Ceritasilat Novel Online

Rencana Sederhana 4

Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith Bagian 4


kenapa aku mengatakannya, entah karena kasihan
atas ketakutannya atau takut kalau ia sendirian nanti
malam ia akan menelepon Lou dan memperingatkannya
tentang persengkongkolan kami.
Jacob terus menatap makam. Kulihat apa yang
berlangsung dalam dirinya: inti kepasifannya, mekanisme tradisionalnya untuk menghadapi stress, tengah
muncul ke permukaan. Aku tahu sekarang, kalau bisa
terus mencengkeramnya aku bisa membuatnya mema
tuhiku. Aku maju selangkah ke tempat parkir. Mary
Beth muncul dari salju, telinganya tegak. Ia menggoyang goyangkan ekornya. membentur benturkannya
ke celana Jacob. '
"Ayo," kataku. "Dia menggunakan resep Mom.
Seperti dulu." Kemudian kusentuh lengannya dan mem
balikkannya ke jalan setapak.
Sarah'tengah berada di dapur ketika kami tiba.
"Jacob makan malam di sini," teriakku saat kami
melangkah masuk.
235 Sarah mencondongkan tubuh dari ambang pintu
untuk melambai kepada kami Ia mengenakan celemek
dan membawa spatula logam. Jacob yang bertubuh
besar dan kemalu maluan balas melambai, tapi ter
lambat sedetik, sebab Sarah telah menghilang kembali
ke dapur.
Kuajak Jacob ke kamar tidur. Mary Beth mengikuti
di dekat tumit kami. Kamarnya gelap, tirainya terbentang
menutupi jendela. Ketika kuhidupkan lampu, kulihat
ranjangnya belum disiapkan. Sarah, sekalipun pulih
dengan kecepatan yang luar biasa, masih sedikit kelelahan, dan ia lebih banyak menghabiskan enam hari
terakhir di ranjang dengan bayinya tidur di sisinya.
Kututup pintu di belakang kami, dan membimbing
Jacob ke meja. Kududukkan ia di tepi ranjang, kemudian mengambil teleponi Dengan hati hati aku meng
ulur kabelnya dan meletakkannya di pangkuannya.
"Teleponlah Lou," kataku.
Ia menatap telepon. Telepon tersebut tua, plastik
hitam dengan piringan angka. Tampaknya ia tak ingin
menyentuhnya. "Sekarang " tanyanya.
Aku mengangguk. Aku duduk di sebelahnya, sekitar
tiga puluh senti jauhnya. Kami menghadap jendela.
Suara panci beradu terdengar samar samar. Mary Beth
berkeliaran dalam kamar, mengendus endus. Pertama
ia memeriksa kamar mandi, kemudian buaian. Ketika
mencapai ranjang ia menjejalkan kepalanya di bawah
ranjang. Kusingkirkan anjing tersebut dengan kakiku.
"Itu buaian kita," kataku pada Jacob. Kutunjuk
buaian tersebut. "Dad yang membuatnya." _
Jacob tampaknya tidak terkesan. "Apa yang harus
kukatakan " tanyanya
236 "Katakan saja aku mengundang kalian berdua
minum minum besok malam, merayakan kelahiran
Amanda. Katakan aku yang traktir."
"Bagaimana dengan uangnya "
Sedetik aku betdebatsendiri mengenainya. "Katakan
aku setuju membaginya," kataku, dengan anggapan
hal ini akan melemahkan pertahanan Lou. "Katakan
kita ambil uangnya minggu depan."
Jacob menggeser berat tubuhnya, dan teleponnya
bergoyang goyang di pangkuannya. Ia meletakkan salah satu tangannya di atas telepon. "Kau sudah mem
pertimbangkan tentang pertaniannya " tanyanya.
Aku menatapnya. Aku tak ingin membicarakan
tentang pertanian sekarang ini._Mary Beth meloncat
ke ranjang dan duduk di belakang Jacob, menempel
tepat pada punggungnya. Ia meletakkan kepala di
bantalku.
"Belum," kataku.
"Sebenarnya aku berharap kau sudah mengambil
keputusan."
lea tiba aku sadar ia akan menjebakku ke sana,
ia akan menjadikan pertanian sebagai harga peng
khianatannya terhadap Lou. Teddy bear tergeletak di
lantai dekat ranjang, dan untuk mengisi kesunyian
yang ditimbulkan oleh keenggananku untuk menja
wab kuambil boneka tersebut dan memutar kuncinya.
Musiknya mulai berbunyi. Anjingnya mengangkat ke
pala untuk mengawasi.
"Jacob," kataku, "kau memerasku "
la memandangku terkejut. "Maksudmu "
"Kau tidak mau membantuku kalau aku tidak memberikan pertanian itu padamu "
237 Ia memikirkannya, kemudian mengangguk. "Kurasa
begitu."
Beruangnya bernyanyi, Dnrmcz vuus Darmez
vous Sannez les matines. Sannez les matines.
"Kulakukan sesuatu untukmu," kata Jacob, "lalu
kaulakukan sesuatu untukku. Adil, bukan "
"Ya," kataku. "Kurasa itu adil."
"Jadi kan mau membantuku mendapatkannya kem
bali "
Musik beruangnya semakin pelan. Kutunggu musik
itu sampai berhenti, sampai kamar benar-benar sunyi,
dan kemudian -sadar sepenuhnya bahwa aku menjanji:
kan sesuatu yang takkan pernah kupenuhi pada kakakku aku mengangguk.
"Apa saja permintaanmu akan kupenuhi," kataku.
Saat Sarah dan aku menata makan malam di meja
lasagna, roti bawang putih, dan salad Jacob minta
izin ke kamar mandi. Kamar mandinya terletak di
ruang depan, di bawah tangga, dan aku mengikutinya
dengan pandanganku saat melangkah ke luar dapur.
Kuawasi hingga ia lenyap di kamarmandi.
"Dia mau " bisik Sarah, memberi isyarat dengan
pisau, ke arah kamar mandi. Kami berdiri dekat meja,
Sarah mengiris roti sementara aku menuang dua gelas
anggur. Sarah minum jus apel sebagai teman makan
malamnya. Sampai berhenti menyusui, ia tidak di
izinkan minum minuman beralkohol.
"Kami baru saja meneleponnya," katanya. "Besok
jam tujuh kami akan menjemput Lou."
"Kau mendengar percakapan mereka "
Aku mengangguk. "Aku duduk di sebelahnya."
238 "Dia tidak memberi petunjuk sama sekali "
"Tidak. Dia mengatakan persis seperti permintaanku."
"Dan dia tidak keberatan melakukannya "
Aku ragu ragu sejenak sebelum menjawab, dan
Sarah melitikku sekilas. "Dia memaksaku berjanji
untuk membantunya membeli kembali pertaniannya."
"Pertanian ayahmu "
Aku mengangguk.
"Kukira kita sudah setuju "
"Dia tidak memberiku pilihan, Sarah. Aku berjanji
atau dia menolak membantuku."
Terdengar suara toilet disiram dan kami berdua
memandang ke lorong. "Tapi kau tidak sungguh
sungguh membiarkannya tinggal di sini, bukan "
tanyanya.
Pintu kamar mandi terbuka dan aku berbalik dari
Sarah, mengembalikan botol anggur itu ke lemari es.
"Tidak," kataku sambil melangkah pergi. "Tentu
saja tidak."
Amandatidur di kamar keluarga, dalam Portacrib
nya. Sarah mengeluarkannya agar Jacob bisa meli
hatnya sebelum kami makan. Ia memerah ketika Sa
mh memaksanya menggendongnya. la menggendongnya
iauh jauh, seakan ada orang yang menumpahkan se
.uatu ke Amanda dan ia khawatir terkena. Amanda
segera menangis begitu Jacob menggendongrtya, dan
Sarah terpaksa menenangkannya, bergegas mengembalikannya ke kamar keluarga.
"Dia mungil sekali," gumam Jacob seakan tidak
menduganya. Hanya itu yang terpikir olehnya untuk
dikatakan.
239 Makan malam tersebut aneh. Mulanya seakan hanya
Sarah yang bisa menikmatinya. Ia tampak cantik,
memesona, dan tampaknya menyadari hal itu. Tu
buhnya telah kembali langsing setelah melahirkan,
dan walaupun aku tahu bahwa ia kelelahan bayinya
tidak membiarkannya tidur lebih dari empat jam terusmenerus sejak pulang dari rumah sakit ia tampak
ceria dan sehat. Ia menggesek tungkai kakiku semen
tara kami makan.
Jacob, dalam kekikukannya bila berada dekat Sa
rah, memusatkan perhatian pada makanannya. Ia ma
kan dengan cepat, menjejali dirinya. Dahinya berke
ringat. Segalanya menunjukkan ketidaknyamanannya
dalam bersosialisasi memancarkannya bagai racun
rawa dan setelah beberapa saat mulai terasa menular.
Aku juga mulai sulit mencari kata kata, mulai terlalu
banyak berpikir sebelum bereaksi atas pertanyaannya
maupun pertanyaan Sarah, sehingga jawabanku ter
dengar kasar dan formal, seakan aku marah' kepada
mereka tapi takut untuk mengungkapkannya.
Anggurlah yang menyelamatkan acara makan malam
tersebut. Sarah tampaknya merasakannya lebih dulu.
Setiap kali Jacob atau aku mengosongkan gelas, ia
akan berdiri dan mengisinya. Aku bukan peminum
aku tak pemah menikmati efek alkohol, perasaan lepas kendali yang datang perlahan lahan tapi malam
itu pengaruhnya persis seperti yang selalu dikatakan
orang, yaitu sebagai anudync, pelumas, pelancar per
cakapan. Semakin banyak minum, semakin mudah
bagiku untuk berbicara dengan Jacob, dan semakin
banyak minum semakin mudah baginya untuk ber
bicara dengan Sarah.
240 Kemabukanku, seiring dengan perkembangannya,
memenuhiku dengan harapan tak terduga. Perasaan
tersebut nyata. Sesuatu yang hangat dan cair menyebar
dari dadaku dari jantungku, kalau tidak salah ingat
ke ujung jemari kaki dan tangan. Aku mulai penasaran kalau kakakku tidaklah setertutup dugaanku
semula. Mungkin masih ada kesempatan untuk meraihnya'kembali, mengundangnya ke keluargaku dan
mengikatnya ke hatiku. Ia duduk di seberangku sekarang, mengatakan sesuatu kepada Sarah, hampir
bergurau dengannya, sebenarnya, tapi dengan malumalu. Ia seperti anak kecil dengan gurunya, dan
melihatnya membuatku merasakan gelombang cinta
untuk mereka berdua, keinginan luar biasa untuk
melakukan sesuatu yang benar. Kuputuskan untuk
membantu Jacob membeli tanah di barat, di Kansas
atau Missouri. Akan kubantu ia mendirikannya seperti
pertanian Ayah, membantunya membangun replika rumah tempat kami dibesarkan, dan menjadikannya tempat di mana Sarah, Amanda, serta diriku bisa kembali
selama bertahun tahun mendatang. Tempat itu akan
menjadi celah perjalanan kami menjelajahi dunia, ru
mah peristirahatan bagi kami untuk ditinggalkan dan
kemudian kembali dengan membawa hadiah bagi
Jacob dan keluarganya.
Aku mengawasi mereka bercakap cakap dan tertawa. Dan walaupun aku sadar bahwa-diriku mabuk
serta merasakannya dalam setiap perkataan, kelakuan
dan pikiranku, aku masih sulit mempercayai segalanya
akan berjalan dengan baik sekarang, semuanya akan
berjalan tepat seperti yang kami rencanakan.
*** 24! Saat kami menghabiskan makan malam! Amanda mulai
menangis. Sarah membawanya ke atas untuk menyusuinya sementara aku mencuci piring. Pada saat Sarah kembali setelah menidurkan Amanda di buaiannya aku telah selesai dan Jacob kembali ke kamar
mandi.
Kami putuskan untuk menghabiskan malam dengan
bermain Monopoli. Sarah membentangkan papahnya
di meja dapur sementara aku membersihkan counter.
Aku tak minum lagi menjelang makan malam berakhir.
dan sekarang anggurnya membebaniku bagai mantel
berat, sehingga segala tindakanku seakan membutuhkan
tenaga yang lebih besar dari yang seharusnya. Aku
mulai berpikir untuk naik ke atas dan tidur.
Ketika selesai aku ke meja dan duduk. Sarah
tengah membagikan uangnya. Ia memulai dengan urut
an ke atas satuan, limaan, puluhan, dua puluhan,
lima puluhan. Ketika tiba pada ratusan, ia memandangku dan tersenyum nakal.
"Kau tahu apa yang seharusnya kita lakukan "
tanyanya.
"Apa "
Ia menjentikkan jari ke baki penuh uang. "Kita
seharusnya menggunakan ratusan asli."
"Ratusan asli " Aku terlalu lelah, tidak memahami
maksudnya.
Ia menyeringai. "Kita bisa menggunakan satu ikat."
Aku menatapnya, memikirkannya tuntas. Gagasan
untuk mengeluarkan uang tersebut dan' tempat persem
bunyiannya membuatku merasa tidak aman, campuran
panik dan ketakutan yang tidak rasional. Alm menggeleng.
242 "Ayolah. Pasti menyenangkan."
"Tidak," kataku. "Aku tidak mau."
"Kenapa "
"Kurasa kita jangan mengambil risiko."
"Risiko apa Kita cuma akan menggunakannya
bermain."
"Aku tidak mau mengganggunya," kataku. "Rasanya
seperti pertanda buruk."
"Oh, Hank. Jangan bodoh. Kapan lagi kau punya
kesempatan bermain Monopoli dengan uang ratusan
asli "
Aku mau menjawabnya, tapi suara Jacob menginterupsiku. Ia telah kembali dari kamar kecil, tak
satu pun yang mendengar kedatangannya. "Uangnya
kausembunyikan di rumah " katanya. Ia berdiri di
tepi dapur, tampak kelelahan dan kekenyangan. Aku
mengerutkan kening ke Sarah. '
"Beberapa," katanya; "Cuma dua'ikat."
Jacob melangkah ke kursinya. "Jadi, kenapa tidak
menggunakannya "
Sarah tidak mengatakan apa apa. Ia menuang anggur
untuk kakakku. Mereka berdua menunggu jawabanku.
Dan apa yang bisa kukatakan Tldak ada alasan untuk


Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak menggunakannya, cuma kecurigaanku yang tanpa
dasar yang mengatakan tindakan tersebut keliru; mengatakan bahwa berurusan dengan uang kita harus
memperlakukannya dengan sangat hati hati seakan sesuatu yang memiliki potensi bahaya, seperti pistol atau
bom. Sekalipun begitu aku tak bisa menemukan cara
untuk mengungkapkannya, dan kalaupun bisa, pasti
kedengarannya bodoh. Ini cuma permainan, begitu kata
mereka; kita kembalikan kalau sudah selesai.
243 "Baiklah." Aku mendesah, merosot di kursiku, dan
Sarah lari ke atas untuk mengambil seikat.
Jacob memegang anjing kecil, Sarah topi tinggi. Aku
menggunakan mobil balap. Ketegangan menggunakan
uang ratusan asli segera lenyap, tak lagi berbeda
dengan denominasi lain yang kami gunakan kertas
persegi empat berwama warni, sedikit lebih besar
dan lebih tebal dari yang lainnya, tapi tak lebih.
Kami menggunakannya untuk transaksi bayangan, dan
entah bagaimana ini mengurangi nilainya, merampok
nilai aslinya. Uang tersebut tidak lagi terasa asli.
Permainan tersebut berlangsung beberapa jam, jadi
hampir tengah malam ketika kami selesai. Kami berhenti ketika aku bangkrut. Sarah dan kakakku setuju
menganggapnya seri, tapi sebenarnya Jacob yang me
nang. Ia memiliki lebih banyak kekayaan, lebih banyak
rumah dan hotel, dan tumpukan uang yang luar biasa
banyaknya. Tidak lama ia pasti akan menguras habis
kekayaan Sarah.
Kusingkirkan permainannya sementara Sarah me
ngumpulkan ratusan dolarnya dan membawanya naik.
Aku tidak menyadari betapa mabuknya kakakku
sampai ia berdiri. Ia memaksa dirinya keluar dari kursi
dan melangkah dua langkah terhuyung huyung ke meja,
wajahnya tampak panik, lengannya terulur kaku di depannya. Ia seakan akan tiba tiba berubah menjadi boneka kayu dan seseorang mengendalikan gerakannya,
menyeretnya menyeberangi ruangan dengan talinya
yang tidak terlihat. Ia meletakkan salah satu tangannya
ke meja dan menatapnya, seakan khawatir tangannya
akan meloncat kalau ia berpaling. Ia tertawa kecil.
244 "Kenapa tidak menginap saja di sini " kataku.
_Ia memandang meja dan kursi, pencuci piring,
wastafel, tungku. "Menginap di sini "
"Di kamar tamu. Di atas."
Jacob mengerutkan kening padaku. Ia belum pernah
menginap di rumahku, tidak selama .bertahun-tahun
kami tinggal di sini, dan sekarang tampaknya gagasan
tersebut membuatnya gugup. la mau mengatakan se
suatu, tapi aku menyela sebelum kata katanya muncul.
"Kau tidak bisa pulang dengan keadaan seperti ini.
Kau terlalu mabuk."
"Bagaimana dengan Sarah " bisiknya keras keras.
melirik ke lorong.
"Tidak apa," kataku. "Dia tidak keberatan."
Kubantu ia naik ke atas, merasa bagai anak anak
di sisi tubuhnya yang kelewat besar Kudorong dagingnya yang lunak, berusaha keras mengarahkannya maju.
Sesekali ia tertawa kecil.
Kubawa ia ke kaluar tamu di seberang kamar
tidur kami. Ia duduk di ranjang dan sibuk dengan
bajunya. Aku berjongkok di lantai di depannya dan
melepas tali bntnya. Anjingnya mengikuti kami ke
atas. Ia mengendus endus setiap perabotan di dalam
kamar, kemudian naik ke ranjang dan bergelung mem
bentuk bola kecil padat.
Ketika aku berhasil melepas botnya, aku menenga
dah mendapati Jacob tengah memandang kebingungan
ke kepala ranjang.
"Tidak apa apa," kataku. "Tidur sajalah."
"Ini ranjangku."
Aku mengangguk. "Kau tidur di sini malam ini."
"Ini ranjangku," katanya lagi, dengan nada lebih
215 mendesak. Ia mengulurkan tangan menyentuh kepala
ranjang, dan kusadari apa maksudnya. Maksudnya ini
ranjang tempat ia tidur ketika masih anak anak.
"Benar," kataku. "Dad membawanya kemari sebelum meninggal."
Jaeob melirik dengan pandangan kabur ke sekeliling
kamar. Tidak ada benda lain yang dulu merupakan
miliknya.
"Tapi kasarnya baru," kataku. "Yang lama sudah
usang."
Tampaknya ia tidak memahamiku. "Sekarang ada
di kamar tamu," katanya.
Ia menatap kepala ranjang beberapa saat lagi,
kemudian mengangkat kakinya dari lantai dan telentang
di ranjang. Ranjangnya bergoyang bagai perahu. Anjingnya mengangkat kepala. tampaknya mengerutkan
kening kepada kami. Kuawasi Jacob memejamkan
mata. Ia tampaknya langsung tertidur, napasnya dalam
beberapa detik melambat menjadi dengkuran. Wajahnya mengendur dan rahangnya ternganga hingga bisa
kulihat giginya. Giginya tampak terlalu besar, terlalu
lebar dan tebal, untuk mulutnya.
"Jacob," bisikku.
Ia tidak menjawab. Kaeamatanya masih terpasang
dan aku berdiri untuk mengambilnya. Kutarik kacamatanya, melipatnya, dan meletakkannya di meja samping ranjang. Wajahnya tampak lebih tua, bertahun
tahun lebih tua dari yang sebenarnya. Aku membungkuk dan mencium lembut dahinya.
Di seberang lorong, Amanda mulai menangis.
Mata Jacob berkedip membuka. "Ciuman Judas,"
bisiknya kasar.
246 Sambil masih membungkuk di atasnya, aku menggeleng. "Bukan. Aku cuma mengucapkan selamat
malam."
Ia berusaha memandangku tapi tampaknya tidak
berhasil. "Aku berputar putar," katanya.
"Nanti berhenti. Tunggu saja."
Ia tersenyum mendengarnya, tampaknya berusaha
keras menahan tawa, kemudian tiba tiba berubah serius. "Kau menciumku sebagai ucapan selamat ma
lam " tanyanya. Suaranya sedikit menceracau.
"Ya."
Ia menatapku, mengedipkan mata, kemudian mengangguk. "Selamat malam," katanya mantap.
Ketika ia telah memejamkan mata aku diam diam
keluar kamar.
Di seberang lorong kudapati Sarah baru saja naik ke
ranjang. Ia telah menidurkan Amanda, dan putri kami
bersendawa lembut di buaiannya.
Uangnya tertumpuk di lemari pakaianku. Setelah
berganti piama, kuambil uang tersebut.
"Itu tadi bodoh, Sarah," kataku. "Sulit dipercaya
kau berbuat begitu."
Ia menatapku dari ranjang, tampak terkejut dan
terluka. "Kukira pasti menyenangkan," katanya. Rambutnya diekor kuda, seperti guru sekolah. Ia hanya
mengenakan stocking.
"Kita tidak menyentuh uangnya," kataku. "Kita
sudah menyetujuinya." _
'Tapi tadi itu menyenangkan. Akuilah. Kau senang."
Aku menggeleng. "Begitulah caranya kita tertangkap, dengan mengeluarkan tiangnya."
247 "Aku tidak membawanya ke luar rumah."
"Kita tidak akan menyentuhnya lagi, tidak sampai
kita pergi."
Ia mengemtkan kening memandangku. Bisa kutebak
bahwa ia menganggapku terlalu keras, tapi aku tidak
peduli.
"Janji " tanyaku.
Ia mengangkat bahu. "Baik."
Kubawa uang tersebut ke ranjang dan menghitungnya. Aku masih sedikit mabuk, dan terus-menerus
keliru menghitung.
"Dia tidak mengambilnya," kata Sarah akhirnya.
"Sudah kuperiksa."
Aku membeku, terkejut. Aku tidak sadar kenapa
menghitungnya.
Sambil berbaring, menunggu tertidur, kami saling
berbisik.
"Menurutmu apa yang akan terjadi padanya " tanya
Sarah.
"Pada Jacob " _
Kurasakan ia mengangguk dalam'kegelapan. Kami
berdua saling memunggungi. Semua lampu dipadamkan
dan Amanda tidur di buaian. Sarah telah memaafkan
kemarahanku.
"Mungkin dia akan membeli pertanian," kataku.
Kurasakan tubuhnya menegang di sebelahku. "Dia
tidak bisa membeli pertanian itu, Hank. Kalau dia
tinggal
"Bukan pertanian ayahku Pokoknya pertanian.
Mungkin di barat, Kansas atau Missouri Kita bisa
membantunya mendirikannya."
248 Bahkan saat mengatakannya aku tahu kalau hal itu
tidak akan pernah terjadi. Pasti karena anggurlah
yang membuatku membiarkan harapan tersebut tumbuh
tadi sore, tapi sekarang aku mulai sadar, melihat
segalanya lebih nyata dan bukannya bayanganku.
Jacob tidak mengerti apa-apa tentang pertanian: kesempatannya untuk sukses sebagai petani sama besarnya
seperti menjadi penyanyi rock atau astronot. Cuma
sifat kekanak kanakannya saja yang membuatnya tetap
mempertahankan impian tersebut, kenaifan penuh ha
rapan, pengingkaran atas jati dirinya yang sebenarnya.
"Mungkin dia akan berkelana," kataku, tapi aku
juga tidak bisa membayangkannya kakakku naikttirun pesawat, menyeret koper di bandara, mendaftar
di hotel mahal. Tlclak satu pun yang tampak mungkin.
"Apa pun yang dikerjakannya," kataku, "segalanya
akan lebih baik baginya daripada sekarang, setuju "
Aku berguling ke sisi sebaliknya, melintangkan
satu kaki ke tubuh Sarah. "Tentu saja," katanya.
"Dia punya satu koma tiga juta dolar. Bagaimana
situasi tidak menjadi lebih baik "
"Tapi apa yang akan dilakukannya dengan uang
itu "
"Menghabiskannya. Seperti kita. Untuk itulah guna
nya."
"Menghabiskannya untuk apa "
"Segala yang diinginkannya. Mobi] bagus, rumah
pantai, pakaian indah, makanan mahal, liburan ek
sotis."
"Tapi dia begitu kesepian, Sarah. Dia tidak bisa
membeli semuanya untuk dirinya sendiri."
Ia menyentuh wajahku, mengelus lembut. "Dia akan
249 menemukan seseorang, Hank," katanya. "Dia akan
baik baik saja." _
Aku kelelahan, jadi kubiarkan diriku mempercayainya, tapi aku tahu mungkin ia salah. Uang tak bisa
mengubahnya begitu saja. Memang kami akan lebih
kaya, tapi tidak lebih. Jacob akan tetap gendut, pe
malu, dan tidak bahagia sepanjang sisa hidupnya.
Jari Sara'h bayangan dalam kegelapan merayap
ke atas kepalaku, dan aku pun memejamkan mata.
"Semua akan mendapatkan apa yang layak mereka
terima," katanya.
Aku terjaga sebelum pagi menjelang akibat suara
seseorang berkeliaran dalam rumah. Aku beranjak
bangkit, bertumpu pada siku, pandanganku terfokus
seketika. Sarah duduk di sebelahku, punggungnya
menempel kepala ranjang, menyusui Amanda. Angin
dingin mengentak kaca jendela di kusennya.
"Ada orang di dalam rumah," kataku.
"Shhh," bisiknya, tidak mengalihkan pandangannya
dari bayinya. Ia mengulurkan tangannya yang masih
bebas dan menyentuh bahuku. "Cuma Jacob. Dia ke
kamar mandi."
Kudengarkan sejenak, mendengarkan dinding berderak ditiup angin, mendengarkan Amanda mengisap
susu dari tubuh Sarah. Kemudian aku kembali berbaring. Sekitar semenit kemudian, kudengar kakakku
melangkah berat sepanjang lorong ke kamarnya. Ia
mengerang saat membaringkan tubuh di ranjang.
"Dengar " bisik Sarah. "Semuanya baik baik saja."
Ia membiarkan tangannya tetap di bahuku hingga
aku tertidur lagi. '
250 KAMI menjemput Lou pukul 19.00 lebih sedikit
dan melaju ke Ashenville, ke the Wrangler. The
Wrangler adalah salah satu dari kedua kedai minuman
yang ada di kota, masing-masing merupakan replika
dari yang lainnya. Bertahun tahun yang lalu keduanya
menampilkan tema koboi, tapi sekarang yang tersisa
hanya nama dan tengkorak kerbau besar berukir di
atas pintu masuk. Bangunannya sempit, panjang dan
gelap, dengan bar di satu sisi dan sederetan ruang
kecil di sisi lainnya. Di bagian belakang, melalui
pintu ayun, terdapat mangan besar yang terbuka. Di
sana terdapat meja biliar, sejumlah mesin pinball,
dan kotak musik yang telah rusak.
Suasana di sana agak sepi ketika kami tiba. Ada
beberapa orang tua di bar, duduk sendirian dengan
sebotol bir. Beberapa di antaranya agaknya mengenal
Lou, dan mereka meringis sebagai sapaan. Sepasang
anak muda berada di salah satu ruang, saling meneondongkan tubuh di atas meja dan berbisik dengan
sibuknya, seakan mereka tengah bertengkar tapi tak
ingin menarik perhatian.
Kami menuju ke belakang, Jacob dan Lou bermain
251 biliar sementara aku membeli minuman. Kuambilkan
boilermaker untuk Lou, bir untuk Jacob, dan ginger
ale untukku sendiri.
Jacob kalah, dan aku mentraktir mereka satu permainan lagi. Ini terjadi tiga kali lagi sebelum beberapa
orang muncul dan kami harus menyerahkan meja
biliar itu kepada mereka. Kami pindah ke depan dan
duduk di salah satu booth. Saat itu jam telah menunjukkan pukul 20.00 lebih, dan tempat itu mulai ramai.
Aku terus membelikan minuman. Kuberitahu Lou
ginger ale-ku adalah seolah dan soda, dan ia tertawa,
menyebutnya minuman akuntan. Ia mau membelikan
segelas tequila, tapi kutclak sambil tersenyum.
Sungguh menarik mengawasinya mabuk. Wajahnya
berubah merah, dan matanya berair, pupilnya perlahan
tenggelam di balik lapisan datar kemilau. Ia mulai ke


Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kamar keeil setiap kali selesai satu putaran, dan pada
pukul 21.00 kekejaman mulai menampilkan diri, kekasaran, Lou yang sebenarnya. Pada beberapa ke
sempatan ia lupa akulah yang membelikan minum,
jadi ia mulai memanggilku Mr. Accountant, mengedipkan mata, mencibir, dan tertawa kecil dengan
Jacob. Kemudian, dengan sama cepatnya, ia memantul
kembali, menampar lenganku, dan kami bertiga kem
bali menjadi sahabat terbaik, rekan sekongkol, gerombolan pencuri terhormat.
Setiap kali minuman baru tiba, ia bersulang, sama
setiap kali. "Ini untuk si nona keeil," katanya. "Di
berkatilah dia."
Tape recorder nya ada di saku kemejaku. Setiap
semenit aku pasti menggaruknya, seakan semacam
jimat dan aku menyentuhnya untuk keberuntungan.
252 Setelah minum minum selama sejam, aku berpaling
pada Lou dan bertanya, "Kau sungguh sungguh akan
cerita pada Sharif bahwa aku tidak membagi uangnya "
Kami sendirian; aku telah memberikan dcmpetku
pada Jacob dan memintanya membeli minuman lagi.
Lou mempertimbangkan pertanyaan tersebut, kepalanya
menunduk. "Aku butuh uangnya, Hank," katanya
serius. .
"Kau tidak bisa menunggu sampai musim panas "
"Aku membutuhkannya sekarang."
"Lima bulan Kau tidak bisa menahan lima bulan
lagi " '
Ia meraih bir Jacob dan menghirupnya. Masih
tersisa sedikit, tapi ia tidak menghabiskannya. Ia
tersenyum lemah padaku. "Sudah kuceritakan kalau
aku punya utang judi "
Aku mengangguk.
"Well, aku kehilangan tabungan Nancy."
"Berapa "
"Aku tahu seandainya kalah pun bukan masalah,
karena ada uang dari pesawat itu, jadi aku bertaruh
besar pada dua percobaan. Kukira kalau aku menang
satu saja, aku sudah untung." Ia tertawa kecil, gugup.
"Tapi tidak. Aku kalah dua duanya."
"Berapa " tanyaku lagi.
"Tujuh belas ribu, lebih sedikit. Uang warisan
ibunya." '
Aku terpaku diam. Tak bisa kubayangkan memper
taruhkan begitu banyak uang pada kuda. Kuawasi ia
menghabiskan bir Jacob.
"Kami bangkrut, Hank. Kami tidak punya apa apa
253 Tidak untuk membeli makanan, tidak untuk bayar
sewa, tidak untuk apa pun sampai aku mendapat
uang itu."
"Maksudmu kau akan cerita "
"Aku butuh uangnya. Rasanya tidak adil kau menyimpannya, sementara jelas sekali tidak ada yang
mencari pesawatnya."
"Aku mau tahu kau akan cerita atau tidak," kataku
mencondongkan tubuh ke arahnya.
"Kalau kukatakan tidak" ia tersenyum "kau
mungkin akan mengingkari janjimu."
"Ianjiku " "*
"Untuk membaginya."
Aku tidak mengatakan apa apa.
"Aku butuh uangnya, Hank. Aku tidak bisa menjalani hidupku tanpa uang itu."
"Tapi seandainya kau tidak tahu tentang Pederson.
Apa yang akan kaulakukan' "
Lou mengerutkan bibirnya. "Kurasa aku akan mengemis padamu," katanya. Ia memikirkannya selama
sedetik, kemudian mengangguk. "Aku pasti akan berlutut dan memohon padamu."
Barnya sekarangramai, penuh suara dan tawa.
Asap rokok bergantung rendah di udara, berbaur
dengan bau bir. Kulihat Jacob di seberang, membayar
bartendernya.
"Menurutmu akan berhasil " tanya Lou.
Kucoba sedetik membayangkan Lou berlutut di
hadapanku, memohon uangnya. Rasanya lebih menakutkan daripada gagasan ia memerasku. Karena masalah
itu akan memancing hal-hal yang kuanggap prinsip:
rasa iba, kedermawanan, empati, dan bukannya sekadar
254 ketakutan. Oleh karenanya, kalau kutolak, seperti yang
akan kulakukan, pasti penilaian jatuh bukan kepadanya
tapi kepadaku. Aku sadar mungkin itulah yang akan di
lakukannya setelah kami dapatkan rape-nya, dan memikirkannya saja membuat kepalaku lelah. *
"Tidak," kataku. "Mungkin tidak."
"Kalau begitu, kurasa sungguh beruntung aku tahu
tentang Pederson, bukan "
Kakakku kembali ke booth kami, jadi aku tidak
menjawabnya. Aku cuma menyingkirkan gelas kosong
dan berkata, "Minuman datang."
Lou menyentuh pergelanganku. Ujung jemarinya
dingin setelah memegang gelas Jacob. "Aku harus
mendapatkan uangnya, Hank," bisiknya cepat "Kau
mengerti, bukan'.7 Bukan masalah pribadi."
Kutatap tangannya yang mencengkeram tanganku
bagai penjepit, dan aku harus menahan keinginan
untuk membebaskannya. "Ya," kataku. Rasanya seperti
memberi hadiah kecil padanya. "Aku mengerti."
Sekitar 21.30, Lou bangkit dan keluar dengan
sedikit goyah menuju ke kamar kecil lagi. Kuawasi
ia hingga jaraknya cukup jauh untuk bisa mendengar
apa pun yang akan kukatakan. Kemudian aku berpaling pada Jacob.
"Bisa kautebak kapan dia benar benar mabuk "
Hidung kakakku beringus; kulit di atas bibirnya
berkilau. "Kurasa bisa." '
"Aku mau dia cukup mabuk sehingga tidak bisa
berpikir lurus, tapi tidak terlalu mabuk sampai katakatanya tidak jelas."
Jacob menghirup birnya. Kacamatanya berkabut,
tapi tampaknya ia tidak menyadari.
255 "Kalau dia mulai kelihatan menceraeau, berdirilah
dan katakan kau mau ke rumahnya dan kau membawa
sebotol wiski di trukmu."
"Aku masih merasa "
Kuhentikan ucapannya dengan menyentuhnya. Lou
telah muncul kembali dari kamar kecil, sedikit ter
huyung-huyung. Ia membentur kursi bar dan ketika
pria muda yang mendudukinya berpaling, Lou menu
duhnya telah menjegalnya.
"Pikirmu lucu " tanya Lou. "Kaukira kau pelawak "
Pria muda tersebut, berjanggut dan dua kali lebih
besar dari Lou, menatapnya keheranan. "Apanya yang
lucu " Ia terlalu terkejut hingga tidak marah.
Lou menyentakkan sabuknya. "Menjegal orang dari
kamar keeil. Membuatnya jadi bahan tertawaan."
Pria muda tersebut berpaling untuk menghadapinya.
Bar mulai sunyi.
"Duduk, Lou," kata salah seorang dari kursi di
dekatnya. "Kau bunuh diri." Beberapa orang tertawa.
Lou melirik ke bar. "Mengejekku," katanya. "Aku
bisa jatuh dan kepalaku retak." Ia menuding pria
muda tersebut. "Kau seharusnya ditendang untuk itu,
bukan Tendangan yang keras."
Pria muda tersebut tidak mengatakan apa apa. Ia
menatap jari Lou.
"Kutendang kau," kata Lou. "Kau mau ditendang
Kutendang kau sekeras kerasnya."
"Dengar, sobat," kata pria muda tersebut. "Kurasa
kau terlalu " '
"Jangan panggil aku sobat," kata Lou.
Pria muda tersebut turun dari kursinya. Jacob bergegas keluar.
256 "Kau bukan Sobatku," kata Lou.
Jacob, melihat ukuran dan kurangnya kesadarannya,
bergerak dengan kelincahan yang mengejutkan. Kua
wasi dari tempatku saat ia menyentuh bahu Lou. Lou
berpaling, kemarahannya seketika berubah menjadi
senyum lebar. "Kau Sobatku," katanya pada kakakku.
Ia memandang bartender sekilas. "Dia Sobatku,"
teriaknya. Kemudian ia melambai ke arahku. "Dia
juga Sobatku."
Jacob membimbingnya kembali. Kupesan minuman
lagi.
Pukul 23.00 kakakku beranjak bangkit dan menyarankan kami kembali ke rumah Lou.
Anjingnya menunggu kami dalam truk, tampak
kedinginan dan tersia sia. Ia tampaknya tak ingin
pindah ke belakang, jadi Jacob terpaksa mendorbngnya
melalui jendela plastik yang telah robek. Lou buang
air kecil di samping bangunan; desisan panjang dan
mantap dalam kegelapan.
Aku yang mengemudi. Kubeli sebotol wiski sore
tadi di toko minuman, dan sekarang kuminta Jacob
mengeluarkannya dan menawarkannya pada Lou. Lou
menerimanya dengan gembira.
Malam tersebut salah satu malam terdingin dalam
sepanjang tahun. Tidak ada awan. Bulan baru saja
terbit, putih keperakan bagai melon, duduk mantap di
tepi kaki langit. Di atasnya tergantung bintang bintang,
tinggi dan cerah di kegelapan langit Jalan keluar
Ashenville kosong, dan lampu depan truk Jacob yang
hanya berfungsi satu, sebelah kiri, menyebabkan jalan
tampak lebih sempit dari sebenarnya. Saat kami melaju
257 angin melecut ke mobil, menghantam kami, menarik
jaket kami, dan menyentakkan jendela plastik di belakang kepala kami seperti cambuk.
Kupadamkan lampu sebelum tiba di rumah agar
tidak membangunkan Nancy. Kuparkir tmk di pangkal
jalur masuk.
"Well " tanya Jacob. Ia duduk di kursi penumpang.
Lou duduk di antara kami, sedikit merosot, satu
tangan memegang dasbor. Jacob hams mencondongkan
tubuh untuk melihatku.
"Kita masuk saja," kataku. "Bawa botolnya."
"Benar," kata Lou. "Bawa botolnya." Ia menafnpar
kakiku. "Kau boleh juga. Kau tahu Kau tidak begitu
payah."
Kami tumn, meninggalkan anjingnya di truk, dan
menyusuri jalur masuk ke rumah. Jacob dan aku
masuk ke kamar duduk dan duduk di sofa sementara
Lou menggunakan kamar kecil. Suaranya buang air
kecil terdengar menembus pintu terbuka. Rasanya
berlangsung selama beberapa menit.
Kamar duduk hanya satu anak tangga lebih rendah
dari ambang pintu, lebar dan dangkal, dengan karpet
bulu hijau tua. Ada dua kursi di sana, sofa kulit
hitam, TV yang kelihatannya kuno, dan meja kopi
panjang yang rendah dipenuhi majalah. Lebih menye
nangkan dari harapanku, tapi tidak banyak.
Lou pergi ke dapur setelah selesai buang air dan
mengali gelas. Ketika ia kembali, Jacob menuangkan wiskinya. Aku tidak terbiasa menenggak minuman
keras, apalagi tanpa campuran, dan cairan tersebut
membakar tenggorokanku saat kutelan. Baunya meng
ingatkanku pada ciuman ayahku setiap malam. Kepala
258 nya akan muncul tiba tiba di ranjangku, membungkuk
tapi selalu berhenti sebelum mencapai dahiku, seakan
takut membangunkan diriku. Terkadang aku membuka
mata, dan hanya bau alkohol dalam napasnya yang
membuktikan kehadirannya, bersama derak lantai papan saat ia mendekat, membungkuk kepadaku, dan
kemudian ke luar kamar.
Lou duduk di salah satu kursi di sisi seberang
meja kopi. Baik dirinya maupun Jacob tampaknya
tidak benninax untuk bercakap cakap, dan aku tidak
bisa memikirkan cara untuk memulainya. Aku terusmenerus melirik kakakku, memohon bantuannya, tapi
ia tidak bereaksi. Matanya bengkak akibat minuman,
hingga ia seakan mau tertidur.
Kebisuan berlangsung beberapa menit. Kemudian
Lou tertawa kecil dan bertanya pada Jacob apakah ia
tahu tentang apa yang disebut orang tanpa tangan
dan kaki di kolam renang.
"Bob," kata Jacob, membuat keduanya tertawa.
Mereka mulai membicarakan seseorang yang tidak
kukenal, teman Lou yang kehilangan tangan dalam
kecelakaan di lokasi konstruksi musim panas yang
lalu. Ia lengah memasukkan sikat ke dalam penghancur
kayu dan terseret ke dalam mesin tersebut. Lou dan
Jacob berdebat apakah ia sebaiknya menyalahkan diri
sendiri atas kecelakaan tersebut. Lou setuju, karena
kecelakaan tersebut hanya terjadi atas kecerobohan
atau kebodohan, tapi Jacob tidak setuju. Pn'a tersebut
sekarang bekerja di toko suku cadang kendaraan. Ia
memberitahu Lou bahwa lengannya beratnya lima
seperempat kilo. Ia tahu karena sebanyak itulah berat
tubuhnya berkurang setelah kecelakaan.
259 Aku duduk di tempatku, diam-diam menghabiskan
minumanku, tape recardemya serasa membebani dadaku. Jacob dan Lou seakan telah melupakan kehadiranku, bercakap cakap seakan aku tidak berada di
sana, dan hal tersebut membuatku melihat betapa
dalamnya persahabatan mereka yang tidak pernah
kumiliki. Ada sesuatu dalam percakapan mereka
kekasaran yang jarang terdengar dalam pernyataan
mereka, lamanya kesunyian antara setiap jawaban
yang mengingatkan aku akan percakapan yang 'dulu
kudengar antara Dad dan teman-temannya. Menurut
bayanganku begitulah seharusnya pria bercakap cakap
satu sama lain, dan mendengar kakakku melakukannya
sekarang membuatnya berbeda dalam pandanganku.
Membuatnya, mungkin untuk pertama kali seumur
hidupku, tampak lebih dewasa dan lebih bijak daripada
diriku.
Ketika aku selesai minum, Jacob mengisinya lagi.
' Mereka mulai memperdebatkan salah satu lokasi
memancing yang bemama Danau Iblis, dan bagaimana
danau tersebut bisa dinamai begitu. Jacob berpendapat
karena bentuknya yang mirip kepala dengan dua tanduk, tapi Lou tidak percaya. Wiski mulai membuatku
hangat, dan ketika kusadari hal ini, ketika aku berhenti


Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan memikirkannya sungguh-sungguh, kepanikan mulai'
menyebar di tubuhku seperti dering alarm. Aku tahu,
kalau aku mabuk dalam situasi ini jelas merupakan
kegagalan. Aku harus berpikir jernih, untuk memilih
kata dan bertindak dengan tepat.
Kuletakkan gelas di meja kopi dan berkonsentrasi,
berusaha menemukan sela dalam percakapan mereka,
berusaha memikirkan pertanyaan atau pernyataan, se
260 suatu yang tidak kentara, sedikit dorongan verbal
untuk mengarahkannya ke Pederson dan uangnya.
Aku berusaha dan berusaha, tapi benakku menolak
untuk membantu. Benakku terus kembali ke pria
yang kehilangan lengannya1 terus menawarkan dugaan
berapa berat lenganku sendiri, menimbangnya di pangkuanku.
Akhirnya dalam keputusasaan, aku berkata, "Bagaimana kalau aku mengaku "
Kata-kataku terlontar keras, hampir mirip teriakan
yang mengejutkan kami bertiga. Jacob dan Lou ber
paling memandangku.
"Mengaku " tanya Dou Ia menyeringai padaku. Ia
mabuk. dan kurasa ia pasti menduga aku juga mabuk.
, "Bisa kaubayangkan " kataku. "Aku mengaku "
"Mengaku apa "
"Mengambil uangnya, membunuh Pedersen "
Ia terus tersenyum padaku. "Kau mau mengaku "
Aku menggeleng. "Cuma mau tahu apakah kalian
bisa membayangkan aku melakukannya."
"Tentu saja," katanya. "Kenapa tidak "
"Kau " tanyaku pada Jacob. Ia duduk merosot di
sebelahku, melnandang tangannya.
"Kurasa bisa," katanya. Ia mengatakannya dengan
cepat, bagai melenguh.
"Bagaimana "
Jacob menatapku sinis. Ia tidak ingin menjawab.
"Kauserahkan bukti negara," kata Dou tersenyum.
"Kau menipu kami hingga mereka membebaskanmu."
"Tapi apa yang harus kukatakan "
"Yang sebenarnya. Kalau kau mencekiknya dengan
syalnya."
261 Kurasakan Jacob menegang di sebelahku. Pengetahuan Lou akan syal tersebut hanya berarti satu hal:
Jacob telah mencerimkan bagaimana caraku membunuh
pria tua tersebut. Lou mungkin menduga pada mulanya, tapi begitu kejadian tersebut dibicarakan, kakakku
tidak menyembunyikan apa pun. Kuingat ingat hal
ini. Sesuatu yang bisa kubereskan nanti.
"Pura puralah menjadi diriku," kataku pada Lou.
"Jacob pura pura menjadi sherif nya dan kau datang
ke kantornya untuk mengaku."
Ia menatapku curiga. "Kenapa "
"Aku mau dengar apa yang menurutmu akan kukatakan."
"Sudah kukatakan. Kau akan mengaku telah men
cekiknya dengan syalnya."
"Tapi aku mau mendengarnya seakan kau diriku.
Aku mau kau memerankannya."
"Ayolah, Lou," desak Jacob. Ia'memandangku sekilas, tertawa kecil. "Pura puralah jadi akuntan."
Lou menyeringai padanya. Ia meneguk wiskinya,
kemudian beranjak bangkit. Ia berpura pura mengetuk
pintu. "Sheriff Jenkins " panggilnya. Ia meninggikan
suaranya dan menggetarkan, seperti anak kecil yang
EUSUP.
"Ya " kata Jacob, menggunakan suara baritonnya
yang dianggapnya khas suara pihak berwenang.
"Aku Hank Mitchell. Ada sesuatu yang mau ku
sampaikan."
"Masuk, Hank," kata Jacob. "Duduklah." _
Lou berpura pura membuka pintu. Ia berjalan di
tempat sejenak, menyeringai bodoh, kemudian duduk
di tepi kursinya. Ia menempelkan kedua lututnya,
262 tangan diletakkan di pangkuan. "Ini tentang Dwight
Pederson," katanya, dan aku menggaruk dadaku. Terdengar suara "klik" lembut saat kutekan tombolnya,
dan kemudian rape recorder nya mulai berdengung.
"Ya " tanya Jacob.
"Well, dia bukan meninggal karena kecelakaan."
"Maksudmu "
Lou pura pura memandang sekeliling ruangan de
ngan gelisah, kemudian berbisik, "Aku yang membu
nuhnya."
Sejenak kesunyian timbul, sementar Lou menunggu
reaksi kakakku. Kurasa Jacob berharap aku meng
hentikannya sampai di situ, berharap aku cuma menginginkan pernyataan sederhana tersebut, tapi aku butuh
lebih. Lou harus mengatakan bagaimana ia membunuh
Pederson. '
"Kau membunuh Dwight Pedersen " tanya Jacob
akhirnya. Ia pura-pura shock.
Lou mengangguk. "Kucekik dia dengan syalnya,
kemudian kudorong dari jembatan ke Sungai Anders.
Kubuat sepem' kecelakaan."
Jacob terdiam. Bisa kutebak dari caranya duduk
kalau Jacob tidak akan mengatakan apa-apa lagi. jadi
kumatikan tape recorder. Tampaknya kami telah men
dapat lebih dari cukup. Kalau rekaman pengakuan ini
membuat Lou ketakutan, ini pasti akan berhasil seperti
lainnya.
"Baiklah," kataku. "Kau boleh berhenti."
Lou menggeleng. "Aku mau mengatakan bagian di
mana kau menawarkan untuk bersaksi melawan kami."
Ia melambai ke kakakku. "Terus tanyai aku, Jake."
Jacob tidak bereaksi. Ia meneguk wiskinya, kemu
263 dian menghapus mulut dengan punggung mngannya.
Kukeluarkan tape recorder dari saku, memutarnya
hingga permulaan.
"Apa itu " tanya Lou.
"Tape rccm'dcr, " kataku Mesmnya berdetak lembut
ketika selesai memutar.
"Tape recorder " tanya kakakku seakan kebingungan.
Kutekan tombol play, mengeraskan volume dengan
ibu jari, kemudian meietakkannya di meja kopi. Terdengar desisan sekitar dua atau tiga detik sebelum
suara Jacob terdengar: ""Ya "
"Well, dia bukan meninggal karena kecelakaan,"
kata suara Lou.
"Maksudmu "
"Aku yang membunuhnya."
"Kau membunuh Dwight Pedersen "
"Kucekik dia dengan syalnya, kemudian kudorong
dari jembatan ke Sungai Anders. Kubuat seperti kecelakaan."
Kutekan tombol smp, kemudian memutar ulang
kaset ke permulaan,
"Kau merekam kami " tanya Jacob.
"'Apa apaan kau, Hank " tanya Lou.
"Ini pengakuanmu," kataku. Aku tersenyum pada
nya. "Kau mengakui telah membunuh Dwight
Pederson."
Ia menatapku kebingungan. "Itu pengakuanmu,"
katanya. "Aku pura pura menjadi dirimu."
Aku membungkuk ke depan, menekan tombol play,
dan mesin tersebut kembali melantunkan dialog me
reka. Kami semua memandangnya, mendengarkannya.
264 Aku menunggu hingga selesai kemudian berkata, "Kedengarannya lebih mirip suaramu daripada suaraku,
bukan " *
Lou tidak bereaksi. Ia mabuk, dan walaupun ia
sadar bahwa ia tidak bahagia dengan tindakanku,
tampaknya ia tak bisa menebak alasannya.
"Kita tidak akan membagi uangnya sebelum musim
panas,' 'kataku.
Ia tampaknya benar benar terkejut oleh pernyataan
ni ."Katamu akan kaubagi akhir pekan minggu de
praln."
Aku menggeleng. "Kita akan menunggu sampai
pesawatnya ditemukan, seperti rencana kim semula."
'"Tapi sudah kukatakan padamu, Hank. Aku butuh
uangnya sekarang." Ia memandang Jacob meminta
bantuan. Jacob menatap tape recarder nya, seakan
bemsaha mengatasi .rhock nya atas kemunculan tiba
tiba mesin tersebut. .
"Akan kuceritakan," kata Lou. "Akan kuceritakan
pada sheriff tentang Pederson." Kurasa baru sekarang,
saat ia mengatakannya, ia menyadari alasanku merekamnya. Ia mencibir padaku. "Tidak ada yang akan
mempercayai rekaman itu. Jelas sekali aku cuma
main main."
"Kalau kau dan aku menemui Sheriff Jenkins besok
dan mengaku bahwa orang lain sudah membunuh
Dwight Pederson, menumtmu siapa yang akan lebih
dipercaya Kau "
Ia tidak mengatakan apa-apa, jadi aku yang menja
wabnya. "Aku yang akan dipercaya, Lou. Kau me
ngerti bukan "
"Kau keparat " Ia condong ke depan, berusaha
265 meraih tape recorder di meja, tapi aku lebih cepat.
Kusambar mesin tersebut dan mengantonginya kembali.
"Kau tidak akan cerita apa apa pada siapa pun,"
kataku.
Lou beranjak bangkit, seakan mau mengitari meja
untuk menyerangku dan aku juga beranjak bangkit.
Aku tahu ia bukan ancaman ia lebih kecil dariku,
dan mabuk tapi aku masih khawatir kami hams
berkelahi hingga aku pasti melarikan diri menghindarinya, melesat menyeberangi ruangan, menaiki anak
tangga ke ambang pintu, dan keluar. Aku telah mendapatkan apa yang kuinginkan; sekarang yang ku
inginkan cuma pergi.
Lou menggeram padaku dari seberang meja kopi.
Kemudian 1a melambai ke Jacob. "Tangkap dia, Jake,"
katanya.
Jacob terlonjak sedikit, merosot di sofa. "Menangkapnya "
"Duduk, Lou." kataku.
"Ayolah, Jake. Bantu aku."
Kesunyian singkat namun tebal timbul sementara
kami menunggu tindakan yang akan diambil kakakku.
Ia meringkuk, tampaknya menjauhi kami, kepalanya
menyusut ke bahunya seperti kura kura. Pasti inilah
saat yang paling ditakutinya sepanjang malam, saat
ia harus mendemonstrasikan kesetiaannya dengan cara
yang nyata. Ia hams memilih terang terangan, salah
satu dari kami.
"Rekaman itu tidak akan memgikan'mu," katanya,
suaranya terdengar samar samar, menyedihkan. "Cuma
untuk berjaga jaga agar kau tidak merugikannya."
Lou mengedipkan mata kepadanya. "Apa "
266 "Dia tidak akan menggunakannya kecuali kau me
maksanya. Rasanya adil, bukan "
Kata kata Jacob bagai peluru kecil yang melesat
ke Lou dan membenamkan diri ke balik kulitnya.
Lou bergoyang-goyang, ekspresi wajahnya kosong.
"Kau terlibat, bukan " katanya.
Jacob terdiam.
"Ayolah, Lou," kataku. "Duduk sajalah. Kita masih
tetap berteman."
"Kalian menjebakku, bukan'.7 Kalian berdua bersama sama." Tubuh'Lou menegang. Otot otot yang
belum pernah kulihat menonjol di lehernya, bergetar.
"Di rumahku sendiri," katanya. Ia mengepalkan tangannya, melirik sekelilingnya seakan mencari sesuatu
untuk dipukul. "Pura puralah menjadi diriku," katanya,
menirukan suaraku. Ia mencibir pada Jacob. "Jacob,
kau menjadi sheriff."
"Aku tidak tahu "
"Jangan bohong, Jake." Suara Lou terdengar lebih
rendah, terluka, terkhianati. "Cuma memperburuk ke
adaan."
"Mungkin Hank benar," kata Jacob. "Mungkin
lebih baik kalau kita menunggu sampai pesawatnya
ditemukan."
"Kau tahu "
"Kau bisa bertahan sampai waktu itu. Aku bisa
membantumu. Kupinjami kau
"Kau mau membantuku " Lou hampir tersenyum.
"Menurutmu bagaimana kau bisa menolongku "
"Dengar, Lou," kataku. "Dia tidak tahu. Semua ini
gagasanku."
Lou bahkan tidak repot repot memandangku. Ia
267 menunjuk kakakku. "Katakan," katanya. "Katakan
yang sebenarnya." '
Jacob menjilat bibirnya. Ia memandang gelasnya,
tapi kosong. Ia meletakkannya di meja. "Dia berjanji
membantuku membeli penanianku." '
"Pertanianmu Apa maksudmu "
"Pertanian ayahku." _
"Kupaksa dia," katzdcu cepat-oepat. "Kukatakan
bahwa dia tidak bisa membeli pertanian itu kecuali
membantuku."
Sekali lagi Lou tidak mengacuhkanku, seakan aku
.tidak lagi hadir di sana. "Jadi kau tahu " tanyanya
pada Jacob.
Kakakku mengangguk. "Aku tahu."
Sangat perlahan, seakan sikapnya mengandung ke
agungan tersendiri, Lou mengangkat lengannya dan
menunjuk ke pintu. Ia mengusir 'kami, seperti raja
yang tengah mengusir dua pengkhianat dari hadap
annya. "Keluar," katanya.
Dan tepat inilah yang kuinginkan. Kukira kalau
kami bisa pergi dan bisa mencapai truk sebelum ada
yang mengatakan sesuatu yang tidak bisa ditariknya
lagi besok pagi, segalanya akan beres.
"Ayo, Jacob," kataku, tapi ia tidak bergerak. Ia
memusatkan perhatiannya pada Lou, seluruh tubuhnya
condong ke arahnya, memohon pengertian.
"Kau tidak mengerti "
"Keluar dari rumahku," kata Lou. Suaranya meningkat mirip teriakan. Otot otot di lehernya menonjol,


Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menegang.
Kuambil jaket dari sofa. "Jacob," kataku.
268 Ia tidak bergerak dan Lou mulai menjerit. "Pergi!"
teriaknya. Ia mengentakkan kaki. "Sekarang!"
"Lou " panggil suara wanita. Kami semua membeku. Nancy; kami telah membangunkannya. Suaranya
seakan berasal dari langit langit, seakan rumahnya
sendiri yang berbicara. .
"Jacob," kataku lagi, mengaturnya agar mirip perintah, dan kali ini ia bangkit berdiri.
"Lou " panggil Nancy. Ia kedengaran marah. "Ada
apa "
Lou menjauhi kami, keluar dari kamar duduk ke
ambang pintu. Ia berdiri di anak tangga terbawah.
"Mereka menipuku!," teriaknya.
"Aku harus bekerja besok pagi. Jangan berteriakteriak seperti itu." *
"Mereka memaksaku mengaku."
"Apa "
"Mereka tidak akan memberikan uangnya."
Nancy masih belum memahaminya. "Kenapa kau
tidak menemui Jacob " tanyanya.
Lou berdiri di tempatnya sejenak, terhuyung huyung
pada kakinya. Kemudian tiba-tiba ia berbalik, seakan
telah mengambil keputusan, dan menyusuri lorong
menuju kamar mandi. Jacob dan aku mengenakan
jaket kami. Aku bergegas melangkah ke pintu depan,
dan ia mengikutiku tepat di belakang. Aku mau pergi
sebelum Lou sempat muncul kembali.
"Lou " panggil Nancy lagi. '
Kubuka pintu dan akan melangkah ke luar ketika
kudengar suara dari'arah kiriku. Lou. Ia bukannya ke
kamar kecil; ia (ke garasi dan mengambil Senapan
269 berburunya. la tengah menyandangnya, menjejalkan
pelurunya ke tempatnya sambil 1nendekat._
"Dia bawa senapan," kata Jacob. Ia mendorongku
dengan tangannya memaksaku maju, dan sewaktu aku
tidak bergerak. ia menghambur melewatiku. Ketika
mencapai jalur masuk ia berlari. Aku tetap berdiri di
tempatku, mengawasi Lou mendekat. Ia membiarkan
pintu garasi terbuka di belakangnya, sehingga ia
mendekatiku dan" kegelapan, bagai kurcaci muncul
dari sarangnya. Kupikir aku bisa menenangkannya.
"Kau mau apa, Lou " tanyaku. Rasanya bodoh ia
bersikap begitu, seperti anak kecil merajuk.
Nancy memanggilnya lagi, suaranya terdengar se
akan setengah tertidur. "Lou "
Lou tidak mengacuhkannya. Ia berhenti sekitar
satu setengah meter jauhnya dariku, kemudian mengangkat senapannya hingga mengincar dadaku. "Berikan
tape nya," katanya.
Aku menggeleng. "Letakkan senjatamu, Lou."
Di belakangku kudengar Jacob membuka pintu
truknya. Sejenak tidak terdengar apa-apa, dan kemudian suara pintu dibanting. Ia meninggalkanku, pikir
ku. Ia melarikan diri. Aku menunggu derum mesin
mobil dihidupkan, menunggu suara derit ban pada
kerikil saat ia keluar dan" jalur masuk, tapi tidak
terdengar apa apa. Sebaliknya, kudengar entakan berat
kakinya kembali ke arahku dan sewaktu aku melirik
ke balik bahu, kulihat ia. berlari di jalur masuk,
senapannya melintang di depan dada. Akhirnya, setelah
bertahun tahun, kakakku datang untuk melindungiku.
Tapi semuanya salah, sangat salah, malahan, hingga
mulanya aku tidak bisa percaya ini benar benar terjadi.
270 Sebuah bayangan muncul dalam benakku, bayangan
Jacob bermain tentara tentaraan sewaktu masih ka
nak kanak. Kulihat ia muncul dari batas selatan
lapangan, ragu ragu sejenak seakan tentara sejati,
kemudian melesat ke rumah, terengah engah, senapan
mesin mainan berada di pelukannya, helm Perang
Dunia II milik paman kami tertancap di kepalanya,
melonjak-lonjak maju-mundur seiring langkahnya,
hingga ia harus terus mendorongnya ke belakang
agar tidak menutupi mata. Kemudian ia mendatangiku,
menangkapku di serambi permainan kanak-kanak
dengan senjata khayalan dan begitulah rupanya
sekarang, seakan ia tengah bermain main tapi pura
pura serius.
Melihatnya, melihat senapan di tangannya, mem
buatku ngeri. Kengerian itu menyengat, ujung jemariku
seakan berdetak ketakutan. Kuangkat tanganku menyuruhnya pergi, dan ia berhenti di ujung jalur, sekitar
enam meter jauhnya. Kudengar napasnya bagai suara
gergaji dalam kegelapan. Aku berbalik menghadapi
Lou, berusaha menutupi ambang pintu dengan tubuhku.
Aku tahu, aku tak boleh membiarkan Lou melihat
kakakku, tahu kalau membiarkan keduanya berhadapan
dengan senapan masing masing, segalanya bisa terjadi.
Aku tidak akan bisa mengendalikannya lagi.
"Berikan padaku, Hank," kata Lou. Suaranya ter
kontrol, dan kemantapannya, betapapun kecilnya, meyakinkan aku.
"Kita bicara besok pagi saja, Lou," kataku. "Semua
pasti sudah tenang dan kita bereskan masalahnya."
Ia menggeleng. "Kau tidak akan pergi sebelum
memberikan mpe itu." _
27] "Hank " panggil Jacob dari tempatnya. "Kau baikbaik saja "
"Tunggu di truk, Jacob."
Lou mengulurkan lehemya untuk melihat keluar,
tapi aku menghalangi pandangannya. Aku melangkah
mundur ke serambi, menyeret pintu agar menutup.
Aku berusaha memisahkan mereka, tapi Lou salah
mengartikannya. Ia mengira aku berusaha melarikan
diri, walaupun sebenarnya aku memang takut padanya,
dan hal itu membuatnya semakin percaya diri. Ia
bergegas maju dua langkah, mencengkeram tepi pintu
dengan tangan kanan, dan menyentaknya hingga ter
buka. Ia melambaikan senapan ke wajahku.
"Sudah kukatakan kau tidak ak "
"Jangan ganggu dia, Lou!," teriak Jacob.
Lou membeku, terkejut, dan kami berdua berpaling
untuk melihat. Kakakku tengah membidik dari laras
senapannya, membidik kepala Lou.
' "Hentikan, Jacob," kataku. "Kembali ke truk."
Tapi ia tidak bergerak. Ia memusatkan perhatiannya
pada Lou, dan Lou memusatkan perhatiannya pada
Jacob. Aku terjepit di tengah, menjadi penonton drama
mereka. '
"Kau akan menembakku, 'Jake " tanya Lou, dan
kemudian, bersama sama, mereka mulai berteriak te
riak, yang satu berusaha mengalahkan yang lain.
Jacob memintanya agar tidzdt menggangguku, menutup
mulut, meletakkan senjatanya. Ia mengatakan tidak
ingin menyakitinya. Lou mengusik persahabatan me
reka, mengatakan bagaimana ia ditipu di rumahnya
sendiri, betapa ia membutuhkan uangnya, dan ia akan
menembakku kalau aku tidak memberikan tape-nya.
272 "Sttt," kataku terus menerus, sekarang memohon,
dan diacuhkan semua orang. '_'Sttt."
Di tengah tengah semuanya ini kulihat lampu salah
satu jendela lantai atas menyala. Kutatap jendela
tersebut, mengharapkan kemunculan Nancy. berharap
agar suaranya yang mengambang bagai malaikat dari
langit di atas kepala kami, akan menghentikan kegilaan
mereka, mendiamkan teriakan teriakan mereka. dan
membuat mereka meletakkan senjata. Tapi ia tidak
muncul di jendela; ia membuka pintu kamar tidur dan
berlari turun ke kepala tangga.
"Lou " kudengar panggilannya. Ia tidak tampak,
tapi bisa kubayangkan bagaimana rupanya dari suaranya mengantuk dan kebingungan, rambutnya kusut
masai, sekitar matanya bengkak.
Lou terdiam seketika, dan ketika ia berhenti berteriak kakakku juga berhenti. Telingaku berdenging
akibat teriakan teriakan mereka. Malam tampaknya
menempatkan diri dengan lembut di antara kami,
sepotong demi sepotong5 seperti hujan salju,
Nancy turun beberapa anak tangga. Kulihat salah
satu kakinya di dekat bagian atas kusen pintu, telanjang dan sangat kecil. "Ada apa " tanyanya.
Wajah Lou berubah merah manyala, hidungnya
kembang kempis. Ia tampaknya sulit meredakan napasnya. Ia mengarahkan senapan ke tengah dadaku, tapi
tidak memandangku. Ia memandang Jacob. "Kau ke
parat sialan," katanya, sangat pelan. Kemudian ia
memandangku sekilas. "Kalian berdua. Pura-pura menjadi temanku." Ia mengangkat senapan hingga larasnya
menunjuk wajahku. "Seharusnya kuhancurkan benak
mu." '
27'3 "Ayolah, Lou," kataku, menahan suaraku agar'tetap
rendah dan tenang. "Bisa kita bicarakan." Kurasa ia
tidak akan menembakku, kurasa ia hanya menggertak
seperti anjing menyalak. Kehadiran Nancy membawa
pengaruh baik. Kalau kami membiarkannya, aku tahu,
ia akan mengeluarkan kami dari bahaya ini. Beberapa
detik kemudian Lou akan menurunkan senapannya,
kemudian Nancy akan membawanya masuk, dan se
muanya berakhir.
Nancy turun lagi satu langkah. Sekarang bisa kulihat dua kaki dan satu tungkai. "Turunkan senapanmu,
Sayang," katanya, dan kelembutan suaranya terasa
bagai balsam bagiku. Kurasakan diriku sendiri mengendur mendengarnya.
Tapi Lou menggeleng. "Kembali ke kamar." katanya. Ia memompakan peluru ke tempatnya, membidik
ke wajahku. "Aku cuma akan menembak kedua jahanam "
Ia tidak bisa menyelesaikannya. Terdengar letusan
di belakangku, kilatan cahaya biru diikuti perasaan
adanya gerakan dekat bahu kiriku. Aku membungkuk,
memejamkan mata, dan mendengar senapan Lou jatuh
ke lantai.
Ketika aku mengangkat kepala ia telah lenyap dari
pintu.
Kesunyian kembali hadir sebelum Nancy menjerit.
Cukup lama bagiku untuk mengenali desau angin di
cabang pepohonan yang dan kemudian hilang tertutup
jeritan Nancy yang memenuhi' rumah, memantul di
dinding.
"Tidaaaaaaa ," jeritnya. Ia terus menjerit hingga
kehabisan napas, dan kemudian mulai lagi. "Tidaaaaak."
274 Aku tahu apa yang terjadi: keheningan mutlak di
belakangku, kengerian yang menyebabkan keheningan
tersebut, membuatnya tak bisa diingkari. Kakakku
telah menembak Lou.
Aku.melangkah maju, menyeberangi serambi ke
dalam rumah, dan menemukan Lou berbaring telentang
beberapa meter dari pintu. Peluru menghantam dahinya, sekitar dua senti di atas mata. Peluru tersebut
meninggalkan lubang yang sangat kecil di depan, tapi
di lantai terdapat kolam darah yang besar menyeberang
ambang pintu, hingga aku tahu bahwa lubang di
belakang kepalanya lebih besar. Wajahnya tanpa ekspresi, hampir tenteram. Mulutnya setengah terbuka,
giginya kelihatan, kepalanya sedikit miring ke belakang, hingga ia seakan mau bersin. Tangan kanannya
terentang penuh gaya di lantai; tangan kirinya menutupi dada. Senapannya tergeletak di samping bahunya.
Tentu saja ia tewas. Tak perlu diragukan lagi,
Jacob telah membunuhnya. Begitu saja, pikirku, seketika semuanya berakhir segalanya akan terungkap
sekarang, semua rahasia kami, kejahatan kami. Kami
telah membiarkan segalanya lepas kendali.
Nancy menuruni tangga satu demi satu. Ia wanita
yang besar, lebih besar dari Lou. Rambutnya sebahu
dan diwarnai secara aneh, semburat oranye yang
mencolok. Ia menutupi mulutnya, matanya terpaku
memandang mayat Lou. Kuawasi ia mendekat, serasa
diriku dalam keadaan trans. Segalanya seakan tidak
nyata, seperti mengawasi seluruh kejadian dari balik
kaca.
"Oh, Tuhan," katanya, kata-katanya dua kali lebih
275 cepat dari kecepatan berbicara biasa, seakan direkat
menjadi satu. Ia terus menerus mengulanginya. "Oh
Tuhan oh Tuhan oh Tuhan."
Ia mengenakan T shirt Detroit Tigers yang ekstra
panjang, mirip gaun tidur, mencapai pahanya. Kulihat
buah dadanya bergerak gerak di baliknya, penuh dan
berat, berayun sedikit setiap kali ia melangkah.
Aku melirik Jacob. Ia masih di tempatnya, berdiri
seperti patung, mengintip ke dalam rumah. Tampaknya
ia menunggu Lou beranjak bangkit.
Nancy tiba di pangkal tangga, bergerak setengah
berjongkok, kemudian membungkuk di samping mayat
Lou. Ia tidak menyentuhnya. Tangannya masih me
nutupi mulutnya, dan memandangnya dalam keadaan
begitu membuatku diterpa gelombang iba. Aku me
langkah maju, lenganku terulur untuk memeluknya,
tapi ketika ia melihat aku mendekat, ia meloncat
mundur ke kamar duduk.
"Jangan sentuh aku," katanya. Kakinya tampak
gemuk pendek dan pucat bagai dua pilar marmer di
bawah T-shirl nya, Ia menangis sedikit; dua butir air
mata mengalir berurutan di kedua sisi hidungnya.
seakan berlomba.
Kucoba mengatakan sesuatu yang menenangkan,
tapi yang tersembur hanyalah kebohongan yang lemah.
"Tidak apa apa, Nancy," bisikku.
Ia tidak bereaksi mendengarnya. Ia menatap ke
belakangku, ke pintu, dan ketika aku berpaling untuk
melihat apa yang dilihatnya, kudapati Jacob berdiri
di sana, senapan dalam pelukannya seperti bayi, eks
presi wajahnya kosong.
"Kenapa " tanya Nancy.
276 Ia harus membersihkan tenggorokannya sebelum
berbicara. "Dia mau menembak Hank." _
Suara kakakku menarikku dari keadaan trans. Aku
sadar jika kami dapat beraksi bersama pemikiran
tersebut menyembul ke pikiran sadar dengan sayap
kepanikan kami masih bisa menyelamatkan sebagian
dari kengerian ini. kami masih bisa menyelamatkan


Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

uangnya. Masalahnya menjadi sekadar persetujuan
kami untuk memandangnya dari sudut tertentu.
"Dia tidak akan menembak siapa pun," kata Nancy.
Ia menatap mayat Lou. Genangan darahnya masih
terus melebar, perlahan bergerak melintasi lantai.
"Nancy," kataku lembut, "segalanya akan beres.
Kita akan membereskannya." Aku tengah berusaha
menenangkannya.
"Kau membunuhnya," katanya seakan tidak percaya.
Ia menuding kakakku. "Kau menembaknya."
Jacob tidak mengatakan apa apa. Senapannya dipeluk erat erat di dada.
Aku maju dua langkah mendekati Nancy, mengitari
genangan darah. "Kita akan panggil polisi," kataku.
"Dan akan kita katakan bahwa ini tindakan membela
diri."
' Ia memandang ke arahku sekilas, tapi bukan memandangku. Tampaknya ia .tidak mengerti.
"Kita katakan bahwa Lou akan menembaknya,
bahwa dia mabuk, bahwa dia berubah sinting."
"Lou tidak bermaksud menembak siapa pun."
"Nancy," kataku. "Kita masih bisa menyelamatkan
uangnya." '
Ucapanku bagai tamparan di wajahnya. "Keparat
277 kau," desisnya. "Kau menembaknya karena uang itu.
bukan "
"Stu! kataku. Tanganku kuayunkan menyuruhnya
diam, tapi ia mendekatiku, tinjunya tetkcpal, wajahnya
mengei'ut marah. Aku mundur menjauhinya.
"Pikirrnu akan kubiarkan kau mendapatkan uang
nya " katanya. "Kau keparat "
Aku mundur sepanjang ambang pintu, melewati
mayat Lou, ke pintu dan kakakku. Nancy terus mengejarku, sekarang berteriak tcriak dan memaki makiku
tentang uangnya. Saat melewati mayat Lou, ia tersandung senapan Lou, menendangnya dengan sebelah
kakinya yang telanjang. Senapan tersebut menimbulkan
bunyi yang keras saat meluncur di ubin, dan kami
semua menatapnya.
Semuanya berhenti sejenak, sementara Nancy se
akan mempertimbangkannya. Kemudian ia membung
kuk akan mengambilnya.
Aku melangkah maju untuk mengambilnya terlebih
dulu, bukan untuk mengancamnya, hanya untuk mencegahnya mengambil senapan tersebut. Kami berdua
memegangnya bersamaan, dan berkutat sejenak. Senapan tersebut hitam dan berminyak, dan beratnya me
ngejutkan. Aku mendorong, kemudian menarik, kemu
dian mendorong lagi, dan cengkeraman Nancy terlepas.
Ia jatuh ke tangga, menimpanya, dan, sambil menjerit
ia mengangkat lengan untuk melindungi kepalanya.
Aku shock ketika menyadari bahwa ia mengira
aku akan menembaknya.
"Tidak apa apa," kataku cepat cepat. Aku ber
jongkok, meletakkan senapan di lantai. "Aku tidak
akan menyakitimu."
278 Ia naik ke tangga.
"Tunggu, Nancy," kataku. "Tunggu."
Ia terus naik, satu demi satu anak tangga, semakin
lama semakin tinggi, dan aku mengejarnya dengan
senapan di tangan.
"Tidak," katanya. "Jangan."
"Tidak apa apa. Aku cuma mau bicara."
Ketika tiba di puncak tangga ia berbelok ke kanan
dan melesat lari. Aku melesat mengejarnya, menaiki
beberapa anak tangga terakhir dan kemudian menyusuri lorong. Kamar tidurnya terletak paling ujung.
Pintunya terbuka dan lampu di dalam menyala. Dari
luar bisa kulihat kaki ranjang.
"Aku tidak akan menyakitimu!," teriakku.
Ia meraih pintu dan berusaha menutupnya, tapi
aku tepat di belakangnya. Kutangkap pintu lalu mem
bukanya dengan paksa. Ia mundur menjauhiku. Kamar
nya lebih besar dari dugaanku. Tepat di depan kami
ada ranjang air besar menempel ke dinding. Di kiri
terdapat daerah untuk duduk dengan dua kursi dan
meja dengan TV di atasnya. Di balik kursi terdapat
pintu tertutup, yang kuanggap pasti menuju kamar
mandi, Di kanan, menempel ke dinding depan rumah,
terdapat dua lemari besar dan meja rias. Di sana
juga ada pintu yang terbuka menuju ke lemari pakaian
besar. Kulihat pakaian-pakaian Nancy di sana.
"Aku cuma mau bicara," kataku. "Oke "
Nancy jatuh ke ranjang dan mulai merayap melintasinya seperti kepiting. Terdengar suara berdebur
dari ranjang, dan seprainya naik-turun seiring aliran
air di bawahnya.
Kusadari bahwa aku mengarahkan laras senapan
279 kepadanya. Kuambil senapan itu dengan tangan kiri
dan menjauhkannya dari tubuhku, menunjukkan pa
danya bahwa aku tidak bermaksud menggunakannya.
"Nancy "
"Jangan ganggu aku," tangisnya. Ia meraih kepala
ranjang dan berhenti, terjebak. Wajahnya berurai air
mata. Ia menghapusnya dengan tangan.
"Aku berjanji tidak akan menyakitimu. Aku cuma
mau "
"Keluar," isaknya.
"Kita harus memikirkan apa yang akan kita lakukan. Kita harus tenang dan "1
Tangan kanannya tiba tiba terjulur ke arah meja di
samping ranjang. Mulanya kukira ia akan meraih
telepon dan memanggil polisi, jadi aku maju untuk
menyambamya. Tapi tangannya tidak meraih telepon;
tangannya bergerak ke laci meja. Ia menariknya,
meraih ke dalam, mengaduk aduknya dengan panik,
pandangannya terpaku padaku dan senapan itu. Sekatak
tisu jatuh, mendarat di lantai dengan suara berdentum.
Kemudian tepat di belakangnya, tangannya muncul,
menggenggam pistol kecil hitam. Ia memegang
larasnya. '
"Tidak," kataku. Aku mundur ke pintu. "Jangan,
Nancy." '
Ia menarik pistol ke arahnya, menggenggam tang
kainya. Kemudian ia mengangkatnya dan mengincar
perutku.
Benakku dijejali berbagai perintah simpang siur,
yang menjerit pada tubuhku, memerintahnya untuk
meloncat maju dan meraih pistol tersebut, tapi tubuhku
menolak untuk mendengarkan. Tubuhku bereaksi sen
280 diri. Tanganku mengangkat senapan, dan kemudian
jariku menemukan picunya, meraih lidah logamnya
yang dingin, dan menariknya. _
Senapan itu meletus. Tubuh Nancy terlontar ke
belakang menimpa kepala ranjang, dan air mancur
mungil muncul di sebelahnya.
Aku berdiri terpaku, shock. Semburan air membuat
suara seakan seseorang buang air kecil saat mendarat
di kasur. Mayat Nancy merosot ke kanan, sedetik
seimbang di tepi ranjang, kemudian merosot ke lantai
dengan suara keras. Darah di mana mana di seprai,
bantal, kepala ranjang, dinding, lantai.
"Hank " panggil Jacob. Suaranya'terdengar ketakutan, gemetar.
Aku tidak menjawab. Aku tengah berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. Aku maju selangkah
memasuki kamar, berjongkok, meletakkan senapan di
lantai.
"Nancy," kataku. Akil tahu ia telah tewas, aku
bisa menebaknya dari caranya jatuh dari ranjang.
,tapi keinginan agar hal ini bukan kenyataan sangat
luar biasa. Aku menunggunya menjawab; semuanya
bagai kecelakaan, dan aku ingin menjelaskannya pada
Nancy.
"Hank " panggil Jacob sekali lagi. Ia berada di
pangkal tangga, tapi kedengaran jauh sekali. Aku
harus berusaha keras untuk mendengarnya.
"Tidak apa apa, Jacob!" teriakku, walaupun tentu
saja kejadian yang sebenarnya bukan begitu.
"Apa yang terjadi "
Aku beranjak bangkit dan mengitari ranjang untuk
bisa melihat Nancy lebih baik. Tslrirrnya bernoda
281 kehitaman oleh darah, sedikit tergulung ke atas se
waktu ia jatuh. Jadi sekarang aku bisa melihat pantatnya. Air mengalir dari ranjang ke kakinya, mem
buatnya berkilau. Ia tidak bergerak.
"Kau mau aku naik " panggil Jacob.
"Dia kutembak!" teriakku.
"Apa "
"Dia kutembak. Sekarang mati."
Jacob tidak mengatakan apa apa. Aku berusaha
mendengarkan suara langkahnya di tangga, tapi ia
tidak bergerak.
"Jacob "
"Apa "
"Naiklah kemari."
Sejenak tidak terdengar apa-apa; kemudian aku
mendengarnya naik. Air terus menyembur dari kasur.
Aku mengambil bantal dan meletakkannya di atas
kebocoran. Setelah beberapa detik genangan kecil
mulai terbentuk di ranjang. Udara berbau pesing
Nancy mengompol. Air seninya berbaur dengan darah
dan air ranjang di lantai, seluruhnya meresap ke
karpet.
Ketika kudengar langkah kakakku mendekati pintu,
aku berbalik dan berkata, "Dia membawa pistol. Dia
mau menembakku."
Jacob mengangguk. Ia tampaknya berusaha memandang mayat Nancydengan sadar. Ia masih membawa senapannya. Dapat kutebak bahwa tadi ia mena
ngis di bawah wajahnya sembap dan matanya merah tapi sekarang sudah berhenti.
("Apa yang harus kita perbuat " tanyanya
Aku tidak tahu harus bilang apa. Masih sulit
282 bagiku untuk percaya bahwa aku telah menembaknya.
Aku bisa memandang mayatnya tergeletak di sana,
melihat darahnya dan mencium bau air seninya, tapi
tidak bisa menghubungkan semua itu dengan perbuatanku. Aku cuma mengangkat senapan dan menarik
picu, tampaknya itu tak lebih dari tindakan sederhana
namun mengakibatkan kekacauan.
"Aku tidak bermaksud menembaknya." kataku pada
Jacob.
Ia sekarang melirik mayat Nancy, gerakannya sing
kat tak kentara, seperti mengintip, kemudian berpaling.
Wajahnya pucat luar bias. Ia mendekati ranjang,
seakan mau duduk di sana, tapi kucegah.
"Jangan." kataku. "Ranjangnya patah."
Ia membeku, memindahkan berat tubuhnya dari
satu kaki ke kaki yang lain. "Kurasa sebaiknya kita
memanggil seseorang," katanya.
"Memanggil seseorang "
"Sheriff. Polisi negara."
Aku menatap telepon di seberang kamar. Telepon
itu terletak di meja, di atas laci yangterbuka. Mayat
Nancy merosot di lantai di bawahnya. Rambutnya
sekarang basah semua, seperti kain hitam tebal. Rambutnya tergulung di lehernya bagai jerat. Tentu saja
Jacob benar. Kekacauan yang kami timbulkanliarus
dibersihkan, dan polisi satu satunya orang yang bisa
melakukannya.
"Mereka tidak akan mempercayai kita," kataku.
"Mempcrcayai kita "
"Kalau kita menembak mereka untuk membela
diri."
"Tidak," katanya. "Tidak. akan."
283 Aku mengitari mayat Nancy menuju meja.
"Kau akan cerita tentang tiangnya " tanya Jacob.
Aku tidak menjawabnya. Tiba tiba aku mendapat
gagasan, cara untuk menunda pengungkapan kejahatan
kami selama beberapa menit
"Aku mau menelepon Sarah," kataku. Kucoba untuk
mengatakan bahwa ini tindakan yang paling rasional,
berusaha agar suaraku terdengar yakin dan mutlak,
tapi sebenarnya tidak ada realita di dalamnya. Aku
cuma ingin berbicara dengan Sarah, ingin menceritakan
apa yang telah terjadi dan memperingatkannya tentang
badai yang siap menggulung kami.
Aku setengah menduga Jacob akan mendebatku,
tapi tidak, jadi kuangkat telepon. Telepon itu berwarna
cokelat tua. Warna dan modelnya yang sama dengan
telepon di kamarku, anehnya menenangkanku. Ketika
aku mulai memutar nomornya, kakakku berbalik dan
terhuyung-huyung keluar. Kuawasi ia menghilang di
lorong.
"Jangan khawatir, Jaeob!," teriakku padanya. "Sega
lanya akan beres."
Ia tidak menjawab.
Sarah mengangkat telepon pada deringan ketiga.
"Halo " katanya. Kudengar suara mesin pencuci piring
di latar belakangnya. Berarti ia berada di dapur. Ia
tengah menungguku.
"Ini aku," kataku.
"Di mana kau "
"Di rumah Lou."
"Kau berhasil "
"Sarah " kataku. "Kami menembak mereka. Mereka
semua mati."
284 Seketika ujung seberang sunyi, seperti jeda dalam
kaset, dan kemudian, "Kau bicara apa., Hank "
Kuceritakan apa yang telah terjadi. Kuangkat te
lepon dan mengitari ranjang ke sisi lain sambil berbicara, agar tidak berada di dekat mayat Nancy. Aku
ke jendela dan melihat ke jalan. Bisa kulihat truk
Jacob yang diparkir di pangkal jalur masuk. Semuanya
gelap.
"Oh Tuhan," bisik Sarah ketika aku selesai. Bisikan
itu seperti gema tangisan Nancy. "Oh Tuhan."
Aku tidak mengatakan apa apa. Kudengar ia berusaha meredakan napas di ujung seberang, seakan
mau menangis.


Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa yang akan kaulakukan " tanyanya pada akhirnya.
"Menelepon polisi. Kami akan menyerahkan diri."
"Tidak bisa," katanya. Suaranya cepat, panik, dan
membuatku takut mendengarnya. Sekarang kusadari
alasanku meneleponnya: aku ingin ia mengambil alih
kendali, membereskan apa yang telah kukacaukan
Sarah, pemecah masalahku, batu karangku. Tapi ia
telah mengecewakanku; ia sama bingungnya dengan
diriku atas apa yang telah terjadi.
"Tidak oda pilihan, Sarah. Kita tidak bisa melarikan
diri begitu saja."
"Kau tidak bisa menyerahkan diri, Hank."
"Aku tidak akan melibatkanmu. Akan kukatakan
kau tidak tahu apa apa." '
"Persetan. Aku mengkhawatirkan dirimu. Kalau
kau menyerah, mereka akan memenjarakanmu."
"Mereka berdua mati, _Sarah. Aku tidak bisa me
nyembunyikannya."
285 "Bagaimana kalau kecelakaan "
"Kecelakaan "
"Kenapa tidak kaubuat supaya mirip kecelakaan
Seperti Pedersen "
. Aku hampir tertawa, gagasan tersebut rasanya begitu tidak masuk akal. Ia menceracau, dan bicaranya
ngawur. "Demi Tuhan, Sarah. Karni menembak mereka. Darah ada di mana mana, di dinding, di ranjang,
.di lantai "
"Katamu kau menembak Nancy dengan senapan
Lou "
"Ya."
"Kalau begitu kau bisa membuatnya seakan Lou
menembak Nancy, dan Jacob menembak Lou untuk
membela diri."
"Tapi kenapa dia membunuh Nancy "
Sarah tidak mengatakan apa apa, tapi dapat kurasakan ia tengah berpikir, kurasakan bagai getaran.
Sebuah bayangan muncul di benakku, Sarah mondarmandir di dapur, telepon ditekan ke pipinya, kabelnya
melilit tangannya erat erat. Ia tengah memperoleh
kembali keyakinannya; ia tengah mencari jalan keluar.
"Mungkin Lou menemukan bahwa Nancy mengkhianatinya," katanya.
"Tapi kenapa menembaknya malam ini Dia tidak
menemukan Nancy dengan siapa pun di ranjang. Dia
sendirian." '
Kesunyian timbul sekitar sepuluh detik; kemudian
tiba tiba Sarah bertanya, "Sonny mendengar tembakan " '
"Sonny " _
"Sonny Major., Lampunya menyala Dia bangun "
286 Aku melihat ke jendela lagi. Hanya ada kegelapan
di jalan; trailer Senny tersembunyi di baliknya. "Rasanya tidak."
"Kau harus melibatkannya."
"Melibatkan Sonny " Aku tidak mengerti maksud
nya. "Kau harus membuatnya seakan Lou pulang dan
mendapati Nancy di ranjang bersamanya."
Aku merasakan gelombang mual yang memusingkan
menerjang tubuhku saat ia mengatakannya. Semuanya
menempati posisinya; ia membuat semuanya menyatu.
Sonny adalah satu satunya orang lain yang tahu ten
tang uang tersebut. Kalau kami membunuhnya, hanya
akan tersisa kami dan Jacob. Untuk inilah aku meneleponnya, pemecahan atas jalan keluarnya, tapi sekarang setelah ia menemukannya, aku tidak menginginkannya. Ini terlalu berlebihan.
"Aku tidak bisa menembak Sonny," bisikku. Kurasakan punggungku berkeringat, ada denyutan yang
timbul pada tulang belikatku.
"Harus," kata Sarah, sekarang memohon. "Itu satusatunya cara."
"Tapi aku tidak bisa sekadar menyeretnya kemari
dan membunuhnya. Dia tidak ada hubungannya dengan
semua ini."
"Mereka akan memenjarakanmu. Baik kau maupun
Jacob. Kau harus menyelamatkan diri."
"Aku tidak bisa, Sarah." *
"Ya, kau bisa," katanya, suaranya meninggi. "Kau
harus. Ini satu satunya kesempatan kita."
Aku tidak berkata apa apa. Benakku serasa buntu,
beku. Pemikiranku terasa lekat dan tidak terkendali.
287 Aku bisa membayangkan apa maksudnya: dengan
menembak Lou dan Nancy, kami telah maju dua
langkah ke dalam jurang. Kami bisa berhenti sekarang
dan jatuh ke lubang di bawah kami, atau mengambil
langkah ketiga dan menyeberang dengan selamat. Ga
'gasan tersebut melesat cepat dalam benakku, lebih
merupakan harapan daripada pemikiran, bahwa aku
benar benar tak punya pilihan lain. Sejenak kuizinkan
diriku mempercayainya, bahwa aku telah lepas kendali.
Perasaan yang sederhana dan mudah. Segalanya telah
ditentukan bagiku aku cuma mengikutinya saja sekarang, memasrahkan diri pada nasib.
Kubiarkan perasaan tersebut berlalu, dan kemudian
aku memilih.
"Ini buruk1 Sarah," kataku. "Ini kejam."
"Please," bisiknya. "Lakukan demi aku."
"Aku tidak tahu apa dia di rumah."
"Kau bisa memeriksa. Paling tidak kau harus memeriksanya."
"Dan bagaimana dengan Lou "
"Lou "
"Bagaimana menjelaskan penembakan Jacob ter
hadap Lou "
Sarah menjawab dengan cepat, tanpa menghela
napas. "Katakan pada polisi bahwa kau mendengar
letusan senapan sewaktu mundur dari jalur masuk.
Kaukira Lou sudah mengejutkan pencuri, jadi kau
hentikan truk dan lari ke rumah. Jacob membawa
senapannya. Saat kau mendekati serambi, Lou membuka pintu. Ia mabuk dan murka. Ia melihat Jacob
berlari ke arahnya membawa senapan, dan ia mengangkat senapan berburunya ke arah Jacob. Kemudian
288 Jacob menembaknya untuk membela diri." Ia berhenti
sejenak, dan kemudian ketika aku tidak segera bereaksi berkata, "tapi kan harus cepat, l lank. Kau
kehabisan waktu. Mereka mampu memastikan kalau
selisih waktu penembakannya terlalu lama. Mereka
akan tahu siapa yang mati lebih dulu."
Nada mendesak dalam suaranya sangat menular.
Aku merasakan nadiku berdentum dari dada ke lengan
dan kepalaku. Aku kembali ke meja. Karpet basahkuyup oleh darah Nancy. Aku harus berjalan me
nyusuri dinding agar botku tidak menginjak darah
tersebut.
"Jacob tidak apa apa " tanya Sarah.
"Tidak," kataku. "Dia tadi menangis, tapi kurasa
sekarang dia baik baik saja."
"Di mana dia "
"Di bawah. Kurasa dia minum."
"Kau harus berbicara padanya. Polisi akan menanyainya. Kau harus yakin bahwa dia mengerti
ceritanya, dan dia tidak akan runtuh dan mengaku."
"Aku akan bicara dengannya," kataku.
"Ini penting, Hank. Dia titik lemah kita. Kalau dia
runtuh, kalian berdua akan dipenjara."
"Aku tahu," kataku. "Akan kuurus dia, akan kuurus
segalanya." '
Kemudian kuletakkan telepon dan lari ke lantai
bawah.
Kutemukan kakakku di kamar duduk, duduk di sofa.
Ia membuka ritsleting jaketnya dan minum segelas
penuh wiski. Senapannya disandarkan pada pangkal
tangga. Aku tidak memandang mayat Lou, cuma
289 melihatnya sekilas saat melewatinya, untuk meyakinkan
bahwa Jacob belum memindahkannya, kemudian bergegas turun ke kamar duduk.
Di sofa terdapat jubah mandi wanita, lembut berwarna biru langit. Kuambil dan mengendusnya bau
manis parfum dan tembakau. Kubuka jaketku dan
memasukkan jubah tersebut ke sana.
"Mereka datang " tanya Jacob.
"Siapa "
"Polisi."
"Belum."
"Kau belum menelepon mereka "
Aku menggeleng. Kulihat sebungkus Marlboro
Lights di meja kopi. Di sebelahnya terdapat pemantik
dan lipstik. Kuambil ketiganya dan menjejalkannya
ke saku jaket. "Aku mau memanggil Sonny," kataku.
"Kita akan membuatnya seakan Lou menembaknya
bersama dengan Nancy."
Kulihat Jacob berjuang memahaminya. Ia mengerut
kan kening padaku, dahinya terlipat, gelas wiskinyagemetar di tangannya. "Kau mau menembak Sonny
juga "
"Kita harus melakukannya," kataku.
"Kurasa aku tidak ingin melakukannya."
"Kita tembak dia atau masuk penjara. Itu pilihan
kita."
Jacob terdiam sejenak, kemudian ia bertanya, "Kenapa kita tidak lari saja Kita bisa menjemput Sarah
dan bayimu dan mengambil uangnya lalu pergi. Kita
bisa pergi ke Meksiko. Kita bisa " .
"Mereka akan menangkap kita, Jacob. Mereka selalu berhasil. Mereka akan melacak dan membawa
290 kita kembali. Kalau kita mau menyelamatkan diri,
kita harus berbuat begini." Aku merasakan kepanikan
yang menggelisahkan saat waktu terus bergulir. Ra
sanya aku benar benar bisa merasakan kedua mayat
tersebut mendingin, mengering, menandai kmnologi
kematian mereka. Aku tak ingin berdebat dengan
Jacob; aku telah mengambil keputusan. Aku berbalik
dan melangkah ke pintu. "Aku tidak mau dipenjara,"
kataku.
Kudengar ia beranjak bangkit seakan mengejarku.
Ketika ia berbicara, suaranya yang tinggi dan tegang
menghentikanku. "_Kita tidak bisa membunuh orang
orang ini."
Aku berbalik menghadapnya. "Aku akan menyelamatkan kita, Jacob. Kalau kauizinkan, aku bisa membereskannya."
Wajahnya tampak ketakutan dan panik. "'Iidak.
Kita hatLIs berhenti."
"Aku cuma akan " '
"Aku mau pergi," katanya memotongku. "Aku mau
kita melarikan diri."
"Dengarkan aku, Jacob." Aku meneondongkan tubuh
dan memegang lengan bajunya. Kupegangi lengan
bajunya sekenanya, sekadar lipatan keeil nilon merah
di sela dua jariku yang bersarung tangan. Tapi tindakan itu menimbulkan ketegangan tiba tiba yang
jelas dalam mangan ini. Kami berdua terdiam.
"Kuberitahu kau bagaimana kelihatannya," kataku.
la memandang mataku dalam waktu yang sangat
singkat. Ia tampak menahan napas. Kulepaskan pe
ganganku pada jaketnya.
-"Lou pulang. Dia menemukan Nancy di ranjang
291 bersama Sonny. Nancy mengira dia akan pulang larut
malam. Dia mabuk, berubah kejam. Dia mengambil
senapan dan menembak mereka berdua. Kita baru
saja mundur dari jalur masuk. Kita mendengar tembakan dan mengira dia pasti sudah mengejutkan pen
curi. Kita lari kembali ke rumah, kau dengan senapan
dari truk. Lou membuka pintu depan. Dalam keadaan
masih mengamuk, dia mengarahkan senapan ke kita,
dan kau menembaknya."
Jacob terdiam. Aku tak yakin ia mengerti.
"Masuk akal, bukan " tanyaku.
Ia tidak menjawab.
"Pasti berhasil, Jacob. Aku janji. Tapi kita harus
bergegas." _
"Aku tidak mau menembak Lou," katanya.
"Baiklah. Kalau begitu kita katakan aku yang
menembaknya. Tidak penting."
Kesunyian cukup lama kembali hadir. Kudengar
tetesan air di dapur.
"Aku cuma menunggu di sini " tanya Jacob.
Aku mengangguk. "Kenakan lagi sarung tanganmu,
dan euci gelas itu."
"Kau yang akan menembaknya "
"Benar," kataku, mundur ke pintu. "Akan kutembak
sendiri."
Sonny tinggal di trailer mungil yang didirikan di atas
blok sinder sekitar tiga perempat mil dari rumah Lou.
Di halaman depannya terdapat kuda kuda yang tertutup
salju, dan di sisi trailer terdapat tulisan S. MAJOR,
TUKANG KAYU dicat hitam. Di bawahnya tertulis
MUTU TINGGL HARGA RENDAH. Mobil Sonny,
292 Mustang tua reyot karatan. terjejal di celah pada
tumpukan salju di tepi jalan. '
Kuparkir truk Jacob di samping mobil tersebut dan
meninggalkan mesinnya dalam keadaan hidup. Mary
Beth tidur nyenyak di kursi depan, ia hanya menggerakkan kepala ketika aku turun. Aku berlari lari
kecil sepanjang jalur ke. trailer dan, dengan tanpa
menimbulkan suara, mencoba pintunya. Tidak terkunci;
pintunya terbuka dengan derit samar.
Aku melangkah masuk, berjongkok melewati pintu
yang pendek. Trailer tersebut gelap dan begitu masuk
aku harus menunggu setengah menit, menahan napas,
sementara mataku menyesuaikan diri dengan kegelap
an. Aku mendengarkan apakah ada suara atau gerakan
di sekitarku, tapi tidak ada apa-apa.
Aku berada di dapur Sonny. Kulihat meja keeil,
wastafel, tungku. Di dekat jendela terdapat meja
kartu dengan tiga kursi. Tempat tersebut kotor, berantakan, dan berbau makanan yang digoreng. Kubuka
ritsleting jaketku, berusaha tidak menimbulkan suara,
mengeluarkan jubah Nancy, dan melampirkannya di
salah satu kursi. Kuletakkan pemantik dan rokok di
meja. _
Aku pindah dari dapur ke bagian belakang trailer.
Aku melangkah, berhenti sejenak, melangkahkan kaki
yang lain, dan begitu terus hingga tiba di kamar
sebelah, mendengarkan apakah Sonny terbangun.
Ruang berikutnya merupakan tempat duduk duduk
mungil sofa, meja kopi, TV. Kukeluarkan lipstik
Nancy dan melemparkannya ke sofa. Dari tempatku
berdiri, melalui pintu yang terbuka, bisa kulihat kaki
ranjang Sonny. Sonny tengah berbaring di sana. Ku


Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

293 lihat bentuk kakinya di balik selimut yang kelabu
keputihan.
Aku mendengarkan dengan sangat teliti, menahan
diri agar tidak bergerak, dan, hampir mengenali helaan
napasnya yang lembut dan rendah, sedikit mirip dengkuran. Ia tengah tertidur nyenyak.
"Sonny," panggilku, suaraku bergema akibat dinding
trailer. "Sonny!"
Ada gerakan tiba tiba di pintu, kulit menggesek
kain. Kakinya tertarik menghilang dari pandangan.
Aku melangkah ke kamar tidur.
"Sonny," panggilku. "Ini Hank Mitchell. Aku butuh
bantuanmu." .
"Hank " kata Sonny, mengantuk dan sedikit tegang,
sedikit takut.
Aku melangkah maju lagi. Lampu kamar tidur menya
la, dan sedetik'kemudian, Sonny muncul di ambang pintu.
Ia kecil, langsing, dan terpesona seperti kurcaci. Rambut
cokelatnya mencapai bahu. Ia hanya mengenakan celana
dalam putih, dan dalam cahaya remang-remang kulitnya
tampak pucat, lembut, seakan mudah terluka.
"Demi Tuhan, Hank," katanya. "Kau membuatku
ketakutan setengah mati." Ia menggenggam obeng di
tangan kanannya seperti menggenggam pisau.
"Jacob terluka," kataku. "Dia muntah darah."
Sonny menatapku dengan pandangan hampa.
"Kami sedang minum minum di rumah Lou dan
dia mendadak muntah darah." ,
"Darah "
Aku mengangguk. "Sekarang dia pingsan."
"Kau minta dipanggilkan ambulans "
"Lebih cepat kalau kubawa sendiri. Aku cuma
294 butuh bantuanmu untuk mengangkatnya ke truk. Lou
terlalu mabuk untuk melakukannya."
Sonny mengerjap ngetjapkan matanya beberapa kali
dengan cepat, seakan untuk menyingkirkan air mata.
Sejenak ia menatap obeng di tangannya, kemudian
memandang sekitarnya, mencari tempat untuk meletakkannya. Kulihat ia belum sepenuhnya terjaga.
"Sonny," kataku, memaksakan nada panik dalam
suaraku. "Kita harus cepat. Dia mengalami perdarahan
dalam."
Sonny menatap celana dalamnya, ia tampak terkejut
melihatnya. "Aku harus berpakaian."
"Aku harus kembali," kataku. "Bergegaslah."
Tanpa menanti jawabannya, aku berbalik dan, melesat ke luar, kembali ke truk. Aku baru saja akan
memindahkan persneling ke mundur ketika melihat
Mary Beth duduk di tengah halaman'depan Sonny.
Kubuka pintu dan mencondongkan tubuh keluar. "Mary
Beth," bisikku.
Anjing tersebut menegak duduknya, telinganya tegak.
"Ayo." Aku berdecak deeak.
Anjing tersebut menggoyangkan ekornya di salju.
"Naik kemari," kataku memohon.
Ia tidak bergerak. Kucoba bersiul, tapi bibirku
kedinginan. Anjing tersebut menatapku.
Kupanggil namanya sekali lagi, kemudian pintu
truk kubanting hingga tertutup dan mundur ke jalan.
Ketika tiba di rumah Lou, kudapati Jacob persis
seperti waktu kutinggalkan. Ia duduk di sofa kulit,
tangannya masih tanpa sarung, menghirup wiski dari
gelasnya.
295 Aku berdiri di ambang pintu kurang lebih sepuluh
detik lamanya, meresapi apa yang kulihat. Ia juga
telah melepas bbmya.
"Apa-apaan kau " tanyaku.
Ia menengadah memandangku, terkejut. "Apa "
katanya. Ia tidak mendengar kedatanganku.
"Kau seharusnya mencuci gelas itu."
Ia mengangkat gelasnya dan menatapnya. Isinya
masih setengah penuh. "Aku mau menunggunya sampai
habis." .
"Sudah kuberitahu kenakan sarung tanganmu, Jacob.
Kau meninggalkan sidik jari." '
Ia meletakkan gelasnya di meja kopi. Menghapus
tangannya di celana, kemudian memandang sekeliling
ruangan mencari sarung tangannya.
"Kita harus membersihkan mangan ini," kataku.
"Harus kelihatan seakan kita tidak pernah kemari."
Ia menemukan sarung tangannya terjejal dalam
saku jaket. Ia mengeluarkan dan mengenakannya.
"Botmu juga."
Ia membungkuk untuk menarik botnya. "Aku tidak
bisa mengikatnya kalau mengenakan sarung tangan."
Aku melambai di udara. "Kalau begitu lepaskan.
Kita kehabisan waktu."
Ia melepas sarung tangannya, mengikat botnya,
mengenakan sarung tangannya kembali. Ketika selesai
ia beranjak bangkit, mengambil gelas dari meja, dan
melangkah ke dapur.
"Mau ke mana " tanyaku.
Ia berhenti setengah jalan menyeberangi ruangan,
mengedipkan mata padaku. "Kammu gelasnya harus
dicuci."
296 Aku menggeleng. "Nanti saja. Sonny akan datang
sebentar lagi." Aku berjalan ke kaki tangga dan
mengambil senapan berburu Lou. "Di mana dia menyimpan peluru cadangannya "
Jacob berdiri di tempatnya sambil membawa kacamata di depannya. "Di garasi."
"Ayo. Tunjukkan."
Ia meletakkan gelas di meja kopi dengan suara
berdenting, kemudian mengikutiku ke garasi. Di sana
terdapat lemari tanpa pintu tepat di balik pintu, dan
di lantai terdapat kotak penuh berisi peluru. Jacob
menunjukkan bagaimana caranya mengisi senapan ter
sebut. Isinya lima peluru. Orang' harus memompa
untuk memasukkan peluru baru ke tempatnya setiap
kali menembak. Kukosongkan isi kotak peluru ke
saku kanan jaketku, dan kami kembali ke dalam
Ketika tiba di ambang pintu, kuambil senapan
kakakku dan mengulurkannya kepadanya. "Ini," kataku.
"Bawa ini."
Jacob tidak bergerak. Ia berdiridiam sekitar satu
setengah meter dari mayat Lou dan menatap senapannya. Ia tampaknya belum memutuskan apa yang harus
dilakukannya. "Katamu kau yang akan menembaknya " _
Aku melangkah maju, menggoyang senapannya.
"Ayo. Kau cuma menodongnya. Kita harus menggunakan senapan Lou untuk menembaknya."
Ia ragu ragu, kemudian mengambil Senapannya
dariku.
Aku melangkah ke pintu depan, membukanya, dan
mengintip ke arah trailer S0nny.Lan1punya _menyala
semua sekarang.
297 "Aku akan menunggunya di serambi," kataku. "Kau
berdiri di sini. Kalau kau mendengar kami bercakap
cakap, keluar dan todong dia. Jangan berkata apa apa
dan jangan biarkan dia melihat ke dalam. Berdiri
saja di sana dan mdong dia."
Jacob mengangguk.
Aku melangkah ke serambi dan menutup pintu di
belakangnya.
Sekitar semenit kemudian kudengar mobil Sonny dihi
dupkan, menderum dua kali. Kemudian lampu de
pannya menyala dan menyorot ke jalan, memutar
balik, dan melaju ke arahku. Ia menghentikan ken
daraannya di sebelah garasi,-memmikan mesinnya,
dan berlari menyusun" jalur masuk. Ia Hampir mencapai
pintu ketika melihatku menunggunya.
"Mana dia' " tanyanya terengah-engah. Ia mengenakan parka musim dingin cokelat muda dengan tudung
kepala bulu. Rambutnya belum disisir. Ia menatap
senapan di tanganku, kemudian menyentuh sudut mata
dengan ujung jarinya. Matanya berair akibat udara
dingin. Ia melangkah naik ke serambi. Dengan pintu
tertutup, rumah tampaknya biasa saja. Kau tidak
akan bisa menebak apa yang terjadi.
"Aku hanls J' Ia tidak melanjutkan kata katanya
mendengar pintu depan dibuka. Jacob muncul di pintu.
"Kau baik-baik saja " lanya Sonny terkejut.
Jacob tidak menjawab. Ia keluar ke serambi dan
menutup pintu. Kemudian ia mengangkat senapannya
hingga mengarah ke dada Sonny. Aku melangkah
turun, kalau kalau Sonny berusaha lari kembali ke
mobilnya.
298 Sonny menatap senapan Jacob sejenak, kemudian
ia memandangku kembali.
"Hank " katanya. Napasnya masih terengah engah.
Ia menyentuh matanya lagi.
Kuangkal senapan berburu hingga mengincar pe
rutnya. Senapan tersebut terasa berat dan beban tersebut menimbulkan perasaan berkuasa. Terasa memang
seperti yang seharusnya; padat, mantap, layaknya se
suatu yang mampu membunuh. Ini gila-gilaan, pikirku
singkat, dan kemudian kubiarkan berlalu. Semua ke
takutan dan kegelisahanku menghilang. Rasanya aku
mampu melakukan apa saja. Aku tersenyum pada
Sonny.
"Apa apaan ini, Hank " katanya. "Pikirmu ini
lucu "
"Lepaskan jaketmu," kataku. Kujaga agar suaraku
tetap tenang.
Ia cuma menatapku.
"Ayolah, Sonny. Lepaskan."
Pandangannya beralih ke Jacob, kemudian kembali
padaku. Ia mau tersenyum, tapi hanya setengah jalan.
"Ini tidak lucu, Hank. Kau membangunkan aku."
Aku maju selangkah dan mengangkat senapan hingga tepat mengarah ke wajahnya. "Lepaskan," kataku
mantap.
'Iangan Sonny bergerak ke ritsleting jaketnya, kemudian berhenti dan lemas di sisinya. _
"Sonny," kataku. "Ini penting buatku. Aku tak
ingin menyakitimu."
Ia kembali melirik Jacob; kemudian sejenak meman
dang laras senapan di tanganku. "Kau membangunkan
aku," katanya lagi.
299 Aku maju selangkah lagi, kusentuhkan laras senapan
ke dahinya. "Lepaskan jaketmu, Sonny."
Ia melangkah mundur menatapku. Kucoba agar
ekspresi wajahku datar, dan setelah beberapa saat
aku berhasil. la membuka ritsleting jaketnya. Di baliknya ia mengenakan kemeja flanel biru dan jins.
"Ambil," kataku pada Jacob.,
Jacob melangkah maju dan mengambil jaket dari
tangan Sonny. Ia melipatnya hati hati di lengannya.
Sonny mengawasinya. Aku mengawasi Sonny.
"Sekarang botmu," kataku.
Sonny mgu ragu sekitar lima detik. Kemudian ia
berjongkok dan melepas botnya. Ia tidak mengenakan
kaus kaki. Kakinya kurus kecil, mirip kaki monyet.
"Botnya," kataku pada Jacob.
Jacob mengambil bot Sonny.
"Kemejamu," kataku.
Sonny berusaha tertawa sedikit. "Ayolah, Hank.
Sudah cukup. Di luar dingin." Ia melipat tangan di
dada, melirik ke kakakku. "Jacob " katanya. Jacob
membuang muka.
"Lepaskan kemejamu, Sonny," kataku.
Ia menggeleng. "Ini ngawur, Hank. Sama sekali
tidak lucu."
Aku melangkah maju dan menghantam mulutnya
dengan senapan. Tindakan paling aneh aku tak meng
inginkannya secara sadar, terjadi begitu saja. Aku
tidak pernah memukul siapa pun sebelumnya. Sonny
melangkah mundur, tapi tidak jatuh maupun menjerit.
Ia menatapku terpaku.
"Apa " tanyanya. Mulutnya berdarah. Ia meme
ganginya dan memejamkan mata. Ia masih beranggap
300 an, hingga tingkat tertentu, bahwa ini sekadar gurauan.
Ketika membuka mata ia memandangku seakan menduga aku akan tersenyum, mengatakan bahwa tidak
apa apa, bahwa kami hanya iseng.
"Lepaskan kemejamu," kataku.
Ia melepas kemejanya dan menjatuhkannya ke tanah.
"Celanamu."
"Tidak, Hank," ia mulai memohon.
Tanpa pikir ia kuhantam sekali lagi, kali ini di sisi
kepala. Ia jatuh berlutut pada salah satu lututnya. Ia
tetap diam sejenak, kemudian bangkit berdiri.
"Lepaskan."
Pandangan Sonny berpindah dariku ke Jacob. Kami
berdua mengarahkan senapan ke dadanya. Ia melepas
jins nya.
"Celana dalammu," kataku.
Ia menggeleng "Ini tidak lucu, Hank. Kau sudah
keterlaluan." Ia sekarang menggigil kedinginan, seluruh
tubuhnya gemetar.
"Jangan bicara, Sonny. Kupukul kau kalau bicara."
Ia tidak mengatakan apa-apa.
"Celana dalammu," kataku.
Ia tidak bergerak.
Kuangkat senapan hingga sejajar dengan wajahnya.
"Akan kuhitung sampai tiga. Kalau kau belum melepas
celanamu, kutembak."
Ia masih tidak bergerak.
"Satu."
Ia memandang Jacob. Tangan Jacob gemetar begitu
hebat hingga senapannya bergoyang goyang.
"Dua."
301 "Kau tidak akan menembakku, Hank," kata Sonny.
Suaranya serak dan tidak yakin.


Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku berhenti sejenak tapi tidak melihat jalan keluar.
"Tiga."
Sonny tidak bergerak.
Kueratkan genggamanku pada senapan, mengincar
wajahnya. "Aku tidak ingin melakukannya, Sonny,"
kataku. Ia merusak rencanaku.
Sonny hanya menatapku. Semakin lama semakin
percaya diri. "Letakkan senapanmu," bisiknya.
Tapi kemudian aku menyadari sesuatu. Aku bisa
menembaknya di sini, ia sudah cukup telanjang. Akan
tampak bagus: Lou menemukan mereka, menembak
Nancy di ranjang, kemudian mengejar Sonny turun
dan membunuhnya di pintu depan. Sangat mendekati
kenyataan.
Ia kuberi kesempatan sekali lagi. "Lepaskan celana
daiammu," kataku. Jemariku mengelus picu senapan.
Sonny mengawasiku, dan kepercayaan dirinya tampak goyah. Ia menjilat darah di bibirnya. "Ada apa
ini, Hank "
"Jacob, masuklah," kataku. Aku tak ingin ia terciprat
darah. Aku menghela napas dalam kemudian naik ke
serambi. Aku akan menggiringnya ke ambang pintu,
jadi aku menghadap ke jalan sewaktu menembaknya.
Jacob membuka pintu dan menyelinap masuk.
Sonny mengawasinya menghilang, dan kemudian,
seakan tiba-tiba mendapat firasat apa tindakanku selanjutnya, ia melepas celana dalamnya.
Dalam keadaan telanjang ia tampak mungil, seperti
kanak kanak. Bahunya kurus bungkuk, dadanya hampir
tak berambut. Ia memegang jins di depan kemalu
302 annya. Bisa kutebak dari sikap tubuhnya bahwa aku
telah membuatnya takuti Ia tak lagi berjuang untuk
mengendalikan. Ia meringkuk, menunggu perintahku
selanjutnya.
"Buang," kataku.
Sonny melepaskan jins dan celana dalamnya ke
tanah. Ia menutupi kemaluannya dengan satu tangan,
yang lain menyentuh bibirnya. Mulutnya mulai ber
darah lagi. Darah membasahi dagunya, dan sebagian
menetes ke dadanya.
"Letakkan tanganmu di atas kepala."
Ia meletakkan tangan di atas kepala, menampilkan
kemaluannya. Kuarahkan senapan ke dadanya.
"Baik," kataku. "Sekarang berbalik dan buka pintunya."
Dengan sangat pelan, ia berbalik. Aku melangkah
maju, melewati tumpukan pakaiannya, dan menekankan
laras senapan ke punggungnya. Kurasakan ia menge
jang, otot punggungnya menegang tersentuh logam
dingin, seperti mengeratkan simpul.
"Jangan panik sewaktu membuka pintu, Sonny,"
kataku. "Tenang saja, dan semuanya akan baik baik
saja."
Ia menurunkan satu tangan, memutar kenop, dan
mendorong pintu hingga terbuka.
Setelah kegelapan di serambi, ada kesan tidak
nyata dalam terangnya ambang pintu. Seperti melangkah ke panggung. Mayat Lou tergeletak di lantai,
kepalanya menengadah seakan tertawa. Lantainya pasti
miring ke kamar duduk, karena ke sanalah darahnya
mengalir, lebih gelap daripada sebelumnya, hampir
hitam, dan berkilau ditimpa cahaya
303 Pintu terayun menjauhi Sonny, jauh ke belakang
sepanjang engselnya hingga membentur dinding. Jacob
berdiri agak jauh di kanan, senapannya terarah ke
mayat Lou. Ia tampak terkejut. Ia menatap kami,
menunggu apa yang akan kami lakukan. Sonny tidak
bergerak, tapi kudengar napasnya tersentak tajam,
punggungnya mendekati laras senapan.
"Ayo, Sonny," kataku. "Lewati saja."
Ia kudorong dengan senapan, memaksanya melangkah masuk. Kakinya yang telanjang menimbulkan
suara saat menimpa ubin. Ia berhenti dalam keadaan
begitu satu kaki di dalam, satu di luar sedikit
menolak, seperti keledai. Kudorong lagi, lebih keras
kali ini, dan tiba tiba ia tidak lagi di sana. Jacob
menghalangi jalan ke garasi dan mayat Lou tergeletak
di depan kamar duduk, jadi hanya ada satu tempat
yang bisa dituju Sonny. Ia lari menaiki tangga, melangkahi dua anak tangga sekaligus.
Aku melesat mengejamya.
Ketika tiba di atas, ia berbelok ke kanan dan kami
berlomba menuju kamar tidur utama. Aku tak tahu
apa yang membuatnya ke sana, ke tempat yang kuinginkan mungkin ia tahu mereka menyimpan pistol
di sana, tersembunyi di laci teratas meja sebelah
ranjang. Atau mungkin ia melakukannya sekadar ka
rena cahaya yang menerobos dari pintu yang setengah
terbuka memberinya harapan akan tempat mengungsi
dan perlindungan. Tapi ia pasti shock luar biasa
ketika menyerbu masuk dan melihat kekacauan di
dalamnya, melihat darah dan air, dan mendengar
dentam langkahku dekat di belakangnya. la pasti tahu
pada saat itu bahwa masih ragu setelah melihat
304 mayat Lou tergeletak di ambang pintu kalau aku
membawanya kemari untuk membunuhnya:
Momentumnya membawanya masuk ke dalam kamar,
tepat ke kaki ranjang. Aku tidak melihatnya menunduk
memandang mayat Nancy, tapi ia pasti telah melihatnya.
Paling tidak sekilas sebelum berpaling tangannya terangkat sambil mengepalkan tinju, seakan hendak memukulku. Ketelanjangan membuatnya tampak buas, seperti
manusia gua. Wajahnya mengerut, campuran teror, kemarahan, dan kebingungan. Dagunya ternoda darah.
Aku berada di ambang pintu. menghalangi jalan
larinya. Kukokang senapannya, dan peluru kosong
terlontar peluru yang kugunakan untuk menembak
Nancy ke lantai dekat kakiku. Kemudian, tanpa berhenti untuk berpikir, kutembak dada Sonny.
Tubuhku bagai tertendang. Letusannya keras dan
semburan darah segar membasahi selimut.
"Sonny terlontar ke ranjang. Ia mendarat dengan
suara berdebur, melontarkan gelombang kecil air ke
tepi kasur. Dadanya luluh lantak kemerahan, merah
muda, serta putih, tapi ia masih hidup. Kakinya
menendang nendang dan ia berusaha mengangkat ke-'
palanya. Ia menatapkuf matanya menonjol di ke
palanya, lebih menunjukkan warna putih daripada
wama lainnya. Tangan kanannya mencengkeram seprai,
menariknya ke sisinya.
Kukokang lagi senapannya1 selongsong kosong jatuh
ke karpet. Kemudian aku melangkah maju dan mem
bidik wajahnya. Saat picu kutarik; ia memejamkan
mata. Kasurnya benar benar meletus, menyirami kepala
ranjang dan dinding di belakangnya dengan air. Aku
harus meloncat mundur agar tidak tersiram.
305 Dari jarak yang aman di pintu, kutembakkan dua
peluru ke langit langit di atas ranjang. Kemudian aku
meraih saku, memasukkan lima peluru baru ke senapan, dan menembakkannya ke sekeliling kamar
pada kursi di kiri, ke pintu kamar mandi, ke cermin
di atas meja rias. '
Kuperiksa diriku, mencari cipratan darah dan
mengekang senapannya.
Sambil menuruni tangga, kutembak langit langit sekali lagi. Ketika tiba di dasar aku berbalik dan meng
incar kamar duduk. Kutembak sofa kulit, kemudian TV,
dan akhirnya meja kopi dengan gelas-gelas kami.
Kusisakan satu peluru dalam senapan.
Jacob kutemukan bersembunyi di kamar mandi. Ia
duduk di toilet tertutup, senapannya tergeletak di
lantai dekat kakinya. Parka dan bot Sonny terletak di
pangkuannya.
"Beres," kataku. Aku berdiri di ambang pintu.
"Beres " tanya Jacob. Ia tidak memandangku.
Aku menghela napas panjang. Aku merasa terguncang, melayang, sedikit tak terkendali. Aku curiga
diriku tidak berpikir dengan baik, dan kucoba menenangkan situasi. Bagian tersulit telah terlewati, kataku sendiri; sisanya cuma memerankan bagian kami.
"Selesai," kataku.
"Dia tewas "
Aku mengangguk.
"Kenapa kau menembak begitu banyak "
Aku tidak menjawabnya. "Ayolah, Jacob, masih
ada yang harus kita lakukan."
"Apa kau harus menembak begitu banyak "
306 "Harus kelihatan seakan Lou mengamuk. Seakan
dia berubah sinting." Kusapu wajahku dengan tangan.
Sarung tanganku berbau mesiu. Aku sadar harus
ingat untuk menyembunyikannya di truk sebelum
menghubungi polisi. Air mulai menetes dari sudut
langit-langit, jatuh ke tutup toilet keramik, menimbul
kan bunyi mirip detak jam. Air dari ranjang mulai
meresap menembus lapisan Jangit langit.
Jacob melepas kacamatanya Wajahnya tampak tidak
seimbang tanpanya kulit pipi dan rahangnya kemerahan dan mengilat, membengkak hingga menegang
seakan keseleo, sementara puncak matanya seakan
tenggelam, memudar, dan tampak samar.
"Kau tidak takut dengan yang akan terjadi nantinya " tanyanya.
"Nantinya "
"Perasaan bersalah, merasa tidak enak." .
Aku mendesah. "Kita sudah melakukannya, Jacob.
Kita terpaksa, dan kita sudah melakukannya."
"Kau menembak Sonny," katanya, seakan terkejut
karenanya.
"Benar. Sonny kutembak."
"Sampai mati," kata Jacob. "Dengan darah dingin."
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku tidak
ingin memikirkan perbuatan kami, tahu secara naluriah
kalau analisis diri tidak akan membawa kebaikan
apa apa. Sampai sekarang aku merasa seluruh peristiwa tersebut tidak terelakkan, hingga tidak merasa
terganggu dengan tindakanku. Aku seakan sekadar
mengawasi, mengamati diriku sendiri dalam film, sepenuhnya terlibat dalam apa yang terjadi, tapi tidak
merasa bahwa aku bisa mengubah bahkan saat yang
307 paling rumit, sekalipun. Nasib, kata suara di telingaku,
dan kubiarkan cengkeramannya terlepas dari tanganku.
Tapi sekarang Jacob, dengan pertanyaannya, menggemgotinya. Ia membuatku memandang ke belakang,
melihat bahwa air bercampur darah yang menetes
dari langit langit ada karena perbuatanku. Kusingkir
kan pikiran tersebut dan bergegas menggantikannya
dengan gelombang kemarahan kepada kakakku yang
duduk di toilet, gendut, pasif, menghakimiku sementara
kepanikan, kecerobohan, dan kebodohannya sendirilah
yang membuatku terjebak dalam kejahatanku.
"Semua ini tidak akan terjadi kalau kau tidak
membunuh Lou," kataku.
Jacob mengangkat kepalanya, dan aku shock melihatnya menangis. Air mata mengalir di pipinya, dan
pemandangan itu membuatku menyesal. Seharusnya
aku tidak berbicara sekasar itu padanya.
"Kuselamatkan dirimu," katanya suaranya sedikit
mencekik kata katanya. Ia berpaling ke kanan, berusaha menyembunyikan wajahnya.
"Jangan berbuat begini, Jacob. Please."
Ia tidak menjawab. Bahunya berguncang, satu tangannya menekan mata. Yang lainnya, yang memegang
kacamata, terletak di atas bot Sonny yang masih ada
di pangkuannya.
"Jangan runtuh sekarang. Kita masih harus ber
urusan dengan polisi, wartawan "
"Aku tidak apa apa," katanya, terdengar lebih mirip
sentakan napas tertahan.
"Kita harus yakin. "
"Cuma saja.... " Ia tidak bisa menyelesaikannya.
"Aku menembak Lou," katanya.
308 Aku menatapnya, ia membuatku takut. Aku mulai
melihat bahwa kalau tidak berhati-hati, kami akan
tertangkap. "Masih ada yang harus kita kerjakan,
Jacob," kataku. "Kita harus melaporkan kejadian ini."
Ia menghela napas dalam dalam, menahannya
sejenak, kemudian mengenakan kacamatanya kembali
dan berjuang untuk berdiri. Wajahnya basah oleh air
mata, dagunya bergetar. Kuambil parka dan bot Sonny
darinya dan membawanya ke lemari ,di ruang depan.
Kamar duduk berantakan. Meja kopinya pecah, TV
nya meledak. Benda benda bulat besar berwarna putih
menonjol dari sofa seperti awan, yang digambar oleh
kanak kanak
Jacob telah meninggalkan senapan di kamar
mandinya, jadi aku harus mengambilkannya. Ia
mengikutiku ke sana kemari seperti anjing. Ia mulai
menangis lagi, dan mendengamya membuat perutku
seakan berlubang dan merasa gamang, seakan jatuh
dari bangunan.
Kubuka pintu depan. "Tunggu di truk," kataku.
"Panggil polisi lewat CB."
"CB " Suaranya terdengar jauh, seakan ia tidak
benar benar menaruh perhatian. Aku menggigil. Bisa
kurasakan angin dingin mengelus kulit punggungku
yang berkeringat. Kutarik ritsleting jaketku. Seperti
sarung tanganku, jaketku juga berbau mesiu.
"Harus kedengaran seperti kau menghubungi dalam
keadaan ketakutan," kataku. "Seperti kau melihatku
menembaknya dan, bukannya masuk, tapi justru lari
ke truk."
Jacob kembali menatap mayat Lou. Wajahnya pucat.
"Jangan beritahu mereka terlalu banyak, katakan
309. saja ada tembakflnenembak. Minta mereka mengirim
ambulans, kemudian matikanpesawatnya."
Ia mengangguk tapi tidak bergerak. Air matanya
terus membanjir, merembes dari sudut matanya satu
demi satu dan mengalir di wajahnya. Air matanya
menetes ke jaketnya, menggelapkan warna kainnya.
"Jacob," kataku.
Ia menyeret pandangannya ke atas, memandangku
sekilas. Ia menghapus pipinya dengan punggung tangan.
"Kita harus waspada sekarang. Kita harus ingat
apa yang kita lakukan."
Ia mengangguk lagi, menghela napas dalam. "Aku
tidak apa-apa." katanya, kemudian melangkah ke pintu.


Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku menghentikannya ketika ia mencapai serambi.
Aku di ambang pintu, tepat di tempat Lou berdiri
ketika Jacob menembaknya. "Jangan lupa senapanmu,"
kataku. Kuulurkan senapannya dan ia mengambilnya.
Aku sadar bahwa aku masih berada di atas jurang.
Ada langkah keempat yang harus diambil untuk mencapai sisi seberang.
Saat kuawasi ia menuruni jalur masuk yang licin
akibat es, kuangkat senapanku dan memompakan peluru terakhir ke tempatnya.
Karena ia kakakku, knmaatkan dirinya karena telah
bercerita tentang Pederson, dan karena berbohong
padaku tentang keberadaan Sonny di mobil, tapi aku
tidak bisa memaafkan kelemahannya. Sekarang kulihat
kelemahannya mengandung lebih banyak risiko dari
pada keserakahan dan kebodohan Lou. Jacob akan
runtuh pada saat mereka menanyainya malam ini; ia
akan mengaku dan menyerahkan diriku. Aku tak bisa
mempercayainya.
310 Ketika ia mencapai ujung jalur masuk, kupanggil
namanya. Aku lelah, tenagaku terkuras karena melakukan semua yang telah kulakukan sebelumnya, dan
ini membuatnya lebih mudah.
"Jacob," kataku.
Ia berbalik. Aku berdiri di ambang pintu, senapan
Lou terarah ke dadanya.
la membutuhkan waktu beberapa saat sebelum menyadari apa yang tengah terjadi.
"Maaf," kataku.
la memiringkan kepalanya, seperti kakatua raksasa
yang kebingungan.
"Aku tidak merencanakan ini, tapi terpaksa."
Tubuhnya entah bagaimana terdiam, membeku, dan
memadat. Ia akhirnya memahami. "Aku tidak akan
pemah buka mulut, Hank," katanya. '
Aku menggeleng. "Kau akan mengacaukannya,
Pembalasan Topeng Tengkorak 1 Gento Guyon 22 Iblis Penebus Dosa The Ultimate 1

Cari Blog Ini