Ceritasilat Novel Online

Pedang Karat Pena Beraksara 6


Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan ID Bagian 6


Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya dari Tjan I D   Ting ci kang segera tertawa getir.   "Siaute ucapkan banyak terima kasih atas kesediaan engkoh tua untuk bertindak sebagai saksi didalam peristiwa ku ini sehingga semua kecurigaan dan tuduhan atas diriku bisa terselesaikan, walaupun pihak Bu tong pay sudah bisa memahami keadaanku, tetapi dalam anggapan siaute masalah belum selesai, tugas siaute tetap ada, lagi pula siaute telah menyetujui permintaan pihak Bu tong pay untuk membongkar kasus ini hingga tuntas, maka sebelum kedudukan perkara terbongkar, siaute takkan berdiam diri belaka."   Beng Kian ho menatap sekejap ke arahnya, kemudian baru ujarnya lagi. "Kegagahan lote sangat mengagumkan, ucapanmu berat bagaikan bukit karang, tentu saja engkoh tua mengetahui akan hal ini, cuma..."   Berbicara sampai disitu, dia berhenti sebentar, kemudian baru melanjutkan lebih jauh.   "cuma saja persoalan ini mempunyai akibat sampingan yang sangat luas, aku kuatir dibalik dibegalnya barang kawalan Ban li Piaukiok masih tersembunyi sebuah rahasia lain.   Bila lote dapat membongkar rahasia ini, tentu saja lebih baik, kalau tidak ...   aku harap kaupun sedikit tahu batas- batas diri." "Nasehat dari engkoh tua, pasti akan siaute ingat terus didalam hati..." "Lote, apa rencanamu selanjutnya tantang persoalan ini?"   Ting ci kang termenung dan berpikir sebentar kemudian sahutnya.   "Siau Beng san dan rombongannya terluka oleh semaCam senjata pena, sedang ditempat kejadian ditemukan pena baja milik siaute, sudah jelas peristiwa ini bukan suatu kebetulan, sebab itu siaute ingin berangkat ke sikjin tan besok untuk melakukan pemeriksaan sekali lagi, siapa tahu aku bisa menemukan sesuatu pertanda yang bisaku pakai untuk membongkar rahasia ini ?"   Beng Kiam hoo segera manggut- manggut, dia seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi kemudian niat tersebut dibatalkan.   Sementara itu, Ting ci kang sudah berpaling ke arah Wi Tiong hong sambil bertanya.   "Saudara Wi, kau hendak pergi ke mana?" "Siaute tidak mempunyai suatu tujuan tertentu, bila Ting toako hendak pergi ke Sek jin tiao siaute bersedia untuk mengiringi kepergianmu itu, agar ditengah jalanpun ada teman berbicara, entah bagaimana pendapat Ting toako?"   Ting ci kang menjadi gembira sekali. "Bila saudara Wi bersedia ikut kesana, sudah barang tentu tawaranmu itu akan kusambut dengan senang hati."   Dalam pada itu, orang2 dalam perusahaan telah mempersiapkan hidangan malam, tapi berhubung Beng Kian ho dan Ting ci kang mempunyai persoalan dalam hati, mereka hanya bersantap tanpa banyak berbicara, kemudian oleh Ting ci kang, Wi Tiong hong dihantar menuju ke kamar tamu untuk beristirahat.   Semalam tiada kejadian apa apa, keesokan harinya Ting Ci kang dan Wi Tiong hong pun berpamitan kepada Beng Kian ho untuk melanjutkan perjalanannya.   Waktu itu fajar baru saja menyingsing, sang surya telah memancarkan sinarnya dilangit sebelah timur.   Banyak orang yang berdatangan dari luar kota untuk berjualan dipasar, tapi banyak pula yang keluar kota untuk melakukan perjalanan, pintu kota yang sempit menjadi penuh sesak dengan manusia yang berlalu lalang.   Tampaknya kesempatan semacam ini tak pernah disia-siakan oleh kaum pengemis untuk mencari sedekahnya, tampak banyak gembel yang meminta uang sedekah dari mereka yang lewat.   Ting Ci kang dan Wi Tiong hong berdua keluar pintu utara, suatu ketika tiba2 anak muda itu merasa tubuhnya segera didesak oleh seseorang, ketika dia berpaling, lamat- lamat dapat dilihat bahwa orang itu adalah seorang pengemis kecil yang kurus kering, saat itu dia pun tak menaruh perhatian yang khusus.   Sik jin tian terletak di ujung pegunungan Huay jlok san, jaraknya dengan kota Sang siu hanya puluhan lie, dengan kecepatan lari kedua orang itu, tak satujam mereka telah sampai ditempat tujuan.   Yang dimaksudkan Sikjin tian tak lebih cuma sebuah kuil kecil tanpa penghuni dibawah kaki bukit, kalau dibilang kuil, sesungguhnya sedikitpun tidak mirip kuil.   Diatas ruangan tengah berdiri sepasang patung manusia, tak tampak api hio, tidak nampak pula pengunjung atau penjaga, sehingga sepintas lalu tempat itu mirip gardu yang dipakai orang untuk tempat beristirahat daripada sebuah rumah beribadah.   Ting Ci kang sengaja berkunjung kesana karena disekitar tempat itulah Siau Beng san serta anggota perusahaan Ban liPiaukioknya menemui musibah, dia berharap dari sekeliling tempat kejadian itu bisa ditemukan sesuatu petunjuk.   Begitu sampai ditempat tujuan, mereka mulai lakukan pemeriksaan yang seksama, bahkan setiap rumput setiap jengkal tanah diperiksa semua dengan seksama.   Sayang jaraknya dengan saat kejadian sudah cukup banyak selisihnya, hingga sekalipun waktu peristiwa meninggalkan bekas, setelah melewati sekian banyak waktu akhirnya punah juga.   Setengah harian mereka berdua melakukan pemeriksaan dengan seksama, akan tetapi tiada sesuatu yang mereka temukan, namun Ting Ci kang tak mau menyerah dengan begitu saja, dengan kuil Sikjin tian sebagai pusat, mereka mulai melakukan pencarian ke empat penjuru sekeliling tempat itu...   Satu jam sudah iewat, namun mereka belum juga menemukan sesuatu yang sangat mencurigakan mereka berdua.   Sambil merangkak keluar dari balik semak belukar dan meluruskan pinggangnya pegal, Ting Ci kang menghembuskan napas panjang katanya sambil menghela napas.   "Tampaknya orang yang melakukan pembegalan barang kawalan itu betul-betul mempunyai rencana yang amat masak ....   Belum habis dia berkata mendadak ia berseru tertahan, kemudian dengan cepat membungkukkan badannya.   Semak belukar yang tumbuh ditempat itu sebenarnya amat lebat, tumbuhan ilalang tingginya mencapai sebatas pinggang, maka begitu dia jongkok, seketika itu juga badannya lenyap tak berbekas.   Wi Tiong hong bermata tajam bertelinga tajam, mendengar seruan tertahan itu, dengan cepat dia memburu kedepan, lalu tegurnya.   "Ting toako, apa yang telah kau temukan."   Dimana sorot matanya dialihkan tampak olehnya Ting Ci kang dengan sepasang matanya yang tajam bagalkan sembilu sedang mengawasi balik semak belukar tanpa mengucapkan sesuatu apa pun, kenyataan ini membuat hatinya menjadi amat keheranan.   Tiba-tiba Ting Ci kang mengambil sedikit hancuran rumput bercampur tanah dan didekatkan ke hidungnya, setelah mengendus sejenak.   akhirnya dia bergumam.   "Tembakau Aaah, orang ini menghisap tembakau...   ."   Wi Tiong hong ikut mengawasi benda tersebut, betul juga , diantara semak belukar dia temukan ada bekas2 yang terbakar, tak tahan segera ujarnya.   "Banyak sekali orang menghisap tembakau, apa anehnya dengan kejadian ini?" "Orang yang menghisap tembakau memang tak sedikit jumlahnya."   Sahut Ting Ci kang sambil mendongakkan kepalanya.   "Cuma tempat ini bukan tapi jalan raya, disini pun bukan jalan penting yang dilewati setiap orang, apalagi semak belukar ditempat itu tubuh amat dan setinggi pinggang, mengapa orang itu mesti menghisap tembakau sambil bersembunyi dibalik semak belukar? Ditinjau dari hal ini bisa disimpulkan kalau peristiwa ini sangat mencurigakan.   " "Betul, biasanya orang yang menghisap tembakau adalah orang orang yang telah lanjut usia."   Wi Tiong hong menambahkan. Ting Ci kang manggut2, sambil beranjak katanya.   "Sekalipun kita tahu kalau orang itu penghisap tembakau, usianya diantara lima puluh tahunan, namun tanda tersebut masih terlalu minim, mau mencari orang itu dalam masyarakat ibaratnya mencari jarum di dasar lautan..."   Setelah mengamati sebentar posisi matahari di langit, sambungnya lebih jauh.   "Kini waktu sudah mendekati tengah hari, mungkin saudara Wi juga sudah lapar, disekitar tempat ini hanya terdapat sebuah rumah petani dekat kaki bukit sana mari kita suruh mereka buatkan nasi untuk kita, setelah melepaskan lelah kita baru berbicara lagi."   Seusai berkata, dia lantas mengajak Wi Tiong hong berjalan keluar dari hutan rendah itu menuju ke sebelah kanan kiri bukit.   Setelah berjalan kurang lebih beberapa li, betul juga , didepan sebuah hutan bambu, diatas gundukan tanah berdiri sebuah rumah gubuk, disekeliling rumah gubuk itu penuh ditanami sayur.   Baru saja mereka berdua mendekat, dari dalam rumah gubuk itu telah berjalan keluar seorang nenek berambut putih.   Ting Ci kang segera maju selangkah kemuka kemudian sambil menjura katanya.   "Permisi nenek"   Nenek berambut putih itu manggut-manggut. "silahkan duduk kek koan."   Katanya sambil mempersilahkan. Sambil maju selangkah ke depan, dengan suara keras dan satu persatu Ting Ci-kang berkata. "Kami datang mengganggumu lagi, harap nenek bersedia membuatkan hidangan untuk kami."   Ooo0O0ooo Bab-12 Tampaknya nenek berambut putih itu sudah tuli, buktinya dia mesti miringkan kepala dan mendengarkan setengah harian dengan seksama sebelum akhirnya dia manggut2.   "Cuma diatas gunung tiada hidangan yang lezat, harap Kek koan menjadi maklum adanya." "Terima kasih nenek!"   Dengan mengikuti dibelakag nenek berambut putih itu, mereka berdua berjalan masuk ke dalam rumah gubuk.   Dalam ruangan, tengah, di atas pembaringan bambu tampak seorang kakek berambut putih sedang berbaring, sebuah selimut kumal menutupi badannya, dia seperti lagi mengidap penyakit yang parah.   Nenek berambut putih itu segera mempersilahkaa kedua orang tamunya untuk duduk disamping sebuah meja, setelah mengambil dua mangkuk air teh, ujarnya dengan rasa rikuh.   "Kek koan sudah melakukan perjalanan jauh sudah pasti kalian sangat haus, sayang di tempat terpencil seperti ini tak ada daun teh, silahkan minum semangkuk air putih saja"   Sambil bangkit berdiri Ting Ci kang menerima pemberian tersebut. "Terima kasih banyak nenek, berapa hari berselang orang tua ini masih segar bugar, apa sekarang lagi meaderita sakit?"   Sambil membungkukkan badannya, nenek meninju beberapa kali punggungnya, kemudian menyahut.   "Aaah, tidak apa apa, kalau sudah tua memang banyak penyakitnya, aaai ...   pernah mengidap sesuatu penyakit, bila cuaca berubah, penyakit pun turut kambuh....   ia berbatuk-batuk semalaman suntuk,...   sekarang baru dapat menjadi tenang...   mungkin ia sudah tertidur nyenyak."   Wi Tiong hong mengangkat cawannya dan minum melegukan, kemudian baru ujarnya. "Ting toako, kau kenal dengan mereka?"   Tampaknya Ting Ci kang merasa haus sekali dalam waktu singkat dia telah minum semangkuk sampai habis, setelah meletakkannya kembali, ia baru berkata.   "tiga hari berselang, aku pernah berkunjung kemari untuk menyelidiki sebab kematian dari sahabat dari perkumpulan kami, waktu itu tengah hari seperti saat ini, disektiar tempat ini tidak kujumpai rumah penduduk lain, maka kamipun bersantap siang disini, sikap maupun tingkah kedua orang tua baik sekali."   Nenek berambut putih itu tuli, ia tak mendengar apa yang dibicarakan kedua orang itu, maka sambil memandang kedua orang itu, dengan senyuman dikulum, ujarnya agak tergetar.   "Kek koan berdua, silahkan duduk se bentar aku si nenek akan segera menyiapkan hidangan."   Selesai berkata dia lantas berjalan menuju dapur.   Ting Ci kang beranjak dan mengambil sebuah poci dari meja, kemudian setelah menuang semangkuk air, kembali ia minum dengan lahap.   Mendadak sorot matanya dialihkan kepembaringan, di atas dinding dekat pembaringan tergantung sebuah hucwe yang telah berwarna hitam, pada ujung hucwe tergantung sebuah bungkusan yang berisi tembakau.   Tak usah diperiksapun Ting Ci kang bisa duga kalau isi bungkusan itu adalah tembakau tentunya dihari hari biasa kakek itu terbiasa mengisap hucwee.   Maka tanpa terata gumamnya dihati.   "Tembakau?"   Setelah berpikir sampai disitu, dia sama sekali tidak mempunyai ingatan untuk menaruh rasa curiga, sebab kedua orang tua itu tidak lebih cuma rakyat biasa.   Hingga pada saat itulah mendadak Wi Tiong hong menjerit kaget.   Dengan cepat Ting Ci kang berpaling, dia menemukan Wi Tiong hong sedang memegang secarik kertas, waktu itu kertas tadi sudah dibuka lipatannya dan sedang diamati dengan seksama.   ia tak tahu apa isi surat itu, tapi jelas kalau kertas itu berisi beberapa huruf.   Wi Tiong hong sesudah memandang sekejap kertas itu, segera mendongakkan kepalanya berseru.   "Ting toako, cepat kau lihat !"   Ting Ci kang menerima kertas itu dan membaca isinya. "Jangan melakukan perjalanan bersama orang she Ting "   Gaya tulisannya indah, jelas tulisan dari seorang gadis muda. Dengan perasaan keheranan dia segera bertanya.   "Saudara Wi, darimana kau dapatkan kertas tersebut didalam sakuku!" "Jadi kau tak tahu sedari kapan orang itu masukkan kertas tersebut kedalam sakumu." "Keanehannya justru terletak di sini, orang dapat masukkan gulungan kertas ke dalam saku siaute, namun siaute sama sekali tidak mengetauinya." "Mungkinkah semalam..."   Belum habis dia barkata, wi Tiong hong telah menggelengkan kepalanya berulang kali. "Tidak mungkin, hal ini tak mungkin terjadi, pagi tadi siaute telah memeriksa sakuku, namun tidak kujumpai gulungan kertas ini"   Sekali lagi Ting Ci kang memperhatikan tulisan diatas kertas itu dengan seksama, kemudian ujarnya.   "Gaya tulisan orang ini sangat indah dan halus agaknya ditulis oleh seorang gadis, lagi . dilihat dari gaya tulisannya, tak mungkin pembuatnya sudah tua. saudara Wi, apakah kau kenal dengan seorang gadis muda? "   Cepat muka Wi Tiong hong segera berubah merah padam, dengan cepat dia menggelengkan kepalanya berulang kali.   "Tidak, aku tidak kenal gadis muda, siaute baru terjun kedalam dunia persilatan orang persilatan yang kukenal adalah Ting toako, sedang Lak jiu im eng nonaThio dari Bu tong pay baru kujumpai kemarin boleh dibilang merupakan gadis pertama yang siaute kenal, lainnya tidak ada ..."   Sewaktu membicarakan soal Lak jiu im eng, tanpa terasa dia membayangkan kembali sikap angkuh dan tinggi hati dari gadis tersebut, walaupun kemudian dengan wajah memerah dan senyuman dikulum ia mengundangnya untuk berkunjung kekota Cing hong tin, baginya, boleh dibilang dia tidak menaruh kesan baik terhadap gadis itu.   Ting Ci king tahu kalau jawaban dari Wi Tiong hong itu merupakan jawaban yang sejujurnya, tapi jelas kalau tulisan itu ditulis seorang perempuan, mana mungkin...   Mendadak ia teringat kembali dengan perempuan penyanyi dari perguruan Thian sat bun yang pernah dua kali menganjurkan kepada Wi Tiong hong agar pergi dari situ daripada mati secara konyol, mungkin perbuatan dari gadis itu.   Walaupun Wi Tiong hong baru terjun dalam dunia persilatan, namun asal usulnya mempunyai banyak rahasia besar, bahkan sampai manusia macam Thian sat nio pun menaruh sikap yang luar biasa dan lain dari yang lain terhadap dirinya Dari surat peringatan itu, tanpa terasa dia memikirkan soal asal usul Wi Tiong hong, kemudian membayangkan pula tingkah laku dari Thian sat nio tempo hari, untuk sesaat lamanya menjadi termenung tanpa mengucapkan sepatah kata pun.   Sementara dia masih termenung, tampak nenek berambut putih itu sudah muncul kembali sambil menghidangkan sayur dan nasi, katanya sambil tertawa setelah hidangan itu diletakkan diatas meja.   "Kek koan berdua, diatas gunung cuma ada sayur mayor belaka, bila hidangannya kurang berkenan didalam hati, harap kalian berdua jangan marah, silahkan bersantap!"   Ting Ci Kang memperhatikan hidangan yang ditaruh di meja dalam sekilas lintas, tampaknya kecuali rebung, sayur mayur, masih ada sepiring ikan asin dan sepiring daging.   Berbicara buat orang gunung, hidangan semacam itu boleh dibilang sudah cukup mewah.   Buru2 ujarnya sambil barterima kasih.   "Waah, nenek kelewat sungkan, beginipun sudah baik sekali."   Diatas wajah si nenek yang penuh keriput segera dihiasi dengan senymuan lebar, kembali dia berkata.   "Kini tengah hari lewat, silahkan kalian berdua cepat bersantap, akan kumasakkan lagi air bening buat kalian."   Dia lantas membalikkan badan dan berjalan masuk kedalam.   Waktu itu Ting Ci kang dan Wi Tiong hong sudah merasa lapar sekali, setelah mengucap terima kasih, merekapun tanpa sungkan segera bersantap dengan lahap.   Dalam waktu singkat Ting Ci kang menghabiskan dua mangkok nasi, sekarang sedang mempersiapkan nasi yang ketiga.   Mendadak Wi Tiong hong menghentikan sumpitnya sambil berkata.   "Ting toako, beberapa malam berselang waktu siaute masih menginap di rumah penginapan, telah kutemukan pula secarik kertas. "Ooh. apakah tulisan perempuan juga?"   Tanya Ting Ci kang sambil menatapnya lekat lekat. Wi Tiong hong segera mengangguk. Ting Ci kang segera bertanya lebih jauh.   "Apa yang ditulis dalam surat itu? " "Setelah fajar keluar kota, jangan menunda-nunda." "Setelah fajar keluar kota. jangan menunda nunda..."   Gumam Ting Ci kang, mendadak mendongakkan kepalanya sambil bertanya.   "Apakah kau tahu siapa yang mengirim surat itu?" "Tidak."   Keesokan harinya, ketika siaute bangun, surat tersebut baru kutemukan."   Diapun lantas menceritakan bagaimana malam sebelumnya ada orang mengintipnya dari luar kamar, kemudian pada keesokan harinya diatas meja ditemukan surat peringatan.   Ketika selesai mendengar peringatan tersebut Ting Ci kang segera merasa kalau dugaannya mungkin tak salah lagi, maka setelah termenung beberapa saat lamanya, mendadak dia berkata.   "Saudara Wi, ketika hari ini kita akan keluar kota tadi, adakah seorang yang lewat dari sampingmu dan sengaja menumbuk badanmu?"   Wi Tiong hong berpikir sebentar, lalu sahutnya.   "Aaah, betul, sekarang Siaute sudah ingat, yaa, betul ketika ia berada didepan pintu kota memang ada orang mendesak badanku." "Apakah kau melihat jelas manusia macam apakah itu?"   Tanya Ting Ci kang sambil melirik. "Sewaktu siaute berpaling, orang itu sudah pergi jauh, aku hanya sempat menangkap bayangan punggungnya, dia seperti seorang pengemis cilik yang dekil sekali pakaiannya." "Pengemis cilik ?"   Seru Ting Ci kang terperanjat.   "Apakah dia seorang perempuan?"   Wi Tiong hong segara menggelengkan kepalanya berulang kali. "Tentang soal ini, siuate kurang begitu jelas" "Kemungkinan besar adalah perempuan, sebab perawakan badan perempuan biasanya kecil kurus, kalau dipandang dari belakang...."   Belum selesai dia berkata, mendadak matanya yang tebal berkernyit, kemudian..."Blaamm!"   Dia memukul meja keras-keras sambil melompat bangun, serunya dengan gusar. "Ada yang tak beres...."   Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan ID di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Sebelum dia berkata, tahu-tahu badannya limbung dan roboh terkapar keatas tanah. Wi Tiong hong menjadi terkejut sekali buru2 panggilnya.   "Ting toako, mengapa kau ?"   Terhampar ditanah, Ting Ci kang masih sempat mendesis dengan suara rendah dan berat.   "Dalam sayur...." "Dalam sayur kenapa..."   Buru-buru Wi Tiong hong Tanya dengan sangat gugup. "Bagaimana dengan sayur itu?"   Wi Tiong hong yang tak sempat menyelesaikan kata2nya.   Karena seperti juga Ting Ci kang, dia turut terjungkal keatas tanah dalam keadaan lemas.   Suasana didalam rumah gubuk itu menjadi hening, sepi dan tak kedengaran sedikit suarapun.   Dua orang yang tergelepar diatas tanah itu jatuh tak sadarkan diri.   Si nenek berambut putih yang berwajah penuh keriput itu sudah berubah menjadi pucat karena ketakutan, dengan tubuh membungkuk berjalan keluar dari rumah gubuk menggoyang goyangkan tangannya kearah sebelah kiri hutan.   Dari balik hutan segera berkumandang suara gelak tertawa yang amat keras, menyusul kemudian tampak tiga sosok bayangan manusia melayang masuk kedalam rumah gubuk itu ...   Ternyata mereka adalah seorang tosu tua seorang hwesio gemuk dan seorang kakek bermuka merah yang berkepala botak.   Mereka tak lain adalah Ma koan tojin, Ma lo han Kwong Beng hwesio serta sinaga tua berekor botak To Sam seng yang secara diam diam menguntit perjalanan Ting Ci kang serta Wi Tiong hong.   Tampaknya nenek berambut putih itu belum pernah manyaksikan ada orang bisa terbang ke angkasa, dia nampak gugup, takut dan cemas secara beruntun badannya mundur terus kebelakang.   Setelah mencapai pemukaan tanah, sinaga tua berekor botak segera mengulapkan tangannya berkata dengan suara dalam.   "Nenek tua, kau tak usah takut, cepat masuk hidangkan sayur dan arak, asal kau menurut kami akan membebaskan jalan darah dari para tamu mu itu dan tak akan melukainya walau hanya seujung rambutpun..."   Dengan ketakutan nenek berambut putih itu mengangguk berulang kali, dia lantas berjalan masuk kedalam. "Omitohud...!"   Kata Thi-lohan Khong Beng hwesio kemudian.   "tindakan yang dilakukan lo loko kali ini betul-betul sangat jitu dan tepat sekali!"   Naga tua berekor botak segera tertawa bangga.   "Taysu kelewat memuji, beberapa li disekitar Kek jin tian cuma tinggal sepasang suami istri tua itu, tiga hari berselang Ting Ci kang beristirahat disini, tentu saja hari ini pun ia akan datang kemari pula.   "Cuma sepasang suami isteri ini telah memperoleh kebaikan dari Ting Ci kang pada masa lalu, maka bila siaute tidak menotok jalan darah dari tua bangka itu, sudah pasti nenek itupun enggan mencampurkan racun kedalam sayur."   Sembari berbincang bincang mereka berdua maju kedepan memasuki ruangan gubuk.   Dilihatnya Ting Ci kang dao Wi Tiong hong masih tergelepar diatas tanah dalam keadaan tidak sadar, tubuhnya sama sekeli tak bergerak.   Tak tahan Thi-lohan Khong Beng hwesio berseru.   "Sejak kecil Ting Ci kang sudah mengikuti si rase tua dari Thi Pit pang yang bernama Thiat Pek li, segala macam permainan busuk dunia persilatan boleh dibilang sudah diketahui olehnya, masa begitu gampang dia kena dipecundangi? "   Naga tua berekor botak To Sam seng segera tertawa.   "Obat pemabuk yang dicampurkan dalam sayur adalah obat Ji ko mi (termasuk obat mabuk), sejenis obat pemabuk yang terbuat dengan resep rahasia, tidak berwarna dan juga tak berbau, kendati demikian memang memiliki kelihayan dan pengaruh yang luar biasa, jangan harap ia bisa mengetahui segala dari racunku ini, menanti dia lihat gelagat tak beres, biasanya obat itu sudah mulai bekerja."   Setelah berkata dia lantas berjongkok dan mulai menggeledah isi saku Ting Ci kang.   Thi-lohan Khong Beag hweesio tak mau ketinggalan, dia turut melakukan penggeledahan isi saku Wi Tiong hong.   Hanya Ma koan tojin seorang tetap berpeluk tangan belaka sambi mengawasi kedua orang ia dengan senyum tak tak senyum, seakan akan kedua orang rekannya yang menggeledah saku Ting Ci kang serta Wi Tiong hong sama sekali tak menarik perhatiannya.   Padahal dibalik telapak tangannya yang saling berlipat itu telah dipersiapkan tenaga pukulan Pek kut ciang sebesar sepuluh bagian, asal salah seorang diantara mereka berhasil menemukan pusaka, maka secepat kilat pula dia melancarkan serangan.   Dalam saku Ting Ci kang, si naga tua berekor botak To Sam seng hanya berhasil menemukan sebatang pena emas, sambil menghembuskan napas ia lantas bangkit berdiri, kemudian dengan wajah ragu gumannya, "Heran, barang itu tidak berada disakunya."   Dari ucapan tersebut bisa ditarik maknanya bahwa dia seperti tidak percaya dengan kenyataan tersebut.   Dari saku Wi Tiong hong, Thi Lohan Kwong Beng hwesio pun cuma berhasil mendpapatkan sepasang pena besi, sambil bangkit berdiri tanya pula.   "Dalam saku bocah inipun tidak berhasil temukan apa apa"   Diam diam Ma koan tojin segera menegangkan kembali sepasang tangannya, dia tertawa seram, katanya.   "Sudah sejak tadi pinto berpendapat demikian, mustahil barang itu bisa berada didalam sakunya." "Bagaimana suheng bisa berpendapat demikian?"   Tanya si Naga berekor botak dengan wajah masam. Ma Koan tojin tertawa hambar.   "Bila Ting Ci kang telah berhasil mendapatkan barang itu, dia tak akan melakukan pencarian yang teliti lagi didalam rerumputan."   Mendengar perkataan itu, diam2 si Naga tua berekor botak menyumpah didalam hati. "Tua bangka celaka, hidung kerbau sialan, kau adalah seorang yang licik!"   Sementara itu diluaran katanya dengan nada kalem.   "Kalau begitu, usaha siaute selama ini hanya sia2 belaka? " "Itu mah tidak, benda mestika itu ada sangkut pautnya dengan perkumpulan Thi pit pang, apalagi disaat Siau Beng san beserta kedelapan belas pengikutnya dari perusahaan Ban li piauwkiok terbunuh, Thi jiau tong long Lu Yau cun seorang dari ke 4 pelindung hukum perkumpulan Thi Pit pang yang ditemukan tewas disana. Bahkan ditinjau dari bekas lukanya mereka semua tewas diujung senjata pena baja, ini menandakan kalau peristiwa berdarah itu merupakan hasil perbuatan dari Thi pit pang." "Bukankah toheng mengatakan kalau Ting Ci kang belum berhasil menemukannya?"   Tanya pula si naga tua berekor botak. Ma koan tojin segera tertawa seram. "Betul, mungkin saja ketika ia selesai melakukan pembunuhan para saksi, dijumpai kalau benda yang berhasil didapatkannya ternyata palsu " "Darimana toheng bisa tahu?"   Naga tua berekor botak makin kaget dan keheranan. Ma koan tojin segera tertawa seram.   "Heeeehhh...heeeehhhh... heeeebh pinto hanya berbicara menurut keadaan disamping memberikan pula dugaan dugaan, siapa tahu orang orang Thi Pit pang setelah membunuh Siau Beng san, tiba tiba terjadi pergolakan di dalam sehingga terjadi pembunuhan yang berakibat kematian dari Yau cun?" "Bisa mungkin saja benda mustika yang itu disembunyikan Lu Yau cun. sedang Lu Yau cun tak pernah meningalkan sekitar tempat kejadian, hal ini dapat dibuktikan dengan kedatangan Ting Ci kang yang berulang kali ketempat kejadian siapa tahu mustika yang disembunyikan dan berhasil ditemukan kembali?" "Pendapat toheng memang dapat diterima dengan akal sehat, cuma dari mana pula dia bisa mengetahui kalau benda yang diperolehnya itu adalah barang palsu?"   Ma tojin tertawa seram.   "Heeeh ... heeeh ... heeeh ... mungkin dia belum tahu, barang itu semuanya berjumlah tiga buah, dua palsu dan satu asli, tapi semuanya justru mirip sekali satu sama lain..."   Etika berbicara sampai disini, tiba tiba dia membungkam. "Suheng, tahukah kau apa kegunaan dari benda itu sehingga begitu banyak umat persilatan mengincarnya ?"   Thi Lohan bertanya. Ma koan tojin mendehem pelan, kemudian menjawab.   "Soal itu mah pinto kurang begitu memahami." "Menurut berita yang tersiar didalam dunia persilatan"   Kata si Naga tua berekor botak pula.   "barang siapa yang mendapatkannya maka dia tiada tandingannya dikolong langit, asal kita berhasil menemukannya, apa takut tak bisa menyelidiki daya kegunaannya."   Sementara pembicaraan sedang berlangsung si nenek berambut putih itu sudah muncul kembali sambil mempersiapkan sayur dan arak buat ke tiga orang itu.   Tentu saja sayur yang bisa dipersiapkan cuma sayur mayur, dadar telur serta ikan asin hanya kali ini nampak pula sepoci arak.   Diatas wajah si nenek tua berambut putih dan kering berkeriput nampak diliputi perasaan takut dan tak tenang, dengan suara agak gagap dia berkata.   "Harap dimaafkan tuan bertiga, kami ...   kami orang miskin dan tinggal digunung, kam...kami tak bisa menyediakan hidangan yang lezat lezat untuk kalian, sedang...sedang arak dalam poci itupun dibeli oleh suamiku beberapa hari berselang di kota, silahkan kalian bertiga untuk mendaharnya."   Lalu si Naga tua berekor botak mengeluarkan sekeping uang perak dan diletakkan kedalam tangan lalu katanya.   "Kami telah merepotkan kau, nah terimahlah uang perak ini."   Melihat ada uang, sorot mata si nenek berambut putih itu nampak terkesima, lalu memantap dengan perasaan ingin, meski begitu dia tak berani menerimanya, malah sambil menggoyangkan tangannya dia berkata sambil tertawa.   "Ah, cuma hidangan sederhana saja..   aku nenek tak berani menerima uang loya, aku...aku hanya memohon kemurahan hati loya, untuk melepaskan suamiku..." "Terima dulu uang ini, bila kami akan pergi nanti pasti akan kubebaskan suamimu itu."   Legalah mendengar kalau suaminya akan dibebaskan, si nenek berambut putih itu segera menerima uang perak tersebut, setelah melirik sekejap ke arah Ting Ci kang dan Wi Tiong hong berdua yang tergeletak di tanah, dengan perasaan terima kasih yang besar ia mengundurkan diri dari situ.   Si Naga tua berekor botak segera turun tangan untuk memenuhi cawan Ma koan tojin dan Thio Lo han dengan arak, kemudian diapun memenuhi cawan sendiri dengan arak, setelah itu katanya sambil tertawa.   "Toheng, taysu, silahkan sehabis bersantap kenyang nanti, kita harus mulai mencari lagi jejak tentang benda mustika tersebut."   Selesai berkata dia lantas mengangkat cawan araknya dan minum dengan tegukan besar.   Paras muka Ma koan to jin masih tetap dingin menyeramkan, ia tidak turut minum tubuhnya masih tetap duduk di tempat semula tanpa bergerak barang sedikitpun juga.   Thi Lohan paling supel orangnya, apalagi waktu itu perutnya juga sedang lapar, tapi melihat Ma koan tojin belum juga menggerakkan sumpitnya, dia jadi sangsi dan tidak berani menggerakkan sumpitnya pula.   Sudah barang tentu si Naga tua berekor botak dapat menyaksikan kejadian itu, lalu dia tertawa terbahak-bahak.   "Haahh..haahh..haahh apakah kalian masih sangsi dengan sayur dan arak ini? Apa kalian takut aku telah mencampurkan pula racun Ji ko mi kedalam sayur dan arak ini?"   Ma Koan tojin tertawa seram.   "Heehh.. heeeh.. heeeh.. Lo Bun si cuma ada satu sedang kita bertiga, apakah tidak terlalu sedikit bila benda itu dibagi tiga???" "Betul, betul"   Seru Thio Lohan sambil mengangguk tiada hentinya.   "bila ingin selamat dalam dunia persilatan, kita memang sudah sepantasnya untuk selalu waspada dan menjaga segala kemungkinan yang tidak di nginkan."   Si Naga tua berekor botak To Sam seng tertegun sejenak, kemudian katanya dengan perasaan ngeri.   "Suheng, taysu, apabila kalian menaruh perasaan curiga kepada diriku, bagaimana mungkin siaute bisa menjelaskannya? Baiklah, aku akan membuktikan kepada kalian kalau dalam sayur sayur ini tak ada racunnya."   Selesai berkata dia lantas menggerakkan sumpitnya dan mengambil setiap sayur itu kemudian lalu dimasukkan kedalam mulutnya.   Selesai mencicipi sayur sayur tersebut, ia lalu mendongakkan kepalanya sambil berseru, "Sekarang, apakah kalian sudah percaya ?"   Ma koan tojin mangut manggut.   "Tentu saja pinto dapat mempercayai saudara To, entah saudara To bisa mengeluarkan bubuk Ji ko mi tersebut dan memperlihatkan pada pinto?"   Bab-13 Si Naga tua berekor botak To Sam seng cukup mengenali watak Ma koan tojin yang banyak curiga, mendengar perkataan itu dia lantas mengeluarkan dua buah botol kecil berwarna putih diletakkan ke atas meja setelah itu ujarnya sambil tertawa.   "Silahkan dilihat toheng."   Ma koan tojin menerima botol perselen itu diperiksanya sebentar, tampak dalam botol pertama berisikan bubuk halus berwarna hijau, dalam botol tersebut tertera tiga huruf kecil yang berbunyi "Ji ko mi"   Sedangkan dalam botol porselen yang kedua berisikan butiran obat sebesar biji kelereng sedang didalam botol itu tertera huruf kecil pula, "Obat penawar Ji ko mi."   Sambil mendongakkan kepalanya dan tertawa, dia lantas berkata.   "Saudara To memang benar-benar seorang yang bijaksana, entah bolehkah aku minta beberapa butir pil penawar dari bubuk pemabuk ini?"   Si naga tua berekor botak segera tertawa terbahak-bahak.   "Haaah...haaah...haaahh... kalau toheng membutuhkan silahkan saja diambil, setiap kali terkena bubuk pemabuk tersebut hanya cukup sebutir saja sudah cukup untuk memunahkan pengaruh racunnya." "Kalau begitu pinto minta tiga butir saja."   Ucap Ma-koan Tojin sambil tertawa. Dia segera membuka penutup botol itu dan mengambil tiga butir pil penawar tersebut. Buru2 Thi-lihan Khong-beng Hweesio berseru pula.   "Pinceng juga mohon tiga butir." "Taysu kelewat serius, kalau toh kita bersungguh hati ingin bekeja sama, tentu saja kau boleh mengambil obat penawar itu."   Thi-lohan segera mengambil pula tiga butir obat penawar untuk disimpan, setelah itu kedua buah botol porselen itu baru dikembalikan kepada si Naga tua berekor botak.   Ma-koan Tojin bangkit berdiri, kemudian ambil sebutir pil penawar di berjalan menghampiri Ting ci kang.   "To-heng, belum lagi bersantap kau sudah ingin memeriksa Ting ci kang .   ."   Tegur Thi Lo-han-Ma koan tojin berpai ng dan tertawa seram, sahutnya.   "Lebih baik orang she Ting ini disadarkan lebih dulu, kemudian baru bersantap.   Sementara pembicaraan berlangsung dia sudah menjejaikan pil penawar racun itu ke dalam mulut Ting ci kang.   Si Naga berekor botak To sam seng sebagai seorang jago yang sangat kawakan tentu saja memahami apa arti dari tindakkan Ma-koan tejin tersebut, yang jelas bukan untuk menyadarkan Ting ci kang, melainkan hanya ingin membuktikan apakah obat penawar racun itu asli atau tidak.   Diam2 ia lantas mendengus dingin, pikirnya.   "Si hidung kerbau tua ini benar-benar amat licik bagaikan seekor rase ..."   Ternyata obat penawar itu sangat manjur, tak selang seperminum teh kemudian Ting ci kang benar2 telah sadar kembali dari pingsannya.   Secepat sambaran petir, Ma koan tojin segera menyentilkan jari tangannya menotok dua buah jalan darah penting ditubuh Ting ci kang.   Begitu tertotok.   otomatis Ting ci kang tak sanggup bergerak meski ia telah sadar kembali, hanya sorot matanya saja yang sempat memperhatikan sekeliling tempat itu.   Mengetahui kalau dia, Wi Tiong hong telah dipencundangi orang, tanpa terasa ia mendengus dingin, lalu ujarnya.   "Kalian bertiga adalah jago- jago kawakkan dari dunia persilatan, dengan perbuatan kamu bertiga yang telah mencampur obat pemabuk di dalam sayur, apakah tidak takut akan menurunkan derajat kalian sendiri ..."   Ma koan tojin tertawa seram.   "Siapa suruh kalian membawa mestika? orang bilang, siapa membawa barang berharga dia bakal Celaka " "Apa maksud totiang berkata demikian ?" "Menurut berita yang tersiar dalam dunia persilatan dewasa ini konon mestika yang disebut Lo bun si tersebut sudah terjatuh ditangan Thi pit pang kalian, padahal mestika itu merupakan barang incaran setiap orang, bila kami tidak mencoba untuk mendapatkan, orang lain toh akan mencoba untuk mengambilnya juga .   Ting pangcu Buat apa kau mesti menyangkal lagi kenyataan ini ?" "Tapi ....   aku benar2 tidak tahu." "Tahu atau tidak tahu itu adalah sama saja."   Tukas Ma koan Tojin sambil tertawa seram.   "barusan Ting pangcu sudah makan kenyang, sedangkan pinto bertiga sudah menghamburkan tenaga setengah harian dengan sia-sia, sekarang perut pun sudah mulai lapar, baiklah ...kalau memang begitu harap Ting pangcu menunggu sebentar, bila pinto selesai bsrsantap nanti kita baru berbincang-bincang lebih jauh."   Ketika si Naga tua berekor botak To Sam-seng mendengar tojin itu baru akan berbicara lagi selesai bersantap nanti, dalam hati kecilnya lantas tahu kalau ia bermaksud untuk menguji kemanjuran obat penawar tadi, atau dengan perkataan lain rasa curiganya belum juga hilang.   Diam-diam ia lantas mendengus dingin, setelah menjura dan tertawa katanya pula.   "Saudara Ting, untuk sementara waktu terpaksa akan menyiksamu, asal saudara Ting bersedia untuk bekerja sama dengan kami, tanggung ada kebaikan untukmu."   Ting ci kang segera tertawa terbahak-bahak.   "Haaaahhhh .   , .   haaahhh ...   haaahhh , ..kini aku she Ting sudah jatuh ketangan kalian, banyak berbicara soal kebaikan atau kejelekan juga tak ada gunanya, aku hanya minta saudara Wi yang baru kukenal belum lama ini suka dilepaskan, toh bagi kalian bertiga saudara ini tak ada kegunaannya, apalagi ketika berada dian wan-Piaukiok ia telah membantu kalian bertiga." "Saudara Ting salah paham"   Naga tua berekor botak tertawa licik.   "kami sama sekali tak bermaksud jahat terhadap saudara Ting, selesai makan nanti, tentu saja kami akan memunahkan pengaruh obat pemabuk dari tubuh saudara cilik ini."   Sementara itu, Ma-koan tojin yang menyaksikan obat penawar yang diberikan Naga tua berekor botak To Sam seng kepadanya ituamat manjur, dia segera menelan sebutir dan menyimpan sisanya kedalam saku, sekembalinya ke meja, dia pun mulai bersantap dan minum arak dengan perasaan lega.   Tentu saja Thi Lohan Kwong Beng hwesio dengan cepat menirukan pula cara tersebut dengan secara diam-diam menelan sebutir obat penawar.   Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan ID di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Naga tua berekor botak To Sam seng yang menyaksikan kejadian itu hanya berlagak seolah-olah tidak melihat, padahal dalam hati kecilnya tertawa dingin tiada hentinya.   Tak selang berapa saat kemudian, ke tigaorang itu sudah menghabiskan sepoci arak, si Naga tua berekor botak segera bangkit berdiripura-pura hendak mengambil nasi.   Mendadak paras muka Ma koan tojin berubah hebat, mencorong sinar buas dari balik matanya, sambil mendengus dingin bentaknya.   "To Sam seng, besar amat nyalimu "   Sambil membentak dia pun melompat bangun kemudian selangkah demi selangkah berjalan menghampiri si naga tua berekor botak.   Secepat kilat Thi Lo han turut melompat bangun pula dan melompat ke samping arena, kemudian bentaknya pula.   "Tua bangka berekor botak, apakah kau telah mencampuri sayur dan arak yang kami dahar dengan bubuk Ji ko mi ?"   Si Naga tua berekor botak mundur beberapa langkah ke belakang, kemudian sahutnya dengan tertawa menyeringai.   "Apa yang di katakan Ma koan toheng tadi memang benar, Lo bun-si hanya sebuah, bila harus dibagi menjadi tiga bagian rasanya kelewat sedikit..."   Merah padam selembar wajah Thi Lo han Kwong Beng hweesio yang gemuk dan putih, dengan gusar teriaknya.   "Jadi obat penawar yang kau berikan itu palsu ?" "Haaahhh ...   haaahhh ...   haaahhh ....   obat penawarnya mah tidak palsu, kalau tidak.   masa saudara Ting bisa sadar secepat ini ?"   Seru si naga tua berekor botak sambil tertawa licik.   "cuma, obat pemabuk yang siaute serahkan kepada si nenek itu semuanya dua macam." "Sewaktu menghadapi saudara Ting tadi, obat bubuk yang dicampurkan kedalam sayur adalah bubuk Ji ko-mi, sebaliknya bubuk yang dicampurkan kedalam arak kita justru adalah bubuk lain, bubuk itu bernama..." "To Sam seng "   Bentak Ma- koan tojin sambil tertawa dingin dengan nada menyeramkan.   "tahukah kau, sekalipun pinto dan Kwong Beng taysu telah makan obat beracun, tapi dengan mengandalkan tenaga dalam yang dimiliki, belum tentu obat tersebut bisa bekerja dengan cepat, bila kami maanfaatkan kesempatan sebelum racun itu bekerja untuk merobohkan dirimu, aku yakin orang pertama yang roboh lebih dahulu adalah kau bukan kami berdua"   Sementara pembicaraan berlangsung, dia telah menghimpun tenaga dalamnya kedalam telapak tangan kanan, kemudian selangkah demi selangkah berjalan mendekati si naga tua berekor botak tersebut.   Tentu saja Thi Lo han Kwong Beng hwesio juga tahu bahwa satu-satunya jalan agar bisa mendapatkan obat penawar racun itu adalah menguasahi si naga tua berekor botak.   Maka dengan mengimbangi gerakan dari Ma-koan tojin tersebut, satu dari kiri yang lain dari kanan berbareng mendekat.   Waktu itu si Naga tua berekor botak hanya berdiri disudut ruangan sambil mengelus jenggot kambingnya dan sama sekali tidak bergerak.   sambil tertawa licik dia malah berkata.   "Siaute sudah tahu kalau tenaga dalam yang kalian berdua miliki amat sempurna, oleh sebab itu akupun menggunakan sejenis obat beracun yang lebih kuat daya kerjanya, bubuk obat ini bernama Jit poh san (tujuh langkah membuyar) asal sudah berjalan sejauh tujuh langkah maka semua tenaga dalam kalian akan membuyar haaahhh...   haaahhhh..nah silahkan kalian berdua maju .   ..   satu, dua, tiga, empat,lima..."   Ma koan tojin merasakan hatinya amat terkesiap.   ketika mencapai langkah yang ke lima, serta merta ia berhenti sendiri, tapi ketika dilihatnya jarak lawan tinggal enam depa, begitu ia berhenti sepasang tangannya yang kurus kering tak berdaging itu langsung diayunkan ke depan.   Si Naga tua berekor botak masih tetap berdiri disana tanpa bergerak.   wajahnya pun masih tetap tenang sedikitpUn tidak berubah, bahkan ia tak bermaksud untuk menangkis, malahan memandang pun tidak.   Ketika serangan yang di lancarkan Ma koan-tojin itu diayunkan kedepan, entah mengapa secara tiba-tiba badannya bergoncang keras, kemudian terjatuh ke atas tanah, sepasang matanya melotot besar dan mulutnya berbuih.   Sebenarnya dia memang berperawakan kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang, kini tampaknya kelihatan lebih menyeramkan lagi.   Thi Lo han Kwong Beng hwesio yang menyaksikan kejadian itu menjadi amat terperanjat, dia membentak marah lalu menerjang maju ke depan.   Akan tetapi, sewaktu badannya yang gemuk itu baru mencapai ditengah angkasa, tahu2 .."Blaaamm "   Ia sudah terjatuh kembali keatas tanah dan tak sanggup beranjak bangun lagi.   Ting ci kang yang menyaksikan berlangsung-nya adegan saling gontok-gontokan itu, diam-diam merasa amat terperanjat.   Imu silat yang dimiliki Ma koan tojin dan Thi Lo han berdua holeh dibilang terhitung jagoan kelas satu didalam dunia persilatan, sekalipun sudah menelan obat beracun, dengan pengerahan tenaga dalam untuk mendesak daya kerja racun tersebut, pai ng tidak mereka masih sanggup untuk bertahan selama satu jam.   Siapa sangka obat beracun Jit poh san yang dipergunakan si Naga tua berekor botak tersebut bisa sedemikian lihainya sehingga daya kerjanya pun cepat sekali.   Dalam pada itu, si Naga tua berekor botak yang menyaksikan kedua orang rekannya telah roboh, ia segera mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.   "Haaaahhhh...   haaaahhhh ...   haaahhh..."   Dia hanya sempat tertawa tergelak beberapa saat, sebab secara tiba-tiba suara tertawanya itu terhenti sendiri, di kuti paras mukanyapun berubah hebat.   Dengan cepat tangan kanannya merogoh kedalam sakunya dan mengeluarkan sebuah botol porselen, tak sempat membuka penutup botolnya lagi, dia menggigitnya keras2 dan sekaligus menelan empat lima butir obat penawar.   Mendadak badannya mulai gontai dan sempoyongan tak menentu, peluh dingin membasahi jidatnya, bagaikan butiran kacang kedelai jatuh bercucuran tiada hentinya, sorot matanya kalut dan memancarkan rasa ngeri, kalut dan seram yang hebat.   Akhirnya ia jatuh terduduk ke atas tanah, serunya dengan suara gemetar.   "Apa ... apa yang telah terjadi?"   Perubahan ini terjadinya sangat mendadak dan sama sekali diluar dugaan Ting ci kang, taapa terasa dia mulai berpikir.   "Masakah obat penawarnya tidak majur?"   Agaknya si nenek berambut putih yang bersembunyi didalam dapur telah mendengar suara gaduh tersebut, ia segera melongok keluar dari balik pintu.   Tapi setelah menyaksikan apa yang telah terjadi, dengan terkejut serunya.   "Hey, To Loya, kenapa kau? Bukankah tadi kau telah memerintahkan kepadaku untuk mencampurkan sebungkus obat yang bernama Jit-poh san kedalam arak?" "Berhubung diatas gunung banyak terdapat musang yang seringkali mencuri ayam peliharaanku, padahal sinenek sudah menggunakan racun apapun untuk menangkapnya, tapi setiap kali obat racun itu hanya bisa dipakai satu kali, kemudian kehilangan kegunaannya lagi." "Maka ketika aku si nenek mendengar kalau bubuk racun Jit poh san milikmu itu tak berwarna dan tak berbau, si musang tentu tak bisa mendengusnya, maka secara diam-diam aku telah menukar racun itu dengan racun lainnya.   "Racun yang kucampurkan kedalam arak tadi adalah racun pembunuh musang yang dibeli suamiku beberapa hari berselang dari kota, konon racun itu hanya bisa dipunahkan dengan kotoran manusia, bagimanakah kalau kuambilkan semangkuk kotoran manusia dari dalam kakus untuk memunahkan racun tersebut?"   Perkataan itu memang bukan ejekan belaka, sebab menurut ajaran kuno, kotoran manusia memang bisa digunakan untuk penawar racun.   Tadi si naga tua telah menelan empat butir pil penawar dari perguruannya, sekalipun racunnya berbeda dan belum tentu bermanfaat, tapi daya kerja racun itu toh bisa dicegah untuk sementara waktu, tidak seperti Ma koan to-jin dan Thi Lo han yang segera roboh setelah terkena Serangan.   Sekarang dia hanya bisa melototkan matanya besar-besar, apa yang terpampang didepan mata masih bisa terlihat, dan apa yang bergema di-situ masih dapat didengar, akan tetapi keempat badannya telah menjadi kaku dan tak sanggup bergerak lagi, kulit mukanya terasa kaku kesemutan sehingga keinginannya untuk berbicara pun tak mampu dilakukan.   Tapi dia sadar dan mengerti apa yang dikatakan nenek berambut putih itu semuanya adalah bualan belaka.   Kalau racun yang dicampurkan dalam arak itu benar-benar adalah racun pembunuh musang jangan harap hal mana bisa mengelabuhi mereka bertiga, atau dengan perkataan lain, racun yang telah dicampur sinenek dalam poci arak itu jelas adalah racun yang jauh lebih lihay daripada Jit poh san yang diberikan kepadanya.   Ting ci kang masih tergeletak ditanah karena jalan darahnya tertotok.   diam-diam ia merasa terkejut sekali, tentu saja ia dapat mendengar semua pembicaraan itu dengan jelas.   Tapi kedua orang suami istri tua itu pernah dijumpainya pada tiga hari berselang, malah waktu itupun dia sempat bersantap dirumahnya jelas diketahui olehnya waktu itu bahwa dia bukanlah seorang pandai bersilat....   Sementara itu dia masih berpikir, mendadak terdengar si kakek yang berbaring diatas pembaringan bambu itu berseru sambil tertawa rendah.   "Ang Nio Cu, aku sikakek sudah boleh bangun bukan ?"   Sekali lagi Ting ci kang merasa tertegun, pikirnya. "Bukankah-jalan darahnya telah ditotok oleh si naga tua berekor botak..?"   Si nenek berambut putih yang semula bungkukpun, kini berdiri tegak kembali, sahutnya sambil tertawa.   "Si tua bangka Celaka, kau enak-enak tidur berlagak mampus, sebaliknya koh nay- nay mesti bekerja keras didapur untuk masak sayur, menanak nasi dan repot setengah harian-hmm, bila kau berani mencari keuntungan lagi dengan mulut yang kotor, lihat saja kuhajar adat kepadamu." "Aneh, suara yang semula parau dan gemetar kini sudah berubah sama sekali, malah secara tiba tiba berubah menjadi merdu dan halus.   Bukan begitu saja, bahkan orangnya yang berbicara pun sama sekali telah berubah.   Tampak dia menarik rambutnya yang putih itu sehingga terlepas dari kepaia, kemudian mengusap mukanya dan melepaskan pula selembar kulit topeng yang berwajah tua dan jelek.   Dalam waktu singkat seorang nenek jelek yang berambut putih dan terbungkuk- bungkuk, kini telah berubah menjadi seorang nyonya muda yang cantik dan genit.   Si kakek yang berbaring diatas pembaringan pura2 sakitpun telah melompat bangun pula, dia segera mengambil huncweenya dan menjura kearah nyonya muda itu, katanya sambil tertawa terbahak-bahak.   "Haaahhh...haahhh...   haaahhh....   nona Cho, maaf kalau aku si orang tua telah salah berbicara."   Nyonya muda genit itu kembali tertawa cekikikan. "Bagus sekali. Disini sudah tiada urusanku lagi, orang2 itu kuserahkan semua kepadamu."   Selesai berkata dia lantas menggerakkan badannya dan berjalan keluar dari ruangan.   Sungguh cepat sekali gerakan tubuhnya, hanya didalam sekali kelebatan saja tahu2 bayangan sudah lenyap tak berbekas.   Ting ci kang yang menyaksikan kesemuanya itu, diam-diam mengangguk, pikirnya.   "Aaaaah ...   kalau begitu, mereka semua adalah orang-orang Thian Sat bun..."   Dalam pada itu, si kakek kurus kecil itu sudah mengetuk keluar abu tembakaunya dari mangkuk huncwe, kemudian mengisi tembakau baru dan menyulutnya.   Setelah menghisap beberapa kali, dia baru berjalan menghampiri Ting ci kang, katanya dengan senyum tak senyum.   "Sahabat Ting, tadi kau berjongkok dibalik semak sambil memperhatikan sesuatu, nampaknya kau berhasil menemukan abu tembakau ku disitu? Tapi anehnya, huncwee lohu justru diletakkan disamping pembaringan, mengapa sahabat Ting malah tak bisa menduga diri lohu? Heehhmm .   ..   heehmm ...   bukan cuma sahabat Ting saja, bahkan Ma koan dari Hong san dan naga tua dari Hoan yang pun pada buta gemas matanya."   Sambil membelalakkan matanya Ting ci-kang termenung dan berpiklr beberapa saat lamanya , mendadak terlintas rasa kaget dan terCegang diatas wajahnya, ia segera berseru.   "Jangan jangan kau adalah ..."   Belum sempat ia menyebut nama orang itu, mendadak ia mengetuk dengan gagang huncweenya, begitu jalan darah pingsan Ting ci kang tertotok, kata-kata selanjutnya pun tak sanggup diteruskan lagi.   ooOOOoo Bab-14 Ketika Wi Tiong- hong mendusin kembali, ia merasa pemandangan yang berada disekeliling tempat itu telah berubah sama sekali.   Ia seperti lagi duduk bersandar diatas dinding, untuk sesaat dia tak tahu dimanakah dirinya berada ? Ketika mencoba untuk membuka matanya, ia saksikan kegelapan mencekam disekeliling tempat itu, gelap gulita bagaikan berada ditengah malam, diam-diam ia merasa terkejut sekali.   Dengan sepenuh tenaga dia mencoba untuk mengumpulkan kembali semua daya ingatannya, dia masih ingat bagaimana dia dan Ting toako meninggalkan kota Sang siau menuju ke kuil Sik jin tian...   Ketika tengah hari tiba, mereka beristirahat dirumah seorang petani dibawah bukit, keluarga petani itu hanya terdiri suami isteri yang telah lanjut usia, yang laki berbaring diatas pembaringan sedang tidur, sedang si nenek yang berambut putih dan bertubuh bungkuk menyiapkan santapan siang bagi mereka berdua, kemudian..Kemudian dia pun tak dapat mengingatnya lagi.   Pokoknya mereka berdua seperti belum sampai meninggalkan rumah gubuk itu...   Tapi, dimanakah ia sekarang ? Mengapa ia bisa berada disini ? Diam2 ia mencoba untuk menghimpun tenaga dalamnya, terasa hawa murninya sukar dikerahkan se-akan2 terdapat beberapa buah jalan darahnya tersumbat, namun bila tidak mencoba untuk menyalurkan hawa murni, halmana sama sekali tidak dirasakan.   Ia mencoba untuk menggerakkan tangan dan kakinya, ternyata masih bisa bergerak dengan bebas, kontan saja kecurigaannya timbul, entah siapa kah orang itu ? Mengapa jalan darahnya ditotok?" "Aaah, dimanakah Ting toako ?"   Setelah memejamkan matanya, Wi Tiong hong segera mengerahkan segenap kemampuannya untuk memeriksa sekejap sekeliling tempat itu.   Kali ini, secara lamat-lamat dia dapat menyaksikan pemandangan disekeliling tempat itu, tapi apa yang kemudian terlihat membuatnya merasa terkejut sekali.   segera pikirnya dihati.   "Aaaah ...   rupanya aku berada dipenjara, tapi ...   kenapa aku disekap dalam rumah penjara?"   Walaupun ia belum pernah disekap didalam rumah penjara, tapi ia mengetahui dengan pasti kalau tempat ini adalah sebuah ruangan penjara yang amat kuat.   Luasnya cuma enam depa, kecuali dimana ia bersandar sekarang berupa dinding yang kokoh, tiga bagian lainnya merupakan terali besi yang sangat kuat, tepat dihadapannya merupakan sebuah pintu terali besi yang besar, pada gembokan pintu terpasang sebuah kunci yang benar sekali.   Rupanya ruang penjara berupa terali besi itu bukan cuma satu saja, sederetan memanjang kesamping paling tidak masih ada tujuh delapan buah dan disetiap bilik tampaknya ada tawanan yang disekap.   Sehingga bila dilihat sepintas lalu bentuknya persis seperti pagar terali tempat untuk memelihara binatang buas.   Sebenarnya berada dimanakah ia sekarang??? Kesalahan apakah yang telah diperbuat sehingga dijebloskan kedalam penjara??? Mendadak ia melompat bangun, hampir saja dia akan berteriak-teriak keras.   Tapi ketika sorot matanya dialihkan kearah lain, tiba-tiba dijumpainya orang yang disekap dalam ruang penjara disebelah kanannya adalah Tok Hay ji yang pernah dijumpai dalam perusahaanan wan Piaukiok, tampaknya luka yang diderita orang ini cukup parah, sebab dengan wajah yang layu dia sedang memejamkan matanya mengatur pernapasan.   "Masa dia adalah Tok Hay ji? mengapa diapun disekap ditempat ini.   ..?"   Penemuan ini membuat Wi Tiong hong merata semakin keheranan, buru-buru dia mengalihkan pandangan matanya ke ruang bui disebelah kiri.   Ternyata orang yang duduk bersandar dinding ditempat itu tak lain adalah Ting toako yang bersamanya datang ke kuil Sik-jin-tian.   Pelan-pelan Wi Tiong hong menjadipaham kembali, kalau ditinjau dari keadaan ini dapat ditarik kesimpulan kalau tempat tersebut bukan penjara seperti apa yang diduganya semula, rupanya mereka ditawan oleh Thian Sat nio serta begundal- begundalnya.   Tanpa berpikir panjang lagi dia berjalan mendekati terali besi itu, kemudian sambil menarik terali besi tersebut, teriaknya keras2.   "Ting toako. ..."   Setelah ia mendekat kesitu, ia baru menjumpai kalau Ting ci kang pun sedang duduk memejamkam mata disana, tampaknya seperti juga keadaannya, beberapa buah jalan darahnya telah ditotok orang, sehingga sekarang ia sedang berusaha untuk menembusi jalan darah ini.   Butiran keringat sebesar kacang ijo nampak membasahi seluruh jidatnya.   Ketika mendengar panggilan dari Wi Tiong hong, pelan-pelan dia membuka matanya seraya menegur.   "Saudara Wi, kau pun telah mendusin?" "Ting toako, berada dimanakah kita sekarang??"   Tanya Wi Tiong hong dengan suara yang keras.   "mengapa kita..."   Belum habis dia berkata, tiba-tiba terdengar suara membentak nyaring. "Sttt ... .jangan keras-keras kalau ingin berbicara disini, jagalah ketenangan." "Siapakah kau?"   Teriak Wi Tiong hong.   "tempat apa pula disini? Mengapa kami disekap ditempat ini?"      Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan ID di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo    Pedang Pusaka Thian Hong Karya Kho Ping Hoo Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo Pedang Pusaka Thian Hong Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini