Ceritasilat Novel Online

Biru Darah Gadisku 1

Biru Darah Gadisku Karya Darto Singo Bagian 1


Novel ini mengisahkan penderitaan lahir dan batin berikut
ekses-eksesnya, yang dialami oleh sepasang remaja dan orang
tua mereka masing-masing, sebagai akibat perbedaan
pandangan tentang hubungan antara keturunan bangsawan
dan bukan bangsawan.
Perbedaan pendapat antara golongan tua dan angkatan
muda, terutama dalam pertimbangan memilih calon teman
hidup, sebagai yang diungkapkan dalam buku ini, sangat baik
untuk dibaca dan diresapi. Materinya dapat memberikan
dorongan untuk mengadakan pemikiran yang lebih maju demi
terciptanya suasana saling pengertian yang sehat. Iklim yang
segar itulah yang diperlukan untuk memecahkan masalah sosial
yang mungkin timbul karena perbedaan pendapat tersebut.
Hambatan pembinaan kerukunan dan kesatuan masyarakat
yang bulat dan kokoh dengan demikian akan dapat makin
terkikis.
Semoga bukuinidapatmenyumbangkanbahanpertimbangan
baru dalamtata hidup dantata susila bagi masyarakat luas.
Balai Pustaka
&
Mataku terus menerus menatap ke arah wajah bulat telor
yang dipahati oleh indera-indera indah. Sebatang Ieher jenjang
menyangganya dengan anggun. Tiga buah garis lekukan seperti
disusun rapi melengkungi bagian depan leher berkulit resikitu.
Aku berbisik memanggil namanya. Wajah itu diam tak
bergerak. Kupanggil lagi dan kupanggil kembali. Namun wajah
itu tetap diam, tetap tenang membeku tak sedikit pun beru bah.
"Mungkin kah ia sudah mati?" tanyaku dalam hati.
Seberkas cemas menghempas di hati, mengendapkan pedih
dengan amat perlahan.
Aku ingin melihat matanya itu melimpah penuh air duka
seperti dulu. Aku ingin menyaksikan kembali tatapannya yang
redup men erawang muka ku seperti dulu.
Aku ingin mendengar lagi isak tangis di sela-sela ungkapan
hati perawannya yang kasmaran. Bisakah keinginanku terkabul?
Mungkinkah ia dapat kembali lagi menjadi milikku seperti dulu?
Atau sudah matikah ...?
Permulaannya biasa sekali. Karni Iama-Iama sebagai calon
mahasiswa Fakultas Sosial dan Politik pada Universitas Gajah
Mada yang sedang mengurus pendaftaran. Dalam kesibukan
masingmasing, sekaliterjadi mata kami bertemu pandang. Aku
menatapnya, dia menatapku. Aku tersenyum dan bibirnya
terbuka hendak tersenyum, tetapigagal; tiba-tiba ia menunduk
tersipu maIu-malu sambil mengedipkan mata yang terlalu lama
ditatapkan ke mataku.
Saat itulah suatu perasaan kaget menyambar tali jantungku,
mendengarkan perasaan lembut yang menggelegak, dan
berpendar-pendar ke relung-relung tersempit di dadaku. Waktu
kagetku melenyap, desiran mesra yang nikmat menepis?nepis
tebing hati ini.
Aku merasa pasti, sesuatu bakal terjadi antara diriku dengan
gadis itu. Aku terlalu kenal dengan perasaan yang kualami itu
dan percaya bahwa tangan cinta mengusapkan rasa gaib ke
kalbu, sebelum data ng mewujudkan dirinya.
Di Kampus Pagelaran kami berkenalan tanpa kesulitan. Nama
dan alamat kamisaling ditukarkan. Lalu aku bertanya kepadanya
mendaftar di mana saja. Kemudian aku terkejut sekali setelah
mengetahui bahwa Yapti, hanya mendaftar di Sospol Gama saja.
"Bagaimana kalau tidak diterima?" tanyaku.
"Tidak diterima, ya sudah," sahutnya lembut dengan logat
Yogya.,iliku menggelengkan kepal a. Tersenyum. Kutata p mata nya
yang dengan cepat dialih kan ke arah Sri Marhaeni di sisinya.
"Dan kau?"tanyaku pada Sri.
"Hanya di Gama. Tapi tiga fakultas. Hukum, Ekonomi, dan
Sospol." sahut sahabatYapti.
"Bagas mendaftar di mana saja ?" tanya Yapti kepadaku dan ia
kelihatan gugup manakala mataku menatap wajahnya.
"Banyak sekali," ujarku. "Sospol Gama sini, Sospol Undip di
Semarang dan IPK UI dijakarta."
"IPK?" ta nya Yapti dan Sri serempa k.
"Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan. Sama saja dengan
Sospol."
"Jadi semua di fakultas yang sarna?" tanya Sri seperti heran.
Aku menganggukkan kepala dan tersenyum.
"Tahu apa sebabnya?" ta nyaku kemudian.
Mereka menggeleng bersama-sama. Rambut Yapti yang
hendak menjejak pundak, bergoyang lembut ka renanya.
"Aku sangat berbakat jadi Menteri Luar Negeri!"
Aku tertawa. Ya pti tertawa. Sri juga.
"Mudah-mudahan bisa diterima disini," kataku.
"Kenapa?" tanya Yapti.
"Supaya bisa kuliah bersama Yapti."
Dengan cepat Sri menoleh ke arah Yapti, tersenyum dan
dengan nakal men cubit pantatnya. Yapti mengaduh lirih. Pipinya
memerah tiba-tiba. Aku senang sekali memperhatikan pipi dan
bibirnya yang tipis merah alami itu.
Malam hari aku mengunjungi Yapti di rumahnya. Ia sedang
duduk sendirian di teras membuka-buka halaman sebuah
majalah tanpa ada keinginannya untuk membaca. Lama
kuperhatikan dia dari pinggir Jalan Timuran di depan rumahnya.
Sebentar?sebentar ia menoleh ke arah jalanan. Tentulah ada
yang dinantikannya, pikirku cemburu sambil melangkah
memasukihalaman rumahnya.
Sebuah ta man yang mungil ditumbuhi pohon bunga beraneka
warna dan terpelihara rapi. Aku tidak tahu bunga apa saja yang
tumbuh di sana. Pohon mawar yang tinggi, suatu jenis bunga
yang kuhatal, tampak daunnya rerembikan gemetar
ditampar-tampartiupan angin yang beredar.
Yapti melompat bangun dan tersenyum cerah menya mbutku.
Kuucapkan salam 'selamat malam', ia pun membalas dengan
salam yang serupa. Dipersilakannya aku duduk. Dan ka mi berada
di teras rumahnya. "Kenapa aku tidak disuruhnya masuk ke
ruang tamu?"tanyaku membatin.
Yapti bertanya dari mana aku. Dan kujawab bahwa aku dari
penginapan dan sengaja datang menemuinya. Juga kukatakan
bahwa aku merasa seperti hidup seorang diri di dunia ini; Yogya
kurasakan amat sepi, apalagi tanpa seorang pun yang bisa
kudatangi untuk diajak mengobrol seperti yang sedang kami
lakukan itu.
"Tapi sekarang tak sendirian lagi, bukan?"
Aku mengangguk dan tersenyum membalassenyumnya.
"Yang menjadi harapanku keadaan ini bisa berlangsung
seterusnya," kataku seolah untuk sendiri. Namun ucapanku
bukantidakmendapat reaksi.Yaptita mpakgugup dan menunduk
memandangi taplak meja dari bahan batik sambil
menggera k-gera kkan ujung telunjuknya yang runcing membuat
lingkaran ta ntasi.
"Semua manusia ingin bisa hidupbahagia," ujarnya lembut.
"Apakah kau juga mengartikan ini bagian dari bahagia itu?"
"Oh ...!" ucapnya terputus.
Yapti mengedipkan mata nya sa mbil menggigit bibirnya
sendiri. Aku tersenyum nakal menatapwajahnya.
Tiba di penginapan kejadian itu kembali menggoda dan
terbayangjelas. Hal itu merupakan adegan terindah ya ngkualami
dalam ku njunganku ke rumahnya yang hanya sebentar itu. Ya ng
|'::'.itl'liilil'1
wi lu |
Yaph' melamun t bangun dan bersenyum cerah menyuruh utku
4 s...,
:uu-i namun.? B:.lli Pusuk:
menjadi pikiranku selama menemaniku, Yapti tidak lagi
menolehkan matanya ke arah jalanan seperti dilakukan sebelum
aku muncul. Benarkah ia menunggu kedatangan Bagas ini? Ah,
ah! Ada yang mengganggu ketenanganku. Rindu kepada Yapti.
Suatu kerinduan yang menuntut aku mengunjungi rumahnya
lagi. Buku pelajaran yang kubawa dariJakarta taksempat kubuka
dan kubaca untuk menambah persiapan menghadapi testing
masuk Sospol Gama. Padahal, aku ingin sekali bisa kuliah di
Gama, bukan di Uniyersitas Diponegoro Semarang atau
Universitas Indonesia Jaka rta.
Perasaan rindu kepada Yapti kembali mengganggu manakala
aku terbangun di pagi hari. Wajahnyalah yang pertama kali
hinggap di mataku. Dialah yang selalu memenuhi benakku dan
Yaptijugayangmengisidadaku,hingga akhirnyaaku memutuskan
untuk mengunjunginya lagi.
Yapti mengaja kku duduk di ruang tamu rumahnya yang luas.
Sebuah pot besar dengan tanaman yang subur bertengger di
sudut, tidak jauh dari jendela yang terbuka di dinding samping.
Darijendela itu, udara pagi yang nyaman leluasa masuk, setelah
menggoya ng?goyangkan gorden tipis yang menutup setengah
tingginya.
Aku duduk menghadap ke pintu penghubung antara ruang
tengah dan ruang tamu rumahnya. Dari pintu itu menyembul
Yapti yang membawa sebuah baki berisikan gelas teh yang
diletakkan dengan lembut di hadapanku.
Aku tetap kaget, meskipun ia dengan hati-hati sekali
meleta kkan gelas itu di depanku. Hatiku terasa pecah,waktu aku
melihat sebuah cincin melingkar di jari manis tangan yang
memegang gelas itu. Yapti masuk kembali ke dalam. Teronggok
sendiri aku merasakan dengan pasti, ada yang runtuh berderai
dalam dadaku. Waktu Yapti muncul kembali, ia berkata ramah,
"Silakan minum, Gas."
"Terima kasih!" kataku mengangguk dan mataku mencari
cincin yang melingkar di jari manis yang disembunyikannya itu.
"Yapti," kataku agak meninggi. "Cincin itu. Baru kulihat
sekarang."
Sekejap Yapti menatapku. Ada ragu menyapu wajah dan
terutama matanya yang jernih itu. Ia pun tampak gelisah
kemudian. Kuketahui dengan pasti, ada sesuatu yang sedang
berusaha ditekan dalam hatinya.
Kubiarkan saja waktu itu berlalu; sengaja kutunggu jawaban
dari padanya. Namun Yapti tetap menundukkan kepala
mempermainkan jari-jari tangannya yang sating beremasan di
atas pangkuan.
Tiba-tiba aku merasa menyesal karena telah memaksanya
menjawab atau menanggapi ucapanku. "Apa hakmu berbuat
demikian, Bagas?" kataku dalam hati.
"Tentunya kau bisa menjelaskan, Yapti," kataku, lalu, "Atau
kau keberatan menyatakan sekarang ini?"
Ia mengangkat wajahnya yang lonjong telor. Dagunya yang
lancip bergerak ketika ia menggigit?gigit bibirnya. la mengangguk
dengan mata tetap menerawang mataku.
"Suatu saat kau akan mendengarnya, Bagas."
"Terima kasih sebelumnya," kata ku gembira.
Percakapan kembali lancar. Ia sudah tahu bahwa aku lulus
tahun 1965, setahun yang lalu. Dan selama setahun itu aku
kuliah di IKIP Jakarta. Kemudian ia bertanya kenapa aku tidak
meneruskan kuliah di IKIP saja.
"Aku hanya terpaksa kuliah di IKIP dulu itu."
Yapti tersenyum membalassenyum jenaka ku.
"Terpaksa bagaimana?"
"Kakakku ingin supaya aku kuliah dijakarta saja. Tahun yang
lalu aku sebenarnya diterima di Sospol Gama sini dan juga Undip.
Sedangkan tahun itu, aku tak sempat mengikuti testing masuk
IPKUI."
Yapti mengangguk?angguk kecil.
"Bukankah aku tidak berbakat menjadi seorang pendidik?"
tanyaku, lalu kusambung lagi dengan, "Sudah kukatakan aku
lebih berba kat menjadi Menteri Luar Negeri."
Aku tertawa lirih.Yaptijuga.
Bagas teringat gelar kebangsawanan ayah Yapti yang
terpampangdi dekat kusen pintu rumahnya.
"Jadi kau gadis berdarah biru?" tanya ku.
"Semua darah manusia merah warnanya," jawabnya
tersenyum.
"Kau tidak menganggap adanya perbedaan itu?"
"Semua manusia sama! Hanya oleh satu sistem, mereka
dipecah belah. Dan aku tidak suka sistem yang demikian itu."
Aku bertanya lagi karena tertarik sekali mendengar
ucapannya,
"Sistem feodalisme maksudmu?"
la mengangguk.
"Tapi masih banyak orang yang ingin mempertahankannya,
Yapti."
"Aku tahu. Aku bukan di pihak itu."
"Padahal kau gadis keturunan bangsawan tinggi. Jadi, apa
alasanmu?"
"Feodalisme bukan saja terlalu kolot, tapi pun hakikatnya
bertentangan dengan nurani manusia itu sendiri. Feodalisme
hanya menguntungkan golongan terkecil saja. Selebihnya,
manusia dia nggap sebagai perka kas! Apalagi kaum wanita."
"Kau pengikut R.A. Kartini?"
"Kenapa tidak? Kita tahu maksud Kartini baik dan benar.
Wanita bukan kaum pelengkapsaja.Ta pi itulah yangdihadiahkan
sistem feodalisme pada kaum wanita. Feodalisme tidak lebih
dari penjajahan oleh bangsa sendiri! Rakyat hanya memiliki
kewajiban-kewajiban sementara haknya tidak ada sama sekali.
Rakyat dijajah dan dikuasai oleh para raja dengan bala
keningratannya. Itulah yang kuketahui tentang feodalisme."
"Dan itulah sebabnya engkau termasuk manusia yang tidak
memimpikan kejayaannya kembali?"
Ia mengangguk. Lembut dan mantap sekali.
"Kau turunan bangsawan, tapi kau justru ingin
menghilangkannya. Ini salah satu bukti, bahwa sistem itulah
yang harus dihancurkan, bukan manusianya. Ya atau tidak?"
"Memang seharusnya demikian. Tapi yang paling subur,
manusia sibuk menghancurkan manusia, mematikannya, bukan
menghancurkan dan mematikan sistem yang dianutnya."
"Menurut pendapatmu, apa sebab yang demikian terjadi?"
tanyaku.
"Karena manusia tidak selamanya berhasil menyirnakan
dendam dan kebenciannya sendiri."
"Hebat kau ! Hebat!" pujiku membuat ia tersipu malu-malu.
Namun kutangkap juga rasa bangga yang menyelinap di
dalam hatinya.
"Rupanya kau gemar memikirkan segala sesuatu dalam
kehidupan ini," kataku seperti menyimpulkan dirinya.
"Soalnya, banyak sekali hal-hal yang harus kupikirkan untuk


Biru Darah Gadisku Karya Darto Singo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hidup dan diriku sendiri. Keadaan yang memaksa ini membuat
aku sepertiterbiasa."
"Bagaimanapun, kau banyak mempunyai kelebihan. Kukenal
banyak gadis. Mereka kebanyakan meninggalkan kepalanya
yang berisi pikiran-pikiran waras, tapi selalu memamerkan
perasaannya yang kelewat cengeng. Sedangkan kita tahu, untuk
menyambut hidup, bukan hanya kemauan hati yang harus kita
turuti, tetapi juga kepala."
"Ya, kepala dan dada harus imbang-mengimbangi. Pikiran
dan perasaan harus tersimpul dalam setiap perhuatan manusia
ini. Kecuali dalam hal-hal khusus!"
Aku mengangguk-anggukkan kepala. Dan sungguh, aku
benar?benar memuji dan kagum pada Yapti.
Jam setengah sebelas, Sri datang mengendarai sepeda jengki
berwarna merah. Ia terbatuk-batuk waktu menyandarkan
sepeda di teritisan. Kepada kami yang menyambutnya di teras,
Sri berkata, "Bukan maksudku mau mengganggu kalian. Biarlah
aku duduk sendiri disini, diterassaja."
"Edan ...!" Yapti memaki dengan lembut sambil menarik
lengan Sri.
"Aku jadi teringat cerita rakyat tentang Roro Mendut dan
Pranacitra," kata nya melirik kami berganti-ga nti.
"Aku setuju jadi Pranacitra," kataku. "Tapi, aku tidak mau
nasib tragisnya
Roro Mendut dan Pranacitra adalah tokoh cerita rakyat Jawa
yang melambangkan cinta sejati. Roro Mendut memilih mati
menyusul Pranacitra daripada hidup dijadikan istriTumenggung
Wiroguno yang tua dan tidak dicintainya. Konon menurut
cerita nya, Roro Mendut dan Pranacitra yang mati di ujung keris
yang sama itu akhirnya dikubur dalamsatu lia ng. Sebagian orang
mengartikan sebagai nasib cinta mereka yang memang tak
terpisahkan. Namun sebagian orang lagijustru berpendapat lain.
Tumenggung Wirogunolah yang menyuruh mayat mereka
dikuburkan menjadisatu lubang, dan ini, sebagai kutukan secara
Islam kepada mereka berdua. Karena norma-norma agama Islam
sengaja dilanggar oleh mereka yang menjalin hubungan intim
sebelum pernikahan.
"Tentu saja nasib kalian tidak akan seperti nasib Mendut dan
Prana," ujar Srisambil tersenyum penuh arti.
"Yang pentingkausetuju, 'kan?" tanyaku dan Sri mengangguk.
"Bagaimana, Yapti?" tanya ku pada Yapti. "Dia sudah setuju!"
