Pendekar Mata Keranjang 17
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 17
Akan tetapi karena yang ditanya adalah suaminya maka ia pun diam saja, hanya memandang kepada suaminya dengan penuh perhatian. Hui Song juga terkejut. Ayahnya telah berterus terang di depan isterinya, hal ini merupakan desakan yang terakhir dan amat kuat, yang memaksa dia untuk mengambil keputusan, tidak seperti biasanya yang hanya dia elakkan dan tangguhkan saja. Diam-diam dia merasa kasihan kepada isterinya dan tidak berani menoleh untuk memandang wajahnya. Kalau mengingat isterinya dan cinta kasih di antara mereka, ingin rasanya dia meneriakkan keberatannya, namun untuk menolak dia pun takut kepada ayahnya yang dia tahu menganggap amat penting keturunan laki-laki yang amat diharapkannya itu. Maka dalam keadaan bingung dia menunduk dan berkata dengan suara lirih.
"Ayah, aku... aku tidak mempunyai pikiran untuk..."
"Hui Song!"
Cia Kong Liang membentak karena sejak tadi amarahnya sudah menyesak di dada dan dia menduga bahwa puteranya tentu menolak sehingga jawaban kalimat yang belum putus itu sudah dianggap sebagai penolakan.
"Apakah engkau ingin menjadi seorang anak yang put-hauw (tidak berbakti atau durhaka)? Ingat, sudah lama aku ingin mengundurkan diri dan menyerahkan kedudukan Ketua Cin-ling-pai kepadamu, akan tetapi selama engkau belum mernpunya seorang anak laki-laki, terpaksa aku tidak berani mengundurkan diri dan mengoperkan kedudukan pimpinan padamu. Aku hanya ingin engkau mengambil yang tadinya mengendap itu timbul dan mengeruhkan, keheningan air pun lenyap. Jadi yang penting bukanlah menekan kesibukan pikiran karena penekanan ini pun merupakan kesibukan lain lagi dari pikiran itu sendiri. Yang penting adalah menyelami dan mempelajari, mengamati kesibukan pikiran sendiri, bukan pengamatan dengan pamrih mendiamkan pikiran, melainkan pengamatan yang timbul dari kewaspadaan.
Tanpa penekanan dan perlawanan, tanpa adanya si aku yang menekan atau mengamati, tanpa adanya aku yang ingin melihat pikiran menjadi tenang, maka bagaikan kehabisan setrum, pikiran akan menjadi diam dengan sendirinya, bukan DIBIKIN diam. Kehidupan kita seolah-olah sejak kecil sampai tua sampai mati, dipenuhi dengan berbagai macam masalah dan persoalan. Masing-masing dari kita mempunyai masalah sendiri, menghadapi persoalan tertentu sendiri-sendiri, suka duka selalu menyelang-nyeling, susah senang menjadi pakaian sehari-hari. Semua ini bukan lain ditimbulkan oleh pikiran atau si aku olah jantungnya ditusuk-tusuk dan sejak tadi ia sudah menahan kemarahannya yang makin berkobar. Kini, mendengar suaminya melibatkannya, dan melihat betapa ayah mertuanya itu menanggapinya secara acuh saja, ia tidak tahan lagi.
"Ayah, apakah keluarga ini masih menganggap saya sebagai manusia, ataukah sebagai kertas pembungkus saja?"
Cia Kong Liang melebarkan matanya mendengar pertanyaan ini.
"Maksudmu?"
"Kalau saya dianggap kertas pembungkus, maka hanya dipergunakan dan dirawat sewaktu diperlukan saja, kalau tidak diperlukan lagi boleh dibuang begitu saja! Akan tetapi kalau diperlakukan sebagai manusia, kenapa saya tidak pernah diajak berunding? Saya adalah isteri Cia Hui Song, saya berhak untuk menentukan tentang dirinya!"
"Tapi... tapi aku yakin bahwa engkau tentu akan menyetujui kalau Hui Song mengambil seorang gadis lain sebagai isteri, untuk menyambung keturunan she Cia.."
"Saya tidak setuju!"
Teriak Sui Cin, kini tidak lagi bersopan-sopan, melainkan secara spontan mengeluarkan isi hati dan kemarahannya. Mendengar teriakan ini dan melihat sikap anak mantunya, Cia Kong Liang yang juga berhati keras itu seketika bangkit kemarahannya.
"Engkau... tidak berhak untuk menolak atau tidak menyetujui! Engkau hanya seorang isteri, hanya seorang anak mantu, yang harus patuh kepada suaminya, kepada ayah mertuanya!"
"Ayah, kapankah aku tidak pernah patuh?"
Teriak Sui Cin.
"Selama belasan tahun tinggal di sini, bukankah aku selalu patuh? Akan tetapi sekali ini menyangkut hubungan antara suami isteri. Aku tidak pernah bersalah kepada Hui Song, aku menjadi seorang isteri yang dicinta dan mencinta, kenapa tiba-tiba saja Hui Song harus menjadi milik wanita lain? Aku tidak mau membaginya dengan wanita lain! Aku tidak setuju kalau dia mengambil seorang wanita lain sebagai isteri ke dua!"
"Engkau tidak berhak melarang!"
Teriak Cia Kong Liang pula dengan sama marahnya dan menudingkan telunjuknya kepada muka anak mantu yang biasanya amat disayangnya itu.
"Engkau telah tidak mampu melahirkan seorang keturunan laki-laki!"
"Belum tentu kalau aku yang tidak mampu! Siapa tahu Hui Song juga tidak mampu mempunyai turunan laki-laki? Jangan hanya salahkan diriku seorang!"
Kedua mata Sui Cin sudah mulai basah dengan air mata, akan tetapi ia tidak menangis dan memandang kepada ayah mertuanya dengan mata terbelalak walaupun sudah basah bahkan air matanya mulai jatuh berderai.
"Kalau dia mengambil gadis lain, tentu dapat mempunyai keturunan laki-laki!"
"Mungkin saja! Kalau aku menikah lagi dengan pria lain juga mungkin saja aku melahirkan anak laki-laki! Akan tetapi, pernikahan antara kami, kalau tidak membuahkan anak laki-laki, itu bukanlah salahku, atau salah Hui Song. Jangan salahkan kepadaku Ayah, pendeknya aku tidak setuju kalau Hui Song menikah lagi!"
Ketua Cin-ling-pai itu menjadi marah bukan main. Belum pernah dia didebat dan ditentang orang seperti itu, apalagi kini yang menentangnya adalah anak mantunya sendiri. Hal ini merupakan Pukulan batin yang hebat, yang membuat dia marah bukan main dan dia sudah bangkit dari kursinya, mengepal tinju dan agaknya sudah siap untuk menyerang Sui Cin. Melihat ini, Sui Cin juga bangkit berdiri, siap untuk membela diri!
"Sui Cin, jangan..!"
Hui Song berteriak dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan ayahnyat membentur-benturkan dahinya di lantai.
"Ayah... Ayah, ampunkanlah isteriku, Ayah. Kalau Ayah hendak menjatuhkan hukuman, hukumlah aku. Ayah, tenanglah dan ampunkan kami."
Melihat ini, Cia Kong Liang sadar kembali. Dia tahu bahwa kalau dia menyerang Sui Cin dan mantunya itu melawan, dia bahkan akan kalah oleh anak mantunya yang lihai itu. Dan kalau sampai terjadi hal demikian, bukankah akan memalukan sekali dan nama besar Cin-ling-pai akan hancur sama sekali. Bayangkan bagaimana akan pendapat orang kalau mendengar bahwa Ketua Cin-ling-pai bentrok dengan mantu perempuannya, bahkan dipukul roboh oleh mantu perempuannya sendiri! Dia menjatuhkan dirinya lagi di atas kursi, napasnya terengah-engah dan mukanya masih merah sekali.
"Sudahlah, sekarang engkau boleh pilih. Engkau menuruti permintaan ayahmu, mengambil seorang gadis lain untuk menyambung keturunan she Cia, atau aku yang akan memungut seorang murid yang baik untuk menjadi putera angkatku, kuberikan she Cia kepadanya, kemudian dia kukawinkan agar dapat menyambung keturunan she Cia, walaupun secara memungut anak. Dan engkau... jangan harap lagi aku mengakuimu sebagai anak."
"Ayah..!"
Hui Song berteriak dan kini air matanya pun jatuh bertitik. Sui Cin menjadi semakin marah. Dianggapnya bahwa orang tua itu sungguh tidak adil dan keterlaluan. Maka, melihat suaminya menangis, ia pun segera berkata sambil memandang ayah mertuanya dengan pandang mata tajam.
"Ayah, kenapa Ayah begitu mendesak Hui Song? Kenapa tidak Ayah sendiri saja yang menikah lagi dan mempunyai seorang anak keturunan laki-Iaki yang lain?"
Mendengar ini, Hui Song, merasa mempunyai harapan untuk mengatasi persoalan itu.
"Itu benar, Ayah..."
"Diam...!"
Cia Kong Liang membentak penuh kemarahan.
"Ceng Sui Cin, jangan kau mengajukan usul yang gila!"
Baru sekarang sejak Sui Cin menjadi mantunya, dia menyebut nama mantunya itu dengan nama shenya, dan Sui Cin merasakan benar sebutan itu. Ia sudah mulai dianggap orang luar oleh ayah mertuanya ini!
"Bukan aku yang mengajukan usul yang gila, Ayah, melainkan Ayah sendiri yang mengajukan permintaan yang bukan-bukan."
"Cukup!"
Kembali Ketua Cin-lin-pai itu membentak.
"Sekali lagi, Hui Song, kau boleh pilih. Engkau menikah lagi dengan gadis lain untuk memperoleh keturunan she Cia, atau engkau tidak kuanggap sebagai anakku lagi dan boleh pergi dari sini dengan isteri dan anakmu."
Mendengar ini, Sui Cin juga berteriak,
"Cia Hui Song, dengarkan kata-kataku. Aku akan pergi bersama Kui Hong kembali ke rumah orang tuaku. Kalau engkau kawin lagi, kita tak perlu berjumpa kembali. Kalau engkau masih memberatkan kami, susullah kami ke Pulau Teratai Merah!"
Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Sui Cin sudah lenyap dari ruangan itu, keluar untuk mencari anaknya.
"Sui Cin...!"
Hui Song berkata dan dia pun terkejut bukan main, bangkit berdiri.
"Hui Song, kalau engkau tinggalkan ruangan ini, jangan harap akan dapat kembali kepadaku!"
Hui Song yang sudah bangkit itu, tersentak dan menoleh kepada ayahnya, kemudian menoleh ke arah pintu, hatinya terobek menjadi dua, tubuhnya menggigil dan tiba-tiba dia pun mengeluh dan terpelanting jatuh pingsan saking hebatnya Pukulan batin yang dideritanya. Tiada sesuatu yang abadi di dalam kehidupan ini! Perubahan terjadi setiap saat, seperti matahari yang tiba-tiba tertutup awan hitam sehingga dunia menjadi gelap. Hujan yang deras pun tiba-tiba dapat terhenti dan langit kembali menjadi terang. Bahkan perubahan yang paling hebat dapat saja setiap saat terjadi dengan tiba-tiba, yaitu kalau kematian datang menjemput. Orang yang selalu waspada akan memiliki kebijaksanaan untuk menerima segala sesuatu yang terjadi sebagai suatu kewajaran, sebagai suatu hal yang sudah semestinya terjadi, karena itu tidak akan mengguncangkan batinnya.
Bahkan kematian pun yang datang menjemput akan diterima dengan iklas, pasrah dan mulut tersenyum karena maklum bahwa dia tidak berdaya, tidak berkuasa, hanya menjadi anak wayang saja yang harus tunduk dan patuh terhadap peraturan yang dijalankan oleh Sang Sutradara! Dijadikan pemegang peran apa pun tidak penting, biar dijadikan raja atau pengemis, orang kaya atau orang miskin, pintar atau bodoh, sehat atau berpenyakitan. Tidak mengeluh kalau memegang peran rendah, tidak berlebihan gaya kalau memegang peran mulia, karena yang penting adalah menghayati peran itu, memainkan peran yang dipegangnya sebaik mungkin. Memegang peran apa pun juga, baik yang menang atau yang kalah, yang tinggi atau yang rendah, yang kaya atau miskin, pintar atau bodoh, kesemuanya itu hanya untuk sementara saja dan semua akan berakhir sama, yaitu tamatnya cerita atau kematian.
Karena maklum bahwa segala sesuatu, yang baik maupun yang buruk, tidak abadi, bahwa kehidupan sebagai roda, maka tidak akan mengeluh selagi berada di bawah dan tidak akan sombong selagi berada di atas. Demikianlah seorang yang bijaksana. Dapat dibayangkan betapa hancur rasa hati Cia Hui Song. Dia mengeluh panjang pendek, sampai tiga hari dia tidak mampu meninggalkan kamarnya, hanya rebah dengan gelisah dan menyesali nasibnya setelah dia mendekati usia empat puluh tahun itu. Hatinya ingin sekali pergi menyusul isteri dan puterinya yang pergi secara mendadak tanpa pamit lagi, hanya membawa buntalan pakaian saja. Dia tahu akan kekerasan hati dan keangkuhan isterinya, (Lanjut ke Jilid 16)
Pendekar Mata Keranjang (Seri ke 09 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 16
tentu isterinya itu mengajak Kui Hong untuk pergi ke Pulau Teratai Merah dan isterinya tidak akan kembali ke Cin-ling-san sebelum dia datang menyusul.
Akan tetapi, dia pun mengenal baik kekerasan hati ayahnya. Kalau dia nekat pergi, tentu dia benar-benar tidak akan diakui lagi sebagai anak dan ayahnya tak mungkin mau mengampuninya lagi. Terjadi perang di dalam batinnva dan dia membayangkan betapa ayannya akan menderita batin yang amat hebat kalau dia memaksa diri meninggalkan ayahnya. Ayahnya hanya mempunyai dia seorang, tidak ada lagi keluarga lain dan hanya kepada ayahnya memandang dan bergantung. Kalau dia pergi, mungkin hal itu akan menghancurkan hati ayahnya dan dia akan mempercepat kematiannya dan dia tentu akan merasa berdosa selama hidupnya kalau sampai terjadi hal seperti itu. Sebaliknya, isteri dan puterinya akan hidup aman dan terjamin kalau berada di Pulau Teratai Merah dan mudah-mudahan saja Sui Cin akan melunak perasaannya kelak.
Bagaimanapun juga, sebagai putera tunggal tak mungkin dia meninggalkan ayahnya, tak mungkin menjadi anak durhaka yang dikutuk ayah sendiri. Selain itu, dia pun harus menjaga nama dan kehormatan Cin-ling-pai, biarpun dia harus mengorbankan perasaannya yang seperti tertindih selalu dan semangatnya seolah-olah terbang mengikuti isteri d.an puterinya. Bagaikan seorang yang patah semangat, Cia Hui Song pendekar sakti itu menurut saja ketika ayahnya mencarikan seorang gadis untuk menjadi isterinya, untuk dapat memberi seorang putera penyambung keturunan Cia, keturunan keluarganya. Demi ayahnya, demi keluarga Cia, dia harus mentaati perintah ayahnya walaupun diam-diam hatinya hancur. Dia tidak mungkin dapat mencinta isterinya yang baru, seorang gadis berusia delapan belas tahun dari keluarga Siok, seperti cintanya terhadap Sui Cin.
Dia hanya merasa kasihan kepada isteri barunya, Siok Bi Nio, karena seperti sudah lajim pada jaman itu, gadis ini pun menjadi isterinya karena kehendak orang tuanya. Orang tua mana yang tidak akan merasa bangga kalau anak perempuannya menjadi mantu Ketua Cin-ling-pai, walaupun hanya menjadi isteri ke dua? Nama besar Cin-ling-pai akan mengangkat derajat keluarga Siok pula di samping kehidupan makmur yang akan dapat dinikmati oleh gadis she Siok itu. Demikianlah, Cia Hui Song menikah lagi tanpa dirayakan secara meriah karena sungguhpun dia tidak berani menolak kehendak ayahnya untuk kawin lagi, dia berkeras tidak mau kalau pernikahan itu dirayakan, melainkan terjadi secara sederhana saja dan hanya melakukan upacara sembahyangan sebagaimana mestinya tanpa mengundang banyak tamu.
Hati Kakek Cia Kong Liang puas dan girang sekali karena puteranya mau memenuhi permintaannya. Tanpa ada yang mengetahuinya, dia sendiri merasa amat berduka dengan kepergian Kui Hong tanpa pamit. Dia amat sayang kepada cucunya itu, bahkan ketika Kui Hong masih kecil, dialah yang menimang-nimang anak itu. Akan tetapi, sayang bahwa Kui Hong adalah seorang cucu perempuan dan kakek ini merasa prihatin dan bahkan malu kalau sampai puteranya tidak mempunyai anak laki-laki yang kelak akan menyambung keturunan keluarga Cia. Setelah Kui Hong pergi bersama ibunya tanpa pamit, dia merasa kehilangan dan sering kali, seorang diri dalam kamarnya, kakek ini menutupi mukanya dan menghapus beberapa butir air mata karena duka teringat akan cucu perempuan yang amat disayangnya itu.
Dia tidak merasa bersalah dalam urusan itu, merasa bahwa keputusannya itu sudah benar dan tepat, dan mantunyalah yang tidak tahu diri, yang tidak adil, tidak seperti para wanita lainnya yang tentu bahkan akan menganjurkan sang suami untuk mengambil isteri muda agar memperoleh keturunan laki-laki! Lebih gembira dan puas lagi hati Kakek Cia Kong Liang ketika setahun setelah Hui Song menikah dengan Siok Bi Nio, mantu perempuannya itu melahirkan seorang anak laki-laki. Harapannya dan dambaannya terkabul sudah! Keluarga Cia tidak akan putus, melainkan akan bersambung terus dengan lahirnya Cia Kui Bu, cucunya yang kedua itu. Maka, begitu cucu ini terlahir, Cia Kong Liang lalu mengundurkan diri dan mengangkat Cia Hui Song menjadi Ketua Cin-ling-pai!
Jabatan ini sedikit banyak menghibur hati Hui Song yang selalu teringat kepada Ceng Sui Cin dan Kui Hong. Kesibukan di dalam perkumpulannya menyita banyak waktu dan pemikiran. Dia bekerja keras untuk memperbaiki segala kekurangan dalam perkumpulan Cin-ling-pai, memperketat peraturan dan menambah latihan-latihan untuk menggembleng para anggauta dan murid agar kelak dapat mengangkat tinggi nama besar Cin-ling-pai. Bahkan dia sendiri terjun untuk melatih murid-murid kepala. Sementara itu, Cia Kong Liang mernperoleh pekerjaan baru yang mengasyikkan hatinya, dan merupakan hiburan pula padanya karena kini dia dapat mengasuh cucunya sebagai pengganti Kui Hong!
Kita tinggalkan dulu keluarga Cia di Cin-ling-san ini dan mari kita ikuti perjalanan Ceng Sui Cin dan anaknya, Cia Kui Hong. Pada hari itu juga, malam-malam setelah ia ribut mulut dengan ayah mertuanya, Sui Cin memanggil anaknya, dan Kui Hong terkejut sekali melihat ibunya berkemas dan melihat betapa di wajah ibunya ada tanda bahwa ibunya habis menangis.
"Ibu, ada apakah, Ibu?"
Tanyanya, hatinya tidak enak. Biasanya, ibunya selalu ramah dan suka bergurau, dan ia sendiri pun paling suka bergurau dan memandang dunia ini dengan sepasang mata berkilauan dan wajah berseri dan hati yang lapang dan terang. Akan tetapi, kini ibunya nampak murung dan kusut, maka ia pun tidak berani bergurau seperti biasa dan tidak berani merangkul, hanya menyentuh lengan ibunya sambil mengajukan pertanyaan itu. Dengan menahan tangisnya karena ia tidak mau memperlihatkan kelemahan terhadap anaknya, ia berkata,
"Kui Hong, engkau berkemaslah, keluarkan semua pakaianmu yang terbaik, kita pergi sekarang juga ke Pulau Teratai Merah."
Sejenak wajah yang manis itu berseri dan matanya terbelalak.
"Ke tempat tinggal Kakek dan Nenek di Laut Selatan?"
"Benar, cepatlah berkemas!"
Kata ibunya singkat.
"Horeee... kita pesiar ke lautan, ke tempat Kakek Ceng!"
Gadis itu berteriak dan bersorak seperti anak kecil saking girang hatinya. Baru dua kali ia berkunjung ke tempat yang jauh itu, dan yang terakhir kalinya ketika ia baru berusia sepuluh tahun. Kini ia telah berusia lima belas tahun, dan mengenang tempat yang indah sekali di pulau itu, dikelilingi lautan yang liar dan luas, ia merasa girang bukan main. Setelah mereka berdua selesai berkemas, Sui Cin yang sudah selesai lebih dahulu, segera menggendong buntalan besar pakaiannya dan menyuruh puterinya melakukan hal yang sama.
"Mari kita berangkat!" "
"Eh, apakah Ayah tidak ikut, Ibu?"
Tiba-tiba gadis remaja itu bertanya. Ibunya hanya menggeleng kepala tanpa menjawab. Mereka keluar dari dalam kamar dan ibunya mengajak ia langsung keluar.
"Ibu, kita pamit dulu dari Kong-kong (Kakek) dan Ayah "
"Tidak usah, aku sudah pamit tadi. Kita langsung berangkat!"
Kata ibunya singkat. Tentu saja hal ini tidak dapat diterima oleh Kui Hong yang amat sayang kepada kakeknya dan ayahnya.
"Tapi, Ibu.."
"Cukup! Tak perlu banyak cakap lagi, mari kita langsung berangkat, lihat, malam telah semakin gelap!"
"Tapi mengapa tergesa-gesa, Ibu? Bukankah berangkat besok pagi-pagi lebih baik dan aku harus pamit..."
"Diam dan mari kita pergi!"
Tiba-tiba Sui Cin membentak dan gadis remaja itu terkejut bukan main melihat ibunya demikian galak,
Apalagi melihat dua titik air mata meloncat keluar dari mata ibunya. Ia maklum bahwa ibunya sedang marah sekali, maka ia pun tidak berani membantah lagi dan keluarlah ia mengikuti ibunya. Lebih lagi merasa terkejut dan heran melihat betapa ibunya setelah berada di luar rumah, langsung saja mempergunakan ilmu berlari cepat, meluncur di dalam gelap seperti terbang saja. Terpaksa ia pun mengerahkan tenaganya untuk mengimbangi kecepatan lari ibunya dan mereka lalu melakukan perjalanan yang amat cepat menuju ke tenggara. Dapat dibayangkan betapa heran rasa hati Kui Hong melihat ibunya tak pernah mau berhenti berlari sampai akhirnya, beberapa jam kemudian, lewat tengah malam. Kui Hong yang sudah berkeringat dan napasnya memburu, berkata kepada ibunya.
"Ibu, jangan cepat-cepat... ah, aku... aku sudah lelah sekali..."
Dan gadis itu pun mogok lari. Melihat ini, Sui Cin baru teringat akan keadaan puterinya. Ia pun berhenti berlari dan mengajak puterinya beristirahat di bawah sebatang pohon besar.
Ia sendiri pun baru sadar bahwa keringat telah membasahi leher dan mukanya, betapa napasnya juga memburu. Mereka duduk di atas batu-batu yang banyak terdapat di kaki gunung itu, memandang ke atas. Tidak ada bulan di langit, namun langit yang kelam itu penuh dengan bintang yang nampak gemerlapan indah sekali pada latar belakang hitam itu, nampak bagaikan ratna mutu manikam di atas beledu hitam. Kadang-kadang nampak bintang meluncur dengan berekor panjang lalu lenyap ditelan kegelapan. Bintang jatuh? Atau bintang pindah? Kui Hong selalu kagum memandang angkasa penuh bintang, atau angkasa diterangi bulan purnama. Baginya, angkasa penuh dengan rahasia alam yang hebat, sehingga orang-orang pandai seperti ayahnya dan bahkan kakeknya pun tidak mampu memberi penjelasan ketika ia bertanya kepada mereka tentang bulan dan bintang.
Ia tahu bahwa ibunya juga suka menikmati kebesaran alam, bahkan ibunya suka berkhayal dan bercerita bahwa karena menurut dongeng, bintang-bintang itu merupakan dunia-dunia, maka tentu di setiap bintang dikuasai oleh seorang dewa. Kalau begitu, alangkah banyaknya dewa-dewa di langit! Tak terhitung banyaknya! Lebih banyak bintang di langit daripada rambut di kepalamu, demikian kata ibunya. Dan mungkin benar, pikir Kui Hong, karena walaupun amat banyak, kalau memang dikehendaki, rambut di kepala masih dapat dihitung manusia. Akan tetapi bintang di langit? Siapa mampu menghitungnya? Makin gelap langit, makin banyaklah bintang yang nampak, sampai berdempetan dan tak mungkin dihitung.
"Aduh, bukan main indahnya bintang-bintang itu, Ibu.."
Kui Hong yang sejenak lupa akan segala hal itu berkata penuh kagum. Akan tetapi ibunya tidak menjawab dan ia terheran. Biasanya ibunya paling suka memuji keindahan alam. Ia menengok dan di dalam keremangan malam, ia melihat ibunya menyembunyikan muka di balik lengan yang memeluk lutut! Baru ia teringat akan keadaan mereka dan Kui Hong merasa gelisah sekali. Ia bukan anak kecil. Tentu telah terjadi sesuatu yang hebat, yang membuat ibunya berduka seperti itu. Jangan-jangan kakeknya atau neneknya yang di Pulau Teratai Merah meninggal dunia, pikirnya dan ia pun bergidik ngeri. Tak mungkin! Kalau benar terjadi hal demikian, tentu ayahnya pun ikut pergi, bahkan Kakek Cia Kong Liang juga tentu pergi melayat. Tidak, tentu ada peristiwa lain.
"lbu... lbu, engkau kenapakah, Ibu...?"
Tanyanya lirih sambil menyentuh tangan ibunya.
Tersentuh senar yang terhalus di dalam hati Sui Cin oleh pertanyaan puterinya ini. Ia terisak dan menyembunyikan muka di balik kedua tangannya. Ia menangis! Ibunya menangis! Kui Hong tersentak kaget. Belum perlnah ia melihat ibunya menangis! Ia selalu menganggap ibunya seorang wanita yang paling hebat, yang gagah perkasa dan pantang menangis. Bahkan ibunya sering memberi nasihat ketika ia masih kecil dan suka menangis, bahwa seorang wanita gagah lebih menghargai air mata daripada darah! Keringat dan darah sekalipun boleh menetes kalau perlu, akan tetapi air mata harus dipantang! Tangis menunjukkan kelemahan dan seorang wanita yang gagah perkasa bukanlaln seorang yang lemah. Demikian kata-kata ibunya yang selalu masih diingatnya, kata-kata yang ikut menggemblengnya menjadi seorang gadis yang tabah, keras hati, penuh keberanian menghadapi apapun juga tanpa mengeluh. Dan sekarang, ibunya menangis!
"Ibu......!"
Kui Hong merangkul ibunya dan memaksa ibunya menurunkan tangan. Dipandanginya wajah ibunya. Memang tidak banyak air mata yang mengalir keluar, akan tetapi tetap saja terbukti bahwa ibunya menangis.
"Ibu, engkau menangis? Mungkinkah ini? Ada apakah yang telah terjadi, Ibuku?"
Kui Hong bertanya sambil menciumi pipi ibunya yang agak basah oleh air mata. Dengan sekuat tenaga Sui Cin menekan perasaannya, menghapus air matanya. Anaknya ini bukan kanak-kanak lagi, melainkan seorang gadis menjelang dewasa, tak perlu menyembunyikan keadaan yang sebenarnya, karena tentu Kui Hong kini sudah dapat mengerti.
"Ayahmu... Ayahmu harus menikah lagi."
Jawabnya dan begitu ia menjawab, ia merasa lancar dan dapat menahan getaran perasaannya. Kini kedukaannya terganti oleh rasa penasaran dan kemarahan. Mendengar keterangan ini, Kui Hong terkejut sekali, juga heran dan sejenak ia kehilangan akal, hampir tidak dapat mengerti dan tidak dapat menangkap maksud kata-kata ibunya. Ayahnya harus menikah lagi? Keterangan macam apa ini? Akan tetapi, semuda itu, Kui Hong sudah digembleng untuk menguasai hatinya dan sikapnya masih tetap tenang walaupun keterangan ibunya itu membuatnya terkejut dan terheran-heran. Sukar ia dapat percaya bahwa ayahnya akan menikah lagi! Ia mempertimbangkan keterangan ibunya dalam satu kalimat tadi. Ayahnya harus menikah lagi. Harus?
"Ibu, siapa yang mengharuskan Ayah menikah lagi?"
"Kakekmu, siapa lagi?"
Suara ibunya mengandung penasaran dan kemarahan sehingga Kui Hong dapat menduga bahwa tentu ibunya sudah ribut dengan kakeknya.
"Menikah dengan siapa?"
"Dengan siapa saja, Ayahmu sendiri pun belum tahu."
"Tapi, kenapa? Kenapa Kong-kong menyuruh dan bahkan mengharuskan Ayah menikah lagi? Bukankah Ayah sudah menikah dengan Ibu?"
"Kong-kongmu ingin mempunyai seorang cucu laki-laki..."
"Akan tetapi, Kong-kong sudah mempunyai cucu aku!"
"Dia ingin cucu laki-laki untuk menyambung keluarga Cia! Karena aku tidak mempunyai anak laki-laki, maka Ayahmu diharuskan menikah lagi."
"Dan Ayah... Ayah mau...?"
"Ayahmu terpaksa, kalau tidak, dia tidak akan diakui lagi sebagai anak Kong-kongmu, akan diusir!"
"Ahhh..!"
Wajah Kui Hong berubah, kini agak pucat karena ia mulai mengerti benar dan tahu bahwa memang telah terjadi urusan yang hebat sekali, bahkan merupakan malapetaka bagi ibu dan ayahnya, yang mengubah kehidupan keluarga mereka semua!
"Jadi karena itulah Ibu pergi? Tapi... tapi kenapa pergi, Ibu? Kenapa kalau Ibu tidak setuju, Ibu tidak melarang saja pada Ayah agar dia tidak usah menikah lagi?"
"Aku sudah menyatakan tidak setuju, bahkan aku sampai cekcok dengan Kong-kongmu, akan tetapi Kong-kongmu memaksa Ayahmu, kalau Ayahmu tidak mau, Ayahmu harus pergi dan tidak diakui sebagai anak lagi."
"Ah, kenapa Ibu tidak bilang begitu selagi kita pergi. Biarlah aku kembali ke sana dan aku tegur Kong-kong dan Ayah!"
Kui Hong bangkit berdiri sambil mengepal tinju, akan tetapi melihat itu, Sui Cin merangkul anaknya disuruhnya duduk kembali..
"Tidak ada gunanya, Kui Hong. Engkau tidak tahu betapa keras hati Kong-kongmu dan betapa pentingnya cucu laki-laki baginya, atau bagi laki-laki yang manapun juga di dunia ini agaknya. Sungguh menjemukan! Sudahlah, biarlah kita pergi saja dan kalau memang Ayahmu ingin berbakti kepada Kong-kongmu dan melupakan kita, biarlah kita hidup sendiri, di rumah orang tuaku di Pulau Teratai Merah."
"Tapi, Ibu, kenapa Ibu tidak menentang dengan kekerasan saja?"
"Tidak ada gunanya, juga tidak baik dan memalukan! Aku sudah mengambil keputusan untuk pulang saja ke Pulau Teratai Merah dan kalau Ayahmu menyusul kita, dan mengurungkan niat Kong-kongmu yang mengharuskan dia menikah lagi, baru aku mau ikut dengannya. Kalau sebaliknya terjadi, dia menikah lagi, biarlah selamanya kita tinggal saja di Pulau Teratai Merah."
Percakapan itu terhenti dan kedua orang wanita itu tenggelam ke dalam lamunan masing-masing. Beberapa kali Cia Kui Hong mengepal tinju, hatinya marah dan panas sekali, melebihi panasnya hati ibunya. Kalau kelak ayahnya benar menikah lagi, ia akan menegur ayahnya itu, dan menegur kakeknya, kalau perlu ia akan membunuh wanita yang menjadi isteri ayahnya, ibu tirinya yang mendatangkan kehancuran dalam kehidupan ibunya. Ibunya kini sampai meninggalkan rumah, kedinginan di kaki gunung ini, di bawah pohon, terlunta-lunta!
Perjalanan yang dilakukan oleh Ceng Sui Cin dan puterinya, Cia Kui Hong, adalah sebuah perjalanan yang amat jauh dan akan makan waktu beberapa bulan lamanya walaupun mereka mempergunakan ilmu berlari cepat! Tentu saja ibu dan anak ini mengalami banyak kesukaran. Selain lelah dan hati mereka tertekan duka, juga masih banyak gangguan mereka hadapi sebagai dua orang wanita cantik melakukan perjalaran tanpa kawalan. Biarpun usianya sudah tiga puluh tiga tahun, namun Sui Cin masih nampak cantik jelita. Tubuhnya yang ramping itu kini memang agak gemuk dibandingkan sebelum ia mempunyai anak, akan tetapi bukan gemuk karena kebanyakan gajih sehingga nampak kedodoran, melainkan gemuk padat karena ia masih terus berlatih silat sehingga ia lebih tepat dikatakan bertubuh montok.
Wajahnya nampak lebih muda dari usianya yang sebenarnya sehingga dalam melakukan perjalanan bersama Kui Hong, mereka lebih pantas disebut enci adik, daripada ibu dan anak. Sampai sekarang pun Sui Cin masih tidak mengubah kebiasaannya yang dahulu, yaitu sikapnya bebas dan pakaiannyapun agak nyentrik. Ia lebih mengutamakan enak dipakai daripada indah dipakai. Karena ia melakukan perjalanan yang jauh, ia tidak lupa membawa payungnya yang merupakan senjata pusakanya, yang telah mengangkat namanya ketika ia masih gadis, di samping benda itu dapat pula dipergunakan sebagai payung untuk melindungi muka dari sengatan terik matahari dan curahan air hujan. Juga puterinya mengenakan pakaian yang nyentrik, pakaian pria yang ketat sehingga tubuhnya yang bagaikan bunga sedang mulai mekar itu nampak indah menarik seperti buah yang sedang ranum.
Berbeda dengan ibunya yang membawa sebuah payung, yang diikat pada buntalan pakaiannya di punggung kalau tidak dipergunakan sebagai payung, gadis yang berusia lima belas tahun ini membawa sebatang pedang yang dipasang di atas buntalan di punggung. Karena gadis ini membawa pedang secara mencolok itulah agaknya yang banyak menolong mereka, karena kalau ada laki-laki yang tertarik dan berniat kurang ajar, mereka mundur teratur melihat pedang itu, maklum bahwa dua orang wanita itu adalah dua orang wanita kang-ouw (sungai telaga, golongan ahli silat) yang tidak boleh sembarang diganggu. Kurang lebih sebulan kemudian setelah meninggalkan Cin-ling-san, pada suatu sore ibu dan anak ini tiba di kota Nan-sian yang terletak di tepi Telaga Tung-ting. Kota ini memang indah karena letaknya di tepi telaga besar itu yang menampung air dari Sungai Yang-ce-kiang yang lebar.
Karena hari telah menjelang sore dan tidak mengenal baik daerah itu, pula melihat betapa puterinya tadi mengagumi keindahan pemandangan alam di telaga itu dari suatu ketinggian, Ceng Sui Cin lalu mengambil keputusan untuk bermalam saja di kota Nan-sian ini. Mereka memasuki kota Nan-sian, menyewa sebuah kamar yang cukup bersih di sebuah rumah penginapan yang terletak di tempat indah sekali, di tepi telaga. Setelah mandi dan berganti pakaian, ibu dan anak ini meninggalkan buntalan pakaian mereka di dalam kamar, akan tetapi tidak lupa membawa senjata mereka yang sedapat mungkin mereka sembunyikan di bawah baju, sedangkan Sui Cin membawa payungnya, mereka lalu menlnggalkan rumah penginapan untuk melihat keindahan telaga itu di mana terdapat banyak sekali perahu sewaan untuk orang pesiar ke telaga.
"Ibu, kita menyewa perahu, membeli makanan dan makan di atas perahu. Tentu menyenangkan sekali!"
Kata Kui Hong. Sui Cin tersenyum. Setelah melakukan perjalanan dengan puterinya, sedikit demi sedikit Sui Cin dapat menutup kedukaan hatinya dan ia merasa kasihan kepada puterinya yang ikut terbawa terlunta-lunta bersamanya.
"Baik, Kui Hong. Mari kita memilih rumah makan yang baik dan minta kepada pelayan untuk mengantar ke perahu yang kita sewa."
Dengan gembira, seperti dua orang ibu dan anak yang sedang pergi pelesir dan samasekali melupakan kedukaan mereka. Sui Cin dan Kui Hong lalu memilih perahu yang catnya masih baru dan berbentuk naga, tukang perahunya juga seorang kakek yang berpakaian rapi dan bersih. Setelah mendapatkan perahu, mereka lalu memesan makanan dan arak yang diantar ke perahu oleh pelayan restoran dibantu oleh kakek pemilik perahu.
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tak lama kemudian, perahu itu pun didayung perlahan oleh kakek tukang perahu sedangkan Sui Cin dan Kui Hong makan minum di kepala perahu yang sengaja didayung menuju ke barat, menyongsong matahari yang sedang tenggelam. Bukan main indahnya pemandangan itu. Matahari yang condong ke barat itu membakar langit di barat dan bayangannya di air yang tenang dan jernih sungguh merupakan pemandangan yang menakjubkan sekali. Gembira hati ibu dan anak ini makan minum sambil melihat pemandangan indah itu, dan banyak pula perahu-perahu pesiar yang hilir mudik di permukaan telaga yang teramat luas. Terdengar pula suara musik dipukul orang, ada pula gadis-gadis penyanyi yang bermain yangkim dan suling, bernyanyi menghibur hati para tuan muda yang bersenang-senang dan bermabok-mabokan di atas perahu besar.
Sui Cin dan Kui Hong tidak senang melihat lagak para kongcu yang bersenang di atas perahu bersama gadis-gadis penyanyi itu, lalu menyuruh tukang perahu untuk mendayung perahu itu menjauh, mencari tempat yang ramai. Dari jauh nampak perahu-perahu pelesir yang di cat indah itu seperti binatang-binatang aneh yang meluncur berenang di permukaan air. Hanya ada satu dua buah perahu yang kadang-kadang bersimpangan jalan dengan perahu ibu dan anak itu yang masih belum selesai makan minum dengan sangat asyiknya karena mereka tidak tergesa-gesa. Tiba-tiba terdengar suara merdu dari tiupan suling yang diiringi suara sentilan yang-kim (semacam siter). Di tempat yang sunyi itu, jauh dari perahu-perahu lain yang bising, suara ini terdengar amat merdu, menambah keindahan pemandangan senja hari itu.
Petikan yang-kim yang mengiringi tiupan suling itu sungguh amat indah dan paduan suara itu demikian tepat dan serasi sehingga merupakan musik yang seolah-olah memberi penghormatan dan mengiringkan Sang Raja Hari yang sedang mengundurkan diri di istana barat. Ibu dan anak itu tertarik dan menoleh. Ternyata suara itu keluar dari sebuah perahu kecil sederhana bercat merah yang meluncur perlahan dari arah kiri ke arah mereka. Perahu itu meluncur tenang dan ternyata digerakkan oleh layar kecil yang terpasang di atas perahu, dibiarkan meluncur ke mana pun arahnya karena penumpangnya hanya seorang saja dan orang ini pun tidak mengemudikan perahu karena dialah yang sedang asyik membunyikan musik itu. Akan tetapi, seorang saja memainkan paduan musik suling dan yang-kim, demikian indahnya pula, sungguh sukar untuk dipercaya!
"Dekati perahu itu.."
Kata Kui Hong kepada kakek tukang perahu karena ia tertarik dan gembira, juga Sui Cin mengangguk setuju. Akan tetapi kakek itu mengerutkan alisnya, bahkan menggeleng kepala.
"Tidak boleh terlalu dekat, Toanio dan Siocia (Nyonya Besar dan Nona)."
"Eh, memangnya kenapa?"
Tanya Kui Hong dan Sui Cin juga memandang heran.
"Saya adalah tukang perahu yang setiap hari bekerja di sini dan segala peristiwa yang terjadi di telaga ini saya ketahui, Nona. Sudah kurang lebih dua minggu perahu kecil itu muncul dan orang-orang tidak berani mengganggunya, karena pada hari pertama, ada perahu besar mengganggu dan perahu itu langsung saja dibalikkan sehingga tenggelam oleh penumpang perahu yang bermain suling dan yang-kim itu!"
Tentu saja Sui Cin dan Kul Hong tertarik sekali mendengar berita yang aneh itu.
"Jahat sekali dia! Siapa sih orang itu?"
Tanya Kui Hong, mencoba untuk memandang orang yang duduk di dalam perahu kecil itu, akan tetapi karena jarak di antara perahunya dan perahu itu masih agak jauh dan cuaca sudah mulai remang-remang, ia tidak mampu melihat jelas. Hanya kelihatan seorang laki-laki yang bertubuh sedang duduk menunduk di perahu itu, memangku sebuah yang-kim dan memegang sebuah suling. Karena dia memegang suling itu dengan tangan kirinya, agaknya dia meniup suling dan memainkan suling itu dengan tangan kirinya saja, sedangkan tangan kanannya dipergunakan untuk memainkan senar-senar yang-kim yang berada di atas pangkuannya.
"Saya tidak tabu, Nona. Tak seorangpun tahu siapa dia. Akan tetapi semua tukang perahu tidak berani mendekatinya. Kalau dia tidak diganggu, dia pun tidak pernah melakukan sesuatu yang merugikan orang lain, bahkan menyenangkan dengan permainan suling dan yang-kimnya yang luar biasa. Merdu, bukan?"
"Bagaimana dia menggulingkan perahu besar?"
Sui Cin yang tertarik, bertanya. Kakek itu menggelengkan kepala.
"Siapa mengerti, Toanio? Tahu-tahu perahu itu terbalik dan orang itu berhenti meniup suling dan memainkan yang-kim. Setelah perahu besar itu terbalik, barulah dia main musik lagi dan perahu kecilnya meluncur pergi."
"Apa yang telah dilakukan oleh perahu besar itu sehingga dia terganggu dan marah?"
Sui Cin bertanya lagi, semakin tertarik hatinya.
"Perahu besar itu hanya lewat terlalu dekat sehingga ada air memercik membasahi pakaian dan yang-kimnya, dan para penghuni perahu besar mentertawakannya."
Jawab tukang perahu yang menghentikan dayungnya karena tidak mau datang terlalu dekat.
"Sombong benar orang itu, ingin aku melihat bagaimana sih macam orangnya. Paman tua, dekatkan perahu kita dengan perahunya!"
Kata Kui Hong yang sudah merasa tertarik dan penasaran sekali. Sui Cin juga tertarik, karena menduga bahwa orang dapat bermain suling dan yang-kim sekaligus menjadi paduan suara yang amat serasi, dan yang berwatak aneh seperti itu menggulingkan perahu besar yang airnya memercik kepadanya, tentu merupakan orang yang luar biasa. Apalagi kalau dipikir bahwa menggulingkan perahu bukan pekerjaan yang mudah.
"Dekatkan perahu kita."
Katanya pula kepada tukang perahu.
"Tidak, Toanio, Siocia. Saya tidak berani. Bagaimana kalau nanti perahuku digulingkan pula? Celaka, saya akan menderita rugi."
Dia lalu memandang kepada mereka.
"Dan belum tentu Ji-wi (Anda Berdua) dapat menyelamatkan diri dan berenang seperti para penumpang perahu besar itu. Bagaimana kalau Ji-wi sampai tenggelam?"
"Aku akan mengganti kerugianmu kalau terjadi demikian."
Kata Sui Cin sambil tersenyum.
"Saya tidak berani, Toanio."
"Heh, tukang perahu cerewet! Kalau engkau mendekatkan perahumu ke sana, belum tentu dia akan menggulingkan perahumu, akan tetapi kalau engkau tidak mau dan masih banyak cerewet, yang jelas sekarang juga aku akan membikin perahumu terguling!"
Bentak Kui Hong yang gemas sekali melihat tukang perahu itu ketakutan dan menolak permintaan mereka. Mata tukang perahu itu terbelalak kaget dan mukanya berubah pucat. Celaka, pikirnya, kiranya dua orang perempuan yang menumpang di perahunya ini sama gilanya dengan laki-laki peniup suling itu! Akan tetapi karena yang mengancamnya hanya seorang gadis remaja, tentu saja dia tidak begitu takut. Agaknya Kui Hong melihat pula hal ini, maka ia pun menggerakkan jari-jari tangan kirinya, menusuk pinggiran perahu yang terbuat dari papan tebal itu.
"Cusss...!"
Tiga buah jari yang kecil mungil itu menusuk masuk ke dalam kayu yang keras itu seolah-olah papan tebal itu hanya merupakan tahu yang lunak saja.
"Kau ingin aku membikin lubang-lubang di dasar perahumu?"
Kui Hong membentak. Mata kakek itu semakin melebar dan mukanya semakin pucat.
"Tidak... tidak, Siocia, baiklah... saya... saya mendekatkan perahu.."
Katanya dengan suara gemetar.
Hampir dia tidak dapat percaya melihat betapa tiga buah jari tangan yang kecil mungil dan halus itu dapat menusuk dan amblas ke papan perahu seperti tiga batang jari baja memasuki agar-agar saja! Karena maklum bahwa ancaman di dalam perahunya lebih berbahaya daripada ancaman perahu kecil pemain suling itu, dia pun mendayung perahunya perlahan-lahan mendekati perahu kecil dengan hati berdebar ketakutan. Dengan hati-hati dia mendekatkan perahu, menjaga agar dayungnya tidak membuat air terpercik terlalu keras dan agar perahunya tidak sampai menubruk perahu kecil di depan itu. Kini perahu kecil itu tidak meluncur lagl karena rupa-rupanya angin sudah berhenti bertiup dan karena tidak didayung atau dikemudikan, perahu kecil itu hanya bergoyang lirih kadang-kadang menghadap ke kanan, kadang-kadang ke kiri seperti orang mabuk.
Akan tetapi orang yang duduk di kepala perahu itu agaknya tidak mempedulikan hal ini, masih terus bermain yang-kim yang mengiringi tiupan sulingnya. Dengan tangan kirinya, menyangga suling dengan ibu jari sedangkan jari-jari yang lain mempermainkan lubang-lubang suling, seorang laki-laki meniup sulingnya itu dengan suara merdu, melengking-lengking tinggi rendah dengan amat indahnya, dan suara ini diiringi petikan yang-kim yang dilakukan dengan jari-jari tangan kanannya. Biarpun hanya memainkan setiap alat musik dengan satu tangan saja, namun jari-jari tangan itu bermain dengan amat lincahnya dan suara yang berpadu itu amat merdunya. Orang itu seorang laki-laki bertubuh sedang, dan karena mukanya menunduk, apalagi ditutup oleh sebuah caping lebar yang berada di atas kepalanya, maka ibu dan anak itu tidak dapat melihat dengan jelas.
Sui Cin teringat akan seorang tokoh dunia persilatan terkenal yang masih dilihatnya belasan tahun yang lalu, yaitu yang berjuluk Shantung Lo-kiam (Pedang Tua dari Shantung), seorang pendekar dari Shantung, merupakan seorang di antara Sam Lo-eng (Tiga Pendekar Tua) yang terkenal sebagai seorang ahli pedang dan seorang sastrawan yang pandai pula bermain yang-kim. Akan tetapi, belasan tahun yang lalu, Shantung Lo-kiam sudah berusia delapan puluh tahun lebih, dan juga belum pernah ia mendengar bahwa kakek itu juga pandai meniup suling. Apalagi dengan cara memainkan dua buah alat musik seperti orang ini. Agaknya bukan Shantung Lo-kiam, pikirnya. Lalu siapakah orang ini? Tiba-tiba suara suling dan yang-kim terhenti dan laki-laki bercaping itu lalu mengangkat muka, memandang ke angkasa dan dia pun bernyanyi, suaranya cukup merdu dan lantang nyanyiannya kini diiringi suara yang-kim yang ramai karena dimainkan oleh sepuluh jari tangannya.
"Minum arak meniup suling memetik yang-kim seorang diri di atas perahu yang meluncur tanpa kemudi di permukaan Telaga Tung-ting yang amat luas perahuku meluncur dengan bebas melalui jalur yang diciptakan mata-hari jalur emas sang surya di senjahari hidup begini bahagia dan indah perlu apa segala keluh kesah?"
Mendengar nyanyian yang seolah-olah merupakan nasihat dan hiburan bagi hati mereka yang memang sedang dirundung malang itu, tentu saja ibu dan anak ini saling pandang dan Sui Cin memuji,
"Bagus sekali sajak itu...!"
Kui Hong sejak tadi juga mengamati orang itu. Setelah kini menengadah, ia dapat melihat wajahnya dan ia tercengang. Seraut wajah yang amat tampan! Wajah seorang pemuda yang agaknya hanya beberapa tahun saja lebih tua darinya. Dan nyanyian yang merdu itu, kata-kata nyanyian yahg demikian indahnya. Kui Hong memandang seperti terpesona, setuju atas pujian ibunya. Memang indah sajak itu, indah pula suaranya. Laki-laki itu tadinya seolah-olah hanya merasa bahwa dirinya sendirian di tempat luas itu dan agaknya terkejut mendengar pujian orang. Dia seperti baru sadar dan cepat memandang, sinar matanya mencorong mengejutkan hati Sui Cin. Sejenak pemuda itu menatap wajah Sui Cin, kemudian mengalihkan pandang matanya dan memandang kepada Kui Hong penuh selidik. Melihat orang memandang kepadanya demikian lama, Kui Hong mendongkol sekali.
"Apakah kau hendak menggulingkan perahu kami? Coba lakukan, hendak kulihat apakah kau dapat melakukan itu!"
Tantangnya. Sui Cin terkejut, akan tetapi tidak sempat mencegah puterinya yang menantang itu. Mendengar tantangan ini, sepasang mata yang mencorong itu kini ditujukan kepada tukang perahu seolah-olah orang itu mengerti bahwa tentu tukang perahu itu yang telah bercerita bahwa dia pernah menggulingkan perahu. Melihat betapa mata yang mencorong itu menatap kepadanya, tukang perahu menjadi ketakutan dan dia pun menjura di tempatnya.
"Mohon maaf, kedua orang penumpang saya ini yang memaksa saya untuk mendekat, maafkan saya..."
Melihat betapa tukang perahu itu demikian penakut, Kui Hong menjadi semakin mendongkol.
"Huh, memang benar kami yang memaksamu mendekat, kalau engkau demikian pengecut tak usah engkau ikut campur. Memangnya danau atau telaga ini miliknya, maka kita tidak boleh ke sana ke sini sesuka hati?"
Kini sepasang mata itu menjadi ramah, dan wajah yang tampan itu berseri ketika dia berkata.
"Paman tua tukang perahu, aku bukan tukang makan orang, kenapa engkau begitu ketakutan?"
Kemudian dia bangkit berdiri dan menjura ke arah Sui Cin dan Kui Hong.
"Bibi yang terhormat dan adik yang manis, aku juga bukan tukang menggulingkan perahu. Tentu saja engkau boleh pergi ke mana saja dengan perahumu, siapa yang melarang?"
Setelah berkata demikian, laki-laki itu tiba-tiba menggerakkan dayungnya dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya menarik lepas tali layar dan meluncurlah perahu kecil itu dengan cepat meninggalkan tempat itu.
"Siapa sudi kau manis-manis?"
Bentak Kui Hong akan tetapi ibunya sudah memegang lengannya. Ketika gadis itu memandang, ia melihat ibunya tersenyum geli.
"Kui Hong, engkau ini kenapakah. Orang itu bersikap sopan dan baik, kenapa kau marah-marah? Wah, jangan-jangan engkau kemasukan setan penunggu telaga ini!"
Kelakar ibunya.
"Mata orang itu seperti mata maling, membikin hatiku mendongkol. Ibu!"
Kata Kui Hong yang teringat bahwa sikapnya tadi memang agak keterlaluan. Ia telah menantang digulingkan perahunya, kemudian ia marah- arah ketika disebut adik manis. Bagaimanapun juga, harus diakuinya babwa sikap pemuda itu sopan dan manis budi.
"Memang telaga ini dihuni oleh mahluk-mahluk halus yang gawat."
Tiba-tiba tukang perahu itu menanggapi mendengar kelakar nyonya itu.
"Tadinya kami menganggap pemuda peniup suling itu juga mahluk halus. Maka harap Nona tidak main-main di sini. Entah sudah berapa banyak pelancong yang tewas di telaga ini karena gangguan mahluk halus."
Tadinya Kui Hong hendak membentak orang yang lancang mencampuri percakapan itu, akan tetapi mendengar kalimat terakhir, kembali ia tertarik.
"Kenapa banyak orang pelancong tewas di telaga ini? Diganggu mahluk halus katamu?"
Diam-diam Kui Hong melirik ke kanan kiri. Cuaca sudah menjadi agak gelap dan ia merasa betapa bulu tengkuknya meremang dan terasa dingin.
Bagaimanapun juga, Kui Hong hidup di jaman di mana banyak orang masih percaya penuh kepada segala macam tahyul dan dongeng-dongeng tentang setan, iblis dan siluman. Semua itu merupakan hal-hal yang tidak dimengertinya dan menurut dongeng, mahluk halus tidak dapat dilawan dengan ilmu silat yang bagaimana tinggi pun karena mahluk halus pandai menghilang. Tentu saja ia merasa takut begitu ada orang bercerita tentang mahluk halus, apalagi di telaga seperti itu di mana ia merasa agak lemah dan tidak leluasa seperti kalau ia menginjak tanah keras. Agaknya tukang perahu nampak senang. Bagaimanapun juga, dia memperlihatkan bukti bahwa dia lebih tahu tentang telaga itu, dan lebih tahu tentang mahluk halus dan melihat gadis ini agaknya takut-takut, dia merasa lebih menang!
"Telaga ini mengandung banyak keanehan, Nona."
Katanya bercerita.
"Biarpun nampaknya tenang, akan tetapi orang bilang bahwa di bagian tertentu, telaga ini demikian dalamnya sehingga tak seorang pun manusia mampu mengukurnya. Kata orang lebih dari seratus tingginya pohon cemara, dan bahkan ada yang bilang bahwa ada bagian di mana terdapat terowongan yang menghubungkan air telaga ini dengan lautan di timur! Dan kadang-kadang, seperti lautan saja, telaga ini akan mengamuk, airnya bergelombang besar dan kalau sudah begitu, banyak perahu tenggelam dan banyak orang binasa. Juga, banyak pula binatang-binatang aneh seperti naga dan laln-lain bermunculan di telaga ini."
"Ihhh..!"
Kui Hong kembali melirik ke kanan kiri.
"Tidak aneh kalau telaga ini menjadi gawat dan banyak dihuni setan, karena banyak roh penasaran berkeliaran di sini."
"Kenapa begitu?"
Kui Hong mendesak, dan diam-diam ia mengisar duduknya mendekati Ibunya.
"Telaga ini selain menjadi tempat hiburan para pelancong, juga terkenal sebagai tempat orang membunuh diri, Nona."
"Bunuh diri? Mengapa..?"
"Aih, banyak sekali sebabnya, Nona. Patah hati, karena ketakutan, karena malu dan sebagainya. Sebagian besar wanita yang membunuh diri di sini."
"Maksudku, kenapa di sini?"
"Karena tempat ini amat dalam, sekali terjun, mereka yang tak dapat berenang tentu akan tewas. Dan airnya dingin sekali, juga amat dalam. Orang yang sudah tenggelam, sukar untuk diselamatkan orang lain. Hanya mereka yang pandai renang sajalah yang tidak mati kalau sampai terlempar ke air. Baru kemarin dulu ada sepasang orang muda membunuh diri di sini. Aih, kasihan sekali, masih muda remaja, seusia Nona..."
Melihat puterinya nampak ketakutan, Sui Ceng cepat berkata.
"Sudahlah, jangan bicara tentang hal yang bukan-bukan. Antarkan kami ke tepi, kami hendak mengaso, malam telah mulai tiba."
"Baik, Toanio dan maafkan saya."
Tukang perahu itu girang sekali dan cepat mendayung perahunya kembali ke tepi. Senang sekali kalau sudah terbebas dari dua orang wanita yang berani ini, yang tadi membuat dia ketakutan setengah mati karena diharuskan mendekati perahu kecil Si Peniup Suling. Masih heran dia mengapa laki-laki peniup suling itu tidak menggulingkan perahunya tadi, atau tidak membunuh nona yang menantangnya, bahkan bersikap ramah dan sopan. Bahkan Si Peniup Suling itu kelihatan takut. Ya, takut! Aih, jangan-jangan... kakek itu menjadi pucat mukanya sambi1 melirik ke arah Sui Cin dan Kui Hong.
Ibu dan anak yang demikian cantik, bahkan yang lebih tua itu tidak patut menjadi ibu, cantik halus akan tetapi berani menantang Si Peniup Suling dan bertanya-tanya kepadanya tentang mahluk halus! Ih! Siapa tahu dua orang wanita ini malah mahluk halus yang sengaja menyamar dan mempermainkan dia. Setelah tiba di tepi, Sui Cin dan Kui Hong meloncat ke darat, membayar tukang perahu itu dan pergi. Tukang perahu sejenak melongo sambi1 memandang uang yang berada di tangannya, setengah menduga bahwa uang itu tentu akan menjadi batu kerikil atau rumput seperti yang sering dia dengar dongeng orang-orang tentang pembayaran setan yang menyamar sebagai manusia. Dan mulai keesokan harinya, di antara tukang-tukang perahu di situ, tentu akan muncul dongeng baru tentang siluman yang menyamar sebagai dua orang wanita cantik menyewa perahu kakek itu, siluman yang berani menantang Si Tukang Suling yang ditakuti itu!
Ketika Sui Cin dan Kui Hong berjalan menyusuri telaga, tiba-tiba mereka lihat ribut-ribut di tepi sebelah depan, di mana sebuah perahu pelesir yang besar berlabuh. Mereka segera menghampiri tempat itu dan melihat betapa ada enam orang laki-laki tinggi besar yang berpakaian tukang pukul rebah malang melintang dan seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun berpakaian mewah nampak berlutut minta ampun kepada seseorang, dan tak jauh dari situ nampak seorang wanita yang melihat pakaiannya tentu seorang gadis penyanyi, menangis. Ketika Kui Hong dan Sui Cin memandang, ternyata kongcu berpakaian mewah itu berlutut sambil minta ampun kepada seorang pemuda yang bukan lain adalah tukang suling tadi! Kini sulingnya terselip di pinggang dan tangannya memanggul yang-kim, laki-laki itu berdiri menundukkan muka memandang kepada kongcu yang minta ampun.
"Hemm, minta ampun? Orang macam engkau ini sepatutnya dilempar ke telaga biar dimakan ikan! Menggunakan kedudukan dan harta untuk menghina orang lain saja kerjanya! Boleh, aku beri ampun akan tetapi engkau harus mengganti kerugian kepada nona itu sebanyak seratus tael perak, dan mengantarkan ia kembali ke tempat tinggalnya dan jangan sekali-kali engkau berani mengganggunya. Kalau perintah ini tidak kau laksanakan, besok aku akan datang mengambil kepalamu!"
"Baik, Taihiap (pendekar), baik eng-hiong (orang gagah), baiklah, akan saya penuhi perintah Taihiap.."
Kongcu itu meratap.
"Laksanakan!"
Bentak pemuda itu dan sekali kakinya menendang, tubuh kongcu itu terguling dan sekali berkelebat, pemuda itu pun lenyap di antara banyak orang yang merubung di situ. Kongcu itu meratap kesakitan, akan tetapi lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mengantar gadis penyanyi yang menangis itu setelah memberinya uang sebanyak seratus tael perak! Tentu saja Sui Cin dan Kui Hong tertarik sekali. Mereka mendekati seorang kakek yang berada di situ dan bertanya apa yang sebenarnya telah terjadi. Kakek itu memandang kepada Sui Cin dan puterinya.
"Agaknya Ji-wi bukan orang sini, ya?"
"Benar, Lopek, kami pelancong. Apakah yang terjadi tadi?"
"Mari kita bicara agak jauh di sana."
Kata kakek itu dan mereka pun berjalan menjauhi tempat itu. Setelah jauh dan kiranya tidak terdengar orang lain, kakek itu bercerita.
"Kongcu itu adalah Lui-kongcu, seorang kongcu putera jaksa di kota ini yang mata keranjang dan hampir setiap tiga hari sekali pelesir di sini. Dia tidak dapat membedakan mana perempuan yang mau dibegitukan dan mana tidak, karena terlalu mengandalkan kedudukan dan uangnya. Gadis penyanyi tadi bukan pelacur, akan tetapi dia hendak memaksa gadis itu ikut bersamanya dan melayaninya. Gadis itu tidak mau dan menangis, lalu muncul pemuda peniup suling tadi. Terjadi perkelahian dan seperti Ji-wi lihat, enam orang tukang pukul kongcu itu dihajar sampai babak belur dan kongcu itu sendiri dipaksa membayar seratus tael perak. Hemm, memang menyenangkan sekali kami kaum kecil ada yang membela."
"Lopek, siapakah sebenarnya pemuda peniup suling itu tadi?"
Sui Cin kembali bertanya.
"Jangan tanya padaku. Bagaimana kami bisa tahu? Tempo hari dia muncul dan menggulingkan perahu kongcu hidung belang yang kurang ajar, kini dia muncul begitu saja menolong gadis penyanyi dan menghilang begitu saja. Aku tidak akan merasa heran kalau dia..."
Asmara Berdarah Eps 13 Asmara Berdarah Eps 27 Asmara Berdarah Eps 11