Ceritasilat Novel Online

Rahasia Hiolo Kumala 3


Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long Bagian 3




   Rahasia Hiolo Kumala Karya dari Gu Long

   
Orang itu adalah seorang pemuda tampan yang berdandan sebagai seorang pelajar, dibawah pinggangnya tersoren sebilah pedang antik yang berwarna coklat, pada mulanya dia muncul dengan wajah penuh kegusaran, tapi setelah ditegur oleh Wan Hong-giok sambil tertawa cengarcengir jawabnya tergagap.

   "Aku.....aku Gi-heng...."

   "Hmm sekalipun tidak kau katakan aku juga tahu!"

   Seru Wan Hong-giok sambil mendengus.

   "terus terang kuberitahukan kepadamu lebih baik kau tak usah mengurusi semua tindak tandukku karena kau tidak berhak untuk mencampurinya."

   Seraya berkata nona itu sengaja menggeserkan badannya sehingga duduk makin rapat disisi Hoa In-liong.

   Perbuatannya itu kontan saja menggusarkan hati pemuda sastrawan tersebut, api cemburu membakar hatinya, namun ia tidak sampai mengumbar hawa amarahnya.

   "Sumoay!"

   Serunya setelah termenung sebentar "tahukah kau, siapi gerangan bocah keparat itu?"

   "Hmm Perduli amat siapakah dia, mau apa kau turut campur? Lebih baik janganlah merecoki aku terus."

   Hoa In-liong sendiripun tetap duduk tenang tanpa bergerai katanya pala dengan nada datar.

   "Aku bernama Pek Khi, tolong tanya siapa namamu??"

   Terhadap Wan Hong-giok. pemuda sastrawan itu memang munduk-munduk ketakutan, tapi terhadap orang lain dia bersikap angkuh dan tinggi hati, sepasang matanya langsung melotot ketika mendengar ucapan itu, bentaknya.

   "Benarkah engkau bernama Pek Khi??"

   Hoa In-liong tersenyum.

   "Kalau bukan bernama Pek-Khi, lantas menurut pendapat saudara siapakah namaku?"

   Ia balik bertanya. Pemuda itu mendengus dingin, sambil berpaling kepada Wan Hong-giok serunya.

   "Sumoay, bocah keparat ini sengaja sedang membohongimu, dia adalah teji dari keluarga Hoa di bukit Imtiong-san, bernama Hoa Yang."

   Agak tertegun Wan Hong-giok mendengar perkataan itu, sepasang matanya terbelalak semakin besar dan menatap wajah Hoa In-liong tak berkedip.

   agaknya ia merasa kaget bercampur curiga nampak pula mendongkol dan gusar, pokoknya perasaan hatinya waktu itu bercampur aduk dan sukar dilukiskan dengan kata-kata.

   Hoa In-liong tertawa, katanya lagi.

   "Aku tidak merasa pernah berkenalan dengan saudara, tapi engkau dapat menyebutkan namaku secara jelas, ini berarti bahwa engkau menaruh maksud tertentu padaku pula, sekarang aku Hoa teji justru ingin minta petunjuk darimu."

   Memang inilah yang diharapkan pemuda tersebut, maka ia langsung mencabut keluar pedangnya dan berkata dengan dingin.

   "Hayo majulah sauyamu bernama Siau Ciu, aku memang ingin menjajal kepandaian silatmu."

   Tiba-tiba Wan Hong-giok bangkit berdiri seraya membentak.

   "Tunggu sebentar, aku hendak menanyai dirinya lebih dulu."

   Sambil putar badannya menghadap ke arah Hoa In-liong. ujarnya lebih lanjut.

   "

   Hayo jawab mengapa kau bohongi aku? mengapa tidak menyebutkan nama aslimu? apakah Wan Hong- giok tidak pantas untuk barkenalan dengan Hoa Yang...."

   Hoa In-liong bersikap serius dan tersenyum sahutnya.

   "Nona bernama Hong-giok, karena itu akupun menyebut diriku sebagai Pek Khi, sebab hakekatnya Pek Khi maupun Hong- giok adalah benda-benda mustika yang berharga, orang bilang bunga meski tidak indah namun ia akan lebih indah bila berdaun hijau, dan Hong-giok akan bertambah mahal bila diimbangi dengan Pek Khi, nona masakah kau belum memahami perasaan hatiku? Jika nona menegur aku karena soal itu, maka engkau salah menegur diriku ini."

   Meski diluaran ia berbicara demikian, otaknya berputar keras memikirkan masalah yang dihadapinya ia berpikir.

   "Bocah keparat ini bernama Siau Ciu, dan membegal pula kudaku dari rumah penginapan, kemungkinan besar dialah yang disebut Ciu-kongcu oleh nona berbaju hitam itu.... aaah, susah payah kucari jejak mereka tak tahunya bisa ditemukan secara kebetulan, apa salahnya kalau kugunakan sedikit akal muslihat untuk menyelidiki siapa gerangan yang berada dibalik layar dalam peristiwa ini?"

   Sementara Hoa In-liong masih berpikir sampai disitu, tiba-tiba terdengar Siau Ciu berkata sambil tertawa terbahak-bahak.

   "Haaahhh....haaahhh....Hoa teji, apa gunanya kau ngaco belo sambil merayu dengan kata-kata yang manis? Apakah kau hendak menipu perasaan cinta dari sumoayku?"

   Baru ia selesai berbicara, Wan Hong-giok telah membentak nyaring.

   "Hey, siapa yang suruh kau campuri urusanku? Sana, berdiri agak kejauhan!"

   Sambil berkata ia lantas mendorong Siau Ciu agar mundur ke belakang. Menggunakan kesempatan itu, Hoa In-liong lantas menyindir sambil tertawa tergelak.

   "Haaahhh.... haaahhh.... haaahhh anjing menggigit tikus, Itulah akibatnya kalau suka mencampuri urusan orang lain, akhirnya siu-heng sendiri yang terbentur pada batunya."

   Tampaknya cinta kasih Siau Ciu terhadap Wan Hong-giok sudah mendalam sekali, sehingga meski dibentak-bentak dan dicaci maki dihadapan orang, ia tidak merasa gusar Tapi begitu Hoa In-liong menyindir dengan kata-kata yang pedas, Ia tak kuat untuk menguasai lagi.

   Secepat kilat tubuhnya berkelebat ke depan begitu terhindar dari penghadangan telapak tangan Wan Hong-giok.

   serta-merta pedangnya dicabut keluar dan langsung menusuk ke dada lawan.

   "Keluarga Hoa tak ada manusia cerewet macam kau!"

   Bentaknya.

   "Sambutlah sebuah tusukan maut dari sauyamu!"

   Hoa In-liong tertawa nyaring, ia berkelit ke samping lalu menjawab.

   "Jika siau- heng ingin bertempur, aku dapat melayani dirimu dengan senang hati, tapi jawab dulu mengapa kau curi kudaku ini? Bagaimanapun kau toh musti memberi keadilan dulu kepadaku."

   "Telur busuk. siapa yang telah mencuri kudamu?"

   Teriak Siau Ciu dengan gusar.

   Pedangnya langsung dibabat ke depan dengan jurus giok-tay-wi-yau (ikat pinggang kemala mengelilingi bidadari) hebat sekali serangan tersebut dan penuh disertai tenaga dalam yang hebat.

   Hoa In-liong adalah keturunan seorang pendekar besar, ilmu silat yang dimilikinya belajar langsung dari Hoa Thian-hong, padahal Hoa Thian-hong adalah seorang pendekar tanpa tandingan yang lihay dalam ilmu pedang, tentu saja secara otomatis Hoa Loji lihay juga dalam ilmu pedang.

   Maka dari itu ketika Siau Ciu menyerang untuk kedua kalinya dengan babatan mendatar, ia lantas mengetahui bahwa jurus serangan yang akan digunakan lawannya adalah jurus Giok tay wi yau sebab itulah tanpa berpikir panjang lagi, ia mengigos ke samping kiri, siapa tahu, baru saja badannya bergerak meninggalkan posisi semula mendadak ia merasa gerak pedang musuh sangat aneh dan mencurigakan, bukannya terlepas dari ancaman tersebut, tubuhnya malahan menyongsong tibanya ujung pedang Siau Ciu.

   Kejadian ini sangat mengejutkan hatinya dalam, kagetnya peluh dingin sempat membasahi tubuhnya, buru-buru ia putar pinggang sambil melejit dengan gerakan ikan leihi meletik secara beruntun ia berjumpalitan beberapa kali di angkasa dan melayang turun satu kaki jauhnya dari tempat semula, nyaris tubuhnya termakan oleh babatan pedang lawannya itu.

   Apa yang sebenarnya telah terjadi? Rupanya Siau Ciu bertangan kidal, ia menyerang dengan menggunakan tangan kiri, dengan sendirinya ilmu pedang yang digunakan pun merupakan ilmu pedang tangan kiri.

   Sewaktu membacok atau menusuk ke depan, baik tangan kiri maupun tangan kanan tak jauh berbeda, tapi untuk membacok ke samping kiri atau ke kanan maka jurus pedangnya justru berlawanan dengan pedang biasa, Hoa In-liong tidak menduga sampai ke situ, maka karena teledornya hampir saja ia terjebak oleh tipu muslihatnya musuhnya.

   Setelah melayang turun ke atas tanah dan berhasil menenangkan hatinya, Hoa In- liong baru merasa curiga, pikirnya dalam hati.

   "Aneh, benar-benar sangat aneh, ayah telah memberi penjelasan yang amat seksama terhadap tiap ilmu pedang yang berada di kolong langit, apa sebabnya ia tak pernah membicarakan tentang ilmu pedang tangan kiri? Darimana orang she Siau ini mempelajarinya? "

   Sementara ia masih termenung, cahaya pedang tiba-tiba menyambar lagi dengan dahsyatnya, ternyata Siau Ciu telah memburu datang sambil melancarkan bacokan kilat.

   "Hoa teji, lihat serangan!"

   Demikianlah ia membentak. "Sungguh cepat dan lihay ilmu pedangnya "

   Puji Hoa In-liong dalam hati, kali ini ia tak berani berayal lagi, cepat tubuhnya melejit dan menyelinap ke belakang tubuh Siau Ciu, setelah itu sambil tertawa nyaring katanya.

   "Haaahh haaahh haaaahh main golok main pedang hanya akan mengakibatkan retaknya hubungan persaudaraan, memandang di atas wajah nona Wan, asal Siau-heng bersedia untuk menerangkan mengapa kau curi kudaku itu, kita boleh berjabatan tangan sambil berdamai."

   "Keparat siapa yang kesudian berjabatan tangan sambil berdamai dengan engkau?"

   Teriak Siau Ciu marah. Pedangnya dicutar mengikuti gerakan tubuhnya sekali lagi dia menyerang dengan gencar.

   "Sekalipun kau tak berani mencabut pedangmu aku sama juga bisa membinasakan dirimu, sampai waktunya jangan kausalahkan kalau aku bertindak keji lagi!"

   Kembali dia berseru.

   Serangan demi serangan dilancarkan makin gencar dan kuat, semuanya mendepak Hoa In-liong habis-habisan, tampaknya sebelum pemuda lawannya itu berhasil dibasmi, ia tidak merasa puas.

   Hoa In-liong sendiri sambil berkelit kesana ke mari, pikirnya dalam hati.

   "

   Orang ini berulang kali tak mau mengakui bahwa dialah yang mencuri kudaku, sebaliknya selalu berusaha untuk membereskan nyawaku, tampaknya orang inilah ketua regu dari perkumpulan Hian- beng-kau yang sedang melaksanakan tugas perintah padahal sekarang aku butuh untuk menyelidiki duduk perkara yang sebenarnya serta mencari tahu siapa pembunuh sebenarnya, bila tidak ku demontrasikan kelihayanku, niscaya usahaku ini akan sia-sia belaka."

   Karena berpikir demikian, ia lantas mengambil keputusan dalam hati, lengan kanannya diterobos keluar untuk mencabut keluar pedangnya, kemudian, sreet sreet seret! secara beruntun dia lepaskan tiga buah serangan berantai untuk membendung ancaman Siau Ciu.

   "Saudara!"

   Bentaknya ketus.

   "kalau engkau masih saja tidak tahu diri jangan salahkan kalau aku Hoa-loji akan suruh kau merasakan kelihayanku kemudian baru akan kulihat apa yang bisa kau katakan lagi."

   Gaya serangan itu demikian rapat dan penuhnya seakan-akan hendak menyelimuti seluruh jagad yang ada dihadapannya, begitu dimainkan terasalah angin pedang mendesis, suara guntur dan hembusan angin puyuh menyertai setiap gerakan anak muda itu.

   Ilmu pedang dari Siau Ciu aneh, sakti dan luar biasa, tapi setelah berhadapan dengan jurus serangan yang begitu dahsyat dari musuhnya, seketika terasalah suatu perbedaan yang menyolok.

   Tiga jurus kemudian, Hoa In-liong menghentikan gerak tubuhnya lalu membentak nyaring.

   "Hayo bicara Kau mendapat perintah dari siapa untuk membunuh Suma siokya ku?"

   Tatkala serangan mendadak terbendung semua, dalam sangkaan siu Ciu hal ini disebabkan ia kurang waspada.

   malu dan gusar langsung berkecamuk dalam dadanya, dia putar senjatanya dan melepaskan sebuah tusukan lagi ke ulu hati lawannya dengan jurus hek hong- tou-sin (harimau hitam mencuri hati).

   "Apa itu perintah tidak perintah, yang diketahui sauyamu hanyalah bagaimana caranya untuk mencabut jiwamu!"

   Bentaknya.

   "Traang!"

   Hoa In-liong menangkis dengan pedangnya sehingga berbunyi nyaring, begitu ia punahkan datangnya ancaman tersebut, segera ujarnya sambil mendengus.

   "Hmm Tampaknya sebelum kuberi sedikit pelajaran kepadamu, kau tak akan mengakuinya dengan terus terang."

   Dalam bentrokan itu, Siau Ciu merasakan pergelangan tangannya bergetar keras dan hampir saja pedangnya tak sanggup digenggam.

   Meski hatinya terkejut tapi api cemburu yang berkobar dalam hatinya mengalahkan segala-galanya, tanpa berpikir panjang hawa murninya kembali disalurkan ke dalam senjatanya.

   "Tak ada gunanya bersilat lidah, kalau memang ampuh, sambut dulu tiga buah seranganku ini."

   Bentaknya. Tapi sebelum ucapannya selesai diutarakan keluar Hoa In-liong telah menyambung dengan suara dalam.

   "Baik Dalam tiga gebrakan, aku akan memaksa kau untuk melepaskan pedangmu itu."

   Berbareng dengan selesainya ucapan tersebut, tubuh berikut pedangnya menerjang ke muka dan sekejap kemudian sudah terjerumus dalam lingkaran cahaya pedang Siau Ciu.

