Ceritasilat Novel Online

Tears Of Heaven 5


Dr Ang Swee Chai Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Bagian 5



Suasana kemenangan ini kejayaan, kegembiraan, keteguhan di tengah kesulitan yang tak terperikan akan selalu kukenang dan ingin kubagi dengan orang-orang yang sedang menderita di seluruh penjuru dunia.

   Kamp Shatila telah menerima gempuran habis-habisan.

   Selama empat puluh hari dan empat puluh malam, bom, granat, dan proyektil diluncurkan ke arah kamp yang padat penduduk dan hanya berukuran tiga puluh enam ribu meter persegi ini.

   Namun, kamp Shatila tetap teguh berdiri dan melahirkan para syuhada.

   Hari ini, penduduk kamp merasa bangga dan berjaya.

   Mereka mengenang bagaimana dalam satu hari saja, enam ratus bom, granat, dan roket menghujani rumah-rumah mereka, tetapi mereka pantang menyerah.

   Mereka mengenang bagaimana, di lain hari, mereka kehabisan amunisi, mereka maju ke garis depan dan berpura-pura menembak, menirukan gemuruh suara ledakan untuk menciptakan kesan seolah-olah mereka membalas serangan.

   Alih-alih menyerah, empat gadis Palestina melintasi pos pemeriksaan dengan menyamar dan membawa kembali tiga puluh lima ribu butir amunisi dan para penduduk kamp melanjutkan pertempuran.

   Hari ini, Shatila bukan menangisi kuburan massal pembantaian yang terjadi pada 1982, melainkan memberikan penghormatan sekaligus memperingati mereka yang telah mengorbankan nyawa demi mempertahankan rumah-rumah penduduk.

   Setelah acara peringatan tersebut, aku kembali ke klinik dan bertemu Hannah, seorang perawat dari Rumah Sakit Gaza tempatku bekerja pada 1982.

   Ia tampak lebih kurus dan matanya memancarkan kesan melankolis.

   Hampir tiga tahun telah berlalu, tetapi aku masih mengingat saat berada di ruang perawatan pasien kecelakaan di Rumah Sakit Gaza, ekspresi wajahnya yang panik ketika ia menyadari bahwa tabung nitro oksida keliru dilabeli dengan oksigen.

   Ia berusaha bertahan selama mungkin di Beirut, bahkan setelah pembantaian 1982, sampai akhirnya ia ditahan.

   Sesudah dibebaskan, ia pergi ke luar negeri.

   Ketika mendengar berita penyerangan terhadap kamp, ia meninggalkan kuliahnya di Belgia dan walaupun harus menanggung risiko, ia kembali ke sini.

   Seraya memeluk gadis yang sedang tersedu-sedu itu, aku dapat merasakan betapa kurusnya ia.

   "Hannah, tolonglah, kuatkanlah dirimu,"

   Ujarku padanya. Biasanya, kata-kata seperti itu akan membuat orang-orang tergugah. Namun, ia mengusap air matanya, menatapku, dan berkata.

   "Aku mencobanya, tapi sampai berapa lama?"

   Aku tahu jawabannya, tapi memutuskan lebih baik tidak terlalu banyak bicara.

   Untunglah, segerombolan pasien telah berkumpul di sekitar klinik.

   Dengan segera ia membuang rasa sedihnya dan mulai mengerjakan tugas-tugas keperawatannya.

   Kemudian, ketika hari menjelang sore dan para pasien telah pergi, aku bertanya padanya tentang teman dekatnya, Nahla.

   Aku diberi tahu bahwa Nahla tengah terluka dan kini sedang dalam persembunyian.

   "Ia terus-menerus bertempur selama empat puluh hari dan empat puluh malam,"

   Jelas Hannah.

   "Lalu, kamp kehabisan peluru, dan empat orang wanita pergi ke luar untuk membeli peluru. Ia termasuk salah satu dari mereka. Saat kembali ke kamp, mereka mengikatkan peluru di tubuh mereka untuk melewati pos penjagaan Amal. Namun, belakangan pasukan Amal mengetahui hal ini. Mereka menjadi sangat, sangat marah. Mereka ingin membunuhnya. Kamu tidak bisa mendatangi tempat persembunyian Nahla karena pasukan Amal akan mengikutimu dan membunuhnya."

   Ini gila, padahal Nahla sedang menjalani pelatihan untuk menjadi perawat di Rumah Sakit Gaza.

   Sekarang ia menghadapi ancaman kematian hanya gara-gara membela warganya.

   Tinggi, berkulit putih, dan anggun, Nahla termasuk salah satu wanita tercantik yang pernah kulihat dalam hidupku.

   Membayangkan ia ikut bertempur dengan gagah berani membuatku bangga.

   Namun, menyadari bahwa saat ini ia terluka dan dikejar-kejar ke seluruh Beirut, aku menjadi sangat gusar.

   Aku tidak berani berharap dapat bertemu dengannya, kesempatan untuk menjadi temannya sudah merupakan suatu kehormatan besar bagiku.

   Hari berikutnya, ibu Nahla mengontakku dan ingin datang bertemu denganku.

   Putrinya telah mengirimiku salam dan sebuah hadiah, sebuah taplak meja berbahan kain yang di atasnya tersulam gambar bendera Palestina dan matahari terbit.

   Nahla telah meminta ibunya untuk memberikannya kepadaku.

   Taplak meja itu dulu terpasang di meja bacanya dan ibunya mengatakan bahwa Nahla berharap setiap kali aku menatap warna-warni bendera Palestina tersebut, aku akan mengingat dirinya.

   Lalu, ibu Nahla menyadari bahwa ia sendiri tidak membawa hadiah untukku.

   Tergesa-gesa ia mengaduk-aduk keranjang rotannya.

   Ia menemukan sepasang garpu dan sendok dan diberikannya kepadaku.

   Aku memeluknya dengan sangat erat, mengembalikan garpu dan sendok itu, dan menciuminya berulang kali.

   Aku tahu sekarang dari siapa Nahla mewarisi sifat dermawan dan semangat berkorban.[] Dua Puluh Satu Keesokan harinya, aku pergi ke Hamra kawasan perbelanjaan di Beirut Barat dan membeli seikat bunga untuk kuletakkan di kuburan para syuhada di Masjid Shatila.

   Namun, aku kehilangan bunga-bunga itu dalam perjalanan antara Hamra dan masjid.

   Meskipun begitu, aku tetap menuju masjid untuk memberikan penghormatan.

   Saat itulah untuk pertama kalinya aku memasuki reruntuhan Masjid Shatila.

   Seiring memasuki pintunya, kuperhatikan betapa bersih dan indah bagian dalam bangunan itu.

   Lima puluh orang syuhada tersebut dikuburkan di pelataran utama masjid.

   Tersebar bunga di mana-mana.

   Alih-alih batu nisan, foto-foto dan bendera-bendera Palestina menandai setiap makam para syuhada.

   Dari sekilas pandang atas foto-foto itu, aku tahu bahwa semua syuhada itu masih sangat muda.

   Tidak hanya muda, tapi kebanyakan dari mereka adalah wanita sedangkan wanita di belahan lain dunia tengah mengejar karier, mencari suami, dan merencanakan berkeluarga.

   Dalam foto-foto itu, mereka tampak cantik dan tersenyum, gadis-gadis ini mengorbankan masa muda dan kehidupan mereka yang berharga demi rakyat dan negara mereka tanpa mengharap pamrih.

   Para pasien di Shatila adalah orang-orang yang sangat bersemangat.

   Aku sering kali merasa kagum melihat bagaimana mereka memahami dengan baik kondisi mereka sendiri, bagaimana mereka mengetahui dengan persis letak setiap peluru atau pecahan bom dalam tubuh mereka, juga bagian vital tubuh mereka manakah yang dikoyak oleh peluru tersebut.

   Lebih dari itu, aku mengagumi kesabaran mereka berhadapan denganku.

   Hampir semuanya tahu bahwa karena keterbatasan alat-alat bedah, aku tak dapat melakukan operasi besar terhadap mereka.

   Namun, mereka tetap memenuhi janji untuk menjalani pemeriksaan dan mendiskusikan keadaan mereka denganku.

   Dokter sukarelawan asal Belgia yang bekerja untuk NORWAC biasa menertawakanku karena membiarkan Klinik Spesialis Ortopedisku menjadi sebuah klub sosial yang besar.

   Namun, aku merasa bahwa dengan membiarkan selusin pasienku duduk bersama-sama, menyimak penuturan setiap orang mengenai luka-lukanya, dan membiarkan mereka mempelajari bagaimana membalut luka dan melatih menggerakkan tungkai mereka yang lumpuh, aku mendapatkan semacam dorongan moral, dan itu membantu mengurangi keprihatinanku atas kurangnya fasilitas perawatan pasien yang ada.

   Tak lama kemudian, para pasien itu saling melepas plester gips mereka sebelum menemuiku, mereka juga membawakan trafo agar gergaji gips buatan Inggris yang kami bawa dapat memakai listrik dari mesin generator kamp.

   Aku yakin bahwa seandainya diberi cukup waktu, orang-orang ini akan menjadi para teknisi ortopedis yang hebat, meskipun aku mengkhawatirkan apa pendapat Asosiasi Ortopedis Inggris tentang klinikku yang banyak melanggar peraturan dan kondisinya di bawah standar.

   Tapi, baik di bawah standar ataupun tidak, kami tetap berhasil menjalankan klinik ini.

   Suatu hari, aku harus mengeluarkan sebutir peluru dari telapak tangan seorang pemuda Palestina, peluru itu menyebabkan telapak tangannya tak bisa ditutup.

   Peluru itu tersangkut di tulang metakarpal ketiga.

   Tidak ada obat bius dan aku harus mengoperasinya tanpa menggunakan sarung tangan, masker bedah, maupun topi.

   Aku didampingi seorang perawat yang menggenggam sebatang lilin.

   Sebelum memulai, aku memperingatkan dia,"Ini akan menyakitkan kami kehabisan obat bius."

   Ia menjawabnya dengan tegas.

   "Doctora, Anda lupa, saya orang Palestina."

   Apa yang dapat kukatakan kepada pasien yang menjawab dengan kata-kata seperti itu? Operasi itu berhasil dilakukan bahkan tanpa menggunakan pembiusan lokal.

   Setelah operasi itu, aku mulai melakukan lebih banyak lagi operasi dengan atau tanpa bius lokal di rumah-rumah penduduk, di ruang duduk, di dipan, atau di dapur.

   Biasanya, seorang juru rawat Palestina ikut denganku dan kami membawa sebotol anti septik, perban, pisau bedah, benang bedah, wadah jarum, gunting bedah, dan alat-alat lainnya untuk melakukan operasi bedah kecil-kecilan sambil sekaligus mengunjungi para penduduk di rumah-rumah mereka yang sebagian telah hancur.

   Menakjubkan betapa cepatnya aku terbiasa melakukan operasi dengan peralatan seadanya.

   Namun, untuk perawatan luka-luka yang lebih serius, kami harus menunggu sampai Shatila memiliki rumah sakit yang layak.

   Sementara itu, diadakan renovasi besar-besaran atas bunker perlindungan di kamp Shatila.

   Bangunan tersebut diubah menjadi sebuah kamar operasi, dengan bangsal-bangsal, ruangan kecil untuk resusitasi, dan berbagai fasilitas pemulihan.

   Ruangan-ruangan ini akan disambungkan dengan klinik PRCS, dan kelak di kemudian hari, semua bangunan ini akan membentuk apa yang disebut dengan Rumah Sakit Shatila.

   Para penduduk kamp ingin bersiap siaga seandainya pasukan Amal kembali menyerang.

   John Thorndike, dengan pengalamannya yang luas di bagian gawat darurat dan penanganan kecelakaan, dipindahkan dari Rumah Sakit Haifa ke kamp Shatila untuk membantu pembangunan tempat itu.

   Pada suatu sore, aku memutuskan bahwa inilah waktunya untuk mengunjungi kamp Sabra, atau apa yang masih tersisa di sana, serta Rumah Sakit Gaza.

   Aku memilih untuk menyusuri jalan raya yang sama yang pernah kami lalui di bawah paksaan para tentara pada pagi 18 September 1982.

   Aku berharap, beberapa anggota tim mau bergabung denganku untuk menapaktilasi perjalanan kami waktu itu sehingga penduduk kamp dapat melihat bahwa kami telah kembali.

   Taksi antar jemput atau taksi "layanan"

   Me -nurunkanku di Rumah Sakit Akka, dan setelah melintasi jalan raya, aku berada di ujung selatan kamp Shatila, di sinilah Jalan Sabra berawal.

   Jalan raya tersebut dipenuhi pos-pos pemeriksaan yang jaraknya berdekatan satu sama lain.

   Seiring aku mulai menyusuri jalan tersebut, terdengar sebuah suara melengking.

   "Itu dokter yang pernah pergi ke Komisi Israel!"

   Orang-orang mulai berteriak keras di sepanjang jalan untuk menarik perhatianku,membuat para tentara di pos-pos pemeriksaan keheranan.

   Saat itu menjadi sebuah reuni besar.

   Lupa akan keberadaan buldoser-buldoser dan pria-pria bersenjata yang berwajah tak bersahabat, kami berpelukan dan mengucapkan salam.

   Para janda keluar dari tempat perlindungan mereka yang telah hancur, anak-anak yatim piatu bermunculan, begitu juga dengan para orang tua.

   Kami semua merasa sangat gembira.

   Lalu, sekali lagi, anak-anak berbaris di depan rumah-rumah mereka yang hancur terkena bom, mengangkat kedua tangan mereka dengan jemari membentuk huruf "Y"

   Yang berarti kemenangan, dan meminta untuk dipotret, seperti halnya anak-anak pada 19-82.

   Kali ini, tanda kemenangan itu mereka acungkan dengan ekspresi teguh dan menantang.

   Bahkan senyum di wajah mereka lebih lebar dan kualitas foto yang dihasilkan lebih bagus seiring meningkatnya kemampuan memotretku.

   Aku diajak memasuki rumah-rumah penduduk kamp, disuguhi kopi dan minuman dingin, sedangkan penduduk kamp lainnya mampir untuk sekadar menyapaku.

   Di luar di Jalan Sabra, buldoser-buldoser melibas reruntuhan rumah-rumah dengan ganas, mengaduk-aduk debu-debu, puing-puing, sampah-sampah bercampur dengan pipa-pipa air serta kabel-kabel listrik.

   Penduduk kamp memberitahuku bahwa buldoser-buldoser tersebut tiba dari Suriah.