"Untuk kedua kalinya aku mendengar sendiri pernyataan
Bagas!" Sri berkata mencubit pantat Yapti seperti yang
dilaku kannya di Kampus Pagelaran. Yapti hanya mengaduh saja,
pura-pura merasa amatsakit karena cubitan itu. Pipinya disaput
warna merah yang amat menggairahkan menurut mata Bagas
ini. "Kau tahu pemuda mana Pranacitra itu?" tanya Sri lagi.
"Dari desa Botokenceng. Entah di inana itu. Katanya dekat
kota Purworejo ya ng sekarang," jawabku.
"Ada yang mengatakan itu dekat kota Tegal yang sekarang,"
ujarYapti.
"Berarti dekat dengan daerah kelahiranmu, 'kan?" tanya Sri.
Aku mengangguk membenarkan. Daerah Banyumas mema ng
berdekatan dengan daerah itu.
"Ya, sudah! Mau apa lagi? Kaulah Pranacitranya dan Yapti
yang jadi Mendutnya. Mau, kan?" kata Sri lagi.
Aku tersenyum menatap mata Yapti yang sibuk
memukul-mukul bahusahabatnya.
"Kalau sekedar mau mencari alasan, ada satu alasan lagi yang
lebih masuk akal !" kataku.
"Apa?" ta nya Yapti tiba-tiba.
"Begitu antusiasnya kau,Yapti!" ujarSri.
"Aduh! Edaan, kau!" Yapti mencubit Sri.
"Jangan mencubit terus, Bagas bisa iri nanti!" ujar Sri
menggoda.
Tak lama kemudian aku menerangkan alasan yang bagiku
lebih masuk akal. Kuungkapsejarah lama ketika Mataram baru
saja didirikan oleh Panembahan Senapati. Ketika itu, Senapati
belummampu menguasaiseluruh Pulau Jawa. Seorang KiAgeng
di desa Mangir yang kemudian terkenal dengan nama Ki Ageng
MangirWanabaya belum mau tunduk. Ia berani membangkang
karena merasa memiliki tombak keramat. Namanya Tombak
Baruklinting, yang konon akan menjadi pusaka raja terkuat di
Pulau Jawa. Namun akhirnya Panembahan Senapati bisa
menundukkan Ki Ageng Mangir itu dengan cara halus, yakni
perkawinan. Putri Pembayun, anak Senapati itu disuruhnya
menyamar menjadi anak dalang wayang kulit dengan tugas
memikat hati Ki Ageng Mangir.
KiAgeng Mangir memang terpikat hatinya melihat kena ntikan
Pembayun. Singkatnya cerita mereka menikah, walaupun Ki
Ageng tahu istrinya itu putri dari raja yang memusuhinya. Dan
pada suatu hari, Ki Ageng Mangir datang bersujud di depan
Panembahan Senapati. Ketika itulah, ia dibunuh.
"Menurut nenekku, konon Bagas ini keturunan yang ke-12
dari Ki Ageng Mangir Wanabaya itu. Jadi, kalau aku dan Yapti
menjalin cinta, bisa jadi merupakan ulangan sejarah lama."
"Tepat sekali!" ujar Sri melompat sambil tertawa. "Dan
nasibmu akan meniru nasib Ki Ageng Mangir itu. Mati dibunuh
mertuamu!" katanya menyambung sambil berbisik, dan melirik
ke cincin di tangan Yapti.
Tiba-tiba suasana jadi kaku. Sri menyesal mengatakan apa
yang sud ah terlanjur diucapkan itu. Yapti ta mpak keta kutan. Ada
cemas membias di biji matanya yang jernih tenang itu.
"Siang ini aku mengundang kalian makan. Boleh pilih rumah
makan mana yang baik menurut kalian," kataku tak lama
kemudian.
Yapti dan Sri saling berpandangan.
"Maaf aku tidak bisa memenuhi undanganmu itu dan tidak
bisa mengundangmu sebagaimana yang kaulakukan terhadap
kami," jawab Yapti bijaksana.
"Kebetulan sekali aku pun sudah kenyang. Lain kali saja, Ki
Ageng Mangir!" ucapSri.
10 Tak lama kemudian, aku permisi pulang. Sri mengajakku
bersama dan memboncengkannya.
"Jangan cemburu,ya, Mendut," ujarnya pada Yapti.
"Hati?hati Bagas, pacar Sri bisa marah nanti!"
Aku mendayung sepeda jengki milik Sri. Dan ia membonceng
di belakangku. Beberapa puluh kali aku mendayung di atas Jalan
Timuran, lalu membelok menyusuri Jalan Gondomanan. Sepeda
kuarahkan menuju sebuah rumah makan sambil berkata, "Ada
yang ingin kuta nyakan kepadamu Sri. Kita mampir di sini dulu!"
"Tapi sungguh mati aku sudah kenyang, Gas!"
"Kau duduksaja pun jadi. Kan lebih enak kalau makan ada
yang menunggui?" kataku.
"Edaan !' ucapnya.
Kami duduk di rumah makan Cina dan kupesan dua piring
nasi dengan 'capcae' sebagai lauknya, tapi Sri menolak dan
memesan es buah saja. Aku ingin menanyakan tentang cincin di
jari manisYa pti.
X-Elii-j.
fg, !!
% Terkapar dalam kamar penginapan menunggu kantuk
mengantartidursiang, aku teringat penjelasan Sri. Kiranya kawin
pa ksa menghadang hari depan Yapti. Risau hatiku mengingat itu.
Namun masih kumiliki harapan akan bisa merebutnya.
Dia tidak bisa mencintai pilihan orang tuanya, yang
dianggapnya terlalu sombong dan kelewat tua. Dua kali sudah
Yapti mencoba hendak bunuh diri sebagai protes.
Yang kuherankan ialah, kenapa orang tua lebih senang
memaksakankehendaknya daripada menurutiatau membimbing
kemauan anaknya.
Namun heranku ini segera hilang demi kuingat Yapti berasal
dari keluarga ningrat. Di kalangan initigur ora ngtua adalah pihak
pengu asa dan penentu. Membantah, apalagi menolak kehendak
orang tua, sungguh amat tercela. Bahkan mokal, tak mungkin
rasanya.
Dari pengalamannya inilah tentu, Yapti bisa menyimpulkan
bahwa sistem feodalisme menempatkan manusia sebagai
perkakas yang nasibnya berada di tangan yang menguasainya.
Inilah tentu yang dirasakan olehnya sebagai penjajahan yang
dilakukan ba ngsanya sendiri.
Yang membuatku ragu dari penjelasan Sri, karena Ya pti tidak
pernah berpa caran. Pada hal, menurut pengakuan Sri pula, Yapti
adalah gadis yang banyak diin car oleh pemuda-pemuda sejak ia
masih di SMP dulu. Mungkinkah Yapti merasa bahwa suatu
ketika ia akan bisa menerima pilihan orang tuanya itu? Andai
dugaanku benar, oh, oh, bagaimana dengan cinta yang telah
bersemi dalam hatiku ini? Haruskah aku memupusnya sendiri?
Beta pa sulitnya!
Memikirkannya aku jadi menyesali diri mengapa aku jatuh
cinta kepada Yapti. Bahkan sempat kutekan cinta yang tumbuh
dari perkenalan yang baru sekejap itu, tapi akhirnya aku sendiri
sadar, bahwa tindakan itu tidak adil apalagi bijaksana. Dan lagi
12 kutahu dengan pasti, bahwa diriku pun takkan bisa memungkiri
perasaan hatisendiri.
Gelisah aku dibuatnya. Tak urung ujung bingung mulai data ng
bergulung-gulung ke rongga dadaku. Aku merenung sejenak.
Kemudian kukosongkan pikiran dari segala yang meruwetkan
itu. Dan kurasakan kesepian memaguthati.
"Kau cucu Ki Ageng Mangir, Bagas! Dan Ya pti kera bat keraton
Mataram. Mencintainya berarti mengikuti jejak Ki Ageng yang
tragis itu," kata hatiku.
Aku tersentak dan terlompat duduk di atas kasur. Kupeluk
lutut, dan mataku mengedip beruntun cepat sekali. Mungkinkah
aku akan mengalami nasib tragis seperti KiAgeng itu nantinya?
Mati dibunuh mertua sendiri?Tidak! Aku harus berhasil bercinta
dengan Yapti dan bahagia. Bukan tragik yang harus kuterima.
Bagas bukanlah Ki Ageng! Barangkali saja, sebingung inilah Ki
Ageng waktu mengerti bahwa Pembayun adalah anak
Panembahan Senapati.
Pusing otakku memikirkannya. Namun tak mampu aku
berhenti memikirkan Yapti yang harus menerima kawin paksa,
dan sejarah lama tentang kisah cinta Ki Ageng Mangir itu.
Daun pintu kamarku diketuk orang. Kusuruh membukanya.
Dan pintu pun terkembang. Di ambangnya seorang pelayan
berdiri dan menga ngguksantu n, mengatakan bahwa ada telepon
untukku.
"Dari siapa ?" tanyaku melompat.
"Taktahu saya. Suara perempuan !" jawabnya.
Aku berlari ke luar kamar. Kusambar gagang telepon yang
tergeletak di atas meja kantor penginapan.
"Haloo," seruku tak sa bar.
"Bagas? Aku. Sri!"
Rasa ingin tahuku terjawabsudah. Dan aku kaget sekali ketika
kudengar Sri mengatakan, bahwa Ya pti melarangku mendatangi
rumahnya.
"Apa sebabnya?" tanyaku mendaulat.
"Yapti kena damprat orang tuanya. Ibunyalah yang
melarangmu datang. Dia curiga dengan kemunculanmu dua hari
berturut?turut di rumahnya."
"Tidak adil! Seharusnya ibunya langsung mengatakannya
kepadaku, jangan kepada Ya pti."
"Kau mau mengatur ibunya?" tanyanya dan kudengar suara
Sritertawa.
"Kau tidak bohong, Sri?"
"Bohong?Ah, kau ada-ada saja."
"Apa yang kaukata kan benar?"
"Aku mengata kan yang sebenarnya, Bagas!"
"Sungguh-sungguh?"
"Sungguh-sungguh!"
"Terima kasih!" kataku. "Boleh aku menelepon Yapti
menanyakan hal ini?"
"Jangan berbuat sebodoh itu, Bagas. Baru saja Yapti
meneleponku dan bukan karena tidak bisa meneleponmu
sendiri. Dia merasa tak sampai hati menyampaikannya
kepadamu. Dan lagi; takut didengar oleh orang tuanya."
"Tidak!.iliku mau meneleponnya!" kata Bagastegas.
"Halo, halo! Gas,tunggu! Jangan kau yang menelepon,takut
orang tuanya yang menerima nanti. Biar kusuruh Yapti saja
menelepon ke sini. Dkey?"
"Ah, bijaksana sekali kau, Sri! Tolong suruh dia cepat-cepat
menelepon. Kutunggu di dekat pesawat sejaksekarang."
"Edaan ...! Cinta membuat orang tidak mudah bersabar
bukan?"
"Sri!" bentakku pelan. "Aku benar?benartidak sabar ini!"
"Baik, baik,tunggu sebentar."
Sebelum kubalas ucapan tera khirnya, Sri sudah memutuskan
hubungan. Aku berlari ke kamar, menyulut rokok dan
mengisapnya dalam-dalam. Gelisah menjamah dadaku lagi dan
rasa tidak sabar menunggu, menggebu dalam diriku. Aku
mondar-mandir di dekat meja kantor penginapan. Untunglah tak
lama kemudian telepon berdering. Kusambargagangnya.
"Yapti?"
"He-eh! Bagas?" tanyanya lirih.
"Kau kena marah ibumu?"
"Ya,telah kukatakan semuanya pada Sri."
14 B:.lli Pusuk:
"Aku dilarang mengunjungi rumahmu lagi?"
"Benar, Bagas! Kuharap kau bisa memakluminya."
"Tidak ada yang mendengar pembicaraan kita ini?"
"Ibukusedangpergi.Hanya Romosajayangada.Dikamarnya."
"Jadi kapan lagi kita bisa bertemu, Yapti?"
"Bila kita mengikutitesting nanti."
"Testing? Alangkah lamanya. Mengapa tak sekarang saja, aku
sudah ingin ke ru mahmu."
"Jangan, Gas! Jangan! Besok pagisaja, ya. Besok pagisaja, di
rumah Sri."
"Sore initidakbisa?"
"Tidak. Jangan sore ini. Besok pagi saja, ya ?"
"Pagi-pagisekali?"
"Jangan terlalu pagi. Jam sembilan, ya?"
"Jam sembilan?" tanya ku seperti ku rang jelas.
"Ya,jam sembilan pagi."
"Yapti!"


Biru Darah Gadisku Karya Darto Singo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yaa ...?,,
"Aku merasa seperti Ki Ageng Mangir."
"Oh! Jangan. Jangan seperti dia."
"Aku merasa seperti Pranacitra."
"Oh! Jangan. Jangan seperti dia."
"Kenapa?" tanyaku.
"Kenapa?" tanyanya.
"Ya, kenapa?" ta nyaku lagi.
"Ya, aku tidaktahu kenapa."
Dadaku berdebar-debar. Pembicaraan terhenti sesa at.
"Yapti !"
"Hemmm ?"
"Aku sudah mengetahui tentang cincinmu itu, tapi baru
sedikit. Sedikit sekali."
"Sri sudah menceritakan kepadaku."
"Belum lengkap, bukan?"
"Sudah. Sudah cukup lengkap."
"Belum. Belum lengkap!"
"Sudah, Bagas."
"Belum, Ya pti! Belum."
"Apanya yang belum?"
"Enggaktahu.Tapi aku merasa masih kurang."
"lho?"
"Bara ngkali saja kurang mantap."
"Kurang mantap?"
"Ya, Kurang marem!"
"Kurang marem?"
"Ya, kurang lega!"
"Kurang lega?"
"Kurang puas!"
"Oh, Gas ..'!'
"Hemmm?"
"Aku tidak bisa ungka pkan itu."
"Pasti bisa." "
"Tidak!"
"Pasti. Pasti bisa !" "Bagas."
"Yaaa? "
"Sudah ya?"
"Kita akhiri pembicaraan?"
"Iya!"
"Ya pti !'
"Yaaa ...?"
"Besokjam sembilan?"
"Besokjam sembilan!"
"Alangkah tidak sabarnya. Alangkah lama nya !"
"Caton Menteri Luar Negeri harus bisa bersabar!"
"Oh, terima kasih!"
"Di Jakarta kauturut demonstrasi?"
"Oh, besok saja. Besok akan kuceritakan tentang KAMI
dengan aksi-aksinya."
"Di rumah Sri?"
"Ya, kau bisa pulang sore, 'kan?"
"Tidakbisa!"
15113)".
:uu-i namun.? B:.lli Pusuk:
48"
"Kalau begitu, data nglah cepat. Sebelum jam sembilan!"
"Jam setengah sembilan saja?"
"Tidakjam delapan?"
"Terlalu pagi. Ibuku masih di rumah."
"Ibumu kerja?"
"Dagang!"
"Jadi, jam setengah sembilan saja?"
"Ya, jam setengah sembilan saja. Sudah ya, Bagas?"
"N anti malam, mimpikan aku dalam tidurmu. Mau?"
"Mimpi apa ?"
"Apa saja dan ceritakan besok padaku!"
"Kau akan mimpikan aku juga nanti malam?"
"Bahkan sekarang aku sedang mimpi!"
"Oh !"
"Ya pti, sampai ketemu besok ya?"
"Yaaa ...!"
Kuletakkan gagang telepon ke tempatnya. Sungguh, aku tak
merencanakannya.Tapisekilasmelintasdi benakku untuksegera
meleta kkan gagangtelepon tanpa mengatakan apa pun lagi. Dan
aku tahu; inilah Bagas! Mudah sekali menuruti apa saja yang
melintas di benak atau perasaannya dengan tiba-tiba. Dan
bagaimanaYaptisetelah hubungan lewattelepon itu kuputuskan,
sama sekali tak kuketahui. Barangkali ia kaget atau heran. Bisa
jadi ia menyangka bukan kemauan kami hubungan terputus
tiba-tiba. Aku menyadari tindakanku kurang baik. Namun tak
pernah aku bisa menyesal sedikit pun kemudian.
Percakapan lewat telepon itu sendiri tak bakal kulupakan
sampai mati. Itulah saat aku merasa sedang menggamit hatinya
sedikit demisedikit. Itulah ujung lorong di mana aku melangkah
menuju ke hatinya, dan di ujung yang lain akan kutemukan
penerimaan dan balasan cinta yang kuharapkan. Sesungguhnya
Yapti pun dihinggapi perasaan seperti yang ada di hatiku sendiri.
Aku merasa yakin sekali akan hal ini.
Sa mbil menyu lut rokokkubayangkan wajah Ya pti, senyumnya,
bibirnya, matanya, dan tatapannya itu. Tak pernah ada polesan
'make up' disana. Warna merah jambu bibirnya dibawanya sejak
lahir tentu. Dan bulu matanya yang lentik lebat itu, bukanlah
," 6P 1?
bulu mata palsu. Bahkan di pipinya, bedak hanya tampak
samar-samar, tipis sekali. Sungguh, kecantikannya adalah
pemberian alam. Aku merasa bangga dan bahagia sekali
andaikata nanti benarjalinan cinta kami bisa diwujudkan.
Namun larangan orang tuanya itu, membuat hatiku tertegun.
Aku sudah siap untuk tidak mempedulikan keinginan kakakku
agar kuliah di Jakarta. Seandainya diterima pada Fakultas Ilmu
Pengetahuan Kemasyarakatan Universitas Indonesia, aku akan
memilih kuliah diYogya, bila Sospol Gama menerimaku sebagai
mahasiswa. Tak bisa kubayangkan bagaimana jadinya bila aku
dan Yapti berpisah kota. Kami harus sekota dan kuliah bersama,
inilah tekadku. Meskipun orang tuanya melarang kami
berhubungan cinta, kami toh akan bisa melakukannya di luar
rumahnya.
Dua hari aku berkenalan dengannya dan cinta sudah bersemi
di hati ini. Sepertitakmungkin saja, walaupun inisatu kenyataan.
Kutahu secara pasti, banyak perbedaan antara cintaku terhadap
Ya pti dan pada gadis lain.
