Ceritasilat Novel Online

Mahligai Di Atas Pasir 1

Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W Bagian 1


Mira W.
MAHLIGAI
DI ATAS PASIR
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta, 2003vi
MAHLIGAI DI ATAS PASIR
oleh Mira W.
GM 401 01.310
Foto sampul oleh T Hermaya
Sampul dikerjakan oleh Marcel A.W
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
Jl. Palmerah Barat 33-37 Jakarta 10270
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota IKAPI,
Jakarta, Maret 2001
Cetakan Kedua, Maret 2003
Pernah diterbitkan oleh Penerbit Trikarya
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Mira W..
Mahligai di Atas Pasir / Mir W. ? Jakarta Gramedia
Pustaka Utama, 2001.
464 hlm.; 18 cm.
ISBN 979 - 686 - 310 - 3
I. Judul.
813 E-Book by syauqy_arr1
Vyborg, 1990
PECTOPAH. Itu kata Rusia pertama yang terbaca oleh
Rima. Tertera di atas pintu sebuah bangunan tua di kota
Vyborg. Kota kecil di perbatasan Rusia dengan Finlandia.
Artinya kira-kira, restoran.
Di balik pintu kaca berkusen kayu sederhana itu,
berderet beberapa buah meja bertaplak pulih. Warna
putihnya memang sudah tidak terlalu putih lagi. Tapi
masih kelihatan bersih.
Beberapa buah gelas yang kacanya sudah tidak bening
lagi, diletakkan di atas meja. Di sampingnya, tegak dua
botol minuman.
Yang satu pasti air putih. Tapi yang satu lagi, Rima
tidak dapat menerka apa isinya. Limun. Sirop. Atau
minuman keras. Di dalam botol yang berwarna hijau
gelap, cairan itu lerlihat samar-samar. Lebih sulit lagi
diterka karena Rima tidak dapat membaca etiket yang
melekat di tubuh botol itu.
Pemandunya yang masih muda belia, Ivanovitch,
berambut jagung dan bermata kelabu pucat,
menyilakannya duduk di salah satu meja itu. Sesaat
sebelum duduk, Rima masih menunggu sedetik. Tetapi8
ketika dilihatnya laki-laki bertubuh besar berjas biru tua
yang tegak di dekatnya itu tidak memperhatikan tandatanda hendak menarikkan kursi untuknya, dia langsung
duduk.
Ini memang Rusia. Dan mereka belum terbiasa
memanjakan tamu. Rima malah tidak tahu laki-laki yang
tubuh dan sikapnya lebih mirip agen rahasia daripada
pelayan itu sedang menunggu untuk melayaninya atau
cuma sekadar mengawasi.
Ivan-lah yang mengambil inisiatif untuk melayaninya. Meskipun sering sudah terlambat. Dia yang
menuangkan minuman ke gelas Rima. Sekarang, Rima
dapat melihat cairan itu dengan jelas. Warnanya jingga
bening.
Ivan juga yang menyodorkan piring berisi dua ketul
roti putih dan dua ketul roti gandum ke hadapan Rima.
Karena pelayan yang pergi dengan tergesa-gesa itu hanya
meletakkannya begitu saja di tengah meja.
"Silakan mencicipi makanan dan minuman Rusia yang
pertama," pinta Ivan ramah, dengan bahasa Inggris yang
sangat baik tata bahasanya, tetapi logatnya terdengar aneh
di telinga Rima.
Senyumnya yang kebocahan, tampak tulus di
wajahnya yang bersih dan licin. Profilnya sungguh berbeda
dengan profil Rusia yang dingin dan keras seperti yang
selama ini dibayangkan Rima. Kecuali kulitnya yang lebih
pucat dan matanya yang lebih tajam, Ivan hampir tidak
berbeda dengan putra mitra usahanya yang ditemuinya di
Helsinki kemarin.
Rima mengambil gelasnya. Mencicipi minuman itu.
Dan merasakan sensasi yang aneh menjalari9
kerongkongannya. Tentu saja dia menyukai minuman itu.
Lebih-lebih kalau sedang haus begini. Tetapi dalam hati
Rima berjanji, lain kali dia akan minta minuman lain saja.
Ketika Rima mengambil roti, Ivan menyodorkan
sebuah piring kecil berisi beberapa potong kecil mentega
yang tidak dibungkus. Cuma itu teman roti yang dapat
ditemukannya di atas meja. Tentu saja kecuali sepiring
ham berlemak di ujung meja yang sangat tidak
memancing selera untuk dicicipi.
"Kami sedang mengalami kesulitan pangan," kata Ivan
seperti mengerti apa yang dicari Rima. "Maafkan jika kami
tidak dapat menyuguhkan makanan yang berlimpah
kepada tamu-tamu kami. Bagaimana kalau Anda cicipi
ham ini?"
Ivan sudah separo berdiri. Hendak menjangkau
sepiring kecil ham yang terletak agak jauh di ujung meja.
Tepat saat itu, pelayan sedang menghidangkan semangkuk
sup. Lengan Ivan menyenggol mangkuk itu. Cairan
tumpah sedikit menyiram bajunya.
Tanpa berkata sepatah pun, pelayan itu melanjutkan
kerjanya, menghidangkan dua mangkuk sup di atas meja,
seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Tetapi bukan itu yang
membuat Rima tertegun sejenak. Dia bengong menatap
mangkuknya.
Sebuah mangkuk yang cukup besar dan antik. Tebal.
Dan berwarna putih polos. Di dalam cairan bening itu,
mengapung sebutir telur rebus! Tentu saja sudah dikelupas
kulitnya. Tetapi masih berbentuk bulat utuh.
Terus terang Rima belum penah menemukan suguhan
yang begini eksentrik. Di restoran mana pun. Unik,
bukan? Tapi itulah Rusia! Menjadi menarik karena unik.10
Ivan mohon diri untuk mengeringkan bajunya
sebentar. Sikapnya demikian lugu. Seolah-olah dia belum
pernah ketumpahan sup.
Dan Rima menggunakan kesempatan itu untuk
melihat-lihat. Dilayangkannya pandangannya ke seluruh
ruangan.
Sebuah ruangan yang cukup luas seperti untuk
memberi makan sebatalyon tentara. Tetapi bersih dan
terang. Sepi suara. Sepi hiasan.
Tidak ada alunan musik. Tidak ada cakap tamu-tamu
atau pelayan. Tidak ada lampu-lampu yang indah
mentereng. Hiasan-hiasan yang memikat mata. Seluruh
ruangan dicat putih polos seperti bangsal di rumah sakit.
Meskipun merasa aneh, Rima mulai menyukai negeri
ini. Yang seperti ini memang yang dicari turis. Negeri
yang seperti belum disentuh kebudayaan modern. Masih
asli. Dan mereka tidak tampak rikuh dengan
keberadaannya di tengah-tengah angin modernisasi yang
mulai bertiup dari Barat.
Di negeri inilah Rima akan mencoba memasarkan
produk-produknya. Dan harapannya melambung tinggi
ketika melihat pakaian orang-orang yang ditemuinya
sepanjang perjalanan dari perbatasan ke sini.
Tampaknya negeri ini lebih pandai membuat pesawat
ruang angkasa daripada membuat baju. Atau mereka
memang tidak tertarik membuat pakaian yang bagusbagus?
Rima tidak percaya. Menurut pendapatnya, wanita di
mana pun sama saja. Mereka suka pakaian yang indahindah. Kalau mereka mampu menemukan dan11
membelinya. Nah, mengapa tidak mencoba memberi
wanita-wanita mereka pakaian yang bagus tapi murah?
"Berapa umurmu, Ivan?" tanya Rima ketika pemuda
itu kembali.
Senyum kebocahan itu bermain lagi di bibir Ivan yang
tipis.
"Dua enam," katanya tanpa berpikir lagi. "Mengapa
menanyakannya?"
"Kau seperti remaja tujuh belas tahun. Masih sekolah?"
Senyum Ivan makin melebar.
"Saya seorang insinyur elektro," katanya tanpa nada
menyombongkan diri. Begitu sederhana. Seolah-olah dia
cuma mengatakan dia hanya lulusan SMA.
Sekali lagi Rima terperangah. Negeri ini benar-benar
menyimpan sejuta kejutan. Seperti nasi putih yang
dihidangkan di samping daging berlemak di atas
piringnya. Benar-benar kejutan karena nasi itu sesedap nasi
yang berasal dari beras Cianjur kepala! Bukan main.
Sayang, nasinya cuma empat sendok makan... rasanya
penasaran betul. Sekali bertemu nasi, cuma sampai leher....
"Bekerja sebagai pemandu karena ingin melancarkan
bahasa Inggris saya," sambung Ivan terus terang. "Dan
ingin bertemu dengan bangsa-bangsa lain." Sambil
menyeringai dia mengeluarkan sebungkus rokok merek
terkenal. "Kalau tidak bekerja sebagai pemandu, sulit
memperoleh rokok seperti ini. Di pasar gelap, harganya
mahal sekali. Dan harus dibeli dengan uang keras."
Uang keras adalah istilah mereka untuk mata uang
asing yang kuat nilainya di pasaran dunia.
"Kau sudah menikah?"12
Ivan menggeleng. "Masih tinggal bersama Ibu di
sebuah fiat. Kalau sudah menikah, saya baru dapat
memperoleh fiat sendiri. Bagaimana dengan Anda? Sudah
menikah?"
"Sudah punya anak dua." Rima mengeluarkan
dompetnya. Diperlihatkannya foto anak-anaknya.
"Anak-anak yang manis," puji Ivan kagum. "Alangkah
indahnya mata mereka! Bulat. Hitam. Bersinar."
"Mereka anak-anak yang lucu dan pandai." Suara
Rima bernada bangga.
"Suami Anda seorang basinessman juga?"
"Guru."
"Hm, menarik sekali."
Ya, sangat menarik, keluh Rima dalam hati. Profesi yang
dihormati di luar negeri. Tapi di negeriku sendiri malah sering
disia-siakan!
"Foto ini dibuat di Disneyland?"
"Di Jakarta. Kami punya tempat seperti Disneyland di
Jakarta."
Ivan mendengarkan cerita Rima sambil menyantap
hidangannya. Sungguh sedap melihatnya makan. Tetapi
melihat jenis makanannya dan cara mereka memasak serta
menghidangkannya, selera Rima tetap tidak tergoda.
Kecuali nasi putihnya, semua makanannya masih tersisa.
"Tidak lapar? Atau tidak cocok?"
"Belum terbiasa," sahut Rima. Tidak tega mengecewakan Ivan. "Bangsa kami lebih banyak menyantap
karbohidrat daripada protein."
"Tapi roti pun tidak Anda habiskan."13
"Saya tidak mau gemuk!"
Mereka sama-sama tertawa. Dan pelayan bertubuh
besar yang mahal senyum itu mengambil piring-piring
mereka tanpa permisi lagi begitu Rima menutup garpu dan
pisaunya.
Roti yang masih tersisa disimpannya di dalam lemari
kayu tidak jauh dari meja mereka. Dan melihat kondisi
lemari itu, Rima bersyukur dia hanya mengambil sepotong
roti.
Selesai makan, Ivan mengajaknya keluar. Tetapi Rima
permisi dulu hendak ke WC. Dan WC yang ditemuinya
benar-benar di luar dugaan.
WC itu luar biasa kunonya. Tapi juga luar biasa
bersihnya. Mungkin karena jarang dipakai. Mungkin juga
karena selalu dibersihkan oleh perempuan gemuk
berpakaian tradisional Rusia yang duduk di dekat pintu
WC itu.
Tetapi yang di luar dugaan memang bukan cuma
kondisi WC itu saja. Manusianya juga. Perempuan gemuk
itu menunjuk-nunjuk papan bertuliskan bahasa Rusia yang
melekat di tembok. Tidak ada satu kata pun yang Rima
mengerti, kecuali angka satu.
Barangkali biaya sewa WC, pikir Rima ketika melihat
kaleng di atas meja kecil di bawah papan itu. Celaka dua
belas. Dia belum punya uang Rusia! Apa mereka mau
menerima uang asing?
Rima mengeluarkan dompetnya. Dan mengeluarkan
sisa uang Finlandia-nya. Ditunjukkannya kepada
perempuan itu. Dan perempuan gemuk itu langsung
menunjuk ke kaleng.14
Ketika Rima memasukkan uangnya ke sana, dengan
segera perempuan itu membuka pintu WC dan
menyilakannya masuk dengan hormat. Keluar dari sana,
dilihatnya perempuan itu sudah siap dengan sehelai handuk
tangan. Terkesan oleh pelayanannya, untung-untungan
Rima mengeluarkan dua dolar Amerika. Diberikannya
kepada perempuan itu. Tetapi dengan serta-merta dia
menolak.
Nyet, begitu kedengarannya di telinga Rima. Tidak!
Terima kasih! Saya tidak boleh menerima tip. Itu barangkali
yang dikatakannya.
Bukan main kejujurannya, pikir Rima kagum. Padahal
mereka cuma berdua di WC ini! Tidak ada orang lain!
Atau... ada mata-mata elektronik juga di sini? Di dalam
WC? Uh, rasanya mustahil!
Sambil tersenyum minta maaf, Rima menyimpan
kembali uangnya. Ketika dia mengeluarkan dompetnya,
sebatang cokelat yang dibelinya di Finlandia tidak sengaja
menjulur keluar dari tasnya.


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perempuan itu mengucapkan beberapa patah kata
sambil menunjuk-nunjuk cokelat itu. Keheran-heranan
Rima mengeluarkan cokelatnya. Dan menawarkannya.
Tentu saja dengan bahasa Tarzan.
Kali ini si gemuk langsung mengambilnya. Dan
sambil tersenyum lebar, dia membungkuk mengucapkan
beberapa patah kata yang pasti artinya, Anda baik sekali!
Terima kasih!
Tergesa-gesa Rima mengeluarkan apa saja yang ada di
tasnya kecuali dompet uangnya. Dan dia mendapat seorang
teman baru di Rusia.15
2 Leningrad, 1990
KETIKA sedang melintasi jembatan di atas sungai yang
membelah kota Leningrad, Rima mengerti mengapa kota
ini disebut-sebut sebagai salah satu kota yang terindah di
Rusia. Pemandangan dari atas jembatan itu sungguh
mengagumkan. Bangunan-bangunan tua yang artistik di
seberang sana seperti muncul begitu saja dari zaman Peter
yang Agung, ketika kota ini masih bernama Petersburg.
Sungguh kontras dengan mobil-mobil sederhana yang
berkeliaran melintasi jembatan.
Ivan mengantar Rima melihat-lihat kota.
Menemaninya membeli beberapa buah lukisan dan boneka
Marushka yang dijajakan di tepi jalan, sebelum membawanya ke perusahaan garmen yang mengundangnya ke
negeri ini.
Sergei Romanov, direktur perusahaan itu, tidak
tampak seperti layaknya orang-orang Rusia dalam kisahkisah James Bond-nya Ian Flem-ming. Dia hangat. Ramah.
