Mustika Gaib 5
Mustika Gaib Karya Buyung Hok Bagian 5
Mustika Gaib Karya dari Buyung Hok Kau gunakan pedang ini. kata Beng Cie sianseng ia lompat naik masuk dalam lubang goa. Bunuh saja setiap binatang yang coba menerjang masuk. Setelah berkata begitu, orang tua tadi, menggunakaa dua potong kayu di tangan kanan dan kiri sebagai senjata Baru saja Kang Hoo menerima pemberian pedang bergagang bambu itu, dari dalam gerombolan pohon di bawah lubang goa keluar dua sosok tubuh orang hutan, satu berbulu kuning. Itulah orang hutan yang bernama Ui-jie. Dan satu lagi berbulu 98 hitam, badannya tinggi besar, dua kali lebih besar dari orang hutan bulu kuning. Pada kedua dadanya tampak mendoyot dua buah susunya. Di belakang kedua orang hutan tadi terdengar suara gerengan-gerengan binatang-binatang buas yang terus menggereng, membuat suasana malam dalam rimba itu jadi berisik, mereka seperti mengurung medan di bawah lamping batu di depan lubang goa. Sedang itu dua binatang orang hutan dengan lenggak lenggok, jalan mendatangi. Inilah gaya Toa sianseng yang khas! Kang Hoo melihat kedua orang hutan itu, hatinya sudah bergidik, meskipun tangannya mencekal pedang, mengingat kekuatan terjangan seekor orang hutan bulu kuning saja ia sudah tak sanggup hadapi. Apalagi kini mesti menerima serangan dari dua orang hutan. Kau hadapi yang kuning. seru Beng Cie Sianseng, Dan yang betina ini serahkan padaku. Baru saja, Beng Cie sianseng berkata sampai di situ, mendadak saja, dari atas udara meluncur tiga batang sinar emas menyerang ke arah dadanya. Beng Ce sianseng kaget, ia tidak tahu dari mana munculnya tiga batang sinar emas itu, panjangnya hanya sejengkal meluncur ke arah dada. Berbarengan dengan luncuran tiga sinar emas menyerang dada Beng Cie sianseng, dari atas angkasa terdengar suara tertawa cekikikannya gadis Biauw di atas punggung burungnya, disusul dengan suara kata-katanya, Tua bangka, kau turut campur urusanku hehihihiheeee........ Perempuan liar. gerutu Beng Cie sianseng sambil mengelakkan datangnya serangan tiga batang sinar keemasan itu. Kalau saja gerakan Beng Cie sianseng kurang cepat, pastilah ketiga serangan batang sinar emas tadi akan membentur dadanya. Tapi dengan ringannya ia telah berhasil mengelakkan datangnya serangan luncuran sinar emas itu dengan memiringkan badannya ke samping. Berbarengan mana batang kayu di tangannya diayun membentur ketiga batang sinar emas itu. Tapi benturan kayu itu tidak mengenai sasaran. Karena ketiga sinar emas itu sudah meluncur lewat, dan membentur dinding batu belakang goa. Sementara itu dua ekor orang hutan yang juga melihat adanya serangan sinar emas tadi mereka tak meneruskan langkahnya. Berdiri di bawah pohon menyaksikan gerakan ketiga batang sinar emas itu. Tampaknya mereka seperti takut menghadapi tiga batang sinar emas tadi. Tampak dari keadaan diri mereka yang pada merengket di bawah pohon. 99 Kang Hoo juga melihat adanya itu serangan tiga batang sinar emas. Semula ia ingin berteriak memperingatkan sang suhu, tapi gerakan suhunya lebih cepat, mengelakkan datangnya serangan tadi. Ketika ia melihat ke arah kedua orang hutan di bawah sinar bulan, kedua orang hutan itu seperti merengket. Ketakutan di bawah pohon. Hingga mereka tidak berani maju mendekati. Sementara itu, Beng Cie Sianseng baru berhasil mengelakan serangan tiga batang sinar emas ke arah dadanya. Dan ketika serangan batang kayunya tidak berhasil membentur tiga batang sinar emas itu. Ia jadi tersentak kaget. Di dalam goa itu keadaannya gelap, sedang sinarnya rembulan tidak dapat menembusi ruangan goa itu, tapi senjata sinar emas yang membentur batu goa dinding itu begitu membentur lantas melekat, tampak sinar emas tadi seperti hidup, bergerak perlahan. Beng Cie sianseng melihat kejadian itu, melangkah mundur setindak, serunya, Ular mas!!!! Suhu, biar kubunuh binatang melata itu. seru Kang Hoo melangkah maju. Diam! Jangan bergerak! kata Beng Cie sianseng mendorong mundur badan Kang Hoo dengan tongkat kayu. Tiga binatang ini sangat berbisa. Tinggalkan goa. Berbareng dengan ucapan Beng Cie sianseng, tubuhnyapun sudah lompat turun keluar goa. Diikuti lompatan Kang Hoo. Begitu mereka lompat keluar, dua orang hutan yang sejak tadi merengket di bawah pohon, mendadak mengeluarkan pekikkan, seekor orang hutan besar bersusu lari ke arah Kang Hoo, dan yang berbulu kuning menerkam Beng C e Sianseng. Beng Cie sianseng telah siap dengan dua potong kayu pohon itu, ia segera menyambut dengan kemplangan kedatangan orang hutan bulu kuning. Tapi orang hutan bulu kuning juga cerdik, ia tidak mau kepalanya terkena kemplangan orang. Sambil memekik lompat mundur. Sementara itu, si orang hutan raksaksa dengan cengar cengir memandangi Kang Hoo. Di tangan si pemuda mencekal pedang ia menuding-nuding orang hutan itu dengan ujung pedang. Dari atas angkasa kembali terdengar suara tertawa gadis Biauw di atas punggung burungnya, disusul dengan ucapannya, Hai! Pemuda, percuma pedangmu menghadapi orang hutan betina itu, tangan- tangan berbulunya keras bagaikan baja, beruntung ia begitu melihat wajahmu 100 sudah jatuh cinta, heeeeeheheeeeeee.... bukankah ia saat ini sedang memandangmu sambil tersenyum girang. Nah kau nikmatilah kemantin perempuan itu. Heeeheee..... Mendengar suara si gadis Biauw, hati Kang Hoo mendongkol, teriaknya, Gadis liar. Hmmm..... Tapi hanya itulah yang bisa keluar dari mulut Kang Hoo, karena mendadak saja ia melihat mulut orang hutan besar itu sedang cengar cengir mendatanginya, dan kedua tangan orang hutan perempuan itu menggaruk-garuk selangkangannya. Kang Hoo! seru Beng Cie sianseng yang terus menempur orang hutan bulu kuning, Gunakan pedang itu, tusuk matanya dan kau lari kabur! Mendengar teriakan sang suhu, Kang Hoo sadar, ia tidak boleh bertindak ayal, kalau tidak tentunya keadaannya akan lebih runyam lagi. Lebih-lebih melihat bagaimana orang hutan besar bersusu itu, tidak henti-hentinya cengar cengir terus sambil menggaruk-garuk selangkangannya yang penuh bulu lompat-lompatan di depan dia, rupanya si orang hutan perempuan tidak pandang mata dengan pedang yang diarahkan pada dirinya, ia lebih tertarik dengan ketampanan wajah Kang Hoo, hingga sifat nafsu binatangnya telah memuncak ke otak sampai ia tak henti-henti terus menggaruk-garuk selangkangan. Entah benda yang digaruk-garuk itu terasa gatal ataukah bagaimana Kang Hoo tidak mengerti. Yang mengerti hanyalah si orang hutan perempuan itu sendiri yang nafsu sexnya sudah mengalir dalam darah binatangnya. Begitu Kang Hoo mendapat teguran sang suhu pedangnya cepat ditusukkan ke arah biji mata si orang hutan yang mengkilat berputaran. Orang hutan itu mendapat serangan tusukan ujung pedang, ia tidak mengelak dengan tangannya. Tangan itu masih terus menggaruk-garuk, ia hanya memiringkan kepala ke samping, lalu lompat maju ke depan. Dengan gerakan itu orang hutan tadi berhasil mengelakkan tusukan ujung pedang. Serangan tusukan pedang begitu dapat dielakan oleh orang hutan perempuan itu, Kang Hoo menarik pedangnya, ia hendak mengulang serangannya, tapi mendadak saja, orang hutan yang baru saja berhasil me-ngelakkan serangan pedang, menubruk maju ke arah batang pedang, lalu dengan dagunya ia menjepit batang pedang itu, kemudian badannya lompat ke atas. Kang Hoo jadi kaget, ia membetot pedang tadi, tapi jepitan leher orang hutan betina itu sangat keras, belum lagi ia berhasil menarik pedangnya, mendadak saja orang hutan tadi sudah lompat ke atas. Karena gerakan lompatan itu, maka pedang yang masih terjepit pada leher orang hutan tadi juga turut terbawa naik. Dan saat 101 itu Kang Hoo sudah dibuat bingung dengan gerakan aneh orang hutan perempuan tadi, ia melepaskan cekalan pedang dan lompat mundur. Berbarengan dengan gerak kaki Kang Hoo yang lompat mundur, mendadak saja sepasang kaki orang hutan perempuan yang lompat ke atas tiba-tiba menendang ke muka Kang Hoo. Si pemuda yang sedang kebingungan, mendapat tendangan kaki orang hutan perempuan tadi ia tak dapat mengelak, dan keningnya terhajar tendangan kaki berbulu itu. Kang Hoo mundur sem-poyongan lalu jatuh terguling. SEMENTARA itu dari angkasa kembali terdengar suara tawa, gadis Biauw, memecahkan suara irama suling yang masih terus terdengar bercampur aduk dengan suara gerengan-gerengan binatang buas disusul suara teriakan Goat Khouw, Toa-sianseng, kau kawinilah! Ia masih perjaka ...... Orang hutan perempuan yang sudah mabok kepingin kawin, mendengar suara perintah dari majikannya, begitu ia kembali lompat turun ke tanah, mengeluarkan pekik kegirangan. Lalu ia menghampiri Kang Hoo yang sudah rebah terlentang. Sedang kedua tangannya masih menggaruk-garuk terus. Dan pedang yang tadi dijepit di lehernya, telah terlempar jatuh ke tanah.Saat itu Kang Hoo, sedang merasakan bagaimana sakit kepalanya ditendang oleh kaki orang hutan perempuan itu begitu pula punggungnya terasa perih karena tertusuk beberapa duri rumput. Dengan masih terlentang ia dapat melihat bagaimana sikap orang hutan tadi mendatanginya sambil cengar cengir menggaruk-garuk.Beng Cie sianseng menghadapi orang hutan bulu kuning, begitu ia melihat sang murid sudah roboh terkena tendangan kaki orang hutan tadi, ia juga jadi kaget.Sebenarnya kepandaian Beng Cie sianseng juga tidak rendah, tapi menghadapi orang hutan berbulu kuning ini, ia agak kewalahan, karena beberapa kali pentungan batang kayunya berhasil menggebuk badan orang hutan bulu kuning itu, hanya bisa membuat si kuning memekik mundur, kemudian dengan gesit binatang itu kembali melakukan serangan. Dan ketika ia menampak orang hutan berbulu hitam sedang mendatangi Kang Hoo yang masih menggeletak, cepat-cepat ia menggunakan satu potong kayu, diluncurkan ke arah Toa sianseng! Orang hutan betina tadi tidak mengetahui datangnya serangan dari Beng Cie sianseng, lebih-lebih ia telah terbenam dalam arus nafsu kebinatangannya, hingga tidak mau memperhatikan keadaan sekelilingnya lagi, terus melangkah maju.Kang Hoo bergulingan di atas tumput menjauhi langkah kaki orang hutan hitam itu. Berbarengan mana, potongan kayu yang dilempar oleh Beng Cie sianseng berhasil 102 membentur iga kiri si hitam.Orang hutan itu kaget, ia memekik, dan ketika ia melihat yang membentur itu adalah sebatang kayu, ia tidak mau memperdulikan, rupanya benturan tadi tidak dirasakannya.Kang Hoo juga melihat bagaimana suhunya melemparkan itu potongan kayu, ke arah orang hutan betina, ia juga melihat bagaimana sang suhu di bawah sinar bulan itu kewalahan menghadapi serangan- serangan Ui-jie yang memiliki gerakan sangat gesit, Meskipun sang suhu telah berhasil menggebuk beberapa kali badan si kuning, tapi sang binatang masih memiliki kegesitan yang luar biasa. Kalau saja suhunya menggunakan pedang pastilah, binatang itu sudah sejak tadi berhasil dirobohkan.Sewaktu luncuran potongan kayu itu berhasil membentur iga kiri si hitam yang kenyataannya tak digubris oleh orang hutan besar itu, hati Kang Hoo mencelos. Betapa tebalnya kulit orang hutan ini. Tapi Kang Hoo tidak sempat berpikir banyak, karena telinganya kini sudah mendengar suara garukkan orang hutan perempuan itu pada selangkangannya yang penuh bulu. Kraosss .... kraos, kraos, kraas .... Mendengar suara garukan itu Kang Hoo mengeluarkan keringat dingin, karena sambil rebah demikian ia dapat melihat jelas apa yang sedang digaruk-garuk oleh orang hutan bulu hitam tadi, sampai mengeluarkan suara keraosan.Kembali Kang Hoo menggeser badan ke belakang menjauhi binatang hutan perempuan dan akhirnya ia terpojok pada lamping batu di bawah goa dimana tadi ia lompat turun. Ya Allah! keluh Kang Hoo dalam hati, kini ia melihat orang hutan bulu hitam itu melangkah sambil membungkukkan badannya, dari mulut binatang orang hutan itu menetes air liur. Beng Cie sianseng melihat kejadian itu jadi menggeram, mempercepat gerakan serangannya. Seluruh kepandaiannya dikeluarkan untuk menghajar binatang yang bulu kuning.Bertempur tiga jurus kemudian, barulah ia berhasil menghajar batok kepala belakang Ui-jie. Membuat si orang hutan bulu kuning terhuyung ke depan, lalu ambruk di tanah.Begitu ia berhasil merobohkan orang hutan bulu kuning, Beng Cie sianseng lompat ke tempat dimana si Hitam akan menerkam Kang Hoo. Tapi baru saja kakinya melompat ke depan, mendadak di depannya meluncur lagi sinar kuning emas.Menampak sinar kuning emas itu Beng Cie sianseng yang sedang lompat jadi kaget, cepat ia menjatuhkan dirinya rebah di tanah. Dan tepat ketika itu, sinar kuning emas tadi lewat di atas badannya.Si orang hutan betina yang sudah mengeluarkan air liur dari mulutnya, dengan sekali lompat ia sudah berada di atas tubuh Kang Hoo.Kang Hoo jadi gelagapan, ia berusaha berdiri, tapi perut berbulu dari orang hutan itu mendadak menggencet mukanya dan ia kembali jatuh duduk. Dan orang hutan betina berhasil duduk di atas paha Kang Hoo.Begitu Kang Hoo jatuh duduk, tangan si orang hutan perempuan berbulu yang terus-terus menggaruk 103 itu, mendadak diangkat keatas, tangan berbulu tadi meraba pipi Kang Hoo.Kang Hoo jadi kelenger dibuatnya. Betapa tidak, tangan bekas