Mustika Gaib 7
Mustika Gaib Karya Buyung Hok Bagian 7
Mustika Gaib Karya dari Buyung Hok Suling ini kudapatkan dari seorang sahabat di negeri Bagdad, ia seorang ahli dalam ilmu sihir, ia juga bisa memelihara jin dan setan, Guru .... Ambillah! seru sang guru.Kang Hoo terharu menerima pemberian gurunya, meskipun ia tidak tahu apa gunanya suara suling yang selama dua tahun ini dilatihnya, gurunya sendiri tidak pernah menerangkan kegunaan suling ini. Lebih- lebih pada dua tahun yang lalu sewaktu sang guru meniup seruling tadi di atas puncak gunung menaklukkan binatang-binatang buas dan ular-ular berbisa juga bisa membuat orang jadi tidur kepulasan. Waktu itu Kang Hoo dalam keadaan pingsan, dan jiwanya yang mendengarkan suara seruling itu juga telah terpengaruh dari jatuh pingsan ia berubah menjadi tidur ngorok.Setelah menyelipkan seruling itu di pinggangnya. Kang Hoo baru bertanya, Suhu, kawan suhu itu di negeri Bagdad bagaimana bisa memelihara setan. Dan apa itu Jin? Mhm. sang guru tersenyum, Memang aneh-aneh kejadian didunia ini. Lebih- lebih negeri Bagdad itu, di sana banyak keanehan seribu satu macam. Tentang Jin, aku sendiri tidak tahu bagaimana bentuk dan rupanya. Karena seumur hidupku aku belum pernah melihat bagaimana rupanya Jin itu? Tapi orang-orang negeri sana bisa memerintahkan Jin itu untuk mencelakai orang yang tidak disukainya? Apa seperti Hoat-sut? kata Kang Hoo. Hoat-sut, kata sang guru Sedikit ada persamaan dan perbedaan. Nah, hari ini kau sudah selesai, merampungkan latihanmu. Kau tentunya ingin melihat bagaimana hasil latihan itu bukan? Kang Hoo mengangguk kepala. Bagus! kata sang guru. Kau pergilah keluar goa. Kemudian, 138 kau terjunlah ke bawah tebing. Mendengar kata-kata gurunya itu, mendadak saja sepasang mata Kang Hoo terbelalak lebar, ia mundur dua tindak. Bagaimana ia disuruh lombat terjun keluar goa. Puncak gunung ini begitu tingginya dan keadaan tebing di bawah goa sangat curam, di bawah tebing tertutup awan menebal tidak ketahuan dasarnya. Kini gurunya menyuruh ia lompat ke bawah. Bukankah itu berarti sang guru menyuruhnya bunuh diri? Sedangkan sampai dimana kekuatan dan kegunaan ilmu Karakhter sampai hari ini belum diketahui jelas buktinya, ia hanya mendengar dan menerima pelajaran itu teorinya, sedang prakteknya sama sekali belum pernah dilatih kecuali tapa. Kau takut? tanya Haji Kong-sun But Ok bersila di atas pembaringan kayu. Guru.. Apa kau takut? potong sang guru Kematian di tangan Tuhan bukan? Nah dengan lompat ke bawah jurang ini, kau juga menguji dirimu sendiri apakah kau berhasil melatih ilmu itu. Kalau kau sampai mampus di bawah jurang itu berarti kau tidak berhasil mencapai ilmu Karakhter! Guru, teecu tidak takut! kata Kang Hoo kemudian ia bangkit membalik badan, jalan keluar goa.Sang guru memandang kepergian murid itu, ia tersenyum memejamkan sepasang matanya.Sementara Kang Hoo tanpa menoleh ke belakang ia sudah berada di pinggir lobang goa memandang ke bawah.Jauh di bawah sana merupakan tebing curam, dipenuhi kepulan awan, tak tampak bagaimana dasar jurang ini. Apakah itu merupakan hutan lebat, atau merupakan tonjolan batu gunung. Tapi hatinya mendadak berkata, Ketika pertama kali aku bertemu dengan guru haji ini, ia tokh turun dari puncak gunung menggunakan jubahnya. Apakah hari ini ia ingin menguji ketabahan hatiku. Dan tentunya setelah aku lompat turun pastilah guru turun mengejar dan membawa aku kembali ke atas goa. Setelah berpikir begitu, maka lompatlah Kang Hoo keluar goa.Sementara itu, Kong-sun But Ok yang duduk bersila di atas pembaringan kayunya setelah mendengar kesiuran angin lompatan sang murid ia memejamkan matanya bibirnya tersenyum, lalu wajahnya menunduk ke bawah dan kedua tangannya diletakkan di atas lutut.Setelah mengatur duduk demikian rupa, Kong sun But Ok menarik napas panjang, tarikan napas itu panjang sekali kemudian tubuhnyapun lemah terkulai menunduk. Napasnya terhenti seketika.Si orang tua aneh itu ternyata telah menghembuskan napasnya yang penghabisan. Kang Hoo yang lompat terjun keluar dari dalam goa, badannya melayang-layang turun berputaran dimainkan angin gunung. Kian lama sang badan kian merosot turun mendekati kepulan awan. Ia masih mengharapkan kedatangan gurunya yang memberi pertolongan. Tapi sang guru yang dinanti itu tidak kunjung datang. Sedang badannya terus berputar turun ke bawah. Ia belum tahu kalau gurunya telah menghembuskan napasnya yang penghabisan. Pulang ke alam baka.Sementara kita tinggalkan keadaan Kang Hoo 139 yang terapung-apung jatuh dari atas lamping gunung. Nasib apa yang akan dialami olehnya? Apakah benar ia telah berhasil meyakinkan ilmu aneh dari sang guru. Ataukah selama dua tahun itu ia melatih ilmu yang sebenarnya dianggap mustahil, dan ia hanya menjadi alat percobaan dari Kong-sun But Ok dalam melakukan percobaan ilmu tenaga dalam terbaru yang diberi nama ilmu Katakhter.Apakah benar Kang Hoo, telah digunakan sebagai kelinci percobaan oleh Kong-sun But Ok? Ataukah ia memang benar-benar telah berhasil meyakinkan ilmu tenaga dalam yang bersumber dari intisari dua macam kekuatan ilmu bathin dari dua golongan agama yang dipadu menjadi satu dan di beri nama ilmu Karakhter.Pada bab-bab berikutnya kita akan bisa melihat dan mengikuti bagaimana perkembangan nasib Kang Hoo.Meninggalkan keadaan Kang Hoo yang masih jatuh ke bawah lamping gunung curam, kita kembali mundur ke belakang melihat keadaan Siong In di bagian penjuru dunia yang lain. DENGAN GIGIH DAN SEJAK semalam suntuk Siong In membantu Kang Hoo dari kekangan orang-orang topeng hitam. Dipagi hari itu dikala Kang Hoo telah dibawa terbang oleh gadis Biauw. Dan dikala ia menghadapi keroyokan orang-orang topeng hitam, mendadak muncul sang ayah. Tapi sikap dan gerak-gerik sang ayah yang selama beberapa belas tahun lenyap dari rumah, kini sangat aneh dan misterius.Setelah sang ayah kembali lenyap mendadak, di dalam rimba, Siong In berdiri mematung, baju merahnya berkibar-kibar ditiup angin, otak si gadis penuh terisi pikiran bercabang tiada ujung pangkal. Mengetahui kalau di dalam hutan itu sudah tak kedapatan seorang manusiapun, ia menengadahkan kepalanya ke langit, mengenang akan wajah Kang Hoo yang terluka sejak satu malam itu dilindunginya dari tangan jahat orang seragam-hitam, dan kini telah lenyap, Siong In tidak tahu, bagaimana perkembangan nasib Kang Hoo yang telah dibawa lari oleh gadis Biauw.Hati Siong In kecewa, karena pemuda itu telah dibawa kabur oleh lain gadis yang memelihara burung raksasa.Setelah menghela napas Siong In melesat meninggalkan hutan itu, melanjutkan pengembaraannya.Hari demi hari dilewatkan dalam kesepian, jalan gunung dan rimba bukan halangan baginya, dan tanpa dirasa akhirnya dua tahun telah dilewati.Selama dua tahun mengembara, pengalaman si nona bertambah banyak, pedang pemberian ibunya entah sudah melukai berapa banyak orang jahat dan kaum berandal, hingga dalam dua tahun itu telah tersiar berita tentang munculnya satu nona baju merah gagah perkasa yang tak mau dikenal namanya. Karena pada setiap kali Siong In turun tangan membantu yang lemah menghancurkan kaum penjahat dan berandal-berandal ia tak pernah menyebut-nyebut namanya.Manakala 140 dipagi hari Siong In keluar dari jalan pegunungan, ia memasuki propinsi Ouw- lam.Pemandangan alam dalam propinsi Ouw lam sebenarnya tidak beda dengan keadaan pemandangan di kampung halamannya sendiri, tapi bagi pendatang asing, tentunya pemandangan alam yang baru dilihatnya itu terasa indah dan menyenangkan hati.Hari itu masih pagi, jalan rimba yang sempit di propinsi Ouw- lam, penuh dengan serakan daun-daun tua yang rontok ditiup angin malam tadi, di kiri kanan jalan merupakan semak-semak belukar dan batang batang pohon besar berjejer tiada teratur.Keadaan jalan yang senpit dan sunyi kian siang tambah ramai, satu-satu ia bertemu dengan orang yang lewat, kadang-kadang mereka jalan berombongan, bergegas. Ada pula yang menunggang kuda. Gerakan mereka seperti sedang memburu sesuatu, dan corak dandanan mereka bermacam ragam.Melihat keramaian itu, hati Siong In jadi gembira, karena tak lama lagi tentu ia akan tiba di sebuah kampung atau kota. Seumur hidupnya belum pernah Siong In keluar pintu rumah, dalam dua tahun itu ia mengembara dengan membekal ilmu silat dan sebatang pedang. Pengalaman yang telah didapatnya dalam dua tahun ini membuat hatinya tambah mantap karena ilmu silat yang ia pelajari dari gurunya, nikho aneh itu dapat diandalkan untuk menjaga diri.Siong In yang pakaian merahnya sudah dekil, dan wajahnya yang kotor penuh debu, menutupi kecantikannya Tapi keadaan itu lebih menguntungkan dirinya. Karena setiap mata laki-laki yang memandang wajah si nona yang kotor itu mereka hanya tersenyum lalu bergegas menuju tujuan masing- masing.Di pinggir jalan di dalam rimba itu, dengan langkah kaki ringan Siong In terus menuju ke arah orang-orang yang lewat.Selagi ia memperhatikan keadaan jalan dan menikmati cahaya matahari di timur, mendadak saja kembali ia mendengar suara langkah kaki kuda yang ramai di belakang dirinya.Siong In menoleh ke belakang, tidak jauh di belakangnya berlari sembilan ekor kuda dengan kencangnya. Gila, jalan begini sempit mereka melarikan kuda semau-maunya! pikir si nona sambil lompat masuk ke dalam semak-semak belukar, menghindari tubrukan kuda- kuda yang berlari kencang itu.Bertepatan dengan lompatnya Siong In rombongan berkuda lewat, dan salah seorang penunggang kuda menoleh ke arah semak belukar dimana Siong In lompat masuk. Dari mulut orang itu terdengar berkata, Potongannya bagus, tapi tampangnya sedikit kumal. Siong In mendengar suara itu yang kemudian lenyap ditelan derapnya kaki kuda. Hidung belang! gerutu Siong In, sambil lompat kembali ke pinggir jalan.Yang beberapa lie lagi, Siong In tiba di tepi sebuah telaga. Dari tepi ia memandang jauh ke tengah telaga, diantara riaknya air telaga, berlayar hilir mudik beberapa perahu layar. Di seberang telaga tampak deretan 141 pegunungan nan menghijau, di seberang sana juga tampak samar-samar sebuah bagunan berloteng.Siong In asyik menikmati keindahan pemandangan di tengah tefaga, mendadak ia teringat akan rombongan orang-orang yang menuju ke arah ini, seingat si nona jalan yang dilewati tak bercabang, tentunya mereka semua menuju ke tempat ini, tapi di tepi telaga ini mengapa sunyi dan rombongan orang- orang itu kemana perginya?Selagi Siong In bertanya-tanya dalam hatinya mendadak dari sebelah kiri pantai berlari seseorang mendatangi. Mendengar suara langkah kaki orang itu. Siong In menoleh, ternyata itulah seorang muda berusia duapuluh tahunan, mengenakan baju dan celana pendek hitam. Wajahnya sedikit kehitam-hitaman.Pemuda tadi begitu tiba di samping Siong In, ia segera bertanya, Nona, apa hendak menyeberang? Mari naik perahuku. Siong In belum tahu nama telaga itu, ia bertanya, Ini telaga apa? Eh, apa nona tidak tahu? balik tanya tukang perahu. Inilah telaga Tong-Seng, tempat yang paling indah dalam propinsi Ouw-lam. Di seberang telaga terdapat loteng Gak-yang-louw yang terkenal, dari atas loteng orang bisa menikmati pemandangan di sekitar telaga sambil minum arak. Mendengar keterangan tukang perahu, Siong In memandang ke seberang telaga, kemudian katanya sambil menunjukkan jari, Bukankah loteng itu disebut Gak yang-louw. Dan apa kau melihat beberapa rombongan orang berkuda datang kemari? Si tukang perahu mengkerut kening, berpikir sebentar kemudian katanya, Hari ini sejak pagi, banyak orang berkuda menyeberang ke sana. Rombongan mana yang nona maksud? Mendengar ucapan tukang perahu, Siong In sudah tahu kalau orang-orang yang tadi lewat menuju ke seberang telaga, maka ia tidak segera menjawab, tapi memandang ke tengah telaga dimana tampak aneka warna kain layar perahu sedang berkembang melaju mengikuti angin turutan.Setelah memandang aneka warna layar-layar perahu yang bergerak ke seberang, baru Siong In berkata, Mana perahumu? Si tukang perahu, menunjuk ke arah kiri, katanya, Di sana aku bersama ayahku hidup dari penghasilan ini. Siong In mengikuti arah yang ditunjuk tukang perahu muda, benar saja diujung kiri tepi telaga di bawah pohon terdapat sebuah perahu layar yang sedang bergoyang dimainkan riak air.Siong In yang ingin menambah pengalamannya sekalian bertamasya menikmati pemandangan, tanpa banyak pikir lagi lalu meminta si tukang perahu menyebrangkan dirinya.Dengan girang si tukang perahu membawa Siong In ke tempat perahunya, di sana sudah menunggu tukang perahu tua, kemudian ia lebih dulu menarik perahu tadi ke tepi agar si nona dengan mudah naik ke atas perahu..Tapi Siong In yang pandai silat, mendadak dengan ringannya telah lompat ke atas dek perahu.Dua orang tukang perahu menyaksikan gerakan Siong In mereka memandang melongo, setelah Siong In lompat ke atas 142 dek perahu, si tukang perahu tua, segera memasang layar.Sementara tukang perahu muda membawa masuk Siong In ke dalam gubuk perahu. Siong In yang telah duduk di dalam gubuk perahu, ia memperhatikan kedua ayah anak tukang perahu, mereka memiliki wajah jujur dan manis budi.Tukang