Ceritasilat Novel Online

Asmara Pedang Halilintar 1

Raja Gendeng Asmara Pedang Halilintar Bagian 1


ASMARA PEDANG HALILINTAR
Karya : Rahmat Affandi
Serial Sang Maha Sakti
Raja Gendeng
dalam episode Asmara Pedang Halilintar
(Pendekar Pedang Gila)
********
Buku koleksi : Juwito Wito
Djvu : kang Oz
Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
Selesai di edit : 29 November 2018,Situbondo
DIPERSEMBAHKAN OLEH GROUP FB KOLEKTOR E-BOOK
http://www.facebook.com/groups/1394177657302863
Selamat Menyimak !!!!!
*********
Tubuh gadis itu terbaring diam dilantai pondok yang dingin. Rambutnya yang panjang sebahu menutupi sebagian wajah yang cantik pucat tidak berdarah. Sepasang mata terkatub mulut ternganga digenangi darah kental membeku. Dibagian leher yang putih jenjang terlihat membiru sebagai pertanda si gadis malang menemui ajal akibat cekikan.
Tubuh yang terlihat polos itu telah menjadi kaku. Gadis itu setidaknya telah meregang nyawa setengah hari sebelumnya. Orang tua berusia sekitar tujuh puluh tahun yang kini berdiri terpaku dimulut pintu pondok itu menyadari sang dara cantik yang terkapar didepannya telah mengalami perlakuan yang sangat keji dan biadab sebelum maut merenggut nyawanya.
Cukup lama tokoh ke Tujuh dari Puncak Akherat itu hanya berdiri diam dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Sampai kemudian dia menyadari tidak bisa lagi menolong puteri Carik Wiyoso dari dusun Suragebuk di kaki gunung Bismo itu.
Sambil menahan kegeraman dan amarah, tokoh paling bungsu yang dikenal dengan nama Ariprahmana yang juga biasa disebut Seruling Naga itu segera memunguti pakaian sang dara yang berserakan dilantai pondok. Pakaian sebelah atas dia tutupkan ke bagian tubuh sebelah atas. Sedangkan pakaian disebelah bawah dia tutupkan ketubuh dibagian bawah.
Setelah itu, Ariprahmana sekali lagi memperhatikan wajah Si gadis.
"Ciri-ciri gadis ini sama persis dengan tandatanda yang disebutkan oleh sahabat pemimpin padepokan itu. Gadis ini juga mempunyai tahi lalat dibagian dagu. Aku tidak sempat menolong, aku datang terlambat. Aku tidak mungkin menguburkannya. Mudah-mudahan penduduk desa segera menemukannya. Sekarang aku harus melakukan pengejaran!" Si kakek kemudian bergegas tinggalkan pondok.
Sesampainya diluar pondok matanya menatap kesegenap penjuru. Satu tombak disebelah kiri pondok tua terlihat ada api unggun masih menyala. Ariprahmana segera dekati onggokkan api. Ada sisa-sisa makanan berserakan di tempat itu. Diantaranya umbi-umbian, kulit dan tulang belulang menjangan besar.
Melihat bagian kepala menjangan itu sangat besar maka pasti menjangan itu besar sekali dan dagingnya banyak. Dimakan oleh sepuluh orang pun pasti tidak habis.
Lalu Ariprahmana memperhatikan jejak kaki yang tertinggal ditanah becek. Jejak kaki itu adalah jejak kaki seseorang. Manusia mana yang sanggup menghabiskan menjangan besar dan umbi-umbian begini banyak. Ini merupakan sebuah kenyataan yang luar biasa.
"Manusia raksasa....!' Apakah benar ada manusia bertubuh luar biasa besar yang telah membunuh gadis cantik itu. Apakah karena kelaparan dia menyantap makanan begini banyak." Si kakek geleng-geleng kepala dalam keheranan.
Namun tokoh ke tujuh ini tidak mau berpikir lama-lama. Sambil berjongkok tangannya dijulur. Sepotong tulang sisa dipungutnya. Si kakek dekatkan potongan tulang itu ke hidung. Aroma sisa daging lezat menebar. Namun bukanlah aroma itu yang diharapkannya. Dia hanya ingin mengetahui telah berapa lama sang pemburu berada ditempat itu. Tulang dia campakkan. Kini dia tahu bahwa orang yang telah menghabisi puteri Carik Wiyoso masih belum lama berlalu dari tempat itu. Artinya setelah membunuh korbannya, orang tersebut
tidak langsung pergi.
Tapi si kakek tidak melihat ada tanda-tanda tertentu. Tidak terlihat jejak ataupun patahan pucuk dan ranting yang tertinggal disekitarnya.
"Ke utara, selatan ataukah ke timur?" Di atas kuda Ariprahmana menjadi bimbang dan ragu.
Si kakek lalu mengelus leher kuda tiga kali.
Kemudian pada binatang itu dia berujar,
" Sahabatku! Engkau adalah sahabat alam kerabat bumi. Tanyakan pada bumi kemana perginya pembunuh itu?!"
Suara dingin tokoh ke tujuh Pucuk Akherat itu bergaung ditelinga kuda, membuat sang kuda meringkik. Sekujur bulu yang tumbuh ditubuhnya tiba-tiba berjingkrak tegak. Sambil terus meringkik sang kuda angkat dua kaki depannya tinggi-tinggi. Dua kaki dihempaskan ke tanah. Terjadi guncangan keras pada tanah disekitarnya. Kedua kaki kuda yang dipasang ladam besar memercikkan api.
Ringkikkan lenyap. Satu kejadian yang sangat luar biasa terjadi atas diri sang mahluk tunggangan.
Tiba-tiba saja tubuh kuda melambung ke atas. Seolah ada sepasang tangan besar yang tak kelihatan mengangkatnya. Diatas punggung kuda Ariprahmana kepitkan kedua kaki diperut bintang itu sedangkan dua tangan mencekal tali kekang kuda
erat-erat.
Angin tiba-tiba menderu menyambar tubuh kuda sekaligus kakek diatasnya.
Arah kuda yang tadinya menghadap ke selatan ini berbalik arah hingga menghadap ke arah tenggara.
Melihat arah yang ditunjukkan oleh kuda Ariprahmana berkata,
" Terima kasih atas petunjuk bumi. Semua Ini hanya bisa terjadi atas berkat kemurahan para dewa." Setelah berkata demikian kepada kudanya si kakek berucap pula.
"Arwah telah ditetapkan oleh bumi, petunjuk telah pula diberikan para dewa. Sekarang ke arah itulah kita menuju!" Dengan tangan kiri Ariprahmana usap tengkuk kuda tiga kali. Kemudian tangan kanan dia acungkan ke bawah. Tiba-tiba kuda yang mengapung diketinggian bergerak turun ke tanah. Empat kaki kuda akhirnya menyentuh tanah becek. Kuda meringkik lalu berlari ke arah tenggara secepat kilat menyambar.
Sementara itu disebuah jalan setapak tak jauh dari persawahan luas yang diapit dua kaki bukit membiru, seorang pemuda remaja berusia sekitar tujuh belas tahun berambut lurus kaku beralis tebal dan berpakaian biru terus mengayunkan langkahnya. Sambil berjalan sepasang matanya yang bening tajam menatap ke arah kejauhan. Mulut rapat terkunci, wajah muram seolah membayangkan rasa penyesalan. Lalu dia menggerutu.
"Aku ini anak orang sesat dan murid mahluk bejat. Tapi setelah melihat apa yang telah kulakukan dan petaka yang menimpa gadis dari desa Surogebuk itu, entah mengapa muncul rasa iba dan penyesalan dihatiku. Seharusnya aku tidak merenggut kegadisannya, mestinya dia juga tidak kubunuh. Mengapa? Karena aku tahu dia cuma gadis biasa, tidak memiliki ilmu ksaktian. Sial. . ..mengapa aku jadi tidak sanggup lagi mengendalikan diriku sendiri!" geram si pemuda berikat kepala biru.
Baru saja mulut berkata demikian, tiba-tiba saja langkahnya tertahan.
Si pemuda yang bukan lain adalah Pura Saketi tubuhnya bergetar seperti ada sesuatu yang memberontak dari dalam dirinya.
Dua kaki dan tangan mengejang, sepasang mata membeliak merah. Kaki kembali melangkah, namun kini gerakannya tampak kaku tertatih seperti langkah seorang kakek renta.
Sambil jelalatan dan memukul-mukul dada sendiri pemuda itu tertawa tergelak_gelak. Namun nada suara tawa si pemuda kini berubah. Suara itu
bukan suaranya sendiri melainkan suara seorang kakek.
"Ha ha ha! Murid tolol! Telah kuajarkan sikap kurang ajar untuk menggantikan silat santun. Aku juga telah menanamkan rasa tega dan kejam untuk menggantikan sifat welas asih serta rasa kasihan. Bagaimana mungkin kau masih juga kembali ke watak aslimu? Siapa yang perduli pada penderitaanmu terkecuali setan dan iblis sepertiku .Aku sudah sering mengatakan, terus bayangkan dan bayangkan kematian ayahmu yang digantung?" geram suara kakek-kakek yang keluar dari mulut Pura Saketi.
Tubuh pemuda yang telah disusupi oleh arwah gurunya kembali bergetar seperti sedang terjadi pergulatan batin didalamnya.
Lalu dari mulut yang sama keluar pula ucapan. Dan kali ini adalah suara Pura Saketi yang asli.
"Guru....aku dan engkau sama mengetahui segala yang terjadi adalah diluar kehendakku. Menculik kemudian menjadikan gadis desa itu sebagai pemuas nafsu bukan keinginanku. Kaulah yang bertanggung jawab atas semua itu.!" Kata Pura Saketi marah.
"Ha ha ha murid tolol. Apakah kau lupa dengan adanya arwahku didalam dirimu. Kau bertambah
hebat. Di samping itu apa saja yang kulakukan kau juga ikut merasakan senangnya. Ketika aku bercumbu lalu berbuat terhadap gadis yang bernama Windami kau ikut merasakan. Mengapa?" Tanya Arwah Iblis Kolot.
"Karena itu aku bersemayam dalam dirimu. Aku yang berkeinginan, tubuhmu yang melakukannya. Hajatku terpenuhi tapi jangan membantah. Mungkin bagimu apa yang kulakukan bersama tubuhmu adalah pengalaman pertama. Dan aku yakin kau baru mengetahui bahWa surga dunia itu diantaranya ada dalam diri seorang wanita. Ha ha ha...!" Arwah Iblis Kolot mengumbar tawa tergelak-gelak.
Tapi tak lama ketawa itu lenyap, lalu digantikan dengan terdengarnya suara raungan marah, suara Pura Saketi.
"Guru... aku tidak terima bila kau terus menerus bersemayam dalam tubuhku. Aku tidak sudi tubuh ini diperintah oleh dua mahluk, jiwaku dan arwahmu. Aku berhak atas diriku sendiri. Jika arwahmu kerap mengambil alih ragaku maka bakal semakin banyak perbuatanku yang tidak bisa dipertanggung jawabkan!"
Det! Langkah Pura Saketi mendadak jadi terhenti. Tubuhnya kembali terguncang, mata terbelalak
nyalang. Dua tangan terkepal, mulut terkatub sedangkan gigi-giginya bergemeletukkan.
"Murid celaka! Sampai kapanpun juga kau tidak bisa menjadi dirimu sendiri, karena sekarang arwahku akan selalu berada dalam ragamu. Jangan pernah membantah semua perintah dan keinginanku. Ikuti semua kemauanku dan kau akan mendapat kebebasan untuk membalas dendam kesumat kepada orang-orang yang telah membunuh ayahmu."
"Aku bisa melakukannya sendiri!" kata Puri Saketi.
"Aku tahu. Tapi kau harus menyadari, aku punya rencana besar. Kau harus rela berbagi raga dengan arwahku." Terdengar suara Iblis Kolot yang serak dan berat dari mulut pemuda itu.
"Apa rencanamu?"
"Sebelum bertemu dengan musuh'musuhku, aku ingin kita segera menemukan kekasihku."
"Kekasihmu? Semasa hidup guru sudah sangat tua, mungkinkah orang sepertimu masih punya kekasih?!" Tanya Pura Saketi seolah tidak percaya dengan pendengarannya sendiri.
"Ha ha ha! Mengapa? Kau heran? Apakah kau mengira hanya orang muda sepertimu saja yang berhak punya kekasih? Lalu orang tua cuma berhak
mendapatkan sebuah pusara? Aku memang punya kekasih. Dan aku sudah merasakan saat ini dia sedang menunggu diriku disuatu tempat. Kita harus kesana, bertemu dengannya untuk mengucapkan janji setia sebagai pasangan suami istri yang berbahagia."
"Kau hendak menikahinya?"
"Ya. Aku bahagia dan juga pasti ikut merasakan kebahagiaan dan kesenangan yang sama.
"Itu adalah sesuatu yang mustahil. Bantah Pura Saketi.
"Tidak. Yang kukatakan adalah kenyataan. "
"Kenyataan karena arwahmu bersemayam dalam tubuhku. Kalau cuma itu yang menjadi tujuanmu, harap segera keluar dari tubuhku, guru!" Perintah Pura Saketi.
"Kau tidak bisa memerintah arwahku sesuka hati, karena aku jauh lebih hebat dari sukmamu. Aku mengatakan kita harus berbagi tempat. Ragamu masih bisa ditempati oleh jiwamu juga arwahku walau kita harus berdesak-desakkan dan terkadang mesti berbagi kepentingan pula." Kata arwah Iblis Kolot. Tubuh pemuda itu bergoyang keras. Nampaknya jiwa Pura Saketi melakukan pemberontakan. Sampai kemudian terdengar suara hentakan disertai terhentinya gerakan tubuh
pemuda itu:
"Diam! Apa kau ingin aku mencekik lehermu? Jika itu yang kau mau, kau pasti mati dan aku bebas menggunakan jasadmu!" Ancaman arwah sang guru bukan sekedar gertak belaka. Sebagai murid dia sangat memahami bagaimana tabiat gurunya.
"Bb baiklah. Sekarang aku rela berbagi tempat denganmu." Pura Saketi akhirnya mengalah.
"Sekarang aku mau tahu, mengapa setelah berada dialam arwah kau masih juga berhasrat bertemu bahkan menikahi kekasihmu?"
"Ada satu rahasia besar yang tidak diketahui oleh musuh musuhku. Aku dan kekasihku itu juga sedang menjalankan sebuah rencana. Rencana itu baru bisa berhasil bila kami berdua mengucapkan ikrar janji sehidup semati. Kemudian kami berpelukan. Selanjutnya...ha ha ha. Pengalaman seru bagaimana yang telah kita alami bersama gadis desa itu bakal terulang.!"
"Tapi aku tidak sudi melakukannya. Aku tak ingin bercinta dengan nenek renta!" Pura Saketi menyangka kekasih arwah gurunya adalah seorang nenek tua.
Ucapan itu segera digantikan dengan gelak tawa arwah Iblis Kolot.
"Kau salah! Kekasihku itu masih sangat muda.
Wajahnya cantik, dadanya besar. Dan aku tahu kau suka dengan gadis berdada besar berpinggul lebar. Kau pasti tidak kecewa. Kekasihku itu punya ilmu hebat, kesaktiannya sangat luar biasa."
"Siapa nama kekasihmu? Bagaimana kau yang tua renta bisa mendapatkan kekasih seorang gadis cantik?" Tanya Pura Saketi.
"Yang tua renta cuma ragaku. Di alam arwah aku tetap muda. Nama kekasihku tidak perlu kusebutkan. Tapi kau boleh mengenalnya dengan panggilan Sang Kuasa Agung. Dan satu lagi, kau bertanya bagaimana aku bisa mendapatkan kekasih seorang gadis? Jawabnya aku mempunyai ilmu Penggoda yang tidak pernah kuwariskan padamu! Ha ha ha...!"
"Guru, kau sangat keterlaluan. Tidak kusangka banyak sekali yang tidak kuketahui tentang dirimu! Kau culas, kau curang!" Gerutu Pura Saketi.
"Kau tidak perlu berkecil hati, karena kesenangan yang kurasakan kau pun ikut merasakannya juga. Jadi kita tidak perlu berselisih paham lagi. Kita lanjutkan saja perjalanan ini!"
"Perjalanan? Kau hendak bertemu dengan kekasihmu?" Wajah si pemuda menunjukkan rasa tidak senang.
"Tentu. Aku harus segera menikahinya untuk
mewujudkan impian dan rencana besar kami."
"Memangnya apa rencana guru dan kekasih guru itu?" tanya Pura Saketi dengan sikap melunak
Sebelum bicara sang arwah palingkan kepala menatap keadaan disekitarnya. Rupanya sang arwah khawatir ucapannya didengar oleh orang lain. Ketika sang arwah menoleh tentu saja kepala Pura Saketi yang ditumpanginya ikut bergerak.
"Kau dengar! Kami akan berusaha membangkitkan sebuah pasukan luar biasa hebat yang kini tersimpan di bukit Batu Berlumut. Kebangkitan pasukan itu hanya bisa terjadi bila dua hati yang saling mencinta menyatu diri, bercinta selayaknya pasangan suami istri."
"Guru yakin Sang Kuasa Agung kekasihmu itu telah menunggu kedatangan guru disana?"
"Aku yakin, perasaanku tidak bisa ditipu. Saat ini aku dapat merasakan kehadirannya di tempat itu. Jadi kita tak usah berlama-lama di tempat ini. Kita harus pergi secepatnya!" Kata arwah Iblis Kolot.
Suara mahluk alam arwah itu lenyap. Pura Saketi tertegun. Namun dia segera bisa menguasai diri. Dia ingat pembicaraan antara dirinya dengan arwah Iblis Kolot yang berada dalam tubuhnya.
"Aku tidak ingin membantah. Apa yang dia
katakan ada benarnya. Dia enak aku enak, dia susah aku juga ikut susah. Sekarang yang terbaik adalah pergi ke tempat Bukit Batu Berlumut. Dada besar pinggul besar aku memang suka. Ha ha ha!"
Disertai gelak tawa Pura Saketi berkelebat tinggalkan tempat itu. Tapi belum lama si pemuda berlalu, tiba-tiba saja terdengar suara langkah kuda dipacu cepat menyusulnya.
Merasa kaget dia hentikan lari cepatnya lalu balikkan badan menghadap ke arah datangnya suara.
"Siapa dia?" desis pemuda itu sambil menatap ke arah kejauhan.
Dikejauhan sana Pura Saketi melihat seorang laki-laki menunggang kuda putih berpakaian putih bergerak menuju ke arahnya.
Semakin dekat jarak antara penunggang kuda dengan tempat dimana dia berdiri semakin tidak enak hatinya.
'Orang berpakaian putih berambut panjang, berkumis dan berjanggut putih ini. Hem aku merasa seperti pernah melihatnya!" Membatin si pemuda dalam hati. Penunggang kuda hentikan binatang tunggangannya persis didepannya. Kedua orang ini saling tatap.
"Apakah sebelum ini aku pernah bertemu
dengan dirimu orang tua?" Bertanya Pura Saketi sambil berusaha keras mengingat.
Orang tua diatas kuda yang bukan lain adalah Ariprahmana tokoh bungsu dari Tujuh Tokoh Puncak Akherat terdiam beberapa jenak lamanya.
Setelah memperhatikan Pura Saketi dari rambut hingga ke kaki dalam hati dia berkata, ' Pemuda ini.... Aku rasa-rasa mengenalnya. Hem, penglihatanku tidak keliru. Memang dia orangnya. Setahun yang lalu dia masih seorang bocah berusia enam belas tahun. Sekarang dia terlihat lebih
dewasa, lebih gagah."
Melihat orang tua yang ditanya tidak segera menjawab, Pura Saketi menjadi tidak sabaran lagi.
"Orang tua, siapa dirimu? Apakah kedatanganmu untuk menemuiku? Aku merasa mengenalmu tapi aku lupa."
"Aku juga merasa demikian. Dan sekarang setelah mencium bau tubuhmu aku semakin bertambah yakin kita memang pernah berjumpa. Sayang bukan sebagai sahabat namun sebagai musuh...!
Si pemuda terkesiap. Dua matanya berkedip heran, kening berkerut pertanda dia sedang memikirkan ucapan Ariprahmana.
"Kau mengatakan kita pernah bertemu sebagai musuh. Apakah apakah kau orangnya yang ikut terlibat dalam peristiwa penyerbuan tiga gedung megah milik ayahku?"tanya pemuda itu dengan hati dan jantung berdebar.
"Jika tiga gedung megah yang kau maksudkan adalah milik Pendekar Sesat aku tidak memungkirinya. Tapi sebelum aku bicara tentang pendekar laknat itu. Sekarang aku ingin bertanya
apakah kau orangnya yang telah menculik seorang gadis bernama Windari. Gadis itu puteri seorang carik dari desa Surogebuk di kaki gunung Bismo?!"
Pura Saketi yang sudah tidak kuasa menahan amarah begitu mengetahui siapa kakek diatas kuda tanpa ragu lagi segera menjawab dengan suara lantang.
"Jika benar kau mau apa? Aku menculik gadis itu, aku juga bersenang-senang dengannya lalu membunuhnya!"
Astaga! Jadi pemuda ini yang melakukan perbuatan terkutuk pada Windari. Dia lalu ingat dengan menjangan besar yang hanya tinggal tulang belulang.
"Tubuh biasa-biasa saja, tapi dia sanggup menghabiskan satu menjangan besar. Aku merasakan ada yang tidak lumrah berada dalam diri pemuda ini. Dia sepertinya tidak sendiri. Aku juga melihat ada kabut bergerak menyelimuti tubuhnya, mundar mandir seolah hidup. Tapi apa itu?"
Belum sempat Ariprahmana menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam benaknya. Tiba-tiba saja pemuda didepannya membentak.
"Kini aku tahu siapa dirimu orang tua. Kau pasti salah satu tokoh dari tujuh tokoh Puncak Akherat
yang ikut membantu Pranajiwa dan sahabatnya dalam menghabisi ayahku. Kau layak mampus! Kau harus mati ditanganku dengan cara yang sangat mengenaskan! Ariprahmana tersenyum dingin.
Ayahmu sesat. bila anaknya menjadi sesat bukan sesuatu yang mengherankan. Kau hendak membunuhku jangan mengira semudah itu melakukannya? Aku bukan gadis malang yang lemah itu! Sahut si kakek tidak kalah sengitnya. Kemudian tanpa menunggu Pura Saketi membuka suara, Anprahmana lanjutkan ucapannya.
"Seharusnya kau bertanggung jawab atas dosa yang telah kau perbuat terhadap gadis desa itu..."
"Apakah kau lupa aku juga telah menghabisi beberapa tokoh yang salah satu diantaranya adalah Randu Wulih?" Dengus Pura Saketi sambil sunggingkan seringai mengejek.
"Jadi benar kabarnya bahwa pembunuh Randu Wulih Giri Sahanaya, Si Kedip Mata dan juga sang pemanah Ariamaja adalah pemuda ini. Aku tidak menyangka dia masih bisa hidup setelah masuk kedalam jurang Watu Remuk Raga. Kini setelah muncul kembali ke dunia persilatan sikapnya begini congkak Kurasa ini terjadi karena dia telah memiliki kesaktian yang dapat diandalkan!" Pikir tokoh ke Tujuh itu.
"Anak muda!" Akhirnya Ariprahmana membuka mulut
" Segala tindakan bejat dan perbuatan jahatmu harus dihentikan. Aku Ariprahmana mewakili enam tokoh yang saat ini masih berada di puncak Akherat akan menghukummu saat ini juga!"
"Begitu? Tapi aku ragu apa kau bisa melakukan nya karena aku bukan lagi seperti yang dulu!" Dengus Pura Saketi.
"Sehebat apapun dirimu kini, kesaktian apapun yang kau miliki tetap tidak mengurangi keinginanku untuk menghabisimu!" Ucap Ari prahmana dingin
"Ha ha ha! Tua bangka keparat. Jika enam sahabatmu saat ini berada dihadapanku, kalian bertujuh sekalipun tak bakal sanggup menghadapiku. Apa lagi kau hanya sendiri. Sedangkan aku berdua.... Aku tidak sendiri seperti yang kau duga kakek keparat!"
"Apa maksudmu?" tanya Ariprahmana heran tidak mengerti.
Belum sempat Pura Saketi menjawab. Tiba-tiba terdengar suara gelak tawa menggeledek. Dan tawa itu jelas bukan suara tawa si pemuda melainkan tawa seorang kakek renta.
Seiring dengan terdengarnya suara tawa, wajah dan sikap Pura Saketipun berubah menjadi lebih beringas, galak dan liar.
"Ariprahmana, tokoh ke tujuh dari Puncak Akherat, benar seperti yang dikatakan muridku. Dia memang tidak sendiri. Dia bersamaku...!" Dalam kaget Ariprahmana bertanya,
" Siapa kau?
"Ha ha ha. Aku adalah arwah Iblis Kolot, guru dari muridku Pura Saketi. Aku menyatu dengan dirinya untuk membalas segala dendam kesumat serta rasa sakit hati dimasa lalu!"
"Iblis Kolot! kau sudah mati tetapi arwahmu menyatu dengan tubuh muridmu! Hemm aku tau riwayat hidupmu. Kau tidak mungkin bersemayam dalam tubuh pemuda itu kecuali kau terbunuh ditangannya!"
"Hak hak hak! Tepat. Kejadiannya memang seperti itu Ariprahmana. Aku terbunuh oleh muridku atas keinginanku sendiri. Begitu tewas arwahku merasuk dalam dirinya.!"
"Mahluk sesat. Tak kusangka dari hidup sampai mati _kau tetap berada dalam kesesatan. Mengapa? Mengapa kau melakukan semua itu?" Wajah garang yang berdiri dengan bertolak pinggang didepan Ariprahmana tampak berubah merah kelam. Sepasang mata menatap penuh rasa benci dan dendam kesumat yang telah lama tersimpan.
Sikap, tingkah gerak-gerik pemuda itu bukanlah sikap Pura Saketi melainkan tingkah buruk yang
menjadi kebiasaan iblis Kolot semasa hidupnya.
"Lagaknya tetap saja congkak, sombong sebagaimana ketika hidupnya dulu. Arwah Iblis Kolot yang berada didalam diri sang murid pasti menyimpan rencana besar untuk melakukan kejahatan lagi!" Pikir si kakek.
"Ariprahmana mengapa diam? Pikiran apa yang sedang merasuki benakmu, kau pasti berpikir mengapa aku melakukan semua ini bukan? Sebenarnya aku ingin memberikan satu jawaban yang bisa kau jadikan bekal ke alam kubur. Namun mengingat kau hanya sendiri tanpa didampingi oleh enam tokoh lainnya, penjelasanku hanya membuat waktuku terbuang percuma.!"
"Lalu apa maumu? Arwah busukmu akan keluar dari tubuh muridmu? Kemudian kau akan menuntut balas atas kekalahanmu dimasa lalu?" ta nya Ariprahmana disertai senyum mengejek.
"Oh....tidak perlu seperti itu. Cukup aku tetap berada dalam tubuh muridku ini. Dia dan aku telah bersepakat akan menghajarmu sampai menemui ajal!"
"Aku tidak takut. Sekarang tunggu apa lagi, kau yang maju duluan ataukah kau akan memberi kesempatan pada muridmu terlebih dahulu untuk melakukan pembalasan." Tanya si kakek.
Ariprahmana seketika melihat tubuh Pura Saketi meliuk bergoyang. Lalu terdengar suara si pemuda yang asli.
"Aku yang paling berkepentingan. Sekarang inilah kesempatan baik untuk menghukummu!" teriak Pura Saketi. Bersamaan dengan teriakannya itu. Tanpa bergerak dari tempatnya berdiri Pura Saketi tiba-tiba gerakkan tangan kiri ke atas dengan gerak seperti orang yang melambai.
Wuus!
Ketika tangan terayun dari atas kebawah, seketika terdengar suara menderu disertai berkiblatnya dua larik cahaya merah menggidikkan. Satu cahaya panas bergerak lurus siap menghujam bagian kening si kakek, sedangkan cahaya satunya lagi laksana pedang membabat dari samping sebelah kiri siap memenggal bagian pinggang.
Melihat serangan yang datang menyambar dengan dua cara yang berbeda Ariprahmana maklum lawan memang bermaksud menghabisi dirinya dalam satu gebrakan saja. Dia juga sadar saat itu Pura Saketi menggunakan ilmu pukulan Sungsang Jiwa, salah satu ilmu keji Iblis Kolot. Tak ingin celaka menemui ajal ditangan pemuda yang masih ingusan, si kakek segera jungkir balik kebelakang sambil gelindingkan punggung kuda, si
kakek masih berusaha menyelamatkan binatang tunggangan dengan mendorongnya kesamping .
kuda itu meringkik keras namun sang kuda nampaknya menyadari sang majikan berusaha menyelamatkannya dari maut. Begitu didorong sang kuda segera menjatuhkan diri.
Dua serangan yang dilancarkan Pura Saketi tak satupun yang mengenai sasaran. Kuda selamat. lalu merangkak bangkit dan bersembunyi dibalik pohon besar. Sedangkan Ariprahmana begitu jejakkan kaki segera menundukkan tubuh. Serangan yang seharusnya menghantam kening kakek itu melesat sejengkal diatas kepala. Sedangkan serangan yang seharusnya membabat putus bagian pinggang si kakek menghantam tanah tempat dimana kuda tadinya berdiri. Terdengar suara ledakan berdentum yang disertai lubang besar akibat ledakan. tanah dan dedaunan yang dikobari api berhamburan di udara. Selagi pemandangan terhalang asap tebal, Pura Saketi berkelebat ke arah Ariprahmana lalu hantamkan tinjunya ke dada si kakek. Ketika tinju menderu dari tangan yang terkepal berpijar cahaya hitam redup. Udara panas dingin" menerpa, menyambar ke arah dada mendahului serangan tinju yang ganas.
Tidak menyangka lawan yang masih muda belia
memiliki tenaga dalam dan ilmu sakti sehebat itu, Ariprahmana sempat terkesiap. Namun dia segera bertindak cepat dengan mendorong kedua tangannya yang berkembang ke depan menangkis serangan itu. Dari dua telapak tangan Ariprahmana menderu dua rangkum cahaya putih terang laksana perak. Dua rangkum cahaya berputar bergulung laksana mata bor yang siap menjebol tembok baja.
Pura Saketi yang tidak menyadari lawan menggunakan ilmu sakti Pusaran Cahaya Menembus Tujuh Langit awalnya memandang rendah serangan itu.
Namun dia menjadi terkesiap ketika melihat pijaran cahaya hitam yang melesat dari tinjunya dihantam musnah oleh serangan lawan. Sementara datang lagi dua rangkum cahaya yang kini siap melabrak tubuhnya.
"Kurang ajar! Bagaimana dia sanggup memusnahkan ilmu pukulan Tinju Iblis Mengumbar Maut di Malam Buta?!" desis Pura Saketi sambil melompat kesamping selamatkan diri. Pada saat itulah dia mendengar suara ditelinganya.
" Murid tolol! Ilmu serangan yang dipergunakan oleh tokoh ke tujuh itu adalah salah satu ilmu paling hebat yang dia miliki. Pergunakan pukulan Menembus Langit!" Pura Saketi sadar suara itu adalah suara arwah
iblis Kolot yang bersemayam didalam tubuhnya. Pada waktu yang sama dari bagian pusar mengalir hawa panas ke dada juga kedua tangan.
Trap cahaya merah terang menderu dari kedua tangan yang telah berubah merah laksana bara. .sadar gurunya ikut membantu Pura Saketi lipat gandakan tenaga dalam kebagian tangan dan kakinya .Dua tangan dia julurkan kedepan. sepuluh jarinya terkembang lalu didorong dengan gerakan menghantam sekaligus ditarik kebelakang dengan gerakan merenggut. Dua rangkum cahaya putih akhirnya berbenturan keras dengan cahaya merah hingga mengakibatkan terjadinya dentuman dan guncangan luar biasa. Ariprahmana terhuyung, dua tangan yang beradu pukulan bergetar. Tangan berdenyut seperti lumpuh sedangkan dada menjadi sesak. S lagi si kakek kehilangan keseimbangan. Disaat dia Juga berusaha mengalirkan hawa sakti ke bagian dada dan tangannya. Pada saat itu pula dia merasakan kedua bahunya sudah kena dicengkeram oleh Jari-jari yang kokoh. Sambil menggeram orang tua itu sentakkan bahunya yang berada dalam cengkeraman lawan.
Tapi sentakan keras luar biasa yang dilakukannya membuat pakaian disebelah bahu robek besar. Dibalik robekan pakaian dia melihat delapan luka memanjang bekas cakaran kuku. Selain mengucurkan darah, didelapan luka juga nampak menggembung bengkak mengepulkan asap pertanda lawan menyerangnya dengan menggunakan racun ganas.
Ariprahmana menggeram, namun dia segera melompat mundur. Begitu jejakkan kaki si kakek ludahi empat luka dibahu kiri dan empat sisanya dibahu sebelah kanan.
Semburan ludah yang dilakukan oleh si kakek bukan semburan ludah biasa. Cairan ludah dapat menjadi penawar sekaligus obat dari semua jenis racun. Terkena semburan ludah, kedua bahu Ariprahmana terguncang. Bersamaan dengan itu kepulan asap makin menebal. Tercium pula bau amis yang sangat menusuk.
Pura Saketi yang tadinya tersenyum sinis melihat luka dibahu lawan tiba-tiba kerutkan keningnya. Dia melihat satu keajaiban yang belum pernah dia saksikan seumur hidupnya.
"Luka menggembung akibat serangan racun kukuku lenyap, bahkan semua luka lenyap tidak meninggalkan bekas! Terbuat dari apa tubuh kakek
jahanam satu ini?!" Geram si pemuda sambil diam diam lipat gandakan tenaga dalam dan segera mengalirkannya ke arah dua belah tangan dan kakinya.
Kedua kaki tiba-tiba bergerak lincah selayaknya kuda yang menari. Dua tangan terangkat ke atas, lalu bergerak kesamping selanjutnya didorong ke depan.
Ariprahmana yang dulu pernah terlibat perkelahian sengit dengan guru pemuda ini segera maklum, lawan saat itu menggunakan jurus Kuda Kuda Iblis yang dikenal sangat ganas itu.
Karena pernah menghadapi jurus serangan yang sama dimasa lalu, sedikit banyak Ariprahmana tahu apa yang harus dilakukannya. Tidaklah heran ketika lawan melabrak ke arahnya sambil menghantam kepala dan dada, dengan gerakan seperti kaki kuda depan menendang. Orang tua ini segera jatuhkan tubuhnya kesebelah kiri. Tapi baru saja tubuhnya menyentuh tanah. Dari arah depan kedua kaki Pura Saketi menendang ke bagian punggung tiga kali berturut-turut.
Ringkikkan kuda menghambur dari mulut pemuda itu. Sedangkan dari kedua kaki menderu enam larik cahaya laksana mata tombak hitam yang siap menghujam tubuh si kakek.
Satu saja dari enam larik cahaya mengenai tubuh Ariprahmana dapat dipastikan kematian pasti menjemputnya. Tidak dapat dibayangkan bagaimana bila enam cahaya itu menghajar tubuhnya sekaligus.
Dia pasti tewas dengan tubuh tercabik-cabik.
Tapi disaat maut mengincar dirinya. si kakek segera gelindingkan tubuhnya tiga kali untuk menjauh dari terjangan dua kaki. Sambil berusaha bangkit si kakek segera menyambar senjata yang terselip dibalik punggungnya.
Senjata yang ternyata berupa sebuah seruling berwarna perak berukir seekor naga itu lalu dia kibaskan tiga kali berturut-turut.
Bet! Bet! Bet!
Dari ujung seruling dan enam lubang senjata mustika itu membersit tujuh cahaya putih berkilau. Pada waktu bersamaan kibasan seruling juga menimbulkan suara gaung mengerikan laksana raungan naga ditengah gemuruh ombak dilautan lepas.
Tujuh cahaya lalu melesat, memupus enam cahaya yang berkelebat dari kaki Pura Saketi. Sebelum benturan terjadi. Pura Saketi nampak terguncang, tubuhnya meliuk limbung oleh pengaruh guncangan suara seruling yang serasa
membuat jebol telinga, meremuk isi dada.
"seruling jahanam itu!" Teriak Pura Saketi.Tapi suaranya bukan Suara si pemuda yang asli, melainkan suara arwah Iblis Kolot.
" Jangan membuang waktu dengan menggunakan ilmu warisanku yang lain. Sekarang kau harus menggunakan ilmu Aksara Iblis. Gunakan kekuatanmu, aku mendukungmu!"
"Kurang ajar! Kenapa tidak bicara sejak tadi!" teriak si pemuda marah. Gerakan langkah si pemuda sekonyong-konyong terhenti. Namun dikesempatan itu tangannya masih sempat dia kibaskan membuat gerakan menghalau.
"Gruung!"
Deru cahaya yang disertai gaung mengerikan melabrak. Empat cahaya berhasil dibuat musnah oleh kibasan tangan pemuda itu. Tapi tiga cahaya lain laksana ular ganas berbisa malah mengincar kedua kaki Pura Saketi juga bagian selangkangannya.
"Kakek keparat!" teriak pemuda itu sambil hentakkan kaki dan lambungkan tubuhnya ke udara.
Tiga cahaya melabrak pohon besar dibelakang Pura Saketi. Pohon hancur menjadi kepingan, bagian sebelah atas pohon bergemuruh ambruk disertai suara hingar bingar.
Baik si pemuda maupun arwah sesat Iblis Kolot Yang bersemayam dalam diri pemuda ini semburkan sumpah serapah silih berganti.
Ariprahmana tidak perduli. Dia kemudian duduk bersila. Sambil menyeringai menyangka dirinya berada diatas angin lalu dia tempelkan seruling Naga ke bibirnya.
Jari-jari tangan kemudian bergerak pada setiap bagian lubang yang terdapat pada senjata mautnya. Dengan menggunakan tenaga dalam Ariprahmana mulai meniup.
Tliit! Tut! Tulalit! Tit-tit-tit...!
Alunan suara seruling menggema. Iramanya yang tidak beraturan mengacaukan Pura Saketi dan arwah Gurunya yang tengah saling bantu siap hendak menggunakan ilmu Aksara Iblis.
"Tutup indera pendengaran!" teriak si pemuda memberi ingat.
Kemudian dari mulut yang sama terdengarpula jawaban membentak.
"Aku lebih tahu dari dirimu, murid tolol. Jangan ajari aku dengan petunjuk konyolmu. Aku sudah berpengalaman bahkan ketika kau masih menetek pada ibumu!"
"Kau juga guru keparat keras kepala! Mengapa Ibuku yang sudah tiada kau sebut-sebut!" geram
Pura Saketi.
" Mengapa bukan ibumu yang sudah mampus'
Pemuda itu kemudian terguncang. Dia sadar arwah gurunya mengamuk didalam tubuhnya. Sambil jejakkan kaki si pemuda mengomel tak karuan. Sementara alunan suara seruling makin tidak beraturan. Disamping itu Pura Saketi maupun arwah Iblis Kolot dalam tubuhnya mulai merasakan ada satu gelombang kekuatan luar biasa hebat yang keluar dari seruling menindih, mencoba melibas remuk tubuh mereka dari delapan penjuru.
Sungguhpun Pura Saketi yang dibantu arwah Iblis Kolot telah berusaha lindungi diri dengan pengerahan tenaga luar dan dalam, namun tetap sama mereka seperti ditindih. Ini merupakan pertanda, senjata ditangan Ariprahmana adalah senjata sakti luar biasa.
"Sungguh terlalu! Murid dan guru menggabungkan dua kekuatan. Tapi hampir dibuat kewalahan oleh seruling rongsokan? Sekaranglah saatnya!!" Dari mulut yang satu terdengar suara raung teriakan Pura Saketi dan arwah sang guru.
Alunan uara seruling tiba-tiba tenggelam ditelan teriakan si pemuda. Namun itu hanya berlangsung sekejab.
Meski ditempat duduknya Ariprahmana sempat tergetar oleh teriakan mereka. Tidak berselang lama dia telah menguasai diri dan kini suara seruling kembali menggema merobek kesunyian.
Pura Saketi menggeram. Kaki dihentakkan.
ketika itu juga dari sekujur tubuh pemuda itu memancarkan cahaya terang menyilaukan. Cahaya merah itu berpijar kesegenap penjuru disertai munculnya huruf-huruf aneh berupa aksara yang tak diketahui maknanya. Ratusan aksara aneh berpedar memenuhi tubuh terutama tangan dan kaki Pura Saketi Aksara yang pertama muncul meredup lalu padam dalam sekedipan mata lalu digantikan oleh aksara yang lain dengan disertai pancaran cahaya yang lebih terang berwarna merah, biru, putih kehitaman.
"Aksara Iblis! Jadi kau telah menguasai ilmu Aksara Iblis!" Sontak Ariprahmana kaget. Dia yang telah mendengar kabar tentang ilmu paling dahsyat yang berasal dari sebuah kitab langka itu tidak punya waktu berpikir lebih lama.
Dengan seluruh kekuatan yang dia miliki, Si kakek kembali tiup seruling saktinya.
Tapi sehebat apapun gelombang irama seruling menyerang Pura Saketi, pemuda itu sedikitpun tidak
terpengaruh. Dia tidak mengalami cidera. Malah selembar rambutnya sekalipun bergoyang juga tidak.
"Heaa...tamatlah riwayatmu....!" Teriak Pura Saketi yang disusul dengan raung murka arwah sang guru. Teriakan dibarengi dengan gerakan menggoyang tubuh.
Wuus! Wuus!
Ratusan cahaya berbentuk cahaya berpijar, berlesatan dari sekujur tubuh pemuda itu disertai suara gaung menggeledek. Sebelum ratusan cahaya aksara melabrak tubuhnya Ariprahmana melompat bangkit. Merasa tidak punya kesempatan untuk selamatkan diri, dalam keterkejutannya dia ayunkan seruling ditangannya dengan gerakan menangkis.
Wees!
Beberapa cahaya berupa aksara berhasil dipukul amblas. Tapi yang menghujani tubuh tuanya jauh lebih besar dibandingkan yang dapat dihalau. Tanpa ampun Ariprahmana keluarkan suara jeritan menyayat. Tubuhnya terpental meledak hancur menjadi keping-keping bertebaran dilalap api.
Ketika tubuh si kakek meledak senjata ditangannya terpental melambung tinggi ke atas.
Senjata itu tidak pernah jatuh lagi diantara reruntuhan tubuh pemiliknya. Seruling Naga dengan segala kharisma dan kehebatannya berputar diudara tiga kali, kemudian melesat tinggi dan bergerak ke arah timur menuju ke puncak Akherat.
Melihat ini Pura Saketi yang sempat berhasrat memiliki seruling sakti itu hanya bisa menelan ludah sambil membanting kakinya sebagai tanda kecewa
Menyadari muridnya uring-uringan, arwah Iblis Kolot berkata
"Jangan perdulikan senjata itu. Ilmu Aksara Iblis yang kau miliki ratusan kali lebih hebat dibandingkan seruling butut tadi!"
Suara serak parau sang guru lenyap. Pura Saketi manggut-manggut sendiri.
"Aku masih punya harapan. Tokoh ke Tujuh meninggalkan kudanya. Kuda kuanggap sebagai warisan karena pemiliknya minggat ke akherat. Jelas itu bukan kuda biasa. Aku bisa mempergunakan untuk mempercepat perjalanan!" Ber kata demikian Pura Saketi melirik ke arah pohon tempat dimana sang kuda bersembunyi.
Tapi seolah menyadari bahaya yang mengancam. Begitu dilirik sang kuda menghambur lari.
Melihat kuda yang menjadi incaran melesat lenyap. Pura Saketi pun segera melakukan pengejaran. tapi sampai sedemikian jauh dia mengejar ,dia tak berhasil menyusul binatang itu.
*****
Kanjeng Empu Basula sudah sampai didusun Wetan Parang Kusumo. Saat itu matahari semakin condong di utuk langit sebelah barat. Disisi langit sebelah timur tampak tertutup awan kelabu.
Si kakek bergegas melewati beberapa pepohonan besar menjulang tinggi, orang tua berpakaian putih hitam yang dilehernya tergantung seuntai tasbih ini sampai didepan sebuah bangunan.
Menatap ke arah bangunan yang dulu indah dan megah membuat si kakek jadi tertegun .Bangunan berbentuk hati lambang cinta kasih itu kini telah runtuh hancur menjadi puing-puing berserak laksana dilanda topan prahara.
"Apa yang telah terjadi ditempat ini? Kemana perginya sahabat Galuh Permana?" Membatin si orang tua dalam hati
"Dulu dia membuat bangunan ini untuk dipersembahkan pada istri tercinta. Dia
pernah mengatakan bila bangunan ini hancur berarti perjalanan cintanya dengan sang istri tidak sesuai dengan yang dia harapkan! ' Kata si kakek .
sekali lagi orang itu memperhatikan keadaan disekitarnya ,matahari sudah mulai tenggelam. Kegelapan mulai menyelimuti alam sekitarnya.
Kanjeng Empu Basula berpikir kemana dia harus mencari sahabat yang hendak ditemuinya. Selagi si kakek renta berwajah tirus bermata selayaknya orang yang tak pernah tidur memikirkan segala kemungkinan yang terjadi, pada saat itulah dia mendengar suara raungan menggeledek.
Bersamaan dengan terdengarnya suara raungan, suara jangkerik dan serangga malam lenyap. Kemudian angin dingin luar biasa berhembus disertai suara deru mengerikan.
Walau terkejut dan belum bisa memastikan gerangan apa yang sedang terjadi namun Kanjeng Empu Basula bersikap tenang. Sejurus lamanya dia menatap ke arah dimana hantaman angin berasal. Suara raung yang dia dengar lenyap, namun hembusan angin tambah menggila.
"Jagad Dewa Bathara! Aku datang dengan membawa maksud baik. Aku ingin bertemu dengan sahabat lamaku. Mengapa kehadiranku disambut dengan cara seperti ini?! Desis sang Kanjeng.
Baru mulut berucap demikian dilangit dimana pancaran cahaya bulan muncul tiba-tiba sang kanjeng melihat ada cahaya biru laksana jamur
yang tumbuh dimusim penghujan muncul ke permukaan tanah.
Kanjeng Empu Basula kerutkan keningnya. Dia tidak lagi menghiraukan dedaunan dan rantingranting yang diterbangkan angin menerjang tubuhnya. Perhatian sang Kanjeng saat itu sepenuhnya tertuju pada kehadiran cahaya biru yang melesat dari balik tanah.
Begitu melesat diketinggian cahaya berubah membesar lalu berputar sambil membentuk satu sosok mahluk aneh.
Byar! Byar!
Sang cahaya lenyap.
Sebagai gantinya dari ketinggian dimana cahaya biru tadinya berada melesat turun dengan melayang sesosok mahluk berujud seekor harimau dengan ukuran tubuh sangat besar.
Melihat kehadiran harimau itu Kanjeng Empu Basula segera angkat dua tangannya didepan kepala, lalu bungkukkan tubuh dengan sikap selayaknya seorang sahabat memberi penghormatan pada sahabatnya.
"Galuh Permana! Belum pernah seumur hidupunu kau menemuiku dengan cara seperti ini. Kegundahan dan duka apa yang membuatmu bertindak tidak pada tempatnya?" tanya sang
Kanjeng tak kuasa menyembunyikan keheranannya.
Harimau besar tiba-tiba dongakkan kepala. Sepasang matanya yang berwarna biru menatap ke langit. Mulut menggereng kepala digeleng. Dan ketika harimau ini menatap pada Kanjeng Empu Basula, Sang Kanjeng segera menyadari bahwa dibalik tatap mata harimau yang garang dan angker tersimpan rasa kecewa yang sangat besar. Kekecewaan yang dibalut amarah, dendam kesumat dan kehampaan.


Raja Gendeng Asmara Pedang Halilintar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat ini Kanjeng Empu Basula sedikit banyak dapat merasakan apa yang telah dialami oleh sahabatnya yang dapat merubah diri menjadi mahluk seperti yang berada dihadapannya saat ini .
Kanjeng Empu Basula menghela nafas dalam, mata menerawang menatap ke arah harimau besar itu. Tanpa kehilangan kewaspadaannya sang Kanjeng pun lalu berkata,
" Sahabatku Galuh Permana...bukankah dulu aku pernah mengatakan bahwa kehidupan ini sebenarnya singkat. Nyawa bertahan dalam tubuh seseorang hanya dalam hitungan hari. Kehidupan dan kematian kerap datang silih berganti. Susah, senang, bahagia dan celaka sudah menjadi hukum alam yang lumrah. Dan kau telah mengetahui siapa saja yang mencintai
kehidupan dunia ini secara berlebihan, maka dia bakal mengalami rasa kecewa yang jauh lebih besar dibandingkan mereka yang mencintai hidup dengan biasa-biasa saja. Galuh sahabatku aku datang dengan membawa tujuan yang sangat penting. Aku mohon maaf bila keadaanmu disini ternyata tidak sebagaimana yang kuharapkan. Tapi marilah kita duduk bersama, kita dapat membicarakan permasalahanmu juga persoalanku dengan hati dingin walau kepala disesaki oleh beribu masalah. Kembalilah kewujudmu, Galuh sahabatku! Bersikaplah sebagaimana sepatutnya manusia!"
Setelah berkata demikian Kanjeng Empu Basula diam menunggu.Namun apa yang dilakukan harimau jejadian itu ternyata sangat tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Sang mahluk meraung dahsyat. Selanjutnya dengan kecepatan yang sangat sulit diikuti kasat mata dia melesat menerkam sang Kanjeng.
Sebagaimana diketahui orang tua satu ini adalah salah satu tokoh yang memiliki ilmu kesaktian sangat tinggi. Dia dapat disejajarkan dengan tokoh-tokoh hebat yang berdiam di
beberapa kawasan tanah Dwipa. sekali berkelebat mulut sang harimau siap menyambar putus lengan Kanjeng Empu Basula.
Sang Kanjeng menggeleng sambil menghela nafas pendek. Lalu orang tua ini menggeser kaki sambil miringkan tubuhnya. Sambaran mulut harimau luput. Serangan dilanjutkan dengan kaki kiri depan harimau menyambar ke bagian dada. Kuku-kuku yang runcing tajam menderu ganas. Sang Kanjeng cepat bungkukkan tubuhnya. Serangan kuku yang tajam luput sementara dengan tinju terkepal dia lancarkan serangan balik kebagian perut sang harimau.
Dees!
Pukulan telak walau tidak disertai pengerahan tenaga dalam penuh menghantam perut sang mahluk, membuat harimau terpental melambung tinggi. Selagi tubuh harimau jungkir balik di udara, sang Kanjeng melesat ke atas. Dengan menggunakan Jurus Bayang-Bayang Menari Diatas Awan dia menggerakan kaki dan tangannya. Gerakan mengunci ini untuk menghentikan serangan lanjutan harimau itu.
Dari ujung kedua kaki dan dari jari-jari tangan berkelebat hawa dingin luar biasa. Hawa dingin menyambar di delapan titik bagian tubuh sang harimau. Lengah sedikit harimau besar itu pasti bakal Jatuh dengan tubuh lumpuh tertotok.
Tapi sang harimau tampaknya menyadari
bahaya besar yang mengancamnya. Sebelum hawa dingin menghantam tubuhnya, binatang ini sudah lakukan satu lompatan kesamping. Dengan gerakan indah mahluk ini meluncur ke bawah. Ketika empat kaki menjejak tanah sang mahluk gaib berubah menjadi tebaran asap disertai auman menggelegar.
Dari ketinggian Kanjeng Empu Basula melayang turun. Dengan gerakan ringan laksana kapas jatuh dari pohonnya si kakek jejakkan kaki diatas gundukan batu .
Sepasang mata memandang ke arah tebaran asap. Dia melihat tebaran asap bergulung, lalu berputar diudara selanjutnya bergerak menuju ke suatu tempat dibalik kelebatan semak belukar.
"Asap pergi ke arah sana berarti aku harus segera menyusulnya." Sambil berkata demikian sang Kanjeng segera berkelebat ke arah lenyapnya asap.
Sesampainya disebuah tempat tak jauh dari kerapatan pepohonan besar, Kanjeng hentikan langkah. Dia melihat tidak jauh didepannya terdapat sebuah telaga kecil. Di tengah telaga terdapat sebuah pohon teratai dengan satu daun menyembul diatas air. Dan diatas daun teratai itulah seseorang duduk bersila dengan tubuh membelakangi.
Dengan jelas tadi sang Kanjeng melihat kepulan asap yang muncul menggantikan harimau jejadian bergerak ke arah sosok itu. Tapi siapa sosok hebat yang sanggup duduk diatas daun teratai tanpa membuat tangkainya patah tersebut .
Kanjeng Empu Basula tidak berani bertindak gegabah. Dia ingat ditempat itu dulunya tak ada telaga. Sekarang dia mulai berpikir, jangan jangan harimau yang menyerangnya bukan sosok jelmaan sahabatnya Galuh Permana.
Sekali lagi sang Kanjeng tatap sosok yang menungguinya. Tanpa sadar mulutnya menggumam sendiri.
"Kalau benar orang diatas daun teratai adalah Galuh Permana. Setahuku dia Selalu berpakaian serba putih. Sedangkan yang kulihat saat ini orang itu berpakaian kelabu. Kurasa dia bukan orang yang kucari! Aku tidak mau mengusiknya, lebih baik aku pergi saja!" Setelah berkata demikian Kanjeng Empu Basula segera hendak balikkan badan dan berlalu dari tempat itu. Namun sebelum niatnya terlaksana dari tengah telaga terdengar suara orang berucap.
"Langit biru, air laut juga biru. Rambut bisa sama hitam, menyangkut isi hati; setan penghuni jamban pun tidak ada yang tahu. Hati remuk tiada
obat; pikiran hitam dipenuhi jelaga dasa. Airmata terurai sepanjang waktu menjelma mnjadi sebuah telaga. Telaga airmata adalah lambang penyesalan hidup dari sekian banyak waktu yang terbuang sia
sia. Jangan bicara tentang isi hati dan masalah cinta, karena asmara tidak terlepas dari rasa memberi dan menerima. Bila cinta didusta, hati menjadi sakit, rasa kecewa bertengger diatas hawa amarah. Hidup menjadi kehilangan makna, kematian dianggap sebagai jalan terbaik pilihan yang mulia. "
Ucapan ucapan yang selayaknya dilantunkan oleh seorang penyair besar itu bergaung, bergema dikeheningan malam yang sunyi. Sejauh itu Kanjeng Empu Basula masih meragukan bahwa orang yang mengucapkan kata kata seperti itu adalah sahabat nya. Seingat sang Kanjeng, Galuh Permana bukan orang yang pandai berpantun. Dia juga tidak suka dengar syair yang dia anggap sebagai ungkapan hati yang cengeng.
Tetapi rasa penasaran juga yang membuat orang tua ini akhirnya tak bisa menahan diri dan bertanya.
"Orang diatas daun teratai. Aku tidak bermaksud mengusik ketentramanmu. Kedatanganku ke tempat ini hanya ingin menemui seorang sahabat.
Sayang sahabat yang kucari tidak kutemukan. Rumah Indahnya malah kulihat roboh seperti diterjang sekawanan besar babi hutan. Karena sahabatku tidak kutemukan, aku berniat hendak pergi. Tapi sebelum itu aku ingin tahu siapakah gerangan kisanak ini?" Diluar dugaan orang diatas daun teratai cepat menyahuti.
'Orang yang engkau cari itu, apakah dia bernama Galuh Permana? Tanpa menjawab pertanyaan sang Kanjeng orang ditengah telaga malah balik bertanya.
Walau agak kesal pertanyaannya diabaikan orang, Kanjeng Empu Basula tetap menjawab.
"Benar! Bagaimana kisanak bisa tahu?!"
"Apakah orangnya bercambang seperti ini?" Berkata demikian orang yang berada diatas daun teratai tiba-tiba balikkan badan. Anehnya, walau orang itu membalikkan badan dengan gerakan sangat cepat luar biasa, namun pergeseran tubuhnya tidak membuat air telaga dan daun yang didudukinya bergetar apalagi bergoyang.
Kanjeng menjadi maklum orang yang ditengah telaga memiliki ilmu meringankan tubuh yang telah mencapai taraf diatas sempurna.
Tapi Kanjeng Empu Basula tidak sempat
memikirkan kelebihan yang dimiliki orang. Sebaliknya dia memperhatikan wajah orang di depan sana.
Dia melihat rambut panjang putih riap-riapan. Wajah yang tengadah namun dengan mata yang terpejam tertutup misai, cambang bawuk lebat. Walau pakaian telah berganti, wajah terlihat kusut dan tubuh lebih kurus selayaknya orang yang jarang makan. Namun Kanjeng Empu Basula masih mengenal orang itu.
Sambil bergegas mendekati sang kanjeng keluarkan seruan haru bercampur gembira.
"Galuh Permana. ..benarkah dirimu yang berada dihadapanku saat ini?"
Orang diatas daun teratai membuka matanya yang cekung. Dengan tatapan aneh dia memperhatikan Kanjeng Empu Basula yang saat itu telah berdiri ditepi telaga.
Orang tua ini terdiam dengan hati bertanya tanya saat menyadari sepasang mata orang yang dia yakini sebagai sahabatnya itu ternyata mengucurkan air mata tiada henti.
Jadi dia menangis sepanjang waktu. Tangisnya yang tak pernah terhenti menimbulkan sebuah telaga. Telaga yang dia sebut-sebut dalam ucapannya sebagai Telaga Air Mata ternyata bukan
Cuma sekedar nama melainkan telaga air mata sungguhan.
Sungguh luar biasa besar penderitaan orang tua itu.
Cukup lama Kanjeng Empu Basula menunggu. Dia menjadi tidak sabar dan kembali hendak ajukan pertanyaan. Tapi sebelum tanya terucap, orang tua berpakaian kelabu membuka mulut.
" Nama Galuh Permana sang pemuja cinta sebenarnya telah lama terkubur bersama kepingan hatinya yang remuk. Masa indah telah dilupakan, kehidupan rumah tangga menguap menjadi sampah dan kisah asmara sepasang suami istri berbahagia menjadi mimpi buruk dimasa lalu. Mengapa kau datang kemari?!"
Pertanyaan itu membuat sang Kanjeng terpana. Dia ingat dimasa lalu dimana setiap perjumpaan selalu berlangsung dengan akrab dalam suasana yang bisa dikatakan lebih dari saudara.
'Galuh Permana mengapa kau berkata begitu. Aku adalah Kanjeng Empu Basula sahabatmu, apakah kau sudah melupakan diriku?!" tanya si kakek sambil menunjuk dirinya sendiri.
Orang tua itu tersenyum, tapi wajahnya tetap muram. Sementara cucuran air mata mengalir deras membasahi pipi tiba-tiba terhenti seiring dengan
hela nafasnya yang berat penuh beban penderitaan batin.
"Aku tidak pernah melupakan sahabat, namun aku berusaha keras melupakan orang yang tidak bisa memberikan kebahagiaan terhadap diriku." Kata si kakek yang bukan lain adalah Galuh Permana adanya.
"Kau berusaha melupakan orang yang kau cinta?" tanya sang Kanjeng dengan tatapan penuh rasa tidak percaya.
"Benar."
"Bukankah dulu kau percaya bahwa cinta sejati sesungguhnya memang ada di dunia ini? Karena keyakinanmu itu kemudian kau memutuskan untuk menikahi Sarimurti. Kau bangun sebuah gedung megah sebagai tanda kasih sucimu pada gadis itu! Kemudian apa yang terjadi? Aku baru saja melihat bangunan indah yang kau buat dulu telah hancur porak poranda. Kaukah yang telah menghancurkannya?!" Kakek diatas daun teratai diam membisu, namun kemudian dia gelengkan kepala.
"Sumpah kutukku yang telah menghancurkan gedung itu."
'Jika kutukanmu telah berlaku atas gedung yang menjadi gedung cintamu.
Lalu apa yang telah terjadi? Kemana perginya Sarimurti istrimu?" tanya Kanjeng Empu Basula heran.
Wajah Galuh Permana tiba-tiba berubah muram. Perlahan dia dongakkan kepala menatap ke langit biru yang dihias gemerlap bintang dan cahaya rembulan.
"Istri yang kucinta ternyata bukanlah wanita seperti yang kulihat dan aku bayangkan. Dia bukan wanita normal, dia bukan perempuan sejati. Dia perempuan sakit jiwa sakit pikiran." Geram kakek itu sambil kepalkan tinjunya.
"Aku tidak mengerti apa maksudmu!"
Galuh Permana tersenyum dingin.
"Seumur hidup, sedari muda hingga menjadi seorang kakek renta memang lebih suka memilih hidup sendiri. Itu sebabnya kau tidak pernah mengerti apa artinya hubungan suami istri." Ucap kakek itu.
"Ketahuilah istriku itu sangat dingin. Begitu dinginnya hingga ketika kami tidur bersama aku dan dia tidak ubahnya seperti dua manusia asing yang dipertemukan. Dia mengabaikan diriku begitu saja seolah aku ini tidak pernah ada disisinya. Kejadian itu terus berlangsung selama bertahun tahun, sehingga membuatku kehilangan kaabaran dan menjadi marah..."
Belum sempat Galuh Permana selesaikan ucapan, sang Kanjeng tiba tiba menyela.
" Tunggu...! Seingatku ketika kau dan Sarimurti menjalin hubungan asmara. Aku melihat kau dan dia sangat bahagia, kalian sangat serasi. Mengapa setelah cinta terjalin dalam satu ikatan rumah tangga tiba tiba saja Sarimurti berubah sikap? Dan maaf bila aku bertanya berlebihan. Apakah setelah kalian disatukan dalam ikatan suci yang bernama perkawinan kau belum pernah...!
Galuh Permana yang sudah tahu arah pertanyaan Kanjeng Empu Basula tidak menunggu sahabatnya menyelesaikan ucapan. Dengan cepat dia menjawab,
" Tidak pernah sekalipun. Bahkan dia masih dalam keadaan suci ketika meninggalkan aku!"
'Apa? Jika dia itu perempuan yang mempunyai kelainan mengapa dia mau menikah denganmu?" tanya sang kanjeng kaget dan tidak mengerti.
"Aku tidak tahu. Aku cuma bisa menduga kemungkinan besar dia mengincar sesuatu yang ada pada diriku."
"Memangnya apa yang kau miliki?" tanya sang Kanjeng sambil tatap wajah dingin sahabatnya.
'Aku...aku memiliki sebuah senjata sakti, senjata hebat yang sangat sulit untuk dicari
tandingannya. Pedang itu kuberi nama pedang Halilintar.!' Menerangkan Galuh Permana tanpa semangat.
"Pedang Halilintar. Pedang itu ternyata benar benar ada. Kaukah yang membuatnya?" tanya Kanjeng Empu Basula. Yang ditanya anggukkan kepala.
"Sebagai sahabat aku tidak pernah tahu. Ternyata kau telah menciptakan pedang hebat itu. Dan senjata itu bakal sangat berbahaya bila benda ditangan orang yang sedang dimabuk asmara."
Walau terkejut tak menyangka sang Kanjeng mengetahui rahasia kehebatan pedang, namun Galuh Permana tetap menjawab,
" Kau benar. Pedang Halilintar bisa berubah menjadi senjata ganas bila berada ditangan orang yang dimabuk cinta saling kasih mengasihi. "
"Aku yakin kau membuatnya dalam suasana hatimu sedang dimabuk asmara..."
"Ya memang demikian kenyataannya."
"Sekarang bagaimana perasaanmu?" tanya Kanjeng Empu Basula.
"Terus terang aku sangat membenci bekas istn murtad itu." Dengus Galuh Permana apa adanya.
Pengakuan si kakek membuat Kanjeng Empu Basula geleng geleng kepala.
"Kebencian membuatmu tidak mungkin bisa menyentuh pedang yang kau buat sendiri. Sekarang aku ingin tahu dimana kau menyimpan senjata itu?" tanya Kanjeng Empu Basula tak kuasa menyembunyikan kerisauan hati.
"Aku menyimpannya disuatu tempat tidak jauh dari sini. Mengapa kau menanyakannya?" tanya Galuh Permana heran.
"Pedangmu sedang menjadi incaran seseorang. Orang itu mempunyai rencana untuk membangkitkan bala pasukan prajurit batu. Dia bersekutu dengan kekasihnya yang bernama Arwah Iblis Kolot!" Jelas sang Kanjeng. Si kakek pun kemudian menceritakan apa yang sedang terjadi di dunia persilatan saat ini. Termasuk juga tentang sepak terjang seorang wanita bernama Sang Kuasa Agung dan pengikutnya yang bernama si Jenggot Panjang.
Mendengar disebutnya nama Sang Kuasa Agung membuat Galuh Permana tercengang. Tidaklah mengherankan begitu Kanjeng Empu Basula selesai menuturkan semua yang sedang terjadi. Galuh Permana segera menanggapi.
"Tidak! Tidak mungkin Sang Kuasa Agung bisa berubah menjadi mahluk sesat menjijikkan. Dia perempuan yang sangat suci, aku bahkan
menganggapnya sebagai dewi. Dewi yang tidak mengenal cinta kasih dari seorang laki laki karena seluruh kecintaannya hanya dipersembahkan pada pemilik langit dan bumi." Batin kakek itu berapi-api.
"Jadi kau mengenal siapa adanya Sang Kuasa Agung?"
"Aku sangat mengenalnya. Perawan suci itu berdiam di puncak Sindoro. Tahukah kau apa artinya doro atau dara? Dara berarti perawan. Sang Kuasa Agung adalah perawan suci. Dia mustahil berbuat serendah itu, apalagi menjalin hubungan kasih dengan si terkutuk Iblis Kolot."
"Jika perempuan yang mengaku sebagai Sang Kuasa Agung itu bukan perempuan yang kau kenal. Apakah sekarang kau bisa mengantarkan aku menemuinya?"
Pertanyaan Kanjeng Empu Basula segera dijawab dengan gelengan kepala.
"Sayang dan sangat menyesal aku tidak bisa mempertemukan dirimu dengan orang yang telah kuanggap sebagai guruku itu, Kanjeng. Dia lenyap dari tempat pertapaan beberapa purnama setelah minggatnya Sarimurti dari tempat kediamanku! Aku merasa beliau telah diculik oleh istriku itu kemudian Sang Kuasa Agung dibawa dan disembunyikan disuatu tempat. Aku telah berusaha mencarinya
kemana-mana, tapi sahabatku itu tak bisa kutemukan."
"Buat apa bekas istrimu menculik Sang Kuasa Agung?"
"Buat apa?" Galuh Permana delikkan matanya.
"Sarimurti mengetahui Sang Kuasa Agung memiliki pengetahuan luas tentang hidup dan kematian. Ilmu kesaktiannya sangat tinggi. Disamping itu aku yakin bekas istriku itu tahu bila Sang Kuasa Agung dibiarkan bebas, kemungkinan dia tak bisa menjalankan semua yang menjadi keinginannya. Karena dia tahu Sang Kuasa Agung pasti akan menghancurkannya."
"Jadi apakah kau beranggapan orang yang kini berbuat kejahatan dan mengaku diri sebagai Sang Kuasa Agung bukanlah sahabatmu?"
"Aku yakin bukan. Dan aku sangat menyesal mengapa aku tidak bisa menjaga sahabat yang juga guruku itu. Dan penyesalan itu yang membuatku terpuruk dan terus menangis disini."
"Kau menangisi Sang Kuasa Agung?" tanya Kanjeng Empu Basula. Kini dia menyadari keadaan yang sebenarnya. Semula dia menyangka Galuh Permana terus menangis sepanjang hidupnya karena ditinggal oleh istrinya. Tak disangka tangis kakek itu karena menyesal tak bisa menjaga
sahabatnya.
'Ya. Kau pikir aku menangisi perempuan keparat itu?! "Geram Galuh Permana dengan wajah kelam penuh rasa benci.
"Sahabatku, kau harus bisa menahan diri, Kemarahan tidak bisa menyelesaikan masalah. Dan aku masih punya satu pertanyaan untukmu!"
"Pertanyaan apa?" Galuh Permana tatap wajah kakek ditepi telaga dalam-dalam.
"Apakah mungkin perempuan yang mengaku sebagai Sang Kuasa Agung itu bukan istrimu?"
"Bagaimana ujudnya?"
'Dia seorang gadis. Tubuh seperti manusia biasa, tapi kaki dan tangannya berbentuk seperti kalajengking berwarna merah." Menerangkan sang Kanjeng.
"Aku tidak bisa memastikan. Dulu dia tidak seperti itu. Bila kemudian dia berubah atau memiliki ilmu seperti itu siapa yang tahu. Aku tidak mengetahui siapa dirinya karena banyak rahasia yang dia sembunyikan dariku. Tapi aku tak mungkin terus berada disini lebih lama setelah tahu nama
baik Sang Kuasa Agung disalah gunakan oleh orang lain." Setelah berkata demikian Galuh Permana tampak bangkit berdiri. Kanjeng Empu Basula merasa lega.
"Kau hendak kemana?"
"Aku hendak bergabung denganmu. Namun sebelum pergi aku ingin mengambil pedangku!" terang si kakek.
Penjelasan itu membuat Kanjeng bertanya.
" Bukankah kau tak mungkin bisa membawa Pedang Halilintar mengingat hatimu kini diliputi rasa benci terhadap bekas istrimu.?"
"Memang! Tapi setidaknya aku harus memastikan senjata yang kusimpan tetap berada di tempatnya?! "Jawab kakek itu.
Kanjeng Empu Basula anggukkan kepala tanda
mengerti. Diapun lalu berkelebat mengikuti ke arah lenyapnya sang sahabat.
*****
Hujan deras mengguyur kawasan Watu Tambak REjo membuat sebagian besar penduduk
Yang mengandalkan hidup dari bercocok tanam tak bisa berbuat apa apa. sawah sawah dilanda banjir.Tanaman palawija mati terendam. Bibit padi dipersemaian yang siap tanam tenggelam dan hanyut.Binatang ternak mati kelaparan akibat sulitnya mencari rumput. Siang itu ditengah hujan yang turun sejak malam hari sebelumnya di jalan setapak diatas tebing sungai Babakan Lor, Sang Maha Sakti Raja Gendeng 313, bersama Anjarsari dan dewi Kipas Pelangi yang menunggang kuda hitam bertelinga putih dikenal dengan nama Angin Puyuh terus bergerak menelusuri jalan itu. Mereka yang sedang dalam perjalanan mencari Sang Kuasa Agung sebagaimana yang diminta oleh Kanjeng Empu Basula pada malam pertemuan sebelumnya terus saja melanjutkan langkah. Hingga disuatu tempat curah hujan makin bertambah _deras. Membuat Gadis berpakaian warna warni yang berada di atas kudanya merasa
tidak enak hati dan segera hentikan kudanya.
"Kita harus mencari tempat berteduh. Cuaca tambah memburuk! Aku khawatir Anjarsari tidak kuat bertahan." Kata Dewi Kipas Pelangi sambil tatap wajah gadis berpakaian kuning gading yang didada pakaiannya terdapat sulaman bergambar hati yang retak. Wajah Anjarsari memang nampak pucat, bibirnya bergetar menggigil dan berwarna merah kebiruan.
Sang pendekar hentikan langkah, lalu ikutan memperhatikan gadis berpakaian kuning itu.
"Hujan memang lebat. Dia mulai menggigil. Bagiku hujan begini tidak masalah, walau tubuh dan pakaian basah kunyuk, eh basah kuyup aku tidak bakal terserang pilek terkecuali gatal gatal saja. Sedangkan dia siapa yang berani menjamin? Tapi seandainya dia sampai jatuh sakit aku mau dan siap saja menggendong dia kemanapun kita pergi.!" Mendengar ucapan Raja. Anjarsari delikkan matanya.
"Jangan bicara sembarangan. Aku bukan gadis yang lemah, aku bahkan kuat berjalan lebih jauh ditengah hujan petir!" dengus sang dara cemberut.
"Ha ha ha. Kau memang hebat. Walau begitu kita perlu mencari tempat untuk berteduh." Sahut sang pendekar. Pemuda itu kemudian melayangkan
pandang ke jalan becek dan licin. Matanya berbinar ketika melihat tidak jauh disebelah kiri jalan tepat dibawah pohon besar terdapat sebuah bangunan sederhana berdinding bambu beratap ilalang.
"Kita bisa menumpang berteduh di rumah itu!" Seru Raja sambil menunjuk ke arah bangunan yang berada didepan mereka.
"Sejak tadi aku juga sudah melihatnya. Ingin aku memberi tahu tapi aku khawatir salah satu dari kalian berdua tersinggung!" Timpal Dewi Kipas Pelangi pula.
"Sudahlah! Kau tidak usah menyindir. Katakan sebenarnya kau sendiri juga ingin berteduh. Tiupan angin cukup keras, diatas kuda kulihat kau terus menggidikkan bahu. Aku malah khawatir jika kita tetap berhujan hujan kau malah jatuh pingsan dan ingin digendong oleh pendekar aneh ini." Ketika berucap demikian, Anjarsari sedikit pun tidak mau menatap wajah Raja maupun Dewi Kipas Pelangi.
Dia menjadi risih jika tidak dapat dikatakan cemburu sejak peristiwa malam itu dimana sang Dewi bicara bermanja manja dengan Raja. Sejak kehadiran Dewi Kipas Pelangi bersama mereka, sebenarnya Anjarsari sudah merasa muak dengan kelakuan dara cantik itu yang dianggapnya terlalu genit dan kurang punya rasa malu.
Gerakan tangannya yang menyelinapkan jemari dibalik pakaian disebelah dada dimalam yang dingin itu juga dianggap Anjarsari sebagai tindakan yang tidak tahu malu dan terkesan sengaja menarik perhatian Raja.
"Gadis rendah! Ciih! Dia mengira aku cemburu. Sepuluh pemuda yang jauh lebih gagah dari Raja Gendeng 313 bisa aku dapatkan sekejab mata bila aku mau!" Batin Anjarsari dalam hati. Tapi kemudian dia jadi berpikir dan merasa bimbang sendiri. Mengapa selama ini dirinya terlalu bersikap ketus dan kasar pada sang pendekar. Padahal selama dalam perjalanan Raja telah bersikap baik dan memperlakukannya dengan sopan. Jika terkadang Raja mengucapkan kata atau bertingkah konyol. Bukankah itu sudah menjadi wataknya.
"Aku tahu dia menaruh perhatian padaku. Aku juga bisa merasakan sebenarnya dia menaruh perasaan tertentu padaku. Tapi mengapa hatiku seperti tidak bisa menerima kehadirannya?"
Cukup lama Anjarsari terombang ambing oleh perasaannya sendiri. Sampai kemudian dia mendengar Dewi Kipas Pelangi berkata,
" Sudahlah, kita hampiri rumah itu secepatnya dari pada menunggu orang selesai melamun di tengah hujan. Aku takut lama-lama kita semua bisa masuk angin.
Aku orangnya memang gampang masuk angin. Jika sampai masuk angin nanti siapa yang akan mengeroki aku?" Sindir Dara cantik itu lagi sambil tersenyum.
"Dia pasti tidak mau. "Sahut Raja sambil tertawa cengengesan.
" Kalau aku yang kau suruh pasti tidak kutolak! Ha ha ha!"
"Hi hi hi. Kau yang keenakan bisa melihat tubuh mulusku.. Dasar sinting!" Dengus Dewi Kipas Pelangi sambil menggebrak kudanya.
"Bukannya kita sama-sama enak. Kau enak dapat kerok gratis sedangkan aku enak juga melihat tubuh mulus montok dan putih. Ha ha ha! "Jawab sang Pendekar diiringi gelak tawa.
Raja tidak menyadari ucapannya membuat Anjarsari tersinggung. Wajah gadis itu tampak memerah. Mata berkilat memendam rasa kesal dan jengah.
"Pendekar mata keranjang. Kau dan dia sama edannya. Kau tidak tahu diri. Sedangkan dia tidak punya rasa malu. Aku benci pergi bersama kalian. Dan memang sebaiknya aku tidak bersama kalian berdua" Selesai berkata demikian Anjarsari membuat gerakan seolah siap tinggalkan Raja sendirian. Tapi sebelum gadis ini berkelebat pergi, Raja Gendeng 313 sudah mencekal lengan Anjarsari
yang putih dan ditumbuhi bulu-bulu halus indah.
"Jangan pergi!"
Anjarsari menarik tangannya yang dicekal sang pendekar.
"Jangan kau sentuh aku. Kau tidak pantas menyentuh tubuhku yang suci!" Damprat sang dara sengit.
"Ha, apa? Apakah tanganku bau taik kebo hingga tak boleh memegangmu?" desis Raja purapura kaget. Dia lalu dekatkan telapak tangan ke hidung. Setelah mendengusnya beberapa kali dia tersenyum-senyum.
"Hmm, ternyata tanganku cuma bau asem sedikit. Tap ...!" Raja tidak melanjutkan ucapannya karena saat itu dilihatnya Anjarsari telah berlari menjauh menuju ke arah bangunan sederhana yang mana sebelumnya Dewi Kipas Pelangi telah
sampai di tempat itu terlebih dulu.
Pembakaran Kuil Thian Lok 3 Dewa Arak 09 Pendekar Tangan Baja Pendekar Elang Salju 9

Cari Blog Ini