Ceritasilat Novel Online

Rajawali Merah 1

Rajawali Merah Karya Batara Bagian 1


1 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h2 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
RAJAWALI MERAH
Karya : BATARA
Penerbit : U.P. DHIANANDA SOLO
Sumber Pustaka : Awie Dermawan
Menghunjam dalam sepotong pedang
menusuk bumi luka berdarah
melepas dendam marah dan berang
tak perduli lagi iblis berulah!
Petir dan guntur sambar-menyambar
pekak telinga dengar gelegar
nyaris maut datang menggetar
sering terlambat di waktu sadar!
(Diambil dari : kitab pusaka Bu-beng Sian-su)
Jilid I
LANGIT cerah. Udara di dusun He-chungcu terasa begitu nyaman di pagi hari itu. Dusun ini terletak
di kaki pegunungan Thian-san, diapit dua bukit hingga mirip sebuah lembah yang sejuk dan dingin. Tak
banyak penduduknya, kurang lebih hanya sekitar duaratus laki-laki dan perempuan, termasuk anak-anak
yang pagi itu menggembalakan kerbaunya dengan riang untuk merumput. Tapi ketika serombongan orang
berkuda mendatangi dusun itu dengan derap gemuruh dan ringkik serta ledakan-ledakan cambuk
menggetarkan suasana yang nyaman dan tenang ini tiba-tiba keadaan segera berubah.
Duapuluh wanita bermacam umur datang dengan hingar-bingar. Mereka memekik-mekik mencambuk
kudanya agar berlari lebih cepat lagi, tak perduli bahwa kuda tunggangan mereka sudah basah kuyup penuh
keringat, tanda bahwa binatang-binatang tunggangan itu sudah melakukan perjalanan yang jauh. Dan ketika
rombongan itu mengejutkan anak-anak di sekitar dan dua di antaranya berteriak kaget maka yang
menggembala kerbau di pinggir keterjang tiga wanita yang melarikan kudanya seperti gila ini.
"Hei, minggir...!"
Dua anak itu tak sempat mengelak. Mereka duduk di atas punggung kerbau mereka dan tadi sedang
terbelalak melihat rombongan berkuda ini, bengong dan tahu-tahu tiga ekor kuda di depan sudah begitu
dekat jaraknya, menerjang dan kerbau tunggangan mereka ketabrak, roboh dan dua anak itu menjerit
terlempar tinggi. Dan ketika mereka terbanting sementara kerbau mereka terguling-guling di sana maka dua
anak laki-laki ini mengeluh dan pingsan menimpa tanah yang keras.
"Bresss!"
Tiga wanita di atas kuda itu terbelalak sejenak. Mereka tak acuh dan satu di antaranya terlempar dari
atas kuda, berjungkir balik dan kudanya meringkik karena tersungkur roboh, menendang atau menabrak
kerbau pertama. Tapi ketika wanita itu menggerakkan cambuk panjangnya dan menjeletar ke bawah,
menangkap atau menjirat leher kuda maka binatang itu tertarik dan sudah berdiri lagi, dihinggapi tuannya
yang turun ke bawah, tepat di atas punggung kuda.
"Herrr... hyehh!"3 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
Kuda sudah dikeprak kabur. Dua yang lain sudah di depan dan tiga wanita itu tak perduli sedikitpun
pada dua anak laki-laki yang pingsan di sana. Mereka begitu dingin sementara teman-temannya di belakang
sudah menyusul, melewati dan bahkan menendang dua anak itu, yang mencelat dan terbanting lagi dengan
tulang patah. Dan ketika anak-anak yang lain terbelalak pucat dan lari tunggang-langgang maka rombongan
wanita ini sudah memasuki dusun dan berhenti di sana.
"Stop!" dua di depan mengangkat tangannya tinggi-tinggi. "Tempat ini enak untuk kita, toa-ci (kakak
pertama). Kita berhenti dan memeriksa kampung ini!"
Gegerlah semua penghuni. Mereka akhirnya keluar dan laki-laki maupun perempuan sama terbelalak
kaget. Belum pernah tempat mereka didatangi begitu banyak orang, apalagi wanita-wanita semua, yang ratarata gagah dan cantik namun mata mereka bersinar kejam dan ganas. Dan ketika dua wanita di depan turun
dengan ringan dan tak perduli pada pandangan penghuni asli maka mereka berkeliling dan berseri-seri
melihat banyaknya tanaman hijau segar di dusun itu, sayur-mayur dan buah-buahan.
"Bagus, tempat yang nyaman. Makanan di sini cukup!"
"Hm, kalian siapakah?" seorang kakek tiba-tiba melangkah maju, menyeruak dari kerumunan
penghuni dusun. "Selamat datang untuk kalian semua, nona-nona. Tapi maaf perkenalkan diri kalian dulu
agar kami tahu!"
Dua wanita itu menoleh, menyambar tajam. "Kau siapa?" bentaknya, tak menjawab pertanyaan orang.
''Apakah ingin mengusir kami dan tak senang kami di sini?"
"Maaf," kakek itu membungkuk, menarik napas dalam-dalam. "Aku He-chungcu (kepala kampung
He) yang menjadi pemimpin di sini, nona. Bukan bermaksud mengusir apalagi melarang kalian masuk
melainkan semata ingin menyampaikan ucapan selamat datang, kalau kalian ingin datang secara baik-baik.
Nah, siapakah kalian dan dari mana kalian datang. Apakah sekedar lewat dan kebetulan saja sampai di sini."
"Keparat, tua bangka menyebalkan!" wanita di samping kiri tiba-tiba menjeletarkan cambuknya.
"Kami rombongan Li-keh-pan (keluarga Li), orang she He. Datang dan ingin menguasai kampung ini.
Pergilah, jangan mengganggu kami... tar!" orang tua itu terkejut, tersengat ujung cambuk dan tiba-tiba dia
roboh berteriak. Gerakan cambuk yang demikian cepat bak petir menyambar tahu-tahu meledak di kulit
tubuhnya, membuat dia terpelanting dan kakek itu tentu saja menjerit kesakitan. Tapi ketika dia merintih
bangkit berdiri dan delapan laki-laki segera menolongnya mendadak wanita itu meledakkan cambuknya lagi
dan kakek yang sudah berdiri itu tahu-tahu dililit dan dibuang sekitar empat tombak jauhnya.
"Kami tak ingin dipelototi. Kalau kau tak suka justeru aku akan melemparmu lebih jauh lagi!"
Sang kakek terguling-guling. Akhirnya dia mengeluh dan mengaduh kesakitan. Wanita yang tak
berperasaan dan ganas itu tertawa mengejek disusul tawa wanita-wanita yang lain, yakni rombongan yang
sudah dikelilingi penghuni dusun itu, laki-laki dan perempuan yang sama sekali tak membuat mereka takut,
apalagi jerih. Dan ketika kakek itu terbanting dan susah bergerak bangun maka wanita yang menyerang itu
memutar tubuhnya menghadapi delapan laki-laki yang terbelalak memandangnya, marah.
"Kalian!" serunya. "Apakah anak buah He-chungcu?"
"Benar," seorang pemuda melompat ke tengah dengan gagah. "Kami adalah penghuni-penghuni dusun
ini, wanita siluman. Dan aku adalah He Kang, putera He-chungcu. Sebutkan apa mau kalian dan kenapa
datang-datang sudah mencelakai orang!"
"Hm, kau putera He-chungcu? Datang mau membela ayahmu? Hi-hik, kau pemuda tampan, He Kang.
Kebetulan kalau di kampung ini ada pemuda sepertimu ini. Kami butuh laki-laki muda untuk menjadi
pelayan, dan kau kuangkat sebagai kepala pelayan. Singkirkan ayahmu dan suruh kakek-kakek yang lain
menyingkir!"
"Keparat, apa kau bilang? Kalian mau merampok dan menguasai dusun ini?"4 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Tadi sudah kuberitahukan," wanita bercambuk itu berseri-seri. "Dan kami tak mau banyak bicara lagi,
He Kang. Suruh ayahmu menyingkir dan hanya pemuda-pemuda saja yang boleh tinggal di tempat ini.
Selebihnya, harus keluar!"
"Sombong!" seorang lelaki kekar di antara delapan orang itu tiba-tiba berteriak marah. "Mereka ini
srigala-srigala wanita, He Kang. Bunuh dan hajar saja!"
He Kang, pemuda itu, terkejut. Temannya ini sudah bergerak dan sabit yang sedianya untuk mencari
rumput atau ranting-ranting kering itu mendadak saja sudah menyambar wanita bercambuk, marah dan gusar
karena rombongan wanita itu kiranya mau menduduki dusun, merampas dan tinggal di situ dengan
memerintahkan mereka untuk menjadi pelayannya, hinaan yang tak dapat diterima laki-laki ini dan
menyambarlah sabit yang ada di tangannya itu membabat leher si wanita. Tapi ketika wanita itu mendengus
dan tersenyum mengejek, merendahkan sedikit kepala maka sabit lewat di atas kepalanya sementara
kakinyapun, tak tinggal diam untuk menendang si lelaki kekar itu.
"Kau tak tahu diri, mencari mati. Pergilah, dan kuantar menghadap Giam-lo-ong (Raja Maut).... dess!"
dan kaki yang bersarang di lambung serta membuat lelaki kekar itu berteriak dan terbanting roboh akhirnya
membuat penghuni dusun tersentak karena teman mereka itu sudah tidak bergerak-gerak lagi, pecah
lambungnya!
"Kejam!" He Kang, putera He-chungcu terkejut. Tujuh temannya yang lain juga berseru tertahan dan
terbelalak melihat kejadian itu. Seorang wanita muda menjerit dan berteriak menubruk tubuh yang tak
bernyawa itu, karena dialah isteri si lelaki kekar. Dan ketika yang lain juga tersentak dan mundur
membelalakkan mata, yang laki-laki sudah mencabut senjata dan siap menyerang maka wanita itu terkekeh
dan kampung He inipun dibuatnya pucat.
"Hi-hik, lihatlah. Itulah ganjaran bagi mereka yang berani melawan kami. Siapa menyusul dan ingin
ke akherat? Ayo, majulah, dan kami akan mengiring dengan gembira setiap yang tidak puas dan ingin
melawan kami!"
Dusun itu benar-benar gempar. Akhirnya semua orang menjadi ribut dan kematian si lelaki kekar
sudah disusul oleh berita robohnya dua anak yang diterjang kuda. Orang-orang dusun menjadi marah dan He
Kang putera He-chungcu itu sudah merah serta pucat berganti-ganti menyaksikan kejadian ini. Temantemannya gaduh dan berteriak satu sama lain, yang perempuan menyingkir dan anak-anakpun seketika
diminta memasuki rumah masing-masing. Dan ketika empatpuluh laki-laki sudah mengepung sementara
wanita itu bersama teman-temannya hanya tertawa dan tersenyum-senyum maka He Kang memberi aba-aba
dan pemuda itupun sudah menyambar tombak dan menyerang wanita di depannya itu.
"Serang, bunuh wanita ini...!"
Yang lain bergerak di belakang. Empat puluh lelaki tiba-tiba sudah membentak dan menerjang si
wanita bercambuk, mereka marah dan benci karena wanita itu telah membunuh Sui Lok, si lelaki kekar. Tapi
ketika golok dan tombak berhamburan ke depan dan wanita itu mengeluarkan tawa aneh mendadak tubuhnya
berkelebat lenyap dan hujan senjata yang menyambar ke tengah saling bertemu sendiri antar sesama teman.
"Cring-cring-crangg!"
Empatpuluh lelaki itu kaget. Mereka berteriak dan satu sama lain terjengkang saling tumbuk. Mereka
kehilangan lawan karena seperti siluman saja tahu-tahu wanita itu lenyap. Tapi ketika tawa itu terdengar lagi
dan kini ada di belakang, di luar kepungan ternyata wanita itu sudah lolos dan keluar entah dengan cara
bagaimana!
"Hi-hik, kalian mau mengeroyok aku? Empatpuluh laki-laki dengan seorang wanita saja? Boleh,
majulah, tikus-tikus busuk. Dan lihat cambukku menghajar kalian... tar-tar!"
Empatpuluh laki-laki itu terkejut. Mereka sebenarnya tak akan mengeroyok kalau saja wanita itu tak
terlalu telengas. Sepak terjangnya yang ganas dan sekali pukul membuat teman mereka binasa sungguh
membuat kebencian di hati. Itulah sebabnya mereka ingin menyerang dan maju bersama, bukan karena
sengaja mengeroyok melainkan semata karena adanya kebencian bersama itu, kebersamaan yang membuat5 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
mereka sama-sama marah, dan ingin menyerang berbareng. Maka ketika tantangan itu dikeluarkan dan
beberapa di antaranya merah padam, menahan diri maka He Kang menyuruh teman-temannya mundur dan
dia sendiri maju dengan tombak bergetar.
He Kang bukanlah pemuda lemah. Pemuda ini sebenarnya merupakan pemuda paling pandai di antara
semua penghuni He-chungcu. Dialah merupakan pemuda yang paling tangkas karena He Kang amat pandai
berburu, satu latihan ketangkasan yang membuat pemuda itu memiliki gerakan lebih cepat dan mantap
dibanding teman-temannya. Dan karena pemuda ini sering mempergunakan tombaknya untuk merobohkan
lawan maka dengan senjata itu pula pemuda ini menghadapi si wanita.
"Kami tak bermaksud mengeroyok," He Kang merah mukanya, membela diri. "Kami menyerang
bersama karena kami memiliki kebencian yang sama pula. Nah, kini aku akan membela kampungku, siluman
betina. Kau lihat semua kawan-kawan sudah mundur dan aku sendiri!"
"Hi-hik," wanita itu terkekeh, memandang teman-temannya yang lain. "Lihat pemuda ini, toa-ci. Lihat
betapa gagah dan jantannya. Dia pantas menjadi pembantu kita! Bagaimana pendapatmu?"
"Hm," seorang wanita lain mengangguk, wanita berbaju biru. "Kau tidak salah, sam-moi (adik ketiga).
Tapi cepat robohkan pemuda itu karena yang lain-lain masih menunggu!"
"Baik," dan ketika wanita ini menghadapi lawannya kembali maka dia berseru, ''Kau, majulah.
Kurobohkan dalam tiga jurus saja dan setelah itu teman-temanmu yang lain mendapat bagian!"
"Wut!" He Kang menyambar, bergerak dengan tombaknya. "Kau sombong dan pongah, siluman
betina. Coba robohkan aku seperti kata-katamu itu!" dan He Kang yang sudah bergerak dan menusuk atau
menikam lalu menyerang lawan dengan marahnya. Muka merah padam karena dia, merasa direndahkan
sekali. Di depan begitu banyak teman-temannya dia dinyatakan akan roboh dalam tiga jurus saja, padahal
wanita itu hanyalah seorang perempuan. Tapi ketika tombak bergerak dan menyerang atau menusuk tiba-tiba
pemuda ini kaget karena dengan mudah lawan berkelit dan lenyap dari depan matanya.