Dan berusaha keras menyenangkan tamunya. Kecuali
faktor bahasa yang menjadi penghambat komunikasi
mereka, tidak ada lagi yang merintangi pertemuan itu.
Sergei seolah-olah berusaha keras menghapus citra negatif
bangsanya di mata dunia bebas.16
Ketika Rima kembali ke hotelnya malam itu, dia sudah
merasa, kedatangannya ke negeri ini tidak akan sia-sia. Dia
pasti berhasil memasarkan produknya. Hasil karyanya tidak
kalah dengan hasil karya perusahaan-perusahaan pakaian
jadi di negeri ini.
Dia hanya tinggal meninjau mata rantai yang terakhir
untuk sampai ke konsumen. Toko-toko yang menjual
pakaian-pakaian itu.
Rima menyalakan televisi yang tegak di atas meja di
dekat pintu yang menuju ke balkon. Setelah lama
menunggu, akhirnya gemeresik suaranya muncul juga.
Disusul oleh gambar hitam-putih seorang tokoh yang
sedang berpidato,
Tidak tertarik karena tidak mengerti bahasanya, Rima
langsung mematikan lagi televisi itu. Jemu karena tidak
tahu lagi harus melakukan apa di dalam kamar itu padahal
dia belum mengantuk, Rima keluar dari kamarnya.
Di lorong yang menuju ke lobi hotel, dia berpapasan
dengan seorang gadis Rusia yang cantik. Tinggi
semampai. Dengan rok mini yang ketat. Sepatu hitam
bertumit tinggi. Dan dandanan yang membuat Rima dapat
menerka dari kalangan mana gadis ini berasal.
Ternyata profesi yang paling tua di dunia itu hidup
dengan subur pula di negeri seperti Rusia sekalipun. Lebihlebih pada saat keterbukaan sedang memperkenalkan diri
seperti sekarang.
Rima merasakan tatapan panas beberapa orang lakilaki yang sedang minum di bar ketika dia masuk ke sana
seorang diri. Bar itu terletak di samping lobi. Dan hanya
melayani tamu sampai pukul delapan malam.17
Merasa yakin dandanannya cukup sopan dan sikapnya
tidak mengundang, Rima melangkah dengan pasti ke bar.
Tidak dihiraukannya tatapan beberapa orang pria yang
dapat membuat paras seorang perempuan baik-baik
memerah.
Dia duduk dengan tenang di bar. Memesan segelas
cola. Dan sedang menunggu pesanannya ketika seorang
laki-laki menegurnya dengan sopan dari belakang.
"Selamat malam. Ibu dari Indonesia?"
Rima memalingkan wajahnya dengan terkejut. Tidak
menyangka akan mendengar bahasa ibu di negeri orang.
Lelaki itu tegak di hadapannya. Tinggi. Tampan.
Dengan sorot mata yang tajam tapi menyenangkan. Kulit
yang lebih putih dibandingkan dengan orangorang
Indonesia pada umumnya. Mungkin karena dia lama
bermukim di negeri ini. Dan sederet gigi yang putih dan
rata seperti iklan pasta gigi ketika dia tertawa lunak.
"Terkejut?"
"Ya," sahut Rima terus terang. "Tidak menyangka
akan bersua dengan teman sebangsa dan setanah air di
Lcningrad."
"Kenalkan." Laki-laki itu mengulurkan tangannya.
"Soni Harsono."
"Rima Permatasari."
"Boleh menemani Anda duduk di sini?"
"Silakan."
"Boleh membelikan minuman untuk Anda? Ingin
mencicipi vodka Rusia barangkali? Harganya cukup
ekonomis. Cuma lima rubel. Tapi rasanya... wow! Tidak
ada duanya!"18
"Terima kasih. Saya tidak minum minuman keras."
"Sayang sekali. Tidak keberatan saya minum?"
"Silakan."
Soni memesan secawan vodka. Dan menoleh lagi pada
Rima.
"Sendirian?"
"Cuma malam ini. Besok saya sudah berangkat ke
Moskow."
"Bisnis?"
Rima mengangguk.
"Bagaimana Anda tahu saya orang Indonesia?" tanya
Rima penasaran.
Soni tersenyum lebar.
"Itu salah satu keahlian saya."
"Menebak dari mana seseorang berasal?"
"Dan mengorek info dari petugas hotel."
"Anda kerja di sini?"
"Saya seorang reporter."
"Wartawan?" Rima mengangkat alisnya dengan heran.
Ditatapnya laki-laki itu dengan tatapan tidak percaya.
"Anda tidak mirip wartawan!"
"Bagaimana seharusnya tampang wartawan?" Senyum
Soni melebar. "Lugila? Lusuh, giat, tapi lancang?"
Rima terpaksa tersenyum menyambut kelakar Soni.
Dia memang simpatik. Menarik. Tapi ada sesuatu dalam
dirinya yang membuat orang harus tetap waspada....
"Anda pintar bergurau. Tetapi tidak mirip wartawan."19
"Karena tampang saya tidak mirip kamera? Atau saya
tidak membawa-bawa notes? Tidak menyandang travel
bag?"
"Anda pasti sudah lama tinggal di Rusia."
"Cukup lama untuk mengerti beberapa kata Rusia.
Jika Anda butuh pemandu..."
"Saya sudah punya pemandu sendiri."
"Pemuda Rusia yang manis itu? Yang datang bersama
Anda tadi?"
"Anda pasti mengintai setiap orang yang masuk ke
hotel ini. Atau itu salah satu bakat wartawan?"
Soni tertawa renyah. Aneh. Rima sudah menyukainya
sejak pertama kali bertemu. Dia santai. Ramah. Penuh
humor. Dan... tampan. Cuma ada sesuatu dalam dirinya...
"Maaf, saya harus kembali ke kamar," kata Rima
sambil menghabiskan minumannya.
"Boleh saya temani?"
"Ke mana?"
"Tentu saja ke kamar Anda."
"Oh, tidak usah. Saya tidak akan kesasar."
"Sekadar keramahan orang Indonesia."
"Saya lebih senang berjalan sendiri."
"Juga kalau saya hanya mengantarkan sampai ke depan
pintu kamar Anda?"
"Sekarang saya percaya, Anda wartawan." Rima
tersenyum pahit.
"Karena saya terlalu mendesak?"
"Karena Anda gigih!"20
"Dan sulit ditolak?" Soni bangkit lebih dulu. Dan
menyilakan Rima melangkah di depannya dengan sopan.
Sikapnya begitu terpuji. Begitu santun. Gayanya enak
dilihat.
"Hhh. Di luar negeri, orang Indonesia sungguh tidak
memalukan," gurau Rima sambil tersenyum lembut.
"Jika Anda punya waktu sehari lagi di Leningrad, saya
dapat memperuhatkan citra yang lebih prima."
"Sayang sekali, jadwal saya sangat ketat."
"Sudah saya sangka. Anda pasti wanita karier yang
sibuk."
"Ah, cuma sekadar mencari makan."
"Pernyataan yang simpatik sekali. Berapa karung beras
yang Anda makan sehari?"
Mereka sama-sama tertawa perlahan.
"Ini kamar saya," cetus Rima sesampainya di depan
pintu kamarnya. Dia mengambil kunci dari dalam tasnya.
Dan Soni memintanya dengan sopan.
"Tahu dari mana asalnya gantungan kunci ini?"
Soni menyodorkan kunci itu kembali setelah membuka
pintu.
Rima menggeleng. Dia memang tidak tahu. Dan tidak
tertarik. Gantungan kunci dari plastik putih berbentuk
bulat panjang seperti itu... apa istimewanya?
"Pernah memperhatikan alat penarik air pada kloset
Anda?"
Rima menatap Soni sambil tersenyum.
"Maksud Anda, bandul di ujung rantai penarik air di
WC...?"21
Soni tertawa lunak.
"Yang sudah rusak mereka pakai untuk gantungan
kunci ini. Tidak ada barang yang terbuang percuma di
Rusia!"
Rima tertawa menyambuti gurauan Soni. Dia
memang konyol! Tetapi bagaimanapun, sungguh
menyenangkan bisa mengobrol dalam bahasa ibu di negeri
orang!
"Selamat malam. Terima kasih atas kebaikan Anda."
"Anda menyebut semua ini kebaikan?"
"Anda menyebutnya apa?"
"Kesenangan!"
"Oke. Apa pun istilah Anda, terima kasih!"
"Saya ingin sekali mengajak Anda melihat balet Rusia.
Rasanya sayang sekali ke Rusia tetapi tidak menonton
baletnya!"
"Besok malam saya ada di Moskow. Mungkin saya
masih sempat menikmatinya di sana."
"Tentu saja. Tapi tanpa saya."
"Tidak ada yang perlu dilaporkan dari Moskow?"
"Ini sebuah undangan?"
"Cuma harapan! Senang sekali bertemu dengan Anda,
Soni. Selamat malam."
"Sampai bertemu lagi," sahut Soni mantap. "Kalau
tidak di Rusia, mengapa tidak di Jakarta? Boleh minta
alamat Anda, Rima?"
"Buat apa?"22
Rima memang menyukai laki-Iaki ini. Dia sangat
menarik. Dalam usia sekitar tiga puluh tahun, dia tampak
dewasa, matang, penuh percaya diri.
Wajahnya tampan. Senyumnya memikat. Tatapannya selalu menyejukkan. Tubuhnya tinggi atletis.
Perawakan yang tampaknya dijaga ketat oleh latihan rutin
yang menumbuhkan otot-ototnya. Kulitnya bersih.
Penampilannya rapi tak bercela.
Yah, dia memang tipe lelaki yang pasti menjadi idola
gadis-gadis. Jenis langka yang selalu diincar wanita. Tetapi
Rima sadar, dia sudah punya suami. Dan betapapun
minimnya penampilan suaminya, betapa tidak menariknya
pun dia, Rima tidak mau terpikat oleh daya tarik lelaki
yang baru dikenalnya ini....
"Buat apa?" Soni bersandar ke pintu dengan gaya yang
sangat memikat. Senyumnya yang paten merekah lagi.
Memamerkan sederet giginya yang putih rata.
Susah payah Rima mengusir daya tarik yang demikian
menantang. Ah, seandainya Ian sedikit saja menyerupai lelaki
ini...
"Tidak rugi berkenalan dengan seorang wanita yang
sangat menarik, bukan?" sambungnya simpatik sekali.
"Kita sudah berkenalan."
"Cuma kenal nama."
"Masih ada cara perkenalan lain?"
"Saya ingin mengenal Anda Iebih dekat lagi."
"Perlukah itu?"
"Saya ingin menjadi teman Anda."
"Oke. Kita sudah berteman."23
"Dan Anda tidak mengundang teman Anda masuk?"
Rima menghela napas. Jangan, Rim, kata suara hatinya
tegas. Jangan. Ini pertanyaan yang berbahaya. Pancingan yang
menjerumuskan! Kamu belum mengenal pria ini. Tidak tahu
lela-ki macam apa dia. Sekali kamu mengundangnya masuk,
sulit sekali menendangnya keluar dari hatimu!
"Maaf, saya letih sekali," sahut Rima tegas. "Saya ingin
beristirahat. "
"Oke," Soni mengangkat bahu sambil tetap
tersenyum. "Selamat malam." Sekali lagi dengan gaya yang
enak dilihat, dia meninggalkan Rima.24
3 Moskow, 1990
MOSKOW. Rima tidak menyangka akan pernah tegak di
sini. Di tengah-tengah manusia yang sedang melangkah


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tergesa-gesa. Di depan antrean orang-orang yang sedang
menunggu hamburger yang dijajakan di depan sebuah
hotel bertingkat yang cukup besar.
Dari depan hotel itu, Rima dapat melayangkan
pandangannya ke seberang sana. Ke Lapangan Merah yang
terkenal.
"Ingin ke sana?" tanya Ivan yang baru saja keluar dari
hotel. Menyerahkan sebuah kunci kamar dan sehelai kartu
berwarna putih. "Bisa melihat Katedral Saint Basil yang
terkenal itu dari dekat."
"Masih sempat ke sana sekarang?"
"Mungkin setelah makan siang. Tapi sebenarnya saat
yang paling mengesankan untuk melihat Saint Basil nanti
malam. Kalau gelap sudah melingkupi bumi. Dan
keheningan menyelimuti Lapangan Merah. Saat itu, di
bawah bayangan lampu, Anda akan melihat pemandangan
indah yang tak mungkin terlupakan."25
"Nanti malam saya akan ke sana," sahut Rima mantap.
"Bagaimana acara makan siang kita, Ivan? Apakah kita
harus ikut antre di sana?" Rima melirik antrean panjang di
depan gerobak penjual hamburger di depan hotel sambil
tersenyum.
"Karena Anda datang dari Indonesia," Ivan mengulum
senyum simpatiknya, "kami punya kejutan untuk Anda."
*** Kejutan itu tidak akan membuat Rima terkejut
seandainya dia berada di negara lain, di Indonesia
sekalipun. Ruang makan luas dengan deretan meja
bertaplak meja bermotif kotak-kotak merah dan putih,
interior mewah, dinding berjendela kaca lebar dengan tirai
tebal yang tersibak menawan, lampu gantung kristal yang
mentereng, bukan barang baru lagi di negeri-negeri yang
sering dikunjungi Rima, termasuk Indonesia.
Tetapi karena ruang makan ini berada di sebuah hotel
di Moskow, mau tak mau Rima terkejut juga. Tidak
menyangka dapat menemukan ruang makan semewah ini.
Dengan deretan pelayan bertubuh besar dan berjas biru tua
yang kelihatannya cukup profesional.
Salah seorang dari mereka langsung menyilakan
tamunya ke sebuah meja. Lalu dengan sigap dia
menarikkan kursi untuk Rima.
Baru juga Rima duduk sambil mengucapkan terima
kasih, seorang pelayan lain menghidangkan salad yang
amat menggoda selera. Sementara pelayan yang pertama
dengan sopan menyodorkan sebuah buku menu berisi26
daftar makanan dan minuman, dalam bahasa Inggris dan
Prancis! Amboi! Benar-benar sebuah kejutan yang
menyenangkan!
"Silakan memilih," Ivan tersenyum bangga.
"Minuman keras, minuman ringan, semuanya tersedia.
Ingin sirloin steak, kaviar, atau yang khas Rusia, Chicken
Kiev barangkali?"
"Tolong pilihkan yang enak untuk saya," sahut Rima
terus terang. "Saya tidak mau kehilangan kesempatan
makan enak sepuas-puasnya hari ini!"
"Tidak takut gemuk?" Ivan tertawa lembut.
"Dietnya ditunda esok saja."
Ivan mengucapkan beberapa patah kata dalam bahasa
Rusia kepada pelayan itu. Lalu berpaling kembali kepada
Rima.
"Karena hari ini bukan hari diet Anda, bagaimana
kalau mencicipi es krim Rusia sebagai dessert-nya?"
"Oh, saya suka sekali!"
