Anak Rajawali 39
Anak Rajawali Karya Chin Yung Bagian 39
Anak Rajawali Karya dari Chin Yung Giok Hoa mengangguk sambil tersenyum. "Memang waktu pertama kali aku datang di rumah penginapan ini, aku sudah bisa melihat kejanggalan itu. Karena mata para pelayan di rumah penginapan ini memang sangat mencurigakan. Malah menurut hematku, mereka itu bukan sebangsa manusia baikbaik......!" Kata Giok Hoa kemudian. "Lalu apa yang harus kita lakukan?!" Tanya Ko Tie sambil mengawasi si gadis dengan sorot mata yang tajam, seperti ingin sekali meminta pendapat gadis itu. Giok Hoa tertawa. "Mengapa kau bertanya kepadaku, seharusnya aku yang bertanya kepadamu, apa yang harus kita lakukan, mengingat bahwa engkau memang jauh lebih berpengalaman dariku!" Menyahuti Giok Hoa. Ko Tie tidak urung tersenyum oleh jawaban si gadis, kemudian dia bilang. "Ya, jika memang demikian berarti kita harus menangkap manusiamanusia itu. Jika kita bisa menangkap basah akan perbuatan mereka..!" Sambil berkata begitu, segera juga terlihat betapa Ko Tie tahu-tahu menjejakkan ke dua kakinya. Tubuhnya dengan cepat melesat ke pintu. Begitu tangannya bergerak, daun pintu menjeblak terbuka lebar-lebar. Sedangkan Giok Hoa mengawasi heran, namun perasaan herannya itu berlangsung tidak lama, karena segera juga terlihat si gadis telah mengerti apa yang terjadi. Ternyata Ko Tie mendengar suara langkah kaki yang perlahan sekali di luar kamarnya, karena itu dengan ringan dia telah melompat keluar kamarnya. Dan dia bukan hanya sekedar membuka pintu itu, sebab dia dengan cepat telah mengulurkan tangannya, menyambak kepada seseorang yang waktu itu tengah terkejut, karena memang daun pintu tahu-tahu menjeblak terbuka seperti itu. Tapi orang itu pun cukup lihay, karena dia tidak berhasil dicekuk oleh Ko Tie. Malah dengan gesit tubuhnya melesat ke tempat lain, dan dia bermaksud melarikan diri, larinya cepat sekali, dia ingin menuju ke lorong dan menikung. Tapi kali ini Ko Tie sudah tidak mau melepaskannya. Segera ia mengejar dengan tubuh yang melesat seperti terbang, dan dia pun dalam waktu singkat telah berada di belakang orang itu. Dia menghantam dengan telapak tangannya, kuat sekali angin serangan tersebut. Dengan demikian membuat orang itu merandek untuk memutar tubuhnya menangkis serangan Ko Tie. Jika memang dia berlari terus, niscaya dia akan terserang hebat pada pundaknya itu. Orang itu menangkis bukan dengan tenaga yang lemah, cuma Ko Tie yang merasa tadi telah sempat dipermainkan oleh orang ini, yang diduga tentunya orang yang telah menghilang di lorong pada tikungan di ujung itu, maka dia menyerangnya dengan hebat. "Tukkk!" "Aduhhhh!" Terdengar suara jerit kesakitan dari orang tersebut, yang tubuhnya seketika terpental jatuh di lantai bergulingan. Cuma saja, karena dia memang memiliki gin-kang yang lumayan, begitu dia terguling-guling di lantai, segera dia bisa melompat bangun pula! Begitu berdiri, segera dia mementang ke dua kakinya, bermaksud hendak melarikan diri. Ko Tie sudah tidak mau memberikan hati, dia membentak dan telah menghantam lagi dengan tangannya. Ilmu pukulan yang dipergunakannya adalah Inti Es, dan cara menyerangnya memang hebat sekali. Sedangkan orang tersebut, yang merasakan menyambarnya angin serangan, kembali batal melarikan diri, dia melayani Ko Tie. Beberapa jurus telah lewat, tapi Ko Tie belum juga bisa membekuk orang itu, tapi dia sudah bisa melihat dengan jelas muka orang itu, membuat Ko Tie sangat gusar. "Hemm, engkau?!" Bentaknya dengan suara yang mengandung kemarahan dan serangannya jadi semakin hebat. Orang itu tertawa bergelak-gelak nyaring sekali, dia telah berseru. "Ya, memang benar aku kau heran?!" Ternyata orang itu tidak lain seorang hweshio, yaitu Kiang-lung Hweshio. Dia tentu saja tidak mudah buat dihantam oleh Ko Tie, apalagi ingin dibekuknya. Karena memiliki kepandaian yang tinggi, dia bisa memberikan perlawanan yang gigih. Ko Tie meluap darahnya. "Pendeta keparat, beberapa saat yang lalu aku telah mengampuni jiwamu, tapi ternyata engkau telah benar-benar tidak tahu diri!" Dan sambil berkata begitu, Ko Tie serentak menyerang beruntun dengan tiga jurus ilmu pukutan Inti Es-nya. Dan setiap hantamannya itu mengandung kekuatan tenaga yang dingin sekali, sedingin es. Sedangkan Kiang-lung Hweshio memberikan perlawanan, walaupun ia selalu tertawa mengejek, kenyataannya dia jeri sekali buat lama-lama bertempur dan terlibat dengan pemuda yang tangguh ini. Dia mengelakkan ke tiga serangan itu, kemudian dengan segera dia merogoh saku jubahnya, mengeluarkan sebutir pil yang besar, kemudian dibantingnya kuat-kuat di lantai. Terdengar suara ledakan yang mengguntur. Sekitar tempat itu dilapisi oleh kabut yang tebal, asap yang bergulung naik memenuhi tempat itu. Waktu ledakan itu terjadi, Ko Tie kaget juga. Ia segera menjejakkan kakinya, tubuhnya melompat mundur, dengan gerakan yang lincah. Dia bisa menjauhi diri. Dan dia mementangkan matanya lebarlebar, mengawasi di mana beradanya Kiang-lung Hweshio. Tapi asap itu sangat tebal, sementara itu ia tidak bisa melibat dengan jelas bahkan dia telah merasakan matanya pedih. Giok Hoa yang mendengar suara ledakan itu, dengan segera telah muncul dari dalam kamar. Dikala itu terlihat betapa Ko Tie telah berusaha mengawasi dengan sepasang mata dipentang lebar, asap itu mulai menipis, tapi bayangan dari Kiang-lung Hweshio sudah tidak terlihat lagi, karena pendeta itu telah pergi entah ke mana. Tidak lama kemudian muncul si pelayan itu yang dengan sikap terheran-heran, bertanya. "Ada ada apa, Kongcu...... ooh, asap ini, apakah terjadi kebakaran.....?!" Ko Tie menggeleng. "Tadi ada orang jahat........!" Menyahuti pemuda ini. "Ada penjahat, Kongcu ooohhh, apakah engkau tidak apaapa?! Mana penjahatnya?!" Tanya pelayan itu gugup sekali dan memandang sekitarnya. "Aku tidak apa-apa. Penjahat itu telah melarikan diri!" Menjelaskan Ko Tie. Lalu bersama Giok Hoa, Ko Tie telah kembali ke dalam kamarnya. Di dalam kamar segera juga Ko Tie bilang. "Seperti engkau telah ketahui, justeru yang mengintai kita bukan pelayan rumah penginapan ini, tapi justeru pendeta keparat itu dan juga, kita cuma salah lihat dan menduga saja tentang para pelayan itu. Karenanya, kita tidak bisa mencurigai mereka lebih jauh. Mungkin memang tampang mereka saja seperti manusia jahat tapi hati mereka bersih!" Giok Hoa juga tampaknya bingung, dia bilang. "Kalau begitu sosok tubuh yang berkelebat lenyap waktu engkau mengejarnya itu, adalah si kepala gundul itu juga?!" Ko Tie mengangguk. "Kukira memang begitu, karena waktu itu aku melihat sosok tubuh itu mengenakan baju warna kuning. Tapi aku tidak sampai pikir pada pendeta keparat tersebut!" Sambil berkata begitu, segera juga terlihat betapapun juga, Ko Tie dan Giok Hoa memang harus bersikap jauh lebih waspada. Karena sewaktu-waktu musuh bisa saja muncul untuk membinasakan mereka, atau setidak-tidaknya mencelakai mereka. Dikala itu terlihat Ko Tie telah mengajak Giok Hoa untuk keluar dari rumah penginapan. Dan mereka pergi menikmati keindahan kota tersebut. Walaupun merupakan sebuah kota yang kecil, menjelang malam kota ini memiliki keindahan yang menakjubkan, dengan rembulan yang tergantung di langit. Setelah mereka berdua merasa mengantuk, juga selama mengelilingi kota tidak ketemu dengan jejak si pendeta Kiang-lung Hweshio. Dengan demikian tentu saja telah membuat mereka menduga bahwa Kiang-lung Hweshio mungkin sudah angkat kaki dari kota ini. "Tidak mungkin!" Bantah Giok Hoa waktu Ko Tie mengemukakan perkiraannya itu. "Dia sengaja mengikuti kita, berapa jauh dia telah mengikuti kita tanpa kita sendiri mengetahuinya, karena, sekarang tidak mungkin dia menyingkirkan diri. Dia tentu bersembunyi di sebuah tempat." Ko Tie ragu-ragu, tapi berpikir. Tentunya memang apa yang dikatakan Giok Hoa tidak terlalu salah. "Kalau begitu kita nantikan saja apa yang hendak dilakukan si kerbau gundul itu!" Kata Ko Tie yang jadi sengit sendirinya. Giok Hoa mengangguk. "Ya, kita yang terpenting berwaspada, lalu mencoba untuk dapat memancing si kepala gundul itu keluar dari tempat persembunyiannya. Di waktu itulah kita tidak boleh membiarkan ia meloloskan diri lagi.......!" Kata si gadis. Ko Tie setuju, dan mereka kembali ke rumah penginapan. Tapi waktu mereka masuk ke dalam kamar, ke duanya jadi kaget. Karena barang mereka telah acak-acakan, dan buntalan mereka terbuka dengan isinya yang berantakan. Tentu saja hat ini membuat Ko Tie dari Giok Hoa buat sejenak memandang tertegun, karena mereka segera mengetahui tentu ada orang yang memasuki kamar mereka. Dan baru saja mereka hendak memanggil pelayan, justeru di waktu itu tampak daun jendela telah terbuka lebar-lebar. Seketika itu juga Ko Tie dan Giok Hoa menduga, tentunya juga yang telah memasuki kamar mereka dengan membongkar jendela adalah si pendeta Kiang-lung Hweshio. Bukan main gusarnya Ko Tie dan Giok Hoa. Mereka telah memandang dengan sinar mata yang mengandung kemarahan kepada barang-barang mereka yang berantakan itu. Namun setelah mereka membereskan barang itu, tidak ada satupun yang lenyap. Ko Tie duduk di tepi pembaringan. "Tampaknya si gundul itu bersama dengan si pendeta yang bernama Gorgo San ingin mencari sesuatu dari kita!" Katanya dengan suara yang tawar. Giok Hoa mengangguk. "Jika memang mereka hendak mengambil uang kita, tentu bungkusan uang kita telah digasaknya. Namun kenyataan yang ada, mereka tidak mengambil uang kita.. semuanya masih utuh, tentunya mereka memang bermaksud untuk mencari sesuatu, yang diduga berada pada kita!" Mereka berdua jadi saling pandang, beberapa saat kemudian Ko Tie bilang. "Kalau begitu, selanjutnya kita memang harus lebih hatihati!" Begitulah, mereka menutup daun jendela setelah mengawasi keluar. Mereka melihat tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Malam itu mereka tidur dengan penuh kewaspadaan, sampai akhirnya menjelang pagi tidak terjadi sesuatu apapun juga. Setelah salin pakaian, Ko Tie dan Giok Hoa menghadapi sarapan yang diantar oleh pelayan tua itu. Mereka bersantap bernafsu sekali, memang mereka tengah lapar. Dalam keadaan seperti itulah terlihat Ko Tie tiba-tiba berseru kaget, mukanya berobah. Dia melompat berdiri dan membanting cawannya. Sepasang matanya terbuka lebar-lebar. Giok Hoa kaget bukan main, segera juga ia menanya dengan sikap yang heran dan bingung. "Mengapa engkau, engkoh Tie?!" "Racun! Di dalam teko teh itu terdapat racun!" Berseru Ko Tie dengan suara tersendat. Dan iapun segera mengambil teko teh itu, dibantingnya sampai teko itu pecah berantakan. Seketika air teh yang membasahi lantai itu, berobah warnanya menjadi agak kehitam-hitaman. Dan muka Giok Hoa jadi berobah pucat. Dia memang belum lagi meminum teh di dalam cawannya, akan tetapi ia jadi menguatirkan sekali keselamatan Ko Tie, karena Ko Tie telah meminum tehnya itu. "Engkoh Tie jadi....... jadi engkau keracunan?" Tanyanya dengan suara tergagap. Muka Ko Tie waktu itu berobah, sebentar pucat sebentar merah, sebentar lagi berobah agak kehijau-hijauan. Dikala itulah dia telah cepat-cepat mengerahkan tenaga dalamnya, karena dia berusaha mendesak air teh yang telah diminumnya itu agar naik kembali ke lehernya untuk di muntahkan. Namun dia tidak berhasil, sebab racun itu mulai bekerja. Tubuh Ko Tie terhuyung. Bukan kepalang kagetnya Giok Hoa, segera juga ia terhuyunghuyung mundur dan dengan muka yang pucat pias, ia telah berkata. "Engkoh Tie.!" Ko Tie cepat-cepat menjatuhkan dirinya di lantai, dia mengempos semangatnya. Dia berusaha untuk menindih racun itu sebelum bekerja lebih jauh. Karena Ko Tie menyadari, kalau racun itu telah bekerja sampai ke jantungnya, niscaya akan membuat dia menemui ajalnya. Atau jika tertolong, namun racun telah terlanjur bekerja, niscaya akan membuat dia bercacat. Giok Hoa teringat sesuatu. Bukankah santapan mereka ini disiapkan oleh pelayan tua itu? Kecurigaannya jadi semakin kuat, bahwa pelayan-pelayan itu memang bukan sebangsa manusia baik-baik. Anak Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Ia bermaksud hendak keluar dari kamar itu buat mencari dan menangkap pelayan tua itu. Tapi waktu dia membuka daun pintu tersebut seketika ia merandek. Ia ingat akan keselamatan Ko Tie. Bukankah Ko Tie tengah keracunan? Jika dalam keadaan seperti itu ada orang yang masuk ke kamarnya dan bermaksud menganiaya Ko Tie, bukankah akan membuatnya tidak berdaya? Dan Ko Tie memang membutuhkan perlindungannya. Segera Giok Hoa membatalkan maksudnya hendak pergi keluar dari kamar itu, segera berjongkok di samping Ko Tie. Waktu itu Ko Tie tengah berusaha mengempos terus tenaga dalamnya. Tapi tetap ia merasakan kepalanya pusing, racun telah bekerja dan beredar dalam peredaran darahnya. Dengan begitu, membuatnya benar-benar jadi tidak berdaya, karena sekujur tubuhnya dirasakannya lemas sekali. Iapun gagal untuk menyalurkan kekuatan tenaga dalamnya. Dan kenyataan yang pahit sekali, racun telah bekerja di dalam peredaran darahnya, membuat setiap kali dia mengerahkan tenaga dalamnya, selalu gagal dan tenaga dalamnya itu seperti terbendung dan tidak bisa disalurkan menembus ke Tan-tiannya. Diam-diam Ko Tie mengeluh. Jika memang dia tidak berhasil buat mengerahkan tenaga dalamnya, niscaya akan membuatnya benarbenar jadi keracunan, dan kalau sampai racun itu bekerja lebih hebat, niscaya dia akan mati dengan sendirinya. Giok Hoa waktu itu tengah merogoh sakunya. Mengeluarkan bungkusan kantong obatnya. Dia mengeluarkan beberapa butir obat, dan menyesapkan ke dalam mulut si pemuda. "Telanlah, engkoh Tie.......!" Katanya dengan suara yang berbisik. Ko Tie menelan tiga butir obat yang diberikan Giok Hoa. Di waktu itulah terlihat daun pintu terbuka, masuk si pelayan tua. Ketika melihat Ko Tie tengah duduk hersemedi dan Giok Koa berjongkok di sampingnya, juga teko teh dan cawan telah pecah hancur berantakan di lantai, ia tampak terkejut dan heran. "Ihhh apa yang terjadi?!." Tanyanya dengan suara tergagap. Giok Hoa melihat pelayan tua tersebut jadi murka bukan main. Dengan lincah tubuhnya melesat ke samping pelayan itu, tangan kanannya diulurkan buat menampar. "Kau yang telah menaruhkan racun pada minuman kami!" Bentaknya. Pelayan tersebut kaget tidak terkira, dan dia segera mengelak ke samping. "Tunggu dulu..... Kouw-nio ada apa?" Katanya. Mata Giok Hoa jadi terbuka lebih lebar. Sekarang dia semakin yakin dan pasti bahwa pelayan ini adalah seorang yang memiliki ilmu silat yang tidak rendah, karena tadi dia telah menampar dengan tangan yang meluncur sangat kuat dan cepat sekali. Namun dia bisa menghindarkannya dengan mudah. Karena itu, segera ia menyusuli dengan tiga serangannya tanpa mengatakan apapun juga. Tapi pelayan itu tetap saja bisa mengelakkan diri, malah dia dapat bergerak gesit sekali. Dia melompat ke sana ke mari dengan gerakan yang sangat lincah, dan sama sekali Giok Hoa tidak berhasil menyerangnya. "Hemmm, kalau demikian memang benar engkau orangnya!" Bentak Giok Hoa yang semakin gusar. Tahu-tahu tubuhnya telah melesat dengan ringan, dan sepasang tangannya bergerak cepat sekali tidak bisa diikuti oleh pandangan mata. Tahu-tahu tengkuk pelayan tua itu telah kena dicekuknya. Namun begitu tengkuk pelayan tua itu kena dicengkeramnya. Giok Hoa merasakan kulit di bagian tengkuk itu licin dan keras sekali, sampai jari tangannya melejit dan mencengkeram tempat kosong. Di waktu itulah terlihat betapa pelayan tua itu membuang dirinya ke lantai dan bergulingan di situ sambil bersiul nyaring. Dari luar segera menyerbu masuk empat orang, semuanya pelayan di rumah penginapan itu. Mereka melihat si pelayan tua yang tengah berdiri dan Giok Hoa yang hendak menyerang lagi. Segera mereka melompat mengurung Giok Hoa. Sedangkan tangan mereka dengan sebat telah mencabut senjata masing-masing dari balik baju mereka. Pelayan tua ini pun merabah dadanya, dari balik bajunya telah dikeluarkan sebatang golok pendek. "Hemmm!" Giok Hoa tertawa dingin, dia bilang. "Dengan demikian terbukalah topeng kalian! Apa maksud kalian dengan menaruhkan racun pada minuman kami?" Pelayan tua itu sudah tidak memperlihatkan sikap yang terheranheran atau kaget seperti tadi. Malah dia berdiri tegak dengan goloknya dilintangkan di dadanya. Dia telah bilang. "Hemmm, engkau rupanya telah mengetahui semua ini! Baiklah, kami membuka kartu saja! Sesungguhnya kami menginginkan uang dan barangmu! Jika memang engkau ingin hidup dan meninggalkan kota ini masih bernapas, tinggalkan barang-barang dan uang kalian, dan cepat angkat kaki dari tempat ini!" Mata Giok Hoa mendelik besar sekali, dia bilang. "Apakah begitu mudah kalian menghendaki barang kami?" Dan dengan gusar ia telah menerjang buat menghantam si pelayan tua. Pelayan tua itu menggerakkan goloknya, membacok, namun Giok Hoa bisa menghindar dengan mudah. Sedangkan empat orang pelayan lainnya segera menggerakkan golok masing-masing, membacok serentak kepada Giok Hoa. Giok Hoa yang tengah murka, segera mengerahkan gin-kangnya. Tangannya juga tidak berayal telah mencabut keluar pedangnya, dengan segera diputarnya pedang itu dengan jurus-jurus ilmu pedang Giok-lie-kiam-hoat. Sinar pedang bergulung-gulung menyambar kepada lawanlawannya. Jika sebelumnya tampak para pelayan itu lemas dan sikapnya menghormat, maka kini mereka tampaknya gagah dan bengis-bengis. Setiap bacokan mereka berkesiuran sangat cepat, karena kepandaian mereka walaupun belum tinggi, juga tidak terlalu rendah. Apa lagi memang mereka itu memiliki hati yang kejam dan bengis, dengan demikian membuat setiap bacokan mereka selalu mengandung maut. Namun gulungan sinar pedang Giok Hoa membuat mereka jadi tidak berdaya untuk merangsek terlalu dekat. Ko Tie yang tengah duduk bersemedhi mengatur jalan pernapasannya, seakan juga tidak memperhatikan pertempuran yang terjadi di dekatnya. Ia terus juga mengatur jalan pernapasannya, karena memang dia bermaksud untuk mendesak racun yang terlanjur telah memasuki peredaran darahnya itu agar tidak menjalar terlalu jauh, sehingga menuju ke jantung. Dan untuk itu ia mengerahkan seluruh sin-kang nya, karena jalan pernapasannya tidak bisa berjalan lancar. Dan juga setiap kali ia mengerahkan sin-kangnya, tenaga dalamnya seperti mandek terhalang sesuatu, membuatnya jadi tidak bisa untuk menembus sampai ke Tan-tian. Karena itu Ko Tie masih terus berusaha mengerahkan tenaga dalamnya, menembus sampai ke Tan-tian. Jika tenaga dalamnya berhasil menembusi rintangan itu dan bisa mengalir sampai ke Tan-tian berarti untuk selanjutnya tidak ada kesulitan buat Ko Tie membendung beredarnya racun lebih jauh. Muka Ko Tie agak hitam gelap, karena bekerjanya racun, sedangkan ia memang masih belum bisa mengerahkan sinkangnya menembusi tan-tiannya, pusarnya. Dengan begitu pertempuran antara Giok Hoa dengan ke lima orang pelayan itu seperti tidak memperhatikan Ko Tie. Giok Hoa menyadari bahwa ia tidak boleh membuang-buang waktu. Kalau sampai pertempuran itu berlangsung lama, dan juga mengganggu pemusatan perhatian dan pikiran Ko Tie, sehingga perasaannya tergoncang, Ko Tie pasti mengalami kesulitan yang jauh lebih besar. Dikala itu, dengan pedang yang berkelebat ke sana ke mari, tubuh Giok Hoa juga berkelebat-kelebat dengan lincah. Setiap kali dia menggerakkan pedangnya, dengan jurus Giok-lie-kiam-hoat, membuat lawannya mundur tidak bisa mendekatinya. Malah, setelah lewat belasan jurus, Giok Hoa memiliki kesempatan, pedangnya telah menikam ke pundak salah seorang lawannya. Tikaman itu meluncurnya sangat cepat, sehingga lawanya yang berada di sebelah kanan, tidak keburu lagi untuk menghindar. Dan pundaknya kena tikam. Dia menjerit, dan seketika terhuyung mundur, dengan darah, mengalir deras dari lukanya itu. Pelayan tua dengan seorang kawannya yang lain segera maju memperdekat pengepungan mereka. Namun sekali lagi Giok Hoa herhasil menikam lengan seorang lawannya, dan lawannya itu mundur dengan muka meringis, bahkan goloknya telah jatuh ke lantai dengan mengeluarkan suara berkerontongan. Bukan main gusarnya pelayan tua itu. Berulang kali ia berseru menganjurkan kepada ke dua orang kawannya, yang belum terluka agar maju lebih ketat merangsek Giok Hoa. Ia sendiri pun menyerbu dengan goloknya bergerak sangat ganas sehingga membuat Giok Hoa harus memutar pedangnya beberapa kali menangkis serangan itu. Cuma saja disebabkan pelayan tua itu berlaku nekad, dan juga geraknya berobah, tahu-tahu pedang Giok Hoa telah menyambar menabas kutung tangan kiri pelayan tua itu, sebatas siku tangannya. Pelayan tua itu mengeluarkan jeritan menyayatkan hati, melompat mundur dan telah berseru. "Angin kencang!" Ia telah melarikan diri, diikuti oleh ke empat orang kawannya. Giok Hoa hendak mengejarnya, tapi segera ia teringat akan keselamatan Ko Tie, akhirnya ia batal mengejar dan telah menghampiri Ko Tie. Dilihatnya muka Ko Tie hitam dan pucat, gelap sekali, menunjukkan betapa pemuda itu memang keracunan hebat. Dalam keadaan seperti itu terlihat jelas, betapapun juga, memang Ko Tie tengah berada dalam keadaan yang gawat sekali, karena ia tengah berusaha membendung bekerjanya racun. Dengan demikian ia mengerahkan seluruh sin- kangnya dan mati-matian mencegah beredarnya lebih jauh racun yang terlanjur tadi telah diminumnya. Apa lagi memang tampaknya racun yang dipakai penjahat bukanlah racun sembarangan melainkan racun-racun yang dapat bekerja cepat dan juga sangat ganas. Biarpun Ko Tie memiliki sinkang yang sangat tinggi, namun ia tidak bisa segera membendung beredarnya racun dalam waktu yang singkat. Di waktu itu, Giok Hoa berdiri di samping Ko Tie. Ia bersiap siaga, karena ia kuatir kalau-kalau ada serangan mendadak dari pihak lawan. Disamping itu, Giok Hoa juga tengah berpikir keras. Ia menduga entah siapa adanya pelayan-pelayan rumah penginapan ini yang mereka tampaknya memiliki kepandaian tidak rendah juga yang membuat dia curiga. Sesungguhnya apa yang diucapkan oleh pelayan tua itu, bahwa mereka menginginkan uang dan barang milik Ko Tie dan Giok Hoa, hal itu tidak bisa di percaya penuh sebab tidak masuk dalam akal jika memang mereka cuma menghendaki barang dan uang. Sebab waktu beberapa waktu yang lalu, ternyata kamar mereka telah kemasukkan penjahat dan uang maupun barang mereka tidak ada yang hilang. Kalau memang orang-orang itu menginginkan uang dan barang, niscaya mereka akan mengambilnya dengan mudah. Bukankah di waktu itu memang Ko Tie data Giok Hoa sedang tidak berada di rumah penginapan tersebut? Maka Giok Hoa yakin, pelayan tua itu hanya memberikan alasan kosong belaka, bahwa mereka hanya sekedar menghendaki uang dan barang. Justeru melihat Ko Tie telah keracunan seperti itu, tentunya memang para pelayan rumah penginapan ini menghendaki jiwa mereka berdua. Bukankah Ko Tie dan dia oleh mereka? Lalu, siapakah yang telah perintahkan mereka buat membunuh Giok Hoa dan Ko Tie? Inilah yang tengah dipikirkan oleh Giok Hoa. Malah ia segera berpikir, tentu antara para pelayan itu dengan Kiang-lung Hweshio terdapat hubungan yang erat. Tetapi, Ko Tie sekarang berada dalam keadaan demikian, jiwa dan keselamatannya tengah terancam maka membuatnya benar-benar jadi harus melindunginya. Karena jika sekarang ia mengejar para pelayan itu dan memaksa mereka bicara, siapa tahu Kiang-lung Hweshio tahu-tahu muncul dan membunuh Ko Tie. Bukankah Ko Tie sekarang tengah berada dalam keadaan tidak berdaya. Sebab ia telah dipengaruhi oleh bekerjanya racun, yang membuat ia selain tidak memiliki tenaga, juga memang belum pasti bisa melawan bekerjanya racun yang dimakannya itu, yang tentunya merupakan racun yang sangat berbahaya sekali. Tengah Giok Hoa bingung dan panik, melihat muka Ko Tie yang semakin lama semakin gelap menghitam, ia mendengar suara langkah kaki beberapa orang yang tengah mendatangi. Segera juga Giok Hoa bersiap sedia. Dikala itu tampak beberapa orang muncul di ambang pintu. Dan Giok Hoa waktu itu telah melihat mereka, seketika jadi mengeluh. Karena dilihatnya mereka tidak lain terdiri dari Kiang-lung Hweshio, yang muncul sambil menyeringai sinis dan mukanya bengis sekali. Disampingnya berdiri Gorgo San dengan muka yang menyeramkan dan matanya memancarkan sinar bernafsu buat membunuh. Di belakang mereka tampak ke lima pelayan tadi yang telah dipukulnya mundur oleh Giok Hoa. Tampak Kiang-lung Hweshio sambil tertawa bergelak-gelak telah berkata. "Bagus! Jika kau nona manis tidak mau menyerahkan diri secara baik-baik, hemmmm, tentu kami akan membuat engkau mati dengan mata meram!" Dugaan Giok Hoa bahwa para pelayan itu adalah anak buah dari Kiang-lung Hweshio dan Gorgo San, ternyata tidak meleset. Tapi, kini biarpun Giok Hoa tengah murka, ia berusaha menahan diri, mengingat akan keselamatan jiwa Ko Tie, yang keadaannya pada waktu itu sangat menguatirkan sekali. Gorgo San pun tertawa dingin. "Racun yang telah mengalir dalam peredaran darah kawanmu itu adalah racun nomor satu yang paling ganas di Tibet. Karena itu, tanpa memperoleh obat yang tepat, jangan harap kawanmu itu bisa tertolong jiwanya. Lewat besok pagi, maka jiwanya akan melayang" Dan setelah berkata begitu, Gorgo San tertawa bergelak-gelak. "Aku bersedia menolong kalian!" Kata Gorgo San lagi kemudian, setelah puas tertawa. "Tapi ada syaratnya...... entah kau dapat memenuhi syaratnya itu atau tidak!" Giok Hoa dengan muka yang merah padam berusaha menahan dan membendung kemurkaannya. Ia memandang ragu kepada Gorgo San. Dengan menindih kemarahannya, ia bertanya. "Syarat apa yang kalian inginkan dari kami ini?" Anak Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Syarat yang tidak terlalu berat!" Menyahuti Gorgo San dengan suara yang tawar. "Kau harus baik-baik ikut denganku dan menjadi kekasihku, barulah aku akan memberikan kepada kawanmu itu obat pemunahnya. Tapi jika engkau membangkang, aku ingin melihat dengan cara bagaimana engkau menghadapi dan memandangi kawanmu yang tidak lama lagi akan mampus!" Muka Giok Hoa merah padam. "Hemmm, dia seorang pemuda hidung belang!" Pikir si gadis kemudian. "Tapi jika engkau melabrak mereka, tentu jiwa Ko Tie koko akan terancam sekali..... lebih baik aku menolongi dulu jiwa engkoh Tie..... nanti bisa diurus lagi!" Setelah berpikir begitu maka Giok Hoa mengangguk sambil tersenyum dingin. "Baiklah, aku menerima syaratmu! Tapi sekarang cepat kau berikan obat pemunah racun itu" Pinta Giok Hoa sambil mengawasi tajam. Gorgo San menggeleng perlahan, ia pun mengulapkan tangan kanannya. "Tidak begitu mudah aku menyerahkan obat pemunah itu! Hemmm, apakah dengan begitu saja aku akan mempercayai kesediaanmu untuk menjadi kekasihku? "Sekarang lemparkan pedangmu, dan kau biarkan kami menotok jalan darahmu, agar engkau tidak dapat melakukan hal-hal yang tidak kami inginkan! Barulah nanti kami memberikan obat penawar racun kepada kawanmu itu ......!" Giok Hoa cerdik dan ia pun tidak ceroboh. Mendengar perkataan Gorgo San seperti itu, ia bilang. "Sekali mengucapkan tidak mungkin dapat ditarik kembali, tidak akan terkejar oleh selaksa kuda!" Katanya, dan kemudian mendengus dua kali, barulah dia meneruskan perkataannya. "Dan aku, tidak akan memungkiri janjiku, akan memenuhi syaratmu! Dan kau tidak perlu ragu-ragu, karena memang aku akan ikut bersama dengan kau, asal engkoh Tie bisa disembuhkan!" Gorgo San tertawa besar, dia bilang. "Engkoh Tie itu akan sembuh. Percayalah! Tapi, tetap saja engkau harus membiarkan kami menotok jalan darahmu, agar selanjutnya engkau tidak menimbulkan kesulitan buat kami! Bagaimana, kau bersedia?" Giok Hoa ragu-ragu. Inilah hebat. Kalau memang sampai ia membiarkan dirinya ditotok oleh Gorgo San, bukankah sama saja ia menyerahkan diri ke mulut harimau? Bukankah kelak dalam keadaan tertotok dia tidak akan berdaya? Dengan mudah Gorgo San tentu akan menghina dirinya atau memperkosanya? Inilah hebat, syarat yang didengarnya memang sangat ringan, tapi berat untuk dilaksanakannya, karena mengandung bahaya yang tidak kecil bagi dirinya sendiri. Untuk beberapa saat lamanya Giok Hoa hanya berdiam diri saja dengan ragu-ragu. Mukanya sebentar berobah pucat, sebentar merah padam. Jika menuruti adatnya, tentu dia akan menerjang buat menghajar Gorgo San dan Kiang-lung Hweshio. Tapi ia memikirkan keselamatan Ko Tie, yang membutuhkan obat penawar racun yang tepat agar racun yang mengendap di dalam tubuh Ko Tie dapat dipunahkan. Melihat Giok Hoa ragu-ragu, Kiang-lung Hweshio tertawa dingin, dia menoleh kepada Gorgo San, katanya dengan suara yang sinis. "Sudahlah, dia tampaknya sulit memenuhi permintaanmu, syaratmu itu tampaknya memberatkan hatinya! Lebih baik mereka di"mampus"kan saja, agar tidak meninggalkan bibit penyakit di belakang hari!" Gorgo San tersenyum mendengar perkataan kawannya, ia bilang. "Kawanmu itu terkena racun It-tok, racun tunggal, yang berasal dari Tibet. Jangan harap orang lain dapat menolonginya, karena hanya aku yang memiliki obat pemunahnya! "Karena itu, biarpun orang yang menjadi korban racun itu memiliki sin-kang yang sempurna, sekali saja terkena racun tersebut, jangan harap ia bisa mempergunakan sin-kangnya buat mengusir racun yang mengendap di dalam tubuhnya! Hemmm, demikian juga dengan kawanmu itu, walaupun ia bersemedhi dan mengerahkan sin-kangnya untuk dapat mengusir racun, tetap saja tidak akan berhasil." Giok Hoa mengerutkam alisnya. Ia baru mengerti, mengapa sejauh itu Ko Tie masih belum berhasil mendesak racun yang mengendap di dalam tubuhnya. Sedangkan Gorgo San meneruskan perkataannya. "Hemmm, perlahan-lahan racun itu akan membuat sin-kang korbannya menjadi semakin lemah dan jangan harap akhirnya dapat berhasil menindih racun itu! Baiklah! Tampaknya kau memang berat buat memenuhi syaratku. "Aku pun tidak akan memaksa, aku ingin melihat, apa yang hendak kau lakukan besok pagi di kala temanmu itu akan mampus! Batas waktunya cuma besok pagi saja, karena ia akan hilang nyawanya.....!" Muka Giok Hoa merah padam, malah tahu-tahu cepat sekali pedangnya telah berkelebat menikam kepada Gorgo San. Giok Hoa bermaksud sekali menikam, ia akan dapat menikam mati Gorgo San. Namun siapa tahu, justeru di waktu itu terlihat Gorgo San menyingkir ke belakang, dan Kiang-lung Hweshio yang maju memapaki dan menangkis serangan Giok Hoa. Hal ini memang disebabkan Gorgo San tengah terluka di dalam yang tidak ringan oleh pukulan Ko Tie beberapa waktu yang lalu. Dan Kiang-lung Hweshio yang telah mewakilinya menghadapi Giok Hoa. Karena itu, segera terlihat Giok Hoa dan Kiang-lung Hweesio telah bertempur satu dengan yang lainnya. Mereka bertempur dengan hebat sekali. Tampak tubuh Kiang-lung Hweshio berkelebat-kelebat dengan ringan, dan ia pun sudah mengerahkan sebagian besar tenaga lweekangnya untuk mendesak Giok Hoa. Terlebih lagi pedang si gadis bergulung-gulung dengan dahsyat karena dia mempergunakan ilmu pedang Giok-lie-kiam-hoat. Dalam keadaan seperti itu, Kiang-lung Hweshio pun tidak bisa bertangan kosong. Ia mempergunakan kayu pemukul bok-hienya untuk menangkis dan menghalau setiap serangan yang dilakukan oleh Giok Hoa. Sedangkan Giok Hoa semakin berkuatir. Sekarang ia tengah terlibat oleh Kiang-lung Hweshio. Dengan demikian, jelas ia sulit sekali buat melindungi Ko Tie. Dengan adanya Gorgo San di tempat itu tentu saja keadaan diri Ko Tie semakin terancam bahaya. Karena jika Gorgo San mempergunakan kesempatan itu untuk menganiaya Ko Tie, niscaya si pemuda tidak bisa mengadakan perlawanan yang semestinya. Jika tokh terpaksa ia menangkisnya, niscaya akan membuatnya jadi terluka di dalam yang lebih hebat. Disamping racun yang mengendap di dalam tubuhnya akan menjadi buyar dan menjalar ke jantungnya. Itulah merupakan ancaman yang tidak ringan. Maka Giok Hoa hendak mendesak si pendeta dan juga ia bermaksud hendak melompat lagi ke tempatnya semula, yaitu melindungi kekasihnya. Sedangkan Ko Tie walaupun ia tengah mengerahkan seluruh sinkangnya buat menindih racun yang mengendap di dalam tubuhnya, toh memang ia merupakan seorang yang memiliki pendengaran yang tajam. Ia telah mendengar percakapan Gorgo San dengan Giok Hoa, juga ia mendengar suaranya Kiang-lung Hweshio sehingga ia menyadari bahwa jiwa dan keselamatannya terancam sekali. Demikian juga keselamatan Giok Hoa, gadis itu bisa terancam bahaya yang tidak kecil. Dikala itu, Ko Tie sendiri telah gagal beberapa kali untuk mengerahkan tenaga dalamnya guna yang menindih racun yang mengendap di dalam tubuhnya. Akhirnya Ko Tie pun jadi nekad. Dia berpikir, percuma saja ia membuang waktu untuk memulihkan tubuhnya dari racun itu, dan memunahkan racun tersebut dengan sin-kangnya. Terlebih baik, ia membunuh Gorgo San dan lalu mengambil obat panawarnya dari orang tersebut. Karena berpikir seperti itu, akhirnya Ko Tie mendadak sekali membentak nyaring, tubuhnya melompat berdiri dan tahu-tahu telah menyerang dengan sepasang tangannya kepada Gorgo San. Gorgo San bukan main kagetnya, karena di waktu itu ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Ko Tie bisa melompat bangun dan tahu-tahu melesat kepadanya menyerang dengan pukulan yang dahsyat. Dengan demikian telah membuatnya cepatcepat menyingkir. Tapi serangan yang dilakukan oleh Ko Tie memang benar-benar hebat. Karena begitu menyerang tempat kosong, ia tidak menarik pulang tenaga dalamnya, melainkan ia meneruskan serangannya ke arah di mana Gorgo San mengelak. Begitulah, beruntun tiga tali Gorgo San menghindarkan diri dari serangan yang dilakukan oleh lawannya, dan Ko Tie juga menyerang semakin hebat. Kepandaian Ko Tie memang tinggi sekali, karena itu, sekarang dalam keadaan murka dan nekad, maka ia menyerang tidak tanggung-tanggung kepada lawannya. Di dalam hatinya Ko Tie terpikir juga. Jika saja ia bisa merubuhkan Gorgo San, niscaya dia bisa mengambil obat penawar racun dari Gorgo San. Di waktu itu, Gorgo San telah terluka di dalam tubuh dan ia belum lagi sembuh keseluruhannya, dengan demikian telah membuatnya jadi tidak dapat memberikan perlawanan yang berarti. Karena itu ia hanya bisa mengelakkan diri ke sana ke mari. Tapi untuk dapat membalas menyerang, tenaga dalamnya seperti sudah punah dan tidak memiliki kekuatan. Jika tokh memang Gorgo San memaksakan diri buat menyerang kepada Ko Tie, itulah serangan yang kosong tidak memiliki tenaga yang berarti. Dikala itu terlihat, napas Ko Tie pun memburu keras karena ia merasa lelah bukan main. Dalam keadaan murka, ia mengerahkan tenaga dalamnya yang berlebihan dan ia pun memang tengah keracunan. Sehingga semakin bergerak dan mengerahkan tenaga dalammya, jelas akan membuat darahnya itu beredar sangat cepat. Dengan begitu, saat kematiannya pun akan semakin dekat juga. Karena darahnya yang beredar dengan cepat sekali, niscaya akan membuat racun yang telah terlanjur ikut dalam aliran darah, lebih cepat sampai ke jantung Maka terlihat beberapa kali Ko Tie, sesungguhnya memiliki kesempatan untuk menyerang lawannya. Ia tidak mempergunakan kesempatan itu. Dia malah telah menarik napas dalam-dalam, untuk mengatur jalan pernapasannya. Sehingga telah membuatnya jadi beberapa kali mensia-siakan kesempatan yang ada. Kiang-lung Hweshio melihat keadaan kawannya terdesak hebat, segera dia menyerang dan mendesak Giok Hoa, agar dia cepatcepat dapat menyudahi pertempuran tersebut dan menolongi Gorgo San. Tapi Giok Hoa tidak mau memberikan kesempatan kepadanya. Tampak sinar pedangnya berkelebat-kelebat mengancam bagianbagian yang mematikan di dalam tubuh dari lawannya. Jika saja tikaman atau tabasan pedangnya itu mengenai sasaran, niscaya akan membuat lawannya itu seketika terbunuh tanpa bisa tertolong lagi. Giok-lie-kiam-hoat memang ilmu pedang yang sempurna dan sangat hebat. Karena itu, Giok Hoa menang di atas angin, setelah lewat seratus jurus, Kiang-lung Hweshio jatuh di bawah angin. Giok Hoa sendiri sebetulnya tengah berkuatir sekali. Ia mengerti, bahwa Ko Tie berhenti bersemedhi dan juga telah melompat menyerang Gorgo San, itulah cara yang memaksakan diri. Karena dengan bergerak, bertempur dengan Gorgo San, akan membuatnya jadi mempercepat saat-saat kematian. Peredaran darahnya akan jadi kencang dan cepat, dengan demikian racun yang mengendap di dalam tubuhnya pun akan mengalir lebih cepat sampai ke jantung. Di kala itu, lima orang pelayan rumah penginapan itu, yang tidak lain adalah anak buah Kiang-lung Hweshio dan Gorgo San, ketika melihat Gorgo San tengah terdesak hebat oleh serangan Ko Tie, segera juga mereka maju dengan serentak, tampak mereka telah menggerakkan golok masing-masing. Tiga orang di antara mereka memang telah terluka oleh Giok Hoa, akan tetapi luka mereka itu telah diobati, dan kini mereka bisa menyerang lagi dengan hebat kepada Ko Tie, untuk mengeroyok. Cuma luka si pelayan tua yang memang agak berat, karena di waktu itu tangan kirinya, sebatas sikunya, telah kutung, oleh tabasan pedang Giok Hoa. Maka sekarang di waktu menyerang Ko Tie, ia berlaku sangat hati-hati sekali, karena ia kuatir akan dibikin bercacad pula oleh Ko Tie, sebab memang ia mengetahui Ko Tie memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dari kepandaian Giok Hoa. Sedikit demi sedikit gerakan Ko Tie mulai lemah dan lambat. Sekarang maju lima pelayan itu. Walaupun kepandaian ke lima orang pelayan itu tidak setinggi dan selihay kepandaian dari Gorgo San, namun jumlah mereka banyak. Dengan demikian, tentu saja akan membuatnya berat sekali menghadapi mereka. Giok Hoa yang menyaksikan Ko Tie dikeroyok seperti itu, jadi berkuatir sekali. Malah beberapa kali dia bermaksud melepaskan diri dari libatan Kiang-lung Hweshio tapi sebaliknya, sekarang ini Kiang-lung Hweshio malah bermaksud melibatnya, karena pendeta itu telah melihatnya, bahwa Ko Tie semakin lemah dan mulai kehabisan napas dan tenaga. Jika memang bertempur lebih lama lagi, niscaya Ko Tie akhirnya pasti rubuh dengan sendirinya. Karenanya, jika sebelumnya memang dia bermaksud melepaskan diri dari libatan Giok Hoa, dan kemudian menolongi Gorgo San sekarang ini justeru dia telah sengaja melibat terus gadis itu, dengan jurus-jurus yang mematikan. Di kala itu tampak jelas, Giok Hoa berulang kali menikam dan menabas dengan agak gugup, karena biar bagaimana memang dia mulai tidak tenang menyaksikan keadaan Ko Tie yang mulai terdesak dan kehabisan tenaga. Si gadis menyadarinya, jika saja Ko Tie bertempur terus dengan cara seperti itu, niscaya akan membuatnya kehabisan tenaga dan akhirnya pasti akan dapat dirubuhkan oleh lawannya. Ko Tie juga tengah berpikir keras. Ia merasakan tenaganya yang semakin berkurang banyak, berangsur-angsur membuat ia semakin lemah. Karena itu, Ko Tie telah mengambil keputusan, untuk mengadu jiwa. Sebelum dia rubuh dan kehabisan tenaga, terlebih dulu ia hendak membunuh Gorgo San dan nanti merampas obat penawar racunnya. Di kala itu, Giok Hoa menyaksikan dua bagian dari tubuh Ko Tie terluka dan pakaiannya robek. Darah yang berwarna merah kehitam-hitaman mengalir, membasahi baju dan tubuhnya. Ngiris sekali hati Giok Hoa. Dia melihat sudah lima atau enam bacokan yang kena di tubuh Ko Tie oleh golok lawannya. Tapi tidak lama kemudian Ko Tie pun telah dapat menghantam dengan telapak tangannya kepada ke dua orang lawannya, yang seketika terpental keras sekali, dan ambruk di lantai dengan mengeluarkan erangan. Kemudian diam dan tidak bergeming lagi, karena mereka telah pingsan. Gorgo San dengan ke tiga pelayan rumah penginapan yang lainnya jadi terkejut. Mereka sejenak lamanya tidak menerjang lagi, hanya mengawasi Ko Tie beberapa saat buat mencari kelemahan pemuda itu. Ko Tie dengan mengeluarkan erangan sudah tidak mau membuang-buang waktu, di mana ia telah menyerang dengan hebat dan beruntun. Dua orang pelayan telah dapat dihantam rubuh pula dan pingsan tidak sadarkan diri, karena tulang dada mereka telah melesak hancur terkena hantaman telapak tangan Ko Tie. Sekarang tinggallah Gorgo San dengan pelayan tua yang tangan kirinya sebatas siku telah kutung itu. Dan mereka gentar bukan main. Jika dalam keadaan biasa dan tidak terluka, niscaya Gorgo San tidak akan gentar seperti itu, ia pasti bisa menghadapi Ko Tie sebaik-baiknya. Justeru sekarang ini ia tengah terluka di dalam dan memang luka di dalam tubuhnya itu belum lagi sembuh. Karenanya ia telah mengambil keputusan yang cepat, dia menoleh kepada pelayan tua itu. "Kau layani dulu dia!" Dan sambil berkata begitu, tampak Gorgo San menjejakkan ke dua kakinya, tubuhnya melesat mundur ke belakang. Sesungguhnya pelayan tua itu pun tengah gugup dan gentar, tapi atas perintah Gorgo San yang tidak berani dibantahnya, terpaksa juga ia melompat maju, membacok dengan goloknya beruntun tiga kali. Ko Tie menghindarkan diri dari tiga bacokan itu, ia kemudian menghantam dengan telapak tangan kirinya. Tubuh pelayan itu, yang pundaknya kena dihantam dengan kuat, terpental dan jatuh terguling-guling di lantai, namun ia segera dapat bangun. Anak Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Di waktu itulah tangan kanan Ko Tie melayang menyambar lagi, dan lengan pelayan tua itu kena dihantamnya. Seketika tulang lengannya patah dan hancur. Pelayan itu jadi mengerang-erang kesakitan, dan kemudian pingsan tidak sadarkan diri. Karena akibat getaran dari kekuatan tenaga serangan itu, membuat ia terluka di dalam tubuh. Seluruh isi perutnya terasa jungkir balik. Dan ia menderita kedinginan yang hebat sekali, juga sekujur tubuhnya seperti dibungkus oleh lapisan es yang menggigilkan tubuhnya. Dengan mengeluh, akhirnya ia pingsan tidak sadarkan diri. Muka Gorgo San berobah. Ia menjejakkan ke dua kakinya, tubuhnya segera melesat ingin melarikan diri meninggalkan kamar tersebut. Ko Tie tidak mau membuang-buang waktu dan kesempatan ini. Karena dia mengerti, walaupun hanya satu detik, pada waktu itu sangat berguna sekali baginya. Tubuhnya segera bergerak berkelebat dan ia berhasil mengejar Gorgo San. Tapi belum lagi Ko Tie menyerang, Gorgo San telah berlari ke arah lain. Di saat itu Gorgo San seperti main petak kucing, dan dengan cara kucing-kucingan seperti itu ia selalu berusaha menjauhi dari Ko Tie. Iapun memang sengaja hendak membangkitkan kemarahan Ko Tie. Sekali saja Ko Tie terbakar hatinya dan marah, niscaya racun yang mengendap di dalam tubuhnya akan segera bekerja lebih cepat. Berarti kematian yang diterima Ko Tie akan datang lebih cepat lagi. Kiang-lung Hweshio jadi berkuatir menyaksikan Gorgo San diburuburu oleh Ko Tie. Dengan mengeluarkan suara erangan bengis, ia pun seringkali mempergunakan kayu pemukul bok-hienya buat menimpuk kepada Giok Hoa. Jika timpukan kayu pemukul bok-hie itu tidak mengenai sasarannya, maka kayu pemukul bok-hie itu akan terbang meluncur kembali kepada si pendeta. Dengan berulang kali menimpuk mempergunakan cara seperti itu, telah membuat Giok Hoa tidak bisa mendesak si pendeta terlalu dekat, karena Giok Hoa pun jeri buat kepandaian menimpuk dari lawannya, yang bisa menimpuk dengan kayu pemukul bok-hie itu dengan baik dan juga arah sasarannya sulit sekali diterka. Cuma saja, yang membuat Giok Hoa berkuatir, adalah keselamatan Ko Tie. Waktu itu walaupun Ko Tie masih bisa mengejar Gorgo San dan berulang kali menyerang. Namun tetap saja mukanya semakin hitam. Larinya yang semakin lambat itu membuktikan racun telah bekerja semakin berat. Dan tidak lama lagi Ko Tie akan roboh sendirinya, jika saja ia masih mengejar Gorgo San. Gorgo San bukannya tidak melihat keadaan Ko Tie seperti itu. Dia girang bukan main, maka ia sengaja berlari terus, semakin lincah dan juga mengejek tidak hentinya, buat membangkitkan kemarahan Ko Tie. Tetapi waktu itu Ko Tie yang merasakan matanya berkunangkunang, segera juga terkejut dan menghentikan larinya. Ia pun di dalam hatinya berpikir. "Celaka! Mengapa aku harus terpancing olehnya seperti ini? Jika memang darahku meluap dan aku mempergunakan tenaga, racun akan bekerja lebih cepat lagi, berarti kematianku akan lebih cepat pula!" Karena berpikir seperti itu, Ko Tie telah menahan larinya. Dia berdiam diri saja dan mengawasi Gorgo San. Sedangkan Gorgo San berdiri terpisah lima tombak lebih dengan bertolak pinggang. "Ayo! Ayo maju! Mari! Mengapa berhenti? Atau memang engkau sudah ingin mampus, monyet?" Ejeknya. Di ejek seperti itu, bukan main murkanya Ko Tie. Tapi ia pun menyadari bahwa seseorang yang tengah terkena racun, jelas tidak boleh menuruti emosinya, dan ia harus dapat mengendalikan diri dan juga jika bisa tidak mempergunakan tenaganya. Jika memang ia melanggar larangan tersebut, niscaya akan membuatnya jadi lebih cepat terancam kematian. Racun dapat bekerja lebih cepat lagi. Akhirnya Ko Tie memutuskan, dia akan berdiam diri saja. Dia hanya akan menimpuk dengan mempergunakan senjata rahasianya. Tiba-tiba tangannya bergerak, dia menimpukkan beberapa jarum bwee-hoa-ciam kepada Gorgo San. Gorgo San mengeluarkan seruan kaget dan menyingkir lagi. Ia cuma bisa bergerak gesit, tanpa memiliki tenaga buat mengadakan perlawanan. Karena itu, ia cuma berhasil mengelakkan diri dari sambaran senjata rahasia tersebut, tanpa ia bisa untuk balas menimpuk. Di kala itu Ko Tie gencar sekali menimpuk kepada lawannya. Gorgo San berpikir. "Hemmmmm, tampaknya ia masih memiliki sedikit tenaga dan masih bisa bertahan. Jika memang aku meninggalkanya setengah harian dan nanti aku datang kembali ke mari, untuk membunuhnya, di waktu itu tentu dia sudah tidak berdaya lagi......!" Karena berpikir seperti itu, tampak Gorgo San telah menjejakkan ke dua kakinya, tubuhnya melompat keluar dari jendela. Dia pun sambil melompat berseru nyaring kepada Kiang-lung Hweshio. "Angin kencang!" Kiang-lung Hweshio memang tengah berpikir sama seperti yang dipikirkan Gorgo San. Sekarang mendengar kawannya menganjurkan ia angkat kaki, maka segera ia mendesak Giok Hoa. Waktu Giok Hoa melompat mundur, segera juga ia menjejakkan kakinya, tubuhnya melesat ke luar dari jendela. Dalam waktu yang singkat, segera juga ia menghilang di luar, menyusul Gorgo San. Giok Hoa hendak mengejar, namun segera ia teringat kepada Ko Tie. Ia berlari menghampiri. "Engkoh Tie bagaimana keadaanmu?" Tanya si gadis dengan berkuatir sekali, karena dilihatnya muka Ko Tie telah gelap dan menghitam. Dia tahu racun yang mengendap di dalam tubuh Ko Tie telah semakin mengganas dan keadaan si pemuda semakin lemah. Ko Tie menghela napas. "Tampaknya memang sulit buat aku lolos dari kematian!" Menggumam si pemuda itu, yang di saat itu merasakan matanya berkunang-kunang dan kepalanya pusing. Hal itu disebabkan Ko Tie sudah terlalu banyak mengerahkan tenaga dalamnya, sahingga racun yang mengendap di dalam tubuhnya mulai bekerja mengganas, membuat pandangan mata Ko Tie jadi gelap, dan juga kepalanya pusing, seperti dunia berputar. Dengan mengeluarkan suara keluhan, tubuhnya terhuyunghuyung. Ko Tie masih berusaha hendak mempertahan kuda-kuda ke dua kakinya, namun gagal. Tubuhnya ambruk di lantai. Untung Giok Hoa cepat sekali memegangi lengannya, malah gadis ini kemudian memayangnya naik ke pembaringan, merebahkan pemuda itu di situ. Giok Hoa bingung bukan main, ia melihat Ko Tie pingsan tidak sadarkan diri. Malah, dalam keadaan pingsan seperti itu, napasnya memburu keras dan panas. Dia juga terlihat, betapa mukanya hitam kehijauhijauan menunjukkan bahwa racun yang mengganas di dalam tubuhnya memang sangat hebat sekali. Jika pemuda ini tidak memperoleh pengobatan yang tepat dan segera, niscaya ia akan membuang jiwa dengan cara yang mengecewakan. Giok Hoa karena terlalu bingung dan tidak mengetahui apa yang harus dilakukannya, menangis terisak-isak. Dan ia pun telah duduk di tepi pembaringan, buat menjagai dan melindungi Ko Tie, kalaukalau sewaktu-waktu ada orang yang datang bermaksud mencelakainya, atau Gorgo San dan Kiang-lung Hweshio datang kembali buat mengacau. Lama juga Ko Tie pingsan tidak sadarkan diri, sampai akhirnya ketika ia tersadar, ia mengigau dengan suara yang sangat serak dan lemah, keadaannya semakin parah juga, karena racun telah bekerja hebat sekali. Jika saja racun yang mengendap di dalam tubuhnya itu menjalar sampai ke jantungnya niscaya ia akan menemui ajalnya. Dengan muka yang pucat dan bingung, Giok Hoa telah bertanya. "Mau..... maukah kau ku tolong dengan mempergunakan sinkang?" Tapi Ko Tie menggeleng perlahan suaranya serak. "Mana... manusia keparat itu.....?" Giok Hoa ragu-ragu, tapi kemudian dia memberitahukan juga Gorgo San dan Kiang-lung Hweshio telah melarikan diri. "Hemmm, sebelum aku membunuhnya, aku..... aku tidak mau mati!" Berkata Ko Tie dengan suara yang serak dan tubuh menggigil. Dikala itu, Giok Hoa segera memutuskan mungkin dengan menyalurkan lweekangnya, dia bisa membantu Ko Tie untuk menindih racun yang mengendap di dalam tubuh pemuda itu. Akan tetapi itulah tindakan yang masih belum pasti di samping berbahaya, karena dikala ia mengerahkan tenaga lweekangnya, jika sampai musuh datang niscaya dia tidak akan dapat memberikan perlawanan, dan mudah sekali akan ia akan dapat dirubuhkan. Berarti mereka berdua akan kehabisan kesempatan untuk hidup lebih jauh, di mana mereka akan terbinasa. Dikala Giok Hoa ragu-ragu, Ko Tie mendadak mengerang, ia bilang. "Aku.. aku bisa menyembuhkan diri..... tapi aku membutuhkan tempat untuk tujuh hari lamanya. Selama tujuh hari aku tidak boleh pengerahan tenaga dalam itu terpecahkan..... sekali saja buyar, akan habislah jiwaku..!" Mendengar perkataan Ko Tie itu, bukan main girangnya Giok Hoa. Ia bertanya dengan segera. "Baik di mana tempat yang kiranya cocok untuk kau mengobati diri?!" "Di tempat yang sunyi.....?" Menyahuti Ko Tie dengan suara yang lemah. "Aku akan membawamu mencari tempat yang cocok untuk kau!" Kata Giok Hoa. Si gadis bekerja cepat sekali. Dia telah memasukkan pedangnya ke dalam sarungnya, kemudian membereskan buntalannya, dan lalu menggendong Ko Tie. Semua itu dilakukan Giok Hoa dengan cepat, sebab ia kuatir kalau sampai Kiang-lung Hweshio dan Gorgo San datang kembali ke kamar mereka di rumah penginapan ini, di mana kedua orang itu tentu bisa mendesak mereka lebih hebat, di saat Ko Tie tengah berada dalam keadaan tidak berdaya seperti ini. Waktu meninggalkan rumah penginapan itu, Giok Hoa melihat keadaan sangat sepi sekali. Dia telah melompat dengan gesit mengambil jalan di atas genting. Walaupun ia menggendong Ko Tie dan membawa buntalan mereka yang cukup berat, namun ia bisa bergerak dengan lincah. Ia berlari-lari keluar kota. Tapi ketika ia menoleh ke belakang, ternyata mengikuti beberapa sosok tubuh, membuat Giok Hoa jadi terkejut. Yang membuat dia jadi mengeluh, karena segera juga Giok Hoa mengenali, di antara sosok tubuh yang tengah mengikuti di belakangnya adalah Kiang Lung Hweshio dan Gorgo San. Dengan demikian benar-benar membuat si gadis jadi bingung. Dalam keadaan seperti itu, di mana dia menggendong Ko Tie dan membawa buntalan mereka, jika diserang oleh Kiang-lung Hweshio serta Gorgo San, niscaya si gadis tidak leluasa buat mengadakan perlawanan. Karena itu, segera juga ia mempercepat larinya. Dia mengerahkan gin-kangnya, karena ia bermaksud menjauhi diri secepat mungkin menghindar dari pengejarnya. Sesungguhnya, Kiang-lung Hwesio dan Gorgo San setelah keluar dari kamar si gadis dan Ko Tie, bukannya mereka pergi meninggalkan tempat itu. Mereka terus juga mengamati kalaukalau Giok Hoa dan Ko Tie ingin melarikan diri. Bahkan Kiang-lung Hweshio telah mengumpulkan beberapa orang anak buahnya. Mereka semuanya bersiap-siap untuk menerjang ke dalam rumah penginapan itu. Di kala itulah, mereka melihat Giok Hoa dengan menggendong Ko Tie hendak meninggalkan rumah penginapan. Sebetulnya anak buah Kiang-lung Hweshio hendak menerjang keluar buat mengepung si gadis dan membinasakannya, tetapi Kiang-lung Hweshio memberikan isyarat agar mereka tidak bergerak dulu, karena pendeta ini memang hendak melihat apa yang hendak dilakukan oleh Giok Hoa dan Ko Tie. Juga Gorgo San. Walaupun merasa benci kepada Giok Hoa dan Ko Tie pun ia sangat menyukai si gadis yang begitu cantik. Disebabkan itu pula, jika memang si gadis masih bisa ditangkap hidup-hidup, itu jauh lebih baik dari pada dibunuh. Itulah sebabnya mengapa mereka hanya mengikuti dari belakang saja. Sedangkan Giok Hoa yang diikuti, karena menyadari tidak mungkin bisa menghadapi mereka dengan keadaannya seperti sekarang ini, jadi bingung bukan main. Walaupun dia telah mengerahkan gin-kangnya dan berlari secepat mungkin, tetap saja ia tidak berhasil menyingkirkan diri. Semua musuhnya masih dapat mengikuti di belakangnya. Hal ini disebabkan Giok Hoa memang tengah menggendong Ko Tie dan membawa buntalan mereka yang cukup berat, membuat gerakannya tidak leluasa dan tubuhnya tidak bisa berlari terlalu cepat. Giok Hoa pun merasakan dengus napas Ko Tie yang panas sekali, menunjukkan keadaan pemuda itu sangat gawat sekali. Apa lagi setelah ia mengetahui bahwa Ko Tie telah pingsan tidak sadarkan diri dalam gendongannya. Akhirnya si gadis mengambil keputusan nekad. Ketika sampai di depan sebuah permukaan hutan yang tidak begitu lebat, Giok Hoa menurunkan Ko Tie, di rebahkan di bawah sebatang pohon di atas rumput-rumput yang tebal. Pendekar Patung Emas Karya Qing Hong Darah Daging Karya Kho Ping Hoo Pendekar Patung Emas Karya Qing Hong