Pedang Karat Pena Beraksara 11
Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan ID Bagian 11
Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya dari Tjan I D "llmu pedang yang nona miliki benar-benar sangat lihay, lohu telah merasakan kehebatanmu." Kemudian setelah memandang sekejap sekel ling tempat itu, bentaknya lebih jauh: "Ha ha ha ha ... , . anak-anak, mari kita pergi." Sementara itu, tatkala Cho Kiu-moay berhasil merobek jubah dibagian dada Seh tosu, mendadak tubuhnya menjadi sempoyongan kemudian kakinya lemas dan tubuhnya roboh terjengkang ke belakang. Sedang Seh tosu begitu selesai membentak. dia segera melejit keudara dan melayang pergi meninggalkan tempat itu. Ke empat orang bocah berbaju hitam yang berada di belakangnya tak berani berayal, Sreet sreeeeet, sreeeeet, sreeeeet empat sosok bayangan hitam segera mengikuti di belakang gurunya menyelinap ke luar dari ruangan tersebut. Semua kejadian itu berlangsung dalam sekejap mata, sedemikian mendadaknya sampai congkoan dari perkumpulan Ban Kiam-hwee, Sin hun kuijiu (tangan setan pembetot sukma) Chin Toa seng turut menjadi gelagapan dan tak tahu apa yang mesti dilakukan-Tapi setelah menyaksikan Hek-bun-kun Cho Kiu-moay jatuh tak sadarkan diri dan Seh tosu serta keempat orang bocah berbaju hitam itu melejit ke luar dari ruangan, dia baru membentak keras dengan perasaan gusar. "Hadang perjalanannya." Sepasang telapak tangannya segera diayunkan kemuka melancarkan dua buah pukulan dahsyat, sementara ujung kakinya menjejak permukaan tanah dan segera mengejar dari belakang. "Haaah, haaah, haaah," Seh tosu yang baru ke luar dari ruangan segera membalikkan badan sambil tertawa terbahak-bahak. serunya. "Chin heng, kau tak usah menghantar lebih jauh lagi." Tangan kirinya segera diayunkan ke depan, segulung asap berwarna abu-abu dengan cepat memancar keempat penjuru dan menggulung ke arah Chin congkoan. Tentu saja Chin congkoan tahu lihay, sewaktu melakukan pengejaran tadi ia sudah membuat persiapan yang matang, melihat kejadian tersebut dengan cepat tubuhnya menjatuhkan diri ke belakang, lalu setelah menutup napas, ia meminjam tenaga jejakan pada kedua belah kakinya dan menyingkir sejauh delapan depa dari posisi semula dengan gerakan ikan leihi melejit. Tadi justru karena waktunya tertunda, Seh tosu telah menerjang dari ruangan tersebut. Di luar ruang, cahaya api menerangi seluruh penjuru tempat, delapan belas orang jago pedang berbulu hitam dengan senjata yang terhunus telah menanti sedari tadi. Begitu menyaksikan Seh tosu menerjang ke luar dari kepungan, serentak mereka membentak keras, cahaya pedang segera berkilauan, lima sosok bayangan hitam bagaikan sebuah jaring yang terpentang menerjang ke arah depan. Tapi jaring pedang tersebut seperti bunga yang mekar sesaat, tahu-tahu lenyap kembali tak membekas. Delapan belas jago pedang berbulu hitam merupakan jago-jago pedang yang berilmu tinggi, akan tetapi baru satu gebrakan berlangsung, beberapa orang yang berada di barisan terdepan telah roboh terjengkang ke atas tanah tanpa menimbulkan sedikit suara-pun. Kenyataan ini membuat beberapa orang lainnya menjadi tertegun, belum sempat mereka lancarkan penghadangan lebih jauh, Seh tosu dengan membawa keempat orang anak muridnya telah menerobos ke luar dari dinding pekarangan seperti hembusan angin. Wi Tiong-hong terkejut sekali setelah menyaksikan kejadian itu, pikirnya. "Entah racun apa yang telah dipergunakan Seh tosu ini? sungguh lihay sekali." Berpikir sampai disitu, tiba-tiba dia merasa dalam genggamannya seperti memegang sebuah benda, tanpa terasa ia menundukkan kepalanya untuk memeriksa. Begitu dipandang, hampir saja dia menjerit kaget, ternyata di dalam genggamannya telah bertambah dengan sebatang pena kemala berwarna hijau yang panjangnya antara lima inci. "Lou-bun-si. Mungkinkah pena mustika ini adalah Lou-bun-si (pena beraksara)? Tapi mengapa benda tersebut bisa tersimpan di atas tiang belandar rumah? Aaih. Bukankah di mana-mana dia berada sekarang tak lain adalah tempat persembunyian Tok Hay-ji waktu itu? Yaa, kalau begitu sudah pasti dialah yang menyembunyikan disini." "Benar, bukankah diantara pesan rahasia yang harus disampaikan terdapat kata kata yang berbunyi: Gua dalam tanah masuk dalam kayu?" Berpikir sampai disitu, untuk sesaat dia tak berani mengusik Ting Ci-kang cepat-cepat pena kemala tersebut disimpan ke dalam sakunya. Semua peristiwa itu hanya berlangsung dalam sedetik, sementara itu dari kejauhan sana telah terdengar suara Seh tosu sedang berseru dengan suara parau. "Tak usah kuatir saudara Chin, cara siaute turun tangan masih tahu diri, asal saudara Chin sekalian segera mengundurkan diri dari gedung ini dan membebaskan muridku, tentu akan siaute kirim orang untuk menghantarkan obat pemunahnya buat kalian." Suara pembicaraan tersebut makin lama makin menjauh, nampaknya orang itu sudah berada jauh sekali dari sana. Menanti Siu-hun-kui-jiu (tangan setan pembetot sukma) Chin Toa-seng menyusul ke depan ruangan, pihak lawan telah lenyap tak berbekas. Kejadian ini seketika itu juga membuat congkoan dari pasukan pedang hitam ini menjadi gembar-gembor keras, mencorong sinar tajam dari balik matanya, dia segera menjejakkan kakinya ke atas tanah membuat ubin yang kena dijejak hancur berantakan. Kemudian setelah melirik sekejap ke atas tiang belandar, dia membopong Cho Kiu-moay dan berseru dengan suara dalam. Kawanan jago pedang yang berada di luar ruangan, masing-masing segera membopong rekannya yang keracunan, cahaya api menjadi padam dan belasan sosok bayangan manusia itu mengundurkan diri semua dari situ, dalam waktu singkat tak sesosok manusia-pun yang tertinggal. Menanti semua orang sudah meninggalkan tempat itu, Wi Tiong-hong baru berseru dengan cemas. "Ting toako ..." Ting Ci-kang segera melompat turun, kemudian buru-buru serunya. "Saudara Wi, mari kita segera pergi." Wi Tiong-hong turut melompat turun, ujarnya penuh rasa gembira. "Ting toako, aku ..." Tangannya segera merogoh ke dalam saku siap mengeluarkan pena kemala tersebut. Dengan wajah serius Ting Ci-kang segera mengulapkan tangannya sembari menukas. "Bila ada persoalan lebih baik dibicarakan setibanya di rumah nanti, sekarang kita harus segera meninggalkan tempat ini," Selesai berkata, dia lantas melompat ke luar ruangan dan berlalu lebih dulu. Wi Tiong-hong tak sempat banyak bicara lagi dia segera menyusul di belakangnya berlalu dari situ. Tampak dua sosok bayangan manusia berkelebatan dengan cepatnya menuju ke rumah penginapan, kemudian mereka menerobos masuk ke dalam kamar lewat jendela. Wi Tiong-hong benar benar tak sadar lagi, dengan suara lirih segera bisiknya. "Ting toiko, cepatlah memasang lentera, siaute ada persoalan yang hendak dibicarakan denganmu." Sambil memasang lentera, Ting Ci-kang menghembuskan nafas lega, tanyanya. "Saudara Wi, kau ada urusan apa?" Dari dalam sakunya Wi Tiong-hong mengeluarkan pena kemala tersebut, kemudian dengan wajah berseri katanya. "Ting toako, coba kau lihat, bukankah benda ini adalah pena beraksara Lou-bun-si?" "Lou-bun-si?" Tiba-tiba mencorong sinar aneh dari balik mata Ting Ci-kang, dengan cepat dia mengambil benda tersebut dari tangan Wi Tiong-hong, kemudian tanyanya: "Darimana kau dapatkan benda ini?" "Tanpa sengaja siaute berhasil menemukannya sewaktu meraba-raba tiang belandar tadi." "Oooh ... kalau begitu benda ini memang berada di An-wan piaukiok ... " Gumam Ting Ci-kang. "Ting toako," Wi Tiong-hong segera mendongakkan kepalanya sambil bertanya, "Betulkah benda ini adalah Lou-bun-si?" Mencorong sinar licik dari balik mata Ting Ci-kang, sambil tertawa seram sahutnya: "Benar." Jari tangannya segera diayunkan ke depan dan secara tiba-tiba menotok jalan darah Tiong-teng-hiat di tubuh Wi Tiong-hong. Serangan tersebut dilancarkan secara tiba- tiba ... Mimpi-pun Wi Tiong-hong tidak menyangka kalau Ting toakonya bakal melancarkan sergapan kepadanya. Berhubung jarak antara kedua belah pihak begitu dekat, ditambah lagi tanpa persiapan apa-pun, kontan saja anak muda tersebut merasakan sekujur badannya menjadi kesemutan dan segera roboh terjengkang ke atas tanah. Tak terlukiskan rasa kaget dan terkesiap yang mencekam perasaan Wi Tiong-hong ketika itu, sambil menengadah memandang Ting Ci-kang, serunya dengan suara gemetar. "Ting toako, kau ... meng apa kau menyerang siaute ... ? Mengapa kau ..." Dengan cepat Ting Ci-kang menyimpan pena kemala tersebut ke dalam sakunya, mencorong sinar bengis dari matanya sementara senyuman menyeringai yang menggidikkan hati menghiasi bibirnya. Pelan-pelan dia mengangkat tangan kanannya ke udara siap menghajar batok kepala Wi Tiong-hong. Pada saat itulah, dari luar jendela terdengar seseorang berseru sambil tertawa merdu: "Nah, inilah yang dinamakan bencana datang karena membawa barang berharga ..." "Cri i ttt ..." Segulung desingan angin serangan jari yang tajam menerobos masuk lewat jendela dan menghajar tangan kanan Ting Ci-kang yang sudah terangkat ke tengah udara itu. "Blaaammm ... " Menyusul pula pintu kamar dibongkar orang keras-keras, sesosok bayangan manusia menerobos masuk ke dalam ruangan dengan kecepatan luar biasa. Ting Ci-kang segera merasa telapak tangan kanannya kesakitan luar biasa, rasa sakit ini merasuk sampai ke tulang sumsum, dalam terkesiapnya tak sempat melihat jelas lagi siapa penyerangnya, ia menjejakkan kakinya ke tanah dan secepat sambaran petir menerobos ke luar lewat jendela belakang. Tampaknya orang yang menyelinap masuk ke dalam kamar itu tidak berhasrat untuk melakukan pengejaran, dengan cepat dia menyelinap pula ke samping tubuh Wi Tiong- hong. Dalam pada ini, paras muka Wi Tiong-hong telah berubah menjadi pucat pias seperti mayat, matanya terbelalak lebar, dia duduk tertegun di tempat tanpa mengucapkan sepatah kata-pun. Orang itu menundukkan kepalanya memandang sekejap ke arah anak muda tersebut, kemudian sambil mendengus gusar serunya. "Benar-benar suatu tindakan yang amat keji, bila aku datang terlambat selangkah saja, niscaya kau sudah mati di ujung telapak tangannya, atau paling tidak akan menjadi cacad." Ia lantas menepuk pelan punggung Wi Tiong-hong. Wi Tiong-hong memutar biji matanya sebentar kemudian menghembuskan napas panjang, tiba-tiba dia memuntahkan darah kental dan tersadar kembali dari keadaan termangu. Secara lamat-lamat dia merasakan dadanya amat sakit sekali, dengan cepat dia berusaha untuk meronta dan bangkit berdiri. Mendadak dari belakang tubuhnya berkumandang suara yang merdu sedang berkata: "Kau telah menderita luka dalam yang cukup parah, sekali-pun memperoleh cara pertolongan yang tepat, paling tidak membutuhkan waktu selama tiga sampai lima hari untuk bisa pulih kembali seperti sedia kala, sekarang aku akan membantumu untuk mengatur pernapasan, duduklah dan jangan bergerak dulu." Ketika Wi Tiong-hong mendengar orang yang berbicara itu seperti suara dari seorang perempuan, apalagi setelah ia mendongakkan kepala dan tidak menjumpai bayangan tubuh Ting Ci-kang berada disana, dengan keheranan segera tanyanya. "Siapa nona? Di manakah Ting toako ku?" Perlu diketahui jalan darah Tiong-tiang-hiat yang ditotok oleh Ting Ci-kang tadi merupakan salah satu dari tiga puluh enam buah jalan darah kematian di tubuh manusia, andaikata tidak segera ditolong, maka akibatnya akan terjadi pendarahan yang menyebabkan kematian. Apalagi ketika dia hendak buka suara tadi, keburu jatuh tak sadarkan diri, sehingga dia tidak tahu kalau Ting Ci-kang telah melarikan diri lewat jendela. +++ Bab 23 GADIS yang berada di belakangnya mendengus dingin, lalu berseru. "Hm, kau masih menyebutnya sebagai Ting Toako? orang lain sudah menotok jalan darah kematianmu, sedari tadi-pun sudah kabur, hm ... tapi ia tak bakal terlepas, sekarang kau jangan banyak bicara dahulu." Sementara pembicaraan sedang berlangsung Wi Tiong-hong merasa pelan-pelan ada seseorang sedang menempelkan telapak tangannya ke atas jalan darah Leng-tay-hiat di atas ulu hatinya, berbareng itu juga muncul segulung hawa hangat yang menembus jalan darahnya dan menerobos masuk ke dalam tubuhnya. Dia segera menurut dan memusatkan seluruh perhatiannya untuk mengatur pernapasan. Kurang lebih sepenanak nasi kemudian, dia telah selesai mengatur pernapasannya. Terasa gadis itu menarik kembali telapak tangannya sembari berkata. "Sudah cukup, asal kau beristirahat tiga-lima hari lagi, maka segala sesuatunya akan pulih kembali menjadi sedia kala, sekarang aku akan menyusul untuk mengambil kembali benda milikmu itu." Begitu selesai berkata, tampak sesosok bayangan manusia yang kecil mungil menyelinap lewat dari sisi tubuhnya dan melayang ke luar lewat jendela belakang. Buru-buru Wi Tiong-hong melompat bangun sambil berteriak. "Nona, harap tunggu sebentar." Waktu itu, sebenarnya bayangan kecil mungil tadi sudah berada di depan jendela, mendadak ia berhenti dan berpaling seraya berkata. "Aku hendak mengejar Ting Ci- kang." Menanti dia berpaling, Wi Tiong-hong baru dapat melihat jelas kalau nona yang telah menyelamatkan jiwanya ialah nona bermuka jelek yang pernah dijumpai sewaktu berada di