Mahasiswi tingkat III jurusan Ekonomi Perusahaan di IKIP
Jakarta yang bernama Ria, kucintai karena gerak-geriknya
menjanjikan sorga. Dan itu suatu yang baru bagi Bagas ini.
Sedangkan Bagas mencintai Narti karena ia banyak dikejar dan
digilai mahasiswa di kampus.TetapiBagasjatuh cinta pada Yapti
bukan karena kecantikannya yang alami; bukan pula karena
gadis ini banyak digilai pemuda-pemuda. Kecantikan yang alami
dan banyaknya pemuda yang tergila-gila kepadanya kuketahui
kemudian.
Bagas mencintai Yapti dan merasa jatuh cinta
sejatuh-jatuhnya tanpa mengerti apa seba bnya. Namun jelastak
berdaya untuk menghindarinya.
Jatuh cinta dan bercinta telah sering kualami sejak di SMA.
Demikian sering aku berganti kekasih, sehingga teman-teman
memberiku gelar pemburu cinta. Dan aku merasa sebagai
pemburu yang mujur, oleh sebab tak jarang mangsa datang
sendiri menyerahkan diri untuk ditaklukkan. Cinta dan bercinta
tidak lebih dari main-main yang membanggakan hati, bagiku
ketika itu.
18 Akankah perasaan demikian menjeratku lagi bila Yapti telah
menjadi kekasihku?
Tak pernah lebih daritiga bulan engkau menjalin cinta dengan
seseorang. Bagas!
Ku matikan puntu ngrokok ke dalam asbaksementara benakku
bingung memikirkan pertanyaanku sendiri.
Arloji di pergelangan tanganku menunjukkan jam setengah
empat. Aku bergegas mandi. Mengurung diri di dalam kamar
tidak akan menenteramkan hati. Dan kemudian hatiku tergerak
untuk pergi jalan-jalan.
.es 19
&
Di warung sate Pak Amat aku duduk menghadap ke arah
jalan.Alun-alun Utara yangtergelardiseberangtampaklengang.
Sepasang pohon beringin kurung tegak berdekatan di
tengah-tengahnya, mengapit jalan menuju Pagelaran Kraton
Yogya, di mana sebagian Kampus Gajah Mada menumpang.
Senja kian tua. Namun udara tetap cerah dan langit membiru
indah. Kumatikan puntung rokok pada piring bekas sate,
kupanggil pelayan dan kubayar harga pesananku. Aku meneguk
teh, dan mengeloyor ke luar setelah menerima uang kembalian.
Menyusuri pinggir jalan ke arah barat, aku menoleh ke kanan
dan memperhatikan suasana Markas KAMI yang sepi. Bebera pa
orang pemuda berambut gondrong seperti rambutku,
menggerombol di pinggir jalan di depan markas itu. Kudengar
mereka sedang asyik membicarakan tilmyang diputar di Bioskop
Indra. Kenapa tidak membicarakan situasi negara ini? tanyaku
membatin dan aku tersenyum teringat kelaka rku pada Yapti dan
Sri bahwa Bagas ingin menggantikan Menteri Luar Negeri. Sudah
tentu aku pun teringattawa Yapti yang lirih dan tatapan matanya
yang diterawa ngkan ke mataku.
Kupanggilsebuahbecakyangmelintaskencangmendahuluiku.
Karetdi bawahjoknya mendengingnyaring, dan lenyap dibarengi
suara ban yang mencicit beradu dengan aspal jalanan ketika
dengan kuatnya tukang becak itu menekan rem.
"Monggo, Deri!" ujarnya ra mah.
Akutersenyum menyebutkantujuanku. Dansetelah kudengar
harga yang ditawarkannya, keturunan Ki Ageng Mangir ini pun
naiklah. Dan untuk kedua kalinya tuka ng becak itu memanggilku
'Deri', kependekan dari 'Raden', gelar kebangsawanan di Jawa,
waktu aku turun di samping Bioskop Indra.
Aku melangkah perlahan sambil memperhatikan poster film
di tengah-tengah calon pen onton yang sudah ra mai.
"Hei ...! Di sini, kok?"
20 Aku menoleh ke arah suara yang dibarengi tepukan di
pundakku. Di depanku berdiri Sumiati dengan seorang pemuda.
Matanya memijar penuh keheranan. Aku tersenyum-senyum
raja memandangwajahnya tanpa memberikan perhatian sedikit
pun kepada pemuda yang menggandengnya.
"Kau sendiri juga disini!" kataku setelah agak lama kemudian.
"Kenalkan dulu, ini Bambang," katanya kemudian.
Kusebutkan namaku sambil menggenggam telapak
tangannya.
"Kuliah disini?" tanyaku pada Sumi.
"Sudah setahun. Sejak lulus dulu itu."
"Di Gama ?" tanyaku dan ia menganggu k.
"Fakultas Hukum. Kau?"
"Selama setahun ini di Jakarta. Sekarang aku sedang keliling
untuk caritempat kuliah yang baru."
"Selama setahun ini?"
"Di IKIP Jakarta. Enggak cocok."
"Dulu kau diterima di Sospol Gama sini 'kan?"
Aku mengangguk. Lalu, "Aku mendaftar lagi sekarang!"
"Hebat dia Mbang" ujar Sumi pada Bambang, "satu-satunya
murid yang lulus dengan predikat 'bm'k. "
"Oh ya?" desis Bambang dan kutangkap rona kurang suka di
wajahnya.
"Punya koneksi?" tanya Sumi dan aku menggeleng.
"lkutilah bimbingan tes yang diadakan oleh KAMI. Pasti akan
terbantu nanti!"Setelahsejenakmenatapku,Sumimenyambung,
"Inisungguh, Gas. Kau ingin diterima di Sospol Gama?"
"Ingin sekali!" sahutku.
"Nah, kau harus ikuti nasihatku. Percaya sajalah. Kebetulan
lusa ada testing, ya 'kan Mbang?" Sumi menoleh kepada
Bambang dan teman prianya itu menganggukkan kepala.
"Di mana alamatmu?"
Kusebutkan tempatku menginap.
"Tidak ada saudara di sini?"
"Bekas. Bekas 'saudam' yang ada!" jawabku tersenyum
menyindir. Su mi memukul lengankusa mbil melototkan matanya.
Calon penonton mulai berjubel antri di pintu masuk. Beberapa
kalisudah Bambang melirik atau bahkan menoleh kepada Sumi.
Aku tahu maksudnya.
"Mau nonton? Silakan!"
"Tidak nonton sekalian?" tanya Bambang merasa bebas dari
kejemuannya mendengarkan pembicaraan kami.
"Sudah!" kataku pendek.
Sumi menggerak?gerakkan jari?jarinya ke arahku. Kubalas
dengan senyuman.
Dan aku masih tersenyum meski ia telah hilang ditelan
gelombang calon penonton lainnya.
"Kenapa teramat hambar rasanya bertemu dengan Sumi?"
ta nyaku sendiri. Ka rena Ba mbang itu kah? Entahlah ! Namun mau
tak mau, aku pun jaditeringat kepada Magelang dan masa lalu.
Dua tahun berturut?turut aku jadi juara pertama Lomba
Deklamasi. Alangkah bangganya aku ketika itu! Dan Sumi yang
menjadi juara kedua untuk peserta Putri di seluruh kota
Magelang, akhirnya menjadi kekasihku. Cinta kami seperti
ditumbuhkan oleh piala kemenangan itu. Dan sejak itulah Etet,
tidak bertegur sa pa dengan Sumi hingga ujian usai, ta pitoh Sumi
pun kutinggalkan juga setelah beberapa bulan kemudian, karena
Ekantini tampak lebih memikat hatiku.
Tiba di penginapan kembali, masa lalu masih terus menggeluti
kalbu. Pada layar ingatanku potongan-potongan kisah pun
bermunculan seperti tak mau berpisah dari rangkaian yang
sebenarnya.
Pak Suryo yang gemar memelihara burung merpati akhirnya
popular dengan nama Suryo Burung; Pak Marto direktur SMA
Pandawa terkenal dengan julukan Marto Jago, karena gemar
memelihara dan mengadu jago. Dari mulutku inilah mula-mula
nama itu lahir, lalu populer di kelas, merambat hingga seluruh
murid SMA Pandawa, dan akhirnya populerjuga di SMA Negeri,
sebab mereka memang mengajar di sana.
Ya ngtak bisa kulupakan dari sekian banyak kenakalanku ialah
waktu aku tertangkap basah membawa kopi ke dalam kelas. Bu
Kumaryati sedang mengajar Sejarah Kebudayaan ketika itu.
Tiba-tiba saja suasana kelas yang sunyi terganggu oleh suara


Biru Darah Gadisku Karya Darto Singo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benda dari aluminium yang jatuh ke lantai. Pada saat itu aku
22 mengeluarkan gelas berisi kopi dari dalam laci. Kira nya alasgelas
yang mula-mula melekat, kemudian terlepas, sebelum aku
sempat meneguk kopi yang kupesan dari warung Mbok Marsin.
Tentu saja kelas jadi riuh oleh suara tertawa. Namun akhirnya
sunyi karena Bu Kumaryati marah sekali. Disuruhnya aku duduk
dipojok paling belakang, menghadap dinding dan membelakangi
papan tulis. Pelajaran sejarah diteruskan kemudian. Sebuah
pertanyaan yang diajukan Bu Kumaryati tidak ada yang bisa
menjawab. Bu Kum bertambah marah. Dituduhnya kami tak
pernah belajar sama sekali; mudah melupakan apa yang sudah
diterangkan olehnya, dan masih banyak tuduhan yang
sesungguhnya mengandung kebenaran, namun cukup pedih
kamidengar.Waktuamarah Bu Kum mulaireda,aku mengangkat
tangan dan berkata bahwa aku bisa menjawab pertanyaannya.
Mula-mula Bu Kum tidak mau menghiraukannya. Namun
akhirnya beliau menyuruh aku menjawabnya. Dan kujawab
dengan tepat. Teman-teman cekikikan; mentertawakan
keadaan. Bu Kum tersenyum-senyum saja. Beberapa teman
memuji kepandaianku. Dan kepada mereka Bagas ini berkata,
"Bukan aku yang hebat, tapi kalian yang dungu!" Semua tertawa
mendengar ucapanku. Termasuk di dalamnya, Bu Kumaryati
sendiri. Hukumanku dicabut. Disuruhnya aku duduk baik-baik.
"Memang benar, bukan Bagas yang hebat, tapi kalian yang
dungu!" kata Bu Kumaryati sambil menahan tertawa.
"Seharusnya kalian tahu dengan pasti bahwa perbedaan
bangunan peninggalan Hindu dan Budha ialah pada bentuknya,
yang masing-masing menyerupai lingga dan stupa. Kita sudah
pernah melihat Borobudur dari dekat. Bentuk ba ngunan itu kita
hafal di luar kepala. Borobudur adalah candi peninggalan Budha.
Ba ngunan itu melupa kan sebuah stupa yang benar.]adi mema ng
kalian yang benar-benar dungu seperti kata Bagastadi."
Ucapan Bu Kumaryati takkan kulupakan sampai kapan pun
nanti. Barangkali saja hingga aku mati. Sebabnya, peristiwa itu
dengan cepat menyebar ke semua kelas. Keesokan harinya aku
menerima surat dari Yapti yang isinya ingin mendengar
penjelasanku tentang peristiwa itu, dan ia membalas cinta yang
telah kuungkapkan di depannya.
Waktu telah lewat tengah malam, dan aku terkapar sepi
dalam kamar penginapan, bayangan wajah Yapti muncul dan
menganggu ketenanganku. Aku pun segera merasakan
munculnya sendu yang ringan mengamba ng dalam sanuba ri ini.
Kawin paksa itu! Bisakah Yapti menghindarinya? Lolos dari
cengkeramannya? Siapakah gerangan laki-laki yang menjadi
pilihan orang tuanya?
Tiba-tiba aku merasa yakin, bahwa orang tua Yapti pun
membangun rumah ta ngga dari kawin paksa. Di kota Yogya yang
antik tidak sedikit contoh rumah tangga yang demikian. Dan
banyak di antaranya yang berhasil dan tumbuh dengan baik.
Namun aku tahu betul, lebih banyak lagiyang gagal dan hancur
kemudian.
Merenung-renung sendiri memikirkan Yapti aku jadi takut.
Takut kepada nasib cinta yang kudambakan. Bisakah terwujud,
meski aku benar-benar merasa pasti, ini bukan perasaan yang
sepihak? Kurasakan benar yang tumbuh dalam kalbuku adalah
perasan yang telah menyambung. Ia menjerat bukan karena
hendak mengikat saja, namun justru telah terjerat. Dan andai
karena kawin paksa yang sedang menghadang itu, apa yang
kudambakan menjelma duka, alangkah sengsara perasaan yang
ba kal kusandang. Yang demikian belum pernah kualami.Aku ia di
ragu dan takut dengan apa yang terjadi kemudian. Kudengar
sendiri bisikan hati mengajakku surut ke belakang. Namun Bagas
pun tahu pasti, itu bisikan hati yang menciut kecil. Kutetapkan
kemudian untuk memperjuangkan yang kudambakan dengan
hati yang benar!,iliku harus menang! Yapti harus menang! Karena
kemenangannya dan kemenanganku adalah kemenangan yang
sama, kemenangan yang secara otomatis mengalahkan dan
mematikangerak feodalisme dalam sekaratnya.
Aku makin merasa seakan?akan kisah?kasih Pranacitra dan
Roro Mendut memagut kami, sementara aku sendiri menyusuri
jejak Ki Ageng Mangir yang konon darahnya kuwarisi. Kalau
sejarah lama harus terulang, aku bertekad akan memberinya
corak tersendiri. Bagas ini harus bisa memperbaiki
episode-episode yang salah dan ku rang baik. Karena Bagas pun
percaya, bahwa sejarah tak bisa ditinggalkan begitu saja; ia akan
datang mengulang kembali kisahnya dengan bentuk dan kadar
yang berbeda?beda.
24 Bangun tidur dini hari, kurasakan tekad kian membulat. Dan
hatiku di dalam merasakan adanya jamahan kisah lama yang
menjadi cerita rakyat berlatarsejarah itu. Bagas merasa dirinya
merupakan paduan dari Ki Ageng Mangir dan Pranacitra. Dan
Pranacitra ini melompat dari dipan, membuka jendela kamar
untuk kemudian pergi ke kamar mandi.
Kutinggalkan penginapan untuk mencari rokok. Dengan naik
becak kukelilingi kota Yogya, setelah menghangatkan perut
dengan segelas kopi dan ketan. Jalanan masih sepi. Hanya
sekali?sekali saja motor atau mobil melintas mendahului
beberapa sepeda yang ada.
Perempuan-perempuan kampung berjalan beriringan dengan
bakul di punggu ngsa rat dengan sayuran. Di tangan mereka obor
sempor bambu dibiarkan menyala, meskipun lampu-lampu
jalanan cukupterang-benderang. Dan sambil berjalan membawa
dagangannya itu, mereka bercakap-cakapdengan suara keras.
Pada perempatan jalan, di mulut Jalan Gondomanan kulihat
beberapa ekor kambing sedang tidur di atas jalur batas arus
kendaraan yang berlawanan. Kutanyakan kepada tukang becak
yang membawaku, apakah kambing-kambing itu tidak ada yang
empunya. la menerangkan bahwa kambing-kambing itu ada
pemiliknya, namun tidaksetiap malam tidur di kandangnya. Bila
fajar menyingsing kawanan kambing itu akan pergi mencari
rumput di pinggir kota dan kembali menuju rumah majikannya
menjelang senja. Mereka menginap di jalan karena kemalaman
dalam perjalanan. Tukang becak itu mengatakan juga bahwa
mula-mula kawanan kambing itu hanya sepasang. Dan tidak ada
seorangpunyang beranimencurinya,hinggaakhirnya bertambah
banyak, pada hal pemiliknya seperti tidak menghiraukan saja.
"Kenapa tidak ada yang berani mencurinya, Ka ng?" tanyaku.
"Wah takut! Dan pasti ketahuan!"
"Mana mungkin?" tanyaku heran.
Tukang becak itu menerangkan bahwa dulu pernah terjadi
seekor kambing di antara kawanan itu dicuri orang. Induk
kambing mengembik terus-menerus dengan suara yang keras
mengikutisang pencuri.
Sedangkan yang lain berlari pulang seperti sengaja hendak
mengadu kepada majikannya. Dan akhirnya si pencuri pun
ketahuan.
Aku tersenyum sumbing mendengar kisah kambing yang
mirip dongeng itu. Aku menoleh ke kiri melihat bangunan
klenteng Gondomanan yang didirikan tahun 190? atas usaha
seorang bekas Mayor Tionghoa bernama Yap Ping Uem. Dan
pengunjung yang datang selalu mempunyai maksud mencari
berkah dan kemakmuran. Tentu saja aku tidak tahu apakah
maksud para pengunjung itu terpenuhi atau tidak!
Kusuruh tukang becak memperlambat laju kendaraannya
manakala jarak ke rumah Sritinggal beberapa metersaja. Rumah
besar itu masih dilingkupi kesepian yang menggigit. Beberapa
buah bis hampir menutupi halaman muka dan samping. Dan
anak pengusaha bis itu sama sekali tidak kelihatan. Barangkali
saja Sri masih dipeluk tidurnya yang lelap. Becak terus melaju
tenang ke arah selatan. Suara karet di bawah tempat dudukku
mendenging nyaringtanpa henti.
"Ke mana, Den?" tanyanya.
"Lewat Jalan Timuran, Ka ng!"
Dan aku menyuruh ia melambatkan laju becaknya lagiwaktu
hendak membelok ke kanan menyusuri Jalan Timuran. Pohon
mangga di depan rumah Yapti tegak membeku. Taman di dekat
teras itu sepi. Lampu taman yang rendah ta mpak pu cat. Hatiku
berdesir melih at kursi rotan diteras itu. Di kursiyang menghadap
ke pintu, Bagas ini duduk berhadapan dengan Yapti dalam
kunjunganku yang pertama.
Sebelum tiba di Pelengkung Gading, kusuruh tukang becak
memutar haluan untuk menganta rkanku kembali ke penginapan.
Dengan patuh ia menurut. Langit di arah timur kelihatan
semburatkuning. Namun hanyasekejapsaja aku memperh atikan
panorama pagi di arah sana. Seterusnya mataku melih at ke arah
rumah Yapti, sementara dalam hati dan benakku menyembul
bayangan seakan bakal kulihat Yapti sedang menyapu di teras
rumahnya, lalu menoleh ke jalan dan melihat aku, lalu ia
tersenyum dan melambaikan tangannya sambil bergegas lari ke
pinggir jalan, dan mengatakan sesuatu padaku, dan Bagas ini
ah! Rumah Yapti masih digigit kesepian. Jendela ka ca yang rendah
tertutup rapat. Kain garden di baliknya masih belum tersibak.
Daun pintunya terkatup rapat seperti membeku dan tak lama
26 kemudian becakku membelok menyusuri Jalan Gondomanan
kembali.
Sepanjang jalan telah tampak banyak orang berlari-lari atau
sekedar berjalan-jalan menghirup udara segar. Angin mengiris
dingin dari arah depan manakala becakku melaju kenca ng di atas
jalanyang menurun.
Tiba di kamar penginapan aku mengaca pada cermin yang
tergantung di dinding. Alangkah meresahkannya saat-saat yang
lewat, seperti merambat dengan amat lambatnya.
Jam delapan sepuluh menit pelayan data ng mengatakan ada
telepon untukku. Pasti Sri! Pikirku sambil berlari.
Bisa jadi ia membatalkan rencana pertemuan kita nanti,
pikirku lagi. Cemas menghempas leherku manakala kudengar
suara lembut bertanya, "Halo, ini Bagas?"
"Ya ...! Bagas!"
"Bisa menebak siapa yang bicara denganmu, Bagas?" tanya
suara itu membu at aku semakin bingung.
"Harap maklum, baru bangun tidursih."
"Juara kedua Lomba Deklamasi di Magelang tahun 1964!"
"Kenapa berbeda sekali, ya? Aku bingung tadi!" kataku
tersenyum.
"Suaraku berbeda?"tanya Sumi.
"Barangkali kau terlalu banyak berciuman semalam!"
"Edan, kowe! Edaan ...!" pekiknya.
"Yang kebera pa Bambang semalam itu, he?"
"Dari mana aku harus menghitungnya? Sejak di Yogya ?"
"Kita tidak bermaksud mengingat yang terjadi di Magelang
dulu?"
"Tentu saja!" ujarnya cepat. "Terlalu banyak kalau harus
dihitung dari mula-mula menjadipemburu!" la menyindirku.
"Apa kabarmu, Sumisayang?"tegurku lembut.
"Ah, jangan merayu. Jadi kelihatan sekali belangmu!"
"Harimau bangga karena belangnya, Sum. Jangan kau lupa
itu!"
"Dan sekaligus menakutkan !" lanjutnya cepat.
"Kapan ke Magelang?" tanyaku.
"Tidakada apa-apa lagi disana, Gas! Etet dijakarta!"
"Di Jakarta?" tanyaku seperti kaget.
"Belum pernah bertemu dengan dia? Sayang sekali."
"Ah, tidak! Permusuhan masih belum selesai kok!"
"Tapi dia yang memusuhi. Bukan !"
"Tentu saja bukan kau."
"Aku kok! Aku yang memusuhinya. Dan kusengaja!"
"Edaan ...! Kulaporkan kepada Pak Suryo Burung kau nanti!"
Sumi tertawa. Renyah sekali suara nya.
"Kau tidak akan datang ke rumahku bukan?" tanyanya
kemudian. "Mau! Mungkin siang nanti. Hanya, pesanku:
krangkeng dulu Bambang itu !"
"Edaaan ...! Edan tenan kowe, Gas!"
"Sum, bagaimana caranya supaya aku bisa diterima di Sospol
Gama he?"
"Nah, datanglah nanti. Semalam 'kan sudah kubilang?
Walaupun hanya diseksi, tapi aku duduk sebagai pemimpin lho
Gas!"
"Berapa gajimu sebagai pemimpin?"
"lho, kan berjuang! Ya, tidak ada gaji. Aneh!"
"Sum, sungguh mati aku merasa seperti di kutubsaja!"
"Dingin?"
"Sepi! Sendirian sih. Siapa teman kita yang di sini? Ada?"
"Banyak! Banyak sekali! Dan semua, tentu, tentu siap
menemani 'Raja Mbeifng'!"
Sumi tertawa dan aku pun tertawa. Aku teringat gelar yang
diberikan Pak Suryo Burung kepadaku itu.
Dadaku berdebar-debar manakala kulirik arloji sudah kian
mendekati saat yang telah kutentukan. Aku ingin menyudahi
pembicaraanku dengan Sumi itu. Namun ungkapan tentang
masa lalu sungguh menyenangkan untuk diteruskan. Akhirnya,
berakhir juga percakapan kami dengan janji aku akan
mengunjungi rumahnya. Dengan becakkutinggalkan penginapan
untuk bisa cepat tiba di ru mah Sri.
Sri tersenyum menyambut kedatanganku. la menggelengkan
kepalanya dengan mata terus ditatapkan ke arah mataku.
28 "Aku tahu, Gas! Kau tidaksa ba r, bukan?"
"Aku bisa mati mendadak kalau Ya pti tidak muncul nanti!"
"Hati-hati bicara Gas! Bisa terjadi lho! Sungguh!" Sri berkata
seperti benar-benar cemas atas kata-kataku.
"Kalau aku harus benar-benar mati karena uca panku tadi, itu
takdir namanya!"
"Do ...! Kau sudah lepas akar,ya? Kau lupa dengan adatora ng
Jawa apa?"
"Adat" ta nyaku tak mengerti.
"Adat kebiasaan orangJawa, tidak boleh melahirkan ucapan
yang buruk untuk dirinya sendiri ataupun untuk orang lain,sebab
bisa terja di benar nanti!"
"Kau percaya?" tanyaku tersenyum lebar. Sri mengangguk
dan aku menggelengkan kepala.
"Itu adat kebiasaan orang Jawa kuno, dan orang Jawa yang
sakti-sakti saja. Sebab, apa yang diucapkan orang sakti zaman
dulu benar?benar terjadi! Zaman dulu pun tidak semua orang
Jawa sakti, 'kan?
"Tapi sekarang pun kurang baik melanggar pantangan
tersebut!" ujarnya.


Biru Darah Gadisku Karya Darto Singo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Situasi dan kondisi sekarang sudah jauh berbeda dengan
zaman orang-orang sakti itu. Sakti zaman dulu dan sakti zaman
sekarang pun berbeda!"
"Sekarang ini, jarang sekali orang yang sakti, Gas!
Paling-paling diseluruh Pulau Jawa ini hanya satu dua orang saja.
Bisa ia di malah tidak ada sama sekali!"
"Kau keliru kalau begitu!" kataku tersenyum dan
menggeleng-gelengkan kepala. "Zaman sekarang pun banyak
orang sakti"
"Mana buktinya?"
"Kepingin tahu? Drang-orang kaya itulah orang sakti zaman
sekarang!"
"Lho ...?"
"Kenapa lho?" kataku. Lalu, "Drang sakti zaman dulu bisa
terbang atau menghilang katanya, bisa menempuh Yogya ?
Ja karta dalam tempo beberapa detiksaja. Sedangkan orang ya ng
tidak sakti harus menempuh perjalanan yang cukup memakan
;; 5P 29
waktu. Sekarang? Yogya ? Jakarta paling-paling satu jam! Dan
itu dengan naik pesawat, jadi benar-benar terbang 'kan? Tapi
yang mampu naik pesawat 'kan tidak semua ora ng?"
"Edaan pendapatmu, Gas! Tapi ada benarnya juga, ya?"
Dan aku tidak sempat menjawab pertanyaan yang tidak
menuntut jawaban itu karena tiba-tiba menyembul Yapti dari
pintu gerbang halaman rumah.
"Sabaaar dada! Sabar," kata Sri sambil melirik kepadaku.
Dan dadaku berd ebar-d ebar tidak sabar.
"Silakan duduk, Mendut!" sambut Sri yang dibalas dengan
cu bitan Yapti.
Sri melangkah ke dalam.
Mataku mencari mata Yapti. Mata Yapti mencari mataku.
Sejenak kami saling menerawangkan mata dengan meredupkan
sinarnya. Yapti menunduk dan mengedip cepat sambil
menggigit-gigit bibirnya.
"lbumu taksuka melihat ked ata nganku, bu kan?" tanyaku lirih
dan hampir?hampir tak terdengar sebab tersekat di
kerongkonganku yang mendadak kering dan pahit.
Ya pti mengangguk, setelah sejenakmatanya mencari mataku.
Dandalamsejenakituia memandangsepertihendakmeyakinkan
hatinya bahwa aku berkata demikian itu bukan karena didorong
rasa benci.
"Tentunya ibumu mengancam andai aku muncul lagi di
rumahmu bukan?"
"Ya, aku tak akan diizin kan kuliah nantinya!"
"Astagaa ...!" ucapku tersendat.
Sri muncul dengan baki berisi dua buah gelas. Gumpalan es
batu tampak mengapung menimbulkan bunyi ketika
bersinggungan dengan dinding gelas.
"Kuberi kalian kebebasan untuk berunding. Jangan takut,
tidak ada yang berani muncul ke sini," ujar Sri sambil meletakkan
gelas minum bagi kami, lalu sambungnya lagi, "Silakan! Silakan!"
Sri meninggalkan kami berdua. Ia berkata seperti seorang ibu
yang bijaksana sekali.
"Bukan maksudku memberi kesulitan kepadamu,Yapti. Kalau
tak salah, cincin yang kaupakai kemarin itu sudah cukup berat
sebagai bebanmu."
k;". ":: _
. rs. fs
:uu-i namun.? B:.lli Pusuk:
"Kau telah mendengar dan mengerti, Bagas. Syukurlah! Dan
aku tahu maksud kunjunganmu kemari itu baik. Bukan
sebaliknya!"
"Yang ingin kudengar darimu, Yapti," kataku, "apakah kau
akan membiarkan dirimu menerima nasib sebagaimana Siti
Nurbaya?Atau...!"
"Hampir setiap kali aku memberontak, Bagas. Terkadang
begitu nekad! Hingga aku merasa bingungsendirijadinya,sebab
pemberontakan yang kulakukan hanya sekedar menunjukkan
rasatidaksuka. Dan rasatidaksuka ku itu,tidakpernah dihiraukan
oleh ibu. Ibu menga nggap yang demikian itu bisa saja dan wajar
adanya. Karena dulu pun mula-mula ibu merasa tidak senang
dengan sikap orangtuanya."
Jelas bagiku sudah, bahwa kawin paksa yang dialami orang
tuanya hendak diwariskan kepada Yapti. Aku pun khawatir
jadinya, sebab bukan mustahil kalau Yapti akhirnya akan
menerima dan pasrah kepada nasibnya. Kekhawatiranku
berkembang menjadi kecemasan dan keta kutan. Ya,ya, tiba-tiba
sekali hatiku menjadi kecut! Dan dari sini, mulai bangkit
keberanianku kemudian.
"Kuharap kau tidak menyerah begitu saja, Yapti! Kuharap kau
mengerti benar bahwa kawin paksa merupakan perwujudan
kuasa yang mutlak dari pihak yang menempatkan orang lain
sekedar perkakas dan hanya memiliki kewajiban-kewajiban
tanpa haksama sekali. Kuharap kau mengertiteodalisme sedang
sekarat.Kitasebagaigenerasimuda zaman kini,sudahseharusnya
ma mpu mengkikis sisa-sisa feodalisme hingga habis dan tuntas!
Kuharap kau akan tetap pada pendirianmu yang kemarin, dan
memiliki keberanian untuk mewujudkan sikapmu itu.
"Aku belum berubah dan tidak akan berubah, Bagas!
Percayalah! Yang tidak menguntungkan ialah karena suasana
keluarga dan kota tempatku tinggal ini."
"Aku cukupmengerti!" kataku dan ka misaling berpandangan.
Kuangkat gelasku, sambil menyilakan Yapti meneguk
minumannya pula. Sementara itu, mata ka mi saling mencari dan
saling memadukan sorotnya.
"Aku tidak tahu bagaimana harus mengungkapkan semuanya
ini, Yapti! Waktu yang hanya dua hari, akan betul-betul
mengejutkan oranglain karena aku membicarakan cinta.Tapiini
satu kenyataan, bahwa sesungguhnya aku mencintaimu dan
tentu saja berharap memperoleh balasan yangsetimpal."
Tenggorokanku terasa kering dan pahit kembali. Yapti
menunduk mempermainkanjari-jaritangannyadiataspangkuan.
Matanya mengedip-ngedip seperti ada sesuatu yang masuk ke
dalam benaknya dan meminta dipikirkan. Kemudian kulihat dia
seperti bingung.
"Aku tahu keadaanmu, Yapti!" ujarku selanjutnya. "Cincin
tunangan itu cukup kuat menjadi alasan untuk mengundurkan
langkahku, tapi aku tidak mau mundur! Maukah kau maju
bersamaku, menerima dan membalas cintaku serta
menca mpa kkan kawin paksa itu jauh-jauh?"
Mata Yapti berkedip cepat sekali. Ia menggigit-gigit bibirnya
sendiri, seperti ada kebingu ngan yang hendak dihalaunya.
"Aku tak bisa menjawabmu, Bagas. Tak bisa menjawabmu
sekarang."
"Kenapa tidak? Jawabannya sudah ada di dalam hatimu
sendiri, sebelum aku memintanya."
Sekejap ia menatap mataku. Sekejap cuma! Dan sekejap
kemudian ia menunduk lagi, mempermainkan jari?jemarinya
kembali. "Ya pti ...!" desisku mema nggil.
Yapti mendongakkan kepala, mengarahkan matanya ke
mata ku, lalu menunduk dan kemudian membisu.
"Kau masih ragu?" tanyaku.
"Aku bingung, Bagas. Aku merasa takut sekali, tapisekaligus
timbul keberanianku untuk mewujudkan tekad hati sendiri.
Sedih yang menindihku selama ini, seperti melilit dan dililit oleh
bahagia mendengar pernyataanmu. Dua perasaan yang
berlainan, ternyata secara bersama-sama mengharu kalbuku.
Aneh, tapitidakmokal adannya."
"Ya, ya, aku mengerti perasaanmu, Yapti!" kataku. Padahal
sesungguhnya Bagas ini tidak mengerti dengan apa yang
digambarkan Yapti.
"Satu?satunya jalan, Yapti, kita harus lari meninggalkan Yogya
ini!"
"Lari?" tanyanya tak mengerti. "Ke mana?"
32 "Ke Jakarta saja. Aku berjanji akan membahagiakanmu. Kita
tentukan nanti apa yang harus kita lakukan setelah berhasil lari
dari sini. Hal ini memang tidak gampang. Kau terpaksa harus
merepaskan diri dari keluargamu untuk sementara waktu.
Beranikah kau?"
"Ada keberanianku untuk melakukannya, Bagas. Tapi
sekaligus aku takut; entahlah nanti. Dulu aku selalu ingin mati,
sekalipun dengan cara bunuh diri, ta pi sejak kukenal dirimu, aku
malah menjadi takut mati. Sejak kau datang ke rumahku, aku
jadi ingin hidup."
Bahagia sekali aku mendengar kata-katanya yang meluncur
jujur,sambil matanya memandangku berani.
Aku bangkit dengan tiba-tiba. Dan tangan Bagas ini meraih
bahunya, menariknya dengan lembut dan merapatkannya ke
dada. Yapti menggigil dalam pelukanku. Wajahnya tiba-tiba
menjadi pucat. Matanya memejam seperti takut menerima
ciuman yang hendak kuberikan.
Kami duduk bersisihan sambil saling meremaskan jemari
dalam genggaman. Kuamati wajahnya. Di atas bibirnya tampak
bulu kumis yang lembut dan amat tipis. Yapti duduk
menyandarkan punggungnya ke punggung kursi.
"Aku mengajakmu lari, Yapti. Aku berjanji akan
membahagiakanmu. Jakarta lebih memungkinkan daripada
Yogya. Aku takut andaikata pun bisa kuliah di sini. Takut
kalau-kalau kau dipingit; tak sekejap pun aku akan sempat
melihatmu lagi."
"Aku belum pernah mencintai seorang, Bagas! Karena tak
pernah kuterima cinta seseora ngsebagaimana yang kauberikan.
Sejak di es em pe, aku telah diperuntukkan bagi Darmo, dan
dilarang untuk berhubungan dengan siapa pun. Aku tidak tahu
bagaimana cinta yang disebutsuci,tapi aku menghargai cintamu
yang penuh keberanian ini, yang sekaligus memancing
keberanianku sendiri."
"Kenapa kau tidak bisa menerima Darmo?"
"Bisakah cinta dipaksa?"
"Tentu tidak! Cinta tumbuh, tersemi, dan mekar dengan
sendirinya."
"Tidak selalu membutuhkanwaktu yang lama?"
"Apa yang bisa kulakukan untuk kajian ,yang scoring bercinta?" banya Sri
me.!r'n'k menembak kami berganri-gantr'.
.fr; Balai Pustaka
(I..34 "Ya, tidak selalu butuh waktu yang lama. Buktinya, kita ini."
Kami saling menatap, saling tersenyum. Jari?jariku meremas,
memesrai jari-jari dan jemarinya membalas meremas memesrai
jari-jariku.
"Dulu aku pernah dikejar dan dicintai oleh beberapa orang
pemuda. Sri tahu kisahnya. Namun setelah mereka mengerti,
bahwa kawin paksa hendak menyambutku, dengan
perlahan?lahan mereka mundur, tapi ka u, kenapa tidak mundur?
Kau malah terus maju dan bahkan berani mengajakku lari dan
menjanjikan kebahagiaan. Sekiranya kutemukan kau sejak dulu
...! Ah!"
Aku tersenyum dan kukecup matanya lalu hidungnya, lalu
keningnya, lalu pipinya, lalu dagunya dan kurasakan, bahwa ia
menya mbutnya dengan ungka pan cinta yang sejati.
Aku minta izin untuk merokok. Yapti tidak keberatan. Aku
menegukgelas minumannya. la tersenyum. Tangannya terjulur
meraih gelas minumku dan meneguk isinya. Kami saling
bertatapan dan melemparkan senyu man.
"Bagas, kenapa kita lupakan Sri?" tanya Yapti
"Oh ya, sebaiknya kita ngobrol bertiga saja sekarang. Aku
butuh pertimbangan-pertimbangannya. Tentunya kau pun
berpendapatdemikian bukan?Nah, mana Sri?"
Yapti bangkit. Dengan sa putangan ia membenahi wajahnya,
lalu merapikan pakaian, dan masuk ke dalam rumah Sri. Tak
lama kemudian ia muncul kembali. Sri melangkah mengikutinya
sambil tersenyum-senyum penuh arti.
"Apa yang bisa kulakukan untuk kalian yang sedang bercinta
ini?" tanya Sri melirik menembak kami berganti?ganti.
Aku menoleh kepada Yapti. Ya pti menoleh kepadaku. Mataku
menatap matanya. Matanya mencari-cari mata ku. la tersenyum.
Aku tersenyum. Dan Sri tersenyum-senyum memperhatikan
kami.
(5% "Halo, ini Bambang?" tanya Sumi.
"Lupa?"
"Siapa ya?"
"Juara pertama Lomba Deklamasi di Magelang."
"Ci, murid yang terpilih untuk mengucapkan Sumpah Atlit
pada Pekan Olah Raga Pelajardi Magelang dulu?"
"Ya, siapa lagi?"
"Si Raja Mbeling!" Sumitertawa.
"Yang jelas, kalau kau berhasil menjadi penyanyi dan terkenal
kemudian nanti, akulah yang pernah mencium pipimu di kuburan
Magersari dulu. Jadi, betapa pun terkenalnya kau nanti, kau
harus ingat kepadaku."
"Mulai hari ini aku yakin bakal melupakanmu seumur-umur,
Gas!"
"Kenapa?"
"Sejak jam satu tadi aku menunggumu, tahu? Edan!"
"Sia ng ta di ada gadis yang perlu kulamarsih."
"Sudah kuduga! Kau masih jugsjadi pemburu, he?"
"Aku mau jadi Pranacitra, ngerti?"
"Pranacitra? Kau akan melarikan seseorang apa?"
"He?heh! Roro Mendut tentu!"
"Cantik? Oh, tentu, tentu bukan? Kau memang hanya tahu
gadis cantik saja."
"Tidaksemua cantik. Ada seorang yangjelek!"
"Sia pa ?" tanyanya. Lalu, "Aku?"
"Sia pa lagi? Karena itu tak pernah bisa kulupa kan."
"Karena jeleknya itu, kan?"
"Karena jelek dan buruk hatinya! rtulah sebabnya aku !"
"He, jadi datang tidak? Aku ingin cerita banyak kepadamu
lho! Aku juga ingin dengar tentang aksi?aksi KAMI di Jakarta.
Mau 'kan?]am berapa kau datang, Gas?"
".?-? 'L-f .
36 ;; fs
:uu-i namun.? B:.lli Pusuk:
"Sekarang ini aku butuh mengaso. Tapitahukah kau di mana
tempat istirahatyang paling nikmat?"
"Tentu saja di rumahku! Di dekatku kau akan bisa mengaso.
Dan aku sendiri ingin menikmati kebanggaan masa lalu."


Biru Darah Gadisku Karya Darto Singo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa sih yang bisa dibanggakan dari murid paling dungu
seperti kau?"
"Tentu saja bukan kepandaian. Sebab, murid yang terpandai
pun pernah berlutut di kakiku."
"Huss! Enaksaja kau. Kapan?"
"Waktu main drama!"
"Wah, kau masih ingat itu ?"
"Aku juga masih ingat kau merengek?rengek karena dua buah
surat cintamu tak kuhiraukan."
"Tepatnya, pura-pura tak kauhiraukan! Padahal itulah yang
membuat kau tidak bisa tidur, bukan?"
"Keliru kamu, Gas! Dulu 'kan sudah kubilang aku tidak bisa
tidur karena banyak nya muk?"
"Brengsek!" ucapku tertawa. "Bambang sudah
kaukrangkeng?"
"Edaan!Takut?"
"Bukan takut, tapi jijik!"
"Edaaannn ...! Kowe edaan ...! Gendheng!"
"Pakailah bedak yang tipis saja, Sum. Sedikit minyak wangi
boleh!Tapi jangan cap Ikan Duyung. Sebentar lagi aku sampai.
Sediakan kopi daripada aku mesti pesan ke warung Mbok Marsin
Su mi tertawa.
"Kau sudah dandan?"tanyaku.
"Aku kan selalu ra pi! Sejak dulu, sejak masih kanak-kanak!"
"Aku malu kalau mengingat masa kanak-kanakmu dulu."
"Kenapa?"
"Da ri luba ng hidungmu selalu keluar ingus!"
"Edan! Edan! Gendheng kowe! Gemes aku jadinya !"
"Pokoknya kalau nggakrapi, aku pulang lagi nanti! Dandanlah
yang ayu! Cobalah kaupikatsekali lagi hatiku ini!"
"Ndak sudi!"
'WEnan?'
"Tenan!"
"Dra nga pusi?"
"Ora ngapusitenan!"
"Sebenarnya aku takut mau ke rumahmu, Sumi!"
"Kenapa takut? Takut jatuh cinta dan merengek-rengek lagi
seperti dulu?"
"Takut langsung ka usekap dalam ...!"
"Jangan gendheng kau, Gas! Kau kira sia pa aku ini, he? Hayo,
teruskan. Dalam apa?"
"Dalam kamar ...!
"Dalam kamar? Kau gila, he?"
"Kamarkecil maksudku!"
"Edaaaannn ...! Ih, gemesnya aku! Kukuku panjang lho,
kucakar kau nanti!"
"Kau masih suka menyanyi?"
"Data ng dulu baru kujawab pertanyaanmu."
"Enggaksuka ikut band lagi?"
"Datang dulu!"
"Malu untuk menjawab, he?"
"Pokoknya datangdulu!"
"Kalau begitu kujawab sendirisaja deh!"
"Jawablah!"
"Soalnya kalau dulu kau suka 'mbdrdng', sekarang pun pasti
gemar 'ngamen'. Iya enggak? Kalau dulu kau mbarang di pasar,
mungkin sekarang ke toko-tokosepanjang Malioboro?"
Suara tertawa yang ditahannya terlepas juga. Sempat
kudengarsebelum dia mema ki-makiku dengan nada bersahabat.
Inilahyang palingmenyenangkanbagiku.5umibegitutamilier.
Sebelum ia menjadi kekasihku, kami sudah bersahabat erat
sekali. Meskipun kami tak berpacaran lagi kemudian, namun
Sumi tetap baik kepadaku. Ia tak mendendam seperti Etet dan
Yati.
Ketika aku tiba di rumahnya ia memakiku dengan hangat
sebagai sa mbutannya.
".?-? 'L-f .
38 ;; fs
:uu-i namun.? B:.lli Pusuk:
"Kau bener?bener tidak waras? Jakarta terlalu panas bagi
otakmu ya? Gam-gam kau, rencanaku dengan Bibi terpaksa
batal."
Aku tersenyum-senyum saja sambil memandangi ruangan
tamu rumah bibinya. Ia bersungut-sungut lagi.
Katanya, "Kupikir kau 'gendheng' pura-pura, rupanya benarbenar to? Kupikir kau masih waras seperti dulu! Kupikir ...!
"Kupikir aku lebih baik pulang saja ke penginapan!" tukasku.
"Pulanglah ! " usirnya tersenyum manis sekali.
Aku membalikkan badan, melangkah ke teras, menuruni
tangga rumahnya.
"Lari, Gas! Cepat!]angan pelan-pelan begitu!"
Bagas ini pun berlari cepat sekali, tapi hanya pura-pura saja.
Aku berlari di tempatku berdiri. Lalu berhenti, pura-pura
terengah-engah, lalu duduk di atas anak tangga di bawah
teritisan terasnya. Sumi menghampiri. Ditariknya tanganku
dengan menggenggam jari-jariku. Dipaksanya aku duduk di atas
sebuah kursi dengan menekan pundakku kuat-kuat. Kutangkap
kedua lengannya. Kutatap matanya dalam?dalam. la tersenyum
dan menatapku.
"Kau jadi tambah hitam selama di Jakarta, Gas!" ujarnya
lembut. "Jangan melihatku begitu!" katanya lagi setelah sejenak
suasana beku.
Kulepaskan genggamanku sambil mengusap kulit lengan
hingga ke pergelangan kedua tangannya. Sumi duduk di
hadapanku, dan bertanya apa benar "Bagas ini" mau minum
kopi. Aku mengangguk membenarkannya. Sumi bertanya lagi,
apakah mau bila bukan dia yang membuat kopi itu tapi
pembantunya. Aku tersenyum dan berkata, "Perintahkan supaya
dia yang menemuiku selama aku di sini! Tidak usah kau sendiri!"
Sumi tertawa, melompat dengan manisnya dan mencubit
pipiku dengan lembut sebelum lenyap di telan gorden pintu ke
arah ruang dalam rumahnya. Di mataku Sumi kelihatan
bertambah lincah. Jauh lebih lincah dibanding dengan dulu
waktu di Magelang.
Kusulut rokok sebagaiteman berseora ng diri.
Tak lama kemudian Sumi muncul lagi. Membawa dua buah
album foto dan segelas kopi.
;; 5P 39
"Kita makan bersama, Gas! Tadi pagi kusuruh si Mbok
membuat sambel tempe kering kesukaanmu. Bibi dan Paman
sudah tahu kau yang akan menjadi tamuku. Mereka sudah kenal
dengan si Raja Mbeling lho!"
"Oh ya?"
"Dari toto-totomu dulu!"
"Tentu mereka menyayangkan kenapa hubu ngan kita putus
bukan?"
"Sombongmu! Dulu itu, kaupikir aku mencintaimu sebulat
hati apa?"
"Seberapa memang?"
"Setengahnya juga nggak ada !"
"Cukup banya k. Sedang aku sendiri hampir seperempat!"
"Sombongmu, Gas! Sombongmu!" pekiknya sambil tertawa.
Lalu, "Masih angkuh juga seperti dulu?"
"Sedikit!"
"Mbeling, Mbeling. Huh!" kata Su mi sambil memukul lututku.
Tanganku tidak membalas. Sibuk membuka album berisi toto
lama dan baru.
"Lihat!" pekikku sambil menunjukfoto lama di mana tampak
gambarku berdiri bertolak pinggang sambil memandang ke
ujung stupa terbesar di puncak Borobudur. Sumi yang
memotretnya dulu, dari posisi yang rendah sehingga gambar itu
seperti di atas kepala yang melihatnya.
"Eh, eeeeh, memang cakap Bagas ini, ya?" kataku sengaja
memuji diriku sendiri.
"Amit-amit ...! Kamu masih tetap sombong to, Gas? Kurangi
sedikitsombongmu itu! Supaya otak bisa berpikir dengan sedikit
wajar. Ini bukan kau yang memang cakap, tapi siapa dulu yang
memotretsih?"
"Kalau sebuah potret harus kita diskusikan, sampai pagi isi
album tak akan selesai. Seharusnya kau jangan ikut-ikutan.
Jangan latah memuji diri sendiri. Soalnya, terlambat, sudah
keduluan aku, 'kan?"
"Kau masih pinter bersilat lidah juga, he?"
"Minum saja kopimu, Mbeling!" serunya memanggil nama
gelarku.
40 "Supaya terkelupas bibir dan lidah?" "Biasanya kau suka kopi
hangat."
"Ini pacarmu tentu! Iya 'kan?"
Sumi tersenyum mengejapkan matanya dengan indah dan
menariksekali.
"Dan inijuga?tanyaku melihat foto pemuda merangkul Sumi
dalam 'pose'saling menoleh dan memandang serta tersenyum.
Sumi mengangguk. "Pemain band he?" tanyaku lagi dan ia
mengangguk pula. "Pesanku,janganseperti piala bergilirsaja."
"Kau tahu 'mot'toku' dalam pergaulan? Intim boleh,]adi pacar
bila kusuka, tapi kutendang setiap lelaki yang, hendak merusak
kesucianku!"
Kutatap matanya dalam-dalam, sambil
mengangguk-anggukkan kepala dan kutempeleng pipinya tiga
kali berturut-turut dengan amat lembut.
"Bagus! Bagus sekali, Sumi!"
"Cintayangmasihjauhdaricita-cita,tidakperludiperhitungkan
habis-habisan bukan? Soalnya bagi anak-anak muda zaman
sekarang, cinta adalah mawar merah yang cepat rontok. Tidak
seperti melati!" katanya.
"Benar. Drang-orang muda seperti kita ini kadang-kadang
bercinta tanpa tujuan. Tanpa cita?cita dan kesungguhan.
Mema ng rugi kalau kita perhitu ngkan habis-habisan."
"Oh ya, aku punya lagu. Pulang nonton film malam itu, aku
membuatlagu setelah ketemu kau."
Su mi melompat bangun dan berlari masuk ke dalam. la keluar
lagi dengan sebuah gitar di tangannya. Dengan lincah jari-jari
tangannya menari di atas snar plastik berwarna putih,
mengalunkan 'intro' dari lagu ciptaannya. Kemudian kudengar
suaranya mengalun dengan lembut mengantarkan nada yang
menyentuh-nyentuh.
"Kusuiam bulan sejak dikau pergi; kujalin mentari selama
kusendirf. Mengapakah cintamu dan bunga-bunga wangi; di
taman hatimu kini tiada lagi "
Aku merasa hanyut oleh alunan nadanya yang sentimentil.
Ada bau musikjazz dalam lagu itu.
"Sengaja kubayangkan kau, Gas! Tentu saja dengan bumbu
imajinasi! Seakan-akan selama ini aku menantimu, tapi waktu
ju mpa, kau tidak seperti yang kuhara pkan."
"Sering membuat lagu sendiri?"
"Ada beberapa buah. Kalau kebetulan mengadakan show,
sering kunyanyikan. Dengar ya, ini lagu lincah, lagu yang cocok
untuk anakaanak muda seperti kau, Gas!"
Aku tersenyum, Sumi memetik gitar dengan pukulan cepat,
dan dari mulutnya mengalir lagu yang dirambatkan lewat syair
yang sederhana, "Bila bulan hanya satu di dunia, dari mentari
tiada dua, namun cinta di hati para remaja, mk terbilang bagai
bintang dilangit... "
Sumi tersenyum leba r, lalu, "Bagimu begitu 'kan?"
Aku menggeleng tenang dan alim.
Sumigemas memukul?mukulku.
"Bagaimana tentang laguku tadi?"
"Kontras sekali! Yang satu cengeng yang satu urakan. Tapi
syairmu kenapa mestiselalu ada 'bulan', 'mentari', 'bintang'?"
"Aku juga tidak tahu. Tapi juju rlah, lagunya bagaimana?"
"Lagu yang pertama bau jazz, tapi mantap sekali bisa
menyusup ke hati. Sedang lagu kedua,sepertitersendat-sendat
untuksa mpai ke hati pendengarnya. Bisa jadi, mungkin suaramu
yangterlalu jelek!"
"Iya, aku tahu itu. Supaya kau mau memuji suaraku, pastilah
kusogok dulu dengan makan malam," kata Sumitertawa sambil
melangkah ke pintu penghubung lalu memanggil pembantunya
dan memberi perintah agar menyiapkan makan buat kami
berdua.
Jam delapan malam, Paman dan Bibi pulang. Sumi
memperkenalkanku pada mereka. Ramah sekali bibinya itu
padaku. Jam sembilan aku pulang.
Aku benar-benar merasa segar.
Lapor-melapor tentang masa lalu membuat pikiran jadi
jernih. Bisa jadi, karena bersama Sumi, yang lincah dan pandai
bersilat lidah. Tentang aksi-aksi KAMI di Jakarta, telah
kuterangkan padanya. Dan sebaliknya ia menceritakan kegiatan
KAMIYogya.
42 Kuterangkan kepadanya bahwa 'Bagas ini' berniat hendak
melarikan Yapti dari Yogya dan oleh karenanya berhenti punya
niat kuliah di Sospol Gama. Sumi tercengang mendengarkan
ceritaku itu. Ia menggelengkan kepala karena hanya selama dua
hari saja cintaku trubus dengan suburnya. Dan akhirnya ia
meragukan kesetiaanku dalam bercinta.
"Kau pemuda pembosan, Bagas. Bagaimana kalau kau pun
kemudian merasa bosan mencintai Yapti, sedangkan dia sudah
terlanjur kaubawa lari?" tanyanya.
Dan pernyataannya itulah yang terngia ng kembali ditelinga ku
dalam terkapar di kamar penginapan. Aku
merenung?renungkannya. Dan akhirnya pertanyaan Sumi itu
menjadi pertanyaanku sendiri. Ya, hagaimanakah nanti kalau
Bagas ini tiba-tiba bosan terhadapnya? Alangkah sengsaranya
dia. Alangkah hancurnya hati Yapti, bila sempat melarikan diri
dan mengalami nasib sepertiyang dibayangkan Sumi.
Tapi haruskah kubiarkan dia dari rejaman kawin paksa?
Bukankah aku benar-benar mencintainya? Jatuh cinta padanya
yang sejatuh?jatuhnya?Jatuh cinta bukan karena ingin memiliki
dia yang banyak digilai pemuda, seperti yang kurasakan pada
waktu melamar Jendril Masa Prabakti Mahasiswa IKIP yang
bernama Narti! Bukankah aku rencintai Sumi karena ia seorang
penyanyi yang banyak dikagumi orang dan juara deklamasi di
kotaku dulu?
Aku tahu persis, Bagas ini selalu jatuh cinta pada seseorang
gadis karena sesuatu hal yang mendorongnya. Tapi pada Yapti,
apakah sebenarnya yang membuatku jatuh cinta? Aku tidak
tahu !Aku telah merasakannya sebelum aku tahu siapa namanya.
Dan aku tidak bisa menumpas perasaan yang tumbuh.
Kalau kupikirkan apa yang mungkin kualami bersama Yapti,


Biru Darah Gadisku Karya Darto Singo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hatikujadibergoya ngditima ngbimbang. Namun bila berhadapan
dengannya, sebulat hatiku iklas berbuat apa saja untuk
membahagiakannya.