   Pemerintah Suriah rupanya terobsesi dengan dugaan bahwa kamp Sabra, Shatila, dan Bourj elBrajneh terhubung oleh sebuah jaringan terowongan bawah tanah.

   Oleh karena rakyat Palestina selalu membantah pernyataan tersebut, Suriah mengancam akan meratakan kamp-kamp tersebut untuk membuktikannya.

   Sebanyak empat puluh buah buldoser dari Suriah dan lima ratus teknisi konstruksi dan insinyur asal Suriah tiba di Beirut, mereka mengaku datang untuk membantu pembangunan kembali kamp-kamp, tetapi penduduk kamp meragukannya.

   Dan terowongan-terowongan itu? Jelas bahwa sejauh ini mereka belum menemukannya.

   Mereka hanya menemukan sistem-sistem pembuangan kotoran, pipa-pipa air, rumah-rumah yang telah hancur, tumpukan puing-puing, dan tentu saja, penduduk Palestina yang sangat berang.

   Para wanita dan anak-anak di kamp berencana menghalang-halangi buldoser-buldoser tersebut dan mencoba menghentikan mereka membawa pergi sisa-sisa rumah mereka.

   Namun, saat menatap kekacauan yang disebabkan oleh pancaran air bersih dan air pembuangan dari pipa-pipa yang pecah dan membanjiri jalanan di kamp, aku tidak bisa menahan kejengkelanku akan perlakuan sinting terhadap orang-orang yang tak bersalah ini.

   Mereka hanya meminta hak yang selayaknya diperoleh setiap manusia di muka bumi ini, tanah air.

   Perjalanan yang kurencanakan hanya berlangsung sepuluh menit dari Rumah Sakit Akka ke Rumah Sakit Gaza, ternyata menjadi dua jam, karena aku berhenti di banyak rumah penduduk untuk menyapa mereka.

   Akhirnya, tampaklah Rumah Sakit Gaza.

   Mula-mula, Rumah Sakit Gaza tidak terlihat seperti sebuah rumah sakit, tetapi lebih mirip sebuah benteng yang telah diserang.

   Dinding-dindingnya masih hitam berjelaga dan di semua tingkat, kaca-kaca jendela hancur berantakan.

   Pintu utama terkunci dan bangunan tersebut dijaga para tentara.

   Mereka menyuruhku untuk pergi.

   Saat aku berbalik untuk meninggalkan tempat itu, seorang teman lama muncul, dan aku langsung mengenalnya sebagai salah seorang staf administrasi Rumah Sakit Gaza.

   Ia pasti mengatakan sesuatu yang meyakinkan para tentara itu karena mereka lantas membolehkanku memasuki rumah sakit.

   Perjalanan dari lantai ke lantai Rumah Sakit Gaza adalah salah satu pengalamanku yang paling menyedihkan dan aku merasa bersyukur bahwa Azzizah dan Hadla tidak berada di sini dan melihat keadaan yang mengenaskan ini.

   Di setiap lantai, kaca-kaca jendela serta pintu-pintu hancur lebur menjadi serpihan-serpihan kecil, kasur-kasur serta bantal-bantal tercabik-cabik, kabel-kabel dan kawat-kawat listrik tercerabut dan terbengkalai di atas lantai.

   Semua perlengkapan rumah sakit yang bisa dibawa telah hilang.

   Alat-alat lainnya yang lebih berat dan tidak dapat dipindahkan atau bernilai jual rendah telah remuk redam.

   Dinding-dinding berselimutkan jelaga tebal dan lantai-lantainya beralaskan abu.

   Jelaga dan abu lebih parah lagi di lantai-lantai atas.

   Di lantai enam, tujuh, dan delapan, aku merasa seakan-akan berada di dalam sebuah tungku api yang bertahun-tahun tak dikosongkan.

   Di lantai sembilan dan sepuluh terdapat lubang-lubang besar yang menghiasi dinding-dinding, aku diberi tahu bahwa lubang-lubang ini dibuat dan dipakai para penyerang untuk menembak ke arah kamp-kamp.

   Aku mengintip ke luar dari salah satu lubang ini dan melihat kamp Sabra yang telah rata dengan tanah.

   Di lantai, aku mengambil beberapa butir peluru M16.

   Terdapat pula kotak-kotak amunisi yang telah kosong, berlabel "Made in USA".

   Para penyerang kamp pada Ramadhan 1985 ini membawa senjata-senjata buatan Amerika.

   Amarahku yang tadi muncul kini sirna dan aku merasa menggigil dingin bercampur tegang.

   "Doctora, tidak apa-apa,"

   Kata teman Palestinaku itu.

   "Kami akan mempersiapkan rumah sakit ini lagi. Kami akan membersihkan dinding-dinding ini, membawa obat-obatan, dan membuka rumah sakit ini kembali."

   Aku tahu dari nada suaranya bahwa ia bersungguh-sungguh dalam setiap kata-katanya.

   Aku sudah pernah mendengar kata-kata ini dan melihat pembuktiannya paling tidak dua kali sebelumnya, yaitu pada Agustus 1982 setelah penyerangan di Beirut dan pada September 1982 setelah pembantaian.

   Aku sering bertanyatanya, dari mana orang-orang ini mendapatkan kekuatan mereka.

   Hari beranjak sore, dan aku harus pergi sebelum keadaan menjadi rawan untuk melintasi pos-pos pemeriksaan.

   "Swee, saya mohon. Ibu ingin Anda datang untuk minum kopi bersama kami."

   Aku berbalik dan mencari asal suara itu.

   Ia adalah seorang wanita muda.

   Kurasa aku mengenali wajahnya.

   Tentu saja, ia Muna, kakak perempuan Huda.

   Ia telah tumbuh dewasa.

   Ia lebih tinggi dan cantik sekarang, tetapi aku masih mengenalnya sebagai Muna.

   Tiga tahun sudah berlalu sejak terakhir kali aku melihat ia dan Huda, dulu aku senang berkumpul dengan keluarga mereka.

   Aku menengadah ke arah blok-blok bangunan yang tinggi di seberang Rumah Sakit Gaza, dan di lantai tujuh terlihat seorang wanita Palestina berdiri di atas balkon, melambai-lambaikan tangannya ke arahku.

   Ia mengenakan kerudung putih.

   Tiga tahun telah berlalu sejak aku terakhir kali mengunjunginya.

   Aku sangat senang melihat rumah mereka masih utuh.

   Muna dan aku berlari menaiki tangga karena lift tidak berfungsi akibat putusnya aliran listrik.

   Kebanyakan flat di blok ini kosong karena keluarga-keluarga Palestina yang tinggal di dalamnya telah pergi menghindari serangan.

   Namun, di blok yang sama terdapat banyak keluarga Syi'ah Lebanon kehadiran mereka itulah yang menghalangi keseluruhan blok tersebut dihancurkan.

   Kami tiba di lantai tujuh, nyaris pingsan karena berjalan tergesa-gesa.

   Kemudian, pintu di hadapan kami terbuka lebar dan dari dalam seseorang menyambutku dengan ciuman dan pelukan hangat, dialah ibu Muna.

   Flat tersebut keadaannya masih seperti pada 1982 bersih, rapi, dan dirawat dengan baik.

   Akan tetapi, banyak dari perabotan indah di situ sudah tidak ada, termasuk kain sulaman cantik khas Palestina yang dibuat oleh ibu Muna.

   Aku tak berani menanyakan detail peristiwa yang terjadi.

   Ibu Muna membawakan kopi Arab untuk kami, lalu duduk di atas kursi, menatapku, tersenyum lagi dan lagi, dan mulai menyebut-nyebut beberapa ayat yang memuji-muji Allah.

   Aku dimintanya duduk di atas sebuah kursi berlengan yang lebar.

   Kurasa, kursi ini terlalu besar untuk diangkut oleh para penjarah itu.

   Aku teringat bahwa dulu rumah Muna ramai.

   Pada 1982, ayah, ibu, dua orang anak perempuan, empat orang anak laki-laki, dan dua orang menantu perempuan tinggal di dalam flat berisi tiga kamar ini.

   Biarpun demikian, rumah ini terasa luas bila dibandingkan standar kamp pengungsi.

   Kini, flat itu tampaknya kosong, kosong dari perabotan dan dari orang-orang.

   Hanya ada Muna dan kedua orangtuanya.

   Selebihnya telah menghilang.

   Keluarga ini telah mengalami banyak penderitaan dan turut andil dalam perjuangan para syuhada.

   Kedua kakak laki-lakinya dijebloskan ke penjara kamp Ansar yang terkenal kejam oleh para tentara Israel pada 1982, dan nasib mereka tidak pernah terdengar lagi.

   Sejak saat itu, keluarganya menunggu dengan cemas kepulangan mereka, tetapi seiring hari berganti menjadi bulan, dan bulan berganti menjadi tahun, mereka mulai sadar bahwa putra-putra mereka itu mungkin takkan pernah muncul lagi.

   Sungguh berat bila ada anggota keluarga kita menghilang.

   Para keluarga yang tahu pasti bahwa orang yang mereka cintai telah meninggal akan berduka dan kemudian menerima kenyataan bahwa orang itu telah meninggal.

   Mereka menguburkannya, mengunjungi makamnya, dan mendoakan arwahnya.

   Namun, keluarga-keluarga dari orang-orang yang menghilang akan selalu bertanyatanya di manakah mereka berada dan apakah mereka masih hidup.

   Seandainya masih hidup, keluarga-keluarga itu akan bertanyatanya apakah orang-orang yang mereka cintai tengah disiksa dan menderita, dan jika mati, di mana jasadnya berada.

   Keluarga-keluarga itu akan selalu dihantui pertanyaan.

   Putra ketiga mereka ditangkap oleh pasukan Amal pada hari pertama peperangan di kamp pada 1985.

   Ia dibariskan menghadap tembok bersama para tawanan lainnya untuk dihukum mati.

   Mungkin Tuhan masih menyayanginya dan mendengar doa-doa sang ibu.

   Beberapa orang Syi'ah yang bukan anggota Amal ikut campur tangan dan memohon pembebasannya.

   Akhirnya, ia dibawa ke lembah Be-ka'a dan keluarga ini menerima kabar bahwa ia masih hidup.

   Muna mengeluarkan album keluarganya dan menunjukkan padaku foto-foto keluarga mereka yang menjadi milik mereka yang berharga.

   Foto-foto momen bahagia dari pernikahan kedua kakak laki lakinya, —dan foto dari kakak laki-lakinya yang kini berada di Beka'a.

   Juga terdapat foto-foto Huda dan Hisham yang sekarang, bersama Milad, tinggal di Siprus bersama Paul Morris dan bersekolah di sana.

   Di lembar terakhir album foto itu terlihat foto-foto berharga yang telah menguning dimakan waktu, foto-foto kedua orangtuanya yang masih muda dan bahagia di Palestina.

   Kemudian, ibunya, yang semenjak tadi hanya duduk berdiam diri dan melemparkan senyumnya yang ramah dan manis kepadaku, tiba-tiba angkat suara.

   Muna berkata.

   "Ibu ingin tahu mengapa Anda datang kembali ke Beirut, apa yang Anda suka dari Beirut?"

   Hanya satu jawaban jujur.

   Aku tidak berani menyatakannya sejak kembali tiba di Beirut.

   Tapi, kali ini aku harus mengatakan dengan jujur.

   Aku anggota Amal ikut campur tangan dan memohon pembebasannya.

   Akhirnya, ia dibawa ke lembah Beka'a dan keluarga ini menerima kabar bahwa ia masih hidup.

   Muna mengeluarkan album keluarganya dan menunjukkan padaku foto-foto keluarga mereka yang menjadi milik mereka yang berharga.

   Foto-foto momen bahagia dari pernikahan kedua kakak laki-lakinya, dan foto dari kakak laki-lakinya yang kini berada di Beka'a.

   Juga terdapat foto-foto Huda dan Hisham yang sekarang, bersama Milad, tinggal di Siprus bersama Paul Morris dan bersekolah di sana.

   Di lembar terakhir album foto itu terlihat foto-foto berharga yang telah menguning dimakan waktu, foto-foto kedua orangtuanya yang masih muda dan bahagia di Palestina.

   Kemudian, ibunya, yang semenjak tadi hanya duduk berdiam diri dan melemparkan senyumnya yang ramah dan manis kepadaku, tiba-tiba angkat suara.

   Muna berkata.

   "Ibu ingin tahu mengapa Anda datang kembali ke Beirut, apa yang Anda suka dari Beirut?"

   Hanya satu jawaban jujur.

   Aku tidak berani menyatakannya sejak kembali tiba di Beirut.

   Tapi, kali ini aku harus mengatakan dengan jujur.

   Aku sungguh pedih harus mengucapkan selamat tinggal kepada mereka.

   Aku merasa mendapat pertanda bahwa kami takkan pernah bertemu lagi, setidaknya untuk jangka waktu yang lama, sangat lama.[] Dua Puluh Dua Sangat kontras dengan Rumah Sakit Gaza, Rumah Sakit Akka secara ajaib selamat dari kehancuran fisik.

   Tanah yang di atasnya dibangun Rumah Sakit Akka adalah milik seorang Syi'ah Lebanon bernama Syekh Khabalan.

   Pengaruhnya telah membuat Rumah Sakit Akka terhindar dari serangan para tentara milisi Amal yang mengganas di Rumah Sakit Gaza.

   Oleh karena itulah, tim dokter Inggris beruntung mendapatkan sebuah bangunan yang masih utuh.

   Rumah Sakit Akka, yang pertama kali kulihat setelah ia hancur berkeping-keping oleh serangan bom Israel pada 1982, kini telah sepenuhnya pulih.

   Rumah sakit itu adalah sebuah bangunan bertingkat yang indah, tiga lantai di atas dan dua lantai di bawah tanah lengkap dengan bangsal-bangsal perawatan, laboratorium biokimia dan hematologi, sebuah departemen sinar-X dengan fasilitas pemindai, ruang-ruang penelitian dan perpustakaan, bangsal-bangsal operasi bedah, dan sebuah sekolah pelatihan bagi para perawat yang dijalankan oleh PRCS.

   Kendatipun demikian, setelah peperangan di kamp, Rumah Sakit Akka tidak dapat berfungsi sebagaimana layaknya sebuah rumah sakit karena banyak ruangan telah diubah menjadi pusat pengungsian sementara.

   Apalagi, pasukan milisi telah memutus pasokan air ke rumah sakit.

   Di Rumah Sakit Akka itulah, di tengah-tengah keriuhan dan kekacauan, aku menemukan segelintir kawan lama yang kukenal pada 1982 para staf Rumah Sakit Gaza yang selamat dari penyerbuan, para perawat juga dokter, dan sang profesor tua Arnauti, yang kami juluki sebagai "Socrates".

   Rambut abu-abu profesor kini berubah sepenuhnya putih, tetapi secara mental ia masih sehat.

   Aku duduk di sebelahnya dan kami mengobrol tentang Palestina, tentang Jerusalem.

   Ia bertanya apakah aku sejujurnya yakin bahwa orang-orang Palestina akan dapat kembali ke Palestina, suatu hari nanti.

   Aku menjawab.

   "Pasti, tapi aku tak yakin apakah Anda dan aku masih hidup untuk melihat hari itu."

   Jawabanku membuatnya sangat senang, ia gembira melihat keyakinanku itu.

   Saat aku sedang mengobrol dengan sang profesor tua, seseorang menghampiri kami dan memberitahuku bahwa Ummu Walid ingin bertemu denganku.

   Di kantornya, kulihat Ummu Walid sedang berbicara dengan sekitar dua puluh empat orang, membahas berbagai hal dalam satu waktu.

   Setelah urusannya dengan orang-orang itu selesai dan mereka pergi, ia menghampiri Synne dan aku.

   Ummu Walid ingin bertemu dengan kami untuk mendiskusikan kemungkinan mendirikan semacam bangsal operasi di kamp Ain al-Halwah di Saida, Lebanon Selatan.

   Keadaan di kamp Ain al-Halwah sangat menegangkan, penduduk di sana setiap hari hidup dalam ketakutan akan terjadinya serangan pasukan musuh.

   Penduduk kamp berkebangsaan Palestina yang berjumlah tujuh puluh ribu orang tidak mempunyai fasilitas UGD maupun bangsal operasi.

   Jika kamp tersebut diserang dan digempur roket, penduduk yang terluka tidak akan dapat diungsikan ke mana pun, dan banyak dari mereka akan mati.

   Staf PRCS dan komite kamp telah membuat rencana untuk mengubah sebuah gua menjadi rumah sakit.

   Ummu Walid hanya meminta kami untuk memindahkan beberapa barang ke Ain al-Halwah, apalagi jika dibandingkan orang-orang Palestina, kemungkinan kami diculik dan dibunuh di pos-pos pemeriksaan jauh lebih kecil.

   Jadi, setelah mobil ambulans disesaki oleh mesin pemacu jantung, kateter, alat-alat bedah, mesin bius portable, lampu operasi, gergaji gips, kantong-kantong transfusi darah, dan meja rawat yang dapat dilipat, Synne dan aku langsung pergi ke selatan menuju Saida.

   Terakhir kalinya aku melihat Saida adalah pada 1982 ketika Ellen dan aku memesan taksi "layanan"

   Untuk membawa kami ke selatan.

   Kenangan terakhirku tentang kamp Ain al-Halwah adalah sebuah area yang luas, rata dengan tanah akibat pengeboman, seperti kamp Sabra yang kulihat pada 1985.

   Tidak satu pun bangunan yang terdapat di kamp Ain al-Halwah yang tingginya lebih dari 1,2 meter benar-benar pemandangan tragis.

   Hari ini, tepatnya tiga tahun kemudian, kamp Ain al-Halwah menyambutku dengan pemandangan yang sama sekali berbeda.

   Kamp tersebut telah dibangun kembali.

   Di sana terdapat rumah-rumah bata yang rapi, toko-toko, kabel-kabel listrik, dan perkantoran.

   Jalan raya utama kamp diaspal dengan mulus, kendaraan-kendaraan bermotor dan sepeda lalu-lalang menuju berbagai arah.

   Tidak banyak debu dan yang pasti tidak ada sampah.

   Kamp tersebut tampak bersih.

   Para penduduk kamp terlihat rapi dan bersih dalam pakaian-pakaian sederhana yang bersih pula.

   Aku tidak akan begitu berduka di London seandainya tahu bahwa kamp Ain al-Halwah telah diperbaiki seperti ini.

   Hari itu menjadi hari yang sangat menyenangkan bagiku, melihat kebangkitan kembali Kota Ain al-Halwah.

   Rumah sakit yang direncanakan akan dibangun di kamp ini berada di dalam gua yang terlindung dari serangan pasukan musuh.

   Pekerjaan pembangunan telah mulai dilakukan dengan antusiasme yang sangat besar.

   Para penduduk kamp punya kepedulian untuk menyelesaikan pembangunan rumah sakit ini, untuk mengejar "tenggat waktu", untuk bersiap-siap merawat para korban yang akan banyak berjatuhan seandainya pasukan Amal memutuskan untuk menyerang mereka.

   Rumah sakit tersebut membutuhkan sebuah mesin sinar-X dan kami gembira karena masyarakat Inggris telah menyumbangkan uang untuk membeli mesin sinar-X portable.

   Tak lama setelah itu, aku membaca berita di surat kabar bahwa empat orang pemimpin kamp Ain al-Halwah telah dibunuh dan muncul spekulasi bahwa pembunuhan itu disebabkan oleh pertikaian antara kelompok pendukung dan penentang Arafat di dalam kamp.

   Spekulasi ini terbukti tidak berdasar.

   Kami membawa lebih banyak lagi alat-alat kedokteran ke kamp Ain al-Halwah dan berkesempatan berbicara dengan salah seorang pemimpin kamp yang selamat.

   Pers menyebarkan berita yang keliru, jelasnya.

   Para penduduk kamp justru telah menahan para pembunuh itu.

   Mereka mengaku telah dibayar oleh pasukan Israel.

   Para penduduk kamp merasa berang terhadap pembunuhan itu dan menyatakan bahwa mereka akan berusaha lebih keras lagi untuk menjalin persatuan.

   Seorang wanita Inggris yang tinggal di dekat kamp memberi tahu kami seperti apa prosesi penguburan para pemimpin yang gugur itu.

   Di bagian terdepan prosesi itu berjalan para pembawa peti mati dan peti-peti itu ditaburi bunga-bunga dan dihiasi bendera-bendera Palestina.

   Mereka ini diikuti oleh orang-orang yang memanggul senjata, menembak ke udara.

   Lalu, di belakangnya terdapat para penduduk kamp, berjalan dengan tangan saling memegang bahu.

   Para pemimpin dari semua faksi PLO ikut ambil bagian dalam prosesi itu.

   Semua orang berteriak dengan serempak.

   Meskipun tak dapat mengerti apa yang diteriakkan orang-orang itu, wanita itu mengatakan bahwa mereka mengucapkannya berbarengan, dan pesan persatuan terasa jelas.

   Jika kamp Ain al-Halwah diserang, para warga Palestina yang tinggal di situ akan mempertahankannya dengan rasa persatuan dan kesetia-kawanan.

   Tatkala pulang dari selatan, kami baru tahu bahwa Ummu Walid jatuh sakit.

   Awalnya kami sulit memercayainya, karena terkadang kami lupa bahwa Ummu Walid, betapapun tegarnya, adalah manusia biasa.

   Untuk pertama kalinya, Ummu Walid mengeluhkan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya.

   Ia selalu menjadi menara sumber kekuatan dan tidak pernah membiarkan rintangan apa pun menghalanginya mencapai tujuan.

   Mungkin temperamennya yang tinggilah yang membuatnya kini berkeluh kesah, tetapi sepertinya lebih diakibatkan oleh bertumpuknya peristiwa-peristiwa yang menimpanya.

   Terlalu banyak orang Palestina yang menderita, terutama para janda dan yatim piatu.

   Itu baru satu masalah, ditambah lagi ia tidak berhasil mendapatkan izin untuk pembangunan kembali Sabra dan Shatila, walaupun ia telah bernegosiasi selama berjam-jam.

   Izin hanya diberikan untuk pendirian kembali dua ratus rumah di kamp.

   Bagaimana bisa tiga puluh ribu orang yang kehilangan tempat tinggal dapat ditampung dalam hanya dua ratus rumah? Lalu, dengan hancurnya Rumah Sakit Gaza, ia harus mencari uang untuk membiayai perawatan para pasien yang dulu bisa dirawat secara gratis di Rumah Sakit Gaza.

   Klinik pasien rawat jalan di Rumah Sakit Akka sekarang telah berfungsi, tetapi kondisi kerja para stafnya jauh dari layak.

   Ia sedang berada di Rumah Sakit Akka pada pagi hari ketika terjadi masalah di klinik gigi.

   Terdapat antrean panjang pasien.

   Tiba-tiba, seorang pria yang mengaku anggota pasukan Amal muncul dan meminta perawatan segera.

   Sang dokter gigi Palestina tidak memperbolehkannya melangkahi antrean.

   Orang-orang di dalam antrean mulai memaki-maki, sang dokter mengancam akan bunuh diri jika ia terus-menerus ditekan.

   Ummu Walid harus mengatasi situasi tersebut dan membujuk si dokter gigi untuk memprioritaskan orang tersebut, bertentangan dengan kebijakan PRCS yang merawat semua pasien secara adil.

   Selanjutnya, tubuh seorang perawat PRCS, yang telah menghilang selama seminggu, ditemukan dalam sebuah tumpukan sampah.

   Ia dibunuh setelah diperkosa secara brutal oleh banyak pria.

   Kemudian, semua peralatan laboratorium di Rumah Sakit Gaza yang dijarah pasukan Amal saat penyerangan telah dijual dan PRCS harus membelinya kembali.

   Ia tiba di rumah dan mengetahui bahwa sebuah keluarga yang tinggal di sana telah ditembak mati tanpa alasan yang jelas.

   Mereka tak pernah terlibat apa pun.

   Peristiwa demi peristiwa hampir semuanya tidak menyenangkan dan menjijikkan telah menyita kekuatan yang tersisa pada wanita tangguh dan pemberani ini.

   Keesokan harinya, aku bertemu lagi dengan Ummu Walid.

   Meskipun masih lemah, ia sudah dapat menguasai diri dan kembali menjadi pribadi yang tangguh seperti biasanya.

   Hampir tiba saatnya bagiku untuk meninggalkan Beirut, tapi sebelum pergi, aku ingin berkunjung ke kamp Shatila, dengan harapan dapat bertemu lagi dengan Hannah dan mengetahui apakah Nahla baik-baik saja dan untuk mengucapkan selamat tinggal.

   Tatkala aku hendak pergi ke sana, hari sudah beranjak sore, sehingga aku membatalkan rencanaku itu.

   Namun, seseorang yang baik hati menawariku untuk mengantarkanku ke tempat Hannah mungkin berada.

   Kami melewati Masjid Shatila, melalui gang-gang kamp yang sempit dan berliku-liku, di setiap pinggirnya tampak puing-puing dan rumah-rumah setengah hancur.

   Kami akhirnya tiba di sebuah rumah di kamp.

   Pada awalnya, aku mengira ini pasti rumah Hannah, tapi kemudian aku mengetahui bahwa bangunan tersebut adalah kantor Serikat Umum Wanita Palestina (General Union of Palestinian Women, GUPW) di kamp Shatila.

   Orang yang mengantarku itu menduga Hannah berada di situ karena pada hari itu salah seorang anggota GUPW melangsungkan pernikahan.

   Namun, kedua mempelai membatalkan perayaan pernikahan itu.

   Mereka telah merencanakan hari besar ini berbulan-bulan lalu, tapi tak mungkin mereka mengadakan upacara pernikahan setelah banyak penduduk kamp tewas dan luka-luka mereka masih segar.

   Aku bertemu kedua mempelai itu dan berdoa agar mereka diberikan kebaikan.

   Ketika aku bersiap-siap untuk pulang, seseorang datang dan memberitahukan bahwa lima orang Palestina telah diculik pasukan Amal di pos perbatasan dan bahwa kamp tersebut dikepung dan diserang.

   Sangat berbahaya melintasi pos pemeriksaan pada saat itu.

   Karena tak dapat meninggalkan tempat tersebut, aku memanfaatkan kesempatan itu untuk mengenal para wanita yang mengajakku makan malam bersama itu.

   GUPW aktif melakukan banyak kegiatan.

   Selama penyerangan Ramadhan, mereka berusaha mengurus kamp itu, merawat orang-orang yang sakit dan terluka, menyalurkan makanan kepada penduduk kamp, dan mendukung gerakan perlawanan kamp.

   Selama masa-masa damai, mereka mengelola taman kanak-kanak dan sekolah-sekolah kejuruan.

   Mereka juga mengajar para wanita Palestina membuat kain sulaman khas Palestina, upaya ini tidak hanya menyediakan sumber pendapatan bagi penduduk kamp, tetapi sekaligus melestarikan kesenian dan kebudayaan tanah air mereka dalam bentuk barang-barang, seperti bantal, taplak meja, syal, rok, saputangan, pembatas buku, dan bendera.

   Di mana pun terdapat sehelai kain, sebatang jarum, dan segulung benang, kenangan tentang Palestina akan terwujud menjadi barang.

   Mereka dengan rajin mengumpulkan daftar orang-orang yang diculik dan hilang sejak peperangan di kamp dimulai.

   Jumlahnya sebanyak lima belas ribu orang dari ketiga kamp di Beirut Barat.

   Terdapat bukti kuat bahwa orang-orang itu dibawa ke tempat-tempat penyiksaan, dan di sana mereka dianiaya dan dibunuh.

   Beberapa jasad yang dibuang ditemukan, tetapi masih ada seribu lima ratus lagi yang belum jelas nasibnya.

   Mereka menghilang begitu saja.

   Kemudian, seorang wanita muda dipanggil ke kantor itu, ia adalah istri salah seorang pejuang.

   Lalu, seorang wanita yang lebih tua dipanggil, ia adalah ibu dari dua orang pejuang yang gugur.

   Makanan yang dihidangkan sangat sederhana, terdiri dari kentang, roti yang tidak diberi ragi, dan hummus kuah yang dibuat dari buncis dan bawang putih tetapi merupakan kehormatan bagiku berkesempatan makan bersama para wanita ini.

   Tidak berlebihan jika kukatakan bahwa setiap orang dari mereka pantas disebut sebagai pahlawan.

   Aku tiba-tiba teringat punya sebuah misi kecil-kecilan.

   Sebelum aku meninggalkan London, seorang wanita perwakilan dari Miners' Support Group (Kelompok Pendukung Buruh Tambang) di Yorkshire telah singgah ke rumahku dan memberiku 24 buah kartu ucapan dari 24 keluarga buruh tambang di desanya, untuk diberikan kepada para penduduk di kamp.

   Para buruh tambang batu bara di Inggris telah melakukan pemogokan selama setahun, sejak 1984 hingga 1985.

   Selama pemogokan berlangsung, mereka menghadapi keadaan yang serbasulit dan banyak keluarga buruh tambang harus menjual perabotan rumah tangga dan barang-barang lainnya untuk bertahan hidup.

   Selama pemogokan, para buruh tambang Inggris mendapatkan bantuan dari organisasi yang serupa dengan GUPW.

   Para istri buruh tambang, ibu, saudara perempuan, dan nenek mereka bergotong royong mendirikan Miners' Support Group.

   Mereka menjalankan dapur-dapur umum, memasak sup untuk dibagi-bagikan kepada komunitas mereka, berkeliling ke segenap penjuru Inggris untuk menggalang pengumpulan dana, dan menyemangati setiap orang selama masa-masa penuh kesulitan itu.

   Sebagaimana para wanita Palestina, mereka menjadi tulang punggung komunitas para buruh tambang.

   Pers Inggris mencemooh berakhirnya pemogokan itu sebagai suatu "kekalahan", tetapi teman-teman Palestinaku di kamp Shatila menyebutnya sebagai sebuah kemenangan.

   Alasan mereka sederhana, kelompok mana pun yang mampu bertahan selama setahun dalam keadaan seperti itu berarti telah meraih kemenangan yang sebesar-besarnya.

   Jadi, sementara para komentator Inggris membicarakan kekalahan yang dialami para buruh tambang, para warga Palestina di kamp Shatila memberi selamat kepada para penambang karena mampu melakukan pemogokan yang berlangsung lama dan dilakukan dengan gagah berani.

   Mungkin orang-orang Palestina itu sangat memahami apa arti perjuangan, mereka lebih memahaminya daripada pers Inggris.

   Salah seorang dari para wanita Palestina ini memberitahuku bahwa pers Barat memperlakukan warga Palestina sama seperti mereka memperlakukan para penambang Inggris.

   "Mereka secara konsisten mendistorsikan fakta atau menolak memublikasikan kondisi kami,"

   Ujarnya.

   "Biarpun begitu, bahkan seandainya koran-koran tidak mau memublikasikan fakta tentang kami, kisah kami akan selalu tertulis, akan selalu tertulis dengan darah para syuhada kami."

   Papan pengumuman GUPW telah hancur terkena bom, tetapi mereka memutuskan memajang kartu-kartu ucapan dari Yorkshire itu di dinding bersama-sama dengan foto-foto para pahlawan mereka.

   Bangunan Rumah Sakit Haifa di kamp Bourj elBrajneh menjadi semakin luas dalam waktu singkat.

   Bangsal operasi kini sepenuhnya berfungsi dengan baik, bangsal-bangsal perawatan menampung para pasien rawat inap, dan para staf medis Palestina melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya, ini adalah babak baru kesuksesan pembentukan dan pembangunan kembali Palestina.

   Aku tinggal punya satu tugas lagi, mendapatkan mobil ambulans untuk Rumah Sakit Haifa.

   Begitu ambulans itu bisa difungsikan, berarti aku telah berhasil memanfaatkan semua dana yang terkumpul di Inggris dan takkan ada lagi kewajiban administratif yang harus kulakukan.

   Rakyat Inggris luar biasa dermawan dan kebanyakan dana yang terkumpul untuk membantu penduduk kamp selama terjadi peperangan itu tidak hanya berasal dari orang-orang kaya, tetapi juga dari rakyat biasa.

   Sebagian besar dana yang dikirim dari Inggris telah digunakan untuk membeli mesin sinar-x, peralatan resusitasi, serta pembiayaan bangsal operasi.

   Pada kunjungan keduaku ke Lebanon ini, kulihat banyak hal telah berubah.

   Bahkan sebagai orang asing, mudah bagiku untuk melihat betapa masyarakat di sini telah terpecah belah.

   Sungguh menyedihkan.

   Suatu hari, seorang pasien Lebanon berusia dua puluh satu tahun meninggal, dan aku hanya dapat bersyukur kepada Tuhan karena telah mengakhiri penderitaannya.

   Pria ini berasal dari sebuah keluarga Syi'ah miskin, mengalami kelumpuhan dari pinggang ke bawah karena luka yang dideritanya sejak penyerangan pasukan Israel pada 1982.

   Selama tiga tahun terakhir, Rumah Sakit Haifa yang sebelum serangan Ramadhan merupakan pusat rehabilitasi, telah menjadi rumahnya.

   Malangnya, selama penyerangan Ramadhan di kamp Bourj elBrajneh, ia seperti yang lainnya juga mengidap gastroenteritis (muntaber) yang parah.

   Kamp tersebut, yang dikepung selama empat puluh hari, tak diizinkan mendapat bantuan air, makanan, maupun obat-obatan.

   Penyerangan yang berlangsung terus-menerus mengakibatkan para penduduk kamp harus hidup berjejal-jejal di dalam bunker perlindungan selama berhari-hari.

   Dalam kondisi seperti ini, penyakit-penyakit menular seperti muntaber, infeksi kulit, dan saluran pernapasan dengan mudah menyebar.

   Seorang dewasa yang sehat akan menganggap dirinya beruntung jika dapat bertahan hidup setelah mengalami kondisi demikian.

   Bagi seorang penderita lumpuh, terserang penyakit diare berarti kematian.

   Bagian bawah tubuhnya mati rasa dan ia pasti telah duduk selama berjam-jam, mungkin berhari-hari, dalam genangan beraknya.

   Ketika penyerangan kamp berakhir, tubuhnya menjadi benar-benar kurus dan borok telah melebar hingga ke pantat.

   Ia terserang diare terus-menerus, yang berarti luka-lukanya tak bisa dijaga tetap bersih.

   Rumah Sakit Gaza dihancurkan dan Rumah Sakit Haifa se-dang direnovasi sehingga ia dipindahkan ke Rumah Sakit Akka.

   Namun, tidak mungkin untuk merawat pasien seperti dia di Rumah Sakit Akka.

   Kala itu, Rumah Sakit Akka baru mulai menanggulangi akibat-akibat perang selama Ramadhan, dan lebih buruk lagi, tidak ada persediaan air! Pemecahan yang lo-gis adalah memindahkannya ke salah satu rumah sakit swasta Lebanon yang mempunyai pipa air, fasilitas infus, dan cukup banyak perawat untuk mengurusnya.

   Oleh karena pasien ini berkebangsaan Lebanon, kami berpikir untuk membujuk beberapa badan amal Lebanon untuk mendanai perawatannya di salah satu rumah sakit ini.

   Pada saat itulah, baru kutahu betapa sulit bagi seorang Lebanon miskin mendapatkan perawatan medis.

   Badan-badan amal Sunni, Kristen, Druze, atau Syi'ah hanya mau membantu komunitas mereka sendiri dan mereka biasanya telah mempunyai lusinan kasus yang harus didanai.

   Badan amal Syi'ah yang kami dekati ingin tahu dari desa mana pasien itu dan keluarganya berasal, karena terdapat banyak desa Syi'ah di Lebanon Selatan, di Beka'a, dan di wilayah-wilayah lainnya di negeri itu.

   Setelah kami memberikan informasi yang diminta, badan amal tersebut menyarankan agar aku menemui seorang syekh yang berasal dari wilayah tersebut untuk meminta bantuannya.

   Dengan halus sang syekh menolak untuk menemuiku.

   Jadi, pemuda itu masih tetap menderita, dan para perawat di Rumah Sakit Akka melanjutkan memandi-kannya dengan persediaan air yang dibatasi dengan ketat hanya untuk keperluan minum.

   Kami juga telah sangat lama meminta bantuan kepada Menteri Kesehatan tapi hanya Tuhan yang tahu kapan bantuan itu akan datang.

   Akhirnya pasien itu terserang koma dan meninggal dengan badan tinggal tulang berbalut kulit yang pecah-pecah.

   Kematiannya meninggalkan pelajaran yang mendalam bagiku.

   Memang pasukan Israellah yang menyebabkannya lumpuh, tetapi ia meninggal dalam kondisi yang sangat tidak manusiawi gara-gara berbagai masalah yang ada di Beirut Barat.

   Dua hari sebelum meninggal, ia memohon kepadaku untuk membawanya kembali ke Rumah Sakit Haifa begitu bangsal-bangsal perawatan dibuka kembali.

   Sulit untuk memenuhi permintaannya.

   Dari pengalamanku di Beirut Barat selama invasi Israel pada 1982, kulihat orang-orang Lebanon yang kutemui bersikap hangat, murah hati, dan bersahabat.

   Mereka tidak pernah bersikap diskriminatif terhadap warga Palestina, tidak juga terhadap sesama warganya sendiri meskipun berbeda agama maupun keyakinan.

   Namun, pada 1985, mereka tampaknya terobsesi dengan perbedaan di antara mereka sendiri.

   Sekarang, seorang sopir taksi Syi'ah tidak akan mau pergi ke wilayah Sunni, dan begitu pula sebaliknya.

   Dan bila seorang menyebut-nyebut kata "kamp pengungsi Palestina"

   Kepada seorang sopir taksi, ia akan diusir ke luar.

   Saat melewati daerah Lahut dekat Near East School of Theology aku teringat bahwa pada 1982, bangunan itu diubah menjadi rumah sakit darurat atas usaha bersama warga Lebanon dan Palestina.

   Sebagai hasilnya, ratusan nyawa pasti telah berhasil diselamatkan.

   Pada saat itu, tak seorang pun ditanya apakah ia seorang Palestina ataupun Lebanon.

   Jika ia orang Lebanon, ia takkan ditanya apakah ia beragama Kristen atau Islam.

   Orang Islam tidak ditanya apakah ia pengikut aliran Sunni atau Syi'ah.

   Kini, kehangatan, kedermawanan, dan semangat persatuan tampaknya telah diganti dengan permusuhan antar golongan, sinisme, dan rasa ketakberdayaan.

   Kini, dengan uang apa saja dapat dibeli, senjata, kesetiaan sesama milisi, kebaikan hati, perawatan medis, dan mungkin bahkan prinsip-prinsip yang mendasar.

   Lebanon telah membuatku sangat sedih.

   Tempat ini telah terlalu banyak melihat tank, senjata, dan perang.

   Para pemuda, bukannya pergi ke sekolah atau bekerja, terpaksa memanggul senjata dan berjuang untuk bertahan hidup.

   Alih-alih mengucurkan uang untuk kesehatan dan kemakmuran, uang mengalir masuk ke dompet-dompet para penjual senjata.

   Meminjam kalimat seorang kawan berkebangsaan Lebanon.

   "Lebanon telah menjadi medan pertempuran berbagai kekuatan politik dari luar dan putra-putra Lebanon menjadi mangsa meriam mereka. Kehidupan menjadi tak berharga. Jika seseorang ditembak mati, hanya segelintir orang akan bertanya mengapa atau siapa yang melakukannya."

   Yang lebih meresahkan adalah bagaimana para pemuda dan remaja menggantungkan diri kepada kekuatan, sering kali dalam bentuk senjata dan keanggotaan dalam suatu milisi.

   Pikiran-pikiran ini terus berkecamuk dalam pikiranku seiring aku melewati Mayfair Residence, tempat tinggal kami pada 1982.

   Tiba-tiba, seseorang memanggilku dari seberang jalan.

   "Doctora, Doctoral"

   Aku tidak mengenali pria ini, tapi ia berkata bahwa ia mengenalku sebagai salah seorang dokter yang bertugas di Lahut pada 1982.

   Ia mengundangku minum kopi bersamanya, kemudian mengenalkan dirinya sebagai seorang dokter.

   Ia adalah anggota Partai Sosialis Progresif Suriah sebuah nama yang sama sekali tidak kukenal.

   Dengan sabar ia menjelaskan kepadaku garis kebijakan partai politiknya.

   Sebagian besar penjelasannya tidak terlalu membuatku tertarik, kecuali bahwa partai ini tidak memihak golongan mana pun.

   Sungguh langka partai yang tak memihak golongan mana pun di Beirut pada 1985! Di bawah kaca meja sang dokter, terpajang foto seorang wanita muda yang cantik.

   Aku pernah melihat wajahnya di poster-poster yang terpampang di dinding-dinding di seluruh Beirut dan bahkan di Lebanon Selatan, dan aku sering mengira-ngira siapa gerangan dirinya.

   Dokter itu memberitahuku bahwa wanita itu adalah seorang gadis delapan belas tahun yang melakukan misi bunuh diri menyerang barak-barak Israel di selatan, wanita Lebanon pertama yang melakukan serangan bom bunuh diri terhadap pasukan Israel.

   Sang dokter dengan bersemangat berbicara tentang wanita kedua yang melakukan misi serangan bunuh diri.

   Ia menceritakan bagaimana gadis itu mendatangi dirinya pada suatu pagi dan membawakannya seikat bunga nan cantik.

   Gadis itu lantas mengatakan padanya bahwa ia hendak pergi ke suatu tempat, tetapi ia tak bisa memberitahukan ke mana persisnya.

   Ia akan "melakukan sesuatu yang berarti, sesuatu yang indah demi Lebanon".

   Baru setelah terjadinya misi serangan bunuh diri, sang dokter mengetahui ke mana perginya gadis itu.

   Orang-orang Barat kebanyakan menganggap mereka yang melakukan misi serangan bunuh diri ini sebagai orang gila atau "teroris".

   Sebagian lagi yang lebih toleran hanya mendesah dan berkata.

   "Kasihan sekali! Menyia-nyiakan hidup!"

   Tapi bagi kebanyakan orang di Lebanon, mereka adalah pahlawan yang gagah berani.

   Sebagaimana rekan-rekan Palestina mereka di Masjid Shatila, kedua gadis ini sangat cantik.

   Mereka bisa saja memilih kehidupan yang bahagia bersama suami yang menyayangi mereka dan anak-anak yang lucu-lucu.

   Akan tetapi, mereka telah memilih menyerahkan hidup mereka demi kemerdekaan rakyat dan negara mereka.

   Pandanganku menjadi kabur karena air mata dan aku harus meninggalkan tempat itu sebelum terlihat memalukan.

   Aku merasa malu akan anggapan negatifku beberapa saat lalu terhadap Lebanon.

   Terbukti, kedua gadis muda ini telah menghapuskan segala kesan sektarianisme yang kudapatkan selama aku di sini.

   Mereka tidak memilih untuk "menyerang Palestina demi menyenangkan pasukan Israel".

   Mereka juga tidak mencari-cari alasan atas berbagai kekacauan di Lebanon.

   Mereka memilih bertarung dengan musuh dan melakukannya dengan gagah berani dan semangat rela berkorban.

   Sudah tiba waktunya bagi tim dokter Inggris untuk meninggalkan negeri ini.

   Di Inggris, kami harus melakukan banyak publikasi ke media massa dan penggalangan dana.

   Kami juga melihat bahwa kami perlu memulai program pelayanan medis jangka panjang di Lebanon.

   Hal ini harus didiskusikan dengan MAP sekembalinya kami ke London.

   Untuk saat ini, setelah pembangunan kembali Rumah Sakit Haifa dan Shatila tuntas dilakukan, para dokter bedah harus melakukan operasi bagi para korban yang sudah lama menunggu.

   Jika kamp kembali diserang, kami harus mengerahkan lebih banyak bantuan medis untuk menangani para korban perang.

   Pada malam keberangkatan, yaitu pada Agustus 1985, aku baru mengetahui bahwa Immad dan Alison telah bertunangan.

   Aku pastilah seorang pemimpin tim yang kurang perhatian dan tidak peka karena tidak menyadari bahwa keduanya saling mencintai.

   Tetapi Alison begitu giat bekerja selama bertugas di Beirut sehingga aku tidak menyadarinya.

   Seandainya saja aku tahu, aku akan berusaha membujuk mereka untuk bersama-sama mengambil cuti.

   Namun, yang luar biasa adalah Alison kini menolak meninggalkan Rumah Sakit Haifa, dan ingin tetap tinggal di sana untuk membantu penduduk kamp.

   Aku selalu menghargai dedikasinya, tetapi bagaimana dengan Immad yang akan pulang dengan anggota tim lainnya ke London? Ia memohon kepada Immad untuk mengizinkannya tetap tinggal, rumah sakit membutuhkan bantuannya, dan Immad harus menghormati keinginannya.

   Belakangan, Alison tertembak oleh seorang penembak jitu dan terjebak dalam sebuah serangan di sebuah kamp lain.

   Akhirnya, ia harus diungsikan keluar dari kamp dan diterbangkan pulang ke London karena terserang pneumonia (radang paru-paru) dan mengalami penurunan berat badan yang drastis akibat bekerja terlalu berlebihan.

   Alison selamat sepenuhnya berkat belas kasih Tuhan.

   Seandainya sesuatu terjadi pada dirinya, aku akan merasa bersalah karena telah mengizinkannya tetap tinggal di Beirut.

   [] Dua Puluh Tiga Ketika membaca bab ini, Anda mungkin akan menerka-nerka siapakah Nabila Brier, dan mengapa tiba-tiba aku memutuskan menulis tentangnya.

   Seperti banyak orang yang bekerja sama dengan warga Palestina, aku telah belajar untuk tidak terlalu banyak bertanya tentang latar belakang pribadi mereka atau memotret mereka.

   Sering kali aku hanya punya perasaan biasa-biasa saja terhadap teman-teman Palestinaku, sampai mendadak aku mendengar bahwa mereka telah dibunuh.

   Barulah setelah itu aku mulai menghargai mereka, tapi su-ndah terlambat.

   Mungkin aku harus belajar untuk mengatakan dengan sejujurnya perasaanku kepada orang-orang yang kucintai pada saat mereka masih hidup dan masih dapat mendengarku.

   Begitulah yang terjadi pada Nabila, kami selalu memanggilnya kapan pun kami membutuhkan bantuannya, tetapi aku hampir tidak pernah teringat akan dirinya ketika mulai menulis buku ini.

   Barulah setelah ia pergi, saat-saat yang pernah kami jalani bersama menjadi terasa sangat berharga.

   Aku mulai memikirkannya, dan secepat mungkin berusaha meyakinkan diriku bahwa bayangan wajahnya tidak akan sirna dari ingatanku seiring berjalannya waktu.

   Ketika kami masih hidup dan berkumpul bersama, kami selalu disibukkan oleh terlalu banyak pekerjaan, dan sering kali kami terlalu sibuk untuk melewatkan waktu bersama-sama.

   Kami selalu berjanji bahwa suatu hari kami akan duduk bersama-sama dan mengobrol tentang hal-hal selain pekerjaan untuk saling mengenal.

   Kemudian tiba-tiba, salah seorang dari kami menyadari bahwa ini tidak mungkin lagi kami lakukan.

   Nabila Brier ditembak mati pada 18 Desember 1986 di Beirut Barat.

   Banyak dari kami yang mengenalnya terlalu kaget untuk memikirkan apa yang sebenarnya terjadi.

   Aku masih sangat jelas mengingat pertemuan pertama kami dengan Nabila.

   Kami pertama kali bertemu dengannya pada suatu waktu di penghujung Juli 1985.

   Masyarakat Inggris telah menyumbangkan sejumlah uang untuk pembelian mobil ambulans bagi Rumah Sakit Haifa di kamp Bourj elBrajneh.

   Selama sebulan penuh, aku telah berusaha untuk mendapatkan mobil ambulans bekas sebuah tugas yang hampir mustahil dilakukan.

   Waktu itu, perang bulan Ramadhan baru saja usai, benar-benar tidak ada mobil ambulans bekas yang layak pakai di Beirut.

   Kami mendapat beberapa tawaran mobil bekas yang baru berjalan dua kilometer saja, sudah mogok di tengah jalan.

   Akhirnya, seorang rekan Norwegia memberitahuku untuk menemui Nabila Brier, petugas lapangan UNICEF di Beirut.

   Nabila baru kembali dari Konferensi Wanita 1985 di Nairobi.

   Dalam acara itu ia berbicara sebagai utusan UNICEF di Beirut.

   Aku diberi tahu agar datang ke kantornya antara pukul 07.45 hingga 08.00 pagi untuk membicarakan masalah ambulans itu.

   Aku tiba pukul delapan kurang sedikit, Nabila telah menungguku di dalam kantornya.

   Ia seorang wanita Palestina yang menarik, berusia tiga puluhan, dengan sorot mata yang tajam dan cerdas.

   Nabila punya sebuah mobil ambulans yang disumbangkan oleh rakyat Denmark kepada GUPW.

   Mobil tersebut bukan mobil ambulans tipe kecelakaan, melainkan jenis yang bisa dipakai untuk memindahkan pasien harian yang tak dapat berjalan.

   Dengan kata lain, mobil itu lebih mirip minibus daripada ambulans.

   Mobil itu dimaksudkan untuk mengangkut pasien anak-anak dan wanita dari dan ke rumah, taman kanak-kanak, rumah sakit, dan pusat-pusat perawatan.

   Mobil ini masih baru, berasal dari Eropa.

   Namun, pemerintah Lebanon memungut pajak kendaraan hingga 50.000 lira Lebanon (2.500 poundsterling) dan organisasi tersebut tak sanggup membayarnya.

   Sehingga mereka tidak bisa menggunakan ambulans tersebut.

   Terlebih lagi, situasi keamanan di Beirut Barat sangat buruk.

   Lembaga-lembaga milik warga Palestina menghadapi tekanan yang terang-terangan.

   Oleh karena itu, GUPW mengalami kesulitan untuk berfungsi secara terang-terangan dan harus menjalankan sebagian kegiatan mereka secara diam-diam.

   Mereka memutuskan untuk menyumbangkan mobil ambulans itu kepada kami, dan kami dapat menggunakan dana yang terkumpul di Inggris itu untuk membayar pajaknya.

   Lagi pula, uang yang kami peroleh itu tidak cukup untuk membeli ambulans, hanya cukup untuk membayar pajaknya.

   Nabila sangat berani dan tegar, baru belakangan aku tahu bahwa ia berada di bawah tekanan yang sangat besar.

   Ia telah kehilangan banyak anggota keluarganya.

   Ia memberitahuku.

   "Keluargaku telah membayar utang darah mereka di Lebanon."

   Kata-kata yang aneh untuk kebanyakan orang, tetapi mereka yang akrab dengan sejarah Palestina tahu bahwa banyak keluarga Palestina yang tinggal di Lebanon telah kehilangan banyak anggota keluarga mereka. Pers sering bertanya.

   "Apakah orang-orang Palestina membenci orang-orang Amal?"

   Pertanyaan ini mengandung muatan tertentu.

   Orang-orang ingin tahu apakah penderitaan warga Palestina yang ditimbulkan oleh Amal adalah penderitaan yang terburuk.

   Mereka yang menganiaya orang-orang Palestina selalu senang menunjukkan bahwa penderitaan yang mereka timpakan kepada orang-orang Palestina bukanlah penderitaan yang paling hebat.

   Karena itulah, orang Israel sering dengan segera menunjukkan bahwa orang-orang Arab pun berlaku sama kejamnya terhadap orang-orang Palestina.

   Rata-rata keluarga yang tinggal di kamp pengungsi Palestina di Lebanon kehilangan anggotanya karena serangan-serangan pasukan Israel maupun pasukan Arab.

   Tidak terkecuali keluarga Nabila.

   Namun, ia keliru saat mengira bahwa sudah cukup banyak darah keluarganya yang tertumpah sama sekali ia tak menyangka bahwa satu setengah tahun kemudian ia akan menjadi korban berikutnya.

   Empat orang bersenjata membunuh Nabila.

   Benar-benar tindakan yang tercela dan menjijikkan! Apakah perlu sampai mengutus empat orang pengecut bersenjatakan senapan mesin untuk menghadapi wanita pemberani berdarah Lebanon-Palestina ini, yang tidak bersenjatakan apa-apa selain keberanian dan kejujuran? Dengan kematian Nabila, mungkin keluarganya telah cukup menumpahkan darah untuk memuaskan jahanam-jahanam ini.

   Satu-satunya hal yang melegakanku adalah Nabila meninggal seketika, ia tidak disiksa atau diperkosa, tubuhnya tidak dimutilasi, seperti yang biasanya dilakukan para pembunuh.

   Apa yang telah dilakukan Nabila sehingga ia pantas mati? Ia adalah seorang Palestina dan bekerja demi perdamaian.

   Sebagai seorang dokter, hubunganku dengannya hanya sebatas mengatur pengiriman suplai obat-obatan ke Lebanon, tidak hanya untuk kamp-kamp Palestina, tetapi juga untuk lembaga-lembaga kemanusiaan Lebanon.

   Peti-peti besar berisi obat-obatan dan barang-barang kebutuhan lainnya seperti selimut dan pakaian datang dari seluruh dunia dengan bertuliskan "Mrs.

   Nabila Brier, c/o UNICEF, Beirut".

   Barang-barang ini kemudian disalurkan kepada orang-orang yang membutuhkan, warga Palestina di kamp-kamp pengungsi, kaum Syi'ah Lebanon dari daerah-daerah miskin, dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan.

   Tidak ada komisi, pajak, pemotongan, dan sogokan, hal-hal yang sangat umum di kalangan petugas bea cukai yang korup di Beirut.

   Kematian Nabila merupakan teror terhadap banyak pekerja sosial di sini.

   Dengan tewasnya Nabila, terbukti bahwa kerja kemanusiaan dan bantuan sosial dapat mengakibatkan seseorang kehilangan nyawa.

   Mungkin inilah tujuan para pengacau ini, yaitu untuk menakut-nakuti orang-orang yang ingin menolong warga yang kehilangan hak-haknya di Lebanon.

   Selama terjadinya penyerangan 1985, tak seorang pun diperbolehkan mengungkapkan fakta yang sesungguhnya.

   Jika ada wartawan yang melaporkan keadaan sebenarnya kamp, ia akan mendapat ancaman.

   Aku mendapat ancaman karena bersikap vokal menentang penyerangan kamp.

   Mereka yang membantai warga Palestina tidak ingin ada saksi yang berbicara menentang aksi kejahatan yang mereka lakukan.

   Supaya aku mendapatkan semua informasi yang relevan tentang peperangan di kamp, Nabila datang menemuiku di Hotel Mayflower pada pagi hari menjelang keberangkatanku pada 1985.

   Ia menyerahkan kepadaku laporan UNICEF tentang serentetan serangan yang baru-baru ini terjadi terhadap kamp.

   Perincian jumlah warga Palestina yang kehilangan tempat tinggal, kerusakan kamp-kamp termasuk sekolah, taman kanak-kanak, dan klinik, semuanya dicatat dengan saksama dalam laporan tersebut.

   Kedatangan Nabila menemuiku itu pastilah diawasi oleh mereka yang menyerang dan menghancurkan kamp.

   Semakin keras upayanya untuk menyebarluaskan fakta yang sesungguhnya, ia semakin membahayakan dirinya sendiri.

   Namun, tanpa orang-orang seperti Nabila, keadaan akan semakin parah.

   Kekejaman dan kekejian yang terjadi di sini tidak akan terdengar oleh dunia luar.

   Jika ada seseorang yang mau mempertaruhkan nyawanya untuk mewartakan kebenaran, ia adalah Nabila.

   Mereka telah cukup lama mengincar Nabila.

   Pada Desember 1985, suaminya mendapat ancaman penculikan jika keduanya tetap tinggal di Beirut.

   Mereka meninggalkan Beirut dan mengunjungi kami di London.

   Phil, wanita Irlandia ahli anestesi yang bekerja di Rumah Sakit Gaza pada 1982, mengundang kami semua untuk makan malam bersama.

   Acara makan malam yang sederhana itu berlangsung dalam suasana akrab dan kami sangat senang melihat Nabila berada di London.

   Pembicaraan kami berkisar tentang kebutuhan para penduduk kamp seperti bagaimana mengirimkan pakaian kepada mereka yang kehilangan tempat tinggal, bagaimana membuat mereka dapat melalui musim dingin di Lebanon dengan cukup nyaman.

   Acara makan malam itu adalah kali terakhir kami berjumpa dengannya.

   Nabila segera kembali ke Beirut dan melanjutkan pekerjaannya dengan UNICEF, walaupun menerima banyak ancaman.

   Kematian Nabila benar-benar mengejutkan kami.

   Temanku, Phil, terlalu syok untuk bereaksi terhadap berita itu.

   Namun, beberapa saat setelah itu, ia berteriak.

   "Seandainya aku tak pernah tahu sedikit pun tentang orang-orang Palestina, Lebanon, atau Israel! Tidak pernah ada sedetik pun perdamaian di antara mereka!!"

   Phil menangis tersedu-sedu di ujung telepon, ia tengah melakukan piket sebagai ahli anestesi di bagian ICU di sebuah rumah sakit besar di London.

   Rekan-rekannya di rumah sakit itu pasti mengira Phil telah gila, ia pergi untuk menerima telepon dan kembali dengan terisak-isak.

   Memang, keadaan di Beirut sudah tak waras.

   Wahai Tuhan Yang Mahabesar, berilah kami kesabaran dan anugerahkanlah kepada kami kekuatan.

   Kini, aku semakin mengerti apa itu arti perjuangan.

   Hari ini kami bersama-sama, saling berbagi, tertawa dan menangis bersama esok, salah seorang dari kami diambil begitu saja untuk selamanya.

   Meskipun begitu, kami tetap melanjutkan kehidupan kami, inilah satu-satunya cara untuk menghormati mereka yang telah mengorbankan nyawa dengan sukarela.

   Di samping tempat tidurku terdapat sebuah kotak berisi banyak sekali slide foto.

   Slide bergambar alat-alat musik yang penuh hiasan, sulaman, para nelayan di laut, perhiasan, potret para penari, petani, bunga-bunga anggrek...S//dei-s//dei ini sangat indah, berwarna-warni dan elok, menunjukkan kebudayaan dan masyarakat di negeri lain.

   Slide-slide ini adalah tentang Palestina dan kebudayaannya.

   Nabila lah yang memberikannya untukku.

   Ia ingin agar aku memperlihatkannya kepada orang-orang di seluruh dunia.

   Kini, permintaan-permintaannya kepadaku terasa pedih untuk kukenang.

   Tapi aku masih ingat dengan jelas kesimpulannya.

   "Teman-teman kami hanya mengenal kami melalui penderitaan yang kami alami. Tetapi, mereka juga sebaiknya mengetahui bahwa sejarah Palestina tidak melulu dipenuhi dengan pembantaian. Kami juga memiliki kebudayaan, kami menghargai keindahan dan kesenian sebagaimana bangsa lain."

   Mungkin seperti itulah kami harus mengingat Nabila, seorang wanita Palestina yang cantik, antusias, pandai, berbudaya, dan berani, tidak ada musuh rakyat Palestina yang dapat mencabut kenangan itu dari kami.[] BAGIAN KELIMA Dari Beirut ke Jerusalem 1985 -1988 Dua Puluh Empat Tim medis kami kembali ke London pada Agustus 1985.

   Ketika kami tengah berada di Beirut, muncul respons luar biasa dari masyarakat di Inggris, mereka ingin mendukung kerja sosial organisasi amal kami.

   Dr.

   Rafiq Hussaini, Direktur MAP, benar-benar harus bekerja keras selama kepergian kami.

   Ia adalah seorang berdarah Palestina kelahiran Jerusalem dan menikah dengan seorang wanita berkebangsaan Inggris.

   Sebelum menjadi Direktur sekaligus pendiri MAP, ia bekerja di Loughborough dan merupakan seorang peneliti mikrobiologi di Universitas Birmingham.

   Ia meninggalkan posisi itu agar dapat mengemban tanggung jawab memimpin dan mengambil keputusan bagi organisasi amal kami.

   Ia juga adalah saudara sepupu dr.

   Azzizah Khalidi, wanita Palestina yang mengelola Rumah Sakit Gaza pada 1982.

   Seperti Azzizah, ia adalah seorang yang lembut, sabar, dan senantiasa optimistis menghadapi bencana yang paling buruk sekalipun.

   Sebelum keberangkatan kami, organisasi amal ini telah memasang sebuah iklan kecil yang mengatakan bahwa kami membutuhkan tenaga sukarelawan dokter.

   Iklan ini berhasil menarik minat sekitar enam puluh pendaftar.

   Uang pun mengalir masuk.

   Walaupun hanya sedikit dana yang kami peroleh dari institusi-institusi ternama, kami menerima cukup banyak dana dari para penyumbang perorangan.

   Kantor kami dibanjiri berbagai macam sumbangan, selembar uang kertas satu poundsterling dari seorang pensiunan, selembar uang kertas lima poundsterling dari seorang janda, sumbangan lainnya berasal dari seorang pengangguran, dan masih banyak lagi.

   Sumbangan-sumbangan tersebut biasanya diiringi dengan sebuah surat.

   Salah satu contoh yang sering kutemui adalah sebagai berikut.

   "Yang terhormat Medical Aid for Palestinians (MAP).

   "Saya membaca berbagai upaya yang Anda lakukan di Lebanon. Mohon diterima sumbangan kecil-kecilan dari saya ini sebesar 2 untuk mendukung perjuangan Anda. Saya minta maaf tidak dapat memberi lebih karena saya adalah pengangguran. Semoga Tuhan memberkati kalian semua. Dari....11 Surat-surat yang menyertai sumbangan semacam itu membuatku yakin bahwa kedermawanan tidak berbanding lurus dengan kekayaan. Semakin miskin seseorang, semakin siap ia untuk menyumbang berapa pun jumlahnya. Pertama kali kami menerima cek senilai lima puluh poundsterling adalah dari seorang pengangguran, dan aku menangis karenanya.

   "Uang tunjangan"

   Yang diterima para pengangguran di Inggris setiap minggu adalah sebesar dua puluh satu poundsterling.

   Jadi, cek yang ia berikan itu senilai dengan uang yang didapatnya dari pemerintah untuk dua minggu.

   Cek kedua senilai itu kami terima dari seorang pensiunan dengan sebuah catatan.

   "Yang terhormat MAP, tolong terimalah ini untuk mendukung kerja sosial Anda semua. Maaf, jumlahnya tak lebih...."

   Yang ketiga adalah dari seorang wanita yang menulis.

   "Yang terhormat MAP, saya adalah seorang janda. Namun saya ingin memberikan ini untuk anak-anak di kamp pengungsi di Lebanon, karena mereka lebih membutuhkannya daripada saya...."

   Kantor kami juga berkembang.

   Banyak orang yang datang untuk membantu, mereka menempelkan prangko, mengeposkan surat-surat, merapikan dus-dus, dan menyusun acara-acara penggalangan dana bagi warga Palestina.

   Para simpatisan kamilah yang membuat proyek kami untuk Lebanon dapat terus berjalan, merekalah yang menggalang dana dan melakukan berbagai pekerjaan.

   Sering kali ketika orang-orang di Lebanon berterima kasih kepadaku atas setiap pekerjaan yang telah kulakukan, mereka tidak menyadari bahwa upaya tim medis kami bisa berhasil berkat bantuan banyak orang di Inggris.

   Mereka adalah sahabat sejati orang-orang Palestina dan Lebanon, kendatipun mereka tak pernah punya kesempatan untuk bertemu muka.

   Pada 1986, MAP pindah ke kantor baru.

   Untuk menghemat biaya sewa, Rafiq Hussaini menyewa basement sebuah gedung perkantoran di London.

   Ruangan itu tampak terbengkalai sebelum kami pindah ke sana.

   Namun, setelah kami bekerja cukup keras membenahinya, ruangan itu menjadi lebih pantas untuk ditempati.

   Dindingnya kami cat warna krem, kami pasang karpet yang nyaman di lantai, ventilasi udara yang efektif, dan lampu penerangan yang memadai.

   Di sini, kantor kami dilengkapi dengan word processor, sebuah ruangan desain, dan sebuah ruang pameran dan penjualan.

   Kami memasang delapan buah pesawat telepon, sebuah mesin teleks, dan faksimile.

   Oleh karena MAP sangat bergantung pada keberadaan para sukarelawan, tersedia banyak sekali meja dan kursi di aula utama, sehingga para sukarelawan dapat duduk dan bekerja di sana.

   Mereka membuat bon-bon tanda terima, surat-surat pernyataan terima kasih, dan dus-dus berisi barang-barang dagangan, seperti t-shirt bersablon, mug, kartu ucapan, dan kain berhias sulaman khas Palestina.

   Dinding-dinding biasanya dipenuhi lukisan-lukisan yang disumbangkan ke MAP untuk dijual.

   Sejak 1985 hingga 1987, organisasi amal kami telah mengirim ke Beirut lebih dari enam puluh orang sukarelawan medis dari sembilan kewarga negaraan yang berbeda-beda.

   Sering kali, Lebanon menjadi tempat yang sangat berbahaya, bom, granat, dan tembakan dari para penembak jitu adalah kenyataan yang harus dihadapi.

   Namun, bagi orang asal Eropa, penculikan adalah ancaman utama.

   Lebih dari sekali kami harus mengungsikan orang-orang kami dari Lebanon karena nyawa mereka benar-benar terancam.

   Meskipun begitu, para dokter, perawat, dan petugas kesehatan tetap berdatangan, dengan sukarela menyumbangkan keahlian dan tenaga untuk mempertaruhkan nyawa demi merawat para korban yang terluka maupun yang terserang penyakit di Lebanon.

   Biaya hidup yang kami berikan kepada para sukarelawan sangatlah rendah, hanya cukup untuk sekadar menyambung hidup di dalam kamp-kamp pengungsi.

   Kami berhasil menyeleksi orang-orang terbaik, yaitu mereka yang memiliki komitmen tinggi, bukannya mereka yang menyangka bahwa tugas di Lebanon itu akan mendatangkan keuntungan materiil.

   Para dokter dan perawat kami terkadang bahkan menawarkan untuk membiayai sendiri kepergian mereka ke Lebanon.

   Semua staf kami harus memberikan pelayanan kepada siapa pun di Lebanon, tanpa memandang ras, warna kulit, ataupun agama.

   Sudah cukup banyak penggolong-golongan di negara itu, kedatangan tenaga kesehatan asing tidak boleh membuat keadaan bertambah buruk.

   Dalam program Lebanon, aspek "birokrasi"

   Sangatlah penting.

   Kami harus yakin bahwa kami menjelaskan keadaan di Lebanon kepada para sukarelawan tersebut dengan sebaik-baiknya.

   Kami harus melakukannya dengan sistematis.

   Kami harus memaparkan risiko-risiko yang akan mereka hadapi dan para sukarelawan harus menandatangani formulir pernyataan bahwa mereka memahami bahaya yang akan dihadapi dan bersedia menanggung risikonya.

   Walaupun tidak bisa membayar mahal para sukarelawan, kami harus membayar biaya asuransi untuk menjamin mereka dari ancaman perang, perang sipil, dan penyerbuan.

   Klausul-klausul tersebut membuat biaya premi asuransi menjadi lebih besar daripada biasanya.

   Lebih parah lagi, kami tak dapat menemukan perusahaan asuransi yang mau memberikan polis yang meliputi risiko penculikan di Lebanon.

   Kami harus senantiasa menghadapi sebuah dilema, haruskah kami tetap mengirim para sukarelawan tersebut ke wilayah yang demikian berbahaya dan kondisinya tak menentu? Tapi kami menganggap bahwa kami punya kewajiban untuk bertindak sebagai penghubung antara orang-orang Lebanon yang membutuhkan bantuan dan orang-orang Inggris yang ingin memberikan bantuan.

   Sangatlah tidak bertanggung jawab jika kami membiarkan hubungan di antara mereka itu terputus.

   Jadi, kami melanjutkan program pengiriman sukarelawan ini dan berusaha mengatasi kekhawatiran yang ditimbulkannya.

   Rafiqlah yang harus menanggung beban tanggung jawab terbesar dari program sukarelawan ini.

   Namun, beberapa dari kami, seperti aku, masih berangkat tidur setiap malam dengan kekhawatiran akan menerima telepon SOS jarak jauh dari para sukarelawan kami.

   Pada saat itu, aku telah kembali ke jabatanku sebagai Pegawai Pencatat Senior Bidang Ortopedis di Royal Victoria Infirmary, Newcastle-upon Tyne.

   Tanggung jawab klinis yang diemban untuk jabatan ini sangat banyak, tetapi tanggung jawab program Lebanon ini terus meningkat meskipun energiku terus menipis.

   Rafiq tengah cuti dari tugas-tugas MAP untuk mengunjungi keluarganya di Yordania ketika bencana itu terjadi.

   Pada Januari 1987, kantor kami menerima sebuah pesan teleks yang menggemparkan dari para sukarelawan kami yang sedang bertugas di kamp Bourj elBrajneh.

   Isinya sebagai berikut.

   Kami, sebagai petugas medis asing yang tinggal dan bertugas di kamp Bourj elBrajneh, menyatakan bahwa situasi di kamp sedang dalam keadaan kritis dan tidak manusiawi.

   Kamp ini kini telah dikepung selama lebih dari dua belas minggu dan kami beserta dua puluh ribu orang penghuninya berada dalam keadaan yang sangat kekurangan dan memprihatinkan.

   Air minum adalah kebutuhan paling mendasar manusia.

   Kebanyakan rumah di sini tidak memiliki persediaan air minum dan mereka harus mengambilnya setiap hari dari keran-keran di jalanan.

   Padahal, setiap orang yang melakukannya menghadapi risiko yang sangat besar.

   Beberapa wanita yang sedang mengambil air untuk keluarganya telah tewas tertembak.

   Persediaan makanan benar-benar kosong.

   Tidak ada makanan bayi maupun susu, dan bayi-bayi ini terpaksa minum teh dan air.

   Tidak ada tepung dan roti, tidak ada makanan segar sehingga ibu-ibu hamil dan anak-anak menderita kekurangan gizi.

   Para warga memakan makanan basi dan terserang muntaber.

   Banyak keluarga yang kini tak punya persediaan makanan.

   Sekarang musim dingin dan pasokan listrik ke kamp diputus sejak dua setengah bulan yang lalu.

   Orang-orang kedinginan dan terserang radang paru-paru.

   Banyak tumpukan sampah yang tidak dapat dibersihkan dan tikus-tikus dengan cepat berkembang biak.

   Seorang wanita tua yang tidak mampu bangkit dari tempat tidurnya, kakinya digerogoti tikus-tikus itu selama tiga malam berturut-turut, sebelum akhirnya diselamatkan.

   Pengeboman yang terus-menerus memaksa para penduduk berkumpul di bunker-bunker perlindungan yang berventilasi buruk dan tak punya sanitasi, atau menanggung risiko terkena bom di rumah mereka sendiri.

   Ratusan anak-anak terserang penyakit kudis dan banyak yang menderita infeksi kulit.

   Sekitar tiga puluh lima persen rumah-rumah di Bourj elBrajneh kini telah hancur.

   Di rumah sakit, banyak obat-obatan yang habis dan kami tak punya lagi perban.

   Bangunan rumah sakit menjadi tidak stabil karena terus-menerus dilempari granat.

   Para pasien serta perawat terluka karena pecahan bom.

   Air menetes dari dinding dan jamur tumbuh di setiap ruangan.

   Kami menyatakan keadaan ini tidak manusiawi, dan berdasarkan alasan-alasan kemanusiaan kami meminta penyerangan dihentikan dan agar organisasi-organisasi bantuan internasional mengirimkan makanan serta obat-obatan.

   DR.