tempat tinggal Heng-san Gisu tempo hari. Tanpa terasa dia menjadi tertegun, buru-buru katanya sembari menjura. "Sudah dua kali nona menyelamatkan jiwaku, untuk itu aku merasa berterima kasih sekali, aku harap nona jangan melakukan pengejaran." "Mengapa? Masa kau biarkan barang milikmu itu dirampas olehnya dengan begitu saja?" Wi Tiong-hong baru pertama kali ini terjun ke dalam dunia persilatan, sejak berkenalan dengan Ting Ci-kang, dia selalu menganggapnya sebagai seorang sahabat sejati. Siapa sangka hanya dikarenakan sebatang pena kemala, sahabat yang dianggapnya sebagai saudara sendiri itu begitu tega untuk turun tangan keji terhadap dirinya, dari sini dapat diketahui kalau manusia dalam dunia persilatan sukar diduga hatinya, tahu orangnya, tahu wajahnya belum tentu mengetahui hatinya. Berpikir sampai disini, dia menjadi murung, sambil menggelengkan kepalanya, katanya lirih. "Pena kemala itu yang aku dapatkan tanpa sengaja, sekali-pun diperoleh kembali juga tak akan bermanfaat bagiku, kalau toh sudah diambil olehnya, biarkan saja dia ambil, memang akulah yang telah salah memilih teman, tapi dengan bekal pengalaman ini aku berharap di kemudian hari peristiwa semacam ini tak akan terulang kembali." Gadis bermuka jelek itu tertawa cekikikan. "Waah, kau memang seorang yang berjiwa besar, Lou-bun-si merupakan benda mestika dari dunia persilatan, setiap orang berharap bisa memperoleh mestika tersebut, betulkah kau sudah tidak mau lagi?" "Sekali-pun pena beraksara Lou-bun-si merupakan benda mestika yang tiada taranya di dunia ini, namun benda mana tak lebih hanya merupakan benda sampingan. Bagi diriku, yang paling berharga di dunia ini adalah suatu persahabatan, orang kuno bilang: Bila mempunyai seorang teman yang sehati, sekali-pun harus mati juga tak perlu menyesal." Sebetulnya perkataan itu diutarakan oleh Wi Tiong-hong karena selama ini dia selalu menganggap Ting Ci-kang sebagai toakonya, akan tetapi Ting Ci-kang telah menghianati persahabatan itu hanya dikarenakan sebuah benda sampingan, karena kesal, maka ucapan mana baru diutarakan. Siapa tahu ucapan tersebut disalah tafsirkan oleh si nona berwajah jelek itu, meski mukanya tidak berobah menjadi merah, namun telinganya justeru berubah menjadi merah padam. Selang sejenak kemudian, gadis bermuka jelek itu baru berkata lagi dengan bibir dicibirkan. "Aku sudah lama mengetahui kalau orang she Ting itu bukan manusia baik-baik, tentunya kau belum mengetahui bukan. Kalau secara diam-diam ia telah bersekongkol dengan pihak Ban Kiam-hwee? Hm, siapa suruh kau enggan mendengarkan nasehatku dan cepat-cepat tinggalkan kota Sang sau ini." Tampaknya ia seperti merasa sudah terlanjur membuka rahasia, untuk dibatalkan perkataan itu tak sempat lagi. Sebaliknya ketika Wi Tiong-hong mendengar kalau dia pernah menasehati kepadanya agar segera meninggalkan kota Sang-siau, tanpa terasa terbayang kembali kejadian yang dialami sewaktu berada dalam rumah penginapan, di mana dia menemukan sepucuk surat dan orang yang memasukkan gulungan kertas ke dalam sakunya ketika dia disenggol orang di mulut pintu gerbang kota. Tatkala dia membayangkan kembali bayangan tubuh kecil kurus yang pernah di ngatnya terasa olehnya kalau lamat-lamat bayangan tubuh itu memang mirip sekali dengan gadis ini. Tanpa terasa dia mendongakkan kepalanya memandang gadis bermuka jelek itu katanya. "Jadi nona yang dua kali meninggalkan surat peringatan kepadaku." Ketika sepasang mata si nona jelek yang amat jeli itu saling membentur dengan mata Wi Tiong-hong, tiba-tiba saja dia melengos ke samping, kemudian sambil tertawa katanya. "Asal kau sudah tahu yaa sudahlah." Suaranya amat merdu disertai tiga bagian sifat manja, sayang wajahnya kelewat jelek sehingga senyumnya itu kurang sepandan untuk dinikmati. Wi Tiong-hong segera menjura dalam-dalam kemudian katanya. "Nona berulang kali memperingatkan kepadaku agar berhati-hati, kebaikan hatimu itu sungguh membuat aku merasa berterima kasih sekali." Tampaknya lantaran pihak lawan berwajah kelewat jelek, maka dia menjadi lebih leluasa untuk berbicara. Gadis bermuka jelek itu segera tertawa cekikikan. "Aaah, lagi-lagi soal berterima kasih," Serunya. "justru karena aku ingin berterima kasih kepadamu, maka berulang kali aku memberi peringatan kepadamu." Wi Tiong-hong menjadi termangu-mangu. Terdengar gadis berwajah jelek itu berkata lagi. "Padahal aku menasehatimu karena kulihat kau adalah seorang pemuda yang baru terjun ke dalam dunia persilatan, sebab itu aku menganjurkan kepadamu agar cepat-cepat meninggalkan dunia persilatan, daripada mendatangkan kesulitan di kemudian hari." Berbicara sampai di situ, dari luar jendela sana sudah terdengar suara ayam berkokok, buru-buru katanya. "Hari sudah hampir terang, keadaan lukamu kini belum begitu sembuh, cepatlah atur pernapasanmu, aku-pun harus segera pergi meninggalkan tempat ini." Mendengar gadis itu hendak pergi, teringat pula kalau orang telah menolongnya berulang kali, dia merasa berkewajiban untuk menanyakan nama penolongnya ini. Sambil mengangkat kepala dia lantas katanya. "Nona, berulang kali jiwaku telah kau selamatkan, bilamana nona tidak berkeberatan, bolehkah aku mengetahui siapa nama nona?" Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan ID di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Walau-pun nona itu berwajah jelek, tapi toh seorang gadis muda, maka setelah mengucapkan perkataan itu, merah padam selembar wajahnya karena jengah. Gadis berwajah jelek itu-pun nampak jengah, telinganya nampak berubah merah padam, agak tersipu katanya. "Besok saja akan kuberitahukan kepadamu, sekarang aku akan pergi dahulu." Sepasang kakinya segera menjejak tanah dan secepat kilat menyelinap ke luar dari kamar itu. Dengan wajah termangu-mangu, Wi Tiong-hong memandang gadis itu hingga lenyap dari pandangan mata, meski-pun gadis ini berwajah jelek. Sesungguhnya mempunyai hati yang suci dan bersih. Lama sekali anak muda itu termangu-mangu, akhirnya naik kembali di atas pembaringan dan melanjutkan latihannya untuk mengatur pernapasan dan menyembuhkan luka yang dideritanya. Tapi sayangnya, walau-pun dia telah berusaha keras untuk menghilangkan pelbagai pikiran yang berkecamuk dalam benaknya, namun apa yang dijumpainya selama ini satu persatu melintas dalam benaknya. Terutama sekali akan tindakannya yang bermaksud baik untuk menyampaikan pesan yang dititipkan Tok Hay-ji kepadanya, tetapi diam-diam ia telah meracuni dirinya dengan maksud untuk membinasakan dirinya. Pemuda berbaju biru itu sama sekali tidak