Lalu kurasakan rindu yang mengharu kalbu. Dan kuingat
bahwa aku dan Yapti akan bertemu kembali esok pagi di rumah
Sri. Dan aku pun mulai sibuk membayangkan apa saja yang bakal
kuucapkan di depan Yaptibesokitu, bagaimana kira?kira ucapan
dan gerak-geriknya di depanku. Berulang-ulang aku
;; 5P 43
membayangkan adegan pertemuan nu dengan kerangka dialog
yang kususun sendiri, dan tak jarang berkali?kali kurubah dan
kuulangi lagi. Dalam keadaan begitu, aku seperti yang penuh
kuasa saja; kuasa membuat ia bertanya begini atau begitu sa mbil
tersenyum dan menatapku dengan sayu, atau menunduktersipu
malu-malu. Dalam keadaan hati dililit rindu dan benak
menciptakan fantasi, diriku dan diri Yapti tak lebih dari boneka
yang dengan semena-mena bisa kupermainkan. Namun
lamunanku pun bera khir, akhirnya.
Aku melangkah dengan gairah menuju pintu rumah Sri yang
tampak sepi. Dan sebelum aku sempat memijit tombol bel di
dekat kusen pintu, tiba-tiba daunnya mengembang. Kulihat Sri
berwajah suram menyilakan aku masuk.
Sri menggelengkan kepala dengan wajah memandang lantai
di bawah. Bagas teronggok sepi dengan hati tidak mengerti.
Kudengar suara Sri kemudian, "Yapti tidak bisa kemari lagi!"
katanya.
"Ha?" ucapku kaget sekali.
"Dia tidak ada di rumah !"
"Di mana?"
"Di rumah Eyangnya. Di Panembahan!"
Bagas menarik napas. Sejumlah gairah tiba-tiba musnah. Dan
tenaga seperti telah sirna. Dan dada seperti hanya berisi
degup-degupya ngmencemaskan saja. Bahkan ada ya ngmeronta
menuntut pembebasan lewat mata.
"Tidak ada telepon di sana. Dan Yapti tak mudah untuk ke
luar rumah."
Mati aku! Kataku dalam hati.
"Ada kemungkinanku untuk bertemu?"
"Sulit sekali! Ibunya sudah tahu kalian mengadakan
pertemuan disini. la dimarahi lagi. Semua ini kudengar dari bibi
pembantu rumahnya.Tadi aku dari sana."
Supaya kautahu, Bagas, Yapti sudah seperti burung dalam
sangkar! kata hatiku menambahkan. Dan seleret perih menyayat
di dadaku. "Aku hendak menemuinya nanti."
"Kenapa tidaktadi pagi?" tanyaku.
"Aku takut ibunya ada disana. Baru tadi pagi Yaptitinggal di
rumah eyangnya."
"Kita pergi berdua?" usulku.
;; 5P 45
"Jangan! Sebaiknya aku saja dulu. Yapti memang menyuruh
aku menemuinya nantisore. Dipesankan lewat pembantunya."
"Aku akan meneleponmu ke sini nanti. Jam berapa kau sudah
ada di rumah?'
"Menjelang Magrib!"
"Alangkah lamanya?"
Dalam hati aku mengulangi keluhanku lagi, "Alangkah
lamanya menunggu sampai menjelang magrib nanti!" Bagas ia di
gelisah dengan tiba-tiba. Pertemuan dengan Sritanpa senyuman,
tanpa canda dan tertawa. Dan sebaliknya duka yang belum pasti
telah menyendukan percakapan kami.
Kutinggalkan rumah Sri dengan tidaktahu ke mana aku harus
pergi. Ke ka mar penginapan lagi? Bosan! Lalu aku teringat Sumi;
dan dengan becak Bagasselamat sampai di sana.
"Mengapakah cintamu dan bunga?bunga wangi tiada lagi
berseri ...!" sambut Sumi seperti berdeklamasi. Dan ucapan itu
tak diselesaikannya karena aku menggelengkan kepala dengan
mengernyitkan kening, memejamkan mata dan mendesiskan
napas sebagai keluhan.
"Something wrong. dear?"
"Inginnya aku tidur. Heh!"
"Kalau mau di ubin, boleh-boleh saja!" katanya dengan bibir
cengar-cengir sebagaimana biasa kalau Sumisedang bergurau.
Aku benar-benar mematuhi ucapannya. Bagas menggelosor
dilantaiterasodanterlentangdengantelapaktanganmembantali
kepala ini.
"Bantal?" tegurnya sambil bertolak pinggang persis di atas
kepalaku.
Bagas mengangkat alis, lalu memejamkan mata. Kudengar
suara langkah Sumi menjauh. Ketika langkah itu kudengar
kembali, ku-dengar pula suaranya tertawa yang renyah
berderai-derai. Sambil tertawa dia berkata, "Patah hati
barangkali!"
Sumi melemparkan Bantal ke mukaku. Ia menarik kursi dan
mendekatkannya ke perutku. Selanjutnya ia duduk di kursi itu
memandangi mukaku dengan senyumnya yang tak kunjung
berakhir.
46 "Akan kukara ngsebuah lagu jenaka tentang seora ng pemburu
yang pingsan diterjang kijang yang luput dari bidikannya !"
"Nggaklucu!" kataku lirih tanpa selera bercanda.
Namun Sumi tetap tertawa menggodaku. Bibi muncul dan
tertegun di depan pintu.
"lho, kok...!" desisnya.
"Maaf ini, Bibi. Barangkali saya mau numpang mati!" kataku
sendu.
Sumi tertawa berderai-derai lagi. Menertawakanku. Bibinya
juga. Bibi duduk di kursi panjang yang merapat ke dinding. Dan
pada dinding itu digantungkan sehelai permadani bergambar
pohon korma, seekor onta dengan seorang penumpang di
punggungnya.
Seperti seekor kijang, Sumi menggelinjang dengan manis
berdiri menghadap bibi. Serunya," Semalam dia datang dan
mengaku sebagai Pranacitra, hendak melarikan seorang gadis
Yogya.. Ya, bagaimana dia bisa membawa lari gadisnya?
Sedangkan berdiri pun taksa nggup!"
Aku tersenyum. Sumi tertawa. Dan bibi tertawa serta
tersenyum-senyum juga.
"Boleh bibi dengar ceritanya?" ujar bibi dan aku hanya
menarik napasya ng kemudian kuhempaskan dengan keras.
"Teh, kopi, bir atau wiski, Gas?" Sumi menawariku minuman.
"Kupikir racun lebih cocok!" seruku dan mereka tertawa lagi.
Su mi menyepa kkan ka kinya ke ka kiku sa mbil menggelinja ng
dan kemudian hilangditelan pintu.
"Ada apa, Bagas?" Bibi bertanya.
"Saya hanya lemas, Bi!"
"Sebabnya?"tanyanya mengusut.
Sumi muncul membawa teh hangat. Ia jongkok di dekat
dadaku. Lalu meraih leherku, menegakkannya dan mendekatkan
bibir gelas ke bibirku. Aku meneguk minuman itu.
"Untung kau punya teman Sumi, Gas! Kalau tidak, barangkali
sudah mati di kamar penginapan."
"Huss...!" cegah bibi.
Aku duduk memeluk lutut. Kuceritakan apa yang baru saja
dialami Bagas ini. Sumi dan bibi mendengarkan dengan penuh
;; 5P 4?
perhatian. "Kawin paksa di sini sudah biasa, Bagas! Kalau
memang kalian berniat hendak lari; itu satu-satunya jalan
memang! Tapi perlu kalian pikirkan apa yang harus ditempuh
kemudian!" kata bibi.
"Dia ini 'kan pembosan, Bi!" ujar Sumi. "Yang kutakutkan,
bagaimana nasib si gadis itu nanti setelah berhasil dibawa lari
dan Bagas merasa bosan?"
"Itu tidak boleh terjadi!" ujar bibi. "Tindakan yang kutempuh
sekarang, harus merupakan rintisan hari depan kalian berdua.
Bukan sekedar memenuhi tuntutan hati sendiri, Bagas! Jangan
sampaisalah langkah lho! "
Kemudian aku pun pindah duduk di kursi. Dan bertiga dengan
mereka membicarakan hal-hal yang perlu kutempuh. Bibi
menyarankan agar aku berunding dulu dengan orang tuaku. Ta pi
saran Sumi lain lagi. Disuruhnya aku langsung membawa lari
Yapti, baru kemudian mengadukan persoalannya kepada orang
tua. Sumi percaya bahwa orang tuaku akan bisa mengambil
tindakan yang bijaksana. Sumi menyebutkan pepatah jawa,
"Anak polah Bapa kepmda " yang artinya setiap tindakan si
anak,]uga menjaditanggungjawaborangtuanya.
"Tapi yang terpenting ialah tekadmu sendiri, Bagas! kata bibi.
"Hari depanmu sesungguhnya ditentukan oleh hari-harimu
sekarang ini. Jangan harapkan hari depan yang gemilang bila
sekarang kau lakukan segala sesuatu nya dengan sembara ngan."
Serempak mata Sumi dan mata bibi lari ke arah pintu di
belakangku. Aku menoleh dan melihat Bambang berdiri di
ambang pintu, memperhatikan kami sejenak dan kemudian
mengedipkan mata melihat ba ntal tergolek di lantai.
"Ba ru saja, ada orang pingsan di sini," ujar Sumi tersenyu m.
Bambang tersenyum melirikku, lalu duduk di dekatku dan
bertanya apa aku sudah lama berada di rumah Sumi. Aku
menjawab dengan menganggukkan kepala.
Bibi dan Sumiterus mengajakku membicarakan perihal Yapti.
Aku tak suka kalau Bambang jadi mengetahui persoalanku, dan
akhirnya kutinggalkan rumah Sumi untukkembali ke penginapan.
Napsu makanku hilang meski perut menuntut diisi.
Dalam sepi, rindu dan duka yang sendu menyatu mengharu
kalbu. Bongkah-bongkah gundah meningkahi hati menjamahkan
k;". ":: _
48 rs. fs
:uu-i namun.? B:.lli Pusuk:
jari resahnya. Bagas pun merasa bahwa gelisah ini hanya bisa
dijinakkan dengan kedata ngan seseorang. Yapti! Tapi itulah yang
tak mungkin terjadi. Padahal inginnya gundah hati ini dibagi
berdua dengannya. Bila dia datang alangkah menyenangnya
saling menukar risau, memadukan kerinduan dan membagi isi
sanubari.
Ada niat untuk nekad mendatangi Yapti di rumah kakeknya.
Namun tak urung rasa takut pun datang bergulung. Takut
kalau-kalauYaptitidaksuka dengan caraku. Oh,oh, apakah yang
bisa kulakukan dan bisa menyenangkan hatimu, Yapti?Apa?Apa
Katakanlah! Bisikkanlah!
"Aku hanya ingin secepatnya kita mencarijalan untuk lari" ku
dengarsuara Yapti.
"Sekarang saja,Yapti! Mari kita laritinggalkan neraka ini!"
"Sudah tepatkah saatnya?"
"Kapan lagi? Kesempatan tak pernah datang untuk kedua
kali, bukan?"
Tapi mana kesempatan itu? tanyaku sendiri tersadar dari
pertemuan dan percakapan fantasi.
Tiba-tiba satu curiga datang ke benakku. Jangan-jangan Sri
dan Yaptisengaja bersandiwara, untuk mempermainkan diriku.
Aku melompat bangun, lari ke kantor penginapan dan
menunggu pesawat telepon selesai dipergunakan oleh salah
seorang pegawainya. Kuputar nomer telepon rumah Yapti.
Denging-d engingya ng panja ng menyusu p ke telinga ku. Kutunggu
dan kusebutkan nomor telepon yang kutuju, takut kalau-kalau
salah sambung, lalu mengatukan bahwa bagasini ingin bertemu
denga n Ya pti.
"Oh, dia tidak ada di rumah. Ada pesan?" tanya perempuan
yang bersuara lembut dari sebera ng.
"Tidak ada, Ta nte. Cuma tolong saja sampaikan bahwa Bagas
telah meneleponnya."
"Oh, ini Bagas?"
"tya,Tante!"
"'l'idak ada pesan lainnya?"
"Tidak, Tante. Terima kasih!"
"Kembali ...!"
;; 5P 49
Dan pembicaraan lewat telepon pun terhenti karena
hubungan diputuskan sudah.
Kuputar nomer telepon rumah Sri. Suara perempuan di
seberang mengaku sebagai ibunya dan mengatakan Sri sedang
pergi ke ru mah temannya. Ditanya kannya sia pa aku.
"Bagas,Tante. Sahabatnya!"
"Tadisudah ke sini kan, NakBagas?"
"Benar, Tante."
"Sri ke rumah Yapti. Sudahtahu,to?"
"Sudah, Tante. Baiklah nanti saya ke sini saja. Sebenarnya
saya janji menjelang magrib. Tapi
"Tapitidaksabar?"
"Ya, begitulah kira-kira,Tante. Sudah,Tante.Terima kasih ...!"
"Sama?sama ...!
Aku tercenung. Bingung menggulung dadaku. Apa yang harus
kukerjakan menunggu sampai magrib menjelang? Perutku
melilit?lilit. Tapi makan tak mau sama sekali. Aku kembali ke
kamar. Tapi alangkah membosankannya kamar penginapan ini.
Sepi! Dan dari sepi tumbuh segalanya yang tak menentu di hati.
Ada yang kubutuhkan; seseorang ya ng bisa menghiburku. Siapa?
Aku berlari lagi ke kantor penginapan. Kutelepon Sumi.
"Bambang sudah pergi 'kan? Usir saja! Aku butuh kau, Sum.
Data nglah ! Aku ingin menangis. Data nglah !"
"Jangan tolol, disini semua orang tahu siapa Sumi.Apa akan
dikatakan orang kalau kita berdua-dua dalam kamar penginapan,
he?"
"Entah apa, aku ingin bermanja?manja. Bukan dimaki-maki,
Sumi Aku seperti bocah saja sekarang ini. Aku pingin dipeluk
orang yang tak kubenci. Aku ingin ada tangan yang bisa
meninabobokanku. Aku ingin kau yang melakukannya. Aku tahu
sia pa ka u, itu soalnya."
"Jangan dungu, Bagas! Jangan cengeng begitu. Datang
sajalah. Kau boleh tiduran di kursi panjang di payilyun. Datang
saja. Tapi jangan memanggilku ke tempatmu."
"Aku tidak mau!"
Karena kesal dan tiba-tiba saja melintas keinginan
memutuskan pembicaraan, gagang telepon kutaruh pada
tempatnya dengan cepat.
50 Kutinggalkankantorpenginapanuntukrebahbergelimpangan
dalam kamar. Tak ada sesuatu yang menarik lagi di dunia ini
bagiku. Semuanya serba memuakkan. Kupejamkan mata agar
apa pun tak mampu kulihat. Namun justru dalam kehitaman
yang membentang di depan mataku kulihat wajah Yapti
menyembul. Kian lama kian jelas. Dan kulihat ia sedang duduk
menekurkan kepala. Senyumnya hilang entah ke mana. Dan


Biru Darah Gadisku Karya Darto Singo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wajahnya beru rai air mata.
"Kau masih bahagia bisa menangis, Yapti. Tapi aku tidak!
Terlalu bahagia bagiku untuk bisa menitikkan air mata. Sungguh!
Sungguh, Ya pti! "
Kudengar Suara langkah yang tergesa mendekati kamarku
yang terbuka.
"Cengengmu! "
Aku menoleh ke pintu. Sumi berdiri bertolak pinggang dan
menggelengkan kepala. Aku melompat bangun. Aku hendak
menariknya.Tapi Sumi mengelak. Ia tersenyum memandangku.
Tiba-tiba saja wajahnya yang mula-mula keras menegang
berubah lembut dan berseri?seri kemudian. Dengan lembut ia
berkata, "Sisir rambutmu, kutunggu di depan. Kita pergi ke
rumah bibisaja!"
Bahagia sekali hatiku mendengarnya. Dan tiba-tiba saja air
mengembun di mataku. Ingin sekali aku memeluk Sumi. Peluk
yang bebas dari napsu birahi.
"Aduh, aduh ...! Cengengmu, Gas! Hapus air matamu!"
katanya.
Aku mengunci pintu kamar, melangkah sambil menyisiri
rambut. Kutinggalkan kunci di kantor penginapan. Dan kulihat
mata-mata yang ada di sana mengedip-edip heran
memperhatikanku dan Sumi.
"Ja di kau sudah sering muncul di depan umum rupanya ?"
"Kenapa?"
"Kulihat orang-ora ng kagum dan seperti telah mengenalmu."
"Aku termasuk seorang penya nyi yang terbaik di sini, tahu?"
Aku mencibirkan bibir.
"Dan paling laris lagi!"
Aku mencibir kembali.
Dengan l..l'espa miliknya kubonceng Sumi meninggalkan
halaman depan penginapanku.
"Jangan ugal-ugalan, Gas! Kalau nabrak atau jatuh, penyanyi
terkenal diYogya ini bisa mati,tahu?"
Tapi Bagas ini tidak peduli. Jalanan kota Yogya amat sepi
bagiku. Dan sudah barang tentu amatleluasa untukmengendarai
motor sekencang yang kuinginkan.
"Kau benar-benargila, apa?" ujarnya cemas. "Hati-hati, Gas!"
Akhirnya kami sampai dengan selamat.
Di ruang ta mu bibi sedang berca kap-ca kap dengan tamunya.
Sumi mengantarku ke ruang depan payilyunnya. Aku rebah di
sofa. Sumi duduk menghadapi piano, sambil berkata bahwa
nanti malam akan diadakan latihan.
"Sebagai penyanyi, sebaiknya kau jangan berpacaran! Bisa
mengurangi penggemar!"
"Ba mbang bu kan pa carku, tolol ! Cuma teman biasa."
Sumi mendengungkan suara pianonya keras?keras, lalu
berubah lembut dan ia menyanyikan lagu "ALDILLA". ltulah lagu
kenangan kami dulu.Tiba-tiba aku ingin memeluknya, mencium
dan ah , bahkan aku ingin memasukkan dirinya ke dalam
dadaku ini. Perasaan duka sepertitelah sirna darijiwa meskipun
aku teta p teringat Yapti.
Sumi benar-benar menghiburku dan membuatku mampu
melupakan kesenduan yang merisaukan. Beberapa buah lagu
telah dinyanyikannya dengan suara cukup keras. Ia bergaya
seperti di atas pentas. Taksedikit pun ia tampak canggung hanya
karena bekas kekasihnya ini rebah dan terus memandanginya.