perahu yang muda baru berusia 20 tahun bernama Sam Su.Di dalam gubuk perahu, sambil melayani Siong In, si tukang perahu muda Sam Su bercerita tentang pengalaman hidupnya.Ia menceritakan bahwa sejak kecil ia sudah biasa hidup di atas ombak, dan sebelum mereka menjadi tukang perahu, pekerjaan mereka memancing atau menjala untuk menyambung hidup.Dan baru pada beberapa tahun belakangan ini, mereka ayah dan anak membuat sebuah perahu untuk mengangkut penumpang dan barang, mereka telah paham seka1 dengan perjalanan air di tempat propinsi sekitarnya.Juga mereka memiliki silat pengagum pada keindahan alam.Sam Su Juga menceritakan, bagaimana indahnya pemandangan dari atas loteng Gak yang louw yang tersohor, pulau-pulau kecil tampak seperti terapung- apung di tengah air, telaga biru muda yang berombak-ombak. Siong In yang mendengar kalau si tukang perahu telah mengenal daerah sekitarnya, juga Sam Su pandai bercerita, maka timbul rasa girangnya, dalam perjalanan itu ia tak merasa kesepian, ia yang baru saja mengembara di rimba persilatan, senang sekali mendengar cerita-cerita yang terjadi di atas muka bumi, dan saking girangnya maka ia menyatakan untuk pesiar ke sekeliling telaga dan sebelumnya minta diantar dulu ke loteng Gak-yang-louw ia ingin melihat bagaimana loteng Gak-yang-louw yang sering disohorkan orang.Si tukang perahu mendengar kalau muatannya hendak pesiar, maka ia telah jadi bersemangat, dan mengatakan suka menjadi penunjuk jalan. Siong In yang merasa kuatir kalau biaya perjalanannya kurang, maka ia telah mengeluarkan beberapa belas tail perak dan diserahkan pada si tukang perahu, katanya, Apa dengan jumlah uang ini cukup untuk pesiar? Sam Su yang melihat si nona menyodorkan uang, ia jadi gugup katanya, Nona, separuh dari itu sudah cukup untuk satu hari pesiar, dan biasanya pembayaran selalu dibayar belakangan. Hmmm. Kalau begitu kau simpan separuh uang ini seru Siong In. Sam Su semula menolak, tapi karena si nona memaksa maka sambil mengaturkan terima kasih ia menerima uang sewa perahu. Di sepanjang perjalanan mereka mengobrol, maka Siong In tidak merasa kesepian. Siong In yang mendadak teringat akan rombongan orang-orang berkuda, dan beberapa orang-orang rimba persilatan yang ia temui di tengah jalan maka ia bertanya, Apa orang-orang yang sejak pagi tadi berduyun-duyun kemari itu juga menyeberang kesana untuk minum arak di atas loteng Gak-yang-lauw? . Sam Su mendengar pertanyaan si nona, ia 143 tidak menjawab, menoleh ke arah belakang kemudi, memandang sang ayah.Melihat kelakuan Sam Su, si nona sedikit curiga, ia juga mengikuti pandangan Sam Su menoleh ke arah si tukang perahu tua.Si tukang perahu tua sambil mengangguk kepala berkata, Apa salahnya, ceritakanlah! Mendengar itu Sam Su lalu menghadapi Siong In, katanya, Nona rupanya datang dari tempat jauh tidak heran bila tidak mengetahui keadaan tempat di sini dan apa yang terjadi. Aku yang seumur hidup tinggal di daerah ini sedari kecil bila ada waktu senggang suka kasrak kusruk ke gunung-gunung dan ke hutan-hutan, tapi selama hidup belum pernah menemukan suatu kejadian yang aneh, tapi pada beberapa hari ini telah muncul satu peristiwa yang sangat mengherankannya, suatu peristiwa yang sangat menggemparkan telah terjadi. Peristiwa apa? potong Siong In. Ah ..itu ..itu .... jawab Sam Su, Sebenarnya aku sendiri hanya mendengar kabar burung, kalau di puncak Kun san telah muncul beberapa hweeshio jahat, hweeshio itu telah merampas beberapa buah kelenteng, Tapi selama itu mereka belum sanggup merampas satu kelenteng, itulah kelenteng Tiok-san-koan. Dan itu hweeshio-hweeshio jahat sebenarnya bersarang pada kelenteng Ceng-hie-koan. Mendengar cerita sampai di situ Siong In memotong, tanyanya, Mau apa itu hweeshio-hweeshio jahat merampas kelenteng orang? Itulah. kata Sam Su Sejak dahulu kala di atas Kun-san, para Lama dan Tosu, selain mendapatkan hasil dari uang hio dalam kelenteng, mereka juga bercocok tanam. Para hweeshio jahat ada kemungkinan tertarik oleh uang hio kelenteng, mereka mengacau dan merampas kelenteng yang ada di Kun-san. Tapi sampai hari ini kelenteng Tiok-san koan merupakan satu-satunya kelenteng yang tak mampu mereka rebut. Telah terjadi beberapa kali para tosu jahat datang mencari onar, dan bermaksud merebut kelenteng itu dengan kekerasan. Tetapi, tanpa terjadi perkelahian apapun, tidak perduli bagaimana galaknya para tosu jabat yang mencoba membunuh ketua kelenteng Tiok-san-koan, tapi buntutnya tosu-tosu jahat yang hendak mencari onar mendadak ngelepot balik dengan lesu. Hingga kelenteng Tiok-tan-koan tidak bisa direbut oleh golongan tosu jahat. Kejadian itu sesungguhnya sangat membingungkan orang, karena semua orang tahu ketua kelenteng Tiok-san-koan adalah seorang tosu yang betul-betul memegang aturan agama, dan kalau dilihat gerak-geraknya setiap hari, sedikitpun ia tidak mempunyai sedikit kepandaian, tapi herannya bagaimanapun galaknya tosu-tosu jahat yang akan merebut kelenteng, begitu berhadapan dengan ketua kelenteng Tiok-san-koan, mereka mundur teratur. Bukankah kejadian itu sangat aneh? Mendengar sampai di situ Siong In berkata, Apa bubungannya kejadian itu dengan orang-orang yang pagi ini datang ke tempat ini? Inilah. kata Sam Su Entah bagaimana berita itu bisa tersebar luas? 144 Berita apa? tanya Siong Ia mendesak' Coba ceritakan yang jelas. Begini, jawab Sam Su. Di dalam kelenteng Tiok-san koan, tinggal seorang tosu, ia selalu mengenakan pakaian rombeng. Dia tidak seperti tosu-tosu lain membaca kitab, tetapi pekerjaannya sehari-hari minum arak sampai mabuk. Kadang-kadang ia sampai satu atau dua tahun lamanya meninggalkan kelenteng, baru balik kembali. Karena ketua kelenteng orangnya baik, dan tosu-tosu lainnya kebanyakan jujur dan baik hati, maka mereka tidak mau ambil pusing atas kelakuan tosu pemabukan itu, malah kerap kali ketua kelen-teng sendiri membelikan seguci arak baik, dihadiahkan untuk dia mabuk-mabukan. Menurut penduduk Kun-san, tosu pemabukan itu tidak mempunyai she, dan namapun tidak punya, karena ia sering mabuk-mabukan orang-orang menyebutnya Cui tojin. Cui tojin tinggal dalam kelenteng Tiok-san-koan bukan sedikit tahun, usianya juga sudah tua, tapi wajahnya sama seperti ketika ia muda dulu, dan tidak pernah kelihatan menjadi tua. Dia sering keluar kelenteng mabuk mabukan di luaran, Kadang-kadang ia pergi juga ke Gak-ciu, pesiar di jalan jalan ...... Selanjutnya Sam Su menceritakan bahwa,Pada suatu malam ketika di dalam kelenteng diadakan keramaian menyembahyangi orang mati, mendadak