menggaruk-garuk tadi, berbau tidak enak, jari-jari orang hutan itu terasa gemeteran di pipi si pemuda. Setelah Kang Hoo merasakan bagaimana baunya tangan orang hutan betina yang bergemetaran mengelus wajahnya Kang Hoo jatuh pingsan. Tubuhnya menggeloso ke bawah.Berbarengan dengan pingsannya Kang Hoo di bawah perut orang hutan itu, mendadak saja suara seruling yang sejak tadi terdengar di dalam hutan berubah iramanya.Suara seruling yang semula terdengar sayup-sayup halus itu mulai terdengar sangat aneh, dan suaranya terdengar keras, pantulan suara suling tadi seperti membuat keadaan hutan dimalam hari jadi bergetar keras.Di atas angkasa malam si gadis Biauw yang duduk di punggung burungnya memandang ke atas, ia memperhatikan dari mana munculnya itu suara seruling. Kemudian gadis itu mengeluarkan siulan panjang, memerintahkan burungnya terbang tinggi ke atas, untuk melihat siapakah yang meniup suling di puncak gunung.Tapi sang burung mendadak tidak mau terbang tinggi, begitu telinganya mendengar suara seruling tadi, Malah burung itu telah merosot terbang turun semakin rendah. Mengetahui kalau suara seruling itu telah membuat semangat burungnya jadi kuncup, si gadis Biauw berteriak, Toa sianseng, Ui-jie, kau bunuh orang peniup seruling di atas sana. Toa sianseng, itu orang hutan betina yang sudah mabok perjaka, bulu-bulunya meriap bangun, ia belum berhasil melampiaskan napsu binatangnya pada diri Kang Hoo, mendadak mendengar suara perintah itu ia jadi melengak kaget. Sebenarnya ketika orang hutan perempuan itu mendengar suara suling aneh, mendadak saja ia juga jadi kaget, dan nafsu birahinya mendadak buyar, begitu mendengar suara perintah sang majikan maka ia cepat lompat ke atas merambat tebing,Begitu pula si kuning Ui-jie, saat itu baru saja bangkit berdiri, begitu mendengar suara perintah sang majikan ia berlompatan ke arah atas gunung. Setelah memberi perintah pada kedua orang hutan itu, gadis Biauw tadi lompat turun dari atas punggung burung, sambil mengeluarkan siulan dan desisan.Maka di dalam hutan itu terdengar suara gerengan-gerengan binatang buas semakin santer, begitu pula suara desisan ular-ular berbisa semakin ramai, mereka pada bergerak maju mengurung Beng Cie sianseng dan Kang Hoo.Saat mana Beng Cie sianseng sudah lari mendatangi Kang Hoo dan baru saja memeriksa keadaan Kang Hoo yang pingsan, begitu ia mendengar suara gerengan binatang buas dan suara desisan ular berbisa semakin ramai mengurung mereka berdua, hatinya mencelos kaget, ia lompat ke arah mana pedangnya menggeletak di tanah, dengan menggenggam pedang itu, ia lompat lagi ke samping Kang Hoo. Sementara itu gadis Biauw yang sudah berdiri di tanah berada di luar kurungan binatang-binatang buas dan ular-ular berbisa ia mendongakkan kepala ke atas 104 puncak gunung menyaksikan kedua orang hutannya menyatroni si peniup seruling dan dengan suara keras ia berteriak, Manusia darimana berani menganggu ketenangan di sini? Ayo hentikan suara suling yang membuat burungku jadi terkejut! Suara suling masih terus menggetarkan isi rimba. Sejenak kemudian setelah men dengar suara teriakan si gadis Biauw, suara suling itu sirap, dan terdengar suara orang berkata, Terhadap kedua belah pihak, aku tidak ada permusuhan apa-apa, maka akupun tidak bermaksud untuk mencelakai salah satu pihak, tetapi karena aku telah datang lebih dulu ke tempat ini, dan binatang-binatang buas dan ular berbisa yang terus-terusan menggereng dan mendesis membuat ketenanganku jadi terganggu, karena mengingat binatang-binatang itu ada yang menggerakkan, maka aku tak dapat sembarang membunuh. Kalau saja mereka itu tak ada pemiliknya, maka sejak tadi-tadi tentu aku sudah bunuh semua. Tapi memandang dirimu aku tak sampai membunuh mereka, begitu pula aku tak berhak mengusirmu dari hutan ini karena gunung adalah kepunyaan bersama bukan milik seseorang, oleh karena sifat manusia itu tidak mau mengalah satu sama lain, maka akupun merasa tak baik untuk menyuruh orang lain mengalah padaku, tapi suara- suara binatang buas dan ular-ular berbisa sangat memuakkan, mengganggu ketenanganku, maka terpaksa aku meniup seruling dengan irama yang aneh guna menekan suara gerengan-gerengan binatang buas dan desisan-desisan ular berbisa. Maka bila kau suruh binatang-binatang itu berlalu dari tempat ini, dan tidak mengganggu keindahan rembulan malam di atas gunung, akupun akan meniup seruling dengan irama yang enak didengar. Setelah kata-kata dari atas ganung itu berakhir, suara seruling kembali terdengar lagi suara itu lebih santer, sehingga seluruh gunung memperdengarkan suara nyaring, seolah-olah menggetarkan udara.Sementara itu, si gadis Biauw bersiul dan mendesis kembali, maka sekalian binatang-binatang buas itu mengeluarkan suara gerengan yang lebih buas lagi, begitu pula ular-ular mendesis- desis tiada hentinya.Begitu suara gerengan binatang buas dan desisan ular berbisa terdengar semakin hebat, suara seruling dari atas gunung itupun terdengar lebih hebat lagi, iramanya berobah-obah, dan yang lebih aneh lagi akibat suara seruling itu, keadaan hutan yang tenang mendadak seperti digulung oleh badai angin yang datang tiba-tiba ranting, pohon bergoyang keras, daun terbang ber-guguran, begitu pula, suara-suara gerengan binatang buas dan ular-ular berbisa seolah-olah mereka tidak sanggup menahan serangan suara suling, suara gerengan-gerengan mereka semakin lama jadi semakin lemah. Macan, binatang buas dan ular-ular berbisa jadi pada lesu, suara gerengan mereka tidak begitu ramai lagi.Beng Cie sianseng sedang terkurung oleh binatang-binatang buas dan ular-ular berbisa, ia mendengar bagaimana suara seruling itu menundukkan gerengan-gerengan binatang buas juga merasakan bagaimana di dalam hutan itu mendadak timbul 105 angin topan, hatinya jadi heran. Tokoh manakah yang telah muncul di atas puncak gunung ini?Ketika itu kedua orang hutan yang mendaki ke atas, sudah tak tampak bayangannya, sedang suara seruling terdengar semakin lama semakin aneh, sebentar mengeluarkan suara seperti bumi ambles, sebentar lagi terdengar seperti suara ombak laut mengamuk, sebentar lagi suara seruling itu berubah seperti naga malaikat berkelahi mengeluarkan gerengan di angkasa, dan men-dadak berubah lagi seperti suara ratusan ribu tambur yang dipukul santer.Perobahan suara seruling itu, membuat binatang-binatang buas yang pada mengurung Beng Cie sianseng dan Kang Hoo, pada serabutan mundur ke belakang, mereka seperti diusir pergi oleh suara seruling tadi. Sedang suara gerengannya sudah tak terdengar