Sumi menyanyikan lagu ciptaannya sendiri yang berbau jazz
tanpa iringan musik dan ia berjalan santai mengelilingi ruangan,
seperti dalam show saja. Suaranya melulur dengan halus
bergelombang, seperti meluncur dengan sendirinya dan bukan
karena dipaksa atau dibuat?buat. Dengan demikian lagu yang
dibawakannya menonjol, dan utuh.
Aku merasa terlibat dalam nada lagunya yang
menyentuh-nyentuh, mengalirkan syair manis yang mudah
ditangkap artinya. Kesanku, Sumi akin bisa menjadi penyanyi
yang baik dan berhasil! Pendengarnya tidak dipaksa
mendengarkan suaranya yang betapa pun merdunya. Tetapi
52 benar-benar diajak menikmati sebuah lagu. Inilah yang
membuatku yakin betul bahwa Sumi berbeda dengan
penyanyi-penyanyi lain, yang lebih condong memamerkan
suaranya yang dianggap hebat, sehingga maksudnya
menya mpaikan sebuah lagu gagal.
"Kalau kau hendak mengarang lagu lagi, karanglah sebuah
lagu tentang gadis berdarah biru. Kau tentunya mengerti nasib
gadis-gadisdari kalangan ningrat. Kau bisa ungkapkan deritanya."
"Kurang uniyersal!" sanggahnya. "Aku ingin mengarang
sebuah lagu yang bisa dinikmati oleh semua orang, di mana dan
dalam suasana yang bagaimanapun juga. Satu-satunya tema
yang baik ialah menggambarkan keindahan alam dari Indonesia
yang permai. Tapi keinginan itu tetap tinggal sebagai keinginan.
Nyatanya lagu yang kukarang bertema cinta, duka, bahagia,
ataupun rindu. Untuk bisa mengarang lagu dengan baik, aku
butuh belajar banyak lagi!"
"Kau memiliki pembawaan yang senantiasa menarik bagi
mata yang melihatnya, Sumi. Ini menguntungkan sekali untuk
seorang penya nyi!"
Sumi tersenyum. Bibirnya nyengir seperti mulut bajing.
Katanya, "Aku kan 'kmfung usus'waktu lahir! Tentu saja amat
sangat memikat!"
"Huh ...! Lagakmu! Bukan kalung usus, tapi rantai. Dan di
pinggang!"
"Edaann ...! Ka usamakan aku dengan monyet, apa ?" pekiknya
sambil melompat mendekatiku dan memukul-mukul dadaku
dengan pukulan yang lembut. Aku menangkap tangannya.
Kutatap mata nya.
"Kalau aku gagal melarikan Yapti, maukah kau mengobati
hatiku yang tentu terluka nanti?"
"Caranya? Dengan berpacaran?" tanyanya, dan sebelum aku
sempat menjawab, ia menggelengkan kepalanya.
"Kau ini laki?laki cengeng rupanya, ya? Pemuda bernyali kecil!
Atau kau merasa ragu-ragu untuk melarikan Yapti? Masa,
belum-belum sudah menyerah, keta kuta n, dan nglokro begini!?
Padahal dulu kau seperti batu karang yang teguh, yang tidak
pernah ta kut men dapat ancaman atau kesulitan apa pun. Semua
murid segan dan takut sama Pak Marto, tapi kau dengan
mbelingnya memperlakukan dia seperti teman sekelasmu saja.
Mana sisa-sisa sitatmu yang dulu mengagumkan itu? Mana?"
"Persoalannya bukan aku yang berubah. Bukan aku yang
ketakutan!"kataku berbohong."Yaptiragu-ragu untukmelarikan
diri! Padahal, mana mungkin tanpa minggat dari sini aku dan dia
bisa bercinta? Buktinya sekarang dia dipenjarakan. Tak boleh
keluar dari rumah!"
Dan Sumi melompat bangun dari duduknya yang merapat ke
pinggangku, manakala pembantunya mengatakan ada tamu di
depan. Dengan bergegas Sumi meninggalkan Bagas ini, yang
tergeletak sepi berseora ng diri.
Agaklama kemudian ia baru muncul kembali. Aku tidak ingin
mengerti siapa tamu Sumi. Ia tersenyum-senyum sambil
memukul-mu kulkan amplop panjang ke dagunya.
"Kau tidak bertanya siapa tamuku?" tanyanya dan kujawab
dengan gelengan kepala.
"Duwit!" serunya sa mbil menjatuhkan amplop ke dadaku.
Kuraih isi amplop; selembar kwitansi, dua lembar uang
sepuluh rupiah danselembarlagilima rupiah. Semua uang baru,
yang berarti sama nilainya dengan dua puluh lima ribu rupiah
uang lama.
"Aku minta kau yang mengantar aku pada malam Kamis,
minggu depan."
Aku diam memandang matanya. Sumi menceritakan bahwa
malam Kamis minggu depan itu ia akan menyanyi pada resepsi
perkawinan diiringi band yang sudah terkenal di kotanya,.
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa tamunya akan datang lagi
hari Ra bu melunasi hon or yang dimintanya.
"Berapa kauminta tadi?"
"Tidak banyak. Cuma seratus perak kok! Itu pun akan
kusisihkan sebagian untuk memberi kado si pengantin."
"Seratus pera k?"
"Ya, ini kan acara pesta. Kalau untuk maksud-maksud
komersial, tiga kali lipat lebih."
"Kauantarkan aku nanti,ya?"sambungnya.Aku mengangguk
saja. Kucium uang baru yang belum pernah dilipat.
"Kautahu kenapa uang lama terpaksa diganti dengan uang
ini'!" tanyaku dan dia menggelengkan kepala.
54 "Kok nggak ngerti?" cibirku. "Sebabnya, menurutperhitungan
pemerintah, sebagian besar uang lama berada ditangan musuh
kita. Itulah sebabnya buru-buru diadakan pemotongan nilai
uang!"
"Kantongisaja," ujarnya, "kita pergi yuk! Aku perlu beli bahan
baju!"
Sumi menghilang dari sisiku. Aku menghabiskan es yang
gelasnya berembun. Kusisir rambut tanpa mengaca. Sumi
muncul dan ia mengajak naik becak saja. Alasannya, takut mati
karena aku mengendarai motor dengan gila.
"Lebih baik kita urungkan saja daripada naik becak!" aku
bertahan.
"Asal jangan kencang-kencang saja ! Janji?"
"Aku janji, deh !" kataku mengangguk.
Di Malioboro aku dan Sumi keluar?masuktoko. Perutku lapar
sekali dan aku berniat hendak mengisinya. Namun Sumi belum
juga berhasil mendapatkan bahan pakaian yang diinginkan. Aku
risi menjadi pusat perhatian banyak orang. Hampir setiap mata
memperhatikan Sumi dan Bagas ini. Alangkah repotnya berada
di tempat ramai dengan orang terkenal seperti Sumi ini, pikirku.
Aku menggerutu setiap kali Sumi terpaksa berhenti
bercakap-ca kap karena seseorangmenegurnya dan mengajaknya
berbica ra.Ternyata taksemua mereka telah dikenalsebelumnya.
Waktu kami keluar dari sebuah toko, serombongan pemuda
berpapasan. Seperti paduan suara, serempak mereka menegur
Sumi dengan, "Selamatsore, Mimi!"
"Soree ...!" sahut Sumitersenyum kepada mereka.
Aku tersenyum kepadanya.
"Kenapa ?" ta nyanya.
"Jadilah kau bintang film atau tetap sebagai penyanyi. Pasti
sukses!"
Dan duduk di restoran pun aku merasa tidak aman. Semua
mata diarahkan kepada kami. Bara ngkali mereka bertanya-tanya
dalam hati, siapa kah pemuda yang menemani penyanyi itu!
Tiga potong bahan pakaian dimasukkan Sumi ke dalam tas
plastik. Sebuah bungkusan kecil diulurkan padaku.
"Dasi! Untuk bunuh diri nanti kalau kaugagal membawa lari
Ya pti!" kata nya mengejek.
"Inikah caramu menyembuhkan hatiku yang luka nanti?"
la mengangguk dan tertawa. Aku mema ki sa mbil tersenyum.
Kularikan Vespanya ke arah selatan dengan kencang,
meninggalkan air mancur ke arah alun?alun, lalu membelok ke
kiri dan akhirnya menyusuri Jalan Yudonegaran.
"Ke mana?" tanya nya tak mengerti.
"Entahlah!Tenang-tenang saja!"
"Jangan kaularikan aku, lho!"
"Kalaupun kularikan kau, itu hanya karena mencari tempat
sepi untuk bisa aman membunuhmu. Bukan untuk kujadikan
istri, tolol!" Sumi tertawa. Dan aku menjerit ketika punggungku
digigit. Sumi keheranan ketika aku membelokkan vespa ke
rumah Sri.
Ibu Sri membu ka pintu meskipun aku belum mengetu knya. la
tersenyumdan menyilakan kami masuk. Kepada Sumi ia bertanya
kapan akan muncul lagi di layar TV. Sumi tersenyum ceria dan
menjawab, "Insya Allah, akhir bulan ini, Ta nte!"
Sri muncul. la tertegun sesaat di amba ng pintu penghubung.
"Kok kenal? Ini Mbak Mimi 'kan?" uja rnya.
"Di sini namanya memang Mimi. Sebenarnya namanya
Sumiyem!" gurauku disambut tertawa mereka. Sumi mengajak
bersalaman Sri. Sikapnya sungguh menyenangkan. Kutangkap
kesan kagum menghambur dari mata nyonya dan nona rumah.
"Sudah sering ke sini, Bagas, Tante?"
"Sering! Sering sekali. Tadi pagi datang, siang menelepon,
sekarang datang lagi."
"Usir saja,Tante!" ujar Sumi disambuttertawa. "Hati-hati lho,
Dik, kalau punya tamu dial" sambungnya dan ditujukan kepada
Sri. Sri tersenyu m-senyum saja.
"Kok sudah kenal sama Bagas, Mbak?"
"Kenal saja! Teman sekelaswaktu es em a dulu."
"Dia jadi penyanyi 'kan aku yang suruh!" kataku, dan Sumi
memukul lenganku kerassekali. Kami berempat tertawa.
"Kalau dulu kusuruh jadi pencopet, pasti deh jadi pencopet
juga!" "Edaan ..!" pekik Sumi sambil mendorong badanku agar
menjauh.
56 "Ini kan bekas "herder"saya, Dik Sri!" kata Sumi dan cepat
kusambung dengan, "Ini bekas 'monyer'saya !"
Kami tertawa lagi. Bagas lupa menanyakan tentang Yapti.
Tapi Sri tahu apa yang harus diperbuatnya. la bangkit dan
melangkah masuk ke dalam untuk muncul kembali dengan
selembar kertas terlipat ra pi di tangannya.
"Disuruhnya aku membelikan amplop tadi. Tapitaksempat!"
kata Sri mengulurkan surat untukku.
Kubuka lipatan kertas itu dan kubentangkan halaman yang
berisi tulisan tangan Yapti. Dadaku berdebar-debar, dan kertas
itu gemetar, karena jari?jari Bagas ini menggeletar.
Kumasukkan kertas itu ke dalam ka ntong baju setelah kulipat
kembali kemudian, namun tangan Sumi berhasil merebutnya.
"Aku kan harustahu juga isinya!" katanya sambil membaca.
"Apa yang dikata kan Yapti, Gas?" ta nya ibu Sri.
"Tidak apa-apa, Tante. Cuma bilang sedih, bingung kangen
saja."
"Apa pesanmu, biar aku yang menyampaikan nanti!" kata
Sumi tiba-tiba sa mbil mengembalikan suratYapti padaku.
"Nanti bisa berubah artinya kalau kau yang menyampaikan!"
kataku.
"Tulis surat saja. Sini aku yang antar. Orang di rumahnya tak
percaya kalau aku menjadi dutamu. Mereka tidak menduga
kalau kau bekas 'herderku'. Dengan demikian tidak akan ada
kecurigaan. Tapi kalau Dik Sri, mereka sudah curiga 'kan?"
ta nya nya pada Sri.
Sri menganggukkan kepala.
"Sebenarnya aku mau menolong, tapi yah apa dayaku
sekarang? Ibunya marah padaku, Eyangnya juga!"


Biru Darah Gadisku Karya Darto Singo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sekarang, peranan Sri biarkuganti. Pasti aman nanti!"
"Kupikir memang betul, Mbak! Tidak ada yang menyangka
kalau Mbak Mimisudah kenal baiksa ma Bagas.Aku sendiri kaget
tadi lho!" ujar Sri.
"Saya sendiri kenal baik dengan ibu Yapti. Tapi mungkin
sekarang ia mengira aku turut terlibat dalam persoalan anaknya
dan Bagas ini," kata ibu Sri. "Dengan eyangnya aku juga kenal
baik. Kalau aku ke sana, apa tidak dicu rigai, Sri?"
"Pasti dicurigai, Bu! Jangan ke sana saja. Nanti malah
hubungannya menjadijelek."
"Sebaiknya," nte memangjangan ke sana," ujarku. Dan Sumi
mendukungku.
"Dia, Tante," sambung Sumi ditujukan kepada ibu Sri, "dari
dulu maunya menang, berhasil, tanpa kesulitan apa-apa.
Sekarang baru merasakan. Dulu banyak gadis yang sengaja
hendakmemikatnya,tapisekarangterjungkir.|nikan pembalasan
yang tidak langsung; kau mencintai gadis pingitan yang akan
dijadikan istri orang. Kau mau rebut? Kelak istrimu ada yang
merebutnya juga. Percayalah !"
"Itu kan dalam nyanyian!" kataku memancing tertawa.
Kamiterus bergurau hingga Sri tersadar belum memberi kami
minuman. Tapi niatnya kucegah dengan mengatakan bahwa
kami baru saja jajan.Tak lama kemudian kekasih Sri datang. Dan
tak lama sesudah itu, kami permisi pulang.
Dalam perjalanan menuju ke rumahnya, Sumi mengajukan
beberapa usul yang tampaknya baik untuk dilaksanakan. Setelah
Sri dimarahi ibu Yapti, aku merasa kehilangan jembatan. Dan
peran Sri memang kemungkinan besar bisa diganti oleh Sumi.
Bahkan seperti tidak ada jalan lain lagi bagiku untuk bisa
berhubungan dengan Yapti kecuali menerima tawaran jasa Su mi.
Yaptisendirimerasa bingung. Dalam suratnya ia merasa kasihan
pada Sri karena bisa jadi Sri dituntut untuk bertanggung jawab
bila kami telah berhasil melarikan diri nanti.
Sebenarnya aku merasa sedikit aneh! Sri dan Yapti tampak
seperti main-main saja. Tiba-tiba saja Sri merasa kewalahan
untuk menjadi jembatan kami. Dan seperti tiba?tiba pula Yapti
merasa kasihan pada Sri. Benarkah semuanya ini bukan
disengaja?
Akhirnya kuterima usul Sumi. Di rumahnya kutulissuratuntuk
Yapti. Sumi pergi untuk mengantarkannya,setelah terlebih dulu
mengantarkanku ke penginapan.
Malam hari kuterima telepon dari Sumi. Dengan gembira ia
mengatakan bahwa dirinya berhasil berjumpa dengan Yapti.
Yaptitampak heran dantidakpercaya.Akhirnya ia merasa sangat
berterima kasih pada Sumi, katanya. Suratku sampai dengan
58 selamat. Tapi Yapti berjanji akan membacanya sendirian saja.
Balasannya, akan diambil Sumi esok pagi.
Lewat telepon aku berjanji akan datang ke rumah Sumi pagi
harL Kembali Bagas terkapar sepi dalam kamar. Berseorang diri
aku membayangkan pertemuan dengan Yapti. Dan
bersembulanlah kerangka-kera ngka percakapan yang segalanya
kureka-reka sendiri.
9 .. 33% Genap empat hari lamanya aku tak sempat melihat Yapti,
meski hanya sesaat. Hari pertama testing masuk Sospol Gama
diadakan,Yaptitidak kelihatan. Dan Bagas segera merasa, tidak
ada lagigunanya kuliah diYogya. Sesuatu pasti telah terjadi atas
diri Yapti; dan awal kepatahan nyata kurasakan dalam dada. Di
kota Yogya aku akan tersiksa selama-lamanya. Bayangan kecewa
akan terus membuntutiku pasti, karena gagal menjalin cinta
dengan Yapti.
Kukatakan pada Sri bahwa Bagas tidak hendak mengikuti
ujian saringan yang diadakan. Kutinggalkan Kampus Pagelaran
dengan satu tekad hendak men emui Yapti.
Bagas melangkah memasuki pekarangan luas yang
mengelilingi bangunan rumah kunoyang dikenal dengan nama
joglo '. Beberapa batang bambu tegak berjajar-jajar di halaman.
Di pucuknya menggantung tenang sangkar burung perkutut. Di
halaman camping bangunan yang disebut 'pendopo' mataku
melihat beberapa buah kurungan jago. Tampak seekor ayam
jago yang berbulu merah campur hijau, mengepakkan sayapnya
yang basah dan berkokok dengan suara yang melengking
panjang. Namun Yapti yang kucari tidak kelihatan. Kiranya ia
tidak berada di sana menurut pengakuan seorang perempuan
tua yang tergopoh sa ntun menemuiku.
"DiTimuran?" tanyaku mencoba menjamahkan ramah.
"Ya,ya, disana!" sahutnya dan entah apa ia kelihatan sedikit
gugup.
Kutinggalkan rumah adat Yogya itu dengan harapan bisa
menemui Yapti di rumah ibunya. Kurasakan luka di dada kian
nyata mengguritkan pedih.
Aku mendoa agar Tuhan mempertemukanku dengan Yapti,
sebelum kuketuk daun pintu bercat hijau yang terkatup di depan
tegakku. Beberapa detik Bagas menunggu dengan hati tak
menentu. Kuharap Yapti akan muncul membukakan pintu
&". ":: _
...-.. rs. fs
:uu-i namun.? B:.lli Pusuk:
untukku. Dan daun pintu pun mengembang. Seorang perempuan
setengah baya berdiri mengamati Bagas ini dari ujung rambut
sampai ke kaki. Tentulah ini perempuan yang memiliki anak
bungsu bernama Yapti, pikirku. Dan dengan lembut dan santun
aku menganggukkan kepala, mengemukakan apa yang menjadi
maksud kunjunganku.
