Ceritasilat Novel Online

Pendekar Misterius 11


Pendekar Misterius Karya Gan Kl Bagian 11


Pendekar Misterius Karya dari Gan Kl   Maka tak mau mereka pun berseru memuji.   Tentu saja Cio Ham tambah sengit, dengan gusar teriaknya .   "Anak busuk, tidak lekas kau lolos senjata, jangan salahkan aku jika kau sebentar badanmu berlubang!"   "Sudah kukatakan tidak bermaksud berkelahi dengan kau, darimana aku punya senjata ?"   Sahut A Siu tenang. Ternyata jawaban yang tulus itu telah disalahartikan sebagai ejekan oleh Cio Ham, tanpa berkata lagi ber-runtun2 ia melontarkan serangan lagi beberapa kali. Akan tetapi masih tetap A Siu menghindarkan tanpa balas menyerang.   "Keparat, terimalah serangan ini!"   Teriak Cio Ham pula, dengan geram cepat pedangnya menebas.   Namun dengan sebat dan enteng sekali A Siu tergontai pergi hingga saking cepatnya pedang Cio Ham menyerempet tiang disamping A Siu.   Sungguh hebat serangan itu, sedikit berayal saja tubuh A Siu mungkin sudah terkutung.   Semua orang menjadi ter-heran2 pula melihat gerakan A Siu yang lincah dan aneh itu.   Walaupun disitu hadir jago silat dari berbagai golongan, tapi tiada satupun yang mengenali dari aliran mana ilmu silat A Siu itu.   Maka baru sekarang mereka mau percaya olok2 Hwe Tek tadi, memang nyata, kalau mau sungguh2 A Siu sudah dapat mengalahkan Cio Ham.   Diluar dugaan, mendadak A Siu melompat kesamping lalu berseru.   "Sudahlah cukup, baiklah aku mengaku kalah saja!"   Karuan semua orang ternganga heran, lebih2 Cio Ham yang tahu jelas yang tak mampu menyenggol seujung rambut lawannya tapi mengapa tiba2 lawannya itu terima mengaku kalah? Untuk sesaat ia menjadi tertegun ditempatnya.   "Aha, teranglah dia bukan manusia sebangsanya It-ci-seng Ti Put-cian, harap Enso Tong dapat berlaku bijaksana,"   Lekas2 Li Pong berusaha meredakan suasana tegang itu.   "Haha, bocah ini terang memiliki kepandaian yang sangat tinggi, mengapa dia berlaku sungkan2? Biarlah aku menjajalnya,"   Seru Hwe Tek tiba2 sambil melangkah maju. Habis ini ia menanya pula kepada A Siu.   "Bocah, siapakah gurumu ?"   "Hai, Lo-mo-thau, orang begitu muda, dengan pamormu, masakan kau akan bergebrak dengan dia?"   Seru Li Pong tiba- tiba.   "Hm, pamor apa segala?"   Jengek Hwe Tek mendadak.   "Mungkin selekasnya kalian akan terbinasa tanpa kubur, masih bicara tentang pamor segala!"   "Apa maksud kata2mu ini, Lo-mo-thau?"   Tanya Li Pong heran.   "Bocah ini umurnya belum ada 20 tahun tapi sudah sekian tinggi kepandaiannya, lantas kalian sangka siapa gurunya? Kecuali "dia", siapa lagi? Dan kalau dia untuk kedua kalinya muncul pula di Kangouw, siapa diantara kita mampu menandinginya?"   Kata Hwe Tek. Mendengar itu, semua orang menjadi bungkam dengan saling pandang, tiba-tiba Thi-thau to berkata tak lancar.   "Kau maksudkan dia..., dia...."   "Ya, dia! Dikalangan jaman ini, siapa orangnya bisa lebih lihay dari dia?"   Sahut Hwe-tek. Tanya jawab itu walaupun tidak dijelaskan siapa nama si "dia"   Itu, tapi semua orang hadir disitu semua sudah sama memahami siapa gerangan yang dimaksudkan.   "Kalian masih ingat bahwa tahun ini adalah tepat waktu yang dia janji akan muncul pula,"   Kata Hwe Tek pula.   "Selama 32 tahun ini dia juga sudah berumur tujuh puluhan dan kalau dia belum mati dan benar2 muncul kembali siapa sanggup menandingi?"   "Menandingi siapa?"   Tiba2 seorang menyambung dari luar. Kiranya dia adalah Tuan rumah Jing-ling-cu yang masuk membawa seorang Hwesio pendek gemuk, didadanya tergantung tiga buah kecer tembaga yang kuning gilap.   "Marilah kita perkenalkan, inilah Hoat-teng Taysu dari Thian-tongsi di Ciatkang,"   Kata Jing ling-cu. Lalu dia menanya lagi tentang siapa yang tak bisa ditandingi itu.   "Gurunya,"   Sahut Hwe Tek sambil menunjuk A Siu.   "Sudah kukatakan aku tak mempunyai guru kalau murid sih ada!"   Sahut A Siu ke-kanak2an. Karuan semua orang melengak lagi, masakan ada murid tanpa guru? "Lalu, siapa muridmu itu?"   Tanya Hwe Tek lagi.   "Muridku juga seorang Hwesio gede, namanya Tiat-pi Hwesio,"   Ujar A Siu. Mendengar itu orang lain hanya heran saja, sebaliknya Hoat teng Taysu terus berjingkrak, teriaknya .   "Dusta !"   "Mengapa ?"   Tanya silelaki jelek alias Hwe Tek itu.   "Tiat-pi adalah saudara angkatku, kepandaiannya Gwakangnya jarang ada tandingannya disekitar Hunlam dan Kuiciu, namanya sudah tersohor lebih 20 tahun yang lalu, mana mungkin mengangkat bocah cilik ini sebagai guru ?"   Tutur Hoat-teng.   Semua orang diam2 tertawa geli dan mau percaya apa yang dikatakan itu memang sungguh-sungguh.   Sebab kalau benar Tiat-pi Hwesio adalah muridnya A Siu, bukanlah Hoat- teng juga menjadi keponakan guru anak muda ini, pantasan saja ia berjingkrak.   Hwe Tek tak urus soal itu lagi, tiba2 ia menghela napas dan berkata .   "Sungguh tidak nyana sang Tempo liwat begini cepat, tahu2 30 tahun sudah lewat. Dan sampai sekarang, toh masih tiada seorangpun diantara kita yang dapat menandingi dia !"   "Sebelum ini akupun sudah teringat soal ini,"   Sela Jing-ling- cu.   "Menurut aku orang yang bisa menandingi dia bukannya tidak ada !"   Hwe Tek bergelak ketawa mengadah.   "Siapa?"   Tanyanya. Lagu suaranya penuh kesombongan se-akan2 pertanyaan "siapa"   Itu termasuk pula .   Aku saja mengaku tak bisa menandingi, lalu dijagat ini siapa lagi yang mampu ? "Justru undanganku ini kepada para tokoh Bu-lim, karena aku ingat tahun ini adalah tahun yang dijanjikan iblis itu, menurut pendapatku, orang yang mampu menandinginya, mungkin sobat aneh yang tak diketahui asal usulnya itu,"   Ujar Jing-ling-cu.   "Sobat itu berada dimana ?"   Tanya Hwe Tek.   "Beberapa hari yang lalu sudah kelihatan muncul dipegunungan ini, tapi pagi hari ini telah menghilang lagi,"   Kata Jing-ling-cu.   "Usul Jing-ling Toheng memang beralasan,"   Ujar Li Pong.   "Kebetulan hari ini kita berkumpul disini, tentu dia akan datang kemari untuk memenuhi janjinya."   "Siapakah gerangan yang kalian bicarakan ?"   Saking heran A Siu menanya. Tiba2 hati Li Pong tergerak, sahutnya .   "Kah laute, kebetulan kali ini kaupun hadir disini, maka alangkah baiknya bila kaupun suka membantunya nanti. Orang itu she Ki, namanya Go-thian, berpuluh tahun yang lalu sudah tiada tandingan diseluruh Bu-lim, kini kalau muncul lagi, terang malapetaka bagi dunia persilatan kita."   "Ah, kiranya Ki Go-thian itu,"   Ujar A Siu. Semua orang menjadi heran, masakan usia semuda "Kah- loji"   Ini juga kenal Ki Go-thian.   "Jadi Kaheng sudah kenal dia ? Dimana bertemu ?"   Tanya semua orang berbareng.   "Aku bertemu dia diwilayah Ciatkang, ia berada bersama seorang Thauto yang bernama Ngo-seng."   Tutur A Siu.   Lalu ia ceritakan pengalaman yang lalu itu.   Mendengar kepandaian Ki Go-thian ternyata jauh bertambah lihay itu, seketika wajah semua orang berubah pucat.   Dan selagi Li Pong hendak menanya pula, mendadak diluar kuil sana terdengar suara "blung"   Yang keras, begitu keras suara itu hingga debu sana bertebaran.   Semua orang terkesiap dan semua orang berkata .   Ah, datanglah dia ! Suara dentuman itu terlalu keras datangnya maka seketika semua orang menduga pasti Ki Go-thian yang sudah datang.   Untuk sesaat ruangan itu menjadi hening.   Hanya Hwe Tek yang tampak tenang-tenang saja.   Betapapun juga, sebagai jago kawakan serta tuan rumah, kemudian Jing-ling-cu buka suara.   "Hari ini kita akan menghadapi musuh lama mati atau hidup kita biarlah bersama. Marilah kita menghadapi diluar!"   Segera Jing-ling-cu mendahului keluar dan diikuti oleh semua orang.   Ternyata dipelataran luar sudah ramai dikerumuni orang, apa yang dikerumuni itu tidak kelihatan.   Anehnya orang-orang yang lagi merubung itu sama-sama bisik-bisik entah apa yang diceritakan, tapi tiada seorangpun diantara mereka yang tampak ketakutan.   "Siapakah gerangan yang bikin ribut disini? Mungkin sobat lama yang mana sudi berkunjung kemari, maafkan bila penyambutan kami kurang sempurna!"   Segera Jing-ling-cu berseru.   Suaranya keras berkumandang hingga berisik semua orang itu tersirap, nyata Lwekang yang diunjukan Jing-ling-cu ini tak bisa dipandang enteng.   Melihat munculnya tuan rumah, maka menyingkirlah orang2 yang merubung itu kepinggir maka tertampaklah di- tengah2 situ seorang berbaju hitam yang sudah luntur hingga lebih mirip warna kelabu, lagi meringkuk tidur sambil berpeluk dengkul, disampingnya ada segunduk benda kehitam-hitaman entah apa barangnya.   Ketika sudah dekat, ternyata orang itu berdandan sebagai sastrawan miskin, tampaknya masih muda, bukanlah Ki Go- thian yang mereka takuti itu.   Sedang gundukan benda tadi ternyata sebuah genta raksasa yang sudah berkarat.   Semua orang menjadi heran mengapa tiba-tiba muncul seorang aneh demikian.   "Siapakah tuan, ada keperluan apakah kunjunganmu kemari ?"   Segera Jing-ling-cu menegur lagi. Tiba-tiba orang itu menguap sambil mengangkat kedua tangannya kelangit dan mengulet ke-malas2an, tangannya ternyata panjang luar biasa, kemudian dengan sungkan ia menjawab.   "Ah, kiranya Jing-ling Totiang sendiri sudi keluar menyambut. Kunjunganku kemari tiada maksud lain, cuma kabarnya hari ini semua tokoh dan jago Bu-lim sama berkumpul disini, maka Cayhe hanya datang sebagai peninjau saja!"   Tutur kata sastrawan miskin ini ternyata cukup sopan santun, suara nyaring jelas, terang bukan sembarangan orang.   Anehnya tiada seorangpun tokoh2 yang hadir itu yang kenal padanya, padahal seorang jago yang membawa sebuah genta raksasa yang menyolok itu, masakan selamanya tak pernah dengar namanya.   Hanya A Siu saja segera mengenali bahwa orang inilah yang telah menggodanya diatas perahu ditelaga Se-oh itu.   Tatkala mana sastrawan inipun sedang nyenyak, lalu menguap dan mengulet, lagaknya persis seperti barusan ini.   Dalam pada itu Tong Po mempunyai tenaga raksasa pembawaan, menjadi ketarik oleh genta yang dibawanya sastrawan miskin itu, ia tidak percaya orang sekurus itu mampu mengangkat genta yang besar dan antap itu.   Tanpa pikir ia terus mendekati genta itu, ia pegang kupingan genta itu sambil membentak "naik !"   Diluar dugaan, tiba2 sastrawan itu sedikit menahan genta itu dengan sebelah tangannya, kontan Tong Po merasa suatu tenaga besar menggetar dadanya.   Lekas ia lepas tangan, namun begitu, iapun tergetar mundur beberapa tindak, dengan tercengang ia pandang sastrawan miskin itu.   Tapi sastrawan itu hanya tersenyum tawar saja, dengan enteng sekali tiba2 ia angkat gentanya secara terbalik diatas pundak, lalu hendak menuju kegubuk yang dibangun untuk para tetamu itu.   Se-konyong2 bayangan orang berkelebat, tahu2 Hwe Tek melesat menghadang kehadapan sastrawan itu sambil berkata dengan dingin .   "Jika saudara datang kemari untuk ikut pertemuan kita kenapa nama saja tak kau beritahukan kepada tuan rumah ?"   "Aha, namaku yang rendah sebenarnya tiada harganya disebut, tapi kalau kalian ingin tahu, terserahlah,"   Sahut sastrawan itu dengan lagak jenaka.   "Namaku Ko, she Wi, dari wilayah barat, ditengah jalan kebetulan memperoleh genta rombeng ini, maka sekalian kubawa. Nah, apa lagi yang kalian ingin tahu ?"   Mendengar nama orang Wi Ko, diam2 Hwe Tek tersenyum geli, ia pikir orang pakai nama samaran lagi seperti "Ka-loji"   Itu.   Tapi demi mendengar orang datang dan wilayah barat, tanpa merasa ia pandang Liok-hap-tongcu Li Pong.   Hendaklah diketahui bahwa Khong-tong-pay terhitung suatu aliran terbesar dikalangan wilayah barat, sebagai seorang ketua, tentunya Li Pong kenal nama orang.   Tak terduga Li Pong hanya menggeleng kepala saja.   Sementara itu sastrawan yang memperkenalkan namanya sebagai Wi Ko itu telah berdiam saja kepada semua orang, lalu pergi sendiri ke gubuk disamping sana.   Pendekar Misterius Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Selagi Jing-lingcu heran oleh kelakuan orang tiba2 dilihatnya Thi-thau-to yang berdiri disampingnya mengunjuk rasa curiga seperti tiba2 ingat sesuatu.   Rupanya Li Pong juga sudah melihat perubahan sikap Thi- thau-to itu segera ia menanya.   "Lau Thi, ada apakah kau, kenapa tak kau katakan saja dihadapan orang banyak!"   "Aku hanya ragu2 kepada genta yang dibawa orang she Wi itu seperti...."   "Seperti apa? Apa kau maksudkan seperti genta besar milik Biau-jiu-losat Ki Teng-nio di puncak Go-bisan itu?"   Sela Cio Ham tiba2. Thi-thau-to melengak bingung, sebab ia tidak tahu kalau Ki Teng nio itu menggantung sebuah genta bwsar dikaki gunung kediamannya, maka ia tak bisa menjawab. Sebaliknya A Siu yang sejak tadi mendengarkan terus, kini tiba2 menyela.   "Hanya mirip, tapi bukan Genta yang tergantung dikaki gunung Go-bisan itu, berukiran kembang yang menonjol keluar, tapi ukiran genta tadi mendengkuk kedalam!"   "Dari mana kau tahu?"   Bentak Cio Ham. Rupanya ia masih mendongkol pada A Siu.   "Aku pernah memukul genta itu digunung, maka cukup jelas melihatnya,"   Sahut A Siu.   "Lalu Lau Thi maksudkan genta yang mana?"   Tanya Li Pong tak sabaran.   "Kejadian itu kalau dibicarakan sungguh memalukan,"   Tutur Thi-thau-to.   "Dahulu karena menguber Ngo-seng yang mendurhakai perguruan itu, aku telah tiba sampai disuatu pulau terpencil dilautan selatan, pulau itu ternyata tiada penduduknya, dan disanalah aku melihat genta tadi. Pikirku kalau pulau tanpa penduduk, dari manakah terdapat genta semacam itu? Aku menjadi heran dan bermaksud membawa kembali genta itu, tak terduga belum maksudku terlaksana, tiba2 muncul seorang wanita berambut panjang terurai, berjari merah membara, tapi wajahnya cukup cantik, cuma dari sifatnya tampak sekali bukan dari aliran suci. Dan karena percekcokan mulut, akhirnya aku terpaksa bergebrak dengan dia...."   "Tak usah diterangkan lagi pasti kau dikalahkan, bukan?"   Tiba2 Hwe Tek menyela.   "Benar, apakah Hengtay tahu siapa wanita itu?"   Sahut Thi- thau-to.   "Aneh, sebagai seorang ketua aliran terkemuka, masakan wanita itu tak kau ketahui?"   Jengek lelaki jelek alias Hwe Tek itu.   "Sungguh memalukan, harus diakui, memang sampai kini aku masih belum tahu siapa dia,"   Kata Thi-thau-to. Aneh juga dengan kedudukan Thi-thau-to sebagai Ketua Ngo-thay-pay, terhadap Hwe Tek ternyata sangat merendah dan mengia. Dari sini dapat dibayangkan betapa disegani Hwe Tek itu.   "Apa kalian pernah dengar disana dahulu diwilayah Hunlam dan Kuiciu muncul seorang jago wanita, Kui-bo Li-hun ?"   Tutur Hwe Tek.   "Selama hidupnya ia sungkan terima murid, baru usianya sudah lanjut, ia menerima dua orang murid. Tatkala mana usia Kui-bo Li-hun sudah hampir sembilan puluh tahun, tapi betapa tinggi ilmu silatnya juga susah diukur. Kedua muridnya itu yang satu kita kenal sebagai Biau-jiu-losat Ki- teng-nio yang sudah mati, sedang seorang lagi adalah wanita yang dijumpai Lau Thi yang berjari merah membara, rambut terurai tapi ilmu silatnya jauh lebih tinggi dari sang suci boleh dikata hampir mewariskan seluruh kepandaian gurunya, ia bernama Li-giam Ong To Hiat-koh!"   Mendengar "Li-giam-ong To Hiat-koh"   Atau siratu akherat, seketika semua orang terkejut.   Sudah lama nama Li-giam-ong itu lenyap dari Bu-lim, apabila dia masih hidup, pasti ilmu silatnya bertambah tinggi lagi.   tapi genta pusakanya tahu2 jatuh ditangan sastrawan miskin she Wi itu, maka kepandaiannya yang belakangan ini dapat dibayangkan.   Yang mengherankan yalah umurnya masih begitu muda, siapa gurunya pun tak diketahui.   Dalam pada itu masih juga memikirkan daya-upaya akan menghadapi Ki Go-thian yang ditakuti itu.   Karena itu be-ramai2, mereka terus masuk kembali kekuil untuk berunding lebih dulu, tapi tiada sesuatu hasil pembicaraan yang diambil.   Sementara itu hari sudah petang, dalam hati A Siu masih tetap terkenang kepada Ti-put-cian, akan tetapi selama itu masih belum diketahui jejaknya, ia menjadi masgul, ia ingin sekali berbicara kepada seseorang kawan, seperti Jun-yan, yang selalu menghibur hatinya yang lara.   Tapi gadis itu entah berada dimana sekarang.   Dalam keadaan murung, A Siu terus ayun langkahnya menjelajahi bukit pegunungan itu, ia mendapatkan sebuah batu besar, dengan duduk bersandarkan batu itu, ia melamun jauh kelautan mega sana sambil menghela napas.   Dan sekali ia duduk melamun, tahu-tahu 2-3 jam telah lewat, dewi bulan sudah menghiasi ditengah cakrawala, tapi diatas puncak sana bertambah berisik oleh datangnya tetamu yang baru.   A Siu merasa jemu dengan segala suara ramai itu ia ingin keadaan sunyi senyap, alangkah baiknya diganti dengan suaranya Ti-put-cian biarpun suara makian atau cacian, rasanya ia pun suka, daripada hati selalu dirundung rindu.   Per-lahan2 ia berdiri hendak kembali kepondoknya, tapi baru selangkah, tiba2 didengarnya diatas batu besar yang dibuatnya bersandar itu ada suara orang menghela napas juga.   Malahan terdengar orang itu bersenandung pula yang bernada rindu.   Segera A Siu dapat mengenali suara orang itu sebagai sastrawan she Wi itu, ia heran siapakah gerangan yang dirindukan sastrawan itu? Sedang A Siu berpikir, terdengar orang she Wi itu berkata lagi pada dirinya sendiri.   "Haha, wanita menyamar sebagai lelaki, hampir aku kena diingusi!"   A Siu tergerak pikirannya, ia coba mendongak keatas, terang itulah sorot mata orang yang tajam lagi memandang juga kebawah.   Ia menjadi jengah sendiri, nyata penyamarannya sudah diketahui orang.   Dalam pada itu Wi Ko itu sudah lantas berkata dengan tertawa .   "Maaf, nona Siu, bila aku bikin kaget padamu. Aku kangzusi.com   hanya ingin numpang tanya. Kenapa nona Jun- yan tidak ikut serta bersama kau kesini ?"   "Enci Jun-yan sudah berada disini,"   Sahut A Siu.   "cuma dia bilang hatinya masgul, ingin menikmati pemandangan alam pegunungan ini, sebaliknya aku kesusu hendak mencari Ti-toa ko, maka hadir kesini lebih dulu."   "Ti-toako? Apakah kau maksudkan Ti Put cian berjuluk Kang Lam-it-ci-seng itu ?"   Tanya Wi Ko.   "Benar,"   Sahut A Siu.   "Apakah kau tahu dia berada dimana ? Ah, rasanya dia takkan hadir kesini!"   Heran sekali Wi Ko mendengar orang yang dicari si gadis adalah Ti put-cian yang terkenal ganas laknat itu, padahal kalau dibandingkan gadis polos dihadapannya ini, terang bedanya langit dan bumi. Namun begitu, ia menjawab juga .   "Dimana dia berada sekarang, aku tidak tahu. Tapi bagaimanakah nona kenal dan berkawan dengan dia ?"   "belum lama kami berkenalan, hanya secara kebetulan saja kami bertemu didaerah Biau,"   Tutur A Siu singkat.   "Ah, kiranya nona berasal dari suku Biau,"   Tanya Wi Ko.   A Siu hanya mengangguk.   Sebaliknya sikap Wi Ko yang biasa ke-malas2an itu tiba2 berubah sungguh2, nyata perhatiannya terhadap diri A Siu bukanlah secara kebetulan saja.   Tiba2 katanya dengan menahan suara,"Nona Siu, ingin aku menanya sesuatu kepadamu ..........."   Tapi belum lagi ia melanjutkan kata2nya terdengarlah suara tertawa orang yang seram sekali bergema diangkasa pegunungan itu, begitu seram menusuk suara tawa itu hingga bagi yang mendengar, seketika bulu roma sama berdiri.   "Suara tertawa siapakah, begitu menyeramkan dimalam buta ?"   Tanya A Siu.   "Sebentar lagi tentu kau akan tahu,"   Ujar Wi Ko seakan- akan ia sudah kenal suara siapa itu.   Dalam pada itu, suara tertawa itu rupanya juga sudah mengejutkan semua orang yang berada dipuncak Ciok-yong- hong itu, sebab beramai-ramai mereka terus bangkit berkerumun ke pelataran depan kuil, sebaliknya didalam kuil itu lantas terang benderang agaknya mereka juga terjaga bangun, lalu sama keluar ingin melihat apa yang bakal terjadi.   Segera A Siu juga hendak kembali ke Ciok yong hong dibawah sana, tapi keburu ditahan Wi Ko, kata sastrawan rudin itu.   "Tunggu sebentar nona Siu, daripada kita ikut bikin kacau, tidakkah lebih baik kita menonton saja disini?"   Sementara itu terlihat Jing-ling-cu, Liok-hap-tong-cu Li Pong dan silelaki bermuka walang, Hwe Tek, serta lain-lainnya sudah muncul. Tiba2 Wi Ko menunjuk Hwe Tek dan menanya A Siu.   "Nona Siu, kau datang lebih dulu, apakah kau tahu siapakah lelaki jelek itu ?"   "Entah, cuma dia diperkenalkan sebagai Hwe Tek, ada juga yang mau menyebut Lo-mo thau (iblis tua) padanya."   Kata A Siu.   "Lo-mo-thau ? Hahaha ! Memang aku sudah menduga dia, ternyata tidak salah!"   Seru Wi Ko bergelak tertawa. -o0dw.kz-hendra0o-   Jilid 9 SELAGI A Siu hendak menanya lebih jelas tiba-tiba belasan obor yang dipasang dipelataran sana, apinya se-akan2 menjulang keatas seperti ditiup angin besar, sampai A Siu yang jaraknya belasan tombak jauhnya merasakan angin yang kuat itu.   Dalam pada itu suara ringkik tawa tadi semakin keras, seorang wanita berambut terurai kusut mendadak muncul diatas puncak itu.   Wanita itu angkat tinggi2 tangannya sambil tertawa-tawa menengadah, karena mukanya tertutup rambutnya yang kusut, maka tidak tampak jelas, yang terang sepuluh jari tangannya merah membara, ditumbuhi kuku jarinya yang panjang, tapi putih bersih, paduan warna merah putih itu menjadi sangat menyolok.   Maka terlihatlah Jing-ling-cu dan Hwe Tek serta jago lainnya sama memapak maju, wajah Jing-ling-cu nampak terkejut dan heran, dari jauh segera membalas orang dengan suitan nyaring.   Walaupun suaranya singkat pendek, begitu suara suitan itu berkumandang, maka berkatalah Jing-ling-cu.   "Ah, kiranya Li giam-ong To Hiat koh yang sudah lama tidak keluar dikangouw hari ini mendadak sudi hadir kemari, maafkan bila sebelumnya tak dilakukan penyambutan!"   A Siu pikir, kiranya wanita aneh inilah yang disebut si Ratu akherat To Hiat-koh yang ilmu silatnya masih diatas Sucinya, yaitu Ki Teng-nio.   Ia coba melirik Wi Ko.   Pemuda itu ternyata biasa saja, tetap dengan sikap yang ke-malas2an, si ratu akherat yang menggetarkan itu seperti tak dipandang mata olehnya.   Dalam pada itu, karena teguran Jing-ling-cu tadi, mendadak wanita itu menggeleng kepalanya, rambutnya yang kusut terurai itu lantas tergontai kebelakang.   Diluar dugaan wajahnya ternyata cantik ayu tampaknya juga belum terlalu tua, cuma saja bila dilihat dari sorot matanya yang tajam dapat diketahui pasti bukan orang dari aliran baik2.   Ia hanya mengerling sekejap kearah Jing-ling-cu, lalu menyahut.   "Hidung kerbau, pakai banyak adat apa segala! Aku hanya ingin tanya kau, apakah tadi ada seorang sastrawan kangzusi.com   rudin yang datang kemari, harap kau suruh keluar terima kematian!"   Habis berkata, dia perdengarkan lagi suara ketawanya yang menyeramkan itu.   "Eh, kiranya kedatangannya kemari hendak mencari kau,"   Diam2 A Siu berkata pada Wi Ko ditempat sembunyinya itu.   "Ya, sudah kuketahui ia akan datang kemari, herannya kenapa dia baru sekarang tiba,"   Ujar Wi Ko tertawa.   Dalam pada itu baru Jing-ling-cu mengetahui maksud kedatangan To Hiat-koh itu, pikirnya, walaupun sastrawan she Wi itu barusan dikenal tapi sekali ia sudah hadir disini, sebagai tuan rumah aku harus konsekwen, aku menghadapi segala kemungkinan.   Maka sahutnya segera.   "Ah Li-giam-ong hendaknya suka menerima usulku ini karena berkumpulnya kami disini justru perlu persatuan sesama kita untuk menghadapi lawan tangguh, maka sebelum peristiwa itu berakhir haraplah Li-giam-ong kesampingkan dahulu percekcokan pribadi!"   Diam2 Wi Ko memuji akan sifat kesatria Jing-ling-cu itu, katanya pada A Siu.   "Jing-ling Totiang nyata tidak kecewa sebagai tokoh yang dikagumi orang Bu-lim!"   Sementara itu Tohiat-koh sudah berjingkrak karena sahutan Jing-ling-cu tadi, teriaknya sengit.   "Jing-ling-cu yang kutanya adalah sastrawan keparat itu, jika benar dia berada disini, kau akan menyerahkan dia tidak?"   Betapa sabarnya Jing-ling-cu, melihat kekerasan orang, dia menjadi gusar juga, sahutnya dingin.   "Hm, siapa yang sudah berada ditempatku ini, rasanya tidak mudah orang hendak berbuat se-wenang2 padanya! Walaupun aku tidak becus, sekalipun hancur lebur, demi kehormatan biarlah! Jing-ling-cu bukan seperti manusia pengecut!"   Karuan To Hiat-koh berjingkrak murka oleh tantangannya itu, rambutnya yang terurai itu se-akan2 mengak, jari tangannya yang merah darah itu, sudah lantas diangkat hingga ruas tulangnya bunyi kertikan, segera dia hendak menyerang.   "Tahan dulu!"   Tiba-tiba terdengar seruan orang, tahu2 bayangan orang berkelebat, ditengah kalangan itu sudah bertambah seorang, dia bukan lain, adalah Wi Ko.   "Keparat, akhirnya kau keluar juga!"   Bentak To Hiat-koh terus mencengkeram dengan jari tangannya yang sudah diangkat tadi. Cengkeraman jari yang dilontarkan To Hiat koh itu terkenal dengan nama "Kau-beng-jiu"   Atau cakar pencabut nyawa yaitu sesuai pula dengan julukannya sebagai ratu akherat.   Kuku jari itu tampaknya putih bersih, tapi sebenarnya sudah direndam air berbisa, sekali kena terpukul, racunnya meresap kedalam badan, tanpa keluar darah seketika orangnya terbinasa.   Akan tetapi dengan gesit sekali Wi Ko sudah menghindarkan cengkeraman itu.   Sedang Jing-ling-cu terus berseru .   "To Hiat-koh, betapapun besarnya urusan, Ciok- yong-hong ini adalah kediaman Jing-ling-cu, mana boleh orang berlaku sewenang-wenang didepan mata hidungnya."   To Hiat-koh tertawa dingin, tapi demi dilihatnya dipihak orang begitu banyak jumlahnya, ia pikir gelagat tidak menguntungkan, maka jawabnya .   "Apa kira aku jeri terhadap hidung kerbau macammu ? Katakanlah apa kau minta satu lawan satu, atau hendak maju berbareng ?"   "Jing-ling totiang,"   Seru Wi Ko sebelum Jing-ling-cu menjawab orang.   "sembelih ayam tak perlu pakai golok, bagi perempuan bawel macam dia, tak perlu totiang capekan diri !"   To Hiat-koh menjadi murka dikatakan perempuan bawel, tanpa bicara lagi ia mencengkeram lagi kearah punggung Wi Ko yang rada mungkur itu.   Serangan itu cepat lagi tanpa suara, pula dilakukan diluar dugaan Wi Ko, semua orang ikut terkejut dan menyangka pasti sastrawan itu bakal celaka, untuk menolongnya juga tak keburu lagi.   Siapa nyana, seenaknya saja Wi Ko melangkah maju, maka cengkeraman To Hiat Ko itu luput mengenai sasaran, sekalipun demikian baju Wi Ko sobek juga sebagian.   Pendekar Misterius Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Sungguh hebat, memang Kau-beng-jiau tidaklah tersohor kosong !"   Seru Wi Ko. Diam2 To Hiat-koh sangat terkejut, serangan kilat dan ganas yang diandalkan itu, dengan enteng dapat dihindarkan oleh orang.   "Keparat, siapa kau sebenarnya, kenapa mencuri gentaku ?"   Bentaknya kemudian.   "Siapa diriku, rasanya tiada perlu kau tahu."   Sahut Wi Ko dengan mata berkilat2.   "Sedang untuk apa aku mencuri gentamu, kau sendiri cukup tahu !"   Kata2nya itu diucapkan dengan tenang dan biasa saja, tapi bagi pendengaran To Hiat-koh, kata itu se-akan2 guntur disiang bolong.   Tangan yang sudah diangkat yang hendak menyerang pula seketika terhenti diudara, sedang wajah yang cantik penuh nafsu pembunuh itu, seketika pun lenyap dan berobah hebat.   Semua orang menjadi heran, mengapa kata-kata Wi Ko tadi, telah bikin iblis perempuan itu sedemikian terkejutnya.   Apakah mungkin siapa gerangan Wi Ko itu dapat diketahuinya, atau gurunya yang disegani ? Siapa gurunya, apa mungkin Ki Go-thian yang bergelar Tok-po-kian kun itu ? Akan tetapi dugaan mereka itu telah tersangkal oleh seruan To-Hiat-ko sesudah tertegun sejenak.   "Jadi .... jadi kau sudah mengetahui manfaat Tui-hun-kim-ceng (genta pembunuh nyawa)?"   Lagu suaranya itu lemas lesu, seakan-akan rahasia yang disekamnya sekian lama mendadak kena dibongkar orang. Dalam pada itu Wi Ko hanya tersenyum tawar saja sambil mengangguk.   "Darimana kau mengetahui ?"   Teriak To Hiat-koh pula dengan suaranya yang tajam melengking. Nyata gusarnya sudah memuncak.   "Kalau ingin orang tidak tahu, kecuali diri tidak berbuat!"   Ujar Wi Ko tertawa.   "Apakah ada sesuatu dijagat ini dapat membohongi orang selamanya ?"   Rupanya hati To Hiat-koh tergoncang luar biasa, kembali ia melangkah maju dan membentak lagi.   "Kecuali kau siapa lagi yang mengetahui?"   "Hahaha, langit mengetahui, bumi mengetahui, kau tahu dan akupun tahu, apa masih kurang ?"   Sahut Wi Ko bergelak tertawa.   "Baik dan untuk selanjutnya hanya langit tahu, bumi tahu, dan aku yang tahu !"   Seru To Hiat-koh.   Berbareng itu, jarinya yang merah membara itu terus mencengkeram kebatok kepalanya Wi Ko.   Ternyata sekali ini Wi Ko tak berkelit lagi, tapi mengebas lengan bajunya yang besar longgar itu keatas, hingga tangan To-Hiat-koh terlibat.   Maka terasalah To Hiat koh semacam tenaga maha besar merintangi cengkeramannya itu, tanpa pikir lagi kelima jari tangannya yang lain terus menjojoh kedepan pula mengarah lambung lawan.   Serangan ini sangat ganas sekali, asal sedikit tubuh Wi Ko kena kuku jarinya, seketika air racun akan meresap kedalam darah, kecuali obat pemunah To Hiat-koh sendiri, sekalipun malaikat dewata juga tak sanggup untuk mengobatinya.   Siapa tahu sebelah lengan baju Wi Ko tiba-tiba mengibas juga keatas, melibat tangan To Hiat-koh sembari melindungi badan sendiri.   Tahu akan betapa tenaga dalam lawannya itu, asal kedua tangannya itu semua terlibat oleh lengan baju orang mungkin susah lepaskan diri lagi, maka sekuatnya To Hiat-koh menyampok kesamping, berbareng kakinya menutul terus membetot kebelakang.   Walaupun begitu tidak kuranglah terdengar suara "krak, krak, krak"   Tiga kali, To Hiat-koh sempat melompat mundur kebelakang tapi tiga kuku jarinya telah patah tertinggal dilibatan lengan baju Wi Ko. Keruan To Hiat-koh terkejut dan berdiri terpaku ditempatnya dengan wajah pucat.   "To Hiat koh,"   Jengek Wi Ko dengan tertawa dingin.   "masih mujur bagimu, hanya kuku jarimu yang tercabut, belum lagi pergelangan tanganmu patah. Gentamu berada disini, apa kau masih menginginkannya ?"   To Hiat-koh benar-benar mati kutu, sungguh tak diduga bahwa lawan semuda itu sudah memiliki kepandaian sedemikian tingginya, kalau pertandingan diteruskan, rasanya tak menguntungkan, maka jawaban sambil berkekeh-kekeh .   "Baik, genta boleh kau tahan, lihatlah apa yang bisa kau lakukan !"   Habis berkata, sekali tubuhnya melesat, secepat kilat orangnya sudah berada belasan tombak jauhnya dan sekejap pula menghilang dibalik tebing sana, hanya ketinggalan suara tertawa yang tajam melengking.   Begitu To Hiat-koh angkat kaki, mendadak wajah Wi Ko berubah, ia berpaling kearah Jing-ling-cu terus menanya .   "Jing-ling Totiang undanganmu pada seluruh jago Bu-lim ini bukankah tujuannya hendak mengenali manusia aneh yang kau ketemukan dipegunungan sini itu ?"   "Kecuali itu apakah Wi-heng tahu ada tujuan lain?"   Tiba2 Li Pong menyela. Nyata dengan pertanyaan ini, Li Pong bermaksud akan memancing asal-usul dari orang, apa mungkin ada hubungannya dengan Ki Go-thian. Siapa tahu, tiba2 Wi Ko mengerut alis dan menyemprot;   "Tujuan apalagi, aku tidak pusing, aku hanya ingin menanya Jing-ling Totiang, apakah orang aneh itu kini berada disini?"   Betapa tinggi kedudukannya dan nama Li Pong dihormati dikalangan persilatan, belum pernah ia disemprot orang dihadapan umum, apa lagi orang muda seperti Wi Ko, karuan semua orang merasa orang she Wi itu rada kelewatan.   Benar juga mendadak lelaki jelek alias Hwe Tek yang berada disamping Li Pong itu, lantas tampil kemuka sambil ter-kekeh2 aneh, katanya dingin.   "Hehe, selamanya justru aku paling suka pusing urusan orang lain, entah saudara mau apakah dariku?"   Tertegun juga Wi Ko oleh sikap Hwe Tek itu, tapi segera katanya.   "Apa maksudmu ini? O, apa barangkali kau anggap kata-kataku kepada Liheng tadi rada kasar, bukan?"   "Emangnya apa kau kira halus?"   Sahut Hwe Tek.   "Jika tahu salah, seorang kesatria harus berani mengaku keliru."   Mendengar perdebatan itu, Li Pong dan Jing ling-cu merasa keadaan bakal runyam, kedua orang itu pasti segera akan saling gebrak. Diluar dugaan, mendadak Wi Ko terus berpaling kearah Li Pong sambil membungkuk badan katanya.   "Ya, memang kata- kataku tadi kurang pantas, harap Liok-hap-tong-cu jangan ambil marah!"   Ternyata apa yang dikehendaki Hwe Tek itu telah diturutnya dengan baik.   Padahal terjadinya percekcokan dikalangan Bu-lim pada umumnya biasanya disebabkan menjaga muka saja, kalau semua orang mau berlaku jujur seperti Wi Ko, tentu segala percekcokan dapat dilenyapkan.   Li Pong sendiri menjadi likat melihat kejujuran Wi Ko itu, lekas-lekas ia membalas hormat dan berkata.   "Ah, kenapa Wi- heng bersungguh-sungguh."   "Permintaan maafku kepada Liok-hap-tongcu adalah timbul dari hatiku sendiri."   Tiba2 Wi Ko berkata kepada Hwe Tek.   "Tapi, jangan kau kira aku kena kau gertak, lalu turut perintahmu ? Hm, walaupun asal usulmu sangat disegani, kalau ada kesempatan aku justru ingin belajar kenal padamu !"   Hwe Tek menjadi gusar, tapi belum juga buka suara, se- konyong2 Wi Ko berseru .   "Celaka."   Berbareng orangnya terus melesat pergi, hanya beberapa kali lompatan, orangnya sudah lenyap ditempat gelap.   "Sungguh aneh orang she Wi ini, tapi apa yang dia maksudkan celaka tadi ?"   Ujar Li Pong tak mengerti.   Semua orang ter-heran2 juga macam2 dugaan dan tafsiran mereka, tapi tiada satupun pendapat mereka yang masuk diakal, sampai merekapun pada bubar kembali kepondoknya sendiri-sendiri untuk mengaso.   Hanya ketinggalan Si A Siu saja seorang diri masih termenung-menung diatas batu yang besar itu.   Kembali bercerita tentang Jun-yan yang kembali masuk gua untuk mencari kalau-kalau ada sesuatu tanda lain mengenai diri si orang aneh itu.   Gua kangzusi.com   itu terlalu gelap, walaupun dengan gemilang pedangnya Tun-kau-kiam, lapat2 jalanan gua itu masih dikenali, tapi hendak melihat jelas keadaan disitu terang tidak mungkin.   Ia hendak menyalakan api, tapi angin meniup santar diduga itu, tentu akan tersirap.   Tiba2 ia berpikiran lain, ia mundur kembali dan mendapatkan dua batang kayu, ia nyalakan dulu hingga berupa suatu obor besar, karena besarnya obor, tidaklah mudah sirap tertiup angin, dengan penerangan obor itu, dapatlah dilihatnya didalam gua itu penuh tumbuh macam- macam lumut dan jamur yang beraneka warnanya, malahan batu dinding gua itu macam2 bentuknya sampai jauh gua itu dimasukinya tapi tiada suatu tanda yang mencurigakan.   Sampai akhir ia tertarik oleh suatu tempat yang terdapat segundukan rumput kering yang sudah apak, karena lembabnya gua rumput kering itu sampai tumbuh jamurnya.   Dinding di samping rumput kering itu tiba2 tertampak banyak goresan tulisan yang serupa, yaitu kesana kemari melulu dua huruf saja.   "Jing-kin."   Jun-yan menduga tempat ini tentu dahulu digunakan manusia aneh itu sebagai kediamannya.   Ia coba menggunakan Tun-kau kiam untuk menjingkap rumput kering itu, diluar dugaan tiba-tiba pandangannya menjadi silau oleh sesuatu benda putih didalam rumput itu.   Waktu Jun-yan menegasi, kiranya itu adalah sebuah mutiara sebesar biji lengkeng, malah mutiara itu malah masih terdapat sebagian rantai emas yang sudah putus.   Cepat Jun-yan menjemputnya, tapi segera hatinya tergerak, ia merasa mutiara ini mirip benar dengan mutiara yang dipakai A Siu itu, keduanya sama-sama bersinar hingga bercahaya terang ditempat gelap, tanpa pikir ia masukkan mutiara itu kedalam bajunya lalu meneruskan pemeriksaannya dirumput itu, tapi tiada lagi yang diketemukan.   Yang ada hanya bau apak dari rumput kering yang sudah membusuk itu.   Dalam pada itu obor ditangannya sudah terbakar lebih separoh, kuatir obor itu mati sirap, Jun-yan tak berani tinggal disitu lama, segera ia bermaksud keluar kembali dari gua itu.   Tapi tidak seberapa jauh ia melangkah, sekonyong-konyong ia berhenti lagi, entah mengapa selalu ia rasa ada yang menguntit dibelakangnya, persis seperti dahulu ia dikuntit si orang aneh itu.   Ia pikir, jangan-jangan orang aneh itu telah kembali, ia menjadi girang, cepat ia berpaling dan serunya .   "He, sobat aneh apa..."   Akan tetapi belum lanjut parkataannya atau sesuatu tenaga yang maha besar sudah menyambar kemukanya.   Dalam keadaan tak berjaga-jaga, baiknya Jun-yan sudah makan empedu dari katak berwajah manusia didaerah Biau, Lwekangnya sudah jauh maju, cepat ia pinjam sambetan angin pukulan itu untuk ikut tergontai mundur ke luar.   Sekilas obornya memanjang terang, tetapi sekejap lantas padam oleh angin pukulan tadi.   Walaupun belum jelas apa yang terjadi, dan ilmu silat yang menyerang tinggi sekali.   Tak berani gegabah lagi, segera Tun- kau-kiam diputarnya untuk melindungi tubuhnya.   Siapa tahu, diantaranya sinar pedangnya yang rapat gemilapan itu, tahu-tahu sebuah tangan menerobos masuk mencengkeram dadanya.   Sungguh terkejut Jun-yan tidak kepalang, lekas-lekas ia balikkan pedangnya memotong ke bawah, dari sinarnya pedang yang terang itu sekilas dapat pula dilihatnya sebuah wajah yang aneh dan jelek luar biasa lagi berhadapan dengan dirinya.   Siapa lagi dia kalau bukan manusia aneh yang diduga Jun-yan dan selalu mengintil padanya itu.   Sama sekali tak tersangka oleh Jun-yan bahwa manusia aneh yang begitu menurut dan membela mati2an padanya, kini bisa mendadak menyerangnya malah.   Ia menjadi tertegun sejenak, dalam pada itu tangan si orang aneh sudah membalik pula hendak mencengkeram pundaknya, lihat serangan orang bukan pura2 belaka, Jun-yan terkejut, sukur dia masih sempat mengegos, hanya bajunya tersobek sebagian dan karena itu mutiara yang tersimpan dibajunya terjatuh ke tanah.   Mendengar suara jatuh benda itu tiba2 orang aneh itu merandek, dia menjemput mutiara itu, kesempatan ini telah digunakan Jun-yan untuk melompat mundur sejauh lebih setombak.   Ketika ia pandang orang aneh itu, ternyata mutiara itu lagi diciumnya dengan bibirnya yang sumbing itu.   Tidak lama orang aneh itu mendongak pula sambil mengeluarkan suara uh, uh, tak lampias, lalu kepalanya miring seperti lagi mendengar sesuatu.   Jun-yan tahu tentu orang sedang mendengarkan suara dimana dirinya berada, syukurlah sekarang dirinya sudah setombak lebih jauhnya dari orang aneh itu.   Perlahan2 ia coba menggeser lebih jauh.   Diluar dugaan sedikit dia bergerak, secepat kilat orang aneh itu menubruk maju lagi.   Belum dekat orangnya, angin pukulannya sudah membentur Jun-yan hingga badannya tertumbuk dinding gua, sampai tulang punggungnya terasa sakit sekali.   Lekas2 Jun-yan berdiam, sampai bernapas pun tak berani, kuatir didengar lagi oleh orang aneh itu.   Ia tahu pengliatan orang aneh itu sudah tidak ada, tapi pendengarannya justru tajam luar biasa, sedikit ia bersuara, segera akan diserang pula.   Benar juga untuk sesaat orang aneh itu kelihatan berdiri bingung sambil mendengarkan lagi.   Tapi sampai sekian lamanya, ia tidak mendengar apa2, ia bersuara "Uh, uh"   Lagi seperti tadi sambil menyeringai seram dengan bibirnya yang sumbing itu.   Untuk beberapa saat mereka sama2 berdiri diam, yang satu lagi pasang kuping hendak mencari sasarannya, yang lain menahan napas kuatir diterkam.   Sedang Jun-yan heran mengapa manusia aneh itu bisa berubah sikap terhadap dirinya, tiba2 ia menjadi sadar.   Yah, karena mata orang tak bisa melihat, hanya berdasarkan suara saja, padahal kini dia dalam penyamaran, suaranya juga sudah dibikin serak dengan obat-obatan sedikitnya juga harus belasan hari baru bisa pulih kembali.   Dengan sendirinya orang aneh itu sama sekali tidak tahu lagi berhadapan dengan siapa.   Tapi sebab apakah suaranya begitu menarik perhatian orang aneh itu? Padahal merasa dirinya tak ada sangkut paut apa-apa dengan dia? Segera teringat olehnya orang aneh itu suka menuliskan huruf "Jing-kin".   Apakah itu nama seorang wanita, yang suaranya mirip benar dengan dirinya.   Lalu apa hubungannya "Jing-kin"   Itu dengan si orang aneh? Makin dipikir semakin ruwet.   Selagi bingung harinya, tiba- tiba orang aneh itu melangkah setindak lagi kearahnya.   Sedapat mungkin Jun-yan berdiam diri dengan perasaan tegang, walaupun insaf keadaan begitu tidak bisa didiamkan terus.   Dalam keadaan genting itu, ia menjadi teringat pada tulisan dimulut lembah itu, diam-diam hatinya berdebar-debar, nyata keadaan sekarang bukankah akan terbukti dengan tulisan itu.   Dalam keadaan bingung dan sudah kepepet Jun-yan menjadi nekad, tiba-tiba dilihatnya orang aneh itu sudah melangkah maju dua tindak pula.   Segera ia angkat tangannya pelan-pelan, pedangnya siap untuk ditimpukkan ke arah orang aneh, tapi baru tangannya bergerak sekonyong-konyong orang itu terus menubruk maju.   "cring", tahu-tahu pedangnya terjentik jauh, berbareng suatu tenaga raksasa seakan-akan menindih keatas kepalanya. Sungguh tak kepalang kagetnya Jun-yan.   "Tamatlah riwayatku !"   Keluhnya.   Pada saat yang menentukan itu, sekilas pikirannya tergerak, tiba-tiba ia berteriak "Jing-kin''.   Dan sungguh heran, tahu-tahu tenaga raksasa yang mengurung ke atas kepalanya tadi mendadak lenyap tanpa bekas, sedang tangannya orang aneh itu masih bergaya hendak mencengkeram, tapi berdiri ditempatnya seperti patung, hanya dari tenggorokannya terdengar mengeluarkan "Krok-krok"   Yang menyeramkan dan mengharukan itu.   Walaupun barusan jiwanya hampir melayang dibawah cengkeraman maut orang aneh itu tapi kini Jun-yan berbalik merasa kasihan padanya.   Pendekar Misterius Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Jun-yan tahu kesempatan baik untuk meloloskan diri segera ia mendak kebawah.   terus melompat keluar sejauh lebih setombak, ketika menoleh, terlihat orang aneh itu masih menjubleg terkesima ditempatnya.   Cepatan saja Jun yan melompat lebih jauh sesudah jemput kembali pedangnya lalu dengan jalan mungkur ia keluar dari situ untuk menjaga kalau si orang aneh itu mengubernya lagi, sungguh sama sekali tak diduga bahwa karena teriakan "Jing-kin", lalu jiwanya bisa diselamatkan.   Maka lambat laun ia telah mundur sampai di mulut gua tadi, ia dengar orang aneh itu masih mengeluarkan suara "uh uh"   Yang tak lampias.   Diam2 Jun-yan merasa lega, andaikan sekarang orang aneh itu hendak mengubernya, rasanya ia tidak kuatir lagi.   Akhirnya ia dapat keluar dari gua itu dengan selamat, dan sampailah dilembah kematian tadi, dan baru saja ia hendak melintasi lembah itu, tiba-tiba didengarnya tertawanya dingin orang yang seram, menyusul suara seorang yang kaku terdengar berkumandang.   "Inilah Lembah Kematian, bisa masuk tak bisa keluar!"   Jun-yan terperanjat oleh suara itu, terang itulah suara orang seperti orang membaca huruf2 dimulut lembah sana. Pada saat itu suara "uh uh"   Si orang aneh terdengar mendekat juga, hanya sekejap orangnya tertampak sudah keluar dari gua tadi, dan sesudah tertegun sejenak, sekonyong2 memburu kearah Jun-yan, Tentu saja gadis itu gugup, cepat Tun-kau kiam diputarnya untuk menjaga diri.   Namun justru suara gerakan pedangnya itulah telah memancing si orang aneh menubruk lagi padanya.   Tatkala itu ujung pedangnya Jun-yan tepat lagi ditusukkan, maka tubrukan si orang aneh itu seakan-akan sengaja memapak serangan.   Sama sekali tak diduga Jun-yan bahwa orang aneh itu tidak berusaha berkelit, tapi masih terus menyelonong maju.   Dengan Lwekang Jun yan yang masih belum cukup sempurna, untuk menarik senjata yang sudah ditusukkan ia sebenarnya tidaklah mudah.   Syukurlah dia cukup cerdik, lekas-lekas tangannya menarik ke samping hingga ujung pedangnya sedikit menceng, namun begitu "sret", leher orang aneh itu toh tergores luka, darah segarpun mengucur.   Untuk sejenak orang aneh itu tertegun, cepat Jun-yan melompat kesamping lagi, apabila dilihatnya darah mengucur dari leher orang, diam-diam ia merasa kasihan lagi, walaupun dengan muka orang yang sudah jelek itu, bertambah lagi sebuah luka toh tidak akan mempengaruhi mukanya yang tetap jelek.   Dan selagi orang aneh itu bersuara uh uhan lagi dan bersiap-siap hendak menyerang pula, tiba-tiba dari mulut lembah sana berkumandang suara seorang wanita yang lemah lembut penuh manis madu, suara itu terang suara orang tua, tetapi nadanya yang lemah lembut itu tidak bisa dibandingi oleh gadis remaja maupun yang baru menginjak lautan asmara.   Kata suara itu;   "oh, engko yang baik, apakah kau terluka ? Berdiamlah, jangan bergerak !"   Jun-yan menjadi heran dan terkesiap, pikirnya .   "Ah, kiranya ditempat ini masih ada orang lain lagi!"   Dalam pada itu tiba2 terasa ada angin santar menyambar dari belakang. Lekas2 ia menghindar kesamping, tahu-tahu sesosok bayangan orang telah melayang lewat ke-arah si orang aneh dengan kecepatan luar biasa.   "Ai engko yang baik, kiranya lehermu terluka lagi, marilah biar kubersihkan darahmu !"   Terdengar bayangan orang berkata pula sesudah berhadapan dengan si orang aneh yang masih berdiri menjubleg itu.   Lalu wanita itupun angkat tangannya mengusap perlahan-lahan darah yang masih mengucur dileher orang.   Jun-yan menjadi bingung oleh kelakuan wanita itu.   la pikir dijagat ini tiada rasanya orang bermuka lebih jelek lagi dari pada orang aneh ini, masakan kini ada seorang wanita yang sudi mencintainya? Jika begitu wanita inipun jeleknya tak terkira.   Diluar dugaan, ketika wanita itu berpaling, Jun-yan menjadi terkesima, ternyata wanita itu tidak bermuka jelek bahkan sangat cantik, usianya kira-kira 40an tahun, rambutnya panjang terurai lebih-lebih sepasang tangannya yang putih halus, hanya diantara telapak tangannya bersemu merah, sorot matanya rada aneh, tapi kesemuanya itu tidak mengurangi kecantikannya.   "Kenapa kau melukai dia ?"   Mendadak wanita itu membentak. Habis itu ia lantas berpaling kepada orang aneh itu dan berkata.   "Engkoh yang baik, jangan kuatir, biarkan aku yang membalas hajar dia!'' Ternyata suara waktu menanya Jun-yan yang bernada kaku dingin itu sama sekali berbeda dengan ketika berkata pada orang aneh itu dengan lemah lembut. Sungguh heran Jun-yan.   "eh, jadi kau kenal dia? Siapakah kau?"   Tanyanya segera. Wanita itu melototnya sekejap, jawabnya kemudian dengan dingin.   "Hm, seorang bocah perempuan macam kau, rasanya kaupun tak kenal siapa aku. Pernahkah kau mendengar, julukan Li-giam-ong? Kenapa kau melukai engkohku ini?"   "Ah, kiranya adalah Li-giam-ong To Hiat-koh Cianpwe,"   Ujar Jun-yan.   "Tidak, aku tak bermaksud mencelakai oleh pedangku. Eh, jika kau kenal dia kenapa kau tidak mendatangi Jing-ling-cu Totiang yang sedang mengumpulkan para kawan untuk mengetahui asal-usul dari Cian-pwe yang aneh ini?"   Kiranya wanita ini memang benar Li-giam-ong To Hiat-koh yang tadi telah bikin geger di atas Ciok-yong-hong itu. Maka katanya pula .   "Tidak perlu aku gubris urusan orang lain. Aku hanya ingin tanya padamu, kenapa kau berani gegabah masuk kelembah ini, apakah kau tidak melihat huruf yang terukir dimulut lembah sana?"   "Melihat,"   Sahut Jun-yan.   "Nah inilah lembah kematian, bisa masuk tak bisa keluar,"   Kata To Hiat-koh.   "Omong kosong! Siapa yang menetapkan aturan itu?"   Sahut Jun-yan ketus.   "Aku !"   Sahut To Hiat-koh.   "Apakah peraturan itu berlaku untuk semua orang?"   "Ya !"   "Hahaha,"   Tiba-tiba Jun-yan bergelak tertawa.   "Nyata peraturanmu itu omong kosong belaka. Apakah dengan begitu, kau dan sobat aneh itupun takkan keluar juga dari sini?"   "Hm, kau memang pintar bicara,"   Kata To Hiat-koh.   "Baik, aku dapat membiarkan kau dari sini dengan hidup."   Sama sekali Jun-yan tak menyangka urusan bisa begitu gampang diselesaikan, kalau mengingat telapak tangan orang yang terkenal jahat luar biasa, ia pikir jalan paling selamat lekas saja angkat kaki, hanya katanya segera .   "Jika begitu, maaflah dan selamat tinggal !"   Cepat Jun-yan hendak melompat pergi, tapi baru saja badannya hendak bergerak, tahu-tahu sesosok bayangan sudah menghadang dihadapannya.   Siapa lagi dia kalau bukan To Hiat koh ? "Kenapa kata-katamu seperti kentut saja, barusan omong, sudah dijilat kembali ?"   Damprat Jun-yan.   "Hm, kenapa kau tidak mendengarkan lebih jelas, kata- kataku tadi masih belum habis."   Sahut To Hiat-koh.   "Aku sudah berjanji pada engkohku yang baik itu, karena kau melukai lehernya, maka akupun hendak menggores lehermu dengan luka seperti dia."   "Cis, apakah aku patung, bisa kau perlakukan sesukamu ?"   Sahut Jun-yan.   Habis ini, kembali badannya melesat hendak tinggal pergi.   Namun To Hiat-koh tidak mudah melepaskannya begitu saja.   Sekali tangannya menjambret hampir-hampir Jun-yan kena cengkeram.   Beruntung baju penyamarannya itu longgar besar, maka hanya sobek sebagian dipundaknya.   Karena itu Jun-yan tak sanggup berdiri tegak lagi, ia terhuyung-huyung menyelonong kedepan.   Dalam pada itu, cengkeraman maut To Hiat-koh yang kedua sudah menyusul.   Rupanya, serangan pertama tidak kena sasaran, wanita iblis ini menjadi murka hingga rambutnya yang panjang itu seakan-akan menegak dan tampaknya sangat beringas.   Dalam keadaan badan kehilangan imbangan, dari belakang cengkeraman itu menyusul pula, terpaksa Jun-yan terus gulingkan diri ke samping, waktu dia angkat kepalanya, sekilas dapat dilihatnya To Hiat-koh sudah memburunya lagi dengan tangan terbuka hendak mencengkeram.   Alangkah terkejutnya Jun-yan menghadapi saat berbahaya itu.   Dalam keadaan hilang akal tanpa pikir Tun-kau-kiam ditangannya terus disambitkannya kearah musuh.   Waktu To Hiat-koh lagi menubruk maju dengan bengisnya ketika mendadak dilihatnya sinar tajam menyambar untuk menghindar terang tak sempat lagi.   Tapi se-konyong2 rambutnya terus menjulur kedepan terus melibat pedang.   Walaupun kemudian ternyata rambutnya terkupas putus, tapi pedang itupun dapat ditariknya kesamping hingga melulu menyerempet bajunya tanpa melukai.   Habis itu kembali dengan sinar mata bengis, To Hiat-koh melototi Jun-yan sambil melangkah maju pula.   Kuatir dan bingung Jun-yan melihat sinar mata orang se- akan2 berapi itu.   Dalam keadaan takut, tiba2 tangannya menyentuh pecut berujung mulut bebek yang melibat dipinggangnya.   Tanpa pikir lagi terus dikeluarkannya dengan cepat, ia menunggu ketika To Hiat-koh sudah mendekat, sekonyong2 "tarrr", pecutnya menyabet sekuatnya.   Tetapi To Hiat-koh bukan jago rendahan, serangan pecut hanya dipandang sebelah mata olehnya.   Hanya sekali lengan bajunya mengayun, tahu-tahu pecut itu sudah terlibat, menyusul sekali membetot, terpaksa Jun-yan melepaskan senjatanya itu.   Karena modal terakhir ikut ludes, Jun-yan pikir ajalnya sudah sampai, ia tinggal pejamkan mata menyerah pada nasib.   Tapi meski ia sudah menunggu sejenak, tangan musuh yang mematikan belum juga kunjung datang.   Waktu membuka matanya, ia melihat To Hiat-koh lagi tertegun sambil memegangi pedang dan pecut rampasannya dengan wajah rada sangsi.   "Dari aliran mana kau? Siapa gurumu ?"   Tanya To Hiat-koh tiba-tiba. Hati Jun-yan tergerak, kenapa orang mendadak tidak jadi mencelakainya, dan kini menanyai tentang asal-usulnya. lapun tidak berani berolok-olok lagi terus menjawab.   "Guruku adalah Jiau Pek-king berjuluk Thong-thian-sin-mo!"   "Seharusnya kau mengetahui bahwa muridnya bukan seorang yang mudah dihina segala orang!"   Dan karena jawabannya itu, seketika Jun-yan terkejut sendiri.   Aneh, sebab sekarang suaranya sudah pulih keasalnya sebagai seorang gadis.   Nyata obat serak yang sudah pernah diminumnya sudah hilang kasiatnya, karena mengeluarkan tenaga untuk bertempur tadi.   Sebaliknya ketika mendadak To Hiat-koh mendengar seorang laki-laki berewok bersuara wanita, iapun tercengang, tapi yang membuatnya terkejut ialah suaranya Jun-yan itu mirip benar dengan suaranya orang yang selama ini dibencinya.   "Kau......kau sebenarnya siapa ?"   Tanya To Hiat-koh kemudian tak lancar.   "Apa kau she Siang ?"   "Kenapa aku mesti she Siang?"   Sahut Jun-yan.   Mendadak To Hiat-koh bergelak tertawa sambil mendongak, begitu keras suaranya hingga lembah gunung itu seakan-akan terguncang, didalam sunyi kedengarannya menjadi lebih seram.   Habis itu setindak demi setindak ia mendekati Jun-yan lagi.    Merdeka Atau Mati Karya Kho Ping Hoo Rahasia Si Badju Perak Karya GKH Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH

Cari Blog Ini