   Dalam permainan silat orang memang tak bisa berpura pura, maka berbareng dengan selesainya ucapan itu, terjadilah tiga kali benturan pedang yang amat nyaring, disusul kemudian serentetan cahaya putih meluncur ke angkasa kemudian meluncur ke arah sebatang pohon besar enam tujuh kaki dari arena pertarungan, ketika menancap di atas dahan, gagang pedangnya masih bergetar keras tiada hentinya.

   Selesai memukul rontok senjata musuh, Hoa In-liong masukkan kembali pedangnya ke dalam sarung kemudian sambil memandang Siau Ciu yang mundur dengan ketakutan, ujarnya tawa.

   "Bagaimana? Apakah engkau masih ingin berkeras kepala terus??"

   Siau Ciu terbelalak dengan mata lebar, dadanya turun naik dengan tiada beraturan, dapat diketahui bahwa ia merasa kaget bercampur gusar, sukar dilukiskan perasaan hatinya waktu itu. Hoa In-liong mendengus dingin, kembali ujarnya.

   "Terus terang kukatakan kepada diri Siau-heng bahwa aku Hoa-loji telah mendapat perintah dari ayahku untuk menyelidiki peristiwa yang menimpa keluarga Suma hingga jadi terang, dan sampai sekarang engkaulah titik terang yang berhasil kutemukan, mustahil aku Hoa teji bersedia untuk melepaskan engkau dengan begitu saja, maka jika engkau cerdik dan pandai melihat gelagat, lebih baik berbicaralah terus terang, kalau tidak. ..Hmm Hm Kendatipun aku berhati welas, akupun mempunyai kemampuan untuk melakukan penyiksaan dengan ilmu Ngo-im-soh-hun (panca hawa dingin pembetot sukma) serta Ban-gi-coan.sim (selaksa semut menerobos Hati) yang akhirnya toh bisa memaksa kau untuk menjawab sejujurnya.... bagaimana? Kau lebih mendengarkan anjuranku ataukah tetap bersikeras?"

   Siau Ciu memutar sepasang biji matanya, kemudian menjengek dengan nada dingin.

   "Heeehh...heeehhh heeehh.... sudah lama kudengar keluarga Hoa dari bukit Im-tiong- san berbudi luhur, berjiwa besar dan berpribadi seorang ksatria, tapi setelah bertemu hari ini, aku jadi ketawa dan benar-benar kectawa sekali...."

   "Eeeh, hati-hati kalau berbicara!"

   Tukas Hoa In-liong memperingatkan.

   "jangan sembarangan ngomong sehingga tidak akan sampai tersambar petir, Kalau sampai terjadi begitu, itu namanya mencari penyakit buat diri sendiri.."

   Siau Ciu mendengus dingin. "Hoa jiya, apakah kau hendak mengandalkan ilmu silatmu yang tinggi untuk memaksa orang agar menuruti nasehatmu itu?"

   Mula-mula Hoa In-liong agak tertegun, menyusul kemudian ia tertawa terbahak- bahak.

   "Haaaahhh haaaahh.....haaaahh.... benar-benar selembar mulut yang tajam!"

   Serunya.

   "tapi sayang Siau-heng telah salah menilai atas diriku. Ketahuilah bahwa Hoa teji berbeda dengan orang lain, menghadapi urusan apapun aku lebih menitik beratkan pada suksesnya tujuan yang harus dicapai daripada segala persoalan yang tetek bengek. Mau menilai aku jujur boleh saja, mau menilai aku tak tahu diri juga silahkan, aku tak akan ambil peduli apalagi memikirkan dihati, mengerti saudara Siau?"

   Tercekat juga perasaan hati Siau Ciu setelah mendengar perkataan itu, tapi dia terhitung seorang pemuda yang berjiwa panas juga, tentu saja tak sudi menyerah begitu saja, maka setelah berhenti sebentar sahutnya ketus.

   "Aku sudah mengerti, dan soal membegal kuda maupun membunuh orang sauya sama sekali tidak tahu."

   "Benar?"

   Teriak Hoa In-liong terperanjat, sinar tajam memancar keluar dari matanya. Tiba-tiba Siau Ciu menengadah lalu mendengus.

   "Hmm Akupun ingin memberitahukan kepada Hoa-heng, meski aku orang she-Siau tidak mempunyai asal usul yang tersohor, tidak memiliki ilmu silat yang menggetarkan sukma, tapi aku mempunyai sifat yang angkuh, apa yang kuucapkan tak pernah diputar balikkan dari kenyataan."

   "Haaaah haaaah haaaah......bagus, bagus sekali,"

   Hoa In-liong terbahak-bahak.

   "lunak tidak diterima, keras tak ditakuti, kau memang laki-laki sejati. Nah, berhati- hatilah......"

   Sebagai keturunan manusia, dalam darah yang mengalir dalam tubuh Hoa In-liong terdapat kejujuran dan kepolosan Hoa-Thian-hong, namun terdapat pula kekejaman serta kecerdikan Pek Kun-gi, seringkali perbuatan yang akan dilakukan olehnya menyimpang dari keadaan yang berlaku pada umumnya.

   Pada saat itu lengan kanannya sudah diangkat,juri tangannya seperti tombak yang keras ditunjukkan ke depan sementara tubuhnya selangkah demi selangkah maju mendekati tubuh Siau Ciu.

   Gaya serangan dari jari tangannya yang kaku seperti tombak itu aneh dan tidak umum, jari telunjuknya diluruskan ke depan sementara jari tengahnya ditekuk keadaan ini aneh sekali.

   Pada hakekatnya inilah jurus pembukaan dari ilmu Ci yu-jit-ciat (tujuh kupasan dari Ci-yu), ketika Hoa-Thian-hong baru mempelajarinya belum lama tempo- hari, dengan kepandaian tersebut ia bisa membuat Yan-san-it-koay dari perkumpulan Hong-im-hwee yang amat tangguh itu pontangpanting tak karuan (untuk mengetahui cerita ini silahkan membaca.

   Bara- Maharani) .

   Maka ketika dipraktekkan oleh Hoa In-liong sekarang, segera terlihatlah betapa kacau dan banyak raganya tipu muslihat dibalik serangan tersebut.

   Tampaknya Siau Ciu tak akan lolos dari serangan maut tersebut.

   Tiba-tiba terdengar Wan Hong-giok berteriak dengan suara gemetar.

   "Pek-Khi, Pek hey, tahan Tahan Jangan kau lancarkan serangan itu."

   Sesosok bayangan merah dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat telah menerjang maju ke depan Hoa In-liong sebera menarik kembali serangannya, dan sekali sambar ia telah merangkul bayangan merah itu ke dalam pelukannya.

   
Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ada apa?"

   Tegurnya.

   "perkataan apalagi yang hendak kau ucapkan keluar?"

   Wai- Hong- giok tidak menjawab pertanyaan itu sambil meronta untuk melepaskan diri dari rangkulan orang, ia berpaling dan serunya dengan gelisah.

   "Siau suheng, katakanlah terus terang, apa gunanya kau pikul dosa bagi kepentingan orang lain."

   Penonton biasanya lebih jelas daripada pelakunya, demikian pula halnya dengan Wan Hong-giok oleh karena pertama ia terdesak oleh hubungannya sesama perguruan, ketika menyaksikan sikap Hoa In-liong yang aneh dan ilmu silatnya yang tinggi itu, jika serangan tersebut dilancarkan Siau Ciu benar-benar akan menderita siksaan besar.

   Kedua mungkin juga nona ini mengetahui lebih jelas duduknya persoalan, dan ia merasa tak ada gunanya "memikul dosa demi kepentingan orang lain", ini berarti pula bahwa dibalik ke semuanya itu masih terdapat hal- hal yang tidak beres.

   Ketika mendengar ucapan itu, Hoa In-liong segera jadi curiga, dengan tatapan mata setajam sembilu dia mengawasi Siau Ciu tanpa berkedip.

   ia sedang menantikan jawabannya.

   Apa mau dikata Siau Ciu mempunyai rasa cemburu yang sangat besar, kunci terpenting dalam masalah ini terletak pada Wan Hong-giok seorang.

   Andaikata nona itu tidak buru- buru menubruk ke depan sehingga dirangkul Hoa In-liong ke dalam pelukannya, mungkin perubahan yang terjadi agak lebih sederhana.

   Tapi sekarang, setelah Wan- Hong giok terjatuh dalam pelukan mesra laki-laki lain, hawa cemburu yang terkobar dihati Siau Ciu semakin menebal, dan sikapnya pun jauh diluar dugaan pula.

   Siau Ciu berparas tampan dan menarik.

   diapun berpandangan picik, terlampau menuruti emosi.

   Meski asal usul dari ilmu pedang tangan kirinya merupakan suatu teka-teki, namun yang pasti ilmu silatnya terhitung kelas satu dalam dunia persilatan.

   Dia adalah saudara seperguruan dengan Wan Hong-giok dan boleh dibilang sepasang sejoli yang amat cocok.

   sayang Wan Hong-giok tidak tertarik oleh suhengnya ini dan setiap kali justru berusaha untuk menghindari kejaran dari kakak seperguruannya ini.

   Untuk kegiatannya itu, Siau Ciu merasa sangat penasaran, apalagi sekarang setelah dilihatnya Hoa In-liong berparas tampan, asal usulnya populer dan ilmu silatnya lebih tinggi ditambah pula sumoaynya tidak menolak waktu dirangkul, sebagai seorang pemuda yang berpandangan picik, tentu saja keadaan ini tak dapat diterima dengan begitu saja olehnya.

   Meski demikian sebagai orang yang berpikiran panjang dan mempunyai banyak tipu muslihat, tak sudi ia utarakan ketidaksenanganya itu dengan jelas, otaknya berputar kemudian ujarnya dengan dingini "Sumoay, ku suruh aku mengatakan apa?"

   "Supek telah berusia lanjut, di hari-hari biasa beliau selalu melarang suheng untuk jauh meninggalkannya, tapi kali ini demi siaumoay kau telah melanggar perintah guru dan mengejar ke daratan Tionggoan, aku tahu bahwa engkau tidak mempunyai sangkut pautnya dengan peristiwa berdarah yang menimpa keluarga Suma...."

   "Jadi sumoay sudah tahu perasaan hatiku?"

   Seru Siau Ciu dengan suara hambar.

   "Tentu saja su-moay tahu,"

   Sahut Wan Hong-giok dengan kening dikerutkan.

   "tapi....tapi...."

   "Hmm...... Kalau sumoay sudah tahu itu lebih baik lagi, mari kita pulang ke rumah."

   Wan Hong-giok tidak segera menjawab, dia melirik sekejap ke arah Hoa In-liong, ketika dilihatnya pemuda itu sedang mengawasi Siau Ciu tanpa berkedip, ia lantas mengira bahwa pemuda itu sedang mengawasi gerak-gerik kakak seperguruannya.

   Dengan hati yang amat gelisah segera katanya.

   "Tidak bisa Kita tak boleh pulang dengan begitu saja, Hoa kongcu menaruh kesalahan paham terhadap suheng, ia mengira kau mencuri kudanya dan membinasakan pula Suma siok-nya, maka sudah sepantasnya jika suheng memberi penjelasan, kepadanya agar perselisihan dapat dihindari, selain menghilangkan kesalahan paham tersebut kitapun tak akan mengganggu usaha Hoa kongcu untuk menyelidiki pembunuh yang sebenarnya."

   Maksud nona itu dengan perkataannya ini antara lain kesatu, ia memberi kisikan kepada Hoa Inliong bahwa apa yang telah terjadi hanya suatu kesalahpahaman, kedua diapun hendak menghilangkan bibit bencana bagi Siau Ciu.

   Bagi Hoa In-liong yang berpikiran lebih luas, tentu saja maksud tersebut dapat diterima olehnya berbeda dengan Siau Ciu, ia sudah terpengaruh oleh nafsu cemburu, arti diri kata-kata itu justru di maksudkan sebaliknya.

   Diam-diam ia mendengus dingin, pikirnya.

   "Bagus! Rupanya kalian sudah seia sekata, sampai dalam pembicaraanpun saling membela. Hmmm sekalipun aku Siau Ciu tak berhasil mendapatkan kau, jangan harap kaupun bisa mendapatkan bocah keparat she-Hoa itu, tunggu saja tanggal mainnya."

   Meski dalam hati kecilnya sudah timbul niat jahat, perasaan tersebut tidak dicerminkan di atas wajahnya, malahan sambil berlagak apa boleh buat ia berkata.

   "Aaaah baiklah, mari kita berjabatan tangan dan damai saja."

   Sambil merangkap tangannya, dia lalu menjura ke arah Hoa In-liong dari tempat kejauhan.

   Hoa In-liong sendiripun dari pembicaraan tersebut dapat menarik kesimpulan bahwa Siau Ciu baru datang ke daratan Tionggoan, itu berarti bahwa ia tak mungkin ada sangkut pautnya dengan peristiwa berdarah yang menimpa keluarga Suma, ia pun lantas menduga bahwa dirinya memang sudah menaruh rasa salah paham, siapa tahu kalau kuda Liong-jinya bisa terjatuh ke tangannya lantaran sebab-sebab lain?? Kendatipun dia binal dan tak tingkah lakunya, tapi kegagahan serta kebesaran jiwa keluarga Hoa menurun pula dalam darahnya.

   Karena berpendapat demikian, dan lagi Siau Ciu sudah memberi hormat dan bersedia berjabatan tangan untuk damai, dengan langkah lebar dia lantas menyongsong pemuda tersebut.

   "Haah....haaaaah haaaahhh..... bagus.... bagus..... bagus..... Mari kita berjabatan tangan untuk damai,"

   Katanya sambil tertawa tergelak.

   "asal Siau-heng bersedia untuk menuturkan hal ikhwal waktu mendapatkan kuda ini, siaute segera akan mengakhiri persoalan hampai disini saja, apalagi kalau aku bisa menemukan jejak musuhku dari pembicaraan tersebut, siaute akan lebihlebih merasa berterima kasih lagi."

   Seraya berkata ia lantas mengulur tangan kanannya dan siap menggenggam tangan Siau Ciu. Sekilas senyum licik menghiasi ujung bibir Siau Ciu, katanya pula dengan berlagak pilon.

   "Benarkah engkau akan menyudahi persoalan ini sampai disini saja, bila kuterangkan kisah yang sebenarnya?"

   Diapun menjulurkan tangannya untuk menyambut telapak tangan lawannya. Ketika dua tangan saling bertemu, Hoa In-liong manggut-manggut berulang kali.

   "Tentu saja, tentu saja siau-te sudah salah menuduh, harap Siau-heng bersedia memaafkan "

   Belum habis ucapan tersebut diutarakan, tiba-tiba terdengar Wan Hong-giok menjerit lengking.

   "Hei...hati-hati..."

   Menyusul teriakan tersebut, bayangan saling menggumul dan salah seorang diantaranya melancarkan sebuah tendangan yang mengakibatkan orang yang lain mencelat jauh ke belakang.

   "Sungguh keji perbuatanmu."

   Teriakan keras- menggema di angkasa. Wan Hong-giok sangat terkejut, sambil menjerit buru-buru dia lari maju ke depan.

   "Siau Ciu memang berhati busuk. rupanya pada jari tengah tangan kanannya mengenakan sebuah cincin yang besar, ruang tengah dari cincinnya itu kosong dan bersembunyi jarum beracun. Ketika saling berjabatan tangan tadi, diam-diam ia telah memencet tombol rahasianya siap membidikkan jarum-jarum mautnya. Hoa In-liong sama sekali tak menduga sampai kesitu, maka ketika tangan mereka saling berjabatan tangan mendadak tangan kirinya diangkat menyodok iga kanan musuhnya sementara jarum maut itu dibidikkan keluar. Sebenarnya menurut keadaan pada waktu itu, semestinya tiada kesempatan bagi Hoa In-liong untuk meloloskan diri, apa mau dikata perhitungan manusia tak menangkan perhitungan langit, Wan Hong-giok segera menyadari kelicikan suhengnya dan Hoa In-liong pun cekatan dan amat cerdik sekali. Begitu mendengar jeritan, cepat ia memburu maju ke depan, tubuhnya membungkuk dan telapak tangan kanannya ditekan ke bawah, sementara kaki kanannya tiba-tiba diangkat ke atas dan menendang tubuh Siau Ciu keras-keras. Dldalam serangannya itu, ia lancarkan dalam keadaan gusar dan bertenaga besar, Iagipula tepat menghajar iga sebelah kirinya, seketika itu juga tubuh Siau Ciu mencelat ke tengah udara tulang iganya patah dua biji, isi perutnya menderita luka parah dan tak bisa dicegah lagi sambil muntah darah tubuhnya roboh terjengkang di atas tanah dan tak mampu bangkit berdiri lagi. Hoa In-liong masih penasaran, begitu berhasil menendang musuhnya sampai mencelat dia segera melompat ke depan, dia siap memburu maju lebih jauh... Untunglah Wan Hong-giok segera memburu ke depan, dia menangkap lengannya, ia berteriak dengan perasaan ngeri.

   "Hoa kongcu, tunggu sebentar"

   "

   Orang ini terlalu keji dan licik sekali hatinya Hoa teji tak dapat mengampuni jiwanya!"

   Teriak Hoa In-liong dengan amarah yang meluap-luap.

   "Tapi yang penting periksa dulu apakah engkau sudah terkena jarum beracunnya?"

   Kata Wan Hong-giok dengan gelisah.

   "

   Ketahuilah bahwa racun yang terdapat di ujung jarum itu sangat jahat dan tak ada obat penawarnya, bila sampai bertemu dengan darah maka jiwamu akan terancam mara bahaya."

   Hoa In-liong mendengus dingin.

   "Hmmm Aku Hoa teji tidak mempan diracuni, apalagi jarum beracun macam itu, tak mungkin bisa mengapa-apakan diriku...."

   Lengan kanannya segera digetarkan siap melepaskan diri dari cengkeraman Wan Hong-giok, apa mau dikata baru saja lengan kanannya digerakkan, ia segera merasakan sikutnya sudah kesemutan dan kaku, lengan itu tak kuat rasanya untuk digerakkan kembali.

   Waktu melancarkan sergapan tadi, Siau Ciu menyerang dari jarak yang sangat dekat, kendatipun Hoa In-liong cukup cekatan dan tubuhnya terlindung oleh kaus kutang pelindung badan, namun jarum lembut seperti bulu kerbau yang jumlahnya mencapai dua tiga puluh biting itu sukar di hindari keseluruhannya, tanpa dirasakan olehnya bahwa ada empat- lima batang diantaranya sudah menancap dibagian sikutnya.

   Wan Hong-giok cukup memahami kelihayan dari racun jarum itu, ketika dilihatnya paras muka Hoa In-liong agak berubah, ia jadi terperanjat dan buru-buru serunya.

   "Bagaimana? Apakah lengan kananmu sudah tak dapat digerakkan lagi?"

   Tiba-tiba Siau Ciu tertawa seram, lalu ujarnya pula dengan suara yang mengerikan.

   "Sumoay, racun jarum perguruan kita amat lihay dan siapa yang terkena tak mungkin bisa ditolong lagi, tunggu saja disitu untuk mengurusi layon Hoa loji."

   Dengan sempoyongan dia bangkit berdiri lalu kabur dari situ menuju ke arah utara.

   Ketika mendengar seruan tersebut, Wan Hong-giok berpaling, ia saksikan paras muka Siau Ciu pucat pias seperti mayat, noda darah membasahi dadanya, tak kuasa lagi ia bangkit dan menyusul dari belakangnya.

   "Suheng....Siau suheng... tunggulah aku!"

   Teriaknya keras-keras. Tapi baru lari sejauh dua kaki, tiba-tiba ia berhenti dan berpaling, teriaknya pula.

   "Hoa kongcu, lenganmu...."

   Sebelum kata-katanya sempit diutarakan keluar air mata bagaikan layang-layang putus benangnya sudah mengucur ia menangis terisak.

   Kasihan memang Wan Hong-giok.

   posisinya saat itu boleh dibilang serba salah, disatu pihak Siau Ciu adalah kakak seperguruannya, dilain pihak Hoa In-liong adalah pemuda idaman hatinya, dan sekarang kedua belah pihak sama-sama terluka, ia jadi bingung dan apa yang harus dilakukan, menolong kakak seperguruannya ataukah menolong pemuda pujaan hatinya.

   Hoa In-liong segera menghela napas panjang setelah melihat nona itu menangis terisak.

   katanya sambil mengulapkan tangan.

   "Pergilah suhengmu menderita luka parah yang cukup parah, pergi dan rawatlah dia."

   "Dan kau...."

   Bisik Wan Hong-giok sambil menahan isak tangisnya. Hoa In-liong tertawa tawa.

   "Aaah... racun jarum itu tak seberapa hebat, tak nanti bisa mencelakai jiwaku,"

   Katanya. Tapi Wan Hong-giok masih juga menangis tersedu.

   "Jarum beracun itu terbuat dari sembilan buah racun lebah ditambah tujuh jenis tumbuhtumbuhan berbisa, bila terkena darah maka tubuh manusia yang terkena akan segera mencair"

   "Haaahh...,haaahhh,....haaahh.... kalau bisa mencair tubuhku telah mencair sedari tadi. Pergilah Kalau tidak berangkat mulai sekarang, kau akan gagal untuk menyusul dia lagi."

   Wan Hong-giok kembali tertegun, dia menatap wajah anak muda itu tajam-tajam, ditemuinya senyum manis masih menghiasi wajah, kecuali lengan kanannya agak lumpuh, di atas paras mukanya tidak ditemukan gejala lain yang mencurigakan.

   Menyaksikan kesemuanya itu ia jadi setengah percaya setengah tidak.

   akhirnya rasa kuatirnya terhadap Siau Ciu mengalahkan segala galanya, maka bisiknya dengan lirih.

   "Kalau begitu, baikbaiklah menjaga diri......"

   Hoa In-liong ulapkan tangannya berulang kali.

   "Aku bisa menjaga diriku sendiri, justru kaulah yang harus bersikap mesra terhadap suhengmu,"

   Katanya sambil tertawa. Rasa murung dan sedih terpancar keluar dari balik tatapan mata Wan Hong-giok, bibirnya bergetar seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi akhirnya maksud itu dibatalkan, mendadak ia putar badan dan berlalu dari tempat.

   "Nona Wan,"

   Tiba-tiba Hoa In-liong memanggil lagi. Wan Hong-giok segera berhenti dan berpaling.

   "Ada apa?"

   Tanyanya lirih.

   "Suhengmu telah lupa membawa pergi pedang pusakanya, bawakan pedang itu untuknya. Wan Hong-giok menghela nafas sedih, ia berjalan ke bawah pohon besar itu dan mencabut pedang mustika tersebut, setelah memandang sekejap kea-rah Hoa In-liong dengan tatapan mesra, dia baru melanjutkan pengejarannya menuju ke arah mana Siau Ciu melenyapkan diri. Saat itu tengah hari telah menjelang tiba, sang surya memancarkan sinarnya dari tengah-tengah awang-awang. Memandang bayangan punggung Wan- Hong giok yang lenyap di tempat kejauhan, Hoa In-liong merasakan hatinya sedih dan murung, tak kuasa lagi dia bersenandung.

   "Yang laki cinta apa daya yang perempuan tak tertawa. sedih dan murung hatiku menyaksikan kesemuanya ini.... Bila hati telah bersatu padu, biar mati-mati dengan hati yang tenang"

   Akhirnya ia menghela napas panjang, setelah gelengkan kepalanya, memeriksa lengan kanannya, perlahan-lahan anak muda itu naik ke punggung kuda Liong-ji dan kembali ke kota Lok yang.

   KETIKA tiba kembali di kota Lok-yang, tengah hari sudah menjelang tiba, saat itu adalah waktu orang bersantap siang, banyak sekali orang yang berlalu lalang masuk keluar dari dari rumah makan, suasana ramai sekali.

   Ketika sang pelayan menyaksikan Hoa In-liong telah kembali, buru-buru maju menyongsongnya, sambil menerima tali les kuda ia berkata.

   "Kongcu, kapan kau meninggalkan rumah penginapan? Ketika tidak melihat kongcuya bangun kami tak berani mengganggunya, kemudian ketika menemukan kudanya sudah tiada, kami membuka kamar tidur kongcu-ya, semua orang merasa lebih tercengang lagi setelah dilihatnya tempat tidur masih teratur rapi dan buntalan masih ada disana."

   Hoa In-liong sedang murung dan kesal, ia tidak berniat untuk menjawab, setelah mendengus la turun dari kudanya dan langsung masuk ke dalam rumah penginapan.

   Pelayan itu menyerahkan kuda yang diterimanya itu kepada orang lain, kemudian mengejar ke depan, katanya lagi.

   "Dikota ini banyak terdapat gadis-gadis cantik jelita yang menjual diri untuk mencari sesuap nasi, meski paras mereka cantik jelita tapi selalu menganggap tingkatannya rendah, kalau aku tahu bila kongcu-ya suka dengan hal ini, cukup kau memberitahukan kepadaku, aku cu siau-cit pasti...."

   Rupanya pelayan itu mengira kalau Hoa In-liong semalam tidak pulang ke rumah penginapan karena sedang menghibur diri di rumah pelacuran, maka ia hendak menggunakan kesempatan tersebut untuk mencari keuntungan pribadi.

   Apa mau di kata baru saja berbicara sampai ke situ, mendadak dia temukan pakaian yang dikenakan tamunya tidak teratur dan lagi bagian dada serta punggungnya telah robek.

   Ini menyebabkan dia jadi tertegun.

   Segera tanyanya lagi dengan wajah keheranan.

   "Eeeh....Kongcu-ya, kenapa keadaanmu sangat mengenaskan? Apa yang telah terjadi??"

   Hoa In-liong jadi amat jemu dengan sikap pelayan ini, dengan agak mendongkol bentaknya.

   "Aaah, kamu cerewet amat....."

   Kemudian setelah berhenti sebentar, tanyanya pula.

   "Apakah kemarin malam ada orang mencari aku?"

   Mula-mula pelayan itu agak tertegun karena di bentak, menyusul kemudian sambil membungkukkan badannya ia menyahut.

   "Oooh... tidak ada, tidak ada...."

   "Kalau begitu, kau tak usah cerewet lagi, sana siapkan santapan bagiku dan antar ke dalam kamar"

   Pelayan itu tak berani banyak bicara lagi, dia mengiakan berulang kali lalu mengundurkan diri dari sana.

   Setelah membersihkan badan, seorang diri Hoa In-liong bersantap dalam kamarnya, sambil bersantap tanpa terasa dia membayangkan kembali pengalaman yang ditemuinya semalam.

   Pertama-tama ia membayangkan kembali diri nyonya Yu, paras muka nyonya tersebut memang cantik dan ilmu silatnya biasa-biasa saja, ia menyebut dirinya sebagai gundik Suma Tian-cing, ditinjau dari pengetahuannya tentang gerak-gerik tingkah laku serta kebiasaan Suma Jin, rasanya soal ini tak perlu dicurigakan lagi.

   Tapi secara diam-diam ia telah menyergap dirinya, kemudian menyediakan pula obat racun yang disembunyikan di dalam peti mati, dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa nyonya itu memang sengaja telah disusupkan oleh pembunuhnya untuk melaksanakan tugas tersebut.

   Suma Tiang-cing bergelar Kiu-mia-kiam-khek (jago pedang berjiwa sembilan), bukan saja ilmu silatnya lihay, pengetahuan maupun pengalamannya luar biasa luasnya, tipu muslihatnya macam apapun sulit untuk mengelabui ketajaman matanya, tapi nyonya Yu sudah bertahun- tahun lamanya menyelinap dalam keluarganya, namun ia tak berhasil mengetahui rahasia tersebut, dari sini dapat diketahui pula bahwa semua rencana itu disusun oleh sang pembunuh dengan sempurna sekali.

   "Nyonya Yu ku memang menakutkan sekali, agaknya sudah lama sekali Si pembunuh itu menentukan dan memerintahkan untuk menyusup ke dalam keluarga Suma-siok-ya, kalau bukan seorang manusia yang berhati teguh dan berwatak jahat, tak mungkin pembunuh itu dapat menyusun rencana jangka panjangnya sesempurna ini."

   Berpikir sampai disitu, tanpa terasa lagi keringat dingin membasahi seluruh badan Hoa In-liong, ia merasa jantungnya berdebar keras, dan pemuda ini semakin sadar bahwa rintangan-rintangan yang bakal ditemuinya akan semakin banyak.

   bukan suatu pekerjaan yang gampang baginya untuk menyelesaikan tugas tersebut.

   Sekalipun tidak gampang untuk diselesaikan lantas bagaimana? Suma Tiang-cing adalah saudara angkat dari kakeknya Hoa-Goan-siu, hubungan mereka lebih akrab dari pada saudara kandung sekali, sebagai keturunan dari keluarga kenamaan sekalipun tak ada perintah dari ayah atau neneknya Hoa-loji harus menyelesaikan juga tugas itu sebisa mungkin.

   Dia angkat cawan dan menghabiskan isinya, kemudian berpikir lebih jauh, kali ini ia terbayang kembali akan diri nona baju hitam beserta pembantunya yang misterius.

   Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Menurut pengakuan nona berbaju hitam, orang yang membunuh Suma siok-yanya adalah seorang pemuda dari marga Ciu, orang itu hanya seorang kepala regu perkumpulan Hian-bengkau yang tak ada artinya, sedangkan nyonya Yu dikatakan sebagai anak buah Ciu kongcu itu, setelah dipikir beberapa saat anak muda ini pun merasa bahwa kejadian ini janggal dan tak masuk di akal.

   Pertama.

   orang she Ciu itu disebut kongcu, itu berarti bahwa usianya tidak terlampau besar, kalau dibilang jauh beberapa tahun berselang Ciu kongcu telah mengutus nyonya Yu untuk menyusup ke samping Suma Tiang-cing, maka hal ini rasanya tak mungkin terjadi.

   Kedua.

   Ketika akan meninggalkan rumah, ayah dan neneknya telah menyatakan rasa curiganya terhadap Giok-teng hujin yang ada kemungkinan merupakan otak dari pembunuhan berdarah itu.

   Berdasarkan beberapa alasan tersebut, diapun lantas berpikir, Jangan-jangan pemimpin perkumpulan Hian-beng-kau adalah Giok-teng hujin dan nyonya Yu diutus Giok-teng hujin untuk melaksanakan pembunuhan tersebut dan Ciu kongcu paling banter hanya bertugas untuk mengawasi pelaksanaan dari pembunuhan itu, siapa tahu memang begitulah jalannya peristiwa? Ia dapat menduga sampai kesitu karena tiba-tiba pemuda itu teringat kembali akan Hek-ji si kucing hitam yang dipelihara nyonya Yu.

   Menurut apa yang diketahui olehnya, Suma siok-yanya suami istrinya terbunuh ketika tertidur nyenyak.

   pada tenggorokan mereka terdapat bekas luka seperti digigit oleh sejenis binatang.

   Meskipun Hek-ji cuma seekor kucing hitam, tapi cakar dan giginya runcing dan tajam, gerakgeriknya secepat angin dan pandai sekali bertempur, ditinjau dari majikannya yakni nyonya Yu adalah mata-mata yang diutus sang pembunuh untuk menyusup ke dalam keluarga Suma, maka dapatlah diduga bahwa Hek-ji itulah pelaksana pembunuhan, sedangkan nyonya Yu adalah pemilik dari binatang pelaksana pembunuhan tersebut.

   Sekarang diapun sudah tahu kalau Ciu kongcu masih di kota Lok-yang, maka setelah berpikir beberapa waktu ia merasa bahwa tindakan yang harus dilaksanakan sekarang adalah mencari Ciu kongcu seru menyelidiki siapa gerangan "otak"

   Dari pembunuhan itu Kendati begitu, ia tidak segera melaksanakannya, malahan sambil bertopang dagu anak muda itu melamun lebih jauh.

   Sebagai keturunan keluarga Hoa, Hoa In-liong memang gagah dan berjiwa ksatria, tapi sifatnya yang romantis membuat pemuda ini tak boleh bertemu dengan perempuan cantik.

   Tiba-tiba ia teringat kembali akan sikap si nona baju hitam yang bersembunyi dalam ruang sembahyangan, dari gerak-geriknya nona itu tampaknya sedang menyelidiki rahasia perkumpulan Hian-beng-kau, dan ia merasa orang itu mempunyai hubungan yang erat dengan dirinya, ia masih ingat pula dengan perkataan dari Si Nio.

   Jika kita bunuh bocah keparat ini, maka keselamatan loya akan tertolong."

   Ditinjau dari sini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa keselamatan ayah dari nona baju hitam itu terancam bahaya, dan nasibnya cukup memilukan hati.

   Sebagai seorang pemuda yang cerdik, hanya menganalisa sebentar saja dia lantas mengetahui bahwa nona baju hitam itu bukannya tanpa alasan tertentu ketika memberi keterangan kepadanya.

   Nona baju hitam itu pernah berkata begini.

   "Menurut perasaan siau-li, dunia persilatan sedang menuju perubahan yang amat besar, kematian Suma Tiang-cing tak lebih hanya korban penasaran pertama yang harus ditanggung demi kepentingan orang lain."

   Sekarang kalau dicocokkan kembali dengan pesan dari ibunya, maka rasanya persoalan ini ada kemiripannya meskipun berlawanan waktunya.

   Diapun teringat kembali dengan perbuatan Si Nio yang akan meracuni dirinya serta mencabut jiwanya, dari masalah ini dapat ditarik kesimpulan bahwa nona baju hitam dan pembantunya di tekan oleh seseorang untuk melakukan pembunuhan tersebut, dan korbannya bukan dia seorang melainkan setiap anggota keluarga Hoa.

   Atau tegasnya ayah dari nona baju hitam ini di sekap orang, bahkan kemungkinan besar jiwanya terancam, dan mereka berdua dipaksa untuk memusuhi dan membunuh anggota keluarga Hoa demi menyelamatkan jiwa ayahnya itu.

   Hoa In-liong telah memandang keterangan yang diberikan nona baju hitam itu sebagai suatu peringatan, maka serta-merta diapun merasakan betapa seriusnya yang sedang dihadapi sebab jelas musuh dibalik tirai yang sedang dihadapinya sekarang adalah musuh tangguh yang khusus memusuhi keluarga Hoa.

   Tercekat juga perasaan hatinya setelah menerapkan kesimpulan terakhir itu, pada mulanya dia ada niat untuk kembali ke perkampungan Liok soat sanceng untuk melaporkan kejadian ini kepada ayah dan neneknya, tapi ingatan lain segera melintas dalam benaknya.

   "

   Nenek dan ayah telah menyerahkan tugas ini kepadaku, aku mana boleh pulang ke rumah sebelum berhasil menemukan jejak dari pembunuhnya.

   selama ini aku Hoa Yang dianggap seorang pemuda bergajul dalam pandangan orang rumah, kenapa tidak kumanfaatkan kesempatan yang sangat baik ini untuk membuktikan diri bahwa akupun bukan manusia tak berguna, siapa tahu kalau usahaku berhasil dan namaku ikut tersohor pula dalam pandangan orang lain?"

   Memang demikianlah watak seorang pemuda yang masih berjiwa panas, setelah mengambil ketetapan dihati, iapun tersenyum dan meneguk habis isi cawannya.

   Selesai bersantap ia kenakan jubah sutera yang halus, membawa pedang menggoyangkan kipas dan berjalan keluar dari kamarnya dengan langkah yang santai.

   Dikatakan ia akan keluyuran sebenarnya tak cocok sebab pada saat ini ia berhasrat untuk keliling kota sambil berharap dapat berjumpa dengan Kong-cu she-Ciu itu, dan lebih-lebih berharap dapat bertemu sekali lagi dengan nona berbaju hitam itu.

   Tapi Nona berbaju hitam itu tak ada tempat tinggal yang tetap tidak diketahui pula namanya, sedang Ciu kongcu belum pernah ditemui, bagaimana tampangnya juga tak diketahui olehnya.

   maka ingin berjumpa dengan mereka boleh diibaratkan mencari jarum di dasar samudra, bukan suatu pekerjaan yang gampang.

   Sang surya telah condong ke barat, malampun menjelang tiba, cahaya lampu telah menerangi seluruh kota, tapi tiada suatu hasilpun yang berhasil ditemukan.

   Ketika dalam perjalanan kembali ke rumah penginapan, kebetulan ia lewat dijalan raya sebelah timur sewaktu lewat di depan pintu gerbang keluarga Suma mendadak satu ingatan terlintas dalam benaknya, ia lantas berpikir.

   "Sudah beberapa hari Suma siok-ya terbunuh, namun layonnya belum dikebumikan dan masih bersemayam dalam ruang tengah, keadaan ini bukan saja dapat membuat tak tenangnya arwah siok-ya bahkan bisa pula digunakan pihak lawan untuk menyiapkan jebakan dan memancing rekan-rekan sealiran masuk perangkap. Apa salahnya kalau ku singkirkan dahulu jenasahnya mereka ke suatu tempat tertentu, kemudian baru kuundang kedatangan Jin kokoh untuk menyelenggarakan upacara penguburan? Aaai, aku harus mengambil keputusan cepat dan segera melaksanakannya."

   Seandainya Hoa se toakonya yang menghadapi kejadian semacam ini, bagimanapun juga ia tak akan berani mengambil keputusan secara sembarangan, tapi Hoa Yang alias In-liong tak kenal artinya adat istiadat, apa yang terpikir hanya soal cengli, dan apa yang telah melintas dalam benaknya segera dilaksanakan tanpa berpikir panjang lagi.

   Begitulah, setelah menengok ke kiri kanan dan yakin kalau di sekitar sana tak ada orang, ia lantas menjejakkan kakinya ke atas tanah dan melompati pagar pekarangan langsung menerobos masuk ke ruang tengah.

   Ia telah mempunyai rencana yang cukup masak malam itu juga akan dibawanya jenasah dari Suma Tiang-cing suami istri ke rumah gubuk yang pernah dikunjunginya semalam.

   Ia merasa tempat itu aman dan cukup tersembunyi, kendati sudah terbakar tapi dengan semak belukar yang begitu tinggi mengitari sekelilingnya, tempat itu tak mudah menarik perhatian orang, dan jenasah siok-yanya ditempatkan disana untuk sementara waktu, maka orang tak akan menyangkanya.

   Siapa tahu ketika Hoa In-liong tiba dalam ruangan itu dan menengok ke dalam, apa yang ditemuinya hampir saja membuat pemuda itu menjerit keras matanya terbelalak karena tercengang bercampur heran untuk sesaat ia berdiri tertegun.

   Meskipun kain horden masih menghiasi ruangan seperti sedia kala, meja sembahyangan dengan lentera dan lilin masih utuh, namun dua buah peti mati itu sendiri sudah lenyap tak berbekas.

   Padahal ia tahu jelas bahwa satu-satunya keturunan dari Suma siok-yanya berada jauh di perkampungan Liok-soat-san-cung yang berada di bukit Im tiong-san, bila dikatakan ia telah mengebumikan jenasah kedua orang itu, boleh dibilang hal ini tak mungkin terjadi, tapi kenyataannya peti mati itu benar-benar sudah lenyap tak berbekas.

   Selang sesaat kemudian, Hoa In-liong mencibirkan bibirnya lalu mendengus dingin.

   "Hmm...... Permainan busuk macam beginipun disuguhkan kepada aku Hoa-loji, sungguh keterlaluan."

   Maksud musuh sudah jelas sekali, jelas mereka memang sengaja memindahkan peti mati itu agar dia jadi bingung dan kelabakan untuk mencarinya kembali.

   Hoa In-liong menjengek sinis, walaupun dia tahu bahwa musuh sedang memasang jaring untuk menjebaknya, dilakukan juga pemeriksa yang seksama di sekitar gedung bangunan itu.

   Tapi akhirnya anak muda itu merasa kecewa, orang-orang yang memasukkan peti mati itu telah bekerja teliti, kecuali barang yang kacau terdapat di sekitar meja sembahyang dan kedua belah sisi bekas tempat peti mati itu.

   boleh dibilang tiada tanda lain lagi yang berhasil ditemukan, hal ini semakin mengejutkan hati Hoa In-liong.

   Haruslah diketahui ruang jenazah menempati ruangan tengah yang panjang dan lebarnya mencapai seluas lima kaki, karena sudah lama tak di kunjungi orang, debu yang menempel di atas lantai tebal sekali, sebaliknya kedua peti mati itu hanya menempati tempat yang tak begitu luas, beratnya juga luar biasa, untuk memindahkan benda seperti itu bukan saja sangat repot bahkan tidak gampang.

   Tapi kenyataannya sekarang, bukan saja mereka dapat memindahkan peti-peti mati itu, malahan tidak meninggalkan bekas apa-apa, dari sini dapatlah diketahui bahwa orang-orang itu bukan saja amat cermat dan teliti, kekuatan mereka serta kelihayan ilmu meringankan tubuh mereka sudah mencapai tingkatan yang luar biasa.

   Tapi siapakah orang itu??? Dengan hati tercekat bercampur kaget, Hoa In-liong berpikir.

   "Seandainya peti mati itu masih berada disini, memang gampang untuk menjebak orang masuk perangkap. tapi apa maksud mereka membawa pergi peti-peti mati itu..."

   Ia bukan seorang pemuda yang gegabah, juga bukan manusia pengecut yang bernyali kecil, dalam tubuhnya mengalir sifat-sifat orang tuanya dan terdapat pula hasil didikan dari Bun Tay- kun, meski romantis namun mempunyai semangat yang besar, mempunyai keberanian yang luar biasa dan berani menyerempet bahaya.

   Lama sekali si anak muda itu termenung, dan berusaha untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, ketika tanpa hasil, dengan dahi berkerut dan bibir dicibirkan ia berjalan menuju ke pintu kecil dibalik horden dengan langkah lebar.

   Mendadak dari arah belakang terdengar seseorang tertawa dingin, menyusul jengekan dingin berkumandang memecahkan kesunyian.

   "Hoa loji, kau akan kabur kemana lagi?"

   Hoa In-liong tidak kaget juga tidak gugup, malahan menjawabpun tidak.

   selangkah demi selangkah ia lanjutkan perjalanannya menuju ke muka.

   Tiba-tiba serentetan cahaya putih menyambar lewat, dengan disertai hawa pedang yang hebat tanu-tahu sebilah pedang panjang telah menusuk punggungnya.

   Secepat kilat Hoa In-liong memutar tabuhnya sambil mengebaskan kipasnya ke samping ujarnya sambil tertawa.

   "Haaahhh haaahhh haaaahhh. dengan kepandaian macam beginipun berani bertingkah dihadapanku? Huuh, masih ketinggalan jauh."

   "Traaang....!"

   Dengan telak kipas itu menghajar ujung pedang lawan, sementara tulang bambu di balik permukaan kertas menyabet pedang tersebut ke samping, walaupun pedang tadi bergeser dua depa ke samping, ternyata kipasnya sendiri tetap utuh.

   Untung si penyergap itu segera mengundurkan diri, kalau tidak pedangnya niscaya sudah terlepas dari genggaman.

   Jilid 05 SANG penyergap itu tampak agak tertegun, agaknya dia merasa tidak puas, sejenak kemudian sambil membentak. untuk kedua kalinya ia siap melancarkan serangan lagi.

   "Mundur, jangan gegabah!"

   Mendadak terdengar seseorang membentak dengan suara keras.

   "Sreeet...!"

   Hoa In-liong merentangkan kembali kipasnya dan digoyangkan beberapa kali, lalu ujarnya sambil tertawa nyaring.

   "Sobat, aku lihat kelihayanmu juga tak seberapa gegabah atau tidak toh sama juga hasilnya."

   Orang ini berkata lagi dengan suara keras.

   "Bersilat lidah bukan perbuatan seorang laki-laki sejati, bila kau bisa lolos dari sini malam ini, kaulah seorang jago yang hebat."

   Sekarang Hoa In-liong baru tersenyum, perlahan-lahan ia memutar badannya seraya bertanya.

   "Bila dugaan tidak keliru, tentunya engkau she Ciu bukan?"

   Orang itu berdiri di balik pintu kecil di belakang ruangan di balik pintu kecil adalah sebuah lorong karena cahaya suram maka raut wajah orang itu tak tertampak jelas, tapi jelas kelihatan ia agak tertegun sebelum akhirnya tertawa seram.

   "Haaahhh haaahh haaahhh keturunan keluarga Hoa rata-rata memang hebat sayang engkau sudah masuk perangkap. jangan harap kau bisa hidup sampai fajar esok."

   Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba bentaknya lagi.

   "Pasang obor, biar ia bisa mampus dengan hati yang jelas!"

   Suara mengiakan mendengung, cahaya api segera memercik menembusi kegelapan, dalam sekejap mata suasana dalam ruangan itu jadi terang benderang bagaikan di siang hari.

   Hoa In-liong memandang sekejap sekeliling tempat itu, ia lihat delapan orang laki-laki berbaju ungu berdiri mengitari sekeliling ruangan dalam dua kaki antara yang satu dengan lainnya, mereka membawa obor di tangan kiri dan pedang di tangan kanan, sinar matanya rata-rata tajam, tubuh kekar dan kuat, usianya tiga puluh tahunan, jelas orang-orang itu bukan manusia sembarangan, atau paling sedikit memiliki dasar ilmu silat yang tangguh.

   Ketika ia alihkan pandangannya ke arah orang yang berdiri dibalik pintu rahasia, maka terlihatlah bahwa orang itu berusia dua puluh tahunan, bajunya pakaian ringkas berwarna hijau pupus, mantelnya juga berwarna hijau, sebilah pedang kuno tersoreng dipinggangnya, dandanan maupun potongan badannya persis seperti seorang busu.

   Ia bermuka bengis, beralis tebal, bermuka lonjong dengan ujung bibir tersungging keatas, tampaknya menggemaskan sekali dan seakan-akan sejak dilahirkan memang bertampang kriminil, bila ia benar-benar she-Ciu (dendam) maka cocoklah nama dengan potongan badannya.

   Hoa In-liong tak berani gegabah setelah menyaksikan keadaan itu, kipasnya lantas dilipat dan memberi hormat katanya sambil tersenyum.

   "Ciu kongcu, dari mana kau bisa tahu kalau aku bakal datang kemari? Tidakkah merasa kuatir bila jebakan yang kau atur bakal sia-sia belaka?"

   "Datang atau tidak aku tak ambil peduli, tapi yang pasti detik ini kau berada dalam ruangan ini,"

   Sahut Ciu kongcu dengan ketus. Hoa In-liong menganggukkan kepalanya berulang kali.

   "Kongcu, aku tidak merasa pernah berkenalan dengan kau, tapi apa sebabnya kongcu baru puas jika telah berhasil membinasakan diriku, di manakah letak alasannya? Bersediakah engkau memberi penjelasan?"

   "Hmm... sudah tahu pura-pura bertanya,"

   Dengus Ciu kongcu dengan alis mata berkenyit.

   "Oooh...jadi kalau begitu kongcu benar-benar adalah anggota perkumpulan Hian-beng- kau?"

   Ciu kongcu tampak terkejut ia lantas berpikir dalam hati.

   "Bocah keparat ini benar-benar memiliki kemampuan yang hebat, sampai asal usulku diketahui olehnya."

   Meski dalam hati berpikir demikian, dimulut sahutnya dengan dingin.

   "Tak lama kemudian, perkumpulan kami akan muncul dalam dunia persilatan secara resmi, dan kemudian akan menguasai seluruh jagad, rasanya tiada suatu kepentingan bagi kami untuk mengelabuhi hal ini kepadamu...."

   Sekarang Hoa In-liong yang gantian merasa kaget, meski diluaran ia tetap berlagak tenang....

   "Jadi kalau begitu, aku harus menagih dendam berdarah atas tewasnya majikan gedung ini kepada diri kongcu??"

   "Benar,"

   Jawab Ciu kongcu dengan angkuh.

   "akulah otak pembunuhan ini, jika ingin membalas dendam, silahkan mencari aku." "Bila aku hendak menuntut balas, tentu saja akan kuberi bagian untuk dirimu, justru aku kuatir kalau kongcu bukanlah otak dan pembunuhan ini."

   "Kurang ajar!"

   Teriak Ciu kongcu dengan marah, sinar matanya berkilat.

   "engkau berani memandang hina diriku??"

   Hoa In-liong tersenyum.

   "Kenyataannya toh demikian, apa gunanya kongcu berlagak sebagai seorang pahlawan??"

   Tampaknya ucapan tersebut benar-benar membuat Ciu kongcu jadi mendongkol, teriaknya penasaran.

   "Coba terangkan kenyataannya menurut pandanganmu!"

   "Bukankah kongcu hanya seorang anak buah dari perkumpulan Hian-beng-kau. Nah bila kuingin cari otak pembunuhnya yang sebenarnya, lebih pantas kalau kucari ketuamu."

   Jawaban ini diluar dugaan Ciu kongcu ia jadi tertegun, tapi sejenak kemudian ujarnya lagi dengan mendongkol.

   "Kongcu-ya mu adalah murid pertama dari kaucu, pembunuhan berdarah yang terjadi disini akulah yang menyusun rencana serta pelaksanaannya kenapa kau cerewet melulu dan bersikeras menuduh guruku yang melakukan pembunuhan ini, sebenarnya apa maksudmu?"

   Diam-diam Hoa In-liong merasa geli, pikirnya "Bukan saja orang ini mempunyai napsu ingin menang yang amat besar, bahkan merupakan juga seorang laki-laki yang tak berakal panjang inilah kesempatan bagiku untuk mengorek keterangan kenapa tidak kumanfaatkan sebaikbaiknya?"

   Berpikir sampai disini, dia lantas menjura dan memberi hormat, kemudian tanyanya sambil tertawa.

   "Bolehkah aku tahu siapa nama kongcu?"

   "Ciu Hoa."

   "Ciu Hoa?"

   Pikir Hoa In-liong dengan hati terperanjat.

   "bukankah Ciu Hoa artinya mendendam keluarga Hoa? Kalau begitu mereka memang sengaja memusuhi keluarga Hoa kami."

   Cepat ia tertawa dan berkata lagi.

   "Selamat bertemu, selamat bertemu Bolehkah aku tahu siapa gurumu....?"

   "Guruku adalah...."

   "Kongcu hati-hati kalau bicara!"

   Mendadak terdengar seorang laki-laki berbaju ungu memberi peringatan.

   Agaknya Ciu Hoa segera mengetahui akan keteledorannya, cepat ia membungkam dan batal untuk berbicara, matanya kontan mendelik besar dan melototi wajah lawannya tanpa berkedip.

   Hoa In-liong tertawa, katanya dengan santai.

   "Kalau toh menyebut nama guru adalah suatu pantangan, lebih baik tak usah kau katakan."

   Ciu Hoa menggetarkan bibirnya seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi niatnya itu kembali dibatalkan, agaknya ia cukup memahami betapa seriusnya masalah yang dihadapinya, maka nama gurunya tak berani diucapkan lagi.

   Melihat keadaannya itu, tahulah Hoa In-liong bahwa dibakar hatinyapun tak ada gunanya, maka dia alihkan kembali pokok pembicaraannya ke soal lain.

   
Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kongcu, tolong tanya apakah engkau yang telah memindahkan jenasah dari Suma tayhiap dari tempat ini??"

   Sikap Ciu Hoa kali ini hambar sekali, malahan ia tertawa dingin.

   "Heeeeh....heeeeh heeeeh kalau benar kenapa? Kalau tak benar lantas bagaimana??"

   Jawaban ini mencengangkan hati Hoa In-liong sepasang alis matanya kontan berkenyit, pikirnya.

   "Sungguh aneh, orang ini tak berakal panjang, kenapa begini aneh jawabannya? Mungkinkah jenasah Suma siok-ya memang bukan dia yang memindahkan??"

   Sementara ia masih keheranan dan tidak habis mengerti, Ciu Hoa telah melanjutkan kembali kata-katanya.

   "Hampir saja kongcu-yamu terjebak oleh pancinganmu, mulai sekarang aku tak akan menjawab pertanyaanmu lagi, kaupun tak usah putar biji mata sambil mencari akal busuk. sekarang cabut keluar pedangmu, kongcu-yamu segera akan turun tangan."

   "Sreeet...."

   La cabut keluar pedang antiknya, lalu bergerak ke depan dan melancarkan tubrukan.

   Hoa In-liong tetap berdiam diri, dari sikap musuhnya ia tahu bahwa banyak bertanya pun tak ada gunanya.

   Sebagai seorang pemuda yang sombong dan tinggi hati, ia bersedia merendahkan diri lantaran ingin mencari tahu duduk persoalan yang sebenarnya, dan sekarang Ciu Hoa telah waspada dan tak mungkin bisa dimintai keterangan lagi, tentu saja diapun tak sudi merendahkan diri terus menerus, sambil tertawa tergelak segera ujarnya.

   "Bila kau hendak menyelesaikan persoalan ini dengan suatu pertempuran kilat, silahkan saja turun tangan, kau tak usah menguatirkan untuk keselamatan jiwaku."

   Sekilas pandangan, Ciu Hoa tampaknya kasar dan berangasan, tapi metelah bersiap siaga untuk melancarkan serangan, ia dapat pusatkan perhatiannya dengan sempurna, dapat diketahui bahwa gurunya tentu lihay dan ilmu silat yang dimiliki si anak muda inipun bukan ilmu silat sembarangan.

   Hoa In-liong tak berani gegabah, meski diluaran bicara seenaknya, hawa murninya diam-diam disalurkan ke dalam telapak tangan, dengan tenang ia menantikan tibanya serangan.

   Ciu Hoa sudah berada beberapa kaki saja di hadapan si anak muda itu, pedangnya telah digetarkan siap melakukan pembacokan, kembali dia berseru.

   "Hati-hatilah, aku akan melancarkan serangan!"

   Jurus serangan itu sekilas pandangan tampaknya sederhana dan tiada sesuatu yang aneh, tapi tempat yang dibacok ternyata luar biasa dan di luar dugaan, sebagai seorang ahli pedang sekilas pandangan saja Hoa In-liong telah menyadari bahwa ia sudah bertemu dengan musuh tangguh.

   Terkejut juga pemuda kita menghadapi kejadian seperti ini, ia tak berani gegabah, kipasnya segera dikebaskan ke muka untuk menangkis ancaman, katanya.

   "Ciu kongcu, silahkan menyerang dengan sepenuh tenaga, aku telah bersiap sedia menerima petunjukmu."

   Dasar wataknya yang binal, kendatipun sedang berhadapan dengan musuh tangguh, ternyata wataknya itu tidak berubah, sambil maju ia totok pergelangan tangan Ciu Hoa, ketika serangan nya mencapai tengah jalan, tiba-tiba ia merendah ke bawah, sambil menempel pada ujung pedang orang itu badannya berputar setengah lingkaran, mendadak kaki kanannya dijulurkan ke muka sementara sikut kirinya langsung menyodok iga kanan pemuda she-Ciu tersebut.

   Keadaan ini bagaikan seorang bocah yang sedang bermain, tentu saja Ciu Hoa tidak menyangka sampai kesitu, bila tidak begitu asal gerakan pedangnya sedikit dipercepat saja, niscaya Hoa Inliong akan terpapas oleh pedangnya dan terluka parah.

   Tapi Hoa In-liong telah mempraktekkan caranya yang binal itu, bahkan sapuan kaki kanan dan sodokan sikut kirinya dilancarkan dengan menempelkan di badan lawan dan kecepatan luar biasa.

   Dalam keadaan demikian, Ciu Hoa tak mampu untuk berkelit lagi, dia terdesak hebat sehingga harus meraung gusar dan berkelijit satu kaki ke-tengah udara.

   Menyaksikan musuhnya berhasil didesak mundur, Hoa In-liong tertawa nyaring dan mengejek.

   "Kongcu-ya, aku lihat ilmu silatmu tidak begitu tinggi."

   Dari malu Ciu Hoa jadi naik pitam, ia membentak keras lalu menerkam kedepan, pedang antiknya dikebaskan berulang kali...

   Sreeeet sreeet! Secara beruntun ia lepaskan tiga buah serangan berantai, yang mana seketika mengurung semua jalan darah penting di dada Hoa In-liong.

   Menghadapi serangan macam begini, Loji dari keluarga Hoa ini mengigos kesana berkelit kemari dengan seenaknya, tiba-tiba merentangkan senjata kipasnya kemudian menotok ke balik lapisan cahaya pedang yang berlapis-lapis itu, katanya sambil tertawa.

   "Lumayan juga ketiga buah seranganmu barusan, tapi bila kau sanggup memaksa aku untuk lepas pedang itu baru terhitung jago kelas satu dalam dunia persilatan."

   "Hmm Bila tidak kau lepas pedangmu itu berarti kau ingin mencari kematian buat diri sendiri jangan salahkan kalau kongcu mu bertindak telengas!"

   Bentak Ciu Hoa sambil mendengus dingin.

   Tubuhnya bergerak ke samping, tiba-tiba permainan pedang nya berubah, tampaklah beratusratus berkas cahaya yang menyilaukan mata sebentar menyambar ke kiri sebentar ke kanan, semuanya bergerak dengan gerakan yang aneh lihay dan sukar diduga, pedang itu ibaratnya naga yang bermain di angkasa, berliuk-liuk tak menentu.

   Itu masih mendingan, yang lebih hebat lagi ternyata dibalik gerakan pedang yang aneh dan sukar terduga itu terselip suatu hawa kebengisan yang mengerikan hati, membuat mereka yang menjumpainya jadi bingung dan ketakutan dengan sendirinya.

   Perlu diketahui, ilmu silat yang diandalkan oleh keluarga Hoa dari Im-tiong-san adalah ilmu Pedang, terlepas ketika Hoa Goan-ciu yakni kakek Hoa In-liong masih hidup, sepeninggalnya ia telah mewariskan enam belas jurus pedang dan sebilah pedang baja untuk putranya, dan putranya yakni Hoa Thian-hong mengandalkan sebilah pedang baja malang melintang dalam dunia persilatan, suatu ketika ia berhasil mendapatkan kitab kiam keng san berhasil pula mempelajari inti sari pelajaran pedang kiam-keng-poh-khi, akhirnya terciptalah serangkaian ilmu pedang yang sakti dan Iihaynya luar biasa.

   Semenjak kecil Hoa In-liong sudah pintar, apalagi mendapat pendidikan langsung dari ayahnya, bukan saja ilmu silat jenis lain memiliki dasar yang kuat, terutama dalam ilmu pedang kecuali kalah tenaga dari ayahnya boleh, dibilang kelihayannya hampir seimbang.

   Tapi sekarang setelah Ciu Hoa merubah gaya serangannya, bukan saja ia tak berhasil menebak asal mula dari ilmu pedang.

   tersebut, bahkan anak muda itu merasakan tubuhnya seolah-olah terjerumus dalam samudra pedang yang tak bertepian, sekarang ia baru kaget.

   Tak heran kalau Ciu Hoa dengan usia yang masih muda berani bersikap angkuh dan jumawa, ternyata ilmu silat yang dimilikinya memang tak boleh dianggap enteng.

   Lama kelamaan Hoa In-liong gelisah juga jadinya, tapi karena masih muda dan berdarah panas, lagipula sudah terlanjur ngomong besar, ia tak sudi mencabut pedangnya untuk melakukan perlawanan.

   Terpaksa dengan mengandalkan gerak tubuhnya ia berkelit kesana kemari dengan seksama, bila menemukan kesempatan ia lantas melepaskan serangan balasan dengan kipas Pertarungan macam begini memang besar sekali resikonya, sebab sedikit kurang hati-hati maka bisa mengakibatkan melayangnya selembar jiwa.

   Lima puluh jurus sudah lewat, keadaannya kian lama kian bertambah gawat, sekarang Hoa Inliong sudah terdesak hebat sehingga tiap saat jiwanya kemungkinan besar terancam.

   Tampaklah cahaya pedang berkilauan, angin serangan menderu-deru, bayangan senjata berlapislapis dan mengurung si anak muda itu dalam kepungan, Hoa In- liong telah berusaha untuk menerjang ke kiri menyapu kekanan, toh gagal untuk melepaskan diri dari ancaman tersebut, tampaknya selewat seratus gebrakan lagi dia akan terluka di ujung pedang Ciu Hoa.

   Tiba-tiba terdengar suara sorak-sorai menggema memecahkan kesepian, seorang laki-laki berbaju ungu bersorak keras.

   "Kongcu perketat serangan, bacok sampai mampus bocah keparat itu..,.."

   "Hoa loji, buang pedangmu dan menyerah saja!"

   Teriak pula laki-laki yang lain.

   "kalau kau tidak menyerah sekarang juga, tak akan kau temui lagi kesempatan di lain waktu."

   "Membuang pedang atau tidak toh sama saja!"

   Ejek pula laki-laki yang lain.

   "sampai sekarangkan kongcu kita masih belum melancarkan serangan-serangan mematikannya."

   Ciu Hoa sendiripun merasa bangga sekali setelah dilihatnya Hoa In-liong berhasil dipaksa sehingga tak berkemampuan untuk melancarkan serangan balasan, ia berkata sambil tertawa nyaring "Hoa-loji, ingatlah baik-baik Antara kau dan aku memang tak terikat hubungan dendam atau sakit hati, aku membunuh engkau lantaran membenci kau she Hoa, dan lantaran kau adalah putranya Hoa-Thian hong."

   Sambil berkata, pedang antiknya digetarkan semakin kencang, dengan jurus Teng liong kiu ci (naga membumbung bersalto sembilan kali) cahaya pedangnya membentuk sembilan titik bianglala putih dan meluncur ke depan dengan kecepatan luar biasa, sekejap kemudian sekujur badan Hoa In-liong sudah terkurung rapat.

   Serangan ini benar-benar sangat lihay.

   bahwa pedang yang membentuk berbintik- bintik cahaya bianglala putih yang seperti air tapi rapat seakan akan tak berlubang, sekalipun Hoa In liong membawa pedang belum tentu bisa mengundurkan diri dengan selamat.

   Tapi Hoa In-liong pada saat ini sudah dibikin gusar juga oleh keadaan yang dihadapinya, ditambah pula hatinya terbakar oleh ejekan lawan, serangan yang dilancarkan pun mendekati setengah kalap.

   Terdengar ia membentak keras, telapak tangan kirinya tiba-tiba dilontarkan ke muka dengan jurus Kun-siu-ci-tau, sedangkan tangan kanannya berputar kencang, jari tengahnya ditegangkan dan menotok dada Ciu Hoa deagm ilmu menyerang sampai mati, suatu kepandaian pentilan diri ci-yu-ji-ciat.

   Kedua buah serangan itu tak lain adalah senjata andalan ayahnya ketika masih berkelana dalam dunia persilatan di masa mudanya, dalam gugup dan gelisahnya ia telah menyerang dengan tenaga serangan yang amat dahsyat, kehebatannya sedikitpun tak kalah dengan kehebatan ayahnya.

   Dua buah serangan tersebut boleh dibilang merupakan jurus pertarungan untuk beradu jiwa, bilamana Ciu Hoa tak mau buyarkan serangannya, maka kendati Hoa In-liong bakal terluka diujung pedangnya, akan tetapi dia sendiripun akan terhajar oleh serangan lawan dan sedikit banyak dada nya akan berlubang tertembus oleh ilmu jari lawan yang maha dahsyat itu.

   Sudah tentu ia tak sudi terluka di ujung telapak tangan musuhnya, disaat terakhir tubuhnya segera miring kesamping sana.

   Pedangnya ditekan ke bawah dan tubuhnya berkelebat ke samping, dengan demikian diapun lolos dari pukulan musuh.

   Hoa In-liong sendiri, meski baru saja terlepas dari mara bahaya, namun paras mukanya masih tetap tenang-tenang saja seakan-akan tak pernah terjadi suatu apapun, malahan sambil terbahak-bahak katanya.

   "Haaahhh haaaahhh haaahhh, Ciu kongcu, apakah engkau masih mempunyai ilmu simpanan yang lain? Kenapa tidak sekalian kau keluarkan agar aku orang sheHoa bisa merasakannya?"

   Walaupun diluaran ia berkata seenaknya, tapi kali ini pedang mustikanya sudah diloloskan dari sarungnya.

   Ciu-Hoa sendiri, sewaktu dilihatnya pihak lawan telah mencabut keluar pedangnya, tak kuasa lagi dia menengadah dan tertawa terbahak-bahak.

   suara tertawanya penuh mengandung nada sindiran, dan memandang hina.

   Tentu saja Hoa In-liong dapat merasakan pula gelak tertawa yang penuh dengan nada sindiran itu, akan tetapi ia tidak memperhatikan, malahan berkata dengan lantang.

   "Ciu kongcu, aku telah merasakan kelihayan ilmu pedangmu, ketahuilah bahwa aku Hoa loji bukan seorang manusia yang takabur dan suka berlagak sok. aku cukup mengetahui kemampuanku, aku sadar bila tidak kugunakan pedang untuk melawan dirimu lagi, sulitlah bagiku untuk menangkan engkau."

   "Huuuh sekalipun kau gunakan pedang, apa yang bisa kau lakukan terhadap diriku?"

   Jengek Ciu Hoa sinis. Paras muka Hoa In-liong seketika berubah jadi membesi, dengan serius ia berkata.

   "Diantara kita tak terikat hubungan dendam ataupun sakit hati, dan kata-kata itu muncul dari mulutmu, maka akupun ingin memberi peringatan kepadamu, untuk menghadapi musuh yang tangguh janganlah terlalu tekebur dan terlalu yakin dengan kepandaian yang dimiliki sendiri..."

   Mula-mula Ciu Hoa agak tertegun, menyusul kemudian tertawa terbahak-bahak.

   "Haaahhh....haaahhh... haahh....nasehat macam apakah itu, Hoa loji lebih baik kau tak usah banyak bacot lagi."

   "Aku tahu bahwa ilmu pedangmu ganas dan sadis, akan tetapi kurang mantap dan tak teguh, bila ingin digunakan untuk mencabut jiwaku maka tenaganya masih jauh berkurang, bila bertempur lagi nanti, aku harap kau bisa bertindak lebih berhati-hati lagi."

   Pemuda ini, sudah terbiasa bersikap binal dan tidak bersungguh-sungguh, seakan- akan perkataan nya sama sekali tidak berbobot, akan tetapi setelah bersikap serius sekarang, terlihatlah keagungan serta kewibawaannya yang amat besar.

   Ciu Hoa tertegun dan seketika itu juga merasa kejumawaannya tersapu lenyap hingga tak berbekas untuk sesaat anak muda itu hanya bisa berdiri terbelalak tanpa mengetahui bagaimana harus menjawab perkataan dari musuhnya ini.

   Tiba-tiba terdengar seorang laki- laki berbaju ungu berseru lantang.

   "Kongcu, buat apa kita musti bersilat lidah terus dengan orang itu, mari kita atur barisan pedang saja, niscaya jiwanya tak akan lolos dari cengkeraman kita."

   Sekarang kejumawaan Ciu Hoa sudah padam, maka setelah termenung sebentar dia pun mengangguk.

   "Siapkan barisan"

   Perintahnya sambil mengebaskan pedang antiknya.

   Berbareng dengan diturunkannya perintah tersebut, bayangan manusia tampak berkelebat memenuhi angkasa, delapan orang laki-laki berbaju ungu itu sama-sama mengayunkan tangan kirinya dan menancapkan obor yang mereka bawa itu ke dinding ruangan, kemudian ujung pedangnya disentakkan ke atas dan disilangkan didepan dada, kemudian selangkah demi selangkah maju kedepan dan mengurung Hoa In-liong didalam kepunganHoa In-liong tetap bersikap tenang, malahan sedikitpun tidak bergerak, dengan pandangan yang tajam ia menyapu sekejap barisan yang baru dibentuk oleh musuh-musuhnya.

   Ia lihat delapan orang laki-laki berbaju ungu itu berdiri diposisi yang beraneka ragam, sepintas lalu posisi yang mereka duduki mirip dengan barisan pat-kwa, tapi bila ditinjau dari kehadiran Ciu Hoa ditengah barisan yang tampaknya merupakan motor dari barisan tersebut, posisi barisannya jadi lebih mirip dengan suatu barisan Klu-kiong-tinHoa In-liong tidak begitu memahami soal ilmu barisan, maka dia hanya bisa mempertinggi kewaspadaannya belaka, dan diam-diam pemuda itu mengambil keputusan untuk menghadapinya dengan tenang.

   Maka dengan dahi berkerut, bentaknya lantang.

   "Ciu kongcu, ketahuilah bahwa golok dan pedang tak bermata, jika aku sampai melukai anak buahmu, jangan kau salahkan aku bersikap kejam padamu..."

   Ciu Hoa mendengus dingin, ia tidak menjawab lagi, sambil menerjang ke muka pedangnya langsung melancarkan sebuah tusukan kilat, hebat sekali serangannya itu.

   Hoa In-liong segera menggerakkan pedangnya ke atas untuk menangkis, kemudian dengan mengincar datangnya sambaran pedang lawan, tiba-tiba ia mencukil ke atas.

   Dalam waktu singkat serangan musuh seolah-olah lenyap tak berbekas, diantara kilatan cahaya yang menyilaukan mata tercipta berlapis-lapis hawa pedang yang datang dari empat arah delapan penjuru.

   Hoa In-liong terperanjat, buru-buru pedangnya ditegakkan sementara tubuhnya berputar kencang dan maju selangkah kedepan, lalu pedangnya ditarik kembali, ujung pedangnya yang tajam disembunyikan dibalik ketiaknya, menyusul kemudian dia lancarkan kembali sebuah tusukan kilat ke arah belakang.

   Pemuda itu mengambil keputusan untuk melakukan pertarungan yang tenang dan tidak berangasan lantaran dalam anggapannya kendati barisan pedang macam apapun yang sedang dihadapi maka motornya pastilah Ciu Hoa, asal Ciu Hoa berhasil diringkus niscaya barisan pedang itu akan buyar sendiri tanpa diserang.

   Oleh sebab itu tatapan matanya yang tajam selalu mengincar posisi dari Ciu Hoa, seperti pula serangannya yang terakhir, arah yang di tuju tak lain adalah tenggorokan Ciu Hoa.

   Pendapatnya ini sedikitpun tak salah tapi justru karena Ciu Hoa merupakan motor penggerak dari barisan pedang itu, maka maju mundurnya delapan bilah pedangpun bergerak dengan Ciu Hoa sebagai pusat penyergapan, satu sama lainnya mereka dapat bergerak bersahut- sahutan, seakan-akan otaknya satu dan mereka merupakan satu tubuh yang sama, dalam keadaan demikian tentu saja bukan pekerjaan yang gampang bagi si anak muda itu untuk membekuk Ciu Hoa.

   Ketika serangan yang kedua kembali mengenai sasaran yang kosong, sepasang mata Hoa Inliong berkilat tajam ia saksikan betapa rapat dan ketatnya lapisan cahaya pedang yang memancar datang dari empat penjuru, serangan tersebut ibaratnya cahaya yang menggulung datang tiada habisnya, baik maju maupun mundur semuanya di lakukan dengan kecepatan ya luar biasa.

   Lapisan pedang yang berlapis-lapis itu bukan saja sukar untuk dipecahkan, bahkan tubuh Ciu Hoa pun terkurung dengan sendirinya hingga lenyap tak membekas, dalam keadaan apa boleh buat terpaksa anak muda itu lebih mementingkan diri sendiri, sepasang kakinya menjejak permukaan tanah kemudian mengegos ke samping.

   Belum sempat badannya berdiri tegak, mendadak ia merasakan tibanya beberapa gulung desingan angin dingin yang menyergap jalan darah penting diatas punggungnya, cepat ia menekuk pinggang sambil melepaskan pukulan, gerakan yang di pakai adalah jurus Kun-siu-citau (perlawanan terakhir dari binatang yang terjebak), seketika itu juga desingan angin dingin itu berhasil disingkirkan satu depa lebih kesamping.

   Setelah nyaris termakan sergapan maut, Hoa In-liong mengigos kesamping dan mundur dengan hati teperanjat, segera pikirnya dalam hati.

   "Benar-benar tak kusangka sebuah barisan pedang sedemikian kecilpun ternyata memiliki daya kekuatan yang luar biasa besarnya, bila aku tak tega untuk turun tangan keji, niscaya aku sendirilah yang bakal mendapat kerugian"

   Belum habis dia berpikir, tiba-tiba Ciu Hoa telah munculkan dirinya kembali, buru-buru ia menggerakkan pedangnya untuk membacok musuhnya itu.

   Baru saja dia melepaskan bacokan, mendadak cahaya pedang berkilauan, dari sampingpun muncul pula sebuah tusukan kilat yang tertuju ke atas tubuhnya, bila ia lanjutkan niatnya untuk melukai Ciu Hoa, niscaya iga sendiripun akan berlubang tertusuk pedang musuh, dalam keadaan begini terpaksa ia tekan pergelangan tangannya ke bawah, kemudian menangkis dengan pedangnya.

   Tak terkirakan sungguh dahsyat tenaga serangan musuh, ketika sepasang pedang saling beradu....

   "Traaang"

   Diantara dentingan nyaring, Hoa In-liong terdesak mundur selangkah ke belakang, sedangkan tusukan pedang tadi telah lenyap tak berbekas.

   Ilmu silat yang dimiliki Hoa In-liong memang sudah mencapai pada puncaknya, setelah bergebrak beberapa jurus, ia telah mengetahui bahwa kedelapan orang laki-laki berbaju ungu itu rata-rata memiliki dasar ilmu pedang yang sangat kuat ilmu silat mereka lihay dan andaikata bertempur seorang lawan seorangpun bukan sembarangan orang dapat menandinginya, apalagi mereka bergabung menjadi satu dan membentuk sebuah barisan pedang tak heran kalau kelihayannya berlipat ganda.

   Sekarang ia tak berani bergerak secara sembarangan lagi, pedang mustika ditangan konannya berusaha melakukan pertahanan, sementara tangan kirinya dengan disertai tenaga dalam yang sempurna kerapkali melancarkan pukulan-pukulan gencar dengan jurus Kun-shi-ci- tau yang maha sakti itu, dengan begini untuk sementara waktu keadaanpun bisa diimbangi sekalipun dengan susah payah.

   Dalam pertarungan tersebut, tiba-tiba delapan bilah pedang bersatu padu, cahaya pedang seakan-akan tercipta menjadi satu gumpalan cahaya besar yang menyilaukan mata, makin lama pertempuran itu berlangsung, getaran yang terpancar dari barisan pun bertambah cepat perputarannya, kedahsyatan yang kemudian terpancar keluar sungguh di luar dugaan Hoa Inliong, meski begitu ia tidak bingung atau kalut, pertahanannya masih tetap kokoh dan tangguh, sementara matanya masih saja mengincar tubuh Ciu-Hoa, bilamana ada kesempatan dia akan segera membekuk musuhnya itu.

   Seperminum teh kemudian, peluh teh membasahi jidat Hoa-In-lloag, ini menunjukkan betapa sengitnya pertarungan yang sedang berlangsung.

   Tiba-tiba terdengar Ciu Hoa berteriak keras.

   "Hoa loji, bila kau bersedia melepaskan pedang dan menyerah kalah, kongcu mu bersedia pula untuk memberi kematian yang utuh kepadamu."

   Hoa In liong mendengus dingin, ia tidak memberi tanggapan atas ucapan lawan. Terdengar Ciu Hoa berkata lagi.

   "Ketahuilah wahai Hoa loji, barisan pedang ku ini bernama kiucoan-liong-si (memutar lidah naga sembilan kali), kendati bapakmu sendiri belum tentu bisa memecahkan, bila engkau tak tahu diri sekali "lidah naga"

   Telah menggulung maka tubuhmu niscaya akan hancur berkeping-keping."

   Belum habis ia berkata, mendadak sesosok bayangan manusia menerjang kedepan, pedangnya ditegakkan ke atas dan langsung menusuk dada serta lambungnya.

   Perlu diketahui, berhubung barisan pedang itu bergerak sangat cepat sekalipun Hoa In-liong telah mengerahkan ketajaman mata untuk mengamati, gagal juga baginya untuk menembusi ketajaman sinar pedang yang berkilauan itu, otomatis sukar juga baginya untuk menduga dimanakah letak posisi Ciu Hoa dewasa ini, tapi begitu Ciu Hong buka suara, Hoa In-liong segera mengetahui tempat kedudukannya dan serta-merta dia lantas mengejar kesitu.

   Dalam keadaan yang tak terduga ini, Ciu Hoa tak sempat untuk menghindarkan diri lagi, terpaksa dia harus menggerakkan pedangnya untuk menangkis datangnya ancaman itu.

   "Traang...."

   Suatu bentrokan nyaring menggema memecahkan kesunyian, Ciu Hoa segera merasakan lengan kanannya jadi kesemutan dan kaku, pedang antiknya hampir saja terlepas dari cekalan cepat ia mundur dua langkah ke belakang.

   Tentu saja Hoa In-liong tak sudi melepaskan musuhnya dengan begitu saja, setelah berhenti sebentar, ia maju lagi ke depan, pedangnya secepat kilat melancarkan pula serangan mematikanDiluar dugaan, ternyata Ciu Hoa dibuat kelabakan dan kalang kabut dengan sendirinya, ia tak berani menyambut serangan tersebut dengan kekerasan, malahan tergopoh-gopoh tubuhnya lantas menyelinap ke samping.

   Dengan susah payah Hoa In-liong berhasil melepaskan diri dari kurungan barisan pedang musuh dan menemukan sasarannya, tentu saja ia tak ingin membiarkan Ciu Hoa menyelinap kembali ke dalam barisannya, melihat dia hendak kabur, segera bentaknya.

   "Mau kabur kemana?"

   Bagaikan bayangan menempel badan, secepat kilat dia mengejar ke arah depan.

   Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring berkumandang saling susul menyusul, delapan bilah pedang diputar berbareng menghadang jalan perginya.

   Hoa In-liong marah sekali, terutama ketika jalan perginya dihadang, ia meraung keras.

   "Bangsat Kalian sudah bosan hidup semua rupanya."

   Hawa murninya segera disalurkan ke dalam tangan, pedangnya diputar dan dia lantas mainkan ilmu pedang Ciong-kiam (pedang berat) Sreet sreet sreet serangan dilancarkan tiada hentinya, dalam sekejap mata ia sudah meneter ke delapan orang itu habis habisan.

   Perlu diketahui, ke enam belas jurus ilmu pedang yang ditinggalkan Hoa Goan-siu ini tidak lihay dalam jurus serangan, tidak lihay pula dalam kesempurnaan tenaga dalam, melainkan terletak pada kegagahan serta kewibawaan sang pembawa serangan tersebut, jika seseorang dapat mainkan jurus pedang itu dengan gagah dan berwibawa maka serta-merta terciptalah suatu kekuatan lain daripada yang lain yang jauh lebih mengerikan daripada hal-hal lainnya.

   Sejak Hoa Thian-hong berhasil mendapatkan kitab Kiam-keng dan Kiam-keng-kui-boh, ia telah menyisipkan pula intisari ilmu pedang di balik jurus-jurus pedang peninggalan orang tuanya, ketika diwariskan kembali kepada putra-putrinya, ilmu pedang itu sudah dirubah namanya menjadi Hoa-si- ciong-kiam-cap-lak-sin-cau (enam belas jurus sakti ilmu pedang berat keluarga Hoa), itu pun sudah berbeda dengan keadaan aslinya, kalau dahulu permainan pedang itu harus menggunakan pedang baja yang berat, maka sekarang cukup menggunakan pedang kayu atau pedang bambu tanpa mengurangi kelihayannya.

   Setelah lama bertempur tanpa mendatangkan hasil, lama kelamaan Hoa In-liong jadi sadar, apalagi setelah dilihatnya Ciu Hoa hampir menyelinap ke dalam barisan pedangnya lagi, dalam mendongkol dan marahnya dia lantas menyerang dengan gencar, malahan Hoa-si- ciong-kiamcap-lak-sin-cau yang maha dahsyat pun dikeluarkan, sekalipun kematangannya menggunakan jurus-jurus sakti itu belum sempurna, tapi kedelapan orang laki-laki berbaju ungu itu sudah tak sanggup mempertahankan diri Dalam sekejap mata, serangan dan pertahanan saling bertautan, delapan orang laki-laki berbaju ungu itu didesak sampai mundur berulang kali, tanpa bertindak lebih jauh barisan pedang itu bobol dengan sendirinya, dari satu barisan pedang yang tangguh sekarang telah berubah jadi suatu perlawanan bersama atas serangan musuh yang gencar.

   Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sementara itu Ciu Hoa telah menyingkir kesamping, ketika dilihatnya barisan pedang yang diandalkan sudah tak berwujud lagi, sedangkan kegagahan dan kehebatan Hoa In- liong sukar dibendung lagi, ia lantas berminat untuk ikut terjun pula ke dalam arena pertarungan serta berusaha untuk memulihkan kembali keutuhan barisan pedangnya.

   Tapi Hoa In-liong memang terlampau dahsyat, ia menyerang dan mengejar terus dengan ketatnya, dimana serangannya tiba delapan orang laki-laki berbaju ungu itu harus mundur untuk menyingkir, dalam posisi seperti ini sulitlah baginya untuk ikut terjun ke dalam gelanggang.

   Hal ini sangat menggelisahkan hatinya, saking marah dan mendongkolnya ia sampai mendepakdepakkan kakinya berulang kali ke atas tanah.

   Dari sikap tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Ciu Hoa adalah seorang laki- laki yang berangasan, begitu melihat posisi rekan-rekannya terdesak dibawah angin, sedangkan ia tak sanggup untuk memberikan bantuannya, timbullah niat jahat dalam hati kecilnya.

   Mendadak ia membentak gusar, tangannya lantas diayun kedepan melemparkan sebuah benda hitam ke atas batok kepala Hoa In-liong.

   Sepanjang pertarungan berlangsung, Hoa In-liong selalu memasang telinga dan matanya tajamtajam, begitu menangkap tibanya sambaran benda hitam yang disertai desingan angin tajam, ia segera mengetahui bahwa ia sedang disergap oleh sejenis senjata rahasia.

   Secepat kilat telapak tangan kanannya diayun kedepan.

   Ia menyampok senjata rahasia itu dengan bacokan pedang, sementara lengan kirinya dibabat kedepan menghajar mundur seorang laki-laki hingga terdesak sejauh tiga depa.

   "Blaaang...."

   Sebercak cahaya api berwarna biru mendadak memancar keempat penjuru dan mengejar tubuhnya.

   Menghadapi ancaman tersebut, Hoa In-liong sangat terperanjat, buru-buru ia menyusup ke samping dengan menempel diatas permukaan tanah, maksudnya ia hendak meloloskan diri dari gumpalan cahaya api itu.

   Kendati reaksi yang diberikan cukup cepat, namun setitik cahaya api sempat juga menetes diatas punggungnya, Hoa In-liong segera merasakan punggungnya jadi panas, jilatan api segera merembet sampai diatas dan membakar pakaian yang dikenakan.

   "Anak Liong! Jatuhkan diri dan bergelinding!"

   Disaat paling kritis mendadak seseorang berseru dengan suara yang serak tapi keras.

   Bersamaan dengan munculnya suara peringatan itu, sesosok manusia menyambar masuk ke dalam ruangan, seketika itu juga Ciu Hoa beserta delapan orang laki-laki berbaju ungunya melepaskan senjatanya dan berdiri kaku seperti patung arca, agaknya jalan darah mereka telah tertotok semua.

   Dalam pada itu Hoa In-liong telah bergelinding di atas tanah dan memadamkan lobaran api yang menjilat-jilat baju bagian punggungnya, tiba-tiba ia merasa kaki kanannya kaku dan susah digerakkan ketika diperiksa ternyata bagian lututnya telah tertancap sebatang jarum perak yang berwarna biru, jarum itu sudah menembusi kulitnya hingga tinggal ekornya saja masih tertinggal, dari warna biru yang berkilauan dapat diketahui bahwa jarum itu mengandung racun yang jahat sekali.

   Ayahnya Hoa Thian-hong tidak mempan terhadap serangan pelbagai jenis racun ini disebabkan karena ia pernah makan racun teratai empedu api, dan dia sebagai keturunan dari ayahnya mengalir pula darah murni yang mengandung serum penolak racun tersebut, dengan keistimewaan yang dimilikinya itu, tancapan sebatang jarum beracun tidak berpengaruh banyak atas dirinya.

   Meski demikian, Hoa In-liong naik pitam dan merasa dendam sekali, sebab Ciu Hoa telah berbuat keji dan melepaskan senjata rahasia sangat beracun itu tanpa memberi peringatan apapun, ini menunjukkan bahwa hatinya busuk sekali.

   Demikianlah, setelah jarum beracun itu dicabut keluar, ia lantas bangkit berdiri, kemudian sambil mendengus dingin katanya.

   "Manusia she-Ciu, kau keji dan berhati busuk Hoa loji tak dapat mengampuni selembar jiwamu."

   Dengan mata merah membara dan muka meringis menyeramkan, selangkah demi selangkah ia mendekati musuhnya itu.

   Sekarang Hoa In-liong sudah dipengaruhi oleh hawa napsu membunuh yang amat tebal, melihat keadaan lawannya itu Ciu Hoa jadi bergidik dan pecah nyalinya, apa daya jalan darahnya tertotok mulut tak bisa berbicara badan tak mampu bergerak, dalam keadaan sepsrti ini terpaksa dia hanya bisa pasrah dan menunggu saat ajalnya.

   Mendadak sesosok bayangan manusia kembali berkelebat lewat, seorang kakek tua berjubah ungu tahu-tahu sudah menghadang jalan perginya.

   "Liong-ji,"

   Kata orang itu dengan lantang.

   "apakah engkau hendak membunuh seseorang yang telah kehilangan daya perlawanannya?"

   Orang itu berperawakan tinggi besar dan kekar, rambut, jenggot maupun alis matanya telah berwarna putih, usianya enam puluh tahunan, meski demikian ia tampak masih segar bugar dan tak nampak tua.

   Siapakah orang ini? Dia adalah Pek Siau-thian bekas ketua perkumpulan sin-kipang yang tersohor di masa lampau, atau kakek dari Hoa In-liong sendiri Tak heran kalau dalam sekali gebrakan sembilan orang jago tangguh tersebut dapat dirobohkan semua olehnya, sebab Pek Siau-thian memang berilmu sangat lihay.

   Setelah mengetahui kalau kakek tua itu tak lain adalah Gwa-kong (kakek luar) nya, mula-mula Hoa In-liong agak tertegun, menyusul kemudian dengan wajah berseru dia jatuhkan diri berlutut, serunya dengan penuh kegembiraan.

   "Liong-ji memberi salam buat Gwa-kong."

   "Bangun, cepat bangun!"

   Seru Pek-siau-thian sambil ulapkan tangannya.

   "gwa-kong ingin bertanya padamu, bagaimana caranya kau selesaikan beberapa orang ini?"

   Sambil bangkit diri Hoa In-liong menjawab.

   "Mereka adalah anak buah perkumpulan Hian bengkau, berhati busuk dan berniat keji,"

   Liong-ji pikir.

   Tatkala sinar matanya menyapu sekejap ke arah Ciu-Hoa sekalian, ia baru tahu kalau jalan darah mereka sudah tertotok semua, maka kata-kata selanjutnya tidak jadi dilanjutkan.

   Pek-siau-thian memandang sekejap ke arah cucunya, kemudian berkata lagi.

   "Ketika ayahmu berkelana dalam dunia persilatan tempo hari, ilmu silat yang dimilikinya tidak beberapa lihay, tapi sampai-sampai Gwa-kong sendiripun tak berani memandang enteng dirinya, tahukah kau apa sebabnya bisa begitu?"

   Dihari-hari biasa, Pek-siau-thian amat sayang dan memanjakan cucu luarnya ini.

   tapi sekarang agaknya ia berniat untuk memberi pendidikan terhadap cucunya ini, bukan saja keren wajahnya bahkan nada pembicaraanpun tegas dan bersungguh-sungguh.

   Hoa In-liong yang menengadah dan menyaksikan keadaan kakeknya ini, kontan merasa tercekat hatinya, ia sendiripun merasa sedikit di luar dugaan.

   Pek-siau-thian anggukkan kepalanya, dan melanjutkan kembali kata-katanya.

   "Ayahmu berjiwa besar, berwatak sabar tapi bersikap tegas, masalah kecil tidak selalu dipikirkan dalam hati, masalah besarpun bersikap luwes, sekalipun berhadapan dengan musuh besar pembunuh ayahnya, diapun tidak bersikap angkuh, sepanjang hidup tak pernah melukai mereka yang sudah tak mampu bergerak, apalagi membunuh mereka yang sudah kehilangan daya perlawanannya,sebab itu kendatipun musuh bebuyutannya juga menaruh tiga bagian rasa hormat kepadanya."

   Ketika mendengar sampai disana, Hoa In-liong telah mengetahui apa yang dimaksudkan Gwakongnya, cepat ia memberi hormat seraya berkata.

   "Liong-ji tak tahu kalau beberapa orang ini sudah tertotok jalan darahnya."

   Pek-siau-thian ulapkan tangannya mencegah anak muda itu bicara lebih lanjut, tukasnya.

   "Kau tak usah bicara lebih jauh, untuk hidup sebagai seorang manusia engkau harus bertindak teliti, sebab dikala perasaan hatimu mulai bergerak maka yang benar tetap akan benar, dan yang salah tetap akan salah, benar atau tidaknya harus kau bedakan disaat itu. bila kau tidak meninjau dulu keadaannya tapi bertindak menurut emosi, coba bayangkan saja seandainya gwa-kong tidak datang tepat pada waktunya, bagaimanakah akibatnya sekarang..."

   Hoa In-liong tak dapat berbicara lagi, dia hanya bisa mengiakan berulang kali. Terdengar Pek Siau-thian berkata lebih lanjut.

   "Gwa-kong sedari tadi sudah tiba disini, dan apa yang terjadi dapat kusaksikan semua dengan jelas, akupun menyaksikan bagaimanakah dengan menempuh bahaya kau mencari kesempatan yang baik untuk mengorek keterangan dari mulut lawan, sekalipun kegagahanmu lumayan juga namun masih selisih jauh bila dibandingkan dengan ayahmu. Aaaai...... Aku benar-benar merasa tidak habis mengerti mengapa nenekmu begitu tega untuk melepaskan kau berkelana seorang diri?"

   Kendati maksud ucapannya adalah memberi pendidikan dan pelajaran yang keras untuk cucu luarnya ini, tapi rasa sayang dan manjanya terhadap cucu lakinya ini kentara sekali diantara pancaran wajah maupun nada pembicaraannya.

   Sebagai bocah yang binal, begitu Hoi In-liong menangkap kalau nada suara gwa- kongnya menjadi lunak kembali, ia lantas menengadah, dengan alis mata berkenyit katanya.

   "Gwa-kong masa kau tidak tahu? Liong-ji bisa berkelana diluaran sekarang ini adalah atas perintah dari nenek."

   "Tentang soal ini kita bicarakan nanti saja!"

   Tukas Pek Siau-thian sambil ulapkan tangannya.

   "sekarang kau harus putuskan dulu, dengan cara apa engkau hendak selesaikan beberapa orang ini?"

   "Lepaskan saja mereka semua!"

   Sahut Hoa In-liong sekenanya. Pek Siau-thian tersenyum.

   "Bukankah engkau hendak menyelidiki latar belakang tentang perkumpulan Hian- beng-kau?"

   "Liong-ji telah mengerti, bahwa pengetahuan dari seorang ketua regu sangatlah terbatas sekali."

   "Bukankah dia adalah murid tertua dari ketua perkumpulan Hian-beng-kau?"

   "Murid tertua juga sama saja. sampai kini Hian-beng kaucu tetap menyembunyikan diri seperti kura-kura, ia cuma mengutus anak buahnya melakukan keonaran dai penganiayaan, masakan rahasia besar rencananya akan dibeberkan dihadapan mereka? Malahan yakin bahwa ia sudah memperingatkan anak buahnya untuk menjaga rahasia dengan siksaan keji sebagai imbalannya bila mereka telah membocorkan rahasia tersebut, maka aku pikir tak ada gunanya kita paksa mereka untuk memberi keterangan, Liong-ji akan berusaha untuk mencari keterangan sendiri dengan usaha yang kumiliki."

   Mendengar jawaban tersebut, Pek Siau-thian tertawa terbahak-bahak sambil mengelus jenggotnya ia berkata.

   "Haahh...... haaaahhh....... haaahhh..... sungguh tak kusangka engkau berotak cermat dan mempunyai semangat yang menyala-nyala, baiklah Gwa-kong akan membantu dirimu untuk melepaskan orang-orang ini."

   Dia lantas putar badannya, diantara sentilan jari tangannya, sembilan orang jago yang tertotok jalan darahnya segera bebas dari pengaruh totokan tersebut.

   "Sebera tinggalkan kota Lok-yang"

   Hardiknya dengan lantang.

   "kalau berani mengulur waktu lagi, Hmm Bila terjatuh ketangan lohu lagi, jangan harap kamu semua bisa dibebaskan seperti hari ini, Hayo cepat pergi..."

   Dari pembicaraan yang baru saja berlangsung Ciu Hoa sudah mengetahui akan asal usul kakek berjubah ungu itu.

   tentu saja ia tak berani berdiam lebih lama lagi disana.

   Begitu jalan darahnya bebas, mereka lantas memungut kembali senjatanya, kemudian setelah melotot sekejap ke arah Hoa In-liong dengan penuh kebencian, mereka lari terbirit-birit tinggalkan ruangan itu, dalam sekejap mata bayangan tubuh mereka sudah lenyap tak berbekas.

   Setelah beberapa orang itu berlalu Hoa In-liong baru berpaling, ujarnya sambil tertawa cecikikan.

   "Huhh..hiihh..hiihh..sekarang aku sudah paham"

   "Apa yang kaupahami?"

   Tanya Pek Siau-thian tercengang.

   "Tentu Gwa-kong yang sudah memindahkan jenasah dari Suma siok-ya dari tempat ini."

   Pek Siau-thian tersenyum, ia membelai rambut cucunya dengan penuh kasih sayang, kemudian sahutnya.

   "Bocah manis, kau memang cerdik, memang benar gwa-kong yang sudah memindahkan jenasah dari Suma-tayhiap suami istri dari sini, sekarang jenasah mereka bersemayam di kuil Pek-ma-si diluar kota sana, dan dirawat oleh Cu-hong-taysu."

   "Siapakah Cu-hong Taysu itu?"

   Tanya Hoa In-liong keheranan. "Tentunya kau kenal bukan siapakah Cu-in-taysu itu?"

   "Kenal,"

   Sahut si anak muda itu sambil mengangguk.

   "dia adalah sahabat karib ayahku."

   "Cu-hong taysu adalah kakak seperguruan Cu-in taysu, dia adalah sobat karib Gwakong."

   Kiranya sejak pertempuran di bukit Cu-bu-kok dimana perkumpulan Sin-kapang mengalami kekalahan besar, kemudian dalam penggalian harta dibukit Kiu-ci-san iapun harus banyak mengandalkan bantuan Hoa-Thian-hong, setelah itu putri sulungnya kawin dengan Bong-Pay, putri keduanya kawin dengan Hoa-Thian-hong, dimana kedua orang menantunya adalah jagojago dari golongan lurus, ditambah pula istrinya Kho-hong-bwe selalu menasehati suaminya agar bertobat.

   Dalam putus asa dan kecewanya Pek-siau-thian sering kali belajar agama Budha dari istri nya sering pula berhubungan dengan orang-orang luar maka pada mulanya ia setelah dapat melepaskan cita-citanya untuk menjagoi kolong langit, tapi akhirnya iapun sadar bahwa jalan pikirannya itu keliru besar.

   Maka akhirnya bukan saja ia sering berhubungan dengan Bun Tay-kun sekalian anak famili dari golongan lurus, perangainya pun banyak berubah yang berbudi luhur, dengan Cu- hong, cu-in taysu sekalian pun menjadi sahabat karib.

   Kalau bukan lantaran perangainya sudah banyak berubah, dengan perbuatan dari Ciu Hoa sekalian tadi, tak nanti ia akan lepaskan mereka dalam keadaan hidup.

   Setelah mendengar asal usul Cu-hong taysu dari Gwa-kong nya, Hoa In-liong merasakan hati nya jadi lega, diapun berkata.

   "Oooh.,.. kiranya dia adalah suhengnya Tau-to yaya, sepantarnya kalau Liong ji pergi menyambanginya."

   "Sedari kapan kau pandai menjalankan adat kesopanan?"

   Goda Pek Siau-thian sambil tersenyum. Merah padam selembar wajah anak muda itu karena jengah, serunya manja.

   "Gwa- kong, masa kau anggap Liong-ji selamanya tak dapat tumbuh jadi dewasa?"

   "Haaahhh....haaahhh....haaahhh.....bagus. Bagus! Kau memang sudah dewasa, kau memang sudah dewasa. Cuma.... Gwa-kong selalu berharap agar selamanya kau jangan dewasa......"

   Setelah berhenti sebentar, dia alihkan pokok pembicaraan kesoal lain, tanyanya lagi.

   "Menurut pengamatanku, tampaknya kau datang dengan membawa tugas, tugas apakah kau diperintahkan untuk menyelidiki kasus pembunuhan berdarah atas diri Suma tayhiap?"

   "Benar dari mana Gwa-kong bisa tahu?"

   Tanya Hoa In-liong tercengang, agaknya ia tak menduga kalau kakeknya bisa menduga sampai kesitu. Pek Siau-thian tertawa.

   "Tentu saja Gwa-kong mengetahui kejadian ini secara kebetulan saja, dalam perjalanan melewati kota Lok-yang, aku baru tiba disini menjelang senja, sebenarnya tujuanku adalah mengunjungi sobat-sobat lama sambil kongkou, siapa tahu Suma siok-ya mu telah menjadi almarhum, ketika kutemukan rumahnya terbengkalai, dalam peti mati tersiar bau obat beracun, dan diantara debu yang melapisi permukaan lantai kutemukan juga bekas-bekas pertarungan setelah itu kutemukan juga bekas gigitan diantara tenggorokan Suma-Tayhiap suami istri, aku lantas sadar bahwa setelah mereka mati, pihak musuh telah menggunakan jenasah mereka sebagai jebakan untuk memancing orang-orang yang melayat kemari masuk perangkap, untuk menghindari segala kemungkinan yang tak diinginkan maka jenasah mereka aku pindahkan dari sini."

   Mendengar keterangan tersebut, tanpa terasa lagi Hoa In-liong lantas berpikir.

   "Aaaai.....bagaimanapun juga pengetahuan serta pengalaman Gwa-kong jauh lebih hebat daripadaku, sampai sekarang aku baru mencurigai sampai kesitu sebaliknya cukup dalam sekali tatapan saja dia orang tua sudah menebak maksud busuk musuh dan segera melakukan segala tindakan penanggulangan, dari sini menunjukkan bahwa aku masih belum bisa untuk berbuat apa-apa."

   Sementara dia masih melamun, Pek Siau-thian telah bertanya lagi.

   "Liong-ji, sudah berapa lama kau tiba di kota Lok-yang?"

   "Kemarin baru sampai."

   "Berhasil menemukan sesuatu tanda terang yang patut dicurigai?"

   "Sudah, dan titik terang itu adalah Ciu Hoa tadi."

   "Kalau begitu... bukankah titik terang itu kembali sudah terputus....?"

   Kata Pek Siau-thian dengan dahi berkerut.

   "Aaaah, tak jadi soal, Liong-ji toh bisa mencarinya lagi,"

   Sahut Hoa In-liong dengan santainya.

   Sepintas lalu ucapan itu memang kedengarannya biasa dan tak ada sesuatu keistimewaannya, bahkan malahan lebih mendekati jawaban yang seenaknya, tapi bagi pendengaran Pek Siauthian justru berbeda jauh, dia malahan merasakan betapa gagah dan terbukanya pikiran cucunya ini, bahkan dibalik kelembutan sebetulnya tersembunyi suatu kekuatan yang dapat membuat orang jadi takluk dan kagum..

   Tak terasa lagi ia tersenyum, sambil mengelus jenggotnya dia berpikir.

   "Bocah ini betul-betul berhati sekeras baja, berjiwa besar, berotak cerdik dan pandai menyelami perasaan orang, bila dididik secara betul dan terpimpin, niscaya dikemudian hari akan menjadi seorang pemimpin dunia persilatan yang patut diandal kan"

   Ooooooooooo KARENA berpendapat begitu, Pek-siau-thian merasa hatinya jaun lebih lega katanya kemudian dengan lantang.

   "Liong-ji hayo berangkat Ikut Gwa-kong ke- kuil Peks-ma-si."

   "Waaah, tidak bisa,"

   Sahut Hoa In-liong setelah sangsi sebentar.

   "kuda dan bekalku masih ada di rumah penginapan"

   Pek Siau-thian berpikir sejenak. kemudian sambil ulapkan tangannya ia berkata lagi.

   "Baiklah, kalau begitu mari kita berkumpul dirumah penginapan"

   Hoa In liong tidak mengerti apa sebabnya Gwa-kong mendadak jadi gembira sekali, tapi berhubung ia sudah lama berpisah dengan kakeknya dan lagi iapun sudah amat rindu dengan engkongnya ini tanpa berpikir panjang lagi ia maju ke muka dan sambil menggandeng tangan si kakek tua itu berlalu dari ruangan.

   Sekembalinya dirumah penginapan, Hoa In-liong memerintahkan pelayan untuk siapkan sayur dan arak.

   selesai membersihkan badan kakek dan cucu berduapun bersantap sambil bercerita.

   Tampaknya Pek Siau-thian memang mempunyai maksud tertentu, ia berniat untuk melatih Hoa In liong sehingga lebih perkasa dan lebih luas pengetahuannya.

   

   
Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
first share di Kolektor E-Book 14-08-2019 08:24:53
oleh Saiful Bahri Situbondo


Rahasia Peti Wasiat -- Gan K L Harimau Kemala Putih -- Khu Lung Manusia Aneh Dialas Pegunungan -- Gan K.l

Cari Blog Ini