"Satu..!" tawa di belakang disusul jentikan ke ujung telinga. "Kita sudah bergebrak satu jurus, orang
she He. Lihat betul atau tidak bahwa dalam tiga jurus kau roboh!"
He Kang kaget sekali. Dia memutar tubuh dan cepat menusuk ke belakang karena secara kurang ajar
lawannya itu menjentik telinganya, tidak sakit namun cukup pedas dan membuat telinganya merah. Tapi
ketika lawan berkelebat dan kembali tertawa, lenyap entah ke mana maka hitungan kedua disebut.
"Dua...!"
He Kang kalang-kabut. Tiba-tiba menjadi gugup dan membabi buta menyerang lawan, lagi-lagi ke
belakang dan menusuk namun lawanpun lenyap seperti siluman. Dan ketika teman-temannya berteriak
bahwa wanita itu ada di samping kirinya, dan He Kangpun sudah bergerak maka tombak meluncur dan
menusuk sekuat tenaga.
"Pletak!" tombak itu patah. He Kang berteriak keras karena lawan yang diserang tidak menghindar,
memberikan perutnya namun semacam tenaga yang luar biasa tiba-tiba membuat senjatanya melengkung,
patah dan He Kang tentu saja kaget bukan main, pucat. Namun ketika dia berteriak keras dan lawan tertawa
menggerakkan kakinya maka hitungan ketiga disebut dan pemuda itupun terlempar dan terbanting roboh.
"Bluk!"
Putera He-chungcu ini nanar. He Kang mengeluh dan teman-temannya berseru kaget. Mereka takut He
Kang seperti si lelaki kekar tadi, roboh dan tidak bangun-bangun lagi, tewas. Tapi ketika pemuda itu hanya
merintih dan mengerang-erang kesakitan maka teman-temannya girang dan berhamburan menolong.
"Wanita itu siluman, kita keroyok saja!
"Benar, dan kita bunuh, He Kang. Dusun kita terancam malapetaka!"6 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
He Kang tak dapat menjawab apa-apa. Dia sedang kesakitan dan perutnya serasa diaduk-aduk, mual
dan mau muntah dan teriakan teman-temannya itu tak dapat dijawab. Tapi ketika dia sudah dipapah bangun
dan wanita itu terkekeh-kekeh, geli, maka empatpuluh pemuda yang bergerak memutar tubuh tiba-tiba tidak
menunggu jawaban lagi dan menyerang wanita itu.
"Iblis, bunuh wanita ini!"
"Dan usir teman-temannya yang lain itu!" dan ketika empatpuluh laki-laki itu bergerak dan menyerang
si wanita, juga teman-temannya maka duapuluhan wanita yang ada di situ terpaksa berkelit dan menangkis
serangan orang-orang ini.
"Plak-plak-cringg!"
Empatpuluh laki-laki itu kaget, Mereka rata-rata kaum lelaki yang memiliki tenaga besar. Pekerjaan
mereka sehari-hari adalah bercocok tanam atau berburu, pekerjaan yang membuat jari-jari mereka keras dan
kaku, satu latihan tanpa sengaja yang membuat mereka merupakan laki-laki yang kuat dan bertenaga besar.
Tapi begitu mereka bergerak dan menyerang wanita-wanita itu, dengan golok atau tombak mereka mendadak
senjata mereka patah-patah dan duapuluh wanita itu cukup menampar atau menggerakkan sebelah tangan
untuk menangkis, hal yang tentu saja membuat empatpuluh laki-laki itu menjerit dan kaget bukan main,
terlempar atau terpelanting ke sana ke mari mirip pohon-pohon pisang yang ditebang. Dan ketika duapuluh
wanita itu berkelebatan dari atas kudanya dan membalas mereka tiba-tiba saja mereka semua sudah roboh
tanpa daya.
"Bluk-bluk-bluk!"
Empatpuluh laki-laki ini sudah seperti He Kang. Mereka kelengar dan merintih-rintih di tanah,
memegangi kaki atau tangan mereka yang serasa remuk. Tadi wanita-wanita itu menempar atau mengayun
tangannya ke kaki atau tangan mereka, dan merekapun roboh menjerit. Dan ketika semua terkapar dan He
Kang terbelalak melihat itu maka wanita berbaju biru menggerakkan tangan ke belakang dan sebatang
pedang yang putih mengkilap tahu-tahu sudah berdesing dengan bengis.
"Kalian minta mati, berani menyerang kami!"
"Tidak, jangan...!" wanita baju hijau, si sam-moi, berkelebat mencegah ke depan. " Jangan bunuh
orang-orang ini, toa-ci. Mereka dapat dijadikan pelayan-pelayan kita. Tahan!" dan buru-buru mengulapkan
lengan mencegah encinya wanita itu lalu menunjuk lagi. "Mereka masih muda-muda, dan mereka tentu
mengenal takut. Kalau mereka mau minta ampun dan mengabdi pada kita tentu tak perlu dibunuh. Lihat,
seperti putera He-chungcu itu, bukankah dia gagah dan cukup menarik? Jangan bunuh, toa-ci, kecuali
mereka menolak!"
"Benar," wanita baju merah tiba-tiba berkelehat menyambung, sejak tadi bersinar-sinar memandangi
empatpuluh laki-laki itu, terutama yang muda-muda. "Mereka ini pantas melayani kita, toa-ci. Tigapuluh
lebih rata-rata masih berumur duapuluh lima-an tahun. Sebaiknya diampuni kalau mau tunduk!"
"Kami tak akan tunduk!" He Kang tiba-tiba berseru, lantang. "Kalian iblis-iblis yang keji, silumansiluman. Kalian boleh bunuh kami karena kamipun tak takut mati!"
"Benar!" seorang pemuda lain berseru menyambung, sahabat He Kang. "Aku juga tak takut mati, He
Kang. Aku tak sudi tunduk kalau diperintah iblis-iblis betina macam mereka ini!"
"Bagus!" He Kang berseri-seri. "Kau tak memalukan aku, Lim Houw. Kita akan mempertahankan
wilayah dan dusun ini dengan nyawa dan darah kita!"
"Ha-ha!" Lim Houw, pemuda itu, tertawa bergelak. "Lihat musuh kita justeru pucat, He Kang. Mereka
rupanya ketakutan atau marah kepada kita. Tapi aku tak perduli. Mereka telah membunuh Tek-san, dan pasti
juga akan membunuh kita semua. Hayo, kita sambut kematian dengan gagah!"
Semua yang lain tiba-tiba bangkit semangatnya. Empatpuluh laki-laki yang ada di situ tiba-tiba
berteriak dan menantang-nantang. Tapi ketika pedang wanita baju biru berkelebat dan mendesing di kepala
Lim Houw tiba-tiba pemuda itu roboh dan kepalanya menggelinding terpisah dari tubuh.7 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Crass!"
Teriakan dan pekik tantangan tiba-tiba berhenti seketika. Empatpuluh laki-laki itu kaget karena begitu
cepat dan dinginnya wanita itu membunuh Lim Houw. Mata pemuda itu masih melotot dan darah
menyemprot bagai pancuran. Bukan main mengerikannya! Dan ketika empatpuluh laki-laki itu terbelalak
dan tersentak, melihat pembantaian yang begitu dingin maka wanita baju biru mendengus dan menyambar
mereka dengan kilatan mata yang tajam tak berperasaan, seperti mata iblis.
"Nah, siapa mau menyusul. Buka mulut kalian!"
Semua laki-laki tertegun. Mereka masih ngeri melihat kepala Lim Houw di atas tanah itu, juga batang
tubuhnya yang masih berkelojotan sejenak tapi akhirnya diam tak bergerak-gerak lagi, tinggal darahnya yang
mengucur deras bagai pancuran. Tapi ketika semua tertegun dan membelalakkan mata, pucat dan ngeri
melihat kekejaman wanita baju biru itu mendadak He Kang berteriak,
"Aku! Aku tak takut kepadamu, wanita siluman. Bunuh dan penggallah kepalaku seperti Lim Houw.
Darah dan tubuhku akan menjadi rabuk bagi dusun ini!"
Wanita itu memutar tubuh dengan cepat. Dia terkejut mendengar bentakan He Kang, makiannya, tentu
saja marah dan secepat kilat pedangnyapun bergerak ke arah pemuda itu. Tapi ketika pedang mendesing dan
sekali lagi akan menjatuhkan korban tiba-tiba wanita baju hijau berseru keras menggerakkan tubuh ke depan.
"Enci, tahan.... cringg!" dan dua sinar putih yang beradu dan berpijar di udara tiba-tiba memuncratkan
bunga api yang mengejutkan semua pihak. Sam-moi, wanita ketiga itu, menangkis dan mencegah encinya
membunuh He Kang. Pemuda itu selamat sementara He-chungcu yang sejak tadi menggigil dan mengeluh di
sana menubruk anaknya. Kepala dusun He itu ngeri oleh kematian dua orang warganya marah tapi merasa
tak berdaya apa-apa menghadapi wanita-wanita yang ganas ini. Maka ketika puteranya selamat dan wanita
baju biru itu ditangkis adiknya maka kakek ini mengguguk sementara He Kang tak berkejap matanya melihat
pedang mau menyambarnya tadi.


Rajawali Merah Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudahlah, tak perlu takut. Kita bukan menghadapi manusia-manusia biasa, ayah, melainkan iblis-iblis
dalam tubuh seorang wanita. Aku tak gentar dalam menerima kematian dan kau pergilah selamatkan diri."
"Tidak.... tidak! Mana mungkin begitu? Mana mungkin aku meninggalkan kampung ini? Akupun
bukan laki-laki pengencut, He Kang, aku sudah tua dan lama atau tidak pasti ajal akan menjemputku juga.
Tapi kau tak boleh mati, kau harus memimpin orang-orang kita. Biarlah kuhadapi siluman betina itu dan aku
tak mau kau mendahuluiku ke akherat!" dan si kakek yang tiba-tiba menyambar tombak dan bangkit berdiri
sekonyong-konyong berlari menusuk wanita baju biru itu, yang sedang bersitegang dengan wanita baju hijau
karena mereka segera terlibat dalam percakapan sendiri. Wanita baju hijau menghendaki He Kang jangan
dibunuh, padahal wanita baju biru sebaliknya. Dan ketika si kakek menyerang dan dua wanita itu tentu saja
terbelalak, marah, maka wanita baju biru yang masih memegang pedangnya ini tiba-tiba menangkis dan
tombak di tangan si kakek langsung putus menjadi dua.
"Bedebah keparat!"
Kakek Hu terkejut. Sekali babat saja tahu-tahu tombaknya sudah menjadi dua. Kakek ini terjelungup
ke depan dan saat itulah pedang lawan bergerak dengan amat cepatnya. Wanita baju biru marah karena
adiknya mencegah dia membunuh He Kang, pemuda yang berani menantangnya itu. Maka begitu si ayah
malah maju dan menyerangnya beringas kontan wanita ini menimpakan kemarahannya kepada si kepala
dusun. Dan begitu dia membabat dan si tua terjelungup tahu-tahu pedangnya itu sudah bersarang dan
menembus di dada si kakek.
"Crep!
".... ayah!"
He Kang dan lain-lain terkejut. Pemuda itu berteriak karena ayahnya segera terguling roboh. Pedang
menancap tapi sudah dicabut lagi dan kakek itu berlubang dadanya, tewas dan hanya meninggalkan senyum
ketika anaknya tadi berseru memanggil namanya. Dan ketika kakek itu roboh dan wanita baju biru8 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
tersenyum dingin, memasukkan pedangnya maka wanita baju hijau berkelebat dan menotok pingsan pemuda
ini. Selanjutnya wanita itu juga bergerak dan mereka yang hendak bangun melarikan diri sudah disentuh
ujung jarinya, roboh dan mengeluh oleh totokan lihai. Dan ketika wanita itu berhenti bergerak dan semua
laki-laki pucat memandang, gentar dan ngeri maka wanita itu bertanya siapa yang ingin mati dibunuh.
"Am.... ampun!" semua laki-laki tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut, tak tahan oleh kekejaman itu.
"Kami menyerah, niocu..... kami semua menyerah. Jangan bunuh!"
"Hm, kalau begitu turuti semua kata-kata kami. Singkirkan tiga mayat ini dan yang tua-tua harap
kalian bunuh!"
"Ap.... apa?"
"Kalian tuli? Semua yang tua-tua di sini harus dibunuh, tikus-tikus busuk. Dan kami tak mau
mengotori tangan kami dengan pekerjaan ini. Kalian laksanakan, dan bunuh kakek-kakek atau nenek-nenek
renta!"
"Tapi.... tapi mereka orang-orang tua kami. Mereka... mereka..... crat!" kepala laki-laki itu
menggelinding, tak banyak cingcong lagi dibabat oleh pedang si wanita baju hijau. Kini wanita itulah yang
bergerak dan menggantikan toa-cinya, membabat atau membunuh laki-laki yang bicara bertele-tele itu. Dan
ketika yang lain tersentak dan pucat serta gentar maka sam-moi atau wanita ketiga ini memerintahkan agar
yang minta ampun menjalankan perintahnya membunuh orang-orang tua di situ. Akibatnya terjadilah perang
batin di hati kaum laki-laki ini. Mereka diminta membunuh orang-orang tua yang ada di situ sebagai ganti
nyawa mereka, Dan karena kekejaman atau keganasan dua dari sekian banyak wanita itu sudah mendirikan
bulu roma maka mereka akhirnya bergerak dan yang merasa kepojok lalu membunuh kakek-kakek atau
nenek-nenek di situ. Dan akibatnya dusun He menjadi lolong tangis atau ajang pembunuhan keji. Laki-laki
muda yang takut dibunuh akhirnya menjalankan perintah itu, mereka membabat atau menusuk kakek-kakek
dan nenek-nenek yang tentu saja terjungkal dengan mudah, roboh mandi darah dan menjadi korban dari
kepengecutan kaum lelaki muda ini, anak atau bahkan cucu mereka sendiri. Dan ketika puluhan tubuh
terkapar malang-melintang dan dusun itu banjir darah maka duapuluh wanita yang menonton itu terkekehkekeh.
"Bagus.... bagus sekali. Kalian abdi-abdi yang baik!"
"Dan sekarang layani kami bercinta, anak-anak tampan. Buang pakaian kalian dan ke marilah!"
Kaum lelaki itu terkejut. Mereka tiba-tiba melihat duapuluhan wanita cantik itu melepas baju mereka,
menanggalkannya tanpa malu-malu dan melototlah semua mata melihat tubuh-tubuh mulus di atas kuda.
Wanita baju biru sendiri sudah , menyambar dua pemuda sekaligus dan tersenyum dengan senyumnya yang
khas itu, dingin dan menakutkan. Dan ketika yang lain juga disuruh maju dan apa boleh buat menuruti
kehendak rombongan wanita-wanita itu maka kaum lelaki di dusun He ini dibuat tak keruan. Li-keh-pan atau
rombongan keluarga Li itu mengajak mereka bermain cinta di atas mayat-mayat yang baru dibunuh. Mereka
terkekeh-kekeh dan kelihatan begitu gembira melihat kaum lelaki ini ketakutan. Mereka terangsang tapi juga
sekaligus takut melihat keganasan wanita-wanita ini. Tapi ketika mereka diberi pil hijau dan rasa takut tibatiba hilang mendadak hampir empatpuluh laki-laki muda yang semula ragu-ragu itu menjadi beringas dan
jantan bagai seekor kuda pacu. Mereka menghambur dan saling berebut. Dua laki-laki menarik seorang
wanita. Dan ketika rombongan ini berbaur dan tumpang-tindih di tanah, disertai kekeh atau tawa-tawa yang
tidak normal maka dusun itu menjadi tempat mesum yang tidak bersih lagi. Suasana damai dan tenang
mendadak lenyap. Langit yang cerah tiba-tiba diliputi awan hitam. Dan ketika semua bergumul dan saling
belit tukar pasangan maka wanita baju hijau sudah menyambar He Kang dan menyadarkan pemuda itu dari
pingsannya.
He Kang tertegun. Dia melihat wanita ini melepas baju atasnya, memperlihatkan sepasang bola lembut
dan berbisik di pinggir telinganya bahwa dia telah diselamatkan. Wanita itu mencegah encinya membunuh
pemuda ini dan sekarang dimintanya pemuda itu melayani si wanita. Sam-moi berkata bahwa dia jatuh hati
kepada He Kang, itulah sebabnya dia menyelamatkan pemuda itu. Tapi ketika He Kang tersentak oleh
kematian ayahnya dan betapa dia terkejut melihat teman-temannya sudah bergumul dan bermain cinta
dengan belasan wanita cantik itu tiba-tiba pemuda ini meloncat bangun berteriak marah, "Tidak, kau siluman9 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
keji, Sam-moi. Kau wanita pembunuh!" dan menerjang serta mencekik leher wanita itu tiba-tiba He Kang
sudah kalap dan bangkit kebenciannya, tentu saja membuat sam-moi terkejut dan wanita itu berkelit.
Tubrukan atau cekikan He Kang luput, disusul dan dikejar lagi oleh serangan lain karena He Kang sudah
membentak lagi, menerjang dan memaki-maki wanita itu karena He Kang jengah melihat sam-moi masih
saja memperlihatkan buah dadanya itu. Wanita itu tak menaikkan bajunya dan mengelak sana-sini hingga
bolanya tu bergoyang-goyang, sungguh tak tahu malu. Dan ketika He Kang tetap mengejar ke manapun
wanita itu mengelak akhirnya sam-moi membentak agar si pemuda menahan dirinya.
"Berhenti, atau kau kubunuh!"
"Bunuhlah!" He Kang tak takut. "Aku siap membela kampung halamanku, siluman betina. Dan darah
atau nyawa siap kukorbankan untuknya!"
"Keparat!" dan Sam-moi yang marah oleh kenekatan pemuda ini tiba-tiba mencabut pedang dan
mengiris telinga pemuda itu. "Crat!"
Daun telinga He Kang putus. He Kang menjerit namun sudah menerjang lagi, sejenak tertegun
memandang potongan telinganya itu tapi akhirnya menerjang membabi-buta. Sekarang pemuda ini kesakitan
dan mata gelap, Sam-moi ditubruk dan dihantam. Sebatang golok sudah disambar pemuda ini dan He Kang
mengumpat-caci wanita itu. Tapi karena Sam-moi bukan wanita sembarangan dan semua serangan-serangan
pemuda itu dielak atau dikelit manis akhirnya satu tangkisan miring membuat golok di tangan He Kang
mencelat, ditetak atau dipukul oleh tenaga yang luar biasa dan He Kang terpelanting roboh. Pemuda itu
memang bukan tandingan lawan dan Sam-moi berkilat matanya bahwa pemuda ini benar-benar sudah tak
dapat dibujuk lagi. Karena itu begitu si pemuda terpelanting dan terjengkang ke belakang tiba-tiba
pedangnya bergerak dan dada He Kang sudah ditembus keji.
"Crep!" He Kang mengeluh pendek. Pemuda itu roboh dan darah memuncrat dari luka di dada. Putera
He-chungcu ini melotot tapi tak sempat memaki lawan. Karena begitu ia roboh dan terguling maka He Kang
sudah tewas dan melayang nyawanya!
"Hm!" Sam-moi membuang ludah dengan jengkel. "Kau tak dapat dibujuk baik-baik, He Kang.
Sekarang susullah ayahmu di akherat!"
Wanita ini berkelebat. Akhirnya dia menendang mayat itu dan pergi mencari mangsa yang lain,
puluhan laki-laki yang bergumul dengan saudara-saudaranya dengan cekikikan atau tawa penuh nafsu. Dan
ketika ia mendapatkan seorang pemuda dan menarik pemuda itu dari tanah maka Sam-moi sudah minta agar
pemuda ini melayaninya. Selanjutnya Sam-moi dapat melepaskan kesalnya dengan pemuda ini. Korbannya
diajak bermain cinta sampai sekarat. Laki-laki itu sering digigit atau dicengkeram setiap kali wanita itu
mengejang dalam nafsu memuncak, tentu saja membuat lawan kesakitan. Tapi karena laki-laki itu sudah
menelan pil perangsang dan setiap kali pil itu hilang pengaruhnya wanita ini sudah memberinya lagi yang
baru maka laki-laki pasangannya itu dikuras dan dihabiskan tenaganya. Dan ketika dua jam kemudian Sammoi sudah merasa mendapat kepuasan maka laki-laki di pelukannya itu sudah lemas dan putus napasnya.
"Bluk!"
Sam-moi terkekeh mendorong tubuh itu. Pemuda yang menjadi korbannya mati kehabisan tenaga, juga
oleh demikian banyaknya obat perangsang yang dicekokkan ke mulut lawan. Dan tepat Sam-moi
mengenakan bajunya maka beberapa tubuh . lain juga sudah berjatuhan dan tinggal enam pemuda saja yang
hanya pingsan, dikerjai oleh saudara-saudaranya yang lain!
"Hi-hik, berapa kali kau beri pil Penghisap Sumsum, sam-moi? Kenapa kau bunuh dia?"
"Hm, pemuda menyebalkan!" Sam-moi menggerutu, tapi tertawa. "Aku memberinya duapuluh pil, jici (kakak kedua). Dan kucium mulutnya tadi sampai dia sesak!"
"Tidak hebatkah dia?"
"Kurang perkasa, cepat habis. Rupanya dia semalam sudah mengobral cintanya dengan kekasihnya!"10 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Ah, hi-hik!" wanita baju merah itu tertawa. "Kau rupanya bisa cemburu, sam-moi. Dan dapat panas
hati! Kalau begitu aku beruntung, pemuda yang kudapatkan ini jantan dan perkasa sekali. Sepuluh kali main
tetap saja dia tegar dan hebat, tanpa pil Penghisap Sumsum itu, Lihat, dia calon untuk memperkuat ilmu kita
Tui-hun-hiat-jiu (Tangan Berdarah Pemburu Sukma)!"
Sam-moi mengerutkan kening. Dia melihat pemuda yang ditunjuk encinya itu, bergerak dan sudah
mendekati pemuda ini. Tapi ketika yang lain juga menunjuk dan berseru mendapatkan yang istimewa maka
toa-ci atau kakak tertua menuding dengan bangga.
"Dan aku memperoleh dua pemuda sekaligus. Lihat, mereka ini amat kuat dan bertenaga kuda, ji-moi
(adik kedua). Mereka sanggup berpacu dan melayani empat wanita tanpa henti!"
"Ah, benarkah?"
"Tanya pada cap-sha-moi (adik ketigabelas) atau cap-jit-moi (adik ketujuhbelas)!"
"Wah, hebat!" dan ketika ji-moi serta yang lain-lain berkelebatan dan mengitari dua pemuda itu, yang
ternyata tidak pingsan atau tewas maka semua tertegun melihat dua pemuda itu bangkit duduk, menekuk atau
melipat punggung yang pegal-pegal, tersenyum-senyum, masih telanjang bulat!
"Kau apakan mereka ini, toa-ci?"
"Kuputar balik jalan darah di otaknya."
"Kau membuatnya gila?"
"Hi-hik, tidak penuh. Aku hanya membuat mereka setengah sadar saja, ji-moi. Agar mereka ini patuh
dan selalu tunduk kepadaku!"
"Kalau begitu mereka tak akan mau melayani kami!"
"Benar, mereka hanya milikku. Aku ingin melatih Tui-hun-hiat-jiu lebih sempurna daripada kalian!"
"Ah!"
"Ooh!"
Dan ketika suara-suara lain menyatakan kecewa atau gemas maka toa-ci, wanita baju biru itu
menyambar dan memerintahkan dua pemuda itu mengenakan pakaiannya kembali.
"Kalian hanya tunduk kepadaku, hanya melayaniku seorang. Kalau kalian berani melayani adikadikku yang lain maka kalian akan kubunuh! Mengerti?"
"Mengerti..."
"Nah, siapa namamu."
"Aku Poan Jin..."
"Aku Poan Kwi.."
"Hm, kalian kiranya kakak beradik. Baiklah, bersihkan tempat ini dan mulai sekarang kalian adalah
pelayan-pelayanku!" dan menoleh pada adik-adiknya agar mencari rumah paling baik si toa-ci berseru agar
mereka mencari kamar sendiri-sendiri. "Mulai sekarang kita tinggal di tempat ini. Kita latih ilmu kita dan
cari pemuda-pemuda macam Poan Jin dan Poan Kwi ini untuk memperdalam Tui-hun-hiat- jiu. Siapa mau
bicara?"
"Tak ada."
"Baiklah, simpan buntalan kita masing-masing dan jangan gaduh lagi!"11 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
Ji-moi dan adik-adiknya mengangguk. Mereka berseri-seri dan hari itu duapuluh wanita dari Li-kehpan ini menguasai dusun He. Semua wanita dan anak-anak ternyata sudah lari menyingkir. Rumah-rumah
kosong yang tanpa penghuni sudah diisi wanita-wanita dari keluarga Li ini. Dan ketika hari itu kampung He
dirobah menjadi kampung Li maka toa-ci dan adik-adiknya ini sudah bertempat tinggal di situ.
* * * Dua muda-mudi melenggang santai di atas kuda. Mereka tampak bercakap-cakap dengan mesra dan
manis sambil sesekali bergandengan tangan. Si gadis cantik jelita sementara si pemuda berwajah gagah
meskipun berkulit kehitaman, tinggi besar dan memiliki sepasang mata yang tajam bersinar-sinar. Mereka
mendekati pegunungan Thian-san. Tapi ketika kuda mereka berjalan tenang dan sesekali menyambar rumput
di kiri kanan mendadak mereka dikejutkan oleh tangis dan jerit serombongan wanita dan anak-anak.
"Tidak.... tidak, ibu. Kita kembali mengambil kong-kong!"
"Benar, dan paman juga di sana. Kita kembali, ibu. Aku tak kuat lagi berjalan dan kakiku sakit-sakit....
bluk!" dua muda-mudi itu tertegun, melihat seorang anak roboh terjerembab sementara ibunya menangis
mengguguk-guguk. Mereka tiba di sebuah tikungan ketika rombongan wanita dan anak-anak itu terlihat di
ujung, tak kurang dari enampuluh wanita dan puluhan anak-anak kecil. Semua menangis dan memanggilmanggil kakek atau neneknya juga ayah atau paman yang entah ada di mana. Dan ketika dua muda-mudi itu
berhenti dan mereka meloncat turun maka rombongan wanita dan anak-anak itu mendadak berhenti
melangkah dan terkejut membelalakkan mata, tiba-tiba membalik dan.... lari berserabutan.
"Celaka, kita ketemu lagi. Lari.... awas dibunuh!"
Dua muda-mudi itu terkejut. Mereka ganti membelalakkan mata karena tiba-tiba saja puluhan anakanak dan wanita-wanita itu lari jatuh bangun. Anak yang tadi roboh mendadak meloncat berteriak-teriak,
melupakan sakitnya dan lintang-pukang seperti dikejar hantu. Dan ketika dua muda-mudi itu tersentak dan
saling pandang tiba-tiba si gadis cantik menggerakkan tubuhnya dan berkelebat mengejar.
"Heii...!" seruan itu justeru menambah panik rombongan wanita dan anak-anak "Berhenti, ibu-ibu.
Berhenti semuanya. Aku bukan siluman!" dan berjungkir balik di atas kepala orang-orang itu akhirnya gadis
cantik ini berdiri menghadang. Dia mengembangkan kedua lengannya ke kiri kanan agar wanita dan anakanak itu tidak berserabutan ke sana ke mari. Tapi begitu dia berkelebat di depan dan kepandaiannya ini
mengingatkan wanita-wanita itu akan kepandaian iblis-iblis keji yang membunuh atau mencelakai orang tua
atau suami mereka mendadak mereka berhamburan ke kiri kanan dan.... lari lagi.
"Awas..., awas dibunuh. Lari!"
Si gadis merah mukanya. Dia melihat rombongan itu berpencar menjadi enam tujuh bagian, masingmasing menyelamatkan diri dan menarik anak-anak mereka. Semua berteriak-teriak dan berlarian seperti
induk-induk ayam diserang sekelompok elang. Tapi ketika sesosok bayangan lain berkelebat dan pemuda
gagah yang menjadi teman si gadis cantik itu mengebutkan ujung bajunya tiba-tiba wanita dan anak-anak itu
terlempar jatuh bangun, kembali ke tempat semula.
"Jangan lari, jangan panik. Kami bukanlah siluman melainkan kawan. Berhenti dan ceritakan kepada
kami apa yang telah kalian alami ini!"
Wanita dan anak-anak itu akhirnya tertegun. Mereka semula berteriak kaget ketika terlempar dikebut
lengan baju pemuda tinggi besar itu, mengira akan tewas atau patah-patah tulangnya. Tapi ketika mereka
terbanting dengan lembu dan tak sedikitpun rasa sakit menghinggapi tubuh tiba-tiba mereka terheran dan
membelalakkan mata. Dan mereka tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut ketika pemuda itu menyambar seorang
anak dan mengusap-usap kepalanya, pemuda gagah yang bermata jujur dan baik!
"Ampun, kami.... kami ditimpa malapetaka, siauw-hiap (pendekar muda). Kami ditimpa bencana
hingga suami atau orang-orang tua kami dibunuh iblis-iblis yang kejam!"12 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Hm, kalian dari mana? Dan apa yang terjadi?"
"Kami dari dusun He, kami warga He-chungcu. Kami.... kami... suami kami atau adik-adik kami
direbut iblis-iblis wanita yang keji!" dan ketika semua wanita-wanita itu menangis dan mengguguk di depan
pemuda itu maka mereka ramai menceritakan apa yang terjadi, memiliki kepercayaan dan harapan kepada
pemuda ini karena mereka sekarang melihat bahwa pemuda itu adalah orang baik-baik. Sikap dan pandang
matanya sama sekali tidak menunjukkan sebagai orang jahat. Maka ketika mereka bicara dan satu sama lain
seolah saling mendahului untuk menceritakan penderitaan sendiri maka pemuda itu kewalahan menerima
semuanya ini.
"Stop, satu per satu. Jangan seperti tawon ribut!"
