Ceritasilat Novel Online

Pendekar Cacad 10


Pendekar Cacad Karya Gu Long Bagian 10



Pendekar Cacad Karya dari Gu Long

   

   Tukas Bong Thian-gak.

   "ketahuilah, Cong-hubuncu Hiat-kiambun sekarang bisa jadi adalah sahabat karibku di masa lampau, oleh sebab itulah aku perlu menjumpainya."

   "Seandainya Cong-hubuncu Hiat-kiam-bun bukan sahabat seperti yang kau duga lantas bagaimana?"

   Tanya Yu Honghong. Tiba-tiba Pat-hubuncu Siau Gwat-ciu berpaling dan ikut berbicara.

   "Perkataan Bong Thian-gak rasanya sudah menghilangkan kecurigaan yang semula mencekam Siauli, betul tampaknya Cong-hubuncu kami memang kenal denganmu."

   Kembali Bong Thian-gak tersenyum.

   "Aku hanya berbicara menurut dugaanku saja, bisa juga Cong-hubuncu kalian bukan orang yang kuduga."

   Paras muka Pat-hubuncu Siau Gwat-ciu segera berubah sesudah mendengar itu, mendadak ia menghentikan langkah seraya berpaling dan berkata.

   "Siangkong telah menanam budi pertolongan kepadaku, tak nanti Siauli membiarkan Siangkong mendapat ancaman bahaya sekecil apa pun."

   "Apa maksud Pat-hubuncu?"

   "Andaikata Siangkong adalah sahabat karib Cong-hubuncu kami, maka perjalanan ini jelas tak ada bahaya apa pun, tapi seandainya Cong-hubuncu kami bukan orang yang Siangkong duga, maka bisa jadi Siangkong bakal dicelakai olehnya."

   "Mengapa hal ini tidak kau jelaskan sedari tadi?"

   Bentak Yu Hong-hong dengan wajah berubah. Siau Gwat-ciu menghela napas sedih.

   "Ai, aku telah mengkhianati Hiat-kiam-bun ... sekali pun kuungkap rahasia itu pada saat ini, rasanya itu pun belum kelewat terlambat, coba Siangkong pikir kembali dengan seksama, apakah kita perlu meneruskan perjalanan ini?"

   "Pat-hubuncu tak perlu kuatir,"

   Bong Thian-gak tersenyum manis.

   "sebelum kuambil keputusan untuk datang kemari, segala sesuatunya telah kupertimbangkan masak-masak, andaikata Cong-hubuncu kalian bukan orang yang kuduga, bisa jadi dia akan berusaha membunuhku sepenuh tenaga serta berusaha melenyapkan seorang musuh tangguh dari muka bumi ini." "Lantas Siangkong tetap bertekad akan berangkat ke sana juga?"

   Tanya Siau Gwat-ciu tertegun.

   "Tentu aku harus ke sana,"

   Bong Thian-gak manggutmanggut.

   "Bong-hwecu, kita hanya berdua,"

   Ujar Yu Hong-hong.

   "apakah kita harus menelan kerugian? Menurut pendapatku, lebih baik kita "Hong-hong,"

   Tukas Bong Thian-gak lantang.

   "bila Tiongyang- hwe kita ingin muncul di Bu-lim, kita wajib menyingkirkan segenap partai atau pun aliran yang memusuhi kita, cepat atau lambat Hiat-kiam-bun pasti akan bertemu Tiong-yang-hwe, andaikata Cong-hubuncu Hiat-kiam-bun memang bukan orang yang kuduga, maka aku memutuskan untuk melenyapkan organisasi ini terlebih dulu."

   Paras muka Pat-hubuncu Siau Gwat-ciu segera berubah, serunya cepat.

   "Jago-jago dalam Hiat-kiam-bun kami sangat banyak, terutama Cong-hubuncu kami, boleh dibilang kepandaian silatnya lihai sekali. Kendati Siangkong tangguh dan hebat, namun kekuatannya sangat sedikit."

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Aku merasa berterima kasih sekali atas maksud baik Pathubuncu yang telah memberi petunjuk dengan bersungguh hati, Tiong-yang-hwe baru beberapa hari didirikan, kami memang tidak memiliki banyak anggota, tapi setiap anggota perkumpulan kami rata-rata memiliki daya tempur kuat dan tangguh serta semangat juang yang sangat tinggi."

   Mendengar perkataan itu, diam-diam Siau Gwat-ciu mengagumi keberanian Bong Thian-gak, meski demikian ia masih tetap menaruh perasaan kuatir atas perjalanannya kali ini, kembali ia berkata.

   "Siauli sudah pernah melihat sampai dimana taraf kepandaian silat Siangkong, kau memang boleh disebut jagoan kelas satu dalam Bu-lim, cuma Bong Thian-gak tak membiarkan perempuan itu melanjutkan kata-katanya, sesudah tertawa dia berkata.

   "Mari kita lanjutkan perjalanan."

   Yu Hong-hong cukup mengetahui watak Bong Thian-gak, setiap persoalan yang telah ditetapkan atau diputuskan, bagaimana pun juga tidak akan pernah diubah, oleh sebab itu dia pun tidak berusaha untuk membujuk, meski di hati ia tetap merasa tidak tenteram.

   Sementara itu Siau Gwat-ciu telah melanjutkan perjalanan tanpa bicara, mereka bertiga berjalan lebih kurang setengah jam lamanya sebelum di depan sana muncul sebuah hutan yang mengelilingi sebuah bayangan air beriak.

   Yu Hong-hong mengangkat kepala dan memperhatikan sekejap keadaan di depan sana, kemudian bisiknya.

   "Di depan sana adalah telaga Kun-beng-oh!"

   "Ya, Cong-hubuncu kami tinggal di dalam sebuah kuil kecil di tepi telaga itu,"

   Siau Gwat-ciu menyambung.

   Selama pembicaraan berlangsung, mereka bertiga telah berjalan ke tengah hutan, di depan sana tampak sebuah kuil kecil.

   Suasana di tempat itu amat sepi, hening, tak nampak sesosok bayangan pun, beberapa li di seputar tepi telaga pun tak nampak rumah lain selain kuil itu, tempat itu benar-benar sebuah tempat yang tenang, tersendiri dan berpemandangan alam sangat indah.

   Ketika mereka bertiga tiba di depan pintu, tiba-tiba Siau Gwat-ciu berbisik kepada Bong Thian-gak.

   "Harap Siangkong menanti sebentar, biar Siauli masuk dulu untuk memberi laporan."

   "Silakan!"

   Sahutnya Bong Thian-gak manggut-manggut. Dengan langkah ringan dan cepat, Pat-hubuncu Siau Gwatciu segera masuk ke dalam kuil. Sepeninggal Siau Gwat-ciu, Bong Thian-gak segera berpaling dan ujarnya pada Yu Hong-hong.

   "Hong-hong, saat bertemu Cong-hubuncu nanti, kuminta kau tetap tenang dan jangan membuat keonaran secara gegabah."

   "Aku akan turut perintah,"

   Gadis itu manggut-manggut. Meski sudah menyahut, tapi nada suaranya tidak gembira. Baru saja Bong Thian-gak hendak menjelaskan, tampak Siau Gwat-ciu telah muncul, nona itu berseru.

   "Siangkong, silakan masuk!"

   Bong Thian-gak dan Yu Hong-hong bersama-sama masuk ke dalam halaman kuil Nikoh yang berpintu empat.

   Semua halaman dan ruangan nampak bersih, tiada setitik debu atau pun daun kering yang berceceran di sana, agaknya memang sering dibersihkan orang, hanya anehnya, tak nampak sesosok bayangan pun yang berlalu-lalang di sana.

   Pintu ruang pertama terbuka lebar, waktu itu dari dalam ruangan tampak muncul tiga orang, yang berada di tengah adalah seorang rahib setengah umur berwajah kereng dan berwibawa, berkulit putih, bersih dan matanya saleh penuh welas kasih, memancarkan cahaya tajam.

   Di samping kanan rahib setengah umur itu berdiri seorang Nikoh tua kurus kering dan berwajah amat jelek.

   Sedang di sebelah kirinya seorang gadis berambut panjang yang berwajah terlebih jelek daripada rahib tua itu.

   Dengan sorot mata Bong Thian-gak yang tajam, dalam waktu singkat ia telah melihat jelas paras muka ketiga orang itu, wajahnya tetap tenang dan sama sekali tiada luapan emosi, sementara dalam hati ia berpikir.

   "Ah! Ternyata dia memang Keng-tim Suthay Nyo Li-beng ... sebaiknya tidak kukenali mereka dulu untuk sementara waktu."

   Dalam pada itu Cong-hubuncu Hiat-kiam-bun sekalian bertiga, dengan sorot matanya yang tajam sedang mengawasi pula wajah Bong Thian-gak tanpa berkedip, akhirnya paras muka Keng-tim Suthay Nyo Li-beng memperlihatkan perubahan serius bercampur bingung.

   Siau Gwat-ciu dan Yu Hong-hong yang berada di samping dapat melihat pula gerak-gerik dan perubahan wajah orang secara jelas.

   Perasaan Yu Hong-hong berat sekali, sebab dia tahu Bong Thian-gak bukanlah orang yang dicari Conghubuncu, berarti Bong Thian-gak serta Yu Hong-hong akan sulit lepas dari pembantaian.

   Sementara semua orang masih termenung, tiba-tiba Bong Thian-gak tertawa ringan, suara tawanya segera menyadarkan semua orang dari lamunan.

   Sembari berkata, ia lantas menjura ke arah Keng-tim Suthay Nyo Li-beng.

   "Aku Bong Thian-gak merasa bangga mendapat undangan Cong-hubuncu."

   Seperti baru sadar dari lamunan, Keng-tim Suthay manggut-manggut seraya tertawa.

   "Tak usah banyak adat, silakan Siangkong masuk ke dalam untuk minum teh."

   Bong Thian-gak dan Yu Hong-hong jalan bersanding, masuk ke ruang dalam, tempat itu merupakan ruang tamu yang luas, di bagian tengah ada beberapa kursi, sementara empat orang gadis berbaju merah berambut panjang siap melayani mereka di samping.

   Dengan sorot mata tajam Yu Hong-hong mengawasi sekejap setiap orang yang hadir di sini dengan seksama, yang membuat hatinya agak lega adalah orang-orang itu ternyata tak membawa senjata, penampilan mereka pun tidak menunjukkan sesuatu gejala yang mencurigakan.

   Dengan wajah serius Keng-tim Suthay Nyo Li-beng menempati kursinya, sementara empat gadis berbaju merah yang semula berdiri di samping menuangkan secawan air teh bagi Bong Thian-gak berdua.

   Setelah suasana hening beberapa saat, barulah Keng-tim Suthay berkata.

   "Belakangan ini saudara telah menggetarkan dunia persilatan, nama besar Jian-ciat-suseng ibarat guntur yang memekakkan telinga, beruntung Pinni bisa bertemu denganmu hari ini."

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Kau kelewat sungkan, selama Suthay memimpin Hiat-kiam-bun, justru kaulah ibarat naga sakti yang nampak kepala tak kelihatan ekor, aku yang merasa sangat beruntung karena hari ini bisa melihat raut wajah aslimu!"

   Keng-tim Suthay tertawa.

   "Aku rasa Pat-hubuncu perguruan kami tentu sudah menyampaikan maksud Pinni mengundangmu bukan!"

   "Pat-hubuncu hanya menyampaikan undangan Suthay saja, soal lain sama sekali tidak disinggungnya, karena itu aku mohon petunjuk darimu,"

   Bong Thian-gak tersenyum. Dalam pada itu Siau Gwat-ciu telah berdiri di samping bersama keempat gadis berbaju merah lainnya, ia berdiri dengan wajah serius dan dahi bekernyit.

   "Ada satu hal ingin Pinni tanyakan,"

   Kata Keng-tim Suthay Nyo Li-beng.

   "dalam perjumpaan kita pertama kali tadi bagaimana mungkin kau bisa mengetahui Pinni adalah Conghubuncu Hiat-kiam-bun."

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Seorang pemimpin selamanya mempunyai kewibawaan sebagai pemimpin, hal itu tidak sulit untuk diketahui."

   Tiba-tiba Keng-tim Suthay menghela napas panjang.

   "Ai, sebenarnya maksud Pinni mengundangmu tak lain adalah ingin melihat raut wajah aslimu." "Hanya soal itu?"

   "Pinni ingin tahu, apakah Jian-ciat-suseng yang namanya telah menggetarkan seluruh kolong langit ini memang seorang yang pernah kukenal dulu."

   "Setelah bertemu, bagaimanakah pendapat Suthay?"

   Bong Thian-gak bertanya. Keng-tim Suthay menggeleng kepala.

   "Rasanya seperti pernah kenal tapi seperti juga tidak kenal."

   "Siapa orang yang Suthay maksudkan?"

   "Dia she Ko bernama Hong."

   Ketika mendengar nama itu, hati Yu Hong-hong bergetar keras, hampir saja ia berseru tertahan. Sepasang mata Keng-tim Suthay memang benar-benar amat tajam, ia segera mengalihkan sorot matanya ke wajah Yu Hong-hong, kemudian tanyanya.

   "Lisicu kenal dengannya?"

   "Nama besar Ko Hong Tayhiap sudah menggetarkan seluruh dunia persilatan pada tiga tahun berselang, sayang aku hanya pernah mendengar namanya tapi belum pernah bertemu orangnya,"

   Sahut Yu Hong-hong cepat.

   "Lapor Suthay,"

   Bong Thian-gak menyambung.

   "aku kenal dengan manusia yang bernama Ko Hong itu."

   Sekilas rasa gembira menghiasi wajah Keng-tim Suthay, tanyanya dengan wajah berseri.

   "Sekarang dia berada dimana? Bersediakah kau memberitahukan kepadaku?"

   Bong Thian-gak termenung sejenak, lalu jawabnya.

   "Bila Suthay ingin kukatakan jejak Ko Hong, sebenarnya hal itu tidak sulit, tapi pertama-tama ingin kuketahui dulu ada urusan apa Suthay mencarinya?"

   Keng-tim Suthay menghela napas panjang.

   "Ai, bukankah kau sudah tahu, hingga sekarang perguruan kami masih belum mempunyai ketua?"

   "Ya, aku memang mengetahui hal ini,"

   Pemuda mengangguk. Sekali lagi Keng-tim Suthay menghela napas.

   "Sebetulnya Hiat-kiam-bun mempunyai seorang ketua, tapi nasib ketua kami ini belum diketahui, sebab itu jabatan itu selalu kami kosongkan hingga sekarang."

   "Bukankah ketua perguruan kalian adalah Si-hun-mo-li?"

   Tanya Bong Thian-gak dengan suara dalam. Keng-tim Suthay mengangguk.

   "Kemarin malam kau sudah menyelamatkan jiwa Pat-hubuncu, maka kau pun seharusnya tahu Si-hun-mo-li, ya, betul! Dia adalah ketua Hiat-kiam-bun kami, cuma alasan di balik semua ini tak mungkin bisa aku jelaskan kepadamu."

   "Aku mengetahui jelas asal-usul Si-hun-mo-li itu,"

   Pelanpelan Bong Thian-gak, berkata. Keng-tim Suthay terkejut sekali.

   "Kau mengetahui asal-usul Si-hun-mo-li dengan jelas?"

   "Ya, bukankah dia adalah Jit-kaucu Put-gwa-cin-kau?"

   Dengan nada tidak percaya Keng-tim Suthay bertanya lagi.

   "Kalau begitu kau pun tahu dia adalah ketua Hiat-kiam-bun?"

   "Oleh karena dia adalah pendiri Hiat-kiam-bun, maka kalian mengangkatnya sebagai ketua, bukankah begitu?"

   "Betul, Si-hun-mo-li adalah pendiri Hiat-kiam-bun, darimana kau bisa tahu persoalan ini sedemikian jelasnya?"

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Semua ini aku tahu dari Ko Hong." "Ehm, memang masuk akal, kalau begitu kau memang benar-benar kenal Ko Hong Tayhiap."

   Bong Thian-gak tertawa.

   "Suthay, kau belum menjelaskan kepadaku ada urusan apa kau mencari Ko Hong?"

   "Ai ... Pinni mencari Ko Hong Tayhiap karena aku ingin dialah yang memangku jabatan sebagai ketua Hiat-kiam-bun,"

   Ucap Keng-tim Suthay setelah menghela napas panjang. Bergetar perasaan Bong Thian-gak mendengar itu, ujarnya.

   "Ketua Hiat-kiam-bun adalah Si-hun-mo-li, mengapa Suthay mencari Ko Hong untuk diangkat sebagai ketua?"

   Untuk kesekian kali Keng-tim Suthay menghela napas panjang.

   "Padahal ketua Hiat-kiam-bun yang sebenarnya adalah Ko Hong, di saat Si-hun-mo-li mendirikan Hiat-kiambun tempo hari, dia telah menunjuk Ko Hong sebagai ketua Hiat-kiam-bun."

   Bong Thian-gak segera merasakan darah yang mengalir dalam tubuhnya mendidih, peristiwa yang terjadi pada tiga tahun berselang pun satu demi satu melintas dalam benaknya. Ketika ia berhasil menguasai kembali perasaannya, dengan sedih ia berkata.

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sekarang aku ingin menceritakan sebuah kisah kepadamu, ini terjadi pada tiga tahun berselang di sebuah dusun petani di luar kota Kay-hong, dusun petani itu merupakan kantor cabang Put-gwa-cin-kau untuk kota Kayhong. Pada saat itu segenap jago lihai Put-gwa-cin-kau telah terhimpun, konon mereka hendak menyerang perkampungan Bu-lim Bengcu, padahal bukan gedung Bu-lim Bengcu yang akan diserang, yang menjadi sasaran utama mereka waktu itu adalah seorang pengkhianat perkumpulan yakni Jit-kaucu Thay-kun ....

   "Rupanya pentolan barisan pengawal tanpa tanding nomor dua berhasil mendapat kabar bahwa Jit-kaucu Thay-kun masih mempunyai hubungan dengan komandan pasukan pengawal tanpa tanding nomor tiga Nyo Li-beng, bahkan secara diamdiam sedang membentuk organisasi Hiat-kiam-bun yang cara kerjanya menentang Put-gwa-cin-kau, itulah sebabnya Thaykun menjadi sasaran pembunuhan.

   "Cong-kaucu segera mengutus Ji-kaucu dan sekalian jago lihai untuk bersiap di dusun petani itu guna menghabisi nyawa Thay-kun."

   Sampai di sini, Bong Thian-gak memandang sekejap ke arah Keng-tim Suthay, setelah itu sambungnya.

   "Aku yakin Suthay juga mengetahui peristiwa ini bukan? Sebab ketika itu Suthay pernah memberi petunjuk kepada Ko Hong agar berangkat ke dusun petani itu."

   "Ya, cepat kau lanjutkan ceritamu!"

   Seru Keng-tim Suthay dengan perasaan sedih gembira bercampur aduk. Setelah menghembuskan napas panjang, Bong Thian-gak berkata lebih jauh.

   "Ko Hong serta Jit-kaucu Thay-kun tak bisa menghindar dari pertarungan darah melawan kawanan iblis Put-gwa-cin-kau ... dengan dikerubut musuh yang berjumlah banyak, Thay-kun serta Ko Hong terluka, terutama sesudah terkena racun Ji-kaucu, tapi mereka masih tetap bertarung mati-matian untuk meloloskan diri dari kepungan.

   "Thay-kun dan Ko Hong dengan membawa luka segera kabur ke Lok-yang dengan maksud mohon pengobatan tabib sakti Gi Jian-cau, tapi Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau serta komandan pasukan kedua pengawal tanpa tanding telah menunggu kedatangan mereka di kaki bukit Cui-im-hong ... dalam pertarungan itu Ko Hong kehilangan sebuah lengannya dan tertusuk dua puluh luka pedang di badannya.

   "Dalam keadaan terluka parah, beruntung Ko Hong mendapat pertolongan dari seorang gadis lemah sehingga mendapatkan kembali nyawanya, tiga tahun ... ya ... tiga tahun kemudian, Ko Hong kembali muncul dalam Bu-lim, akan tetapi situasi dalam Bu-lim telah berubah."

   Bicara sampai distu, Keng-tim dan sekalian anggota Hiatkiam- bun menjatuhkan diri berlutut di atas tanah, semua orang mendengarkan penuturan Bong Thian-gak itu dengan air mata bercucuran.

   Ketika menyaksikan semua orang berlutut, dengan terkejut Bong Thian-gak segera menegur.

   "Suthay, mengapa kalian?"

   Dengan kesedihan luar biasa Keng-tim Suthay berkata.

   "Buncu, sudah amat lama kami mencarimu! Tiga tahun belakangan ini, setiap saat kami selalu mencari jejakmu, ternyata Thian melindungi Hiat-kiam-bun, akhirnya kami berhasil menemukan kembali ketua kami."

   "Ayo bangun, ayo bangun semua, kalau ada urusan, mari kita rundingkan baik-baik,"

   Seru Bong Thian-gak berulang kali. Sambil berkata, pemuda itu segera membangunkan Kengtim Suthay sambil berkata.

   "Memang benar, akulah Ko Hong, tapi Ko Hong bukan nama asliku, wajah yang kalian jumpai sebagai Ko Hong dahulu pun bukan wajah asliku."

   Ketika Keng-tim Suthay dan semua orang sudah duduk kembali, si gadis jelek baru berseru merdu.

   "Ketua, kau benarbenar telah menipu kami habis-habisan, kita sudah berjumpa beberapa kali, namun tak pernah kusangka kau adalah ketua Ko Hong yang sedang kami cari-cari siang dan malam, ai! Aku merasa gembira sekali."

   "Nona,"

   Kata Bong Thian-gak sambil tertawa.

   "andaikata kau tidak berkerudung hitam, asal-usul Hiat-kiam-bun pasti sudah dapat kuduga sejak semula."

   Si gadis jelek tertawa cekikikan.

   "Justru karena Hiat-kiam-bun belum menemukan ketuanya, maka kami malu berjumpa orang dengan wajah asli, itulah sebabnya kami selalu menggunakan kain kerudung hitam."

   Bong Thian-gak menghela napas,"

   Ai, di bawah bimbingan ibumu, Hiat-kiam-bun sudah cukup menggetarkan dunia persilatan, hasil yang diperoleh pun sudah bagus sekali."

   "Ketua, selanjutnya segala masalah yang menyangkut Hiatkiam- bun adalah menjadi wewenang ketua, kami semua akan mengikuti perintah ketua,"

   Ucap Keng-tim Suthay dengan sikap hormat. Bong Thian-gak termenung sambil berpikir sejenak, kemudian dia baru berkata.

   "Ternyata Thay-kun menunjuk aku untuk menjabat ketua Hiat-kiam-bun, kejadian ini benar-benar di luar dugaanku, bila tugas dan beban yang amat berat ini harus kupikul sendiri, sesungguhnya aku akan kepayahan, ai... kekuatan yang ada di Bu-lim sekarang tercerai-berai dan masing-masing menempuh jalan sendiri-sendiri, kita kaum pemegang kebenaran apabila tak dapat bersatu-padu, memang sulit rasanya untuk menghadapi kenyataan, baiklah! Kalau begitu akan kuterima jabatan ini."

   Oo Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak ternyata ketua Hiat-kiambun, kejadian itu benar-benar merupakan suatu kejadian yang tak pernah disangka sebelumnya. Tiba-tiba Keng-tim Suthay berkata.

   "Cho-ji cepat ambil keluar Pek-hiat-kiam."

   "Baik!"

   Si gadis jelek mengiakan.

   Dengan cepat ia masuk ke ruang dalam, tak lama kemudian gadis itu telah muncul kembali sambil membawa sebilah pedang, sarung pedangnya terbuat dari batu pualam hijau, cukup dilihat dari sarungnya saja sudah dapat diketahui benda itu adalah sebilah pedang yang tak ternilai harganya.

   Setibanya di depan Keng-tim Suthay, dengan sikap yang sangat menghormat gadis itu menyerahkan pedang tadi kepada ibunya.

   Dengan memegang pedang tadi, Keng-tim Suthay berkata kepada Bong Thian-gak.

   "Pek-hiat-kiam ini merupakan tanda kepercayaan ketua Hiat-kiam-bun, harap ketua sudi menerima pedang ini."

   Ketika Bong Thian-gak menerima Pek-hiat-kiam itu, sekali lagi Keng-tim Suthay sekalian menjatuhkan diri berlutut seraya berkata.

   "Ketua, Tecu sekalian siap menerima perintah."

   Bong Thian-gak tidak mengira semua orang bakal berlutut di hadapannya, buru-buru dia berkata.

   "Ayo cepat, semua bangun, harap kalian tak usah banyak adat."

   Sesudah mendengar perkataan itu, Keng-tim Suthay sekalian baru bangkit. Dengan suara dalam Bong Thian-gak berkata lagi.

   "Hari ini, aku baru pertama kali memangku jabatan yang amat berat ini, oleh sebab aku kurang jelas terhadap semua orang dan persoalan yang ada di sini, maka aku perintahkan Keng-tim Suthay agar tetap memimpin dan memberi petunjuk kepada segenap anggota partai."

   "Terima perintah,"

   Keng-tim Suthay berkata dengan hormat.

   "Tentang jabatan dan sebutan segenap anggota untuk sementara waktu masih tetap berlaku seperti keadaan semula,"

   Bong Thian-gak menambahkan. Tiba-tiba Yu Hong-hong bertanya.

   "Lapor Bong-hwecu, bagaimana selanjutnya dengan nasib saudara-saudara kita dalam Tiong-yang-hwe?"

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Jumlah anggota Tiong-yang-hwe kita baru enam orang, kecuali aku dan Long Jit-seng, hanya Hui-eng-su-kiam kalian berempat saja, karena itu bila kalian berempat tidak merasa keberatan, mari kuajak kalian untuk masuk menjadi anggota Hiat-kiam-bun saja."

   Dengan sorot mata mengandung nada cinta, Yu Hong-hong menyambut lirih.

   "Hui-eng-su-kiam sudah bertekad akan mengikuti Bong-hwecu, biar badan hancur, biar harus naik ke bukit golok atau terjun ke kuali minyak mendidih, kami tak akan menampik."

   "Adikku dari keluarga Yu,"

   Tiba-tiba si nona jelek tertawa cekikikan.

   "sejak hari ini, kau mesti menyebut ketua kita sebagai Bong-buncu."

   "Ah, betul, Bong-buncu!"

   Yu Hong-hong tertawa. Bong Thian-gak bertanya kepada Keng-tim Suthay.

   "Tolong tanya Suthay, bagaimana dengan keadaan perguruan kita? Dapatkah Suthay menerangkan secara ringkas?"

   Keng-tim Suthay segera mengeluarkan se

   Jilid kitab kecil dari dalam sakunya, kemudian berkata.

   "Kitab kecil ini mencantumkan semua nama jabatan dan kedudukan anggota kita, silakan Buncu memeriksanya."

   Setelah Bong Thian-gak menerima daftar anggota Hiatkiam- bun itu, Keng-tim Suthay berkata lebih jauh.

   "Secara garis besarnya, susunan perguruan kita terbagi dalam sembilan wakil ketua setelah ketua sendiri, di bawah setiap wakil ketua adalah anggota perguruan, semua anggota berjumlah seratus delapan orang, tapi dengan kematian tiga puluh orang akhir-akhir ini, mungkin jumlah kita tinggal tiga puluh orang."

   Bong Thian-gak menghela napas sedih.

   "Ai, kemarin malam saja kita sudah kehilangan belasan orang anggota, semoga saja selanjutnya tiada anggota Hiatkiam- bun yang menjadi korban lagi."

   Belum habis perkataan itu, tiba-tiba terdengar suara jeritan ngeri yang memilukan hati berkumandang setengah li di luar gedung. Dengan wajah berubah Keng-tim Suthay berseru.

   "Di luar sana telah terjadi peristiwa, Khi Cho (si nona jelek) cepat kau periksa!"

   "Jeritan ngeri tadi suaranya tinggi melengking dan amat menusuk pendengaran,"

   Kata Bong Thian-gak dengan suara dalam.

   "jelas jeritan orang menjelang kematian."

   Belum habis ia berkata, dari kejauhan sana kembali berkumandang dua kali jeritan ngeri yang memilukan hati, dari suaranya, jeritan-jeritan itu berasal dari kaum wanita.

   "Biar Pinni pergi melihat keadaan!"

   Buru-buru Keng-tim Suthay berseru. Sebelum ia bergerak, sesosok bayangan orang telah berkelebat masuk dari luar, tahu-tahu Khi Cho sudah melayang masuk sambil berseru dengan gelisah.

   "Orang-orang Kay-pang telah menyerbu sampai di luar hutan Ang-hong-lim."

   "Berapa orang yang datang?"

   Tanya Keng-tim Suthay.

   "Hanya empat orang, tapi salah seorang di antaranya berilmu silat sangat hebat, ketika memasuki hutan Ang-honglim, dalam waktu singkat dia telah membabat habis tujuh orang penjaga kita yang ditempatkan di atas pohon."

   Dengan wajah berubah Bong Thian-gak berseru.

   "Cepat turunkan perintah, lepaskan musuh masuk kemari."

   "Anggota perguruan kita sama sekali tak bermaksud menghalangi jalan mereka,"

   Kata Khi Cho gelisah.

   "tapi musuh berhati kejam dan buas, satu per satu dia telah menghabisi anggota kita yang bersembunyi di pohon."

   Mendengar perkataan ini, secepat sambaran petir Bong Thian-gak meluncur keluar dari ruang kuil.

   Keng-tim Suthay segera menyusul di belakangnya.

   Gerakan Bong Thian-gak sangat cepat, badan bergerak seakan-akan melayang di atas dahan pohon, dalam waktu singkat pemuda itu sudah mencapai puluhan tombak jauhnya.

   Pada saat itulah kembali terdengar jeritan ngeri yang memilukan bergema dari depan sana.

   Bong Thian-gak kembali berjumpalitan dan meluncur ke depan, kebetulan sekali tampak segulung bayangan orang menggelinding lewat dari tepi pohon, lalu ...."Blak", terkapar di depannya.

   Ternyata bayangan itu adalah perempuan berkerudung merah.

   Gadis itu terkapar lemas di atas tanah, sebilah pisau kecil yang amat tipis menancap di tenggorokannya, darah masih meleleh, tapi jiwanya sudah melayang.

   Sepasang mata Bong Thian-gak segera berubah menjadi merah berapi-api karena gusar, pelan-pelan dia bergerak ke depan sambil melakukan pencarian.

   Akhirnya sorot mata itu berhenti di depan sana, terhenti pada sepasang kaki yang berdiri kaku di atas tanah.

   Pelan-pelan pula sorot mata Bong Thian-gak beralih dari sepasang kaki itu bergerak naik ke atas.

   Di depan sana berdiri seorang berbaju hitam yang kurus kering.

   Dia berjubah panjang warna hitam, lengan baju kanannya berkibar terhembus angin, rupanya seorang berlengan tunggal.

   Paras muka orang berlengan tunggal itu dingin kaku, sama sekali tidak menunjukkan hawa kehidupan, namun sepasang matanya yang bulat besar justru memancarkan sinar tajam yang menggidikkan.

   Sementara itu Keng-tim Suthay sudah memburu ke tempat itu.

   Pada saat bersamaan dari balik pohon di belakang orang baju hitam berlengan tunggal itu muncul lagi tiga orang lelaki berpakaian pengemis berwarna hitam, mereka bertiga berdiri berjajar di belakang orang berlengan tunggal itu.

   Dengan seksama Bong Thian-gak mengawasi paras muka orang berlengan tunggal itu, katanya dalam hati.

   "Ah, dia! Topit- coat-to Liu Khi!"

   Pada saat itulah orang berbaju hitam berlengan tunggal itu tertawa terkekeh-kekeh, katanya.

   "Cepat amat gerakan tubuh saudara, hehehe, mungkin kau adalah Jian-ciat-suseng!"

   Bong Thian-gak tertawa dingin.

   "Kalau begitu, kau pastilah To-pit-coat-to Liu Khi!"

   Tatkala Liu Khi mendengar Bong Thian-gak menyebut namanya, dia kelihatan agak tertegun, tapi kemudian sahutnya sambil tertawa.

   "Lihai, sungguh amat lihai, tidak heran Han Siau-liong memujimu setinggi langit."

   Dalam pada itu Khi Cho dan Yu Hong-hong serta Siau Gwat-ciu sekalian telah tiba di sana.

   Sejak Keng-tim Suthay tahu musuh adalah jago lihai nomor dua Kay-pang, si golok sakti berlengan tunggal Liu Khi, dengan cepat dia perintahkan kepada Khi Cho sekalian agar mundur.

   Sementara itu Bong Thian-gak telah berkata dingin.

   "Menurut cerita orang persilatan, Liu Khi adalah manusia berhati kejam dan gemar membunuh, setiap golok terbangnya dilepas, tentu akan mematikan lawan, ternyata nama besarmu memang bukan nama kosong."

   Liu Khi tertawa seram.

   "Mana, mana! Semuanya ini hanya berkat kasih sayang sobat-sobat persilatan saja."

   Bong Thian-gak tertawa dingin.

   "Sebenarnya aku berusaha menghindari bentrok secara langsung dengan pihak Kay-pang, tapi anggota Kay-pang kelewat sombong dan jumawa, oleh sebab itu terpaksa aku menanggapi secara wajar."

   Liu Khi mendengus dingin.

   "Hm, Liu Khi sudah membunuh beribu-ribu orang, selama ini tak pernah kukerutkan dahi, tapi untuk membunuhmu hari ini, aku merasa sedikit rada sayang."

   Bong Thian-gak kembali tertawa dingin.

   "Walaupun engkau selalu menjadi panglima yang menang perang, tapi aku percaya hari ini kau akan menghadapi suatu cobaan yang sangat berat."

   "Ji-kaucu Put-gwa-cin-kau juga pernah berkata seperti apa yang kau katakan sekarang,"

   Kata Liu Khi.

   "Tapi kau tak mampu membunuh Ji-kaucu,"

   Jengek Bong Thian-gak.

   "Dia adalah satu-satunya orang yang bisa lolos dari ujung golokku dalam keadaan selamat."

   "Tapi hari ini akan ada orang kedua."

   Liu Khi menarik muka, kemudian berkata.

   "Kedatanganku hari ini sedang mengemban tugas lain, pertarungan di antara kita lebih baik ditunda sampai hari mendatang."

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aku ingin tahu, apa tujuanmu datang ke Kun-beng-oh?"

   Kata Bong Thian-gak.

   "Aku datang untuk mencari ketua Hiat-kiam-bun."

   "Ada urusan apa kau mencarinya?"

   "Akan kutanya dimanakah Long Jit-seng saat ini."

   "Kau tahu siapakah ketua Hiat-kiam-bun?"

   Liu Khi mengalihkan sorot matanya yang tajam dan menggidikkan ke wajah Keng-tim Suthay yang berdiri di sebelah kanan, kemudian ujarnya.

   "Sepanjang hidupku, aku Liu Khi paling membanggakan daya penciuman, daya penglihatan, serta daya pendengaran yang kumiliki, dia adalah ketua Hiat-kiam-bun."

   Bong Thian-gak tertawa seram.

   "Hanya bermaksud mencari tahu persoalan orang lain saja kau telah pamer kekuatan dengan membunuh anggota Hiat-kiam-bun, cara keji dan busuk ini sungguh membuat orang gusar."

   "Sejak tiga tahun lalu, pihak Hiat-kiam-bun sering turun tangan keji terhadap anggota perkumpulan kami,"

   Ujar Liu Khi dengan suara hambar.

   "kekejaman dan kebuasan mereka rasanya jauh lebih busuk dari perbuatan yang dilakukan kami."

   Ucapan Liu Khi itu kontan membuat paras muka Keng-tim Suthay serta Khi Cho yang berada di sisinya berubah hebat.

   Tiba-tiba Bong Thian-gak teingat akan peristiwa yang berlangsung tiga tahun berselang, saat itu Khi Cho telah membunuh anggota Kay-pang secara keji.

   Waktu itu pihak Kay-pang telah mengirim orang melakukan penyelidikan, atas hasil kerja tiga orang Huhoat Kay-pang, mereka beranggapan Khi Cho merupakan orang yang paling mencurigakan, sebab itu mereka menyusul sampai ke kuil Keng-tim-an.

   Pada saat Khi Cho melakukan pembantaian atas jago-jago Kay-pang guna melenyapkan jejak mereka, alhasil ketiga orang pelindung hukum Kay-pang itu turut terbunuh.

   Atas persoalan ini, Bong Thian-gak boleh dibilang mengetahui dengan amat jelas, oleh sebab itu hatinya menjadi terperanjat mendengar Liu Khi menyinggung kembali masalah itu, ia tidak tahu dengan cara apakah pihak Kay-pang berhasil menyelidiki masalah itu sedemikian jelasnya.

   Dalam pada itu Liu Khi telah mengalihkan sorot matanya yang tajam ke wajah Bong Thian-gak, Keng-tim Suthay dan Khi Cho secara bergantian, lalu katanya.

   "Kay-pang bisa membedakan antara budi dan dendam secara jelas, belum pernah kami melepas orang yang punya dendam dengan kami, permusuhan antara Hiat-kiam-bun dan Kay-pang pada hakikatnya makin lama semakin mendalam."

   Bong Thian-gak tertawa dingin, katanya.

   "Bila Hiat-kiambun ingin merebut nama dan kedudukan dalam Bu-lim, maka cepat atau lambat pasti akan bermusuhan juga dengan pihak Kay-pang."

   "Kalau memang begitu, mengapa kau menuduh aku membunuh sembilan orang anggota Hiat-kiam-bun?"

   Tanya Liu Khi sambil tertawa seram.

   "Liu Khi,"

   Bong Thian-gak segera menukas.

   "percuma kita banyak bicara, bersiap-siaplah kau menyambut jurus pedangku!"

   Sementara itu Bong Thian-gak dengan Pek-hiat-kiam terhunus di tangan tunggalnya, selangkah demi selangkah bergerak maju, siap melancarkan serangan.

   "Tunggu dulu!"

   Bentak Liu Khi.

   "Hm, ibarat panah yang sudah direntangkan di atas gendewa, mau tak mau harus kulepaskan juga."

   Liu Khi mundur selangkah, kemudian bentaknya.

   "Bila burung bangau dan kutilang saling bertarung, nelayanlah yang bakal beruntung, apakah kau tidak kuatir orang-orang Hiatkiam- bun bakal merebut keuntungan dari pertarungan kita."

   Bong Thian-gak tertawa dingin.

   "Liu Khi, kau salah besar, akulah Hiat-kiam-buncu!"

   Hati Liu Khi bergetar keras mendengar itu, mimpi pun dia tak mengira Jian-ciat-suseng bukan lain adalah ketua Hiatkiam- bun.

   Tiba-tiba ia lihat sekilas cahaya pedang, seperti terbitnya sang surya di ufuk timur, memercikkan cahaya kemerahanmerahan yang amat menyilaukan mata.

   Ternyata Bong Thian-gak telah melolos Pek-hiat-kiam sambil melancarkan sebuah bacokan.

   Sejak terjun kembali ke dalam Bu-lim, baru pertama kali ini Bong Thian-gak melancarkan serangan lebih dulu terhadap musuhnya.

   Latihan tekun selama tiga tahun membuat ilmu pedang Bong Thian-gak mencapai puncak kesempurnaan, serangan pedangnya boleh dikata disertai kekuatan yang sangat mengerikan.

   Liu Khi terhitung jagoan lihai kelas satu di Bu-lim saat ini, sudah barang tentu ia cukup tahu kelihaian serangan itu.

   Diiringi jeritan kaget, tubuh Liu Khi melejit ke tengah udara.

   Pada saat itulah tiga titik cahaya tajam tiba-tiba meluncur secara beruntun ke depan.

   Daya serangan ketiga titik cahaya putih itu sedemikian cepatnya, seakan-akan melebihi cahaya pedang berwarna merah darah itu.

   Semua gerakan ini boleh dibilang tidak berselisih banyak, kalau dibilang berselisih, maka selisih itu hanya beberapa detik saja.

   Di tengah seruan kaget, terdengar jeritan ngeri yang menyayat hati, bayangan orang segera bergeser.

   Tiga batok kepala anggota Kay-pang menggelinding ke atas tanah, tiga sosok tubuh tanpa kepala sambil menyemburkan darah segera roboh ke atas tanah.

   Di pihak lain, Khi Cho sudah tergeletak di atas tanah.

   Bahu sebelah kanan Keng-tim Suthay juga berlumuran darah, dengan langkah sempoyongan ia berjalan menghampiri Khi Cho.

   Bong Thian-gak dengan pedang disilangkan di depan dada, berdiri dengan wajah penuh gusar, sepasang matanya melotot besar mengawasi Liu Khi yang berada di hadapannya.

   Waktu itu, Liu Khi berdiri dengan wajah sedih dan kecewa, dia hanya berdiri kaku di tempat tanpa berkutik.

   Di saat Liu Khi menghindarkan diri dari serangan Bong Thian-gak tadi, dia telah melepaskan tiga buah golok terbang yang masing-masing menyerang Bong Thian-gak, Keng-tim Suthay serta Khi Cho.

   Nama besar Liu Khi sudah menggetarkan dunia persilatan, ilmu sakti golok terbang boleh dibilang tak pernah meleset dari sasaran selama ini, tapi kenyataannya pisau terbang itu tidak memperlihatkan kelihaiannya di depan Bong Thian-gak.

   Di saat Bong Thian-gak menghindarkan diri dari serangan pisau terbang tadi, secara beruntun Pek-hiat-kiam berhasil pula membinasakan tiga orang anak buah Liu Khi.

   Dua pisau terbang Liu Khi yang lain agaknya tidak menghasilkan apa-apa.

   Keng-tim Suthay hanya terkena bahu kanannya, sedang Khi Cho roboh terkena pisau terbang.

   Karena serangannya meleset dari sasaran yang dikehendaki itulah Liu Khi merasa kecewa bercampur terkejut.

   Sebaliknya Bong Thian-gak sendiri pun dibuat terperanjat oleh kelihaian Liu Khi dalam melepaskan pisau terbang.

   Dengan kepandaian silat yang begitu lihai seperti Keng-tim Suthay, ternyata ia berhasil dipecundangi juga, peristiwa ini benar-benar membuatnya merasa terkesiap.

   Mendadak Liu Khi memperdengarkan suara tawa panjang yang membetot sukma, menyusul tubuhnya segera melejit ke atas dahan pohon.

   Bentakan dan hardikan marah bergema di sana sini, para anggota Hiat-kiam-bun yang bersembunyi di seputar sana serentak muncul dan menghadang jalan perginya.

   Tiba-tiba Bong Thian-gak berseru.

   "Segenap anggota Hiatkiam- bun harap mundur, biarkan musuh pergi dari sini."

   Dari kejauhan sana terdengar suara Liu Khi berkumandang.

   "Jian-ciat-suseng, di kemudian hari aku pasti akan minta petunjuk ilmu pedangmu yang sangat lihai itu."

   Sementara bicara, bayangan Liu Khi tahu-tahu sudah lenyap.

   Dengan cepat Bong Thian-gak menarik kembali pedangnya, lalu berjalan ke sisi Khi Cho.

   Waktu itu Khi Cho sudah tergeletak dalam pangkuan Kengtim Suthay tanpa bergerak, sebilah pisau terbang kecil telah menancap di tenggorokannya, darah mengucur membasahi sekujur tubuhnya.

   Para anggota Hiat-kiam-bun maupun Keng-tim Suthay sendiri sama-sama berdiri dengan air mata bercucuran.

   Bong Thian-gak maju mendekat, kemudian tanyanya.

   "Bagaimana keadaan Khi Cho?"

   "Jantungnya telah berhenti berdenyut, ia sudah meninggal dunia,"

   Sahut Keng-tim Suthay pedih. Bong Thian-gak segera memegang urat nadi tangan kiri Khi Cho, setelah diperhatikan beberapa saat, tiba-tiba katanya.

   "Dia belum tewas!"

   Sembari berkata, tiba-tiba Bong Thian-gak mengayunkan telapak tangan kanannya menghantam dada Khi Cho.

   Jeritan ngeri yang menyayat hati segera berkumandang dari mulut Khi Cho.

   Pisau terbang kecil yang menancap di tenggorokannya itu segera terpental keluar, menyusul tersembur darah yang amat deras.

   Cepat Bong Thian-gak berseru kembali.

   "Segera kau totok jalan darah Keng dan Tiong-mehnya, cegah, jangan sampai banyak darah mengalir keluar."

   Sebenarnya Keng-tim Suthay menyangka putri kesayangannya telah tewas, mendengar perkataan itu, jari tangannya segera bergerak menotok dua jalan darah penting di tubuh Khi Cho itu, darah pun segera berhenti mengalir.

   "Sekarang totoklah jalan darah tidurnya, ai, seandainya pisau terbang itu bergeser sedikit saja lebih ke atas, niscaya nyawa Khi Cho sudah melayang, sekarang suruh orang menggotongnya masuk untuk beristirahat."

   Keng-tim Suthay menurut dan segera menotok jalan darah tidur Khi Cho.

   Siau Gwat-ciu dan Yu Hong-hong segera maju pula ke depan untuk membopong tubuh si gadis jelek.

   Bong Thian-gak berpaling dan memandang sekejap bahu kanan Keng-tim Suthay yang berdarah, pisau kecil itu masih menancap di bahunya, maka ia berkata.

   "Suthay, cepat kau balut sendiri lukamu."

   Saking sedihnya atas luka yang diderita puteri kesayangannya, Keng-tim Suthay sampai lupa pada luka yang dideritanya, mendengar perkataan itu ia baru merasa bahunya sakit perih.

   Pada saat itulah seorang Nikoh tua datang membantu Keng-tim Suthay mencabut pisau kecil itu, kemudian membalut pula lukanya.

   "Beruntung Buncu datang memangku jabatan pada hari ini,"

   Kata Keng-tim Suthay sambil menghela napas sedih.

   "kalau tidak, segenap anggota Hiat-kiam-bun pasti akan tewas di ujung pisau terbang Liu Khi, ai, orang persilatan mengatakan pisau terbang Liu Khi lihai sekali, setelah menyaksikan sendiri hari ini, terbukti kelihaiannya memang luar biasa."

   Paras muka Bong Thian-gak berubah serius, katanya.

   "Padahal Liu Khi tidak lebih hanya jago nomor dua dalam Kaypang."

   Ia tidak melanjutkan kata-katanya, tapi Keng-tim Suthay sudah tahu apa maksudnya. Pelan-pelan Keng-tim Suthay berkata pula.

   "Tapi Liu Khi sendiripun sudah dipecundangi Buncu."

   Sekali lagi Bong Thian-gak menghela napas sedih.

   "Aku melepaskan sebuah serangan, sedang Liu Khi hanya melepas tiga pisau terbang, goloknya belum digunakan, tenaga dalam orang ini rasanya jauh lebih tinggi daripada siapa pun."

   "Ai,"

   Keng-tim Suthay menghela napas.

   "andaikata keadaan Thay-kun bisa dipulihkan kembali, maka Hiat-kiam-bun kita pasti dapat menghadapi perguruan atau perkumpulan mana pun."

   Tiba-tiba hati Bong Thian-gak bergetar, segera ia bertanya.

   "Apa kesadaran Thay-kun dapat dipulihkan kembali?"

   "Tabib sakti Gi Jian-cau pasti sanggup menyembuhkan sakitnya itu,"

   Pelan-pelan Keng-tim Suthay berkata.

   "Ya, tugas utama kita sekarang adalah menyelamatkan jiwa Thay-kun, bagaimana menurut pendapat Suthay?"

   "Asal Buncu menurunkan perintah, segenap anggota perguruan akan berjuang sekuat tenaga."

   Bong Thian-gak termenung sebentar, tiba-tiba tanyanya.

   "Apakah Ang Teng-siu juga anggota Hiat-kiam-bun kita?"

   Keng-tim Suthay tersenyum.

   "Agaknya Buncu masih belum cukup memahami asal-usul serta nama anggota Hiat-kiam-bun kita, silakan Buncu beristirahat di dalam kuil sekalian memeriksa daftar perguruan kita."

   Bong Thian-gak tertawa geli.

   "Hahaha, sekarang aku sudah jadi ketua Hiat-kiam-bun, tapi masih belum tahu anggota perguruan kita, kejadian semacam ini kalau dipikir sungguh menggelikan."

   Sembari berkata, Bong Thian-gak dan Keng-tim Suthay bersama-sama memasuki kuil itu.

   Keng-tim Suthay mengajak Bong Thian-gak memasuki sebuah ruangan, kemudian memerintahkan kedua gadis berbaju merah untuk melayani keperluan pemuda itu, sementara dia sendiri buru-buru pergi menjenguk Khi Cho.

   Bong Thian-gak segera duduk, memandang sekejap kedua gadis berbaju merah yang berdiri di samping pintu.

   Melihat kedisiplinan mereka, akhirnya ia merasa tak tega, sapanya.

   "Silakan kalian berdua ikut duduk, tak usah terlalu menuruti peraturan."

   "Terima kasih Buncu, kami tidak berani."

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Siapakah nama kalian berdua?"

   Kembali ia bertanya. Pemuda ini merasa kedua gadis itu berwajah cantik, mukanya berbentuk kwaci, putih halus dan berusia di antara tujuh belas tahun. Setelah termangu sejenak, sekali lagi Bong Thian-gak berkata.

   "Wah, rupanya paras muka kalian berdua mirip satu sama lain."

   "Lapor Buncu,"

   Kembali gadis di sebelah kanan berkata dengan merdu.

   "budak bernama Cay-hong, sedangkan adikku bernama Cay-im, kami adalah dua bersaudara kembar."

   "Oh, tak heran paras muka kalian begitu mirip, andaikata tiada perbedaan antara yang tinggi dan pendek, aku benar benar tak bisa membedakan mana Cay-hong dan mana Cayim. Entah apa jabatan kalian berdua dalam Hiat-kiam-bun?"

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kami berdua adalah anak buah Kau-hubuncu, tapi sejak Kau-hubuncu terkena musibah, untuk sementara belum ada jabatan."

   Menyinggung soal Kau-hubuncu, Bong Thian-gak segera teringat gadis muda yang tewas terkena tendangan pada alat kelaminnya oleh Thia Leng-juan tempo hari, tanpa terasa ia menghela napas panjang.

   "Ai, kematian Kau-hubuncu memang harus disesali, sungguh mengenaskan sekali."

   Tiba-tiba sepasang mata Cay-hong berubah menjadLmerah, segera tanyanya.

   "Tolong tanya Buncu, sesungguhnya siapakah pembunuh Kau-hubuncu?"

   Bong Thian-gak malah tertegun mendengar pertanyaan itu, segera ia berbalik bertanya.

   "Bukankah kalian kakak beradik pernah berjumpa denganku ketika berada di Hong-tok-ciulau?"

   "Benar,"

   Cay-hong mengangguk. Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Aku telah menjadi ketua Hiat-kiam-bun pada hari ini, tentunya kalian merasa sedikit di luar dugaan bukan?"

   Sekali lagi Cay-hong manggut-manggut.

   "Tentu saja sama sekali di luar dugaan, namun kami pun merasa gembira memiliki seorang ketua yang kepandaiannya sangat tinggi untuk memimpin perguruan Hiat-kiam-bun."

   Pelan-pelan Bong Thian-gak berkata lagi.

   "Aku tahu siapakah pembunuh yang sebenarnya Kau-hubuncu, di kemudian hari aku pasti akan memberitahukan kepada kalian, ai! Pokoknya aku tak akan membiarkan anggota perguruan kita berkorban dengan percuma."

   Selesai berkata, dari dalam sakunya Bong Thian-gak mengambil daftar anggota Hiat-kiam-bun.

   Saat ia membuka lembar pertama, di tengahnya tertulis beberapa huruf.

   Bong Thian-gak sangat terharu di samping berterima kasih, dia sama sekali tidak menyangka Keng-tim Suthay telah menyerahkan kedudukan itu sejak dulu, dari sini bisa disimpulkan bahwa dalam tiga tahun ini Keng-tim Suthay tentu berusaha keras untuk menemukan dirinya.

   Bong Thian-gak pun membaca lebih jauh.

   Nama Thay-kun juga tercantum dalam daftar anggota, dia adalah ketua pelindung hukum Hiat-kiam-bun.

   Kemudian di antara kedua belas pelindung lainnya, Bong Thian-gak hanya mengenali dua orang, mereka adalah tabib sakti Gi Jian-cau serta Ang Teng-siu.

   Dengan kening berkerut Bong Thian-gak berpikir.

   "Kumpulan tiga belas pelindung hukum Hiat-kiam-bun mungkin merupakan kekuatan inti perguruan, hanya tidak diketahui dimanakah rombongan itu kini?"

   Belum habis ingatan itu melintas, Keng-tim Suthay serta Yu Hong-hong dan Siau Gwat-ciu bertiga telah berjalan keluar. Keng-tim Suthay bertanya.

   "Apakah Buncu telah memeriksa daftar nama anggota?"

   Bong Thian-gak manggut-manggut.

   "Ya, sudah kubaca, hanya banyak yang tidak kupahami serta mohon petunjuk darimu."

   "Silakan Buncu bertanya."

   "Dari kelompok tiga belas pelindung hukum, apakah setiap orang di antaranya dapat dihubungi?"

   "Kecuali ketua pelindung hukum, asal Buncu menurunkan perintah, setiap orang dapat dipanggil dengan segera." "Sebagian besar pelindung hukum ini tersebar dimana?"

   Tanya Bong Thian-gak.

   "Kecuali Thay-kun, sembilan orang lainnya menyelundupkan diri dalam Put-gwa-cin-kau, seorang berada dalam kantor cabang Kay-pang kota Lok-yang, si tabib sakti juga berada di kota Lok-yang, masih ada seorang lagi adalah Hongtiang kuil kami, Keng-koan Suthay."

   Diam-diam Bong Thian-gak berpikir.

   "Yang disebut Kengkoan Suthay mungkin si Nikoh tua itu."

   Berpikir sampai di situ, maka setelah termenung beberapa saat Bong Thian-gak kembali berkata.

   "Menurut pendapat Suthay, apakah kedua belas orang pelindung hukum itu perlu dipanggil?"

   "Masalah ini silakan ketua yang mengambil keputusan."

   Kembali Bong Thian-gak bertanya.

   "Pada halaman terakhir daftar anggota, tercantum lima nama orang misterius, kelima orang itu bukankah nama-nama orang yang sudah lama tiada?"

   "Betul, kelima orang itu adalah si Pukulan nomor wahid dari kolong langit Ma Kong, Pangcu Hek-huo-pang Kwan Bu-peng, Luihong-khek Gi Peng-san, Tui-hun-pit Cia Liang dan Thikoan- im Han Nio-cu. Mereka adalah jago-jago lihai dunia persilatan yang hilang secara misterius ketika sedang bertamu dalam gedung Bu-lim Bengcu tiga tahun berselang."

   "Aku benar-benar tidak mengerti,"

   Bong Thian-gak menggeleng kepala berulang kali.

   "Ma Kong berlima bukankah sudah bertamu dalam gedung Bu-lim Bengcu di kota Kayhong? Mengapa dalam semalam saja mereka bisa mati secara misterius, lagi pula jenazah mereka hilang. Tapi seingatku beberapa hari berselang, Khi Cho pernah memerintahkan seorang jagoan aneh untuk menyerangku ketika berada dalam Hong-tok-ciu-lau, waktu itu Khi Cho tampaknya seperti memanggil nama orang itu sebagai Ma Kong, jangan-jangan ...."

   Keng-tim Suthay menghela napas panjang.

   "Sesungguhnya Ma Kong berlima tidak tewas."

   "Jadi mereka benar-benar belum mati?"

   Tanya Bong Thiangak dengan terkejut. Kembali Keng-tim Suthay menghela napas panjang.

   "Untuk mengetahui keadaan yang sesungguhnya kejadian ini, kita harus kembali sejenak peristiwa tiga tahun berselang. Pada waktu itu Thay-kun mendapat perintah Cong-kaucu untuk menghabisi kelima jago lihai dunia persilatan yang sedang bertamu dalam gedung Bu-lim Bengcu itu, mereka adalah Ma Kong berlima."

   "Agar bisa menyelamatkan jiwa kelima orang ini, akhirnya Thay-kun memperoleh sebuah cara, dari tempat kediaman si tabib sakti Gi Jian-cau dia berhasil memperoleh lima butir pil Kia-bin-wan."

   "Apakah pil Kia-bin-wan (obat pura-pura tidur) itu?"

   Tanya Bong Thian-gak.

   "Pil itu diberi nama begitu oleh Gi Jian-cau sendiri, khasiat obat itu adalah barang siapa menelan pil itu, maka denyut jantung serta semua kerja anggota badannya akan terhenti sementara waktu, keadaan mereka tak ubahnya seperti mayat, padahal orang-orang itu tidak mati secara sungguhsungguh."

   "Kalau begitu, setelah Ma Kong berlima menelan Kia-binwan, Thay-kun mengangkut tubuh mereka, kemudian keluar dari gedung Bu-lim Bengcu?"

   Tanya Bong Thian-gak. Keng-tim Suthay manggut-manggut.

   "Benar, tubuh Ma Kong berlima pada waktu itu dipindahkan ke kuil Keng-tim-an." "Kalau begitu Ma Kong berlima belum meninggal?"

   Sekali lagi Bong Thian-gak bertanya. Kembali Keng-tim Suthay manggut-manggut.

   "Tentu saja mereka belum mati, cuma keadaan mereka saat ini menyerupai seorang yang tak bersukma dan berpikiran lagi."

   "Ai, kalau begitu keadaan mereka berlima tak jauh berbeda seperti keadaan Thay-kun sekarang,"

   Ucap Bong Thian-gak sambil menghela napas sedih.

   "Ya, keadaan mereka memang tidak jauh berbeda,"

   Kembali Keng-tim Suthay mengangguk.

   "Apakah Ma Kong berlima masih bisa dipulihkan kesadarannya?"

   Keng-tim Suthay mengangguk pelan.

   "Asal Gi Jian-cau membuatkan lagi semacam pil Hui-hunwan (obat pembalik sukma) dan mencekokkan kepada mereka, niscaya mereka akan memperoleh kembali kesadarannya."

   "Jika begitu Gi Jian-cau belum sempat membuat Hui-hunwan?"

   "Soal ini aku kurang mengerti,"

   Keng-tim Suthay menggeleng.

   "sejak Thay-kun dicekoki pil Kia-bin-wan oleh Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau, si tabib sakti Gi Jian-cau sudah mulai mengumpulkan bahan obat-obatan untuk membuat pil Hui-hun-wan guna menyelamatkan jiwa Thay-kun, sudah tiga tahun Gi Jian-cau belum juga menyelesaikan pekerjaannya, menurut tabib itu, dia masih kekurangan tiga macam obatobatan."

   "Ai, rupanya di kolong langit benar-benar terdapat obat semacam ini,"

   Bong Thian-gak menghela napas panjang selesai mendengarkan kisah itu.

   Demi meyelamatkan Thaykun serta Ma Kong berlima, Gi Jian-cau harus berhasil membuat pil Hui-hun-wan.

   "Ai, saat ini Ma Kong berlima tak lain adalah algojo-algojo andalan Hiat-kiam-bun, tujuan Thay-kun di masa lampau, sebetulnya dia hendak mempergunakan kekuatan sakti mereka untuk melawan jago lihai Put-gwa-cin-kau."

   "Seandainya Hiat-kiam-bun kita sampai berbuat demikian, aku rasa ini terlampau kejam, kelewat tidak berperikemanusian,"

   Ucap Bong Thian-gak sambil menggeleng kepala berulang kali. Keng-tim Suthay manggut-manggut.

   "Buncu penuh welasasih, berjiwa besar dan berpandangan luas, hanya manusia semacam inilah yang pantas disebut seorang pahlawan besar, seorang pendekar sejati."

   Bong Thian-gak termangu sebentar, lalu ujarnya lagi.

   "Bila kita bicara menurut kekuatan serta jumlah anggota Hiat-kiambun, rasanya sulit buat kita untuk melawan pihak Kay-pang maupun Put-gwa-cin-kau, tapi kita pun tak boleh hendak memperkuat kemampuan lantas kita memperalat Mo Keng berlima Locianpwe yang sukma, pikiran serta perasaannya telah terkendali.

   "Ketika masih berada di Hong-tok-ciu-lau, aku pernah bertarung melawan Ma Kong, menurut pendapatku, walaupun saat ini dia garang seperti harimau dan kuat seperti raksasa, namun berhubung akal budinya telah hilang, akibatnya gerakgeriknya menjadi bodoh, kaku dan lucu, bila berjumpa jago lihai atau mereka yang mempunyai senjata mustika, aku yakin Ma Kong sekalian masih bisa dipunahkan secara mudah sekali.

   "Sebaliknya bila kita bisa memulihkan kesadaran serta akal budi Ma Kong berlima, dengan dukungan kekuatan dan pikiran mereka, maka Hiat-kiam-bun kita akan dapat bersaing dengan perkumpulan mana pun di daratan Tionggoan, serta memimpin persilatan."

   Keng-tim Suthay segera manggut-manggut.

   "Pendapat Buncu memang benar, itulah sebabnya kami selalu berharap si tabib sakti membuat pil Hui-hun-wan secepatnya."

   "Saat ini si tabib sakti berada dimana?"

   Tanya Bong Thiangak setelah termenung sebentar.

   "Dia berada di suatu tempat rahasia dalam kota Lok-yang."

   "Masih berada di kaki bukit Cui-im-hong?"

   "Tidak, selama tiga tahun terakhir ini, Gi Jian-cau sudah menjadi salah seorang buronan yang dicari pihak Put-gwa-cinkau, mana mungkin dia bisa tinggal lagi dalam Cui-im-hongsan- ceng?"

   "Yang paling kukuatirkan adalah keselamatan jiwanya, kalau Suthay telah membuat persiapan yang matang, aku pun tak usah kuatir lagi."

   "Dalam tiga tahun ini, demi melindungi jiwa Gi Jian-cau, Pinni telah memerintahkan dua orang jago lihai yang telah kehilangan akal budinya yakni Han Nio-cu serta Cia Liang untuk melindunginya. Beberapa hari berselang, waktu kau hendak berangkat ke Hopak, aku pun telah mengutuskan Sam-hubuncu untuk melindunginya, jadi aku rasa tak ada persoalan lagi."

   "Bagus sekali, sekarang aku telah mengetahui secara garis besar keadaan perguruan kita,"

   Kata Bong Thian-gak.

   "Adakah petunjuk Buncu untuk pergerakan perguruan kita?"

   Bong Thian-gak tersenyum, bukan menjawab dia malah bertanya.

   "Tolong tanya, ada urusan apa Suthay datang ke Hopak?"

   "Kedatangan Pinni ke Hopak kali ini, pertama, karena kudengar laporan Khi Cho tentang gerak-gerik Jian-ciatsuseng, dalam hati aku selalu mempunyai anggapan Jian-ciat suseng sedikit mirip ketua Ko Hong, oleh sebab itu aku sengaja datang ke Hopak untuk membuktikan identitas Jianciat- suseng, ternyata Thian memang tidak menyia-nyiakan harapanku, akhirnya Hiat-kiam-bun kami mendapatkan ketuanya.

   "Kedua, adalah untuk melihat operasi Khi Cho memantau Si-hun-mo-li, apakah pekerjaannya sudah ada perkembangannya atau tidak."

   "Menurut pendapat Suthay, apakah pihak kita perlu turut campur dalam operasi pencarian harta karun peninggalan raja muda Mo-lay-cing-ong?"

   Keng-tim Suthay segera menggeleng.

   "Kekuatan perguruan kami sangat lemah, untuk bisa turut dalam perebutan harta karun itu, rasanya kita harus menemukan dulu ketua perguruan. Oleh sebab itu sebelum bertemu Buncu, kami hanya bisa menunggu perkembangan perebutan harta karun itu. Dan sekarang bila Buncu mempunyai suatu pandangan, silakan saja diambil keputusan, Tecu sekalian pasti akan turut perintah."

   Bong Thian-gak manggut-manggut.

   "Suthay memang cerdik dan cekatan, terhadap situasi sendiri maupun keadaan musuh selalu dapat diselidiki jelas, memang tahu diri. Tahu keadaan musuh, setiap pertarungan baru dapat dimenangkan. Ucapan Suthay memang benar, lebih baik perguruan kita bertindak mengikuti perkembangan selanjutnya, perlu diketahui, tugas utama adalah membantu Gi Jian-cau mendapatkan tiga macam obat-obatan yang masih kurang itu hingga Hui-hun-wan dapat dibuat selekasnya."

   Keng-tim Suthay tersenyum.

   "Thian benar-benar melimpahkan rezeki untuk peguruan Hiat-kiam-bun, perguruan kami benar-benar berhasil mendapatkan seorang pemimpin yang arif bijaksana."

   Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Aku berpengetahuan cetek, selanjutnya masih banyak membutuhkan kerja sama setiap anggota perguruan untuk bersama-sama mengangkat nama perguruan kita di mata masyarakat. Terutama sekali Suthay, selanjutnya bilamana ada hal-hal yang perlu dikemukakan, harap kau tak segansegan untuk memberi petunjuk, di antara kita pun aku harap tidak tersisa garis pemisah antara seorang ketua dengan wakil ketua, karena sepantasnya Suthay lah yang memangku jabatan ketua ini."

   Keng-tim Suthay tersenyum.

   "Bong-buncu masih muda namun gagah dan perkasa, kami tahu kemampuan serta kecerdasan Buncu berada di atas kami dan tak mungkin berada di bawah kami, Hiat-kiam-bun di bawah pimpinanmu pasti akan semakin cemerlang seperti matahari yang makin menjulang ke angkasa."

   "Aku kuatir akan menyia-nyiakan harapan Suthay."

   Keng-tim Suthay tersenyum, lalu mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain, katanya.

   "Jika Buncu memang tidak bermaksud mengambil tindakan terhadap harta karun Mo-laycing- ong, maka anggota perguruan kita pun rasanya tak perlu dihimpun lagi di wilayah Hopak ini."

   "Aku rasa kita pun belum dapat membubarkan mereka dari wilayah Hopak, terutama pada saat ini, perlu diketahui, Thaykun masih berada di bawah kekuasaan Put-gwa-cin-kau, tentu saja Suthay dan aku tak boleh bersama-sama tinggal di tempat ini."

   "Lantas apa petunjuk Buncu?"

   "Suthay, silakan kau memberi perintah mewakili aku."

   "Ah, hal ini mana boleh?"

   "Aku belum lama menerima jabatan ketua, terhadap organisasi serta orang yang menjadi anggota perguruan pun belum begitu jelas, bila perintah kuberikan, tak mungkin segenap kekuatan yang kita miliki bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, apalagi Suthay memang Conghubuncu perguruan kita, siapa bilang kau tak berhak memberi perintah?"

   "Tapi sebelum memberi perintah, Pinni merasa wajib mohon petunjuk Buncu terlebih dahulu."

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Bila demikian, silakan Conghubuncu katakan."

   "Pinni harus secepatnya pulang untuk membantu Gi Jiancau mendapatkan ketiga macam obat-obatan yang masih kurang itu, maka Pinni rasa untuk wilayah Hopak terpaksa mesti ditangani oleh Buncu sendiri."

   "Pendapat Cong-hubuncu memang mirip dengan pikiranku,"

   Bong Thian-gak manggut-manggut.

   "berapa banyak kekuatan yang kau butuhkan, silakan saja dibawa."

   "Khi Cho, Pat-hubuncu serta Keng-koan Suthay tetap tinggal di sini membantu Buncu, sedang Su-hubuncu, Gohubuncu, Liok-hubuncu dan Jit-hubuncu turut aku kembali ke Lok-yang."

   Bong Thian-gak kembali mengangguk.

   "Tugas utama perguruan kita saat ini memang melindungi si tabib sakti, agar secepatnya membuat pil Hui-hun-wan yang sangat penting artinya buat kita. Bilamana Cong-hubuncu menjumpai hal-hal gawat selama di Lok-yang, harap selekasnya kau mengirim berita padaku."

   "Bila Buncu tiada persoalan lain, Pinni ingin berangkat ke Lok-yang sekarang juga."

   "Baik, silakan Suthay segera berangkat."

   Keng-tim Suthay siap beranjak, mendadak dia membalik badan, lalu dari sakunya mengeluarkan sepucuk surat, katanya.

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Lapor ketua, dalam surat ini tercantum ketiga macam bahan obat-obatan yang harus kita peroleh secepatnya, andaikata terjadi sesuatu peristiwa di luar dugaan, harap masalah pembuatan pil Hui-hun-wan dilanjutkan oleh Buncu."

   Mendengar perkataan itu, hati Bong Thian-gak bergetar, seolah-olah dia mendapat firasat jelek, tapi surat itu diterimanya juga.

   "Suthay, andaikata di tempatmu terjadi hal-hal yang di luar dugaan, harap kau selekasnya mengadakan hubungan dengan kami,"

   Pesannya lagi dengan suara dalam. Agaknya Keng-tim Suthay dapat memahami perasaan Bong Thiangak, maka ia hanya tersenyum.

   "Hui-hun-wan merupakan benda yang amat penting artinya bagi Hiat-kiam-bun kita, oleh sebab itu semua masalah telah Pinni atur sedemikian rupa hingga terlihat rapi dan tertata secara baik, harap Buncu tak usah kuatir, nah, Pinni mohon diri lebih dahulu."

   Maka berangkatlah Keng-tim Suthay dengan membawa empat orang Hubuncu serta puluhan anggota Hiat-kiam-bun kembali ke kota Lok-yang.

   oo Dalam waktu singkat, kuil Keng-koan sudah berubah menjadi pusat komando perguruan Hiat-kiam-bun, sekali pun kekuatan Hiat-kiam-bun untuk wilayah Hopak tidak terlalu besar, tapi di bawah pimpinan Bong Thian-gak, kuil Keng-koan telah diubahnya bagaikan sebuah sarang naga gua harimau.

   Dalam tujuh hari, nama besar ketua Hiat-kiam-bun, Jianciat- suseng Bong Thian-gak telah menggetarkan seluruh dunia persilatan.

   Yang paling membuat umat persilatan tercengang dan sama sekali tidak menyangka adalah Jian-ciat-suseng ternyata tak lain adalah ketua Hiat-kiam-bun, berita itu membuat pihak Put-gwa-cin-kau dan Kay-pang merasa amat terperanjat.

   Pada dasarnya Hiat-kiam-bun memang sudah merupakan suatu perkumpulan yang sangat misterius dalam Bu-lim, tapi semenjak Bong Thian-gak menjadi ketuanya, setiap anggota Hiat-kiam-bun yang berada dalam Bu-lim tidak lagi menutup wajah mereka dengan kain kerudung merah, mereka semua muncul dengan raut wajah asli.

   Ketika mereka mulai memperlihatkan paras muka aslinya, pihak Put-gwa-cin-kau serta Kay-pang baru tahu bahwa di antara para Huhoat Hiat-kiam-bun ternyata terdapat pula anggota perkumpulan mereka.

   oo Kegelapan telah mencekam seluruh jagad.

   Daerah tujuh li di sekitar kuil Hong-kong-si merupakan tempat paling gelap, sepi dan rawan.

   Pada saat itulah terlihat ada sesosok bayangan orang sedang berlari mendekati dari arah barat.

   Mendadak suara bentakan keras menggema memecah keheningan.

   "Siapa di situ?"

   Si pejalan malam yang datang dari arah barat telah menghentikan langkah dan mengangkat kepala sambil mengawasi keadaan sekeliling tempat itu dengan seksama.

   Di tengah jalan rupanya telah berdiri seseorang, gelak tawa nyaring tadi berkumandang dari mulut si penghadang itu.

   Di tengah gelak tawanya, dia maju beberapa langkah, katanya lantang.

   "Sam-kaucu, selamat bersua, baik-baikkah kau selama berpisah."

   Orang yang datang dari barat itu nampak terkejut mendengar teguran itu, sorot matanya yang tajam untuk mengawasi tempat itu.

   Lawannya adalah seorang lelaki berperawakan sedang berjubah merah, dia berwajah lebar dan berlengan besar, raut mukanya seperti pernah dikenal, tapi tak teringat olehnya dimanakah mereka pernah bertemu.

   Setelah hening sesaat, pejalan malam itu tertawa seram.

   "Hehehe, dari dandananmu itu, rupanya kau adalah anggota Hiat-kiam-bun?"

   "Betul,"

   Jawab lelaki berjubah merah itu sambil tertawa tergelak.

   "aku adalah pelindung hukum Hiat-kiam-bun."

   "Aku seperti kenal raut wajahmu,"

   Seru si pejalan malam dingin. Lelaki berjubah merah turut tertawa.

   "Sam-kaucu, mengapa kau mudah lupa? Aku she Ang bernama Teng-siu!"

   Berubah hebat paras muka pejalan malam itu, dia berseru tertahan dan berkata.

   "Oh, rupanya kau adalah komandan pengawal Ji-kaucu, Ang Teng-siu."

   "Betul, memang aku Ang Teng-siu."

   Tiba-tiba pejalan malam itu menarik muka, kemudian ujarnya.

   "Ang Teng-siu, kau pengkhianat, berani amat kau halangi jalanku."

   "Sam-kaucu,"

   Kembali Ang Teng-siu tersenyum.

   "mengapa kau punya jalan ke surga enggan dilalui, tiada jalan ke neraka kau terobos."

   Sepasang mata pejalan malam yang tajam mendadak mengawasi sekejap keadaan sekitar situ, kemudian berkata dingin.

   "Ang Teng-siu, berapa orang yang kau bawa malam ini?"

   Ang Teng-siu tertawa terbahak-bahak.

   "Ketua Hiat-kiam-bun serta sepuluh pelindung hukum telah hadir semua di sini."

   Pejalan malam itu terkejut, dia segera bertanya dengan gelisah.

   "Dimanakah Jian-ciat-suseng sekarang? Suruh dia keluar menemuiku."

   "Thia Leng-juan, harap tahu diri, malam ini kami memang sengaja menunggu kedatanganmu, kau tak usah kurangajar."

   Agaknya Thia Leng-juan sudah merasa gelagat malam ini sangat tidak menguntungkan pihaknya, dia masih berusaha mempertahankan ketenangan, pelan-pelan ujarnya.

   "Biar naik ke bukit golok atau terjun ke kuali berminyak mendidih, aku sudah pernah merasakan semuanya, memangnya kalian masih mempunyai cara lain yang bisa membuat pecah nyaliku?"

   "Sudahlah, kau tidak usah banyak bicara lagi, ketua kami segera akan berjumpa denganmu, lebih baik turuti kami a)a, kalau tidak, terpaksa kami akan berbuat kasar kepadamu."

   "Jian-ciat-suseng berada dimana sekarang?"

   Sebelum Ang Teng-siu menjawab, dari balik kegelapan Mudah muncul sesosok bayangan orang menjawab dengan suara dingin, ierlun dan keren.

   "Thia Leng-juan, aku berada di sini."

   "Mengapa kau tidak segera kemari?"

   "Aku segera akan datang."

   Belum habis perkataan itu, sesosok bayangan orang berkelebat ke hadapan Thia Leng-juan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat, Thia Leng-juan cekatan sekali, dengan cepat dia menggeser badan menghindar ke sisi kiri.

   Biarpun dia menghindar dengan gerakan cukup cepat, namun gerakan tubuh pendatang itu jauh lebih cepat lagi, tahu-tahu lengannya sudah bergerak dan "Plak!!"

   Thia Leng-juan mendengus tertahan, kemudian orangnya sudah roboh tak sadarkan diri.

   Sewaktu Thia Leng-juan sadar dari pingsannya, ia menjumpai dirinya sudah duduk di atas kursi.

   Duduk di hadapan seorang pemuda berjubah merah berlengan tunggal, berwajah pucat dan bermata tajam bagaikan sembilu.

   Di sisi kiri dan kanan pemuda berjubah merah itu masingmasing berdiri sepuluh orang laki-laki berjubah merah, mereka semua berwajah kereng, bermata tajam dan kelihatan sangat gagah.

   Bergidik Thia Leng-juan menyaksikan semua itu, dengan cepat dia teringat akan perbuatannya membunuh Kauhubuncu Hiat-kiam-bun di kamar tujuh Hong-tok-ciu-lau tempo hari.

   Ia pernah berjumpa dengan Jian-ciat-suseng Bong Thiangak ketika berada di Hong-tok-ciu-lau, bahkan sewaktu terjadi peristiwa berdarah itu, Jian-ciat-suseng hadir pula di tempat kejadian.

   Siapa sangka Jian-ciat-suseng tak lain adalah ketua Hiatkiam- bun, pemuda berjubah merah berlengan tunggal itu.

   Terpaksa Thia Leng-juan harus mengeraskan hati menegur.

   "Apa maksudmu membawa aku kemari?"

   "Demi menyelamatkan jiwamu,"

   Jawab Bong Thian-gak hambar. Thia Leng-juan tertegun.

   "Menyelamatkan aku? Apa maksudmu?"

   Bong Thian-gak tertawa dingin.

   "Asal kau bersedia menjawab beberapa pertanyaan dengan jujur, aku bersedia menyelamatkan jiwamu, kalau tidak, perbuatanmu membunuh Kau-hubuncu perguruan kami itu, tentu hanya ada jalan kematian bagimu."

   Thia Leng-juan mulai berpikir.

   "Bagaimana pun juga kepandaian silatku tidak mungkin bisa menandingi Jian-ciatsuseng."

   Maka dia pun bertanya.

   "Jawaban apa yang harus kuutarakan?"

   "Bagaimana caramu memasuki Put-gwa-cin-kau?"

   Thia Leng-juan tertegun, lalu berdiri melongo, lama kemudian baru dia balik bertanya.

   "Buat apa kau menanyakan hal itu?"

   "Kau cukup menjawab pertanyaanku, hati-hati, salah bicara bisa berakibat hilangnya nyawamu,"

   Ancam Bong Thian-gak sambil tertawa dingin tiada hentinya. Thia Leng-juan termenung lama sekali, tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun. Setelah tertawa dingin, Bong Thian-gak berkata.

   "Bukankah kau telah membunuh kawanan jago persilatan golongan putih untuk merebut kepercayaan Cong-kaucu sehingga kau diterima menjadi anggota Put-gwa-cin-kau."

   Gemetar keras sekujur badan Thia Leng-juan mendengar itu, bentaknya.

   "Aku tak pernah membunuh jago mana pun dari Bu-lim Bengcu, aku sama sekali tidak melakukan pembunuhan apa pun."

   Mencorong sinar tajam dari balik mata Bong Thian-gak, dia segera mendesak lebih jauh.

   "Lantas mengapa Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau menaruh kepercayaan padamu? Kau pernah menjadi musuh bebuyutan Put-gwa-cin-kau, apakah kau mempunyai sesuatu persyaratan yang dapat membuat perempuan jalang itu percaya serta tunduk kepadamu?" "Benar, tentu saja aku mempunyai syarat-syarat tertentu,"

   Kata Thia Leng-juan.

   "Apa syaratnya? Cepat katakan!"

   Hardik Bong Thian-gak.

   "Tidak sulit bila ingin kukatakan, hanya kau harus menerangkan dulu kepadaku, apa maksudmu menanyakan persoalan itu?"

   "Thia Leng-juan, coba kau lihat wajahku baik-baik, tahukah kau siapa aku?"

   Thia Leng-juan tertawa dingin.

   "Hm, siapa lagi? Tentu kau adalah Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak."

   "Kau masih ingat dengan seorang sahabatmu yang bernama Ko Hong tiga tahun berselang?"

   Begitu mendengar nama Ko Hong, gemetar tubuh Thia Leng-juan dibuatnya, matanya membelalak, kemudian mengamati wajah Bong Thian-gak dengan seksama, seakanakan dia sedang berusaha mencari sesuatu.

   Tentu saja yang dicari olehnya adalah bekas-bekas yang telah menghilang.

   Mendadak paras muka Thia Leng-juan berubah pucat-pias seperti mayat, kemudian gumamnya.

   "Kau adalah Ko Hong, benarkah kau adalah Ko Hong?"

   "Benar, aku adalah Ko Hong,"

   Jawab Bong Thian-gak nyaring.

   "aku adalah Ko Hong yang bersama-sama kau dan Pa-ong-kiong Ho Put-ciang bertiga bertarung membunuh Samkaucu Put-gwa-cin-kau yang telah menyaru sebagai Ku-lo Hwesio."

   Thia Leng-juan tak dapat membendung air matanya lagi, ia menangis tersedu-sedu seperti anak kecil.

   Bong Thian-gak tidak habis mengerti apa sebabnya dia menangis, padahal seorang Enghiong tak akan melelehkan air mata dengan mudah bila tidak sedang bersedih hati.

   "Thia-tayhiap, kau tentunya tahu bukan persoalan apakah yang hendak kutanyakan kepadamu!"

   Kembali Bong Thian-gak bertanya dengan suara dingin. Mendadak Thia Leng-juan mendongakkan kepala, kemudian teriaknya.

   "Ko Hong, bunuhlah aku! Biarpun mati, aku akan mati dengan mata meram!"

   Bong Thian-gak berkerut kening, sebab sikap lawan, dia dapat pula merasakan kesedihan hatinya, dia membentak kembali.

   "Thia Leng-juan, bila kau benar-benar seorang Enghiong, benar-benar seorang leleki sejati, ayolah bicara lebih jelas!"

   Thia Leng-juan tidak menjawab, dia hanya membungkam. Melihat lawan membungkam, Bong Thian-gak bertanya kembali.

   "Thia Leng-juan, dengarkan baik-baik, aku hanya ingin mengetahui nasib Ho Put-ciang, Yu Heng-sui dan Oh Cian-giok sekalian."

   Thia Leng-juan mendongakkan kepala memandang wajah Bong Thian-gak dan termangu, air matanya belum mengering sehingga wajahnya nampak sangat mengenaskan. Tiba-tiba ia menghela napas, lalu berkata.

   "Mereka semua telah meninggal dunia."

   Ucapan itu bagaikan guntur yang membelah bumi di siang hari bolong, gemetar keras sekujur badan Bong Thian-gak karena menahan emosi, kembali ia membentak.

   "Apa yang menyebabkan kematian Toa-suhengku sekalian? Siapa yang telah membunuh mereka?"

   Gemetar keras tubuh Thia Leng-juan, tanyanya.

   "Kau menanyakan Toa-suhengmu? Apakah Ho Put-ciang kakak seperguruanmu?"

   "Kau tak usah bertanya lagi,"

   Tukas Bong Thian-gak.

   "cepat katakan, apa yang menyebabkan kematian Toa-suheng sekalian?"

   Pada saat itulah tiba-tiba Thia Leng-juan teringat akan sesuatu, dia berseru tertahan.

   "Oh Ciang hu mempunyai empat orang murid, salah seorang di antaranya bernama Bong Thian-gak, Ah! Kalau begitu kau adalah murid Oh Ciong-hu Locianpwe yang bernama Bong Thian-gak."

   Sinar tajam penuh napsu membunuh memancar dari balik mata Bong Thian-gak, bentaknya.

   "Thia Leng-juan, kau belum menjawab pertanyaanku, jika kau tidak menjawab dengan sejujurnya, aku akan membunuhmu sekarang juga."

   Sembari berkata, dia mengangkat telapak tangannya pelanpelan.

   Kesepuluh orang pelindung hukum Hiat-kiam-bun yang berdiri mengelilingi arena mengerti, dalam keadaan demikian asal Thia Lengf-juan salah bicara sepatah kata saja, niscaya dia akan tewas dihajar oleh ketua mereka.

   Dalam waktu singkat seluruh arena telah diliputi oleh suasana tegang dan mengerikan.

   Thia Leng-juan menggetarkan bibirnya seperti ingin mengucapkan sesuatu, namun tak sepatah kata pun yang terucap keluar, jika dilihat dari kerutan wajahnya serta tubuhnya yang mengejang keras, dia sedang merasakan kengerian yang luar biasa dalam menghadapi kematian.

   Namun akhirnya Thia Leng-juan berhasil menenangkan diri, ia menjawab pelan.

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Akulah yang telah mencelakai mereka semua."

   Belum selesai perkataan itu diucapkan, Bong Thian-gak telah berteriak.

   "Mengapa kau harus mencelakai mereka?"

   Telapak tangannya segera diayunkan ke depan melepaskan sebuah bacokan kilat. Jeritan ngeri yang memilukan hati segera berkumandang memecah keheningan, badan Thia Leng-juan mencelat ke udara dan melayang keluar lewat daun jendela, kemudian.

   "Bluk", terbanting ke atas lantai. Secepat sambaran petir Bong Thian-gak melejit ke udara dan menyusul dari belakang. Thia Leng-juan telah terkapar di atas tanah, dia berusaha meronta bangun, namun tak berhasil. Dengan kasar Bong Thian-gak mencengkeram bajunya, lalu mengangkatnya ke atas, bentaknya.

   "Ayo cepat katakan, mengapa kau membunuh mereka?"

   Sementara itu paras muka Thia Leng-juan pucat-pias seperti mayat, tampangnya kelihatan sangat mengerikan, darah segar mengalir keluar lewat ujung bibirnya seperti sumber mata air, membasahi pakaiannya dan menetes pula ke atas lantai.

   Pukulan dahsyat Bong Thian-gak telah mengguncang isi perutnya, membuat dia sadar kematiannya sudah dekat.

   "Bong ... Bong Thian-gak, sempurna amat tenaga pukulanmu, aku ... aku gembira sekali kau memiliki pukulan tenaga dalam sedemikian sempurna."

   "Apakah kau tidak takut mampus?"

   Seru Bong Thian-gak agak tertegun mendengar perkataan itu. Kembali Thia Leng-juan tertawa pedih.

   "Pukulanmu barusan telah mengantar aku tak jauh dari kematian, aku ... aku merasa bersalah terhadap segenap rekan-rekan umat persilatan, walau mati, aku mati dengan rela, sekarang ... sekarang aku ingin memberitahukan beberapa hal kepadamu."

   Ketika berbicara sampai di situ, secara beruntun dia muntah darah beberapa kali, dengan matanya yang sayu dia pun mencoba memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian tanyanya bimbang.

   "Di ... dimanakah aku sekarang?"

   Bong Thian-gak agak tercengang dan sama sekali tak menduga sikap Thia Leng-juan itu, seandainya dia benarbenar seorang licik yang berakal bulus, mengapa sikapnya dalam menghadapi kematian begitu wajar? "Tempat ini adalah ruang depan kuil Hong-kong-si, Hongkong Hwesio dan muridnya berdiam di ruang belakang, sayang sekali mereka tak akan mendengar jeritanmu tadi, sudah barang tentu mereka pun tak akan kemari untuk menyelamatkan jiwamu."

   Ucapan Bong Thian-gak itu diutarakan dengan suara datar dan hambar. Thia Leng-juan berseru tertahan.

   "Ah! Kau ... kau juga tahu kalau aku tengah bersekongkol dengan Hong-kong Hwesio beserta muridnya?"

   Bong Thian-gak tertawa dingin.

   "Beberapa malam berselang, semua pembicaraanmu dengan Long Jit-seng di ruang belakang telah kudengar semua."

   "Kalau begitu kau ... kau juga sudah mengetahui pertemuanku dengan Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau/' kembali Thia Leng-juan bertanya dengan sedih. Kembali Bong Thian-gak tertawa dingin.

   "Tentu saja, aku pun sempat melihat kau seperti ular yang patut dikasihani, tunduk di bawah selangkangannya. Hm, pada saat itu aku malu melihat perbuatanmu, juga merasa kasihan untuk nasibmu, sungguh tak kusangka kau adalah seorang yang tak berguna."

   Tiba-tiba dua baris air mata bercucuran membasahi pipi Thia Leng-juan, bisiknya lirih.

   "Umpatanmu memang benar, umpatanmu memang tepat sekali."

   Sesudah mengucapkan perkataan ini, tubuh Thia Leng-juan semakin lama semakin lemah, kerongkongannya mulai gemerutukan. Dia berbisik lagi dengan suara yang sangat lirih.

   "Kemungkinan besar Ho Put-ciang sekalian belum ... belum mati, kau ... kau harus bekerja sama dengan Hong-kong Hwesio."

   Bergetar keras perasaan Bong Thian-gak mendengar perkataan itu, tanyanya.

   "Apa kau bilang? Toa-suhengku sekalian belum mati? Katakanlah cepat kau, katakan!"

   Beberapa kali teriakan beruntun, namun Thia Leng-juan sudah tak sanggup menjawab.

   Thia Leng-juan telah menemui ajalnya, tewas seketika.

   Tenaga serangan yang maha dahsyat Bong Thian-gak agaknya betul-betul sudah mehancurkan isi perutnya.

   Kata-kata terakhir Thia Leng-juan justru menenangkan gejolak perasaan Bong Thian-gak yang sedang dipengaruhi oleh emosi.

   Ia tak habis mengerti apa sebabnya Thia Leng-juan mengakui Ho Put-ciang sekalian tewas di tangannya, tapi kemudian dikatakan pula bisa jadi mereka belum tewas.

   Bong Thian-gak hanya berdiri termangu sambil mengawasi jenazah Thia Leng-juan, dia tidak habis mengerti apa gerangan yang yang telah terjadi.

   "Omitohud!"

   Suara pujian sang Buddha tiba-tiba berkumandang seperti suara lonceng berdentang.

   Bong Thian-gak sadar dari lamunannya, ia mengangkat kepala.

   Tahu-tahu sudah berdiri empat orang.

   Mereka adalah tiga orang Hwesio dan seorang kakek berbaju hitam yang kurus kecil.

   Kakek berbaju hitam itu cukup dikenal Bong Thian-gak, sebab dia tak lain adalah Long Jit-seng.

   Dari ketiga orang Hwesio lainnya, orang yang berada di tengah adalah seorang Hwesio tua berwajah kuning emas yang memelihara jenggot sepanjang dada, kedua alis matanya juga memanjang ke telinga.

   Yang aneh adalah kulit badan Hwesio tua ini pun berwarna kuning keemas-emasan, alis mata serta jenggotnya juga berwarna kuning emas, tak bisa disangkal lagi orang itu adalah Hong-kong Hwesio, si pedang sinar kuning.

   Di sisi kiri dan kanan Hwesio tua itu masing-masing berdiri seorang Hwesio tua yang jenggotnya hitam sepanjang dada, Bong Thian-gak tahu kedua orang ini tentu murid Hong-kong Hwesio, hanya tak pernah disangka kedua muridnya pun berusia setengah abad lebih.

   "Omitohud! Siancay, Siancay ... ternyata Sicu telah membunuh Thia-tayhiap."

   Hong-kong Hwesio berbicara dengan suara rendah dan berat, sikap yang serius dan setiap patah katanya cukup menggetarkan perasaan Bong Thian-gak.

   Sementara kesepuluh orang pelindung hukum Hiat-kiambun telah berdatangan secara beruntun, mereka menempatkan diri di kedua sisi Bong Thian-gak.

   Bong Thian-gak memandang sekejap mayat Thia Leng-juan yang tergeletak di atas tanah, kemudian ujarnya dingin.

   "Apabila Hong-kong Hwesio mengetahui asal-usulnya, tentu kau akan beranggapan bahwa kematian Thia leng-juan sudah semestinya dia terima."

   "Siancay, Siancay! Sicu telah salah membunuh orang,"

   Ucap Hong-kong Hwesio dengan suara dalam.

   "Sesungguhnya Thia Leng-juan adalah seorang Enghiong sejati, dia dapat direndahkan, dapat pula menyesuaikan diri dengan keadaan. Pembunuhan yang Sicu lakukan terhadap dirinya sungguh merupakan suatu kejahatan yang patut disesalkan."

   Bong Thian-gak tertawa dingin.

   "Aku membunuhnya karena perbuatan jahat yang ia lakukan sudah kelewat batas. Kalau kau menuduh aku salah membunuhnya, apakah perbuatannya mencelakai sahabat serta saudara-saudaranya bukan suatu perbuatan yang keji?"

   Long Jit-seng yang berdiri di sisi arena mendadak tertawa seram, lalu menimbrung.

   "Bong Thian-gak, apakah kedatanganmu ini bermaksud hendak mengajak aku masuk Hiat-kiam-bun?"

   Bong Thian-gak segera menarik muka.

   "Hiat-kiam-bun tak akan membiarkan manusia licik yang berbicara lain di mulut lain di hati semacam kau untuk tetap hidup di dunia ini."

   "Orang she Bong,"

   Long Jit-seng tertawa dingin.

   "Kau tidak seharusnya membunuh Thia Leng-juan di kuil Hong-kong-si."

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Sejak beberapa hari lalu, aku sudah tahu kau hendak memperalat kekuatan Hong-kong Hwesio dan muridnya untuk melenyapkan aku, itulah sebabnya sudah beberapa hari aku membuat persiapan di sekitar kuil Hong-kong-si untuk menanti Thia Leng-juan masuk perangkap, kemudian dengan cara demikian akan kupancing keluar Hong-kong Hwesio dan murid-muridnya. Coba kau bayangkan? Apakah rencana dengan memasang perangkap semacam ini merupakan perbuatan yang keliru."

   Diam-diam Long Jit-seng terkejut, tapi dengan cepat dia telah tertawa licik kembali, sahutnya.

   "Betul, memang tak keliru, aku yang telah memandangmu terlalu rendah."

   "Omitohud!"

   Sekali lagi Hong-kong Hwesio memuji keagungan sang Buddha.

   "bila Long Jit-seng bermaksud memancing kemunculan kami guru dan murid membuka pantangan membunuh, mungkin Hong-kong Hwesio tak akan memenuhi harapannya, namun Sicu telah membunuh Thia tayhiap, jadi terpaksa kami guru dan murid benar-benar akan membuka pantangan membunuh."

   "Mana ... mana, sebagai seorang pendeta, kau ingin mencampuri pula urusan pertikaian dunia persilatan, cepat atau lambat pasti akan kau langgar juga pantangan membunuh itu."

   "Sudah hampir lima puluh tahun lamanya Pinceng menutup diri hidup mengasingkan diri dari keramaian dunia persilatan, sungguh tak disangka orang-orang Bu-lim telah berubah menjadi lebih buas dan ganas."

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Kalau hidup mengasingkan diri dalam lingkungan masyarakat, siapakah yang bisa melepaskan diri dari keramaian dunia? Tak heran kau mungkin bersembahyang setiap hari, namun belum bisa melepaskan diri dari pikiran keduniawian."

   Hati Hong-kong Hwesio bergetar mendengar perkataan itu, mencorong tajam matanya mengawasi wajah Bong Thian-gak lekat-lekat.

   "Siancay, Siancay! Bila kuamati panca-indra Sicu serta pancaran kegagahan dari wajahmu, sama sekali tidak mirip seperti manusia buas yang berhati keji, tapi mengapa Sicu justru membunuh Thia-tayhiap?"

   Tiba-tiba Bong Thian-gak menarik muka, kemudian berkata dengan suara lantang.

   "Biarpun Thia Leng-juan terhitung anak murid Siau-lim-pay, tapi perbuatannya justru merusak nama baik perguruan, dia telah berkhianat serta mengabungkan diri dengan pihak Put-gwa-cin-kau membantu kaum sesat dan kaum laknat melakukan berbagai kejahatan mencelakai umat persilatan dan membunuh kaum pendekar, apakah aku tak pantas membunuh manusia semacam ini?" "Omitohud, apakah Sicu mempunyai bukti yang meyakinkan?"

   Tanya Hong-kong Hwesio.

   "Tiga tahun berselang, Thia Leng-juan telah berkhianat dan menjual Ho Put-ciang serta puluhan jago persilatan yang berada dalam gedung Bu-lim Bencu, apakah bukti ini belum cukup kuat?"

   Hong-kong Hwesio segera menggeleng kepala, katanya.

   "Apakah Sicu mengetahui dengan pasti kisah yang sebenarnya sampai seluruh orang dalam gedung Bu-lim Bengcu di kota Kay-hong ditumpas orang pada tiga tahun berselang?"

   Bong Thian-gak tertegun mendengar pertanyaan itu, kemudian dengan kening berkerut dia berkata.

   "Aku memang tidak mengetahui apa sebabnya gedung Bu-lim Bengcu di kota Kay-hong sampai tertumpas, namun menurut hasil penyelidikanku, kecuali Thia Leng-juan, segenap jago dalam gedung Bu-lim Bengcu pada waktu itu tidak diketahui nasibnya, sampai sekarang mati hidup mereka pun tetap merupakan teka teki."

   "Oleh karena itu Thia Leng-juan menjadi orang yang paling dicurigai membunuh kawanan jago itu, apalagi sebelum ajalnya tiba tadi, Thia Leng-juan juga mengakui bahwa dialah yang telah membunuh Ho Put-ciang serta yang lain-lain."

   "Ai, Sicu betul-betul telah salah membunuh orang,"

   Hongkong Hwesio menghela napas sedih.

   "Thia Leng-juan pernah menceritakan kisah yang sesungguhnya sampai gedung Bu-lim Bengcu ditumpas orang, ai, kematian Thia-tayhiap benarbenar kelewat mengenaskan!"

   Helaan napas berulang kali Hong-kong Hwesio membuat perasaan Bong Thian-gak bergetar keras, diam-diam dia bertanya pada diri sendiri.

   "Mungkinkah aku telah salah membunuh? Mungkinkah Thia Leng-juan adalah seorang baik?"

   Dengan cepat Bong Thian-gak membayangkan kembali setiap gerak-gerik, setiap perkataan yang diucapkan Thia Leng-juan menjelang ajalnya tiba.

   Dia memang merasa banyak hal yang mencurigakan, akan tetapi Bong Thian-gak tidak habis mengerti, bila Thia Lengjuan memang bersih dan tidak merasa bersalah, apa sebabnya dia pasrah kepada nasib dan bersedia menerima kematian? Mungkin Thia Leng-juan mempunyai kesulitan yang tak mungkin bisa diutarakan? Tapi bukankah dia sendiri mengakui telah membunuh Toa-suheng sekalian? Bong Thian-gak benar-benar merasa amat resah, masgul dan murung, terutama sekali terhadap kata-kata terakhir Thia Leng-juan menjelang ajalnya tadi.

   " ... besar kemungkinan Ho Put-ciang sekalian belum mati."

   Yang membuatnya ragu dan tak menentu sekarang adalah perkataan Thia Leng-juan itu, benarkah? Atau omong kosong? Sekarang Bong Thian-gak sedikit menyesal, dia menyesalkan apa sebabnya tidak membuat duduk persoalan menjadi jelas lebih dulu sebelum menindak Thia Leng-juan.

   Padahal Bong Thian-gak sendiri sama sekali tidak menyangka Thia Leng-juan bakal tewas di tangannya.

   Thia Leng-juan pun terhitung seorang jago persilatan kelas satu dalam Bu-lim, kendatipun dia tak bisa meloloskan diri dari serangan Bong Thian-gak, namun mustahil dia bisa tewas hanya dalam satu gebrakan saja.

   Bong Thian-gak menghela napas panjang, kemudian bertanya.

   "Hong-kong Locianpwe, benarkah aku telah salah membunuh Thia Leng-juan?"

   Hong-kong Hwesio menghela napas.

   "Thia-tayhiap tak seharusnya tewas dalam keadaan demikian, dia harus mengungkapkan kenyataan sebenarnya peristiwa dunia persilatan sebelum mati." "Dapatkah Hong-kong Locianpwe menerangkan duduk persoalan ini lebih jelas lagi?"

   Tanya Bong Thian-gak dengan kening berkerut kencang. Tiba-tiba mencorong sinar membunuh yang amat tebal dari balik mata Hong-kong Hwesio, dia berkata.

   "Sicu telah membunuh Thia-tayhiap, apa lagi yang bisa dibicarakan sekarang?"

   Bong Thian-gak dapat pula menangkap sorot mata Hongkong Hwesio itu, maka dia pun balik bertanya.

   "Hwesio tua, apa yang hendak kau lakukan?"

   "Nyawa manusia tak ternilai harganya, Sicu telah membunuh orang, maka kau harus memberi keadilan pula bagi umat persilatan."

   "Bila Lohwesio ingin membalas dendam bagi kematian Thia Leng-juan, kuanjurkan lebih baik urungkan saja niatmu itu,"

   Ucap Bong Thian-gak dingin.

   "Rupanya Sicu beranggapan Lolap tak sanggup menghabisi nyawamu?"

   "Bila Lohwesio ingin membunuh aku, kemungkinan besar kau harus mengorbankan tenaga yang amat besar, namun sebelum aku roboh ke atas tanah, mungkin kau sudah kehabisan tenaga untuk menghadapi musuh tangguh yang datang dari luar."

   Baru selesai Bong Thian-gak berbicara, mendadak terdengar suara gelak tawa yang amat keras bergema memenuhi seluruh ruangan, gelak tawa itu mulanya berasal dari atas atap rumah, tahu-tahu di tengah halaman telah berdiri seorang lelaki kekar.

   Orang itu bukan lain adalah jago nomor tiga Kay-pang, Han Siau-liong.

   Setelah berdiri tegak, Han Siau-liong berkata dengan lantang.

   "Ketajaman mata Jian-ciat-suseng sungguh mengagumkan sekali, hahaha, hari ini aku Han Siau-liong akan menantang kau berduel."

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Mana ... mana, hari ini berapa banyak jagoan yang telah Han-heng bawa serta?"

   Setelah tertegun, Han Siau-liong menyahut sambil tertawa.

   "Kurang lebih seratus orang dan sekarang seluruh kuil Hongkong- si telah kami kepung."

   "Apabila Han-heng bermaksud mencari Long Jit-seng, orangnya berada di sini sekarang, Han-heng boleh menangkapnya dengan segera,"

   Ucap Bong Thian-gak tertawa. Han Siau-liong tertawa terbahak-bahak.

   "Hahaha, Jian-ciatsuseng betul-betul memahami taktik perang."

   "Jangan kelewat sungkan, bila Han-heng tidak turun tangan dengan segera, bila Ji-kaucu Put-gwa-cin-kau sampai menyusul kemari, belum tentu pihakmu mempunyai kemampuan untuk membekuk Hek-ki-to-cu."

   Kembali Han Siau-liong tertawa kering.

   "Kau anggap pihak Put-gwa-cin-kau pasti ada orang yang akan muncul ke sini?"

   "Telinga umat persilatan saat ini dibentangkan lebar-lebar, rahasia Hong-kong Hwesio bersama Hek-ki-to-cu mengenai rahasia harta karun Mo-lay-cing-ong sudah bukan rahasia pribadi lagi."

   "Kalau begitu, aku seharusnya turun tangan terlebih dahulu,"

   Han Siau-liong tertawa.

   "Tampaknya Han-heng kuatir orang she Bong akan menjadi nelayan yang beruntung?"

   "Betul, aku memang menguatirkan hal ini."

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Bila Han-heng tidak turun tangan lebih dulu, kemungkinan besar kau akan didahului orang lain." "Siapa yang akan mendahului diriku?"

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tanya Han Siau-liong.

   "Toa-cengcu Kim-liong-kiam-san-ceng Mo Hui-thian."

   Selesai perkataan itu, dari tengah ruangan telah berkumandang suara seorang bernada dingin.

   "Bocah keparat, kau betul-betul sangat lihai, sampai-sampai jejakku pun kau ketahui."

   Suara itu hanya melambung di angkasa, tak nampak sesosok bayangan orang pun yang muncul.

   Paras muka Hong-kong Hwesio serta Han Siau-liong yang berada di tengah arena berubah hebat, nama besar Mo Huithian cukup termasyhur dalam Bu-lim dewasa ini.

   Kembali Bong Thian-gak tertawa terbahak-bahak, suaranya keras dan memekakkan telinga, kemudian dia berkata.

   "Hahaha, semenjak beberapa hari lalu aku sudah tahu Molocianpwe ada maksud mencari diriku, oleh sebab itu untuk menghindari usaha Toa-cengcu melancarkan serangan keji, terpaksa aku pun menguntitmu lebih dulu. Hahaha, Toacengcu seperti sudah terpikat oleh harta karun Mo-lay-cingong sehingga lupa menyusahkan diriku."

   Hong-kong Hwesio memuji keagungan sang Buddha, kemudian pelan-pelan berkata.

   "Mo Hui-thian, sudah puluhan tahun kita tak bersua, Lohwesio kangen sekali kepadamu."

   Dari keheningan udara kembali berkumandang suara Toacengcu Kim-liong-kiam-san-ceng.

   "Hwesio tua sahabat karibku, aku dengar peta harta karun itu berada di sakumu, entah bersediakah kau meminjamkan sebentar kepada sahabatmu ini?"

   "Omitohud, siapa bilang tak boleh? Kalau sobat karib yang meminjam, aku yakin tentu akan dikembalikan."

   Mendadak Han Siau-liong berkata kepada Bong Thian-gak.

   "Bong-N buncu, tampaknya untuk sementara waktu kita harus menyingkirkan semua perselisihan pribadi di antara kita."

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Han-heng, aku lihat watakmu sudah banyak berubah."

   "Ya, keadaan dan suasanalah yang memaksaku berbuat demikian,"

   Ucap Han Siau-liong. Kembali Bong Thian-gak tersenyum.

   "Pihak Hiat-kiam-bun kami sama sekali tidak tertarik pada peta harta karun itu, tapi ... kami pun enggan membiarkan peta harta karun itu terjatuh ke tangan partai atau perguruan mana pun, oleh karena itu dia adalah musuh Hiat-kiam-bun kami, jika Han-heng berniat merebut peta harta karun itu, bukankah kita akan segera berubah menjadi musuh bebuyutan?"

   "Bagus, bagus sekali,"

   Han Siau-liong tertawa lebar.

   "pendapat Bong-buncu memang persis seperti pendapatku, tapi berbicara dari situasi yang kita hadapi sekarang, tampaknya kita harus menjalin kerja sama."

   "Bagaimana cara kita menjalin kerja sama?"

   "Pertama-tama kita harus mencegah peta harta karun itu jangan sampai terjatuh ke tangan siapa pun."

   "Tapi peta harta karun itu berada di tangan siapa sekarang?"

   Menghadapi pertanyaan itu Han Siau-liong tertegun, ia balik bertanya.

   "Bukankah peta itu berada di tangan Hongkong Hwesio?"

   Mendadak dari tengah udara berkumandang lagi suara teriakan Mo Hui-thian.

   "Hwesio tua sahabat karibku, mengapa kau tidak berhasil menemukan peta harta karun itu?" "Omitohud, Mo-cengcu, sampai sekarang mengapa kau masih belum juga menampakkan diri?"

   Hong-kong Hwesio berkata. Tiba-tiba Han Siau-liong berpaling ke arah Bong Thian-gak dan bertanya sambil tertawa.

   "Bong-buncu, apakah kau tahu Mo-loji dimana bersembunyi?"

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Menurut berita dalam Bu-lim, Toa-cengcu ibarat naga sakti di balik mega yang nampak kepala tak nampak ekor, setelah berjumpa hari ini terbukti bahwa namanya memang bukan nama kosong belaka, hingga sekarang aku masih belum menemukan tempat persembunyiannya, artinya kita berdua telah menderita kekalahan di tangannya malam ini."

   Mendengar ucapan itu, Han Siau-liong tertawa terbahak.

   "Hahaha, bila ia tidak juga menampakkan diri, selamanya jangan harap dia bisa melepaskan serangan pedangnya untuk melukaiku."

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Menurut cerita orang, selama bertarung Mo Hui-thian tidak pernah melancarkan serangan kedua, sebab saat dia menampakkan diri, musuh sudah roboh terlebih dahulu karena tertusuk, konon kecepatan gerak pedangnya tidak berada di bawah kemampuan Liu Khi."

   "Aku dengar Liu Khi sudah bertarung melawan Bonglumen?"

   Tiba-tiba Han Siau-liong bertanya.

   "Aku tak lebih hanya mencoba pisau terbang daun Lilinya aja/' kata Bong Thian-gak tertawa.

   "Liu Khi dari partai kami memiliki jurus serangan yang nangat lihai dan kelihaiannya terletak pada permaianan golok mustika ynnK tersoreng di pinggangnya itu." "Ya, aku pun pernah mendengar orang membicarakan hal itu,"

   Bong Thian-gak manggut-manggut.

   "Menurut pendapat Bong-buncu, mungkinkah antara Hongkong Hwesio dengan Mo-loji telah terjalin suatu hubungan yang sangat akrab dan sehidup semati?"

   "Ah, aku rasa mereka hanya saling memanfaatkan kelebihan lawan, padahal keduanya sama-sama mempunyai rencana tertentu,"

   Jawab Bong Thian-gak sambil sengaja meninggikan suaranya. Han Siau-liong tertawa.

   "Hahaha, kalau begitu di antara kita tak ada seorang pun yang berani turun tangan."

   "Apakah Han-heng masih sanggup menahan diri dan menunggu lebih lama?"

   "Bila Siaute sudah memperoleh persetujuan Bong-buncu, tentu saja tak akan menunggu lebih lama."

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Dengan kekuatan kita berdua, rasanya hanya mampu untuk melawan Hong-kong Hwesio dan muridnya, apakah Han-heng tidak kuatir Mo Hui-thian akan menjadi si nelayan yang beruntung?"

   "Siaute tidak percaya Hong-kong Hwesio dan muridnya begitu sukar dilawan."

   Bong Thian-gak tertawa ringan.

   "Kalau begitu dengan kemampuan Han-heng seorang pun sudah cukup untuk melawan Hong-kong Hwesio dan muridnya, buat apa kau mesti mengajak aku bekerja sama?"

   "Yang kukuatirkan adalah Mo Hui-thian yang berada di sisi arena."

   "Bukankah dari pihak kalian masih ada Liu Khi?"

   Tegur Bong Thian-gak sambil tersenyum. Han Siau-liong tertegun mendengar perkataan itu, kemudian katanya sambil tertawa kering.

   "Wah, tampaknya Bong-buncu bukan orang tolol."

   "Mana ... mana,"

   Bong Thian-gak mengangguk.

   "tahu diri, tahu keadaan lawan, setiap pertarungan baru bisa dimenangkan dengan sukses dan gemilang."

   "Sekali pun Bong-buncu tak bersedia bekerja sama, dengan kemampuanmu seorang rasanya juga susah menguasai keadaan."

   Bong Thian-gak tertawa.

   "Seandainya aku bekerja sama dengan Mo Hui-thian atau Hong-kong Hwesio beserta muridnya untuk melawan kalian, mungkinkah bagi Han-heng serta Liu Khi meraih keuntungan besar?"

   Han Siau-liong tertawa terbahak-bahak.

   "Hahaha, sayang sekali Bong-buneu telah membunuh Thia Leng-juan, kalau tidak, aku memang patut menguatirkan kerja samamu dengan Hong-kong Hwesio."

   Sekali lagi Bong Thian-gak tersenyum.

   "Biarpun Hong-kong Hwesio ingin membalas dendam bagi kematian Thia Leng-juan, namun peta harta karun jauh lebih penting artinya daripada membalas dendam, oleh sebab itulah hingga sekarang Hong-kong Hwesio masih belum berani bertindak secara sembarangan, masakah Han-heng tidak melihat?"

   Sesungguhnya Han Siau-liong telah berusaha keras memeras otak menarik Bong Thian-gak demi kepentingan pihaknya, selain dipakai juga untuk menghadapi Hong-kong Hwesio, tapi Bong Thian-gak bukan orang bodoh, ia cukup memahami maksud dan tujuan Han Siau-liong yang sebenarnya.

   Alhasil usaha Han Siau-liong pun menjadi sia-sia belaka.

   Di pihak lain, Hong-kong Hwesio sendiri pun bukan orang sembarangan, ia cukup tahu setiap orang yang bersembunyi di sekitar kuil Hong-kong-si pada malam ini merupakan jagojago persilatan yang lihai.

   Bila dia berani menyerang satu di antaranya, niscaya pihaknya akan menjadi sasaran pengeroyokan orang lain.

   Setelah melalui pengamatan seksama, ia dapat merasakan bahwa musuh yang paling tangguh saat ini tak lain adalah Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak.

   Sementara itu dari tengah udara kembali berkumandang suara Mo Hui-thian.

   "Hwesio sahabat karib, sudah hampir enam puluh tahun kita berkenalan, masa kau tidak bersedia membagi sebagian harta itu kepadaku? Keadaan sekarang sudah jelas, dengan kemampuan kalian beberapa orang rasanya sulit untuk mempertahankan peta harta karun itu, asal Lohwesio menyetujui, aku pun bersedia mengerahkan semua kekuatan kami guna bersama-sama menghadapi partai pengemis, Put-gwa-cin-kau serta Hiat-kiam-bun."

   Baru selesai perkataan Mo Hui-thian tadi, dari sisi sebelah barat wuwungan rumah tiba-tiba melintas cahaya putih secepat sambaran kilat menyambar ke atas pohon waru tepat di hadapannya.

   Kecepatan cahaya itu sangat luar biasa, sekilas tahu-tahu sudah lenyap dari pandangan mata.

   Mendadak dari atas pohon waru berkelebat kembali sesosok bayangan orang yang melayang turun ke tengah halaman.

   Baik Bong Thian-gak maupun Han Siau-liong mendongakkan kepala.

   Ternyata orang yang baru saja melayang turun adalah seorang kakek berbaju abu-abu berbadan bungkuk, menyoreng sebilah pedang antik serta mengenakan kaca mata berbentuk antik.

   Dari potongan badannya, siapa pun akan menduga dia adalah Toa-cengcu Kim-liong-kiam-san-ceng yang sudah puluhan tahun termasyhur dalam dunia persilatan dan lebih dikenal orang sebagai si Naga di balik mega Mo Hui-thian.

   Agaknya Mo Hui-thian kena dipaksa menampakkan diri oleh lintasan cahaya putih tadi, dia nampak marah sekali, dengan suara dingin menyeramkan dia membentak.

   "Liu Khi, malam ini aku telah merasakan kelihaian pisau terbangmu, mengapa kau tak menampakkan diri mencoba sejurus pedang terbangku?"

   Sementara itu di atas wuwungan rumah sesosok bayangan orang berbaju hitam berdiri kaku di sana, tidak terlihat bagaimana dia menekuk lutut, tahu-tahu dia sudah melayang turun dan hinggap di sisi Han Siau-liong.

   Kemudian dengan pandangan dingin dia memandang sekejap ke arah Mo Hui-thian, setelah itu katanya.

   "Mo-loji, kau bisa menghindari pisau terbangku dengan selamat, hal ini sungguh membuat aku merasa sangat kagum."

   Han Siau-liong yang berada di samping segera menimbrung pula sambil tertawa.

   "Liu-susiok, aku dengar ilmu silat Mo Huithian sangat hebat, tapi yang paling menonjol adalah kemampuannya melukai orang secara diam-diam dengan pedangnya. Sekarang dia telah dipaksa oleh pisau terbang Susiok menampakkan diri, aku pikir, inilah kesempatan baik bagiku untuk mencoba ilmu pedangnya."

   Seraya berkata, Han Siau-liong segera melintangkan pedang baja raksasanya di depan dada, lalu teriaknya.

   "Motoacengcu, Han Siau-liong dari partai pengemis ingin mencoba kepandaian ilmu pedangmu yang konon dianggap orang sebagai ilmu pedang nomor wahid di kolong langit."

   Toa-cengcu Kim-liong-kiam-san-ceng Mo Hui-thian memang pernah disebut orang sebagai jagoan nomor wahid di dunia, Han Siau-liong ternyata berani menantangnya bertarung, boleh dibilang tindakan ini sangat berani.

   Mo Hui-thian sama sekali tidak menggubris Han Siau-liong, malah mengawasi Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak dari ujung kepala hingga kaki, kemudian dengan acuh tak acuh dia berkata.

   "Ilmu pedangmu masih belum pantas melawanku, kau percaya atau tidak terserah kepadamu sendiri."

   Han Siau-liong mendongakkan kepala, lalu tertawa terbahak-bahak.

   "Hahaha, kalau aku belum pantas, siapa yang pantas?"

   Mo Hui-thian menuding Bong Thian-gak sambil menjawab.

   "Dia masih cukup pantas bertarung beberapa jurus melawanku."

   Bong Thian-gak yang mendengar perkataan itu tersenyum.

   "Ah, terlalu sungkan, sungguh tak kusangka Mo-toacengcu memandang tinggi diriku."

   "Sudah semenjak tadi aku tertarik kepadamu, beberapa puluh hari lalu kau pernah mengalahkan putra sulungku, maka aku berencana membayar dengan sebuah tusukan pula kepadamu."

   "Aku akan menerima petunjukmu itu dengan senang hati,"

   Bong Thian-gak menjawab dingin.

   Dalam waktu singkat situasi di tengah arena berubah, kini Bong Thian-gak sudah menjadi musuh Hong-kong Hwesio serta Mo Hui-thian.

   Han Siau-liong serta Liu Khi dari Kay-pang merupakan orang-orang yang berakal tajam, mereka tahu situasi yang mereka hadapi sekarang sudah menguntungkan pihaknya, maka sambil berpeluk tangan mereka menantikan perubahan selanjutnya dari sisi arena.

   Sepuluh pelindung hukum Hiat-kiam-bun masing-masing telah melolos pedang yang bersinar tajam dari pinggangnya, serentak mereka bergerak membentuk barisan berbentuk setengah lingkaran untuk melindungi Bong Thian-gak.

   Pada dasarnya kesepuluh orang pelindung hukum Hiatkiam- bun merupakan jago-jago kelas satu di Bu-lim, apalagi selama beberapa hari belakangan ini Bong Thian-gak telah mewariskan serangkaian ilmu pedang yang aneh kepada mereka, boleh dibilang orang-orang itu sudah terlatih menjadi seorang pengawal yang sangat tangguh.

   Tapi Bong Thian-gak cukup tahu bahwa kesepuluh orang pelindungnya masih belum cukup mampu untuk melawan tokoh sakti seperti Mo Hui-thian.

   Maka dia segera membentak dengan cepat.

   "Sepuluh pelindung hukum, harap mundur!"

   Baru saja dia berseru, mendadak Mo Hui-thian telah berseru lebih dulu sambil tertawa dingin.

   "Sayang terlalu lambat!"

   Baru selesai dia berkata, tubuh Mo Hui-thian sudah menerjang kemuka. Cahaya pedang berkelebat dan ...

   "Blum". Jeritan ngeri berkumandang memecah keheningan malam, seorang pelindung hukum Hiat-kiam-bun sudah tertusuk perutnya, darah segar segera menyembur keluar seperti pancuran, setelah tubuhnya gontai beberapa kali, akhirnya dia roboh tak bernyawa lagi. Berhasil membacok seorang korban, Mo Hui-thian maju selangkah ke depan, cahaya tajam kembali berkelebat menyapu seorang yang lain. Oleh karena serangan pedang yang dilancarkan Mo Huithian kelewat cepat, pada hakikatnya Bong Thian-gak serta para pelindungnya tak sempat lagi memberikan pertolongan.

   "Blus", lagi-lagi seorang korban roboh bergelimpangan di tanah dengan perut robek dan usus berhamburan kemanamana, darah segar berceceran membasahi seluruh permukaan tanah. Pelindung hukum kedua telah roboh binasa. Pada saat korban pertama roboh, korban kedua menyusul pula roboh terkapar, boleh dibilang peristiwa itu hampir pada saat yang bersamaan. Kaki kanan Mo Hui-thian maju setengah langkah, pedangnya berputar kembali dan kali ini membacok pelindung hukum ketiga yang berdiri di sebelah kanan. Tapi Mo Hui-thian kali ini tidak berhasil dengan sasarannya, sebab baru saja jurus pedangnya dilancarkan, sebuah lengan seperti cakar burung garuda telah mencengkeram pergelangan tangan kanannya. Bagi orang yang belajar ilmu silat, urat nadi adalah bagian penting yang mematikan di tubuh manusia, di samping dua jalan darah kematian lainnya, apalagi kelima jari tangan yang mencengkeramnya membawa desingan angin serangan yang tajam dan menyayat bagaikan bacokan pedang. Oleh sebab itu mau tak mau Mo Hui-thian menarik kembali pedangnya sambil melompat mundur. Ketika mendongakkan kepala, tampak Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak dengan wajah kereng dan serius sedang mengawasi dua sosok mayat yang terkapar di tanah, kemudian terdengar ia bertanya dengan suara pelan.

   "Ang Teng-siu, apakah yang menjadi korban adalah Pui Se-hiong serta Lay Siong-han?"

   "Lapor Buncu,"

   Segera jawab Ang Teng-siu dengan sedih.

   "mereka Pui Se-hiong serta Lay Siong-han."

   "Selama Pui Se-hiong dan Lay Siong-han menyusup ke dalam Put-gwa-cin-kau, entah berapa kali mereka harus menghadapi ancaman bahaya maut dan berada di antara hidup dan mati, namun setiap kali mereka selalu berhasil menyelamatkan diri, sungguh tak kusangka baru pertama kali turut aku terjun ke gelanggang, mereka harus menemui ajal secara mengenaskan, aku ... aku merasa amat bersalah dan malu terhadap mereka."

   Ketika mengutarakan kata-katanya yang terakhir, suara Bong Thian-gak terdengar gemetar, dari sini bisa diketahui betapa sedih dan murungnya dia. Sepasang mata Ang Teng-siu pun turut berkaca-kaca, tapi dia sempat berkata dengan suara nyaring.

   "Harap Buncu jangan bersedih, kami sepuluh pelindung hukum sudah bersumpah akan mendampingi Buncu hingga titik darah penghabisan, setiap saat kami rela berkorban demi Buncu."

   


Anggrek Tengah Malam -- Khu Lung Pendekar Baja -- Gu Long Kekaisaran Rajawali Emas Karya Khu Lung

Cari Blog Ini