Sesudah memesan makanan dan minuman, Ivan
permisi meninggalkan Rima sebentar. Karena perutnya
tiba-tiba terasa lapar, Rima mengambil garpu untuk
menyantap salad. Saat itu, pelayan yang tadi menarikkan
kursi untuknya, menghampirinya dengan sopan. Dia
mengucapkan beberapa patah kata dalam bahasa Inggris
yang kaku, lalu memperlihatkan sebuah jam tangan yang
cepat-cepat disembunyikannya kembali.
Tentu saja Rima mengerti maksudnya. Dia hanya
terenyak karena tidak menyangka akan menemukan
peristiwa seperti ini... seorang pelayan berpenampilan
profesional di sebuah hotel internasional menawarkan jam27
tangan kepada tamunya... astaga! Benar-benar sebuah
kejutan!
"Mereka mengharapkan dolar Anda," kata Ivan terus
terang ketika Rima menceritakann-ya selesai makan.
"Dengan dolar, mereka dapat memiliki beberapa barang
yang tidak dapat mereka peroleh dengan rubel. Celana jins
misal-nya, dapat mereka peroleh di pasar gelap dengan
menggunakan mata uang asing."
Mendengar penjelasan Ivan, Rima menyesal tidak
membeli saja jam Rusia itu. Masalahnya, dia cuma takut
dijebak. Bagaimana kalau transaksi gelap itu cuma sebuah
jebakan untuk orang asing?
Ah, rupanya dia sudah terlalu banyak dicekoki filmfilm Amerika tentang tindak-tanduk KGB! Padahal mereka
di sini tidak ada bedanya dengan rakyat kekurangan di
negara mana pun! Mereka menghendaki sesuatu yang tidak
dapat mereka peroleh dengan mudah. Mereka menghendaki sesuatu yang baru! Manusiawi, bukan?
Di lantai dasar hotel, dekat lobi, ada sudut tempat
menjual barang-barang suvenir. Mereka menyebutnya
Beriozka.
Rima sangat tertarik pada boneka-boneka yang
mereka pajang di rak. Ingatannya langsung melayang pada
putri bungsunya. Ah, Bulan pasti sangat menyukai
boneka-boneka yang lucu itu!
"Mereka tidak menerima rubel," Ivan memperingatkan ketika melihat betapa bergairahnya Rima
menunjuk-nunjuk benda-benda yang ingin dibelinya.
"Kios ini memang diperuntukkan bagi turis asing."28
Rima membeli sebuah taplak meja bersulam yang
sangat menarik untuknya sendiri. Sebuah catur dengan
model raja dan tentara Rusia pada zaman Tsar. Dan sebuah
buku panduan perjalanan untuk suaminya.
Lalu Rima menyeberangi jalan untuk berjalan kaki ke
sebuah toko yang cukup besar. Toko itu bertingkat dua.
Dan cukup ramai. Menjual segala macam keperluan dari
baju-baju sampai alat-alat tulis dan permainan.
Barang-barang yang dijual semua buatan dalam
negeri. Amat sederhana bentuk maupun bahannya bila
dibandingkan dengan barang-barang yang dipamerkan di
department store di Jakarta. Cara mereka memajang barangbarang yang jumlahnya tidak banyak itu pun kurang
memancing selera.
Tetapi pembeli di toko itu jauh lebih banyak daripada
penjualnya. Diperlukan kesabaran luar biasa untuk
menunggu dilayani. Apalagi wanita-wanita pelayan toko
itu tampaknya kurang bersemangat melayani.
Mereka tampak santai saja meskipun pembeli sudah
resah menanti untuk dilayani. Akibatnya Rima harus ikut
berdesak-desakan di depan nona-nona Rusia itu sambil
menunjuk-nunjuk barang yang diinginkannya.
Barang-barang yang dijual di sana memang relatif
murah. Tetapi sayang, tidak boleh membeli barang yang
sama lebih dari dua. Padahal Rima sangat menyukai syal
buatan Rusia yang dipajang di lemari itu. Rasanya dia
ingin membelinya sekaligus enam helai.
Ketika akan naik ke tingkat dua, Rima melewati
antrean yang panjang sekali. Iseng-iseng dia melongok
hendak melihat barang apa yang dijual di sana. Ternyata
cuma toilet paper. Bahannya pun kasar seperti kertas koran!29
Tetapi seorang perempuan gemuk yang sedang antre
di dekatnya, langsung mengomel sambil menunjuknunjuk ke belakang. Kalau di Jakarta, kira-kira dia bilang,
antre dong! Rima menggoyangkan tangannya sambil balas
menggerutu dalam bahasa Indonesia, nggak butuh kertas
WC-mu! Di Jakarta mau beli segerobak juga tidak perlu
antre!
Ketika dia hendak keluar dari toko itu, seorang wanita
separo baya menegurnya dengan ramah sambil menyentuh
lengannya. Refleks Rima memegangi tasnya. Ingat tukang
copet yang sering beroperasi di tempat-tempat ramai di
Jakarta.
Tetapi rupanya wanita itu cuma tertarik pada bros
yang tersemat di bajunya. Hasil kerajinan perak
Yogyakarta. Perempuan itu amat mengaguminya. Dia
bertanya dalam bahasa Rusia yang kira-kira artinya, beli di
mana?
Rima langsung melepaskan bros itu dan
memberikannya. Sesaat wanita itu tertegun. Tidak
mengerti apa maksud Rima. Terpaksa Rima memegangi
tangannya dan meletakkan brosnya di telapak tangan
perempuan itu. Sekali lagi dia melongo heran sebelum
kegembiraannya meledak.
Dia mengguncang-guncang tangan Rima mengucapkan terima kasih. Dan hendak membuka jepitan
rambutnya untuk diberikan kepada Rima. Tetapi Rima
menolak dan buru-buru menyingkir karena orang banyak
mulai mengerumuninya. Salah-salah dia dikira pedagang
gelap!30
"Memborong?" goda Ivan yang sudah menunggunya
di lobi hotel. "Anda pasti haus. Bagaimana kalau saya
traktir segelas fruit punch?"
*** Bagi Rima, tegak di depan Katedral Saint Basil pada
pukul sebelas malam, lebih berkesan daripada menonton
balet Rusia yang termasyhur itu. Di sini, di tengah-tengah
Lapangan Merah yang telah sunyi, ditudungi bayangbayang kubah Saint Basil yang menyerupai bawang itu, dia
dapat menikmati keindahan yang abadi, yang tak lekang
oleh waktu, tak lapuk oleh sistem.
Keanggunan bangunan yang artistik itu, yang
dibangun pada pertengahan abad keenam belas, rasanya
jauh lebih mencekam mata daripada apa yang selama ini
Rima saksikan hanya melalui film atau gambar.
Dia tidak merasa takut berada di tempat asing yang
sesepi itu. Beberapa orang turis memang masih berkeliaran
di sana-sini. Asyik menikmati keindahan di sekitar mereka.
Tetapi kehadiran beberapa gelintir manusia di lapangan
yang seluas itu tidak memecahkan kesunyian malam di
sana.
Rima juga tahu dia tidak usah takut kesasar di tempat
ini. Walaupun Ivan telah tidak bersamanya lagi.
Hotelnya terletak di seberang jalan. Tidak jauh dari
Lapangan Merah. Dan tengah malam begini, Rima tidak
perlu menyeberang melalui penyeberangan di bawah
tanah. Dia bisa langsung melintasi jalan yang telah sepi itu.31
Moskow memang terasa lebih aman dibanding
dengan New York atau Jakarta sekalipun. Tahun lalu di
Madison Square, New York, Rima pernah lari terbirit-birit
pulang ke hotelnya karena dikejar lelaki Negro yang
mabuk. Tetapi di sini, Rima belum menemukan seorang
pun yang mabuk bekeliaran di jalan.
"Bagaimana? Sudah puas menikmati 'Semalam di Red
Square'?"
Meskipun tidak takut, tak urung Rima terperanjat
ketika disapa seseorang di belakangnya. Apalagi dalam
bahasa Indonesia. Ketika Rima terburu-buru menoleh,
dilihatnya Soni tengah membidikkan kameranya.
"Jangan!" protes Rima sambil bergegas mundur.
Tetapi Soni sudah lebih dulu menjepret.
"Foto yang indah sekali," katanya sambil tersenyum.
"Kok lancang sih?" gerutu Rima kesal. "Apa memang
begitu sifat wartawan?"
"Jangan kuatir," tukas Soni tanpa menghiraukan
kejengkelan Rima. "Pasti tidak kukirimkan ke rubrik
mencari jodoh!"
"Tidak apa kalau masih ada yang mau! Anakku sudah
dua!"
"Anak itu pasti produk kawin terpaksa! Umur berapa
kamu terpaksa menikah?"
Dasar wartawan, gerutu Rima dalam hati. Selalu
mengorek berita!
"Sedang apa kamu di sini? Bukan menguntitku, kan?
Aku bukan orang terkenal!"32
"Delegasi Kebudayaan Indonesia kemarin malam
manggung di Leningrad."
"Malam ini di Moskow?"
"Esok ada jamuan makan malam untuk mereka di sini
sebelum pulang ke Indonesia. Aku mendahului mereka ke
sini karena ingin mengabadikanmu di depan Saint Basil."
"Tidak lucu! Aku tidak mau masuk koran!'
"Kamu pikir kamu cukup berharga masuk koran?
Katamu sendiri kamu bukan orang terkenal, kan?"
"Nah, cari apa lagi? Mengapa kamu seperti mengejarngejar aku?!"
"Aku cuma ingin memiliki fotomu. Salahkah aku?"
"Tentu saja salah! Kamu tidak berhak!"
"Oke! Akan kukirimkan fotonya kepadamu. Klisenya
juga?"
"Untung tidak kuminta juga kameramu!"
"Tahukah kamu?"
"Apa?"
"Kamu perempuan yang sangat menarik!"
"Karena berani tegak sendirian di sini pada tengah
malam buta?"
"Dan berani ke Rusia seorang diri!"
"Apa yang ditakuti? Aku sering ke luar negeri
sendirian. Bisnis."
"Itulah yang membuatmu menjadi fenomena yang
menarik. Jarang kutemukan wanita Indonesia sendirian di
sini. Kamu seperti tidak mengenal takut. Dan amat
mandiri!"33
Jika kamu sudah pernah menjalani hidup seperti yang
kualami, masih adakah tempat untuk rasa takut di hatimu?34
4

Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Desa Legoky 1976
RIMA ingat sekali. Hari itu dia baru memperoleh ijazah
SMP. Dia sangat gembira. Bukan cuma karena lulus SMP.
Tetapi sekaligus lulus dengan nilai terbaik.
"Jangan merasa cukup dengan hanya memiliki ijazah
SMP saja, Rima," pesan Bu Nasti, wali kelasnya, sesaat
sesudah menyerahkan ijazah itu. "Kamu mampu meraih
ijazah yang lebih tinggi."
Saat itu, semangat Rima memang tengah berkobarkobar. Walaupun belum ada SMA di desanya, dia tidak
berkecil hati. Kalau Bapak mengizinkan...
"Bukannya Bapak tidak mengizinkan, Rima," kata Ibu
dalam nada getir. "Bapak tidak mampu mengongkosimu.
Dari mana uangnya? Jangankan untuk sekolah, untuk
memberi makan adik-adikmu saja sudah susah! Lebih baik
kamu kerja. Supaya bisa membantu bapakmu."
Di depan orangtuanya Rima memang tidak membantah. Tidak memperlihatkan kesedihannya. Dia diam
saja. Ditahannya saja air matanya. Dia tidak mau menangis
di depan mereka kalau dengan menangis dia harus
menyakiti hati orang tuanya.35
Rima tahu, bukan hanya dia yang kecewa. Ayah
ibunya juga. Meskipun tidak berpendidikan, mereka bukan
tidak ingin memberikan pendidikan yang cukup bagi
anak-anak mereka. Masalahnya hanyalah, mereka tidak
mampu!
Ayah cuma seorang petani. Mempunyai anak
perempuan yang lulus SMP saja sudah suatu prestasi
baginya!
Dan Rima harus puas dengan ijazah itu. Karena dia
dilahirkan dalam keluarga seorang petani miskin, sia-sia
saja dia memiliki seperangkat otak yang cemerlang
sekalipun. Tidak ada uang yang akan memompakan ilmu
ke dalam otaknya. Otak itu akan tetap kosong! Padahal si
Atun yang bodoh itu katanya akan dikirim bapaknya ke
kota untuk melanjutkan sekolah! Sungguh tidak adil!
Rima membanting kakinya dengan gemas. Anak-anak
ayam yang sedang menciap-ciap di dekat kakinya
langsung kabur mendapatkan induk mereka.
Rima mengawasi ayam-ayamnya dengan perasaan
hampa. Rasanya dia segan sekali memberi makan mereka.
Padahal apa sulitnya menaburkan beras? Itu tugasnya
sehari-hari.
Tetapi hari ini dia malas mengerjakan apa pun. Semua
terasa membosankan. Bahkan hendak bangkit dari
duduknya pun dia segan. Bagaimana rasanya hidup tanpa
buku pelajaran?
Selama ini, walaupun sibuk membantu orangtuanya,
Rima selalu punya waktu untuk belajar. Dia tidak pernah
kewalahan membagi waktunya. Rasanya waktu yang
sempit malah merangsang gairahnya untuk menggunakan36
waktu dengan sebaik-baiknya. Semangatnya baru tergugah kalau ada tantangan.
Sungguh membosankan hidup seperti ini. Tidak tahu
harus mengerjakan apa kecuali membantu Ibu di rumah!
Hhh. "Rima."
Tidak tahu Rima sudah berapa lama ayahnya tegak di
belakangnya. Mengawasinya menghela napas. Mengeluh.
Membanting kakinya. Dan menghela napas lagi.
"Bapak tahu bagaimana perasaanmu."
Ayah duduk di sampingnya. Dan menatapnya dengan
iba. Rima tidak sampai hati membalas tatapan ayahnya.
Walaupun baru berumur lima belas tahun, dia sudah dapat
memahami, kesedihan ayahnya tidak lebih ringan daripada
kesedihannya sendiri.
"Kalau saja Bapak punya uang..."
Masalahnya memang cuma itu. Uang. Kalau saja aku bisa
mencari uang sendiri...
Ira, bekas teman sekolahnya waktu SD dulu, baru saja
kembali dari Jakarta. Dan penampilannya sekarang benarbenar mencengangkan orang sekampung.
Ira yang waktu berangkat ke Jakarta dua tahun yang
lalu seperti gembel itu, kini pulang seperti bintang film.
Rambutnya yang panjang terurai kini dipotong pendek.
Perhiasan menyembul dari leher, lengan, jari, bahkan
sampai ke pergelangan kakinya. Kalau masih ada tempat
lain di tubuhnya yang dapat ditempeli perhiasan, pasti
sudah penuh pula digelantungi perhiasan.
Pakaian yang dikenakannya, benar-benar langka
terlihat di kampung mereka. Hari ini dia memakai celana37
panjang. Esok dia mengenakan gaun yang sempit dan
pendek sekali sampai lelaki-lelaki tua di desa mereka
menutup mata sambil mengurut dada. Meskipun beberapa
orang cepat-cepat membuka matanya lagi dan membelalakkan mata mereka lebih lebar.
Anak-anak muda lebih jujur mengagumi Ira. Tetapi
mereka bukan cuma mengagumi penampilannya. Mereka
juga tertarik pada radio kaset yang dijinjingnya ke manamana. Yang selalu disetelnya dengan suara cukup keras.
Bahkan ke pasar pun Ira memakai walkman sampai tidak
mendengar suara orang-orang yang menyapanya.
Ketika Ira pulang ke desa diantar oleh mobil bagus,
hampir separo kampung keluar untuk menyambutnya.
Dan kesuksesan Ira membuat lebih banyak lagi remaja di
desa mereka memimpikan pergi ke Jakarta. Mencari kerja.
Atau sekadar mencari pengalaman. Tetapi cuma Rima
yang berniat ke sana untuk melanjutkan sekolah.
"Kamu kan sudah lulus SMP," kata Ira sabar.
Walaupun penampilannya sudah berubah, Ira masih tetap
menganggap Rima yang dua tahun lebih muda itu sebagai
sahabatnya. "Buat apalagi sekolah? Perempuan kan tidak
perlu sekolah tinggi-tinggi! Lebih baik kamu kawin saja!"
"Aku ingin melanjutkan pelajaranku ke SMA. Kamu
pikir, mungkin tidak aku ke Jakarta, bekerja sambil
sekolah?"
"Cari kerja di Jakarta tidak mudah, Rim! Apalagi
sambil sekolah!"
"Kamu tidak keberatan kalau aku menumpang dulu di
tempatmu, Ir? Aku akan mencari kerja. Jangan takut, aku
pasti tidak akan menyusahkanmu!"38
"Orangtuamu tidak keberatan kamu ikut aku ke
Jakarta? Kudengar Pak Pandu sudah melamarmu untuk
anaknya?"
"Aku belum ingin menikah!" sahut Rima tegas. "Aku
masih ingin sekolah! Kata Bu Nasti, menikah pada umur
terlalu muda tidak baik untuk kesehatan!"
Kata-kata itu juga yang dilontarkannya di depan
orangtuanya ketika bapaknya menyampaikan lamaran Pak
Pandu. Dan satu hal yang dikagumi Rima pada diri
ayahnya, Bapak tidak memaksanya menikah seperti
orangtua teman-temannya.
Tetapi ketika Rima menyampaikan maksudnya untuk
ikut Ira ke Jakarta, Bapak terpaku bingung. Ibu malah
sudah langsung melarangnya.
"Anak perempuan pergi sendirian ke kota? Aduh,
Rim! Hilang kamu nanti!"
"Rima tidak mungkin hilang, Bu. Rima tahu jalan
pulang jika gagal di Jakarta. Ibu jangan kuatir. Rima pasti
kembali kalau sudah berhasil meraih ijazah SMA."
"Buat apa ijazah SMA, Rim?" keluh Ibu bingung.
"Perempuan-perempuan di kampung kita tidak ada yang
punya ijazah SMA!"
"Ibu tidak bangga kalau sayalah perempuan pertama di
desa ini yang memilikinya?"
"Ibu bukan bangga, Rim! Ibu takut!"
"Takut apa, Bu?"
"Takut kamu tidak kembali! Takut ada apa-apa di
sana! Ke mana kamu harus minta tolong?"
"Kan ada Ira, Bu!"39
"Ira bisa apa? Dia juga perempuan!"
"Ibu pikir perempuan tidak bisa menolong dirinya
sendiri?"
Ibu tidak menjawab. Ibu memang kewalahan kalau
didebat begitu. Makin hari rasanya Rima makin pintar saja.
Bicaranya sudah seperti pamong desa!
Akhirnya Bapak mengizinkan Rima ikut Ira. Sia-sia
Ibu melarang. Protes dan tangisnya tidak mampu
meluluhkan kekerasan hati Rima.
"Biarlah dia mencari sendiri apa yang tak dapat Bapak
berikan kepadanya." Begitu kira-kira kata ayahnya kepada
Ibu. Dan Ibu tidak mampu mencegah lagi.40
5 Jakarta, 1976
IRA sangat baik kepadanya. Di rumahnya yang kecil itu,
yang hanya mempunyai satu kamar tidur, Rima boleh
menumpang sampai kapan saja. Dia bahkan tidak
keberatan Rima ikut makan bersamanya.
Ira tahu, bekal uang dari orangtua Rima tidak banyak.
Dalam beberapa hari saja, uang itu pasti habis. Jakarta
sangat mahal. Tidak gampang hidup di sini.
Ira juga tidak keberatan Rima ikut tidur di kamarnya.
Kecuali kalau lelaki separo baya itu, lelaki yang
diperkenalkan sebagai tunangannya, menumpang di
rumah itu. Kalau lelaki itu bermalam di sana, Rima harus
menyingkir ke belakang. Dan tidur di dapur.
Mas Waluyo, begitu Ira selalu memanggil pria itu,
tidak keberatan Rima menumpang di sana. Dia juga tidak
pernah mengganggu Rima. Dia selalu baik meskipun agak
pendiam.
Rima baru tersentak ketika suatu hari dia melihat Mas
Waluyo menyerahkan seberkas uang pada Ira. Menciumnya dengan sedih. Dan meninggalkan rumah itu dengan
langkah-langkah gontai. Di pintu rumah, Ira menatap41
kepergiannya dengan air mata berlinang. Uang itu masih
digenggamnya di tangannya ketika Rima menghampirinya
dengan bingung.
"Ada apa, Ir?" tanyanya resah.
"Nggak ada apa-apa," sahut Ira sambil menyeka air
matanya. Dia menutup pintu dan memutar tubuhnya.
Melewati tempat Rima. Lalu melangkah ke dalam.
"Buat apa uang itu?" desak Rima curiga. "Mengapa dia
memberikan uang sebanyak itu? Dia menyuruhmu
membeli apa? Kamu sakit?"
"Ini uang belanjaku untuk sebulan," sahut Ira, tenang
seperti biasa. Meskipun sedih, dia tetap dapat menguasai
dirinya. Dia masuk ke kamar. Dan Rima mengikutinya
dari belakang dengan penasaran.
"Belanja sebulan? Memang Mas Waluyo mau ke
mana? Dan mengapa dia memberimu uang belanja?"
"Karena dia yang memeliharaku," sahut Ira sambil
menyimpan uang itu di dalam laci lemari pakaiannya.
"Memeliharamu?" cetus Rima heran. Tiba-tiba saja dia
ingat ayam-ayam di belakang rumahnya. Dipelihara?
Apakah itu berarti diberi makan, diberi tempat tinggal, di...
"Kamu sudah jadi orang Jakarta, Rim." Ira mengunci
lemari pakaiannya dan menoleh kepada temannya dengan
sabar. "Dan kamu sahabatku. Kupikir sudah saatnya kamu
tahu lebih banyak."
"Tentang apa?" tanya Rima dengan perasaan enggan.
Firasatnya mengatakan, Ira akan memberitahukan sesuatu
yang tidak menyenangkan.
"Aku ini wanita peliharaan, Rim. Perempuan
simpanan. Mas Waluyo yang memeliharaku selama ini. Dia42
yang memberiku tempat tinggal dan uang belanja. Dia
yang membelikan aku pakaian, perhiasan meskipun cuma
imitasi, dan meminjamkan mobilnya jika kuminta. Sebagai
gantinya, aku harus melayaninya."
"Melayaninya? Seperti pembantu?"
"Seperti istri."
"Apa bedanya dengan Bapak-Ibu? Bapak juga
memberi nafkah untuk Ibu. Dan Ibu melayani Bapak.
Sesudah kalian jadi suami-istri..."
"Itulah bedanya, Rim," potong Ira pahit. "Kami tidak
akan pernah menjadi suami-istri."
Sekarang Rima menatap sahabatnya dengan bengong.
"Mas Waluyo sudah punya istri."
Rima terduduk lemas di tempat tidur. Matanya
menatap Ira dengan nanar.
"Dan kamu tidak tahu?" desisnya pahit.
"Aku tahu."
"Kamu tahu?" Rima tertegun tidak percaya.
"Aku tahu. Tapi aku tidak peduli. Dalam pekerjaanku,
aku mengenal banyak laki-laki. Tapi tidak ada yang seperti
Mas Waluyo."
"Kamu... kamu mencintainya?" Rima menggagap
bingung.
"Mungkin. Tapi bukan itu yang terpenting."
"Bukan... cinta yang terpenting?" Rima bertambah
heran.
"Dalam pekerjaanku, aku bisa memperoleh uang,
cinta, laki-Iaki. Tapi tak ada yang memberikan jaminan.43
Ketenteraman. Rasa aman. Hanya Mas Waluyo yang dapat
memberikannya."
"Dengan memeliharamu?"
"Dia membuatku tidak usah memikirkan hari esok. Di
mana aku harus menginap dan makan apa aku esok pagi."
"Mengapa kalian tidak menikah saja?"
"Mas Waluyo tidak dapat menceraikan istrinya. Dia
tidak mau kehilangan anak-anaknya. Ketika istrinya tahu
Mas Waluyo punya simpanan, dia mengancam minta
cerai."
"Karena itu dia memilih meninggalkanmu dan
memberimu uang belanja untuk sebulan?" potong Rima
jijik. Bah, lelaki apa itu! Takut diancam istri!
"Jangan marah padanya, Rim," desah Ira sabar. Dia
tahu bagaimana perasaan Rima. Gadis itu masih terlalu
polos. Masih terlalu lugu untuk menilai lakilaki. Terlalu
naif untuk mengenal Jakarta! "Mas Waluyo lelaki yang
baik..."


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lelaki yang baik? Lelaki yang baikkah namanya
mempunyai perempuan simpanan? Memelihara seorang wanita
seperti memelihara ayam?
"...Dia lelaki paling bertanggung jawab yang pernah
kukenal..."
Bertanggung jawabkah namanya meningga-kan
begitu saja perempuan yang telah tidur serumah
dengannya selama hampir satu tahun dengan hanya
meninggalkan uang belanja sebulan?
"Dia hanya tidak dapat meninggalkan anak-anaknya.
Karena itu dia harus meninggalkanku."44
"Dan kamu tidak marah dia lebih memilih anakanaknya daripada dirimu?" desak Rima antara marah dan
heran. Entah terbuat dari apa hati si Ira!
"Mengapa aku harus marah? Aku datang belakangan,
bukan? Aku yang merebutnya dari tangan istri dan anakanaknya yang sah!"
Dan selama dua minggu, aku telah ikut makan uang
harammu, geram Rima dalam hati. Jijik pada dirinya
sendiri. Aku telah ikut menikmati uang yang kamu serobot
dari perempuan yang lebih berhak memilikinya!
"Aku ingin berterus terang padamu, Rima," sambung
Ira, tetap tenang seperti tadi. "Supaya kamu jangan terkejut
nanti. Profesiku adalah perempuan panggilan. Perempuan
penghibur. Aku dibayar untuk menemani laki-laki. Selama
Mas Waluyo memeliharaku, aku berhenti bertugas. Tapi
dengan menyingkirnya dia, aku ter-paksa bekerja kembali.
Kaiau ingin melanjutkan hidup..."
"Kamu bisa mencari pekerjaan lain!" potong Rima
jijik. "Tidak perlu menjual diri!"
"Sebagai apa? Babu?!"
"Lebih baik daripada jadi pelacur!"
"Kamu pikir jadi babu itu enak?"
"Kamu pikir di Jakarta cuma ada dua pekerjaan itu
bagi wanita?"
"Kamu bisa mendapatkan yang lain?"
"Pasti bisa kalau dicari!"
"Nah, carilah!"
"Tunggu sampai aku dapat pekerjaan, Ira! Dan kamu
tidak perlu menjual dirimu lagi!"45
"Sampai kapan? Sampai perutmu tidak tahan lagi
menanggung lapar? Kamu sudah dua minggu mencari
pekerjaan dengan mengandalkan ijazah SMP-mu yang
penuh dengan angka sembilan itu! Pekerjaan apa yang
kamu dapat?"
"Aku yakin masih ada pekerjaan lain di Jakarta selain
menjadi babu dan menjual diri, Ir!"
"Memang ada. Menjadi pengemis!"
"Kita tidak perlu datang ke Jakarta kalau cuma mau
jadi gembel!"
"Kamu beruntung masih ada aku. Ketika aku datang
di Jakarta dua tahun yang lalu, aku tidak punya ijazah SMP
dan tidak ada orang yang memberiku makan dan tempat
tinggal!"
*** Satu hal Ira benar. Tidak mudah mencari pekerjaan di
Jakarta dengan hanya memiliki selembar ijazah SMP. Kalau
wajahnya cantik, tubuhnya indah, penampilannya berani,
barangkali pintu terbuka lebih lebar. Tetapi buat gadis desa
berwajah sederhana, bertubuh kurus, berkulit hitam, dan
bersikap malumalu, jalan memperoleh pekerjaan sungguh
sempit! Dan semakin hari Rima semakin resah juga tinggal
di rumah Ira.
Hampir tiap malam Ira membawa lelaki ke rumah.
Lelaki yang berganti-ganti. Rupanya. Tipenya. Maupun
sifatnya. Dan lelaki-lelaki itu bukan seperti Mas Waluyo.
Yang hanya memperhatikan Ira.46
Mereka memandang Rima dengan tatapan jalang.
Seolah-olah mereka melihat barang di toko, yang dapat
dibeli kalau mengeluarkan uang. Dan Rima tidak suka
ditatap seperti itu. Dia tidak sudi dinilai seperti barang!
"Kalau mereka memanggilmu untuk menemani
mereka, buat apa mereka dibawa kemari, Ir?" protes Rima
suatu hari, sehabis melabrak seorang pria yang berani
mencoleknya dengan kurang ajar di dapur. Dia sudah
menciduk segayung air mendidih. Siap disiramkan ke
muka lelaki itu. Untung dia buru-buru menyingkir.
"Karena ini rumahku, Rima," sahut Ira mantap. "Dan
aku boleh membawa siapa saja yang kusukai ke rumahku
sendiri, bukan?"
"Kamu tidak mungkin menyukai mereka semua!
Apalagi bajingan yang mencolekku tadi! Melihatnya saja
aku sudah kepingin muntah!"
"Kadang-kadang aku tidak bisa memilih, Rim.
Mereka yang memilihku! Mereka yang punya uang!"
"Jangan bawa mereka ke sini! Mengotori rumah saja!"
" Aku sedang mencari pengganti Mas Waluyo."
"Sekali lihat saja aku sudah tahu, tidak ada yang seperti
dia! Mereka cuma menginginkan tubuhmu!"
"Untuk itu aku dibayar, bukan?" celoteh Ira dalam
keadaan seperempat mabuk. "Nasimu juga dibeli oleh uang
mereka!"
Akhirnya Rima insaf, dia harus pergi dari rumah itu.
Bukan karena Ira mengusirnya. Bukan. Tapi karena dia
tidak sudi makan nasi yang dibeli oleh uang hasil penjualan
tubuh temannya sendiri.47
Tadinya, Rima memilih jadi pelayan toko daripada
pembantu rumah tangga. Tetapi sebagai pelayan toko, dia
harus pulang ke rumah Ira. Sebagai pembantu, dia dapat
menginap di rumah majikannya. Padahal gaji yang
diterimanya kurang-lebih sama, kalau diperhitungkan
sebagai pelayan toko dia harus membeli makanannya
sendiri.
Akhirnya Rima memilih pekerjaan yang kedua.
Menjadi pembantu rumah tangga.
Majikan Rima seorang janda yang berumur enam
puluh tahun Iebih. Hanya tinggal bersama cucu lelakinya
yang berumur sembilan tahun. Karena itu dia hanya
membutuhkan seorang pembantu. Untuk membersihkan
rumahnya yang hanya berukuran 150 meter persegi itu.
Untuk mencuci bajunya. Dan mengantarkan cucunya ke
sekolah.
Bu Azwar tidak cerewet. Kecuali kalau Rima tidak
bersih mengepel lantai rumahnya. Dan tidak meletakkan
barang yang sudah dipakainya ke tempatnya semula.
Sebentar saja Rima sudah betah bekerja di sana.
Pekerjaannya memang banyak dan melelahkan. Tapi dia
menyukai suasana di rumah itu. Rumah kecil yang bersih
dan ditata apik. Tenang dan tenteram setiap hari.
Satu-satunya yang menyedihkan Rima hanyalah
karena dia tidak mampu menggapai tekadnya, bekerja
sambil sekolah. Dia memang menabung gajinya. Tetapi
dengan gaji sekian, sampai kapan dia baru bisa melanjutkan
sekolah?
Hiburan satu-satunya cuma kalau dia sedang
menemani Rano belajar. Saat itu dia bisa ikut membaca48
buku Rano. Rima memang lebih senang membaca
daripada menonton televisi.
Dan Rano yang berumur sembilan tahun itu juga
sangat menyukainya. Dia seperti memperoleh seorang
pengasuh. Sekaligus seorang kakak.
Rima yang sudah biasa mengasuh adik-adiknya juga
seperti menemukan seorang pengganti adiknya. Dia dapat
melampiaskan kerinduan dan kasih sayang terhadap adikadiknya kepada Rano.
Dan Rano yang sudah kehilangan perhatian orangtua
pada masa kanak-kanaknya itu segera merasakan, perhatian
Rima terhadapnya bukan semata-mata karena dia dibayar
untuk itu. Rima benar-benar menyayanginya.
Dari hari ke hari Rano semakin lengket pada Rima.
Lebih-lebih ketika dia tahu pembantunya yang baru ini
sangat pandai. Rima dapat membantunya membuat PR.
Mengajarinya matematika. Bahkan menolong Rano mempersiapkan prakarya.
"Lulus SMP?" Bu Azwar mengangkat alisnya dengan
terkejut ketika suatu malam dia menanyakan sekolah Rima.
Sudah lama dia memperhatikan Rima membantu pelajaran
Rano. Dan dia merasa heran mengapa ada babu sepintar
ini. "Mengapa memilih jadi pembantu?"
"Tidak ada pekerjaan lain, Bu," sahut Rima terus
terang. "Tempo hari ada lowongan pelayan toko. Tapi saya
tidak punya tempat tinggal."
"Orangtuamu masih hidup?"
"Di kampung, Bu."
"Mengapa kemari? Ikut-ikutan teman ke Jakarta?"49
"Kepingin melanjutkan sekolah Bu. Di kampung saya
tidak ada SMA."
Kasihan, pikir Bu Azwar sambil mengawasi Rima dari
balik kacamatanya. Kamu anak baik dan pintar. Kalau saja
aku punya uang untuk menolongmu...
"Ibu ini bagaimana sih?" gerutu ayah Rano dengan
jengkel. "Macam-macam saja! Mau menyekolahkan babu
segala! Ibu kan sudah tua. Tidak punya apa-apa. Tidak
bekerja. Tidak punya penghasilan. Dari ketiga anak Ibu,
cuma saya yang bisa memberikan uang untuk membiayai
Ibu! Sudahlah, Bu. Jangan macam-macam!"
"Ibu cuma kasihan padanya, Pran. Rima anak baik.
Pintar pula. Sayang kalau tidak dapat melanjutkan
sekolah..."
"Kan saya sudah bilang, Ibu sudah tua. Pikirkan saja
diri Ibu sendiri! Jangan repot-repot memikirkan orang
lain!"
Saat itu Rima datang menyuguhkan minuman. Tentu
saja dia sudah mendengar pembicaraan mereka dari dapur.
Dalam rumah sekecil itu, pembicaraan apa pun dapat
terdengar dengan jelas.
Dia memang belum pernah melihat ayah Rano. Baru
hari ini. Dan melihat laki-laki muda berambut gondrong
dengan berewok yang lebat itu, Rima benar-benar merasa
heran.
Bu Azwar orangnya rapi. Selalu bersih. Selalu serba
teratur. Lho, anaknya kok seperti ini! Tampang kumal.
Baju lusuh. Segalanya jauh dari rapi!
Mengapa dia tidak menyuruh anaknya memangkas
rambutnya, mencukur janggutnya, dan menyetrika50
bajunya? Hhh, gatal rasanya tangan Rima. Kalau saja dia
baru sebesar Rano! Tidak pantas rasanya Bu Azwar punya
anak seperti itu! Tidak pantas!
Pada saat yang sama, Pranata juga sedang mengawasi
Rima. Wajahnya tidak terlalu cantik. Wajah sederhana
seorang pembantu. Tidak ada yang menarik pada lekaklekuk tubuhnya. Juga waktu dia sedang membungkuk
menghidangkan minuman. Kurus. Rata. Hitam.
Tetapi sikapnya memang lain. Dia tidak seperti
pembantu yang biasa Pranata lihat. Sopan memang. Tapi
wajar. Tidak berlebihan. Dan terpelajar.
Tidak tampak rasa takut sedikit pun. Ketika sedang
menghidangkan teh. Maupun sesudahnya. Langkahlangkahnya mantap. Dan ada sesuatu dalam dirinya, entah
apa, yang membuat Pranata tertarik.
Anak ini punya ambisi. Punya tekad. Punya kemauan
keras, pikirnya dengan kekaguman seorang pencari bakat.
Naluri itu memang dimiliki Pranata sebagai seorang
koreografer yang sudah punya debut nasional.
Dia pasti tidak mampu kalau disuruh berlenggaklenggok lemah gemulai mengikuti irama gendang
membawakan tarian. Tetapi kalau dia diberi kesempatan...
pasti dia dapat menjadi wanita karier yang hebat! Hm, Ibu
memang masih memiliki mata setajam elang. Dan elang
tak pernah menjadi tua!
*'Itu tadi Rima, Pran," kata Bu Azwar sesudah Rima
menyingkir ke dapur. "Pembantu yang Ibu ceritakan tadi."
"Tahu," sahut Pranata datar. "Ibu punya berapa orang
pembantu sih?"51
"Anaknya pandai sekali. Rasanya Ibu ikut menyesal
kalau dia cuma menjadi pembantu sampai tua."
"Sekolah di desa kan tidak sama dengan sekolah di
Jakarta, Bu! Pintar di sana belum tentu mampu mengikuti
pelajaran di sini!"
"Eh, kalau kau tidak percaya juga, coba tanya Rano!
Katanya, ijazah SMP-nya penuh dengan angka sembilan.
Dan dia pintar sekali mengajari Rano matematika!"
"Mau Ibu sekolahkan di mana? Siapa yang membantu
Ibu di rumah kalau dia sekolah?"
"Itu bisa diatur, Pran!" desis Bu Azwar gembira.
"Bagaimana kalau di sekolah negeri saja? Biayanya lebih
murah."
"Terserah Ibu saja. Jangan salahkan saya kalau nanti
Ibu terpaksa mencari pembantu lagi! Pembantu yang
cocok dengan Ibu kan tidak gampang dicari!"
Tentu saja Rima gembira sekali sampai melelehkan air
mata. Tuhan-lah yang telah mengirimnya ke rumah Dewi
Kebijakan ini!
Bu Azwar mau menyekolahkannya! Bukan main
beruntungnya Rima. Bukan main baiknya orang tua ini!
"Tapi Ibu tidak mau mencari pembantu baru, Rima.
Ibu tidak sanggup menggaji dua orang pembantu. Kirakira kamu sanggup tidak bekerja keras, membagi waktu
antara bekerja, bersekolah, dan tentu saja mengajari Rano?"
Tetapi bagi Rima, semua itu bukan masalah. Bekerja
keras sudah menjadi irama hidupnya. Belajar sambil
bekerja sudah bukan hal baru lagi. Tantangan malah
melecut semangatnya.52
Pukul empat pagi dia sudah bangun. Membersihkan
rumah. Menanak nasi. Mencuci pakaian. Menyiapkan
sarapan.
Dia masih menyempatkan diri mengantarkan Rano ke
sekolah sebelum pergi ke sekolahnya sendiri. Dia
menjinjing sepatunya, hanya supaya sepatu satu-satunya
itu tidak rusak menempuh perjalanan yang cukup jauh ke


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekolahnya dengan berjalan kaki.
Pulang sekolah, dengan masih memakai seragam
sekolahnya, dia menenteng kaleng minyak tanah melewati
warung langganannya. Supaya tidak usah bolak-balik, dia
membeli minyak tanah sekalian pulang dari sekolah.
Ketika Rano sedang tidur siang, Rima menyetrika baju
sambil menghafal pelajarannya. Dia tidak mau ada yang
berubah. Semua tugasnya dikerjakannya dengan baik.
Rima tidak mau Bu Azwar merasa pekerjaan rumah
tangganya terbengkalai karena dia sekolah. Sore Rima
menyempatkan diri berbelanja supaya Bu Azwar tidak
perlu pergi ke pasar sendiri esok pagi.
Malam hari selesai mengajari Rano, Rima mencuci
piring dan perabotan lainnya bekas makan malam. Setelah
Rano tidur, dengan sisa-sisa keletihannya tetapi dengan
semangat yang menggebu-gebu, Rima masih sempat
membuat PR atau menghafal pelajaran untuk esok.
"Anak itu benar-benar luar biasa!" puji Bu Azwar
kagum ketika Pranata datang menjenguk Rano. "Rapornya
bagus sekali. Tidak ada nilai merah sama sekali."
"Mudah-mudahan Ibu tidak membutuhkan pembantu
baru. Dan tidak terlalu lelah bekerja kalau dia sedang
sekolah."53
"Ibu tidak perlu mengerjakan apa-apa kecuali
memasak untuk Rano dan Ibu sendiri. Rima sudah
menyelesaikan semuanya ketika Ibu baru berpikir hendak
membantunya."
"Hati-hati saja dengan pembantu super Ibu ini. Kalau
terlalu pintar, orang kadang-kadang bisa keblinger!"
"Kau sudah lihat rapor Rano?"
"Sudah. Banyak kemajuan."
"Mudah-mudahan kau juga tahu dari mana Rano
memperoleh kemajuan sepesat itu."
"Ibu pikir saya harus juga memberinya uang les?"
"Tidak perlu. Tapi kalau kau memberinya uang untuk
membeli seperangkat baju seragam sekolah lagi, dia pasti
sangat berterima kasih. Seragamnya cuma satu."
Rima memang sangat berterima kasih. Tidak sangka si
berewok itu sangat baik. Dia memberikan sejumlah uang.
Untuk membeli seragam sekolah, katanya. Entah dari mana
dia tahu seragam Rima cuma satu. Barangkali dari Bu
Azwar. Dari siapa lagi.
Pranata memang tidak banyak bicara. Tetapi Rima
memang lebih memerlukan uang daripada kata-kata. Rima
tidak peduli seandainya Pranata tidak mengucapkan
sepatah kata pun. Yang penting, dia dapat uang.
Dan Rima tidak membeli seragam sekolah dengan
uang itu. Dia membeli buku. Dia merasa begitu bangga
ketika dapat menyerahkan uang itu kepada Pak Ian, wali
kelasnya.
Selama ini Rima tidak mampu membeli buku. Dia
hanya meminjam buku teman-temannya dan menyalinnya
sebanyak mungkin. Memang belum semua buku yang54
dibutuhkan dapat dibelinya dengan uang ini. Tetapi paling
tidak, dia sudah dapat memiliki beberapa buku yang
penting.
"Dari mana kamu dapat uang sebanyak ini, Rima?"
tanya Pak Ian heran.
"Diberi anak Bu Azwar, Pak," sahut Rima terus
terang. "Katanya karena saya membantu pelajaran
anaknya."
"Syukurlah kalau begitu." Pak Ian menghela napas
lega. "Tapi hati-hatilah dengan orang yang memberikan
uang padamu, Rima. Telitilah dulu maksudnya sebelum
kamu menerima uang itu."
"Terima kasih, Pak."
Rima sedang terlalu gembira. Dia tidak peduli apa
maksud Pranata memberikan uang itu kepadanya.
Pokoknya dia dapat membeli buku!
Hhh, Pak Ian memang terlalu hati-hati. Tapi
bagaimanapun, Rima menyukainya. Dialah salah seorang
guru yang paling memperhatikannya. Dan sifatnya sangat
kebapakan. Meskipun dia belum mempunyai istri. Apalagi
anak. Sungguh pun umurnya sudah lebih dari tiga puluh
tahun.
Pembawaannya sangat tenang. Lamban. Sabar. Sesuai
dengan penampilannya yang sederhana dan santun.
Rima memang tidak pernah mengatakan pada siapa
pun dia seorang pembantu rumah tangga. Tetapi ada suatu
kejadian yang kebetulan mengungkapkan identitasnya.
Salah seorang temannya, kebetulan yang paling tidak
menyukainya, memergokinya sedang mengepel lantai
dapur ketika ikut bersama ibunya mengunjungi Bu Azwar.55
Ibu Leni datang ke tempat Bu Azwar untuk menawarkan
minyak kayu putih yang katanya asli dari Ambon.
Ketika Leni dan ibunya sedang duduk dengan Bu
Azwar di ruang tamu, tidak sengaja mata Leni melihat
Rima sedang mengepel. Tepat di ambang pintu dapur.
Jarak dapur dengan ruang tamu memang tidak jauh.
Hanya dipisahkan oleh sebuah meja makan.
Leni langsung melekat pada ibunya dan berbisik-bisik.
Bu Azwar mengira gadis itu menanyakan minuman yang
memang belum sempat dihidangkan. Dia langsung
memanggil Rima.
"Mana minumannya, Rim?" tanyanya sambil menoleh
pada Rima yang masih merangkak-rangkak membersihkan
lantai.
"Sebentar, Bu," sahut Rima sambil buru-buru
membenahi kain pelnya. Mencuci tangan. Dan
menyiapkan minuman di dapur.
"Maaf belum disuguhi minuman, Bu," kata Bu Azwar
dalam nada minta maaf. "Maklum pembantu baru."
"Oh, jangan repot-repot, Bu Azwar!" sahut ibu Leni
sambil masih mengingat-ingat bisikan anaknya tadi.