Wanita-wanita itu terisak. Akhirnya seorang di antara mereka maju menceritakan, terbata-bata
menahan cucuran air mata yang terus deras mengalir. Dan ketika pemuda itu mengerutkan kening dan bola
matanya yang tajam bersinar-sinar itu menunjukkan rasa marah maka didengarlah kisah di kaki pegunungan
Thian-san itu. Betapa laki-laki muda ditangkap dan dijadikan pelayan serombongan wanita-wanita liar,
betapa orang tua kakek-kakek atau nenek-nenek dibunuh. Mereka pendatang bengis yang kejamnya melebihi
iblis. Mereka merebut suami atau kekasih-kekasih mereka untuk dijadikan budak wanita-wanita keji itu. Dan
ketika pemuda ini merah padam dan bertanya siapakah rombongan wanita-wanita itu maka ibu muda yang
jatuh terduduk ini menangis gemetar.
"Kami mendengar mereka menyebut diri sebagai rombongan keluarga Li. Kami tak tahu siapa mereka
itu kecuali mereka adalah wanita-wanita siluman yang berkepandaian tinggi dan keji!"
"Hm, rombongan keluarga Li? Berapa jumlahnya?"
"Duapuluhan orang, siauw-hiap. Semua cantik-cantik dan dipimpin seorang wanita berbaju biru. Kami
tak tahu bagaimana nasib orang tua atau suami kami kecuali bahwa yang tua-tua sudah dibunuh dan
dibantai!"
"Hm, kejam sekali. Dan di mana dusun He itu? Dan bagaimana dengan kepala kampung?"
"He-chungcu sendiri sudah dibunuh, dan puteranyapun juga mengalami nasib yang sama!"
"Dan kalian melarikan diri, membawa anak-anak yang masih kecil-kecil begini. Hm, akan kuhajar
wanita-wanita itu, cici. Hentikan tangis kalian dan tinggallah di sini dulu!"
Wanita itu tertegun. "Siauw-hiap mau ke sana? Seorang diri?"
"Tidak, ada isteriku di sini, cici. Itulah dia!"
Wanita ini terkejut. Ibu muda itu baru sadar bahwa di tempat itu masih ada orang lain lagi, yakni gadis
cantik yang tadi berkelebat dan menghadang jalan lari mereka, yang akhirnya berdiri di belakang dan
menjaga kalau-kalau ada yang lolos lagi. Dan ketika gadis itu tersenyum dan berkelebat di samping pemuda
tinggi besar itu, yang ternyata suaminya maka gadis atau nyonya belia ini mengangkat tangannya tinggitinggi.
"Cici-cici, adik-adik sekalian, jangan takut. Aku bukanlah satu dari rombongan wanita-wanita siluman
itu. Aku adalah Mei Hoa, dan ini suamiku Ituchi, putera mendiang Raja Hu. Apakah kalian pernah dengar
nama itu?"
"Raja Hu? Pemimpin dari utara itu?"
"Benar, dan inilah puteranya, cici-cici. Sekarang kalian tahu bahwa kami berdua bukanlah penjahat.
Kami sudah mendengar nasib kalian, dan kami tentu akan menghajar wanita-wanita iblis itu!"
"Ah, terima kasih...!" dan semua wanita yang berlutut dan terkejut mendengar bahwa pemuda tinggi
besar itu kiranya adalah putera Raja Hu yang gagah perkasa maka mereka menangis namun gembira
menaruh harapan besar, satu per satu membenturkan dahinya di depan kaki pemuda itu namun pemuda tinggi
besar ini mengangkat bangun mereka. Dia berkata bahwa pertolongan masih baru akan dilakukan, belum13 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h


Rajawali Merah Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlaksana. Dan ketika semua wanita itu disuruh bangun dan anak-anak diminta untuk tidak berisik lagi maka
pemuda ini minta agar semua duduk tenang.
"Aku akan ke sana, dan akan melihat apa saja yang dilakukan wanita-wanita iblis itu. Tapi apakah
kalian membawa bekal makanan?"
"Tidak, kami.... kami lari tergesa-gesa, siauw-hiap. Kami diguncang ketakutan yang sangat. Kami tak
membawa apa-apa!
"Hm, pantas, anak itu lapar. Kalau begitu biar kucari dulu makanan untuk kalian. Isteriku tinggal sini!"
Semua orang tertegun. Pemuda itu kiranya sudah melihat rintih atau tangis beberapa orang anak yang
kelaparan, mereka itu mau merengek tapi tidak berani. Ibu mereka sedang berbicara dengan pemuda itu. Tapi
begitu pemuda itu mengetahui hal ini dan minta agar mereka tak usah khawatir maka Ituchi atau pemuda
tinggi besar ini sudah berkelebat dan lenyap mencarikan makanan. Mei Hoa atau isterinya itu tinggal
bersama mereka, menemani. Dan ketika tak lama kemudian pemuda itu sudah datang lagi dengan sekarung
penuh buah-buahan dan nasi-nasi bungkus maka anak-anak bersorak sementara ibu-ibu mereka mencucurkan
air mata haru.
"Ah, siauw-hiap banyak repot. Sungguh kami tak tahu harus berterima kasih bagaimana!"
"Ha-ha, sudahlah. Aku terbiasa melakukan hal-hal begini, cici-cici. Sebagai seorang pendekar sudah
kewajibanku menolong yang lemah. Terimalah, dan bagikan kepada anak-anak kalian!"
Ibu-ibu itu menerima. Mereka memang tidak membawa apa-apa ketika melarikan diri meninggalkan
dusun He. Mereka hanya membawa anak-anak mereka itu yang masih kecil-kecil. Suami atau adik-adik
mereka lelaki sudah ditundukkan wanita-wanita bengis itu. Dan ketika semua buah-buahan atau nasi
bungkus dibagi rata, anak-anak makan dengan amat lahapnya, maka Ituchi berkata bahwa sekaranglah
waktunya menemui pengacau-pengacau di dusun He itu.
"Di sini ada hutan yang penuh dengan buah-buahan, tak jauh di belakang. Kalau kurang kalian dapat
mencari ke sana karena aku dan isteriku akan menghajar perusuh-perusuh itu. Apakah kalian ada yang mau
berpesan?"
"Tidak, kami hanya minta agar kau dan isterimu berhati-hati, siauw-hiap. Dan.... dan kami harap kau
datang lagi ke sini dengan selamat!"
"Hm, tentu. Tak usah kalian khawatir. Baiklah, aku pergi, cici-cici. Dan jangan jauh-jauh
meninggalkan tempat ini. Nanti atau besok kami pasti kembali!" dan pemuda itu yang berkelebat
meninggalkan wanita-wanita itu lalu menyambar isterinya dan berdua lenyap seperti siluman. Ibu-ibu muda
yang ada di situ mengeluarkan suara kagum, mereka berdoa agar pemuda itu dapat kembali lagi dengan
selamat. Dan ketika beberapa di antaranya terisak dan sembahyang ke langit maka Ituchi atau pemuda tinggi
besar itu sudah menuju ke dusun He.
Siapakah sebenarnya pemuda ini? Bagaimana dia datang ke tempat itu? Bagi pembaca yang sudah
membaca "Istana Hantu" tentu mengenal baik pemuda ini, Memang benar, dia adalah putera Raja Hu, raja
yang sudah mendiang dan merupakan keturunan raja berpengaruh di utara Tiongkok, yakni dari kelompok
bangsa U-min. Tapi karena Ituchi sejak lama sudah meninggalkan suku bangsanya dan pemuda ini banyak
merantau maka pergaulannya dengan kelompok bangsanya itu kurang erat apalagi sejak kedudukan ayahnya
diganti oleh saudara-saudara tirinya.
Ituchi adalah keturunan Raja Hu dengan seorang isterinya yang cantik Cao Cun, atau Wang Cao Cun
dari kota raja. Dulu Wang Cao Cun ini adalah seorang calon selir yang gagal. Artinya, wanita jelita itu
pernah direncanakan untuk menjadi selir kaisar namun sayang karena ayahnya tak mau menyogok pembesar
yang waktu itu dipegang Mao-taijin maka gadis atau wanita cantik itu terlunta-lunta di istana. Wanita ini
disekap atau dikurung di Istana Dingin yang merupakan tempat untuk "menghajar" calon-calon selir yang tak
mau memberi balas jasa. Dan karena dia tak pernah diketemukan dengan kaisar dan bertahun-tahun wanita
itu hidup menderita maka barulah setelah Raja Hu datang dan diberi hadiah selir, yang kebetulan jatuh pada14 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
Cao Cun maka kaisar atau sri baginda di istana tertegun dan terhenyak melihat calon selirnya yang tidak jadi
ini. Kaisar tergila-gila, kaisar murung. Tapi karena Raja Hu sudah mendapat haknya dan gadis itu
diboyong maka jadilah Cao Cun menjadi isteri tercinta raja bangsa liar itu sampai melahirkan anaknya lakilaki, yakni Ituchi ini, yang sebenarnya akan menggantikan ayahnya tapi terjadi rencana pembunuh terhadap
anak laki-laki itu di mana Cao Cun terpaksa menyelamatkan anaknya dengan jalan menyingkirkannya dari
tengah-tengah bangsa U-min. Kisah sedih itu terjadi duapuluh tahun yang lewat dan untuk ini Cao Cun harus
kehilangan saudaranya tercinta Wan Hoa, si cantik yang juga gagal menjadi selir di kota raja (baca: serial
Pendekar Rambut Emas). Dan ketika peristiwa demi peristiwa dialami ibu anak laki-laki itu sejak Raja Hu
meninggal maka suka-duka menenggelamkan Wang Cao Cun itu sampai anak laki-lakinya datang kembali,
setelah dewasa.
Tapi peristiwa yang menyakitkan datang menusuk perasaan lagi. Ituchi melihat ibunya sudah menikah,
bukan dengan orang lain melainkan dengan putera ayahnya dari ibu pertama, jadi dengan anak tirinya
sendiri. Dan ketika dari pernikahan itu ibunya melahirkan dua anak perempuan, Salini dan Nangi maka
bentrok besar terjadi di antara Ituchi dengan ibunya ini. Pemuda itu memaki-maki ibunya sebagai wanita tak
tahu malu. Ituchi tak tahu bahwa sudah menjadi hukum adat di suku bangsanya bahwa semua peninggalan
ayah akan turun ke anak laki-laki sulung termasuk isteri-isteri atau selir sang ayah. Dan karena Cao Cun
adalah isteri ayahnya dan untuk itu berhak dimiliki anak sulung maka jadilah ibunya itu bersuamikan anak
tiri!
Ituchi marah besar dan mengamuk di situ, dikeroyok dan bahkan hampir dibunuh raja, saudara tirinya
itu. Tapi karena seseorang datang menolong dan pemuda itu diselamatkan maka Ituchi masih hidup tapi
"trauma" yang dialami pemuda ini tak dapat dilenyapkan begitu saja.
Cucigawa, saudara tirinya itu amat dibenci. Ituchi dapat mengendalikan marahnya tapi tidak
kebenciannya. Namun karena waktu itu kelompok bangsa-bangsa sedang bersatu dan menggalang kekuatan
untuk menyerbu Tiongkok, di bawah pimpinan seorang pemuda gagah perkasa yang amat ambisius maka
kebencian atau dendam pemuda itu sejenak terlupakan. Ituchi sibuk membantu istana menghalau penyerbupenyerbu itu. Dia bahkan harus berhadapan dengan suku bangsanya sendiri ketika membantu istana itu,
bahu-membahu bersama para pendekar yang bangkit melawan penyerbuan. Tapi begitu semuanya selesai
dan pemuda yang memimpin penyerbuan itu dikalahkan, mundur dan akhirnya melarikan diri sampai tewas
maka Ituchi teringat lagi kepada saudara tirinya itu, Cucigawa!
Ituchi hendak ke utara dan menemui saudara tirinya itu. Ada beberapa yang harus diselesaikan. Dan
satu di antaranya adalah adat yang dianggapnya tidak tahu malu itu, mengambil ibu tiri sendiri untuk
dikawini! Dan karena Ituchi lebih banyak terpengaruh kebudayaan Han daripada suku bangsanya maka
pemuda ini hendak kembali dan menata kehidupan bangsa U-min.
Tapi sekarang pemuda ini tak sendiri Mei Hoa, gadis yang ditemuinya dalam jaman kekacauan telah
dinikahinya. Mereka diresmikan di kota raja oleh kaisar sebagai tanda terima kasih, maklum, Ituchi
membantu istana sampai semuanya berakhir. Dan ketika sri baginda memberi restu dan mendukung maksud
pemuda itu, yang ingin menemui dan menghajar Cucigawa maka Ituchi seolah harimau yang mendapat
tambahan sayap.
"Aku mengerti maksudmu, paham akan apa yang kau inginkan. Baiklah, boleh kau kembali ke suku
bangsamu itu, Ituchi. Pimpin dan kendalikan bangsamu itu di bawah tangan yang tepat. Kau adalah putera
mendiang Raja Hu, kau berhak atas suku bangsamu itu dan selesaikan urusanmu dengan Cucigawa!"
Ini berarti dukungan. Ituchi girang karena kaisar sendiri yang berkata seperti itu. Kaisar menyetujui
rencananya dan dia telah bercakap-cakap bahwa dia ingin memimpin suku bangsanya itu, mengambil alih
pimpinan dari Cucigawa yang pernah "memberontak" dan membawa suku bangsanya ke jalan yang lebih
baik. Dan karena pemuda itu sahabat istana dan kaisar tentu saja setuju kalau Ituchi memimpin bangsa Umin maka pemuda itu mendapat dukungan moral dan ini membangkitkan semangat baru di hati pemuda itu.
Ituchi akhirnya berangkat, ke utara. Bukan lagi seperti Ituchi yang dulu melainkan Ituchi yang sudah
berobah. Ituchi yang dulu adalah Ituchi yang acuh akan tata pemerintahan bangsanya. Ituchi yang dulu15 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
adalah Ituchi yang tidak ambisius untuk duduk sebagai pemimpin. Tapi begitu Cucigawa membawa suku
bangsanya bentrok dengan istana dan lebih lagi saudara tirinya itu mengawini ibunya maka Ituchi tiba-tiba
menjadi dendam dan ingin merebut singgasana!
"Cucigawa harus dihajar. Dia harus menerima hukuman. Dan karena kaisar sendiri sudah merestui dan
mendukung tindak-tandukku maka aku tak perlu takut kalau bala tentaranya dikerahkan!"
"Maksudmu?" sang isteri bertanya "Kau akan minta bantuan kaisar kalau Cucigawa mengerahkan
pasukannya?"
"Benar, sri baginda sudah mendukung maksudku, Hoa-moi. Dan sri baginda setuju kalau aku
membunuh saudara tiriku itu!"
"Hm, hati-hati," Mei Hoa mengerutkan kening. "Di sana masih tinggal ibumu, Ituchi. Dan di sana juga
ada dua adik tirimu perempuan. Mereka itu semua harus kau perhitungkan!"
"Aku tahu, tapi aku tak perlu takut. Aku sudah memikirkan jalan keluarnya, Hoa-moi. Dan yang
pertama kulakukan adalah mengambil ibu dari tempat raja itu!"
