan pegangannya dari tanganku, berlari
mengejar sepasang remaja yang tertawa-tawa
senang itu. Si laki-laki ia renggut, ia tinju sekali jadi.
la hampir saja melakukan hal yangl sama pada si
perempuan, tetapi waktu menatap mata gadis itu,
tangan abang yang terkepal, terkulai jatuh di kedua
belah sisi tubuhnya.
"Sayang, aku pernah jatuh cinta padamu.
Kalau tidak"
Perempuan itu kami tinggalkan termangumangu di dekat kekasihnya yang jatuh pingsan.
Itulah satu-satunya perempuan yang Tigor cintai,
kemudian ia benci. Dan semenjak itu, ia tidak
pernah berusaha untuk mencintai gadis lain, dan
teramat susah baginya untuk tidak membenci
mereka, la memang tidak mencintai isteri yang
disodorkan ayah untuk ia kawini. Tetapi sebagai
seorang suami, ia berusaha untuk tidak membenci
nya. Dan kebencian yang terpendam itu iaHal. 48
lampiaskan dengan bermain perempuan di luaran.
Bila ada yang sampai jatuh cinta, ia tinggalkan
tersia-sia. Bila ada yang hanya iseng, ia caci dan
hina. Tak sedikit kali Tigor berurusan dengan polisi
karena pengaduan-pengaduan keluarga si gadis.
Tak sedikit pula uang yang dikeluarkan ayah untuk
menetralisir pengaduan-pengaduan itu, menutup
mulut perempuan-perempuan itu. Akibatnya ayah
dipecat dari kedudukannya sebagai orang yang
lumayan berpengaruh di sebuah perusahaan,
kemudian jatuh bangkrut. Konon, sampai waktu ia
meninggal, ayah tidak punya uang sepeserpun
untuk membeli peti mati.
"Si Rosmala benar," sayup-sayup aku dengar
Tigor mengeluh.
Bulan di langit, muncul, tetapi pucat sekali.
"Aku mengakui tuduhannya. Tetapi itu dulu.
Kini aku sudah menjelang tua. Ponakan-ponakanmu
sudah besar. Yang seorang malah sudah di akademi.
Sudah tak layak aku berperilaku seperti dulu ..."
la kemudian memandangku dengan mata memelas.Hal. 49
"Tetapi, Bonar, adikku," suaranya berubah
lembut. "Kau tidak punya alasan untuk menolak
sebagaimana aku pernah melakukannya, bukan?"
Aku terdiam.


Dibelai Kasih Sayangmu Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau harus memikirkan, adik. Ibu begitu
membanggakanmu. Di samping karena kau anak
bungsu, juga karena kaulah satu-satunya di antara
kita bersaudara yang sempat mengenyam gelar
seorang Sarjana. Lagi pula, ia sakit-sakitan. Sudah
setengah pikun. Kinilah saatnya, Bonar, kau
tunjukkan pengabdianmu sebagai anak yang ia
sanjung dan puji. Lupakanlah gadismu yang
bernama Neneng itu, dan terimalah Marianna
sebagai isterimu!"
Kami berpandangan sejenak. Mata Tigor
memohon...
Lalu tanpa berkata sepatahpun lagi, ia
memutar tubuh. Masuk ke rumah dengan langkahlangkah yang gontai. Aku terhenyak di kursi yang
kududuki. Pikiranku kacau. Tak menentu. Perasaan
pusing mulai menyentuh belakang kepala. Karena
tak tahan, aku bangkit. Berjalan masuk ke dalam.
Sepi. Masuk ke kamar tidurku, kesepian itu kianHal. 50
terasa. Aku duduk menjuntai di pinggir ranjang.
Kasur yang kududuki, terasa empuk dan hangat.
Spreinya bersih, baru di. licin, malah tampaknya
baru dipakai. Berwarna merah jambu, dengan
sulaman dua buah hati bergaris-garis violet
ditengah-tengahnya. Warna yang sama jugal
terdapat pada renda-renda di tepi sprei. Tak jauh di
kepala tempat tidur, tidak kulihat lagi meja belajar
yang selalu kupergunakan waktu masih sekolah di
lanjutan atas.
Di bekas tempat meja itu, kini terletak sebuah
toilet. Berkaca rangkap. Di kaca, aku melihat
wajahku sendiri. Pucat. Tidak bersemangat.
Sepasang mataku merah seperti saga. Terasa perih
waktu dikerdip-kerdipkan. Kugelengkan kepala
berulang-ulang , namun rasa pusing itu tak juga mau
hilang. Seraya menarik nafas panjang, kupandangi
lagi toilet itu. Seperangkat kosmetik mengintai diam
dari balik kaca bagian bawah. Aku tidak tahu itu
milik siapa. Baru setelah memperhatikan wajahku
lagi di kaca, pada bagian sudut atas kulihat sebuah
foto kecil terjepit oleh penjepit kaca. Seperti ditarik
magnit, aku turuni dari ranjang. Berjalan ke toilet.
Kupandangi potret itu.Hal. 51
Dan tanpa terasa, aku tersenyum. Pahit. Di
potret aku melihat wajah seorang gadis, masih
berusia belasan tahun. Dandanan dan tatap
matanya kekanak-kanakan. Hidungnya bangir,
bibirnya merah delima, matanya bundar bercahayacahaya, tanpa eye shadow pada alis dan tanpa bulu
mata palsu. Wajahnya membujur seperti telur.
Kucoba mengingat-ingat siapa gadis ini gerangan, la
bukan Rosmala, karena kakakku itu sudah berumur
hampir tiga puluh tahun sedangkan potret ini masih
baru. Lagi pula, Rosmala berwajah bundar, yang
sering kuejek waktu kecil kalau bertengkar dengan
sebutan "wajah tempayan."
Dengan hati-hati, potret kecil itu kucabut.
Lalu kubalikkan.
Tertulis dengan tinta warna merah darah.
"Untukmu, sayangku," di bawahnya, sebuah
nama: "Anna."
"Kau memang cantik, Marianna," aku
bergumam sendirian. "Sudah begitu besar kau
sekarang. Untuk siapa ucapan ini kau tujukan?
Untukku? Kalau benar, Marianna, maka yang akanHal. 52
kujawab padamu hanyalah: belajarlah untuk
berbuat lebih dewasa."
Potret itu kukembalikan ke tempatnya semula.
Aku kembali ke tempat tidur. Sebelum,
berbaring, kukeluarkan sebuah potret lain dari
dalam koper. Di kertas berukuran saloon itu,
Neneng tertawa manja, matanya berkilauan manja,
anak-anak rambutnya berlari-lari di pipinya, manja.
Tetapi ia bukan seorang perempuan bersikap
kekanak-kanakan dengan menempelkan potretnya
dalam jepitan kaca. Bahkan potret inipun, baru
dengan susah payah bisa kuperoleh sehari sebelum
aku tinggalkan ia di Bandung.
"Tukar-tukaran foto hanya menimbulkan
impian kosong," pernah ia berkata. "Bila kau
bahagia, kau pandangi potret itu seraya tertawa.
Tetapi bila kau bersedih, kau pandangi potret itu
seraya menangis. Kadang-kadang, disertai caci
maki. Bisa jadi potret itu kau sobek habis. Lalu buat
apa kuberikan padamu?"
Dan kemaren dulu, ia tak membantah lagi
waktu kubilang:Hal. 53
"Kalau kau ingin selalu berada di hatiku, maka
di Medan, kuingin kau tidur di sampingku, meskipun
hanya berwujud selembar foto!"
Aku tidak meletakkan foto itu terbaring di
sampingku. Melainkan kulekatkan ke wajah,
kucium, di bagian bibirnya.
"Tahukah kau, sayangku," aku berbisik. Getir.
"Kesetiaanku padamu, tengah menghadapi cobaan.
Neneng, kekasih. Apa yang kau lakukan sekarang di
rumah? Membaca? Nonton televisi? Tidur?
Nyenyakkah tidurmu? Mimpi apa kau, sayangku?
Kalau aku ... ah, Neneng, manisku. Apapun yang
terjadi aku akan kembali. Percayalah kasih, aku
akan kembali keharibaanmu!"
Potret saloon itu kurebahkan di dada.
Seakan, Neneng yang rebah di dada. Wajah
nya menggeliat di leherku. Bibirnya menggigit di
daguku. Dadanya bergelombang, tergoncanggoncang. Di antara desah nafasnya yang panas,
Neneng akan selaliu berbisik mesra:
"Hancurkan aku, Bonar. Luluhkan tubuhku,
jadikan satu dengan dirimu!"Hal. 54
Kemudian, tempat tidurlah yang ikut
bergoyang-goyang. Terus bergoyang demikian,
selama berbulan-bulan, bahkan sudah lebih dari
setahun. Goyang-ber-goyang itu tidak membenih
kan sesuatu yang bisa kami ajak bercanda, yang bisa
kami momong bersama. Namun meskipun tanpa
anak, benih-benih lain menjelma lebih besar.
Perasaan cinta, yang jauh lebih agung dari hanya
sekedar saling menyukai. Cinta itu terkadang
menghanyutkan aku sehingga dengan megapmegap aku sering berkata:
"Inikah yang dinamakan Cinta, Neneng-ku?"
Dan ia akan tertawa. Katanya:
"Jangan bergurau."
"Aku bersungguh-sungguh. Kalau tak percaya,
belahlah dadaku."
"Kalau kubelah, kau akan mati. Tinggallah aku
menjanda, berurusan dengan polisi!"
Tawa kami bergelak. Panjang.
Kadang-kadang, aku tak tahan untuk menuntut:
"Sampai kapan kita hidup serumah seperti
ini, Neng?"Hal. 55
"Sampai kapan? Sampai bosan!"
"Apakah cinta mencapai titik kebosanan?"
"Nah. Kau bergurau lagi. Persetan itu cinta,
tetapi yang jelas. Perasaan saling menyukai, ada
batasnya."
"Dan bila itu terjadi?"
"Kuharap tidak?"
"Sampai kapan?"
"Sampai kita sudah tua. Kau jadi kakek-kakek
jompo, dan aku nenek-nenek pikun. Kau tanya, he
nenek pikun, mana tempat tidurku? Lalu kujawab,
he kakek jompo, tempat tidurmu terletak di sana.
Dan akan kutunjukkan di mana letaknya kamar
mandi."
Kucubit pahanya. Keras-keras.
la memekik. Keras-keras.
Kucubit lagi. Manja.
la memekik. Manja.
Dan sambil bercubit-cubitan, kami pun tertawatawa.Hal. 56
"Andaikata kita tetap saling menyukai sampai
tua, bagaimana dengan anak-anak kita nanti?"
tanyaku di lain waktu.
"Lho. Tetap jadi anak kita dong. Emangnya,
anak siapa. Anak nenekmu!"
"Bukan begitu. Apakah suatu ketika, tidak
ada yang menuduh mereka anak ah, katakanlah,
anak yang lahir di luar nikah."
"Bilang pada anakmu, kakek jompo, mereka
tidak lahir di luar nikah. Mereka hanya kebetulan
lahir, di atas pernikahan tanpa surat-surat
bermaterai segel!"
"Kita kan belum pernah menikah."
"Eh, kau ini. Lantas, bagaimana kita bisa
hidup serumah?"
"Karena kau suka aku. Dan aku suka kau."
"Lalu, perasaan suka sama suka itu kita
padukan. Bukankah itu dinikahkan namanya? Orang
lain, hanya sekali saja menikah. Yakni pada waktu
yang tertulis dalam surat resmi itu saja. Surat resmi
yang kadang-kadang dilapisi emas, tetapi tidak
jarang pula lapuk bermulur dengan sudut yangHal. 57
cabik-cabik dan tulisannya sudah kabur dibasahi air
mata. Kita? Tanpa surat resmi, kita tetap menikah.
Dan selamanya, kita tetap menikah. Selamanya, kita
jadi pengantin baru ..."