lagi.Sedangkan Beng Cie sianseng yang mendengar suara seruling tadi hatinya juga jadi berdebaran keras, begitu pula si gadis Bauw yang berdiri di dalam gerombolan pohon ia tidak kalah kagetnya, mendengar suara suling itu, terasa jantungnya hampir mau copot. Lain halnya keadaan Kang Hoo yang sedang pingsan, ia tidak terpengaruh oleh suara seruling tadi.Sementara itu suara seruling terus terdengar, mendadak saja terjadi lagi keanehan, angin besar yang menggoyang-goyangkan ranting-ranting pohon tambah kuat, kalau semula hanya daun-daun pohon yang berguguran, kini pasir dan batu-batu gunung berterbangan, cabang-cabang pohon bergoyang- goyang keras mengeluarkan suara kerosokan, sehingga daun-daunnya terus terbang berguguran tiada hentinya, sedangkan itu binatang-binatang buas dan ular- ular berbisa yang pada lari menjauhkan diri, mendadak saja jatuh lemas di atas tanah, ular- ular berbisa meringkel, masing-masing melepotkan kepalanya. Keganasan binatang-binatang buas dan ular-ular berbisa mendadak lenyap, bahkan kini tampak badan mereka gemetaran keras, seperti minta dikasihani.Keadaan gadis Biauw tidak berbeda seperti juga keadaannya binatang-binatang peliharaannya, tubuhnya sudah gemetaran, dan mulutnya terkancing rapat, wajahnya seperti tidak sanggup menahan penderitaan, tapi wajahnya masih menunjukkan sikap tidak mau kalah. Tidak terkecuali keadaan Beng Cie sianseng, dengan lemas ia bersandar di lamping tebing di bawah lubang goa. Dan Kang Hoo masih terus melingkar pingsan.Saat itu mendadak suara seruling jadi sirap, dan keadaan hutan yang diamuk badai jadi tenang kembali kemudian terdengar lagi suara orang bicara dari atas gunung. Kau, membawa ini binatang-binatang buas untuk mencelakai orang, itu sebenarrya urusanmu sendiri, tapi bagaimana ketika aku sedang meniup seruling kau perintahkan dua orang hutanmu untuk menyerang diriku. Kalau melihat kelakuanmu ini, seharusnya aku menurunkan tangan kejam membunuhmu, tapi karena urusan disebabkan karena kau ingin mendapatkan suami, dan hatimu 106 terlalu pendek serta kurang pikir, maka aku hanya memberi peringatan padamu, dan kalau kau tahu gelagat, cepatlah bawa ini binatang-binatang buas menyingkir dari tempat ini! Berbarengan dengan akhir ucapan orang itu di atas udara terdengar suara jeritan halus terbawa angin dari dua orang hutan yang diperintah gadis Biauw menyerang si peniup seruling, kedua orang hutan itu mengeluarkan suara jeritan, lalu badannya terpental dan jatuh menggelinding ke bawah. Kemudian terdengar suara mendebuk dari dua badan orang hutan yang jatuh di tanah. Kedua orang hutan itu jatuh di tanah tidak berkutik lagi.Menyaksikan jatuhnya kedua orang hutan dari atas tebing, Beng Cie sianseng jadi kaget bercampur kagum, ia sendiri tadi telah melakukan pertempuran sampai beberapa puluh jurus menghadapi serangan seorang hutan bulu kuning. Dan dari hasil pertempuran itu, ia juga tahu kalau orang hutan ini memiliki ketebalan kulit yang luar biasa dan kekuatan sangat hebat, tapi bagaimana orang peniup seruling itu sambil bicara sanggup merobohkan dua ekor binatang hutan sekaligus hingga jatuh mampus ke bawah. Goat Khouw melihat kedua orang hutannya jatuh binasa, dengan gemasnya ia berjingkrak-jingkrak lalu teriaknya, Begitu aku mendengar suara suling, aku sudah menduga kalau kau orang bukan manusia baik-baik, karena kau mengelepot bersembunyi dalam lubang goa di atas sana, maka aku suruh dua orang hutan untuk menarik kau keluar, tidak tahunya kau telah turun tangan kejam membunuh mereka. Apa? terdengar suara orang di atas gunung, Aku membunuh, siapa yang membunuh, kau periksa, kematian kedua orang hutanmu itu apakah aku bunuh? Ia mampus karena terjatuh dari atas puncak gunung ini siapa suruh ia menyerang diriku? Hmmmmmmmm. Perempuan Biauw, aku di sini memandangi rembulan, sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu, bahkan kau di bawah sana dengan menggunakan pengaruhnya binatang buas memaksa orang menjadi suamimu. Dan dengan bertindak keterlaluan kau suruh binatang orang hutan perempuan itu untuk melakukan perbuatan terkutuk. Itu juga sebenarnya bukan urusanku, tapi karena suara gerengan binatang-binatang buasmu itu telah merusak ketenangan di sini. Maka aku terpaksa meniup seruling sedemikian rupa untuk membuat mereka jadi bungkam. Sebenarnya aku ingin mengusir kau begitu kau muncul di tempat ini, tapi dengan bertindak demikian, maka kau tentu akan memaki aku keterlaluan, tidak hujan tidak angin mengusir orang sembarangan. Mustika Gaib Karya Buyung Hok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tapi kau telah berbuat jahat mengirim dua orang hutan itu untuk mencelakai diriku, kalau 107 aku tidak menunjukan sedikit kepandaianku tentunya kau akan memandang enteng lain orang. Dan sebaliknya kau pergilah dari tempat ini jangan paksa orang untuk mengikuti kehendakmu! Mendengarkan ucapan kata-kata orang itu dengan jelas sekali, tapi Goat Khouw tak pernah melihat wajah orang di atas sana, meskipun sang rembulan memancarkan sinarnya dapat menerangi lamping gunung mata si nona Biauw tidak bisa melihat bagaimana rupa orang itu. Bahkan orang itu berada di bagian mana dari puncak gunung iapun tak tahu.Beng Cie sianseng juga mendengar dengan jelas kata demi kata yang diucapkan si peniup seruling, kening orang tua itu beberapa kali berkerut, memperhatikan arah datangnya suara. Kalau mendengar dari suara yang masuk dalam telinganya seperti orang yang bicara itu sangat dekat, tapi bagaimana suara jeritan kedua orang hutan yang jatuh dari atas tadi begitu kecil sekali hampir tak terdengar dan lama baru kedua binatang itu jatuh ke tanah, itulah menandakan kalau goa dimana orang bersuling itu bicara sangat tinggi letaknya.Kekaguman Beng Cie sianseng akibat suara seruling itu, hatinya jadi berdebaran keras, dengkulnya terasa lemas, bahkan itu binatang-binatang buas, ular-ular berbisa yang lari serabutan mundur mendadak saja jatuh roboh, hingga begitu suara seruling sirap tak terdengar binatang-binatang tadi belum berani mengangkat kepala, bahkan ular-ular berbisa, semua bergelayutan di atas dahan pohon tidak berani bergerak.Teringat akan ular emas, yang merayap di dalam goa, dengan memaksakan diri Beng Cie sianseng bangun berdiri lalu merayap naik ke atas lubang goa, memperhatikan ke dalam.Ternyata ketiga ular emas itu sudah pada jatuh di lantai goa, mereka melingkarkan dirinya, hingga tampak di dalam goa itu, tiga gumpalan kecil warna kuning emas. AAT ITU mendadak rembulanpun kembali gelap, ditutup awan, Beng Cie Sianseng yang baru saja melongok ke dalam goa dibuat kaget, karena mendadak di dalam suasana hening itu terdengarnya suara jeritan panjang yang mirip suara burung. Mendengar suara jeritan itu, gadis Biauw yang sejak tadi kehilangan akal menghadapi si orang bersuling mendadak terjengkit girang serunya, Suhu .... suhuuuuu... Beng Cie sianseng, dari depan goa yang juga mendengar suara jeritan tadi, ia segera membalik badan, dan diantara gerombolan pohon dimana itu gadis liar bangsa Biauw berdiri tampak berkelebat sesosok bayangan, Karena rembulan masih ditutup awan maka wajah orang yang baru datang itu belum bisa dilihat jelas. 108 Siapa meniup seruling? terdengar bayangan yang baru muncul bertanya pada Goat Khouw yang ternyata adalah suhu si gadis.Goat Khouw menunjuk ke atas lamping gunung, serunya, Orang itu selalu menyembunyikan kepalanya di dalam goa. Ngggg. Menggereng sang suhu.Begitu sang rembulan kembali memancarkan sinarnya, Beng Cie sianseng yang sejak tadi memperhatikan gadis Biauw dan suhunya dapat melihat jelas, wajah suhu Goat Khouw ternyata suhu gadis liar bangsa Biauw itu, adalah seorang nenek keriput, rambut nenek tadi putih seluruhnya awut-awutan tidak karuan, hampir menutupi wajahnya matanya memancarkan sinar biru, hidungnya bengkok seperti paruh betet, sedang kepalanya bundar seperti jeruk, bibirnya tebal, deretan gigi-giginya hitam mengkilat.Si nenek mendongakkan kepala ke atas ke arah yang ditunjuk Goat Khouw sinar matanya menembusi sinarnya rembulan. Dimana kira-kira, tanya si nenek pada Goat Khouw. Suhu, aku tidak tahu pasti, tapi kedua orang hutan ini binasa dari tempat yang begitu tinggi, sukar ditentukan dimana orang itu ngelepotkan kepalanya. Ngggg...... Kembali si nenek rambut putih menggereng lalu dari belakang gegernya, ia menarik sebuah tabung hitam mengkilat sepanjang delapan inch. Tabung hitam itu, lalu diputar-putarnya di tengah udara kemudian disentakkannya keras ke atas.Mendadak saja dari lubang tabung tadi meluncur segumpalan sinar merah darah ke angkasa. Di tengah angkasa, gumpalan sinar merah darah itu, pecah berserakan, meluncur keempat penjuru.Keadaan malam terang bulan itu, jadi lebih terang lagi, keadaan itu tidak bedanya seperti memancarnya kembang api dimalam Goan-siauw.Berbarengan dengan berpercikannya sinar merah darah di angkasa, si nenek rambut putih, mengeluarkan suara jeritan panjang, mirip suara burung hong, tapi jeritan itu mengandung sifat-sifat keras dan sedih menggetarkan seluruh rimba, menggema panjang berpantulan berulang-ulang. Beng Cie sianseng dipaksa mendengar suara jeritan itu, hatinya kembali jadi berdebaran, buru-buru ia duduk di samping Kang Hoo yang masih terus pingsan, ia tidak mau meninggalkan sang murid begitu saja, juga ia ingin melihat perkembangan selanjutnya, tentu tak lama lagi satu pertempuran hebat antara si peniup seruling dan si nenek pasti akan terjadi sangat hebat. Saat itu sinar merah darah yang pecah di angkasa mulai sirap, menyusul mana dari atas puncak gunung terdengar alunan suara seruling, suara seruling itu berbeda dengan suara yang pertama kali terdengar. Suara mana membawakan 109 nyanyian burung-burung kecil, terdengar merdu sekali, dan sedap bagi siapa yang mendengar, kemudian lambat laun suara suling tadi berubah keras, penuh wibawa, membuat orang mendengarnya merasa tunduk. Kalau dari atas tebing gunung dimalam rembulan itu terdengar suara seruling, maka dari bawah tebing, si nenek rambut putih terus mengeluarkan pekikkannya, melawan datangnya suara seruling itu.Berbarengan dengan pertandingan kekuatan suara itu, dari arah dimana si nenek rambut putih tadi datang, di atas angkasa meluncur delapan titik hitam, seperti bintang-bintang kecil, kian lama delapan titik hitam itu kian besar, dan jelas, rupanya itulah delapan ekor burung yang sedang terbang mendatangi. Delapan ekor burung itu memiliki sayap yang lebarnya beberapa tombak, diantaranya hanya seekor yang kecil berwarna merah, bermata kelabu. Delapan ekor burung tadi, terus meluncur ke arah dimana terdengar suara seruling. Si nenek rambut putih terus menerus memekik panjang, menyaksikan delapan ekor burung besar tadi datang terbang menerjang ke arah dimana suara seruling keluar, ia memperkeras suara pekikkannya, dan para burung tadi, tiba-tiba mempercepat terbangnya diantaranya terdengar suara pekik ganas mereka, seperti hendak menerkam si peniup seruling di dalam goa.Tapi sungguh aneh, kedelapan burung begitu sampai di depan lubang goa di atas tebing, mendadak menghentikan gerakkannya mereka hanya berputaran di sana, seperti tak sanggup terbang lebih jauh, dan dua diantaranya mendadak turun merendah.Suara seruling yang keluar dari lubang goa di atas lamping gunung, mendadak terdengar berubah keras, seperti suara geledek menyambar. Delapan ekor burung besar yang masih berputar di angkasa itu, mendadak terbang, melesat berpencaran, dan si burung merah yang memiliki tubuh kecil sudah lari lebih dulu tapi tiga ekor burung yang memiliki badan dan sayap terbesar itu, gerakan mereka agak lamban, dan ketika suara guntur seruling memecahkan kesunyian, tiga ekor burung itu sudah pada jatuh ke bawah. Burung-burung tadi menggelepar-geleparkan sayapnya menahan agar jangan sampai jatuh di tanah, tapi usaha mereka rupanya agak susah, karena burung- burung tadi telah jatuh diantara pohon-pohon Siong dan Pek yang banyak bertebaran di lereng gunung. Pohon-pohon Siong dan Pek yang terkena sambaran sayap burung yang lebarnya bagaikan daun pintu besi, pada roboh bergulingan, sedang burung-burung itu terus menggeleparkan sayapnya. Baru setelah sekian lama maka mereka baru bisa naik kembali dengan lemahnya. Meninggalkan daerah berbahaya tadi. Terbang menjauhi bagaikan ayam-ayam jago yang kalah bertarung. 110 Saat itu, keadaan Beng Cie sianseng sangat kritis, ternyata jago tua itu tidak tahan mendengar suara seruling, tubuhnya jadi lemas tenaganyapun lenyap seketika.Begitu pula keadaannya si gadis liar bangsa Biauw, ia sudah jatuh duduk di atas tanah, sedang suhunya sendiri nenek rambut putih, yang mengeluarkan suara pekikan, melawan suara seruling kini suara pekikkan itu sudah tak terdengar lagi, si nenek rambut putihpun sudah kewalahan menahan serangan suara seruling aneh tadi, dengkulnya sudah dirasa lemas tapi ia masih berusaha menahan dirinya agar tidak roboh di tanah. Yang aneh adalah keadaan Kang Hoo, ia pingsan di samping suhunya, tapi ketika suara seruling itu terdengar lagi, mendadak si pemuda menggeros, tidur kepulasan, keadaannya bukan lagi seperti orang pingsan tapi sudah seperti seorang yang sedang tidur nyenyak. Perobahan itu juga diketahui oleh Beng Cie sianseng, ia heran, tapi ia juga tidak bisa berbuat sesuatu apa, merasakan keadaan dirinya yang sangat lesu, bersandar pada batu gunung. Saat itu mendadak irama suara seruling berubah halus merdu, membawakan irama perempuan rindu menantikan sang kekasih, tapi sang kekasih yang dinanti itu tiada datang juga. Tiga orang yang mendengarkan suara irama seruling hati mereka menjadi sedih, lebih-lebih keadaan si gadis liar bangsa Biauw, keadaannya sudah demikian rupa dengan napas tersengal-sengal menggeletak di atas tanah. Tidak terkecuali si nenek rambut putih ia juga sudah jatuh duduk di atas tanah, tapi sepasang tangannya menunjang bumi seperti ia berusaha untuk bangkit berdiri. Kalau suara seruling itu membuat tiga orang tadi jatuh lemas tiada bertenaga, lebih-lebih keadaan gadis liar bangsa Biauw ia sudah jatuh pingsan tiada sadar diri, lain halnya keadaan Kang Hoo, ia terus ngorok tertidur nyenyak seperti seorang bayi tidur dinina bobokkan. Rembulan yang sering-sering tertutup awan beriring itu, membuat keadaan disekitaf hutan berubah-ubah gelap berganti terang, berbarengan dengan perubahan-perubahan suasana di dalam rimba itu, irama suara seruling yang terdengar dari atas lamping gunung, kembali berubah, lagu suara seruling itu berobah seperti suaranya hembusan angin musim semi, di mana segala kembang aneka warna sedang mekarnya, orang yang memandang merasa gembira membuat sekujur badan jadi lesu karena diganggu oleh rasa cinta menikmati pemandangan yang paling indah.Begitu suara seruling tadi melagukan suaranya angin musim semi yang sangat aneh luar biasa itu, mendadak saja si nenek rambut putih yang masih berkutet untuk bangun, tubuhnya ambruk di lantai, ia jatuh pingsan! 111 Keadaan Beng Cie sianseng demikian pula, kelesuan badannya tak tertahankan lagi pelupuk matanya terasa berat, dan ia juga tertidur pulas.Di dalam hutan di bawah tebing itu, dibawahnya sinar rembulan, tampak empat sosok manusia yang sedang tidur berpencaran, mereka seperti tidur nyenyak, diantara keempat sosok badan manusia tadi, masih terdapat ratusan binatang buas yang mendekam, binatang-binatang itu seperti mati tak bergerak sedang ular-ular berbisa melingkar di tanah, di atas pohon ular-ular itu menggelantungkan dirinya, mereka seperti mau jatuh ke tanah.Irama seruling yang membawakan lagu suara angin musim semi perlahan-lahan lenyap di telan angin gunung.Berbarengan dengan sirapnya suara seruling, mendadak saja Kang Hoo yang tidur ngorok itu mendusin, ia kaget melihat keadaan sekitarnya, suhunya di samping sedang menggeros keenakan tidur, dan tidak jauh di depannya, binatang-binatang buas dan ular-ular berbisa pada melingkar tidak bergerak. Karena rasa herannya Kang Hoo bangkit berdiri, perlahan-lahan ia melangkah maju untuk melihat apakah binatang-binatang buas itu sudah pada mampus atau bagaimana? Dan kemana itu gadis liar bangsa Biauw? Ia tak tampak bayangannya.Diantara serakan binatang-binatang buas yang mendekam. Kang Hoo melihat dua ekor orang hutan yang sudah menggeletak di tanah tidak jauh di depannya. Hatinya jadi bergidik mengingat bagaimana sifat orang hutan betina itu.Ketika ia sedang keheranan memperhatikan keadaan di sekitar rimba itu, mendadak saja keadaan jadi gelap, karena rembulan kembali ditutup awan.Kang Hoo menengadah ke atas memandang rembulan yang dilewati awan. Aaaaaa.... teriak Kang Hoo begitu kepalanya mendongak ke atas, karena di atas angkasa melayang satu bayangan putih terbang turun. Bayangan putih itu kian lama kian membesar juga. Dari bayangan itu memancar sinar terang.Begitu awan yang menutupi rembulan lewat, maka tampak jelaslah bayangan putih yang perlahan-lahan turun itu, itu bukannya burung, atau binatang terbang apapun, tapi adalah sesosok tubuh manusia yang sedang jatuh turun perlahan, tubuh orang itu melayang menelungkup ke bawah. Mata Kang Hoo terbelalak menperhatikan keadaan orang yang jatuh dari atas puncak gunung itu. Bilamana tubuh orang itu jatuh di bawah pastilah ia akan segera binasa. Ataukah memang orang itu telah mati terkena serangan orang-orang dan jatuh dari atas puncak gunung. Dan itu sinar terang yang terdapat pada badan orang itu, sinar apakah sebenarnya?Kian lama, kian jelas juga keadaan dari rupa orang yang melayang turun ke bawah itu, kepala orang itu tampak dibungkus selendang putih dan pada punggung orang tadi tampak menggelembung ke atas, itulah jubah putih orang itu yang berkembang, bagaikan sayap burung hingga meluncurnya orang itu lambat, tertahan oleh kembanga jubahnya. 112 Begitu orang yang jatuh dari atas puncak tebing sudah berada beberapa tombak di atas tanah, mendadak saja tubuh orang itu berputar berdiri lalu meluncur turun dengan cepatnya, lalu berdiri menghadapi Kang Hoo.Kang Hoo mundur beberapa tindak, kini jelaslah kalau orang yang jatuh dari atas itu bukan orang mati, tapi seorang tua berambut putih menggunakan ikat kepala putih yang masih segar bugar, di tangan kiri orang itu memegang sebuah seruling perak yang mengeluarkan cahaya terang. Yang membuat lebih heran hati si pemuda adalah jubah putih orang tua tadi, pada ujung-ujungnya terikat pada setiap pergelangan tangan dan kaki, bentuknya persis seperti sayap seekor kelelawar , dan ketika ia melayang turun ke bawah bagaikan seekor burung putih yang terbang turun. Seumur hidupnya ia belum pernah melihat kejadian seperti itu. Wajah orang tua itu putih dingin, sinar matanya memancarkan kebeningan.Perlahan-lahan orang tua berjubah putih tadi melangkah maju mendapatkan Kang Hoo yang berdiri mematung memandang dirinya.Kang Hoo ingin mundur ke belakang, tapi belum lagi kakinya bisa digerakkan mendadak saja, orang tadi telah menubruk dirinya, dan dengan jubahnya Kang Hoo dikempit dan dibawa lari meninggalkan rimba.Di dalam kempitan di bawah jubah orang tua tadi, Kang Hoo gelagapan, hampir ia tidak bisa bernapas. Terasa bagaimana diri nya seperti dibawa terbang.Haripun mulai fajar, langit di timur tampak sinarnya kuning keemasan menyorot diantara sela-sela puncak gunung.Binatang-binatang buas dan ular-ular berbisa masih meringkel di bawah udara dingin di pagi hari, Daun-daun terotolan digenangi embun.Diantara berserakannya binatang-binatang buas dan ular-ular berbisa yang pating keringkel, menggeletak tiga sosok tubuh. Itulah sosok tubuh dari dua orang perempuan Biauw tua dan muda yang sedang ngorok tidur di bawah rimbunnya daun-daun pohon. Tidak jauh dari tempat itu, di bawah kaki lubang goa tampak ngorok menggeros bersandar batu Beng Cis sianseng.Saat itu mendadak saja sehelai daun tua ditiup angin jatuh tepat di atas hidung Beng Cie sianseng. Orang tua itu jadi kaget, ia tersentak bangun, dan mana kala melihat benda yang membentur hidungnya adalah sebuah daun, daun itu ia lempar ke samping. Lalu ia menoleh ke samping kanannya, dimana waktu malam tadi Kang Hoo terjatuh pingsan dan tertidur di situ. Tapi ia jadi heran, karena bayangan si pemuda sudah tak tampak.Beng Cie sianseng berdiri memperhatikan tiga penjuru hutan itu di sana hanya tampak binatang- binatang yang masih mendekam tidak berderak dan di bawah pohon rimbun, itu dua orang perempuan Biauw masih tertidur nyenyak, sedang suara seruling aneh sudah tak terdengar lagi. 113 Begitu ia mengetahui kalau Kang Hoo sudah tak berada di tempat itu, Beng Cie sianseng memperhatikan kelompokan binatang buas dan ular-ular berbisa, pikirnya, Aku tokh dengan dua perempuan Biauw guru dan murid tidak ada permusuhan apa-apa, peristiwa malam tadi dikarenakan cintanya si gadis liar yang tak terbalas, dan bukankah gadis itu juga pernah melepas budi menolong Kang Hoo, selagi mereka belum terbangun lebih baik aku cepat meninggalkan tempat ini, mencari jejak Kang Hoo. Entah pergi kemana lagi anak gila itu? Setelah berpikir begitu Beng Cie sianseng mengambil pedangnya di tanah, kemudian dimasukkan dalam serangka lalu diselipkan dimana gegernya. Dengan hati-hati ia meninggalkan hutan tadi. Sedang kedua perempuan Biauw guru dan murid yang telah terkena pengaruh suara seruling yang memilukan dan menyedihkan malam tadi masih belum bangun, ia masih tidur terus bersama binatang-binatang buas dan ular-ular berbisa peliharaannya. MATAHARI mencorong tepat di tengah langit. Suara angin menderu. Puncak- puncak gunung menjulang tinggi ke angkasa.Diantara suara deruan angin dan mencorongnya sinar matahari, melesat sesosok bayangan putih menembusi awan ke atas puncak gunung paling tinggi.Begitu kepulan awan mengambang di tengah lereng gunung dilewati, bayangan tadi melesat terus bagaikan anak panah terlepas dari busurnya memasuki sebuah goa. Di dalam goa, bayangan putih itu mengembangkan tangannya, dan dari dalam balik jubah putihnya, keluar terhuyung-huyung mundur seorang pemuda tampan. Hmmm. Gumam bayangan putih tadi, Di sini goa Hoa-ie-tong di atas puncak gunung Hong-tong-san, kau istirahatlah! Pemuda tadi bukan lain adalah jago muda kita Kang Hoo, begitu ia terlepas dari kempitan orang tua jubah putih sudah lantas terhuyung-huyung, kemudian begitu ia berhasil mengendalikan dirinya, ia memandang pada orang tua berjubah putih.Di tangan orang tua itu masih memegang sebuah seruling peraknya. Kau...... aki-aki....... siapa? Tanya Kang Hoo heran. Bocah, seru si orang tua jubah putih, Kau istirahatlah, setengah hari lebih kau dalam kempitan jubahku. Nah! makanlah buah-buah yang tersedia. Goa ini tempat pertapaanku. 114 Mana suhuku? Tanya Kang Hoo. Si tua tak berguna itu, ketika kau kubawa ke tempat ini ia masih tidur di bawah kaki gunung. Mungkin saat ini ia sudah meninggalkan tempat itu. Dan gadis Biauw itu? Eh, kau mencintai gadis liar itu? Tanya si orang tua. Kang Hoo menundukkan kepala, ia tidak bisa menjawab tegas pertanyaan orang tua itu. Hatinya bingung, dan tiba-tiba saja ia bertanya lagi Bagaimana binatang buas dan ular-ular berbisa dan mereka itu bisa pada tidur kepulasan? Kau makan dulu. kata orang tua jubah putih, kemudian ia membalikkan tubuh lalu keluar goa. Meskipun waktu itu perut Kang Hoo sudah dirasa lapar, tapi karena menghadapi persoalan aneh itu, ia tidak segera mencari makan, lari keluar goa.Di lubang goa angin dingin santer meniup dari sobekan-sobekan bajunya terasa angin itu menusuk bekas luka-luka di badan Kang Hoo bahkan mata Kang Hoo sendiri terasa perih.Sejauh mata memandang, di sana hanya tampak beberapa buah puncak gunung tinggi, sedang kaki gunung tak kelihatan, karena diantara celah-celah gunung di bawah sana tampak mengambang awan putih menebal bagaikan kapas.Badan Kang Hoo sedikit gemetaran memandang ke bawah, ia menyurutkan langkahnya masuk kembali ke dalam goa. Sedang itu bayangan si orang tua bersuling entah sudah kemana lenyapnya.Di dalam goa, Kang Hoo memperhatikan sekitarnya, ternyata bagian itu terdiri dari dua ruangan, ruangan depan dan ruangan belakang, di bagian belakang terdapat sebuah pembaringan terbuat dari kayu, keadaannya lebih luas dari bagian luar.Meskipun keadaan di dalam goa itu agak gelap remang-remang tapi Kang Hoo sudah bisa melihat kalau dalam goa itu keadaannya bersih.Di sudut pojok goa depan terdapat sebuah paso berisi beberapa butir buah kemerah-merahan.Kang Hoo mengambil sebutir buah, dicium-ciumnya sebentar, buah itu wangi seperti buah apel maka segera juga digigitnya. Terasa garing manis.Baru saja ia menghabiskan sebutir buah, si orang tua berambut putih sudah balik kembali.Datang dan perginya orang tua berambut putih tadi sangat cepat, membuat Kang Hoo kagum, kalau dibandingkan dengan Beng Cie sianseng, orang tua ini tentunya lebih tua dua kali lipat. Tapi gerakannya sungguh gesit luar biasa.Orang tua itu, begitu berada di dalam goa, ia memandang sejenak pada si pemuda, kemudian dengan melangkah ringan ia berjalan ke goa belakang. Sambil jalan orangtua itu berkata, Setelah selesai makan kau masuklah ke goa belakang, aku hendak bicara! Sebenarnya perut Kang Hoo masih dirasa lapar, tapi mendengar kata orang tua rambut putih itu, ia segera berjalan mengikuti langkah si orangtua memasuki goa 115 belakang di mana terdapat pembaringan kayu.Begitu Kang Hoo tiba dalam kamar goa itu, si orang tua telah duduk bersila di atas pembaringan, dan begitu ia meiihat Kang Hoo sudah menyusul datang, tangannya menunjuk ke arah sudut goa, katanya, Kau ambillah tikar di pojok sana, gelar di bawah, lalu duduk bersila. Kang Hoo menuruti kehendak orang tua baju putih itu. berjalan ke pojok goa, dan sana ia mengambil sebuah tikar anyam, kemudian dibawanya ke depan pembaringan kayu dimana si orang tua duduk bersila, tikar anyam itu digelarnya, ia lalu duduk bersila menghadapi si orang tua. Aku tidak kenal padamu! seru si orang tua rambut putih. Tapi karena kelakuan liarnya si gadis Biauw dan suhunya, aku merasa tertarik pada kekukuhan hatimu. Nah sekarang kau ceritakan, bagaimana kau sampai terlihat urusan asmara dengan gadis liar bangsa Biauw itu, dan siapakah orang tuamu? Mendapat pertanyaan demikian, dengan rasa sedih, Kang Hoo menceritakan asal usul dirinya, dan bagaimana sang ayah telah dibunuh mati oleh orang-orang seragam hitam yang tak dikenal. Hingga akhirnya ia berada di dalam hutan di lereng gunung itu, bersama gadis liar bangsa Biauw yang menuntut ia agar bersedia menjadi suaminya.Semua peristiwa itu diceritakan dengan jelas dan panjang lebar. Oang tua berambut putih manggut-manggut kemudian katanya, Jadi kau menganut agama baru itu? Hmmm, tak kusangka! Tak kusangka! Agama itu masih bisa merembes masuk ke dataran Tionggoan, dan orang golongan aneh itu juga tidak mau berhenti menumpas, belum bisa menerima kehadirannya agama baru. Cianpwee, potong Kang Hoo Apakah mengetahui tentang agama baru itu? Islam! kata si orang tua tegas, Aku bukan saja tahu, bahkan aku pernah mengembara ke negeri asal dimana agama itu muncul, dan aku juga telah mempelajari agama itu boleh dikata sempurna. Aaaaaa......jadi cianpwe ini beragama Islam. seru Kang Hoo kaget. Heee, heee ...... Orang tua rambut putih tertawa riang, Sejak kecil aku mendapat didikan agama Budha, aku anak yatim piatu hidup dan dibesarkan dalam vihara, setelah dewasa aku mengembara mencari guru silat, dan pada beberapa tahun aku berhasil mendapatkan nama daerah utara dan selatan sungai Hong-ho, orang-orang memberi aku julukan Pek kut Ie-su, dan namaku sendiri Kong sun But Ok hampir kulupakan karena tenggelam oleh nama julukanku yang menakutkan itu. Memang keadaan manusia itu sewaktu-waktu bisa berubah. Setelah aku berusia tigapuluh lima tahun, mendadak kembali aku rindu akan ajaran Budha maka kembali aku mengasingkan diri bertapa mempelajari agama, sejak itu aku tidak mau turut campur lagi urusan dunia. Tambah lama aku mempelajari agama Budha itu, bertapa 116 di tempat sunyi hatiku tambah tenang, keadaan jiwakupun tambah kuat. Entah bagaimana pada suatu hari terbetik satu pikiran, bukankah Budha itu di bawa oleh sarjana kita diantaranya sarjana Hwei Hseng dan Sung Yud dari negeri India, kedua sarjana itu membawa bermacam-macam buku Budha Mahayana, semua itu aku telah pelajari. Mengingat akan asal agama itu timbul niatku untuk mengunjungi India. Maka segera juga aku berangkat mengambil jalan darat, tapi di tengah jalan aku mendengar tentang adanya agama baru yang merembes di perbatasan Tiongkok, asal agama baru dari negeri Arabia. Men-dengar itu, hatiku berubah, ingin aku mengunjungi negara Arabia dan mempelajari seni bentuk dan ragamnya agama itu, lalu niat itu kulaksanakan. Tanpa memperdulikan penderitaan. Aku akhirnya mengembara ke negeri orang, itulah benua Arabia asal dari agama yang kau anut. Hampir dua puluh tahun aku di sana, mengembara dari pojok ke pojok dunia Arab. Dan kini kau boleh panggil aku Haji ... berkata sampai di situ, si orang tua menghela napas, memandangi Kang Hoo yang duduk bersila mendengarkan dengan penuh perhatian. Kongsun But Ok berkata lagi, Setelah aku kembali ke negeri kita, aku bertapa di tempat ini, menghubungkan kedua macam agama yang pernah aku pelajari. Dari penyelidikanku, aku dapat menyimpulkan bahwa dari kedua agama itu mengandung inti sari kejiwaan yang sangat dalam dan kalau saja manusia berhasil menguras inti sari ilmu kejiwaan dari dua ajaran agama itu digabung menjadi satu. Maka akan timbul satu kekuatan tenaga bathin yang sangat luar biasa dan aneh. Sejak berpikir begitu aku memperdalam kedua ajaran agama itu dalam segi kerohanian. Dan akhirnya setelah memakan waktu belasan tahun kemudian berhasillah aku menciptakan satu ilmu kekuatan bathin yang bersumber dari kemurnian jiwa! Sampai di situ, Kongsun But Ok Pek-kut Ie-su menatap wajah Kang Hoo yang duduk bersila di bawah pembaringannya.Kang Hoo sendiri yang mendengarkan cerita si orang tua, ia mendengarkan dengan melompongkan mulut, dan takkala si orang tua menatap wajahnya, ia bertanya, Jadi cianpwe, adalah Kongsun But Ok Pek- kut Ie-su yang pernah menggemparkan rimba persilatan pada tiga puluhan tahun yang lalu? Nnnggg, kau jangan sebut lagi julukan Pek kut Ie-su, julukan itu sudah tidak cocok dengan keadaanku sekarang. Kau boleh panggil saja aku Haji Kong-sun But Ok, aku lebih senang mendengar sebutan itu, bukan? Kang Hoo mengangguk-angguk katanya, Hamba, pernah mendengar nama itu dari suhu. Harap cianpwe jangan gusar. Anak tolol! seru Kong-sun But Ok. Kau panggil aku Haji Kong-sun But Ok apa, sudah paham. Hamba paham. seru Kang Hoo. Paham apa? tanya Haji Kong-sun But Ok. Hamba sedang berhadapan dengan Pak Haji Kong sun But Ok. kata Kang Hoo. Mustika Gaib Karya Buyung Hok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo 117 Ha, .... ha .... haaaaa, haaaaaa ....hua ... a..... tertawa berkakakan Kong sun But Ok, Begitu, begitu, kau mesti panggil aku Haji Kong-sun But Ok. Hua haa .... haaaaa .... aaaa bocah apa kau sudah sembahyang Dhuhur, hmmm, ehe heee.....heee..... Mendengar pertanyaan itu, Kang Hoo kelabakan, hatinya berdebar keras, bukankah sembahyang itu wajib bagi dirinya tapi selama ini ia tidak pernah melakukan sembahyang itu, maka dengan gugup ia berkata, Pak .... haji , ..selama ini ......hamba tidak lagi melakukan sembahyang, ini karena keadaan hamba yang terus-terusan dikejar-kejar orang jahat, tapi hati sanubari hamba tetap yakin kepada Nya dan utusan Nya Nabi besar Nuhammad! Heheee ...... he heeee .... heeeees ..... Kong-sun But Ok tertawa terkekeh, Mengapa kau mesti takut mengakui kenyataan, aku sendiri tidak pernah melakukan sembahyang .. Eh, tapi .... tapi .... bukankah pak Haji wajib melakukan lima waktu itu, itulah wajib dalam rukun agama , tanya Kang Hoo. Heheee .... aku tahu. kata Kong-sun But Ok, Karena sejak aku kembali dari negeri Arabia, aku sibuk dengan menyelidiki persamaan dan perbedaan antara agama yang lama dan agama yang baru, hingga aku tak sempat melakukan sembahyang tapi aku yakin Allah itu Pemurah dan Pengasih. Semoga ia mengampuni dosaku, dan hal yang wajib itu, bukanlah hanya sembahyang lima waktu, kau tentunya juga tahu mencari ilmu dan menolong orang sengsara itu juga wajib. Nah aku telah menjalankan kewajiban mencari ilmu itu, selama ini waktu kuhabis untuk mencari ilmu. Dan akhirnya aku berhasil, heeehee heeee .... heeee ..... Kembali si orang tua tertawa berkakakan. Mendengar dan menyaksikan sikap orang tua itu hati Kang Hoo jadi kebingungan, mengapa ucapan orang tua ini agak melantur, dan suara tertawanya tadi, bukankah seperti suara tertawa orang gila. Maka pikir Kang Hoo dalam hati, Apakah aku ini berhadapan dengan seorang Haji gila? Eheee .... Nona Berbaju Hijau Karya Kho Ping Hoo Merdeka Atau Mati Karya Kho Ping Hoo Perangkap Karya Kho Ping Hoo