"Dan kau akan dicap merampas kedudukan!" gadis ini sedikit tak enak. ''Kau harus ekstra hati-hati,
Ituchi. Lakukanlah semuanya itu secara diam-diam. Sebaiknya kita datangi Cucigawa itu dan membunuhnya
sewaktu di kamar!"
"Hm, tidak. Aku tak perlu sembunyi-sembunyi, Hoa-moi. Aku akan datang dan menantangnya secara
ksatria. Dia akan kurobohkan di depan semua suku bangsaku. Kukatakan kepada bangsaku bahwa Cucigawa
ini telah membawa bangsa U-min kepada penindasan dan penyerbuan!"
"Hm, terserahlah. Tapi Cucigawa dapat menjawab bahwa waktu itu dia berada di bawah kekuasaan
orang lain, Ituchi. Bahwa dia ditundukkan dan dipaksa orang yang lebih kuat!"
"Itu justeru memperburuk wataknya. Pemimpin yang baik tak akan tunduk kepada hal-hal macam
begitu, Hoa-moi. Pemimpin yang baik tak akan membawa suku bangsanya ke penyerbuan dan agresi biadab.
Cucigawa tak bertanggung jawab dan pengecut hina-dina. Kalau aku yang menjadi dia tentu lebih baik
dibunuh daripada dikuasai orang yang kuat itu!"
"Hm, sudahlah. Kau naik darah. Aku hanya memberi gambaran akan kemungkinan-kemungkinan yang
terjadi dan betapapun aku tetap di belakangmu. Aku tahu semuanya itu, Ituchi. Dan aku tahu bahwa tanpa
kehadiranmu di depan kaisar tentu bangsamu sudah ditawan dan tak dapat kembali lagi ke utara!"
"Itulah, karena itu rakyat tentu tahu bahwa aku telah menyelamatkan mereka. Dan wajar kiranya kalau
Cucigawa kusuruh turun dan aku menggantikan kedudukannya!"
Mei Hoa mengangguk-angguk. Memang dalam peperangan yang lalu bangsa U-min itu mendapat
ampunan. Kaisar memaafkan mereka dan memandang pemuda ini maka bangsa itu boleh kembali ke utara.
Kalau tidak, tentu mereka menjadi tawanan dan tak mungkin Cucigawa pergi dengan selamat. Itulah berkat
jasa pemuda ini. Maka ketika Ituchi hendak mengambil alih pimpinan dan apa yang telah dilakukan
Cucigawa memang dapat dianggap cemar bagi bangsa di utara itu maka Mei Hoa mendukung pemuda ini
untuk menggantikan Cucigawa, kalau perlu membunuhnya agar biang penyakit itu tak mengganggu di
belakang hari.
Tapi hari itu mereka tertahan di Thian-san. Mereka sedang enak bercakap-cakap ketika tiba-tiba
rombongan wanita dan anak-anak dari dusun He itu berteriak-teriak, menangis dan berlarian karena dusun
diserang wanita-wanita iblis, yang menamakan diri sebagai rombongan keluarga Li. Dan ketika Mei Hoa
marah tentu saja mengikuti suaminya mendatangi tempat itu maka siang itu juga mereka sudah tiba di dusun
He. Dan mereka berdua tertegun. Mayat yang belum disingkirkan bersih masih menunjukkan bekas-bekas
kekejaman. Ada darah yang berlepotan di sana-sini, juga potongan jari atau kaki. Ah, mengerikan. Dan
ketika dua muda-mudi ini tertegur membelalakkan mata maka di satu rumah yang terletak di sudut tiba-tiba
mereka mendengar kekeh dan tawa cekikikan, tawa ditahan.16 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Hm, apa itu?"
"Entahlah, mari kita lihat!"
Ituchi dan isterinya berkelebat. Mereka cepat mendekati rumah di sudut itu untuk mengintai. Tak
sukar bagi orang-orang semacam mereka melakukan hal itu. Mei Hoa telah berjungkir balik di atas belandar
dan bergelantungan di situ, sementara Ituchi atau suaminya berkelebat dan melihat dari celah-celah jendela.
Tapi begitu mereka melihat dan mengeluarkan seruan tertahan tiba-tiba saja keduanya membuang muka dan
Ituchi mengumpat.
"Terkutuk, iblis-iblis tak tahu malu!"
Apa yang disaksikan? Kiranya dua orang pemuda sedang bergumul dengan dua orang wanita muda.
Mereka itu telanjang bulat dan keempat-empatnya tak malu-malu bermain cinta, satu sama lain berpindah
pasangan dan dua pemuda itu melakukan hal-hal yang amat menjijikkan. Ituchi dan Mei Hoa sampai merah
padam, Mei Hoa bahkan hampir muntah-muntah! Tapi ketika mereka mau pergi dan tentu saja tak sudi
menonton pertunjukan seperti itu, tontonan cabul, tiba-tiba satu dari dua pemuda itu menjerit dan
menggelepar roboh, disusul oleh pemuda kedua di mana pintu kamar tiba-tiba didobrak orang dan seorang
wanita cantik lain muncul.
"Cap-go-moi, cap-si-moi, kalian keparat menculik kekasih-kekasihku. Mampuslah.... brak-brakk!"
Ituchi dan Mei Hoa terpaksa mengintai lagi. Mereka melihat seorang wanita baju biru marah-marah
dan berkelebat di kamar itu, membunuh dan kini menghajar dua wanita muda yang dipanggil sebagai cap-gomoi dan cap-si-moi, adik kelimabelas dan keempatbelas. Dan ketika dua wanita muda itu terpekik dan
berjungkir balik menghindari serangan maka dua pemuda yang baru saja bercinta dengan mereka itu sudah
roboh dengan dada tertembus pedang, tewas!
"Hei, sabar, toa-ci. Tunggu dulu. Kami tidak bersalah!"
"Benar, tunggu, toa-ci. Kami tidak bersalah. Dua pemuda itulah yang nyelonong dan memasuki kamar
kami untuk mengajak bercinta!" dan ketika dua wanita muda itu berteriak-teriak dan menyuruh lawannya
bersabar maka Ituchi terkejut melihat siapa kiranya si wanita baju biru itu.
Jilid II
"UI KIOK!"
Mei Hoa tertegun. "Kau mengenalnya?"
"Ah," Ituchi tak menjawab. "Kiranya wanita ini, Hoa-moi. Dia.... dia memang wanita jahanam!"
"Kalau begitu mari kita menyerbu masuk!" Mei Hoa bersiap. "Kita hajar wanita itu, Ituchi. Dan..."
"Jangan!" Ituchi tiba-tiba mencegah. "Lihat dulu bagaimana dengan dua wanita itu, Hoa-moi. Kalau di
sini dikatakan ada duapuluh wanita seperti Ui Kiok maka berarti yang tujuhbelas lainnya masih di luar.
Lihat, Ui Kiok menghajar adik-adiknya!"
Mei Hoa membelalakkan mata. Akhirnya dia melihat bahwa dua wanita muda yang bermain cinta
dengan dua pemuda yang tewas itu jatuh bangun dihajar Ui Kiok, wanita baju biru. Dua wanita cantik itu
mengeluh tunggang-langgang karena kakaknya marah sekali. Tapi ketika Ui Kiok atau wanita baju biru
mencabut, pedang dan hendak menusuk atau menikam tiba-tiba belasan bayangan berkelebatan di kamar itu
disusul bentakan atau seruan wanita baju merah.
"Toa-ci, tahan. Jangan melukai atau membunuh saudara sendiri.... cring!" dan sebatang pedang lain
yang menangkis atau menahan pedang itu akhirnya membuat Ui Kiok tertegun dan berdiri merah padam,
matanya berkilat-kilat.17 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Ji-moi (adik kedua), cap-go-moi dan cap-si-moi ini kurang ajar. Mereka mencuri Poan Jin dan Poan
Kwi!"
"Hm, sabar. Kudengar dua pemuda itulah yang mencari-cari mereka ini, toa-ci. Poan Jin dan Poan Kwi
memang mau berkhianat padamu. Kita semua adalah saudara, tak perlu bermusuhan. Tahan kemarahanmu
dan ada berita bahwa dua orang memasuki tempat ini!"
"Apa?"
"Benar , cap-moi (adik ke sepuluh) melihat dua bayangan menyelinap di dusun ini, toa-ci, dicari tapi
menghilang. Mereka tentu musuh. Hati-hati!"
Semua terkejut. Ui Kiok tertegun dan ji-moi atau wanita baju merah itu segera memanggil cap-moi.
Dan ketika cap-moi muncul ke depan dan menceritakan bahwa dia melihat berkelebatnya dua orang di
tempat itu maka gadis nomor sepuluh ini menutup.
"Mereka memiliki gerakan yang gesit dan cepat. Aku berusaha mengikuti tetapi gagal. Dan karena
mereka menyelinap di sekitar sini tentu mereka mengintai, toa-ci. Aku melapor ji-ci (kakak kedua) dan
kebetulan melihat ribut-ribut ini."
"Keparat, siapa mereka itu? Laki-laki atau perempuan?"
"Dua-duanya, cici. Satu laki-laki dan satu perempuan. Mereka pemuda dan gadis yang cantik!"
"Hm!" toa-ci tiba-tiba melupakan urusannya dengan dua adiknya tadi. "Kau kenal mereka, cap-moi?
Siapa mereka itu?"
"Tidak, tapi mereka tampaknya marah!
"Dari mana kau tahu?"
"Pemuda dan gadis itu mengepal tinju, sinar mata mereka menunjukkan itu!"
"Hm, keparat! Dan bagaimana ciri-ciri dua orang itu? Gagahkah pemuda yang kau lihat itu?"
"Gagah, toa-ci, tapi berkulit kehitaman, agaknya bukan orang Han!"
"Bukan orang Han? Bangsa Mongol?"
"Entahlah, aku tak jelas. Tapi sorot matanya membawa marah!"
"Keparat, kalau begitu semua berpencar. Cari pemuda itu sebelum dia mengacau!" tapi baru kata-kata
ini selesai diucapkan tiba-tiba Ituchi sudah berkelebat keluar dan berseru serak,
"Ui Kiok, aku datang!" dan begitu pemuda itu muncul serta menyebut nama wanita baju biru tiba-tiba
semua dibuat kaget dan Ui Kiok atau sang toa-ci tertegun, membelalakkan mata tapi tiba-tiba dia berseru
tertahan, mundur dan mengingat-ingat pemuda tinggi besar ini namun mendadak dia terkekeh. Dan ketika
bayangan Mei Hoa juga berkelebat muncul dan wanita itu menuding maka Ui Kiok berseru,
"Kau... Ituchi! Hi-hik, putera Raja Hu, selamat datang, Hu-kongcu. Selamat berjumpa dan siap
bersenang-senang kembali!"
Ituchi merah mukanya. Dia tak memperdulikan belasan adik-adik Ui Kiok itu terbelalak lebar-lebar.
Mereka terkejut dan heran bahwa kakak mereka menyebut pemuda itu sebagai putera Raja Hu, raja di luar
tembok besar sana dan tentu saja mereka mendengar tentang ini. Raja-raja atau kepala-kepala suku di luar
sana cukup dikenal namanya oleh orang-orang pedalaman, apalagi Raja Hu. Tapi ketika pemuda itu
membentak dan menuding Ui Kiok sebagai wanita cabul tak tahu malu maka belasan wanita cantik yang
semula berseri-seri ini mendadak gelap mukanya, marah.18 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Ui Kiok, kau kiranya pemimpin gerombolan siluman-siluman liar ini. Pantas saja, sungguh tak aneh.
Tapi tindakanmu membunuh-bunuhi orang tak dapat kubiarkan saja. Bersiaplah, aku akan mengantarmu ke
akherat dan semua saudara-saudaramu yang cabul ini akan kulenyapkan!"
"Benar!" Mei Hoa melengking di samping sang suami. ''Aku sudah melihat dan mendengar sepak
terjang kalian, wanita-wanita keji. Aku akan membantu suamiku melenyapkan kalian. Bersiaplah... sing!"
dan sebatang pedang yang sudah dicabut dan mendesing keluar tiba-tiba sudah digerakkan dan Mei Hoa
mendahului menusuk Ui Kiok, si wanita baju biru, sang pemimpin. Dan ketika Ui Kiok mengelak dan
tertegun bahwa Mei Hoa adalah isteri pemuda itu maka Mei Hoa membalik dan sudah menyerangnya lagi.
"Sing-singg!"
Ui Kiok marah. Akhirnya dia mundur dan adiknya nomor dua dan tiga maju, menangkis dan
membentak lawannya itu dan akhirnya Mei Hoa sudah dikeroyok. Tapi ketika pedang berkelebatan dan Mei
Hoa dapat menghadapi dua lawannya sekaligus maka Ui Kiok tertegun dan merah mukanya.
"Hm, kiranya kau!" wanita ini bersinar-sinar, mengejek memandang Ituchi. Mari maju dan kita mainmain, Ituchi. Sungguh tak kunyana kalau kau sudah memiliki pasangan. Kau agaknya lupa akan cinta kita
yang dulu dan gampang melupakan aku!"
"Tutup mulutmu!" Ituchi membentak, marah. "Aku tak pernah menjalin cinta denganmu, Ui Kiok.
Justeru kaulah yang dulu hendak menjebak aku dan Thai Liong!" dan tidak banyak bicara lagi agar Ui Kiok
tidak bicara yang macam-macam pemuda ini sudah bergerak dan menyerang lawannya itu. Di sana isterinya
mendengarkan dan Ituchi khawatir. Dia belum sempat memberi tahu isterinya siapa adanya Ui Kiok ini,
salah-salah isterinya bisa cemburu dan hubungan mereka runyam. Dan ketika dia menyerang Ui Kiok
menghindar, sama seperti tadi maka wanita baju biru itu tertawa mengejek memberi aba-aba pada belasan
adiknya.
"Tangkap pemuda ini, dan ringkus dia!"
Ituchi selanjutnya melihat bayangan-bayangan berkelebat. Belasan wanita cantik menyerang dan


Rajawali Merah Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menusuknya dari delapan penjuru. Belasan batang pedang sudah susul-menyusul mencoba merobohkannya,
Ui Kiok sendiri sudah mundur dan menonton adik-adiknya yang bergerak. Tapi ketika Ituchi menangkis dan
menggerakkan tangannya ke kiri kanan maka belasan batang pedang tersampok dan terpental bertemu tangan
telanjang pemuda itu, hal yang mengejutkan lawan-lawannya.
"Cring-plak-plak!"
Semua mata terbelalak. Pedang mereka beradu sendiri dan selanjutnya Ituchi tiba-tiba bergerak,
menyerang dan mendahului mereka dan belasan wanita cantik itu kaget karena begitu pemuda itu bergerak
dan mengebutkan ujung lengan bajunya tiba-tiba serangkum angin kuat menyambar dari depan. Mereka
mengelak tapi ujung lengan baju itu sempat juga menyerempet, angin pukulannya terasa pedas dan
menyakitkan. Dan ketika beberapa di antaranya terpaksa membanting tubuh dan bergulingan maka Ituchi
bergerak-gerak dan pemuda itu sudah merupakan bayangan siluman yang menampar memukul ke sana ke
mari.
"Plak-plak-aduh!"
Ui Kiok membelalakkan mata. Wanita ini terkejut karena Ituchi sudah mengeluarkan ilmu
meringankan tubuhnya yang hebat dan cepat. Pemuda itu selalu mendahului adik-adiknya dan di mana
pemuda itu menampar maka di situ pula adiknya pasti menjerit, tak kuat oleh pukulan atau tamparan pemuda
ini. Dan ketika ujung lengan baju tiba-tiba juga berobah keras seperti toya maka suara bak-bik-buk mulai
terdengar.
"Keparat!" wanita ini marah. "Keluarkan Tui-hun-hiat-jiu, sumoi-sumoi. Jangan biarkan diri kalian
digebuk!"
Belasan wanita-wanita cantik itu memekik. Akhirnya mereka menggerakkan tangan kiri dan
berkelebatlah cahaya merah ke arah Ituchi. Bau amis juga menyusul dan Ituchi mengerutkan kening. Tapi19 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
ketika pemuda itu menggerakkan lengan menangkis maka Tui-hun-hiat-jiu tertolak sementara pemiliknya
juga terhuyung.
"Keparat!" wanita-wanita itu marah, "Pemuda ini lihai dan kuat sekali, toa-ci. Sebaiknya kau maju dan
bantu kami!"
"Benar," yang lain menyambung. "Pemuda ini sinkangnya hebat, toa-ci. Dia selalu memukul dan
menahan kami!"
"Hm!" Ui Kiok merah padam. "Agaknya betul, para sumoi. Tapi jangan terburu-buru. Coba kitari
pemuda itu dan buat kepungan merata!"
Belasan wanita itu akhirnya mengangguk. Mereka menurut dan sudah berlarian mengelilingi Ituchi.
Tangan mereka juga terus menyambar sementara pedang di sebelah kanan juga bergerak mendesing-desing.
Tapi karena Ituchi bersikap tenang dan agaknya sinkang pemuda itu memang lebih kuat daripada lawanlawannya maka dengan enak saja pemuda ini menghalau dan bahkan akhirnya ikut berputaran dan lebih
cepat daripada lawan-lawannya.
"Toa-ci, tolong..!"
Sang toa-ci terkejut. Ui Kiok mendengar teriakan di sebelah kirinya dan itulah teriakan sam-moi,
adiknya nomor tiga. Wanita ini hampir lupa bahwa di sebelah yang lain terdapat juga sebuah pertandingan,
yakni antara dua adiknya pertama dengan Mei Hoa, gadis cantik itu. Dan ketika Ui Kiok menoleh dan
melihat terpelanting maka wanita ini terkejut karena Mei Hoa juga memiliki gerakan cepat dan ilmu
meringankan tubuh gadis itu sama dengan yang dimiliki Ituchi, bahkan rasanya lebih enteng!
"Bluk-dess!"
Ui Kiok terperanjat. Adiknya nomor dua, ji-moi, terlempar oleh sebuah tendangan melingkar. Pedang
di tangan adiknya itu terlepas dan Mei Hoa melengking melepas satu pukulan putih, mengejar adiknya yang
sedang bergulingan dan berteriak minta tolong padanya. Dan ketika wanita itu tertegun dan tentu saja kaget,
membantu adiknya yang sini ataukah yang sana maka pukulan Mei Hoa mengenai leher ji-moi dan adiknya
itu terbanting.
"Dess!"
Ui Kiok tak tahan lagi. Akhirnya wanita ini membentak dan tangan kirinya melepas Tui-hun-hiat-jiu,
langsung meng hantam atau membokong Mei Hoa yang membelakangi lawan. Dan ketika Mei Hoa terkejut
dan tak sempat berkelit maka pukulan itu diterimanya dengan kibasan lengan kiri yang dilempar ke
belakang, dan.... Mei Hoa mencelat.
"Bress!"
Ganti gadis itu berteriak tertahan. Selanjutnya Ui Kiok mengejar dan wanita ini telah mencabut
pedangnya, marah karena adiknya nomor dua tidak bergerak gerak lagi, entah pingsan atau mati. Dan ketika
Mei Hoa bergulingan melempar tubuh dan gadis itu mengeluh dirangsek gencar maka bahunya keserempet
pedang sementara sam-moi, gadis nomor tiga telah bangun terhuyung dan membantu encinya ini.
"Kita bunuh dia, kita cincang tubuhnya!"
Ui Kiok mengangguk. Wanita ini geram karena adiknya nomor dua telah dirobohkan. Hal itu
membangkitkan kemarahannya dan diserangnya lawan bertubi-tubi. Mei Hoa terkejut karena bau amis
membuat kepalanya pening. Pukulan tangan kiri wanita itu menyambar dahsyat dan dia terhuyung-huyung.
Tapi ketika Mei Hoa terdesak dan gugup menghindar sana-sini maka justeru suaminya merobohkan tujuh
wanita yang menjadi lawannya, menampar dan memukul dan kebutan ujung lengan baju pemuda itu tak
sanggup dihadapi saudara-saudara Ui Kiok ini. Setiap Tui-hun-hiat-jiu atau pedang menyambar selalu
tertolak balik oleh pukulan pemuda itu, sinkang Ituchi memang lebih kuat dibanding lawannya. Dan ketika
tiga orang lagi roboh dan tujuh sisanya menjerit minta tolong Ui Kiok maka sang toa-ci mendelik karena
lawannya belum juga dapat dirobohkan, meskipun sudah terhuyung-huyung dan pening oleh bau amis Tuihun-hiat-jiunya.20 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Toa-ci, bantu kami. Atau kami semua mati!"
"Benar, tolong, toa-ci. Pemuda ini hebat sekali dan kami bukan tandingan.... aduh!" sebuah teriakan
lagi terdengar, tubuh seorang wanita mencelat dan Ituchi sudah berkelebatan bagai garuda menyambarnyambar. Pemuda ini khawatir melihat keadaan isterinya yang didesak Ui Kiok, tak tahan oleh bau amis dan
itulah kelemahan Mei Hoa. Maka ketika Ituchi mempercepat gerakannya dan kepungan belasan wanita itu
malah berbalik tak keruan maka pemuda ini sudah ganti mengitari lawannya dan wanita-wanita itu dibuat
pusing, kalah cepat!
"Kalian harus roboh, atau menyingkir jauh-jauh!"
Enam wanita sisanya akhirnya pucat. Mereka sudah mengerahkan Tui-hun-hiat-jiu namun latihan yang
kurang matang membuat ilmu mereka itu tak berdaya berhadapan dengan pemuda ini. Ituchi memiliki
sinkang kuat dan kecepatannyapun melebihi mereka, akhirnya mereka menjadi pening setelah Ituchi mampu
mengelilingi mereka, balik mengitari mereka dan ilmu meringankan tubuh pemuda itu yang luar biasa
membuat belasan wanita cantik ini terkejut. Mereka ngeri karena tiba-tiba saja pemuda itu telah berobah
menjadi bayangan yang menyambar-nyambar. Mereka tak tahu bahwa Ituchi mengeluarkan ilmu
meringankan tubuhnya yang disebut Hek-eng-sut (Bayangan Garuda). Maka ketika lawan tak mampu
mengikuti dan satu demi satu roboh oleh tamparan pemuda itu maka belasan wanita ini akhirnya tinggal
enam orang yang mulai pucat dan gemetar. Mereka akhirnya mundur-mundur dan saat itu Ituchi mengejar
satu di antara mereka, menampar tapi merobah tamparan menjadi totokan dan wanita itu menjerit, roboh
terjengkang. Dan ketika Ui Kiok masih tak datang membantu padahal lima adiknya ini sudah gentar dan jerih
maka tiba-tiba mereka berteriak dan lari meninggalkan pemuda itu, memutar tubuh.
"Toa-ci, kau kejam. Keparat!"
Ui Kiok terkejut. Saat itu dia sudah mempercepat gerakannya untuk memukul roboh Mei Hoa.
Lawannya ini sudah kian terhuyung-huyung saja dan pening. Ui Kiok mengerahkan hawa beracun pada
pukulan-pukulan Tui-hun-hiat-jiunya itu, ilmu yang belum dimiliki adik-adiknya karena hawa beracun itu
menyangkut pada ilmu pernapasan, dan Ui Kiok tak memberi tahu adiknya tentang ini. Maka ketika dia
mendesak lawannya dan terpaksa membiarkan adik-adiknya maka saat itulah lima adiknya meninggalkan
Ituchi padahal saat itu juga dia melepas Tui-hun-hiat-jiu untuk yang terakhir kalinya.
Dess!"
Ui Kiok malah mencelat! Wanita ini terpekik karena pukulannya tiba-tiba diterima Ituchi, pemuda itu
sudah meloncat dan menolong isterinya, melihat isterinya diserang dan terhuyung-huyung. Dan karena
lawan-lawan Ituchi sudah mundur melarikan diri dan pemuda ini leluasa bergerak keluar maka ditangkislah
pukulan Ui Kiok dan Ituchi menahan napas karena dia mencium bau amis yang mengandungk racun. Dan Ui
Kiok mencelat, tak menyangka tangkisan ini tapi Ituchi sendiri sudah berkelebat menolong isterinya, yang
jatuh terduduk. Dan ketika Ui Kiok terbelalak dan terguling-guling di sana, meloncat bangun, maka Ituchi
bertanya pada isterinya bagaimana keadaan isterinya saat itu.
"Kau menghirup hawa beracun, cepat telan pil ini!"
Mei Hoa mengangguk lemas. Sekarang baru, Mei Hoa sadar bahwa yang dihadapi bukan melulu
pukulan-pukulan biasa. Lawan mengerahkan hawa beracunnya dan karena itulah dia merasa tak kuat. Perut
serasa mau muntah-muntah sementara kepalapun pening. Tapi ketika dia menelan pil itu dan Ituchi
mengangkat isterinya tiba-tiba Ui Kiok menyambar dari belakang dengan pukulan Tui-hun-hiat-jiu.
"Awas!"
Ituchi terkejut. Sang isteri meneriaki tapi pemuda ini tak sempat berkelit. Satu-satunya jalan ialah
menerima pukulan itu dengan mengerahkan sinkangnya. Dan karena Ituchi memiliki Tiat-i Sin-kang (Ilmu
Kebal Baju Besi) maka Tui-hun-hiat-jiu diterima dan berteriaklah lawan ketika pukulannya itu membalik.
"Aduh!"21 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
Ui Kiok terlempar berjungkir balik. Wanita ini tak menyangka bahwa sedemikian lihai pemuda itu
sekarang. Dulu. Ituchi berhasil ditangkap dan dirobohkannya (baca: Istana Hantu). Maka ketika dia,
terlempar dan berjungkir balik oleh pukulannya yang membalik maka Ituchi menggeram dan bangkit berdiri.
"Ui Kiok, kau siluman betina, tak tahu malu. Mampuslah, aku akan menghajarmu!" dan Ituchi yang
marah mendorong isterinya lalu berkelebat dan mengejar wanita itu, melepas pukulan sinar putih dan Ui
Kiok pun kaget, menangkis tapi saat itu dia baru melayang turun. Maka ketika dia terlempar dan mencelat
lagi maka wanita itu pucat karena Ituchi sekarang sungguh demikian lihai!
"Plak-dess!"
Selanjutnya Ui Kiok malah terdesak berulang-ulang. Lima adiknya yang melarikan diri tak muncul
lagi dan sam-moi, adiknya nomor tiga, juga gentar di luar sana, pucat dan terbelalak dan Mei Hoa
membentak setelah sehat kembali. Gadis atau wanita itu menyerang sam-moi dan kalang-kabutlah wanita ini
ketika pukulan atau pedang menyambar-nyambar. Mei Hoa memakai pedangnya lagi setelah tadi terlepas di
saat dia terhuyung-huyung, tak kuat oleh rasa mual atau pening. Tapi begitu dia mendesak dan sam-moi
mundur-mundur mendadak lawannya itu melarikan diri sambil menyambar ji-ci, sang kakak nomor dua.
"Toa-ci, aku tak kuat. Mundur saja!"
Toa-ci terbelalak. Saat itu dia kewalahan menerima tamparan-tamparan Ituchi dan meskipun dia
berpedang atau mempergunakan Tui-hun-hiat-jiunya tetap saja dia keteter. Hal itu bukan lain karena sinkang
Ituchi yang kuat. Pemuda ini berani menerima atau membiarkan Tui-hun-hiat-jiu mengenai tubuhnya, karena
dia sudah melindungi diri dengan Tiat-i Sin-kangnya itu. Dan karena Tui-hun-hiat-jiu juga belum sempurna
diwarisi wanita itu sementara Ituchi sudah memiliki Tiat-i Sin-kang maka toa-ci atau Ui Kiok ini terdesak
hebat, mundur-mundur dan terus mundur akhirnya terpelanting ketika sebuah ,tamparan atau pukulan Ituchi
menghantam dadanya. Wanita ini mengeluh dan diam-diam kaget. Tak sehebat itu Ituchi dulu! Tapi karena
kenyataan sudah membuktikan lain dan adiknya nomor tiga juga sudah melarikan diri maka toa-ci atau Ui
Kiok ini tiba-tiba membentak dan melepas sebuah granat tangan.
"Darr!"
Jarum-jarum halus berhamburan. Ituchi harus meloncat tinggi berjungkir balik kalau tak ingin dikenai
jarum-jarum itu. Pemuda ini mengebut dan asappun buyar. Tapi ketika dia turun kembali dan melihat ke
depan ternyata lawannya itu lenyap dan belasan tubuh yang malang-melintang di situ juga sudah tidak ada
lagi!
"Keparat!" Mei Hoa yang melengking marah. "Wanita-wanita busuk itu melarikan diri, Ituchi. Ayo
kejar dan cari mereka sampai dapat!"
"Hm, sudahlah," Ituchi menarik napas panjang. "Ui Kiok dan adik-adiknya meninggalkan kita, Hoamoi, tak perlu dikejar. Kita panggil saja wanita-wanita dusun dan anak-anaknya itu..."
"Kami di sini!" Ituchi tiba-tiba tertegun. "Kami datang menyusulmu, siauw-hiap. Kami tak mau kau
dicelakai wanita-wanita iblis itu. Kalau kau sampai terbunuh biarlah kami mati juga dan ikut suami atau
orang-orang tua kami!"
Mei Hoa dan Ituchi membelalakkan mata. Puluhan wanita dan anak-anak itu kiranya sudah tiba di situ
dan kini mereka menjatuhkan diri berlutut, semua menangis girang karena Ituchi berhasil mengusir wanitawanita itu. Dan ketika anak-anak juga berteriak girang dan memuji Ituchi maka Ituchi sadar dan berkelebat
di depan mereka, melihat anak-anak dan ibu-ibu muda itu membawa pentungan atau pisau-pisau lipat!
"Kalian...!" pemuda ini agak terbata. Menyusul dan mencariku ke mari? Kalian tidak takut dibunuh?
