Ceritasilat Novel Online

Pendekar Gelandangan 9


Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung Bagian 9


kalipun ia tidak membuka rahasia, kematianpun tak dapat dihindari......"

   Sambil berkata dia mundur terus ke belakang, baru saja kata terakhir meluncur keluar, tiba-tiba sekilas cahaya pedang menyambar lewat dari wuwungan rumah dan menusuk dari tengkuk hingga tembus pada tenggorokan, darah segar segera berhamburan ke mana-mana, tubuh orang itupun menggelinding jatuh dari atas atap rumah dan terkapar di tengah jalan.

   Keheningan mencekam seluruh jalan raya itu.

   Hanya dalam waktu singkat sudah empat orang tewas di tempat itu dengan berlumuran darah.

   Peristiwa ini sungguh menggetarkan perasaan siapapun, apalagi kematian mereka begitu perkasa, begitu mengenaskan hingga menimbulkan rasa haru bagi siapapun.

   Paras muka Thi Kay-seng sama sekali tak berubah, tiba-tiba serunya dengan dingin.

   "Thi Gi!"

   Seorang piausu tinggi besar muncul dari barisan dan membungkukkan badannya memberi hormat.

   "Hamba siap!"

   "Selidiki siapa yang menjadi dalang dari perbuatan ke empat orang ini, coba kita lihat siapakah memfitnah yang telah mengarang cerita bohong tersebut?"

   "Baik!"

   "Bila mereka benar-benar hanya memfitnah belaka, kenapa kau harus membunuh orang untuk melenyapkan saksi?", tiba-tiba Cia Siau-hong menegur. Thi Kay-seng segera tertawa dingin.

   "Kau tahu siapa yang telah melakukan pembunuhan ini?"

   Tiba-tiba Cia Siau-hong melompat ke dalam kerumunan orang banyak, pada lompatan yang ke empat kalinya, ada empat orang pula yang terlempar keluar dari kerumunan orang banyak dan terbanting ke tengah jalanan, ternyata dandanan mereka semua adalah dandanan dari seorang piausu perusahaan Hong-ki-piaukiok.

   Air muka Thi Kay-seng belum berubah juga, kembali ia berseru.

   "Thi Gi!"

   "Hamba siap!"

   "Coba kau selidiki kembali, siapakah ke empat orang itu dan dari mana mereka dapatkan pakaian tersebut?"

   Pakaian ringkas yang mereka kenakan bukan terhitung pakaian seragam yang mahal harganya, para piautau dari Hong-ki-piaukiok dapat mengenakannya, orang lainpun sama saja dapat pula mengenakannya.

   "Baik", sahut Thi Gi. Namun tubuhnya belum juga beranjak dari tempat semula.

   "Kenapa kau belum juga melaksanakan tugasmu?", Thi Kay-seng segera menegur. Tiba-tiba Thi Gi memperlihatkan suatu perubahan yang aneh sekali, sambil menggigit bibir teriaknya keras-keras.

   "Aku tak usah menyelidiki lagi, karena akulah yang memberi semua pakaian itu, bunga mutiara yang berada di tangan Cia tayhiap, sekarangpun aku pula yang pergi membelinya!"

   Paras muka Thi Kay-seng mulai berubah, tentu saja ia tahu dari mana Cia Siau-hong mendapatkan untaian bunga mutiara tersebut.

   Tentu saja Cia Siau-hong sendiri juga tahu.

   Ia mendapatkannya dari atas kepala seorang perempuan yang mirip kucing, ia meraih untaian bunga mutiara tersebut sebab akan dipakainya sebagai senjata rahasia untuk menolong orang.

   Dengan suara keras Thi Gi berkata.

   "Congpiautau telah memberi uang sebesar tiga ratus tahil perak kepadaku untuk membeli untaian bunga mutiara dan sepasang gelang di toko Thian-po, sisanya belasan tahil telah diberikan kepadaku sebagai tip"

   Kalau memang Thi Kay-seng yang membeli untaian bunga mutiara tersebut, kenapa benda itu bisa dipakai oleh seorang perempuan seperti kucing.......? Tiba-tiba Cia Siau-hong menyambar tubuh Thi Gi seperti mengangkat orang-orangan dari kertas saja, ia melompat sejauh empat kaki lebih dan naik ke atas atap rumah.

   Terdengar desingan senjata tajam memecahkan keheningan, belasan titik cahaya tajam segera menyambar lewat dari bawah kaki mereka.

   Coba saja kalau Cia Siau-hong terlambat selangkah saja, niscaya Thi Gi sudah dibunuh untuk membungkamkan mulutnya.

   Tapi atap rumah itupun belum terhitung aman, sebab belum lagi kaki mereka berdiri tegak, dari balik wuwungan rumah, kembali ada sekilas cahaya pedang menyambar lewat dan langsung menusuk tenggorokan Cia Siau-hong.

   Cahaya pedangnya berkilat bagaikan bianglala, orang yang melancarkan tusukan itu jelas adalah seorang jago lihay, senjata yang digunakannyapun pasti sebilah pedang mestika.

   Sekarang orang yang hendak mereka bunuh sudah bukan Thi Gi, melainkan Cia Siau-hong.

   Padahal ketika itu Cia Siau-hong mengempit orang di tangan kirinya dan memegang bunga mutiara di tangan kanannya, agaknya tusukan tersebut segera akan menembusi tenggorokannya.

   Tiba-tiba ia mengangkat tangan kanannya, dengan gagang bunga mutiara ia sambut tibanya mata pedang......

   "Criiiiing!", sebutir mutiara mencelat sejauh dua depa diikuti sebutir mutiara lagi, sungguh cepat gerakan tersebut. Ketika dua biji mutiara itu saling beradu di udara, biji mutiara yang pertama melayang ke kiri menghajar pelipis kanan manusia baju hitam yang melancarkan serangan tersebut. Sedikit miringkan badan, ia berhasil menghindari timpukan itu, siapa tahu ketika biji mutiara itu terjatuh ke bawah, dengan telak telah menghantam jalan darah Cit-pit-hiat di lengannya yang memegang pedang, kontan saja pedang itu terjatuh ke tanah. Menanti ia sudah pulih kembali ketenangannya, Cia Siau-hong sudah pergi amat jauh. Hujan turun dengan derasnya bagaikan sebuah tirai, dalam sekejap mata bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas. Thi Kay-seng masih berdiri di bawah payungnya tanpa menunjukkan reaksi apa-apa, tubuhnya pun sama sekali tak berkutik. Piausu yang selama ini berdiri terus di belakangnya sambil membawakan payung itu, tiba-tiba bertanya dengan lirih.

   "Perlu dikejar tidak?"

   "Kalau tak sanggup mengejar, kenapa harus dikejar?", Thi Kay-seng balik bertanya dengan dingin.

   "Tapi kalau persoalan ini tidak dibikin jelas, agaknya sulit bagi kita untuk menguasai mereka"

   Thi Kay-seng kembali tertawa dingin.

   "Jika ada orang tak mau tunduk, bunuh tanpa ampun!"

   Hujan masih turun terus dengan derasnya, cuaca semakin lama berubah semakin gelap.

   Di dalam sebuah kuil kecil yang lembab dan gelap, Thi Gi mendekam di tanah sambil muntahmuntah dengan napas tersengal.

   Menanti ia bisa bersuara, maka semua hal yang diketahuipun segera diutarakan keluar.

   "Empat orang yang dibunuh tadi adalah orang-orangnya Lo-piautau, orang terakhir yang di bunuh di atas atap rumah adalah seorang piausu, sedangkan tiga orang lainnya adalah orang kepercayaan lo-piautau"

   "Dua bulan berselang, pada suatu malam yang penuh halilintar dan hujan deras seperti malam itu, agaknya lo-piautau mempunyai sesuatu masalah yang mengganjal hatinya, di kala bersantap, ia minum dua cawan arak, kemudian pergi tidur lebih awal, tapi keesokan harinya aku dengar dia orang tua telah meninggal dunia"

   "Seorang kakek yang jatuh sakit setelah minum arak sebenarnya bukan suatu kejadian yang aneh, tapi kebetulan sekali para petugas yang merondai sekitar halaman pada malam itu telah mendengar ada suara ribut-ribut di dalam kamarnya lo-piautau, salah satu suara tersebut ternyata adalah suara Thi Kay-seng......"

   "Betul! Thi Kay-seng hanya anak angkat yang dipelihara lo-piautau, akan tetapi lo-piautau selalu menganggapnya seperti anak kandung sendiri, sekalipun di hari-hari biasa ia selalu menunjukkan rasa baktinya kepada orang tua, tapi hari itu ternyata sikapnya kasar dan berani bercekcok dengan lo-piautau, sesungguhnya hal ini sudah merupakan suatu kejadian aneh"

   "Apalagi jika dibilang sebab kematian lo-piautau adalah kambuhnya penyakit setelah minum arak, tapi kalau memang demikian, kenapa sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir, dia masih memiliki tenaga untuk cekcok dengan orang?"

   "Yang lebih aneh lagi, semenjak terjadinya peristiwa itu, sampai saat jenasah lo-piautau dikubur, ternyata Thi Kay-seng melarang orang lain untuk mendekati layonnya, malahan sewaktu mendandani mayatpun Thi Kay-seng telah melakukannya sendiri"

   "Oleh karena itulah semua orang menganggap di balik persoalan ini pasti ada hal-hal yang tak beres, hanya saja siapapun tak berani mengatakannya secara berterus terang"

   Mendengar sampai di situ, Cia Siau-hong baru bertanya.

   "Apakah ke empat orang itu yang bertugas meronda pada malam kejadian?"

   "Ya, benar!", Thi Gi manggut-manggut.

   "Di manakah nyonya lo-piautau?"

   "Sejak banyak tahun berselang, mereka sudah tidur berpisah kamar......"

   "Apakah tak ada orang lain yang mendengar suara cekcok di antara mereka berdua?"

   "Malam itu hujan terlalu deras, gunturpun menggelegar membelah angkasa, kecuali empat orang yang sedang bertugas jaga malam, boleh dibilang yang lain sudah masuk tidur setelah minum sedikit arak......"

   "Setelah terjadinya peristiwa itu, apalagi dalam perusahaan tersiar berita burung sebanyak itu, tentu saja Thi Kay-seng mendengarnya juga sedikit banyak, tentu diapun tahu bukan, kata-kata semacam itu berasal dari mana?"

   "Tentu saja"

   "Apakah selama ini dia tidak memberikan reaksi apa-apa terhadap ke empat orang itu?"

   "Sebenarnya persoalan ini tanpa bukti, jika secara tiba-tiba ia lakukan suatu tindakan, bukankah hal ini malah akan menimbulkan kecurigaan orang? Sekalipun usianya tidak terlalu besar, tapi otaknya betul-betul jalan, sudah barang tentu dia tak akan melakukan tindakan secara gegabah. Tapi tiga hari setelah jenazah lo-piautau dikebumikan, dengan mencari alasan lain ternyata ia telah memecat ke empat orang itu dari keanggotaan perusahaan"

   "Alasan apa yang telah ia gunakan?"

   "Minum arak sampai mabuk di masa berkabung!", jawab Thi Gi, kemudian sambungnya lagi.

   "Mereka sudah menerima budi kebaikan dari lo-piautau, apalagi punya rahasia yang tak bisa diutarakan, minum arak memang tak bisa dihindari, apalagi hatinya lagi murung!"

   Cia Siau-hong manggut-manggut pelan, tanyanya kemudian.

   "Kalau memang begitu, mengapa ia tidak manfaatkan alasan tersebut untuk membunuh mereka berempat? Siapa yang mereka cari?"

   "Aku!"

   "Dan kau tak tega untuk membunuh mereka?"

   "Ya, aku memang merasa amat tak tega", jawab Thi Gi sedih.

   "sebab itu kubawa empat stel baju yang penuh berlepotan darah untuk memberi laporan"

   "Ia bisa menyuruh kau membeli bunga mutiara untuk dihadiahkan kepada gundiknya, lalu menyuruh dirimu untuk membunuh orang dan menghilangkan saksi, tentunya kau telah dianggapnya sebagai orang kepercayaannya bukan?"

   "Sebenarnya aku adalah kacung bukunya, sejak kecil dibesarkan bersama dengannya, tapi.........."

   Kulit mukanya mengejang keras, setelah berhenti sejenak ia melanjutkan.

   "Tapi......tapi aku tak tega menyaksikan lo-piautau mati dengan hati penasaran........ selama hidupnya lo-piautau adalah seorang pendekar sejati yang penuh welas asih, aku banyak berhutang budi kepadanya...... akupun sebenarnya tak tega menghianati Thi Kay-seng, tapi setelah kusaksikan kematian empat orang rekanku tadi, aku......aku benar-benar merasa tak tahan......."

   Suaranya semakin sesenggukan, tiba-tiba ia menjatuhkan diri berlutut dan.........."Tuuuk, tuuuk, tuuuk", ia menyembah tiga kali. Katanya lebih jauh.

   "Hari ini mereka berani munculkan diri di depan umum dan membongkar kedok kemunafikan Thi Kay-seng karena mereka telah melihat kehadiran Cia tayhiap di sana, mereka tahu bahwa Cia tayhiap pasti tak akan membiarkan mereka mati penasaran, asal Cia tayhiap bersedia memberi bantuan untuk menegakkan kembali keadilan dan kebenaran, aku......akupun rela untuk mati"

   Ia menyembah dengan penuh luapan emosi sehingga kepalanya penuh berlepotan darah, tiba-tiba dari balik sepatunya ia cabut ke luar sebilah pisau dan segera ditusukkan ke ulu hati sendiri.

   Akan tetapi, secara tiba-tiba saja pisau itu sudah berpindah ke tangan Cia Siau-hong.

   Dengan sorot mata tajam, Cia Siau-hong menatapnya lekat-lekat, kemudian ujarnya.

   "Perduli apakah aku menyanggupi permintaanmu itu atau tidak, kau tak usah mati!"

   "Aku.......aku kuatir kalau Cia tayhiap masih tidak percaya dengan perkataanku, maka aku akan pergunakan kematianku untuk menyatakan kejujuran hatiku ini"

   "Aku percaya padamu!"

   Betapapun banyaknya kejadian menyedihkan yang dapat di dengar oleh kuil yang suram serta patung-patung arca yang angker, tak nanti mereka dapat bersuara.

   Tapi di balik jagad yang luas, tentu saja ada sepasang mata yang sedang mengawasi semua kejadian yang menyedihkan, menggembirakan, kejujuran, kejahatan, ketulusan dan kebohongan yang sedang berlangsung di alam semesta, tentu saja iapun mempunyai hukum dan kekuatan untuk menjatuhkan hukuman bagi mereka yang melanggar.

   Tiba-tiba Thi Gi berkata lagi.

   "Tapi Cia tayhiap harus berhati-hati, sebab Thi Kay-seng bukan seorang manusia yang mudah dihadapi, ilmu pedangnya jauh lebih cepat, jauh lebih menakutkan daripada lo-piautau di masa jayanya dulu"

   "Apakah ilmu silatnya bukan ajaran Thi lo-piautau?", tanya Cia Siau-hong.

   "Sebagian besar adalah ajarannya, tapi dalam rangkaian ilmu pedangnya, ia memiliki tiga belas jurus lebih banyak dari apa yang dimiliki lo-piautau!"

   Tiba-tiba sinar matanya memancarkan rasa ngeri yang tebal, kembali katanya.

   "Konon ke tiga belas jurus ilmu pedang yang dimilikinya ini bukan saja amat ganas, bahkan luar biasa hebatnya, hingga kini belum ada manusia dalam dunia yang sanggup untuk menghadapinya"

   "Tahukah kau siapa yang telah mengajarkan ke tiga belas jurus ilmu pedang itu kepadanya?"

   "Aku tahu!"

   "Siapa?"

   "Yan Cap-sa!"

   OoooOOOOoooo Bab 23.

   Darah Mengalir di Hong-ki-piaukiok Senja menjelang tiba, hujan telah lama berhenti.

   Sang surya memancarkan sinar sorenya dengan sebuah bianglala yang indah tergantung di kaki langit, selewatnya hujan badai, suasana waktu itu tampak indah dan penuh ketenangan.

   Konon, menurut orang tua, bila bianglala muncul di langit, itu pertanda datangnya kedamaian dan kebahagiaan bagi umat manusia.

   Tapi, kenapa sinar senja tetap berwarna merah? Panji Hong-ki-piaukiok pun tetap berwarna merah.

   Tiga belas lembar panji di atas tiga belas kereta barang.

   Rombongan itu berhenti tepat di halaman belakang sebuah rumah penginapan.

   Berdiri di bawah wuwungan rumah yang masih meneteskan air, Thi Kay-seng memperhatikan panji di atas kereta-kereta itu, tiba-tiba serunya dengan lantang.

   "Lepaskan semua panji-panji itu!"

   Para piausu masih sangsi, ternyata tak seorangpun berani melaksanakan perintah tersebut. Dengan suara lantang Thi Kay-seng kembali berkata.

   "Jika ada orang yang menghancurkan selembar panji kita, itu sama artinya beribu-ribu dan berlaksa panji kita telah hancur musnah semua sebelum dendam ini di balas, sebelum penghinaan ini dicuci, dalam dunia persilatan tak akan dijumpai lagi panji-panji dari perusahaan kita!"

   Paras mukanya masih tanpa emosi, tapi suaranya begitu tegas dan penuh kebulatan tekad.

   Apa yang ia perintahkan masih tetap merupakan suatu perintah.

   Tiga belas orang segera maju ke depan, tiga belas buah tangan bersama-sama mencabut panji perusahaan tersebut, tiba-tiba ke tiga belas buah tangan itu berhenti di tengah udara, tiga belas pasang mata bersama-sama telah menyaksikan seseorang.

   Itulah seorang manusia yang jauh berbeda dari orang lain, di saat kau tidak membiarkan ia pergi, ia justru pergi, tapi di kala kau tak menyangka dia akan kembali, ia justru telah kembali.

   Rambut orang itu sudah amat kusut, pakaiannya yang basah oleh hujan masih belum mengering, ia tampak amat lelah dan keadaannya mengenaskan sekali.

   Akan tetapi tiada orang yang memperhatikan rambut serta pakaiannya, tiada orang pula yang merasakan keletihan dan keadaan mengenaskan yang mencekam dirinya, karena orang itu tak lain adalah Cia Siau-hong.

   Thi Gi sesungguhnya adalah seorang pemuda yang tinggi kekar, alis matanya tebal, matanya besar, ia merupakan seorang anak muda yang gagah dan perkasa.

   Tapi setelah berdiri di belakang orang itu, keadaannya segera berubah ibaratnya seekor kunangkunang dengan sebuah rembulan, seperti sebuah lilin di bawah sinar sang surya.

   Karena orang itu tak lain adalah Cia Siau-hong.

   Thi Kay-seng melihat ia berjalan masuk, melihat ia berjalan ke hadapannya, lalu menyapa.

   "Kau telah datang kembali!"

   "Sepantasnya kau bisa menduga bahwa aku pasti akan datang lagi!", jawab Cia Siau-hong.

   "Karena kau pasti sudah mendengar banyak cerita?", tanya Thi Kay-seng kemudian.

   "Benar!"

   "Dalam telapak tanganmu tiada pedang!"

   "Benar!"

   "Pedang itu masih berada dalam hatimu?"

   "Apakah dalam hatiku ada pedang atau tidak, paling tidak seharusnya kau dapat melihatnya sendiri"

   Thi Kay-seng menatapnya tajam-tajam, lalu berkata.

   "Jika dalam hati ada pedang, hawa membunuh tentu berada di alis mata......!"

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Benar!"

   "Dalam telapak tanganmu tiada pedang, dalam hatimu pun tiada pedang, lantas di manakah pedangmu?"

   "Dalam tanganmu!"

   "Pedangku adalah pedangmu?"

   "Benar!"

   Tiba-tiba Thi Kay-seng meloloskan pedangnya.

   Ia sendiri tidak membawa pedang, anak yang berbakti pasti tak akan membawa senjata pembunuh di saat orang tuanya baru meninggal.

   Tapi orang-orang yang mengikuti di belakangnya membawa pedang semua, walaupun bentuk pedang itu amat sederhana, tapi bagi orang yang berpengalaman segera akan mengenali bahwa setiap bilah pedang tersebut adalah pedang yang sangat tajam.

   Pedang itu sama sekali tidak ditusukkan ke tubuh Cia Siau-hong........

   Setiap orang hanya merasakan cahaya pedang berkelebat seakan-akan lepas tangan, tapi pedang tersebut masih berada di tangan Thi Kay-seng, hanya saja mata pedangnya telah terbalik dan tertuju ke arah diri sendiri.

   Ia menjepit ujung pedang dengan ke dua jari tangannya, lalu pelan-pelan menyodorkan gagang pedang tersebut ke hadapan Cia Siau-hong.

   Perasaan setiap orang mulai tercekat, peluh dingin mulai membasahi telapak tangannya.

   Dengan tindakannya itu, bukankah hakekatnya seperti lagi bunuh diri.......? Asal Cia Siau-hong telah memegang gagang pedang itu dan mendorongnya ke muka, siapakah yang bisa menghindarinya? Siapa pula yang bisa membendungnya? Cia Siau-hong menatapnya lekat-lekat, akhirnya pelan-pelan ia menjulurkan tangannya dan menggenggam gagang pedang tersebut.

   Thi Kay-seng mengendorkan jari tangannya ke bawah.

   Ke dua orang itu saling bertatapan lama sekali, sorot mata merekapun memancarkan suatu sikap yang sangat aneh.

   Tiba-tiba cahaya pedang kembali berkelebat lewat, menyambar seenteng angin yang berhembus dan menyergap secepat sambaran kilat.

   Tiada orang yang bisa menghindari serangan tersebut, Thi Kay-seng pun tidak menghindarkan diri.

   Tapi tusukan tersebut sama sekali tidak menusuk ke arahnya, cahaya pedang berkelebat lewat, tahu-tahu ujung pedang tersebut sudah menempel di atas tenggorokan Thi Gi.

   Paras muka Thi Gi segera berubah hebat, paras muka setiap orangpun berubah hebat.

   Hanya Thi Kay-seng tetap tenang seperti biasa, perubahan yang sangat mengejutkan itu agaknya sudah berada dalam dugaannya.

   Thi Gi merasa tenggorokannya seperti tersumbat, lewat lama sekali ia baru bisa bersuara kembali.

   Dengan suara yang parau dan gemetar bisiknya.

   "Cia tayhiap, kau........kau apa-apaan ini?"

   "Kau tidak mengerti?", tanya Cia Siau-hong.

   "Aku tidak mengerti!"

   "Kalau begitu kau memang dasarnya terlalu bodoh!"

   "Aku sebenarnya memang seorang yang bodoh"

   "Kalau sudah tahu bodoh, kenapa justru suka berbohong?"

   "Siii....siapa.......siapa yang bohong?"

   "Cerita yang kau susun memang sangat bagus, permainan sandiwaramu pun amat hidup dan mempesonakan, bahkan setiap peranan dalam sandiwara tersebut bisa kau kombinasikan secara bagus, malah adegan demi adegan bisa dilangsungkan dengan indahnya, sayang kau telah membuat satu kekeliruan besar"

   "Kekeliruan? Kekeliruan apakah itu?"

   "Tiga hal setelah Thi lo-piautau dikebumikan, Thi Kay-seng segera mengusir ke empat orang itu dari perusahaan, bahkan kaulah yang diutus untuk membunuh mereka?"

   "Benar!"

   "Tapi kau tak tega untuk turun tangan, maka hanya kau bawa empat stel pakain yang berlepotan darah untuk memberi laporan?"

   "Benar!"

   "Dan Thi Kay-seng pun mempercayai semua perkataanmu?"

   "Selamanya ia memang percaya kepadaku!"

   "Tapi ke empat orang yang telah kau bunuh itu tiba-tiba hidup kembali hari ini, Thi Kay-seng telah melihat sendiri kemunculan mereka, namun ia masih tetap mempercayaimu, malah suruh kau menyelidiki asal-usul mereka, apakah kau anggap dia seorang dungu? Tapi kau lihat dia agaknya sangat tidak mirip?"

   Thi Gi tak sanggup berbicara lagi, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya seperti hujan deras. Cia Siau-hong menghela napas panjang, katanya lebih lanjut. ~Bersambung ke Jilid-15 Jilid-15

   "Aaaaii....! Seandainya kau ingin agar aku bisa membantumu melenyapkan Thi Kay-seng, seandainya kau menginginkan dua ekor bangau berkelahi dan membiarkan kau si nelayan tinggal memungut hasil, maka kau harus mengarang suatu cerita yang lebih bagus lagi, atau paling tidak kau harus tahu dengan jelas bahwa sekuntum bunga mutiara semacam itu, tak mungkin dapat dibeli dengan uang sebesar tiga ratus tahil perak........"

   Tiba-tiba ia memutar mata pedangnya dan menjepit ujung pedang tersebut dengan ke dua jari tangannya, setelah itu menyerahkan pedang tersebut kepada Thi Gi. Kemudian ia putar badan menghadap ke arah Thi Kay-seng dan ujarnya dengan hambar.

   "Mulai sekarang, orang ini orangmu!"

   Ia tidak memandang lagi ke arah Thi Gi walaupun hanya sekejap matapun, sebaliknya Thi Gi menatapnya lekat-lekat, menatap tengkuk serta tulang tengkorak bagian belakangnya, tiba-tiba sinar pembunuhan memancar keluar dari matanya, lalu secepat kilat pedangnya meluncurkan tusukan ke depan.

   Cia Siau-hong tidak berpaling, pun tidak menghindar, hanya terasa sekilas cahaya pedang menyambar lewat dari sisi tengkuknya kemudian menembusi tenggorokannya Thi Gi.

   Tidak sampai di situ saja, ternyata sisa kekuatan yang kemudian terpancar keluar telah menyeret tubuhnya sejauh tujuh-delapan depa lebih dan terpantek hidup-hidup di atas sebuah kereta barang.

   Panji merah di atas kereta berkibar-kibar terhembus angin.

   Ketika itu sinar senja sudah semakin redup dan samar, bianglala yang indahpun telah lenyap tak berbekas.

   Ada orang yang memasang lampu dalam halaman itulah lampu berwarna merah.

   Sinar lampu menerangi wajah Thi Kay-seng yang pucat sehingga berwarna kemerah-merahan.

   Cia Siau-hong memandang ke arahnya lalu berkata.

   "Sejak pertama kali tadi kau sudah tahu kalau aku pasti akan kembali lagi"

   Thi Kay-seng mengakuinya.

   "Karena aku tentu sudah mendengar banyak perkataan, kau percaya aku pasti dapat menemukan titik kelemahan di balik pembicaraan itu......", kata Cia Siau-hong lebih jauh.

   "Ya, tentu saja! Karena kau adalah Cia Siau-hong!"

   Wajahnya masih juga tanpa emosi, tapi setelah menyebut kata 'Cia Siau-hong' wajahnya segera menunjukkan sikap hormat yang luar biasa. Dari balik sorot mata Cia Siau-hong muncul senyuman ramah, kembali ia berkata.

   "Apakah kau bersiap-siap mengundangku minum arak barang dua cawan....?"

   "Selamanya aku tak pernah minum setetes arakpun", jawab Thi Kay-seng. Cia Siau-hong segera menghela napas.

   "Minum sendiri tentu tidak menyenangkan, agaknya aku terpaksa harus angkat kaki dari sini"

   "Sekarang kau masih belum boleh pergi!"

   "Kenapa?"

   "Kau harus meninggalkan dua macam barang terlebih dahulu!"

   "Apa yang harus kutinggalkan?"

   "Tinggalkan kuntum bunga mutiara itu!"

   "Bunga mutiara?", tanya Cia Siau-hong.

   "Benda itu aku telah membelinya dengan harga tiga ratus tahil perak untuk dihadiahkan untuk orang lain, aku tak dapat menghadiahkannya kepadamu!"

   Kelopak mata Cia Siau-hong segera berkerut.

   "Jadi benar-benar kau yang membeli? Jadi kau benar-benar menyuruh Thi Gi yang pergi membeli?"

   "Tidak bakal salah lagi!"

   "Tapi bunga mutiara seperti itu nilainya paling tidak di atas delapan ratus tahil perak, mana mungkin kau bisa membelinya dengan uang tiga ratus tahil?"

   "Ciangkwe dari toko Thian-po adalah bekas kasir perusahaan Hong-ki-piaukiok, maka harga yang dia perhitungkan kepadaku istimewa murahnya, apalagi di dalam dagang mutiara, keuntungannya paling banyak dan gampang dicari sebab itu meskipun ia menjual kepadaku dengan harga sekecil itu, diapun tak bakal rugi"

   Perasaan Cia Siau-hong semakin tenggelam, segulung hawa dingin tiba-tiba muncul dari dasar kakinya dan menyusup naik sampai ke atas kepala.

   ......Jangan-jangan aku sudah salah menuduh Thi Gi.

   ......Thi Kay-seng menyuruhnya pergi menyelidiki asal usul ke empat orang tersebut, apakah hal inipun merupakan suatu jebakan? Tiba-tiba saja ia menemukan bahwa bukti yang berhasil diperoleh dan data yang bisa disimpulkan terlampau sedikit, pelu dingin segera membasahi tubuhnya.

   "Kecuali bunga mutiara", kata Thi Kay-seng.

   "kaupun harus meninggalkan darahmu, darah untuk mencuci Hong-ki kami!"

   Lalu sepatah kata demi sepatah kata ia berkata.

   "Penghinaan atas hancurnya sebuah panji hanya bisa dicuci bersih dengan darah, kalau bukan darahmu itu berarti darahku!"

   Angin dingin berhembus kencang, tiba-tiba seluruh jagad diliputi oleh hawa nafsu membunuh yang sangat tebal. Akhirnya Cia Siau-hong menghela napas panjang, katanya.

   "Kau adalah seorang yang pintar, kau benar-benar pintar sekali......"

   "Bagi seorang pintar, dengan uang se-sen-pun bisa membeli sebuah kereta", kata Thi Kay-seng.

   "Sebetulnya aku tak ingin membunuhmu"

   "Tapi aku terpaksa harus membinasakan dirimu"

   Cia Siau-hong segera menatapnya tajam-tajam lalu berkata.

   "Ada suatu persoalan, akupun terpaksa harus menanyakan dulu kepadamu hingga jelas"

   "Persoalan apakah itu?"

   "Thi Tiong-khi, Thi lopiautau, apa benar-benar adalah ayah kandungmu?"

   "Bukan!"

   "Sesungguhnya apa yang menyebabkan kematiannya?"

   Tiba-tiba kulit wajah Thi Kay-seng yang sekeras batu karang mengejang keras, serunya dengan suara menggeledek.

   "Perduli apapun yang menyebabkan kematian dari dia orang tua, hal ini sama sekali tiada hubungan atau sangkut pautnya denganmu"

   Tiba-tiba ia meloloskan pedangnya, meloloskan dua bilah pedang dan menyambitnya ke tanah hingga menancap di atas permukaan hingga tinggal gagangnya. Itulah dua bilah pedang yang sederhana, dua bilah pedang dengan gagang yang dibungkus kain hitam.

   "Walaupun ke dua bilah pedang ini ditempa bersama dalam sebuah tungku yang sama, namun ada perbedaan berat ringannya", demikian Thi Kay-seng berkata.

   "Kau terbiasa memakai yang mana?"

   "Dalam sekali tempaan ada tujuh bilah pedang yang telah dibuat, ke tujuh bilah pedang tersebut pernah kugunakan semua dengan enak, maka dalam hal ini aku jauh lebih beruntung daripadamu"

   "Itu tak menjadi soal!"

   "Meskipun ilmu pedangku mengandalkan kecepatan sebagai keistimewaannya, tapi di dalam suatu pertarungan antara jago lihay, rasanya kemantapan masih tetap merupakan titik pokok yang terpenting"

   "Aku mengerti!"

   Tentu saja ia mengerti.

   Dengan tenaga dalam yang mereka miliki sekalipun pedang yang lebih beratpun dalam tangan mereka sama saja enteng dan leluasa kalau digunakan.

   Tapi dua bilah pedang yang sama besar kecilnya, bila salah satu di antaranya jauh lebih berat, tentu saja bahan pedang tersebut berarti jauh lebih baik.

   Semakin berat sebagai bahan pedang itu berarti pula membantu sebagian tenaga kekuatannya, padahal dalam suatu pertarungan antara dua jago lihay, selisih yang kecilpun bisa mengakibatkan hal-hal yang amat fatal.

   "Aku tak rela memberikan yang lebih berat kepadamu, akupun tak ingin mencari keuntungan bagi diriku sendiri, sebab itu lebih baik kita saling beradu nasib", kata Thi Kay-seng. Cia Siau-hong memandangnya lekat-lekat, dalam hati kecilnya kembali ia bertanya.

   "......Sesungguhnya pemuda macam apakah dirinya itu?"

   Ternyata di hadapan Cia Siau-hong yang tiada tandingannya di dunia pun, dia tak ingin mencari keuntungan barang sedikitpun? Manusia seangkuh dia, mana mungkin bisa melakukan terkutuk yang keji dan jahat? Thi Kay-seng kembali berkata.

   "Silahkan, silahkan memilih sebilah lebih dulu!"

   Gagang pedang itu semuanya berbentuk sama.

   Ujung pedang pun sama-sama menancap hingga menembusi permukaan tanah.

   Sesungguhnya pedang yang manakah yang terbuat dari bahan lebih baik? Pedang mana kah yang lebih berat bobotnya? Siapapun tak berhasil untuk mengetahui.

   Lantas bagaimana kalau tak dapat melihatnya? Apa pula gunanya ada pedang? Apa pula gunanya tanpa pedang? Pelan-pelan Cia Siau-hong membungkukkan badannya dan menggenggam sebilah gagang pedang tapi ia tidak mencabutnya keluar.

   Ia sedang menunggu Thi Kay-seng.

   Meskipun ujung pedang masih di tanah, tapi tangannya telah menggenggam gagang pedang, hawa pedang seakan-akan telah menembusi tanah dan muncul keluar.

   Sekalipun sedang membungkukkan badan, melengkungkan pinggang, tapi posisinya itu hidup dan indah, sama sekali tidak menutup kemungkinan buat dirinya untuk melancarkan serangan secara tiba-tiba.

   Thi Kay-seng memperhatikan dirinya, dalam pandangan matanya seakan-akan telah muncul kembali sesosok bayangan manusia yang lain, seseorang yang sama-sama dihormati olehnya.

   Bukit yang terpencil diliputi keheningan, kadangkala bulan bersinar terang, kadang kala hujan turun amat deras, bukan saja orang itu telah mewariskan ilmu pedang Tui-hun-toh-mia-kiam-hoat kepadanya, seringkali menceritakan kisah tentang Cia Siau-hong kepadanya.

   Sekalipun orang itu belum pernah saling berjumpa dengan Cia Siau-hong, akan tetapi ia sangat memahami akan segala tindak-tanduk dari Cia Siau-hong, mungkin jauh lebih memahami daripada siapapun dalam dunia ini.

   Sebab sasarannya yang terutama selama hidupnya adalah ingin mengalahkan Cia Siau-hong.

   Apa yang pernah ia katakan, tak pernah dilupakan oleh Thi Kay-seng.....

   ......Hanya orang yang berhati lurus dan tidak dicabangkan oleh persoalan lain, baru dapat melatih suatu ilmu pedang yang tiada tandingannya di dunia ini.

   ......Cia Siau-hong adalah manusia semacam itu.

   Ia tak pernah memandang enteng musuhnya, oleh sebab itu setiap kali melancarkan serangan, ia pasti menyerangnya dengan sepenuh tenaga.

   Hanya cukup dalam hal ini, setiap orang yang ingin belajar pedang di dunia ini sudah sepantasnya kalau mengambilnya sebagai contoh yang paling baik.

   Meskipun tangan Thi Kay-seng dingin seperti es, darahnya panas seakan-akan sedang mendidih.

   Bila bertempur dengan Cia Siau-hong, hal ini dianggapnya sebagai suatu peristiwa yang paling dibanggakan dan paling digembirakan selama hidupnya.

   Ia berharap bisa menangkap pertarungan ini dan menangkap namanya hingga termashur di manamana, diapun ingin menggunakan darah Cia Siau-hong untuk mencuci bersih penghinaan yang telah dialami Hong-ki-piaukiok.

   Tapi dalam dasar hati kecilnya, mengapa justru menaruh rasa hormat dan kagum yang luar biasa terhadap orang ini? "Silahkan!"

   Baru saja perkataan itu diutarakan, pedang Thi Kay-seng telah dicabut keluar lalu menusuk ke depan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.

   Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tentu saja ia lebih-lebih tak berani memandang enteng musuhnya, karena itu begitu serangan dilancarkan segenap tenaga yang dimiliki telah digunakan.

   Thi-khi-kuay-kiam (pedang kilat si penunggang kuda baja) tersohor di mana-mana, seratus tiga puluh satu gerakan Lian-huan-kuay-kiam (pedang kilat berantai) nya begitu lihay sehingga serangan yang satu lebih ganas daripada tusukan yang lain.

   Dalam sekejap mata, ia telah melepaskan tiga kali tujuh dua puluh satu tusukan.

   Ini ilmu Luansian- si bagian pertama dari ilmu pedang kilat.

   Karena biasanya di saat ia pergunakan jurus yang ke dua puluh satu ini, pihak lawan tentu akan menangkis serangannya dengan tangkisan pedang.

   Suara beradunya sepasang pedang akan menimbulkan suara dentingan yang memekikkan telinga, karenanya serangan tersebut disebutnya sebagai jurus yang memekikkan.

   Tapi sekarang sekalipun jurus yang kedua puluh satu telah dilancarkan ternyata sama sekali tak terdengar sedikit suarapun.

   Karena di tangan lawan sama sekali tiada pedang, hanya ada selembar ikat pinggang berwarna hitam yang bercahaya tajam.

   Itulah kain hitam yang sebenarnya digunakan untuk membungkus gagang pedang.

   Ternyata Cia Siau-hong tidak mencabut pedang tersebut dia hanya melepaskan kain pengikat gagang pedang tersebut.

   Kain pengikat juga boleh, pedangpun juga boleh, sesudah berada di tangan Cia Siau-hong, maka semuanya akan berubah menjadi bertuah dan memiliki kekuatan yang mengerikan.

   Ibaratnya panah sudah terlepas dari busurnya pertarungan telah berlangsung dan Thi Kay-seng sudah tiada pilihan lain lagi.

   Kain pengikat tersebut ternyata membawa semacam tenaga kekuatan yang sangat aneh, kekuatan itu telah menggerakkan pedangnya untuk ikut bergerak pula.

   Hakekatnya ia sudah tak mampu untuk menghentikan serangannya lagi.

   Kembali tiga kali tujuh dua puluh satu tusukan telah dilancarkan, kali ini yang digunakan adalah gerakan Toan-sian-sin bagian terakhir dari ilmu Thi-khi-kuay-kiam nya.

   Di sini pula terletak semua intisari kehebatan dari ilmu pedang kilat.

   Di antara kilatan cahaya pedang yang menyilaukan mata, lamat-lamat terdengar suara derap kaki kuda yang memekikkan telinga serta suara teriak-teriakan di medan pertempuran.

   Sewaktu masih muda dulu napsu membunuh yang meliputi benak Thi Tiong-khi sangat tebal, biasanya dari ke seratus tiga puluh dua jurus Lian-huan-kuay-kiam nya itu baru digunakan jurus yang ke delapan sembilan puluh jurus, pihak lawan pasti sudah tewas di ujung pedangnya.

   Seandainya jurus bagian yang terakhirpun harus dipergunakan itu berarti musuhnya pasti sangat tangguh, karenanya dalam ilmu pedang bagian yang terakhir ini, semua jurus serangan yang dipergunakan merupakan jurus-jurus ganas yang tiada sayangnya untuk mengajak musuhnya untuk beradu jiwa.

   Oleh sebab itu setiap serangan yang dilancarkan tak pernah meninggalkan tempat luang bagi lawannya untuk menghindar, tidak pula untuk dirinya sendiri.

   Karena dua puluh satu tusukan terakhir ini sesudah dilepaskan, maka semua jurus serangannya akan berakhir.

   Hawa pedang menyelimuti angkasa, dalam waktu singkat ia telah melancarkan kedua puluh satu tusukan yang terakhir, setiap tusukan yang dilancarkan semuanya ibarat seorang ksatria yang membunuh musuh, semuanya merupakan serangan-serangan keji yang tidak memberi peluang buat lawannya.

   Sedemikian hebatnya serangan itu, rasanya tiada ilmu pedang manapun di dunia ini yang bisa dibandingkan.

   Tapi setelah dua puluh satu tusukan itu lewat, ibaratnya batu yang tercebur di tengah samudra, lenyap dan hilang dengan begitu saja, sedikitpun tiada kabar beritanya.

   Menanti hingga tiba saat seperti ini, sekalipun orangnya belum mati, jurus pedangnya telah berakhir, tidak matipun terpaksa harus mati juga.

   Ketika para pengikut Thi Kay-seng yang hadir di sana menyaksikan cong piautau-nya mengeluarkan jurus serangan yang terakhir, tanpa terasa semua orang memperdengarkan helaaan napas yang disertai dengan rasa kaget.

   Siapa tahu, begitu jurus serangan yang terakhir lewat, tiba-tiba Thi Kay-seng merubah jurus pedangnya, dengan suatu gerakan yang enteng ia lepaskan sebuah tusukan lagi.

   Bila dalam melancarkan serangannya tadi hawa pedang dan hawa pembunuhan menyelimuti angkasa dengan tebalnya ibarat awan tebal di angkasa, maka tusukan tersebut ibaratnya awan tebal yang tiba-tiba membuyar dan sang suryapun bersinar kembali, sekalipun bukan sinar matahari yang memberikan kehangatan, tapi sinar panas yang membuat emaspun meleleh, sinar yang merah seperti darah.

   Ketika Thi Kay-seng melancarkan serangan dengan ilmu pedang yang gagah perkasa tadi, agaknya Cia Siau-hong masih tidak memandangnya di dalam hati.

   Tapi begitu tusukan terakhir dilepaskan, tiba-tiba ia bersorak kegirangan.

   "Bagus, bagus, suatu ilmu pedang yang amat bagus!"

   Baru selesai beberapa patah kata itu, Thi Kay-seng telah melepaskan kembali empat tusukan, setiap tusukan tersebut seakan-akan menghadang perubahan yang tiada habisnya, tapi seakanakan juga tanpa perubahan apapun, begitu melayang, begitu mantap, begitu enteng, tapi sesungguhnya ganas dan hebat.

   Cia Siau-hong tidak menyerang, diapun tidak menangkis.

   Dia hanya melihat.

   Ia seakan-akan sedang menyaksikan seorang gadis cantik yang masih muda berada dalam keadaan bugil, seakan-akan ia dibikin terpesona hingga lupa daratan.

   Tapi ke empat buah tusukan tersebut sama sekali tidak berhasil melukai tubuhnya, bahkan seujung rambutpun tidak.

   Thi Kay-seng merasa heran sekali.

   Tusukan yang dengan jelas ia lihat menembusi dadanya, ternyata di saat yang terakhir hanya bergeser lewat dengan menempel di atas dadanya, sebuah serangan yang dengan jelas telah menembusi tenggorokannya, ternyata meleset sama sekali.

   Setiap tusukan dan arah sasaran maupun perubahan dari gerak pedangnya itu seakan-akan telah berada di dalam dugaannya semua.

   Tiba-tiba serangan pedang dari Thi Kay-seng berubah menjadi amat pelan, pelan sekali.

   Tusukan itu dilepaskan bukan saja tanpa sasaran tertentu, bahkan sama sekali tak beraturan.

   Akan tetapi tusukan itu seakan-akan mata dalam lukisan naga, sekalipun kosong tapi memiliki kunci perubahan yang sama sekali tak terduga.

   Bagaimanapun juga lawannya akan bergerak, asal bergerak sedikit saja, maka akibatnya serangan berikut akan menembusi tubuhnya dan merenggut nyawanya.

   Gerakan Cia Siau-hong hampir berhenti sama sekali, pada detik itu tampaklah gerakan pedang yang lamban dan kasar yang sedang menusuk tiba pelan-pelan itu, mendadak berubah menjadi selapis hujan bunga yang menyilaukan mata.

   Ya, itulah bunga pedang yang memenuhi seluruh angkasa, hujan pedang yang menyelimuti udara, tiba-tiba saja berubah menjadi serentetan bianglala yang menyilaukan mata.

   Itulah tujuh buah bianglala yang berwarna-warni, tujuh buah tusukan maut yang bergetar di udara, bergetar sambil melakukan pelbagai perubahan yang tak terhitung banyaknya.

   Tapi tiba-tiba saja semua bianglala tergulung di balik awan tebal berwarna hitam.

   Itulah kain pengikat berwarna hitam.

   Tiba-tiba Thi Kay-seng menghentikan gerakannya, peluh dingin membasahi seluruh tubuhnya dan bercucuran seperti air hujan.

   Cia Siau-hong menghentikan pula semua gerakannya, lalu sepatah kata demi sepatah kata bertanya.

   "Inikah ilmu pedang Toh-mia-cap-sa-kiam dari Yan Cap-sa........?"

   Thi Kay-seng membungkam. Membungkam berarti dia telah mengaku.

   "Bagus, ilmu pedang yang sangat bagus!", seru Cia Siau-hong lagi. Tiba-tiba ia menghela napas panjang lagi, lalu berseru.

   "Sayang........sayang......!"

   "Apanya yang sayang?", tak tahan Thi Kay-seng bertanya.

   "Sayang hanya ada tiga belas jurus, kalau masih ada jurus yang ke empat belas maka aku pasti kalah"

   "Mungkinkah masih ada jurus yang ke empat belas?", tanya Thi Kay-seng keheranan.

   "Ya, pasti ada!"

   Sesudah termenung lama sekali, pelan-pelan ia baru berkata lebih lanjut.

   "Jurus ke empat belas baru merupakan inti sari dari seluruh ilmu pedang ini!"

   Intisari dari ilmu pedang berarti nyawa bagi manusia sama-sama tak berwujud dan melayanglayang, sekalipun tidak terlihat dengan mata, akan tetapi tiada seorang manusiapun yang menyangkal akan kebenarannya. Cia Siau-hong berkata kembali.

   "Semua perubahan dan kekuatan yang berada dalam Toh-mia-cap-sa-kiam baru akan terpancar keluar di dalam jurus yang ke empat belas, bilamana jurus ke empat belas dapat dipecahkan lagi, maka ilmu pedangnya akan berubah menjadi suatu ilmu pedang yang tiada tandingannya di dunia ini......"

   Tangan bergetar keras, tiba-tiba saja kain tersebut menjadi lurus dan kaku persis seperti sebilah pedang.

   Ketika pedang itu bergerak ibaratnya sinar di waktu senja, seperti pula matahari, seperti bianglala, seperti awan hitam, seperti bergerak tapi tenang, seperti kosong tapi nyata, seperti ada di kiri seperti pula ada di kanan, seperti ada di depan seperti juga di belakang, seperti cepat seperti pelan, seperti kosong seperti pula berisi.

   Sekalipun yang bergerak tak lebih hanya sebilah kain pengikat, tapi dalam sekejap mata telah berubah menjadi sebilah senjata tajam yang jauh lebih mengerikan daripada senjata tajam manapun juga.

   Dalam saat yang amat singkat inilah, peluh dingin telah membasahi seluruh pakaian Thi Kay-seng.

   Ia hampir boleh dibilang tak bisa mematahkan lagi serangan tersebut, tak mampu menangkis, tak mampu menyambut, tak mampu pula untuk menghindarkan diri.

   "Inilah jurus yang ke empat belas!", kata Cia Siau-hong. Thi Kay-seng tak mampu berbicara lagi.

   "Jika kau gunakan jurus serangan ini, maka semua jalan mundurku akan kau sumbat hingga aku menjadi terjepit", Cia Siau-hong berkata lebih jauh. Thi Kay-seng sedang menyesal, ia menyesal kenapa selama ini tak sanggup untuk memikirkan perubahan tersebut.

   "Sekarang kau sudah melihat jelas jurus seranganku ini?", tanya Cia Siau-hong lagi. Thi Kay-seng telah melihat jelas, sejak kecil ia sudah mulai belajar ilmu pedang, ia melatihnya terus dengan tekun. Dalam bidang ini ia memang seorang manusia cerdas yang berbakat, lagipula pernah mengucurkan keringat, pernah mengucurkan darah........

   "Coba kau ulangi sekali lagi!", Cia Siau-hong berseru. Thi Kay-seng mainkan lagi semua jurus dan perubahan dari jurus pedang itu sekali lagi, kemudian baru bertanya.

   "Sekarang apakah kau dapat mengingat semuanya?"

   Thi Kay-seng mengangguk.

   "Kalau begitu cobalah kau gunakan!"

   Thi Kay-seng memandang ke arahnya, ia masih belum memahami maksudnya yang sebenarnya.

   "Aku inginkan kau gunakan jurus pedang itu untuk menghadapiku, coba lihatlah apakah dapat mengalahkan ilmu pedangku?", kata Cia Siau-hong. Mencorong sinar mata dari balik mata Thi Kay-seng, akan tetapi dengan cepat sinar mata tajam itu sirap kembali.

   "Aku tak dapat berbuat demikian!", sahutnya.

   "Aku mengharuskan kau berbuat demikian"

   "Kenapa?"

   "Sebab akupun ingin mencoba apakah jurus itu bisa mematahkan ilmu pedangku?"

   Karena ilmu pedang tersebut meski diciptakan olehnya, akan tetapi perubahan intisarinya jurus berasal dari ilmu Toh-mia-cap-sa-kiam (Tiga belas jurus ilmu pedang perenggut nyawa).

   Nyawa dari jurus tersebut termasuk juga nyawa dari Yan Cap-sa.

   Thi Kay-seng sudah mulai memahami maksudnya, mencorong sinar kagum dari balik matanya.

   "Kau memang seorang lelaki yang pantas merasa tinggi hati!"

   "Aku memang demikian!"

   "Tapi kau memang pantas untuk bersikap demikian!"

   "Ya, aku memang begitu!"

   OoooOOOOoooo Bab 24.

   Kemunculan Yang Tak Terduga Ketika serangan itu dilancarkan hawa pedang yang dingin menyeramkan segera menyelimuti angkasa, bahkan sinar lentera pun kehilangan cahayanya.

   Cia Siau-hong sedang mundur ke belakang.

   Serangan tersebut telah menyumbat semua jalan mundur bagi gerakan pedangnya maka terpaksa ia harus mundur.

   Mundur bukan berarti kalah.

   Meskipun ia sedang mundur, bukan berarti ia sudah kalah.

   Tubuhnya yang tertekan oleh hawa pedang telah melengkung ke belakang, melengkung bagaikan sebuah gendewa.

   Tapi semakin kencang, gendewa itu melengkung, setiap saat kemungkinan besar akan memberikan daya pantulan yang besar, semakin besar daya tekanannya semakin besar pula daya pantulnya.

   Bila saat seperti itu telah tiba, maka saat itu pula mati hidup menang kalah mereka akan ditentukan.

   Siapa tahu di saat semua tenaganya tertekan, hingga mencapai pada puncaknya dan sebelum sempat dipancarkan keluar, tiba-tiba dari belakang kereta barang, dari balik serambi ruangan bermunculan empat bilah sinar pedang yang berkilauan.

   Padahal semua perhatian dan semua kekuatannya sedang ditujukan pada pedang di tangan Thi Kay-seng, semua kekuatannya sedang dipersiapkan untuk menyambut datangnya serangan tersebut, ia sama sekali tidak memiliki sisa kekuatan lagi untuk memikirkan persoalan lain.

   Cahaya pedang berkelebat lewat, tiga bilah pedang bersama-sama telah menusuk bahu, paha kiri dan punggungnya.

   Seketika itu juga semua kekuatannya gugur dan hilang.

   Serangan pedang dari Thi Kay-seng pun telah menyongsong tiba, ujung pedangnya telah menyambar ke bagian yang mematikan di atas tenggorokannya.

   Ia tahu dirinya tak nanti bisa menghindar atau menangkis lagi, akhirnya dia harus merasakan bagaimana rasanya menghadapi saat kematian.......

   ......Perasaan yang bagaimanakah keadaan seperti itu? ......Benarkah di saat menjelang kematiannya, seseorang bisa terkenang kembali semua kejadian yang pernah dialaminya di masa lampau....? ......Sepanjang penghidupannya di dunia ini, sesungguhnya berapa banyak kegembiraan yang telah ia terima? Berapa banyak kesedihan yang dia alami? Sebenarnya orang lain yang bersikap masa bodoh kepadanya? Ataukah dia yang telah menyia-nyiakan pengharapan orang? Semua pertanyaan semacam itu, kecuali dirinya sendiri, boleh dibilang tak seorangpun bisa menjawabnya.

   Tapi ia sendiripun tak mampu menjawab.

   Ujung pedang yang dingin dan keras telah menusuk tenggorokannya.

   Dia hanya merasakan hawa dingin yang merasuk tulang menembusi tubuhnya, begitu dingin sehingga rasanya amat getir.

   Akhirnya Cia Siau-hong roboh ke tanah, roboh di ujung pedang Thi Kay-seng dan tergeletak di atas genangan darah sendiri.

   Ia bahkan tak sempat mengetahui siapakah empat orang penyergapnya itu.

   Tapi Thi Kay-seng melihatnya dengan jelas.

   Kecuali Cho Han-giok serta dua bersaudara dari keluarga Wan, masih ada lagi seorang manusia asing yang tinggi semampai dengan pakaian yang perlente, tapi wajahnya justru memancarkan rasa sedih, murung, letih dan kesal yang amat tebal.

   Wan Ji-im sedang tersenyum sambil berkata.

   "Kionghi Cong-piautau, akhirnya kau berhasil juga merobohkannya, nama besarmu pasti akan termashur di mana-mana"

   Paras muka Thi Kay-seng sama sekali tidak memancarkan perubahan apa-apa, pedangnya telah terkulai lemas ke bawah.

   "Sekalipun dalam serangan kali ini, kamipun menyumbangkan sedikit tenaga, tapi sesungguhnya cong-piautau-lah yang telah memegang peranan penting", kata Wan Ji-im lebih jauh.

   "Kami berempat menyerang bersama-sama tanpa melukai tempat yang mematikan di tubuhnya, apakah hal ini kalian siapkan agar aku yang membunuhnya dengan tanganku sendiri?", Thi Kayseng bertanya. Wan Ji-im sama sekali tidak menyangkal Thi Kay-seng memperhatikan laki-laki asing berbaju perlente itu sekejap, kemudian katanya.

   "Sahabat ini adalah......."

   "Dia adalah kongcu dari keluarga Hee-ho, Hee-ho Seng adanya!"

   Thi Kay-seng menghela napas panjang, lalu bergumam.

   "Terima kasih banyak, terima kasih banyak....."

   Suaranya pelan dan rendah, seakan-akan ia merasakan keletihan yang luar biasa, semacam keletihan yang akan dirasakan sehabis meraih suatu kemenangan. Kata Wan Ji-im kembali.

   "Sekarang darahnya belum dingin mengapa cong-piautau tidak pergunakan darahnya untuk menambah kesemarakan dari panji merah perusahaanmu.....?"

   "Ya, aku memang sedang bermaksud untuk berbuat demikian!"

   Ketika kata terakhir melompat keluar, tiba-tiba pedangnya yang terkulai ke bawah itu menyambar ke depan dan masuk ke tubuh Wan Ji-im.

   Dengan terperanjat Wan Ji-im menyambut serangan itu dengan tangkisan, suara beradunya senjata segera berkumandang memecahkan keheningan.

   Dengan suara keras Thi Kay-seng berkata.

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Peristiwa ini bukan aku yang mengatur, Thi Kay-seng bukan manusia rendah yang begitu tak tahu malu. Penghinaan hanya bisa dicuci dengan darah, kalau bukan darah kalian adalah darahku!"

   Ucapan tersebut seakan-akan ditujukan untuk Cia Siau-hong, tapi mungkinkah orang mati masih bisa menangkap suara? Selama ini Hee-ho Seng menatap terus tubuh Cia Siau-hong yang tergeletak di tanah dengan penuh kesedihan, kemarahan dan kebencian yang meluap-luap, tiba-tiba ia melompat ke depan dan menusuk lambungnya.

   Siapa tahu sebelum tusukan itu mencapai sasaran, tiba-tiba Cia Siau-hong melompat bangun dari genangan darah dan menyusup ke depan.

   "Dia belum mati.......dia belum mati.......", teriak Hee-ho Seng dengan suara keras. Suaranya yang penuh dengan luapan emosi itu hampir mendekati suatu kekalapan, permainan pedangnya lantaran luapan emosi tersebut berubah pula mendekati kekalapan, bagaikan seorang yang kalap ia mengejar dari belakang Cia Siau-hong dan melepaskan serangan yang semuanya ditujukan pada bagian-bagian mematikan di tubuhnya. Cia Siau-hong telah mencabut keluar pedang yang menancap di tanah itu dan memutar senjatanya sambil melancarkan serangan balasan. Dia tidak berpaling, tapi setiap titik kelemahan yang terdapat dalam ilmu pedang Hee-ho Seng tampaknya sudah ia perhitungkan dengan tepat, meskipun hanya babatan pedang yang sederhana, akan tetapi semua tempat titik kelemahan di tubuh Hee-ho Seng telah diserang olehnya. Bagaimanapun Hee-ho Seng berusaha untuk merubah gerak serangannya, setiap kali pula serangan tersebut kandas di tengah jalan dan hancur berantakan. Tapi dalam keadaan luka lama belum sembuh, luka baru telah muncul, ayunan tangannya itu segera mendatangkan rasa sakit yang luar biasa pada bahunya yang robek. Betul serangan pedangnya menang dalam teknik, sayang kalah dalam tenaga.

   "Triiiiing.....!", ketika sepasang pedang saling membentur, kembali pedangnya digetarkan sehingga terlepas dari cekalannya. Cahaya pedang bagaikan bintang kejora dengan kecepatan luar biasa senjata itu mencelat keluar dinding pekarangan. Menyaksikan pedang sendiri mencelat ke udara, Cia Siau-hong hanya merasakan lambungnya tiba-tiba berkerut seakan-akan menyaksikan kekasihnya tiba-tiba jauh meninggalkan dirinya, seperti pula kakinya tiba-tiba menginjak di tempat yang kosong dan terjerumus ke dalam sebuah jurang yang beribu-ribu kaki dalamnya. Belum pernah dia mengalami pengalaman seperti ini. Sesungguhnya kejadian seperti ini tak akan terjadi pada dirinya. Mata pedang yang dingin telah menempel di atas tengkuknya, hampir saja memotong nadi besar di atas lehernya. Hee-ho Seng telah menghentikan gerakan tangannya, lalu sepatah demi sepatah kata ia bertanya.

   "Kau tahu siapakah aku?"

   "Agaknya tenaga dalam yang kau miliki telah peroleh kemajuan yang amat pesat!", kata Cia Siauhong.

   "tapi sebenarnya kau tak pernah menyergap orang dari belakang!"

   Hee-ho Seng memutar badannya dan telah tiba dihadapannya, mata pedangpun melingkari tengkuknya, bergeser pula ke depan sehingga meninggalkan sebuah jalur panjang berdarah seperti seorang bocah perempuan yang memakai kalung merah di lehernya.

   Mulut luka yang ditusuk Thi Kay-seng tadi kini darahnya telah membeku, seperti batu mirah yang tergantung pada seuntai kalung merah.

   Cia Siau-hong sama sekali tidak mengerutkan dahinya, dengan hambar ia berkata.

   "Sungguh tak kusangka keluarga persilatan Hee-ho memiliki pula sebilah pedang yang sedemikian tajamnya!"

   Hee-ho Seng tertawa dingin.

   "Kejadian tak terduga yang terjadi di dunia ini sesungguhnya memang banyak sekali", katanya.

   "Ya, memang banyak sekali!", sambung Cia Siau-hong sambil menghela napas panjang. Tiba-tiba Hee-ho Seng merendahkan suaranya sambil berbisik.

   "Sekarang dia berada di mana?"

   "Siapa yang kau maksudkan?"

   "Semestinya kau tahu siapa yang sedang kutanyakan?"

   "Kenapa aku semestinya harus tahu?"

   Hee-ho Seng menggertak giginya keras-keras menahan rasa bencinya yang meluap-luap, katanya.

   "Sejak kawin denganku, dengan sepenuh hati aku melayani dirinya, aku hanya berharap bisa hidup bahagia dengannya sampai akhir tua nanti, setengah langkahpun tidak meninggalkan dirinya, tapi dia........dia.....aiii, dia........"

   Ketika berbicara sampai di sini, tiba-tiba suaranya gemetar lewat sesaat kemudian ia baru bisa melanjutkan kembali kata-katanya.

   "Setiap kali ada kesempatan, ia selalu berusaha dengan segala macam akal muslihat untuk kabur dari sisi tubuhku, pergi berjudi, minum arak, bahkan menjadi pelacur, seakan-akan asal meninggalkan diriku, maka apapun yang suruh dia lakukan, dengan senang hati ia bersedia untuk melakukannya"

   Cia Siau-hong memandang ke arahnya, timbul juga perasaan simpatik dalam hatinya.

   "Mungkin hal ini dikarenakan kau telah melakukan sesuatu kesalahan!", katanya.

   "Aku tidak bersalah, dialah yang bersalah, kaulah yang bersalah!", jerit Hee-ho Seng seperti orang kalap.

   "Aku yang salah?"

   "Hingga sekarang aku baru mengerti, kenapa ia bisa melakukan perbuatan semacam ini"

   "Kenapa?"

   "Karena.......karena......"

   Sambil menggigit bibir, tiba-tiba badannya melingkari kembali tubuh Cia Siau-hong satu lingkaran, mata pedang sekali lagi meninggalkan bekas darah yang melingkar di atas tengkuk Cia Siau-hong, ini membuat ia tampak lebih indah, tapi keindahan yang mengenaskan dan mengerikan hati orang.

   "Pedang ini adalah sebilah pedang yang tajam!", kata Hee-ho Seng kemudian.

   "Ya, aku mengerti!"

   "Asal aku melingkari tengkuk tiga kali lagi, maka batok kepalamu segera akan rontok ke tanah"

   "Aku tahu!"

   "Kalau begitu seharusnya kaupun musti tahu karena apa ia berbuat demikian?"

   "Aku tak tahu!"

   "Ia berbuat demikian karena kau!", teriak Hee-ho Seng keras-keras. Suaranya gemetar semakin keras, bahkan tangan dan kakinya ikut menggigil keras.

   "Meskipun kawin denganku, tapi dalam hatinya hanya ada kau, tahukah kau selama hidupmu ini sudah berapa banyak perkumpulan yang hancur di tanganmu? Sudah berapa pasang suami isteri yang cerai berai karena perbuatanmu?"

   Tiba-tiba wajah Cia Siau-hong mulai mengejang keras, mengejang karena penderitaan yang hebat.

   Bila seorang lelaki ternyata dicintai seorang perempuan, apakah kesalahan ini terletak pada pihaknya? Jika seorang perempuan telah mencintai seorang laki-laki yang pantas ia cintai, apakah perbuatannya inipun salah? Jika mereka tidak bersalah, siapa pula yang bersalah? Ia tak sanggup menjawab, diapun tak dapat menjelaskan.

   Kombinasi dari sepasang pedang dua bersaudara Wan telah mengunci Thi Kay-seng di posisinya semula.

   Sudah sepuluh keturunan keluarga Wan menjagoi dunia persilatan, nama besar mereka tak pernah runtuh, tentu saja ilmu pedang keluarga mereka telah mengalami penempaan yang matang, perduli siapapun ingin mematahkan kerja sama dari sepasang pedang mereka, hal ini tak mungkin bisa dilakukan secara mudah.

   Malahan beberapa kali Thi Kay-seng sudah hampir mampu untuk melancarkan serangan yang berhasil mematahkan lawan.

   Ilmu Toh-mia-cap-sa-kiam yang dimilikinya seakan-akan merupakan ilmu pedang tandingan dari ilmu pedang semacam itu, asal ia pergunakan jurus yang "ke empat belas", niscaya kerja sama sepasang pedang itu akan hancur berantakan.

   Akan tetapi ia selalu tidak mempergunakan jurus pedang tersebut.

   Ia terlalu angkuh.

   Bagaimanapun juga jurus pedang itu merupakan hasil ciptaan Cia Siau-hong, padahal antara dia dengan Cia Siau-hong masih ada persoalan yang harus diperhitungkan.

   Walaupun ia tak dapat membiarkan Cia Siau-hong dicelakai orang lantaran terdesak oleh jurus ciptaannya itu akan tetapi diapun tak dapat menggunakan jurus itu untuk melukai orang.

   Selamanya dia adalah seseorang yang mengerti akan pertarungan.

   Sayangnya Toh-mia-cap-sa-kiam (tiga belas pedang pencabut nyawa) kekurangan satu jurus seperti melukis naga yang tidak diberi mata, sekalipun tampak hidup, sayangnya sama sekali tak berkekuatan.

   Sewaktu bertarung melawan Cia Siau-hong tadi, ia telah mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya, sekarang tenaganya kian lama kian lemah dan tak tahan, serangan-serangannya juga makin lama semakin macet karena dibendung semua oleh dua bersaudara Wan.

   Cho Han-giok tertawa dingin, menyaksikan kesemuanya itu, ia sudah tak sudi untuk turun tangan lagi, anehnya para piausu dari perusahaan Hong-ki-piaukiok pun hanya berpeluk tangan belaka, tak seorangpun di antara mereka yang bermaksud maju ke depan membantu cong piautau-nya.

   Cahaya pedang berkilauan, di atas leher Cia Siau-hong telah bertambah lagi dengan beberapa buah luka berdarah, kali ini mata pedang tersebut mengiris lehernya lebih dalam, darah segar telah mengucur keluar dan membasahi seluruh pakaiannya.

   "Mau bicara tidak?", bentak Hee-ho Seng sambil menatapnya tajam-tajam.

   "Bicara apa?"

   "Asal kau katakan dimanakah ia berada sekarang, segera kuampuni selembar jiwamu"

   Sinar mata Cia Siau-hong dialihkan ke tempat kejauhan sana, seakan-akan sama sekali tidak melihat akan orang yang berada dihadapannya ini. Lewat lama sekali, pelan-pelan ia baru berkata.

   "Kalau memang dalam hatinya tiada kau, buat apa kau mencari dirinya? Setelah ketemu, apa pula gunanya?"

   Otot hijau di atas jidat Hee-ho Seng telah menonjol keluar, peluh dingin setetes demi setetes meleleh keluar.

   "Apalagi akupun tak ingin kau mengampuni jiwaku", kata Cia Siau-hong lagi.

   "kalau ingin membunuhku, kau masih belum pantas!"

   Hee-ho Seng membentak marah, tiba-tiba pedangnya di dorong ke muka menusuk tenggorokan Cia Siau Hong.

   Akan tetapi baru saja pedang itu bergerak, tiba-tiba terdengar "Plaaaak....", mata pedang tersebut tahu-tahu sudah dijepit oleh sepasang telapak tangan Cia Siau-hong.

   Hee-ho Seng ingin mencabut pedangnya, namun tak berhasil mencabutnya hingga terlepas.

   Diapun tahu tenaga dalam serta ilmu pedang yang dimilikinya telah peroleh kemajuan yang pesat, semenjak kalah di tangan Yan Cap-sa, ia benar-benar telah manfaatkan setiap kesempatan untuk berlatih diri dengan tekun, sayangnya ia masih belum bisa menandingi kehebatan dan kesempurnaan dari Cia Siau-hong.

   Bahkan Cia Siau-hong yang sudah terluka parahpun tak sanggup ditandingi.

   Ia telah menyadari bahwa dirinya jangan harap bisa menandingi Cia Siau-hong selama hidup, baik di dalam bagian manapun.

   Menyuruh seseorang mengakui akan kekalahan serta kegagalan dirinya sendiri bukanlah suatu pekerjaan yang gampang, setelah sampai pada saat tak bisa tidak harus mengakuinya, perasaan tersebut bukan hanya rasa malu dan marah saja, bahkan rasa sedih yang meluap, semacam rasa sedih yang penuh penderitaan dan keputus-asaan.

   Di atas wajahnya bukan hanya basah oleh keringat saja, air mata ikut jatuh berlinang.

   Di sisi tubuhnya masih ada seseorang sedang menghela napas.

   Dengan langkah yang pelan, Cho Han-giok telah mendekatinya, di tengah helaan napasnya terkandung pula rasa simpatik dan kecewa.

   "Seandainya tidak terdapat seorang manusia romantis yang tak berperasaan macam dia, enso tentu dapat menjaga harga dirinya sebagai seorang perempuan, saudara Hee-ho pun tak akan menelantarkan ilmu silat karena hatinya selalu gundah dan tak tenang. Dengan kecerdasan serta ilmu pedang warisan keluarga Hee-ho, belum tentu kau tak bisa menandingi Cia Siau-hong dari perkampungan Sin-kiam-san-ceng"

   Apa yang dia katakan memang merupakan suatu kenyataan.

   Setia atau tidaknya seorang istri yang dikawini seorang pria, seringkali akan menentukan pula nasib kehidupan selanjutnya di dunia ini.

   Hee-ho Seng menggigit bibirnya kencang-kencang, perkataan itu menyinggung secara telak hatinya yang sakit dan terluka.

   Cho Han-giok kembali tertawa, katanya.

   "Untung saja laki-laki romantis yang tak berperasaan inipun seperti juga orang lain, hanya memiliki dua belah tangan"

   Dalam telapak tangannya telah ada pedang. Ia tersenyum, sambil menempelkan ujung pedangnya ke atas tenggorokan Cia Siau-hong dia mengejeknya.

   "Sam sauya, apalagi yang hendak kau ucapkan?"

   Apa lagi yang bisa dikatakan oleh Cia Siau-hong? "Kalau memang demikian, kenapa kau masih belum juga mengendorkan tanganmu?", kata Cho Han-giok.

   Cia Siau-hong tahu, asal tangannya dikendorkan maka pedang Hee-ho Seng segera akan menusuk ke atas tenggorokannya.

   Tapi sekalipun ia tidak lepas tangan, juga apa gunanya? Bila seseorang telah tiba pada saatnya untuk melepaskan tangan tapi masih belum juga lepas tangan, itu namanya mencari penyakit buat diri sendiri.........

   Hanya orang paling bodoh yang akan melakukan perbuatan semacam ini.

   Cia Siau-hong bukan orang tolol, sekarang ia telah tiba pada saat harus melepaskan tangannya.

   Setelah tiba pada saat seperti ini, ia masih belum bisa melupakan, siapa pula yang masih belum dapat dilupakan? Ayah-ibunyakah? Buyung Ciu-ti kah? Atau Siau Te? Tiba-tiba cahaya pedang di tangan Thi Kay-seng memencar ke depan, seketika dua bersaudara Wan terdesak mundur ke belakang.

   Akhirnya ia menggunakan juga jurus pedang itu! Jurus ke empat belas dari ilmu Toh-mia-cap-sahkiam.

   Cahaya pedang berkelebat lewat bagaikan bianglala, hawa pedang terasa menusuk tulang sumsum, tahu-tahu ujung pedang itu telah tiba di depan mata Cho Han-giok serta Hee-ho Seng.

   Tak seorang manusiapun sanggup menghadapi serangan ini.

   Mau tak mau mereka harus mundur, mundur dengan cepatnya.

   Pedang di tangan Hee-ho Seng telah terlepas pula dari genggamannya.

   Sepasang mata Thi Kay-seng menatap ke arah mereka, sebaliknya mulut bertanya kepada Cia Siau-hong.

   "Kau masih sanggup membalas serangan?"

   "Aku belum mati!", jawab Cia Siau-hong.

   "Jurus pedang tadi adalah jurus pedang ciptaanmu, kugunakan jurus tersebut oleh karena kau harus menolongmu!"

   Cia Siau-hong dapat memahami maksud perkataannya. Seandainya bukan untuk menyelamatkan Cia Siau-hong sampai matipun dia tak akan mempergunakan jurus pedang tersebut.

   "Oleh sebab itu kau tak usah berterima kasih kepadaku", kata Thi Kay-seng lebih jauh.

   "karena yang menyelamatkan jiwamu adalah ilmu pedang ciptaanmu, bukan aku!"

   Tiba-tiba Cho Han-giok tertawa dingin, katanya.

   "Sekarang kau menyelamatkan jiwanya, sebentar siapa pula yang akan menyelamatkan jiwamu?"

   Thi Kay-seng memutar kepalanya dan memandang para piausunya.

   Di antara mereka kebanyakan adalah rekan-rekan yang hidup senang bersama menempuh bahaya dan sengsara bersama dirinya, banyak pula di antara mereka yang merupakan jago-jago pilihan yang berpengalaman luas dalam pelbagai pertarungan.

   Akan tetapi ketika sinar matanya menyapu wajah mereka semua, ditemukan bahwa setiap wajah mereka diliputi sikap yang kaku dan tanpa emosi.

   Setiap orang seakan-akan telah berubah menjadi sebatang kayu balok.

   Perasaan Thi Kay-seng mulai tenggelam, tiba-tiba hatinya diliputi oleh perasaan gusar dan ngeri yang sukar dilukiskan dengan kata-kata.

   Akhirnya ia telah memahami satu hal, semua piausu di bawah panji perusahaannya telah dibeli orang untuk menghianati dirinya.

   Perusahaan Hong-ki-piaukiok pada hakekatnya sudah musnah dan lenyap dari muka bumi.

   Menyaksikan perubahan mimik wajahnya yang aneh dan diliputi rasa gusar serta ngeri itu, Cho Han-giok segera tertawa terbahak-bahak, sambil menuding ke arahnya dengan ujung pedang, ia berseru.

   "Bunuh!"

   "Barang siapa dapat membunuh mereka berdua akan memperoleh hadiah yang besar!"

   "Siapa berhasil mendapat batok kepala mereka mendapat pahala dan hadiah yang cukup menghidupkan keluarga seumur hidup!"

   "Batok kepala Thi Kay-seng bernilai lima ribu tahil perak, batok kepala Cia Siau-hong bernilai sepuluh ribu tahil perak!"

   Serentak para piausu yang berada di sekeliling tempat itu meloloskan senjatanya.

   Di bawah cahaya lampu merah yang membara, sinar pedang terasa merah menyala bagaikan darah.

   Cia Siau-hong dan Thi Kay-seng berdiri bersanding, dengan dingin memandang cahaya golok yang sedang berputar dan menari-nari tertuju ke tubuh mereka.

   Seandainya kejadian ini berlangsung di hari-hari biasa pada hakekatnya mereka tak akan memandang sebelah matapun terhadap orang-orang itu, tapi sekarang satu di antara mereka telah terluka parah sedang yang lain sudah lemah kehabisan tenaganya, sekalipun mereka bertenaga untuk membantai sampai habis manusia-manusia pengkhianat tersebut, mereka tak akan mampu menghadapi tiga bilah pedang Cho Han-giok serta dua bersaudara dari keluarga Wan.

   Jika seseorang sudah tiba pada saatnya menghadapi kematian, apa pula yang bakal mereka pikirkan? Tiba-tiba Cia Siau-hong bertanya.

   "Apa yang sedang kau pikirkan sekarang?"

   Thi Kay-seng termenung sebentar, lalu menjawab.

   "Aku merasa sangat tak puas, kenapa nilai dari batok kepalamu lebih mahal satu kali lipat dibandingkan batok kepalaku?"

   Mendengar itu Cia Siau-hong segera tertawa terbahak-bahak.

   Di tengah gelak tertawa yang amat keras itu, mendadak dari luar dinding pekarangan melompat masuk sesosok tubuh manusia yang langsung menerjang masuk ke tengah kilatan cahaya golok.

   Sambil mengacungkan ibu jari kanan ke langit dan ibu jari kiri ke tanah, ia berteriak keras.

   "Thian-tee-yu-kiang, Wi-wo-to-cun! (Baik alam semesta maupun alam baka, hanya akulah yang dipertuan)"

   OoooOOOOoooo Bab 25. Rahasia Besar Hong-Ki-Piaukiok "Thian-tee-yu-kiang, Wi-wo-to-cun!"

   Delapan huruf tersebut seakan-akan merupakan sebuah mantera yang misterius.

   Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dalam waktu singkat semua cahaya golok yang sedang menari-nari di angkasa itu sirap dan lenyap tak berbekas.

   Puluhan orang dengan puluhan pasang mata sama-sama memandang ke arahnya dengan sinar mata terperanjat.

   Paras mukanya seperti juga paras muka Cia Siau-hong begitu pucat, lelah dan murung, tapi membawa niat serta tujuan yang teguh bagaikan baja.

   "Kau?"

   Cia Siau-hong, Thi Kay-seng, Cho Han-giok dan dua bersaudara Wan, lima orang sama-sama mengucapkan sepatah kata yang sama hampir bersamaan waktunya, meski nada suara mereka jauh berbeda.

   Suara Thi Kay-seng penuh mengandung rasa kaget dan penasaran.

   Cho Han-giok serta dua bersaudara Wan bukan cuma kaget dan keheranan saja, merekapun amat gusar.

   Bagaimana dengan Cia Siau-hong? Siapapun tak dapat melukiskan bagaimanakah persoalannya ketika mengucapkan kata-kata tersebut, mereka pun tak tahu apa yang dirasakannya ketika itu? Sebab orang ini ternyata bukan lain adalah Siau Te.

   Siapa pula yang tahu bagaimanakah perasaan Siau Te saat ini? Apa pula yang sedang dirasakan olehnya? Dengan suara lantang Cho Han-giok telah membentak keras.

   "Mau apa kau datang kemari?"

   "Kemari untuk minta kepada kalian agar melepaskan orang"

   "Melepaskan siapa? Thi Kay-seng? Ataukah Cia Siau-hong?"

   "Kedua-duanya!"

   Cho Han-giok tertawa dingin.

   "Dengan mengandalkan apa kau menyuruh kami lepaskan orang? Kau tahu atas perintah siapakah kami bertindak demikian?"

   Siau Te tertawa dingin pula, mendadak ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah lencana kemala yang berwarna hijau, lencana yang diikat dengan segumpal serat tali berpanca warna.

   Paras muka Cho Han-giok segera berubah hebat.

   Tentu saja Cho Han-giok mengenali benda itu asal ditinjau dari mimik wajahnya, maka bisa diketahui bahwa ia pasti kenal dengan benda tersebut.

   Paras muka orang lainpun sama seperti mimik wajahnya, di tengah rasa kejut dan heran membawa pula rasa ngeri yang tebal.

   Siau Te sama sekali tidak memandang lagi ke arah mereka, walau hanya sekejappun, pelan-pelan ia mundur ke belakang, mundur ke samping Cia Siau-hong, lalu berbisik.

   "Mari kita pergi!"

   Cia Siau-hong berpaling, memandang ke arah Thi Kay-seng, kemudian katanya pula.

   "Kau juga akan pergi?"

   Thi Kay-seng termenung membungkam diri, akhirnya ia mengangguk.

   Ia terpaksa harus pergi.

   Untuk melepaskan hasil perjuangannya selama banyak tahun, serta mengakui kekalahan dirinya, bukan saja hal ini teramat sulit, lagi pula amat menyiksa batin.

   Tapi diapun tahu bahwa dirinya sudah tiada pilihan lain lagi.

   Untuk melepaskan seekor ikan besar yang sudah terpancing dari tangan sendiri, hal itupun termasuk suatu kejadian yang amat menyiksa batin.

   Tapi tak seorangpun berani menghalangi mereka, tak seorangpun berani berkutik dari tempat semula.

   Lencana kemala bertali serat panca warna itu meski tidak memiliki kekuatan yang bisa mengejar sukma atau perenggut nyawa, tapi melambangkan suatu kekuatan tertinggi untuk menguasai, merampas dan membunuh siapapun juga.

   Di luar pintu ada kereta.

   Kudanya kuda cepat, keretanya kereta baru.

   Tentu saja kesemuanya itu telah dipersiapkan Siau Te sebelumnya, ketika ia memutuskan untuk melakukan suatu perbuatan sebelumnya, ia pasti mempersiapkan segala sesuatunya dengan cermat dan teliti.

   Kereta kuda berjalan kencang, namun ruangan kereta terasa tenang dan nyaman.

   Cia Siau-hong bersandar di sudut ruang kereta, mukanya pucat pias karena kehilangan darah terlalu banyak, mukanya lebih lagi loyo dan kusut.

   Meski demikian sinar matanya memancarkan cahaya tajam.

   Ia gembira, bukan dikarenakan ia masih hidup lebih jauh, melainkan karena ia tiba-tiba mempunyai rasa percaya lagi terhadap orang lain.

   Terhadap seorang yang paling dikuatirkan dan diperhatikan, ia telah meletakkan semua tumpuan harapannya di atas tubuh orang ini.

   Siau Te sebaliknya sedang menatap Thi Kay-seng, tiba-tiba ia berkata pelan.

   "Sebenarnya aku bukan datang untuk menolongmu, akupun tidak ingin menolongmu!"

   "Aku tahu!", jawab Thi Kay-seng.

   "Aku menolongmu karena aku tahu bahwa dia tak akan membiarkan kau tinggal seorang diri di sini, karena kalian bukan saja telah bertarung bersama, lagi pula kaupun telah menyelamatkan dirinya! Perduli bagaimanapun juga itu semua adalah urusan kalin, urusan yang sama sekali tiada hubungannya dengan diriku"

   "Aku mengerti!"

   "Oleh karena itu sekarang kau masih bisa mencariku untuk membuat perhitungan dalam setiap saat yang kau inginkan!"

   "Membuat perhitungan apa?"

   "Panji perusahaanmu......"

   "Hong-ki-piaukiok telah hancur dan musnah, darimana lagi datangnya panji perusahaan?", tukas Thi Kay-seng. Ia tertawa, suara tertawanya penuh mengandung rasa sedih dan duka, katanya lebih lanjut.

   "Jika panji perusahaanpun sudah tak ada, perhitungan apa pula yang musti kulakukan?"

   "Masih ada sedikit perhitungan yang musti dilakukan!", tiba-tiba Cia Siau-hong berkata.

   "Perhitungan soal apa lagi?"

   "Sekuntum bunga mutiara!"

   Ia menatap wajah Thi Kay-seng lekat-lekat, kemudian katanya lagi.

   "Betulkah kau yang menyuruh orang membeli kuntum bunga mutiara tersebut?"

   "Benar!", jawab Thi Kay-seng tanpa pikir ataupun dipertimbangkan lebih jauh.

   "Aku tak percaya!", kata Cia Siau-hong.

   "Aku tak pernah berbohong!"

   "Bagaimana dengan Thi Gi? Apakah ia berbohong juga?"

   Thi Kay-seng segera menutup mulutnya rapat-rapat. Cia Siau-hong kembali bertanya.

   "Apakah perempuan itu benar-benar adalah perempuanmu? Apakah apa yang diucapkan Thi Gi semuanya adalah kata-kata yang sejujurnya?"

   Thi Kay-seng masih menampik untuk menjawab. Tiba-tiba Siau Te menyela.

   "Aku telah berjumpa lagi dengan perempuan itu!"

   "Oya?", seru Cia Siau-hong.

   "Ia telah mencariku dan memberi sepucuk surat kepadaku, ia minta kuserahkan surat kepadamu bahkan harus diserahkan kepadamu sendiri, karena ini surat tersebut adalah suatu rahasia yang sangat besar"

   Setelah berhenti sejenak, sepatah demi sepatah kata ia melanjutkan.

   "Rahasia dari perusahaan Hong-ki-piaukiok!"

   "Mana suratnya!"

   "Di sini!"

   Surat itu disimpan dalam sebuah sampul yang amat rapat jelas isi surat itu adalah sebuah rahasia yang pasti akan mengejutkan hati setiap orang yang mengetahuinya.

   Tetapi Cia Siau-hong sama sekali tidak melihat isi surat itu, karena sewaktu Siau Te mengeluarkannya, secepat kilat Thi Kay-seng telah menyambarnya dan merampas secara paksa, setelah itu sepasang telapak tangannya digosokkan keras-keras, surat itu segera berubah menjadi hancuran kertas yang amat kecil, ketika terhembus angin segera beterbangan di angkasa bagaikan kupu-kupu yang sedang menari-nari.

   Sambil menarik muka, Cia Siau-hong segera berkata.

   "Tindakan semacam itu semestinya bukan tindakan dari seorang lelaki sejati"

   "Aku memang bukan seorang lelaki sejati!", jawab Thi Kay-seng tenang.

   "Akupun bukan!", sambung Siau Te.

   "Kau.....!"

   "Kalau seorang lelaki sejati, dia tak akan merampas surat orang lain, diapun tak akan mencuri lihat surat orang lain, kau bukan seorang laki-laki sejati, untungnya akupun bukan"

   Paras muka Thi Kay-seng berubah hebat.

   "Kau telah membaca isi surat itu?", serunya. Siau Te segera tertawa.

   "Bukan cuma membaca saja bahkan setiap patah kata telah kuingat semua dengan jelasnya!"

   Kulit muka Thi Kay-seng mengejang keras seakan-akan lambungnya di hantam orang keras-keras secara tiba-tiba membuat sekujur tubuhnya menjadi lemas dan roboh terkapar di tanah.

   Sesungguhnya rahasia apakah yang tercantum dalam surat itu? Kenapa Thi Kay-seng menunjukkan sikap yang begitu jeri dan ketakutan? Aku bukan perempuan peliharaan Thi Kay-seng.

   Sebenarnya aku ingin merayunya, sayang ia terlalu keras kepala, hakekatnya aku tak berhasil menemukan sedikit kesempatanpun.

   Untung saja Thi Tiong-khi telah tua, ia tidak memiliki lagi semangat dan kegagahannya seperti semasa muda dahulu, makin lama ia mulai semakin tertarik dengan perempuan-perempuan cantik.

   Aku selamanya berparas cantik, maka akupun berubah menjadi perempuan peliharaannya.

   Asal dapat menghindari Hee-ho Seng, lelaki yang lebih tua atau lebih jelekpun aku mau.

   Lelaki yang paling memuakkan hatiku di dunia ini adalah Hee-ho Seng.

   Asal congpiautau dari perusahaan Hong-ki-piaukiok bersedia menerimaku dan memeliharaku tentu saja selama hidup Hee-ho Seng tak akan menemukan diriku, apalagi meski Thi Tiong-khi sudah tua, sikapnya terhadap diriku ternyata baik sekali, belum pernah ia mendesak kepadaku untuk menanyakan asal usulku.

   Thi Kay-seng bukan saja lelaki sejati, diapun seorang anak yang berbakti., asal bisa membuat ayahnya bergembira, pekerjaan apapun bersedia ia lakukan, bahkan menghadiahkan sekuntum bunga mutiara serta sepasang gelang untukku.

   Cuma sayang kehidupan yang baik dan penuh kebahagiaan ini tak berlangsung terlalu lama, walaupun Hee-ho Seng tidak menemukan diriku, Buyung Ciu-ti justru telah menemukan aku.

   Ia mengetahui rahasiaku ini, maka digunakannya hal tersebut untuk mengancamku, memerintah kepadaku untuk melakukan pekerjaan baginya.

   Aku tidak bisa tidak menyanggupi, akupun tidak berani tidak menyetujui.

   Secara diam-diam kubantu dirinya untuk memelihara piausu dari perusahaan Hong-ki-piaukiok, menjadi mata-mata baginya untuk menyelidiki berita tentang perusahaan, ia merasa kurang cukup, ia minta kepadaku untuk mengadu domba hubungan mereka ayah dan anak, serta membantunya untuk melenyapkan Thi Kay-seng.

   Walaupun Thi Tiong-khi amat menuruti semua perkataanku, hanya dalam persoalan ini, walau apapun yang kukatakan kepadanya, ia tak mau mempercayai ataupun menurut.

   Oleh sebab itu Buyung Ciu-ti menitahkan kepadaku untuk mencampuri araknya dengan racun.

   Malam itu hujan dan angin turun dengan kencangnya, ketika kusaksikan Thi Tiong-khi meneguk habis arak racunku, sedikit banyak hatiku merasa sangat tak enak, tapi aku tahu bahwa rahasia ini tak akan diketahui oleh siapapun, sebab mereka yang bertugas menjaga halaman belakang pada malam itu telah disuap pula oleh pihak Thian-cun.

   Meskipun setelah peristiwa itu Thi Kay-seng merasa amat curiga, namun ia tak berhasil mendapatkan sedikit buktipun.

   Untuk melindungi nama baik ayahnya, sudah barang tentu ia tak akan menceritakan kejadian ini kepada siapapun.

   Tapi sekarang aku telah menceritakan kesemuanya.

   Karena aku harus membuat kau tahu, kekejaman dan kekejian Thian-cun sungguh menakutkan, sekalipun aku bukan seorang perempuan baik-baik, tapi demi kau, apapun aku rela melakukannya.

   Asal selamanya kau dapat teringat akan hal ini, persoalan yang lain aku tak ambil perduli.

   Isi surat itu panjang sekali, tapi Siau Te dapat menghapalkannya di luar kepala tanpa ketinggalan sebuah tulisanpun.

   Daya ingatannya selama ini memang sangat baik.

   Sehabis mendengarkan isi surat tersebut, air mata telah membasahi seluruh wajah Thi Kay-seng.

   Cia Siau-hong serta Siau Te pun merasakan hatinya amat sedih dan tersiksa.

   Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba Cia Siau-hong bertanya dengan suara lirih.

   "Di manakah orangnya sekarang?"

   "Sudah pergi!", jawab Siau Te.

   "Kau tidak bertanya kepadanya hendak pergi kemana?"

   "Tidak!"

   Tiba-tiba Thi Kay-seng berkata pula.

   "Akupun harus pergi, kaupun tak usah bertanya kepadaku hendak kemana, karena walaupun kau tanyakan, akupun tak akan menjawab pertanyaanmu itu!"

   Tentu saja dia harus pergi.

   Ia masih banyak urusan yang harus diselesaikan, urusan yang mau tak mau harus diselesaikan.

   Cia Siau-hong cukup memahami situasinya, diapun memahami perasaannya, maka tak sepatah katapun yang ia ucapkan.

   Tiba-tiba Thi Kay-seng mengajukan sesuatu pertanyaan yang membuat ia merasa tercengang dan di luar dugaan.

   "Inginkah kau minum arak?"

   Cia Siau-hong tertawa. Tertawa itu terlalu dipaksakan, tapi suatu pertanyaan yang amat riang.

   "Kau juga ingin minum?"

   "Bolehkah aku minum sedikit?"

   "Tentu saja boleh!"

   "Kalau memang begitu, kenapa kita tidak pergi minum barang dua cawan.....?"

   "Dalam keadaan seperti ini, masih mungkinkah buat kita untuk minum arak?"

   "Kalau belinya susah, dapatkah kita pergi mencuri?"

   Cia Siau-hong manggut-manggut.

   "Dapat!"

   Thi Kay-seng ikut tertawa. Siapapun tak tahu senyuman macam apakah itu.

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Seorang laki-laki sejati tak akan mencuri arak milik orang untuk di minum, juga tak akan minum arak hasil curian, untung saja aku bukan seorang lelaki sejati, kau juga bukan!"

   Malam sudah semakin kelam, suasana amat sepi dan hening, paling tidak sebagian besar suasana waktu itu sudah sepi.

   Di tengah malam yang hening dan sepi semacam ini, biasanya hanya ada dua macam manusia yang merasa tidak tenang dan tidak aman......

   Mereka adalah manusia yang karena berjudi telah berubah menjadi seorang setan judi.

   Serta orang yang karena minum arak telah berubah menjadi setan arak.

   Akan tetapi bahkan dua jenis manusia yang biasanya selalu bergadang dan keliaran di tengah malam butapun, kini ikut menjadi sepi dan hening.

   Oleh karena itu, arak yang ingin mereka minum terpaksa didapatkan dengan jalan mencuri.

   Mereka tidak mencuri bohong-bohongan!.

   Mereka benar-benar pergi mencuri! "Kau pernah mencuri arak?"

   "Apakah aku belum pernah mencurinya?"

   "Aku pernah!", agaknya Cia Siau-hong merasa amat bangga dengan prestasinya itu.

   "usiaku belum genap sepuluh tahun, aku sudah mulai mencuri arak untuk di minum!"

   "Mencuri arak milik siapa?"

   "Mencuri arak milik bapakku sendiri!", jawab Cia Siau-hong sambil tertawa.

   "loyacu kami yang ada di rumah itu meski tak sering minum arak, ternyata ia selalu menyimpan arak yang berkwalitet paling baik, mungkin arak-arak yang disimpannya itu jauh lebih baik daripada pedang-pedang yang kami simpan!"

   "Kalau memang begitu banyak arak bagus yang disimpan di rumahmu, mengapa perkampungan yang kalian huni itu tidak dirubah saja namanya menjadi perkampungan Sin-ciu-san-ceng (perkampungan arak sakti)?", kata Thi Kay-seng sambil tertawa tergelak. ~Bersambung ke Jilid-16 Jilid-16

   "Sebab di antara keluarga yang menghuni dalam perkampungan kami, kecuali aku seorang, yang lain adalah lelaki-lelaki sejati, kuncu semua! Tak ada yang menjadi setan arak!"

   "Untung saja kau bukan setan arak!", kata Thi Kay-seng dengan cepat sambil tertawa. Cia Siau-hong ikut tertawa.

   "Ya, untung saja kaupun bukan!"

   Di tengah malam yang sepi dan hening, di tengah jalan raya yang lengang dan sunyi, ternyata masih terdapat dua gelintir manusia yang belum tenang.

   Ternyata ke dua orang manusia itu masih bergelak tertawa masih menikmati arak curian dengan gaduhnya.........

   Ya, mereka sama sekali tak tenang, sama sekali tak hening, seakan-akan larutnya malam dan sepinya suasana sama sekali tidak berpengaruh banyak buat mereka.

   Karena hati mereka berduapun tidak tenang.

   ooooOOOOoooo Bab 26.

   Terluka Parah Kereta kuda sudah berhenti di tempat kejauhan, merekapun sudah pergi amat jauh.

   "Walaupun arak yang disimpan dalam rumah kami termasuk arak bagus, sayang sekali baru dua kali aku mencuri telah tertangkap basah", Cia Siau-hong ternyata masih tertawa, seakan-akan sedang menceritakan suatu sejarahnya yang gemilang dan patut dibanggakan.

   "oleh karena itu untuk selanjutnya terpaksa aku harus mencuri milik orang lain"

   "Mencuri milik siapa?"

   "Di seberang pantai telaga Liok-sui-oh terdapat sebuah warung arak, pemiliknya juga she Cia, sejak pertama kali aku sudah tahu kalau dia adalah seorang yang sangat baik"

   "Maka dari itu kau pergi mencuri miliknya!"

   "Mencuri angin jangan mencuri rembulan, mencuri hujan jangan mencuri salju, mencuri orang baik, jangan mencuri orang jahat!"

   Mimik wajah Cia Siau-hong ketika mengucapkan kata-kata tersebut bagaikan mimik wajah guru sedang mengajar muridnya.

   "Itulah nasehat yang dikuatirkan raja pencuri dan nenek moyang pencuri untuk kita semua, jika ingin menjadi seseorang pencuri cilik, maka jangan lupa untuk menghapalkan kata-kata nasehat tersebut di dalam hatinya"

   "Sebab sekalipun di tangkap orang baik juga tak akan luar biasa akibatnya, lain kalau ditangkap orang jahat, bisa remuk semua tulang di dalam tubuhmu!"

   "Bukan cuma remuk semua tulangmu, akibatnya benar-benar bisa luar biasa sekali!"

   "Tapi orang baikpun juga pandai menangkap pencuri?"

   "Oleh karena itulah, lagi-lagi aku tertangkap basah", Cia Siau-hong sedang menghela napas.

   "sekalipun tidak luar biasa akibatnya, namun akupun mendapat sebuah pelajaran!"

   "Pelajaran apa?"

   "Kalau ingin mencuri arak untuk di minum, lebih baik biarkan orang lain yang pergi mencuri, sedangkan dirimu paling banyak hanya berdiri di luar sambil memperhatikan situasi!"

   "Baik, kali ini biar aku yang mencuri, kau berjaga-jaga saja di luar rumah!"

   Thi Kay-seng benar-benar tidak mencuri arak, benda apapun tak pernah dicuri olehnya, tapi perduli apakah yang di suruh curi, ia tak pernah mengalami kesulitan.

   Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya mungkin tak bisa dikatakan yang terbaik, tapi jika kau memiliki dua ratus guci arak yang disembunyikan di bawah pembaringan, sekalipun telah dicuri sampai ludas olehnya, belum tentu kau akan menyadari hal ini.

   Jarang sekali ada orang yang menyembunyikan guci araknya di kolong pembaringan.

   Hanya di gedung-gedung besar, rumah-rumah orang kaya baru di simpan arak wangi, seringkali gedung-gedung megah itu memiliki gudang arak yang khusus.

   Untuk mencuri arak yang disimpan dalam gudang arak, sudah barang tentu jauh lebih gampang daripada mencuri guci arak yang di simpan di kolong pembaringan.

   Kepandaian Thi Kay-seng untuk mencuri arak meski tak bisa dibandingkan kepandaian Cia Siauhong, takaran-takaran araknya juga selisih tak sedikit.

   Oleh karena itu, yang mabuk terlebih dulu tentu saja dia.

   Entah mabuk sungguh-sungguh? Atau mabuk pura-pura? Mabuk seluruhnya? Atau mabuk setengah? Kata-kata yang diucapkan kenyataannya jauh lebih banyak daripada di hari-hari biasa, lagi pula apa yang di bicarakan adalah kata-kata yang di hari-hari biasa tak pernah dikatakan olehnya.

   Tiba-tiba Thi Kay-seng bertanya.

   "Saudara yang bernama Siau Te, apakah benar-benar bernama Siau Te......?"

   Cia Siau-hong tak dapat menjawab, pun tak ingin menjawab.

   "Siau Te sesungguhnya she apa? Kau suruh dia bagaimana mesti menjawab?"

   "Tapi perduli dia bernama Siau Te atau bukan, yang pasti dia sudah bukan seorang Siau Te (adik kecil) lagi", sambung Thi Kay-seng lebih lanjut.

   "Ya, dia bukan!"

   "Sekarang dia sudah seorang lelaki sejati!"

   "Kau menganggap dia adalah seorang lelaki sejati?"

   "Aku hanya tahu, seandainya aku adalah dia, kemungkinan besar tak akan kuungkapkan isi surat itu!"

   "Kenapa?"

   "Karena akupun tahu bahwa dia adalah orangnya Thian-cun, ibunya adalah Buyung Ciu-ti!"

   Cia Siau-hong termenung sampai lama sekali, akhirnya dia menghela napas panjang.

   "Ya, dia memang sudah seorang lelaki sejati!"

   "Aku masih mengetahui juga akan satu persoalan!", kata Thi Kay-seng kembali.

   "Persoalan apa?"

   "Ia datang menolongmu, kau merasa sangat gembira bukan dikarenakan ia telah menyelamatkan jiwamu, melainkan karena ia telah datang"

   Cia Siau-hong minum arak, lalu tertawa getir.

   Walaupun arak itu dingin, walaupun terasa pula sedikit getir, apa mau dikata dalam hatinya justru penuh dengan kehangatan serta luapan rasa terima kasih.

   Berterima kasih kepada seseorang yang bisa memahami suara hati serta jalan pemikirannya.

   "Ada satu hal kau boleh tak usah kuatir, aku tak akan pergi mencari Si Ko-jin lagi!", kata Thi Kayseng. Si Ko-jin adalah perempuan seperti kucing itu.

   "Karena meskipun ia berbuat salah, kesalahan itu disebabkan suatu paksaan, lagi pula ia telah menebus dosanya"

   "Tapi......", bisik Cia Siau-hong.

   "Tapi kau harus pergi mencarinya!", sambung Thi Kay-seng. Dengan suara yang keras ia melanjutkan.

   "Walaupun aku tidak pergi mencarinya, kau harus pergi mencari dirinya"

   Cia Siau-hong dapat memahami maksud hatinya.

   Meskipun Thi Kay-seng melepaskan dirinya, Buyung Ciu-ti tak akan melepaskan dirinya dengan begitu saja.

   Bahkan Cho Han-giok, dua bersaudara dari keluarga Wan, serta perusahaan Hong-ki-piaukiok pun sudah berada di bawah kekuasaan Thian-cun, dewasa ini masih ada persoalan apa lagi yang tak sanggup mereka lakukan? "Aku pasti akan pergi mencarinya!", Cia Siau-hong berjanji.

   "Selain itu masih ada pula seorang lain yang mau tak mau harus kau temui juga!"

   "Siapa?"

   "Yan Cap-sa!"

   Malam sudah kelam, udara serasa gelap gulita, inilah saat paling gelap menjelang tibanya fajar.

   Cia Siau-hong memandang ke tempat kejauhan sana, ia merasa Yan Cap-sa seolah-olah berdiri di tempat kegelapan di kejauhan sana, seakan-akan telah melebur diri dengan kesepian malam yang dingin ini.

   Ia belum pernah berjumpa dengan Yan Cap-sa tersebut.

   Seseorang yang kesepian dan dingin.

   Semacam rasa dingin, kaku dan letih yang telah merasuk ke tulang sumsum.

   Ia letih karena ia sudah membunuh terlalu banyak orang, bahkan ada di antara mereka orangorang yang tidak seharusnya di bunuh.

   Ia membunuh orang, karena ia tiada pilihan lain kecuali berbuat demikian.

   Dari dasar hatinya yang paling dalam, Cia Siau-hong menghela napas panjang.

   Ia dapat memahami perasaan semacam ini, hanya dia yang bisa memahami perasaan semacam ini paling mendalam.

   Karena diapun membunuh orang, diapun sama-sama merasa letih, pedangnya dan nama besarnya seolah-olah telah menjadi sebuah bungkusan yang selamanya tak dapat ia tanggalkan, dengan berat menindih di atas bahunya, membuat untuk napaspun tersengkal rasanya.

   Barang siapa menjadi pembunuh, seringkali akibat apakah yang akan diterimanya? Apakah dia harus mati pula di tangan orang lain? Tiba-tiba ia teringat kembali perasaan hatinya di saat menghadapi kematian tadi.

   Di detik-detik terakhir sesungguhnya apa yang telah ia pikirkan di dalam hati? "Yan Cap-sa"

   Setelah menyebutkan ke tiga patah kata ini, Thi Kay-seng yang sebenarnya sudah mabuk kepayang seolah-olah menjadi sadar kembali secara tiba-tiba. Sorot matanya pun ditujukan ke tempat kejauhan sana, lewat lama sekali pelan-pelan dia baru berkata.

   "Selama hidupmu, manusia manakah yang pernah kau jumpai dan kau anggap paling menakutkan?"

   "Dia adalah seorang asing yang belum pernah kujumpai", jawab Cia Siau-hong.

   "Orang asing tidak menakutkan!"

   Karena orang asing kalau toh tidak memahami perasaanmu, dia tak akan tahu pula titik kelemahanmu.

   Hanya seorang sahabat yang paling akrab baru akan mengetahui tentang kesemuanya ini, menanti mereka telah mengkhianati dirimu, barulah serangan mereka akan membinasakan dirimu.

   Kata-kata semacam ini sama sekali tidak ia utarakan, dia tahu Cia Siau-hong pasti dapat memahami pendapat tersebut.

   "Tapi orang asing ini justru jauh berbeda dengan orang-orang yang lain......", Cia Siau-hong menerangkan.

   "Apa perbedaannya?"

   Cia Siau-hong tak sanggup menjawab. Oleh karena tak sanggup menjawab, maka hal ini barulah sangat menakutkan. Kembali Thi Kay-seng bertanya.

   "Kau pernah menjumpainya di mana?"

   "Di suatu tempat yang sangat asing bagiku."

   Di tempat yang sangat asing itulah ia telah berjumpa dengan orang asing yang menakutkan, ia sedang berkumpul dengan seorang yang paling dekat dan akrab dengannya, sedang membicarakan ilmu pedang.

   Sedang membicarakan ilmu pedangnya.

   Apakah orang yang paling dekat dan paling akrab dengannya itu adalah Buyung Ciu-ti? "Menurut pendapatmu, orang asing tersebut mungkinkah Yan Cap-sa?", tanya Thi Kay-seng.

   "Kemungkinan besar!"

   Tiba-tiba Thi Kay-seng menghela napas panjang.

   "Dalam kehidupan ini, orang paling menakutkan yang pernah kujumpai adalah dia, bukan kau!"

   "Bukan aku?"

   "Ya, sebab bagaimanapun juga kau toh tetap seorang manusia!"

   Mungkin hal ini disebabkan karena aku telah berubah. Ucapan tersebut sama sekali tidak diutarakan oleh Cia Siau-hong, karena bahkan dia sendiri tak tahu mengapa dirinya dapat berubah.

   "Yan Cap-sa justru bukan!", kata Thi Kay-seng.

   "Dia bukan manusia?"

   "Seratus persen bukan!"

   Setelah termenung sejenak, pelan-pelan dia melanjutkan.

   "Dia tak berkawan, tiada sanak saudara, walaupun ia sangat baik kepadaku, mewariskan ilmu pedangnya kepadaku, tapi belum pernah membiarkan aku bergaul mesra dan akrab dengannya, diapun belum pernah membiarkan aku tahu darimanakah dia datang, dan hendak pergi kemana?" ......Karena dia kuatir dirinya telah mengikat hubungan batin dengan seseorang. ......Karena untuk menjadi seorang pendekar pedang pembunuh manusia dia harus tak berperasaan. Kata-kata tersebutpun tidak diutarakan Thi Kay-seng, ia percaya Cia Siau-hong pasti dapat memahaminya. Lama sekali mereka membungkamkan diri dalam seribu bahasa, tiba-tiba Thi Kay-seng berkata lagi.

   "Perubahan jurus ke empat belas dari Toh-mia-cap-sah-kiam tersebut, bukanlah hasil ciptaanmu!"

   "Apakah dia?"

   Thi Kay-seng manggut-manggut.

   "Sejak lama ia sudah tahu tentang perubahan jurus yang ke empat belas ini, lagi pula diapun sudah lama mengetahui kalau di balik ilmu pedangmu masih terdapat sebuah titik kelemahan"

   "Akan tetapi ia tidak mewariskannya kepadamu?", kata Cia Siau-hong.

   "Ya, ia tidak mewariskannya kepadaku"

   "Kau anggap dia sengaja menyembunyikannya?"

   "Aku tahu ia tidak bermaksud demikian"

   "Kau juga tahu kenapa ia bertindak demikian?"

   Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ya, karena dia kuatir setelah kupelajari perubahan jurus pedangnya itu, maka aku akan datang mencarimu"

   "Karena dia sendiripun masih belum mempunyai keyakinan yang mantap terhadap perubahan jurus itu", Cia Siau-hong menambahkan.

   "Tapi kaupun sama juga tak memiliki keyakinan untuk mematahkan jurus pedangnya itu"

   Cia Siau-hong tidak memberikan reaksi apa-apa. Thi Kay-seng menatapnya tajam-tajam, kemudian berkata.

   "Aku tahu, kau sendiripun tidak mempunyai keyakinan, sebab ketika kugunakan jurus pedang tadi, seandainya kau mempunyai keyakinan sedari tadi kau sudah turun tangan, kaupun tak akan membiarkan dirimu kena disergap serta dilukai orang"

   Cia Siau-hong masih belum mempunyai keyakinan.......

   "Kunasehati dirimu lebih baik janganlah pergi mencarinya", kata Thi Kay-seng.

   "oleh karena kalian berdua sama-sama tidak mempunyai keyakinan, aku tak ingin menyaksikan kalian berdua saling membunuh dan kedua-duanya terluka parah"

   Cia Siau-hong kembali termenung sampai lama sekali, tiba-tiba ia bertanya.

   "Seseorang di kala berada di saat menjelang kematiannya, apa yang biasanya dipikirkan?"

   "Apakah dia akan mengenang kembali semua sanak keluarganya yang paling akrab selama hidup serta kenangan-kenangan di masa lampau?"

   "Bukan!"

   Ia menambahkan.

   "Sebenarnya akupun beranggapan pasti hal-hal itu yang dipikirkan, tapi semenjak aku merasakan pula detik-detik menjelang saat kematian ternyata yang dipikirkan bukanlah persoalan-persoalan tersebut"

   "Apa yang kau pikirkan ketika itu?"

   "Jurus pedang itu, jurus pedang yang ke empat belas!"

   Thi Kay-seng termenung akhirnya dia menghela napas panjang, dalam detik yang singkat itu, apa yang dipikirkan olehnya ternyata jurus pedang itu pula.

   Seseorang apabila telah mengorbankan segenap kehidupannya untuk pedang, bagaimana mungkin di saat menjelang kematiannya dapat memikirkan persoalan yang lain? "Sebenarnya aku memang tidak memiliki keyakinan untuk mematahkan jurus pedang itu", kata Cia Siau-hong.

   "tapi pada detik yang terakhir itulah, dalam hatiku seolah-olah telah melintas suatu ingatan sekalipun jurus pedang itu tampaknya tangguh kokoh dan tak mampu dipatahkan, tapi oleh sambaran kilat yang melintas dalam benakku itulah segera mengalami perubahan!"

   "Berubah menjadi bagaimana?"

   "Berubah menjadi sangat menggelikan!"

   Jurus pedang yang sebenarnya menakutkan tiba-tiba saja berubah menjadi sangat menggelikan, perubahan semacam inilah baru benar-benar m


Pukulan Naga Sakti Karya Khu Lung/Tjan Id Pukulan Naga Sakti Karya Khu Lung/Tjan Id Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long

Cari Blog Ini