Namun di balik ucapan yang tandas itu,
menari-nari bayangan saudara dan orang tuanya
yang sering kawin cerai. Sampai-sampai Neneng
bingung saudara kandungnya, saudara tirinya, ayah
tiri, ayah kandung serta ibu kandung ataupun ibu
tirinya. Semenjak kecil ia terbiasa ikut dengan yang
satu, pindah kepada yang lain. la sering sakit hati
kalau ada yang setengah berseloroh setengah
mengejek berkata: yang ini, dan yang itu, serta kau,
pernah sama-sama menetek pada perempuan yang
sama. Lantas Neneng tahu, yang ini adalah
saudaranya, yang itu ayahnya, dan yang di sebelah
sana ibunya. Lantas lagi Neneng pun membenci
pernikahan, sama seperti ia juga benci perceraian.
AKU terbangun oleh sentuhan halus di dadaku.
Waktu mata kubuka, Rosmala sudah berdiri
di samping tempat tidur, la mengalihkan matanya
dari foto yang ia pegang ke wajahku. Lalu seraya
meletakkan kembali foto itu di dadaku, ia
bergumam:Hal. 58
"Sudah siang, Bonar"
Aku terlonjak bangun. Dan waktu
mengembalikan foto ke dalam koper, kukira aku
juga tersipu.
"Dia gadis yang bernama Neneng?" tanya
Rosmala, seolah sambil lalu ketika ia membetulkan
sprei dan melipat selimut bekas kupakai.
Aku mengangguk. Memandangnya, mencari
reaksi, sekaligus mencari dukungan.
Waktu tatapan mata kami beradu, reaksi itu
kuperoleh, tetapi tidak dukungan.
Leherku bagai patah rasanya.
"Bonar, adikku manis," ia duduk di
sampingku. "Aku tak perduli dengan siapapun kau
akan kawin. Tetapi itu, selama ayah masih hidup
dan ibu tidak sakit-sakitan. Aku tahu, kau mencintai
gadis Bandung itu dan..."
"Aku telah hidup bersama dengannya, kak."
Rosmala terbelalak.
Lama kemudian:Hal. 59
"Apa? Kau sudah kawin? Mengapa tidak
bilang-bilang?" ia mengurut dadanya. Berulangulang. Berucap: "Ya Tuhan!"
Kubiarkan goncangan pada diri Rosmala mereda.
Baru:
"Kami tak pernah kawin, kak."
Sekali lagi ia mengurut dada. Sekali lagi ia
mengucap:
"Ya Tuhan!" ia tatap mataku dengan
pandangan bingung. "Aku tak mengerti. Kau bilang
kau sudah hidup bersama dengannya. Tetapi kau
bilang pula kalian belum kawin. Apakah maksudmu,
kau dan Neneng..."
"Kak. Pernah dengar samen-laven."
"Ya Tuhan! Ya Tuhan! Ya Tuhan!" dan
Rosmala tiba-tiba berlari keluar kamar. Aku tidak
tahu. ke mana ia pergi. Waktu aku keluar dari
kamar, salah seorang ponakanku yang menyedia
kan makanan di atas meja. la juga berkata, ibu pergi
ke rumah keluarga Marianna, diantar oleh Tigor.
Mendengar itu, selera makanku terenggut hilang,
betapapun sebenarnya aku merasa lapar. Maklum,
lauk berupa daun ubi tumbuh pakai rimbang danHal. 60
udang kering, sambal petai yang tak dikupas
bercampur ikan teri, adalah teman nasi yang
musykil kucicipi selama di Bandung. Belum lagi nasi
dari beras Berangan, serta terong panggang pakai
kecap, tomat dan bawang yang diiris. Namun semua
hidangan itu di mataku tak lebih dari bungkalbungkal kerikil bercampur tanah, yang menguapkan
bau busuk memualkan.
Kubantingkan sendok garpu ke piring.
Berdentang bunyinya. Dan keponakanku


Dibelai Kasih Sayangmu Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi pucat pasi.
"Ada yang salah, Uda?" tanyanya, seraya
menyidik hati-hati ke arah meja.
Tanpa menjawab, aku bergegas ke kamar
mandi. Lupa masih memakai piyama, kucemplung
kan kepala dalam bak selama beberapa detik,
kemudian kuguyurkan bergayung-gayung air ke
sekujur tubuh sampai piyama itu terasa dingin
melekat ke kulit tubuhku. Namun dadaku bagai
terbakar, tak mau padam biarpun hampir
seperempat isi bak kuhabiskan dengan sia-sia.
Merasa rumah yang kurindukan itu telah
berubah jadi neraka, sehabis mandi aku lantasHal. 61
berganti pakaian bermaksud pergi ke mana saja.
Tetapi baru juga kaki ini melangkah menuruni
terras, sebuah Vespa keluaran tahun enam dua
yang masih mulus meski lecet di sana sini, menderu
masuk ke pekarangan. Begitu vespa di standar,
orang yang duduk di joknya, Tigor, bergegas turun
lantas menghampiriku. Begitu kami berhadapan,
tubuhku terasa tegang, la juga menjadi kaku. Lama
kami saling berpandangan, sampai beberapa orang
tetangga menyapaku dari kejauhan. Sebelum aku
tahu apa yang akan kuperbuat dan apa yang
membuat wajah Tigor melambangkan amarah yang
sedemikian rupa, ia telah menarik tanganku
bergegas masuk ke dalam.
"Butet!" teriaknya pada ponakanku yang
keluar tergopoh-gopoh dari dapur setelah
mendengar suara ribut-ribut di depan.
"Ya ayah?" sahut si gadis kecil yang masih
pucat wajahnya.
"Keluar kau!"
Anak itu tercengang. Terpaku diam di
tempatnya berdiri.Hal. 62
"Kubilang, keluar dari sini. Pergi ke mana saja,
asal jangan nguping!"
Bagai tersentak, si gadis kecil mundur ke
dapur, kemudian terdengar suara pintu ditutupkan,
dan gadis itu melintas di luar jendela samping.
Sekilas, ia masih menoleh ke dalam, mengintai
dengan wajah yang semakin pucat dan sinar mata
ketakutan.
Waktu aku menoleh, bermaksud mengatakan
sesuatu pada Tigor, sebuah tinju telah melayang
dengan derasnya ke daguku. Aku terhenyak ke
belakang, mundur membentur sebuah kursi jatuh
menggelimpang bersama kursi itu, kemudian
berusaha bangkit dengan susah payah.
Diperlakukan sedemikian rupa, tidak saja
keheranan tetapi juga kemarahan naik ke kepala.
Semenjak kecil, aku selalu kalah dan tidak berani
melawan Tigor. Tetapi beberapa jurus tendangan
Kung Fu yang kuperoleh selama kuliah, perlahan
lahan mengalir di sekujur persendian tubuhku yang
berdiri tegang tetapi dengan tangan-tangan dan
kaki-kaki lemas siap terayun. Kalau saja tadi aku
menduga tentu aku tak akan menerima penghinaan
itu. Sekarang ...Hal. 63
"Ayo!" teriak Tigor. Keras. "Ayo. Balaslah.
Pukullah aku. Tendang sesuka hatimu. Kalau perlu
ambil pisau di dapur, bunuh aku, bunuh saudarasaudaramu, bunuh pula ibumu yang kini semaput di
rumah Anna!"
Sikapku yang garang, berubah jadi sikap
seekor anak ayam kehilangan induk.
Terduduk di kursi, aku merintih:
"... Apa... apa yang terjadi, bang? Apakah ibu ..."
"Bah! Jadi kau masih inqat ke selamatan
orang tuamu. Hem. la cuma pingsan begitu
mendengar apa yang dituturkan kakakmu padaku.
Aku dan kakakmu bicara berdua, tetapi melihat
kedatangan Rosmala yang ganjil, ibu lantas nguping.
Dan ia pingsan seketika. Tahukah kau, akibat lebih
buruk bisa menimpa ibu? Masih untung, keluarga
Marianna belum tahu apa yang menyebabkan ibu
semaput. Mereka cuma menyangka collapse, tetapi
lama kelamaan mereka akan tahu juga. Ayo Bonar.
Jawablah sekarang. Benarkah kau sudah punya
isteri di Bandung?"
Lemah, aku mengangguk.Hal. 64
Aku menduga akan menerima serangan tinju
lagi, dan aku bertekad untuk tidak membalas.
Tetapi yang terjadi justru keadaan lain. Tigor
mengerang tak menentu, terduduk doyong di
sebuah kursi, kemudian menangis tersedu-sedu.
Laki-laki yang anaknya sudah duduk di akademi itu,
menangis tersedu-sedu. Hatiku benar-benar
hancur. Abangku. Menangis tersedu-sedu. Aku
bergerak dari kursi, mendekat ke tempatnya duduk,
dan berusaha memeluk Tigor. Tetapi, tanganku ia
tepiskan dengan kasar. Sama kasarnya, ia mendesis:
"Jangan jamah diriku, anak kotor!"
Bagai dilempar sebungkal besar batu gunung,
aku terhenyak kembali di kursi semula. Mataku
berkunang-kunang kepalaku bagai terayun-ayun,
dan aku tersandar seraya bergumam. Lirih, dan
tajam:
"Kau ulangi sekali lagi ucapan itu, bang."
"Anak kotor. Bah!"
Aku ingin bangkit. Memukul Tigor. Menghajar
Tigor. Menghancurkan Tigor. Membuka mata Tigor.
Menyadarkan Tigor. Bahwa aku juga adalah laki-laki
seperti dia. Tetapi aku tetap tersandar di kursi yangHal. 65
kududuki. Lesu, dengan hati yang terasa semakin
sakit. Sakit tiada kepalang.
"Bang...," erangku. Hatiku bersih. Hati
Neneng bersih. Tidak ada yang kotor dari kehidupan
kami!"
"Bah. Bersih. Bah!" la menceracau. "Cucu
seorang haji, anak seorang ibu guru mengaji di
madrasah, berkata semacam itu. Bah!"
"Kalau aku salah, biarlah Tuhan yang
menghukum, bang!"
"Tuhan. Enaknya bicaramu. Apakah kau kira
Tuhan akan membiarkan kau menyebut-nyebut
nama-Nya bila aib sudah tercoreng di dahi keluarga
kita?"
"Bila kalian paksa, aku bisa mengajak Neneng
untuk menikah secara syah."
"Apa? Menikah? Kau dan Neneng? Gilakah
kau?" ia mencak-mencak sendiri. "Persetan dengan
Nenengmu. Kau memang harus menikah. Tetapi
bukan dengan si Neneng itu. Kau harus menikah
dengan Anna. Titik!"
"Bang..."Hal. 66
"Diam!" ia mengurut dadanya. Berjalan ke
jendela. Bertelekan ke bendul jendela itu, tengadah
dengan leher sedikit di panjangkan, la menghirup
udara segar dari luar berlama-lama. Waktu ia
memutar tubuh, ia tersandar lemah pada jendela
itu, namun sikapnya telah berubah sedikit lunak, la
memandangku dengan mata yang ganjil.
"Bonar," katanya, hampir seperti pada
dirinya sendiri. "Kau tahu, suami Rosmala susah
benar naik pangkat. Di pasar, saingan dagangku
semakin banyak. Sedang di rumah, baik Rosmala
maupun aku, harus menghidupi sekian anak yang
terus bertambah. Ka-Be yang datang belakangan,
terlambat untuk bisa menolong kami dari
kehancuran. Dalam posisi sesulit itu tahukan kau
apa yang harus kami perbuat?"
Tak mengerti arah tujuannya, aku hanya
berdiam diri.
la goyang-goyangkan kepala sudah.
"Begini, Bonar," ujarnya terpatah-patah.
"Sewaktu ayah masih hidup, studimu masih bisa
dijamin biayanya. Setelah beliau meninggal,
kamilah yang banting tulang. Aku berkongsi denganHal. 67
kakakmu. Tidak saja untuk membiayai studimu,
tetapi juga untuk mengurus ibu kita. Kami lakukan
itu dengan susah payah. Untung kau katakan kau
sudah bekerja, tak usah lagi dikirimi uang ... eh,
Bonar. Bagaimana dengan pekerjaanmu di biro
bantuan hukum itu? Memuaskan? Banyak suka
duka ya? Mengurus perkara-perkara ... tetapi ah,
sudahlah. Mengapa pula hal itu kita bicarakan
sekarang. Yang penting, kau harus sadar segalanya
telah terlambat untuk ditarik kembali. Keluarga
Marianna telah siap. Kau tau, ayahnya adalah adik
kesayangan ibu. Selama ini Bonar, boleh dikatakan
keadaan kami sudah lumpuh. Untung ayah Anna
turun tangan. Sebagian dari biaya studimu sebelum kau minta diputuskan namun toh sekali
dua masih dikirimi juga, dan hampir seluruh resiko
dapur ibu, ditanggung oleh ayah Anna. Mereka
melakukan itu tanpa dapat kami tolak karena
mereka berpengharapan: di samping sebagai
kakaknya, ayah Anna ingin berbesan dengan ibu
kita. Bantuan mereka mungkin bisa kau nilai bila
dalam bentuk uang. Tetapi dalam nilai moriel, kau
tidak akan pernah menjumlahkan pengorbanan
mereka secara matematik!"
la berjalan mundar-mandir di ruangan itu.Hal. 68
Kedua tangannya melipat ke belakang.
Sesekali ia tepuk-tepukkan. Melipat lagi. Mundarmandir lagi.
"... jadi kau tahu sekarang, kita tidak bisa
mengelak lagi."
"Bisa," tukasku, lebih mirip ucapan tak sadar
yang tau-tau terloncat keluar.
"Apa?"
"Katakan aku telah beristeri."
"Mustahil!"
"Harus"
"Kau bisa buktikan?"
"Kuusahakan. Neneng pasti setuju."
"Neneng! Neneng lagi! Kau tak punya bukti
bahwa ia adalah isterimu. Lagi pula, Tuhan jadi
saksi. Bahwa ia memang bukan isterimu."
"Tetapi"
"Tuhan telah membuat ketentuan
bagaimana orang hidup bersuami isteri, Bonar. Dan
apa yang kau perbuat bersama Neneng, lebihHal. 69
banyak melanggar dari pada memenuhi aturan itu.
0, o, jangan ribut-ribut. Tak usah bantah. Kau kawin
tanpa surat nikah. Tanpa disahkan tuan kadhi, janjijanji hidup semati di atas kesucian Al-Qur'an. Aku
juga berpikir-pikir apa artinya hidup samen-laven
itu. Katakanlah, sebelum hidup di bawah naungan
atap sebuah rumah, kalian telah lebih dahulu
berzinah. Ah, diamlah. Aku mengatakan apa
adanya. Kalian berzinah sebelum satu rumah. Dan
biarpun kini kalian telah hidup satu rumah,
hubungan kalian tetap dianggap perzinahan!"
"Hubungan kami bersih. Tidak terdorong nafsu."
"Zinah tidak selamanya karena dorongan
nafsu, la juga datang karena keinginan yang di luar
sadar. Mungkin karena cinta. Mungkin ... ah, ini
kukira yang benar... mungkin karena perasaan suka
sama suka. Namun bagaimanapun, nafsu tetap
memegangi peranan!" ia berdiri lagi di jendela.
Menghadap lurusi ke arahku.
"Marilah kita lihat eksesnya. Kalian berzinah!
Bukan menikah. Jadi, hubungan kalian setiap saati
bisa diputuskan."
"Tidak!"Hal. 70
"Tidak?"
"Kami tak pernah bicara soal cerai,"
rungutku. Marah. "Dan kami tidak berkeinginan
untuk cerai."
"Cerai? Tidak. Karena kalian tak pernah
menikah. Aku hanya bilang, putus hubungan.
Perempuan itu harus kau tinggalkan. Lupakan dia,
terima Marianna, dan hiduplah menurut aturanaturan yang telah berlaku dan diterima oleh sesama
ummat."
"Abang berbicara seperti seorang khotib,"
ujarku getir. "Tetapi perilaku abang jauh sebelum
ini, justru tidak memakai aturan pula. Jadi, jangan
abang paksakan aturan-aturan yang usang itu
terhadapku !"
"Tetapi rumah tanggaku kini sudah berangsur
tenteram Bonar," sahutnya agak gusar. "Lagipula
jangan kau pandang aku. Pandanglah ibu. Pandang
nama baik semua keluarga kita. Semua keluarga
Marianna. Kirimlah surat ke Bandung. Katakan kau
tak mungkin kembali pada Neneng, dan katakan
agar ia melupakan dan menganggap kau tak pernah
hidup bersama dia."Hal. 71
"Kejam nian!"
"Apa boleh buat, Bonar."
"Tidak!"
"Tak ada jalan lain."
"Tak mungkin."
"Cobalah mengerti. Kasihanilah Ibu! la sudah
tua. Perempuan lagi. la sudah terlalu lemah"
"Neneng juga perempuan."
"Dan Anna?"
"... percayakah abang, kalau kukatakan


Dibelai Kasih Sayangmu Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbohong dengan mengatakan dalam salah satu
surat-suratku bahwa aku sudah bekerja? Aku belum
bekerja. Aku masih terus kuliah. Karena tidak saja
kalian. Tetapi Neneng dan keluarganya ingin aku
selesaikan studiku. Pekerjaan akan mengganggu
kuliah. Kukatakan itu, karena aku tahu keadaan
ekonomi keluarga di sini sedang morat-marit.
Tetapi aku perlu hidup. Hidup perlu biaya. Dan
Neneng memberikan biaya itu. Neneng
memberikan hidup itu."
Tigor tercengang sesaat. Kemudian:Hal. 72
"Okey. Kau tidak bekerja. Kau bohong.
Neneng menghidupimu. Di sana. Di Bandung. Di
Medan sini? Anna menghidupi ibu, dan kau tak
mungkin membantah kehadiran seorang ibu dalam
kehidupanmu," lalu dengan suara menang melihat
aku terenyuh, Tigor meneruskan: "Hitung jumlah
yang telah dikeluarkan Neneng untukmu. Aku dan
Rosmala, akan berdaya upaya untuk membayar
nya!"
Telingaku bagai terbakar hangus.
Dengan dada meletup-letup, aku menatap
nya. Tak percaya apa yang ia katakan. Lama, dengan
nada tersendat-sendat, aku baru bisa berkata. Sinis:
"Kau pedagang tekstiel busuk hati. Kau kira
cinta juga bisa diperjual belikan, eh?"
la terlonjak marah. Tetapi tidak berbuat
sesuatu ketika aku berdiri, kemudian bergegas
keluar dari rumah, keluar dari tempat di mana aku
lahir dan dibesarkan namun kini telah digantungi
asap neraka itu. Tidak, aku tidak sudi mati lemas di
dalamnya. Aku tak sudi. Benar-benar tak sudi!
* * *Hal. 73
4 SETELAH keluar dari rumah, baru ledakanledakan yang hampir memecah dada, pelan-pelan
mereda. Pelan-pelan pula perasaan menyesal
menyelinap di hati. Tidak seharusnya aku bersikap
sedemikian kasar pada Tigor. Bagaimanapun, ia toh
abang kandungku sendiri. Abang yang pernah
demikian sayang dan membela adik-adiknya.
Membelaku dari kemarahan ayah. Membelaku dari
keroyokan anak-anak Gang Buntu waktu dulu
pernah mengincar salah seorang gadis anak es-empe di sana. Menyelamatkanku dari mati tenggelam
karena tak bisa berenang waktu mandi-mandi di
Sungai. Aku ingin kembali. Minta maaf.
Tetapi aku sudah naik sebuah becak mesin.
Agak aneh rasanya naik kendaraan itu, setelah
terbiasa dengan becak dayung di Bandung, dengan
si pengendara berada di belakang, bukan di
samping penumpang. Dan panas matahari yangHal. 74
garang memaksaku untuk cepat-cepat sampai di
persimpangan jalan Serdang dan jalan Jati. Tempat
di mana dulu aku selalu memuaskan nafsu dahaga
secara tetap. Kadang-kadang juga kulakukan pada
waktu bulan puasa. Siang-siang. Tentu saja, ketika
pulang ke rumah, bibir di lap sampai kering, dan
pura-pura lemas karena lapar dan haus.
Kolak es itu masih tetap enak, meskipun
pedagangnya bukan yang dulu.
Aku melahap dua piring penuh, dan berjalan
keluar dengan perut kekenyangan. Baru saja kaki
kulangkahkan keluar warung, ketika sebuah Honda
CB-100 berhenti didekatku dengan bunyi rem berdecit-decit. Ban depannya hampir saja menyambar
lututku kalau aku tidak keburu mengelak. Dengan
mata melotot marah, aku memandang pengendara
nya, dan mendengar suaranya yang riang:
"He, anak Bandung sialan. Kapan tiba?"
Dari marah, aku jadi tertawa.
"Dan kau, Udin ingusan, semenjak kapan pula
kau mulai pakai celana panjang?" seruku seraya
mengulurkan tangan untuk berjabatan.Hal. 75
"Senang bertemu kau. Dan ah, perkenalkan
Kawanku, Margono," ia memperkenalkan kawan
nya yang duduk di boncengan, dengan siapa
kemudian aku bersalaman.
la kemudian menarikku masuk ke warung kembali.
"Mari, kutraktir minum," katanya. "Aku
sudah. Uangnya saja," sahutku.
"Jadah kau!"
Dan kami tertawa gelak, la bertanya banyak
tentang pengalamanku selama studi di Bandung.
Ketika kukatakan akhir tahun ini mudah-mudahan
aku sudah bisa mengambil Gelar Sarjana Hukum di
Universitas Pajajaran, Chairudin geleng kepala.
"Kau sudah jadi orang," katanya kagum.
"Dan kau tampaknya tidak berhasil jadi
seorang Duta Besar."
"Husy. Jangan ulang-ulangi omong kosong
itu. Kau tahu, waktu di es-em-a dulu, aku memang
tidak pernah memperoleh nilai bahasa Inggeris di
bawah angka sepuluh. Bahkan guru bahasa Inggeris
kita, kutegor karena salah menuliskan kata-kata
verbal di papan tulis. Setiap orang berhakHal. 76
menggantungkan cita-cita bukan? Cita-cita yang
tinggi. Setinggi langit. Kalau bisa, lebih. Ada yang
berhasil. Tapi tak kurang yang semakin tinggi citacitanya, semakin keras jatuhnya ke bumi," ia
tersenyum. "Aku salah satu yang terhempas itu."
"Kudengar, kau dapat warisan kebun kelapa
dari ayahmu."
"He-eh. Aku mengusahakan penyulingan
minyak. Ala kampung. Masih primitip. Tetapi kau
barangkali belum tahu. Di Berayan sudah ada pabrik
minyak kelapa. Aku benar-benar tersisih. Untung
masih ada orang yang lebih menyukai minyak
kampung dari pada minyak produk pabrik ...," ia
menghirup es campur dari gelas di tangannya,
dengan perasaan nikmat. "Eh, kalau tak salah ingat,
waktu mau berangkat ke Bandung, beberapa tahun
yang lalu, kau mau cari gadis anak induk semang di
tempat kau kost. Hasil?"
"Berkat do'amu, ya."
"Jadah. Tak sudi aku mendo'akan kau
perawani gadis-gadis itu," ia tertawa. "Jadi, kau
sudah kawin?"
"He-eh."Hal. 77
"Cantik isterimu?"
"Pokoknya, tak kalah cantik dengan si
Dameria. He, kau dengar bagaimana kabar dia
sekarang?"
"Entahlah," sahutnya, tertawa nakal.
"Emangnya kau masih mau ngirim surat cinta
seperti dulu?" lalu ia menirukan kalimat yang
pernah kutulis sepenuh perasaan, kemudian
kutitipkan lewat Chairudin untuk disampaikan pada
Dameria. Waktu itu kami masih sama-sama baru
masuk kelas satu, dan kini aku tertawa setengah
mampus mendengar Chairudin meniru-nirukan
surat cintaku yang ditolak mentah-mentah itu:
"Oh, sayangku, buah hatiku, kasihanilah
hambamu, pungguk yang merindukan wajahmu
yang rupawan bak bulan purnama," dan sambil
menekan perutnya dengan tangan menahan gelak
yang berderai, sehingga orang-orang lain ikut
memperhatikan, Chairudin meneruskan dengan
suara terputus-putus: "Tentu saja pernyataan
cintamu ia tolak. Wajahnya kau bilang bagai
rembulan. Padahal, bulan kan bopeng-bopeng!"Hal. 78
la kemudian menceritakan tentang bekasbekas teman sekelas kami. Legiman yang sudah
bekerja dan kawin dengan Murniati, masih teman
sekelas, dan kini sudah beranak tiga. Mamontang
yang pemalu, dan kini hidup serumah dengan
seorang janda. Juga beranak tiga. Sahara sudah pula
kawin, tetapi tak seberuntung teman-teman lain.
Belum punya keturunan meski sudah empat tahun
berjalan.
"Dan kau?" desakku.
la angkat bahu. Jawabnya:
"Waktu masih di es-em-a, aku satu-satunya
yang masih bercelana pendek sampai tamat. Kini
aku tengah mencoba bagaimana enaknya bercelana
panjang, baru kemudian berpikir tentang
perempuan. He!" ia mencondongkan mukanya ke
depan, setengah berbisik: "Masih ingat kau Wak
Parto, yang buka warung kopi di belakang
sekolahan? Yang kita sering makan lima pisang
goreng tetap kita bilang dua?"
"He-eh."
"Keluar dari sekolahan kita di jalan Ayahanda
itu, aku masih sering mengunjungi Wak Parto.Hal. 79
Mula-mula, karena ingin menebus dosa. Aku makan
pisang goreng dua tetapi kubilang lima. Kini, Wak
Parto sudah mati. Tinggal isterinya, dan anaknya.
Kau masih ingat, Ijah, yang kudisan itu?"
"He-eh. Kenapa?"
"'la cantik benar sekarang. Kulitnya, putih
mulus seperti mentega kalengan. Pintar berdandan
di kamar, aku akan tetap menunggu. Eh, jangan kau
ketawa. Kau bisa pangling kalau kubawa ke
rumahnya. Tetapi dengan syarat."
"Hem, apa?"
"Kita bergantian"
"Gantian? Gila!"
"Sungguh. Asal mau bayar seribu perak. All
night. Bisa pakai di tempat!"
"Sialan!" aku memaki. "Tak sudi aku dijangkiti
raja singa!"
Margono yang dari tadi berdiam diri,
sekonyong-konyong berdiri.
"Aku mau pulang," ia bersungut-sungut.Hal. 80
"Eh. Tunggulah. Kuantar sebentar," nyeletuk
Chairudin.
"Aku jalan kaki saja."
Dan tanpa ucapan terimakasih telah ditraktir
minum, bahkan tanpa ba tanpa bu padaku Margono
kemudian menghilang keluar warung. Chairudin
memandang kepergian temannya seraya gelenggeleng kepala.
"Suka hatinyalah. Mentang-mentang rumah
nya sudah dekat. Di ujung Ngalengko sana. la, anak
santri itu memang suka ngambek kalau aku mulai
ngoceh soal gituan!"
Sebaliknya, kupandangi sahabatku itu
dengan perasaan kasihan, la tampak jauh lebih tua
dari umur yang sesungguhnya. Wajah yang dulu
klimis sehingga di cap banci oleh kawan-kawan
sekelas kini ditumbuhi jambang yang tidak teratur
serta kumis yang melele di bawah hidung yang
senantiasa berminyak. Dahinya mulai dialuri guratgurat halus. Waktu ia palingkan muka kembali dan
tatapan mata kami bertemu, ia tersenyum. Getir.Hal. 81
"Si Gono itu anak baik," katanya, "kalau tak
ada dia, aku sudah jatuh bangkrut. Bisa jadi terkena
raja singa seperti yang kau bilang."
"Seharusnya kau cepat-cepat kawin, sahabat."
"Kawin?" ia tertawa. Pahit. "Lantas mau kukemanakan ibu yang sudah menjanda, serta sebelas
orang adik-adikku yang masih kecil-kecil?"
la mengeluh. Dalam. Lalu:
"Inilah hidup, Bonar. Raportku yang dulu
tidak pernah merah dan tak ada yang bernilai di
bawah tujuh, nyatanya sia-sia saja. Begitu ayah mati
keinginan untuk melanjutkan studi seperti kau, ikut
pula mati. Apalagi keinginan untuk kawin. Bagiku
kawin berarti membangun sebuah rumahtangga
yang tidak boleh diganggu gugat oleh keluargaku,
dan sebaiknya isteriku tidak pula boleh menggugat
kehadiran keluargaku di tengah-tengah kami.
Lantas kutempuh jalan gampang. Tetap melajang,
mungkin sampai ubanan. Dan untuk tidak sampai
gila karena onani, aku ambil perempuan yang bisa
mengurangi ketegangan otak. Ku beli. Se jam. Dua
jam. Ambil, pakai, bayar. Habis sampai di situ. Dan
aku tak perlu mensia-siakan keluarga!"Hal. 82
la putar-putarkan gelas es campur di atas
meja. Sekali ia remas. Kuat. Seakan mau meremas
dirinya sendiri. Mau meremas hidup yang menjauhi
dirinya. Meremas dunia yang telah mentertawakan
nya. Dan ketika sisa es campur itu ia reguk sampai
tetes terakhir, aku berpikir sahabatku telah
terserang dahaga atas kebahagiaan yang telah lama
tidak ia nikmati lagi. Lama aku kehilangan kata-kata.
Ingin menghiburnya, tetapi tak ingin kalau yang
terlontar dari mulutku hanya kata-kata kosong yang
tidak ada gunanya. Tak ubah dengan kata-kata
menyabarkan seorang dokter terhadap pasien yang
sedang mengerang-erang oleh serangan sakit gigi
yang dahsyat. Tak mau jadi dokter yang gagal
seperti itu, aku cepat-cepat berkata:
"Eh, Din. Mengapa kita tidak jalan-jalan saja?"
la mencoba tersenyum.
"Okey. Pertemuan ini memang patut kita
rayakan. Kau pilih mana? Percut? Gedung Johor?
Sembahe? Berastagi?"
"Kupilih yang terakhir..."


Dibelai Kasih Sayangmu Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hem. Aku mengerti. Kau ingin mengingat
udara sejuk kota Bandung di kota yang gersang ini,Hal. 83
bukan? Hayo, pantatkupun sudah semutan duduk
terus-terusan di sini!"
Keluar dari warung, ia bertanya:
"Kau di depan?"
Aku mengangguk setuju. Kunci Honda
kuambil dari tangannya. Motor kustater. la sudah
mau duduk di boncengan waktu tiba-tiba Chairudin
teringat sesuatu:
"Hai. Tunggu sebentar. Kacamataku
tertinggal di warung!"
la bergegas lagi masuk ke dalam. Sebuah
Vespa 65 mau parkir. Karena terhalang oleh
Hondaku yang memalang jalan, pengendara Vespa
memandangku dengan penuh harap. Demi
toleransi, Honda ku majukan. Tetapi karena
tergesa-gesa, ketika akan berhenti di pinggir jalan
aku bukannya menginjak rem melainkan
versnelling. Mesin mati. Tetapi sebelum mati masih
sempat melonjakkan motor kedepan, hampir saja
menyambar sebuah becak berpenumpang seorang
perempuan tua dan dua orang anak-anak kecil.
Becak buru-buru menyingkir agak ke tengah jalan.Hal. 84
Tetapi sebuah mobil yang melaju dengan
kecepatan penuh dari arah Serdang, rupanya
menjadi gugup oleh perubahan jalur yang diambil
abang becak. Mobil banting stir untuk menghindari
tabrakan dengan becak itu, tetapi arahnya justru
tertuju tepat ke Honda yang kunaiki. Sekejap, aku
masih ingat untuk mengelak. Kedua kaki yang
menjejak tanah ku tekan kuat untuk mendorong
motor maju. Malang, aku lupa gigi masuk. Motor itu
tetap diam. Tak ayal lagi, terasa benturan yang
keras menerpa bagian belakang motor. Stang
berputar. Tanganku terlepas. Aku terlompat.
Terbang di udara. Honda terbanting ke tanah
dengan suara berderak. Tak ingin kepalaku ikut
berderak, kuusahakan koprol sebelum jatuh.
Namun tak urung lututku membentur pinggir
sebuah kios rokok.
Akibatnya, aku terbanting ke tanah dengan
kerasnya.
Sebuah hantaman menggodam wajahku.
Entah dari mana datangnya, ribuan bintang-bintang
berwarna-warni berlari-larian di sekitarku,
kemudian menari-nari mengelilingi diriku. Tarian
yang gila itu membuat kepalaku pening alang-Hal. 85
kepalang, dan waktu ribuan bintang-bintang itu
kemudian berhenti berputar-putar, aku sudah tidak
ingat apa-apa lagi.
* * * NENENG menangis terisak-isak seraya
membersihkan kotoran di permukaan luka-luka
lecet sekitar tangan dan lututku. Aku meringis
menahan sakit yang tidak kepalang, berusaha
menggigit bibir keras-keras untuk tidak sampai
mengeluh. Luka-luka lecet itu kemudian ia balut
dengan yodium lantas ditutup pakai ban aid.
Kugerak-gerakkan tangan dan kakiku, kemudian
meloncat dari tempat tidur. Sekujur persendian
tubuhku terasa sakit, tetapi hatiku lebih sakit lagi:
"Cina sialan itu!" makiku dengan bernafsu.
"Sudah tahu lampu merah, masih terus nyerobot.
Babi. Jadah!" lantas aku bergegas keluar kamar.
"Mau kemana kau?" tanya Neneng dengan
tangis tersendat.Hal. 86
"Kemana? Ke Cina itu, kemana lagi? la harus
mengganti biaya servis Vespa yang rusak. Kau kan
tahu Vespa itu punya si Dudung. Dari mana aku mau
ganti? Lagipula, hem. Luka-luka lecet dan sakit
hatiku harus dibayar mahal olehnya. Akan kuperas
habis dia. Biar tahu rasa!"
Dalam mobil yang disetiri oleh Neneng
menuju ke rumah sakit Rancabadak, gadisku masih
berusaha menahan maksudku.
"Sudahlah," katanya. "Toh Suzuki bebek si
Cina itu ringsek."
"Perduli!"
"Kau cuma lecet-lecet kecil. Tetapi ia?"
Di Rancabadak, Si Cina masih belum sadar.
Salah satu kakinya tergantung pada langit-langit
tempat tidur. Dokter tengah melakukan transfusi
darah, dan seorang perawat yang akan keluar dari
kamar dengan enggan menjawab pertanyaanku:
"Tulang keringnya patah."
"Patah?"
"Tepatnya, remuk. Harus dipotong. Kalau pun
tak dipotong, ia akan pincang seumur hidupnya."Hal. 87
Aku terjengah. Namun belum putus harapan.
Segera kudatangi rumah keluarga Si Cina. Di sana, di
sebuah rumah kecil dan terjepit di antara dua buah,
gedung besar dan megah ... yang kuharap tadinya
salah satu tempat kediaman yang kutuju ..., aku
disambut oleh isak tangis keluarganya. Ayah
pemuda Cina yang surat-surat keterangan, SIM
serta Suzuki bebeknya masih ditahan oleh polisi itu,
mohon dengan nada menyesal:
"Anakku habis bertengkar dengan pacarnya,
la kebingungan waktu pulang. Mungkin ia tak
melihat lampu merah dan "
Dan tiba di rumah kembali, Neneng tersenyum.
"Bagaimana sekarang?" tanyanya.
"Apa boleh buat," kataku getir. "Cabut saja
perkara tabrakan itu. Tapi apa si Dudung yang pelit
itu mau mencabut biaya servis dari tanganku?"
"Biar kutanggung, sayangku," Neneng
tersenyum semakin lebar, kemudian memeluk
dengan hangat. "Tapi lain kali, ingat. Jangan sekalisekali ngebut!"
"Okey deh. Tak akan sekali-sekali. Aku akan
ngebut dua tiga kali!"Hal. 88
Neneng mencubitku. Manja.
* * * "... bang? Bang Bonar!"
Suara yang sayup-sayup itu dekat sekali di
telinga. Waktu mata ku buka, aku merasa heran.
Bagaimana aku sampai berada dalam sebuah kamar
yang mirip dengan kamar si pemuda Cina dulu
dirawat? Dan mengapa lututku sakit sekali? Dan
wajahku! Sebagian wajahku terbalut, serta terasa
amat perih! Aku meringis. Dan seseorang terisakisak di samping tempat tidurku:
"Aduh, bang. Syukurlah kau telah sadar!"
Neneng tak pernah memanggilku abang.
Waktu aku menoleh, aku memang tidak melihat
Neneng. Aku melihat seorang gadis lain. Ku coba
mengingat-ingat.
" ... kau Anna?"
Gadis itu menyeka air mata yang membasahi
pipinya. Lantas tersenyum. Manis sekali. WajahnyaHal. 89
bersemu merah. Lama ia tergagap, sampai akhirnya
bisa menyahut:
"Aku senang abang masih mengenalku,"
katanya. Gemetar. Dan wajahnya semakin merah.
Kutahan rasa sakit yang menyentak-nyentak di
sekujur tubuh. Kemudian bergumam seenaknya
saja:
"Aku pernah lihat kau sebelum ini."
"Ah. Masa," dengan susah payah ia mencoba
memandang wajahku, tetapi kemudian cepat-cepat
berpaling seraya tersenyum tersipu-sipu."
"Sungguh!"
"Iyalah. Kan dulu abang pernah mencet hidungku."
Ganti aku kini yang berkata: "Ah. Masa!"
"Iya. Waktu itu bang bilang: He, boru
tulangku yang jelek. Kau isi apa perutmu sampai
buncit begitu?" ia tertawa. Polos, dan suaranya
benar-benar enak di dengar. "Waktu itu aku lagi
cacingan. Selesma lagi. Sampai-sampai waktu abang
oleskan ke pipiku seraya bersungut-sungut..."
Mendengar itu, aku ikut pula tertawa.
Tarikan mulutku waktu tertawa menarik pula luka-Hal. 90
luka di balik pembalut yang menutup sebagian
wajahku. Terasa perih tetapi tidak begitu benar lagi.
Cerita Marianna yang mengingatkan masa-masa
yang telah lama berselang, membuatku merasa
senang. Malah kuingat juga akibat perbuatanku
dulu itu. Ayah Marianna menceritakan kejadian itu
seraya tertawa-tawa dengan kakak perempuannya.
Ibuku. Lantas ibu mengusap-usap kepalaku, dan
sempat berkata:
"... Jangan gitu nak. Siapa tau, anak cacingan
itu bakal jadi isterimu."
"Bang?"
"Ya?" aku terjengah. Memandang gadis itu,
yang juga tengah memandangiku. Tampak ia
memberani-beranikan diri untuk tidak sampai
berpaling lagi.
"Apakah perutku masih buncit?"
Lantas, ia berdiri. Memperlihatkan perutnya
yan rata di bagian pinggang yang ramping, di bawah
dada yang mulai tumbuh dengan subur. Dada itu
bergelombang. Lembut.Hal. 91
"Eh, Abang kok lihat yang lain," ia bersungutsungut seraya menutupi dadanya dengan kedua
tangan.
Aku tersenyum.
"Dan kau tentu tak ingusan lagi," ujarku.
la mencondongkan wajah, memperlihatkan
hidung yang bangir. Hendusan nafas yang panas
terasa menyapu wajahku.
"Ada bulu di lubang hidungmu."
la tarik wajahnya cepat-cepat. Bergumam malu.
"Oh ya? Biar nanti ku gunting di rumah."
"Apa?" aku berlagak terkejut. "Hidungmu
mau kau gunting?"
la tertawa. Terpingkel-pingkel.
Tetapi segera menahan tawanya waktu
beberapa orang masuk ke dalam. Aku melihat ibu,
bang Tigor, kak Ros serta suaminya, lalu kedua
orangtua Marianna. Juga beberapa orang
keponakanku yang semuanya mengerubungi
sekeliling tempat tidur sehingga aku mengeluh:Hal. 92
"Kenapa engga mengundang seluruh
penduduk Medan untuk membesuk?"
Mereka pada tertawa. Termasuk ibuku yang
begitu masuk sudah mulai berurai air mata. Seraya
mengusap kedua belah pipinya yang pucat ibu
berkata:
"Nak, tadinya dunia kukira sudah kiamat
waktu kawanmu Chairudin tergopoh-gopoh ke
rumah memberi tahu kau masuk rumahsakit."
"Di mana dia sekarang?"
"Di bengkel," jawab bang Tigor. "Honda-nya
sudah engga berbentuk lagi."
"Wah"
"Tak usah cemas. Si Udin boleh memiliki sisasisa Honda itu, biarpun orang yang menabrakmu
sudah menjanjikan akan membeli sebuah Honda
baru untuknya."
"Dan orang itu?"
"Yang menabrak?"
"He-eh."Hal. 93
"la baik-baik saja. Mobilnyapun cuma lecet
sedikit, la bersama keluarganya sudah datang ke
rumah untuk minta maaf."
"Ooo"
"Nak."
Aku terjengah sendiri. Menoleh pada kedua
orang tua Marianna yang tersenyum ramah.
Kuulurkan tanganku yang disambut mereka dengan
jabatan erat dan hangat. Malah, bukan saja jabatan
tangan mata ayah Marianna, aku melihat tersirat
adanya jabatan hati. Sesuatu yang punya makna.
Sesuatu yang minta dimengerti. Dan minta
disetujui. Aku menghela nafas panjang,
memejamkan mata untuk menyembunyikan
perasaan tidak enak yang tergejola dalam dada.
Rupanya perbuatan itu salah ditafsirkan sehingga
kak Ros buru-buru berkata:
"Biarlah si Bonar istirahat saja dulu."
Mereka kemudian pamit tanpa lupa
mengucapkan do'a-do'a untuk keselamatanku. Ada
dua orang yang enggan untuk meninggalkan
ruangan. Yang Pertama, Marianna. la
memandangiku dengan mata yang berkedip.Hal. 94
Mulutnya bergemit mau mengutarakan sesuatu,
tetapi tidak jadi. Dan tangannya keburu ditarik
ayahnya keluar dari kamar. Tinggal ibu, yang
mengusap-usap tanganku dengan penuh kasih.
Tanpa suatu tekanan pada kata-katanya, ia
kemudian mengutarakan apa yang sama sekali tidak
pernah kuduga begitu aku tadi tersandar dan
melihat Marianna ada d samping tempat tidurku.
" aku senang melihat kalian intim, anakku.
Tahukah kau, bagaimana Anna bersikeras untukl
menjagamu semenjak kemarin di kamar ini?"


Dibelai Kasih Sayangmu Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah!"
"Bersyukurlah, anakku. Belum juga ia jadi
isterimu, Anna sudah memperlihatkan pengabdian
seorang perempuan terhadap laki-laki yang dicintai
nya."
Setelah berkata demikian, ibu kemudian
keluar menyusul yang lain-lain. Lama aku termangumangu memikirkan kenyataan yang buat semua
keluarga kami merupakan sesuatu yang sangat
dibanggakan namun bagiku tak lain berarti
semacam kekuatan tersembunyi yang berusaha
menyudutkan diriku agar tak sempat lari dariHal. 95
kenyataan yang harus kuhadapi. Sampai dokter dan
seorang perawat masuk untuk memeriksa
keadaanku, menghiburku dengan kata-kata bahwa
aku akan segera diperkenankan pulang, lantas
kemudian bersama-sama memindahkan aku ke
dalam sebuah zaal yang kebetulan pasiennya tidak
begitu banyak. Waktu besuk telah lama habis,
ketika di pintu zaal muncul seorang yang masih
asing bagiku tetapi jelas menuju berjalan ke arah di
mana aku terbaring.
Langkah-langkah orang itu tampak amat
gemulai di atas sepatu berchaak tinggi yang hampir
tenggelam di ujung celana bush-jean biru tua yang
ketat di bagian pinggulnya yang padat. Pinggangnya
seperti melekuk enggan di bawah dada yang bidang
serta bagian depan tertonjol ke depan seakan-akan
mau menembus blous hijau lumut yang tipis
berleher rendah memperlihatkan lekukan manis
dari dua buah gumpalan daging yang lembut
berwarna putih ke kuningan serta terlindung oleh
sebuah liontine bermata berlian yang gemerlapan
dijilat cahaya matahari yang masih bersisa di
jendela dekat kepala tempat tidurku.Hal. 96
la tersenyum dengan sedikit anggukan kepala
pada pasien-pasien yang ia lewati dan kebetulan
memperhatikan kehadirannya. Tiba di dekatku, ia
gerakkan kepala sedikit untuk menyingkirkan anakanak rambut yang menutupi salah satu bola
matanya yang bundar bersinar-sinar di atas pipi
yang penuh.
Gendewa bibirnya yang berbentuk lukisan
stiker dengan tulisan "Don't kiss" yang banyak
tertempel di buntut banyak kendaraan agak
melebar waktu ia lahirkan seulas senyum yang
membuatku benar-benar ta'jub. Senyuman khas
itu, khusus ditujukan untuk diriku. Apa artinya
segala perih dan sakit yang sedang mendera baik di
tubuh, maupun di hati?
"Hai, sapanya."
"... hai!"
"Kau baik-baik saja?"
"Seperti Anda lihat."
"Ah. Tak usah ber Anda-anda. Panggil saja
nama ku. Lily," lantas ia ulurkan lengannya yang
penuh dan licin seperti lilin. Lima buah jari jemari
lentik segera tergenggam di telapak tanganku yangHal. 97
kasar. Ada getaran pada jabatan itu. Dan aku sendiri
sukar untuk menebak. Mana yang bergetar itu. Jari
jemarinyakah? Atau telapak tanganku?
"Nama yang indah. Seperti orangnya,"
gumamku dengan tulus.
"Pujian usang," sambutnya. "Kau belum
mengenalkan namamu."
"Oh..."
Tetapi belum sempat aku mengatakan sesuatu
gadis itu telah mendahului:
"Sudahlah. Aku sudah tahu namamu.
Kawanmu yang mengatakan."
"Kawan...?"
"Chairudin nama laki-laki yang berkumis lele
itu, bukan? la mengatakan siapa kau padaku, waktu
membantu menaikkan kau ke dalam mobilku
tempat kecelakaan itu"
"Oh," lagi.
"Apakah kau marah?"
"Marah?" aku tercengang. "Marah pada siapa?"Hal. 98
"Aku."
"Eh. Pasalnya?"
"Membuat lututmu bengkak dan tulang
pipimu mungkin akan cacat seumur hidup ..."
"Kau ... kau maksud ...," aku semakin tercengang.
"Ya. Akulah orang yang menabrakmu kemarin."
Terpana. Aku terpana. Benar-benar terpana. Lama.
"Marahilah aku!"
Kubasahi bibirku yang kering. Rungutku, pelan:
"Dulu aku pernah tabrakan juga."
"Hem. Di mana?"
"Di Bandung."
"0o, jadi kau sengaja pulang kampung, untuk
dihantam oleh mobilku," ia mencoba tersenyum.
Getir.
Mendengar itu, aku tertawa kecil. "Kalau
begitu, aku benar-benar beruntung pulang tahun
ini."
"E-eh, kok?"Hal. 99
"Kalau tidak, mana aku bisa berkenalan
dengan gadis sejelita kau?"
"Ini orang gimana sih. Disuruh marah, malah
memuji-muji."
"Memuji itu pahala. Marah itu berdosa."
"Lagaknya kau!" senyumnya cerah kini.
Matanya, lebih-lebih lagi. Renyai.
"Mengapa tidak mengunjungi pada waktu bezuk?"
la duduk di atas kursi di pinggir tempat
tidurku dengan wajah yang berubah sendu.
Sahutnya:
"... Aku malu pada keluargamu. Takut
bentrok dengan mereka."
"Keluargaku bukan tukang makan orang."
"Tetapi mobilku telah memakan anak
tersayang mereka,"
"Aku tak ingin celaka. Kau pun tentu tidak
bermaksud mencelakai orang. Lagipula, kau dari
keluargamu kudengar telah datang ke rumah. Itu
sudah lebih dari cukup."
la terdiam.Hal. 100
Akupun, ikut pula diam. Karena terlalu lama
diam, aku menatap ke matanya. Enggan. Pada saaj
yang bersamaan, ia pun menatap ke mataku.
Enggan. Bersamaan pula, kami menghindari
pandangan mata itu. Enggan. Ah. Mengapa hati ini
begitu keras untuk tetap memperhatikan wajah
nya? Mengapa ada denyutan-denyutan ganjil pada
jantung? Denyutan yang memukul-mukul. Keras,
sehingga aku terengah-engah sendiri.
"... sakit?" tanyanya tiba-tiba.
"Eh, apanya?"
"Nafasmu sesak barusan."
"Oh ya. Ya. Agak sakit."
"Maafkan aku."
"Eh. Apaan lagi? Maaf untuk apa?"
"Aku membuat kau sakit."
"Sudah kubilang kau tentu tidak bermaksud ..."
"Memang tidak. Tetapi toh nyatanya maksud
mu untuk bersenang-senang, pulang kampung, jadi
terganggu ..."
"Bersenang-senang?" hatiku terenyuh.Hal. 101
Bersenang-senang, katanya. Seraya tertawa
kecut, aku bergumam:
"Justru pikiranku sedang gundah ketika aku
keluar rumah bertemu sahabat lama dan kemudian
kau terbangkan ke udara ..
"Persoalan keluarga?"
"Ngg, ya"
Wajahnya kian sendu. Seraya mempermainmainkan jari-jemarinya pada pinggir sprei tempat
tidur, ia mengeluh:
"Sebelum menabrakmu, aku juga barusan
bentrok dengan keluarga."
"Oh ya? Boleh aku tahu?"
la memandangku. Tajam. Lantas aku sadar,
aku bukan apa-apanya sehingga berhak untuk
mengetahui. Tetapi ia kemudian tersenyum.
Katanya:
"Nanti juga kau akan tahu."
"Nanti?"
"Emangnya, kau lebih suka kalau kita
berpisah sampai di sini saja?" sepasang bolaHal. 102
matanya yang bundar, bersinar ganjil. "Kalau
begitu, kau memang marah dan tidak menyukai
diriku."
Lantas ia bergegas. Bangkit.
"Hey, tunggu dulu."
la memandangku sejurus. Matanya renyuh.
"Jadi kita akan bertemu lagi?"
Mendengar itu, aku beruntung lagi memperoleh
senyuman manis dibibirnya.
"Selama kau menerima maafku," jawabnya.
"Berapa keranjang kau mau?"
Gadis itu tertawa. Cerah. Dan tawanya
membuat aku lupa segala-galanya. Aku bangkit
duduk, la terkejut, menoleh ke arah lututku. Cemas,
Lutut itu kugerak-gerakan. Sakit memang. Tetapi
aku laki-laki. Dan kebanyakan laki-laki memang
senang memperlihatkan gengsi.
"Kau lihat?" ujarku dengan bangga. "Lututku
tak apa-apa. Kepalaku pun ...," dan kepala yang
berbalut kuketuk-ketuk dengan buku jari telunjuk
berkali-kali. "Tak terasa apa-apa. KehadiranmuHal. 103
rupanya lebih mujarab dari segala kemampuan
medis yang telah dikerahkan dokter rumah sakit
ini!"
"Jangan jual lagak. Sakitmu bisa payah,"
katanya cepat-cepat seraya menekan dadaku
dengan jari telunjuknya, sehingga mau tak mau aku
terbaring kembali di tempat tidur. "Beristirahatlah.
Sehingga kalau nanti kita bertemu lagi, rumah sakit
tidak tertimpa rugi karena terpaksa mengganti
kasur yang sudah kempes terus-terusan kau tiduri,
Nah. Sudah ya? Aku pergi."
Dan ketika ia pergi, benar-benar pergi, aku
tidak saja merasa kehilangan sesuatu yang teramat
berharga dalam hidupku. Tetapi aku juga merasa
kesakitan yang amat sangat di lututku yang
bengkak, serta perih yang tak tertahankan di
balutan kepala. Aku ingin menjerit. Dan ketika
seorang suster buru-buru datang setelah tombol di
kepala tempat tidur kupijit berulang-ulang, aku
benar-benar pula menjerit:
"Kalian apakan lututku, ha? Di rebus!"
* * *Hal. 104
5 TULANG lututku yang sambungannya agak
tergeser karena terhantam ke kios rokok telah
mulai bekerja dengan normal waktu Chairudin
membimbingku jalan-jalan di halaman samping
rumah sakit. Kami duduk di sebuah bangku kayu
yang sudah reyot, berhadapan lurus dengan jalan
Sena yang lengang. Ketika terlihat bangunan
sekolah dasar nun di kejauhan, tanpa sadar jari
telunjuk menyelinap di sela-sela bibirku yang
setengah terbuka. Menyentuh tempat kosong di
dekat rahang.
"Perlu tusuk gigi?" celetuk Chairuddin seraya
menyodorkan kotak korek api.
Aku ambil kotak korek api itu.
Menunggu.
Chairudin melongo.Hal. 105
"Apa lagi?"
"Nenekmu," aku memaki. "Ngasi korek api
kok tanpa rokok!"
la terbahak, lantas mengeluarkan sebungkus
"Gudang Garam" kesenanganku. Kuambil sebatang.
Lantas menyulutnya dengan nikmat. Memandang
depan lagi. Ke arah bangunan sekolah dasar di
kejauhan.
"Din"
"Hem?"
"Siapa sekarang direktur sekolah kita di sari itu?"
"Entah. Kenapa rupanya?"
"Aku ingat direkturnya dulu, adalah guru
kelas kita pula ..."
"Hem. Aku juga ingat. Malah tak akan pernah
kulupakan seumur hidup bagaimana pak Joko
pernah menempeleng aku. Rasanya seperti baru
terjadi kemarin... ia pilin ujung kumis lelenya.
Waktu itu baru habis hujan, ingat? Lapangan
rumput basah. Sehelai rumput layu dan busuk, kau
jemput dari tanah. Kau kasihkan ke tanganku, lantas
kau bisikkan di telingaku: kau tau si Nelly? KujawabHal. 106
ya. Kau bisikkan lagi: ia paling takut sama lintah. Oh
ya, ya ujarku mulai mengerti. Lakukanlah sekarang,
katamu seraya tersenyum. Aku berlari ke si Nelly,
membentak seraya melemparkan rumput busuk,
licin dan basah berwarna coklat itu ke betisnya. Si
Neli menjerit, lantas jatuh pingsan. Sialnya, cuma
aku saja yang digampar pak Joko. Padahal kau yang


Dibelai Kasih Sayangmu Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

punya ide."
Aku tertawa. Sahutku:
"Hukumanku toh telah kuterima, Din
seminggu setelahnya. Bukan oleh pak Joko, tetapi si
Rumonda. Yang dagunya lancip itu, ingat? Nah,
seminggu setelah kejadian yang sial bagimu itu, aku
kebagian yang lebih sial lagi. Aku berkelahi dengan
si Lumban gara-gara waktu main kelereng ia curang.
Jengkel, kelereng kulemparkan ke mukanya. Kena di
hidung. la menjerit. Lantas menangis. Kakaknya si
Rumonda yang sekelas dengan kita, balas
melemparku. Bukan dengan kelereng. Tetapi pakai
batu. Kena di sini... aku menunjuk ke arah gigiku
yang ompong dekat geraham.
Chairudin kini yang tertawa. Bergelak.Hal. 107
"Lantas kau ngacir pulang ke rumah.
Mengadu pada ibumu. Melihat mulut berdarah dan
gigimu sebuah diambil setan, ibumu berlari-larian
ke sekolah, masuk ke kelas dan mencak-mencak di
hadapan semua murid"
"Dan pak Joko yang galak itu, diam tak
berkutik," sambungku. "Coba bayangkan, kalau itu
terjadi sekarang. Wah, malunya bukan main!"
"Kalau sekarang, ibumu kan tak bisa mencakmencak lagi. Kau pun tak pantas lagi dibela...
pantasnya di...," ia tiba-tiba memandangku dengan
wajah penuh tanda tanya. Yang kemudian ia
lemparkan lewat mulutnya: "Benarkah kau akan
dikawinkan dengan anak dari adik laki-laki ibumu
itu?"
Ulu hatiku terasa melilit.
"Celakanya, begitulah," keluhku. Sakit.
"Kau beruntung kalau begitu."
"Nenekmu!"
"Eh, kau senang menyebut-nyebut nenekku,
la sudah almarhum, Bonar. Kalaupun ia masih
hidup, ia tak pantas disandingkan dengan kau.Hal. 108
Hehe. Bonar, mengapa kau tolak kemauan
keluargamu? Waktu membezuk tadi, sempat
kuperhatikan Marianna. Menang agak kekanakkenakkan. Kau bilang ia baru kelas satu es-em-a
bukan? Jadi kira-kira umurnya sekarang enam belas
tahun. Dulu umur segitu masih terhitung anak
bawang. Sekarang jamannya lain. Mana Marianna
senang padamu. Cantik pula lagi.
"Dibayar berapa kau oleh keluargaku untuk
mengatakan itu?"
"Aku bersungguh-sungguh, kawan."
"Dan aku tak bercanda mengatakan bahwa
aku telah kawin di Bandung."
"Bonar," ia tatap mataku. Dalam. Bersahabat.
"Di Bandung sana, samen leven yang kau lakukan
mungkin sesuatu yang tak menghebohkan lagi.
Tetapi di sini? Memang kota ini telah semakin jauh
berkembang. Tetapi adat? Adat tetap pada
bentuknya semula. Tidak berkembang sama sekali,
meskipun sudah menciut di sana sini. Sukar bagimu
untuk mengelak, kawan."
Aku terdiam. Kusut benakku. Kemelut.Hal. 109
"Terima saja kehadiran gadis itu, Bonar.
Setidak-tidaknya, ia telah berbuat baik cukup
banyak demi ibumu. Bahkan demi kau ..."
"Segampang itu benarkah?" rungutku.
"Orang kawin harus disertai cinta."
"Cintakah kau pada Nenengmu yang di Bandung."
"Kukira begitu"
"Kau kira?"
"... kami selalu menghindari persoalan cinta.
Selama kami hidup bersama, kami merasa diikat
oleh perasaan suka satu sama lain. Aku sendiripun
kadang-kadang bingung. Mana yang lebih kuat
pengaruhnya di antara cinta dengan suka. Perasaan
suka bisa melahirkan cinta. Sebaliknya, perasaan
cinta senantiasa mendatangkan kesukaan pula.
Mungkin cinta itu adalah suka. Atau suka itu adalah
cinta. Sukar membedakan keduanya. Setidaktidaknya, dalam persoalan yang kuhadapi bersama
Neneng. Cinta atau tidak, yang jelas kami saling
menyukai. Denga modal itu kami hidup di bawah
naungan satu atap rumah. Sepiring semangkok,
setempat tidur seselimut "Hal. 110
"Itu zinah namanya."
Aku tertawa. Pahit.
"Apa yang kau lakukan, membeli perempuan
sejam dua jam, bukan zinah?"
"Jual beli itu ada transaksinya. Syah."
"Sama seperti orang menikah, bukan? Ada
transaksi, di atas kartu nikah. Jadi, orang kawin pun
melakukan jual beli, kalau begitu. Hayo!"
"Ada bedanya, kawan."
"Apa?"
"Yang satu terhormat. Yang lain tercela!
Mungkin itu pandangan manusia bisa berobah.
Tetapi Tuhan tidak, bila kau masih merasa dirimu
orang beragama!"
Neneng juga orang beragama. Malah ia
sering mendampratku kalau ia lihat aku lalai
mengerjakan sembahyang. Lantas aku bersujut.
Menghadap Tuhan. Bertanya dengan perasaan
gundah:
"Apakah yang kulakukan ini tidak munafik?"Hal. 111
Dan Neneng akan memelukku. Berbisik lembut,
penuh kasih:
"Tergantung isi hatimu, sayangku!"
"Tetapi, Neng. Perkawinan serupa ini dikutuk
Tuhan."
la tersenyum. Tabah.
Jawabnya:
"Katakanlah kita, menikah secara syah di
depan penghulu. Lantas karena macam-macam hal
yang tidak bisa kita elakkan sebagai manusia yang
lemah di depan penghulu yang sama kita bercerai,
itupun dikutuk Tuhan, sayangku. Sedang dalam
posisi kita sekarang, bila kita berpisah, kutuk itu
tidak akan terjadi..."
"Tak ada yang bisa memisahkan kita, Neneng."
"Bonarku, kekasih. Aku sependapat dengan
kau. Tetapi jangan lupa, bila Tuhan menghendaki
sesuatu akan terjadi, maka sesuatu itu pada
waktunya bisa terjadi!"
Itukah sebabnya, mengapa perempuan yang
begitu teguh dan kukuh pendiriannya, serta tabah
hatinya toh menangis serta tidak terpejam matanyaHal. 112
sesaatpun pada malam sebelum aku berangkat
meninggalkan Bandung? Apakah Neneng telah
merasakan, bahwa Tuhan mulai memperlihatkan
kekuasaan untuk memisahkan kami? Tidak. Itu tak
akan terjadi. Betapa aku merindukan Neneng, kini.
Tak akan terjadi. Minimal, tidak akan dari pihak
Marianna. la boleh menjadi dewi penolong bagi
keluargaku tetapi bagiku ia tidak lebih dari Supraba
yang penggoda.
Lalu bagaimana aku harus menentukan sikap
di, depan ibu, sebagai anak bungsu yang di matanya
merupakan anaknya yang paling baik?
" Bonar."
"Heh?" aku tersentak.
"Itu ada yang melambai."
Aku mengikuti arah telunjuknya. Sebuah
mobi melesat dengan manis di luar pagar sepanjang
jala Thamrin. Mobil yang mengirimkan aku ke
rumah sakit selama beberapa hari. Sebuah tangan
yang mulus dan putih menghilang di balik jendela
depan mobil yang terus meluncur. Tanpa sadar aku
tertatih-tatih ke pinggir pagar, mobil tadi membelok
perempatan jalan Thamrin dan Serdang, dan akuHal. 113
merasa hati ini berbunga-bunga waktu melihat
kendaraan itu memasuki halaman parkir.
Chairudin melongo.
Lalu, geleng-geleng kepala. Tak mengerti.
"Heran," katanya." Wajahmu yang barusan
kusut, berubah cerah setelah melihat gadis tadi.
Apakah kau sadar kau berada di banyak
persimpangan jalan, kawanku?"
Pertanyaan yang menjurus itu, membuatku
terbungkam.
"Udin, kau..."
la memilin-milin ujung kumisnya
Dengan wajah muram, kemudian ia bergumam:
"Aku tidak menuduh, kawan. Aku hanya
melihat, bahwa perasaan suka yang kau sebutsebut tampaknya akan berjangkit ke alamat lain."
"Eh, nanti dulu," kataku dengan gusar.
"Bagiku Lily tak lebih dari seorang sahabat. Aku
menyukainya, seperti aku menyukai engkau ..."
"Alah, jangan berputar-putar. Kita kan samasama lelaki!"Hal. 114
Lantas, setelah berkata demikian, ia menyalamiku.
"Semoga lekas sembuh, Bonar. Sehingga
maksud kita jalan-jalan ke Berastagi yang tertunda
itu, bisa teruskan."
"Mau ke mana kau?"
"Kemana? Menyingkir, tentu."
"Lho!"
la berjalan menjauh.
"Kehadiranku akan mengganggu," katanya.
"Jangan begitu. Apa kata Lily nanti?"
Chairudin tersenyum. Getir.
"Percayalah, Lily lebih senang melihat aku
tidak berada di antara kalian,"
Tetapi kawanku yang perasa itu terlambat
Lily telah muncul di korridor samping, bergegas ke
arah kami berdiri dengan wajah kemerah-merahan
di panggang matahari dan butir-butir keringat di
ujung hidung karena baru habis berlari-lari. Aku
sempat melihat hal itu lewat jendela tembus
ruangan zaal, meskipun setelah berada di dekat
kami Lily tampak berjalan melenggang.Hal. 115
"Apa kabar bung Chairudin?" Sapanya seraya
menjabat tangan kawanku. "Senang bertemu kau di
sini."
"Ah. Yang benar," sambut kawanku, seraya
menatap sekujur tubuh gadis yang menjabat
tangannya. Tatapan mata lelaki, gelitik hatiku:
"Sungguh lho. Kebetulan aku baru dari toko.
Tadinya bermaksud mau terus ke rumahmu
sepulang dari sini."
"Baru dari toko? Mau ke rumahku? Apa artinya ini?"
"Artinya, sebuah Honda CB-100 yang betulbetul baru dan masih mulus, akan segera
berkenalan dengar pantatmu yang kempes itu,"
kata Lily seraya tertawa bergelak. "Nih kwitansinya
ambil untuk kau bawa ke toko di mana motor itu
sudah tersedia ..."
Karena kwitansi itu tak juga diterima
Chairudin, Lily ikut pula bingung.
"Ambillah," katanya.
"Apa-apaan ini?" rungut kawanku. Gusar.
"Lho, bukankah beberapa hari yang lalu ..."Hal. 116
"Benar, waktu itu kau kutuntut untuk
mengganl kerugianku. Tetapi tahukah kau, bahwa
waktu itu aku sedang marah besar bukan karena
Honda rusak, melainkan karena rencanaku untuk
piknik bersama Bonar ke Beraetagi jadi tertunda?"
"Sejitu?" sepasang bola mata Lily membesar.
"Segera setelah sahabatmu sembuh, kita bisa piknik
bersama ke mana kalian suka."
"Kita?" tercengang lagi Chairudin.
"Apakah perempuan jelek dan hina dina ini
mau disingkirkan begitu saja?"
Chairudin menjadi murung.
"Mengapa dengan kau?" aku mencoba menengahi.
Sahabatku itu memandangku dengan mata
layu. "Kalau begitu, kita tak jadi piknik, kawan"
"Eh, melantur kau!"
"Tidak..."
"Sebabnya?"
la Menelan ludah. Ujung-ujung kumis lelenya;
terkulai jatuh.Hal. 117
"Karena...," lagi-lagi ia menelan Judah,
membasahi bibirnya yang kering. ''Kalau aku ikut,
maka... aku akan sendirian."
"Sendiri bagaimana. Kau jangan mengada-ada ah!"
"Iya. Kan kau dengan Lily. Lantas aku dengan
siapa?"
"Oooo," Lily menukas. "Gampang, kalau
begitu. Tipe bagaimana yang kau sukai ? akan
kucarikan seorang untuk menemanimu."
Aku jadi menekap tangan ke mulut untuk
tidak sampai tertawa bergelak.
"Kau toh bukan makelar," guman kawanku, gugup.
"Makelar atau tidak, kau tak usah
membayar," aku menyeletuk.
Chairudin mendelik ke arahku.
"Sorry," ucapku, "Sorry nenekmu."
"Nah, kini kau yang mulai latah menyebutnyebut nenekku, la masih hidup, tahu? Apakah kau
ingin nenekku yang kuundang untuk ikut menemani
mu piknik?"Hal. 118
"Apa yang kalian pertengkarkan?" tanya Lily


Dibelai Kasih Sayangmu Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seraya menahan tawa. la kemudian menyelinapkan
kwitansi pembelian sepeda motor langsung ke saku
kemeja Chairudin.
Kawanku memprotes dan mau mengembalikannya.
Tetapi Lily menolak. "Kau kembalikan itu, berarti
kau dendam padaku."
"Ah ..."
"Untuk aku saja. kalau kau tak mau,"
ancamku seraya bertindak seolah-olah mau
merampas kwitansi di tangan Chairudin. la
mendelik lagi. Aku jadi mundur. Tak ingin kena
pukul, karena aku lihat diam-diam salah satu
tangannya mengepal.
"Kalau dipaksa, apa boleh buat," katanya
dengan suara rendah." Tampaknya aku disogok
untuk tidak buka mulut."
"Buka mulut tentang apa?" aku bertanya heran.
"Ah. Diamlah kau," bentaknya seraya
tersenyum dan ekor matanya silih berganti
menatapku dan menatap Lily. Si gadis jadi tersipu
dengan wajah kemerah-merahan, kemudianHal. 119
melambai pada Chairudin yang berjalan meninggal
kan kami. Begitu menginjakkan kaki di korridor,
Chairudin setengah berseru:
"Harap kalian ingat. Ini di rumahsakit. Bukan
taman bunga. Dan ... persetan sama kau, Bonar!"
Lama sudah Chairudin menghilang.
Tetapi baik aku maupun Lily, belum
mengucapkan sepatah katapun jua. Saling pandang
pun tidak, la terus menekuri tanah berumput di
ujung sepatunya, sedang aku tak tahu apa yang
kucari di korridor Idi mana barusan Chairudin
menghilang. Sampai kemudian:
" ... ia sebenarnya pemuda tampan," gumam Lily.
"Udin?"
"Ya..."
"Kau tertarik?"
Barulah ia menatapku. Aku tidak mengelak.
Lama kedua pasang mata kami saling berpagutan,
dan teramat sukar untuk menghindarkan pagutan
yang teramat berbisa itu. Ada getaran lembut di
jantung, serta elusan hangat di dalam dada.Hal. 120
"Sayang agak kumal, bukan?"
"Apanya?"
"Kawanmu itu."
"Oo. la terlalu memikirkan keluarganya,
sehingga mengabaikan dirinya sendiri."
Suara Lily terenyuh waktu berkata:
"Apakah setiap keluarga selalu ditumpuki
persoalan yang membuat dunia ini semakin sempit
untuk brang bisa bernafas?"
Aku mencoba tersenyum. Tanyaku:
"Apakah kita akan terus berdiri di sini
dipandangi orang-orang yang lewat di jalan, atau
bersediakah kau duduk di bangku reot itu?" aku
menunjuk ke bangku kayu yang tadi kududuki
dengan Chairudin sebelum Lily lewat dengan
mobilnya di jalan.
"Di mejamu tadi sempat kusimpan oleh-oleh
lewat jendela. Jeruk segar dan buah appel.
Kuambilkan?"Hal. 121
"Ah, biarlah kita ke sana saja. Mentari tampak
tidak suka melihat semua makhluk berkeliaran
bawah kakinya."
Kami berjalan berdampingan meninggalkan
halaman rumah sakit, melangkah tanpa tergesagesa sepanjang korridor, mengangguk pada suster
yang kebetulan berpapasan, kemudian masuk ke
dalam zaal. Pasien yang mula-mula aku masuk
jumlahnya ada tujuh orang, kini tinggal empat,
termasuk aku sendiri. Zaal itu lengang, karena tiga
pasien lainnya rupanya sedang tidur.
"Di Bandung sana," ujarku pelan setelah
duduk di pinggir tempat tidur. "Rumah sakit tak
pernah kosong. Pulang satu, datang dua. Seolaholah mengikuti semboyan pasukan Siliwangi. Esa
hilang, dua terbilang ..."
la memandangiku dengan mata yang bulat penuh.
"...kapan plester di tulang pipimu akan di buka?"
"Kata dokter, sore nanti."
"Parahkah?"
"Sedikit jahitan. Tentu saja akan meninggal
kan bekas ..."Hal. 122
"Aku menyesal!"
"Eh, Lily. Jangan ulangi kata-kata sentimentil
itu Lagipula, cacat kecil ini kan lumayan buat oleholeh kubawa pulang ke Bandung."
Ketika menyebutkan kata Bandung, hatiku
jadi tergugah. Bandung, berarti kembali
kepangkuan Neneng. Kerinduan itu tiba-tiba
datang. Kerinduan yang tidak sebesar, sebelum Lily
kini berada di sampingku. Wahai, apa yang terjadi
dengan diriku? Apakah banyak persimpangan jalan
itu telah berada di depan mataku untuk kutempuh
seperti yang tadi disindirkan Chairudin?
Persimpangan jalan? Mengapa bersimpang?
Bukankah aku akan kembali ke Neneng, tetap
memiliki dia dan ia miliki? Lily toh hanya sekedar
teman dari suatu peristiwa yang sama-sama tidak
kami kehendaki dan kemudian menimbulkan
jalinan persahabatan. Persahabatan? Apakah
perasaan yang tengah berkecamuk dalam diriku,
hanya sekedar perasaan bersahabat.
Lantas, mengapa waktu kutatap wajah Lily,
hati ini bergetar?Hal. 123
Si gadis tidak mengelakkan tatapan mataku.
Dan mata yang indah itu, teramat sendu waktu
kuucapkan kalimat "pulang ke Bandung."
Mengapa? Mengapa matanya jadi sendu, kalau aku
pulang ke Bandung? Apakah karena akan
kehilangan seorang sahabat? Hanya seorang
sahabat?
"... kapan kau pulang?" tanyanya sekonyongkonyong, seolah-olah menegaskan kekacauan yang
tengah berkecamuk di benakku.
"Ke rumah? Besok pagi."
"Maksudku, ke Bandung."
Aku terdiam, la menanti. Sambil menanti, ia
ambilkan sebuah jeruk yang besar dan segar, la
kupas kulitnya, la beset satu persatu, ia serahkan
pula ke tanganku satu persatu, yang kemudian
kumasukkan ke mulut, satu persatu. Setengah dari
jeruk itu telah habis kumakan, waktu aku teringat
untuk memberitahunya:
"Mengapa tak kau makan?"
"Ini untukmu," katanya, tersenyum.Hal. 124
"Sebegini banyak? Bagaimana aku akan
menghabiskannya?"
"Terserah. Boleh kau berikan pasien-pasien
lain. Boleh dibawa pulang ponakan-ponakanmu
kalau mereka bezuk. Tetapi, semua ini kubawa
untukmu Hanya untukmu seorang."
Aku menatap matanya.
Dan ia menerima tatapan itu, dengan kilatan
ganjil di matanya.
"Makanlah ... ," bisikku.
"Nanti saja. Kau dulu."
Kuulurkan irisan jeruk di tanganku, langsung
ke mulutnya, la terjengah sesaat, lalu di saat
berikutnya mulutnya yang bagus terbuka sedikit.
Irisan jeruk kuselinapkan di antara dua baris giginya
yang putih gemerlapan. Ketika meninggalkan mulut
itu, jari telunjukku sempat menyentuh tepi bibirnya.
Bibir itu tergetar, dan terasa panas bagai kobaran
api. Belum lagi tanganku menjauh, ia sudah
memegangnya. Erat Kami bertatapan lagi.
Berpagut. Seorang pasien batuk-batuk di ujung zaal.
Pasien itu menggeliat di bawah selimut. Batuk lagi,
Lantas mendengkur.Hal. 125
Lily tersadar. Cepat-cepat ia tarik tangannya,
Wajahnya merah padam.
"Aku pulang saja," bisiknya dengan suara berat.
Lalu berdiri.
"Lily..."
la tertegun. Memandangku. Matanya
berlinang. Ia menggigit bibir, memutar tubuh lantas
berlari-lari kecil keluar zaal.Hal. 126
6 SAMPAI kutinggalkan rumah sakit keesokan
harinya, gadis itu tidak pernah kelihatan lagi. Aku
dijemput oleh ibu, kak Ros dan suaminya. Tidak
kulihat seorang keluarga Marianna. Tetapi kak Ros
sempat membisikkan, mobil yang di jalankan
suaminya menuju pulang ke rumah, adalah mobil
adik laki-laki ibuku itu. Pulang. Bisikan mana ia
tambahkan dengan kata-kata:
"... mereka agak tersinggung ketika akan
membayar rekening rumah sakit."
"Kenapa?"
"Biaya perawatanmu telah dibayar orang lain
lebih dulu."
"Siapa?" tanyaku ingin tahu, meskipun aku
sudah bisa mengira-ngira siapa orangnya gerangan
yang begitu baik hati untuk mengeluarkan jumlah
uang yang cukup banyak itu.Hal. 127
"Lily."
"Lily?" kutahan goncangan aneh yang terasa
menyentuh jantungku. Bukan karena ia telah bayar
rekeningku, melainkan karena kudengar namanya
disebut-sebut.
"Kau tak kenal?" tanya kakakku dengan mata
penuh selidik.
"... tidak."
"la orang yang menabrakmu."
"Oh!"
"Apakah ia tak pernah membezuk selama kau
dirawat?"
Hampir saja kukatakan ya, kalau tidak ingat
ibl di sampingku, dan lebih-lebih karena teringat
dibayarkan rekening rumah sakit saja keluarga
Marianna telah merasa dilampaui apalagi kalau
mengetahui betapa gadis itu menunjukkan
perasaan yaang berlebihan terhadap diriku.
Berlebihan? Mengapa aku tega mengatakan
demikian? Tidak. Tidak pasti berlebihan! Mungkin
sikapnya demikian, ia perlihatkan untuk menebus
kesalahannya telah menciderai diriku. TetapiHal. 128
benarkah cuma sebegitu? Seseorang bisa berpurapura lewat sikap-sikapnya, tetapi tidak bisa
berdusta lewat matanya.
"Hem. Terlalu benar!" cetus kak Ros.
"Ya kak?"
"Gadis itu. Tak membezuk. Hem. Pikirnya,
dengan datang ke rumah ditemani ayah dan ibunya
sudah cukup. Ditambah dengan membayar biaya
perawatan. Betul-betul terlalu ...!"
Ibu yang dari tadi diam saja, menyela: "Ah,
nak. Tak usah diributkan. Datang pada kita sudah
bisa dianggap datang pada Bonar. Masih syukur
mereka unjuk muka. Orang lain, belum tentu.
Jangankan muka. Punggung pun kalau perlu,
disembunyikan."
"Tetapi ibu"
"Sudahlah, Ros," menukas suaminya dari
depan. "Apa yang dikatakan ibu benar adanya.
Jangan pula kau mengada-ada sehingga bisa
menimbulkan kesan tak baik di mata Bonar. Yang
penting, ia sudah sembuh dan selamat sebagai
mana kita kehendaki, bukan?"Hal. 129
Tetapi apa yang jauh lebih penting, kuhadapi
malam harinya di rumah. Di luar setahuku, hampir
semua sanak keluarga dari pihak ibu maupun
almarhum ayah, berkumpul di rumah. Umumnya
yang sudah berkeluarga, dan kebanyakan di
antaranya adalah orang-orang tua yang baik
menurut sopan santun apalagi menurut ketentuan
adat, harus kuhormati dan kalau perlu kupatuhi
kata-katanya tanpa membantah.
Setelah makan malam seadanya selesai dan
perangkat bekas hidangan telah dibersihkan
sehingga di ruang tengah yang tak begitu luas
tinggal orang-orang yang dianggap tetua keluarga,
barulah bang Tigor mengucapkan terimakasih atas
kehadiran mereka semua. Pembicara selanjutnya ia
serahkan pada suami kak Ros yang terbata-bata
ketika mengutarakan maksud berkumpul-kumpul
itu. "Di samping silaturrachmi karena tidak selalu
kita sama-sama berkumpul seperti ini, juga
membicarakan tentang maksud keluarga di sini
untuk memperkuat tali perbesanan di antara
keluarga kita semua."
Aku menggenggam tangan kak Ros.Hal. 130
Digenggam erat begitu, ia memandangku,
dan serbisik dengan suara tajam:
"Jaga tingkah dan tutur katamu."
Dan apa yang dibicarakan mereka semua,
sampai kepada keputusan bahwa paman serta
suami kak Ros merupakan utusan yang ditunjuk
untuk menghubungi secara adat keluarga Marianna


Dibelai Kasih Sayangmu Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serta tugas bang Tigor mengatur peralatan
perkawinan apa adanya dan mengundang orangorang yang dianggap perlu, bagiku tak lebih dari
dentuman-dentuman meriam dan ledakan-ledakan
mortir yang dengan kejam menghancur luluhkan
tidak saja jasadku, tetapi juga jiwaku. Aku terduduk
dengan tubuh kaku kejang di tempat dudukku,
sampai ruangan itu kosong dan tinggal aku bertiga
dengan kak Ros dan bang Tigor saja yang masih
belum beranjak dari tempat masing-masing.
Dengan penuh perasaan kasih, kak Ros melap
keringat dingin yang membasahi wajahku dengan
saputangannya.
" kau kegerahan," katanya. "Udara Medan
memang jauh berbeda dengan udara Bandung,
tetapi kan kau juga orang sini dulunya."Hal. 131
Ucapan yang setengah bergurau itu tidak
membuat terhibur sama sekali. Malah ucapannya
mengingatkan aku tentang Bandung, dan Bandung
bagiku berarti Neneng. Lututku yang sudah
sembuh, baru saja dibuka, seperti merekah lagi.
Lebar. Menganga. Dan...
Jurang itu! Jurang itu menganga! Jurang yang
kulihat dalam impianku sebelum meninggalkan
Neneng. Jurang yang juga ia lihat dalam impiannya
waktu Neneng tertidur di mobil sementara melaju
ke Jakarta. Jurang itu sekarang terbentang di
hadapank Dalam. Gelap. Suram. Terjal. Mengerikan.
Aku kehilangan pegangan untuk terjun dengan
selamat Dengan deras aku terhempas ke bawah,
tanpa mendapat kesempatan untuk berpikir.
Akhirnya, karena aku terus-terusan
bungkam, bang Tigor buka mulut:
"Kau sudah siap, bukan?"
Aku terjengah.
Untuk pertama kali selama berjam-jam
bahkan rasanya selama berabad-abad yang lengang
dan menakutkan, aku tergagap:
"... apa, ... bang...?"Hal. 132
"Kubilang, apakah kau sudah siap?"
"Siap? Siap untuk apa?"
"He. Kau kemanakan telingamu? Apakah
selama orang-orang tua tadi membicarakan dirimu,
kau membutakan mata dan menulikan telinga?"
"Aku ... aku "
"Sudah! Aku tak mau dengar alasan apapun
lagi dari mulutmu!"
"Bang, pelan sedikit....", membujuk Rosmala.
"Diam kau. Tak kau lihatkah, bagaimana anak
ini mau coba bertingkah?"
"Biarkanlah dulu ia menenangkan perasaan, bang."
"Tak ada waktu lagi, utusan besok akan
dikirim, dan jawaban sudah bisa diduga. Dan jangan
lupa. Keluarga Marianna telah lebih dahulu
memberitahu keluarga-keluarga pihak mereka.
Bahkan gadis itu jauh-jauh telah memberitahu dan
mengundang teman-teman dekatnya"
"Apa?" aku terjengah. "Anna telah"
Bang Tigor tersenyum. Bangga.Hal. 133
"la mencintaimu, Bonar. Telah lama ia
mencintaimu. Kata putus belum diambil, tetapi ia
telah yakin bahwa cintanya tidak akan kita siasiakan. Benar begitu, Bonar?"
"Benar ... benar apanya, bang?"
"Bodoh! Cinta Anna tak akan kau sia-siakan,
bukan?!"
"Cinta," mulutku bergerimit. "Kalian
menjejalkan cinta seorang gadis ke mulutku,
semenara cinta gadis lainnya yang juga kucintai,
kalian abaikan begitu saja!"
"Itu kau namakan cinta, hah? Sudah berapa
kali kubilang, itu cuma Zinah? Zinah! Zinah!" bang
Tigor memukul-mukulkan tangannya ke lantai,
Siluman Teluk Gonggo 1 Lembah Berdarah Karya Tjan Keris Pusaka Dan Kuda Iblis 2

Cari Blog Ini