Ah, berbahaya sekali, cici-cici. Bagaimana kalau tadi mereka itu melihatmu sementara kami tak dapat
melindungi!"
"Kami masih bersembunyi di luar," seorang ibu muda memberikan penjelasan. "Kami tahu kau
menghadapi lawan-lawan lihai, siauw-hiap. Kami sengaja tak keluar dulu agar kau dapat berkonsentrasi22 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
menghadapi lawan-lawanmu itu. Tapi begitu kau roboh atau isterimu ini celaka tentu kami akan
menghambur dan menyerang mereka, biarpun nyawa taruhannya!"
Ituchi kagum. Akhirnya dia terharu oleh semua sikap itu. Ibu-ibu muda yang disuruh menunggu di
hutan sana ini kiranya tak mau berpeluk tangan saja dan siap membela kalau dia sampai terbunuh. Ah! Dan
karena mereka itu menyuruh anak-anak yang kecil untuk ikut menyerang kalau dia atau Mei Hoa roboh
maka Ituchi berlinang air mata ketika seorang anak laki-laki berseru mengacungkan pisau lipatnya.
"Kami akhirnya malu padamu, siauw-hiap, yang bukan sanak bukan kadang tiba-tiba saja siap
mempertaruhkan nyawa untuk kami. Masa kami yang bersangkutan harus berpeluk tangan? Kalau kau roboh
biarlah kami juga roboh, hitung-hitung menyusul kakek atau paman kami di akherat sana!"
Ituchi tak tahan, menyambar anak ini. Kau..." suaranya gemetar. "Siapa namamu?"
"Peng Houw!"
"Hm, bagus. Terima kasih, Peng Houw. Kau gagah dan mengagumkan. Ah, kau dan semuanya yang
ada di sini ternyata gagah-gagah dan pemberani. Tapi meskipun kalian pemberani tapi menghadapi silumansiluman betina itu kalian tetap bukan tandingan. Sudahlah, mereka sudah kuusir, Peng Houw. Kau dan ibumu
dapat tinggal di sini lagi dan tak perlu khawatir!" Ituchi menurunkan anak itu, mencium pipinya tapi ibu si
anak tiba-tiba meloncat. Dan ketika Ituchi tertegun dan tak tahu apa yang mau dikatakan ibu ini tiba-tiba
yang lain berlutut dan berseru padanya, hampir berbareng.
"Siauw-hiap mau pergi?"
"Hm, benar. Ada apa? Kenapa?"
"Jangan," ibu muda itu kini menangis. "Kami masih membutuhkan bantuanmu, siauw-hiap. Sukalah
tidak pergi dulu dan temani kami di sini."
"Benar!" yang lain menyambung, berseru serentak. "Kami takut siluman-siluman itu datang lagi,
siauw-hiap. Dan kalau kau tak ada di sini tentu kami akan dibantai sia-sia!"
"Dan kami tak mau mati konyol kalau siauw-hiap tak ada di sini. Biarlah siauw-hiap temani kami dulu
kalau-kalau siluman-siluman itu kembali muncul!"
Ituchi tertegun. Akhirnya wanita-wanita itu saling sahut dan rata-rata menyatakan kecemasannya,
padahal tadi mereka bersikap demikian gagah dan pemberani. Tapi ketika Ituchi sadar bahwa semuanya itu
karena dirinya, hadirnya dia di tengah-tengah wanita itu maka dia menoleh tapi saat itu Mei Hoa
mengangguk, tersenyum padanya, mengerti apa yang hendak ditanyakan.
"Kalau urusanmu dapat ditunda aku tak keberatan menemanimu bersama mereka-mereka ini. Terserah
apakah kau mau di sini atau segera pergi."
Ituchi akhirnya menarik napas lega. "Baiklah," pemuda itu berseru, kembali lagi ke wanita-wanita
yang saling memohon itu. "Aku memenuhi permintaan kalian, cici-cici. Jangan ribut. Tapi setelah itu
tentunya tak mungkin selamanya aku tinggal di sini!"
"Ah, kami justeru hendak mengangkat siauw-hiap sebagai chungcu (kepala kampung) di sini. Kenapa
siauw-hiap mau pergi dan tega meninggalkan kami? Apakah kami kurang bersikap hormat kepada siauwhiap?"
"Ah, jangan salah paham!" Ituchi menggoyang lengan. "Aku adalah manusia perantau, cici-cici. Aku
selamanya tak punya tempat tinggal tetap. Aku tak suka diikat. Kalian sudah cukup hormat tapi jangan paksa
aku untuk tinggal di sini. Masalah chungcu dapat dipilih, nanti kupimpin. Pokoknya aku akan menemani
kalian sampai benar-benar siluman-siluman itu tak datang lagi!"
Para wanita itu menangis. "Berapa lama siauw-hiap tinggal?"
"Mungkin seminggu, tapi paling lama sebulan!"23 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
"Baiklah, terima kasih, siauw-hiap. Dan kami percaya bahwa siauw-hiap tentu tak akan melupakan
kami!"
"Tentu tidak!" dan ketika wanita-wanita itu dapat dibujuk dan Ituchi lega, dikerubuti anak-anak yang
lain maka selanjutnya pemuda ini menemani wanita-wanita itu di dusun He. Dusun yang porak-poranda
diperbaiki. Ituchi mengajari dasar-dasar ilmu silat pada anak-anak lelaki. Dan ketika Mei Hoa di sana juga
mengajari anak-anak perempuan maka dua muda-mudi ini menjaga dusun kalau-kalau Ui Kiok dan kawankawannya itu muncul. Seminggu dua mereka berjaga tapi Ui Kiok rupanya jerih. Wanita-wanita iblis itu tak
berani datang lagi dan Ituchi menunggu lagi sampai dua minggu. Dan ketika sebulan kemudian dusun He
benar-benar aman dan anak-anak lelaki maupun perempuan sudah dapat belajar silat maka pergilah Ituchi
meninggalkan tempat itu. Tentu saja tak mungkin harus menetap karena pemuda ini mempunyai persoalan
sendiri. Wanita-wanita itu sudah diberi tahu dan mereka akhirnya menyerah. Mereka tak dapat menahan
pemuda ini lagi. Dan ketika Ituchi berangkat dan banyak wanita atau anak-anak menangis maka Ituchi
melanjutkan perjalanannya ke utara.
* * * Mari kita tengok kehidupan di luar tembok besar. Waktu itu bangsa U-min, seperti juga suku-suku
bangsa lain yang mendapat ampunan sri baginda kaisar telah diikat sumpah untuk tidak menyerang kota raja
lagi. Mereka dibebaskan secara bersyarat. Dan satu di antara syarat-syarat itu ialah bangsa-bangsa liar yang
dulu terlibat penyerangan ke istana diwajibkan menjaga keamanan tembok besar di samping pasukan kota
raja sendiri yang menjaga di tapal batas. Mereka dikenakan upeti ransum makanan untuk seribu lebih
pasukan kota raja setiap hari. Mereka diwajibkan pula untuk melapor kalau-kalau ada suku-suku bangsa lain
yang akan membelot, karena di sepanjang perbatasan itu tak kurang dari duapuluh suku bangsa dari
bermacam-macam golongan. Dan karena mereka sudah mendapat ampunan dan sikap kaisar termasuk lunak,
amat lunak kalau dibandingkan serangan mereka dulu yang kejam dan tak berperikemanusiaan maka
sebagian besar suku-suku bangsa itu tunduk dan tidak banyak cing-cong.
Tapi sekarang malah keadaan itu disalahgunakan oleh pasukan kota raja sendiri. Mereka ini, yang
dipimpin Hok-ciang-kun (panglima Hok) yang berwatak bengis dan masih menaruh dendam kepada bangsabangsa liar itu membiarkan saja anak buahnya atau pasukan-pasukan perbatasan itu untuk mengganggu atau
merampas barang-barang yang dipunyai suku-suku bangsa liar ini. Mereka seminggu dua sudah berani
mengganggu pula anak isteri kelompok bangsa-bangsa liar itu, hal yan semula didiamkan saja oleh kepalakepala suku atau raja-raja tak bermahkota yang mendapat laporan warganya. Tapi ketik pagi itu
segerombolan perwira pongah mencoba mendatangkan puluhan wanita-wanita cantik untuk disuruh
menghibur mereka, tak perduli yang sudah bersuami atau bukan maka kaum lelaki yang merasa marah isteri
atau anaknya diperlakuan seperti itu menyatakan menolak.
"Kami tak dapat memenuhi kehendak komandan Liang kalau isteri atau anak-anak gadis kami hanya
untuk pemuas nafsu saja. Kami mau melakukan tarian-tarian ritual, tapi bukan tari-tarian perangsang nafsu
berahi. Kalau komandan Liang marah silahkan datang ke mari bertemu Hulai!"
Begitu sekelompok laki-laki bangsa Uighur menolak utusan komandan Liang. Pada itu sebelas orang
berkuda mendatangi suku bangsa ini untuk meminta empatpuluh wanita cantik menghibur di perbatasan,
mengadakan tari-tarian atau sejenis itu untuk menghibur komandan-komandan jaga. Tapi karena laki-laki
bangsa Uighur mulai tahu bahwa semuanya itu hanya kedok saja untuk menutupi keadaan yang sebenarnya,
yakni dijadikannya wanita-wanita itu untuk pelampias berahi para komandan hidung belang maka mereka
menolak dan menyuruh komandan Liang bertemu Hulai, pemimpin mereka. Dan ketika belasan pasukan
berkuda itu ribut dan marah-marah, merasa kehendaknya selama ini dituruti dan baru kali itu ditentang maka


Rajawali Merah Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang di antaranya mengayun gagang tombak memukul seorang lelaki yang menjadi lawan bicaranya.
"Kau tak tahu adat, sudah tidak menjadi tawanan tapi tetap berani bicara sombong. Heh, mampus kau,
tikus busuk. Pergi.... prak!" gagang tombak menghantam batok kepala, langsung membuat lawan tersungkur
dan ributlah kaum lelaki bangsa Uighur itu ketika tahu bahwa tengkorak kepala temannya pecah. Dengan
kejam kiranya pengawal itu membunuh teman mereka, dengan cara yang menyakitkan, mentang-mentang
sebagai pemenang. Dan karena selama ini laki-laki bangsa Uighur itu sudah menahan-nahan rasa marah24 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
sejak mendengar perlakuan para perwira di perbatasan maka pengawal yang membunuh teman mereka itu
tiba-tiba dilembing dan pengawal itu roboh mandi darah, kontan menjerit!
"Aduh..!"
Keadaan menjadi geger. Sepuluh pengawal yang lain yang terbelalak itu tiba-tiba menusuk si
pelempar, ganti membunuh laki-laki Uighur ini. Dan ketika laki-laki itu roboh dan tewas, kejadian
berlangsung demikian cepat maka laki-laki Uighur yang lain sudah menerjang dan menghantam sepuluh
pengawal perbatasan itu. Akibatnya terjadi perang tanding sepuluh pengawal dikeroyok empat atau lima kali
lipat, akibatnya mudah diduga karena sepuluh orang itu lalu roboh bergelimpangan satu per satu. Mereka
berteriak dan tak menyangka bahwa bangsa yang sudah jinak dan dapat ditekan ini tiba-tiba berobah seperti
harimau-harimau kelaparan, begitu beringas dan haus darah. Tapi ketika sembilan sudah roboh dari atas
kudanya dan tinggal seorang yang sebentar lagi tentu juga terbunuh tiba-tiba terdengar bentakan dan
muncullah seorang kakek tinggi tegap menghentikan kekacauan itu.
"Berhenti, jangan menyerang...!"
Orang-orang Uighur tiba-tiba berhenti. Mereka patuh pada bentakan ini dan rupanya kenal, karena
masing-masing segera mundur tapi laki-laki di atas kuda itu akhirnya roboh juga, terguling mandi darah dan
terlanjur terluka. Dan ketika kakek tinggi tegap itu menyeruak ke depan dan kaget melihat itu maka dia
membentak seorang pemuda Uighur bagaimana hal itu sampai terjadi.
"Mereka datang meminta empatpuluh wanita-wanita cantik, kami tolak dan akhirnya bertarung. Dan
karena kami mempertahankan harga diri maka kami membalas kekejaman mereka yang terlebih dulu
membunuh Lidai!"
"Hm, benarkah?" kakek itu marah, bersinar-sinar memandang yang lain. "Kenapa kalian tidak
memanggil aku, anak-anak? Kenapa memutuskan sendiri pembunuhan ini?"
"Maaf," seorang laki-laki lain maju dengan muka merah. "Kalau mereka tak membunuh Lidai
barangkali kami masih dapat menahan diri, hanggoda (pemimpin). Tapi begitu mereka bertindak sewenangwenang dan mengandalkan kekuasaan maka kami tak dapat mengendalikan diri lagi. Bagaimana dengan
hanggoda sendiri kalau seorang sahabat atau putera hang-goda dibunuh di depan mata kepala!"
Sang kakek tertegun. Dia berkejap memandang laki-laki ini dan melihat yang lain menganggukangguk. Kakek itu terbelalak. Tapi ketika dia mengerti dan dapat menerima itu maka kakek ini memutar
tubuhnya menghadapi pengawal yang luka-luka itu.
"Hm, kalian sewenang-wenang, memang tidak pantas. Kembalilah ke perbatasan dan beritahukan
komandan Liang bahwa kami tak dapat memenuhi permintaannya!"
Tapi pengawal itu roboh mengaduh. Dia berdiri sejenak tapi luka-lukanya yang parah kiranya tak
memungkinkan dia untuk kembali, karena begitu kakek tegap itu bicara kepadanya tiba-tiba pengawal ini
tersungkur. Dan ketika kakek itu bergerak dan menyambar tubuhnya ternyata pengawal ini telah tewas!
"Celaka!" kakek itu berobah. "Pengawal ini tewas, anak-anak. Kita telah membunuh semua pengawal
Liang-ciangkun!"
"Tak apa," laki-laki tadi mengangkat kepalanya. "Mereka kejam dan tak berperikemanusiaan,
hanggoda. Biarkan saja tewas dan kita buang mayatnya!"
"Tutup mulutmu!" kakek ini membalik, tiba-tiba menerkam. "Kau tak tahu bahayanya lebih lanjut,
Karum. Kalian semua telah membangkitkan permusuhan dengan pasukan perbatasan. Kita bisa diserang dan
dianggap melanggar sumpah. Keparat! dan kakek itu yang membanting serta melempar laki-laki ini lalu
berteriak apakah semua laki-laki di situ siap menghadapi akibatnya. Apakah mereka siap dibasmi oleh
musuh yang jauh lebih besar jumlahnya. Dan ketika anak buahnya tertegun dan diam tak menjawab,
terbelalak, maka kakek itu bertanya siapakah yang berani mempertanggungjawabkan kejadian ini.
"Hayo, siapa berani menghadap Liang-ciangkun untuk melapor peristiwa ini. Siapa berani mengatakan
kepadanya bahwa orang-orangnya telah kalian bunuh!"25 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
Tak ada yang menjawab.