Benarkah pembantu itu teman sekolah Leni? Lho,
rendah amat mutu sekolah itu! Masa ada pembantu
diterima sekolah di sana? Memalukan anak-anak yang lain,
kan? Kalau ada anak pejabat sekolah di sekolah anaknya, dia
kan ikut bangga. Tapi kalau teman anaknya seorang
pembantu rumah tangga? Wah! Memalukan. Memalukan!
***56
Rima membungkuk di depan tamu-tamu Bu Azwar.
Meletakkan tiga buah cangkir teh di atas meja. Dan tengah
menghidangkan sepiring penganan ketika tiba-tiba dia
merasa, kedua orang tamunya sedang mengawasinya
dengan tajam.
Dia mengangkat wajahnya. Dan tatapannya bertemu
dengan tatapan Leni.
Hampir saja terlepas nampan itu dari tangan Rima.
Dia merasa terkejut. Malu. Shock.
Akhirnya mereka tahu juga! Akhirnya temantemannya tahu juga! Esok pagi, pasti seluruh sekolah sudah
tahu, Rima seorang babu!
Tertatih-tatih Rima meninggalkan tamu-tamu yang
masih mengawasinya itu.
"Silakan dicicipi, Bu." Bu Azwar-lah yang membuyarkan kesunyian yang mencekam itu. Dia sendiri merasa
heran. Mengapa tamu-tamunya menatap Rima seperti itu?
Kenalkah mereka?
"Pembantu baru," katanya hati-hati. "Tetapi sangat
rajin dan pandai. Jarang menemukan pembantu seperti dia.
Apalagi yang masih begitu muda."
"Masih sekolah, Bu?" tanya ibu Leni sama hatihatinya.
"Sekolah sambil bekerja di sini," sahut Bu Azwar
bangga. Yah, siapa yang tidak bangga punya pembantu
seperti Rima?
"Lho, ada pembantu kok disekolahkan to, Bu?" cetus
ibu Leni seperti menyalahkan Bu Azwar. Bikin jatuh nama
sekolah saja! Kebetulan sekolah anaknya...57
"Memangnya kenapa?" tanya Bu Azwar tegas. "Kalau
dia pandai dan rajin, mengapa dia tidak boleh melanjutkan
sekolah?"
"Tapi dia kan babu!"
"Tidak seharusnya dia seterusnya menjadi babu.
Otaknya cerdas. Tidak kalah dengan anak-anak sekolah
yang berasal dari orangtua yang mampu."
Leni merasa tersinggung. Baru kemarin ulangan fisika
dibagikan. Dia dapat empat puluh. Sementara Rima
memperoleh sembilan puluh. Benar-benar dia terkena oleh
ucapan Bu Azwar tadi! Tak terasa pipinya memerah.
*** "Kita punya teman babu!" cetus Leni begitu Rima muncul
di kelas keesokan harinya.
Tanpa mengacuhkan ejekan Leni, Rima buru-buru
menaruh buku-bukunya di bangku. Dan sudah hendak
buru-buru keluar Iagi dari kelas ketika Leni menghadang
di depannya.
"La, kamu nggak gatal duduk sebangku sama babu?"
Lala menoleh ke arah Leni dengan heran.
"Mabuk apa sih kamu?" gerutunya bingung. "Aku
nggak ngerti kamu ngomong apa!"
Rima menghela napas dalam-dalam. Disiapkannya
dadanya menghadapi benturan yang paling keras. Dia
harus tabah. Dia tidak mau menyingkir. Dan tidak perlu.58
Sudah terlambat untuk menyembunyikan diri lagi.
Dia terpaksa menghadapinya. Dengan tenang Rima
kembali ke bangkunya.
"Aku pembantu rumah tangga, La," katanya kepada
teman sebangkunya yang masih melongo bingung itu.
"Kalau kamu merasa terhina karena duduk dengan aku,
pindahlah. Biar nanti aku yang mengatakannya kepada Pak
Ian."
"Apa-apaan sih kamu ini, Rim?" Lala mengerutkan
dahinya dengan heran.
"Kemarin Leni datang ke rumah majikanku.
Kebetulan dia melihatku sedang mengepel. Dia tahu aku
cuma seorang babu. Itu yang sedang coba dikatakannya
kepadamu."
Lala tertegun. Ditatapnya Rima dengan tatapan tidak
percaya. Tetapi Rima sudah berpaling pada Leni.
Diawasinya gadis itu dengan tenang.
"Kamu juga boleh menyingkir dari kelas ini kalau
merasa terhina sekelas dengan babu," katanya tegas. "Atau
persetan, menyingkir dari sekolah ini sekalipun! Tapi
jangan harap aku yang akan menyingkir! Karena aku tidak
akan keluar kecuali kalau dikeluarkan! Dan kalau aku
dikeluarkan dari sekolah ini hanya gara-gara aku seorang
babu, aku tidak terima!"
"Siapa yang mau jadi babu?" potong Rico yang baru
muncul.
"Aku," sahut Rima dengan sikap menantang. "Kalau
kamu juga tidak mau duduk di dekat babu, aku akan minta
izin pada Pak Ian untuk duduk seorang diri di sudut
belakang sana."59
"Tidak usah," sela Lala tegas. "Aku tidak peduli kamu
babu atau peragawati, aku tetap mau duduk di sampingmu!
Kamu punya otak profesor. Dan aku tidak mau kehilangan
kamusku kalau ada tes."
Kejadian itu segera menyebar ke semua kelas. Dan
hari itu juga sampai ke telinga para guru. Pak Ian
memerlukan memanggil Rima setelah sekolah usai.
"Benarkah apa yang Bapak dengar, Rima?" tanya Pak
Ian hati-hati.
"Benar, Pak," sahut Rima sambil menunduk. "Saya
memang pembantu rumah tangga. Kebetulan saya
mendapat majikan yang sangat baik. Bu Azwar
mengizinkan saya melanjutkan sekolah. Apa saya akan
dikeluarkan, Pak?"
"Dikeluarkan? Apa salahmu? Karena kamu seorang
pembantu? Tidak ada seorang guru pun yang ingin
mengeluarkanmu! Malah kalau kami tahu dari dulu
kesulitanmu, kami siap membantu! Kepala Sekolah bahkan
sudah memberi izin untuk meminjamkan buku-buku
pelajaran yang kamu perlukan!"
"Untuk sementara saya tidak memerlukan apa-apa,
Pak. Tolong jangan kasihani saya. Supaya saya tidak
merasa lebih terhina lagi karena status saya sebagai babu!"
Anak ini punya sesuatu, pikir Pak Ian kagum. Dia
punya tekad dan harga diri!
*** Dari hari ke hari hubungan Rima dengan Pak Ian
semakin dekat. Rima selalu datang padanya kalau ada60
masalah. Sebaliknya Pak Ian selalu mendekati Rima dan
menanyakan kalau-kalau dia memerlukan sesuatu.
Pak Ian malah sudah menasihati murid-muridnya agar
tidak membedakan Rima dengan teman-teman yang lain
hanya karena statusnya.
"Kalian malah seharusnya bangga punya teman seperti
dia," katanya di depan kelas, ketika Rima sedang disuruh ke
ruang guru untuk mengambil buku. "Dia bekerja matimatian untuk melanjutkan sekolah. Dan nilainya tidak di
bawah nilai kalian yang tidak bekerja." Pak Ian mengawasi
murid-muridnya satu per satu. "Kalau saya dengar ada salah
seorang dari kalian yang mengolok-olok dia lagi, saya
tidak segan-segan menjatuhkan hukuman."
"Terima kasih, Pak," kata Rima seusai sekolah, setelah
dia mendengar cerita Lala tentang wejangan Pak Ian tadi.
"Untuk apa?"
"Saya dengar dari teman-teman apa yang Bapak
kemukakan di kelas tadi."
"Oh, sebagai guru saya memang wajib mendidik
murid-murid saya. Mereka tidak boleh merendahkan
seseorang."
"Bagaimanapun, saya berterima kasih pada Bapak. Pak
Ian guru saya yang paling baik. Bapak selalu menolong
dan memperhatikan saya."
"Hati-hati lu, Rim!" goda Rico suatu hari. "Kamu tahu
nggak, Pak Ian naksir kamu Iho!"


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rima cuma tersenyum mendengar gurauan temantemannya. Pak Ian memang baik. Sabar. Penuh perhatian.
Tapi Rima tidak merasa tertarik padanya secara fisik.61
Ya, secara fisik, dia memang tidak menarik. Tubuhnya
kurus. Wajahnya biasa-biasa saja. Penampilannya
sederhana. Dan umur mereka berbeda hampir dua puiuh
tahun. Bagaimana Rima bisa jatuh hati padanya? Pak Ian
bukan figur pria idolanya. Dia terlalu sabar. Terlalu lemah.
Terlalu lembut sebagai laki-laki!62
6 Jakarta, 1980
RIMA merasa seperti mendapat piala ketika menerima
ijazah SMA-nya. Akhirnya jerih payahnya berbuah juga.
Tidak sia-sia perjuangannya selama tiga setengah tahun.
Tiga setengah tahun karena pada tahun 1978, kurikulum
SMA diperpanjang selama enam bulan. Bagaimanapun
beratnya pergumulannya, cita-citanya tercapai juga. Dia
berhasil meraih ijazah SMA!
"Selamat, Rima!" Ian menjabat tangannya antara
bangga dan haru. Dia tahu bagaimana beratnya perjuangan
Rima untuk memperoleh selembar kertas ini. "Bapak harap
kamu dapat melanjutkan studimu ke universitas."
"Saya ingin menjadi sarjana ekonomi, Pak," cetus
Rima malu-malu. "Apakah cita-cita saya terlalu tinggi?
Tidak tahu dirikah orang seperti saya ini?"
"Tidak ada cita-cita yang terlalu tinggi, Rima."
"Juga untuk seorang babu?"
"Kamu telah membuktikannya selama tiga setengah
tahun terakhir ini, bukan?"
"Semua ini berkat bantuan dan pengertian Bu Azwar,
Pak. Bu Azwar tidak segan-segan mencuci piring sendiri,63
bahkan diam-diam mencuci pakaiannya sendiri, supaya
tidak merepotkan saya."
"Bu Azwar pasti memahami cita-citamu, Rima. Dan
beliau bersedia membantu."
"Tapi beliau sudah tua, Pak. Minggu lalu umurnya
tepat enam puluh lima tahun. Beliau sudah tidak sekuat
dulu lagi. Apakah Pak Pranata, anaknya, mau membiarkan
ibunya mengerjakan tugas yang seharusnya dikerjakan
oleh pembantunya? Bu Azwar tidak mampu menggaji
seorang pembantu lagi."
"Anaknya tidak mau membantu membiayaimu?"
"Pak Pranata?" Rima menggeleng pahit. "Dia seorang
seniman, Pak. Pendapatannya seperti hidupnya. Tidak
menentu. Itu sebabnya dia menitipkan anaknya pada
ibunya. Supaya Rano bisa hidup teratur, katanya."
"Ke mana istrinya?"
"Mereka sudah lama berpisah."
"Cerai?"
"Belum. Tapi sejak Rano berumur dua tahun, mereka
telah berpisah."
"Mengapa Rano tidak dititipkan pada ibunya saja?"
"Saya tidak mengerti, Pak."
"Kalau begitu memang berat bagi Bu Azwar untuk
membantumu, Rima. Lalu apa rencanamu sekarang?"
"Belum terpikir oleh saya, Pak. Saya ingin kembali ke
desa untuk memperlihatkan ijazah ini pada orangtua saya.
Lalu apa? Haruskah saya tinggal di sana, memajang ijazah
saya di dapur?"
"Bapak mengerti perasaanmu."64
Pak Ian memang selalu berusaha membantu Rima.
Tetapi kali ini, dia tidak tahu bagaimana harus membantu
murid kesayangannya.
"Jika kamu bisa masuk ke universitas negeri, mungkin
biayanya tidak terlalu berat, Rima. Kamu dapat kuliah
sambil bekerja."
"Bekerja di mana, Pak? Di mana saya harus tinggal?"
"Bapak akan coba mencarikan kerja part time
untukmu. Dan coba tanyakan pada Bu Azwar, apakah
beliau tidak keberatan kalau kamu menumpang tinggal
beberapa lama di rumahnya sampai kamu dapat memperoleh pondokan sendiri?"
Bu Azwar sangat terharu ketika datang-datang Rima
bersujud di hadapannya sambil mempersembahkan ijazah
itu. "Ini henar-henar hadiah ulang tahun Ibu yang keenam
puluh lima, Rima," katanya penuh haru. "Ternyata
pengorbanan Ibu selama ini tidak sia-sia. Jerih payahmu
telah membuahkan hasil."
Dengan lembut Bu Azwar meraih tubuh Rima dan
membantunya berdiri.
"Saya tidak akan berhasil memperolehnya tanpa
bantuan Ibu," cetus Rima mantap.
"Sekarang kamu tidak perlu menjadi pembantu lagi,
Rima. Dengan ijazah SMA kamu bisa mencari pekerjaan
yang lebih baik. Ibu dan Rano akan sangat kehilangan
kamu."
"Mbak Rima mau ke mana?" protes Rano yang kini
sudah lulus SD.
"Mungkin Mbak mau pulang ke kampung dulu, No."65
"Balik lagi, kan?"
Rima cuma tersenyum.
"Balik lagi kan, Mbak?" desak Rano penasaran.
"Belum Mbak putuskan, No."
"Katanya Mbak mau jadi sarjana ekonomi! Di
kampung nggak ada universitas, kan?"
"Mbak harus mencari pekerjaan, No."
"Kenapa tidak di sini saja? Di Jakarta banyak
pekerjaan, kan?"
"Mbak harus mencari pekerjaan yang bisa dilakukan
sambil kuliah. Nggak gampang, No."
"Tapi Mbak bisa tinggal di sini, kan?"
"Rano benar, Rima," potong Bu Azwar tiba-tiba.
"Kalau kamu sudah memutuskan untuk kuliah sambil
bekerja, mengapa tidak tinggal di sini saja? Menemani Ibu
dan Rano."
"Apakah Pak Pran tidak keberatan, Bu?"
"Tentu saja tidak. Ibu kan tidak perlu menggajimu
lagi. Kamu cuma menumpang tidur di sini. Ibu bisa
mencari pembantu baru."
Berdebar-debar Rima menunggu kedatangan Pranata.
Bu Azwar akan menyampaikan rencananya. Dan
keputusan terletak di tangan lelaki itu... tidak keberatankah
dia? Selama ini hubungan mereka memang tidak terlalu
erat. Pranata jarang datang. Kecuali untuk menjenguk ibu
dan anaknya. Itu pun paling-paling hanya sebulan sekali.
Dia sibuk mengadakan pementasan. Kadang-kadang
sampai ke daerah.66
Dan ketika orang yang ditunggu-tunggu itu akhirnya
datang juga, bukan cuma Rima yang kecewa. Bu Azwar
juga. Pranata datang dalam keadaan mabuk. Jangankan
ditanya, mengangkat kepalanya saja dia hampir tidak
sanggup. Dia langsung tidur di kamar Rano.
"Pementasannya gagal," keluh Bu Azwar kecewa.
"Sponsornya rugi besar dan menarik diri. Pranata
kehilangan sponsornya yang paling setia."
Bu Azwar menepuk bahu Rima yang sedang
menunduk sedih di hadapannya.
"Jangan kuatir, Rima. Besok pasti dia sudah pulih
kembali. Dan Ibu akan bicara padanya. Sekarang kamu
tidur saja, ya."
Rima mengangguk. Ditatapnya perempuan tua yang
sedang tertatih-tatih melangkah ke kamarnya itu. Fisik Bu
Azwar sudah tidak sekuat dulu. Dalam tiga setengah tahun
kesehatannya merosot banyak. Tubuhnya bertambah
kurus. Kakinya tidak henti-hentinya diserang rematik.
Mengapa Tuhan memberikan penderitaan pada
perempuan sebaik dia? Benarkah penderitaan adalah cara
untuk menempa iman?
"Bu," panggil Rima ketika Bu Azwar telah melangkah
agak jauh.
Bu Azwar berhenti melangkah. Dan menoleh. Sekejap
mereka saling tatap. Lalu Rima menghambur mendapatkan
perempuan tua itu. Dan untuk pertama kalinya dia berani
memeluk Bu Azwar.
Sesaat Bu Azwar seperti tertegun. Tubuhnya
membeku dalam pelukan Rima. Lalu lambat-lambat67
tubuhnya melembut. Dan dia membalas pelukan bekas
pembantunya itu dengan hangat.
"Terima kasih, Bu." Cuma itu yang mampu diucapkan
oleh Rima sebelum air matanya meleleh.
Bu Azwar menepuk-nepuk punggung Rima dengan
lembut.
"Ibu mengerti," bisiknya lunak. "Sudahlah. Hapus air
matamu. Tiga setengah tahun kamu bekerja pada Ibu.
Belum pernah kamu menangis."
"Ibu sangat baik pada saya."
"Ibu hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan.
Dan Ibu masih ingin melakukan lebih banyak lagi."
Malam itu Rima tidur agak sore. Tidak ada lagi
pelajaran yang harus dihafal. Rano pun sudah tidur. Dan
malam ini dia tidur bersama neneknya.
Rima membaca buku sebentar sebelum mengantuk.
Lalu tertidur dengan buku itu masih di pangkuannya. Dia
terlelap begitu nyenyaknya. Dan baru terjaga ketika merasa
ada seseorang di dekatnya.
Rima membuka matanya. Lampu masih menyala.
Buku masih terbuka di atas perutnya. Tetapi dia tidak
sendiri lagi di kamar itu. Di hadapannya, tegak Pranata.
*** Pranata langsung terlelap sesudah memperkosa Rima dalam
keadaan setengah mabuk. Susah payah Rima menyingkirkan tubuh lelaki itu. Dan merayap turun dari tempat
tidurnya.68
Dia merasa seluruh tubuhnya sakit. Tetapi lebih sakit
lagi hatinya. Terseok-seok dihampirinya lemari pakaiannya. Dengan air mata berlinang disambarnya sehelai
handuk. Dikerubunginya tubuhnya yang separo terbuka
dengan handuk itu. Sambil menggigil, tertatih-tatih dia
berjalan ke kamar mandi.
Alangkah mahal harga yang harus dibayarnya untuk
selembar ijazah SMA! Kalau dia tidak pergi ke Jakarta...
kehormatannya tidak tercabik seperti ini! Dia tetap seorang
gadis yang suci murni!
Rima duduk sambil menangis di lantai kamar mandi.
Entah sudah berapa kali dia memuntahkan isi perutnya.
Ketika adegan menjijikkan itu terulang kembali di depan
matanya, direnggutnya pakaiannya yang sudah terkoyak
itu dengan sengit. Dilemparkannya jauh-jauh. Diambilnya
seember air. Disiramkannya ke tubuhnya.
Masih tetap merasa jijik kepada tubuhnya sendiri,
Rima mengambil gayung dan menyirami tubuhnya
berulang-ulang dengan cepat sampai habis air di bak
mandi itu.
Lalu Rima merosot kembali ke lantai. Terduduk
sambil menangis. Gayung lepas dari tangannya. Jatuh
dengan menimbulkan suara berisik.
Tetapi dia tidak peduli. Rasanya dia ingin membunuh
diri saja. Tidak mau melihat wajah Bu Azwar lagi. Wajah
Rano. Wajah Pak Ian. Wajah orangtuanya...
***69
Ketika Rima kembali ke kamarnya pagi itu, Pranata sudah
menghilang. Meninggalkan seprai yang kusut masai
dengan kenangan pahit yang tak mungkin terlupakan di
atasnya.
Rima tidak berani lagi meniduri kasur itu. Dia bahkan
tidak berani melihatnya. Dia merasa jijik. Muak. Sakit hati.
Entah sudah berapa kali dia muntah-muntah pagi ini.
Kepalanya terasa berat. Dadanya sakit. Sakit sekali.
Dia mengambil bajunya dengan lesu. Memakainya
tanpa berani menyentuh kulit tubuhnya. Lalu dia keluar
untuk mencari Bu Azwar. Dia sudah bertekad untuk
menceritakan segalanya.
Tetapi belum sempat Rima membuka mulutnya, Bu
Azwar telah menghampirinya dengan berseru riang.
"Berhasil, Rima!" Wajahnya bersimbah senyum.
Demikian bersinar dan cerah. Tak sampai hati Rima
membuyarkan kegembiraannya. "Pranata mengizinkan
kamu tinggal di sini bersama Ibu dan Rano!"
Tentu saja, pikir Rima pahit. Seandainya sekarang dia
minta lebih banyak pun, pasti Pranata tidak keberatan! Apa
yang dapat ditukar dengan sebuah kehormatan?
"Matamu bengkak dan wajahmu pucat." Bu Azwar
menatapnya dengan iba. "Pasti kamu kurang tidur tadi
malam. Menyesal Ibu tidak dapat menanyakannya lebih
cepat pada Pranata. Semalam dia mabuk sekali. Langsung
tidur seperti bayi."
Dan "bayi" itu yang merampas kehormatanku, geram
Rima dalam hati.70
"Sekarang jangan pikirkan apa-apa lagi, Rima," hibur
Bu Azwar lembut. "Ibu yakin kamu dapat meraih gelar
sarjanamu. Ibu akan membantu sekuat tenaga."
"Mbak Rima!" panggil Rano yang baru keluar dari
kamarnya. "Rano sudah tanya Ayah. Katanya Mbak boleh
tinggal di sini!"
Rima tidak berani memandang wajah anak itu.
Bahkan tidak berani menoleh. Ranolah yang memaksanya
menatap.
"Ada apa, Mbak? Kok kelihatannya nggak senang? Eh,
Mbak habis nangis?"
"Mbak Rima masih bingung, Rano," sela Bu Azwar
sambil menyembunyikan rasa herannya melihat sikap
Rima. "Sudahlah, jangan ganggu dia."
"Rano punya sesuatu untukmu, Mbak!"
Tanpa dapat dicegah lagi oleh neneknya, Rano
menarik tangan Rima. Dan memaksanya masuk ke
kamarnya.
Pranata yang sedang berbaring di tempat tidur


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langsung terlonjak. Matanya bersorot kaget menatap Rima.
Melihat lelaki itu di dalam kamar Rano, Rima tertegun
di ambang pintu. Tiba-tiba saja perutnya terasa mual.
Tetapi ketika dia hendak berbalik dan lari keluar, Rano
malah menghelanya masuk.
"Rano punya sesuatu untukmu, Mbak."
Dia langsung membuka lemarinya dan mengeluarkan
celengan ayam-ayamannya. Sebelum Rima dapat
memutuskan hendak lari keluar atau diam saja di sana,
Rano telah melakukan sesuatu yang tida disangka-sangka.71
Di membanting celengan itu. Dan uang logam
berhamburan di lantai.
"Tabungan Rano selama dua tahun, Mbak," katanya
bangga. "Kira-kira cukup nggak untuk biaya masuk
universitas?"
Rima mcrasa hatinya seperti dirobek menjadi dua.
Pedihnya terasa sampai ke ubun-ubun. Dia tidak mampu
mengucapkan sepatah kata pun.
Di sudut lain, Pranata terpaku mengawasi uang logam
yang berserakan di lantai itu. Wajahnya langsung
mengerut seperti menahan sakit
*** Rima memutuskan untuk tidak menyampaikan
musibah yang menimpanya itu kepada Bu Azwar dan
Rano. Disimpannya saja sakit hatinya di dalam dirinya
sendiri.
Pranata menghilang begitu saja selama sebulan lebih.
Ketika dia muncul kembali, dia membawa sejumlah uang.
"Jangan anggap uang ini kuberikan untuk membeli
kehormatanmu," katanya pahit, tanpa berani menatap
Rima. "Karena tidak cukup uang di dunia ini untuk
membeli kehormatan seorang gadis sehebat kamu...."
Dasar seniman, geram Rima dalam hati. Masih mampu
berdeklamasi di depan mangsanya!
"Aku telah berbuat salah padamu. Tidak ada lagi yang
dapat kulakukan untuk menyilihnya. Tidak ada benda apa
pun yang dapat kuberikan untuk mengganti milikmu yang
hilang. Tetapi pakailah uang ini untuk mencapai cita-72
citamu. Barangkali dengan begitu masih ada yang dapat
kuperbuat untukmu."
Tidak ada lagi yang dapat kauperbuat untukku, keluh
Rima getir. Uang sebanyak ini tidak dapat mengembalikan
milikku yang kaurampas!
Dan sebulan kemudian, Rima semakin yakin, uang
pun tidak dapat lagi mengantarnya ke pintu gerbang
kampus. Dia hamil.73
7 RIMA tidak dapat menceritakannya kepada Bu Azwar. Dia
tidak sampai hati. Satu-satunya tempat pelariannya cuma
Pak Ian.
"Bagaimanapun kamu tidak dapat menanggungnya
seorang diri lagi, Rima," gumam Pak Ian bingung
bercampur gusar. Dia benar-benar terperanjat. Tidak
menyangka petaka sebesar itu menimpa bekas murid
kesayangannya.
Gadis yang sangat berbakat! Rajin dan pandai pula.
Sungguh manusia berhati binatang yang sampai hati
merenggut cita-cita yang demikian tinggi! Cita-cita yang
harus dicapainya dengan susah payah. Yang telah
diperjuangkan dengan memeras tenaga dan keringat.
"Saya tidak tega mengatakannya pada Bu Azwar,
Pak," desah Rima pahit. "Beliau sangat baik pada saya!"
"Tetapi lelaki itu harus mempertanggung-jawabkan
perbuatannya, Rima!"
"Dia sudah memberi uang. Katanya cuma itu yang
dapat diberikannya untuk mengganti milik saya yang
hilang."
"Keterlaluan!" geram Pak Ian sengit. Belum pernah
Rima melihat Pak Ian semarah itu. Biasanya dia selalu
tenang. Selalu sabar.74
"Saya tidak tahu harus bagaimana lagi, Pak," keluh
Rima bingung. "Di mana saya harus menyembunyikan
bayi ini? Saya tidak dapat pulang ke kampung. Tapi saya
juga tidak dapat membesarkannya di rumah Bu Azwar!"
"Mari kita temui dulu laki-laki itu, Rima. Kita cari
jalan keluarnya."
"Tidak melalui dia, Pak. Dia sudah berterus terang
pada saya. Tidak ada lagi yang dapat dilakukannya."
"Tidak semudah itu melepas tanggungjawab!"
"Kita tidak dapat memaksanya, Pak. Saya tidak punya
bukti apa-apa. Dan saya tidak mau membalas budi Bu
Azwar dengan menuduh putranya menodai saya."
"Bapak tetap berpendapat dia harus tahu, Rima..."
"Untuk apa kalau cuma sekadar tahu?"
"Lelaki itu harus menikahimu! Kalian sudah punya
anak!"
"Dia belum bercerai."
"Tapi mereka sudah berpisah begitu lama! Mengapa
tidak bercerai saja? Supaya dia bisa mengawinimu dan
menjadi ayah anakmu!"
"Kalau dia tidak mau?"
"Kamu harus bicara dengan ibunya."
"Sudah saya katakan, saya tidak sampai hati..."
"Memang berat bagimu. Tapi kamu tidak punya
pilihan lain. Kalau kamu tidak sampai hati melukai hati Bu
Azwar, anakmu yang akan terluka. Dia akan menjadi anak
haram!"
"Tidak adakah jalan lain, Pak?' tangis Rima jengkel.
"Selain menikah dan pasrah menjadi istri yang tidak75
dikehendaki? Perempuan korban perkosaan yang tidak
punya hak untuk memilih lagi?"
"Jangan punya pikiran seperti itu, Rima! Anakmu
berhak untuk lahir!"
"Tapi saya juga berhak untuk menggapai kebahagiaan saya sendiri! Kalau tidak ada anak ini..."
"Kamu bisa melanjutkan studi dan meraih cita-citamu!
Itu maksudmu?"
"Mengapa saya harus menyerah pada nasib, Pak? Tiga
setengah tahun saya telah memeranginya. Mengapa
sekarang saya harus menyerah?"
"Karena kamu tidak dapat menghindari takdir, Rima!"
"Saya akan berjuang untuk melawan takdir itu, Pak!
Saya yakin tidak ada orang yang ditakdirkan untuk terus
bodoh dan melarat!"
"Kamu bisa mengambil jalan lain Rima. Menikah.
Punya anak. Baru melanjutkan studi. Kalau kamu telah
berhasil sekolah sambil bekerja menjadi pembantu, apa
susahnya kuliah sambil menjadi ibu?"
"Tapi siapa yang mau menikah dengan saya, Pak? Saya
kan tidak dapat mengiklankan diri di koran!"
Lama Pak Ian berpikir sebelum perlahan-lahan dia
membuka mulutnya lagi.
"Apakah menjadi istri seorang guru tidak menghambat cita-citamu, Rima?" tanyanya sambil menatap
gadis itu dengan berbagai perasaan.
Mula-mula Rima tidak mengerti ke mana arah
katakata Pak Ian. Ia tidak menyangka Pak Tan berani
melamarnya.76
Rima memang sudah lama mengagumi Pak Ian. Tapi
hanya terbatas pada kekaguman seorang murid pada
gurunya.
Hubungan mereka memang sudah cukup lama. Tiga
setengah tahun. Dan selama itu, hubungan mereka cukup
dekat. Tetapi itu pun hanya terbatas pada hubungan antara
seorang guru favorit dengan seorang murid kesayangan.
Tidak lebih. Sekarang tiba-tiba Pak Ian melamarnya....
Benarkah karena Pak Ian sungguh-sungguh menginginkannya sebagai istri? Atau... dia cuma merasa iba?
Beda usia mereka hampir dua puluh tahun. Akan cocokkah
suami-istri yang berbeda umurdemikian mencolok?
Saat itu Rima baru berumur delapan belas tahun. Dia
tidak punya orangtua yang dapat dimintai pendapat. Satusatunya orang yang biasanya dimintai pendapat cuma Pak
Ian. Sekarang dia tidak mungkin lagi minta pendapatnya.
Bagi Rima memang tidak ada ruginya. Dia menikah
baik-baik. Dan dapat melahirkan anaknya dengan tenang.
Dan melanjutkan studinya.
Dia dapat meraih cita-citanya tanpa kehilangan nama
baik. Anaknya punya ayah. Dan punya masa depan yang
lebih baik.
Tetapi buat Pak Ian? Apa keuntungannya? Dia hanya
merasa kasihan! Langgengkah perkawinan yang hanya
berdasarkan rasa iba?
Bu Azwar tertegun sesaat ketika medengar Rima akan
menikah dengan bekas gurunya di SMA. Anak ini benarbenar aneh! Penuh kejutan!
"Ibu tidak menyangka kamu akan menikah secepat
ini," katanya terus terang tanpa menyembunyikan rasa77
kagetnya. "Ibu kira kamu akan berjuang untuk meraih
cita-citamu dulu. Bukan Ibu menyepelekan seorang ibu
rumah tangga. Ibu yakin, seorang ibu rumah tangga juga
sebaiknya punya dasar pendidikan yang baik. Tapi
perlukah berjuang sekeras itu untuk meraih ijazah SMA
jika tujuanmu cuma untuk menjadi ibu rumah tangga?"
"Saya akan tetap melanjutkan studi, Bu," sahut Rima
mantap. "Sesudah menikah, saya akan kuliah."
"Suamimu setuju?"
"Dia yang mendorong saya untuk mencapai cita-cita
itu."
"Kalau begitu, kamu beruntung sekali," Bu Azwar
menghela napas panjang. "Pesan Ibu, jangan sia-siakan
kesempatan emas ini. Dan jangan sia-siakan suamimu yang
berhati emas dan penuh pengertian ini."
"Pak Ian akan melamar saya pada orangtua saya di
kampung, Bu. Tapi sebelumnya, saya akan membawanya
untuk menemui Ibu di sini."
Bu Azwar mengangguk tanpa mengucapkan sepatah
kata pun. Di hatinya, dia merasa cemas. Lebih-lebih ketika
melihat seperti apa calon suami Rima.
Nalurinya sebagai orang tua yang sudah banyak
pengalaman membisikkan, guru ini tidak akan mampu
membendung ambisi seorang wanita seperti Rima. Lelaki
itu terlalu baik. Terlalu lembut. Terlalu pengalah. Dia akan
segera tertinggal jauh di belakang istrinya.
"Calon suamimu kelihatannya baik sekali orangnya,
Rima," kata Bu Azwar malam itu, semalam sebelum Rima
pulang ke kampungnya. "Sayang sekali kalau kamu harus
kehilangan suami seperti dia. Kalau Ibu boleh menasihati,78
lebih baik kamu lupakan cita-citamu. Abdikan dirimu bagi
anak dan suamimu."
"Tapi Pak Ian tidak keberatan saya kuliah, Bu!"
"Kesibukan kuliah akan menyita waktumu di rumah.
Padahal waktu yang paling manis bersama suamimu di
rumah tak dapat kamu tukar dengan apa pun."
"Saya berjanji akan pandai-pandai membagi waktu,
Bu."
"Coba dengarkan nenek tua yang sudah banyak
makan garam ini, Rima. Suamimu cuma seorang guru.
Sekarang sampai dua puluh tahun lagi pun, dia tetap
seorang guru. Bukan Ibu menyepelekan profesi guru. Tapi
kamu tahu di mana tempat seorang guru di negeri ini.
Sebaliknya, kamu akan menjadi sarjana. Ibu yakin, kamu
akan berhasil. Dalam studi maupun dalam karier. Sebagai
sarjana ekonomi, dalam dua tahun saja, gajimu sudah
berlipat ganda dari gaji suamimu. Kedudukanmu pasti akan
tambah meroket dalam beberapa tahun mendatang. Saat
itu, di mana tempat suamimu dalam rumah tangga? Selama
kamu masih dapat memilih, Rima, pilihlah salah satu saja,
kariermu atau rumah tanggamu. Jika kamu memilih
perkawinanmu, lepaskan kariermu. Mengalahlah demi
suami dan anak-anakmu."
Tetapi saat itu Rima baru berumur delapan belas
tahun. Semangatnya masih mengebu-gebu. Ambisinya
meluap-luap.
Tekadnya untuk melawan takdir menggelora sampai
ke sudut-sudut hatinya. Mana mau dia menyerah, menyianyiakan kesempatan?79
Pak Ian saja tidak keberatan kok! Mengapa Bu Azwar
yang cemas? Semuanya pasti dapat diatur kalau ada
kemauan! Di mana ada kemauan, di situ ada jalan, bukan?
Nah, mengapa meski mundur sebelum melangkah?
*** Pada tahun pertama pernikahannya, Rima tidak mampu
melayani suaminya. Setiap kali suaminya mencumbunya,
setiap kali itu pula dia merasa takut. Keringat dingin
membanjiri sekujur tubuhnya. Dia menjadi tegang.
Seluruh otot di tubuhnya mengejang.
Dia ingat malam jahanam itu. Malam Pranata
memperkosanya. Dia ingat bagaimana tubuh lelaki itu
menindihnya. Dia tidak lupa betapa kasarnya Pranata. Dan
Rima tidak dapat melupakan napasnya yang berbau
minuman keras itu.
Sekarang setiap kali suaminya melucuti pakaiannya,
bagaimana lembutnya pun Ian melakukannya, Rima
menggigil ketakutan. Kalau suaminya memeluknya, dia
merasa pengap. Dia malah seperti dapat mencium bau
alkohol keluar dari mulut Ian. Padahal suaminya tidak
minum apa-apa sebelum mencumbunya.
Untunglah Ian begitu sabar melayani istrinya. Dia
tidak memaksa. Tidak mengasari istrinya. Tidak mendesak
untuk mengambil haknya. Dia seperti seorang guru yang
mengerti mengapa muridnya tidak dapat melakukannya.
"Trauma perkosaan memang sulit dihilangkan, Rima,"
katanya lembut. Penuh pengertian.80
"Tapi jangan biarkan akibatnya merusak hidupmu.
Merusak kebahagiaan kita. Kalau kamu belum siap, saya
tidak memaksa. Besok kita temui psikiater, ya? Supaya kita
tahu apa yang mesti kita lakukan."
Rima sangat terharu. Sangat berterima kasih pada
suaminya. Dia merasa bersyukur mempunyai suami seperti


Mahligai Di Atas Pasir Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lan. Seperti ketika masih menjadi guru, Pak Ian selalu
membimbingnya. Selalu membantunya memecahkan
masalah. Dia begitu sabar. Begitu penuh pengertian....
*** Hidup perkawinan mereka sangat indah. Pada
permulaannya tentu saja. Lebih-lebih ketika Kartika lahir.
Pak Ian begitu sayang pada Tika. Seperti menyayangi anak
sendiri.
Ketika duduk di tingkat lima, Rima sudah mendapat
pekerjaan yang cukup baik di sebuah perusahaan swasta.
Dia bekerja sambil melanjutkan kuliah. Dan Tika lebih
banyak menghabiskan waktunya bersama ayahnya di
rumah daripada bersama ibunya.
Cinta kasih Ian pada Tika tidak berubah meskipun saat
itu Tika sudah mempunyai adik. Ian tidak pernah
membedakan Tika dari Bulan. Sungguhpun Bulan putri
kandungnya.
Dan karena pada empat tahun pertama mereka tidak
sanggup menggaji pembantu, Ianlah yang bekerja keras
membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga
mereka. Supaya istrinya punya waktu lebih banyak untuk
belajar.81
Di sela-sela kesibukannya mengoreksi pekerjaan
murid-muridnya dan menyiapkan pelajaran untuk esok
harinya, dia tidak segan-segan memandikan anak-anaknya.
Menyuapi mereka makan. Mencuci baju. Membersihkan
rumah. Bahkan kadang-kadang memasak, supaya kalau
istrinya pulang kuliah, dia tidak usah repot-repot
mengurus rumah mereka lagi.
Mula-mula tentu saja Rima terharu bercampur
bahagia. Bu Azwar benar. Suaminya seorang laki-laki yang
sangat baik. Berhati emas. Penuh pengertian.
"Jangan terlalu memanjakan saya, Pak," pinta Rima
sambil merebut cucian di tangan suaminya. "Nanti saya
jadi pemalas!"
"Saya tahu kamu ada tentamen besok, Rima. Lebih
baik kamu belajar. Biar urusan yang dapat saya kerjakan,
saya yang menyelesaikannya."
"Saya sudah biasa bekerja keras, Pak! Belajar sambil
bekerja sudah menjadi kebiasaan saya. Bapak tidak usah
kuatir! Saya pasti berhasil. Tinggalkan saja cucian ini! Biar
saya yang menyelesaikannya!"
Mula-mula semua berjalan lancar. Mulus. Penuh
kemesraan. Mereka selalu saling berebut mengerjakan
sesuatu supaya yang lain mempunyai waktu lebih banyak
dan tidak terlalu lelah.
Walaupun hidup mereka serba pas-pasan dan rumah
mereka kecil, hidup mereka bahagia bergelimang madu.
Ian tidak mengeluh meskipun sekarang dia mesti
mengesampingkan prinsipnya sendiri. Tidak memberi les
pada murid-muridnya yang sebenarnya tidak perlu diberi
les tambahan. Hanya supaya dia memperoleh uang
tambahan untuk membiayai rumah tangganya.82
Dia juga tidak mengeluh karena tugasnya menjadi dua
kali lebih berat. Mengajar sambil mengasuh dua orang
anak kecil. Karena praktis memang dialah yang mengasuh
anak-anak mere-ka.
Rima terlalu sibuk. Lebih-lebih ketika dia mulai
bekerja sambil kuliah. Dia selalu sampai di rumah dengan
sisa-sisa keletihannya. Mana sempat lagi mengurus anak?
"Kamu tidak terlalu capek, Rima?" tanya Ian suatu
hari, iba melihat keadaan istrinya.
"Yah, mana ada kerja yang tidak capek!" desis Rima
letih, agak terlalu keras sampai Ian agak tersentak.
"Maksud saya," sambungnya hati-hati. "Kalau terlalu
capek, mengapa tidak berhenti kerja saja?"
"Hidup dari gajimu saja? Mana cukup!"
Sesudah mengucapkan kata-kata itu dengan nada
tinggi, baru Rima menyesal. Dia memang sedang jengkel.
Baru ditegur kepala bagiannya karena salah mengerjakan
sesuatu. Tetapi tidak pantas menularkan kejengkelannya
pada suami, bukan? Ian berrnaksud baik! Dan Rima telah
menyinggung perasaannya sebagai seorang suami....
"Maafkan saya, Pak," Rima merangkul pinggang
suaminya yang sudah memutar tubuhnya untuk berlalu.
"Saya lagi kesal sih."
"Ada problem di kantor?" tanya Ian sabar. Dia
berpaling kembali pada istrinya. Dan Rima melepaskan
pelukannya dengan sengit.
"Bu Sumariyah memang sentimen pada saya!"
"Dia memarahimu lagi?"
"Hampir tiap hari."83
"Barangkali perlu pendekatan."
"Ah, dia memang sentimen!"
"Sudahlah, jangan kamu bawa kekesalan di kantor ke
rumah."
Mula-mula mereka memang masih dapat saling
menenggang rasa. Masih mampu menambal kebocoran
yang mulai terasa sedikit demi sedikit.
Tapi lama-kelamaan, keretakan itu makin besar juga.
Kesenjangan di antara status mereka mulai terasa. Lebihlebih ketika Rima berhasil meraih gelarnya. Dia kini
seorang sarjana ekonomi. Dan suaminya masih tetap
seorang guru.84
8 Jakarta, 1985
IAN adalah orang yang paling bahagia ketika istrinya
diwisuda. Rasanya segala pengorbanan dan jerih payahnya
tidak sia-sia. Rima berhasil meraih cita-citanya. Menggapai
gelar sarjana ekonomi.
Dia duduk di depan, di antara sarjana-sarjana lain,
yang hari itu diwisuda. Mengenakan toga hitam sarjana
dengan selempang kuning dan topi. Alangkah gagahnya!
Sementara Ian duduk di deretan kursi untuk
undangan. Di antara orangtua sarjana-sarjana yang hari itu
diwisuda. Di antara mereka, dia tampak begitu sederhana.
Tidak berubah. Kecuali bertambah tua dan bungkuk.
"Yang mana suamimu, Rim?" cetus Buntaran, yang
paling senang menggoda Rima. "Yang tua itu? Yang
rambutnya sudah beruban?"
"Nggak salah bawa, Rim? Itu bukan mertuamu?" Aldi
ikut mengolok-olok Rima.
"Ayahmu kali, Rima!" goda Diran tidak mau kalah.
"Bukan suamimu! Iya, kan? Yang itu sih sudah hampir
kadaluwarsa!"
"Hus! Tua-tua juga paten!" Yulia memukul bahu
Diran dengan gemas. Dia pernah ke rumah Rima. Dan dia85
melihat sendiri bagaimana telatennya suami Rima
mengasuh anak sementara istrinya sedang belajar. "Belum
tentu kalian setia seperti dia kalau sudah menjadi suami
nanti!"
"Apa kriteria setia itu, Yul? Mengurus anak di rumah?"
Diran menyeringai masam. "Nggak usah ya! Mendingan
nggak usah kawin sama sarjana daripada mesti mengurusi
anak di rumah tiap hari!"
Mereka memang cuma bergurau. Tetapi bagi Rima
sekarang, gurau itu terasa menyakitkan. Padahal beberapa
tahun yang lalu, ejekan teman-temannya malah
membuatnya bangga. Ian memang suami teladan! Bahkan
ketika dia masih menjadi pembantu, olok-olok temantemannya tidak terasa begini menyakitkan! Sudah
berubahkah dia?
Tidak sadar Rima melirik suaminya. Dia memang
tidak berubah. Kecuali bertambah tua dan loyo, dia masih
tetap Pak Ian yang dulu. Gurunya yang penuh pengertian.
Lemah lembut. Tenang. Dan sabar.
Rambutnya memang telah hampir memutih semua
meskipun umurnya baru empat puluh tahun lebih. Dan
uban yang banyak itu membuat penampilannya tampak
lebih tua daripada umurnya yang sebenarnya.
Kacamata putihnya yang dulu dikagumi Rima karena
menonjolkan sosoknya sebagai guru, kini tampak kuno
ketinggalan zaman. Tambah memberi kesan tua!
Tubuhnya yang kurus dan agak bungkuk... ah,
mengapa mesti mencari-cari kekurangan suami sendiri
justru pada saat yang paling membahagiakan ini? Saat dia
Panji Tengkorak Darah 10 Pendekar Rajawali Sakti 140 Mustika Bernoda Darah Ching Ching 10

Cari Blog Ini