kenal dengan dia, bahkan boleh dibilang mereka tak punya ikatan dendam atau sakit hati apa-pun, tapi nyatanya dia telah menyembunyikan jarum beracun dari balik telapak tangannya. Selama ini Ting Ci-kang selalu dianggap sebagai toakonya, tapi pada akhirnya toh memperlihatkan juga wajahnya yang menyeringai dengan turun tangan keji untuk menotok jalan darah kematiannya. Dan akhirnya bayangan tubuh si nona berbaju hijau yang menghantar obat pemunah baginya segera muncul di dalam benaknya, kemudian muncul pula bayang tubuh dari si gadis jelek berbibir tebal tadi, kesemuanya itu membuat dia tak bisa tenangkan hati. Dengan susah payah akhirnya pelbagai pikiran itu berhasil disingkirkan dari benaknya, sementara hari terang tanah. Setelah menerima bantuan tenaga dalam dari si gadis berwajah jelek tadi, luka dalam yang dideritanya jauh membaik, maka begitu dia duduk bersemedi dan pikiran kalut bisa teratasi, hawa murni yang berada dalam pusarnya pelan-palan menyebar ke seluruh nadi dalam tubuhnya membuat semua anggota badannya menjadi segar kembali. Tak lama kemudian, ia sudah berada dalam keadaan lupa akan segala-galanya. Menanti dia sadar kembali dari semedinya tengah hari sudah lewat, ketika membuka mata, dia saksikan gadis berwajah jelek itu sedang duduk di atas kursi dekat jendela sambil mengawasi ke arahnya dengan sorot mata yang amat lembut. Jelas nampak kalau dia menaruh perhatiannya yang amat besar terhadap keselamatannya. Tatkala dia menjumpai Wi Tiong-hong telah sadar kembali dia segera beranjak dan mendekati ke depan pembaringan, kemudian ujarnya sambil tertawa. "Kau sudah mendusin? Lama benar semedimu kali ini, sekarang hari sudah mendekati siang, aku telah mempersiapkan hidangan makan siang untukmu, hayo cepatlah bersantap." Selain nadanya lemah lembut, sikapnya juga hangat dan amat mesra. Wi Tiong Tiong mencoba berpaling, betul juga di atas meja telah siap lima macam sayur dengan sebakul nasi putih. Dengan wajah tertegun dia lantas bertanya. "Nona, apakah kau sudah datang sedari tadi?" "Dewasa ini sudah banyak jago persilatan yang berdatangan di kota Sang-siau, kebanyakan jago liehay itu berdatangan karena pena beraksara Lou-bun-si," Kata gadis berwajah buruk lirih. "apalagi Ting Ci-kang dan Ban Kiam-hwee telah bersekongkol, aku kuatir ada musuh yang mencelakai dirimu bila membiarkan kau bersemedi seorang diri tanpa ada yang melindungi." "Semalam aku berdiri terus di muka pintu kamarmu, hingga pagi tadi baru masuk kemari, karena kulihat kau belum mendusin, maka aku menyuruh pelayan untuk menyiapkan hidangan, ternyata kau belum juga sadar." Beberapa patah kata itu, kontan saja membuat Wi Tiong-hong merasa terharu. Sejak kecil hingga dewasa, belum pernah ada seorang anak gadis yang begitu menaruh perhatian terhadapnya, dia merasa walau-pun gadis ini berwajah buruk, namun dia bersikap kelewat baik kepadanya. Pada dasarnya dia memang seorang pemuda yang amat berperasaan tanpa sadar serunya. "Nona, begitu baik kau kepadaku, hal ini sungguh membuat aku merasa berterima kasih." "Sudahlah, jangan berbicara lagi," Kata gadis berwajah buruk itu sambil tertawa. "aku toh tidak memberi sesuatu kepadamu, mana mungkin bisa dianggap melepaskan budi kepadamu? Kau ini memang sukanya berpikir yang bukan2 saja, itulah sebabnya setelah berjumpa denganmu semalam, aku selalu merasa tak tega untuk melepaskan kau dengan begitu saja." Mendadak ia merasa ucapannya kelewat berterus terang, maka dengan cepat ia berhenti berbicara, setelah mengerdipkan matanya berulang kali, katanya. "Sudahlah, cepat bersantap. Jangan membuat kesehatan badanmu terganggu, apalagi lukamu belum sembuh, yang penting adalah menyembuhkan dahulu lukamu itu." Berbicara sampai di situ, dia lantas berjalan menuju kemeja dan mengambilkan nasi baginya. Wi Tiong-hong segera melompat turun dari atas pembaringan, serunya dengan terharu. "Aku tak berani merepotkan nona." Gadis bermuka jelek itu tertawa, tiba-tiba bisiknya dengan suara lirih. "Barusan aku mengatakan pada pelayan kalau kau ... kau adalah ... piauko ku. Sebentar jangan lupa kau memanggil aku sebagai piau-moay." Ketika beberapa patah kata itu selesai di ucapkan, sekali lagi telinganya berubah menjadi merah. "Bagus sekali," Diam-diam Wi Tiong-hong berpikir. "namanya saja belum aku ketahui tapi dia sudah menjadi piau-moayku." Tapi teringat kalau antara lelaki dan wanita ada batas-batasnya, sekali-pun nona itu berwajah jelek, toh dia adalah seorang gadis muda, berada bersama di dalam kamar bisa jadi akan memancing pemilik rumah penginapan, maka segera dia manggut- manggut seraya sahutnya. "Baik, baik, aku akan mengingatnya selalu perkataan nona." "Aaaah, lagi-lagi memanggil nona kepadaku, orang lain akan segera mengetahui kalau kita tak punya hubungan apa-apa." "Tak punya hubungan apa-apa?" Wi Tiong-hong dapat melihat, meski-pun gadis itu berparas jelek, namun tak dapat menutupi kelincahannya sebagai seorang gadis remaja, dia segera tertawa. "Ucapan Piau-moay memang tepat sekali." Justeru karena gadis itu berparas muka jelek, maka dalam perasaannya dia menjadi tak terlampau canggung. Betapa hangatnya perasaan si nona bermuka jelek itu, setelah mendengar sebutan Piau-moay tersebut bisiknya kemudian. "Piauko, nasimu sudah dingin, cepatlah bersantap." Baru pertama kali ini dia memanggil orang dengan sebutan begitu mesra, tak heran pipinya terasa menjadi panas setelah menyebut nama "piauko" Tadi, jantungnya terasa berdebar amat keras. Wi Tiong-hong yang berhasil mendapat seorang piau-moay (adik misan), hatinya gembira sekali, berbicara sesungguhnya dia sama sekali tidak merasa muak terhadap kejelekan wajahnya, bila hati seseorang baik dan mulia, apa urusannya dengan baik atau buruknya paras muka seseorang. Sambil tersenyum dia lantas duduk dan mengambil mangkuk nasinya, tiba-tiba sambil mendongakkan kepalanya dia bertanya. "Bagaimana dengan kau? Sudah bersantap?" "Aku sudah bersantap sedari tadi, hidangan itu memang sengaja aku siapkan bagimu?" Sambil bersantap. Wi Tiong-hong lantas berkata. "Piau-moay, sekarang kau boleh ..." Gadis bermuka jelek itu tidak membiarkan ia berbicara lebih lanjut, sambil membereskan rambutnya yang berwarna kuning katanya sambil tertawa cekikikan: "Aku mengerti apa yang sedang kau tanyakan, tak usah terburu-buru, jawab dahulu sebuah pertanyaanku tapi kau-pun mesti menjawab dengan jujur." "Apa yang ingin kau tanyakan kepadaku?" Gadis bermuka jelek itu berdiri di hadapannya lalu dengan wajah serius ujarnya. "Kau harus menjawab pertanyaanku ini dengan sejujur-jujurnya." Wi Tiong-hong mengangguk. "Tanyakan saja berterus terang, asal aku tahu, pasti akan kujawab dengan sejujurnya kepadamu." Gadis bermuka jelek itu memperhatikan wajah Wi Tiong-hong sekian lama, kemudian katanya. "Baik aku ingin bertanya kepadamu, apakah wajahku terlampau jelek?" Apa lagi yang mesti ditanyakan? Berambut kuning, bermuka penuh burik, ditambah lagi berwajah kuning tak sedap, apakah ia tak dapat bercermin wajah sendiri? Wi Tiong-hong tidak menyangka kalau dia akan mengajukan pertanyaan semacam itu, ia tertegun wajahnya sementara hati kecilnya merasa serba salah. Gadis bermuka jelek itu memperhatikan wajahnya lekat-lekat, kemudian tegurnya lagi: "Mengapa kau tidak berbicara? Apakah wajahku kelewat jelek sehingga kau merasa sungkan untuk mengatakannya?" Berbicara sampai di situ, tiba-tiba ia mendengus sambil berkata. "Padahal sekali-pun tidak kau katakan, aku-pun tahu jika wajahku buruk, banyak orang yang melihat aku seperti melihat siluman saja." Wi Tiong-hong tahu, bila seseorang berwajah jelek, dia pasti mempunyai perasaan rendah diri yang sangat parah, mungkin juga dia akan menjadi marah karena melihat ia tidak menjawab pertanyaannya. "Tidak," Katanya sambil mengangguk. "Cantik atau jeleknya wajah seseorang bukan sesuatu yang mutlak. Sebab wajah hanya merupakan suatu lahiriah saja, padahal menilai manusia bukan dari baik buruknya wajah, sebaliknya dari buruknya watak dan jiwa seseorang, nona seorang yang suci dan berhati mulia." "Aaah, lagi-lagi memanggil nona," Tegur nona bermuka jelek itu sambil mendengus. "Hmm, berbicara pulang pergi, tampaknya kau masih tetap menganggap wajahku kelewat jelek." Wi Tiong-hong mempunyai niat untuk mengalah kepada gadis ini, maka terhadap sikapnya yang marah dan senang tak menentu, dia sama sekali tidak memikirkannya di hati. Mendengar perkataan itu, segera ujarnya dengan wajah bersungguh-sungguh. "Aku sama sekali tidak bermaksud demikian berbicara yang sebenarnya, dalam dunia ini aku tak punya seorang sanak keluarga-pun, aku merasa amat gembira karena bisa menganggap kau sebagai adik misanku?" "Apakah perkataanmu itu muncul dari hati yang tulus dan jujur?" Tanya gadis bermuka jelek itu dengan hati gembira. "Yaa, aku berbicara dengan sejujurnya." "Tampaknya kau tidak seperti lagi berbohong," Kata gadis itu pelan. "hmm, padahal sekarang aku masih belum tahu apa yang kaupikirkan di dalam hati." Tampaknya gadis itu sedang merasa gembira sekali, tapi nampak juga agak tersipu- sipu, sementara pembicaraan berlangsung, dia sudah melengos ke arah lain. Wi Tiong-hong yang menyaksikan kejadian itu, diam-diam merasa kegelian, dia merasa setiap anak gadis kebanyakan suka dipuji cantik, ternyata apa yang dibuktikan sekarang memang benar, nyatanya gadis itu merasa amat gembira. Berpikir sampai di situ, dia lantas menundukkan kepalanya dan melanjutkan acaranya makan. Mendadak gadis berwajah jelek itu tertawa cekikikan, dengan cepat dia membalikan badannya sambil berteriak. "Piauko, coba kau perhatikan sekali lagi, benarkah wajahku amat jelek?" Wi Tiong-hong mendongakkan kepalanya, tiba-tiba saja dia merasa matanya menjadi silau, setelah itu dia berdiri tertegun umuk beberapa saat lamanya. Ternyata paras muka si nona bermuka jelek yang amat tak sedap dipandang tadi, dalam sekejap mata telah berubah menjadi cantik dengan alis mata yang tipis, mata yang jeli, hidung yang mancung dan bibir yang kecil mungil Benar-benar wajah cantik seorang bidadari dari khayangan. Tampak gadis itu menarik rambutnya yang berwarna kuning sehingga terlepas dari kepalanya, berbareng mengayunkan topeng kulit manusia tadi, ujarnya sambil tersenyum. "Piauko, sekarang yang kau saksikan adalah paras muka asliku, tapi selama berkelana di dalam dunia persilatan, belum pernah topeng ini kulepaskan. Padahal topeng ini selain bisa menghindarkan diri dari serangan racun, tidak mempan pula terhadap bacokan senjata, apa salahnya dengan wajah jelek? Toh aku bukan bermaksud untuk memamerkan mukaku untuk dilihat orang?" Wi Tiong-hong sama sekali tidak merasa terkejut atau-pun keheranan, sebab dia pernah mempelajari ilmu merias muka dari paman tak diketahui namanya itu. Cuma perubahan dari seorang gadis berparas jelek menjadi seorang gadis cantik jelita secara tiba-tiba ini cukup membuatnya menjadi gelagapan setengah mati. Untuk sesaat lamanya dia tak tahu apa yang mesti diucapkan, pemuda itu hanya bisa memandang paras muka si nona dengan terkesima, saking gelagapannya dia sampai membungkam dalam seribu bahasa. Melihat pemuda itu memandang ke arahnya dengan wajah termangu, tiba-tiba paras muka gadis itu berubah menjadi merah padam karena jengah, serunya dengan perlahan. "Mengapa kau tidak berbicara lagi? Mengapa sih memperhatikan wajahku terus menerus? Jika aku tahu kalau kau tidak jujur, tak akan kulepaskan topeng ini." Sembari berkata dia segera mengenakan kembali topeng kulit manusia itu ke atas wajahnya kemudian dengan cepat pula mengenakan kembali rambut palsunya, semua gerakan dilakukan dengan cepat dan cekatan. Hanya dalam waktu singkat, kembali gadis cantik itu berubah menjadi jelek, kini gadis itu berubah lagi menjadi gadis berwajah buruk. Wi Tiong-hong berseru tertahan, seperti baru bangun dari impian paras mukanya kontan saja berubah jadi merah padam, lalu serunya. "Nona ... " Tapi sampai ditengah jalan, buru-buru dia mengganti lagi panggilannya. "Piau-moay, kau amat cantik." Gadis berwajah jelek itu mengerling sekejap ke arahnya, kemudian sambil menutupi mulut sendiri dan tertawa katanya. "Cepatlah bersantap, jangan nona, piau-moay terus menerus, aku bernama Lok Khi." "Oooh, namamu seindah orangnya, betul-betul membikin hati orang terpesona." Kata Wi Tiong-hong tertawa. Lok Khi berdiri di samping Wi Tiong-hong dan melirik sekejap ke arahnya dengan wajah tersipu-sipu, seperti girang, seperti juga malu, katanya sambil tertawa. "Tak kusangka kalau kau masih mempunyai kepandaian untuk memberi topi kebesaran di atas kepala orang." Wi Tiong-hong merasa terperanjat, setelah menghabiskan dua mangkuk nasi, ia berhenti bersantap. Kebetulan pelayan datang menghidangkan air teh panas. Tiba-tiba Wi Tiong-hong teringat kembali dengan Hek-bun-kun Cho Kiu-moay yang pernah dijumpainya semalam dan dirasakan mirip dengan tamu perempuan yang mencari Ting Ci-kang, tanpa terasa tanyanya. "Pelayan, apakah tamu perempuan di kamar nomor lima sudah pergi?" "Oooh, tamu perempuan itu? " Ucap si pelayan sambil tertawa. "Semalam, hari belum lagi gelap dia sudah kembali, setelah membayar rekening lantas pergi." Wi Tiong-hong manggut-manggut dan tidak berbicara lagi. Bab 24 Sepeninggal pelayan itu, Lok Khi dengan membelalakan matanya segera bertanya: "Siapa tamu perempuan yang kau maksudkan?" "Aku rasa dia adalah Hek-bun-kun Cho Kiu-moay dari Ban Kiam-hwee." Secara ringkas dia lantas menceritakan bagaimana ada orang mencari Ting Ci-kang semalam. Lok Khi segera mendengus dingin. "Hmm, aku sudah bilang, Ting Ci-kang telah berkomplot dengan pihak Ban Kiam-hwee. Ah, sebetulnya pena beraksara Lou-bun-si itu kau temukan dibagian mana dari perusahaan An-wan piaukiok?" "Di atas kayu belandar rumah." Menyusul kemudian dia-pun lantas bercerita bagaimana tanpa sengaja telah menyentuh pena kemala di tempat persembunyiannya dan secara kebetulan tempat di mana dia bersembunyi adalah tempat di mana Tok Hay-ji menyembunyikan diri ... " Lok Khi segera bertepuk tangan dan berseru. "Aaah, kalau begitu tak salah lagi, itu berarti benda mana telah berada di saku Tok Hay-ji waktu itu, setelah mengetahui kalau dia tak dapat meloloskan diri, maka benda tersebut disembunyikan di atas tiang belandar, kemudian minta kau menyampaikan pesannya." Wi Tiong-hong menjadi keheranan, pikirnya. "Aaah, pesan yang disampaikan Tok Hay-ji kepadaku ini hanya kuberitahukan kepada Ting Ci-kang serta Hong-tiang dari kuil Pau-in-si, apa lagi Tok Hay-ji telah berpesan kalau persoalan ini penting sekali artinya, karena kuatir terdengar orang lain, dua kali aku menulis dengan mencelupkan tanganku ke dalam air, heran, darimana dia bisa tahu?" Berpikir sampai di situ, dia lantas bertanya. "Darimana kau bisa tahu? " Lok Khi tertawa. "Semua pembicaraanmu dengan Ting Ci-kang sewaktu berada di rumah makan tempo hari telah didengar semua oleh toakoku, tentu saja tulisan yang kau tulis di meja-pun tak dapat lolos dari penglihatan toakoku." "Siapakah toakomu? "tanya Wi Tiong-hong semakin keheranan. Lok Khi tertawa. "Bila sudah bersua, kau akan segera mengenalinya." Kemudian dia melanjutkan. "Waktu itu toako masih mengajak aku berdebat, aku bilang dari kedua patah kata yang disampaikan Tok Hay-ji, kata pertama "dibawah undak-undakan kiam- bun" Mengartikan dia sudah ditangkap orang-orang Ban Kiam-hwee dan menjadi tawanan, sedang kata kedua "gua dalam tanah masuk dalam kayu", kata gua dalam tanah merupakan huruf bagian atas dari An-wan, berarti dia bilang barang itu di An-wan piaukiok. Sedang kata "masuk dalam kayu" Berarti barang itu disimpan dalam peti kayu atau benda terbuat dari kayu tadinya. Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan ID di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tapi toakoku bersikeras mengatakan, karena dia sudah ditawan Ban Kiam-hwee, benda itu pasti sudah dikurung dalam tanah di bawah kamar penjaranya." "Berhubung suhuku sudah bilang akan melepaskan persoalan ini, maka aku dan toakoku hanya berbicara belaka." "Hmm, menurut apa yang kau ucapkan sekarang, berarti barang itu kaulah yang dapatkan, maka sudah sepantasnya kalau barang itu menjadi milikmu, bila luka yang kau derita sudah sembuh nanti, aku akan menemanimu mencari Ting Ci-kang, benda itu harus direbut kembali." Mendadak dari belakang tubuh mereka terdengar seseorang bertanya. "Apakah Ting Ci-kang yang kalian maksudkan adalah anggota Ban Kiam-hwee?" Lok Khi amat terperanjat sambil membalikkan badan dia membentak nyaring. "Siapa?" Ketika berpaling, tanpaklah seorang kakek yang pendek dan gemuk telah berdiri di depan pintu. Orang itu berjubah lebar, berwajah penuh senyuman dan kelihatannya ramah sekali. Lok Khi merasa amat terkesiap, ia tak tahu sedari kapan kakek gemuk itu memasuki kamarnya, mengapa ia tak merasakan barang sedikit-pun jua? Setelah mendengus dingin kembali ujarnya. "Aku tidak kenal dirimu, lebih baik cepatlah pergi dari sini." Tubuhnya segera bergerak ke depan secepat kilat, tangan kirinya langsung menghantam tubuh kakek tersebut. Sekali-pun serangan itu tampaknya dilancarkan dengan ayunan tangan belaka, padahal bayangan telapak tangan yang terpancar ke luar lelah menyelimuti beberapa depa di sekeliling tempat itu. Di dalam kamar yang begini sempitnya, kecuali mengundurkan diri dari dalam kamar, tiada tempat lain lagi untuk menghindarkan diri. Kakek gemuk pendek itu mendehem pelan, tubuhnya segera miring ke samping, bukannya mundur dia malah maju, dengan cepat badannya menyelinap diantara bayangan telapak tangannya yang rapat. Ternyata gerakan tubuhnya itu amat cekatan dan lihay, hanya sekali berkelebat saja, tahu-tahu dia sudah menghindarkan diri dari ancaman Lok Khi tersebut. "Kalian berdua tentu saja tak akan kenali siapakah lohu, lohu hanya ingin bertanya kepadamu, apakah Ting Ci-kang adalah anggota Ban Kiam-hwee ... ?" Walau-pun orang itu berbicara sok berlagak, namun sikap gerak geriknya amat ramah dan halus. Sewaktu Lok Khi menyaksikan serangan yang dilancarkan tidak berhasil menyentuh ujung baju lawannya, tanpa terasa dia mundur selangkah. Kemudian sambil melototkan matanya lebar-lebar, katanya sambil mendengus. "Aku tidak tahu, jangan kau anggap setelah memiliki tenaga khikang pelindung badan, maka kami lantas takut kepadamu." Begitu selesai berkata, dia bersiap-siap lagi untuk melancarkan tubrukan. Kakek gemuk pendek itu segera menarik wajahnya dan berkata. "Hmmm, sekali-pun kalian enggan berbicara, lohu juga dapat menemukannya ..." Tiba-tiba dia melejit, kemudian dengan gerakan tubuh secepat kilat dia menyelinap pergi. Memandang bayangan tubuhnya yang menjauh, Wi Tiong-hong berdiri termangu- mangu, kemudian gumamnya. "Cepat benar gerakan tubuh orang ini." "Tenaga khikang pelindung badan yang dimiliki kakek ini sudah mencapai enam tujuh bagian, sewaktu aku lancarkan sebuah pukulan tadi, tubuhku segera dipentalkan balik oleh tenaga khikangnya. Hmmm, seandainya aku menduga akan hal itu, jangan harap tubuhku bakal dipentalkan olehnya." "Aku pernah mendengar pamanku berkata, orang yang pandai ilmu khikang pelindung badan dewasa ini sudah tidak banyak lagi, lagi pula sebagian besar telah mengasingkan diri, entah siapakah orang itu?" "Itu mah tidak sulit, dia mempunyai perawakan tubuh yang gemuk dan pendek, lagi pula memelihara jenggot kambing, itulah suatu ciri yang khas, asal ditanyakan kepada toako, dia pasti tahu." Berbicara sampai di situ, dia lantas menyelinap ke luar dari pintu kamar tersebut. Ketika Wi Tiong-hong melihat gadis itu bilang akan pergi lantas pergi, bahkan pergi dengan begitu cepat, dia mulai berpikir siapa gerangan toakonya itu? Diam-diam ia menjadi curiga, tapi bila teringat kembali bagaimana orang lain selain memberi peringatan kepadanya, bahkan dua kali menampakkan diri untuk menyelamatkan jiwanya, sudah pasti gadis itu tak akan menaruh maksud jahat apa- apa. Tak selang berapa saat kemudian, tampak bayangan manusia berkelebat lewat, Lok Khi telah muncul kembali. "Toako telah pergi," Katanya dengan wajah cemberut. "dia hanya meninggalkan sepucuk surat, dia bilang demi keselamatan jiwaku, maka aku baru ditinggal di kota Sang-siau, dia-pun mengatakan semalam orang-orang dari Ban Kiam-hwee telah pergi dari sini, orang-orang dari selat Tok Seh-sia baru hari ini berangkat meninggalkan tempat ini, itulah sebabnya dia-pun turut pergi." "Sebetulnya siapa sih toakomu itu? " Tanya Wi Tiong-hong ingin tahu. "Toako adalah toakoku, di kemudian hari kau toh akan mengenali sendiri orangnya." Kemudian setelah tertawa manis, katanya lagi. "Aku sudah menyuruh pelayan untuk menyiapkan kamar di sebelahmu ini, selama ada aku di sini sebagai pelindungmu, kau boleh merawat lukamu itu dengan hati lega." Selesai berkata dia lantas membalikkan badan, menutupkan pintu kamarnya dan menuju ke kamar sebelah. Secara beruntun mereka tinggal selama tiga hari di situ, sesudah melakukan semedi selama tiga hari, luka dalam yang diderita Wi Tiong-hong-pun telah sembuh kembali. Dalam waktu tiga hari tersebut, betul juga, suasana amat tenang dan tak pernah terjadi sesuatu apa-pun, kecuali sebagai pelindung yang baik, ternyata Lok Khi-pun memperhatikan soal-soal yang lain dengan amat teliti dan hangat. Pada hari ke empat, pagi sekali, ketika Wi Tiong-hong baru mendusin dari semedinya dia merasakan hawa murni dalam tubuhnya telah beredar kembali seperti semula, jalan darahnya tembus semua, kesehatan badannya boleh dibilang sudah pulih seperti dahulu. Dia lantas melompat turun dari pembaringan dan membuka pintu. Terdengar Lok Khi yang berada di kamar sebelah telah berseru dengan manja. "Piauko (kakak misan), sepagi ini kau sudah bangun tidur?" Pintu kamar dibuka, Lok Khi yang telah selesai membersihkan badan melangkah ke luar dari kamarnya. Wi Tiong-hong segera tersenyum. "Aku telah sehat kembali, selama tiga hari tiga malam ini, semuanya berkat perawatan dari piau-moay ..." Belum sempat pemuda itu selesai berbicara, Lok Khi telah menukas sambil tertawa manis. "Aaaa ... berbicara pulang pergi, yang kau katakan hanya melulu kata-kata bernada terima kasih." Didahului oleh sang nona, terpaksa Wi Tiong-hong hanya menyengir kuda belaka. Tiba-tiba Lok Khi mengerdipkan matanya, lalu berkata lagi. "Piauko, benarkah lukamu telah sembuh kembali? Kalau begitu hari ini juga bisa berangkat." "Berangkat? Kita akan kemana?" "Tentu saja mencari Ting Ci-kang, ia bersikap tidak setia kawan kepadamu, menghianati kepercayaanmu kepadanya, bahkan turun tangan kejam kepadamu. Apakah kau rela membiarkan barang itu dirampas olehnya dengan begitu saja?" "Sudah, biarkan saja, toh pena beraksara Lou-bun-si tak ada manfaatnya bagiku, salahku sendiri mencari teman tidak betul. Sehingga mendapat pengalaman kali ini, tak perlu di cari lagi." "Jika kau enggan pergi, biarlah aku yang pergi, manusia semacam ini harus diberi pelajaran yang sebaik-baiknya. Sekali-pun dia telah bersekongkol dengan pihak Ban kiam-hwee, lihat saja nanti, sanggupkah dia meloloskan diri dari cengkeramanku?" Setelah bergaul selama beberapa hari dengan gadis itu, Wi Tiong-hong sudah mengetahui bagaimanakah wataknya. Ia tahu untuk membujuk gadis itu agar mengurungkan niatnya pada saat ini, selain tak bakal dituruti, bisa jadi pura-pura menjadi sungguhan. Sementara dia masih serba salah dibuatnya, mendadak anak muda tersebut teringat janjinya dengan ketua kuil Pau-in-si yang memintanya datang kembali lima hari kemudian, konon ada sesuatu urusan hendak dititipkan kepadanya. Kebetulan hari ini adalah hari ke lima, dan dia-pun telah menyanggupi permintaan tersebut, tentu saja janji mana harus dipenuhi. Kepada Lok Khi, dia-pun lantas berkata. "Hari ini aku masih mempunyai beberapa persoalan yang harus segera diselesaikan." "Kau masih ada urusan apa?" Tanya Lok Khi dengan wajah tertegun. "Waktu itu, Lo Hong-tiang dari kuil Pau-in-si berjanji kepadaku agar lima hari kemudian datang lagi ke situ, kebetulan hari ini adalah hari ke lima dan aku-pun telah menyanggupi permintaannya, bagaimana-pun juga aku harus ke situ untuk memenuhi janji." "Kau maksudkan Gho-beng siansu, lo hong tiang kuil Pau-in-si? Dia adalah anggota dari Siau-lim-pay, ada urusan apa kau mengadakan perjanjian dengannya?" "Aku sendiri-pun tidak tahu, dia cuma bilang ada suatu persoalan yang hendak disampaikan kepadaku." "Dia mempunyai persoalan yang hendak dititipkan kepadamu?" Lok Khi keheranan, "hmmm, kau memang orang yang paling suka mencampuri urusan orang lain." Berbicara sampai di situ, mendadak dia mendongakkan kepalanya sambil bertanya: "Maukah kau mengajakku bersama?" "Jika kau ingin pergi, mari kita pergi bersama-sama, pemandangan alam di situ memang bagus sekali." Lok Khi menjadi girang setengah mati sampai mulutnya terbuka lebar dan nampak dua baris giginya yang putih bersih, katanya sambil tertawa. "Piauko, kau baik sekali, toakoku selalu menganggap aku seperti anak kecil, dia tidak pernah membiarkan aku turut kemana-pun dia pergi, padahal aku takut kepada siapa?" Ucapan mana diutarakan dengan polos dan manja, bisa dibayangkan betapa girang dan gembiranya wajah gadis tersebut di balik topeng kulit manusianya. Tanpa terasa Wi Tiong-hong teringat kembali dengan gadis berbaju hi au yang menghadiahkan obat penawar kepadanya malam itu, di balik kelembutannya terselip sikap dingin dan hambar, jauh berbeda dengan sikap hangat dari Lok Khi. Ketika Lok Khi melihat pemuda itu hanya memandang ke arahnya dengan wajah tertegun tanpa terasa panas pipinya, dia lantas berpaling sambil berkata. "Hei, memangnya kau sudah tidak kenal diriku lagi? Mengapa sih menatap wajahku terus menerus? Malu amat rasanya ..." Kemudian sambil mendorong tubuh itu, serunya dengan penuh kemanjaan. "Piauko, cepat pergi membersihkan muka. Selesai bersantap, kita harus segera berangkat." Sekembalinya ke dalam kamar, Wi Tiong-hong-pun mencuci muka, kemudian selesai bersarapan mereka membayar rekening dan berangkat menuju ke pintu kota sebelah selatan. Perjalanan yang mereka tempuh cepat, tak selang berapa saat kemudian sampailah mereka berdua di depan kuil Pau-in-si. Mendadak Lok Khi memperlambat langkahnya sambil berbisik. "Piauko, hwesio tua itu bilang ada urusan hendak disampaikan kepadamu, bila dia melihat aku datang bersamamu, mungkinkah dia tak mengatakannya?" Wi Tiong-hong memang telah menduga kalau Lo Hong-tiang itu mengundangnya datang, sudah pasti ada suatu persoalan. Sekarang dia datang memenuhi janji tersebut bersama Loh Khi, bisa jadi dia enggan mengutarakan persoalannya di hadapan gadis tersebut. Baru saja dia akan bilang, sebentar setelah tiba di dalam kuil, gadis itu disuruh menunggu di luar ruangan, siapa sangka gadis tersebut telah berbicara lebih dulu, maka setelah termenung bsberapi saat dia-pun berkata. "Soal ini aku tidak tahu, andaikata Hong-tiang tua tersebut sampai ..." Tidak memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk menyelesaikan kata-katanya, Lok Khi telah menukas sambil mendengus. "Aku ada maksud untuk mencoba dirimu saja, ingin kulihat apakah kau benar-benar akan menganggap diriku sebagai adik misanmu? Padahal, apa salahnya untuk berbuat demikian? Toh dia yang menitipkan persoalannya kepadamu, bukan kau yang memohon kepadanya, apakah kau tak bisa memberitahukan kepadanya kalau aku adalah adik misanmu? Dan bila ada persoalan dia bisa mengutarakannya terus terang." Melihat kesungguhan hati si gadis tersebut, diam-diam Wi Tiong-hong merasa amat geli, tampaknya ia itu selalu menganggap darinya sebagai engkoh misan yang sebenarnya. Sambil tersenyum dia lantas berkata. "Aah, kau terlalu memikirkan yang bukan-bukan, sebentar bila Hong-tiang tua itu merasa kurang leluasa untuk membicarakan masalahnya dihadapanmu, tentu saja aku akan berkata demikian." Lok Khi segera mengerdipkan sepasang matanya yang besar dan bulat, kemudian ujarnya sambil tersenyum. "Aku masih mengira kau takut orang mengejek wajahku kelewat jelek, sehingga kau tak punya muka. Tak mau mengakui diriku sebagai adik misanmu lagi. Beberapa hari ini aku memang ingin sekali melepaskan topeng mana dan tidak mengenakannya lagi." "Eeeh ... jangan kau lepaskan, lebih baik begini saja," Buru-buru Wi Tiong-hong berseru. "Benar, suhulah yang menyuruhku mengenakan topeng ini," Ujar Lok Khi lagi dengan sedih. "dia orang tua berkata, usiaku kelewat kecil sedang orang persilatan rata-rata berhati busuk dan licik, lebih banyak orang jahatnya daripada orang baik, bila ada orang tidak jijik dengan kejelekanku, benar-benar baik kepadaku ..." Nona kecil ini baru saja menanjak dewasa, sesungguhnya sejak pertemuan yang pertama, ia telah memberikan seluruh hati dan cintanya untuk pemuda idaman hatinya ini. Karena usianya masih kecil, apa yang diketahui tentang hubungan laki perempuan-pun tidak banyak, ditambah pula sejak kecil ia sudah mengikuti gurunya, dalam segala persoalan dia selalu sikapnya lebih hambar daripada gadis sebayanya, meski demikian, setelah berkata sampai di situ, ia merasa sulit juga untuk melanjutkan perkataannya. Lantaran malunya, ia sampai tak sanggup untuk melanjutkan perkataannya lebih jauh. Wi Tiong-hong merasakan hatinya bergetar keras, buru-buru dia berkata cepat. "Sstt, ada orang yang munculkan diri, mari kita segera menuju kesana." Di depan pintu gerbang telah muncul seorang pendeta berjubah abu-abu yang merangkapkan tangannya di depan dada. Begitu menghampiri kedua orang tersebut, dia lantas menjura seraya berkata: "Apakah sicu berdua datang kemari untuk memasang hio?" Ketika Wi Tiong-hong menyaksikan pendeta penerima tamu itu bukan Gho-tong hwesio, dia-pun menjura seraya menjawab. "Aku akan mencari Hong-tiang dari kuil ini." Pendeta itu memperhatikan sekejap wajah kedua orang tamunya, kemudian berkata lagi. "Sicu berdua mencari Hong-tiang kami karena urusan apa?" "Lima hari berselang, aku pernah berjumpa dengan Hong-tiang kalian, dan ia mengundangku untuk datang lagi hari ini, harap taysu suka masuk ke dalam melaporkan kedatangan kami ini." "Oooh ... " Pendeta itu memutar biji matanya dan sekali lagi melirik sekejap wajah ke dua orang itu, kemudian ujarnya sambil tertawa. "Sicu, siapa namamu?" "Aku Wi Tiong-hong dan dia adalah piau-moayku." "Oh, rupanya Wi sicu, harap kalian berdua suka menunggu sebentar di ruang depan, pinceng akan segera masuk ke dalam untuk memberi laporan." Sembari berkata dia lantas membawa kedua orang tamunya memasuki ruang tengah, kemudian buru-buru masuk ke dalam. Sementara itu Lok Khi telah berjalan ke depan patung Buddha yang dipuja dalam kuil tersebut, lalu menjatuhkan diri menyembah, mulutnya berkemak kemik seperti membaca doa, anak gadis memang sukanya berbuat demikian apa lagi kalau sudah ketemu jodohnya. Terpaksa Wi Tiong-hong hanya berdiri di depan meja altar sambil bergendong tangan. Lok Khi bangkit berdiri, sambil memandang ke arah Wi Tiong-hong ujarnya malu bercampur girang. "Piauko, marilah kemari, kau-pun harus menyembah kepada Budha maha pengasih." Baru selesai dia berkata, dari belakang ruangan sudah berkumandang suara langkah kaki manusia, ternyata pendeta berbaju abu-abu itu sudah balik kembali ke ruangan depan. Kepada kedua orang tamunya dia menjura, lalu berkata. "Hong-tiang mempersilahkan sicu berdua masuk ke dalam." Selesai berkata dia membalikkan badan dan berjalan lebih dulu meninggalkan tempat tersebut. Wi Tiong-hong dan Lok Khi mengikuti di belakangnya langsung masuk keruangan belakang. Mendadak pendeta itu menghentikan langkahnya seraya berkata. "Hong tiang menantikan kehadiran kalian disana, silahkan sicu berdua masuk ke dalam?" Wi Tiong-hong mengucapkan terima kasih, lalu mengajak Lok Khi masuk ke dalam ruangan. Dia merasa ruang Hong-tiang ini jauh berbeda dengan perabotan yang diatur pada lima hari berselang, kini kursinya terbuat dari kayu cendana berpemadani merah, segalanya amat mewah dan mempesona hati yang melihatnya. Saat itulah seorang pendeta berbaju kuning berdiri dari kursi kebesarannya dan maju menyongsong snmbil menjura, katanya sambil terbahak-bahak. "Haaa ... haaa ... haaaa ... maaf jika pinceng tak menyambut kehadiran Wi sicu." Ternyata pendeta berbaju kuning itu bukan Hong-tiang tua, melainkan Gho-tong hwesio. Tanpa terasa Wi Tiong-hong menjadi tertegun, belum sempat dia buka suara, Gho- tong hwesio telah berkata lagi sambil tersenyum. "Sicu berdua, silahkan duduk." Dalam hati kecilnya Wi Tiong-hong merasa tidak habis mengerti, sambil menjura dia berkata lagi. "Toa suhu, lima hari berselang, Hong-tiang tua mengundang aku untuk datang lagi kemari hari ini apakah ..." "Omintohud," Tukas Gho-tong hwesio sambil menjura. "kalau toh toa suheng memang ada janji dengan Wi sicu, harap kalian berdua suka duduk lebih dahulu." Kemudian sambil berpaling serunya. Ratna Wulan Karya Kho Ping Hoo Satria Gunung Kidul Karya Kho Ping Hoo Banjir Darah Di Borobudur Karya Kho Ping Hoo