"Nah!" kakek itu berapi-api. "Kalian meletupkan emosi tanpa mempertimbangkan ekornya, anakanak. Kalian main bunuh saja untuk memuntahkan marah. Sekarang dengar kata-kataku. Kubur semua mayat
ini dan siapkan seekor kuda untukku!"
Semua orang terkejut. "Pemimpin mau ke mana?"
"Aku akan ke komandan Liang. Aku akan menceritakan ini sekaligus menegur sepak terjang anak
buahnya yang tidak aturan!"
"Ah, jangan!" orang-orang itu tiba-tiba berteriak. "Liang-ciangkun akan marah dan membunuhmu,
hanggoda. Kau akan dibinasakan dan pulang tinggal nama!"
"Aku tak perduli, aku harus mempertanggungjawabkan perbuatan kalian. Nah, kubur mayat-mayat ini
dan cepat siapkan seekor kuda untukku!"
Orang tiba-tiba ribut. Kakek itu, pemimpin mereka, tiba-tiba menyatakan akan ke Liang-ciangkun
untuk melapor kejadian ini. Padahal dapat dibayangkan apa yang akan terjadi kalau kakek itu menghadap,
karena Liang-ciangkun pasti marah besar dan akan membunuhnya. Dan ketika mereka ribut-ribut tapi kakek
itu membentak menyuruh diam maka seorang pemuda tiba-tiba menyibak dan berseru,
"Ayah, tak perlu ke sana. Aku yang akan mewakilimu!"
Sang kakek terkejut. Seorang pemuda gagah tiba-tiba telah mencekal lengannya dan berseru keras.
Pemuda ini membawa busur dan di pundaknya terdapat bangkai seekor kijang, tanda baru saja pemuda itu
berburu dan pulang. Dan ketika kakek itu terkejut dan bingung menjawab maka pemuda ini sudah
meletakkan bangkai kijangnya dan mendorong sang ayah.
"Aku telah mendengar apa yang terjadi dan aku dapat melakukan apa yang akan kau lakukan. Nah,
kembalilah, ayah. Ada Buma di sini yang akan mewakilimu!" tapi sang ayah yang menggeleng dan
melepaskan diri tiba-tiba rupanya sadar untuk cepat-cepat menolak.
"Tidak, aku pemimpin di sini, Buma. Aku penanggung jawab. Kedatanganmu tak berarti banyak bagi
Liang-ciangkun dan akulah yang tetap akan dituntut. Kau mundurlah, jaga teman-temanmu ini dan jangan
biarkan mereka berbuat ceroboh!" dan berteriak lagi meminta seekor kuda tiba-tiba kakek itu meloncat dan
menyambar binatang yang baru dibawa ini. Dan begitu sang kakek mencengklak dan kabur maka Hulai,
kakek tinggi tegap itu telah meninggalkan puteranya untuk menghadap Liang-ciangkun.
"Ayah...!" sang pemuda terkejut, tiba-tiba menyambar kuda yang lain lagi. "Apa yang mau kau
lakukan itu? Kau tidak tahu bahayanya? Tidak, ada aku di sini, ayah. Kembalilah dan biarkan aku yang
menghadap komandan Liang!" dan mencengklak serta memburu ayahnya yang mencongklang pesat tiba-tiba
pemuda ini membuat semua laki-laki bangsa Uighur tertegun. Mereka melihat ayah dan anak kejar-kejaran.
Mereka melihat betapa kakek di depan itu demikian sigap dan tangguh di atas kudanya, berpacu dan
membelok naik turun bukit tanpa sedikitpun meleset atau jatuh dari atas kudanya, padahal kuda berlari
demikian kencang. Tapi ketika pemuda di depan tetap mengejar dan adu lari itu berlangsung hingga
keduanya sudah tinggal titik-titik kecil maka Karum, laki-laki yang dilempar si kakek tiba-tiba berteriak dan
menyambar kuda yang lain lagi, kuda dari sebelas pengawal yang sudah dibunuh.
"Hei, aku ikut. Siapa yang merasa jantan harap ikut!"
Gegerlah orang-orang di situ. Tiba-tiba saja mereka saling berebut dan sadar untuk mengikuti jejak
Karum. Memang, mereka harus malu kalau pemimpin mereka seorang diri menghadapi bahaya, padahal
tewasnya orang-orang Liang-ciangkun itu adalah atas perbuatan mereka. Maka begitu yang lain berteriak dan
mencari kuda masing-masing maka mendadak seratus lebih sudah mencengklak dan menyusul Hulai, sang
pemimpin!
Tapi Hulai atau kakek tinggi tegap itu sudah jauh di depan. Kakek ini lenyap dikejar puteranya. Buma,
sang pemuda, terus berteriak memanggil-manggil ayahnya namun sang ayah tak mau berhenti. Dan ketika
dia terus mengejar dan dua ekor kuda membalap bagaikan terbang maka sebentar saja kakek ini memasuki26 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
wilayah perbatasan. Tembok yang tinggi sudah menjulang di depan mata. Kakek itu terus berpacu dan
melarikan kudanya seperti dikejar setan. Hebat kakek ini, demikian sigap dan cekatan di atas kudanya. Dan
ketika kakek itu benar-benar sudah mendekati tembok besar dan beberapa pasukan melihatnya maka dia
dihadang tapi kakek itu mengeluarkan bendera putih berseru lantang.
"Aku ingin bertemu Liang-ciangkun. Minggir, dan sampaikan kedatanganku!"
Beberapa pasukan itu tertegun. Mereka tentu saja mengenal kakek ini sebagai pemimpin bangsa
Uighur. Mereka terkejut tapi cepat meniup terompet memberi tahu teman-teman yang lain. Dan ketika seribu
pasukan itu bergerak dan kakek ini disambut di mana-mana, dibiarkan berpacu dan akhirnya berhenti di
sebuah menara yang merupakan markas komandan Liang maka pasukan itu terkejut ketika melihat lagi
seorang lain berpacu dengan cepat, menyusul atau mengejar kakek ini.
"Ayah, biarkan aku menghadap Liang-ciangkun. Kau kembalilah!"
Orang-orang tertegun. Mereka tentu saja juga mengenal pendatang yang membalap ini, yang bukan
lain Buma putera si kakek gagah Hulai. Dan ketika mereka terbelalak karena pemuda itu berteriak-teriak di
atas kudanya, dibiarkan lewat dan akhirnya melompat turun di dekat sang ayah maka semua tak mengerti
kenapa pemuda itu tiba-tiba bersitegang dengan ayahnya dan tampak pucat.
"Aku sudah di sini, ayah harap kembali. Aku yang akan melapor pada Liang-ciangkun dan tak usah
ayah repot-repot!"
"Tidak, kaulah yang tak perlu repot-repot, Buma. Aku ayahmu dan aku pemimpinmu. Kembalilah, kau
kuperintahkan tak boleh di sini!"
Tidak, kau yang harus kembali, ayah. "Aku di sini dan.... plak-plak!" Buma terpelanting, ayahnya
membentak marah dan pasukan terkejut karena kakek itu mengumpat anaknya. Hulai mencekik dan
melempar anaknya itu, tepat di atas kuda. Tapi ketika Buma berjungkir balik dan turun lagi, membuat orangorang semakin terbelalak maka pasukan Liang-ciangkun terbelalak lebar melihat ayah dan anak ribut-ribut!
"Kau kembali atau kuhajar!" sang kakek merah padam. "Jangan buat aku marah, Buma. Kembali dan
sekali lagi kembali!"
"Tidak, kau yang kembali, yah. Atau aku yang akan memaksamu!"
"Apa? Kau berani mengancam ayahmu? Kau..." tapi ketika tiba-tiba terdengar bentakan di atas menara
dan seseorang berkelebat turun maka Buma maupun ayahnya tak jadi perang mulut karena Liang-ciangkun,
seorang pendek gendut menghardik tajam.
"Apa-apaan ini! Kenapa kalian ribut-ribut dan berani mengacau di tempat orang! Heh, kau datang
untuk maksud apa, Hulai? Dan kenapa pula anakmu ini mencari-cari aku!"
"Maaf," kakek itu menahan diri. "Bukan anakku yang mencari-cari dirimu Liang-ciangkun, melainkan
akulah...."
"Ada apa!" sang komandan membentak, memotong. "Dan mana anak buahku yang kusuruh ke
tempatmu!"
"Itulah yang hendak kulaporkan." sang kakek mulai menggigil. "Aku... aku hendak bicara empat mata,
ciangkun. Maaf tak dapat didengar orang-orang ini."
"Hm, ada apa? Kenapa begitu?" Liang-ciangkun tajam memandang, penuh selidik. "Kau menangkap
atau menawan mereka? Kau memperlakukan anak buahku dengan tidak hormat?"
"Bukan... bukan begitu. Aku, ah... sudahlah. Pokoknya aku ingin bicara empat mata dan jangan
didengar yang lain-lain ini!"
"Hm!" sang komandan berjengek menyipit. "Aku tak takut kau macam-macam, orang tua. Boleh, mari
ke menara!" dan ketika komandan itu bergerak dan melayang ke atas, sungguh mengherankan dengan27 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
tubuhnya yang gendut itu maka sang kakek sudah diajak dan pemimpin bangsa Uighur ini tertegun sejenak,
ragu-ragu tapi akhirnya dia melempar tali dan dengan tali itu dia merayap ke atas, cepat dan hampir
bersamaan dengan Liang-ciangkun yang siap tertawa mengejek. Komandan itu hendak tertawa karena dia
ingin melihat bagaimana kakek itu naik ke menara, karena dia tahu bangsa Uighur bukan bangsa yang pandai
silat karena mereka lebih terbiasa bermain lembing atau panah, satu kebiasaan yang digunakan untuk berburu
atau berperang secara kelompok. Tapi ketika kakek itu merayap cepat dan dengan seutas tali saja sudah
sanggup menyusul dirinya maka Liang-ciangkun kagum dan mau tak mau dia memuji bahwa kegapahan dan
kekuatan kaki tangan kakek itu benar-benar kokoh. Selanjutnya Liang-ciangkun mengajak tamunya masuk
dan menara itu rupanya memiliki banyak ruangan, satu di antaranya kini dipergunakan untuk menerima
tamunya itu. Dan ketika Buma juga menyusul dan pemuda itupun memanjat tali secepat ayahnya maka
Liang-ciangkun mengerutkan kening karena ini berarti enam mata, bukan empat mata lagi!
"Bagaimana ini! Kenapa puteramu ikut masuk!"
"Maaf," sang kakek melotot. "Kalau kau tak keberatan biarlah puteraku ikut, ciangkun. Karena
terlanjur dia di sini!"
"Baiklah, mari duduk. Tapi senjata di belakang kalian itu seharusnya diserahkan dulu!"
"Hm," kakek ini ragu-ragu. "Senjata biasanya melekat di tubuh kami, ciangkun. Tak pernah dilepas.
Kalau ciangkun khawatir biarlah kami sandarkan di dinding tapi jangan dirampas!"
Liang-ciangkun mendengus. Dia membiarkan saja kakek itu melepas tombaknya dan meletakkan di
dinding, begitu juga sang anak, diam-diam memberi isyarat pada pembantunya di luar untuk berjaga-jaga,
karena dia melihat gerak-gerik atau sikap mencurigakan dari kakek Dan ketika ayah dan anak sudah duduk
berhadapan dan Buma tampak tegang maka Liang-ciangkun bertanya apa yang dibawa kakek itu.
"Kami hendak melapor sebelas pengawalmu, bahwa mereka.... mereka telah membunuh orang-orang
kami!"
"Hm!" tak ada reaksi terkejut. "Lalu apa yang kau lakukan, Hulai? Orang-orangmu ganti menangkap
anak buahku?"
"Tidak sekedar itu," kakek ini menahan napas. "Mereka telah membalas nyawa teman-temannya,
ciangkun. Bahwa... bahwa orang-orangku akhirnya membunuh anak buahmu itu!"
"Apa?"
"Maaf," sang kakek memotong, cepat. "Aku datang untuk menyampaikan ini, ciangkun. Dan hendak
meminta agar orang-orangmu tidak sewenang-wenang. Kami merasa terinjak, harga diri kami tak dinilai lagi.
Dan karena anak buahmu yang terlebih dulu membunuh maka harap kau memaklumi ini dan permintaan
akan wanita-wanita cantik harap tidak dilanjutkan lagi....."
"Brakkk!" kata-kata si kakek terputus, Liang-ciangkun marah bukan main menggebrak meja, langsung
bangkit berdiri.
"Keparat jahanam orang-orangmu itu, Hulai. Sungguh tak tahu diri dan kurang ajar. Kalian main-main
api, kalian membunuh pengawal kerajaan! Apakah kalian bernyawa rangkap hingga berani melakukan itu?
Bedebah! Aku menuntut tanggung jawabmu, Hulai. Aku minta ganti sepuluh kali lipat untuk jiwa anak-anak
buahku itu!"
Hulai, sang kakek gagah berdiri pula. Keadaan mulai mendebarkan karena Liang-ciangkun sudah
diberi tahu perihal tewasnya sebelas anak buahnya itu. Sang kakek sudah mulai buka kartu. Tapi ketika
Liang-ciangkun marah-marah dan melotot memandang kakek itu adalah kakek ini yang tenang-tenang saja
dan rupanya dapat mengendalikan diri, tidak seperti puteranya yang tiba-tiba bergetar dan siap menyambar
tombak!
"Ciangkun, harap sabar. Aku datang justeru untuk menegur agar kau atau anak buahmu tidak
sewenang-wenang lagi. Mereka mulai berani main bunuh, padahal tentu tak boleh. Bukankah ciangkun lihat
bahwa kesalahan bukan di pihak kami? Aku sudah lama ingin datang kepadamu, ciangkun, menyatakan rasa28 Kolektor E-Book
B a t a r a ? R a j a w a l i M e r a h
tidak puasku bahwa kau mempermainkan wanita-wanita kami. Bukankah ini tak pantas dan tak layak
dilakukan olehmu? Kami..."
"Tutup mulut!" sang komandan mata gelap. "Kau dan bangsa-bangsa liar di sini adalah orang
taklukan, Hulai. Kau dan orang-orangmu itu adalah budak! Kalian harus beruntung bahwa sri baginda masih
memberi ampun, tidak melawan dan menentang kami! Apakah kau mau menghadapi pasukan kerajaan?
Apakah kau mau memberontak dan ingin, kubunuh? Keparat, jangan banyak bicara, orang tua. Aku minta
ganti seratus orang-orangmu atau kau kusembelih!"
"Jahanam!" Buma, sang putera tiba-tiba membentak. Mulutmu kotor dan tak bersahabat, Liangciangkun. Kalau kau ingin membunuh ayahku maka bunuhlah aku dulu.... wut!" dan tombak yang benarbenar disambar dan ditusukkan ke arah Liang-ciangkun tiba-tiba membuat keadaan menjadi ribut karena
Liang-ciangkun mengelak dan secepat kilat menyambar botol minuman, dilempar ke arah pemuda itu dan
Buma menangkis, tentu saja menimbulkan suara gaduh dan pengawal di luar tiba-tiba berserabutan datang.
The Deception 2 Merah Muda Dan Biru Karya Bois Pedang Medali Naga 2

Cari Blog Ini