Pedang Darah Bunga Iblis 5
Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH Bagian 5
Pedang Darah Bunga Iblis Karya dari G K H Setelah merandek sejenak lantas disambungnya lagi. "Be-lum lama ini dikalangan Kangouw tersiar kabar yang menga-takan bahwa Pedang darah itu berada ditangan Mo- san-ji-kui. Pada waktu itu Lohu merasa heran, bahwa Tang- mo termasuk salah satu tokoh dari Bu-lim-su-ih (empat gembong aneh dari Bu-lim), kepandaiannya berimbang dengar Lam-sia Pak-tok dan Se-kui, barang yang sudah mereka dapatkan, mana mungkin bisa terjatuh ditangan orang lain lagi. Selain itu dengan kemampuan Mo-san-ji-kui, mana mungkin dapat merebut Hiat-kiam itu dari tangan Tang- mo?." Lahirnya Suma Bing berlaku tenang, namun sanubarinya bergejolak susah tertahan. "Bagaimana selanjutnya?" Tanya Siang Siau-hun ingin tahu benar. "Gembong2 silat dari aliran hitam dan putih pada melurus kesarang Mo-san-ji-kui digua Kim pitong, disana mereka menemukan jenazah kedua setan itu sudah menggeletak di luar gua, maka banyaklah mulut2 usil yang mengatakan bahwa Hiat-kiam itu sudah direbut pula oleh orang lain lagi." Simaling bintang menghela napas panjang lalu melanjutkan ceritanya. "Secara sangat kebetulan, seorang tua yang berseragam hitam tengah membawa sebuah buntalan kain minyak sepanjang satu kaki, maka timbullah serakah dan ketamakan orang ceroboh dan gegabah itu, dan terjadilah pengerojokan, siorang tua itu akhirnya dapat lolos dari kepungan dengan membawa luka2 berat, karena lukanya terlalu berat ditengah jalan ia roboh dan kebetulan ber-temu dengan kalian kakak beradik lantas ia menitipkan buntalan kain itu supaya disampaikan kepada ketua kelenteng Yoktong- bio di Seng-toh." Siang Siau-hun manggut2 tak hentinya. "Kiranya lo-cianpwe sangat jelas akan duduk perkara peristiwa itu?" "Orang yang meracun adikmu dan merebut buntalan kain itu menamakan dirinya sebagai Tok-tiong ci-tok (Racun di racun)." "Racun didalam racun?" "Betul, sebelum ini belum pernah terdengar adanya se-orang tokoh macam ini didunia persilatan. Tapi racun tan- pa bayangan yang dia gunakan itu boleh terhitung sebagai racun diracun." "Apakah buntalan kain itu benar2 berisi Hiat-kiam?" "Bukan, hanya sebatang jinsom yang berusia ribuan tahun." "Benar," Sahut Siang Siau-hun tersedar. "Wanpwe pernah menjelidiki ke Yok-ong-bio di Seng-toh, ketua biara itu kebetulan meninggal belum lama ini, mungkin jinsom itu adalah obat yang untuk mengobati penyakitnya. sungguh tak terduga terjadilah peristiwa diluar dugaan ini." Sebaliknya Suma Bing tak habis mengarti, tanyanya "Apakah racun diracun dapat mengetahui bahwa apa yang dia rebut itu bukan Hiat-kiam? Atau mungkin tujuannya adalah memang Jinsom ribuan tahun itu?" Mata simaling bintang Si Ban-cwan menatap tajam ke arah Suma Bing, katanya. "Setelah mendapatkan buntalan kain itu, segera Racun diracun membuka buntalan itu, melihat hanya berisi sebatang Jinsom, dengan dongkol ia buang diatas tanah, entah karena pikirannya tergerak akhirnya ia kembali dan menjemputnya lagi. Dari kejadian in dapatlah disimpulkan bahwa Racun diracun memang khusus mengincar Hiat-kiam itu?" "Lalu bagaimana dengan peristiwa pedang berdarah palsu buatan Bwe-hwa-hwe itu?" "Kejadian itu membuat orang susah mengarti, Lohu sendiripun belum jelas, mungkin Bwe-hwa-hwe mempunyai suatu muslihat." "Tuan pernah muncul memberi peringatan, untuk apa pula itu?" "Kali ini Lohu salah melihat, aku tidak tahu bahwa Hiat kiam itu palsu, tujuanku mem-peringati mereka adalah ka-rena aku kuatir "Racun diracun" Akan menjebarkan maut-nya untuk merebut pedang darah itu. Bukankah semua orang yang hadir akan mati konjol?" Akhirnya sebagian pertanyaan dalam benak Suma Bing sudlah terjawab, tapi urusan agaknya semakin ruwet, de-ngan munculnya tokoh baru seperti "Racun diracun". Siapa dan dari aliran manakah Racun diracun itu? Bwe-hwa-hwe menggunakan Hiat-kiam palsu untuk menimbulkan perebu-tan, tanpa sengajakah atau memang sudah dalam rencana mereka? Kalau memang sudah diatur demikian, apakah tujuannya? Lantas Hiat-kiam tulen masihkah berada ditangan Tang-mo? Mo-san-ji kui mati konyol disarangnya sendiri apakah berita itu benar bahwa kematiannya itu karena Hiat-kiam itu juga? Dia menggelengkan kepalanya dengan ham-pa. Justru yang paling diperhatikan oleh Siang Siau-hun ada-lah racun Pek-jit-kui yang mengeram dalam tubuh Suma Bing itu, dengan sinar pandang yang penuh harapan ia me-natap kearah To-sing-tau-gwat Si Ban-cwan dan berkata. "Lo- cianpwe, dapatkah Tiang-un Suseng mengobati racun yang mengeram dalam tubuhnya itu?" Si maling bintang melirik dan menyahut. "Aku orang tua tidak dapat memberi pertanggungan jawab, namun itulah jalan satu2nya yang harus kalian tempuh." "Jejak kau orang tua sudah kelana sampai dimana2. sukalah kau memberi petunjuk dimanakah kiranya kita da-pat menemukan Tiang-un Suseng?" "Apa, jejakku tersebar diseluruh Kangouw. Budak kecil jadi kau mau maksudkan bahwa aku orang tua sudah mencuri diseluruh jagad ini?" "Bukan begitu maksud Wanpwe." "Konon bahwa Tang-un Suseng Poh Jiang sudah me-ninggal dunia, namun waktu kuburannya dibongkar orang kiranya kosong." Dalam ber-kata2 Itu sengaja atau tidak matanya melirik kearah Suma Bing. Berdetak keras jantung Suma Bing. Siang Siau-hun berkerut alis, katanya. "Kalau begitu berarti bahwa Tiang-un Suseng sengaja menghindarkan diri dari dunia ramai, untuk mencarinya mungkin sangat sukar" "Semua kejadian dalam dunia tergantung pada djodoh, ucapanmu itu belum tentu." "Tangbun Yu bocah berbisa itu benar2 jahat, karena sedikit salah paham saja dia lantas turunkan tangan keji meracuni orang?" "Kau hanya tahu satu tak tahu kedua- Ketahuilah bahwa Lam-sia dan Pak-tok selamanya tidak akur bertentangan se-perti api dan air, begitu ada kesempatan bertemu tentu ti-daklah sia2 digunakan. Apalagi temanmu sebelumnya ini su-dah melukainya" "Kalau Pak-tok sudah merajai dalam dunia racun, siapa yang berani bermusuhan padanya." "Dia sejajar sebagai salah satu gembong aneh yang tinggi kepandaiannya, tanpa mengingat gengsi sendiri lantas turun tangan menggunakan racun, apalagi selama hidup situa bangka berbisa itu paling membanggakan kepintaran-nya itu." "Lo-cianpwe sudah sekian lama mengumpet diatas belandar itu bukan? Tentu kau orang tua juga takut akan racun, jadi sampai sekarang baru muncul?" Wajah tua simaling bintang merah jengah. katanya. "Budak kecil runcing benar mulutmu. Akan tetapi bukan aku orang tua takut akan bisa itu, ada sebab lain maka aku tidak mau berurusan dengan bangsat tua beracun itu." Segera Suma Bing mengalihkan pembicaraan. "Bagai-manakah rupa atau bentuk orang yang mengaku sebagai Racun didalam racun itu?" "Seorang aneh bertubuh tinggi lencir kurus kering seluruh tubuh kulitnya berwarna hitam gelap." Suma Bing manggut2 dan mengingat keterangan itu. Kata Siang Siau-hun penuh kasih mesra. "Bing-ko sudah saatnya kita berangkat." "Benar kita harus segera berangkat." "Nanti dulu." Mendadak maling bintang perampok bulan Si Ban-cwan pentang tangannya. "Tuan masih ada ucapan apa lagi?" Tanya Suma Bing sambil mengerutkan alis. "Apa kepergian kalian ini benar2 hendak mencari Tiang-un Suseng?" "Sudah tentu," Selak Siang Siau-hun. "Itulah baik, jikalau kalian lebih dulu dapat menemukan dia." Suma Bing menjadi heran dan bertanya. "Jadi kau juga tengah mencari Tiang-un Suseng." "Ja, tapi aku mendapat pesan orang lain, kalian tak perlu banyak tanya, jikalau kalian menemukan dia katakan saja bahwa Lohupun ingin segera menemuinya." "Itu boleh, adik Hun, mari berangkat," Habis berkata segera ia mendahului angkat langkah keluar dari biara bobrok itu. Sebelum pergi Siang Siau-hun membungkuk memberi hormat kepada Si Ban-cwan serta berkata. "Se-lamat bertemu". ~ terus mengintil dibelakang Suma Bing meninggalkan tempat itu. Sampai diluar segera Suma Bing menghentikan langkah, dan katanya. "Adik Hun, dunia sedemikian besar, Tiang-un Susengpun sengaja menghindarkan diri dari keramaian, mencari jejaknya berarti mencari jarum didalam laut." "Ja, memang. Tapi hanya itulah harapan satu2-nya, janganlah kita buang kesempatan ini." "Aku mempunyai sebuah cara." "Cara apa?" "Kita berpisah mencarinya, begitu lebih gampang dan praktis." Berobah air muka Siang Siau-hun. katanya."Bing-ko kau hendak meninggalkan aku?" "Adik Hun dengarkan penjelasanku; kita membatasi waktu tiga bulan, tiga bulan kemudian kita bertemu lagi dikelenteng bobrok ini. Sebelum bertemu tidak berpisah." "Kalau. kalau." "Bagaimana?" "Kalau kau tidak datang?" Pedih rasa hati Suma Bing seperti di-iris2, sebuah ucapan yang sederhana mengandung betapa besar rasa cinta kasih, pengharapan dan ketulusan hati. Apa benar dia tidak akan datang? Mengapa dia harus datang? Obat pemunah itu merupakan angan2 hampa yang tidak mungkin terlaksana, tiga bulan kemudian, hidup jiwanya akan sampai pada titik terachir. tapi sekuatnya ia menguatkan hati dan unjuk senjum dibuat2, katanya. "Adik Hun, percayalah, aku pasti datang." Kedua mata Siang Siau-hun merah tergenang air mata, dengan suara yang memilukan hati ia berkata. "Bing-ko, aku percaya kepadamu. Tapi ingatlah ucapanku ini, kini jiwaku merupakan sebagian dari jiwamu sudah kupasrah-kan jiwaku kepada kau, itu berarti persamaan jiwa hanya sama akibatnya, tak mungkin ada dua akibat, tak peduli akibat itu baik atau buruk". Tergetar sanubari Suma Bing, walaupun dia tidak rela si nona belia ini menjadi pengiringnya masuk dalam liang kubur, tapi, apakah hanya dengan kata2 halus lantas dapat merobah tekadnya yang besar itu? Hatinya mendelu dia goyang2 kepala dengan hampa, sahutnya. "Aku tahu!" Setelah berpandangan sekian lamanya, mereka berpisah tanpa kata2, tanpa kata2 perpisahan sebagaimana lazimnya, tanpa ucapan selamat tinggal! Cinta pertama adalah perjalanan hidup manusia yang termahal, akan tetapi cinta pertama mereka ini adalah pa-hit getir. Suma Bing berusaha untuk menghilangkan ba-yangan kekasihnya ini dari sanubarinya untuk sementara, dia harus mengatur serapi mungkin akan acara yang harus di-lakukan selanjutnya. Pertama menuju ke Ceng seng-san mencari Leng Hun-seng Ciangbun dari Ceng-seng-pay. Dari mana menuju ke Siau-lim mencari Goan Hi Hwesio lalu memutar balik ke gunung Lo-san menemukan Lo-san siang-kiam. Terachir baru sekuat tenaga berdaja mencari jejak Tang-mo, dan mengejar para pembunuh ayah-bundanya sembari berusaha mencari Tiang-un Suseng. Tentang Hiat-kiam Mo-hoa dan mencuci nama perguruan mungkin tinggal suatu harapan hampa yang usah dicapai. Setelah mengambil ketetapan hati bangkitlah semangatnya dibuangnya hal2 menakutkan dibenaknya, demi mencapai cita2nya dan untuk memperpendek waktu dia akan berlaku kejam telengas tak mengenal apa yang dinamakan kasihan atau welas-asih. Dua hari kemudian jejaknya sudah berada di Sam-ceng- koan diatas Ceng-seng.san. Begitu ia sampai diluar pintu bangunan agung yang angker itu tanpa merasa kakinya merandek dan was2, pikirnya; apa mungkin sekali lagi aku menubruk tempat kosong? Pintu besar gedung megah itu tertutup rapat tanpa bayangan seorang jua. Sudah beberapa kali ia bersuara tanpa ada penyahutan. Setelah dipikir2 mendadak ia layangkan sebuah tangannya membelah kearah pintu besar itu, angin badai segera memberondong mener- jang kedepan terdengarlah suara gedubrakan yang nyaring, pecahan kaju beterbangan, pintu besar yang kokoh kuat itu sudah ambruk berkeping2 dan pecah berserakan diatas tanah. Betapapun seorang yang tuli juga akan mendengar suara gedubrakan yang nyaring ini. Sungguh aneh dan menghe-rankan sedikitpun tidak tampak adanya reaksi apa2. **************** Pengalaman apa lagi yang akan Suma Bing alami diatas gunung Ceng-song-san ini? Tokoh jahat kejam apakah Racun diracun yang segera akan berhadapan dengan Ketua Bwe-hwa-hwe yang serba misterius itn? Bwe-hwa-hwe menggunakan Pedang darah palsu menimbulkan keributan, ada latar-belakang apa dibalik muslihat ini? -oo0dw0o- Jilid 3 9. TOK TIONG-TJI-TOK = RACUN DIRACUN. Lantas terasalah akan adanya hal2 yang mencurigakan Suma Bing, alisnya berkerut semakin dalam, sejenak ia ragu2 dilain saat tiba2 tubuhnya berkelebat cepat melesat kedalam biara besar yang angker itu. Mendadak dilihatnja di sebelah sana dua laki2 yang mengenakan pakaian ketat warna biru, tengah mengertak gigi dan mendelik sambil melintangkan pedang didepan dada sikapnya mengancam, tanpa terasa ia tertawa dingin dan mengejek. "Kukira seluruh penghuni biara ini sudah modar semua, kiranya" Hanya separo kata2nya dilihatnya keadaan kedua laki2 seragam biru itu sangat aneh, maka cepat2 ia telan ucapan selanjutnya, dan melangkah maju dua tindak, berdirilah bulu kuduknya. Kiranya apa yang dihadapi itu adalah mayat yang sudah dingin kaku, dari keadaan kematiannya ini jelas menunjukkan mereka tertutuk jalan darah mematikan oleh seorang tokoh silat lihay luar biasa, maka setelah mati matanya tidak tertutup jenazahnyapun tidak roboh. Dilihat suasana ini naga2nya pihak Ceng seng pay telah tertimpa bencana besar, waktu ia angkat kepala memandang sekitarnya, bukan olah2 lagi kejutnya, disana ditengah pelataran bergelimpangan beberapa sosok mayat. Siapa yang telah turun tangan sekejam ini? Melewati pelataran besar Suma Bing melangkah terus kedalam, sepanjang dimana ia lewat dilihatnya mayat bergelimpangan bau anyir darah merangsang hidung betapa seram dan mengenaskan keadaan kematian orang2 itu sungguh menggiriskan. Sampai yang paling belakang berdiri bulu kuduk Suma Bing, terdengar ia berkata seorang diri. "Semua mati, semua penghuni biara sebesar ini tiada satupun yang masih ketinggalan hidup," Betapa besar rasa benci dan dendam hatinya meluruk datang untuk menuntut balas, serta melihat banjir darah di Sam ceng koan ini, sungguh mimpipun tak terduga olehnya, sedapat mungkin ia menenangkan gejolak hatinya, pikirannya melayang kejadian yang telah dialaminya terdahulu, setelah tugas pertama memenggal kepala Ci Khong membawa hasil yang memuaskan lantas ber-turut2 ia menemui kegagalan yang menjengkelkan, entahlah itu hanya secara kebetulan ataukah memang telah diatur oleh pihak musuh, atau mungkin juga ada peristiwa lain telah terjadi tanpa setahu dirinya. Dalam berpikir itu tanpa terasa tubuhnya sudah basah kuyup oleh keringatnya sendiri, perobahan kejadian yang dialaminya ini benar2 diluar dugaannya dan lagi juga seram menakutkan. Kalau dianalisa secara teliti se-olah2 merupakan serangkaian kejadian yang berhubungan satu sama lain. Tapi hakikatnya tak bisa dicampur adukkan dalam satu persoalan. Untuk selanjutnya entahlah beberapa musuh lain yang akan dicarinya itu bakal terjadi perobahan mengenaskan apa lagi? Pandangan matanya penuh kecewa menyapu keempat penjuru, tidak tahu dia apakah Ciangbungjin Ceng seng pay Leng Hun seng juga berada diantara mayat2 itu, karena bukan saja belum kenal juga dia belum pernah ketemu, lama dan lama sekali sorot matanya berhenti diatas sesosok mayat yang rebah diserambi sebelah sana. Dari pakaian yang dipakainya, usia dan wajahnya dapatlah diperkirakan mungkin dia itulah Leng Hun seng adanya. Tapi dia sudah mati, apa aku harus menghancurkan jenazahnya? Sudah tentu tidak! Tekad bulatnya yang besar untuk menuntut balas dendam perguruannya lama kelamaan semakin goyah, serangkaian kejadian yang nyata menunjukkan bahwa dibelakang semua peristiwa ini terkandung suatu unsur bahaya yang susah dibayangkan. Tengah pikirannya tenggelam dalam keadaan sadar tak sadar itulah, mendadak terdengar seruan dingin yang gemetar menarik kembali kesadarannya. "Suma Bing. perbuatanmu ini benar2 sangat kejam." Ter-sipu2 Suma Bing membalikkan badan, tampak dibawah teras sana berdiri tegak dan garangnya si orang berkedok yang belum lama ini berpisah dengan dirinya. Si orang berkedok bisa muncul disini benar2 diluar tahunya. "Saudara kecil, kiranya kau inilah murid Sia sin Suma Bing yang menggemparkan kalangan kangouw itu?" "Benar, itu tidak akan kusangkal." "Lantas kedatanganmu ini hendak menuntut balas?" Tercekat hati Suma Bing tanyanya. "Tidak salah, darimana Bong bian heng mendapat tahu?" Agaknya si orang berkedok menahan gelora hatinya, sahutnya gemetar penuh haru. "Apa masih ingat aku pernah berkata bahwa aku berhubungan sangat erat dan kental dengan Tiang un Suseng Poh Jiang. Maka kejadian permusuhan antara gurumu dengan Bu lim sip yu dulu sedikit banyak aku mengetahui, peristiwa itu merupakan, salah paham" "Salah paham? Hm," Jengek Suma Bing. Dimarkas besar Ngo ouw pang ia mendengar dari mulut Coh hujin akan perkataan 'Salah paham' itu. Sekarang si orang berkedok yang misterius ini juga mengatakan 'salah paham'. Apa mungkin. Baru saja pikirannya me-layang2, se-konyong2 si orang berkedok berteriak dengan bengis. Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Saudara kecil, perbuatanmu ini sungguh tak terampunkan oleh Yang maha kuasa." Alis Suma Bing menjengkit tinggi, tanyanya. "Bong bian heng, perbuatan apa?" "Apa karena kesalahan seseorang lantas kau membanjirkan darah diseluruh biara?" "Apa kau tahu pasti bahwa aku yang turun tangan?" "Apa bukan kau?" Desis si orang berkedok kaget. Suma Bing manggut2 dengan geram, katanya. "Aku datang terlambat, tak dapat kuturunkan tanganku sendiri untuk membalas sakit hati suhu, sungguh sayang dan harus disesalkan." "Kalau begitu, saudara kecil benar bukan kau?" "Aku ingin akulah yang berbuat, bermula memang begitulah maksud kedatanganku. Bila Leng Hun seng tidak mau unjukkan diri, aku tak akan mengenal kasihan. Sayang aku terlambat." Sorot mata si orang berkedok menunjukkan kejut, heran dan gusar tercampur aduk, dengan nanar ia awasi mimik wajah Suma Bing, akhirnya berobah gelap dan luyu, katanya seperti menggumam. "Siapakah yang telah berbuat sekejam ini?" Memang atas munculnya si orang berkedok Suma Bing sudah merasa heran dan curiga, segera mulutnya menyeletuk. "Bong bian heng bagaimana kaupun bisa tiba disini?". "Mencari jejak Tiang un Suseng!" "Kaupun mencari jejak Tiang un Suseng?" "Ya, begitu aku dengar bahwa kuburan Tiang un Suseng ternyata kosong, lantas aku mulai mencari dan menyelidiki jejaknya. Sebab kita adalah sahabat kental tidak bisa tidak aku harus ikut mencari dan turut berkuatir akan keselamatannya. Tuan rumah biara besar ini adalah salah satu dari Bu lim sip yu, maka tempat inipun menjadi salah satu alamat yang harus kuselidiki juga." Demikian si orang berkedok menjelaskan, tiba2 ia balik bertanya. "Saudara kecil, apakah kuburannya itu adalah kau yang membongkar?" "Bukan." "Bukan, lalu siapa?" "Seorang wanita misterius." "Aneh, menurut apa yang aku tahu, belum pernah Tiang un Suseng bermusuhan dengan seorang wanitapun, wanita macam apakah itu?" "Seorang wanita berambut panjang berseragam hitam". Sejenak si orang berkedok menunduk sambil merenung, lalu menggeleng2, naga2-nya tak teringat olehnya siapakah wanita misterius seperti yang dikatakan Suma Bing itu. Tiba2 ia mengalihkan bahan bicara, tanyanya. "Saudara kecil, jadi kau benar2 adalah murid Lam sia." "Kau tidak percaya?" "Bukan tidak percaya, hanya gurumu itu..." "Dia belum mati" "Dia belum mati?" Suara si orang berkedok gemetar. "Betul, karena dibokong dia orang tua kehilangan sebuah matanya dan kedua kakinya. Justru sangat ajaib akhirnya dia tidak mati, sampai..." "Bagaimana?" "Belum lama berselang baru dia meninggal karena racun dalam tubuhnya kumat." "O, saudara kecil, maukah kau dengar cerita tentang peristiwa sebab permusuhan itu?" "Baik, coba kau ceritakan". "Konon tiga diantara Bu lim sip yu yang tenar menggetarkan kalangan Kangouw itu telah terbunuh ditangan Sia sin Kho Jiang tanpa dosa. Dalam gusarnya tujuh kawan lainnya segera meluruk mencari Lam sia dan minta pertanggungan jawabnya. Lam sia sudah malang melintang didunia persilatan, sudah tentu tujuh kawan itu insaf bahwa merekapun tak bakal ungkulan menghadapinya. Sebaliknya bagaimanapun juga mereka harus membalaskan kematian tiga sahabatnya yang konyol itu. Siapa tahu begitu turun tangan baru mereka tahu bahwa urusan itu ada latar belakang diluar sepengetahuan mereka" "Bagaimana duduknya perkara?" "Naga2nya Lwekang Lam sia tidak seperti yang mereka duga sebelumnya, maka walaupun akhirnya lima dari tujuh kawan itu terluka berat, toh mereka terhitung mendapat hasil yang memuaskan. Setelah kejadian itu, Tiang un Suseng menganalisa sebelum dan sesudah kejadian itu, baru akhirnya dia insaf bahwa mereka telah terjebak dalam suatu tipu muslihat seseorang yang keji yang telah direncanakan sebelumnya" "Tipu muslihat apakah itu?" "Pertama; bahwa Lam sia membunuh Tam yu (tiga kawan; hanyalah berita angin, tiada seorangpun yang melihat sendiri. Kedua; dalam pertempuran itu sebelumnya Sia sin Kho Jiang sudah keracunan, ketiga; Suhengmu Loh Cu gi itu ganda menonton sambil menggendong tangan, hal ini diluar batas tata krama" "Lalu kenapa sebelum turun tangan Tiang un Suseng tidak mau memberi penjelasan tentang maksud kedatangannya itu?" "Gurumu beradat aneh dan tinggi hati begitu melihat orang luar menginjak batas daerahnya yang terlarang tanpa banyak mulut lantas menyerang lebih dulu, tujuh kawan itu tiada kesempatan untuk buka mulut. Apalagi begitu dia turun tangan, tambah besarlah kenyataan kabar berita itu, maka lahirlah akibat yang begituan." "Benar, agaknja inilah suatu salah paham, pangkal dari semua kejadian ini atau dikatakan juga sebagai durjana si perencana bencana ini pasti adalah Loh Cu gi itu, tapi tujuh kawan itupun tidak mungkin terhindar dari bencana akibat perbuatan mereka." Si orang berkedok tertawa melengking menyedihkan, serunya. "Memang selain Tiang un Suseng yang sampai sekarang belum diketahui jejaknya yang lain semua sudah mati terbunuh oleh orang" Sungguh kaget Suma Bing susah dilukiskan, serunya geram. "Apa, tujuh kawan itu sudah mati terbunuh orang?" "Betul, Lo san siang kiam menggeletak ditengah perjalanan Siang im. Goan Hi Hwesio dari Siau lim tulangnya terpendam diluar kota Kay hong" Suma Bing terhuyung mundur tiga tindak, hampir ia tidak percaya bahwa dendam kesumat gurunya tak perlu dibalas lagi. Karena semua musuh2nya telah mati secara aneh dan menghilang secara misterius. Saking haru dan bersedih tubuh si orang berkedok gemetar keras, lalu katanya lagi. "Bermula kukira semua itu adalah perbuatanmu, baru sekarang aku tahu kiranya masih ada orang lain yang berbuat sekeji itu, siapakah kiranya orang itu, susah diduga." Mendadak sebuah lengking tertawa dingin bergema dalam biara itu, suara itu bagai bunyi burung kokok-beluk diwaktu malam, ditambah ditengah pegunungan yang sunyi dan dalam biara besar yang sekitarnya bergelimpangan mayat2 manusia, keadaan ini benar2 sangat seram dan mendirikan bulu roma manusia. Keruan bergidik dan merinding seluruh tubuh Suma Bing dan si orang berkedok, berbareng mereka menoleh, terlihat terpaut jarak tiga tombak didepan sana berdiri seorang yang mengenakan jubah panjang warna ungu, wajahnya dingin membeku, sekali pandang dapatlah diketahui bahwa orang berpakaian ungu ini mengenakan topeng. Sorot tajam dan dingin mata Suma Bing menatap kearah orang berjubah ungu itu, sapanya tidak kalah dinginnya. "Orang kosen darimanakah tuan ini?" Tidak menjawab si jubah ungu malah balas bertanya. "Kau inilah murid Sia sin Kho Jiang yang bernama Suma Bing itu?" "Untuk apa kau menanyakan aku?" "Hehehehe" Si jubah ungu perdengarkan tertawa dingin yang panjang, diselingi suara tawanya itu air muka si jubah ungu yang membeku bagai mayat itu benar2 membuat takut dan ngeri orang yang melihatnya. Suma Bing mendengus hina, katanya. "Tuan apa ada yang menggelikan?" "Tidak ada, sungguh sangat kebetulan, dicari susah2 tidak ketemu, tanpa dicari ketemu sendiri." Melonjak hati Suma Bing, kiranya si jubah ungu ini tengah mencari dirinya. Dia belum lama kelana didunia persilatan, belum pernah bermusuhan secara langsung dengan orang, delapan bagian tentu perhitungan lama gurunya itu, maka sambil mengerut alis ia bertanya. "Jadi tuan hendak mencari aku?" "Betul, untuk mengambil jiwamu." Sejenak Suma Bing tertegun lantas tertawa gelak2, serunya. "Mulut tuan ini sungguh sangat temberang, apa kau mampu berbuat begitu?" "Segampang membalikkan tangan!" Sahut si jubah ungu tegas. "Untuk apa kau bunuh aku?" "Karena kau adalah murid Lam sia, ini sudah cukup jelas bukan?" Diam2 Suma Bing membatin, tepat dugaannya kiranya malah salah seorang musuh gurunya. Nada ucapannya itu juga persis seperti kata Pek hoat sian nio, maka sahutnya sambil menyeringai. "Sedikitnya tuan mempunyai sebuah nama bukan?" "Ada, tapi kau tiada harganya bertanya, dijalan menuju keneraka 'sesat tua' itu dapat memberitahu kepadamu." Seketika membaralah hawa amarah Suma Bing, nafsu membunuh sontak merangsang hatinya, keras2 ia mendengus lalu serunya. "Baik, biar kuiringi keinginanmu." Pada saat itulah mendadak si orang berkedok membentak dingin. "Pembunuhan besar2an dalam biara ini apakah buah karya tuan?" "Kalau benar kau mau apa?" "Ada permusuhan apa Ceng seng pay terhadap kau, sampai demikian keji kau membanjirkan darah mencabut semua nyawa penghuni biara ini." "Pertanyaanmu ini terlalu berlebihan. Begitu kau menginjakkan kaki kedalam biara ini sudahlah ditakdirkan kematianmu." Rasa gusar dan benci Suma Bing yang belum terlampias saat itu sudah tak kuat ditahan lagi, segera ia menghardik keras. "Bangsat takabur, biar kubunuh kau dulu." Mengikuti bentakannya kedua tangannya disodokkan kedepan membawa damparan angin bagai gugur gunung melanda kearah si jubah ungu yang mengenakan kedok itu. Si jubah ungu ganda tertawa ejek sambil kiblatkan sebuah lengannya. Kontan Suma Bing rasakan angin pukulannya bagai menerjang sebuah tembok besi yang kokoh kuat 'bum' tenaga pukulannya membal balik. Kejutnya bukan alang kepalang, bahwa lwekang lawan ternyata sedemikian tinggi susah diukur. Maka cepat2 ia menarik kembali tangannya sambil menggeser kedudukan kesamping lima kaki. Dalam waktu yang bersamaan si orang berkedokpun telah lancarkan sebuah hantaman hebat mengarah si jubah ungu. Tanpa perhatian si jubah ungu menjengek hina, sekali berkelebat, bukan menyingkir malah tubuhnya meluruk maju kedepan si orang berkedok, dimana tangannya diulur langsung ia cengkram kedada si orang berkedok. Berkelebat, menghindar dan melancarkan cengkraman boleh dikata dilakukan dalam sekejap mata, cepatnya sukar diikuti pandangan mata. Saking kaget dan takut nyawa seakan terbang ke-awang2, demikianlah keadaan si orang berkedok waktu itu, untuk berkelit sudah tak mungkin lagi, dalam keadaan yang mengancam jiwa itu terpaksa ia berlaku nekad, sebelah kakinya diangkat secepat kilat menyepak kejalan darah Tan tian dipusar musuh. Perbuatannya ini boleh dikata mengadu nyawa dan ingin gugur bersama, meskipun dirinya pasti terluka berat atau mati dibawah cengkraman musuh, tapi musuhpun harus membayar mahal dengan tersepak pusarnya. Hebat kepandaian si jubah ungu dalam keadaan yang tak mungkin menarik balik serangan bagi orang lain tahu2 secara licin luar biasa tubuhnya melesat kesamping tiga kaki. Maka dalam waktu yang bersamaan tendangan si orang berkedokpun mengenai tempat kosong, sebat sekali iapun segera berputar menyingkir lima kaki jauhnya. Kini jarak mereka meski hanya setombak lebih, si jubah ungu berteriak melengking, 'Wut, wut' dua kali tangannya terayun aneh dan cepat sekali melancarkan pukulan dahsyat yang berkekuatan besar. Belum si orang berkedok dapat menenangkan hatinya, angin tenaga pukulan musuh sudah merudung tiba bagai gugur gunung terpaksa lekas2 ia gerakan tangannya untuk menangkis. Benturan menggeledek yang memekakkan telinga terdengar santer sekali, dibarengi seruan kesakitan yang sangat lalu disusul sebuah bayangan orang terpental terbang jatuh ditengah ruang sembahyang. Hampir dalam waktu yang bersamaan, si jubah ungupun terhuyung mundur dua langkah, tak urung mulutnyapun mendehem keras seperti mau muntah. Kiranya bersamaan dengan si jubah ungu memukul terbang si orang berkedok, dari sebelah samping sana Suma Bing pun lancarkan sebuah pukulan yang menggunakan setaker tenaganya. Sebenarnya tujuannya hanya mau menolong keselamatan si orang berkedok, sayang ia terlambat setengah detik. Si jubah ungu mengekeh tawa aneh lalu serunya. "Suma Bing, apa Kho lo sia benar2 sudah mati?" Tidak menjawab pertanyaan orang Suma Bing lancarkan lagi sebuah pukulan. Ringan sekali si jubah ungu melejit menyingkir sembari berkata. "Cincin iblis kepunyaan Kho lo sia tentu sudah diturunkan kepadamu bukan?" Suma Bing mendelik dan mengertak gigi, sahutnya. "Tidak salah, kau ingin apa?" "Hehehehehe, kematianmu sudah didepan mata, maka aku harus tahu jelas supaya tidak jatuh ketangan orang lain." "Kau tahu pasti bahwa kau tidak mati?" "Mengapa tidak kau coba2." Sambil menggeram gusar Suma Bing lancarkan serangannya dengan jurus Liu kim hoat ciok. Seperti diketahui jurus Liu kim hoat ciok ini pernah membuat putra Racun utara Tangbun Yu terluka berat, memang dunia persilatan masa itu yang kuat menyambut pukulannya ini hanya beberapa gelintir saja. Siapa tahu apa yang dia saksikan dalam gelanggang yang dihadapinya ini ternyata benar2 diluar dugaan. Tanpa menyingkir atau berkelit si jubah ungu cukup memutar dan melintangkan kedua tangan, perbuatannya ini kiranya cukup membuat Suma Bing tidak mampu melancarkan jurus serangannja, malah terdesak mundur tiga langkah lagi. "Suma Bing, Kho lo sia telah mengajarkan kepandaian apa lagi kepadamu, silahkan berondong keluar semua, jangan nanti kau mati tidak meram, kalau kau mengabaikan waktu ini tidak akan mempunyai kesempatan lagi untuk selamanya?" Saking marah uap putih mengepul dari atas kepala Suma Bing, tapi hatinya terkejut juga bahwa kepandaian lawan ternyata sedemikian tinggi, hal ini belum seberapa yang paling mengejutkan hatinya ialah bahwa semudah itu lawan memunahkan Liu kim hoat ciok jurus tunggal terlihay ciptaan gurunya. Akan tetapi karena sifat pembawaannya yang keras kepala dan tinggi hati tak mau dia tunduk atau menyerah mentah2. Sambil berteriak panjang Suma Bing lancarkan lagi pukulannya yang ketiga kali. Kali ini si jubah ungu tidak berani berlaku gegabah, sedikit menggeser kaki tubuhnya melesat menyingkir. Waktu Suma Bing menarik pulang pukulannya otaknya berputar seketika timbullah kekuatan Kiu yang sin kang dalam tubuhnya, kalau sekali pukulannya ini gagal lagi, maka susahlah dibayangkan bagaimana akibatnya. Dibarengi bentakan nyaring gelombang panas bagai lahar gunung berapi ber-gulung2 melanda kedepan. "Kiu yang sin kang!" Seru si jubah ungu penuh nada mengejek. Kali ini dia berdiri tenang sambil menggerakkan tangan kiri membuat satu lingkaran terus disurung kesamping, sedang tangan kanan bersamaan memukul kedepan dengan kecepatan luar biasa. Seketika Suma Bing merasakan bahwa pengerahan Kiu yang sin kangnya itu karena gerakan memutar dan menyurung pihak lawan tenaganya kena tersedot dan ikut menyelonong kesamping. Tanpa terasa arwahnya bagai melayang meninggalkan badannya, untuk menarik kembali atau berkelit sudah tidak sempat lagi, sedang sebuah pukulan musuh yang berkekuatan dahsyatpun sudah merangsang tiba. 'Blang' tubuh Suma Bing ter-huyung2 dan beruntun mundur delapan langkah, tidak tertahan lagi mulutnya menguak dan muntah darah. Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Si jubah ungu tertawa gelak2 saking kepuasan, serunya. "Siaucu, apa yang kau pelajari dari Kho lo sia kiranya hanya begitu saja, masih ada simpanan lain tidak?" Suma Bing insaf bahwa dirinya bukan tandingan musuh. Tapi terang gamblang bahwa musuh mencari dirinya, masa murid Lam sia yang ditakuti itu harus lari atau menyingkir menghadapi bencana. Bahwasanya dirinya sudah terkena racun Pek jit kui, hidupnya tinggal seratus hari, kalau memang tiada harapan hidup, apa bedanya segera mati dengan berlebihan hidup selama seratus hari lagi. Dalam berpikir itu secepatnya ia merogoh keluar Cincin iblis terus dimasukkan kedalam jari tengahnya. Begitu melihat Cincin iblis itu, segera kedua mata si jubah ungu dibalik kedoknya itu menyorongkan rasa takut2 dan tamaknya, katanya dingin. "Mo hoan, sedetik lagi dia akan menjadi milikku!" Wajah Suma Bing sudah penuh diliputi nafsu membunuh, maju beberapa langkah ia kerahkan tenaga saktinya, seketika Mo hoan dijarinya itu menyorongkan sinar terang yang menyilaukan mata, tapi hanya secarik sinar yang menyeluruh memancar kedepan bagai sebatang pedang sejauh satu tombak lebih. Terdengar si jubah ungu menggumam. "Kalau Mo hoan ini ditanganku, dalam jarak dua tombak dapat kupenggal kepala orang, kukira tidak menjadi soal." Suma Bing mendengus dan katanya. "Dalam jarak setombak kupenggal kepalamu, kukira juga tidak menjadi soal." Sambil berkata ia melangkah maju sambil mengayun tangan, sejalur sinar dingin kemilauan sepanjang satu tombak segera menyapu datang bagai kilat menyambar." Sebat sekali si jubah ungu melompat jumpalitan kebelakang sejauh dua tombak, dimana kakinya menginjak tanah kini dia berada diluar pekarangan. Tidak perlu disangkal lagi, ternyata diapun gentar menghadapi keampuhan Cincin iblis ini. Suma Bing mendesak maju beberapa langkah dan turun dari undakan berdiri tegak ditengah pekarangan. Saat mana si orang berkedok yang terpukul terbang oleh hantaman si jubah ungu juga sudah bangun lagi dan menggelendot dipinggir meja yang terbuat dari kayu cendana, sedikitpun ia tidak bergerak lagi, entah apa yang tengah direnungkan. Sepasang mata Suma Bing mendelik bundar menatap si jubah ungu, katanya. "Sebelum kubunuh kau, aku ingin tahu namamu dan tujuan kedatanganmu?" Si jubah ungu ter-loroh2 ejek, serunya. "Suma Bing namaku kau tidak perlu tahu, tujuanku hendak membunuh kau. Malah boleh kutambah mengapa aku harus membunuhmu, karena kau adalah murid Sia sin Kho Jiang" Hampir meledak dada Suma Bing, bentaknya beringas. "Kau sudah pasti mati" sinar dingin yang menyorong dari Cincin iblis dijarinya semakin melebar dan tajam, dimana digerakkan terciptalah sebuah jaring sinar putih yang mengurung seluruh tubuh si jubah ungu, terdengarlah juga suara mendesis yang menambah keseraman keadaan sekelilingnya. Si jubah ungu berloncatan berkelit dengan lincahnya enteng dan tangkas seperti setan tanpa bayangan sungguh hebat pertunjukan ilmu ringan tubuhnya ini, namun sedikitpun ia tidak berani terang2an menyentuh sinar jaringan Mo hoan. Menggunakan Cincin iblis menghadapi musuh hanya mengandalkan tenaga murni yang didesak keluar menambah keampuhan senjata itu, kalau terlalu lama tentu hawa murni dalam tubuhnya akan semakin susut dan ludas. Agaknya si jubah ungu tahu akan kelemahan ini, selama ini ia hanya main petak dan pertunjukkan gerak tubuhnya yang lihay tiada taranya dalam dunia persilatan, karena berlompatan dan berlarian dalam pekarangan yang sedemikian besar, terpaksa Suma Bing pun harus mengejar dan menyerang kalang kabut hingga napaspun megap2. Setanakan nasi kemudian, keampuhan sinar Cincin iblis itu semakin suram sinarnya hanya menyorong tinggal delapan kaki jauhnya. Gundah dan gugup hati Suma Bing insaf dia bahwa tenaga murninya semakin susut, seluruh tubuhnya sudah basah kebes oleh keringat tapi ujung jubah musuh saja belum disentuhnya. Kini tibalah saatnya. si jubah ungu balas menyerang, dengan kekuatan pukulan yang susah diukur dia lancarkan, sembilan kali pukulan dari sembilan kedudukan yang tidak sama, angin pukulan bergelombang tinggi bagai damparan ombak yang berlapis2 menerjang tiba dari pelbagai penjuru mengarah satu sasaran. Begitu si jubah ungu selesai melancarkan sembilan pukulannya, sinar terang yang menyorong keluar dari Cincin iblis seketika lenyap dibarengi suara kesakitan yang luar biasa tubuh Suma Bing terpental terbang balik kedalam ruangan besar karena damparan gelombang pukulan musuh yang dahsyat. Agaknya si jubah ungu masih belum puas, sekali berkelebat dia melompat diatas undakan sambil lancarkan lagi sapuan tangannya. 'Blang' lagi2 Suma Bing mengeluarkan suara menguak keras darahpun menyembur deras dari mulutnya, tubuhnya terpental lagi lebih jauh kebetulan tubuhnya meluncur kearah si orang berkedok, cepat2 dia ulurkan tangan dan tepat sambut tubuh Suma Bing kedalam pelukannya. Per-lahan2 dan mantep si jubah ungu maju dua langkah berdiri diluar pintu sembahyang itu, kedua matanya menyorotkan sinar tajam yang menyedot semangat orang nada ucapannya sedingin es. "Kau hendak bunuh diri atau harus aku yang turun tangan!" Serta merta si orang berkedok mundur dua langkah, darahnya yang mendidih tadi kini terasa membeku dalam jantungnya, diam2 ia mengeluh. "Tamatlah sudah!" Mengandal kemampuannya saat itu tidak mungkin ia dapat lolos dari tangan jahat si jubah ungu, apalagi dia harus membopong dan melindungi Suma Bing, hanya kematianlah kiranya jalan satu2nya, tanpa terasa ia termenung menatap wajah Suma Bing yang pingsan dalam pelukannya, katanya menghela napas. "Saudara kecil, segala dendam permusuhan selanjutnya boleh dihapuskan." Pada saat itulah mendadak terdengar lolong suara aneh panjang yang menggetarkan bagai suara tertawa iblis atau jin raksasa. Ter-sipu2 si jubah ungu membalik badan tampak olehnya ditengah pekarangan sana berdiri seorang aneh yang bertubuh kurus tinggi mengenakan jubah hitam, tidak ketinggalan wajah dan seluruh badannya berwarna hitam logam, dipandang dari kejauhan seperti tonggak yang habis terbakar. Seluruh tubuh dari atas sampai bawah hanya terlihat dua titik putih diatas tubuhnya, yaitu kedua bola matanya yang aneh itu. Si orang berkedok yang berada jauh didalam ruang sembahyangan tak luput merasa keder dan seram merinding, dengan pengalamannya yang luas dikalangan Kangouw, tidak diketahuinya siapa dan tokoh darimanakah si manusia aneh yang serba hitam ini. 10 HUTANG DARAH BAYAR DARAH. Kedua bola mata manusia aneh yang banyak putihnya daripada hitam ber-putar2 jelalatan dengan suaranya yang melengking menusuk ia berkata kepada si jubah ungu. "Sebagai ketua Bwe hwa hwe yang kenamaan mengapa harus mengenakan kedok menutup muka, apa kau malu dilihat orang?" Agaknya si jubah ungu tergetar kaget, tanpa terasa ia mundur satu langkah. Dilain pihak tidak kurang pula kejut si orang berkedok, sungguh diluar tahunya bahwa si jubah ungu ini kiranya adalah Ketua Bwe hwa hwe yang sangat misterius itu. Kenapa Bwe hwa hwe Hwe tiang harus membabat rumput dan membuat banjir darah di Sam ceng koan ini? Kenapa pula dia mengejar dan hendak membunuh Suma Bing? Sementara itu terdengar si jubah ungu menyahut dingin. "Tuan sebutkan nama besarmu?" "Kau mengakui tidak kedudukanmu itu?" Kiranya manusia aneh bagai arang inipun belum berani memastikan kalau si jubah ungu ini benar2 adalah Bwe hwa hwe Hwe tiang (ketua)! Si jubah ungu tertawa ringan, sahutnya. "Kau dengar aku tidak menyangkal!" Orang aneh serba hitam itu manggut2, serunya lantang . "Kalau begitu baiklah kuberitahu. aku yang rendah ini tak lain tak bukan adalah "Tok tiang ci tok!" "Tok tiong ci tok?" "Benar, akulah Racun didalam racun!" Ketua Bwe hwa hwe sendiri adalah seorang yang sangat misterius, tapi setelah dengar orang memperkenalkan diri tanpa terasa iapun terperanjat juga, beruntun mundur tiga langkah dan tanyanya lagi. "Jadi tuan adalah Racun diracun yang baru saja muncul, kau menggunakan racun tanpa bayangan..." Racun diracun terloroh2, katanya. "Baru saja muncul, hm, tingkat kedudukanmu ketua Bwe hwa hwe toh belum tentu lebih tinggi dari aku?" "Diseluruh jagad yang merajai menggunakan racun hanyalah Pak tok Tangbun Lu seorang, tuan berani menamakan diri sebagai Racun diracun, masa bisa lebih..." "Hehehe, Pak tok terhitung barang apa?" Lagi2 Bwe hwa hwe Hwe tiang tergetar hatinya, apa mungkin manusia aneh ini bisa lebih beracun dari Pak tok. Tapi selama ini belum pernah dengar adanya seorang tokoh yang benar2 lihay dalam bidang itu. Maka segera ia menarik muka dan berkata berat. "Tuan kebetulan lewat disini ataukah..." "Aku datang khusus mencari kau!" "Ada pengajaran apakah?" Dingin dan berat Racun diracun mengucapkan sekata demi sekata. "Apakah Pedang darah berada ditanganmu?" "Pedang darah, hahahaha, darimana Pun hwe tiang (ketua) mendapatkan Pedang darah itu?" "Hm, Mo san ji kui mati ditangan siapa? Dengan sebilah Pedang darah palsu Bwe hwa hwe menimbulkan huru-hara dikalangan Kangouw, menimbulkan gelombang pertikaian besar, apa tujuan kalian?" Dalam pada itu si orang berkedok yang masih berada diruang sembahyang melihat adanya kesempatan ini, secara diam2 segera ia payang tubuh Suma Bing mengeloyor pergi melalui pintu samping. Sejenak Ketua Bwe hwa hwe menelan ludah dan ragu2 lalu serunya lagi lebih dingin. "Bukankah pertanyaan tuan ini terlalu berkelebihan, kalau kau sudah tahu yang kita dapatkan adalah Pedang darah palsu, buat apalagi kau bertanya?" "Mo san ji kui terkapar mati diluar guanya, apakah itu buah karya kumpulan kalian. "Memang benar." "Menurut apa yang tersiar dikalangan Kangouw, bahwa Pedang darah itu telah dimiliki oleh Mo san ji kui. Mo san ji kui kini telah terbunuh oleh orang2mu, bukankah itu mengatakan bahwa Pedang darah itu telah terjatuh ditangan kalian." "Bukankah tuan tadi mengatakan juga bahwa Pedang darah yang kita, dapatkan itu adalah Pedang darah palsu" "Hm, mencuri kelintingan menutupi kuping sendiri, begitu Pedang darah tulen terjatuh ditangan kalian, lantas dengan Pedang darah palsu kalian mengatur tipu daya dikalangan Kangouw, perbuatanmu ini benar2 masih sangat hijau!" "Jadi tuan pasti menuduh bahwa Pedang darah yang tulen berada diperkumpulan kita?" "Kenyataan memang demikian." "Setelah peristiwa itu baru Pun hwe tiang (aku si ketua) sadar bahwa karena kurang teliti kita telah terjebak kedalam kabar angin itu." "Bagaimana maksud ucapanmu ini?" "Lima belas tahun yang lalu, Pedang darah terjatuh ditangan Tang mo, coba pikir dengan kemampuan Mo san ji kui mana mungkin dapat merebut Pedang darah itu dari tangan Tang mo. Maka kukatakan bahwa kita telah tertipu oleh kabar angin itu." Mata Racun diracun yang banyak putihnya dari hitam ber- kilat2, sejenak ia merenung lalu tanyanya menegasi. "Apa ucapanmu itu dapat dipercaya?" "Percaya atau tidak terserah kepada tuan sendiri!" "Kalau kelak aku dapatkan apa yang kau ucapkan ini bohong..." "Bagaimana?" "Aku tidak seperti Pak tok yang suka mengagulkan gengsi atau kedudukan, maka dapatlah kau bayangkan sendiri apa akibatnya." Se-konyong2 Bwe hwa hwe Hwe tiang perdengarkan suara tawa yang menggelegar, nadanya seperti gembreng ditabuh sedemikian kerasnya hingga seisi biara itu terasa menggetar, setelah menghentikan suara tawanya segera ia berkata temberang. "Tuan kau terlalu memandang rendah perkumpulan kita." Wajah Racun diracun sedemikian hitam legam hingga susah dilihat bagaimana mimik air mukanya. Tapi dilihat dari sorot matanya yang ber-kilat2 bengis itu, naga2nya sedikitpun ia tidak gentar atau terpengaruh oleh pertunjukan Lwekang Ketua Bwe hwa hwe dengan suara tawanya tadi, jawabnya dingin. "Memang, jago2 kalian sangat banyak, tapi apa yang pernah kuucapkan tentu dapat kuperbuat, selamat bertemu!" Sekali berkelebat bayangan hitam itu sudah menghilang bagai angin lalu. Waktu ketua Bwe hwa hwe membalikkan tubuh lagi, jejak si orang berkedok dan Suma Bing sudah menghilang entah kemana. **** Waktu Suma Bing siuman kembali yang terlihat dipandangan matanya adalah sebuah pelita minyak, bau apek yang basah menyerang hidung, terasa dirinya rebah diatas sebuah dipan batu, ia meng-ucek2 matanya lalu katanya seorang diri. "Apa aku belum mati?" "Kau belum mati." Suma Bing memandang kearah datangnya suara, dilihatnya si orang berkedok tengah berduduk dipojok sana terpaut setombak, serunya kaget. "Bong bian heng, kaulah yang menolong aku?" "Itulah kewajiban seorang kawan." "Tempat apakah ini?" "Ruang rahasia dibawah Sam ceng koan" "Ruang rahasia dibawah tanah." "Benar." "Kau bukan keluarga dalam Sam ceng koan ini, darimana kau tahu akan tempat ruang rahasia ini?" "Ciangbunjin Ceng seng pay Leng Hun seng adalah salah satu dari Bu lim sip yu, sedang Tiang un Suseng adalah sahabat karibku, sudah tentu hubungankupun sangat erat dengan Sam ceng koan, ruang dibawah tanah inipun bukan rahasia lagi bagiku." "O, lalu si jubah ungu itu" "Dialah Bwe hwa hwe Hwe tiang" "Bwe hwa hwe Hwe tiang?" Seru Suma Bing melonjak kaget. "Ada permusuhan apakah antara Bwe hwa hwe dengan Ceng seng pay? Ada dendam apa pula dengan, aku? Ini... ini" "Inilah teka-teki, saat ini sukar untuk ditebak, sudah tentu ada sebabnya mengapa dia menimbulkan banjir darah di Sam ceng koan ini dan hendak membunuhmu lagi." "Darimana saudara tua mengetahui bahwa dia adalah Ketua Bwe hwa hwe?" "Ditunjuk oleh Tok tiong ci tok, untung Racun diracun muncul pada saat yang tepat, maka kita ada kesempatan menghindarkan diri." Bukan olah2 kejut Suma Bing, sungguh tak terduga olehnya bahwa Racun diracun bisa muncul ditempat itu, serta merta mulutnya berkata. "Si algojo yang menggunakan Racun tanpa bayangan membunuh adik Siang Siau hun dan Li Bun siang?" "Darimana kau tahu?" Tanya si orang berkedok heran. Terpaksa Suma Bing mengisahkan pengalamannya dikelenteng bobrok itu, tapi soal dirinya keracunan tidak dibicarakan. Si orang berkedok baru sadar dan jelas, katanya. "Begitulah tujuan Racun diracun hanya menginginkan Pedang darah itu. Benda yang dititipkan kepada Siang Siau hun bertiga bentuknya sama seperti buntalan Pedang darah, maka Racun diracun salah sangka dan turun tangan keji, tidak heran iapun mendesak Ketua Bwe hwa hwe untuk mengetahui dimana jejak Pedang darah itu berada, kiranya masih banyak sebab lainnya," "Lalu akhirnya bagaimana?" "Ketua Bwe hwa hwe menyangkal" Bergegas Suma Bing bangun, mendadak dirasakan tiada keanehan dalam tubuhnya, serunya, kaget dan heran. "Kuingat aku terluka berat" "Memang lukamu tidak ringan, untung aku mengetahui sedikit cara pengobatan dan membekal obatnya pula" Kata Suma Bing menghela napas. "Lagi2 aku berhutang budi kepada saudara tua, ai" "Apa maksud ucapanmu itu saudara kecil, seumpama aku yang terluka, masa kau tidak akan menolong aku." "Meskipun begitu, tapi aku tidak suka berhutang budi kepada orang lain. sebab..." "Sebab apa?" "Aku tidak akan dapat membalasnya." Si orang berkedok tertawa ringan ujarnya. "Saudara kecil, agaknya kaupun keracunan." Suma Bing melengak kaget, tanyanya. "Darimana Bong bian heng dapat tahu?" "Waktu aku mengobatimu tadi, kudapati diatas pusarmu ada setitik hitam, kalau titik hitam ini melebar sampai dijalan darah Pek hwe hiat, jiwamupun akan tamat." Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Dengan penuh kebencian yang me-nyala2 segera Suma Bing bercerita tentang bagaimana dirinya terkena racun Pek jit kui dari Tangbun Yu itu. Sontak si orang berkedok tutup mulut tak dapat bicara. Suma Bing sendiripun tenggelam dalam renungannya, ruang bawah tanah itu menjadi sedemikian hening lelap yang terdengar hanyalah jalan pernapasan mereka saja. Lama dan lama kemudian baru si orang berkedok memecah kesunyian dengan suaranya yang bernada berat berkata. "Saudara kecil, aku tahu ada semacam benda dapat memunahkan racun dalam tubuhmu itu." Keruan girang Suma Bing sukar dilukiskan mendengar keterangan itu. Karena menurut Tangbun Yu sendiri mengatakan bahwa racunnya itu tiada orang lain yang dapat mengobati, sedang si maling bintang Si Ban cwan juga berpendapat hanya Tiang un Suseng seoranglah yang mungkin dapat mengobati dirinya. Sungguh diluar tahunya bahwa si orang berkedok ini kiranya juga mengetahui cara memunahkan racun itu. Ter-sipu2 ia melompat turun terus mendekati si orang berkedok sembari berkata. "Apa saudara tua dapat mengobati racun berbisa itu?" "Bukan aku yang dapat memunahkan, maksudku aku tahu ada suatu benda yang dapat memunahkan racun dalam tubuhmu itu, hanya..." "Bagaimana?" "Benda itu sukar diperoleh." "Benda apakah itu?" "Coa ham cau (rumput ular), rumput ini tumbuh ditengah lembah pegunungan yang berbahaya, bentuknya tidak begitu aneh hanya mengeluarkan bau wangi yang aneh justru baunya ini paling disenangi oleh ular berbisa. Dimana ada tumbuh rumput ini maka, disitulah tempat berkumpul ratusan atau ribuan macam ular berbisa, mereka berebutan untuk mengulum daun rumput itu, sedikitnya rumput semacam itu harus sudah pernah dikulum oleh ribuan laksa ekor ular2 itu hingga warnanya berobah menjadi putih bening bagai batu giok, baru ada khasiatnya untuk memunahkan racun. Tapi rumput Coa ham cau ini sukar dicari..." Suma Bing menghembuskan napas panjang, ujarnya. "Terhadap racun dalam tubuhku ini memang aku sudah tidak mengharap dapat dipunahkan lagi " Si orang berkedok mengulap tangan menukas kata orang lalu katanya tersenyum. "Saudara kecil, kalau tiada harapan tentu aku takkan buka mulut. Tentang rumput ular ini menurut apa yang kuketahui Si gwa sian jin ada menyimpan sepucuk" "Si gwa sian jin?" "Benar, manusia bebas diluar dunia itu bertabiat sangat aneh dan menyendiri, selamanya dia tak mau berhubungan dengan kaum persilatan." Terbangun semangat Suma Bing, ujarnya. "Dimanakah tempat tinggal Si gwa sian jin?" "Bu in san (gunung tanpa bayangan), dari sini kira2 tiga hari perjalanan baru bisa sampai!" "Baik, banyak terimakasih atas keteranganmu ini, biar kupergi kesana, mencoba peruntungan." "Biar kuiring kau kesana, gunung tanpa bayangan itu sukar dicari biar aku yang menunjuk jalan." "Ah, mana aku enak menyusahkan kau..." Ujar Suma Bing penuh haru. "Kita toh sudah terikat sebagai sahabat, terhitung apa bantuanku ini?" "Kalau begitu marilah kita berangkat?" "Nah kan begitu." Mengintil dibelakang si orang berkedok Suma Bing berdua berjalan keluar menyusuri jalanan rahasia dibawah tanah, setelah belak-belok sekian lamanya kemudian tibalah mereka diujung lorong jalan rahasia itu, segera si orang berkedok mengulur tangan menekan dinding sebelah kanan, maka terdengarlah suara keresekan, tiba2 diatas kepala mereka terbukalah sebuah lobang selebar lima enam kaki persegi. "Dari sinilah kita keluar !" Beruntun mereka melompat keluar dan menginjak tanah, waktu mereka angkat kepala memandang tanpa terasa dingin perasaan mereka, karena kelenteng Sam ceng koan yang sedemikian megah dan agung itu kini sudah tinggal puing2 yang rata dengan tanah. Sang surya baru muncul dari peraduannya, itu berarti sudah selama satu hari satu malam mereka berada diruang bawah tanah itu. Kata Suma Bing penuh haru dan berang. "Ketua Bwe hwa hwe itu benar2 keji, bangunan gedung yang megah inipun tidak ketinggalan dibakarnya juga. Aliran dari Ceng seng pay selanjutnya habis total, mungkin tiada saatnya lagi mereka dapat bangun kembali." Saking haru dan bersedih si orang berkedok gemetar, ujarnya penuh kebencian. "Hutang darah ini lambat atau cepat pasti ada orang yang akan menagihnya." Begitulah kedua orang berdiri terlongo dan merenung sekian lamanya, lalu bersama2 melejit berlarian turun gunung. Dan pada saat mereka mulai bergerak itulah dari jarak yang agak jauh disana terdengar derap langkah ramai yang tengah mendatangi dengan cepat. "Kita mengumpat dulu dalam rimba, kita intip siapakah mereka itu." Kata si orang berkedok. Baru saja mereka membelok dan menghilang dalam hutan sebelah sana, beruntun lima bayangan manusia berlompatan tiba dipelataran diluar pintu kelenteng yang tinggal puing2-nya itu, mereka terdiri dua orang tua dan tiga orang gagah kekar, mereka berseragam hitam sekuntum bunga Bwe yang besar warna putih menghiasi baju depan dada mereka. "Para begundal dari Bwe hwa hwe," Kata si orang berkedok lirih. "mungkin mereka meluruk datang mencari kita!" Suma Bing mendengus gusar, pendek singkat dan tegas ucapannya. "Bunuh!" Terdengar salah seorang tua baju hitam itu tengah berkata. "Entah bagaimanakah hasil pemeriksaan?" Salah seorang tua lainnya menjawab. "Sepuluh li dalam lingkungan daerah ini seekor kelinci juga jangan harap dapat lolos, apalagi dua orang yang terluka berat, masa mereka dapat terbang kelangit..." "Benar, masa dapat terbang kelangit!" Sebuah suara dingin menggiriskan pendengarnya menandangi ucapannya. Serentak kelima orang itu berputar balik, air muka mereka berobah heran dan kaget. Tampak seorang pemuda gagah ganteng yang berlagak congkak dan bersikap angkuh tengah berdiri dua tombak jauhnya dari mereka, wajahnya penuh nafsu membunuh yang me-nyala2, mimik wajahnya itu benar2 membuat orang bergidik seram menggiriskan. "Siapa kau, sebutkan namamu!" Hardik kedua orang tua dengan nada berat. Orang yang mendadak muncul ini kiranya adalah jago kita Suma Bing. Dengan penuh ejek sambil melerok Suma Bing mendengus hidung, lalu katanya. "Bangsat kurcaci seperti kalian belum berharga menanyakan namaku, tapi supaya kalian mati tidak penasaran, dengarlah, akulah Suma Bing." Begitu si pemuda memperkenalkan diri seketika kelima gembong Bwe hwa hwe itu undur ketakutan, ketiga orang bertubuh kekar itu segera melolos senjata. Perlahan dan pasti Suma Bing melangkah maju mendekat, setiap langkahnya mengandung nafsu membunuh yang ber- kobar2. Kelima gembong Bwe hwa hwe itupun serta merta undur dan mundur terus. "Berhenti!" Mendadak sebuah suara lain menghardik keras dari belakang. Melonjak kaget kelima orang itu sukma seakan terbang keluar badan kasarnya, waktu mereka berpaling dilihatnya seorang berkedok mengenakan pakaian warna hijau telah menghadang dibelakang mereka. Walet Besi Karya Cu Yi Pendekar Dari Hoasan Karya Kho Ping Hoo Mustika Gaib Karya Buyung Hok