"Dia tidak di sini kok!" sahutnya ketus, lebih tepat disebut
membantah daripada menjawab pertanyaan yang kuajukan.
Dan sebelum Bagas ini meminta diri, daun pintu itu
dikatupkannya kembali. Pedih hatiku tak terperi. "Tuhan!"
ucapku dalam batin. Lihatlahsiksa ini! Duh! Duh!
Kutinggalkan pintu rumah Yapti dengan bungkah?bungkah
gundah pecah berderai di dada ini. Mataku panas dan perih
rasanya. Sendu memburu dalam kalbu. Namun bibir seperti
terjahit sudah; gera k?gerak kecil menyentil-nyentil sudut mulut
tanpa mampu kutekan.
Tuhan, bukankah Pranacitra sempat melarikan Roro Mendut
yang dicintainya walaupun akhirnya mati? Bukankah Ki Ageng
Mangir sempat memperistri dan membuntingi anak Senapati
sebelum ia mati dibunuh kemudian? Tetapi kenapa tak Kau
berikan kesempatan kepadaku untuk mencicipi kemenangan
bersama Yapti kendati mati harus kutemui nanti?
Bumi yang kuinjak seperti bergoyang-goyang miring;
tersaruk-saruk sepatu di kaki. Tak kuhiraukan tukang becak
menawarkan jasanya. Dan udara seperti bercampur racun yang
menyesakkan paru?paru di dadaku. Duh, duh perihnya hati di
dalam. Pedih dan pilu!
Akhirnya dengan sebuah becak aku bisa selamat tiba di
penginapan. Sepanjang perjalanan, Bagas teronggok dengan
seluruh bobot badan menekan jok; menyandarkan punggung
dan memejamkan mata. Tanpa daya dan tanpa tenaga. Dan
sepanjang jalan tak henti hati ini bertanya-tanya, inikah murid
ternakal yang digelari Raja Mbeling oleh gurunya? Inikah Bagas
yang oleh teman-teman dijuluki pemburu?
Ibaratseora ng pembu ru, sungguh aku pemburu yang bodoh,
yang menembak anak banteng sebelum menyingkirkannya dari
induknya! Dan inilah satu peristiwa duka yang baru sekali
kualami.
Tiba di kamar penginapan aku terkapar sepi seorang diri.
Kukunci pintu dan ingin menangis sekeras-kerasnya, berteriak
jejeritan. Namun aku tak sanggup. Keinginanku menumpahkan
air mata hingga tuntas, tak mampu karena kering sudah air duka
diserap hatiku yang lebur dihancurkan rasa sakit yang melangit.
Tak kutahu pasti berapa lama sudah Bagas ini terkapar sepi
seorangdiri dan menangis dalam hati.Aku bangkitdan melangkah
membuka pintu yang diketuk orang. Duka merambat dari dada
menyalib mata demi kulihat seorang gadis berdiri di depanku
menghempas-hempaskan sinar matanya yang penuh cemas,
dan bibirnya terbuka tanpa sengaja. Dan Bagas yang lunglai ini,
tiba-tiba saja memiliki kekuatan untuk melompat memelukgadis
itu seperti memeluk ibuku. Buat pertama kali aku menitikkan air
mata, dan isak mendupak dagu hingga terd ongak-dongak.
"Bagas...!"
Lirih sekali suaranya kudengar menyebutkan namaku, sa mbil
menepuk-nepukkan telapak ta ngannya ke punggungku.
Ia mengajakku duduk di depan kamar. Malu menyapu kalbu
waktu aku tersadar. Aku telah memeluknya. Apakah hakku
berbuat demikian?Tapi aku memang merasa memilikinya, sebab
ia datang seperti juru selamat yang hendak mendengarkan dan
menyembuhkan dukaku.
Kami duduk berhadapan. Aku tak berkata apa-apa. Dan dia
diam saja. Sekali-sekali mata kamibertemu. Dan aku bertambah
malu ketika kutangkap ejekan membias di wajah dan matanya.
Aku tersenyu m. Dia tersenyu m.
"Aku ketemu Yapti!" katanya membuka pembicaraan. "Dia
melihatmu berjalan gontai, setelah diusir ibunya !"
"Oh ya?" seruku dan aku gembira suaraku terdengar biasa.
"Yapti pun sedih!" Ia merasa menjadisumber nestapamu! "Dan
aku jadi bia ng kemalangan dan sengsaranya !"
"Percayalah, dia merasa luluh karena kehancuranmu. Dia pun
merasa pilu karena kesedihanmu. Dan dia mengerti tekadmu,
yang mundur menjajari nasibnya; tidak bisa mengikuti testing!"
"Aku merasa,Yogya akan berubah jadi neraka bila aku kuliah
disini!"
"Kau belum menyerah bukan, Bagas?" tanyanya. Aku
menggeleng.
62 Bagas memang belum menyerah untuk berjuang merebut
Yapti.Tapi aku merasa duka yang menimpa pertanda kegagalan
yang akan tiba. Dan ini hampir membu atku putus asa.
"Kau masih punya hara pan, Gas! Tekad Yapti sudah bulat dan
pasti untuk lari bersamamu sekarang!"
"Apa yang dikatakannya tadi?"
"Ketika mengerti kau datang, Yaptipercaya kau mengajaklari
bukan sekedar basa-basi. Apalagi kau sengaja meninggalkan
kampus di mana testing diadakan. Ia tahu Yogya ini nerakamu
dan nerakanya juga."
"Kenapa dia tidak berusaha menemuiku tadi? Di mana dia?"
"Dia melihat kau di pinggir jalan. Dan waktu ia lari, ibu
menahannya. Yapti merasa bisa lari dengan cara
sembunyi-sembunyi.ltulah sebabnyatidakhendakmenunjukkan
perlawanan kasar lagi."
Aku merenung memikirkan ucapannya. Kutemukan satu
kebenaran yang sudah seharusnya kuyakini. Keraguanku
terhadap Yapti disebabkan keraguannya untuk lari, mendadak
lenyap. Aku merasa gembira. Kutatap mata gadis yang seperti
juru selamat untuk memberiku kehidupan baru. Harapan baru
memang berkembang kemudian dari kejatuhanku yang
hampir-hampir ma mpu membuatku putus asa.
"Mau minum apa kau, Sumi?" kataku.
"Kau mau es?"tanyanya dan aku mengangguk.
Su mi bangkit dan bergegas melangkah ke kafetaria.
"Kenapa kau begini ra puh seka rang, Bagas?"tanyanya setelah
duduk kembali.
Aku menggelengkan kepala. Ya, sesungguhnya aku memang
tidak tahu kenapa tiba-tiba seperti anak manja dan cengeng
yang merasa buntu menghadapi kesulitan.
"UntungYapti tidak tahu hal ini!"
"Ha?"
"Sejaksemula Yapti memperoleh kesan bahwa kau pemuda
yang tidak pernah ragu, dan selalu berbuat segala sesuatu
dengan penuh keberanian dan keyakinan. Baru tadi itu
dikatakannya padaku. Kuharap kau akan bisa menunjukkan
kesan yang demikian di depannya kelak."
;; 5P 63
Aku mengangguk-anggukkan kepala dan tersenyum
memandangnya. Ada dua kemungkinan dari ucapan Sumi itu.
Pertama, bisa jadi Yapti benar-benar mengatakannya. Kedua,
mungkin saja hanyalah maksud Sumi untuk menopang diriku
agar berbuat segala sesuatu seperti yang dikehendakinya itu.
"Ceritakanlah apa saja yang kaulakukan tadi!" ujarku
kemudian. Sumi tersenyum ceria memandangku.
"Selesai testing Sri akan menemui Yapti. Pura?pura
menanyakan kenapa tidak mengikuti ujian saringan. Tapi
sesungguhnya Yapti akan menitipkan pesan untukmu. Pesan
penting yang mudah-mudahan menjadititik loncat menuju hari
depan kalian berdua."
Sumi pulang tak lama kemudian, karena ada orang yang
berjanji mau datang ke rumahnya. Kuantar dia hingga Vespanya
melesat meninggalkan halaman penginapan.
Perasaan sendu dan rawan hanya tinggal sisanya saja di
sanubariku. Sambil rebah di atas kasur menunggu telepon dari
Sri, aku membaca surat Yapti yang dititipkan Sumi pada
kedatangannya yang kedua di pagi hari. Isi keseluruhan suratnya
masih tentang rindu, jahatnya feodalisme, dan keraguannya
untuk melarikan diri bersamaku.
" Aku ingin bisa kuliah tanpa gangguan, Bagas. Dan aku
tahu kuliah di Jakarta lebih mahal biayanya. Aku tak hendak
memberatkanmu dan tak mau menjadi bebanmu. Dan
bagaimana nanti seandainya kakakmu menolak kehadiranku?
Tentang diri Sumi, ia menulis, " Tak kusangka kalau Sumi
bekas kekasihmu, Bagas. Sebab mula-mula ia datang dan
mengemukakantujuannya padaku,akusama sekalitidakpercaya
bahwa kau mengenal penya nyi yangtenar di kota ini. Kenapa tak
pernah kausebutkan itu, Bagas?MbakMimiyang menyenangkan
itu akhirnya benar-benar merebut seluruh simpatiku. Kami
mengobrol dengan intim. Dan banyak sekali kehebatanmu yang
dicerita kannya kemudian. Juga sekelumittentang kisah cintamu
dulu. Aku jadi ingin mendengar sendiri kisah lamamu itu, Bagas
"Masa lalu yang sudah menjadi kenangan memang bukan
milik yang harus disembunyikan, Yapti! Dan kau berhak
mengetahui semuanya itu!" bisikku dalam tercenung
membayangkan wajahnya, senyumnya, tatapan matanya, dan
semua dari dirinya.
Aku melipat surat dengan cepat ketika pelayan mengatakan
ada telepon menungguku di kantor penginapan.
"Sri?"
"Ya, Gas! Dan senyumlah, karena besok pagi kau akan bisa lari
dariYogya ini."


Biru Darah Gadisku Karya Darto Singo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar?" ta nyaku terharu karena gembira sekali.
"Tentu saja benar! Ka rena itu, kalau anakmu kelakperempuan,
berilah nama seperti namaku."
"Sungguh, aku berjanji! Aku berjanji Sri! Tapi bagaimana
rencana Yapti esok pagi itu?"
"Datanglah ke rumahku. Telepon Mbak Mimi. Panggil dia
supaya datangjuga. Kupikir, bantuannya kaubutuhkanjuga!"
Dan setelah menyudahi pembicaraan dengan Sri, aku segera
memutar nomer telepon di rumah Sumi. Kukatakan aku butuh
bertemu dengan dia di rumah Sri nanti. Ku minta ia datangsekitar
jam empat sore. Dan Sumi berja nji mau datang.
"Mas kenal dengan Mimi? Kenal dekatsekali?" tegur pegawai
yang duduk di dekat meja telepon.
"Kenapa? Kenal baik! Bukan dekat lagi!"
"Hebatdia!" pujinya.
"Aku hebat, nggak?"
"Hebatjuga,sih !"sahutnya nyengir dan akutahu ia berbohong
padaku.
Lapar tiba-tiba datang dan tak hendak aku menekannya lagi.
Aku mengisi perut sebelum rebah meraih tidur siang dengan
pesan agar salah seorang pelayan membangunkanku jam empat
kurang sepuluh menit.
Namun alangkah sulitnya mencapai tidur. Keriangan hati di
dalam, membuat aku merasa nyaman dalam mengenangkan
duka-duka yang telah kulalui. Kesulitan yang telah kualami
mendadak menjelma menjadi kenangan yang manis dan indah.
Aku teringat ucapan Sumitentang kesan dan penilaian Yapti
pada diriku. Entah apa,aku merasaya kin bahwa itusesungguhnya
tuntutan dari Sumi agar aku mewujudkannya. Tentu saja yang
;; 5P 65
demikian dimintanya dariku sebab ia tahu persis Bagas ini
memang pembosan.
Dan kembali aku dililit ketakutanku yang belum jelas. Takut
kalau tiba-tiba merasa bosan pada Yapti dan mengabaikannya,
padahal ia telah berada jauh dari orang tuanya, bahkan telah
dengan beraninya melepaskan diri.
Kau tidak boleh berbuat demikian, Bagas! Kau harus selalu
setia padanya. Dan aku memang berjanji akan setia pada Yapti
selalu. Dan hingga jam empat kurang sepuluh menit, Bagas ini
belum tidur juga dan berulang-ulang meyakinkan pada dirinya
sendiri untuk tidak mengabaikan Yapti apa pun yang terjadi
nanti. Dan aku merasa akan bisa mewujudkannya. Karena aku
merasa kesulitan apa pun juga nanti, akan dengan mudah kami
atasi, bila kamisenantiasa berdua.
Aku dan Sri mengobrol tentang Yaptisa mbil menunggu Sumi.
Tapi hingga satu jam lamanya ia tak kunjung muncul. Kusuruh Sri
meneleponnya. Ternyata Sumisedang menemuitamu yang akan
mengontraknya untuk mengadakan show di beberapa kota di
Jawa Tengah. Dan in meminta agar kami berdua pergi ke rumah
bibinya.
6,-_'-? 'L-f .
66 ;; fs
:uu-i namun.? B:.lli Pusuk:
Jam setengah tujuh malam aku dan Sumi mengantar Sri
pulang. Sumi meminjam mobil pamannya dan aku yang
memegang setirnya. Tidak lama kami berada di rumah Sri. Pada
ayah dan ibunya, Bagas ini memohon diri untuk meninggalkan
Yogya. Ibu Sri tersenyum-senyum penuh goda. la mengerti
banyak persoalanku.Tidaksepertiayahnya yangtidaktahusama
sekali.
Dari rumah Sri aku dan Sumi menonton film di Bioskop Ratih.
Jamsepuluh lewatsepuluh menit kamisampai di rumah bibi. Tak
lama Bagas di sana. Waktu hendak pulang, Sumi memberiku
sebuah amplop panjang sambil berkata, "Kalau kau sahabatku
yang baik, bukalah surat ini setelah tiba di Semarang nanti.
Setidak-tidaknya, baru boleh dibaca dalam perjalanan melarikan
Yapti. Bukan di penginapan atau di mana saja diYogya ini."
"Tebal sekali!" ujar bibi.
"Seminggu lamanya aku tulis surat itu, Gas!" ujarnya
tersenyum dan kubalas dengan senyum dan tatapan yang manis.
"Sumi memang tidak mungkin saya lupakan, Bi. Tapi Bibi
sendiri pun tidak mungkin hilang dari ingatan saya. Selama di
Yogya ini, Bagas terlalu banyak merepotkan Bibi dan Sumi."
"Kalau kau mau memberikan balasjasa, nantisaja setelah kau
jadi Menteri Luar Negeri!" kata Sumi tertawa sambil memukul
punggungku kuat-kuat.
Sekali lagi Bagas ini minta diri, lalu melangkah meninggalkan
mereka untuk kemudian melambaikantangan memanggil becak
yang melintas di jalan. Jam dua belas lewat, aku tiba di
penginapan. Kukemasi segalanya. Kubereskan urusan dengan
penginapan. Kulakukan semua itu dengan layar ingatan
digamba ri bayangan-bayangan pertemuanku dengan Yapti.
Dan ketika tak ada lagi yang perlu kukerjakan dalam kamar
kecuali tidur, bayangan wajah Yapti kian hidup menggoda
anganku. Dan kembali bersembulan kerangka-kerangka
percaka pan yang kureka-reka sendiri. Bagas ini mema ng merasa
seolah?olah setiap saat dirinya sedang berhadapan dan berbicara
dengan Yapti. Dan oleh karenanya, hampir semua gerak
merupakan persiapan untuk pertemuan yang seakan-akan
sedang terjadi. Aku tahu, inilah perasaan yang timbul dari cinta
dan perasaan rindu. Dan sepi, selalu menjanjikan pertemuan,
yang karena ketidaksadaran berubah menjadi seakan sedang
berlangsung.
Bagas sadar bahwa semuanya itu hanyalah lamunan. Dan
melamun-lamun begitu kiranya milik mereka yang dirundung
rindu dan dibuai cinta. Aku berpikir, alangkah baiknya bila semua
lamunan itu kucatat agarYapti bisa membacanya kemudian.
Dan Bagas pun melompat bangun, duduk menghadapi meja
kecil dan menulis pada sebuah buku tulis yang kosong. Kucatat
segala perasaan yang kualami sejak bertemu dengan Yapti.
Bahkan semacam tuntutan datang agar setiap penggal kalimat
yang ada tersusun rapi dalam urutan peristiwanya sesuai
kejadian yang sungguh. Dan aku bukan hanya mampu mengingat
semua yang diucapkannya, semua gerak-gerik Yapti yang
dilakukan dalam berhadapan denganku, pun memang tak kuasa
melupakannya. Aku merasa tidak mengalami kesulitan apa-apa
dalam mencatat semuanya itu. Namun sering tersendat di
tengah jalan, karena sulitnya mencari kata-kata yang tepat,
apalagi menyusunnya dalam kalimat?kalimat yang indah.
Kenangan yang hendak kutumpahkan itu mengalir seperti
derasnya air mengucur dari moncong sebuah kran. Aku merasa
didesak dan dikejar-kejar oleh apa yang akan kutuliskan. Dan
terkadang bingung jadinya karena pikiranku kacau.
Penat duduk menulis, Bagas rebah di atas kasur, membaca
kembali apa yang telah dikerjakannya dan akan diteruskan
kemudian. Kejanggalan yang kutemui taksedikit jumlahnya. Dan
entah apa, aku selalu merasa bahwa tidakseharusnya sejanggal
itu kenangan dengan Ya pti ditulisdalam catatan. Dan karenanya,
tak jarang aku mencoret, mengganti kata atau kalimat yang
kuanggap kurang enak,merubahsusunannya yang kurang benar,
dan memperindah kata bila kumampu. Dan hatiku selalu berseru,
"Tulislah sebaik mungkin agarYa ptisenang membacanya, Bagas!
68 Tulislah terus,]angan berhenti hanya karena lelah. Untuk Yapti,
Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L Perjanjian Hati Karya Santhy Agatha Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini