Ceritasilat Novel Online

Pedang Angin Berbisik 59


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 59


Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng   Ren Zhuocan hanya meludah ke atas tanah, kemudian berbalik badan dan dengan langkah yang berat kembali pada barisannya.   Kepalanya tidak tertunduk malu, matanya masih tajam menyambar, membuat setiap pengikutnya yang bertemu pandang dengannya tertunduk takluk.   Ren Zhuocan boleh kalah, tapi tidak ada yang bisa bilang bahwa dia orang yang lemah.   Langkah Ding Tao pun akhirnya terhenti di depan Murong Yun Hua.   Semua orang memandang dirinya, menanti ucapan yang keluar dari mulutnya.   Setelah menyaksikan pertarungan antara Ding Tao dengan Ren Zhuocan, setiap mata memandang dengan pengakuan.   Bahkan Zhong Weixia pun harus menelan kenyataan yang pahit itu, Ding Tao tidak mungkin dia kalahkan hari ini, bahkan jika dia mau jujur pada dirinya, 10 tahun lagi pun dia belum tentu bisa mengalahkan Ding Tao yang sekarang.   Ya, penilaian setiap orang terhadap diri Ding Tao sudah berubah.   Yang tidak suka, merasa takluk, entah karena terpaksa atau karena kekaguman yang timbul setelah menyaksikan pertarungan itu.   Yang sebelumnya mendukungnya, semakin kagum dan tunduk pada wibawa pemuda itu.   Bagaimana dengan wanita-wanita yang mencintainya? Murong Yun Hua berdebar-debar, jauh di dalam lubuk hatinya, bahkan di luar sadarnya, inilah sosok lelaki sejati.   Sosok yang belasan tahun yang lalu pernah dia lihat dalam diri ayahnya, yang hancur berantakan saat ayahnya menanggalkan topeng kebaikan yang selalu dia pakai, dan menunjukkan iblis yang bersarang di hatinya.   Tapi Ding Tao bukan iblis, dan dalam hal wibawa, kecerdikan, kebijakan, kekuatan dan kepandaian, ayahnya tidak sedikit pun nempil jika dibandingkan dengan ujung jari Ding Tao yang sekarang berjalan ke arahnya.   Seluruh ambisi dan rencananya dibuat ambruk habis dalam satu gebrakan.   Orang-orang yang dia kumpulkan dalam belasan tahun, dalam satu hari dibuat Ding Tao menjadi lawannya.   Di satu sisi, inilah sosok lelaki yang dia cari-cari dalam hidupnya, di sisi lain lelaki ini berjalan datang hendak memberikan penghakiman terakhir atas segala kejahatannya.   Rindu, takut, benci, memuja, bagaimana mungkin perasaan yang berlawanan ini muncul secara bersamaan? Tapi itulah yang dirasakan Murong Yun Hua.   Bagaimana dengan Murong Huolin, bagi Murong Huolin, batinnya berperang antara balas budi pada Murong Yun Hua dan kecintaannya pada Ding Tao.   Kalau bagi Murong Huolin, seperti apa pun Ding Tao dia akan tetap mencintainya.   Karena sejak semula dia sudah memutuskan hanya Ding Tao satu-satunya lelaki yang hadir dalam hidupnya.   Berbeda dengan Hua Ying Ying, gadis ini justru bertanya-tanya dalam hati, siapa ini yang sekarang berjalan? Ding Tao? Setelah sekian lama mereka terpisah, bertemu sebentar kemudian terpisah lagi.   Setiap kali bertemu Ding Tao selalu berubah dan kali ini perubahannya begitu besar.   Ding Tao yang dia kenal adalah pemuda lugu yang malu-malu.   Jujur dan hati-hati dalam bicara dan berlaku.   Ding Tao yang sekarang dia lihat jauh berbeda, dalam gerak dalam sorot matanya, terpancar kewibawaan yang besar, satu keyakinan yang tidak goyah oleh apa pun.   Seakan segala pertanyaan dia tahu jawabnya.   Ding Tao yang sekarang berani bicara, pada siapa pun juga.   Ding Tao yang sekarang berani menantang pada orang yang tidak setuju dengan pendapatnya.   Dia berubah dari seorang pemuda menjadi seorang lelaki, berdiri teguh pada jalan yang dia yakini, meski dia tidak menantang mereka yang menghadang jalannya, tapi juga dia tidak akan undur dari jalannya.   Apakah ini Ding Tao yang dulu dia cintai? Belum lagi masalah kedua isteri Ding Tao, lalu berbeda dengan banyak orang, Hua Ying Ying justru tidak yakin dengan apa yang akan dilakukan Ding Tao terhadap Murong Yun Hua.   Di sudut hatinya dia tahu, Ding Tao berubah tapi Ding Tao juga tidak berubah.   Seekor anak harimau ketika dewasa tetaplah seekor harimau.   Bedanya dia dulu masih kanak-kanak dengan bulu tebal, suka bermain dan lucu.   Sekarang dia menjadi dewasa dengan tubuh yang besar, auman yang menakutkan, jika dia menggerakkan cakarnya dia bukan sedang bermain-main, sorot matanya tajam dan otaknya penuh perhitungan.   Ya, Ding Tao berubah, ini Ding Tao yang berbeda, tapi Ding Tao tetap Ding Tao.   Jadi apa yang akan terjadi pada Murong Yun Hua? Dengan hati berdebar Hua Ying Ying mengikuti tiap langkah Ding Tao.   Ketika Ding Tao berhenti, jarak antara dirinya dengan Murong Yun Hua hanyalah sejauh jangjauan dua tangan mereka, pandang matanya menatap lurus ke arah Murong Yun Hua.   Membentur pandang mata Ding Tao, hati Murong Yun Hua berdebar tidak karuan, tanpa terasa dia menundukkan wajahnya.   "Yun Hua, apakah kau mencintaiku?", tanya Ding Tao dengan suara lembut.   Jika seluruh orang yang hadir di situ terkejut oleh pertanyaan Ding Tao, maka lebih terkejut dari mereka semua adalah Murong Yun Hua sendiri.   Jangankan dia, mereka yang mendengarnya pun masih ternganga dan berusaha mencerna, apa yang dikatakan Ding Tao ini.   Murong Yun Hua mengangkat wajahnya, pandang matanya nanar memandang Ding Tao, dilihatnya tatap mata Ding Tao yang lembut, wajahnya yang penuh kasih.   "Apa..? Apa, Ding Tao apakah kau mempermainkanku? Jangan kau bermain- main denganku!"   Antara kejut, harap dan takut Murong Yun Hua melangkah mundur dua langkah, tapi kata-kata Ding Tao selanjutnya hampir-hampir membuat dia jatuh terhuyung.   "Yun Hua kembalilah padaku", ujar Ding Tao sepenuh hati.   "Ding Tao kau gila! Di mana kewarasanmu? Kau seorang Wulin Mengzhu, aku menuntut keadilan darimu!", sebuah teriakan penuh rasa marah terlontar dari Huang Ren Fu yang melompat ke depan sambil mengacungkan pedangnya.   "Ketua Ding Tao, harap dipikirkan kembali masak-masak, perempuan iblis itu sudah banyak berbuat dosa dan kejahatan, tidak bisa dibiarkan lepas begitu saja.", ujar Zhong Weixia mendukung seruan Huang Ren Fu.   "Benar, hampir saja seluruh dunia persilatan jatuh ke dalam tangannya, apa seorang Wulin Mengzhu akan mendiamkan saja hal ini?", seru Guang Yong Kwang ikut menuntut keadilan.   Beberapa orang tokoh yang merasa punya kedudukan dan kepandaian pun terdengar ikut berteriak mengajukan keberatan.   Bagaimana dengan yang lainnya, yang merasa tidak punya kepandaian, saat itu hanya diam dan menunggu melihat bagaimana Ding Tao menjawab.   Sebagian besar orang masih tergetar dan takluk melihat kedigdayaan Ding Tao yang baru saja dia tunjukkan.   Pula urusan seperti ini bukanlah urusan orang kecil seperti mereka.   Mungkin Murong Yun Hua yang membantai keluarga Huang di Wuling, tapi apa hubungan mereka dengan keluarga Huang di Wuling, mengapa pula mereka harus ikut menuntut keadilan untuk mereka? Dunia persilatan memang penuh intrik dan sudah berapa orang meregang nyawa setiap harinya demi ambisi pribadi atau ambisi orang tertentu? Ding Tao menunggu seruan-seruan itu surut, sebelum dia mengitarkan pandangannya ke sekelilingnya, sebuah senyuman mengejek terpampang di wajahnya.   Pandang matanya yang tajam, menatap ke arah Huang Ren Fu, Zhong Weixia, Guang Yong Kwang dan sekalian orang lain yang tadi berteriak padanya.   Dia pun berkata.   "Di antara kalian yang tidak pernah menumpahkan darah dan tidak pernah berbuat kejahatan, boleh maju ke depan untuk minta keadilan dariku."   Ketika pandang matanya kembali pada Huang Ren Fu, merah padamlah wajah Huang Ren Fu, tanpa sadar dia mundur dua tindak dan membuang muka.   Siapa berani mengatakan soal salah dan benar, sementara dia pernah mencuri isteri sahabatnya? Sedangkan tentang keluarganya, bukankah mereka dulu yang menipu dan mencuri Pedang Angin Berbisik dari Ding Tao, bahkan hampir pula membunuh pemuda itu, lalu apakah sekarang dia akan meminta keadilan bagi mereka dari pemuda itu? Zhong Weixia, Guang Yong Kwang, Bai Chungho dan sekalian orang lainnya pun terdiam.   Tetua Xun Siaoma teringat, bukankah di tangannya ada darah Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan? Jika Ding Tao mau mengungkit itu, dengan beberapa kalimat saja anak murid Shaolin dan Wudang akan meluruk mereka.   Jadi mereka pun punya rahasia dan hampir tidak ada seorangpun yang merasa diri bersih.   Kalau pun masih ada yang merasa dirinya bersih, kata-kata Ding Tao pada bagian akhir pernyataannya tersiratkan ancaman yang tidak berani mereka hadapi.   Semua orang terdiam, entah puas atau tidak dengan jawaban Ding Tao, tapi tak seorang pun berani menyanggahnya.   Ding Tao pun sekali lagi mengitarkan pandangan ke sekelilingnya, menantang dan semua orang diam membisu.   Maka Ding Tao kembali memandang ke arah Murong Yun Hua yang saat itu berdiri dengan limbung, matanya sudah membasah dengan air mata, dalam hatinya berharap, namun ketakutannya membuat dia tidak bisa menerima kenyataan.   Tiba-tiba Murong Yun Hua tertawa pedih dan berkata.   "Hahaha, Ding Tao jangan kau berpura-pura suci, bilang saja, kau ingin menaklukkan kekuatan keluarga Murong, memanfaatkan mereka demi kepentinganmu sendiri, untuk melanggengkan kekuasaanmu."   Ding Tao menggeleng dengan sedih.   "Yun Hua masakan kau belum juga mengenal diriku? Lalu apa artinya mereka itu untukku?"   Kemudian dia memandang ke arah 30 orang terlatih, kekuatan inti keluarga Murong, kebanggaan Murong Yun Hua dan andalannya.   Di antara mereka ada orang yang ikut membunuh Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan.   Ingatan ini membuat Ding Tao merasakan kemarahannya bangkit.   Dengan nada mengejek dia berkata,"Kau lihat puluhan orang yang kau banggakan itu? Satu pun tak kupandang mata olehku."   Rahangnya mengeras lalu perlahan menghembuskan nafas dan dia berkata sekali lagi.   "Yun Hua, aku sadar aku pun tidak bersih dari kesalahan, aku bersedia melupakan semua kesalahanmu, kembalilah. Kau boleh percaya padaku, sejak saat kau kembali padaku, aku akan melupakan semuanya yang terjadi di masa lalu. Kita akan memulainya kembali bersih, sebersih kertas putih, tanpa noda atau corentan tinta sedikitpun di atasnya."   Air mata pun menetes mengalir di pipi Murong Yun Hua dan hati Ding Tao tergerak oleh belas kasihan.   Cinta yang pernah hilang, dirasanya kembali datang, betapa ingin dia merengkuh tubuh itu dan membenamkan wajahnya yang basah ke dalam dadanya, membisikkan kata cinta dan penghiburan di telinganya.   Tapi Ding Tao tahu ini belum saatnya.   Murong Yun Hua belum siap untuk kembali padanya.   Percakapan antara dua orang kekasih ini disaksikan sekian banyak orang.   Yang punya hati romantis tentu saja ikut tergerak, yang pasti, ini tidak kalah dengan sandiwara di atas panggung.   Setiap orang ingin tahu bagaimana kisah ini akan berakhir.   Dengan air mata bercucuran Murong Yun Hua berkata.   "Ding Tao, kau bilang orang-orang in tak berharga di matamu. Mana bisa aku percaya jika aku belum membuktikannya"   Dan hati setiap orang pun berdebar mendengar perkataan Murong Yun Hua itu.   Apa yang akan terjadi sekarang? Tidak perlu menunggu lama, mereka pun tahu apa yang terjadi kemudian.   Dengan air mata masih mengalir, Murong Yun Hua menegakkan badan, menunjuk ke arah Ding Tao dan berseru.   "Serang!"   Maka 30 macam senjata bergerak, 30 orang berkelebat menyerang, kumpulan orang-orang itu pun tersibak, memberikan ruang pada pertempuran baru yang sedang dimulai.   Bukan hanya mereka, bahkan dari kejauhan pun Ren Zhuocan menghentikan langkahnya dan berbalik memandang.   Sungguh pemandangan yang mencengangkan, 30 orang itu bergerak sebagai satu kesatuan, sebuah barisan yang rapat dan kerja sama yang terjalin dengan rapi.   Baik dalam menyerang maupun bertahan, semuanya dilakukan dengan maksimal.   Tidak ada satu pun dari 30 orang itu yang menganggur atau menunggu.   Serangan demi serangan, seperti cucuran air hujan, seperti rentetan ledakan mercon di tahun baru, tiada henti tiada jeda.   Tapi yang lebih mengejutkan adalah Ding Tao, seperti sebuah sampan kecil yang bermain-main di laut yang sedang berombak oleh badai.   Dia bergerak ke sana ke mari, menyelinap datang dan pergi, 30 senjata, 60 tangan dan 60 kaki, semuanya seakan dipandang tak berarti.   Belasan bahkan puluhan jurus berlalu, tak satu pun dari mereka bisa menyentuh bahkan ujung baju Ding Tao sekalipun.   Ini tidak masuk akal, tidak bisa dimengerti dengan nalar, tapi itulah yang terjadi.   Pedang Ding Tao bergerak dengan cepat, menurut langkah kakinya dan serangan lawan, yang bisa dihindari dia hindari, yang harus ditangkis, ditangkis.   Yang pasti tak satu pun dari serangan mereka mampu menyentuhnya.   Dia bergerak kian ke mari, menerobos ketika dia hendak menerobos, menyelinap semaunya, menghilang dari pandangan lawan-lawannya, datang dan pergi sesuka hati.   Gumaman mulai terdengar dari beberapa tempat.   "Dewa dewa Ding Tao sudah menjadi dewa" "Dewa pedang", gumaman itu tersebar ke mana-mana. Memang sungguh apa yang ditunjukkan Ding Tao ini tak masuk nalar mereka semua. Sesungguhnya pertarungannya dengan Ren Zhuocan mungkin lebih mendebarkan, tapi bagi mereka yang belum matang, apa yang ditunjukkan Ding Tao saat ini justru lebih mencengangkan dan menggemparkan. Pada saat melawan Ren Zhuocan mereka banyak diam dan dalam beberapa gebrakan semuanya selesai. Kali ini serangan demi serangan datang tapi Ding Tao bergerak seenaknya seakan semua serangan itu tidak ada. Tak satupun dari 30 orang itu berhasil menyentuh dirinya, bahkan ketika Ding Tao mulai menggerakkan pedangnya, terdengarlah suara kain-kain terobek. Tanpa menyentuh mereka Ding Tao mencabik jubah dan baju lawan-lawannya, di dada, di perut, kaki, tangan. Dalam waktu singkat 30 orang itu pun menjadi anggota Partai Pengemis. "Bai Chungho! Suruh anggotamu ini mundur!", seru Ding Tao diikuti oleh gelak tawanya membuat 30 orang itu merah padam. Bai Chungho tentu saja bukan tidak merasa bahwa dulu Ding Tao memanggilnya tetua dan sekarang memanggilnya langsung dengan nama, bisa dikatakan inilah satu penghinaan. Tapi Bai Chungho memang punya kulit tebal dan berbakat menjadi penjilat, tidak terlihat sedikit pun dia marah justru dia ikut tertawa dan mengumpak. "Ketua Ding, pengikutku bajunya sudah ditambal, kalau mereka belum. Suruh mereka menambal bajunya dulu baru kuakui sebagai anggota Partai Pengemis.", seru Bai Chungho diikuti gelak tawa banyak orang. Merah muka Murong Yun Hua mendengar itu semua, dia pun berteriak.   "Mundur !" 30 orang itu pun mundur dengan wajah tertunduk malu, tinggal Murong Yun Hua dan Ding Tao berdiri berhadapan. "Bagus jadi kau mau membuatku malu di depan semua orang?", tanya Murong Yun Hua, hatinya merasa mengkal mendengar tawa orang-orang. "Bukan, aku mau kau kembali padaku.", jawab Ding Tao dengan lembut, membuat kemarahan Murong Yun Hua yang memang hanya setebal lembar daun, lenyap entah ke mana. "Kau bohong", bisik Murong Yun Hua hampir tak terdengar, kepalanya tertunduk dan air mata yang kering sejenak kembali mengalir. Dan tanpa dia tahu, Ding Tao sudah berkelebat dekat dirinya, terkejut Murong Yun Hua menengadahkan kepalanya, saat tangan Ding Tao menyentuh bahunya.   "Kau" "Yun Hua, aku mencintaimu, kembalilah padaku.", bisik Ding Tao lembut dan mesra. Tiang terakhir yang menopang perlawanan Murong Yun Hua pun rubuh, Murong Yun Hua menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan Ding Tao dan menangis tersedu-sedu. Tanpa peduli orang banyak Ding Tao memeluk Murong Yun Hua dengan hangat, tangannya membelai rambut Murong Yun Hua, menenangkan, memberi rasa aman, seperti kenangan masa kanak- kanak, ketika masih bayi dibuai bunda. Tapi juga memberi kehangatan, kehangatan yang hanya bisa diberikan seorang lelaki pada perempuan. Yang susah tentu saja mereka yang berdiri di sana, hendak pergi, masakan pergi. Mau diam, apa yang mau dilakukan? Di seberang sana Ren Zhuocan memandangi kejayaan Ding Tao dengan hati gelap. Melihat apa yang dilakukan Ding Tao, sekilas dia mengerti apa yang dicapai Ding Tao, tapi bukannya dia menyadari bahwa ada yang salah dengan apa yang dia jalani, justru dia merasa dengki. Langit tidak adil, itulah yang bergema dalam pikiran Ren Zhuocan. Apakah aku kalah berbakat dibanding dirinya? Apakah aku kurang bertekun dibanding dirinya? Mengapa justru jalan itu terbuka untuknya dan bukan untukku? Langit tidak adil! Itulah tuduhan dalam hati Ren Zhuocan. Dia tidak sadar, bukan karena berbeda dalam bakat, bukan pula karena kalah dalam kerasnya usaha. Masalahnya Ren Zhuocan mengejar hal uang berbeda dari Ding Tao. Jika Ding Tao menempuh perjalanan menuju puncak gunung, Ren Zhuocan sudah sejak awal, berjalan menuruni lembah. Tidak ada urusannya dengan seberapa keras dia berusaha, karena arah tujuan mereka memang berbeda. Sejak awal yang dikejar Ren Zhuocan hanyalah kekuatan dan kekuasaan yang datang dari kekuatan itu. Ding Tao berbeda, pemuda itu bergelut dengan hati nuraninya, antara jalan kehidupan dengan pedang yang dia genggam. Tapi Ren Zhuocan tidak mau mengakui itu, dalam hati dia justru berkata, Baik kau mau jadi dewa pedang? Bagus, kalau begitu aku yang akan jadi raja iblisnya. Ding Tao tunggu saja lima tahun lagi.. Kau boleh menyatu dengan semesta, aku akan menjadi iblis yang menghancurkan semesta"   Ren Zhuocan dan ratusan ribu orang pengikutnya melangkah pergi.   Andai Tetua Shen melihat kilat mata Ren Zhuocan saat itu, mungkin dia tidak akan kembali ke Partai Matahari dan Bulan setelah selesai urusannya dengan Ding Tao dan yang lainnya.   Tapi mungkin juga kepulangannya bukan tanpa arti.   Pada akhirnya isak tangis Murong Yun Hua pun surut, panas setahun dihapuskan oleh hujan sehari.   Murong Yun Hua pun berubah, kebanggaan, kesombongan dan ambisinya lenyap.   Justru sekarang dia berdiri seperti seorang gadis pingitan, wajahnya menunduk dan disandarkan tubuhnya pada Ding Tao, tangannya menggenggam erat tangan Ding Tao seakan takut kehilangan.   Ding Tao pun berjalan, kali ini menuju ke arah Murong Huolin dan Hua Ying Ying, di sana tentu saja ada juga Hua Ng Lau dan Pendekar pedang Jin Yong.   "Huolin, kemarilah", panggil Ding Tao dengan lembut.   Maka Murong Huolin pun dengan hati lapang, terbebas dari segala ketakutan, datang menghambur dan dengan mesranya menggandeng tangan Ding Tao yang lain.   Dengan bahagia dia meremas tangan Murong Yun Hua, keduanya saling berpandangan dan yang ada dalam hati mereka berdua hanya bahagia.   Tapi bagaimana dengan Hua Ying Ying? Teringat gadis itu, Murong Huolin memandang Ding Tao, kemudian dia melepaskan tangan Ding Tao untuk pindah ke sisi Murong Yun Hua dan berbisik.   Tidak lama kemudian Murong Yun Hua menarik tangan Ding Tao dan berucap.   "Kak Ding, suamiku tentang Nona Hua, kami sama sekali tidak keberatan, sungguh, kali ini dari lubuk hati kami yang terdalam.", ujarnya setengah berbisik.   Ding Tao tersenyum saja dan terus melangkah, hingga akhirnya sampai di hadapan Hua Ying Ying dan yang lain.   "Adik Ying Ying, aku minta maaf padamu Aku berharap kau bisa mengerti keputusanku.   Aku tidak peduli apa kata orang lain, hanya apa pendapatmu.", ujar Ding Tao tulus tanpa ada kepalsuan di dalamnya.   Merebak mata Hua Ying Ying, dengan suara tercekat dia menjawab.   "Aku mengerti aku mengerti" "Bisakah kau hidup bersama kami?", tanya Ding Tao kemudian. Lama Hua Ying Ying terdiam, memandang Ding Tao kemudian Murong Yun Hua, menengok ke arah Huang Ren Fu yang berdiri di kejauhan, seperti orang yang terbuang. Lama dia terdiam. Akhirnya dia menggelengkan kepala.   "Tidak tidak ada banyak hal mungkin aku masih perlu belajar untuk memaafkan, tapi yang pasti Kak Ding Tao kau kau bukan pemuda yang dulu kukenal dan kucintai kau sudah berubah"   Ding Tao pun menganggukkan kepala.   "Aku mengerti, kuharap di masa depan, aku masih punya kesempatan untuk membalas segala kebaikanmu, juga di kehidupan yang selanjutnya."   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Hua Ying Ying menggelengkan kepala perlahan.   "Tidak perlu, semuanya terjadi ada akibatnya ini memang bukan takdir kita. Hanya saja, jika kau tidak keberatan, maukah kau memaafkan kakakku?"   Ding Tao menoleh ke arah Huang Ren Fu yang sejak tadi masih menundukkan kepala, bisakah seorang suami memaafkan lelaki lain yang menjamah isterinya? Tapi bukankah dia berjanji, apa pun yang pernah terjadi, semuanya akan dia hapuskan dalam ingatan dan hatinya.   Murong Yun Hua ikut tertunduk, genggamannya pada tangan Ding Tao semakin erat, seakan takut setiap saat tangan itu akan mengebaskan pegangannya.   Tersentuhlah perasaan Ding Tao, tidak mungkin dia tidak bisa memaafkan Huang Ren Fu, tapi dia tidak tega menyakiti Murong Yun Hua.   "Tentu aku sudah tidak ingat apapun lagi, masa lalu, masa laluku, biarlah aku melupakannya", ujar Ding Tao sedikit terbata.   "Termasuk diriku?", tanya Hua Ying Ying dengan senyum menggoda.   Ding Tao pun tersenyum.   "Tidak ada masa lalu yang tidak akan hilang dari ingatan."   Hua Ying Ying berbalik menengok ke arah Hua Ng Lau dan berkata.   "Ayah, aku sudah bosan di sini, bisa kita pergi berkelana? Aku ingin melihat tempat-tempat jauh yang pernah ayah ceritakan."   Hua Ng Lau tertawa.   "Tentu saja, aku pun ingin melihatnya lagi. Ketua Ding, aku ucapkan selamat, semoga di usiaku yang semakin mendekati malam, aku bisa juga melihat dunia dengan caramu melihat dunia. Aku pamit dahulu, anakku yang nakal ini banyak kemauannya."   Ding Tao ikut tertawa, dia pun membungkuk hormat.   "Baiklah, selamat jalan Tetua Hua, aku titip adikku Ying Ying." "Baik, baik tentu saja, kalau begitu aku pamit sekarang. Ying Ying ayo kita pergi.", ujar Hua Ng Lau sambil tertawa. Sejenak memandangi kepergian dua orang itu, Ding Tao merasa terselip satu penyesalan dalam hatinya. Hua Ying Ying adalah cinta masa kanak-kanaknya, rasa suka dan sayang yang dia rasakan dalam satu kepolosan kanak-kanak, yang perlahan tumbuh menjadi rasa cinta. Hua Ying Ying adalah cinta pertamanya dan dalam banyak hal dia adalah seorang pasangan yang sempurna. Apakah dia akan hidup lebih bahagia bersama Hua Ying Ying daripada bersama Murong Yun Hua dan Murong Huolin? Dalam hati Ding Tao menegur dirinya sendiri, terkadang kita berbuat kesalahan, lari dari akibat, lari dari tanggung jawab, bukanlah tindakan lelaki sejati. Tersenyum memikirkan betapa rapuhnya hati manusia, Ding Tao kemudian berbalik pada Pendekar pedang Jin Yong. Melihat Pendekar pedang Jin Yong, Ding Tao tak tahu harus berkata apa. Orang ini, yang telah menderita belasan tahun lamanya. Dia juga adalah suami pertama Murong Yun Hua. Ding Tao membuka mulut namun, rasa-rasanya sulit untuk berkata-kata. Apakah dia akan menyatukan keduanya kembali? Tapi bisakah mereka berdua berbahagia dengan begitu banyaknya kepahitan yang sudah mereka tanamkan? "Tetua", ujarnya tak mampu meneruskan. Tapi Pendekar pedang Jin Yong, kemudian menepuk tangannya.   "Sudahlah, mungkin aku yang belum cukup matang. Dengar lakukan apa yang kau percaya, lakukan apa yang sesuai dengan nuranimu. Sedang aku sendiri, aku sudah memutuskan untuk mencukur rambut dan masuk biara. Sejak hari ini, tidak ada lagi Jin Yong."   Ding Tao membungkuk dalam-dalam, menyampaikan hormat dan segala macam perasaan yang tak tersampaikan dengan kata-kata.   Dalam pilihannya untuk memberi Murong Yun Hua kesempatan kedua, ada terhadap beberapa orang dia merasa bersalah.   Hua Ying Ying, Pendekar pedang Jin Yong, Khongti dan Zhu Yanyan.   Dan yang terutama pada pendekar pedang ini, bukan saja dia yang paling menderita oleh perbuatan Murong Yun Hua, orang ini juga adalah suami Murong Yun Hua, sebelum Murong Yun Hua menikah dengannya.   Itu sebabnya, Ding Tao tidak bisa berkata apa-apa.   Tapi dalam satu jawaban, dengan satu perbuatan Jin Yong menyelesaikan itu semua.   Sedari tadi Ding Tao tampil tegar tak tergoyahkan, di hadapan pendekar pedang tua itu, dia kembali merasa tak berarti.   Jin Yong menepuk-nepuk bahu Ding Tao dan berkata.   "Sudahlah, sekarang aku akan pergi. Ingat perkataanku, Jin Yong sudah mati."   Dengan perkataan itu, Jin Yong melangkah, berjalan ke arah kumpulan anak murid Shaolin, cepat Ding Tao memberi isyarat dan segera salah seorang dari pengikutnya lari ke depan dan membantu Jin Yong berjalan pergi.   Demikian satu per satu Ding Tao menemui kepada siapa dia merasa berhutang.   Zhu Yanyan, Khongti, Wang Shulin dan Zhu Jiuzhen, guru-guru Wang Shulin yang lain, Tetua Shen.   Mereka semua adalah orang-orang berjiwa besar, sedikit banyak mereka sudah mengenal Ding Tao dan bisa menerima tindakannya.   Khusus terhadap Tetua Shen, Ding Tao berkata.   "Tetua Shen aku tidak tahu apakah kau akan kembali ke Partai Matahari dan Bulan atau tidak, tapi jika tetua kembali, hati-hatilah pada Ketua Ren Zhuocan. Aku melihat. Ada iblis dalam sorot matanya."   Tetua Shen tercenung mendengar ucapan Ding Tao itu, tapi dia bisa mengerti apa maksudnya.   "Aku mengerti Ketua Ding, dulu kau pernah berkata, adalah tugas kami juga untuk meluruskan kembali kesalahan dalam tubuh kami sendiri. Hmm usiaku pun sudah mendekati kubur, meski Ren Zhuocan tidak menurunkan tangan jahat padaku, paling banter hanya akan bertambah panjang 5-6 tahun saja. Apalah artinya tahun-tahun itu, jika ada satu atau dua orang saja yang bisa kusadarkan, kukira itu jauh lebih berarti."   Ding Tao memandang orang tua itu dengan rasa kagum.   "Kau benar-benar hebat Tetua Shen, jika kau butuh bantuanku, katakan saja, aku akan membantumu sebisaku."   Orang tua itu tertawa.   "Hahaha, tidak, tidak, bukankah kau sendiri yang pernah bilang, kesesatan tidak bisa dikalahkan dengan kekuatan. Tidak, aku akan melakukannya sendiri, kukira itu lebih tepat." "Kalau begitu, berhati-hatilah tetua, aku sungguh berharap, di tahun-tahun depan kita masih bisa bertemu lagi.", ujar Ding Tao dengan tulus. "Tentu saja, aku tentu akan rindu pada teman minumku. Ding Dong.", ujar Tetua Shen lalu tertawa terbahak-bahak, diikuti oleh tawa mereka yang sudah mendengar kisah Tetua Shen dan Ding Dong. Setelah menyelesaikan hutang-hutangnya dengan mereka yang telah membantunya selama ini, Ding Tao berbalik, menghadap seluruh barisan yang masih menunggunya. Beberapa orang memang sudah pergi juga diam-diam karena tidak ada lagi yang bisa disaksikan, tapi banyak juga yang masih menunggu, menantikan perintah dari Ding Tao, entah apa itu, tapi mereka berkumpul atas panggilan Wulin Mengzhu dan mereka pun tak hendak bubar sebelum dibubarkan. Ada juga yang masih menunggu, karena mereka ingin tahu apa saja yang dilakukan Ding Tao. Ada yang menunggu karena ingin menjadi pengikutnya. "Saudara-saudara, terima kasih untuk pengertian dan bantuan saudara-saudara sekalian. Hari ini kita sudah berhasil melewati tantangan yang berat. Marilah kita berharap, bahwa di masa selanjutnya dunia persilatan boleh damai dan tenang.", ujar Ding Tao pada mereka semua. "Aku tidak dapat berjanji apapun sebagai seorang Wulin Mengzhu, aku pun sadar, sebenarnya kedudukan ini terlalu berat bagi seorang manusia. Siapa orangnya bisa berlaku adil pada semua orang, tanpa membuat salah satu pihak merasa dirugikan?" "Karena itu, aku menyatakan sejak hari ini aku mengundurkan diri sebagai Wulin Mengzhu. Bukan karena aku menolak untuk menyumbangkan sedikit apa yang aku punya bagi kebaikan kita semua. Tidak, setiap saat tenagaku dibutuhkan, tentu aku tidak keberatan untuk turut serta menyumbangkan tenaga. Tapi bukan sebagai pemimpin kalian, hanya sebagai sesama saudara. Bukankah dikatakan manusia dari empat penjuru, semuanya bersaudara? Baiklah aku menjadi salah satu dari kalian, bukan berdiri sebagai pemimpin kalian." "Nah itu saja yang ingin aku ucapkan, sekarang kukira tujuan kita berkumpul di sini, hari ini sudah tuntas selesai, biarlah kita pilih jalan kita masing-masing.", ujar Ding Tao menutup pidatonya. Ada berbagai macam reaksi dengan apa yang dikatakan Ding Tao itu, tapi Ding Tao tidak ambil peduli. Dia menengok ke arah para pengikutnya sendiri, dan juga pengikut Murong Yun Hua yang dengan ragu dan malu bergabung dengan para pengikut setia Ding Tao.   "Kalian, kembalilah ke Jiang Ling sendiri. Aku mau berjalan sendiri, menuruti keinginanku sendiri, tapi ada saatnya aku tentu juga akan kembali ke Jiang Ling. Setiap kali aku tidak ada, segala urusan aku serahkan pada Tuan Sun Liang dan Tuan Qin Hun." "Adik, ayo ikut denganku", dan dengan satu hentakan Ding Tao seperti melayang pergi, membawa Murong Huolin di kiri dan Murong Yun Hua di kanan. Cepat dia berlari, menghindari kerumunan orang yang ada di sana. Sejak berbulan-bukan, bahkan bertahun-tahun, sejak secara tidak sengaja dia mendapatkan Pedang Angin Berbisik, hidupnya selalu menanggung beban tanggung jawab. Hari ini tunai sudah tugasnya pada gurunya Gu Tong Dang, selesai juga masalah asmaranya dengan Hua Ying Ying dan Wang Shu Lin, apakah seharusnya mereka berjodoh atau tidak, seandainya dulu dia tidak jatuh dalam godaan Murong Yun Hua sudah dia singkirkan jauh-jauh dari benaknya. Menyesali masa lalu, lupa bersyuku atas nikmat yang didapatkan hari ini, adalah satu jalan pasti untuk sampai pada penyesalan yang lain di masa depan. Tidak Ding Tao tidak mau mengubur diri dalam penyesalan, dalam pengandaian tanpa akhir. Yang terjadi sudah terjadi, yang bisa dia lakukan adalah belajar dari kesalahan di masa lalu dan hidup sebaik-baiknya di masa yang sekarang. Di kiri dan kanannya ada isteri-isteri yang dia kasihi, di depannya terbentang luas masa depan, Ding Tao pun tertawa bergelak lalu bersuit keras sekali. Segala beban di dada rasanya hilang. Kegembiraan Ding Tao pun menular pada Murong Yun Hua dan Murong Huolin, melihat Ding Tao yang baru saja bersikap keren, berwibawa, sekarang berlaku tak ubahnya kanak-kanak, mereka berdua pun ikut tertawa lepas. Kata orang cinta saja tak cukup, tapi bagi mereka yang merasakan cinta, cinta bisa memberikan mereka kekuatan untuk melalui segala kesulitan.Tiga orang anak manusia itu pun melepaskan segala beban di masa lalu mereka, membuang jauh- jauh segala kotor dan kepahitan, menyambut masa depan dengan tangan terbuka dan tawa. Kisah kepahlawanan Ding Tao pun menjadi buah bibir, menjadi berita terbesar di masa itu. Nama Ding Tao dikenal bukan hanya di kalangan dunia persilatan, seluruh daratan mendengar namanya. Dewa pedang itulah julukannya, kisah pertarungannya melawan Ren Zhuocan dan 30 orang pengikut andalan Murong Yun Hua adalah kisah yang tidak bosan- bosannya diceritakan dan didengarkan. Mereka yang ikut menyaksikan pertarungan itu, ikut merasa bangga hanya karena mereka ada di sana dan menyaksikan peristiwa itu dengan mata kepala mereka sendiri. Partai Pedang Keadilan masih berjalan, tapi lebih sering Sun Liang dan Qin Hun yang ada di sana, sementara Ding Tao lebih sering berkelana dengan kedua orang isterinya. Shin Su dan kawan-kawannya tetap menjadi satu kelompok rahasia di bawah asuhan Ding Tao sendiri. Partai Pedang Keadilan sendiri akhirnya dipusatkan hanya di Jiang Ling saja, meski bisa dikatakan hampir seluruh kota berada di bawah kekuasaan mereka, jumlah pengikutnya sendiri dipangkas cukup banyak. Sebagian besar diberi modal untuk membuka usaha sendiri atau membuka sawah ladang. Sehingga jumlah mereka seluruhnya yang tetap hidup dalam dunia persilatan tidak lebih dari 100 orang. Seluruh modal yang berasal dari keluarga Huang dikembalikan, tapi tempat usaha yang ada di Jiang Ling tetap diteruskan di bawah nama Partai Pedang Keadilan. Di antara dua kelompok itu terbentuk hubungan yang dingin namun tidak saling bermusuhan. Tabib Shao Yong masih membuka toko obatnya, salah satu yang ditelitinya sekarang ini adalah mengusahakan agar Ding Tao bisa memiliki keturunan dari dua orang isterinya itu. Resep yang diberikan Tetua Shen sangat berharga bagi Tabib Shao Yong, meski dia masih berusaha menyempurnakannya lagi, utamanya yang berkenaan dengan masalah Ding Tao kecil. Wang Shu Lin akhirnya menikah dengan Zhu Jiuzhen, pernikahan mereka dihadiri banyak orang. Sebagian besar datang tanpa diundang karena berharap bisa melihat Ding Tao si dewa pedang. Enam orang guru Wang Shu Lin, kembali menghilang, kecuali Zhu Yanyan dan Khongti yang kembali ke perguruannya masing-masing untuk ikut membenahi keadaan yang terjadi setelah ditinggalkan ketua yang terdahulu. Apalagi di pihak Shaolin masih perlu diadakan pembersihan, informasi dari Murong Yun Hua tentu saja sangat membantu mereka. Hu Ban dan Shu Sun Er, sekali-kali terlihat berjalan berdua di dekat danau Poyang, sedang Pang Boxi dan Chen Taijiang, sering terlihat di berbagai tempat, terkadang memancing huru-hara, terkadang menolong orang, tapi ke mana pun mereka pergi, banyak orang awam yang justru memuji-muji mereka. Dari situ bisa disimpulkan kala mereka membikin masalah, tentu karena membela kaum yang lebih lemah. Sementara Hua Ng Lau dan Hua Ying Ying berkelana sampai jauh ke barat, mendaki pegunungan himalaya dan sampai pula di wilayah tempat asal agama Buddha berasal. Ya, di antara mereka semua yang diceritakan di atas, yang paling sulit dicari jejaknya tentu saja Ding Tao dan kedua isterinya. Herannya meski sering menghilang, bukan berarti kemudian tidak ada cerita mengenai mereka. Karena terkadang ada masalah-masalah besar dalam dunia persilatan, yang kemudian selesai tanpa orang tahu siapa yang memecahkannya, hanya bisa menduga bahwa Ding Tao dan dua isterinya yang memecahkan masalah itu. Seperti ketika anak perempuan keluarga Tong diculik orang, atau pencurian pusaka kerajaan dari gudang pusaka kerajaan, pembunuhan berantai di daerah Sechuan dan sebagainya. Perkara-perkara yang tidak jelas ujung masalahnya, seringkali tiba-tiba selesai dengan sendirinya dan kabar burung yang beredar, itulah hasil pekerjaan Ding Tao dan dua orang isterinya. Tidak ada bukti yang pasti, mereka yang tersangkut pun lebih banyak berdiam diri, tapi jika ada yang membuka mulut, maka ucapan dewa pedang tentu keluar dari mulut mereka. Bagaimana dengan lima tahun kemudian? Jika yang ditanyakan adalah tentang pertemuan lima tahunan, maka lima tahun setelah Ren Zhuocan dikalahkan, memang seluruh dunia persilatan berkumpul, namun Ren Zhuocan tidak datang, yang datang hanya salah seorang wakilnya yang mengatakan Ren Zhuocan belum pulih dari luka akibat pertarungan dengan Ding Tao lima tahun yang lalu. Akhirnya pertemuan lima tahunan, kali itu diisi dengan Ding Tao yang melayani dan memberikan petunjuk pada mereka yang mau mencoba-coba kepandaiannya. Diawali dengan majunya seorang muda yang penuh ambisi, ingin mengangkat nama. Kalah dia memang, tapi dalam pertarungan mereka, Ding Tao justru memberikan petunjuk-petunjuk yang berharga, terang saja pemuda itu kalah tapi merasa gembira. Dan terang saja, setelah itu muncul banyak tokoh lain yang ikut-ikutan meminta petunjuk dari Ding Tao. 7 hari penuh pertemuan itu berjalan, sebelum akhirnya semua orang puas dan pertemuan itu bubar. Gelaran dewa pedang pun semakin mantap diberikan orang pada Ding Tao. Apakah Ding Tao berbahagia? Rasanya jawabannya iya. Tentu saja bukan berarti kisah ini ditutup dengan kalimat, lalu mereka hidup berbahagia selama-lamanya. Karena selama manusia hidup, tentu dia akan dihadapkan pada masalah-masalah dan tantangan-tantangan hidup. Jika tidak bagaimana manusia mau ditempa menjadi manusia pilihan? Yang terpenting adalah cara manusia itu menyikapinya, apakah Ding Tao di masa depan tidak akan pernah tertimpa masalah dan kesulitan? Tentu saja akan ada masalah, akan ada kesulitan dan tantangan, tapi jika menilik kedewasaan yang dia capai saat ini, sepertinya dia akan menghadapinya dengan sikap yang benar. Sampai di sini kisah ini sudah sampai pada akhirnya. Apakah suatu saat nanti kita aka bertemu Ding Tao lagi dalam kisah yang berbeda? Entahlah, yang pasti untuk saat ini kisah Ding Tao ditutup sampai di sini. Semoga para pembaca bisa menikmatinya, bila ada salah kata, mohon maaf sebesar-besarnya. Salam. Document Outline Hari bahagia bagi si dungu.       Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Darah Daging Karya Kho Ping Hoo Pendekar Patung Emas Karya Qing Hong

Cari Blog Ini