Saputangan Berdarah 3
Saputangan Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
Kemudian, tampak diantara sambaran kilat, Abas Dinamit menggerakan sebuah benda berkilau ditangan kanannya, menyambar kebawah ber kali-kali dan sepuluh menit kemudian ia meninggalkan tempat itu, menuju ke mobil Fiat hitam dan menghidupkan mesinnya. Sebelum memasukkan versnelling, dengan tenang ia mengeluarkan sebuah lap dari bawah stuur dan menyusuti muka dan rambutnya yang basah oleh air hujan. Kemudian mobil Fiat itu meluncur kearah puncak, meninggalkan mayat yang tidak karuan lagi keadaannya. Apabila kilat menyambar menerangi tempat itu untuk beberapa detik, tampaklah membujur sesosok mayat yang mukanya sudah hancur sama sekali sehingga tak mungkin lagi mengenal mayat ini!
Sudah lima hari lima malam Bharoto mengintai rumah villa kecil di Kebayoran. Sore hari kelima itu ia sudah mulai kehilangan kesabarannya dan ia sudah mengambil keputusan didalam hatinya bahwa apabila sore ini dara yang ditunggunya itu tidak muncul, ia akan menggunakan cara kasar, yaitu mendatangi ibu yang dilihatnya sering keluar-masuk rumah itu dan memaksanya memberi keterangan tentang Linda. Akan tetapi menjelang magrib, dara yang dinanti-nantinya itu tiba-tiba muncul. Sebuah sedan VW kecil berhenti didepan rumah itu, pintu sedan dibuka dan seorang gadis cantik jelita meloncat keluar dari belakang stuur. Biarpun agak jauh tempat ia mengintai, Bharoto segera mengenal gadis itu. Diantara seratus orang gadis ia akan dapat dengan segera mengenal dara itu.
Jantungnya agak bergetar aneh ketika pandang matanya menatap kearah bibir yang penuh dan indah bentuknya itu. Tapi segera bulukuduknya meremang. Mungkinkah bibir sehebat itu dapat menciptakan sebuah Kiss of Death (Ciuman maut) pada seorang pria? Bharoto cepat mengusir pikiran tentang ciuman ini dan kembali ia menjadi Detektif Bharoto yang bermata tajam penuh selidik. Gaun yang dipakai dara itu terbuat dari bahan mahal dengan lipatan-lipatan kecil dibagian bawah. Agaknya dari Nylon bahannya. Tubuh atas tertutup sebuah mantel bulu yang tentu ribuan rupiah harganya. Mantel Seperti itu belum terjual di toko-toko Indonesia, agaknya terdapat di Singapore atau Hongkong. Hanya ibu-ibu para penggede tinggi yang mempunyainya, atau nyonya-nyonya kaya-raya yang sempat berpiknik ke Hongkong. Sepatunya luar negeri.
"Hemmm, banyak kemajuan dia..."
Bhoroto berbisik ketika tubuh ramping montok padat itu menghilang dibalik pintu rumah. Cepat ia menyelinap dan menyusup mendekati rumah Linda, lalu mengintai. Tak lama kemudian dara itu keluar lagi dari rumah, kini tangan kanannya membawa sebuah kopor kecil, kopor mesin tulis!
"Itu dia..."
Bharoto menahan napas, matanya mengintai tajam dari balik kacamatanya, tangan kanannya meraba dada kiri dibalik jas panjangnya, dimana tersimpan pistolnya Si Kenes. Agaknya Linda tergesa-gesa sekali. Hal ini sudah dapat diduga oleh Bharoto, karena mesin mobil VW itu tidak dipadamkan. Maka, begitu melihat bahwa Linda datang untuk mengambil kopor kecil itu, cepat ia menyusup pergi menuju ke Vespanya yang diparkir ditempat gelap. Pada saat Linda menutup pintu mobilnya, Bharoto sudah menghidupkan mesin Vespa Scooternya dan sesaat kemudian Detektif ini sudah membayangi sedan VW dengan Scooternya. Kecut-kecut hatinya dan diam-diam menyesal mengapa tidak menerima penawaran Inspektur Bhono untuk menggunakan mobil saja.
Ia cukup mengenal kecepatan sedan Volks-Wagon ini, kalau dipakai membalap, tak mungkin Vespa nya akan dapat mengejar. Akan tetapi asal jangan keluar kota saja, didalam kota Vespanya lebih leluasa dipakai ngebut dan ia tidak kuatir akan ketinggalan oleh VW itu. Hatinya lega melihat VW yang dibayanginya itu meluncur cepat kearah Tanjung priuk. Tapi ia terheran-heran, hatinya penuh dugaan. Apakah maksud Linda pergi kepelabuhan? Hendak berlayarkah? Melarikan diri keluar Jawa? Kiranya mobil itu tidak terus menuju pelabuhan, melainkan membelok kedalam pekarangan sebuah rumah kuno besar yang berada dipinggir jalan. Pekarangan rumah itu lebar dan gelap oleh beberapa pohon, diantaranya sebatang pohon Beringin tua. Dengan perlahan Bharoto menjalankan Vespanya melewati jalan depan rumah gedung itu.
Dilihatnya gadis itu turun dari mobil membawa kopor kecil dan beberapa kali gadis itu menoleh kebelakang dengan sikap curiga. Akan tetapi Bharoto yakin bahwa gadis itu takkan mungkin mengenalnya, apalagi keadaan disitu memang agak gelap. beberapa ratus meter dari rumah itu, ia menghentikan Scooternya dan menitipkannya kepada sebuah warung. Kemudian ia berjalan kaki, kembali kerumah gedung kuno yang kelihatan menyeramkan dan sunyi. Dengan keahlian seorang pencuri ulung, Detektif Bharoto berhasil memasuki rumah itu melalui tembok samping yang dipanjatnya. Untung baginya dirumah itu tidak terdapat anjing yang tentu akan menyukarkan penyelidikannya. menyusup-nyusup dan akhirnya dapat nmengintai ruangan besar yang berada dibelakang, dari mana ia mendengar suara orang bicara.
Pemandangan didalam ruangan ini membuat ia terbelalak keheranan. Serasa berhenti detik jantungnya ketika ia mengintai kedalam melalui celah-celah daun jendela. Ruangan itu lebar, ada sepuluh meter persegi. Ditengah ruangan terdapat sebuah meja panjang seperti meja makan, dan tiga orang laki-laki berdiri mengelilingi meja panjang itu, yang membuat Bharoto terbelalak kaget adalah melihat seorang gadis yang telentang diatas meja itu. Linda! Gadis yang ia bayangi tadi sekarang telah rebah telentang diatas meja, pakaiannya koyak-koyak sehingga tampak pakaian dalamnya. Paha putih yang tampak dibalik gaun tersingkap dan dibelenggunya kaki dan kedua tangan memberi gambaran seakan-akan seekor domba yang akan disembelih.
Gadis itu menangis perlahan-lahan, terisak-isak. Dengan gerakan otomatis Bharoto sudah mencabut pistolnya, akan tetapi ia masih tidak bergerak dari tempatnya, sepasang matanya memandang penuh perhatian kepada tiga orang laki-laki itu. yang dua orang dikanan-kiri meja panjang, adalah dua orang tinggi besar, tipe penjahat kasar dan kejam, usia tiga puluhan. Jelas tampak pistol terselip di ikat pinggang mereka. Adapun orang ketiga, yang berdiri dikepala meja, dekat dengan muka Linda, adalah seorang laki-laki pendek gemuk yang tersenyum sinis dan Bharoto segera dapat melihat sinar kejam luar biasa pada muka yang dicukur licin itu. Suara laki-laki gemuk pendek ini perlahan, agak berdesis kalau menyuarakan huruf "s"
Seperti kebiasaan orang Inggeris.
"Kau sangka aku tidak tahu akan akal busukmu, ya?"
Terdengar si gendut itu berkata.
"Kau sengaja meninggalkan jejak di Yogya supaja Detektif konyol itu dapat menyusulmu kesini, ya?"
"Tidak..., tidak..."
Diantara isaknya gadis itu menyangkal,
"Tanpa kusengaja aku bertemu dengan Sundari. Stewardess itu memang bekas temanku sekerja. Tidak, bung Abas, mana aku berani menghianatimu?"
Gadis itu terisak sejenak, lalu berkata lagi.
"Apa perlunya aku mengharapkan dia datang? Kalau kita tertangkap, akupun akan celaka, bukan? Kalau betul aku jatuh cinta seperti yang kau sangka tadi, masa aku bersusah-payah melepaskan diri daripadanya di Solo?"
Tangan yang gemuk itu menampar. Plak! Pipi yang berkulit halus putih itu ditamparnya!
"Setan betina! Kau kira aku tidak tahu? Kalau kau tidak tergila-gila kepada Detektif tengik itu, kenapa kau tidak membunuhnya pada saat ia sudah tidak berdaya? Huh, dasar kau! Hayo mengaku saja, kau tentu sudah bersekongkol dengan dia maka dia bisa mengikutimu sampai ke Jakarta."
"Tidak sungguh mati..."
Sementara itu tangan Bharoto gatal-gatal jari tangannya hendak menarik pelatuk pistol, memberi hadiah kepada si gendut. Kiranya Linda adalah kaki-tangan si gendut ini. Ia menyabarkan hatinya hendak mendengarkan terus.
"Kau tidak mau mengaku? Minta dipaksa?"
Si gendut mengeluarkan sebuah pisau belati mengkilap dari sakunya dan pisau itu diamang-amangkan dimuka hidung Linda,
"Ja.. jangan... bung Abas..."
Gadis itu membelalak dan berseru penuh ke-ngerian,
"Kau selalu menjauhkan diri dariku, huh, menganggap terlalu cantik untukku, ya? Sebaliknya kau main gila dengan Detektif konyol itu. Aku masih tidak akan perduli kau main gila dengan laki-laki yang manapun juga, bagiku masih banyak perempuan didunia ini, jauh lebih cantik daripadamu. Tapi kau menghianati aku, dan seharusnya kau mati. Tapi aku lebih suka melihat kau hidup dengan hidung buntung, Heh-heh, hendak kulihat apakah kau masih akan tetap cantik dan apakah Detektif konyol itu masih akan suka melihatmu, heh-heh!"
Pisau itu bergerak keatas.
"Angkat tangan!"
Bharoto meloncat memasuki jendela dan menodongkan pistolnya, Gerakan tangannya begitu mantap dan suaranya, amat berpengaruh. Tiga orang itu membalikkan tubuh, tak dapat bergerak lagi karena mulut pistol ditangan yang kuat itu sudah siap memuntahkan peluru yang takkan mungkin nyasar daripada bidikannya. Si gendut itu tiba-tiba tertawa dan kagetlah Bharoto. Ini menandakan bahwa la telah masuk perangkap. Betul saja kekuatirannya karena dari kanan-kiri terdengar suara hampir berbareng.
"Detektif dusun, lepaskan pistolmu, Kalau kami akan menembak!"
Dengan kerling matanya Bharoto melihat laras senjata otomatis muncul dari lubang, dan pemegang senjata itu tentu berlindung dibalik tembok. Ia telah dikepung dari kanan-kiri oleh orang-orang yang berlindung dibelakang dinding sehingga metawan berarti buntth-diri. Andaikata penodongnya itu tidak berlindung dibalik dinding, ia masih sanggup untuk menghadapi mereka. Akan tetapi hal yang membuat ia lemas dan cepat melepaskan pistol dari tangannya adalah ketika ia melihat Linda yang tadi terbelunggu, sakarang sudah duduk, dan ternyata kaki-tangannya itu tidak dibelenggu sungguh-sungguh. Buktinya gadis itu dengan mudah dapat, melepaskan tali-tali pengikat itu, membereskan gaunnya dan dengan senyum mengejek turun dari meja, berdiri dibelakang si gendut yang bernama Abas Itu!
"Damned (terkutuk)!"
In menyumpah dan ingin ia menampar kepalanya sendiri karena kebodohannya. Kiranya semua itu tadi hanya sandiwara belaka, mempergunakan keahlian dara manis itu beracting (main sandiwara) sehingga perhatiannya terpecah dan sampai tidak tahu bahwa ia terpancing kedalam perangkap dan dikepung dari kanan-kiri. Sekali lagi ia jatuh oleh kecerdikan dara itu. Ataukah yang membuat ia mudah jatuh Itu adalah kejelitaannya? Hemm, benar pandai memakai akal memamerkan paha segala macam! Memang, kalau tidak begitu, agaknya ia akan menaruh curiga tadi.
"Ha-ha-ha, mister (tuan) Abas, kau telah membuat lelucon yang tidak lucu! Saya memang Detektif Bharoto dari Solo, membayangi nona Eva Srimurti ini ke Jakarta karena in mencurigakan dan kelihatan mengadakan pertemuan dengan seorang Hongkong sebelum orang itu terbunuh. Kulihat tadi ia terancam, terpaksa saya turun-tangan hendak menolong. Kiranya hanya permainan sandiwara belaka, Hm... memang aku konyol dan goblok! Tapi, apakah yang hendak kau lakukan kepadaku? Membunuhku? Ha-ha, kau takkan berani. Kalau kau bukan si pembunuh orang Hongkong dan tukang becak, kau tentu takkan membunuhku. Kalau benar kau pembunuh mereka itu, memang mungkin kau membunuhku, akan tetapi, teman-temanku tak jauh dari sini!"
Sengaja Bharoto bicara panjang untuk mencuri waktu dan kesempatan, akan tetapi ia sudah dapat menduga bahwa tentu si gendut ini yang mengepalai perkumpulan jahat yang telah membunuh orang Hongkong dan tukang becak di Solo itu. Ia merasa yakin akan hal ini ketika melirik kepada dua orang yang menodongnya dari kanan-kiri dan yang kini telah muncul lalu yang seorang menggeledah pakaiannya.
Mereka itu adalah seorang laki-laki jangkung dan yang seorang lagi pendek berkumis tipis. Inilah dua orang yang pernah mengunjungi Silir! Ia dapat merangkai peristiwa di Solo itu sekarang, Tiga orang ini, si dara jelita, si jangkung dan si kumis tipis adalah kaki tangan Abas ini, datang ke Solo membunuh tamu Hongkong. Kemudian tukang becak dibunuh pula untuk melenyapkan saksi. Akan tetapi apa motifnya? Mengapa orang Hongkong itu dibunuh? Orang Hongkong itupun seorang gangster (penjahat), apakah balas dendam? Memperebutkan sesuatu? Orang Hongkong itu membawa sebuah bungkusan seperti buku ketika meninggalkan hotel, dan Linda dengan kopor mesin tulisnya itu! Bharoto melirik jam tangamya. Baru jam delapan malam. Terdengar deru mobil lewat di jalan depan rumah.
"Mereka takkan berani menembak"
Pikirnya. Dilihatnya Abas si gendut itu memberi isarat dan berkata,
"Bawa pergi, bereskan ditempat aman!"
Mendengar suara ini, tahulah Bharoto bahwa ia berhadapan dengan seorang Malaya. Tadi Abas memang dapat mempergunakan logat bahasa Indonesia Jakarta, akan tetapi sekarang, agaknya dalam suasana tegang, kepala penjahat ini tak dapat mencegah munculnya logat bahasa daerahnya sendiri.
Sedetik cukup bagi Bharoto untuk bergerak, Bagaikan anak panah terlepas dari busurnya, ia sudah menubruk maju, menerjang si gendut itu yang hendak dibekuknya dan dijadikan tawanan untuk mengundurkan anak buahnya yang empat orang, lima dengan Linda itu. Terjangannya sama sekali tidak tersangka-sangka oleh Abas. Sebuah pukulan keras Bharoto bersarang diperutnya, membuat si gendut itu terjengkang mengaduh-aduh. Akan tetapi alangkah kaget hati Bharoto melihat si gendut itu seperti sebuah bal karet saja, sudah mencelat berdiri, malah menghadapinya dengan tendangan dan pukulan seorang ahli silat! Dengan geram Bharoto hendak menerjang lagi, akan tetapi sebuah Benda keras memukul kepalanya dari belakang. Kiranya tangkai pistol yang dipergunakan si jangkung untuk memukulnya.
Kiranya Bharoto sudah lama berhenti sebagai Detektif terkenal kalau ia tidak memiliki tubuh yang amat kuat. Sudah terlalu sering ia mengalami serangan-serangan dan pukulan-pukulan gelap. Tubuhnya sudah tergembleng hebat dan ia memiliki daya tahan seekor lembu jantan. Pukulan tangkai pistol pada kepalanya itu tentu saja dapat ditahannya dan hanya mendatangkan rasa nyeri dan pening sedikit. Namun Detektif ini seketika menjadi lemas dan senapas rintihan panjang keluar dari mulutnya ketika ia terkulai dan pingsan. Abas si gendut menghampirinya dan dua kali menendang dan membalikkan tubuhnya dengan kaki, akan tetapi Bharoto tetap "pingsan."
Ketika Detektif ini dengan hati-hati melirik dari balik bulu matanya, dan melihat Linda meninggalkan rumah itu dengan lenggang yang membuat ia ingin membuka lebar kedua matanya.
Akan tetapi segera ditindih saja perasaan ini dan kini kebencian memenuhi hatinya. Keparat, berkali-kali ia kena tipu oleh perempuan itu. Biar dia secantik bidadari, persetan! Awas, sekali waktu kau akan terjatuh ketanganku dan kau akan meringkuk dipenjara, menyesali kejahatanmu sampai menjadi nenek-nenek! Dengan kasar ia digusur keluar rumah, dilempar kedalam mobil dan sebentar kemudian mobil itu bergerak maju dengan cepat sekali. Didalam kegelapan ruangan mobil, Bharoto mengintai dari balik bulu matanya. Kiranya yang membawanya keluar adalah dua orang yang dulu disinyalir pergi ke Silir. Si jangkung memegang kemudi, dan si gendut berkumis tipis dengan wajah seperti peranakan arab itu duduk belakang, Menginyak dadanya dengan kaki kiri! Alangkah mengkal hati Bharoto, akan tetapi ia bersabar. Mobil VW ini terlalu cepat jalannya,
"Aneh sekali bung Abas, kenapa tidak sekali bidik menghancurkan benak Detektif konyol ini?"
Terdengar si kumis tipis menggerutu.
"Order ia order (perintah adalah perintah)"
Kawannya yang memegang kemudi menjawabnya,
"kita hanya melaksanakan. Kita bawa kemana baiknya?"
"Kemana lagi? Ke Sampur (Zandvoort), beres. Disana sepi."
Maklumlah kini Bharoto bahwa dua orang ini diberi perintah untuk "memberedskan"
Ditempat sunyi, untuk membunulmja tanpa banyak gaduh. Hemm, kalau begini masih ada harapan, pikirnya. Tentu mereka tidak berani mempergunakan pistol. Mobil itu membelok agak lambat. Tiba-tiba Bharoto memegang kaki si kumis tipis dan mendorongnya keatas.
"Heeeiii, aduhhh!"
Si kumis tipis jungkir-balik dan nyaris lehernya patah kalau ia tidak lekas memegangi kunci pintu mobil. Pintu itu terbuka dan bagaikan seekor bajing melompat, Bharoto meloncat keluar. Malang baginya, jalan disitu kasar penuh batu.
Baiknya ia tadi sudah melindungi kepalanya kedalam kedua lengan sambil bergulingan sehingga bajunya saja yang koyak-koyak dan kulit lengannya babak-belur. Mobil berhenti. Bharoto cepat bangkit berdiri, kepalanya agak pening dan melihat bahwa disitu terdapat sebuah jembatan, ia cepat berlari untuk mencari tempat berlindung, kuatir kalau-kalau dua orang penjahat itu akan mempergunakan senjata api. Akan tetapi, dua orang itu sudah turun dari mobil dan si kumis tipis langsung menyerang Bharoto dengan pukulan-pukulan keras. Bharoto masih pening, namun dapat menangkis, malah kepalan kirinya yang diayun dari belakang merupakan pukulan swing keras dan mampir didagu gendut itu. yang punya dagu terhuyung, tapi maju lagi dan menerjang lebih hebat saking marahnya. Bharoto kagum. Kuat juga orang ini.
"Whuutt, tar-tar!"
Lengan kiri Bharoto terasa pedas panas ketika ia menangkis cambuk yang digunakan oleh si jangkung untuk menyerangnya. Repot juga Bharoto menghadapi serangan cambuk ini, dan dalam perkelahian ini ia mendapat kenyataan bahwa kedua orang penjahat ini benar-benar jagoan dan amat kuat. Sambil mengelak dan menangkis ia mencari kesempatan untuk dapat sekali terjang merobohkan mereka. orang mulai berdatangan dan biarpun tempat itu sunyi akan tetapi melihat orang berkelahi, mulai berdatanganlah orang dari kanan dan kiri.
"Maling..., Copet...! Tangkap..."
Tiba-tiba si kumis tipis itu berteriak-teriak, diturut oleh si jangkung. Dan berlarianlah orang-orang itu dari kanan-kiri.
"Keparat jahanam!"
Bharoto menggerutu. Bandit ini memang cerdik. la bila dikerojok sebagai copet dan mati konyol.
Membantah dan memberi keterangan pada saat itu akan percuma. Cepat ia lalu menyambar langkan jembatan dan melompatinya. Pukulan tangan kanan si gendut meleset dipinggir kepalanya, tapi ia terpaksa harus menerima dua kali cambukan pada punggungnya sebelum ia berhasil meloncat turun kedalam sungai yang gelap. Orang itu tidak mengejarnya. Untung baginya. la dapat menduga bahwa dua orang bandit itu tentu merasa takut sendiri untuk mengelabui banyak orang terus-menerus dan tentu telah pergi dengan mobil mereka. Sambil menyumpah-nyumpah Bharoto berenang ditempat yang tersembunyi, tak jauh dari situ ia mendarat. Pakaiannya basah semua, badannya sakit-sakit namun semangatnya tak kunjung padam, bahkan makin bergolak untuk dapat menyingkap rahasia dan menghancurkan gerombolan gangster itu.
Dari sebuah rumah ia meminjam pesawat tilpun dan menghubungi Inspektur Bhono, minta agar secepat mungkin menggerebek rumah gedung kuno itu. Akan tetapi, seperti telah diduga dan khawatirkannya, rumah itu sudah kosong. Yang digerebek hanya sarang kosong, burung-burungnya sudah terbang pegi. Bhono membalapkan Vespanya ke Kebayoran, kerumah Linda. Juga disini kosong, malah ibu Linda juga tidak kelihatan lagi. Tidak ada yang ditinggalkan kecuali perabot-perabot rumah tak berharga. Bharoto sekali lagi kehilangan pegangan, kehilangan jejak. Akan tetapi gerombolan itu malah makin mengganas. Dari Inspektur Bhono ia mendapat kabar bahwa didalam hutan karet dipinggir jalan raya Bogor Jakarta terdapat mayat seorang laki-laki yang tidak dikenal, mukanya rusak sama sekali. Pembunuhan yang dilakukan oleh penjahat ulung dan keji.
Diantara sekian banyaknya penumpang yang turun dari Express Gayabaru di stasiun Jakarta-Kota, terdapat seorang wanita muda yang amat menarik perhatian. Melihat bentuk pakaian, gelung rambut, dan gerak-geriknya yang serba luwes, mudah diduga bahwa dia tentulah seorang "puteri solo."
Tangan kiri memegang tas merah, tangan kanan membetulkan letak selendangnya, wanita ayu ini melangkah seperti "macan luwe"
Diatas peron menuju keluar.
"Bade tindak pundi Jeng? (Hendak pergi kemana, dik)"
Seorang laki-laki berkacamata hitam, berkumis tebal, maju bertanya kurang ajar. Akan tetapi wanita itu sama sekali tidak kelihatan takut atau marah, bahkan mencibirkan bibirnya yang merah sambil berkata,
"Kok tanya-tanya mau apa to?"
"Mari saya antar, Jeng""
Laki-laki berkumis tebal berkacamata hitam itu tidak melanjutkan kata-katanya karena merasa lehernya dicengkeram lima buah jari tangan yang panjang-panjang besar dan kuat, dibarengi kata-kata perlahan marah,
"Bangsat cilik mau kurang ajar, ya? Kupatahkan tulang lehermu!"
"Wah-wah, jangan dong, Leher cuma satu mau dipatahkan, beli ditoko onderdil juga tidak ada, tahu?"
"Lhoo..., Bhar..."
Si raksasa yang kini melongo melepaskan cengkeramannya.
"Eh, Mas Bhar..."
Wanita ayu tadipun berseru,
"Ssttt, mari kekamar-tunggu."
Laki-laki berkumis tebal berkacamata hitam tadi bukan lain adalah Bharoto yang segera mengajak Alit dan wanita itu yang bukan lain adalah Wiwin, pelacur dan kembang Silir. Para penumpang lain yang menyaksikan adegan tanpa mendengar percakapan mereka ini tersenyum, mengira bahwa mereka bertiga sedang bergurau. Tidak ada orang yang memperhatikan Bharoto karena perhatian mereka tertarik oleh Wiwin yang denok ayu dan Alit yang mempunyai bentuk tubuh melewati ukuran itu. Setelah berada diruangan sunyi, Alit segera memegang tangan Bharoto,
"Bagaimana, Bhar? Baikkah hasilnya?"
"Lit, kau sudah sembuh? Sukurlah. Dan kau angin apa yang meniupmu ke Jakarta? Apakah kau mau beroperasi di Jakarta?"
Bharoto balas bertanya tanpa menjawab pertanyaan Alit,
(Lanjut ke Bagian 03)
Saputangan Berdarah, Serial Detektif Bharoto
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bagian 03
"Ih, Mas Bhar!"
Wiwin menjawab genit sambil mencubit.
"Dia dipanggil, Bhar. Kau tabu siapa yang panggil? Dua orang asing yang mengeroyokku itu!"
Seketika Bharoto menjadi serius.
"Begitukah? Win, bagaimana perintahnya?"
"Aku disuruh ke jembatan Semanggi, nanti jam enam petang. Akan dijemput."
"Bagus! Wah, kau benar-benar bocah ayu (anak cantik)!"
Serta merta, didepan Alit, Bharoto merangkul dan mencium pipinya. Melihat ini, Alit sampai melongo keheranan, bahkan Wiwin sediri juga memandang heran, sungguhpun hantinya girang karena telah lama ia merindukan belaian Detektif muda yang dikaguminya itu dan belaian ini baru pertama kalinya.
"Lagi, Mas..."
Bisiknya manja.
"Hushh, cukup. Malu kan, dilihat Alit"
Bharoto berkelakar.
"Win, dengar baik-baik. Kau mau membantuku, kan?"
"Tentu saja, Mas Bhar. Apa yang harus ku lakukan?"
"Kau cepat keluar dari sini, dan hari ini kau boleh melancong ke Pasar Baru, ke Sarinah. menanti sampai sore. Kemudian kau pergilah ke Jembatan Semanggi seperti yang diperintahkan itu. Kami berdua diam-diam akan membayangimu, Eh, tahukah kau mengapa kau dipanggil mereka?"
Wajah ayu itu agak memerah. Biarpun seorang pelacur, namun Wiwin tergolong pelacur halus, masih mempunyai rasa malu.
"Entahlah, Mas katanya karena mereka rindu kepada ku. Mereka mengirimi sepuluh ribu rupiah. Karena ingat bahwa kau menyelidiki mereka, maka aku lalu menghubungi Mas Alit ini yang kebetulan sudah sembuh dan hendak ke Jakarta. Sebetulnya aku agak takut ke Jakarta, maka Mas Alit kuajak bareng."
"Waduh, pantas saja Alit kelihatan segar. Biasanya tentu ngantuk kalau naik kereta api."
Bharoto menggoda.
"Hah! Rusuhh!I"
Alit membentak. Sejenak mereka tertawa gembira, tapi keadaan menjadi serius lagi ketika Bharoto bicara :
"Nah, Win. Kau berangkatlah sekarang, kau sewa taxi saja. Kemana rencanamu?"
Wajah yang ayu itu mengingatingat.
"Pertama kerumah bibi di Laksa, dan sore nanti saja ke Sarinah, kemudian jam enam ke jembatan Semanggi."
"Baik sekali. Ini, Win, bawalah untuk tambah bekal."
Bharoto mengeluarkan dompet uangnya.
"Tak usah, Mas. Pemberian dari Jakarta masih cukup banyak. Laginya, aku hanya mau membantumu kalau upahnya bukan uang."
"Habis, apa?"
Sambil mengerling genit Wiwin berkata,
"Seperti tadi itu lho."
"Walah, genit kau!"
Dan ketiganya tertawa lagi. Ketika Wiwin keluar dari stasiun, menyewa taxi menuju ke Laksa, dari belakang Bharoto membonceng Scooter yang dikendarai Alit, mengikuti taxi itu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Bharoto untuk bercerita kepada Alit tentang semua pengalamannya.
"Jadi kepala. gerombolan itu adalah Abas si gendut?"
Tanya Alit.
"Tampaknya begitu. Akan tetapi aku belum mendapat kesempatan untuk meneropong sedalamnya keadaan gerombolan itu. yang jelas, Linda atau Eva Srimurti itu adalah pembantu yang paling cerdik. Mereka menghilang tak meninggalkan jejak sama sekali, Lit. Untung Wiwin datang memberi pegangan baru!. Wah, kalau dia tidak muncul, aku tentu masih berkeliaran meraba dalam gelap."
"Ha, pantas saja kau begitu girang sampai menciumnya!"
"Benar, Lit. Aku girang sekali dan bukan itu saja. Aku sengaja mencumbunya agar ia berbesar hati dan mau membantu kita sungguh-sungguh. Aku hendak mempergunakan Wiwin sebagai umpan untuk memancing keluar mereka itu. Tentu aku selalu mereka bayangi. maka terpaksa aku harus menyamar seperti ini."
Saputangan Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Wah, akupun sudah mereka kenal, Bhar. Jangan-jangan..."
"Tak usah khawatir. Yang pernah melihatmu hanya dua orang itu, dan andaikata mereka membayangimu, kitapun akan mengenal mereka. Bahayanya berada dikedua fihak. Mereka takkan berani. Ajoh cepatan sedikit, tuh taxinya sudah jauh. Dekati, Lit, siapa tahu sopir taxi itupun kaki-tangan mereka."
Petang hari itu tepat jam enam, Wiwin sudah berjalan-jalan ditepi jembatan Semanggi. Sebuah mobil Fiat berhenti didekatnya dan kepala seorang laki-laki terjulur keluar jendela.
"Dik Wiwin... Wiwin menoleh dan berdehar jantungnya ketika ia melihat bahwa yang mengendarai mobil adalah si jangkung sedangkan yang berada dibelakang adalah sikumis tipis yang dulu mengunjunginya di Silir. Ia memaksa senyum manis, lalu mengham dan memasuki mobil yang sudah dibuka pintunya oleh si kumis tipis. Terdengar suara ketawa gembira ketika mobil itu meluncur pergi dengan cepat. Jauh dibelakangnya, sebuah Toyota membayangi Fiat ini. Penumpangnya tentu saja Bharoto dan Alit.
"Mudah-mudahan kali ini kita berhasil" Bharoto berkata perlahan.
"Catat nomornya itu, Bhar."
"Tidak perlu, tentu palsu."
Mobil Fiat itu menuju luar kota, ke jurusan Pasar Minggu. Di jalan yang sunyi terdapat sebuah rumah yang bentuknya seperti perusahaan tenun. Kepekarangan rumah inilah mobil itu masuk. Dari jauh Bharoto menghentikan Toyota dan bersama Alit ia melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki menyelinap diantara bayang-bayang pohon. Mereka mengambil jalan memutar, memasuki pekarangan itu dari belakang. Dengan bekal anak kunci palsu, mudah saja Bharoto membuka pintu belakang. Seperti dua orang pencuri ulung, mereka, berindap-indap masuk. Terdengar suara ketawa gembira dibagian tengah rumah itu. Akan tetapi Bharoto tertarik oleh gudang dibelakang, mengajak Alit menyelidiki tempat ini. Gudang itu setelah dapat mereka masuki, ternyata hanya terisi peti kertas dari luar negeti. Diujungnya terdapat anak tangga. Kiranya gudang ini bertingkat. Didekat anak-tangga terdapat pula beberapa buah peti yang isinya tinta-tinta cetak pelbagai warna.
"Agaknya percetakan"
Bisik Alit.
"tapi mana mesin cetaknya?"
Bharoto teringat akan cerita Inspektur Bhono tentang uang kertas palsu. Kecurigaannya timbul dan ia mengajak Alit naik keatas melalui anak-tangga. Alit memanjat naik lebih dulu dan begitu tiba diatas, dimana terdapat ruangan yang diterangi sebuah lampu lima puluh watt, ia berbisik,
"Wah, percetakan komplit...!"
Bharoto bergegas naik. Sekali pandang tahulah ia bahwa tempat itu memang dipergunakan untuk mencetak. Terdapat hanya sebuah mesin cetak disitu, sebuah mesin cetak otomatis ukuran kecil. Terdapat pula mesin-mesin potong dan alat-alat lain yang serba komplit buatan luar negeri. Tumpukan kertas diatas meja dan kaleng-kaleng tinta cetak disana-sini. Keduanya cepat mendekat dan memeriksa.
"Fiuujjjj, cetak uang!"
Hampir Alit berseru keras saking kaget dan herannya. Akan tetapi Bharoto tidak kaget, juga tidak heran karena tadi ia sudah setengah menduganya. Sambil memeriksa cepat, pikirannya diputar merangkai. Kiranya gerombolan gangster itu adalah pemalsu-pemalsu uang kertas Indonesia! Tentu ada hubungannya dengan James Que alias Thomas J. Chia yang ternyata juga seorang ahli pemalsu uang. Akan tetapi mengapa James Que dibunuh?
"Lit, cepat kau menghubungi Inspektur Bhono, sekaranglah saatnya kita menggerebek mereka. Bukti-bukti komplit disini."
"Tapi bukti tentang pembunuhan orang Hongkong itu...?"
"Ah, hal itu tidak begitu penting. Ini lebih penting, pemalsuan uang negara kita. Cepat! Aku menanti disini."
Biarpun tubuhnya sebesar gajah, namun Alit dapat bergerak cepat dan lincah.
Tanpa mengeluarkan suara ia menuruni anak-tangga itu dan menyelinap keluar dari pintu belakang, kemudian berindap-indap pergi meninggalkan rumah itu untuk menghubungi Inspektur Bhono. Bharoto melanjutkan penyelidikan dan pemeriksaannya. Sudah banyak juga hasil cetakan, tidak kurang dari lima puluh ribu lembar taksirannya, lima puluh ribu lembar uang kertas seratus rupiah. Tapi belum selesai, sedikitnya masih kurang dua warna atau dua kali cetakan lagi. yang hampir jadi ini saja sudah lima juta rupiah uang palsu! Belum turmpukan yang baru dicetak sekali, entah berapa juta. lembar! Hebat! Kalau uang kertas palsu ini semua tersebar dalam peredaran, celakalah! Tiba-tiba terdengar suara. Secepat kilat Bharoto membalikkan tubuh dan entah kapan mencabutnya, tangan kanannya sudah memegang pistolnya. Akan tetapi dari kanan-kiri tampak dua orang meloncat dan menubruknya.
"Pencuri!"
Teriak seorang diantara mereka. Bharoto tidak jadi menggunakan pistolnya. Bisa berbahaya karena hal itu akan mendatangkan banyak lawan. Dengan tangkas kakinya menyambar seorang penyerang dari kanan. Ngekk! Orang itu mengaduh dan terhuyung mundur menekan perutnya. Bukan main sakitnya. Agaknya usus buntunya terkena ciuman ujung sepatu Bharoto, membuat isi perutnya. serasa melilit-lilit dan mukanya menyeringai seperti orang setengah tertawa setengah menangis. Penyerang kedua dari kiri menerima selamat datang dari kepalan kiri Bharoto, tepat mengenai leher. Kekk! Orang itu terputar-putar memegangi leher. Agaknya kalamenjingnya yang kena pukul sampai minger. Tapi datang lagi tiga orang yang serta-merta menyerbu yang tiga baru ini lebih kuat, gerakan mereka lincah dari pukulan mereka keras.
Seorang seperti seorang ahli tinju, yang dua lagi agaknya pandai pencak silat. Sebuah tendangan kilat menyerempet tangan kanan Bharoto, membuat pistolnya mencelat entah kemana. Terpaksa Detektif ini menghadapi lima orang pengerojoknya dengan pengerahan semua kepandaiannya. Ia bertangan kosong dan lima orang pengerojoknya itu kini semua memegang belati, yang seorang memegang penggada dan dua orang lagi memegang palu, agaknya mereka pungut dari meja percetakan itu. Ia melihat gemerlapnya dua buah pisau itu inenerjang dari kanan-kiri. Bharoto menggeser kaki mengelak, melihat sebuah pisau menyambar dekat lambungnya, sikunya bekerja menekan dan menyikut. Tangan kanannya bekerja dengan sebuah pukulan karate mencoba memasuki perut.
Tapi lawannya cukup gesit sehingga sabetan karate ini tidak mengenai tepat, hanya menyerempet pinggang yang cukup membuat orangnya mengaduh-aduh dan mundur. Palu menyambar dari belakang mengarah kepala, tentu saja Bharoto tidak mau memperkenalkan kepalanya dengan palu itu, sedikit miringkan kepala palu itu menyambar lewat, disusul palu kedua dan pisau belati seta penggada. Hujan senjata mengancam tubuhnya,
"Heeiiiiittt"
Bharoto mengeluarkan seruan dan tahu-tahu tubuhnya seperti lenyap seketika karena ia secepat kilat merendahkan diri dan menyusup kebawah selangkang kaki seorang lawan disebelah kanannya, kemudian cepat berdiri sambil menangkap paha orang itu. Saat ia memutar tubuh itu kebelakang, dua orang lawan terjengkang kena hantam tubuh kawannya sendiri. Bharoto menggunakan tangkapan yudo memutar-mutar orang itu, dipergunakan sebagai senjata!
Kemudian ia melemparkan orang itu kearah dua orang lagi yang tertimpa dan jatuli tunggang-langgang saling timpa! Betapapun juga, Bharoto harus menghadapi empat orang lagi. Orang yang tadi ia pakai sebagai senjata tak dapat bangun lagi karena kepalanya "penyok"
Bekas terbentur tubuh kawan-kawan sendiri dan yang terakhir sekali ketika dilemparkan jidatnya mencium ujung peti. Untuk sementara ia takkan dapat ikut berpesta mengerojok Detektif itu. Akan tetapi Bharoto tidak gentar. Ia seorang ahli dalam perkelahian dan banyak macam ilmu berkelahi sudah ia pelajari. Ia ahli dalam ilmu silat pencak, tinju, karate dan yudo disamping tubuh yang kuat dan daja tahan yang meangagumkan. Sungguhpun ia tidak sekuat dan sebesar Alit daja tahan tubuhnya, namun dalam hal ilmu berkelahi, si raksasa pembantunya itu banyak belajar daripadanya.
"Dia si Detektif konyol! Tangkap!!"
Tiba-tiba seorang diantara mereka berseru dan Bharoto kini mengenal bahwa dua diantara mereka adalah si jangkung dan si kumis tipis yang pernah menyiksanya.
"Beritahu bung Abas...!"
Teriak pula si jangkung. Bahaya, pikir Bharoto. Tapi ia tidak kecil hati karena ia percaya bahwa andaikata ia tertawan, masih ada Alit yang tentu akan segera datang membawa bala bantuan, yang penting menghajar bajingan-bajingan ini, pikirnya. Empat orang itu sekaligus kini menubruknya. Bharoto menggunakan lengannya untuk menangkis dan mengelak, tapi tiba-tiba si kumis tipis yang lihai itu diam-diam telah menyelinap kebelakangnya. dan sekali tubruk telah dapat menyekapnya dengan pitingan mengunci. Kedua lengan yang pendek itu seperti dua ekor ular saja tadi telah menyusup kebawah kedua lengan Bharoto, lalu menelikung leher. Inilah pitingan "kunci"
Yang sukar dipecahkan sehingga yang terkunci lehernya dalam keadaan seperti itu sukar untuk melepaskan diri lagi.
"Haaa, sudah kutangkap dia..."
Hekkk! Whrrr! Si kumis tipis terpaksa menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba kaki kanan Bharoto menyepak kebelakang seperti gerakan kaki kuda, tumit kaki Bharoto memberi ciuman mesra pada perut gendut itu dan pada detik berikutnya selagi si kumis tipis belum sempat bernapas, Bharoto dengan gerakan menggentak menekuk tubuhnya kedepan sambil menjungkitkan pantatnya keatas. Tak dapat dicegah tubuh si kumis tipis yang pendek gemuk itu melayang, yaitu bagian kaki dan perut, sedangkan bagian atas karena kedua lengannya masih mengunci leher Bharoto, tertahan sehingga,
"Krekk!"
Lengannya terlepas kunciannya setelah mendapat hadiah patah sambungan tuIang pundak kirinya! Tubuh itu roboh berdebuk lalu ngorok seperti babi disembelih, menggeliat-geliat perlahan tak dapat bangun lagi. Bharoto mengusap leher yang terasa sakit. Tangannya berdarah. Kiranya dalam pengeroyokan tadi kulit lehernya keserempet senjata lawan sehingga berdarah, tapi tidak dirasainya, Melihat darahnya sendiri, Bharoto menjadi marah. Seperti seekor harimau, tubuhnya menerkam maju dan seorang pengeroyok yang kurang cepat menghindar dapat ditangkapnya. Tangan kiri menangkap pergelangan tangan kanan yang memegang penggada, tangan kanan mencengkeram leher!
"Angkat tangan, Bharoto!"
Tiba-tiba terdengar suara Abas Dinamit diambang pintu. Kiranya si gendut ini sudah datang dan serta-merta mengacungkan pistolnya kearah Bharoto. Bharoto mencibirkan bibir mengejek, secepat kilat membalik dan otomatis tubuh tawanannya itu berada didepannya sebagai perisai, lalu dengan gentakan tenaga ia melemparkan tubuh itu kearah si gendut sambil tubuhnya sendiri menerkam maju. Kasihan si gendut Abas Dinamit. Ia menjadi gugup ketika tiba-tiba seorang kawannya sendiri menubruknya, tentu saja tidak berani menembak dan dengan kedua lengannya ia mendorong kawannya itu, tapi ia sendiri terhuyung kebelakang. Pada saat itu, Bharoto sudah menubruk maju, sekali pukul pistol itu terlepas dan sebuah upper-cut (pukulan ilmu tinju dari bawah keatas) mampir didagu jarg gemuk itu, membuat Abas terpelanting!
"Belum kau hentikan juga aksimu, Mr. Detektif (tuan Detektif)?"
Tiba-tiba terdengar suara yang bernada dingin, membuat bulu tengkuk Bharoto meremang karena ia maklum bahwa orang dengan nada suara demikian tentu seorang kejam luar biasa dan merupakan lawan berat. Ia mengerlirg dan melihat seorang laki-laki berdiri di ambang pintu sebelah kiri. Orang ini berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, sikapnya sembarangan, akan tetari tangan kanan yang memegang pistol itu tampak teguh dan gayanya seorang ahli tembak kelas satu! Laki-laki itu bertubuh tegap tinggi, rambutnya dipotong pendek model mahasiswa. mukanya putih seperti kertas. Hemmm, memakai kedok yang luar biasa pikir Bharoto. Bibirnya mengejek dan disitu tergantung sebatang rokok Triple Five (555). Tak mungkin menerjang orang ini seperti yang ia lakukan kepada Abas si tolol. tadi. Heran dia. Bukankah Abas Dinamit ini kepala gerombolan?
"Mr. Fox (Tuan Fox), dia inilah Detektif konyol Bharoto dari Solo,"
Terdengar penjahat jangkung keturunan Cina.
"Shut up (tutup mulut)! Kalian orang-orang pandir, menangkap seorang lawan saja tidak becus,. Well, Mr. Bharoto, pleased to meet you face to face (senang hatiku bertemu muka dengan tuan)! Sudah lama mendengar nama besar anda."
Bharoto tercengang. Baru sekarang ia tahu. bahwa si Abas Dinamit itu sama sekali bukanlah kepala gerombolan ini, dan Big Boss (kepala bandit) sesungguhnya adalah orang bermuka pucat atau si kedok rahasia inilah! Namanya Mr. Fox! Nama yang cocok bagi seorang penjahat besar. Fox artinya musang, binatang yang licik. Bharoto menentang sepasang mata yang kebiruan, bukan mata orang Indonesia, bukan mata orang Asia. Kiranya orang Barat, tentunya dengan otak dan inteligensia (inteligence) orang barat pula.
"Hands up (angkat tangan), Mr. Bharoto dan mari ikut kebawah, menjadi tamu kami. Linda dear, inikah orangnya yang kau katakan cerdik pandai itu? Ha-ha-ha, handsome and nice fellow (bujang tampan dan manis). A playboy (pengejar wanita), he?"
Bukan main marah dan mendongkolnya hati Bharoto. Ingin dengan sekali lompatan ia menjotos hidung orang itu, akan tetapi iapun maklum bahwa tangan yang memegang pistol otomatis dan tertutup alat pembungkam suara itu takkan ragu-ragu dan takkan meleset untuk menembaknya mati konyol disaat itu juga. Terpaksa ia mengangkat kedua lengannya keatas sambil melirik kearah Linda yang muncul dibelakang orang itu. Gadis jelita itu kini memakai gaun merah seperti pada pertama kali dilihatnya, manis dan cantik, dengan tubuh denok menggairahkan. Ketika Linda atau Eva Srimurti itu lewat di dekat Abas Dinamit, dengan bibir manis itu tersenyum mengejek berkata,
"Abas, bualmu hari ini terbukti kosongnya!"
.".. Maaf, Miss Linda saja saja kurang hati-hati tadi..."
Kata Abas merendah kepalanya tunduk. Makin panas perut Bharoto.
Jelas sekarang bahwa dahulu itu, ketika Linda telentang diatas meja panjang diancam Abas Dinamit, semua hanyalah sandiwara yang agaknya diatur oleh Linda seorang, karena terbukti sekarang bahwa Abas berada dibawah Linda tingkat kedudukannya! Melihat sikap para penjahat ketika orang berkedok rahasia ini tadi muncul, tampak kaget dan tak menyangka, Bharoto mengambil kesimpulan bahwa tentu munculnya tokoh besar itu memang tidak tersangka oleh mereka. Agaknya Big Boss ini sekarang muncul sendiri untuk menghadapinya. Pantasnya biasanya semua urusan diserahkan kepada Linda dengan bantuan Abas Dinamit. Dengan kedua tangan terangkat keatas Bharoto didorong turun dari loteng menuju keruangan dalam yang lebar. Dilihatnya Wiwin sudah duduk diatas kursi dengan muka pucat dan seorang penjahat menjaga dibelakangnya dengan sebuah pistol ditangan.
Wah, Wiwin juga menjadi tawanan! Pelacur dari Silir itu memandang kepada Bharoto dengan mata penuh kegelisahan dan Bharoto melempar senyum kepadanya. Bharoto berdiri dihadapi tujuh orang laki-laki dan Linda. Matanya melirik. Para penjahat yang tadi ia robohkan sudah mengepungnya kini, sikap mereka penuh dendam, mengancam. Hanya Mr. Fox king tenang-tenang saja, seperti sikap seekor kucing hendak mempermainkan tikus, dan dia tikusnya. Ia menentang pandang mata Linda dan hatinya berdebar. Tak salahkah penglihatannya Dara manis itu ketika bertemu pandang dengan dia, menghindar, malah dari sinar mata itu ia dapat menangkap rasa bingurg, menyesal dan malu. Benarkah ini? Bharoto sengaja tertawa mengejek dan matanya dengan berani dan kurang ajar menentang wajah Linda.
"Ha-ha-ha, dasar laki-laki harus jatuh oleh wanita. Eva Srimurti alias Linda, kukira tadinya kau seorang bidadari dari kahyangan, seorang dewi yang pribudinya seindah wajah dan tubuhnya. Pertama kali melihatmu di Triwindu hatiku sudah runtuh! Kemudian... hemm, tak dapat ku usir rasa nikmat yang sampai kini masih terasa dibibirku. Ha-ha, Kiranya aku, si Detektif yang konyol, tertipu mentah-mentah! Dan sekarang roboh oleh mu. Hem, kusangka intan biduri, Kiranya tablet kina. Kusangka bidadari, Kiranya si iblis-betina."
Dengan pandang mata tajam Bharoto melihat betapa wajah yang manis itu tiba-tiba menjadi pucat dan mata yang lebar itu memandangnya seperti mengandung permohonan.
"Ha-ha-ha!"
Bharoto sengaja menambah, tidak saja ini menjadi siasat uutuk meruntuhkan hati Linda, juga untuk mengulur waktu karena ia mengharapkan kedatangan Alit dan bala bantuan.
"Tak malu kau memamerkan paha dimeja, berpura-pura terancam bahaya, dan aku kembali terjebak. Ha-ha-ha, alangkah tolol, aku hendak menolongmu, padahal kau sengaja menjebakku kedalam perangkap busuk..."
"Linda darling, orang ini terlalu menghinamu. Biar kugantung dia, dan kusuruh hukum picis, dipotong sekerat demi sekerat sampai mampus. Mr. Fox dengan bahasa Indonesia yang lancar itu berkata.
"Dan dia ini, perempuan hina ini, juga diberi hukuman yang sama. Dia sengaja datang mengajak dua orang Detektif kampungan."
Ia menuding Wiwin yang lampak gementar.
"Sesudah itu baru aku akan menghukum si bebal yang mata keranjang, gila perempuan, mendatangkan seorang pelacur seperti dia ini kesini."
Sepasang mata kebiruan itu kini mengerling kearah si kumis tipis yang berdiri pucat dipojok. Ia ini masih menderita hebat karena tulang pundak kirinya terlepas sambungannya dan sekarang ia menjadi pucat ketakutan mendengar ancaman Mr. Fox yang misterius dan menakutkan itu.
Wiwin yang tadinya takut setengah mati, ketika melihat betapa Bharoto masih tersenyum-senyum, tiba-tiba timbul keberanian dan kemarahannya. Hatinya mengalami goncangan-goncangan hebat dalam beberapa menit ini. Pertama-tama melihat ditawannya Bharoto, kemudian hatinya panas mendengar betapa Bharoto seakan-akan membuka rahasia hati mengagumi kecantikan dara bergaun merah itu. Bharoto yang selama ini tak pernah melayani rayuannya, yang ia anggap sebagai seorang pria berhati es, sekarang didepannya mengaku jatuh hati kepada si gaun merah ini. Hati siapa takkan menjadi panas? Kemudian perasaannya terpukul lagi mendengar ancaman orang mengerikan yang mukanya seperti mayat itu, ancaman hukum picis dan digantung yang ditujukan kepada Bharoto dan dia mati bukan apa-apa, tapi dipotong sekerat demi sekerat?
Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo Darah Daging Karya Kho Ping Hoo Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo