Ceritasilat Novel Online

Pedang Pengacau Asmara 3

Pedang Pengacau Asmara Karya Okt Bagian 3


Nanti akan kuperintahkan orangku mengantarkan ke tempat kalian," kata Sunbu itu
kemudian.
Jin-hong dan adik nya tidak bisa menampik lagi, setelah memberi hormat mereka
lalu mengajukan pamitan hari itu juga.
Mereka menuju pulang dengan mengendarai dua ekor kuda yang dihadiahkan pula
oleh Sunbu yang sedang bergirang hati.
Pada hari kelima dalam perjalanan mereka itu tibalah mereka di Ceng liong-tin.
Mereka mampir di hotel yang dulu, dimana begitu pemilik hotel melihat keduanya jadi
pucat mukanya. Apalagi Siau-hong lantas saja menanyakan Eng-cia.
Beberapa hari setelah Siau-hong dan saudaranya meninggalkan hotel itu, kawanan
manusia rendah yang dipimpin oleh Phoa-ji telah mendatangi hotel tersebut dan langsung
mengutarakan maksud mereka akan mengambil Eng-cia.
Pemilik hotel tidak bersedia memenuhi permintaan Phoa-ji, penolakan mana
membuat Phoa-ji menjadi gusar."Aku penduduk Ceng-liong-tin yang tentunya kau sudah kenal. Semua orang juga
tahu bahwa Eng-cia adalah anakku. Mengapa kau menyembunyikannya? Apa kau mau
mencari ribut?" Phoa-ji menggertak pemilik hotel dengan mata mendelik.
"Tetapi, ia titipkan di sini oleh tamu hotelku," jawab pemilik hotel itu.
"Aku tidak peduli pada tetamu kau itu!" Kata Cio-si, "Aku cuma tahunya Eng-cia
adalah anakku. Kau sendiri bukannya tidak tahu, mengapa kau membandel?"
Pemilik hotel jadi serba salah, sebab ia tahu kalau ia berkeras kepala berarti
mencari permusuhan dengan kawanan buaya darat itu. Sedangkan untuk
mempertahankan Eng-cia, ia tidak mempunyai bukti yang kuat, karena surat jual beli
anak itu dipegang oleh tamunya.
Jin-hong menjadi gusar sekali mendapat keterangan ini. Apalagi Siau hong sampai
membanting kaki beberapa kali seraya memaki nama Phoa-ji dan kawan-kawannya yang
masih belum jera atas perbuatannya.
"Kasihan anak itu," kemudian Siau-hong mengeluh, "Entah kepada siapa
dijualnya anak itu sekarang!"
Jin-hong hanya dapat menghibur pada adiknya, seraya mengajaknya untuk
menyelidiki kawanan buaya darat tersebut.
Menurut pemilik hotel Phoa-ji dan isterinya kemudian telah menjual anak itu
kepada orang dari luar kota. Suami isteri itu kemudian pindah juga entah kemana.
Satu-satunya jalan yaitu mencari tahu pada kawan-kawan Phoa-ji, antara lain
Biauw-hay-cu dan Ma-pau-ji.
Siau-hong minta keterangan mengenai tempat kediamannya kedua bajingan itu.
Setelah mana ia minta engkonya menanti di hotel karena ia mau mencari tahu perihal
Eng-cia pada kedua orang itu.
Jin-hong tak dapat mencegah kehendak adiknya yang berkemauan keras itu, ia
terpaksa membiarkan adiknya pergi seorang diri.
Mudah saja bagi Siau-hong mencari rumahnya Biauw-hay-cu yang berupa sebuah
rumah gubuk yang sudah tua. Ia lihat pintu rumah dikunci, ia meneriaki apa di dalam ada
orang.
Seruan yang pertama tak terjawab, begitu juga sampai dua tiga kalinya. Si nona
merasa penasaran dan mendekati pintu dan memanggil lebih keras lagi.
Seorang yang bermuka dekil dan rambut yang kusut menongolkan kepalanya di
depan pintu. Ia menggoyangkan kepalanya beberapa kali atas pertanyaan-pertanyaan
Siau-hong. Sekarang ia menuju ke rumahnya Ma-piauw-ji.
Suara yang riuh terdengar di dalam rumahnya. Pintu rumah tak terkunci dan Siauhong terus saja mendorong daun pintunya langsung masuk ke dalam. Ternyata kawanan
buaya darat lagi bersenang-senang.Biauw-tay-cu sendiri ada di sana, ia tengah menabuh pi-pee, sedangkan Tio-touwcu menggosok sam-hian dan Ma-piauw-ji memukul tambur yang ditimpali Kho-sam
meniup seruling dan Lauw-gouw pada terompet. Nyonya Pit yang mukanya penuh pupur
tebal serta memakai gincu yang merahnya seperti darah sedang mementang mulut
mengeluarkan suara lagu seperti gembreng pecah. Mereka kelihatannya begitu
bergembira.
Kegembiraan segera berobah bagaikan datangnya petir di tengah hari bolong,
mereka jadi terkejut sekali, dan suara-suara itu "clep" diam dengan serentak.
Berkumpulnya mereka untuk merayakan ulang tahunnya Ma-piauw-ji. Sekarang
datang tamu yang tak diingini yang mereka takuti, bagaimana mereka jadi tidak terkejut
sekali. Semuanya jadi kebat kebit hatinya. Cuma nyonya Pit saja yang membesarkan
hatinya dan maju menghampiri Siau-hong dan berkata dengan suara rendah.
"Nona adalah seorang yang pandai menggunakan pikiran, dan kami kira nona
tentunya sudah mengetahui perihal Phoa-ji dan Cio-si. Kami hanya ikut-ikutan saja.
Belum lama keduanya meninggal diserang penyakit kolera, maka kuharap nona bikin
habis saja perkara ini. ... Aduhhhh!....."
Satu tempelengan di pipi kanan nyonya Pit telah membungkamkan mulutnya
dengan menerbitkan suara yang nyaring. Pupurnya sampai beterbangan dan tanda merah
segera menggaleng di kulit pipinya.
"Mundur kau, perempuan hina!" Siau-hong membentak. Matanya juga diputar
dan satu persatu dipandangi olehnya. Yang terkena sinar matanya serta merta
menundukkan kepala tidak berani balas menatapnya.
Ketika matanya menyapu pada Biauw-hay-cu segera menjatuhkan diri berlutut di
hadapannya sambil mengeluarkan kata-kata meminta ampun. Yang lain-lainnya juga
segera mengikuti perbuatannya.
Melihat pemandangan ini Siau-hong menjadi mendelu dalam hati, mengingat
mereka semua manusia rendah yang bernyali kecil tapi yang tidak segan-segan berbuat
rupa-rupa kejahatan. Namun menyaksikan mereka seperti ketakutan sekali dengan badan
bergemetaran dan menggulung diri seperti kucing kena air, hatinya seperti digelitik, ia
mengambil keputusan tidak akan berbuat kekasaran.
"Aku tahu halnya Phoa-ji dan isterinya, kalian semuanya memang tidak
bersangkutan dengan keduanya. Akan tetapi hal suami isteri itu mati terkena penyakit
kolera, baru sekarang kudengar. Apakah kau tidak berdusta?"
"Ya, aku tahu nona memang seorang yang baik," Biauw-hay-cu lekas mengumpak,
tapi Siau-hong bahkan mendelikkan mata kepadanya. Karenanya ia lekas juga menutup
mulutnya kembali.
"Apa yang aku inginkan ialah supaya kau bicara terus terang," nona itu kemudian
meninggikan suaranya dengan sikap mengancam, "Baiklah aku tidak peduli apakah Phoaji dan isterinya benar sudah mati atau tidak, tapi aku mau tahu Eng-cia dijual kemana?""Kalau perihal suami isteri Phoa betul sudah marhum. Kuburannya dapat
kutunjukkan kalau nona tidak percaya," Biauw-hay-cu ber kata lagi dengan suara
perlahan sedangkan kepalanya terangguk-angguk. "Mengenai Eng-cia aku tidak tahu
kepada siapa dijualnya. Yang dapat kuterangkan bahwa Eng-cia dijual pada seorang
saudagar pengembara . . . ."
Biauw-hay-cu tidak meneruskan kata-katanya karena dilihatnya sinar muka Siauhong seperti orang yang berduka sekali dan kelihatannya juga mau mempercayainya.
Karena ia tak dapat mengorek keterangan yang lebih jelas, Siau-hong lantas
berangkat pulang ke hotel.
"Kau rupanya tidak berhasil mencari keterangan," kata Jin-hong begitu melihat
paras adiknya yang mendung. Siau-hong menganggukkan kepalanya.
Jia-hong menghibur adiknya dengan mengatakan kalau berjodoh disuatu ketika
pasti mereka akan bertemu kembali dengan Eng-cia.
Malam itu mereka bermalam di hotel tersebut dan keesokan paginya melanjutkan
perjalan ke Liok-an.
"Ha-ha-ha. . . . kalian baru pulang?"
Sebuah suara berat menyambut kedatangan mereka di rumah begitu Jin-hong
membuka pintu rumah. Keduanya jadi heran, tapi begitu Jin-hong mengenali siapa yang
berbicara perasaannya bercampur girang. Sebaliknya dengan Siau-hong yang tidak kenal
dengan Ciu-beng-too!
Sejak Patpi Jin-him Him-thian-lok mendapatkan sepasang pedang Toh hoa-kiam
dari Say cee-thian Siang-ceng Siansu dan Hui-thian Siankouw In-ceng Suthay, hal mana
segera tersebar luas di kalangan penduduk Cee-lam. Bahkan berita ini terus menjalar ke
lain tempat, apalagi di kalangan Kang-ouw hal ini sudah bukan rahasia lagi. Dengan
begitu juga banyak saudagar-saudagar yang datang kepadanya buat melindungi barangbarang mereka. Adanya pedang Toh-hoa-kiam di tangan piauw-su itu tentunya berarti
barang bawaan mereka akan lebih selamat dalam perjalanan.
Akan tetapi Thian-lok yang pada perayaan ulang tahunnya sudah menyatakan
akan mengundurkan diri dalam bekerja sebagai piauw-su, tidak merobah pendiriannya
biarpun ia mendapat tawaran yang mahal sekalipun. Ia menganggap dirinya sudah tua
dengan persediaan kekayaan mencukupi bagi keluarganya menyambung hidup.
Lagi pula ia telah menyatakan piauw-kioknya sudah tutup sedangkan pegawaipegawainya diberhentikan dengan mendapat pembagian keuntungan yang lumayan dan
memuaskan.
Selama tiga puluh tahun dengan goloknya entah sudah berapa banyak orang yang
dibunuh olehnya, dan ratusan lainnya yang dikalahkan menderita luka-luka berat ataupun
ringan. Tentu saja musuh-musuhnya ialah penjahat-penjahat yang coba-coba mengganggu pekerjaannya sebagai pelindung barang-barang dagangan saudagar-saudagar
ataupun antaran para pembesar.Ia sudah berumur setengah tua. Sekarang adalah masanya untuk cuci tangan buat
hidup dengan tenteram. Apalagi gadis satu-satunya sekarang sudah mempunyai ketetapan
buat penghidupan selanjutnya. Jodohnya yang didapat melalui lui-tay cukup berkenan di
hatinya, seorang pemuda gagah yang sederhana, tapi punya perasaan tanggung jawab
serta rendah hati selain ilmu silatnya yang tinggi.
Seorang tua yang bijaksana dalam mencari menantu bagi puterinya tidaklah
menilai calon bagi puterinya dengan menilai harta kekayaan. Bagi orang tua yang bijak
dan penuh makan asam garam kehidupan dunia dari pengalamannya itu, mengerti bahwa
segala kekayaan dunia sangatlah kecil artinya bila dibandingkan dengan pengetahuan.
Kekayaan mudah saja dicari asalkan kita memang bermaksud menjadi orang berharta dan
berkemauan keras bekerja, selain itu kalau memang rejeki kita ada.
Akan tetapi kekayaan juga akan dapat punah dalam sekejap mata apabila kita
kurang dapat mengendalikan diri dalam mengatur kekayaan kita, ataupun misalnya oleh
sebab suatu malapetaka seperti kebakaran atau dirampok habis-habisan. Namun dengan
kecerdasan dan pengetahuan selama kita masih hidup di muka bumi ini bersifat kekal
sampai terbawa ke lobang kubur.
Kebahagiaan puterinya yang jelas terlihat menyayangi pada tunangannya Cin-Jinhon g itu, bagi orang tua ini berarti juga kebahagiaan bagi dirinya.
Harta tak ternilai yang diperolehnya berupa sepasang pedang mustika itu sudah
terkandung di hatinya akan dihadiahkan kepada puteri dan menantunya nanti pada saat
pesta pernikahan mereka.
Di dalam rumahnya didirikan sebuah loteng yang diberi nama Siang-kiam-lauw
dirrana sepasang pedang mustika itu disimpan baik-baik.
Kabar mengenai Him thian-lok telah mengundurkan diri juga sudah tersebar luas.
Tidak seorangpun yang tidak memberikan pujian pada Patpi Jin-him yang pandai melihat
gelagat dan mengundurkan diri pada saat yang tepat.
Cuma seorang saja yang merasa sangat tidak puas dan berniat melampiaskan sakit
hatinya.
Ia bernama Yauw-sam bergelar Tok pi-him dan berlengan satu. Sebuah lengannya
yang lain telah "diminta" oleh Him-thian-lok disebuah jalan di Tiang-see. Ketika mana
Yauw-sam sebagai seorang begal coba bermaksud merampas barang-barang yang dikawal
oleh ayahnya Kun-eng. Dalam pertarungan dengan Thian-lok ia terkalahkan dan lengan
kirinya kena terbacok sampai putus.
Yauw-sam kabur bukannya dengan perasaan terima kasih karena Thian-lok tidak
mengambil nyawanya, bahkan ia menaruh dendam yang mendalam. Ia merantau dan
mencari seorang guru untuk berlatih silat dengan sebelah tangan saja. Ia belajar dengan
giat hingga golok kui-tauw-too yang dibuat khusus baginya itu dapat bergerak lebih hebat
dari pada ketika ia masih memiliki lengan lengkap.
Begitulah setelah Yauw-sam merasa dirinya tidak akan terkalahkan lagi oleh
Thian-lok, ia mengumpulkan kembali anak buahnya dan gerombolannya segera terbentuk
yang sering kali melakukan pembegalan di daerah Thian see.Ia menyesal sekali Thian-lok telah mengundurkan diri, pantas saja selama ini ia
menantikan lewatnya Piauw-kiok dari Patpi Jin-him itu tak kunjuug lewat di daerah
kekuasa-annya.
Dorongan hati yang keras untuk membalas dendam mengharuskan baginya
menuju ke Cee-lam buat mencari tempat kediaman Him-thian-lok.
Hari itu Thian-lok sedang mengawasi orang-orang yang sedang mencat loteng
Siang-kiam-lauw, ketika seorang penjaga pintu mengabarkan kepadanya datangnya
seorang tamu yang memperkenalkan namanya sebagai she Yauw dan minta bertemu
padanya.
Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat dan jumlah pertempuran tidak diingat
lagi oleh Thian lok, tidak heran ia juga tidak ingat lagi pada Yauw-sam yang tidak mau
masuk ke ruang tamu. Ia tinggal tetap berdiri di muka pintu disaat Thian-lok muncul
sambil memegang huncwee ( pipa ).
Thian-lok melihat tamunya memakai baju panjang dari sutera hitam. Leher baju
tidak dikancing, dan di dadanya terpampang selembar kulit kambing yang masih berbulu.
Di pinggangnya tersoren sebuah golok yang diikat dengan sutera biru. Kopiah yang
dikenakannya terbuat dari bahan kulit dan bentuknya tinggi. Kuncir rambutnya yang
panjang hitam dililitkan pada lehernya, sebenarnya suatu pertanda tantangan berkelahi!
Secara keseluruhan Yauw-sam terlihat gagah sekali biarpun hanya memiliki sebelah
lengan saja.
Melihat sikap tetamunya Thian-lok jadi curiga. Ia coba mengumpulkan ingatan
siapa gerangan orang ini, sampai lama ia menatap orang yang bersikap jumawa tanpa
mau memberi hormat kepadanya serta balas mengawasi padanya dengan sinar mata
membenci, ia tetap tak dapat mengenali Yauw sam. Namun Thian-lok bersikap tenang,
biarpun ia tahu kedatangan tamu ini tentu dengan maksud tidak baik, setidak-tidaknya
pasti akan mencari keributan kalau memang seorang musuh lamanya.
Sambil tersenyum ia memberi hormat menyambut tamu ini, "Selamat datang
Yauw Toako. Maafkan aku yang tidak menyambut kedatanganmu dari jauh
tentunya......."
Satu penyambutan yang menghormat dan sikap manis disambut dengan tidak
senonoh oleh tamu ini. Yauw-sam tidak membalas hormat, bahkan sambil tertawa dingin
ia memotong kata-kata tuan rumah.
"Hai, orang she Him! Apakah kau masih mengenali aku?" Yauw-sam menyertai
kata-katanya sambil mencabut goloknya.
"Sungguh, aku telah lupa toako," jawab tuan rumah sambil tertawa dan tidak
berkurang manis budinya biarpun tamunya bersikap garang.
"Hm, bagus! Bagus kalau kau sudah lupakan orang yang pernah kau beri rasa
golokmu hingga lengan kiriku harus berpisah dengan badanku!" Yauw-sam menjelaskan,
"Aku adalah Tok-pi-him Yauw Sam! Dan peristiwa kesombonganmu itu terjadinya
sepuluh tahun yang lewat di Tiang-see! Kedatanganku kemari buat mengambil sebelahlenganmu ditambah dengan bunganya, yang akan kupikir-pikir sebentar bagian anggota
badan mana sebaiknya bunga itu kuperhitungkan!"
Kini Thian-lok sadar dan peristiwa mana terbayang kembali di benaknya. Tapi ia
tidak menjadi gusar atas tantangan itu. Keramahan nya tidak berkurang juga.
"Aku harap toako jangan gusar. Kejadian dahulu itu karena kesalahan tangan saja
hingga melukai tangan toako, dikarenakan juga keadaan terpaksa. Sekarang aku telah
menutup piauwkiokku. Aku telah menyembunyikan diri, maka sudilah toako memaafkan
kesalahanku di masa lampau itu. Permusuhan lama baiknya kita tutup saja, dan marilah
kita membuka lembaran hidup yang baru dengan saling bersahabat ..."
Namun sikap yang merendah tidak mendapat sambutan dari Yauw-sam. Ia
menggoyangkan kepala dan berkata dengan suara menantang sekali, "Orang she Him,
baiknya kau jangan bawa adat seperti perempuan! Hutang budi balas budi, begitu pula
hutang nyawa. Tapi sudah bagus kalau aku hanya menagih hutang lenganku yang
terputuskan ini dengan sedikit bunganya! Mari kita coba-coba dan ambillah senjatamu!"
Thian-lok tentu masih bersikap sabar dan terus membujuk Yauw-sam agar mau
melupakan permusuhan dimasa lalu, jika Kun-eng tidak muncul disitu.
Kun-eng yang semenjak tadi ikut mendengarkan percakapan ajabnya dengin
tamunya, hatinya menjadi panas sekali. Ia berlari masuk guna mengambil goloknya dan
lantas lompat ke depan Yauw-sam.
"Yauw-sam, jangan kau terlalu menghina! Mari aku putrinya Patpi Jin-him sebagai
wakil melayanimu yang jumawa!" Seru Kun-eng yang dalam kemurkaannya tidak
memperdulikan lawannya memiliki kepandaian tinggi atau tidak, goloknya mengincar
kepala orang. Ia jadi berlaku sembrono.
Him-thian-lok sendiri tidak mengira kalau puterinya mendahuluinya bertindak
yang tak sempat dicegahnya lagi.
Kun-eng sendiri juga tidak mengira betapa besarnya tenaga lawan yang sempat
menangkis goloknya hingga sasaran ke batok kepala orang jadi batal. Tangannya serasa
seperti terkena palu besar yang ditimpakan dengan tenaga raksasa, Kun-eng
mengeluarkan suara tertahan disaat ia terpaksa melepaskan goloknya.
Belum lagi Kun-eng hilang rasa terkejutnya, goloknya Yauw-sam yang berbentuk
agak melengkung bisa berganti arah dalam sekejapan mata melayang ke pundak Kun-eng.
Dalam keadaan demikian Kun-eng tidak mempunyai kesempatan lagi untuk berkelit
apalagi menangkis karena goloknya telah terlempar jauh. Selainnya ia sendiri menjadi
kaget, begitu juga dengan ayahnya yang tak mengira perobahan yang begitu cepat.
Dalam keadaan yang begitu kritis, tiba-tiba dari arah dalam melayang keluar
sebuah sinar perak yang lantas menyambar golok Yauw-sam hingga terputus jadi dua
bagian.
Kalau Yauw-sam kaget sekali, begitu juga dengan Thian-lok dan Kun-eng yang
tidak mengira bentuk bantuan yang aneh ini. Sinar itu kembali berbalik bagaikan kilat
lewat di atas kepala Yauw-sam yang cepat menundukkan kepala.Ketika sinar itu hampir saja menembus batok kepalanya Yauw-sam merasa hawa
dingin dan ia bersyukur kepalanya masih bercokol di atas lehernya. Namun demikian
kopiahnya telah terpapas dua dan potongannya menggelinding di tanah.
Biarpun sinar itu langsung masuk ke dalam dan tidak keluar lagi, tak urung
perasaan ngeri membuat Yauw-sam mengambil keputusan lebih baik angkat kaki saja dari
tempat itu.


Pedang Pengacau Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semua kejadian berlangsung cepat, Kun-eng tersadarkan lebih dulu dan
bermaksud mengejar Yauw-sam tapi dicegah oleh ajahnya.
"Jangan!" Seru Thian-lok pada puterinya. Atas seruan ini Kun-eng merandek
sambil memandang pada ayahnya.
"Bagus betul!"
Kun-eng maksudkan sinar perak tadi ada lah sinar pedang Toh-hoa-kiam. Thianlok me-njusut keringat dinginnya dan mengajak Kun-eng masuk ke dalam.
Keduanya langsung menaiki tangga loteng, sedangkan orang-orang yang mengecat
tetap bekerja terus karena mereka tidak tahu adanya peristiwa di luar tadi.
Pedang yang berunce perak masih terlihat bergoyang-goyang di tempatnya.
"Pokiam sejati! Pokiam sejati!" Thian lok memuji, "Kalau tidak ada Toh-hoakiam, habislah jiwa kau, anakku!"
Kun-eng tertawa, "Dengan kaburnya Yauw sam itu, pastilah ia tidak berani lagi
muncul di sini!"
Dugaan ini memang benar. Karena mengetahui dan menyaksikan dengan mata
kepalanya sendiri betapa hebatnya pedang Toh-hoa-kiam, Yauw-sam tidak pernah berani
menyatroni musuhnya lagi.
Sedangkan Toh-hoa-kiam semenjak waktu itu semakin lebih dikenal orang sebagai
pedang mustika yang dahsyat. Banyak orang dari kalangan Kang-ouw yang sengaja
mengunjungi Him-thian lok buat meminta lihat pedang itu. Akan tetapi dengan manis
Patpi Jin-him menolak dengan halus serta memberi alasan nanti juga akan dipertunjukkan
di hadapan banyak orang di hari yang baik. Semua orang dapat memaklumi kata-kata jago
tua ini yang memaksudkan katanya kalau di hari pesta pernikahan puterinya mereka akan
diundang juga sekalian diperlihatkan pedang Toh-hoa-kiam yang termasyhur itu.
Thian-lok bermaksud mengadakan pesta pada pertengahan bulan kedua, ia tahu
bahwa pestanya pasti akan mendapatkan kunjungan orang banyak, karenanya ia
memerlukan bantuan Jin-hong.
Kebetulan Ciu-beng-too mampir di tempatnya yang bermaksud pergi ke An-hui. Ia
titipkan sepucuk surat yang disampaikan kepada Jin-hong di Liok-an guna
memberitahukan keinginannya. Beng-too menyanggupi permintaan sobat lawasnya ini.Nyonya Cin telah menyambutnya dengan penuh keramah-tamahan apalagi ia
sebagai utusan calon besannya, tapi Ciu-beng-too terpaksa bermalam di rumah keluarga
Cin itu menantikan pulangnya Jin-hong.
Bagaimana Beng too tidak gembira karena tiga selang tiga hari kemudian kedua
saudara itu telah pulang. Siau-hong diperkenalkan kepada orang tua itu, setelah mana
gadis itu masuk ke dalam mencari ibunya. Jin hong menemani Tiat pwe wan yang
kemudian menyampaikan surat dan pesan dari calon mertuanya.
Begitulah Jin hong berembuk dengan ibunya, mereka mengambil keputusan
keesokan harinya akan berangkat menuju Cee lam buat memenuhi kehendak Him thian
lok yang menginginkan pesta pernikahan segera dilangsungkan pada hari yang telah
ditetapkan, dimana pada pesta itu akan dipertunjukkan pedang wasiat Toh hoa kiam di
hadapan orang banyak. Him thian lok merasa girang dan keluarganya segera mengadakan
penyambutan meriah menyongsong kedatangan keluarga Cin.
Begitulah pada hari yang telah ditetapkan dimana pesta diadakan selama tiga hari
tiga malam, banyak sekali tamu-tamu yang berdatangan selain untuk memberi selamat
kepada mempelai juga untuk menyaksikan pedang Toh-hoa-kiam yang telah
menggemparkan kalangan Kang-ouw.
Dimalam harinya Thian-lok yang semenjak siang hari telah didesak oleh para
tetamunya, segera mengeluarkan Toh-hoa-kiam yang diletakkan dalam satu tempat
seperti doos.
Orang-orang membentuk sebuah lingkaran saling menjulurkan kepalanya disaat
Thian-lok membuka penutup doos dan mengeluarkan sepasang pedang yang terbungkus
dengan sehelai sutera kuning. Thian-lok dan Jin-hong masing-masing memegang sebatang
pedang buat diangkat di atas kepala supaya semua orang dapat melihatnya.
Semua hadirin bertampik sorak disaat pedang ditarik keluar dan sarungnya,
mereka kagum pada sorot cemerlang dari kedua sisi tajam kedua pedang itu.
"Diperlihatkan begitu caranya orang tidak mengetahui bagaimana kebaikannya
sepasang po-kiam itu," kita Tiat-pwee-wan Ciu-beng-too sambil tertawa. "Aku
mengharapkan tuan rumah sudi membuat percobaan supaya sekalian yang berada di sini
mendapat kepuasan hati."
Thian-lok yang memang suvdah menyediakan sebatang golok biasa segera
melemparkan golok itu ke udara. Sebelum golok itu jatuh ke tanah Thian-lok telah
menyambarkan pedangnya ke arah golok itu. Thian-lok hanya menyampok dengan tidak
mengeluarkan tenaga. "Prok!"
Terdengar suara beradunya pedang dengan golok, mata penonton jadi terbelalak
ketika terlihat golok telah terpotong jadi dua bagian. Suara-suara memuji terdengar
diantara mereka.
"Percobaan semacam ini masih belum seberapa, sebab apa artinya kekuatan segala
besi dan baja?" Ciu-beng-too masih juga mewakili suara para hadirin, padahal terputusnya
sebatang golok oleh pedang itu tanpa mengeluarkan tenaga sudah menunjukkankemustajaban pedang wasiat. "Yang kuinginkan pokiam sanggup memutuskan tali
pinggangku tanpa melukai tubuhku sendiri! Itu baru namanya pedang mustika asli!"
Ini adalah pekerjaan yang berbahaya, hanya orang-orang semacam pencipta Tohhoa-kiam yaitu In-ceng dan Siang-ceng mungkin dapat melakukannya seperti tempo hari.
"Kau meminta aku mengerjakan kesulitan saja, sobat! Kepandaianku belum
setinggi seperti pencipta Toh-hoa-kiam ini....." ujar Thian-lok sambil tersenyum, sambil
memandang kepada Jin-hong yang juga tidak berani mengambil risiko biarpun mungkin
ia sanggup mengerjakannya tapi pedang itu luar biasa tajamnya!
Namun sepasang Toh-hoa-kiam itu seperti hendak memperlihatkan dirinya,
Thian-lok dan Jin-hong tak merasakan apa-apa disaat ini masing-masing pedang yang
dipegangnya dapat melompat sendiri membentuk sinar perak dan keemasan menyambar
tubuh Ciu-beng-too.
Ciu-beng too yang tak menyangka sedikitpun jadi berdiri kesima saja dililit oleh
kedua sinar itu. Bukan ia sendiri yang merasa hawa panas dan dingin yang hebat sampai
tubuhnya menggigil tidak keruan rasa, hadirin juga dapat merasakan kedua hawa yang
berlawanan ini.
Setelah ikat pinggang Beng-too terputus jadi beberapa potong, sepasang sinar
pedang itu melayang kembali dan masuk ke-masing-masing sarungnya!
Beng-too tetap berdiri menjublak, tetapi tubuhnya tetap utuh bahkan pakaiannya
tak ada yang cabik. Karena kagetnya ia sampai tidak ikut dengan penonton lainnya yang
bersorak memuji kehebatan pedang Toh-hoa-kiam yang baru sekali ini seumur hidup
mereka menyaksikannya.
Thian-lok telah membungkus kembali sepasang pedang Toh-hoa-kiam yang
diserahkan pada Jin-hong untuk disimpan pada tempatnya. Jin-hong dengan geraknya
yang gesit lompat ke atas loteng tanpa melalui tangga. Semuanya mengagumi kegesitan
Jin-hong itu.
"Sekarang aku telah berusia lanjut. . . ." Thian lok angkat bicara setelah tamutamunya kembali ke tempat duduknya masing-masing, "Di hari baik dimana kita
berkumpul semua hendak kusampaikan pada saudara-saudara sekalian sepatah dua patah
kata. Yaitu perihal sepasang pedang Toh hoa kiam ini akan langsung kuhadiahkan pada
kedua mempelai. Penyerahannya akan dilakukan pada hari ketiga pada saat penutupan
pesta kita ini. Sebelumnya aku minta perhatian saudara-saudara sekalian demi
kebaikannya pedang mustika ini jangan sampai dibikin kotor, biarlah liatwi nanti menegur
dan memberi peringatan sebagai wakilku kalau sudah tak ada di dunia fana ini, yaitu
bilamana ternyata pedang ini dipergunakan untuk maksud-maksud yang tak terpuji!"
"Kami akan patuhi pesanmu itu, loo piauw su," jawab orang banyak hampir
dengan suara serentak. Sesaat suasana haru mencekam semuanya, apalagi Siau hong
sampai berlinang air mata yang cepat dihibur pula oleh Jin-hong dengan mengatakan
orang tua itu hanya berkhayal saja.
Sampai di situ perjamuan dilanjutkan sampai pagi hari.Pada hari ketiga dari pesta yang berlangsung meriah itu disaat mana para tetamu
yang kebanyakan bermalam disitu telah bersiap-siap akan mengucapkan selamat berpisah
dengan pihak keluarga tuan rumah.
Harap diketahui, pada jaman itu setiap pesta dapat berlangsung sampai berharihari dan kebanyakan tamu yang berdatangan dari tempat jauh telah disediakan tempat
bermalamnya oleh pihak tuan rumah. Bahkan kalau kamar-kamar tidak mencukupi
rumah penduduk siap sedia menyumbangkan tempatnya, atau bisa juga dibuatkan
perkemahan sementara di sekitar pekarangan rumah.
Siau hong diberi tugas untuk mengambil Toh-hoa-kiam di tempat
penyimpanannya di atas loteng Siang-kiam lauw. Seperti juga Jin-hong ia tidak mau kalah
tidak menggunakan tangga, hanya langsung lompat dan kembali turun dengan memeluk
doos berisi pedang Toh-hoa-kiam.
"Betul-betul pedang sejati .... begini ringan!" Pikir Siau hong sambil jalan menuju
meja perjamuan. Thian-lok segera menyambutnya.
Akan tetapi ketika penutup doos dibuka, semua orang jadi terkejut karena isinya
telah kosong! Apalagi Thian-lok seperti orang yang dipagut ular maianya mendelong tidak
percaya pada apa yang dilihatnya. Hanya selembar kertas kedapatan di dalam doos itu
yang segera diambil oleh Kun-eng. Ternyata tulisannya berupa sebuah syair dengan
tulisan yang indah :
? Memiliki sepasang pedang Toh-hoa-kiam merupakan kebahagiaan pertama.
Mendapatkan jodoh yang sembabat merupakan kebahagiaan lain tapi yang belum tentu
kekal. Karenanya jangan cepat bergirang hati, sebab yang bermata suram oleh bayangbayang kekecewaan harus dijaga! Kalau ia sudah bertekad seperti bukti sekarang ini sudah
menjadi kenyataan. Kabur bersama pelampiasan kecewa hatinya buat menikmati
kebahagiaan pertama, menunggang naga berganti burung hong menuju ke lain dunia......
Kalau mau tahu dimana adanya siangkiam, silahkan si menantu yang gagah
menduga! ?
Di bagian bawah dari tulisan itu tertera tandatangan yang tertulis jelas "Ceng gansin". Kertas itu kemudian berpindah tangan dari Thian-lok terus ke Jin-hong dan akhirnya
dibaca oleh Beng-too sambil mengerutkan sepasang alisnya. Beng too kelihatan menarik
napas panjang dan paras mukanya sedikit berobah.
"Siapakah Ceng-gan-sin?" Thian lok bertanya seperti pada dirinya sendiri.
"Aku seperti mengenali tulisan ini . . . tapi siapa Ceng-gan-sin? . . ." Begitu juga
Kun eng bertanya dalam hatinya.
"Kata-kata syair itu jelas bagaikan suatu penantangan pada diriku," kata Jin-hong
kemudian, "Tetapi di dalamnya tak ada petunjuk kemana harus kupergi. Tantangan yang
licik. . . ."
"Aku duga ini adalah pekerjaan The-pek," kata Siau-hong yang berpikir sampai
kesana dan ingat pada pemuda nakal itu."Ya, ya, boleh jadi ia yang melakukannya," jawab pula Kun-eng, "Aku sependapat
dengan kau, Kouw-nio."
"Tidak mungkin!" Thian-lok bahkan membantah, "The-pek tidak mungkin
sanggup mengerjakan ini. Selain itu tulisannya bagus sekali yang semestinya ditulis oleh
seorang pandai surat dan juga lihai ilmu ringan tubuhnya bermaksud main-main dengan
kita."
Dari tadi Beng too bungkam diri saja, sedangkan kertas tadi telah disimpannya
dalam saku bajunya.
"Bagaimana pendapatmu, Ciu Pehhu?" Jin-hong bertanya pada Ciu-beng-too,
"Eh, mana surai tadi?"
"Surat ini kutahan karena aku akan melakukan penyelidikan," jawab Beng-too
cepat.
Thian-lok jadi girang, sebab kalau sa-habatnya mengatakan demikian berarti ia
sudah dapat menduga siapa yang berbuat hal itu.
"Kau sudah tahu pekerjaan siapa ini, sobatku?" Thian-lok cepat bertanya sambil
memegang lengan sahabat baiknya ini.
Ciu-beng-too menggelengkan kepala. "Aku belum dapat memastikan, tapi
sekarang juga aku akan berangkat untuk melakukan penyelidikan. Selang tiga hari Cinhiantit boleh menyusul ke tempat kediamanku buat menerima kembali Toh-hoa-kiam
itu....."
"Eh, kau bersungguh-sungguh, sobat.....?"
Thian lok hampir tak mempercayai kata-kata Ciu-beng-too yang seperti sangat
memastikan keberhasilannya itu.
Ciu-beng-too yang menganggukkan kepala seraya meminta diri untuk berangkat
saat itu juga. Cin-jin-hong mengajukan dirinya untuk mengiringinya, tapi ditolak oleh
Beng-too yang mengatakan tidak baik seorang mempelai meninggalkan isterinya di hari
baik itu.
Begitulah tamu-tamu lainnya juga segera meminta diri dengan hati penuh
pertanyaan siapakah gerangan Ceng-gan sin itu. Rata-rata mereka juga menjanjikan pada
Thian-lok akan bantu menyerapi pencurinya sekalian meminta pulang Toh-hoa-kiam itu.
Segera saja perihal hilangnya Toh-hoa-kiam yang dicuri oleh seorang yang
menamakan dirinya sebagai "Ceng-gan sin" tersiar luas.
Hari-hari kenikmatan Jin-hong sebagai mempelai bersama istrinya yang cantik
Him-kun-eng, dilewati dengan hati kurang mengenakkan. Sedangkan Siau-hong bersama
ibunya pulang ke Liok-an terlebih dulu. Tak ada alasan bagi Jin-hong untuk memboyong
pulang istrinya ke rumahnya sendiri. Terpaksa ia menginap di rumah mertuanya sambil
menantikan waktu yang tiga hari untuk berangkat menyusul Ciu-beng-too.Pada mulanya Kun-eng ingin ikut bersama suaminya, tapi Thian-lok melarangnya
karena Beng-too telah berpesan hanya Jin-hong saja seorang diri yang diminta datang.
Pada saat keberangkatan Jin-hong seorang diri, Kun-eng mempunyai firasat tidak
enak. Terbayang kembali peristiwa di tepi hutan bagaimana puterinya Beng-too yaitu
Ceng-ci yang nakal nampaknya sangat intim dengan Jin-hong. Biarpun kemudian Cengci menerangkan kepadanya bahwa ia tidak mempunyai perasaan apa-apa pada calon
suaminya ketika itu, tapi sebagai seorang wanita yang berperasaan halus setidaknya ia
mengetahui kalau Ceng ci tentunya merasa suka pada Jin hong. Hanya saja karena sudah
mengetahui bahwa ia adalah tunangan pemuda itu, jadi ia tak dapat berbuat apa-apa.
Anehnya juga pada pesta pernikahannya mengapa Ceng ci tidak muncul? Ia hanya
menitip hadiah pernikahannya pada ayahnya dengan pesan ucapan selamatnya serta
permintaan maafnya karena Ceng ci harus berangkat ke Kim leng buat menyambangi
bibinya yang sakit keras. Alasan yang cukup kuat.
Ingat pada Ceng ci, tiba-tiba bagaikan tersentak Kun eng terbuka kesadarannya
kalau tulisan pada surat dalam doos tempat menyimpan Toh hoa kiam mirip sekali
dengan tulisan Ceng ci yang pernah dilihatnya.
"Apakah mungkin ini perbuatannya juga?" Begitu pertanyaan dalam hatinya
"Tapi apa perlunya ia berbuat begini? Bukankah ayahnya sahabat baik ayah, dan juga kita
adalah teman main semenjak kecil? Namun dorongan asmara bisa saja ia berbuat begitu
untuk membalas dendam karena hasrat hatinya yang tak terpenuhi! Ah, kalau begitu
mungkin juga Jin hong pernah menjanjikan sesuatu kepadanya?
Mengapa ia mesti berangkat seorang diri? Ah, benarkah Ciu-pehhu tidak tahu
kesemuanya ini?....."
Tiba-tiba terbit perasaan cemburunya pada Jin-hong dan kecurigaan pada Ciubeng-too. Tidak mustahil orang tua ini sekongkol dengan puterinya untuk mencuri Tohhoa-kiam! Bila Jin-hong dimestikan menyusulnya seorang diri boleh jadi bahan
pertanyaan apakah nanti ia pulang kembali dengan hanya membawa tiruannya pedang
Toh-hoa-kiam? Bukankah Jin-hong kini sudah menjadi suaminya yang syah, mengapa ia
mesti dilarang menyertai kepergian suaminya?
Sementara ia berpikir-pikir terus hari sudah mulai malam. Pada waktu makan ia
mengutarakan pada ayahnya bermaksud menyusul suaminya ke Ciu-kee-cee.
Dikemukakannya juga alasannya serta kecurigaannya pada Ceng-ci. Kebalikan dari
dugaannya, ayahnya bahkan memarahinya sembarangan menuduh orang, dan Thian-lok
tetap melarang puterinya berangkat menyusul Jin-hong.
Jin hong tiba dengan selamat di Ciu-kee cee, tapi yang ditemuinya di rumah itu
hanya Ciu lip seorang diri. Iapun baru sekali itu berjumpa dengan Ciu-lip yang bergelar
Siauw-kim-kong adalah anak angkatnya Ciu-beng-too.
Dari pemuda itu Jin-hong mendapat keterangan bahwa Beng-too betul dua hari
yang lalu telah pulang, akan tetapi ia lantas berangkat lagi ke Kim-leng untuk menyusul
Ceng-ci.Jin-hong terpaksa bermalam di rumah itu sambil menantikan Ciu-beng-too.
Sebentar saja ia sudah dapat bergaul intim dengan Ciu-lip yang berjiwa terus terang dan
juga merasa suka pada Jin-hong yang jujur.
Dalam keasyikannya mengobrol Jin-hong bercerita juga perihal Toh-hoa-kiam
yang telah dicuri oleh seseorang yang mengaku bernama "Ceng-gan-sin". Ciu-lip
kelihatan terkejut sekali.
"Hai, berani benar pencuri itu!" Katanya pula dengan suara keheranan, "Apalagi
di tengah keramaian pesta dimana banyak berkumpul orang-orang berilmu tinggi! Tapi
ayah sendiri tidak bicara apa-apa perihal ini, dan pulangnya hanya menanyakan apakah
Ceng-ci sudah kembali atau belum yang kujawab bahwa aku sendiri belum bertemu
dengan anak nakal itu. Baru empat hari aku di sini setelah kembali dari Kang-lam.
Kemudian ayah berangkat lagi sambil memesan supaya aku tidak kemana-mana sambil
menantikahmu, hiantee. Ayah hanya berpesan kalau kau datang supaya menunggu di sini
sampai ayah datang dari Kim-leng."
Jin-hong merasa aneh juga apa sebabnya Beng-too tidak cerita apa-apa pada Ciulip yang setidaknya pemuda perantau ini tentu luas juga pengalamannya dan mungkin
mengetahui siapakah Ceng-gan-sin itu.
"Apakah kau tahu siapa itu Ceng-gan-sin, toako?" Jin-hong kemudian bertanya,
dan ia memanggil toako pada Ciu-lip yang ternyata lebih tua beberapa tahun darinya. Ciulip kelihatan berpikir keras.
Akan tetapi Ciu-lip menggelengkan kepalanya. "Aku belum pernah mendengar
nama atau gelar itu......... Hah, kau kelihatannya lelah sekali hiantee, silahkan saja masuk
kamar untuk beristirahat."
Terdengar suara kentongan sebanyak dua kali yang menandakan hari telah pukul
dua pagi, pantas saja kalau Jin-hong merasakan kantuk sekali. Iapun segera masuk ke
dalam kamarnya setelah mengucapkan selamat tidur kepada Ciu-lip.
Jin-hong benar-benar merasa lelah sekali dan ia tertidur dengan nyenyak.
Keesokan paginya ketika ia mendusin ia jadi terkejut mendapatkan sebilah pisau kecil
yang menancap di samping pembaringan. Pada gagang belati terikat selembar kertas kecil
yang bertulisan :


Pedang Pengacau Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Selamat dari Ceng-gan-sin"
Jin-hong jadi terlebih heran mengenali tulisan dikertas itu yang sama dengan
tulisan di kertas yang terdapat dalam doos Toh-hoa-kiam. Ia lekas berbangkit melihat ke
sekeliling kamar, lantas saja ia mengetahui bahwa orang itu telah masuk melalui jenjela
kamar.
Ini adalah kejadian yang memalukan dirinya sampai tidak mengetahui ada yang
masuk ke dalam kamar tanpa diketahui olehnya. Akan tetapi dalam hal ini ia mesti
berterus terang kepada Ciu-lip sebagai tuan rumah muda untuk diajak berunding
bagaimana lihainya "Ceng-gan-sin" bisa masuk kamarnya tanpa membuat ia mendusin.
Ia segera mencari Ciu-lip."Ceng-gan-sin benar-benar lihai," ujar Ciu-lip yang kembali keheranan kini bahkan
terperanjat juga. "Ia dapat masuk dengan leluasa ke Ciu-kee-cee, hal mana berarti
kepandaiannya luar biasa dan bukan orang sembarangan. Rupanya ia telah menguntit
hiantee selama dalam perjalanan kemari. Apakah hiantee tidak merasa curiga pada
seseorang di jalan?"
"Aku tidak mencurigai siapa-siapa. . . ." kata Jin-hong setelah berpikir sejenak.
Ciu-lip kemudian memerintahkan pada anak buahnya untuk bikin penyelidikan
sekitar kampung itu kalau-kalau ada yang mencurigakan sikapnya segera laporkan
kepadanya.
Tak lama kemudian mereka telah kembali dan memberitahukan tak ada sesuatu
atau orang asing yang dapat dicurigai.
Hari itu Beng-too belum juga kembali. Malam harinya Jin-hong mempersiapkan
diri kalaupun ia tertidur tidak akan seteledor seperti malam kemarin. Sampai jauh malam
matanya belum dipejamkan, ia sengaja juga tidak menyalin pakaiannya.
Ketika Jin-hong sudah merasa mengantuk sekali dan hampir saja ia tertidur disaat
mana ia merasakan tiupan angin sampai api lilin tergoyang. Tiupan angin datangnya dari
luar jendela.
Berbarengan matanya memperhatikan lilin di atas meja dilihatnya telah ada
selembar kertas. Kembali ia telah tertipu! Tentu saja Jin-hong bukan orang cerdik kalau
lebih tertarik pada surat itu dengan tidak memburu keluar jendela untuk mengetahui
benarkah ini kembali pekerjaannya Ceng-gan-sin?
Dengan gerakan gesit ia lompat dari pembaringannya langsung membuka jendela
tubuhnya mencelat ke atas genteng. Keadaan di sana juga tetap sepi, tidak ada bayangan
satupun. Apa yang terdengar hanya kentongan dari peronda-peronda Ciu-kee-cee. Ia
penasaran dan memperhatikan ke segenap penjuru dengan sia-sia.
"Ah benar-benar aneh! Bagaimana ia dapat bergerak leluasa di kampung yang
terjaga kuat ini?" Begitulah pikir Sin-ciu-cu, mau tak mau ia lompat turun dan masuk ke
dalam kamarnya. Ia menjumput kertas di atas meja dan membaca tulisannya. Tulisan itu
berupa syair.
Oh, Hong....... Hong yang kecerdikannya luar biasa!
Ah, Hong tidak tahunya hanya nama kosong belaka!
Surat itu kembali ditandatangani oleh Ceng-gan-sin serta dengan tambahan ia
menulis ini untuk ketiga kalinya.
Jin-hong merasa kesal sekali, malam itu lewat tanpa ia dapat tidur pulas. Keesokan
paginya kembali ia memberitahukan hal ini kepada Ciu lip yang menjadi gusar sekali.
"Benar Ceng-gan-sin pandang di Ciu-kee cee ini tidak ada orang!" Kata pemuda
itu dengan sengit, "Biarlah nanti malam kita jangan tidur menantikan kedatangannya!"
Jin-hong memberikan persetujuannya.Keduanya tetap membuka matanya sampai kentongan ketiga belum terdapat
tanda-tanda akan munculnya Ceng-gan-sin. Jin-hong merebahkan dirinya di pembaringan
sedangkan Ciu-lip menjaga di luar kamar.
Tiba-tiba teidengar suara meminta tolong yang datangnya dari istal kuda. Ciu-lip
dan Jin-hong cepat memburu kesana, terlihat api berkobar, tapi sebentar saja api telah
dapat di padamkan oleh orang-orang penduduk Ciu-kee cee yang lekas mengetahui
kecelakaan itu dan memberikan pertolongan.
Setelah keadaan aman, Jin-hong dan Ciu lip kembali ke kamar. Di sini Jin-hong
kembali mengeluh.
"Kita telah terpedayakan kembali!" Kata Jin-hong sambil membanting kakinya,
"Ceng gan-sin telah menggunakan tipu 'Tiauw-houw-li-san'!"
Namun sekarang bukan surat yang ditinggalkan oleh Ceng-gan-sin, melainkan
sarung pedang yang terbungkus dengan sutera merah yang dikenali oleh Jin-hong sebagai
sarung pedang Toh-hoa kiam.
Keesokan harinya betapa girangnya Jin-hong dan Ciu-lip, Ciu-beng-too telah
pulang dari Kim-leng.
"Eh, kau sudah datang, hian-tit?" Beng too bersuara riang melihat Jin-hong sambil
membalas hormatnya bersama Ciu-lip telah menyambutnya, "Sayang aku belum berhasil
mendapatkan Toh-hoa-kiam. .... akan tetapi bersabarlah pokiam itu tidak terjatuh di
tangan orang jahat. Nanti akan kujelaskan padamu. Hm, aku mau istirahat dulu, sebentar
kita bicara lagi."
Pada kata-kata paling belakang Beng-too kelihatannya seperti kurang bersemangat
dan lantas masuk ke dalam kamarnya. Jin-hong tidak mau mengganggu orang tua itu. Ia
menunggu dengan sabar di ruang tamu bersama Ciu-lip yang mengawaninya.
Lama juga keduanya menunggu sampai keluarnya Beng-too dari kamarnya, akan
tetapi Beng-too masih mengeram dalam kamarnya. Padahal makanan siang telah
disediakan di meja makan. Akhirnya Ciu-lip hilang juga kesabarannya, diketuknya pintu
kamar Beng-too beberapa kali tanpa mendapat jawaban dari dalam.
Ketika Ciu-lip menolak pintu tersebut ternyata tidak dikunci, sedangkan di
dalamnya tak kedapatan penghuninya. Jendela kamar dalam keadaan terbuka lebar. Ciulip jadi terkejut dan memberitahukan pada Jin-hong. Ke mana perginya Beng-too diamdiam?
"Hm, aku sampai lupa menanyakan mengapa ayah pulang sendirian? Bukankah ia
pergi ke Kim-leng buat menjemput Ceng-ci si anak nakal?" Ciu-lip bertanya seperti kepada
dirinya sendiri.
Disebutnya nama Ceng ci, Jin-hong jadi jengah sendiri teringat peristiwa enam
bulan yang lalu dimana ia sampai dicemburui oleh isterinya sekarang. Mendadak hati Jinhong bercekat.Bukankah nama depan Ceng-ci sama dengan Ceng-gan-sin? Apa boleh jadi gadis
yang memang nakal ini sengaja mempermainkannya untuk balas dendam? Sedangkan
tulisan-tulisan itu mirip-mirip dengan tulisan tangan wanita. Mengapa Ciu-beng too
kelihatannya seperti gelisah begitu ia membaca surat yang didapatkan dari dalam doos
Toh-hoa-kiam. Bahkan dengan tergesa-gesa Ciu beng-too segera pamitan yang lidak
tahunya ia menuju ke Kim leng guna menyusul puterinya. Sekarang ternyata ia pulang
seorang diri. Begitu juga mengapa Beng-too seperti senga ja hendak menjauhkan dirinya
dan kabur melalui jendela kamarnya?
Namun Jin-hong tidak berani sembarang menuduh sebelum melihat fakta
sebenarnya.
"Ah, tidak biasanya ayah berlaku begini. Mari ikut aku, hiantee!" Ciu-lip berkata
sambil memegang lengan Jin-hong yang diajaknya keluar rumah setelah merapatkan pintu
kamar ayahnya.
"Kemana kita pergi?" Tanya Jin-hong, tapi ia menurut saja pada Ciu-lip.
"Aku menduga ayah sedang melakulan penyelidikan. Berita tentang kedatangan
Ceng-gan-sin kemari tentu sudah didengarnya dari penjaga rumah."
Jin-hong mengimbangi larinya Ciu-lip menuju ke dalam hutan. Ternyata pemuda
itu memiliki ilmu ringan tubuh yang lumayan.
Perkampungan Ciu-kee-ce terletak tidak jauh dari sebuah lembah dari pegunungan
yang mempunyai pemandangan indah.
Ciu-beng-too berjalan tidak tergesa-gesa melewati tepian danau dimana dahulu
Jin-hong dan Kun-eng tercebur ke dalamnya. Ketika kakinya melangkah hampir
mendekati pertengahan lembah, tiba-tiba ia berhenti dan memandang jauh pada sebuah
lereng.
Dari tempatnya berdiri sudah dapat terlihat! sebuah bangunan mungil di lereng
lembah itu.
"Aku yakin kau berada di sana, Ceng-ci!" Beng-too berkata sendiri, "Kau sudah
menjadi gadis remaja, mengapa masih bersikap manja? Berani juga mendustai ayahnya. .
. . sayang lbunya telah meninggal, kalau tidak kau belum tentu jadi berandal seperti
ini....."
Pada dahi orang tua itu terlihat kerut merut kulit mukanya. Tiba-tiba Beng too
menjejakkan kakinya, sebentar kemudian terlihat badannya melayang dan berlompatan
beberapa kali tibalah ia di muka bangunan mungil itu.
Rumah panggung itu memang sengaja didirikan oleh Beng-too, sebuah tempat
untuk mengasingkan diri. Siapapun tak diperkenankan olehnya datang ke tempat ini.
Hanya Ceng ci yang tak dapat dilarang olehnya seringkali juga datang kemari.
Bentuk bangunan di dalamnya hanya merupakan sebuah ruangan yang penuh
berisi buku-buku, yang isinya tentang sejarah dan orang-orang cendekiawan jamandahulu. Di muka bangunan terdapat pekarangan yang cukup luas baginya untuk berlatih
silat, bahkan kemudian di tempat ini juga ia bisa melatih silat puterinya.
Beng-too mendorong pintu yang tak terkunci, matanya segera melihat sesosok
tubuh sedang berbaring di atas dipan. Pakaiannya hitam berpotongan ringkas, semacam
pakaian bagi jago silat untuk berjalan malam!
Orang tua itu memang sengaja muncul tanpa memperdengarkan suara sedikitpun,
membuat yang sedang tidur njenyak di atas dipan itu tidak menyadari kedatangannya.
Biarpun Beng-too membuka pintu tanpa menerbitkan suara, tetapi angin gunung
yang menerobos masuk ke dalam ruangan sudah cukup bagi yang tertidur menjadi terkejut
dan lompat bangun memandang tajam ke arah pintu.
Hati Beng-too jadi terharu melihat keadaan badan puterinya, Ceng-ci yang
kelihatan lebih kurus dari biasa dengan wajah perok seperti orang kurang tidur. Kelopak
matanya menunjukkan tanda-tanda bekas menangis.
"Oh, ayah.......... kukira siapa?" Ceng-ci bersuara dan wajahn a sejenak berobah
merah, "Kapan ayah datang? Bagaimana pestanya, apa ramai?.........."
"Hm, kau pandai berpura-pura Ceng-ci!" Suara si ayah terdengar kurang sedap,
"Sejak kapan kau belajar berdusta. Aku paling tidak senang didustai oleh anak sendiri,
Ceng-ci. Aku sampai menyusul ke Kim leng dan ternyata bibimu segar bugar. Kau tak
pernah muncul kesana!"
Ditegur oleh ayahnya, Ceng-ci hanya menundukkan kepala saja tidak berani
bersuara.
"Sekarang telah muncul seekor binatang yang mengaku bernama Ceng-gan-sin!
Bahkan ia berani pula mengacau di Ciu-kee-cee!" Beng-too melanjutkan kata-katanya
dengan suara terlebih keras, "Rupanya selama aku bepergian lebih dari sepuluh hari kau
tetap mengurung diri di sini?"
Ceng-ci menganggukkan kepala tanpa berani mengangkat dagunya, ia
mempermainkan ujung ikat pinggangnya dan duduk di pinggir dipan. Wajahnya sekarang
berobah pucat.
"Apa kau tahu siapa itu Ceng-gan-sin?" Ayah itu bertanya pula
" Tidak .... aku tidak tahu" Ceng ci menjawab cepat dengan suara agak bergetar.
Tiba-tiba Beng too tertawa terbahak-bahak dan suara yang keluar dari mulutnya
hampir seperti berseru, "Kau juga tidak mengenalnya?! Benar-benar suatu kemukjijatan!"
Sekarang Ceng-ci berani mengangkat mukanya dan mengawasi pada ayahnya
yang masih saja tertawa keras. Ia seperti hendak membaca air muka ayahnya, sedangkan
ia adalah puteri yang dimanja. Baru sekali ini juga ayahnya berani berkata kasar
kepadanya."Sekarang coba kenali tulisan dalam surat ini. Mungkin kau dapat mengenali
tulisan siapa ini," kata Beng-too sambil mengeluarkan surat Ceng gan sin dari dalam saku
bajunya yang diserahkan kepada puterinya.
Nona Ciu melihat sebentar pada surat, itu dan mengembalikannya lagi kepada
ayahnya sambil menggelengkan kepala.
"Aku tidak mengenali tulisan siapa ini, apakah ayah tahu dengan siapa miripnya
tulisan itu?" Ceng-ci bahkan balas bertanya pada ayahnya.
"Apakah kau kira seorang ayah tak dapat mengenali tulisan anaknya sendiri?"
Beng-too sudah berhenti tertawa, sedangkan kata-katanya angker sekali.
Sekarang air muka Ceng-ci berobah merah kembali dan ia menundukkan
kepalanya Beng-too menghela napas panjang,
"Ceng-ci, kau sudah jadi nekad dan benar-benar membikin kacau keadaan.
Apakah arti kata-katamu di dalam surat ini? Apa sangkutanmu dengan Him Kouwnio dan
Jin-hong? Sampai kau permainkan begitu rupa! Apa tidak terpikir olehmu, apa kata Jinhong dan mertuanya kalau ia tahu bahwa Ceng gan-sin adalah kau sendiri yang mencuri
pedang Toh-hoa-kim!"
Ceng-ci tetap bungkam, sebab Ceng-gan sin memang ia sendiri!
Mendadak Ceng-ci menjatuhkan diri serta memeluk kaki ayahnya, ia menangis
sedih.
"Oh, maafkan aku, ayah!" katanya dengan suara tersedu-sedu. "Perbuatanku
semua karena desakan hati yang bernapsu, tapi tidak bermaksud buruk....."
Sebagai seorang ayah, sesungguhnya Beng-too pada saat perjumpaan puterinya
dengan Cin-jin-hong sudah dapat membaca hati puterinya yang terpikat pada pemuda itu.
Tapi ia tak menyangka kalau puterinya sampai dapat berlaku nekad berbuat hal-hal yang
tak dapat dipuji. Ia juga tahu sifat Ceng-ci kalau sudah mengidamkan sesuatu, pantang
kalau yang diidamkan itu belum dimilikinya. Sedangkan adatnya juga keras sekali,
sebagai seorang gadis sesungguhnya tabiat yang tidak baik. Ia menyadari juga ini sebagai
akibat dirinya terlalu dimanja olehnya semenjak isterinya wafat, bahkan ia tidak menikah
lagi kuatir pada ibu tiri yang biasanya kejam.
"Sekarang kau harus perbaiki kesalahanmu!" Namun ayah itu tak mengutarakan
isi hatinya yang merasa kasihan pada keadaan puter nya saat itu. "Aku beri kau waktu
selama tiga hari untuk mengembalikan Toh-hoa-kiam di Siang-kiam-lauw."
Sebaliknya yang diduga Beng-too, Ceng-ci malah semakin menangis sedih dan
berlutut lebih dalam dengan tubuh gemetar.
"Aku bersalah besar, ayah! Aku memang mesti dihukum. . . sepasang Toh-hoakiam telah lenyap!...."
"Hah?! .... Apa kau kata?" Beng-too sampai berteriak. "Apa kau tidak
bergurau?!....""Benar, ayah .... pokiam itu kedua-duanya telah lenyap dari tanganku! . . ."
Kemudian diceritakan oleh Ceng-ci bahwa Toh hoa-kiam disimpan di tempat
rumah panggung itu. Padahal setiap ia pergi pintu selalu dikuncinya. Sedangkan pedang
itu dletakkannya di belakang lemari buku.
"Kapan kau ketahui pokiam itu telah lenyap?"
"Tadi pagi . . . , aku sudah berkeliling mencari-cari jejak pencurinya. Tapi anehnya
pencuri tidak meninggalkan bekas apapun, dan pintu tetap dalam keadaan terkunci, begitu
juga jendelanya tidak terganggu . . . ."
Beng-too membanting kakinya beberapa kali.
"Ini benar-benar gila!" Katanya dengan sengit namun ia tak dapat melampiaskan
kegusarannya. Kemudian ia menuju ke belakang lemari yang ditunjukkan oleh Ceng-ci.
Lemari tetap seperti keadaan semula, tidak tergeser sedikitpun.
"Adalah aneh sekali kalau pencuri dapat masuk kemari tanpa merusak jendela
ataupun pintu . . ." Beng-too menggerutu sendiri, "Tetapi Toh-hoa-kiam memang pedang
mustika . . . Tidak mustahil kalau keduanya telah pulang sendiri! Ah, dasar kau juga yang
bikin gara gara . . . Nah, sudah tahu Toh-hoa-kiam hilang, kau malah enak saja tidur pulas
. . .!"
Ditegur begitu Ceng-ci menangis semakin sedih, Beng-too tidak sampai hati
memarahi terus puterinya yang manja ini.
Tanpa berkata apa-apa lagi Ciu-beng-too kemudian keluar dari rumah panggung
dan berlari cepat bukan menuju rumahnya tapi langsung mengambil jalan arah ke barat
dengan tujuan ke propinsi Shoa-tang. Ia baru teringat pada Jin-hong yang ditinggalkan di
rumahnya, setelah setengah perjalanan. Untuk pulang kembali ia sudah merasa tanggung
waktu.
Thian-lok heran pada kedatangan sahabatnya tidak bersama Jin-hong, namun ia
tidak berani menanyakan hal menantunya secara langsung.
"Bagaimana kabar, sobatku?" Tanya Thian lok.
"Apakah Toh-hoa-kiam sudah pulang?" Beng-too bahkan balas bertanya.
Thian-lok menggelengkan kepala dan ia bertanya kembali, "Apakah toako
membawa kabar baik? Bagaimana dengan Jin-hong apakah toako telah bertemu
dengannya?"
Akhirnya Thian-lok merasa ada sesuatu yang tidak beres, apalagi kemudian Beng
too jadi berwajah pucat. Ia menghela napas panjang serta mengeluh.
"Celaka!....... Sungguh celaka!"
Pada mulanya Beng too merasa berat mulutnya untuk bercerita bahwa Ceng-gansin tak lain adalah puterinya sendiri, Ceng-ci, yang mencuri Toh-hoa-kiam dari Siang-kiam-lauw. Ia minta maaf juga atas kelancangan puterinya yang sebetulnya hanya
bermaksud main-main saja.
Barulah setelah Beng-too mengatakan bahwa Toh-hoa-kiam telah hilang dari
tangan puterinya tanpa diketahui siapa pencurinya, semuanya jadi terlebih kaget. Kalau
mendengar Ceng-ci sampai hati main-main begitu rupa orang masih dapat memaklumi,
karena Ceng-ci memang dikenal gadis manja yang lagaknya masih kekanak-kanakan dan
nakal. Namun tokh orang kagumi juga kelihaiannya yang "mencuri" tanpa seorangpun
mengetahui perbuatannya.
Diterangkan juga oleh Beng-too bagaimana ia mendapatkan puterinya di rumah
panggung, sampai ia tak sempat lagi menjemput Jin-hong yang masih menantikannya di
rumah. Karena tergesa-gesa ia melupakan Jin-hong.
Tentu saja keterangan Ciu-beng-too, biarpun sebagai sahabat ayahnya, bagi Kuneng tidak masuk diakal jalinan cerita yang dianggap olehnya hanya karangan itu. Apalagi
Jin-hong tidak ikut bersamanya pulang! Kun-eng yakin kalau suaminya jujur dan tidak
terlibat dalam rencana pencurian Toh hoa-kiam, tapi mengapa ia tidak segera pulang saja?
Apakah ia sudah terpikat oleh Ceng-ci si anak nakal tapi cantik dan memiliki kepandaian
silat yang tinggi itu? Dibandingkan dengan dirinya Ceng-ci memang lincah sekali dan
pandai bergaul.
Dalam keadaan hati yang panas dan terdorong oleh perasaan cemburunya, Kuneng tidak ingat kalau benar Beng-too telah bersepakat dengan puterinya bagaimana
mungkin ia mau berterus terang bahwa Ceng-gan-sin tak lain nama karangan puterinya
sendiri. Bagi Kun-eng alasan ini hanya suatu siasat saja yang sebelumnya telah diatur lebih
dulu.


Pedang Pengacau Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kun-eng menyesali ayahnya yang telah melarang ia untuk menyusul suaminya.
"Sekarang kita harus bekerja berterang," kata Beng-too lebih lanjut, "Kita harus
meminta bantuan kawan-kawan kita baik dari darat dan air dari kalangan Kang-ouw buat
turut mengadakan penyelidikan. Ah, entah di mana adanya Toh-hoa-kiam itu sekarang .
. . ."
Sebaliknya dari Kun eng, Thian-lok mau mempercayai semua keterangan
sahabatnya. Sedikitpun kecurigaan tidak terselip dalam hatinya.
Apalagi Beng-too berulang-ulang mengutarakan permintaan maafnya.
Tentu saja Kun eng tidak berani menegur pada Beng-too di hadapan ayahnya,
apalagi ia pernah dimarahi ketika ia mengutarakan perasaan kecurigaannya pada orang
tua itu. Sampai Beng-too pamitan untuk menyelidiki lebih lanjut mengenai Toh-hoa-kiam
itu, Kun eng berdiam diri saja. Akan tetapi dalam hatinya ia sudah mempunyai suatu
rencana.
Dengan perasaan tidak enak hati pada sahabatnya yang telah kehilangan Toh-hoakiam akibat perbuatan puterinya, Beng-too berjanji dalam hati akan mencari Toh-hoa
kiam sampai ketemu, ia mulai melakukan perjalanan. Tapi belum jauh berjalan telah
berpapasan dengan Ciu lip yang datang menunggang kuda dan kelihatannya tergesa-gesa
sekali."Ada apa, Lip?" Tanya Beng too pada anak angkatnya.
"Ceng ci telah kabur, ayah!......." jawab Ciu lip dengan napas tersengal-sengal.
"Ah, anak itu memang semakin membawa adat gila! Bagaimana kalau orang
sudah jadi suami orang lain masih dipanasinya juga? Biarkan saja dia bawa adatnya
sendiri, kabur kemana nanti juga ia akan pulang sendiri." Kata Beng-too seperti tak acuh
saja, bahkan kemudian ia menanyakan mengapa Jin-hong tidak ikut pulang.
"Ketika ayah menghilang dari kamar, aku menduga tentunya ayah menuju ke
rumah panggung. Bersama adik Jin-hong kuajak menyusul kesana. Tapi setibanya di sana
hanya mendapatkan surat ini dari Ceng-ci. Adik Hong berangkat buat mencari Ceng-ci
sekalian menyerapi perihal Toh-hoa-kiam dan aku sendiri diperintahkannya menyusul
kemari buat memberi kabar pada ayah. Dikatakan juga oleh adik Hong bahwa Toh-hoakiam tidak akan mungkin pulang sendiri, karena kemustajaban dapat terbang terbatas
pada yang betul-betul berjodoh saja."
Beng-too menerima surat Ceng-ci yang disodorkan oleh Ciu-lip.
"Pekerjaan anak yang iseng menuruti hawa napsu dengan main-main mencuri
pokiam ternyata kemudian menimbulkan gelombang-gelombang yang tidak enak.
Sungguh anak tidak mengira karena pikiran yang tidak panjang, menyebabkan ayah
mendapat malu. Dengan hilangnya pokiam dari tangan anak, berarti tanggung jawab anak
juga untuk mencari kembali! Tentunya anak harus menebus dosa yang membuat ayah jadi
bersusah hati itu. Dengan mengandalkan apa yang anak mampu anak pergi ke mana saja
guna mencari siangkiam. Kalau Toh-hoa-kiam belum diketemukan, anak bersumpah
tidak akan pulang. Harap ayah jangan kuatir dan tidak memikirkan anak yang membawa
celaka ini. Hormat dari anak put-siauw, Ciu-ceng-cie."
Beng-too melemparkan surat tanpa sampul itu dan berkata dengan suara keras,
"Biarlah ia pergi!"
Setelah berpesan pada Ciu-lip supaya ia turut mengadakan penyelidikan, Beng-too
melanjutkan perjalanannya tanpa banyak bicara lagi. Sedangkan Ciu-lip sendiri terlebih
dulu memerlukan mampir ke tempat kediaman Him-thian lok buat mengabarkan perihal
Jin-hong.
Ceng-ci alias"Ceng-gan-sin" setelah ditinggal pergi oleh ayahnya mempunyai
perasaan yang tertekan. Dengan hilangnya Toh-hoa-kiam saja ia sudah terpukul bathin,
ketambahan lagi ternyata ayahnya begitu gusar kepadanya. Padahal ia tak pernah kena
marah ayahnya yang begitu memanjakan dirinya. Kemudian ia mengambil keputusan
yang dituangkan dalam bentuk surat yang ditujukan untuk ayahnya dan berangkat tanpa
membawa bekal apa-apa dan tanpa tujuan yang pasti, ke mana ia harus mencari tahu
pencuri Toh-hoa-kiam. Ia sendiri kurang yakin kalau Toh-hoa-kiam bisa pulang sendiri.
Kalau benar pokiam itu bisa terbang sendiri ke Shoa-tang mengapa tidak kemarin
saja menghilangnya.
Ia mencurigai seorang imam yang wajahnya masih diingat. Tauw-to itu tampaknya
sangat memperhatikan dirinya ketika ia berangkat dari Cee-lam setibanya di Ci-ciu iadikuntit terus sampai ke Ciu-kee-cee. Ketika hampir memasuki perkampungannya, imam
itu baru meninggalkannya terburu-buru.
Ceng-ci mengingat-ingat dimana saja yang ada rumah-rumah suci. Dari satu kota
ke kota yang lain setiap ada rumah sembahyang selalu dimasukinya dan pura-pura
memasang hio untuk sembahyang. Namun matanya celingukan menjelidik para
imamnya.
Bagusnya di dalam bajunya Ceng-ci tersedia cukup uang untuk membeli beberapa
stel pakaian untuk salin dan persediaan di jalan.
Pada suafu hari Ceng-ci tiba di kota Kay-hong. Di sini ia lantas menuju ke Siangkok-si dimana patung yang dipuja ialah Pauw-liong-touw Pauw-bun-cim, yaitu Pauwkong yang adil dan cerdik.
Tempat pemujaan itu merupakan sebuah kuil yang besar dan pekarangannya luas
yang mempunyai taman bunga lebar dimana di tengah-tengahnya terdapat beberapa
paseban.
Setelah memasang hio di ruang sembahyang, Ceng ci menuju ke salah sebuah
paseban yang bertuliskan di atas pintunya"Cu-in Ceng-goat-lauw". Di situ dipuja sebuah
patung besar, tapi Ceng-ci tidak memperhatikan ini. Ia sedang memperhatikan seorang
tauwto yang sedang duduk bersila dengan menundukkan kepala dan memejamkan mata.
Kelihatannya seperti sedang tidur sambil duduk bersemedi.
Mendengar suara tindakan imam itu membuka matanya sejenak, serta mengangkat
kepalanya.
Seorang tauwto yang mempunyai cacad membiru di pipi kanannya!
Ceng-ci girang sekali, sebab inilah imam yang dicarinya, bercampur dengan rasa
terkejut karena ia tak menyangka akan menjumpai imam ini di tempat tersebut.
Sedangkan imam itu sendiri memejamkan matanya kembali seolah-olah ia tidak
peduli kedatangan orang yang memang biasa berdatangan untuk bersembahyang.
Untuk sejenak Ceng-ci berpikir, setelah itu ia keluar menuruni tangga paseban.
Tidak jauh ia melihat seorang calon hwesio yang masih kanak-kanak sedang
menancapkan bunga di tokpan. Ia menghampiri hwesio kecil itu yang ditanya sambil
tertawa-tawa.
"Aku numpang bertanya, Siauw-suhu, di sini semuanya ada berapa suhu?"
"Di sini ada tujuhpuluh suhu," jawabnya juga sambil tertawa tanpa menghentikan
pekerjaannya.
"Siapa yang menjadi kepalanya?"
"Ia adalah guruku sendiri, Ceng-cu Tay-hoo-siang!"
"Dimana gurumu itu sekarang, apakah kau bisa menolongku supaya dapat
bertemu dengannya?"Calon hwesio itu mengawasi pada Ceng-ci seperti orang keheranan, "Li-pou-sat
baru saja turun dari sana yang tentunya telah bertemu dengan guruku. Guruku tak pernah
turun dari tempatnya baik siang maupun malam."
Diam-diam Ceng-ci merasa girang sebab ternyata paderi kepala Siang-kok-si
ternyata tauwto yang dicarinya. Lalu ia memegang pundak calon hwesio itu.
"Kau adalah seorang pertapaan, mengapa kau suka berbohong?"
"Apa? Aku tak pernah berdusta!" Ia kelihatannya tidak senang disebut sebagai
seorang pendusta yang merupakan pantangan besar bagi seorang hwesio.
"Kau memang telah berdusta padaku," Ceng-ci lebih menegaskan, "Kaukatakan
bahwa gurumu siang dan malam selalu berada di sana, tapi bukankah dimusim semi
belum lama ini ia telah melakukan perjalanan?"
Calon hwesio itu kelihatannya heran sekali dan mengerutkan dahinya.
"Eh, bagaimana li-pou-sat bisa dapat tahu?" Ia balas bertanya kemudian
menganggukkan kepala kemaluan, "Baru pada waktu itu suhu pergi keluar, katanya untuk
suatu keperluan penting di Shoatang..."
"Hm, tak salah lagi!" Ceng-ci menggumam yang bagusnya tak terdengar oleh calon
hwesio itu.
"Sekarang aku mau bertanya lagi, benarkah pada waktu ia pulang membawa
sepasang pedang? Nah, aku mau menguji lagi apakah sekali ini kau berdusta apa tidak!"
"Inilah aneh!" kaia hwesio itu dengan suara terkejut. "Bagaimana li-pou-sat bisa
ketahui semuanya ini? Memang benar guruku membawa pulang sepasang pedang yang
sekarang disimpannya di atas loteng. Ya, sejak itu suhu selalu menjaga siang malam......"
Paderi keci1 itu tentu akan berbicara terus kalau tidak datang seorang hwesio cilik
lain yang mengajaknya pergi.
Ceng-ci juga tidak berdiam lama-lama lagi, ia meninggalkan kuil itu untuk kembali
ke hotelnya. Sekarang ia tahu siapa pencuri Toh-hoa-kiam dan dimana pula
disembunyikannya. Ia menunggu sampai waktu malam hari.
Setelah menganggap tiba saatnya bekerja, Ceng-ci dengan tidak lupa membawa
senjata Kiu-ciat Lian-hoan Hong bwee-pian (berupa sebatang cambuk lemas yang
berbuku-buku), segera meninggalkan hotel melalui jendela kamar langsung menuju ke
Siang kok-si.
Ceng-ci yang bergelar Hui-lay-hong (burung Hong terbang) bukan gelar kosong
berlari bagaikan terbang sebentar iaja ia sudah berada di pekarangan kuil setelah
melompati tembok pekarangan.
Disaat ia bertindak menuju kepaseban Ceng-goat-lauw, tiba-tiba ia merandek
karena sesosok bayangan melintas di depannya yang langsung melompat ke atas loteng.Mata Ceng-ci yang tajam sempat melihat bahwa orang itu memakai pakaian untuk
jalan malam seperti dirinya juga, bertubuh pendek, tapi gerak geriknya gesit sekali. Di
belakang punggungnya tergemblok sebatang golok besar.
Ketika orang itu mencantelkan kakinya pada ujung panglari dan mulai merayap
turun dari sana buat masuk ke dalam paseban melalui jendela yang dicongkel dengan
goloknya, Ceng-ci sudah menjembunyikan dirinya di balik pohon tidak jauh dari paseban
itu. Orang kate itu mengeluarkan sebuah tabung kecil yang dimasukkan diantara celah
jendela yang ditiupnya. Terdengar suara orang jatuh yang tentunya tubuh Ceng-cu
Hosiang yang duduk bersila di dalam dari semenjak siang tadi.
Terlihat orang itu sudah membuka jendela dan masuk ke dalam. Ceng-ci tidak
berlaku ayal lagi iapun lompat naik ke atas genteng dan seperti orang tadi iapun
mengaitkan kakinya bergelayutan mengintip ke dalam. Ia dapat melihat Hosiang
tergeletak, rupanya kena pengaruh asap obat penidur itu.
Si orang pendek memeriksa sebentar tubuh Ceng-cu, kemudian ia mendongakkan
kepalanya memandang ke atas. Persis di atas tubuh imam kepala itu terdapat sebuah
tengloleng besar yang tidak dinyalakan apinya. Di atas tengloleng terdapat lobang untuk
menembus cahaya matahari di siang hari. Ia terlihat berpikir sebentar. Memang mustahil
kalau orang menyimpan barang berharga di atas lobang cahaya yang memudahkan bagi
pencuri mengambilnya melalui jendela. Ia lebih tertarik pada tengloleng itu, dimana
batang tengloleng terbuat dari pipa yang cukup untuk menyimpan sepasang pedang!
Ia melompat bermaksud menarik putus tengloleng itu. Tapi baru saja kedua
tangannya menyentuh mendadak dari dalam tengloleng keluar sepasang tangan terbuat
dari besi yang segera menjapit kedua tangannya pula. Dengan begitu ia tergantung di
bawah tengloleng yang ternyata kokoh sekali.
"Ah, sungguh berbahaya sekali!" Seru Ceng ci di dalam hatinya. Ia tidak mengira
kalau tengloleng itu sebenarnya sebuah alat rahasia dan kalau ia yang datang lebih dulu
pasti ia akan tertangkap secara begitu mengerikan. Tangan besi itu mempunyai jari-jari
yang tajam seperti kepiting membuat sepasang tangan orang kate itu berdarah dan ia
merintih kesakitan.
Sementara itu kelihatan Cerg-cu Hosiang lompat bangun, kiranya ia hanya purapura terkena pengaruh asap penidur itu. Ia tersenyum ewa dan menuding pada si kate.
"Bagus betul, anak kecil! Apa kau kira aku dapat dipermainkan oleh asap obatmu
yang bagiku hanya barang permainan belaka!"
Di luar dugaan Ceng-ci, si kate tidak menjadi takut atau meminta ampun supaya
dilepaskan dari cengkeraman yang menyakitkannya itu. Bahkan ia tertawa menggantikan
rintihannya tadi.
"Aku menyesal biarpun aku sudah berusia enam puluh tahun nyatanya aku telah
ditaklukkan secara begini rupa bagaikan seorang anak bayi!... ."Hosiang menunjuk pada si kate, "Hm, kiranya kau mempunyai rasa humor juga,
anak kecil! Tentunya kau mengerti kalau kudiamkan saja kau dalam keadaan demikian,
lama-lama kau akan mati lemas juga kehabisan darah. Pertama-tama aku mau
menolongmu dilepaskan dari cengkeraman itu asalkan kau beritahukan namamu! Tapi
untuk lolos dari sini kau boleh peroleh dalam mimpi saja."
"Mengapa aku harus takut mati? Tapi kalau kau benar-benar tidak kenal padaku
aku jadi penasaran, benar-benar kau seorang luar biasa yang tidak kenal pada Sin-touw
Ong-kong-couw!....."
"Pantas saja dia orangnya yang terkenal sebagai seorang pencuri kawakan. Bahkan
ke istana sekalipun ia berani masuk untuk mencuri," kata Ceng-ci dalam hati. Nama Sintouw sudah terkenal di kalangan Kang-ouw sebagai pencuri budiman, ia banyak mencuri
tapi seringkali juga hasil curiannya disumbangkan pada fakir miskin.
"Bagus kau mau berterus terang, aku tahu kau sebagai pencuri terkenal," Hosiang
menyindir lebih lanjut. "Hm, kiranya hanya sebegini saja kebisaanmu? Baiklah untuk
menghormati keberanianmu akan kubebaskan sebagai kampret yang terjebak itu!"
Sebelum Sin-touw dilepas dari cengkeraman tangan besi itu terlebih dulu Hosiang
menotok jalan darahnya, kemudian ia diikat pada sebuah tiang.
"Nah, sekarang cepat katakan dimana kawanmu?" Tanya Hosiang lagi sambil
menjambak rambut Sin-touw. Ia hanya menotok jalan darah Sin-touw hingga yang
terkena tak dapat menggerakkan badannya, tapi masih dapat bercakap-cakap.
"Apa katamu?" kata Kong-couw dengan heran. "Kawan? Tidak, aku datang
seorang diri!"
"Hm, dasar maling kau mau berdusta juga?" kata iman itu sambil tertawa. "Aku
tahu kau datang bersama puterinya Tiat-pwee-wan Ciu-beng-too!"
"Gila! Bagaimana mungkin aku jalan bersama anak gadisnya orang?"
Tentu saja Sin-touw jadi kelabakan dituduh yang memang tidak sebenarnya.
Mencuri dengar sampai di sini, Ceng-ci tahu dirinya sudah tidak aman dan ia
bermaksud menyingkir dulu.
"Ha-ha-ha.....apa kau tidak dengar gerakan kawanmu di luar?" Hosiang tertawa
keras dan tiba-tiba tangan kanannya bergerak ke arah jendela. Disaat mana Ceng-ci baru
saja melempar dirinya lompat ke atas pohon. Ia masih di udara ketika telinganya
mendengar berkesiurnya angin pertanda ada senjata gelap yang mengancarn dirinya.PEDANG PENGACAU ASMARA
(Jilid 5)
Karya : OKT A
BAHAYA YANG mengancam dirinya membuat Ceng-ci batal melempar dirinya
ke atas pohon. Terpaksa ia memberatkan bobot badannya sambil berjungkir balik di
tengah udara. Dengan demikian ia berhasil menyelamatkan dirinya. Sebatang piauw
lewat di samping pinggangnya.
Keringat dingin mengucur begitu Ceng-ci tiba di tanah. Iapun menduga Ceng-cu
pasti akan keluar mencarinya. Ia mendahului bersembunyi di tempat gelap.
Dugaannya tidak meleset dan ia telah melihat kepala imam itu telah berdiri di atas
genteng dan matanya celingukan kesana kemari tangannya memegang sebatang golok
kaytoo yang besar.
Ceng-ci tak bernapsu untuk melawan imam yang kelihatannya cukup lihai, ia
memikirkan suatu cara untuk mencuri Toh-hoa-kiam. Tapi tak disangkanya mata jeli
Ceng-cu Hosiang telah dapat menangkap bayangannya.
"Ha-ha-ha . . . Nona Ciu!" Kata Hosiang sambil tertawa dan menunjuk dengan
golok, "Kenapa kau main petak umpat di sana?......"
Tentu saja Ceng-ci jadi gusar sekali disindir secara demikian, ia lantas lompat
keluar menghampiri Hosiang yang telah turun dari atas genteng, ia balas menuding seraya
mempersiapkan senjata cambuknya.
"Kalau suhu sudah mengetahui kedatangan nonamu, semestinya kau segera
menyerahkan kembali Toh-hoa-kiam kepadaku!"
Ceng-ci masih memakai adat kehormatan dengan memanggil Ceng-cu sebagai
"suhu", panggilan kehormatan bagi seorang hwesio.
"Siancay, siancay....... Ha-ha-ha....... Bagaimana aku mesti mengembalikan
pokiam itu kepadamu nona Ciu, sedangkan kau sendiri memperoleh Toh-hoa-kiam
dengan cara mencuri," kata Ceng-cu sambil tertawa dingin, "Kau curi pokiam itu, dan
aku curi lagi dari tanganmu. Sedangkan barang itu bukan milikmu, jadi dalam hal ini aku
tidak bersalah. Nah, kalau kau mempunyai kepandaian buat curi kembali pedang tersebut
tentunya aku tak dapat melarangnya!"
Ceng-ci tak dapat menahan diri mendapatkan jawaban walaupun tak dapat
dibantah kebenarannya, tanpa banyak cakap lagi ia segera melakukan serangan dengan
cambuknya dilayangkan ke pinggang lawan.Ceng-cu mengerti cambuk ini tak boleh dipandang ringan, jika ia menangkis
dengan goloknya kemungkinan akan terlilit. Karenanya ia berkelit, sambil balas
membacok.
Segera saja pertarungan sengit berlangsung semakin lama semakin cepat. Ceng-ci
lebih mengutamakan kegesitan, ia lebih banyak berlompatan supaya jaraknya dengan
lawan berjauhan dengan mana ia leluasa mengayunkan cambuknya.
Ceng-cu Hosiang juga mengerti maksud Ceng-ci, sebaliknya ia sendiri berusaha
mengambil jarak pendek untuk mengurangi kegesitan putrinya Ciu-beng-too itu. Tubuh
imam itu besar akan tetapi nyatanya ia dapat mengimbangi kegesitan lawan.
Suatu ketika setelah pertarungan berlangsung lebih dari delapan puluh jurus, Cengcu berhasil menendang pergelangan tangan nona Ceng-ci yang memegang cambuk
sehingga terlepas dari genggamannya. Ia membarengi mengayunkan goloknya bermaksud
membacok pundaknya.
Tak ada jalan lain bagi Ceng-ci kalau ia tidak mau jadi korban selain membuang
dirinya. Tapi Ceng-ci juga tidak menyerah begitu saja. Disaat golok hampir tiba di
badannya, kedua kakinya melayang. Sekarang ia yang balas menendang keras pada
lengan lawan, hingga Hosiang yang tak mengira gerakan Ceng-ci kena terdupak dan
terpaksa melepaskan goloknya
Biarpun begitu, kedudukan Ceng-ci yang masih dalam keadaan rebah di tanah
memberi peluang buat Ceng-c u yang menjadi panas hatinya. Pikirannya bekerja cepat
dan menjejakkan kaki kirinya, sedangkan kaki kanannya dengan tenaga penuh mendupak
punggung Ceng-ci yang membelakangi. Ia berlaku telengas.


Pedang Pengacau Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ceng-ci yang merasakan angin tendangan ini, segera meletik bangun keluar dari
kalangan.
"Kau sungguh lihai, tauwto! Jangan coba mengejar!" Seru Ceng-ci dan ia lari cepat
melompati tembok pekarangan dan menghilang di kegelapan. Akan tetapi Ceng-cu juga
mengejarnya.
"Jit-goat Ci-hong-piauw" adalah senjata rahasia Ceng-ci yang paling diandalkan.
Ia merasa girang sekali sebab ternyata Ceng-cu kena terjebak untuk mengejarnya.
Piauw ini adalah latihan yang paling diutamakan oleh Ceng-ci. Dalam jarak
sampai seratus tombak ia dapat melempar sasaran dengan jitu. Sepasang piauw telah
dipersiapkan yang dilepas sekali berbareng. Terdengar teriakan Ceng-cu yang lantas saja
roboh terguling.
Ceng-ci menduga kalau Ceng-cu tentunya telah roboh binasa atau setidaknya
menderita luka parah. Betapa terkejutnya ia disaat ia memeriksanya ternyata kepala
Siang-kok-si bergerak pesat melambung ke udara sambil mengirim piauwnya sendiri yang
ternyata telah berhasil ditangkapnya tadi.
Ceng-ci hampir saja jadi korban senjatanya sendiri jika ia tidak sempat berkelit.
Mau tak mau ia mengagumi imam itu yang ternyata sanggup menanggapi senjatarahasianya, menunjukkan ia sendiri sudah memandang remeh pada lawan yang ternyata
benar-benar lihai.
Hampir saja Ceng-ci yang kurang berpengalaman dalam menghadapi lawan-lawan
tangguh menjadi gugup disaat Ceng-cu kembali menyerang dengan goloknya. Sekali lagi
Ceng-ci terpaksa lompat menyingkir.
Ia pikir tiada gunanya bertahan terus dalam melawan Ceng-cu, sebab tujuannya
yang utama adalah untuk mencuri kembali pedang Toh-hoa-kiam. Kalau ia meneruskan
bertempur dengan imam lihai ini belum tentu kemenangan berada dipihaknya. Lebih baik
ia menyingkirkan diri buat mencari akal di lain ketika.
Sekali ini Ceng-ci benar-benar melarikan diri dengan ilmu ringan tubuh.
Sedangkan Ceng-cu tidak berniat mengejar, sebab ia kuatir kalau ada pihak lain yang
masuk ke dalam pasebannya.
Malam itu berlalu dengan menggelisahkan Ceng-ci, sekembalinya di hotel tak
dapat tidur. Otaknya bekerja terus mencari akal. Baru pada pagi harinya ia dapat
memejamkan mata dan tertidur sampai matahari tinggi.
Ceng-ci keluar kamar setelah selesai berdandan bermaksud mencari rumah makan
untuk tangsal perut.
Belum jauh ia berjalan dilihatnya seorang t bertubuh pendek dan berbadan kurus
sedang menuju ke hotel sedangkan matanya celingukan ke sana kemari. Ceng-ci
mengenali laki-laki ini yang tak lain adalah Sin-touw Ong-kong-couw!
"Bagaimana mungkin si Malaikat Pencuri (Sin-touw) ini dapat meloloskan diri?"
Tanyanya dalam hati. Laki-laki ini juga keheranan mengetahui dirinya tengah
diperhatikan oleh seorang gadis. Tapi sebelum ia mendapat kesempatan berpikir, Ceng-ci
telah menyapanya dulu.
"Bukankah tuan yang dipanggil Sin-touw?" Tanya Ceng-ci secara berterang
menunjukkan jiwanya yang polos.
"Benar, aku sendiri." Ong-kong-couw menjawab, "Tapi nona sendiri siapakah?
Tinggal di mana?"
Ceng-ci memperkenalkan dirinya sambil bertanya bagaimana Kong-couw bisa
meloloskan diri dari Siang-kok-si. Dijelaskan juga bagaimana pertempurannya dengan
Ceng-cu Hosiang yang ternyata tangguh sekali.
Mereka bercakap-cakap dalam rumah makan yang kebetulan sepi pengunjungnya.
Kong-couw sendiri merasa girang bertemu dengan puterinya Tiat-pwee-wan. Kemudian
ia menjelaskan lebih lanjut perihal bagaimana ia mendapat tahu Toh-hoa-kiam ada pada
imam itu dari Ceng-hui Hosiang, yaitu saudaranya Ceng-cu.
Sedangkan ia berhasil meloloskan diri dari ringkusan Ceng-cu dengan cara
menciutkan tubuhnya hingga belenggu yang membelit tubuhnya jadi terlepas sendiri.
"Aku tidak mengira kalau Ceng-cu telah mempersiapkan alat rahasia yang
berbahaya," kata Kong-couw lebih lanjut, "Ya, sempat juga aku coba menyelidikibagaimana cara bekerjanya tengloleng itu. Belum sampai aku dapat memecahkan
rahasianya tindakan Ceng-cu di luar yang rupanya habis bertempur denganmu,
memaksaku cepat menyingkirkan diri. Memang susah juga bagi kita untuk turun tangan,
namun kita tidak boleh berputus asa!"
"Aku juga belum mendapat akal bagaimana mestinya bertindak," kata Ceng-ci
menimpali pendapat Kong-couw yang kelihatan sedang berpikir keras. Lebih lanjut ia
mengutarakan juga rasa terima kasihnya karena Kong-couw turun tangan atas nama
ayahnya yang telah menyampaikan pesan kepadanya buat mencari tahu perihal siapa
pencuri Toh-hoa kiam dan kalau mungkin merebutnya kembali.
"Menurut pendapatku, sebaliknya kita jangan bergerak dulu buat beberapa hari ini.
Ceng-cu tentunya akan mempersiapkan penjagaan lebih rapih sesudah kita berhasil
menyatroninya!"
Kong-couw tertawa mendengar uraian Ceng-ci.
"Ah, kau terlalu mengagungkan pihak lain, nona, dan sebaliknya kau meremehkan
diri sendiri. Duapuluh tahun lamanya aku menuntut pekerjan sebagai pencuri! Selama itu
belum sekalipun aku menghadapi kegagalan sehingga mendapat gelar sebagai Sin-touw!
Gelar ini bukan kuperoleh dengan mudah, bagaimana aku mempunyai muka di kalangan
sendiri kalau soal begini saja aku harus menyerah pada Ceng-cu? Sebentar malam aku
akan menyatroni Siang-kok-si, biarpun sudah jelas penjagaan akan diatur kuat oleh imam
itu."
Ceng-ci menggelengkan kepala kepada Kong couw yang sekarang dipanggilnya
sebagai paman, sebab ternyata "pencuri" ini adalah sahabat lama ayahnya.
"Kukira tindakan itu tidak dapat dilakukan sekarang, siokhu. Kita mesti
bersabar......."
Kong-couw memutus kata dan mengulapkan tangannya.
"Aku yakin kita akan berhasil mencuri kembali Toh-hoa-kiam itu, kalau saja kita
mau bekerja sama!"
Ceng-ci mengagumi Kong-couw yang tetap berkeras hati, juga menghargainya
sebab ia tidak sampai ditanya apa sebabnya ia berani "main-main" mencuri Toh-hoa-kiam
dari tangan Him-thian-lok yang berakibat ayahnya mendapat malu.
Kong-couw salah paham dirinya dipandangi saja yang dikira Ceng-ci kebingungan
daya apa yang akan diaturnya. Kemudian ia tersenyum sambil berkata dengan suara
berbisik.
Ceng-ci kegirangan mendengar usul daya upaya Kong-couw yang menurut
pendapatnya bagus sekali. Lantas saja ia mengutarakan persetujuannya.
Sampai di sini mereka berpisahan, setelah berjanji pada malam harinya mereka
akan bertemu kembali di depan hotel untuk sama-sama berangkat ke Siang kok-si.Keadaan Cu-in Ceng-goat-lauw tidak seperti malam kemarin. Kalau malam
kemarin keadaan sekelilingnya gelap-gulita, kini di sana sini dipasang teng yang memberi
sinar terang di sekitarnya. Keduanya tidak menjadi gentar.
Jika Kong-couw lompat ke atas genteng, Ceng-ci mendekam di samping paseban,
dari sana ia berseru dengan suara nyaring, "Ceng-cu, paderi jahat! Lekas keluar bawa Tohhoa-kiam untuk diserahkan kepadaku!"
Ceng-ci tidak perlu berseru untuk kedua kalinya, Ceng-cu telah keluar dan
langsung menuju tempatnya Ceng-ci menyembunyikan diri.
"Kemarin malam aku masih menyayangi jiwamu!" Bentaknya pula, "Eh, sekarang
kau datang lagi buat mengantarkan selembar nyawamu! Bagus, mari terima
kematianmu!"
Ceng-ci tidak melayani makian imam itu, tapi dengan cambuknya ia segera
melontarkan serangan yang juga disambut oleh Ceng-cu yang kini tidak berlaku sungkan
lagi memutar golok dengan dahsyat.
Sesuai dengan rencana Ceng-ci sengaja bertarung sambil mengatur langkah
menjauh dari paseban itu. Ceng-cu merangsak semakin hebat yang mengira Ceng-ci jadi
jeri kepadanya.
Lama juga keduanya bertarung, ketika Ceng-cu dapat melihat berkelebatnya
bayangan dari paseban yang dikenalinya sebagai Ong-kong-couw sambil menggondol
Toh-hoa-kiam! Disaat imam itu kaget terdengar seruan Kong-couw yang ditujukan
kepada Ceng-ci.
"Nona Ciu, lekas kabur! Aku telah berhasil mendapatkan pokiam!"
Ceng-ci cepat melancarkan serangan yang mengancam leher lawan. Disaat Cengcu menundukkan kepala berkelit, Ceng-ci menarik pulang cambuknya dan angkat kaki.
Ong-kong-couw lari ke jurusan barat, tapi Ceng-ci lari kelain arah yang
berlawanan. Ceng-cu yang lebih gemas pada Kong-couw meninggalkan gadis itu dan balik
mengejar Kong-couw. Tapi Kong-couw sudah berlari jauh yang tak mungkin terkejar lagi
olehnya. Dengan tindakan lesu Ceng-cu kembali ke tempatnya.
Begitu Ceng-cu melihat keadaan di dalam paseban ia kagum sendiri, karena
kedudukan tengloleng tetap tidak berobah. Diam-diam ia mengagumi Ong-kong-couw
yang tidak percuma diberi gelar sebagai Sin-touw yang dapat mengeluarkan pokiam dari
tempat rahasia tanpa merobah kedudukan tengloleng itu.
Sekali lompat Ceng-cu menekan tombol yang terdapat pada bagian atas batang
tengloleng, dengan sendirinya tengloleng itu dapat diturunkan.
Tengloleng itu mempunyai empat bagian senjata rahasia yang tersembunyi. Selain
tangan-tanganan besi yang dapat mencapit sendiri, juga sepasang golok dapat menyambar
atau racun berbisa bisa menyembur dan serangkaian senjata rahasia yang berupa jarumjarum yang sudah direndam dengan racun dapat menyambar. Kesemuanya itu tergantung
dari cara bagaimana orang menjamah tengloleng tersebut.Bagus saja ketika kemarin malam Kong-couw menjamah tengloleng memegang
bagian yang mengeluarkan capitan tangan besi hingga ia tidak lantas jadi korban yang
dapat menyebabkan terenggut jiwanya.
Beberapa kali Ceng-cu mengurut bagian batang tengloleng, lalu pada bagian
tengah batang itu terbuka dan tangan Ceng-cu mengeluarkan sebuah bungkusan.
"Hai, aneh! Apa maksud Kong-couw dengan sandiwaranya? Pokiam masih ada di
sini, apakah ditukarnya?"
Begitulah pikiran Ceng-cu dan bungkusan itu dibukanya serta diperiksanya dengan
teliti. Po-kiam itu tidak terusik! Kemudian ia menarik napas lega dan membungkusnya
kembali.
Pada saat itu tiba-tiba saja muncul Ong-kong-couw melalui pintu, langsung
menyerang Ceng-cu yang jadi terkejut sekali.
"Tauwto bangsat yang kemaruk segala pokiam orang lain! Nih rasakan golokku!"
Maki Kong-couw, sementara itu dua jurus telah berlalu tanpa mendapat penangkisan dari
Ceng-cu yang terpaksa main berkelit saja. Ia masih sibuk dengan bungkusan pokiam yang
terpaksa akhirnya diletakkan begitu saja di atas meja untuk menangkis serangan Kong
couw yang bertubi-tubi itu.
Setelah Cen-cu menghunus goloknya, berbalik Kong-couw yang kelihatan menjadi
sibuk berkelit dan nampaknya ia tak dapat mengimbangi lawan. Tapi mulutnya tak pernah
berhenti mencaci maki imam itu yang semakin jadi gusar, siapa segera mengeluarkan
kepandaiannya merangsek Kong-couw terdesak terus sampai ke pintu.
"Ceng-cu anakku! Sudahlah kau tak perlu mengantar terus pada ayahmu yang
bermaksud keluar dulu!"
Tentu saja kata-kata Kong-couw yang terlalu menghina ini tak dapat didiamkan
begitu saja oleh imam itu. Ia mengejar terus sampai ke bawah paseban.
Sementara itu dari kolong meja kelihatan kepala Ceng-cie tersembul dan
gerakannya bagaikan seekor kelinci menyambar bungkusan pedang itu. Tanpa
diperiksanya lagi langsung dibawanya kabur mengambil jalan lewat jendela yang masih
terpentang lebar.
Ini memang siasatnya Kong-couw yang sebelumnya telah mempersiapkan
sepasang pedang palsu dari kayu yang diberinya beronce emas dan perak mirip seperti
bentuknya Toh-hoa-kiam.
Pada saat Hosiang bertempur dengan Ceng-ci, ia muncul seolah-olah baru keluar
dari paseban mengelabui Ceng-cu hingga ia yang berbalik dikejar. Pada ketika itu Ceng-ci
lantas berbalik kepaseban untuk bersembunyi di kolong meja sembahyang.
Sesungguhnya Kong-couw tidak berlari jauh, mengetahui Ceng-cu pulang kembali
ke paseban dari kejauhan ia menguntitnya. Sampai kemudian Ceng-cu membuka alat
rahasianya dan memeriksa pedang ia membarengi menyerang sambil mengeluarkan katakata yang memanaskan hati orang.Ceng-ci telah tiba lebih dulu di hotel dan menantikan kedatangan Kong-couw. Ia
mengerti kalau "pencuri" itu memerlukan banyak waktu buat main petak lari dengan
Ceng-cu.
Kong couw harus berlarian kesana kemari buat memberi kesempatan bagi Ceng-ci
mengamankan Toh-hoa-kiam, namun Ceng-cu mengejarnya juga dengan setengah hati.
Ia kuatir dirinya tertipu lagi. Ketika Kong-couw berlari pesat ia tidak mengejar lebih
lanjut. Ia kembali ke Ceng goat lauw, membiarkan Kong-couw kabur dengan penuh
perasaan girang menyusul Ceng-ci di hotelnya.
Akan tetapi kegembiraan Kong-couw tidak berlangsung lama, sebab begitu ia
masuk ke dalam kamar Ceng-ci kelihatan sedang memandangi Toh-hoa-kiam dengan
wajah gemas, bahkan pokiam itu dibantingnya setelah dipatahkannya menjadi empat
potong. Ternyata hanya sepotong "Toh-hoa-kiam" palsu!
"Kita telah dikelabui!" Maki Ceng-ci belum sampai Kong-couw menegurnya,
"Kepala botak itu sangat licin dan berhasil menipu kita!"
Kong-couw memandangi potongan pedang yang jelas hanya berupa pokiam palsu
terbuat dari besi rapuh.
"Aku akan tempur kau sampai diantara kita ada yang mampus, bangsat kepala
kalde!" Ceng-ci masih memaki sambil menggeretak gigi seraya bersiap akan keluar, tapi
cepat dicegah oleh Kong-couw
"Kau hendak kemana, kauwnio?" Tanya Kong couw sambil tersenyum. "Hari
sudah mulai fajar, kalau kau pergi ke Siang kok-si berarti sudah terang tanah. Nah,
sekarang kau yang mesti dapat menahan diri dan percayalah kepadaku yang mempunyai
seribu satu akal. Toh-hoa kiam pasti kembali ke tangan kita!"
Untuk kedua kalinya Kong-couw berbisik di telinga Ceng-ci, tapi sekali ini terlihat
Ceng-ci ragu-ragu pada siasat Kong-couw.
"Aku kuatirkan kalau ia telah menyembunyikan pokiam itu di lain tempat ....."
Ceng-ci mengemukakan keraguannya.
"Hm, tapi tak ada salahnya kita mencoba. Yang penting kau tidak lupa cara-cara
membuka alat rahasia itu! Semisal pokiam disembunyikan di lain tempat, nanti kita
pikirkan kembali bagaimana akal lainnya."
Akhirnya Ceng-ci mau mengalah juga, kemudian mengantar Kong couw sampai
di jalan.
Keesokan harinya Ceng-cu Hosiang benar-benar tertidur dalam keadaan
bersemedi, ia terbangun karena seorang muridnya membangunkannya memberitahukan
datangnya utusan dari tihu (hakim).
Ceng-cu tergesa-gesa keluar menyambut utusan, akan tetapi utusan tihu itu
ternyata hanya meninggalkan kartu nama Liong tihu dan pesan supaya kepala kuil Siangkok-si menghadap kepadanya siang hari itu juga untuk suatu keperluan penting.Liong-tihu adalah seorang pembesar yang menganut kepercayaan Hudkauw yang
taat dan Ceng-cu sudah kenal baik dengan tihu ini. Ia mengira tentunya pembesar ini
bermaksud menyumbang untuk kuil, cepat ia menyalin pakaian.
Sebaliknya Liong-tihu juga keheranan mendapat kunjungan Ceng-cu Hosiang
yang biasanya hampir tak pernah berkisar dari Ceng goat lauw. Tapi ia menerima
kedatangan imam itu dengan kehormatan sebagaimana mestinya dengan dugaan
mungkin kepala Siang kok si mendatanginya bermaksud meminta derma.
Untuk sesaat lamanya keduanya duduk di ruang tamu tanpa membuka suara.
Akhirnya keduanya jadi keheranan sendiri. Ceng-cu anggap dirinya dipanggil jadi
tidaklah pantas membuka suara lebih dulu, sedangkan Liong tihu menerima kunjungan
orang ingin mengetahui maksud kedatangan Ceng-cu.
Liong tihu tertawa dan menanya lebih dulu, "Rupanya ada suatu urusan penting
tongkee sampai datang kemari, kuharap tongkee boleh mengutarakan maksud apakah
yang akan dibicarakan."
Ceng-cu jadi melengak.
"Bukankah tay-ya yang mengundang siauwceng?..... Siauwceng bahkan sampai
terburu kemari . ..."
Kemudian mengertilah Ceng-cu bahwa dirinya telah tertipu, sedangkan Liong-tihu
sadar namanya telah dicatut orang entah dengan maksud apa ia sendiri tidak mengerti.
Liong-tihu cepat menanyakan apakah ada sesuatu kesulitan hingga orang berani
mempermainkan kepala kuil itu, tapi Ceng-cu tidak mau berterus terang. Biarpun ia sudah
mengira pasti perbuatannya Kong couw, hanya dikatakannya mungkin seorang kenalan
telah bergurau kepadanya. Lalu tergesa-gesa ia meminta diri meninggalkan tihu yang jadi
melongo sendiri.
Setibanya kembali di kuilnya, Ceng-cu cepat masuk ke dalam paseban Teng goat
lauw dan mendapatkan tengloleng rahasianya sudah hancur. Sedangkan pokiam asli yang
disembunyikan pada sisi lain dari batang tengloleng tersebut ternyata sudah lenyap!
Ia berteriak marah sambil mencaci maki, menyebabkan seorang hwesio cilik
datang kepadanya.
"Siapakah yang belum lama saja datang kemari?" tanyanya dengan kesal.
"Seoang li pou sat betul telah datang melihat-lihat kesini," jawab hwesio cilik itu,
"Dua hari yang lalu juga ia pernah jalan ke sini setelah sembahyang....."
Tetapi hwesio itu tidak berani melanjutkan kata-katanya karena dilihatnya paras
muka guru kepala itu semakin merah pertanda kemarahan hebat dan memberi tanda
supaya ia berlalu dari situ.
"Ia tentunya Hui lay hong Ciu Ceng-ci," ia menduga dalam hati serta mengerti ia
telah kena tertipu dengan akal 'Tiauw bouw li san? (menjebak harimau turun gunung).Dugaan Ceng-cu memang tidak salah. Yang mengaku sebagai utusannya Liongtihu tak lain adalah Ong-kong couw yang menyamar sebagai seorang opas utusan dari
Liong tihu. Sedangkan Ceng-ci bersiap-siap setelah Ceng-cu keluar ia masuk ke dalam
paseban. Dengan alasan untuk melihat-lihat keadaan di dalam Ceng-goat-lauw, ia berhasil
membikin si hwesio mempercayainya.
Kong couw mengiringi Ceng-ci berangkat ke Ciu-kee-cee, mendapatkan Ciu bengtoo telah pulang sedang dalam keadaan sakit. Mungkin juga sakit karena hilangnya Tohhoa kiam beserta kepergian Ceng-ci yang menjengkelkan hatinya bercampur rasa
menyesal telah bersikap kasar kepada puteri kesayangannya.
Betapa girang hati orang tua itu mendapatkan puterinya telah kembali beserta Ongkong-couw dan juga berhasil membawa Toh-hoa-kiam serta merta cahaya mukanya


Pedang Pengacau Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersinar terang. Hampir saja terlompat bangun untuk memeluk Ceng-ci yang begitu
menemui ayahnya segera menjatuhkan diri berlutut sambil menangis sedih.
Sambil masih tersedu-sedu Ceng-ci bercerita bagaimana caranya Toh-hoa-kiam itu
dapat direbutnya kembali. Diberi tahu juga oleh Ceng-ci apa alasan Ceng-cu Hosiang yang
"mengambil" Toh hoa-kiam darinya.
Akan tetapi bagi Beng too bahwa Toh-hoa-kiam telah dapat diambil pulang itu saja
sudah mengurangi rasa sakitnya, namun memikir kekacauan di dalam keluarga Him garagara puterinya bahkan Jin-hong belum diketahui kemana perginya hatinya belum merasa
puas.
Kemudian puterinya diminta keluar karena ia ingin bicara berdua dengan Ongkong-couw. Sebelumnya ia mengucapkan rasa terima kasih pada sobatnya ini sebab tanpa
adanya bantuan dari Sin-touw belum tentu Toh-hoa-kiam dapat dicuri pulang.
Setelah mana ia mengutarakan kemasgulan hatinya terhadap adat keras puteri
satu-satunya yang karena jatuh hati pada Jin-hong sengaja main-main curi Toh-hoa-kiam
pada saat hari pernikahan Jin-hong dengan puterinya Him-thian-lok. Ceng-ci tak pernah
mundur setindakpun apabila hasrat hatinya belum tersampaikan. Ia kuatirkan juga
tindakan puterinya dikemudian hari yang mungkin saja dapat terjadi, sebab ia sebagai
seorang ayah sudah kenal benar tabiat puterinya.
"Ha-ha-ha. . . Ini hanya soal mudah saja, sobatku," ujar Kong couw sambil
tertawa, "Mengapa tidak dari tempo hari kau ceritakan padaku, tentunya akan kucari Jinhong untuk diberi pengertian. Kalau kau mau mewakilkan aku untuk bicara dengan
Thian-lok Piauw-su pasti semuanya akan menjadi beres. Sekarang sebaiknya kau undang
saja Him-thian lok datang kemari sekalian beri kabar bahwa Toh-hoa-kiam telah
kembali."
Pada mulanya Beng-too sungkan menerima usul Kong-couw yang ia tahu
bermaksud baik untuk merangkapkan jodoh puterinya dengan Jin-hong. Apalagi ketika
dulu dengan perantaraan pertandingan di atas lui-tay ia telah menjadi wasit sampai
terangkap jodoh Him-kun-eng dengan Cin jin-hong. Tapi demi kebaikan puterinya
urusannya itu diserahkan pada Ong-kong-couw.
Begitulah ia lantas memanggil orang suruhannya untuk berangkat ke Cee-lam buat
mengabarkan pada Patpi Jin-him yang diminta datang ke Ciu-kee-cee menerima kembaliToa-hoa kiam sekalian membicarakan urusan penting. Dikatakan juga oleh Beng-too
bahwa ia tidak dapat datang sendiri sebab sedang dalam keadaan sakit.
Ketika Thian-lok datang, Ong-kong-couw menyambutnya dan kedua sahabat lama
itu saling berpelukan karena sudah bertahun-tahun keduanya tak pernah berjumpa. Kongcouw memberikan alasannya mengapa pada pesta shejit dan hari nikah puterinya ia tak
bisa hadir karena adanya beberapa halangan.
"Oh, tak mengapa, sobatku," jawab Thian-lok sambil tertawa manis "Aku sudah
menduganya dari semula kau tentunya tak dapat datang, sebab sudah kudengar
rencanamu untuk menyatroni istana buat bantu korban banjir sungai Huang-ho, yang
banyak meminta korban. Sedangkan raja bangsa penjajah itu tidak memperdulikan nasib
rakyat. Hm, sungguh jiwa patriot yang patut dipuji!"
Thian-lok menepuk bahu sobatnya, tapi muka Kong-couw jadi merah padam, ia
tahu dirinya disindir, padahal kabar itu tidak seluruhnya benar.
"Ah, kau bisa saja sobat . . . ," jawab Sin-touw budiman ini, "Sumbanganku tak
ada artinya bila dibandingkan dengan perjuangan pahlawan-pahlawan kita. Tentu saja
mana mungkin aku dapat mengambil banyak barang berharga dari dalam istana,
sedangkan tujuanku yang utama ialah mengambil mutiara hitam yang terhias di kopiah
kebesaran sang raja laknat itu. Jadi sebetulnya tujuanku menyelinap ke dalam istana
bukan bermaksud mulia. Karena aku gagal mencuri mutiara itu, akhirnya yang kuboyong
hanya beberapa ribu tail emas saja. Bagiku uang sebanyak itu hanya merepotkan saja
hingga kudermakan pada rakyat korban banjir."
Ong kong-couw semakin terkenal keharuman namanya sebagai seorang pencuri
budiman akibat tindakannya itu, akan tetapi persoalan sebenarnya seorangpun tiada yang
tahu. Padahal Kong-couw mencuri masuk ke dalam istana dengan tujuan mutiara hitam
itu. Tapi sayang sekali ia terjebak oleh penjaga-penjaga istana sebelum ia berhasil masuk
ke dalam kamar raja Boan. Ia dikejar-kejar oleh beberapa pahlawan istana yang
kepandaiannya rata-rata sangat tinggi. Suatu ketika ia masuk ke dalam sebuah kamar
untuk bersembunyi dengan jalan mendongkel jendela. Tidak tahunya ia justru masuk ke
sebuah kamar tempat penyimpanan keuangan istana.
Menyelam sambil minum air, dibawanya sekantong uang emas dan kabur keluar
istana setelah keadaan sekelilingnya dirasa aman. Ia berhasil lolos dengan selamat, setelah
mana uang itu didermakannya buat para korban banjir. Sengaja ia mengatakan hasil
curiannya dari istana itu semuanya diamalkan buat rakyat yang sengsara, maksudnya agar
uang tersebut jangan sampai terendus oleh pihak penguasa. Jadi dibelanjakan hanya
dikalangan bangsa Han saja.
Ketika keduanya masih bercakap-cakap, Ciu-beng-too keluar dari kamarnya.
Kesehatannya sudah banyak kemajuan, tapi tubuhnya lebih kurus dari biasa. Di
belakangnya mengiring Ceng-ci sambil membawa bungkusan pedang.
"Ah, aku hanya bikin menyusahkan dirimu saja, sahabatku," kata Beng-too setelah
memberi hormat pada Thian-lok, "Sayang aku tak dapat mengantarkan pedang mustika
ini ke tempatmu.........""Oh, kau jangan menjadi sungkan, "Thian-lok cepat-cepat memotong, "Aku sudah
tahu keadaanmu sedang tidak sehat badan. Harap kau melupakan saja, karena semuanya
telah beres. Akan tetapi...... Oh, kau nona Ci?...."
Kemudian Ceng-ci maju ke depan, ia tidak berani memandang pada Thian-lok.
Namun di depan orang yang harus dihormatinya Ceng-ci berlutut sambil menyerahkan
bungkusan pedang. Ia tidak ingin berdiam lama di ruangan itu, bathinnya terasa tertekan.
Tanpa banyak cakap lagi Ceng-ci seselesainya menyerahkan Toh hoa-kiam
bukannya meminta diri meninggalkan ruangan. Tapi sempat juga ia mendengar kata-kata
Thian-lok yang mencoba menghibur dirinya dengan mengatakan bahwa kesalahan Cengci dapat dimaklumi olehnya, karena Toh-hoa-kiam bukannya dicuri melainkan dipinjam
cuma sayangnya telah dicuri oleh orang lain.
Seperti telah diatur, Ciu-beng too kemudian meminta diri dengan alasan mau
makan obat. Pada kesempatan hanya berdua saja, kemudian Kong-couw mengutarakan
pendapatnya.
"Aku tahu benar apa sebabnya nona Ciu sampai berbuat heboh mencuri Toh-hoakiam," katanya dengan kurang lancar, "Namun aku merasa kasihan padanya yang sudah
bersusah payah merebut kembali pedang wasiat dengan tidak menghiraukan jiwanya. Ia
telah bekerja keras untuk mengembalikan nama baik ayahnya sebagai sahabatmu! Aku
mengagumi juga keberaniannya itu. Dengan jalan ini pula aku memberanikan diri
menjadi orang perantara......aku bermaksud merangkapi jodohnya nona Ciu dengan Jin
hong. Aku harap Loo eng-hiong dapat memberi persetujuan supaya maksud hati nona itu
tersampaikan. Loo eng-hiong tentunya mengetahui juga bagaimana kerasnya adat nona
Ciu yang biasa dimanja oleh ayahnya......."
Ong kong-couw menghentikan kata-katanya ketika ia melihat Thian lok kelihatan
sedang berpikir keras. Tetapi pada wajahnya tidak terlihat kalau jago tua ini marah atau
tidak setelah mendengarkan kata-katanya. Ia hanya menganggukkan kepalanya beberapa
kali. Kemudian memandang pada Kong-couw.
"Aku sudah menduga sebelumnya kalau Ceng-ci menaruh hati pada menantuku!"
kata Thian-lok kemudian. "Akan tetapi urusan anak-anak muda sebaiknya aku tak usah
ikut campur . . . ."
"Kata-katamu ada benarnya tapi juga ada tidak benarnya, loo eng-hiong," Kongcouw memutus kata-kata Thian lok. "Jin hong sudah menjadi anak mantukumu, yang
berarti juga sudah menjadi anakmu sendiri. Dalam hal ini sebagai orang tua dan
mengingat persahabatanmu dengan Ciu-beng-too adalah wajar kau sebagai pemegang
kunci persolan asmara ini. Di samping itu kau mesti ingat juga bahwa nona Ciu
dinikahkan dengan Jin hong bukan sebagai gundik, akan tetapi sebagai isteri biarpun tidak
menjadi isteri pertama yang sah!"
Akhirnya Him thian-lok terdesak juga dan memberikan persetujuannya. Terpikir
juga oleh Thian lok, bahwa ia hanya mempunyai seorang puteri satu-satunya. Padahal
penyambung keturunannya tidak ada. Bahkan ia hendak menyatakan pada menantunya,
Jin-hong kalau kelak puterinya melahirkan seorang anak laki-laki terlebih dulu akan
dimintanya sebagai penerus nama keluarga Him. Namun iapun ragu-apakah Jin-hongakan menyetujui mengingat keluarga Cin sendiri hanya mempunyai seorang keturunan
laki-laki dalam diri Jin-hong!
"Ya, ya........" kata Thian-lok dengan perasaan gembira yang agak
membingungkan Kong couw. "Ah, mengapa aku jadi tolol! Usulmu benar-benar bagus,
sahabatku. Dengan begitu juga jalan keluar kebingunganku telah diatasi. Kelak setiap
anak 1aki-laki dari puteriku kemudian memakai nama keluarga Him, sedangkan dari nona
Ci boleh memakai nama keluarga Cin . . . ."
"Ha . . . ha . . . ha . . ." Ong-kong-couw tertawa keras mengiringi kegembiraan Him
thian-lok sambil menepuk bahu sahabat tuanya ini "Kau benar-benar pintar, loo-enghiong! Tak kusangka kau benar-benar seorang tua yang dapat berpikir panjang dan
bijaksana. Dengan begitu urusan asmara yang rumit ini dapat teratasi dan masing-masing
pihak bahkan dapat mengambil manfaatnya!"
"Tapi aku sendiri tidak mengetahui kemana perginya Jin hong?" Tiba-tiba Thian
lok bermuram durja sambil mengerutkan dahinya "Begitu juga puteriku ngambek
meninggalkan rumah tanpa memberitahu orang tuanya . . . ."
"Ah, itu persoalan mudah," jawab Ong-kong-couw cepat. "Serahkan saja urusan
itu padaku!"
Ciu-beng-too yang kemudian keluar dari kamarnya menyatakan persetujuannya
atas permufakatan antara Kong-couw dengan Thian-lok, bahkan ia mengutarakan
kegembiraan hatinya dengan terpecahkannya persoalan asmara yang memusingkan
kepala itu. Ia bahkan sampai menjura pada Thian lok dengan penuh perasaan terharu atas
kebijaksanaan sahabat karibnya ini.
Pada jaman itu persoalan jodoh memang wewenang pihak orang tua untuk
mengaturnya. Biasanya pihak anak hanya menurut saja. Sudah lajim juga jika seorang
laki-laki mempunyai istri lebih dari satu asalkan masing-masing pihak orang tua sudah
ada saling persetujuannya.
Demikianlah keesokan harinya Ong-korg-couw pamitan akan menuju ke Liok-an
untuk menemui pihak keluarga Cin buat diajak berdamai. Ia sendiri yakin kalau Jin-hong
ada di sana yang kemudian disusul oleh Kun-eng.
Sedangkan Him-thian-lok masih bermalam lagi di tempat kediamannya Ciu
bengtoo sampai sahabatnya benar-benar sembuh dari sakitnya, barulah ia meminta diri
pulang ke tempat asalnya selang tiga hari kemudian.
Ternyata dugaan Ong-kong-couw tidak salah. Him-kun-eng yang mengambek
kabur dari rumahnya langsung menuju ke Liok-an. Ternyata suaminya ada di sini dan
sedang berunding dengan adiknya, Siau-hong.
Cin-jin-hong yang tak berhasil mencari Ceng-ci, ia menjadi serba salah hendak
menyusul kemana. Kemudian ia mengambil keputusan untuk pulang ke rumahnya di
Liok-an sekalian berunding dengan Siau-hong serta ibunya. Jelas Ceng-ci telah
mengumbar adat yang berakibat hilangnya pedang wasiat yang teramat berharga itu.
Sekarang sadarlah ia kalau gadis itu telah jatuh cinta kepadanya.Jin hong sendiri bukannya tidak suka pada gadis yang lincah dan tidak kurang
cantiknya dari iserinya sendiri.
Pemuda ini boleh dibilang tinggi kepandaiannya serta berjiwa humor, akan tetapi
menghadapi persoalan semacam ini ia jadi kebingungan juga. Sampai berhari-hari ia
belum dapat mengambil keputusan, sampai kemudian Siau-hong mengutarakan
pikirannya supaya yang diutamakan mencari tahu siapa pencuri pedang Toh hoa kiam.
Sedangkan persoalan kaburnya Ceng-ci itu persoalan kedua. Begitu juga ibunya sendiri
menyetujui keduanya berangkat bersama buat mencari Toh hoa kiam.
Namun baru saja kedua bersaudara itu bersiap-siap akan berangkat ketika muncul
Him kun-eng dengan paras berduka. Ia bahkan melengos ketika Jin-hong menyambut
kedatangannya. Setelah menemui mertuanya, Kun-eng langsung mengajak Siau-hong
masuk ke dalam kamar dan mengunci diri tidak bersedia menemui suaminya sendiri.
Jin-hong menjadi serba salah. Kalau ia memaksa diri berangkat juga, biarpun
dengan alasan buat mencari tahu Toh-hoa-kiam sudah barang tentu Kun-eng akan salah
paham. Mungkin saja ia disangka sengaja meninggalkannya buat mengejar Ceng-ci!
Barulah sesudah Jin-hong menyatakan sebaiknya mereka menunggu kabar saja
dan tidak pergi kemana-mana, setelah berulang-ulang hal ini dinyatakannya sambil
mengetuk pintu kamar adiknya berkali-kali, Siau-hong mengeluarkan kepala di sela pintu
sambil mengerdipkan mata.
"Nah, itu baru namanya sayang pada istri, saudaraku!" Ujar Siau-hong sambil
tersenyum. "Nah, sekarang kau boleh masuk dan hibur ensoku yang dari tadi kerjanya
hanya mengeluarkan air mata . . . Bagaimana sih, masih jadi pengantin baru sudah mau
ditinggal-tinggal?"
Dengan demikian Siau-hong berhasil menjadi orang penengah antara kedua suami
istri baru itu.
Untuk beberapa hari lamanya Jin hong dan Kun-eng dapat melupakan peristiwa
hilangnya Toh hoa kiam sebagai akibat perbuatan Ceng-ci. Sampai kemudian muncul
Ong kong couw.
Gembira bercampur terkejut ketika Jin hong diberitahu bahwa Toh hoa kiam telah
dapat direbut kembali oleh Ceng-ci. Kong couw tidak menceritakan bahwa ia sendiri telah
membantu Ceng-ci.
Ong kong couw termasuk orang yang terbuka, tanpa memperdulikan hadirnya
Kun-eng serta Siau-hong ia mengutarakan juga permufakatan yang telah disetujui oleh
Him thian lok beserta Ciu beng too perihal Ceng-ci akan menjadi isteri kedua Jin hong
bilamana pihak keluarga Cin menyetujuinya.
Tentu saja Jin hong jadi tersipu-sipu, dan ia hanya dapat mendampingi isterinya
yang cepat membuang muka. Siau-hong kemudian menarik lengan Kun-eng untuk diajak
masuk. Paras Siau-hong sendiri kelihatannya marah dan mencibirkan bibirnya ke arah
Ong-kong-couw pada saat ia menghilang di balik pintu."Mengenai persoalan ini sebaiknya loo cian-pwee bicarakan saja pada ibuku
sebagaimana yang dipesankan oleh ayah mertuaku." akhirnya Jin hong bersuara juga
sambil menghela napas.
Ternyata nyonya Cin juga merasa kasihan kepada Ceng-ci, bahkan ia menyatakan
mufakat kalau memang di pihak keluarga Him tidak berkeberatan. Dengan begitu bagi Jin
hong tidak merupakan halangan setelah ibunya sendiri setuju.
Lain halnya dengan Siau-hong dan Kun-eng, keduanya tidak senang. Cuma
mereka tidak mengutarakan secara langsung, akan tetapi suatu rencana telah disusun oleh
keduanya.
Dengan perasaan girang karena telah berhasil menjalankan tugas sebagai orang
perantara merangkap perjodohan orang, Ong kong couw bergegas kembali ke Ciu kee cee
buat mengabarkan pada pihak keluarga Ciu.
Ternyata Him thian lok telah menyediakan diri buat mengatur upacara pernikahan
yang kedua antara anak menantunya sendiri dengan nona Ciu Ceng-ci!
Begitulah beberapa hari kemudian upacara pernikahan dilangsungkan secara
sederhana sebagaimana permintaan Ciu beng loo yang merasa menanggung budi pada
keluarga Him. Yang menerima undangan hanya famili serta kerabat-kerabat dekat saja.
Pada saat pengantin perempuan minum arak temantin, Siau-hong yang berada di
samping sambil tertawa berkata kepada enso yang pertama, "Kau lihat sendiri, enso, enso
baruku mendapatkan sebagian dari arakmu!"
Semua hadirin tertawa mendengar kata-kata jenaka ini. Akan tetapi sebaliknya
bagi Ceng-ci yang menjadi merah padam wajahnya, sebab ia merasa tidak enak hati.
Apalagi mendengar jawaban Kun-eng.
"Ah, kau salah terka Kouw nio .... Ia pantas mendapatkan itu! Dengan
menunggang naga naik burung Hong, bukankah ia sudah berhasil mencapai hasrat
keinginan hatinya?"
Ceng-ci merasa sesak dalam dadanya dengan sindiran-sindiran ini, terlebih-lebih
lagi kata-kata Kun-eng diambil dari isi suratnya sendiri yang ditinggalkan ketika ia
mencuri Toh hoa-kiam. Karena tak berdaya membalas kejengkelan hatinya, pengantin
baru ini jatuh pingsan.
Orang menjadi sibuk memberi pertolongan, sedangkan Jin-hong membanting kaki
menyesali adiknya yang sengaja memancing kekeruhan.
Melihat suaminya bahkan berpihak kepada Ceng-ci, Kun-eng jadi mendongkol. Ia
tertawa dingin dan berkata dengan suara tajam "Kau sendiri apakah merasa diri berada
dipihak benar?"
Dari sinilah mulai bibit perselisihan antara kedua suami istri itu, Kun-eng kelihatan
marah sekali dan mengepalkan tinjunya dengan tubuh gemetar.
Dengan begitu sebagian orang menjadi sibuk juga buat membawa masuk Kun-eng,
sedangkan yang lainnya sibuk buat menyadarkan Ceng-ji.Thian-lok yang dikabarkan perihal ini, lalu menegur puterinya sendiri sambil diberi
pengertian juga. Akan tetapi ketika ia diperintahkan datang menemui Ceng ci, untuk
menghormati orangtuanya ia menurut juga buat meminta maaf.
Dengan demikian barulah Ceng-ci merasa lega hatinya. Kemudian pesta
dinyatakan ditutup.
Keesokan paginya, disaat Jin-hong tengah memandangi pasangannya bersisir
rambut, pintu kamar diketuk dari luar gencar sekali. Jin-hong mengenali suara adiknya,
Siau-hong.
"Ah, kurang ajar nih anak . . ." pikir Jin hong, namun ia membukakan pintu juga.
Terlihat wajah Siau-hong yang murung. Sedangkan Ceng-ci mengetahui iparnya
yang datang segera mempersilahkannya masuk. Tapi Siau-hong hanya menggelengkan
kepala tanpa memperdulikan padanya. Bahkan dengan mata mendelik pada Jin-hong ia
berkata dengan suara keras.
"Ibu memanggilmu!"
Melihat sikap adiknya, Jin-hong merasa kurang senang. Namun dibalasnya juga
dengan menganggukkan kepala saja dan menutupkan daun pintu kembali.
"Pergilah kau ketemui po-po," kata Ceng-ci sambil tersenyum melihat Jin-hong
kembali duduk di tepi ranjang, "Po-po tentu ada kepentingan perlu memanggilmu
sekarang juga. Aku akan menyusul sebentar."
Dengan sikap manja dan menyayang Ceng-ci mendorong bahu suaminya supaya
keluar kamar.
Ketika ia sampai di kamar ibunya ternyata di sana telah ada Thian-lok dengan
wajah kelihatannya masgul dan kedua alisnya saling dipertemukan. Jin hong merasa
heran, dan menduga kalau-kalau Toh hoa-kiam telah dicuri orang lagi. Lekas memberi


Pedang Pengacau Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hormat pada kedua orang tua itu.
"Hong-ji," kata nyonya Cin dengan nada suara agak bergeletar, "Apakah kau
sudah tahu bahwa nona Him telah pergi entah kemana?"
Tentu saja Jin-hong tidak tahu menahu perihal isteri pertamanya, bukankah
malam tadi sudah menjadi hak dan tugasnya tidur dengan pengantin barunya, Ceng-ci.
Dalam keterperanjatannya ia jadi memandangi mertuanya.
"Ya, Kun-eng sudah terburu napsu," kata jago Shoa-tang itu sambil menghela
napas panjang, "Aku tidak tahu dengan tujuan apa ia sampai meninggalkan kita semua.
Hanya yang kukuatirkan kalau ia sampai berlaku nekad .."
Tak terasa Pat-pi Jin-him mengucurkan air mata.
"Hai, kenapa kau berdiam diri saja, bukannya lantas pergi cari enso!" Siau-hong
jadi berani membentak saudaranya yang kelihatan seperti orang tolol itu. Padahal jika Jinhong dalam keadaan demikian berarti ia sedang berpikir."Eh-eh, ya . . . . aku akan segera berangkat mencarinya," jawab Jin-hong agak
gugup, "Tapi kemana harus kucarinya?"
Siau-hong lebih kesal lagi, "Nah, kalau kau tak bisa, perintah enso yang baru pergi
mencarinya! Kalau Toh-hoa-kiam ia sanggup mendapatkan kembali, mustahil ia tidak
dapat menemui enso?"
Pada saat itu Ceng-ci masuk sambil memberi hormat pada semuanya, kemudian
ia berpaling ke arah Siau-hong sambil bersenyum manis. "Ada apa, kouwnio?" tanyanya
pada Siau-hong.
"Aku tidak mau koko cuma dapat mengawasi kegembiraan orang baru tapi tidak
mau mendengarkan tangisannya orang lama!" Kata Siau-hong sungguh ketus sekali tanpa
mau melihat wajah Ceng ci, "Enso Kun-eng telah pergi entah kemana, sedangkan koko
diberitahu tinggal tenang-tenang saja!"
Ceng-ci terkejut mendengar kabar ini. Ia berpaling kepada suaminya yang berdiri
seperti tonggak berwajah kosong.
"Baiklah kau lekas pergi mencari cia cia bersama Him Cinkee," bisik Ceng ci
kepada Jin hong. "Kalau sampai terjadi sesuatu pada cia cia Kun-eng aku tentunya tak
ada muka lagi mengakui kau sebagai suamiku ..."
Namun kisikan ini dapat terdengar juga oleh Siau-hong yang tetap bersikap
menentang serta memperhatikan wajah menghina.
"Ucapan merayu yang terlalu mesra didengar!" kata Siau-hong yang keluar dari
suara hidung. "Mustahil enso baru tidak sanggup mencari enso Kun-eng sebagaimana
Toh-hoa-kiam dapat diperolehnya kembali ....!"
Air muka Ceng-ci berobah merah, tapi ia berusaha menekan perasaan hatinya.
Bagusnya nyonya Cin lekas menegur pada puterinya yang kata-katanya terlalu
menyakitkan hati ini.
"Hong-jie, cepat kau pergi bersama cinkee untuk mencari nona mantu Kun-eng,"
nyonya ini kemudian meneruskan kata-katanya kepada Jin-hong.
Begitu Jin hong dan Thian lok berangkat untuk mencari Kun-eng, Ceng-ci
mengeram dirinya dalam kamar. Di atas tempat tidurnya ia menangis sejadi-jadinya
Kepada siapa ia hendak mengadukan rasa duka hatinya? Sedangkan ayahnya dan
Ong kong couw begitu upacara minum arak pengantin selesai lantas berangkat pulang ke
tempatnya masing-masing.
Tetapi Ceng-ci tidak hanya menangis saja, namun ia berpikir juga. Ia yakin nyonya
Cin dan Jin-hong tidak mengetahui kemana perginya Kun-eng. Namun sebaliknya bagi
Siau-hong yang jelas bermusuhan dengannya, biarpun ia tidak menyalahkan Siau-hong
yang lebih menyayang pada Kun-eng sebagai ensonya yang pertama. Sedangkan
kedatangannya sendiri di dalam keluarga itu secara luar biasa. Tentu bisa jadi saja kalau
kepergiannya Kun-eng seperti telah diatur bersama Siau-hong. Adalah mustahil sekali jika
Siau-hong tidak tahu menahu kemana perginya Kun-eng.Kemudian ia berpikir juga bahwa masuknya ia ke dalam rumah itu menyebabkan
kerenggangan hubungan suami istri itu. Bahkan Kun-eng sengaja menyingkirkan dirinya.
Padahal rasa cintanya yang teranat besar pada Jin-hong, ia rela dijadikan isteri yang kedua
kalau benar pihak keluarga Him rela. Tapi apa kenyataannya? Ternyata rasa cemburu dan
iri hati lebih berkuasa didalam kehidupan dunia ini!
Berpikir jauh sampai kesana, barulah Ceng-ci merasa dirinya tolol sebagai gadis
yang begitu murah "menjual" harga dirinya menjadi budak cinta asmara.
Ia berkesimpulan dirinya yang bersalah dan untuk memperbaikinya tak ada jalan
lain baginya untuk sekali lagi berkorban dengan menghabiskan jiwanya sendiri untuk
kebahagiaan dan keutuhan keluarga Jin-hong yang begitu dikasihinya beserta Kun-eng,
sahabatnya sendiri.
Ceng-ci sudah mengeluarkan tali pinggang siap untuk dijiratkan ke batang
lehernya, pada saat mana niatnya batal sebelum ia dapat menyaksikan sendiri
berkumpulnya suami istri itu. Sebaiknya ia menunda dulu kenekatannya, karena kalau ia
mati toh percuma saja jika rumah tangga Jin-hong tetap berantakan. Lagi pula ia merasa
tidak baik membunuh diri di rumah orang lain.
Akhirnya diam-diam Ceng-ci berlalu dari rumah keluarga Him itu. Padahal tidak
lama kemudian Jin-hong dan Thian lok telah kembali dan berhasil mendapatkan Kun-eng
yang diajaknya pulang juga.
Ternyata nyonya Jin-hong pergi tidak jauh. Ia menyembunyikan diri dalam sebuah
kelenteng tak jauh dari rumah, ia minta nikouw mencukur rambutnya supaya dapat
diterima sebagai paderi. Namun si nikouw kepala kelenteng itu tidak mau menurut begitu
saja sebelum ia mendapat keterangan apa sebabnya nyonya muda itu bermaksud menjadi
orang suci. Sedangkan Kun-eng sendiri tak dapat memberikan keterangan, ia hanya
menangis saja.
Kemudian muncul Jin-hong dan Thian lok yang mendapatkan petunjuk bahwa
Kun-eng datang di kelenteng itu. Kun-eng dapat dibujuk untuk pulang kembali.
Tentu saja nyonya Cin girang sekali melihat pulangnya si nyonya mantu.
"Hayo panggil kemari Ceng-ci yang akan kudamaikan!...." Perintah sang ibu
kepada Jin-hong.
Dengan hati girang sambil berlari Jin hong masuk ke dalam kamar pengantin.
Betapa terkejutnya ia mendapatkan Ceng-ci tak ada dalam kamar. Juga tidak seorangpun
pelayan yang mengetahui kemana perginya si nyonya pengantin baru itu. Ketika jendela
kamar diperiksanya ternyata hanya dirapatkan dari luar, jelas Ceng-ci telah kabur melalui
jendela.
Kembali Jin-hong merasa hatinya seperti layang-layang yang diganduli benda berat
untuk kedua kalinya. Begitu juga nyonya Cin dan Thian-lok serta istrinya jadi serba salah.
Mereka tidak mengira akan dapat terjadi perkara kekacauan seperti ini.
Pendekar Pedang Dari Bu Tong 8 Lupus Ihh Syereem Suling Naga 15

Cari Blog Ini