Ceritasilat Novel Online

Kisah Dua Saudara Seperguruan 8


Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Bagian 8



Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya dari Liang Ie Shen

   

   golok dan tumbak! Tiongkok bcrgcram, buminya bergetar, rakyatnya yang scdcrhana bangun, cuma dcngan golok besar, tumbak panjang, dengan toya, dengan cangkul, mereka lawan penyerang-penyerang asing.

   Tapi mereka tidak sanggup lawan scnjata api dari tentara Serikat Tinggal semangat mereka saja yang masih hidup.

   Sampai kepala perang Serikat sendiri anggap, semangat bangsa Tionghoa tak dapat dipandang enteng.

   Gie Hoo Toan bubar, mereka gagal, tapi mereka tidak tertumpas, keluar dari Kota Pakkhia, mereka mundur ke kampung-kampung, tidak lagi mereka berkumpul dalam jumlah puluhan ribu, mereka persatukan dirt dalam rombongan-rombongan dari ratusan dan puluhan.

   Api mereka tak padam, api itu terpendam di antara rakyatjelata.

   Baharu setelah mundur dari Pakkhia, Lie Lay Tiong insyaf kebenarannya nasihat dari Lioe Kiam Gim, yang cegah ia memasuki Kota Raja Dengan jatuhnya Thian-tjin dan Pakkhia, segala apa terlihat nyata, tcrtampaklah rupa asli dari kaum pengkhianat, dari pemerintah Boan juga, yang selanjutnya bekerja sama-sama pihak asing, akan basmi "bandit".

   Maka rakyat menjadi insyaf.

   Law Boe Wie jadi sangat masygul, bersama Teng Hiauw dan sejumlah kawan, ia akan hidup dalamj perantauan.

   Hanya, di mana dia sampai, masih ada orang-orang yang sambut ia dengan baik.

   Ia tetap berkumpul sama Teng Hiauw, saiidara ini anjurkan ia menikah, ia menjawab sambil mementil pedang dan bernyanyi.

   Bong Tiap? Dia tidak bersama soehengnya, pikirannya ruwet sckali.

   Dia bersedih untuk ayahnya, dia berdua buat Ham Eng.

   Ia tetap hargakan toa-soehengnya, tetapi ia tak bisa tinggal berkumpul sama soeheng itu.

   Boe Wie sendiri bungkam, ia tidak memberi nasihat pada soemoaynya ini.

   Nona Lioe telah pergi ke Shoasay, akan tengok ibunya, terus ia merawatinya sehingga ibunya menutup mata.

   Setelah selesai mengurusjenazah ibunya, ia merantau keluar Tionggoan, di tepi Sungai Tay Hek Hoo, ia tempati kuilnya Sim Djie Sin-nie, gurunya.

   Hioe Sioe sudah berusia lanjut, Bong Tiap datang baharu beberapa tahun, ia meninggal dunia.

   Maka, berada sendirian saja, Nona Lioe cukuri rambutnya, ia menjadi pendeta sebagai gurunya dulu.

   Tapi ia bukannya niekouw biasa, dia masih suka bepergian seorang diri, apabila ia hadapi kcjadian tidak pantas, ia lantas turun tangan.

   Ia hidup rukun dengan penduduk perbatasan, kepada mereka ia suka tuturkan riwayat Gie Hoo Toan.

   Penduduk yang bergembala itu scring-scring mcnyaksikan bagaimana niekouw ini, di tepinya Telaga Yam Ouw, di tanah datar, suka bersilat dengan pedang Tjeng-kong-kiam, pedangnya bersinaran dengan cahaya matahari, dia masih gagah seperti sediakala.

   Penutup Gak Koen Hiong, kepala dari Poo Tjeng Pay, pemimpin muda dari Gie Hoo Toan, yang menunjang Pemerintah Boan ialah juga pembunuh Lioe Kiam Gim dan Tjoh Ham Eng sesudahnya tentara serikat memasuki Pakkhia lantas tidak ada kabar-ceritanya.

   Hanya,ctentang konco-konconya ada cerita yang luar biasa.

   Mereka ini umumnya sibuk mengumpetkan diri, tapi banyak antaranya, yang ini hari masih segar-bugar, besoknya telah mati mendadakan, sesudah mereka mati, baru orang tahu, siapa sebenarnya adanya mereka.

   Dan orang menyangka, kematian mereka ada perbuatannya Boe Wie, Teng Hiauw dan Bong Tiap.

   Sebenarnya orang tidak pcrnah melihat Nona Lioe, tetapi kematian mereka itu disebabkan senjata rahasia, yang mengenai jalan darah, dari itu, orang sangka si nona.

   Sementara itu, ada kabar yang menarik hati mengenai Bong Tiap.

   Itu adalah kejadian selewatnya belasan tahun.

   Loo-kauwsoe Tjoh Lian Tjhong, ayahnya Ham Eng, telah pergi merantau, bcrsama-sama ia, ia ada ajak satu anak muda, yang ia bilang ada cucunya.

   Pemuda ini menyerupai Lioe Bong Tiap, dia pun gunai pedang Tjeng-hong-kiam, mesti ia tak gunai piauw Bouw-nie-tjoe, tetapi ia pandai Kim-tjhiepiauw.

   Sementara itu, sepuluh tahun lebih sejak masuknya tentara Serikat ke Pakkhia, Dinasti Aisin-Gioro telah rubuh, benar Tiongkok telah dipukang, akan tetapi, di Timur matahari toh menyingsing.

   pelahan-lahan hendak menembuskan mega hitam.

   Perubahan-perubahan terus terjadi, akan tetapi mengenai Bong Tiap, orang tidak dengar suatu apa Adalah selang tiga puluh satu tahun kemudian, di musim rontok, ketika penulis dari cerita ini bermalam dalam satu kuil di perbatasan, di sana ia berjumpa dengan satu niekouw tua, siapa kemudian ternyata Nona Lioe adanya, sedang kedua "tetamu aneh", yang datang malam-malam sambil menunggang kuda, adalah putera-puteranya Teng Hiauw.

   Malam itu, sehabis niekouw tua menutur, hujan pun berhenti, lalu ia, bersama dua tetamunya itu, tak tunggu terang tanah, sudah berangkat pergi, akan urus tugas mereka yang katanya berbahaya.

   Siangnya, penulis pun melanjutkan perjalanannya.

   Kemudian, dalam perjalanan pulang, penulis mampir pula di kuil tua itu, tapi ia tak ketemukan si niekouw tua.

   Baharu belakangan, menurut katanya satu ahli silat, di Siamsay, satu hartawan yang tinggal menyendiri, yang sudah berumur enam puluh lebih, yang masih gagah, pada suatu malam ada yang membunuhnya dan kepalanya dibawa terbang.

   Dia ini kemudian ternyata ada Gak Koen Hiong! ---ooo0dw0ooo--- Thay Kek Kie Hiap Toan Karya .

   Liang Ie Shen Saduran .

   OKT Sumber .

   TopMdi website Ebook oleh .

   Dewi KZ
http.//kangzusi.com

   atau
http.//
http.//dewikz.byethost22.com

   Serie 2 Di Kanglam, Selatan, hari-hari paling indah ada Musim Tjoen, Semi tetapi di Utara itu adalah Musim Tjioe, Rontok.

   Kapan musim ketiga ini datang, udara di Utara sebagai juga tinggi luar biasa dan hawanya istimewa menyegarkan.

   Maka di dalam masa musim itu, orang suka pergi ke tanah datar, untuk berlatih menunggang kuda atau berburu, tak perduli anak-anak orang bangsawan atau orang biasa, teristimewa mcrcka, yang gemar akan pergerakan badan.

   Dcmikian hari itu, di pcrmulaan Musim Tjioe, serombongan pemburu muncul di sebuah rimba di luar Kota Pooteng, Hoopak.

   Mereka membawa anjing, tombak cagak dan panah, gendewa dan busur.

   Mereka bukannya pemuda-pemuda bangsawan atau pemburu biasa, mereka adalah rombongannya pali la wan dan guru-guru silat dari dua keluarga, ialah yang satu dari Keluarga Soli Sian le, yang lain Keluarga Hoa Goan Thong, iparnya pihak Soh itu.

   Pihak Hoa bahanu dapat dua guru silat yang katanya liehay, dari itu pihak Soh undang mereka berburu, untuk menyaksikan kepandaiannya mereka itu.

   Berburu bukannya pekerjaan gampang dan tak mengandal melulu [pada ilmu silat, orang pun harus mengenal tabiat atau kebiasaan binatang liar yang lebih banyak bersembunyi di waktu siang dan baharulah muncul dan keliaran di waktu malam, setelah perutnya kosong.

   Dan orang pun mesti mempunyai anjing-anjing yang hidungnya tajam, untuk mencari sarang binatang alas itu.

   Rombongannya guru-guru silat to capai lelah sampai setengah harian, mereka masih belum memperoleh hasil, hingga mereka mulai tawar hati, Berkat penasaran, mereka terus mencari, sampai mereka datangi lembah-lcmbah dan gombolan-gombolan lebat.

   Beberapa ekor kelinci dan rase tidak menggembirakan mereka.

   Akhir-akhirnya, mereka dapati sebuah guha atau kedung, yang dalam.

   Anjing-anjing pemburu menghampiri mu lut guha, mereka menggonggong, berulang-ulang, lain tak lama, mereka miindur sambil goyang-goyang ekornya, rupanya mereka jerih.

   Menampak demikian, orang mulai bersemangat.

   Mereka percaya, guha itu mesti ada "orangnya".

   Satu guru silat, dengan tombak cagak yang panjang, hampirkan guha itu, untuk menusuk ke dalamnya.

   Atau dengan tiba-tiba, segera tcrdengar suara mengaung yang hebat, gunung seperti tergetar, lembah berkumandang.

   menyusul mana, loncatlah keluar seekor raja hutan yang besar dan dahinya pitak.

   Guru silat itu tidak sempat berkelit, ia kena diterjang, ia rubuh, kukunya harimau itu merobek bajunya, mengenai kulit dagingnya, hingga sekejab saja.

   darahnya bercucuran.

   Semua orang kaget, belum mereka sempat menggunai anak panah, atau seorang lagi di antara mereka, kena ditubruk rubuh Pahlawan Keluarga Soh jadi gusar, sambil berseru, ia menimpuk dengan beberapa batang tombak cagak, beruntunruntun.

   Harimau itu gesit, dia berlompatan, untuk berkelit, tetapi sebatang tombak mengenai juga satu kaki dcpannya, bahna sakit, rupanya, dia putar tubuh untuk lari.

   "Kejar!"

   Berseru si pahlawan.

   Rombongan pcmburu itu sudah lantas berlari-lari.

   Harimau itu masih bisa lari keras, dia lari mendaki, cepat sekali, hingga dia bikin semua pengejarnya jauh keringgalan di belakang.

   Masih mereka mengejar terus, sampai mereka dengar satu jeritan nyaring tetapi halus, lalu di depan harimau itu, muncul satu nona dengan pakaian serba merah.

   Harimau itu sedang beringas, melihat ada yang memegat jalan, dia terus lompat menubruk nona itu, di antara gerungan hebat, mulutnya dibuka lebar-lebar.

   Suara gerungan itu berkumandang di lembah, gunung seperti tergetar pula.

   Nona itu tidak kaget, dia malah gusar, ketika raja hutan itu menerjang, ia loncat ke samping, laiu sambil berseru, ia mengirimkan satu tusukan.

   Karena orang berkelit, harimau itu tubruk tempat kosong, dia belum sempat putar tubuh, tikaman telah sampai, saking sakit, dia menggerang berulang-ulang, tubuhnya digeraki, diputar, rupanya dia hendak terkam si nona pula.

   Nona itu kaget juga, ia kalah tenaga, ia belum sempat tarik pulang pedangnya, ia mesti lompat mundur, karena itu, pedangnya terlepas, masih nancap ditubuhnya binatang liar itu, , hingga, seperti kalap, dengan mata seperti menyala, harimau itu menerjang pula, semua kukunya dipentang lebarlebar.

   Meskipun ia sudah tidak bersenjata, nona itu tapinya ada punya kegesitan tubuh, ketika tubrukan sampai, ia berkelit.

   Tiga kali ia ditubruk berulang-ulang, terus ia belum bisa sclamatkan diri.

   Selagi raja hutan itu gusar bukan main, tapi ketangkasannya pun makin berkurang, si nona lakukan serangan membalas, dengan tiga buah Thielian-tjie, buah teratai besi, yang ditimpuki beruntun, dengan keras sekali.

   Tiga-tiga senjata rahasia itu mengenai sasarannya dengan tepat.

   dua mengenai mata, satu nancap di jidat.

   Dalam kesakitan hebat, sambil menggerang bagaikan guntur, kembali harimau itu berlompat, menerkam si nona Semasa kedua matanya belum terluka, raja hutan itu tak dapat tubruk si nona, apapula sekarang, setelah kedua matanya itu picak, maka dengan gampang sekali, nona itu singkirkan dirinya dari terkaman.

   Kemudian,, dengan scngaja perdengarkan suara, ia bikin dirinya diserang bcrulang-ulang.

   Tentu sekali, harimau itu senantiasa menerkam tempat kosong.

   Paling akhir, si nona mundur ke batu gunung, yang tinggi dan besar, di situ ia bersuara, supaya harimau itu tubruk ia, sesudah mana, ia lompat naik ke atas batu itu.

   Di antara suara hebat, kepalanya harimau itu membentur batu, dengan memperdengarkan suara kesakitan yang mengerikan, tubuhnya rubuh, kepalanya pecah, darahnya berhamburan, maka sekejab saja, dia rebah dengan mandi darah, sebagai bangkai.

   Nona itu menyaksikan kebinasaan raja hutan itu, ia tertawa lalu ia loncat turun, akan injak kepalanya, tak sayang dia pada kasut sulamnya yang indah yang menjadi berlepotan darah.

   "Ha, kutu besar, kau cuma bisa gertak orang!"

   Kata ia sambil tertawa, dengan kedua matanya bersinar hidup, kemudian ia cabut pedangnya, yang masih menancap di tubuhnya raja hutan itu, ia susuti itu, baharu ia kasih masuk ke dalam sarungnya.

   Sedangnya begitu, datanglah rombongan si pemburu, dengan orang yang menjadi kepala lantas saja menegur.

   "Eh, Nona, jangan lari! Kcnapa kau binasakan harimau kita? Tinggalkan, jangan kau bawa pergi!"

   Itulah pahlawan dari Keluarga Soh dan dua guru dari Keluarga Hoa.

   Mereka menyaksikan si nona berkelahi dengan harimau, mereka heran dan kagum, berbareng pun mereka mendongkol mengingat tak kemampuan diri sendiri.

   Maka itu, dengan jumawa, mereka hampirkan si nona, yang mereka pikir untuk pcrmainkan juga.

   Mereka tak takut, sebab anggap, jumiah mereka ada banyak.

   "Jangan, jangan!"

   Salah satu guru silat mencegah, ketika iakenali nona itu. Tapi sudah kasep, pahlawan Keluarga Soh sudah maju. Si nona, yang masih bcrdin di atas kepala harimau, mengawasi.

   "Apa, kutu besar ini ada binatang peliharaanmu?"

   Ia tegasi, dengan mata bersinar.

   "Kau suruh aku jangan bawa pergi?"

   "Itulah bukan piaraan kita tetapi kita lebih dulu yang mclukakannya! "

   Sahut si pahlawan.

   "Kau cuma tinggai punyakan saja!"

   "Oh, pendusta!"

   Si nona membentak.

   "Kau orang tidak mampu bekuk seekor harimau, kau orang bcrani katakan aku?"

   Ia hunus pedangnya.

   "Jangan banyak omong, lekas pergi! Jangan kau hinakan nonamu!"

   Didamprat, pahlawan itu tertawa "Jangan galak, Nona.

   "

   Kata ia.

   "Aku tidak mau pergi, habis kau mau apa? Apakah kau tabu, siapa kita ini? Aku ada pahlawan kepala dari Keluarga Son aku ada Kimtoo Hck Tjit-ya, Hek Toa-boesoe! Di dalam Kota Pooteng ini, siapa tidak kenal aku? Kau berani mcnentangi aku? Tapi aku tidak persalahkan kau. Aku memang kekurangan satu murid perempuan, ayo, kau berlutut dan manggut-manggut di depanku, untuk angkat aku menjadi guru."

   Kapan si nona dengar orang pcrkenalkan diri. ia gusar dengan tiba-tiba, tcrus saja ia balingkan pcdangnya di muka orang sambil berseru.

   "Kau guru si I at Hek Toa-boesoe? Pedangku I a rang kau menghina! Mundur!"

   Bcntakan itu disusul sama gcrakan tangan lebih jauh, menikam pundak kanan.

   Kakinya si nona pun turut maju.

   Hek Tjit tangkis tusukan itu dengan goloknya seraya ia berseru, ia hendak bikin terpental pcdangnya si nona, tetapi si nona putar tubuhnya, akan membaliki menapas lengan orang, hingga guru silat itu terkejut, lekas-lekas dia menangkis sambil serukan kawan-kawannya.

   "Kenapa kau orang tidak lekas maju?"

   Atas mana, semua kawan itu lantas maju.

   "Hm!"

   Si nona menghina.

   "Aku kira orang gagah bagaimana, tak tahunya tukang keroyok!"

   Lalu ia menyerang hebat, dengan tipu-tipu pukulan dari Bweehoa-kiam, yang semuanya terdiri dari Tjittjit sie Hapkauw"

   Atau tujuh kali tujuh ada empat puluh sembiian jurus.

   Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Rombongan pahlawannya dua keluarga, bersama-sama dua guru silatnya yang baharu, telah merangsang, jumlah mcrcka yang besar, bikin si nona kewalahan juga, apa pula ia baharu saja melayani harimau.

   Pelahan-lahan, keringatnya si nona keluar membasahi jidatnya.

   la jadi sengit, tetapi ia bersangsi, untuk berlaku telengas.

   Ia ingat pesan ayahnya, untuk tak sembarangan melukai orang, sedang urusan ada urusan kecil.

   Dalam saat kesangsian dari si nona, tiba-tiba antara gombolan muncul satu anak muda, yang mukanya putih, romannya cakap, begitu lekas ia hunus pedangnya, ia lompat meriyatukan diri di medan pertempuran itu! Inilah Teng Hiauw, puteranya Teng Kiam Beng, ahli waris dari Thaykek-pay di Pooteng, atau cucunya Thaykek Teng, jago dari Thaykek-koen, yang kesohor buat tiga macam ilmu kepandaiannya.

   Tangan kosong Thaykek-tjiang, pedang Thaykek-kiam, dan senjata rahasia Kimtjhie-piauw.

   Kiam Beng belum bisa Iawan ayahnya, tetapi ia sudah sukar tandingannya, dan anaknya ini, Teng Hiauw, dalam umur sembiian belas tahun, sudah berkepandaian tak tercela, malah dalam halnya Kimtjhie-piauw, ia sudah mewariskan dclapan atau sembiian bagian, cepat sekali, ia mendesak kepandaian ayahnya.

   Sebagai anak muda, Teng Hiauw beda daripada yang kebanyakan, ialah ia tidak suka terlalu bergaul.

   Ayahnya suka mencrima banyak murid, tidak demikian dengan engkongnya, maka juga muridnya Thaykek Teng melainkan satu, ialah Lioe Kiam Gnu Kiam Beng mempunyai banyak murid, yang mewariskan ja, belum ada, malah murid-muridnya itu, ia serahkan pada beberapa muridnya yang paling maju.

   Dengan sekalian soeheng dan soeteenya, Teng Hiauw pun tidak bergaul rapat.

   Bisadibilang, ia belajar sendirian saja.

   Pada hari itu, Teng Hiauw keluar scorang diri, dengan membawa pcdangnya, dan menuntun scckor anjing pemburu.

   Ayahnya lalu pergi kc rumah perguruan luar, untuk menilik murid-muridnya.

   Hawa udara hari itu bagus sekali, ia ketarik untuk memburu.

   Ia pun pergi ke luar kota.

   Di saat ia sampai di luar rimba, ia dengar harimau mengaung, hingga burungburung dan beburonan lainnya kaget dan terbang, lalu kabur.

   Malah anjingnyapun sungkan maju.

   Dengan menghunus pedangnya, ia maju seorang diri.

   Ia berkeinginan akan coba melayani sang raja hutan.

   Ia mencari, ia dengar gerungan berulang-ulang, lalu sirap, diganti dengan suaranya senjatasenjata beradu.

   Ia hcran.

   Sambil menyimpan pedangnya ia maju tcrus, ke arah dari mana suara berisik datang.

   Ketika kemudian ia tiba, ia lihat satu pertempuran.

   Ia scmbuny ikan diri di dalam gombolan dari mana ia memasang mata, terutama ia awasi si nona yang ilmu pcdangnya sempurna.

   Si nona sendiri, yang kuncirnya dua ada mempunyai muka potongan telur yang cantik dan mans.

   Adalah ketika si nona nampaknya keteter, ia menjadi gusar.

   Memangnya ia sudah mendongkol menampak satu nona muda dikepung orang-orang Iclaki, yang berjumlah besar.

   Tatkala hu satu guru silat Keluarga Hoa, yang bcrgegaman tombak Ngobie-tjie, lagi desaksi nona dengan tusukan "Tjheeliong pabwee"

   Atau "Naga hijau menggoyang ekor". Ia menusuk dari kanan, pada muka orang. Si nona mundurkan kaki kiri, lalu kaki kanannya menggeser, seraya berkelit dan maju secara demikian, ia menikam hadi Iawan dengan tikaman "Tokwa kimlcng"

   Atau "Menggantung kelenengan cmas".

   Penyerang itu melihat tikaman liehay, ia loncat mundur, justru si nona hendak maju mengejar, dari kiri dan kanannya menyambar sepasang gaetan Hoetjhioe-kauw dan sebatang golok besar Kimpwee-too.

   Karena tidak sempat menggunakan lagi pedangnya, Liongboen-kiam, nona itu terpaksa elakkan diri dengan lompat melesat dengan gerakan "Lengyan tjoanin"

   Atau "Walet tembusi mega", melewati kepala musuh, hingga mereka ini, yang kena dilangkahi, jadi gusar dan sengit, pula.

   Golok Kimpwee-too menyambar selagi sinona baharu taruh kakinya.

   Nona itu pun mcnjadi sangat gusar, ia putar tubuhnya dan mcnangkis, scsudah mana, ia balik mendesak.

   Ia masih sangsi akan meminta korban jiwa.

   Adalah di saat itu, datanglah bantuan yang ridak diminta, yang tak disangka-sangka.

   Teng Hiauw tidak melulu gunai pedangnya, malali mendahului itu tiga batang piauw menyambar saling sosul, pada musuh yang bersenjatakan Ngobie-tjie, Kimpwee-too dan satu pula, yang mcncckal Tan-too, golok sebatang.

   Dua yang pcrtama adalah Hek Tjit yang mencekal Kimpwee-too -ada orang-orang Kangouw ulung, mereka dengar angin menyambar, mereka berkelit, tapi kawannya, yang memegang Tan-too, terserang tangannya bagian nadi, tidak ampun lagi, goloknya terlepas dan jatuh ke tanah.

   "Kawanan jahanam, jangan hinai orang perempuan!"

   Teng Hiauw mencaci seraya ia melompat maju. Dua-dua pihak, kawanan guru silat dan si nona, tercengang, tapi karena si anakmuda sudah maju, mereka tak sempat bengong saja. Pahlawan Keluarga Soh membentak.

   "Kau siapa? Kenapa kau usilan? Apa kau hendak mengantari jiwamu?"

   Tapi ia bukan dapat jawaban, hanya serangan.

   Kedua guru silat Keluarga Hoa, yang bersenjata tombak dan sepasang gaetan, maju untuk menangkis, mereka tak takut, malah mereka penasaran.

   Yang pegang gactan hcndak gact pedangnya Teng Hiauw.

   Teng Hiauw gunai ilmu pedang Thaykek Kieboen Sipsam-kiam untuk mclayani musuh, ia berkelahi dcngan sungguh-sungguh, dengan lekas ia dapat mendesak musuh-musuhnya, hingga mereka menjadi repot.

   Si nona saksikan ilmu silatnya pemuda itu, ia heran, hingga ia mengawasi dcngan penuh perhatian.

   Selagi pcrtcmpuran berjalan, tiba-tiba pahlawannya Keluarga Soh berseru.

   "Eh, eh, apakah kau bukannya Teng Kongtjoe?"

   Dengan keras -Teng Hiauw menyampok kedua senjata musuh, lantas ia awasi pahlawan itu.

   "Ya! Habis kau mau apa?"

   Tapi, begitu lekas ia melihat mukanya, ia merasa bahwa ia pemah melihat orang itu. Dengan tiba-tiba, pahlawan itu tertawa.

   "Benar-benar Teng Kongtjoe!"

   Ia kata.

   "Iniiah yang dibiiang, air banjir . menyerbu gerejanya si Raja Laut! - Hayo berhenti, berhenti, semua orang sendiri!"

   Scruan yang belakangan ini ada untuk kedua guru silat Keluarga Hoa, hingga mereka itu tercengang.

   Mereka memang heran, kenapa pemuda itu, yang romannya seperti sioetjay, liehay ilmu silatnya.

   Tapi sekarang mereka heran, kenapa musuh itu dikatakan "orang sendiri".

   Teng Hiauw ingat dengan cepat.

   Pahlawan itu ada pahlawan utama dari Keluarga Soh, dia pemah datang ke rumahnya dan ayahnya pernah mcmperkenalkan dia dengannya.

   Dia itu ada Kimtoo Hek Tjit si Golok Emas.

   Karena ia tak gemar bergaul, ia lupai pahlawan itu.

   Ia hanya tidak mengetahui, kenapa Hek Tjit menghina si nona.

   Si nona jadi bcrtambah heran.

   Tiba-tiba lawan, tiba-tiba kawan, itulah aneh.

   Ia lantas mundur, dengan menyiapkan pedangnya, ia mengawasi dengan bersenyum tawar.

   Teng Hiauw pun berdiam, ia bersangsi.

   Sudah lewat enam belas tahun sejak ayahnya bcrsahabat dengan Soh Sian Ie, persahabatan yang membuat ayah itu berpisah dari Lioe Kiam Gim.

   "Maafkan kami, kami tidak tahu nona ini adalah sahabatmu,"

   Kata Hek Tjit sambil memberi hormat. Kepada si nona, ia pun tcrus berkata.

   "Iniiah salah mengerti, Nona, harap kau tidak kecil hati. Sebenarhya sebab mengagumi kepandaian Nona, kami lancang maju untuk mencoba-coba."

   "Siapa bilang dia ada sahabatku?"

   Ia berkata kemudian.

   "Aku tak temahai harimau itu! Kau oranglah yang main gila, dari itu nonamu hendak mengajar adat!"

   Sehabis berkata demikian, nona ini masuki pedangnya ke dalam sarung, lalu sambil tertawa dingin, ia putar tubuhnya, untuk pergi sambil berlari-lari. Ia gunai ilmu iari "Tcngpeng touwsoei"

   Atau "Menyeberang sambil injak kapu-kapu". Dia lenyap dengan ccpat antara gombolan. Teng Hiauw terperanjat.

   "Sampai nanti!"

   Kata ia, yang lantas memasuki pedangnya ke dalam sarungnya, lalu ia lari, akan susul si nona.

   Ia rada mendongkol, karena orang berlalu tanpa menghaturkan terima kasih, dan agaknya si nona juga memandang rendah, rupanya si nona itu sangka ia ada kawannya rombongan pahlawan dan guru silat itu.

   Ia gunai "Thaykek Hengkang".

   hingga sebentar kemudian, ia dapat mencandak.

   Nona itu seperti juga tak tahu orang mengejar ia, meskipun jarak di antara mereka berdua tinggal satu tumbak lebih, hanya sekarang, dengan tiba-tiba, lari nya dikencangkan.

   "Nona, tunggu!"

   Teng Hiauw meneriaki. Nona itu Iari tcrus, ia tak memperdulikannya.

   "Nona, tunggu1 Aku hendak bicara!"

   Masih saja nona itu lari, tanpa menyahuti, tanpa menoleh.

   "Nona, dengar aku!"

   Teng Hiauw berteriak pula, dcngan mendongkol.

   "Aku hcndak bicaral Jangan kctcrlaluan!"

   Tiba-tiba nona itu berpaling.

   "Habis kau mau apa?"

   Menjawab dia, dengan ketus.

   "Siapa surah kau bantui aku? Apakah kau kira aku tidak mampu hajar kawanan anjing babi itu? Lekas kembali! Kita orang bukan sanak, bukan sahabat. jangan ganggu aku!"

   Teng Hiauw bersangsi, akan tetapi ia mengejar terus, sebagaimana si nona tidak hcntikan tindakannya, dan sedangnya ia mengejar, sekonyong-konyong nona itu ayun sebelah .

   tangannya ke belakang, lalu tiga buah Thielian-tjie menyambar saling-susul.

   Ia sebenamya niat berkelit tetapi tiga buah senjata itu mengarah kiri-kanan dan atasan kepalanya, dari itu, ia antapkan saja.

   Ia mengerti, si nona mciainkan menggertak.

   "Nona, jangan keterlaluan,"

   Berkata ia, tetap dalam kcsangsian.

   "Aku bukannya niat bcrsahabat sama kau, tapi kau membutuhkan penjelasan! Kenapa kau berlaku begini kepadaku? Aku bantu kau karena aku tidak senang melihat orang hinakan si lemah. Kau dikepung mereka, begaimana aku bisa menonton saja? Itu toh bukan perbuatan orang Kangouw! Kenapa kau serang aku dengan ecnjata rahasia? Tapi aku tak hiraukan itu, aku bukan tukang hinakan si lemah! Aku lebih suka lawan si kuat!"

   Mendadakan ia tertawa, sccara dingin, lalu ia tambahkan.

   "Baik, baiklah, anggap saja aku keliru mata, aku tak kenali kau satu cnghiong pcrempuan! Aku tak berani berkenalan sama kau! Nah, persilakan, Nona, aku tak harap bertemu pula denganmu!"

   Teng Hiauw benar-benar putar tubuhnya, untuk iari balik, akan pulang.

   Sejak itu, pemuda ini merasa tak enak hatinya.

   Ia ingin mengetahui, siapa si nona baju mcrah, ia tidak berdaya.

   Ia pikir untuk tanya ayahnya, ia tidak berani, ia kuatir ayahnya tegur padanya yang sudah berani lawan pahlawan Keluarga Soh, yang ada sahabat ayahnya itu.

   Sclang beberapa hari, datanglah Kim Hoa, murid kepala dari Teng Kiam Beng.

   Dia datang dari Hoolam Sejak tiga tahun yang lalu, dua sudah dapat perkenan buat pergi merantau, akan mencari pengalaman dan sahabat lni ada biasanya untuk mu-rid-murid tamatan supaya si murid.

   sekalian angkat dcrajat kaumnya.

   Siapa dalam tempo tiga tahun bisa dapat nama, dia ada hak untuk berdiri sendiri.

   Dan Kim Hoa, selama itu, peroleh juga nama.

   Baharu sekarang dia pulang.

   Teng Kiam Beng girang, Teng Hiauw girangjuga.

   Sebenamya, Kim Hoa berbakat kurang bagus, tetapi ia rajin luar biasa, dari umur empat bcl as, ia belajar sampai umur dua puluh lima, maka selama sebelas tahun, ia berhasil mendapati kepandaiannya itu.

   Ketika ia mulai masuk belajar, Kiam Beng belum membuka rumah perguruan secara umum, dan Teng Hiauw masih kecil.

   Cuma dengan Kim Hoa, Teng Hiauw suka bergaul rapat.

   "Biasanya, gelombang Sungai Tiangkang yarig di bclakang mendorong gelombang yang di depart, dan orang dalam dunia,.yang muda menukar yang tua,"

   Kata Kiam Beng sambil menghela napas.

   "Kau telah merantau, coba kau tuturkan pengalamanmu. Bagaimana orang anggap tentang kaum kita Thaykek-pay? Apa orang suka mengalah padamu?"

   Kiam Beng beradat tinggi, walaupun soehengnya pernah memberi nasihat, ia sukar ubah itu. Dcmikian di depan muridnya ini, ia hunjuk kcangk uhannya.

   "Mcnycbut kau, Soehoe, orang Kangouw ada hargai kau,"

   Sahut Kim Hoa.

   Tapi ia bicara bcrtcntangan sama liangsimnya.

   Ia kuatir dapat teguran kalau ia bicara secara jujur.

   Menyebut nama gurunya, ia agaknya dipandang acuh tak acuh, tapi kalau ia sebut Lioe Kiam Gim, siapa pun sambut ia dengan manis.

   
Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Teetjoe merantau tiga tahun, tidak banyak pcngalamanku.

   Di antara empat Golongan Siauwlim-pay, ialah Pouwthian, Siong-san, Lamhay dan Ngobie, nampaknya ilmu silat mereka Sinkoen dan Tjappehdi Hantjioc makin tambah mahir, di Sclatan dan Utara, mereka kesohor.

   Di dunia Kangouw, sekarang ada dua orang yang bagaikan kata-kata naga sakti, kelihatan kcpalanya, tidak ckornya, dan satu di antaranya, rupanya ada dari Thaykek-pay kita."

   "Begitu?"

   Kiam Beng tertawa.

   "Coba kau jelaskan, siapa dia itu7"

   Kim Hoa kenal baik sifat gurunya.

   "Biar bagaimana, mana dapat mereka dibandingi dengan Soehoe,"

   Ia jawab.

   "Tapi Kim Hoa, jangan kau menyamakan saja, engkau juga hams menjelaskannya,"

   Guru itu mendesak.

   "Orang yang kesatu berumur mendekati empat puluh tahun,"

   Kim Hoa lalu menutur.

   "Dia biasadandan sebagai anak sckol ah, romannya mirip dengan sioetjay tolol, orang sebut dia Thicbian Sieseng si Mahasiswa Muka Besi, namanya Siangkoan Kin. Selama empat musim dari satu tahun, dia selalu bawa-bawa kipas, katanya kipas itu adalah gcgamannya, yang dipakainya sebagai totokan Tiamhiat-kwat, untuk menotok tiga puluh cnam jalan darah orang. Katanya dia telengas, banyak orang Kangouw busuk yang telah rubuh di tangannya."

   "Apakah kau pernah bertemu dengannya-"

   Kiam Beng potong.

   "Belum, aku baharu dengar saja."

   Kiam Beng tertawa.

   "Demikian umumnya!"

   Kata ia dengan pandangan enteng.

   "Di kalangan Kangouw banyak sekaii tukang gertak, sampaipun Tjeethian Tayseng katanya ada soeteenya! Siapa sudi main percaya saja? Sebenamya. ahli Tiamhiat bisa dihitung dengan jari tangan! Di Barat-selatan, yang paling kesohor adalah Kaum Keluarga Hek di Propinsi Soetjoan, dan di Utara Kouw Hoei In dari Titlce. Pemah aku coba Kouw Hoei In, dipadu dcngan aku, dia#ada sama liehaynya. Kita tak mampu sating mcnotok. Aku bukan ahli Tiamhoat, tctapi Hoei In tidak mampu jatuhkan aku!"

   Inilah "pen yak i tnya"

   Kiam Bcng, kalau bicara. dia suka bawa-bawa dinnya. Tapi sckali ini, dia lekas menambahkannya. la kata.

   "Kouw Hoei In demikian rupa, apalagi Thiebian Sieseng Siangkoan Kin! Sekarang kau sebut itu seorang lagi yang kau bilang dari kaum Thaykek-pay sebenarnya dia orang macam apa?"

   "Dia itu terlebih aneh lagi,"

   Sahut Kim Hoa.

   "Tak pemah sccara terang-terangan dia muncul di muka umum, tak suka dia berkunjung kepada sahabat-sahabat, selalu dia bckerja secara diam-diam. Dia liehay untuk ilmu pedangnya. Selama Soepeh mengasingi diri di Khockcc-po dan Soehoe menerima murid, selama belasan tahun, baharu ini pertamakali tectjoe dengar namanya. Katanya dia masih muda, baharu berumur dua puluh lebih, kecuali pedang, dia pandai gunai pisau belati, dia biasa menyeterui pembesar ncgcri. Jarang yang ketahui namanya tctapi gampang orang kcnali romannya,, karcna dia berkepala seperti kepala macan tutu! dan bcrmata seperti mata harimau, potongannya kasar. Pcmcrintah telah lukiskan gambamya, untuk bekuk dia. Sebegitu jauh, belum pemah dia kena ditangkap."

   "Kalau begitu, dia tentu ada anggota Piesioe-hwee"

   Kata Kiam Beng sambi I kerutkan al is.

   "Kau benar, Soehoe!"

   Kata Kim Hoa tiba-tiba.

   "Aku ingat sekarang. Ada yang mengetahui dia ada angkatan muda dari Piesioe-hwee, yang di matanya pemeri nt ah Boan ada bagaikan paku saja."

   Wajahnya Kiam Beng berubah.

   "Ingat, jangan kau campur pihaknya Piesioe-hwee!"

   La pesan muridnya.

   "Itulah perkumpulan paling bcrbahaya!"

   "Bagaimana berbahayanya?"

   Mendadakan Teng Hiauw balas menanya. la ada taruh pcrhatian besar untuk kctcrangannya Kim Hoa tapi dia diam saja.

   "Apa itu ada kumpulan tukang bunuh orang dan merampok?"

   "Lebih bcrbahaya lagi!"

   Terangkan sang ayah.

   "Piesioehwee menyeterui pembesar negeri dan cara bekerjanya senantiasa bergelap! Coba pikir, apa kita boleh campur mcrcka?"

   La menghela napas, lalu ia tambahkan.

   "Aku pun tidak terlalu sukai pembesar ncgcri, dari yang berpangkat besar, sampai yang tcrendah, dalam sepuluh, sembilan ada tukang ganggu rakyat jelata. Ini aku ketahui baik. Kita ada ahli silat sejati, penduduk baik-baik, buat apa kita campur mereka itu? Inilah sikapku, yang menyebabkan kawan-kawan dari Rimba Persilatan tak sukai aku. Kita beberapa orang, mana kita sanggup urus negara? Maka aku buka rumah perguruan silat, untuk siarkan pelajaran Thaykek-pay. Mclainkan untuk ini, kadang-kadang aku berurusan sama pihak pembesar, tctapi inilah karena terpaksa. Orang tidak hendak mempedulikan aku, apa aku bisa bilang?"

   Kiam Beng jadi lesu, tanda ia berduka. Kim Hoa lantas menghiburi guru itu. Teng Hiauw awasi ayahnya, ia tak mengcrti. Inilah kesukarannya. Sebab ayahnya "tak dimengerti"

   Oleh sahabat dan umum, ia sendiri turut kekurangan sahabat.

   Sebenarnya ia girang melihat Iain-Iain pemuda berlatih silat sama-sama, dengan gembira sckali ia ingin bergaul dengan mereka itu, apa daya, orang seperti mengasingkan ia, ia diterima secara tawar, sehingga hatinya tak tentaram sendirinya.

   Ia heran, kalau ayahnya tahu pembesar ncgcri busuk, kenapa ayah itu bersahabat sama Keluarga Soh.

   la tahu, dan ia telah lihat sendiri, bagaimana galaknya pahlawan-pahlawan dari Keluarga Soh itu.

   Ia tak setujui ayahnya, tapi ia tutup mulut, ia tidak bcrani mencntangi.

   Dalam kesangsian ia sampai pikir untuk pisahkan diri dari ayahnya itu.

   "Soehoe, apa Soehoe bisa duga, murid siapa adanya pemuda yang disangka tergolong Kaum Thaykek-pay itu?"

   Kim Hoa kemudian menanyakan gurunya.

   "Soehoe toh tahu baik, siapa adanya ahli Thaykck sekarang ini."

   Kiam Beng kerutkan alis.

   "Tentang Kaum Thaykek-pay,"

   Kata ia.

   "kecuali Lioc Socpchmu di Khokee-po, ada lagi di Hoolam Dia itu bcrnama Tan Peng. Soepehmu mempunyai beberapa murid saja, berapa jumlahnya, aku tidak tahu pasti, tctapi ia tcrima murid jauh lebih sesudah aku, maka aku percaya pemuda itu bukan muridnya. Mustahil dalam tempo kira-kira sepuluh tahun, orang bisa mewariskan murid demikian liehay? Aku duga, dia ada murid alau turunan dari Thaykck Tan. Golongan Thaykck Tan itu ada hubungan sama maju-mundurnya Thaykek-pay selama beberapa puluh tahun ini."

   Bicara hal Thaykek-pay, segera Kiam Bcng nampaknya bersemangat.

   "Pada kira-kira liga puluh tahun yang lampau, selama zaman Kaisar Tong Tie, Thaykek-pay ada kesohor sckali,"

   Demikian ia mclanjutkan.

   "Dacrah Kota Raja seperti j uga daerah Thaykek-pay. Nama besar itu diciptakan karcna jasanya Vo Louw Sian, murid luar biasa dari Hoolam Thaykek Tan itu."

   Kim Hoa ketarik, ia pasang kuping. Teng Hiauw pun diam mendengari.

   "

   Yo Louw Sian ada murid pen utup dari Thaykek Tan Tan Tjeng Peng,"

   Demikian Kiam Beng.

   "Murid pemitup berarti mund tcrmuda urutannya. Bukan main sukarnya Yo Louw Sian dapat mcmperoleh kepandaiannya itu, bukan gampang seperti kau orang. Dia asal Kongpeng-hoe di Titlcc Dia lakukan perjalanan ribuan lie untuk sampai di Hoolam, untuk merantau. Satu kali, ia bertemu sama salah satu murid Tan Tjeng Peng, ia dapat dikalahkan. Yang bikin ia sangat malu, belakangan ia dengar, lawan itu justru ada murid paling buruk dari Tan Tjeng Peng. Karena ini, ia ingin berguru pada Tan Tjeng Peng. Tempo ia majukan permintaan, ia ditolak mentah-mentah. Memang Tan Tjeng Peng tidak sembarangan menerima murid. Beberapa tahun telah lewat sejak Louw Sian ditolak. Selagi Tan Tjeng Peng sudah lupa hal itu, ada satu pcngcmis gagu yang sctiap hari datang menyapui salju di depan rumahnya. Thaykek Tan berkasihan, dia terima si gagu membujang kepadanya. Pada suatu malam, selagi Thaykek Tan pimpin murid-muridnya, ada terdengar suara hclaan napas. Hampir orang itu discrang murid-muridnya Thaykek Tan, baiknya sang guru keburu menccgah. Dia itu ada si gagu, malah dia lalu di kenali sebagai Yo Louw Sian. Saking ingin bclajar pada Thaykek Tan, dia rela menjadi bujang dan berpura-pura gagu, dia ingin mencuri pelajaran Thaykek-koen. Tan Tjeng Peng jadi terharu untuk kesungguhan orang, ia lalu menerima Louw Sian sebagai murid Louw Sian sangat ccrdas dan rajin, dalam tempo tujuh tahun, ia dapat mewariskan kepandaian gurunya, hingga ia dikirim ke Kota Raja, untuk merantau, guna mengangkat nama. Yo Louw Sian-tidak sia-siakan harapan gurunya. Di Kota Raja, orang-orang bangsawan ada piara guru-guru silat, antaranya Pangeran Siauw Ong paling banyak gurunya. Louw Sian sengaja datangi pangeran itu, secara tcrang-terangan, ia majukan tantangan. Ia tidak mau tanam bibit permusuhan, maka di sckitar tempat pieboc, ia pasangi jaring, supaya siapa rubuh, dia jatuh ke dalam jaring dan tidak terluka. Dia bcrmaksud baik, tetapi guru-guru silat pangeran itu tidak puas, diadikatakan jumawa, dia dipandang enteng. Dia memang bertubuh kate dan kecil. Akan tetapi, sctelah orang mulai bersilat, bcruntun bebcrapa orang guru kena dirubuhkan satu per satu, melainkan Tang Hay Kong dari Patkwa-pay dan satu tctamu tak dikenal dengan siapa Louw Sian bertanding sen, dengan begitu, ia jadi ditcrima di dalam istana pangeran itu sebagai guru silat."

   Kiam Beng berhenti sebentar, akan kcmudian mclanjuikan pula.

   "Dua-dua Thaykek Tan dan Thaykek Teng ada sama kesohornya, kepandaian engkongmu tak kalah dengan kepandaiannya Yo Louw Sian, tetapi ia ada pendiam, ia suka mengalah, maka ia membiarkan Thaykek Tan namanya membubung."

   Kelihatannya Kiam Beng kagumi Louw Sian, tetapi Teng Hiauw tidak.

   "Ayah, aku tidak setuju!"

   Nyatakan ia.

   "Kau artikan apa?"

   Ayah itu tanya, sctelah ia tercengang.

   "Ayah, Yo Louw Sian bukannya satu enghiong!"

   Kata sang anak.

   "Dia berkepandaian tinggi tapi dia jadi guru silatnya satu Pangeran Boan!"

   "Kau bersemangat, anak!"

   Memuj i sang ayah, yang mengurut-urut kumisnya, apabila ia sudah mengetahui pikiran puteranya itu.

   "Akan tetapi kau tidak tahu Hal tak ada sedemikian sederhana. Tanpa tantangan guru-guru silat Pangeran Siauw Ong, mana dia bisa angkat namanya? Itu justru jalan paling ringkas! Dia jadi guru silat, tetapi dia tidak jadi budak Boan. Dia ada punya maksud lain."

   Di dalam hatinya, Teng Hiauw berkata.

   "Itu bukan jalan yang ringkas! Dengan mempunyai kepandaian berarti, untuk apa nama saja?"

   Tapi ayahnya bicara ten tang "maksud Iain", maka ia tanya "Apakah itu, Ayah?"

   "Yo Louw Sian tidak pernah memikirkan akan menurunkan kepandaiannya pada orang-orang Boan,"

   Menerangkan ayahnya itu.

   "Dia berdiam di dalam istana belum lama, dia minta cuti dan pulang ke kampungnya, sebagai gantinya, dia tinggalkan anaknya, Pan Houw. Anak ini lebih cerdik dari ayahnya. Dia tidak pantangan, dia tcrima saban murid, tetapi di waktu Wietjiauw -murid berlatih dengan guru dia bcrlaku telcngas. Dia menyerang sungguh-sungguh, dia bikin muridmuridnya, yaitu guru-guru silat lainnya dari Pangeran Siauw Ong, menjadi pecah kepala atau patah kaki tangan, menjadi bcrcacat! Dia kata, begitulah caranya belajar Thaykek-koen, siapa mau belajar, dia mesti bcrscdia untuk dihajar. Karens ini, orang pada mundur tcratur, dalam tempo sepuluh hari, sudah mundur separuhnya. Pangeran Siauw Ong ada punya tiga ribu pengikur. Selang lagi setengah bulan, sisa murid tinggal scratus lebih. Pan Houw juga tidak mengajarkan ilmunya yang sejati. Apa yang ia ajarkan bagus ditonton, dan bisa bikin tubuh sehat, tetapi kegunaannya sebagai ilmu silat, ia tidak turunkan, jadi pelajarannya itu tak dapat digunai. Dari tiga ribu murid, cuma satu Goan Tjoan Yoe yang berhasil, tapi dia ini pun peroleh kepandaian sesudah dia tidak jadi guru silat lagi. Ada orang-orang Boan yang berpangkat, besar dan kecil, yang berguru pada Louw Sian, ayah dan anak, mereka ditcrima dengan baik, akan tetapi pclajaran yang dia orang ini dapatkan, semua tak dapat dipakai berkclahi. Maka akhirnya Tan Sioe Hong, ahli Thaykek dari Kongpeng, diam-diam menanyakan Yo Pan Houw, katanya. Thaykek-koen ada yang lemah dan keras, kenapa diPakkhia semuanya lemah?"

   Mulanya Pan Houw tidak menjawab, ia ganda tertawa, bclakangan, ia bilangjuga.

   Di Pakkhia kcbanyakan orang bangsawan, mereka bclajar silat untuk suka-suka saja.

   Sifat tubuh orang Han dan orang Boan pun bcrlainan.

   Orang Boan bukan orang Han, kau tahu tidak? Atas itu, orang tidak tanya melit iagi.

   Dcmikian, walaupun Thaykek-koen maju, muridnya yang berarti tidak ada, hingga kemajuan itu ada kemajuan berarti kemunduran.

   Tidak dcmikian dcngan Siauwlim-pay."

   Baharu sekarang Teng Hiauw insyaf, tapi dia tetap tidak setuju Yo Louw Sian menjadi guru silat orang Boan.

   Ia pun dapat suatu perasaan.

   Mcngcnai Thaykek-pay, di samping Kaum Teng, ada juga Kaum Tan.

   Ia duga, pada tipu-tipunya, mesti ada perbedaannya.."Kenapa aku tidak mau gabung itu, untuk dapati keduaduanya?"

   Ia berpikir. Ia juga kagumi caranyaatau iebih benar, keuletannya Yo Louw Sian. Lclakonnya orang she Yo itu ada suatu anjuran untuk ia.

   "Kim Hoa, aku hendak pergi ke rumah perguruan,"

   Kata Teng Kiam Beng sehabis bercerita.

   "pergi kau temani si Hiauw, memang sudah lama kau orang tidak pemah bertemu. Baharu saja si Hiauw pelajarkan ilmu tangan kosong melawan scnjata, dia sedang gatalnya karena tidak ada yang layani berlatih, sedang aku tidak punya kesempatan, baik kau yang main-main dengannya."

   Kim Hoa manggut pada gurunya itu, yang terus pergi.

   Bcgitu lekas berada berduaan, dcngan tari k tangan sochcngny a, Teng Hiauw ajak socheng itu pergi ke lapangan piranti bcrlatih.

   Mereka jalan sambil bcrlari-lari dan Iclompatan.

   Dan bcgitu sampai, soetee ini sudah lantas buka bajunya dan pasang kuda-kuda dcngan sikap "Tjhioehoe piepee"

   Atau "Mementil piepee".

   "Socheng, hayo kau masuki, tetapi kau mesti mengalah!"

   Adik seperguruan ini menantang, sambil tertawa. Kim Hoa loloskan pedangnya, untuk dihunus.

   "Jangan sungkan, Soetee,"

   Kata ia sambil tertawa juga.

   "Kau lebih liehay daripada aku. Kau waspada, jangan kau nanti hajar aku sampai aku tidak mainpu bangkit lagi."

   Setclah itu, soeheng itu maju menycrang, pedangnya dibalingkan ke kiri dan kanan.

   Teng Hiauw mengubah sikapnya, ia berkelit, lalu dengan tiba-tiba, ia lompat merangsang, ia menyerang dengan dua tangan berbareng.

   Kim Hoa hendak tabas kedua tangannya si soetee, tetapi Tcng Hiauw sudah mcndahului tarik pulang tangannya itu, untuk selewatnya pedang, menyambar muka dengan tangan kanan, hingga soeheng ini mesti mundur, karena ia tidak sempat memutar pedangnya.

   "Soetee sudah maju banyak,"

   Pikir ia.

   Karena ini, Kim Hoa mendesak, ia putarkan soetee itu, siapa sebaliknya hunjuk kegesi tan tubuhnya, akan keiit sesuatu tabasan atau tikaman, hingga mereka jadi bertanding dengan sera.

   Mereka baharu berhenti kctika Kim Hoa kirim tusukan yang liehay, untuk lolos dari mana, Tcng Hiauw berlompatjauh.

   "Nah, apa aku bilang, Soeheng, aku bukannya tandingan kau!"

   Kata soetee itu sambil tertawa. Socheng itu bersenyum.

   "Pclajaranmu sudah maju, Soetee!"

   Kata ia. Tapi tiba-tiba iacekal tangan orang, matanya mengawasi dan alisnya mengkerut.

   "Man, Soetee, aku hendak tanya kau!"

   Ia tambahkan. Teng Hiauw bcrsangsi tapi iaikuti soeheng itu. Mereka duduk di bangku batu.

   "Ada apa, Soeheng?"

   "Kita telah berpisah tiga tahun, Soetee, tapi seperti dahulu, kita haras omong dengan terus-tcrang, bukankah?"

   Sahut sang soeheng. Teng Hiauw heran, ia manggut "Tak usah kau tanyakan itu, Soeheng"

   Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kim Hoa geser tubuhnya lebih dekat.

   "Soetee, aku lihat kau sedang memikirkan sesuatu"

   Nyatakan ia. Teng Hiauw bcrdiam, ia melengos dari sinar matanya soeheng itu. Tapi. selagi si soeheng masih awasi ia. ia tanya.

   "Bagaimana Soeheng ketahui itu?"

   "Aku lihat itu dari caranya kau bertempur barusan. Di waktu mau menyerang, kau nampaknya bersemangat, tapi setelah serangan dikirim, kau lambat, kau seperti ragu-ragu. Itu ada tanda semangat tidak terpusat. Cara berkelahi itu membuat kau mundur. Thaykek-koen inginkan sebaliknya, ialah ketabahan hati. Kelihatannya kau bisa menangkan aku, kesudahannya. kau yang terdesak "

   Kim Hoa sudah berpengalaman. matanya jadi tajam. Teng Hiauw berbangkit, matanya memandang ke lapangan latihan di luar mana ada bukit merah.

   "Scbcnarnya tidak apa-apa. Soeheng,"sahut ia kemudian. sambil ia tertawa.

   "Pada beberapa han yang lalu, aku nampak suatu kejadian yang kurang menyenangkan hatiku."

   Selama mendengari, Kim Hoa nampaknya ada menaruh perhatian besar, ia heran, tapi setelah Teng Hiauw tutup ceritanya, lantas ia mengatakan.

   "Keterangan kau membikin aku ingat suatu orang, bisa jadi nona itu dia adanya. Biar aku sclidiki dalam tempo beberapa hart, aku nanti kasih kctcrangan pada kau."

   Benar seperti janjinya, selang beberapa hari, Kim Hoa sudah dapat membenkan jawabannya. Dia kata.

   "Benar dianya! Nona uu mirip dcngan hantu perempuan!."

   "Siapa dia itu?"

   Teng Hiauw mcncgasi.

   "Kcccwa kau mcnjadi bcsar di Pooteng!"

   Sahut Kim Hoa, yang tidak segera hendak menyebutkan nama orang.

   "Nona begitu kesohor, umpama kata kau beium pernah mclihatnya, sedikitnya kau mesti pernah dengar!."

   "Jangan mengganggu aku, Soeheng!"

   Teng Hiauw banting-banting kaki "Siapa dia itu?"

   Kim Hoa kuatir orang gusar.

   "Apakah kau kenat Kiang Ek Hian, Ahli Waris dari Bwechoa-koen?"

   Ia mcnanyai.

   "Dia ada cucu perempuan dari Kiang Ek Hian itu. Dia ada Angie Oehiap Kiang Hong Kcng si Baju Merah."

   Tcng Hiauw tidak tahu jelas perihal si nona atau keluarganya itu.

   "Coba Soeheng tuturkan lebih jelas,"

   Ia memohon.

   Kim Hoa meluluskan, ia membcrikan penjelasannya.

   Untuk Shoatang dan Hoopak dua propinsi, pusat ilmu silat ada Kota Pooteng di Hoopak, dari itu banyak ahli waris, atau ketua kaum persilatan, berdiam di kota ini, di antaranya yang paling ternama adalah Tjiong Hay Peng dari Hengie-pay, Koan IeTjeng dari Banseng-boen dan Teng Kiam Beng dari Thaykek-pay.

   Seorang iagi adalah Kiang Ek Hian dari Bweehoa-koen.

   Ek Hian berusia paling tinggi, sudah enam puluh tahun lebih, dari itu, untuk Kiam Beng, dia terhitung tjianpwee, angkatan terlebih tua.

   Anaknya, Ek Hian telah menutup mata dcngan meninggalkan satu anak perempuan ialah Hong Keng, maka engkong dan cucu tinggal berduaan saja.

   Si nona mempelajari ilmu silat, iacerdik dan bakatnya baik, ia maju dengan pesat, hingga ia sangat disayang dan dibanggai engkongnya, yang bawa ia merantau, hingga kemudian lagi, nona itu dapat perkenan untuk keluar sendirian.

   Tcng Hiauw pernah dengar namanya Kiang Ek Hian, tapi ia tidak bcrgaul, ia tidak tahu hal cucu perempuannya.

   Lalu ia menanyai alamat orang.

   Ditanya begitu, Kim Hoa menarik napas.

   "Selayaknya Soehoe bergaul dengan orang-orang scbangsa Kiang Ek Hian itu,"

   Kata ia.

   "sayang karena sikapnya Soehoe, perhubungan jadi sepcrti renggang, hingga kau tidak kctahui alamatnya! Apa ini namanya orang yang sama-sama tinggal di Pooteng?"

   Teng Hiauw berdiam "Rumahnya Kiang Ek Hian gampang untuk dikenah,"

   Kim Hoa mencrangkan.

   "Selewatnya pasar di Seetoa-kay, kau menuju ke selatan, di ujung itu ada sebuah rumah besar yang di luar pintunya ada sepasang singa batu, itulah dia. Apa kau perlu diantar?"

   "Soeheng pandang aku sebagai bocah cilik saja!"

   Kata Teng Hiauw sambil tertawa "Aku toh besar di Pooteng!"

   "Apa kau hendak mengunjungi orang tua itu?"

   Kim Hoa tanya pula.

   "Apa kau kegilaan si nona baju merah?"

   Teng Hiauw tidak menjawab, ia melainkan tertawa.

   Kim Hoa menduga benar.

   Dia memang niat can Kiang Ek Hian, dia ingin lihat pula si nona, dia cuma tidak mendelu pula terhadap nona itu.

   Di hari kedua, Teng Hiauw benar-benar mengunjungi Kiang Ek Hian.

   Ia lakukan itu secara diam-diam.

   Di karcis nama, ia bahasakan diri "boanseng".

   Tapi dia ketemu batunya.

   Ketika dia sampai di depan rumah, dia ketemu dengan seorang dengan dandanan sebagai bujang, pada ia itu dia menyerahkan karcis namanya.

   "Oh, Teng Kongtjoe!"

   Kata bujang itu. Dari lagu suaranya, bujang itu bukan mirip orang desa.

   "Lekas bawa masuk!"

   Kata Teng Hiauw, yang tidak ingin bicara banyak "Ya, ya,"

   Sahut si bujang berulang-ulang.

   "Baik, Kongtjoe, harap tunggu sebentar."

   Bujang itu kata "sebentar", tetapi Teng Hiauw mesti berdiri menantikan sampai kakinya kesemutan, baharu dia itu keluar pula, untuk terus menyerahkan karcis nama.

   "Maaf, Kongtjoe,"

   Kata ia semban tertawa.

   "Menyesal, Looyatjoe lagi cuci kaki, dia tidak sempat untuk menemui kau."

   Bukan kepalang mendongkolnya Teng Hiauw.

   "Apakah ini bukan aturan si tukang jaga pintu?"

   Tanya ia.

   "Orang datang dengan maksud sungguh-sungguh untuk menemui."

   Beium sempat Teng Hiauw turup mulutnya, atau daun pintu telah digabmki, d isusu I sama suara yang si anak muda dengar.

   "Koko Hok, Looyatjoe menyuruh kau masuk, jangan kau melayani segala orang pengangguran!"

   Tcng Hiauw kenali, itulah suaranya si nona baju merah. Pemuda ini pulang dengan terus masih mendongkol, sampai itu maiam dia tak dapat tidur pulas, hingga dia dapat pikiran.

   "Mereka tidak sudi kctcmui aku, mustahil aku tak bisa ketemui sendiri?"

   Segera ia loncat bangun, ia mengenakan pakaian ringkasnya, setelah selesai, ia keluar dari rumahnya, akan menuju ke rumahnya Kiang Ek Hian.

   Malam ada sunyi.

   Rumahnya Keluarga Kiang gelap-petang, pintunya tertutup rapat.

   Rumah itu menghadapi jalan besar, dan belakangnya bcrbatas dengan sebuah kali.

   Teng Hiauw menghampiri tembok belakang ke atas mana ia scgcra loncat naik, untuk memandang ke sebeiah dalam.

   Keadaan di situ tenang scperti di bagian dcpan.

   Di saat ia hendak meloncat turun, tiba-tiba ia bcrsangsi.

   Hawa scjuk membuat otaknya anak muda ini jadi lebih tenang, hingga ia sadar.

   Ia datang melulu karena diliputi nafsu kemendongkolannya.

   Di waktu malam ia mcndatang rumah orang, apa itu bukan perbuatan lancang? Umpama ia bertemu sama tuan rumah, alasan apa ia punyai? Maka dari itu, ia celingukan.

   Ketika itu sudah jam tiga lewat, sang rembulan sudah turun rendah.

   Di antara siuran angin, pelahan terdengar suara sang gagak.

   Teng Hiauw keragu-raguan sekian lama, akhimya ia ambii putusan untuk turun juga.

   Ia terpengaruh oleh rasa penasarannya.

   Benar sekali ia hendak loncat turun, tiba-tiba datang sambaran angin dari arah belakang.

   Itulah sambaran golok, ia duga.

   Untuk egoskan diri, ia terus loncat turun.

   Menyusul mana, ia tampak berkelebat satu bayangan, yang loncat turun juga, tetapi sesampai di bawah, bayangan itu mencelat pula ke atas, ke gunung-gunungan di sebeiah depan, jauhnya setumbak atau lebih.

   la lantas lihat seorang berdiri menghampiri ia, tangannya melambai-lambai.

   "Ah!"

   Ia keluarkan suara tertahan. la sebenamya niat tegur bayangan itu. Ia belum sempat buka mulutnya, atau bayangan itu berteriak.

   "Ada penjahat"

   Ia kaget, ia berseru.

   "Aku bukannya penjahatl Aku"

   Ia berhenti dengan mendadakan.

   Sambaran angin datang pula dari belakang, rupanya dari sebuah peluru.

   la bcrkclit ke kiri, lalu ke kanan, karena serangan datang beruntun.

   Tatkala serangan berhenti dan ia bersiap, penyerangnya tetap tidak kelihatan, bayangan di atas gunung-gunungan pun turut amblas.

   Suasana kcmbali sangat sunyi.

   "Aku Teng Hiauw!"

   Pemuda ini berseru, dalam kesangsian tetapi pun hati panas.

   "Aku datang untuk bicara!"

   Belum suara itu berhenti, atau dari samping, dari gombolan pohon seruni. ada sambutan suaranya seorang perempuan, yang disusul sama munculnya scparuh tubuh.

   "Siapakah Teng Hiauw itu? Kita tidak mempunyai sahabat dengan nama dcmikian!"

   Lalu, beberapa biji Thielian-tjic menyambar pula Teng Hiauw gunai pedang Tanhong-kiamnya, untuk menangkis, tubuhnya terputar, kemudian ia berlompat ke arah si nona sambil berseru.

   "Nona Kiang, tahan dulu. Aku hendak bicara!"

   Nona itu terus muncul, hingga antara sinarnya si Puteri Malam, kelihatan nyata pakaiannya scrba merah. Dia ada Kiang Hong Keng si cantik. Tapi ia muncul untuk lari.

   "Nona, tunggu!"

   Berseru Teng Hiauw, yang terus mengejar. Nona itu loncat naik ke atas gunung-gunungan, dari sana ia loncat lebih jauh ke para-para pohon anggur. Selagi Teng Hiauw menyusul, tiba-tiba ia dengar seruan keras dari seorang tua.

   "Kembalilah!"

   Menyusul itu, antara suara berisik, sebuah batu besar melayang datang.

   Ia segera lompat berkelit Bolch dibilang di itu saat juga, pada jendela lauwteng di taman itu terlihat cahaya terang, dari api yang baharu dinyalakan, disusul sama nyalanya beberapa tenglolcng yang digantung di cabang-cabang pohon, hingga taman itu menjadi terang, apinya memain, mendatangkan bayangan daun-daun atau cabang-cabang pohon.

   Lalu, dari tempat lebat dengan pepohonan, muncul beberapa orang.

   Teng Hiauw nampak si nona serba merah, si bujang yang tadi siang menyambuti karcis namanya dan seorang tua yang kumis-jenggotnya sudah ubanan tetapi sepasang matanya tajam mencorong.

   "Bocah dari mana berani lancang memasuki rumahku?"

   Orang itu memperdengarkan suaranya yang keren.

   "Nyalimu benar besar!"

   Teng Hiauw mcndongkol, akan tetapi ia menahan sabar.

   "Kiang Lootjianpwee, aku bukannya orang jahat seperti barusan aku sudah terangkan,"

   Kata ia.

   "Harap kau tidak menuduh aku."

   Orang tua itu maju setindak.

   "Habis kau datang untuk apa?"

   
Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia mencgaskan. Teng Hiauw bungkam. Ia memang belum punyakan alasan. Tapi ia tidak bisa berdiam lama.

   "Aku datang untuk can Nona Kiang, guna memberi penjelasan."

   Kata ia kemudian. Wajah orang tua itu berubah seketika.

   "Can"

   Cucuku perempuan untuk memberi penjelasan?"

   Kata ia.

   "Kau bilang apa ini? Cucuku tidak kenal kau! Penjelasan apa itu? Jangan-jangan kau kandung maksud jelek! Lekas omong terus terang, aku masih bisa memberi ampun padamu!"

   Ia baharu mengatakan, atau matanya bersinar pula. Tangannya pun scgcra menuding.

   "Lagu suaramu menyatakan kau datang dengan maksud baik, tetapi lihatlah macammu!"

   Ia tambahkan.

   "Apa itu di tanganmu? Untuk memberi penjelasan apa perlu dengan pedang? Kenapa kau uber-uber cucuku? Kepandaian apa kau andali? Kau sebenamya kandung maksud apa?"

   Bukan main mendongkolnya Teng Hiauw, akan tetapi ia toh sadar.

   Ia memang membawa-bawa pedang.

   Dengan tiba-tiba, mukanya menjadi merah.

   Ia malu karena baharu ia sudah kejar anak gadis orang.

   Buru-buru Teng Hiauw masuki pedangnya ke dalam sarung, lalu ia memberi hormat.

   "Maaf, Lootjianpwee,"

   Ia kaia.

   "Harap Lootjianpwee tidak curigai aku. Aku bukannya scorang penjahat. Yang tinggal di scbcrang sana, Ahli Waris Thaykek-pay Teng Kiam Beng adalah ayahku."

   Orang tua itu tidak menjawab, ia hanya tertawa dingin.

   "Harap Lootjianpwee sukadengar keteranganku,"

   Menjelaskan Teng Hiauw lcbih jauh. Ia Iihat orang masih sangsikan padanya.

   "Pada beberapa hari yang lalu, selagi aku pergi berburu, aku melihat cucumu tengah dikepung banyak orang, dengan suka sendiri, aku bantui ia pecahkan kurungan itu. Setahu kenapa, tiba-tiba si nona serang aku dengan Thielian-tjie. Barusan pun untuk menangkis scnjata rahasia maka aku telah hunus pcdangku."

   "Yaya, jangan dengari dial"

   Nona Kiang memotong, untuk cegah engkongnya sahuti si anak muda.

   "Ia ada orang busuk! Dia adalah kawan rombongan orang itu, mereka memanggil dia dengan panggilan Teng Kongtjoe!"

   Baharu Teng Hiauw bilang "Bukan"

   Atau si orang tua sambil mengawasi dia dengan tajam, kata padanya.

   "Kiranya kau ada Teng Kongtjoe, maaf, maaf! Umpama kata kau benar sudah tolongi dia, tetapi orang Kangouw biasanya tidak mengharapkan pembalasan budi, maka itu, kenapa kau datang cari dia di waktu malam buta-rata? Apakah itu untuk minta dia haturkan terima kasih pula kcpadamu? Laginya, melihat kcpandaianmu barusan, kepandaian itu masih belum cukup untuk menolongi cucuku! Dan ada lagi! Ayahmu ada sahabat baik si orang besar she Soh, orang-orang yang kepung cucuku justru ada guru-guru silat keluarga itu, maka kau, apa kau bukannya bersekongkol dengan mereka itu? Apa kau bukannya ecngaja mcnolong untuk pedayakan cucuku? Hayo bilang, bilang!"

   Teng Hiauw malu berbareng likat sampai ia mengeluarkan keringat dingin.

   Ia pun mendongkol sekali.

   Memang ayahnya ada sahabatnya Soh Si an Ie, tapi ia tidak sudi akui bahwa ayahnya keliru.

   Ia mendongkol karena dituduh sekongkol sama rombongannya Hek Tjit "Kau keliru, Lootjianpwee!"

   Ia lantas membantah, tcrpaksa ia bicara kcras "Ayah adalah ayah, anak adalah anak, ayah ada punya sahabatnya, anak pun ada punya sahabatnya sendiri! Mustahil karena ayahku kenal Keluarga Soh, lantas orang-orangnya keluarga itu ada sahabat-sahabatku juga? Lootjianpwee pun bilang, aku tidak punya kesanggupan untuk tolongi cucumu.

   Memang"aku tidak punya kepandaian, aku tak dapat dibandingkan dengan cucumu yang pandai ilmu silat pedang Bweehoa-kiam, tetapi toh dengan kepandaianku yang rendah ini, aku pernah pecahkan kurungan kepada cucumu pcrcmpuan, hingga dia lolos dari bahaya Lootjianpwee, aku telah dengar namamu yang besar, yang dihormati, tetapi pendengaran tidak sama dengan bukti penglihatan.

   Rengalamanku masih hijau, aku tak mengerti aturan kaum Kangouw, tetapi aku tahu, Lootjianpwee harus tunjang angkatan muda, bukannya karena mengandali ketuaan dan keagungannya, dia justru menghina si muda!"

   Teng Hiauw seperti lupa dirinya, ia cabut pula pedangnya. Si orang tua belum bilang apa-apa, atau cucunya sudah hunus pedang.

   "Orang she Teng, kau menyindir, kau menghina nonamu!"

   Ia mcmbcntak.

   "Aku mau Iihat ilmu silat pedang Thaykekkiam!"

   "Jangan, Keng-djie!"mencegah si orang tua, yang tank cucunya itu. Dengan tiba-tiba, sikapnya jadi sabar. Torus ia awasi si anak muda, ia tertawa Ia kata.

   "Kau bemyali besar. Kau harus mengerti, meskipun ayahmu, apabila dia mencmui aku, dia mesti hormati aku sebagai scorang tjianpwcc! Karcna kau ada Ahli Waris Kaum Thaykek-pay, kau mesti mengerti aturan Kangouw, apabila lain kali kau berternu sama angkatan tenia, tak boleh kau berlaku kurang ajar begini. Kau tidak kenal aturan. Kenapa malam-malam kau lancang memasuki rumah orang? Untuk ini kau harus ditelikung, buat diserahkan kepada pembesar negeri, alas tuduhan jadi penjahat Kau juga bawa senjata serta senjata rahasia! Apa begini caranya untuk mengunjungi kaum tua? Seharusnya aku mcmberi ajaran padamu, tapi mengingat kau masih muda dan kurang pengaiaman, aku suka mcmbcri ampun. Kalau lain kali kau mengacau pula, jangan kau pcrsalahkan aku!"

   Teng Hiauw pandang si nona, lalu ia menjura pada orang tua itu.

   "Tjianpwee, terima kasih untuk nasihat kau ini, yang aku tak nanti lupai,"

   Kata ia.

   "Aku mengerti sckarang, aku tidak berani menenma pula pengajaran kau"

   Habis kata begitu, ia putar tubuhnya dan menuju ke pintu dengan tindakan lebar, tapi sctclah dekati tembok, ia enjot tubuhnya, naik ke atas tembok pekarangan. Di sebelah belakang, sambil tertawa, ia dengar suaranya si nona.

   "Bocah itu pernah bcrkata dia tidak mengharap untuk berternu pula dengan aku, tapi malam ini, tidak kcruan-kcruan dia datang pula!."

   Setelah itu, ia dengar suaranya si orang tua.

   "Eh, anak bengal, janganlah berlaku kurang ajar! Kenapa sebut-sebut bocah? Kau tidak punya sedikit juga kehormatan orang perempuan.* Teng Hiauw tidak ambil perduii. ia terus loncat keluar. Tapi ia tctap mendongkol Diam-diam ia tertawa dalam hatinya dan kata.

   "Aku bersikap keras, lantas tua bangka itu jadi lemas, aku percaya dia tidak punya kepandaian berarti, namanya nama kosong belaka."

   Lantas ia bcrjalan pergi, sesampainya di pinggir kali, mendadakan di situ ada mcnyambar sebatang panah disusul sama bcrkclcbatnya satu bayangan, yang keluar dan alingan tumpukan batu.

   Bayangan itu berhcnti di dcpannya si anak muda scraya tangannya dipakai mcnghaiangi- "Bangsat, kcmana kau hcndak pergi? Lekas tinggal barang curianmu!"

   Dcmikian dia membentak.

   Teng Hiauw mengawasi dengan heran.

   ia iihat seoring dengan usia tiga puluh lebih, romannya cakap, tubuhnya tidak tinggi besar dan tidak terlalu keren, mclainkan sorot matanya tajam.

   berpengaruh.

   Ia tidak takut, malah selagi mendongkol.

   Ia sekarang ingin melampiaskan itu.

   "Kau adalah si bangsat!"

   Ia membalik.

   "Tengah malam buta rata, kau sembunyi di pinggir kali! Kau bik in orang kaget!"

   Orang itu tertawa cekikikan.

   "Siapa membuat kaget?"

   Dia jawab.

   "Siapa surah, tengah malam buta rata ini, kau kelayapan di sini? Kau menggendol pedang, kau mengenakan pakaian malam, pasti jalanmu tidak benar! Hayo kau akui terus tcrang, kau ada bangsat atau tukang perkosa orang perempuan? Apakah kau tidak bunuh orang? Kau bicara, barangkali aku masih dapat mengampuni kau!"

   Teng Hiauw jadi sangat gusar.

   "Kau mau minggir atau tidak?"

   Ia membentak.

   "Eh, bangsat cilik, jangan bertingkah!"

   Orang itu menghina.

   "Nampaknya kau hcndak bikin pcrlawanan! Bocah, hunus pedangmu, jikalau kau bisa menangi aku, baharu aku suka mengasih jalan?"

   "Kau hcndak mclayani aku?"

   Tanya Teng Hiauw.

   "Baik, aku nanti temani kau! Cabutlah senjatamu!"

   Orang itu tertawa sampai mendongak.

   "Kau benar, aku memang hendak menjaja! ilmu pedangmu! Tapi aku bukan mau adu pedang dengan pedang, aku hendak mencoba pedangmu dengan kedua kepalanku saja!"

   "Sungguh jumawa!"

   Teng Hiauw berseru saking murka.

   "Kau hendak layani pedangku dengan tangan kosong? Kau tidak can tahu dulu, siapa aku ini? Mustahil kau belum pernah dengar liehaynya Thaykek-ldam?"

   Orang itu menguap, ia ngulet dengan kedua tangannya, lalu ia tertawa haha-hihi.

   "Jangan ngobrol saja!"

   Ia bilang.

   "Siapa kesudian cari tahu tentang asal-usulnya ilmu silatmu? Thaykek-kiam ada Thaykek-kiam, kau adalah kau! Kau sang bocah, apa kau ketahui tentang Thaykek-kiam? Jangan kau pandang hina sepasang kepalanku inil Nah, kau majulah, bangsat cilik!"

   Teng Hiauw tak dapat bcrsabar lagi- "Jikalau kau tidak diberi hajaran, kau tak tahu liehaynya!"

   Ia berseru. Ia lompat maju, ia menikam orang punya iga kiri. Ia gunai tipu serangan "Kauwlie tjoantjiam"

   Atau "Nona tangkas menusuk benang".

   Orang itu mengibaskan tangannya, ia menggeser ke samping kiri, menyerang pundak kiri.

   Teng Hiauw berkelit, scmbari kelit, pedangnya menikam tcnggorokan.

   Ia bcrlaku scbat bukan main.

   Lawan itu benar-benar gesit.

   Ia berkelit ke samping, lantas tahu-tahu Teng Hiauw merasakan sambaran angin dari arah belakangnya.

   Itulah tanda, musuh sudah bcrada di sebclah belakang.

   SambiI gescr kaki ke samping, Teng Hiauw putar tubuhnya ke belakang, pedangnya sckalian diayun, dipakai membabat ke belakang, untuk tabas Iengan orang.

   Orang itu tertawa, ia loncat mundur.

   "Ke mana kau hendak lari?"

   Berscru Teng Hiauw, yang lompat mcnyambar, kepada kedua kaki orang. Itulah gerakan "Benghouw hokkian"

   Atau "Harimau galak mendekam".

   Gerakannya Teng Hiauw cepat sekali, akan tetapi itu orang masih lebih sebat.

   Dengan satu enjotan, ia angkat kedua kakinya, bcrbareng dengan itu, dengan tangan kiri di dada, ia menyabet dengan tangan kanan pada Iengan orang Itulah pukulan "Yoeliong tamdjiauw"

   Atau "Naga mengulur kuku".

   Sambil menyamping, Teng Hiauw geser tangannya, setelah loios dari bahaya, ia bergerak dari luar kc dalam.

   menikam iga lawan.

   Orang itu berseru, ia egos tubuhnya, sesudah mana, ia merangsang pula, saking gesitnya.

   kembali ia ancam si anak muda, yang ia arah kcpalanya.

   "Kau terlalu menghina!"

   Berseru Teng Hiauw saking panas hatinya. Setelah kelit kcpalanya, ia menabas, dari bawah ke atas. Dari kelitan "Liongheng hoeipou"

   Atau "Naga terbang", ia gunai tikaman "Hoansin hiankiam"

   Atau "Mempersembahkan pedang". Ini penyerangan ada berbahaya, tetapi cuma-cuma saja terhadap lawan yang gesit itu, yang sukar di tikam atau ditabas, malah dialah saban-saban mengancam. Teng Hiauw jadi heran.

   "Ayah bilang Thaykek Sipsam-kiam tidak ada bandingannya, kecuali Soepeh,"

   Pikir ia.

   "Ayah pun bilang, aku telah dapati kepandaiannya tujuh atau delapan bagian, umpama aku merantau, aku tak usah kuatir kena orang permainkan. Pasti sekali aku percaya kata-kata Ayah itu. Tapi sckarang aku menjumpai lawan yang bertangan kosong ini."

   Teng Hiauw tidak tahu, ayahnya punyakan tabiat tak mau kalah, sedang lawannya ini adalah orang Kangouw dari kelas satu, tidak saja kepandaiannya liehay, pengaruhnya pun besar, hingga banyak sekali orang yang tu-nduk kepada titahntahnya.

   Menghadapi lawan scbagai ini, mana bisa ia tidak jatuh di bawah angin..

   Di sebelah sana, sang lawan juga kagumi tandingan ini, yang muda tapi sangat gesit dan tangkas, beberapa kali serangannya yang bcrbahaya.

   dia itu dapat elakkan.

   Teng Hiauw jadi penasaran, segcra ia gunai sccara sungguh-sungguh tipu-tipu dari Thaykek Kicbocn Sipsamkiam, untuk desak lawanitu, sampai sinar pedangnya berkelebatan bagaikan kilat.

   Sekarang sang lawan tidak berani lagi memandang enteng, untuk melayani ia gunai "Tjaytjhioehoat" ilmu pukulan "Memotong langit".

   Biar bagaimana, Teng Hiauw kalah latihan.

   ia kalah ulet, scsudah coba mendesak hebat, dengan sia-sia, ia lantas kena terdcsak.

   Tidak lagi ia sanggup kirim tikaman-tikaman atau bacokan-bacokan yang membahayakan, ia kewalahan menangkis atau berkeli t.

   Maka lama-lama, ia jadi sibuk sendirinya.

   Datanglah satu saat baik, satu lowongan, seccpat bisa, Teng Hiauw mcnusuk dengan bengis ke ulu hati orang.

   Lawan itu sedot perutnya, ia membungkuk sedikit, selagi tangan si anak muda melonjor, ia mendorong sambil mcngetok, atas mana, Teng Hiauw mundur sempoyongan, liampir ia rubuh, lengan kanannya berbareng dirasai sangat sakit.

   Pedangnya, tanpa ia merasa, telah kena dirampas.

   Dan sedang ia bingung, tahu-tahu api lentera Khongbeng-teng mcnyorot kcpadanya, disusul sama seruan.

   Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tjoe Soesiok, beri dia ampun.!"

   Itulah suara nyaring tetapi halus, menyusul mana, satu tubuh langsing melesat, datang kepada mereka, sesudah datang dekat, dia tcrnyata berpakaian serba merah. Karcna dia ada Nona Kiang Hong Keng yang nakal.

   "Ah, Siauw-soemoay!"

   Kata orang yang dipanggil Tjoe SoesiokPaman Guru Tjoe itu. Tapi ia tertawa.

   "Kenapa kau masih belum tidur?"

   "Belum, Soesiok, karcna kita telah digerecoki setengah malaman oleh bocah ini, sampai aku letih sekali!"

   Sahut si nona.

   Mereka bicara begitu asyik sampai Teng Hiauw tidak diperdulikan lagi.

   Dia malu, mukanya bcrscmu merah, tangannya sakit Ia gunai itu kctika baik, dengan tak gubris lagi pedangnya, ia putar tubuhnya, untuk lari di sepanjanggih-gili kali.

   Iabemiat pulang.

   Ia lari baharu beberapa t indak, sekonyong-konyong ada angin berkesiur di bclakangnya, jidatnya kena ditekan.

   Ia tidak berani menoleh, ia hanya loncat ke samping, baharu ia putar tubuhnya, akan tengok si pengejar.

   Tjoe Soesiok ada di depannya! "Aku tak dapat lawan kau, habis kau mau apa?"

   Ia mencgur dengan sengit. Ia ada sangat mendongkol.

   "Orang tolol!"

   Kata orang itu sambil tertawa berkakakan.

   "Kau kalah, kau lari! Apakah kau tidak inginkan lagi pedangmu? Apakah kau hendak korbankan itu?"

   Ia cekal pedang orang, ia pentil-pentil itu, hingga terdengar suara nyaring yang bcrsih. Ia kata pula.

   "Pedangmu ini tak dapat dicela! Apa benar kau ikhlas akan korbankan?"

   "Tidak, aku tidak mau!"

   Jawab Teng Hiauw dalam scngitnya.

   "Jangan kau terlalu jumawa karena kau menangi aku dan dapat ram pas pedangku itu! Lain waktu, pasti aku akan rampas pulang itu dan tangan kau1 Sekarang tidak, tetapi akan datang harinya! Mustahil untuk sclamanya aku tidak marapu rubuhkan kau?"

   Orang itu tertawa tcrbahak-bahak.

   "Apakah kau sangkaaku temahai pedangmu ini?"

   Kata dia. Tidak, kau legakan hatimu! Pedang yang scpuluh kali lebih bagus daripada ini, aku tidak sudi, apapula pedangmu ini! Nah, simpanlah ini, lain kali, jangan kau memberi lain orang rebut pula dari tanganmu!-.."

   Teng Hiauw mengawasi dengan hati bimbang, ia sangsi untuk menyambuti.

   Sebenarnya ia berat akan korbankan pedangnya Tanhong-kiam itu, tapi barusan menuruti suara hati ia sudah keluarkan kata-kata untuk merampas pulang Sekarang pedang itu dikembalikan Orang itu mengawasi sambil bersenyum, rupanya ia bisa duga kcragu-raguannya Teng Hiauw.

   "Ah, orang tolol, apa artinya kena dikalahkan?"

   Kata ia.

   "Ini cuma sedikit pelajaran Orang gagah kaum Kangouw siapa yang tak pernah didampar gelombang dahsyat? Baharu pedangmu dirampas, mustahil orang itu kau anggap sebagai musuh besar? Habis bagaimana dengan negara kita, yang orang Boantjioe telah rampas9"

   Selagi bicara, sikap orang itu jadi demikian keren, sehingga Teng Hiauw kena dipengaruhi, tanpa merasa. Ia ulur tangannya, akan sambuti pedangnya.

   "Kau ada satu enghiongapa kau suka beritahukan she dan namamu?"

   Kata ia. Orang itu tertawa sambil melenggak.

   "Tak perlu kau tanya she dan namaku!"

   Ia menyahut "Kau ada satu siauwya, mengetahui namaku, untuk kau tak ada faedahnya."

   La putar tubuhnya dan bcrtindak pergi.

   Kalau tadi ia mau angkat kaki.

   sekarang Teng Hiauw berdiri tcrcengang.

   Si nona pun bcrlalu, bersama-sama orang lelaki itu, sembari jalan mereka pasang omong sambil tertawa, sampai suara mereka, tindakan kaki mereka, tidak terdengar lagi, sampai tubuh mereka, bayangan mereka, pun tidak tertampak.

   Teng Hiauw mengawasi dengan bengong.

   sampai tiba-tiba, ia sadar tapi dengan pikiran kusut.

   Ia benci mereka, ia pun sukai mereka.

   Si nona ada polos, si orang lelaki satu laki-laki.

   Dua-dua mereka ada sangat menarik perhatiannya, ia seperti terbetot pengaruh luar biasa.

   Si nona panggil si Iclaki "Tjoc Socsiok"- Parnan Guru Tjoe.

   Si lelaki bahasakan si nona "Siauw-soemoay" adik seperguruan.

   Hubungan apa ada di antara mereka bcrdua? Lelaki itu ada mund atau cucu murid si orang tua she Kiang itu? Tak dapat Teng Hiauw pecahkan keganjilan itu.

   Mustahil satu paman panggil kcponakannya satu adik seperguruan? Mustahil satu adik seperguruan panggil soehengnya -kanda seperguruan paman? Dan kenapa, nampaknya perhubungan mereka bcrdua demikian rapat? Tanpa merasa, Teng Hiauw mengiri.

   Toh baharu saja dia didamprat si nona! Lama anak muda ini berpikir, akhirnya, ia tertawa.

   "Dasar aku yang tolol ia tegur dirinya sendiri.

   "Perduli apa mereka itu? Aku toh tak nanti kctemu pula mereka?"

   La sampai di rumah di waktu ayam jago mulau berkeruyuk, ia mcrasa letih sekali.

   Ia gulak-gulik di atas pembaringannya.

   Sampai terang tanah, baharu ia bisa pulas.

   Ia bisa tidur dengan nyenyak.

   Entah jam berapa, ayahnya membangunkannya.

   Dan datang-datang, ayah itu menegun "Eh, kenapa kau tidur begitu nyenyak? Tadi malam kau bikin apa? Lihat, tetamu semua sudah pada pergi!"

   Mcmang Kiam Beng telah beberapa kali tengok anaknya itu, ia sampai raba jidatnya, yang rada hangat, ia tidak tega untuk membanguni, ketika tetamu-tetamu, yang bcrkunjung, pada berangkat pergi itu waktu sudah mendekati tengah hari ia longok pula anaknya .itu, yang ia kuatir jatuh sakit.

   Hatinya ayah ini lega apabila ia dapat i anaknya tidak kurang suatu apa.

   Ia hanya heran, kenapa anak ini tidur demikian nyenyak.

   Itu tak mesti tcrjadi buat orang yang yakinkan Thaykek-kocn, yang sebal iknya, mesti bangun pagi-pagi.

   Kalau sang ayah mengherani putcranya, si putera pun tercengang mendengar ada kedatangan tetamu, hingga tanpa merasa, ia memandang ke jendela.

   Ia masih dapat melihat tetamu-tetamunya tiga orang -yang sedang bertindak keluar.

   Ia lantas kenali mereka itu, ialah Keluarga Son, pahlawan pertama dari satu guru silat Keluarga Hoa, dan yang kctiga, sahabat ayahnya, ialah Soh Tjie Tiauw, putera ketiga dari Soh Si an le, pemuda mana sering datang ke rumahnya.

   Ia segera menduga, pahlawan dan guru silat itu datang untuk membikin perhitungan, atau mereka bicara jelek tentang ia di depan ayahnya itu.

   Maka ia melengak.

   Tapi hatinya lega kapan ia berpaling pada itu ayah, wajah orang tua ini tidak saja tenang malah bersenyum berseri-seri.

   Ayah itu masih mengawasi ketika dengan tiba-tiba ia menghela napas dan bcrkata.

   "Tahun dan bulan lewat bagaikan air mengalir, tanpa merasa aku telah datang ke Pooteng ini sudah dua puluh tahun lebih kau telah berumur sembilan belas tahun, sembilan belas tahun!"

   Teng Hiauw awasi ayah itu, ia merasa aneh. Entah kenapa, ayah itu sebut-sebut umurnya. Ketika kemudian ia hendak majukan pertanyaan, ayahnya itu, yang awasi ia itu, bersenyum dengan tiba-tiba.

   "Kau sudah berusia sembilan belas tahun, kau sudah mesti dijodohkan, aku."

   Teng Hiauw tcrperanjat, hingga ia potong ayahnya itu.

   "Ayah, aku masih belum pikir untuk menikah!"

   Dari gembira, Kiam Beng jadi kurang senang. Ia goyanggoyang tangan.

   "Dengar dulu!"

   Ayah ini.

   "Satu anak tak boleh scmbarang potong perkataan orang tua. Kau mengerti? Kau sudah berumur sembilan belas tahun, kau tidak kecil lagi, setelah bertunangan, kau lantas jadi orang dewasa! Apakah kau tidak mengerti ini? Kau lihat beberapa tetamu kita itu? Mereka datang untuk jodohmu. Pihak perempuan ada Keluarga Hoa. Aku sudah terima baik lamaran mereka;"

   "Kau sudah terima baik, Ayah?"

   Teng Hiauw tcrkejut.

   "Keluarga itu ada keluarga berpangkat, kita dari kaum ahli silat, adakah itu cocok?"

   Urat-urat di jidatnya pemuda itu sampai terlihat nyata, tanda sibuk hatinya. Dengan dingin Kiam Beng pandang puteranya itu.

   "Apa jeleknya nona dari keluarga berpangkat?"

   Kata ayah ini.

   "Mereka sendiri tidak cela kita, habis kau hendak memilih yang bagaimana?" Tetapi, Ayah,"

   Kata anak itu yang menahan sabar.

   "Bukankah Ayah sendiri yang pernah bilang pesan Engkong adalah melarang kita menjadi orang berpangkatnya bangsa Boan? Kenapa kita justru berbesan dengan orang Boan sekali?"

   Kiam Beng menjadi tidak senang.

   "Eh, kenapa kau tidak dengar aku?"

   Ia menegur.

   "Apa aku perintah kau pangku pangkat dan bekerja untuk bangsa Boan? Kenapa kau lancang bawa-bawa pesan Icluhur kita? Benar dulu Keluarga Hoa itu pangkupangkat tempi sudah sejak lama dia undurkan din Dia pun, seperti Keluarga Soh, ad a dermawan bukannya pcmbesar busuk! Kau tahu, Keluarga Hoa hendak jodohkan keponakannya dan cabang dekat, dan orang perantara ada Soh Kongtjoe. Nona itu cantik, mengerti surat dan adat-istiadat, dia pandai menjahit dan menyulam. menikah dengan nona itu, apa kau tidak merasa beruntung?"

   Ayah itu mendelik, ia bersenyum tawar ketika ia menambahkan.

   "Kau suka kelayapan sama perempuan hutan? Kau mcnycbut diri keluarga ahli sifat, habis apa kau hendak cari nona tukang dangsu? Benar begitu?"

   Teng Hiauw tunduk, mukanya merah.

   "Aku tidak menyebut demikian,"

   Ia menyahut.

   "Kau tidak memikir demikian, itu bagus!"

   Kata sang ayah, yang ketok mejadengan pelahan.

   "Mcskipun kita ada dan keluarga ahli silat, aku tidak menyetujui nona tukang dangsu. Kau tahu. satu isteri mesti bijaksana dan tahu aturan, tetapi nona-nona Kangouw melainkan pandai naik di atas tambang, mcnunggang kuda, mainkan golok dan pcdang, tetapi megang jarum, ia rasai itu terlebih sulit daripada mainkan golok besar. Kau pikir, perempuan demikian dapat merawat suami?"

   Kembali ayahnya ketok meja, dengan sama pelahannya.

   "Umpama cucu perempuan dan si orang tua she Kiang"

   Ia kata pula. Mendengar itu, Teng Hiauw kaget sekali. Ia menduga ayahnya sudah tahu rahasianya. Tetapi ayah itu melanjuti.

   "Kiang Hong Keng yang dipanggil Angie Liehiap setiap kali dia muncul di udara tcrbuka! Satu nona iimur tujuh atau dclapan belas tahun, kerjanya naik-turun kuda saja, dia berkeliaran, dia main gagah-gagahan adu kepandaian dan bercidera dengan orang, maka nona scmacam itu man a tahu kewajiban satu isteri?"

   Teng Hiauw diam saja, sang ayah pun tidak mcmperdulikannya, ayah ini telah tetapkan perjodohannya hanya sejak itu, di samping meyakinkani ilmu silat, ia ingin putera ini belajar juga ilmu surat, kelakuannya harus sedikit diubah hingga jadi sedikit lemah-lembut, agar besannya tidak katakan dia kasar dan nanti menertawainya.

   Teng Hiauw ada sangat tidak setuju, ia tidak puas sekali.

   la jadi mcrasa seperti terbelenggu.

   Memang, pendiriannya dengan pendirian ayahnya itu sudah terpisah jauh jaraknya, urusan perjodohan itu menambah kerenggangan.

   Ia pun tak puas ayahnya mencela Hong Keng.

   Tapi berbareng dengan itu, ia ingat si nona dan Tjoe Soesioknya, hingga kembali bangkit rasa iri hatinya.

   "Apakah si paman itu bukan tunangannya?"

   Ia mendugaduga.

   Pemuda ini terus tak dapat melupai Nona Kiang, walaupun ia telah merasakan pahit-getir.

   Ia belum pikir akan punya si nona, toh ia tak puas nona itu mempunyai "orang di dampingnya".

   Ia pun tak perlu pikir si nona, karena ia sendiri sudah ikat tali perjodohan.

   Oalam keragu-raguannya, Teng Hiauw bicara sama Kim Hoa, ia utarakan tak setujunya, tetapi soeheng itu tidak bisa memberi pikiran baik untuknya.

   Selang bebcrapa hari, Teng Kiam Beng sudah antar panjar.

   Ia "main terbuka", hingga kaum ahli silat di Kota Pooteng ketahui hal perangkapan jodoh itu atau ikatan besan, hingga urusan itu jadi bahan pembicaraan, sedang Teng Hiauw turut jadi buah kata-kata hingga dia jadi jengah sendirinya.

   Dua hari kemudian, di waktu malam, sclagi Teng Hiauw sukar pulas, oleh karena ruwetnya pikiran, tiba-tiba ia dengar suara berkeresek di atas genteng, lalu itu disusul sama terpentangnya daun jendela, sedang waktu itu tidak ada angin.

   Tidak tempo lagi, ia loncat turun dari pembaringannya, dengan sebelah tangan di depan dada, ia loncat kdluar dari kamarnya.

   Rembulan malam itu ada jdrnih, maka itu Teng Hiauw lihat dua bayangan sedang bcrlari-lari, malahja kenali, yang di sebelah belakang adalah seorang perempuan.

   Dua orang itu lari pesat, sebentar saja, mereka menghilang.

   Dengan pikiran tak keruan, Teng Hiauw kembali kd kamarnya, tapi sekarang, di atas mcjanya, ia nampak selembar kertas yang ditusukjarum.

   Ia membaca.

   "Langit ada luas, di manakan di dunia ini tidak ada rumah ? Apa satu laki-laki mesti tunduk dan mengandalkan kepada lain orang?"

   Ternganga Teng Hiauw apabila ia telah membaca, terus ia menjublek dengan pikirkan surat itu.

   Dalam ragu-ragunya itu, ia ingat suatu apa, ia sepcrii orang tersadar dari tidurnya.

   
Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Segera ia ambil pedang Tanhong-kiamnya, ia kantongi uang belasan tail perak.

   Ia pun mcnulis surat untuk ayahnya.

   Akhimya, sambi I bawa satu buntaIan, ia keluar dari rumahnya.

   Dunia ada luas, pemuda ini hendak merantau! Selagi udara ada terang, di jalanan dari Hoopak menuju ke Hoolam, ada berjatan satu anak muda cakap umur delapanatau sembilan belas tahun, pakaiannya indah tetapi binatang tunggangannya ada seekor keledai yang kurus dan jelek macamnya, hingga binatang tunggangan itu dan penunggangnya sangat tidak tepat.

   Pemuda itu adalah Teng Hiauw yang tengah melarikan din.

   Yang belum punya pengalaman.

   Ia anggap merantau mcski dandan pantas, tak boleh sederhana seperti di rumah, dari itu, ia bekal dua perangkat pakaian.

   Kctika ia memilih, ia justru kena jumput pakaian yang ayahnya siapkan untuk pernikahannya nanti! Baharu hari pertama, Teng Hiauw telah tcrbitkan buah tcrtawaan.

   Ia jalan di siang hari, ia mesti jalan dengan pelahan.

   Di tempat umum, dimana lalu-lintas ramai, ia tak dapat jalan scparuh lari seperti di waktu malam, ia tak dapat gunai ilmunya jalan keras "Patpou kansian"

   Dan "Lioktee hoeiteng".

   Ia pun telah tidak ambil jalanan kecil.

   Ia memang tidak tahu jalanan, ia melainkan tahu hendak menuju ke Propinsi Hoolam untuk mengunjungi Thaykek Tan di Tankeekauw, Hoaykeng.

   Ia mau cari ahli Thaykek-koen si she Tan itu, untuk belajar silat, supaya ia bisa gabung kedua macam ilmu silat asal satu golongan itu.

   Maka di sepanjang jalan, sabansaban ia tanya orang, di mana letak Kota Hoaykeng.

   Sebal Teng Hiauw akan jalan ayal-ayalan, ia cepatkan tindakannya.

   Tidak merasa, ia telah jalan cepat sekali.

   Ia membuat orang heran dan curigai padanya.

   Ketika ia kebetulan lewati seorang polisi, ia segeradisusul.

   Ia disangka ada satu penjahat pemburon, ia hendak ditangkap.

   Syukur ia masih di luar Kota Pooteng, ketika ia menerangkan, ia ada puteranya Teng Kiam Beng, ia tidak jadi ditangkap.

   Si orang polisi sangka ia lagi yakinkan ilmu lari keras.

   Ia cuma diperingari untuk jangan berlatih di jalan besar! Itulah pengalamannya yang pertama.

   Yang kedua ia telah ditolak oleh tuan rumah penginapan ketika ia singgah untuk bemialam.

   Itu kejadian di malam pertama, tempo ia sampai di satu kota kecil.

   Ia dandan perlente, tapi ia jalan kaki, mukanya pun penuh debu, tuan rumah bercuriga ia ditampik dengan alasan semua kamar sudah penuh.

   Ia jadi sibuk.

   Akhirnya dengan ngodol dua tail, ia dapat sebuah pondokan kecil dan jorok, makanannya tak keruan! Di hari kedua, sesudah insyaf, Teng Hiauw memikir akan cari binatang tunggangan.

   Ia pergi ke pasar, ia tanya harga kuda.

   Ia dapat keterangan, kuda yang bagus ber harga tiga puluh tail lebih, dan yang jelek, sedikitnya belasan tail.

   Ia cuma bekal belasan tail, sudah dipakai beberapa tail, maka sisa uangnya tinggal sepuluh tail lebih sedikit.

   Akhirnya, ia beli seekor keledai, yang kecil dan kurus, yang macamnya tak keruan.

   Menunggang kcledai, Teng Hiauw merasa jemu.

   Baharu ia jalan sepintasan, keledai itu sudah ngorong kelelahan.

   Binatang itu bertindaknya Iambat sekali, hingga ia haus.

   Kelcdainya pun ingin minum.

   Maka ia mampir di tempat ramai yang pertama.

   Ia pilih rumah makan yang paling besar.

   Ia baharu muncul didepan pintu, atau jongos, dengan al is dikerutkan kata padanya.

   "Menycsal, Tuan, di sini tidak ada minuman. Di depan, Pengen-tin, ada sebuah kota besar. Lagi tiga puluh lie, kau akan sampai di sana, dengan runggang keledai, dalam tempo setengah jam, kau akan sudah sampai."

   "Kau buka rumah makan, kau tolak tetamu?"

   Berseru Teng Hiauw dengan mendongkol.

   "Aturan apa ini? Apa kau kira aku tidak punya uang?"

   Ia mcrogoh sakunya, ia segera menyodorkan dua tail perak. Baharu sekarang jongos itu bersikap manis, karena ia lihat uangnya dan jerih juga. Ia mempcrsilakan tctamunya ke dekat jendela.

   "Tuan ingin minum apa?"

   Bertanya ia dengan hormatnya. Sebenarnya Teng Hiauw masih mendongkol, ia ingin umbar hawa amarahnya, akan tetapi ia lihat banyak mata mengawasi ia, terpaksa ia tenangkan diri.

   "Arak apa pun boleh asal jangan yang keras,"

   Ia jawab. Jongos itu tertawa, ia menyuguhkan arak "Tiokyap-tjeng".

   "Arak ini pasti cocok untuk Tuan,"

   Kata ia.

   Tiokyap-tjeng ada arak keluaran Henghoa-tjoen, Shoasay, baunya harum dan rasanya menyenangkan, siapa minum itu, tidak lantas pusing, hanya nanti, pelahan-Iahan.

   Dan Teng.

   Hiauw merasa senang dengan minuman ini.

   Ia minum sambil memandang lain-lain tetamu, hingga ia pun menarik perhatian empat tetamu yang duduk di meja timur.

   Satu tetamu yang berumur lima puluh lebih, yang dua berusia tiga sampai empat puluh tahun, yang keempat pemuda umur dua puluh lebih.

   Mereka bicara dengan lidah Selatan dan Utara, hingga menjadi nyata, mereka bukan berasal satu tempat.

   Pembicaraan mereka dicampur sama kata-kata rahasia sebekal pedang.

   Biar bagaimana, Teng Hiauw ada puteranya satu ahli silat, tidak banyak, sedikit ia mcngcrti j uga kata-kata rahasia kaum Kangouw, maka itu, ia tahu empat orang itu bicara tentang suatu perkumpulan rahasia, perihal Kaum Pcmbcron lak Rambut Panjang.

   Rupanya mereka itu hendak mencari orang.

   Ia duga-duga, mereka ada or-ang-orang baik atau jahat, jikalau mereka ada orang baik-baik, ingin ia bersahabat dengan mereka itu.

   Ia baharu memikir, atau orang sudah mendahului undang dia.

   Si orang tua bangkit bcrdiri dan sambil melambaikan tangan, ia mengundang.

   "Sahabat, mari duduk bersama-sama kita. Tanpa sangsi, Teng Hiauw menghampiri. Ia segera dipersilakan duduk.

   "Saudara, kau sebenarnya ada dari jalan mana?"

   Tanya orang tua itu. Ia maksudkan, pemuda ini ada orang gagah dan mana "Aku sedang bikin perjalanan,"

   Sahu! Tcng Hiauw dengan tercengang. la bingung dengan pertanyaan orang itu. Dijawab secara bertentangan, orang tua itu mengawasi.

   "Saudara. jangan curiga,"

   Kata ia "Kita orang ada asal jalanan yang sama sumbernya. Aku tanya kau, kau menjaga membuka merayap atau diatas jalanan mcnggantung mereka? Kau membuka usaha secara resmi atau membuka gunung mendirikan almari?"

   Teng Hiauw mendatangkan kecurigaan orang, maka juga dia ditanya apa dia telah merampok di suatu tempai tertentu, apa dia tidak pilih tempat, apa dia masuk anggota suatu rombongan, atau dia Cuma bekerja, atau dia jadi kepala sendiri.

   Semua pertanyaan itu tidak dimengerti oleh orang she Teng ini, ia tidak tahu bagaimana harus menjawab, maka itu, ia menjadi bingung.

   Si anak muda mengawasi, lalu ia tertawa.

   Ia pun tarik tangan orang.

   "Saudara Muda, kau rupanya baharu menginjak dunia Kangouw!"

   Kata ia.

   "Looyatjoe, kita salah mata, dia menyangka kau ada orang Kangouw yang ada asal-usulnya."

   Si orang usia pertengahan juga tertawa.

   "Kau pun keliru!"

   Ia kata pada sahabatnya yang muda itu.

   "Saudara Muda ini, walaupun dia bukannya satu kaum Kangouw ulung, mesti ada satu ahli silat kenamaan. Lihat pedangnya. Itu, itu."

   Dan dia merandek sendirinya. Ia hendak puji pedang itu, tctapi pedang masih di dalam sarung, dia belum pemah lihat, bagaimana dia dapat memujinya? Syukur, Teng Hiauw telah sambungi ia.

   "Bicara tentang ilmu silat pedang, aku mengcrti Thaykek-kiam secara kasar-kasar, dari itu, aku bukannya satu ahli silat kenamaan. Tjoewie Tjianpwee sendiri tentu ada ahliahli."

   Teng Hiauw jadi suka bicara, karena ia lihat orang ada manis budi, tidak galak sepcrti si orang she Kiang - KiangEkHian.

   "Eh, Saudara Muda,"

   Tanya si orang tua.

   "kau sebenarnya ada dari golongan mana?"

   Kembali pemuda ini melengak.

   "Aku tidak masuk perkumpulan,"

   Sahut ia. Orang tua itu isikan cawannya, atas mana, Teng Hiauw buru-buru menyambuti, ia hendak membilang terima kasih tetapi si orang tua mendahului, katanya.

   "Saudara, kendati kita orang baharu bertemu, kita sudah sepcrti sahabat-sahabat lama. Aku paling suka anak-anak muda yang gagah. Kita kaum Kangouw mesti omong terus terang. Saudara, kau mengcrti ilmu silat, biar kau bukan anggota perkumpulan, kau mesti punvakan kaum. Orang toh tak bisakeluardari meledak, bukan?"

   "Aku tidak tahu halnya perkumpulan,"

   Kata Teng Hiauw, yang berpura-pura pilon.

   Ia tidak curiga tetapi ia tak ingin perkenalkan asal-usulnya.

   Dengan sebut nama ayahnya, ia kuatir nanti tcrhina.

   Ia pun scdang buron, tak dapat ia buka rahasia sendiri.

   Orang tua itu keringkan cawannya sendiri.

   Ia lihat orang sepcrti tak gembira bicara.

   "Kendati kita baharu pertama bertemu, kita ada sepcrti sahabat-sahabat lama,"

   Orang tua ini kata pula kemudian.

   Tentu saja, kau curiga, Saudara, kau tidak berani lantas omong terus terang.

   Umpama kau tidak memasuki sesuatu perkumpulan, kau tentu ketahui halnya badan-badan perkumpulan kaum Kangouw.

   Umpama Gichoo-toan, kau tahu atau tidak?"

   "Aku tidak tahu,"

   Sahut Teng Hiauw sambil goyang kepala.

   "Toatoo-hwee?" , Tidak tahu juga."

   Orang tua itu meletaki cangkirnya dengan digabruki.

   "Bcnar-benar kau pandang kita sebagai orang luar!"

   Melanjutkan ia "Di mana ada seorang Kangouw yang tidak jujur sepcrti kau? Giehoo-toan kau tidak tahu, Toatoo-hwee kau tidak kenal, nah, kau scbutkanlah Sendiri, sebenarnya perkumpulan Kangouw apa saja yang kau ketahui! Mustahil kau tak mengetahui satu jua?"

   Teng Hiauw jadi berpikir.

   "Aku mclainkan ketahui satu"

   Akhirnya ia jawab.

   "Perkumpulan apa itu?"

   Tanya si orang tua.

   "Aku cuma ketahui Piesioe-hwee"

   Sahut si anak muda, yang suaranya tak tegas. Air mukanya si orang tua berubah.

   "Oh, Piesioe-hwee?"

   Kata ia.

   "Siapa yang kau kenal dalam kumpulan itu?"

   Pertanyaan ini membikin Teng Hiauw bungkam.

   Ia menyebut Piesioe-hwee karena ia ingat itu setelah si orang tua sebut Toatoo-hwee.

   Wajah si orang tua pun ada lain.

   Tentang Piesioe-hwee ia tak tahu suatu apa, cuma dari Kim Hoa ia dengar, itu ada satu perkumpulan rahasia "Aku tidak kenal orang-orang perkumpulan itu,"

   Ia berkata kemudian.

   "Aku pun dengar itu dari satu sahabatku. Katanya dalam Piesioe-hwee ada satu pemuda dengan kepala sepcrti kepala macan tutul, mukanya berewokan, dia pandai ilmu pedang Thaykek-kiam."

   Orang tua itu lantas tertawa berkakakan.

   "Benar-benar mataku yang tua tidak lamur!"

   Berkata ia dengan gembira.

   Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kau memang bukan orang sembarangan, Saudara!"

   Dan ia tunjuki jempolnya, ia suguhkan arak pula., Teng Hiauw bingung.

   Selagi ia tak tahu mesti berbuat apa, ia lihat si orang tua tertawa dingin, lalu secepat kilat, tangannya itu menyambar ke pundaknya hingga ia merasa seperti digaet besi, sampai tangannya sesemutan dan lemas.

   Dan belum ia tahu apa-apa.

   dua orang lain sudah keluarkan borgolan dengan apa kedua tangannya terus dirantai! Walaupun ia Jiehay, dalam keadaan seperti itu, selagi ia bingung, Teng Hiauw lidak sempat berdaya.

   Sama sckali ia tidak menyangkajelek.

   Ia ada scorang hijau untuk dun ia Kangouw, scdang gcrakannya si orang tua ada luar biasa tangkas.

   Tapi ia jadi tidak puas.

   ia mendongkol.

   Selagi Iainlain retamu kaget dan heran, ia berseru.

   "Eh, kawanan manusia busuk, siauwya kau tidak bcrmusuh dengan kamu scmua, ken apa kau orang tangkap aku? Lihat, hari ada terang-bendcrang! Apakah kau orang tidak takuti undangundang negara?"

   Si orang tua awasi pemuda itu 8tl ketawa dingin, kcmudian ia berpaJing pada Iain-Iain tetamu, yang scmuanya terperanjat dan tcrcengang, i dcngan sabar ia mcnyahuti si anak muda.

   "Undang-undang negara? Looyamu ini adalah undang-undang negara."

   Lantas ia lambaikan tuan rumah di depan siapa ia beber surat kuasa atati surat titahnya, sambil tambahkan.

   "Kita semua telah ditugaskan Sri Baginda Raja untuk bekuk kaum pemberontak, dan ini bocah adalah si pemberontak! Dia minum arak di waning kau ini, kau juga tak dapat lolos dari tanggung jawab, tetapi menampak romanmu, kau 11ada sangkut paut dengan dia ini, kita suka memberi ampun, kita tidak hendak bawa kau untuk diperiksa terlebih jauh, akan tetapi lain kali kau mesti nyalakan api sedikit lebih bcsar, supaya jika ada orang yang dicurigai, kau mcsti segera laporkan itu kepada pembesar negeri!"

   Dengan "nyalakan api sedikit lebih besar", diartikan awas mata.

   Menurut undang-undang Kerajaan Tjeng, siapa bcrontak, dia akan terembet sampai pada tiga tingkat sanak-berayanya, maka juga si tuan rumah, jongosnya, dan sckalian tetamu lainnya, jadi jerih sekali.

   Begitulah tuan rumah, dia tidak berani minta pembayaran uang arak dan makanan.

   Jongos, yang tadi sambut Teng Hiauw, ingin bermuka-muka.

   "Memang!"

   Kata ia.

   "Begitu melihat roman dia ini, aku sudah curiga, tadi aku larang dia masuk tetapi dia memaksa!"

   Teng Hiauw jadi lebih-lebih gusar.

   "Setan alas!"

   Ia mem ben tak.

   "Kau orang adalah si orang-orang jahat! Cara bagaimana kau orang boleh tuduh aku? Terang kau orang hendak memeras!"

   "Memeras?"

   Ulangi si orang tua.

   "Apakah kau perlu penjelasan? Piesioe-hwee ada perkumpulan rahasia pemberontak paling jahat dan berbahaya, sesuatu anggotanya yang kena ditawan, mesti dihukum mati, Sri Baginda Raja tak akan bcrikan ampun lagi! Oh, bocah, kau masih mengharap untuk hidup pula?."

   Si tua ini dengan getas tuduh pemuda itu ada anggota Piesioe-hwee.

   Mereka ini benar-benar ada orang-orang yang ditugaskan menawan kaum pemberontak, tetapi mereka bukan diwajibkan utama menumpas Piesioe-hwee, hanya Gichootoan.

   Piesioe-hwee cuma main lakukan penyerangan gelap, tidak demikian dengan Giehoo-toan, yang angkat senjata.

   Giehoo-toan bercita-cita "Hoetjeng Hokbeng - merubuhkan Kerajaan Tjeng untuk membangunkan pula Kerajaan Bcng, dan juga mcmbela rakyat jelata, korban sewenang-wenang pembesar-pembesar negeri.

   Adalah tadinya, terang-ferangan, Giehoo-toan masih diperlakukan mirip Piesioe-hwee.

   Itu sampai empat orang adalah orang-orang kepercayaan Kioeboen Teetok dari Pakkhia yang dipcrbantukan pada Socnboc Lie Peng Heng dari Shoatang, kepada Tjongtok Djoe Lok dari Titlee, dan kepada Soenboe Thio Lie Bwee dari Hoolam, untuk cari orang-orang Giehoo-toan.

   Teetok itu memang lepas banyak orangnya, maka mereka ini, yang bekerja sama dengan orang-orang setiap propinsi sendiri, merupakan seteru hebat bagi pergerakan kebangsaan itu.

   Tempat tugas dari empat orang itu adalah daerah Kota Anpeng.

   Si orang tua ada Tjiauw Tiong Yauw, keutamaan ilmu silatnya ada "Thongpie-koen"

   Atau "Menembusi Lengan"

   Serta sedikit Tiamhiat-hoat Tiga yang Iain ada kawan sekerjanya, yang pandai loncat tinggi.

   Mereka pun mengerti kata-kata rahasia kaum Kangouw.

   Setiap mencari tahu tempat musuh, atau lantas membekuk anggota-anggota Giehoo-toan yang berkeliaran.

   Tjiauw Tiong Yauw mengerti, Teng Hiauw ada scorang hijau, tetapi karena pemuda ini menyebut-nyebut Piesioehwee, perkumpulan yang sangat dirahasiakan, serta menghunjuk juga anggota Piesioe-hwee yang pandai Thaykekkiam, ia jadi curiga juga.

   Anggota Piesioe-hwee yang dimaksud, yang berkepala sebagai kepala macan tutu I, adalah Law Boe Wie, yang sedang dicari keras.

   Teng Hiauw ketahui lukisan roman orang tetapi tidak tahu namanya, sebab Kim Hoa, dari siapa ia perolch keterangan.

   tidak menyebutnya.

   Iadisangka ada punya hubungan sama Boe Wie, dari itu, ia lantas ditawan.

   Itulah sikap umum dari orang-orang polisi ini.

   yang berpokok.

   "Lebih baik kcliru bunuh seratus rakyat jelata daripada melepas lolos satu penjahat". Demikian Teng Hiauw yang apes, sia-sia ia memprotes, orang tidak gubris padanya. Tiong Yauw berempat terus minum araknya. sampai kemudian, di jalan besar, debu tertampak mengebul, kuda menerbitkan suara berisik dengan suara dan tindakannya. Itulah scpasukan tentara penumpas pemberontak, yang datang ke arah tujuannya, dengan di sepanjang jalan melakukan penangkapan kepada rakyat jelata yang disangka. Opsir yang mengepalai pasukan itu girang bukan main apabila Tiong Yauw melaporkan dapat dibekuknya satu anggota Piesioe-hwee. Seiagi hamba negeri itu mclanj uti perjamuannya, ke dalam rumah makan itu ada benindak masuk satu tetamu. Entah bagaimana, dia masuk tanpa menarik perhatian siapa juga, kecuali sesudah dia berada di depannya Tiong Yauw dan si opsir beramai. Ketika itu, rumah makan seperti terkurung tentara, meski benar sekalian serdadu sedang beristirahat dan bcrpencaran. Orang ini berumur hampir empat puiuh tahun, alisnya kereng, matanya bersinar. Teng Hiauw pun tidak perhatikan orang ini, karena ia sedang repot dengan dampratannya, sebab ia sangat mendongkol atas periakuan orang-orang polisi rahasia itu. ia baharu berpaling, untuk melihat, kapan ia dengar ada serdadu yang menegur dengan keras.

   "Kau siapa? Kenapa kau lancang masuk kemari? Kau tak tahu aturan?"

   "Aturan apa sin?"

   Balik menanya tetamu itu, sikapnya sabar luar biasa.

   "

   Dirumah makan, sesuatu orang dapat memasukinya! Looya bisa datang kemari, mustahil aku tidak?"

   Itulah suara, yang Teng Hiauw kenali, hingga ia terkejut, apabila ia (liat romannya, ia heran bukan main! Dia segera kenali orang yang Angje Lichiap si Nona Baju Merah, panggil "Tjoe Soesiok", yang pernah tempur ia sendiri! Ketika putera Teng Kiam Beng pandang orang baharu itu, dia pun justru menoleh, hingga empat mata jadi bentrok sinamya.

   Dia itu agaknya tcrpcranjat.

   Dia maju dua tindak, mendekati, scraya berseru.

   "Ah, Piauwtee! Kau kenapa? Kenapa orang telah pakaikan kau ini macam barang pwrmainan?"

   Orang itu menyebutkannya borgolan scbagai barang pcrmainan.

   Teng Hiauw pun tercengang, karena tahu-tahu ia dipanggil piauwtee, adik misan.

   Tapi, sebelum ia sempat menyahut, kawan-kawannya Tjiauw Tiong Yauw sudah hunus golok dan Thie-tjio mercka.

   Mercka maju menghalangi orang itu dekati lebih jauh si anak muda, hingga orang itu mundur sendirinya agaknya dia kaget dan tercengang.

   "Dia tentu bukan orang benar, tangkap padanya!"

   Berseru si orang tua. Dan dua kawannya sambuti seruan itu.

   "Jangan kau melawan!"

   Teng Hiauw tahu orang itu liehay, ia percaya, pertempuran hebat bakal mengambil tempat. Akan tetapi, dugaannya meleset. Orang itu tidak melawan, dia malah angsurkan kedua tangannya. Dia cuma bilang.

   "Aku tidak tahu suatu apa, harap Looya semua berlaku baik, untuk tidak bikin aku bersengsara."

   Dcmikian, dengan jinak, orang itu kena diborgol. Teng Hiauw mendongkol bukan main, sekarang terhadap si tetamu.

   "Manusia ini cuma pandai berjumawa terhadap angkatan muda,"

   Pikir dia.

   "Di muka hamba negeri, dia begini bernyali kecil! Cis, aku tadinya sangka dia ada satu enghiong!"

   Sesudah ditawan, si orang baharu lantas dipcriksa. Ia akui bahwa Teng Hiauw itu ada adik misannya, bah wa mereka berdua baharu saja masuk menjadi anggota Gichoo-toan. Anggota Giehoo-toan disebut "koenbin"

   Artinya "rakyat Pahkoentauw". Orang tua itu dan si opsir tentara tertawa berkakakan.

   "Kau lihat, bocah!"

   Kata mereka pada anak muda kita.

   "Scjak tadi kau berkepala batu, kiranya kau benar-benar orang Giehoo-toan! Dan kau pun ada orang Piesioe-hwee yang buron!"

   Kemudian, ia terusi pada si Tjoe Soesiok.

   "Kau ada seorang jujur, di depan Tiekoan nanti, kau pasti akan dapat keringanan."

   Bcrtambah-tambah gusamya Teng Hiauw, hingga dia mendamprat si "Pamah Tjoe"

   Itu, yang dia katakan pengkhianat kawan.

   Toh dia tidak tahu, siapa namanya orang ini, dia cuma umbar hawa amarahnya, karena mana, dia tak dapat piljh kata-kata.

   Orang tua itu tak ambil perduli ia dicaci kalang-kabutan, ia tunggu sampai si anak muda sedikit redah amarahnya, lain dengan tawar ia kata.

   "Piauwtee, kau sabar sedikit. Siapa suruh kita kena ditawan? Baik kita orang pasrah saja kepada nasib-.."

   Ia bersikap lesu, nampaknya ia harus dikasihani, iapun mcnghela napas berulang-ulang. Si opsir dan orang-orang polisi tertawa geli melihat kelakuannya itu.

   "engko dan adik misan"

   Satu kepada lain, mereka anggap sikap mereka lucu.

   Lalu, tak lama kemudian, opsir ini dan empat orang polisi rahasia itu berangkat meninggalkan rumah makan, mereka giring dua orang tawanan itu, yang dicampur dalam rombongan tawanan lain.

   Meraka ada bawa beberapa ratus serdadu.

   Jumlah orang tawanan ada belasan.

   Tujuannya rombongan ini ada Anpeng-hoe, Kota Anpeng.

   Teng Hiauw tak dapat kendalikan diri, di sepanjang jalan, sampai suaranya jadi serak, sampai ia tak mampu mendamprat lebih jauh.

   Orang telah ringkus ia di atas kuda.

   Melainkan dengan sepasang mata tajam, ia awasi Tjoe Soesiok, si Paman Guru she Tjoe itu.

   


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Sang Ratu Tawon -- Khulung Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung

Cari Blog Ini