   PAULINE CUTTING, DOKTER AHLI BEDAH INGGRIS BEN ALOFS, JURU RAWAT BELANDA SUSAN WIGHTON, JURU RAWAT SKOTLANDIA 23 Januari 1987 Mike Holmes mengontakku dan memintaku datang ke kantor MAP untuk membahas keadaan tersebut.

   Aku tiba di sana dan kami membaca pernyataan itu.

   "Swee,"

   Kata Mike setelah kami selesai membaca pesan itu.

   "apa yang akan kita lakukan?"

   Mike adalah pegawai humas kami yang baru.

   Seorang pendukung rakyat Palestina yang penuh semangat, ia baru saja tiba dari Skotlandia untuk bergabung dengan kami di MAP.

   Sebagaimana para pegawai lainnya yang menghabiskan waktu berjam-jam bekerja di kantor kami, menggalang dana, dan menyebarluaskan publikasi tentang situasi di kamp, Mike belum pernah pergi ke Timur Tengah.

   "Aku tidak tahu, Mike,"

   Balasku.

   "Tapi kelihatannya semua orang di sana perlahan-lahan akan mati sekarat karena blokade yang berkepanjangan. Sekarang hari Jumat. Sebaiknya akhir pekan ini kita sebarkan panggilan darurat dan mengumpulkan semua orang. Bisakah kamu memberi tahu teman-teman Pauline dan Suzy tentang apa yang terjadi?"

   "Tentu,"

   Ucap Mike.

   "Oh, dan sebaiknya kita memastikan agar orang-orang yang sepanjang waktu hanya mengobrol dan tak pernah mengerjakan tugas, tidak datang ke kantor kita dan mengganggu pekerjaan kita."

   Dengan segera Mike berangkat untuk mengerjakan semua instruksiku.

   Hal yang membuat kami sangat jengkel adalah penyerangan itu sepertinya telah berlangsung selama sekurang-kurangnya tiga bulan, tapi tidak ada pemberitaan di media massa Inggris.

   Kami berasumsi bahwa para sukarelawan kami di Bourj elBrajneh pasti telah berusaha menghubungi kami, tetapi mereka tidak berhasil melakukannya karena terkepung.

   Kami tahu bahwa Rasyidiyah, sebuah kamp pengungsi Palestina dekat Sour, juga sedang diserang, dan kami tengah berupaya untuk menolong orang-orang di sana, tapi kami tak pernah menyadari bahwa kamp-kamp Beirut di Bourj elBrajneh dan Shatila pun sedang diserbu dan diduduki.

   Pers Barat berkonsentrasi pada kemelut PLO di Magdoushe, sebuah desa Kristen dekat Saida, tapi tak ada satu pun pemberitaan tentang kamp.

   Kami sangat marah membaca pernyataan tiga orang sukarelawan kami, dan marah pada diri kami sendiri karena tidak menyadari betapa buruk keadaan di sana.

   Rasanya sangat berat menyampaikan kabar ini kepada keluarga para sukarelawan, tapi kami tahu kami harus melakukannya.

   Salah seorang sukarelawan kami di kamp Bourj elBrajneh adalah seorang ahli fisioterapi berkebangsaan Austria bernama Hannes.

   Meskipun bertugas di kamp Bourj elBrajneh, ia tidak ikut menandatangani pesan teleks tersebut.

   Kami tahu ia masih hidup karena koordinator NORWAC di Beirut telah melakukan kontak dengannya melalui radio setelah pesan teleks itu dikirim.

   Suatu hari, polisi mendatangi kantor kami di London, mereka telah diminta oleh polisi Austria untuk mencari informasi tentang kami.

   Ternyata ibu Hannes yakin bahwa putranya telah mati dan kami menyembunyikan fakta itu darinya! Jadi, kami harus berusaha agar semua keluarga, termasuk keluarga Hannes, mengetahui apa yang sedang terjadi.

   Tak lama kemudian, kami menerima pesan yang memilukan dari para sukarelawan kami di Beirut.

   Kami menyatakan bahwa situasi di kamp Bourj elBrajneh tidak dapat ditoleransi lagi.

   Kamp ini telah dikepung oleh pasukan musuh selama lebih dari 14 minggu.

   Dua minggu yang lalu kami mengirim pernyataan bahwa sebentar lagi persediaan makanan di kamp akan habis dan keadaan menjadi kritis.

   Kami masih terkepung dan sekarang orang-orang di kamp mulai kelaparan.

   Kami melihat anak-anak mengais-ngais tumpukan sampah demi mendapatkan sisa-sisa makanan.

   Hari ini, seorang wanita ditembak ketika sedang mengumpulkan rerumputan di pinggiran kamp agar dapat memberi makan ketujuh anaknya yang sudah tak punya lagi makanan.

   Beberapa wanita dan anak-anak membahayakan nyawa mereka dengan keluar dari kamp dan banyak anak kecil dijebloskan ke penjara.

   Beberapa dari mereka yang kehabisan makanan kini memakan anjing dan kucing agar dapat bertahan hidup.

   Kami menyerukan kepada semua pihak yang berperang untuk menghentikan pertempuran dan kami menyeru PBB untuk mengupayakan gencatan senjata dengan segera, sehingga organisasi bantuan internasional dapat masuk dengan membawa makanan dan obat-obatan, agar pembantaian ini dapat dihentikan.

   Orang-orang di kantor kami di London sangat sedih menerima berita ini.

   Aku punya firasat bahwa sebentar lagi sesuatu yang buruk akan terjadi.

   Bencana ini mengingatkan kembali pada masa-masa suram 1982, ketika kamp-kamp dikepung.

   Saat itu, kami menyerukan agar dunia internasional mengirimkan bantuan, tapi tak satu pihak pun menjawabnya.

   Ketika penyerbuan dihentikan pada 1982 dan dunia luar diperbolehkan memasuki kawasan bekas perang, jalanan dipenuhi mayat-mayat yang bergelimpangan.

   Kali ini, penyerbuan tersebut mendapatkan perlawanan dari orang-orang di kamp sehingga pembantaian tidak mudah dilakukan.

   Namun, peperangan kali ini telah menguras banyak energi.

   Mungkin penduduk kamp akan kelaparan sehingga akhirnya menyerah.

   Kemudian, saat keluar dari tempat-tempat perlindungan, mereka akan diberondong peluru.

   Ini sudah pernah terjadi, pengepungan Tel-al Zaatar pada 1976 baru berakhir setelah enam bulan dan berujung pada terbantainya tiga ribu orang justru setelah kamp tersebut menyetujui gencatan senjata dan evakuasi oleh Palang Merah Internasional.

   Seorang teman wartawan memberitahuku kondisi Tel-al Zaatar tak lama setelah penyerangan itu.

   Ia mengunjungi kamp tersebut ketika buldoser sedang meratakannya.

   Mayat-mayat berserakan di mana-mana.

   Buldoser-buldoser melindas mayat-mayat itu dan membenamkannya ke dalam tanah.

   Kelaparan adalah senjata yang efektif.

   Semua orang yang pernah mengalaminya pasti tahu seperti apa rasanya.

   Kelaparan dapat membuat bahkan orang-orang Palestina yang terkenal tabah itu menyerah kalah.

   Lalu ada pula kehausan.

   Aku ingat kisah yang diceritakan seorang anak yatim piatu dari Tel al-Zaatar.

   "Di malam hari, ibu-ibu pergi mengambil air minum. Sumur-sumur berada di tempat-tempat terbuka yang ditembaki terus-menerus. Ibu-ibu memberi ciuman perpisahan kepada anak-anak mereka sebelum keluar rumah, karena mereka tidak tahu apakah akan dapat melihat anak-anak mereka lagi."

   Dari kesepuluh wanita yang pergi mengambil air minum di Tel al-Zaatar pada suatu malam, hanya empat yang kembali, sisanya tewas tertembak.

   Pada Januari 1987, berita yang sampai di kantor MAP mengabarkan bahwa warga Palestina di kamp telah meminta fatwa para ulama agar mereka diizinkan memakan mayat.

   Ini menunjukkan bahwa kematian membayangi mereka semua yang berada di kamp.

   Bahkan pada puncak serangan pasukan Israel pada 1982, tak seorang pun yang terpaksa harus memakan kucing maupun anjing, pada 1987 orang-orang bahkan terpikir untuk memakan tubuh manusia.

   Aku beranjak ke rak penyimpanan dokumen di dalam kantor dan menarik keluar sebuah dokumen bertuliskan "Sukarelawan Medis".

   Di dalamnya terdapat empat bundel formulir lengkap dengan foto-foto Ben Alofs, Pauline Cutting, Susan Wighton, dan Hannes.

   Aku merasa sedih memikirkan bahwa aku mungkin takkan pernah melihat mereka lagi.

   Ben telah kukenal sejak 1982, Pauline dan aku hanya pernah bertemu sekali, Susan dan Hannes hanya kukenal lewat penuturan Alison yang telah bergabung dalam tim dokter pertama yang kami kirimkan ke Lebanon pada 1985.

   Namun, karena telah berulang-ulang melihat formulir dan foto mereka, aku merasa seolah-olah telah mengenal mereka sepanjang hidupku.

   Mereka adalah empat orang pemuda-pemudi yang hebat, yang pergi jauh hanya untuk menolong orang-orang asing, apa yang telah mereka lakukan sehingga pantas menerima nasib seperti itu di dalam kamp? Pada Agustus 1985, dalam sebuah ruangan kecil dipenuhi para wartawan, aku pertama kali bertemu Pauline Cutting.

   Aku baru saja kembali dari Beirut dan sedang berbicara dalam sebuah konferensi pers mengenai keadaan di kamp-kamp pengungsi Palestina.

   Karena tubuhku sangat pendek, tak seorang pun dapat melihatku karena tertutup kerumunan orang.

   Pemimpin organisasi amal kami, Mayor Derek Cooper, membawakanku sebuah kursi dan aku berdiri di atasnya sementara aku berbicara.

   Ketika aku sedang melepaskan sepatuku untuk naik ke atas kursi, Mayor Cooper berbisik kepadaku.

   "Ada seorang dokter bedah muda cantik yang ingin menjadi sukarelawati ke Lebanon. Anda mau berbicara dengannya setelah ini?"

   Demikianlah pertemuanku dengan Pauline.

   Sekarang, hampir satu setengah tahun berlalu, tetapi aku masih mengingatnya dengan baik.

   Ia mempunyai wajah yang sensitif, dan terlihat seolah-olah secara naluriah dapat merasakan penderitaan orang lain.

   Semoga Tuhan melindunginya dari segala keburukan! Tak ada gunanya mencemaskan keselamatan para sukarelawan kami di kamp yang tengah diserang, atau merasa bersalah karena kondisi menjadi sedemikian buruk.

   Kami harus melakukan sesuatu, berusaha sebisa mungkin mengabarkan keadaan ini, menyerukan supaya penyerangan tersebut dihentikan, dan kami harus berupaya membawa pulang orang-orang kami.

   Aku memutuskan meninggalkan pekerjaanku sebagai dokter bedah ortopedis di National Health di Inggris sampai semua masalah ini beres.

   Pada awal Februari 1987, beberapa peristiwa di Lebanon sekali lagi menarik perhatian media massa Inggris, para penculik mengancam akan membunuh beberapa orang sandera jika tuntutan mereka tidak dipenuhi dalam tenggat waktu yang ditentukan.

   Terry Waite juga telah diculik.

   Mike Holmes berhasil mengupayakan supaya aku tampil di sebuah acara stasiun televisi BBC untuk mendiskusikan masalah penyanderaan di Lebanon.

   Tentu saja aku menganggap bahwa para sukarelawan kami yang terperangkap di kamp-kamp adalah sandera juga.

   Bahkan, semua warga Palestina yang terkepung dalam penyerbuan di kamp Shatila, Bourj elBrajneh, dan Rasyidiyah semuanya adalah sandera.

   Setelah program itu selesai, aku memperkenalkan diriku kepada editor program siaran berita luar negeri BBC dan menunjukkan kepadanya salinan pernyataan para sukarelawan kami.

   Sebagai seorang yang pernah disandera, ia memahami penderitaan orang-orang yang terperangkap dalam penyerangan.

   Aku berkata padanya.

   "Nyawa dua puluh lima ribu warga Palestina dan para sukarelawan kami bergantung pada liputan Anda mengenai situasi ini."

   Ia menyetujui untuk membuat liputan tentang kamp tersebut, dan sebagai hasilnya, kantor kecil kami dibanjiri para wartawan selama beberapa hari berikutnya.

   Meskipun telah diberitakan besar-besaran secara internasional, penyerangan tersebut tidak juga dihentikan.

   Setiap kali Nabih Berri pemimpin pasukan milisi Amal yang menyerbu kamp mengumumkan bahwa penyerangan akan dihentikan dan kiriman makanan akan diizinkan memasuki kamp, tak lama kemudian tersiarlah berita bahwa konvoi bala bantuan telah diusir dan bahkan ditembaki.

   Pada Jumat 13 Februari, berita pagi menyiarkan bahwa sekali lagi Nabih Berri berjanji akan menghentikan penyerangan supaya makanan dapat dikirim ke kamp.

   Keluarga Cutting datang ke kantor MAP, berharap kami akan dapat menghubungi putri mereka, Pauline, melalui radio.

   Mereka adalah orang-orang yang sangat tabah dan luar biasa pengertian.

   Kami semua tahu pasti betapa cemasnya mereka tetapi mereka tak pernah sekali pun menyalahkan kami karena membiarkan Pauline terlibat dalam situasi berbahaya seperti ini, dan mereka selalu mendukung segala kegiatan organisasi kami.

   Setiap kali ditanya tentang putri mereka, mereka selalu mengatakan bahwa ia hanyalah salah satu dari ribuan orang yang terperangkap dalam pengepungan tersebut.

   Pada pukul sembilan malam, kami akhirnya berhasil menghubungi Pauline.

   Penyerangan belum juga dihentikan dan rumah sakit dibanjiri para korban perang.

   Empat belas kaki telah diamputasi pada hari itu.

   Enam orang meninggal dan delapan belas orang terluka.

   Konvoi makanan telah ditembaki dan sang sopir ditembak di bagian kepala.

   Para sukarelawan memberi tahu kami.

   "Kami akan tinggal dengan para penduduk kamp sampai bahaya ini usai. Kami akan tetap bersama mereka hidup atau mati bersama mereka."

   Aku merasa sangat bangga dengan mereka, namun ketika memandang ke seberang ruangan tempat orangtua Pauline berada dan memikirkan orangtua Suzy dan ibu Hannes, aku tahu, ini saatnya bagiku untuk kembali ke Beirut.[] Dua Puluh Lima Kami harus membentuk sebuah tim untuk menggantikan Pauline dan teman-temannya di kamp Bourj elBrajneh, dan kami harus mengggalang dana untuk membeli obat-obatan dan peralatan untuk mengganti alat-alat yang sudah usang di kamp.

   Kami sangat sibuk selama beberapa hari berikutnya.

   Mengganti tim medis tidaklah semata-mata menukar dua kelompok orang.

   Banyak hal harus dibereskan sebelum rencana itu dapat diwujudkan.

   Harus diadakan gencatan senjata, pengenduran pengepungan, dan pengawalan atas tim yang keluar dari kamp sementara tim pengganti mereka memasuki kamp.

   Tidak ada tanda-tanda ke arah sana.

   Situasi di kamp semakin memburuk seiring meningkatnya serangan, bahkan terjadi pula serangan dari para penembak jitu.

   Lebih gawat lagi, di luar kamp meletus perang sipil di antara penduduk Lebanon di Beirut, perang itu adalah yang terparah selama ini.

   Oleh karena itu, kami meminta empat ribu "kantong darah".

   Setengahnya untuk diserahkan kepada Palang Merah Lebanon dan setengah lainnya kepada PRCS (Bulan Sabit Merah Palestina).

   Kami juga memperoleh obat bius, alat-alat bedah, antibiotik, plester Paris, dan segala kebutuhan sebuah rumah sakit berat seluruhnya empat ton.

   Kami juga membentuk sebuah tim yang terdiri dari delapan orang sukarelawan medis.

   Untuk mengurangi risiko penculikan, kami memberangkatkan para tenaga medis yang memiliki paspor non-Inggris.

   Kami pergi menuju Beirut pada 2 Maret 1987, kali ini melalui Siprus, karena bandara Beirut lagi-lagi ditutup.

   Sayangnya, aku hanya bisa pergi sampai Siprus karena visa masukku ke Lebanon ditolak.

   Aku tidak terkejut menerima perlakuan seperti itu dari para petinggi Lebanon.

   Jelas sekali bahwa orang-orang yang menyerang kamp tak ingin teman-teman dan pendukung Palestina datang ke kamp, dan mereka pasti mengenali namaku.

   Mereka pasti telah menekan Kedutaan Lebanon untuk tidak memberiku visa.

   Kami mendapat kabar bahwa Pauline Cutting telah menerima ancaman pembunuhan.

   Segala sesuatu menjadi bertambah suram dan aku merasa tak berdaya.

   Harian The Guardian di Inggris memuat profil diriku dengan judul "Malaikat dengan Sayap Terbelenggu".

   Kurasa, judul berita utama itu sangat tepat, setidaknya tentang sayap yang terbelenggu.

   Sisa anggota tim melanjutkan perjalanan ke Lebanon dengan kapal, membawa tiga puluh sembilan peti berisi obat-obatan dan peralatan medis.

   Mereka dipimpin oleh Mayor Derek Cooper, Ketua MAP.

   Ketika mereka tiba di Beirut Timur, Mayor Cooper dan Lady Pamela, istrinya, dianjurkan oleh Duta Besar Inggris untuk tidak menyeberangi Garis Hijau.

   Semua orang pemegang paspor Inggris menjadi sasaran penculikan di Lebanon.

   Sang Duta Besar telah cukup kerepotan menangani masalah penculikan Terry Waite dan John McCarthy, serta Pauline dan Suzy yang terperangkap di kamp.

   Ia tidak mau tambah direpotkan dengan penculikan Mayor Cooper dan Lady Pamela.

   Jadi, kelima sukarelawan yang tidak memegang paspor Inggris tak seorang pun dari mereka pernah datang ke Beirut, pergi menuju Beirut Barat tanpa pasangan Cooper.

   Tugas mereka adalah mengirimkan 39 peti berisi obat dan peralatan medis melintasi Garis Hijau, dan tiba di kamp Bourj elBrajneh, merundingkan gencatan senjata, dan masuk ke kamp untuk menggantikan tim yang tengah terperangkap di dalamnya.

   Mereka dengan penuh keberanian mengajukan diri secara sukarela untuk melakukannya.

   Sebagai pemimpin tim, aku pasti telah sinting karena membiarkan mereka pergi! Sementara itu, aku pergi ke Mesir dengan pesawat.

   Aku menduga, di Kairo ada orang yang pernah mendengar upayaku membantu rakyat Palestina.

   Mungkin perwakilan pemerintah Lebanon di sana mau memberiku visa.

   Konsulat Inggris di Kairo menulis surat rekomendasi kepada Sekretaris Pertama di Kantor Bagian Hubungan Luar Negeri Kedutaan Prancis, meminta mereka untuk mempercepat pengurusan visa tersebut, sehingga aku dapat pergi ke Beirut dalam rangka misi kemanusiaan.

   Aku berhasil mendapatkan visaku pada 30 Maret 1987, dua puluh delapan hari setelah meninggalkan London.

   Ketika menghubungi orang-orang di London, aku baru tahu bahwa kelima orang sukarelawan itu belum berhasil memasuki kamp.

   Penyerangan belum dihentikan dan 63 orang wanita telah tertembak oleh para penembak jitu.

   Mereka terluka ketika hendak membawakan makanan bagi para penduduk kamp yang kelaparan.

   Dua puluh satu orang wanita gugur.

   Kamp Shatila kehabisan bensin dan mereka membakar perabotan rumah tangga supaya tetap hangat.

   Para pemuda kamp Shatila rela kelaparan supaya para wanita dan anak-anak tetap bisa makan.

   Pauline telah menerima sebuah surat ancaman pembunuhan.

   Pasukan penjaga perdamaian Suriah telah pindah ke Beirut dan telah menghentikan perang sipil yang terjadi di luar kamp.

   Namun, para tentara Suriah itu belum juga dikerahkan ke sekitar kamp Palestina, dan Suriah tampaknya membiarkan pasukan Amal melanjutkan pengepungan dan penembakan terhadap wanita dan anak-anak.

   Kedua orangtua Pauline telah mengirim telegram kepada Hafiz al-Assad, Presiden Suriah, memohon agar pengepungan tersebut dihentikan sehingga putri mereka dapat pulang.

   Tak ada perubahan.

   Pasukan penjaga perdamaian Suriah tetap menjaga jarak dan pengepungan pun terus berlanjut.

   Kurasa, mungkin Damaskus memegang posisi kunci dalam situasi ini.

   Pasukan penjaga perdamaian Suriah baru saja tiba di Beirut dan berhasil menghentikan perang di antara warga Lebanon.

   Jadi, jika Suriah mampu menghentikan perang sipil antara kelompok Druze, Amal, dan faksi Lebanon lainnya, tentunya mereka dapat memaksa pasukan Amal menghentikan pengepungan kamp.

   Presiden Assad pernah menyatakan bahwa Palestina adalah bagian dari Suriah Raya, ini berarti ia berpihak kepada Palestina.

   Walaupun hubungan antara Suriah dan PLO pada waktu itu sangat tegang karena berbagai sebab, Suriah akan bisa memahami bahwa ada alasan kemanusiaan untuk melakukan gencatan senjata dan mengizinkan pasokan untuk para penduduk yang kelaparan.

   Banyak dari kami menyadari bahwa jika Suriah memerintahkan penghentian pengepungan atas kamp itu, hubungan antara Suriah dan Amal akan tegang.

   Padahal, Amal adalah salah satu sekutu utama Suriah dalam pertempuran melawan Israel.

   Akan tetapi, demi menyelamatkan nyawa banyak orang, mungkin Presiden Assad akan menganggap bahwa ini adalah harga yang pantas untuk dibayar.

   Tapi maukah dia? Cepat atau lambat, aku harus berbicara kepada Suriah untuk menyediakan pengawalan bagi orang-orang kami ketika mereka keluar dari kamp.

   Aku memutuskan bahwa lebih baik aku segera melakukannya, sebagai persiapan sebelum tiba di Beirut.

   Jadi, aku menulis sebuah surat kepada Presiden Assad.

   Yang Mulia Presiden Hafiz al-Assad 3D Maret 1987 Yang Mulia, Saya berharap Anda telah menerima telegram dari orangtua dr.

   Pauline Cutting yang memohon dihentikannya pengepungan sehingga putri mereka dapat pulang.

   Saya adalah Ketua Tim Paramedis Internasional yang berangkat dari London menuju Beirut pada 2 Maret 1987.

   Rakyat Inggris telah mengutus kami, berharap bahwa kami dapat menggantikan tim dr.

   Cutting yang saat ini berada di kamp Bourj elBrajneh di Beirut Barat.

   Mungkin saya terkesan tidak sopan, sebagai seorang dokter asing, saya berani meminta secara langsung kepada Yang Mulia.

   Saya benar-benar memohon supaya Anda memaafkan saya dan sudi bersabar menyimak permohonan saya.

   Saya pertama kali menginjakkan kaki di Lebanon pada 1982, sebagai sukarelawan yang membantu rakyat yang menderita di Lebanon dan menjadi korban serangan Israel.

   Saya telah banyak melihat penderitaan dan kekejaman, dan saya adalah salah seorang dokter yang pernah terkepung di kamp Sabra dan Shatila selama pembantaian berlangsung.

   Dibesarkan sebagai seorang pemeluk Kristiani, saat itu barulah saya membuktikan dengan mata kepala sendiri, kisah pedih rakyat Palestina dan kisah itu ditulis dengan darah.

   Saya kemudian memberi kesaksian di hadapan Komisi Kahan di Israel atas nama penduduk kamp.

   Saya merasa harus menyuarakan nasib wanita dan anak-anak tak berdosa yang dibunuh secara brutal ketika Israel menduduki kamp-kamp tersebut.

   Kali ini, lagi-lagi jerit tangis wanita dan anak-anak Palestina di kamp Shatila dan Bourj elBrajneh terdengar oleh saya.

   Bukan hanya saya yang mendengarnya, melainkan juga masyarakat internasional, termasuk masyarakat di Inggris.

   Lima bulan pengepungan atas kamp-kamp ini mengakibatkan bencana kelaparan, kematian, dan kesengsaraan.

   Para korban terus menderita dan tewas.

   Masyarakat internasional dan masyarakat Inggris telah memberikan tanggapan yang luar biasa terhadap penderitaan warga Palestina ini.

   Kini, kami mempunyai obat-obatan dan makanan bagi mereka yang kelaparan.

   Para dokter dan perawat dari seluruh dunia telah meninggalkan negeri mereka dan menyumbangkan tenaga secara sukarela demi rakyat Palestina, meskipun mengetahui risiko yang harus mereka hadapi.

   Di seluruh dunia, orang-orang menyimak dengan antusias berita masuknya pasukan penjaga perdamaian Suriah.

   Mereka berharap agar pengepungan kamp dihentikan sehingga bala bantuan dapat diserahkan kepada warga Palestina yang telah lama menderita.

   Namun, yang kami dengar justru berita-berita tentang para wanita yang ditembaki dan tewas ketika berusaha keluar untuk membeli makanan bagi anak-anak mereka, rombongan bala bantuan yang ditembaki ketika berusaha membawakan makanan bagi penduduk kamp.

   Pastilah tindakan-tindakan seperti ini bertentangan dengan kebijaksanaan Yang Mulia dan pasukan penjaga perdamaian Suriah.

   Komunitas internasional dapat terus memberikan sumbangan makanan dan obat-obatan.

   Para dokter dan perawat dapat terus menyumbangkan tenaga mereka.

   Dr.

   Pauline Cutting dan timnya dapat terus bekerja sendirian hingga kepayahan di kamp Bourj elBrajneh yang tengah terkepung, sampai seluruh kamp binasa akibat kelaparan, penyakit, dan berbagai luka yang diderita.

   Namun, hanya Yang Mulia yang dapat mengakhiri penderitaan yang kelewat batas ini.

   Pada 1982, di puncak pembantaian Sabra dan Shatila, kami menyeru Angkatan Bersenjata Israel untuk menghentikan pembantaian tetapi permohonan kami tidak digubris, dan pembantaian terus berlanjut.

   Saya membawa fakta ini ke hadapan Komisi Kahan di Israel.

   Kini, pada 1987 ini, saya menyerukan kepada Yang Mulia untuk menggunakan segala kekuasaan Yang Mulia untuk mengakhiri penderitaan warga Palestina di kamp-kamp yang diserang, serta untuk melindungi nyawa para wanita dan anak-anak.

   Saya juga memohon Yang Mulia memberikan perlindungan kepada dr.

   Pauline Cutting dan timnya dan mengizinkan tim dokter yang baru yang telah berada di Beirut Barat selama hampir sebulan untuk menggantikan posisi mereka.

   Dengan cara ini, Yang Mulia tidak hanya mengabulkan permohonan kedua orangtua dari dokter asal Inggris itu, yang kini sedang dalam kecemasan yang luar biasa, tetapi juga masyarakat Inggris yang mensponsori seluruh upaya ini.

   Dengan penuh harap saya menunggu instruksi Yang Mulia, dan secara pribadi saya akan menelepon kedutaan Yang Mulia di Siprus pada minggu ini.

   Dr.

   Swee Ang Agar surat itu dapat sampai ke Suriah, aku mengirimnya dari Kairo melalui faks kepada Mike Holmes di kantor MAP London, dan memintanya untuk membawa surat itu ke kuasa usaha Bagian Urusan Suriah di Kedutaan Lebanon di London.

   Kedutaan Suriah baru-baru ini ditutup dan Kedutaan Lebanon lah yang menangani kepentingan pemerintah Suriah.

   Mike juga membawa beberapa guntingan surat kabar tentang diriku, dan semuanya itu dikirimkan dalam sebuah map diplomatik kepada sang Presiden.

   Aku tahu bahwa siapa pun di Damaskus yang membuka surat untuk Presiden itu mungkin mengira aku gila dan hanya akan memasukkan surat itu ke keranjang sampah.

   Untuk memastikan hal itu tidak terjadi, aku meminta Mike memberi tahu mereka bahwa aku bersiap-siap untuk menyiarkan isi surat itu melalui sebuah radio Arab.

   Dengan demikian, seluruh warga Timur Tengah akan mendengarnya dan Presiden juga akan mendengar apa yang telah kutulis.

   Pada malam yang sama, aku baru mengetahui bahwa Mike telah pergi menemui kuasa usaha itu dan telah memberitahukannya persis seperti yang kukatakan.


Wiro Sableng Delapan Sabda Dewa Roro Centil Sukma Kala Wrenggi Pendekar Slebor Dendam Dan Asmara

Cari Blog Ini