Alice In Wonderland 3
Lewis Carroll Alice In Wonderland Bagian 3
"Kamu boleh mengatakan," tambah si gila March, "bahwa aku suka apa yang aku dapat adalah sama dengan ketika kau mengatakan aku dapatkan apa yang aku suka!"
"Kamu boleh mengatakan," tambah si tikus Dormouse, sepertinya bicara sambil tidur, "aku bernafas ketika tidur adalah sama dengan bila kau mengatakan aku tidur saat aku bernafas!"
"Keduanya sama bagimu," kata si Hatter, dan pada titik ini percakapan itu berhenti, dan mereka diam selama beberapa menit, sementara itu Alice terus berpikir semua yang mampu dia ingat soal burung gagak dan meja tulis, yang keduanya adalah dua hal yang berbeda. Si Hatter lah yang lalu memecah kebekuan itu." Sekarang hari keberapa dalam bulan ini?" tanyanya sambil menengok ke arah Alice. Si Hatter lalu mengeluarkan jam dari sakunya dan melihatnya dengan susah payah, menggoyang-goyangkan dan mendekatkan jam ke telinga. Alice berpikir sejenak dan kemudian menjawab, "hari ke empat."
"Meleset dua hari!" desah si Hatter. "Sudah kubilang padamu, mentega tidak cocok untuk kerja-kerja itu!" tegasnya, memandang dengan marah pada si March Hare. "Itu mentega terbaik," jawab si March Hare tanpa perlawanan.
"Ya, tapi pasti sudah tercampur remah-remah,M gerutu si Hatter. "kau pasti sudah mencampurkanya bersama pisau roti."
Si March Hare merebut jam itu dan menelitinya dengan wajah murung. lalu ia mencelupkannya ke dalam cangkir teh, dan melihatnya sekali lagi. Tapi ia tak punya sanggahan lain selain mengatakan penegasan awalnya, "itu mentega terbaiki"
Alice berkali-kali melihat melalui atas pundak si March Hare dengan penasaran. "Betapa lucu jam itu!" ia berucap. "Jam itu hanya menunjukkan hari apa tapi tidak jam berapa!"
"Memangnya kenapa?" gumam si Hatter. "Apakah jam milikmu ada angka tahunnya?"
"Tentu saja tidak," sahut Alice. "Tapi itu karena jam tersebut telah berhenti di suatu angka tahun yang tetap untuk jangka wakt u yang lama."
"Sama dengan masalah jam milikku," kata si Hatter. Alice merasa bingung. Ucapan si Hatter sepertinya tidak bermakna apa-apa, meski susunan kalimatnya benar. "Aku sungguh tidak bisa memahami kalian," kata Alice sesopan mungkin.
"Si Dormouse sudah tidur lagi," kata si Hatter, dan ia menumpahkan sedikit teh panas ke hidung binatang itu. Si Dormouse menggoyang-goyangkan kepalanya dengan gusar dan berkata, tanpa membuka matanya,"tentu saja, tentu saja; betapa aku ingin mengatakannya sendiri."
"Maukah kamu menebak teka-teki itu?" kata si Hatter, kepada Alice lagi.
"Tidak. Aku menyerah," jawab Alice; "apa jawabannya?" "Aku tak punya ide apapun," kata si Hatter.
"Begitu juga aku," kata si March Hare Alice mendesah bosan. "Kupikir kalian harus memanfaatkan waktu dengan lebih baik," katanya, "daripada hanya sekedar menghabiskannya dengan menanyakan teka-teki yang tidak ada jawabannya."
"Jika saja kau tahu apa makna waktu seperti aku," kata si Hatter, "kau mungkin boleh bicara soal pemborosan waktu. Dia itu sesungguhnya yang boros waktu.' "Aku tidak mengerti maksudmu," kata Alice "Tentu saja kau tidak paham," kata si Hatter menegakkan kepalanya dengan meyakinkan. "Aku berani mengatakan kalau kau bahkan tak pernah bicara dengan sosok si waktu itu !"
"Bisa jadi," jawab Alice hati-hati. "Tapi aku juga memukul irama ketukan waktu saat belajar musik" "Ah! itulah sebabnya," kata si Hatter. "Dia tidak akan tahan mengetuk-ngetukkan irama waktu terus. Kalau kamu terus bicara dengan baik padanya, si waktu itu akan melakukan apa saja yang kamu suka dengan waktu. Misalnya, seandainya jam sembilan pagi, waktu untuk mulai pelajaran. kamu hanya diwajibkan membisikan petunjuk pada si sosok waktu itu dan jam milikmu akan berputar dengan sebuah dentingan! pukul setengah satu, waktunya makan malam!"
"Kuharap juga begitu," kata si March Hare padanya dengan berbisik.
"Pasti, itu akan menyenangkan," kata Alice penuh keyakinan. "Tapi kemudian, aku pun pasti akan merasa lapar karenanya."
"Pada mulanya mungkin tidak," kata si Hatter, "Tapi kamu bisa mematoknya di jam setengah satu selama periode yang kau inginkan."
"Begitukah caramu mengatur si waktu itu?" Tanya Alice. Si Hatter menggelengkan kepalanya dengan sedih, "bukan aku yang mengaturnya!" jawabnya. "Kami bertengkar saat bulan Maret kemarin- sebelum March Hare berubah menjadi gila, kamu tahu-(menunjuk si March Hare dengan sendok teh) - saat itu sedang berlangsung pagelaran yang diselenggarakan oleh sang ratu hati dan aku mesti bernyanyi. Kelap-kelip, wahai kelelawar kecil betapa ku ingin tahu dimana kamu berada! "Mungkin kau sudah tahu lagunya?" "Ya, aku pernah mendengar lagu seperti Itu," kata Alice. "Lalu berlanjut, kau tahu," sambung si Hatter, "seperti ini. tinggi sekali langit kau terbang, di langit seperti nampan teh melayang kelap-kelip Saat itu si Dormouse menggelengkan kepala dan bernyanyi sembari tidur, "kelap-kelip, kelap-kelip... dan itu memaksa mereka untuk mencubitnya agar ia berhenti.
"Ya, aku sudah menyelesaikan bagian bait pertama dengan susah payah," kata si Hatter, "saat sang ratu melompat bangun dan menghardik, "dia telah mengacaukan waktu! penggal kepalanya!"
"Sungguh sangat kejam!" seru Alice.
"Dan sejak saat itu," lanjut si Hatter dengan nada sedih, "sosok waktu itu tak pernah melakukan apapun yang kusuruh! itulah mengapa saat ini selalu jam enam."
Melintas ide cemerlang di benak Alice. "Itukah alasannya kenapa ada banyak teh disini?" ia bertanya.
"Ya, itulah sebabnya," kata si Hatter dengan mendesah. "Selalu waktu untuk minum teh, dan kita tak punya waktu untuk mencucinya."
"Lalu kamu terus menerus disibukkan dengannya, kukira?" kata Alice "Benar sekali," kata si Hatter. "seperti sudah dirancang begitu."
"Tapi, bila kamu memulainya dari awal lagi, apa yang kira-kira akan terjadi?" Alice mmberanikan diri bertanya. "Lebih baik kita ganti bahan pembicaraan," sela si March Hare, dengan menguap. "Aku sudah capek dengan soal itu. Aku usul agar gadis kecil ini menceritakan sebuah kisah pada kita,".
"Aku tak punya cerita apa-apa," kata Alice, agak terkejut de ngan usulan itu.
"Kalau begitu si Dormouse saja!" lalu mereka mencubit binatang itu dari kedua sisi. Si Dormouse perlahan membuka matanya. "Aku tidak tidur," dia berkata dengan suara serak dan lemah, "aku dengar setiap kata yang kalian ucapkan."
"Berceritalah!"kata si March Hare.
"Ya, ayolah!" pinta Alice.
"Dan cepat ceritakan," tambah si Hatter, "sebelum keburu kau tertidur lagi."
"Pada zaman dulu, hiduplah tiga gadis kecil," si Dormouse memulai dengan terburu buru; "mereka bernama Elsie, Lacie dan Tillie dan mereka hidup di dasar sebuah sumur."
"Bagaimana mereka bisa hidup disitu?" kata Alice, yang selalu tertarik untuk menanyakan soal minuman dan makanan.
"Mereka hidup dengan minum sirup," kata si Dormouse, setelah berpikir beberapa saat.
"Mereka tak bisa begitu, kau tahu 'kan?" Ucap Alice dengan lemah lembut; "mereka pasti sakit karenanya."
"Ya, begitulah," kata si Dormouse; "mereka memang sakit parah."
Alice berusaha membayangkan betapa tidak wajar cara hidup seperti itu, tapi pikiran itu membingungkannya, lalu ia melanjutkan.
"Tapi kenapa mereka hidup di dasar sumur?"
"Minum lagi tehnya," tawar si March Hare pada Alice dengan sangat sungguh-sungguh.
"Teh punyaku sudah habis," jawab Alice dengan nada tersinggung, "jadi akutak bisa minum teh lagi."
"Maksudmu kau tak mau bila kurang," kata si Hatter. "Memang lebih mudah mengambil lebih daripada tidak dapat sama sekali."
"Tak ada yang memintamu berpendapat," kata Alice "Sekarang siapa yang menyinggung orang lain?" Tanya si Hatter tak mau kalah. Alice sungguh tak tahu mesti mengatakan apa; jadi dia menyibukkan diri dengan mengambil teh, roti mentega, dan beralih ke Dormouse, dan mengulangi pertanyaanya, "mengapa mereka hidup di dasar sumur?"
Lagi, si Dormouse berpikir untuk beberapa saat, dan kemudian berkata, "karena sumur itu adalah sumur sirup."
"Tidak ada sumur seperti itu!" Alice mulai marah, tapi si March Hare dan Hatter berucap, "Shh! Shhh!" dan si Dormouse dengan dongkol berucap, "kalau kau tidak bisa sopan, lebih baik teruskan sendiri ceritanya."
"Oh, tidak, teruskan ceritanya!" sesal Alice; "aku tak akan menyela lagi. Ya, aku yakin pasti ada sumur yang seperti itu."
"Ya, tentu saja ada!" kata si Dormouse dengan marah. Tapi kemudian ia ia meneruskan ceritanya, "dan tiga gadis kecil ini -mereka belajar mengambil, kau tahu -"
"Apa yang mereka ambil ?" kata Alice, benar-benar lupa dengan janjinya untuk tidak menyela. "Sirup," kata si Dormouse, kali ini tanpa menaruh perhatian sedikitpun.
"Aku ingin cangkir yang bersih," sela si Hatter, "ayo semuanya pindah tempat"
Ia berpindah tempat selagi bicara, dan si Dormouse mengikutinya; si March Hare bergerak ke tempat si Dormouse dan Alice dengan malas menempati posisi si March Hare. Si Hatter menjadi satu-satunya pihak yang diuntungkan. Sementara Alice posisinya tidak berubah lebih baik, karena si March Hare telah menumpahkan wadah susu ke piringnya.
Alice tidak ingin menyinggung si Dormouse lagi, jadi ia berkata dengan sangat hati hati. Tapi aku tidak mengerti. Darimana mereka mengambil air gula itu?"
"Kau bisa mengambil air dari sumur, 'kan," kata si Hatter; "jadi, kupikir kau bisa mengambil sirup dari sumur sirup - eh, bodoh?"
"Tapi mereka ada di dalam sumur itu," kata si Alice pada si Dormouse, dengan berusaha tidak menekankan ucapannya.
"Tentu saja mereka di dalam, "kata si Dormouse, "-baik baik saja."
Jawaban ini membingungkan Alice, dan ia membiarkan si Dormouse meneruskan kalimatnya beberapa saat tanpa berusaha menyelanya.
"Mereka belajar mengambil...," lanjut si Dormouse, dengan menguap dan mengucek matanya, karena sangat ngantuk; "dan mereka mengambil dengan semua - semua yang berawal dengan huruf R"
"Kenapa mesti, berawal dengan huruf P?" Tanya Alice. "Memangnya kenapa?" kata si March Hare. Alice terdiam. Si Dormouse matanya sudah tertutup saat itu dan mulai terbuai dalam tidur; karena dicubit oleh si Hatter, ia terbangun lagi dengan jeritan kecil, dan melanjutkan."- itu dimulai dengan huruf P seperti perangkap tikus, dan panorama bulan, penggalan ingatan dan persamaan -kau ingat ketika kau mengatakan bahwa hal-hal itu punya persamaan satu dengan yang lain" - pernahkah kau sadari bahwa hal-hal seperti itu dilakukan dengan mengambil persamaan antar keduanya?"
"Kini kau menanyakanya padaku," kata si Alice, sangat bingung, "Aku pikir tidak-"
"Kalau begitu kau tak perlu bicara," kata si Hatter. Kekasaran itu tidak bisa Alice terima lagi; dia lalu berdiri dengan sangat muak, dan melangkah pergi; si Dormouse serta merta tertidur, dan tak satupun yang menaruh perhatian pada kepergian Alice,' meski Alice sesekali menoleh lagi ke belakang, setengah berharap mereka akan memanggilnya kembali; terakhir ketika ia menoleh, mereka terlihat sedang berusaha memasukkan si Dormouse ke dalam wadah teh.
"Aku tak akan pergi kesana lagi!" kata Alice seraya terus berjalan melintasi hutan. "Sungguh jamuan minum teh paling bodoh yang pernah kuhadiri seumur hidupku!"
Saat ia mengatakan hal itu, ia melihat bahwa salah satu dari pohon di hutan itu berpintu. "Itu sangat aneh!" pikirnya. "Tapi semuanya memang aneh hari ini. Kupikir aku harus cepat pergi kesana."
Dan iapun masuk ke dalam pohon berpintu itu.
Sekali lagi ia berada di sebuah ruangan yang panjang dan dekat dengan meja kaca kecil yang dulu ditemuinya. "Sekarang aku akan membuat semuanya lebih baik," ia berkata pada dirinya sendiri dan mulai dengan mengambil kunci emas kecil itu, dan membuka pintu yang menuju ke arah taman yang indah. Kemudian ia menggigit jamur (dia sudah menyimpannya sebagian di dalam kantongnya) hingga tubuhnya tinggal satu kaki). Kemudian ia berjalan menuruni lorong kecil; dan- akhirnya ia sampai di taman indah itu, diantara hamparan bunga-bunga yang cemerlang dan sumber air yang sejuk dan jernih.
Pertandingan Kriket Sang Ratu SEBUAH bunga berukuran besar tumbuh di dekat pintu gerbang menuju taman. Bunga mawar putih sedang dikelilingi tiga orang tukang kebun. Mereka mengecatnya dengan warna merah. Hal ini nampak aneh di mata Alice. Alice berusaha mendekat dan melihat ke arah mereka. Ketika ia muncul, tiba-tiba terdengar salah satu tukang kebun itu berseru. "Hati- hatilah wahai Lima, Jangan kau percikkan cat ke arahku seperti itu."
"Aku tak sengaja," balas si Lima kesal, "si Tujuhlah yang menyentak sikuku hingga cat itu muncrat."
Si Tujuh mendongakkan kepala, "memangnya kamu tak pernah salah, Lima? Kau selalu saja menyalahkan orang lain!"
"Lebih baik kau tutup mulut saja!", ancam si Lima, "aku dengar sang Ratu mau memenggal kepalamu kemarin!"
"Memang dia salah apa?" sela salah satu dari mereka ingin tahu.
"Itu bukan urusanmu, wahai Dua!" sergah si Tujuh tak suka. "Ya, itu memang urusan dia sendiri," bela si Lima, "makanya kukatakan padanya. "Kepalamu mau dipenggal karena kamu telah Si Tujuh memercikkan kuas catnya ke bawah saat ia hendak mulai bekerja, "baiklah, lebih baik kita tidak teruskan masalah ini," -Matanya seketika melihat ke arah Alice. Si Tujuh bergegas menghentikan pekerjaannya. Yang lain memandang ke sekeliling seraya melepaskan topi dan membungkukkan badan, menghormat.
"Maukah kalian memberitahuku," tanya Alice, "kenapa kalian mengecat bunga mawar ini dengan warna merah?" Si Lima dan Tujuh memandang ke arah si Dua, tapi diam saja. Si Dua akhirnya menjelaskan dengan suara lirih. "Ketahuilah Nona, mestinya ditanam mawar merah di sini tapi kami telah salah menanaminya dengan mawar putih. Bila sang Ratu tahu, kami semua akan di penggal. Jadi kami berusaha semampu kami membuatnya berwarna merah kembali, sebelum sang Ratu datang kemari untuk -" Si lima terburu buru memandang ke sekeliling taman dan kemudian berseru. "Awas, sang Ratu datang! Sang Ratu datang!" Lalu ketiga tukang kebun itu bergegas menengkurapkan diri, tubuhnya memipih seperti lembaran kartu remi. Lalu terdengarlah suara langkah kaki. Alice melihat ke sekeliling, ia ingin sekali melihat wajah sang Ratu. Awalnya, nampaklah sepuluh orang prajurit membawa tongkat pemukul. Bentuk tubuh mereka menyerupai tubuh para tukang kebun. pipih dan persegi. Tangan dan kaki mereka menjulur dari pojok-pojok persegi tubuh mereka yang seperti kartu remi. Kemudian disusul sepuluh orang anggota istana. Pa kaian mereka berhiaskan permata, berjalan berjajar dua-dua layaknya barisan prajurit Disusul rombongan putra-putri istana berjumlah sepuluh orang. Pakaian mereka berhiaskan Jambang hati berbentuk daun waru. Lalu diikuti rombongan tamu istana. Kebanyakan mereka adalah para Raja dan Ratu. Salah satu diantara mereka; tak lain adalah si Kelinci putih yang pernah Alice kenal sebelumnya. Kelinci putih itu kini sedang berbicara sendiri dengan agak gugup dan berjalan tanpa memperhatikan Alice. Selanjutnya, rombongan para Jack si pembohong berpakaian gambar hati, membawa mahkota Raja di atas nampan. Di akhir arak-arakkan, nampaklah SANG RAJA DAN RATU BERLAMBANG HATI. Alice ragu apakah ia mesti menengkurapkan dirinya seperti para tukang kebun itu, tapi ia tak pernah tahu ada peraturan yang menyatakan harus begitu, disamping itu, apakah gunanya arak-arakkan bila semua orang menengkurapkan tubuhnya dan tidak bisa melihat arak-arakkan itu karenanya? jadi ia memutuskan untuk menunggu dengan tetap berdiri di tempatnya. Ketika arak-arakkan ku sampai di dekat Alice, mereka semua berhenti dan memandang kepadanya. Kemudian Sang Ratu berseru pada si Jack si pembohong. "Siapa ini?" Tapi si Jack si pembohong hanya membungkukkan badan sambil terus tersenyum.
"Dasar idiot!", maki Sang Ratu sambil melengos dan bertanya langsung pada Alke. "Siapa namamu?"
"Nama saya Alice, Yang Mulia," jawab Alice tegas, ia tidak takut sedikitpun, "toh mereka semua hanyalah lembaran-lembaran kartu remi. Kenapa aku harus takut?!"
"Siapa mereka ini?" tanya Sang Ratu, tangannya menunjuk ke arah tiga tukang kebun yang berbaring di dekat bunga mawar. Karena mereka menengkurap dan pola gambar punggung mereka sama, sang Ratu sulit mengetahui apakah mereka itu tukang kebun, prajurit, keluarga istana atau ketiga anaknya.
"Mana aku tahu!" jawab Alice. ia merasa heran sendiri dengan keberaniannya, "toh mereka bukan urusanku!"
Muka sang Ratu memerah, geram. Setelah dengan tajam menatap Alke beberapa saat, Sang Ratu berseru dengan marah. "Penggal kepalanya! Penggal!!"
"Tidak masuk akal!" teriak Alke dengan suara keras dan mantap. Sang Raja menggenggam tangan Sang Ratu dan berusaha mengingatkan dengan suara lembut. "Ingat Ratu, dia itu masih kecil!"
Sang Ratu memalingkan muka kemudian memerintah Jack si pembohong. "Balikkan tubuh mereka!" Jack Si pembohongpun membalikkan tubuh tukang kebun itu dengan menyepaknya.
"Bangun! Berdiri!" teriak Sang Ratu dan ketiga tukang kebun itupun serta merta berdiri. Mereka lalu membungkuk memberi hormat pada sang Raja, sang Ratu, para pangeran dan anggota arak-arakkan lainnya.
"Kalian jangan bertingkah!" bentak sang Ratu, "kalian sudah membuatku pusing!" Lalu sang Ratu memandang bunga mawar itu dan bertanya dengan kesal. "Apa yang telah kalian lakukan pada bunga ini?"
"Maafkan kami, Yang Mulia," jawab si Dua sambil berjongkok, "kami sedang berusaha..."
"Oh jadi begitu!" kata Sang Ratu sembari memeriksa bunga itu, "penggal kepala mereka!" perintahnya kemudian. Lalu arak-arakkan itu melanjutkan perjalanan lagi. Sedangkan tiga orang prajurit tetap tinggal di tempat untuk menghukum para tukang kebun. Tukang kebun itu berlari minta perlindungan pada Alice.
"Jangan takut, kalian tak akan dipenggal," hibur Alice sembari menyembunyikan tukang kebun itu ke dalam pot bunga besar di dekatnya. Tiga orang prajurit lalu berjalan mondar-mandir mencari tukang kebun itu. Kemudian mereka berlari mengejar arak-arakkan itu.
"Kepala mereka sudah dipenggal?" tanya sang Ratu.
"Maafkan kami, Yang Mulia. Kepala mereka sudah hilang." jawab ketiga prajurit "Baiklah!" seru sang Ratu, "kamu bisa main kricket?"
Ketiga prajurit itu diam, mereka serentak menengok pada Alice karena nampaknya Ratu memang sedang bertanya pada gadis itu. Bukan pada mereka.
"Bisa!" jawab Alice dengan berteriak.
"Kalau begitu, ayo ikut!" balas sang Ratu. Kemudian Alice bergabung ke dalam arak-arakkan, sambil menduga-duga apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Hari ini cerah sekali," terdengar suara kecil malu-malu di dekatnya. Ternyata Alice sedang berjalan di samping si Kelinci Putih. Kelin ci itu menengok ke arahnya.
"Sangat cerah," sahut Alice," dimana Permaisuri?"
"Hush!" cegah si kelinci dengan berbisik dan terburu-buru, ia tak henti hentinya menengok ke kiri dan ke kanan, kemudian dengan berjinjit ia berbisik pada Alice "Dia sedang menjalani hukuman." "Salah apa?"
"Apakah kau mengatakan kasihan!?"
"Tidak..," kata Alice, "kupikir hal itu bukan hal yang patut di kasihani. Aku tadi mengatakan salah apa?"
"Dia menampar telinga sang Ratu -" jelas si kelinci. Alice tertawa kecil mendengarnya. "Oh Huss!" bisik si kelinci ketakutan. "Ratu akan dengar! Kau tahu, permaisuri datang agak terlambat dan sang sang Ratu berkata -"
"Cari posisi kalian!" teriak sang Ratu dengan suara menggemuruh, dan semuanya mulai berlarian ke semua arah, saling tabrak dan tumpah tindih satu sama lain; tapi sejenak kemudian keributan itu pun selesai dan pertandingan dimulai. Selama hidupnya, Alice belum pernah melihat arena kricket seaneh sekarang ini. Semuanya tersusun seperti undak-undakkan sebuah bukit. Dan bolanya berupa burung Angsa hidup. Tongkat pemukulnya burung Unta yang juga masih hidup. Para prajurit diperintahkan memanjangkan tubuh mereka dua kali lipat dan harus berdiri membuat lengkungan, dengan bertumpu pada tangan dan kaki mereka. Kesulitan utama yang Alice hadapi awalnya adalah ia harus bisa membawa burung Unta itu dan menggunakannya sebagai tongkat pemukul. Terpaksa ia selipkan burung Unta itu di sela ketiak. Dan pada saat yang sama ia juga harus meluruskan leher burung itu agar bisa digunakan memukul. Sayangnya, burung Unta itu tetap saja berusaha memutar lehernya dan bingung menatap wajah Alice. Alice tak bisa menahan diri untuk tertawa. Ketika Alice hendak menurunkan kepala burung itu dan bersiap memulai permainan, si Landak telah menggulung tubuhnya dan siap merangkak pergi. Alice kebingungan. Selain itu, ternyata juga sudah ada bubungan dan kerutan di seluruh jalan yang akan ia lewati. Alice akhirnya tak tahu kemana harus melemparkan si Landak. Apalagi lengkungan gawang para prajurit itu selalu saja berdiri kokoh dan berpindah-pindah ke seluruh bagian arena. Alice kesulitan untuk bisa bermain. Semua pemain langsung bermain di arena tanpa menunggu giliran, sesekali bertengkar dan saling memperebutkan landak. Dan dalam waktu singkat saja, emosi sang Ratu sudah terpancing. Sang Ratu melangkah, ikut bergabung ke arena seraya berteriak. "Penggal kepalanya! Penggal kepalanya!"
Alice mulai merasa khawatir. memang ia tak pernah punya perselihan dengan sang Ratu, tapi ia tahu itu bisa terjadi kapan saja, "lalu," pikirnya, "apa jadinya aku ini? mereka dengan mengerikan suka memenggal kepala siapa saja disini; masalah yang paling besar adalah tak akan ada siapapun yang akan tetap hidup disini!"
Dia mencari-cari cara untuk bisa melarikan diri, dan berpikir apakah ia bisa menyelinap keluar tanpa terlihat, lalu ia melihat sesuatu yang aneh muncul; pada awalnya hal itu membuat Alice menebak-nebak, tapi, setelah memperhatikannya beberapa saat, ia memastikan itu adalah seringaian, dan ia berkata pada dirinya sendiri, "kucing Chesire; kini aku punya teman untuk di ajak bicara."
"Bagaiamana kabarmu?" Tanya si kucing, tak lama setelah bagian mulutnya cukup terlihat dan bisa digunakan untuk berbicara. Alice menunggu hingga mata kucing itu nampak, dan kemudian mengangguk. "Tak ada gunanya menjawabnya," pikirnya, "sebelum telinga kucing itu terlihat, setidaknya salah satu dari telinga itu." Lalu seluruh bagian kepala kucing itu pun nampak, kemudian Alice menurunkan burung angsa di gendongannya, dan mulai cerita mengenai permainan itu, ia merasa sangat gembira telah mendapatkan teman yang akan mendengarkan ceritanya. Tapi Si kucing beranggapan bahwa kemunculannya kali ini sudah cukup, dan tubuh kucing itupun tak lama kemudian menghilang lagi.
"Kupikir mereka sama sekali tidak adil," kata Alice dengan nada agak mengeluh, "dan mereka semua saling berselisih dengan mengerikan dan gaduh, sehingga tidak akan bisa mendengar seseorang yang sedang bicara- dan sepertinya mereka tak punya aturan permainan; setidaknya, bila aturan itu ada , toh tak seorangpun mematuhinya - dan kau pasti tak bisa bayangkan betapa membingungkan. Alat pertandingannya semuanya adalah mahluk hidup; misalnya, ada gawang yang mestinya bisa aku lewati berikutnya, tapi gawang itu tiba tiba berjalan-jalan di sisi tepi lain dari arena lapangan itu - dan mestinya aku juga sudah bisa memasukan trenggiling sang Ratu, tapi trenggiling itu malah lari ketika melihat bola trenggilingku muncul?"
"Apa kau suka dengan sang Ratu?" Tanya si kucing dengan suara pelan.
"Tidak sama sekali," kata Alice. "Dia amat sangat -" tapi kemudian ia menyadari sang Ratu berada tak jauh di belakangnya, mendengarkan, lalu ia melanjutkan, "punya kesempatan untuk menang, meski sebenarnya sangat sulit memenangkan pertandingan itu." Sang Ratu tersenyum dan menghampiri, kemudian berlalu.
"Kau sedang bicara dengan siapa?" Tanya sang Raja, mendatangi Alice, dan kemudian menatap kepala si kucing dengan sangat penasaran.
"Dia temanku - kucing Chesire," jawab Alice; "ijinkan aku memperkenalkannya."
"Aku sama sekali tidak suka dengan penampakkan rupa kucing itu," kata sang Raja. "Tapi, dia boleh mencium tanganku bila dia mau."
"Aku pilih untuk tidak melakukannya," ucap si kucing. "Jangan kurang ajar," kata sang Raja, "dan jangan menatapku seperti itu!" dia bersembunyi di belakang Alice.
"Kucing boleh menatap Raja," kata si Alice, "aku pernah membacanya di sejumlah buku, tapi aku tak ingat buku apa."
"Kalau begitu, buku-buku itu harus dilenyapkan," putus sang Raja, dan dia memanggil sang Ratu, yang saat itu sedang melintas. "Sayang, kuharap kau melenyapkan kucing ini !"
Sang Ratu hanya punya satu cara untuk menyelesaikan semua kesulitan, tak perduli besar atau kecil. "Penggal kepalanya!" perintahnya kemudian dengan tak acuh.
"Aku akan panggil sendiri algojo itu," kata sang Raja dengan menggebu-gebu, dan dia bergegas pergi. Alice berpikir lebih baik kembali saja dan melihat jalannya pertandingan, saat ia mendengar suara sang Ratu di kejauhan, berteriak dengan penuh nafsu, ia telah mendengar sang Ratu itu telah menjatuhkan hukuman pada tiga pemain karena mereka melewatkan giliran mereka, dan Alice tidak suka dengan hal itu, karena pertandingan itu berjalan dengan membingungkan sehingga ia pun tidak tahu itu gilirannya atau bukan. Lalu Alice pergi mencari landaknya. Landak itu sedang terlibat perkelahian dengan landak lain, dan Alice melihat sebuah kesempatan yang baik untuk memasukan salah satu dari landak itu; satu-satunya kesulitan adalah tongkat pemukul burung angsanya telah pergi ke sisi lain arena, Alice melihat burung angsa itu sedang berusaha terbang ke sebuah pohon. Ketika ia sudah berhasil menangkap burung angsa itu dan membawanya kembali ke arena, pertengkaran si landak sudah selesai, dan kedua landak itu sudah sama-sama menghilang. "Tapi tak masalah", pikir Alice, "karena gawang-gawangnya juga sudah tidak ada di arena lagi." Lalu ia menyelipkan burung angsa itu diantara lengannya, menjaganya agar tidak terlepas lagi, dan melangkah kembali untuk bercakap-cakap dengan temannya. Ketika ia kembali menemui si kucing Chesire, ia terkejut kucing itu sudah dikelilingi oleh kerumunan; sedang terjadi perselisihan yang melibatkan para algojo, sang Raja dan sang Ratu, ketiganya saling berbicara bersamaan, sementara yang lain terdiam dan melihat dengan cemas. Saat Alice muncul, ia diminta oleh ketiganya untuk menyelesaikan persoalan itu, dan mereka kembali mengulangi alasan masing-masing. Karena mereka berbicara serentak, Alice kesulitan untuk bisa menangkap omongan mereka. Alasan para algojo adalah bahwa ia tidak bisa begitu saja memenggal kepala seseorang bila seseorang itu tak punya tubuh. karena para algojo itu tak pernah melakukan hal seperti itu sebelumnya. Alasan sang Raja adalah bahwa semua yang punya kepala pasti bisa dipenggal, dan algojo itu dianggapnya tidak masuk akal. Alasan sang Ratu adalah bila hal itu tidak segera dilaksanakan, ia akan menghukum semua yang ada di situ, semua yang ada di lingkaran itu (ucapannya ini membuat semua yang ada dalam kerumunan itu sangat gelisah dan ngeri). Alice tak da pat berkata lain selain, "keputusannya ada di tangan permaisuri. kalian lebih baik bertanya padanya."
"Dia ada di penjara," kata sang Ratu pada para algojo. "Bawa dia kemari." Dan algojo itu pun melesat pergi seperti panah. Bagian kepala si kucing itu mulai mengabur saat penjaga itu pergi, dan beberapa saat kemudian, penjaga itu sudah kembali dengan membawa permaisuri. Tapi, kucing itu sudah benar-benar lenyap dari pandangan mata. sang Raja dan si algojo lari kesana kemari mencari-cari kucing itu, sementara anggota kerumunan lain berjalan kembali ke arena dan melanjutkan pertandingan.* Kisah Kura-Kura Palsu "BETAPA senangnya aku bertemu kamu lagi, sayang!" kata Permaisuri sembari merangkulkan lengannya ke tubuh Alice, dan mereka berjalan bersama menjauhi arena pertandingan itu. Alice gembira bertemu dengan Permaisuri yang telah berubah bersikap menjadi lebih menyenangkan. Meski Alice masih menduga. Mungkin, ketika mereka bertemu di dapur, Permaisuri akan sangat tidak sopan lagi karena pengaruh lada.
"Kalau aku jadi bangsawan," Permaisuri menggumam sendiri (meski tidak dengan nada mengharap). Aku tak akan menyimpan banyak lada di dapur. Masakan soup tak akan terasa enak tanpa lada-tapi, mungkin lada yang membuat orang jadi pemarah," lanjutnya, sangat gembira menyadari penemuan pengetahuan baru itu, "dan cuka membuat mereka asam - camomile membuatnya terasa pahit dan biji gula dan semacamnyalah yang membuat anak anak bersikap manis. Aku berharap masyarakat tahu soal itu. lalu mereka tidak akan lagi pelit dengan bumbu-bumbu itu."
Alice sudah lupa bila Permaisuri di dekatnya, hingga ia agak terkejut ketika mendengar suara Permaisuri di dekat telinganya. "Kamu sedang berpikir tentang sesuatu, sayang. Dan itu membuatmu lupa untuk berbicara. Saat ini aku tak bisa memberitahumu nilai moral dari perilaku seperti itu, tapi aku pasti akan bisa mengingatnya."
"Mungkin bisa juga tak ada nilai moralnya," Alice mengambil resiko untuk mengucapkannya.
"Alah, Dasar, anak-anak!"kata-Permaisuri. "Segala sesuatu pasti memiliki alasan dan nilai moral." Dan ia mendekap lengan Alice. Alice tidak suka terus menerus berdekatan dengannya. pertama karena Permaisuri sangat jelek dan kedua karena dia memiliki tinggi tubuh yang pas untuk menyandarkan dagunya itu ke bahu Alice, dagu yang runcing. Tapi, ia tidak ingin bersikap kasar, jadi ia tahan sebisanya.
"Pertandingan berjalan dengan agak lebih baik sekarang," kata Alice, agar nampak tetap mau di ajak bercakap-cakap.
"Begitulah," kata Permaisuri, "dan alasan moral dibaliknya adalah - "cinta, cinta, itulah yang membuat dunia terus berjalan!"
"Seseorang pernah berkata," bisik Alice, "itu hanya dilakukan oleh orang-orang yang menyembunyikan kepentingan tertentu!"
"Ah, benar! itu sama artinya", kata Permaisuri, sembari menekankan dagu kecil dan runcingnya ke pundak Alice, "dan nilai pesan moralnya adalah hati-hati lah dengan perasaan dan akal karena bisa digunakan seseorang untuk kepentingan diri sendiri."
"Betapa senangnya ia menemukan moralitas dibalik hal-hal itu!" pikir Alice.
"Aku berani katakan kamu pasti heran kenapa aku tidak merengkuhkan lenganku ke pingganmu," kata Permaisuri setelah terdiam beberapa saat "Alasannya adalah karena aku tak yakin dengan sifat burung angsa yang kau gendong itu. Haruskah aku mencobanya?"
"Dia mungkin akan menggigitmu," Alice menjawab dengan hati-hati, sama sekali tidak merasa khawatir bila sang Ratu akan mencoba melakukannya.
"Benar sekali," kata Permaisuri. "Burung angsa dan mostar keduanya sama-sama berkaitan dengan gigitan. Dan alasannya adalah -"bangsa burung pasti punya kesamaan satu dengan yang lain."
"Tapi mostar itu bukanlah bangsa burung," bantah Alice.
"Benar, seperti biasa," kata Permaisuri. "Betapa jelas kau telah menempatkan dua hal berbeda itu dalam prinsip persamaan!"
"Mostar itu mineral, kukira," kata Alke.
"Ya, tentu saja," sahut Permaisuri, yang nampaknya siap untuk menyetujui semua yang Alice katakan; "aku punya kue mostar tak jauh dari sini. Dan nilai moral dari pernyataan itu adalah - makin banyak yang jadi milikku, maka milikmu akan makin sedikit."
"Oh, aku tahu!" seru Alice, yang tidak memperhatikan bagian akhir ucapan Permaisuri, "mostar itu adalah sayuran. Memang tidak seperti sayur, tapi itu memang sayuran."
"Aku sangat setuju denganmu," kata Permaisuri. "Dan nilai moralnya adalah. jadilah dirimu seperti apa yang mungkin bagimu-atau bila kau ingin menyatakannya dengan lebih sederhana-" jangan pernah membayangkan dirimu untuk menjadi selain seperti yang nampak di harapkan orang lain atas dirimu dan bahwa kamu tak lebih adalah apa yang kau tampakkan pada diri orang lain dan kau ingin nampak lain dihadapan orang lain."
"Kupikir aku bisa lebih memahaminya," kata Alice dengan sopan," bila saja aku mencatatnya. tapi aku benar-benar tak dapat menangkap ucapanmu."
"Tak masalah apa yang aku ucapkan kalau aku bisa memilihnya salah satu," jawab Permaisuri dengan nada puas.
"Semoga saja kau tidak menyulitkan dirimu hanya untuk mengatakan kalimat yang lebih panjang dari ucapanmu tadi," kata Alice.
"Oh, jangan bicara yang sulit-sulit! Aku telah menghadiahimu dengan semua yang sudah aku katakan padamu."
"Hadiah yang tidak berharga!" pikir Alice. "Aku senang mereka tidak memberikan hadiah ulang tahun dengan hadiah seperti itu!" tapi ia tidak mengucapkannya dengan suara yang keras.
"Berpikir lagi, ya?" tanya Permaisuri, dengan menekankan lagi dagunya ke bahu Alice.
"Aku punya hak untuk berpikir," sergah Alice dengan tajam, karena ia mulai merasa agak khawatir.
"Kata-katamu sama benarnya dengan," kata Permaisuri, "babi harus bisa terbang; dan..."
Tapi di titik ini, Alice terkejut, suara Permaisuri tiba-tiba tidak terdengar, bahkan pada saat ia tengah mengucapkan kata-kata kesukaanya yakni 'alasan', lengan Permaisuri yang sedang menggandengnya itu pun mulai gemetar. Ketika Alice menengadahkan muka, sang Ratu ternyata sudah berdiri di hadapan mereka, dengan tangan bersedekap, memberengut dan menggeram seperti badai petir.
"Hari yang cerah, yang mulia!" sapa Permaisuri dengan suara pelan dan rendah.
"Sekarang, aku peringatkan kamu," teriak sang Ratu seraya menghentakkan kakinya ke tanah; "tubuhmu atau kepalamu yang dipenggal, dan akan dilakukan secepatnya! Cepat pilih!"
Permaisuri memilih dan ia pergi saat itu juga.
"Mari kita ke pertandingan saja," ajak sang Ratu pada Alice; dan Alice terlalu takut untuk mengucapkan sesuatu. Perlahan ia pun hanya mengikuti sang Ratu kembali ke arena pertandingan kriket Peserta lain telah mengambil kesempatan karena ketidakhadiran sang Ratu, dengan beristirahat dan berteduh, tapi ketika melihat sang Ratu muncul, mereka bergegas kembali ke pertandingan, dan sang Ratu hanya berucap bahwa penundaan waktu itu harus dibayar dengan nyawa mereka. Selama pertandingan itu sang Ratu tidak pernah berhenti berselisih dengan pemain lain dan berteriak, "penggal kepalanya!" atau, "penggal kepala gadis itu!" Mereka yang terkena hukuman dibawa ke tahanan oleh para prajurit Para prajurit itu tentu saja mesti berhenti menjadi gawang untuk bisa melaksanakan tugas itu. Hingga ketika akhir separuh babak pertandingan tak ada gawang lagi yang tersisa di arena, dan semua pemain, kecuali sang Raja, sang Ratu dan Alice, telah berada di tahanan dan terkena hukuman penggal kepala.
"Kemudian sang Ratu berhenti, kehabisan nafas dan berkata pada Alice, "pernahkah kamu bertemu dengan kura-kura palsu?"
"Belum," kata Alice, "aku bahkan tak tahu mahluk apa si kura-kura palsu itu."
"Mahluk itu adalah bahan untuk membuat sup kura-kura," kata sang Ratu "Aku belum pernah melihat atau mendengar hal itu sebelumnya," kata Alice.
"Kalo begitu, ayo ikut aku," kata sang Ratu, "dan dia akan menceritakan sejarah hidupnya."
Saat mereka berjalan bersama, Alice mendengar sang Raja berbisik pelan pada seluruh pemain. "Kalian semua akan diampuni."
"Nah, begitu. Itu lebih bijaksana," Alice berucap dalam hati. ia merasa ngeri bila membayangkan jumlah hukuman yang telah diperintahkan oleh sang Ratu. Sejenak kemudian merekapun akhirnya sampai di tempat seekor binatang bernama Griphon. Saat itu Griphon sedang tidur terlentang di bawah terik matahari, (kalau ingin tahu bentuk bi natang ini, lihat saja gambarnya). "Ayo bangun, pemalas !", perintah sang Ratu, "dan antar gadis kecil ini menemui si kura-kura palsu untuk mendengar riwayatnya. Aku harus kembali memeriksa pelaksanaan hukuman yang kuperintahkan," - beliau pun lalu pergi, meninggalkan mereka berdua. Alice merasa tidak suka dengan tatapan mata si Griphon. Tapi ia pikir, pasti akan lebih aman bersama Griphon daripada ikut Ratu yang kejam itu. Akhirnya ia pun hanya menunggu. Tak lama kemudian, si Griphon mulai duduk sambil mengerjap-ngerjapkan matanya, menatap kepergian sang Ratu. ia pun kemudian tertawa kecil. "lucu," gumamnya kemudian.
"Apanya yang lucu?" tanya Alice tak mengerti.
"Apa yang lucu? Ya, beliau itu yang lucu!" jelas si Griphon, "semua itu beliau lakukan hanya untuk kesenangan saja. Dia tidak pernah tidak membunuh siapapun. Sudahlah!" "Semuanya disini selalu mengatakan sudahlah? pikir Alice ketika ia melangkah mengikuti si Gryphon. "Dalam hidupku aku tak akan mau diperintah-perintah! Tidak akan!"
Belum jauh mereka berjalan, sudah nampak di depan mereka si kura-kura palsu, ia sedang duduk bersedih, menyendiri di tepian batu karang. Saat mereka mendekat, Alice mendengar kura-kura itu terisak-isak seolah sudah hancur hatinya. Alice sangat kasihan melihatnya.
"Kenapa ia bersedih?" tanya Alice pada si Griphori. Si Griphon menjawabnya dengan kata-kata yang hampir sama dengan jawaban sebelumnya. "Semua itu demi kesenanganya. Sebenarnya ia tak punya alasan untuk bersedih. Kamu pasti sudah mengerti hal ini. Sudahlah!"
Mereka berdua lalu mendaki batu karang, menemui si kura-kura palsu yang sedang mengawasi mereka dengan bola matanya yang besar dan penuh air mata. Si kura-kura hanya diam saja, tak mengucapkan sepatah katapun.
"Nona kecil ini datang kemari ingin mendengar riwayatmu" kata si Griphon.
"Aku akan menceritakannya," sambut si kura-kura,'"duduklah dan diamlah sampai ceritaku selesai."
Maka duduklah mereka berdua dan tak ada seorangpun berani bicara untuk beberapa saat. Alice hanya sibuk berpikir sendiri. "Bagaimana ceritanya bisa selesai bila tidak segera dimulai?" Alice mulai tidak sabar, tapi ia berusaha menahan diri.
"Saat itu," kata si kura-kura memulai cerita, "aku kura-kura asli." Kemudian ketiganya sama-sama menunggu dalam kediaman yang panjang, diselingi dengkur si Griphon. "herg..!" Dan juga isakan si kura-kura berulang-ulang. -Alice hampir saja tak sabar untuk berdiri dan berkata. "Terima kasih untuk kisah yang menarik ini!" Tapi ia mengurungkan niat karena ia masih berharap tahu kelanjutannya.
"Saat kami masih kecil," lanjut si kura-kura. Suaranya makin pelan, sambil sesekali terisak," kami pergi ke sekolah di laut. Saat itu guru kami adalah seekor kura-kura yang sudah tua. Kami biasa memanggilnya dengan Pak Tortoise - alias Tarto atau Pak Kura-Kura."
"Kenapa kalian memanggilnya begitu ?" tanya Alice.
"Kami memanggilnya begitu karena dia mengajari kami begitu," jawab si kura-kura, "dasar kamu bodoh!"
"Mestinya kamu malu bertanya hal sepele seperti itu," tambah si Griphon. Kemudian keduanya duduk terdiam, menatap Alice. Alice seolah mau terbenam ke dasar bumi oleh hinaan itu. Dan berkatalah si Griphon pada si kura-kura. "Cepat lanjutkan, kawan! Kalau tidak, ceritamu nanti bisa seharian tak selesai" Si kura-kura pun melanjutkan kisahnya.
"Ya saat itu kita pergi ke sekolah di dalam laut, meski kau tidak akan percaya-"
"Aku tidak pernah mengatakan begitu!" sela Alice.
"Kau mengatakan begitu tadi!" kata si kura-kura.
"Diam!" lanjut si Gryphon, sebelum Alice mampu melanjutkan ucapannya. Si kura-kura kemudian melanjutkan.
"Kita telah mendapatkan pendidikan terbaik-sebenarnya, kita setiap hari pergi ke sekolah itu -"
"Aku juga sudah sekolah," kata Alice; "kau tak perlu begitu membanggakannya."
"Dengan pelajaran tambahan?" kata si kura-kura dengan agak gelisah.
"Ya," kata Alice, "kami mempelajari juga bahasa Perancis dan musik."
"Mencuci juga?" Tanya si kura-kura.
"Pasti tidak!" jawab Alice jengkel.
"Ah, kalau begitu sekolahmu itu tidak bermutu," kata si kura-kura dengan nada sangat lega. "Di sekolah kami pada akhir program, kita mendapat pelajaran ekstra bahasa Perancis, musik dan mencuci -"
"Bukankah seharusnya kau tak bisa menuntut terlalu banyak," kata Alice; "dengan hidup di dasar laut."
"Aku tak mampu mempelajarinya," kata kura-kura dengan melenguh. "Aku hanya mengambil kelas reguler."
"Apa itu?" Tanya Alice.
"Menggulung dan menggeliat, tentu saja sebagai awalan," jawab si kura-kura; "lalu dilanjutkan dengan cabang-cabang lain aritmatika - ambisi, gangguan, membodohi dan mengejek."
"Aku tak pernah dengar ada kata membodohi itu," Alice memberanikan diri bertanya, "apa artinya itu?"
Si Gryphon terkejut dan mengangkat kedua cakarnya, "apa! tidak pernah tahu pembodohan!" Serunya, "kupikir kau tahu apa arti kata memperindah?"
"Ya," sahut Alice ragu ragu. "Itu artinya membuat sesuatu menjadi lebih indah."
"Kalau begitu," lanjut si Gryphon, "bila kau tak tahu apa itu membodohi, berarti kau totol."
Alice tidak berani menanyakannya lagi, lalu ia menoleh pada si kura-kura dan berkata. "Apa lagi yang telah kau pelajari?"
"Baiklah, soal misteri," jawab si kura-kura seraya menghitung pelajaran dengan buku-bukunya. "Aku punya misteri kuno dan modern, dengan geografi. kemudian mengeja berpanjang-panjang - guru pelajaran mengeja panjang itu adalah belut laut raksasa yang sudah tua, biasanya datang seminggu sekali; dia mengajari kami mengeja panjang, meregang dan pingsan dengan bergulingan.
"Seperti apa itu?" Tanya Alice.
"Tapi aku tidak bisa menunjukkannya padamu sendirian," kata si kura-kura; "aku terlalu kaku. Dan Gryphon tak pernah mempelajarinya."
"Aku tak punya waktu," kata si Gryphon; "tapi aku belajar pada guru yang mengajar pelajaran klasik. Dia adalah seekor udang tua, ya begitulah dia."
"Aku tak pernah pergi menemuinya," kata si kura-kura dengan mendesah. "Dia mengajar pelajaran tertawa dan bersedih, begitulah mereka biasanya menyebutnya."
"Dia juga mempraktekannya, ya dia mempraktekkannya," kata si Gryphon, ganti mengeluh; dan kedua mahluk itu menyembunyikan wajah mereka di cakarnya.
"Dan berapa jam sehari kau mempelajarinya?" Tanya Alice, bergegas mengubah bahan pembicaraan.
"Sepuluh jam di hari pertama," kata si kura-kura. "Sembilan jam di hari berikutnya, begitu seterusnya."
"Sungguh metode yang aneh!" seru Alice.
"Itulah alasan kenapa mereka menyebutnya dengan pelajaran," ucap si Gryphon. "Karena jam pelajarannya berkurang dari hari ke hari."
Itu adalah hal baru bagi Alice, dan ia memikirkan ulang sejenak sebelum ia berucap. "Dan hari kesebelas pastilah hari liburnya?"
"Tentu saja," kata si kura-kura.
"Dan bagaimana dengan hari keduabelasnya?" kata Alice ingin tahu.
"Ah, cukup bicara soal pelajaran," sela si Gryphon. "Katakan saja pada gadis kecil ini soal pertandingan itu sekarang." Tarian Udang Laut KURA-kura palsu itu mendesah panjang, dan mengucek matanya. Dia lalu menatap Alice, dan mencoba berbicara, tapi suaranya tersendat di sela-sela isakkannya. "Sepertinya kerongkongannya tersedak tulang," kata si Gryphon dan ia mulai menggoncang dan menekan-nekan punggung kura-kura itu. Akhirnya suara kura-kura itu pun pulih seperti sedia kala dan dengan airmata memenuhi pipinya, dia melanjutkan. -"Pasti kamu belum pernah hidup di dasar laut." ("Belum," gumam Alice malas.) -"Dan kamupun belum pernah berkenalan dengan si Udang Laut."- (Alice mulai ngomong sendiri dalam hati. "Aku pernah sekali makan udang," tapi buru-buru Alice muntah, "oh tidak, aku tidak pernah tahu" - "Jadi, kamu pasti belum tahu betapa mengasyikannya tarian udang itu," lanjut si kura-kura.
Detektif Stop Paket Bergambar Tengkorak Wiro Sableng Dendam Orang Orang Sakti Pendekar Rajawali Sakti Penghuni Telaga Iblis