Pedang Karat Pena Beraksara 13
Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan ID Bagian 13
Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya dari Tjan I D Lok Khi segera menegur sambil mendengus marah. Pemuda berbaju biru itu berhenti tertawa, ditatapnya si nona berbaju hijau yang berdiri di belakangnya, lalu menjengek. "Adik misan ..." Gadis berbaju hijau itu bersikap dingin, ia berdiri disana tanpa ambil perduli terhadap ucapan pemuda tersebut, hanya sepasang matanya yang jeli mengawasi wajah Lok Khi berapa kejap, lalu melirik pula ke arah Wi Tiong-hong, kemudian dia membalikkan badan dan pergi meninggalkan tempat itu. Buru-buru pemuda berbaju biru itu membalikkan badannya pula sambil berseru tertahan. "Piau moay, kau ..." "Hei, berhenti kau? " Bentak Lok Khi keras-keras. "Mau apa kau?" "Barusan, apa yang kau tertawakan? sebelum kau jelaskan, jangan harap bisa pergi meninggalkan tempat ini." "Haaah, haaah, haaah, apa yang kutertawakan, apa urusannya dengan dirimu?" Kembali Lok Khi mendengus. "Hm, kau mempunyai adik misan yang cantik, lantas mentertawakan tampangku yang jelek? Hmm. Sudah pasti kau adalah lelaki hidung bangor yang tak tahu malu, bila nona tidak memberi pelajaran kepadamu hari ini, tentu kau anggap orang persilatan semuanya jeri terhadap keluarga Lan kalian." Begitu selesai berkata, tiba-tiba dia mengayunkan tangannya ke depan menghadiahkan sebuah tamparan ke wajah pemuda berbaju biru itu. Sebetulnya si nona berbaju hijau itu sudah pergi meninggalkan tempat itu, akan tetapi setelah mendengar perkataan terakhir dari Lok Khi begitu berkata turun tangan lantas turun tangan, bahkan serangan tersebut datangnya begini cepat. Buru2 dia mengegos ke samping meloloskan diri dari serangan Lok Khi, kemudian dengan kening berkerut serunya petuh kegusaran. "Budak, kau ..." Belum sempat kata "pingin mampus" Diutarakan serangan berikutnya telah meluncur datang. Lok Khi membalikkan badannya secepat kilat, telapak tangannya kembali diayunkan ke muka menampar pipi anak muda tersebut, serunya sambil tertawa ringan. "Kau tak akan bisa menghindar." "Plook." Sebuah tamparan bersarang telak di atas wajah lawan. Mimpi-pun pemuda berbaju biru itu tak mengira kalau gadis bertampang jelek yang berada dihadapannya ini memiliki gerakan tubuh sedemikian cepatnya, tanpa terasa dia bergeser setengah langkah ke kiri. Apa yang terjadi dengan cepat mengobarkan hawa pembunuhan di wajah anak muda tersebut, sambil membentak ia mencabut ke luar kipas peraknya dari saku, kemudian bersiap siaga melancarkan tubrukan. "Piauko, tunggu sebentar?" Tiba-tiba gadis berbaju hijau itu berseru keras. Dengan wajah tertegun pemuda berbaju biru itu menghentikan langkahnya, lalu bertanya seraya berpaling. "Ada apa?" "Aku hendak bertanya kepadanya." "Lebih baik kubekuk orang itu lebih dulu, kemudian baru kau tanyai." Sementara itu Lok Khi sudah kembali ke samping Wi Tiong-hong, mendengar ucapan mana, ia segera tertawa dingin. "Hehehehehehe ... dengan mengandalkan sedikit kepandaianmu itu, kau hendak membekuk aku?" Di pihak lain, gadis berbaju hijau itu-pun sedang berseru dengan gemas. "Aku hendak bertanya kepadanya atau tidak, tak usah kau campuri, mengerti?" Sambil berkata, dengan langkah lemah gemulai dia berjalan menghampiri Lok Khi. "Sebenarnya ada persoalan apa yang hendak kau bicarakan dengan diriku?" Tanya Lok Khi kemudian sambil mengerdipkan matanya. Nona berbaju hijau itu menatap wajah Lok Khi tajam-tajam, kemudian tanyanya: "Bukankah kau menggunakan topeng kulit manusia?" "Sejak dilahirkan aku sudah bertampang demikian, buat apa meski mengenakan topeng?" Sahut Lok Khi seraya berpaling. Gadis berbaju hijau itu menatap sejenak ke wajah Wi Tiong-hong, lalu menatap pula wajah Lok Khi, dia tak percaya kalau seorang pemuda tampan bisa mempunyai adik misan yang berwajah begitu jelek. Tanpa terasa ia mendengus dingin. "Hmmm, aku tidak percaya." "Hmmm, siapa yang suruh kau percaya?" Lok Khi mendengus pula. "Aku ingin menyaksikan raut wajah aslimu." "Sekali-pun aku pakai topeng kulit manusia, apa urusannya dengan dirimu?" "Sudah kubilang aku hendak melihatnya, aku tetap akan melihatnya." "Dengan cara apa kau hendak melihatnya?" Nona berbaju hijau itu menjengek sinis. "Kau anggap aku tak bisa mencopot topeng kulit manusia yang kau kenakan itu?" Lok Khi segera mencibirkan bibirnya yang tebal dan menuding ke wajah sendiri, serunya. "Hmm, kalau memang begitu, ayo cobalah." "Kau anggap aku tak berani?" Tiba-tiba ia bertekuk pinggang, menyusul ucapan mana tubuhnya segera menubruk ke arah Lok Khi, gerakannya aneh, cepat dan enteng, hanya tampak bayangan hijau berkelebat lewat, tahu-tahu orangnya sudah melayang tiba sementara tangannya menyambar wajah Lok Lhi dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat. "Hmmm, kau benar-benar sudah sudah bosan hidup," Dengus Lok Khi. Telapak tangan kanannya setajam golok langsung dibacokkan ke tubuh gadis berbaju hijau itu. Sungguh cepat gerakan tangan kedua nona itu, baru saja jari tangan nona berbaju hijau itu menyentuh kulit wajah Lok Khi, tangan kanan Lok Khi telah menyambar pula dada si nona berbaju hijau itu dengan sangat cepat. Peristiwa ini membuat Wi Tiong-hong merasa amat terperanjat buru-buru ia menarik tangan Lok Khi seraya berseru cemas. "Adikku, jangan kau lukai dia." Padahal sekali-pun tidak ditarik, si nona berbaju hijau yang sedang menerjang ke hadapan Lok Khi itu tetap tidak merubah gerakan tangan kanannya, sementara tangan kirinya secepat sudah menangkis tangan kanan Lok Khi. Berbareng itu pula tangan kiri Lok Khi telah membalik mencengkeram pergelangan tangan kanan si nona berbaju hijau yang menyambar tiba, tapi berhubung Wi Tiong- hong menarik tangan Lok Khi, akibatnya sama-sama kedua belah pihak sama-sama mengenai sasaran kosong. Begitu cengkeramannya mengenai sasaran kosong, tanpa terasa sepasang mata si nona berbaju hijau yang jeli itu mengerling sekejap ke arah Wi Tiong-hong, menyusul kemudian tubuhnya menerjang maju lagi ke depan, tangan kanannya diayunkan ke depan menciptakan selapis bayangan jari tangan dan mengancam jalan darah penting di tubuh Lok Khi. Diam-diam Wi Tiong-hong berkerut kening sesudah menyaksikan kejadian tersebut, tanpa terasa pujinya di dalam hati. "Kepandaian silat yang dimiliki nona ini benar-benar luar biasa hebatnya ..." Lok Khi tidak melancarkan serangan balasan kali ini, dia hanya melompat dan menyingkir ke samping. Agaknya gadis berbaju hijau itu merasa amat mendongkol, sambil tertawa dingin sepasang tangannya melancarkan serangan bersama, bayangan tangan membumbung berlapis-lapis di angkasa, seperti bidadari yang sedang menyebar bunga saja. Tampak Lok Khi menggerakkan sepasang bahunya sambil berkelit beberapa kali, ternyata ia berhasil menghindarkan diri dari kepungan angin pukulan si nona berbaju hijau yang berlapis-lapis. Dalam sekejap mata gadis berbaju hijau itu sudah melancarkan tiga buah serangan berantai, jurus serangan yang satu lebih hebat daripada serangan berikutnya, namun semuanya berhasil dihindari lawan. Sadar kalau menghadapi musuh yang tangguh tanpa terasa ia menghentikan gerakan serangannya, lalu menegur dingin. "Mengapa kau tidak membalas?" "Tidakkah kau dengar, piaukoku melarang aku melukai dirimu?" "Hm, penurut amat kau dengan perkataannya?" Dengus gadis berbaju hijau itu. "Apakah kau tidak menuruti perkataan piaukomu?" Lok Khi balas menggoda sambil tertawa. Merah padam selembar wajah nona berbaju hijau itu karena jengah, dari balik matanya yang jeli terpancar ke luar sinar cahaya kegusaran dan sambil mendepak kakinya berulang kali, dia berseru dingin. "Aku bersumpah hendak mencopot kulit wajahmu itu." Sambil melompat ke depan, ia lepaskan sebuah pukulan dahsyat. +++ "MANUSIA yang tak tahu diri." Lok Khi berseru pula dengan gusar. "kau anggap aku takut kepadamu?" Tangan kanannya diayunkan pula ke depan menyongsong datangnya ancaman tersebut. "Blaaam." Ketika sepasang telapak tangan saling beradu, segera terjadilah suara benturan keras yang memekikkan telinga, pusaran angin berpusing memancar ke empat penjuru, kedua belah pihak sama-sama tergetar mundur selangkah. Tatkala Wi Tiong-hong menyaksikan kedua orang gadis itu sama-sama mengumbar nafsu dan kedua belah pihak sama-sama tak mau mengalah, ia merasa salah, mendadak sorot matanya menangkap sesuatu, buru-buru teriaknya. "Piau moay, cepat tahan, ada orang datang." Begitu mendengar "ada orang datang", Lok Khi mau-pun gadis berbaju hijau itu sama-sama berpaling ke arah luar pintu. Pemuda berbaju biru yang semula memperhatikan pertarungan antara dua orang gadis itu dengan kipas perak terganggam di tangan-pun, kini turut berpaling pula dengan cepat. Dari luar ruangan tampak ada dua orang manusia sedang berjalan mendekat. Orang yang berjalan di depan adalah seorang sastrawan setengah umur yang mengenakan baju hijau, usianya antara tiga puluh tahunan, berwajah tampan, bersih tanpa kumis dan kelihatannya lemah lembut macam orang terpelajar. Mengikuti di belakangnya berwajah licik, penuh senyuman tengik dan bersikap amat menghormati dia tak lain adalah Gho-tong hwesio, Hong-tiang baru dari kuil tersebut. Begitu melihat kemunculan Gho-tong hwesio, Lok Khi kembali mendongkol segera teriaknya. "Bagus sekali, keledai bangsat itu datang menghantar kematiannya, akan kubekuk batang lehernya." Selesai berkata, dia siap menerjang ke muka. "Adikku, tunggu dulu," Buru-buru Wi Tiong-hong mencegah. "Kenapa?" "Tunggu saja sampai mereka masuk kemari," Bisik Wi Tiong-hong lirih. Sementara pembicaraan masih berlangsung, ke dua orang di luar ruangan itu sudah melewati pelataran dan melangkah masuk ke dalam pintu. Sastrawan berbaju hijau yang berjalan di depan itu segera memandang sekejap seputar ruangan, kemudian tanyanya sambi berpaling. "Hanya ke empat orang ini?" Buru-buru Gho-tong hwesio membungkukkan badannya memberi hormat, lalu sambil menuding pemuda berbaju biru dan nona berbaju hijau itu, bisiknya lirih. "Ke dua orang itu." "Benar, kamilah yang datang mencari gara-gara, apa kalian?" Pemuda berbaju biru itu segera menjawab dengan lantang. Sastrawan berbaju hijau itu hanya memandang sekejap ke arahnya tanpa menggubris, kembali tanyanya kepada Gho-tong hwesio. "Dan kedua orang yang lain?" Tentu saja yang dimaksudkan adalah Wi Tiong-hong dan Lok Khi. Gho-tong hwesio segera berkata. "Mereka datang mencari suhengku, tapi siau ceng telah menyekap mereka di dalam ..." Belum sampai Gho-tong hwesio menyelesaikan perkataannya, sastrawan berbaju hijau itu telah mengalihkan sorot matanya ke wajah pemuda berbaju biru, tanyanya kemudian. "Secara beruntun kau telah melukai banyak anggota kuil kami, dari mana kau datang?" "Hmm ... kebetulan aku-pun ingin bertanya kepadamu, saudara datang dari mana?" Balas pemuda berbaju biru itu sambil tertawa dingin. Sastrawan berbaju hijau itu tersenyum. "Oooh ... kau datang mencari tempat kuburan It-teng taysu, tentu saja kedatanganmu bertujuan ..." Diam-diam Wi Tiong-hong mengangguk, tanpa terasa dia mengalihkan sinar matanya kewajah Lok Khi, seakan-akan sedang berkata begini. "Betul tidak? Ternyata mereka datang karena suatu tujuan dan sama sekali tak ada hubungannya dengan kita." Sementara itu, pemuda berbaju biru tersebut telah mendengus. "Hmmm, datang karena suatu tujuan atau tidak, rasanya kau belum berhak untuk mencampurinya." Perkataan ini ada benarnya juga, apa kedudukan orang itu dalam kuil Pau-in-si? Sastrawan berbaju hijau itu tetap tersenyum sahutnya. "Padahal aku-pun tak usah bertanya kepadamu." "Apa maksud dari perkataan itu?" Lok Khi tak sabar dibuatnya, sambil berpaling dia segera berseru. "Piauko, biarlah mereka membicarakan soal mereka, sedang kita hajar dulu keledai gundul ini kemudian pergi mencari makanan." Wi Tiong-hong ingin mencegah tapi tak sempat lagi, tampak gadis itu melompat ke depan langsung menerjang ke arah Gho-tong hweesio. Gerakan Lok Khi sewaktu melompat dan menerjang ke depan ini dilakukan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat, tahu-tahu ia sudah muncul dihadapan Gho-tong hweesio, belum lagi kakinya menempel tanah, tangannya sudah mencengkeram bahu lawan. Sastrawan berbaju hijau itu sama sekali tidak memandang ke arahnya, dia hanya mengebaskan ujung bajunya sambil berseru dengan suara dalam. "Bocah perempuan, tenang saja, jangan gelisah." Ilmu silat yang dimiliki Lok Khi berasal dari ajaran Thian Sat-nio, tentu saja dia sangat tangguh dan bukan manusia sembarangan tatkala tubuhnya menerjang ke muka tadi, kendati-pun dia sudah mengetahui kalau sastrawan berbaju hijau itu mengebaskan ujung bajunya, tapi lantaran gerakannya lamban, tentu saja dia enggan menghindarkan diri dengan begitu saja. Siapa tahu, pada saat itulah tiba-tiba ia merasakan munculnya segulung tenaga pukulan tak berwujud yang menumbuk ke atas tubuhnya tanpa menimbulkan sedikit suara-pun. Bukan begitu saja, bahkan tenaga tak berwujud itu sempat menggulung badannya, melemparkannya ke belakang sehingga terjatuh kembali keposisi semula. Tindakannya ini sungguh lihay dan luar biasa, orang luar yang tak tahu kejadian sebenarnya tentu mengira Lok Khilah yang mengurungkan gerakannya di tengah jalan dan melompat balik. Padahal Lok Khi merasa terperanjatnya bukan kepalang, begitu berdiri tegak buru- buru ia menghimpun tenaganya melakukan pemeriksaan yang seksama, masih untung ia tak terluka, namun perasaan terkesiap betul sudah mencekam dadanya. "Siapakah orang ini?" Demikian ia berpikir. "mengapa kepandaian silat yang dimilikinya begitu lihay? Tampaknya tidak berada di bawah kepandaian Toa suko." Kendati-pun di hati kecilnya ia terkesiap, namun di luar ia segan tunduk dengan begitu saja. Setelah mendengus serunya. "Aku datang mencari balas dengan bajingan gundul ini, apa sangkut pautnya dengan kau? Kau ingin menghalangi niatku? Hmm, tak ada salahnya kalau nona mencoba lebih dulu kepandaian silatmu ..." "Kalian berdua lebih baik berdiri dulu di situ," Kata sastrawan berbaju hijau itu dengan suara dalam. "Sehabis berbicara dengan mereka, tentu saja aku-pun akan menanyai kalian." Meski usianya belum tua, namun cara berbicara serta gayanya benar-benar besar tingkahnya. Pemuda berbaju biru itu menjengek sinis, dia menyentilkan jari tangannya ke muka, tiga gulung cahaya biru selembut rambut segera meluncur ke depan dan menghantam dada sastrawan berbaju hijau itu dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat. Sastrawan berbaju hijau itu seolah-olah tidak merasakan apa-apa, tiga batang jarum terbang berwarna biru itu dengan posisi segitiga langsung menerjang jalan darah Sian- ki-hiat di depan dada dan ciang-tay-hiat di kiri kanan dada. Tapi anehnya ternyata pakaian yang dikenakan sastrawan itu sudah menggelembung besar, tatkala ia menggetarkan badannya, ketiga batang jarum beracun itu sudah rontok ke tanah. +++ Bab 27 SASTRAWAN berbaju hijau itu mencibir sinis, dia memandang sekejap seputar arena lalu katanya setelah tertawa dingin. "Apa hubungan kalian berdua dengan Lan Sim-hu? Dengan mengandalkan berapa batang jarum beracun keluarga Lan, kau anggap sanggup melukai aku ...?" Gadis berbaju hijau itu mendengus dingin. "Hmm, kau tak lebih hanya mengandalkan pakaian terbuat dari kulit, apanya yang aneh?" Sementara itu, pemuda berbaju biru tersebut sudah menegangkan kipas peraknya, lalu sambil tertawa nyaring berkata. "Aku adalah Lan Kun-pit dari Im lam, kalau didengar dari lagakmu tampaknya hebat, entah bagaimana dengan kepandaian silatnya?" Mencorong sinar tajam dari balik mata sastrawan berbaju hijau itu, sambil menuding ke dua orang itu, katanya sambil tersenyum. "Seandainya kalian bisa menyambut tiga jurus seranganku, malam ini juga aku akan melepaskan kalian." "Sambut dulu tiga jurus seranganku ini,," Tukas si nona berbaju hijau itu cepat. Tubuhnya melejit sambil menerjang ke muka, tangan kirinya diayunkan cepat ke depan belum lagi tubuhnya tiba di sasaran, jari tangannya sudah melentik melepaskan serangan mengancam tiga buah jalan darah penting di tubuh sastrawan berbaju hijau itu. Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan ID di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Berubah hebat paras muka sastrawan berbaju hijau itu, bahu kanannya bergerak mengegos ke samping, langkahnya tetap di tempat sementara lututnya tanpa membengkok, tahu-tahu dia sudah meloloskan diri dari sergapan kilat dari gadis berbaju hijau itu. Kemudian sambil menatap gadis lekat-lekat, bentaknya dengan suara dalam. "ilmu naga sakti pemotong nadi, ehm ... kau adalah murid Lam-hay-bun ...?" Lok Khi turut tertegun setelah mendengar orang itu mengatakan kalau nona berbaju hijau itu murid Lam-hay-bun, diam-diam pikirnya. "Tak heran kalau gerakan tubuhnya begitu aneh sewaktu bertarung melawan diriku tadi, seandainya aku tidak mengandalkan ilmu Hiat im kiu coan sin hoat dari perguruanku niscaya sulit untuk menghindarkan diri ..." Berpikir sampai di situ, tanpa terasa ia berpaling dan menengok ke arah Wi Tiong- hong. Tampak Wi Tiong-hong sedang menatap ke arah gadis berbaju hijau itu dengan terpesona, kontan hatinya menjadi mendongkol, setelah mendengus pikirnya. "Kau menganggap dia cantik bukan? Huuh ... dasar siluman rase." Sementara itu, gagal dengan serangannya nona berbaju hijau itu maju dan menerjang ke depan, serunya dingin. "Perduli amat aku murid siapa?" Sepasang tangannya kembali diputar menciptakan selapis bayangan jari tangan yang luar biasa, bagaikan gelombang samudra saja langsung mengurung ke muka. Gerakan serangannya begitu aneh dan mengerikan, diantara perputaran jari tangannya dia sudah mengancam jalan darah penting di tubuh sastrawan berbaju hijau itu, selain enteng dan lincah, juga jarang dijumpai di kolong langit. Sastrawan berbaju hijau itu segera memutar lengan kanannya melancarkan sebuah pukulan yang memaksa gadis berbaju hijau itu mundur selangkah ke belakang, kemudian sambil tertawa terbahak-bahak katanya. "Haaahh haaahhh ... haaahhh, bila kalian berdua benar benar adalah murid Lam-hay-bun, malam ini kamu berdua tak bisa di lepaskan dengan begitu saja." Sejak kecil gadis berbaju hijau itu sudah terbiasa dimanja, belum pernah ia dipermainkan orang atau dipandang rendah orang lain, dipukul mundur orang dalam satu gebrakan-pun baru pertama kali ini dialaminya, tanpa terasa merah sepasang matanya, air mata hampir jatuh berlinang. Mendadak tanpa mengucap sepatah kata-pun dia menerjang ke muka, sepasang tangannya digunakan bersama melancarkan serangkaian serangan dahsyat. Lan Kun-pit atau pemuda berbaju biru itu cukup menyadari betapa lihaynya ilmu silat yang dimiliki sastrawan berbaju hijau, dia kuatir adik misannya menderita kerugian di tangan lawan, buru-buru serunya sambil tertawanya ringan. "Sekali-pun kau bersedia melepas kami, belum tentu kami akan melepaskan dirimu." Kipas peraknya segera dituding ke depan di ringi tubuhnya menerjang ke muka, tangan kanannya diputar amat kencang melepaskan sebuah pukulan yang amat dahsyat ke depan. Ketika gadis berbaju hijau itu menyaksikan kakak misannya turut terjun pula ke arena pertarungan, semangatnya segera bangkit kembali jari tangannya diayunkan ke depan berulang kali melancarkan serangkaian serangan dengan, jurus-jurus yang aneh dan tangguh, ilmu membabat jalan darah-pun dilancarkan secara beruntun. Sastrawan berbaju hijau itu sendiri justru tetap bertarung sambil tertawa dingin tiada hentinya, serangan yang dilancarkan tetap sederhana tanpa keistimewaan apa-apa, namun sekali-pun ayunan tangan yang sederhana justru terkandungan pula jurus serangan yang hebat. Dalam permainannya, terasa kekuatannya mengerikan sekali, bagaimana-pun kedua orang lawannya mengerubuti dia, bagaimana-pun hebatnya perubahan jurus yang dipergunakan, kesemuanya itu telah dipunahkan olehnya secara gampang dan sederhana. Dalam waktu singkat, gadis berbaju hijau dan pemuda berbaju biru itu sudah melancarkan serangan sebanyak dua puluh gebrakan lebih, namun sastrawan berbaju hijau itu cuma menggunakan empat lima jurus serangan biasa. Dalam pada itu, Wi Tiong-hong sudah dapat menyaksikan pula keadaan pertarungan yang sebenarnya, dia menemukan sastrawan berbaju hijau itu tak pernah melancarkan serangan balasan, tampaknya ia berniat untuk memancing kedua orang itu menggunakan segenap kepandaian yang dimilikinya. Tanpa terasa bisiknya kepada Lok Khi sambil berpaling. "Nah, sudah kau lihat belum, dia ..." Lok Khi masih mendongkol terhadap pemuda itu karena ia mengawasi nona berbaju hijau itu terus menerus tanpa berkedip. Tidak menunggu ia menyelesaikan perkataannya, dengan dingin ia menukas. "Apanya lagi yang sedap dipandang? Jika kau ingin tinggal disini, lihatlah sampai puas, aku hendak pergi." Selesai berkata, dia lantas berpaling sambil membalikkan badan, lalu melompat pergi meninggalkan tempat itu. Wi Tiong-hong menjadi tertegun, sebenarnya ia memperhatikan gadis berbaju hijau itu dengan serius karena ia merasa berhutang budi kepada nona ini, maka dalam hati kecilnya dia mengambil keputusan, jika mereka tak mampu menghadapi sastrawan berbaju hijau nanti, dia bersiap sedia memberikan bantuannya. Dan barusan, dia memanggil Lok Khi karena ingin menerangkan persoalan tersebut, siapa tahu baru saja dia berkata setengah jalan, gadis itu sudah mengambek. Buru-buru serunya lagi. "Adikku, tunggu sebentar." Dengan cepat dia menyusul pula di belakang Lok Khi. Lok Khi sama sekali tidak menggubris, dengan kepala tertunduk dia maju terus ke depan dengan langkah cepat. Baru saja tiba di depan pintu, tiba-tiba terdengar sastrawan berbaju hijau itu berseru sambil tertawa nyaring. "Aku suruh kau tenang dan tak usah gelisah, buat apa kau mesti terburu nafsu?" Telapak tangan kirinya segera diayunkan ke tengah udara, menyusul gerakkan itu muncul segulung tenaga pukulan langsung menerjang ke tubuh Lok Khi. Sebetulnya Lok Khi adalah seorang yang cerdas, akan tetapi berhubung sastrawan berbaju hijau itu sedang bertarung melawan dua orang, tentu saja ia tak menyangka kalau orang itu masih sempat melancarkan serangan ke arahnya. Baru saja suara bentakan berkumandang, segulung tenaga pukulan telah meluncur tiba. Tadi ia pernah menderita kerugian, tentu saat ini gadis tersebut tak berani menyambut datangnya ancaman tersebut dengan keras lawan keras. Cepat dia menyingkir lalu mengegos dari ancaman mana. Kebetulan Wi Tiong-hong mengikuti di belakang Lok Khi, begitu gadis itu berkelit serangan dahsyat yang dilepaskan sastrawan berbaju hijau itu secara otomatis menerjang ke tubuhnya. Lok Khi menjadi amat gelisah, buru-buru teriaknya. "Engkoh Hong, hati-hati ..." Baru saja Wi Tiong-hong melayang turun di atas tanah, tiba-tiba ia merasa ada segulung tenaga pukulan menerjang ke arahnya, tak terlukiskan rasa kagetnya. Dalam keadaan demikian, tanpa berpikir panjang lagi dia merentangkan lengan kanannya, dengan sebelah telapak tangan ditegakkan, ia gunakan ilmu cay im-jiu atau tangan sakti penghadang awan menangkis ke muka secara keras lawan keras. la segera merasakan tenaga pukulan lawan yang sangat kuat menghantam di atas telapak tangannya, tanpa terasa tubuhnya terdorong mundur selangkah ke belakang. Dalam serangannya tadi, meski sastrawan berbaju hijau itu tidak menggunakan seluruh kekuatan yang dimilikinya, namun di dalam anggapannya, kedua orang itu tak berani menyambut dengan kekerasan. Sebab asal pukulan yang dilancarkan itu tidak disambut dengan kekerasan paling banter tubuh mereka hanya akan terpental balik tanpa menderita luka apa-apa, akan tetapi jika disambut dengan kekerasan, niscaya mereka akan tergetar pingsan oleh tenaga pantulannya. Siapa tahu, sewaktu kekuatan kedua belah pihak terbentur satu sama lainnya, walau- pun Wi Tiong-hong bergetar mundur sejauh selangkah, akan tetapi ia berhasil menerima serangan mana dengan keras lawan keras. Kontan saja peristiwa ini menimbulkan perasaan terkesiap bagi sastrawan berbaju hijau itu, diam-diam pikirnya. "Tak nyana kepandaian silat yang dimiliki beberapa orang lelaki perempuan itu yang satu lebih tangguh daripada yang yang lain. "Serangan yang dipakai barusan mirip sekali dengan ilmu cay-im jiu dari Bu-tong-pay, tapi seperti juga Siu-lo-to ..." Tergerak hatinya setelah berpikir sampai di situ, tanpa terasa serunya sambil tertawa nyaring. "Sungguh tak disangka usiamu masih begitu muda, namun tenaga dalam yang kau miliki tidak lemah, coba sambutlah sekali lagi seranganku ini." Di bawah serangan gabungan dari pemuda berbaju biru dan nona berbaju hijau itu, tangan kirinya segera menggunakan jurus Pay hong-tong im (menyapu angin mengusir angin) untuk mendesak mundur serangan gabungan musuh, kemudian tangan kanannya dari jarak satu kaki melepaskan sebuah pukulan udara kosong ke arah Wi Tiong-hong. Wi Tiong-hong menyaksikan serangan yang dilancarkan lawan sama sekali tidak membawa deruan angin, hanya ada segulung tenaga pukulan tak berwujud yang menekan tiba, sebagai pemuda yang berdarah panas, ia segera mendengus dingin. "Hm, kau anggap aku tak berani menghadapinya?" Lengan kanannya berputar membuat satu lingkaran, kemudian menyongsong datangnya ancaman tersebut. Lok Khi tahu kalau kepandaian silat yang dimiliki sastrawan berbaju hijau itu amat lihay, buru-buru teriaknya. "Engkoh Hong, jangan kau hadapi serangannya dengan kekerasan." Serangan yang digunakan Wi Tiong-hong masih tetap merupakan pukulan cay im jiu, begitu terbentur dengan kekuatan lawan, mendadak ia merasa tenaga pukulan tak berwujud dari sastrawan berbaju hijau itu jadi kuat sekali. Sedemikian dahsyatnya serangan tersebut ibarat gunung karang yang jatuh dan menindih di atas kepala, kontan hawa darah dalam dadanya tergetar keras, membuatnya hampir saja tak sanggup menahan diri. Tapi pada saat itulah, tenaga pukulan yang terpencar ke luar dari tangannya segera melesat ke muka, bagaikan "membelah awan" Saja segera menembusi tenaga pukulan lawan yang kuat dan membelahnya dari tangan hingga terbagi menjadi aliran yang berbeda dan satu dari kiri lain dari kanan meluncurkan lewat dari ke dua belah sisi tubuh. Sastrawan berbaju hijau itu berseru tertahan lalu mundur setengah langkah dari posisi semula, setelah itu dia menarik kembali tenaga pukulannya dan memandang ke arah lawan dengan pandangan terkejut bercampur keheranan, serunya. "Oooh ... ternyata benar-benar adalah ilmu Siu-lo-to." Menyambut serangan lawan, Wi Tiong-hong merasakan tubuhnya bergoncang keras, kemudian mundur beberapa langkah dan muntah darah segar. Dalam sekejap itulah, si gadis berbaju hijau serta pemuda berbaju biru itu sudah menghentikan pula gerakannya. Terdengar gadis berbaju hijau menjerit kaget. "Dia ... dia ... telah terluka." Lok Khi lebih terperanjat lagi, tanpa memperdulikan perbedaan antara lelaki dan perempuan, dia segera berteriak. "Engkoh Hong ..." Tubuhnya segera menubruk ke depan, tangannya berkelebat menyanggah tubuh Wi Tiong-hong agar jangan jatuh, kemudian bisiknya. "Kau terluka?" Wi Tiong-hong menghembuskan napas panjang dan tersenyum. "Aaah, tidak menjadi soal, aku hanya menyambut serangannya dengan kekerasan, karena menggunakan tenaga kelewat batas, beginilah akibatnya, tapi jangan kuatir, sebentar-pun akan sembuh dengan sendirinya." Dari cara dan nada pembicaraan orang, Lok Khi tahu kalau anak muda tersebut memang benar-benar tidak mengapa, lega juga hatinya, maka segera omelnya. "Aku toh menyuruh kau jangan beradu tenaga dengannya, siapa suruh kau bertindak nekad?" Berbicara sampai di situ, tiba-tiba tangan kanannya berputar dan ... "Cri ingg." Ia telah meloloskan sebilah golok tipis yang panjang dan memancarkan cahaya tajam. Sambil mengayunkan senjata mana ke depan serunya dengan gemas. "Kau tunggu saja disini, akan kuhadapi orang itu ... " Ia siap menerjang kembali ke arah sastrawan berbaju hijau itu. Pada saat itulah mendadak berkumandang suara pekikan aneh yang membelah angkasa, lalu tampak sesosok bayangan manusia meluncur masuk lewat pintu gerbang dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat, dengan cepatnya orang itu melayang turun di hadapan sastrawan berbaju hijau itu. Tanpa terasa si nona berbatu hijau dan pemuda berbaju biru itu sama-sama mundur dua langkah. Lok Khi-pun tanpa terasa menghentikan gerakan tubuhnya, golok tipisnya disilangkan di depan dada menghadang di muka Wi Tiong-hong. Semua orang tidak tahu pendatang tersebut seorang kawan atau lawan, maka setiap orang bersiap siaga penuh, sorot mata mereka-pun bersama-sama dialihkan ke depan. Tampak orang itu berbaju hitam bermuka buas, kecuali sepasang matanya yang tajam, wajahnya kaku tanpa emosi, dia berdiri kaku di tempat tanpa mengucapkan sepatah kata-pun. Bukan saja dandanan dan sikapnya sangat aneh, gerak geriknya-pun aneh sekali, lagi pula kedatangannya cepat bagaikan sambaran kilat. Sesudah tertegun berapa saat, akhirnya ia berhasil tenangkan kembali hatinya, setelah menjura, ujarnya sambil tertawanya nyaring. "Sobat, kau jagoan dari mana? Selamat berjumpa." Manusia aneh itu berdiri di hadapannya bersikap seakan-akan tidak mendengar perkataan itu, bibirnya tertutup rapat tanpa berbicara namun dilihat dari posisinya berdiri, tersisa sebuah tanah kosong cukup luas di belakang tubuhnya, jelas dia ada maksud menghadang di muka sastrawan berbaju hijau itu agar semua orang dapat mengundurkan diri dari ruangan. Akan tetapi ke empat orang muda mudi yang berada di ruangan itu boleh di bilang merupakan anak harimau yang belum takut menghadapi apa-apa. Walau-pun mereka tak tahu siapakah orang tersebut, namun mengerti kalau manusia aneh tersebut bermaksud membantu mereka, atau paling tidak dia merupakan musuh paling tangguh bagi sastrawan berbaju hijau itu. Maka hampir bersamaan waktu pula ke empat orang itu sama-sama berpendapat ingin mengetahui keadaan lebih jauh, tak heran kalau tak seorang-pun diantara mereka yang mengundurkan diri. Sewaktu sastrawan berbaju hijau itu menyaksikan pihak lawan hanya berdiri kaku dan tidak menggubris tegurannya, tanpa terasa dia mendongakkan kepalanya sambil tertawa terbahak-bahak. "Haaah, haaah, haaah, selama berkelana dalam dunia persilatan, pelbagai ragam manusia sudah pernah aku jumpai, tampaknya saudara-pun tak usah berperan sebagai setan atau manusia aneh lagi di hadapanku." Manusia aneh itu masih tetap berdiri tenang di tempat semula, tidak berbicara tidak pula bergerak. Berkerut sepasang kening sastrawan berbaju hijau itu, kembali ia menegur sambil tertawa dingin. "Sobat, jika kau tetap membungkam, jangan salahkan siaute akan bertindak kurang sopan." Tangan kanannya diayunkan ke depan, sebuah pukulan dahsyat langsung menghantam ke dada orang itu. Selisih jarak kedua belah pihak tak sampai lima depa, serangan yang dilepaskan sastrawan berbaju hijau-pun cepat bagaikan sambaran kilat, tampaknya pukulan itu segera akan mencapai depan dada manusia aneh tersebut. Akan tetapi manuia aneh itu masih tetap berdiri tak berkutik, tidak mencoba berkelit, tidak berusaha menghindar, bahkan sikapnya seolah-olah tidak memandang kejadian tersebut. Sikap semacam ini kontan membuat sastrawan berbaju hijau itu tertegun, tanpa sadar ia-pun menjadi ragu untuk bertindak lebih lanjut. Namun satu ingatan segera melintas dalam benaknya, tiba-tiba saja serangannya dipercepat, telapak tangannya diputar lalu menyodok ke perut lawan dengan kecepatan tinggi. Empat orang muda-mudi yang berada di arena sama-sama dibikin terkesiap oleh peristiwa ini, semua orang tahu kalau tenaga dalam yang dimiliki sastrawan berbaju hijau itu lihay, seandainya serangan mana bersarang telak, sekali-pun orang yang berilmu tinggi juga pasti akan terluka parah. Diam-diam pemuda berbaju biru itu menggenggam tiga batang jarum beracun dan siap dilepaskan ke depan. Lok Khi juga menggenggam kencang-kencang golok tipisnya, golok tersebut tanpa terasa bergoncang pelan. Tapi di saat yang amat kritis inilah, tiba-tiba terdengar manusia aneh itu berpekik nyaring, tangan kanannya diangkat dan tahu-tahu sudah menyambut serangan dari sasterawan berbaju hijau itu dengan keras lawan keras. Serangan orang itu cepat bukan kepalang pada hakekatnya sukar dilihat jelas oleh orang lain. "Plaaak." Terdengar suara bentrokan nyaring menggema, sepasang telapak kedua belah pihak sudah saling membentur satu sama lainnya, akibat dari bentrokan itu tubuh masing-masing pihak bergoncang pelan, ternyata tenaga dalam mereka seimbang. Baik sastrawan berbaju hijau mau-pun manusia aneh itu sama-sama sadar kalau mereka telah berjumpa dengan musuh paling tangguh yang pernah dijumpainya selama ini, tanpa terasa masing-masing mundur dua langkah dengan penuh tanda tanya. "Sebenarnya siapakah kau?" Tegurnya dengan kening berkerut. Sesudah terjadi benturan kekerasan, ternyata manusia aneh tersebut masih tetap berdiri kaku, tidak menjawab, tidak pula turun tangan. Ia masih tetap berdiri kaku tanpa berkutik. Karena tidak digubris lawannya, lama kelamaan meledak pula hawa amarah sasterawan berbaju hijau itu, sambil tertawa nyaring, serunya. "Buyung Siu sudah banyak menjumpai jagoan lihay, tapi belum tentu memandang sebelah mata-pun terhadap kau." Tiba-tiba ia maju selangkah, sepasang tangannya diayunkan bersama ke depan melancarkan tiga buah serangan berantai. Serangan yang dilancarkan dalam keadaan gusar ini benar-benar luar biasa sekali, selain serangannya cepat, lagi pula setiap pukulan mengandung tenaga penghancur yang menggeledek hebatnya bukan kepalang. Dari empat orang muda mudi yang hadir di arena sekarang, tak seorang-pun diantara mereka pernah mendengar nama "Buyung Siu". Diam-diam semua orang merasakan keheranan. Kalau berbicara menurut kepandaian silat yang dimiliki, seharusnya dia adalah seorang tokoh persilatan yang amat termashur, tapi anehnya mengapa nama orang ini justru tak pernah terdengar? Meski masing-masing memikirkan persoalan itu di hati, namun sorot mata mereka tak pernah lepas menatap kedua orang tersebut lekat-lekat ... Tiga buah serangan yang dilancarkan sastrawan berbaju hijau itu dahsyat dan mengerikan sekali, namun manusia aneh itu tidak mundur atau-pun menghindar malah sambil menjengek dingin, tiba-tiba ia maju menyongsong, sepasang telapak tangannya melancarkan serangan bersama menyambut datangnya ancaman tersebut dengan keras lawan keras. "Blaaammm. Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan ID di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Blaaammm ... Blaaammm ... " Secara beruntun terjadi tiga kali benturan keras yang memekikkan telinga. Ternyata ketiga buah serangan yang dilancarkan sastrawan berbaju hijau itu berhasil di sambut semua oleh manusia aneh tersebut. Tenaga dalam yang dimiliki ke dua orang ini seimbang, begitu turun tangan secara beruntun mereka lakukan berapa kali bentrokan kekerasan, kejadian mana segera menggetarkan hati empat muda-mudi yang berada di dalam ruangan. Jarang sekali mereka jumpai pertarungan adu kekerasan macam begini dalam dunia persilatan. *** Bab 28 SELAMA ITU, Gho-tong hweesio selalu berdiri di belakang sastrawan berbaju hijau itu, sesungguhnya dia memang menggunakan sastrawan berbaju hijau itu sebagai tulang punggungnya. Ia selalu berdiri dengan wajah berseri karena dalam anggapannya kemenangan sudah pasti berada di pihaknya. Akan tetapi, setelah kemunculan manusia aneh tersebut secara tiba-tiba, dan kenyataan menunjukkan kalau ilmu silatnya tidak berada di bawah kepandaian sastrawan berbaju hijau itu, perubahan situasi yang mendadak ini membuat wajahnya segera diliputi perasaan tidak tenang. Tiga kali bentrokan secara kekerasan membuat sastrawan berbaju hijau dan manusia aneh tersebut sama-sama merasakan hawa murninya tergoncang hebat, ujung baju berkibar kencang dan masing-masing mundur tiga langkah ke belakang. Pada saat itu, tiba-tiba manusia aneh itu berpaling sambil membentak dengan mata melotot. "Apa yang hendak kalian saksikan?" Jelas maksud dari perkataan itu adalah menyuruh mereka cepat pergi, kalau tidak pergi lagi, maka dia tak akan mengurusi keselamatan mereka lagi. Sementara itu sastrawan berbaju hijau tersebut sudah mundur sejauh tiga langkah, waktu itu dia sedang menghimpun tenaganya mengatur napas. Mendengar ucapan mana, dengan mata melotot dan tertawa tergelak tegurnya. "Sobat, kau jago lihay dari Lamhay? Atau mungkin kau adalah Siu-lo Khi-su?" Dari permainan si nona berbaju hijau dalam menggunakan ilmu memotong nadi, dia kenali kepandaian tersebut sebagai Soh liongjiu (tangan sakti pengunci naga). Kemudian ia menemukan juga kalau Wi Tiong-hong yang mainkan ilmu cay im jiu terselip pula ilmu Siu-lo-to, dia lantas menduga kalau manusia aneh tersebut tentu mempunyai hubungan dengan ke dua perguruan mana. Sedang dia tahu kalau pemuda berbaju biru itu sebagai keturunan keluarga Lan di Im lan, satu-satunya yang tidak ia ketahui adalah Lok Khi sebagai murid Thian-sat-bun. "Hmm, kau tak bisa melihatnya?" Jengek manusia aneh itu. Mendadak ia menyerang ke muka, tangan kirinya menyambar secepat kilat mencengkram bahu kiri sastrawan berbaju hijau itu. Menghadapi ilmu Kimna jiu hoat yang penuh dengan perubahan aneh ini, diam-diam sastrawan berbaju hijau itu terkesiap. Ia segera berkelit ke samping sambil membentak. "Aaa ... ilmu Tay sui pit jiu dari Siau-lim-pay," Cepat-cepat dia mengeluarkan jurus Keng to paan (ombak dahsyat menghantam pantai) untuk balas menghantam datang itu. Cengkeraman manusia aneh itu amat cepat dengan perubahan yang luar biasa hebatnya. Begitu sastrawan berbaju hijau itu melepaskan pukulan, ia telah merobah ilmu cengkramannya menjadi sebuah kebasan, setelah membentuk satu gerakan lingkaran, ia menolak telapak tangannya ke depan. Mendadak tangan kirinya ditegangkan bagaikan sebuah tombak, lalu disodokkan ke jalan darah Thian tu hiat di tubuh sastrawan berbaju hijau itu. Buru-buru sastrawan berbaju hijau itu miringkan badan sambil mundur tiga langkah, bentaknya. "Tay kek kun dari Bu-tong-pay, cuan im ci dari Go-bi-pay, haaahh ... haaahh ... haaahh ... tampaknya kau benar-benar amat berhasil menguasai pelbagai ilmu silat dari dunia." Begitu suara bentakan dikumandangkan, tangan kananya segera menggenggam gagang pedang dan mencabut sebilah pedang berbulu hijau, dengan sorot mata yang tajam pelan-pelan dia menatap manusia aneh itu. Lalu ujarnya sambil tersenyum. "Tak nyana Buyung Siu dapat berjumpa dengan jago lihay seperti anda, ingin sekali aku coba kelihayanmu di ujung permainan senjata." Gerak geriknya amat halus dan santai, kendati pedangnya sudah dicabut ke luar namun caranya berbicara masih tetap lemah lembut dan amat tenang ... Melihat orang itu meloloskan pedangnya, manusia aneh tersebut segera mundur selangkah tangan kanannya segera merogoh ke dalam saku dan mengeluarkan sebilah pedang pendek sepanjang dua depa. Setelah melintangkannya di depan dada, seraya bentaknya. "Harap kalian ke luar dari sini, jangan merepotkan aku saja." Wi Tiong-hong dapat melihat kalau pedang yang berada di tangan kedua orang itu merupakan pedang mestika, kalau pedang yang berada di tangan sastrawan berbaju hijau itu berwarna kehijau-hijauan dan bening seperti air, maka pedang pendek dari manusia aneh itu gemerlapan cahaya tajam, tujuh butir mutiara bersinar tajam memancar ke luar dari tubuh pedang tersebut. Walau-pun selama ini sastrawan itu tetap tersenyum, namun sinar mata yang di pancarkan ke tubuh manusia aneh itu kian lama kian bertambah tajam, sementara tangan kirinya membuat gerakan dan pelan-pelan di angkat ke atas. Begitu manusia aneh tadi selesai membentak, pedang pendeknya yang terangkat sejajar dada pelan-pelan ditudingkan ke arah lawan. Diam-diam Wi Tiong-hong merasa terperanjat setelah menyaksikan kejadian itu, pikirnya. "Tampaknya kedua orang ini sama-sama lagi menghimpun tenaga dalamnya, kalau serangan pedang tingkat tinggi yang mereka lancarkan sudah mulai bergerak. niscaya mengerikan sekali akibatnya. Aku lihat, apa yang diucapkan manusia itu memang benar, kehadiran kami semua disini hanya akan mengganggu mereka saja." Sementara ingatan mana masih melintas dalam benaknya, Lok Khi telah menarik ujung bajunya sambil berkata. "Engkoh Hong, mari kita pergi." Wi Tiong-hong manggut-manggut, mereka berdua segera berjalan meninggalkan pintu ruangan. Pemuda berbaju biru dan gadis berbaju hijau itu tidak berdiam lebih lama pula disana, mereka turut mengundurkan diri pula dari situ. Di kala keempat orang itu hendak pergi meninggalkan ruang cou-su-tian, tiba-tiba dari belakang mereka berkumandang suara pekikan nyaring seperti pekikan naga, menyusul kemudian terjadi suatu bentrokan nyaring yang amat memekikkan telinga. "Traaang Traaaang." Tanpa sadar Wi Tiong-hong menghentikan langkahnya, dia hendak membalikkan badan untuk mengetahui siapa yang berhasil menangkan pertarungan tersebut. Tapi sebelum niat tersebut dapat dilakukan, Lok Khi sudah menarik ujung bajunya seraya berkata dengan gelisah. "Engkoh Hong, tak usah dilihat lagi, mari kita segera pergi." Tanpa menghentikan langkahnya, gadis itu melanjutkan perjalanannya menuju ke depan. Wi Tiong-hong sudah berkumpul beberapa dengan gadis itu, dia cukup mengetahui bahwa kepandaian silat dari adiknya ini jauh lebih tinggi dari kepandaian sendiri, lagi pula dia berjiwa tak sudi mengaku kalah, tapi kali ini, mengapa dia justru merecoki dirinya agar cepat-cepat pergi dari situ? Walau-pun di dalam hatinya merasa heran, namun langkahnya tetap dipercepat untuk menyusul Lok Khi. Terdengar suara dari sastrawan berbaju hijau itu bergema dari kejauhan sana: "Haaa ... haaa ... haaa, ternyata kau adalah Siu-lo-si-ci ..." Setelah melompati dinding pagar, ketika Wi Tiong-hong berpaling, ia tidak melihat si pemuda berbaju biru dan nona berbaju hijau lagi, diam-diam segera pikirnya: "Mungkin mereka tak sejalan denganku." Lok Khi juga tidak berbicara, dia hanya melanjutkan perjalanan dengan kepala tertunduk. Tatkala Wi Tiong-hong melihat gadis itu tetap melakukan perjalanan menuju ke kota Sang-siau, tanpa terasa tanyanya. "Adikku, apakah kita akan kembali lagi kota Sang-siau?" "Sekarang sudah begini malam, kalau tidak pulang ke kota, darimana mungkin kita bisa mendapat makanan dan tempat kediaman?" Sahut Lok Khi sambil berpaling. Ucapan tersebut ada benarnya juga, tempat di sekitar sana gersang dan sepi, sebuah rumah-pun tak ada, tentu saja sulit untuk menemukan tempat pemondokan, apalagi setelah seharian penuh tidak bersantap. Tak heran kalau perutnya amat lapar. Seteleh melompati dinding kota, kedua orang itu balik kembali ke rumah penginapan Ko seng. Waktu itu sudah mendekati kentongan pertama. Ketika pelayan menyaksikan dua orang tamunya yang sudah membereskan rekening di pagi harinya, sekarang datang kembali, buru-buru dia menyambut sambil tertawa lebar. "Wi ya, sampai sekarang baru kembali? Hamba mengira kalian berdua sudah pergi." "Masih ada kamar?," Tanya Wi Tiong-hong. "Kamar sih masih ada, cuma kamar yang dipakai Wi ya semalam sudah dipakai orang lain. Di halaman belakang sana masih tersedia sederet kamar, apakah ..." "Cepat bawa kami ke sana, tak usah cerewet," Tukas Lok Khi tak sabaran. Pelayan itu mengiyakan berulang kali, cepat-cepat dia mengajak kedua orang itu menuju ke kamar di halaman belakang, ruangan tersebut terdiri dari dua kamar tidur dengan sebuah ruang tamu di tengah. Sambil melangkah masuk ke dalam ruangan, Wi Tiong-hong segera memerintahkan: "Pelayan, cepat siapkan makanan untuk kami, lebih cepat lebih baik." "Kalian berdua menginginkan apa? Hamba akan segera siapkan." "Apa saja boleh, tapi harus cepat.," Seru Lok Khi sambil mengulapkan tangan. Pelayan itu mengiyakan dan mengundurkan diri, tak selang beberapa saat kemudian ia sudah muncul dengan membawa dua mangkuk bakmi dan sejumlah bakpao. Setelah mengisi cawan dengan air teh, dia baru mengundurkan diri dari situ. Sepeninggal pelayan itu, Lok Khi baru berbisik sambil tertawa. "Engkoh Hong, coba kalau lapar sebentar lagi, tentu aku tak bertenaga lagi untuk berjalan." Wi Tiong-hong bangkit berdiri dan menutup pintu, kemudian seraya berpaling katanya. "Kalau begitu, cepatlah bersantap." Selesai bersantap, kedua orang itu baru mencuci muka dan membersihkan badan. Selesai semuanya, Wi Tiong-hong baru tak tahan berkata. "Adikku, mengapa kau menyuruh aku cepat-cepat pergi tadi? Apakah kau berhasil menemukan sesuatu?" Sambil tertawa rendah, Lok Khi menyahut. "Sekali-pun tidak kau tanyakan aku-pun akan memberitahukan hal ini kepadamu, tahukah kau siapakah Buyung Siu tersebut?" "Siapakah dia?" "Dia adalah Pau-kiam-suseng (sastrawan pemeluk pedang), ketua dari pita hijau dalam perkumpulan Ban-kiam-hwee, dahulu aku pernah dengar toako berkata, konon tidak banyak manusia dalam dunia persilatan dewasa ini yang mampu bertahan gebrakan di ujung pedangnya." "Pau Kiam suseng? Tampaknya aku seperti pernah mendengar juga nama orang ini disebut paman." "Sewaktu dia menyebutkan namanya tadi, aku masih belum tahu kalau dia adalah Pau- kiam suseng, coba tebaklah kemudian bagaimana aku bisa mengetahui akan hal ini?" "Tak bisa kutebak." Wi Tiong-hong menggeleng. "Huuuh, belum lagi menebak tentu saja tak bisa menebaknya, ayo cobalah ditebak dulu." "Apakah kau baru mengingat kemudian?" "Tidak benar, aku hanya pernah mendengar toako menyebut tentang Pau Kiam suseng, namun tidak mengetahui namanya, bagaimana dengan kau? Bukankah kau pernah mendengarnya dari pamanmu? Mengapa kau-pun tidak tahu?" "Yaa, betul . Aku-pun pernah mendengar paman membicarakan tentang nama Pau Kiam suseng." "Dari manusia aneh itulah aku baru mengetahui siapa orang itu," Kata Lok Khi kemudian sambil tertawa. Tampak Wi Tiong-hong agak tertegun oleh ucapan tersebut, serunya dengan matanya terbelalak. "Kau maksudkan manusia aneh yang mengajak Pau-kiam suseng bertarung tadi?" "Kalau bukan dia, masa ada manusia aneh ke dua?" "Apa yang dia katakan?" Wi Tiong-hong keheranan. "Sewaktu ia menampakkan diri untuk pertama kalinya tadi, aku masih menyangka dia adalah toakoku, waktu itu perutku sudah amat lapar, karena kuanggap dia adalah toakoku, maka aku baru tinggal di situ." "Apa lagi setelah dia bentrok beberapa kali dengan Pau Kiam suseng, aku makin percaya selain toakoku, tiada orang lain yang memiliki tenaga dalam sedemikian sempurnanya." "Apakah dia adalah toakomu?" Lok Khi mengerling sekejap ke arahnya, lalu tertawa cekikikan. "Hei, bagaimana sih kamu ini? Masa arti perkataanku-pun tidak bisa kau tangkap? Kalau dia adalah toakoku, masa aku pergi dari situ meninggalkannya?" "Lantas siapakah dia?" "Menanti dia meloloskan pedang pendek tujuh bintangnya dan menyuruh kami pergi agar jangan mengganggu konsentrasinya, aku baru tahu kalau dia bukan toakoku, dan pada saat itu juga ia menggunakan ilmu menyampaikan suara menyuruh aku mengajakmu cepat-cepat pergi dari sini, kalau dipikir kembali sekarang, kemungkinan besar dia datang karena hendak membantumu ..." "Membantu aku?" Wi Tiong-hong keheranan. "apa yang telah ia bicarakan dengan dirimu?" "Ia bilang begini: Nona, mengapa tidak segera mengajaknya pergi? Kepandaian silat yang dimiliki cing sui congkoan (pengurus ruang pita hijau) dari perkumpulan Ban Kiam-hwee, Pau Kiam suseng lihaynya bukan kepalang, bila pertarungan mulai berkorbar nanti, aku tak mampu mengurusi kalian lagi, bayangkan saja kalau bukan lantaran kau, apa lantaran aku? Aku toh tidak kenal dengannya?" "Tapi aku juga tidak kenal dengannya.," Seru Wi Tiong-hong. "Oooh ... " Mendadak seperti teringat akan sesuatu, Lok Khi berseru tertahan lalu sambil menatap Wi Tiong-hong lekat-lekat, tanyanya. "Engkoh Hong, agaknya kau seperti kenal dengan gadis berbaju hijau itu ...?" Wi Tiong-hong tidak menyangka dia akan mengajukan pertanyaan tersebut, sesudah tertegun baru jawabnya. "Dia pernah menyelamatkan selembar jiwaku, sewaktu aku terkena jarum beracun dari keluarga Lan, dialah yang menghadiahkan obat penawar tersebut untukku." Lok Khi mengerdipkan matanya berulang kali, kemudian tanyanya lagi. "Mengapa dia menghadiahkan obat penawar kepadamu?" Sekali lagi Wi Tiong-hong dibikin tertegun oleh pertanyaan tersebut, untuk sesaat dia menjadi gelagapan dan tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu sebaik- baiknya. "Soal ini ... aku kurang begitu tahu ... ," Sahutnya kemudian agak gugup. "Kau tidak tahu, aku tahu " Tidak menanti Wi Tiong-hong buka suara, gadis itu menyambung lebih lanjut. "Dia tidak menyukai kakak misannya." Wi Tiong-hong lantas teringat kembali dengan sikap si nona berbaju hijau itu di saat menghadiahkan obat penawar itu kepadanya. Waktu itu dia-pun pernah berkata kalau merasa tidak leluasa menyaksikan keangkuhan dan kesombongan pemuda berbaju biru itu. Diam-diam dia-pun merasa kagum sekali atas ketelitian adik misannya ini dalam menganalisa setiap persoalan. Ketika Lok Khi menyaksikan pemuda itu hanya menunduk belaka tanpa berbicara, mendadak sambil tertawa ia mengerling sekejap ke arah Wi Tiong-hong, kemudian ujarnya lagi. "Tahukah kau? Yang dia sukai sebenarnya adalah kakak misanku?" Merah padam selembar wajah Wi Tiong-hong karena jengah, buru-buru serunya agak tersipu. "Huuus, kau jangan sembarangan berbicara." "Hm, apakah aku salah berbicara? Tadi, aku dapat melihat kalau dia sedang memandang ke arahmu dengan pandangan yang begitu hangat dan mesra." Wi Tiong-hong tidak menjawab, dia hanya membungkam terus dalam seribu bahasa. Melihat itu, Lok Khi makin marah, sambil berpaling serunya. "Lebih baik kau jangan berlagak bodoh. Hmm tentu saja kau-pun mempunyai maksud kepadanya kalau tidak. mengapa kau melarang aku untuk melukai dirinya?" Sepatah demi sepatah kata gadis itu mendesak terus sang pemuda dan berusaha memojokkan dia. Dasar perempuan, kalau sudah terlibat di dalam persoalan tersebut, biasanya dia memang enggan mengendorkan sikapnya barang sedikit-pun jua. Paras muka Wi Tiong-hong berubah semakin memerah, akhirnya dia berkata dengan serius. "Mungkin hal ini dikarenakan dia pernah melepaskan budi pertolongan kepadaku." Mendadak Lok Khi mengerdipkan mata, dua titik air mata jatuh berlinang membasahi pipinya, sambil cemberut ia berseru. "Sewaktu dia melancarkan serangan dengan gencar dan dahsyat kepadaku, mengapa kau tidak melarangnya untuk menghentikan serangan tersebut? Hm, sudah jelas kalau kau berat sebelah dan lebih condong untuk membelai dia." "Eeeh, eeeh, adikku, harap kau jangan banyak curiga," Dengan gugup Wi Tiong-hong berseru. "aku tidak begitu kenal dengan dirinya, bagaimana mungkin aku bisa menyuruhnya untuk menghentikan serangan?" Mendadak Lok Khi membalikan badannya sambil mengomel. "Sekali berjumpa masih asing, dua kali bertemu sudah akrab, apakah kau anggap belum akrab dengannya?" Selesai berkata dia lantas beranjak meninggalkan ruangan itu, kemudian ... "Blaamm." Dia menutup pintu kamar itu keras-keras. Pada hakekatnya tuduhan tersebut merupakan sebuah tuduhan tanpa dasar, tak heran kalau Wi Tiong-hong dibikin gelagapan setengah mati, dengan gugup dia berseru: "Adikku adikku ..." Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan ID di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Lok Khi sama sekali tidak menggubris, dia lari terus dan kembali ke dalam kamarnya. Wi Tiong-hong berdiri beberapa saat lamanya di depan kamar tidurnya, setelah tidak mendengar suara apa-apa lagi, mungkin gadis itu tertidur karena mangkel, terpaksa sambil menggelengkan kepalanya berulang kali ia kembali ke kamar sendiri untuk beristirahat. *** DENGAN terburu-buru Lok Khi menerjang masuk ke dalam kamarnya, waktu itu dia hanya merasa mangkel dan terdorong oleh sifat kewanitaannya yang suka cemburu saja, padahal keadaan seperti ini sesungguhnya sudah lumrah dan seringkali dijumpai. Biasanya setelah terjadi suatu kesalahan paham, maka hubungan kedua belah pihak akan semakin bertambah akrab dan mesra, asal Wi Tiong-hong bersedia minta maaf saja kepada si nona, maka urusan pasti akan beres dengan sendirinya, dan si nona-pun tetap akan membukakan pintu baginya. Tapi di kala Lok Khi menerjang masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu kamarnya dengan sekuat tenaga itulah, mendadak dia menyaksikan ada seseorang sedang duduk di tepi pembaringannya. Itulah seorang gadis berbaju hitam yang mengenakan kain kerudung berwarna hitam pula, waktu itu dia sedang bangkit berdiri. Setelah berdiri terperanjat, dengan perasaan terkejut bercampur girang Lok Khi segera menubruk ke depan, serunya manja. "Oooo ... ji-suci." Pelan-pelan gadis berbaju hitam itu melepaskan kain kerudung hitam yang menutupi wajahnya hingga tampaklah raut wajahnya yang cantik jelita itu, kemudian bisiknya: "Sam moy, jangan keras-keras." "Ji suci, kapan kau datang? Hampir saja membuatku amat terperanjat ..." Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo Sejengkal Tanah Percik Darah Karya Kho Ping Hoo Tiga Dara Pendekar Siauwlim Karya Kho Ping Hoo