Cui tojin lari masuk, dan di depan banyak orang ia menjadi gila dengan berjingkrakan kaki dan tangan memeta-meta, sambil memaki-maki dengan rupa sengit. Ketua kelenteng Tiok-san-koan nampak kesal dan dongkol, tapi ia hanya bisa mengucapkan maaf pada sekalian tamu, tidak mau menegor kelakuannya Cui tojin.Dua orang murid kelenteng itu melihat kelakuan Cui tojin demikian rupa di depan orang sembahyang dan melihat cara mabuk Cui tojin terlalu gila, sedang para tamu sudah jadi gusar, maka mereka menghampiri dan menasehati sepatah dua patah, Cui tojin mula-mula tidak ambil perduli dengan nasehat kedua orang tosu itu, tetapi dalam mabuknya mendadak ia jadi gusar dan memaki dengan suara keras, Bangsat dogol! Kalian sudah bosan padaku, beberapa puluh tahun kelenteng ini selamat dari bencana, itulah karena aku ada di sini, malam ini kalian berani memaki diriku. Bagus, aku juga sudah bosan tinggal di sini. Nah, mana koan cu, hei! Mana itu ketua kelenteng, cepat! Kau kembalikan barangku. Tempo dulu kau bilang kau hanya ingin menyimpan barang itu agar tidak menjadi keributan di atas dunia. Sekarang aku sudah bosan tinggal di sini ayo kembalikan barang itu. Mana itu Patung angsa Emas berkepala Naga Heeheeeee......aku sendiri akan membuka rahasia Patung angsa Emas berkepala Naga itu, aku akan mendapatkan satu mustika luar biasa hua-aaaaaaaaaaa ........ Koan-cu penipu mana .... Ketua kelenteng mendengar ucapan Cui-tojin demikian rupa ia tadi kaget, wajahnya pucat pasi, sedang orang banyak jadi terheran-heran. Selagi ketua kelenteng dibikin kaget oleh ucapan Cui tojin yang mabok itu para tamu juga dibikin terheran-heran, mendadak saja Cui jojin sudah lari keluar 145 kelenteng.Ketua kelenteng Tiok san-koan melihat Cui tojin lari keluar, dengan gugup ia berteriak, Susiok, kau jangan pergi. Teecu masih ada omongan yang hendak dibicarakan! Sambil berteriak demikian si ketua kelenteng Tiok-san koan mengejar Cui tojin.Orang-orang yang hendak melakukan upacara sembahyang kematian, mereka baru tahu kalau Cui tojin adalah susiok dari ketua kelenteng, dan mereka juga baru sadar kalau ketua kelenteng memiliki ilmu kepandaian silat. Karena ketika ketua kelenteng lari mengejar Cui tojin, ia bisa lari sangat cepat seperti bayangan setan di tengah malam berlarian melewati jalan hutan di pinggir kelenteng menuju ke belakang gunung.Kalau dilihat dari cara larinya Cui tojin yang sudah mabuk, sempoyongan kelihatannya tidak cepat, tapi entah bagaimana ketua kelenteng tidak bisa mengejar, ia kehilangan jejak Cui tojin. Baru setelah sekian lama, ketua kelenteng Tiok-san-koan kembali dengan napas tersengal-sengal.Para tamu yang hendak melakukan sembahyang begitu melihat ketua kelenteng itu sudah balik kembali mereka mengajukan banyak pertanyaan, diantaranya salah seorang berkata, Orang begitu gila kelakuannya, untuk apa disesalkan kepergiannya, meskipun ia menjadi susiok. Apa yang perlu disayangkan. Tadi ia berkata tentang Patung Angsa Emas Berkepala Naga. Mengapa selama ini tidak pernah diperlihatkan pada orang-orang yang pesiar ke dalam kelenteng? Mendengar pertanyaan itu ketua kelenteng tampak gugup, katanya, Jangan dengar ucapan orang mabok, tapi meskipun begitu, terus terang aku banyak menerima budi darinya, tidak sedikit pertolongan yang ia telah berikan. Atas semua pertolongannya aku tidak bisa membalas apa-apa. Tentang itu patung angsa emas. Memang ada, aku di sini sebagai seorang suci tak bisa berkata bohong, sebenarnya telah duapuluh tahun patung itu disimpan di sini. Cui tojin susiok telah membuka rahasianya dalam keadaan mabok ia tidak sadar....... Boleh kami lihat! serentak para tamu berteriak-teriak. Maaf, meskipun kepalaku dipenggal, aku tak dapat menunjukkan benda tersebut. Nah sekarang kita lanjutkan sembahyang orang mati. Dengan penuh perhatian Siong In di dalam gubuk perahu yang digoyang ombak, mendengarkan cerita Sam Su. Dan ketika ia mendengar cerita sampai di situ, ia bertanya, Siapa nama ketua kelenteng itu dan patung angsa emas berkepala Naga itu benda apa? Sam Su menyambung ceritanya, Ketua kelenteng bernama Ceng Hong tojin, tentang itu patung angsa emas berkepala Naga, menurut kabar-kabar belakangan di dalamnya terdapat satu peta tempat dimana terdapat Satu Mustika. Mustika? Ulang Siong In. Mustika Gaib Karya Buyung Hok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Hmmm. gumam Sam Su Sejak Cut tojin lari malam itu. Keadaan kelenteng jadi berubah. Dua hari kemudian, kelenteng tersebut berhasil direbut oleh golongan padri jahat. Dan Ceng Hong tojin kedapatan mati terbunuh! 146 Apa selama itu Cui tojin tak pernah muncul lagi.. Tidak ada orang yang tahu. jawab Sam Su Dan sejak kelenteng Tiok-san-koan di rebut oleh tosu jahat, maka di dalam kelenteng itu sering tampak orang-orang pertapaan laki-laki perempuan yang beroman jahat dan bengis, mereka sedikit juga tidak memegang aturan agama. Serta kejadian aneh sering terjadi. Siong In duduk di dalam gubuk perahu mendengarkan cerita Sam Su, ia tambah tertarik lalu memajukan pertanyaan, Apa mereka menemukan Patung angsa Emas berkepala naga itu? Tidak, jawab Sam Su. Sudah berapa lama kejadian itu? tanya Siong In. Baru beberapa hari berselang, jawab Sam Su Dan dari beberapa rombongan orang yang aku seberangkan mereka hendak pergi ke Kun-san untuk melihat sendiri keadaan kelenteng Tiok-san-koan. Dan menyelidiki tentang Patung angsa Emas berkepala Naga! Hmmm .... gumam Siong In Setelah istirahat di atas loteng Gak-yang-louw, kau antar aku ke Kun-san. Tentunya di sana akan terjadi keramaian. Ah, waktu ini tempat itu sangat berbahaya. seru Sam Su kaget Para tosu jahat tentunya telah memasang jebakan-jebakan di sekitar kelenteng, maka melarang orang luar masuk dan orang-orang yang muncul hari ini, memiliki roman buas dan bengis, kalau nona seorang diri ke sana jangan-jangan bisa celaka. Apa kau tidak berani mengantar? tanya Siong In Aku tokh hanya mau melihat- lihat saja! Kami bersedia sampai di bawah kaki Kun san. Selanjutnya nona boleh pergi sendiri. Aku hanya pesan hati-hatilah! Baik. Asal kau bisa antarkan aku jalan air, sambil melihat-lihat pemandangan apa salahnya. Aku juga tidak ada niat merebut patung itu. Hanya ingin melihat keramaian. Di dalam gubuk perahu Siong In terus mengobrol bersama Sam Su, sementara itu angin turutan yang mengembuskan layar perahu terasa dingin meniup muka si nona, sedang air telaga berwarna biru muda berombak menggoyang-goyangkan lajunya perahu.Karena berlayarnya perahu mengikuti angin turutan, maka dalam tempo setengah jam mereka telah sampai di seberang telaga.Manakala Siong In lompat ke darat, ia ingin segera untuk mengunjungi itu loteng Gak-yang-lauw yang begitu disohorkan orang.Semula Siong In sangka entah bagaimana bagusnya loteng tempat minum arak Gak-yang-lauw, tesapi setelah sampai di tempat yang dituju, nyatanya loteng itu biasa saja, hanya karena didirikan di tepi dan menghadap telaga Tong teng, maka para pengunjung dapat melihat pemandangan bagian telaga yang jauh. Tapi kebagusan loteng Gak-yang-louw kalau 147 dibandingkan dengan loteng-loteng yang didirikan di tepi telaga Liu-ouw, tentunya kalah jauh.Siong In, yang ingin pesiar dan menikmati pemandangan, ia segera melangkah memasuki halaman bawah loteng Gak-yang-louw.Di dalam ruangan bawah loteng, tampak beberapa orang tamu berdandan bermacam corak ragam pakaian, mereka bicara menggunakan bahasa daerah masing-masing, mereka asik mengobrol satu sama lain. Siong In yang tidak mengerti bahasa-bahasa daerah mereka dan melihat dari dandanan mereka yang kebanyakan terdiri dari kaum pedagang-pedagang,yang sudah biasa jalan mondar mandir di daerah itu menjual hasil dagangannya.Memang di sekitar daerah telaga Tong-teng dalam propinsi Ouw lam merupakan pusat perdagangan yang penting, tidak heran kalau di sana banyak saudagar dan para pedagang singgah di loteng Gak-yang-louw untuk istirahat sambil minum arak.Setelah memperhatikan keadaan dalam ruangan bawah, Siong In, jalan ke tangga loteng, ia menaiki undakan tangga menuju ke atas.Begitu ia tiba di depan pintu loteng, tampak keadaan di dalam ruangan itu sudah penuh, meja dan kursi terisi semua, Siong In sejenak berdiri di depan pintu, ia mencari meja kosong. Ia mengharapkan dapat tempat di pinggir loteng, agar bisa duduk menghadap telaga Tong teng.Manakala Siong In sedang memperhatikan tempat duduk, seorang pelayan segera datang menghampiri, memberi hormat dan berkata, Maaf siocia, keadaan loteng Gak-yang-louw hari ini penuh sesak, harap bisa menunggu sebentar. Ah, lotiang! seru Siong In memperhatikan perawakan si pelayan. Pelayan itu berusia empat puluh tahunan, kedua pipinya kempot, sepasang matanya sipit, tapi rambutnya masih hitam, ia mengenakan baju pendek warna hitam dan celana gerombongan.Setelah memperhatikan si pelayan, Siong In berkata lagi, Sebenarnya, aku tidak butuh banyak tempat, cukup satu kursi untuk duduk di pinggir loteng menghadap telaga. Mendengar permintaan si nona, pelayan tua tadi nampak kebingungan, dan beberapa orang tamu yang sedang duduk di depan meja mereka masing-masing, pada menolehkan kepala memandang Siong In.Sebaliknya, sudut mata si nona juga bisa melihat adanya beberapa orang tamu memandang dirinya, tapi ia tidak mau perdulikan mereka.Dari antara sekian banyak tamu-tamu, rombongan tamu yang duduk menghadap meja di pinggir loteng, setelah mereka memandang Siong In yang berdiri di depan pintu, mereka tampak berbisik-bisik kemudian salah seorang berdiri memanggil pelayan.Pelayan tua mendapat panggilan sang tamu segera menghampiri, sebelumnya ia berkata pada Siong In. Maaf ...... Siong In menyaksikan berlalunya pelayan tadi, menuju meja di pinggir loteng yang diduduki empat orang lama.Empat tamu yang duduk di meja di pinggir loteng, tampak mereka bicara perlahan pada si pelayan, kemudian mereka berdiri dan meninggalkan meja.Si pelayan segera membersihkan meja.Sementara itu 148 empat orang tamu tadi, sudah jalan di depan si nona, mereka tidak mengucapkan sepatah kata, hanya sudut mata mereka memperhatikan keadaan Siong In. Kebetulan. pikir Siong In. Melangkah maju menuju pinggir loteng. Di mana meja telah kosong.Pelayan tua yang melihat si nona sudah datang ia segera mempersilahkan duduk, kemudian jalan membawa piring mangkok, berlalu dari sana.Sementara itu Siong In, yang baru pertama kali pesiar ke tempat indah, begitu ia mendapat tempat yang diharapkan sambil duduk matanya terus memandang jauh ke depan, dimana terbentang air telaga Tong teng yang biru muda ditimpa sinar matahari, riak-riak air berbusa membuat gelombang. Layar perahu aneka warna simpang siur kian kemari menambah keindahan telaga disiang hari itu.Di empat penjuru pinggiran telaga merupakan bukit-bukit pegunungan menghijau.Selagi Siong In menunggu hidangan dan memandang keindahan telaga Tong-teng dari pinggir loteng, mendadak saja ia dikejutkan oleh suara ribut-ribut yang datangnya dari pintu masuk. Siong In segera menoleh, di sana tampak pelayan tua yang tadi menerima dirinya, sedang membentak-bentak seorang tamu yang sedang berdiri di ambang pintu. Terdengar si pelayan tua membentak, Pengemis buta dari mana muncul di tempat ini, tempat kita sedang repot, harap lain kali datang kemari. Dari tempat duduknya, Siong In dapat melihat wajah si pengemis, ia jadi mengkerutkan kening, karena orang yang dikatakan pengemis itu adalah seorang pemuda kumel mengenakan baju putih kasar, rambutnya digelung ke atas, tapi sudah tak teratur susunannya, sedang kedua matanya meskipun terbuka lebar, tapi warna mata itu putih seluruhnya, melihat itu Siong In tahu kalau pengemis itu adalah seorang pengemis buta. Di tangan kanannya memegang sebuah tongkat baja.Meskipun pelayan tua itu bicara sambil membentak-bentak, tapi tampaknya pengemis buta itu memiliki sikap tenang, bahkan ia masih bisa tersenyum sebelum menjawab kata-kata si pelayan yang sedikit kasar. Aku sanggup bayar. Bukannya mau minta sedekah! jawab si pengemis buta.Pelayan itu mana mau mengerti, ia tetap kukuh mengusir pengemis muda buta dari atas loteng, ia tidak mau perduli apa si pengemis buta bisa bayar atau tidak, yang perlu dalam loteng Gak-yang-louw harus bersih, tak boleh ada seorang tamu yang demikian kumel, lebih-lebih sepasang matanya buta.Siong In yang terus memperhatikan ke arah si pengemis dari mejanya di pinggir loteng, setelah berpikir sekian saat, ia jadi memeriksa keadaan dirinya sendiri, betul pakaiannya yang dipakai terbuat dari bahan sutera merah, tapi pakaian itu juga sudah dekil demikian rupa, kalau dibandingkan dengan keadaan pakaian pengemis buta itu, keadaan dirinya hamper sama, hanya pemuda buta itu mengenakan pakaian putih dari bahan kasar. Tapi meskipun sudah begitu kotornya tapi pakaian yang dikenakan pemuda buta itu belum ada tambalannya. Maka si nona berpikir, Apakah ia ini juga datang dari tempat jauh seperti aku? Berbarengan dengan jalan pikirannya, Siong 149 In sudah bangkit dari kursinya, lalu dengan langkah terburu-buru ia jalan melewati beberapa meja tamu menghampiri ke pintu, kemudian berkata, Lotiang, biarlah dia duduk bersamaku. Di sana masih ada beberapa bangku kosong. Urusan pembayaran kau jangan kuatir. Setelah berkata demikian Siong In mengeluarkan beberapa tail perak dari dalam sakunya disodorkan di depan pelayan.Pelayan menyaksikan kalau si nona menyodorkan uang, dengan wajah berubah ia membungkuk badan memberi hormat katanya, Nona, harap jangan keluarkan uang, kalau memang kehendak nona demikian, nah silahkan ajak dia.. Si pelayan tidak meneruskan kata-kata, ia memandang pemuda buta kumel di depannya.Sikap yang diperlihatkan oleh pelayan tua loteng Gak-yang-louw terhadap diri Siong In sangat mengherankan dirinya, mengapa pelayan loteng ini begitu menghormatinya, kalau dilihat keadaan dirinya sebenarnya tidak bedanya dengan keadaan pemuda yang baru datang, hanya yang beda dari sepasang mata pemuda itu yang buta tidak dapat melihat, tapi selanjutnya Siong In tidak banyak dipikir, ia telah mengajak pemuda buta itu jalan ke mejanya di pinggir loteng. Ia juga tidak lupa menambah pesanan makanan pada pelayan.Para tamu yang duduk di meja- meja di atas loteng, mereka memandang Siong In, mana kala Siong In jalan melewati meja mereka kepala mereka berputar mengikuti gerak si nona bersama pemuda pengemis buta, dan ketika ia jalan melewati sebuah meja di sebelah kirinya yang diduduki oleh lima orang laki-laki berbaju kembang terdengar salah seorang berkata, Pengemis buta, apa gunanya, mengapa tidak mengajak aku saja minum bersama, sampai mabok huaaaaa . .ha ..haa .... Mendengar kata-kata kotor dan suara tertawa dari meja itu, Siong In melirikkan matanya ke sebelah kiri, dimana duduk lima orang laki-laki berbaju kembang di atas kepala mereka melibat kain merah, begitu mereka melihat si nona memandang, mereka pada mengedip-ngedipkan matanya lalu tertawa berkakakan. Huh! Siong In mengeluarkan suara dari hidung, Mari, ia mengajak pemuda buta di belakangnya. Jangan hiraukan mereka. Aku datang ke tempat ini bukan untuk cari keributan, tapi ingin menikmati pemandangan alam. Sekalian menikmati orang buta. terdengar lagi salah seorang laki-laki berbaju kembang berkata. Kemudian disusul dengan suara gelak tertawa mereka.Siong In kembali memandang mereka, tapi ia masih tetap menahan hawa jengkelnya. Dari roman-roman tampang muka mereka si nona tahu kalau lima orang laki-laki ini tentunya sebangsa kaum berandalan. Lebih-lebih di pinggang mereka semua membawa senjata golok, seorang diantara mereka membawa sebuah senjata rantai berduri yang dilibatkan pada pinggangnya. Pemuda pengemis buta yang jalan di belakang mengikuti Siong In, ia juga mendengar suara ejekkan dan tertawaan lima laki-laki tadi, tapi ia tetap bersenyum 150 saja, dengan tongkat bajanya ia mencari jalan mengikuti jejak langkah si nona.Tak lama setelah melawati beberapa meja lagi, Siong In telah sampai di mejanya ia duduk di satu bangku, kalau ketika tadi ia duduk menghadapi telaga membelakangi meja-meja lainnya, tapi kini karena si pemuda buta mengambil bangku duduk membelakangi telaga menghadap ke dalam ruangan loteng, dan tongkat bajanya digeletakkan di atas meja, maka Siong In kurang enak kalau duduk di bangkunya yang tadi, karena kalau demikian ia jadi duduk tepat menghadapi si pemuda buta, maka ia telah mengambil bangku duduk di samping kanan si pemuda buta, karena duduknya demikian rupa, maka ia bisa melihat pemandangan sekitar telaga di bawah loteng yang terben-tang di sebelah kirinya dan juga bisa melihat suasana ramainya ruangan di atas loteng, yang berada di sebelah kanan.Sementara itu kalau melihat dari posisi kedudukan pemuda buta, ia seperti sengaja duduk menghadap ke arah meja di mana duduk lima orang berbaju kembang, yang masih saja terus- terusan tertawa tiada hentinya.Kadangkala mereka membalik badan memandang Siong In dan si buta yang duduk di pinggir loteng. Meskipun lima orang laki-laki berbaju kembang terus-terusan tertawa berkakakan, kadangkala mereka mengeluarkan ucapan-ucapan kotor, tapi Siong In tidak mau menggubris mereka, sedang tamu-tamu lain yang juga men-dengar lima orang laki-laki baju kembang itu terus-terusan menunjukan sikap tengiknya, mereka hanya bicara bisik-bisik sambil menggeleng-geleng kepala.Sementara itu Siong In yang duduk di sebelah kanan si pemuda menghadapi telaga, kini ia bisa melihat bentuk tongkat si pemuda buta yang menggeletak di atas meja, tongkat itu berbentuk aneh, terbuat dari baja, panjangnya tiga kaki, bentuknya bulat dan pada batang tongkat terdapat beberapa ruas, seperti ruas-ruas bambu, hanya ruas tongkat itu terbuat juga dari baja seperti sebuah piring kecil melingkari batang tongkat, tampak ruas-ruas tongkat itu hitam tajam. Siong In yang memperhatikan bentuk tongkat pemuda buta ia jadi heran, ruas-ruas tongkat tersebut berjumlah sembilan, dan setiap ruas melingkari tongkat tajamnya seperti pisau, sedang bentuk dari tongkat itu seperti pedang memiliki gagang dan ujung yang tajam.Sampai saat itu hidangan belum juga datang, bau harumya masakan sudah membuat perut Siong In kerocokan, ia berulang kali menoleh ke arah kamar pengurus loteng, seperti orang yang sudah tidak sabar menunggu makanan. Kesempatan ini juga digunakan oleh si nona untuk meneliti keadaan pemuda buta di depan kirinya.Dari bawah kaki sampai ke atas kepala Siong In memperhatikan bentuk perawakan pemuda buta di depannya, dilihat dari wajah pemuda ini cukup tampan, tidak kalah tampannya dari pada Kang Hoo hanya sepasang matanya tak kelihatan warna hitamnya meskipun biji mata itu terbuka tapi seperti tertutup oleh selaput putih.Pemuda buta yang duduk membelakangi telaga, setelah lama pandangan butanya di tujukan ke arah meja dimana terdengar suara menghina dan tertawa, 151 kemudian ia menoleh ke arah Siong In, lalu katanya, Aku Hong Pin, she Lie. Siong In yang sedang memperhatikan bentuk perawakan pemuda buta Hong Pin, ia jadi keget, segera jawabnya, Aku, Siong In, she Lo. Terima kasih, jawab Hong Pin mengangguk. Mendengar dari suaramu kau seorang gadis. Mendengar perkataan itu, wajah Siong In jadi merah bagaimana seorang buta bisa menebak kalau dirinya adalah seorang gadis. Tadi ia mau mengajak Hong Pin duduk bersama satu meja, karena merasa kasihan melihat keadaan Hong Pin yang buta tentuya ia tak mengetahui kalau orang yang mengajak duduknya adalah seorang gadis. Tapi kenyataan, Hong Pin dengan hanya mendengar suara kata-kata Siong In sudah bisa menebak jitu. Ia seorang gadis bukan seorang nenek.Sementara itu dari rombongan orang berbaju kembang, masih terdengar suara ramai suara tertawa berkakakakan mereka.Hong Pin kembali mengarahkan pandangan mata butanya ke arah meja dimana terdengar suara tertawa itu, kemudian ia menoleh lagi ke arah Siong In. Jangan hiraukan, seru Siong In perlahan. Sambil memperhatikan tamu lainnya yang duduk dilain meja.Sebenarnya, siang itu keadaan di atas loteng Gak-yang-louw hampir penuh, karena setiap meja sudah ada orang yang duduk makan minum. Tapi mereka tampaknya tenang-tenang saja, tidak mau ambil perduli dengan rombongan lima orang berbaju kembang yang duduk mentertawai Siong In dan Hong Pin. Mereka seperti tidak mau tahu urusan orang lain. Mengobrol perlahan-lahan bersama kawan-kawan semeja. EMENTARA itu, pelayan sudah datang membawakan senampan hidangan diletakkan diatas meja lengkap dengan araknya. Itulah ciri khas dari loteng Gak-yang-louw, setiap hidangan selalu diiringi dengan arak, tidak perduli sang tamu memesan atau tidak, tidak pandang itu tamu seorang pemabokan, pedagang, hweeshio gundul atan tosu kepala botak, mereka selalu melengkapi hidangan dengan arak istimewa keluaran telaga Tong-teng. Karena tongkat waja Hong Pin diletakkan diatas meja, maka sipelayan mesti meletakkan hidangannya dengan hati-hati. Setelah selesai menyajikan hidangan, sambil membungkuk, pelayan itu berlalu. Kepulan asap hidangan membawakan bau harum merangsang hidung, Song In segera mempersilahkan Hong Pin untuk mulai bersantap. 152 Hong Pin mendengar sinona disampingnya menyilahkan beisantap, tangan kanannya segera mengangkat poci arak dan me nuang arak kedalatn dua cawan. Saat itu Siong In telah mengangkat sumpit untuk mulai bersantap, tapi begitu melihat Hong Pin yang dengan sekali raba telah mengangkat poci arak dan sekaligus menuang kedalam dua cawan, ia jadi membelalakkan mata. Bukankah pemuda Hong Pin ini pemuda buta, bagaimana tanpa me-raba2 lebih dulu ia bisa dengan sekali gerak mengambil poci arak dan menuang kedalan dua cawan, keheranan Siong In tambah lagi ke tika ia melihat arak2 jang dituuang kedalam dua cawan tak setetespun djatuh keatas meja. Setelah Hong Pin menuang arak keke- dua cawan, ia menyodorkan satu cawan pada Siong In, katanya: Ini arak istimewa, sebelum makan lebih sedap minum sedikit. Siong In yang telah mengangkat sumpit terpaksa ia harus meletakkan sumpit diatas mangkoknya, menyambuti cawan arak yang disodorkan Hong Pin. Kemudian ia mengangkat cawan arak kedepan hidungnya, si nona mencium2 wanginya arak yang bercampur dengan asap hidangan diatas meja. Sementara itu Hong Pin sambil mengangkat cawan araknya berkata: Mari. Tapi baru saja cawan arak Hong Pin menempel pada bibirnya, mendadak dari depan meluncur satu batang sinar putih menyambar kearah cawan Hong Pin, dan tak ampun lagi cawan ditangan sipemuda buta jadi pecah berserakan diatas meja, bau arak berhamburan menumpahi mangkok makanan. Begitu cawan ditangannya mendadak membeletak hancur, Hong Pin tersentak kaget, mata butanya memandang kedepan, kearah meja-meja tamu ditengah loteng, sisa pecahan cawan yang masih terpegang ditangannya dilepas begitu saja, hingga sisa pecahan cawan itu jatuh diatas meja. Setelah itu dengan masih terus memandang kearah meja-meja tamu lainnya tangan kanan Hong Pin meraba-raba keatas meja, disana ia mendapatkan sebuah sumpit menggeletak melintang, sumpit itulah tadi yang tadi membentur cawannya, tampak jari tangan Hong Pin merubah letak sumpit yang mengeletak melintang, sumpit tadi diluruskan kedepan, hingga letaknja diatas meja sejajar dengan pandangan matanya menjurus kedepan dan kelihatan jari tangannya mengeser-geser perlahan sumpit tadi, mengikuti arah pandangan matanya, seperti seorang yang sedang membidikkan anak panah menuju sasaran. Dan rombongan orang yang jadi perhatian Hong Pin terus tertawa berkakakan. 153 Kalau tangan kanan Hong Pin berbuat dimikian rupa dengan sumpit yang membentur pecah cawan araknya, tangan kirinya sudah diletakkan diatas gagang tongkat wajanya, sedang sepasang mata butanya terus menatap kedepan. Sementara itu, Siong In yang tadi juga melihat bagaimana sebatang sinar putih meluncur membentur cawan Hong Pin, ia juga sudah kaget, tapi karena waktu itu ia sedang mengendus-ngendus bau harumnya arak, ia tidak bisa berbuat apa-apa, tahu-tahu cawan ditangan Hong Pin sudah djadi hancur berantakan, jatuh dia tas meja bersama sebatang sumpit liar. Menjaksikan kejadian itu, Siong In segera menoleh kearah dari mana datangnya luncuran sumpit. Ternyata sumpit terbang tadi dilepas oleh salah seorang berwajah bengis dari rombongan orang? berbaju kembang yang duduk dimeja tengah. Setelah berbuat demikian rupa mereka tertawa berkakakan, rupanya mereka puas mempermainkan orang. Menyaksikan kelakuan orang2 itu, Siong In mulai hilang sabar, ia segera bangkit berdiri untuk menegor mereka, tapi mendadak saja Hong Pin mencegahnya. Katanya : Nona, jangan turut campur. Duduk saja, ini urusanku. Mendengar cegahan Hong Pin, sinona jadi tidak enak hati, ia cepat duduk kembali diatas bangkunya. Setelah menyuruh sinona duduk, jari-jari tangan kanannya Hong Pin terus me- robah2 letak sumpit yang memecahkan cawan araknya, keningnya tampak mengkerut sedang pandangannya terus dipusatkan menatap kearah meja dimana lima laki-laki berbaju kembang tertawa berkakakan. Diiringi dengan suara gelak tertawa lima orang baju kembang mengumandang diatas loteng mendadak saja dua jari tangan Hong Pin yang me-robah2 letak sumpit diatas meja, dengan kecepatan luar biasa menyentil ujung sumpit itu. Gerakan sentilan Hong Pin tidak terduga oleh siapapun, bahkan Siong In yang duduk disamping kanannya juga tidak menduga sebelumnya apa yang akan dilakukan si pemuda buta, begitu sumpit tersentil, maka sumpit itu meluncur kedepan dengan kecepatan bagaikan kilat, terbang balik kearah salah seorang baju kembang yang melepas sumpit memecahkan cawan. Laki2 baju kembang pelempar sumpit tidak menduga kalau Horg Pin sudah bertindak demikian rupa, dan sebuah sumpit sudah meluncur datang. Mereka masih terus tertawa berkakakan. Ditengah ruangan loteng, sumpit yang disentil Hong Pin meluncur datang, lima orang laki2 berbaju kembang masih tertawa berkakakan dan ketika luncuran sumpit 154 telah berada tepat didepan mata laki-laki berbaju kembang yang pernah melempar sumpit itu memecahkan Cawan arak Hong Pin, mereka baru tersentak kaget. Lebih2 keadaan laki2 berbaju kembang yang mendadak melihat didepan matanya telah meluncur datang sebuah sumpit dengan kecepatan bagaikan kilat, dalam kekagetan ia mengelak, memiringkan kepala tapi gerakan luncuran sumpit yang tak terduga datangnva itu sangat cepat, telah membentur biji mata kanan orang itu. Dan tak ampun lagi ia mengeluarkan suara jeritan keras, lalu roboh terjengkang diatas bangkunya, dengan mata kanan tertancap sebuah sumpit. Dari mata tadi menyembur darah segar. Kejadian itu berlangsung sangat cepat, tidak ada seorangpun yang menduga akan apa yang terjadi, karena begitu sinar sumpit berkelebat ditengah ruangan diatas loteng menuju lima laki2 berbaju kembang, terdengar suara jeritan, disusul dengan roboh tergulingnya salah seorang dari mereka. Keempat orang lainnya begitu mereka melihat sang kawan roboh dengan mata menyemburkan darah, barulah mereka pada tersentak bangun dari kursi masing2, berbarengan mana suara tawa merekapun sirap. Mereka berbareng lompat menubruk sang kawan yang sudah menggeletak kelejetan sambil memegangi bagian matanya yang ditembus sumpit. Dari sela2 jari tangan orang itu darah meleleh keluar. Sementara itu angin telaga yang berhembus memasuki loteng Gak-yang-louw membuat suasana tegang itu menjadi sejuk, dan Hong Pin yang baru saja melepas sumpit, dengan tenang sudah berkata pada Siong In, ia tidak memperdulikan kalau sumpit tadi telah membuat korban. Cawanku sudah pecah. Tak apa, mari, siocia silahkan minum, aku bisa tenggak arak dari dalam guci. Siong In yang sejak tadi dibuat kaget atas gerakan Hong Pin demikian rupa, dengan hanya menyentil sumpit sudah bisa membuat sumpit itu menjadi sebuah senjata rahasia dan berhasil merobohkan lawan. Didepan meja diatas bangkunya ia duduk menjublek melompongkan mulut, memandang terlongong2 pada rombongan orang2 berbaju kembang yang masih sibuk mengurus kawan mereka yang terkena serangan sumpit sipemuda. Tatkala ia mendengar suara Hong Pin disampingnya, ia tersentak kaget, menolehkan kepala memandang sipemuda. Para tamu yang duduk pada meja masing2 diatas loteng Gak-yang-louw, mereka juga mendengar dan menyaksikan bagaimana, salah seorang dari lima laki2 berbaju kembang roboh terjengkang dan mengeluarkan suara jeritan. Mereka pada menolehkan kepala. Beberapa orang tamu tidak tahu sebab musababnya orang itu 155 jatuh roboh, mereka pada bangun berdiri melihat dengan wajah heran mengapa orang yang sejak tadi tertawa berkakakan mendadak menjerit dan roboh, kini sedang kelojotan dilantai dirubung oleh empat kawan mereka. Manakala para tamu itu telah melihat pada mata kiri orang yang menggeletak di atas lantai menancap sebuah sumpit, mereka saling pandang lalu duduk kembali dibangku masing2. Beberapa diantaranya sudah segera meninggalkan meja, membuat perhitungan rekening makanan. Dan turun dari atas loteng. Mustika Gaib Karya Buyung Hok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sedang beberapa orang tamu yang mengetahui bagaimana orang itu roboh, dan bagaimana Hong Pin dari mejanya menyentil sumpit hingga meluncur menembusi mata orang. Mereka kagum atas kepandaian si- pemuda, diam2 mereka juga turut waspada dan bercuriga. Karena pemuda buta yang duduk dipinggir loteng membelakangi telaga bukanlah sembarang orang. Sebenarnya diatas loteng itu, waktu itu, banyak terdapat tokon2 rimba persilatan dari ber-macam2 aliran, sejak munculnya pemuda buta bertongkat waja, mereka sudah bisa menduga kalau Hong Ping bukan sembarang pengemis, karena mereka bisa melihat tongkat waja yang digunakan Hong Pin, sebenarnya adalah senjata Tiok-ciat-pian yang terbuat dari waja, dan ketika Siong In mengajak Hong Pin duduk bersama, mereka hanya memperhatikan dengan penuh kewaspadaan. Siong In sendiri yang kurang pengalaman ia belum lagi tahu kalau tongkat waja yang diletakkan diatas meja oleh Hong Pin merupakan senjata Tiok-ciat-pian, ia masih menyangka kalau itu adalah sebuah tongkat waja yang dibuat demikian rupa. Sementara itu, keempat orang laki2 baju kembang, setelah melihat sang kawan roboh dilantai, dan setelah kelejetan ia binasa seketika itu juga. Mengetahui kalau sang kawan sudah binasa, dengan wajah bengis mereka pada berdiri, memandang Hong Pin. Tangan mereka telah siap dengan senjata masing2. Menyaksikan keempat orang laki2 baju berkembang telah siap dengan senjata masing2, diantara menggunakan rantai berduri, Siong In kaget, ia meraba gagang pedangnya digegernya, dengan maksud melindungi Hong Pin. Tapi mendadak terdengar lagi Hong Pin berkata: Duduk saja. Ini urusanku. Mendengar itu Siong In melengak. Tangan kanannya yang lelah mencekal gagang pedang, diturunkan kembali. Ia memperhatikan gerak-gerik Hong Pin. Sementara itu, Hong Pin tetap duluk dibangkunya, pandangannya diarahkan ke tengah ruangan dimana empat orang laki2 berbaju kembang telah siap menyerang dengan senjata mereka masing-masing. Tangan kiri Hong Pin sudah diletakkan diatas gagang senjata Tiok-ciat-pian diatas meja. 156 Meskipun sepasang matanya buta, Hong Pin seperti telah melihat bagaimana empat laki2 berbaju kembang sudah siap menyerang, tatapan mata butanya seakan mengawasi tajam empat orang itu, Sedang wajahnya dingin beku hingga kelihatan sikap tenangnya yang luar biasa. Sementara itu para tamu yang masih berada diatas loteng menyaksikan keempat orang baju kembang berdiri siap tempur dengan senjata masing-masing, mereka sudah pada menggeser bangku menjingkir menjauhi, mereka tidak mau terlibat dalam arus sengketa antara empat orang laki-laki baju kembang dan sipemuda miskin buta. Suasana tegang diatas loteng Gak-yang-louw, dibuat jadi tegang lagi, begitu terdengar suara mendesing memenuhi ruangan loteng yang keluar dari senjata rantai ditangan laki-laki berbaju kembang yarg telah diputar demikian kerasnja. Hingga ditengah-tengah ruangan berkelebat kilatan2 putih bagaikan sebuah pajung terkembang diatas empat orang baju kembang. Pelayan loieng Gak-yang-louw, didepan loket kasir menyaksikan diatas loteng itu sudah terjadi perkara darah jang ditimbulkan oleh Hong Pin, ia jadi melongo memandang Hong Pin yang telah berani mencari setori dengan lima orang berbaju kembang. Bagi Hong Pin dan Siong In, mereka berdua tidak kenal siapa lima orang baju kembang yang tadi terus-terusan tertawa berkakakan diatas loteng, tapi bagi pelayan loteng Gak-yang-louw ia sudah mengenal betul siapa mereka itu. Mereka adalah jago2 dari daerah telaga Tong teng, Orang disekitar telaga memberi julukan Lima Macan Telaga. Penduduk sekitar telaga Tong-teng mau pun tukang2 perahu tidak seorangpun berani bentrok dengan mereka, bahkan mereka telah menganggap Lima Macan Telaga itu adalah orang2 yang berwenang menarik padjak semau2nya. Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo